pamper
DESCRIPTION
nyam nyam nyamTRANSCRIPT
MAKALAHPEMBANGUNAN PERIKANAN
(Era Soeharto- Era Reformasi)
Oleh Kelompok 2
1. Pikih Surendi (12403)2. Dewantoro (12420)3. Anjar Rinja Kusuma (12427)4. Corah Aprilia (12437)5. M Rhyan S (12439)6. Anindita Sistya (12442)7. Lentin Fira Putri K (12454)8. Andi Ibrahim (12459)9. Muflikhah Noor A (12469)10. Lukman Hakim (12477)11. Reza Dwi Afandi (12480)12. Sylvano A (12481)13. Anita Febrina (12483)14. Cahyo Wibowo(12492)15. Mulyati Indahsari (12503)
16. Riyan Dwi Putra (12511)17. Moch Yovanatama (12522)18. Rahmad Taufik (12529)19. Restu Yulia (12531)20. Fario Septian (12535)21. Agung Prakoso (12538)22. Imam Muhlis Maulana (12543)23. Thopan Nur Dharmawan (12548)24. Miftakhul Khasanah (12549)25. Henok Cristovel V.M(12550)26. Lucky Restyan N (12554)27. Shofia Fawzia (12555)28. Ika Firawati (12559)29. Febri Kurniawan (12562)30. Parassu Dyah Sitoresmi (12566)
JURUSAN PERIKANAN FAKULTAS PERTANIANUNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA2014
BAB I
KONSEP
Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. Orde
Baru menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era pemerintahan Soekarno. Orde Baru
hadir dengan semangat "koreksi total" atas penyimpangan yang dilakukan oleh Soekarno pada
masa Orde Lama.Orde Baru berlangsung dari tahun 1966 hingga 1998. Dalam jangka waktu
tersebut, ekonomi Indonesia berkembang pesat meskipun hal ini terjadi bersamaan dengan
praktik korupsi yang merajalela di negara ini. Selain itu, kesenjangan antara rakyat yang kaya
dan miskin juga semakin melebar.
Orde Baru memilih perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai tujuan utamanya dan
menempuh kebijakannya melalui struktur administratif yang didominasi militer. Landasan bagi
perencanaan pembangunan nasional periode 1966-1998 adalah Ketetapan MPR dalam bentuk
GBHN. GBHN menjadi landasan hukum perencanaan pembangunan bagi presiden untuk
menjabarkannya dalam bentuk Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita), proses
penyusunannya sangat sentralistik dan bersifat Top Down. Pembangunan Nasional pada masa
Orde Baru berpedoman pada Trilogi Pembangunan, yaitu:
Stabilitas Nasional yang dinamis
Pertumbuhan Ekonomi Tinggi
Pemerataan Pembangunan dan hasil-hasilnya menuju terciptanya keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia
Dasar-dasar pembangunan nasional periode 1966-1998 adalah UUD 1945 yang tertuang
dalam pasal 33 dan Pancasila.
a. Pancasila-P4
Pada tanggal 12 April 1976 Presiden Soeharto mengemukakan gagasan mengenai
pedoman untuk menghayati dan mengamalkan Pancasila, yang terkenal dengan
namaEkaprasatya Pancakarsa atau Pedomanan Pengahayatan dan Pengamalan Pancasila
(P4).Untuk mendukung pelaksanaan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945secara murni
dan konsekuen, maka sejak tahun 1978 pemerintah menyelenggarakan penataran P4 secara
menyeluruh pada semua lapisan masyarakat. Penataran P4 ini bertujuan membentuk
pemahaman yang sama mengenai demokrasi Pancasila, sehingga dengan adanya pemahaman
yang sama terhadap Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 diharapkan persatuan dan
kesatuan nasional akan terbentuk dan terpelihara. Melalui penegasan tersebut opini rakyat
akan mengarah pada dukungan yang kuat terhadap pemerintah Orde Baru.[rujukan?] Dan sejak
tahun 1985 pemerintah menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal dan kehidupan
berorganisasi. Semua bentuk organisasi tidak boleh menggunakan asasnya selain Pancasila.
Menolak Pancasila sebagai sebagai asas tunggal merupakan pengkhianatan terhadap
kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan demikian Penataran P4 merupakan suatu
bentuk indoktrinasi ideologi, dan Pancasila menjadi bagian dari sistem kepribadian, sistem
budaya, dan sistem sosial masyarakat Indonesia. Pancasila merupakan prestasi tertinggi Orde
Baru, dan oleh karenanya maka semua prestasi lainnya dikaitkan dengan nama Pancasila.
Mulai dari sistem ekonomi Pancasila, pers Pancasila, hubungan industri Pancasila, demokrasi
Pancasila, dan sebagainya. Dan Pancasila dianggap memiliki kesakralan (kesaktian) yang
tidak boleh diperdebatkan
b. UUD 1945-Pasal 33
Dalam pasal 33 tercantum dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua,
untuk semua dibawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran
masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang seorang. Sebab itu perekonomian
disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang
sesuai dengan itu ialah koperasi. Perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi,
kemakmuran bagi semua orang. Sebab itu cabang-cabang produksi yang penting bagi negara
dan yang menguasai hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Kalau tidak, tampuk
produksi jatuh ke tangan orang-orang yang berkuasa dan rakyat yang banyak ditindasinya.
Hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak boleh ada ditangan orang-
seorang. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi adalah pokok-pokok
kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-
besar kemakmuran rakyat.
c. Ekonomi Pancasila
Ekonomi Pancasila adalah sebuah sistem ekonomi pasar dengan pengendalian
pemerintah atau “ekonomi pasar terkendali”. Terlepas dari sejarah yang akan menceritakan
keadaan yang sesungguhnya pernah terjadi di Indonesia, maka menurut UUD’45, sistem
perekonomian pancasila tercermin dalam pasal pasal 23, 27, 33, dan 34. Sistem ekonomi
yang diterapkan di Indonesia adalah Sistem Ekonomi Pancasila yang di dalamnya terkandung
demokrasi ekonomi. Demokrasi ekonomi berarti bahwa kegiatan ekonomi dilakukan dari,
oleh dan untuk rakyat di bawah pengawasan pemerintah. (Anonim,2012)
Lima ciri utama sistem ekonomi Pancasila yaitu:
a. Peranan dominan koperasi bersama dengan perusahaan negara dan perusahaan swasta.
b. Manusia dipandang secara utuh, bukan semata-mata makhluk ekonomi tetapi juga
makhluk sosial.
c. Adanya kehendak sosial yang kuat ke arah egalitaririanisme atau pemerataan sosial.
d. Prioritas utama terhadap terciptanya suatu perekonomian nasional yang tangguh.
Pelaksanaan sistem desentralisasi diimbangi dengan perencanaan yang kuat sebagai
pemberi arah bagi perkembangan ekonomi. (Anonim, 2012)
d. GBHN-PJP
Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) adalah haluan negara tentang
penyelenggaraan negara dalam garis-garis besar sebagai pernyataan kehendak rakyat secara
menyeluruh dan terpadu. Namun GBHN tidak berlaku lagi dan digantikan oleh UU no.
25/2004 yang mengatur tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, yang
menyatakan bahwa penjabaran dari tujuan dibentuknya Republik Indonesia seperti dimuat
dalam Pembukaan UUD 1945, dituangkan dalam bentuk RPJP (Rencana Pembangunan
Jangka Panjang). Skala waktu RPJP adalah 20 tahun. Pembangunan dilaksanakan dalam 2
tahap, yakni:
jangka panjang : jangka panjang mebcakup periode 25 sampai 30 tahun
jangka pendek. : jangka pendek mancakup periode 5 tahun yang terkenal dengan
sebutan “pelita” (Pembangunan Lima Tahun)
e. Wawasan Nusantara
Wawasan nusantara adalah cara pandang dan sikap bangsa Indonesia mengenai diri
dan bentuk geografinya berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Dalam pelaksanannya,
wawasan nusantara mengutamakan kesatuan wilayah dan menghargai kebhinekaan untuk
mencapai tujuan nasional.
Fungsi wawasan nusantara:
Wawasan nusantara sebagai konsepsi ketahanan nasional, yaitu wawasan nusantara
dijadikan konsep dalam pembangunan nasional, pertahanan keamanan, dan kewilayahan.
Wawasan nusantara sebagai wawasan pembangunan mempunyai cakupan kesatuan
politik, kesatuan ekonomi, kesatuan sosial dan ekonomi, kesatuan sosial dan politik, dan
kesatuan pertahanan dan keamanan.
Wawasan nusantara sebagai wawasan pertahanan dan keamanan negara merupakan
pandangan geopolitik Indonesia dalam lingkup tanah air Indonesia sebagai satu kesatuan
yang meliputi seluruh wilayah dan segenap kekuatan Negara
Wawasan nusantara sebagai wawasan kewilayahan, sehingga berfungsi dalam
pembatasan negara, agar tidak terjadi sengketa dengan negara tetangga.
a. Repelita I (1 April 1969-31 Maret 1974)
Pada Repelita I meletakkan titik berat pembangunan pada sektor pertanian dan
industri yang mendukung sektor pertanian.
b. Repelita II (1 April 1974-31 Maret 1979)
Pada Repelita II meletakkan titik berat pembangunan pada sektor pertanian dan
industri yang mendukung sektor pertanian, dengan meningkatkan industri yang
mengolah bahan mentah menjadi bahan baku.
c. Repelita III(1 April 1979-31 Maret 1984)
Pada Repelita III meletakkan titik berat pembangunan pada sektor pertanian dan
industri yang mendukung sektor pertanian, dengan meningkatkan industri yang
mengolah bahan baku menjadi bahan jadi. Langkah-langkah yang akan ditempuh
untuk meningkatkan persediaan dan konsumsi pangan antara lain dilakukan dengan
meningkatkan kegiatan intensifikasi, penganeka-ragaman dan perluasan kegiatan
pertanian. Perhatian diberikan terhadap usaha intensifikasi tanah kering serta tanaman
palawija. Usaha penganeka-ragaman dilakukan. antara lain dengan pergiliran tanaman "tumpang-sari" kacang-kacangan dan atau sayuran. Di samping itu juga membantu
dan mendorong pemasaran dan pengolahan bahan-bahan pangan seperti gandum,
jagung, sorghum, ubi-ubian, kacang-kacangan, sayuran dan buah-buahan. Repelita ini
menekankan bidang industri padat karya untuk meningkatkan ekspor
d. Repelita IV (1 April 1984 – 31 Maret 1989)
Pada Repelita IV meletakkan titik berat pembangunan pada sektor pertanian, dengan
meningkatkan industri yang d pat menghasilkan mesin-mesin industri sendiri, baik
industri berat maupun industri ringan.
