paper fiskal theo

26
BAB I LATAR BELAKANG I.1 Berbagai Kebijakan Pemerintah dalam Perekonomian Indonesia Berbicara tentang perekonomian Indonesia, yang akan terpikir di benak kita adalah tentang kondisi dan keadaan ekonomi di Indonesia. Kondisi perekonomian Indonesia dapat diukur dengan menggunakan beberapa indikator, misalnya pendapatan nasional dan Produk Domestik Bruto (PDB). Pendapatan nasional dan PDB yang tinggi menandakan kondisi perekonomian suatu negara sedang bergairah. Pemerintah mempunyai berbagai kebijakan untuk menjaga atau memperbaiki kualitas perekonomian Indonesia. Salah satunya adalah kebijakan fiskal. Kebijakan fiskal merupakan kebijakan yang berkaitan dengan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Kebijakan fiskal mempunyai berbagai bentuk. salah satu bentuk kebijakan fiskal yang marak beberapa tahun terakhir adalah BLT. Banyak orang melihat BLT hanya bantuan kepada orang yang kurang mampu. Sebenarnya di balik itu ada tujuan khusus dari pemerintah. BLT diharapkan mampu meningkatkan pendapatan masyarakat. Dengan meningkatnya pendapatan masyarakat, daya beli masyarakat juga meningkat. Dengan demikian permintaan dari masyarakat juga meningkat. Meningkatnya permintaan dari masyarakat akan mendorong produksi yang pada akhirnya akan memperbaiki kondisi perekonomian Indonesia. Contoh lain dari kebijakan fiskal adalah proyek-proyek yang diadakan oleh pemerintah. katakanlah pemerintah mengadakan proyek membangun jalan raya. Dalam proyek ini pemerintah membutuhkan buruh dan pekerja lain untuk menyelesaikannya. Dengan kata lain proyek ini menyerap SDM sebagai tenaga kerja. Hal ini membuat pendapatan orang yang bekerja di situ bertambah. Dengan bertambahnya pendapatan mereka akan terjadi efek yang sama dengan BLT tadi. Kebijakan fiskal juga dapat berupa kostumisasi APBN oleh pemerintah. Misalnya

Upload: theodolus-indiananta-widariono

Post on 07-Jul-2016

228 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

fiskal

TRANSCRIPT

Page 1: Paper Fiskal Theo

BAB I

LATAR BELAKANG

I.1 Berbagai Kebijakan Pemerintah dalam Perekonomian Indonesia

Berbicara tentang perekonomian Indonesia, yang akan terpikir di benak kita adalah

tentang kondisi dan keadaan ekonomi di Indonesia. Kondisi perekonomian Indonesia dapat

diukur dengan menggunakan beberapa indikator, misalnya pendapatan nasional dan Produk

Domestik Bruto (PDB). Pendapatan nasional dan PDB yang tinggi menandakan kondisi

perekonomian suatu negara sedang bergairah. Pemerintah mempunyai berbagai kebijakan

untuk menjaga atau memperbaiki kualitas perekonomian Indonesia. Salah satunya adalah

kebijakan fiskal. Kebijakan fiskal merupakan kebijakan yang berkaitan dengan Anggaran

Pendapatan Belanja Negara (APBN).

Kebijakan fiskal mempunyai berbagai bentuk. salah satu bentuk kebijakan fiskal yang

marak beberapa tahun terakhir adalah BLT. Banyak orang melihat BLT hanya bantuan

kepada orang yang kurang mampu. Sebenarnya di balik itu ada tujuan khusus dari

pemerintah. BLT diharapkan mampu meningkatkan pendapatan masyarakat. Dengan

meningkatnya pendapatan masyarakat, daya beli masyarakat juga meningkat. Dengan

demikian permintaan dari masyarakat juga meningkat. Meningkatnya permintaan dari

masyarakat akan mendorong produksi yang pada akhirnya akan memperbaiki kondisi

perekonomian Indonesia. Contoh lain dari kebijakan fiskal adalah proyek-proyek yang

diadakan oleh pemerintah. katakanlah pemerintah mengadakan proyek membangun jalan

raya. Dalam proyek ini pemerintah membutuhkan buruh dan pekerja lain untuk

menyelesaikannya. Dengan kata lain proyek ini menyerap SDM sebagai tenaga kerja. Hal

ini membuat pendapatan orang yang bekerja di situ bertambah. Dengan bertambahnya

pendapatan mereka akan terjadi efek yang sama dengan BLT tadi.

Kebijakan fiskal juga dapat berupa kostumisasi APBN oleh pemerintah. Misalnya

Page 2: Paper Fiskal Theo

dengan deficit financing. Deficit financing adalah anggaran dengan menetapkan

pengeluaran lebih besar dari penerimaan. Deficit financing dapat dilakukan dengan

berbagai cara. Dahulu pemerintahan Bung Karno pernah menerapkannya dengan cara

memperbanyak utang dengan meminjam dari Bank Indonesia. Yang terjadi kemudian

adalah inflasi besar-besaran (hyper inflation) karena uang yang beredar di masyarakat

sangat banyak. Untuk menutup anggaran yang defisit dipinjamlah uang dari rakyat.

Sayangnya, rakyat tidak mempunyai cukup uang untuk memberi pinjaman pada pemerintah.

akhirnya, pemerintah terpaksa meminjam uang dari luar negeri.

Tidak hanya Indonesia, tetapi Amerika Serikat juga pernah menerapkan deficit

financing dengan mengadakan suatu proyek. proyek tersebut adalah normalisasi sungan

Mississipi dengan nama Tenesse Valley Project. Proyek ini dimaksudkan agar tidak terjadi

banjir. Proyek ini adalah contoh proyek yang menerapkan prinsip padat karya. Dengan

adanya proyek ini pengeluaran pemerintah memang bertambah, tetapi pendapatan

masyarakat juga naik. Pada akhirnya hal ini akan mendorong kegiatan ekonomi agar

menjadi bergairah. Mari kita mengingat sedikit kejadian pada akhir tahun 1997 saat terjadi

krisis moneter di Indonesia. Pada saat itu nasabah berduyun-duyun mengambil uang di

bank (fenomena bank rush) karena takut bank tidak mempunyai dana yang cukup untuk

mengembalikan tabungan mereka. Untuk mengatasi masalah ini bank-bank umum diberi

pinjaman dari Bank Indonesia yang disebut Bantuan Langsung Bank Indonesia (BLBI).

Pada saat itu memang seluruh tabungan dijamin oleh pemerintah, maka dari itu pemerintah

juga harus mengambil tindakan saat terjadi fenomena tadi.

Seharusnya saat suatu perusahaan (termasuk bank umum) kekurangan modal pemilik

harus menambah modalnya pada perusahaan tersebut. ini berlaku pada umum dan

pemerintah. Jika pemerintah kekurangan dana, pemerintah bisa menambah dana dengan

menjual saham yang dimiliki pemerintah. perlu diingat, ada beberapa perusahaan yang

sahamnya dimiliki pemerintah.

Di banyak negara yang sedang berkembang pemerintahnya melakukan kebijakan suku

bunga dengan cara membatasi suku bunga berlaku di pasar uang baik untuk suku bunga

Page 3: Paper Fiskal Theo

kredit maupun suku bunga deposito. Demikian halnya dengan pemerintah Indonesia

sebelum 1 Juni 1983 juga melakukan kebijakan suku bunga dengan membatasi suku bunga

yang berlaku di Indonesia. Pembatasan suku bunga ini jika dihadapkan pada laju inflasi

terjadi di negara yang sedang berkembang ring menghasilkan suku bunga riil yang igatip.

