pada perundingan unfccc |ditjenppi.menlhk.go.id/reddplus/images/adminppi/dokumen/bunga... · dalam...
TRANSCRIPT
BUNGA RAMPAI PERUNDINGAN
PERUBAHAN IKLIM
KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANANDIREKTORAT JENDERAL PENGENDALIAN PERUBAHAN IKLIM 2017
PADA PERUNDINGAN UNFCCC
POTRET 3 TAHUN
PERJUANGAN INDONESIA
ii
Penyusun:
Radian Bagiyono, S.Hut., M.For.
Wukir Amintari Rukmi, S.IP., M.IDEA
Saptuti Gamayanti, S.Hut., M. Sc.
Fona Lengkana, S.Hut., M.E.
Citra Fitriyani, S.IP
Hatif Hawari Saputra, S.H.Int.
Rizki Maulana Rachman, S.H.Int.
Desain Sampul:
Hatif Hawari Saputra, S.H.Int.
Foto Sampul:
Foto oleh: IISD/Kiara Worth
Editor:
Ir. Achmad Gunawan Widjaksono, MAS, Direktur Mobilisasi Sumber Daya Sektoral dan Regional
Pengarah:
Dr. Ir. Nur Masripatin, M.For.Sc, Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim
ISBN: 978-602-50932-4-1
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang menggunakan isi maupun memperbanyak buku ini sebagian atau seluruhnya, baik dalam
bentuk fotocopy, cetak, microfilm, elektronik maupun dalam bentuk lainnya, kecuali untuk
keperluan pendidikan atau non-komersial lainnya dengan mencantumkan sumbernya sebagai
berikut:
Direktorat Mobilisasi Sumberdaya Sektoral dan Regional (2017). Bunga Rampai Perundingan
Perubahan Iklim: Potret 3 Tahun Perjuangan Indonesia pada Perundingan UNFCCC.
Diterbitkan oleh:
Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim – Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan
Kontak:
Direktorat Mobilisasi Sumber Daya Sektoral dan Regional
Jl. Jend. Gatot Subroto, Gd. Manggala Wanabhakti Blok VII Lt. 12 Jakarta 10270, Indonesia Telp/Fax: 021 5746724, Ext. 809, website: http://ditjenppi.menlhk.go.id/
iii
SAMBUTAN
MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN
Perubahan Iklim merupakan isu multidimensi dan kompleks yang
dalam beberapa dekade terakhir menjadi perhatian serius dari
masyarakat global. Dampak dari perubahan iklim akibat kenaikan
temperatur bumi sudah sangat nyata dirasakan oleh banyak
negara khususnya negara berkembang di berbagai tempat di
belahan bumi dan telah menyadarkan masyarakat global untuk
mengambil tindakan nyata untuk mengurangi dampak tersebut. Sejak disepakatinya
Kerangka Kerja Konvensi Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention
on Climate Change—UNFCCC) pada tahun 1992, semua negara pihak (Parties)
sepakat untuk bekerja sama untuk menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca (GRK)
di atmosfir pada level yang tidak membahayakan kehidupan manusia.
Dengan diadopsinya Kyoto Protocol (KP) pada tahun 2005, negara maju yang
merupakan negara pihak KP berkewajiban untuk menurunkan emisi GRK, sedangkan
negara berkembang berkewajiban untuk melaporkan hasil inventarisasi GRKnya.
Mengingat implementasi KP telah berakhir pada tahun 2012 dan meskipun
diperpanjang sampai dengan tahun 2020 melalui Doha Amandment, akan tetapi
belum semua Negara Pihak meratifikasinya.
Indonesia sebagai negara kepulauan, merupakan negara yang rentan terhadap
dampak perubahan iklim, sehingga Indonesia sangat berkepentingan untuk terlibat
aktif dalam upaya global penanganan perubahan iklim melalui perundingan di
bawah kerangka UNFCCC. Sejak digabungnya 4 (empat) kementerian/ lembaga
(Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Kehutanan, DNPI dan BP REDD+)
menjadi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui Perpres
Nomor 16 Tahun 2015, maka penanganan perubahan iklim merupakan mandat dan
tugas KLHK yang dilaksanakan oleh Ditjen Pengendalian Perubahan Iklim selaku
National Focal Point (NFP) for UNFCCCC.
Dalam kurun 3 (tiga) tahun sejak tahun 2015 sampai tahun 2017), KLHK berhasil
memperjuangkan kepentingan Indonesia dan berperan aktif dalam upaya global
penanganan dampak perubahan iklim melalui rangkaian panjang proses negosiasi
perubahan iklim. Sejak sebelum COP21 tahun 2015 sampai dengan COP23 tahun
2017, KLHK telah menunjukkan kepemimpinannya dalam mengkoordinasikan
pengelolaan perundingan, penyiapan substansi perundingan, dan pengelolaan
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
iv
Delegasi Republik Indonesia (DELRI). KLHK berhasil menjawab keraguan publik
dalam memperjuangkan misi dan kepentingan Indonesia dalam setiap sesi
perundingan perubahan iklim, baik melalui jalur negosiasi maupun melalui jalur
outreach dan campaign.
Terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya diberikan kepada para
anggota DELRI baik yang berjuang di meja negosiasi maupun melalui outreach dan
campaign atas kontribusi dan dedikasinya dalam memperjuangkan misi dan
kepentingan Indonesia.
Jakarta, Desember 2017
Dr. Siti Nurbaya
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
v
K ATA PENGANTAR
Sebagai saksi sekaligus pelaku sejarah perundingan perubahan
iklim sejak COP11 UNFCCC di Montreal pada tahun 2005, tiga
tahun terakhir merupakan mutiara pengalaman dalam
perundingan perubahan iklim di tengah konstelasi politis
penanganan perubahan iklim di nasional yang berubah dengan
dibentuknya struktur baru Direktorat Jenderal Pengendalian
Perubahan Iklim di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebagai
konsekuensi penggabungan 4 (empat) instansi.
Estafet rezim pengendalian iklim global di Protokol Kyoto ke rezim baru di bawah
Paris Agreement menjadi pembuktian berjalannya Direktorat Jenderal Pengendalian
Perubahan Iklim, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. COP 21
merupakan milestone dalam sejarah UNFCCC dengan berhasil disepakatinya the
Adoption of Paris Agreement menjadi era baru dimana semua Negara Pihak
memiliki kewajiban yang sama sesuai dengan kapasitas dan kondisi nasional
masing-masing.
Tantangan datang silih berganti dalam setiap COP selanjutnya, baik di COP22 (COP
of implementation) dan di COP23 (Transitional COP), dalam pengelolaan
perundingan, pengelolaan substansi, dan pengelolaan DELRI. Buku Bunga Rampai
ini memberikan gambaran perjuangan Indonesia selama 3 (tiga) tahun dalam 7
(tujuh) sesi perundingan dalam kerangka UNFCCC dan beberapa pertemuan
sebelum COP (pre-COP) serta pertemuan setingkat Menteri. Persiapan substansi,
pengelolaan DELRI dan perjuangan di meja perundingan merupakan kunci
keberhasilan dalam memperjuangkan misi dan kepentingan Indonesia. Namun
demikian, tantangan kedepan semakin berat khususnya untuk mempersiapkan sesi
perundingan COP24 tahun 2018 di Katowice, Polandia, mengingat masih banyaknya
elemen dari Paris Agreement Work Programme (PAWP) yang perlu disepakati.
Suksesnya implementasi Paris Agreement akan sangat ditentukan oleh hasil
kesepakatan pada COP24 ini.
Akhir kata, semoga buku ini bermanfaat.
Jakarta, Desember 2017
Dr. Nur Masripatin
Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim/National Focal Point for UNFCCC
vi
SAMBUTAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN iii
KATA PENGANTAR v
DAFTAR ISI vi
DAFTAR GAMBAR DAN TABEL vii
DAFTAR BOX ix
DAFTAR ISTILAH x
BAGIAN 1 PENDAHULUAN 1
1.1 Keanggotaan Indonesia sebagai Negara Pihak UNFCCC, Protokol
Kyoto, dan Paris Agreement 1
1.1.1 Keanggotaan Indonesia dalam Konvensi UNFCCC 1
1.1.2 Keanggotaan Indonesia dalam Kyoto Protocol 2
1.1.3 Keanggotaan Indonesia dalam Paris Agreement 3
1.2 Institutional Arrangement dan Peran National Focal Point for UNFCCC 5
1.2.1 Institutional Arrangement 5
1.2.2 Peran National Focal Point for UNFCCC 6
1.2.3 Focal Point/Pumpunan Kegiatan Lain yang terkait 8
1.3 Sekretariat NFP for UNFCCC 8
BAGIAN 2 PERUNDINGAN UNFCCC 11
2.1 Struktur Perundingan di Bawah UNFCCC 11
2.2 Sesi Perundingan UNFCCC (Periode Agustus 2015 – Desember 2017) 12
2.3 Pertemuan Non-Perundingan 16
2.4 Pengorganisasian Kerja oleh NFP for UNFCCC 19
BAGIAN 3 PENGELOLAAN SUBSTANSI DAN PERJUANGAN INDONESIA 26
3.1 Perjalanan Menuju COP21 di Tahun 2015: A Milestone COP 26
3.2 Dari Paris ke Marakesh: COP22 as A COP for Implementation 32
3.3 Dari Marakesh ke Fiji-Bonn: COP23 as Transition COP 43
3.4 Output Dokumen yang Dihasilkan 54
BAGIAN 4 PENGELOLAAN DELEGASI 57
4.1 Komposisi Delegasi RI 57
4.2 Pembagian Peran 58
4.2.1 Pembentukan Tim Negosiasi dan Tim Sekretariat Delegasi RI 61
4.2.2 Registrasi 61
4.2.3 Badge sebagai Cerminan Peran 61
4.3 Perimbangan Gender 65
4.4 Kantor Delegasi Republik Indonesia 69
4.5 Paviliun Indonesia 70
BAGIAN 5 PENUTUP 74
LAMPIRAN 76
DAFTAR ISI
vii
DAFTAR GAMBAR DAN TABEL
Gambar 1.1 Logo UNFCCC 1
Gambar 1.2 Presiden Joko Widodo pada Pertemuan Kepala Negara/Kepala
Pemerintahan Mengawali COP21 3
Gambar 1.3 Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan padaHigh Level Signature
Ceremony of Paris Agreement, New York, 22 April 2016 4
Gambar 1.4 Institutional Arrangement National Focal Point for UNFCCC 6
Gambar 2.1 Suasana Sesi Perundingan pada COP21 13
Gambar 2.2 Suasana Opening Plenary COP22 14
Gambar 2.3 Suasana Opening Plenary COP23 15
Gambar 2.4 Rangkaian 7 (Tujuh) Sesi Perundingan Agustus 2015 – Desember 2017 16
Gambar 2.5 Side Event Indonesia dengan tema “Building Resilience for Climate
Change Adaptation: Challenges and Progress for Archipelagic and
Small Island Countries pada COP22
18
Gambar 2.6 Side Event Indonesia dengan tema “Good Peatland Governance to
Strengthen Economic, Social and Ecosystem Resillience” pada COP23 18
Gambar 2.7 Suasana Pertemuan Penyusunan Posisi DELRI pada COP22 sebagai
bagian tahap Formulation 20
Gambar 2.8 Suasana Koordinasi Internal DELRI sebagai bagian persiapan COP23,
November 2017 22
Gambar 2.9 Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada Pertemuan Evaluasi
Keterlibatan DELRI sebagai bagian Evaluasi DELRI pada COP21,
Desember 2015
24
Gambar 2.10 Suasana Pertemuan Komunikasi Stakeholder Hasil COP23 sebagai
bagian tahap Evaluation 24
Gambar 3.1 Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada Sesi Closing Plenary
COP21 31
Gambar 3.2 Pertemuan Koordinasi Tim Negosiasi DELRI pada COP21 32
Gambar 3.3 Tim Negosiasi DELRI COP22 pada Pertemuan Koordinasi Harian Tim
Negosiasi 36
Gambar 3.4 Delegasi Indonesia bersama Sekretaris Eksekutif UNFCCC pada
COP22 37
Gambar 3.5 Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan
Nasional (BPN) bersama Direktur Jenderal PPI dan Duta Besar RI untuk
Kerajaan Maroko pada Opening Plenary COP22
37
Gambar 3.6 Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada High-Level Segment
COP22 38
Gambar 3.7 Ikhtisar Pengelolaan Substansi pada Sesi Perundingan UNFCCC Tahun
2016 43
Gambar 3.8 Direktur Jenderal PPI pada Sesi Opening Plenary APA1.3 di COP23 48
Gambar 3.9 Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada High-Level Segment
COP23 50
Gambar 3.10 Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim pada 51
viii
Closing Plenary COP23
Gambar 3.11 Tim Negosiasi DELRI pada Bonn Climate Change Conference, Mei
2017 52
Gambar 3.12 Tim Negosiasi DELRI setelah Penutupan COP23 52
Gambar 3.13 Ikhtisar Pengelolaan Substansi pada Sesi Perundingan UNFCCC Tahun
2017 53
Gambar 3.14 Statistik Pertemuan Persiapan DELRI Menuju Perundingan UNFCCC 53
Gambar 3.15 Dokumen Pedoman DELRI , Matriks Posisi, dan Laporan DELRI pada
Sesi Perundingan UNFCCC 2015 - 2017 55
Gambar 4.1 Tim Negosiasi DELRI pada COP21, Desember 2015 59
Gambar 4.2 Tim Negosiasi DELRI pada Bonn Session Mei 2016 59
Gambar 4.3 Tim Negosiasi DELRI pada COP23, November 2017 59
Gambar 4.4 Pengelolaan DELRI pada COP21/CMP11 berdasarkan badge 63
Gambar 4.5 Gambar 4.5 Pengelolaan DELRI pada COP22/CMP12 berdasarkan
badge 63
Gambar 4.6 Pengelolaan DELRI pada COP23/CMP13/CMA1.3 berdasarkan badge 64
Gambar 4.7 Pengelolaan DELRI pada COP21/CMP11 berdasarkan Jenis Kelamin 65
Gambar 4.8 Pengelolaan DELRI pada COP22/CMP12 berdasarkan Jenis Kelamin 66
Gambar 4.9 Pengelolaan DELRI pada COP23/CMP13/CMA1.3 berdasarkan Jenis
Kelamin 67
Gambar 4.10 Pengelolaan DELRI pada ADP2.10 berdasarkan Jenis Kelamin 67
Gambar 4.11 Pengelolaan DELRI pada ADP2.11 berdasarkan Jenis Kelamin 68
Gambar 4.12 Pengelolaan DELRI pada SBI44/SBSTA44/APA1.2 berdasarkan Jenis
Kelamin 69
Gambar 4.13 Pengelolaan DELRI pada SBI46/SBSTA46/APA1.3 berdasarkan Jenis
Kelamin 70
Gambar 4.14 Pembukaan Paviliun Indonesia pada COP23 71
Gambar 4.15 Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada Salah Satu Sesi
Pavilion COP23 71
Gambar 4.16 Acara Penutupan Paviliun Indonesia pada COP23 71
Tabel 4.1 Delegasi Republik Indonesia pada 7 Sesi Perundingan UNFCCC (2015
– 2017) 63
ix
DAFTAR BOX
Box 1 National Statement Indonesia yang disampaikan Presiden Joko
Widodo pada Pertemuan Kepala Negara/Kepala Pemerintahan
Mengawali COP21
4
Box 2 Dokumen UNFCCC sebagai referensi tugas NFP for UNFCCC 7
Box 3 Sekilas Sejarah Ad-hoc Working Group Durban Platform for
Enhanced Action (ADP) 12
Box 4 Misi Indonesia pada dalam Sesi Perundingan COP-21/CMP-11
(Paris, Perancis, 30 November – 11 Desember 2015) 28
Box 5 Butir-butir Penting Rangkuman Masukan Indonesia dalam Sesi
Perundingan COP-21/CMP-11 (Paris, Perancis, 30 November – 11
Desember 2015)
30
Box 6 National Statement Indonesia yang disampaikan oleh
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada Closing Plenary
COP21
31
Box 7 Misi Indonesia pada Sesi Perundingan COP22/CMP12
(Marakesh, Maroko, 7 – 18 November 2016) 33
Box 8 National Statement Indonesia yang disampaikan Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada
High-Level Segment COP22
38
Box 9 Butir-butir Penting Rangkuman Masukan Indonesia dalam
Sesi Perundingan COP22/CMP12
(Marakesh, Maroko, 7 – 18 November 2016)
40
Box 10 National Statement Indonesia yang disampaikan
Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim pada High-Level
Segment COP22
42
Box 11 Misi Indonesia pada COP23/CMP13/CMA1.2 (Bonn, Jerman, 6 – 17
November 2017) 45
Box 12 National Statement Indonesia yang disampaikan Direktur Jenderal
Pengendalian Perubahan Iklim pada Opening Plenary APA1.3 pada
COP23
48
Box 13 National Statement Indonesia yang disampaikan Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada High-Level Segment COP23 50
Box 14 National Statement Indonesia yang disampaikan Direktur Jenderal
Pengendalian Perubahan Iklim pada Closing Plenary COP23 51
x
DAFTAR ISTILAH
ADP : Ad Hoc Working Group on the Durban Platform for Enhanced Action
APA : Ad-Hoc Working Group on the Paris Agreement
BAU : business as usual
BRG : Badan Restorasi Gambut
BUR : Biennieal Update Report
COP : Conference of the Parties
CMA : Conference of the Parties serving as the meeting of the Parties to the
Paris Agreement
DELRI : Delegasi Republik Indonesia
Ditjen. PPI : Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim
DNPI : Dewan Nasional Perubahan Iklim
GCAA : Global Climate Action Agenda
GRK : Gas Rumah Kaca
KLHK : Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
LPAA : Lima Paris Action Agenda
MoI : Means of Implementation
NAZCA : Non-State Actor Zone for Climate Action
NDC : Nationally Determined Contribution
NFP : National Focal Point
NPS : Non-Party Stakeholder
NSA : Non-State Actor
ORS : Online Registration System
PAWP : Paris Agreement Work Programme
PD : Party Delegate
PO : Party Overflow
PPI : Pengendalian Perubahan Iklim
REDD+ : Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation
SBI : Subsidiary Bodies for Implementation
SBSTA : Subsidiary Bodies for Scientific and Technological Advice
SEORS : Side Event and Exhibit Online Registration System
1
BAGIAN 1
PENDAHULUAN
1.1 Keanggotaan Indonesia sebagai Negara Pihak UNFCCC, Protokol
Kyoto, dan Paris Agreement
1.1.1 Keanggotaan Indonesia dalam UNFCCC
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT)
Bumi di Rio de Janeiro, Brazil pada
tahun 1992 melahirkan beberapa
deklarasi dan kesepakatan
internasional di antaranya United
Nations Framework Convention on
Climate Change (UNFCCC) atau
Konvensi Kerangka Kerja PBB
mengenai Perubahan Iklim yang
bertujuan menstabilkan
konsentrasi gas-gas rumah kaca di
atmosfer pada tingkat yang tidak
membahayakan kelangsungan
sistem kehidupan mahluk di bumi.
Indonesia turut meratifikasi UNFCCC melalui instrumen Undang-Undang
Republik Indonesia No. 6 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations
Framework Convention on Climate Change (Konvensi Kerangka Kerja
Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim)1. Dengan
meratifikasi Konvensi tersebut, Indonesia secara resmi telah menjadi
Negara Pihak (Party) dan terikat dengan kewajiban dan memiliki hak untuk
memanfaatkan berbagai peluang dukungan yang ditawarkan UNFCCC
dalam upaya mencapai tujuan konvensi tersebut. Sebagai negara non-
1 Tanggal Penandatanganan UNFCCC: 5 Agustus 1994, tanggal ratifikasi: 23 Agustus 1994, dan tanggal entry into force: 21 November 1994 (http://unfccc.int/tools_xml/country_ID.html)
Gambar 1.1 Logo UNFCCC
Sumber: UNFCCC (UNFCCC, 2018)
2
Annex I, pada dasarnya Indonesia tidak wajib menurunkan emisi GRK
nasional. Akan tetapi, konsekuensi dari ratifikasi konvensi perubahan iklim
tersebut, Indonesia harus turut serta dalam upaya menstabilkan
konsentrasi GRK serta melaporkan sumber-sumber utama (termasuk
besarnya) emisi GRK dan kegiatan-kegiatan yang terkait perubahan iklim
ke UNFCCC.
