paper fiskal theo
DESCRIPTION
fiskalTRANSCRIPT
BAB I
LATAR BELAKANG
I.1 Berbagai Kebijakan Pemerintah dalam Perekonomian Indonesia
Berbicara tentang perekonomian Indonesia, yang akan terpikir di benak kita adalah
tentang kondisi dan keadaan ekonomi di Indonesia. Kondisi perekonomian Indonesia dapat
diukur dengan menggunakan beberapa indikator, misalnya pendapatan nasional dan Produk
Domestik Bruto (PDB). Pendapatan nasional dan PDB yang tinggi menandakan kondisi
perekonomian suatu negara sedang bergairah. Pemerintah mempunyai berbagai kebijakan
untuk menjaga atau memperbaiki kualitas perekonomian Indonesia. Salah satunya adalah
kebijakan fiskal. Kebijakan fiskal merupakan kebijakan yang berkaitan dengan Anggaran
Pendapatan Belanja Negara (APBN).
Kebijakan fiskal mempunyai berbagai bentuk. salah satu bentuk kebijakan fiskal yang
marak beberapa tahun terakhir adalah BLT. Banyak orang melihat BLT hanya bantuan
kepada orang yang kurang mampu. Sebenarnya di balik itu ada tujuan khusus dari
pemerintah. BLT diharapkan mampu meningkatkan pendapatan masyarakat. Dengan
meningkatnya pendapatan masyarakat, daya beli masyarakat juga meningkat. Dengan
demikian permintaan dari masyarakat juga meningkat. Meningkatnya permintaan dari
masyarakat akan mendorong produksi yang pada akhirnya akan memperbaiki kondisi
perekonomian Indonesia. Contoh lain dari kebijakan fiskal adalah proyek-proyek yang
diadakan oleh pemerintah. katakanlah pemerintah mengadakan proyek membangun jalan
raya. Dalam proyek ini pemerintah membutuhkan buruh dan pekerja lain untuk
menyelesaikannya. Dengan kata lain proyek ini menyerap SDM sebagai tenaga kerja. Hal
ini membuat pendapatan orang yang bekerja di situ bertambah. Dengan bertambahnya
pendapatan mereka akan terjadi efek yang sama dengan BLT tadi.
Kebijakan fiskal juga dapat berupa kostumisasi APBN oleh pemerintah. Misalnya
dengan deficit financing. Deficit financing adalah anggaran dengan menetapkan
pengeluaran lebih besar dari penerimaan. Deficit financing dapat dilakukan dengan
berbagai cara. Dahulu pemerintahan Bung Karno pernah menerapkannya dengan cara
memperbanyak utang dengan meminjam dari Bank Indonesia. Yang terjadi kemudian
adalah inflasi besar-besaran (hyper inflation) karena uang yang beredar di masyarakat
sangat banyak. Untuk menutup anggaran yang defisit dipinjamlah uang dari rakyat.
Sayangnya, rakyat tidak mempunyai cukup uang untuk memberi pinjaman pada pemerintah.
akhirnya, pemerintah terpaksa meminjam uang dari luar negeri.
Tidak hanya Indonesia, tetapi Amerika Serikat juga pernah menerapkan deficit
financing dengan mengadakan suatu proyek. proyek tersebut adalah normalisasi sungan
Mississipi dengan nama Tenesse Valley Project. Proyek ini dimaksudkan agar tidak terjadi
banjir. Proyek ini adalah contoh proyek yang menerapkan prinsip padat karya. Dengan
adanya proyek ini pengeluaran pemerintah memang bertambah, tetapi pendapatan
masyarakat juga naik. Pada akhirnya hal ini akan mendorong kegiatan ekonomi agar
menjadi bergairah. Mari kita mengingat sedikit kejadian pada akhir tahun 1997 saat terjadi
krisis moneter di Indonesia. Pada saat itu nasabah berduyun-duyun mengambil uang di
bank (fenomena bank rush) karena takut bank tidak mempunyai dana yang cukup untuk
mengembalikan tabungan mereka. Untuk mengatasi masalah ini bank-bank umum diberi
pinjaman dari Bank Indonesia yang disebut Bantuan Langsung Bank Indonesia (BLBI).
Pada saat itu memang seluruh tabungan dijamin oleh pemerintah, maka dari itu pemerintah
juga harus mengambil tindakan saat terjadi fenomena tadi.
Seharusnya saat suatu perusahaan (termasuk bank umum) kekurangan modal pemilik
harus menambah modalnya pada perusahaan tersebut. ini berlaku pada umum dan
pemerintah. Jika pemerintah kekurangan dana, pemerintah bisa menambah dana dengan
menjual saham yang dimiliki pemerintah. perlu diingat, ada beberapa perusahaan yang
sahamnya dimiliki pemerintah.
Di banyak negara yang sedang berkembang pemerintahnya melakukan kebijakan suku
bunga dengan cara membatasi suku bunga berlaku di pasar uang baik untuk suku bunga
kredit maupun suku bunga deposito. Demikian halnya dengan pemerintah Indonesia
sebelum 1 Juni 1983 juga melakukan kebijakan suku bunga dengan membatasi suku bunga
yang berlaku di Indonesia. Pembatasan suku bunga ini jika dihadapkan pada laju inflasi
terjadi di negara yang sedang berkembang ring menghasilkan suku bunga riil yang igatip.
Hal ini disebabkan karena suku bunga nominal yang ditetapkan oleh pemerintah lebih
daripada laju inflasi, sehingga suku bunga yang merupakan selisih antara suku bunga
mininal dengan laju inflasi akan negatip. Di samping itu, pembatasan suku bunga juga
cenderung menghasilkan distorsi dalam alokasi sumber-sumber produktif, baik melalui
kurangnya akumulasi kapital serta kesalahan kasi kapital tersebut pada tingkat tabungan
berapapun.
Banyak pakar ekonomi, sebagaimana Shaw (1973) dan McKinnon (1973), yang telah
mengemukakan pendapatnya bahwa distorsi yang disebabkan oleh "represi keuangan"
negara yang sedang berkembang bahkan lebih penting daripada distorsi yang disebabkan
oleh kebijakan lainnya seperti misalnya pembatasan perdagangan.
Kedua pakar di atas juga mengatakan bahwa elemen yang penting di dalam
pembangunan ekonomi adalah liberalisasi pasar keuangan. Sebab dengan adanya
liberalisasi di bidang keuangan ini akan menghilangkan distorsi yang terjadi di pasar uang,
Sebagaimana yang dijalankan pemerintah Indonesia pada 1 Juni 1983 dengan deregulasi di
bidang perbankan khususnya, yaitu dengan cara menghilangkan pagu kredit dan memberi
kebebasan pada bank-bank umum untuk menentukan suku bunganya sendiri tanpa campur
tangan pemerintah. Kebijakan deregulasi ini dimaksudkan sebagai tindakan pemerintah
dengan cara mengurangi dan atau melonggarkan aturan - aturan yang dianggap
menyebabkan terjadinya distorsi. Kata deregulasi tersebut digunakan untuk menggantikan
kata liberalisasi.
