outline kemiskinan asean -...
TRANSCRIPT
i
SKRIPSI
Analisis Bantuan Luar Negeri Bank Dunia (World Bank)
Dalam Pengentasan Kemiskinan di Indonesia Periode 2007-2009
(Studi Kasus PNPM Mandiri)
Oleh
Julian Muhammad Hasan
106083003655
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
2011
ii
Lembar Persetujuan Skripsi
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
HUBUNGAN INTERNASIONAL
Nama : Julian Muhammad Hasan
NIM : 106083003655
Menyetujui untuk diajukan pada
Ujian Sidang jenjang Sarjana
Jakarta, 2010
Mengetahui,
Dosen Pembimbing Penasihat Akademik
(Arisman, M.Si.) (Ali Munhanif, Ph.D)
NIP:150253408
iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul “Analisis Bantuan Luar Negeri Bank Dunia (World Bank)
Dalam Pengentasan Kemiskinan di Indonesia Periode 2007-2009 (Studi Kasus
PNPM Mandiri” telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, pada
tanggal 16 Maret 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Ilmu Sosial.
Jakarta, Maret 2011
Sidang Munaqasyah
Ketua, Sekretaris,
Dina Afrianty, Ph.D Agus Nilmada Azmi, S.Ag, M.Si
NIP. 197808042009121002
Penguji I Penguji II
Kiky Rizky, M.Si M.Adian Firnas, M.Si
NIP. 197303212008011002
Pembimbing
Arisman, M.Si
iv
Lembar Pernyataan
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sangsi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 2010
Julian Muhammad Hasan
106083003655
v
ABSTRAK
Bank Dunia yang merupakan sebuah lembaga multilateral saat ini sedang
menghadapi sebuah tantangan global yaitu kemiskinan. Kemiskinan itu sendiri
datang tidak hanya di negara-negara berkembang seperti di Indonesia melainkan
di negara-negara maju seperti Amerika Serikat. Disamping itu, Indonesia yang
mengalami sebuah kemiskinan berusaha untuk mengentaskannya dengan bantuan
luar negeri Bank Dunia demi mengejar target MDGs yang telah disepakati
sebelumnya di tahun 2000.
Di dalam skripsi ini penulis menggunakan metode kualitatif dan
membahas mengenai “Analisis Bantuan Luar Negeri Bank Dunia (World Bank)
Dalam Pengentasan Kemiskinan di Indonesia Periode 2007-2009 (Studi Kasus
PNPM Mandiri)”. Penelitian ini juga menganalisis tentang faktor-faktor apa saja
yang menyebabkan kemiskinan di Indonesia beserta bantuan luar negeri Bank
Dunia dalam pengentasan kemiskinan di Indonesia dalam mengejar target MDGs.
Kata kunci: Bank Dunia, kemiskinan di Indonesia, bantuan luar negeri
vi
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang telah
menganugerahkan rahmat dan hidayah-Nya. Shalawat serta salam semoga selalu
tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat, dan para pengikutnya
sampai akhir zaman kelak.
Alhamdulillah, penulis dapat menyusun skripsi ini dengan judul “Analisis
Bantuan Luar Negeri Bank Dunia (World Bank) Dalam Pengentasan Kemiskinan
di Indonesia Periode 2007-2009 (Studi Kasus PNPM Mandiri)”. Penulis sebagai
manusia biasa menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini, masih sangat banyak
kekurangan dan kelemahan. Tentunya tanpa bantuan dari berbagai pihak yang
telah memberi bantuan baik secara moril maupun materil, skripsi ini tidak akan
bisa selesai.
Karena itu, pada kesempatan ini, perkenankanlah penulis untuk
menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya dan mengucapkan terima
kasih kepada:
1. Bpk Arisman, M.Si selaku dosen pembimbing dalam penulisan skripsi yang
dengan sabar dan ikhlas membimbing saya dalam penulisan skripsi ini;
2. Ibu Dina Afrianty, Ph.D, selaku Ketua Jurusan Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Jakarta;
3. Bpk Adian Firnas, S.Sos, M.Si, selaku dosen mata kuliah seminar yang telah
mengawali skripsi saya di mata kuliah seminar;
vii
4. Kepada kedua orang tua saya yang turut serta memberikan dorongan dalam
penyusunan skripsi ini;
5. Kepada semua pihak yang ikut mendukung dalam menyelesaikan skripsi ini,
yang tidak dapat saya sebutkan satu-persatu tanpa mengurangi rasa hormat.
Dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan alhamdu lillahi
rabbil 'alamin, syukur tak terhingga hanya kepada Allah SWT, kepada-Nyalah
bermuara segala keberkahan. Akhirnya tiada kata lain yang lebih berarti selain
sebuah doa dan harapan semoga hasil penelitian ini bisa bermanfaat bagi penulis
khususnya dan bagi pembaca pada umumnnya.
Jakarta, 22 September 2010
Julian Muhammad Hasan
(106083003655)
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN SKRIPSI ................................................................. ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN ...................................................................... iii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................. iv
ABSTRAK ........................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ......................................................................................... vi
DAFTAR ISI ...................................................................................................... viii
DAFTAR TABEL .............................................................................................. x
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xi
BAB I PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang Masalah ............................................................ 1
I.2 Identifikasi Masalah .................................................................. 8
I.3 Kerangka Pemikiran .................................................................. 8
I.3.1 Kemiskinan ...................................................................... 10
I.3.2 Bantuan Luar Negeri ........................................................ 12
I.3.3 Neoliberalisme ................................................................ 18
I.4 Metoda Penelitian ..................................................................... 21
I.5 Tujuan Penelitian ...................................................................... 21
I.6 Sistematika Penulisan ............................................................... 22
BAB II KEMISKINAN DI INDONESIA
II.1 Masalah Kemiskinan di Indonesia ............................................ 24
ix
II.2 Ukuran dan Kemiskinan di Indonesia Menurut Bank Dunia ..... 32
II.2.1 Ukuran Kemiskinan Menurut Bank Dunia
Secara Umum ................................................................. 32
II.2.2 Kemiskinan di Indonesia Menurut Bank Dunia .............. 35
BAB III BANTUAN LUAR NEGERI BANK DUNIA DI INDONESIA
III.1 Bantuan Luar Negeri Bank Dunia
Dalam Pengentasan Kemiskinan di Indonesia .......................... 44
III.1.1 PNPM Mandiri ............................................................... 47
BAB IV ANALISIS BANTUAN LUAR NEGERI BANK DUNIA DALAM
KEMISKINAN DI INDONESIA
IV.1 Efektivitas PNPM Mandiri Dalam Bantuan Luar Negeri ......... 56
IV.2 Dampak Bantuan Luar Negeri Bank Dunia
Terhadap Indonesia ................................................................... 72
BAB V PENUTUP
V.1 Kesimpulan ............................................................................. 96
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... xii
x
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia
Pada Tahun 1999-2009 ...................................................................... 29
Tabel 2. Hasil Kegiatan PPK/PNPM-PPK Tahun 2007 ................................... 63
Tabel 3. Indikator Kinerja PNPM-PPK 2007 .................................................. 65
Tabel 4. Indikator Kinerja PNPM-Perdesaan 2008 .......................................... 66
Tabel 5. Hasil Capaian Untuk Penilaian Parameter “Input” ............................ 69
Tabel 6. Efektivitas dan Status Kemiskinan di Indonesia
Pada Tahun 1999-2009 ...................................................................... 71
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Kerangka Pemikiran ........................................................................... 9
Gambar 2. Cakupan PNPM Mandiri .................................................................... 51
Gambar 3. Proses Pemberdayaan Masyarakat Dalam PNPM Mandiri ............... 52
Gambar 4. Presentase Hasil PNPM-PPK per Jenis Kegiatan Tahun 2007 .......... 64
Gambar 5. Jumlah Penduduk Miskin (Juta) Pada Tahun 1999-2009 .................. 70
Gambar 6. Persentase Penduduk Miskin (Juta) Pada Tahun 1999-2009 ............. 70
Gambar 7. Kerangka Dampak Bantuan Luar Negeri ......................................... 94
1
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang Masalah
Bank Dunia didirikan pada tanggal 27 Desember 1945. Lembaga ini
berdiri setelah ratifikasi internasional mengenai perjanjian yang dicapai pada
konferensi 1 Juli 1944 di Kota Bretton Woods di negara Amerika Serikat. Markas
Bank Dunia berada di Washington DC, Amerika Serikat. Secara teknis dan
struktural, Bank Dunia termasuk salah satu badan PBB. Namun, secara
operasional sangat berbeda dari badan PBB lainnya.1
Bank Dunia memandang dan memperlakukan sasaran-sasaran
pembangunan penting seperti: pengentasan kemiskinan, keberkelanjutan
lingkungan, dan pemerintahan yang bersih. Usaha-usaha penting Bank Dunia
yang bertujuan menjawab sasaran pembangunan berkelanjutan melalui kebijakan-
kebijakan, program-program dan struktur baru. Kemajuan-kemajuan yang harus
dibuat untuk menjamin operasi dan kebijakan Bank Dunia dengan tidak merusak
sasaran-sasaran tersebut, karena kesenjangan yang terus-menerus antara
komitmen retorik Bank Dunia dan kenyataan-kenyataan dari tindakannya.2
Bank Dunia yang didirikan di Bretton Woods tersebut sebagai bagian dari
arsitektur keuangan internasional pasca Perang Dunia II. Sistem ini dimaksudkan
untuk menghindari perang dunia di masa depan dengan memastikan sistem
perdagangan terbuka internasional dan stabilitas keuangan global. Pakar ekonom
1 2010, 1945 Bank Dunia Berdiri, dilihat pada tanggal 18 Maret 2011 pukul 10:20 WIB.
<http://www.mediaindonesia.com/read/2010/12/27/190897/77/21/1945-Bank-Dunia-Berdiri>. 2 Frances Seymour, 1999, Tinjauan Umum dan Ringkasan Argumentasi, dilihat pada tanggal 12
Mei 2010 pukul 10:15 WIB, <http://members.fortunecity.com/edicahy/lendingc/chapt1.html>.
2
Maynard Keynes, yang meminta sebuah lembaga fokus pada rekonstruksi pasca
perang dunia satu dan kemudian melakukan pembangunan di negara-negara
miskin. Oleh karena itu, Bank Dunia didirikan yang diawali percobaan pada saat
pasca perang besar (Perang Dunia II) dengan menggunakan pinjaman publik
untuk pembangunan ekonomi.3
Bank Dunia lebih memusatkan terhadap
pengentasan kemiskinan. Untuk lebih jelas tujuan Bank Dunia itu sendiri penulis
akan menguraikan tujuan Bank dunia sebagai berikut :
Untuk membantu rekonstruksi dan pembangunan di daerah anggota
dengan cara memfasilitasi investasi modal untuk tujuan produktif,
termasuk pemulihan kembali ekonomi yang hancur atau rusak karena
perang, perubahan kembali fasilitas-fasilitas produktif yang dibutuhkan
untuk usaha damai dan dorongan pembanunan untuk fasiltas produktif dan
sumber-sumber di negara-negara miskin.
Untuk mendorong investasi swasta luar negeri lewat jaminan atau
partisipasi dalam pemberian pinjaman dan investasi lainnya oleh investor
swasta; dan ketika modal swasta tidak tersedia dalam syarat-syarat yang
wajar, sebagai tambahan investasi swasta dengan menyediakan,
berdasarkan persyaratan yang cocok, membiayai untuk tujuan-tujuan
produktif di luar dari modal mereka sendiri, pengumpulan dan oleh
sumber-sumber sendiri maupun sumber lainnya.
Untuk mendorong keseimbangan perkembangan jangka panjang
perdagangan internasional dan untuk mempertahankan keseimbangan
3Jessica Einhorn, 2004, “The World Bank‟s Mission Creep”, dalam Essential Readings in World
Politics, Karen A. Mingst dan Jack L. Snyder, W.W. Norton & Company, New York. Hal. 430-
431.
3
saldo pembayaran dengan mendorong investasi internasional untuk
kemajuan sumber-sumber produktif para anggota, dengan cara membantu
menaikkan produktivitas, standar kehidupan dan keadaan buruh di daerah
mereka.
Untuk menyusun pinjaman-pinjaman yang dibuat atau dijamin olehnya
dalam hubungannya dengan pinjaman internasional melalui sumber
lainnya sehingga dapat lebih berguna dan proyek-proyek yang mendesak,
besar ataupun kecil, dapat diatasi segera.
Untuk menjalankan kegiatannya dengan dasar untuk mempengaruhi
investasi internasional dalam persyaratan bisnis di dalam daerah anggota
dan, dalam tahun tahun setelah perang, untuk membantu membuat masa
transisi dari suasana perang ke keadaan ekonomi yang damai.4
Bank Dunia telah aktif di Indonesia sejak 1967. Saat itu, Indonesia
membutuhkan uang yang cukup banyak untuk mendanai pembangunan.5
Kebijakan Bank Dunia pada tahun 1968 telah mendukung secara berurutan dalam
lima proyek KB (Keluarga Berencana), yang total bernilai US$ 211,8 juta. Empat
pinjaman pertama yang keseluruhannya berjumlah US$ 107,8 juta adalah
pinjaman “bricks and mortar”, yaitu: 40% dana dialokasikan pada prasarana
gedung, 26% untuk peralatan, perabotan dan kendaraan. Pinjaman-pinjaman
tersebut memudahkan untuk merancang bahan-bahan pendidikan kependudukan,
4 Anggaran Dasar Bank Dunia (Bank For Reconstruction and Development), 1989, dilihat pada
tanggal 12 Mei 2010 pukul 18:09 WIB,
<http://www.lfip.org/laws817/idver/dok/Perjanjian%20IBRD1.htm>. 5 Ade Hapsari Lestarini, 2008, Total Utang RI ke World Bank Rp243,7 Trilyun, dilihat pada
tanggal 04 Juni 2010 pukul 21:44 WIB,
<http://economy.okezone.com/index.php/ReadStory/2008/01/30/20/79590/20/total-utang-ri-ke-
world-bank-rp243-7-t>.
4
baik formal maupun non-formal.6 Pinjaman tersebut adalah bantuan luar negeri
pertama Bank Dunia di Indonesia dalam pengentasan kemiskinan melalui
program Keluarga Berencana.
Bank Dunia dalam pengentasan kemiskinan di Indonesia melihat ada tiga
cara untuk membantu penduduk mengangkat diri mereka sendiri dari kemiskinan
yaitu pertumbuhan ekonomi, layanan sosial, dan belanja publik. Masing-masing
dari cabang ini mengatasi satu atau lebih ciri-ciri pembentuk kemiskinan di
Indonesia: kerentanan, multidimensi dan kesenjangan sosial. Dengan kata lain,
strategi kemiskinan yang efektif untuk Indonesia memiliki tiga komponen:
membuat pertumbuhan ekonomi berguna bagi masyarakat miskin, membuat
layanan sosial berguna bagi masyarakat miskin, membuat belanja publik berguna
bagi masyarakat miskin.7
Karena Bank Dunia telah melihat adanya cara untuk membantu penduduk
mengangkat diri mereka sendiri dari kemiskinan, maka pada bulan Agustus 2006
pemerintah Indonesia mengumumkan sejumlah prakarsa besar yang baru untuk
pengentasan kemiskinan dan meluncurkan program pengentasan kemiskinan
nasional yang terdiri pilar: Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri
(PNPM Mandiri).8 Program PNPM Mandiri ini juga didukung oleh Bank Dunia
yang berupa bantuan luar nageri. PNPM Mandiri adalah program nasional
penanggulangan kemiskinan terutama yang berbasis pemberdayaan masyarakat.
Pengertian yang terkandung mengenai PNPM Mandiri adalah :
6 Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ATAS NAMA PEMBANGUNAN: Bank Dunia dan
Hak Asasi Manusia di Indonesia, 1995, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM),
Jakarta. Hal. 138. 7 The World Bank, 2008, Investing in Indonesia’s Institutions: For Inclusive and Sustainable
Development, IFC (International Finance Corporation: World Bank Group), Jakarta. Hal. 50. 8 Ibid, Investing in Indonesia‟s Institutions: For Inclusive and Sustainable Development. Hal. 61-
62.
5
1. PNPM Mandiri adalah program nasional dalam wujud kerangka kebijakan
sebagai dasar dan acuan pelaksanaan program-program penanggulangan
kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat. PNPM Mandiri dilaksanakan
melalui harmonisasi dan pengembangan sistem serta mekanisme dan prosedur
program, penyediaan pendampingan dan pendanaan stimulan untuk
mendorong prakarsa dan inovasi masyarakat dalam upaya penanggulangan
kemiskinan yang berkelanjutan.
2. Pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk menciptakan/meningkatkan
kapasitas masyarakat, baik secara individu maupun berkelompok, dalam
memecahkan berbagai persoalan terkait upaya peningkatan kualitas hidup,
kemandirian dan kesejahteraannya. Pemberdayaan masyarakat memerlukan
keterlibatan yang besar dari perangkat pemerintah daerah serta berbagai pihak
untuk memberikan kesempatan dan menjamin keberlanjutan berbagai hasil
yang dicapai. 9
Tujuan Pembangunan Milenium (Millennium Development Goals/MDGs),
yang disepakati para anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam sebuah
KTT global yang kemudian melahirkan Millennium Declaration, adalah suatu
inisiatif global untuk mengurangi jumlah orang miskin di dunia menjadi
separuhnya pada tahun 2015.10
MDGs dideklarasikan pada tahun 2000 dalam
rangka mengurangi jumlah penduduk miskin di dunia dan proyek kemanusiaan
selama 15 tahun (2000-2015) ini yang disepakati oleh semua anggota Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) termasuk Indonesia. Dalam deklarasi tersebut, diharapkan
9 Pengertian dan Tujuan PNPM Mandiri, dilihat pada tanggal 08 Juli 2010 pukul 11:08 WIB,
<http://www.pnpm-mandiri.org/index.php?option=com_content&task=view&id=26&Itemid=53>. 10
Fabby Tumiwa, MDGs Saja Tidak Cukup!, dilihat pada tanggal 07 Juli 2010 pukul 16:35 WIB,
<http://www.targetmdgs.org/index.php?option=com_content&task=view&id=53&Itemid=6>.
6
semua negara anggota PBB, melalui berbagai upaya serius, dapat mengurangi
jumlah penduduk miskin dan menghentikan perusakan lingkungan.11
Pada awal milenium baru suatu lembaga yang mewakili masyarakat dunia
mengakui kebutuhan mendesak yang tersisa setelah hampir 60 tahun dalam upaya
bersama. Tujuan Pembangunan Milenium merupakan suatu cara untuk
mengidentifikasi prioritas yang paling mendesak. Tujuan Pembangunan Milenium
memiliki delapan tujuan (goals) yang harus dicapai oleh negara-negara
berkembang dan juga negara-negara maju. Tujuan tersebut antara lain; 1)
Menghapuskan tingkat kemiskinan dan kelaparan, 2) Mencapai pendidikan dasar
universal, 3) Mempromosikan kesetaraan jender dan memberdayakan perempuan,
4) Mengurangi tingkat kematian anak, 5) Meningkatkan kesehatan ibu, 6)
Memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit lainnya, 7) Menjamin kelestarian
lingkungan, 8) Mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan.12
Dari
delapan tujuan MDGs tersebut salah satunya adalah mengenai tingkat kemiskinan
dan kelaparan dan hal ini yang menjadi sebuah acuan Bank Dunia untuk
membantu dalam menghapuskan tingkat kemiskinan dan kelaparan di Negara
penerima.
Dengan adanya target MDGs, Indonesia turut memacu diri untuk segera
mengurangi angka kemiskinan, seiring dengan seruan Sekretaris Jenderal
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Kofi Annan, agar dunia sesuai dengan target
11
Posman Sibuea, MDGs dan Pembangunan Berkelanjutan, dilihat pada tanggal 18 Maret 2011
pukul 10:40 WIB,
<http://www.targetmdgs.org/index.php?option=com_content&task=view&id=74&Itemid=6>. 12
John Fiend dan Phillip Hughes, 2007, “Education For The End Of Poverty: Three Ways
Forward”, dalam Education For The End Of Poverty Implementing All The Millenium
Development Goals, Matthew Clarke dan Simon Feeny, Nova Science, New York. Hal. 12.
7
MDGs pada tahun 2015 dapat mengurangi angka kemiskinan secara signifikan.13
Untuk mencapai tujuan MDGs tahun 2015 diperlukan koordinasi, kerjasama serta
komitmen dari seluruh pemangku kepentingan, utamanya pemerintah (nasional
dan lokal), masyarakat sipil, akademia, media, sektor swasta dan komunitas
donor. Bersama-sama, kelompok ini akan memastikan kemajuan-kemajuan yang
telah dicapai tersebar merata di seluruh Indonesia. Pemerintah Indonesia tetap
memegang komitmennya untuk melaporkan kemajuan pencapaian MDGs.14
Disamping itu, Bank Dunia menilai baik kinerja Indonesia dalam upaya
pencapaian Target Pembangunan Milenium (MDGs), namun masih ada perbaikan
yang mendesak di sejumlah hal. Kinerja Indonesia dianggap cukup baik antara
lain terkait dengan upaya pencapaian sasaran penghapusan kemiskinan yang
ekstrem atau penduduk dengan pendapatan di bawah satu dolar AS per hari.15
Di
tahun 2006, persentase penduduk yang hidup dengan kurang dari US$1 per hari
jauh berada di bawah sasaran MDG yaitu 10,3 persen. Oleh karena itu, terdapat
perbaikan-perbaikan yang menonjol dalam pencapaian pendidikan di tingkat
dasar. Selain itu, Akses ke sarana air yang lebih baik telah meningkat drastis,
meskipun masih cenderung rendah bagi masyarakat miskin.16
Maka, dalam hal ini
Bank Dunia dapat disebut juga sebagai jembatan Indonesia menuju target MDGs
di tahun 2015 untuk mengurangi kemiskinan.
13
Soetanto Hadinoto dan Djoko Retnadi, 2007, Micro Credit Challenge: Cara Efektif Mengatasi
Kemiskinan dan Pengangguran Di Indonesia, PT Elex Media Komputindo, Jakarta. Hal. 279. 14
The Efforts to Achieve the MDGs in Indonesia, dilihat pada tanggal 07 Juli 2010 pukul 22:30
WIB
<http://www.targetmdgs.org/index.php?option=com_content&task=view&id=25&Itemid=12> . 15
Bank Dunia Puji RI dalam Pencapaian MDG, dilihat pada tanggal 07 Juli 2010 pukul 21:14
WIB,
<http://www.targetmdgs.org/index.php?option=com_content&task=view&id=760&Itemid=5>. 16
The World Bank, 2008, Investing in Indonesia’s Institutions: For Inclusive and Sustainable
Development, IFC (International Finance Corporation: World Bank Group), Jakarta. Hal. 49.
8
I.2 Identifikasi Masalah
Penulis membatasi rumusan masalah dengan mengajukan beberapa
pertanyaan diantaranya yaitu:
1. Sejauh mana efektivitas PNPM Mandiri dalam pengentasan kemiskinan di
Indonesia?
2. Bagaimana dampak bantuan luar negeri Bank Dunia terhadap pengentasan
kemiskinan di Indonesia?
I.3 Kerangka Pemikiran
Sesuatu masalah bisa terjadi pasti ada faktor penyebabnya. Kejadian yang
tidak diinginkan/diharapkan tersebut bisa dinyatakan sebagai perubahan nilai
suatu variabel dan variabel ini disebut variabel dependen/tak bebas (dependent
variable). Suatu kejadian bisa berubah, pasti ada faktor penyebabnya. Faktor
penyebab ini disebut variabel independen/bebas (Independent variable).
Penentuan suatu faktor menjadi penyebab sebagai variabel independen/bebas
didasarkan pada teori yang ada, hasil penelitian sebelumnya, atau berdasarkan
pemikiran hipotesis baik berdasarkan harapan (expectation) atau hal-hal yang
masuk akal (common-sense). Jadi masalah itu sebetulnya merupakan hubungan
antarvariabel yaitu antara variabel independen/bebas (mempengaruhi) dan
dependen/tak bebas (dipengaruhi).17
Mohtar Mas‟oed juga menjelaskan bahwa proses memilih tingkat analisa
menetapkan “unit analisa” (sebuah kemiskinan di Indonesia), yaitu yang
perilakunya hendak dideskripsikan, dijelaskan dan diramalkan (variabel
17
J. Supranto, 2004, Proposal Penelitian Dengan Contoh, Universitas Indonesia (UI-Press),
Jakarta. Hal. 11-12.
9
dependen) dan “unit eksplanasi” (Bantuan Luar Negeri Bank Dunia di Indonesia),
yaitu yang dampaknya terhadap unit analisa yang hendak diamati (variabel
independen).18
Di dalam penelitian ini merupakan sebuah variabel-variabel yang
telah dijelaskan diatas, adapun kerangka pemikiran dalam penelitian ini sebagai
berikut:
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
Gambar 1 merupakan kerangka pemikiran yang akan diteliti yaitu, dengan
adanya sebuah kemiskinan di Indonesia di tahun 1999-2009 dan program PNPM
Mandiri, yang menimbulkan adanya bantuan luar negeri Bank Dunia di Indonesia.
Disamping itu, Bank Dunia sendiri memiliki sebuah kebijakan-kebijakan yang
sebagaimana telah ditetapkan oleh Bank Dunia. Dengan adanya bantuan luar
negeri tersebut pemerintah dan Bank Dunia berusaha dan memanfaatkannya untuk
mengentaskan kemiskinan yang terjadi di Indonesia menjadi sebuah program
PNPM Mandiri pada tahun 2007-2009. Program PNPM Mandiri juga akan turut
mensukseskan dalam pencapaian target MDGs di tahun 2015. Dengan adanya
permasalahan tersebut penulis akan menganalisis dan meneliti lebih dalam.