Hal ini disebabkan karena suku bunga nominal yang ditetapkan oleh pemerintah lebih

daripada laju inflasi, sehingga suku bunga yang merupakan selisih antara suku bunga

mininal dengan laju inflasi akan negatip. Di samping itu, pembatasan suku bunga juga

cenderung menghasilkan distorsi dalam alokasi sumber-sumber produktif, baik melalui

kurangnya akumulasi kapital serta kesalahan kasi kapital tersebut pada tingkat tabungan

berapapun.

Banyak pakar ekonomi, sebagaimana Shaw (1973) dan McKinnon (1973), yang telah

mengemukakan pendapatnya bahwa distorsi yang disebabkan oleh "represi keuangan"

negara yang sedang berkembang bahkan lebih penting daripada distorsi yang disebabkan

oleh kebijakan lainnya seperti misalnya pembatasan perdagangan.

Kedua pakar di atas juga mengatakan bahwa elemen yang penting di dalam

pembangunan ekonomi adalah liberalisasi pasar keuangan. Sebab dengan adanya

liberalisasi di bidang keuangan ini akan menghilangkan distorsi yang terjadi di pasar uang,

Sebagaimana yang dijalankan pemerintah Indonesia pada 1 Juni 1983 dengan deregulasi di

bidang perbankan khususnya, yaitu dengan cara menghilangkan pagu kredit dan memberi

kebebasan pada bank-bank umum untuk menentukan suku bunganya sendiri tanpa campur

tangan pemerintah. Kebijakan deregulasi ini dimaksudkan sebagai tindakan pemerintah

dengan cara mengurangi dan atau melonggarkan aturan - aturan yang dianggap

menyebabkan terjadinya distorsi. Kata deregulasi tersebut digunakan untuk menggantikan

kata liberalisasi.

Tindakan pemerintah tersebut bertujuan untuk meningkatkan suku bunga dan atau

mengurangi laju inflasi. Meskipun banyak ahli/ekonom yang setuju atas program reformasi

keuangan tersebut akan menguntungkan bagi negara-negara yang sedang berkembang, di

mana elemen kuncinya adalah suku bunga, akan tetapi banyak juga ekonom yang

Page 4: Paper Fiskal Theo

menyangsikan keberhasilan tersebut. Vogel (1979), Galbis (1981), McKinnon (1981&82),

dan ekonom lainnya telah melakukan pengujian terhadap masalah yang akan muncul

seandainya program tersebut dilakukan bagi suatu negara yang sedang berkembang. Karena

masing-masing negara berkembang mempunyai karakteristik sendiri-sendiri, sehingga

program tersebut tidak dapat disamaratakan antara negara yang satu dengan negara lainnya.

Menurut Galbis (1981), keberhasilan program reformasi keuangan tersebut, apapun

namanya baik deregulasi maupun liberalisasi, akan tergantung pada berbagai persyaratan

sebagai berikut:

1. Pemerintah harus menganut prinsip dasar perekonomian pasar artinya campur tangan

pemerintah dihilangkan.

2. Struktur dan ukuran pasar keuangan tersebut cukup/memadai untuk terjadinya

persaingan yang efektif, artinya agen/ pemain yang ada dipasar keuangan tersebut cukup

besar/banyak.

3. Kebebasan untuk keluar masuk pasar dimungkinkan terjadi, ini berarti bahwa

hambatan untuk memasuki dunia usaha tersebut tidak dimungkinkan terjadi.

Dengan demikian jika ketiga kondisi di atas, salah satu atau semuanya, tidak terpenuhi

maka pembebasan suku bunga akan berpotensi menyebabkan terjadinya ketidakstabilan

pasar uang tersebut. Meningkatnya kekuatan oligopoli dipasar uang tersebut, dan

merangsang adanya situasi pasar yang cenderung mendukung adanya suku bunga deposito

yang lebih rendah.

Dalam hal ini suku bunga merupakan pokok bahasan (variabel kunci) karena

sebagaimana yang dikemukakan oleh Gonzales-Vega (1982), dimana suku bunga

merupakan harga relatif terpenting yang ada diperekonomian pasar; suku bunga merupakan

penentu dan pengawas terjadi harga barang-barang lainnya dipasar; dan suku bunga telah

dikenal secara umum sebagai penyebab terjadinya distorsi pasar secara umum.

Masalah yang mungkin terjadi dengan adanya deregulasi perbankan di Indonesia

ditahun 1983 mungkin lebih berat jika dibandingkan dengan tidak adanya reformasi

Page 5: Paper Fiskal Theo

keuangan, dalam artian bahwa pembatasan suku bunga yang dilakukan oleh pemerintah

Indonesia masih lebih baik. Hal ini diperkirakan karena persyaratan untuk keberhasilan

reformasi keuangan tersebut diragukan adanya. Dan bahkan ada yang menyarankan adanya

urutan dalam reformasi tersebut, manakah yang lebih didahulukan apakah di bidang

keuangan, pasar modal, maupun di bidang lainnya.

Menurut Iwan Jaya Azis (1996) urutan tahapan yang dipilih oleh pemerintah Indonesia

memang bukan urutan yang terbaik, bahkan bertentangan dengan hipotesis yang umumnya

muncul dalam buku teks yaitu bahwa stabilisaaj harus mendahului program penyesuaian

struktural, reformasi perdagangan harua mendahului reformasi keuangan dan baru setelah

semuanya diterapkan neraca modal dapat dibuka (sistem devisa bebas). Sedangkan yang

dilakukan oleh pemerintah Indonesia adalah sebagai berikut:

1. Sistem devisa bebas sudah dianut sejak tahun 1971, jadi bukan tahap akhir dari

seluruh episode, dan

2. Reformasi keuangan dilaksanakan mulai Juni 1983, jadi lebih dahulu jika

dibandingkan dengan

3. Liberalisasi perdagangan yang baru dilakukan sekitar tahun 1986.

Akan tetapi hasil yang dicapai berdasarkan indikator makro menunjukkan bahwa laju

pertumbuhan ekonomi dapat lebih tinggi dari pada yang sesungguhnya terjadi. Namun

dengan memperhitungkan faktor distribusi pendapatan antar- kelompok masyarakat dengan

tingkat pendapatan berbeda, hasil tahapan reformasi yang dilakukan Indonesia ternyata

lebih buruk. Artinya walaupun laju pertumbuhan ekonomi lebih lambat, namun tingkat

pemerataan relatif masih lebih baik. (Iwan Jaya Azis, 1996 dan Azis, 1996)

I.2 Peran Sektor Pertanian dalam Perekonomian Indonesia

Sektor pertanian dalam perekonomian Indonesia telah berperan untuk memulai,

dan menumbuhkan perekonomian agregat sejak periode 1960-an. Namun, banyak studi

menyimpulkan bahwa peran pertanian semakin menurun secara tidak wajar (dengan

parameter penurunan produktivitas, pangsa ekonomi, serapan tenaga kerja, dan kemampuan

Page 6: Paper Fiskal Theo

membangkitkan sektor sekunder) sehingga sejak pertengahan periode 1990-an tidak mampu

lagi menjadi pendukung tumbuh kembangnya perekonomian Indonesia (Hill, 1996; Booth,

2002; Martin and Warr, 1993; Muslim, 2002; Siregar dan Kolopaking, 2003; Fuglie, 2004;

Druska and Horrace, 2004; Simatupang, et. al., 2004; Priyarsono, et al., 2005; Tambunan,

1992, 2008) karena under investment.

