paper lahan gambut

26
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gambut terbentuk dari seresah organik yang terdekomposisi secara anaerobik dimana laju penambahan bahan organik lebih tinggi daripada laju dekomposisinya. Di dataran rendah dan daerah pantai, mula-mula terbentuk gambut topogen karena kondisi anaerobik yang dipertahankan oleh tinggi permukaan air sungai, tetapi kemudian penumpukan seresah tanaman yang semakin bertambah menghasilkan pembentukan hamparan gambut ombrogen yang berbentuk kubah (dome) . Gambut ombrogen di Indonesia terbentuk dari seresah vegetasi hutan yang berlangsung selama ribuan tahun, sehingga status keharaannya rendah dan mempunyai kandungan kayu yang tinggi (Radjagukguk, 1990). 1 Gambar 1. Salah satu contoh lahan gambut

Upload: hendrix-ode

Post on 12-Aug-2015

91 views

Category:

Documents


18 download

TRANSCRIPT

Page 1: Paper Lahan Gambut

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Gambut terbentuk dari seresah organik yang terdekomposisi secara

anaerobik dimana laju penambahan bahan organik lebih tinggi daripada laju

dekomposisinya. Di dataran rendah dan daerah pantai, mula-mula terbentuk

gambut topogen karena kondisi anaerobik yang dipertahankan oleh tinggi

permukaan air sungai, tetapi kemudian penumpukan seresah tanaman yang

semakin bertambah menghasilkan pembentukan hamparan gambut ombrogen

yang berbentuk kubah (dome) . Gambut ombrogen di Indonesia terbentuk dari

seresah vegetasi hutan yang berlangsung selama ribuan tahun, sehingga status

keharaannya rendah dan mempunyai kandungan kayu yang tinggi (Radjagukguk,

1990).

Di daerah tropis, penggunaan lahan gambut dimulai pada tahun 1900-an.

Penebangan hutan, pembakaran dan pengatusan lahan dilakukan untuk tujuan

pertanian dan pemukiman. Untuk tujuan perdagangan, 150.000 km2 per tahun dari

lahan gambut dibuka dan diambil hasil kayunya, sedangkan di beberapa negara

gambut digunakan sebagai energi sumber panas (Anonim, 2002). Hal ini tentu saja

akan memberikan dampak yang sangat kuat bagi penurunan stabilitas gambut.

1

Gambar 1. Salah satu contoh lahan gambut

Page 2: Paper Lahan Gambut

Di Asia Tenggara terdapat 70% dari total gambut tropik dunia terutama di

Indonesia dan Malaysia. Di Indonesia lahan gambut tersebar di Sumatera,

Kalimantan, Sulawesi dan Irian Jaya. Tidak seluruh lahan ini bisa dikembangkan,

tetapi diperkirakan masih mungkin untuk dimanfaatkan seluas 5,6 juta hektar

(Subagyo et al, 1996).

Sejalan dengan pertambahan penduduk dan keterbatasan lahan pertanian

menyebabkan pilihan diarahkan pada lahan gambut baik untuk kepentingan

pertanian maupun untuk pemukiman penduduk. Penggunaan lahan gambut untuk

pertanian dengan semestinya dan  efisien akan memberikan sumbangan bagi

kelangsungan pertumbuhan ekonomi suatu negara. Dengan kata lain,

pemanfaatan lahan gambut yang dengan tidak semestinya akan menyebabkan

kehilangan salah satu sumber daya yang berharga, dikarenakan lahan gambut

merupakan lahan marginal dan merupakan sumber daya yang tidak dapat

diperbaharui. Ardjakusuma et al, (2001) melaporkan bahwa di Kalimantan Tengah

banyak dijumpai lahan bongkor yaitu  lahan gambut yang terdegradasi (rusak)

dan dibiarkan/ditinggalkan oleh pengelolanya, sehingga menjadi lahan tidur

sebagai akibat pembukaan lahan gambut pada masa Pelita I.

Pemanfaatan gambut dan lahan gambut untuk pertanian dan usaha-usaha

yang berkaitan dengan pertanian berkembang cukup pesat. Berbagai tanaman

semusim dan tanaman tahunan dapat dibudidayakan pada lahan gambut tetapi

yang paling berhasil atau menunjukkan harapan adalah tanaman sayuran,

tanaman buah-buahan (seperti nanas, pepaya dan rambutan) dan tanaman

perkebunan (terutama kelapa, kelapa sawit, kopi dan karet).