18
Mohtar Mas‟oed, 1994, Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi, PT Pustaka
LP3ES Indonesia, Jakarta. Hal. 35
Kemiskinan
Di Indonesia
Bantuan Luar
Negeri
Program
PNPM Mandiri
Pencapaian
Target MDGs
10
I.3.1 Kemiskinan
Kemiskinan merupakan salah satu masalah yang selalu dihadapi oleh
manusia. Masalah kemiskinan itu sama tuanya dengan usia kemanusiaan itu
sendiri dan implikasi permasalahannya dapat melibatkan keseluruhan aspek
kehidupan manusia; walaupun, seringkali tidak disadari kehadirannya sebagai
masalah oleh manusia yang bersangkutan. Bagi mereka yang tergolong miskin,
kemiskinan merupakan sesuatu yang nyata ada dalam kehidupan mereka sehari-
hari; karena mereka itu merasakan dan menjalani sendiri bagaimana hidup dalam
kemiskinan. Walaupun demikian belum tentu mereka itu sadar akan kemiskinan
yang mereka jalani. Kesadaran akan kemiskinan yang mereka miliki itu, baru
terasa pada waktu mereka membandingkan kehidupan yang mereka jalani dengan
kehidupan orang lain yang tergolong mempunyai tingkat kehidupan sosial dan
ekonomi yang lebih tinggi. Secara singkat, Parsudi Suparlan mendefinisikan
kemiskinan sebagai:
Suatu standar tingkat hidup yang rendah, yaitu adanya suatu tingkat
kekurangan materi pada sejumlah atau segolongan orang dibandingkan
dengan standar kehidupan yang umum berlaku dalam masyarakat yang
bersangkutan. Standar kehidupan yang rendah ini secara langsung
tampak pengaruhnya terhadap tingkat keadaan kesehatan, kehidupan
moral, dan rasa harga diri dari mereka yang tergolong sebagai orang
miskin.19
Menurut Muhammad Yunus, kemiskinan dapat dihapuskan karena
kemiskinan bukan sifat alamiah manusia dan kemiskinan itu dipaksakan pada
mereka.20
Ruth Lister menguraikan bahwa kemiskinan itu adalah hal dalam
ketidakmampuan seseorang untuk berpartisipasi dalam masyarakat, yang
19
Parsudi Suparlan, 1995, Kemiskinan di Perkotaan, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Hal. x-xi. 20
Muhammad Yunus, 2007, Creating a World Without Poverty: Social Business and The Future
Of Capitalism, Public Affairs, New York. Hal. 247.
11
melibatkan seseorang itu baik berpenghasilan rendah maupun standar hidup yang
rendah.21
Amartya Kumar Sen pun melihat kemiskinan berupa:
Poverty must be seen as the deprivation of basic capabilities rather than
merely as lowness of incomes, which is the standard criterion of
identification of poverty. The perspective of capability-poverty does not
involve any denial of the sensible view that low income is clearly one of
the major causes of poverty, since lack of income can be a principal
reason for a person's capability deprivation. Indeed, inadequate income is
a strong predisposing condition for an impoverished life.22
Perspektif Amartya Kumar Sen bahwa berpenghasilan rendah yang sudah
sangat jelas bahwa hal itu adalah salah satu penyebab utama kemiskinan terjadi.
Karena kurangnya pendapatan bisa menjadi alasan utama dalam kekurangan
kemampuan seseorang. Memang, pendapatan yang tidak memadai merupakan
kondisi kehidupan yang cenderung kuat dalam kemiskinan. Di tahun 2009
Amartya Kumar Sen menambahkan bahwa hubungan sumber penghasilan dan
kemiskinan adalah variabel yang saling berhubungan dan sangat bergantung pada
karakteristik masing-masing seseorang dan lingkungan di mana mereka hidup,
baik di alam maupun di ruang lingkup sosial. Distribusi sarana dan kesempatan
dalam keluarga menimbulkan komplikasi lebih lanjut dalam pendekatan
pendapatan terhadap kemiskinan. Tercatat bahwa penghasilan anggota keluarga
cukup produktif, tetapi tidak semua setiap individu akan mendapatkannya karena
terlepas dari usia, jenis kelamin dan kemampuan kerja.23
Konsep garis kemiskinan menurut Bank Dunia bisa dikelompokan dalam
dua kategori, yaitu kemiskinan absolut (dengan penghasilan dibawah USD $1 per
21
Ruth Lister, 2004, Poverty, Polity Press, Cambridge. Hal. 15. 22
Amartya Kumar Sen, 2001, Development As Freedom, Oxford University Press, New York. Hal.
87. 23
Amartya Kumar Sen, 2009, The Idea Of Justice, The Belknap Press Of Harvard University
Press, Cambridge. Hal. 254-257.
12
hari) dan kemiskinan relatif.24
Kemiskinan absolut adalah ukuran (poverty band)
yang digunakan untuk menentukan tingkat kemiskinan individu dengan
menggunakan indikator seperti kapasitas untuk memenuhi kebutuhan sandang,
pangan, papan, akses terhadap air bersih dan kesehatan. Individu yang tidak
memiliki kapasitas untuk memenuhi kebutuhan dasar ini diasumsikan sebagai
miskin dan hidup dalam garis kemiskinan. Sedangkan kemiskinan relatif, kategori
ini cenderung bersifat subjektif karena lebih merupakan kemiskinan yang
dirasakan sendiri secara subjektif oleh individu yang bersangkutan; dan terdapat
unsur kecemburuan sosial serta dorongan untuk membandingkan dirinya dengan
yang lain.25
I.3.2 Bantuan Luar Negeri
Bantuan luar negeri merupakan salah satu instrumen kebijakan yang sering
digunakan dalam hubungan luar negeri. Secara umum bantuan luar negeri dapat
didefinisikan sebagai transfer sumber daya dari satu pemerintah ke pemerintah
lain yang dapat berbentuk barang atau dana. Ada empat teori mengenai bantuan
luar negeri menurut Pearson dan Payasilian yang sebagaimana dikutip oleh Anak
Agung dan Yanyan, yaitu:
Aliran realis menyatakan bahwa tujuan utama dari bantuan luar negeri adalah
bukan untuk menunjukkan idealisme abstrak aspirasi kemanusiaan tetapi
24
The World Bank, 2000, Making Transition Work For Everyone Poverty and Inequality In
Europe And Central Asia, The International Bank For Reconstruction and Development/The
World Bank, Washington DC. Hal. 370. 25
Dewi Sinorita Sitepu, 2005, “Utang Luar Negeri dan Problem Kemiskinan Negara
Berkembang”, Global: Jurnal Politik Internasional (Kompleksitas Kemiskinan: Tanggung Jawab
Komunitas Global, vol. 8, no. 1, Departemen Ilmu hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial
dan ilmu Politik Universitas Indonesia, Depok. Hal. 4.
13
untuk proyeksi power nasional. Bantuan luar negeri merupakan komponen
penting bagi kebijakan keamanan internasional.
Teori ketergantungan (dependensia) menyatakan bahwa bantuan luar negeri
digunakan oleh negara kaya untuk mempengaruhi hubungan domestik dan
luar negeri negara penerima bantuan, merangkul elit politik lokal di negara
penerima bantuan untuk tujuan komersil dan keamanan nasional. Kemudian,
melalui jaringan internasional, keuangan internasional dan struktur produksi,
bantuan luar negeri ditujukan untuk mengeksploitasi sumber daya alam negara
penerima bantuan. Sehingga, para penganut teori dependensia menganggap
bahwa bantuan luar negeri dapat digunakan sebagai sebuah instrumen untuk
perlindungan dan ekspansi negara kaya ke negara miskin, sebuah sistem untuk
mengekalkan ketergantungan.
Aliran moralis/idealis menyatakan bahwa bantuan luar negeri secara esensial
merupakan gerakan kemanusiaan yang menunjukkan nilai-nilai kemanusiaan
internasional. Menurut aliran idealis, negara yang lebih kaya memiliki
tanggungjawab moral untuk mempererat kerjasama Utara-Selatan yang lebih
besar dan merespon kebutuhan pembangunan ekonomi dan sosial di Selatan.
Maka itu, moralis berpendapat bahwa bantuan luar negeri mendorong
dukungan yang saling menguntungkan (mutual supportive) dan hubungan
menguntungkan sejalan dengan pembangunan ekonomi dan hak asasi
manusia, hukum dan ketertiban internasional.
Teori bureaucratic incrementalist menyatakan bahwa bantuan luar negeri
sebagai kebijakan publik, produk dari politik domestik yang melibatkan opini
publik, kelompok kepentingan, dan institusi pemerintah yang secara langsung
14
terlibat dalam proses pembuatan kebijakan yang mempromosikan kepentingan
nasional melalui agenda politik. Teori ini juga menyatakan bahwa tujuan yang
dikejar negara donor dalam lingkup kepentingan ekonomi politik
internasional, antara lain kombinasi tujuan kemanusiaan, geopolitik, ideologi,
kepentingan komersil, masalah lingkungan, dan berbagai faktor dalam politik
domestik.26
Di dalam buku Ekonomi Politik Internasional 2 yang ditulis oleh Yanuar
Ikbar bahwa pengertian bantuan luar negeri itu sendiri sesungguhnya bermacam-
macam, tergantung pada konteks dan tujuan analisisnya. Secara sederhana,
bantuan luar negeri dapat didefinisikan sebagai:
Segala sesuatu yang berurusan dengan pemindahan sumber-sumber
kebendaan material dan jasa-jasa dari negara tertentu terhadap negara
lainnya yang memerlukannya dalam suatu ikatan transaksi berbentuk
pinjaman, pemberian, dan penanaman modal asing.
Kemudian ada pula definisi atau pun pemahaman mengenai hal diatas
menurut Michael Todaro yang sebagaimana dikutip oleh Yanuar Ikbar, bahwa
bantuan luar negeri sebagai setiap arus modal yang mengalir ke negara Dunia
Ketiga, intinya memenuhi kriteria:
a. Dari segi negara donor (pemberi bantuan), tujuan-tujuan itu haruslah
nonkomersial; dan
b. Bantuan itu harus memenuhi syarat-syarat konsesional, dengan suku bunga
dan jangka waktu pembayaran kembali modal yang dipinjamkan secara lunak
atau tidak memberatkan negara peminjam.
26
Anak Agung Banyu Perwita dan Yanyan Mochamad Yani, 2005, Pengantar Ilmu Hubungan
Internasional, PT Remaja Rosdakarya, Bandung. Hal. 81-82.
15
c. Sebaliknya dengan syarat-syarat pinjaman poin (b), ialah pinjaman komersial
dengan suku bunga lunak dan jangka pengembalian berjangka pendek atau
menengah.27
Carol Lancaster melihat bantuan luar negeri adalah sebuah konsep yang
rumit. Kadang-kadang dianggap sebagai sebuah kebijakan. Hal ini bukanlah
sebuah kebijakan tetapi sebagai alat kebijakan. Kadang-kadang bantuan luar
negeri dianggap sebagai untuk kebutuhan perdagangan dan militer. Bantuan luar
negeri juga dapat didefinisikan sebagai:
Sebuah transfer sukarela untuk mengembangkan sumber daya
masyarakat, dari sebuah LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) atau
sebuah organisasi internasional (seperti Bank Dunia atau Program
Pembangunan PBB) dengan setidaknya 25 persen unsur hibah, yang salah
satu tujuannya untuk kondisi manusia dengan lebih baik di negara
penerima bantuan. 28
Bantuan luar negeri umumnya tidak ditujukan untuk kepentingan politik
jangka pendek melainkan untuk prinsip-prinsip kemanusiaan atau pembangunan
ekonomi jangka panjang. Dalam jangka panjang bantuan luar negeri dimaksud-
kan untuk membantu menjamin beberapa tujuan politik negara donor yang tidak
dapat dicapai hanya melalui diplomasi, propaganda atau kebijakan publik. Paling
tidak ada dua syarat aliran modal dari luar negeri merupakan bantuan luar negeri,
yaitu:
Aliran modal dari luar negeri tersebut bukan didorong untuk mencari
keuntungan;
27
Yanuar Ikbar, 2007, Ekonomi Politik Internasional 2 (Implementasi Konsep dan Teori), PT
Refika Aditama, Bandung. Hal. 188-189. 28
Carol Lancaster, 2007, Foreign Aid: Diplomacy, Development, Domestic Politics, The
University Of Chicago Press, London. Hal. 9.
16
Aliran modal dari luar negeri atau dana tersebut diberikan kepada negara
penerima atau dipinjamkan dengan syarat yang lebih ringan daripada yang
berlaku dalam pasar internasional.
Karena itu, aliran modal dari luar negeri yang tergolong sebagai bantuan
luar negeri dapat berupa pemberian (grant) dan pinjaman luar negeri (loan) yang
diberikan oleh negara-negara donor atau badan-badan internasional yang khusus
dibentuk untuk memberikan pinjaman luar negeri, seperti Bank Dunia (World
Bank), Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank), Dana Moneter
International (International Monetary Fund), dan sebagainya.29
Program bantuan luar negeri ini biasanya saling menguntungkan kedua
pihak. Pihak penerima memperoleh pinjaman dana, perlengkapan, pengetahuan
yang diharapkan mampu mengikuti dinamika ekonomi modern, stabilitas politik
dan keamanan militer. Sedangkan pihak pemberi atau donor tanpa
memperhitungkan jenis-jenis persyaratannya selalu mengharapkan keuntungan
politik dan ekonomi baik langsung maupun jangka panjang, yang tidak bisa
diperoleh sepenuhnya melalui diplomasi, propaganda atau kebijakan militer. Hal
itu dikarenakan sebagai instrumen kebijakan luar negeri, bantuan luar negeri
merupakan tindakan ekonomi yang memiliki sifat dan efektivitas berbeda
dibandingkan diplomasi dan propaganda. Diplomasi dan propaganda
mengandalkan personel untuk memanfaatkan situasi dan tatanan internasional
yang ada. Sedangkan bantuan luar negeri lebih mengandalkan kapabilitas dalam
bentuk modal, sumber daya serta kemampuan manajerial.
29
Anak Agung Banyu Perwita dan Yanyan Mochamad Yani, 2005, Pengantar Ilmu Hubungan
Internasional, PT Remaja Rosdakarya, Bandung. Hal. 82-83.
17
Teknik pemberian bantuan luar negeri dapat dilakukan secara bilateral
maupun multilateral. Dengan kata lain, pemberian bantuan luar negeri dapat
dilakukan antar pemerintah (government to government) atau melalui lembaga
keuangan internasional, seperti International Monetary Fund (IMF), World Bank
(Bank Dunia), Asian Development Bank (ADB), dan sebagainya. Namun, dikaji
dari segi urgensinya bantuan luar negeri secara bilateral memiliki ikatan politik
yang lebih kuat daripada bantuan luar negeri secara multilateral dan juga secara
khusus lebih sensitif terhadap kondisi politik domestik.
Sifat urgensi di atas tidak terlepas juga dari motivasi para pemberi bantuan
luar negeri (negara donor). Terdapat empat kategori motivasi negara donor, yaitu:
Pertama, motif kemanusiaan yang bertujuan untuk mengurangi kemiskinan di
negara dunia ketiga melalui dukungan kerjasama ekonomi.
Kedua, motif politik yang memusatkan tujuan untuk meningkatkan image
negara donor. Peraihan pujian menjadi tujuan dari pemberian bantuan luar
negeri baik dari politik domestik dan hubungan luar negeri donor.
Ketiga, motif keamanan nasional, yang mendasarkan pada asumsi bahwa
bantuan luar negeri dapat menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang akan
mendorong stabilitas politik dan akan memberikan keuntungan pada
kepentingan negara donor. Dengan kata lain, motif keamanan memiliki sisi
ekonomi.
Keempat, motif yang berkaitan dengan kepentingan nasional negara donor.
Dari keempat motivasi di atas terlihat bahwa pada hakikatnya bantuan luar
negeri (foreign aid) merupakan bantuan yang diberikan kepada suatu negara oleh
pemerintah negara lainnya atau lembaga internasional berupa bantuan ekonomi,
18
sosial, dan militer yang diberikan secara bilateral atau multilateral oleh badan
internasional. Tujuan pemberian bantuan luar negeri antara lain mendukung
persekutuan, membangun ekonomi, meraih dukungan ideologis, memperoleh
bahan baku strategis, kemanusiaan, serta menyelamatkan kehidupan bangsa dari
bahaya keruntuhan ekonomi ataupun bencana alam.30
I.3.3 Neoliberalisme
Neoliberalisme adalah pendekatan teoritis untuk hubungan internasional
yang mengacu pada konsep rasionalitas dan kontraktor, dan memfokuskan
perhatian pada peran sentral dari lembaga-lembaga dan organisasi dalam politik
internasional.31
Disamping itu, Adam Smith yang sebagaimana dikutip oleh David
N. Balaam dan Michael Veseth yang berpandangan bahwa liberalisme itu
berkenaan dengan sebuah pasar yang biasa disebut “invisible hand” atau tangan-
tangan yang tidak nampak yang terbagi dari 2 bagian, yaitu: sebuah kepentingan
diri sendiri dan sebuah persaingan dalam pasar.32
Revolusi neoliberalisme ini bermakna dalam bergantinya sebuah
manajemen ekonomi yang berbasiskan persediaan menjadi berbasis permintaan.
Sehingga menurut kaum neoliberal, sebuah perekonomian dengan inflasi rendah
dan pengangguran tinggi, tetap lebih baik dibanding inflasi tinggi dengan
pengangguran rendah. Tugas pemerintah hanya menciptakan lingkungan sehingga
modal dapat bergerak bebas dengan baik.
30
Ibid. “Pengantar Ilmu Hubungan Internasional”. Hal. 83-84. 31
Tim Dunne, Milja Kurki, Steve Smith, 2007, International Relations Theories (Discipline and
Diversity), Oxford University Press, New York. Hal. 110. 32
David N. Balaam dan Michael Veseth, 2005, Introduction to International Political Economy,
Pearson Education, New Jersey. Hal. 50
19
Dalam titik ini pemerintah menjalankan kebijakan-kebijakan memotong
pengeluaran, memotong biaya-biaya publik seperti subsidi, sehingga fasilitas-
fasilitas untuk kesejahteraan publik harus dikurangi. Akhirnya logika pasarlah
yang berjaya diatas kehidupan publik. Ini menjadi pondasi dasar neoliberalisme,
menundukan kehidupan publik ke dalam logika pasar. Semua pelayanan publik
yang diselenggarakan negara harusnya menggunakan prinsip untung-rugi bagi
penyelenggara bisnis publik tersebut, dalam hal ini untung rugi ekonomi bagi
pemerintah. Pelayanan publik semata, seperti subsidi dianggap akan menjadi
pemborosan dan inefisiensi. Neoliberalisme tidak mengistimewakan kualitas
kesejahteraan umum.
Dalam penyebaran neoliberalisme, penerapan agenda-agenda ekonomi
neoliberal secara mencolok dimotori oleh Inggris melalui pelaksanaan privatisasi
seluruh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mereka. Penyebarluasan agenda-
agenda ekonomi neoliberal ke seluruh penjuru dunia, menemukan momentum
setelah dialaminya krisis moneter oleh beberapa Negara Amerika Latin pada
penghujung 1980-an.
Dalam rangka menanggulangi krisis moneter yang dialami oleh beberapa
negara Amerika Latin, bekerja sama dengan Departemen Keuangan AS (Amerika
Serikat) dan Bank Dunia (World Bank), IMF (International Monetary Fund)
sepakat meluncurkan sebuah paket kebijakan ekonomi yang dikenal sebagai paket
kebijakan Konsensus Washington (Washington Consensus). Agenda pokok paket
kebijakan Konsensus Washington yang menjadi menu dasar program penyesuaian
struktural IMF tersebut dalam garis besarnya meliputi : (1) pelaksanan kebijakan
anggaran ketat, termasuk penghapusan subsidi negara dalam berbagai bentuknya,
20
(2) pelaksanaan liberalisasi sektor keuangan, (3) pelaksanaan liberalisasi sektor
perdagangan, dan (4) pelaksanaan privatisasi BUMN.33
Konsensus Washington yang mempunyai tiga pilar utama: deregulasi,
privatisasi, dan liberalisasi pasar. “Konsensus” tersebut kemudian diperinci atas
sepuluh bagian. Elemen-elemennya adalah disiplin fiskal yang konservatif,
prioritas pengeluaran publik dalam anggaran pemerintah, perluasan basis
pemungutan pajak, liberalisasi finansial, kebijakan nilai tukar yang
berkredibilitas, liberalisasi perdagangan melalui pengurangan restriksi-restriksi
kualitatif, meningkatkan kompetisi perusahaan domestik dan asing berdasarkan
efisiensi, privatisasi (termasuk terhadap BUMN), promosi deregulasi, dan
perlindungan hak milik intelektual.
Konsensus Washington juga merupakan tonggak yang penting artinya
dalam hubungan ekonomi antara negara maju dan berkembang, karena
kesepakatan tersebut kemudian digunakan sebagai prasyarat pemberian hutang
dan bantuan ekonomi pada Negara-negara berkembang. Artinya, apabila
sebelumnya hubungan ekonomi tidak mempunyai kandungan politik, maka
setelah ini hubungan ekonomi diberi prasyarat dipenuhinya sejumlah kondisi
ekonomi yang harus dipenuhi oleh negara dalam bentuk kebijakan, yang
merupakan ranah politik. Persyaratan politik telah dimasukkan ke dalam
hubungan ekonomi antara negara industri maju dan negara berkembang melalui
33
Riant Nugroho dan Randy R. Wrihatnolo,. 2008, Manajemen Privatisasi BUMN, PT Elex Media
Komputindo, Jakarta. Hal. 53-54.
21
neoliberalisme, yang dimulai sejak akhir 1940an, dan terkristalisasi dalam
Konsensus Washington pada dasawarsa 1980an.34
I.4 Metoda Penelitian
Jenis penelitian ini adalah kualitatif yang bertumpu pada beberapa aliran,
tradisi, atau teori yang kesemuanya menekankan pada pentingya pengembangan
penyusunan teori yang ditandai dengan strategi induktif empiris.35
Sebagai contoh
kualitatif adalah penelitian yang dikonseptualisasikan sebagai studi kasus dan
berfokus pada interpretasi, hal ini yang melibatkan data kualitatif. Atau, sebagai
contoh metode campuran, mungkin sebuah survei kuantitatif yang akan diikuti
dengan data kualitatif.36
Penelitian ini akan menggunakan data sekunder. Melalui studi
kepustakaan yang diharapkan dapat mempelajari “Analisis Bantuan Luar Negeri
Bank Dunia (World Bank) Dalam Pengentasan Kemiskinan di Indonesia Periode
2007-2009 (Studi Kasus PNPM Mandiri)” secara teoritis maupun empiris.
Sumber-sumber data ini berupa buku, jurnal, internet, hasil penelitian dan
penerbitan-penerbitan lainnya.
I.5 Tujuan Penelitian
Penelitian yang berjudul “Analisis Kebijakan Bantuan Luar Negeri Bank
Dunia (World Bank) Dalam Pengentasan Kemiskinan di Indonesia Periode 2007-
2009 (Studi Kasus PNPM Mandiri)” yang bertujuan untuk melihat sejauh mana
34
A. Irawan J.H., 2007, “Ekspansi Global Neo-Liberalisme”, dalam Transformasi Dalam Studi
Hubungan Internasional (Aktor, Isu dan Metodologi), Yulius P. Hermawan, Graha Ilmu,
Yogyakarta. Hal. 104-105. 35
Bagong Suyanto dan Sutinah ed., 2007, Metode Penelitian Sosial: Berbagai Alternatif
Pendekatan, Kencana, Jakarta. Hal. 177-179. 36
Keith F. Punch, 2000, Developing Effective Research Proposals, SAGE Publications, London.
Hal. 51.
22
efektivitas bantuan luar negeri Bank Dunia terhadap pengentasan kemiskinan di
Indonesia dan melihat bagaimana dampak yang terjadi dari bantuan luar negeri
Bank Dunia di Indonesia. Disamping itu juga untuk melihat bagaimana
pandangan Bank Dunia dalam pengentasan kemiskinan diikuti dengan penjelasan
tentang strategi Bank Dunia dalam menurunkan angka kemiskinan.
I.6 Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang Masalah
I.2 Perumusan Masalah
I.3 Kerangka Teori
I.4 Metoda Penelitian
I.5 Tujuan Penelitian
I.6 Sistematika Penulisan
BAB II KEMISKINAN DI INDONESIA
Membahas masalah kemiskinan yang terjadi di Indonesia (1999-2009)
yang merupakan penyebab terjadinya bantuan luar negeri, seperti; menjelaskan
kemiskinan yang terjadi di Indonesia dan disertai pula pandangan Bank Dunia
dalam kemiskinan di Indonesia.
BAB III BANTUAN LUAR NEGERI BANK DUNIA DI INDONESIA
Membahas tentang kebijakan bantuan luar negeri Bank Dunia dalam
pengentasan kemiskinan di Indonesia, seperti; menjelaskan sebuah bantuan luar
23
negeri Bank Dunia dan bentuk program pengentasan kemiskinan yaitu PNPM
Mandiri.
BAB IV ANALISIS BANTUAN LUAR NEGERI BANK DUNIA DALAM
KEMISKINAN DI INDONESIA
Menganalisis masalah yang terjadi antara kemiskinan di Indonesia dan
bantuan luar negeri Bank Dunia, seperti; sejauh mana efektivitas bantuan luar
negeri/PNPM-Mandiri terhadap Indonesia (disertai tabel-tabel), relevansinya
terhadap neoliberalisme dan dampaknya terhadap bantuan luar negeri Bank
Dunia.
