pandangan jemaat gpib bukit harapan surabaya...
TRANSCRIPT
BAB III
GPIB Bukit Harapan Surabaya dan Pelayanan Diakonia
3.1 Sejarah GPIB Bukit Harapan Surabaya
Gereja GPIB Bukit Harapan Surabaya bermula dari persekutuan doa di asrama tentara
Ketegan di tahun 1961 di mana anggota persekutuannya rata-rata masih berusia muda itu dipakai
oleh Tuhan menjadi alat untuk membangun sebuah gereja agar umat-Nya bisa bersatu dan
bersekutu memuliakan nama-Nya.1 Banyak suka duka yang dialami oleh mereka, kadang ada
gesekan-gesekan akibat perbedaan pendapat yang terjadi di antara mereka, ada tolakan dari
masyarakat setempat, perizinan yang sulit didapat, sangatlah manusiawi kadang mereka merasa
kuatir, kesal, marah dalam penantian yang cukup lama, tetapi di sini kita lihat bahwa Tuhan yang
empunya Gereja tidak membiarkan mereka jalan sendiri, Tuhan ingin mereka bersatu untuk
tujuan mulia itu, Tuhan memberikan hikmat dan pencerahan bagi mereka.
Berdirinya GPIB Bukit Harapan Surabaya sangat unik dan menarik yang jarang ditemui
pada “kelahiran” gereja-gereja lainnya. Jika gereja lain dibangun dari rumah persekutuan doa
atau tempat ibadah yang bersifat bangunan seadanya atau darurat, yang mana bangunan itu
direnovasi, dirombak atau dirobohkan untuk dibangun gedung gereja baru yang lebih besar, atau
membangun gedung gereja baru di sekitar gedung lama dengan meninggalkan atau membangun
gedung yang lama berpindah pada gedung yang baru, tetapi tidaklah demikian yang terjadi pada
GPIB Bukit Harapan Surabaya. Gedung gereja yang baru yaitu GPIB Bukit Harapan dibangun di
tempat yang jauh dari lokasi gedung gereja yang telah ada di Ketegan, dan saat GPIB Bukit
Harapan dilembagakan pada tahun 1988, sektor pelayanan Bambe yang semula di bawah
1 Data Administrasi kantor GPIB Bukit Harapan Surabaya 12 Juli 2012
naungan GPIB Eben-Haezer ikut bergabung di GPIB Bukit Harapan tetapi sampai dengan saat
ini kedua gereja yang lama tetap ada dan tetap digunakan untuk beribadah oleh jemaatnya.
a. Bermula dari persekutuan doa di asrama tentara tahun 1958, ratusan pemuda Toraja
Sulawesi Selatan mendaftar jadi prajurit TNI-AD dengan mengikuti berbagai seleksi di
Palopo Sulawesi Selatan, bagi mereka yang lulus seleksi diberangkatkan mengikuti tes
kesehatan di kota Surabaya, setelah lulus tes kesehatan maka mereka diwajibkan
mengikuti pendidikan di Bondowoso.
b. Tahun 1959, setelah selesai menjalani pendidikan maka mereka ditempatkan di berbagai
kesatuan dan sebagian di antaranya ditetapkan menjadi anggota Arhanud dan
ditempatkan di Markas Arhanud – AD di Jln. Nilam Timur, Perak Surabaya.
c. Pada tahun 1960, Kodam V Brawijaya menempatkan 1 kompi anggotanya dari kesatuan
Batalyon ARHANUD – AD beserta seluruh keluarganya di perumahan Arhanud bekas
perumahan pabrik gula Ketegan – Kecamatan Sepanjang – Kabupaten Sidoarjo. Sebagian
dari prajurit-prajurit muda itu beragama Kristen Protestan dan sebagaian besar dari
padanya berasal dari Tana Toraja (Tator, yang akrab disebut suku Toraja).
