paper tcn - culture, health, ilness, and nursing (hiv)

23
TUGAS INDIVIDU KEPERAWATAN TRANSKULTURAL & HOLISTIK Culture, Health, Illness, and Nursing “Penularan HIV Disebabkan Oleh Hubungan Seksual Dengan Banyak Partner” Dosen : Laili Rahayuwati, M. Kes., M. Sc. Oleh : ATIKAH FATMAWATI NPM : 220120120514

Upload: atikah-fatmawati

Post on 19-Oct-2015

52 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

TUGAS INDIVIDUKEPERAWATAN TRANSKULTURAL & HOLISTIK

Culture, Health, Illness, and NursingPenularan HIV Disebabkan Oleh Hubungan Seksual Dengan Banyak PartnerDosen : Laili Rahayuwati, M. Kes., M. Sc.

Oleh :ATIKAH FATMAWATINPM : 220120120514

PROGRAM MAGISTER KEPERAWATANFAKULTAS ILMU KEPERAWATANUNIVERSITAS PADJADJARANBANDUNG2013

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar BelakangPenyebaran HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immuno Deficiency Syndrome) telah sampai pada taraf yang mengkhawatirkan di era modernisasi seperti saat ini. Jumlah penderitanya sulit untuk diidentifikasi secara pasti. Fenomena penyebaran HIV/AIDS ini dapat dianggap sebagai sebuah fenomena gunung es (ice berg), yang artinya jumlah penderitanya jauh lebih banyak dari yang diperkirakan. Penyakit ini pertama kali ditemukan pada tahun 1981 oleh peneliti dari Centers for Disease Controls and Prevention Amerika Serikat.Pada awal penyebarannya, dapat dikatakan bahwa penyakit ini merupakan penyakit yang timbul akibat adanya migrasi atau perpindahan penduduk dari suatu daerah ke daerah lain (Soskolne & Shtarkshall, 2002). Persepsi masyarakat tentang penyakit ini pun beragam. Ada yang berpendapat bahwa penyakit ini adalah penyakit kutukan dari Tuhan dan ada pula yang mengatakan bahwa penyakit ini adalah penyakit orang-orang nakal. Disebut sebagai penyakit orang-orang nakal karena hal ini berhubungan dengan banyaknya pengidap HIV/AIDS datang dari kalangan pekerja seks komersial. Persepsi seperti ini yang seharusnya diluruskan oleh tenaga kesehatan yang lebih mengerti tentang konsep penyebaran penyakit HIV/AIDS ini.Perawat sebagai salah satu dari tenaga kesehatan memiliki peran sebagai educator, yaitu sebagai pendidik pasien. Pendidikan kesehatan yang dapat diberikan salah satunya adalah tentang penyebaran penyakit HIV/AIDS. Akan tetapi tidak serta merta menyalahkan persepsi yang telah beredar di masyarakat. Perawat harus memahami tentang budaya yang berkembang di masyarakat terkait penyebaran penyakit tersebut, yang nantinya akan dapat digunakan perawat sebagai dasar untuk memberikan pendidikan kesehatan.Berdasarkan hal tersebut, penulis mencoba menganalisis penyebaran penyakit HIV/AIDS ditinjau dari persepsi masyarakat, budaya, dan tenaga kesehatan.B. TujuanTujuan dari penulisan makalah ini antara lain :1) Menganalisa perspektif budaya tentang penyakit HIV dan penularannya.2) Menganalisa perspektif medis dan keperawatan tentang penyakit HIV dan penularannya.3) Menganalisa implikasi dan rekomendasi intervensi keperawatan berdasarkan tinjauan kasus dan teori.