BAB V PENUTUP
Kesimpulan
24
BAB II
KEMISKINAN DI INDONESIA
II.1 Masalah Kemiskinan di Indonesia
Kemiskinan di Indonesia memang terjadi sangat rumit, pada pertengahan
tahun 1997 Indonesia dilanda krisis ekonomi yang cukup parah. Kontraksi
ekonomi tersebut menimbulkan dampak sosial yang sangat besar dan
membalikkan banyak kemajuan di sektor sosial yang telah dicapai dalam dekade
sebelumnya. Dalam pasar tenaga kerja, tingkat pengangguran meningkat sedikit
dari 4,7 persen pada tahun 1997 menjadi 5,5 persen pada tahun 1998, upah riil
menurun sekitar sepertiga. Tingkat kemiskinan selama krisis, dari awal terjadinya
krisis pada pertengahan tahun 1997 ke puncak krisis pada akhir tahun 1998 telah
meningkat menjadi 164 persen. Jelas bahwa kemiskinan meningkat dengan cepat
seiring dengan memburuknya krisis ekonomi, hal ini menyiratkan bahwa sejumlah
besar mengalami kemiskinan dalam waktu singkat.37
Disamping itu, dalam mencari penyebab krisis ekonomi tersebut, hal ini
menjadi pusat perhatian di dalam pemerintahan. Penyebab krisis ekonomi tersebut
adalah bahwa ada terjadinya pemerintahan yang buruk (bad governance), yang
biasa dikenal sebagai KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) di Indonesia yang
telah melemahkan perekonomian Indonesia, sehingga menimbulkan penderitaan
dari krisis periodik. Karena masalah tersebut, Indonesia menempati bagian atas
dalam daftar negara-negara paling korup di dunia dalam waktu yang lama.
37
Asep Suryahadi dan Sudarno Sumarto, 2010, “Poverty and Vulnerability In Indonesia Before
and After The Economic Crisis”, dalam Poverty and Social Protection In Indonesia, Joan
Hardjono, Nuning Akhmadi dan Sudarno Sumarto, ISEAS Publishing, Pasir Panjang. Hal. 36-37.
25
Disamping itu, pengurangan kemiskinan dan tata pemerintahan merupakan kedua
hal yang saling terkait. Tata pemerintahan yang buruk telah melakukan upaya-
upaya penanggulangan kemiskinan yang tidak efektif, sementara proyek-proyek
pengurangan kemiskinan malah menyediakan lahan subur bagi korupsi.38
Dengan adanya korupsi tersebut, secara tidak langsung hal ini juga
merugikan masyarakat miskin, yaitu:
1. Peningkatan harga barang dan jasa yang harus dibayar oleh masyarakat
miskin;
2. Mengurangi pendapatan oleh penduduk miskin dengan cara pajak semi-legal,
ilegal dan retribusi;
3. Adanya tindakan dukungan untuk masyarakat miskin, padahal hal itu malah
justru sebaliknya;
4. Menciptakan ketimpangan atau ketidaksamaan dalam kepemilikan aset,
karena orang-orang kaya dapat mempengaruhi pemerintah untuk mengejar
kebijakan yang akan meningkatkan kekayaan mereka sendiri (seperti
perlakuan pajak yang menguntungkan dan nilai tukar mata uang) yang tidak
tersedia bagi masyarakat miskin; dan
5. Mencegah orang miskin dalam melakukan investasi baru atau membuka bisnis
baru, karena mereka tahu bahwa orang-orang yang berbisnis akan selalu
menang dan terhubung dengan kontrak proyek-proyek pemerintah, karena
adanya praktek korupsi. Akibatnya, mereka tidak dapat meningkatkan standar
kehidupan mereka, dan menjadikan selalu tetap miskin.
38
Sudarno Sumarto, Asep Suryahadi, Alex Arifianto, 2003, “Governance and Poverty Reduction:
Evidence From Newly Decentralized Indonesia”, dalam The Role Of Governance In Asia,
Yasutami Shimomura, Japan Institute Of International Affairs and ASEAN Foundation,
Singapore. Hal. 28.
26
Singkatnya, ada sebuah konsensus yang kuat bahwa tata kelola
pemerintahan yang baik itu sangat diperlukan bagi upaya untuk pengurangan
kemiskinan secara efektif dan untuk mengurangi adanya praktek korupsi.39
Pada
tahun 2000-2005 jumlah penduduk miskin malah cenderung menurun dari 38,70
juta pada tahun 2000 menjadi 35,10 juta pada tahun 2005. Secara relatif juga
terjadi penurunan persentase penduduk miskin dari 19,14 persen pada tahun 2000
menjadi 15,97 persen pada tahun 2005.40
Tetapi di awal tahun 2005, telah dindikasikan bahwa jumlah penduduk
miskin di Indonesia telah mencapai 51%, atau mencapai 114,64 juta jiwa. Diduga
bahwa kenaikan jumlah penduduk miskin itu disebabkan oleh beberapa hal yang
saling berkaitan. Hal-hal tersebut antara lain sebagai berikut:
1. Gelombang Tsunami yang melanda Provinsi Aceh dan sebagian wilayah
Sumatera Utara telah menyebabkan berbagai kegiatan ekonomi masyarakat
lenyap dari dua wilayah tersebut. Memang banyak juga mereka yang tinggal
di wilayah itu selamat dari musibah tersebut. Tapi satu hal yang pasti bahwa
hal ini akan berimplikasi terhadap penambahan jumlah pengangguran dan
kemiskinan dari penduduknya.
2. Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang terjadi beberapa kali hingga
awal bulan Oktober di tahun 2005 ini tentu telah membebani biaya-biaya
produksi. Ini tentu pada gilirannya mengakibatkan turunnya kemampuan daya
beli, dan bahkan hanya untuk bertahan hidup pun, bagi masyarakat yang
secara umum memang sudah sangat berat saat ini. Dampak ikutan berikutnya
39
Ibid. “Governance and Poverty Reduction: Evidence From Newly Decentralized Indonesia”.
Hal. 32-33. 40
Berita Resmi Statistik, 2009, Badan Pusat Statistik, No. 43/07/Th. XII. Hal. 1.
27
yakni meningkatnya jumlah orang yang dikategorikan sebagai penduduk
miskin.
3. Kenaikan harga minyak internasional dan melemahnya nilai tukar rupiah
tampaknya juga bisa dilihat sebagai penyebab yang berpengaruh terhadap
melemahnya daya beli masyarakat terhadap kebutuhan produk-produk primer,
apalagi sekunder, yang memang diperlukan selama ini dalam kehidupan
mereka sehari-hari.41
Terkait dalam hal tersebut, faktor utama yang menyebabkan peningkatan
angka kemiskinan di Indonesia secara signifikan bukanlah kenaikan harga BBM,
melainkan kenaikan harga beras. Ada dua alasan dalam hal tersebut, yaitu;
Pertama, kenaikan harga BBM, pada April dan Oktober 2005 yang secara
kumulatif mencapai rata-rata 143 persen, hanya menurunkan kesejahteraan
masyarakat miskin, karena telah dimbangi dengan program bantuan langsung
tunai (BLT). Kedua, tiga per empat dari orang miskin merupakan konsumen
bersih (net consumer) beras, sehingga kenaikan harga beras berpengaruh secara
signifikan terhadap kenaikan angka kemiskinan.42
Dampak dari perubahan harga tersebut sudah bisa ditebak yakni akan
makin membebani biaya hidup masyarakat secara umum. Secara sederhana, tapi
memang terlihat sangat nyata, kita bisa mengidentifikasi beberapa hal di balik
makin besarnya biaya hidup yang harus ditanggung oleh masyarakat. Beberapa
hal tersebut adalah sebagai berikut:
1. Ada kecenderungan kenaikan secara berkala dari harga-harga seperti air
bersih, tarif angkutan, tarif komunikasi dan tarif dasar listrik;
41
Hari Susanto, 2006, Dinamika Penanggulangan Kemiskinan: Tinjauan Historis Era Orde Baru,
Khanata-Pustaka LP3ES Indonesia dan Yayasan Dana Sejahtera Mandiri, Jakarta. Hal. 8-9. 42
Fahmy Radhi, 2008, Kebijakan Ekonomi Pro Rakyat, Republika, Jakarta. Hal. 44.
28
2. Pada saat bersamaan harga kebutuhan pokok rumah tangga penduduk terus
ikut-ikutan mengalami kenaikan meski pemerintah berulang kali dalam
berbagai kesempatan mengatakan bahwa harga kebutuhan pokok tidak boleh
membebani masyarakat. Pernyataan yang lebih bersifat himbauan ini dalam
kenyataannya berbanding terbalik dengan apa yang terjadi di pasar. Faktanya
hampir semua harga kebutuhan pokok rumah tangga bergerak naik;
3. Harga bahan bakar minyak yang terus cenderung naik beberapa kali dalam
setahun memiliki kaitan dengan alasan beratnya beban subsidi yang
ditanggung pemerintah selama ini sebagaimana terlihat dalam anggaran
pendapatan dan belanja negara. Kenaikan harga bahan bakar minyak tersebut
tentunya mempunyai pengaruh terhadap kecenderungan naiknya inflasi yang
konon, bagi banyak pengamat ekonomi, bergerak laksana sebuah spiral.43
Di bulan Februari pada tahun 2008 kondisi pengangguran mencapai 8,46%
atau menunjukkan penurunan dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang
mencapai 9,75% akibat kenaikan BBM. Turunnya angka pengangguran sebesar
1,12 juta orang dalam setahun terakhir ini disebabkan oleh dua faktor: Pertama,
seluruh sektor ekonomi menunjukkan peningkatan serapan tenaga kerja dan
pertumbuhan tertinggi dialami oleh sektor keuangan yang mencapai 11,5%.
Demikian pula sektor keuangan memiliki angka elastisitas serapan tenaga kerja
yang paling tinggi, di mana untuk setiap I (satu) persen pertumbuhan sektor
keuangan maka tenaga kerja di sektor tcisebut akan mengalami pertumbuhan
3,6%. Kedua, pertumbuhan kesempatan kerja mencapai 2.43% lebih besar dari
pertumbuhan angkatan kerja yang mencapai 1.76%. Hal ini menandakan baik
43
Hari Susanto, 2006, Dinamika Penanggulangan Kemiskinan: Tinjauan Historis Era Orde Baru,
Khanata-Pustaka LP3ES Indonesia dan Yayasan Dana Sejahtera Mandiri, Jakarta. Hal. 8.
29
tenaga kerja yang pertama kali bekerja maupun yang sebelumnya menganggur
dapat bekerja.
Apabila ditinjau dari status pekerjaan utama, sebagian besar tenaga kerja
diserap oleh sektor informal. Berdasarkan data Februari 2003 jumlah pekerja
informal mencapai 70,55 juta orang atau 69,1 % dari total penduduk usia 15 tahun
ke atas yang bekerja. Persentase pekerja informal ini hampir tidak mengalami
perubahan dibandingkan dengan data Februari 2006 yaitu sebesar 69,8%. Tingkat
penghasilan pekerja informal ini relatif kecil dan tidak pasti. Artinya, meskipun
pekerja informal ini tidak terhitung sebagai pengangguran, namun mereka sangat
rentan terhadap perubahan-perubahan yang terjadi, termasuk kenaikan harga
BBM. Misalnya para penjual gorengan, bubur, dan makanan kecil lainnya di
pinggir jalan semakin tertekan akibat kenaikan harga dan kelangkaan minyak
tanah.44
Untuk lebih rinci mengenai kemiskinan di Indonesia pada periode 1999-
2009 bisa dilihat di tabel 1.
Tabel 1
Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia
Pada Tahun 1999-2009
Tahun
Jumlah Penduduk Miskin (Juta) Persentase Penduduk Miskin
Kota Desa Kota + Desa Kota Desa Kota + Desa
1999 15,64 32,33 47,97 19,41 26,03 23,43
2000 12,30 26,40 38,70 14,60 22,38 19,14
2001 8,60 29,30 37,90 9,76 24,84 18,41
2002 13,30 25,10 38,40 14,46 21,10 18,20
44
Tim Jumpa Pers-Pusat Penelitian Ekonomi, 2008, “Problema Pengangguran dan Kemiskinan di
Tengah Gejolak Harga BBM: Telaah Kritis Kebijakan dan Solusi Alternatif”, Jurnal Ekonomi dan
Pembangunan, vol. XVI, no. 1, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta. Hal. 82.
30
2003 12,20 25,10 37,30 13,57 20,23 17,42
2004 11,40 24,80 36,10 12,13 20,11 16,66
2005 12,40 22,70 35,10 11,68 19,98 15,97
2006 14,49 24,81 39,30 13,47 21,81 17,75
2007 13,56 23,61 37,17 12,52 20,37 16,58
2008 12,77 22,19 34,96 11,65 18,93 15,42
2009 11,91 20,62 32,53 10,72 17,35 14,15
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS)45
Menurut Lembaga Penelitian SMERU, kemiskinan di Indonesia berwajah
majemuk, berubah dari waktu ke waktu, atau dari satu tempat ke tempat lain, hal
ini mengandung berbagai dimensi dan masalah yang kompleks, antara lain:
1. Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar (sandang, pangan,
papan);
2. Tidak adanya akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya (kesehatan,
pendidikan, sanitasi, air bersih, dan transportasi);
3. Tidak adanya jaminan masa depan (karena tiadanya investasi untuk
pendidikan dan keluarga);
4. Kerentanan terhadap goncangan yang bersifat individual maupun massal;
5. Rendahnya kualitas sumber daya manusia dan keterbatasan sumber daya alam;
6. Tidak dilibatkan dalam kegiatan sosial masyarakat;
7. Tidak adanya akses terhadap lapangan kerja dan mata pencaharian yang
berkesinambungan;
8. Ketidakmampuan untuk berusaha karena cacat fisik maupun mental;
45
Berita Resmi Statistik, 2009, Badan Pusat Statistik, No. 43/07/Th. XII. Hal. 2-5.
31
9. Ketidakmampuan dan ketidakberuntungan sosial (anak-anak terlantar,
Perempuan korban kekerasan rumah tangga, janda miskin, kelompok marjinal
dan terpencil).46
Ada banyak penyebab terjadinya kemiskinan di Indonesia, dan tidak ada
satu jawaban pun yang mampu menjelaskan semuanya sekaligus. Ini ditunjukkan
oleh adanya berbagai pendapat mengenai penyebab kemiskinan sesuai dengan
keadaan, waktu, dan tempat tertentu yang mencoba mencari penyebab
kemiskinan. Tetapi Lembaga Penelitian SMERU menyimpulkan bahwa penyebab
dasar kemiskinan antara lain:
1. Kegagalan kepemilikan, terutama tanah dan modal;
2. Terbatasnya ketersediaan bahan kebutuhan dasar, sarana dan prasarana;
3. Kebijakan pembangunan yang bias perkotaan dan bias sektor;
4. Adanya perbedaan kesempatan di antara anggota masyarakat dan sistem yang
kurang mendukung;
5. Adanya perbedaan sumber daya manusia dan perbedaan antar sektor ekonomi
(ekonomi tradisional versus ekonomi modern);
6. Rendahnya produktivitas dan tingkat pembentukan modal dalam masyarakat;
7. Budaya hidup yang dikaitkan dengan kemampuan seseorang mengelola
sumber daya alam dan lingkungannya;
8. Tidak adanya tata pemerintahan yang bersih dan baik (good governance);
9. Pengelolaan sumber daya alam yang berlebihan dan tidak berwawasan
lingkungan.47
46
Paket Informasi: Dasar Penanggulangan Kemiskinan, Lembaga Penelitian SMERU untuk
Badan Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (BKPK). Hal. 2. 47
Ibid, Paket Informasi: Dasar Penanggulangan Kemiskinan. Hal. 4
32
II.2 Ukuran dan Kemiskinan di Indonesia Menurut Bank Dunia
II.2.1 Ukuran Kemiskinan Menurut Bank Dunia Secara Umum
Pendekatan yang luas untuk suatu kesejahteraan (dan kemiskinan)
berfokus pada kemampuan individu yang berfungsi di dalam masyarakat.
Masyarakat miskin sering kali kekurangan dalam kemampuannya; dengan
kemungkinan karena mereka memiliki pendapatan yang tidak memadai dalam
pendidikan, memiliki kesehatan yang buruk, merasa tidak berdaya, atau bisa jadi
karena kurangnya dalam kebebasan politik. Oleh karena itu, Bank Dunia
menguraikan empat alasan untuk mengukur kemiskinan, yaitu:
1. Untuk menjaga orang miskin yang masuk di dalam agenda Bank Dunia.
2. Untuk dapat mengidentifikasi orang-orang yang miskin, sehingga dapat tepat
sasaran dalam mengintervensi.
3. Untuk memonitor dan mengevaluasi proyek-proyek dan intervensi kebijakan
yang diarahkan untuk masyarakat miskin.
4. Untuk mengevaluasi efektivitas lembaga-lembaga yang tujuannya adalah
untuk membantu orang miskin.48
Langkah pertama dalam mengukur kemiskinan adalah mendefinisikan
indikator kesejahteraan seperti pendapatan atau konsumsi per kapita. Informasi
tentang kesejahteraan berasal dari data survei. Sebuah desain survei yang baik
adalah suatu hal yang terpenting. Meskipun beberapa survei menggunakan sampel
acak (random sampling) secara sederhana, hal ini juga kebanyakan menggunakan
sampel acak secara bertingkat. Oleh sebab itu, Bank Dunia mengambil tiga
langkah dalam mengukur kemiskinan, yaitu:
48
Jonathan Haughton dan Shahidur R. Khandker, 2009, Handbook On Poverty and Inequality, The
International Bank for Reconstruction and Development/The World Bank, Washington DC. Hal.
1.
33
1. Menentukan indikator kesejahteraan.
2. Menetapkan standar minimal yang dapat diterima oleh suatu indikator bahwa
hal ini untuk memisahkan orang miskin dari orang yang tidak miskin (garis
kemiskinan).
3. Menghasilkan sebuah ringkasan untuk mengumpulkan suatu informasi dari
distribusi indikator kesejahteraan yang relatif terhadap garis kemiskinan.49
Adapun tindakan dan strategi Bank Dunia yang bertujuan untuk
memerangi kemiskinan yaitu dalam beberapa dekade, pengalaman Bank Dunia
telah mengakui beberapa faktor umum yang terkait dengan kemajuan dalam
pembangunan secara keseluruhan. Faktor dasar inilah yang menjadi acuan dalam
strategi Bank Dunia yaitu sebagai berikut:
1. Suatu negara yang aktif dengan tata pemerintahan yang baik (good
governance) di sektor publik dan swasta yang mendorong ke arah lingkungan
dimana kontraknya tersebut bersifat memaksa dan sebuah pasar yang dapat
berfungsi sebagai; karya infrastruktur dasar, ada ketentuan yang memadai
untuk kesehatan, pendidikan, perlindungan sosial dan orang-orang dapat
berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang mempengaruhi kehidupan
mereka.
2. Suatu pemberdayaan yang dapat memastikan bahwa semua orang akan
memiliki kemampuan untuk membentuk kehidupan mereka sendiri, dengan
memberikan kesempatan, keamanan dan dengan mendorong partisipasi dan
inklusi sosial yang efektif.
49
Ibid, Handbook On Poverty and Inequality. Hal. 10.
34
3. Pertumbuhan ekonomi adalah hal yang sangat penting karena negara-negara
yang telah mengurangi kemiskinan adalah hal yang paling efektif dan tumbuh
paling cepat. Belum ada contoh pembangunan berkelanjutan yang berhasil
tanpa periode pertumbuhan tinggi per kapita output.
4. Perlu ada sektor swasta karena hal ini sangat penting untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, dengan usaha kecil dan menengah
dapat memainkan peran yang sangat penting dalam menghasilkan peluang
kerja bagi masyarakat miskin.
5. Suatu kebijakan sektor keuangan yang rasional dan tepat untuk negara
merupakan hal yang sangat penting, sebagai penghapusan hambatan dalam
perdagangan internasional sehingga ekspor negara-negara berkembang dapat
memberikan kontribusi untuk pertumbuhannya.
6. Suatu negara dan masyarakat harus memiliki kepemilikan agenda
pembangunan untuk mencerminkan kondisi khusus dari suatu negara dan
ekonomi politik.
Bank Dunia memiliki dua pilar untuk menanggulangi kemiskinan dalam
pembangunannya, dua pilar tersebut adalah membangun 1. Iklim investasi,
pekerjaan dan pertumbuhan yang berkelanjutan, 2. Investasi pada orang yang
miskin dan memberdayakan mereka untuk berpartisipasi dalam pembangunan.
Kedua pilar tersebut dalam kerangka kerja strategis Bank Dunia sangat penting
untuk keberhasilan dalam mencapai pengurangan kemiskinan yang berkelanjutan
dan membantu negara-negara untuk mencapai tujuannya. Di setiap negara-negara
memiliki kebutuhan yang berbeda-beda. Bekerja dengan Bank Dunia mengenai
MDGs adalah prioritas di negara-negara yang sebagian besar berpenghasilan
35
rendah, sedangkan pendapatan yang relatif/menengah lebih sering bekerja untuk
mencari lebih banyak nasabah dengan Bank Dunia pada pembangunan iklim
investasi.50
II.2.2 Kemiskinan di Indonesia Menurut Bank Dunia
Untuk melihat kemiskinan di Indonesia, ternyata sebelumnya Bank Dunia
belajar dari sejarah untuk mendukung upaya penanggulangan kemiskinan di
Indonesia. Sejarah Indonesia memberi banyak pelajaran tentang keberhasilan
upaya-upaya penanggulangan kemiskinan di masa lalu. Pelajaran ini dapat
bermanfaat ketika mencari strategi penanggulangan kemiskinan yang efektif
untuk masa mendatang. Bank Dunia membuat catatan-catatan tersebut, antara
lain: Pertama, catatan Indonesia menunjukkan seperti apa kekuatan penggerak
pertumbuhan dalam penanggulangan kemiskinan tatkala ia berdampak pada
rakyat penduduk miskin. Kedua, catatan Indonesia menunjukkan bahwa
penyaluran pengeluaran negara secara bijaksana ke dalam upaya-upaya dan
program-program yang bermanfaat bagi penduduk miskin adalah kunci bagi
penanggulangan kemiskinan. Ketiga, pengalaman Indonesia diterpa guncangan
krisis ekonomi justru semakin menunjukkan perlunya mewujudkan perlindungan
sosial bagi penduduk miskin. Keempat, pengalaman masa lalu Indonesia
menunjukkan bahwa Indonesia harus membangun pemerintahan yang dapat
bermanfaat bagi penduduk miskin.51
50
Cathy L. Gagnet dan World Bank, World Bank Annual Report 2003, vol. 1 Year In Review, The
International Bank for Reconstruction and Development/The World bank, Washington DC. Hal.
12-13. 51
The World Bank, 2006, Indonesia Making the New Indonesia Work For The Poor, Jakarta. Hal.
19-21.
36
Menurut Bank Dunia, Indonesia memiliki peluang emas untuk
menurunkan kemiskinan dengan pesat. Pertama, dengan melihat sifat
kemiskinan, memusatkan perhatian pada beberapa bidang unggulan dapat
memberi beberapa kemenangan dengan cepat dalam perang melawan kemiskinan
dan rendahnya hasil pengembangan manusia. Kedua, sebagai negara penghasil
minyak dan gas, Indonesia berada di posisi untuk memperoleh keuntungan dalam
beberapa tahun ke depan dari sumber-sumber daya keuangan. Hal ini disebabkan
oleh harga minyak yang lebih tinggi dan penurunan subsidi bahan bakar. Ketiga,
Indonesia masih dapat memperoleh keuntungan lebih jauh dari proses-proses
demokratisasi dan desentralisasinya yang terus berlanjut.
Kemiskinan di Indonesia memiliki tiga ciri yang menonjol: (i) Banyak
rumah tangga terkonsentrasi di sekitar garis kemiskinan pendapatan nasional
sejumlah kurang lebih 1,55 dolar AS perhari PPP (Public-Private
Partnerships/Kemitraan Publik dan Swasta), membuat bahkan banyak penduduk
tidak miskin rentan terhadap kemiskinan; (ii) ukuran kemiskinan pendapatan tidak
mencakup jangkauan kemiskinan sebenarnya di Indonesia; banyak dari mereka
yang kemungkinan tidak miskin secara pendapatan dapat diklasifikasikan sebagai
masyarakat miskin berdasarkan kekurangan akses ke layanan-layanan pokok dan
hasil pengembangan manusia yang buruk; dan (iii) dengan melihat ukuran besar
dan kondisi berbeda-beda kepulauan Indonesia, kesenjangan regional merupakan
ciri pokok kemiskinan di negara ini.52
Adapun faktor-faktor penentu kemiskinan di Indonesia, Bank Dunia dalam
bagian ini menggunakan analisis multivariat untuk mengungkap faktor-faktor
52
The World Bank, 2008, Investing in Indonesia’s Institutions: For Inclusive and Sustainable
Development, IFC (International Finance Corporation: World Bank Group) Jakarta. Hal. 50.
37
penentu dan arti penting relatif dari karakteristik, aset dan akses utama pada
rumah tangga sebagai faktor-faktor yang berkorelasi dengan kemiskinan
(correlates of poverty). Beberapa faktor kunci memang berpengaruh pada
kemiskinan dan karena itu juga berperan bagi upaya dalam penanggulangan
kemiskinan. Bank Dunia menguraikan lima korelasi faktor penentu dalam
kemiskinan, antara lain:
1. Faktor Korelasi Dalam Pendidikan
a. Kemiskinan memiliki kaitan yang sangat erat dengan pendidikan yang
tidak memadai.
b. Melampaui jenjang pendidikan sekolah dasar dengan meningkatkan
kesejahteraan secara berarti.
c. Meningkatkan capaian jenjang pendidikan di wilayah/area tertentu yang
berkorelasi dengan pengurangan kemiskinan yang lebih besar.