Tindakan pemerintah tersebut bertujuan untuk meningkatkan suku bunga dan atau
mengurangi laju inflasi. Meskipun banyak ahli/ekonom yang setuju atas program reformasi
keuangan tersebut akan menguntungkan bagi negara-negara yang sedang berkembang, di
mana elemen kuncinya adalah suku bunga, akan tetapi banyak juga ekonom yang
menyangsikan keberhasilan tersebut. Vogel (1979), Galbis (1981), McKinnon (1981&82),
dan ekonom lainnya telah melakukan pengujian terhadap masalah yang akan muncul
seandainya program tersebut dilakukan bagi suatu negara yang sedang berkembang. Karena
masing-masing negara berkembang mempunyai karakteristik sendiri-sendiri, sehingga
program tersebut tidak dapat disamaratakan antara negara yang satu dengan negara lainnya.
Menurut Galbis (1981), keberhasilan program reformasi keuangan tersebut, apapun
namanya baik deregulasi maupun liberalisasi, akan tergantung pada berbagai persyaratan
sebagai berikut:
1. Pemerintah harus menganut prinsip dasar perekonomian pasar artinya campur tangan
pemerintah dihilangkan.
2. Struktur dan ukuran pasar keuangan tersebut cukup/memadai untuk terjadinya
persaingan yang efektif, artinya agen/ pemain yang ada dipasar keuangan tersebut cukup
besar/banyak.
3. Kebebasan untuk keluar masuk pasar dimungkinkan terjadi, ini berarti bahwa
hambatan untuk memasuki dunia usaha tersebut tidak dimungkinkan terjadi.
Dengan demikian jika ketiga kondisi di atas, salah satu atau semuanya, tidak terpenuhi
maka pembebasan suku bunga akan berpotensi menyebabkan terjadinya ketidakstabilan
pasar uang tersebut. Meningkatnya kekuatan oligopoli dipasar uang tersebut, dan
merangsang adanya situasi pasar yang cenderung mendukung adanya suku bunga deposito
yang lebih rendah.
Dalam hal ini suku bunga merupakan pokok bahasan (variabel kunci) karena
sebagaimana yang dikemukakan oleh Gonzales-Vega (1982), dimana suku bunga
merupakan harga relatif terpenting yang ada diperekonomian pasar; suku bunga merupakan
penentu dan pengawas terjadi harga barang-barang lainnya dipasar; dan suku bunga telah
dikenal secara umum sebagai penyebab terjadinya distorsi pasar secara umum.
Masalah yang mungkin terjadi dengan adanya deregulasi perbankan di Indonesia
ditahun 1983 mungkin lebih berat jika dibandingkan dengan tidak adanya reformasi
keuangan, dalam artian bahwa pembatasan suku bunga yang dilakukan oleh pemerintah
Indonesia masih lebih baik. Hal ini diperkirakan karena persyaratan untuk keberhasilan
reformasi keuangan tersebut diragukan adanya. Dan bahkan ada yang menyarankan adanya
urutan dalam reformasi tersebut, manakah yang lebih didahulukan apakah di bidang
keuangan, pasar modal, maupun di bidang lainnya.
Menurut Iwan Jaya Azis (1996) urutan tahapan yang dipilih oleh pemerintah Indonesia
memang bukan urutan yang terbaik, bahkan bertentangan dengan hipotesis yang umumnya
muncul dalam buku teks yaitu bahwa stabilisaaj harus mendahului program penyesuaian
struktural, reformasi perdagangan harua mendahului reformasi keuangan dan baru setelah
semuanya diterapkan neraca modal dapat dibuka (sistem devisa bebas). Sedangkan yang
dilakukan oleh pemerintah Indonesia adalah sebagai berikut:
1. Sistem devisa bebas sudah dianut sejak tahun 1971, jadi bukan tahap akhir dari
seluruh episode, dan
2. Reformasi keuangan dilaksanakan mulai Juni 1983, jadi lebih dahulu jika
dibandingkan dengan
3. Liberalisasi perdagangan yang baru dilakukan sekitar tahun 1986.
Akan tetapi hasil yang dicapai berdasarkan indikator makro menunjukkan bahwa laju
pertumbuhan ekonomi dapat lebih tinggi dari pada yang sesungguhnya terjadi. Namun
dengan memperhitungkan faktor distribusi pendapatan antar- kelompok masyarakat dengan
tingkat pendapatan berbeda, hasil tahapan reformasi yang dilakukan Indonesia ternyata
lebih buruk. Artinya walaupun laju pertumbuhan ekonomi lebih lambat, namun tingkat
pemerataan relatif masih lebih baik. (Iwan Jaya Azis, 1996 dan Azis, 1996)
I.2 Peran Sektor Pertanian dalam Perekonomian Indonesia
Sektor pertanian dalam perekonomian Indonesia telah berperan untuk memulai,
dan menumbuhkan perekonomian agregat sejak periode 1960-an. Namun, banyak studi
menyimpulkan bahwa peran pertanian semakin menurun secara tidak wajar (dengan
parameter penurunan produktivitas, pangsa ekonomi, serapan tenaga kerja, dan kemampuan
membangkitkan sektor sekunder) sehingga sejak pertengahan periode 1990-an tidak mampu
lagi menjadi pendukung tumbuh kembangnya perekonomian Indonesia (Hill, 1996; Booth,
2002; Martin and Warr, 1993; Muslim, 2002; Siregar dan Kolopaking, 2003; Fuglie, 2004;
Druska and Horrace, 2004; Simatupang, et. al., 2004; Priyarsono, et al., 2005; Tambunan,
1992, 2008) karena under investment.
Rantai agroindustri sebagai fase antara untuk mengantarkan proses transformasi
industrialisasi di Indonesia tidak berkembang. Sebagai akibatnya, perekonomian domestik
tidak dapat menciptakan nilai tambah produk primer pertanian, dan tidak dapat menikmati
nilai tambah tersebut untuk kesejahteraan (Sudaryanto, et al., 2002; Sa’id dan Dewi, 2006).
Penurunan kinerja pertanian dan ketidakterkaitan antara pertanian dan agroindustri
di Indonesia adalah persoalan struktural jangka panjang yang harus didekati dengan
ekonomi-politik dengan kebijakan fiskal sebagai sumber stimulator. Permasalahannya
adalah dengan instrumen kebijakan fiskal apa yang efektif untuk memperbaiki keadaan
tersebut.