Rantai agroindustri sebagai fase antara untuk mengantarkan proses transformasi

industrialisasi di Indonesia tidak berkembang. Sebagai akibatnya, perekonomian domestik

tidak dapat menciptakan nilai tambah produk primer pertanian, dan tidak dapat menikmati

nilai tambah tersebut untuk kesejahteraan (Sudaryanto, et al., 2002; Sa’id dan Dewi, 2006).

Penurunan kinerja pertanian dan ketidakterkaitan antara pertanian dan agroindustri

di Indonesia adalah persoalan struktural jangka panjang yang harus didekati dengan

ekonomi-politik dengan kebijakan fiskal sebagai sumber stimulator. Permasalahannya

adalah dengan instrumen kebijakan fiskal apa yang efektif untuk memperbaiki keadaan

tersebut.

Paper ini bertujuan mencari jawaban permasalahan tersebut dengan cara (1)

mengkaji kinerja sektor pertanian dan agroindustri, (2) mengkaji hubungan kebijakan fiskal

dengan kinerja sektor pertanian dan kinerja agroindustri, (3) mengkaji instrumen kebijakan

fiskal yang efektif mempengaruhi kinerja sektor pertanian, dan kinerja agroindustri, dan (4)

mengkaji keterkaitan antara kinerja sektor pertanian dengan kinerja agroindustri pada

kondisi fiskal di Indonesia.

Page 7: Paper Fiskal Theo

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Kebijakan Fiskal

Kebijakan Fiskal adalah suatu kebijakan ekonomi dalam rangka mengarahkan kondisi

perekonomian untuk menjadi lebih baik dengan jalan mengubah penerimaan dan

pengeluaran pemerintah. Kebijakan ini mirip dengan kebijakan moneter untuk mengatur

jumlah uang beredar, namun kebijakan fiskal lebih mekankan pada pengaturan pendapatan

dan belanja pemerintah. Kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka

mendapatkan dana-dana dan kebijaksanaan yang ditempuh oleh pemerintah untuk

membelanjakan dananya tersebut dalam rangka melaksanakan pembangunan. Atau dengan

kata lain, kebijakan fiskal adalah kebjakan pemerintah yang berkaitan dengan penerimaan

atau pengeluaran Negara. Dari semua unsure APBN hanya pembelanjaan Negara atau

pengeluaran dan Negara dan pajak yang dapat diatur oleh pemerintah dengan kebijakan

fiscal. Contoh kebijakan fiscal adalah apabila perekonomian nasional mengalami

inflasi,pemerintah dapat mengurangi kelebihan permintaan masyarakat dengan cara

memperkecil pembelanjaan dan atau menaikkan pajak agar tercipta kestabilan lagi. Cara

demikian disebut dengan pengelolaan anggaran.

Tujuan kebijakan fiskal adalah untuk mempengaruhi jalannya perekonomian. Hal ini

dilakukan dengan jalan memperbesar dan memperkecil pengeluaran komsumsi pemerintah

(G), jumlah transfer pemerntah (Tr), dan jumlah pajak (Tx) yang diterima pemerintah

sehingga dapat mempengaruhi tingkat pendapatn nasional (Y) dan tingkat kesempatan kerja

(N).

Tujuan utama kebijakan fiskal ialah untuk mencegah pengangguran dan menstabilkan

harga. Implementasinya untuk menggerakkan Pos penerimaan dan pengeluaran dalam

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dengan semakin kompleksnya struktur

ekonomi perdagangan dan keuangan, maka semakin rumit pula cara penanggulangan inflasi.

Kombinasi beragam harus digunakan secara tepat, seperti kebijakan fiskal, kebijakan

Page 8: Paper Fiskal Theo

moneter, perdagangan dan penentuan harga.Dalam kebijakan fiskal, inflasi dikendalikan

dengan surplus anggaran, sedangkan dalam kerangka kebijakan moneter, inflasi

dikendalikan dengan tingkat bunga dan cadangan wajib. Piranti kebijakan yang perlu

dipersiapkan antara lain : pajak untuk sektor swasta, pinjaman pada masyarakat, serta

pengeluaran pemerintah untuk pengendalian pengangguran. Permasalahan yang mungkin

muncul dalam kebijakan fiskal antara lain : bagaimana meningkatkan kemampuan

perpajakan (Taxable Capacity), bagaimana membuat seimbang komposisi pajak, dan

bagaimana merancang pajak-pajak khusus.

Macam-macam Kebijakan Fiskal :

1. Functional finance : Pembiayaan pemerintah yang bersifat fungsional.

2. The managed budget approach : Pendekatan pengelolaan Anggaran.

3. The stabilizing budget : Stabilisasi anggaran yang otomatis, apabila model ini gagal,

maka pemerintah dapat meningkatkan pengeluarannya seperti dengan menaikkan gaji PNS

atau subsidi.

4. Balance budget approach : Pendekatan Anggaran Belanja berimbang, namun bila

terlambat penyesuaian (Perubahan Anggaran Keuangan), maka kepercayaan masyarakat

akan hilang.

Instrumen kebijakan fiskal adalah penerimaan dan pengeluaran pemerintah yang

berhubungan erat dengan pajak. Dari sisi pajak jelas jika mengubah tarif pajak yang berlaku

akan berpengaruh pada ekonomi. Jika pajak diturunkan maka kemampuan daya beli

masyarakat akan meningkat dan industri akan dapat meningkatkan jumlah output. Dan

sebaliknya kenaikan pajak akan menurunkan daya beli masyarakat serta menurunkan output

industri secara umum. Perubahan dalam tingkat dan komposisi pajak dan pengeluaran

pemerintah dapat berdampak pada variabel-variabel berikut dalam perekonomian:

1. Aggregate demand and the level of economic activity ( Permintaan agregat dan

tingkat kegiatan ekonomi )

2. The pattern of resource allocation (Pola alokasi sumber daya)

3. The distribution of income (Distribusi pendapatan) Kebijakan fiskal mengacu pada

efek keseluruhan hasil anggaran pada kegiatan ekonomi. Sikap yang tiga kemungkinan

Page 9: Paper Fiskal Theo

kebijakan fiskal yang netral, ekspansif, dan kontraktif.

4. Sebuah sikap netral menyiratkan kebijakan fiskal anggaran berimbang di mana G =

T (Pemerintah pengeluaran = Pajak pendapatan). Pengeluaran pemerintah sepenuhnya

didanai oleh penerimaan pajak dan hasil keseluruhan anggaran memiliki efek netral pada

tingkat kegiatan ekonomi.

5. Sikap ekspansif kebijakan fiskal bersih melibatkan peningkatan pengeluaran

pemerintah (G> t) melalui pengeluaran pemerintah meningkat, penurunan pendapatan pajak,

atau kombinasi dari keduanya. Hal ini akan mengakibatkan defisit anggaran yang lebih

besar atau lebih kecil daripada surplus anggaran pemerintah sebelumnya, atau defisit jika

sebelumnya pemerintah memiliki anggaran berimbang. . Ekspansioner kebijakan fiskal

biasanya berhubungan dengan defisit anggaran.