2. Faktor Korelasi Dalam Pekerjaan
Bekerja di sektor pertanian memiliki korelasi yang kuat dengan
kemiskinan. Kepala rumah tangga yang bekerja di sektor pertanian memiliki
tingkat konsumsi yang jauh lebih rendah (dan karena itu memiliki kemungkinan
lebih besar untuk menjadi miskin) dibandingkan mereka yang bekerja di sektor
lain. Dengan menggunakan kepala rumah tangga yang bekerja di sektor pertanian
informal sebagai dasar (base), faktor-faktor yang berkorelasi dengan kemiskinan
menunjukkan bahwa kepala rumah tangga di daerah pedesaan yang bekerja di
sektor pertanian formal memiliki korelasi dengan kenaikan tingkat konsumsi
dengan nilai koefisien korelasi sebesar 3,1 persen, sedangkan mereka yang
bekerja di sektor industri informal dengan nilai koefisien sebesar 5,4 persen.
38
Koefisien korelasi yang lebih tinggi terdapat pada kepala rumah tangga
yang bekerja di sektor industri formal (11,7 persen). Koefisien korelasi yang
tertinggi terdapat di sektor jasa: sektor jasa informal sebesar 14 persen, sedangkan
sektor jasa formal sebesar 22 persen, yang berlaku untuk daerah perkotaan
maupun daerah pedesaan. Mengingat sedikitnya porsi penduduk miskin yang
bekerja di sektor formal dan sektor nonpertanian, di samping kenyataan bahwa
bekerja di sektor-sektor yang lebih menguntungkan tersebut memiliki korelasi
dengan pengurangan kemiskinan, maka perpindahan tenaga kerja ke sektor
pertanian formal, atau ke sektor nonpertanian formal maupun informal, akan
membuka jalan keluar dari kemiskinan.
3. Faktor Korelasi Dalam Gender
Meskipun tingkat kemiskinan terlihat sedikit lebih rendah pada rumah
tangga dengan kepala keluarga perempuan, namun pada kenyataannya tidaklah
demikian: rumah tangga yang dengan kepala keluarga laki-laki masih jauh lebih
beruntung dibandingkan rumah tangga dengan kepala keluarga perempuan. Pada
tahun 1999, dengan menganggap karakteristik-karakteristik yang lain bersifat
tetap, rumah tangga di daerah perkotaan yang dikepalai laki-laki memiliki tingkat
pengeluaran 14,4 persen lebih tinggi daripada rumah tangga yang dipimpin
perempuan. Kesenjangan gender ini bahkan lebih mencolok di daerah pedesaan,
di mana terdapat perbedaan tingkat pengeluaran sebesar 28,4 persen. Pada tahun
2002, kesenjangan gender ini semakin melebar menjadi 15,8 persen di daerah
perkotaan dan 31,1 persen di daerah pedesaan.
Hasil yang tampak berlawanan antara analisis regresi (yang
mengindikasikan bahwa rumah tangga dengan kepala keluarga perempuan jauh
39
lebih miskin) dan analisis deskriptif sederhana (yang menunjukkan bahwa rumah
tangga dengan kepala keluarga perempuan sedikit kurang miskin), hanya dapat
dijelaskan oleh karakteristik-karakteristik yang tak teramati, seperti
kecenderungan yang lebih tinggi untuk mengalami goncangan dan rendahnya
akses kepada instrumen-instrumen untuk meredam dan menghadapi goncangan,
yang mungkin berkorelasi dengan aspek gender kepala rumah tangga. Penilaian
terhadap risiko dan kerentanan di antara beberapa tipe rumah tangga dan tahap-
tahap siklus hidup yang berbeda mengindikasikan bahwa rumah tangga miskin
dengan kepala keluarga perempuan memiliki risiko yang lebih besar untuk
mengalami guncanganguncangan negatif akibat konflik, masalah kesehatan dan
risiko ekonomi.
4. Faktor Korelasi Dalam Akses Terhadap Pelayanan dan Infrastruktur Dasar
a. Kemiskinan jelas berkaitan dengan rendahnya akses terhadap fasilitas dan
infrastruktur dasar.
b. Rumah tangga di daerah pedesaan yang memiliki lebih banyak akses
kepada pendidikan sekolah menengah jauh lebih kecil kemungkinannya
untuk menjadi miskin.
c. Akses kursus informal dapat menjadi faktor kunci dalam mobilitas
ekonomi ke atas, khususnya di daerah perkotaan.
d. Akses lembaga perkreditan setempat juga menaikkan secara berarti tingkat
pengeluaran dan mengurangi kemungkinan rumah tangga untuk menjadi
miskin.
e. Akses jalan memiliki korelasi dengan tingkat konsumsi yang lebih tinggi.
40
f. Akses telekomunikasi memiliki kaitan yang tidak signifikan dengan
konsumsi pada tingkat nasional, tetapi cukup signifikan pada sebagian
wilayah.
5. Faktor Korelasi Dalam Lokasi Geografis
Dengan adanya ketimpangan antarwilayah, tidaklah mengherankan bila
lokasi geografis juga berkorelasi dengan kemiskinan. Dewasa ini, di samping
wilayah yang sangat luas yang dimiliki Indonesia, dimungkinkan untuk
menggunakan teknik disagregasi geografis yang lebih baik untuk mengonfirmasi
ketimpangan-ketimpangan tersebut dan memfokuskan upaya penanggulangan
kemiskinan pada tingkat yang terendah. Indonesia terdiri dari 33 provinsi; 440
kabupaten atau kota; 5.850 kecamatan dan 73.219 desa/kelurahan. Namun, sejalan
dengan tujuan penilaian atas kemiskinan nasional ini, meskipun penting untuk
menangkap berbagai gambaran yang terpisah sebanyak mungkin, penilaian ini
diputuskan untuk secara khusus difokuskan pada perbedaan-perbedaan geografis
dan temuan-temuan di enam wilayah pengelompokan kepulauan yang luas:
Sumatera, Jawa/Bali, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara/Maluku dan Papua.53
Sebuah analisis akan kemiskinan, faktor-faktor penentunya, dan sejarah
Indonesia dalam menurunkan kemiskinan menunjuk pada tiga cara untuk
memerangi kemiskinan. Tiga cara untuk membantu penduduk mengangkat diri
mereka sendiri dari kemiskinan adalah pertumbuhan ekonomi, layanan sosial, dan
belanja publik. Masing-masing dari cabang ini mengatasi satu atau lebih ciri-ciri
pembentuk kemiskinan di Indonesia: kerentanan, multidimensi dan kesenjangan
53
The World Bank, 2006, Indonesia Making the New Indonesia Work For The Poor, Jakarta. Hal.
46-50.
41
sosial. Dengan kata lain, strategi kemiskinan yang efektif untuk Indonesia
memiliki tiga komponen:
1. Membuat Pertumbuhan Ekonomi Berguna bagi Masyarakat Miskin.
Pertumbuhan ekonomi telah dan akan terus menjadi hal penting dalam
menurunkan kemiskinan. Membuat pertumbuhan berguna bagi masyarakat
miskin sekaligus merupakan kunci menghubungkan masyarakat miskin di
seluruh bagian-bagian kepulauan Indonesia yang berbeda-beda dengan proses
pertumbuhan, baik antara daerah pedalaman dan perkotaan maupun antara
kelompok-kelompok regional dan kepulauan yang beragam. Oleh karena itu,
sangat penting untuk mengatasi masalah kesenjangan regional. Untuk
mengatasi karakteristik kerawanan kemiskinan yang dikaitkan dengan
padatnya konsentrasi distribusi pendapatan di Indonesia, apa pun yang dapat
mengalihkan distribusi ini ke sayap kanan akan dengan cepat menurunkan
insidensi dari dan kerentanan terhadap kemiskinan pendapatan.
2. Membuat Layanan Sosial Berguna bagi Masyarakat Miskin. Pemberian
layanan sosial pada masyarakat miskin, baik oleh sektor publik maupun
swasta, penting untuk mengatasi kemiskinan di Indonesia. Pertama, hal ini
merupakan kunci dalam mengatasi dimensi nonpendapatan dari kemiskinan.
Indikator pengembangan manusia yang tertinggal, seperti angka kematian ibu
yang tinggi, harus ditanggulangi dengan meningkatkan kualitas layanan yang
disediakan untuk orang miskin. Hal ini melampaui tingkat-tingkat belanja
publik: hal tersebut mengenai meningkatkan sistem pertanggungjawaban,
mekanisme pemberian layanan, dan bahkan proses-proses pemerintah. Kedua,
sifat kesenjangan regional melampaui kesenjangan pendapatan dan sebagian
42
besar tecermin pada kesenjangan dalam akses ke layanan yang, pada
gilirannya, menghasilkan kesenjangan dalam hasil pengembangan manusia di
seluruh wilayah. Karena itu, membuat layanan berguna bagi masyarakat
miskin merupakan kunci untuk mengatasi masalah kesenjangan regional
dalam kemiskinan.
3. Membuat Belanja Publik Berguna bagi Masyarakat Miskin. Selain
pertumbuhan ekonomi dan layanan sosial, pemerintah (dengan menargetkan
belanja publik pada masyarakat miskin) dapat membantu mereka dalam
melawan kemiskinan pendapatan dan nonpendapatan. Belanja publik dapat
digunakan untuk membantu mereka yang rentan terhadap kemiskinan
pendapatan melalui sistem modern perlindungan sosial yang menggandakan
usaha-usaha mereka dalam menangani ketidakpastian ekonomi. Selain itu,
belanja publik dapat digunakan untuk meningkatkan hasil-hasil
pengembangan manusia dan karenanya, mengatasi aspek multidimensi
nonpendapatan dari kemiskinan. Membuat belanja berguna bagi masyarakat
miskin sangat berkaitan menimbang ruang keuangan yang makin bertambah
yang ada di Indonesia saat ini.54
Tiga transformasi yang sedang berlangsung di Indonesia, setiap
transformasi dapat kurang lebih memihak masyarakat miskin. Langkah-langkah
kebijakan yang dapat membuat perubahan-perubahan ini menurunkan kemiskinan
dengan pesat termasuk:
1. Selama Indonesia bertumbuh, ekonominya diubah dari ekonomi pertanian
sebagai andalannya menjadi ekonomi yang akan lebih bergantung pada jasa
54
The World Bank, 2008, Investing in Indonesia’s Institutions: For Inclusive and Sustainable
Development, IFC (International Finance Corporation: World Bank Group), Jakarta. Hal. 50-51.
43
dan industri. Prioritas untuk membuat pertumbuhan ini berguna bagi
masyarakat miskin adalah iklim investasi pedesaan yang lebih bersahabat,
terutama lewat jalan-jalan desa yang lebih baik.
2. Sementara demokrasi mengambil alih, pemerintah ditransformasi dari keadaan
di mana layanan sosial diberikan dari pusat menuju ke pemberian layanan
yang lebih bergantung pada pemerintah daerah. Prioritas untuk membuat
layanan berguna bagi masyarakat miskin adalah kapasitas pemerintah daerah
yang lebih kuat dan insentif yang lebih baik untuk penyedia jasa.
Sementara Indonesia menyatu secara internasional, sistem-sistem
perlindungan sosialnya dimodernisasi sehingga Indonesia merata secara sosial dan
kompetitif secara ekonomi. Prioritas untuk membuat belanja publik berguna bagi
masyarakat miskin adalah dengan beralih dari intervensi pasar untuk komoditas
yang dikonsumsi masyarakat miskin (seperti bahan bakar dan beras) ke
penyediaan dukungan pendapatan yang ditargetkan padarumah-rumah tangga
yang miskin, dan menggunakan ruang keuangan untuk meningkatkan layanan-
layanan kritis seperti pendidikan, kesehatan, air bersih dan sanitasi.55
55
Ibid, Investing in Indonesia‟s Institutions: For Inclusive and Sustainable Development. Hal. 51.
44
BAB III
BANTUAN LUAR NEGERI
BANK DUNIA DI INDONESIA
III.1 Bantuan Luar Negeri Bank Dunia Dalam Pengentasan Kemiskinan di
Indonesia
Bank Dunia di Indonesia dalam penyelesaian CAS yang mengkaji
pelaksanaan dan efektivitas Strategi Bantuan Negara (Country Assistance
Strategy/CAS) dari Kelompok Bank Dunia (World Bank Group/WBG) dan untuk
menanggapi kebutuhan darurat Pemerintah. Dalam tujuan strategis jangka panjang
Indonesia, pada saat persiapan CAS, Indonesia sedang dalam proses transisi dari
suatu negara otokratis, dengan ekonomi tersentralisasi menjadi suatu negara
demokratis dengan ekonomi terdesentralisasi. Pemerintah telah berhasil
memulihkan stabilitas makroekonomi dan mengurangi kemiskinan hingga ke
tingkat sebelum krisis.
Kendati demikian, jumlah masyarakat miskin di Indonesia masih tetap
tinggi dan banyak di antaranya yang tetap rawan terhadap kemungkinan untuk
masuk dalam kategori di bawah garis kemiskinan sebagai akibat dari guncangan
yang merugikan. Pertemuan yang membahas tetang hasil MDGs juga tidak
mengalami kemajuan yang berarti. Penyediaan layanan dasar bagi publik dalam
kerangka terdesentralisasi merupakan suatu peluang sekaligus juga merupakan
tantangan. Walaupun Indonesia telah memulai upaya untuk mengatasi isu-isu
45
pemerintahan dan korupsi, upaya reformasi tersebut terhambat oleh lambatnya
pelaksanaan akibat kapasitas kelembagaan yang lemah.
Agenda jangka pendek pemerintah Indonesia terjebak oleh keputusan
pemerintah untuk tidak memperbarui program IMF setelah selesainya program
tersebut pada bulan Desember 2003. Alih-alih, pemerintah mempersiapkan suatu
paket ekonomi komprehensif berupa tindakan kebijakan yang terikat dengan
waktu (time-bound) untuk dilaksanakan dalam jangka pendek (18 bulan). Paket
ekonomi tersebut atau “buku putih” (panduan otorisasi) mencakup bidang-bidang
inti manajemen makroekonomi, reformasi sektor keuangan, dan kebijakan untuk
memulihkan investasi dan pertumbuhan ekonomi.
Paket tersebut cukup komprehensif tetapi ambisius, terutama untuk
dilaksanakan selama periode penyelenggaraan pemilihan umum. Kerangka kerja
jangka menengah Pemerintah untuk mengurangi kemiskinan dijabarkan dalam
RPJM (Rencana Jangka Menengah), yang mencerminkan visi pembangunan
negara selama jangka waktu 2004-2009 dan dalam Dokumen Strategi Penurunan
Angka Kemiskinan Sementara (I-PRSP). Ketiga tujuan pembangunan nasional
selama tahun 2004-2009 tersebut diuraikan dalam RPJM berupa menciptakan
Indonesia yang aman dan damai, Indonesia yang adil dan demokratis, dan
Indonesia sejahtera.56
Tujuan CAS tersebut dirancang guna mendukung agenda jangka pendek
dan jangka menengah Pemerintah. Melalui pencapaian tujuan tersebut, dua
hambatan utama dapat diidentifikasi, yaitu: (i) iklim investasi yang lemah dan (ii)
rendahnya kualitas penyediaan layanan bagi masyarakat miskin. Kemajuan dalam
56
The World Bank, 2008, Investing in Indonesia’s Institutions: For Inclusive and Sustainable
Development, IFC (International Finance Corporation: World Bank Group), Jakarta. Hal. 57.
46
kedua bidang tersebut selanjutnya terhambat oleh masalah mendasar berupa
kepemerintahan yang lemah. Bank Dunia menerapkan strategi berupa dukungan
kepada Indonesia dalam upayanya memperkuat iklim investasi dan meningkatkan
penyediaan layanan dasar sambil mengatasi masalah inti pemerintahan.
Bank Dunia juga menghadapi tantangan tambahan dalam menanggapi
serangkaian bencana alam yang belum pernah terjadi sebelumnya (gempa bumi
dan tsunami di Aceh pada bulan Desember 2004, gempa bumi di Nias pada bulan
Maret 2005, gempa bumi di Jogyakarta pada bulan Mei 2006) dan keprihatinan
yang meningkat sehubungan dengan merebaknya virus Flu Burung (Avian Human
Influenza/AHI). Dengan demikian, keempat bidang fokus dalam pengelolaan
risiko bencana yang meningkat tercakup dalam CASPR. Keempat fokus tersebut
menjadi pilar dalam CAS. Pilar 1: Mengatasi Isu Mendasar dalam
kepemerintahan, Pilar 2: Meningkatkan iklim investasi berkualitas tinggi, Pilar
3: Menjadikan pemberian layanan tanggap terhadap masyarakat miskin, Pilar 4:
Pengelolaan risiko bencana.
Dalam keempat pilar tersebut yang terfokus untuk mengatasi kemiskinan
adalah pilar ketiga yang berupa upaya Bank Dunia diarahakan pada percepatan
pencapaian MDGs dalam bidang pendidikan dan kesehatan, serta meningkatkan
hasil pendidikan dan kesehatan bagi masyarakat miskin.57
Kemajuan dalam
pencapaian MDG tersebut dengan desentralisasi, pemerintah daerah telah menjadi
pemain dominan dalam pemberian layanan dan kini memiliki anggaran belanja
yang jumlahnya hampir sama dengan pemerintah pusat. Angka kemiskinan telah
menurun dari sebesar 16,6 persen pada bulan September 2007 setelah mencapai
57
Ibid, Investing in Indonesia‟s Institutions: For Inclusive and Sustainable Development. Hal. 57-
58.
47
angka tertinggi sebesar lebih dari 23 persen pada tahun 1999 sebagai akibat dari
krisis keuangan (17,4 persen pada tahun 2003).
Pemerintah Indonesia mengumumkan sejumlah prakarsa besar yang baru
untuk pengentasan kemiskinan dan pada bulan Agustus 2006 pemerintah
Indonesia meluncurkan program pengentasan kemiskinan nasional yang terdiri
dari pilar: Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM
Mandiri). Program PNPM Mandiri ini juga didukung oleh Bank Dunia berupa
bantuan luar negeri.58
Sesuai dengan Keppres No. 124/2001 jo. No. 8/2002 jo. No.
34/2002 tentang Komite Penanggulangan Kemiskinan (Keanggotaan terdiri dari
11 Menteri dan 1 Kepala Badan serta anggota non Pemerintah lainnya) dan
disempurnakan melalui Perpres No. 54/2005 tentang Tim Koordinasi
Penanggulangan Kemiskinan (Keanggotaan terdiri dari 19 Menteri dan 3 Kepala
Badan serta anggota non Pemerintah lainnya).59
III.1.1 PNPM Mandiri
Dalam upaya menanggulangi permasalahan kemiskinan yang
dititikberatkan pada pemberdayaan masyarakat, pemerintah Indonesia
meluncurkan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) yang
dikoordinasikan oleh Menko Kesra (Kementerian Koordinator Bidang
Kesejahteraan Rakyat). Pada tahap awal di tahun 2007 pemerintah
mengalokasikan sekitar Rp 3,6 triliun dari APBN, Rp 0,8 triliun dari APBD, dan
sekitar Rp 100 miliar yang berasal dari kontribusi masyarakat. PNPM pada tahun
58
Ibid, Investing in Indonesia‟s Institutions: For Inclusive and Sustainable Development. Hal. 61-
62. 59
Sosialisasi Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2010 Tentang Percepatan Penanggulangan
Kemiskinan, dilihat pada tanggal 26 Maret 2011 pukul 09:20 WIB.
<gudang.tkpkri.org/rakorteknas/Presentasi_Kepala_Sekretariat_TNP2K.pdf>.
48
2007 yang lalu mencakup 2.992 kecamatan di perdesaan dan perkotaan (sekitar
lebh dari 41.000 desa/kelurahan). Ada dua program besar yang diintegrasikan
dalam PNPM Mandiri tahun 2007 yakni Program Penanggulangan Kemiskinan di
Perkotaan (P2KP) dan Program Pengembangan Kecamatan (PPK).
Dalam PNPM ini juga dialokasikan sekitar Rp 0,5-1,5 miliar per
kecamatan/tahun dalam bentuk Bantuan Langsung Masyarakat (BLM),
Sedangkan pada tahun 2008 program-program yag diintegrasikan dalam PNPM
bertambah yakni adanya PNPM-Perdesaan yang dikelola oleh Depdagri dan P2KP
atau PNPM-Perkotaan yang dikelola oleh Departemen Pekerjaan Umum (DPU),
Program Pengembangan Daerah Tertinggal dan Khusus (P2DTK) dari
Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal. Program Pembangunan
Infrastruktur Perdesaan (PPIP) dari Departemen PU dan program-program lainnya
dari berbagai kementerian dan lembaga. Anggaran yang dialokasikan adalah
sebesar 13 triliun rupiah. Sementara itu, alokasi anggaran untuk penaggulangan
kemiskinan sendiri termasuk subsidi untuk masyarakat miskin pada tahun 2008 ini
mencapai 80 triliun rupiah yang tersebar di 22 kementerian/Lembaga.60
PNPM Mandiri adalah program nasional penanggulangan kemiskinan
terutama yang berbasis pemberdayaan masyarakat. Pengertian yang terkandung
mengenai PNPM Mandiri adalah :
1. PNPM Mandiri adalah program nasional dalam wujud kerangka kebijakan
sebagai dasar dan acuan pelaksanaan program-program penanggulangan
kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat. PNPM Mandiri dilaksanakan
melalui harmonisasi dan pengembangan sistem serta mekanisme dan prosedur
60
Tim Jumpa Pers-Pusat Penelitian Ekonomi, 2008, “Problema Pengangguran dan Kemiskinan di
Tengah Gejolak Harga BBM: Telaah Kritis Kebijakan dan Solusi Alternatif”, Jurnal Ekonomi dan
Pembangunan, vol. XVI, no. 1, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta. Hal. 80-81.
49
program, penyediaan pendampingan dan pendanaan stimulan untuk
mendorong prakarsa dan inovasi masyarakat dalam upaya penanggulangan
kemiskinan yang berkelanjutan.
2. Pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk menciptakan/meningkatkan
kapasitas masyarakat, baik secara individu maupun berkelompok, dalam
memecahkan berbagai persoalan terkait upaya peningkatan kualitas hidup,
kemandirian dan kesejahteraannya. Pemberdayaan masyarakat memerlukan
keterlibatan yang besar dari perangkat pemerintah daerah serta berbagai pihak
untuk memberikan kesempatan dan menjamin keberlanjutan berbagai hasil
yang dicapai.
Sedangkan tujuan yang ingin dicapai dalam pelaksanaan Program PNPM
Mandiri ini adalah :
1. Tujuan Umum
a. Meningkatnya kesejahteraan dan kesempatan kerja masyarakat miskin
secara mandiri.
2. Tujuan Khusus
b. Meningkatnya partisipasi seluruh masyarakat, termasuk masyarakat
miskin, kelompok perempuan, komunitas adat terpencil dan kelompok
masyarakat lainnya yang rentan dan sering terpinggirkan ke dalam proses
pengambilan keputusan dan pengelolaan pembangunan.
c. Meningkatnya kapasitas kelembagaan masyarakat yang mengakar,
representatif dan akuntabel.
50
d. Meningkatnya kapasitas pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada
masyarakat terutama masyarakat miskin melalui kebijakan, program dan
penganggaran yang berpihak pada masyarakat miskin (pro-poor).
e. Meningkatnya sinergi masyarakat, pemerintah daerah, swasta, asosiasi,
perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, organisasi masyarakat
dan kelompok perduli lainnya untuk mengefektifkan upaya-upaya
penanggulangan kemiskinan.
f. Meningkatnya keberadaan dan kemandirian masyarakat serta kapasitas
pemerintah daerah dan kelompok perduli setempat dalam menanggulangi
kemiskinan di wilayahnya.
g. Meningkatnya modal sosial masyarakat yang berkembang sesuai dengan
potensi sosial dan budaya serta untuk melestarikan kearifan lokal.
h. Meningkatnya inovasi dan pemanfaatan teknologi tepat guna, informasi
dan komunikasi dalam pemberdayaan masyarakat.61
Pada dasarnya, PNPM Mandiri merupakan harmonisasi dan sinergi
berbagai program penanggulangan kemiskinan yang bersifat pemberdayaan.
PNPM Mandiri terbagi atas dua kategori utama, yaitu PNPM-Inti dan PNPM-
Penguatan. PNPM-Inti adalah program pemberdayaan masyarakat berbasis
kewilayahan yang mencakup PPK, P2KP, Program Pengembangan Infrastruktur
Perdesaan (PPIP), Program Pengembangan Infrastruktur Sosial-Ekonomi Wilayah
(PISEW), dan Program Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Khusus
(P2DTK).
61
Pengertian dan Tujuan PNPM Mandiri, dilihat pada tanggal 08 Juli 2010 pukul 11:08 WIB,
<http://www.pnpm-mandiri.org/index.php?option=com_content&task=view&id=26&Itemid=53>.
51
PNPM-Penguatan adalah program pemberdayaan masyarakat berbasis
sektoral dan kewilayahan yang khusus ditujukan untuk mendukung
penanggulangan kemiskinan yang pelaksanaannya terkait pencapaian target
tertentu. PNPM-Penguatan, antara lain, terdiri atas PNPM Generasi Sehat dan
Cerdas (PNPM Generasi), PNPM Hijau, Pengembangan Usaha Agribisnis
Perdesaan (PUAP), Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat
(Pamsimas), dan Bantuan Langsung Masyarakat untuk Keringanan Investasi
Pertanian (BLM-KIP). Secara garis besar, cakupan PNPM Mandiri dapat dilihat
pada Gambar 2.62
Gambar 2. Cakupan PNPM Mandiri
Prinsip utama dalam PNPM Mandiri adalah 1.) Partisipasi/keikutsertaan:
Partisipasi masyarakat ditekankan, terutama masyarakat miskin dan Perempuan.
