p ee nngggga amm bba ar r ann mm aall aiikkaatt d...
TRANSCRIPT
PP EE NN GG GG AA MM BB AA RR AA NN MM AA LL AA II KK AA TT
DD AA LL AA MM AA LL -- QQ UU RR ’’ AA NN
(( SS tt uu dd ii PP ee rr bb aa nn dd ii nn gg aa nn AA nn tt aa rr aa PP ee nn aa ff ss ii rr aa nn II bb nn KK aa tt ss ii rr dd aa nn HH aa mm kk aa ))
SS KK RR II PP SS II
D i a j uk an Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Mencapai
G e l a r S a r j ana Th eo l o g i Is l am (S .T h . I )
Oleh
IRFAN ABDURRAHMAT
NIM. 104034001243
PP RR OO GG RR AA MM SS TT UU DD II TT AA FF SS II RR HH AA DD II SS
FFAAKKUULLTTAASS UUSSHHUULLUUDDDDIINN
UUNNIIVVEERRSSIITTAASS IISSLLAAMM NNEEGGEERRII
SSYYAARRIIFF HHIIDDAAYYAATTUULLLLAAHH
JJ AA KK AA RR TT AA
11443322 HH // 22001111 MM
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, Agustus 2011
Irfan Abdurrahmat
i
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah, Tuhan sekalian alam, Yang Maha Pengasih dan
Maha Penyayang, yang selalu mencurahkan rahmat dan kasih sayang-Nya.
sehingga penulisan skripsi dengan judul: “Penggambaran Malaikat Dalam Al-
Qur’an (Studi Perbandingan Antara Penafsiran Ibnu Katsir dan Hamka)”
dapat diselesaikan dengan baik. Salawat dan salam semoga tercurah bagi Nabi
Muhammad SAW beserta keluarganya, para shahabatnya dan orang-orang yang
mencintainya, berkat perjuangan beliau dan ketabahannya dalam menyampaikan
ajaran Islam sehingga penulis bersyukur dapat menikmati cahaya Islam.
Sesungguhnya perjuangan itu amat berat. Hal itu sangat penulis rasakan
dalam upaya menyelesaikan skripsi ini. Pada awalnya pekerjaan ini terlihat
mudah, namun setelah penulis masuk pada persoalan yang dikemukakan untuk
dibahas, baru terasa betapa rumitnya, namun demikian dengan tekad dan
semangat yang kuat akhirnya dengan izin Allah SWT penulis dapat
menyelesaikan walau dengan rintangan dan pengorbanan yang cukup berat.
Penulis juga menyadari bahwa keberhasilan ini tidak terlepas dari karunia
Tuhan serta bantuan, dorongan dan sumbangsih yang tidak ternilai harganya dari
berbagai pihak, baik moril maupun materil. Oleh sebab itu dalam kesempatan ini
penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Komarudin Hidayat, M.A. Selaku Rektor UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, beserta jajarannya
ii
2. Bapak Prof. Dr. Zainun Kamaluddin Fakih, M.A. Selaku Dekan Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat beserta para Pembantu Dekan I, II, dan III.
3. Bapak Dr. Bustamin, M.Si. Selaku Ketua Jurusan Tafsir Hadis Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4. Ibu Dr. Lilik Umi Kultsum, Selaku Sekretaris Jurusan Tafsir Hadis Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Bapak Prof. Dr. H. Hamdani Anwar, M.A. Selaku Pembimbing Penulis.
Terimakasih atas bimbingannya yang telah mengarahkan dan memberikan
semangat yang diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
6. Seluruh Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah
pimpinan dan seluruh karyawan perpustakaan di lingkungan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
7. Yang mulia Ayahanda Mukhaffa Syaokky Bay dan Ibunda Popon, atas cinta
dan kasih sayang serta pengorbanannya yang telah berusaha memberikan
nasihat, doa dan restunya terhadap karir akademis penulis, serta telah
memberikan motivasi kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi
ini.
8. Abang penulis Zaky Abdurrahman dan adik yang tersayang Fadhilatul Azizah,
yang selalu mensuport dan memberikan semangat kepada penulis.
9. Rekan-rekan Mahasiswa Tafsir Hadis angkatan 2004, antara lain Ahmad Zaki,
Tirta Rismahadi Jaya, Sri Rahayu, Imanul Hakim, dan kawan-kawan diskusi
yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu namanya.
iii
Mudah-mudahan jasa dan amal baik tersebut mendapatkan balasan yang
setimpal dari Allah SWT, sebagai amal saleh dan senantiasa berada dalam
ampunan-Nya.
Akhirnya, semoga skripsi yang sederhana ini dapat memenuhi harapan
dalam ikut serta membantu kemajuan pendidikan kearah yang lebih baik,
khususnya dalam bidang Studi Tafsir-Hadis. Mudah-mudahan tulisan ini
bermanfaat bagi orang banyak dan menjadi amal ibadah bagi penulis yang
pahalanya membawa keberkahan di dunia dan akhirat. Semoga Allah SWT
memberikan petunjuk ke jalan yang benar dan mencurahkan taufik serta hidayah-
Nya kepada kita sekalian. Aamiin Yaa Rabbal ‘Alamiin..
Jakarta, Agustus 2011
Penulis
iv
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................i
DAFTAR ISI .........................................................................................................iv
PEDOMAN TRANSLITERASI .........................................................................vi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ....................................................................1
B. Identifikasi Masalah ........................................................................10
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah ..............................................10
D. Manfaat dan Tujuan Penulisan ........................................................11
E. Tinjauan Pustaka ............................................................................ 11
F. Metode Penelitian ...........................................................................12
1. Metode Pengumpulan Data ......................................................13
2. Metode Pembahasan .................................................................13
G. Sistematika Penulisan .....................................................................14
BAB II BIOGRAFI IBN KATSIR DAN HAMKA SERTA
KARAKTERISTIK TAFSIR MASING-MASING
A. Biografi Ibn Katisr ..........................................................................16
1. Riwayat Hidup Ibn Katsir ........................................................16
2. Karakteristik Tafsir Ibn Katsir...................................................17
a. Metodologi Tafsir Ibn Katsir ...............................................17
b. Corak Tafsir Ibn Katsir ........................................................18
c. Sistematika Tafsir Ibn Katisr ...............................................19
d. Sumber Tafsir Ibn Katsir ......................................................19
1. Sumber Riwayah ..............................................................19
2. Sumber Dirayah ...............................................................19
3. Karya-Karya Ibn Katsir .............................................................20
B. Biografi Hamka ...............................................................................22
1. Riwayat Hidup Haji Abdul Malik Karim Amrullah..................22
2. Sejarah Intelektual (Pendidikan) ………...…………………....26
3. Karya-karyanya ......................................................…………...28
4. Profil Tafsir Al-Azhar …………………….…………………..30
v
a. Sejarah Penulisan Tafsir al-Azhar ........................................30
b. Metodologi Penafsiran Tafsir al-Azhar ................................32
BAB III ANALISIS PERBANDINGAN TENTANG PENGGAMBARAN
MALAIKAT
A. Hakikat Malaikat …………..………………………..…………….35
B. Tugas Malaikat ……………………………………………………40
C. Sifat Malaikat ……………………………………………………..42
D. Tabel Perbandingan Atas Penafsiran Ibn Katsir dan Hamka ..........48
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan ……………………………………………….………52
B. Saran ………………………………………………………………53
DAFTAR PUSTAKA
vi
TRANSLITERASI ARAB-LATIN
Transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam skripsi ini berpedoman pada
buku “Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi)” yang
diterbitkan oleh CeQDA (Center for Quality Development and Assurance) UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007.
I. Konsonan
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
tidak dilambangkan
b be
t te
ts te dan es
j je
h h dengan garis bawah
kh ka dan ha
d de
dz de dan zet
r er
z zet
s es
sy es dan ye
s es dengan garis dibawah
d de dengan garis dibawah
t te dengan garis dibawah
z zet dengan garis dibawah
c koma terbalik diatas hadap kanan
gh ge dan ha
f ef
q ki
k ka
vii
l el
m em
n en
w we
h ha
i apostrof
y ye
II. Vokal Tunggal
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
a fathah
i kasrah
u dammah
III. Vokal Panjang
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
â a dengan topi diatas
î i dengan topi diatas
û u dengan topi diatas
IV. Vokal Rangkap
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
Âi a dan i
Au a dan u
V. Pembauran
: al
: al-sy
: wa al
و
viii
VI. Kata Sandang
Kata sandang yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan
huruf, yaitu , dialihaksarakan menjadi huruf /I/, baik diikuti huruf
syamsiyyah maupun huruf qamariyyahi. Contoh: al-Rijâl bukan ar-Rijâl.
VII. Syaddah (tasydîd)
Syaddah atau tasydîd yang dalam system tulisan Arab dilambangkan
dengan sebuah tanda ( ), dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf,
yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda Syaddah itu. Akan
tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda Syaddah itu
terletak setelah kata sandang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya,
kata tidak ditulis ad-darûrah melainkan al-Darûrah.
VIII. Ta Marbûtah
Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûtah terdapat
pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan
menhadi huruf /h/ (lihat contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku
jika ta marbûtah tersebut diikuti oleh kata sifat (na’at) (lihat contoh 2).
Namun, jika huruf ta marbûtah tersebut diikuti kata benda (isim), maka
huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat contoh 3).
No Kata Arab Alih Aksara
1 Tarîqah
2 al-Jâmi’ah al-Islâmiyyah
3 Wahdat al-Wujûd
IX. Hurup Kapital
Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam alih
aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan., dengan mengikuti ketentuan
yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) bahasa Indonesia, antara
lain untuk menuliskan permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan,
ix
nama diri, dan lain-lain. Jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka yang
ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal
atau kata sandangnya. Contoh al-Kindi, bukan Al-Kindi.
Berkaitan dengan penulisan nama (nama-nama tokoh yang berasal dari
Nusantara), atau pun judul buku. Penulis tidak mengalihaksarakannya, tetapi
disesuaikan dengan nama atau judul buka tersebut. Meskipun akar katanya itu
berasal dari bahasa Arab.
Setiap kata, baik kata kerja (fi’il), kata benda (isim), maupun huruf (harf),
ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara atas kalimat-
kalimat dalam bahasa Arab, dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan di
atas:
Kata Arab Alih Aksara
Dzahaba al-ustâdzu
Tsabata al-ajru
Asyhadu an lâ ilâha illâ Allah
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Falsafah adalah bahasa Yunani yang terdiri dari dua suku kata, yaitu
philos, yang berarti lebih mengutamakan, dan shofos, yang berarti al-hikmah
(kebijaksanaan). ‟Aqidah para ahli filsafat mengenai Malaikat tidak lebih
baik daripada ‟aqidah mereka terhadap rukun-rukun iman lainnya. Mereka
mengklaim bahwa Malaikat langit adalah jiwa langit, para Malaikat al-
Karubiyyun al-Muqarrabiin hanyalah penafsiran akal semata, yaitu
permata-permata yang tegak dengan sendirinya, yang tidak berbentuk dan
tidak mampu berbentuk dan tidak mampu berbuat apa-apa di dalam tubuh.
Menurut mereka Malaikat adalah garis-garis orbit yang terlihat di ruang
angkasa.
Sementara para orang-orang kafir Makkah mengakui Malaikat, tetapi
pengakuan mereka rusak dan tidak memberikan manfaat, bahkan membuat
mereka bertambah jauh dari Allah. Sebab, mereka mengatakan bahwa
Malaikat itu adalah perempuan dan putri-putri Allah. al-Qur‟an membantah
pandangan tersebut dengan tegas dalam surat al-Baqarah ayat 26.
Allah berfirman:
”Dan mereka berkata: "Tuhan yang Maha Pemurah Telah
mengambil (mempunyai) anak", Maha Suci Allah. Sebenarnya (malaikat-
malaikat itu), adalah hamba-hamba yang dimuliakan.”1 (QS. Al-Anbiya‟
[21] : 26)
1 Ayat Ini diturunkan untuk membantah tuduhan-tuduhan orang-orang musyrik
yang mengatakan bahwa Malaikat-malaikat itu anak Allah.
2
Penulis akan coba menjelaskan bagaimana al-Qur‟an berbicara
tentang Malaikat, dan nanti akan dibuktikan apakah benar yang ahli filsafat
dan orang-orang kafir Makkah katakan. Penulis akan memaparkan
penjelasan yang disampaikan oleh Ibn Katsir dan HAMKA dalam kitab
tafsirnya masing-masing.
Alasan penulis memilih penafsiran Ibn Katisr dan HAMKA adalah
penulis akan membandingkan penafsiran Ibn Katsir yang memadukan
sumber Riwayah dan Dirayahnya dengan penafsiran HAMKA yang
menggabungkan antara riwayah (Ma’tsur) dan pemikiran (Ra’yi), dan
bagaimana penafsiran Ibn Katsir dan HAMKA mengenai penggambaran
Malaikat
Iman kepada para Malaikat adalah rukun kedua dari enam rukun
iman, sehingga iman seorang hamba tidak dianggap sah tanpa meyakininya.
Iman kepada Malaikat adalah salah satu tema besar keimanan dan inti
akidah seorang muslim sebagaimana dikukuhkan al-Qur‟an dan Sunnah. al-
Qur‟an sendiri sarat dengan ayat-ayat yang berbicara tentang para Malaikat,
kelompok-kelompok dan tingkatan-tingkatan mereka.
Demikian pula perintah untuk beriman kepada mereka, peringatan
untuk tidak mengingkari mereka, keterangan mengenai kondisi mereka
bersama dengan Allah dan manusia, dan penjelasan mengenai tingkatan-
tingkatan dan perbuatan-perbuatan mereka. Allah berfirman:
3
”Rasul Telah beriman kepada Al Quran yang diturunkan kepadanya
dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. semuanya
beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-
rasul-Nya. (mereka mengatakan): "Kami tidak membeda-bedakan antara
seseorangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya", dan mereka
mengatakan: "Kami dengar dan kami taat." (mereka berdoa): "Ampunilah
kami Ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali." (QS. Al-
Baqarah [2] : 285)
Kaum Muslimin juga telah berijma‟ atas wajibnya beriman kepada
para Malaikat. Mereka menyatakan bahwa beriman kepada para Malaikat
merupakan salah satu hal yang wajib diyakini oleh kaum Muslimin. Allah
sendiri telah menetapkan hukum kafir bagi orang yang mengingkari
keberadaan mereka, bahkan Allah menjadikan keingkaran terhadap mereka
sama halnya dengan ingkar (kafir) kepada-Nya. Allah berfirman:
”Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah
dan rasul-Nya dan kepada Kitab yang Allah turunkan kepada rasul-Nya
serta Kitab yang Allah turunkan sebelumnya. barangsiapa yang kafir kepada
Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari
Kemudian, Maka Sesungguhnya orang itu Telah sesat sejauh-jauhnya.” (Q.S
An-Nisa‟ [4] : 136)
Menurut Imam al-Razi, iman kepada Malaikat bisa diwujudkan
dengan empat hal: Pertama, iman kepada wujud mereka sambil mengkaji
apakah mereka hanya ruh, memiliki jasad, atau memiliki ruh dan jasad. Jika
kita menganggap para Malaikat memiliki jasad, jasad mereka tentu halus
dan lembut. Jika halus dan lembut, berarti jasad mereka terbuat dari cahaya
dan udara. Lantas bagaimana kelembutan jasad Malaikat mengandung unsur
4
kekuatan yang sangat dahsyat? Itulah ciri utama yang sangat kuat dalam hal
ilmu hikmah quraniah dan burhaniah.
Kedua, meyakini bahwa mereka suci dan bebas dari kesalahan. Allah
berfirman tentang para malaikat:
”Dan kepunyaan-Nyalah segala yang di langit dan di bumi. dan
malaikat-malaikat yang di sisi-Nya, mereka tiada mempunyai rasa angkuh
untuk menyembah-Nya dan tiada (pula) merasa letih.” (QS. Al-Anbiya‟ [21]
: 19)
Malaikat senantiasa bertasbih siang dan malam tiada hentinya. Rasa
nikmat yang mereka rasakan dalam berzikir kepada Allah dan ketaatan
beribadah kepada-Nya layaknya nikmat yang kita rasakan ketika menghirup
udara. Seperti itulah kehidupan para Malaikat yang selalu berzikir,
mengenal, dan taat kepada Allah. Allah berfirman:
“Dan kepunyaan-Nyalah segala yang di langit dan di bumi. dan
malaikat-malaikat yang di sisi-Nya, mereka tiada mempunyai rasa angkuh
untuk menyembah-Nya dan tiada (pula) merasa letih. Mereka selalu
bertasbih malam dan siang tiada henti-hentinya.” (QS. Al-Anbiya‟ [21] : 19
– 20)
Ketiga, meyakini bahwa mereka adalah perantara antara Allah dan
manusia. Setiap Malaikat ditugasi mengurus satu bagian dari alam semesta
5
ini. Keempat, meyakini bahwa kitab-kitab Allah yang diturunkan kepada
para nabi melalui perantaraan Malaikat. Allah berfirman:
”Sesungguhnya Al Qur'aan itu benar-benar firman (Allah yang
dibawa oleh) utusan yang mulia (Jibril), yang mempunyai kekuatan, yang
mempunyai kedudukan Tinggi di sisi Allah yang mempunyai 'Arsy, yang
ditaati di sana (di alam malaikat) lagi dipercaya.” (QS. Al-Takwir [81] : 19
– 21)
Tingkatan ini harus dijalani dalam beriman kepada Malaikat.