Pengembangan pertanian pada lahan gambut menghadapi banyak kendala

yang berkaitan dengan sifat tanah gambut. Menurut Soepardi (1979) dalam

Mawardi et al, (2001), secara umum sifat kimia tanah gambut didominasi oleh

asam-asam organik yang merupakan suatu hasil akumulasi sisa-sisa tanaman.

Asam organik yang dihasilkan selama proses dekomposisi tersebut merupakan

bahan yang bersifat toksid bagi tanaman, sehingga mengganggu proses

metabolisme tanaman yang akan berakibat langsung terhadap produktifitasnya.

Sementara itu secara fisik tanah gambut bersifat lebih berpori dibandingkan tanah

2

Page 3: Paper Lahan Gambut

mineral sehingga hal ini akan mengakibatkan cepatnya pergerakan air pada

gambut yang belum terdekomposisi dengan sempurna sehingga jumlah air yang

tersedia bagi tanaman sangat terbatas.

3

Page 4: Paper Lahan Gambut

II. PEMBENTUKAN DAN KLASIFIKASI GAMBUT

Lahan gambut adalah lahan yang memiliki lapisan tanah kaya bahan organic

(C-organik > 18%) dengan ketebalan 50 cm atau lebih. Bahan organik penyusun

tanah gambut terbentuk dari sisa-sisa tanaman yang belum melapuk sempurna

karena kondisi lingkungan jenuh air dan miskin hara. Oleh karenanya lahan gambut

banyak dijumpai di daerah rawa belakang (back swamp) atau daerah cekungan

yang drainasenya buruk.

2.1 Pembentukan Gambut

Gambut terbentuk dari timbunan sisa-sisa tanaman yang telah mati, baik

yang sudah lapuk maupun belum. Timbunan terus bertambah karena proses

dekomposisi terhambat oleh kondisi anaerob dan/atau kondisi lingkungan lainnya

yang menyebabkan rendahnya tingkat perkembangan biota pengurai.

Pembentukan tanah gambut merupakan proses geogenik yaitu pembentukan tanah

yang disebabkan oleh proses deposisi dan tranportasi, berbeda dengan proses

pembentukan tanah mineral yang pada umumnya merupakan proses pedogenik

(Hardjowigeno, 1986).

Pembentukan gambut diduga terjadi antara 10.000-5.000 tahun yang lalu

(pada periode Holosin) dan gambut di Indonesia terjadi antara 6.800-4.200 tahun

yang lalu (Andriesse, 1994). Gambut di Serawak yang berada di dasar kubah

terbentuk 4.300 tahun yang lalu (Tie and Esterle, 1991), sedangkan gambut di

Muara Kaman Kalimantan Timur umurnya antara 3.850 sampai 4.400 tahun

(Diemont and Pons, 1991). Siefermann et al.(1988) menunjukkan bahwa

berdasarkan carbon dating (penelusuran umur gambut menggunakan teknik radio

isotop) umur gambut di Kalimantan Tengah lebih tua lagi yaitu 6.230 tahun pada

kedalaman 100 cm sampai 8.260 tahun pada kedalaman 5 m. Dari salah satu lokasi

di Kalimantan Tengah, Page et al.(2002) menampilkan sebaran umur gambut

sekitar 140 tahun pada kedalaman 0-100 cm, 500-5.400 tahun pada kedalaman

100-200 cm, 5.400-7.900 tahun pada kedalaman 200-300 cm, 7.900-9.400 tahun

4

Page 5: Paper Lahan Gambut

pada kedalaman 300-400 cm, 9.400-13.000 tahun pada kedalaman 400-800 cm dan

13.000-26.000 tahun pada kedalaman 800-1.000 cm.

Dari gambaran tersebut dapat dipahami bahwa pembentukan gambut

memerlukan waktu yang sangat panjang. Gambut tumbuh dengan kecepatan

antara 0-3 mm per tahun. Di Barambai Delta Pulau Petak, Kalimantan Selatan laju

pertumbuhan gambut sekitar 0,05 mm dalam satu tahun, sedangkan di Pontianak

sekitar 0,13 mm per tahun. Di Sarawak Malaysia, laju pertumbuhan berjalan lebih

cepat yaitu sekitar 0,22 –0,48 mm per tahun (Noor, 2001 dari berbagai sumber).

Proses pembentukan gambut dimulai dari adanya danau dangkal yang secara

perlahan ditumbuhi oleh tanaman air dan vegetasi lahan basah. Tanaman yang

mati dan melapuk secara bertahap membentuk lapisan yang kemudian menjadi

lapisan transisi antara lapisan gambut dengan substratum (lapisan di bawahnya)

berupa tanah mineral. Tanaman berikutnya tumbuh pada bagian yang lebih tengah

dari danau dangkal ini dan secara membentuk lapisan-lapisan gambut sehingga

danau tersebut menjadi penuh (Gambar 1a dan 1b).

