outline auditif-taktil new
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada hakekatnya manusia memiliki derajat yang sama sebagai
makhluk ciptaan Tuhan, baik anak normal maupun anak yang memiliki
ketunaan dalam kehidupannya sehingga memerlukan pendidikan khusus.
Sebagai warga negara, baik yang normal maupun yang berkebutuhan
khusus memiliki kewajiban dan hak yang sama dalam proses
pembangunan bangsa. Dalam bidang pendidikan anak berkebutuhan
khusus berhak mendapatkan pendidikan dan pengajaran seoptimal
mungkin sesuai dengan tingkat kemampuan dan perkembangannya. Hal
ini sesuai dengan falsafah Pancasila yang tertuang dalam UUD 1945
Pasal 31 yaitu “Setiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran”.
Anak tuna netra seperti juga anak normal lainnya berhak
mendapatkan pendidikan, Hal ini diatur dalam UUSPN tentang Sistem
Pendidikan. Anak tuna netra mengalami problem dalam banyak hal, yang
disebabkan anak tuna netra mengalami kesulitan dalam mengembangkan
hampir bidang studi, salah satunya adalah bidang studi Matematika.
Kemampuan dasar yang harus dimiliki siswa sebagai bekal
mempelajari matematika salah satunya adalah kemampuan berhitung.
Kemampuan berhitung siswa perlu dipupuk dan dilatih dengan berbagai
teknik agar tertanam dalam pola berpikir anak sehingga nantinya dalam
mempelajari matematika tak ada kendala dalam hal kemampuan
berhitung.
Setelah siswa menyelesaikan studi di tingkat SD kemampuan
berhitung yang harus telah dikuasai adalah meliputi penjumlahan,
pengurangan, perkalian, pembagian, perpangkatan, dan penarikan akar.
Kemampuan berhitung itu harus dikuasai anak untuk diterapkan pada
himpunan bilangan Asli, cacah, bulat, dan pecahan/desimal.
1
Salah satu kemampuan berhitung yang kurang dikuasai dengan
baik oleh siswa adalah penjumlahan dan pengurangan pada bilangan bulat
(negatif dan positif). Hal ini biasanya dikarenakan pada saat pembelajaran
siswa masih dalam tahap berpikir kongkrit sementara kebanyakan
pembelajaran di kelas tidak didukung oleh media pembelajaran yang
memadai.
Kesenjangan antara anak yang tertangani dan anak yang belum
tertangani ternyata sangat jauh berbeda. Yang belum tertangani seakan
menjadi anak yang hanya menjadi beban orang tua, saudara dan
masyarakat, dengan harapan anak yang tertangani bisa diterima dalam
keluarga masyarakat dan bisa mandiri tanpa harus tergantung pada orang
tua.
Sekolah Luar Biasa merupakan sekolah yang diselenggarakan bagi
anak yang berkebutuhan khusus yang memiliki hambatan berfikir dan
bersosialisasi. Jenjang pendidikan yang diselenggarakan meliputi Taman
Kanak-Kanak (TKLB), Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), Sekolah
Menengah Pertama Luar Biasa (SMPLB) dan Sekolah Menengah Atas
Luar Biasa (SMALB).
Bidang studi Matematika untuk Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB)
dimulai dari kelas I – VI. Matematika merupakan bidang studi yang
dianggap sulit oleh banyak siswa. Berdasarkan penelitian Matematika
terdiri dari sub bidang studi Aljabar, Geometri dan Aritmatika.
Sub bidang studi Aritmatika memerlukan ketrampilan dalam
berhitung penjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian. Hasil
belajar Matematika terdiri dari ranah kognitif, afektif dan psikomotorik.
Padahal manusia dalam kehidupan sehari-hari tidak lepas dari berhitung
baik dengan penjumlahan, pengurangan, perkalian ataupun pembagian.
Siswa tuna netra, baik yang termasuk dalam kategori low vision
(penglihatan lemah) ataupun buta total, memiliki karakteristik yang
berbeda. Hal ini tentu berpengaruh pula kepada cara belajar mereka. Pada
umumnya, siswa tuna netra menggunakan indera peraba atau sentuhan
2
pada saat belajar karena keterbatasan penglihatan mereka. Namun,
mereka juga menggunakan indera pendengaran mereka untuk menerima
materi pembelajaran. Khusus untuk siswa tuna netra kelompok low
vision, mereka masih dapat menggunakan indera penglihatan mereka,
namun dalam kondisi tertentu.