Semakin akal mendalami tingkatan tersebut maka semakin besar dan
sempurna keimanan kepada Malaikat.2 Penggunaan kata Malaikat dalam
bahasa Indonesia biasanya dianggap berbentuk tunggal, sama dengan kata
ulama. Dalam bahasa Arab – dari mana kata-kata itu berasal – keduanya
merupakan bentuk jamak dari kata malak (هلك) untuk malaikat dan ’alim
.untuk ulama (عالن)
Kalau dari segi kebahasaan memberikan pengertian seperti itu,
apakah pengertiannya menurut terminologi? Malaikat adalah makhluk halus
yang diciptakan Allah dari cahaya yang dapat berbentuk dalam aneka
bentuk, taat mematuhi perintah Allah, dan sedikit pun tidak pernah
membangkang.3
Indera manusia sangat lemah untuk melihat Malaikat dan mendengar
pembicaraannya, dan tidak diragukan lagi bahwa ketidakmampuannya ini
memberikan maslahat baginya. Seandainya manusia dapat mendengar dan
melihat seluruh apa yang meliputi Malaikat, maka manusia itu tidak akan
mampu untuk bertahan hidup. Sebab hakikat yang disebutkan oleh dalil-
2 Al-Tafsir al-Kabir, jilid 7, hal. 143.
3 M. Quraish Shihab, “Jin, Iblis, Setan dan Malaikat Yang Tersembunyi Dalam Al-
Qur’an, As-Sunnah, serta Wacana Pemikiran Ulama Masa Lalu dan Masa Kini”, (Ciputat:
Lentera Hati, 2007), cet kedua, h. 318
6
dalil tentang tema ini memiliki pengaruh yang besar dalam menghilangkan
khurafat dan penyimpangan dari akal.4
Rasulullah mengenalkan kepada kita melalui hadis yang
diriwayatkan oleh Aisyah binti Abu Bakar dari ayahnya, bahwasanya materi
yang menjadi bahan untuk menciptakan malaikat adalah cahaya.
Raslulullah bersabda:
. و خلق ا د م هوا و صف لكن, و خلق الجا ى هي ها ر ج هي ا ر , خلقت الوال ئكة هي و ر
”Malaikat itu diciptakan dari cahaya, jin diciptakan dari nyala api,
dan Adam diciptakan dari sesuatu yang menjadi sifat kalian.”5 (HR.
Muslim)
Tidak diketahui dari cahaya apa ia diciptakan. Ada beberapa riwayat
berbicara tentang hal ini, namun riwayat-riwayat tersebut tidak dapat
dipertanggungjawabkan keshahihannya. Betapa kuatnya keterlibatan
Malaikat dengan seluruh manusia tanpa terkecuali, taat atau durhaka, sejak
lahir hingga wafatnya, bahkan hingga kehidupan di akhirat kelak.
Malaikat sebagai pencatat amal manusia. Allah berfirman dalam
surat Qaaf sebagai berikut:
”Dan Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dan
mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan kami lebih dekat
kepadanya daripada urat lehernya, (yaitu) ketika dua orang malaikat
4 DR. Umar Sulaiman Al-Asyqar, “Misteri Alam Malaikat dan Mengenal Lebih
Dekat Satu Persatu Malaikat”, (Jakarta: Inas Media, 2009), cet pertama, h. 11 5Muslim bin Hajaj an-Naysaburi, Shahih Muslim, (Beirut: Dar Ihya at-Tiratsi al-
Arabi) Bab Ahadis Mutafariqah Juz 4.s 2294
Sebagian orang-orang yang mengaku dirinya berilmu menolak hadis ini dan hadis-
hadis yang serupa. Mereka menganggap bahwa hadis ini hadis ahad dan hadis ahad tidak
dapat menetapkan suatu hukum dalam aqidah. Pendapat ini telah didiskusikan dan
dijelaskan bahwa pendapat ini batil. Disebutkan di dalam sebuah artikel dengan judul
”Landasan Pokok Aqidah”.
7
mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain
duduk di sebelah kiri. Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan
ada di dekatnya malaikat Pengawas yang selalu hadir.” (QS. Qaaf [50] : 16
– 18)
Malaikat mencabut nyawa manusia atas perintah Allah. Allah
berfirman:
”Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang membuat
kedustaan terhadap Allah atau yang berkata: "Telah diwahyukan kepada
saya", padahal tidak ada diwahyukan sesuatupun kepadanya, dan orang yang
berkata: "Saya akan menurunkan seperti apa yang diturunkan Allah."
alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang yang
zalim berada dalam tekanan sakratul maut, sedang para malaikat memukul
dengan tangannya, (sambil berkata): "Keluarkanlah nyawamu" di hari Ini
kamu dibalas dengan siksa yang sangat menghinakan, Karena kamu selalu
mengatakan terhadap Allah (Perkataan) yang tidak benar dan (karena) kamu
selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayatNya.” (QS. Al-An‟am [6] :
93)
Malaikat adalah salah satu dari ciptaan Allah dari alam ghaib. Tidak
seorang pun yang tahu berapa banyak jumlah mereka, rupa dan keadaan
mereka, kecuali Allah. Bagaimanakah sifat-sifat dari tentara-tentara Allah
ini? Malaikat tidak pernah jemu beribadah dan juga tidak pernah letih. Allah
berfirman:
”Mereka selalu bertasbih malam dan siang tiada henti-hentinya.”
(QS. Al-Anbiya‟ [21] : 20)
8
Malaikat antara lain mendapat tugas memelihara manusia, bahkan
sementara ulama memahami perintah sujud Malaikat kepada Adam dan
kesediaannya untuk bersujud adalah lambang kesetiaan mereka
melaksanakan tugas yang dibebankan Allah itu. Sifat yang dapat kita lihat di
sini adalah Malaikat senantiasa patuh terhadap apa yang Allah perintahkan
kepada mereka. Allah berfirman:
”Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat:
"Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi."
mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi
itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah,
padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan
Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak
kamu ketahui." (QS. Al-Baqarah [2] : 30)
Allah berfirman:
Dan (Ingatlah) ketika kami berfirman kepada para malaikat:
"Sujudlah6 kamu kepada Adam," Maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia
enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang
kafir. (QS. Al-Baqarah [2] : 34)
Malaikat ini memiliki keadaan fisik yang sangat besar. Allah telah
menyebutkan yang demikian dalam firman-Nya:
6 Sujud di sini berarti menghormati dan memuliakan Adam, bukanlah berarti sujud
memperhambakan diri, Karena sujud memperhambakan diri itu hanyalah semata-mata
kepada Allah.
9
“Segala puji bagi Allah Pencipta langit dan bumi, yang menjadikan
malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus berbagai macam urusan)
yang mempunyai sayap, masing-masing (ada yang) dua, tiga dan empat.
Allah menambahkan pada ciptaan-Nya apa yang dikehendaki-Nya.
Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS Fathir [35] : 1)
Ini berarti bahwa ada sebagian Malaikat yang memiliki dua sayap,
sebagian memiliki tiga sayap dan sebagian lagi empat sayap, dan juga ada
sebagian malaikat yang memiliki sayap lebih dari itu, karena Nabi melihat
Malaikat Jibril dan dia memiliki 600 sayap – setiap sayap memenuhi ufuk.
Imam al-Razi dalam Tafsir-nya berpendapat: sayap Malaikat adalah
gambaran arah, yang bermakna tak satu pun Malaikat yang lebih tinggi dari
Allah.7 Ini hanya salah satu dari Malaikat yang ada. Allah mensifati
Malaikat Jibril dengan kekuatan yang sangat besar, sebagaimana Allah
berfirman:
”Yang memberinya ajaran ialah yang sangat kuat.8” (QS. An-Najm
[53] : 5)
Allah melebihkan para Malaikat dari manusia dengan memberikan
sayap yang dapat membuat mereka dapat terbang di antara langit dan bumi,
dengan kecepatan yang sangat tinggi, melebihi segala yang pernah dikenal
manusia di dunia ini.9 Dari berbagai penjelasan latar belakang masalah di
atas penulis tertarik untuk mengangkat tema besar tersebut ke dalam sebuah
skripsi dengan judul: “PPeennggggaammbbaarraann MMaallaaiikkaatt DDaallaamm aall--QQuurr’’aann ((SSttuuddii
PPeerrbbaannddiinnggaann aannttaarraa PPeennaaffssiirraann IIbbnnuu KKaattssiirr ddaann HHaammkkaa))..””
7 Muhammad Sayyid al-Musayyar, “Buku Pintar Alam Gaib”, (Jakarta: Zaman,
2009), cet pertama, hal. 54 8 Yang dimaksud adalah Malaikat Jibril
9 Muhammad bin „Abdul Wahhab al-„Aqil, “Menyelisik Alam Malaikat Rukun
Iman Kedua yang Sering Disalahpahami dan Dilupakan Banyak Orang”, (Jakarta: Pustaka
Imam Asy-Syafi‟I, 2010), cet pertama, hal 92
10
BB.. IIddeennttiiffiikkaassii MMaassaallaahh
Masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah benarkah
pendapat para ahli filsafat yang mengatakan bahwa para Malaikat al-
Karubiyyun al-Muqarrabiin hanyalah penafsiran akal semata dan garis-garis
orbit yang terlihat di ruang angkasa, dan bagaimana pendapat orang-orang
kafir Mekah yang mengatakan bahwa Malaikat itu adalah perempuan dan
putri-putri Allah. Lalu apa sebenarnya Malaikat itu baik dari segi hakikat,
sifat serta tugas-tugasnya. Apa penafsiran Ibn Katsir terhadap ayat-ayat
yang menjelaskan tentang hakikat, sifat, dan tugas Malaikat tersebut. Apa
reaksi al-Qur‟an terhadap pandangan orang-orang kafir Mekah tentang
Malaikat. Apa penafsiran HAMKA mengenai ayat-ayat yang
menggambarkan tentang Malaikat.
Sehubungan dengan hal-hal tersebut maka penulis mendapatkan ada
beberapa masalah yang akan di kaji dalam skripsi ini, antara lain:
1. Menyelesaikan kekeliruan pandangan yang di utarakan oleh para ahli
filsafat dan orang-orang kafir Mekah tentang Malaikat.
2. Menjelaskan penafsiran Ibn Katsir dan Hamka terhadap surat-surat
dalam al-Qur‟an yang berkaitan tentang Malaikat.
3. Menjelaskan ayat-ayat seputar hakikat Malaikat.
4. Menjelaskan ayat-ayat seputar sifat-sifat Malaikat.
5. Menjelaskan ayat-ayat seputar tugas-tugas Malaikat.
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Kiranya akan lebih menarik bagi penulis untuk mengungkapkan
penggambaran Malaikat dalam al-Qur‟an menurut interpretasi Ibn Katsir
11
dan Hamka mengenai sifat Malaikat, tugas Malaikat, serta hakikat
Malaikat. Pemilihan masalah ini berdasarkan informasi yang telah penulis
dapatkan terkait dengan sifat Malaikat, tugas Malaikat dan hakikat malaikat,
untuk mendapatkan hasil penelitian yang maksimal.
Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka penulis merumuskan
permasalahan yang akan dibahas adalah: Apa persamaan dan perbedaan
antara penafsiran Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar dengan
penafsiran Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-Azhim mengenai sifat
Malaikat, tugas Malaikat, dan hakikat Malaikat?
D. Manfaat dan Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dan manfaat yang akan dicapai dalam penyusunan
skripsi ini adalah untuk mengetahui apa sajakah sifat-sifat, tugas-tugas dan
hakikat Malaikat yang disebutkan dalam al-Qura‟n, sebagai penguatan
keimanan kita kepada Malaikat agar memperoleh kebenaran akan akidah
kita dan tidak melenceng nantinya kelak. Penulis ingin memberikan
sumbangsih kepada para pembaca pada umumnya dan bagi penulis sendiri
pada khususnya, akan manfaat dari karya ilmiah ini.
E. Tinjauan Pustaka
Penelitian penggambaran Malaikat dalam al-Qur‟an bukanlah
merupakan hal yang baru. Kajian dan eksplorasi terhadap Malaikat telah
berlangsung sejak lama. Dalam dunia akademis, ditemukan beberapa karya
ilmiah yang mengkaji pemikirannya baik dalam bentuk makalah, buku-
buku, laporan penelitian, skripsi, maupun disertasi. Terdapat beberapa nama
12
yang berhasil menyumbangkan karyanya yang membahas Malaikat ini, di
antaranya adalah sebagai berikut:
a. Studi Sanad dan Matan Hadis Nabi Tentang Qorin dari Golongan
Jin dan Malaikat (Kualitas Sanad dan Matan Hadis Tentang Qorin
dari Golongan Jin dan Malaikat).10
Skripsi ini meneliti kualitas
hadis tentang qorin dari golongan jin dan malaikat dan bagaimana
pengaruhnya bagi kehidupan manusia, hadis-hadis yang berkenaan
dengan qorin dari golongan jin dan malaikat adalah shahih setelah di
takhrij.
b. Jin, Iblis, Setan dan Malaikat Yang Tersembunyi dalam al-Qur’an –
as-Sunnah, serta Wacana Pemikiran Ulama Masa Lalu dan Masa
Kini. Dalam buku ini dijelaskan tentang iman kepada malaikat, karya
Muhammad Quraish Shihab.
c. Buku Pintar Alam Gaib. Dalam buku ini dijelaskan mengenai iman
kepada malaikat, malaikat dalam pandangan syariat dan hakikat
malaikat, karya Muhammad Sayyid al-Musayyar
d. Misteri Makhluk Bersayap Menjelajah Alam Malaikat. Dalam buku
ini dijelaskan mengenai kewajiban beriman kepada malaikat, dan
permulaan penciptaan malaikat, karya Jalaluddin as-Suyuthi al-
Syafi‟I.
F. Metodologi Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan tiga aspek metode
penelitian, yaitu:
10
Abdul Gofur Rojali, “Studi Sanad dan Matan Hadis Nabi Tentang Qorin dari
Golongan Jin dan Malaikat,” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006)
13
1. Metode Pengumpulan Data
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan kajian
kepustakaan (library research) yaitu menghimpun buku atau tulisan
yang ada kaitannya dengan tema skripsi. Data-data tersebut diambil
dari tulisan Ibn Katsir dan Hamka sendiri yang terdokumentasikan
dalam kitab tafsirnya, baik yang berbahasa Arab maupun yang sudah
diterjemahkan. Data ini merupakan sumber primer yang dijadikan
rujukan utama dalam penulisan skripsi ini.
Sedangkan tulisan-tulisan tentang Malaikat baik yang
terdokumentasikan dalam buku, makalah, artikel, skripsi, jurnal, dan
majalah yang mempunyai relevansi dengan maksud uraian skripsi
ini, merupakan sumber sekunder yang menjadi penunjang sumber
primer.
2. Metode Pembahasan
Adapun metode pembahasan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode deskriptif analitis. Deskriptif adalah
metode penyajian fakta secara sistematis sehingga dapat dengan
mudah dipahami dan disimpulkan.11
Sedangkan analitis adalah
mengurai sesuatu dengan tepat dan terarah. yaitu sebuah model
penelitian yang berupaya menggali sejauh mungkin informasi yang
terdapat dalam buku-buku. Data-data yang diperoleh dari berbagai
literature tersebut kemudian dideskripsikan secara lengkap lalu
11
Saifuddin Azwar, Metode Penelitian (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), h. 6.
14
dianalisis,12
deskripsi dilakukan yaitu setelah mendapatkan data-
data yang berkaitan dengan pembahasan yang dituangkan dalam
tulisan-tulisan sehingga dapat tergambar situasi atau keadaan topik
yang dibahas yang akan berpengaruh terhadap analisis, setelah ada
gambaran tentang kondisi topik yang dibahas barulah dilakukan
analisa dalam rangka pengembangan teori berdasarkan data yang
diperoleh, sehingga mendapatkan informasi yang lebih akurat.
Sedangkan pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan historis (sejarah). Oleh karena itu, masalah yang
dielaborasi dalam penelitian ini akan ditinjau dari sudut sejarah,
karena data yang terhimpun lebih bersifat kualitatif (tertulis).
3. Teknik Penulisan
Secara teknis, skripsi ini mengacu pada buku Pedoman
Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi), Jakarta:
CeQDA, Cet. II, 2007.
G. Sistematika Penulisan
Dalam sistematika penulisan skripsi ini, penulis membagi dalam
lima bagian, sebagai berikut:
BAB I : Bab ini merupakan pendahuluan yang menjelaskan
tentang latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah,
manfaat dan tujuan penulisan, tinjauan pustaka, metode serta sistematika
penulisan.
12
Didin Saefuddin Buchori, Metodologi Studi Islam (Bogor: Granada Sarana
Pustaka, 2005), Cet. I, h. 23-24. Untuk pengertian lebih lanjut tentang pendekatan
deskriptif dan analitis dapat dilihat Saifuddin Azwar, Metode Penelitian, h. 6.
15
BAB II : Bab ini merupakan penjelasan tentang biografi dan
metode penafsiran meliputi: Biografi Ibnu Katsir, Latar belakang
penulisan tafsir al-Qur’an al-Azhim, metode penafsiran tafsir al-Qur’an
al-Azhim, Biografi Hamka, Latar belakang penulisan tafsir al-Azhar,
serta metode penafsiran tafsir al-Azhar.
BAB III : Bab ini berisi analisa perbandingan tentang
penggambaran Malaikat meliputi : interpretasi Ibnu Katsir tentang ayat-
ayat mengenai hakikat Malaikat, sifat Malaikat, dan ayat-ayat tentang
tugas-tugas Malaikat, serta interpretasi Hamka tentang ayat-ayat
mengenai hakikat Malaikat, sifat Malaikat, dan ayat-ayat tentang tugas-
tugas Malaikat, disertai analisis penulis terkait masalah tersebut
berdasarkan informasi yang didapat.
BAB IV : Bab ini merupakan penutup yang berisi uraian tentang
kesimpulan dan saran-saran.