Paper ini bertujuan mencari jawaban permasalahan tersebut dengan cara (1)
mengkaji kinerja sektor pertanian dan agroindustri, (2) mengkaji hubungan kebijakan fiskal
dengan kinerja sektor pertanian dan kinerja agroindustri, (3) mengkaji instrumen kebijakan
fiskal yang efektif mempengaruhi kinerja sektor pertanian, dan kinerja agroindustri, dan (4)
mengkaji keterkaitan antara kinerja sektor pertanian dengan kinerja agroindustri pada
kondisi fiskal di Indonesia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Kebijakan Fiskal
Kebijakan Fiskal adalah suatu kebijakan ekonomi dalam rangka mengarahkan kondisi
perekonomian untuk menjadi lebih baik dengan jalan mengubah penerimaan dan
pengeluaran pemerintah. Kebijakan ini mirip dengan kebijakan moneter untuk mengatur
jumlah uang beredar, namun kebijakan fiskal lebih mekankan pada pengaturan pendapatan
dan belanja pemerintah. Kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka
mendapatkan dana-dana dan kebijaksanaan yang ditempuh oleh pemerintah untuk
membelanjakan dananya tersebut dalam rangka melaksanakan pembangunan. Atau dengan
kata lain, kebijakan fiskal adalah kebjakan pemerintah yang berkaitan dengan penerimaan
atau pengeluaran Negara. Dari semua unsure APBN hanya pembelanjaan Negara atau
pengeluaran dan Negara dan pajak yang dapat diatur oleh pemerintah dengan kebijakan
fiscal. Contoh kebijakan fiscal adalah apabila perekonomian nasional mengalami
inflasi,pemerintah dapat mengurangi kelebihan permintaan masyarakat dengan cara
memperkecil pembelanjaan dan atau menaikkan pajak agar tercipta kestabilan lagi. Cara
demikian disebut dengan pengelolaan anggaran.
Tujuan kebijakan fiskal adalah untuk mempengaruhi jalannya perekonomian. Hal ini
dilakukan dengan jalan memperbesar dan memperkecil pengeluaran komsumsi pemerintah
(G), jumlah transfer pemerntah (Tr), dan jumlah pajak (Tx) yang diterima pemerintah
sehingga dapat mempengaruhi tingkat pendapatn nasional (Y) dan tingkat kesempatan kerja
(N).
Tujuan utama kebijakan fiskal ialah untuk mencegah pengangguran dan menstabilkan
harga. Implementasinya untuk menggerakkan Pos penerimaan dan pengeluaran dalam
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dengan semakin kompleksnya struktur
ekonomi perdagangan dan keuangan, maka semakin rumit pula cara penanggulangan inflasi.
Kombinasi beragam harus digunakan secara tepat, seperti kebijakan fiskal, kebijakan
moneter, perdagangan dan penentuan harga.Dalam kebijakan fiskal, inflasi dikendalikan
dengan surplus anggaran, sedangkan dalam kerangka kebijakan moneter, inflasi
dikendalikan dengan tingkat bunga dan cadangan wajib. Piranti kebijakan yang perlu
dipersiapkan antara lain : pajak untuk sektor swasta, pinjaman pada masyarakat, serta
pengeluaran pemerintah untuk pengendalian pengangguran. Permasalahan yang mungkin
muncul dalam kebijakan fiskal antara lain : bagaimana meningkatkan kemampuan
perpajakan (Taxable Capacity), bagaimana membuat seimbang komposisi pajak, dan
bagaimana merancang pajak-pajak khusus.
Macam-macam Kebijakan Fiskal :
1. Functional finance : Pembiayaan pemerintah yang bersifat fungsional.
2. The managed budget approach : Pendekatan pengelolaan Anggaran.
3. The stabilizing budget : Stabilisasi anggaran yang otomatis, apabila model ini gagal,
maka pemerintah dapat meningkatkan pengeluarannya seperti dengan menaikkan gaji PNS
atau subsidi.
4. Balance budget approach : Pendekatan Anggaran Belanja berimbang, namun bila
terlambat penyesuaian (Perubahan Anggaran Keuangan), maka kepercayaan masyarakat
akan hilang.
Instrumen kebijakan fiskal adalah penerimaan dan pengeluaran pemerintah yang
berhubungan erat dengan pajak. Dari sisi pajak jelas jika mengubah tarif pajak yang berlaku
akan berpengaruh pada ekonomi. Jika pajak diturunkan maka kemampuan daya beli
masyarakat akan meningkat dan industri akan dapat meningkatkan jumlah output. Dan
sebaliknya kenaikan pajak akan menurunkan daya beli masyarakat serta menurunkan output
industri secara umum. Perubahan dalam tingkat dan komposisi pajak dan pengeluaran
pemerintah dapat berdampak pada variabel-variabel berikut dalam perekonomian:
1. Aggregate demand and the level of economic activity ( Permintaan agregat dan
tingkat kegiatan ekonomi )
2. The pattern of resource allocation (Pola alokasi sumber daya)
3. The distribution of income (Distribusi pendapatan) Kebijakan fiskal mengacu pada
efek keseluruhan hasil anggaran pada kegiatan ekonomi. Sikap yang tiga kemungkinan
kebijakan fiskal yang netral, ekspansif, dan kontraktif.
4. Sebuah sikap netral menyiratkan kebijakan fiskal anggaran berimbang di mana G =
T (Pemerintah pengeluaran = Pajak pendapatan). Pengeluaran pemerintah sepenuhnya
didanai oleh penerimaan pajak dan hasil keseluruhan anggaran memiliki efek netral pada
tingkat kegiatan ekonomi.
5. Sikap ekspansif kebijakan fiskal bersih melibatkan peningkatan pengeluaran
pemerintah (G> t) melalui pengeluaran pemerintah meningkat, penurunan pendapatan pajak,
atau kombinasi dari keduanya. Hal ini akan mengakibatkan defisit anggaran yang lebih
besar atau lebih kecil daripada surplus anggaran pemerintah sebelumnya, atau defisit jika
sebelumnya pemerintah memiliki anggaran berimbang. . Ekspansioner kebijakan fiskal
biasanya berhubungan dengan defisit anggaran.
6. Sebuah kontraktif kebijakan fiskal (G <T) terjadi ketika bersih dikurangi
pengeluaran pemerintah baik melalui pendapatan pajak yang lebih tinggi, mengurangi
pengeluaran pemerintah, atau kombinasi dari keduanya. Hal ini akan mengakibatkan defisit
anggaran yang lebih rendah atau surplus yang lebih besar daripada pemerintah sebelumnya,
atau surplus jika sebelumnya pemerintah memiliki anggaran berimbang. Kontraktif
kebijakan fiskal biasanya berhubungan dengan surplus.
II.2 Hubungan antara kebijakan finansial dan fiskal dengan APBN
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), adalah rencana keuangan tahunan
pemerintahan negara Indonesia yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. APBN berisi
daftar sistematis dan terperinci yang memuat rencana penerimaan dan pengeluaran negara
selama satu tahun anggaran (1 Januari - 31 Desember). APBN, perubahan APBN, dan
pertanggungjawaban APBN setiap tahun ditetapkan dengan Undang-Undang.
