paradigma pengembangan ilmu -...
TRANSCRIPT
PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU
PADA ZAMAN AL MA’MUN (813-833 M)
TESIS
DiajukankepadaPengelola Magister FakultasIlmuTarbiyahdanKeguruan
(FITK) untukmengikutiUjianPromosiTesispada Program MagisterPendidikan
Agama Islam
Oleh:
Ahmad Khumaidi Al Anshori
NIM: 2113011000011
PROGRAM MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2015 M/1436 H
i
PEDOMAN TRANSLITERASI
A. PADANAN AKSARA
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
Tidak dilambangkan ا
B Be ب
T Te خ
Ts Te dan es ز
J Je ض
H Ha dengan garis bawah غ
Kh Ka dan Ha خ
D De ز
Dz De dan Zet ش
R Er ض
Z Zet ظ
S Es غ
Sy Es dan Ye ش
S Es dengan garis bawah ص
D De dengan garis bawah ع
T Te dengan garis bawah ط
Z Zet dengan garis bawah ػ
Koma terbalik di atas hadap „ ع
kanan
Gh Ge dan Ha ؽ
F Ef ف
Q Ki ق
K Ka ن
L El ل
M Em و
N En
H Ha
W We
A Apostrof ء
Y Ye ي
ii
B. VOKAL
Tanda Vokal
Arab
Tanda Vokal
Latin Keterangan
-- A Fathah
-- I Kasrah
-- U Dammah
ي-- Ai A dan i
و-- Au A dan u
C. VOKAL PANJANG
Tanda Vokal
Arab
Tanda Vokal
Latin Keterangan
ا-- Â A dengan Topi di atas
ي-- Î I dengan Topi di atas
و-- Û U dengan Topi di atas
D. KATA SANDANG
Kata sandang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan huruf
dialihaksarakan menjadi huruf (l), baik diikuti huruf syamsiyyah ,ال
maupun qamariyah. Contoh: al-syamsu bukan asy-syamsu dan al-jannah
E. SYADDAH/TASYDID
Syaddah/tasydîd dalam tulisan Arab dilambangkan dengan , dalam
alih aksara dilambangkan dengan menggandakan huruf yang diberi tanda
syiddah. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku pada huruf-huruf syamsiyyah
yang didahului kata sandang. Misalnya kata انو tidak ditulis an-naum
melainkan al-naum
F. TA MARBÛTAH
Ta marbûtah jika berdiri sendiri dan diikuti oleh kata sifat (na’at)
dialihaksarakan menjadi huruf (h). Namun, jika huruf tersebut diikuti kata
benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf (t).
Contoh:
No Kata Arab Alih Aksara
Madrasah هذرست 1
-Al-jâmi‟ah al الجاهعت اإلسالهيت 2
islâmiyyah
Wihdat al-wujud وحذة الىجىد 3
iii
iv
v
vi
vii
viii
ix
x
xi
xii
ABSTRAK
Ahmad Khumaidi Al Anshori. NIM: 2113011000011; “Paradigma
Pengembangan Ilmu pada Zaman Al-Ma’mun (813-833 M)”. Tesis Program
Magister Pendidikan Agama Islam (PAI) Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan (FITK) UIN SYarif Hidayatullah Jakarta. 2015
Paradigma dapat dipahami sebagai sekumpulan keyakinan dasar yang
mengarahkan pada tindakan penelitian ilmiah. Paradigma seseorang tentang
ilmu, akan menentukan sikap dan perilakunya terhadap ilmu tersebut.
Khalifah al-Ma‟mun merupakan salah satu Kholifah Daulah Abbasiyah yang
termasuk kedalam The Golden Age (Zaman Keemasan). Selama
pemerintahan al-Ma‟mun banyak hal yang ia lakukan, khususnya dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan. Kecintaannya terhadap ilmu
pengetahuan mempengaruhi pemikiran al-Ma‟mun. Masalah utama dalam
penelitian ini adalah: “Paradigma Pengembangan ilmu bagaimanakah yang di
kembangkan pada zaman al-Ma‟mun? Penelitian ini bertujuan: Mengungkap
fakta tentang paradigma pengembangan terhadap ilmu dalam sejarah
pendidikan Islam pada zaman al-Ma‟mun (813-833M). Penelitian ini
bermanfaat untuk memberikan informasi tentang sejarah paradigma
pengembangan ilmu pengetahuan (sains) dalam pendidikan Islam di zaman
klasik dan masih relevan pada masa kini. Data primer dalam penelitian ini
adalah dari Kitab Al-Kamil fi Tarikh oleh Ibn Atsir dan Kitab Wa’fiyat Al-
A’yan wa Anba Al-Zaman oleh Ibn Khalikan dan Mukadimah Ibn Khaldun
oleh Ibnu Khaldun yang menjelaskan tentang pertumbuhan ilmu dan
perkembanganya pada zaman al-Ma‟mun Dinasti Abbasiyah (813-833).
Adapun data sekundernya adalah karya tulis Tarikh Al-Tarbiyah al-Islamiyah
oleh Ahmad Syalabi, The History of Arabic oleh Philip K. Hitti dan Science
Civilization in Islam oleh Syyed Hoesen Nasr dan para ilmuwan yang telah
menulis sejarah ilmu. Oleh karena itu penelitian ini sepenuhnya adalah studi
pustaka. Hasil yang dicapai dalam penelitian ini menyimpulkan bahwa
Paradigma pengembangan ilmu pada zaman al-Ma‟mun merupakan
pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang melihat ilmu
pengetahuan (sains) dari aspek ontologis yang membahas alam jagat raya
yang disusun sebagai ilmu pengetahuan (sains), epistemologis dengan
metode ijbari atau eksperimen dan observasi yang dilakukan di laboratorium,
dan aksiologis dimana Islam menganjurkan dan mendorong manusia untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan alam (sains) yang merupakan satu
kesatuan dari Allah. Paradigma pengembangan ilmu di zaman al-Ma‟mun
terpusatkan pada ilmu-ilmu alam (Natural Sciences) dengan Pola gerakan
intelektual yang integrated pada zamannya.
Kata Kunci: Paradigma, Pengembangaan, Ilmu, Zaman, Al-Ma‟mun
xiii
ABSTRACT
Ahmad Khumaidi Al Anshori. NIM: 2113011000011; "Paradigm
Development of Science in the Al-Ma'mun". The Master degree program
thesis Islamic Religion teaching Faculty of Education and educations in
teaching and care (FITK) UIN Syarif Hidayatullah State Islamic University
in Jakarta . 2015
Paradigm can be understood as a set of basic beliefs that direct the
actions of scientific research. Paradigm someone about science, will
determine the attitude and behavior towards the art. Caliph al-Ma'mun was
one Kholifah Daula Abbasid included into The Golden Age (Golden Age).
During the reign of al-Ma'mun many things he did, especially in developing
science. His passion for science influence the thinking of al-Ma'mun. The
main problem in this research is: "The paradigm of how science
Development that was developed at the time of al-Ma'mun? This study aims:
Revealing the facts about the development paradigm for the science
education in the history of Islam in the time of al-Ma'mun (813-833M). This
research is useful to provide information about the history of the
development paradigm of science (science) in Islamic education in antiquity
and is still relevant today. Primary data in this study is from the Book of Al-
Kamil fi Tarikh by Ibn Atsir and Book Wa'fiyat wa Al-Anba A'yan Al-Zaman
by Ibn Khalikan and Ibn Khaldun Preamble by Ibn Khaldun, explaining the
growth of science and its development in the time Abbasid al-Ma'mun (813-
833). The secondary data is writing Tarbiyah Tarikh al-Ahmad al-Islamiyah
by Syalabi, The History of Arabic by Philip K. Hitti Science and Civilization
in Islam by Nasr Hoesen Syyed and scientists who have written the history of
science. Therefore this research entirely is literature. The results achieved in
this study concluded that the paradigm of development of science in the time
of al-Ma'mun an integrated development based on monotheism who see
science (science) of natural discuss ontological aspects of the universe that is
structured as a science (science), epistemological ijbari method or
experiments and observations made in the laboratory, and axiological where
Islam advocate and encourage people to develop the natural sciences
(science) which is a unity of God. Paradigm development of science in the
age of al-Ma'mun concentrated in natural sciences (Natural Sciences) with
integrated movement pattern intellectual of his time.
Keywords: Paradigm, Deveplopment, Knowledge, The Time, Al Ma‟mun
xiv
هلخص البحث
نوىرج تنويت " ؛ 2113011000011 خويذي األنصاري. رقن الطالب: أحوذ
رسالت هاجستير برناهج التربيت اإلسالهيت بكليت التربيت . ىى "وأهـالعلن في عهذ ال
5102اإلسالهيت الحكىهيت بجاكرتا عام بجاهعت شريف هذايت اهلل (FITK)والتعلين
هـ.
شض كعػح ي انؼرمساخ األساسح انر ذظ ذظطفاخ انثحس ك فى ان
انؼه. شرض يا ف انشض ػ انؼهى، ذحسس انالف انسهن ذعا انف. كا
انرهفح انأي شهد احسج زاال انرهفح انؼثاس إنى انؼظط انصث )انؼظط
غط انؼهو. شغف نهؼهى انصث(. ف ػس انأي أشاء كصطج فؼه، ذظطا ف ذ
ذؤشط ػهى ذفكط انأي. انشكهح انطئسح ف صا انثحس: "إ شض نكفح ػهو
انرح انر ذى ذغطا ف لد انأي؟ ذسف ص انسضاسح: انكشف ػ انحمائك
-318حل شض انرح نرؼهى انؼهو ف ذاضد اإلسالو ف ػس انرهفح انأي )
388M صا انثحس يفس نرفط انؼهياخ ػ ذاضد شض انرح ف انؼهو .)
)ػهو( ف انرطتح اإلساليح ف انؼظض انمسح، ال ذعال طانحح انو. انثااخ
wa'fiyatاألنح ف ص انسضاسح ي كراب آل كم فاي انراضد الت األشط كراب
A'yan ثا ت انعيا انسثاظح ا آل األثا انر كرKhalikan ات ذهس ات ذهس
Ma'mun-ي ذالل شطغ ان انؼهى ذغض ف ػس انرهفح انرالفح انؼثاسح
االحس االساليح ي لثم Tarikh(. انثااخ انصاي كراتح عطت 813-833)
Syalabiضاضج ف اإلسالو ظط ، ذاضد انهغح انؼطتح ي لثم فهة ن حر انؼهى انح
Hoesen Syyed انؼهاء انص كرثا ف ذاضد انؼهى. تانران صا انثحس األزب
ذايا. انرائط انر ذحممد ف ص انسضاسح ذهظد إنى أ شض ذغض انؼهى ف ظي
انأي انرح انركايهح انمائح ػهى انرحس انص ط انؼهى )انؼهى( ي انغثؼ
أ ijbariيالشح انعاة انظزح نهك انصي رشكم كؼهى )انؼهى(، انؼطف عطمح
انرعاضب انالحظاخ انر أتسد ف انررثط، انم حس زاػح اإلسالو ذشعغ
اناغ ػهى ذغط انؼهو انغثؼح )انؼهو( حسج ي اهلل. ذغط شض انؼهى ف
انؼهو انغثؼح )انؼهو انغثؼح( يغ يركايم انفكطح ظ ػظط انأي ذرطكع ف
ي لر.انحطكح
وأهىىـ، العهذكلواث البحث: النوىرج والتنويت، والعلىم،
xv
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena
atas segala karunia, rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan
penulisan tesis ini. Shalawat dan salam dihaturkan kepada pendidik pertama,
Nabi Besar Muhammad SAW yang telah menggariskan rambu-rambu
Pengembangan sehingga dapat mengangkat derajat dan martabat manusia
sebagaimana mestinya.
Dalam kesempatan ini, penulisan menyadari bahwa selama penulisan
tesis ini, sejujurnya penulis banyak sekali mengalami berbagai kesulitan dan
kendala baik dalam literatur, dan waktu dalam penyelesaiannya, terutama
dalam menganalisis dan memahami berbagai bahan bacaan. Namun berkat
bantuan dan dorongan moril dari berbagai pihak, akhirnya kesulitan-kesulitan
selama penulisan tesis ini dapat diatasi. Oleh karena itu, pada kesempatan ini
penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tidak terhingga terutama
kepada yang terhormat:
1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA selaku Rektor Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA. selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah
dan Keguruan (FITK) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. Fachriany, M.Pd. selaku Ketua, Dr. Jejen Musfah, M.A. selaku
Sekretaris dan Azkia Muharom Albantan, M.Pd.I. selaku Staf Program
Magister Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Prof. Dr. H. Murodi, M.A., selaku pembimbing, tesis ini. Terima kasih
atas perhatian dan kesabarannya dalam mengarahkan dan membimbing
penulis dalam menyelesaikan karya ilmiah ini.
5. Dr. Khalimi, M.A., selaku penguji proposal dalam tesis ini. Terima kasih
atas bimbingan, perhatian dan kesabarannya pada saat menguji proposal
tesis ini.
6. Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A., Dr. Jejen Musfah, M.A., dan Dr.
Khalimi,M.A., selaku penguji Work In Progress (WIP) I-II (Pra Tesis I-
II). Terima kasih atas bimbingan, perhatian, dan kesabarannya pada saat
menguji WIP I dalam tesis ini.
7. Seluruh Dosen Program Magister Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
(FITK) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang
telah mencurahkan ilmunya kepada penulis selama masa perkuliahan,
xvi
xvii
xviii
DAFTAR ISI
PEDOMAN TRANSLITERASI ................................................................. i
SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI ............................................ iii
SURAT PERNYATAAN JURUSAN ......................................................... iv
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI WIP I ............................................. v
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI WIP II ........................................... vi
LEMBAR PENGESAHAN PENGUSJI PROMOSI TESIS ....................... vii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................. viii
ABSTRAK .................................................................................................. ix
KATA PENGANTAR ................................................................................. xii
DAFTAR ISI ............................................................................................... xiv
DAFTAR GAMBAR DAN TABEL ........................................................... xvi
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah ................................................................... 1
B. Permasalahan .................................................................................... 14
C. Tujuan Penelitian ............................................................................... 15
D. Manfaat dan Kegunaan Penelitian .................................................... 15
E. Kajian Pustaka .................................................................................. 16
F. Metodologi Penelitian ........................................................................ 18
BAB II PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU DALAM
PENDIDIKAN ISLAM ....................................................................... 23
A. Paradigma Keilmuan .......................................................................... 23
B. Konsep Ilmu dalam Islam ................................................................. 27
C. Pandangan Islam terhadap Alam ....................................................... 49
D. Pandangan Islam tentang Dikotomi Ilmu ......................................... 58
E. Dualisme Keilmuan dalam Pendidikan Islam ………………………63
BAB III SEJARAH PERTUMBUHAN ILMU PENGETAHUAN DAN
PERKEMBANGAN DALAM ISLAM .............................................. 69
A. Ilmu Pengetahuan Islam di Era Rasulullah SAW. ............................ 69
B. Ilmu Pengetahuan Islam di Era Khulafa‟ al-Rasyidin ..................... 71
C. Ilmu Pengetahuan Islam di Era Bani Umayyah ............................... 73
D. Ilmu Pengetahuan Islam di Era Daulah Abbasiyah .......................... 78 E. E.
E. Pertumbuhan Ilmu Pengetahuan dan
Perkembangannya dalam Islam ......................................................... 81
xix
BAB IV PARADIGMA PENGEMBANGAN SAINS DAN
PENDIDIKAN ISLAM PADA ZAMAN AL MA’MUN .................. 97
A. Biografi Al Ma‟mun ........................................................................ 97
B. Paradigma Pengembangan Sains dalam Islam ................................. 102
C. Langkah-langkah Kholifah Al-Ma‟mun dalam Mengembangkan
Sains ................................................................................................. 105
D. Hasil Pencapaian Al-Ma‟mun dalam Mengembangkan
Sains …………………………………………………………...…. 122
E. Pengembangan Ilmu Pengetahuan (Sains) dan Pengaruhnya
terhadap Sistem Kemajuan Masyarakat Islam…….………….….. 166
F. Pola Gerakan Intelektual yang Integrated Zaman Al Ma‟mun ..… 172
G. Model Pengembangan Ilmu-Ilmu Alam (Sains)
di Zaman Al-Ma‟mun ……………………………………………. 177
H. Paradigma Pengembangan Sains Integrated yang Berbasis pada
Tauhid dari Aspek Aksiologis, Epistemologis, dan Ontologis …. 184
BAB V PENUTUP ..................................................................................... 203 A. Kesimpulan ..................................................................................... 203
B. Saran ................................................................................................ 206
Daftar Pustaka
Lampiran
xx
DAFTAR GAMBAR DAN TABEL
Tabel. 2.1 : Pandangan Integral Holistik ……………………………… 25
Gambar 2.2: Konseptual Islam Tentang Ilmu dan Penelitian ………….. 49
Gambar 3.1: Silsilah Kholifah Abbasiyah Zaman Integrasi Ilmu ……… 81
Gambar 4.1: Konsep dasar pendidikan Multikultural pada Institusi
Baitul Hikmah ……………………………………………. 127
Tabel 4.2: Kronologi Riwayat Hidup Ulama dan Ilmuwan serta
Keahliannya pada Zaman al-Ma‟mun …………………… 166
Gambar 4.3: Pola Bangunan Sains (Natural Sciences) Integratif ……… 189
Tabel. 4.4: Paradigma Pengembangan Ilmu pada zaman Al-Mansyur,
Harun Al-Rasyid dan Al Ma‟mun ………………………. 200
Gambar 4.5: Pola Gerakan Intelektual Integratif zaman Al-Ma‟mun.…. 204
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Katakanlah: “Kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis)
kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis)
kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu
(pula) (Al-Qur‟an, al-Kahf: 109). Ayat ini menggambarkan betapa luas
kandungan ilmu-ilmu yang diturunkan Allah baik yang terdapat dalam ayat-
ayat Qur‟aniah maupun dalam ayat-ayat kauniah. Oleh karena itu, tidak heran
jika para ulama dan para filosof muslim sejak zaman dahulu menjadikan al-
Qur‟an sebagai sumber ilmu pengetahuan.
Tidak dapat dielakkan lagi bahwa penerjemahan karya-karya
pemikiran Yunani ke dalam bahasa Arab, menyebabkan maraknya
pengembangan filsafat dan ilmu pengetahuan di dunia Islam, termasuk
pengembangan pendidikan Islam di masa klasik (Nasution,1985: 56), (Nata,
2010: 159), (Sarton, 1972: 523-24). Pemikran filsof masuk ke dalam Islam
melalui falsafat Yunani yang dijumpai ahli-ahli fikir Islam di Syria,
Mesopotamia, Persia dan Mesir. Walaupun pendidikan di masa klasik tidak
sekompleks pendidikan modern. Pendidikan Islam di masa klasik dapat
dikatakan maju, bahkan dianggap telah mencapai masa keemasan dalam
sepanjang sejarah. Sejak permulaan penterjemahan karya-karya pemikiran
Yunani, pendidikan Islam mengalami kemajuan pesat baik dalam materi
pengajarannya (kurikulum) maupun ilmu pengetahuan dan kebudayaan
(Nasution, 1985: 46).
Agar tidak salah persepsi, maka penulis sedikit mendeskripsikan,
bahwa ketika al-Qur‟an diturunkan, ilmu pengetahuan telah berkembang di
Mesir, Syiria, Babilonia, Yunani, Romawi, India, Cina dan Persia, akan tetapi
ilmu pengetahuan tersebut banyak yang di tinggalkan, seperti Filsafat oleh
Yunani atau bahkan Romawi memandang hal tersebut tidak bernilai (Nata,
2003: 68-69). Baik al-Qur‟an dan Hadits sesungguhnya tidak
mempertentangkan ilmu. Akan tetapi jika ada pembagian ilmu agama dengan
ilmu umum hanyalah paradigma manusia yang mengidentifikasi ilmu
berdasarkan pada sumber objek kajiannya saja. Misalnya jika objek
ontologisnya yang dibahas wahyu al-Qur‟an atau penjelasannya pada hadits
dengan menggunakan metode ijtihad maka yang dihasilkannya adalah ilmu-
ilmu agama seperti: Tafsir, Hadits, Tasawuf, Fiqih, Teologi dan lain
sebagainya. Kemudian jika objek ontologisnya yang di bahas fenomena sosial
dengan menggunakan metode observasi, wawancara, maka yang dihasilkannya
adalah ilmu sosial seperti: Geografi, Ekonomi, Sosiologi, Sejarah, Antropologi
dan lain sebagainya. Kemudian jika objek ontologinya yang dibahas alam jagat
2
raya seperti langit, bumi, tumbuh-tumbuhan, bulan, bintang, binatang, air, api,
udara, batu-batuan dan lain sebagainya dengan menggunakan penelitian
eksperimen di laboratorium, maka yang dihasilkannya adalah ilmu alam
(Natural Sciencis) seperti: Ilmu Kimia, Biologi, Astronomi, Fisika dan lain
sebagainnya (Nata, 2003: 69-70).
Jika di atas objek ontologisnya masing-masing menggunakan metode
yang berbeda seperti, metode ijtihad, eksperimen (ijbari), observasi, maka
untuk objek kajiannya menggunakan metode mujadalah atau logika terbimbing
maka yang dihasilkannya adalah Filsafat dan ilmu-ilmu Humaniora. Dan jika
objek ontologinya menggunakan intuisi dengan metode penyucian batin
(tazkiyah al-nafs), maka ilmu yang dihasilkan adalah ilmu ma‟rifah.
Jika menyesuaikan pada judul penelitian ini, Paradigma secara
sederhana dapat diartikan sebagai kerangka berpikir untuk melihat suatu
permasalahan. Pengertian paradigma selanjutnya berkembang dari definisi
paradigma pengetahuan yang dikembangkan oleh Kuhn dalam rangka
menjelaskan cara kerja dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Paradigma
pengetahuan merupakan perspektif intelektual yang dalam kondisi normal
memberikan pedoman kerja terhadap ilmuwan yang membentuk „masyarakat
ilmiah‟ dalam disiplin tertentu. Pengertian lain dari paradigma ilmiah adalah
sebagai gambaran intelektual yang daripadanya dapat ditentukan suatu subjek
kajian. Perspektif intelektual inilah yang kemudian akan membentuk ilmu
pengetahuan normal (normal science) yang mendasari pembentukan kerangka
teoritis terhadap kajian-kajian ilmiah. Pengertian paradigma juga menjadi
gambaran fundamental mengenai subjek ilmu pengetahuan. Paradigma
memberikan batasan mengenai apa yang harus dikaji, pertanyaan yang harus
diajukan, bagaimana harus dijawab dan aturan-aturan yang harus diikuti dalam
memahami jawaban yang diperoleh (Bachtiar, 2006: 45).
Dalam mengembangkan suatu paradigma ilmu, harus dapat melihat
cara pandang yang menjadi aspek filosofis dan metodologis dalam menemukan
ilmu pengetahuan, yaitu: dimensi ontologis (dimensi yang membicarakan
hakikat ilmu), dimensi epistemologis (dimensi yang membicarakan bagaimana
memperoleh ilmu), dimensi aksiologis (dimensi yang membicarakan nilai
ssebuah ilmu), dimensi retorik (dimensi yang membicarakan tentang bahasa
yang dipakai dalam pemikiran ilmu), dan dimensi metodologis (dimensi yang
membicarakan metode-metode memperoleh ilmu). Sebagai contoh: Jika kita
berhadapan dengan seorang musuh, maka sudut padang kita adalah bagaimana
caranya agar dapat menjatuhkan (mengalahkan) musuh tersebut, dan
begitupula sebaliknya, jika kita melihat seorang teman, maka bagaimana
caranya agar kita dapat mengambil kebaikan dari teman tersebut.
Sejak penterjemahan buku-buku Yunani, kurikulum dalam pendidikan
Islam mengalami kemajuan pesat. Lembaga-lembaga pendidikan yang
sebelumnya hanya mengajarkan ilmu agama, seperti zawwiyah, hanqoh,
3
pendidikan yang bersifat non-formal atau halaqah yang dilaksanakan di
masjid-mesjid, mulai mengajarkan ilmu pengetahuan, seperti matematika,
filsafat, dll. Misalnya di Kuttab, yaitu salah satu dari lembaga pendidikan
tingkat dasar, pada abad pertama masa Islam hanya mengajarkan pelajaran
membaca dan menulis ilmu agama (Stanton,1994: 35). Sebagaimana Ahmad
Shalabi berpandangan bahwa kuttab lebih fokus pada pendidikan anal-anak
tentang al-Qur‟an dan isinya. Namun sejak abad 8 M, kuttab mulai
mengajarkan ilmu non-agama (Syalabi, 1954: 16-17).
Dikarenakan lembaga pendidikan belum menghasilkan sarjana-sarjana
di berbagai bidang yang Islami, maka muncul gagasan, bahwa madrasah-
madrasah yang diselenggarakan oleh swasta atau pemerintah ingin
memasukkan mata pelajaran ilmu pengetahuan umum dalam lembaga
pendidikan yang didirikannya. Gagasan semacam ini juga dilatarbelakangi
sejarah umat Islam sejak abad ke-2 Hijriah sampai akhir abad ke-4 telah
didirikan lembaga-lembaga pendidikan yang di bangun Darul Hikmah di Kairo
dan Baghdad, disampaing ilmu agama, sastra, dan sejarah, dipelajari pula
aljabar, fisika, kedokteran, filsafat dan ilmu-ilmu lainnya (Tamsir, 2006: 47-
48).
Dalam Integrasi Ilmu, Abuddin Nata dkk. menyatakan bahwa masa
awal dari Dinasti Abbasiyah pada tahun 133-766 H / 750-1258 M. masa awal
abad pertengahan umat Islam memiliki kekayaan ilmu dan pengetahuan (Nata,
2003: 16). Akan tetapi, memasuki abad pertengahan sampai akhir abad ke-19
M. Umat Islam mengalami kemunduran, khususnya dalam bidang pendidikan
Islam (Rahman, 2000: 103). Faktor penyebabnya yakni: hancurnya sarana
pengembangan ilmu pengetahuan dan perpustakaan, karena serangan tentara
Mongol yang mengancurkan kota Bagdad, hilangnya budaya berfikir rasional
dikalangan umat Islam, dan Serangan Al-Ghazali pun turut membuat hilangya
budaya berpikir ilmiah di kalangan umat Islam, karena Imam Al Ghazali
mengkritik para filsuf dan tokoh rasionalis seperti Al-Farabi dan Ibnu Sina
yang dikemukakannya dalam buku Tahafut al-Falasifah (Nizar, 2008: 233-
234, Zuhairini, 2006: 109).