Pada Pelita IV lebih dititik beratkan pada sektor pertanian menuju swasembada
pangan dan meningkatkan industri yang dapat menghasilkan mesin industri itu
sendiri.
e. Repelita V (1 April 1989 – 31 Maret 1994)
Menekankan pada bidang transportasi, komunikasi dan pendidikan. Pelaksanaan
kebijakan pembangunan tetap bertumpu pada Trilogi Pembangunan dengan
menekankan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju tercapainya
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sejalan dengan pertumbuhan ekonomi
yang cukup tinggi serta stabilitas nasional yang dinamis dan sehat. Ketiga unsur
Trilogi Pembangunan tersebut saling mengait dan perlu dikembangkan secara
selaras, terpadu, dan saling memperkuat.
f. Repelita VI (1 April 1994 – 31 Maret 1999)
Titik beratnya masih pada pembangunan pada sektor ekonomi yang berkaitan
dengan industri dan pertanian serta pembangunan dan peningkatan kualitas sumber
daya manusia sebagai pendukungnya. Sektor ekonomi dipandang sebagai penggerak
utama pembangunan. Pada periode ini terjadi krisis moneter yang melanda negara-
negara Asia Tenggara termasuk Indonesia. Karena krisis moneter dan peristiwa
politik dalam negeri yang mengganggu perekonomian menyebabkan rezim
BAB II
KEBIJAKAN
Awal masa kepemimpinan Presiden Soeharto, telah terjadi upaya perbaikan dalam proses
pemenuhan kebutuhan pangan. Peningkatan swasembada pangan dijadikan sebagai kebijakan
utama. Hal ini terlihat dari kebijakan pembangunan lima tahun I, II, III, dan IV (Pelita I, II, III,
dan IV) yang bertumpu pada sector pertanian. Program ini sukses mencapai swasembada pangan
pada tahun 1984. Prestasi tersebut membawa Presiden Soeharto meraih penghargaan dari badan
pangan dan pertanian Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), yaitu Food and Agricultural
Organization (FAO) pada tahun 1986. Salah satu kunci sukses keberhasilan Orde Baru dalam
swasembada beras adalah adanya upaya perbaikan dalam bidang pertanian yang menghasilkan
beras melimpah dan proses distribusinya ke masyarakat menjadi lancar. Terdapat beberapa faktor
yang mendukung kebijakan ini dijalankan. Diantaranya adalah revolusi biologi berupa bibit padi
varietas unggul, revolusi kimiawi berupa berbagai macam pupuk buatan serta obat-obatan anti
hama, dan niat pemerintah Orde Baru untuk membuat rakyat kenyang agar tenang. Ketiga faktor
ini dijalankan dengan satu program yang lebih dikenal dengan nama “Revolusi Hijau”.
ABRI sebenarnya memiliki dua peranan yang cukup signifikan dan seringkali dikenal
dengan “dwifungsi ABRI”, yakni selain sebagai kekuatan pertahanan dan keamanan, ABRI juga
merupakan kekuatan sosial-politik. Istilah dwifungsi yang menjadi dasar legitimasi bagi peran
sosial-politik angkatan bersenjata sendiri mulai berkembang dan populer pada masa Orde Baru.
Ini diawali dari konsepsi Nasution tentang “Jalan Tengah” ABRI pada 1958, yang intinya
tentang pemberian kesempatan kepada ABRI, sebagai salah satu kekuatan politik bagsa untuk
berperan serta di dalam pemerintahan atas dasar “Asas Negara Kekeluargaan”. Ditambah lagi
dengan fakta pada Agustus tahun 1966, ABRI menyatakan kepeduliannya untuk ikut mengatasi
tiga masalah nasional, yakni stabilitas sosial politik, stabilitas sosial ekonomi, dan kedudukan
serta peran ABRI dalam revolusi Indonesia sebagai kekuatan revolusi, alat penegak demokrasi
dan sebagai alat pertahanan dan keamanan negara. Dengan kata lain, ABRI ingin mengutarakan
etikatnya untuk tidak sekedar berperan dalam dunia militer-hankam saja, namun meluas pada
bidang sosial-politik karena keduanya saling berkesinambungan.
Konsep Dwi Fungsi ABRI
Pada dasarnya, konsep dwifungsi ABRI tidak bisa dilepaskan dari perkembangan sistem
ketatanegaraan dan sistem politik di Indonesia. Keberadaan ABRI sebagai kekuatan social dan
politik yang telah melekat sejak kelahirannya, secara nyata memang telah diterima oleh rakyat,
karena peranannya memang secara nyata diperlukan bagi kelangsungan sistem kenegaraan dan
sistem politik Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945. Hal tersebut ditunjukkan
oleh pelbagai peranan ABRI dalam menghadapi situasi-situasi genting, Mulai dari perang
mempertahankan kemerdekaan hingga penumpasan G30S/PKI. Dalam menghadapi situasi-
situasi genting itu, ABRI telah memainkan peranannya dalam bidang politik. Sebagai contoh
ialah Instruksi Bekerja Pemerintah Militer seluruh Jawa No. I/MBKD/1948 dari Kolonel
Nasution.
Konsep Dwifungsi ABRI sendiri dipahami sebagai “jiwa, tekad dan semangat
pengabdian ABRI, untuk bersama-sama dengan kekuatan perjuangan lainnya, memikul tugas dan
tanggung jawab perjuangan bangsa Indonesia, baik di bidang hankam negara mapun di bidang
kesejahteraan bangsa dalam rangka penciptaan tujuan nasional, berdasarkan pancasila dan UUD
1945.” Berangkat dari pemahaman tersebut, ABRI memiliki keyakinan bahwa tugas mereka
tidak hanya dalam bidang hankam namun juga non-hankam. Sebagai kekuatan hankam, ABRI
merupakan suatu unsur dalam lingkungan aparatur pemerintah yang bertugas di bidang kegiatan
“melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.” Sebagai kekuatan
social, ABRI adalah suatu unsure dalam kehidupan politik di lingkungan masyarakat yang
bersama-sama dengan kekuatan social lainnya secara aktif melaksanakan kegiatan-kegiatan
pembangunan nasional.
Dominasi dwifungsi ABRI pada akhirnya menimbulkan dampak yang lebih buruk.
Dampak tersebut antara lain adalah: (a). Kecenderungan ABRI untuk bertidak represif dan tidak
demokratis/otoriter. Hal ini dapat terjadi karena kebiasaan masyarakat yang terbiasa taat dan
patuh kepada ABRI. Sehingga masyarakat enggan untuk mencari inisiatif dan alternatif karena
semua inisiatif dan alternatif harus melalui persetujuan ABRI. Kalaupun masyarakat telah
mengungkapkan inisiatifnya, tak jarang inisiatif tersebut ditolak oleh ABRI yang menjabat
sebagai petinggi di wilayahnya tersebut, (b). Menjadi alat penguasa, yakni dengan adanya
dwifungsi ABRI ini, maka ABRI dengan bebas bergerak untuk menjabat di pemerintahan.
Sehingga untuk mencapai tingkat penguasa tidak mustahil untuk dilakukan oleh seorang ABRI,
sehingga dengan mudah ABRI mengatur masyarakat, dan (c). Tidak berjalannya fungsi kontrol
oleh parlemen. Dampak dari kondisi ini adalah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan, misalnya
dalam bentuk korupsi. Hal tersebut dapat terjadi karena ABRI juga yang bertindak sebagai
parlemen sehigga ia tidak ingin repot-repot melakukan kontrol terhadap bawahannya.
Namun demikian, Dwifungsi ABRI juga menunjukkan dampak positif sebagai mana
ditunjukkan oleh berkecimpungnya ABRI dalam bidang ekonomi. Keikutsertaan militer dalam
ekonomi telah menjadi usaha yang mapan dari pimpinan tentara untuk mencari tambahan bagi
alokasi anggaran dan menguatkan kebebasan mereka dari pemerintah melalui pembiayaan yang
mereka dapatkan dari usaha yang disponsori militer dan menyedot dana dari BUMN yang
dipimpin oleh kaum militer. Otomatis kegiatan-kegiatan yang ABRI pada waktu itu memiliki
sumber dana yang tidak terbatas dari anggaran pemerintah.
Lebih dari itu, dampak positif dari adanya dwifungsi ABRI itu sendiri lebih banyak
dirasakan oleh kalangan internal ABRI khususnya dalam bidang materi. Dengan adanya
dwifungsi ABRI, banyak dari anggota ABRI yang mendapatkan posisi penting dalam
pemerintahan, bahkan mengalahkan masyarakat sipil yang sebenarnya sudah fokus mengenyam
pendidikan di bidang pemerintahan. Hal ini mengakibatkan para Jendral ABRI memiliki
kesejahteraan yang terhitung tinggi karena kiprahnya dalam posis-posisi strategis itu.
Di sisi lain, banyaknya anggota ABRI yang mendapatkan posisi penting dalam
pemerintahan, bahkan mengalahkan masyarakat sipil yang sebenarnya sudah fokus mengenyam
pendidikan di bidang pemerintahan berimplikasi pada banyaknya dari masyarakat yang ingin
menjadi anggota ABRI. Hal ini merupakan sesuatu yang positif karena dengan banyaknya orang
yang ingin menjadi anggota ABRI maka seleksi bagi orang-orang yang ingin tergabung dalam
militer Indonesia lebih kompetitif.