Bagian gambut yang tumbuh mengisi danau dangkal tersebut disebut

dengan gambut topogen karena proses pembentukannya disebabkan oleh topografi

daerah cekungan. Gambut topogen biasanya relatif subur (eutrofik) karena adanya

pengaruh tanah mineral. Bahkan pada waktu tertentu, misalnya jika ada banjir

besar, terjadi pengkayaan mineral yang menambah kesuburan gambut tersebut.

Tanaman tertentu masih dapat tumbuh subur di atas gambut topogen. Hasil

pelapukannya membentuk lapisan gambut baru yang lama kelamaan memberntuk

kubah (dome) gambut yang permukaannya cembung (Gambar 1c). Gambut yang

tumbuh di atas gambut topogen dikenal dengan gambut ombrogen, yang

pembentukannya ditentukan oleh air hujan. Gambut ombrogen lebih rendah

kesuburannya dibandingkan dengan gambut topogen karena hampir tidak ada

pengkayaan mineral.

2.2 Klasifikasi Gambut

Secara umum dalam klasifikasi tanah, tanah gambut dikenal sebagai

Organosol atau Histosols yaitu tanah yang memiliki lapisan bahan organik dengan

5

Page 6: Paper Lahan Gambut

berat jenis (BD) dalam keadaan lembab < 0,1 g cm -3 dengan tebal > 60 cm atau

lapisan organik dengan BD > 0,1 g cm-3 dengan tebal > 40 cm (Soil Survey Staff,

2003).

Gambut diklasifikasikan lagi berdasarkan berbagai sudut pandang yang

berbeda; dari tingkat kematangan, kedalaman, kesuburan dan posisi

pembentukannya. Berdasarkan tingkat kematangannya, gambut dibedakan

menjadi:

Gambut saprik (matang) adalah gambut yang sudah melapuk lanjut dan

bahan asalnya tidak dikenali, berwarna coklat tua sampai hitam, dan bila

diremas kandungan seratnya < 15%.

Gambut hemik (setengah matang) (Gambar 2, bawah) adalah gambut

setengah lapuk, sebagian bahan asalnya masih bisa dikenali, berwarma

coklat, dan bila diremas bahan seratnya 15 – 75%.

Gambut fibrik (mentah) (Gambar 2, atas) adalah gambut yang belum

melapuk, bahan asalnya masih bisa dikenali, berwarna coklat, dan bila

diremas >75% seratnya masih tersisa.

6Gambar 2. Proses pembentukan gambut di daerah cekungan lahan basah: a. Pengisian danau dangkal oleh

vegetasi lahan basah, b. Pembentukan gambut topogen, dan c. pembentukan gambut ombrogen

di atas gambut topogen (Noor, 2001 mengutip van de Meene, 1982).

Page 7: Paper Lahan Gambut

Berdasarkan tingkat kesuburannya, gambut dibedakan menjadi:

Gambut eutrofik adalah gambut yang subur yang kaya akan bahan mineral

dan basa-basa serta unsur hara lainnya. Gambut yang relatif subur biasanya

adalah gambut yang tipis dan dipengaruhi oleh sedimen sungai atau laut.

Mesotrofik adalah gambut yang agak subur karena memiliki kandungan

mineral dan basa-basa sedang

Gambut oligotrofik adalah gambut yang tidak subur karena miskin mineral

dan basa-basa. Bagian kubah gambut dan gambut tebal yang jauh dari

pengaruh lumpur sungai biasanya tergolong gambut oligotrofik

Gambut di Indonesia sebagian besar tergolong gambut mesotrofik dan oligotrofik

(Radjagukguk, 1997). Gambut eutrofik di Indonesia hanya sedikit dan umumnya

tersebar di daerah pantai dan di sepanjang jalur aliran sungai.

Tingkat kesuburan gambut ditentukan oleh kandungan bahan mineral dan

basa-basa, bahan substratum/dasar gambut dan ketebalan lapisan gambut. Gambut

di Sumatra relatif lebih subur dibandingkan dengan gambut di Kalimantan.

Berdasarkan lingkungan pembentukannya, gambut dibedakan atas:

Gambut ombrogen yaitu gambut yang terbentuk pada lingkungan yang

hanya dipengaruhi oleh air hujan

Gambut topogen yaitu gambut yang terbentuk di lingkungan yang mendapat

pengayaan air pasang. Dengan demikian gambut topogen akan lebih kaya

mineral dan lebih subur dibandingkan dengan gambut ombrogen.