Tipe siswa yang cenderung menggunakan indera peraba atau
sentuhan, disebut tipe taktil. Tipe siswa yang cenderung menggunakan
indera pendengaran pada saat belajar, disebut tipe auditif, sedangkan
siswa yang cenderung menggunakan indera penglihatan, disebut tipe
visual. Secara umum, siswa tuna netra, terutama kelompok buta total,
mengkombinasikan dua macam indera yang mereka miliki, yaitu
pendengaran dan peraba (sentuhan). Tipe siswa seperti ini disebut tipe
auditif-taktil. Tipe belajar seperti ini dinilai lebih efektif dalam
pembelajaran karena ketika guru memberikan penjelasan materi kepada
siswa, siswa dapat belajar secara auditif, sedangkan untuk aplikasi
pembelajarannya mereka dapat belajar secara taktil. Biasanya, mereka
menggunakan huruf Braille, atau media pembelajaran tang menggunakn
sentuhan.
Siswa tuna netra dengan keterbatasan fisik harus dapat menguasai
kecakapan berhitung yang sederhana dan praktis. Dengan keterbatasan
tersebut guru dituntut untuk mencari media, metode serta memberikan
suasana belajar yang kondusif.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut :
“Bagaimana profil siswa tuna netra kelas III SD yang bertipe auditif-
taktil pada pembelajaran matematika (pokok bahasan operasi hitung) di
SDLB Kota Jambi?”
3
1.3 Batasan Masalah
Batasan masalah dalam penelitian ini adalah dengan memilih
pokok bahasan operasi hitung. Objek penelitian yang dipilih adalah anak-
anak tuna netra kelas II SDLB Kota Jambi.
1.4 Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui permasalahan siswa tuna
netra kelas III SD yang bertipe auditif-taktil pada pembelajaran
matematika (pokok bahasan operasi hitung) di SDLB Kota Jambi
1.5 Manfaat
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
1. Bagi guru untuk menambah kajian pengalaman dalam kegiatan belajar
mengajar sehingga akan mengubah sikap mengajar pada kegiatan
belajar mengajar berikutnya sesuai dengan tipe siswa yang diajar
2. Bagi siswa bisa mempermudah dalam menerima materi dan
mengerjakan soal-soal pada materi operasi hitung
3. Bagi dunia pendidikan memberikan motivasi kepada instansi terkait
(Depdikbud) untuk selalu memantau pelaksanaan pendidikan dan
penyesuaian model pembelajaran kepada siswa, khususnya siswa tuna
netra
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Anak Tuna Netra
2.1.1 Pengertian tentang Anak Tuna Netra
Tunanetra adalah istilah umum yang digunakan untuk
kondisi seseorang yang mengalami gangguan atau hambatan dalam
indra penglihatannya. Secara etimologi kata tunanetra berasal dari
tuna yang berarti rusak,netra berarti mata atau penglihatan. Jadi
secara umum tunanetra berarti rusak penglihatan.
Tunanetra berarti buta,tetapi buta belum tentu sama sekali
gelap atau sama sekali tidak dapat melihat. Ada anak buta yang
sama sekali tidak ada penglihatan,anak semacam ini biasanya
disebut buta total. Disamping buta total,masih ada juga anak yang
mempunyai sisa penglihatan tetapi tidak dapat dipergunakan untuk
membaca dan menulis huruf biasa. Istilah buta ini mencakup
pengertian yang sama dengan istilah tunanetra atau istilah asingnya
blind. Untuk memberikan pengertian yang tepat tentang buta itu,
perlu dirumuskan pengertian sebagai berikut :
Menurut Slamet Riadi adalah “Seseorang dikatakan buta
jika ia tidak dapat mempergunakan penglihatannya untuk
pendidikan“ (Slamet Riadi , 1984, hal. 23). Menurut Pertuni
tunanetra adalah mereka yang tidak memiliki penglihatan sama
sekali (buta total) hingga mereka yang masih memiliki sisah
penglihatan, tetapi tidak mampu menggunakan penglihatanya
untuk membaca tulisan biasa berukuran 12 point dalam keadaan
cahaya normal meski pun dibantu dengan kacamata (kurang awas).
Pertuni (persatuan tunanetra indonesia) yang berkedudukan di
jakarta. Salh satu wadah institusi ormas, yang mengakfokasi hak-
hak tunanetra dalam kehidupan dan penghidupan dalam
5
masyarakat. Baik dari segi hukum, HAM (hak asasi manusia) dan
pendidikan.
Definisi masih bersifat umum dan pengertiannya pun
terlalu luas, meskipun telah diarahkan untuk keperluan pendidikan.
Untuk itu kami memberikan pengertian secara khusus, bahwa
orang yang kehilangan penglihatan sedemikian rupa, sehingga
seseorang itu sukar atau tidak mungkin dapat mengikuti pendidikan
dengan metode yang biasanya dipergunakan disekolah biasa.