Pada akhirnya, keberhasilan Presiden Soeharto untuk menjalankan berbagai macam
program pembangunannya menjadi dampak positif diberlakukannya konsep Dwifungsi ABRI di
era orde baru. Dengan adanya Dwifungsi ABRI tidak bisa dipungkiri kegiatan politik masyarakat
khususnya yang tidak sejalan dengan apa yang digariskan oleh pemerintah berada di bawah
kekangan. Namun demikian, terjadi sebuah stabilitas politik yang mampu menjadi pendorong
bagi keberhasilan program-program yang dicanangkan oleh pemerintah (Khoirunnisa, Ajeng D.,
dkk, 2012).
Pembinaan aparat
Diklat kepemimpinan yang selanjutnya disebut Diklatpim dilaksanakan untuk mencapai
persyaratan kompetensi kepemimpinan aparatur pemerintah yang sesuai dengan jenjang jabatan
struktural.
Pendidikan dan pelatihan ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi bagi
Pegawai Negeri Sipil untuk dapat diangkat dalam jabatan struktural disamping syarat lain yang
ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pendidikan dan pelatihan ini bersifat selektif dan harus diikuti atas dasar penugasan.
Oleh karenanya bukan merupakan fasilitas yang bersifat terbuka dan dapat diminta sebagai hak.
Keikutsertaan dalam diklat tersebut menjadi salah satu persyaratan bagi pengangkatan dalam
jabatan struktural tertentu. Karena jabatan pada dasarnya bukan merupakan sesuatu yang dapat
diminta atau dituntut, melainkan merupakan penugasan, maka keikutsertaan dalam pendidikan
dan pelatihan bukan pula hal yang dapat diminta atau dituntut.
Diklatpim terdiri dari :
a. Diklatpim tingkat IV adalah Diklatpim untuk jabatan struktural Eselon IV
b. Diklatpim tingkat III adalah Diklatpim untuk jabatan struktural Eselon III
c. Diklatpim tingkat II adalah Diklatpim untuk jabatan struktural Eselon II
d. Diklatpim tingkat I adalah Diklatpim untuk jabatan struktural Eselon I.
Peserta pendidikan dan pelatihan Jabatan Struktural ditetapkan dengan berpedoman
pada ketentuan pembinaan karier Pegawai Negeri Sipil.
1. Diklatpim tingkat IV setara dengan Diklat ADUM, ADUMLA atau SEPALA.
a. Pegawai Negeri Sipil yang memiliki potensi, moral yang baik dan dapat dikembangkan
serta telah menunjukkan prestasi dalam melaksanakan tugasnya dan dinilai mampu untuk
menduduki Jabatan Struktural Eselon IV atau Pegawai Negeri Sipil yang telah
menduduki Jabatan Struktural Eselon IV.
b. Pangkat/Golongan serendah-rendahnya Penata Muda (Gol III/a)
c. Usia setinggi-tingginya 42 tahun, dihitung pada tanggal pelaksanaan ujian seleksi
d. Pendidikan serendah-rendahnya Strata 1 (S-1)
e. Sehat fisik dan mental yang dinyatakan oleh Dokter/Tim Penguji Kesehatan.
f. Lulus Seleksi yang dilakukan oleh Tim Seleksi Tingkat Pusat
2. Diklatpim tingkat III setara dengan Diklat SPAMA dan SPADYA
a. Pejabat Struktural Eselon IV atau yang setingkat, yang memiliki potensi, moral yang baik
dan dapat dikembangkan serta telah menunjukkan prestasi dalam melaksanakan tugasnya
atau Pejabat Struktural Eselon III atau yang setingkat.
b. Pangkat/Golongan serendah-rendahnya III/c atau III/d bagi yang belum
ADUM/ADUMLA/SPALA
c. Usia setinggi-tingginya 42 tahun, dihitung pada tanggal pelaksanaan ujian seleksi
d. Pendidikan serendah-rendahnya Strata 1 (S-1)
e. Sehat fisik dan mental yang dinyatakan oleh Dokter/Tim Penguji Kesehatan.
f. Lulus seleksi yang dilakukan oleh Tim Seleksi Tingkat Pusat
g. Lulus Diklatpim Tingkat IV atau ADUM/ADUMLA /SPALA
3. Diklatpim tingkat II setara dengan Diklat SESPA dan SPAMEN
a. Pejabat Struktural Eselon III atau yang setingkat, yang memiliki potensi, moral yang baik
dan dapat dikembangkan serta telah menunjukkan prestasi dalam melaksanakan tugasnya
atau Pejabat Struktural Eselon II atau yang setingkat.
b. Pangkat/Golongan serendah-rendahnya pembina, golongan IV/a
c. Usia setinggi-tingginya 48 tahun, dihitung pada tanggal pelaksanaan ujian seleksi
d. Pendidikan serendah-rendahnya Strata 1 (S-1)
e. Sehat fisik dan mental yang dinyatakan oleh Dokter/Tim Penguji Kesehatan.
f. Lulus seleksi yang dilakukan oleh Tim Seleksi Tingkat Pusat
g. Lulus Diklatpim Tingkat III atau SPAMA / SPADYA
4. Diklatpim tingkat I setara dengan Diklat SPATI
a. Pejabat Struktural Eselon II atau yang setingkat, yang memiliki potensi, moral yang baik
dan dapat dikembangkan serta telah menunjukkan prestasi dalam melaksanakan tugasnya
atau Pejabat Struktural Eselon I atau yang setingkat.
b. Pangkat/Golongan serendah-rendahnya Pembina Utama Muda, golongan IV/c
c. Usia setinggi-tingginya 52 tahun, dihitung pada tanggal pelaksanaan ujian seleksi
d. Pendidikan serendah-rendahnya Strata 1 (S-1)
e. Sehat fisik dan mental yang dinyatakan oleh Dokter/Tim Penguji Kesehatan.
f. Lulus seleksi yang dilakukan oleh Tim Seleksi Tingkat Pusat
g. Lulus Diklatpim Tingkat II atau SPAMEN atau SESPA
Oleh karena Diklat Struktural tersebut berjenjang maka salah satu persyaratan untuk
mengikuti jenjang Diklat yang lebih tinggi, kepada peserta dipersyaratkan telah lulus dalam
jenjang diklat di bawahnya.
Pendidikan dan pelatihan ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi bagi
Pegawai Negeri Sipil untuk dapat diangkat dalam jabatan struktural disamping syarat lain yang
ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Landasan Hukum:
1) Undang-undang Nomor 8 tahun 1974 jo. Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang
Pokok-pokok Kepegawaian.
2) Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000 tentang Pendidikan dan Pelatihan Jabatan
PNS
Keputusan Ketua Lembaga Administrasi Negara Nomor : 304.A/IX/6/4/1995 tanggal 24
Pebruari 1995 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan Pegawai
Negeri Sipil (Anonim, 2008).
KEBIJAKAN REPELITA I-VI PADA ZAMAN SOEHARTO
1. REPELITA I
Intensifikasi perikanan laut
Rehabilitasi atau pembangunan pelabuhan perikanan
Penelitian perikanan
Pengembangan sumber-sumber perikanan darat
Pengembangan benih-benih perikanan
Pengembangan prasarana perikanan
2. REPELITA II
Proyek prasarana pembangunan perikanan
Proyek pembinaan perikanan rakyat
Proyek pembinaan mutu hasil perikanan
Proyek pembinaan sumber hayati perikanan
3. REPELITA III
Pemerintah tindak lanjut, meningkatkan, mengembangkan program proyek
tersebut REPELITA I dan II
Tugas penyuluhan ditangani BPLPP
Kebijakan Dalam Negeri Pemerintah Orde Baru adalah tema yang akan kita bahas pada
subbab kali ini. Struktur perekonomian Indonesia pada tahun 1950-1965 dalam keadaan kritis.
Pemerintah Orde Baru meletakkan landasan yang kuat dalam pelaksanaan pembangunan melalui
tahapan Repelita. Repelita merupakan, usaha intensifikasi dan rehabilitasi dalam bidang
perikanan dilaksanakan terutama untuk meningkatkan produktivitas perikanan rakyat.
Dalam kurun waktu tersebut, usaha untuk meningkatkan produksi perikanan darat
dilaksanakan dengan cara memperbaiki teknologi produksi dan pengelolaan, merehabilitasi
saluran tambak dan membangun balai-balai benih serta Unit-unit Pelayanan Pengembangan
(UPP). Sedangkan untuk meningkatkan produksi perikanan laut, langkah-langkah utama
adalah meningkatkan kegiatan penyuluhan, penyediaan fasilitas kredit, pem-
bangunan/rehabilitasi pelabuhan perikanan dan pangkalan pendaratan ikan. Di samping itu
melalui investasi swasta, diusahakan pula peningkatan penyediaan sarana pemasaran antar
pulau seperti fasilitas cold storage, freezer dan truk-truk pendingin.
Selanjutnya untuk melindungi kegiatan para nelayan tradisional terhadap saingan
yang tidak seimbang dari pengusaha kapal trawl, maka selain dilakukan pembagian
wilayah penangkapan juga telah dikeluarkan Keppres No. 39 Tahun 1980. Keppres
tersebut melarang penggunaan kapal trawl di perairan laut yang mengelilingi pulau Jawa,
Bali dan Sumatera.
Dalam rangka memanfaatkan potensi sumber daya laut sehingga dapat meningkatkan
produktivitas optimal dan mempertahankan sumber daya, maka bagi daerah-daerah
perairan pantai yang padat tangkap seperti pantai utara Jawa, selat Bali dan selat Malaka,
pengembangannya diarahkan ke perairan lepas pantai atau ke bidang usaha lain seperti
budi daya tambak dan budi daya laut. Sedangkan untuk pemanfaatan sumber daya per -
ikanan di perairan ZEE, langkah yang ditempuh adalah mendorong usaha penangkapan
bagi perusahaan patungan dengan perusahaan asing. Untuk mendukung kebijaksanaan
tersebut diatas, pembangunan/rehabilitasi pelabuhan perikanan dan pangkalan
pendaratan ikan terus ditingkatkan.
