panduan pengguna untuk sektor pertanian dan perkebunan · tabel 7. luas lahan dan nilai produksi...
TRANSCRIPT
Panduan Pengguna Untuk
Sektor Pertanian dan Perkebunan
Indonesia 2050 Pathway Calculator
1
Daftar Isi
1. Ikhtisar Pertanian dan Perkebunan Indonesia .................................................................................. 3
2. Asumsi ............................................................................................................................................. 9
3. Metodologi .................................................................................................................................... 11
4. Hasil Pemodelan ............................................................................................................................ 15
5. Referensi ....................................................................................................................................... 19
2
Daftar Tabel
Tabel 1. Konsumsi kalori dunia dalam kkal/org/hari ................................................................................. 4
Tabel 2. Perkembangan konsumsi per kapita per hari .............................................................................. 5
Tabel 3. Luas lahan pertanian Indonesia .................................................................................................. 6
Tabel 4. Produktivitas pertanian Indonesia .............................................................................................. 6
Tabel 5 . Luas areal hortikultura Indonesia ............................................................................................... 7
Tabel 6. Nilai produksi hortikultura Indonesia .......................................................................................... 8
Tabel 7. Luas lahan dan nilai produksi perkebunan Indonesia .................................................................. 9
Daftar Gambar
Gambar 1. Tren peningkatan konsumsi kalori dunia................................................................................. 4
Gambar 2. Proyeksi konsumsi kalori Indonesia ...................................................................................... 15
Gambar 3. Proyeksi luas pertanian Indonesia ........................................................................................ 16
Gambar 4. Proyeksi luas perkebunan non-sawit Indonesia .................................................................... 17
3
Pendahuluan
Panduan Pengguna (User Guide) ini ditujukan bagi para pengguna Indonesia 2050 Pathway Calculator,
khususnya pada sektor Pertanian dan Perkebunan. Terdapat empat bagian dalam Panduan Pengguna ini;
Pertama, bagian Ikthisar berisi informasi-informasi dasar mengenai pertanian dan perkebunan yang
berguna sebagai pengantar untuk memahami perubahan luas lahan, produksi, dan produktivitas
tanamannya di Indonesia. Kedua, acuan asumsi data-data yang dipergunakan untuk dasar perhitungan
akan disajikan pada bagian Asumsi. Ketiga, bagian Metodologi kemudian berisikan persamaan
perhitungan dan level-level yang akan dipergunakan. Terakhir, Hasil Pemodelan akan mempresentasikan
proyeksinya mengenai permintaan pangan, luas lahan pertanian, produktivitas pertanian, luas
perkebunan selain kelapa sawit, dan produktivitas perkebunan selain kelapa sawit hingga tahun 2050.
1. Ikhtisar Pertanian dan Perkebunan Indonesia
Usaha pertanian yaitu usaha bercocok tanam dalam rangka pemenuhan kebutuhan kalori dari makanan
untuk mendukung kehidupan manusia. Pertanian merujuk pada usaha bercocok tanam tujuh tanaman
pangan pokok (padi, jagung, dll) sementara perkebunan mengacu pada berbagai komoditi non-pangan
pokok (karet, kopi, dll). Pertumbuhan permintaan kalori ini disertai dengan laju pertumbuhan penduduk
Indonesia sehingga berpengaruh pada peningkatan kebutuhan luas lahan pertanian. Pada saat yang
bersamaan, pertumbuhan kebutuhan lahan pertanian ini akan mempengaruhi kontribusi emisi dari
sektor pertanian Indonesia yang disebabkan oleh perubahan tutupan lahan.
4
Gambar 1. Tren peningkatan konsumsi kalori dunia
(sumber: Alexandratos & Bruinsma 2012, hal. 24)
Menurut BPS (2015), konsumsi kalori rata-rata penduduk Indonesia 10 tahun terakhir cenderung stabil
antara 1800 hingga 2200 kalori per hari. Namun demikian, Alexandratos dan Bruinsma (2012)
menunjukkan bahwa di seluruh dunia terdapat kecenderungan peningkatan konsumsi kalori (hal. 23-24).