Partisipasi harus luas, melalui pengambilan keputusan yang dilakukan oleh semua
warga desa. 2.) Transparansi: PPK menekankan transparansi dan berbagi
62
Hastuti, 2010, Laporan Penelitian: Peran Program Perlindungan Sosial Dalam Meredam
Dampak Krisis Keuangan Global 2008/09, Lembaga Penelitian SMERU Research Institute,
Jakarta. Hal. 12-13.
PNPM Mandiri
PNPM-Inti
1. PNPM Perdesaan (PPK)
2. PNPM Perkotaan (P2KP)
3. PNPM Infrastruktur Perdesaan (PPIP)
4. PNPM Infrastruktur Sosial-Ekonomi
Wilayah (PISEW)
5. PNPM Daerah Tertinggal dan Khusus
(P2DTK)
PNPM-Penguatan
1. PNPM Generasi Sehat dan Cerdas
(PNPM Generasi)
2. PNPM Hijau
3. Pengembangan Usaha Agribisnis
Perdesaan (PUAP)
4. Penyediaan Air Minum dan Sanitasi
Berbasis Masyarakat (Pamsimas)
5. Bantuan Langsung Masyarakat untuk
Keringanan Investasi Pertanian
(BLM-KIP)
6. Program PNPM lainnya
52
informasi di seluruh siklus proyek. Pengambilan keputusan dan pengelolaan
keuangan harus terbuka dan dibagikan dengan masyarakat. 3.) Daftar kegiatan
yang terbuka: Warga desa dapat mengusulkan kegiatan apa pun, kecuali yang
tertulis dalam daftar negatif. 4.) Persaingan untuk dana: Harus ada persaingan
terbuka yang sehat antar warga untuk mendapatkan dana PPK. 5.)
Terdesentralisasi: Pengambilan keputusan dan pengelolaandilakukan di tingkat
daerah. 6.) Sederhana: Tidak ada aturan yang rumit, hanya strategi dan metode
sederhana. Untuk proses pemberdayaan masyarakat dalam PNPM Mandiri bisa
dilihat pada gambar 3 di bawah ini.63
Gambar 3. Proses Pemberdayaan Masyarakat Dalam PNPM Mandiri
63
The World Bank, 2010, National Program For Community Empowerment Mandiri-PNPM
Mandiri For Rural Area (2008-2011), dilihat pada tanggal 10 Juli 2010 pukul 19.04 WIB.
<http://web.worldbank.org/WBSITE/EXTERNAL/COUNTRIES/EASTASIAPACIFICEXT/IND
ONESIAEXTN/0,,contentMDK:22039058~pagePK:1497618~piPK:217854~theSitePK:226309,00
.html>.
Sosialisasi
Awal dan
Musyawarah
Masyarakat
Penyusunan
Rencana
Pelaksanaan
Kegiatan
Pemetaan
Swadaya
Pengorganisasian
Masyarakat
Pemanfaatan
dan
Pemeliharaan
Hasil Kegiatan
Mengenali
Kemiskinan
53
Disamping itu, adapun dukungan Bank Dunia dalam pemberian pinjaman
(loan) untuk Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM
Mandiri) tersebut. Kelompok Bank Dunia (World Bank Group/WBG) akan ikut
mendanai bagian dari PNPM Mandiri, mendukung perluasan program dengan
taksiran investasi tahunan sebesar US$ 2 miliar. Dengan berlangsungnya PNPM-
Perdesaan dan PNPM-Perkotaan, proyek-proyek pengulang diharapkan akan
memperluas program PNPM hingga menjangkau 70.000 masyarakat di seluruh
Indonesia pada tahun 2009/2010 tahap awal periode Strategi Kemitraan Negara
(CPS/Country Partnership Strategy). WBG memberikan dukungan kepada
pemerintah yang berupaya membawa prakarsa di sektor kesehatan, pendidikan,
pengembangan desa, dan sektor-sektor lainnya di bawah payung PNPM untuk
memaksimalkan upaya-upaya pelengkap pengentasan kemiskinan.
Selain itu, melalui dana perwalian WBG, mitra-mitra pengembangan
lainnya menunjang sejumlah layanan analitis dan konsultasi untuk menggalakkan
reformasi kelembagaan yang lebih luas. Sasarannya adalah memperkuat
akuntabilitas dan meningkatkan kemampuan proses perencanaan di tingkat
masyarakat pada lembaga-lembaga dan sistem-sistem utama, seperti penyelesaian
perselisihan dan hal-hal yang terkait dengan hak kebendaan.64
Program ini dimulai menyusul pengalaman sukses 10 tahun sebelumnya
dengan Program Pengembangan Kecamatan (PPK) Bank Dunia dan Program
Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP). Untuk tahun 2008-2009,
program tersebut meliputi dua WBG SILS (World Bank Group Specific
Investment Loans), (Pinjaman ini diperuntukan guna menciptakan asset-aset baru
64
The World Bank, 2008, Investing in Indonesia’s Institutions: For Inclusive and Sustainable
Development, IFC (International Finance Corporation: World Bank Group), Jakarta. Hal. 21.
54
yang produktif dan pemulihan institusi-institusi infrastruktur lainnya sehingga
dapat berfungsi maksimal) dengan total US$ 409 juta serta pendanaan nasional
dan mitra pemerintah lokal dan program pengembangan masyarakat lainnya yang
bernilai setara dengan kurang lebih US$ 1,8 juta. Program penanggulangan
kemiskinan yang lebih kecil lainnya dikemas menjadi PNPM Mandiri guna
membuat program penanggulangan kemiskinan di tingkat masyarakat lebih
sederhana dan terkoordinasi. Saat ini PNPM Mandiri mencakup hampir 70 persen
kelurahan (sub-districts) dan kota. Program ini direncanakan akan berlanjut
hingga tahun 2015, dan WBG serta donor lainnya akan mendukung upaya-upaya
tersebut melalui pinjaman bergulir (repeater loans).65
Sekilas, komitmen pemerintah untuk memerangi kemiskinan memang
cukup positif. Namun demikian, sebagaimana yang disadari oleh pemerintah
sendiri, salah satu permasalahan yang cukup problematik adalah masalah
koordinasi antar kementerian/lembaga dalam menjalankan program-program yang
ditujukan untuk memerangi kemiskinan. Dengan alokasi anggaran yang
tampaknya cukup besar tetapi melewati banyak saringan dalam mekanisme
penyampaiannya, dampak positif yang diharapkan dari PNPM belum bisa begitu
terlihat dan dirasakan oleh kaum miskin. Perlu disadari bahwa untuk
mengentaskan kemiskinan, tak hanya aspek anggaran tetapi juga kesiapan dari
masyarakat itu sendiri serta terbukanya akses yang menjembatani antara
masyarakat sebagai aktor dan pemerintah sebagai fasilitator untuk secara bersama
aktif dalam program pengentasan kemiskinan tersebut.
65
Ibid, Investing in Indonesia‟s Institutions: For Inclusive and Sustainable Development. Hal. 37.
55
Untuk itu, ada baiknya pemerintah lebih memfokuskan aktivitas
pengentasan kemiskinan secara lebih terarah dalam institusi yang lebih efektif di
mana peran dari berbagai kementerian lembaga lebih kepada fasilitator dan
monitoring. Program besar pemberdayaan ini juga sebaiknya dilaksanakan secara
bertahap dan konsisten (piece of meal and consistent) ketimbang all grabing
hand, dengan menitikberatkan pada sektor-sektor yang mendesak dan terkait
secara langsung kepada masyarakat.66
66
Tim Jumpa Pers-Pusat Penelitian Ekonomi, 2008, “Problema Pengangguran dan Kemiskinan di
Tengah Gejolak Harga BBM: Telaah Kritis Kebijakan dan Solusi Alternatif”, Jurnal Ekonomi dan
Pembangunan, vol. XVI, no. 1, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta. Hal. 81.
56
BAB IV
ANALISIS BANTUAN LUAR NEGERI
BANK DUNIA DALAM KEMISKINAN DI INDONESIA
IV.1 Efektivitas PNPM Mandiri Dalam Bantuan Luar Negeri
Bantuan Luar Negeri yang dilakukan Bank Dunia merupakan salah satu
kategori motivasi negara donor, yaitu motif kemanusiaan yang bertujuan untuk
mengurangi kemiskinan di negara dunia ketiga melalui dukungan kerjasama
ekonomi. Adapun teori bureaucratic incrementalist yang menyatakan bahwa
tujuan yang dikejar negara donor dalam lingkup kepentingan ekonomi politik
internasional, antara lain kombinasi tujuan kemanusiaan dan berbagai faktor
dalam politik domestik.67
Maka terkait dengan hal itu, program PNPM Mandiri
yang diluncurkan oleh pemerintah yang dibantu oleh Bank Dunia merupakan
tujuan kemanusiaan untuk pengentasan kemiskinan di Indonesia agar bisa
mencapai dalam target MDGs.
Untuk mengetahui efektivitas PNPM Mandiri dalam upaya pengurangan
kemiskinan, PNPM Mandiri dilengkapi dengan pedoman pelaksanaan pemantauan
dan evaluasi. Pedoman Pelaksanaan Pemantauan dan Evaluasi PNPM Mandiri
berisi kerangka kerja pemantauan dan evaluasi yang berbasis hasil. Dalam
pemantauan dan evaluasi yang berbasis hasil, selain masukan, dan keluaran,
pemantauan dan evaluasi PNPM Mandiri menekankan pada hasil/keluaran
67
Anak Agung Banyu Perwita dan Yanyan Mochamad Yani, 2005, Pengantar Ilmu Hubungan
Internasional, PT Remaja Rosdakarya, Bandung. Hal. 82-84.
57
(outcome) dan dampak (impact).68
Menurut Handoko yang sebagaimana dikutip
oleh Dodik Ariyanto, efektivitas adalah kemampuan untuk memilih tujuan yang
tepat atau peralatan yang tepat untuk pencapaian tujuan yang telah ditetapkan,
menyangkut bagaimana melakukan pekerjaan yang benar.69
Kerangka kerja pemantauan dan evaluasi yang berbasis hasil ini akan
sangat penting untuk melihat efektivitas PNPM Mandiri. Penulis akan
memaparkan beberapa poin dalam pentingnya pemantauan dan evaluasi, antara
lain:
Pemantauan penting karena memungkinkan para pemangku kepentingan dari
program sektor mengetahui kemajuan yang telah dicapai. Adanya sistem
pemantauan kegiatan/proyek memungkinkan pemantauan status pelaksanaan
proyek secara terus menerus dan identifikasi permasalahan yang mungkin
timbul. Secara keseluruhan hasil pemantauan dapat menunjukkan apakah
proyek telah dilaksanakan sesuai dengan rencana atau tidak.
Pemantauan dan evaluasi adalah alat pengelolaan yang berguna untuk
pengambilan keputusan dan memastikan bahwa tindakan perbaikan dapat
segera diambil secara cepat dan tepat.
Pemantauan dan evaluasi penting karena merekam pengalaman proyek dan
pelajaran yang dapat dipetik. Pemantauan dan evaluasi memungkinkan
pengelola proyek dan pihak-pihak lain mengetahui apa yang terjadi di
lapangan.70
68
Pedoman dan Evaluasi, Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat PNPM Mandiri. Hal. 4. 69
Dodik Ariyanto, Pengaruh Efektivitas Penggunaan dan Kepercayaan Teknologi Sistem
Informasi Terhadap Kinerja Individual, dilihat pada tanggal 26 Maret 2011 pukul 08:15 WIB
<ejournal.unud.ac.id/abstrak/ok_dodik.pdf>. 70
Pedoman dan Evaluasi, Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat PNPM Mandiri. Hal. 10-
11.
58
Cakupan dalam pemantauan dilakukan oleh berbagai pihak, yakni:
Pemantauan dengan Partisipasi Masyarakat, Pemantauan oleh Pemerintah,
Pemantauan oleh Konsultan dan Fasilitator, Sistem Pengelolaan Informasi (SPI),
Pemantauan oleh LSM, Pemeriksaan Keuangan.71
Evaluasi difokuskan pada
keluaran dan dampak proyek apakah sesuai dengan tujuan dan rencana yang telah
ditetapkan. Evaluasi dilakukan pada pertengahan pelaksanaan PNPM Mandiri dan
setelah keseluruhnya program selesai (tahunan). Beberapa jenis evaluasi yang
dapat dilakukan antara lain:
Evaluasi Keluaran (Output)
Dilakukan untuk melihat sejauh mana perubahan kesejahteraan yang
terjadi dengan membandingkan kondisi saat ini dari warga miskin dan kelompok
sasaran lainnya dengan setelah berjalannya program (tahunan). Dasar pengukuran
dan evaluasi ini dari hasil survey dasar yang dilakukan oleh para konsultan
program sektor. Evaluasi ini dapat dilakukan berbagai pihak, baik penangung
jawab program maupun pihak-pihak lain secara independen. Masukan evaluasi
program dapat disampaikan kepada penanggung jawab program di wilayahnya
masing-masing dan atau kepada PNPM Mandiri nasional.
Evaluasi Dampak (Impact)
PNPM Mandiri merencanakan beberapa evaluasi dampak dengan fokus
utama pada dampak dalam kaitan dengan penanggulangan kemiskinan,
perkembangan modal sosial, tata kelola pemerintahan (good governence), dan
pengembangan kapasitas (pemberdayaan). Untuk maksud tersebut dipergunakan
metode campuran, baik menggunakan teknik kuantitatif maupun kualitatif.
71
Ibid. Pedoman dan Evaluasi. Hal. 28-32
59
Sejumlah survei akan dilakukan untuk mengukur dampak program, dengan
menggunakan survei rumah tangga, Susenas (survey sosial ekonomi nasional),
dan studi kualitatif.
Studi Khusus/Tematik
Untuk mempertajam hasil pemantauan dan berbagai evaluasi reguler
diatas, sejumlah studi tematik atau studi khusus dengan tema tertentu juga akan
dilakukan selama kurun waktu mulai pelaksanaan program (2007) hingga
beberapa tahun ke depan. Studi-studi tersebut mencakup antara lain sebagai
berikut:
Kaji cepat prasarana fisik, untuk mengevaluasi mutu infrastruktur yang
dibangun dengan standar PNPM Mandiri.
Pengkajian operasional dan perawatan, untuk mengevaluasi tata cara
operasional dan perawatan infrastruktur dan mengevaluasi struktur ongkos
yang dibayar pengguna dan kemampuan warga desa dan pemerintah
setempat membiayai operasional dan perawatan tersebut.
Pengkajian dampak ekonomi dan tingkat pengembalian, untuk
mengukur tingkat pengembalian dan dampak ekonomi program-program
PNPM Mandiri.
Pengkajian ulang gender, untuk mengkaji ulang strategi program dan
pelaksanaan program dari aspek kesetaraan gender.
Pengkajian pengembangan kredit mikro dan usaha masyarakat, untuk
mengevaluasi strategi kredit mikro dan pengembangan usaha di bawah
PNPM Mandiri, guna mengetahui bagaimana komponen-komponen ini
60
dapat ditingkatkan agar menghasilkan manfaat ekonomi yang lebih besar
dan keberlanjutan.
Pengkajian perencanaan pembangunan, mengevalusi perencanaan
mulai dari tingkat desa/kelurahan hingga nasional dan bagaimana
meningkatkan koordinasi antar berbagai tingkatan.
Pengkajian pengembangan kapasitas kelembagaan. Pengembangan
kapasitas kelembagaan adalah salah satu komponen penting PNPM
Mandiri. Komponen program ini memberikan berbagai pelatihan bagi
warga desa/kelurahan, kelompok masyarakat pelaksana program, dan
aparat pemerintah daerah setempat. Perkembangan komponen
pengembangan kapasitas ini perlu dipantau dan dampaknya terhadap
penguatan kemandirian masyarakat perlu dinilai sebagai salah satu
keberhasilan pelaksanaan PNPM Mandiri.
Pengkajian pencapaian MDGs. Pelaksanaan PNPM Mandiri diharapkan
juga akan berdampak pada percepatan pencapaian MDGs. Melalui
berbagai evaluasi sektor terkait kegiatan pelayanan dasar seperti
pendidikan dan kesehatan diharapkan dapat memberikan masukan bagi
kebijakan pelayanan dasar masyarakat miskin. Evaluasi terkait dengan
aspek ini difokuskan pada mutu investasi, kesinambungan, kepuasan
warga, efektivitas biaya, dan hubungan dengan pemerintah setempat dan
sektor swasta.72
Dalam hasil laporan kegiatan PNPM-Mandiri tahun 2007, PNPM-PPK
mendanai sebanyak 25.835 kegiatan yang diusulkan masyarakat di 14.688 desa
72
Ibid. Pedoman dan Evaluasi. Hal. 34-36.
61
dalam 1.864 kecamatan. Kegiatan tersebut menyerap dana BLM senilai Rp 1,53
triliun (171 juta dolar AS, dimana US$1 = Rp 9.000). Angka itu lebih sedikit
dibanding jumlah kegiatan yang didanai program pada 2006, yang mencapai
27.849 kegiatan, karena pada tahun tersebut, sejumlah kegiatan yang didanai PPK
II dan PPK III masih berjalan. Sebagai catatan, masih terdapat lebih dari 35
persen lokasi yang belum menuntaskan kegiatan dan melaporkannya, sehingga
jumlah kegiatan yang didanai PNPM-PPK 2007 dipastikan akan lebih besar dari
angka tersebut.
Adanya dukungan pendanaan yang besar dari sejumlah lembaga/negara
donor pada pelaksanaan PPK paska-bencana di NAD, Kepulauan Nias, dan lokasi
bencana lain, memberi kontribusi yang sangat besar pada jumlah kegiatan
masyarakat yang didanai program pada 2006. Secara akumulatif, sejak PPK
dilaksanakan pada 1998 hingga 2007, program ini telah mendanai 181.835
kegiatan yang diusulkan, dikerjakan dan dikelola sendiri oleh masyarakat. Angka
tersebut diluar kegiatan pemberian beasiswa dan paket pendidikan (lihat Tabel 2).
Pada pelaksanaan PNPM-PPK 2007, persentase bidang kegiatan yang
diusulkan, dilaksanakan dan dikelola oleh masyarakat di desa-desa adalah:
prasarana/sarana dasar perdesaan 35,4 persen; pendanaan simpan pinjam
kelompok perempuan (SPP) 48,5 persen; kegiatan di bidang pendidikan 10,4
persen; dan kegiatan di bidang kesehatan termasuk kegiatan sanitasi sebesar 5,3
persen (lihat Gambar 4). Dilihat dari presentase jumlah kegiatan, pada 2007,
bidang kegiatan pendanaan SPP merupakan yang tertinggi.
Hal ini terjadi karena alokasi dana SPP yang dapat diakses kaum
perempuan pada PNPM-PPK diperbesar menjadi maksimal 25 persen dari BLM
62
per kecamatan, dari sebelumnya maksimal hanya 10 persen. Sebagai gambaran,
pada 2006, persentase per bidang kegiatan yang didanai program adalah
prasarana/ sarana 53 persen; pendanaan SPP masih 35 persen; kegiatan di bidang
pendidikan 7 persen; dan kegiatan di bidang kesehatan termasuk kegiatan sanitasi
sebesar 5 persen.
Sementara itu, peningkatan persentase kegiatan di bidang pendidikan yang
terjadi pada 2007, lebih disebabkan oleh adanya upaya untuk mendorong
kegiatan di bidang pendidikan, salah satunya melalui program Pilot Pendidikan
dalam PPK 2007. Perlu dicatat, jumlah penerima manfaat (Pemanfaat) pada
bagian kegiatan „Ekonomi (UEP & SPP)‟ dalam Tabel 2, didasarkan pada nama
anggota kelompok yang mengajukan usulan pendanaan dari hasil Musyawarah
Desa (MD) Perencanaan dan MDKP yang diajukan ke tingkat kecamatan. Meski
perkembangan dan tingkat pengembalian pinjaman dipantau secara rutin, namun
jumlah aktual pemanfaat yang kembali mendapatkan pinjaman tidak tercatat di
tingkat nasional. Demikian pula dengan penambahan anggota baru dalam
kelompok setelah usulan diajukan.73
73
Laporan Tahunan 2007, Program Pengembangan Kecamatan PNPM Mandiri. Hal. 17-20.
63
Tabel 2
Hasil Kegiatan PPK/PNPM-PPK Tahun 2007
Jenis Kegiatan
PNPM-PPK 2007
Prasarana/Sarana
Jalan (unit) 2.522
Panjang Jalan (kilometer) 2.684
Jembatan (unit) 616
Sarana Air Bersih (unit) 1.206
MCK (unit) 532
Irigasi 1.311
Pasar (unit) 92
Rehab Pasar (unit) 23
Listrik Desa (Jumlah Desa) 130
Lain-lain Prasarana/sarana (unit) 2.730
Tenaga Kerja 685.883
Hari Orang Kerja (HOK) 9.188.973
Ekonomi (UEP & SPP)
UEP -
SPP 12.104
Pemanfaat 340.123
Kesehatan
Posyandu 843
Rehab Posyandu 20
Lain-lain Kesehatan 532
Pendidikan
Sekolah 1.302
Rehab Sekolah 298
Beasiswa (Paket) 121
Penerima Beasiswa 17.305
Lain-lain Pendidikan 966
TOTAL 25.835
64
Gambar 4. Presentase Hasil PNPM-PPK per Jenis Kegiatan Tahun 2007
65
Tabel 3
Indikator Kinerja PNPM-PPK 200774
Indikator Target
Program
Realisasi Tahun 2007
Jan-Des
MASUKAN
Jumlah Kecamatan yang menjadi lokasi
program
750 1.842
Jumlah desa dengan kegiatan 12.000 14.688
% perempuan dalam musyawarah desa 40% 44%Av (Average/rata-
rata)
% BLM yang disalurkan 80% 86%
% desa yang memiliki Tim Pemelihara 85% 100%
% desa yang memiliki 3 peraturan desa
(Perdes)
85% NA (Not
Available/Tidak
tersedia)
% UPK yang mendapatkan pelatihan 75% 100%
KELUARAN
IRS atas investasi pembangunan >30 53%
% kegiatan selesai dan diserahterimakan
(berdasarkan tipe, nilai, dsb)
85% Kegiatan masih
berlangsung
% kecamatan yang dikunjungi oleh
konsultan
50% 100%
% angka masalah secara nasional 50% 55%
% desa yang membentuk Perdes 65% NA
% Musyawarah Antar Desa yang diatur
Perda
65% NA
DAMPAK
1. Kemiskinan
Jumlah Pemanfaatan 12.000.000 14.951.052
% perempuan sebagai pemanfaat 40% 50%
% orang miskin sebagai pemanfaat 65% 63%
Jumlah Sekolah Dasar yang direhabilitasi 700% 1.560
2. Ketatapemerintahan
Jumlah masalah secara provinsi dan
nasional yang dipublikasikan
50 0
3. Keberlanjutan 65%
% sarana prasarana yang dinilai “baik”
dan “sangat baik”
70% 65%
Jumlah UPK yang mengelola dana
perguliran > Rp 100 juta
200 2.788
Kajian terhadap pemeliharaan jangka
panjang
1 0
Kajian terhadap pilihan-pilihan untuk
pembiayaan yang berkelanjutan
1 0
74
Ibid, Program Pengembangan Kecamatan PNPM Mandiri. Hal. 69.
66
Dalam hasil laporan kegiatan PNPM-Mandiri tahun 2008, Program-
program telah menanamkan investasi besar di setiap kecamatan lokasi sasaran,
terutama dalam bentuk aset-aset berupa:
1. Model Kelembagaan & Sistem Pembangunan Partisipatif
2. Aset berupa Sumberdaya Manusia
3. Aset berupa Unit Pengelola Kegiatan (UPK)
4. Aset berupa Infrastruktur Perdesaan
5. Aset berupa Kelompok Usaha Mikro75
Tabel 4
Indikator Kinerja PNPM-Perdesaan 200876
Indikator Target
Proyek
Realisasi
2007 2008
MASUKAN
Jumlah kecamatan lokasi program 750 1.842 2.408
Jumlah desa dengan kegiatan 12.000 14.688 22.629
% perempuan dalam musyawarah desa 40% 44%Av. 49%Av.
% BLM yang disalurkan 80% 86% 95%
% desa dengan Tim Pemelihara 85% 100% 100%
% desa dengan 3 (tiga) Peratruan Desa
(Perdes)
85% NA NA
% UPK yang mendapat pelatihan 75% 100% 100%
KELUARAN
EIRR terhadap investasi pembangunan >30% 53% 53%
% kegiatan selesai dan
diserahterimakan (berdasarkan tipe,
nilai, dll)
85% 97% 85%
% kecamatan yang dikunjungi oleh
konsultan
50% 100% 100%
% pengaduan yang diselesaikan,
berdasarkan database
50% 55% 49.5%
% desa dengan Perdes 65% NA NA
% Musyawarah Antar Desa yang diatur
Perda
65% NA NA
DAMPAK
1. Kemiskinan
Jumlah penerima manfaat 12.000.000 14.951.052 22.825.930
% perempuan penerima manfaat 40% 50% 51%
75
Laporan Tahunan 2008, PNPM-Mandiri Pedesaan. Hal. 22-26. 76
Ibid, PNPM-Mandiri Pedesaan. Hal. 58.
67
% kelompok miskin penerima manfaat 65% 63% 48%
Jumlah Sekolah Dasar (SD) yang
direhabilitasi
700 1.560 3.015
2. Ketatapemerintahan
Jumlah masalah secara provinsi dan
nasional yang dipublikasikan
50 NA NA
3. Keberlanjutan
% sarana prasarana yang dinilai “baik”
dan “sangat baik”
70% 65% 65%
Jumlah UPK yang mengelola dana
perguliran > Rp 100 juta
200 2.788 3.413
Kajian terhadap pemeliharaan jangka
panjang
1 NA NA
Kajian terhadap pilihan-pilihan untuk
pembiayaan yang berkelanjutan
1 NA NA
Di tahun 2009 capaian dan evaluasi indikator kinerja PNPM Mandiri
Perdesaan dalam laporan PNPM Mandiri di tahun 2009 sebagai berikut: PNPM
Mandiri Perdesaan adalah program untuk mempercepat upaya penanggulangan
kemiskinan secara terpadu dan berkelanjutan, yang ditangani oleh Direktorat
Jenderal PMD (Pemberdayaan Masyarakat dan Desa), Kementrian Dalam Negeri.