BAB IISTUDI KEPUSTAKAAN

A. Konsep HIV/AIDS1) DefinisiAIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrome) adalah suatu penyakit virus yang menyebabkan kolapsnya system imun, dan bagi kebanyakan penderita dapat terjadi kematian dalam 5 tahun setelah diagnosis (Corwin, 2000). AIDS disebabkan oleh infeksi virus imunodefisiensi manusia (HIV Human Immunodeficiency Virus).AIDS adalah sindroma yang menunjukkan defisiensi imun seluler pada seseorang tanpa adanya penyebab yang diketahui untuk dapat menerangkan tejadinya defisiensi, tersebut seperti keganasan, obat-obat supresi imun, penyakit infeksi yang sudah dikenal dan sebagainya.

2) Insiden Dalam lima tahun terakhir, tercatat penurunan angka kasus HIV/AIDS di sejumlah negara, khususnya di Benua Amerika dan Eropa. Namun, kasus HIV/AIDS di Afrika dan Asia terus meningkat. Berdasarkan data yang dikeluarkan UNAIDS (Lembaga PBB yang mengurusi masalah HIV/AIDS) pada 2006 yang lalu, dari prevalensi (angka kejadian) HIV/AIDS yang mencapai 40 juta orang, sekitar 75 persennya berada di Asia dan Afrika. Pada sejumlah negara di Asia, seperti Indonesia, mayoritas ODHA (orang dengan HIV/AIDS) berasal dari pengguna narkotika suntik (penasun). Di Afrika, selain penasun, ODHA juga berasal dari kelompok pekerja seks komersial.Tingginya kasus HIV/AIDS di Asia dan Afrika mendapat perhatian luas dari masyarakat internasional. Berbagai upaya dilakukan untuk mencegah penyebaran HIV/AIDS, baik itu di kalangan kelompok berisiko tinggi, seperti penasun dan pekerja seks komersial. Upaya dilakukan mulai dari pendampingan hingga perawatan.Dari data yang dikeluarkan KPA (Komisi Penanggulangan AIDS) Nasional, jumlah ODHA di Indonesia sampai akhir September 2006, sekitar 6987 orang. Padahal pada tahun sebelumnya, sampai akhir Juni 2005, jumlah ODHA yang tercatat sekitar 2682 orang. Penularan HIV/AIDS terbanyak adalah melalui penggunaan jarum suntik bersama sebesar 52,6 persen. Sementara itu, penularan melalui hubungan heteroseksual sebesar 37,2 persen, dan homoseksual mencapai 4,5 persen. Dari segi usia, mayoritas ODHA berasal dari kelompok usia produktif, yakni 20 - 29 tahun sebesar 54,77 persen, 30-39 tahun sebesar 26,56 persen, dan 40-49 tahun mencapai 8,04 persen. Sebenarnya, jumlah ODHA di Indonesia jauh lebih tinggi dari angka tersebut, karena penghitungan selama ini baru didasarkan pada data yang dicatat oleh Departemen Kesehatan. Estimasi jumlah ODHA pada 2006 sekitar 169 ribu 216 ribu dan estimasi jumlah penasun di Indonesia pada 2006 sekitar 190 ribu 247 ribu. Selain itu, jika sebelumnya, penyebaran HIV/AIDS baru terjadi di 28 provinsi, sejak 2006 penyebaran HIV/AIDS sudah terjadi di semua provinsi Indonesia (32 provinsi). Kasus HIV/AIDS di enam provinsi, yaitu Papua, DKI Jakarta, Riau, Bali, Jawa Timur, dan Jawa Barat telah melebihi lima persen dari jumlah penduduknya.