Pada Gambar 1 dan Tabel 1 dapat dilihat bahwa tren fluktuatif pada beberapa dekade diiringi
kecenderungan naik jangka panjang Indonesia dalam data BPS dapat dikatakan serupa dengan tren
kategori Asia Selatan (India, Pakistan, Bangladesh, dll) oleh Alexandratos dan Bruinsma (2012). Dengan
demikian, data dan proyeksi studi Alexandratos dan Bruinsma dapat dijadikan sebagai referensi proyeksi
konsumsi kalori Indonesia di masa depan.
Tabel 1. Konsumsi kalori dunia dalam kkal/org/hari
Sumber: Alexandratos & Bruinsma 2012, hal. 23
Asupan kalori rakyat Indonesia berasal dari sumber nabati dan hewani. Di satu sisi, menurut BPS (2011)
sekitar 48% asupan kalori rakyat Indonesia didominasi oleh padi-padian (hal. 24). Di sisi lain, data BPS
tersebut juga menunjukkan bahwa konsumsi daging merah Indonesia masih sangat kecil dibandingkan
dengan sumber nabati lain seperti hasil laut ataupun konsumsi daging ayam dan telur (hal. 27). Selain
itu, data tersebut juga menunjukkan bahwa sebagian besar pemasukan kalori masyarakat Indonesia
5
cenderung berasal dari sumber nabati. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya sektor pertanian dalam
kehidupan bangsa Indonesia.
Tabel 2. Perkembangan konsumsi per kapita per hari
Sumber: BKP 2011, hal 17
Sejalan dengan peningkatan kebutuhan kalori, pertumbuhan luas lahan pertanian Indonesia penting
diperhatikan karena hal ini sangat berpengaruh terhadap tingkat ketersediaan pangan maupun potensi
emisi karena perubahan tata guna lahan. Luas riil lahan pertanian Indonesia saat ini dapat dilihat pada
Tabel 3 di bawah. Dalam tabel tersebut terlihat bahwa walau ada kecenderungan penurunan luas total
lahan pertanian, luas sawah mengalami tren peningkatan. Pada saat yang bersamaan, Tabel 4
menunjukkan bahwa produktivitas sektor pertanian Indonesia cenderung meningkat.
6
Tabel 3. Luas lahan pertanian Indonesia
Sumber: Pusdatin 2013, hal. 4
Tabel 4. Produktivitas pertanian Indonesia
Sumber: BPPP 2011, hal. 4
7
Tabel 5 . Luas areal hortikultura Indonesia
Sumber: BPPP 2011, hal. 59
Sementara itu, Tabel 5 diatas dan Tabel 6 dibawah menunjukkan bahwa baik luas areal maupun
produksi hortikultura Indonesia cenderung meningkat. Namun demikian, tren produktivitas hortikultura
masih harus diperhatikan karena kedua tabel tersebut menunjukkan bahwa peningkatan luas tidak
langsung menghasilkan peningkatan produksi yang setara.
8
Tabel 6. Nilai produksi hortikultura Indonesia
Sumber: BPPP 2011, hal. 59
9
Tabel 7. Luas lahan dan nilai produksi perkebunan Indonesia
Sumber: BPPP 2011, hal. 13
Selanjutnya, Tabel 7 diatas menunjukkan data luas dan produksi sektor perkebunan Indonesia.
Berdasarkan data tersebut, setelah kelapa sawit, kelapa dan karet adalah tanaman perkebunan dengan
luas lahan dan produksi terbesar. Dari tabel tersebut terlihat juga bahwa beberapa komoditas seperti
tembakau dan kopi mengalami pertumbuhan negatif baik dalam pengurangan luas lahan maupun
produksi. Pada pemodelan I2050PC, komoditas kelapa sawit dipisahkan dari komoditas-komoditas
lainnya karena secara historis perkembangan luas dan produktivitas kelapa sawit jauh lebih besar dan
lebih cepat.