Adapun faktor penyebab kemunduran lainnya yang terjadi di atas
akibat dikotomi adalah. Pertama, pihak kaum pendukung ilmu-ilmu agama
menganggap ilmu-ilmu umum itu bid‟ah atau haram dipelajari karena berasal
dari orang-orang kafir, sementara para pendukung ilmu-ilmu umum
menganggap ilmu-ilmu agama sebagai mitologi yang tidak akan mencapai
tingkat ilmiah, karena tidak bersifat empiris (Kartanegara, 2003: 2). Kedua,
adanya kesenjangan tentang sumber ilmu antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-
ilmu umum yakni, munculnya perbedaan antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-
ilmu umum. Pada umumnya pendukung ilmu-ilmu agama hanya akan
menganggap valid sumber Ilahiah dalam bentuk kitab suci yakni Al-Qur‟an
dan Hadis dan menolak sumber-sumber non-skripual sebagai sumber otoritatif
4
untuk menjelaskan kebenaran sejati atau akidah. Di pihak lain ilmuwan-
ilmuwan sekuler hanya menganggap valid informasi yang diperoleh melalui
pengamatan inderawi atau dapat dibuktikan secara ilmiah (Kartanegara, 2005:
22-23). Ketiga, berkenaan dengan objek-objek ilmu yang dianggap “sah”, bagi
kaum sains modern segala objek yang bisa di observasi dianggap sah.
Sedangkan, para pendukung ilmu-ilmu agama justru sebaliknya, objek-objek
yang non-fisik (metafisik) seperti Tuhan, malaikat sebagai objek-objek yang
mulia, yang mana bagi yang mempelajarinya akan menemukan kebahagiaan.
Keempat, munculnya disintegrasi pada tatanan klasifikasi ilmu. Kelima,
menyangkut metode ilmiah. Sains modern seperti dikatakan oleh Zainuddin
Sardar, pada dasarnya hanya mengenal satu metode ilmiah yang disebut
metode observasi atau eksperimen. Sedangkan kaum agamis, mengembangkan
metode-metode yang menjauhkan umatnya dari menggunakan pengamatan
indra dan juga penalaran akal dalam ilmu-ilmu agama (Kartanegara, 2005: 8-
9). Keenam, sulitnya mengintegrasikan berbagai pengalaman manusia,
khususnya indera, intelektual, dan intiusi sebagai pengalaman-pengalaman
legitimate dan real dari manusia. Sains modern dengan bias positivistisnya
yang kuat sering menganggap tidak objektif seluruh pengalaman manusia
selain pengalaman indrawi. Sedangkan kaum agamis dengan penekanannya
yang kuat terhadap pengalaman mistik dan religious, yang memuncak pada
kenabian dan pewahyuan, para ulama sering mengabaikan pentingnya
pengalaman inderawi dan rasional, sebagaimana yang digeluti dalam bidang-
bidang filsafat dan ilmiah, sehingga terjadi ketimpangan yang akut dalam
memberikan penekanan terhadap pengalaman indrawi (Kartanegara, 2005: 8-
9).
Kebenaran di atas, penulis maksudkan adalah dalam hal akidah, satu-
satunya sumber yang otoritatif untuk mencapai kebenaran melalui al-Qur‟an
dan al-Hadits, sedangkan akal tidak mampu mengetahui mana yang baik atau
yang buruk, karena informasi tentang itu hanya bisa dicapai melalui kitab suci
bukan dalam hal ilmu pengetahuan.
Bahwasanya sains modern Barat sering menganggap rendah setatus
keilmuan dari ilmu-ilmu keagamaan, bahkan ketika yang terakhir berbicara
tentang hal-hal ghaib maka ilmu agama tidak bisa dipandang ilmiah. Karena
ilmu-ilmu tersebut dikatakan ilmiah apabila objek-objeknya bersifat empiris,
padahal ilmu-ilmu agama pasti akan berbicara ihwal yang gaib, seperti Tuhan,
Malaikat dan sebagainya sebagai pembicaraan yang pokok mereka.
Bahkan dalam pandangan Syafi‟i Ma‟arif yang dikutip oleh Moh.
Sofwan mengatakan bahwa:
Pendidikan Islam telah melahirkan dua pola pemikiran yang
kontradiktif. Keduanya mengambil bentuk yang berbeda, baik pada
aspek materi, sistem pendidikan atau dalam bentuk kelembagaan
sekalipun. Dua model yang dimaksud adalah pendidikan Islam yang
5
bercorak tradisionalis (ketimuran), yang dalam perkembangannya lebih
menekankan aspek doktriner-normatif yang cendrung eksklusif-
apologestis. Adapun model yang kedua adalah pendidikan Islam yang
modernis (ala barat) yang pada perkembangannya ditenggarai mulai
kehilangan ruh-ruh mendasarnya (trasendental)” (Sofwan, 2004: 6).
Implikasi dari anggapan ini terhadap paradigma umat Islam, ternyata
menimbulkan konsekuensi yang tidak baik. Tidak sedikit umat Islam
berlomba-lomba untuk menjadi beriman atau orang alim dengan mempelajari
ilmu agama saja, dengan alasan untuk tujuan akhirat dan mengabaikan ilmu
umum. Dampak yang terjadi yakni sedikit sekali umat Islam yang mempelajari
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), padahal hal tersebut
adalah cerminan dari budaya yang maju pada sebuah bangsa atau negara.
Pada akhirnya perkembangan iptek dikuasai oleh orang-orang Barat,
dimana sebelumnya Barat pernah di tutupi kegelapan atau disebut The Dark
Age, akibat dari otoriter gereja, yang menjadikan agama Kristen menjadi
agama resmi Negara dan berkuasa (Burn, 1964: 37), (Paus dan pemuka-
pemuka agama Kristen kala itu menetapkan beberapa teori ilmu pengetahuan
dan mensucikannya sehingga menjadi teori yang tidak terbantahkan. Siapa pun
yang menentang otoriter gereja akan menghadapi pengadilan di mahkamah
gereja (inkuisisi) (Burn, 1964: 246-247).
Akhirnya, masa kejayaan yang pernah terjadi, sebutan untuk umat
Islam tidak lebih dari sekedar kaum tradisional, atau sebutan lain yang terkesan
ortodok. Sementara umat Islam sedang mencapai puncak kejayaannya. Hampir
semua disiplin ilmu pengetahuan sudah dikembangkan. Mulai dari ilmu eksak
seperti matematika, fisika, kimia, astronomi, optik, teknik, hingga ilmu-ilmu
non-eksak seperti politik, ekonomi, sosial dan budaya. Lebih dari sepuluh abad
(dari abad 6 M hingga 16 M) umat Islam menguasai kemajuan iptek dan
menjadi penghulu bagi dunia saat itu (Titus, 1985: 36).
Kejadian di atas, demikian jelas sangat bertolak belakang dengan
keadaan yang pernah terjadi pada pada zaman Nabi Muhammad SAW dan para
sahabatnya. Mereka sangat menghargai dan mencintai ilmu pengetahuan,
sebagaimana ilmuan Muslim pada masa tabi‟in atau sesudahnya.
Al-Qur‟an dan al-Sunah sesungguhnya tidak membedakan antara ilmu
agama Islam dan ilmu-ilmu umum. Yang ada dalam al-Qur‟an adalah ilmu.
Sedangkan pembagian adanya ilmu agama dan ilmu umum sejatinya
merupakan hasil dari kesimpulan manusia yang mengidentifikasikan
berdasarkan objek kajiannya. Tergantung ontologisnya yang dibahas
berdasarkan pada wahyu seperti; Fiqih, Tafsir, Tasawuf dsb. ataukah pada
alam jagat raya atau berdarkan pada pengamatan dan eksperimen seperti;
fisika, biologi, kimia, astronomi dsb (Kartanegara, 2005: 16). Dengan
demikian para ulama, baik di era klasik maupun kontemporer, selama mereka
6
berpedoman kepada al-Qur‟an dan al-Sunah yang mendorong mengembangkan
ilmu pengetahuan, tradisi ilmiah yang kuat, dukungan dari penguasa, stabilitas
politik, struktur sosial dan pendidikan yang turut mewarnainya, baik formal,
nonformal dan informal.
Sejarah telah membuktikan bahwa umat Islam mampu menguasai ilmu
pengetahuan, sains dan teknologi melebihi atau melampaui kemampuan umat
sebelumnya dan umat yang lain sezamannya. Umat Islam mampu menguasai
ilmu kedokteran, ilmu perbintangan, ilmu pasti, ilmu alam, ilmu hitung dan
berbagai disiplin ilmu lainnya. Semua hal itu tidak terlepas dari peran dan
aktivitas para ilmuwan muslim yang selalu menggali, mendalami, memahami
serta mencari berbagai rahasia alam dan ilmu pengetahuan yang tersimpan
dalam al-Qur‟an. Para ilmuwan muslim menempatkan al-Qur‟an sebagai
sumber juga sebagai paradigma kerangka berpikir dalam mengembangkan
ilmu pengetahuan dan teknologi. Banyak berbagai penemuan para ilmuwan
muslim yang sangat mengagumkan dalam dunia sains dan teknologi.
Dalam tradisi intelektual Islam, pendidikan telah lama dikenal yaitu
sejak awal Islam. Pada masa awal, pendidikan identik dengan upaya da‟wah
Islamiyah, karena itu pendidikan berkembang sejalan dengan perkembangan
agama itu sendiri. Fazlur Rahman, menyatakan kedatangan Islam membawa
untuk pertama kalinya suatu instrumen pendidikan tertentu yang berbudayakan
agama, yaitu al-Qur‟an dan ajaran ajaran nabi Muhammad sendiri
(Rahman,2000: 263). Tetapi, perlu digaris bawahi pula, bahwa pada masa awal
perkembangan Islam, tentu saja pendidikan formal yang sistematis belum
terselenggara (Syalabi, 1954: 1). Bahkan keadaan pada saat umat Islam
mengalami puncak kejayaan yang sangat luar biasa, di zaman dinasti
Abbasiyah. Umat Islam menoreh prestasi yang gemilang di mata dunia.
Perubahan tersebut terjadi setelah tahun 750 M.
Konesp paradigma mengembangkan ilmu pengetahauan dalam Islam,
sebagaimana yang dipraktikan para ulama dan ilmuan Islam di zamna klasik
(Nata, 2012: 4-5). Gerakkan membangun ilmu secara besar-besaran dirintis
oleh khalifah Ja‟far al-Mansur dinasti Abbasiyah. Setelah ia mendirikan kota
Baghdad (144 H/762 M) dan menjadikannya sebagai ibu kota Negara. Ia
menarik banyak ulama dan para ahli dari berbagai daerah untuk datang dan
tinggal di Baghdad. Ia merangsang usaha pembukuan ilmu agama, seperti
fiqih, tafsir, tauhid, sejarah. Akan tetapi yang lebih mendapat perhatian adalah
penerjemahan buku ilmu yang berasal dari luar (al-Gurabi, 1954: 137). Strategi
penguasa daulah Abbasiyah, oleh karenanya banyak memperkerjakan kaum
terpelajar sebagai staff pemerintahan (Jenggis, 2011: 51).
Di sisi lain masa puncak kejayaannya, umat Islam menguasai
peradaban dunia, di mana pada saat itu negara-negara barat masih berada
dalam kegelapan (the dark age) atau lebih tepatnya hampir mendekati pada
kehancuran (Dawson, 1962: 151). Negara-negara Barat umumnya masih dalam
7
cengkeraman pengaruh dogma-dogma gereja yang amat sangat otoriter, jika
dilihat secara politis sebenarnya dalam rangka melindungi kekuasaan kerajaan.
Semua orang yang berpikir kritis, meskipun hasil pemikiran ilmiah, yang
berguna untuk ilmu pengetahuan dan kemajuan, tetapi berbeda dengan paham
yang dianut gereja selama ini, diberantas, bahkan tidak sedikit yang akhirnya
dihukum mati karenanya karena tidak sepaham oleh peraturan yang dibuat oleh
gereja (Jenggis,2011: 55). Pertentangan gereja ini mencapai puncaknya di
tahun 1616 (Hart, 1982: 56).
Hal tersebut pernah terjadi pada ilmuwan Barat yang bernama Galileo
Galilei pada tahun1042 M, saat itu Galileo dipaksa merubah keyakinannya
tentang Heliocentris karena bertentangan dengan paham gereja yang menganut
paham Geocentris. Paham Heliocentris adalah paham yang menyatakan bahwa
dalam tata surya, bumi mengelilingi matahari, yakni matahari sebagai pusat
peredaran. Sedangkan Geosentris meyatakan bahwa bumi sebagai pusat
peredaran, planet-planet lain termasuk matahari mengelilingi bumi (Ahmed,
1997: 5). Galileo Galilei merupakan tokoh utama selain Descartes yang
melakukan matematisasi alam. Ia mentransformasikan buku tentang alam, yang
telah dianggap oleh umat Islam, Kristen, Yahudi berabad-abad lamanya
sebagai tanda-tanda Allah (sign of god), kedalam sebuah buku matematika
yang dipahami oleh pengetahuan matematis-bawaan pikiran manusia. Di satu
sisi juga mengidentifikasi bahwa paradigma dikotomis yang nondiskriminatif
dapat membawa pada penyatuan ilmu (Nasr, 1996: 136). Pemikiran Galileo
ternyata sejalan dengan perkembangan zaman dan sesuai dengan apa yang
terdapat dalam kitab suci Al-Qur‟an (Ahmed, 2000: 7).
Dalam masa rezim dan kekuasaan Islam di kala kejayaannya, pada
masa dinasti Abbasiyah, pemerintahan Islam justru memfasilitiasi transformasi
ilmu pengetahuan. Perkembangan ilmu pengetahuan sangat pesat.
Penterjemahan terhadap karya-karya ilmu pengetahuan Yunani dilakukan
besar-besaran. Di mana Yunani sudah memiliki banyak kemajuan dalam kajian
teori, namun belum dapat dikembangkan. Tokoh-tokoh besar yang memajukan
ilmu pengetahuan, baik di bidang ilmu-ilmu kedokteran, sosial dan ilmu pasti
muncul dari kalangan umat Islam. Merekalah yang menjadi pelopor ilmu
kedokteran, astronomi, sastra, aljabar, kimia, seni, sosial dan sebagainya.
Maka sudah sepantasnya umat Islam dapat menjadi pusat perhatian dunia,
karena peradaban yang sangat maju dan berkembang (Rahman, 2000: 104).
Para Cendikiawan muslim bukan hanya menguasai ilmu pengetahuan
dan filsafat yang mereka pelajari dari buku-buku Yunani, tetapi menambahkan
ke dalamnya hasil-hasil penyelidikan yang mereka lakukan sendiri dalam
lapangan falsafat. Dengan demikian timbulah ahli-ahli ilmu pengetahuan dan
filosof-filosof Islam. Filsof-filsof Islam, sebagaimana halnya dengan filosof-
filosof Yunani, bukan hanya mempunyai sifat filsof, tetapi juga sifat ahli ilmu
pengetahuan. Karangan-karangan mereka bukan hanya terbatas dalam lapangan
8
falsafat, tetapi juga lapangan ilmu pengetahuan (Nasution, 1985: 71).
Penerjemahan buku-buku Yunani merupakan salah satu faktor dalam gerak
intelektual yang dibangkitkan dalam dunia Islam abad ke-9 dan terus berlanjut
sampai abad ke-12 (Saefuddin, 2002: 8).
Ironisnya ketika dalam puncak kejayaannya, umat Islam justru terbawa
derasnya arus kebudayaan, yaitu proses dari akibat akulturasi atau mungkin
juga diakibatkan karena kekurang kehati-hatian umat muslimin itu sendiri
terhadapnya. Mereka telah memasukkan ke dalam ilmu-ilmu yang mereka kaji,
teori-teori yang bertentangan dengan ajaran Islam, sepertiyang telah diuraikan
oleh Al-Ghazali dalam bukunya Tahâfut al-Falâsifah (Kehancuran para
Filsuf). Buku tersebut dibuat karena berkecamuk pemikiran bebas yang
membuat banyak orang meninggalkan ibadah (Majid (ed), 1984: 33).
Akhirnya, terjadi pulalah pertentangan yang hebat di kalangan ilmuwan Islam
dan tokoh agama Islam (Zaini, 1989: 9).
Menurut Fuad al-Ahwani dalam bukunya berjudul Filsafat Islam,
mengatakan:
Pertentangan sebenarnya berawal sejak terjadinya percampur adukan
antara ilmu filsafat dan ilmu kalam setelah abad 6 H. Ilmu kalam
menelan mentah-mentah kaidah-kaidah ilmufi lsafat yang kemudian
dituangkan ke dalam berbagai buku dengan nama ilmu tauhîd, yakni
pembahasan problem ilmu kalam dengan menekankan penggunaan
semantik (logika) Aristoteles sebagai metode, sama dengan metode
yang ditempuh kaum filosof (Ahwani , 1985: 22).
Sejak saat itu, sampai berabad-abad lamanya umat Islam tidak mau
mendekati ilmu filsafat yang dianggap dapat membawa kepada kekafiran dan
atheisme. Hal ini juga semakin diperparah oleh beberapa ulama yang kemudian
mengeluarkan fatwa-fatwa yang mengharamkan ilmu pengetahuan, terutama
ilmu filsafat, serta mengkafirkan orang yang mempelajari dan mengajarkannya.
Lebih parahnya lagi, orang-orang yang mempelajari dan mengajarkannya
ditangkap lalu dipenjarakan dan disiksa, serta buku-bukunya dibumi
hanguskan, seperti yang dialami oleh Al-Rukn dan Ibn Rusyd. Meskipun Ibnu
Rusyd sangat berhati-hati agar buku fiqih dan filsafatnya tidak menyinggung
orang lain, dengan mengemukakan pendapatnya secara tidak langsung, akan
tetapi tetap saja masih mendapat serangan yangbelum pernah di terima pemikir
sebelumnya. Ia dianggap kafir dan bukunya pun di bakar (Amin, 1995: 192).
Bahwasanya pemilahan (bukan pemisahan) antara ilmu agama dan ilmu
umum, meskipun dengan maksud dan arah yang mungkin tidak persis sama,
penulis juga mendapati cendikiawan muslim, seperti Al-Ghazali, Ibn Taimiyah,
Ibn Jama‟ah, Syafi‟i, Ibnu Khaldun al-Qabisi, dan al-Zarnuji, karena
kecenderungannya terhadap agama, perioritas terhadap ilmu umum dengan
9
ilmu agama, sehingga memiliki implikasi pada tatanan paradigma keilmuan
masyarakat (Sopyan, 2010: 120-121).
Al-Ghazali dalam bukunya, Ihya „Ulûm al-Dîn, juga
mengklasifikasikan ilmu pengetahuan kepada dua macam ilmu, yakni (1) ilmu
syar‟iyyah, dan (2) ilmu ghairu syar‟iyyah. Ia memandang bahwa ilmu
syar‟iyyah adalah ilmu wajib yang tidak diragukan lagi dampak bagi
penuntutnya, sedangkan ilmu ghairu syar‟iyyah termasuk ilmu yang
diserahkan pencapaiannya kepada manusia melalui penangkapan
pancainderanya, penalaran hatinya dan penghayatan hatinya (al-Ghazali, t.t: 5).
Berbeda dengan ilmu syar‟iyyah yang bersifat wajib dan sudah jelas
kebenarannya, kebenaran ilmu-ilmu ini bersifat relatif yang tingkat
validitasnya masih sangat terbatas karena perbedaan pemaknaan dan penafsiran
setiap individu, sehingga tidak wajib mempelajarinya dan tergantung kepada
minat masing-masing individu. Sedangkan dalam kitab al-Mustashfa miliknya,
dalam kitab ini menjelaskan bahwa Ghazali mengkalisifikasikan hukum agama
harus diambil dari ajaran-ajaran wahyu bukan dari akal manusia. Pemikiran ini
merupakan bentuk antisipatif terhadap pemikiran Mu‟tazilah yang menyatakan
bahwa akal manusia termasuk sumber syari‟at Islam.
Dalam sejarah Islam memang didapati bahwa dalam perjalanan rezim
dan politik Islam telah mengalami suatu kejadian yang memicu resistensi umat
Islam terhadap ilmu-ilmu non-agama. Ketika al-Ma‟mun berkuasa, ia
meneruskan jejak ayahnya (Harun al-Rasyid) dengan mendirikan Baitul al
Hikmah (Yunus, 1992: 62-63). suatu lembaga perguruan tinggi dan memiliki
perpustakaan rasional untuk kegiatan penelitian dan penterjemahan pada 830
M. (Asrorah, 1992: 30), (Nasution, 1985: 68). Kejadian-kejadian politis yang
bisa diketengahkan di antaranya adalah pada masa pemerintahan khalifahaAl-
Ma‟mun zaman dinasti Abbasiyah yang menerapkan Mihnah (ujian) bagi
orang-orang yang menempati posisi penting di pemerintahan, termasuk juga
para pemuka masyarakat. Hal ini terjadi karena khalifah Al-Ma‟mun yang
berpaham Mu‟tazilah kemudian menjadikan paham tersebut sebagai paham
resmi negara. Pada waktu itu, yang sedang hangat diperdebatkan adalah isu
tentang mempersoalkan apakah Al-Qur‟an itu bersifat qodim atau tidak. Istilah
lainnya adalah apakah Al-Qur‟an itu makhluk atau bukan? (Zahra, 1996: 176).
Yang tergolong persoalan yang memunculkan mahkamah pemeriksaan yang
pertama dalam sejarah Islam. Dalam kondisi tersebut, jika keadaan Negara
(daulah) lemah, maka akan muncul banyak fitnah dan mihnah, sehingga
hilanglah persaudaraan dan persatuan di kalangan umat Islam dan sebalinya
menjadi permusuhan (Al-Sayyis, t.t: 111).
Fenomena politik khalifah al-Ma‟mun dalam pemaksaan paham
Muta‟zilah dalam persepektif teori analisis diskursus kemunculan sebuah
institusi, praktik dan konsep hangat terkait dengan empat hal: will (keinginan),
power (kekuasaan), discipline (disiplin) dan regime (pemerintahan) (Zahrah,
10
1996: 175). Hal tersebut dikenal dengan sebutan formasi diskursif (discursive
formations), bangunan yang mendasar adanya sebuah diskursus. Analisis
diskursus ini memberikan pemahaman, bahwa khalifah al-Ma‟mun
menginginkan ilmu pengetahuan yang berkembang tetap terkontrol dan
dibatasi oleh pemerintah dan paham Mu‟tazillah sebagai tamengnya (Al-
Sayyis, t.t: 509).
Akan tetapi akibat peristiwa Mihnah tersebut, banyak pemuka-pemuka
Islam dari ahli fiqh dan hadits yang disiksa karena tidak sejalan dengan paham
al-Ma‟mun yang menyatakan bahwa al-Qur‟an tidak qadim atau al-Qur‟an
adalah makhluk (Zahrah, 1996: 176).
Hal ini jelas menyulut kemarahan umat Islam kala itu. Implementasi
ajaran Mu‟tazilah yang dipengaruhi filsafat dan bersifat rasional, telah
menimbulkan peristiwa yang menyakitkan mayoritas umat Islam, sehingga
mereka membenci dan menentang ilmu-ilmu yang bersifat rasional. Puncaknya
atau klimaksnya, umat Islam kemudian menjauhi dan membenci semua ilmu
non-agama kecuali sebagian kecil saja seperti ilmu hitung (hisab) karena
diperlukan dalam ilmu faraidh (ilmu pembagian pusaka atau waris) (Hanafi,
1996:19). Akan tetapi umat Islam yang eksis pada era kontemporer ini
berhutang kepada khalifah al-Ma‟mun karena dia adalah khalifah yang paling
banyak perhatiannya pada perkembangan ilmu pengetahuan, maka layak jika
kahlifah al-Ma‟mun disebut sebagai khalifah sains. Bahkan ia yang pertama
kali mendirikan gerakan pemikiran dalam sejarah, sekaligus pemakarsa paling
besar dalam penerjemahan buku-buku berbahasa Yunani dan Suryani (Masood,
2009: 46).
Al-Ma‟mun ingin umat Islam maju dalam segala hal, terutama dalam
ilmu pengetahuan. Ia mengajak umat Islam agar selalu menggunakan akal
berfikir. Oleh karena itu dengan adanya Mihnah, al-Ma‟mun agak keras
terhadap umat Islam, terutama masalah qodariyah. Akan tetapi yang
mendikotomi ilmu bukanlah al-Ma‟mun, karena sudah jelas arah dan tujuannya
agar umat Islam maju dengan menggunakan akal berfikir rasional, dan orang
yang membuat menjauhi ilmu adalah orang-orang setelah al-Ma‟mun yang
tidak suka dengan cara al-Ma‟mun.
Seorang pakar sejarah sains dari universitas Harvad, Abdel Hamid
Sabra pernah menuturkan dalam Ahmad P. Jengis :
Gerakan penterjemahan karya-karya ilmiah dari bahasa Yunani dan
Suryani ke dalam bahasa Arab mewakili fase pertama dari tiga tahap Islamisasi
sains. Beliau menyebutkan:
Pertama. Sebagai fase peralihan atau akuisisi, di zaman sains Yunani
memasuki wilayah peradaban Islam bukan sebagai kekuatan penjajah,
melainkan sebagai tamu yang diundang. Kedua. Adalah fase
penerimaan atau adopsi, dimana Umat Islam mulai mengambil dan
menikmati karya-karya ilmiah yang dibawa sang tamu. Lahirlah orang-
11
orang seperti Jabir ibn Hayyan, al-Kindi, dan Abu Ma‟asyar. Ketiga.
Tahap selanjutnya, fase asimilasi dan naturalisasi. Pada tahap ini umat
Islam bukan hanya sekedar menerima dan menikmati, tetapi juga mulai
mampu meramu dan mengolah karya-karya ilmiah sendiri, menciptakan
karya-karya baru, bahkan menyebarkan ke masyarakat luas. Inilah yang
ditunjukkan oleh al-Khawarizmi dan Umar al Khayyam dalam
Matematika, Ibnu Sina dan Ibn an Nafis dalam kedokteran, Ibn
Haytsam dan Ibn al Syatir dalam Astronomi, al Biruni dan al Idris
dalam Geografi, dan masih banyak lagi sederetan ilmuwan-ilmuwan
muslim lainnya (Jenggis P., 2011: 51-52).
Di samping itu, kejadian lainnya yang bisa dianggap besar pengaruhnya
adalah fatwa yang sangat keras dari peranan al-Asy‟ari dengan kapasitas
intelektualnya tentang hukum mempelajari ilmu filsafat, yang kemudian
menjadi pegangan penting bagi golongan Ahl al-Sunnah. Dengan meminjami
metode Mu‟tazilah, berhasil merumuskan paham Suni (Majid, 2000: 34).
Sebelumnya, memang beberapa tokoh sudah menghujat dan menentang ilmu
filsafat seperti Ibn Hazm, Al-Ghazali, Ibn Taimiyah dan Ibn Al-Qayyim, tetapi
pengaruhnya tidak sehebat pengaruh fatwa al-Asy‟ari (Zaini, 1989: 9).