16
BAB II
BIOGRAFI IBN KATSIR DAN HAMKA
A. Ibn Katsir
1. Riwayat Hidup
Pada masa kanak-kanak, Ibn Katsir dipanggil dengan sebutan Isma‟il. Nama
lengkapnya adalah ‟Imad al-Din Abu al-Fida ‟Isma‟il Ibn ‟Amr Ibn Katsir Ibn Zara‟ al-
Busra al-Dimasyqi. Ia lahir di desa Mijdal dalam wilayah Busra (Basrah), tahun 701
H./1301 M. Ayahnya bernama al-Khatib Syihab al-Din ‟Amr Ibn Katsir, beliau adalah
seorang pemuka agama dalam bidang fiqih.1
Ibn Katsir berasal dari keluarga terhormat, ayahnya seorang ulama terkemuka di
masanya, Syihab al-Din Abu Hafs ‟Amr Ibn Katsir Ibnu Dhaw‟ Ibn Zara‟ al-Quraisy,
pernah mendalami Mazhab Hanafi, kendatipun menganut Mazhab Syafi‟i setelah menjadi
khatib di Basra.2
Dalam usia kanak-kanak, setelah ayahnya meninggal, beliau pergi ke Damsyik
bersama saudaranya untuk belajar ke beberapa ulama di sana. Di sanalah ia mulai belajar.
Guru pertamanya adalah Bahr al-Din al-Farazi (660-729 H./1261-1328 M.), tidak lama
setelah itu ia berada di bawah pengaruh Ibn Taimiyah (w. 728 H./1328 M.). Untuk jangka
waktu cukup panjang, ia hidup di Suriah sebagai seorang yang sederhana dan tidak
popular. Sebagian ulama menganggap beliau sebagai salah seorang murid Ibn Taimiyah
yang paling setia dan paling gigih mengikuti pandangan gurunya dalam masalah fiqih dan
1 Nur Faizin Maswan, Tafsir Ibn Katsir, Membedah Khazanah Klasik, (Yogyakarta: Menara Kudus,
2002), Cet. Ke-1, h.35 2 Ibn Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, (Beirut: Dar al-Fikr, tth). Jilid XIV, h. 32
17
tafsir, sampai-sampai beliau mengidentikkan diri dengan gurunya dalam masalah talak
tiga dengan satu lafaz.
Pada usia sebelas tahun, beliau menyelesaikan hafalan al-Qur‟an, dilanjutkan
memperdalam qira‟at, dari studi tafsir dan ilmu tafsir dari Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah
(661-728 H.). Di samping ulama lain, metode penafsiran Ibn Taimiyah menjadi bahan
acuan pada penulisan tafsir Ibn Katsir. Dalam bidang tafsir ia diangkat menjadi guru
besar oleh gubernur Mankali Bugha di Masjid Ummayah Damaskus.3
Selama hidupnya Ibn Katsir didampingi seorang istri yang dicintainya, bernama
Zainab, putri al-Mizzi, salah seorang gurunya. Setelah mengarungi bahtera hidup yang
panjang, dengan penuh perhatian yang besar dalam berbagai disiplin dunia keilmuan,
akhirnya pada tanggal 26 Sya‟ban 744 H/ Februari 1373 M. Ibn Katsir meninggal dunia
di Damaskus dan dimakamkan di pemakaman sufi, di samping gurunya Ibn Taimiyah.
2. Karakteristik Tafsir Ibn Katsir
a. Metodologi Tafsir Ibn Katsir
Keberadaan metode analitis (tahlili) telah memberikan sumbangan yang sangat
besar dalam melestarikan dan mengembangkan khazanah intelektual Islam, khususnya di
bidang tafsir al-Qur‟an. Berkat metode ini, maka lahirlah karya-karya tafsir yang besar, di
antaranya kitab Tafsir al-Tabari, Tafsir Ruh al-Ma’ani, Tafsir al-Maraghi dan lain-lain.
Metodologi tafsir Ibn Katsir dipandang dari segi tafsirnya termasuk dalam
kategori tahlili, yakni, suatu metode analitis yang menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an
dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang di tafsirkan
3 Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, Ensiklopedia Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Van Hoeve, 1994), h.
157
18
itu serta menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya sesuai dengan keahlian
dan kecendrungan mufasir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut.4
Ibn Katsir mengemukakan metode penafsiran yang terbaik dalam mukadimah
tafsirnya sebagai berikut:
Jika ada orang yang menanyakan, bagaimana metode penafsiran yang
terbaik, maka jawabannya adalah penafsiran al-Qur‟an dengan al-Qur‟an. Yang
mujmal pada suatu ayat diuraikan maksudnya pada ayat lain. Apabila metode ini
tidak dapat engkau lakukan, maka tafsirkanlah dengan al-Sunnah, karena al-
Sunnah merupakan penjelasan al-Qur‟an.5
Dalam metode ini, biasanya mufasir menguraikan makna yang terkandung dalam
al-Qur‟an ayat demi ayat dan surat demi surat sesuai dengan urutannya di dalam mushaf
atau disebut juga tartib mushafi.6 Uraian tersebut menyangkut berbagai aspek yang
dikandung ayat yang ditafsirkan, seperti: pengertian kosakata, konotasi kalimatnya, latar
belakang turunnya ayat, kaitannya (kolerasi) dengan ayat-ayat yang lain, baik sebelum
maupun sesudahnya (munasabah), dan tidak ketinggalan pula pendapat-pendapat yang
telah diberikan berkenaan tafsiran ayat-ayat tersebut, baik yang disampaikan oleh Nabi,
sahabat, para tabi’in maupun ahli tafsir lainnya.
b. Corak Tafsir Ibn Katsir
Tafsir Ibn Katsir disepakati oleh para ahli termasuk dalam kategori Tafsir al-
Ma’tsur. Kategori atau corak Ma’tsur yaitu penafsiran ayat dengan ayat, penafsiran ayat
dengan hadis Nabi yang menjelaskan makna sebagian ayat yang dirasakan sulit atau
4 Nashirudin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2000), Cet.
II, h. 31 5 Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adzim, (Beirut: Dar al-Fikr, 1997), Cet. I, jilid I, h. 10
6 Tartib Mushafi yaitu menyusun ayat demi ayat, surat demi surat dimulai dengan surat al-Fatihah
dan di akhiri dengan an-nas. lih. Nur Faizin Maswan, Kajian Deskriptif Ibnu Katsir, Tafsir (Yogyakarta:
Menara Kudus, 2002), h. 35-36
19
penafsiran dengan hasil ijtihad para sahabat, atau penafsiran ayat dengan hasil ijtihad
para tabi’in.7
c. Sistematika Tafsir Ibn Katsir
Sistematika yang ditempuh Ibn Katsir dalam tafsirnya yaitu, menafsirkan seluruh
ayat-ayat al-Qur‟an sesuai susunannya dalam Mushaf al-Qur‟an, ayat demi ayat dan surat
demi surat, dimulai dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat al-Nas. Maka,
secara sistematis, tafsir ini menempuh tartib mushafi.
d. Sumber Tafsir Ibn Katsir
Secara garis besar sumber-sumbernya dapat dibagi dua, yakni:
1. Sumber Riwayah
Sumber ini antara lain meliputi: al-Qur‟an, Sunnah, pendapat sahabat, pendapat
tabi‟in. Sumber-sumber tersebut merupakan sumber primer dalam tafsir ibn Katsir.
Sebenarnya dapat dikatakan bahwa materi sumber ini berasal dari sumber kedua
(dirayah), karena walaupun Ibn Katsir hafizh dan muhaddis yang mempunyai
periwayatan hadis dan menguasai periwayatan tentang hadis tafsir, dia cenderung
mengutip riwayat-riwayat penafsiran dari kitab-kitab kodifikasi dari pada menyampaikan
hasil periwayatannya. Namun, karena materi tersebut identik dengan riwayah, maka
sumber-sumber tersebut adalah sumber riwayah. Sebagai ulama mutaakhkhirin yang
sudah jauh rentang masanya dengan pemilik sumber riwayah adalah suatu sikap yang
berhati-hati dan menjaga diri apabila dia merujukan riwayat tafsir dengan kitab
modifikasi, sekalipun menguasai periwayatan.
7 Abd al-Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Mawdhu’iy, penterjemah Suryan A. Jamrah, (Jakarta:
Rajawali pers, 1994), h. 13
20
2. Sumber Dirayah
Yang dimaksud dengan sumber dirayah adalah pendapat yang telah dikutip oleh
ibn Katsir dalam penafsirannya. Sumber ini selain dari kitab-kitab kodifikasi dari sumber
riwayah juga kitab-kitab tafsir dan bidang selainnya dari para mutaakhkhirin sebelum
atau seangkatan dengannya. Terdapat pula pada sumber ini karya ulama mutaqaddimin.
Hal ini merupakan keterbukaan Ibn Katsir terhadap karya-karya dari ulama
mutaakhkhirin yang berorientasi ra’y. Maksudnya dia tidak membatasi pada kutipan
karya tafsir ma’tsur saja, namun juga memasukkan pendapat para ulama tafsir yang lahir
dari pengaruh perkembangan dan kemajuan perkembangan ilmu dalam Islam.8
3. Karya-karyanya
Ibnu Katsir adalah sosok ulama yang terkenal. Kontribusi beliau dalam berbagai
disiplin ilmu begitu besar, sehingga beliau dijuluki al-hafidz, hujjah al-muhaddits, al-
mu’arrikh, al-mufassir dan lain sebagainya. Hal ini dapat dilihat dari begitu banyaknya
karya-karya beliau yang dijadikan referensi bagi perkembangan ilmu pengetahuan.
Dalam bidang tafsir antara lain :
1. Tafsir al-Qur’an al-’Azim, lebih dikenal dengan nama Tafsir Ibn Katsir yang
diterbitkan pertama kalinya di Kairo pada 1342 H./1923 M.
2. Fada’il al-Qur’an, yang berisi ringkasan sejarah al-Qur‟an, kitab ini diterbitkan
pada halaman akhir Tafsir Ibn Katsir sebagai penyempurna.9
Dalam bidang hadis antara lain :
1. Kitab Jami’ al-Masanad wa al-Sunnah (kitab penghimpun musnad dan as-
Sunnah).
8 Abd al-Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Mawdhu’iy, h. 14
9 Nur Faizin Maswan, Tafsir Ibn Katsir, Membedah Khazanah Klasik, (Yogyakarta: Menara Kudus,
2002), cet. Ke-1, h. 42.
21
2. Takhrij al-Hadits Adillah al-Tanbih li ’Ulum al-Hadits, dikenal dengan al-Bait al-
Hadits.
3. al-Kutub al-Sittah.
4. al-Takmilah fi Ma’rifat al-Sighat wa al-Du’afa wa al-Mujahil, merupakan
perpaduan dari kitab Tahdzib al-Kamal karya al-Mizzi dan Mizan al-I’tidal karya
al-Dzahabi, berisi riwayat perawi-perawi hadis.
5. Ikhtisar Ulum al-Hadits, merupakan ringkasan dari kitab Muqaddimah Ibn Salah
(w. 642 H./1246 M.).
6. Syarh Sahih al-Bukhari, merupakan kitab penjelasan terhadap hadis-hadis
Bukhari.
Dalam bidang sejarah antara lain :
1. al-Bidayah wa al-Nihayah, merupakan rujukan terpenting bagi sejarawan yang
memaparkan berbagai peristiwa sejak awal penciptaan sampai peristiwa-peristiwa
yang terjadi pada tahun 768 H.
2. al-Kawakib al-Darari, cuplikan dari al-Bidayah wa al-Nihayah.
3. Manaqib al-Imam al-Syafi‟i.
4. Tabaqah al-Syafi’iyyah.
5. al-Fusul fi Sirat al-Rasul atau Sirah al-Nabawiyyah.
Dalam bidang fiqih.
1. Kitab al-Jihad fi Talab al-Jihad, ditulis tahun 1368-1369 M. Untuk
menggerakkan semangat juang dalam mempertahankan pantai Libanon (Syiria)
dari serbuan Raja Franks dari Cyprus, karya ini banyak memperoleh inspirasi dari
kitab Ibn Taimiyyah, al-Siyasah al-Syar’iyyah.
22
2. Kitab al-Ahkam, kitab fikih yang didasarkan pada al-Qur‟an dan al-Hadis.
3. al-Ahkam ’ala Abwab al-Tanbih, kitab ini merupakan komentar dari kitab al-
Tanbih karya al-Syirazi.
B. HAMKA
1. Riwayat Hidup Haji Abdul Malik Karim Amrullah
Haji Abdul Malik Karim Amrullah biasa di singkat dengan HAMKA. Nama
ini adalah nama sesudah beliau menunaikan ibadah haji pada 1927, dan mendapat
tambahan ‟Haji‟10
. Beliau dilahirkan di sebuah desa bernama Tanah Sirah,11
dalam
Nagari Sungai Batang, di tepi Danau Maninjau12
, Sumatra Barat, pada tanggal 17
Februari 1908 atau bertepatan pada tanggal 14 Muharram 1326 H, dari pasangan
Syekh Haji Abdul Karim Amrullah dan Siti Shafiyah. Ayahnya, Syekh Haji Abdul
Karim Amrullah, terkenal dengan sebutan Haji Rasul, adalah seorang ulama yang
cukup terkemuka dan pembukaan dalam Islam yang di waktu itu disebut orang Kaum
10
Van Hoeve, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT Ichtiar, 1994), cet. Ke- II, h. 75. 11
Harun Nasution, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1992), h. 294. 12
Danau Maninjau adalah sebuah danau di kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam, provinsi
Sumatra Barat, Indonesia. Danau ini terletak sekitar 140 kilometer sebelah utara Kota Padang, ibukota
Sumatra Barat, 36 kilometer dari Bukittinggi, 27 kilometer dari Lubuk Basung, ibukota Kabupaten Agam.
Maninjau yang merupakan danau vulkanik ini berada di ketinggian 461,50 meter di atas permukaan laut.
Luas Maninjau sekitar 99,5 km2 dan memiliki kedalaman maksimum 495 meter. Cekungannya terbentuk
karena letusan gunung yang bernama Sitinjau (menurut legenda setempat), hal ini dapat terlihat dari bentuk
bukit sekeliling danau yang menyerupai seperti dinding. Menurut legenda di Ranah Minang, keberadaan
Danau Maninjau berkaitan erat dengan kisah Bujang Sembilan. Danau Maninjau merupakan sumber air
untuk sungai bernama Batang Antokan. Di salah satu bagian danau yang merupakan hulu dari Batang
Antokan terdapat PLTA Maninjau. Puncak tertinggi diperbukitan sekitar Danau Maninjau dikenal dengan
nama Puncak Lawang. Untuk bisa mencapai Danau Maninjau jika dari arah Bukittinggi maka akan
melewati jalan berkelok-kelok yang dikenal Kelok 44 sepanjang kurang lebih 10 km mulai dari Ambun
Pagi sampai ke Maninjau. Danau ini tercatat sebagai danau terluas kesebelas di Indonesia. Sedangkan di
Sumatra Barat, Maninjau merupakan danau terluas kedua setelah Danau Singkarak yang memiliki luas
129,69 km2 yang berada di dua kabupaten yaitu Kabupaten Tanah Datar dan Kabupaten Solok. Di sekitar
Danau Maninjau terdapat fasilitas wisata, seperti Hotel (Maninjau Indah Hotel dan Pasir Panjang Permai)
serta penginapan dan restoran. Lihat, artikel ini diakses dari Wikipedia bebas, pada tanggal 29 November
2010 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Maninjau
23
Muda di Minangkabau13
. Ayah dari ibu Hamka bernama Gelanggang gelar Bagindo
Nan Batuah. Di kala mudanya terkenal sebagai guru tari, nyanyian dan pencak silat.
Di waktu Hamka masih kecil selalu mendengarkan pantun-pantun yang berarti dan
mendalam dari neneknya.14
Buya Hamka dalam memonya mengatakan ”Ayahku
menaruh harapan atas kelahiranku agar aku kelak menjadi orang alim pula seperti
ayahnya, neneknya dan nenek-neneknya yang terdahulu”. Ketika Hamka lahir,
ayahnya mengatakan kepada neneknya bahwa dia akan dikirim ke Mesir agar menjadi
ulama kelak setelah berusia sepuluh tahun.15
Ketika berusia 22 tahun, ketika beliau pulang dari tanah suci, Mekah. Dua
tahun kemudian, Hamka dikawinkan oleh ayahnya pada tanggal 29 April 1929
dengan seorang anak perempuan yaitu Siti Raham binti Endah Sutan.16
Hamka
berusia 22 tahun dan isteri beliau berusia 15 tahun dan ketika beliau berada di Jakarta
pada tanggal 5 April 1969, Hamka dan isterinya memperingati 40 tahun perkawinan
beliau. Dan pada tanggal 1 Januari 1972 isteri Hamka yang tercinta telah berpulang
ke rahmatullah di Jakarta, dengan meninggalkan cahaya mata seramai sepuluh orang
anak. Di antaranya tujuh laki-laki dan tiga perempuan, delapan sudah berkawin dan
dikaruniai cucu 21 orang.17
Satu tahun delapan bulan setelah isteri pertama Hamka
13
Minangkabau juga merujuk pada wilayah yang dihuni Suku Minangkabau atau Kerajaan
Pagaruyung atau nama sebuah Nagari atau Desa yang berada di Minangkabau, Kecamatan Sungayang,
Kabupaten Tanah Datar, Provinsi Sumatra Barat, Indonesia. Lihat artikel ini diakses dari Wikipedia bebas,
pada tanggal 29 November 2010 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Minangkabau. 14
Rusjdi Hamka, Hamka, Di Mata Hati Umat (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996), cet. Ke-III, h.