2. Asumsi
Untuk menghitung potensi emisi sektor pertanian Indonesia pada tahun 2050, laju pertumbuhan
penduduk Indonesia akan disesuaikan dengan hasil perhitungan kalkulator I2050PC sektor energi dan
industri. Selain itu, produktivitas pertanian akan diperhitungkan secara pro-rata sesuai dengan pola
konsumsi pangan masyarakat Indonesia (BPS 2011, hal. 27). Selanjutnya, pembuatan skenario
perubahan luas lahan pertanian dan perkebunan pada masa yang akan datang menunjukkan
kecenderungan pertambahan luas selaras dengan data outlook pertanian (BPPP 2011, hal 33, 35, 38, 45,
47, 51). Walaupun demikian, hasil pembahasan dalam stakeholder consultation menghasilkan beberapa
poin penting seperti ketidakpastian luas dan intensitas dampak perubahan iklim dan kesulitan
10
memprediksi secara akurat proyeksi jangka panjang. Oleh karena itu, para pemangku kebijakan
cenderung lebih setuju dengan kemungkinan-kemungkinan dimana luas total pertanian dan perkebunan
Indonesia akan bertambah dengan cukup signifikan seiring dengan pertumbuhan penduduk dan
meningkatnya permintaan akan pangan.
Sementara itu, serupa dengan asumsi yang digunakan dalam sektor tata guna lahan yang lain, nilai AGC
yang akan digunakan untuk menghitung emisi dari sektor pertanian dan perkebunan akan menggunakan
referensi BAPPENAS (2015). Pembukaan lahan baru akan diambil dari hutan primer dengan AGC 195,4
ton/ha dan reboisasi hasil pengurangan luas lahan akan menjadi hutan sekunder dengan AGC 169,7
ton/ha. Selanjutnya, dengan asumsi bahwa nilai AGC untuk berbagai jenis perkebunan bersifat uniform,
maka nilai AGC untuk berbagai perkebunan selain kelapa sawit adalah 63 ton/ha. Untuk nilai AGC
pertanian, diasumsikan bahwa nilai yang digunakan adalah nilai pertanian lahan kering tunggal, bukan
nilai pertanian lahan kering campur, yaitu sebesar 10 ton/ha.
Selain itu, pembahasan dalam stakeholder consultation menunjukkan bahwa ada banyak permasalahan
dengan menetapkan nilai luasan areal pertanian yang tepat. Selain sifat pertanian Indonesia yang masih
bergantung pada permintaan pasar, produk-produk yang ditanam pun mungkin dipanen lebih dari sekali
dalam setahun tergantung varian apa yang ditanam dan lokasi maupun metoda penanaman yang
digunakan. Oleh karena itu, model ini akan menyatukan nilai luas pertanian dan hortikultura karena
petani seringkali akan menanam produk-produk pertanian dan hortikultura secara bergantian pada
tahun yang sama. Selanjutnya, daripada menggunakan nilai luas panen dan produktivitas dari BPPP
model ini akan menggunakan data luas riil pertanian dari PUSDATIN dan model ini akan menghitung
luasan lahan tidur yang terus mengecil sebagai lahan yang sudah dikategorikan sebagai lahan pertanian
tapi belum digunakan untuk produksi pertanian saat ini. Mengingat banyaknya tumpang tindih antara
berbagai ijin tata guna lahan dengan lahan alokasi hutan, maka untuk saat ini model I2050PC akan
menganggap bahwa penggunaan lahan tidur berarti mengubah tutupan hutan menjadi lahan pertanian
seperti apa yang terjadi pada sektor-sektor lain ketika mereka membuka lahan baru. Bila pada masa
yang akan datang tersedia sumber data yang lebih koheren, maka tentunya hal ini dapat diperbaiki
sehingga model akan dapat menghasilkan simulasi perubahan lahan dan potensi emisi yang lebih akurat.