Target rinci penurunan emisi gas rumah kaca sebagai kewajiban secara
legally binding dari setiap Negara Pihak yang dikategorikan pada Annex-I
dari UNFCCC ditetapkan melalui Protokol Kyoto atau Kyoto Protocol to the
United Nations Framework Convention on Climate Change.
1.1.2 Keanggotaan Indonesia dalam Kyoto Protocol
Meskipun Indonesia tidak termasuk sebagai Annex-I Party yang memiliki
kewajiban di dalam Protokol Kyoto, Indonesia turut meratifikasi Protokol
Kyoto melalui instrumen Undang-Undang Republik Indonesia No. 17
Tahun 2004 tentang Pengesahan Kyoto Protocol to the United Nations
Framework Convention on Climate Change (Protokol Kyoto atas Konvensi
Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim)2.
Selanjutnya, para Negara Pihak UNFCCC dan Protokol Kyoto bersepakat
mengadopsi Doha Amendment to the Kyoto Protocol yang dihasilkan
melalui Dec 1/CP.18 untuk melanjutkan target penurunan emisi grk tahap
berikutnya bagi Annex I countries dari rezim Protokol Kyoto. Komitmen
Periode I (2008-2012) dikenal dengan rezim Protokol Kyoto, dan Komitmen
Periode II adalah 2012-2020 dimana Negara Pihak Annex I diminta untuk
mengurangi total emisi GRK minimal sebesar 18% dari tingkat tahun 1990
untuk dilaksanakan tahun 2013-2020.
Indonesia melakukan penerimaan (acceptance) terhadap Amandemen
Doha melalui instrumen Piagam Penerimaan Doha Amendment to the
2 Tanggal Penandatanganan: 13 Juli 1998, tanggal ratifikasi: 3 Desember 2004, tanggal entry into force: 3 Maret 2005 (http://unfccc.int/tools_xml/country_ID.html)
3
Kyoto Protocol pada 6 Agustus 2014 yang disampaikan ke Sekretariat
UNFCCC pada 30 September 20143.
1.1.3 Keanggotaan Indonesia dalam Paris Agreement
Pada COP21 di Paris tahun 2015, seluruh Negara Pihak UNFCCC
mengadopsi Paris Agreement melalui Dec 1/CP.21 untuk membangun
rezim baru pengelolaan perubahan iklim melalui target penurunan emisi
GRK oleh seluruh Negara Pihak, baik Negara Maju maupun Negara
Berkembang yang dikenal sebagai Nationally Determined Contributions
(NDCs).
Presiden Indonesia Joko Widodo hadir memenuhi undangan Presiden
Perancis pada pembukaan COP21 bersama pimpinan
negara/pemerintahan di seluruh dunia. Pada kesempatan tersebut,
Presiden menyampaikan komitmen Indonesia untuk menjadi bagian dari
solusi atas permasalahan perubahan iklim global.
3 Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional, Kementerian Luar Negeri, http://treaty.kemlu.go.id/index.php/treaty/index?fullPage=1&sort=treaty_title, diakses pada 28 Juli 2016; dan UNFCCC, 2016
Gambar 1.2 Presiden Joko Widodo pada
Pertemuan Kepala Negara/Kepala Pemerintahanan Mengawali COP21
Sumber: IISD/Kiara Worth (IISD, 2015)
4
Indonesia turut menjadi Negara
Penandatangan Paris Agreement
yang dilakukan oleh Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan
pada High Level Signature
Ceremony of Paris Agreement,
New York, 22 April 2016.
Pemerintah Indonesia memulai
proses menuju ratifikasi melalui
penyusunan Rancangan Undang-
Undang (RUU) disertai Naskah
Akademis dan surat Usulan
Pemrakarsa sejak awal tahun 2016.
Gambar 1.3 Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
padaHigh Level Signature Ceremony of Paris Agreement
New York, 22 April 2016
Sumber: UNFCCC (UNFCCC, 2018)
Box 1
National Statement Indonesia yang disampaikan Presiden Joko Widodo pada
Pertemuan Kepala Negara/Kepala Pemerintahanan Mengawali COP21
Our deepest condolence for the act of terror on the 13th of November that claimed innocent lives. As the biggest Moslem
population, Indonesia affirms that Islam teaches peace and tolerance. These acts of terror are not related to any relifgion, nation
or race whatsoever.
I am here to convey our strong political support to a successful COP 21. As a country with one of the largest forest areas that
serves as the lungs od the world, Indonesia has chosen to be part of solution. Under the leadership, the government will take into
consideration environmental aspects in out development.
Indonesia has geographic conditions that are vulnerable to climate change, 2/3 of our territory consists of sea, there are 17.000
islands, 60% of the population lives in costal area, and 80% of disaster that has taken place are climate-related.
Just recently, Indonesia suffered from forest and peat fires. The Hot and Dry El Nino have caused mitigation efforst difficult, but it
has been addressed (wehave managed to). Law has been robustly enforced (Bahasa Indonesia version does not use verb that
indicates “has” or “will”), we are preparing preventive measures – some of which we have started to implement, (for example) peat
ecosystem restoration with establishment of Peat Restoration Agency.
Above-mentioned vulnerabelities and challenges would not stop us from committing to contribute to global action in reducing
emission. Indonesia commits to
Reduce by 29% from BAU level by 2030 and by 41% with international assistance.
Emission reduction would be done through several measures:
On Energy: Reallocation of fuel subsidy to productive sectors; Increase share of renewable energy up to 23% from national energy
consumption by 2025; Waste management for energy.
On Forest and governance: Implementation of One Map Policy; Putting in place moratorium and review of utilization permits/
concession on peat; Sustainable Land and Forest Management.
On Maritime affairs: Addressing illegal unregulated and unregisterd fishing; Protection of marine biodiversity.
Paris agreement must relflect balance, fairness, as well as national priorities and ccapacities. (It must also be) legally binding,
long term, ambitious but not restrictive to development of developing nations.
To reach agreement in Paris, all parties, I repeat, all parties, particularly developed nations, must contribute more to mitigation
and adaptation aictions.
Resources mobilization (climate financing) of US$ 100 Billion by 2020, and improvement (of the amount) in the yeas to
follow
Transfer of envirionmentally friendly friendly thecnology and capacity development.
Reaching a Paris Agreemnt is necessary. I hope all of us would be part of solution to make the earth a good place for our children
and grandchildren – and to make the earth a prosperous living place for them.
Sumber: Ditjen. PPI (KLHK, 2015)
5
Pada 24 Oktober 2016, Indonesia telah meratifikasi Paris Agreement
melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris
Agreement to the United Nations Framework Convention on Climate
Change (Persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan
Bangsa-Bangsa Perubahan Iklim). Dengan demikian, Pemerintah Indonesia
juga telah menjadi Negara Pihak PA ketika menghadiri
COP22/CMP12/CMA1 di Marakesh, Maroko pada 7 – 18 November 2016.
1.2 Institutional Arrangement dan Peran National Focal Point for UNFCCC
1.2.1 Institutional Arrangement
Sesuai kebijakan Pemerintah dalam streamlining Kementerian/ Lembaga
dan berdasarkan Peraturan Presiden No. 16/2015 tentang Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan, maka dalam Kabinet Kerja Presiden Joko
Widodo terjadi peleburan 4 (empat) institusi kementerian/ lembaga yang
terdiri atas Kementerian Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup,
Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI), dan Badan Pengelola REDD+
menjadi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Berdasarkan Perpres tersebut pelaksanaan Pengendalian Perubahan Iklim
dikoordinasikan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
melalui Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim (Ditjen PPI).
Gambar 1.4 Institutional Arrangement National Focal Point for UNFCCC
Sumber: Ditjen PPI (KLHK, 2017)
6
Selanjutnya berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan No. P.18/MenLHK-II/2015 tentang Struktur Organisasi dan
Administrasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Ditjen PPI
memiliki serangkaian tugas dan fungsi dalam perumusan dan pelaksanaan
kebijakan pengendalian perubahan iklim. Mengingat perjanjian global
mengenai perubahan iklim berada didalam kerangka United Nations
Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), maka seluruh
pengertian dan uraian dalam buku ini mengacu pada kerangka perjanjian
tersebut.
Dalam pelaksanaan mandat sesuai dengan Peraturan Menteri Lingkungan
Hidup dan Kehutanan tersebut, Direktorat Jenderal Pengendalian
Perubahan Iklim telah menyusun target dan program kerja sampai dengan
tahun 2019 seperti pada Gambar 1.3 di atas.
1.2.2 Peran National Focal Point for UNFCCC
Dasar penunjukkan Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim selaku
National Focal Point for United Nations Framework Convention on Climate
Change (NFP for UNFCCC)4 melalui:
1. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI No. SK.
465/Menlhk-Setjen/2015 Tanggal 28 Oktober 2015 tentang
Penunjukan Focal Point (Pumpunan Kegiatan) Kerja Sama Luar Negeri;
2. Surat Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI kepada Executive
Secretary of UNFCCC No. S.210/MenLHK-II/2015 Tanggal 18 Mei 2015.
Pengertian NFP for UNFCCC adalah person yang ditunjuk negara sebagai
perwakilan negara untuk bertanggung jawab dan berkomunikasi terhadap
seluruh kegiatan terkait UNFCCC di tingkat nasional Negara Pihak masing-
masing. Tugas NFP secara lengkap sesuai dengan keputusan COP maupun
subsidiary bodies di bawah UNFCCC dapat dilihat pada Box 1 berikut.
4 http://unfccc.int/tools_xml/country_ID.html
7
Singkatnya, NFP memiliki tugas utama untuk:
a. Menerima dokumen dari dan komunikasi dengan UNFCCC terkait
aspek penganggaran dari Sekretariat UNFCCC,
b. Penyusunan Laporan Komunikasi Nasional (National Communication);
c. Menginformasikan mengenai pelaksanaan Konvensi di tingkat
nasional;
d. serta menerima, menyetujui, dan mengetahui seluruh kegiatan yang
dilaksanakan bersama dengan pihak lain dan melaporkannya kepada
Pertemuan Para Pihak (Conference of the Parties/COP) melalui
Sekretariat UNFCCC.
Dalam menjalankan tugasnya, NFP for UNFCCC melakukan fungsi antara
lain:
a. Mempersiapkan Delegasi Republik Indonesai untuk sesi-sesi
perundingan di bawah UNFCCC;
Box 2
Dokumen UNFCCC sebagai referensi tugas NFP for UNFCCC
1. Decision 14/CP.2 - Establishment of the permanent secretariat and
arrangements for its functioning
V. Focal points and liaison arrangements Paragraph 9
9. Requests Parties that have not yet done so to communicate to the
secretariat their decision on the designation of focal points, as well as any
need for liaison arrangements between their focal point and the
secretariat in Bonn, so as to enable the Executive Secretary, in conjunction
with other Convention secretariats and United Nations bodies, to explore
the availability, cost, and funding of suitable liaison arrangements in
Geneva and/or New York, and to report thereon to the Subsidiary Body
for Implementation at its fifth session;
2. FCCC/SBI/1996/9 Paragraph 29
29. The SBI invited non-Annex I Parties to nominate national focal points for
facilitating assistance for the preparation of the initial communications;
3. FCCC/SBSTA/1996/8 Paragraph 74
74. The SBSTA invited Parties to identify the relevant governmental
authority/ministry authorized to accept, approve or endorse activities
implemented jointly and to report them to the COP through the
secretariat.
Sumber: UNFCCC (UNFCCC, 2017)
8
b. Bekerja sama dengan Kementerian/Lembaga serta pemangku
kepentingan terkait lainnya dalam menyusun substansi posisi negosiasi
maupun submisi Indonesia;
c. Menyampaikan submisi Indonesia baik berupa posisi, dokumen
pelaporan dan dokumen lainnya ke Sekretariat UNFCCC;
d. Mengelola kesekretariatan Delegasi selama sesi perundingan
berlangsung;
e. Mengkoordinasikan pelaporan hasil persidangan dan komunikasi
tindak lanjut/implementasi oleh berbagai pihak.
1.2.3 Focal Point/Pumpunan Kegiatan Lain yang terkait
Selain sebagai NFP for UNFCCC, Dirjen PPI juga menjadi Focal
Point/Pumpunan kegiatan untuk beberapa isu substantif lainnya yang
masih terkait dalam kerangka UNFCCC, yaitu;
1. NFP for Article 6 of the Convention;
2. Designation Authority for Adaptation Fund;
3. Designation National Authority for Clean Development Mechanism;
4. National Focal Point for IPCC
Komunikasi yang dilakukan antara Sekretariat UNFCCC dengan NFP for
UNFCCC setiap Negara Pihak adalah melalui berbagai media komunikasi
termasuk melalui akun email. Sebagai NFP for UNFCCC, Indonesia selalu
menerima update atau dari Sekretariat UNFCCC untuk kemudian
dilanjutkan penyampaian informasi tersebut kepada para pemangku
kepentingan baik di tingkat nasional maupun subnasional.
1.3 Sekretariat NFP for UNFCCC
Dalam hal menjalankan serta untuk membantu pelaksanaan fungsi dan
tugas selaku NFP for UNFCCC, Direktur Jenderal PPI didukung oleh
Sekretariat National Focal Point for UNFCCC5. Pengertian Sekretariat NFP
for UNFCCC adalah sekretariat yang mendukung pelaksanaan tugas dan
fungsi Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim KLHk dalam rangka
mengemban peran selaku NFP for UNFCCC
5 Sekretariat NFP berada di bawah Direktorat Mobilisasi Sumberdaya Sektoral dan Regional. Email: [email protected].
9
Tugas dan fungsi Sekretariat NFP for UNFCCC, selain mendukung
pelaksanaan tugas dan fungsi NFP for UNFCCC, secara eksternal kepada
Sekretariat UNFCCC dan pihak asing lainnya, secara internal di tingkat
nasional juga mencakup kegiatan-kegiatan berupa sosialisasi, diseminasi,
dan internalisasi hasil-hasil perundingan perubahan iklim tingkat global ke
berbagai pemangku kepentingan terkait di tingkat nasional dengan
pemahaman yang lebih mudah untuk dicerna bagi para pemangku
kepentingan yang berasal dari berbagai elemen masyarakat.
Dengan demikian komunikasi Sekretariat NFP for UNFCCC tidak hanya
bersifat eksternal ke pihak luar, juga ke para pemangku kepentingan di
dalam negeri, baik nasional maupun sub-nasional, serta menjembatani
komunikasi dan penyampaian informasi antara Sekretariat UNFCCC dengan
para pemangku kepentingan perubahan iklim di Indonesia.
11
BAGIAN 2
PERUNDINGAN UNFCCC
2.1 Struktur Perundingan UNFCCC
Perundingan dalam kerangka UNFCCC setiap tahunnya biasa terdiri atas 2
(dua) sesi/ periode6, yaitu:
a. Sesi/ periode perundingan pertengahan tahun, dimana forum
perundingan adalah tingkat Subsidiary Bodies (SBs) yaitu Subsidiary
Body for Implementation (SBI), Subsidiary Body for Scientific and
Technological Advice (SBSTA), dan ad hoc working group. Sesi
perundingan tengah tahun secara rutin diselenggarakan sekitar bulan
Mei atau Juni dan selalu berlokasi di kompleks United Nations Campus
dan World Convention Center Bonn (WCCB)7 di Kota Bonn, lokasi
dimana markas UNFCCC berada. Namun demikian pada periode
tahun-tahun sebelumnya sesi perundingan pertengahan tahun juga
diselenggarakan di Hotel Maritime, Bonn;
b. Sesi/periode perundingan akhir tahun berupa Conference of the
Parties to the United Nations Framework Convention on Climate
Change (COP), dan/atau Conference of the Parties serving as the
meeting of the Parties to the Kyoto Protocol (CMP), dan/atau
Conference of the Parties serving as the meeting of the Parties to The
Paris Agreement (CMA). Penyelenggaraan COP/CMP juga disertai
penyelenggaraan perundingan Subsidiary Bodies (SBs). Host country
atau lokasi negara penyelenggaraan COP adalah Negara Pihak
6 Jika dilihat secara utuh sesi perundingan UNFCCC pada tahun 2015, mengingat target penyelesaian
mandat ADP untuk menghasilkan suatu perjanjian baru pada COP-21, UNFCCC telah menyelenggarakan 5
(lima) kali perundingan yang terdiri dari: ADP 2.8 (Februari 2015), SBI-42/SBSTA-42/ADP 2.9 (Juni 2015),
ADP2.10 (Agustus-September 2015), ADP2.11 (Oktober 2015), dan COP-21/CMP-
11/SBI43/SBSTA43/ADP2.12 (Desember 2015).
7 History of World Conference Center Bonn, http://www.worldccbonn.com/en/history.html
12
UNFCCC yang dilaksanakan secara bergiliran 5 (lima) region: Eropa
Barat, Afrika, Asia Pasifik, Eropa Timur, Amerika Latin dan Karibia.
Dalam penyelenggaraan COP/CMP, upcoming COP Presidency yakni
Presiden COP berikutnya selalu menyelenggarakan suatu pertemuan yang
disebut Pre COP yang ditujukan untuk tingkat chief negotiator dan bersifat
koordinasi politis. Pertemuan Pre COP bertujuan untuk menyampaikan
target yang hendak dicapai pada setiap COP dan harapan COP Presidency
terhadap COP tersebut serta kesepakatan politis yang hendak ditempuh
guna mencapai target tersebut. Mengingat arti penting Pre COP maka
menjadi rangkaian tak terpisahkan dalam mengawali COP.
Untuk informasi rinci dan lebih jelas terkait periode perundingan UNFCCC,
dapat dilihat pada laman UNFCCC: http//www.unfccc.int.
2.2 Sesi Perundingan UNFCCC Periode Agustus 2015 – Desember 2017
Dalam kurun waktu dari Agustus 2015 hingga Desember 2015, UNFCCC
telah menyelenggarakan 7 (tujuh) kali sesi perundingan, yang terdiri dari 4
(empat) pertemuan subsidiary bodies dan 3 (tiga) kali COP. Ketujuh sesi
perundingan UNFCCC yang dikelola oleh Ditjen PPI sejak terbentuk pada
Juni 2015 hingga Desember 2017 sebagaimana uraian berikut.
Box 3
Sekilas Sejarah Ad-hoc Working Group on Durban Platform for Enhanced Action
(ADP)
Pembentukan ADP sebagai hasil keputusan pada COP17 di Durban, Afrika Selatan,
28 November – 9 Desember 2011 (Decision 1/CP.17 on the Establishment of an Ad
Hoc Working Group on the Durban Platform for Enhanced Action).