51. 15
Hamka, Kenang-kenanganHidup, h. 9. 16
Hamka, Tafsir Al-Azhar, Juz 1 (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982), h. 2 17
Pada masa ini anak-anak beliau menikah sebelum tahun 1978
24
meninggal dunia, dan pada tanggal 19 Agustus 1973, Buya Hamka menikah dengan
Hajah Siti Khadijah dari Cirebon18
, Jawa Barat.19
Hamka seorang ulama yang terkenal, penulis yang produktif20
dan mubalig21
besar yang berpengaruh di Asia Tenggara dan beliau adalah ketua Majelis Ulama
Indonesia yang pertama. Dan anak putra kepada Haji Abdul Karim Amrullah seorang
tokoh pelopor gerakan Islam ‟Kaum Muda‟ di Minangkabau.22
Sejak di usia muda,
18
Kota Cirebon adalah sebuah kota mandiri terbesar kedua di Provinsi Jawa Barat, setelah ibukota
Jawa Barat, yakni Kota Bandung. Kota ini berada di pesisir Laut Jawa, di jalur pantura. Jalur Pantura
Jakarta – Cirebon – Semarang merupakan jalur terpadat di Indonesia. Kota Cirebon juga adalah kota
terbesar keempat di wilayah Pantura setelah Jakarta, Surabaya, dan Semarang. Karena letaknya yang sangat
strategis yakni di persimpangan antara Jakarta, Bandung dan Semarang, menjadikan kota Cirebon sangat
cocok dan potensial untuk berinvestasi dalam segala bidang investasi seperti hotel, rumah makan, pusat
perbelanjaan baru, dan pendidikan. Sehingga Kota Cirebon merupakan pilihan yang sangat tepat untuk
berinvestasi. Dengan didukung oleh kegiatan ekonomi yang baik dan terpadu menjadikan Kota Cirebon
berkembang menjadi Kota METROPOLITAN ketiga di Jawa Barat setelah metropolitan BoDeBeK (Bogor,
Depok, Bekasi) yang merupakan hinterland / kota penyangga bagi ibukota Jakarta dan metropolitan
Bandung. Kota Cirebon merupakan pusat bisnis, industry, dan jasa di wilayah Jawa Barat bagian timur dan
utara. Banyak sekali Industri baik sekala kecil, menengah dan besar menanamkan modalnya di kota wali,
Cirebon. Dengan didukung dengan banyaknya orang-orang yang bekerja, beraktifitas dan menuntut ilmu di
Kota Cirebon, sekitar kurang lebih 1 juta orang, menjadikan kota Cirebon lebih hidup. Pembangunan di
Kota Cirebon juga menggeliat dan menunjukkan respon positif, hal ini terbukti dengan banyaknya
bangunan-bangunan besar dan tinggi yang berada di jalan-jalan utama Kota Cirebon. Saat ini, wajah Kota
Cirebon telah berubah, menjadi kota modern mandiri ketiga di Pulau Jawa bagian barat setelah Jakarta
dengan kota-kota satelitnya (Bogor, Depok, Banten, dan Bekasi) dan Bandung Raya dengan kota-kota
satelitnya (Tasikmalaya, Cimahi, Subang, Purwakarta, Cianjur, Garut). Kini pemerintah wilayah Cirebon
sedang giat-giatnya mengembangkan potensi wilayah kota Cirebon Metropolitan dengan kota-kota
satelitnya (Indramayu, Majalengka, Kuningan, dan sebagian Jawa Tengah bagian barat yakni Tegal, Brebes
Purwokerto dan Pekalongan). Dahulu Cirebon merupakan ibu kota Kesultanan Cirebon dan Kabupaten
Cirebon, namun ibu kota Kabupaten Cirebon kini telah dipindahkan ke Sumber. Cirebon juga disebut
dengan nama „Kota Udang‟ dan „Kota Wali‟. Sebagai daerah pertemuan budaya Jawa dan Sunda sejak
beberapa abad silam, masyarakat Cirebon biasa menggunakan dua bahasa, bahasa Sunda dan Jawa. Lihat
artikel ini diakses dari Wikipedia bebas, pada tanggal 29 November 2010 dari
http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Cirebon. 19
Rujidi Hamka, Hamka, Di Mata Hati Umat, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996), cet. Ke – III,
h. 51-52. 20
Produktif : banyak mendatangkan hasil. (W.J.S. Poerwadarminta. Kamus Umum Bahasa
Indonesia. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Balai Pustaka.) Edisi III, cet ke – III, h. 911. 21
Mubalig : orang yang menyiarkan ajaran agama Islam. (W.J.S. Poerwadarminta. Kamus Umum
Bahasa Indonesia. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Balai Pustaka.) Edisi III, cet ke – III, h.
776. 22
Van Hoeve, Ensiklopedi Islam, (Jakarta : Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, 1994), cet ke – II, h.
75
25
Hamka sudah di kenal sebagai seorang kelana, bahkan ayahnya menamakan beliau
‟Si Bujang Jauh‟.23
Dua bulan sebelum wafatnya, Hamka yang sejak tahun 1975 menjadi Ketua
Umum Majelis Indonesia, mengundurkan diri dari jabatan tersebut. Pengunduran diri
ini disebabkan oleh masalah perayan ‟natal bersama‟ antara umat Kristen dan agama
lain, termasuk Islam. Majelis Ulama Indonesia, yang Hamka menjadi ketua
umumnya, mengeluarkan fatwa bahwa haram hukumnya seorang muslim mengikuti
perayaan natal.
Dua bulan sesudah pengunduran dirinya sebagai Ketua Umum Majelis Ulama
Indonesia, Hamka telah dimasukkan ke Rumah Sakit, tersebab serangan jantung yang
cukup berat. Selama lebih kurang satu minggu Hamka dirawat di Rumah Sakit
Pertamina Pusat Jakarta, ditangani oleh para dokter ahli. Namun, kendatipun dokter
telah mengerahkan seluruh kemampuan mereka bagi kesembuhan Hamka, akan tetapi
Allah SWT lebih menyayangi beliau, karena sesungguhnya Allah lagi mengetahui
setiap sesuatu yang terbaik bagi makhluknya. Pada tanggal 24 Juli 1981, Hamka telah
dikelilingi oleh isteri tersayang, Khadijah dan putranya Afif Amrullah, dan beberapa
teman dekat Hamka, beliau telah berpulang ke rahmatullah dalam usia 73 tahun.
Hamka menutup mata dalam suatu penyelesaian tugas, dengan meminjam
kata-kata Leon Agusta, ”di akhir pementasan yang rampung” dalam kapasitas sebagai
mantan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia. Dengan predikat keulamaan itu,
Hamka memastikan ‟kehadirannya‟ dalam upaya menggenapi kredo hidupnya
sendiri” sekali berbakti sudah itu mati”.
23
Van Hoeve, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT Ichtiar, 1994), cet ke – II, h. 75
26
2. Sejarah Intelektual (Pendidikan)
Pada waktu kecil Hamka dipanggil Abdul Malik, dan dia mengawali
pendidikannya yang pertama dengan belajar membaca al-Qur‟an di rumah orang tuanya,
ketika mereka sekeluarga pindah dari Maninjau ke Padang-panjang, pada tahun 1914 M.
Hamka pada waktu kecil belum memperoleh pendidikan formal dan hanya sempat masuk
ke sekolah desa selama tiga tahun.24
Pada tahun 1916, ketika Zainuddin Labai el-Yunusi mendirikan Diniyah School
pada petang hari, di Pasar Usang Padangpanjang, Hamka lalu dimasukkan oleh ayahnya
ke sekolah ini. Pagi hari, Hamka pergi sekolah ke sekolah desa. Dan pada malam hari
berada di surau bersama teman-teman sebayanya. Inilah seputar kegiatan Hamka sehari-
hari pada usia kecil. Dan putaran kegiatan Hamka ini dapat dirasakan oleh beliau sebagai
sesuatu yang tidak ada kebebasan dan tidak menyenangkan dan sangat mengekang
kebebasan masa kanak-kanaknya.25
Pada tahun 1918, di saat Abdul Malik, si Hamka kecil itu, sudah dikhitankan di
kampung halamannya, Maninjau dan di waktu yang sama, ayahnya, Syekh Abdul Karim
Amrullah, kembali dari perlawatan pertamanya ke tanah Jawa, Surau Jembatan Besi
tempat Syekh Abdul Karim Amrullah memberikan pelajaran agama dengan sistem lama,
diubah menjadi madrasah yang kemudian dikenal dengan Thawalib School. Dan dengan
hasrat agar anaknya kelak menjadi ulama seperti dia pula, Syekh Abdul Karim Amrullah
24
Hamka, Kenang-Kenangan Hidup, h. 28 25
M. Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: Penamadani, 2003), cet ke –
II, h. 40
27
memasukkan Hamka ke dalam Thawalib School. Sedangkan di sekolah desa, Hamka
berhenti.26
Thawalib School dalam perkembangan awal ini, masih belum mampu melepaskan
diri dari cara-cara lama belajar agama. Kendatipun demikian, unsur kebaruan sudah
memasuki lembaga pendidikan ini. Malah menurut Mahmud Yunus, Surau Jembatan Besi
yang sejak mula memberikan pelajaran agama dalam sistem lama, merupakan surau
pertama di Minangkabau dengan mempergunakan sitem klasikal. Tercatat ada tujuh kelas
yang disediakan oleh Thawalib School diawal perubahannya. Namun, kendatipun sitem
klasikal sudah diberlakukan oleh Thawalib School, kurikulum dan materi pelajaran masih
menggunakan cara lama. Buku-buku lama dengan keharusan menghafal, masih
merupakan ciri utama dari sekolah ini. Inilah yang membuat Hamka menjadi cepat bosan
dan malas, meminjam istilah Hamka sendiri, memusingkan kepalanya.27
Akan tetapi,
Hamka pada setiap tahun tetap naik kelas, samapai ia menduduki kelas empat.28
Dalam pembelajaran Hamka, keseriusan belajar tidak tumbuh dari dalam, tetapi
dipaksa dari luar. Keadaan inilah yang kemudian membawa Hamka berada di
perpustakaan umum milik Zainuddin Labai El-Yunusi dan Bagindo Sinaro. Hamka
menjadi asyik di perpustakaan itu dengan banyak membaca buku-buku cerita dan sejarah.
Perpustakan itu, yang di beri nama dengan Zainaro, memberikan bentuk keghairahan
tertentu bagi Hamka. Tindihan rasa tertekan yang dirasakan selama ini membuat Hamka
menjadi pelarian di perpustakaan ini dan membuatkan dirinya bebas dengan buku-buku
26
M. Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: Penamadani, 2003), cet ke –
II, h. 41. 27
Keharusan mengahafal buku-buku matan Taqrib, Matan Bina, dan Fathul Qarib, sangat
membosankan dan sangat memusingkan kepala. Hamka, Kenang-kenangan Hidup, h. 58. 28
M. Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: Penamadani, 2003), cet ke –
II, h. 41
28
tersebut. Imajinasinya sebagai seorang kanak-kanak dapat bertumbuh, tapi sayang,
pertumbuhan imajinasi masa kanak-kanaknya itu sekali lagi mendapat jegalan juga.29
Ketokohan Hamka tidak hanya di Indonesia, tapi hingga mancanegara. Hal ini
dibuktikan dengan berbagai penghargaan yang diperolehnya. Seperti anugrah kehormatan
Doctor Honoris Causa, Universitas al-Azhar, 1958 dan Doktor Honoris Causa,
Universitas Kebangsaan Malaysia, 1974 dan juga gelar Datuk dan Pengeran Wiroguno
dari Pemerintah Indonesia.30
Karena menghargai jasa-jasanya dalam penyiaran Islam dan
sejak itu, beliau berhak untuk memakai gelar Dr. di depan namanya. Hamka bercita-cita,
sebagaimana dalam ceramahnya ”membangun al-Azhar kedua di Indonesia, setelah
Mesir.” Kini cita-cita Hamka sudah mulai terwujud dalam bentuk lembaga pendidikan al-
Azhar.31
3. Karya-Karyanya
Sepanjang hidupnya Buya Hamka tidak henti-henti menulis dan berpidato.
Profesinya itu telah menghasilkan lebih dari 100 buah buku, ratusan makalah, essay dan
artikel yang tersebar dalam berbagai media massa. Buya Hamka membangun reputasinya
sebagai pengarang yang menulis berbagai hal. Ia juga seorang wartawan dan editor di
berbagai majalah, di samping itu menulis cerita pendek dan novel romantis di masa-masa
sebelum perang. Hamka adalah satu di antara pengarang terpintar diluar kalangan
kesusastraan yang resmi seperti di tulis oleh Prof. A Teeaw. Dikatakan demikian karena
29
“Apakah engkau akan menjadi orang alim, gantikan aku atau menjadi tukang cerita,” semprot
ayahnya, ketika pada suatu ketika Hamka tertangkap basah sedang asyik membaca buku cerita silat. Pada
masa itu juga, Hamka mengalami suatu peristiwa yang menggoncangkan jiwanya, diatas sebab penceraian
ibu dan ayahnya. Lihat Hamka, Kenang-Kenangan Hidup, h. 63 30
Detik Forum, Buya Hamka Ulama dan Politisi, artikel ini diakses pada tanggal 29 November dari
http://forum.detik.com/buya-hamka-ulama-sastrawan-dan-politisi-t46943.html?t=46943 31
Antara pusat pengajian yang di cita-citakan oleh Hamka, kini berada di Kebayoran Baru, Jakarta
Selatan, yaitu UHAMKA. Lihat, Harun Nasution, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: Djambatan,
1992), h. 295.
29
Hamka tidak bisa dimasukkan sebagai pengarang Angkatan Balai Pustaka. Karya Hamka
mulanya muncul dalam majalah Islam, Pedoman Masyarakat dan cerita bersambung.
Karena itu ia disebut sastrawan ”berhaluan Islam” dan menjadikan kesusastraan sebagai
alat dakwah.32
Hamka adalah seorang otodidak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti
filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Dengan
kemahiran bahasa Arabnya tinggi, beliau dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga
besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-
Manfaluti dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, beliau meneliti karya sarjana
Perancis, Inggris dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud,
Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx dan Pierre Loti. Hamka juga rajin membaca
dan bertukar-tukar pikiran dengan tokoh-tokoh terkenal di Jakarta seperti HOS
Tjokroaminoto, Raden Mas Surjopranoto, Haji Fachrudin, Ar Sutan Mansur dan Ki
Bagus Hadikusumo sambil mengasah bakatnya sehingga menjadi seorang ahli pidato
yang handal.
Hamka meninggalkan karya yang sangat banyak, di antaranya yang sudah
dibukukan tercatat lebih kurang 118 buah, belum termasuk karangan-karangan panjang
dan pendek yang dimuat di berbagai media massa dan disampaikan dalam beberapa
kesempatan kuliah atau ceramah ilmiah. Tulisan-tulisan itu meliputi banyak bidang
kajian, seperti politik, sejarah, budaya, akhlak, dan ilmu-ilmu keislaman. Antara aktivitas
yang lain, selain dalam penulisan Hamka, beliau juga memimpin majalah-majalah Islami
antaranya Majalah Pedoman Masyarakat, pada tahun 1936-1942, Majalah Panji
32
Wikipedia bebas, Museum rumah kelahiran Hamka, artikel ini diakses pada tanggal 29 November
2010 dari http://adeirwansyah.wordpress.com/2010/02/23/nyanyi-sunyi-museum-kelahiran-hamka/
30
Masyarakat dari tahun 1956, dan juga memimpin Majalah Mimbar Agama (Departemen
Agama), 1950-1953.
B. Profil Tafsir Al-Azhar
1. Sejarah Penulisan Tafsir al-Azhar
Hamka dikenal memiliki pendirian yang teguh dan sangat tegas dalam bersikap,
sehingga dengan ketegasannya itu kerap kali ia menemui hambatan-hambatan dan tak
jarang pula ia difitnah untuk mendeskreditkan dirinya. Karena fitnah ini pula, Hamka
pernah merasakan hotel prodeo pada masa rezim orde lama33
, rezim Soekarno. Namun,
meskipun Hamka di penjara, kegemarannya dalam menulis tidak berhenti begitu saja.
Justru, ketika di penjara Hamka mampu menyelesaikan sebuah karya yang monumental
yang dikemudian hari menjadi rujukan pemeluk Islam dan sangat berpengaruh. Karya
tersebut adalah Tafsir Al-Qur‟an yang diberi nama Tafsir Al-Azhar. Nama tersebut di
ambil dari nama Masjid Al-Azhar tempat dimana ia mengabdikan dirinya menjadi Imam
dan nama Universitas yang pertama kali memberikan penghargaan Doktor Honoris Causa
kepadanya, Universitas Al-Azhar Cairo, Mesir.34
Tafsir al-Azhar adalah karya utama dan terbesar beliau di antara lebih dari 118
karyanya dalam bidang sastra, sejarah, tasawuf dan agama. Permulaan penafsiran al-
33
Masa Orde Lama (1959-1965) tercatat sebagai masa paling gelap dalam sejarah kehidupan
kebangsaan Indonesia. Presiden Soekarno mencanangkan Konsepsi Presiden yang secara operasional
terwujud dalam bentuk Demokrasi Terpimpin. Demokrasi Terpimpin memusatkan seluruh kekuasaan
ditangan Presiden. Para pemimpin nasional Mochtar Lubis, K.H. Isa Anshari, Mr. Assaat, Mr, Sjafruddin
Prawiranegara, Boerhanuddin Harahap, S.H., M. Yunan Nasution, Buya Hamka, Mr, Kasman
Singodimedjo dan K.H E.Z. Muttaqin yang bersikap kritis terhadap politik Demokrasi Terpimpin,
ditangkap dan dipenjarakan tanpa proses pengadilan itu ialah pecahnya pemberontakan berdarah
G.30.S/PKI. Sesudah seluruh kekuatan bangsa yang anti komunis bangkit menghancurkan pemberontakan
tersebut, datanglah zaman baru yang membawa banyak harapan. Yaitu era Orde Baru yang bertekad
melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Pada masa inilah, para pemimpin
bangsa yang dipenjarakan oleh rezim Orde Lama dibebaskan. Lihat
http://www.legalitas.org/?q=Konfigurasi+Politik+pada+Era+Orde+Lama+dan+Orde+Baru%3A+Suatu+Tel
aahan+dalam+Partai+Politik artikel ini diakses pada tanggal 29 November 2010. 34
Disarikan dari buku Ensiklopedia tokoh Muhammadiyah dan Majalah Suara Muhamadiyah no
08/th. Ke-93/16-30 April 2008
31
Qur‟an ini dilakukannya sejak tahun 1958 M. Hal ini, dilakukan lewat kuliah subuh
jamaah masjid al-Azhar Kebayoran Baru Jakarta, di mulai dari surat al-Kahfi, juz XV.