11
3. Metodologi
Terdapat beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam pembuatan sebuah model kalkulator seperti
yang dirancang dalam I2050PC. Selain ease of use dan user-friendliness, lever-lever yang dibuat juga
perlu menjelaskan pada pengguna, khususnya pengguna awam, tentang bagaimana pilihan-pilihan
kebijakan yang disajikan dapat mempengaruhi emisi dari sektor pertanian dan perkebunan. Maka dari
itu, berdasarkan kesesuaian dengan metoda BAPPENAS, latar belakang sektor, asumsi-asumsi yang
dipergunakan, hasil pembahasan dalam stakeholder consultation, maupun pertimbangan kemudahan
pemahaman dan penggunaan model nantinya, penyusun menyarankan agar emisi sektor pertanian dan
perkebunan dihitung menggunakan luas penggunaan lahan dan perubahan kandungan karbon atas
tanah yang terjadi sebagai akibat dari penggunaan lahan tersebut.
Pendekatan ini dapat disederhanakan menjadi persamaan sebagai berikut:
Emisi = Luas Area x Kandungan Karbon
atau
E = A x AGC
dimana
E = Emisi (dalam ton CO2eq)
A = Luas Area (dalam hektar atau ha)
AGC = Kandungan karbon diatas tanah (dalam ton CO2eq per hektar)
Selanjutnya, berdasarkan pemaparan latar belakang dan asumsi di atas dalam stakeholder consultation,
maka disetujui bersama bahwa proyeksi permintaan pangan Indonesia kedepannya dapat
dipresentasikan menjadi empat level yaitu:
Level 1
Level 1 mengasumsikan tingkat konsumsi pangan Indonesia pada tahun 2050 akan mengejar tingkat
konsumsi negara maju saat ini yaitu 3250 kkal/org/hari. Hal ini dapat saja terjadi bila ada perubahan
drastis dalam pola konsumsi masyarakat Indonesia.
Level 2
Level 2 mengasumsikan tingkat konsumsi pangan Indonesia pada tahun 2050 akan mencapai tingkat
konsumsi negara-negara Asia Timur saat ini yaitu 2750 kkal/org/hari. Hal ini mungkin terjadi melihat
tingginya laju peningkatan konsumsi negara-negara yang berkembang pesat seperti Tiongkok dan Brazil.
12
Level 3
Level 3 mengasumsikan tingkat konsumsi pangan Indonesia pada tahun 2050 akan meningkat menjadi
2500 kkal/org/hari. Skenario ini sangat mungkin terjadi bila pertumbuhan ekonomi dan akses pangan
Indonesia terus berkembang dengan laju yang ada saat ini.
Level 4
Level 4 mengasumsikan tingkat konsumsi pangan Indonesia pada tahun 2050 hanya akan mencapai
2250 kkal/org/hari. Hal ini masih mungkin terjadi bila pertumbuhan ekonomi Indonesia pada masa yang
akan datang tidak terlalu mempengaruhi pola konsumsi pangan masyarakat Indonesia.
Sementara untuk luas pertanian, perubahan yang dapat terjadi antara lain:
Level 1
Level 1 mengasumsikan luas efektif pertanian Indonesia pada tahun 2050 akan meningkat dua puluh
persen (20%) dari tingkat 2011. Hal ini mungkin terjadi karena peningkatan pengunaan lahan tidur
karena meningkatnya kebutuhan pangan dan lapangan pekerjaan seiring pertumbuhan penduduk
Indonesia.
Level 2
Level 2 mengasumsikan luas efektif pertanian Indonesia pada tahun 2050 meningkat sepuluh persen
(10%) dari tingkat 2011. Hal ini mungkin terjadi apabila rancangan kebijakan-kebijakan yang ada
mendorong ekstensifikasi pertanian.