Munculnya fatwa di atas secara otomatis pendidikan Islam kehilangan
dimensi dialektikal konkret kemanusiaan dan memunculkan dimensi vertikal
keabadian. Seharusnya antara kedua dimensi tersebut menjadi karakteristik
utama pendidikan Islam. Artinya, secara filosofis pendidikan Islam tidak hanya
menyentuh persoalan hidup yang multidimensional di dunia, tetapi juga
menyangkut dimensi transendental. Akan tetapi sejarah mencatat tidak
demikian.
Menurut Abuddin Nata, sejarah Islam mencatat bahwa sejak abad
pertengahan (13 M) sampai dengan awal abad modern (18M) perhatian umat
Islam lebih banyak tertuju pada ilmu-ilmu agama, moral, tasawuf sebagaimana
yang dikemukakan di atas. (Nata, 2012: 2). Sedangkan al Ghazali dan Ibn
Taimiyah, mengajak umat Islam untuk membangun kerangka berfikir
memahmai Islam secara benar. Al Ghazali dan Ibn Taimiyah mengemukakan
kesalahan terbesar ulama Islam adalah terseretnya pemikiran mereka dalam
arus pemikiran filsafat Yunani, dimana filsafat mengajarkan kemerdekaan
untuk berfikir bebas yang telah merusak pola berfikir umat Islam di bidang
kalam dan tidak mustahil akan merembet pula dalam pemikiran hukum Islam.
Bagi al-Ghazali pemikiran semacam itu akan berbahaya terhadap subtansi
ajaran Islam dan harus ditolak. Karena akan mengakibatkan budaya sekuler,
seperti, mempercayaai sepenuhnya akal dibandingkan dengan wahyu (Nata,
2012: 2). Kejadian ini terus berlanjut berabad-abad lamanya, hingga memasuki
abad ke-20 M. umat Islam baru menyadari adanya sesuatu yang telah hilang
dari mereka, yakni budaya mengeksplorasi ilmu pengetahuan.
12
Munculnya Islam sebagai sebuah agama yang membawahi suatu tujuan
untuk memberikan kedamaian dan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia.
Islam merupakan salah satu agama yang menekankan pentingnya ilmu
pengetahuan. Al-Qur‟an sebagai sebuah kitab suci telah memancarkan sinar
cahaya ilmu pengetahuan bagi para ilmuwan Muslim. Al-Qur‟an dijadikan
sebagai sumber dan kerangka berpikir dalam merenungkan kekuasaan Allah
dan mengembangkan ilmu pengetahuan, sains dan teknologi bagi para ilmuwan
Muslim.
Alam jagat raya adalah salah satu sumber ilmu pengetahuan, dengan
memahami dan mengkaji alam jagat raya maka para ahli akan menemukan
berbagai teori yang disusun menjadi ilmu pengetahuan alam (sains), seperti
ilmu tumbuh-tumbuhan (flora), makhluk hidup (biologi), binatang (fauna),
perbintangan dan planet (astronomi), benda cair dan keras (fisika), melalui
ilmu-ilmu murni ini lahir ilmu botani, kimia, kedokteran dan lain sebagainya.
Dengan menyadari alam sebagai ciptaan dan ayat Allah, maka manusia
semakin memahami alam dengan segala hukum, hikmah, dan rahasia yang
terkandung di dalamnya, maka manusia akan menyadari kelemahan dirinya
sekaligus bersyukur kepada-Nya. Dengan cara demikian seorang ilmuan
dengan ilmunya yang luas dapat digunakan, mengenal, mendekati, dan
mencintai Allah Swt. sebagaimana Ian Babour dikatakan dengan ungkapan
menemukan Tuhan dalam sains (Babour, 1997: 87).
Terjadinya perkembangan ilmu yang selanjutnya melahirkan paradigma
budaya dan peradaban, karena adanya faktor internal dan eksternal. Faktor
internal adalah faktor yang berasal dari ajaran Islam itu sendiri, yaitu al-Qur‟an
dan Sunah yang memerintahkan manusia menggunakan daya cipta (pikiran),
rasa (potensi batin), karsa (potensi fisik), yang digunakan untuk membaca,
menulis, dan meneliti baik yang bersifat bayani, burhani, ijbari, jadali maupun
irfani. Faktor yang bersifat internal ini dapat pula disebut faktor yang
disengaja, yakni Allah Swt. dan Rasul-Nya secara sengaja menjadikan Islam
sebagai agama ilmu pengetahuan, pendidikan, kebudayaan dan peradaban.
Adapun faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar ajaran Islam,
yakni faktor yang sudah ada sebelum datangnya ajaran Islam yang dibawa oleh
Nabi Muhammad Saw. namuan demikian, dari segi pemanfaatnnya berbagai
faktor tersebut ada juga dilakukan secara sengaja, yakni dilakukan atau usaha,
dorongan dan dukungan dari khalifah yang berkuasa pada waktu itu.
Ketika para ilmuwan Muslim atau umat Islam mulai mengabaikan,
meninggalkan serta menjauhkan kajian al-Qur‟an yang mendalam dari aktivitas
keilmuan dan aktivitas kehidupan, maka di situlah titik awal kemunduran umat
Islam. Dan jika hal itu terus berlangsung sampai saat ini, dan kalau ada kajian-
kajian al-Qur‟an itu hanya sebatas kajian biasa bukan kajian yang mendalam.
Suatu kajian untuk menemukan rahasia alam dalam al-Qur‟an. Al-Qur‟an dan
hadits telah dijadikan sebagai dasar bagi semua aktivitas ilmiah dalam sejarah
13
Islam.
Paradigma atau sudut pandang yang paling dominan dalam mendukung
pengembangan ilmu adalah faktor yang bersifat nonfisik, seperti faktor
motivasi dan niat yang tulus, kesungguhan dalam meneliti, orientasi kehidupan
yang lebih mengutamakan segi-segi yang bersifat inteletual, moral, dan
spiritual, serta penghargaan terhadap orang-orang yang mendalami ilmu
agama dan umum. Keadaan ini semakin diperkuat lagi oleh adanya dominasi
kekuasan dan pengaruh para ulama dan ilmuwan di masyarakat. Menurut
Abbuddin Nata, di masa sekarang saat dimana para ulama dan ilmuwan kurang
dihargai dan tergeser peran dan kedudukannya oleh kekuasaan para penguasa,
menyebabkan ukuran ketinggian suatu bangsa bukan lagi ilmu, moral dan
spiritual, melainkan hal-hal yang bersifat materialistic, hedonistik, kapitalistik,
dan skularistik yang di sertai dengan terjadinya kehancuran di bidang moral
dan akhlak mulia. Faktor-faktor yang bersifat nonfisik inilah yang saat ini
dapat dikatakan mengalami krisis, sehingga walaupun secara ekonomi,
teknologi dan keamanan sudah meningkat, namun tidak memiliki hubungan
yang signifikan dengan perkembangan gerakan intelektual (Nata, 2012: 18-19).
Paradigma sangat penting perannya dalam mempengaruhi teori, analisis
mau pun tindak perilaku seseorang (Sitanggang, Rinto, 2010:
“http://www.docstoc.com.). Karena paradigma sangat menentukan apa yang
tidak kita pilih, tidak ingin kita lihat, dan tidak ingin kita ketahui. Paradigma
pulalah yang mempengaruhi pandangan seseorang apa yang baik dan buruk,
adil dan yang tidak adil. Oleh karena itu, jika ada dua orang yang melihat
sesuatu realitas sosial yang sama, akan menghasilkan pandangan, penilaian,
sikap dan perilaku yang berbeda pula. Perbedaan ini semuanya dikarenakan
perbedaan paradigma yang dimiliki, yang secara otomatis memengaruhi
persepsi dan tindak komunikasi seseorang.
Berdasarkan dari latar belakang di atas, penulis sekiranya memandang
bahwa persoalan pengembangan terhadap ilmu dalam pendidikan Islam adalah
kunci permasalahannya terhadap kemajuan atau kemundurannya umat Islam,
karena pandangan seseorang terhadap ilmu pengetahuan akan menentukan
sikapnya ke depan, apakah ia akan mengutamakan, akan menganggap biasa-
biasa saja, atau bahkan akan sangat tidak peduli dan meninggalkannya. Itu
semua menjadi semacam spirit kehidupan bagi berkembanganya budaya
eksplorasi ilmu pengetahuan untuk masyarakat Islam.
Jika melihat daripada paradigma dengan meninjau ulang sejarah
keilmuan abad pertengahan (antara abad 8-12), maka dapat didapati bahwa
ilmu pengetahuan berkembang dibangun oleh ilmuwan Islam dengan sangat
pesat, bahkan mewarnai dunia saat itu. Tradisi keilmuan berkembang hingga
mampu melahirkan karya-karya besar dan monumental. Padahal jika diukur
dengan kondisi infra struktur yang ada saat itu belum cukum memadai dan
kurang mendukung bagi perkembangan keilmuan tersebut. Akan tetapi, meski
14
demikian bagaimana itu dapat terwujud? Apa sebetulnya yang mendorong
perkembangan ilmu sejak saat itu? Apakah karena epistemologinya, ontology
atau aksiologi yang benar? Oleh karena itu, dengan segala keterbatasan yang
ada, penulis mencoba meneliti tentang Paradigma pengembangan ilmu pada
zaman al-Ma‟mun priode klasik melalui adanya pengembangan dari fenomena-
fenomena alam jagat raya yang menghasilkan ilmu alam (natural sciencis).
Penulis mencoba memaparkannya melalui pendekatan perspektif sejarah Islam
(Islamic historical perspective), dimana perkembangan ilmu pengetahuan
dalam Islam pada puncaknya dengan mengetengahkan judul “Paradigma
Pengembangan Ilmu Zaman Al-Ma‟mun (813 -833 M)”.
B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas dapat di identifikasi permasalahan
sesuai dengan judul penelitian ini, maka dapat di identifikasikan beberapa hal,
diantaranya:
a. Siapakah sebenarnya al-Ma‟mun itu?
b. Paradigma atau sudut pandang bagaimanakah pengembangan ilmu
pengetahuan yang ada pada zaman al-Ma‟mun itu?
c. Apakah yang dimaksud dengan paradigma pengembangan ilmu?
d. Bagaimana peranan atau langkah-langkah apa saja yang dilakukan al-
Ma‟mun dalam mengembangkan peradaban Islam di era klasik?
e. Tradisi intelektual yang berkembang bagaimanakah di zaman al-Ma‟mun?
f. Ilmu pada fenomena apa saja yang berkembang pada masa kepemimpinan
al-Ma‟mun?
g. Institusi-institusi apa saja yang berkembang pada kepemimpinan al-
Ma‟mun?
h. Bagaimanakah peranan ulama dan ilmuan dalam mengintegrasikan ilmu
pengtahuan?
2. Pembatasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah yang didapatkan, agar tidak
meluasnya pembahasan dalam penelitian ini, maka akan dibatasi hanya pada :
a. Biografi al-Ma‟mun
b. Paradigma Pengembangan sains
c. Pengembangan institusi-institusi pendidikan Islam pada zaman al-Ma‟mun
d. Tokoh-tokoh yang berperan dalam pengembangan ilmu pada pemerintahan
zaman al-Ma‟mun
e. Tradisi intelektual yang berkembang
f. Langkah-langkah al-Ma‟mun dalam mengembangkan sains
g. Hasil pencapaian al-Ma‟mun dalam mengembangkan ilmu pengetahauan
15
h. Pengembangan sains dan pengaruhnya terhadap kemajuan Masyarakat
Islam
i. Ilmu-ilmu yang integrated (Tauhid) berdasarkan pada fenomena alam
3. Perumusan Masalah
Setelah membatasi permasalahan di atas main research question pada
penelitian ini adalah “Paradigma Pengembangan Ilmu bagaimanakah yang di
kembangkan atau digunakan pada zaman al-Ma‟mun? maka sub dari
permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan dalam pertanyaan-
pertanyaan sebagai berikut:
a. Siapakah al-Ma‟mun itu?
b. Apa yang dimaksud paradigma pengembangan sains?
c. Langkah-langkah apa saja yang dilakukan al-Ma‟mun dalam
mengembangkan sains?
d. Hasil bagaimanakah, yang dapat dicapai al-Ma‟mun dalam mengembangkan
sains ?
C. Tujuan Penelitian
Sejalan dengan rumusan permasalahan dalam penelitian ini, maka
tujuan yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
1. Mengungkap fakta tentang pengaruh paradigma pengembangan terhadap
sains dalam sejarah pendidikan Islam pada zaman al-Ma‟mun.
2. Menganalisis secara kritis fakta sejarah tentang Paradigma pengembangan
ilmu pengatahuan dan pengaruhnya dalam pendidikan Islam, kemudian
menjadikannya sebagai pelajaran yang berharga bagi umat Islam terutama
dalam mengelola sistem pendidikannya.
3. Menemukan akar-akar sejarah tentang proses terjadinya pengembangan
sains pengetahuan dalam pendidikan Islam pada priode klasik khususnya
pada zaman al-Ma‟mun.
D. Manfaat dan Kegunaan Penelitian
Manfaat atau signifikansi penelitian ini, seiring dengan semangat yang
diharapkan dari tujuan penelitian,maka manfaat yang diharapkan dari
penelitian ini diantaranya:
1. Menjelaskan sejarah tentang paradigma pengembangan ilmu dan
pengaruhnya dalam pendidikan Islam, serta kontribusinya yang sangat
berharga bagi Masyarakat Islam terutama dalam sistem pendidikan Islam.
2. Memberikan informasi tentang sejarah atau proses pengambangan sains
pengetahaun dalam pendidikan Islam zaman klasik.
3. Mengetengahkan informasi tentang fakta pengaruh paradigma
pengembanagn terhadap ilmu dalam sejarah pendidikan Islam.
16
4. Wacana dan pelajaran yang berharga bagi perkembangan dan kemajuan
pendidikan Islam, khususnya pendidikan Islam di Indonesia.
E. Kajian Pustaka
Ada Beberapa tulisan yang membahas tentang tema, yaitu “Upaya-
upaya integrasi ilmu, seperti tulisan dari karya ilmiah “Asnawi dalam Integrasi
Ilmu Agama dan Ilmu Umum (Studi Komparasi Pola Pembelajaran antara
Pesantren Tradisional Plus dan Pesantren Modern)”dan tulisan “Abuddin
Nata” dalam Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum. Dalam tulisan ini memuat
hal ihwal Paradigma pengembangan Ilmu berdasarkan pada objek ontologis
yang dibahas adalah wahyu (al-Qur‟an) dan hadits, dengan menggunakan
metode ijtihad, maka akan menhasilkan ilmu-ilmu agama. (Asnawi, Tesis,
2010: tidak dipublikasikan, Nata, 2003).
Selanjutnya tulisan Affandi Mochtar, dkk dalam “Paradigma Baru
Pendidikan Islam”. (Mochtar, dkk., 2008). Dalam tulisan tersebut
membicarakan pola pengembangan baru dalam pendidkan Islam di Indonesia
melalui pengalaman yang berharga yang pantas untuk di implementasikan
secara komperhensif dan intensif di perguruan tinggi khususnya. Lalu tulisan M. Zainuddin, dalam “Paradigma Pengembangan
Pendidikan Islam: Menyiapkan Generasi Ulul Albab”. Dalam tulisan tersebut
berbicara tentang konsep integrasi ilmu dan agama dalam pendidikan Islam,
dengan menyiapkan generasi ulul albab yang dapat bermanfaat bagi
pengembangan ilmu pengetahuan dan memiliki kontribusi bagi lembaga
pendidikan Islam. (Zainuddin, 2008).
Selanjutnya tulisan Latifudin, dalam “Paradigma Pendidikan
Multikultural dalam Pendidikan Islam”. Tesis karya Latifudin mengungkapkan
Pola pendidikan multicultural berbasis agama akan mendorong terciptanya
budaya toleransi dengan memadukan model-model pengembangan ilmu sains
dan agama di sekolah maupun di masyarakat. (Latifudin, Tesis, 2008. tidak
dipublikasikan)
Kalau sekiranya juga hendak dipaksakan untuk dipersamakan secara
obyek dan waktu penelitian, yakni penelitian sejarah tentang paradigma
pengembangan ilmu terhadap umat Islam terhadap ilmu adalah kejadian atau
peristiwa Mihnah di zaman pemerintahan Dinasti Abbasiyah pada masa
pemerintahan khalifah al-Ma‟mun. Tentang bahasan peristiwa Mihnah secara
khusus dan mendalam, penulis dapati satu tulisan, yakni tesis karya Didin
Izzuddin dengan judul “Mihnah dan Politisasi Teologi: Studi Sejarah dan
Politik”. (Izzuddin, Tesis, 2000:. tidak dipublikasikan. Kesimpulannya, Didin
Izzuddin mengungkapkan bahwa peristiwa Mihnah adalah lebih sebagai
peristiwa politis daripada teologis yang diterapkan oleh al-Ma‟mun. Dimana
al-Ma‟mun berkeinginan umat Islam maju dengan menggunakan akal dan
dengan hal tersebut dapat mengembangkan ilmu pengetahuan.
17
Kemudian dalam tulisan lainnya, penulis menemukan satu karya yang
membahas khusus tentang pengembangan ilmu adalah tulisan singkat Ahmad
Choirul Rofiq, Jurnal Studi Keislaman, “Ulumuna”, Signifikansi Teori-teori
Popper, Khun, Lakatos terhadap Pengembanagn Ilmu-Ilmu Keislaman”.
Dalam tulisan tersbut ia menjelaskan bahwa pada waktu masyarakat
Barat memasuki zaman kegelapan (dark age) dan berada pada titik nadir,
ironisnya pendulum ilmu pengetahuan berpindah kepada umat Islam yang
mampu meraih masa keemasan. (the golden age). Pada waktu itu peradaban
Islam mencapai puncaknya kejayaannya. Gerakan penerjemah karya-karya
filsafat dan ilmu pengetahuan berharga dari bahasa Yunani, Syiria, Sanskrit,
Pahlavi, kedalam bahasa Arab. terutama yang paling impresif adalah pada
,masa pemerintahan khalifah al-Ma‟mun (813-833 M) dengan Bayt al-Hikmah
yang pada mulanya adalah pusat penerjemahan dan penelitian yang kemudian
menjadi sebuah akademi yang sangat besar. (Rofiq, 2010: Jurnal Studi
Keislaman,Vol.IXV,No.1). Kegiatan penerjemahan itu sangat intensif.
Aktifitas ilmiah dikonsentrasikan dipusat-pusat kota metopolitan, misalnya
Baghdad, Damaskus, Aleppo, Qayrawan, Fez, dan Kairo di bawah naungan
dan sepenuhnya di dukung oleh pemerintahan Islam, sehingga berhasil
mentransfer ilmu dan peradaban lain serta selanjutnyaya mengembangkannya
dengan penuh kegemilangan. Kesuksesannya terbukti dengan penuh dan
banyaknya ilmuan yang hasil pemikirannya kemudian dimanfaatkan oleh Barat
sejak abad XII. (Nakosteen, 1964:144-5).
Dalam tulisan tersebut menjelaskan bahwa al-Ma‟mun memusatkan
perhatian terhadap pengembangan ilmu pengetahuan melalui penterjemahan
sampai menemukan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dari pusat
peradaban di kota-kota taklukkan Abbasiyah.
Dalam penelitian ini memiliki distingsi atau perbedaan terhadap
penelitian-penelitian sebelumnya, jika penelitian sebelumnya membicarakan
politik pemerintahan al-Ma‟mun dengan menerapkan Mihnah, lalu ada juga
yang membicarakan pengembangan ilmu antara ilmu pengetahuan agama dan
umum, lalu ada juga yang membicarakan tentang Paradigma Baru Pendidikan
Islam, dan ada juga yang membicarakan tentang paradigma pengembangan
ilmu melalui metode Ijtihad dari wahyu dan hadits dan Integrasi ilmu agama
dan umum, maka kelebihan daripada penelitian ini lebih memfokuskan pada
“Paradigma atau Pola Pengembangan yang bersifat Integrated yang berbasis
pada tauhid di zaman al-Ma‟mun dengan focus penelitian pada fenomena-
fenomena ilmu alam jagat raya”. Dibawah ini adalah sumber-sumber dari kitab-kitab sejarah dalam
penelitian ini diantaranya adalah sebagai berikut:
1. “Al-Kâmil fi al-Târîkh” oleh Ibn Atsir.
2. “Târîkh Al-Umam wa al-Mulk” oleh Al-Thabari
18
3. “Dhuhâ al-Islam”oleh Ahmad Amin.
4. “Al-Maushu‟ah al-Târîkh al-Islâmî wa al-Hadharah al-Islâmiyyah”
oleh Ahmad Syalabi
5. “Târîkh al-Madzâhib al-Islâmiyyah”oleh Abu Zahrah.
6. Fajar Islam oleh Ahmad Amin
Jenis kitab-kitab diatas ini pun sama-sama menampilkan persoalan
Pengembangan ilmu dalam bentuk uraian tentang madzhab dan aliran teologis.
Meskipun demikian, semua referensi tersebut adalah referensi yang berharga
bagi penulis untuk lebih akurat dalam melacak sumber data sejarah tentang
Paradigma Pengembangan ilmu pada zaman al-Ma‟mun.
F. Metodologi Penelitian
Dalam penulisan ini mengikuti sedikitnya empat langkah pokok dalam
metodologi penelitian sejarah, yakni dengan:
1. Heuristic,yaitu mencari dan mengumpulkan obyek atau gambaran dari
suatu zaman secara menyeluruh tentang data, fakta dan peristiwa yang
sebenarnya mengenai obyek penelitian.
2. Kritik atau verifikasi, yakni menyingkirkan bahan-bahan (atau bagian-
bagian daripadanya) yang tidak otentik.
3. Interpretasi atau menyimpulkan kesaksian yang dapat dipercaya
berdasarkan bahan-bahan yang otentik.
4. Historiografi, yaitu penyusunan atau penulisan kesaksian sejarah itu
menjadi suatu kisah atau penyajian yang berarti
Data, fakta dan peristiwa tersebut diperoleh dari sumber-sumber yang
dapat dipertanggung jawabkan berdasarkan metodologi sejarah. (Nata, 2011:
365). Karena itu, sumber-sumber yang ditulis oleh penulis sezaman, orang
yang terlibat atau menyaksikan peristiwa yang menjadi obyek penelitian ini
merupakan faktor yang menentukan. (Kuntowijiyo, 1994: 33) Adapun pendekatan politik lebih bermakna secara umum, yakni kajian
tentang jalannya sejarah yang ditentukan oleh kejadian politik, perang
diplomasi dan tindakan tokoh-tokoh politiknya. Sedangkan pendekatan sejarah
pendidikan digunakan untuk membahas segala aspek yang berhubungan
dengan pendidikan berdasarkan peninggalan atau dokumen sejarah yangada.
Dengan pendekatan historis-kritis diharapkan dapat lebih mengungkap dan
mengkritisi kenyataan sejarah yang didapat dari dokumen sejarah itu untuk
menemukan esensi dasarnya.
Adapun hasil akhir yang diharapkan dari tulisan ini lebih bersifat
deskriptif, yakni memberikan gambaran umum dan menyeluruh tentang
kejadian sejarah masa lalu dengan menarik ke masa kini.
19
a. Obyek penelitian Berdasarkan pembatasan dan perumusan masalah yang telah disebutkan
sebelumnya, maka sasaran atau obyek penelitian hanya diarahkan pada:
1) Paradigma pengembangan sains
2) Biografi Kholifah al-Ma‟mun
3) Langkah-langkah al-Ma‟mun dalam mengembangkan sains
pengetahuan dalam memajukan peradaban Islam di zaman klasik
4) Hasil yang dapat dicapai al-Ma‟mun dalam mengembangkan ilmu
pengetahuan
5) Sumbangan al-Ma‟mun terhadap kemajuan Islam di zaman klasik dan
juga tokoh-tokoh lain yang ikut berperan dalam mengembangkan ilmu.
6) Fenomena-fenomena alam yang berlandaskan pada penelitian ijbari
atau eksperimen di zaman al-Ma‟mun
b. Sumber data
1) Data tertulis (library research) atau Data dokumentasi. Melalui
sumber ini, penulis mencari dan menelusuri bahan-bahan yang ada
hubungannya dengan teori paradigma pengembangan ilmu dalam
sejarah pendidikan Islam. dan Melalui sumber ini, penulis mencari dan
menelusuri bahan-bahan atau tulisan-tulisan penting tentang al-
Ma‟mun pada dinasti Abbasiyah tahun 813-833 M.
Sumber data primer dalam penelitian ini secara eksplisit agak
sulit penulis dapatkan. Akan tetapi setelah beberapa konsultasi dengan
para pakar sejarah pendidikan di kampus UIN Jakarta, secara umum
didapati buku-buku sejarah dan pendidikan Islam yang mendukung
atau menjelaskan tentang pemikiran dan kronologis terjadinya
paradigma pengambangan terhadap ilmu dalam sejarah pendidikan
Islam. Buku-buku tersebut diantaranya adalah sebagai berikut:
1. “Târîkh Al-Umam wa al-Mulk‟ oleh At-Thabari.
2. “Dhuhâ al-Islâm” dan “Fajar Isla” oleh Ahmad Amin.
3. “Al-Maushu‟ah al-Târîkh al-Islâmi wa al-Hadharah al-Islâmiyyah”
oleh Ahmad Syalabi.
4. “Ihya‟ „Ulûm al-Dîn”, oleh Al-Ghazali.
5. “Tarikh al-Firaq al Islamiyah”, oleh Ali Mustafa al Gurabi
6. “The Histoy of Arab” oleh Philip K. Hitty
7. “Muqodimah Ibnu Khladun” oleh Ibnu Khaldun
8. “Tarikh al-Baghdadi” oleh Ahmad al-Baghdadi
9. “Religion and the Order of Nature” oleh Sayyed Hosein Nasr
10. “The Making of Europe” oleh Christhoper Dawson
11. Al-Biruni oleh Al-Biruni
12. Al-Kamil fii Tarikh, oleh Ibn Atsir
13. Wafiyat Al-A‟yan wa Anba Al-Zaman, oleh Ibn Khalikan
20
Data sekunder dalam penelitian ini diambil dari karya tulis
parailmuwan yang telah menulis teori-teori sejarah pendidikan yang
digunakan sebagai pembanding dalam menganalisis permasalahan
dalam penelitian ini. Karya tulis tersebut diantaranya:
1. “Al-Tarbiyyah fial-Islâm” karya Al-Ahwani.
2. “Al-Tarbiyyah al-Islâmiyyah” karya Muhammad Athiyah al-Abrasy.
3. “Al-Tarbiyyah al-Islâmiyyah fi al-Qarnal-Râbi” karya Hasan Abd
al-„Ali.
4. “ Tarik at-Tarbiyyah al-Islâmiyyah” karya Ahmad Syalabi.