Pada hari Senin 12 Ramadhan 1383, bertepatan dengan 27 Januari 1964, sesaat
setelah Hamka memberikan pengajian di hadapan lebih kurang 100 orang kaum ibu di
Mesjid al-Azhar, ia di tangkap oleh penguasa Orde Lama, lalu dijebloskan dalam
tahanan. Sebagai tahanan politik, Hamka ditempatkan di beberapa rumah peristirahatan di
kawasan puncak yaitu Bungalow Herlina, Harjuna, Bungalow Brimob Megamendung
dan Kamar Tahanan Polisi Cimacan. Di rumah tahanan inilah Hamka mempunyai
kesempatan yang cukup luas untuk mengarang Tafsir al-Azhar.35
Kesehatan Hamka pada ketika itu semakin mulai menurun, dan disebabkan
ketidaksehatan, Hamka dibawa ke Rumah Sakit Persahabatan Rawamangun Jakarta.
Walaupun keadaan kesehatan Hamka belum pulih sepenuhnya, dengan semangat yang
kental Hamka meneruskan penulisannya terhadap Tafsir al-Azhar selama masa perawatan
di rumah sakit.
Akhirnya, setelah kejatuhan Orde Lama, kemudian Orde Baru bangkit di bawah
pimpinan Soeharto, lantas kekuatan PKI pun tumpas, Hamka dibebaskan dari tuduhan.
Pada tanggal 21 Januari 1966, Hamka kembali dengan penuh kebebasan setelah
mendekam selama dalam tahanan selama lebih kurang dua tahun, dengan tahanan rumah
dua bulan, dan tahanan kota dua bulan. Dengan kesempatan yang luas ini, Hamka
mempergunakan waktunya untuk memperbaiki serta menyempurnakan Tafsir al-Azhar
yang sudah pernah ditulis di beberapa rumah tahanan sebelumnya.
35
M. Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: Penamadani, 2003), cet ke –
II, h. 56.
32
Penerbitan pertama Tafsir al-Azhar dilakukan oleh Penerbit Pembimbing Masa,
pimpinan Haji Mahmud. Cetakan pertama oleh Pembimbing Masa, merampungkan
penerbitan dari juz pertama sampai juz keempat. Kemudian diterbitkan pula juz 30 dan
juz 15 sampai dengan juz 29 oleh Pustaka Islam Surabaya. Dan akhirnya juz 5 sampai
dengan juz 14 diterbitkan oleh Yayasan Nurul Islam Jakarta.36
2. Metodologi Penafsiran Tafsir al-Azhar.
Tafsir adalah penjelasan tentang arti dan maksud firman-firman Allah SWT yang
tercantum dalam al-Qur‟an sesuai dengan kemampuan manusia yang telah memiliki
perangkat syarat-syarat tertentu. Setiap Muslim, didorong untuk memperhatikan ayat-ayat
Tuhan, baik yang terbentang di alam raya ini (ayat kauniyah) maupun yang tertulis dalam
mushaf (ayat qawliyah). Al-Qur‟an diturunkan untuk menjadi petunjuk bagi masyarakat
yang hidup pada masa dulu dan masa-masa akan datang. Interpretasi dari keragaman
corak, metode, dan hasil penafsiran ayat-ayat al-Qur‟an, sehingga bermunculanlah
keragaman corak penafsiran serta pendapat yang menyangkut ayat-ayat al-Qur‟an. Ini
semua melahirkan corak ragam tafsir, corak-corak penafsiran yang lain selain dari yang
terdahulu adalah:37
a) Corak sastra kebahasaan, yang timbul akibat banyaknya pemeluk agama
Islam yang tidak mendalami bahasa Arab, baik dari orang Arab sendiri dan
lebih-lebih lagi non-Arab. Ketika kita semua membutuhkan penjelasan
menyangkut kedalaman makna serta ketelitian dan keistimewaan redaksi al-
Qur‟an.
36
M. Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: Penamadani, 2003), cet ke-
II, h. 56-57. 37
M. Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: Penamadani, 2003), cet ke-
II, h. xxx-xxxiii-xxxiv
33
b) Corak filsafat dan teologi, akibat penerjemahan kitab-kitab filsafat Yunani
yang mempengaruhi pemikiran sementara pihak, serta akibat Islamnya
pemeluk agama lain yang secara sadar atau tidak, sebagian keyakinan lama
mereka masih berbekas, serta dalam rangka menghadapi penganut ajaran yang
berbeda dengan ajaran al-Qur‟an.
c) Corak penafsiran ilmiah, akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan keyakinan
sementara ulama tentang tercakupnya segala macam ilmu dalam al-Qur‟an.
d) Corak fiqh / hukum, berkembangnya ilmu fiqh dan terbentuknya madzhab-
madzhab fiqh di mana setiap golongan berusaha membuktikan kebenaran
pendapatnya berdasarkan al-Qur‟an al-Karim.
e) Corak tasauf, timbulnya gerakan-gerakan sufi sebagai relasi dari
kecenderungan berbagai pihak terhadap kehidupan duniawi, atau kompensasi
terhadap kelemahan yang dirasakan, atau sebagai kecenderungan pribadi
terlepas dari pengaruh-pengaruh luar.
f) Corak sastra budaya kemasyarakatan, bermula dari Syeikh Muhammad
Abduh (1849 – 1905), corak-corak tersebut di atas mulai berkurang kemudian
perhatian orang banyak tertuju kepada corak sastra budaya kemasyarakatan,
yakni suatu corak yang menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat-ayat al-Qur‟an
yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat serta usaha-usaha
untuk menanggulangi penyakit-penyakit atau problem-problem mereka
berdasarkan ayat-ayat, berdasarkan petunjuk-petunjuk kedalam bahasa yang
mudah untuk dimengertikan tapi indah untuk di dengar.38
38
M. Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: Penamadani, 2003), cet ke-
II, h. xxx-xxxiii-xxxiv
34
Tafsir al-Azhar, karya Hamka, merupakan salah satu tafsir yang mengambil
corak penafsiran ini. Corak tafsir ini walaupun menyangkut berbagai permasalahan yang
berkaitan dengan kandungan ayat yang ditafsirkan, misalnya: filsafat, teologi, hukum,
tasauf, dan sebagainya, namun penafsiran tersebut tidak keluar dari ciri dan coraknya
yang menanggulangi penyakit-penyakit masyarakat, dan mendorongnya guna meraih
kemajuan duniawi dan ukhrawi berdasarkan petunjuk-petunjuk al-Qur‟an.39
Secara khusus penafsiran Hamka menyangkut ayat-ayat yang berkaitan
dengan teologi Islam (ilmu kalam). Ilmu Tawhid (ilmu kalam), yang secara sederhana
sering didefenisikan sebagai ilmu yang membahas ketuhanan serta hubungan-Nya dengan
alam semesta, terutama manusia, di samping menggunakan dalil-dalil ‟aqli (argumen
rasional) juga menggunakan dalil-dalil naqli (nash-nash agama).40
39
M. Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: Penamadani, 2003), cet ke-
II, h. xxxiv 40
M. Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: Penamadani, 2003), cet ke-
II, h. xxxv
35
BAB III
Analisa Perbandingan Tentang Penggambaran Malaikat
A. Hakikat Malaikat.
Alam Malaikat adalah alam yang mulia lagi suci, yang dipilih Allah di dunia karena
kedekatan mereka kepada-Nya dan karena mereka senantiasa melaksanakan perintah-perintah
Allah, baik yang bersifat kauni maupun syar‟i. Orang kafir Mekah mengatakan bahwa Malaikat
adalah anak perempuan Allah (QS. al-Anbiya‟ : 26 – 29)1.
“Dan mereka berkata: "Tuhan yang Maha Pemurah Telah mengambil (mempunyai)
anak", Maha Suci Allah. Sebenarnya (malaikat-malaikat itu), adalah hamba-hamba yang
dimuliakan, Mereka itu tidak mendahului-Nya dengan perkataan dan mereka mengerjakan
perintah-perintahNya. Allah mengetahui segala sesuatu yang dihadapan mereka (malaikat) dan
yang di belakang mereka, dan mereka tiada memberi syafaat2 melainkan kepada orang yang
diridhai Allah, dan mereka itu selalu berhati-hati Karena takut kepada-Nya. Dan barangsiapa di
antara mereka, mengatakan: "Sesungguhnya Aku adalah Tuhan selain daripada Allah", Maka
orang itu kami beri balasan dengan Jahannam, demikian kami memberikan pembalasan kepada
orang-orang zalim.” (QS. Al-Anbiya‟ [21] : 26 – 29)
”Ayat ini menjelaskan hakikat para Malaikat sebagai makhluk ciptaan Allah yang sangat
mulia, dan bukan anak perempuan yang diambil atau diangkat oleh Allah seperti yang dikatakan
orang kafir Mekah. Maksud dari kalimat {بم عبب د يكشي} adalah para Malaikat itu hamba Allah
yang dimuliakan di sisi-Nya yang menempati kedudukan yang tinggi serta memiliki tingkat
kemuliaan yang luhur. Mereka berada pada puncak ketaatan kepada-Nya baik dalam perkataan
1 Ayat Ini diturunkan untuk membantah tuduhan-tuduhan orang-orang musyrik yang mengatakan bahwa
malaikat-malaikat itu anak Allah. 2 Syafa‟at: usaha perantaraan dalam memberikan sesuatu manfaat bagi orang lain atau mengelakkan sesuatu
mudharat bagi orang lain. Syafa‟at yang tidak diterima di sisi Allah adalah syafa‟at bagi orang-orang kafir, syafa‟at
yang baik ialah setiap syafa‟at yang ditujukan untuk melindungi hak seorang muslim atau menghindarkannya dari
sesuatu kemudharatan. Syafa‟at yang buruk ialah kebalikan dari syafa‟at yang baik.
36
maupun perbuatan. Maksud dari kalimat selanjutnya ( ه ع ى بأ يش ل بب نق (ال غبق adalah
mereka tidak mendahului-Nya dalam satu perkara pun, dan tidak pula menentang apa yang
diperintahkan-Nya kepada mereka. Mereka senantiasa bersegera melaksanakan perintah-Nya.
Dia-lah Allah Yang Mahatinggi, yang pengetahuan-Nya meliputi mereka. Tidak ada yang
tersembunyi bagi-Nya perkara apa pun dari mereka. Allah mengetahui segala sesuatu yang ada di
hadapan para Malaikat dan apa-apa yang di belakang mereka (Malaikat). Maksud dari kalimat
yang tertera (اس حط اال ن ( ال شفع adalah para Malaikat tidak diberi kewenangan untuk
memberi syafaat kepada orang melainkan orang yang diridhai oleh Allah.3 Lalu bagaimana
maksud kata ( يشفق خشخ ى ي ) Maksudnya adalah mereka selalu berhati-hati lantaran sangat
takut kepada-Nya. Maksud ( د ي ى إ إن قم ي ( ي adalah yang harus disembah selain Allah,
maksud ( ى كز نك جض انظه ج (فز نك جض adalah yang mengatakan hal itu.4
Dari kutipan di atas Ibn Katsir menafsirkan bahwa Malaikat adalah hamba Allah yang
sangat dimuliakan di sisi-Nya yang menempati kedudukan yang tinggi serta memiliki tingkat
kemuliaan yang luhur. Mereka berada pada puncak ketaatan kepada-Nya baik dalam perkataan
maupun perbuatan, mereka tidak mendahului-Nya dalam satu perkara pun, dan tidak pula
menentang apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka. Mereka senantiasa bersegera
melaksanakan perintah-Nya. Dia-lah Allah Yang Mahatinggi, yang pengetahuan-Nya meliputi
mereka. Tidak ada yang tersembunyi bagi-Nya perkara apa pun dari mereka. Allah mengetahui
segala sesuatu yang ada di hadapan para Malaikat dan apa-apa yang di belakang mereka
(Malaikat). Para Malaikat tidak diberi kewenangan untuk memberi syafaat kepada orang
melainkan orang yang diridhai oleh Allah, lalu siapakah orang yang diridhai oleh Allah untuk
diberikan syafa‟at oleh Malaikat? Ibn katsir dalam tafsirnya mengatakan bahwa Muhammad
yang Allah izinkan untuk mendapatkan syafa‟at terbesar tersebut.5 Kemudian Hamka dalam
tafsirnya al-Azhar mengatakan bahwa Malaikat adalah hamba-hamba Allah yang bertambah
3 Sebagaimana firman-Nya, ( اال بب ر ذ را انز شفع ء (ي maksudnya adalah tidak ada satupun yang berhak
memberi syafaat terkecuali telah mendapatkan izin dari-Nya (QS. al-Baqarah : 255), sama halnya seperti yang
disebutkan dalam surat Saba‟ ayat 23.
4 Ini adalah syarat yang bermakna pengandaian, dan syarat yang bermakna pengandaian itu tidak mesti
terjadi. Sebagaimana firman-Nya,dalam surat al-Zukhruf ayat 81dan az-Zumar ayat 654”
5 Katsîr, Imâduddîn Abû al-Fidâ Ismaîl Ibn. Tafsîr al-Qu'ran al-Azîm, (Kairo: Dar al-Hadîts, 1998), Jus 3,
h. 499 - 501.
37
tinggi perhambaannya, bertambah pula kemuliaannya, dan selalu setia melaksanakan perintah.
Kemuliaan ini dilihat dari penugasan Malaikat oleh Allah sebagai duta-duta istimewa dalam
memelihara dan mengatur wahyu. Selalu mengucapkan tasbih siang malam tanpa henti. Hamka
dalam tafsirnya mengatakan bahwa Wali Allah6 adalah orang yang diberi izin oleh Allah untuk
mensyafa‟atinya.7
“Tanyakanlah (Ya Muhammad) kepada mereka (orang-orang kafir Mekah): "Apakah
untuk Tuhanmu anak-anak perempuan dan untuk mereka anak laki-laki8, Atau apakah kami
menciptakan malaikat-malaikat berupa perempuan dan mereka menyaksikan(nya)? Ketahuilah
bahwa Sesungguhnya mereka dengan kebohongannya benar-benar mengatakan "Allah beranak".
dan Sesungguhnya mereka benar-benar orang yang berdusta. Apakah Tuhan memilih
(mengutamakan) anak-anak perempuan daripada anak laki-laki? Apakah yang terjadi padamu?
bagaimana (caranya) kamu menetapkan? Maka apakah kamu tidak memikirkan? Atau apakah
kamu mempunyai bukti yang nyata? Maka bawalah kitabmu jika kamu memang orang-orang
yang benar. Dan mereka adakan (hubungan) nasab antara Allah dan antara jin. dan
Sesungguhnya jin mengetahui bahwa mereka benar-benar akan diseret (ke neraka ), Maha Suci
Allah dari apa yang mereka sifatkan, Kecuali hamba-hamba Allah9 yang dibersihkan dari
(dosa).” (QS. Ash-Shaffaat [37] : 149 – 160)
”Di surat ini Allah berfirman, memerintahkan Nabi Muhammad untuk bertanya kepada
mereka,10
bagaimana mungkin mereka menisbahkan kepada Allah sesuatu yang mereka sendiri
tidak memilihnya. Mereka menisbahkan Allah memiliki anak perempuan, sementara mereka
sendiri benci kepada anak perempuan. Dia berfirman, ى) (فب عخفخ yakni, tanyakan kepada mereka
6 QS. Yunus [10] : 62 – 64.
7 Hamka, Tafsîr al-Azhar (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), Juz. XVII - XVIII, h. 31 - 34.
8 Orang musyrikin mengatakan bahwa Allah mempunyai anak-anak perempuan (malaikat), padahal mereka
sendiri menganggap hina anak perempuan itu. 9 Yang dimaksud hamba Allah di sini ialah golongan jin yang beriman.
10 Mereka di sini adalah orang-orang kafir Mekah yang mengatakan bahwa Malaikat itu adalah anak
perempuan Allah.