3) EtiologiPenyebab adalah golongan virus retro yang disebut human immunodeficiency virus (HIV). HIV pertama kali ditemukan pada tahun 1983 sebagai retrovirus dan disebut HIV-1. Pada tahun 1986 di Afrika ditemukan lagi retrovirus baru yang diberi nama HIV-2. HIV-2 dianggap sebagai virus kurang pathogen dibandingkaan dengan HIV-1. Maka untuk memudahkan keduanya disebut HIV. Transmisi infeksi HIV dan AIDS terdiri dari lima fase yaitu :a) Periode jendela. Lamanya 4 minggu sampai 6 bulan setelah infeksi. Tidak ada gejala.b) Fase infeksi HIV primer akut. Lamanya 1-2 minggu dengan gejala flu likes illness.c) Infeksi asimtomatik. Lamanya 1-15 atau lebih tahun dengan gejala tidak ada.d) Supresi imun simtomatik. Diatas 3 tahun dengan gejala demam, keringat malam hari, B menurun, diare, neuropati, lemah, rash, limfadenopati, lesi mulut.e) AIDS. Lamanya bervariasi antara 1-5 tahun dari kondisi AIDS pertama kali ditegakkan. Didapatkan infeksi oportunis berat dan tumor pada berbagai system tubuh, dan manifestasi neurologist.AIDS dapat menyerang semua golongan umur, termasuk bayi, pria maupun wanita. Yang termasuk kelompok resiko tinggi adalah :a) Lelaki homoseksual atau biseks. b) Orang yang ketagihan obat intravena.c) Partner seks dari penderita AIDS.d) Penerima darah atau produk darah (transfusi).e) Bayi dari ibu/bapak terinfeksi. 4) Manifestasi KlinisManifestasi klinis penyakit AIDS menyebar luas dan pada dasarnya dapat mengenai setiap organ. Penyakit yang berkaitan dengan infeksi HIV dan penyakit AIDS terjadi akibat infeksi, malignansi dan/atau efek langsung HIV pada jaringan tubuh.a) RespiratoriusPneumonia, kompleks Mycobacterium avium, Mycobacterium tuberculosis.b) GastrointestinalHilangnya selera makan, mual, vomitus, kandidiasis oral dan esophagus, serta diare kronis, sindrom pelisutan (penurunan BB melebihi 10% dari BB dasar, diare yang kronis selama lebih dari 30 hari, kelemahan kronis, dan demam yang kambuhan atau menetap tanpa adanya penyakit lain).c) KankerSarcoma Kaposi, Limfoma Sel-B.d) NeurologicEnsefalopati HIV, infeksi jamur Cryptococcus neoformans, Leukoensefalopati Multifokal Progresiva, mielopati vaskuler, neuropati perifer.e) Struktur integumentHerpes zoster, herpes simpleks, dermatitis seboreika.f) Manifestasi klinis spesifik pada wanitaKandidiasis vagina, ulkus genitalis, kondiloma akuminata, Human Papiloma Virus (HPV), Pelvic Inflamatory Disease (PID).

5) PatofisiologiSeseorang yang terinfeksi HIV dapat tetap tidak memperlihatkan gejala (asimptomatik) selama bertahun-tahun. Selama waktu ini, jumlah sel T4 dapat berkurang dari sekitar 1000 sel per ml darah sebelum infeksi menjadi sekitar 200-300 sel per ml darah 2-10 tahun setelah infeksi. Sewaktu sel T4 mencapai kadar ini, gejala-gejala infeksi, misalnya infeksi jamur oportunistik atau timbulnya herpes zoster (cacar ular), muncul. Jumlah T4 kemudian menurun karena timbulnya penyakit baru yang akan menyebabkan virus berproliferasi. Akhirnya terjadi infeksi yang parah. Seseorang didiagnosis mengidap AIDS apabila hitung sel T4 jatuh dibawah 200 sel per ml darah atau apabila terjadi infeksi oportunistik, kanker, atau demensia AIDS.