5. “Science Civilization in Islam” oleh Syyed Hossein Nasr
Setelah data dikumpulkan kemudian dikaji, dianalisis dan
diinterpretasi, untuk selanjutnya dengan analisis deskriptif dituangkan
secara apa adanya dengan sedikit interpretasi dan pengambilan
substansi dengan analisis yang cermat ke dalam konstruksi
pembahasan yang logis, sistematis dan komprehensif. Kemudian
dilakukan analisis komparatif, tidak saja terhadap pernyataan yang
sama, tetapi juga yang berbeda selagi masih dalam permasalahan yang
sama. Selanjutnya, agar tidak terjebak kepada pembahasan yang
bersifat naratif dan konvensional, penelitian ini juga akan berusaha
mencari penyebab mengapa suatu keadaan atau peristiwa terjadi
dengan analisis kritis sehingga data tersajikan secara seimbang, yakni
secara objektif-deskriptif sekaligus menyajikan pandangan kritis
subjektif penulis.
c. Teknik Pengumpulan Data
1) Dokumentasi
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode
dokumentasi untuk mendapatkan bahan-bahan dokumenter. Hal ini di
dasarkan bahwa pendidikan Islam menyimpan bahan-bahan
dokumenter berupa: hasil-hasil penelitian yang ada hubungannya
dengan penelitian ini.
Selanjtnya penelusuran referensi yang dimaksudkan di sini
adalah penulis melakukan pencarian dan penelaahan buku-buku dan
karya tulis ilmiah lainnya yang ada keterkaitannya dengan masalah
yang di teliti. Juga melalui metode ini, penulis berusaha mencari
kajian-kajian teori yang berkaitan dengan masalah yang diteliti untuk
digunakan dalam penulisan tesis ini.
Metode penelusuran referensi ini tentu saja berkaitan erat
dengan data tertulis berupa buku-buku dan sumber tertulis lainnya
yang biasa terseimpan di perpustakaan. Oleh karena itu, penulis
mempergunakan kartu kutipan yang lazim dipakai untuk kegiatan ini.
Kartu tersebut digunakan untuk mencatat kutipan hasil bacaan. Pada
21
kartu kutipan ditulis nama pengarang, nama buku, penerbit, tempat
terbit, tahun terbit, dan halam yang dikutip, termasuk di dalamnya
informasi jilid dan cetakan. Selanjutnya, penulis mengorganisir nama
pengarangnya berdasarkan abjad. Hal ini dilakukan untuk
memudahkan mengklasifikasi dan mentabulasi data.
d. Teknik Pengolahan dan Analisa Data
Dalam uraian terdahulu disebutkan bahwa data penelitian ini ada yang
tertulis, yaitu data pustaka atau dokumentasi. Oleh karena itu, berdasarkan
pemetaan tersebut, maka data tertulis yang diperoleh akan diperlakukan
dengan cara ditelaah, dibandingkan, dikategorisasikan, kemudian dilakukan
analisis deskriptif. Penelitian ini menggunakan lebih dari satu jenis data,
(Bryman, 1988: 131) dan menggunakan metode ganda (triangulasi) (Brannen,
1997: 20) Terkait triangulasi, Meleong menjelaskan bahwa metode ini
digunakan sebagai tekhnik pemeriksaan keabsahan data dengan
memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan
atau sebagai pembanding terhadap data itu. Dalam hal ini, teknik triangulasi
yang paling banyak digunakan ialah pemeriksaan melalui sumber lainnya
(Moleong, 1995: 85).
e. Pendektan Penelitian
Pendekatan yang akan digunakan dalam tulisan ini, karena menyangkut
paradigma berpikir umat di suatu zaman dan beberapa intrik politik yang
terjadi sebagai pemicunya, maka pendekatan yang akan digunakan adalah
pendekatan sosisologis dan historis.
Dapat dikatakan bahwa jenis penelitian dalam tesis ini, penelitian
kualitatif. Hal ini logis karena penelitian ini merupakan paradigma
pengembangan terhadap ilmu dalam sejarah pendidikan Islam yang terjadi
pada zaman Kholifah al-Ma‟mun (813-833 M) dan sesudahnya. Selanjutnya
penelitian yang bersifat kualitatif ini tidak dapat dipisahkan dari pendekatan
grouded research atau grouded theory yang intinya adalah semua analisa harus
berdasarkan data yang ada dan bukan beradasrkan ide yang ditetapkan
sebelumnya.
Selanjutnya dari sisi pendekatan studi, penelitian ini menggunakan
pendekatan sosiologi-historis. Kedua pendekatan ini digunakan karena obyek
yang diteliti membutuhkan jasa ilmu-ilmu tersebut. Pendekatan sosiologis
digunakan untuk memahami arti subyektif dari perilaku sosial, bukan semata-
mata menyelidiki arti obyektifnya (Abdurrahman, 2003: 11). Penelitian ini menggunakan pendekatan historis dengan asumsi bahwa
kajian Paradigam pengembangan terhadap ilmu dalam sejarah pendidikan
Islam pada zaman pemerintahan Kholifah al-Ma‟mun di tahun 813-833 M. dan
perkembangan pada sesudahnya, sebagai wadah berlangsungnya proses
22
tersebut dengan dimensi sejarah. Artinya, dengan pendekatan historis,
penelitian ini mencoba mengupayakan agar pemikiran, gagasan, dan konsep
dapat dibuktikan melalui data-data yang dapat dilacak dalam dokumen sejarah
(Nata, 2005:.8) atau secara empirik dapat dilakukan konfirmasi silang terhadap
keakuratan data yang diperoleh melalui wawancara. Hal ini memungkinkan
karena melalui pendekatan historis diasumsikan bahwa segala pristiwa dapat
dilacak dengan melihat kapan pristiwa itu terjadi, dimana, dan siapa yang
terlibat dalam pristiwa tersebut. Jadi, melalui pendekatan ini seseorang diajak
menukik dari alam idelis ke alam yang bersifat empiris dan mendunia (Nata,
2008: l 39).
23
BAB II
PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU
DALAM PENDIDIKAN ISLAM
A. Paradigma Keilmuan
1. Pengertian Paradigma
Paradigma dapat berarti model, pola atau contoh (Echols dan Shadily,
1996: 143). Paradigma menjadi istilah kunci dalam pembicaraan tentang
filsafat ilmu. Sejak tahun 1960-an istilah ini popular di tangan Thomas S.
Kuhn. Menurutnya, paradigma berarti mode of thought atau mode of inquiry.
Kuhn menegaskan bahwa pada dasarnya relitas sosial itu dikonstruksi oleh
mode of though atau mode inquiry yang akan menghasilkan mode knowing.
Sementara Immanuel Kant menyebutnya sebagai skema konseptual, sedangkan
Marx menyebutnya dengan ideology (Kuntowijoyo, 2004: 11). Jadi, dapat
dikatakan bahwasanya paradigma itu bisa dimaknai sebagai sekumpulan
asumsi-asumsi, konsep-konsep yang secara logis dianut bersama dan dapat
mengarahkan cara berpikir, mengkaji dan meneliti. Oleh sebab itu, paradima
adalah a set of scientific and metaphysical beliefs that make up a theoretical
frame work whithin which scientific theories can be tested, evaluated, and if
necessary, revised (sekumpulan kepercayaan ilmiah dan metafisik yang
membuat suatu kerangka teoritis dalam mana teori-teori ilmiah dapat diuji,
dievaluasi dan kalau perlu direvisi) (Bidin, dkk., 2003: 34).
Paradigma sebagaimana di atas adalah sebuah kerangka berpikir
terhadap suatu hal, dalam memecahkan persoalan. Misalnnya, ketika melihat
musuh, maka yang terpikirkan adalah perasaan yang tidak mengenakkan dalam
hati, lalu terpikirkan bagaimana caranya untuk menjatuhkan musuh tersebut
atau mengalahkannya?. Atau sebaliknya, ketika melihat teman suasana hati
terasa senang, lalu yang terpikirkan adalah bagaimana caranya agar
mendapatkan sisi baik dari pertemanan tersebut?. Jadi dapat dikatakan bahwa
paradigma itu merupakan contoh, model atau sudut pandang manusia terhadap
obyek yang dilihat atau di hadapinya.
Paradigma dapat dipahami sebagai sekumpulan keyakinan dasar yang
mengarahkan penelitian tindakan penelitian ilmiah. Sebagai kumpulan sistem
keyakinan dasar atau asumsi-asumsi dasar, paradigma memuat permasalahan
asumsi dasar yang berkaitan dengan asumsi ontologis, epistemologis dan
aksiologis (Adian, 2002: 141). Asumsi atau sistem keyakinan dasar suatu
paradigma menentukan bagaimana kita melihat semesta atau sifat dasar dari
23
24
keyakinan yang diketahui, bagaimana antara subyek dengan obyek yang
diketahui serta metode apa yang digunakan untuk mengetahuinya.
2. Paradigma Integrasi Ilmu
Integrasi berasal dari bahasa Inggris “integration” yang berarti
kesempurnaan atau keseluruhan. Integrasi ilmu dimaknai sebagai sebuah
proses penyempurnaan atau menyatukan selama ini di anggap dikotomis
sehingga menghasilkan satu pola pemahaman integrative tentang konsep ilmu
pengetahuan (Rifa‟i, dkk., 2004: 14). Integrasi adalah menjadikan al-Qur‟an
dan Sunnah sebagai grand theory pengetahuan, sehingga ayat-ayat qauliyah
dan kauniyah dapat dipakai (Bagir, 2005: 49-50).
Paradigma integrasi ilmu adalah cara pandang ilmu yang menyatukan
semua pengetahuan ke dalam kotak tertentu dengan mengasumsikan sumber
pengetahuan dalam satu sumber tunggal (Tuhan). Semesta sumber lain, seperti
indra, pikir, dan intuisi dipandang sebagai sumber penunjang sumber inti.
Dengan demikian sumber wahyu menjadi inspirasi estis, estetis, sekaligus logis
dari ilmu. Bagaimana proses peleburan itu dilakukan, paradigma ini
menempatkan wahyu sebagai hirarki tertinggi dari sumber-sumber ilmu
lainnya, dan gerakan seperti Islamisasi ilmu sebenarnya dapat dikategorisasikan
sebagai upaya mengintegrasikan ilmu ke dalam satu pohon ilmu, yaitu ilmu
pengetahuan yang integrative.
Dalam “Integrasi Ilmu dalam Persepektif Filsafat Islam”, Mulyadi
Kartanegara, menjelaskan bahwa sumber basis ilmu-ilmu agama dan umum
berasal dari sumber yang sama, yaitu dari Tuhan. Ilmu bertugas untuk mencari
kebenaran sejati, sehingga dapat disimpulkan bahwa karena Tuhan adalah
kebenaran sejati tentunya merupakan sumber bagi kebenaran-kebenaran yang
lain, termasuk kebenaran yang dihasilkan dari analisa ilmu-ilmu umum.
Menurut Mulyadi Kartanegara, mengartikan dikotomi bukan pemisahan
tapi penjenisan, dan dikotomi ilmu ke dalam ilmu agama dan non agama dalam
makna penjenisan sebenarnya bukan hal yang baru. Dalam sejarah, Islam telah
mempunyai tradisi dikotomi lebih dari seribu tahun. Menariknya dikotomi
tersebut tidak berdampak banyak pada sistem pendidikan Islam. Situasi ini
malah berlanjut sampai sitem pendidikan sekuler Barat masuk mempengaruhi
sistem pendidikan Islam lewat jalur gerakan imperealisme. Misalnya,
penjenisan yang dilakukan oleh al-Ghazali (w1111) dan Ibn Khaldun (w1105)
tidak mengingkari validitas dan status ilmiah masing-masing jenis keilmuan
tersebut. Al-Ghazali dalam kitab Ihya „Ulumu din menyebut dua jenis
ilmu(„ilm Syariyyah dan Ghair Syariyyah). Sedangkan Ibn Khaldun membagi
25
ilmu ke dalam al-Ulum al Naqliyah dan al-Ulum al-Aqliyah. Meskipun al-
Ghazali mengelompokkan ilmu-ilmu agama ke dalam kelompok Fardhu‟ „Ain
dan Fardhu Kifayah, menurutnya, ia mengakui validitas ilmiah masing-masing.
Bahkan sebaliknya, mempelajari ilmu logika dan matematika perlu dipelajari
(Kartanegara, 2005: 25-26).
Kekayaan khazanah Islam klasik yang merupakan kontitusi peradaban
Islam itu dapat dilihat pada tradisi keilmuan yang diwariskan kepada umat
Islam. Terdapat tujuh tradisi keilmuan yang patut di apresiasi dan di
kembangkan dalam konteks kekinian, yaitu: (1) Ilmu-ilmu al-Qur‟an; (2) Ilmu-
ilmu hadits; (3) Ilmu-ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih; (4) Ilmu Kalam (Teologi);
(5) Filsafat (Hikmah); (6) Sains (astronomi, kimia, fisika, kedokteran,
geometri); (7) Tasawuf (Heriyanto, 2011: 45).
Ketujuh tradisi keilmuan Islam itu harus dibaca dalam helaan nafas
dalam atmosfer wahyu yang menginspirasi para sarjana muslim membangunn
tonggak-tonggak ilmiah peradaban Islam. Kesaling terkaitan ilmu-ilmu itu
ibarat sebuah pohon. Wahyu al-Qur‟an dan Hadits seperti akar dan batang dari
pohon tradisi keilmuan Islam. Sedangkan ilmu-ilmu budaya, sains, dan
institusi-institusi sosial seperti cabang-cabang pohon, di antaranya ada yang
lebih dekat kepada batang dan yang lainnya lebih jauh. Namun semuanya
merupakan bagian dari sebuah oragnisme yang tumbuh dari akar.
Terintegrasinya ilmu-ilmu dalam Islam merupakan manifestasi dari
pandangan Tauhid yang melihat seluruh objek telaah berbagai ilmu itu sebagai
ayat-ayat Tuhan. Tidak mungkin berbagai tradisi keilmuan itu, jika dilacak
sampai ke akar-akar kebenarannya, saling bertolak belakang atau kontradiktif
lantaran sesama ayat Tuhan, sudah pasti saling mendukung.
Tabel 2.1: Pandangan Integral-holistik
Menurut al-Faruqi, intisari peradaban Islam, Tauhid mempunyai dua
dimensi: metodologis dan konseptual. Dalam dimensi konseptual yang
menentukan isi peradaban Islam, Tauhid adalah metafisika, etika, estetika dan
masyarakat. Sedangkan dimensi metodologis yang menentukan peradaban
Metodologis:
Kesatuan,
rasionalisme,
toleransi
Konseptual:
Metafisika,
etika, estetika,
masyarakat
TAUHID
26
Islam meliputi: kesatuan, rasionalisme dan toleransi. Prinsip kesatuan
menegaskan bahwa tidak ada peradaban tanpa kesatuan. Seorang sarjana
muslim dapat merengkuk dan menguasai berbagai cabang ilmu. Ibnu Sina
misalnya, merupakan ahli kedokteran dan fisika, namun sekaligus seorang
filsuf, hafidz al-Qur‟an dan sufi.
Berdasarkan Tabel diatas adalah kata kunci konsepsi integrasi keilmuan
berangkat dari premis bahwa semua pengetahuan yang benar berasal dari Allah.
3. Paradigma Islamisasi Ilmu
Pembahasan tentang epistemology Islam secara garis besar dapat dibagi
menjadi dua macam. Pertama, berkaitan dengan epistemology Islam dalam
versi filosof Muslim. Kedua, mencari epistemologi Islam yang secara spesifik
berasal dari pandangan al-Qur‟an, dimana harus dibiarkan al-Qur‟an berbicara
sendiri.
Pada pembahasan pertama, yaitu epistemologi Islam dalam pandangan
Islam kaum filosof Muslim, terlebh dahulu harus benar-benar dipahami bahwa
pengetahuan adalah ilmu yang tidak hanya membahas tentang objek fisik,
karena realitas memiliki objek fisik dan non-fisik sekaligus. Islam mengakui
objek non-fisik seperti Tuhan, Malaikat, dan jiwa. Inilah yang paling
membedakan dengan paradigma sekuler, karena mereka membatasi objek
pengetahuan hanya pada objek-objek fisik sejauh bisa di indrai.
Meskipun terdapat perbedaan mengenai asal-usul ilmu pengetahuan di
kalangan filsof, tetapi mereka sepakat bahwa selain indra, akal memegang
peranan penting dalam memperoleh ilmu pengetahuan. Ibnu Bajjah misalnya,
percaya bahwa pengetahuan yang benar dapat diperoleh melalui akal yang
merupakan satu-satunya instrument, dengannya manusia akan mampu
mencapai kemakmuran (Syarif (ed), 1992: 12).
Sedangkan Ibnu Sina membedakan antar akal potensi yang ada dalam
diri manusia dan akal aktif yang ada di luar manusia. Menurutnya, bahwa
pengalaman yang diterima oleh indra langsung muncul dari akal aktif. Akan
tetapi, tidaklah sempurna jikalau tidak membicarakan Ibn Khaldun, yang
menempatkan pembahasan epistemologi pada bagian akhir dari Muqaddimah-
nya. Menurutnya kekuatan manusia terletak pada kemampuannya dalam
berpikir, yang merupakan penjamahan bayang-bayang di balik perasaan yang
berhasil ditangkap oleh indra dan aplikasi akal di dalamnya untuk membuat
analisa dan sintesa (Khaldun, t.t.: 236).
Selanjutnya pada pembahasan kedua, epistemologi al-Qur‟an. Pada
pendekatan analitik, al-Qur‟an lebih dahulu diperlakukan sebagain data tentang
27
pedoman kehidupan dari Tuhan yang harus dianalisa untuk diterjemahkan pada
level objektif (bukan subyektif). Dalil-dalil yang melahirkan ide-ide keilmuan
(Scientific ideas) al-Qur‟an dan sunah adalah rujukkan ilmu-ilmu Islam. Al-
Qur‟an adalah himpunan wahyu yang merupakan dalil ilmu-ilmu. Dalil di sini
mengandung arti petunjuk adanya ilmu-ilmu, bukan ilmu itu sendiri. Oleh
karena itu , sejarah membuktikan adanya fakta al-Qur‟an mendorong umatnya
untuk menciptakan ide-ide sains yang menjadi dasar perkembangan ilmu di
kemudian hari. Adapun penjelasan ilmu dalam persepektif Islam (al-Qur‟an
dan sunah) ada pembahsannya tersendiri.
B. Konsep Ilmu dalam Islam
1. Pengertian Ilmu
Kata „ilm yang dalam bahasa Arab biasa diterjemahkan sebagai
“pengetahuan atau ilmu”, merupakan derifasi dari kata kerja „alima yang
berarti “mengetahui”. Jadi „ilm adalah sebuah kata benda abstrak sebagai lawan
kata dari Jahl atau ketidaktahuan (Mandzur, t.t: 3083). Orang yang mengetahui
(„alima) disebut („aalim) yang jamaknya „ulama. Menurut Imam Sibaweih, kata
„alim atau „ulama itu menunjukkan “seseorang yang tidak berkata kecuali dia
tahu”. Dengan kata lain pengetahuannya didasarkan pada ilmu. Sedangkan
menurut esiklopedia Islam, kata „alima digunakan dalam al-Qur‟an secara
perfek, imperfek maupun dalam bentuk imperatif berarti “untuk mengetahui”.
Tetapi dalam bentuk imperative dan perfek mempunyai arti “untuk belajar”.
Dengan demikian, „ilm merupakan hasil dari upaya-upaya tersebut.( The
Encyclopedia of Islam, 1979: 1133). Dari kata „ilm terkandung pula makna-
makna sebagai berikut: al-Ma‟rifah (pengertian), al-syu‟ur (kesadaran), al-
idrak (persepsi), at-tashawwur (daya tangkap), al-hifd (pemeliharaan,
penjagaan, pengingat), al-tazakur (pengingat), al-fahm dan al-fiqh (pengertian
dan pemahaman), al dirayah dan al-Riwayah (perkenalan, pengetahuan,
narasi), al-hikmah (kearifan), al-badihah (intuisi), al farasah(kecerdasan), al-
khibrah (pengalaman), al-ra‟yu (pemikiran dan opini), dan al-nazar
(pengamatan). Juga muncul makna, al-„alamah (lambing) dan al-simah
(tanda), pemisah antara dua tempat, sesuatu yang dirancang di jalan (rambu-
rambu) untuk menuntun orang. Atas dasar pemahamn ini, al-khalaq (ciptaan)
disebut dengan nama alam (alam semesta), karena hal tersebut adalah bagian
dari sifat Allah atau sebuah tanda atau bukti dari eksistensi-Nya (al-Kurdi, t.t:
33, Mandzur, t.t: 3083-3086).
Akan tetapi, dibandingkan istilah-istilah yang berkorelasi lainnya tidak
ada yang sama dengan „ilm dari sisi kedalaman makna dan kekuasaan
28
penggunaanya. Tentu saja ide yang terkandung dalam istilah al-„ilm adalah
yang paling dalam dan signifikan dalam pandangan dunia Islam. Seperti
diungkapkan oleh Wan Daud,‟ilm dalam pandangan Islam adalah paling
penting, karena ia merupakan salah satu dari atribut Tuhan. Dengan demikian,
julukan-julukan yang sesuai bagi Tuhan adalah al‟Alim, al-Alim, al-Allam,
semuanya berarti Mahatahu, tetapi Tuhan tidak pernah disebut al‟Arif (Wan,
1989: 63). Walaupun keduanya dapat digunakan dalam makna yang sinonim
(mutarodif), akan tetapi juga memiliki perbedaan yang hampir tidak kentara.
Pemahaman Islam tentang „ilm lebih komperhensif dan canggih dari
istilah yang biasa diterjemahkan sebagai “pengetahuan”. Sebab istilah „ilm
terkait erat dengan konsep-konsep, unsur-unsur dan nilai-nilai dalam Islam.
Unsur-unsur tersebut misalnya: „ibadah, khalifah, „adl, (keadilan), din (agama),
hikmah, adab, takwa, amanah, akhirat, yang semuanya itu terpadu menjadi
satu kesatuan dalam tauhid (al-Atas, 1991: 27). Kenyatanya „ilm menentukan
dan membentuk karakteristik khusus pada peradaban ketika Eropa berada
dalam zaman kegelapan (the dark age). Dengan demikian, secara konseptual,
menerjemahan kata „ilm sebagai pengetahuan adalah kurang tepat dan kurang
cocok (Imron, 2007: 52).
Di antara syarat membahas Islamisasi ilmu pengetahuan yaitu menerima
sifat bahwa ilmu itu tidak netral atau tidak bebas nilai (value free). Ilmu terkait
dengan nilai-nilai tertentu yang berupa ideology, paradigma, atau pemahaman
seseorang. Suatu kenyataan yang janggal seseorang membahas Islamisasi ilmu
pengetahuan namun ia berpendapat bahwa ilmu itu bebas nilai (Hadiyanto,
2010: 41).
Menurut Endang Saifuddin Anshari dalam bukunya Ilmu Filsafat dan
Agama mengatakan:
Salah satu corak pengetahuan adalah pengetahuan yang ilmiah, yang
lazim disebut ilmu pengetahuan, atau singkatnya ilmu, yang di
ekuivalen artinya dengan science dalam bahasa Prancis, wissenschaft
(Jerman) dan wetenschap (Belanda). Sebagaimana juga science berasal
dari kata scio, scire (Bahasa latin) yang berarti “tahu”. Begitu juga ilmu
berasal dari kata „alima (Bahasa Arab) yang juga berarti tahu. Jadi, baik
ilmu maupun science secara etimologis berarti pengetahuan. Namun
secara terminology ilmu dan science itu semacam pengetahuan yang
mempunyai ciri-ciri tanda-tanda dan syarat-syarat yang khas (Anshari,
1987: 47).
Menurut Harsono, seorang guru besar antropologi dari Universitas
Pajajaran sebagaimana dikutip oleh Endang Saifuddin menerangkan bahwa
29
ilmu itu memiliki 3 pengertian: Pertama, Merupakan akumulasi pengetahuan
yang disistematisasi. Kedua, Suatu pendekatan atau suatu metode pendekatan
terhadap seluruh dunia empiris, yaitu dunia yang terikat oleh faktor ruang dan
waktu, dunia yang pada prinsipnya dapat diamati oleh panca indra manusia.
Ketiga, Suatu cara menganalisa, yang mengijinkan kepada ahli-ahlinya untuk
menyatakan sesuatu proporsisi dalam bentuk “jika…. Maka….” (Anshari,
1987: 49).
Sementara dalam Ensiklopedia Indonesia didapati mengenai keterangan
ilmu sebagai berikut: “Ilmu pengetahuan adalah sistem dari pelbagai
pengetahuan yang masing-masing mengenai suatu lapangan pengalaman
tertentu, yang disusun demikian rupa menurut asas-asas tertentu, sehinga
menjadi kesatuan yang didapatkan sebagai hasil pemeriksaan-pemeriksaan
yang dilakukan secara teliti dengan memakai metode-metode tertentu
(induksi-deduksi)” (Hidding,. t.t: 647).
Sedangkan Save M. Dagun dalam Kamus Besar Ilmu Pengetahuan,
mengatakan Ilmu (Science) yaitu pengetahuan yang bersifat pasti diperoleh
dari pengalaman dan pemahaman diri. Ide-ide yang mengacu ke obyek atau
alam obyek yang sama dan saling berkaitan secara logis. Dan ia
menambahkan bahwa, ilmu bersifat koherensi sistemik dan obyektivitas,
memiliki metodologi dengan langkah-langkah observasi, klasifikasi, analisis
data menarik kesimpulan induktif dan deduktif dari data yang diproleh
(Degun, 1997: 87).
Sementara itu B.J. Habibie dalam pidatonya tatkala menerima gelar
Doktor Honoris Causa dari Universitas Hasanuddin, Makasar mendefinisikan
tentang ilmu pengetahuan sebagai berikut:
Ilmu pengetahuan adalah suatu proses pemikiran dan analisis yang
rasional, sistemik, logika, dan konsistensi. Hasil dari ilmu pengetahuan
dapat dibuktikan dengan percobaan yang transparan dan objektif. Ilmu
pengetahuan memiliki spektrum analisis amat luas mencakup persoalan
yang bersifat supermakro, makro dan mikro. Hal ini jelas terlihat,
misalnya pada ilmu-ilmu; fisika, kimia, kedokteran, pertanian, rekayasa
bioteknologi dan sebagainya. Berbeda dengan filsafat-yang seperti ilmu
pengetahuan juga dapat secara rasional, sistemik, logika dan konsisten,
namun hasil pemikiran dan analisis filsafat sementara sukar dibuktikan.
Spectrum analisis filsafat bersifat supermakro dan makro saja. Sebagai
contoh misalnya filsafat tentang; fisika, rekayasa, kehidupan dan
sebagaimana. Sementara agama atau kepercayaan harus diyakini karena
tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Keyakinan itu menjadi titik tolak
30
dan pemikiran dan analisis yang juga berlangsung secara rasional,
sistemik, logis, dan konsisten. Spectrum analisis biasanya hanya bersifat
supermakro saja. Sebagai contoh: moral, etika, prilaku dan pandangan
hidup seseorang (Habibie, 2006: 2).