Sebenarnya anak buta dalam pendidikan tidak saja
mempergunakan metode khusus, melainkan juga alat-alat bantu
khusus, yang digunakan untuk membaca dan menulis diantaranya
adalah : huruf braille, riglet dan pen.
Huruf Braille adalah huruf timbul yang khusus digunakan
untuk para penyandang tuna netra. Huruf ini terdiri dari kumpulan
titik-titik yang disusun sedemikian rupa untuk menggantikan huruf
biasa. Penulisannya pun menggunakan mesin ketik khusus Braile.
Namun untuk penghitungan, penyandang tuna netra dapat
menggunakan sempoa atau dekak-dekak.
Alat bantu untuk mobilitasnya bagi tuna netra dengan
menggunakan tongkat khusus, yaitu berwarna putih dengan ada
garis merah horizontal. Akibat hilang/berkurangnya fungsi indra
penglihatannya maka tunanetra berusaha memaksimalkan fungsi
indra-indra yang lainnya seperti, perabaan, penciuman,
pendengaran, dan lain sebaginya sehingga tidak sedikit
penyandang tuna netra yang memiliki kemampuan luar biasa
misalnya di bidang musik atau ilmu pengetahuan.
2.1.2 Klasifikasi Tuna Netra
Klasifikasi yang dialami oleh anak tunanetra, antara lain:
6
Menurut Lowenfeld, (1955:p.219), klasifikasi anak tunanetra
yang didasarkan pada waktu terjadinya ketunanetraan, yaitu :
1. Tunanetra sebelum dan sejak lahir; yakni mereka yang sama
sekali tidak memiliki pengalaman penglihatan.
2. Tunanetra setelah lahir atau pada usia kecil; mereka telah
memiliki kesan-kesan serta pengalaman visual tetapi belum
kuat dan mudah terlupakan.
3. Tunanetra pada usia sekolah atau pada masa remaja; mereka
telah memiliki kesan-kesan visual dan meninggalkan pengaruh
yang mendalam terhadap proses perkembangan pribadi.
4. Tunanetra pada usia dewasa; pada umumnya mereka yang
dengan segala kesadaran mampu melakukan latihan-latihan
penyesuaian diri.
5. Tunanetra dalam usia lanjut; sebagian besar sudah sulit
mengikuti latihan-latihan penyesuaian diri.
6. Tunanetra akibat bawaan (partial sight bawaan)
Klasifikasi anak tunanetra berdasarkan kemampuan daya
penglihatan, yaitu :
1. Tunanetra ringan (defective vision/low vision); yakni mereka
yang memiliki hambatan dalam penglihatan akan tetapi
mereka masih dapat mengikuti program-program pendidikan
dan mampu melakukan pekerjaan/kegiatan yang
menggunakan fungsi penglihatan.
2. Tunanetra setengah berat (partially sighted); yakni mereka
yang kehilangan sebagian daya penglihatan, hanya dengan
menggunakan kaca pembesar mampu mengikuti pendidikan
biasa atau mampu membaca tulisan yang bercetak tebal.
3. Tunanetra berat (totally blind); yakni mereka yang sama
sekali tidak dapat melihat.
7
Menurut WHO, klasifikasi didasarkan pada pemeriksaan
klinis, yaitu :
1. Tunanetra yang memiliki ketajaman penglihatan kurang dari
20/200 dan atau memiliki bidang penglihatan kurang dari 20
derajat.
2. Tunanetra yang masih memiliki ketajaman penglihatan antara
20/70 sampai dengan 20/200 yang dapat lebih baik melalui
perbaikan.
Menurut Hathaway, klasifikasi didasarkan dari segi
pendidikan, yaitu :
1. Anak yang memiliki ketajaman penglihatan 20/70 atau
kurang setelah memperoleh pelayanan medik.
2. Anak yang mempunyai penyimpangan penglihatan dari yang
normal dan menurut ahli mata dapat bermanfaat dengan
menyediakan atau memberikan fasilitas pendidikan yang
khusus.
2.1.3 Penyebab Tuna Netra
Secara ilmiah, ketunanetraan anak dapat disebabkan oleh
berbagai faktor, apakah itu faktor dalam diri anak (internal)
ataupun faktor dari luar anak (eksternal). Hal-hal yang termasuk
faktor internal yaitu faktor-faktor yang erat hubungannya dengan
keadaan bayi selama masih dalam kandungan : faktor gen (sifat
pembawa keturunan), kondisi psikis ibu, kekurangan gizi,
keracunan obat dan sebagainnya.