6. Sebuah kontraktif kebijakan fiskal (G <T) terjadi ketika bersih dikurangi

pengeluaran pemerintah baik melalui pendapatan pajak yang lebih tinggi, mengurangi

pengeluaran pemerintah, atau kombinasi dari keduanya. Hal ini akan mengakibatkan defisit

anggaran yang lebih rendah atau surplus yang lebih besar daripada pemerintah sebelumnya,

atau surplus jika sebelumnya pemerintah memiliki anggaran berimbang. Kontraktif

kebijakan fiskal biasanya berhubungan dengan surplus.

II.2 Hubungan antara kebijakan finansial dan fiskal dengan APBN

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), adalah rencana keuangan tahunan

pemerintahan negara Indonesia yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. APBN berisi

daftar sistematis dan terperinci yang memuat rencana penerimaan dan pengeluaran negara

selama satu tahun anggaran (1 Januari - 31 Desember). APBN, perubahan APBN, dan

pertanggungjawaban APBN setiap tahun ditetapkan dengan Undang-Undang.

Macam-macam Kebijakan Fiskal/Anggaran Jika ditinjau dari sisi teori, ada tiga macam

kebijakan anggaran yaitu:

1, Kebijakan anggaran pembiayaan fungsional (functional finance), adalah kebijakan

yang mengatur pengeluaran pemerintah dengan melihat berbagai akibat tidak langsung

terhadap pendapatan nasional dan bertujuan untuk meningkatkan kesempatan kerja.

Page 10: Paper Fiskal Theo

2. Kebijakan pengelolaan anggaran (the finance budget approach), adalah kebijakan

untuk mengatur pengeluaran pemerintah, perpajakan, dan pinjaman untuk mencapai

stabilitas ekonomi yang mantap.

3. Kebijakan stabilisasi anggaran otomatis (the stabilizing budget), adalah kebijakan

yang mengatur pengeluaran pemerintah dengan melihat besarnya biaya dan manfaat dari

berbagai program. Tujuan kebijakan ini adalah agar terjadi penghematan dalam pengeluaran

pemerintah.

Selanjutnya, jika dilihat dari perbandingan jumlah penerimaan dengan jumlah

pengeluaran, kebijakan fiskal/anggaran dapat dibedakan menjadi empat jenis. sebagai

berikut :

1. Kebijakan Anggaran Seimbang

Kebijakan anggaran seimbang, adalah kebijakan anggaran yang menyusun pengeluaran

sama besar dengan penerimaan. Ini berarti jumlah pengeluaran yang disusun pemerintah

tidak boleh melebihi jumlah penerimaan yang didapat. Sehingga negara tidak perlu

berhutang, baik berhutang dari dalam negeri maupun ke luar negeri. Dalam masa depresi

(kelesuan ekonomi), sebaiknya negara tidak menggunakan kebijakan anggaran seimbang

karena bisa memperburuk keadaan ekonomi. Pada masa depresi penerimaan negara sangat

rendah sehingga negara perlu mendapat pinjaman untuk memperbaiki perekonomian.

Dengan demikian, negara tidak bisa melakukan kebijakan anggaran seimbang. Adapun

kebijakan anggaran yang tepat digunakan pada masa depresi adalah kebijakan anggaran

defisit.

2. Kebijakan Anggaran Defisit

Kebijakan anggaran defisit yaitu kebijakan anggaran dengan cara menyusun

pengeluaran lebih besar daripada penerimaan. Karena pengeluaran lebih besar daripada

penerimaan maka negara mengalami defisit (kekurangan) anggaran. Pada umumnya,

kebijakan anggaran defisit ditempuh pemerintah untuk meningkatkan pertumbuhan

ekonomi. Ibaratnya, seorang pengusaha yang kekurangan modal untuk memajukan usaha

dan ekonominya, berutang pada pihak lain untuk memperoleh tambahan modal sehingga

dapat memajukan usaha dan ekonominya. Asalkan bekerja dan berusaha dengan jujur, tidak

boros, tidak dikorupsi oleh para pegawai, tentu usahanya itu bisa maju. Demikian halnya

Page 11: Paper Fiskal Theo

dengan Indonesia, walaupun negara melakukan kebijakan anggaran defisit, asalkan tidak

dikorupsi, Indonesia pasti mampu memajukan perekonomiannya.

3. Kebijakan Anggaran Surplus

Kebijakan anggaran surplus, yaitu kebijakan anggaran dengan cara menyusun

pengeluaran lebih kecil dari penerimaan. Kebijakan ini umumnya dilakukan pemerintah

untuk mencegah inflasi (kenaikan harga akibat terlalu banyak jumlah uang yang beredar).

Dengan memperkecil jumlah pengeluaran (belanja), diharapkan jumlah permintaan

terhadap barang dan jasa tidak meningkat. Jika permintaan terhadap barang dan jasa tidak

meningkat, maka harga barang dan jasa juga tidak akan naik, ini berarti inflasi bisa dicegah.

4. Kebijakan Anggaran Dinamis

Kebijakan anggaran dinamis, yaitu kebijakan anggaran dengan cara terus menambah

jumlah penerimaan dan pengeluaran sehingga semakin lama semakin besar (tidak statis).

Anggaran yang dinamis diperlukan karena semakin hari semakin banyak kegiatan rutin dan

kegiatan pembangunan yang harus dibiayai negara, yang membutuhkan dana lebih besar.

Penyusunan APBN digunakan sebagai penentu kebijakan fiskal suatu negara,

sebagai alat untuk mempengaruhi peningkatan pendapatan nasional.

II.3 Tujuan Kebijakan Fiskal/Anggaran

Secara rinci, kebijakan anggaran dilakukan pemerintah dengan tujuan sebagai

berikut:

1. Untuk menciptakan stabilitas ekonomi;

2. Untuk menciptakan lapangan kerja

3. Untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi tinggi

4. Untuk menciptakan keadilan dalam mendistribusikan pendapatan

5. Mengatasi inflasi

6. Mengatasi pengangguran

7. Menciptakan pertumbuhan ekonomi.

8. Untuk meningkatkan produksi nasional (PDB) dan pertumbuhan ekonomi.

9. Untuk memperluas lapangan kerja dan mengurangi pengangguran.

10. Untuk menstabilkan harga-harga barang, khususnya mengatasi inflasi

Page 12: Paper Fiskal Theo

BAB III

PEMBAHASAN

III.1 Hubungan Kebijakan Fiskal dengan Kinerja Sektor Pertanian

Hubungan signifikan jangka panjang antara kebijakan fiskal yang meningkatkan

kinerja sektor pertanian adalah peningkatan PDB yang pertanian didorong oleh peningkatan

subsidi pertanian, dan anggaran infrastruktur pertanian. Peningkatan penyerapan tenaga

kerja didorong oleh peningkatan anggaran infrastruktur pertanian. Peningkatan ekspor

produk pertanian didorong oleh peningkatan anggaran sektor pertanian dan penelitian dan

pengembangan sektor pertanian. Peningkatan impor produk pertanian didorong oleh

peningkatan anggaran sektor pertanian dan penelitian dan pengembangan pertanian.

Peningkatan kesejahteraan petani didorong oleh peningkatan penelitian dan pengembangan

pertanian, desentralisasi fiskal, dan investasi.