Dari semua pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa definisi ilmu
yang mereka sampaikan sedikit banyak telah dipengaruhi oleh pandangan
Barat. Ciri-ciri pengaruh pandangan Barat dalam definisi tersebut yaitu bahwa
ilmu merupakan suatu hal yang empiris, rasional dan logis. Selain itu, para ahli
mendefinisikan ilmu dengan objek yang bersifat fisik. Mereka tidak mengakui
sesuatu yang sifatnya metafisik. Bahkan B.J. Habibie sekalipun, dalam
pendefinisian di atas menyatakan bahwa agama tidak dapat dibuktikan
kebenarannya.
Penjelasan yang lebih filosofis menurut penulis datang dari Jujun S.
Suriasumantri dalam bukunya yang berjudul Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar.
Menurut Jujun, penjelasan sebuah ilmu harus memenuhi tiga syarat yaitu objek
ontologis (pengalaman manusia yakni segenap wujud yang dapat dijangkau
lewat panca indra atau alat yang membantu kemampuan panca indra), landasan
epistemologis (metode ilmiah yang berupa gabungan logika deduktif dan logika
induktif dengan pengajuan hipotesis atau yang disebut dengan
logicohyphotetico-verifikasi) dan landasan aksiologis (kemaslahatan manusia
artinya segenap wujud pengetahuan ini secara moral ditunjukkan untuk
kebaikan hidup manusia) (Suriasumantri, 1990: 294). Jujun mengartikan
penggunaan kata ilmu pengetahuan untuk science dan kata pengetahuan untuk
knowledge (Suriasumantri, 1990: 294).
Definisi ilmu menurut ilmuan muslim tentu berbeda dengan yang
pernah disebutkan di atas. Salah satunya pendapat yang berkembang adalah
pendapat Ibn Taimiyah tentang ilmu. Dalam konteks ini Ibn Taimiyah
mendefenisikan ilmu sebagai sebuah pengetahuan yang berdasar pada dalil atau
bukti. Dalil yang dimaksudkannya bisa berupa penukilan wahyu dengan
metode yang benar (al-nqal al-mushaddaq), bisa juga berupa penelitian ilmiah
(al-baths al-muhaqqaq). Sedang yang dimaksud dengan “ilmu yang
bermanfaat” adalah yang bersumber dari Rasulullah : إى العلن ها لا م عليه الدليل والا فع هه ها جاء به الر سىل فا لشأ ى فى أى مى ل
علوا وهى المل الوصد ق والحث الوحمك Sesunguhnya ilmu itu adalah yang bersandar pada dalil, dan yang
bermanfaat darinya adalah apa yang dibawa oleh Rasul. Maka
sesuatu yang bisa kita katakan yang akurat.
31
Selanjutnya Ibn Taimiyah menegaskan, apabila sesuatu yang dikatakan
ilmu itu pada kenyataannya tidak berdasarkan pada dalil seperti disebutkan
diatas, maka ilmu ibarat sebuah tembikar yang terlihat bagus dari luarnya saja.
Maksudnya, kelihatan sebuah ilmu yang bagus tapi sebenarnya ia bukan ilmu.
Atau kalau tidak, menurut Ibn Taimiyah, yang disangka ilmu tersebut adalah
sesuatu yang jelas-jelas batal, yakni bukan ilmu sama sekali (Taimiyah, t.t:
388).
Bahwa jelaslah dalam Islam, wahyu merupakan sumber ilmu.
Sedangkan dalam pandangan Barat, wahyu tidak termasuk ilmu karena tidak
dapat dibuktikan kebenarannya secara empiris, rasionalis atau logis. Di sinilah
salah satu letak perbedaan yang terlihat antara definisi ilmu dalam Islam
dengan ilmu dalam pandangan Barat.
Sedangkan menurut Mulyadhi Kartanegara, menjelaskan mengenai
ilmu yakni sebagai berikut:
Istilah ilmu dalam epistemologi Islam mempunyai kemiripan dengan
istilah Science dalam epistemology Barat. Sebagaimana sains dalam
epistemologi Barat dibedakan dengan knowledge, ilmu dalam
epitemologi Islam dibedakan dengan opini (ra‟yu). Sementara sains
dipandang sebagai any organized knowledge, ilmu didefinisikan sebagai
“pengetahuan tentang sesuatu bagaimana adanya”. Dengan demikian,
ilmu bukan sembarang pengetahuan atau sekedar opini, melainkan
pengetahuan yang telah teruji kebenarannya. Pengertian ilmu
sebenarnya tidak jauh berbeda dengan sains, hanya sementara sains
dibatasi pada bidang-bidang fisik atau indrawi, ilmu melampauinya
pada bidang-bidang nonfisik, seperti metafisika. Penyetaraan ini dapat
diperkuat oleh pernyatan Karier, pengarang buku The Scientists of the
Mind, bahwa pada masa-masa awal abad ke-19, sains dipahami sebagai
any organized knowledge, atau “sembarang pengetahuan yang
terorganisasi”, termasuk teknologi. Dengan pengertian yang disebut
terakhir ini, kata ilmu seharusnya dipahami (Kartanegara, 2003: 2).
Sedangkan menurut Budi Handayanto, “Ilmu dalam pandangan Islam
berbeda dengan pandangan sains dalam pandangan Barat. Sains Barat hanya
dibatasi pada bidang-bidang empiris-positivis sedangkan ilmu dalam
pandangan Islam melampauinya dengan melakukan tidak hanya pada bidang-
bidang empiris, tetapi juga non-empiris, seperti matematika dan metafisika”
(Handayanto, 2010: 27).
32
Jadi kesimpulannya, bahwa ilmu dalam pandangan Islam mempunyai
ruang lingkup yang lebih luas daripada sains dalam istilah peradaban Barat.
Jika sains membatasi dirinya pada hal-hal yang bersifat fisik, maka ilmu dalam
pandangan Islam masih tetap meliputi tidak hanya fisik, akan tetapi juga
metafisik.
Banyak cendikiawan muslim yang merasa perlu mendefinisikan ilmu.
Namun, tidak semua dari mereka sepakat tentang kemungkinan
pendefinisiannya, karena artinya sudah jelas dan nyata. Upaya untuk membuat
definisi hasilnya hanya malah justru akan membingungkan dan memperumit
dalam pemahamannya. Ibn al‟Arabi sangat menentang upaya-upaya seperti
dalam paragraph berikut ini: “Ilmu adalah konsep yang sangat jelas, tidak perlu
penjelasan, tetapi ahli Bid‟ah berhasrat untuk membuat pemahaman istilah
“ilmu” serta konsep-konsep agama dan intelektual yang lainnya menjadi rumit.
Tujuan mereka adalah menyesatkan dan memberi kesan yang salah bahwa
tidak ada konsep atau makna yang dapat diketahui. Bagaimanapun juga klaim
tersebut tidak beralasan dan merupakan cara berfikir yang menyesatkan”
(„Arabi,. t.t: 114). .
Namun, berbagai upaya mendefinisikan ilmu terus dilakukan oleh
banyak cendikiawan Muslim, aktifitas ilmiah seputar itu tidak pernah terhenti.
Hasilnya, banyak definisi yang muncul dengan beberapa variasinya, karena
latar belakang mereka yang berbeda-beda, sehingga penekanannya pun
berbeda-beda pula. Misalnya, menurut Ikhwanu al-Safa, “Ilmu adalah
repsentasi (Surah) sesuatu yang diketahui kedalam jiwa ilmuwan dan
merupakan lawan dari ketidaktahuan (jahl), yang merupakan ketiadaan
representasi (Chejen, 1982: 86).
Sejak awal para pemikir muslim memberikan beberapa definisi tentang
ilmu. Rosenthal menjelaskan delapan ratus definisi ilmu yang dihasilkan oleh
pemikir-pemikir Muslim. Definisi terbaik menurut A.Madi dikemukakan oleh
Fakhr al-Din al-Razi. Al-Attas mengungkapkan kembali dan mengelaborasi
definisi ilmu datang atau berasal dari Allah dan diinterpretasikan oleh jiwa
melalui fakultas-fakultas spiritual dan fisik. Al-Attas mengartikulasikan
definisi ilmu melalui konteks. Pertama, mengacu kepada Allah sebagai sumber
dari semua ilmu. Kedua, mengacu kepada jiwa sebagai penafsirnya. Dalam
konteks tersebut, maka definisi epistemologis yang paling tepat ialah dengan
mengacu pada konteks yang pertama, bahwa ilmu merupakan kehadiran (husul)
makna sesuatu hal atau objek ilmu ke dalam jiwa. Apabila mengacu pada
konteks kedua, maka ilmu adalah datangnya (wusul) jiwa kepada makna
sesuatu hal atau objek ilmu (al-Attas, 1987: 154).
33
2. Ilmu dalam Perspektif Islam
Secara umum, selama ini orang membedakan ilmu umum dengan ilmu
agama, seperti “umum” untuk keduniawian dan”Agama” untuk keakhiratan.
Seakan-akan muncul berbagai partikel istilah seperti sekolah umum dan
sekolah agama. Kata “umum” untuk kehidupan dunia dan “Agama” untuk
persiapan hidup sesudah mati
Ilmu dalam persepektif Islam tidak berarti hanya mengkaji persoalan
tentang syari‟at agama. Oleh karena itu, pemaknaan al-Ghazali terhadap ilmu
semestinya tidak terbatas pada studi teologi dan hukum Islam, melainkan juga
mencakup semua kekayaan intelektual, warisan ulama Islam sejak abad
pertama Hijriyah. Para ahli sejarah mencatat, bahwa selama beberapa abad para
ilmuwan Muslim telah menerangi dunia dengan ilmu pengetahuan dan karya-
karya mereka merupakan referensi sangat berharga bagi kemajuan Eropa. Bagi
para ilmuwan Muslim era itu, dikotomi tidak perlu terjadi karena memang
mereka tidak melihat adanya suatu konflik antara tujuan ilmu dan agama, dan
menyakini bahwa agama maupun ilmu sama-sama mengantarkan manusia pada
pemahaman tentang kesatuan alam yang menjadi cermin keesaan dan
keagungan penciptaan-Nya (Farrukh, 1989: 36).
Sebagaimana dijelaskan diatas dalam Islam, sejak awal tidak pernah ada
distingsi atau perbedaan atau bahkan pengkotak-kotakkan demikian, hal ini
terjadi sejak daerah-daerah muslim dijajah, dan kaum penjajah mengarahkan
agar umat Islam, mengurangi kegiatan duniawi dan memberi porsi lebih bagi
persiapan hidup sesudah mati (Rohan, 2009: 317-318).
Islam menempatkan dan memberikan penghargaan yang sangat
istimewa terhadap ilmu, dengan tanpa melakukan diskriminasi dan membatasi
jenis ilmu pengetahuan itu sendiri. Dari hal tersebut, jelaslah bahwa segala ilmu
pengetahuan itu sendiri berasal dari zat Yang Maha Mengetahui Ilmu yakni
Allah Swt. Karena pada hakikatnya sumber-sumber ilmu tersebut berupa
wahyu, akal pikiran, intuisi adalah anugrah Allah yang indah dan tak ternilai
harganya yang diberikan kepada manusia (Nata, 2003: 70).
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya mengenai ilmu, Menurut M.
Quraish Shihab, kata „ilm dari segi bahasa berarti kejelasan, karena itu segala
yang terbentuk dari akar katanya mempunyai ciri kejelasan, selanjutnya bahwa
kata ilmu dengan berbagai bentuknya terulang sebanyak 854 kali (Shihab,
1997: 434). Sementara itu menurut Abdus Salam, dalam kitab suci al-Qur‟an
terdapat 750 ayat berbicara tentang ilmu atau setidaknya berbicara mencari
ilmu (Fathudin, 2000: 51). Selanjutnya dalam “Ensiklopedi al-Qur‟an Kajian
34
Kosakata dan Tafsirannya” ditemukan pula bahwa di dalam al-Qur‟an kata
ilmu dan turunannya (tidak termasuk al-a‟lam) (gunung-gunung), al‟alam
(bendera), ala‟mat (alamat)yang disebut sebanyak 76 kali) disebut sebanyak
778 kali (Ensiklopedi Al-Qur‟an, 1997: 150).
Mengingat bahwa segala ilmu atau pengetahuan yang dimiliki atau
didapatkan manusia hakikatnya adalah ilmu yang diberikan oleh Allah Swt.
Dan lebih dari itu ilmu yang diberikan adalah sebagai sarana untuk
kemaslahatan dan penuntun hidup manusia, baik di dunia maupun di akhirat,
maka penulis meyakini, bahwa tidak ada pembagian ilmu dunia dan ilmu
akhirat yang terkesan membedakan secara diameterial antara dua kepentingan
yang berbeda. Dengan demikian, yang ada hanyalah pembagian atau klasifikasi
atau jenis-jenis ilmunya saja.
Membicarakan tentang berbagai ilmu pengetahuan dan teknologi
dengan berbagai cabangnya mengharuskan adanya pembicaraan tentang
ontology, epistemologi, aksiologi. Ketiga macam yang berkaitan dengan ilmu
pengetahuan dan teknologi adalah sebagai berikut:
a. Sumber dan Metode Memperoleh Ilmu (Ontologi)
Dalam persepektif ontology, manusia tiada henti-hentinya terpesona
menatap dunia. Dengan demikian, sesorang akan terpanggil untuk brefikir
terhadap hal-hal yang bersifat metafisik, berasumsi, mencari peluang,
menginterpretasi beberapa asumsi dalam ilmu dan melakukan batas-batas
penjelajahan ilmu (Bidin, 2003: 66).
Bahwasanya sumber dari berbagai ilmu adalah Allah, karena Dia yang
membekali manusia dengan wahyu dan aqal, intusi dan pengalaman sebagai
sumber pengetahuannya (Imron, 2007: 55). Nampaklah sudah bahwa yang
dikatakan ilmu adalah segala sesuatu yang diketahui oleh manusia, yang
hakikat berasal dari Allah Swt. Dan dari pertama yang Allah turunkan tersebut,
diperoleh isyarat bahwa ada dua cara perolehan dan mengembangan ilmu, yaitu
bahwasanya Allah mengajarkan manusia tanpa pena yang belum diketahuinya.
Cara pertama adalah mengajar dengan alat atau atas dasar usaha manusia. Dan
cara kedua dengan mengajar tanpa alat dan tanpa adanya usaha dari manusia.
Walaupun berbeda, namun keduanya berasal dari satu sumber, yaitu Allah Swt.
(Shihab, 1997: 434). Allah yang memberi manusia akal budi (‟aql) sebagai
sarana untuk memperoleh ilmu agar dapat mengenal dan mengetahui realitas.
Manusia memperoleh ilmu dari berbagai macam sumber dan melaui jalan atau
cara. Tetapi semua ilmu pada akhirnya berasal dari Allah Yang Maha
Mengetahui. Al-Qur‟an dan Sunah merekomendasikan penggunaan berbagai
sumber atau cara untuk mendapatkan ilmu seperti: observasi dan eksperimen,
35
intuisi, penalaran, serta wahyu (Imron, 2007: 55). Dalam buku, Arguments for
Islamic Science, Ziauddin Sardar menyatakan bahwa konsep „ilm mencakup
hampir semua bentuk pengetahuan yang dihasilkan dari observasi murni hingga
pengetahuan metafisika yang paling tinggi. Dengan demikian, „ilm dapat
diperoleh melalui wahyu maupun akal pikiran, observasi maupun intuisi,
hingga melalui hadis maupun teori spekulasi (Sadar, 1984: 44).
Rosnani Hasim dalam Education Dualism, menekankan pandangan
dalam sumber ilmu sebagai berikut: “Secara singkat, Islam mengakui beberapa
sumber ilmu. Pertama, wahyu, adalah sumber tertinggi dan ilmu yang
diperoleh melalui sumber ini adalah pasti, tanpa sedikitpun keraguan-keraguan.
Kedua, intuisi, merupakan keutamaan bagi mereka yang secara sungguh-
sungguh mendalami suatu masalah atau isu-isu. Ketiga, akal pikiran atau
penalaran rasional, dan yang terakhir adalah pengalaman inderawi atau
observasi empiris” (Rosnani, 1996: 79). Sedangkan Abbudin Nata menekankan
bahwa pada umumnya sumber ilmu ada lima, yaitu alam semesta (ayat
kauniyah), perilaku manusia (ayat insaniyah), akal (al-ra‟yu), intuisi dan
wahyu (ayat qauliyah) (Nata, 2011: 211). Adapun sumber kelima sebagaimana
di atas adalah sebagai berikut:
1) Alam Semesta (ayat qauliyah)
Di dalam al-Qur‟an Allah Swt menyatakan:
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya
malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.
(Q.S. Ali „Imran: 190)
Pada ayat di atas memberi petunjuk yang berkenaan dengan berbagai
hal yang termasuk alam sebagai objek kajian ilmu pengetahuan, yaitu proses
penciptaan langit dan bumi dan peredaran waktu siang dan malam.
Dalam segi bahasa alam semesta (jagat raya) adalah segala sesuatu yang
selain Allah. Kajian terhadap berbagai benda jagat raya ini mengahasilkan sains
yang antara lain fisika, kimia, biologi astronomi, kedokteran, rafmakologi dan
berbagai cabang sains lainnya. Menurut pandangan Abbudin Nata, alam jagat
raya ini tak ubahnya sebagai buku raksasa yang harus dibaca, dan dengan
dibaca dalam arti diamati, diidentifikasi, diverifikasi, disimpulkan dan
dirumuskan menjadi teori ilmu pengetahuan (sains). Itulah sebabnya dalam
36
berbagai ayat al-Qur‟an, manusia diperintahkan untuk meneliti berbagai
fenomena alam jagat raya seperti fenomena peredaran matahari dan bulan,
siang dan malam, peredaran udara, cahaya, benda-benda ruang angkasa
lainnya, fenomena turun hujan, aneka macam tumbuh-tumbuhan dan tanaman,
aneka binatang ternak, buas, melata, fenomena laut dengan segala isinya,
fenomena gunung yang menjulang tinggi (Nata, 2011: 211). Sedangkan
menurut Murthada Muthahari, bahwa alam semesta merupakan salah satu
sumber pengetahuan. Dimaksud dengan alam adalah alam materi, alam ruang
dan waktu, alam gerakan, alam yang kini manusia hidup di dalamnya, dan
manusia memiliki hubungan dengan alam ini dengan menggunakan berbagai
indra manusia (Muthahhari, 2010: 72).
Jika para ilmuwan menyepakati bahwa alam sebagai sumber ilmu
pengetahuan, hal tersebut berbeda dengan Plato, yang tidak mengakui alam
sebagai sumber ilmu pengetahuan, karena hubungan manusia dengan alam
lewat perantara indra, dan sifat dan sifatnya particular, Karena ia mengakui
bahwa particular termasuk hakikat. Pada dasarnya ia memiliki ratio sebagai
sumber ilmu pengetahuan, dan dengan menggunakan metode argumentasi,
Plato menanamkan metode tersebut dengan nama dialektika (Muthahhari,
2010: 72.
Dalam pandangan Islam, berbagai fenomena alam adalam sebagai
ciptaan Tuhan, dan bukti keagungan-Nya, mengandung jiwa dan ruh walaupun
berbeda dengan jiwa dan ruh manusia, senantiasa berubah dan gerak secara
terus-menerus sesuai dengan hukum Allah (sunatullah), terikat dengan hukum
sebab dan akibat, sebagai teman dan sarana terbaik manusia atau dimanfaatkan
untuk kebutuhan hidup manusia dan rahasia yang menggambarkan keagungan
Allah Swt. (Langgulung, 1979: 55).
2) Fenomena Perilaku Manusia (ayat insaniyah)
Dalam al-Qur‟an, manusia disebutkan sebagai makhluk yang memiliki
kelengkapan fisik, panca indra, akal pikiran, intusi, dan dapat menerima ilham.
Selain daripada itu, disebutkan pula tentang proses dan asal-usul kejadiannya,
kedudukan fungsi dan tanggung jawabnya, akhir tujuan hidupnya, sifat dan
karakternya secra utuh. Manusia juga makhluk termulia dibandingkan hewan,
memiliki perbedaan dan persamaan antara satu dengan lainnya, memiliki
keluwesan sifat dan selalu dapat berubah-ubah.
Keadaan manusia yang demikian ini selanjutnya menjadi bahan kajian
yang menghasilkan ilmu-ilmu sosial seperti: keadaan tempat tinggal,
lingkungan, adat istiadat, kebudayaan, pola komunikasi, struktur sosial, pola
37
komunikasi dan interaksi, maju mundurnya, tingkat ekonomi, pendidikan,
kesehatan, dan masih banyak lagi. Dari hal tersebut maka munculah berbagai
ilmu sosial seperti: ilmu politik yang mempelajari gagasan, pemikiran, dan
praktik politik yang pernah dilakukan oleh manusia, ilmu antropologi, yakni
ilmu yang mempelajari asal-usul manusia, ilmu sejarah, yakni ilmu yang
mempelajari masa lalu manusia, ilmu pendidikan, yakni ilmu yang mempelajari
berbagai usaha yang dilakukan manusia dalam bidang pendidikan, ilmu
psikologi, yakni ilmu yang mempelajari gejala-gejala jiwa manusia (Nata,
2011: 213).
3) Akal (Ratio)
Para filosof pada umumnya banyak mengemukakan akal atau rasio
sebagai sumber ilmu pengetahuan. Plato misalnya meyakini sebagai sumber
pengetahuan, dan dengan menggunakan metode argumentasi, Plato menamakan
metode dan cara tersebut dengan nama dialektika (Muthahari, 2007: 73).
Akal dengan daya kemampuan yang dimilikinya dalam melakukan
renungan, repleksi, berspekulasi tentang sesuatu, untuk menemukan gagsan,
konsep, pemikiran, inti tentang sesuatu yang selanjutnya digunakan dasar untuk
membangun berbagi konsep yang terdapat dalam ilmu pengetahuan. Misalnya,
pemikiran atau gagsan tentang pemerintah dan bentuk negara misalnya dapat
digunakan untuk membangun konsep ilmu politik. Lalu hasil dari kerja akal
inilah yang nantinya kan melahirkan hikmah atau filsafat. Karena objek kajian
filsafat adalah bukan sesuatu yang bersifat empiris, atau beradasarkan pada
wahyu, maka filsafat berada dalam gray area (raung yang abu-abu) antara ilmu
pengetahuan dan agama. Ia juga tidak dapat disebut ilmu, karena ia tidak
memiliki syarat-syarat sebagai sebuah ilmu yang bersifat empiris, dan tidak
dapat pula sebagai agama.
Oleh sebab itulah dalam pengantar filsafat, Jujun S. Sumantri,
memberikan analogi tentang filsafat seperti pasukan mariner yang tugasnya
adalah hanya membuka wilayah untuk dimasuki pasukan lainnya, sedangkan
marinir itu sendiri tidak ikut masuk di dalamnya. Pada kesimpulanya,
filsafatlah yang melahirkan ilmu pengetahuan, tetapi filsafat bukanlah ilmu
pengetahuan berbagai ilmu yang dilahirkan oleh filsafat itu sendiri selanjutnya
bergerak dan berjalan terlepas dari filsafat dan dikendalikan berbagai
kepentingan seperti: ekonomi, politik, ideology, dan lain sebagainya. Berbagai
ilmu tersebut kemudian lupa dengan asal-usul dan tujuan kelahirannya
sebagaimana yang ditetapkan oleh filsafat. Ilmu yang demikian tak ubahnya
seperti kacang yang lupa pada kulitnya.
38
Dengan demikian, dapat diketahui, bahwa keberadaan akal sebagai
sumber pengetahuan masih dalam perdebatan antara yang menerima dan yang
menolak. Sebagian ada yang menerima akal selain sebagai alat, juga sebagai
sumber ilmu pengetahuan, bahkan akal inilah yang yang sesungguhnya dapat
melahirkan ilmu pengetahuan, dan bukan alam jagat raya. Pendapat ini antara
lain dipegang oleh Plato dan para pengikutnya. Namun ada juga yang didak
sependapat bahwa akal adalah sumber ilmu pengetahuan, melainkan akal hanya
sebatas alat saja.
4) Intuisi (Ilham)
Para ulama mengakui intusi sebagai sumber ilmu pengetahuan. Akan
tetapi keberadaan sumber ini ditolak oleh aliran Materialisme, karena
berpendapat bahwa: jika manusia meyakini hati sebagai suatu sumber
pengetahuan sedangkan manusia pada awalnya dilahirkan ia tidak memiliki
suatu pengetahuan apa pun, dan di dalam hatinya tidak terdapat suatu apapun,
manusia juga meyakini bahwa hati dapat menerima berbagai ilham dan
merupakan peringkat ilham yang paling sempurna, maka sama saja mengakui
adanya alam selain alam materi, karena materi tidak dapat memberikan
berbagai ilham seperti kepada manusia. Unsur ilham adalah unsur metafisika
(Muthahari, 2007: 78).
5) Wahyu (Ayat qauliyah)
Sejak awal diturunkannya al-Qur‟an, wahyu menyatakan dirinya
sebagai petunjuk (hudan), bukti kebenaran (burhan), obat penyakit jiwa (syifa).
Ayat-ayat dalam al-Qur‟an digunakan sebagai sumber bagi lahirnya ilmu
agama Islam, seperti tafsir, fikih, kalam, dalan lain sebagainya.
Selain itu, dengan sifat yang universal dan integrated, al-Qur‟an tidak
hanya mendorong bagi lahirnya ilmu agama Islam, melainkan juga ilmu-ilmu
lainya, sperti sains, ilmu sosial, filsafat, dan tasawuf atau hikmah. Namun
keterkaitan al-Qur‟an dengan berbagai macam ilmu nonkeagamaan isi sifatnya
hanya memberikan isyarat, arah, pedoman, dan prinsip-prinsip umum tentang
bagaimana ilmu-ilmu nonkeagamaan itu dikembangkan. Dengan kata lain,
bahwa jika dalam ilmu-ilmu keagamaan berisi uraian tentang berbagai masalah
yang berkaitan dengan keagamaan, seperti akidah, ibadah dan akhlak, maka
dalam ilmu umum muatan kajian ilmu agama Islam itu tidak didapati, akan
tetapi dikembangkannya ilmu umum agar tidak bertentangan dengan ilmu
agama. Oleh sebab itu antara ilmu umum maupun agama harus saling
melengkapi satu sama lainnya. Tujuannya daripada itu, agar membawa manusia
39
semakin meningkatkan akidahnya, makin tekun ibadahnya, makin mulia
akhlaknya, dan makin sejahtera hidupnya secara seimbang antara dunia dan
akhirat (Muthahari, 2007: 80).
b. Manfaat Ilmu (Aksiologi)
Menurut al-Qur‟an dan Hadits untuk menggunakan ilmu secara benar
dan memberi manfaat (aksiologi), maka ilmu itu harus disandingkan dengan
iman serta digunakan untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada
Allah dalam bentuk mengarahkan penggunaan ilmu tersebut, demi hal-hal yang
bermanfaat bagi manusia dan untuk mendukung hal-hal yang berdampak positif
bagi umat manusia.