Faktor eksternal yaitu faktor-faktor yang terjadi pada saat
atau sesudah bayi dilahirkan. Misalnya : kecelakaan, terkena
penyakit siphilis yang mengenai matanya saat dilahirkan, pengaruh
alat bantu medis (tang) saat melahirkan sehingga system sayafnya
8
rusak, kurang gizi atau vitamin, terkena racun, virus trachoma,
panas badan yang terlalu tinggi, dan peradangan mata karena
penyakit, bakteri, atau virus.
2.1.4 Karakteristik Anak Tuna Netra
1. Karakteristik Anak Tuna Netyra dalam Aspek Akademis
Bateman dalam Hallahan &Kauffman (1991:312)
mengemukakan bahwa dari hasil penelitian, diperoleh beberapa
fakta yang memberikan kesan bahwa anak tunanetra baik yang
kurang lihat maupun buta, ketinggalan dari temannya yang
awas. Berkaitan dengan tersebut, Samuel Hayes dalam Moh.
Amin (1986:13) telah mengukur kecerdasan tunanetra dengan
menggunakan tes kecerdasan Hayes Binet dengan
menghilangkan nomor-nomor yang menggunakan penglihatan
dan menggantinya dengan nomor-nomor yang tidak
menggunakan penglihatan dari Standford-Binet. Tes tersebut
menguji 2.312 anak-anak buta, dan menemukan bahwa angka
IQ rata-rata mereka adalah 98,8.
Studi yang dilakukan oleh kephart 7 Schwartz (1974)
menunjukkan bahwa anak-anak yang mengalami gangguan
penglihatan yang berat cenderung memperoleh kemampuan
berkomunikasi secara lisan, dan mampu berprestasi, seperti
anak awas.
2. Karakteristik Anak Tuna Netra dalam Aspek Pribadi dan Sosial
Hallahan & Kauffman (1991:313) mengemukakan
bahwa hasil penelitian tidak menunjukkan bahwa anak
tunanetra secara umum tidak dapat menyesuaikan diri
(maladjusted) sehingga masalah kepribadian bukan merupakan
sifat/pembawaan dari ketunanetraannya.
9
Sikap negatif orang awas, dapat terjadi karena adanya
penilaian yang salah atau persepsi negatif terhadap tunanetra
Beberapa literatur mengemukakan karakteristik yang mungkin
terjadi pada anak tunanetra yang tergolong buta sebagai akibat
langsung maupun tidak langsung dari kebutaannya ialah :
1) Curiga pada orang lain
2) Mudah tersinggung
3) Ketergantungan pada orang lain
3. Karakteristik Anak Tuna Netra dalam Aspek Fisik/Sensoris dan
Motorik/Perilaku
1. Aspek Fisik dan Sensoris
Dari kondisi matanya dan sikap tubuhnya yang kurang ajeg
serta agak kaku.Dari segi indera, umumnya anak tunanetra
menunjukkan kepekaan yang lebih baik pada indera
pendengaran dan perabaan dibanding dengan anak awas.
2. Aspek Motorik
Dari aspek motorik/perilaku anak tunanetra menunjukkan
karakteristik sebagai berikut :
a. Gerakannya agak kaku dan kurang fleksibel
b. Perilaku Stereotipee (Stereotip behavior)
2.1.5 Permasalahan Anak Tuna Netra
Permasalahan strategi pembelajaran dalam pendidikan anak
tunanetra didasarkan pada dua pemikiran, yaitu :
1. Upaya memodifikasi lingkungan agar sesuai dengan kondisi
anak (di satu sisi).
2. Upaya pemanfaatan secara optimal indera-indera yang masih
berfungsi, untuk mengimbangi kelemahan yang disebabkan
hilangnya fungsi penglihatan (di sisi lain).
10
Strategi pembelajaran dalam pendidikan anak tunanetra
pada hakekatnya adalah strategi pembelajaran umum yang
diterapkan dalam kerangka dua pemikiran di atas. Pertama-tama
guru harus menguasai karakteristik/strategi pembelajaran yang
umum pada anak-anak awas, meliputi tujuan, materi, alat, cara,
lingkungan, dan aspek-aspek lainnya.
Langkah berikutnya adalah menganalisis komponen-
komponen mana saja yang perlu atau tidak perlu
dirubah/dimodifikasi dan bagaimana serta sejauh mana modifikasi
itu dilakukan jika perlu. Pada tahap berikutnya, pemanfaatan
indera yang masih berfungsi secara optimal dan terpadu dalam
praktek/proses pembelajaran memegang peran yag sangat penting
dalam menentukan keberhasilan belajar.