Pada saat itu angkutan umum seperti bemo belumlah ada dan jalan belumlah baik seperti
sekarang ini. Jalan Raya Mastrip untuk menuju Surabaya banyak yang rusak dan gelap,
sepeda motor masih langka dipunyai, satu-satunya angkutan umum yang murah dan dapat
diharapkan adalah kereta api uap dengan rute perjalanan dari Sepanjang sampai dengan
Wonokromo pulang pergi, tetapi kereta uap itupun mempunyai jadwal berangkat yang
terbatas, sehingga wilayah Ketegan terasa terasing atau terpencil dari kota besar seperti
Sidoarjo dan Surabaya, dan saat itu gereja protestan hanya ada di sekitar kota Surabaya,
hal yang sulit dijangkau mengingat akan penghasilan prajurit diwaktu itu tidak sebaik
dengan penghasilan prajurit di waktu sekarang ini. Akibat keadaan itu maka prajurit
Kristen yang berdomisili di asrama Ketegan mengalami kesulitan untuk mengikuti
kebaktian di gereja, mereka memikirkan bagaimana dan di mana mereka bisa beribadah
untuk memuji dan memuliakan Tuhan secara bersama? Bagaimana dengan pembinaan
rohani mereka sekeluarga? Bagaimana jika ada sanak keluarga yang menikah? Persoalan-
persoalan itu yang selalu digumulkan dalam doa dan jadi bahan pikiran mereka setiap
hari.
d. Pada tahun 1961, sebanyak 18 KK prajurit muda Kristen penghuni asrama Arhanud
Ketegan yang rata-rata berusia muda antara 20 – 24 tahun. Bersepakat membentuk
Persekutuan Doa dan juga ibadah minggu. Persekutuan Doa diadakan pada sore hari pada
hari yang telah disepakati dirumah anggota yang dilakukan secara bergiliran, dan ibadah
hari minggu dilakukan pada pagi hari di rumah dinas Kel. M.L. Ita atau Kel. Benyamin
Sangpali.
e. Tahun 1962-1963, para prajurit muda itu ditugaskan ke Irian Barat dalam rangka operasi
Mandala, sehingga persekutuan ini menjadi vakum.
f. Tahun 1963, setelah para prajurit ini kembali dari tugas di Irian Barat maka mereka
semakin rindu untuk mengembangkan persekutuan hingga memikirkan untuk
melembagakannya menjadi sebuah gereja, maka persekutuan doa dan kebaktian
minggupun diaktifkan kembali. Karena mayoritas dari mereka adalah dari suku Toraja
maka mereka ingin mendirikan gereja Toraja, tapi pihak DGI (Dewan Gereja Indonesia)
menolak keingin tersebut dengan alasan jumlah jemaat mereka yang masih sedikit dan
izin pendirian gereja kesukuan sudah dihentikan, maka mereka disarankan untuk
bergabung pada gereja Protestan yang sudah ada.
g. Tahun 1964, Ibu Norce Warau isteri dari Praka Soepardi berkenalan dengan seorang Ibu
yang akrab dipanggil Ibu Linsalah seorang anggota jemaat GPIB “Eben-Haezer”
Surabaya, setelah mendengar akan kerinduan ibu Norce Warau, agar kelompok doa
mereka bisa menjadi sebuah gereja atau minimal menjadi bagian dari sebuah gereja
Protestan, maka ibu Lin memperkenalkan ibu Norce Warau kepada Majelis Jemaat GPIB
“Eben-Haezer” Surabaya, di masa itu GPIB Eben-Haezer Surabaya merupakan salah satu
gereja dari 7 gereja yang menjadi wilayah Pelayanan GPIB Maranatha Surabaya. Hasil
perbincangan antara ibu Norce Warau dan Majelis Jemaat GPIB Eben-Haezer adalah
dibuatnya rencana pelayanan ke persekutuan doa di asrama Arhanud – AD di Ketegan –
Sepanjang.
h. Tahun 1985, dalam rapat koordinasi antara PHMJ GPIB Eben-Haezer Surabaya dengan
Majelis Jemaat sektor pelayanan Sepanjang dibicarakan akan apa nama gedung gereja
yang dibangun. Bapak Pdt. R.A. Waney S.Th. yang ikut dalam rapat itu menyarankan
agar memakai nama Bukit Harapan, nama “Bukit” dipertahankan karena menjadi ciri
khas bahwa gereja yang memakai nama Bukit adalah gereja yang dibina, didewasakan
dan dilembagakan oleh GPIB Eben-Haezer, maka semua peserta rapat sepakat bahwa
gereja yang sedang dibangun di Jln Sutedi Senaputra no.38 Karangpilang Surabaya itu
diberi nama gereja “GPIB Bukit Harapan”.