Berdasarkan kedalamannya gambut dibedakan menjadi:

Gambut dangkal (50 – 100 cm),

Gambut sedang (100 – 200 cm),

Gambut dalam (200 – 300 cm), dan

Gambut sangat dalam (> 300 cm)

Berdasarkan proses dan lokasi pembentukannya, gambut dibagi menjadi:

Gambut pantai adalah gambut yang terbentuk dekat pantai laut dan

mendapat pengayaan mineral dari air laut

7

Page 8: Paper Lahan Gambut

Gambut pedalaman adalah gambut yang terbentuk di daerah yang tidak

dipengaruhi oleh pasang surut air laut tetapi hanya oleh air hujan

Gambut transisi adalah gambut yang terbentuk di antara kedua wilayah

tersebut, yang secara tidak langsung dipengaruhi oleh air pasang laut.

8

Page 9: Paper Lahan Gambut

III. KARAKTERISTIK GAMBUT

3.1 Karakteristik Fisik

Karakteristik fisik gambut yang penting dalam pemanfaatannya untuk

pertanian meliputi kadar air, berat isi (bulk density, BD), daya menahan beban

(bearing capacity), subsiden (penurunan permukaan), dan mengering tidak balik

(irriversible drying).

Kadar air tanah gambut berkisar antara 100 – 1.300% dari berat keringnya

(Mutalib et al.,1991). Artinya bahwa gambut mampu menyerap air sampai 13 kali

bobotnya. Dengan demikian, sampai batas tertentu, kubah gambut mampu

mengalirkan air ke areal sekelilingnya (Gambar 3). Kadar air yang tinggi

menyebabkan BD menjadi rendah, gambut menjadi lembek dan daya menahan

bebannya rendah (Nugroho, et al, 1997; Widjaja-Adhi, 1997). BD tanah gambut

lapisan atas bervariasi antara 0,1 sampai 0,2 g cm -3 tergantung pada tingkat

dekomposisinya. Gambut fibrik yang umumnya berada di lapisan bawah memiliki

BD lebih rendah dari 0,1 g/cm3, tapi gambut pantai dan gambut di jalur aliran

sungai bisa memiliki BD > 0,2 g cm-3 (Tie and Lim, 1991) karena adanya pengaruh

tanah mineral.

Volume gambut akan menyusut bila lahan gambut didrainase, sehingga

terjadi penurunan permukaan tanah (subsiden). Selain karena penyusutan volume,

subsiden juga terjadi karena adanya proses dekomposisi dan erosi. Dalam 2 tahun

pertama setelah lahan gambut didrainase, laju subsiden bisa mencapai 50 cm. Pada

tahun berikutnya laju subsiden sekitar 2 – 6 cm per tahun tergantung kematangan

gambut dan kedalaman saluran drainase. Adanya subsiden bisa dilihat dari akar

tanaman yang menggantung.

Rendahnya BD gambut menyebabkan daya menahan atau menyangga beban

(bearing capacity) menjadi sangat rendah. Hal ini menyulitkan beroperasinya

peralatan mekanisasi karena tanahnya yang empuk. Gambut juga tidak bisa

menahan pokok tanaman tahunan untuk berdiri tegak. Tanaman perkebunan

seperti karet, kelapa sawit atau kelapa seringkali doyong atau bahkan roboh.

9

Page 10: Paper Lahan Gambut

Pertumbuhan seperti ini dianggap menguntungkan karena memudahkan bagi

petani untuk memanen sawit. Sifat fisik tanah gambut lainnya adalah sifat

mengering tidak balik. Gambut yang telah mengering, dengan kadar air <100%

(berdasarkan berat), tidak bisa menyerap air lagi kalau dibasahi. Gambut yang

mengering ini sifatnya sama dengan kayu kering yang mudah hanyut dibawa

aliran air dan mudah terbakar dalam keadaan kering (Widjaja-Adhi, 1988). Gambut

yang terbakar menghasilkan energi panas yang lebih besar dari kayu/arang

terbakar. Gambut yang terbakar juga sulit dipadamkan dan apinya bisa merambat

di bawah permukaan sehingga kebakaran lahan bisa meluas tidak terkendali.

10

Gambar 3. Contoh tanah gambut yang diambil menggunakan bor gambut (peat sampler). Gambar atas

memperlihatkan contoh gambut fibrik (mentah) dan gambar bawah contoh gambut hemik (setengah

matang).