Sesuai mandatnya untuk menyusun suatu perangkat legal (protocol, another legal
instrument or an agreed outcome with legal force under the Convention),
pembahasan Ad-hoc Working Group Durban Platform for Enhanced Action (ADP)
dibagi dalam 2 workstream yaitu:
1. Workstream I (2015 Agreement) membahas perjanjian 2015 yang harus
diadopsi pada pertemuan COP21/CMP11 di Paris, Perancis pada Desember
2015, yang secara legal akan berlaku tahun 2020; dan
2. Workstream II (pre-2020 Ambition) untuk mengidentifikasi opsi yang dapat
dilakukan untuk mengisi kesenjangan (gap) yang terjadi dalam hal pencapaian
target mitigasi yang dilakukan oleh negara maju sampai dengan tahun 2020,
dimana akan berlaku secepatnya sampai tahun 2020 dimana 2015 Agreement
akan berlaku. Sumber: UNFCCC (UNFCCC, 2017)
13
A. Tahun 2015
(1) the Tenth Part of the Second Session of the Ad Hoc Working Group
on the Durban Platform for Enhanced Action (ADP 2.10), Bonn,
Jerman, 31 Agustus - 4 September 2015;
(2) the Eleventh Part of the Second Session of the Ad Hoc Working Group
on the Durban Platform for Enhanced Action (ADP 2.11), Bonn,
Jerman, 19 – 23 Oktober 2015;
(3) the Twenty-first session of the Conference of the Parties to the United
Nations Framework Convention on Climate Change (COP21), the
eleventh session of the Conference of the Parties serving as the
meeting of the Parties to the Kyoto Protocol (CMP11), the Forty-third
Session of the Subsidiary Body for Implementation (SBI43), and the
Forty-third Session of the Subsidiary Body for Scientific and
Technological Advice (SBSTA43), Paris, Perancis, 30 November – 12
Desember 2015;
Gambar 2.1 Suasana Sesi Perundingan pada COP21
Sumber: IISD/Kiara Worth (IISD, 2015)
14
B. Tahun 2016
(4) Bonn Climate Change Conference 2016 - the Forty-fourth Session of
the Subsidiary Body for Implementation (SBI44), the Forty-fourth
Session of the Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice
(SBSTA44) and the First Session of the Ad- Hoc Working Group on the
Paris Agreement (APA-1), Bonn, Jerman, 16 – 26 Mei 2016;
(5) Marrakech Climate Change Conference 2016 - the Twenty-second
session of the Conference of the Parties (COP22), the twelfth session
of the Conference of the Parties serving as the meeting of the Parties
to the Kyoto Protocol (CMP12), the first session of the Conference of
the Parties serving as the meeting of the Parties to the Paris
Agreement (CMA-1), the Forty-fifth Session of the Subsidiary Body for
Implementation (SBI45), the Forty-fifth Session of the Subsidiary Body
for Scientific and Technological Advice (SBSTA45) and the Second Part
of the First Session of the Ad-Hoc Working Group on the Paris
Agreement (APA1.2), Marakesh, Maroko, 7-18 November 2016.
Sumber: IISD/Kiara Worth (IISD, 2016)
Gambar 2.2 Suasana Opening Plenary COP22
15
C. Tahun 2017
(6) Bonn Climate Change Conference 2017 - the Forty-sixth Session of
Subsidiary Body for Implementation (SBI46), the Forty-sixth Session of
Subsidiary Body of Scientific and Technological Advice (SBSTA46), and
the Third Part of the first Session of Ad-hoc Working Group on the
Paris Agreement (APA1.3), Bonn, Jerman, 8 – 18 Mei 2017;
(7) the Twenty-third meeting of the Conference of the Parties (COP23),
the thirteenth session of the Conference of the Parties serving as the
meeting of the Parties to the Kyoto Protocol (CMP 13); the second part
of the first session of the Conference of the Parties serving as the
meeting of the Parties to the Paris Agreement (CMA 1-2), the Forty-
seventh Session of the Subsidiary Body for Implementation (SBI47),
the Forty-seventh Session of the Subsidiary Body for Scientific and
Technological Advice (SBSTA47) and the Fourth Part of the First
Session of the Ad-Hoc Working Group on the Paris Agreement
(APA1.4) Bonn, Jerman, 6 – 17 Mei 2017.
Sumber: IISD/Kiara Worth (IISD, 2017)
Gambar 2.3 Suasana Opening Plenary COP23
16
Sesi perundingan UNFCCC selama periode Agustus 2015 – Desember 2017
dapat dilihat pada Gambar 2.5 berikut:
Ketujuh sesi perundingan tersebut yang selanjutnya dikelola oleh Ditjen
Pengendalian Perubahan Iklim selama kurun waktu Agustus 2015 hingga
Desember 2017. Sesi perundingan COP21/CMP11 yang diselenggarakan
pada 30 November hingga 12 Desember 2015 telah menghasilkan salah
satunya keputusan penting yakni Decision I/CP.21 – the Adoption of Paris
Agreement yang menandai lahirnya rezim baru pengelolaan perubahan
iklim global.
2.3 Pertemuan Non Perundingan
Dalam setiap pertemuan COP, selain forum negosiasi sebagai main event,
Sekretariat UNFCCC juga menyelenggarakan pertemuan non-perundingan
sebagai rangkaiannya. Pertemuan non perundingan ini terdiri dari
beberapa jenis event yakni:
Sumber: Ditjen. PPI (KLHK, 2017)
Gambar 2.4 Rangkaian 7 (tujuh) Sesi Perundingan Agustus 2015 – Desember 2017
ADP2.10 (2015) ADP2.11 (2015)
COP21
CMP11
SBI43
SBSTA43
ADP2.12 (2015)
SBI44
SBSTA44
APA1 (2016)
COP22
CMP12
SBI45
SBSTA45
APA1.2 (2016)
SBI46
SBSTA46
APA1.3 (2017)
COP23
CMP13
SBI47
SBSTA47
APA1.4 (2017)
Decision I/CP.21:
The Adoption of Paris Agreement
17
a. Mandated Events
Mandated Events merupakan pertemuan yang dimandatkan oleh COP
untuk diselenggarakan di luar agenda resmi Subsidiary Bodies, dan
berasal dari keputusan sesi-sesi perundingan sebelumnya. Mandated
event biasa berbentuk workshop, diselenggarakan sebagai pre sessional
event ataupun in-session, tidak bersifat negosiasi namun memberikan
semacam input langsung ke agenda SBs terkait.
b. Side Events dan Pameran
Side events dan pameran merupakan platform yang dikelola Sekretariat
UNFCCC bagi Parties maupun observers dan sebagai agenda resmi
UNFCCC. Melalui event ini berbagai pihak yang memiliki izin dalam
UNFCCC, namun memiliki kesempatan berbicara yang terbatas dalam
negosiasi formal, dapat terlibat dengan Negara Pihak dan juga peserta
lain dalam berbagi pengetahuan, peningkatan kapasitas, membangun
jaringan serta mengeksplorasi pilihan bersama dalam tindakan
pengendalian perubahan ikilm. Para Negara Pihak dan observer yang
akan mengikuti side event yang dikelola UNFCCC diwajibkan untuk
mendaftar melalui Side Event and Exhibition Online Registrations
System (SEORS) pada laman https://seors.unfccc.int/.
c. Parallel Events
Paralel Events merupakan serangkaian pertemuan yang
diselenggarakan oleh negara ataupun organisasi, dan bukan termasuk
agenda Sekretariat UNFCCC, baik di dalam maupun di luar area
penyelenggaraan konferensi. Salah satu agenda Parallel Events adalah
Paviliun Delegasi, yang diselenggarakan oleh berbagai Negara Pihak.
18
d. Platform untuk Non-Party Stakeholders/Non-State Actors
Kegiatan ini merupakan kegiatan yang diselenggarakan oleh COP-
Presidencies. Khususnya sebagai platform komunikasi bagi pihak-pihak
di luar negara pihak. Platform ini telah diadakan sejak COP-20 tahun
2014 di Lima, Peru. Platform khusus ini disebut dengan Non-State Actor
Zone for Climate Action (NAZCA) dengan laman
climateaction.unfccc.int/.
Sumber: Biro Humas (KLHK, 2017)
Gambar 2.6 Side Event Indonesia dengan tema “Good Peatland Governance to
Strengthen Economic, Social and Ecosystem Resillience” pada COP23
Gambar 2.5Side Event Indonesia dengan tema “Building Resilience for Climate Change Adaptation:
Challenges and Progress for Archipelagic and Small Island Countries” pada COP22
Sumber: Ditjen. PPI (KLHK, 2017)
19
e. Agenda COP-Presidencies (Action Agenda)
Action Agenda merupakan agenda yang diselenggarakan oleh COP-
Presidencies dengan tujuan mendorong peningkatan aksi global dalam
pencapaian komitmen Paris Agreement. Pada tahun 2015 dalam COP21,
agenda ini disebut dengan Lima-Paris Action Agenda (LPAA), dan untuk
tahun 2016 di Marakesh disebut dengan Marrakech Global Climate
Action Agenda.
2.4 Pengorganisasian Kerja oleh NFP for UNFCCC
Dalam setiap siklus pengelolaan perundingan pada prinsipnya terdiri dari 4
(empat) tahapan:
a. Tahap 1: Stocktaking – tahap persiapan guna pengumpulan data dan
informasi berupa progres atau kemajuan positif terkait pengendalian
perubahan iklim di tingkat nasional dan berbagai perkembangan
global terkait yang menjadi dasar penyusunan submisi maupun Posisi
Indonesia;
b. Tahap 2: Formulation – penyusunan submisi, Kertas Posisi, dan berbagai
dokumen terkait lainnya, serta pembentukan Delegasi RI;
c. Tahap 3: Facilitation – fasilitasi bagi Delegasi Republik Indonesia baik
sebelum maupun pada saat mengikuti perundingan;
d. Tahap 4: Evaluation and Communication to the Stakeholders – evaluasi
keikutsertaan Delegasi Indonesia dalam setiap sesi perundingan dan
sebagai sarana mengkomunikasikan hasil-hasil perundingan kepada
para pemangku kepentingan.
Tahap 1 dan 2 merupakan kegiatan yang dilakukan sebelum keberangkatan
Delegasi RI dalam suatu sesi perundingan. Tahap 3 merupakan tahap
pelaksanaan yaitu ketika Delegasi RI mengikuti suatu sesi perundingan, dan
Tahap 4 merupakan tahap paska sesi perundingan ketika Delegasi RI telah
kembali ke Tanah Air.
Tahap 1 merupakan tahap persiapan, dimana prinsip tahap ini berupa
pengumpulan data dan informasi mengenai progres atau kemajuan positif
terkait pengendalian perubahan iklim di Indonesia dan berbagai
perkembangan global terkait yang menjadi dasar penyusunan submisi
maupun Posisi Indonesia.
20
Dalam Tahap 1, Sekretariat NFP for UNFCCC melakukan serangkaian
kegiatan berupa:
a. Identifikasi call for submission
Identifikasi dilakukan pada permintaan submisi yang telah dihasilkan
dari sesi perundingan sebelumnya. Meskipun pemenuhan call for
submission bersifat voluntary, namun proses penyusunan submisi
hingga dihasilkannya suatu submisi untuk disampaikan ke Sekretariat
UNFCCC merupakan bagian penting yang tidak terpisahkan dari proses
penyusunan Posisi Indonesia secara keseluruhan. Pemenuhan submisi
tersebut dilakukan sedini mungkin dari batas waktu yang ditetapkan
dan juga memperhatikan keterkaitan submisi tersebut dengan agenda
lanjutan yang dimandatkan dalam keputusan seperti technical
workshop, roundtable discussion dan technical paper;
b. Penelaahan agenda perundingan
Dalam menuju suatu sesi perundingan penting sekali untuk
memperoleh agenda sesi perundingan secara lengkap sebagai bahan
untuk menyusun strategi negosiasi. Biasanya agenda perundingan akan
disampaikan/ dimuat Sekretariat UNFCCC yang meliputi berbagai
informasi baik aspek substansi maupun aspek logistik kepada seluruh
Negara Pihak dan publik melalui email maupun penayangan dalam
laman www.unfccc.int. Agenda perundingan atau yang dikenal dengan
sebutan provisional and annotations agenda menjadi basis penyusunan
Posisi Indonesia untuk setiap sesi perundingan;
Gambar 2.7 Suasana Pertemuan Penyusunan Posisi DELRI pada COP-22
sebagai bagian tahap Formulation
Sumber: Ditjen. PPI (KLHK, 2016)
21
c. Identifikasi Pemangku Kepentingan (Kementerian /Lembaga)
Sesuai dengan agenda dan substansi sesi perundingan yang diterima,
selanjutnya perlu dilakukan identifikasi para pemangku kepentingan
(K/L) terkait untuk dilibatkan dalam mengawal agenda perundingan
dimaksud. Untuk itu, NFP akan mengundang perwakilan K/L terkait
dalam rangka penyusunan submisi dan Kertas Posisi Indonesia serta
menjadi Delegasi RI;
d. Identifikasi progres baik di Tingkat Nasional dan Proses Terkait di
Tingkat Global
Dalam mempersiapkan bahan submisi dan kertas posisi Indonesia, NFP
juga perlu mengidentifikasi progres serta hambatan di tingkat nasional
serta proses pertemuan di tingkat global yang relevan. Identifikasi
progres dan hambatan di tingkat nasional penting sebagai modalitas
dalam perundingan untuk meningkatkan progress dan mendapatkan
solusi untuk hambatan yang dihadapi. Sedangkan identifikasi proses di
tingkat global berguna untuk memprediksi dan mengantisipasi arah
perundingan dan hasil perundingan yang ingin dicapai.
Dalam Tahap 2, Ditjen PPI KLHK melalui Sekretariat NFP for UNFCCC
melakukan serangkaian kegiatan baik bersifat sekuen maupun paralel
berupa:
a. Penyelenggaran serangkaian pertemuan guna penyusunan Submisi dan
Kertas Posisi, dimana pertemuan penyusunan submisi dan Kertas Posisi
dilakukan secara terpisah;
b. Pembentukan Tim Negosiasi sebagai bagian inti dari Delegasi RI;
c. Pembentukan Sekretariat Delegasi RI (Sekdelri);
d. Penyampaian nama-nama Delegasi RI kepada Sekretariat UNFCCC
melalui Online Registration System (ORS) untuk mendapatkan
Acknowledgement Letter of Nomination dan/atau Visa Support Letter
bagi para calon Delegasi;
e. Penyusunan dokumen Pedoman Delegasi Republik Indonesia;
f. Penyelenggaraan pertemuan Koordinasi Delegasi Republik Indonesia,
yang bertujuan penyampaian pengarahan dari Menteri Lingkungan
Hidup dan eminent person terkait kepada seluruh Delegasi RI.
22
Kegiatan dalam tahap 2 di atas adalah kegiatan dasar yang dilakukan untuk
persiapan setiap sesi perundingan, baik SBs maupun COP. Mengingat sesi
COP jenis pertemuan yang diadakan oleh Sekretariat UNFCCC bersifat lebih
kompleks dengan adanya pelibatan Non-Party Stakeholders (NPS),
terdapat kegiatan lain yang juga perlu dilakukan dalam menjelang setiap
sesi perundingan COP:
a. Penyampaian registrasi dan/atau persetujuan dari NFP for UNFCCC
terhadap 1 (satu) usulan kegiatan dari Negara Pihaknya untuk Side
Event yang diselenggarakan oleh UNFCCC melalui Side Event and
Exhibits Online Registration System (SEORS)8;
b. Koordinasi dengan pihak Event Organizer yang ditunjuk oleh Host
Country lokasi penyelenggaraan COP terkait Pengadaan Kantor
Sekretariat Delegasi RI;
c. Koordinasi dengan Sekretariat Paviliun Indonesia, dalam rangka
soliditas Delegasi Republik Indonesia;
d. Koordinasi dengan Kementerian Luar Negeri terkait penerbitan
Credential Letter.
Tahap 3 merupakan tahap pelaksanaan perundingan. Dalam tahap ini, NFP
for UNFCCC melalui Sekretariat Delegasi RI memfasilitasi Delegasi RI dalam
8 https://seors.unfccc.int/
Gambar 2.8 Suasana Koordinasi Internal DELRI sebagai
bagian persiapan COP23, November 2017
Sumber: Ditjen. PPI (KLHK, 2017)
23
melakukan perundingan dan kegiatan non-perundingan yang terkait.
Kegiatan fasilitasi yang dilakukan pada dasarnya berupa:
a. Koordinasi harian Delegasi RI khususnya menyangkut perkembangan
negosiasi di seluruh forum perundingan;
b. Pengaturan deployment anggota Delegasi RI pada agenda
perundingan maupun agenda non perundingan;
c. Penyelenggaraan Kantor Delegasi RI;
d. Penyelenggaraan forum komunikasi melalui email maupun whatsapp
group;
e. Penyampaian berbagai informasi terkini baik aspek negosiasi maupun
non-negosiasi dari Sekretariat UNFCCC ke seluruh Delegasi RI;
f. Penghubung protokol bagi kehadiran Menteri kaitannya dengan
protokol UNFCCC, misalnya pengambilan badge dimana hal ini berlaku
hanya untuk Kepala Negara/Kepala Pemerintahan, Menteri, dan Head
of Delegation;
g. Koordinasi penyusunan Laporan Mingguan dan Berita Faksimil.
Terakhir Tahap 4 yang dilaksanakan setelah Delegasi RI menyelesaikan
tugas dan kembali ke Tanah Air. Adapun kegiatan utama yang
diselenggarakan berupa:
a. Penyusunan Laporan Delegasi RI secara komprehensif, disertai distribusi
ke tiap Kementerian/lembaga yang terlibat;
b. Penyelenggaraan Pertemuan Komunikasi Stakeholders Hasil-hasil COP
sebagai sarana evaluasi pencapaian misi Delegasi RI dan penyampaian
hasil konferensi dan tindak lanjut yang diperlukan oleh seluruh
pemangku kepentingan terkait.
24
Gambar 2.10 Suasana Pertemuan Komunikasi Stakeholder
Hasil COP23 sebagai bagian tahap Evaluation
Sumber: Ditjen. PPI (KLHK, 2016)
Gambar 2.9 Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada
Pertemuan Evaluasi Keterlibatan DELRI sebagai bagian Evaluasi pada COP21,
Desember 2015
Sumber: Ditjen. PPI (KLHK, 2015)
26
BAGIAN 3
PENGELOLAAN SUSBTANSI DAN PERJUANGAN INDONESIA
UNFCCC merupakan salah satu konferensi multilateral yang kompleks dari segi
cakupan substansi maupun teknis manajerial penyelenggaraan. Pendekatan sebab
dan akibat perubahan Iklim serta dampaknya berbasiskan sains multi disiplin.
Fokus utama negosiasi sepanjang 25 (dua puluh lima) tahun sejarah UNFCCC
(1992-2017) tetap terpusat pada status emisi gas rumah kaca nasional dan global,
aksi mitigasi dan adaptasi, serta mobilisasi dukungan finansial, peningkatan
kapasitas, dan transfer teknologi. Disertai dengan berbagai isu strategis yang
timbul silih berganti secara dinamis kontekstual.
Target dari tiap sesi perundingan merupakan basis dalam penetapan arah misi
Delegasi RI sekaligus acuan bagi Delegasi RI dalam mengelola substansi yang
diterjemahkan ke dalam pengorganisasi kerja Tim Negosiasi DELRI.
3.1 Perjalanan Menuju COP21 di Tahun 2015: A Milestone COP
Sepanjang tahun 2015, negosiasi UNFCCC mengerucut pada kebutuhan
menghasilkan suatu kesepakatan baru guna meneruskan rezim Protokol Kyoto
Periode II yang akan berakhir pada tahun 2020. Frekuensi sesi perundingan
meningkat yang secara rutin digelar 2 (dua) kali dalam setahun menjadi 5 (lima)
kali pada tahun tersebut dimana 3 (tiga) sesi perundingan dikhususkan untuk
memenuhi tuntutan mandat COP terhadap Ad Hoc Working Group on the Durban
Platform for Enhanced Action (ADP). ADP pada awal tahun 2015 telah memasuki
sesi kedua dan mencapai bagian kedelapan (ADP2.8) pada 8-13 Februari 2015 di
Genewa, Swiss.
Debut peran Ditjen PPI KLHK dalam pengelolaan perundingan UNFCCC beserta
Delegasi RI dimulai pada ADP2.10 yang berlangsung pada 31 Agustus hingga 4
September 2015 di Bonn. Atmosfer perundingan sepanjang 2015 hinngga
menjelang COP21 adalah seluruh Negara Pihak mencurahkan konsentrasinya
untuk penyusunan draft kesepakatan legal yang baru.