Usaha intensifikasi dan ekstensifikasi ditingkatkan dengan berdasarkan Paket
Kebijaksanaan 6 Mei 1986, yaitu tentang Pola Perusahaan Budi daya Udang dengan pola
Perusahaan Inti Rakyat. Dalam hal ini perusahaan perikanan negara dan swasta nasional
bertindak sebagai perusahaan inti. Mereka membina petani tambak udang dengan
memberikan bimbingan dalam penerapan teknologi maju dan menyediakan fasilitas
pengolahan serta pemasaran hasil. Kebijaksanaan tersebut didukung pula dengan
rehabilitasi dan pembangunan saluran tambak rakyat.
4. REPELITA IV (1984/1985 s/d 1988/1989)
Pada kebijakan ini pemerintah melakukan sosoalisasi untuk menghentikan penangkapan
ikan menggunakan pukat harimau atau trawl, sesuai dengan No 39 Tahun 1980.
Kepres tersebut tidak menyebutkan secara total melarang trawl melainkan secara bertahap yakni
sbb :
Terhitung sejak tanggal berlakunya Keppres ( 1 Juli 1980 ) sampai 30 September 1980
dilaksanakan penghapusan secara bertahap terhadap seluruh kapal perikanan yang
menggunakan jaring trawl yang berdomisili dan beroperasi di sekitar Jawa dan Bali
Sejak tanggal 1 Oktober 1980 melarang semua kegiatan penangkapan ikan yang
menggunakan jaring trawl di perairan laut yang mengelilingi Pulau-pulau Jawa dan Bali
Untuk kapal-kapal yang menggunakan jaring trawl yang berdomisili dan beroperasi di
sekitar Pulau Sumatera, larangan tersebut berlaku selambat-lambatnya mulai berlaku
pada 1 Januari 1981
Terhitung mulai 1 Oktober 1980 di perairan laut di luar Pulau Sumatera, Jawa dan Bali,
jumlah kapal perikanan yang menggunakan jaring trawl dikurangi secara bertahap
sehingga pada tanggal 1 Juli 1981 jumlahnya menjadi 1000 buah.
Dengan Dasar Pertimbangan, dikeluarkannya kebijakan ini , yaitu:
pembinaan kelestarian sumber perikanan dasar
mendorong peningkatan produksi nelayan tradisional
menghindarkan ketegangan social
Hasilnya pemerintah masih memberikan ijin penangkapan dengan pukat udang.
Sebagai hasil serangkaian kebijaksanaan yang ditempuh selama Repelita I sampai
dengan Repelita IV produksi perikanan darat dan laut rata-rata meningkat 4,7o.per tahun.
Dalam tahun akhir Repelita IV produksi perikanan laut dan perikanan darat masing-
masing mencapai 2,2 juta ton dan 0,7 juta ton dibanding produksi tahun 1968 sebesar 0,7
juta ton dan 0,4 juta ton (Tabel VI-18). Peningkatan produksi perikanan laut tersebut,
antara lain disebabkan oleh semakin meningkatnya investasi swasta dan berhasilnya
pelaksanaan program motorisasi perikanan rakyat (Tabel VI-17). Jumlah perahu/kapal
motor pada tahun akhir Repelita IV mencapai sekitar 114 ribu buah (Tabel VI-17), yang
berarti meningkat menjadi dua puluh kali lebih besar dibandingkan dengan jumlah pada
tahun 1968. Sementara itu, produksi perikanan darat meningkat dari 437 ribu ton pada
tahun 1968 menjadi 711 ribu ton pada akhir Repelita IV.
5. REPLITA V (1989/1990 s/d 1993/19940
Pemerintah melakukan pengembangan mariculture ( budidaya laut). Mengembangkan
budidaya laut di bagian-bagian perairan Indonesia yang kondisi lingkungannya memungkinkan,
dimaksudkan untuk meningkatkan penghasilan nelayan/petani ikan, pencukupan kebutuhan
masyarakat akan gizi serta perluasan kesempatan kerja. Pengembangan dilakukan dengan
penebaran tukik (anak) penyu hijau, pengaturan tangkapan ikan dan introduksi ikan baru, dan
kendali tangakap, kembangkan budidaya dan program manajemen mutu terpadu.
Dalam tahun pertama Repelita V produksi perikanan secara menyeluruh meningkat
5,0% bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya (Tabel VI-18); di antaranya produksi
perikanan darat meningkat sebesar 6,0%. Peningkatan itu disebabkan oleh me ningkatnya
produksi usaha budi daya perikanan tambak, kolam dan sawah, yang sangat tinggi, yaitu
sebesar 8,9%. Sedangkan ( roduksi perikanan dari perairan umum meningkat sebesar
1,8% Tabel VI-19). Pada tahun.itu produksi perikanan laut meningkat sebesar 4,7%.
Jumlah perahu dan kapal motor meningkat sebesar 2,0%. Produktivitas perahu dan kapal
motor mencapai 6,36 ton per perahu atau per kapal, atau meningkat 4,4%.
Produksi perikanan yang sangat meningkat, telah meningkatkan rata-rata konsumsi
ikan segar dan ekspor. Konsumsi ikan segar per kapita per tahun telah meningkat dari
9,96 kg dalam tahun 1968 menjadi 15,40 kg pada tahun 1989. Tingkat konsumsi ikan
yang tinggi ini, juga telah memperbaiki gizi masyarakat dan meningkatkan produktivitas
kerja. Bahkan untuk memperbaiki gizi masyarakat berpenghasilan. rendah, sejak tahun
1982 program pengembangan aneka ikan mulai dilaksanakan dengan menyebarkan bibit
ikan mujair dalam kolam pekarangan dan waduk-waduk.
Selanjutnya dengan semakin meningkatnya produksi ikan, ekspor hasil perikanan
terus meningkat, terutama komoditi udang dan ikan segar. Ekspor udang telah
meningkat dari 2,9 ribu ton pada tahun 1968 menjadi 56,6 ribu ton pada tahun 1988.
Demikian pula ikan segar meningkat dari 3,4 ribu ton menjadi 65,9 ribu ton pada tahun
1988. Ini berarti masingmasing meningkat menjadi lebih dari sembilan belas kali lebih
besar dibanding ekspor pada tahun 1968.
Dalam tahun pertama Repelita V ekspor hasil-hasil per ikanan juga meningkat
sebesar 26,2% atau naik dari 181,2 ribu ton pada tahun 1988 menjadi 228,7 ribu ton pada
tahun 1989. Yang terbesar adalah ekspor udang dan ikan segar
PERKEMBANGAN JUMLAH PERAHU/KAPAL PERIKANAN LAUT, 1968 – 1989(buah)
1) Angka diperbaiki
2) Angka sementara
PERKEMBANGAN PRODUKSI PERIKANAN DARAT,
1968 - 1989
(ribu ton)
1989 2)
Usaha Budi daya
Tambak
Kolam
Sawah
Perairan Umum
426
-233
104
89
285
117
45
53
19
320
139 171
60 88
52 58
27 25
250 249
267
134
80
53
266
464
258
113
93
290
Jumlah 437 389 420 533 711 754
1) Angka diperbaiki
awetan
Ikan segar3.416 5.868 13.907 33.903 65.899 81.689
K a t a k 2.867 2.325 3.296 5.091 4.570
Ikan hias 23 286 359 197 95S 1.624
Ubur-ubur 1.935 1.935 1.860 4.108 7.220 5.668
Lainnya 13.376 12.435 12.414 20.695 45.501 58.479
Jumlah 21.652 52.178 63.485 88.365 181.218 228.658
1) Angka diperbaiki
Sumber : Pertanian dan Pengairan. www.bappenas.go.id/index.php
TABEL VI - 20
PERKEMBANGAN VOLUME EKSPOR HASIL-HASIL
6. REPLITA VI
Dilakukan penigkatan produksi prikanan sebagai program utama.
Melakukan upaya peningkatan produksi perikanan dengan tujusn untuk meningkatkan
konsumsi, devisa dan meningkatkan penyediaan bahan baku industri.
Hal ini dibuktikan dengan kenaikan produksi ikan dari tahun 1968 sampai 1995 sebesar
3,7% per tahun.
BAB III
STRATEGI
Strategi yang digunakan dalam massa orde baru ini adalah :
a. Strategi dasar daripada pembangunan adalah mendobrak keterbelakangan ekonomi
melalui proses pembaharuan di sektor pertanian, ditunjang dan didorong oleh sektor
industri pertambangan serta prasarana.
b. Membuat program pembangunan perikanan pemerintah. Program pembangunan
perikanan atau Development Government Fisheries (DGF) ini memiliki target besar
yaitu meningkatkan produksi perikanan secara menyeluruh dengan cara yang sesuai
dengan kapasitas atau ketahanan sumberdaya dan memperbaiki produktifitas,
pendapatan, dan standar hidup pekerja dalam sektor tersebut, khususnya nelayan dengan
skala kecil. Dilihat dari segi staf dan sumber keuangannya, bagaimanapun ini jelas bahwa
urusan pertama dari DGF sendiri adalah pelaksanaan aktivitas pembangunan. Selama
REPELITA IV, total pengeluaran dari DGF sendiri lebih dari Rp. 500Milyar, dan dana
tersebut digunakan untuk usaha meningkatkan perikanan laut dan pedalaman, kurang dari
3% ditargetkan untuk manajemen sumberdaya perikanan dan perlindungan lingkungan.
Di sisi lain, DGF mengalami kesulitan dalam menjangkau komunitas nelayan pantai
dalam skala kecil karena sering sekali tidak dilewati oleh kendaraan umum yang
menjangkau tempat tersebut, sehingga pemerintah membuat program perluasan ke
daerah-daerah tersebut seperti pembangunan KUD, sistem kredit, pelayanan bank dalam
hal peminjaman uang berjangka.