Tahun 1985 pembangunan gedung gereja GPIB Bukit Harapan telah selesai, maka pada
tanggal 8 Desember 1985 dilakukan upacara peresmian penggunaan gedung gereja yang
diresmikan oleh sekretaris Umum Majelis Sinode GPIB yaitu bapak Pdt. Gerson J.
Siahainenia S. Th. yang didamping oleh Ketua Majelis Jemaat GPIB Eben-Haezer
Surabaya yaitu bapak Pdt. R.A. Waney S.Th. Upacara peresmian dan penandatanganan
dokumen-dokumen dilakukan di luar gereja. Maka mulai saat itu gedung gereja GPIB
Bukit Harapan resmi dipakai untuk kegiatan beribadah dan gedung gereja di Ketegan
Sepanjang juga tetap digunakan sebagai gedung gereja sampai saat ini.
3.2 Letak Geografis dan Profil Jemaat GPIB Bukit Harapan Surabaya
3.2.1. Letak Geografis
Pada saat ini GPIB Bukit Harapan Surabaya berada di Jalan Sutedi Senaputra no.38
Surabaya. Ketua Majelis Jemaat di GPIB Bukit Harapan Surabaya Pdt. Ny. Bendelina Matatula –
Leba, S.Th. Secara astronomis, kota Surabaya terletak di antara 112o36’ – 112o54’ Bujur Timur
dan 7o21’ Lintang Selatan.2 Secara geografis, Kota Surabaya di sebelah utara dan timur
berbatasan langsung dengan Selat Madura. Sementara itu, di sebelah selatan Kota Surabaya
berbatasan dengan Kabupaten Sidoarjo dan di sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten
Gresik.
Kota Surabaya terbagi menjadi 31 kecamatan dengan luas wilayah 326,36 km2. Luas
wilayah antar kecamatan sangat bervariasi. Kecamatan terluas adalah Kecamatan Benowo
dengan luas wilayah sebesar 23,72 km2, sedangkan kecamatan yang mempunyai luas wilayah
terkecil adalah Kecamatan Simokerto yang luasnya mencapai sebesar 2,59 km2.
Lebih tepatnya GPIB Bukit Harapan Surabaya adalah di daerah Karangpilang 7°20'19"
lintang selatan 112°41'49" Bujur Timur3. Karangpilang adalah sebuah kecamatan di Kota
Surabaya, kecamatan ini terdiri atas empat kelurahan, yaitu Kedurus, Kebraon, Karang pilang
2 http://surabayakota.bps.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=72:penerimaan-maba-
stis-2010&catid=25:kota-surabaya&Itemid=27 di unduh pada tgl 14 Desember, jam 16.34 3 http://surabayakota.bps.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=72:penerimaan-maba-
stis-2010&catid=25:kota-surabaya&Itemid=27 di unduh pada tgl 14 Desember, jam 16.35
dan Warugunung. Kecamatan Karangpilang terkenal sebagai kawasan industri di Surabaya
Selatan, antara lain pabrik genting yang cukup terkenal4.
3.2.2. Profil Jemaat5
Batas wilayah pelayanan dan rincian anggota jemaat GPIB Bukit Harapan Surabaya
sebagai berikut6:
a. Sektor I: Desa Semambung – Kecamatan Driyorejo Gresik, jumlah Kepala Keluarganya
adalah 78 KK.
Persekutuan Anak: 50 Orang.
Persekutuan Teruna: 13 Orang.
Gerakan Pemuda: 45 Orang.
Persekutuan Kaum Perempuan: 66 Orang.
Persekutuan Kaum Bapak: 52 Orang.
Persekutuan Kaum Lanjut Usia: 27 Orang.
b. Sektor II: Jalan tol Surabaya – Malang terkecuali Asrama Brimob Medaeng jumlah
Kepala Keluarganya adalah 66 KK.
Persekutuan Anak: 43 Orang.
Persekutuan Teruna: 13 Orang.
Gerakan Pemuda: 39 Orang.
Persekutuan Kaum Perempuan: 46 Orang.
Persekutuan Kaum Bapak: 43 Orang.
Persekutuan Kaum Lanjut Usia: 43 Orang.
4 http://id.wikipedia.org/wiki/Karangpilang,_Surabaya di unduh pada tgl 14 Desember 16.47 5 Data Administrasi kantor GPIB Bukit Harapan Surabaya. 6 Data Administrasi kantor GPIB Bukit Harapan Surabaya 12 Juli 2012
c. Sektor III: Perumahan Kebraon – Pondok Maritim, balas kelumprik jumlah Kepala
Keluarganya adalah 96 KK.