Dari hasil penelitian diketahui instrumen kebijakan fiskal yang mempunyai

pengaruh signifikan terhadap kinerja sektor pertanian paling banyak, yaitu anggaran

penelitian dan pengembangan petanian dan anggaran infrastruktur pertanian. Kemudian

disusul oleh PPh, anggaran sektor pertanian, dan subsidi disamping investasi. Artinya

instrumen ini dalam jangka panjang berpotensi kuat mempengaruhi kinerja sektor pertanian

sehingga perlu diperhatikan dalam skala prioritas alokasi anggaran dalam fiskal. (Darsono

& Tambunan M., 2012)

Hubungan signifikan jangka panjang antara kebijakan fiskal yang meningkatkan

kinerja agroindustri adalah peningkatan nilai tambah input yang didorong oleh penelitian

dan pengembangan pertanian, dan desentralisasi fiskal, di samping itu, juga investasi dan

konsumsi. Peningkatan nilai tambah output didorong oleh peningkatan penelitian dan

pengembangan pertanian serta desentralisasi fiskal, di samping itu juga investasi dan

konsumsi. Peningkatan pada PPn, PPh, desentralisasi fiskal menurunkan daya saing

Page 13: Paper Fiskal Theo

agroindustri.

Dari hasil analisis juga diketahui instrumen kebijakan fiskal yang mempunyai

pengaruh signifikan terhadap kinerja agroindustri paling banyak, yaitu desentralisasi fiskal,

anggaran penelitian dan pengembangan pertanian, anggaran infrastruktur pertanian,

investasi, dan konsumsi. Artinya instrumen ini dalam jangka panjang berpotensi kuat

mempengaruhi kinerja agroindustri sehingga perlu diperhatikan dalam skala prioritas

alokasi anggaran dalam fiskal. (Hermanto S. & Priyarsono D.S., 2012)

III.2 Dampak Kebijakan Subsidi Pupuk Terhadap Kinerja Sektoral

Secara teori, kebijakan subsidi pupuk sebagai kebijakan subsidi input atau sarana

produksi suatu sektor akan diikuti oleh peningkatan output pada sektor yang bersangkutan

dan sektor lainnya yang terkait baik ke depan maupun ke belakang. Hal ini berarti adanya

kebijakan subsidi pupuk menggeser kurva penawaran ke kanan, sebagai akibat adanya

peningkatan produktivitas. Di sektor pertanian, subsidi pupuk akan berpengaruh terhadap

penggunaan pupuk oleh pelaku pertanian di level produsen pertanian, khususnya pelaku

tanaman pangan, dan pada akhirnya berdampak terhadap peningkatan produktivitas padi

yang kemudian dampak ikutan, berikutnya, terhadap peningkatan produksi beras. Hal ini

senada dengan hasil kajian Syafa’at et al. (2006), Hutagaol et al. (2009), PSE-KP (2009),

dan World Bank (2009b), bahwa kebijakan subsidi pupuk dinilai berdampak positif

terhadap peningkatan produktivitas sektor pertanian dan pendapatan petani terutama untuk

tanaman pangan.

Tabel I. Dampak Kebijakan Subsidi Pupuk terhadap Output dan Harga Output Menurut

Komoditas pada Jangka Pendek dan Panjang

No. Komoditas

Output Harga Output

Jangka

Pendek

Jangka

Panjang

Jangka

Pendek

Jangka

Panjang

Sektor Pertanian

1 Padi 0.176 0.317 -1.328 -1.35

2 Kedelai 0.227 0.355 -0.29 -0.272

Page 14: Paper Fiskal Theo

3 Jagung 0.209 0.339 -1.363 -1.208

4 Tanaman umbi-umbian dan kacangan 0.131 0.242 -0.384 -0.27

5 Sayur-sayuran dan buah-buahan 0.108 0.269 -0.466 -0.491

6 Tanaman makanan lainnya 0.6 0.674 -0.516 -0.44

7 Tanaman perkebunan 0.973 1.307 -0.479 -0.515

8 Peternakan dan hasil-hasilnya 0.011 0.252 -0.023 -0.325

9 Kehutanan -0.002 0.338 0.026 0.424

10 Perikanan -0.004 0.14 -0.028 -0.182

Sektor Pertambangan dan Penggalian

11 Pertambangan minyak, gas dan panas

bumi

0 0.071 0.065 0.078

12 Pertambangan batubara, biji logam

dan galian lain

-0.111 0.105 0.018 0.02

13 Pengilangan minyak bumi -0.072 0.113 0.113 0.253

Sektor Industri

14 Industri makanan minuman tembakau 0.019 0.219 -0.12 -0.298

15 Industri penggilingan padi/ beras 0.18 0.316 -0.828 -0.86

16 Industri tekstil, barang kulit dan alas

kaki

-0.159 0.389 0.016 -0.032

17 Industri barang kayu dan hasil hutan

lainnya

-0.004 0.307 0.043 0.066

18 Industri pulp dan kertas -0.007 0.263 0.035 -0.103

19 Industri pupuk 9.676 10.565 -11.268 -10.435

20 Industri pestisida 0.206 0.593 0.243 0.122

21 Industri kimia, karet dan barang dari

karet

0.012 0.342 0.008 -0.091

22 Industri semen -0.004 0.482 0.085 0.11

23 Industri logam dasar besi dan baja -0.044 0.26 0.052 0.045

24 Industri barang dari logam -0.03 0.431 0.066 -0.041

25 Industri alat angkutan, mesin dan

peralatannya

-0.052 0.282 0.046 -0.047

26 Industri barang lainnya -0.025 0.353 0.064 -0.078

Sektor Jasa-Jasa

27 Gas -0.027 0.206 -0.12 -0.298

28 Listrik dan air bersih 0.027 0.206 0.252 0.328

29 Bangunan 0.003 0.5 0.05 0.002

30 Perdagangan -0.003 0.249 0.033 -0.177

31 Hotel dan restoran 0.008 0.291 -0.05 -0.339

Page 15: Paper Fiskal Theo

32 Angkutan kereta api -0.028 0.195 0.104 -0.229

33 Angkutan darat -0.006 0.258 0.046 -0.285

34 Angkutan air -0.065 0.352 0.035 -0.055

35 Angkutan udara -0.034 0.234 0.059 -0.159

36 Jasa penunjang angkutan -0.02 0.347 0.039 -0.227

37 Komunikasi -0.019 0.171 0.115 0.136

38 Lembaga keuangan 0.018 0.285 0.112 -0.071

39 Jasa pemerintah -0.001 0.157 0.01 -0.836

40 Jasa lainnya -0.006 0.263 0.01 -0.4

Sumber : Data Diolah

Berdasarkan Tabel I, nampak bahwa dampak kebijakan subsidi pupuk terhadap

output dibedakan ke dalam jangka pendek dan panjang menurut komoditas. Pada jangka

pendek, dampak yang dirasakan secara langsung kebijakan subsidi pupuk terhadap output

yang paling besar pada sektor pertanian terkena dampaknya adalah komoditas tanaman

perkebunan meningkat (0.973 persen), sedangkan yang paling rendah adalah komoditas

perikanan menurun (-0.004 persen). Dampak pada jangka panjang, baik yang terbesar

maupun terkecil mengikuti dampak jangka pendeknya, yaitu pada komoditas tanaman

perkebunan (1.307 persen), sedangkan paling kecil dampaknya yang dirasakan oleh

komoditas perikanan yakni mengalami peningkatan (0.140 persen). Adapun untuk

komoditas padi, sebagai salah satu komoditas sasaran dari kebijakan ini, berada di posisi

kelima terbesar baik untuk dampak jangka pendek maupun panjangnya. Sementara, dampak

pada jangka pendek dan jangka panjang masing-masing secara berturut-turut adalah (0.176

persen) dan (0.317 persen).