Pada program DGF tersebut, secara langsung maupun tidak langsung agen pemerintah
lain ikut terlibat dalam pembangunan perikanan, termasuk bank pemerintah yang
menyediakan kredit untuk meningkatkan kapal-kapal dan perlengkapan perikanan
lainnya dan juga Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS). DGF juga
bekerjasama dengan Dirjen Perkoperasian, Dirjen Transmigrasi, dan Badan Administratif
Pemerintah lainnya. Lembaga nasional tersebut ikut berpartisipasi dalam pelaksanaan
DGF baik level provinsi maupun daerah. Pemerintah provinsi membuat kantor pelayanan
perikanan yang menyediakan dana untuk proyek khusus dan mengkoordinasi aktivitas
pemerintah berdasarkan batas kekuasaannya, sehingga pelaksanaan proyek pembangunan
diperluas dengan mendesentalisasi oleh pejabat lokal yang dapat mengubah program
nasional menjadi keadaan yang siap.
1. Motorisasi
Kebanyakan dari nelayan Indonesia dibatasi oleh penggunaan kendaraan mereka
yaitu perahu berlayar dan perahu mesin tempel untuk mencari ikan sehingga hanya
mampu untuk mencari di wilayah yang hanya dekat dengan pantai saja. Faktor inilah
yang menyebabkan rendahnya produktifitas yang terjadi pada nelayan kecil yang
berada diantara Laut Jawa dan Selat Malaka. Jika nelayan pantai mencari ikan maka
menjadi terbatas pencariannya karena hanya memakai perahu layar yang hanya dapat
menjangkau di sekitar pantai saja. Meskipun pemanfaatan sumber pada level tinggi,
akan tetapi pencarian ikan hanya berkonsentrasi pada laut dangkal saja dan yang lepas
pantai tidak dapat dimanfaatkan. Di seluruh Indonesia, jauh dari pantai sumberdya
iakan seperti pelagis dan demersal menjadi harapan besar untuk meningkatkan produk
perikanan, akan tetapi untuk mencapainya kapal harus dilengkapi dengan mesin yang
dapat menjangkau.
DGF menekankan pemanfaatan yang lebih besar pada perikanan lepas pantai
melalui perluasan penggunaan mesin dalam kapal dan mesin tempel. Masalah yang
terjadi pada nelayan kecil adalah pembatasan pada alat tangkap akan tetapi yang
menjadi masalah dasar adalah konsentrasi dalam usaha perikanan di perairan pantai
yang mengharuskan menggunakan perahu layar yang tersebar luas di pantai tersebut.
Hanya yang memakai mesin yang dapat menjelajahi lebih dari pantai.
Progam peminjaman pemerintah telah didirikan untuk membantu nelayan kecil
mendapatkan perlengkapan perikanan. Peningkatan ditekankan dengan pemberian
kapal dengan kelas 5-7 GT dengan mesin kecil diesel di dalam kapal. Penggunaan
mesin di dalam kapal lebih efisien dari pada mesin di luar kapal, akan tetapi harganya
lebih mahal.
DGF mengambil keputusan untuk peminjaman perahu mesin di luar. Penggunaan
perahu bermesin memberikan wilayah yang lebih luas (lepas pantai) dalam
penangkapan ikan dan pencarian ikan dekat pantai dapat dikurangi.
2. Kredit Perikanan
Sebelum tahun 1973, belum ada lembaga untuk kredit nelayan skala kecil di
Indonesia. Pengusaha lokal menyajikan dan terus menyajikan sumber yang dapat
sesuaikan dengan dana yang telah ada. Pemerintah Indonesia yakin bahwa para
pembeli ikan menekan harga ikan kepada nelayan dan hubungan tersebut tidak
seimbang, serta kredit tersebut dihubungkan antara nelayan dengan para pembeli ikan
yang menyebabkan kemiskinan pada nelayan kecil. Dalam hal ini para pembeli ikan
bisa disebut juga lintah darat. Pemerintah Indonesia mulai meyediakan lembaga
perkreditan bagi nelayan kecil pada tahun 1974, dengan Bank Rakyat Indonesia (BRI)
dan peyalur dana utama yang datang dari Bank Indonesia (BI) yang keduanya
merupakan milik pemerintah. Dari tahun ketahun lembaga peminjaman yang berbeda
telah di buat.
KIK dan KMKP
Kredit Investasi Kecil (KIK) adalah progam yang sering memberikan kredit
dalam bentuk paket termasuk mesin dan perlengkapannya serta konstruksi baru
badan kapal. Peminjaman maksimumnya adalah Rp 10 juta. Kredit Modal Kerja
Permanen (KMKP) dibuat untuk membantu KIK yang lebih menyediakan biaya
operasional dari pada biaya investasi. Progam KIK dan KMKP di atur oleh BRI.
KMKP memberikan pinjaman dalam bentuk dana langsung, sedangkan KIK
memberikan pinjaman dalam bentuk mesin, peralatan dan konstruksi badan kapal.
Kredit Perikanan BIMAS
Progam kredit BIMAS (Bimbingan Masal) adalah progam yang sebelum tahun
1980 hanya terbatas pada sekitar petani dan peminjamannya kepada petani
Indonesia. Pada tahun 1980 hasil drekrit presiden bahwa progam Kredit BIMAS
diperluas yang mencakup nelayan dan di rancang untuk pemilik trawl guna
melengkapi kapalnya dengan peralatan lain. Berbagai dana juga dialokasikan
untuk nelayan skala kecil di daerah yang telah menggunakan trawl atau untuk
membeli baru atau meningkatkan unit perikanan yang telah ada. Secara khusus
dana pinjaman BIMAS digunakan untuk pemakaian tremmel net oleh nelayan
skala kecil dengan tujuan untuk penangkapan udang sebagai nilai ekspor tinggi.
Tidak seperti KIK dan KMKP, bahwa progam BIMAS tersebut menghendaki
tidak adanya jaminan meskipun pelamar dibutuhkan untuk menjadi anggota KUD.
Permasalahan Dengan Progam Kredit Perikanan
Kinerja program KIK dan KMKP telah mengecewakan, hal ini di buktikan bahwa
adanya pengambilan rata-rata 2-3 bulan sebelum peminjaman KIK disetujui.
Setelah itu, adanya penundaan yang lama yang di rasakan oleh penerima pinjaman
KIK khususnya jika kapal baru yang telah di buat penundaannya juga terjadi lebih
dari 6 bulan dari waktu disetujuinya permintaan sampai dapatnya pengoperasian
unit perikanan yang baru. Hal itu membuat para nelayan memilih untuk
bekerjasama dengan pembeli ikan (lintah darat) karena lebih menguntungkan.
Nelayan mendapatkan pinjaman kredit dari pembeli ikan yang didapat dengan
segera, mengawasi pembuatan kapal baru mereka, yang akhirnya dapat memulai
pengoperasian lebih cepat, sehingga nelayan mendapat keuntungan dari pinjaman
para pembeli ikan.
Faktor lain yang meyababkan para nelayan tidak meminta pinjaman pada
pemerintah bahwa jika nelayan meminta pinjaman dari pemerintah maka mereka
harus menjual tangkapannya kepada tempat pelelangan pemerintah yang secara
otomatis akan masuk pada pembayaran peminjaman sehingga sangat merugikan
nelayan. Pada saat itu kerjasama antara nelayan dangan pemerintah menjadi masalah
yang serius. Selama 5 tahun periode REPELITA IV terhitung bahwa dana sebesar
Rp.696 juta akan dialokasikan untuk kredit produksi pada perikanan darat dan laut.
Dana tersebut akan digunakan untuk pembuatan 6000 kapal yang menggunakan
mesin dalam dan 7200 mengggunakan mesin luar, serta menggantikan sekurangnya
10GT dan dioperasikan pada perairan pantai. Sekitar 200 kapal penangkap ikan skala
besar akan dibuat selama REPELITA IV dengan kredit pemerintah. Jika rencana
tersebut diimplementasikan maka hasil perikanan akan baik.
BAB IV
IMPLEMENTASI
Terdapat implementasi kebijakan di bidang pembangunan perikanan dan kelautan Indonesia
pada jaman Soeharto (1967-1998) diantaranya adalah:
1. Pengembangan teknik budidaya perikanan yang selektif dan lebih menguntungkan
Budidaya perikanan yang selektif dilakukan dengan pengaturan dalam melakukan
introduksi ikan. Ikan harus di seleksi jenis dan kesehatannya agar tidak membawa
penyakit bagi ikan asli yang berpengaruh terhadap kepunahan. Salah satu faktor yang
berpengaruh terhadap tingkat keuntungan yaitu ikan yang dipanen, angka kematian dan
efisiensi pakan. Jumlah panen dan efisiensi pakan yang tinggi, angka kematian yang
rendah pada ikan, maka keuntungan yang akan diperoleh petani ikan semakin tinggi pula.
2. Melakukan penelitian dan percobaan penangkapan dan budidaya perikanan
Program ini bertujuan untuk meningkatkan pemanfaatan, penguasaan dan
penerapan teknologi perikanan. Kegiatan penelitian yang menghasilkan teknologi
perikanan merupakan salah satu komponen pokok dalam rangka peningkatan
produktivitas, mutu hasil dan keberlanjutan sistem pertanian. Diseminasi teknologi
dilaksanakan melalui pendidikan, pelatihan dan penyuluhan pertanian. Agar
penelitian dan pengembangan pertanian menghasilkan teknologi yang sesuai dengan
kebutuhan. Teknologi yang telah dihasilkan teknologi perbenihan bandeng.
3. Diklat pegawai baik dalam negeri maupun luar negeri
Diklat pegawai negeri adalah upaya-upaya yang dilakukan bagi pegawai negeri
untuk meningkatkan kepribadian, pengetahuan dan kemampuannya sesuai dengan
tuntutan persyaratan jabatan dan pekerjaannya sebagai pegawai negeri.