Dalam pembelajaran anak tunanetra, terdapat prinsip-
prinsip yang harus diperhatikan, antara lain :
1. Prinsip Individual
Prinsip individual adalah prinsip umum dalam
pembelajaran manapun (PLB maupun pendidikan umum) guru
dituntut untuk memperhatikan adanya perbedaan-perbedaan
individu. Dalam pendidikan tunanetra, dimensi perbedaan
individu itu sendiri menjadi lebih luas dan kompleks. Di
samping adanya perbedaan-perbedaan umum seperti usia,
kemampuan mental, fisik, kesehatan, sosial, dan budaya, anak
tunanetra menunjukkan sejumlah perbedaan khusus yang
terkait dengan ketunanetraannya (tingkat ketunanetraan, masa
terjadinya kecacatan, sebab-sebab ketunanetraan, dampak
sosial-psikologis akibat kecacatan, dll). Secara umum, harus
ada beberapa perbedaan layanan pendidikan antara anak low
vision dengan anak yang buta total. Prinsip layanan individu
11
ini lebih jauh mengisyaratkan perlunya guru untuk merancang
strategi pembelajaran yang sesuai dengan keadaan anak. Inilah
alasan dasar terhadap perlunya (Individual Education
Program – IEP).
2. Prinsip Kekonkritan/Pengalaman Penginderaan
Strategi pembelajaran yang digunakan oleh guru harus
memungkinkan anak tunanetra mendapatkan pengalaman
secara nyata dari apa yang dipelajarinya. Dalam bahasa Bower
(1986) disebut sebagai pengalaman penginderaan langsung.
Anak tunanetra tidak dapat belajar melalui pengamatan visual
yang memiliki dimensi jarak, bunga yang sedang mekar,
pesawat yang sedang terbang, atau seekor semut yang sedang
mengangkut makanan. Strategi pembelajaran harus
memungkinkan adanya akses langsung terhadap objek, atau
situasi. Anak tunanetra harus dibimbing untuk meraba,
mendengar, mencium, mengecap, mengalami situasi secara
langsung dan juga melihat bagi anak low vision. Prinsip ini
sangat erat kaitannya dengan komponen alat/media dan
lingkungan pembelajaran. Untuk memenuhi prinsip
kekonkritan, perlu tersedia alat atau media pembelajaran yang
mendukung dan relevan. Pembahasan mengenai alat
pembelajaran akan disampaikan pada bagian khusus.
3. Prinsip Totalitas
Strategi pembelajaran yang dilakukan guru haruslah
memungkinkan siswa untuk memperoleh pengalaman objek
maupun situasi secara utuh dapat terjadi apabila guru
mendorong siswa untuk melibatkan semua pengalaman
penginderaannya secara terpadu dalam memahami sebuah
konsep. Dalam bahasa Bower (1986) gagasan ini disebut
12
sebagai multi sensory approach, yaitu penggunaan semua alat
indera yang masih berfungsi secara menyeluruh mengenai
suatu objek. Untuk mendapatkan gambaran mengenai burung,
anak tunanetra harus melibatkan perabaan untuk mengenai
ukuran bentuk, sifat permukaan, kehangatan. Dia juga harus
memanfaatkan pendengarannya untuk mengenali suara burung
dan bahkan mungkin juga penciumannya agar mengenali bau
khas burung. Pengalaman anak mengenai burung akan
menjadi lebih luas dan menyeluruh dibandingkan dengan anak
yang hanya menggunakan satu inderanya dalam mengamati
burung tersebut. Hilangnya penglihatan pada anak tunanetra
menyebabkan dirinya menjadi sulit untuk mendapatkan
gambaran yang utuh/menyeluruh mengenai objek-objek yang
tidak bisa diamati secara seretak (suatu situasi atau benda
berukuran besar). Oleh sebab itu, perabaan dengan beberapa
tekhnik penggunaannya menjadi sangatlah penting.
4. Prinsip Aktivitas Mandiri
Strategi pembelajaran haruslah memungkinkan atau
mendorong anak tunanetra belajar secara aktif dan mandiri.
Anak belajar mencari dan menemukan, sementara guru adalah
fasilitator yang membantu memudahkan siswa untuk belajar
dan motivator yang membangkitkan keinginannya untuk
belajar. Prinsip ini pun mengisyaratkan bahwa strategi
pembelajaran harus memungkinkan siswa untuk bekerja dan
mengalami, bukan mendengar dan mencatat. Keharusan ini
memiliki implikasi terhadap perlunya siswa mengetahui,
menguasai, dan menjalani proses dalam memperoleh fakta
atau konsep. Isi pelajaran (fakta, konsep) adalah penting bagi
anak, tetapi akan lebih penting lagi bila anak menguasai dan
mengalami guna mendapatkan isi pelajaran tersebut.