Persekutuan Anak: 51 Orang.
Persekutuan Teruna: 20 Orang.
Gerakan Pemuda: 91 Orang.
Persekutuan Kaum Perempuan: 75 Orang.
Persekutuan Kaum Bapak: 63 Orang.
Persekutuan Kaum Lanjut Usia: 42 Orang.
d. Sektor IV: Pertigaan jalan Kedurus, Wiyung sampai ke Menganti jumlah Kepala
Keluarganya adalah 54 KK.
Persekutuan Anak: 23 Orang.
Persekutuan Teruna: 8 Orang.
Gerakan Pemuda: 32 Orang.
Persekutuan Kaum Perempuan: 41 Orang.
Persekutuan Kaum Bapak: 36 Orang.
Persekutuan Kaum Lanjut Usia: 30 Orang.
e. Sektor V: Wisma Trosobo – Sukodono jumlah Kepala Keluarganya adalah 122 KK.
Persekutuan Anak: 50 Orang.
Persekutuan Teruna: 13 Orang.
Gerakan Pemuda: 45 Orang.
Persekutuan Kaum Perempuan: 66 Orang.
Persekutuan Kaum Bapak: 52 Orang.
Persekutuan Kaum Lanjut Usia: 27 Orang.
Dengan pembagian warga jemaat ke dalam sektor-sektor tersebut, diharapkan akan
mempermudah gereja dalam melakukan pelayanan diakonia bagi jemaat. Seperti contohnya,
pada waktu natal pengurus Persekutuan Anak (PA) dan anak-anak PA melakukan dan
memberikan pelayanan diakonia kepada anak-anak yang bertempat tinggal disekitar gereja
dengan cara memberikan peralatan sekolah dan snack. Persekutuan Teruna (PT) dan Gerakan
Pemuda (GP) belum ada gagasan atau program untuk melakukan pelayan diakonia. Sedangkan
Persekutuan Kaum Perempuan (PKP), Persekutuan Kaum Bapak (PKB), dan Persekutuan Kaum
Lanjut Usia (PKLU) sudah melakukan pelayanan diakonia, yang dibentuk untuk membantu
warga jemaat yang lemah dalam bidang ekonomi, contohnya: janda dan duda, mengunjungi
orang sakit, orang meninggal dan Samaritan.
Pembagian batas wilayah pelayanan tersebut bertujuan juga supaya anggota majelis
jemaat yang telah dipilih oleh jemaat di sektor tersebut, mudah mengkoordinasi anggota jemaat
yang ada di wilayah sektor tersebut. Dengan mudahnya koordinasi yang terjadi maka kegiatan
pelayanan diakonia akan lebih bisa dilakukan secara efektif.
3.3. Diakonia di GPIB Bukit Harapan Surabaya
Gereja tidak hanya diperhadapkan dengan hal yang konkrit dan tidak hanya abstrak.
Gereja tidak dapat berkarya secara abstrak saja, seperti berteologi atau berurusan terus-menerus
pengetahuan tentang Allah. Gereja lahir dan tumbuh tidak terlepas dari hakekatnya untuk
melayani sesama dalam arti menjawab pergumulan yang sedang di hadapi manusia. Gereja
dalam dirinya sendiri menyadari akan adanya tugas panggilan di tengah-tengah dunia ini
sepanjang zaman. Pada dasarnya pelayanan adalah membagikan hak yang disediakan Tuhan bagi
setiap orang baik lahir maupun batin. Pelayanan didasari oleh satu kesadaran bahwa oleh Tuhan
setiap insan yang lahir dan hidup di dunia ini diberi hak dan bekal untuk hidup, serta kewajiban
dan tanggung jawab yang sama dengan yang lain.
Pada dasarnya kehidupan manusia tidak lepas dari keterbatasan dan ketergantungan,
sehingga di dalam kehidupan manusia tersebut terjadilah interaksi timbal-balik antar manusia,
yang saling menopang dan mengatasi keterbatasannya. Dalam kenyataan yang lebih konkret,
pelayanan merupakan suatu kesadaran etis dari manusia yaitu bahwa dirinya secara langsung
maupun tidak langsung hidup dari orang lain, dengan orang lain dan untuk orang lain. Oleh
sebab itu dalam pelayanan tersebut terkandung rasa tanggung jawab dan perhatian terhadap
keberadaan dan kesejahteraan hidup orang lain.