Level 3
Level 3 mengasumsikan luas efektif pertanian Indonesia pada tahun 2050 tetap pada tingkat luasan
tahun 2011. Hal ini dapat dicapai apabila kebijakan-kebijakan yang disusun pada masa mendatang dapat
mengoptimalkan penggunaan lahan yang ada.
Level 4
Level 4 mengasumsikan luas efektif pertanian Indonesia pada tahun 2050 berkurang sepuluh persen (-
10%) dibandingkan tahun 2011. Hal ini dapat dicapai apabila kebijakan-kebijakan yang disusun
mendukung optimalisasi tata guna lahan dan juga mengurangi permintaan untuk lahan pertanian.
13
Perbaikan sistem peruntukan status kawasan dan penetapan RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) yang
konsisten akan sangat membantu.
Selanjutnya, produktivitas pertanian Indonesia diproyeksikan sebagai berikut:
Level 1
Level 1 mengasumsikan produktivitas pertanian Indonesia pada tahun 2050 berkurang sepuluh persen (-
10%) dibandingkan tahun 2011. Hal ini dapat terjadi bila tidak ada kebijakan yang dengan serius
mengurangi kerentanan sektor pertanian Indonesia dari dampak-dampak perubahan iklim.
Level 2
Level 2 mengasumsikan produktivitas pertanian Indonesia pada tahun 2050 tidak berubah dibandingkan
tahun 2011. Hal ini sangat mungkin terjadi bila semua kebijakan yang ada hanya dapat mengimbangi
dampak negatif perubahan iklim pada sektor pertanian Indonesia.
Level 3
Level 3 mengasumsikan produktivitas pertanian Indonesia pada tahun 2050 meningkat sepuluh persen
(10%) dibandingkan tahun 2011. Tingkat produktivitas ini dapat dicapai melalui rancangan kebijakan-
kebijakan yang mendorong investasi pada penelitian dan pengembangan produktivitas pertanian.
Level 4
Level 4 mengasumsikan produktivitas pertanian Indonesia pada tahun 2050 meningkat dua puluh persen
(20%) dibandingkan tahun 2011. Perbaikan ini dapat dicapai melalui rancangan kebijakan-kebijakan yang
mendorong peneliian dan pengembangan beserta investasi infrastruktur pemrosesan dan distribusi hasil
pertanian yang berpihak.
Sementara itu, perubahan luas perkebunan selain kelapa sawit di Indonesia diproyeksikan menjadi:
Level 1
Level 1 mengasumsikan luas perkebunan Indonesia pada tahun 2050 akan meningkat dua puluh persen
(20%) dari tingkat 2011. Hal ini mungkin terjadi karena peningkatan permintaan untuk komoditi dan
lapangan pekerjaan.
14
Level 2
Level 2 mengasumsikan luas perkebunan Indonesia pada tahun 2050 akan meningkat sepuluh persen
(10%) dari tahun 2011. Hal ini mungkin terjadi apabila rancangan kebijakan-kebijakan yang ada
mendorong ekspansi lahan perkebunan Indonesia.
Level 3
Level 3 mengasumsikan luas perkebunan Indonesia pada tahun 2050 tidak berubah dibandingkan tahun
2011. Hal ini dapat dicapai apabila kebijakan-kebijakan yang disusun pada masa mendatang dapat
mengoptimalkan penggunaan lahan yang ada.
Level 4
Level 4 mengasumsikan luas perkebunan Indonesia pada tahun 2050 berkurang sepuluh persen (-10%)
dibandingkan tahun 2011. Hal ini dapat dicapai apabila kebijakan-kebijakan yang disusun mendukung
optimalisasi tata guna lahan dan juga mengurangi permintaan untuk pembukaan lahan baru. Penentuan
status kawasan dan RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) yang konsisten akan sangat membantu.