38
sebagai bentuk pengingkaran ( ى انب ن .( أ نش بك انبب ث 11
Maksud ( ذ ى ش ثب هئكت أ (أو خهقب ان
Yakni, bagaimanakah mereka bisa sampai menetapkan bahwa para Malaikat adalah perempuan,
sedang mereka tidak menyaksikan penciptaan Malaikat tersebut?12
Maksud, ى) إفك ى ي (أ ال إ yakni
kedustaan mereka, ( (نذ اهلل* نق ن ”Yakni, telah lahir anak dari-Nya. ( ى نكزب ( إ13
Kemudian
Allah berfirman sebagai pengingkaran terhadap mereka, ( Yakni, faktor ) أ صطف انبب ث عه انب
apakah yang menjadikan Allah lebih mengutamakan anak perempuan daripada anak laki-laki?14
Karenanya, Allah berfirman, ( ف ححك (يب نكى ك yakni, apakah kalian tidak memiliki akal guna
merenungkan apa yang kalian ucapkan? ( * أفال حز كش يب (او نكى عهطب maksudnya adalah
hujjah/argumentasi atas perkataan kalian.) ( خى صذق ك ا بكخبكى إ فأ ح Yakni, tunjukkanlah bukti akan
hal itu, bukti yang bersandar kepada Kitab yang diturunkan dari langit, bahwa Allah menjadikan
anak seperti yang kalian ucapkan. Sesungguhnya apa yang kalian ucapkan itu tidak mungkin
untuk disandarkan kepada akal, bahkan akal tidak menerima hal itu secara mutlak.Firman
Allah, انجت غبب) ب (جعها ب Mujahid berkata, ‟Orang-orang musyrik mengatakan bahwa para
Malaikat adalah anak perempuan Allah. Maka Abu Bakar berkata, ‟Lantas siapakah ibu
mereka?‟ Mereka menjawab: Yaitu anak perempuan jin yang memiliki derajat kehormatan.”15
Demikian pula yang dikatakan oleh Qatadah dan Ibnu Zaid. Allah berfirman, ج ا نجت) ( نقذ عه
”Dan sesungguhnya jin mengetahui,” yakni, jin yang dianggap oleh orang-orang musyrik
memiliki hubungan nasab, mengetahui ( حعش ى ن (إ ”Bahwa mereka benar-benar akan diseret
(ke Neraka),” yakni, orang-orang yang mengatakan demikian akan diseret menuju siksaan pada
hari Perhitungan, disebabkan kedustaan, pengada-adaan dan ucapan bathil mereka yang tidak
didasari ilmu pengetahuan. Firman Allah, ( ب صف اهلل ع (عبح ”Mahasuci Allah dari apa yang
mereka sifatkan,” yakni, Mahatinggi Allah, Mahasuci Dia, lagi terbebaskan dari memiliki anak
dan dari apa yang disifatkan oleh orang-orang zhalim lagi ingkar. Mahatinggi Dia dengan
ketinggian yang besar. Firman Allah, ( خهص (إ ال عبب داهلل ان ”Kecuali hamba-hamba Allah yang
dibersihkan dari (dosa),” merupakan bentuk pengecualian yang terputus dari kata ‟mereka‟ pada
firman, ( ب صف (ع ”Dari apa yang mereka sifatkan.”16
Kalau pengecualian dari seluruh
11 Hal ini seperti halnya firman Allah, االث ) ن ت ظض * أ نكى انز كش (حهك إرا قغ ”Apakah (patut) untuk kamu
(anak) laki-laki dan untuk Allah (anak) perempuan? Yang demikian itu tentulah suatu pembagian yang tidak adil.”
(QS. an-Najm [53] : 21 – 22)
12
Ini sebagaimana firman-Nya; ( غئه ى ذ ح ى عخكخب ش ذا خهق ثب أش إ ى عبذ انش ح هئكت انز ( جعه اان ”Dan
mereka menjadikan Malaikat-Malaikat yang mereka itu adalah hamba-hamba Allah Yang Maha Pemurah sebagai
orang-orang perempuan. Apakah mereka menyaksikan penciptaan Malaikat-Malaikat itu? Kelak akan dituliskan
persaksian mereka dan mereka akan dimintai pertanggung jawaban.” (QS. az-Zukhruf [43] : 19) Yakni, mereka
akan dimintai pertanggung jawaban pada hari Kiamat. 13
”Allah menyebutkan ada tiga ucapan mereka berkaitan dengan Malaikat, semuanya merupakan puncak
kekafiran dan kedustaan. Pertama, Mereka menjadikan para Malaikat sebagai anak perempuan Allah, maka dengan
itu mereka telah menetapkan Allah memiliki anak, Mahasuci dan Mahatinggi Dia. Kedua, mereka menjadikan anak
itu berjenis perempuan. Ketiga, lalu mereka menyembah para Malaikat itu selain daripada Allah, Mahatinggi dan
Mahasuci Dia. Semua itu sudah cukup untuk menjadkan mereka kekal di Neraka Jahannam. 14
Sebagaimana firman-Nya; قال هئكت إثب إكى نخق ن ان احخز ي عظب )(أ فأ صفكى سبكى بب نب ”Maka apakah patut
Rabb memilihkan bagimu anak-anak laki-laki sedang Dia sendiri mengambil anak-anak perempuan di antara para
Malaikat? Sesungguhnya kamu benar-benar mengucapkan kata-kata yang besar (dosanya).” (QS. al-Israa‟ [17] :
40) 15
Ath-Thabari (XXI/121) 16
Sedangkan dalam ayat ini orang-orang mukmin dikecualikan dari orang-orang musyrik, maka
pengecualian ini dikatakan pengecualian terputus, karena orang-orang musyrik dengan orang-orang mukmin sama
sekali terpisah dalam hal ini.
39
manusia, maka itu pengecualian biasa, karena di antara seluruh manusia itu ada hamba-hamba
Allah yang dibersihkan dari dosa, mereka adalah orang-orang yang selalu mengikuti kebenaran
yang diturunkan kepada setiap Nabi yang diutus.17
Dari kutipan di atas Ibn Katsir menafsirkan bahwa Allah menyebutkan ada tiga ucapan
yang berkaitan dengan Malaikat, semuanya merupakan puncak kekafiran dan kedustaan.
Pertama, Mereka menjadikan para Malaikat sebagai anak perempuan Allah, maka dengan itu
mereka telah menetapkan Allah memiliki anak, Mahasuci dan Mahatinggi Dia. Kedua, mereka
menjadikan anak itu berjenis perempuan. Ketiga, lalu mereka menyembah para Malaikat itu
selain daripada Allah, Mahatinggi dan Mahasuci Dia. Semua itu sudah cukup untuk menjadkan
mereka kekal di Neraka Jahannam.18
Kemudian Hamka dalam tafsirnya al-Azhar mengatakan
bahwa kalangan musyrikin Quraisy Arab adalah pembohong besar, karena mereka mengatakan
bahwa Malaikat itu adalah anak perempuan Allah. Bagaimana mungkin ketika semua tanggung
jawab yang besar pada seluruh alam ini dibebankan kepada anak-anak Allah yang perempuan,
apakah anak Allah tidak ada yang laki-laki? Mereka dalam mengatakan itu semua hanyalah
bohong belaka, karena yang demikian itu bukan timbul dari ilmunya, bukan timbul dari akalnya,
melainkan dikarang-karangnya saja.19
“Allah memilih utusan-utusan-(Nya) dari malaikat dan dari manusia; Sesungguhnya
Allah Maha mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Al-Hajj [22] : 75)
Allah memilih utusan-utusan dari Malaikat dan utusan-utusan dari manusia. Allah
memberitahukan bahwasanya Dia memilih Malaikat tertentu untuk menyampaikan apa saja yang
dikehendaki-Nya berupa syari‟at dan ketetapan-Nya. Begitu pula, Allah memilih orang-orang
tertentu dari kalangan manusia untuk menyampaikan risalah-Nya. ع بصش) اهلل ع (إ Maksudnya
17
Katsîr, Imâduddîn Abû al-Fidâ Ismaîl Ibn. Tafsîr al-Qu'ran al-Azîm, (Kairo: Dar al-Hadîts, 1998), Jus 4,
h. 21. 18
Katsîr, Imâduddîn Abû al-Fidâ Ismaîl Ibn. Tafsîr al-Qu'ran al-Azîm, (Kairo: Dar al-Hadîts, 1998), Jus 4,
h. 21. 19
Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas), Juz XXIII – XXIV, h. 168 - 170
40
mendengar perkataan-perkataan hamba-hamba-Nya, melihat mereka, dan mengetahui20
siapakah
orang yang berhak di utus oleh-Nya.21
Ibn Katsir menafsirkan bahwasanya Malaikat adalah utusan-Nya. Dia memilih Malaikat
tertentu untuk menyampaikan apa saja yang dikehendaki-Nya berupa syari‟at dan ketetapan-
Nya.22
Hamka dalam tafsirnya al-Azhar mengatakan bahwa dari antara Malaikat yang banyak itu
ada yang dipilih Tuhan menjadi Rasul23
, artinya menjadi utusanNya.24
B. Tugas Malaikat.
“Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang membuat kedustaan terhadap Allah
atau yang berkata: "Telah diwahyukan kepada saya", padahal tidak ada diwahyukan sesuatupun
kepadanya, dan orang yang berkata: "Saya akan menurunkan seperti apa yang diturunkan Allah."
alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang yang zalim berada dalam
tekanan sakratul maut, sedang para malaikat memukul dengan tangannya, (sambil berkata):
"Keluarkanlah nyawamu" di hari Ini kamu dibalas dengan siksa yang sangat menghinakan,
Karena kamu selalu mengatakan terhadap Allah (Perkataan) yang tidak benar dan (karena) kamu
selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayatNya.” (QS. Al-An‟am [6] : 93)
20
Sebagaimana firman-Nya, ( ذ جعم سعب نخ (أهلل اعهى ح ”Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan
tugas kerasulan-Nya.” (QS. al-An‟am [6] : 124). 21
Katsîr, Imâduddîn Abû al-Fidâ Ismaîl Ibn. Tafsîr al-Qu'ran al-Azîm, (Kairo: Dar al-Hadîts, 1998), Jus 3,
h. 223. 22
Katsîr, Imâduddîn Abû al-Fidâ Ismaîl Ibn. Tafsîr al-Qu'ran al-Azîm, (Kairo: Dar al-Hadîts, 1998), Jus 3,
h. 223. 23
Yang kita ketahui ialah Malaikat Jibril yang diutus Tuhan untuk menyampaikan wahyu kepada manusia
yang menjadikan Rasul. Malaikat Izrail, atau malaikat maut pun adalah Rasul juga, dipilih dan diutus menjemput
nyawa manusia jika ajalnya sampai. Ada pula hadis menerangkan bahwa Malaikat Izrail ketika menjemput juga
mempunyai malaikat-malaikat pengiring. Di atas Surat 80, Abasa (muka asam) ayat 15 – 16 bahwa kitab-kitab yang
diturunkan kepada Nabi-nabi itu tertulis didalam lembaran-lembaran yang mulia, yang tinggi dan suci, oleh
Malaikat-malaikat yang laksana duta-duta, yang mulia-mulia dan berbakti. 24
Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas), Juz XVII – XVIII, h. 212
41
”Ayat ini menjelaskan bagaimana Malaikat maut mencabut nyawa orang-orang yang
zhalim.25
Allah Ta‟ala berfirman, افخش عه اهلل كز بب أظهى ي ي Yakni tidak ada seorang pun yang
lebih zhalim dari orang yang berdusta terhadap Allah lalu ia menjadikan sekutu-sekutu bagi-Nya
atau menganggap-Nya memiliki anak, atau mengaku bahwa Allah mengutusnya kepada manusia
sebagai Rasul, padahal Dia tidak mengutusnya.26
ضل ا هلل) ضل يثم يب أ (ي قب ل عأ ”Dan orang yang
berkata, ‟Saya akan menurunkan seperti apa yang diturunkan Allah.‟”27
Artinya, orang yang
mengaku bahwa ia bisa menandingi wahyu yang datang dari sisi Allah dengan perkataan yang
diada-adakannya alias dusta. زا) ب يثم شب ء نقه عب ن ى ءا خب قب نا قذ ع (إر احخه عه 28
Allah Ta‟ala
berfirman, ”Alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang yang zhalim
berada dalam tekanan-tekanan sakaratul maut. Kata ”Ghamratul maut” artinya sekarat dan
kesusahan menjelang kematian. Sedang para Malaikat menggerakkan tangannya, yakni dengan
memukul mereka hingga jiwa keluar dari raganya.29
Ibn Katsir menafsirkan Malaikat maut mencabut nyawa orang-orang zhalim30
dengan
sangat menakutkan, para Malaikat datang kepada orang zhalim tersebut dengan tangannya
sambil memukul mereka, dan orang-orang zhalim tersebut sekarat dan merasa kesusahan
menjelang kematiannya. Kata ”Ghamratul maut” artinya sekarat dan kesusahan menjelang
kematian. Sedang para Malaikat menggerakkan tangannya, yakni dengan memukul mereka
hingga jiwa keluar dari raganya.31
Hamka dalam tafsirnya mengatakan bagaimana Malaikat
datang kepada orang-orang yang zhalim32
seraya mengulurkan tangannya yang ngeri dan
25
Katsîr, Imâduddîn Abû al-Fidâ Ismaîl Ibn. Tafsîr al-Qu'ran al-Azîm, (Kairo: Dar al-Hadîts, 1998), Jus 2,
h. 146.
26
‟Ikramah dan Qatadah mengatakan, ”Ayat ini turun mengenai Musailamah al-Kadzdzab.” 27
Ath-Thabari (XI/533 – 535)
28
”Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami, mereka berkata, ‟Sesungguhnya kami telah
mendengar (ayat-ayat seperti ini), kalau kami menghendaki niscaya kami dapat membacakan yang seperti ini.‟”
Hingga akhir ayat (QS. al-Anfal [8] : 31) 29
Katsîr, Imâduddîn Abû al-Fidâ Ismaîl Ibn. Tafsîr al-Qu'ran al-Azîm, (Kairo: Dar al-Hadîts, 1998), Jus 2,
h. 146. 30
Yakni tidak ada seorang pun yang lebih zhalim dari orang yang berdusta terhadap Allah lalu ia
menjadikan sekutu-sekutu bagi-Nya atau menganggap-Nya memiliki anak, atau mengaku bahwa Allah mengutusnya
kepada manusia sebagai Rasul, padahal Dia tidak mengutusnya. 31
Katsîr, Imâduddîn Abû al-Fidâ Ismaîl Ibn. Tafsîr al-Qu'ran al-Azîm, (Kairo: Dar al-Hadîts, 1998), Jus 2,
h. 146. 32
Orang-orang zhalim di sini adalah orang yang mengakui dirinya jadi Nabi mendapat wahyu dan mencoba
mengarang kata-kata yang dikatakannya wahyu. Tetapi selalu ternyata kepalsuan mereka. Di zaman dekat kita ini
terkenal tiga orang yang mengakui dirinya jadi Nabi pula. Dua orang di Iran, yaitu yang menggelarkan dirinya “Al-
Bab” yang pengikutnya disebut orang Kaum Babiyan. Kedua, Mirza Ali Muhammad yang disebut mereka “Baha-
ullah”, dan pengikutnya disebut orang Kaum Baha-i. Seorang lagi di Qadian Hindustan bernama Mirza Ghulam
Ahmad dan pengikutnya disebut Kaum Ahmadiyah. Orang-orang itu mengakui pendapat wahyu, padahal sesudah
42
menakutkan. Kata Ghamaratil-maut diartikan dengan orang yang telah berada dalam suasana
huru-hara maut.33
C. Sifat Malaikat.
“Dan (Ingatlah) ketika kami berfirman kepada para malaikat: "Sujudlah34
kamu kepada
Adam," Maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk
golongan orang-orang yang kafir.” (QS. Al-Baqarah [2] : 34)
“Ayat ini menjelaskan tentang pemulian Adam dengan sujudnya para Malaikat
kepadanya.35
Ini merupakan pemuliaan Allah yang sangat agung bagi Adam yang juga
dianugerahkan kepada anak keturunannya, di mana Allah mengabarkan bahwa Dia
memerintahkan para Malaikat untuk bersujud kepada Adam. Banyak hadis-hadis tentang syafa‟at
yang telah disebutkan. Dan juga hadis Musa, ia berkata “Wahai Rabb-ku, tunjukkanlah kepadaku
Adam yang telah mengeluarkan kami dan juga dirinya dari Surga.” Maka ketika mereka telah
berjumpa, Musa berkata “Engkau Adam yang Alah telah menciptakannya dengan tangan-Nya,
lalu meniupkan ruh kepadanya dan memerintahkan para Malaikat untuk bersujud kepadanya.”36
Iblis termasuk makhluk yang diperintahkan untuk bersujud, dan mereka bukan dari jenis
Malaikat. Ketika Allah Ta‟ala memerintahkan para Malaikat untuk sujud kepada Adam, maka
Iblis pun termasuk dalam perintah itu. Karena meskipun iblis bukan dari golongan Malaikat,
namun iblis menyerupai mereka dan meniru tingkah laku mereka. Oleh karena itu, iblis termasuk
dalam perintah yang ditujukan kepada para Malaikat, dan dia tercela atas pelanggaran yang dia
lakukan terhadap perintah-Nya.37
Oleh karena itu Muhammad bin Ishaq meriwayatkan dari Ibnu
„Abbas, ia berkata: “Sebelum iblis melakukan perbuatan maksiat, dia termasuk dalam golongan
Malaikat, namanya adalah „Azaaziil, dia termasuk penduduk bumi. Dan dia termasuk jenis
Malaikat yang paling bersungguh-sungguh dalam beribadah dan paling banyak memiliki ilmu.
Hal itulah yang mendorongnya untuk menyombongkan diri, dan ia berasal dari negeri yang
disebut Jinn.”38
Ketaatan ditujukan kepada Allah dengan cara bersujud kepada Adam. Tentang
firman Allah: هئكت ا عجذا ال دو) ب نه (إر قه Qatadah mengatakan: “Ketaatan itu untuk Allah,
Muhammad s.a.w. tidak ada lagi Wahyu-Nubuwwat turun dan tidak ada lagi Nabi sesudah Muhammad s.a.w.
kecuali wahyu yang diturunkan kepada lebah! 33
Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas), Juz VII – VIII, h. 400 - 404 34
Sujud di sini berarti menghormati dan memuliakan Adam, bukanlah berarti sujud memperhambakan diri.
Karena sujud memperhambakan diri itu hanyalah semata-mata kepada Allah. 35
Katsîr, Imâduddîn Abû al-Fidâ Ismaîl Ibn. Tafsîr al-Qu'ran al-Azîm, (Kairo: Dar al-Hadîts, 1998), Jus 1,
h. 25 - 28. 36
Abu Dawud (V/28).[Hasan: Abu Dawud (no. 4702). Dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam kitab
Silsilah ash-Shahihah (no. 1702)].