Macam-macam Kebijakan Fiskal/Anggaran Jika ditinjau dari sisi teori, ada tiga macam
kebijakan anggaran yaitu:
1, Kebijakan anggaran pembiayaan fungsional (functional finance), adalah kebijakan
yang mengatur pengeluaran pemerintah dengan melihat berbagai akibat tidak langsung
terhadap pendapatan nasional dan bertujuan untuk meningkatkan kesempatan kerja.
2. Kebijakan pengelolaan anggaran (the finance budget approach), adalah kebijakan
untuk mengatur pengeluaran pemerintah, perpajakan, dan pinjaman untuk mencapai
stabilitas ekonomi yang mantap.
3. Kebijakan stabilisasi anggaran otomatis (the stabilizing budget), adalah kebijakan
yang mengatur pengeluaran pemerintah dengan melihat besarnya biaya dan manfaat dari
berbagai program. Tujuan kebijakan ini adalah agar terjadi penghematan dalam pengeluaran
pemerintah.
Selanjutnya, jika dilihat dari perbandingan jumlah penerimaan dengan jumlah
pengeluaran, kebijakan fiskal/anggaran dapat dibedakan menjadi empat jenis. sebagai
berikut :
1. Kebijakan Anggaran Seimbang
Kebijakan anggaran seimbang, adalah kebijakan anggaran yang menyusun pengeluaran
sama besar dengan penerimaan. Ini berarti jumlah pengeluaran yang disusun pemerintah
tidak boleh melebihi jumlah penerimaan yang didapat. Sehingga negara tidak perlu
berhutang, baik berhutang dari dalam negeri maupun ke luar negeri. Dalam masa depresi
(kelesuan ekonomi), sebaiknya negara tidak menggunakan kebijakan anggaran seimbang
karena bisa memperburuk keadaan ekonomi. Pada masa depresi penerimaan negara sangat
rendah sehingga negara perlu mendapat pinjaman untuk memperbaiki perekonomian.
Dengan demikian, negara tidak bisa melakukan kebijakan anggaran seimbang. Adapun
kebijakan anggaran yang tepat digunakan pada masa depresi adalah kebijakan anggaran
defisit.
2. Kebijakan Anggaran Defisit
Kebijakan anggaran defisit yaitu kebijakan anggaran dengan cara menyusun
pengeluaran lebih besar daripada penerimaan. Karena pengeluaran lebih besar daripada
penerimaan maka negara mengalami defisit (kekurangan) anggaran. Pada umumnya,
kebijakan anggaran defisit ditempuh pemerintah untuk meningkatkan pertumbuhan
ekonomi. Ibaratnya, seorang pengusaha yang kekurangan modal untuk memajukan usaha
dan ekonominya, berutang pada pihak lain untuk memperoleh tambahan modal sehingga
dapat memajukan usaha dan ekonominya. Asalkan bekerja dan berusaha dengan jujur, tidak
boros, tidak dikorupsi oleh para pegawai, tentu usahanya itu bisa maju. Demikian halnya
dengan Indonesia, walaupun negara melakukan kebijakan anggaran defisit, asalkan tidak
dikorupsi, Indonesia pasti mampu memajukan perekonomiannya.
3. Kebijakan Anggaran Surplus
Kebijakan anggaran surplus, yaitu kebijakan anggaran dengan cara menyusun
pengeluaran lebih kecil dari penerimaan. Kebijakan ini umumnya dilakukan pemerintah
untuk mencegah inflasi (kenaikan harga akibat terlalu banyak jumlah uang yang beredar).
Dengan memperkecil jumlah pengeluaran (belanja), diharapkan jumlah permintaan
terhadap barang dan jasa tidak meningkat. Jika permintaan terhadap barang dan jasa tidak
meningkat, maka harga barang dan jasa juga tidak akan naik, ini berarti inflasi bisa dicegah.
4. Kebijakan Anggaran Dinamis
Kebijakan anggaran dinamis, yaitu kebijakan anggaran dengan cara terus menambah
jumlah penerimaan dan pengeluaran sehingga semakin lama semakin besar (tidak statis).
Anggaran yang dinamis diperlukan karena semakin hari semakin banyak kegiatan rutin dan
kegiatan pembangunan yang harus dibiayai negara, yang membutuhkan dana lebih besar.
Penyusunan APBN digunakan sebagai penentu kebijakan fiskal suatu negara,
sebagai alat untuk mempengaruhi peningkatan pendapatan nasional.
II.3 Tujuan Kebijakan Fiskal/Anggaran
Secara rinci, kebijakan anggaran dilakukan pemerintah dengan tujuan sebagai
berikut:
1. Untuk menciptakan stabilitas ekonomi;
2. Untuk menciptakan lapangan kerja
3. Untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi tinggi
4. Untuk menciptakan keadilan dalam mendistribusikan pendapatan
5. Mengatasi inflasi
6. Mengatasi pengangguran
7. Menciptakan pertumbuhan ekonomi.
8. Untuk meningkatkan produksi nasional (PDB) dan pertumbuhan ekonomi.
9. Untuk memperluas lapangan kerja dan mengurangi pengangguran.
10. Untuk menstabilkan harga-harga barang, khususnya mengatasi inflasi
BAB III
PEMBAHASAN
III.1 Hubungan Kebijakan Fiskal dengan Kinerja Sektor Pertanian
Hubungan signifikan jangka panjang antara kebijakan fiskal yang meningkatkan
kinerja sektor pertanian adalah peningkatan PDB yang pertanian didorong oleh peningkatan
subsidi pertanian, dan anggaran infrastruktur pertanian. Peningkatan penyerapan tenaga
kerja didorong oleh peningkatan anggaran infrastruktur pertanian. Peningkatan ekspor
produk pertanian didorong oleh peningkatan anggaran sektor pertanian dan penelitian dan
pengembangan sektor pertanian. Peningkatan impor produk pertanian didorong oleh
peningkatan anggaran sektor pertanian dan penelitian dan pengembangan pertanian.
Peningkatan kesejahteraan petani didorong oleh peningkatan penelitian dan pengembangan
pertanian, desentralisasi fiskal, dan investasi.
Dari hasil penelitian diketahui instrumen kebijakan fiskal yang mempunyai
pengaruh signifikan terhadap kinerja sektor pertanian paling banyak, yaitu anggaran
penelitian dan pengembangan petanian dan anggaran infrastruktur pertanian. Kemudian
disusul oleh PPh, anggaran sektor pertanian, dan subsidi disamping investasi. Artinya
instrumen ini dalam jangka panjang berpotensi kuat mempengaruhi kinerja sektor pertanian
sehingga perlu diperhatikan dalam skala prioritas alokasi anggaran dalam fiskal. (Darsono
& Tambunan M., 2012)
Hubungan signifikan jangka panjang antara kebijakan fiskal yang meningkatkan
kinerja agroindustri adalah peningkatan nilai tambah input yang didorong oleh penelitian
dan pengembangan pertanian, dan desentralisasi fiskal, di samping itu, juga investasi dan
konsumsi. Peningkatan nilai tambah output didorong oleh peningkatan penelitian dan
pengembangan pertanian serta desentralisasi fiskal, di samping itu juga investasi dan
konsumsi. Peningkatan pada PPn, PPh, desentralisasi fiskal menurunkan daya saing
agroindustri.