13
Permasalahan pembelajaran dalam pendidikan tunanetra
adalah masalah penyesuaian. Penyelenggaraan pendidikan dan
pembelajaran pada anak tunanetra lebih banyak berorientasi pada
pendidikan umum, terutama menyangkut tujuan dan muatan
kurikulum. Dalam strategi pembelajaran, tugas guru adalah
mencermati setiap bagian dari kurikulum, mana yang bisa
disampaikan secara utuh tanpa harus mengalami perubahan, mana
yang harus dimodifikasi, dan mana yang harus dihilangkan sama
sekali.
2.2. Tipe Belajar Siswa
Setiap anak dilahirkan dengan aspek kecerdasan yang berbeda
sesuai dengan fungsi otaknya. Otak berkaitan dengan mata dan dengan
modalitas. Modalitas menurut DePorter (2005: 84) merupakan jaringan
kerja saraf yang jauh lebih kompleks daripada televisi. Modalitas yang
dimaksud adalah modalitas visual, auditorial, dan kinestetik. Setiap
jaringan saraf memiliki kemungkinan tidak terbatas, semuanya berasal
dari tempat yang sama. Semua orang memiliki akses pada ketiga
modalitas tersebut. Akan tetapi, hampir semua orang cenderung pada
salah satu modalitas belajar yang berperan sebagai saringan untuk
pembelajaran, pemrosesan, dan komunikasi (Bandler dan Grinder dalam
DePorter, 2005:84). Ada juga orang yang kecenderungannya tidak hanya
pada salah satu aspek modalitas, tetapi juga memanfaatkan kombinasi
modalitas tertentu yang memberi mereka bakat dan kekurangan alami
tertentu (Markova dalam DePorter, 2005: 85). Dalam tulisan ini istilah
ketiga yang menunjukkan pada gerak dan rasa, digunakan dengan istilah
”taktil” (Waluyo, 1995:78). Taktil (Inggris: tactile yang berarti berkenaan
dengan indra perasa atau pengecap).
14
Teori lain seperti yang dikatakan di atas, teknik ini didasari oleh
adanya keragaman tipe belajar yang dilakukan anak. Keberagaman tipe
belajar ini tentu akan mempengaruhi daya tangkap, pemahaman dan gaya
belajarnya. Untuk itu, bagi seorang guru, pemahaman akan tipe belajar
siswa penting sekali diketahui agar dapat mengoptimalkan kelebihan
potensi siswa yang ada atau sebaliknya dapat juga mengatasi segala
kekurangannya. Karena itu, dalam kaitannya dengan penelitian ini guru
perlu memahami teori-teori berkenaan dengan accelerated learning,
accelerated teaching, quantum learning, dan lain-lain.
Berdasarkan keragaman tipe belajar, siswa dapat dikelompokkan
dari segi cara-cara yang mereka senangi dalam mengenali sesuatu, yakni
ada siswa bertipe visual, bertipe auditif, dan bertipe taktil. Pada dasarnya
semua siswa memiliki ketiga tipe belajar tersebut. Hanya, setiap siswa
mempunyai kecenderungan pada gaya mana yang lebih ia sukai daripada
gaya-gaya yang lain.
2.2.1 Tipe Visual
Seorang siswa yang bertipe visual, perolehan belajar akan
lebih cepat dengan cara melihat (proses visualisasi). Oleh karena
itu, untuk menciptakan gambaran, ingatan ataupun pemahaman
dalam otaknya harus ada gambar-gambar sebagai medianya.
Sangat sulit bagi anak bertipe visual ini kalau hanya
membayangkan dan mendengarkan hal-hal yang akan
dipelajarinya, tetapi tidak ada alat peraganya. Dengan kata lain,
seorang visual, belajar akan lebih cepat dengan menggunakan mata
sebagai indera pelengkap.
Siswa visual senang belajar dari buku, presentasi yang
menggunakan gambar-gambar, video, dan berbagai alat belajar
yang menarik bagi mata (Bang Al, 2005). DePorter & Hernacki
(2003: 116-118) menjelaskan beberapa ciri orang visual, orang
auditori, dan orang bertipe taktil (kinestetik) seperti pada bagian di
bawah ini. Pada orang bertipe visual, ia menyebutkan sejumlah
15
ciri sebagai berikut: (1) mengingat apa yang dilihat daripada apa
yang didengar; (2) mengingat dengan aosiasi visual; (3)
mempunyai masalah untuk mengingat instruksi verbal kecuali jika
ditulis, dan sering minta bantuan orang untuk mengulanginya; (4)
membutuhkan pandangan dan tujuan yang menyeluruh dan
bersikap waspada sebelum secara mental merasa pasti tentang
suatu masalah; (5) mencoret-coret tanpa arti selama berbicara di
telepon atau di dalam kegiatan rapat; (6) lebih suka melakukan
demonstrasi daripada berpidato; (7) sering menjawab pertanyaan
dengan jawaban singkat ya atau tidak; (8) pengeja yang baik dan
dapat melihat kata-kata yang sebenarnya dalam pikiran mereka;
dan (9) teliti terhadap detail, dan lain-lain.