Program ini membutuhkan sumber dana yang cukup besar, sehingga salah satu
sumber dana yang digunakan oleh Pemerintah untuk pendanaan program adalah
berasal dari pinjaman (Loan) IBRD/World Bank. Salah satu persyaratan, agar
program terlaksana sesuai dengan tujuan yang diharapkan, pihak pemberi
pinjaman menetapkan indikator kinerja bagi keberhasilan program; sesuai yang
tercantum dalam dokumen “Loan Agreement” IBRD No. 04711/IDA 4385-IND.
Indikator kinerja yang ditetapkan, ditinjau dan dipantau atas dasar 3 (tiga)
aspek yang mempengaruhi berikut ini:
1. Input (Masukan); dengan parameter yang terdiri dari: jumlah lokasi
(kecamatan dan desa), prosentase partisipasi perempuan dalam Musyawarah
68
Desa, jumlah desa yang memiliki tim pemelihara, dan jumlah BLM yang
dicairkan.
2. Output (Keluaran); dengan parameter yang terdiri dari: jumlah desa yang
terdanai dan jumlah Prasarana-Sarana (P/S) yang selesai dibangun terutama
jalan, pasar, air bersih, dan sekolah.
3. Impact (Dampak); dengan parameter yang terdiri dari: proporsi penerima
bantuan (orang miskin, perempuan, orang miskin) dan jumlah sarana dan
prasarana yang dibangun/direhabilitasi.
Khusus untuk indikator lain yang belum tercantum dalam laporan PNPM
Mandiri tahun 2009 (tahunan), akan dijelaskan secara terpisah. Indikator-indikator
yang dimaksud adalah terkait dengan:
a) Kepemerintahan/Governance; dengan parameter yang terdiri dari: jumlah
masalah yang dipublikasikan, banyaknya kecamatan yang diaudit FMS
(Forum Masyarakat Statistik) dan BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan), dan jumlah kasus korupsi maupun mis-prosedur (prosedur
yang terlewatkan) yang diselesaikan.
b) Pelestarian; dengan parameter yang terdiri dari: prosentase pengembalian
SPP (Simpan Pinjam untuk Perempuan)/UEP (Usaha Ekonomi Produktif)
serta perkembangan aset ekonomi lainnya, perkembangan kelembagaan
(BKAD), dan prosentase P/S yang dibangun dan dinilai baik/berkualitas.
Penilaian kinerja berlandaskan atas data dan informasi, dan diperoleh
melalui laporan dari provinsi serta terekam dalam basis data MIS KM-Nasional
untuk kegiatan PNPM Mandiri Perdesaan Tahun 2009. Secara umum dan
menyeluruh, target parameter kinerja telah dapat dicapai. Namun ada beberapa
69
indikator yang belum tercapai secara optimal, yaitu: pada aspek input, dimana
Tim Pemelihara baru terbentuk kurang lebih 29%. Hal ini juga terjadi pada aspek
output, dimana prosentase pekerjaan fisik baru mencapai sekitar 48%; karena
proses pencairan dana baru bisa dilakukan dan berlangsung pada bulan November
2009. Di samping itu, juga terdapatnya sisa anggaran yang diluncurkan pada
tahun 2010, dengan besaran sekitar 20%, dan baru bisa dicairkan pada sekitar
bulan Maret s/d April 2010.77
Tabel 5
Hasil Capaian Untuk Penilaian Parameter “Input”78
No. Parameter Input Target Realisasi
TA 2009
Selisih
1 Jumlah Kabupaten yang
berpartisipasi
350 342 (8)
2
Jumlah Kecamatan yang
berpartisipasi
2.600 3.905 1.305
Jumlah Desa yang berpartisipasi 51.113 50.201 (912)
Jumlah Desa yang terdanai 21.505 40.704 19.199
3 Prosentase minimum jumlah
perempuan dalam musyawarah
(%)
40% 49.42% 9.42%
4 Persentase Penyelesaian
Kegiatan sesuai SPC
85% On Progress -
5 Persentase kegiatan
Infrastruktur yang berkualitas
baik sesuai jumlah sample yang
dievaluasi
>70% On Progress -
6 Persentase Penempatan
Konsultan lapangan (Fas-Kab
dan Fas-Kec) yang telah dilatih
>70% 80.67% 10.67%
7 Persentasi hasil studi dan
evaluasi yang digunakan
sebagai bahan untuk
peningkatan kinerja proyek
>70% On Progress -
Program PNPM Mandiri yang merupakan salah satu program kemiskinan
di Indonesia pada tahun 2007 sampai tahun 2009 yang sejauh ini cukup efektif
77
Laporan Tahunan 2009, PNPM-Mandiri Perdesaan. Hal. 77-78. 78
Ibid, PNPM-Mandiri Perdesaan. Hal. 78.
70
walaupun dalam penurunan kemiskinan masih belum turun drastis. Kita bisa
melihat dari indikator kinerja tahunan (2007-2009) diatas yang merupakan
parameter untuk melihat efektivitas PNPM Mandiri. Program PNPM Mandiri
yang didukung Bank Dunia tersebut kemungkinan dapat tercapai dalam target
MDGs di tahun 2015. Dilihat dari tahun ke tahun angka jumlah dan presentase
penduduk miskin menurun. Di bawah ini merupakan data jumlah dan presentase
penduduk miskin di Indonesia.
Gambar 5. Jumlah Penduduk Miskin (Juta) Pada Tahun 1999-2009
Gambar 6. Persentase Penduduk Miskin (Juta) Pada Tahun 1999-200979
79
Berita Resmi Statistik, 2009, Badan Pusat Statistik, No. 43/07/Th. XII. Hal. 2-5.
0
10
20
30
40
50
60
1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Pedesaan
Perkotaan
Pedesaan + Perkotaan
0
5
10
15
20
25
30
1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Pedesaan
Perkotaan
Pedesaan + Perkotaan
71
Tabel 6
Efektivitas dan Status Kemiskinan di Indonesia
Pada Tahun 1999-2009
Tahun Efektivitas Status
Kemiskinan
Keterangan
1999 - Meningkat Krisis ekonomi dan KKN (Korupsi
Kolusi Nepotisme)
2000-2004 √ Menurun Program-program pengentasan
kemiskinan
2005-2006 - Meningkat Bencana Alam, Kenaikan BBM
2007-2009 √ Menurun PNPM-Mandiri dan program-program
pengentasan kemiskinan lainnya
Dalam gambar 5 dan gambar 6 diatas menunjukkan bahwa di tahun 2005
terjadinya kemiskinan yang diduga bahwa kenaikan jumlah penduduk miskin itu
disebabkan oleh beberapa hal yang saling berkaitan. Hal-hal tersebut antara lain
Gelombang Tsunami yang melanda Provinsi Aceh dan sebagian wilayah
Sumatera Utara telah menyebabkan berbagai kegiatan ekonomi masyarakat lenyap
dari dua wilayah tersebut. Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang
terjadi beberapa kali hingga awal bulan Oktober di tahun 2005 ini yang tentunya
telah membebani biaya-biaya produksi.
Kenaikan harga minyak internasional dan melemahnya nilai tukar rupiah
tampaknya juga bisa dilihat sebagai penyebab yang berpengaruh terhadap
melemahnya daya beli masyarakat terhadap kebutuhan produk-produk primer dan
sekunder seperti yang telah dijelaskan di pembahasan sebelumnya.80
Lalu di tahun
2006 menaik pesat dalam jumlah dan presentase penduduk miskin. Maka, di tahun
2007, PNPM Mandiri disertai dukungan Bank Dunia yang berjalan cukup efektif
80
Hari Susanto, 2006, Dinamika Penanggulangan Kemiskinan: Tinjauan Historis Era Orde Baru,
Khanata-Pustaka LP3ES Indonesia dan Yayasan Dana Sejahtera Mandiri, Jakarta. Hal. 8-9.
72
karena di tahun 2007-2009 angka jumlah dan presentase penduduk miskin
menurun dengan diiringi program-program pengentasan kemiskinan lainnya.
Dengan demikian, penjelasan di atas merupakan sebuah laporan tahunan dari
PNPM Mandiri untuk dapat melihat sejauh mana efektivitas bantuan luar negeri
Bank Dunia dalam pengentasan kemiskinan dengan parameter dari efektivitas
PNPM Mandiri.
IV.2 Dampak Bantuan Luar Negeri Bank Dunia Terhadap Indonesia
Program PNPM Mandiri yang diawali pada tahun 2007 cukup dapat
menurunkan angka kemiskinan. Lalu, di tahun 2008-2009 Bank Dunia
menambahkan pinjamannya sekitar US$ 409 juta untuk Program Pengembangan
Kecamatan (PPK) Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP).
Utang ini harus dikembalikan pada 2030, sesuai Loan Agreement Nomor 7504-ID
yang diteken 6 Juni 2008.81
Maka, dampak bantuan luar negeri tersebut berupa
utang luar negeri. Dilihat dari struktur pinjaman yang diberikan, utang luar negeri
yang dialokasikan bagi negara Indonesia ini, Michael Hendri Bouchet yang
sebagaimana dikutip oleh Dewi membedakan atas dua bentuk: (1) official debt
yaitu pinjaman yang dilakukan antar pemerintah melalui lembaga-lembaga
pinjaman internasional (international lending institution) Bank Dunia, (2) private
sector yaitu pinjaman yang dilakukan kelompok swasta di negara berkembang
terhadap perbankan di negara maju.82
81
2010, Mandiri Dengan Zakat dan SDA, dilihat pada tanggal 11 Juli 2010 pukul 15:01 WIB.
<http://bataviase.co.id/node/216385>. 82
Dewi Sinorita Sitepu, 2005, “Utang Luar Negeri dan Problem Kemiskinan Negara
Berkembang”, Global: Jurnal Politik Internasional (Kompleksitas Kemiskinan: Tanggung Jawab
Komunitas Global, vol. 8, no. 1, Departemen Ilmu hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial
dan ilmu Politik Universitas Indonesia, Depok. Hal. 6.
73
Beberapa dilema yang dihadapi negara Indonesia atau negara berkembang
ini sebagai konsekuensi logis menerima bentuk pinjaman yang diberikan Bank
Dunia tersebut yaitu:
1. Tuntutan-tuntutan yang diberlakukan terhadap negara berkembang ketika
menerapkan kebijakan structural adjustment merupakan bentuk baru dari
imperialisme kapitalis. Ini disebabkan negara berkembang berada pada posisi
yang lemah terhadap negara maju akibat kebutuhan mendesak akan bantuan
finansial. Negara berkembang dalam hal ini tidak memiliki posisi tawar atas
ketentuan kondisionalitas yang ditetapkan bersamaan dengan dikucurkannya
bantuan yang diberikan. Ini dikarenakan negara kreditor memiliki kesatuan
lebih kuat dibandingkan negara debitor dalam melakukan tekanan-tekanan;
dan di tingkat internasional pun belum terdapat kesatuan antar negara debitor
untuk memperjuangkan posisi tawarnya karena alasan perbedaan kepentingan
dan tingkat ketergantungan terhadap kreditor.
2. Keharusan bagi negara berkembang untuk melakukan deregulasi dan
privatisasi ekonomi dari strategi pembangunan ekonomi yang berorientasi
industri substitusi impor menjadi strategi pembangunan ekonomi yang
berorientasi ekspor; termasuk melakukan langkah prudent atas fiskal dan
kebijakan moneter untuk menghindari inflasi seringkali mengabaikan
karakteristik pembangunan ekonomi lokal dan justru melemahkan proses
reformasi ekonomi. Akan tetapi, kelompok di tingkat domestik yang kuat
secara ekonomi tetap berupaya mempengaruhi kebijakan pemerintahnya untuk
mempertahankan utang dan menganggap tidak ada masalah dengan utang luar
74
negeri karena umumnya kelompok inilah yang memperoleh akses dan
diuntungkan dengan kucuran utang.
3. Tuntutan dari kreditor atas negara debitor untuk menciptakan pemerintahan
yang transparan dan bebas dari masalah korupsi lebih merupakan wacana
daripada implementasi pada dataran praksis dan kebijakan. Faktanya Bank
Dunia cenderung tetap mengucurkan dananya meskipun suatu negara
diindikasikan sebagai negara dengan tingkat korupsi tinggi ataupun terjadi
malpractice atas alokasi dana dan pengerjaan program yang didukung oleh
pendanaan mereka.83
Selama 30 tahun (1969-1999) jumlah pinjaman Indonesia dari Bank Dunia
hampir mencapai 27 milyar dolar AS, atau rata-rata mencapai 900 juta dolar AS
per tahunnya. Sebelum krisis moneter dan ekonomi melanda Indonesia dan Asia
tahun 1997, dengan cadangan devisa sekitar 18 miliar dolar AS dan defisit
transaksi berjalan yang semakin membengkak Indonesia mulai mengalami
kesulitan likuiditas dalam melakukan pembayaran bunga dan cicilan utangnya.
Setelah dilanda krisis ekonomi, kesulitan likuiditas menjadi nyata, baik bagi pihak
swasta maupun pemerintah. Akibatnya, bukannya mengurangi utang justru
pemerintah Indonesia terpaksa menambah utangnya dari IMF (International
Monetery Fund/Dana Moneter Internasional). Total komitmen pinjaman baru
adalah sebesar 43 milyar dolar AS.
Peran Bank Dunia sebagai fasilitator negara-negara kreditor dalam
memberikan pinjaman ke Indonesia memiliki peranan yang sangat penting. Oleh
karena itu perilaku lembaga multilateral ini perlu dikaji lebih dalam lagi. Perilaku
83
Ibid, Utang Luar Negeri dan Problem Kemiskinan Negara Berkembang. Hal. 8
75
Bank Dunia dalam menjalankan misinya dipengaruhi peran gandanya di mana
kedua peran itu sesungguhnya saling bertolak belakang. Pertama, peran Bank
Dunia merupakan agen pembangunan bagi negara-negara peminjam. Kedua,
peran Bank Dunia sebagai bank komersil dan profesional atas dana yang diterima
dan dana yang disalurkannya. Peran kedua inilah yang lebih berkaitan dengan
kelangsungan hidup dari Bank Dunia sendiri, karena dari keuntungan selisih
bunga pinjaman dan bunga simpanan Bank Dunia memperoleh penghasilannya,
yang digunakan untuk membayar (dengan mahal) para pegawainya dan deviden
bagi para negara pemegang saham.
Posisi yang berlawanan dari kedua peran itu adalah, bahwa sebagai agen
pembangunan, Bank Dunia wajib mengawasi pelaksanaan proyek mulai dari
proses identifikasi sampai dengan pelaksanaan akhir proyek tersebut. Dengan
posisi dan wibawanya, Bank Dunia berhak dan wajib menghentikan pelaksanaan
dan pembiayaan suatu proyek apabila pelaksanaan proyek itu dianggap
menyimpang dari ketentuan Bank Dunia sebagai agen pembangunan. Akan tetapi
bila hal itu dilakukan akan menimbulkan ketegangan hubungan antara Bank
Dunia dengan pemerintah Indonesia, dan bisa menyebabkan si penguasa enggan
meminjam kembali dari Bank Dunia.
Berkurangnya nasabah bagi Bank Dunia merupakan suatu kerugian karena
ada beban bunga yang harus dibayarkannya atas dana yang disimpan
(dipinjamkan) oleh negara maju kepada Bank Dunia, di samping hilangnya nafkah
atas dirinya. Pemilihan peran pertama mengurangi peran kedua dan sebaliknya,
pemilihan peran kedua mengurangi peran pertama. Oleh sebab itu, karena peran
76
kedua lebih berfungsi terhadap kepentingannya maka kecenderungan yang
dilakukan Bank Dunia adalah bersikap sebagai bank komersil.84
Sebaliknya, penekanan yang berlebihan pada peran pertamanya, yakni
sebagai agen pembangunan yang memberikan kewajiban pada Bank Dunia untuk
mengawasi secara ketat keseluruhan proses pelaksanaan proyek-proyek yang
didanainya, justru dikhawatirkan akan menimbulkan ketegangan hubungan antara
Bank Dunia dengan pemerintah negara yang bersangkutan dan menyebabkan
keengganan untuk meminjam kembali dari Bank Dunia. Bila ini terjadi maka
logikanya adalah kerugian bagi Bank Dunia karena kewajiban beban bunga atas
simpanan dana negara maju yang dititipkan kepadanya tidak diimbangi dengan
pemasukan pembayaran bunga pinjaman dari negara berkembang.
Dengan demikian, bukanlah sebuah persoalan bila pelaksanaan proyek
dari bantuan luar negeri Bank Dunia yakni PNPM Mandiri, yang justru mengem-
bangkan praktek KKN (Korupsi Kolusi Nepotisme) ataupun menyebabkan
kerugian yang harus ditanggung masyarakat banyak di negara peminjam selama
negara yang bersangkutan masih dapat mengembalikan pinjamannya (bunga dan
cicilan utang pokok), karena selama itu pula Bank Dunia akan terus “menghujani”
negara yang bersangkutan dengan berbagai program bantuan pinjaman. Indonesia
adalah salah satu “goodboy” yang selalu mendapat sanjungan Bank Dunia.85
Hal ini seperti dalam kasus Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat
(PNPM) Mandiri Kelautan dan Perikanan di Manado yang diduga korupsi dan
84
Faisal H. Basri dan Dendi Ramdani, 2001, “Utang Luar Negeri: Mengayuh Di Antara
Kebutuhan Dana Bagi Pemulihan Ekonomi dan Beban Pembayaran Cicilan dan Bunga”, Global
Jurnal Politik Internasional, Kerjasama Jurusan Ilmu HI FISIP-UI Dengan S2 HI Pasca-Sarjana
Ilmu Politik FISIP-UI dan Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Hal. 9-10. 85
Nurul Isnaeni, 2001, “Bank Dunia, Indonesia dan Politik Lingkungan Global (Mencermati
Agenda Pembangunan Berkelanjutan)”, Global Jurnal Politik Internasional, Kerjasama Jurusan
Ilmu HI FISIP-UI Dengan S2 HI Pasca-Sarjana Ilmu Politik FISIP-UI dan Yayasan Obor
Indonesia, Jakarta. Hal. 52.
77
diperkirakan kerugiannya mencapai sekitar Rp 25 juta. Padahal, dana program itu
bertujuan antara lain untuk penanggulangan kemiskinan serta meningkatkan
kesejahteraan masyarakat nelayan dan pesisir yang ada di kota tersebut.86
Penjelasan di atas merupakan kasus korupsi, seperti yang diungkapkan
oleh Jeffrey Winters bahwa pada akhir tahun 1990-an, Bank Dunia mulai
mengakui secara terbuka bahwa korupsi terhadap bantuan pembangunan adalah
masalah serius, dan yang lebih merisaukan dana pinjamannya sendiri termasuk di
dalamnya. Namun, Bank Dunia telah salah mendiagnosa mengapa dan bagaimana
korupsi terjadi. Inilah antara lain penyebab kecilnya kemungkinan Bank Dunia
berhasil dalam responsnya memerangi korupsi.
Adapun masalah tanggung jawab, dapat disebutkan kasus Indonesia
sebagai contoh yang menunjukkan bahwa para pejabat Bank Dunia menyadari
sejak awal pemerintahan Suharto pada 1960-an bahwa korupsi berskala besar
merupakan masalah. Mereka juga tahu bahwa pinjaman Bank Dunia sama
rentannya terhadap penyelewengan seperti juga sumber-sumber lain dalam sistem
yang ada.
Meskipun demikian, Bank Dunia tidak mengambil langkah yang berarti
selama tiga dasawarsa untuk mengamankan uang yang dipinjamkannya.
Pemerintahan Suharto, yang ditumbangkan pada 1998, meminjam hampir 30
miliar dolar AS dari Bank Dunia. Menurut perkiraan terbaik yang ada, sekitar satu
pertiganya ($10 miliar) dijarah secara sistematis atas pengetahuan Bank Dunia,
dan oleh sebab itu merupakan utang kriminal.
86
2010, Poltabes Manado Dalami Kasus Korupsi PNPM, dilihat pada tanggal 15 Juli 2010 pukul
20.00. <http://www.antaranews.com/berita/1267474536/poltabes-manado-dalami-kasus-korupsi-
pnpm>.
78
Bank Dunia terikat oleh hukum internasional untuk ikut menanggung
beban utang jarahan ini, tidak saja untuk Indonesia tetapi semua negara klien di
mana ditemukan pola-pola korupsi yang mirip atau bahkan lebih buruk.87
Tetapi,
Bank Dunia sangat peduli terhadap tata kelola dan reformasi institusional. Bank
Dunia telah menegaskan bahwa “tidak ada yang lebih penting” daripada
memerangi korupsi.88
Dalam hal ini pemerintah harus bisa menganalisa lebih
cermat lagi untuk kasus tersebut dan harus belajar dari pengalaman sebelumnya
agar program pengentasan kemiskinan berjalan dengan baik.
Kembali dalam masalah utang luar negeri, Indonesia saat ini tercatat
sebagai salah satu negara pengutang (utang luar negeri) terbesar di dunia. Ada
pula usul supaya Indonesia mengajukan proposal untuk menjadi anggota Highly
Indebted Poor Countries guna mendapat debt relief (pengurangan utang) seperti
pada tahun 2007 negara Uganda mendapatkan debt relief sebesar 700 juta dollar
AS, negara Bolivia mendapatkan debt relief senilai 600 juta dollar AS, negara
Guyana mendapatkan debt relief sebesar 500 juta dollar AS.89
Menurut Serkan
Arslanalp dan Peter Blair Henry menyatakan bahwa ada beberapa catatan yang
menarik yaitu, dalam debt relief akan berjalan efektif di negara-negara
berkembang. Keenam negara tersebut adalah Indonesia, Pakistan, Kolombia,
Jamaika, Malaysia, dan Turki.90
Karena debt relief tersebut membuat negara-
87
Jeffrey A. Winters, 2004, “Utang Kriminal”, dalam Membongkar Bank Dunia, Jonathan R.
Princus dan Jeffrey A. Winters, Djambatan, Jakarta. Hal. 139-140. 88
Mushtaq H. Khan, 2004, “Korupsi dan Tata Kelola Pada Awal Kapitalisme: Strategi Bank
Dunia dan Keterbatasnnya”, dalam Membongkar Bank Dunia, Jonathan R. Princus dan Jeffrey A.
Winters, Djambatan, Jakarta. Hal. 222. 89
Marwan Ja‟far, 2007, Infrastruktur Pro Rakyat: Strategi Investasi Infrastrukutr Indonesia Abad
21, Pustaka Tokoh Bangsa, Jogjakarta. Hal. 290. 90
Serkan Arslanalp dan Peter Blair Henry, 2006, “Helping The Poor To Help Themselves: Debt
Relief Or Aid?”, dalam Sovereign Debt At The Crossroads: Challanges and Proposals For
Resolving The Third World Debt Crisis, Chris Jochnick dan Fraser A. Preston, Oxford University
Press, New York. Hal. 184-185.
79
negara berkembang agak ringan dalam beban hutang yang diraihnya. Maka,
negara-negara berkembang tersebut akan dapat melanjutkan program-program
dan rencana proyek dengan lebih baik yang salah satunya adalah pengentasan
kemiskinan.
Ada beberapa hal yang patut diperhatikan di negara-negara berkembang,
khususnya di Indonesia dalam melakukan pinjaman atau utang luar negeri, antara
lain: Pertama, perlunya itikad baik (good will) dari negara berkembang terhadap
negara kreditor, baik di forum negosiasi maupun diplomasi dalam menyelesaikan
utang negaranya dan dilema yang dihadapi melalui sarana saluran komunikasi
yang terbuka. Kedua, menyadari bahwa setiap kreditor (official dan private
sector) memiliki kepentingan, tujuan dan kebijakan yang berbeda-beda. Negara
debitor dituntut untuk jeli dan cermat mengetahui apa yang menjadi target of net
transfer negaranya juga pihak kreditor, sehingga dapat melakukan negosiasi yang
terpisah terhadap beragam tipe kreditor tersebut dan dapat dicari solusi
pemecahannya.
Mencermati masalah utang di negara berkembang dan relevansinya
dengan kemiskinan; patut dipertimbangkan negara berkembang bahwa utang luar
negeri yang digunakan sebagai sarana untuk mendanai program pembangunan di
tingkat domestik hanya dapat berjalan jika ada dana dampingan dari anggaran
negara. Ketersediaan cadangan devisa negara merupakan kemutlakan bagi proses
pembangunan ekonomi suatu negara untuk meminimalisir tingkat ketergantungan
atas utang luar negeri dan berjalannya proyek-proyek pembangunan yang
mendapat sokongan dana dari utang.
80
Utang bukan merupakan solusi tunggal untuk menjawab tantangan
ketertinggalan dan kemandekan proses pembangunan ekonomi di negara
berkembang. Utang tidak selalu berkorelasi positif dengan proses dan harapan
pemerintah negara berkembang untuk mengurangi kemiskinan. Ini dapat
diperhatikan bahwa pada praktiknya agenda yang disertakan oleh kreditor ketika
memberikan utang cenderung tidak memasukkan kemiskinan sebagai persoalan
substansi yang ingin ditanggulangi di tingkat domestik negara berkembang.