Dari hasil analisis juga diketahui instrumen kebijakan fiskal yang mempunyai
pengaruh signifikan terhadap kinerja agroindustri paling banyak, yaitu desentralisasi fiskal,
anggaran penelitian dan pengembangan pertanian, anggaran infrastruktur pertanian,
investasi, dan konsumsi. Artinya instrumen ini dalam jangka panjang berpotensi kuat
mempengaruhi kinerja agroindustri sehingga perlu diperhatikan dalam skala prioritas
alokasi anggaran dalam fiskal. (Hermanto S. & Priyarsono D.S., 2012)
III.2 Dampak Kebijakan Subsidi Pupuk Terhadap Kinerja Sektoral
Secara teori, kebijakan subsidi pupuk sebagai kebijakan subsidi input atau sarana
produksi suatu sektor akan diikuti oleh peningkatan output pada sektor yang bersangkutan
dan sektor lainnya yang terkait baik ke depan maupun ke belakang. Hal ini berarti adanya
kebijakan subsidi pupuk menggeser kurva penawaran ke kanan, sebagai akibat adanya
peningkatan produktivitas. Di sektor pertanian, subsidi pupuk akan berpengaruh terhadap
penggunaan pupuk oleh pelaku pertanian di level produsen pertanian, khususnya pelaku
tanaman pangan, dan pada akhirnya berdampak terhadap peningkatan produktivitas padi
yang kemudian dampak ikutan, berikutnya, terhadap peningkatan produksi beras. Hal ini
senada dengan hasil kajian Syafa’at et al. (2006), Hutagaol et al. (2009), PSE-KP (2009),
dan World Bank (2009b), bahwa kebijakan subsidi pupuk dinilai berdampak positif
terhadap peningkatan produktivitas sektor pertanian dan pendapatan petani terutama untuk
tanaman pangan.
Tabel I. Dampak Kebijakan Subsidi Pupuk terhadap Output dan Harga Output Menurut
Komoditas pada Jangka Pendek dan Panjang
No. Komoditas
Output Harga Output
Jangka
Pendek
Jangka
Panjang
Jangka
Pendek
Jangka
Panjang
Sektor Pertanian
1 Padi 0.176 0.317 -1.328 -1.35
2 Kedelai 0.227 0.355 -0.29 -0.272
3 Jagung 0.209 0.339 -1.363 -1.208
4 Tanaman umbi-umbian dan kacangan 0.131 0.242 -0.384 -0.27
5 Sayur-sayuran dan buah-buahan 0.108 0.269 -0.466 -0.491
6 Tanaman makanan lainnya 0.6 0.674 -0.516 -0.44
7 Tanaman perkebunan 0.973 1.307 -0.479 -0.515
8 Peternakan dan hasil-hasilnya 0.011 0.252 -0.023 -0.325
9 Kehutanan -0.002 0.338 0.026 0.424
10 Perikanan -0.004 0.14 -0.028 -0.182
Sektor Pertambangan dan Penggalian
11 Pertambangan minyak, gas dan panas
bumi
0 0.071 0.065 0.078
12 Pertambangan batubara, biji logam
dan galian lain
-0.111 0.105 0.018 0.02
13 Pengilangan minyak bumi -0.072 0.113 0.113 0.253
Sektor Industri
14 Industri makanan minuman tembakau 0.019 0.219 -0.12 -0.298
15 Industri penggilingan padi/ beras 0.18 0.316 -0.828 -0.86
16 Industri tekstil, barang kulit dan alas
kaki
-0.159 0.389 0.016 -0.032
17 Industri barang kayu dan hasil hutan
lainnya
-0.004 0.307 0.043 0.066
18 Industri pulp dan kertas -0.007 0.263 0.035 -0.103
19 Industri pupuk 9.676 10.565 -11.268 -10.435
20 Industri pestisida 0.206 0.593 0.243 0.122
21 Industri kimia, karet dan barang dari
karet
0.012 0.342 0.008 -0.091
22 Industri semen -0.004 0.482 0.085 0.11
23 Industri logam dasar besi dan baja -0.044 0.26 0.052 0.045
24 Industri barang dari logam -0.03 0.431 0.066 -0.041
25 Industri alat angkutan, mesin dan
peralatannya
-0.052 0.282 0.046 -0.047
26 Industri barang lainnya -0.025 0.353 0.064 -0.078
Sektor Jasa-Jasa
27 Gas -0.027 0.206 -0.12 -0.298
28 Listrik dan air bersih 0.027 0.206 0.252 0.328
29 Bangunan 0.003 0.5 0.05 0.002
30 Perdagangan -0.003 0.249 0.033 -0.177
31 Hotel dan restoran 0.008 0.291 -0.05 -0.339
32 Angkutan kereta api -0.028 0.195 0.104 -0.229
33 Angkutan darat -0.006 0.258 0.046 -0.285
34 Angkutan air -0.065 0.352 0.035 -0.055
35 Angkutan udara -0.034 0.234 0.059 -0.159
36 Jasa penunjang angkutan -0.02 0.347 0.039 -0.227
37 Komunikasi -0.019 0.171 0.115 0.136
38 Lembaga keuangan 0.018 0.285 0.112 -0.071
39 Jasa pemerintah -0.001 0.157 0.01 -0.836
40 Jasa lainnya -0.006 0.263 0.01 -0.4
Sumber : Data Diolah
Berdasarkan Tabel I, nampak bahwa dampak kebijakan subsidi pupuk terhadap
output dibedakan ke dalam jangka pendek dan panjang menurut komoditas. Pada jangka
pendek, dampak yang dirasakan secara langsung kebijakan subsidi pupuk terhadap output
yang paling besar pada sektor pertanian terkena dampaknya adalah komoditas tanaman
perkebunan meningkat (0.973 persen), sedangkan yang paling rendah adalah komoditas
perikanan menurun (-0.004 persen). Dampak pada jangka panjang, baik yang terbesar
maupun terkecil mengikuti dampak jangka pendeknya, yaitu pada komoditas tanaman
perkebunan (1.307 persen), sedangkan paling kecil dampaknya yang dirasakan oleh
komoditas perikanan yakni mengalami peningkatan (0.140 persen). Adapun untuk
komoditas padi, sebagai salah satu komoditas sasaran dari kebijakan ini, berada di posisi
kelima terbesar baik untuk dampak jangka pendek maupun panjangnya. Sementara, dampak
pada jangka pendek dan jangka panjang masing-masing secara berturut-turut adalah (0.176
persen) dan (0.317 persen).