6) Evaluasi Diagnostika) Tes untuk diagnosa infeksi HIV1. ELISA2. Western blot3. P24 antigen test4. Kultur HIV

b) Tes untuk deteksi gangguan sistem imun1. Hematokrit2. LED3. CD4 limfosit4. Rasio CD4/CD limfosit5. Serum mikroglobulin B26. Hemoglobulin

7) PenatalaksanaanBelum ada penyembuhan bagi AIDS, sehingga pencegahan infeksi HIV perlu dilakukan. Pencegahan berarti tidak berkontak dengan cairan tubuh yang tercemar HIV. Karena mustahil diketahui sebelumnya apakah suatu cairan tubuh tercemar oleh HIV, maka seseorang harus menganggapnya tercemar sampai terbukti sebaliknya. Adapun cara yang dapat dilakukan untuk mencegah terpajan HIV antara lain :a) Melakukan abstinensi seks atau hubungan kelamin monogamy bersama pasangan yang tidak terinfeksi.b) Diperiksa untuk mengetahui ada atau tidaknya virus paling sedikit 6 bulan setelah hubungan kelamin terakhir yang tidak terlindung, karena pembentukan antibody mungkin memerlukan waktu paling sedikit 6 bulan setelah pajanan ke virus. Seks oral juga menularkan virus.c) Tidak melakukan tukar menukar jarum suntik dengan siapapun untuk alasan apapun juga.d) Menggunakan kondom lateks apabila terjadi hubungan kelamin dengan orang yang status HIV-nya tidak diketahui. Walaupun dapat secara bermakna mengurangi resiko penularan HIV, kondom lateks tidak dapat menjamin 100% perlindungan terhadap penularan virus.e) Mencegah infeksi ke janin atau bayi baru lahir. Seorang wanita harus mengetahui status HIV-nya dan pasangannya sebelum hamil. Apabila wanita hamil positif HIV-nya, maka obat-obatan atau antibody anti HIV dapat diberikan selama kehamilan dan kepada bayinya setelah lahir. Ibu yang terinfeksi jangan menyusui bayinya. Pompa payudara jangan ditukarpakaikan.

Apabila terinfeksi oleh HIV, maka pengobatannya adalah :a) Obat-obat anti HIV, misalnya azidotimidin (AZT), yang menghambat enzim reverse transcriptase dan tampaknya efektif untuk menurunkan jumlah infeksi yang diidap pasien AIDS. Obat-obat ini tidak menyembuhkan AIDS, tetapi dapat memperlama waktu kelangsungan hidup bagi sebagian orang. Efek samping obat-obatan anti HIV adalah mual, nyeri kepala, dan penekanan sumsum tulang, sehingga terjadi anemia dan kelelahan.b) Pendidikan untuk menghindari alcohol dan obat-obatan terlarang. Makanan yang sehat dan gaya hidup yang bebas stress sangatlah penting. Stress, gizi yang kurang, alkohol, dan obat-obatan lain diketahui mengganggu fungsi imun. Merokok juga harus dihindari.c) Menghindari infeksi lain, karena infeksi tersebut dapat mengaktifkan sel T dan dapat mempercepat replikasi HIV. Untuk mencegah infeksi harus diberikan vaksin-vaksin yang ada sepanjang tidak digunakan vaksin virus hidup.d) Terapi kanker dan infeksi spesifik apabila penyakit-penyakit tersebut muncul.