Kecenderungan yang ada program yang disertakan dalam utang yang diberikan
lebih menekankan pada pembangunan ekonomi berorientasi pasar dengan tujuan
mengintegrasikan ekonomi domestik kelompok negara ini ke dalam tatanan eko-
nomi global.91
Dalam penghapusan utang ini terdapat beberapa argumen yang dapat
dikemukakan yaitu: Pertama, atas dasar argumen belas kasihan karena negara
debitor terpuruk ke dalam lembah kemiskinan sebagai akibat krisis ekonomi yang
dalam. Kedua, bila sebagian dari utang tersebut adalah utang ilegal atau najis
(odious debt). Utang najis adalah utang yang diberikan negara peminjam atau
lembaga multilateral yang tidak digunakan untuk keperluan pembangunan atau
dengan kata lain utang-utang tersebut tidak sampai ke tangan rakyat, tetapi
dikorupsi oleh penguasa-penguasa di negara penerima. Dengan argumentasi
semacam ini, adalah sah jika utang ini tidak diakui sebagai utang suatu
pemerintahan.
91
Dewi Sinorita Sitepu, 2005, “Utang Luar Negeri dan Problem Kemiskinan Negara
Berkembang”, Global: Jurnal Politik Internasional (Kompleksitas Kemiskinan: Tanggung Jawab
Komunitas Global, vol. 8, no. 1, Departemen Ilmu hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial
dan ilmu Politik Universitas Indonesia, Depok. Hal. 12.
81
Ketiga, penghapusan utang karena kesalahan prilaku kreditor khususnya
lembaga multilateral seperti Bank Dunia. Salah satu penyebab mengapa proyek-
proyek yang dibangun tidak memberikan kontribusi yang berarti bagi masyarakat
negara debitor adalah karena kesalahan staf-staf Bank Dunia yang melakukan
studi kelayakan proyek, merekomendasikan dan menyetujuinya. Selain itu,
kebocoran dana-dana juga tidak terlepas dari sikap Bank Dunia yang hanya
mementingkan kepentingannya yaitu pembayaran cicilan dan bunga utang lancar
tanpa memperhatikan kesuksesan proyek dan tanpa pengawasan yang berarti.
Cara yang lebih radikal lagi adalah dengan pembatasan pembayaran utang dan
cicilan dalam jumlah tertentu. Misalnya ditetapkan Indonesia hanya akan
membayar utang dan bunganya sebesar 20% dari pendapatan ekspor. Dengan
pembatasan ini maka pelunasan utang tidak membebani perekonomian secara
keseluruhan baik neraca transaksi berjalan maupun APBN.92
Adapun catatan yang dapat diberikan bagi pemerintah Indonesia.
Pertama, patut diingat bahwa utang hanya merupakan alternatif pendanaan untuk
mengatasi krisis neraca pembayaran negara dalam hal ini (capital account).
Berangkat dari pernyataan ini, tidak seharusnya utang diagendakan sebagai
sumber pendanaan utama bagi anggaran pembangunan dan menambah kas negara.
Kebutuhan dana „segar‟ untuk menambah kas negara sepatutnya dioptimalkan
melalui aktivitas ekonomi domestik yang ditandai dengan pertumbuhan investasi,
peningkatan produksi dan perdagangan.
92
Faisal H. Basri dan Dendi Ramdani, 2001, “Utang Luar Negeri: Mengayuh Di Antara
Kebutuhan Dana Bagi Pemulihan Ekonomi dan Beban Pembayaran Cicilan dan Bunga”, Global
Jurnal Politik Internasional, Kerjasama Jurusan Ilmu HI FISIP-UI Dengan S2 HI Pasca-Sarjana
Ilmu Politik FISIP-UI dan Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Hal. 12-13.
82
Kedua, jika utang merupakan agenda nasional yang tidak terelakkan bagi
sumber pendanaan aktivitas pembangunan domestik; perlu diketahui secara pasti
karakteristik kreditor pemberi pinjaman. Pemahaman akan beragam kepentingan,
tujuan dan kebijakan dari setiap kreditor akan lebih memudahkan dalam proses
negosiasi dan kompromi atas target of net transfer dari kreditor-debitor.
Ketiga, perlu dicari peluang sumber pendanaan alternatif dari negara atau
kawasan tertentu yang secara potensial memiliki alokasi anggaran bantuan
pembangunan; dengan karakteristik tingkat suku bunga rendah dan tanpa
persyaratan kondisional yang patut dijalankan di tingkat struktural domestik
debitor. Potensi ini dapat dijumpai dibeberapa negara maju di kawasan Timur-
Tengah seperti Kuwait dan Saudi Arabia yang memang menganggarkan dana
bantuan pembangunan bagi negara berkembang di kawasan Asia dan Afrika
khususnya bantuan pengembangan sektor pertanian, irigasi, permodalan
kelompok industri kecil-menengah dan infrastruktur.
Keempat, perlu ditinjau kembali apa yang menjadi tujuan kebijakan
anggaran negara. Kecenderungan yang terjadi pemerintah relatif gagal dalam
menselaraskan antara dimensi bisnis dan pelayanan sosial. Tingginya rasio
pembayaran utang Indonesia yang mencapai 40-50% APBN sudah melampaui
ambang batas „wajar-sehat‟ yang dipersyaratkan Bank Dunia sendiri. Hal ini
menjadi persoalan karena dampak utang luar negeri pada praksisnya lebih me-
nyengsarakan rakyat, karena beban utang dan kewajiban membayar beban utang
memperlambat proses recovery sosial-ekonomi. Meninjau kembali tujuan yang
ingin dicapai dari kebijakan anggaran negara adalah langkah strategis dalam alo-
kasi pembelanjaan utang luar negeri. Ini dikarenakan dalam proses berjalan nyata
83
terasa bahwa terpuruknya pembangunan nasional dan dikuranginya alokasi ang-
garan bagi fokus sosial lebih disebabkan karena inefektivitas pembelanjaan utang
luar negeri oleh pemerintah.93
Terlepas dari itu, bantuan luar negeri Bank Dunia ternyata membawa
sebuah paket neoliberal untuk Indonesia, karena apabila mereka telah masuk ke
negara penerima maka kebijakan Bank Dunia pun akan ikut terbawa dengan paket
neoliberal tersebut. Indonesia sendiri pernah menghadapi pelaksanaan agenda-
agenda ekonomi neoliberal secara massif setelah Indonesia mengalami krisis pada
tahun 1997. Dengan dimandori oleh IMF, pemerintah Indonesia secara resmi
menjalankan sebagian besar paket kebijakan ekonomi neoliberal. Ingat bahwa LoI
(Letter of Intent) adalah surat resmi dari pemerintah Indonesia kepada IMF, yang
berisi komitmen untuk menjalankan suatu paket kebijakan ekonomi.
LoI selalu diperbaharui mengikuti assessment (analisa penilaian) dan
review (penilaian dan rekomendasi) IMF. Ada 24 LoI selama periode akhir tahun
1997 sampai dengan tahun 2003 (rata-rata satu LoI setiap tiga bulan). Nota
Keuangan RAPBN dan pernyataan resmi lainnya dari pemerintah pun tak begitu
menutupi adanya agenda tersebut, meski tidak menyatakan secara terbuka sebagai
paket kebijakan Konsensus Washington atau neoliberalisme. Yang jelas pula, ada
upaya sosialisasinya sebagai satu-satunya alternatif untuk keluar dari krisis.
Paket program IMF, yang resminya adalah surat komitmen dari
pemerintah Indonesia kepada IMF, dikenal pula dengan sebutan Program
Penyesuaian Struktural (Structural Adjustment Program/SAP). SAP yang
93
Dewi Sinorita Sitepu, 2005, “Utang Luar Negeri dan Problem Kemiskinan Negara
Berkembang”, Global: Jurnal Politik Internasional (Kompleksitas Kemiskinan: Tanggung Jawab
Komunitas Global, vol. 8, no. 1, Departemen Ilmu hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial
dan ilmu Politik Universitas Indonesia, Depok. Hal. 13.
84
berisikan agenda di atas bemaksud “menyesuaikan” struktur ekonomi Indonesia
agar bisa lebih terintegrasi dengan perdagangan internasional, tepatnya dengan
kapitalisme internasional.
Pengertian struktur di sini berbeda dengan dalam analisa politik. Struktur
dimaksud berkenaan dengan segala hal yang menunjang liberalisasi perdagangan
dan lembaga keuangan, serta menjamin akuntabilitas penggunaan keuangan
negara. Cakupannya antara lain: peraturan perundang-undangan, pembenahan
lembaga-lembaga keuangan, mekanisme keuangan dan devisa, serta kebijakan
publik.94
Dalam penanganan hutang melalui kebijakan Structural Adjustment
Programmes (SAPs) yang dirancang untuk menstabilkan dan merestrukturisasi
perekonomian negara-negara miskin. Dengan mengikuti mekanisme yang
disarankan IMF, negara-negara miskin diharapkan dapat mendorong roda
perekonomian mereka kembali sehingga dapat memastikan kemampuan mereka
untuk membayar hutang. Program ini diluncurkan dengan asumsi bahwa
pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan mendorong negara miskin untuk bebas
dari kemiskinannya. Strukturusasi ekonomi akan membantu negara miskin
menciptakan tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi. Strukturisasi yang
dimaksudkan adalah dengan mengikuti program-program penyesuaian struktural
demi terciptanya stabilitas ekonomi makro.95
94
Awalil Rizky dan Nasyith Masjidi, 2008, Neoliberalisme Mencengkeram Indonesia, E
Publishing Company, Jakarta. Hal. 282-284. 95
Nurul Rochayati dan Suzanne Maria A, 2005, “Debt Relief Melalui HIPC Initiatives dan
Tantangan Mengatasi Kemiskinan Dunia”, Global: Jurnal Politik Internasional (Kompleksitas
Kemiskinan: Tanggung Jawab Komunitas Global, vol. 8, no. 1, Departemen Ilmu hubungan
Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan ilmu Politik Universitas Indonesia, Depok. Hal. 24.
85
Dengan menggunakan kalimat sederhana, maka seluruh paket SAP
mengarah kepada pengecilan peran negara, sekaligus meningkatkan peran
mekanisme pasar dalam perekonomian. Negara lebih terfokus sebagai penjamin
keamanan, memberlakukan hukum untuk ketertiban, dan hanya dalam keadaan
terpaksa memberi bantuan “darurat”. Pasar lah yang dianggap paling berkompeten
memutuskan tentang: apa saja yang akan diproduksi dan seberapa banyak
jumlahnya; seberapa banyak orang yang bisa bekerja (berarti seberapa yang
menganggur), berapa upahnya; siapa saja yang akan lebih menikmati
pertumbuhan ekonomi; dan sebagainya. Yang dijanjikan, sebagaimana semua
konsep kapitalisme yang terdahulu, jika dilaksanakan dengan konsisten maka
akhirnya semua orang akan sejahtera, meskipun dengan tingkatan yang berbeda.
Bukankah sejak awal telah dikatakan oleh ajaran kapitalisme, bahwa: “jika setiap
individu mengejar kepentingan ekonominya sendiri dengan sungguh-sungguh,
maka hasil keseluruhannya bagi kesejahteraan orang banyak akan lebih baik
daripada jika mereka bersama-sama merencanakan dan berusaha untuk itu.”96
Menurut Bank Dunia, tujuan dari program SAP itu sendiri adalah untuk
menciptakan terjadinya pertumbuhan ekonomi dan juga secara simultan
mendukung stabilitas finansial internal dan eksternal. Program ini mempunyai
aspek makroekonomi dan mikroekonomi. Tujuan makro utama adalah
memperbaiki keseimbangan fiskal eksternal dan domestik. Program SAP biasanya
mencakup kombinasi: (1) kebijakan fiskal dan moneter untuk mengurangi
permintaan dan; (2) kebijakan perdagangan (terutama exchange rate dan pajak
96
Awalil Rizky dan Nasyith Masjidi, 2008, Neoliberalisme Mencengkeram Indonesia, E
Publishing Company, Jakarta. Hal. 284.
86
ekspor/impor dan subsidi untuk menyesuaikan insentif relatif antara barang-
barang tradable (diperdagangkan) dan nontradable (tidak diperdagangkan).
Dalam sisi mikro, tujuan utamanya adalah memperbaiki efisiensi dalam
penggunaan sumber-sumber dengan mengeliminasi distorsi harga, membuka
kompetisi, dan mengurangi kontrol administratif (deregulasi). Program-program
tersebut meliputi pengeluaran pemerintah dan manajemen perusahaan umum,
termasuk mengurangi kehadiran perusahaan pemerintah di sektor-sektor di mana
swasta bisa melakukannya dengan lebih efisien. Dengan kata lain, SAP berarti
less government (pemerintah yang tidak penuh dalam mengintervensi), free trade
(perdagangan bebas), dan lebih banyak lagi perusahaan swasta.97
Program-program strukturisasi ekonomi yang tercantum dalam SAP
didasari pada pemahaman nilai-nilai neoliberalisme atau lebih dikenal dengan
“Konsensus Washington” (Washington Consensus). Konsensus Washington
sendiri diciptakan dan dilaksanakan oleh para ahli ekonomi yang bekerja di dua
institusi ekonomi dunia yaitu IMF dan Bank Dunia yang bermarkas di
Washington. Dengan mengikuti SAPs, pemerintah diharuskan untuk mengurangi
belanja pemerintah, khususnya dalam bentuk subsidi, untuk pelayanan umum
seperti pendidikan, kesehatan, energi. Dengan pengurangan ini, pemerintah akan
bisa mengalokasikan dana secara lebih efektif baik untuk pembayaran hutang
maupun untuk menyokong kebijakan makro ekonomi lainnya. Kebijakan makro
ekonomi yang harus diikuti adalah melakukan liberalisasi perdagangan,
privatisasi, investasi asing dan pengetatan fiskal.
97
Syamsul Hadi, dkk, 2004, Strategi Pembangunan Indonesia Pasca IMF, Granit, Jakarta. Hal.
191-192.
87
Bagi negara yang telah mematuhi SAPs, Bank Dunia akan melakukan
penjadwalan hutang dari negara tersebut. Di Indonesia penjadwalan Utang PNPM
Mandiri harus dikembalikan pada 2030, sesuai Loan Agreement Nomor 7504-ID
yang diteken 6 Juni 2008. Bank Dunia selalu mengkampanyekan bahwa dengan
mengikuti SAPs, akan dapat mengurangi tingkat kemiskinannya. Pendapat Bank
Dunia ini mendapat tentangan dari berbagai pihak, khususnya LSM (Lembaga
Swadaya Masyarakat) dan pemerhati masalah krisis hutang. Kritik mereka pada
umumnya adalah bahwa tidak ada korelasi antara SAPs dan pengurangan
kemiskinan. SAPs justru memberikan kontribusi bagi peningkatan kemiskinan.
Kenyataan memberikan gambaran tidak adanya komitmen dari negara maju
maupun badan keuangan internasional seperti Bank Dunia untuk benar-benar
menangani kemiskinan.98
Adapun pernyataan pakar ekonom Joseph Stiglitz yaitu, bahwa dalam
tujuan dari Konsensus Washington adalah menyediakan formula untuk
menciptakan sektor swasta (privatisasi) yang antusias dan membangkitkan
pertumbuhan ekonomi. Dengan meninjau kembali sebelumnya, rekomendasi
kebijakan itu untuk menghindari risiko mereka yang didasarkan pada keinginan
untuk menghindari adanya bencana yang buruk. Meskipun konsensus Washington
yang diberikan oleh beberapa lembaga untuk sebuah pasar yang berfungsi dengan
baik, malah hal itu sebaliknya atau tidak sempurna dalam pelaksanaannya dan
kadang-kadang bahkan menyesatkan.99
98
Nurul Rochayati dan Suzanne Maria A, 2005, “Debt Relief Melalui HIPC Initiatives dan
Tantangan Mengatasi Kemiskinan Dunia”, Global: Jurnal Politik Internasional (Kompleksitas
Kemiskinan: Tanggung Jawab Komunitas Global, vol. 8, no. 1, Departemen Ilmu hubungan
Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan ilmu Politik Universitas Indonesia, Depok. Hal. 24-25. 99
Joseph E. Stiglitz dan Ha-Joon Chang, 2001, Joseph Stiglitz and The World Bank: The Rebel
Within, ANTHEM PRESS, London. Hal. 48.
88
Disamping itu, perubahan paradigma pembangunan yang terjadi di
Indonesia menjadi lebih liberal juga harus dilihat dalam tatanan sistem
internasional yang sedang terjadi. Menurut Konsensus Washington pasar
diidentifikasi sebagai mekanisme universal yang efisien untuk mengalokasikan
sumber daya yang langka dan mempromosikan pertumbuhan ekonomi yang
dipengaruhi oleh peran institusi-institusi keuangan internasional seperti Bank
Dunia yang mendorong pemerintah suatu negara untuk tidak ikut campur tangan
dalam mekanisme pasar.100
Terkait dengan hal tersebut di atas, bahkan Bank Dunia pun mengakui
bahwa investasi asing dan privatisasi yang dicurahkannya “cenderung
menggantikan aliran modal” di Amerika Latin, mengalihkan kontrol dan
menyalurkan keuntungan ke luar negeri. Bank Dunia juga menyadari bahwa
harga-harga di Jepang, Korea, dan Taiwan lebih banyak berbeda dengan harga
pasar dibandingkan dengan di India, Brasil, Meksiko, Venezuela, dan negara lain
yang diketahui melakukan intervensi. Ini terjadi saat Cina, pemerintahan yang
paling banyak melakukan intervensi dan penyimpangan harga, menjadi favorit
Bank Dunia dan merupakan negara pengutang yang paling cepat berkembang.
Contoh lain, studi-studi yang dilakukan Bank Dunia mengenai negara Cili yang
telah melewatkan fakta bahwa perusahaan tembaga yang dinasionalisasi adalah
sumber utama penerimaan ekspor Cili.101
Adapun pengaruh privatisasi yang berguna untuk negara di bidang
pertanian, yaitu keuangan swasta yang memiliki peran dalam pendanaan program-
100
Syamsul Hadi, dkk, 2004, Strategi Pembangunan Indonesia Pasca IMF, Granit, Jakarta. Hal.
31. 101
Noam Chomsky, 1999, Provit Over People: Neoliberalism and Global Order, Seven Stories
Press, New York. Hal. 33.
89
program untuk tanaman perkebunan, proyek-proyek irigasi yang besar dan
kegiatan lain untuk memberikan sebuah masukan, pengolahan dan pemasaran
yang biasanya dapat berjalan lebih efisien dan lebih fleksibel daripada lembaga
yang dikelola oleh pemerintah.
Bank Dunia pun bahkan mendukung penggunaan lembaga-lembaga sektor
swasta untuk melakukan penelitian dan menyampaikan informasi dengan cara
yang lebih responsif terhadap tuntutan petani. Namun, catatan ini adalah bahwa
investasi swasta sangat selektif, terutama di Cina dan beberapa pusat pertumbuhan
lainnya di Asia dan Amerika Latin, dan seringkali memerlukan tambahan
investasi sektor publik untuk menciptakan peluang yang tepat.102
Jeffrey Sachs menilai bahwa negara-negara yang mengalami kemiskinan
untuk meningkatkan sebuah pertumbuhan ekonomi adalah dengan menggunakan
sebuah paket neoliberal yang perekonomiannya lebih terbuka. Misal, di Afrika
dalam bidang pertanian akan mendapatkan sebuah keuntungan dari liberalisasi
dengan perdagangan produk-produk tropis (misalnya, kapas, gula, pisang).
Dengan adanya privatisasi dan liberalisasi tersebut, hal ini dapat meningkatkan
pertumbuhan ekonomi dan dengan perekonomian yang lebih terbuka juga akan
memiliki pertumbuhan yang lebih baik.103
Di Indonesia itu sendiri adapun sebuah agenda neoliberalisme dan Bank
Dunia yang merupakan salah satu instrumen dalam membawa neoliberalisme
tersebut. Agenda tersebut antara lain :
102
Alan Matthews, 1999, “International Development Assistance and Food Security”, dalam
Foreign Aid: New Perspectives, Kanhaya L. Gupta, Kluwer Academic Publisher, Norwell. Hal.
72. 103
Jeffrey D. Sachs, 2005, The End Of Poverty: Economic Possibilities For Our Time, The
Penguin Press, New York. Hal. 281-282.
90
Liberalisasi keuangan; antara lain: kurs bebas, devisa bebas, pengembangan
BEJ.
Liberalisasi perdagangan; meratifikasi keputusan WTO.
Pengetatan prioritas APBN, termasuk pencabutan subsidi.
Privatisasi BUMN.
Penjualan korporasi domestik kepada modal internasional.
Perlindungan maksimal bagi hak milik pribadi (swasta).
Penerapan harga pasar bagi energi.
Mekanisme harga bagi pasar tenaga kerja; minimalkan perlindungan buruh.
Bank Indonesia sepenuhnya mengikuti BasselI dan BasselII dari BIS.104
Pendanaan PNPM Mandiri yang dilakukan Bank Dunia memang menjadi
salah satu faktor penting dalam rangka menyukseskan MDGs tetapi yang harus
juga mendapat perhatian adalah pengimplementasian program-program yang telah
dibuat. Dana akan terbuang percuma jika pemerintah tidak dapat
mengimplementasikan perencanaan investasi tersebut. Oleh karena itu, Jeffrey
D.Sachs menjelaskan bahwa dibutuhkan strategi manajemen publik yang harus
mencakup enam komponen, yaitu:
1. Desentralisasi, hal ini berarti bahwa investasi yang dibutuhkan di beberapa
desa dan kota akan ditetapkan oleh pemerintah daerah dibanding oleh peme-
rintah pusat;
2. Pelatihan, sektor publik di semua level kurang memiliki kemampuan untuk
mengawasi proses pengoperasian strategi, oleh karena itu pelatihan harus
menjadi bagian dari program;
3. Teknologi informasi, jika saluran bantuan akan memberikan bantuan yang
besar setiap tahunnya maka akan dibutuhkan teknologi informasi yang akan
104
Awalil Rizky dan Nasyith Majidi, 2008, Neoliberalisme Mencengkeram Indonesia, E
Publishing Company, Jakarta. Hal. 285.
91
selalu memungkinkan masyarakat pada semua level untuk mengetahui dan
mengawasi;
4. Target yang jelas, target yang ingin dicapai harus jelas dan jumlahnya harus
sesuai dengan kondisi, kebutuhan, dan data nasional yang tersedia;
5. Audit, negara penerima harus dapat mengaudit bantuan yang diberikan untuk
mendapatkan bantuan yang lebih besar;
6. Pengawasan dan evaluasi, dana dan mekanisme program yang dijalankan
harus diawasi dan diberikan evaluasi.105
Disamping itu, banyak yang menganggap bahwa Bank Dunia telah
dianggap gagal dalam mencapai misinya, bahkan sudah ada beberapa seruan
untuk menutup Bank Dunia.106
Jonathan R. Pincus dan Jeffrey A. Winters juga
menyatakan bahwa seandainya sekarang Bank Dunia tidak ada, maka akan ada
kebutuhan mendesak untuk mendirikannya. Masalahnya bukanlah (kebutuhan
akan) adanya sebuah Bank Dunia, tetapi Bank Dunia yang kini kita miliki suatu
hal yang sangat diabaikan oleh mereka yang menyikapi disfungsi Bank Dunia
dengan menuntut agar lembaga ini dibubarkan saja. Dan disiplin yang diperlukan
untuk merancang ulang Bank Dunia haruslah didesakkan dari luar dan tidak
mungkin timbul dari dalam.107
Tetapi, Muhammad Yunus menentang seruan-seruan yang menyatakan
bahwa Bank Dunia harus ditutup. Karena, Bank Dunia merupakan institusi global
yang penting yang didirikan dengan tujuan yang mulia. Untuk itu, hanya perlu
105
Jeffrey D.Sachs, 2005, The End Of Poverty: Economic Possibilities For Our Time, The
Penguin Press, New York. Hal. 278-279. 106
Muhammad Yunus, 2007, Creating a World Without Poverty: Social Business and The Future
Of Capitalism, Public Affairs, New York. Hal. 14. 107
Jonathan R. Pincus dan Jeffrey A. Winters, 2004, “Merancang Ulang Bank Dunia”, dalam
Membongkar Bank Dunia, Jonathan R. Princus dan Jeffrey A. Winters, Djambatan, Jakarta. Hal.
5-6.
92
melakukan perbaikan menyeluruh terhadap keduanya. Dunia sudah jauh berubah
dari ketika pertama kali keduanya didirikan, sudah waktunya untuk meninjau
kembali keduanya. Bank Dunia pun dianggap struktur dan prosedur kerja yang
digunakan saat ini sudah tidak tepat lagi untuk melakukan tugas-tugasnya.
Adapun ide-ide yang diutarakan oleh Muhammad Yunus yang akan menekankan
hal-hal berikut ini:
Sebuah Bank Dunia yang baru harus terbuka bagi pemerintah maupun sektor
swasta, dengan investasi swasta yang mengikuti model bisnis sosial.
Bank itu harus bekerja melalui pemerintah, LSM, dan jenis organisasi baru.
Alih-alih menjadi Korporasi Keuangan Internasional, Bank Dunia harus
memiliki jendela lain, yaitu bisnis sosial.
Presiden Bank Dunia harus dipilih oleh Komisi Pencari yang akan
mempertimbangkan kandidat-kandidat yang masuk kualifikasi dari seluruh
dunia.
Bank Dunia harus bekerja melalui cabang-cabang nasional yang semi-otonom,
masing-masing dengan dewan penasehatnya sendiri, dan bukan kantor-kantor
perwakilan di tiap negara yang tidak punya kekuasaan.
Evaluasi terhadap stafnya harus diakaitkan dengan kualitas kerjanya dan
dampak yang dihasilkan oleh pekerjaan itu, bukan besarnya volume pinjaman
yang berhasil dinegosiasikan. Jika suatu proyek gagal atau berkinerja buruk,
staff Bank Dunia yang terlibat dalam perancangannya harus dimintai
pertanggungjawaban.