Gambar 4. Air mengalir dari kubah gambut melalui saluran drainase.

Page 11: Paper Lahan Gambut

3.2 Karakteristik kimia

Karakteristik kimia lahan gambut di Indonesia sangat ditentukan oleh

kandungan mineral, ketebalan, jenis mineral pada substratum (di dasar gambut),

dan tingkat dekomposisi gambut. Kandungan mineral gambut di Indonesia

umumnya kurang dari 5% dan sisanya adalah bahan organik. Fraksi organik terdiri

dari senyawa-senyawa humat sekitar 10 hingga 20% dan sebagian besar lainnya

adalah senyawa lignin, selulosa, hemiselulosa, lilin, tannin, resin, suberin, protein,

dan senyawa lainnya.

11

Gambar 5. Akar yang menggantung pada tanaman yang tumbuh di lahan gambut

menandakan sudah terjadinya subsiden (penurunan permukaan).

Gambar 6. Tanaman kelapa sawit yang doyong disebabkan karena rendahnya daya

menahan beban tanah gambut.

Page 12: Paper Lahan Gambut

Lahan gambut umumnya mempunyai tingkat kemasaman yang relatif tinggi

dengan kisaran pH 3 - 5. Gambut oligotropik yang memiliki substratumpasir kuarsa

di Berengbengkel, Kalimantan Tengah memiliki kisaran pH 3,25 – 3,75 (Halim, 1987;

Salampak, 1999). Sementara itu gambut di sekitar Air Sugihan Kiri, Sumatera

Selatan memiliki kisaran pH yang lebih tinggi yaitu antara 4,1 sampai 4,3 (Hartatik

et al., 2004).

Gambut oligotropik, seperti banyak ditemukan di Kalimantan, mempunyai

kandungan kation basa seperti Ca, Mg, K, dan Na sangat rendah terutama pada

gambut tebal. Semakin tebal gambut, basa-basa yang dikandungnya semakin

rendah dan reaksi tanah menjadi semakin masam (Driessen dan Suhardjo, 1976). Di

sisi lain kapasitas tukar kation (KTK) gambut tergolong tinggi, sehingga kejenuhan

basa (KB) menjadi sangat rendah. Tim Institut Pertanian Bogor (1974) melaporkan

bahwa tanah gambut pedalaman di Kalampangan, Kalimantan Tengah mempunyai

nilai KB kurang dari 10%, demikian juga gambut di pantai Timur Riau (Suhardjo dan

Widjaja-Adhi, 1976).

Muatan negatif (yang menentukan KTK) pada tanah gambut seluruhnya

adalah muatan tergantung pH (pHdependent charge), dimana KTK akan naik bila pH

gambut ditingkatkan. Muatan negatif yang terbentuk adalah hasil dissosiasi

hidroksil pada gugus karboksilat atau fenol. Oleh karenanya penetapan KTK

menggunakan pengekstrak amonium acetat pH 7 akan menghasilkan nilai KTK yang

tinggi, sedangkan penetapan KTK dengan pengekstrak amonium klorida (pada pH

aktual) akan menghasilkan nilai yang lebih rendah. KTK tinggi menunjukkan

kapasitas jerapan (sorption capacity) gambut tinggi, namun kekuatan jerapan

(sorption power) lemah, sehingga kation-kation K, Ca, Mg dan Na yang tidak

membentuk ikatan koordinasi akan mudah tercuci.

Secara alamiah lahan gambut memiliki tingkat kesuburan rendah karena

kandungan unsur haranya rendah dan mengandung beragam asam-asam organik

yang sebagian bersifat racun bagi tanaman. Namun demikian asam-asam tersebut

merupakan bagian aktif dari tanah yang menentukan kemampuan gambut untuk

menahan unsur hara. Karakteristik dari asam-asam organik ini akan menentukan

sifat kimia gambut.

12

Page 13: Paper Lahan Gambut

Untuk mengurangi pengaruh buruk asam-asam organik yang beracun dapat

dilakukan dengan menambahkan bahan-bahan yang banyak mengandung kation

polivalen seperti Fe, Al, Cu dan Zn. Kation-kation tersebut membentuk ikatan

koordinasi dengan ligan organik membentuk senyawa komplek/khelat. Oleh

karenanya bahan-bahan yang mengandung kation polivalen tersebut bisa

dimanfaatkan sebagai bahan amelioran gambut (Sabiham et al.,1997; Saragih,

1996).