Kemudian perubahan produktivitas perkebunan selain kelapa sawit dapat dimodelkan sebagai berikut:
Level 1
Level 1 mengasumsikan produktivitas perkebunan Indonesia pada tahun 2050 berkurang sepuluh persen
(-10%) dibandingkan tahun 2011. Hal ini dapat terjadi karena pengaruh perubahan iklim di masa
mendatang.
Level 2
Level 2 mengasumsikan produktivitas perkebunan Indonesia pada tahun 2050 tidak berubah
dibandingkan tahun 2011. Hal ini sangat mungkin terjadi bila semua kebijakan yang ada hanya dapat
mengimbangi dampak negatif perubahan iklim pada sektor perkebunan Indonesia.
Level 3
Level 3 mengasumsikan produktivitas perkebunan Indonesia pada tahun 2050 meningkat sepuluh
persen (10%) dibandingkan tahun 2011. Tingkat produktivitas ini dapat dicapai dengan cara
15
meningkatkan jangkauan distribusi agro-input berupa benih dan pupuk bersertifikat dari pusat-pusat
penelitian.
Level 4
Level 4 mengasumsikan produktivitas perkebunan Indonesia pada tahun 2050 meningkat dua puluh
persen (20%) dibandingkan tahun 2011. Hal ini dapat dicapai dengan cara meningkatkan penerapan
teknologi pertanian baik berupa bibit dan pupuk bersertifikasi maupun metoda pengelolaan tanah dan
tanaman.
4. Hasil Pemodelan
Berdasarkan pemaparan metodologi di atas, maka diperoleh proyeksi hingga 2050 untuk lima hal yaitu:
permintaan pangan, luas lahan pertanian, produktivitas pertanian, luas perkebunan selain kelapa sawit,
dan produktivitas perkebunan selain kelapa sawit. Berhubung proyeksi produktivitas pertanian maupun
perkebunan selain kelapa sawit hanya berbentuk index untuk perhitungan potensi ketersediaan pangan,
maka panduan pengguna akan fokus pada grafik-grafik yang mempunyai dampak lebih besar yaitu
proyeksi permintaan kalori, proyeksi luas pertanian, maupun proyeksi luas lahan perkebunan selain
kelapa sawit.
Gambar 2. Proyeksi konsumsi kalori Indonesia
(sumber: Penulis)
2,000
2,250
2,500
2,750
3,000
3,250
2010 2020 2030 2040 2050
Ko
nsu
msi
ka
lori
(kk
al/
ora
ng
/ha
ri)
Konsumsi Kalori
Level 4 (2050)
2250 kkal/org/hari
Level 2 (2050)
2750 kkal/org/hari
Level 1 (2050)
3250 kkal/org/hari
Level 3 (2050)
2500 kkal/org/hari
16
Gambar 3. Proyeksi luas pertanian Indonesia
(sumber: Penulis)
Dengan demikian, potensi kontribusi emisi sektor pertanian dapat diprediksi sebagai berikut:
Level 1
Pembukaan lahan pertanian hingga 32,5 juta ha mengakibatkan peningkatan emisi sekitar 1,020 miliar
ton CO2eq.
Level 2
Pembukaan lahan pertanian hingga 28 juta ha mengakibatkan peningkatan emisi sekitar 500,6 juta ton
CO2eq.
Level 3
Tidak adanya pembukaan lahan baru mengakibatkan tidak adanya flux emisi antara tahun 2050
dibandingkan tahun 2011 diluar baseline emission yang diperhitungkan secara agregat untuk seluruh
sektor tata guna lahan.
Level 4
Pengurangan luas lahan pertanian sebesar dua juta ha mengakibatkan pengurangan emisi sekitar 431,2
juta ton CO2eq.