93
Bank Dunia harus membuat peringkat seluruh proyek tiap tahun berdasarkan
pada dampaknya pada pengurangan kemiskinan, dan setiap kantor perwakilan
negara harus dibuat peringkatnya dengan dasar yang sama.108
Sementara itu, kita kembali lagi ke masalah dampak bantuan luar negeri
Bank Dunia di Indonesia. Utang luar negeri yang merupakan kesepakatan antara
Indonesia dan Bank Dunia bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya
dalam pnegentasan kemiskinan melalui PNPM Mandiri. Hal ini yang berdampak
adanya pasar bebas dan liberalisasi melalui paket neoliberalisme Bank Dunia,
pemerintah dapat mengharapkan rakyat Indonesia dapat menerimanya seiring
dengan perkembangan zaman dan kemajuan teknologi saat ini.
Di samping itu pula, pemerintah juga harus bisa mengembalikan utang
luar negeri tersebut sesuai dengan kesepakatan sebelumnya oleh Bank Dunia. Dan
dengan seiringnya proses pengembalian utang luar negeri tersebut, dengan adanya
korupsi yang telah membuat program pengentasan kemiskinan tidak berjalan
efektif harus segera diselesaikan dengan baik agar bantuan luar negeri tersebut
tidak terbuang percuma seperti yang telah dijelaskan di atas.
108
Muhammad Yunus, 2007, Creating a World Without Poverty: Social Business and The Future
Of Capitalism, Public Affairs, New York. Hal. 14-15.
94
Gambar 7. Kerangka Dampak Bantuan Luar Negeri
Dengan demikian, bila kita simak dari penjelasan di atas bisa dapat kita
simpulkan bahwa dampak yang terjadi dari bantuan luar negeri adalah berupa
utang luar negeri dan neoliberalisme di Indonesia. Bila utang luar negeri tersebut
tidak bisa lunas hingga jatuh tempo maka kemungkinan akan terjadi pengurangan
utang (debt relief) seperti yang telah dijelaskan diatas. Hal ini dapat terjadi bila
praktek korupsi semakin berkembang dan akan mempengaruhi jalannya kinerja
program PNPM Mandiri dalam pengentasan kemiskinan. Disamping itu juga ada
sebuah paket neoliberalisme yaitu SAP dan beberapa agenda neoliberalisme di
Indonesia seperti yang telah dijelaskan diatas.
Sebagai lembaga multilateral seperti Bank Dunia sebenarnya tujuan utama
mereka adalah pengentasan kemiskinan, tujuan mereka bukanlah sebagai
Bantuan
Luar Negeri
Paket
Neoliberalisme
Utang Luar
Negeri
Pengentasan
Kemiskinan
Target
MDGs
Dikhawatirkan
Terjadi Tindakan
Korupsi
95
pengrusak sistem di setiap negara yang membutuhkannya atau negara penerima.
Pendekatan neoliberalisme yang di bawa oleh Bank Dunia berupa sebuah
privatisasi dan liberalisasi pasar yang sebenarnya merupakan itikad baik dari Bank
Dunia itu sendiri, mereka melakukan hal tersebut agar kontrol dan
pengawasannya lebih leluasa dan ketat karena mereka merasa mempunyai
tanggung jawab yang besar dari para pendonor dana yang menginvestasikannya
ke negara-negara yang membutuhkannya.
Hal ini juga dilakukan agar Bank Dunia memiliki sebuah kepercayaan dari
para pendonornya. Maka, pemerintah Indonesia harus siap menerima konsekuensi
paket neoliberal dari Bank Dunia dan pemerintah pun berharap akan tercapainya
target MDGs dari kemiskinan. Gambar 7 diatas juga menunjukkan bahwa bantuan
luar negeri menimbulkan sebuah utang luar negeri yang dimana di dalam proses
tersebut dikhawatirkan terjadi tindakan korupsi sebagaimana telah dijelaskan di
atas dalam kasus korupsi di tahun 1999, karena bila terjadi tindakan korupsi
tersebut maka sebuah program pengentasan kemiskinan di Indonesia tidak akan
berjalan efektif dan target menuju MDGs pun tidak akan terpenuhi. Oleh karena
itu, Indonesia harus bisa mencegah dari tindakan korupsi tersebut dari
pengalaman sebelumnya agar program pengentasan kemiskinan dapat berjalan
dengan efektif.
96
BAB V
PENUTUP
Kesimpulan
Penulis disini akan mencoba untuk menyimpulkan apa yang terjadi dari
hasil penelitian ini. Dengan adanya perumusan masalah yang berfungsi untuk
membatasi sebuah permasalahan agar di dalam penelitian ini tidak melebar
melainkan lebih spesifik dan menggunakan data kualitatif. Dengan menggunakan
data tersebut kita dapat melihat mengapa Indonesia membutuhkan bantuan luar
negeri Bank Dunia untuk mengentaskan kemiskinan, sebagaimana hal tersebut
telah dijelaskan di bab-bab sebelumnya.
Di dalam Bab II, telah dijelaskan apa saja faktor-faktor terjadinya
kemiskinan di Indonesia pada tahun 1999-2009. Hal ini yang telah menyebabkan
timbulnya bantuan luar negeri Bank Dunia, disamping itu terjadinya kemiskinan
sebenarnya tidak terjadi di negara-negara berkembang saja seperti Indonesia tetapi
di negara-negara maju seperti Amerika Serikat dapat terjadi kemiskinan,
sebagaimana yang telah di jelaskan di Bab I.
Setelah kita melihat faktor-faktor penyebab kemiskinan di Indonesia maka
pemerintah Indonesia pun harus siap menjawab tantangan tersebut dengan
program-program pengentasan kemiskinan. Salah satu program pemerintah yaitu
PNPM-Mandiri yang membutuhkan sebuah anggaran yang besar karena hal ini
terbagi menjadi dua kemiskinan perdesaan dan kemiskinan di perkotaan. Oleh
sebab itu, karena anggarannya cukup besar maka pemerintah menerima bantuan
97
luar negeri Bank Dunia untuk mendukung dan membantu program pengentasan
kemiskinan.
Di dalam Bab III, menjelaskan bahwa terjadinya akibat karena adanya
sebuah kemiskinan. Akibatnya adalah adanya bantuan luar negeri Bank Dunia
sebesar US$ 2 miliar di tahun 2007 dan dengan berlangsungnya PNPM Perdesaan
dan PNPM Perkotaan, proyek-proyek pengulang diharapkan akan memperluas
program PNPM hingga menjangkau 70.000 masyarakat di seluruh Indonesia pada
tahun 2009/2010 tahap awal periode Strategi Kemitraan Negara (CPS/Country
Partnership Strategy). WBG memberikan dukungan kepada pemerintah yang
berupaya membawa prakarsa di sektor kesehatan, pendidikan, pengembangan
desa, dan sektor-sektor lainnya di bawah payung PNPM untuk memaksimalkan
upaya-upaya pelengkap pengentasan kemiskinan.
Program ini dimulai menyusul pengalaman sukses 10 tahun sebelumnya
dengan Program Pengembangan Kecamatan (PPK) Bank Dunia dan Program
Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP). Untuk tahun 2008-2009,
program tersebut meliputi dua WBG SILS (World Bank Group Specific
Investment Loans) dengan total US$ 409 juta serta pendanaan nasional dan mitra
pemerintah lokal dan program pengembangan masyarakat lainnya yang bernilai
setara dengan kurang lebih US$ 1,8 juta. Program penanggulangan kemiskinan
yang lebih kecil lainnya dikemas menjadi PNPM Mandiri guna membuat program
penanggulangan kemiskinan di tingkat masyarakat lebih sederhana dan
terkoordinasi. Saat ini PNPM Mandiri mencakup hampir 70 persen kelurahan
(sub-districts) dan kota. Program ini direncanakan akan berlanjut hingga tahun
98
2015, dan WBG serta donor lainnya akan mendukung upaya-upaya tersebut
melalui pinjaman bergulir (repeater loans).
Disamping itu, Indonesia juga turut memacu diri untuk segera mengurangi
angka kemiskinan, seiring dengan seruan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-
Bangsa (PBB) Kofi Annan, agar dunia sesuai dengan target MDGs pada tahun
2015 dapat mengurangi angka kemiskinan secara signifikan. Tujuan
Pembangunan Milenium berisikan tujuan kuantitatif yang musti dicapai dalam
jangka waktu tertentu, terutama persoalan penanggulangan kemiskinan pada tahun
2015. Tujuan yang dirumuskan dari “Deklarasi Milennium” tersebut, dan
Indonesia merupakan salah satu dari 189 negara penandatangan pada September
2000. Delapan Tujuan Pembangunan Milenium tersebut juga menjelaskan
mengenai tujuan pembangunan manusia, yang secara langsung juga dapat
memberikan dampak bagi penanggulangan kemiskinan ekstrim. Masing-masing
tujuan MDGs terdiri dari target-target yang memiliki batas pencapaian minimum
yang harus dicapai Indonesia pada 2015.
Bantuan luar negeri Bank Dunia merupakan tujuan kemanusiaan untuk
mengentaskan kemiskinan dan Bank Dunia merupakan lembaga multilateral.
Dana yang di dapat dari Bank Dunia adalah dari negara-negara pendonor yang
telah membantu untuk pengentasan kemiskinan seperti di Indonesia yang telah
dijelaskan diatas. Hal ini juga dapat dikatakan sebagai teori bureaucratic
incrementalist yang menyatakan bahwa tujuan yang dikejar negara donor dalam
lingkup kepentingan ekonomi politik internasional, antara lain kombinasi tujuan
kemanusiaan dan berbagai faktor dalam politik domestik.
99
Di dalam Bab IV, menganalisis sebuah temuan-temuan dari adanya
kemiskinan dan bantuan luar negeri Bank Dunia. Temuan tersebut berupa sebuah
efektivitas kemiskinan dan dampak bantuan luar negeri. Untuk menentukan
sebuah efektivitas dari program pengentasan kemiskinan tersebut sangatlah
bersifat relatif. Sejauh ini data yang diperoleh penulis dari BPS bahwa dari tahun
2006-2009 menurun hingga 1% dari tahun ke tahun (Kemiskinan Perdesaan dan
Perkotaan) dan di tahun 2009 kemiskinan di Indonesia mencapai 14,15%.
Menurut hemat penulis, bila hal ini terjadi terus-menerus hingga 2015 (tahun yang
ditargetkan oleh MDGs) maka dapat diperkirakan kemiskinan di Indonesia
menurun hingga 6%. Dan di tahun 2030 bisa mencapai 21%. Bila hal ini tidak
terjadi adanya hambatan-hambatan yang dapat terjadi kemiskinan seperti di tahun
1999-2006.
Dampak yang terjadi dari bantuan luar negeri adalah berupa utang luar
negeri, dimana utang tersebut harus dikembalikan pada 2030, sesuai Loan
Agreement Nomor 7504-ID yang diteken 6 Juni 2008. Bila kita melihat efektivitas
dari program kemiskinan diatas, pada tahun 2030 telah menurun hingga 21%. Hal
tersebut juga apabila tidak adanya hambatan-hambatan yang dapat terjadi
kemiskinan. Kita bisa melihat krisis yang melanda di Indonesia di tahun 1997
yang merupakan sebuah utang luar negeri dan terjadi tindakan korupsi. Maka, hal
ini yang dikhawatirkan karena dapat mengganggu jalannya sebuah program
pengentasan kemiskinan.
Dengan demikian, kita telah melihat jauh di dalam penelitian ini. Dengan
singkat dapat dikatakan bahwa, sebuah kemiskinan menimbulkan adanya bantuan
luar negeri dan utang luar negeri yang dimana proses dari kedua itu dikhawatirkan
100
terjadi tindakan korupsi yang dapat merugikan program-program pengentasan
kemiskinan yang sedang berjalan sehingga target MDGs di tahun 2015 dan utang
luar negeri yang harus dikembalikan pada 2030 sesuai dengan Loan Agreement
Nomor 7504-ID yang diteken 6 Juni 2008 tidak dapat berjalan efektif, disamping
itu pula Indonesia harus siap menghadapi tantangan-tantangan global dalam paket
neoliberalisme yang sebagaimana Bank Dunia telah membawanya pada saat
terjadinya bantuan luar negeri. Oleh karena itu, pemerintah dan masyarakat
Indonesia harus bisa mengontrol diri agar terciptanya sebuah tujuan yang berjalan
dengan lancar dan baik.
101
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Arslanalp, Serkan dan Peter Blair Henry, 2006, “Helping The Poor To Help
Themselves: Debt Relief Or Aid?”, dalam Sovereign Debt At The
Crossroads: Challanges and Proposals For Resolving The Third
World Debt Crisis, Chris Jochnick dan Fraser A. Preston, Oxford
University Press, New York.
Berita Resmi Statistik, 2009, Badan Pusat Statistik, No. 43/07/Th. XII.
Balaam, David N. dan Michael Veseth, 2005, Introduction to International
Political Economy, Pearson Education, New Jersey.
Chomsky, Noam, 1999, Provit Over People: Neoliberalism and Global Order,
Seven Stories Press, New York.
Dunne, Tim, Milja Kurki, Steve Smith, 2007, International Relations Theories
(Discipline and Diversity), Oxford University Press, New York.
Einhorn, Jessica, 2004, “The World Bank‟s Mission Creep”, dalam Essential
Readings in World Politics, Karen A. Mingst dan Jack L. Snyder,
W.W. Norton & Company, New York.
Fiend, John dan Phillip Hughes, 2007, “Education For The End Of Poverty: Three
Ways Forward”, dalam Education For The End Of Poverty
Implementing All The Millenium Development Goals, Matthew Clarke
dan Simon Feeny, Nova Science, New York.
Gagnet, Cathy L. dan World Bank, World Bank Annual Report 2003, vol. 1 Year
In Review, The International Bank for Reconstruction and
Development/The World bank, Washington DC.
H., A. Irawan J., 2007, “Ekspansi Global Neo-Liberalisme”, dalam Transformasi
Dalam Studi Hubungan Internasional (Aktor, Isu dan Metodologi),
Yulius P. Hermawan, Graha Ilmu, Yogyakarta.
Hadi, Syamsul, dkk, 2004, Strategi Pembangunan Indonesia Pasca IMF, Granit,
Jakarta.
Hadinoto, Soetanto dan Djoko Retnadi, 2007, Micro Credit Challenge: Cara
Efektif Mengatasi Kemiskinan dan Pengangguran Di Indonesia, PT
Elex Media Komputindo, Jakarta.
Hastuti, 2010, Laporan Penelitian: Peran Program Perlindungan Sosial Dalam
Meredam Dampak Krisis Keuangan Global 2008/09, Lembaga
Penelitian SMERU Research Institute, Jakarta.
Haughton, Jonathan dan Shahidur R. Khandker, 2009, Handbook On Poverty and
Inequality, The International Bank for Reconstruction and
Development/The World Bank, Washington DC.
Ikbar, Yanuar, 2007, Ekonomi Politik Internasional 2 (Implementasi Konsep dan
Teori), PT Refika Aditama, Bandung.
Ja‟far, Marwan, 2007, Infrastruktur Pro Rakyat: Strategi Investasi Infrastrukutr
Indonesia Abad 21, Pustaka Tokoh Bangsa, Jogjakarta.
102
Khan, Mushtaq H., 2004, “Korupsi dan Tata Kelola Pada Awal Kapitalisme:
Strategi Bank Dunia dan Keterbatasnnya”, dalam Membongkar Bank
Dunia, Jonathan R. Princus dan Jeffrey A. Winters, Djambatan,
Jakarta.
Lancaster, Carol, 2007, Foreign Aid: Diplomacy, Development, Domestic Politics,
The University Of Chicago Press, London.
Laporan Tahunan 2007, Program Pengembangan Kecamatan PNPM Mandiri.
Laporan Tahunan 2008, PNPM-Mandiri Pedesaan.
Laporan Tahunan 2009, PNPM-Mandiri Perdesaan.
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ATAS NAMA PEMBANGUNAN: Bank
Dunia dan Hak Asasi Manusia di Indonesia, 1995, Lembaga Studi dan
Advokasi Masyarakat (ELSAM), Jakarta.
Lister, Ruth, 2004, Poverty, Polity Press, Cambridge.
Mas‟oed, Mohtar, 1994, Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi,
PT Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta.
Matthews, Alan, 1999, “International Development Assistance and Food
Security”, dalam Foreign Aid: New Perspectives, Kanhaya L. Gupta,
Kluwer Academic Publisher, Norwell.
Nugroho, Riant dan Randy R. Wrihatnolo,. 2008, Manajemen Privatisasi BUMN,
PT Elex Media Komputindo, Jakarta.
Paket Informasi: Dasar Penanggulangan Kemiskinan, Lembaga Penelitian
SMERU untuk Badan Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan
(BKPK).
Pedoman dan Evaluasi, Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat PNPM
Mandiri.
Perwita, Anak Agung Banyu dan Yanyan Mochamad Yani, 2005, Pengantar Ilmu
Hubungan Internasional, PT Remaja Rosdakarya, Bandung.
Pincus, Jonathan R. dan Jeffrey A. Winters, 2004, “Merancang Ulang Bank
Dunia”, dalam Membongkar Bank Dunia, Jonathan R. Princus dan
Jeffrey A. Winters, Djambatan, Jakarta.
Punch, Keith F., 2000, Developing Effective Research Proposals, SAGE
Publications, London.
Radhi, Fahmy, 2008, Kebijakan Ekonomi Pro Rakyat, Republika, Jakarta.
Rizky, Awalil dan Nasyith Masjidi, 2008, Neoliberalisme Mencengkeram
Indonesia, E Publishing Company, Jakarta.
Sachs, Jeffrey D., 2005, The End Of Poverty: Economic Possibilities For Our
Time, The Penguin Press, New York.
Sen, Amartya Kumar, 2001, Development As Freedom, Oxford University Press,
New York.
____________________, 2009, The Idea Of Justice, The Belknap Press Of
Harvard University Press, Cambridge.
Stiglitz, Joseph E. dan Ha-Joon Chang, 2001, Joseph Stiglitz and The World
Bank: The Rebel Within, ANTHEM PRESS, London.
Sumarto, Sudarno, Asep Suryahadi, Alex Arifianto, 2003, “Governance and
Poverty Reduction: Evidence From Newly Decentralized Indonesia”,
dalam The Role Of Governance In Asia, Yasutami Shimomura, Japan
Institute Of International Affairs and ASEAN Foundation, Singapore.
103
Suparlan, Parsudi, 1995, Kemiskinan di Perkotaan, Yayasan Obor Indonesia,
Jakarta.
Supranto, J., 2004, Proposal Penelitian Dengan Contoh, Universitas Indonesia
(UI-Press), Jakarta.
Suryahadi, Asep dan Sudarno Sumarto, 2010, “Poverty and Vulnerability In
Indonesia Before and After The Economic Crisis”, dalam Poverty and
Social Protection In Indonesia, Joan Hardjono, Nuning Akhmadi dan
Sudarno Sumarto, ISEAS Publishing, Pasir Panjang.
Susanto, Hari, 2006, Dinamika Penanggulangan Kemiskinan: Tinjauan Historis
Era Orde Baru, Khanata-Pustaka LP3ES Indonesia dan Yayasan Dana
Sejahtera Mandiri, Jakarta.
Suyanto, Bagong dan Sutinah ed., 2007, Metode Penelitian Sosial: Berbagai
Alternatif Pendekatan, Kencana, Jakarta.
The World Bank, 2000, Making Transition Work For Everyone Poverty and
Inequality In Europe And Central Asia, The International Bank For
Reconstruction and Development/The World Bank, Washington DC.
______________, 2006, Indonesia Making the New Indonesia Work For The
Poor, Jakarta.
______________, 2008, Investing in Indonesia’s Institutions: For Inclusive and
Sustainable Development, IFC (International Finance Corporation:
World Bank Group), Jakarta.
Winters, Jeffrey A., 2004, “Utang Kriminal”, dalam Membongkar Bank Dunia,
Jonathan R. Princus dan Jeffrey A. Winters, Djambatan, Jakarta.
Yunus, Muhammad, 2007, Creating a World Without Poverty: Social Business
and The Future Of Capitalism, Public Affairs, New York.
Jurnal
Basri, Faisal H. dan Dendi Ramdani, 2001, “Utang Luar Negeri: Mengayuh Di
Antara Kebutuhan Dana Bagi Pemulihan Ekonomi dan Beban
Pembayaran Cicilan dan Bunga”, Global Jurnal Politik Internasional,
Kerjasama Jurusan Ilmu HI FISIP-UI Dengan S2 HI Pasca-Sarjana
Ilmu Politik FISIP-UI dan Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Isnaeni, Nurul Isnaeni, 2001, “Bank Dunia, Indonesia dan Politik Lingkungan
Global (Mencermati Agenda Pembangunan Berkelanjutan)”, Global
Jurnal Politik Internasional, Kerjasama Jurusan Ilmu HI FISIP-UI
Dengan S2 HI Pasca-Sarjana Ilmu Politik FISIP-UI dan Yayasan Obor
Indonesia, Jakarta.
Rochayati, Nurul dan Suzanne Maria A, 2005, “Debt Relief Melalui HIPC
Initiatives dan Tantangan Mengatasi Kemiskinan Dunia”, Global:
Jurnal Politik Internasional (Kompleksitas Kemiskinan: Tanggung
Jawab Komunitas Global, vol. 8, no. 1, Departemen Ilmu hubungan
Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan ilmu Politik Universitas
Indonesia, Depok.
104
Sitepu, Dewi Sinorita, 2005, “Utang Luar Negeri dan Problem Kemiskinan
Negara Berkembang”, Global: Jurnal Politik Internasional
(Kompleksitas Kemiskinan: Tanggung Jawab Komunitas Global, vol.
8, no. 1, Departemen Ilmu hubungan Internasional Fakultas Ilmu
Sosial dan ilmu Politik Universitas Indonesia, Depok.
Tim Jumpa Pers-Pusat Penelitian Ekonomi, 2008, “Problema Pengangguran dan
Kemiskinan di Tengah Gejolak Harga BBM: Telaah Kritis Kebijakan
dan Solusi Alternatif”, Jurnal Ekonomi dan Pembangunan, vol. XVI,
no. 1, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta.
Internet
2010, 1945 Bank Dunia Berdiri, dilihat pada tanggal 18 Maret 2011 pukul 10:20
WIB.
<http://www.mediaindonesia.com/read/2010/12/27/190897/77/21/194
5-Bank-Dunia-Berdiri>.
2010, Mandiri Dengan Zakat dan SDA, dilihat pada tanggal 11 Juli 2010 pukul
15:01 WIB. <http://bataviase.co.id/node/216385>.
2010, Poltabes Manado Dalami Kasus Korupsi PNPM, dilihat pada tanggal 15
Juli 2010 pukul 20.00.
<http://www.antaranews.com/berita/1267474536/poltabes-manado-
dalami-kasus-korupsi-pnpm>.
Anggaran Dasar Bank Dunia (Bank For Reconstruction and Development), 1989,
dilihat pada tanggal 12 Mei 2010 pukul 18:09 WIB,
<http://www.lfip.org/laws817/idver/dok/Perjanjian%20IBRD1.htm>.
Ariyanto, Dodik, Pengaruh Efektivitas Penggunaan dan Kepercayaan Teknologi
Sistem Informasi Terhadap Kinerja Individual, dilihat pada tanggal 26
Maret 2011 pukul 08:15 WIB
<ejournal.unud.ac.id/abstrak/ok_dodik.pdf>.
Bank Dunia Puji RI dalam Pencapaian MDG, dilihat pada tanggal 07 Juli 2010
pukul 21:14 WIB,
<http://www.targetmdgs.org/index.php?option=com_content&task=vie
w&id=760&Itemid=5>.
Lestarini, Ade Hapsari, 2008, Total Utang RI ke World Bank Rp243,7 Trilyun,
dilihat pada tanggal 04 Juni 2010 pukul 21:44 WIB,
<http://economy.okezone.com/index.php/ReadStory/2008/01/30/20/79
590/20/total-utang-ri-ke-world-bank-rp243-7-t>.
Pengertian dan Tujuan PNPM Mandiri, dilihat pada tanggal 08 Juli 2010 pukul
11:08 WIB, <http://www.pnpm-
mandiri.org/index.php?option=com_content&task=view&id=26&Item
id=53>.
Seymour, Frances, 1999, Tinjauan Umum dan Ringkasan Argumentasi, dilihat
pada tanggal 12 Mei 2010 pukul 10:15 WIB,
<http://members.fortunecity.com/edicahy/lendingc/chapt1.html>.
Sibuea, Posman, MDGs dan Pembangunan Berkelanjutan, dilihat pada tanggal 18
Maret 2011 pukul 10:40 WIB,
105
<http://www.targetmdgs.org/index.php?option=com_content&task=vie
w&id=74&Itemid=6>.
Sosialisasi Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2010 Tentang Percepatan
Penanggulangan Kemiskinan, dilihat pada tanggal 26 Maret 2011
pukul 09:20 WIB.
<gudang.tkpkri.org/rakorteknas/Presentasi_Kepala_Sekretariat_TNP2
K.pdf>.
The Efforts to Achieve the MDGs in Indonesia, dilihat pada tanggal 07 Juli 2010
pukul 22:30 WIB
<http://www.targetmdgs.org/index.php?option=com_content&task=vie
w&id=25&Itemid=12>.
The World Bank, 2010, National Program For Community Empowerment
Mandiri-PNPM Mandiri For Rural Area (2008-2011), dilihat pada
tanggal 10 Juli 2010 pukul 19.04 WIB.
<http://web.worldbank.org/WBSITE/EXTERNAL/COUNTRIES/EAS
TASIAPACIFICEXT/INDONESIAEXTN/0,,contentMDK:22039058~
pagePK:1497618~piPK:217854~theSitePK:226309,00.html>.
Tumiwa, Fabby, MDGs Saja Tidak Cukup!, dilihat pada tanggal 07 Juli 2010
pukul 16:35 WIB,
<http://www.targetmdgs.org/index.php?option=com_content&task=vie
w&id=53&Itemid=6>.
106