Dampak yang dirasakan pada komoditas pertanian lainnya, baik untuk tanaman

pangan maupun untuk bukan tanaman pangan. Komoditas tanaman pangan selain padi,

pada jangka pendek seperti komoditas kedelai (0.227 persen), jagung (0.209 persen),

tanaman umbi-umbian dan kacang-kacangan (0.131 persen), sayur-sayuran dan

buah-buahan (0.108 persen), dan tanaman pangan lainnya (0.600 persen) berdampak positif,

sedangkan pada jangka panjangnya untuk komoditas kedelai (0.335 persen), jagung (0.339

Page 16: Paper Fiskal Theo

persen), tanaman umbi-umbian dan kacang-kacangan (0.242 persen), sayur-sayuran dan

buah-buahan (0.269 persen), dan tanaman makanan lainnya (0.674 persen) juga berdampak

positif. Adapun untuk komoditas bukan tanaman pangan seperti peternakan dan

hasil-hasilnya naik (0.011 persen) dan kehutanan negatif (0.008 persen) pada jangka pendek,

sedangkan pada jangka panjang, komoditas peternakan dan hasil-hasilnya (0.388 persen)

dan kehutanan (0.140 persen).

Secara umum semua komoditas pada sektor pertanian, dampak kebijakan subsidi

pupuk terhadap output pada jangka pendek dan jangka panjang mengalami kenaikan,

kecuali untuk komoditas perikanan dan kehutanan yang bernilai negatif pada jangka pendek.

Dampak pada jangka panjang lebih besar dibandingkan dengan jangka pendek, disebabkan

oleh adanya perbedaan asumsi pada variabel harga, upah tenaga kerja, dan biaya produksi.

Pada jangka pendek variabel harga dan upah tenaga kerja lebih kaku dibandingkan jangka

panjang, sedangkan untuk variabel biaya produksi, dalam jangka panjang dianggap tidak

terdapat biaya tetap.

Berdasarkan Tabel I, juga memperlihatkan bahwa peningkatan output pada sektor

pertanian mengakibatkan supply meningkat, akibatnya harga output menurun. Penurunan

harga output tersebut diduga oleh karena turunnya harga faktor primer kompositnya.

Penurunan harga tersebut terjadi pada jangka pendek dan panjang. Harga faktor primer

komposit tersebut pada setiap komoditas mengalami penurunan pula dalam jangka panjang.

Penurunan harga jangka panjang sejalan dengan naiknya kebutuhan terhadap

modal, kenaikan upah dan penggunaan teknologi pertanian supaya mampu mendorong

untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi skala usaha. Bila dicermati lebih jauh

peningkatan output, penurunan harga output dalam jangka pendek dan panjang adalah

merupakan dampak yang diharapkan dari adanya kebijakan subsidi pupuk. Resultan dari

dampak kebijakan subsidi pupuk tersebut mendorong pada meningkatnya pendapatan atau

keuntungan usaha tani sebagai pengguna input.

Dampak berikutnya adalah dampak terhadap industri yang terkait dengan sektor

pertanian, khususnya industri pengolahan hasil-hasil pertanian. Adanya kebijakan subsidi

Page 17: Paper Fiskal Theo

pupuk pada sektor industri sebagai leading sector pada perekonomian Indonesia, ditandai

dengan adanya dominasi kontribusi sektor tersebut terhadap penciptaan nilai tambah

nasional. Analisis yang dilakukan untuk industri ini dapat dibedakan ke dalam dua

kelompok, yaitu industri pengolahan hasil pertanian dan bukan pertanian. Dampak

kebijakan tersebut yang secara tidak langsung dapat mempengaruhi tingkat produktivitas

dan efisiensi sektor industri. Peningkatan produktivitas dan efisiensi mendorong peningkatan

output domestik dan menurunkan harga output maupun harga faktor primer komposit (Tabel I).

Jumlah output pada industri pupuk, mengalami peningkatan yang cukup tinggi

akibat adanya stimulasi permintaan jumlah pupuk dan biaya produksi yang menurun akibat

adanya subsidi dari komoditas gas, baik pada jangka pendek (9.676 persen) maupun jangka

panjang (10.555 persen). Naiknya jumlah output industri pupuk tersebut akibat oleh subsidi

pada input produksi pupuk diikuti oleh kenaikan permintaan gas, baik pada jangka pendek

(0.027 persen) maupun jangka panjang (0.206 persen) secara berurutan. Secara umum,

seluruh komoditas pada sektor industri pengolahan ini tumbuh positif baik dalam jangka

pendek maupun jangka panjang. Industri yang mengalami pertumbuhan output terbesar

dalam jangka pendek adalah industri pupuk itu sendiri. Temuan ini diduga bahwa kebijakan

subsidi pupuk mendorong produksi naik dan harga turun pada jangka pendek dan jangka

panjang.

Peningkatan output di sektor industri ini menunjukkan pentingnya peran subsidi

pupuk dalam menunjang peningkatan kapasitas produksi pada sektor industri pengolahan.

Dampak kebijakan subsidi pupuk ternyata menstimulus untuk menigkatkan jumlah

produksi pada industri pupuk sendiri, yang kemudian berdampak pada output sektor

pertanian sebagai input antara untuk sektor industri lainnya sebagai sektor pengguna. Pada

sektor industri, secara umum memberikan dampak positif terhadap output yang

diproduksinya. Secara teori, semakin meningkat jumlah produksi maka berbanding terbalik

dengan harganya. Turunnya harga output pada sektor pertanian khususnya pada komoditas

tanaman pangan dan tanaman bukan pangan sebagai output antara yang digunakan menjadi

input untuk sektor industri. Turunnya tingkat harga di tingkat input maka jumlah

permintaannya semakin meningkat, sehingga produktivitas dan efisiensi di industri semakin

Page 18: Paper Fiskal Theo

meningkat pula, terutama terhadap outputnya. Resultan ini kemungkinan disebabkan

perusahan semakin meningkat dalam mengurangi biaya produksinya. Dengan demikian,

kebijakan subsidi pupuk dapat meningkatkan produktivitas dan efisiensi di sektor industri

pengolahan baik berbasis tanaman pangan maupun bukan tanaman pangan.

Bila dilihat keterkaitan antar sektor, maka tingginya peningkatan output industri

pupuk merefleksikan permintaan terhadap output pada komoditas tersebut tinggi akibat

meningkatnya konsumsinya. Peningkatan konsumsi di tingkat rumahtangga dalam jangka

pendek didorong oleh peningkatan pendapatan akibat penyerapan tenaga kerja dan dalam

jangka panjang disebabkan oleh semakin fleksibiltas pada upah riil. Komoditas pada

industri pupuk tersebut yang mengalami peningkatan output yang relatif tinggi, baik dalam

jangka pendek maupun jangka panjang. Peningkatan output subsektor industri ini dipicu

oleh meningkatnya permintaan pupuk untuk pengusahaan di sektor pertanian. Peningkatan

harga komoditas pertanian di pasar dunia mengakibatkan pengusahaan bidang pertanian

menjadi semakin atraktif. Petani dan pelaku dalam input primer bidang pertanian semakin

tertarik untuk menginvestasikan modalnya di sektor ini, akibatnya permintaan terhadap

pupuk semakin meningkat pula.