27
Hingga menjelang ADP2.11 yang diselenggarakan di Bonn, Jerman pada 19-23
Oktober 2015, terdapat sejumlah dokumen terkait teks draft untuk negosiasi,
mencakup:
a. Geneva Negotiating Text/GNT (FCCC/ADP/2015/1), sebagai dokumen
resmi yang dipergunakan dalam proses negosiasi yang hasil
pembahasan sesi ADP 2.8 di Jenewa, Swiss;
b. Serangkaian Non-Paper document dari Sekretariat UNFCCC pada 5
Oktober 2015, yang terdiri dari: Scenario Note ADP2.11, Draft
Agreement dan Decision Workstream 1, dan Draft Decision Workstream
2;
c. Negotiation Text, tercantum dalam Lampiran Decision 1/CP.17 atau
Lima Call for Climate Action, sebagai hasil negosiasi COP-20/CMP-10 di
Lima, Peru pada tahun 2014;
d. A revised, streamlined and consolidated text (SCT) dan a working
document per 11 Juni 2015 sebagai hasil pembahasan ADP 2.9, di Bonn,
Jerman pada 1-11 Juni 2015.
e. Co-Chairs’ Scenario Note atau juga disebut Co-Chairs’ Tool yang
disusun berdasarkan mandat yang diberikan oleh Negara Pihak pada
saat penyelenggaraan sesi ADP 2.9 di Bonn-Jerman di Bulan Juni.
COP21/CMP11 yang diselenggarakan di Paris, Perancis, 30 November – 11
Desember 2015 merupakan milestone dalam sejarah UNFCCC, yang
menyepakati lahirnya perjanjian baru yang legally binding melalui Decision
1/CP.21 on the Adoption of the Paris Agreement. Paris Agreement menjadi
salah satu milestone penting pula dalam pembangunan berkelanjutan, di
samping Sustainable Development Goals (SDGs) yang juga dihasilkan di
tahun 2015. Hal ini tak lepas dari kepemimpinan Perancis sebagai COP
Presidency telah proaktif melakukan berbagai pendekatan diplomatis di
semua level dari tingkat bilateral dengan sesama Negara Pihak UNFCCC,
forum regional seperti ASEAN, hingga UN General Assembly sepanjang
tahun 2015.
28
Secara substansial, isu-isu utama yang secara umum mengemuka hingga
pembahasan COP21 meliputi:
a. Prinsip-prinsip Common But Differentiated Responsibilites (CBDR),
Respective Capabilities (RC), Equity, Applied to All;
b. Mitigation, dengan fokus pembahasan Intended Nationally Determined
Contributions (INDC), collective long term goals, individual efforts,
differentiated efforts, progression, ambition, information, features,
timing, housing, transparency and reporting, accounting, methods and
guidance, long term strategies, response measures, unilateral measures,
cooperative approaches, support, framing, international transport
emissions, article on REDD+, dan article to support sustainable
development;
c. Adaptation, dengan pembahasan pengertian umum mengenai
adaptation and loss and damage serta langkah Negara Pihak ke depan
guna menyikapi isu-isu tersebut, tujuan/visi jangka panjang adaptasi
(global goal on adaptation), kontibusi/aksi negara pihak, pengaturan
loss and damage;
d. Finance, dengan fokus isu kesepakatan terkait mekanisme pendanaan
yang telah ada/ berlaku yang akan dipergunakan dalam implementasi
Paris Agreement, dan perdebatan terkait skala pendanaan dan
adaptation finance;
e. Technology Development and Transfer, dengan fokus pada aksi
bersama dan pengaturan institusi untuk dimasukkan ke dalam
Box 4
Misi Indonesia pada Sesi Perundingan COP-21/CMP-11
(Paris, Perancis, 30 November – 11 Desember 2015)
Memperjuangkan kepentingan nasional:
- Low Carbon and Climate Resilient Development/Climate Resilient
Development (post 2020) yang masuk dalam agenda negosiasi ADP
Work Stream I
- NAWACITA (pre 2020) yang masuk dalam agenda negosiasi ADP
Work Stream II, SBI/SBSTA.
Kontribusi terhadap upaya global dalam mencapai tujuan konvensi (ADP
WS I - WS II, SBI, SBSTA).
INDC merupakan cerminan/bagian posisi Indonesia.
Dinegosiasikan melalui frame negosiasi sesuai elements negosiasi yaitu:
Adaptasi, Mitigasi, means of implementation-MoI (Finance, Technology
Development and Transfer, Capacity Building), Loss and Damage,
Transparency, Facilitating Implementation, aspek institusi dan aspek legal
lainnya.
Sumber: Ditjen. PPI (KLHK, 2015)
29
Agreement dan Technology Need Assessment, penguatan institusi, dan
Periodic Assessment of Institutional Arrangement untuk menjadi bagian
draft Decision;
f. Capacity Building, dengan isu utama perdebatan antara
mempertahankan mekanisme pelaksanaan capacity building yang
sudah ada melalui Durban Forum (posisi umum negara maju) dengan
pembentukan suatu lembaga baru mengingat mandat Durban Forum
dipandang terbatas dan bersifat sharing information saja (posisi umum
negara berkembang);
g. Transparency of Action and Support, dengan isu utama unified,
robustness, flexibility, dan diferensiasi, mitigasi oleh Party, tingkat
global, adaptasi, dan comparability, clarity, support dari negara maju ke
negara berkembang, pelaporan, inventory, informasi terkait mitigasi-
adaptasi- means of implementasi, review oleh technical expert,
keterkaitan dengan global stock take, modalitas, prosedur sistem
transparansi, dan hak negara berkembang untuk menerima support dari
Negara maju;
h. Legal, mencakup: Preamble (antara lain pengakuan hak indigenous
people, hak asasi, gender, kesehatan dalam kaitannya dengan isu
perubahan iklim, isu REDD+), Objective, Facilitating implementation
and compliance, Procedural and instutional Provisions (proses
persetujuan, ratifikasi, entry into force, amandement, depository,
governing body of the new agreement, imunitas, pengambilan
keputusan dan voting, dan persyaratan komitmen mitigasi bagi Negara
Pihak untuk dapat terlibat dalam pengambilan keputusan).
Pengorganisasian Tim Negosiasi Delegasi RI pada ADP2.10 hingga COP21
didasarkan pada kombinasi agenda item perundingan tiap forum (COP/CMP, SBI,
SBSTA, dan ADP) dan substansi Workstream 1 dan Workstream 2 sebagaimana
isu-isu utama seperti di atas9, terbadi ke dalam 10 (sepuluh) kelompok yakni:
a. Tim Mitigation,
b. Tim Adaptation,
c. Tim Finance,
d. Tim Technology Development and Transfer,
9 Pedoman Delegasi Republik Indonesia, the Twenty-first session of the Conference of the Parties to the United Nations Framework Convention on Climate Change (COP-21), the eleventh session of the Conference of the Parties serving as the meeting of the Parties to the Kyoto Protocol (CMP-11) (Ditjen PPI, KLHK, 2015)
30
e. Tim Capacity Building,
f. Tim Transparency of Action and Support,
g. Tim Legal,
h. Tim Workstream 2,
i. Tim Agriculture
j. Tim Gender and Climate Change.
Dengan Presiden RI selaku Ketua Delegasi RI dan Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan selaku Alternate-1 dan kehadiran beberapa Menteri lainnya pada
COP21/CMP11, para negosiator Delegasi RI telah berpartisipasi aktif dengan
menyampaikan beberapa butir penting (lihat Box 5) dalam berbagai kesempatan.
Catatan penting dalam periode ini adalah butir-butir masukan Indonesia yang
disampaikan dapat terakomodasi dan terrefleksikan dalam Paris Agreement,
khususnya pengakuan local communities dan penekanan pentingnya sektor lahan
khususnya REDD+ menjadi bagian dari kesepakatan sebagai referensi untuk
implementasi pada periode paska 2020 dengan berbagai modalitas dan
pengaturan yang telah dibuat hingga 2015 (Lihat Box 5).
Box 5
Butir-butir Penting Rangkuman Masukan Indonesia dalam Sesi Perundingan COP21/CMP11
(Paris, Perancis, 30 November – 11 Desember 2015)
Selama pembahasan draft Agreement dalam COP-21/CMP-11, Indonesia telah menyampaikan
beberapa poin penting pada berbagai kesempatan di antaranya:
a. Mendukung perlunya mencapai kesepakatan yang mengikat, ambisius dan adil dan tidak
menghambat pembangunan di Negara berkembang;
b. Kesepakatan harus menghormati hak-hak dan memastikan peran local communities:
c. Kesepakatan harus mencakup pentingnya pelestarian hutan, keanekaragaman hayati dan laut;
d. Perlunya akselerasi implementasi aksi untuk periode sebelum 2020;
e. Upaya mitigai Negara maju harus lebih besar dari Negara berkebang karena historical
responsibility yang berbeda
f. Perlunya memberi dukungan upaya adaptasi terkait situasi Indonesia yang rentan terhadap
dampak perubahan iklim
g. Pencerminan Prinsip Common But Differentiated Responsibilities (CBDR) dan Respective
Capabilities (RC) berbasis science dan prinsip Kesetaraan terhadap akses dan pembangunan
berkelanjutan
h. Pentingnya Political Signal di dalam agreement terkait Reducing Emission from Deforestation
and Forest Degradation (REDD) serta pengelolaan hutan berkelanjutan (REDD Plus);
i. Perlunya pendanaan sebelum dan sesudah 2020 yang predictable dan berkelanjutan dengan
peningkatan dari waktu ke waktu dibandingkan komitmen yang ada saat ini (USD 100 Milyar
hingga 2020)
j. Mendukung perlunya robust transparency framework baik untuk aksi maupun dukungan
(support).
Sumber: Ditjen. PPI (KLHK, 2015)
31
Gambar 3.1 Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada
Sesi Closing Plenary COP21
Sumber: Ditjen. PPI (KLHK, 2015)
Box 6
National Statement Indonesia yang disampaikan oleh
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada Closing Plenary COP21
Let me once again extend my sincere appreciation to the hard work done by the COP Presidency and their team in ensuring that an
ambitious, legally binding, durable and differentiated Agreement is reached in Paris to be applicable to all Parties starting from 2020.
I would also like to thank the Chairs of the G77 and China for leading our Group throughout these past years in the process. I also
thank our developed country Partners for working with us, so that this important Agreement could be reached.
It is no doubt that the historic Agreement we reach today is a result of a long hard work, and I am pleased to say that we have followed
an open, inclusive, and party-driven approach.
Being a result of a hard-earned, arduous work, and delicate compromise, I am aware that the Agreement is most probably not as
ideal as each Party may have wished. However, we all need to see beyond the national boundaries, we ought to see its common vision
to avert the grim consequences of climate change.
This Agreement laid out a solid basis for further actions by all Parties in the future. The Agreement also reflects the importance of
developed country Parties to continue taking the lead in their actions and supports, while developing countries will contribute more
depending on their capacities.
Now we are entering a new page and what is more important is how each Party internalizes the Agreement and translates it into
policies and approaches at home that will make significant differences to the achievement of the global goal of both the Agreement
and the Convention. Bearing that in mind, I would call upon all of us, to bring home the Agreement and to implement what we have
agreed upon with progression or improvement over time.
Mr. President, Ladies, Gentlemen,
We have just created a history. A history that would give us the opportunity to change the world. A history that would create a safer
and more sustainable planet for our future generations. A history that will enable resilient development for humankind. Let us be
faithful to this agreement and materialized the goals and objectives it contained. I believe it is important so that all Parties to be
bound by this Agreement have a strong sense of ownership to implement it.
Sumber: Ditjen. PPI (KLHK, 2015)
32
3.2 Dari Paris ke Marakesh: COP22 as A COP for Implementation
Tugas lanjutan Negara Pihak adalah mengelaborasi Decision 1/CP.21 untuk
menjadi kerangka Modality-Procedure-Guidelines (MPGs) implementasi kerja
Paris Agreement tahun 2020 ke depan. Untuk itulah suatu ad hoc working group
baru terbentuk, Ad Hoc Working Group on Paris Agreement (APA)10 yang
menggantikan ADP yang telah menyelesaikan mandatnya11 karena telah
menghasilkan perjanjian baru. Mandat APA adalah menyiapkan entry into force of
the PA dan sesi perundingan pertama Conference of the Parties serving as the
meeting of the Parties to the Paris Agreement12. Hal ini yang menjadi target utama
sesi perundingan sepanjang tahun 2016.
Jika pada tahun 2015, Ditjen PPI KLHK jump in di tengah-tengah siklus sesi
perundingan UNFCCC, tahun 2016 merupakan tahun kedua Ditjen PPI KLHK
mempersiapkan sesi perundingan UNFCCC secara utuh dari awal siklus
perundingan UNFCCC termasuk memenuhi undangan COP Presidencies (Perancis
– Maroko) untuk mengikuti beberapa Informal Meetings sebelum COP22, baik di
Paris maupun Rabat.
10 Decsion 1/CP.21 paragraph 7 11 Decision 1/CP.21 paragraph 6 12 Decision 1/CP.21 paragraph 8
Gambar 3.2 Pertemuan Koordinasi Tim Negosiasi DELRI pada COP21
Sumber: Ditjen. PPI (KLHK, 2015)
33
Sebagai COP pertama sejak disepakatinya Paris Agreement, sesi perundingan di
tahun 2016 dilaksanakan dengan tujuan dalam rangka penjabaran lebih lanjut
hasil keputusan COP21 UNFCCC, dengan proses perundingan yang lebih
mengarah ke aspek-aspek teknis dan implementatif di masing-masing Negara
Pihak.
Sehubungan dengan hal tersebut, arah kebijakan pengelolaan substansi di tahun
2016 adalah memfasilitasi implementasi dari hasil keputusan COP21 dan COP
UNFCCC sebelumnya, dan terbagi ke dalam tiga tahapan penting:
1. Tindak lanjut COP21/CMP11, dan terutama ratifikasi Paris Agreement
sebagai produk utama COP21;
2. Koordinasi Delegasi RI pada sesi perundingan the Forty-fourth Session of
UNFCCC Subsidiary Bodies (SBI44, SBSTA44, APA1), 16-26 Mei 2016, di Bonn,
Jerman;
3. Koordinasi Delegasi RI pada sesi perundingan COP22/CMP12.CMA-1, SBI45,
dan SBSTA45, 7 – 18 November 2016, Marakesh, Maroko.
Dalam menghadapi sesi SBI44, SBSTA44, APA1 yang diselenggarakan di Bonn,
Jerman 16-26 Mei 2016, Ditjen PPI KLHK menerapkan strategi untuk memulai
koordinasi dengan pemangku kepentingan terkait khususnya
Kementerian/Lembaga lain dan LSM/CSO sedini mungkin sejak Januari 2016.
Pertemuan para negosiator dilaksanakan dengan fokus bahasan “Tindak Lanjut
COP21/CMP11 UNFCCC”. Pertemuan membahas hal-hal penting terkait mandat-
Box 7
Misi Indonesia pada Sesi Perundingan COP22/CMP12
(Marakesh, Maroko, 7 – 18 November 2016)
Memperjuangkan kepentingan nasional, berkontribusi pada pencapaian upaya global:
Mendukung bahwa COP-22 merupakan COP implementasi, tidak lagi hanya berisi deklarasi atau
pernyataan politis.
Mendorong agar arah perundingan COP-22 dapat membahas berbagai elemen Paris
Agreement sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan dengan tetap berdasar prinsip Common
but Differentiated Responsibilities (CBDR) and Respective Capabilities (RC) dengan hasil konkrit.
Mengantisipasi implikasi hukum pada Negara Pihak yang memiliki komitmen tinggi
melaksanakan Paris Agreement namun belum dapat menyelesaikan ratifikasi pada saat CMA-1
dimulai.
Mendukung dan berkontribusi dalam upaya penurunan emisi gas rumah kaca dengan tetap
meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Mendorong proses perundingan pada COP-22/CMP-12/CMA-1 untuk berfokus pada penyiapan
dan penyampaian modalitas dan guidance yang dapat memfasilitasi aksi, memastikan bahwa
tidak hanya pencapaian target, tetapi juga mempertimbangkan keberagaman tahap-tahap
perkembangan dari Negara Pihak, terutama negara berkembang.
Menyampaikan gambaran-gambaran kegiatan nyata implementasi dari inovasi masyarakat
serta dukungan dan kekuatan modal sosial Indonesia sebagai suatu keunikan yang berbeda
dari banyak negara di dunia.
Sumber: Ditjen. PPI (KLHK, 2016)
34
mandat yang harus dijalankan Negara Pihak pasca diadopsinya Paris Agreement,
dengan beberapa bahasan utama mengenai hasil keputusan dan kesepakatan
COP21 dan melihat kesesuaiannya dengan COP sebelumnya, perumusan time line
kegiatan tindak lanjut hasil keputusan COP21 sesuai dengan peran dan tugas pada
masing-masing isu, serta perencanaan persiapan sesi perundingan (submisi dan
posisi) sebagai tindak lanjut Paris Agreement. Pertemuan di awal Tahun 2016
menjadi pijakan penting bagi DELRI, khususnya bagi Tim Negosiasi dalam
memperhitungkan langkah ke depan pencapaian misi Indonesia melalui sesi
perundingan UNFCCC ke depannya.
Selain itu, strategi lain yang dilakukan adalah penyelenggaraan pertemuan
dengan tematik tertentu untuk menindaklanjuti Hasil COP21. Mengingat Paris
Agreement telah mengakui (recognition) peran Aktor Bukan Negara (Non State
Actor/NSA)13 dan Non party Stakeholders/NPS14 dalam berkontribusi aksi mitigasi
dan adaptasi perubahan iklim, Ditjen PPI KLHK memandang perlunya merangkul
NSA/NPS dengan langkah pertama adalah penyelenggaraan workshop khusus
untuk LSM/CSO guna sosialisasi hasil COP21 sekaligus menghimpun urun rembug
berbagai inisiatif dan pemikiran mereka untuk pengendalian perubahan iklim
nasional dan global.
Menanggapi permintaan submisi dari Sekretariat UNFCCC yang perlu
disampaikan sebelum Februari 2016, pertemuan penyusunan submisi Indonesia
sebagai tahapan utama Koordinasi Delegasi RI pada sesi perundingan the Forty-
fourth Session of UNFCCC Subsidiary Bodies (SBI44, SBSTA44, APA1) telah dimulai
pada pertengahan Januari 2016. Penyusunan submisi merupakan upaya
pemenuhan dari call for submission dengan sumber: (a) seluruh call for submission
yang dihasilkan oleh decision dan adoption dari COP21/CMP11, SBI43, SBSTA43
dan ADP2.12 khususnya yang memiliki due date sebelum penyelenggaraan SBs-
44 dan yang akan dibahas pada sesi tersebut. Substansi call for submission
tersebut mencerminkan isu-isu krusial untuk sesi perundingan berikutnya dan
akan menjadi elemen penting dari Posisi Indonesia secara keseluruhan; dan (b)
call for submission yang berasal dari sesi perundingan sebelumnya yang akan
dibahas pada sesi tersebut juga.
13 Decision 1/CP.21 IV. Enhanced Action Prior to 2020 paragraph 118 14 Decision 1/CP.21 V. Non Party Stakeholders paragraph 134 s/d 137
35
Lebih lanjut, segera setelah Sekretariat UNFCCC menyampaikan informasi terkait
provisional agenda dan annotations agenda dari seluruh forum yang menjadi
rangkaian sesi perundingan (kurang lebih 2 hingga 3 bulan sebelum waktu
penyelenggaraan SBs.), Ditjen PPI KLHK memulai penyelenggaraan penyusunan
Kertas Posisi Indonesia dan pembentukan Tim Negosiasi Delegasi RI.
Dalam rentang waktu 4 bulan (Januari – April), secara efektif National Focal Point
melalui Sekretariat DELRI telah menyelenggarakan 7 (tujuh) pertemuan Koordinasi
Delegasi RI sebagai berikut:
1. Satu Pertemuan Penyusunan Submisi, yang terbagi dalam kelompok isu:
Technical Examination Process on Adaptation, Capacity Building and Article 6
of the Convention / Action for Climate Empowerment, Gender and Climate
Change, dan Issue relating to Agriculture.