B. Konsep Budaya1) BudayaBudaya dapat diartikan sebagai pola respon perilaku yang berkembang dari waktu ke waktu sebagai hasil dari pemikiran melalui struktur sosial dan agama, serta manifestasi intelektual dan bentuk artistic (Giger & Davidhizar, 1995).2) Keperawatan TranskulturalIndonesia merupakan negara besar yang terdiri dari multietnik yang tersebar hingga seluruh pelosok negeri. Tercatat lebih dari 300 kelompok etnik atau suku bangsa di Indonesia, atau lebih tepatnya terdapat 1.340 suku bangsa menurut sensus Badan Pusat Statistik tahun 2010. Migrasi penduduk yang tinggi juga akan menambah keberagaman budaya di setiap daerah. Hal ini yang menjadi tantangan bagi tenaga kesehatan khususnya perawat untuk dapat memberikan pelayanan kesehatan berbasis transcultural nursing.Transcultural nursing adalah theoretical framework yang berfokus pada penelitian dan analisa mengenai perbedaan kultur, dengan pendekatan keperawatan peka budaya, yang bertujuan untuk peningkatan kesehatan klien daam konteks perbedaan budaya. Konseptual framework ini muncul dari pernyataan The American Nurses Association (1994) yang menyatakan bahwa kultur adalah konsep keperawatan yang disana akan membahas banyak mengenai perawatan lintas budaya.Asumsi dasar dari theoretical framework Transcultural nursing ini adalah keperawatan harus memandang masalah klien dari aspek kultur yang dibawa oleh pasien. Leininger dalam penelitiannya mengenalkan teori yang disebut Cultural Care Diversity. Di dalam teori ini Leininger menekankan pentingnya seorang perawat untuk memahami perbedaan kultur pasien dengan pendekatan cultural care accommodation and cultural care restructuring. Cultural care accommodation ini merupakan kemampuan tenaga kesehatan untuk mengakomodasi kebutuhan sesuai kebudayannya yang dapat meningkatkan status kesehatannya, sedangkan cultural care restructuring adalah upaya tenaga kesehatan juga harus mampu memandang mana kebudayaan yang membutuhkan rekonstruksi sehingga dapat mengharmoniskan antara kebudayaan dan perilaku kesehatan klien. Cultural care restructuring ini yang perlu pendekatan khusus dan teori-teori lanjutan agar kebudayaan bisa selaras dengan status kesehatan klien (DeLaune & Ladner, 2002).

BAB IIIPEMBAHASAN

A. Perspektif Budaya Tentang HIV dan PenularannyaMasyarakat di Indonesia pada umumnya masih menganggap bahwa penyakit HIV/AIDS ditularkan melalui hubungan seksual dengan banyak partner. Sedangkan negara Indonesia masih sangat menjunjung tinggi norma-norma agama dan norma-norma kesopanan, sehingga apabila ada seseorang yang terjangkit virus HIV akan langsung dihubungkan dengan perilaku hubungan seksual dengan banyak partner. Norma yang berlaku di masyarakat akan sangat berkaitan erat dengan seksualitas, kesehatan seksual dan HIV merupakan faktor penting yang juga dapat menentukan penyebaran penyakit tersebut (Soskolne & Shtarkshall, 2002).Penyebaran penyakit HIV ini akan diperparah dengan adanya perpindahan penduduk dari suatu daerah ke daerah yang lain (migrasi). Penduduk yang berada di suatu tempat yang baru, pada awal keberadaanya akan tetap memegang norma-norma budaya yang mereka anut, sedangkan pada saat yang bersamaan para imigram tersebut akan mengalami kontak dengan sistem sosial budaya yang baru yang mungkin sangat berbeda dengan budaya sebelumnya (Soskolne & Shtarkshall, 2002). Interaksi ini yang dimungkinkan untuk terjadinya penyebaran HIV/AIDS. Proses penyebaran HIV melalui migrasi tersebut dapat dijelaskan pada ilustrasi kasus berikut : Tn. X usia 23 tahun, kewarganegaraan Indonesia bekerja di Afrika Selatan sejak 2 tahun yang lalu. Pada awal keberadaanya di negara tersebut kehidupan Tn. X masih berjalan seperti biasa, dia pun masih memegang norma-norma budaya yang selam ini dianutnya. Akan tetapi lambat laun beliau mulai terpengaruh kehidupan seks bebas di negara baru tersebut. Setelah pulang ke Indonesia, kondisi kesehatannya semakin memburuk, dan dia didiagnosa terinfeksi HIV/AIDS. Dari kasus tersebut dapat dijelaskan bahwa Tn. X mengalami apa yang dinamakan Loss of Cultural Individual Beliefs, yang akibatnya adalah perilaku yang kurang sehat yaitu perilaku seksual resiko tinggi (bergonta-ganti pasangan).Adanya perbedaan budaya dapat mengakibatkan seseorang mengalami apa yang dinamakan cultural shock. Perbedaan budaya tersebut yang perlu untuk dipahami seorang perawat sebagai bagian dari tenaga kesehatan yang salah satu perannya adalah sebagai pendidik pasien dan masyarakat. Seperti penelitian yang telah ada menunjukkan bahwa kaum muda dari Meksiko lebih rentan terhadap penyebaran HIV sedangkan kaum muda dari Spanyol lebih takut pada penyebaran HIV (Gimnez-Garca, Ballester-Arnal, Gil-Llario, Crdenas-Lpez, & Duran-Baca, 2013). Hal itulah yang nantinya dapat dijadikan dasar oleh perawat dalam memberikan pendidikan kesehatan.Leininger menyebutkan bahwa perawat penting untuk memahami perbedaan budaya yang ada pada pasien dengan pendekatan cultural care accommodation and cultural care restructuring. Dalam kasus ini yang dapat dilakukan perawat adalah culture care restructuring, yaitu memperbaiki persepsi budaya klien tentang penyebaran HIV/AIDS. Hal ini memang tidak dapat dilakukan secara instan dalam waktu sekejap. Butuh bukti nyata, waktu, dan proses panjang untuk melakukan cultural care restructuring ini (MacNeil, 1996).