Pada dasarnya ilmu-ilmu sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya,
lahir dalam rangka mensejahterakan kehidupan umat manusia. Misalnya, ilmu
alam bermanfaat bagi pemanfaatan sumber daya alam, sehingga alam tersebut
dapat dimanfaatkan dengan efisien dan efektif. Sedangkan ilmu sosial berguna
untuk menyusun berbagai rencana pengembangan sosial, ekonomi, budaya, dan
lain sebagainya untuk manusia (Nata, 2011: 219). Filsafat berguna untuk
menghaluskan jiwa manusia, dan ilmu agama berguna untuk membina moral
dan akhlak mulia. Lalu filsafat bermanfaat untuk memberikan landasan
pemikiran yang kokoh guna membangun berbagai kehidupan. Dengan adanya
implementasi semua ilmu ini, maka akan dihasilkan kesejahteraan yang
seimbang yang demikian itu dijumpai dalam sejarah Islam di zaman klasik
(Nata, 2011: 220).
Untuk mengetahui kegunaan filfasat ilmu atau untuk apa filsafat itu
digunakan, dapat dimulai dengan melihat filsafat sebagai tiga hal: Pertama,
filsafat ilmu sebagai kumpulan teori digunakan untuk memahami dan mereaksi
dunia pemikiran. Jika seseorang hendak ikut membentuk dunia atau ikut
mendukung suatu ide yang membentuk suatu dunia atau hendak menentang
suatu sistem kebudayaan atau ekonomi atau sistem politik, maka sebaiknya
mempelajari teori-teori filsafatnya (Bidin, 2003: 75-76). Kedua, filsafat sebagai
pandangan hidup. Dalam posisi ini, filsafat menjadi jalan kehidupan. Filsafat
dalam posisi yang kedua ini, semua teori ajarannya diterima kebenarannya dan
dilaksanakan dalam kehidupan. Singkatnya filsafat ilmu sebagai pandangan
hidupnya gunanya ialah untuk petunjuk dalam menjalani kehidupan. Ketiga,
filsafat sebagai metodologi dalam pemecahan masalah. Karakter dan sifat
filsafat, ia menyelesaikan masalah secara mendalam dan universal. Penyelesain
masalah secara mendalam artinya ia menyelesaikan masalah dengan cara
40
pertama-tama mencari penyebab yang paling awal munculnya masalah (Bidin,
2003: 78).
Dalam Wawasan al-Qur‟an, disebutkan dari wahyu yang pertama
diturunkan, sebenarnya sudah ditemukan petunjuk tentang pemanfaatan ilmu.
Melalui kalimat Iqra Bismi Rabbika, bahwas titik tolak atau motivasi daripada
pencarian ilmu dan tujuan akhir adalah haruslah karena Allah (Shihab, 1997:
439).
Sebagaimana Quraish Shihab mengutip pendapat Syaikh Abdul Halim
Mahmud, dalam memahami Bacalah demi Allah dengan arti untuk
kemaslahatan makhluknya. Bukanlah Allah yang membutuhkan sesuatu, tetapi
makhluklah yang membutuhkan Allah terhadap sesuatu (Shihab, 439-440).
Kemudian, dapat dikatakan karena pada hakikatnya Allah tidak membutuhkan
manusia, justru sebaliknya, manusia yang membutuhkan Allah, maka berarti
motivasi karena ada untuk Allah adalah motivasi dan upaya yang dapat
mendatangkan manfaat dan kemaslahatan untuk makhluk-Nya. Semboyan ilmu
untuk ilmu tidak dikenal dan tidak dibenarkan dalam Islam. Apapun ilmunya,
materi pembahasannya haruslah selalu bismi rabbika, atau dengan kata lain
harus bernilai rabbani. Sehingga, ilmu yang dalam kenyataan dewasa ini
terkesan rabbani.
Dengan demikian ilmuwan Muslim hanya akan mengeksplorasi ilmu
yang jelas-jelas memberikan manfaat dan kemaslahatan untuk umat manusia.
Mereka akan menghindari cara berfikir tentang bidang-bidang yang tidak
menghasilkan manfaat, apalagi hanya menghabiskan energy (Shihab, 1997:
439). Dalam kaitan ini, Rasulullah SAW sering berdoa: اللهن اي اعىذ بك هي علن ال يفع
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak
bermanfaat”.
Atas dasar inilah, berpikir atau menggunakan akal untuk
mengungkapkan rahasia metafisika, tidak boleh dilakukan. Jika ditinjau dari
sisi manfaat atas penerapan dan orientasinyanya, maka ilmu dibedakan menjadi
dua, yaitu: pertama, Ilmu yang diterapkan dan bermanfaat langsung untuk
kehidupan manusia di dunia. Ilmu dalam kelompok ini adalah yang jelas-jelas
langsung dirasakan dan dibutuhkan oleh manusia di dunia atau dibutuhkan
dalam masa hidupnya. Seluruh ilmu sains mencakup politik, ekonomi, sosial,
budaya dan kejiwaan adalah termasuk dalam kategori kelompok ilmu ini.
Kedua, Ilmu yang bermanfaat secara tidak langsung untuk kehidupan manusia
di dunia, tetapi untuk akhirat dan dimensi spiritual.
41
Ilmu dalam kelompok ini dikategorikan dengan ilmu-ilmu yang bersifat
non-materi dan hasil yang dirasakan tidak langsung untuk kehidupan manusia
di dunia atau semasa hidupnya. Ilmu ini lebih banyak berkaitan dengan agama
dan keimanan seseorang, seperti bagaimana dan mengapa manusia harus
beragama, harus percaya kepada Tuhan, percaya bahwa sesudah kematian akan
ada kehidupan dan pertanggung jawaban, percaya bahwa ruh itu ada dan akan
kekal setelah kematian serta akan kembali kepada Tuhan Yang Maha Pencipta,
dan lain-lain.
Islam memandang wahyu sebagai sumber ilmu yang primer, karena ia
berkaitan dengan kebenaran absolut. Hal tersebut bertolak belakang dengan
pandangan Barat yang menganggap bahwa semua ilmu diperoleh melaui indera
secara empiris. Ironinya, hal tersebut dianggap sebagai satu-satunya metode
dan sumber yang absah untuk memperoleh ilmu. Para ilmuwan Barat menolak
untuk menerima wahyu sebagai sumber ilmu dan menganggap sebagai “tidak
ilmiah” bahkan merendahkannya ketingkat mitologi atau takhayul.
Sebagaimana diungkapkan oleh Hossein Nasr, pandangan dunia Barat
modern, menolak untuk menganggap setiap pendapat ilmiah yang menjadi
pertimbangan serius, sepanjang menyangkut ilmu dan menolak untuk
menerima kemungkinan dari cara lain dalam memperoleh ilmu, seperti yang
diterima melalui wahyu (Nasr, 1993: 186). Sedangkan Osman Bakar
berpendapat bahwa metode ilmiah modern harus menggugurkan klaimnya yang
menjadikan satu-satunya jalan untuk mengetahui sesuatu. Kemungkinan cara-
cara lain memperoleh ilmu tentang alam semesta patut diakui (Bakar, 1988:
75). Oleh sebab itu, tidak terlalu berlebihan untuk menyimpulkan bahwa
sumber dan metode ilmu dalam Islam lebih konferhensif dari pendekatan Barat.
c. Mengembangkan Ilmu (Epistemologi)
Epistemologi membicarakan mengembangkan dan bagaimana cara
memperoleh pengetahuan sangat beragam. Aristoteles mengemukakan
pengertian epistemologi sebagai: suatu kumpulan yang sistematis dari
pengetahuan rasional denga obyeknya diri sendiri yang tepat”. Sedangkan
Milton D. Hunnez menyatkan bahwa epsitemologi adalah cabang filsafat yang
membahas tentang sifat dasar, sumber dan validitas pengetahuan. Jadi
epistemologi pada dasarnya merupakan wilayah evaluatif dan kritis tentang
pengetahuan (knowledge) manusia, sedangkan filsafat ilmu adalah kritis atas
ilmu pengetahuan (science). Pengetahuan manusia ada tiga macama, yaitu
pengetahuan sains, pengetahuan filsafat, dan pengetahuan mistik (Yusuf, diktat
mata kuliah Filsafat Ilmu, 2000: 3).
42
1) Metode Penelitian Ilmu Pengetahuan
Uraian sebagaimana pada pembahasan sebelumnya, menyatakan bahwa
dengan bersumber pada alam jagat raya akan dihasilkan sains (natural
sciences); dengan bersumber pada prilaku manusia akan dihasilkan ilmu-ilmu
sosial (social sciences); dengan bersumber pada akal, akan menghasilkan
filsafat, dan dengan bersumber pada hati (indra batin) akan menghasilkan
tasawuf, dan dengan bersumber pada wahyu akan dihasilkan ilmu agama.
Berbagai macam ilmu ini lahir karena menggunakan metode penelitian sebagai
berikut:
a) Penelitian Empiris dan Eksperimen
Penelitian empiris adalah penelitian yang bersifat induktif, yaitu dimulai
dari mengupulkan data-data melalui pengamatan, pencatatan, dan percobaan
terhadap berbagai fenomena alam raya, seperti: sistem tata surya, matahari,
bulan, bintang, benda-benda padat, benda-benda cair, ruang waktu, tumbuh-
tumbuhan, binatang, dan lain sebagainya, dapat diperoleh informasi tentang
hukum-hukum yang serba tetap yang ada di dalamnya. Hukum-hukum tersebut
kemudian diberi kode, identitas, symbol, dan logo, dituangkan dalam sebuah
rumus, dan direkonstruksi menjadi sebuah teori yang siap dibuktikan
kebenarannya. Teori-teori tersebut kemudian disusun secara sistemik,
komperhensif dan konsisten, sehingga dilahirkan ilmu-ilmu murni. Ilmu-ilmu
murni ini kemudian diaplikasikan ke dalam praktik atau kegiatan yang
melibatkan penggunaan alam jagat raya, dan diujicobakan di laboratorium, dari
peroses ini selanjtnya dihasilkan ilmu terapan, seperti ilmu kedokteran, ilmu
kesehatan, ilmu farmasi, ilmu astronomi, dan berbagai macam ilmu terapan
lainnya (applied sciences). Ilmu terapan ini kemudian dipadukan dengan
teknik, maka lahirlah teknologi. Yaitu penerapan teori-teori ilmu dalam praktik.
Penelitian empiris dan eksperimen ini dikenal dengan riset burhani dan
riset ijbari. Riset burhani adalah riset yang di dasarkan pada bukti-bukti
empiris yang dapat dilihat, diamati, dipegang, disentuh, diukur, ditakar,
ditimbang, dan sebagainya. Hasil riset burhani ini adalah ilmu-ilmu murni.
Sedangkan riset ijbari adalah riset yang bersifat uji coba, yakni menguji coba
kebeneran sebuah teori yang dihasilkan melalui riset burhani. Hasil riset ijbari
ini adalah ilmu terapan. Dalam riset ijbari terlebih dahulu harus didasarkan
pada hipotesis yang ingin dibuktikan.
b) Penelitian Sosial
Penelitian sosial adalah penelitian yang bersifat induktif, yakni di mulai
dengan mengumpulkan data-data fenomena kehidupan manusia dan
43
masyarakat, yakni fenomena kehidupan sosial, ekonomi, politik, budaya,
hukum, dan lain sebagainaya. Data-data tersebut dikumpulkan melalui
observasi, wawancara, angket, diskusi, dan sebagainya. Dalam penelitian ini
seorang peneliti tidak menetapkan hipotesis atau prakonsepsi lainnya. Data-
data yang dikumpulkan melalui berbagai cara tersebut dikumpulkan
sedemikian rupa, secara utuh dan komperhensif, kemudian didialogkan antara
satu data dengan data lainnya, kemudian dianalis dengan menggunakan
berbagai pendekatan ilmu-ilmu tersebut, atau berdasarkan kebijakkan,
kecenderungan, dan berbagai kepentingan lainnya. Dalam penelitian ini
terkadang dapat pula digunakan data-data yang bersifat kuantitatif dan
kualitatif.
Dalam tradisi Islam, penelitian sosial yang menghasilkan ilmu-ilmu
sosial ini dikenal dengan istilah riset istiqra‟ yaitu penelitian yang sifatnya
menetapkan atau menentukan atau merumuskan sebuah temuan berdasarkan
informasi yang dapat dikumpulkan dari lapangan (Nata, 2011: 218).
c) Penelitian Falsafi
Penelitian falsafi adalah penelitian yang dilakukan dengan cara
menggunakan akal (ratio) yang berkerja secara sistemik, radikal, universal,
mendalam, komperhensif, dan spekulatif, dalam rangka menemukan hakikat
atau inti tentang segala sesuatu. Untuk dapat berpikir secara sistemik ini, maka
digunakan bantuan ilmu logika, yaitu ilmu yang mengatur cara berpikir agar
terhindar dari kesimpulan yang keliru. Melalui penelitian ini dapat dihasilkan
filsafat tentang berbagai hal sebagaimana tersebut di atas.
Untuk mendapatkan ilmu filsafat harus menggunakan penelitian falsafi
atau nama lainnya adalah metode penelitian jaddali yang dilakukan dengan
cara berpikir sebagaiman di atas.
Secara harfiyah jaddali artinya perdebatan atau bantahan. Di kalangan
para ahli ada yang mengatakan bahwa filsafat berada pada gray area, yaitu
antara ilmu dan filsafat. Ia tidak dapat disebut ilmu karena kurang memenuhi
ciri-ciri ilmu. Yang sebenarnya adalah filsafat yang telah melahirkan ilmu.
Seperti pasukan marinir yang membuka jalan atau wilayah agar pasukan yang
lain dapat dimasuki. Akan tetapi setelah jalan terbuka dan pasukan lain pun
memasuki wilayah yang telah terbuka, marinir tidak ikut ke wilayah tersebut.
Filsafat adalah induk ilmu, namun setelah ilmu dilahirkan dan tumbuh besar,
ilmu melupakan filsafat, sebagaimana kacang melupakan kulitnya.
44
d) Penelitian Intuitif
Penelitian intiusi adalah penelitian yang dilakukan dengan cara
menggunakan indra batin, yakni an-nafs, ar-ruh, al-qalb, al-fuad, al-lub, as-sir,
al-zauq dan sebagainya yang dilakukan dengan cara membersihkannya dari
segala dosa dan maksiat, serta menyertainnya dengan akidah yang kokoh,
ibadah yang intensif baik yang wajib maupun yang sunah, wirid, zikir,
muhasab, muraqabah, mujahadah (tazkiyah al-nafs), sebagaimana yang
dialami Zunun al-Misri dan al-Gahazali, almahabbah sebagaimana yang dialam
Rabi‟ah al-Adawiyah.
Penelitian ini disebut juga metode penelitian irfani untuk mendapatkan
ilmu makrifat, yang dilakukan dengan melakukan riyadah dan mujahadah
disertai dengan pembersiahan diri dari dosa serta maksiat. Adapun penelitian
ini berupaya memproleh makrifat, isyrakiyah, muhubbah, ladunni, futuh, atau
wangsit yang dilakuakn dengan riyadah atau melatih diri dan
mengendalikannya dari perbuatan dosa. Untuk hanya mengingat, medekati,
mencintai Allah . Penelitian ini dilakukan oleh para ahli tasawuf yang hasilnya
ia sampaikan dalam ungkapan-ungkapan batin dalam bentuk syair yang mereka
susun berdasarkan pengalaman batin mereka.
e) Penelitian Penjelasan
Penelitian penjelasan adalah penelitian yang dilakukan dengan cara
memahami kandungan ayat al-Qur‟an dengan bantuan ilmu-ilmu al-Qur‟an,
ilmu bahasa Arab dengan berbagai cabang, ilmu istimbat, hukum, ilmu-ilmu
bantu yang relevan, ilmu sejarah dan sebagainya. Penelitian ini antara lain
dapat dilihat pada cara yang dilakukan para puqaha dalam menetapkan sebuah
hukum berdasrkan al-Qur‟an dan al-Sunah, para mufasir dengan metode
penafsirannya.
Paham determinisme, dikembangkan oleh William Hamilton dari doktrin
Thomas Hobbes, yang menyimpulkan bahwa pengetahuan adalah bersifat
empiris yang dicerminkan oleh zat dan gerak yang bersifat universal (Bidin,
2003: 68). Aliran flsafat ilmu ini merupakan lawan dari paham fatalism yang
berpendapat bahwa segala kejadian ditentukan oleh nasib yang telah ditetapkan
lebih dulu (Suriasumantri, 1990: 75).
Ilmu memberikan pengetahuan sebagai dasar bagi seseorang untuk
mengambil keputusan, dimana keputusan itu didasarkan kepada penafsiran
kesimpulan ilmiah yang bersifat realtif. Dengan demikian, maka kata akhir dari
suatu keputusan terletak pada ilmuan yang didukung teori-teori keilmuan.
Keputusan yang didasarkan pada penafsiran ini memerlukan asumsi terhadap
45
ilmu dan interpretasi yang mendalam. Untuk mengembangkan asumsi ini, maka
harus diperhatikan beberapa hal, yaitu: Pertama, asumsi ini harus relevan
dengan bidang dan tujuan pengkajian disiplin keilmuan. Kedua, asumsi ini
harus disimpulkan dari keadaan sebagaimana adanya, bukan bagaimana
keadaan seharusnya. Asumsi dalam kajian filsafat ilmu membantu batasan-
batasan penjelajahan. Ilmu memulai penjelajahannya pada pengalaman
manusia dan berhenti di batas pengalaman manusia. Ilmu diharapkan
membantu manusia, dan persoalan mengenai hari kemudian tidak akan
ditanyakan kepada ilmu, melainkan pada agama. Sebab agamalah pengetahuan
yang mengkaji masalah-masalah seperti itu (Anshari, 1987: 57). Oleh sebab itu,
ilmu tanpa (bimbingan moral) agama adalah buta, sedangkan agama tanpa ilmu
adalah pincang.
Tujuan pencarian ilmu dalam Islam adalah untuk memperoleh
kebahagiaan di dunia dan di akhirat (fi al-dunya hasanah wa fil akhirati
hasanah). Oleh sebab itu, tujuan pencarian ilmu tidak sekedar untuk
memperoleh manfaat materi atau memenuhi kebutuhan fisik saja, tetapi juga
untuk memenuhi kebutuhan moral dan spiritual yang bersifat ruhani.Tujuan
dari pencarian ilmu selaras dengan tujuan penciptaan manusia, yaitu untuk
mengetahui, ibadah dan untuk mencapai ridhla dan kedekatan dengan-Nya
(taqarrub). Seperti disimpulkan oleh Hazm, bahwa tujuan ilmu adalah untuk
memperoleh ridhla untuk mendekatkan diri kepada-Nya, serta untuk
memperoleh kesejahteraan di dunia yang meliputi manusia secara keseluurhan
(Chenje, 1982: 80).
Dengan demikian, tujuan dari pencarian ilmu adalah untuk membawa
manusia kepada fitrahnya yang asal, yakni menjadi manusia yang baik. Seperti
dinyatakan oleh Sayed M. Naquib al- Attas, bahwa tujuan dari pencarian ilmu
adalah untuk menanamkan kebaikan atau keadilan pada manusia sebagai
manusia dan diri pribadi, dan bukan hanya pada manusia sebagi warga Negara
atau bagian integral dari masyarakat (al-Attas: 1978: 141).
Berbagai faktor di atas mendorong kemajuan umat Islam dalam bidang
ilmu pengetahuan antara satu dan lainnya saling melengkapi. Berbagai faktor
ini, terutama yang berkaitan dengan tradisi ilmiah perlu ditumbuhkan kembali
dalam dunia Islam. Berbagai pandangan yang menganggap bahwa mempelajari
ilmu pengetahuan umum sebagai yang terlarang, haram dan mengikuti budaya
Barat, sama sekali tidak sesuai atau bertentangan dengan ajaran Al-Qur‟an dan
hadits serta peraktik kehidupan ulama shalih di zaman klasik. Pandangan
bahwa mempelajari ilmu pengetahuan sebagai terlarang dan mengikuti budaya
Barat sepintas dapat dimaklumi, karena yang menguasai ilmu pengetahuan dan
46
teknologi di masa sekarang adalah orang-orang Eropa dan Barat yang
mendasarkan ilmunya pada pandangan sekularistik dan antroposentris, yakni
hanya berdasarkan pada penalaran umat Islam semata, serta tidak melibatkan
landasan nilai moral, spiritual dan akhalak mulia (Nata, 2011: 373).
Lahirnya pandangan yang diharapkan, menganggap bahwa ilmu agama
dan ilmu umum adalah berasal dari Allah Swt. Oleh sebab itu, antara satu objek
dan kajiannya saja yang berbeda, sedangkan hakikatnya adalah ayat-ayat Allah
yang harus disandingkan. Hanya dengan pandangan integralistiklah umat Islam
akan mencapai kejayaan kembali sebagaimana yang terjadi di zaman klasik
dan dapat merebut kembali supermasi sebagai pemandu perkembangan
kebudayaan dan peradaban dunia. Inilah yang dijanjikan Allah Swt dalam Q.S
al-Mujadalah ayat 11.1
d. Faktor-faktor yang Mendorong Pengembangan Ilmu Pengetahuan
Terdapat sejumlah faktor yang mendorong umat Islam melakukan
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai berikut: Pertama,
Faktor ajaran Islam. Ayat yang pertama kali turun, yakni surat al-„Alaq ayat 1-
5 berisi perintah membaca dalam arti yang seluas-luasnya yakni membaca yang
tertulis dan yang tidak tertulis (al-Qur‟an), fenomena alam jagat raya dan
Fenomena sosial, dengan cara mengobservasi, mengenali, mencari unsur-unsur
persamaan dan perbedaan, menganalisis dan menyimpulkannya yang
selanjutnya menjadi teori dan dari teori dapat dirumuskan menjadi ilmu
pengetahuan. Selanjutnya di dalam hadis Rasulullah Saw. terdapat perintah
untuk menuntut ilmu.
طلب العلم فريضة على كلى مسلم وإن طالب العلم يستغفر له كل شيء حتى
)رواه ابن عبدالبر عن أنس(البحر الحيتا ن في Menuntut ilmu itu adalah wajib bagi setiap orang Islam, dan orang-
orang yang menuntut ilmu akan diampuni dosanya oleh segala
sesuatu, hingga binatang laut (Majah, 1995; 81, al-Albani, t.t; 7360).
Dengan tradisi membaca dan menulis ini, masyarakat Arab mengambil
alih pemandu kebudayaan dan peradaban dunia yang semula berpusat di
1 “Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-
lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan
untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan
meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu
pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (Q.S.
al-Mujadillah:11).
47
Mesopotamia, Yunani, Cina, India, Persia, Romawi dan Arkadia. Dunia Arab
khususnya dan dunia Islam dengan pusatnya Makkah, Madinah, Baghdad,
Spanyol dan Mesir, mengambil alih pemandu peradaban dunia yang
berdasarkan nilai-nilai al-Qur‟an dan Hadits (Nata, 2011: 370). Maka dari
sinilah lingkungan dan budaya yang ada di berbagai daerah di mana Islam
terus berkembang. Sebagaimana diketahui, bahwa Islam lahir di Makkah dan
berkembang di luar Makkah dan Madinah, seperti di Baghdad, Mesir dan
Persia, yang mana dimasa lalu pernah mengalami kemajuan dalam bidang ilmu
pengetahuan dan kebudayaan serta peradaban.
Adanya tradisi ilmiah yang sangat kuat, yaitu tradisi mencintai ilmu
pengetahuan, membaca, dan menulis, meneliti, membangun lembaga
pendidikan, mengoleksi buku, manuskrip dan membangun perpustakaan,
menerjemahkan manuskrip, mewakafkan tanah, dan segala sesuatu untuk
pendidikan, melakukan perjalanan ilmiah ke berbagai daerah yang jauh,
memberikan bantuan dan penghargaan kepada para penulis buku dan ilmuan,
menyebarkan ilmu keseluruh penjuru dunia, berdebat, berdiskusi, dan
berpendapat. Dengan tradisi ilmiah inilah yang demikian kuat, maka umat
Islam mencapai kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan
peradaban Islam (Nata, 2011: 210-214). Selanjutnya dalam ajaran Islam
mewajibkan pada seluruh penganutnya agar melakukan berbagai kegiatan
dalam bidang apa saja dengan berbasis pada ilmu pengetahuan yang dihasilkan
melalui bacaan, riset, dsb. Islam melarang penganutnya bersikap taqlid, yakni
mengikuti kebiasaan orang lain tanpa mengetahui dasar pengetahuan dan
menganggap bahwa setiap amal perbuatan yang tidak disertai ilmu pengetahuan
akan tertolak (Nata, 2010: 211-214).
Maka secara historis timbulnya dorongan untuk mengembangkan ilmu
pengetahuan karena hal-hal yang besifat pragmatis, yakni bahwa dalam rangka
membangun dan memakmurkan dunia Islam yang sudah demikian luas,
diperlukan sejumlah tenaga ahli dalam berbagai bidang untuk keperluan
membangun infrastruktur, sarana prasarana, sistem pemerintah, sistem
ekonomi, dan lain sebaginya. Untuk itu diperlukan tenaga ahli untuk
menterjemahkan karya-karya tulis dsb. Dengan kata lain, bahwa kemajuan
dalam bidang ilmu pengetahuan yang pernah dicapai dunia Islam di zaman
klasik adalah karena sikap keterbukaan, akomodatif, dan responsive terhadap
warisan dan ilmu pengetahuan dari luar dengan tetap berpegang dalam nilai-
nilai al-Qur‟an dan hadis.
Kedua, Adanya pandangan yang bersifat integrated, komperhensif, dan
holistis dalam memandang ilmu pengetahuan dengan agama. Umat Islam pada
48
waktu itu memandang bahwa mengembangkan ilmu pengetahuan merupakan
perihal agama yang bersifat ibadah dan amal shaleh. Mengembangkan ilmu
matematika, fisika, biologi, kedokteran, sosilogi, ekonomi dsb. Sebagaimana
perintah Tuhan yang bernilai ibadah. Mengembangkan ilmu pengetahuan
dengan mempelajari berbagai fenomena alam dan sosial adalah sama halnya
membaca ayat-ayat Allah yang bersifat kosmologis atau ayat-ayat yang bersifat
kauniah. (Al Mujam al-Mfaras li Alfadz Al-Qur‟an , t.t: 421-248).