Tanah gambut juga mengandung unsur mikro yang sangat rendah dan diikat

cukup kuat (khelat) oleh bahan organik sehingga tidak tersedia bagi tanaman.

Selain itu adanya kondisi reduksi yang kuat menyebabkan unsur mikro direduksi ke

bentuk yang tidak dapat diserap tanaman. Kandungan unsur mikro pada tanah

gambut dapat ditingkatkan dengan menambahkan tanah mineral atau

menambahkan pupuk mikro.

Gambut di Indonesia (dan di daerah tropis lainnya) mempunyai kandungan

lignin yang lebih tinggi dibandingkan dengan gambut yang berada di daerah

beriklim sedang, karena terbentuk dari pohon-pohohan (Driessen dan Suhardjo,

1976). Lignin yang mengalami proses degradasi dalam keadaan anaerob akan

terurai menjadi senyawa humat dan asam-asam fenolat (Kononova, 1968). Asam-

asam fenolat dan derivatnya bersifat fitotoksik (meracuni tanaman) dan

menyebabkan pertumbuhan tanaman terhambat (Driessen, 1978; Stevenson, 1994;

Rachim, 1995). Asam fenolat merusak sel akar tanaman, sehingga asam-asam

amino dan bahan lain mengalir keluar dari sel, menghambat pertumbuhan akar dan

serapan hara sehingga pertumbuhan tanaman menjadi kerdil, daun mengalami

klorosis (menguning) dan pada akhirnya tanaman akan mati. Turunan asam fenolat

yang bersifat fitotoksik antara lain adalah asam ferulat, siringat , p-hidroksibenzoat,

vanilat, p-kumarat, sinapat, suksinat, propionat, butirat, dan tartrat (Dr. Wiwik

Hartatik dan Dr. Diah Setyorini, komunikasi pribadi).

13

Page 14: Paper Lahan Gambut

IV. PERTANIAN BERKELANJUTAN DI LAHAN GAMBUT

Dalam istilah yang tepat, konsep pertanian berkelanjutan pada lahan

gambut sebenarnya bukan merupakan istilah yang tepat dikarenakan adanya daya

menyusut dan adanya subsidence selama penggunaannya untuk usaha pertanian.

Akan tetapi, hal tersebut bisa dikurangi dalam arti memperpanjang  ‘life span’ 

dengan meminimalkan tingkat subsidence dengan cara mengadopsi beberapa

strategi pengelolaan yang benar mengenai air, tanah dan tanaman.

4.1 Pengelolaan Air

4.1.1 Drainase

Drainase merupakan prasyarat untuk usaha pertanian, walaupun hal

tersebut bukanlah suatu yang mudah untuk dilakukan mengingat sifat dari gambut

yang bisa mengalami penyusutan dan kering tidak balik akibat drainase, sehingga

sebelum mereklamasi lahan gambut perlu diketahui sifat spesifik gambut, peranan

dan fungsinya bagi lingkungan.

Drainase yang baik untuk pertanian gambut adalah drainase yang tetap

mempertahankan batas air kritis gambut akan tetapi tetap tidak mengakibatkan

kerugian pada tanaman yang akan berakibat pada hasil. Intensitas drainase

bervariasi tergantung kondisi alami tanah dan curah hujan. Curah hujan yang

tinggi  (4000-5000 mm per tahun)(Ambak dan Melling, 2000) membutuhkan sistem

drainase untuk meminimalkan pengaruh banjir.

Setelah drainase dan pembukaan lahan gambut, umumnya terjadi

subsidence yang relatif cepat yang akan berakibat menurunya permukaan tanah.

Subsidence dan dekomposisi bahan organik dapat menimbulkan masalah apabila

bahan mineral di bawah lapis gambut terdiri dari lempeng pirit atau pasir kuarsa.

Kerapatan lindak yang rendah berakibat kemampuan menahan (bearing capacity)

tanah gambut juga rendah, sehingga pengolahan tanah sulit dilakukan secara

mekanis atau dengan ternak. Kemampuan menahan yang rendah juga juga

merupakan masalah bagi untuk tanaman pohon-pohonan atau tanaman semusim

yang rentan terhadap kerebahan (lodging) (Radjagukguk, 1990).

14

Page 15: Paper Lahan Gambut

Bagi tanaman perkebunan, usaha perbaikan drainase dilakukan dengan

pembuatan kanal primer, kanal sekunder dan kanal tersier. Hasil penelitian

sementara di PT. RSUP menunjukkan bahwa kelapa hybrida PB 121 pada umur 4

tahun (4-5 tahun setelah tanam adalah 1,5 ton kopra/ha). Angka ini sementara 5

kali lebih besar dari hasil yang dicapai di negara asalnya Afrika dimana PB 121

pada umur 4 tahun menghasilkan 0,26 ton kopral/ha (Thampan, 1981 dalam

Sudradjat dan Qusairi, 1992).