Dampak yang dirasakan pada komoditas pertanian lainnya, baik untuk tanaman
pangan maupun untuk bukan tanaman pangan. Komoditas tanaman pangan selain padi,
pada jangka pendek seperti komoditas kedelai (0.227 persen), jagung (0.209 persen),
tanaman umbi-umbian dan kacang-kacangan (0.131 persen), sayur-sayuran dan
buah-buahan (0.108 persen), dan tanaman pangan lainnya (0.600 persen) berdampak positif,
sedangkan pada jangka panjangnya untuk komoditas kedelai (0.335 persen), jagung (0.339
persen), tanaman umbi-umbian dan kacang-kacangan (0.242 persen), sayur-sayuran dan
buah-buahan (0.269 persen), dan tanaman makanan lainnya (0.674 persen) juga berdampak
positif. Adapun untuk komoditas bukan tanaman pangan seperti peternakan dan
hasil-hasilnya naik (0.011 persen) dan kehutanan negatif (0.008 persen) pada jangka pendek,
sedangkan pada jangka panjang, komoditas peternakan dan hasil-hasilnya (0.388 persen)
dan kehutanan (0.140 persen).
Secara umum semua komoditas pada sektor pertanian, dampak kebijakan subsidi
pupuk terhadap output pada jangka pendek dan jangka panjang mengalami kenaikan,
kecuali untuk komoditas perikanan dan kehutanan yang bernilai negatif pada jangka pendek.
Dampak pada jangka panjang lebih besar dibandingkan dengan jangka pendek, disebabkan
oleh adanya perbedaan asumsi pada variabel harga, upah tenaga kerja, dan biaya produksi.
Pada jangka pendek variabel harga dan upah tenaga kerja lebih kaku dibandingkan jangka
panjang, sedangkan untuk variabel biaya produksi, dalam jangka panjang dianggap tidak
terdapat biaya tetap.
Berdasarkan Tabel I, juga memperlihatkan bahwa peningkatan output pada sektor
pertanian mengakibatkan supply meningkat, akibatnya harga output menurun. Penurunan
harga output tersebut diduga oleh karena turunnya harga faktor primer kompositnya.
Penurunan harga tersebut terjadi pada jangka pendek dan panjang. Harga faktor primer
komposit tersebut pada setiap komoditas mengalami penurunan pula dalam jangka panjang.
Penurunan harga jangka panjang sejalan dengan naiknya kebutuhan terhadap
modal, kenaikan upah dan penggunaan teknologi pertanian supaya mampu mendorong
untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi skala usaha. Bila dicermati lebih jauh
peningkatan output, penurunan harga output dalam jangka pendek dan panjang adalah
merupakan dampak yang diharapkan dari adanya kebijakan subsidi pupuk. Resultan dari
dampak kebijakan subsidi pupuk tersebut mendorong pada meningkatnya pendapatan atau
keuntungan usaha tani sebagai pengguna input.
Dampak berikutnya adalah dampak terhadap industri yang terkait dengan sektor
pertanian, khususnya industri pengolahan hasil-hasil pertanian. Adanya kebijakan subsidi
pupuk pada sektor industri sebagai leading sector pada perekonomian Indonesia, ditandai
dengan adanya dominasi kontribusi sektor tersebut terhadap penciptaan nilai tambah
nasional. Analisis yang dilakukan untuk industri ini dapat dibedakan ke dalam dua
kelompok, yaitu industri pengolahan hasil pertanian dan bukan pertanian. Dampak
kebijakan tersebut yang secara tidak langsung dapat mempengaruhi tingkat produktivitas
dan efisiensi sektor industri. Peningkatan produktivitas dan efisiensi mendorong peningkatan
output domestik dan menurunkan harga output maupun harga faktor primer komposit (Tabel I).
Jumlah output pada industri pupuk, mengalami peningkatan yang cukup tinggi
akibat adanya stimulasi permintaan jumlah pupuk dan biaya produksi yang menurun akibat
adanya subsidi dari komoditas gas, baik pada jangka pendek (9.676 persen) maupun jangka
panjang (10.555 persen). Naiknya jumlah output industri pupuk tersebut akibat oleh subsidi
pada input produksi pupuk diikuti oleh kenaikan permintaan gas, baik pada jangka pendek
(0.027 persen) maupun jangka panjang (0.206 persen) secara berurutan. Secara umum,
seluruh komoditas pada sektor industri pengolahan ini tumbuh positif baik dalam jangka
pendek maupun jangka panjang. Industri yang mengalami pertumbuhan output terbesar
dalam jangka pendek adalah industri pupuk itu sendiri. Temuan ini diduga bahwa kebijakan
subsidi pupuk mendorong produksi naik dan harga turun pada jangka pendek dan jangka
panjang.
Peningkatan output di sektor industri ini menunjukkan pentingnya peran subsidi
pupuk dalam menunjang peningkatan kapasitas produksi pada sektor industri pengolahan.
Dampak kebijakan subsidi pupuk ternyata menstimulus untuk menigkatkan jumlah
produksi pada industri pupuk sendiri, yang kemudian berdampak pada output sektor
pertanian sebagai input antara untuk sektor industri lainnya sebagai sektor pengguna. Pada
sektor industri, secara umum memberikan dampak positif terhadap output yang
diproduksinya. Secara teori, semakin meningkat jumlah produksi maka berbanding terbalik
dengan harganya. Turunnya harga output pada sektor pertanian khususnya pada komoditas
tanaman pangan dan tanaman bukan pangan sebagai output antara yang digunakan menjadi
input untuk sektor industri. Turunnya tingkat harga di tingkat input maka jumlah
permintaannya semakin meningkat, sehingga produktivitas dan efisiensi di industri semakin
meningkat pula, terutama terhadap outputnya. Resultan ini kemungkinan disebabkan
perusahan semakin meningkat dalam mengurangi biaya produksinya. Dengan demikian,
kebijakan subsidi pupuk dapat meningkatkan produktivitas dan efisiensi di sektor industri
pengolahan baik berbasis tanaman pangan maupun bukan tanaman pangan.
Bila dilihat keterkaitan antar sektor, maka tingginya peningkatan output industri
pupuk merefleksikan permintaan terhadap output pada komoditas tersebut tinggi akibat
meningkatnya konsumsinya. Peningkatan konsumsi di tingkat rumahtangga dalam jangka
pendek didorong oleh peningkatan pendapatan akibat penyerapan tenaga kerja dan dalam
jangka panjang disebabkan oleh semakin fleksibiltas pada upah riil. Komoditas pada
industri pupuk tersebut yang mengalami peningkatan output yang relatif tinggi, baik dalam
jangka pendek maupun jangka panjang. Peningkatan output subsektor industri ini dipicu
oleh meningkatnya permintaan pupuk untuk pengusahaan di sektor pertanian. Peningkatan
harga komoditas pertanian di pasar dunia mengakibatkan pengusahaan bidang pertanian
menjadi semakin atraktif. Petani dan pelaku dalam input primer bidang pertanian semakin
tertarik untuk menginvestasikan modalnya di sektor ini, akibatnya permintaan terhadap
pupuk semakin meningkat pula.