2. Satu Pertemuan Penyusunan Posisi, yang terbagi dalam 14 kelompok.
3. Stock-taking pandangan Non-Party Stakeholder terhadap tindak lanjut
implementasi hasil COP21 khususnya Paris Agreement guna peningkatan
pelibatan Non State Actors atau Non-Party Stakeholders, melalui Work-shop
Non-Party Stakeholder.
4. Disamping kedua pertemuan utama dari tahapan koordinasi DELRI pada Sesi
Subsidiary Bodies tersebut, Sekretariat DELRI juga telah melaksanakan
serangkaian koordinasi internal/diskusi terbatas dengan beberapa pihak
secara khusus untuk memantapkan draft submisi/posisi yang telah
teridentifikasi sebelumnya pada pertemuan pleno.
Selama tahun 2016 sampai menjelang COP22, Indonesia telah menyampaikan
sebanyak 15 dokumen submisi ke Sekretariat UNFCCC, yang terdiri dari
penyampaian dokumen 1st Biennial Update Reports (BUR), submisi mengenai isu
Adaptation Communication, Gender, Finance, global-stocktake, transparency
framework, dan isu-isu lainnya. 15
Pengorganisasian Tim Negosiasi Delegasi RI pada sesi SBI44, SBSTA44, APA1 juga
tidak terlepas dari isu-isu menonjol secara kontekstual, dan kombinasinya dengan
pembagian agenda perundingan masing-masing forum ke tiap negosiator
15 Daftar dokumen submisi dapat dilihat pada Lampiran, dan dapat diakses melalui: http://www4.unfccc.int/sites/submissionportal/Pages/Home.aspx
36
sehingga menghasilkan 14 (empat belas) pengelompokkan/klustering sebagai
berikut16:
a. Tim Mitigation, Nationally Determined Contributions (NDC), dan Market
Mechanism
b. Tim Adaptation, termasuk Nairobi Work ProgrammeTim entry into force of
Paris Agreement, Facilitation for Implementation and Compliance
c. Tim Transparency for Actions and Supports, Reporting, Methodology
d. Tim Capacity Building
e. Tim Technology Transfer and Development
f. Tim Finance
g. Tim Gender and Climate Change
h. Tim Science and Review
i. Tim Review of the Long-term Global Goal
j. Tim Agriculture
k. Tim Framework for Various Approaches (FVA), Non-Market-based Approaches
(NMA) and the New Market-based Mechanism (NMM)
l. Tim Response Measure.
m. TimLoss and Damage
16 Pedoman Delegasi Indonesia mengikuti Pertemuan Bonn Climate Conference, 44TH SBI, 44TH SBSTA,
1ST APA, Bonn, Jerman, 16 Mei – 26 Mei 2016
Gambar 3.3 Tim Negosiasi DELRI COP22 pada Pertemuan Koordinasi Harian Tim Negosiasi
Sumber: Ditjen. PPI (KLHK, 2015)
37
Tepat pada pertengahan Juni 2016, sebulan setelah pelaksanaan the Forty-fourth
Session of UNFCCC Subsidiary Bodies (SBI44, SBSTA44, APA1), tahapan Koordinasi
Delegasi RI pada sesi perundingan COP22/CMP12.CMA-1 UNFCCC dimulai.
Pertemuan dimulai dengan pertemuan Non-Party Stakeholders guna membahas
Tindaklanjut COP21: The Road Map for Global Climate Action, sebagai rangkaian
pertemuan sebelumnya yang bertujuan meningkatan pelibatan NPS dalam aksi
perubahan iklim.
Dengan karakternya sebagai COP for Implementation, COP22 memberikan cukup
banyak permintaan submisi yang harus disiapkan oleh Negara Pihak. Submisi yang
perlu disampaikan oleh Negara Pihak berjumlah 13 dokumen, yang berasal dari
mandat keputusan di COP21, dan juga hasil perundingan sesi sebelumnya di Bonn,
Mei 2016.
Sumber: Ditjen. PPI (KLHK, 2016)
Gambar 3.4 Delegasi Indonesia bersama Sekretaris Eksekutif UNFCCC pada COP22
Gambar 3.5 Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN)beserta
Direktur Jenderal PPI dan Duta Besar RI untuk Maroko pada Opening Plenary COP22
Sumber: Ditjen. PPI (KLHK, 2016)
38
Selain jumlah permintaan submisi yang semakin bertambah, proses perundingan
pada COP22 juga berkembang menjadi semakin kompleks dan spesifik. Melalui
identifikasi provisional agenda yang disediakan oleh Sekretariat UNFCCC, sesi
perundingan di COP22 dapat dibagi kedalam 12 (dua belas) kelompok isu.
Box 8
National Statement Indonesia yang disampaikan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada
High-Level Segment COP22
First, I would like to express my sincere gratitude to His Majesty the King Mohammed VI and the people of the Kingdom of Morocco for hosting
this conference and to the UNFCCC Secretariat for organizing the conference. I would like also to congratulate of us for the entry into force of the
Paris Agreement on 04 November 2016. Indonesia has ratified the Agreement on 31 October 2016 and has submitted our First NDC on 6 November
2016.
As mandated by Indonesia’s constitution to protect the right of all citizens for a safe, dignified, decent life, and healthy environment, we are
committed to enhance pre 2020 actions and implement our post 2020 commitment.
We have implemented a number of policies, such as: (i) strengthening one map policy; (ii) enforcing moratorium on primary natural forest
conversion; (iii) reviewing existing licenses on peatland; (iv) restoring degraded peatland and its ecosystem; and (v) allocating 12.7 million ha for
social forestry program.
The government has been working closely with all stakeholders including scientists and civil societies to enhance prosperity of the people in and
surrounding the forest areas.
Our NDC consists of many important commitments, including:
In the land sector: reducing emissions from deforestation and forest degradation, sustainable management of forest, conservation and
enhancement of carbon stocks (REDD+);
In the energy sector: development of clean energy sources and an ambitious energy mix policy that targets: the use of new and renewable
energy of at least 23% in 2025 and 31% in 2050, and the use of coal of minimum 30% in 2025 and 25% in 2050.
Indonesia’s NDC also emphasizes the need for a comprehensive climate change adaptation and mitigation strategy, taking into account its unique
geographical condition and location. Transparency, enforcement, and compliance remain fundamental for successful implementation of our
commitment. Thus, we have established an integrated ‘National Registry System’, finance institution, and funding instruments.
Indonesia also believes that beyond sectoral dimension, moral and ethical values as well as social dimensions play a significant role in sustainable
development, climate change, and enhancing national resilience. Finally, Indonesia is of the view that in preparing the rulebook for implementing
Paris Agreement, it is important for all Parties to maintain the understanding on its delicate balance to prevent from renegotiating the agreement.
Sumber: Ditjen. PPI (KLHK, 2016)
Gambar 3.6 Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada
High-Level Segment COP22
Sumber: Ditjen. PPI (KLHK, 2016)
39
Guna menjawab tantangan yang cukup berat dalam sesi perundingan, National
Focal Point telah menyelenggarakan serangkaian pertemuan dalam rentang waktu
5 bulan (Juni – Oktober) sebagai berikut:
1. Tiga pertemuan Kick-off/Pertemuan pendahuluan, yang terdiri dari
persiapan Side Event Indonesia pada COP22, Pertemuan Pendahuluan
Negosiator Ditjen PPI, Pertemuan NPS Tindaklanjut COP21: The Road Map
for Global Climate Action.
2. Dua pertemuan penyusunan submisi, yang membahas 14 draft submisi yang
terbagi kedalam 8 (delapan) kelompok isu sebagai berikut: Adaptation and
Loss & Damage; Mitigation (NDC) and Response Measure; Market and Non-
Market/Article 6 of the Paris Agreement; Transparency, Global Stocktake,
Science and Review, and International Assessment and Review (IAR); Finance;
Technology, and Capacity Building; serta Gender and Climate Change;
Information, Views, and Proposal on Any Work of the APA.
3. Dua pertemuan penyusunan posisi, dengan pembagian 12 (dua belas)
kelompok isu sebagai berikut: (i) Mitigasi, (ii) Adaptasi, (iii) Transparansy,
Global-stock take, dan MRV, (iv) Capacity Building; (v) Technology Transfer;
(vi) Finance; (vii) Article 6 of the PA; (viii) Agrikultur; (ix) Compliance; (x) Entry
into Force of the Paris Agreement; (xi) Gender; dan (xii) Response Measure.
4. Satu Pertemuan Pleno DELRI, yang berasal dari Tim Negosiasi dan Tim
Outreach/Campaign (Paviliun Indonesia dan event lainnya), guna
membahas: Agenda Persidangan dari COP 22 (ii) Isu penting di COP 22
terkait dengan kepentingan Indonesia dalam sesi perundingan UNFCCC; (iii)
Misi Indonesia secara garis besar dan strategi pencapaian misi dalam COP
22/CMP 12; (iv) Persiapan Logistik, substansi, side event, perkembangan
keanggotaan Delegasi RI; (v) serta persiapan Paviliun Indonesia.
5. Serta tiga Koordinasi Internal/ Diskusi Terbatas yang bertujuan sebagai
pemantapan draft submisi dan posisi Indonesia yang telah teridentifikasi
pada pertemuan sebelumnya, dengan mengundang sejumlah perwakilan
Kementerian/Lembaga yang terkait dengan substansi submisi/posisi, serta
koordinasi internal DELRI lingkup Ditjen. PPI.
40
Box 9
Butir-butir Penting Rangkuman Masukan Indonesia dalam
COP22/CMP12/CMA1 (Marakesh, Maroko, 7 – 18 November 2016)
a. Persidangan terkait mitigasi membahas isu Nationally Determined Contributions (NDC), Clean
Development Mechanism (CDM), dan Joint Implementation (JI). Persidangan menghasilkan drafting teks
conclusion NDC registry yang telah mengakomodir posisi Indonesia agar konsisten dengan mandat
Dec1/CP.21 sebagaimana tertulis dalam Article 4.
b. Persidangan terkait adaptasi membahas Adaptation Committee, Article 4 of the Convention, Adaptation
Fund, Adaptation Communication, Nairobi Work Program, dan Warsaw International Mechanism on Loss
and Damage. Indonesia menyampaikan pentingnya pengembangan mekanisme dan prosedur
Adaptation Communication sebagai persiapan implementasi Paris Agreement (artikel 7, paragraf 10),
dan pentingnya membangun kesepahaman terkait isu Adaptasi dan Loss and Damage.
c. Persidangan terkait transparency framework membahas isu modalitas, prosedur dan guideline (MPG).
Indonesia telah menyampaikan: (i) usulan untuk komponen utama pengembangan MPG meliputi
“prinsip, scope dan approach”, (ii) keseimbangan transparansi untuk aksi dan support, keterkaitan isu
transparansi dengan isu lainnya seperti finance, capacity building, technology transfer, serta (iii) flexibility
dari MPG. Untuk isu metodologi dibawah Kyoto Protokol Kyoto, khususnya agenda LULUCF terkait
revegetation, pembahasan akan dilanjutkan pada persidangan SBSTA–46.
d. Persidangan terkait global stocktake telah membahas identifikasi sumber-sumber input dan
pengembangan modalitas. Indonesia telah menyampaikan perlunya pembahasan lebih lanjut terhadap
struktur dan flow of assessment terkait input dan modalitas global stocktake, dan telah tertampung
dalam kesepakatan persidangan.
e. Pada persidangan terkait pengembangan dan alih teknologi, Indonesia menyampaikan perlunya
peningkatan efisiensi dan efektifitas dukungan Climate Technology Centre and Network (CTCN),
cakupan tujuan pemberian dukungan technology framework ke negara-negara berkembang,
keterkaitan antara technology mechanism dan financial mechanism, serta pedoman bagi identifikasi
teknologi inovatif, dan mekanisme pendanaan. Hal tersebut sudah tercantum di dalam dokumen draft
Decision;
f. Pada persidangan terkait peningkatan kapasitas, Indonesia menyampaikan masukan tentang butir-butir
dan prinsip peningkatan kapasitas di negara berkembang dalam kerangka Third Comprehensive Review,
serta perwakilan organisasi yang diundang dalam Paris Committee on Capacity Building (PCCB).
Persidangan telah mensahkan keanggotaan Indonesia dalam PCCB mewakili kelompok Negara-Negara
Asia Pasifik.
Sumber: Ditjen. PPI (KLHK, 2016)
41
(Lanjutan Box 9)
g. Persidangan terkait pendanaan membahas modalitas untuk akuntansi sumberdaya pendanaan yang sangat
terkait dengan transparency of support. Posisi dan submisi Indonesia telah diakomodir dalam draft decision
yaitu pada SBSTA – Agenda Item 13 tentang pengembangan modalities for the accounting of financial
resources provided and mobilized through public interventions, yaitu antara lain pentingnya mendefinisikan
pendanaan perubahan iklim secara jelas, dan isu pada SBI – Agenda Item 13 tentang TOR for the Review
of the Function of Standing Committee on Finance;
h. Persidangan terkait Article 6 of the Paris Agreement telah membahas panduan mengendai cooperative
approaches, rules, modalities and procedures, dan work programme dibawah kerangka non-market
approaches. Posisi Indonesia sebagaimana tercantum dalam submisi Indonesia telah masuk dalam
pembahasan COP-22, yaitu tentang pentingnya kejelasan mengenai environmental integrity, substainable
development, dan governance.
i. Persidangan terkait Facilitating Implementation and Compliance membahas elemen purpose and nature of
mechanism, scope and function, structure and composition serta measures and output yang diharapkan
dihasilkan Komite ini. Indonesia menyampaikan agar implementasi dan compliance suatu negara, perlu
mempertimbangkan kapabilitas dan situasi national negara tersebut. Elemen lain yang perlu
dipertimbangkan adalah triggers yang dapat memicu proses review implementation and compliance. Para
pihak juga mendiskusikan hubungan antara proses/mekanisme dengan mekanisme lainnya di bawah Paris
Agreement, seperti mekanisme transparansi dan global stocktake dan proses pelaporan kepada CMA.
j. Pada persidangan terkait entry into force of the Paris Agreement, Indonesia menyampaikan pentingnya
segera memajukan implementasi dan agar proses pembahasan modalitas, prosedur dan panduan dilakukan
secara inklusif dan transparan, memperlakukan semua aspek kesepakatan secara balanced dan koheren,
dengan roadmap dan timeframe yang jelas.
k. Persidangan terkait pertanian membahas peran pertanian terhadap adaptasi dan food security, bantuan
alih teknologi dan peningkatan kapasitas untuk negara berkembang yang telah di sampaikan pada SBSTA
44. Indonesia menyampaikan posisi tentang masih diperlukannya peningkatan kapasitas dan teknologi
bidang pertanian di negara berkembang serta menekankan bahwa pertanian berada dalam koridor adaptasi
dan co- benefit adaptasi. Persidangan telah menghasilkan draft conclusion yang menyepakati untuk
melanjutkan pembahasan pada persidangan SBSTA46.
l. Pada persidangan terkait isu gender and climate change, Indonesia telah menyampaikan posisi agar isu
gender terus dimajukan dalam persidangan melalui implementasi Lima Work Programme, terutama untuk
mendorong kebijakan dan aksi lingkungan yang responsif gender.
m. Untuk isu response measure, usulan Indonesia terkait kemiskinan dan pembangunan berkelanjutan telah
diakomodir dalam draft conclusion yang menyebutkan bahwa “economic diversification and transformation,
and on just transition of the work force and the creation of decent work and quality jobs”.
Sumber: Ditjen. PPI (KLHK, 2016)
42
Box 10
National Statement Indonesia yang disampaikan
Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim pada Closing Plenary of COP22
First of all, we welcome some progress of the negotiation under SBI agenda, which defines further work on shaping our common endeavor for the implementation phase, as we expect from this Implementation-COP in Marrakech. Please allow me to address our view on some agenda items.
1. The public registry referred to in Article 4 and Article 7 of the PA should be simple which allows the developing country parties with different capacity to manage its operationalization as well as provides link to national systems for information provision. Taking into account our past experiences in determining some vague and indefinableyet issues, we believe that a submission will help parties in understanding the outstanding issues, and eventually will lead us to outline further arrangement regarding the public registry referred to Article 4 of the PA. Further discussion on the public registry should have linkages with other relevant agenda items under APA. Moreover, we would also like to emphasis that the continuation our work on registry development should be made in an effective and efficient manner.
2. In relation to public registry for adaptation, we would like to highlight some general principle that should be taken into consideration in developing the registry system. We believe that it should be user friendly in terms of its operationalization, provide link to national system for information provision and synergize with the existing data base on information system.
3. Indonesia appreciates the Board of GCF that approved support to the NAPs proses in order to advance the NAPs formulation, and Indonesia looks forward to the subsequent implementation. We also believe that access to funding should be cleared up and expedited.
4. Our delegation welcomes the report of the WIM and acknowledges the importance of having a strategic work-stream to guide the implementation of the Warsaw International Mechanism’s function of enhancing action and support, including finance, technology and capacity building, to address loss and damage associated with the adverse effects of climate change, as guided by decision 2/CP.19, on its five years rolling work-plan. We believe that the review of the WIM should have a balance of backward looking and forward looking components, to enable the WIM in continuing and strengthening the deliverables of its mandate and function as contained in the Dec.2/CP.19. Having a periodic review of the Mechanism is crucial to ensure the sustainability of the WIM to deliver its mandate, which might facilitate a specific focus for each review in addition to its over-arching review on its mandate, structure and effectiveness. I would also like to recall that the WIM was established under the COP and still remains under the guidance of the COP, which will and should continue under its existing composition and procedures until the CMA provides further guidance.
5. On the ToR of the SCF, Indonesia is of the view that the ToR to review the SCF should cover the continuation of the SCF work on MRV of support framework, especially with regard to provision of financial information by the developed country parties and also to enhance its function to serve the Paris Agreement. The review should also accommodate the work of the SCF on the review of financial mechanisms to serve Paris Agreement.
6. Indonesia recommends enhance the synergy of capacity building efforts within UNFCCC bodies, as well as with other entities outside of the Convention, which have the capacity of conducting climate change capacity building activities. Support for developing countries is really important in order to implement the NDC in the context of Paris Agreement, and we believe that the PCCB can play an important role for that starting from its first year of activities. We also believe that the implementation of capacity building in developing countries needs to fill the emerging gaps and is based on their own needs.
7. Access for support to transfer of technology and development in developing countries is a crucial issue. The implementation of the program as a continuation from the technical assistant need to be considered as part of the support. This will give significant impact to the effectiveness of the whole program.
8. We welcome the draft conclusion resulted from serial meetings of negotiation on the impact of the implementation of response measures and look forward to the implementations phase, in particular on the issue of poverty eradication and sustainable development which has been accommodated in “economic diversification and transformation, and on just transition of the work force and the creation of decent work and quality jobs”.
Sumber: Ditjen. PPI (KLHK, 2016)
43
Ikhtisar pengelolaan substansi pada Sesi Perundingan UNFCCC tahun 2016
dapat diringkas dalam infografis berikut ini:
3.3 Dari Marrakech ke Fiji-Bonn: COP23 as Transition COP
Sebagai tindak lanjut Marrakech Climate Change Conference
(COP22/CMP12/CMA-1 to the UNFCCC) di Marakesh, Morocco, 7 - 18 November
2016, sesi Perundingan UNFCCC pada tahun 2017 terdiri dari Bonn Climate
Change Conference/BCCC (SBI46, SBSTA46, APA1.3) di Bonn, Jerman, 8 – 18 Mei
2017, dan pertemuan COP23/CMP13/CMA1 dengan Fiji selaku COP Presidency
berlokasi di Bonn, Jerman, pada 6 – 17 November 2017.