Secara teoritis peningkatan penawaran akan menyebabkan output meningkat dan

harga output turun. Peningkatan output di sektor industri pengolahan ini mengakibatkan

harga outputnya menurun pula, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Komoditas

yang outputnya naik paling besar akibat kebijakan ini dalam jangka pendek adalah pada

industri penggilingan padi/beras meningkat (0.180 persen) dan (0.316 persen) pada jangka

panjang, diikuti oleh industri makanan dan minuman naik (0.019 persen) dan (0.219 persen)

pada jangka panjang, sedangkan terkecil adalah industri tekstil, barang kulit dan alas kaki

turun (-0.159 persen) pada jangka pendek.

Harga output pada industri pupuk turun sebagai respon dari kenaikan outputnya,

baik jangka pendek (11.268 persen) maupun jangka panjang (10.435 persen). Temuan ini

menjelaskan bahwa subsidi pupuk pada tingkat harga subsidi pupuk menurunkan harganya,

secara teori memperkuat bahwa kenaikan output akan menurunkan harga output komoditas

Page 19: Paper Fiskal Theo

tersebut. Hal ini juga terjadi pada industri pengolahan hasil-hasil pertanian, yaitu industri

makanan, minuman dan tembakau turun (0.120 persen) jangka pendek, dan turun (0.298

persen) pada jangka panjang, dan pada industri penggilingan padi/beras mampu mendorong

harga semakin murah (0.828 persen) pada jangka pendek, dan (0.860 persen) pada jangka

panjang.

Temuan tersebut juga mengindikasikan bahwa tingkat harga pada industri tersebut

sangat dipengaruhi oleh ketersediaan inputnya yang secara tidak langsung disebabkan oleh

penggunaan pupuk di level petani. Penyediaan dan aksesibilitas yang mudah untuk pupuk

bersubsidi dan berkualitas akan menyebabkan biaya produksi dan harga produk menurun.

Harga output tetap mengalami penurunan dalam jangka panjang, tetapi dengan besaran

persentase yang lebih kecil dibandingkan dengan jangka pendek. Diduga hal ini

dikarenakan pada jangka panjang semua biaya produksi, termasuk harga input dianggap

biaya variabel. Artinya fleksibilitas harga pada jangka panjang lebih besar dibandingkan

jangka pendek.

Dampak berikutnya adalah dampak kebijakan subsidi pupuk terhadap sektor jasa

yang merupakan sektor pengguna sekaligus sebagai sektor tersier dalam perekonomian.

Secara teori, sektor jasa merupakan sektor dalam ekonomi yang keberadaannya bisa

disebabkan oleh sektor yang mempunyai keterkaitan langsung dengan pertanian dan

industri/manufaktur secara fisik (tangible) maupun tidak (intangible). Sektor jasa yang

mempunyai keterkaitan langsung sebagai pengguna dari output sektor pertanian dan

industri dalam penelitian ini adalah komoditas perdagangan dan sektor hotel dan restoran

sebagai tangible sectors, sedangkan komoditas lainnya sebagai intangible sectors.

Kebijakan subsidi pupuk berdampak terhadap kenaikan output dalam jangka

pendek pada sektor jasa yang terbesar adalah sektor jasa tangible yaitu pada komoditas

perdagangan naik (0.008 persen) pada jangka pendek dan naik (0.291 persen) pada jangka

panjang. Sektor hotel dan restoran turun (0.028 persen) pada jangka pendek dan jangka

panjang (0.195 persen). Adapun sektor gas, sebagai intermediate good bagi industri pupuk,

adanya kebijakan ini ternyata menngkatkan dan yang paling terkecil adalah pada komoditas

Page 20: Paper Fiskal Theo

hotel dan restoran (-0.058 persen). Sektor perdagangan dan sektor hotel dan restoran

menjadi sektor antara yang menghubungkan konsumen dengan produsen. Penciptaan output

di sektor perdagangan dinyatakan dalam bentuk margin, yang merepresentasikan kuantitas

transaksi dalam perekonomian. Meskipun secara tidak langsung kebijakan subsidi pupuk

tidak mempengaruhi komoditas tersebut, namun memungkinkan berkembangnya arus dan

transaksi perdagangan. Sektor perdagangan, hotel dan restoran memiliki keterkaitan yang

erat dengan output antara bagi para pengguna pupuk terutama di sektor pertanian dan

industri pengolahan.

Kedua komoditas tersebut, berdampak pula terhadap harga outputnya baik dalam

jangka pendek maupun jangka panjang. Dalam jangka pendek, komoditas terbesar yang

terkena dampaknya adalah sektor perdagangan dimana harga output menurun (-0.050

persen) sedangkan jangka panjang (-0.339 persen) dan terkecil pada sektor hotel dan

restoran, pada jangka pendek naik (0.104 persen) dan jangka panjang (-0.229 persen). Hal

ini menunjukkan bahwa penurunan harga output tersebut diduga oleh karena turunnya

harga faktor primer komposit dalam jangka pendek, kemudian harga faktor primer

komposit tersebut pada setiap komoditas mengalami peningkatan pula dalam jangka

panjang. Peningkatan jangka panjang tersebut sejalan dengan meningkatnya kebutuhan

terhadap modal, kenaikan upah dan penggunaan teknologi pertanian supaya mampu

mendorong untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi skala usaha di sektor jasa .

Kebijakan fiskal untuk subsidi pupuk yang dilaksanakan pemerintah ini, terhadap

sektor yang mempunyai keterkaitan ke depan dan ke belakang atau dikatakan sebagai

sektor pioneer, maka akan mendorong bertumbuhnya usaha pada sektor jasa-jasa lainnya

seperti komoditas jasa angkutan. Kendala transportasi yang merupakan sarana vital dalam

usaha perdagangan dan perhotelan menjadi faktor penting dalam mendistribusikan pupuk

bersubsidi hingga sampai ke pengguna yang dalam hal ini adalah rumahtangga. Kondisi ini

memicu peningkatan output sektor ini dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Arus

lalu lintas barang dan jasa yang semakin lancar dan dalam jumlah yang semakin besar,

memungkinkan terciptanya skala usaha yang makin besar.

Page 21: Paper Fiskal Theo

Skala usaha yang besar, secara teoritis, mampu menciptakan penghematan

(economic of scale) yang berdampak pada peningkatan efisiensi dan produktivitas

perusahaan. Efisiensi dan produktivitas yang tercipta menjadi pemicu bagi perusahaan

untuk meningkatkan kapasitas produksinya. Dampak dari meningkatnya efisiensi dan

produktivitas mengakibatkan harga output komoditas perdagangan dan komoditas hotel dan

restoran ini semakin menurun, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Turunnya harga

dalam jangka pendek lebih disebabkan oleh turunnya harga faktor primer komposit karena

harga faktor produksi yang lebih rigid. Seiring peningkatan upah riil, maka dalam jangka

panjang harga faktor primer komposit kembali mengalami peningkatan.