4.1.2.Irigasi

Ketika batas kritis air dapat dikontrol pada level optimum untuk

pertumbuhan tanaman, pengelolan air bukan merupakan suatu masalah kecuali

pada tahap awal pertumbuhan tanaman. Jika batas kritis air tidak dapat terkontrol

dan lebih rendah dari kebutuhan air semestinya, irigasi perlu dilakukan terutama

bagi tanaman tertentu. Hal ini penting untuk memasok kebutuhan air tanaman

dan menghindari sifat kering tidak balik. Sayuran berdaun banyak, menunjukkan

layu pada keadaan udara panas. Kondisi ini mungkin merupakan pengaruh dari

dangkalnya profil tanah yang dapat dicapai oleh akar tanaman dan kehilangan air

akibat transpirasi yang lebih cepat daripada tanah mineral (Ambak dan Melling,

2000).

Tanaman mempunyai tahapan pertumbuhan yang sensitif terhadap stress

air yang berbeda. Pengetahuan tentang tahapan tersebut akan mempermudah

irigasi pada saat yang tepat sehingga mengurangi terjadinya stress air dan

penggunaan air yang optimum. Untuk penanaman tanaman semusim, pengaturan

irigasi harus mempertimbangkan saat dan kebutuhan tanaman dan disesuaikan

dengan ketersediaan air tanah diatas water table, jumlah air hujan, distribusi dan

jumlah evapotranspirasi (Lucas,1982)..

15

Page 16: Paper Lahan Gambut

Tabel 1. Daftar kebutuhan air tanaman yang diusahakan di lahan gambut

Tanaman Kebutuha

n air (cm)

Sumber

Kelapa Sawit 50-75 Singh et al (1986)

Nanas 60-90 Tay (1980); Zahari et al (1989)

Sagu 20-40 Melling et al, 1998

Cassava 15-30 Tan dan Ambak (1989); Zahari

et al, (1989)

Kacang Tanah 65-85 Ambak et al, (1992)

Kedelai 25-45 Ambak et al (opcit)

Jagung 75 Ambak et al, (opcit)

Ubi jalar 25 Ambak et al, (opcit)

Asparagus 25 Ambak et al, (opcit)

Sayuran 30-60 Leong dan Ambak, (1987)

Sumber : Ambak dan Melling (2000)

4.1.3 Penggenangan

Untuk meminimalkan terjadinya subsidence, langkah yang bisa dilakukan

adalah tetap mempertahankan kondisi tergenang tersebut dengan mengadopsi

tanaman-tanaman sejenis hidrofilik atau tanaman toleran air yang memberikan

nilai ekonomi seperti halnya Eleocharis tuberosa, bayam cina (Amaranthus

hybridus), kangkung (Ipomoea aquatica) dan seledri air. Di Florida ketika  tanaman

tertentu tidak bisa dibudidayakan karena perubahan  musim, penggenangan

dilakukan dan digunakan untuk budidaya tanaman air tersebut (Ambak dan

Melling, 2000).

16

Page 17: Paper Lahan Gambut

4.2 Pengelolaan Tanah

Tanah gambut sebenarnya merupakan tanah yang baik untuk pertumbuhan

tanaman bila ditinjau dari jumlah pori-pori yang berkaitan dengan pertukaran

oksigen untuk pertumbuhan akar tanaman. Kapasitas memegang air yang tinggi

daripada tanah mineral menyebabkan tanaman bisa berkembang lebih cepat. Akan

tetapi dengan keberadaan sifat inheren yang lain seperti kemasaman yang tinggi,

kejenuhan basa yang rendah dan miskin unsur hara baik mikro maupun makro

menyebabkan tanah gambut digolongkan sebagai tanah marginal (Limin et al,

2000). Untuk itulah perlunya usaha untuk mengelola tanah tersebut dengan

semestinya.

4.2.1. Pembakaran

Pembakaran merupakan cara tradisional yang sering dilakukan petani untuk

menurunkan tingkat kemasaman tanah gambut. Terjadinya pembakaran bahan

organik menjadi abu berakibat penghancuran tanah serta menurunkan permukaan

tanah. Pembakaran berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan tanaman pada

tahun pertama dan meningkatkan serapan P tanaman, namun akan menurunkan

serapan Ca dan Mg (Mawardi et al, 2001).