Sebelum memasuki Sesi Perundingan COP23/CMP13/CMA1.2, Fiji sebagai
Presiden COP23 menyelenggarakan Pre-COP di Nadi, Fiji, pada tanggal 17 – 18
Oktober 2017 yang melahirkan butir-butir penting sebagai berikut:
Negara Pihak mendiskusikan guideline pelaksanaan untuk Paris Agreement
yang dikenal dengan nama Paris Agreement Work Program, yang akan
diselesaikan pada tahun 2018. Negara Pihak bertekad untuk menghasilkan
teks pada COP-23 sebagai bahan negosiasi lebih lanjut. Teks harus dihasilkan
dari proses yang transparan, inklusif, country driven dan tidak ada negara
yang ditinggalkan.
Gambar 3.7 Ikhtisar Pengelolaan Substansi pada Sesi Perundingan UNFCCC Tahun 2016
Sumber: Ditjen. PPI (KLHK, 2016)
44
Dalam kaitannya dengan climate finance, peserta pertemuan
menggarisbawahi perlu adanya kemajuan di COP23 bahwa komitmen negara
maju dalam penyediaan pendanaan sebesar 100 billion USD kepada negara
berkembang harus direalisasikan per tahun mulai tahun 2020.
Peserta pertemuan juga menekankan agar COP23 menghasilkan suatu desain
dialog global yang menggambarkan posisi dunia saat ini, arah kemajuan, dan
bagaimana tahapan yang dapat dilakukan secara kolektif untuk mencapai
tujuan dalam Paris Agreement.
Negara Pihak menekankan bahwa Nationally Determined Contribution dan
National Adaptation Plans harus mendukung perencanaan investasi yang
memerlukan pendanaan yang memadai. Untuk itu, adaptation fund
merupakan sarana yang sangat penting khususnya bagi populasi yang rentan
terhadap dampak perubahan iklim.
Peserta pertemuan menekankan pentingnya pembahasan tentang ocean
pada COP23.
Peserta pertemuan menekankan pentingnya dimensi gender dalam
pembangunan ketahanan iklim.
Peserta pertemuan menekankan kebutuhan untuk dukungan secara penuh
terhadap adanya suatu mekanisme yang perlu dibangun terkait loss and
damage di COP23.
Sebagai pertemuan utama dalam mempersiapkan Facilitative Dialogue di tahun
2018 yang digunakan untuk stock-take upaya-upaya kolektif, sesi Perundingan
UNFCCC pada tahun 2017 menjadi bagian penting dalam perjalanan menuju
pencapaian tujuan jangka panjang sebagaimana disebutkan dalam Paris
Agreement, dan mendukung proses implementasi Paris Agreement di masing-
masing Negara Pihak. Sesi pada tahun 2017, terutama pada COP23 yang dikenal
dengan Transitional COP menuju COP24 dimana mandat APA diharapkan akan
berakhir, diwarnai dengan sesi perundingan yang membahas teks teknis Modality,
Procedure, and Guidelines (MPGs) khususnya mengenai Nationally Determined
Contributions (NDCs), Adaptation Communication, Transparency of Action and
Support, Global Stocktake, dan Compliance.
45
COP22/CMP12/CMA-1 di Marakesh, November 2016, telah menghasilkan 31 (tiga
puluh satu) permintaan kepada Negara Pihak untuk menyampaikan submisi yang
dikelompokkan dalam isu Mitigasi, Adaptasi, Transparansi dan MPV, Teknologi
dan Peningkatan Kapasitas, Art. 6 of the Paris Agreement, Entry into force of the
Paris Agreement, Compliance, dan Research and Scientific Observation. Dari
sejumlah permintaan submisi tersebut, terdapat beberapa submisi yang perlu
disampaikan sebelum penyelenggaraan Sesi Subsidiary Bodies di tahun 2017.
Utamanya sebagai persiapan sesi tersebut, dalam rentang waktu 4 bulan (Januari
– April) NFP for UNFCCC melalui Sekretariat DELRI telah menyelenggerakan
sejumlah pertemuan Koordinasi Delegasi RI sebagai berikut:
1. Tiga pertemuan penyusunan submisi, yang terbagi ke dalam 8 Kelompok Isu
dan menghasilkan 11 dokumen Submisi.
2. Dua pertemuan penyusunan posisi, dengan pembagian 12 Kelompok Isu
sebagai berikut: (i). Mitigasi, (ii). Adaptasi, (iii). Transparansi, (iv). Capacity
Building, (v). Teknologi, (vi). Climate Finance, (vii). Article 6 of the Paris
Agreement, (viii). Compliance, (ix). Response Measure, (x). Further Matter of
the Implementation of Paris Agreement, (xi). Agriculture, (xii). Research and
Systematic Observation.
3. Satu pertemuan pleno DELRI yang dilaksanakan dalam rangka finalisasi
persiapan Delegasi RI (DELRI) sebagai Negosiator pada pada Bonn Climate
Box 11
Misi Indonesia pada COP23/CMP13/CMA1.2
(Bonn, Jerman, 6 – 17 November 2017)
Memperjuangkan kepentingan Indonesia dan berkontribusi pada upaya global
termasuk dalam pembahasan pengaturan rinci Modality, Procedure, and
Guidelines (MPGs) untuk pelaksanaan Paris Agreement (disebut Rules Book of
Paris Agreement).
Mendorong proses perundingan untuk berfokus pada penyiapan dan
penyampaian modalitas dan guidance yang dapat memfasilitasi aksi, memastikan
bahwa tidak hanya pencapaian target, tetapi juga mempertimbangkan
keberagaman tahap-tahap perkembangan dari Negara Pihak, terutama negara
berkembang.
Mendorong peningkatan komitmen (peningkatan ambisi) Negara maju baik dalam
mengisi gaps dalam pencapaian target di bawah 2 derajat maupun dalam
penyediaan supports.
Dari jalur soft diplomasi, outreach dan campaign, melakukan pendekatan informal
dalam menggalang posisi bersama, serta menyampaikan gambaran-gambaran
kegiatan nyata implementasi dari inovasi masyarakat serta dukungan dan modal
terhadap aksi perubahan iklim di Indonesia sebagai suatu keunikan yang berbeda
dari banyak negara di dunia.
Sumber: Ditjen. PPI (KLHK, 2017)
46
Change Conference in May 2017, dan menindaklanjuti Pertemuan
Penyusunan Posisi Indonesia.
Sesi perundingan SBs-46 pada Mei 2017 tercatat merupakan sesi perundingan
tengah tahun yang paling padat agenda tidak hanya perundingan namun juga
agenda perundingan. Selain agenda perundingan 3 subsidairy bodies, tercatat ada
20 (dua puluh) mandated events dan workshop, dan 24 (dua puluh empat)
UNFCCC and special events17.
Proses pengelolaan substansi COP23 dimulai dengan Kick-Off Meeting yang
diselenggarakan pada bulan Juli 2017, dengan mengundang berbagai perwakilan
Kementerian/Lembaga, Lembaga Swadaya Masyarakat, Lembaga
Penelitian/Penggiat Perubahan Iklim, Sektor Swasta, serta pihak-pihak terkait yang
akan menjadi DELRI baik untuk sesi negosiasi maupun outreach/campaign
(Paviliun dan event lainnya). Pertemuan bertujuan sebagai penjaringan masukan
awal submisi Indonesia yang perlu disampaikan sebelum pelaksanaan COP23,
penyampaian persiapan awal Paviliun Indonesia pada COP22, serta penjaringan
harapan pemangku kepentingan pada pencapaian misi Indonesia melalui COP23.
Tak lama berselang, proses pengelolaan substansi COP22 dilanjutkan dengan
pertemuan penyusunan submisi Indonesia dan pertemuan posisi Indonesia, yang
diselenggarakan dalam kurun waktu tiga bulan (Agustus – Oktober).
Secara rinci, rangkaian pengelolaan substansi DELRI pada COP23 dilaksanakan
sebagai berikut:
1. Tiga pertemuan penyusunan Submisi Indonesia, yang terbagi ke dalam 9
Kelompok Isu: (i). Kelompok Mitigasi; (ii). Kelompok Adaptasi; (iii). Kelompok
Peningkatan Kapasitas; (iv). Kelompok Transparency of Action and Support,
(v). Kelompok Finance; (vi). Kelompok Response Measure; (vii). Kelompok Art.
6 of the Paris Agreement; (viii). Kelompok Compliance; (ix). Kelompok Gender
and Climate Change, dan menghasilkan 15 dokumen submisi.
2. Dua pertemuan penyusunan posisi Indonesia, dengan 13 pembagian
kelompok isu sebagai berikut: (i). Kelompok Mitigasi; (ii). Kelompok Adaptasi;
(iii). Kelompok Transparency of Action and Support, (iv). Kelompok
Peningkatan Kapasitas; (v). Kelompok Teknologi, (vi). Kelompok Climate
17 Pedoman Delegasi Ri pada dalam mengikuti Pertemuan Bonn Climate Change Conference (SBI46,
SBSTA46, APA1.3) and Its Preparatory Meetings, Bonn, Jerman, 5 – 18 Mei 2017 (KLHK 2017)
47
Finance; (vii). Kelompok Response Measure; (viii). Kelompok Art. 6 of the Paris
Agreement; (ix). Kelompok Compliance; (x). Kelompok Gender and Climate
Change, (xi). Kelompok Agriculture, (xii). Kelompok Research and Systematic
Observation, (xiii). Kelompok Local Communities and Indigenous People
Platform.
3. Lima Koordinasi Internal/ Diskusi Terbatas antara Tim Negosiasi dalam
beberapa kelompok isu, antara Lead Negotiator dan Chief Negotiator, serta
antara DELRI lingkup Ditjen. PPI, mengingat masih perlunya penelaahan lebih
lanjut dari draft-draft submisi dan posisi yang telah disusun dan koordinasi
terhadap cross-cutting issues pada COP23.
4. Satu pertemuan Pleno DELRI yang berasal dari Tim Negosiasi dan yang terlibat
pada event outreach/campaign (Paviliun Indonesia dan event lainnya), guna
membahas persiapan terakhir dari Tim Negosiasi dan Tim Paviliun Indonesia,
koordinasi pencapaian misi Indonesia melalui sesi perundingan dan
outreach/campaign, serta arahan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
selaku Ketua DELRI pada COP23.
48
Box 12
National Statement Indonesia yang disampaikan
Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim pada Opening Plenary APA1.3 pada COP23
As our activities continue to impact the planet at an increasingly rapid rate, the need to make further progress has become ever
more urgent and critical. Recognizing this urgency, and consistent with the theme of “Working Together on Solution” of this
COP23, Indonesia believes that the process here in Bonn is an important step to find a global solution in combating climate change,
by delivering some critical concrete actions in terms of moving forward from commitment to implementation of the Paris
Agreement.
The process under the APA agenda will also be significant to discuss some of crucial points in PA’s implementation, through the
design of the complete Paris Agreement Work Program, as well as the 2018 Facilitative Dialogue, which we expect to endorse at
COP23.
We thank the Co-Chairs for delivering the Reflection Note on the third part of the first session of the APA, which is very useful as
a basis for further negotiation.
Madam Co-Chairs,
My delegation would like to start by associating ourselves with the statement made by the G77 and China.
Please allow me to address some expected outcomes of COP23 in relations to APA agenda items:
On agenda item 3, and in response to the Non-Paper by the Co-Facilitator, we welcome some outstanding points that have been
raised and wish to make some further comments:
With reference to the elements of NDC that are already set out in Article 4 of the PA, we are of the view that no new features will
need to be introduced, as it would imply renegotiation of the PA. Nonetheless, we are open for the elaboration of some additional
features, bearing in mind consideration of national capacity.
The guidance should be concise, flexible, pragmatic and facilitative, as well as avoid any additional unnecessary burdens placed
on developing countries, particularly in view of the capacity of countries to respond to and apply the guidance.
In regards to reporting format for NDCs, the guidance should be far-reaching and comprehensive, by taking into consideration
Party’s different capacity, which will lead to gain a better understanding of some outstanding issues, for example, of the aggregate
effect of NDCs
Sumber: Ditjen. PPI (KLHK, 2017)
Sumber: Ditjen. PPI (KLHK, 2017)
Gambar 3.8 Direktur Jenderal PPI pada sesi Opening Plenary APA1.3 di COP23
49
Sumber: Ditjen. PPI (KLHK, 2017)
(Lanjutan Box 12)
We support the concept of ‘applicability’ of which Parties will determine individually which parts of the guidance would be applied
to, which will be aligned with the concept of flexibility.
With regard to agenda item 4 on further guidance in relations to the adaptation communication,
We are of the view that some progress made by Parties on this issue can be beneficial for us to facilitate better understanding on
how adaptation could be communicated. We would like to highlight our view that adaptation communication is important to raise
adaptation profile, including gaps and needs of developing countries and support provided by developed countries.
Some key areas and aspects that have been identified during the roundtable discussion should clearly reflect the needs of
developing countries in strengthening their capacity in responding to the impacts of climate change.
We recognize the importance of flexibility for countries to communicate their adaptation actions and priority. However, in relations
to GST, common elements and communication frequency should be further defined and elaborated in the guidance.
On the issue of Transparency Framework, Agenda Item 5,
We appreciate excellent works made by co-facilitators in capturing a number of important issues, by providing questions for each
notable issue during the round table meeting.
We see that a constructive roundtable meeting, taking consideration of submissions made by party, is helpful to get reflection of
the party’s views on important components of the Transparency Framework.
Those components consist of support, specifically on support provided and mobilized, as well as support needed and received.
Other components are technical expert review, adaptation, tracking progress of NDC and GHG inventory.
On the issue of support, we would also like to echo the intervention made by G-77+China that all financial flows provided and
mobilized should take into account the needs and priorities of developing country parties.
We are of the view that further consideration on the base of information made through round-table meeting is a good starting
point, valuable for the development of modalities, procedure and guidelines for the transparency framework for action and support
referred to in Art. 13 of the PA.
Yet, we are of the view that the cross cutting matters have not been elaborated sufficiently by parties during the round-table
meeting. In this matter, we expect that the cross cutting matters would be discussed further.
On the issue of Global Stock-Take, we encourage all Parties to step up works in finding converging views, based on Article 14 of
the Paris Agreement as well as relevant provisions of decision 1/CP21, to make the global stock-take operational towards achieving
the outcome of the global stock-take
I thank you.
50
Box 13
National Statement Indonesia yang disampaikan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada High-Level
Segment COP23
The Paris Agreement came into a rapid entry into force in November 2016. As of today, 170 parties have ratified the
agreement, and we welcome countries that have recently declared their intentions to sign or ratify.
Challenges, however, remain. We must therefore strive in unity to maintain the momentum of the landmark agreement.
The adverse impact of climate change can never be tackled by one country alone! The global commitments to the Paris
Agreement must be strengthened as it is irreversible. It must stay irreversible and non-negotiable, because climate
change is a global responsibility.
In our part, Indonesia reaffirms its strong commitment to the Paris Agreement and other environmental agreements
by conducting the following: (i) Established a National Transparency Framework in accordance to the Paris Agreement;
(ii) State recognition for customary forest; (iii) Restored 680.000 hectares of peatland from the target of 2 million
hectares by 2020; (iv) Ratified the Minamata Convention; (v) Committed to reducing 70% of plastic debris by 2025 from
2017 level; (vi) Continued assistance for other developing countries’ efforts on climate action through South-South and
Triangular Cooperation in agriculture, forestry and coastal area management.
We urge parties to make best efforts in demonstrating significant progress to achieve an early operationalization of
the Paris Agreement by adopting the Paris Agreement implementation guidelines in 2018. Furthermore, the guidelines
should take into consideration a balance between mitigation, adaptation, finance and capacity building as well as
technology development and transfer. The process in developing the Paris Agreement implementation guidelines will
also be crucial to gain inputs and necessary information for the Facilitative Dialogue in upcoming year.
Developed countries must continue to lead the global efforts in tackling climate change, while ensuring access to
means of implementation for developing countries, especially those most prone to the adverse effects of climate
change. Developing countries, on the other hand, must show their concrete contributions to these global efforts.
As an archipelagic state, Indonesia faces the same threats from climate change to that of our brothers and sisters living
in island states, among them: changing weather patterns, abrasion of coastal areas and rising sea levels.
In relation to this, Indonesia stands ready to support Fiji for its COP Presidency.
Furthermore, Indonesia believe that the “Talanoa Dialogue” proposed by Fiji, which promotes inclusiveness,
participation, transparency, and building empathy will be an important modality for the upcoming Facilitative Dialogue
in 2018. Last but not least, we also support Fiji’s initiative to strengthen the role of ocean in tackling climate change. It
is imperative for the world to protect the ocean, as it is the world’s largest active carbon sink.
I thank you Mr. President.
Sumber: Ditjen. PPI (KLHK, 2017)
Gambar 3.9 Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada
High-Level Segment COP23
Sumber: Ditjen. PPI (KLHK, 2017)
51
Sumber: Ditjen. PPI (KLHK, 2017)
Gambar 3.10 Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim
pada Closing Plenary COP23
Box 14
National Statement Indonesia yang disampaikan
Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim pada Closing Plenary COP23
Indonesia associate ourselves with the statement made by the G77 and China.
On behalf of my delegation, I would like to express our thanks to you, Mr. President, for your leadership
during this Bonn Session. We appreciate all parties’ hard work in providing constructive views towards
the implementation phase of the Paris Agreement. Despite the challenging deliberation on the issues
relating to finance, this session has nonetheless generated a number of substantive documents which are
crucial for the continuation of our work at the next meeting. Moreover, we whole-heartedly embrace a
clear direction on matters which are dear to us such as agriculture and IPLC Platform.
Indonesia recognizes the urgency of having a set of operational manuals to implement Paris Agreement.
We welcome the set of possible elements within the “Bula Momentum for Implementation” provided by you,
Mr. President, which will be very instrumental in guiding our future works for the completion of the Paris
Agreement Work Program, as well as for preparing the Facilitative Dialogue in 2018, to fulfil the mandate in
taking stock of the collective efforts of Parties in relation to progress towards the long-term goal and
informing the preparation of NDC.
Please let me reiterate our support to the wisdom of “Talanoa Dialogue”, which shall be inclusive,
participatory, and transparent. This dialogue will be an opportunity for us to present the expected outcomes
at the upcoming COP24, taking into consideration the works during our session (s) in 2018.
To conclude, let me reiterate Indonesia’s commitment to supporting your works, along with the Chairs, Co-
Chairs, and co-facilitators, which are instrumental toward agreeable options for further deliberation during
the 2018 sessions, and be adopted at COP24.