Kegiatan ekonomi di sektor jasa-jasa lainnya yang bersifat intangible meliputi

komoditas-komoditas selain sektor perdagangan dan sektor hotel dan restoran. Secara

umum, dengan adanya kebijakan subsidi pupuk berdampak pada meningkatnya output pada

sektor-sektor jasa yang intangible tersebut. Kebijakan subsidi pupuk meskipun secara tidak

langsung mempengaruhi sektor-sektor jasa tersebut, namun mampu mendorong terhadap

output meningkat pada komoditas komunikasi (0.018 persen) sebagai komoditas terbesar

yang terkena dampaknya pada jangka pendek dan jangka panjang naik (0.285 persen).

Untuk komoditas angkutan baik angkutan darat maupun angkutan air, masing-masing

sebesar (-0.065) dan (-0.034 persen) pada jangka pendek sebagai komoditas terkecil yang

terkena dampaknya sedangkan untuk jangka panjang naik (0.325 persen) dan naik (0.234

persen). Kedua komoditas tersebut menurunkan harga outputnya pada jangka panjang yang

masing-masing (-0.055) dan (-0.159 persen), secara berurutan. Hal tersebut diduga oleh

turunnya harga faktor primer komposit dalam jangka pendek, kemudian harga faktor primer

komposit tersebut pada setiap komoditas mengalami kenaikan. Hal ini juga didorong oleh

meningkatnya kebutuhan terhadap modal, kenaikan upah riilnya dan penggunaan teknologi

supaya mampu mendorong untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi skala usaha.

Perekonomian diharapkan dapat berjalan secara efisien, sehingga produktivitas dapat

meningkat seiring perbaikan pelaksanaan dari adanya kebijakan subsidi pupuk ini.

Page 22: Paper Fiskal Theo

BAB IV

KESIMPULAN

Dari pemaparan yang diberikan, dapat diambil kesimpulan hubungan kebijakan fiskal

dengan kinerja sektor pertanian dan agroindustri sebagai berikut :

a. Instrumen kebijakan fiskal dalam jangka panjang yang paling kuat mempengaruhi

kinerja sektor pertanian dan agroindustri adalah anggaran sektor pertanian,

penelitian dan pengembangan pertanian, infrastruktur pertanian, dan desentralisasi

fiskal

b. Instrumen kebijakan fiskal dalam jangka panjang yang paling kuat mempengaruhi

kinerja sektor pertanian dan agroindustri adalah anggaran sektor pertanian,

penelitian dan pengembangan pertanian, infrastruktur pertanian, dan desentralisasi

fiskal.

c. Respons kinerja sektor pertanian dan agroindustri atas shock instrumen kebijakan

fiskal untuk mencapai keseimbangan relatif lama (masing-masing 9 dan 8 tahun).

Sedangkan instrumen kebijakan fiskal yang efektif mempengaruhi kinerja sektor

pertanian dan agroindustri dalam jangka panjang adalah :

a. Untuk memperbaiki kinerja sektor pertanian : anggaran pajak pertambahan nilai,

anggaran penelitian dan pengembangan pertanian, anggaran infrastruktur, subsidi

pertanian, dan desentralisasi fiskal.

b. Untuk memperbaiki kinerja agroindustri : pajak penghasilan, pajak pertambahan

nilai, anggaran infrastruktur pertanian, dan desentralisasi fiskal.

Dampak kebijakan subsidi pupuk terhadap kinerja sektoral :

Page 23: Paper Fiskal Theo

a. Pada jangka pendek, dampak yang dirasakan secara langsung kebijakan subsidi

pupuk terhadap output yang paling besar pada sektor pertanian terkena dampaknya

adalah komoditas tanaman perkebunan meningkat, sedangkan yang paling rendah

adalah komoditas perikanan menurun.

b. Pada jangka panjang, baik yang terbesar maupun terkecil mengikuti dampak

jangka pendeknya, yaitu pada komoditas tanaman perkebunan, sedangkan paling

kecil dampaknya yang dirasakan oleh komoditas perikanan yakni mengalami

peningkatan.

Page 24: Paper Fiskal Theo

DAFTAR PUSTAKA

Booth, A. 2002. The changing role of non-farm activities in agricultural households in

Indonesia: Some insights from the agricultural censuses. Bulletin of Indonesian

Economic Studies 38(2):179-200.

Druska, V. and Horrace, W.C. 2004. Generalized moments estimation for spatial panel data:

Indonesian rice farming. American Journal of Agricultural Economics 86(1):185-198.

Enders, W. 2004. Applied Econometrics Time Series. Second Edition. Alabama: John Wiley

& Sons.

Fuglie, K.O. 2004. Productivity growth in Indonesian agriculture, 1961-2000. Bulletin of

Indonesian Economic Studies 40(2): 209-25.

Hill, H. 1996. Transformasi Ekonomi Indonesia Sejak 1966. Edisi terjemahan. Yogyakarta:

Universitas Gadjah Mada: Pusat Antar Universitas (PAU) Ekonomi.

Priyarsono, D.S., Daryanto, A., dan Herlina, L. 2012. Dapatkah pertanian menjadi mesin

pertumbuhan ekonomi Indonesia? analisis sistem neraca sosial ekonomi.

Agro-Ekonomika (35)1:37-48.

Sa’id, E.G. dan Dewi, G. Candra. 2013. Membangun Dayasaing Global

Agribisnis/Agroindustri. Bogor: Institut Pertanian Bogor, Magister Manajemen

Agribisnis.

Siregar, H. dan Kolopaking, L.M. 2003. Semakin membaikkah kinerja pertanian kita

setelah krisis? analisis ringkas berdasarkan indikator-indikator agregat. Agrimedia

8:8-15.

Sudaryanto, T., Rusastra, I.W., Syam, A., dan Ariani, M. 2011. Analisis Kebijaksanaan:

Paradigma Pembangunan dan Kebijaksanaan Pengembangan Agroindustri. Bogor:

Page 25: Paper Fiskal Theo

Departemen Pertanian RI, Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Pusat

Penelitian Sosial Ekonomi.

Subiyantoro, H. dan S. Riphat. 2004. Kebijakan Fiskal Pemikiran, Konsep dan

Implementasi. Penerbit Buku Kompas.

Priyarsono, D.S., A. Daryanto, dan L. Herlina. 2005. Dapatkah Pertanian Menjadi Mesin

Pertumbuhan Ekonomi Indonesia?: Analisis Sistem Neraca Sosial Ekonomi.

Agroekonomika, (35)1:37-48.

Nanga, M. 2001. Makroekonomi: Teori, Masalah dan Kebijakan. PT. RajaGrafindo Persada,

Jakarta.

Sastrosunarto, H. 2006. Industrialisasi Serta Pembangunan Sektor Pertanian dan Jasa.

Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Sipayung, T. 2000. Pengaruh Kebijakan Makroekonomi terhadap Sektor Pertanian dalam

Pembanguan Ekonomi Indonesia. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut

Pertanian Bogor, Bogor.

Page 26: Paper Fiskal Theo

PENGARUH KEBIJAKAN FISKAL INDONESIA

TERHADAP KINERJA SEKTOR PERTANIAN

Disusun Sebagai Take Home Exam UAS Mata Kuliah Regulation Monetary &

Fiscal Policies

Dosen: Dr. Rudi Purwono, SE., MSE.

Disusun oleh:

Theodolus Indiananta Widariono 041514353019

ANGKATAN 45 AKHIR PEKAN

MAGISTER MANAJEMEN FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS AIRLANGGA

SURABAYA

2016