2.2.2 Tipe Auditori
Seorang siswa yang bertipe auditori lebih suka belajar
dengan cara mendengarkan dibanding disuruh membaca sendiri. Ia
berpikir logis analitis dan memiliki urutan dalam berpikir. Ia lebih
nyaman bila pembelajaran yang diberikan berkaitan dengan bunyi
dan angka, mengikuti petunjuk dengan keteraturan. Ia lebih banyak
mempergunakan kemampuan mendengar dengan koordinasi
imajinasi dan kemampuan fantasinya untuk memahami suatu
konsep maupun untuk menyimpan suatu ingatan. Karena itu, siswa
auditori lebih mudah menangkap pelajaran yang disampaikan
dengan lantunan kaset, ceramah yang disampaikan dengan suara
merdu dan enak didengar, serta berbagai media yang menggunakan
media suara. Siswa auditori kurang tertarik membaca, kalaupun
membaca dengan suara keras. Itu sebabnya, siswa auditori mudah
terganggu oleh keributan. Kalau membaca mudah mengantuk.
Karena itu, bagi siswa auditori kegiatan membaca sebaiknya
dilakukan bersama-sama dengan membuat catatan-catatan pendek
atau merekam suaranya sendiri ketika membaca.
16
Berdasarkan uraian di atas, orang bertipe auditori menurut
DePorter & Hernacki (2003: 116-118) memiliki ciri-ciri seperti:
(1) belajar dengan mendengarkan dan mengingat apa yang
didiskusiakan daripada apa yang dilihat; (2) merasa kesulitan
dalam menulis tetapi hebat dalam bercerita; (3) berbicara dengan
irama yang terpola; (3) pembicara yang fasih; (4) suka berbicara,
suka berdiskusi, dan menjelaskan sesuatu dengan panjang lebar;
(5) senang membaca keras dan mendengarkan; (6) dapat
mengulangi kembali dan menirukan nada, birama, dan warna
suara; dan (7) mudah terganggu oleh keributan.
2.2.3 Tipe Taktil
Selanjutnya, seorang siswa yang bertipe taktil, belajar lebih
mudah diserap melalui alat peraba, yaitu tangan atau kulit. Pada
sumber lain (DePorter & Hernacki, 2003: 113) menyebutkan
tangan merupakan modalitas belajar kinestetik, yakni belajar
dengan cara bergerak, bekerja, dan menyentuh. Orang-orang yang
bertipe ini mempunyai ciri: (1) berbicara dengan perlahan; (2)
menanggapi perhatian fisik; (3) menyentuh orang untuk
mendapatkan perhatian mereka; (4) berdiri dekat ketika berbicara
dengan orang lain; (5) selalu berorientasi pada fisik dan banyak
bergerak; (6) belajar melalui memanipulasi dan praktik; (7)
menghapal dengan cara berjalan dan melihat; (8) banyak
menggunakan isyarat tubuh; dan(9) tidak dapat duduk diam untuk
waktu lama.
Dalam kegiatan belajar, visual, audio, dan kinestetik ini
merupakan konsep kunci berbagai teori dan strategi belajar
(DePorter & Hernacki, 2003: 16). Berlandaskan pada teori di atas,
ketiga modalitas belajar tersebut dapat disatukan. Namun, pada
siswa tuna netra, secara umum tentu modalitas visual tidak dapat
digunakan, terutama pada anak yang buta total. Oleh karena itu,
pada penelitian ini hanya ditujukan untuk anak tuna netra dengan
17
menggunakan modalitas belajar auditori dan taktil, yang
selanjutnya disebut dengan tipe auditif-taktil.
18
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian
Penelitian jenis ini termasuk jenis penelitian kualitatif yang
menggunakan metodologi penelitian kualitatif deskritif. Menurut Riduwan
(2009) Penelitian Deskriptif adalah jenis penelitian yang memberikan
gambaran atau uraian atas suatu keadaan sejelas mungkin tanpa ada perlakuan
terhadap objek yang diteliti. Oleh karena itu, penelitian ini akan berangkat
dari penggalian data berupa pandangan berupa informan dalam bentuk cerita
rinci atau asli yang diungkapkan apa adanya sesuai dengan bahasa dan
pandangan para subjek penelitian. Penelitian ini akan dilaksanakan pada siswa
tuna netra kelas III SDLB Kota Jambi.