Sumber: Ditjen. PPI (KLHK, 2017)
52
Gambar 3.12 Tim Negosiasi DELRI setelah Penutupan COP23
Sumber: Ditjen. PPI (KLHK, 2017)
Gambar 3.11 Tim Negosiasi DELRI pada Sesi Bonn Climate Change
Conference, Mei 2017
Sumber: Ditjen. PPI (KLHK, 2017)
53
Ikhtisar pengelolaan substansi pada Sesi Perundingan UNFCCC tahun 2017
dapat diringkas dalam infogragik berikut ini:
Sumber: Ditjen. PPI (KLHK, 2017)
Gambar 3.13 Ikhtisar Pengelolaan Substansi pada Sesi Perundingan UNFCCC Tahun 2017
2
3
2
1
2
3 3
4
1
2
1
2 2 2
1
2
1
2
11 1
2 2
3 3
5
1
3
2 2
1 1
0
1
2
3
4
5
6
ADP2.10, Agustus 2015
ADP2.11, Oktober 2015
COP-21 UNFCCC,
Desember 2015
Bonn Climate Change
Conference, Mei 2016
COP-22 UNFCCC,
November 2016
Bonn Climate Change
Conference, Mei 2017
COP-23 UNFCCC,
November 2017
STATISTIK PERTEMUAN PERSIAPAN DELRI MENUJU PERUNDINGAN UNFCCC
Kick-Off Meeting/Pertemuan Pendahuluan Pertemuan Penyusunan Submisi
Pertemuan Penyusunan Posisi Pertemuan Pleno DELRI
Koordinasi Internal/Diskusi Terbatas Pertemuan Komunikasi Tindak Lanjut Sesi Perundingan
Gambar 3.14 Statistik Pertemuan Persiapan DELRI Menuju Perundingan UNFCCC
Sumber: Ditjen. PPI (KLHK, 2017)
54
3.4 Output Dokumen yang Dihasilkan
Dengan pengorganisasi kerja sebagaimana telah diuraikan pada bagian
sebelumnya, Ditjen PPI KLHK untuk setiap sesi perundingan menghasilkan
output berupa:
a. Submisi: dokumen berisikan pokok-pokok / prinsip posisi Indonesia
terhadap suatu permasalahan berdasarkan call for submission yang
dihasilkan dari sesi perundingan. Submisi ini merupakan elemen
penting yang akan menjadi bagian utama posisi Indonesia. Menurut
laman UNFCCC, submisi merupakan elemen sangat penting untuk
berbagi informasi, membangun pemahaman antar Negara Pihak, dan
memperluas kerja antar sesi perundingan secara terbuka, transparan,
dan inklusif18. Berdasarkan catatan Sekretariat UNFCCC, Indonesia telah
menyampaikan 45 (empat puluh lima) submisi semenjak Desember
2015 hingga Desember 2017.
b. Statement (pernyataan): merupakan pokok-pokok posisi Indonesia
yang disampaikan dalam suatu pembukaan forum (opening) atau
penutupan (closing).
c. Kertas Posisi: dokumen Kertas Posisi merupakan panduan bagi setiap
Delegasi RI dalam melakukan perundingan yang berisikan prinsip posisi
Indonesia yang harus dipertahankan ataupun yang tidak dapat
dilanggar terhadap setiap agenda item pada setiap forum baik SBs
maupun COP/CMP. Mengingat posisi suatu party adalah politis, untuk
itu dokumen Kertas Posisi bersifat confidential, diperuntukkan hanya
bagi Ketua Delegasi RI dan Tim Negosiator.
d. Pedoman Delegasi RI.
Pedoman DELRI merupakan panduan umum informasi terkait berbagai
agenda perundingan dan non perundingan, komposisi dan peran
Delegasi RI, tata tertib, dan logistik. Penyusunan dokumen Pedoman
Delegasi RI untuk sesi perundingan COP/CMP berisikan materi yang
lebih beragam meliputi: misi Delegasi RI, metode pencapaian, informasi
agenda non perundingan, high-level events, berbagai pertemuan dan
perkembangan global penting yang terjadi setelah sesi perundingan
SBs hingga menjelang COP, agenda Paviliun Indonesia, serba-serbi
terkait lokasi penyelenggaraan COP antara lain akomodasi, transportasi
18 http://unfccc.int/documentation/submissions_and_statements/items/5900.php#gc_1
55
lokal, cuaca, currency, dan alamat Kedutaan Besar RI dan kantor
perwakilan RI terdekat
e. Berita Faksimil (Brafax): melalui koordinasi dengan anggota Delegasi RI
yang berasal dari Kementerian Luar Negeri termasuk Kedutaan Besar RI
setempat, Delegasi RI wajib menyampaikan draft Berita Faksimil sebagai
bentuk pertanggungjawaban birokrasi. Pokok-pokok isi Brafax
mencakup: (i) title, tanggal dan lokasi pertemuan, (ii) Delegasi RI, (iii)
Hasil utama pertemuan, dan (iv) pandangan terhadap jalannya dan hasil
pertemuan, serta satan tindak lanjut.
f. Laporan Delegasi RI: yaitu laporan mengenai partisipasi aktif Delegasi
RI dalam berbagai forum sebagai bentuk pertanggungjawaban publik.
Laporan Delegasi RI secara umum berisikan mengenai agenda dan hasil
perundingan maupun non-perundingan, komposisi delegasi dan tindak
lanjut dalam negeri, termasuk di dalamnya permintaan submisi dari
Sekretariat UNFCCC.
Gambar 3.15 Dokumen Pedoman DELRI , Matriks Posisi, dan Laporan DELRI pada
Sesi Perundingan UNFCCC 2015 - 2017
Sumber: Ditjen. PPI (KLHK, 2017)
57
BAGIAN 4
PENGELOLAAN DELEGASI RI
Sebagaimana telah diuraikan dalam bab sebelumnya, selama kurun waktu dari
Agustus 2015 hingga Desember 2015, telah terdapat 7 (tujuh) sesi perundingan
dalam kerangka UNFCCC. Sebanyak itu pula, KLHK telah tujuh kali mengelola
Delegasi RI. Bagian ini menguraikan rangkaian pelaksanaan pengelolaan Delegasi
RI meliputi Komposisi delegasi RI, prosedur registrasi dan pembagian peran.
4.1 Komposisi Delegasi RI
Komposisi Delegasi RI untuk COP21, COP22, dan COP23 terdiri dari
perwakilan:
a. Kementerian / Lembaga di tingkat Pusat;
b. Pemerintah Daerah;
c. Parlemen, baik tingkat pusat dan daerah;
d. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)/Civil Society Organization (CSO) ;
e. Swasta, termasuk asosiasi pengusaha;
f. Perguruan Tinggi / Akademisi / Lembaga Riset;
g. Media cetak maupun elektronik;
h. Proyek kerjasama / kemitraan;
i. Praktisi / individu;
j. Kelompok youth / pelajar SD/SMP/SMA;
k. Komunitas seniman (penyanyi, penari, pemusik, dan sebagainya).
Dari segi jumlah, peserta yang menjadi Delegasi RI untuk sesi perundingan
khusus Subsidiary Bodies semakin lama semakin bertambah dari waktu ke
waktu. Hal ini terlihat dari jumlah Delegasi RI pada sesi perundingan Ad
Hoc Working Group on the Durban Platform for Enhanced Action (ADP)
yang ke-10 (2015), ADP ke-11 (2015), dan Subsidiary Bodies sesi
pertengahan tahun yakni SBs-44 pada tahun 2016 dan SBs-46 pada tahun
2017.
58
Namun, tren kenaikan tidak tercermin dalam jumlah Delegasi RI pada 3
(tiga) COP, bahkan dalam perbandingan tiga COP, jumlah Delegasi RI pada
COP21 tahun 2015 merupakan jumlah yang tertinggi (630 orang)
dibandingkan dua COP berikutnya (COP22 berjumlah 490 orang dan
COP23 berjumlah 577 orang). Hal ini mudah dipahami mengingat COP21
merupakan salah satu milestones dalam sejarah global perundingan
perubahan iklim dengan target dan hasilnya berupa Paris Agremeent to the
UNFCCC, ditambah dengan kehadiran kepala negara dan/atau kepala
pemerintahan. Banyak pihak ingin hadir dan menjadi saksi peristiwa
bersejarah diadopsinya Paris Agreement.
4.2 Pembagian Peran
4.2.1 Pembentukan Tim Negosiasi dan Tim Sekretariat Delegasi RI
Sebagaimana dalam setiap pertemuan perundingan baik bilateral maupun
konferensi multilateral seperti United Nations, prinsip susunan Delegasi RI
terdiri dari: (a) Ketua Delegasi RI atau Head of Delegation (HoD) dan/atau
Chief Negotiator; (b) Alternate(s) of HoD; dan (c) Anggota.
Lebih lanjut, secara umum peran setiap delegasi terbagi menjadi:
a. Negosiator
Pembentukan Tim Negosiasi sebagai bagian inti dari Delegasi RI. Ditjen
PPI KLHK mengundang keterlibatan perwakilan Kementerian/Lembaga
sebagai Tim Negosiasi yang juga disesuaikan disesuaikan antara
substansi submisi dengan kompetensi K/L. Para wakil K/L yang telah
diajukan oleh instansi masing-masing untuk menjadi Tim Negosiasi
Delegasi RI kemudian diundang secara rutin dalam pertemuan
penyusunan Kertas Posisi.
59
Gambar 4.1 Tim Negosiasi DELRI pada COP21, Desember 2015
Sumber: Ditjen. PPI (KLHK, 2015)
Sumber: Ditjen. PPI (KLHK, 2016)
Gambar 4.2 Tim Negosiasi DELRI pada Bonn Session Mei 2016
Sumber: Ditjen. PPI (KLHK, 2017)
Gambar 4.3 Tim Negosiasi DELRI pada COP23, November 2017
60
Ditjen PPI KLHK mengembangkan tim negosiasi RI secara lebih
terperinci yakni Chief Negotiator, Lead Negotiator, dan anggota,
dengan tanggung jawab:
(i) Chief Negotiator: mengkoordinasikan penyiapan posisi Indonesia,
pelaksanaan tugas Tim Negosiasi selama sesi perundingan dan
penyiapan Laporan Delegasi RI, serta koordinasi dan komunikasi
posisi dengan Parties lain dan organisasi/komunitas terkait.
(ii) Lead Negotiator: Bertanggung jawab dalam penyusunan posisi
Indonesia (mengacu pada guidance yang tertuang dalam
dokumen kertas posisi) terkait isu-isu yang dirundingkan, serta
penyiapan laporan, sesuai bidang penugasan/isu yang menjadi
tanggung jawabnya.
b. Non-negosiator
Adalah anggota delegasi RI yang berkegiatan pada pertemuan non-
perundingan.
c. Sekretariat Delegasi RI
Pembentukan Sekretariat Delegasi RI (Sekdelri) dilakukan untuk
mengkoordinasi kebutuhan logistik DELRI. Tim Sekdelri beranggotakan
staf dari lingkungan Ditjen PPI KLHK dan di luar unit Ditjen PPI KLHK jika
dipandang perlu. Penyelenggaraan Sekretariat Delegasi RI19 dilakukan
menjelang dimulainya sesi perundingan yakni ketika pembentukan
Delegasi RI, selama fasilitasi Delegasi RI, dan paska pelaksanaan
perundingan hingga terlaksananya pertemuan evaluasi partisipasi
Delegasi RI dan komunikasi hasil-hasil perundingan.
Karakteristik pertemuan yang berbeda telah memberi konsekuensi
penugasan peran yang berbeda pula:
a. Untuk perundingan Subsidiary Bodies (SBs):
Mengingat jenis pertemuan yang diselenggarakan dalam setiap sesi
perundingan SB adalah negosiasi, komposisi DelRI merupakan
perwakilan berbagai Kementerian / Lembaga di tingkat pusat dan
beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat yang ditunjuk sebagai
negosiator. Meski dalam perkembangannya terdapat pertemuan yang
19 Email: [email protected]
61
bersifat non-negosiasi seperti sesi perundingan SBs46 di Mei 2017,
namun secara substansial tetap terkait dengan agendan perundingan.
b. Untuk perundingan COP/CMP/CMA:
Sebagaimana telah disampaikan bahwa dalam setiap penyelenggaraan
COP UNFCCC, jenis pertemuan berupa perundingan (main events) dan
non-perundingan (side events) yang melibatkan elemen-elemen aktor
non-negara (non-state actor) atau Non-Party Stakeholders. Dengan
adanya side event yang melibatkan para pemangku kepentingan dari
berbagai elemen masyarakat, Delegasi RI yang disusun terdiri dari
negosiator dan non-negosiator.
4.2.2 Registrasi
Sifat perundingan UNFCCC adalah tertutup untuk publik (closed). Hal ini
mempersyaratkan bahwa setiap orang yang masuk ke area perundingan
UNFCCC (compound) dalam kapasitas apapun harus mengenakan tanda
atau badge yang diterbitkan oleh Sekretariat UNFCCC.
Sekretariat UNFCCC menetapkan prosedur untuk memperoleh badge
adalah bahwa setiap calon peserta Delegasi harus didaftarkan,
dinominasikan, dan dan dikonfirmasikan (confirmed) melalui NFP for
UNFCCC masing-masing Negara Pihak atau Designated Contac Person
(DCP) ke Sekretariat UNFCCC. Registrasi nama-nama Delegasi RI kepada
Sekretariat UNFCCC dilakukan melalui Online Registration System (ORS)20
untuk mendapatkan Acknowledgement Letter of Nomination dan/atau Visa
Support Letter bagi para calon Delegasi. ORS ini diterapkan mulai tahun
2010 dan data setiap peserta yang telah masuk tersimpan dalam database
ORS Sekretariat UNFCCC. Selanjutnya, tanda masuk atau badge tersebut
dapat diperoleh dengan menukarkan Acknowledgement Letter of
Nomination tersebut di registration desk di lokasi COP.
4.2.3 Badge sebagai Cerminan Peran
UNFCCC berusaha mengakomodasi kehadiran dan keterlibatan non-state
actor yang semakin meningkat pada setiap pertemuan melalui pemberian
badge, yang mencerminkan pembagian peran yakni:
a. Party Delegate (PD), dimaksudkan untuk negosiator;
b. Party Overflow (PO), dimaksudkan untuk non-negosiator.
20 https://onlinereg.unfccc.int/
62
Hingga COP22 tahun 2016, Sekretariat UNFCCC memberikan 2 (dua) jenis
badge yaitu Party Delegate dan Party Overflow.
Pada COP23 tahun 2017, Sekretariat UNFCCC memberikan tambahan
badge berupa Zone Bonn Only (ZBO) dengan pengertian untuk non-
negosiator dan hanya berlaku pada area Bonn Zone. Hal ini mengacu pada
konsep penyelenggaraan COP23 yakni One Conference, Two Zones.
Sebagaimana diketahui, tuan rumah COP23 adalah Fiji yang menjabat COP
Presidency. Mengingat faktor anggaran sebagai kendala, lokasi
penyelenggaraan COP23 (venue) bertempat di Kota Bonn, Jerman sebagai
lokasi markas UNFCCC. Selama COP23, wilayah konferensi (disebut sebagai
compound) diselenggarakan di dua zona, Bula Zone (Zona Bula) dan Bonn
Zone (Zona Bonn). Pendekatan ini berfokus pada integrasi zona yang dekat
untuk memastikan bahwa negosiasi, acara dan pameran dapat terintegrasi
ke dalam satu konferensi. Zona Bula memfasilitasi sesi perundingan, terdiri
dari plenary halls dan juga ruangan pertemuan di World Conference Centre
Bonn (WCCB), UN Campus, dan juga area tambahan di belakang Deutsche
Welle di Kota Bonn. Zona Bonn yang berlokasi di kawasan Taman Rheinaue,
Bonn, mengakomodasi acara yang menampilkan aksi-aksi perubahan iklim,
termasuk high-level events, side events, dan juga pameran yang
diselenggarakan oleh UNFCCC dan Pemerintah Jerman. Zona Bula juga
memfasilitasi beberapa kegiatan media dan juga agenda Paviliun Negara
Pihak. Dengan demikian badge Bonn Zone Only diperuntukkan bagi
peserta untuk berkegiatan di Zona Bonn saja, dan tidak dapat memasuki
Zona Bula.
63
Berikut perimbangan peserta Delegasi Indonesia berdasarkan badge dalam tiga
COP UNFCCC:
Party Delegate35%
Party Overflow65%
DELRI PADA COP21/CMP11 (TAHUN 2015) BERDASARKAN BADGE
Party Delegate28%
Party Overflow72%
DELRI PADA COP22/CMP12 (TAHUN 2016) BERDASARKAN BADGE
Sumber: ORS UNFCCC – Indonesia (KLHK, 2015)
Gambar 4.4 Pengelolaan DELRI pada COP21/CMP11 berdasarkan badge
Sumber: ORS UNFCCC – Indonesia (KLHK, 2015)
Gambar 4.5 Pengelolaan DELRI pada COP22/CMP12 berdasarkan badge
64
Mengingat 4 (empat) sesi perundingan lainnya merupakan sesi Subsidiary Bodies
dan kegiatan bersifat perundingan dengan tidak terdapat penyelenggaraan forum
untuk Non-Party Stakeholders, seluruh Delegasi Negara Pihak termasuk Indonesia
adalah negosiator. Untuk itu, badge adalah Party Delegate.
No. Sesi Perundingan
UNFCCC
Tempat dan Tanggal
Pertemuan
Peserta
DELRI
(terdaftar
dalam ORS)
Party
Delegate
Party
Overflow
Bonn
Zone
Only
1 ADP 2.10 Bonn, Jerman, 31 Agustus
- 4 September 2015
27 27 - -
2 ADP 2.11 Bonn, Jerman, 19 - 23
Oktober 2015
30 30 - -
3 COP-21/CMP-11/SBI-
43/SBSTA-43 (Paris
Climate Change
Conference –
November 2015)
Paris, Perancis, 30
November - 11 Desember
2015
630 220 410 -
4 SBI-44/SBSTA-
44/APA1 (Bonn
Climate Change
Conference in May
2016)
Bonn, Jerman, 16 - 26 Mei
2016
49 49 - -
5 COP-22/CMP-12/SBI-
45/SBSTA-45/APA1.2
(Marrakech Climate
Marakesh, Maroko, 7 - 18
November 2016
490 139 351 -
Party Delegate29%
Party Overflow22%
Bonn Zone Only49%
DELRI PADA COP23/CMP13/CMA1.2 (TAHUN 2017) BERDASARKAN BADGE
Sumber: ORS UNFCCC – Indonesia (KLHK, 2015)
Gambar 4.6 Pengelolaan DELRI pada COP23/CMP13/CMA1.3 berdasarkan badge
65
Change Conference-
November 2016)
6 SBI-46/SBSTA-
46/APA1.3
(Bonn Climate Change
Conference in May
2017)
Bonn, Jerman, 8 - 18 Mei
2017
67 67 - -
7 COP-23/CMP-1/SBI-
47/SBSTA-47/APA1.4
(United Nations
Climate Change
Conference –
November 2017)
Bonn, Jerman, 6 - 17
November 2017
577 165 130 282
4.3 Perimbangan Gender
Dengan masuknya gender sebagai salah satu agenda resmi COP UNFCCC
yang dimulai di COP21, dorongan terhadap gender balance, khususnya
dorongan perempuan untuk menjadi negosiator di delegasi tiap Negara
Pihak dan yang menduduki posisi pada jabatan-jabatan kunci pada
Subsidiary Bodies serta organisasi terkait semakin besar.
Untuk Indonesia, jumlah perempuan dalam Delegasi Indonesia dalam tiga
COP masih sekitar sepertiga dari total jumlah Delegasi Indonesia.
Sementara untuk sesi perundingan subsidiary bodies, jumlah negosiator
perempuan adalah hampir separuh dari jumlah total Delegasi Indonesia.
Adalah hal yang membanggakan untuk Indonesia bahwa posisi decision
maker utama terkait pengendalian perubahan iklim di Indonesia, yaitu
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan Direktur Jenderal
Pengendalian Perubahan Iklim selaku NFP for UNFCCC dan selaku chief
negotiator, keduanya adalah perempuan.