Secara teoritis peningkatan penawaran akan menyebabkan output meningkat dan
harga output turun. Peningkatan output di sektor industri pengolahan ini mengakibatkan
harga outputnya menurun pula, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Komoditas
yang outputnya naik paling besar akibat kebijakan ini dalam jangka pendek adalah pada
industri penggilingan padi/beras meningkat (0.180 persen) dan (0.316 persen) pada jangka
panjang, diikuti oleh industri makanan dan minuman naik (0.019 persen) dan (0.219 persen)
pada jangka panjang, sedangkan terkecil adalah industri tekstil, barang kulit dan alas kaki
turun (-0.159 persen) pada jangka pendek.
Harga output pada industri pupuk turun sebagai respon dari kenaikan outputnya,
baik jangka pendek (11.268 persen) maupun jangka panjang (10.435 persen). Temuan ini
menjelaskan bahwa subsidi pupuk pada tingkat harga subsidi pupuk menurunkan harganya,
secara teori memperkuat bahwa kenaikan output akan menurunkan harga output komoditas
tersebut. Hal ini juga terjadi pada industri pengolahan hasil-hasil pertanian, yaitu industri
makanan, minuman dan tembakau turun (0.120 persen) jangka pendek, dan turun (0.298
persen) pada jangka panjang, dan pada industri penggilingan padi/beras mampu mendorong
harga semakin murah (0.828 persen) pada jangka pendek, dan (0.860 persen) pada jangka
panjang.
Temuan tersebut juga mengindikasikan bahwa tingkat harga pada industri tersebut
sangat dipengaruhi oleh ketersediaan inputnya yang secara tidak langsung disebabkan oleh
penggunaan pupuk di level petani. Penyediaan dan aksesibilitas yang mudah untuk pupuk
bersubsidi dan berkualitas akan menyebabkan biaya produksi dan harga produk menurun.
Harga output tetap mengalami penurunan dalam jangka panjang, tetapi dengan besaran
persentase yang lebih kecil dibandingkan dengan jangka pendek. Diduga hal ini
dikarenakan pada jangka panjang semua biaya produksi, termasuk harga input dianggap
biaya variabel. Artinya fleksibilitas harga pada jangka panjang lebih besar dibandingkan
jangka pendek.
Dampak berikutnya adalah dampak kebijakan subsidi pupuk terhadap sektor jasa
yang merupakan sektor pengguna sekaligus sebagai sektor tersier dalam perekonomian.
Secara teori, sektor jasa merupakan sektor dalam ekonomi yang keberadaannya bisa
disebabkan oleh sektor yang mempunyai keterkaitan langsung dengan pertanian dan
industri/manufaktur secara fisik (tangible) maupun tidak (intangible). Sektor jasa yang
mempunyai keterkaitan langsung sebagai pengguna dari output sektor pertanian dan
industri dalam penelitian ini adalah komoditas perdagangan dan sektor hotel dan restoran
sebagai tangible sectors, sedangkan komoditas lainnya sebagai intangible sectors.
Kebijakan subsidi pupuk berdampak terhadap kenaikan output dalam jangka
pendek pada sektor jasa yang terbesar adalah sektor jasa tangible yaitu pada komoditas
perdagangan naik (0.008 persen) pada jangka pendek dan naik (0.291 persen) pada jangka
panjang. Sektor hotel dan restoran turun (0.028 persen) pada jangka pendek dan jangka
panjang (0.195 persen). Adapun sektor gas, sebagai intermediate good bagi industri pupuk,
adanya kebijakan ini ternyata menngkatkan dan yang paling terkecil adalah pada komoditas
hotel dan restoran (-0.058 persen). Sektor perdagangan dan sektor hotel dan restoran
menjadi sektor antara yang menghubungkan konsumen dengan produsen. Penciptaan output
di sektor perdagangan dinyatakan dalam bentuk margin, yang merepresentasikan kuantitas
transaksi dalam perekonomian. Meskipun secara tidak langsung kebijakan subsidi pupuk
tidak mempengaruhi komoditas tersebut, namun memungkinkan berkembangnya arus dan
transaksi perdagangan. Sektor perdagangan, hotel dan restoran memiliki keterkaitan yang
erat dengan output antara bagi para pengguna pupuk terutama di sektor pertanian dan
industri pengolahan.
Kedua komoditas tersebut, berdampak pula terhadap harga outputnya baik dalam
jangka pendek maupun jangka panjang. Dalam jangka pendek, komoditas terbesar yang
terkena dampaknya adalah sektor perdagangan dimana harga output menurun (-0.050
persen) sedangkan jangka panjang (-0.339 persen) dan terkecil pada sektor hotel dan
restoran, pada jangka pendek naik (0.104 persen) dan jangka panjang (-0.229 persen). Hal
ini menunjukkan bahwa penurunan harga output tersebut diduga oleh karena turunnya
harga faktor primer komposit dalam jangka pendek, kemudian harga faktor primer
komposit tersebut pada setiap komoditas mengalami peningkatan pula dalam jangka
panjang. Peningkatan jangka panjang tersebut sejalan dengan meningkatnya kebutuhan
terhadap modal, kenaikan upah dan penggunaan teknologi pertanian supaya mampu
mendorong untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi skala usaha di sektor jasa .
Kebijakan fiskal untuk subsidi pupuk yang dilaksanakan pemerintah ini, terhadap
sektor yang mempunyai keterkaitan ke depan dan ke belakang atau dikatakan sebagai
sektor pioneer, maka akan mendorong bertumbuhnya usaha pada sektor jasa-jasa lainnya
seperti komoditas jasa angkutan. Kendala transportasi yang merupakan sarana vital dalam
usaha perdagangan dan perhotelan menjadi faktor penting dalam mendistribusikan pupuk
bersubsidi hingga sampai ke pengguna yang dalam hal ini adalah rumahtangga. Kondisi ini
memicu peningkatan output sektor ini dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Arus
lalu lintas barang dan jasa yang semakin lancar dan dalam jumlah yang semakin besar,
memungkinkan terciptanya skala usaha yang makin besar.
Skala usaha yang besar, secara teoritis, mampu menciptakan penghematan
(economic of scale) yang berdampak pada peningkatan efisiensi dan produktivitas
perusahaan. Efisiensi dan produktivitas yang tercipta menjadi pemicu bagi perusahaan
untuk meningkatkan kapasitas produksinya. Dampak dari meningkatnya efisiensi dan
produktivitas mengakibatkan harga output komoditas perdagangan dan komoditas hotel dan
restoran ini semakin menurun, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Turunnya harga
dalam jangka pendek lebih disebabkan oleh turunnya harga faktor primer komposit karena
harga faktor produksi yang lebih rigid. Seiring peningkatan upah riil, maka dalam jangka
panjang harga faktor primer komposit kembali mengalami peningkatan.