GPIB Bukit Harapan Surabaya adalah salah satu gereja yang juga memperhatikan
masalah kemiskinan, hal kongkrit dari bentuk perhatian GPIB Bukit Harapan Surabaya terhadap
masalah kemiskinan ini adalah program-program diakonia yang dibentuk untuk membantu warga
jemaat yang lemah dalam bidang ekonomi, contohnya: janda dan duda, mengunjungi orang sakit,
orang meninggal dan Samaritan.7 Orang-orang yang kekurangan atau butuh perhatian dari gereja
bukan berarti menjadi obyek gereja, tetapi orang-orang ini menjadi partner bagi gereja dalam
memberitakan Firman Tuhan melalui pelayanan. Sehingga orang-orang ini menjadi pembawa
misi memberitakan Firman Tuhan.
Diakonia adalah suatu sikap tindakan yang menunjukkan Kasih Tuhan dalam kehidupan
bermasyarakat atau berumat secara kehidupan sosial, dalam bentuk kesaksian atau bersaksi akan
7 Hasil wawancara dengan Pnt. Iva Yuniwati, 16 Agustus 2012
hidup yang saling memeperhatikan antara umat yang satu dengan umat yang lainnya. Hal
tersebut bertujuan supaya aspek diakonia menjadi milik bersama untuk dikembangkan tanpa ada
unsur politis dan keuntungan hidup. Dengan sikap hidup dan tindakan tersebut akan menjadikan
kita untuk saling hidup bersama-sama dalam pelayanan kita ditengah-tengah dunia ini, sehingga
dapat saling mencintai dan mengasihi sesama manusia sebagai makhluk sosial yang saling
peduli. Konsep iman di dalam pelayanan akan membentuk satu di dalam kebersamaan yang
diikat dengan Kasih Allah untuk mewujudkan kerajaan Allah ditengah dunia.
Masyarakat miskin yang telah tertindas secara material dan struktural membutuhkan
sebuah perubahan didalam hidupnya. Hal ini bukan berarti bahwa gereja kemudian hanya
memberi sekedar bantuan kepada masyarakat miskin dan kemudian meninggalkan mereka. Hal
tersebut akan memunculkan sebuah ketergantungan yang dapat menyebabkan masyarakat miskin
tidak dapat mandiri. Akan tetapi gereja dipanggil untuk menjadikan masyarakat miskin sebagai
rekan sekerja dalam diakonia yang dilaksanakan.
Diakonia yang dilakukan oleh gereja jangan sampai terjebak pada suatu konsep bekerja
untuk orang miskin melainkan haruslah mengarah pada konsep bekerja sama orang miskin.
Konsep bekerja sama orang miskin ini tentu saja berangkat dari dasar solidaritas yang
mempunyai pengertian tidak terbatas pada pemberian melainkan solidaritas di sini berarti
tindakan yang di dorong oleh keharusan untuk berbuat semaksimal mungkin demi menolong
orang lain tanpa harus mempunyai terlebih dahulu kemudian diberikan.
Diakonia di GPIB Bukit Harapan Surabaya adalah kegiatan-kegiatan diakonia baik dalam
komperehensif (yang berdampak pada jangka panjang), maupun karitatif yang bersifat
pertolongan langsung yang dilakukan didalam jemaat maupun dimasyarakat. Diakonia
merupakan salah satu visi dan misi GPIB di mana melalui visi-misi dan tema tahunan GPIB
mengutamakan perhatian kepada kaum miskin dan tertindas. Dan di dalam GPIB Bukit Harapan
Surabaya juga adanya khotbah-khotbah dan pengajaran di gereja yang membuat jemaat memiliki
kesadaran dan kepedulian terhadap sesama yang membutuhkan sehingga jemaat memberikan
bantuan bagi kegiatan diakonia yang dilakukan didalam gereja.8 Di sini jemaat sendiri juga
berperan aktif dalam memberikan masukan dalam pembuatan program diakonia.
Jemaat GPIB Bukit Harapan Surabaya mayoritas mempunyai pandangan bahwa diakonia
perlu dilakukan untuk membantu sesamanya yang berkekurangan dan ingin mewujud nyatakan
kasih yang telah Yesus ajarkan. Sehingga jemaat cukup mengetahui apa itu diakonia sesuai
dengan perjalanan dan perkembangannya. Dan juga cukup memahami apa yang menjadi masalah
yang sedang di rasakan oleh anggota jemaatnya, dilihat dari pekerjaan, segi ekonomi, dan lain-
lain.