Berikut adalah profil perimbangan laki-laki dan perempuan dalam sesi
perundingan tiga COP:
Tabel 4.1 Delegasi Republik Indonesia pada 7 Sesi Perundingan UNFCCC (2015 – 2017)
Sumber: ORS UNFCCC – Indonesia (KLHK, 2015 – 2017))
66
Laki-laki70%
Perempuan30%
DELRI PADA COP21/CMP11 (2015) BERDASARKAN JENIS KELAMIN
Laki-laki68%
Perempuan32%
DELRI PADA COP22/CMP12 (TAHUN 2016) BERDASARKAN JENIS KELAMIN
Sumber: ORS UNFCCC – Indonesia (KLHK, 2015)
Gambar 4.7 Pengelolaan DELRI pada COP21/CMP11 berdasarkan Jenis Kelamin
Sumber: ORS UNFCCC – Indonesia (KLHK, 2016)
Gambar 4.8 Pengelolaan DELRI pada COP22/CMP12 berdasarkan Jenis Kelamin
67
Berikutnya adalah profil perimbangan laki-laki dan perempuan dalam sesi
perundingan empat pertemuan subsidiary bodies selama rentang waktu
2,5 tahun:
Laki-laki64%
Perempuan36%
DELEGASI RI PADA COP23/CMP13/CMA1.2 (TAHUN 2017) BERDASARKAN JENIS
KELAMIN
Laki-Laki56%
Perempuan44%
DELEGASI RI PADA ADP2.10 (31 AUG - 4 SEPT 2015)
BERDASARKAN JENIS KELAMIN
Sumber: ORS UNFCCC – Indonesia (KLHK, 2017)
Gambar 4.9 Pengelolaan DELRI pada COP23/CMP13/CMA1.3 berdasarkan Jenis Kelamin
Sumber: ORS UNFCCC – Indonesia (KLHK, 2015)
Gambar 4.10 Pengelolaan DELRI pada ADP2.10 berdasarkan Jenis Kelamin
68
Laki-laki57%
Perempuan43%
DELEGASI RI PADA ADP2.11 (19-23 OKT 2015) BERDASARKAN JENIS KELAMIN
Sumber: ORS UNFCCC – Indonesia (KLHK, 2015)
Gambar 4.11 Pengelolaan DELRI pada ADP2.11 berdasarkan Jenis Kelamin
Sumber: ORS UNFCCC – Indonesia (KLHK, 2016)
Gambar 4.12 Pengelolaan DELRI pada SBI44/SBSTA44/APA1.2 berdasarkan Jenis Kelamin
Laki-laki57%
Perempuan43%
DELEGASI RI PADA SBI44/SBSTA44 (16-26 MEI 2016) BERDASARKAN JENIS KELAMIN
69
4.4 Kantor Delegasi Republik Indonesia
Dalam setiap sesi perundingan baik COP maupun Subsidiary Bodies,
Sekretariat UNFCCC penyediakan fasilitas penyewaan area kantor delegasi
bagi semua Negara Pihak. Indonesia selalu memanfaatkan fasilitas
penyewaan tersebut pada setiap penyelenggaraan COP. Dalam tiga kali COP,
Indonesia menyelenggarakan Kantor Delegasi RI pada COP21, COP22 dan
COP23. Penyelenggaraan Kantor Delegasi RI bertujuan sebagai penyediaan
sarana fisik ruang interaktif seluruh Delegasi RI. Penyediaan ruang kantor
Delegasi RI pada setiap COP melalui event organizer (EO) yang ditunjuk
langsung oleh Sekretariat UNFCCC.
Penyelenggaraan kantor delegasi terdiri dari:
a. Pengadaan space (ruang dan pendirian dinding bangunan non-
permanen);
b. Pengadaan amenities, yaitu perlengkapan seperti furnitur mencakup
meja, kursi, almari, pencahayaan (lighting), perlistrikkan (electricity),
jaringan internet termasuk wi-fi, tata suara (sound system), peralatan
kantor dari mesin fotokopi/fax/scanner, laptop/PC, projector, printer
Laki-laki42%
Perempuan58%
DELEGASI RI PADA SBI46/SBSTA46 (8-18 MEI 2017) BERDASARKAN JENIS KELAMIN
Sumber: ORS UNFCCC – Indonesia (KLHK, 2016)
Gambar 4.13 Pengelolaan DELRI pada SBI46/SBSTA46/APA1.3 berdasarkan Jenis Kelamin
70
hingga stationery seperti spidol, ballpoint, pensil dan lainnya, juga lemari
es/kulkas, dan dekorasi (tanaman pot).
Kebijakan yang dilakukan dalam penyelenggaraan tiga kali COP yang telah
dilalui, pendanaan untuk penyelenggaraan Kantor Delegasi Republik
Indonesia adalah bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara
(APBN). Prosedur pembayaran yang dilaksanakan selama ini adalah melalui
sistem pembayaran langsung (LS) ataupun dengan Non-LS.
4.5 Paviliun Indonesia
Dalam pencapaian misi yang diemban oleh Delegasi Indonesia pada setiap
sesi COP selalu didasarkan pada 2 (dua) jalur:
a. Hard diplomacy – diplomasi di forum resmi perundingan
b. Soft diplomacy – diplomasi melalui kampanye dan outreach.
Strategi soft diplomacy ini diwujudkan melalui penyelenggaraan Paviliun
Indonesia, memanfaatkan fasilitas alokasi parallel events untuk party dan
observer yang disediakan oleh Sekretariat UNFCCC dalam rangka
mengakomodasi keterlibatan Non-State Actor dan NonParty Stakeholder
untuk terlibat dalam COP.
Melanjutkan dari COP sebelumnya, Pemerintah Indonesia juga
menyelenggarakan Paviliun Indonesia dalam COP21, COP22, dan COP23.
Mengingat penyelenggaraan Paviliun Indonesia menyerap resources
tersendiri yang besar baik dari aspek SDM, dukungan finansial, dan waktu,
pengelolaan Paviliun Indonesia dalam COP21, COP22, dan COP23
sepenuhnya berada dalam koordinasi Sekretariat Jenderal KLHK, dengan
Sekretaris Jenderal KLHK selaku Koordinator penyelenggaraan Paviliun
Indonesia melalui Staf Ahli MENLHK Bidang Ekonomi Sumber Daya Alam
selaku Penanggung Jawab penyelenggaraan Paviliun Indonesia.
71
Sumber: Tim Paviliun Indonesia (KLHK, 2017)
Gambar 4.16 Acara Penutupan Paviliun Indonesia pada COP23
Sumber: Ditjen. PPI (KLHK, 2017)
Gambar 4.14 Pembukaan Paviliun Indonesia pada COP23
Gambar 4.15 Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada
Salah Satu Sesi di Pavilion COP23
Sumber: Tim Paviliun Indonesia (KLHK, 2017)
72
Guna menjaga kesinambungan misi Delegasi Indonesia yang diperjuangkan
dalam forum negosiasi dengan materi substansi yang digelar di Paviliun Indonesia,
tema maupun sub tema Paviliun Indonesia selalu disesuaikan dengan isu
substansial yang mengemuka untuk setiap COP:
1. COP21
Pemerintah Indonesia telah menetapkan tema utama Paviliun Indonesia pada
COP21 yaitu Solutions to Climate Change, dengan sub tema: Sustainable
Landscape Management, Renewable Energy and Energy Efficiency, Smart
Cities & Green Industries, Climate Resilience (food, energy, water). Informasi
rinci terkait kegiatan komprehensif Paviliun Indonesia pada COP21 dapat
dilihat pada laman: http://indonesiaunfccc.com/COP21-CMP11-paris-france-
2015/
2. COP22
Paviliun Indonesia pada COP22 mengambil tema Empowering Innovation and
Enhancing Climate Change Actions for Sustainable Development. Untuk lebih
lengkapnya, dapat dilihat pada laman http://indonesiaunfccc.com/indonesia-
pavilion-venue/
3. COP23
Penyelenggaraan Paviliun Indonesia dalam rangkaian COP23 bertema A
Smarter World: Collective Actions for Changing Climate. Tema ini memiliki 4
(empat) alur utama, yaitu: Policy Works, Operational Works, Societal Works,
dan juga Collaborative Works. Keterangan lebih rinci dapat dilihat pada laman
http://indonesiaunfccc.com/event-schedule-2017/
Dalam rangka mengakomodasi berbagai inisiatif mitigasi dan adaptasi yang telah
dilakukan oleh Pemerintah dan berbagai unsur masyarakat, berbagai jenis
kegiatan Paviliun Indonesia meliputi: sesi seminar/workshop, sesi dialog dengan
eminent person tingkat global dan nasional, multimedia interaktif, pertunjukan
seni budaya tari dan musik, dan ekshibisi kuliner dan cindera mata.
74
BAGIAN 5
PENUTUP
Sejarah telah mencatat bahwa tiga tahun dari 2015 hingga 2017 merupakan tahun
signifikan dalam pengendalian perubahan iklim, khususnya aspek negosiasi
global, mengingat perubahan dan perkembangan signifikan yang terjadi tidak
hanya di tingkat nasional namun juga tingkat global.
Dalam kurun waktu tiga tahun tersebut, Ditjen PPI KLHK selaku NFP For UNFCCC
telah melakukan pengelolaan terhadap 7 (tujuh) perundingan UNFCCC yang
terdiri 3 (tiga) sesi perundingan Conference of the Parties (COP) dan 4 (empat) sesi
perundingan Subsidiary Bodies (SBs).
Pengertian pengelolaan perundingan UNFCCC mencakup 2 (dua) aspek:
(a) pengelolaan substansi,
(b) pengelolaan delegasi.
Dalam pengelolaan substansi, penekanan dilakukan dengan kombinasi pada isu-
isu tematik sesuai agenda perundingan dan isu-isu tematik yang strategis serta
krusial bagi posisi Indonesia. Output pengelolaan substansi yang dihasilkan untuk
satu siklus perundingan meliputi: (a) submisi dan statement, (b) Kertas Posisi
Indonesia, (c) Pedoman Delegasi, (d) Berita Faksimil, dan (e) Laporan Delegasi RI.
Dalam pengelolaan delegasi, prinsip yang diterapkan adalah (a) membuka
partisipasi dari berbagai elemen para pemangku kepentingan seluas-luasnya, dan
(b) mengakomodasi seluruh anggota delegasi agar dapat berperan dan
berkontribusi dalam pencapaian misi Delegasi RI pada setiap sesi perundingan
melalui jalur diplomasi di meja perundingan maupun soft diplomacy pada acara-
acara outreach dan kampanye.
Fokus substansi perubahan iklim, sebagaimana tujuan Kerangka Konvensi
Perubahan Iklim untuk menjaga kestabilan temperatur global pada tingkat yang
mentolerir untuk kehidupan mahluk hidup, tetap pada tingkat emisi gas rumah
75
kaca nasional dan global, aksi mitigasi dan adaptasi, serta berbagai dukungan
implementasi mitigasi-adaptasi berupa finansial, peningkatan kapasitas dan
pengembangan dan transfer teknologi. Namun pembahasan dalam perundingan
dari waktu ke waktu mengalami perkembangan titik penekanan antara lain akibat
keterkaitan perubahan iklim dengan berbagai isu-isu baik lingkungan maupun
non-lingkungan yang mengglobal. Hal ini berimplikasi salah satunya pada
cakupan substansi yang masuk ke agenda perundingan juga semakin beragam.
Pada gilirannya membawa konsekuensi bahwa pengelolaan substansi dan
delegasi ke depan perlu lebih mempertimbangkan resources yang ada dan
memerlukan perubahan strategi pengelolaan yang fleksibel dalam mengantisipasi
berbagai perkembangan tersebut.
Tantangan lain adalah internalisasi hasil-hasil perundingan di tingkat nasional dan
sub-nasional, serta ke berbagai unsur pemangku kepentingan. Tren peningkatan
jumlah negosiator dengan keragaman asal Kementerian/Lembaga yang terlibat
dalam Delegasi RI selama kurun tiga tahun tersebut dapat menjadi indikasi bahwa
internalisasi substansi perundingan perubahan iklim telah memperlihatkan hasil.
Akan tetapi tantangan yang lebih besar adalah pengarusutamaan keputusan-
keputusan perundingan yang bersifat mengikat dan jelas-jelas berdampak
terhadap pembangunan nasional ke depan. Penanganan perubahan iklim dapat
sejalan dengan pertumbuhan ekonomi, sebagaimana spirit penyelenggaraan One
Planet Summit di Paris pada Desember 2017.
76
LAMPIRAN
Tabel 1 – Daftar Penyampaian Statement Indonesia pada Sesi Perundingan UNFCCC
Tahun No. Penyampaian Statement
Sesi Perundingan
UNFCCC Tahun 2015
1 Statement of Indonesia at Opening Plenary COP21
2 Statement of Indonesia at Opening Plenary ADP2.12
3 Statement of Indonesia at High-Level Segment
4 Statement of Indonesia at Closing Plenary of COP21
5 Statement Indonesia pada Pertemuan Kepala Negara / Kepala Pemerintahan
yang mengawali COP21
Sesi Perundingan
UNFCCC Tahun 2016
6 Statement of Indonesia at 1st APA Contact Group on Agenda Item 3
7 Statement of Indonesia at 1st APA Contact Group on Agenda Item 5
8 Statement of Indonesia at 1st APA Informal Consultation on Agenda Item 3
9 Statement of Indonesia at 1st APA Informal Consultation on Agenda Item 4
10 Statement of Indonesia at 1st APA Informal Consultation on Agenda Item 5
11 Statement of Indonesia at 1st APA Informal Consultation on Agenda Item 6
12 Statement of Indonesia at 1st APA Informal Consultation on Agenda Item 7
13 Statement of Indonesia at 1st APA Informal Consultation on Agenda Item 8
14 Statement of Indonesia at Closing of the 1st APA
15 Statement of Indonesia at Opening Plenary COP22
16 Statement of Indonesia at Opening Plenary SBSTA 45
17 Statement of Indonesia at Opening Plenary APA 1.2
18 Statement of Indonesia at Closing Plenary SBI45
19 Statement of Indonesia at Closing Plenary APA 1.2
20 Statement of Indonesia at High-Level Segment COP22
Sesi Perundingan
UNFCCC Tahun 2017
21 Statement of Indonesia at Opening Plenary APA1.3
22 Statement of Indonesia at 2nd Contact Group of APA1.3
23 Statement of Indonesia at Open-Ended Informal Consultation on the 2018
Facilitative Dialogue
24 Statement of Indonesia at Closing Plenary SBSTA46
25 Statement of Indonesia at Joint Plenary of47th SBI and SBSTA
26 Statement of Indonesia at Opening Plenary of APA1.4
27 Statement of Indonesia at Contact Group of APA1.4
28 Statement of Indonesia at High-Level Segment of COP23
29 Statement of Indonesia at Closing Plenary of COP23
No. Penyampaian Submisi
Sesi
Perundingan
UNFCCC Tahun
2015
1 Input for Reflection Note of ADP Contact Group
2 Dokumen INDC
3 Dokumen FREL – REDD+
Sesi
Perundingan
UNFCCC Tahun
2016
4 Dokumen 1st BUR
5 Dokumen 1st NDC
6 Views on matters to be addressed at the in-session workshops on gender-responsive
climate policy with a focus on adaptation and capacity-building, and training for
delegates on gender issues
7 Views on the development of modalities for the accounting of financial resources
provided and mobilized through public interventions in accordance with Article 9,
paragraph 7, of the Paris Agreement
8 Views on the annual focus area or theme for the Paris Committee on Capacity-
building for 2017
9 Information on recent work in the area of climate impacts on human health, including
changes in the geographical distribution of diseases; new and emerging health issues,
including tropical diseases and their impacts on social and economic structures, as
well as the issues of malnutrition, waterborne diseases, vector-borne diseases and
disaster impacts; and the effects of climate change on health and productivity in the
workplace, with implications for occupational helath, safety and social protection
10 Views on advice on how the assessments of the IPCC can inform the global stocktake,
bearing in mind the time frame of the sixth IPCC assessment cycle
11 Elaboration of the Technology Framework
12 Views on the terms of reference for the review of the functions of the Standing
Committee on Finance.
13 Matters relating to the global stocktake referred to in Article 14 of the Paris
Agreement
14 Views on guidance on cooperative approaches referred to in Article 6, paragraph 2, of
the Paris Agreement
15 Views on the work programme under the framework for non-market approaches
referred to in Article 6, paragraph 8, of the Paris Agreement
16 Views on rules, modalities and procedures for the mechanism established by Article 6,
paragraph 4, of the Paris Agreement
17 Further guidance in relation to the mitigation section of decision 1/CP.21
18 Further guidance in relation to the adaptation communication, including, inter alia, as
a component of nationally determined contributions
19 Modalities, procedures and guidelines for the transparency framework for action and
support referred to in Article 13 of the Paris Agreement
Sesi
Perundingan
20 Views on the scope and modalities for the periodic assessment of the Technology
Mechanism
21 Dialogue on Action for Climate Empowerment
Tabel 2 – Daftar Penyampaian Submisi Indonesia pada Sesi Perundingan UNFCCC
78
UNFCCC Tahun
2017
22 Information in relation to adaptation planning processes that address ecosystems and
interrelated areas such as water resources; lessons learned and good practices in
monitoring and evaluating the implementation of ecosystem-based adaptation; and
tools for assessing the benefits of mitigation and adaptation to enhancing resilience
and emission reductions that ecosystem-based adaptation provides.
23 Views on the questions identified for item 5. See document FCCC/APA/2016/L.4,
paragraph 15 a-d
24 Views on opportunities to further enhance the effective engagement of non-Party
stakeholders with a view to strengthening the implementation of the provisions of
decision 1/CP.21
25 Views on the review of the functions of the Standing Committee on Finance based on
the terms of reference contained in the annex to decision 9/CP.22
26 Views on guidance on cooperative approaches referred to in Article 6, paragraph 2, of
the Paris Agreement
27 Views on the work programme under the framework for non-market approaches
referred to in Article 6, paragraph 8, of the Paris Agreement
28 Item 4, Further guidance in relation to the adaptation communication, including, inter
alia, as a component of nationally determined contributions, referred to in Article 7,
paragraphs 10 and 11, of the PA
29 Item 7: Modalities and procedures for the effective operation of the committee to
facilitate implementation and promote compliance referred to in Article 15, paragraph
2, of the Paris Agreement
30 Item 3: Further guidance in relation to the mitigation section of decision 1/CP.21
31 Views on the third review of the Adaptation Fund, based on the terms of reference in
the annex decision 1/CMP.12
32 Views on issues discussed under agenda item 6, taking into consideration the
questions identified by Parties as relevant for this item. For the questions see
document FCCC/APA/2016/L.4, paragraph 17 a-h.
33 Views and recommendations on the elements to be taken into account in developing
guidance to the Global Environment Facility
34 Views and recommendations on the elements to be taken into account in developing
guidance to the Green Climate Fund
35 Item 3: Further guidance in relation to the mitigation section of decision 1/CP.21
36 Item 4: Further guidance in relation to the adaptation communication, including, inter
alia, as a component of nationally determined contributions, referred to in Article 7,
paragraphs 10 and 11, of the PA
37 Views on issues under agenda item 7: Modalities and procedures for the effective
operation of the committee to facilitate implementation and promote compliance
referred to in Article 15, paragraph 2, of the Paris Agreement
38 Information on topics such as good practices, lessons learned and available tools and
methods, based on recent work in the area of human settlements and adaptation
39 Information on lessons learned and good practices in relation to adaptation actions
and plans that could enhance economic diversification and have mitigation co-
benefits.
40 Development of modalities and procedures for the operation and use of a public
registry referred to in Article 4, paragraph 12, of the Paris Agreement
79
41 Views on the modalities and procedures of a public registry referred to in Article 7,
paragraph 12, of the Paris Agreement, including on possible linkages.
42 Views, based on the discussion and the reflections note, on concrete elements of the
modalities, work programme and functions under the Paris Agreement of the forum
on the impact of the implementation of response measures.
43 Views on issues under agenda item 5:Modalities, procedures and guidelines for the
transparency framework for action and support referred to in Article 13 of the Paris
Agreement
44 Item 6: Matters relating to the global stocktake referred to in Article 14 of the Paris
Agreement: (a) identification of the sources of input for the global stocktake; and (b)
development of the modalities of the global stocktake
45 Voluntary submissions on all SBI matters
KEMENTER I AN L I NGKUNGAN H IDUP DAN KEHUTANAN
D IREK TORAT J ENDERA L PENGENDA L I AN PERUBAHAN I K L IM
GEDUNG MANGGA LA WANABAKT I B LOK V I I L T . 1 2
J L . J END . GATOT SUBROTO - J AKARTA PUSA T 1 0 2 7 0
T E L P . 02 1 - 5 7 3 0 1 4 4 , FAX . 02 1 - 5 7 2 0 1 9 4
WWW .D I T J ENPP I .MENLHK .GO . I D
Ema i l : s e t d i t j e n pp i@gma i l . c om a t a u
s e t d i t j e n pp i@men l h k .g o . i d