Berbagai faktor di atas mendorong kemajuan umat Islam dalam bidang
ilmu pengetahuan antara satu dan lainnya saling melengkapi. Berbagai faktor
ini, terutama yang berkaitan dengan tradisi ilmiah perlu ditumbuhkan kembali
dalam dunia Islam. Berbagai pandangan yang menganggap bahwa mempelajari
ilmu pengetahuan umum sebagai yang terlarang, haram dan mengikuti budaya
Barat, sama sekali tidak sesuai atau bertentangan dengan ajaran Al-Qur‟an dan
hadits serta peraktik kehidupan ulama shalih di zaman klasik. Pandangan
bahwa mempelajari ilmu pengetahuan sebagai terlarang dan mengikuti budaya
Barat sepintas dapat dimaklumi, karena yang menguasai ilmu pengetahuan dan
teknologi di masa sekarang adalah orang-orang Eropa dan Barat yang
mendasarkan ilmunya pada pandangan sekularistik dan antroposentris, yakni
hanya berdasarkan pada penalaran umat Islam semata, serta tidak melibatkan
landasan nilai moral, spiritual dan akhalak mulia (Nata, 2011: 373).
Yang diharapkan ialah lahirnya pandangan yang menganggap bahwa
ilmu agama dan ilmu umum adalah berasal dari Allah Swt. Dan antara satu
objek dan kajiannya saja yang berbeda, sedangkan hakikatnya adalah ayat-ayat
Allah yang harus disandingkan. Hanya dengan pandangan integralistiklah umat
Islam akan mencapai kejayaan kembali sebagaimana yang terjadi di zaman
klasik dan dapat merebut kembali supermasi sebagai pemandu perkembangan
kebudayaan dan peradaban dunia.
49
Bagan 2.2: Konseptual Islam tentang Ilmu dan Penelitian
C. Pandangan Islam tentang Alam
Islam melihat alam bertasbih, saling terkait satu sama lain dengan
manusia. Alam juga berjiwa, ia akan merasa sedih jika ada manusia yang
merusak alam, sebagai contoh: ketika manusia menginjak rumput atau pohon
Tuhan
Al-Qur’an dan Hadits
Akal Wahyu I
l
m
u
Ilmu sains, alam,fisika
Tumbuh-tumbuhan
Hewan
Manusia
Makhluk ghaib Malaik
Jin
Syaitan
Metafisik (No-material)
Bulan
Matarahari
Bintang
Fisik (material)
Alam semsta yang terilmukan
Ilmu Pasti: Matematika
Ilmu Alam:
Fisika,Biologi,Astronomi,
Kedokteran, Kimia
Ilmu Sosial: Sosiologi,
Sejarah,
geografi,Antropologi Ilmu
Terapan:
Ekonomi
Metode
Ijbari
(Eksperie
men)
Hari akhir
50
apabila di tebang, ia akan mengeluarkan getah, hal tersebut sebagai respsentasi
bahwa pohon memiliki jiwa dan merasa sedih (mengeluarkan air mata) jika di
tebang rusak kelestariannya. Akan tetapi alam juga akan menjadi sahabat bagi
manusia, apabila ia di lestarikan, di manfaatkan dan di rawat, maka pohon akan
mengeluarkan bunga dan juga buah yang dapat dimakan oleh manusia, hal
tersebut adalah sebagai tanda trimakasih alam kepada manusia sebagai kholifah
di Bumi.
Alam mengandung ayat-ayat Allah (kauniyah) sebagai tanda
bahwasanya alam merupakan kebesaran Tuhan Yang Maha Kuasa, Menurut
Islam pandangan terhadap alam semesta bukan hanya berdasarkan akal semata.
Alam semesta difungsikan untuk menggerakkan emosi dan prasaan manusia
terhadap keagungan al-Khaliq, kekerdilan manusia di hadapan-Nya, dan
pentingnya ketundukan kepada-Nya. artinya, alam semesta dipandang sebagai
dalil qath‟i yang menunjukkan keesaan dan ketuhanan Allah.
1. Alam semesta adalah diciptakan untuk satu tujuan
Alam semesta ini tidak diciptakan berdasarkan permainan atau senda
gurau. Firman Allah:
Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di
antara keduanya dengan bermain-main. Kami tidak menciptakan
keduanya melainkan dengan haq, tetapi kebanyakan mereka tidak
mengetahui.”(Q.S.ad-Dukhaan:38-39)
2. Tunduknya semesta adalah takdir Allah.
Pandangan Islam terhadap alam semesta menimbulkan berbagai
dampak dalam bidang pendidikan, diantaranya adalah Firman Allah:
51
Dan suatu tanda (kekuasaan Allah yang besar) bagi mereka adalah
malam; Kami tanggalkan siang dari malam itu, Maka dengan serta
merta mereka berada dalam kegelapan. Dan matahari berjalan
ditempat peredarannya. Demikianlah ketetapan yang Maha Perkasa
lagi Maha mengetahui. Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-
manzilah, sehingga (setelah Dia sampai ke manzilah yang terakhir)
Kembalilah Dia sebagai bentuk tandan yang tua. Tidaklah mungkin
bagi matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat
mendahului siang. dan masing-masing beredar pada garis edarnya.
(Q.S. Yaasiin: 37-40)
Peredaran matahari dan bulan pada garis edarnya tidak akan
menyimpang dan tidak akan berbeda musimnya. Masing-masing berjalan
menurut sunah kauniyah yang telah diciptakan Allah dan selaras dengan
ketetapan Allah. Demikian pula dengan gerak kehidupan di bumi, Allah telah
memberikan penghidupan yang sesuai dengan kadar dan ketentuan. Dia telah
menurunkan sesuatu, hujan misalnya, kecuali menurut kadarnya. Kepada
manusia, Allah telah mengajarkan ihwal perhitungan melalui pergantian siang
dan malam, pergantian musim, dan bulan-bulan Komariyah.
Dan Kami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda, lalu Kami
hapuskan tanda malam dan Kami jadikan tanda siang itu terang, agar
kamu mencari kurnia dari Tuhanmu, dan supaya kamu mengetahui
52
bilangan tahun-tahun dan perhitungan. dan segala sesuatu telah Kami
terangkan dengan jelas. (Q.S. Al-Israa‟: 12)
Dari ayat-ayat di atas dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya, seluruh
ilmu hitung bertumpu pada pengulangan satuan bilangan yang sama dan
penambahan bilangan yang satu ke bilangan yang lainnya. Konsep tersebut
berlaku pada sistem penjumlahan, yang menambahkan berbagai kelompok
bilangan yang berbeda; sistem perkalian yang mengulang kelompok bilangan
yang sama; sistem pengurangan yang membuang salah satu satuan bilangan;
serta sistem pembagian yang membagian perkalian satuan bilangan sejenis dan
sama. Konsep tersebut melahirkan manusia-manusia yang pakar dalam bidang
aritmatika, aljabar, kalkulus, diferensial, atau kalkulus integral. Dengan
demikian konsep dasar bidang-bidang ilmu hitung itu lahir dari perhitungan
hari, bulan, dan tahun yang semuanya itu berkaitan erat dengan kekuasaan
Allah untuk menentukan rotasi bumi, bulan dan musim.
Dari gambaran di atas kita menemukan bahwa dalam mendidik
manusia, al-Qur‟an memiliki dua prinsip ilmiah yang melengkapi aspek
pasivisme, finalitas dan logika. Dua prinsip itu adalah: Pertama, Berulangnya
berbagai kejadian semesta melalui sunnah yang ditetapkan Allah. Dia yang
Mahaagung dan Mahatinggi berkuasa mengubah sunnah itu jika Dia kehendaki.
Prinsip itu merupakan landasan dalam berfikir ilmiah, dengan landasan itu,
manusia bereksploitasi dan berkreasi dalam segala fenomena peradaban.
Sesungguhnya sunnah-sunnah semesta dengan segala kejadian,
fenomena dan wujudnya, mulai dari yang berupa atom hingga yang terbesar,
merupakan ciptaan Allah yang diturunkan sesuai dengan kadarnya, tidak lebih
dan tidak kurang. Tidak ada satupun perkara yang melampaui batasan-Nya dan
merusak keseimbangan atau sistem lain yang berdekatan, baik dengan
mempengaruhi maupun dipengaruhi. Prinsip tersebut telah diambil oleh
ilmuwan Muslim dari al-Qur‟an dan dikembangkan dalam sains. Dalam
perkembangannya, ilmu-ilmu itu dikuasai oleh ilmuwan Eropa, terutama untuk
hal-hal yang berhubungan dengan metode berfikir ilmiah, kaidah ilmu modern,
dan logika. Prinsip inilah yang menunjukkan logika yang ilmiah, yaitu
melakukan observasi ilmiah berdasarkan analogi kuantitatif, bukan berdasarkan
deskripsi kualitatif. Dengan demikian, kita dapat mengembangkan akal secara
cermat dan mengambil segala sesuatu berdasarkan analogi.
53
3. Keteraturan semesta adalah kekuasaan Allah
Allah adalah penata sunnah semesta yang dengan topangan kekuasaan-
Nya, Dia menjalankan dan mengatur semesta sebagaimana ditegaskan dalam
firman-Nya:
Dan Dia menahan [benda-benda] langit jatuh ke bumi, melainkan
dengan izin-Nya…” (Q.S. al-Hajj: 65)
Manusia merupakan bagian dari alam semesta ini. Karenanya dalam
segala persoalan hidup dan matinya, manusia harus tunduk pada ketentuan
Allah, Penguasa tertinggi dan sunnah-sunnah ciptaan-Nya.
4. Alam semesta tunduk kepada Allah
Dari bahasan terdahulu, kita dapat menyimpulkan bahwa seluruh
semesta ini tunduk pada pengaturan, perintah, iradat dan kehendak Allah. Allah
menjelaskan hal itu dalam berbagai ayat:
Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih
kepada Allah. Dan tidak ada satupun melainkan bertasbih dengan
memujinya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka.
sesungguhnya Dia adalah Mahapenyantun lagi Mahapengampun.
(Q.S. al-Israa‟: 16-17)
Ketaatan dan ketundukan alam semesta membuktikan keagungan dan
kesucian Allah. Maka manusia yang berfikir dan berakal, lebih layak lagi untuk
mengakui nikmat dan karunia Allah, merasakan kebesaran-Nya, atau memuji
dan menyucikan-Nya dengan bertasbih. Inilah pendidikan manusia yang paling
mendasar.
5. Alam semesta ditaklukkan untuk manusia.
Agama Islam adalah agama yang istimewa. Melalui pengarahan bahwa
manusia telah diberi kekuasaan oleh Allah untuk memanfaatkan segala potensi
alam semesta ini. Yang jelas, Allah telah menaklukkan alam semesta bagi
54
manusia, mulai dari yang pengaruhnya besar, seperti matahari, hingga yang
pengaruhnya kecil, seperti atom dan lebah. Firman Allah:
Allah-lah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air
hujan dari langit, kemudian Dia mengeluarkan dengan air hujan itu
berbagai buah-buahan menjadi rezki untukmu; dan Dia telah
menundukkan bahtera bagimu supaya bahtera itu, berlayar di lautan
dengan kehendak-Nya, dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu
sungai-sungai. Dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu matahari
dan bulan yang terus menerus beredar (dalam orbitnya); dan telah
menundukkan bagimu malam dan siang. Dan Dia telah memberikan
kepadamu (keperluanmu) dan segala apa yang kamu mohonkan
kepadanya. dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat
kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan
sangat mengingkari (nikmat Allah). (Q.S. Ibrahim: 32-34)
55
Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu
dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh
langit. dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu. (Q.S. al-Baqarah: 29)
Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu.
dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda
(kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami (Nya), Dan Dia
(menundukkan pula) apa yang Dia ciptakan untuk kamu di bumi ini
dengan berlain-lainan macamnya. Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang
mengambil pelajaran. Dan Dia-lah, Allah yang menundukkan lautan
(untukmu), agar kamu dapat memakan daripadanya daging yang segar
(ikan), dan kamu mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang kamu
56
pakai; dan kamu melihat bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu
mencari (keuntungan) dari karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur.
Dan Dia menancapkan gunung-gunung di bumi supaya bumi itu tidak
goncang bersama kamu, (dan Dia menciptakan) sungai-sungai dan
jalan-jalan agar kamu mendapat petunjuk, dan (dia ciptakan) tanda-
tanda (penunjuk jalan). dan dengan bintang-bintang Itulah mereka
mendapat petunjuk. Maka Apakah (Allah) yang menciptakan itu sama
dengan yang tidak dapat menciptakan (apa-apa) ?. Maka mengapa
kamu tidak mengambil pelajaran. Dan jika kamu menghitung-hitung
nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya.
Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. (Q.S an-Nahl: 12-18)
Sebagaimana ayat di atas dapat juga dikatakan bahwa alam dapat
membawa manfaat bagi manusia, Allah telah menundukkan malam dan siang,
matahari dan bulan, bintang-bintang untuk manusia dengan perintah-Nya. Hal
tersebut sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda
(kekuasaan Allah). Dan Allah jugalah menundukkan lautan untuk umat
manusia agar dapat memakan daripadanya ikan, dan mengeluarkan dari lautan
itu perhiasan yang dapat dipakai manusia dalam berhias. Oleh karena itu sudah
sepantasnya manusia supaya dapat bersyukur.
Dan Allah menancapkan gunung-gunung di bumi supaya bumi itu tidak
bergoncang, lalu Allah menciptakan sungai-sungai dan jalan-jalan agar
manusia mendapat petunjuk, dan juga menciptakan tanda-tanda penunjuk jalan
dengan bintang-bintang. Setiap ayat yang diturunkan sejak 14 abad silam,
menuturkan pemanfaatan sinar matahari, cahaya bulan, tenaga angin, cahaya
bintang, gunung-gunung, lautan, dan segala perkara yang telah ditundukkan
Allah bagi manusia dan Allah pun telah memberikan kunci-kuncinya kepada
manusia. Dan jika dilihat dari segi pendidikan, al-Qur‟an telah mendidik
manusia dalam pemanfaatan alam semesta melalui cara yang tidak
menyesatkan atau melampaui batas. Dengan demikian pemanfaatan tersebut
mengotori air sungai, tidak berlebihan dalam memanfaatkan satwa lautan, serta
tidak mendhalimi saudaranya lewat permusuhan atau dusta.
Sebagaimana ayat-ayat Allah di atas terlihat jelas, bahwa alam di
tundukkan kepada manusia agar mereka dapat berpikir dengan akal sehatnya,
terdapat keagungan Allah. Oleh karena itu manusia harus dapat memanfaatkan
alam sebaik mungkin dan tidak boleh di ekploitasi untuk kepentingan pribadi,
agar alam senantiasa dapat terus membrikan manfaatnya untuk kelangsungan
57
hidup manusia. Jika tidak, maka alam jugalah yang akan memberikan dampak
yang tidak baik untuk manusia, seperti pemanasan global yang sudah
meresahkan masyarakat.
Ayat-ayat di atas dan juga ayat lain yang sejenis mendorong manusia
untuk melembutkan hati, memuji Allah, menyukuri nikmat Allah, bertasbih
kepada Allah, dan bertauhid kepada Allah, serta mampu mendidik daya afeksi
dan emosional manusia untuk tunduk kepada Allah. Selain itu melalui ayat
tersebut, akal manusia terdidik untuk terbiasa dalam kondisi ilmiah. Artinya
kita menggunakan prinsip praktis dan penggunaan kaidah-kaidah ilmiah dalam
mengolah potensi alam untuk kesejahteraan manusia.
Ketika manusia melihat alam begitu mengagumkan, maka alam pun
disembah sebagaimana pada masyarakat Mesir kuno misalnya, dengan sifat
keprimitifannya, jika sungai Nil menjadi kering maka mereka berupaya
memberikan pengorbanan berupa wanita-wanita cantik untuk diberikan kepada
alam untuk dikorbankan, agar alam kembali memberikan manfaat pada
masyarakat Mesir kuno lewat sungai Nil tersebut.
Akan tetapi jika melihat sisi Tauhid, sangat bertentangan sekali dengan
Islam, bahwasanya Islam tidak mengajarkan sebagaimana pada masyarakat
Mesir. Tetapi pada prinsipnya sama, bahwa alam dapat di manfaatkan guna
kelangsungan hidup orang banyak.
Ilmu adalah hasil usaha manusia dalam menentukan kebenaran, akan
tetapi ilmu sifatnya tidak mutlak, karena ia adalah hasil pemikiran manusia,
oleh sebabi itu ilmu dapat juga salah. Jadi dapat disimpulkan bahwa ilmu
mengandung kebenaran dan juga kesalahan.
Ilmu menggunakan bahan-bahan yang diciptakan oleh Tuhan, agar
manusia dapat menggunakannya dengan bijak untuk memashlahatan umat
manusia dimuka Bumi. Ilmu alat untuk bisa dekat dengan Tuhan, untuk bisa
berbuat baik pada manusia. Oleh karenanya ilmu saling terkait antara, manusia,
alam dan Tuhan.
Ilmu alam adalam bersifat empiris dan juga rasional, sebagai contoh
ilmu alam yang bersifat empiris: apabila ada tanaman yang ditanam, yang
ditanam dengan perawatan menggunakan pupuk dan air yang cukup, maka
tanaman tersebut akan tumbuh subur, dan akan menghasilkan buah yang
banyak hal tersebut dapat diterima oleh akal, lalu ada tanaman yang diberi
pupuk dengan yang tidak dapat diketahui perbedaannya sangat jelas. Oleh
karenanya ilmu alam dapat memperkuat sendi-sendi keilmuan yang
berdasarkan pada Tauhid.
58
D. Pandangan Islam tentang Dikotomi Ilmu
Jika dilihat dalam pesepektif Islam, adakalanya persepektif tersebut
ditinjau dari perspektif al-Qur‟an dan hadits, karena dua hal tersebut
merupakan sumber hukum utama umat Islam. Oleh karenanya, jika melihat hal
tersebut yakni dikotomi ilmu dari tinjauan perspektif Islam, berarti sama halnya
menyoroti dari tinjauan al-Qur‟an dan hadits.
Al-Qur‟an dan al-Hadits sesungguhnya tidak membedakan antar ilmu
Agama dan Islam dan Ilmu-ilmu Umum.Yang ada dalam al-Qur‟an adalah
ilmu. Pembagian adanya ilmu agama Islam dan Ilmu-ilmu Umum adalah
merupakan hasil kesimpulan manusia yang mengidentifikasi ilmu berdasarkan
sumber objek kajiannya (Nata, 2003: 69).
Dalam Islam, sejak dahulu tidak pernah ada perbedaan atau
pengkotakan demikian, hal ini terjadi sejak daerah-daerah muslim di jajah oleh
kaum penjajah Belanda dengan mengarahkan agar umat muslim mengurangi
kegiatan duniawi dan memberi persiapan lebih bagi persiapan hidup sesudah
mati (Rohan, 2009: 317-318).
Sedangkan dalam ajaran Islam sendiri, sikap dikotomis terhadap ilmu
dalam arti yang berlebihan, bahkan diskriminatif, bukan saja tidak didapati
justru dalam al-Qur‟an dan Hadits, akan tetapi yang didapati justru sebaliknya,
yakni bertentangan dengan pesan suci Tuhan yang memunculkan konsep ilmu
yang integral dari al-Qur‟an dan Hadits itu sendiri. Bahkan al-Qur‟an dan
Hadits sama sekali tidak melakukan diskriminasi dalam menyebut dan
menganjurkan pendalaman ilmu pengetahuan ke dalam sebutan ilmu agama
dan ilmu umum (ilmu non-agama).
Sedangkan menurut Husni Rahim mengatakan tentang masalah
dikotomi dalam pendidikan agama dan pendidikan umum sebagai berikut:
Munculnya masalah ini berawal dari keyakinan bahwa agama adalah
langsung dari Tuhan, sedangkan ilmu adalah hasil pemikiran manusia.
Keyakinan ini berkesimpulan bahwa agama adalah bersifat mutlak
nisbi. Agama bertitik tolak dari keyakinan atau keimanan, sedangkan
ilmu justru dimulai dengan keraguan dan ketidak percayaan. Seluruh
ayat al-Qur‟an merupakan sumber ajaran utama agama Islam. Secara
harfiyah diyakini datangnya dari Tuhan Yang mempunyai kebenaran
mutlak. Akan tetapi terjemahan atau penafsirannya oleh manusia
bersifat nisbi, yang dapat berkembang sesuai dengan perkembangan,
kondisi dan situasi kehidupan manusia, termasuk di dalamnya berbagai
ilmu agama yang meliputi ilmu tafsir, ilmu hadits, fiqih, ilmu tauhid dan
sebagainya (Rahim, 2005: 29).
59
Menurutnya pula, berdasarkan pengamatannya bahwa sebagian besar
materi pendidikan agama Islam terdiri dari ilmu-ilmu ciptaan ulama Islam,
maka dapat dinyatakan bahwa yang jelas–jelas merupakan ibadah mahdoh atau
ibadah wajib, serta ayat-ayat al-Qur‟an (Qath‟i), berdasarkan ajaran agama
terutama yang menyangkut kehidupan masyarakat (Mu‟amalah) dapat
dikembangkan sesuai zaman (Rahim, 2005: 30).
Segala ilmu pengetahuan seluruhnya pada hakikatnya berasal dari
Allah, karena sumber-sumber ilmu tersebut berupa wahyu, atau pun alam jagat
raya, manusia sebagai makhluk yang diberikan akal pikiran dengan segala
intuisi batin yang diberikan oleh Allah. Dengan demikian para ilmuwan dalam
berbagai bidang pun sebenarnya bukan pencipta, melainkan hanya penemu
saja, sedangkan penciptanya tetap Allah. Atas dasar pandangan tauhid tersebut
maka seluruh ilmu hanya dibedakan dalam nama dan istilahnya saja, sedangkan
hakikatnya dan subtansi ilmu tersebut sebenarnya satu dan berasal dari zat
Allah SWT. Atas pandangan ini, maka tidak ada pandangan dikotomis yang
mengistimewakan antara satu ilmu atas pelbagai ilmu yang lainnya.2
Selanjutnya, bukti bahwa al-Qur‟an dan Hadis tidak mengenal adanya
pemisahan antara ilmu agama dan ilmu umum. Hal ini dapat dipahami dari
uraian sebagai berikut:
Pertama, di dalam ajaran Islam setiap penganutnya dianjurkan agar
meraih kebahagiaan hidup yang seimbang antara akhirat dan dunia. Hal ini
misalnya dapat di pahami dari ayat al-Qur‟an dan hadis sebagai berikut:
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan
2 Pandangan dikotomis ilmu pengetahuan sebenrnya tidak dikenal oleh Islam .sejak
dahulu Islam tidak memberikan merek atau label nama terhadap ilmu yang dihasilkan dengan
sebutan Islam. Islam hanya memberikan nama pada objek yang sesuai dengan subtansi, seperti
Teologi, Fiqih, Tasawuf dsb. Sedangkan dikotomi yang ada di Indonesia adalah buah tangan
dari colonial Belanda yang berpandangan skularistik, yaitu pandangan yang memisahkan antara
urusan agama dengan urusan keduniaan.
60
bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada
orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan
janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”
(Departemen Agama R.I, 2005: 385).
Islam adalah rahmatanlil‟alamin (rahmat untuk semua alam), tuntunan
hidup bagi manusia secara universal. Dengan diturunkanya agama Islam
kepada umat Islam, tidak lain adalah untuk kesejahteran hidup umat Islam itu
sendiri, bukan saja di peruntukkan di dunia, akan tetapi diperuntukan di alam
keabadian yakni akhirat kelak. Untuk mendaptkan ksejahteraan hidup, tentunya
dengan sebuah ajaran agama Islam, dan dalam sebuah ajaran agama tentunya
terdapat ilmu, dan ilmu merupakan esensi atau nilai yang berharga bagi
kehidupan manusia.
Dengan adanya konsep diatas, jelas sekali bahwa Islam mendasarkan
ajaranya kepada semua ilmu yang dapat memberikan kebaikan dan
kesejahteraan untuk dunia dan akhirat. Bahkan jika di runtutkan bahwasanya
sikap dikotomis terhadap ilmu merupakan sikap kontradiktif dengan ajaran
agama Islam itu sendiri. Tujuan diturunkan agama kepada manusia pun adalah
untuk kesejahteraan hidup manusia sebagai khalifah (pemimpin), sekaligus
hamba Allah di muka bumi ini dalam menumbuhkan diri manusia sesuai
dengan fitrahnya. Hal tersebut memberi isyarat bahwa manusia berkewajiban
menumbuhkan kesadaran akan kedudukannya sebagai makhluk yang mulia dan
yang terbaik. Dengan konsep ini pula sangat jelas bahwa Islam mendasarkan
ajarannya pada integrasi ilmu yang dapat memberikan kebaikan dan
kesejahteraan untuk dunia dan akhirat.
Dalam Islam juga ada nilai-nilai dualisme ontologik ilmu pengetahuan
yaitu qauliyah dan kauniyah bermuara pada kemaslahatan umat manusia dalam
membangaun peradaban semangat tauhid. Akan tetapi, dualisme ontologik
dalam doktrin Islam tersebut tidak sampai memunculkan dikotomi ilmu
pengetahuan atau bahakan menempatkan dua varian ilmu pengetahuan pada
suksesi supertioritas dan inferioritas yang akhirnya pada pelabelan hukum ilmu
itu sendir (Soebahar, 2009: 36).
Kemudian, jika ditelusuri didalam al-Qur‟an dan hadits tentang ilmu,
justru akan didapati betapa Allah dan Rasul-Nya sangat menghargai ilmu dan
orang yang mempelajari serta memiliki ilmu pengetahuan dengan tidak
61
membedakan dan membatasi jenis ilmunya. Bahkan, Allah memberikan
kedudukan terhormat kepada mereka yang beriman dan berilmu.3
Rasulullah juga sangat menghargai ilmu pengetahuan melalui beberapa
ungkapan penghargaan, juga dengan tidak membedakan dan membatasi jenis
ilmu pengetahuannya. Rasulullah bersabda sebagai berikut:
طلب العلن فر يضة على كل هسلن و هسلوة “Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim, laki-laki
maupunperempuan (al-Hasyimy Bek, 1948: 206).
ة جه علوا سهل اهلل به طريما الى الهي سلك طر يما يلتوس في Barangsiapa merintis suatu jalan untuk mencari ilmu, maka
Allahakan memudahkan baginya jalan menuju surga. (al-Hasyimy Bek,
2005: 301).
Para ulama-ulama Islam tidak hanya membahas masalah-masalah
keagamaan dengan berpegang pada wahyu saja, akan tetapi melalui akal.