B. Perspektif Medis dan Keperawatan Tentang HIV dan PenyebarannyaDitinjau dari segi medis dan keperawatan, penyebaran HIV/AIDS tidak selalu datang dari perilaku seksual dengan banyak partner. Cara lain yang dapat menularkan penyakit ini adalah penggunaan jarum suntik secara bersamaan dan bergantian dari satu orang ke orang lain. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan jarum suntik secara bergantian seringkali terjadi dalam ritual injeksi dengan sesame pengguna obat-obatan terlarang yang akan menimbulkan kedekatan emosional dan seksual (Unger et al., 2006). Disinilah HIV/AIDS dapat berkembang dan menyebar.Cara penyebaran lain dari penyakit HIV/AIDS ini adalah melalui ASI. Temuan yang ada menunjukkan bahwa virus HIV/AIDS dapat menembus sawar plasenta dan air susu, sehingga seorang ibu yang hamil harus mengetahui kondisi kesehatannya terlebih dengan suami yang telah terinfeksi HIV/AIDS. Saat setelah melahirkanpun dianjurkan untuk tidak menyusui bayinya. Perilaku lain yang dapat menularkan HIV/AIDS adalah melalui transfuse darah. Sehingga diperlukan screening ketat saat seseorang akan melakukan transfuse darah.Pengetahuan tentang penyakt HIV/AIDS dan pola penyebarannya haruslah dipahami secara benar oleh tenaga kesehatan, tidak terkecuali oleh perawat. Peran sebagai pendidik pasien membutuhkan pengetahuan yang lebih tentang apa yang akan disampaikan ke pasien. Tujuan dari pendidikan kesehatan sendiri adalah untuk mendapatkan perubahan perilaku pasien yang sebelumnya kurang sehat menjadi perilaku yang sehat. Apabila pendidikan kesehatan diberikan pada ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) maka hal yang disampaikan akan berbeda dengan orang yang tidak tertular. Disitu penekanannya adalah pada cara-cara penularannya. Sehingga diharapkan penularan penyakit ini data ditekan seminimal mungkin.