Pada perjalanannya diakonia selalu mengalami perubahan sesuai atau mengikuti
perubahan nilai-nilai dan keadaan sosial yang terjadi di dalam jemaat. Pada awalnya diakonia
yang dikenal oleh jemaat hanyalah diakonia yang sebatas memberi makanan, uang, pakaian
ataupun materi-materi lainnya untuk memenuhi sebagian kecil dari sekian banyak kebutuhan
pokok manusia (orang miskin) dan bersifat insidental. Diakonia ini dikenal dengan diakonia
karitatif.9
Kemudian berkembang pada pemikiran bahwa jangan memberi roti kepada mereka yang
lapar, karena besok mereka akan datang kembali untuk meminta roti, tetapi berikanlah mereka
pancing atau cangkul agar mereka bisa mengusahakan apa yang mereka butuhkan secara
mandiri.10 Diakonia ini dikenal dengan diakonia reformatif, atau dengan kata lain diakonia yang
mendidik orang untuk lebih mandiri. Namun diakonia ini dinilai oleh para pakar atau pemikir
8 Hasil wawancara dengan Pnt. S.A.L. Gerrit 19 Agustus 2012 9Josef. P. Widyatmadja, Diakonia Sebagai..., 109-112 10Ibid, 113
masalah kemanusiaan tidak cukup menyentuh akar dari permasalahan kemiskinan, karena
bagaimana mungkin mengusahakan kebutuhan hidup mereka secara mandiri jika lahan (laut dan
tanah) untuk mencari makan dan penghidupan sudah dikuasai oleh mereka yang memiliki modal
atau kapitalis. Diakonia reformatif dianggap juga tidak cukup menyentuh masalah kemiskinan.
Diakonia yang kemudian berkembang pada masa kini adalah diakonia transformatif, yang
tidak hanya sekedar memandirikan seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya tetapi lebih
kepada membuka mata pikiran mereka akan hak-hak hidup yang patut mereka dapatkan secara
bebas seperti tanah, laut dan sumber daya alam lainnya.11 Diakonia ini mendewasakan mereka
untuk dapat menikmati segala akses kehidupan yang seharusnya bisa mereka dapatkan secara
bebas dan mengusahakannya sendiri. Jadi dengan kata lain diakonia ini membantu mereka yang
terbelenggu rantai kemiskinan untuk membuka mata pikiran mereka akan struktur kemiskinan
yang selama ini dibuat oleh penguasa-penguasa modal yang menguasai hampir seluruh sumber
daya alam yang ada, agar pemerataan dapat terjadi dan semua orang berhak menikmati atau
mengolah sumber daya alam yang sudah tersedia. Inilah diakonia yang dianggap tepat untuk
membantu si miskin keluar dari ruang kemiskinnannya.
Model diakonia karitatif sangat terlihat dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan di GPIB
Bukit Harapan Surabaya. Hal tersebut dapat dilihat dari bentuk hubungan yang terjalin antara
penerima diakonia dengan komisi diakonia yang masih bersifat subyek-obyek, arah program
yang dilaksanakan masih mengarah pada individu-individu dampak yang dihasilkan dari
penerima masih bersifat jangka pendek dan karena diakonia karitatif lebih mengarah pada
pemberian bantuan uang dan barang menyebabkan dana yang dibutuhkan atau diperlukan sangat
besar. Model diakonia yang dilaksanakan di GPIB Bukit Harapan Surabaya menyentuh pada
11Ibid, 114
individu-individu (belum mengarah pada suatu kelompok masyarakat miskin), dengan dampak
yang dihasilkan bagi penerima jangka pendek.
Proses pembinaan yang dilakukan oleh gereja kepada penerima diakonia ini juga masih
bersifat sebuah pembinaan spiritual belum mengarah pada pembinaan keterampilan. Pemberian
beasiswa kepada anak-anak berprestasi yang berasal dari keluarga yang tidak mampu dan
pemberian pelayanan kesehatan di mana tenaga-tenaga trampil yang berasal dari jemaat GPIB
Bukit Harapan Surabaya mulai diperbantukan. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa GPIB
Bukit Harapan Surabaya masih belum secara maksimal melakukan usaha pembebasan orang-
orang yang mengalami ketidakadilan (bukan hanya miskin materi).