37
Tentang masalah ini, insya Allah akan kami uraikan dalam tafsir firman Allah Ta‟ala: ( انج إالإبهظ كب ب ي
أيش سب (ففغق ع “Maka sujudlah mereka kecuali iblis. Dia berasal dari golongan jin, maka dia mendurhakai perintah
Rabb-nya.” (QS. al-Kahfi [18] : 50) 38
Tafsir ath-Thabari (I/502)
43
sedangkan sujud ditujukan kepada Adam. Allah menuliskan Adam dengan memerintahkan para
Malaikat untuk sujud kepadanya.”39
Sebagian orang mengatakan bahwa sujud tersebut adalah
penghormatan, penghargaan dan permulaan.40
Hal ini disyari‟atkan bagi umat-umat terdahulu
(sebelum umat Muhammad). Namun, cara penghormatan seperti ini telah dihapuskan dalam
agama kita.41
Makna inilah yang dikuatkan oleh ar-Razi. Kesombongan Iblis. Mengenai firman
Allah: ( انكب فش ي كب اعخكبش (فغجذا إال إبهظ أب “Maka sujudlah mereka kecuali iblis; ia enggan
dan takabbur dan ia termasuk golongan orang-orang yang kafir, Qatadah berkata: “Musuh
Allah, iblis, merasa iri kepada Adam karena kemuliaan yang diberikan kepadanya. Dia
mengatakan: „Aku diciptakan dari api dan ia diciptakan dari tanah. „Dan dosa yang pertama kali
terjadi adalah kesombongan musuh Allah, iblis, yang menolak untuk sujud kepada Adam.”42
Saya (Ibnu Katsir) mengatakan: Di dalam hati iblis terdapat kesombongan, kekufuran dan
keingkaran yang menyebabkannya terusir dan terjatuh dari rahmat Allah dan hadirat Ilahi.43
Dari kutipan di atas Ibn Katsir mengatakan bahwa Adam sangat dimuliakan oleh para
Malaikat. Ini merupakan permuliaan Allah yang sangat agung bagi Adam yang juga
dianugerahkan kepada anak keturunannya, di mana Allah mengabarkan bahwa Dia
memerintahkan para Malaikat untuk bersujud kepada Adam. Sifat Malaikat pada ayat ini adalah
39
Tafsir ath-Thabari (I/502)
40
Sebagaimana Allah Ta‟ala berfirman:
“Dan ia menaikkan kedua ibu-bapanya ke atas singgasana. dan mereka (semuanya) merebahkan diri seraya sujud40
kepada Yusuf. dan Berkata Yusuf: "Wahai ayahku inilah ta'bir mimpiku yang dahulu itu; Sesungguhnya Tuhanku
Telah menjadikannya suatu kenyataan. dan Sesungguhnya Tuhanku Telah berbuat baik kepadaku, ketika dia
membebaskan Aku dari rumah penjara dan ketika membawa kamu dari dusun padang pasir, setelah syaitan
merusakkan (hubungan) antaraku dan saudara-saudaraku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Lembut terhadap apa yang
dia kehendaki. Sesungguhnya dialah yang Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. Yusuf [12] : 100)
41
Mu‟adz mengatakan: ”Aku pernah datang ke negeri Syam. Setibanya di sana aku saksikan mereka sujud
kepada para pendeta dan pemuka agama mereka. Lalu aku katakan: ”Wahai Rasulullah, engkau lebih berhak
dijadikan tempat bersujud.” Maka beliau bersabda:
ب ! ال عه عظى حق ب ي ج حغجذ نض ش أ ة أ ج ايشا بششا غجذ نبشش ال يش ث ان ك ن
“Tidak, seandainya aku dibolehkan untuk memerintahkan manusia untuk sujud kepada orang lain, niscaya
akan aku perintahkan seorang istri untuk sujud kepada suaminya, karena besarnya hak suami atau isterinya.” (At-
Tirmidzi (no.1159) dan al-Majma‟ (Majma‟uz Zawaa-id) (IV/310).[Shahih: Diriwayatkan juga oleh Ibnu Hibban
dalam Shahihnya (no.4171), cet. Muassasah ar-Risalah, Beirut, th. 1414 H. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani
dalam Shahiihul Jaami‟ (no.5294)) 42
Ibnu Abi Hatim (I/123)
43
“Dalam sebuah hadis shahih ditegaskan:
كبش خش دل ي يثقب ل حبت ي ف قهب كب ال ذ خم انجت ي
“Tidak akan masuk Surga orang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan, meskipun hanya sebesar biji
sawi.” Muslim (I/93).[Muslim (no. 91)].
44
bahwa Malaikat senantiasa patuh atas apa yang diperintahkan Allah kepadanya, sujudnya
Malaikat kepada Adam adalah bentuk perwujudan rasa patuh kepada Allah44
Hamka mengatakan
dalam tafsir al-Azhar, sikap sujud Malaikat kepada Adam adalah sebagai sikap hormat dan
memuliakan Allah atas apa yang diperintahkan-Nya.45
“Dan kepunyaan-Nyalah segala yang di langit dan di bumi. dan malaikat-malaikat yang
di sisi-Nya, mereka tiada mempunyai rasa angkuh untuk menyembah-Nya dan tiada (pula)
merasa letih. Mereka selalu bertasbih malam dan siang tiada henti-hentinya.” (QS. Al-Anbiya‟
[21] : 19 – 20)
”Ayat ini menjelaskan tentang sifat-sifat Malaikat,
46 tidak menyombongkan diri dalam
beribadah kepada-Nya.47
Firman-Nya, ( (ال غخحغش Maksudnya tidak lelah dan tidak bosan.48
Niat dan amal mereka selalu dilandasi dengan ketaatan pada perintah-Nya. Dan mereka diberi
kemampuan untuk itu.49
Dari penjelasan di atas Ibn Katsir dalam tafsirnya mengatakan bahwa sifat Malaikat
dalam ayat ini adalah Malaikat itu tidak pernah menyombongkan diri dalam beribadah kepada-
44
Katsîr, Imâduddîn Abû al-Fidâ Ismaîl Ibn. Tafsîr al-Qu'ran al-Azîm, (Kairo: Dar al-Hadîts, 1998), Jus 2,
h. 146. 45
Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas), Juz I – II, h. 214 - 215 46
Katsîr, Imâduddîn Abû al-Fidâ Ismaîl Ibn. Tafsîr al-Qu'ran al-Azîm, (Kairo: Dar al-Hadîts, 1998), Jus 3,
h. 167. 47
Sebagaimana firman Allah:
“Al masih sekali-kali tidak enggan menjadi hamba bagi Allah, dan tidak (pula enggan) malaikat-malaikat
yang terdekat (kepada Allah)47
. barangsiapa yang enggan dari menyembah-Nya, dan menyombongkan diri, nanti
Allah akan mengumpulkan mereka semua kepada-Nya.” (QS. an-Nisa‟ [4] : 172) 48
“Mereka (Malaikat-Malaikat) bertasbih tidak henti-hentinya malam dan siang.” (QS. al-Anbiya‟ [21] :
20) Mereka terus-menerus beribadah baik malam maupun siang. 49
Sebagaimana firman Allah, ( يب ؤ يش فعه ى اهلل يب أيش (ال عص “(Para Malaikat) tidak durhaka
kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka, dan (mereka) selalu mengerjakan apa yang
deperintahkan.” (QS. at-Tahrim [66] : 6)
45
Nya, dan juga tidak pernah bosan, itu semua mereka lakukan dengan niat dan amal yang
dilandasi dengan ketaatan kepada perintah-Nya.50
Hamka dalam tafsir al-Azhar mengatakan
Malaikat-malaikat itu diberi kemuliaan oleh Tuhan. Di sini disebut ”Siapa yang berada
disisiNya,” yang terdekat kepada Allah karena tugasnya yang berat melaksanakan iradat ilahi.
”Mengerjakan apa yang diperintahkan” – ”hamba-hamba yang dimuliakan.” Mereka itulah
yang selalu beribadat kepada Allah dengan tidak mengenal letih dan payah, sebab luas daerah.
Bagaimana mereka akan merasa payah atau letih, padahal malaikat bukan terdiri daripada tulang,
darah, dan daging. Malaikat adalah rohani semata-mata.51
“Demi (rombongan) yang ber shaf-shaf dengan sebenar-benarnya52
, Dan demi
(rombongan) yang melarang dengan sebenar-benarnya (dari perbuatan-perbuatan maksiat).” (QS.
Ash-Shaffat [37] : 1 – 2)
”Ayat ini menjelaskan para Malaikat bersaksi akan keesaan Allah.53
Diriwayatkan dari
‟Ubaidah bin Mas‟ud, ia berkata, (انصفج صفب) ”Demi (rombongan) yang bershaff-shaff dengan
sebenar-benarnya.”54
Yaitu para Malaikat, (فبنضا جشاث صجشا) ”Dan demi (rombongan) yang
melarang dengan sebenar-benarnya (dari perbuatan-perbuatan maksiat)” yaitu Malaikat, فب نخهبج )
(ركشا ”Dan demi (rombongan) yang membacakan pelajaran, ”yaitu para Malaikat.”55
Demikian
pula yang dikatakan oleh Ibnu ‟Abbas, Masruq, Sa‟id bin Jubair, ‟Ikrimah, Mujahid, as-Suddi,
Qatadah dan ar-Rabi‟ nin Anas.56
Qatadah berkata, ”Para Malaikat membuat barisan-barisan di
langit.”57
As-Suddi dan yang lainnya berkata, “Makna firman Allah, „Dan demi (rombongan)
yang melarang dengan sebenar-benarnya.‟ Yakni para Malaikat itu menahan awan.” “Dan demi
50
Katsîr, Imâduddîn Abû al-Fidâ Ismaîl Ibn. Tafsîr al-Qu'ran al-Azîm, (Kairo: Dar al-Hadîts, 1998), Jus 3,
h. 167. 51
Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas), Juz XVII – XVIII, h. 24 - 25 52
Yang dimaksud dengan rombongan yang bershaf-shaf ialah para malaikat atau makhluk lain seperti
burung-burung. 53
Katsîr, Imâduddîn Abû al-Fidâ Ismaîl Ibn. Tafsîr al-Qu'ran al-Azîm, (Kairo: Dar al-Hadîts, 1998), Jus 4,
h. 3.
54
Muslim meriwayatkan dari Hudzaifah, ia berkata, ”Rasulullah bersabda:
ب يغجذا: فعهب عم انبط بثالد جعهج نب اال سض كه ال ئكت ب ء , جعهج صف فب كصف ف ان سا إرا نى جذان ب نب ط جعهج حش بخ
“Kita dilebihkan dari umat-umat yang lain dengan tiga hal: (Pertama), shaf-shaf (barisan) kita dijadikan
seperti shaf-shaf para Malaikat. (Kedua), seluruh tanah dijadikan bagi kita sebagai masjid, dan (ketiga), debunya
dijadikan alat bersuci apabila kita tidak mendapatkan air.” Muslim (I/371).[Muslim (no. 522)]. 55
Ath-Thabari (XXI/7) 56
Al-Qurthubi (XV/61,62) 57
Ath-Thabari (XXI/7)
46
(rombongan) yang membacakan pelajaran.” As-Suddi berkata, “Para Malaikat datang membawa
Kitab dan al-Qur‟an dari Allah kepada umat manusia.”
Dari kutipan di atas menjelaskan Ibn Katsir dalam tafsrirnya menyebutkan bahwa
rombongan yang bershaff-shaff dengan sebenar-benarnya adalah Malaikat dan rombongan yang
melarang dari perbuatan maksiat adalah Malaikat. Hal ini karena sifat dari Malaikat tersebut
yang selalu membuat barisan-barisan di atas langit dan selalu melarang untuk menghindari
perbuatan-perbuatan maksiat.58
Hamka dalam tafsir al-Azhar mengatakan Allah bersabda tentang
Tentara Allah yang bernama Malaikat itu. Dijelaskan dalam ayat ini bahwasanya malaikat itu
berbaris sebenar berbaris. Bagaimana cara barisannya, tidaklah dapat kita memastikan. Namun
berbaris sebenar berbaris menunjukkan kewaspadaan. Guna barisan malaikat itu ialah guna
mencegah gangguan dari roh-roh jahat yang akan dapat membahayakan.59
“Hampir saja langit itu pecah dari sebelah atas (karena kebesaran Tuhan) dan malaikat-
malaikat bertasbih serta memuji Tuhan-nya dan memohonkan ampun bagi orang-orang yang ada
di bumi. Ingatlah, bahwa Sesungguhnya Allah Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Penyayang.”
(QS. Asy-Syura [42] : 5)
”Ayat ini menjelaskan tentang Wahyu dan keagungan Allah.60
Maksud dari penggalan
firman Allah; ( ق ي ف اث خفطش (حكبد انغ “Hampir saja langit itu pecah dari sebelah atasnya
(karena kebesaran Allah),” Ibnu „Abbas, adh-Dhahhak, Qatadah, as-Suddi dan Ka‟bul Ahbar
berkata, “Yakni, terbelah karena keagungan-Nya.”61
Maksud dari redaksi dalam Firman Allah,
58
Katsîr, Imâduddîn Abû al-Fidâ Ismaîl Ibn. Tafsîr al-Qu'ran al-Azîm, (Kairo: Dar al-Hadîts, 1998), Jus 4,
h. 3. 59
Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas), Juz XXIII – XXIV, h. 90 - 91 60
Katsîr, Imâduddîn Abû al-Fidâ Ismaîl Ibn. Tafsîr al-Qu'ran al-Azîm, (Kairo: Dar al-Hadîts, 1998), Jus 4,
h. 95. 61
Ath-Thabari (XXI/501).
47
ف االسض) ن غخغفش ى ذ سب بح هئكت غبح (ان “Dan Malaikat-Malaikat bertasbih serta memuji
Rabbnya dan memohonkan ampun bagi orang-orang yang ada di bumi.”62
Dari kutipan di atas Ibn Katsir menafsirkan bahwa Malaikat itu senantiasa selalu patuh
kepada Allah atas apa yang telah dibebankan tugas kepada mereka, dan tak pernah letih untuk
selalu bertasbih kepada-Nya. Hal ini sebagaimana firman Allah:
“(Malaikat-malaikat) yang memikul 'Arsy dan malaikat yang berada di sekelilingnya
bertasbih memuji Tuhannya dan mereka beriman kepada-Nya serta memintakan ampun bagi
orang-orang yang beriman (seraya mengucapkan): "Ya Tuhan kami, rahmat dan ilmu Engkau
meliputi segala sesuatu, Maka berilah ampunan kepada orang-orang yang bertaubat dan
mengikuti jalan Engkau dan peliharalah mereka dari siksaan neraka yang menyala-nyala,” (QS.
al-Mu‟min [40] : 7)
Hamka dalam tafsir al-Azhar mengatakan bahwa demi ketinggian dan keagungan Tuhan,
sesungguhnya dengan qudrat dan iradatNya langit ketujuh itu sewaktu-waktu bisa belah. Ayat ini
adalah peringatan bagi manusia bahwa bagi Allah membelah langit itu adalah perkara mudah.
Apalah lagi dalam bumi yang kecil. Mengapa langit nyaris belah dari sebelah atasnya? Ialah
kalau kebatilan dan kedurhakaan manusia lebih bersimaharajalela di bumi ini. Syukurlah di bumi
yang menerima petunjuk Ilahi masih ada doa-doa yang khusyu‟ yang menjulang ke langit. Dan
di langit sendiri pun ada Malaikat-malaikat yang selalu bertasbih, berbakti beribadat memuji
62 Hal ini sebagaimana firman Allah;
“(Malaikat-malaikat) yang memikul 'Arsy dan malaikat yang berada di sekelilingnya bertasbih memuji
Tuhannya dan mereka beriman kepada-Nya serta memintakan ampun bagi orang-orang yang beriman (seraya
mengucapkan): "Ya Tuhan kami, rahmat dan ilmu Engkau meliputi segala sesuatu, Maka berilah ampunan kepada
orang-orang yang bertaubat dan mengikuti jalan Engkau dan peliharalah mereka dari siksaan neraka yang menyala-
nyala,” (QS. al-Mu‟min [40] : 7)
48
Tuhan, dan di dalam rangka buktinya itu mereka pun selalu memohonkan agar makhluk yang
beriman kepada Ilahi diberi ampun jika mereka terlalai. Dan Tuhan Allah pun, di samping
sifatNya yang murka kepada yang durhaka, adalah senantiasa bersedia memberikan maghfirat
dan ampun berlimpah-limpah kasih-sayangNya kepada hamba-hambaNya yang taat dan patuh.
Begitulah tingginya pengajaran Allah yang disampaikan dengan wahyu kepada manusia.
Betapa tinggi dan agungNya Tuhan, dan betapa pula doa orang yang beriman mendapat
sambutan dan sokongan dari Malaikat. Maka alangkah kecewanya. Karena masih ada manusia
yang mencari juga pelindung lain selain daripada Allah. Rasulullah s.a.w. sebagai penerima dan
penyebar wahyu pernah juga berhiba hati memikirkan manusia yang demikian.63
D. Tabel Perbandingan Penafsiran Ibn Katsir dan Hamka.
No Penafsiran Ibn Katsir Penafsiran Hamka
1. Malaikat adalah hamba Allah yang sangat
dimuliakan di sisi-Nya yang menempati
kedudukan yang tinggi serta memiliki
tingkat kemuliaan yang luhur. Mereka
berada pada puncak ketaatan kepada-Nya
baik dalam perkataan maupun perbuatan,
mereka tidak mendahului-Nya dalam satu
perkara pun, dan tidak pula menentang apa
yang diperintahkan-Nya kepada mereka.
Mereka senantiasa bersegera melaksanakan
perintah-Nya. Dia-lah Allah Yang
Mahatinggi, yang pengetahuan-Nya
meliputi mereka. Tidak ada yang
tersembunyi bagi-Nya perkara apa pun dari
mereka. Allah mengetahui segala sesuatu
yang ada di hadapan para Malaikat dan apa-
apa yang di belakang mereka (Malaikat).