C. Implikasi Dan Rekomendasi Intervensi KeperawatanDari tinjauan yang telah dilakukan, maka implikasi dan rekomendasi intervensi keperawatan yang dapat diberikan antara lain :1. Perawat dituntut untuk lebih peka terhadap perbedaan budaya yang ada di lingkungan sekitar sehingga dapat menyesuaikan diri guna menyusun intervensi keperawatan yang tepat sehingga tidak menyebabkan cultural shock.2. Pendidikan kesehatan yang sejelas-jelasnya harus diberikan pada masyarakat luas terkait penyakit dan penyebaran HIV/AIDS, agar tidak berkembang stigma atau persepsi yang keliru di masyarakat. Tidak hanya mengandalkan kegiatan penyuluhan saja, akan tetapi di era perkembangan teknologi dan informasi seperti saat ini, tampaknya penggunaan jejaring sosial akan membawa dampak yang baik bagi penyebaran informasi, misalnya radio, televisi, facebook, twitter, dan media internet lainnya.

BAB IVPENUTUP

A. KesimpulanPenyebaran penyakit HIV/AIDS saat ini sudah sangat terkenal dengan fenomena iceberg-nya, yang artinya kasus yang Nampak di lapangan tidak sebanding dengan kasus yang belum teridentifikasi. Hal tersebut tentu saja membutuhkan perhatian khusus dari berbagai pihak agar tidak menimbulkan berbagai stigma dan persepsi yang keliru di masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai etnik dan budaya. Cultural care accommodation and cultural care restructuring dapat digunakan sebagai salah satu startegi untuk menekan penyebaran penyakit yang menyerang kekebalan tubuh manusia ini. Cultural care accomodation yang dapat dilakukan adalah dengan tetap mendukung dan mengembangkan masyarakat yang memegang teguh norma-norma kesopanan dan norma-norma agama. Sedangkan untuk cultural care restructuring adalah dengan mengubah perilaku seks tidak aman pada pengidap HIV/AIDS, misalnya dengan menggunakan kondom saat berhubungan seksual, melakukan abstinentia dalam hubungan seksual, serta dengan tidak melakukan hubungan seksual dengan banyak partner.

B. SaranSebagai ujung tombak pelayanan kesehatan, perawat dituntut untuk memiliki knowledge dan skills yang baik dalam hal memberikan pendidikan kesehatan pada penderita HIV/AIDS dan pada masyarakat umumnyadengan tetap mempertimbangkan perbedaan budaya yang mungkin terjadi antara pasien dan perawat. Penggunaan media jejaring sosial-pun sebaiknya diintegrasikan dalam melaksanakan pendidikan kesehatan pada masyarakat terkait penyakit HIV/AIDS.

REFERENSI

DeLaune, S., & Ladner, P. (2002). Fundamental of Nursing: Standards & Practice, SEcond Edition (Second Edi.). New York: Delmar / Thomson Learning.Giger, J. N., & Davidhizar, R. E. (1995). Transcultural Nursing: Assessment and Intervention (Second.). St. Louis, Missouri: Mosby- Year Book.Gimnez-Garca, C., Ballester-Arnal, R., Gil-Llario, M. D., Crdenas-Lpez, G., & Duran-Baca, X. (2013). Culture as an Influence on the Perceived Risk of HIV Infection: A Differential Analysis Comparing Young People from Mexico and Spain. Journal of community health, 38(3), 43442. doi:10.1007/s10900-012-9636-yMacNeil, J. M. (1996). Use of Culture Care Theory with Baganda Women as AIDS Caregivers. Journal of Transcultural Nursing, 7(2), 1420. doi:10.1177/104365969600700204Soskolne, V., & Shtarkshall, R. a. (2002). Migration and HIV prevention programmes: linking structural factors, culture, and individual behaviour--an Israeli experience. Social science & medicine (1982), 55(8), 12971307. Retrieved from http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/12231010Unger, J. B., Kipke, M. D., De Rosa, C. J., Hyde, J., Ritt-Olson, A., & Montgomery, S. (2006). Needle-sharing among young IV drug users and their social network members: The influence of the injection partners characteristics on HIV risk behavior. Addictive behaviors, 31(9), 160718. doi:10.1016/j.addbeh.2005.12.007