Jika melihat pada model diakonia yang dilaksanakan, konsep diakonia yang dilaksanakan
di GPIB Bukit Harapan Surabaya masih merupakan diakonia yang berlandaskan pada pelayanan
kasih. Diakonia yang dilaksanakan oleh GPIB Bukit Harapan, yang menjadi ciri khas dari gereja
ini adalah program Samaritan.
3.3.1. Program Samaritan.
Yang menarik di GPIB Bukit Harapan Surabaya adalah ada sebuah kegiatan yang menjadi
ciri khas dari Gereja GPIB Bukit Harapan Surabaya yaitu Samaritan12. Dalam pelaksanaannya
bantuan yang diberikan kepada warga jemaat tidak memandang status sosialnya. Dan yang
berhak mendapatkan bantuan dari Samaritan ini adalah anggota jemaat yang tercatat sah sebagai
jemaat GPIB Bukit Harapan, dan menjalani rawat inap minimal 4 malam 5 hari di rumah sakit
atau puskesmas didaerah manapun juga, akibat sakit-penyakit maupun akibat kecelakaan13.
Maksudnya bagi yang dirawat inap dirumah sakit atau puskesmas di luar kota atau luar
Surabaya, harus memenuhi berbagai persyaratan seperti: Menyerahkan kwintasi rawat inap dari
12 Hasil wawancara dengan Ibu Suhartini, 18 Agustus 2012 13 Buku Petunjuk Pelaksanaan Program Samaritan, Surabaya 2011, hlm 2.
rumah sakit. Seorang warga jemaat (yang dimaksud dengan seorang warga jemaat adalah
seorang pribadi yang bernama sama dari sebuah KK jemaat GPIB Bukit Harapan Surabaya).
Jemaat GPIB Bukit Harapan mendapatkan bantuan Samaritan maksimal dua kali dalam
satu tahun periode anggaran GPIB Bukit Harapan yang dimulai dari tanggal 1 April sampai
dengan 31 Maret tahun berikutnya, dan tanggal yang diperhitungkan adalah tanggal awal saat
masuk rawat inap. Besarnya bantuan dari komisi Samaritan yang diberikan kepada warga jemaat
yang membutuhkan adalah Rp. 1.000.000,- (Satu Juta Rupiah) setiap kejadian rawat inap di
rumah sakit atau puskesmas, dan besarnya bersifat tetap tidak tergantung dari berapa besar atau
berapa kecilnya biaya rawat inap yang diperlukan.14
Tetapi apabila ada warga jemaat yang mengembalikan dana program dengan
pertimbangan bahwa dia mampu atau dibiayai oleh kantor atau asuransi, maka dana itu akan
dimasukkan kembali pada kas jemaat atau kas Samaritan sesuai dengan permintaan jemaat yang
bersangkutan.15 Sebagai bentuk tangung jawabnya atas dana iuran seluruh jemaat maka komisi
Samaritan diberi hak untuk melakukan pemeriksaaan terhadap kebenaran dari jemaat yang
menjalani rawat inap di rumah sakit atau klinik16. Dan apabila ada jemaat yang sakit telah keluar
dari rumah sakit bantuan Samaritan tetap diberikan kepada yang bersangkutan, asalkan yang
bersangkutan menjalani rawat inap minimal selama empat malam lima hari dan pada saat masuk
rumah sakit telah memberitahukan kepada koordinator sektor masing-masing17. Bantuan dana ini
diberikan setelah hari ke lima yang bersangkutan masuk rumah sakit untuk menjalani rawat
inap, paling lambat empat hari setelah komisi Samaritan di beritahukan18. Pada setiap awal bulan
14 Ibid, hlm 3 15 Hasil wawancara dengan Ibu Wowor, 20 Agustus 2012 16 Buku Petunjuk Pelaksanaan Program Samaritan, Surabaya 2011, hlm 4. 17 Buku Petunjuk Pelaksanaan Program Samaritan, Surabaya 2011, hlm 3. 18 Ibid, hlm 4.
Juli, Nopember dan Maret Komisi Samaritan memberikan laporan tertulis perihal kegiatan dan
keuangan komisi Samaritan pada PHMJ GPIB Bukit Harapan Surabaya.