Penyelenggaraan diklat secara umum bertujuan untuk :
a. Meningkatkan pengabdian, mutu, keahlian, dan keterampilan
b. Menciptakan adanya pola berpikir yang sama
c. Menciptakan dan mengembangkan metode kerja yang baik
d. Membina karier pegawai negeri sipil
4. Modernisasi dan motorisasi perahu/kapal perikanan, yaitu modernisasi armada
penangkapan dilakukan dengan peningkatan kapal motor dengan perubahan penggunaan
motor tempel (outboard) menjadi mesin motor dalam (inboard). Armada penangkapan
yang lebih modern menyebabkan semakin meningkatkan jangkauan fishing ground yang
mampu meningkatkan produksi perikanan tangkap.Usaha-usaha modernisasi yang
dilaksanakan juga diharapkan agar dapat mendapatkan hasil yang optimal, bukan hanya
dalam arti kenaikan produksi melainkan juga kenaikan pendapatan para nelayan yang
lebih merata
5. Seiring berkembangnya teknologi, maka pada era Soeharto juga dilakukan kebijakan
Introduksi alat-alat penangkapan baru. Tujuan dari kegiatan ini adalah upaya adaptif
dibidang perikanan dalam kaitannya dengan pencarian pola diversifikasi alat tangkap
dengan kapasitas optimum tetapi tetap memiliki kemampuan untuk mendapatkan
keuntungan ekkonomi dan keberlanjutan usaha perikanan.
6. Alat-alat penangkapan yang baru dan ketidaksiapan para nelayan dalam
menimplementasikan teknologi yang baru menyebabkan kerusakan kelestarian
sumberdaya ikan, kerusakan habitat, serta pencemaran air. Untuk kemajuan diperikanan
maka dilaksanakan pengembangan alat penangkapan baru yang lebih produktif dan
menguntungkan, sehingga diharapkan adanya pengembangan alat penangkapan ini bisa
lebih produktif dan tanpa merusak lingkungan sekitar.
Implementasi kerjasama luar negri di bidang perikanan di era Soeharto
Konvensi Hukum Laut 1982 jo. UU No. 17 Tahun 1985
Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, dalam upaya memperoleh pengakuan dari
dunia internasional telah dilaksanakan perjuangan yang terus menerus di forum internasional dan
regional. Dalam konferensi PBB tentang Hukum Laut III pada tanggal 30 April 1982 di New
York telah berhasil menyusun United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS)
1982, yang kemudian ditandatangani oleh 111 negara termasuk Indonesia pada tanggal 10
Desember 1982 di Montego Bay, Jamaica. UNCLOS 1982 ini berlaku di seluruh dunia pada
tanggal 16 November 1994 setelah tercapai jumlah minimal 60 negara yang meratifikasinya.
Melalui UU No. 17 tahun 1985, Indonesia telah meratifikasi UNCLOS 1982 atau juga
dikenal sebagai Konvensi Hukum Laut (HUKLA) 1982. Hal ini berarti bahwa seluruh perangkat
peraturan perundang-undangan nasional yang sudah ada atau yang akan disusun, harus mengacu
pada konvensi tersebut. Sejak diberlakukannya Konvensi HUKLA 1982 secara resmi pada 16
November 1994, maka wilayah Indonesia, yang dideklarasikan pada tanggal 13 Desember 1957
telah diterima menjadi bagian dari hukum laut internasional (UNCLOS, 1982), dan dengan
demikian secara internasional Indonesia diakui sebagai suatu negara kepulauan dengan segala
hak dan kewajiban yang melekat padanya. Letak geografis Indonesia yang berada di khatulistiwa
serta di antara dua benua dan dua samudera sangat strategis bagi hubungan antarbangsa di dunia.
Konvensi tersebut memuat 9 buah pasal mengenai perihal ketentuan tentang Prinsip
“Negara Kepulauan”. Salah satu pasal dalam prinsip Negara Kepulauan tersebut menyatakan
bahwa laut bukan sebagai pemisah, melainkan sebagai piranti yang menyatukan pulau-pulau
yang satu dengan lainnya. Prinsip-prinsip tentang fungsi laut sebagai alat pemersatu atau fungsi
laut sebagai faktor integritas wilayah inilah yang kemudian hari menjadi wawasan kebangsaan
negara Indonesia yaitu yang dikenal dengan Wawasan Nusantara.
ASEAN Network of Fisheries Post-Harvest Technology Center melanjutkan
kerjasamanya dengan Departemen Penelitian Perikanan Laut dari Southeast Asia Fisheries
Development Center (SEAFDEC) untuk mengimplementasi kegiatan-kegiatan: (i) HACCP
Training Programmes, (ii) Regional Code of Conduct on Post-Harvest Practices and Trade, dan
(iii) ASEAN-Australia Development and Cooperation Programme (AADCP) mengenai “Quality
Assurance and Safety of ASEAN Fish and Fishery Products”. Kesuksesan kolaborasi dengan
SEAFDEC juga mendorong pengembangan inisiatif baru berupa: Seafood Safety Information
Network dan Chloramphenicol, and Nitrofuran Residues in Aquaculture Fish and Fish Products.
ASEAN terus melanjutkan kolaborasi dengan SEAFDEC dan telah menyetujui kerja
sama untuk memperkuat mekanisme dan implementasi program perikanan kawasan melalui
pembentukan “ASEAN-SEAFDEC Strategic Partnership (ASSP)”. Dalam AMAF ke-29, telah
ditandatangani Letter of Understanding (LoU) ASSP oleh Sekjen ASEAN dan Sekjen
SEAFDEC.
Dengan bantuan dari Australia, ASEAN telah menyelesaikan Hazard Guide-A Guide to
the Indentification and Control of Food Safety Hazard in the Production of Fish and Fisheries
Products in the ASEAN Region, dan Guidelines on Development of Standard Operating
Procedures (SOP) for Health Certification and Quarantine Measures for the Responsible
Movement of Live Food Finfish.
Negara-negara Anggota ASEAN juga telah menyetujui inisiatif untuk membentuk
ASEAN Shrimp Alliance (ASA) dan ASEAN Network on Aquatic Animal Health Centres
(ANAAHC).
Pembangunan Perikanan di era soeharto
Tiga dekade diawal periode ini perkembangan bidang kelautan relatif stagnan bahkan
relatif terjadi kemunduran. Hal ini disebabkan kebijakan pemerintah saat itu dalam rangka
memajukan ekonomi nasional lebih berfokus pada pemanfaatan minyak dan gas bumi serta
produksi hutan. Bidang kelautan diterlantarkan, tidak ada kepedulian dari para pengambil
kebijakan untuk dijadikan sebagai pemasok devisa negara.
Adanya kurang kepedulian itu, maka wilayah laut beserta kekayaan yang dikandungnya
tidak terurus. Akibatnya banyak terjadi “illegal fishing” oleh kapal-kapal asing, transasi
perdagangan di laut makin meluas bahkan batas maritim (Maritime boundary) juga diabaikan.
Juga sering terjadi perompakan, penyeludupan, perdagangan senjata dan manusia di wilayah
perbatasan.
Gejala-gejala aksi yang dapat mengancam kehidupan negara baik sosial, ekonomi dan
keamanan negara, terutama di wilayah perbatasan dengan negara-negara tetangga, maka
pemerintah mulai sadar bahwa peran laut begitu penting bagi kehidupan negara. Maka TNI-AL
di tahun 1990, mengambil insiatif melaksanakan seminar kelautan Indonesia. Hasil seminar ini
kemudian dijadikan bahan rujukan untuk penyusunan Garis Besar Haluan Negara (GBHN) pada
REPELITA ke 5 (Tahun 1993-1998) pada Pembangunan Jangka Panjang I. Dalam GBHN itu,
bidang kelautan masuk dalam kelompok pembangunan ekonomi.
Akibat kasus-kasus diwilayah perbatasan makin serius, dan konsep pembangunan
kelautan telah masuk ke GBHN, maka Presiden Soeharto mengeluarkan perintah pada tanggal 1
Januari 1996, yang bunyinya sebagai berikut: ”MENGEMBALIKAN JIWA BAHARI
DENGAN MELALUI PEMBANGUNAN KELAUTAN INDONESIA”. Sesudah perintah itu
dikumandangkan, diteruskan dengan pembentukan Dewan Kelautan Nasional melalui KEPPRES
No. 77 Tahun 1996.
Adapun tugas dan fungsi Dewan Kelautan Nasional (DKN) yaitu:
Memberikan pertimbangan, pendapat, maupun saran kepada Presiden mengenai
peraturan, pengeloalan, pemanfaatan, pelestarian, perlindungan dan keamanan kawasan laut,
serta penentuan batas wilayah Indonesia.
Melakukan koordinasi dengan departemen dan badan yang terkait, dalam rangka
keterpaduan perumusan dan penetapan kebijakan mengenai masalah laut.
Sekalipun telah dibentuk DKN, nampaknya bidang kelautan amat terlebih sektor
Perikanan kurang mendapat dukungan penuh dalam perjalanan pembangunan. Kebanyakan
fokus pembangunan di arahkan ke darat, bahkan lebih mempopulerkan di kancah internasional,
bahwa Indonesia adalah negara Agraris. Sesungguhnya paradigma ini bertentangan dengan jati
diri bangsa Indonesia, dimana luas wilayah Indonesia adalah laut meliputi 5.8 juta Km2,
sedangkan wilayah darat hanya 1,9 juta Km2.
Dalam tahun yang sama (1996) dilakukan konvensi Nasional Tentang Kelautan di
Makassar pada tanggal 18-19 Desember. Konvesi ini mengeluarkan konsep Benua Maritim
Indonesia. Gagasan ini masih kontroversial – banyak terjadi pro dan kontra tentang istilah benua
maritim. Penggunaan kata benua merujuk sama dengan daratan, sehingga membuat rancu.
Sekalipun demikian konsep ini memberikan dorongan semangat baru, karena telah menunjukan
pentingnya membangun kelautan secara bijak agar menghasilkan kesejahteraan yang
berkelanjutan.
Kemudian diakhir periode, terjadi pergantian Presiden (1998). Disaat itu pengantinya
adalah Presiden ke 3, Dr. B.J. Habibie. Periode Habibie, saat itu dikeluarkan suatu deklarasi
yang di sebut Deklarasi Bunaken, karena tempat pendatangan deklarasi itu di kota Manado.