Hal yang dideskripsikan dalam penelitian ini adalah profil siswa tuna
netra tipe auditif-taktil kelas III SD pada pembelajaran matematika (pokok
bahasan operasi hitung) di SDLB Kota Jambi. Pendeskripsian ini ditelusuri
melalui pengamatan langsung dalam proses pelaksanaan pembelajaran
matematika yang di lakukan oleh subjek penelitian maupun dari hasil
wawancara yang dilakukan.
Penelitian kualitatif adalah penelitian yang prosedur penelitiannya
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-
orang atau perilaku yang dapat diamati (Moleong 2007: 6). Maka penelitian
ini dikategorikan sebagai penelitian kualitatif-deskriptif.
3.2 Subjek Penelitian
Sumber data adalah siswa kelas III SDLB Kota Jambi. Subjek dalam
penelitian ini adalah siswa tuna netra. Dari sumber data tersebut dipilih siswa
tuna netra kelas III SDLB sebagai subjek penelitian. Pemilihan subjek
penelitian ini berdasarkan hasil observasi langsung (pengamatan ciri fisik).
19
3.3 Instrumen Penelitian
Dalam penelitian kualitatif, yang menjadi instrumen atau alat
penelitian adalah peneliti itu sendiri (Sugiyono, 2009). Jadi Instrumen utama
penelitian ini adalah peneliti sendiri. Sebagai instrumen utama, peneliti
berperan sebagai perencana pengumpul data, analisator, penafsir data, dan
pelapor penelitian (Sugiyono, 2009)
Menurut Moleong (2010:163), kedudukan peneliti dalam penelitian
kualitatif adalah cukup rumit yaitu menjadi instrumen penelitian. Instrumen
utama dalam penelitian adalah pewawancara (peneliti sendiri) yang dipandu
dengan pedoman observasi. Sebagai instrumen utama, peneliti berperan
sebagai perencana, pelaksana pengumpul data, penganalisis, penafsir data,
dan akhirnya menjadi pelapor hasil penelitiannya.
Instrumen lainnya adalah berupa angket untuk memilih subjek,
mengindentifikasi permasalahan yang di hadapi siswa saat melaksanakan
pembelajaran matematika, dan pedoman wawancara, pedoman observasi yang
dimaksudkan untuk membimbing peneliti dalam mengungkap permasalahn,
kendala yang di hadapai siswa tersebut.
1.4. Pedoman observasi
Pedoman observasi berupa aspek-aspek yang akan diamati selama
pembelajaran matematika berlangsung. Observasi atau pengamatan
difokuskan pada kegiatan siswa pada pelaksanaan pembelajaran matematika
berlangsung guna mengidentifikasi permasalahan-permasalahan yang dialami
siswa. Pedoman observasi yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu
pedoman observasi tentang profil siswa tuna netra tipe auditif-taktil kelas III
SD pada pembelajaran matematika (pokok bahasan operasi hitung) di SDLB
Kota Jambi. Sebelum membuat pedoman observasi tersebut, peneliti membuat
kisi-kisi yang akan menjadi acuan dalam pembuatan pedoman observasi. Kisi-
kisi tersebut ditentukan dengan mengkaji proses kegiatan siswa selama
20
persiapan dan pelaksanaan pembelajaran. Lalu dari kisi-kisi tersebut disusun
pedoman observasi.
3.5 Pengumpulan Data
Proses pengumpulan data ini menggunakan wawancara berdasarkan
lembar tugas pemecahan masalah. Cara yang dilakukan adalah dengan
wawancara dan direkam melalui audio visual. Secara garis besar langkah-
langkah wawancara berdasarkan pedoman observasi, angket dan wawancara
secara mendalam untuk menggali tentang apa, bagaimana dan mengapa,
berkaitan dengan permasalahan yang diberikan.
3.6 Analisis Data
Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistimatis
data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan
lain dengan cara mengorganisasikan data ke dalam kategori, menjabarkan ke
dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana
yang penting dan yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan sehingga
mudah dipahami oleh diri sendiri atau orang lain (Sugiyono, 2009: 274).
Sedangkan menurut Bogdan dan Biklen yang dikutip oleh Moleong
(2007: 248) analisis data kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan jalan
bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi
satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan apa
yang penting dan apa yang dipelajari dan memutuskan apa yang dapat
diceriterakan kepada orang lain.
Jadi, analisis data yang akan dilakukan adalah dengan mengolah semua
data yang telah diperoleh dari hasil observasi, baik yang tertulis maupun lisan.
Misalnya data dari hasil wawancara dan angket.
21