Kegiatan ekonomi di sektor jasa-jasa lainnya yang bersifat intangible meliputi
komoditas-komoditas selain sektor perdagangan dan sektor hotel dan restoran. Secara
umum, dengan adanya kebijakan subsidi pupuk berdampak pada meningkatnya output pada
sektor-sektor jasa yang intangible tersebut. Kebijakan subsidi pupuk meskipun secara tidak
langsung mempengaruhi sektor-sektor jasa tersebut, namun mampu mendorong terhadap
output meningkat pada komoditas komunikasi (0.018 persen) sebagai komoditas terbesar
yang terkena dampaknya pada jangka pendek dan jangka panjang naik (0.285 persen).
Untuk komoditas angkutan baik angkutan darat maupun angkutan air, masing-masing
sebesar (-0.065) dan (-0.034 persen) pada jangka pendek sebagai komoditas terkecil yang
terkena dampaknya sedangkan untuk jangka panjang naik (0.325 persen) dan naik (0.234
persen). Kedua komoditas tersebut menurunkan harga outputnya pada jangka panjang yang
masing-masing (-0.055) dan (-0.159 persen), secara berurutan. Hal tersebut diduga oleh
turunnya harga faktor primer komposit dalam jangka pendek, kemudian harga faktor primer
komposit tersebut pada setiap komoditas mengalami kenaikan. Hal ini juga didorong oleh
meningkatnya kebutuhan terhadap modal, kenaikan upah riilnya dan penggunaan teknologi
supaya mampu mendorong untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi skala usaha.
Perekonomian diharapkan dapat berjalan secara efisien, sehingga produktivitas dapat
meningkat seiring perbaikan pelaksanaan dari adanya kebijakan subsidi pupuk ini.
BAB IV
KESIMPULAN
Dari pemaparan yang diberikan, dapat diambil kesimpulan hubungan kebijakan fiskal
dengan kinerja sektor pertanian dan agroindustri sebagai berikut :
a. Instrumen kebijakan fiskal dalam jangka panjang yang paling kuat mempengaruhi
kinerja sektor pertanian dan agroindustri adalah anggaran sektor pertanian,
penelitian dan pengembangan pertanian, infrastruktur pertanian, dan desentralisasi
fiskal
b. Instrumen kebijakan fiskal dalam jangka panjang yang paling kuat mempengaruhi
kinerja sektor pertanian dan agroindustri adalah anggaran sektor pertanian,
penelitian dan pengembangan pertanian, infrastruktur pertanian, dan desentralisasi
fiskal.
c. Respons kinerja sektor pertanian dan agroindustri atas shock instrumen kebijakan
fiskal untuk mencapai keseimbangan relatif lama (masing-masing 9 dan 8 tahun).
Sedangkan instrumen kebijakan fiskal yang efektif mempengaruhi kinerja sektor
pertanian dan agroindustri dalam jangka panjang adalah :
a. Untuk memperbaiki kinerja sektor pertanian : anggaran pajak pertambahan nilai,
anggaran penelitian dan pengembangan pertanian, anggaran infrastruktur, subsidi
pertanian, dan desentralisasi fiskal.
b. Untuk memperbaiki kinerja agroindustri : pajak penghasilan, pajak pertambahan
nilai, anggaran infrastruktur pertanian, dan desentralisasi fiskal.
Dampak kebijakan subsidi pupuk terhadap kinerja sektoral :
a. Pada jangka pendek, dampak yang dirasakan secara langsung kebijakan subsidi
pupuk terhadap output yang paling besar pada sektor pertanian terkena dampaknya
adalah komoditas tanaman perkebunan meningkat, sedangkan yang paling rendah
adalah komoditas perikanan menurun.
b. Pada jangka panjang, baik yang terbesar maupun terkecil mengikuti dampak
jangka pendeknya, yaitu pada komoditas tanaman perkebunan, sedangkan paling
kecil dampaknya yang dirasakan oleh komoditas perikanan yakni mengalami
peningkatan.
DAFTAR PUSTAKA
Booth, A. 2002. The changing role of non-farm activities in agricultural households in
Indonesia: Some insights from the agricultural censuses. Bulletin of Indonesian
Economic Studies 38(2):179-200.
Druska, V. and Horrace, W.C. 2004. Generalized moments estimation for spatial panel data:
Indonesian rice farming. American Journal of Agricultural Economics 86(1):185-198.
Enders, W. 2004. Applied Econometrics Time Series. Second Edition. Alabama: John Wiley
& Sons.
Fuglie, K.O. 2004. Productivity growth in Indonesian agriculture, 1961-2000. Bulletin of
Indonesian Economic Studies 40(2): 209-25.
Hill, H. 1996. Transformasi Ekonomi Indonesia Sejak 1966. Edisi terjemahan. Yogyakarta:
Universitas Gadjah Mada: Pusat Antar Universitas (PAU) Ekonomi.
Priyarsono, D.S., Daryanto, A., dan Herlina, L. 2012. Dapatkah pertanian menjadi mesin
pertumbuhan ekonomi Indonesia? analisis sistem neraca sosial ekonomi.
Agro-Ekonomika (35)1:37-48.
Sa’id, E.G. dan Dewi, G. Candra. 2013. Membangun Dayasaing Global
Agribisnis/Agroindustri. Bogor: Institut Pertanian Bogor, Magister Manajemen
Agribisnis.
Siregar, H. dan Kolopaking, L.M. 2003. Semakin membaikkah kinerja pertanian kita
setelah krisis? analisis ringkas berdasarkan indikator-indikator agregat. Agrimedia
8:8-15.
Sudaryanto, T., Rusastra, I.W., Syam, A., dan Ariani, M. 2011. Analisis Kebijaksanaan:
Paradigma Pembangunan dan Kebijaksanaan Pengembangan Agroindustri. Bogor:
Departemen Pertanian RI, Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Pusat
Penelitian Sosial Ekonomi.
Subiyantoro, H. dan S. Riphat. 2004. Kebijakan Fiskal Pemikiran, Konsep dan
Implementasi. Penerbit Buku Kompas.
Priyarsono, D.S., A. Daryanto, dan L. Herlina. 2005. Dapatkah Pertanian Menjadi Mesin
Pertumbuhan Ekonomi Indonesia?: Analisis Sistem Neraca Sosial Ekonomi.
Agroekonomika, (35)1:37-48.
Nanga, M. 2001. Makroekonomi: Teori, Masalah dan Kebijakan. PT. RajaGrafindo Persada,
Jakarta.
Sastrosunarto, H. 2006. Industrialisasi Serta Pembangunan Sektor Pertanian dan Jasa.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Sipayung, T. 2000. Pengaruh Kebijakan Makroekonomi terhadap Sektor Pertanian dalam
Pembanguan Ekonomi Indonesia. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
PENGARUH KEBIJAKAN FISKAL INDONESIA
TERHADAP KINERJA SEKTOR PERTANIAN
Disusun Sebagai Take Home Exam UAS Mata Kuliah Regulation Monetary &
Fiscal Policies
Dosen: Dr. Rudi Purwono, SE., MSE.
Disusun oleh:
Theodolus Indiananta Widariono 041514353019
ANGKATAN 45 AKHIR PEKAN
MAGISTER MANAJEMEN FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2016