Sejak Deklarasi Bunaken ditandatangani oleh Presiden RI pada puncak kegiatan Tahun
Bahari Internasional 1998 (TBI ’98) telah menegaskan bahwa mulai 26 September 1998 visi
pembangunan dan persatuan nasional Indonesia berorientasi ke laut. Kegiatan TBI ‘98
merupakan program UNESCO-PBB dan tahun 1998 sebagai Tahun Bahari Internasional
sekaligus pencanangan upaya PBB dan bangsa Indonesia untuk menyadarkan umat manusia akan
arti penting dari laut dan lingkungan kelautan sebagai warisan bersama umat manusia.
Deklarasi Bunaken pada dasarnya secara tegas menyatakan dua hal pokok yaitu
kesadaran bangsa Indonesia akan geografi wilayahnya dan kemauan yang besar dari bangsa
Indonesia untuk membangun kelautan. Kesadaran bangsa Indonesia akan geografi wilayahnya
menjadi sangat penting bagi keberhasilan bangsa dalam melaksanakan pembangunan kelautan
yang mempunyai arti strategis dalam mengembalikan kondisi ekonomi nasional yang sedang
menyelesaikan berbagai krisis ini.
Inti dari Deklarasi Bunaken adalah laut merupakan peluang, tantangan dan harapan untuk
masa depan persatuan, kesatuan dan pembangunan bangsa Indonesia. Deklarasi Bunaken
merupakan pernyataan politis strategis pemerintah atau sebagai komitmen bangsa yang
memberikan peluang seluas-luasnya dalam penyelenggaraan pembangaunan kelautan. Melalui
Deklarasi Bunaken pemerintah juga akan mengorientasikan pembangunan nasional ke laut
dengan memberikan perhatian dan dukungan optimal terhadap pembangunan kelautan.
Deklarasi Bunaken dapat juga dikatakan sebagai kunci pembuka babak baru
pembangunan nasional yang berorientasi ke laut karena mengandung komitmen bahwa:
Visi Pembangunan dan Persatuan Nasional Indonesia harus juga berorientasi ke laut.
Semua jajaran pemerintah dan masyarakat hendaknya juga memberikan perhatian untuk
pengembangan, pemanfaatan dan pemeliharaan potensi kelautan Indonesia.
Bantuan luar negri perikanan, kehutanan,dan perkebunan
Pada tahun 1973 dengan bantuan dana dari Bank Dunia dilaksanakan pengembangan
perkebunan rakyat di Sumatera Utara sebagai rintisan pola Unit Pelayanan Pengembangan
(UPP), dan pengembangan perkebunan rakyat di Jawa Barat yang melibatkan Badan Usaha
Milik Negara (BUMN) sebagai rintisan pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR). Pengembangan
perkebunan rakyat melalui pola PIR dimulai tahun 1977 dengan dana pinjaman luar negeri,
sedangkan pola UPP dimulai pada tahun 1979. Untuk mempercepat pembangunan perkebunan di
luar Jawa telah dikembangkan PIR Perkebunan yang dikaitkan dengan transmigrasi berdasarkan
Inpres Nomor 1 Tahun 1986.
Sampai dengan akhir PJP I telah dibangun perkebunan rakyat baru seluas 1,6 juta hektare
dengan komoditas utama kelapa, karet, kelapa sawit, dan kopi yang melibatkan sekitar 1,2 juta
keluarga tani. Dengan keberhasilan pola PIR Perkebunan, dikembangkan pula PIR untuk
peternakan dan perikanan rakyat, yaitu PIR Perunggasan, PIR Persusuan, dan PIR Tambak
Pada akhir PJP I luas perkebunan rakyat mencapai 10,7 juta hektare dengan komoditas
utama kelapa, karet, kopi, cengkeh, lada, kakao, jambu mete, tebu dan tembakau. Areal
perkebunan besar negara mencapai 946,2 ribu hektare dengan komoditas utama kelapa sawit,
karet, kakao, teh, dan tebu. Sedangkan perkebunan besar swasta mencapai sekitar 1,4 juta
hektare dengan komoditas utama
kelapa sawit, tebu, karet dan teh. Bidang perkebunan keseluruhannya menyerap tenaga
kerja sekitar 5,3 juta orang. Sumbangan PDB subsektor perkebunan pada tahun 1993 mencapai
Rp9.014,8 miliar atau 15,3 persen dari PDB sektor pertanian sebesar Rp58.963,4 miliar, dan
penerimaan ekspor mencapai US$3,3 miliar.
Usaha di bidang peternakan telah dirintis sejak jaman kolonial Belanda antara lain oleh
Dr. J. Merkens yang pada tahun 1923 telah memberikan sumbangan pengetahuan tentang
peternakan domba Garut, sapi Bali, dan ayam Kedu sebagai ternak asli Indonesia.
Untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja ternak guna mendukung perluasan pabrik gula
dalam tahun 1830-1835 dilakukan impor sapi Ongole dari India. Sapi impor ini kemudian
ternyata menimbulkan wabah penyakit ngorok di Jawa Barat serta penyakit mulut dan kuku di
Jawa Timur tahun 1884. Kaum penjajah dalam memenuhi kebutuhan susu melakukan impor sapi
perah pertama kali dari Belanda pada tahun 1891. Pada tahun yang sama dilakukan pula impor
sapi Ongole secara besar-besaran. Lemahnya kelembagaan pada waktu itu menyebabkan
terjadinya persilangan sapi Ongole dengan sapi Frisian Holland yang kemudian dikenal dengan
sapi Grati dengan tingkat produksi susu yang rendah. Pada tahun 1841 dibentuk Dinas
Kehewanan di daerah-daerah dan pada tahun 1905 dibentuk Jawatan Kehewanan Pusat
(Burgelijk Veeartsenijkundige Dienst atau BVD). Pada tahun 1912 timbul penyakit rinder pest
yang telah menyebabkan kematian pada ternak sapi sehingga menimbulkan kerugian yang sangat
besar.
BAB V
AKTOR
1. Aktor/ Pelaku
a. Tokoh-tokoh pejuang bangsa
Anatara lain : Ir. Soekarno, Drs. M. Hatta, Mr. Achmad Soebarja, , Sukarni Kartodiwirjo,
Fatmawati, Sayuti Melik, Prof. Mr. Dr. Soepomo, Radjiman Wedyoningrat, Raden Panji
Soeroso, Mas Sutardjo Kertohadikusumo, KH. Wahid Hasjim, Ki Bagus Hadikusumo
(Anonim,2011).
b. Dipusat ditangani Dinas Perikanan Laut, di daerah oleh Jawatan Penerangan Perikanan
yang kemudian dibentuk Jawatan Perikanan Darat
Menteriperikanan di Indonesia
1. SarwonoKusumaatmaja (1999-2001)
2. RokhminDahuri (2001-2004)
3. Freddy Numberi (2004-2009)
4. Fadel Muhammad (2009-2011)
5. CicipSutardjo (2011-sekarang)
Sebelum ada Kementrian Kelautan dan Perikanan, kendali kebijakan perikanan ada di
bawah perintah Kementrian Pertanian. Terbentuknya Kementrian Perikanan dan Kelautan
pada dasarnya merupakan sebuah tantangan sekaligus peluang pembangunan perikanan
Indonesia .
VISI
Visi pembangunan kelautan dan perikanan adalah pembangunan kelautan dan perikanan
yang berdaya saing dan berkelanjutan untuk kesejahteraan masyarakat.
MISI
Untuk mewujudkan visi pembangunan kelautan dan perikanan tersebut, maka misi yang
Diemban adalah:
MengoptimalkanPemanfaatanSumberDayaKelautandanPerikanan.
MeningkatkanNilaiTambahdanDayaSaingProdukKelautandanPerikanan.
MemeliharaDayaDukungdanKualitasLingkunganSumberDayaKelautandanPerikanan.
TUJUAN
Tujuanpembangunankelautandanperikananadalah:
MeningkatkanProduksidanProduksivitas Usaha KelautandanPerikanan
BerkembangnyaDiversifikasidanPangsaPasarProdukHasilKelautandanPerikanan.
TerwujudnyaPengelolaanSumberDayaKelautandanPerikanansecaraBerkelanjutan.
Pangreh praja
Makna Pangdan Reh merujuk pada kekuataanpenguasa atau pemimpin. Praja sendiri
memiliki arti rakyat kebanyakan, publik, masyarakat atau mereka yang dilayani. Dalam konteks
normatif, istilah Praja identik denganpegawai pemerintahan, pegawai negeri sipil (civil servant).
Istilah ini jelas berbeda dengan kataRaja yang menunjukkan arti sebaliknya, sebagaimana
kecurigaan sebagian masyarakat terhadap istilah Praja yang seakan di didik menjadi Raja di
IPDN Jatinangor. Jadi, kalau diartikan bebas,Pangreh Praja lebih merujuk pada pejabat politik
yang memiliki derajat kekuasaan tertentu. Oleh Pemerintah Belanda, Pangreh Praja diserahi dua
tugas utama, yaitu:
Bisa menciptakan Rest and Orde (keteraturan dan ketenangan) dalam masyarakat.
Indikatornya adalah tingkat kriminalitas seperti pencurian dan perkelahian yang
terjadi dalam masyarakat dibawah kekuasaanya.
Memungut pajak pada masyarakat, semakin besar pendapatan yang bisa dihasilkan
oleh seorang Pangreh, maka dikatakan semakin berhasil kepemimpinannya.
c. Petani dan nelayan
Posisi petani meskipun dalam keseharian sebagai pemilik tanah namun hakekatnya lebih
tepat kalau disebut sebagai penggarap. Petanilah yang mengolah lahan dan mereka mendapatkan
sebagian hasil pertanian sebagai upahnya. Dan raja hampir secara hakekat memiliki posisi
sebagai pemilik tanah. Sebab raja hanya menunggu setoran dari para petani dalam bentuk upeti-
upeti, ibarat pemilik tanah yang menerima hasil tanahnya setelah membayar upah
buruh. Semuanya dilakukan sebagai salah satu bentuk penghormatan rakyat kepada
pemimpinnya yang suci. Ketidakadilan bagi rakyat adalah kewajaran sepanjang itu tidak berat
dipikul. Bagi nelayan pada masa itu dibuatkan suatu koperasi maupun penyuluhan terhadap
nelayan.