4.2.2. Bahan Pembenah Tanah

Pemberian pupuk dan amandemen dalam komposisi dan takaran yang tepat

dapat mengatasi masalah keharaan dan kemasaman tanah gambut. Unsur hara

yang umumnya perlu ditambahkan dalam bentuk pupuk adalah N, P, K, Ca, Mg

serta sejumlah unsur hara mikro terutama Cu, Zn dan Mo. Pemberian Cu diduga

lebih efektif melalui daun (foliar spray) karena sifat sematannya yang sangat kuat

pada gambut, kurang mobil dalam tanaman dan kelarutan yang menurun ketika

terjadi peningkatan pH akibat penggenangan. Sebagai amandemen, abu hasil

pembakaran gambut itu sendiri akan berpengaruh menurunkan kemasaman tanah,

memasok unsur hara dan mempercepat pembentukan lapis olah yang lebih baik

sifat fisikanya (Radjagukguk, 1990).

Di Sumatera Barat ditemukan bahan amelioran baru Harzburgite yang

defositnya cukup besar dan kandungan Mg yang tinggi (27,21 – 32,07% MgO) yang

merupakan bahan potensial  untuk ameliorasi lahan gambut (Mawardi et al, 2001).

17

Page 18: Paper Lahan Gambut

Pupuk kandang khususnya kotoran ayam dibandingkan dengan kotoran

ternak yang lainnya mengandung beberapa unsur hara makro dan mikro tertentu

dalam jumlah yang banyak. Kejenuhan basanya tinggi, tetapi kapasitas tukar

kation rendah. Kotoran ayam, dalam melepaskan haranya berlangsung secara

bertahap dan lama. Tampaknya, pemberian kotoran ayam memungkinkan untuk

memperbaiki sifat fisika dan kimia tanah gambut. Pada jagung manis, pemberian

kotoran ayam sampai 14 ton/ha pada tanah gambut pedalaman bereng bengkel

dapat meningkatkan jumlah tongkol (Limin, 1992 dalam Darung et al, 2001).

18

Page 19: Paper Lahan Gambut

V. KESIMPULAN

Sebagian dari lahan gambut telah dimanfaatkan untuk perluasan areal

pertanian. Pengembangan lahan gambut tersebut didasarkan atas kebutuhan

bahwa penyediaan tanah-tanah yang kesuburannya tinggi relatif berkurang atau

langka.

Dalam pengelolaanya, masih dijumpai sejumlah kendala yang menghambat

tercapainya produktivitas yang tinggi. Kendala tersebut meliputi kendala fisik,

kendala kimia  dan kendala yang berkaitan dengan penyediaan dan tata

pengelolaan air.

Dari hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa komoditi yang paling sesuai

adalah tanaman hortikultura diikuti  tanaman perkebunan dan industri, tanaman

pangan dan padi sawah

19

Page 20: Paper Lahan Gambut

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2011. Lahan Gambut Potensial untuk Pertanian.

Abdurachman dan Suriadikarta, 2000. Pemanfaatan Lahan Rawa eks PLG

Kalimantan

Tengah untuk Pengembangan Pertanian Berwawasan Lingkungan. Jurnal Litbang

Pertanian19 (3).

Ardjakusuma, S., Nuraini, Somantri, E., 2001. Teknik Penyiapan Lahan Gambut

Bongkor

untuk Tanaman Hortikultura. Buletin Teknik Pertanian. Vol 6 No. 1, 2001. Badan

Litbang

Pertanian. Jakarta.

Darung, U, Mimbar, S.M., Syekhfani., 2001. Pengaruh Waktu Pemberian Kapur dan

Pupuk

Kandang Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Panen Kedelai Pada Tanah Gambut

Pedalaman

Kalimantan Tengah. Buletin Biosain, Vol. 1, No.2, Maret 2001.

Driessen, P.M., 1978. Peat Soils. In. Soils and Rice. International Rice Research

Institute.

Agus, F., T. June, H. Komara, H. Syahbuddin, E. Runtunuwu, dan E. Susanti. 2008.

Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim dari Lahan Perkebunan. Laporan

Tahunan 2008, Konsorsium Litbang Perubahan Iklim Sektor Pertanian. Balai

Besar Sumber Daya Lahan Pertanian, Bogor.

Agus, F. 2009. Cadangan karbon, emisi gas rumah kaca dan konservasi lahan

gambut. Prosiding Seminar Dies Natalis Universitas Brawidjaya ke 46, 31

Januari 2009, Malang

20