Level 1 (2050)
32,5 juta ha
Level 2 (2050)
29,7 juta ha
Level 3 (2050)
27 juta ha
Level 4 (2050)
24,3juta ha
24.0
26.0
28.0
30.0
32.0
34.0
2010 2015 2020 2025 2030 2035 2040 2045 2050
Lua
s (j
uta
ha
)
Luas Pertanian
17
Gambar 4. Proyeksi luas perkebunan non-sawit Indonesia
(sumber: Penulis)
Sementara itu, potensi kontribusi emisi sektor perkebunan selain kelapa sawit dapat dihitung sebagai
berikut:
Level 1
Pembukaan lahan perkebunan sebesar 2,32 juta ha mengakibatkan peningkatan emisi sekitar 307,2 juta
ton CO2eq.
Level 2
Pembukaan lahan perkebunan sebesar 1,16 juta ha mengakibatkan peningkatan emisi sekitar 153,6 juta
ton CO2eq.
Level 3
Tidak adanya pembukaan lahan baru mengakibatkan tidak adanya flux emisi antara tahun 2050
dibandingkan tahun 2011 diluar baseline emission yang diperhitungkan secara agregat untuk seluruh
sektor tata guna lahan.
Level 4
Level 4 (2050)
10,5 juta ha
9
10
11
12
13
14
15
2010 2020 2030 2040 2050
Lua
s (j
uta
ha
)
Luas Perkebunan non-sawit (ha)
Level 3 (2050)
11,6 juta ha
Level 3 (2050)
14 juta ha
Level 2 (2050)
12,8 juta ha
18
Pengurangan luas lahan perkebunan sebesar 1,16 juta ha mengakibatkan pengurangan emisi sekitar
123,8 juta ton CO2eq.
19
5. Referensi
Agus, F, Henson, IE, Sahardjo, BH, Haris, N, van Noordwijk, M & Killeen, TJ 2013, “Review of Emission
Factors for Assessment of CO2 Emission From Land Use Change to Oil Palm in Southeast Asia”,
Reports from the Technical Panels of the 2nd
Greenhouse Gas Working Group of the Roundtable
on Sustainable Palm Oil, hal. 7-28.
Alexandratos, N & Bruinsma, J 2012, “World Agriculture Towards 2030/2050 – The 2012 Revision”,
Agricultural Development Economics Division, UN-FAO, ESA Working Paper No. 12-03.
BAPPENAS (Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional) 2015, “Pembentukan BAU Baseline
Bidang Berbasis Lahan”, Sekretariat RAN-GRK, diunduh 30 Maret 2015,
<http://www.sekretariat-rangrk.org/english/home/9-uncategorised/173-baulahan>.
BKP (Badan Ketahanan Pangan) 2011, Revisi Rencana Strategis Badan Ketahanan Pangan Tahun 2010-
2014, Badan Ketahanan Pangan, Jakarta.
BPPP (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian) 2011, “Outlook Pertanian 2010-2025”,
Kementerian Pertanian, Pemerintahan Republik Indonesia, Jakarta.
BPS (Badan Pusat Statistik) 2011, “Konsumsi Kalori dan Protein Penduduk Indonesia dan Provinsi 2011”,
BPS, Pemerintahan Republik Indonesia, Jakarta.
— 2015, “Rata-rata Konsumsi Kalori dan Protein per Kapita per Hari Menurut Provinsi 2007-2013”,
BPS, diunduh 12 April 2015, < http://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/951>.
Carre, F, Hiederer, R, Blujdea, V & Koeble, R 2010, Background Guide for the Calculation of Land Carbon
Stocks in the Biofuels Sustainability Scheme – Drawing on the 2006 IPCC Guidelines for National
Greenhouse Gas Inventories, Office for Official Publications of the European Communities,
Luxembourg.
PUSDATIN (Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian) 2013, “Statistik Lahan Pertanian Tahun 2008-
2012”, Sekretariat Jenderal Kementerian Pertanian, Pemerintahan Republik Indonesia, Jakarta.