Aktor/pelaku Pembangunan Perikanan pada “Reformasi” (1998-2005-2006)
Krisis moneter yang terjadi pada tahun 1997/1998 memberikan pengaruh yang cukup
besar terhadap menurunnya kegiatan usaha perikanan baik dari segi intensitasnya maupun
jumlah unit yang diusahakan.Adapun pelaku dalam pembangunan perikanan pada masa
reformasi sebagai berikut :
Presiden Abdurrahman Wahid, dimulai dengan membentuk Departemen Kelautan dan
Perikanan (DKP).
Presiden B.J. Habibie dengan kebijakan kelautan telah disahkan diantaranya Deklarasi
Bunaken yang dicanangkan tanggal 26 September 1998.
Presiden Megawati Sukarnoputri di Teluk Tomini, Gorontalo membentuk Gerakan
Pembangunan (Gerbang) Mina Bahari tanggal 11 Oktober 2003 telah memberikan
dukungan bagi visi Pembangunan Nasional yang harus juga berorientasi ke laut, sehingga
perhatian harus diberikan untuk segera melaksanakan Pembangunan Kelautan yang
meliputi pengembangan, pemanfaatan dan pemeliharaan potensi sumber daya kelautan
Indonesia.
Presiden SBY menjalankan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan
Ekonomi Indonesia (MP3EI), maka peningkatkan konektivitas antar koridor ekonomi
melalui pembangunan infrastruktur, terus digalakkan yaitu pengembangan pelabuhan laut
dan pelabuhan perikanan di berbagaidaerah di seluruh tanah air.
Menteri DELP( Departemen Eksplorasi Laut Perikanan) yaitu Ir. Sarwono
Kusumaatmaja dan Prof.Dr. Ir. Rokhim Dahuri, M.Si .
Eselon I Perikanan yaitu :
1. Ir, Untung Wahyono, M.Sc
2. Dr. ir. Made L. Nurjanan
3. Dr. Ir. Fathuris Sukardi, M.Sc
Pimpinan nasional para Menteri DKP bersama jajarannya dan peran masyarakat
perikanan nusantara di pusat.
Di daerah provinsi/kabupaten/kota yaitu gubernur/bupati/walikota versama Kadis
perikanan Laut.
Di tingkat kecamatan/desa/kelurahan yaitu camat/kepala desa/lurah bersama kelompok
petani nelayan.
BAB VI
MASALAH
Memasuki Orde Baru, masalah perikanan ditangani secara sungguh-sungguh dan sistematis
sebagai bagian kegiatan pembangunan di bidang pertanian. Usaha di bidang ini berkembang
agak cepat setelah dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman
Modal Asing (PMA) dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal
Dalam Negeri (PMDN).
Pada tahun 1976 telah terdapat 17 buah perusahaan asing yang melakukan penangkapan
ikan di perairan Indonesia dengan jumlah investasi sebesar US$45 juta. Nilai ekspor hasil
perikanan mencapai US$131 juta, yang pada tahun 1968 masih sekitar US$2,8 juta. Akan tetapi
pesatnya pengembangan usaha perikanan tersebut telah menimbulkan dampak negatif, yaitu
nelayan-nelayan kecil hampir tersisih terutama dengan beroperasinya kapal-kapal pukat harimau
(trawl). Untuk melindungi nelayan kecil pada tahun 1976 dikeluarkan ketentuan tentang alur-alur
penangkapan (fishing belt) di seluruh perairan dan penataan kegiatan penangkapan bagi kapal-
kapal pukat harimau. Namun kapal pukat harimau masih tetap melakukan penangkapan ikan
besar dan kecil di perairan yang biasanya menjadi tempat nelayan-nelayan kecil beroperasi,
sehingga acapkali menimbulkan konflik. Akhirnya dengan Keppres, Nomor 39 Tahun 1980
pukat harimau dilarang beroperasi di seluruh perairan teritorial Indonesia.
Usaha perikanan berkembang makin pesat setelah dunia internasional menyepakati
konsepsi Zona Ekonomi Eksklusif 200 mil dari pantai, dan mengakui kedaulatan negara
kepulauan atas perairan di dalam kepulauannya, yang merupakan perjuangan Indonesia
berdasarkan Wawasan Nusantara.
Mengikuti diterimanya hukum laut internasional atau United Nation Convention on the
Law Of the Sea (UNCLOS) pada tahun 1982, diterbitkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1982
tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) yang ditindaklanjuti dengan PP Nomor 15
tahun 1984 tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam Hayati di ZEEI. Dengan diakuinya ZEEI,
luas perairan laut Indonesia yang semula 3,1 juta kilometer persegi bertambah menjadi 5,8 juta
kilometer persegi.
Untuk memberikan landasan hukum bagi pembangunan perikanan dalam rangka
pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya ikan secara optimal dan lestari, sekaligus mengganti
peraturan perundangan perikanan kolonial yang sudah tidak sesuai lagi, diterbitkan Undang-
undang Perikanan Nomor 9 Tahun 1985. Sementara itu kegiatan penangkapan ikan di beberapa
tempat telah menunjukkan tanda-tanda melebihi daya dukung alam, sehingga untuk menjamin
hasil perikanan yang optimum dan lestari, pada tahun 1985 ditetapkan total penangkapan yang
diperkenankan (Total Allowable Catch/TAC).
Sampai saat ini potensi sumber daya perikanan laut Indonesia diperkirakan sekitar 6,7
juta ton per tahun, terdiri atas sekitar 4,4 juta ton di perairan Indonesia dan 2,3 juta ton di
perairan ZEEI. Pemanfaatan potensi sumber daya perikanan di laut secara keseluruhan telah
mencapai sekitar 41 persen. Potensi perairan umum seperti danau, waduk, rawa, sungai, dan
genangan air lainnya mencapai areal sebesar 14 juta hektare, dengan tingkat pemanfaatan sekitar
35 persen. Potensi budidaya tambak adalah sekitar 830 ribu hektare, dengan tingkat pemanfaatan
mencapai 37 persen.
Untuk mendukung pemanfaatan potensi sumber daya perikanan, saat ini telah ada 28 unit
galangan kapal milik swasta dan BUMN yang mampu membuat kapal penangkap ikan berukuran
30-250 GT. Di samping itu, di berbagai daerah di wilayah Indonesia ditemui banyak galangan
kapal tradisional atau perajin-perajin pembuat perahu kayu. Sampai dengan tahun 1993 jumlah
pelabuhan perikanan yang telah dibangun mencapai 32 buah dan pangkalan pendaratan ikan
mencapai 560 buah.
Selama PJP I produksi perikanan telah tumbuh dengan cepat, yaitu dari 1,2 juta ton pada
awal PJP I menjadi 3,8 juta ton pada akhir PJP I. Produksi perikanan laut meningkat sebanyak 4
kali menjadi 2,9 juta ton dengan jumlah kapal 389.498 buah. Produksi ikan budidaya meningkat
5 kali menjadi 574 ribu ton, sedangkan dari perairan umum peningkatannya masih kecil, yaitu
dari 320 ribu ton menjadi 335 ribu ton. Jumlah tenaga kerja yang berkecimpung dalam subsektor
perikanan sekitar 2,1 juta orang. Peningkatan produksi tersebut telah mendorong konsumsi ikan
per kapita per tahun dari 9,96 kg pada tahun 1968 menjadi 17,01 kg pada tahun 1993, serta
mendorong ekspor hasil perikanan dari 21,7 ribu ton pada tahun 1968 menjadi 529,2 ribu ton
pada tahun 1993.
DAFTAR PUSTAKA
Andri, Bayu., Bidari Ayu L., Chikita Ari D., Dian Mustikowati., Dina Anita N.J.2014. Makalah
Demokrasi Pancasila. Yayasan Pendidikan Sragen (Yapenas). Sragen
http://bidariayu92.blogspot.com/2014/01/makalah-demokrasi-pancasila.html. Diakses pada 1
April 2014 pukul 8.52 WIB
Anonim. 2008. Diklat Kepemimpinan. <http://www.bkd.sidoarjokab.go.id/Diklat_Pim.htm>. Diakses pada 28 April 2014.
Anonim.2012. Materi Sistem Perekonomian di Indonesia.
(http://staff.unila.ac.id/sigit/files/2012/08/Sistem-Perekonomian-Indonesia.pdf. Diakses pada 1
April 2014 pukul 8.05 WIB
Booth, A., 2002. Pertumbuhan dan Kemandekan dalam Era Pembangunan Bangsa: Penampilan
Ekonomi Indonesia dari 1950-1965, in Lindblad, J.T. (ed). Fondasi Historis Ekonomi
Indonesia. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Khoirunnisa, Ajeng D, dkk. 2012. Dwifungsi Abri Dalam Sistem Politik Indonesia Pada Masa Pemerintahan Soeharto. <http://mirfana.wordpress.com/2012/06/05/dwifungsi-abri-dalam-sistem-politik-indonesia-pada-masa-pemerintahan-soeharto> .Diakses pada 28 April 2014.
Rahardjo, Dawam.2004. Ekonomi Pancasila Dalam Tinjauan Filsafat Ilmu. Pusat Studi Ekonomi
Kerakyatan - Universitas Gadjah Mada (http://www.ekonomikerakyatan.ugm.ac.id/My
%20Web/sembul12_2.htm. Diakses pada 1 April 2014 pukul 7.43 WIB.
Wie, T.K., 2002. The Soeharto Era and After: Stability, Development and Crisis: 1966-2000, in
Dick, H., et.al (eds.), The Emergence of National Economy: an Economic History of
Indonesia, 1800-2000. Allen and Unwin. Australia.