Para Malaikat tidak diberi kewenangan
untuk memberi syafaat kepada orang
melainkan orang yang diridhai oleh Allah,
lalu siapakah orang yang diridhai oleh
Malaikat adalah hamba-hamba Allah yang
bertambah tinggi perhambaannya,
bertambah pula kemuliaannya, dan selalu
setia melaksanakan perintah. Kemuliaan ini
dilihat dari penugasan Malaikat oleh Allah
sebagai duta-duta istimewa dalam
memelihara dan mengatur wahyu. Selalu
mengucapkan tasbih siang malam tanpa
henti. Hamka dalam tafsirnya mengatakan
bahwa Wali Allah adalah orang yang diberi
izin oleh Allah untuk mensyafa‟atinya.
63
Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas), Juz XXV – XXVI, h. 13
49
Allah untuk diberikan syafa‟at oleh
Malaikat? Ibn katsir dalam tafsirnya
mengatakan bahwa Muhammad yang Allah
izinkan untuk mendapatkan syafa‟at
terbesar tersebut.
2. Allah menyebutkan ada tiga ucapan yang
berkaitan dengan Malaikat, semuanya
merupakan puncak kekafiran dan
kedustaan. Pertama, Mereka menjadikan
para Malaikat sebagai anak perempuan
Allah, maka dengan itu mereka telah
menetapkan Allah memiliki anak, Mahasuci
dan Mahatinggi Dia. Kedua, mereka
menjadikan anak itu berjenis perempuan.
Ketiga, lalu mereka menyembah para
Malaikat itu selain daripada Allah,
Mahatinggi dan Mahasuci Dia. Semua itu
sudah cukup untuk menjadkan mereka
kekal di Neraka Jahannam.
Bahwa kalangan musyrikin Quraisy Arab
adalah pembohong besar, karena mereka
mengatakan bahwa Malaikat itu adalah anak
perempuan Allah. Bagaimana mungkin
ketika semua tanggung jawab yang besar
pada seluruh alam ini dibebankan kepada
anak-anak Allah yang perempuan, apakah
anak Allah tidak ada yang laki-laki? Mereka
dalam mengatakan itu semua hanyalah
bohong belaka, karena yang demikian itu
bukan timbul dari ilmunya, bukan timbul
dari akalnya, melainkan dikarang-karangnya
saja.
3. Malaikat adalah utusan-Nya. Dia memilih
Malaikat tertentu untuk menyampaikan apa
saja yang dikehendaki-Nya berupa syari‟at
dan ketetapan-Nya.
Bahwa dari antara Malaikat yang banyak itu
ada yang dipilih Tuhan menjadi Rasul,
artinya menjadi utusanNya.
4. Malaikat maut mencabut nyawa orang-
orang zhalim dengan sangat menakutkan,
para Malaikat datang kepada orang zhalim
tersebut dengan tangannya sambil memukul
mereka, dan orang-orang zhalim tersebut
sekarat dan merasa kesusahan menjelang
kematiannya. Kata ”Ghamratul maut”
artinya sekarat dan kesusahan menjelang
kematian. Sedang para Malaikat
menggerakkan tangannya, yakni dengan
memukul mereka hingga jiwa keluar dari
raganya.
Bagaimana Malaikat datang kepada orang-
orang yang zhalim seraya mengulurkan
tangannya yang ngeri dan menakutkan. Kata
Ghamaratil-maut diartikan dengan orang
yang telah berada dalam suasana huru-hara
maut.
5. Bahwa Adam sangat dimuliakan oleh para
Malaikat. Ini merupakan permuliaan Allah
yang sangat agung bagi Adam yang juga
dianugerahkan kepada anak keturunannya,
di mana Allah mengabarkan bahwa Dia
memerintahkan para Malaikat untuk
bersujud kepada Adam. Sifat Malaikat pada
ayat ini adalah bahwa Malaikat senantiasa
Sikap sujud Malaikat kepada Adam adalah
sebagai sikap hormat dan memuliakan Allah
atas apa yang diperintahkan-Nya.
50
patuh atas apa yang diperintahkan Allah
kepadanya, sujudnya Malaikat kepada
Adam adalah bentuk perwujudan rasa patuh
kepada Allah
6. Sifat Malaikat adalah Malaikat itu tidak
pernah menyombongkan diri dalam
beribadah kepada-Nya, dan juga tidak
pernah bosan, itu semua mereka lakukan
dengan niat dan amal yang dilandasi dengan
ketaatan kepada perintah-Nya.
Malaikat-malaikat itu diberi kemuliaan oleh
Tuhan. Di sini disebut ”Siapa yang berada
disisiNya,” yang terdekat kepada Allah
karena tugasnya yang berat melaksanakan
iradat ilahi. ”Mengerjakan apa yang
diperintahkan” – ”hamba-hamba yang
dimuliakan.” Mereka itulah yang selalu
beribadat kepada Allah dengan tidak
mengenal letih dan payah, sebab luas
daerah. Bagaimana mereka akan merasa
payah atau letih, padahal malaikat bukan
terdiri daripada tulang, darah, dan daging.
Malaikat adalah rohani semata-mata.
7. Rombongan yang bershaff-shaff dengan
sebenar-benarnya adalah Malaikat dan
rombongan yang melarang dari perbuatan
maksiat adalah Malaikat. Hal ini karena
sifat dari Malaikat tersebut yang selalu
membuat barisan-barisan di atas langit dan
selalu melarang untuk menghindari
perbuatan-perbuatan maksiat.
Bahwasanya malaikat itu berbaris sebenar
berbaris. Bagaimana cara barisannya,
tidaklah dapat kita memastikan. Namun
berbaris sebenar berbaris menunjukkan
kewaspadaan. Guna barisan malaikat itu
ialah guna mencegah gangguan dari roh-roh
jahat yang akan dapat membahayakan.
8. Malaikat itu senantiasa selalu patuh kepada
Allah atas apa yang telah dibebankan tugas
kepada mereka, dan tak pernah letih untuk
selalu bertasbih kepada-Nya.
Bahwa demi ketinggian dan keagungan
Tuhan, sesungguhnya dengan qudrat dan
iradatNya langit ketujuh itu sewaktu-waktu
bisa belah. Ayat ini adalah peringatan bagi
manusia bahwa bagi Allah membelah langit
itu adalah perkara mudah. Apalah lagi dalam
bumi yang kecil. Mengapa langit nyaris
belah dari sebelah atasnya? Ialah kalau
kebatilan dan kedurhakaan manusia lebih
bersimaharajalela di bumi ini. Syukurlah di
bumi yang menerima petunjuk Ilahi masih
ada doa-doa yang khusyu‟ yang menjulang
ke langit. Dan di langit sendiri pun ada
Malaikat-malaikat yang selalu bertasbih,
berbakti beribadat memuji Tuhan, dan di
dalam rangka buktinya itu mereka pun selalu
memohonkan agar makhluk yang beriman
kepada Ilahi diberi ampun jika mereka
terlalai. Dan Tuhan Allah pun, di samping
51
sifatNya yang murka kepada yang durhaka,
adalah senantiasa bersedia memberikan
maghfirat dan ampun berlimpah-limpah
kasih-sayangNya kepada hamba-hambaNya
yang taat dan patuh.
9. Ibn Katsir dalam menafsirkan surat al-
Anbiya‟ ayat 26 – 29 mengaitkannya
dengan surat al-Zukhruf ayat 81 dan surat
az-Zumar ayat 65.
Hamka yang menafsirkan ayat di atas
dengan mengaitkan surat Yunus ayat 62 –
64.
10. Ibn Katsir dalam menafsirkan surat ash-
Shaffat ayat 149 – 160 mengaitkannya
dengan surat an-Nahl ayat 58, 21, 22 dan
surat az-Zukhruf ayat 19.
Hamka yang menafsirkan ayat di atas hanya
menggunakan nalarnya saja.
11. Ibn Katsir dalam menafsirkan surat al-Hajj
ayat 75 mengaitkannya dengan surat al-
An‟am ayat 124.
Hamka yang menafsirkan ayat di atas hanya
menggunakan nalarnya saja.
12. Ibn Katsir dalam menafsirkan surat al-
An‟am ayat 93 mengaitkannya dengan surat
al-Anfal ayat 31.
Hamka yang menafsirkan ayat di atas
dengan mengaitkan surat an-Nahl ayat 16,
ayat 68, dan ayat 69.
13. Ibn Katsir dalam menafsirkan surat al-
Baqarah ayat 34 mengaitkannya dengan
surat al-Kahfi ayat 50 dan surat Yusuf ayat
100.
Hamka yang menafsirkan ayat di atas
dengan mengaitkan surat al-Hajj ayat 22,
surat an-Nahl ayat 49, surat ar-Ra‟ad ayat 16
dan surat ar-Rahman ayat 6.
14. Ibn Katsir dalam menafsirkan surat al-
Anbiya‟ ayat 19 – 20 mengaitkannya
dengan surat an-Nisa‟ ayat 172 dan surat at-
Tahrim ayat 6.
Hamka yang menafsirkan ayat di atas
dengan menggunakan nalarnya saja.
15. Dalam penafsirannya Ibn Katsir
menggunakan berbagai sumber yaitu
Sumber Riwayah dan Sumber Dirayah.
penafsiran Hamka menggunakan sumber
Riwayah (Tafsir al-Ma‟tsur) dan pemikiran
(Tafsir Ra‟yi).
16. Ibn Katsir dalam menafsirkan ayat-ayat
tentang Malaikat banyak mengutip hadis-
hadis yang berkaitan dengan ayat yang
ditafsirkan (memiliki korelasi).
Hamka dalam menafsirkan ayat tentang
Malaikat sama sekali tidak mengutip hadis-
hadis yang berkaitan dengan hakikat
Malaikat, sifat Malaikat, dan tugas-tugas
Malaikat.
17. Ibn Katsir sedikit sekali menggunakan nalar
dalam menafsirkan ayat-ayat tentang
Malaikat.
Hamka banyak menggunakan nalarnya
dalam menafsirkan ayat-ayat tentang
Malaikat
18. Ibn Katsir dalam menafsirkan surat asy-
Syura ayat 5 mengaitkannya dengan surat
al-Mu‟min ayat 7.
Hamka menafsirknannya hanya dengan
menggunakan nalarnya saja.
52
BAB IV
Penutup
A. Kesimpulan
Berdasar atas penelitian yang telah penulis lakukan sebelumnya dalam Tafsîr al-
Qu'ran al-Azîm, karya Ibn Katsir dan Tafsîr al-Azhar karya Hamka. Ada tiga hal yang
penulis bandingkan mengenai pengambaran Malaikat dalam al-Qur’an antara lain hakikat
Malaikat, tugas Malaikat, dan sifat Malaikat yang perlu digaris bawahi sebagai
kesimpulan:
1. Hakikat Malaikat menurut penafsiran Ibn Katsir: Malaikat adalah hamba Allah
yang sangat dimuliakan di sisi-Nya yang menempati kedudukan yang tinggi serta
memiliki tingkat kemuliaan yang luhur.
2. Hakikat Malaikat menurut penafsiran Hamka: Malaikat adalah hamba-hamba
Allah yang bertambah tinggi perhambaannya, bertambah pula kemuliaannya, dan
selalu setia melaksanakan perintah. Kemuliaan ini dilihat dari penugasan Malaikat
oleh Allah sebagai duta-duta istimewa dalam memelihara dan mengatur wahyu.
3. Tugas Malaikat menurut penafsiran Ibn Katsir: Malaikat maut mencabut nyawa
orang-orang zhalim dengan sangat menakutkan. Kata ”Ghamratul maut” artinya
sekarat dan kesusahan menjelang kematian.
4. Tugas Malaikat menurut penafsiran Hamka: Bagaimana Malaikat datang kepada
orang-orang yang zhalim seraya mengulurkan tangannya yang ngeri dan
menakutkan. Kata Ghamaratil-maut diartikan dengan orang yang telah berada
dalam suasana huru-hara maut.
53
5. Sifat Malaikat menurut penafsiran Ibn Katsir: Sifat Malaikat adalah Malaikat itu
tidak pernah menyombongkan diri dalam beribadah kepada-Nya, dan juga tidak
pernah bosan, itu semua mereka lakukan dengan niat dan amal yang dilandasi
dengan ketaatan kepada perintah-Nya, senantiasa bertasbih siang malam tiada
hentinya, dan selalu bershaff-shaff yang selalu melarang dari perbuatan maksiat.
6. Sifat Malaikat menurut penafsiran Hamka: Mereka itulah yang selalu beribadat,
dan selalu bertasbih kepada Allah dengan tidak mengenal letih dan payah.
Bahwasanya malaikat itu berbaris sebenar berbaris guna mencegah gangguan dari
roh-roh jahat yang akan dapat membahayakan.
B. Saran
Setelah penulis merampungkan penelitian ini, ada beberapa saran yang ingin
penulis sampaikan:
1. Untuk peneliti berikutnya, diharapkan dapat menggunakan ayat-ayat seputar
hakikat Malaikat, tugas Malaikat, dan sifat Malaikat yang lebih banyak sehingga
akan lebih tampak perbedaan antara penafsiran Ibn Katsir dan Hamka.
2. Untuk peneliti berikutnya, penelitian yang telah penulis selesaikan ini dapat
dipraktikkan dengan tafsir yang berbeda, karena tidak menutup kemungkinan hal
ini terjadi pula pada karya tafsir tersebut.
3. Bagi yang ingin mengkaji lebih jauh tentang tafsir Tafsîr al-Qu'ran al-Azîm, karya
Ibn Katsir dan Tafsîr al-Azhar karya Hamka dapat dilakukan penelitian baru
berupa studi kitab rujukan tafsir Tafsîr al-Qu'ran al-Azîm, dan Tafsîr al-Azhar
Penelitian ini bertujuan untuk melihat kecenderungan Ibn Katsir dan Hamka
dalam menggunakan kitab rujukannya.
54
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qurân
al-„Aqil, Muhammad bin „Abdul Wahhab, “Menyelisik Alam Malaikat Rukun
Iman Kedua yang Sering Disalahpahami dan Dilupakan Banyak Orang”,
Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi‟I, 2010, cet pertama.
al-Asyqar, Umar Sulaiman, “Misteri Alam Malaikat dan Mengenal Lebih Dekat
Satu Persatu Malaikat”, Jakarta: Inas Media, 2009, cet pertama.
al-Musayyar, Muhammad Sayyid, “Buku Pintar Alam Gaib”, Jakarta: Zaman,
2009, cet pertama.
al-Qattan, Manna Khalil , “Studi Ilmu-ilmu Qur‟an”, Jakarta: PT. Pustaka Litera
Antar Nusa, 2000, cet kelima.
al-Syafi‟I, Jalaluddin As-Suyuthi, “Misteri Makhluk Bersayap Menjelajah Alam
Malaikat”, Bandung: Pustaka Hidayah, 2008, cet pertama.
al-Thabari, Abu Ja‟far Muhammad ibn Jarir, “Jâmi‟ al-Bayân „an Ta‟wil Âyi al-
Qurân” (Ttp: Syarikah Iqâmah al-Din, tth), Jilid III
Amrullah, H.Abdul Malik Abdul Karim, Prof., Dr., (Hamka), “Tafsir Al-Azhar”,
Jakarta, Pustaka, Panjimas, 1983.
An-Naysaburi, Muslim bin Hajaj, ”Shahih Muslim”, Beirut: Dar Ihya at-Tiratsi
al-Arabi Bab Ahadis Mutafariqah Juz 4.
Azwar, Saifuddin. Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.
Buchori, Didin Saefuddin. Metodologi Studi Islam. Bogor: Granada Sarana
Pustaka, 2005, cet pertama.
Departemen Agama RI, “al-Quran dan Terjemahnya”, Semarang: PT
Kumudasmoro Grafindo Semarang, 1994.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
(Jakarta: Balai Pustaka, 1988), cet. Ke-I.
Furi, Syaikh Shafiyyur al-Mubarak, Shahih Tafsir Ibnu Katsir, Jakarta: Pustaka
Ibnu Katsir, 2010, jilid ke-6 cet. Ke-3.
Harahap, Hakim Muda, ”Rahasia Al-Qur‟an Menguak Alam Semesta, Manusia,
Malaikat, dan Keruntuhan Alam”, Jakarta: Darul Hikmah, 2007, cet
pertama.
55
Ibn Katsîr, Abû Fidâ Ismâîl, “Tafsîrul Qurânil „Azîm”, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1986)
Jilid I
Ibn Katsîr, Abû Fidâ Ismâîl, “Tafsîrul Qurânil „Azîm”, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1986)
Jilid II
Ibn Katsîr, Abû Fidâ Ismâîl, “Tafsîrul Qurânil „Azîm”, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1986)
Jilid III
Ibn Katsîr, Abû Fidâ Ismâîl, “Tafsîrul Qurânil „Azîm”, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1986)
Jilid IV
Nasution, Harun, “Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya”, Jakarta: UI Press,
2005, Jilid I, cet kedua.
Shihab, Muhammad Quraish, “Jin, Iblis, Setan dan Malaikat Yang Tersembunyi
Dalam Al-Qur‟an, As-Sunnah, serta Wacana Pemikiran Ulama Masa Lalu
dan Masa Kini”, Ciputat: Lentera Hati, 2007, cet kedua.
Shihab, Muhammad Quraish, “Tafsir Al-Misbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian
Al-Quran”, Jakarta : Lentera Hati, 2002.
Smith, Huston, “Agama-agama Manusia”, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
2001, cet keenam.
Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif, (Bandung: Alfabeta,
2004)
Tamara, Nasir dkk, (ed) Hamka di Mata Umat, (Jakarta: Sinar Harapan, 1984)
Skripsi:
Abdul Gofur Rojali, “Studi Sanad dan Matan Hadis Nabi Tentang Qorin dari
Golongan Jin dan Malaikat,” Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006.
Artikel / Website:
http://www.library.cornell.edu/olinuris/ref/research/skill1.htm