Menurut Azumardi Azra, fungsi akal yang besar dipergunakan dalam
pembahasan masalah-masalah keagamaan dijumpai bukan hanya dalam bidang
filsafat, tauhid atau teologi dan fiqih. Bahkan dalam pengembangan peradaban
Islam sendiri, akal sangat memainkan peran penting. Salah satu contohnya
adalah kontak pemikiran Islam dengan pemikiran-pemikiran lainnya, seperti
pemikiran Yunani, Persia, Cina, dan India, membawa pada pengembangan
kebudayaan Islam menjadi lebih maju, Islam mengambil bagian-bagian tertentu
dari pemikiran tersebut, kemudian disesuaikan dengan ajaran agama Islam,
sehingga menyatu dengan kebudayaan Islam secara keseluruhan (Azra, 1998:
50-52).
Berdasarkan uraian tersebut di atas terlihat dengan jelas bahwa al-
Qur‟an dan hadits memiliki pandangan yang integrated, baik pada dataran
ontologis, epistemologis, maupun aksiologis. Pandangan ini jauh lebih unggul
dibandingkan dengan pandangan pengembangan ilmu-ilmu pengetahuan yang
dikembangkan di Barat yang bersifat pasial, tidak utuh dan tidak kokoh,
sehingga mudah sekali ilmu-ilmu tersebut digunakan untuk tujuan-tujuan yang
dapat menghancurkan harkat dan martabat manusia (Mujieb, 2009: 39-43). Jika
diitinjau dari sisi materi obyeknya, maka ilmu dibagi menjadi dua, yaitu:
3Departemen Agama R.I, Al-Qur‟an Madinah Terjemah dan Tajwid Tafsir Ibnu
Katsir, Surah al-Mujadilah : 11. Lihat juga, Q.S al-Fathir (35) ayat 28, Q.S, al-Zumar (39) ayat
9, Q.S. al-Ra‟du (13) ayat 16 dan Q.S. Hud (11) ayat 24.
62
1. Obyek ilmu yang bersifat materi
Obyek ilmu materi adalah obyek ilmu yang dapat didengar, dilihat
atau dirasakan. Contohnya adalah ilmu-ilmu dalam kategori alam nasut
(alam materi). Artinya alam dunia, yakni alam yang dihuni oleh manusia
yang disebut alam al-Mulk, “alam kekuasaan”. Alam nasut merupakan
alam kasat mata atau alam syahadah. Dan alam malakut (alam kejiwaan)
yaitualam kegaiban, merupakan alam jin, yang sebagian menjelma dari
intelek. Oleh karena itu, jin berpotensi mencapai pengetahuan Allah Swt.
Wahyu yang disampaikan ke alam manusia (alam Nasut), juga
disampaikan ke alam Malakut, seperti sains yang ada sekarang, mencakup
ilmu eksak (ilmu pasti) dan non eksak (seperti politik, ekonomi, sosial
budaya dll).
2. Obyek Ilmu yang bersifat non-materi
Obyek ilmu non-materi adalah obyek ilmu yang tidak dapat
didengar, dilihat, ataupun dirasakan. Hasil akhir dari obyek ilmu non-
materi biasanya lebih dirsakan sebagai kepuasan spiritual berupa
ketenangan jiwa, perasaan nyaman, motivasi keyakinan, dan
sejenisnya.Contoh obyek ilmu non-materi misalnya obyek yang
membicarakan tentang ruh (alam jabarut) (Mujieb, 2009: 42)4, sifat-sifat
ketuhanan (alam lauhut)5 dan wujud Tuhan (alam hahut).
Adapun terjadinya dikotomi antara ilmu agama Islam dengan ilmu
umum antara lain karena adanya perbedaan pada dataran ontology,
4 Alam Jabarut adalah alam kekuasaan Allah Swt. Alam ini juga merupakan realitas
yang disebut “singgasana” (al-Arsy). Hal ini merupakan bagian supraformal atau manifestasi
kemalaikatan, yang diliputi dan terdiri dari ciptaan formal, sedang ia sendiri di liputi oleh
being, dan being di balik being. Alam Jabarut telah menjadi bagian dari ciptaan, namun masih
belum menggambarkan alam nyata. Alam Jabarut merupakan kehidupan surgawi setelah
kehidupan ini, namun bukan sebagai Jannah al-Zat, “surga tertinggi”, atau surga esensi. 5 Lahut berasal dari kata al-llah atau “Ketuhanan”. Lahut adalah being dan “pribadi
Tuhan”. Alam ini terkadang disebut pula dengan alam „Izzah (alam keagungan). Sebagai
bagian dari nama-nama sifat Allah Swt. Ia merupakan al-Khaliq (pencipta) dalam kaitannya
dengan dunia, dan sebagai “Tuhan Pribadi” , yang mendengarkan permohonan, yang
mematikan, yang menghidupkan, yang mencipta, yang menerima tobat. Ia mestilah
memperkukuh apa yang diakui dalam Islam sebagai yang Absolut atau Hatut, dan bahkan
memperkokoh keunikkan-Nya. Bahkan tanpa keberadaan Tuhan sebagai pencipta, mustahil
wujud dunia, dan tanpa keberadaan Tuhan sebagai pemberi wahyu niscaya tidak ada
pengetahuan. Sebagimana tersirat dalam Q.S.al_Qalam, “Allah berfirman kepada qalam.
“Tulislah!” Pena lalu bertanya, “Apa yang mesti saya tulis?” Allah Swt. Menjawab, Tulislah
pengetahuan Ku mengenai ciptaan-Ku, hingga datang hari kebangkitan.”.
63
epistemology, dan aksiologi kedua bidang ilmu pengetahuan tersebut.
Sebagaimana diketahui bahwa Ilmu agama Islam bertolak dari wahyu yang
mutlak benar dan dibantu dengan penalaran yang dalam proses penggunaannya
tidak boleh bertentangan dengan wahyu. Sementara itu ilmu pengetahuan
umum yang ada selama ini berasal dari Barat dan berdasarkan pada pandangan
filsafat yang ateistik, materialistic, skularistik, empiristik, rasionalistik, bahkan
hedonistic. Dua hal yang menjadi dasar kedua bidang ilmu ini jelas amat
berbeda, dan sulit dipertemukan (Nata, 2003: 4).
E. Dualisme Keilmuan dalam Pendidikan Islam
Pendidikan adalah suatu usaha sadar dan teratur serta sistematis, yang
dilakukan oleh orang-orang yang bertanggung jawab, untuk mempengaruhi
anak agar mempunyai sifat dan tabiat sesuai dengan cita-cita pendidikan.
Agama Islam adalah agama yang bersumber pada wahyu Allah Swt. yang
diturunkan kepada seluruh umat manusia melalui Nabi Muhammmad SAW
untuk mengatur tata hidup manusia, baik hubungan dengan.
Ahmad Tafsir dalam bukunya lmu pendidikan dalam persepektif Islam,
menyebutkan bahwa:“pendidikan Islam adalah bimbingan yang diberikan oleh
seseorang kepada orang lain agar ia berkembang maksimal sesuai dengan
ajaran Islam” (Tafsir, 1994: 32).
Muhammad Isa Ibrahim menyatakan bahwa: “pendidikan Islam pada
hakekatnya merupakan sistem pendidikan yang memungkinkan seseorang yang
dapat mengarahkan kehidupannya sesuai dengan cita-cita Islam, sehingga
dengan mudah ia dapat membentuk hidupnya sesuai dengan ajaran Islam”
(Arifin, 1993: 3).
Sedangkan menurut Ahmad D. Marimba: “pendidikan Islam adalah
bimbingan jasmani, rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju
kepada terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam”
(Uhbiyati, 1988: 9).
Pendidikan Islam adalah pendidikan yang bertujuan untuk membentuk
pribadi muslim seutuhnya, mengembangkan seluruh potensi manusia baik yang
berbentuk jasmaniah maupun rohaniyah, menumbuh suburkan hubungan
harmonis setiap pribadi kepada Allah, manusia dan alam semesta. Dengan
demikian, pendidikan Islam itu berupaya unuk memahami hakikat pendidikan
Islam itu bertolak dari pemahaman terhadap konsep manusia menurut Islam.
Serta sifat-sifat atau hal-hal yang melekat pada pendidikan Islam yang
digunakan sebagai dasar manusia untuk mencapai tujuan hidup manusia yang
selalu mengabdi kepada Allah Swt. (Aziz, 2012: http : //www.pdf.finder.com.)
64
Bila disimpulkan pendidikan Islam akan mempunyai pengertian yaitu
bahwa pendidikan Islam merupakan proses transformasi ilmu pengetahuan dan
internalisasi nilai-nilai ajaran Islam pada peserta didik melalui pertumbuhan
dan pengembangan potensi guna keselarasan hidup dalam semua aspek.
Menurut Armai „Arif dalam Athiyah al Abrasyi, dalam lintas sejarah
umat Islam, pada masa-masa awal kehadiran Islam di dataran Makkah, dengan
tokoh utamanya adalah Nabi Muhammad Saw, persoalan di dunia
kependidikan Islam masih amat bersahaja. Nabi Muhammad Saw., misalnya
mengajarkan Islam kepada para sahabatnya tidak dalam forum khusus dan
formal, seperti ketika dilangsungkannya pengajaran tentang Islam di rumah al-
Aqra. Pengajaran yang diberikan oleh Nabi Muhammad Saw. pada masa itu
lebih bersifat pendidikan individual atau personal yang menekankan pada
aspek kognitif. Materi yang diajarkan terfokus pada persoalan-persoalan
keagamaan murni sesuai dengan yang diterima dari Allah Swt. (al-Abrasy ,
1975: 90).
1. Paradigma Signifikansi Integrasi Keilmuan
Maraknya kajian dan pemikiran integraisi keilmuan (Islamisasi ilmu
pengetahuan) sangat kental di bicaran oleh kalangan intelektual muslim, seperti
Naquib al-Attas dan Ismail Raji‟ al-faruqi, tidak terlepas dari kesadaran
berislam di tengah kemajuan ilmu teknologi. Mereka berpendapat bahwa umat
Islam akan maju dan dapat menyusul Barat, manakala mampu
mentransformasikan ilmu pengetahuan dalam memahami wahyu, atau
sebaliknya, mampu memahami wahyu untuk mengembangkan ilmu
pengetahuan (Djakfar, 2002: 235-4).
Integrasi keilmuan al-Farabi dimanifestasikan dalam hierarki keilmuan
yang dibuatnya. Ia menyebut ada tiga kriteria dalam penyusunan hierarki ilmu:
Pertama, berdasarkan kemuliaan subjek ilmu. Dari sini al-Farabi memandang
bahwa astronomi memenuhi criteria materi subjek yang mulia karena dengan
benda-benda yang paling sempurna, yaitu benda-benda langit atau benda-benda
angkas. Kedua, kedalaman bukti-bukti yang didasarkan bukti-bukti yang
didasarkan atas pandangan tentang sistematika pernyataan kebenaran dalam
berbagai ilmu yang ditandai oleh perbedaan drajat kejelasan dan keyakinan.
Menurut kriteria ini, metode penemuan dan pembuktian kebenaran beberapa
ilmu lebih sempurna dan lebih hebat ketimbang ilmu-ilmu lainnya. Ketiga,
berdasarkan besarnya manfaat suatu ilmu. Klasifikasi ilmu Al-Farabi, karena
bukan didasarkan atas ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum tetapi
berdasarkan ketiga faktor diatas, maka yang terjadi adalah upaya
pengintegralkan (Islamisasi) ilmu pengetahuan. Berbeda dengan Al-Farabi, Al-
65
Ghazali, bisa dikatakan tidak mencetuskan ide-ide kesatuan ilmu pengetahuan.
Ia justru sibuk dengan usahanya mengkasifikasikan ilmu pengetahuan
berdasarkan “asas-asas dikhotomi keilmuan”, dimana ia secara sadar
memisahkan antara ilmu-ilmu agama (religious/ukhrawi/fardhlu„ain) dan ilmu-
ilmu umum (intelek/duniawi/fardhu kifayah).6
Usaha Natsir untuk mengintegralkan sistem pendidikan Islam
direalisasikan dengan mendirikan sistem pendidikan Islam, yang menyatukan
dua kurikulum, antara kurikulum yang dipakai sekolah-sekolah tradisional yang
lebih banyak memuat pelajaran agama dengan sekolah Barat yang memuat
pelajaran umum (Arief, 2002: ii).
Begitu juga pembaharuan sistem pendidikan Islam yang dilakukan oleh
Mukti Ali dalam usahanya memformulasasikan lembaga madrasah dan
pesantren dengan cara memasukkan materi pelajaran umum ke dalam lembaga-
lembaga yang pendiriannya diorientasikan untuk tafaqquh fi al-din.
Begitu juga tidak jauh berbeda gagasan yang dikembangkan harun
Nasution dalam upayanya menyatukan (menghilangkan) dikotomi antara ilmu-
ilmu agama Islam dan ilmu-ilmu umum di lembaga pendidikan tinggi Islam,
khususnya IAIN Jakarta dengan cara pendekatan kelembagaan dan kurikulum.
Pendekatan kelembagaan telah”memaksa” IAIN Jakarta merubah statusnya
menjadi UIN Jakarta yang berimplikasi pada perubahan kurikulum.
Menurut Armai Arief, berbagai dikotomi antara ilmu-ilmu agama dan
ilmu-ilmu umum pada kenyataannya tidak mampu diselesaikan dengan
pendekatan modernisasi sebagaimana yang pernah dilakuka Abduh, Ahmad
Khan, Mukti Ali dan Harun Nasution, maka Ismail Raji al-Faruqi dan Naquib
al-Attas melakkan pendekatan berbeda dalam rangka Islamisasi pengetahuan,
yakni pendekatan purifikasi atau penyucian (Arief, 2002: 38).
Al-Faruq menyatakan bahwa sistem pendidika Islam telah dicetak
dalam karikatur Barat sehingga dipandang sebagai inti malaise atau penderitaan
yang dialami umat. Ia juga menambahkan sistem pendidikan yang kini berjalan
di dunia Islam terbelah atas dua cabang “modern” yang sekuler dan sistem
“tradisional”
6Ilmu religius meliputi ilmu tentang prinsip-prinsip dasar (al-ushul); ilmu tentang ke-
esaan Tuhan (al-ilm al-tauhid); ilmu tentang kenabian, termasuk di dalamnya tentang para
sahabt; ilmu tentang akherat atau eksatologi; ilmu tentang sumber pengetahuan religious.
Sedangkan keriteria ilmu-ilmu intelektual didominasi oleh ilmu-ilmu umum seperti:
matematika, aritmatika, geometri, astronomi, music, logika, fisika, atau ilmu alam,
meteorology, kedokteran, dan lain sebagainya. ia terjebak pada proses dikhotomi, dengan
maksud membahas perbedaan antara ilmu fadhlu kifayah dan ilmu fardlu „ain.
66
Pendikotomian ini menurutnya merupakan symbol kejatuhan peradaban
umat Islam. Karena sesungguhnya setiap aspek harus dapat mengungkapkan
relevansi Islam dalam ketiga sumbu tauhid. Pertama, kesatuan pengetahuan,
Kedua, kesatuan hidup, Ketiga, kesatuan sejarah (al-Faruqi, 1984: ix-xii).
Sementara itu, menurut al-Attas, tantangan terbesar yang tengah
dihadapi umat Islam dewasa ini adalah berupa tantangan pengetahuan, bukan
dalam bentuk sebagai kebodohan tetapi pengetahuan yang dipahamkan dan
disebarkan ke seluruh dunia oleh peradaban Barat.
Dikotomi ilmu-ilmu agama Islam dan ilmu-ilmu umum juga disebabkan
karena adanya kolonialisme Barat atas dunia Islam sejak abad ke-18 hingga
abad ke-19, dimana Negara-negara Islam tidak mampu menolak upaya-upaya
yang dilakkan Barat, terutama injeksi budaya dan peradaban. Karena itu,
budaya Barat mendominasi budaya tradisional setempat yang telah dibangun
sejak lama.
Dikotomi ini pada kelajutannya, berdampak negative terhadap
kemajuan Islam. Setidaknya ada empat masalah akibat dikotomi ilmu-ilmu
umum dan ilmu-ilmu agama. Pertama, munculnya ambivalensi dalam sistem
pendidikan Islam, dimana selama ini, lembaga-lembaga semacam pesantren
dan madrasah mencitrakan dirinya sebagai lembaga pendidikan Islam yang
bercorak tafaqquh fi al-din yang menganggap persoalan mu‟amalah bukan
garapan mereka; sementara itu, modernisasi sistem pendidikan dengan
memasukkan kurikulum pendidikan umum ke lembaga tersebut telah
mengubah citra pesantren dan madrasah sebagai lembaga tafaqquh al-din
tersebut. Akibatnya telah terjadi pergeseran makna bahwa mata pelajaran hanya
menjadi stempel yang dicapkan untuk mencapai tujuan sistem pendidikan
modern yang sekuler (Arief, 2002: 132).
Kedua, munculnya kesenjangan antra sistem pendidikan Islam dan
ajaran Islam. Sistem pendidikan yang ambivalen mencerminkan pandangan
dikotomis yang memisahkan antara ilmu-ilmu angama dan ilmu-ilmu umum.
Pandangan ini jelas bertentangan dengan konsep ajaran Islam sendiri yang
bersifat integral, dimana Islam mengajarkan keharusan adanya keseimbangan
antara urusan dunia (umum) dengan urusan akhirat (agama).
Ketiga, terjadinya distintegrasi pendidikan Islam, diman masing-masing
sistem (modern/umum) Barat dan agama (Islam) tetap bersikukuh
mempertahankan pendiriannya. Meski jalan kompromi semisal modernisasi
telah diusahakan, tetapi Karena adanya hegemoni sistem umum atas sistem
agama, maka tetap memunculkan dikotomi sistem keilmuan.
67
Keempat, munculnya inferioritas pengelola lembaga pendidikan Islam.
Hal ini disebabkan karena sistem pendidikan Barat yang pada kenyataannya
kurang menghargai nilai-nilai kultural dan moral telah dijanjikan tolak ukur
kemajuan dan keberhasilan sistem pendidikan bangasa kita (Ikhrom, 2001: 87-
89).
Dengan demikian, paradigma integrasi ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu
umum muncul sebagai bentuk kekhawatiran sebagian pemikir muslim terhadap
ancaman yang sangat dominan terhadap pandangan non-muslim, khususnya
pandangan ilmuan Barat sehingga umat Islam harus menyelamatkan identitas
dan otoritas ajaran agamanya.
Integrasi antara ilmu-ilmu agama Islam dan ilmu-ilmu umum berarti
usaha mengislamkan atau melakukan purifikasi terhadap ilmu pengetahuan
produk Barat yang selama ini dikembangkan dan dijadikan acuan dalam
wacana pengembangan sistem pendidikan Islam, agar diperoleh ilmu
pengetahuan yang bercorak “khas Islami”.
Watak intelektual keislaman IAIN / UIN yang moderat, rasional dan
terbuka seperti inilah yang sekali lagi, menjadi faktor penting terhadap
tingginya akseptabilitas masyarakat dan bangsa terhadap alumni IAIN/ UIN
Jakarta. Hampir tidak ada kesulitan yang sangat berarti untuk menentukan
alumni IAIN / UIN di LSM / NGO, Ormas Islam, lembaga pendidikan, majelis
ta‟lim, pengurus masjid, partai politik, birokrasi, dunia usaha, lembaga-
lembaga advokasi/konsultan rasional maupun internasional. Berdasarkan
kepada realitas seperti ini maka berpikir integrative menjadi penting untuk
terus diperkuat dan dikembangkan. Itulah sebabnya, secara akademik UIN
Jakarta mengembangkan apa yang disebut dengan prinsip “integrasi keilmuan;”
UIN menolak adanya dikotomi Islam dan Ilmu Pengetahuan karena disamping
memang tidak sesuai dengan prinsip yang diajarkan dalam al-Qur‟an juga
preseden historisnya menunjukkan bahwa masa kejayaan Islam (The golden
age of Islamic History ) era pertengahan dulu terwujud karena semangat
integrative. Terlepas dari tema Ismail al-Faruqi tentang “Islamaztion of
Knowledge”, UIN hingga sekarang terus berupaya memperkokoh bangunan
ilmu pengetahuan yang integrative agar alamuninya memiliki bekal dan alat-
alat keilmuan yang cukup untuk memahami, mengerti dan mengurusi
kehidupan lebih tepat (Halim, 2012: 103-105).
Melalui integrasi keilmuan ini akan membuka peluang semakin luas
bagi alumni UIN untuk berkiprah. Teori-teori ilmu sosial dan ekonomi modern
misalnya, melalui sekema integrasi ini akan mendapatkan atau diperkaya
dengan persepektif baru yaitu “keindonesiaan dan keislaman” dan tentu saja ini
68
akan jauh lebih produktif karena UIN tidak menjadi konsumen intelektual
teori-teori Barat. Riset-riset akan terus dikembangkan melalui persepektif atau
sudut pandang baru ini dengan hasil yang bisa lebih memberikan manfaat
kemaslahatan bagi umat Islam dan bangsa. Ini memang peluang besar UIN dan
para almuninya pada saat teori-teori ilmu konvensional saat ini mulai
mendapatkan kritikkan tajam karena dinilai telah gagal untuk menyelesaikan
berbagai persoalan. Memang harus diakui bahwa gagasan integrasi tentu
bukanlah sulapan yang dalam waktu singkat berubah. Hal ini membutuhkan
proses serius, panjang dan melibatkan banyak pihak. Tahun 2006, masa
Azumardi Azra menjadi rector. Sudarnoto Abdul Halim terlibat mnjadi salah
satu anggota tim integrasi keilmuan. Setelah melakukan serangkaian diskusi
yang melibatkan banyak pihak, tim berhasil menyusun sebuah buku penting “
Integrasi Keilmuan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menuju Universitas riset”.
Diantara pakar yang ikut memberikan catatan, komentar dan kritik
terhadap konsep yang kemudian dibukukan ialah Mulyadi Kartanegara. Tentu
saja buku ini sifatnya lebih kongkrit dan praktis agar integrasi ini benar-benar
terwujud. Mulyadi Kartanegara tentu sudah mendahului menulis soal integrasi
ini. banyak gagasan yang sangat bermanfaat dalam rangka integrasi ini.
Sudanoto pun sangat sependapat misalnya dengan komentar Quraish Shihab
bahwa “Intgerasi belum berjalan; yang ada adalah penyandingan Islam dan
Ilmu.” Trendnya sudah benar, akan tetapi butuh kerja keras agar bangunan ilmu
di UIN ini benar-benar tegak kokoh dan berdampak konstruktif bagi banyak
orang. Konsep integrasi keilmuan yang dikembangkan di UIN se-Indonesia,
secara subtansial sesungguhnya pada muara yang sama, yakni peniadaan
dikotomi antara kebenaran wahyu dan kebenaran sains. Dengan kata lain,
integrasi keilmuan sesngguhnya ingin memadukan kebenaran wahyu (agama)
dengan kebenaran sains yang diimplementasikan dalam konsep pendidikan
(Rifa‟i, 2014: 27).
69
BAB III
SEJARAH PERTUMBUHAN DAN PENGEMBANGAN
ILMU PENGETAHUAN DALAM ISLAM
A. Ilmu Pengetahuan Islam di Era Rasulullah SAW. Ketika Islam diturunkan, bangsa Arab dikenal dengan sebutan kaum
Jahili. Ahmad Amin, Guru Besar Sastra Universitas Al Qahirah mengemukakan
bahwa pada awal kemunculan Islam Kaum Quraisy penduduk Makkah sebagai
bangsawan di kalangan bangsa Arab hanya memiliki 17 orang yang pandai baca
dan tulis. Nabi Muhammad Saw. menganjurkan pengikut-pengikutnya belajar
membaca dan menulis. Suku Aus dan Kharaz penduduk Yatsrib (Madinah)
hanya memiliki 11 orang yang pandai membaca (Amin, 1965; 141, Arief, 2005:
56).1 Hal tersebut menyebabkan bangsa Arab masih sedikit sekali yang mengenal
ilmu pengetahuan dan kepandaiaan lain. Kehidupan mereka mengikuti hawa
nafsu, berpecah belah, saling berperang atau dengan yang lain karena sebab yang
sepele, yang kuat menguasai yang lemah, wanita tidak ada harganya,
berkelakuan hukum rimba, yakni siapa yang kuat maka ialah yang berkuasa.
Keistimewaan orang Arab hanyalah ketinggian dalam bidang syair-syair jahili
yang disebarkan secara hafalan. Agama warisan Nabi Ibrahim As. Dan Nabi
Islamil as.hanya tinggal bekas-bekasnya yang telah diselewengkan.
Di lain pihak bangsa-bangsa lain di dunia pada saat yang bersamaan.
Bangsa Byzantium, Persia, dan India yang lebih maju menjelang Islam lahir, tak
kurang-kurangnya kebejatan moral dan kerusakan aqidah mereka. Para raja-raja
mereka berlaku aniaya dan agama mereka telah jatuh pada kemusyrikan.
Menghadapi kenyataan itulah Nabi Muhammad diutus oleh Allah dengan
tujuan untuk memperbaiki akhlak, baik akhlak untuk berhubungan dengan Tuhan
maupun dengan sesama manusia. Pada masa Nabi gerakan ilmu hanya tertuju
pada telaah agama, maka kemudian berkembang menjadi luas (Poeradisastra,
2008: 12).
Dalam masalah ilmu pengetahuan perhatian Rasul sangatlah besar.
Rasulullah Saw. memberi contoh revolusioner bagaimana seharusnya
mengembangkan ilmu. Rasulullah mendapatkan hal-hal yang akan menjadi
1 Umat Islam pada masa awal membutuhkan pemahaman al-Qur‟an sebagaimana adanya,
begitu juga dalam keterampilan (membaca dan menulis). Dalam tulisannya, dikatakan bahwa Siti
Aisyah (Istri Nabi), Zaid bin Tsabit disuruh belajar tulisan Ibrani dan Suryani. Budak-budak belian
dibebaskan apabila mereka telah mengajar sepuluh orang Muslim membaca dan menulis.
Sebagaimana Maksum dalam tulisan Armai Arief, mengemukakan bahwa Ibnu Khaldun mencatat
bahwa pada awal kedatangan Islam orang-orang Quraisy yang pandai membaca dan menulis
hanya berjumlah 17 orang dan kesemuanya adalah laki-laki.
70
landasan dasar dalam usahanya yaitu: Pertama, Wahyu pertama yang diterima
Rasul berbunti Iqra (bacalah). Perintah ini sebetulnya adalah perancangan dan
juga pemberantasan buta huruf, atau membebaskan manusia bebas dari ketidak
tahuan. Kedua, Bangsa Arab adalah bangsa yang kuat hafalannya. Hal tersebut
merupakan salah satu alat untuk pengembangan ilmu pengetahuan. Oleh
karenanya umat Islam diperintahkan untuk menghafal Al Qur‟an dengan
sungguh-sungguh. Ketiga. Adanya budaya menulis dan juga mencatat dari Nabi.
Semua para sahabat yang dapat membaca dan menulis diangkat oleh beliau
menjadi juru tulis, baik mecatat wahyu yang turun di berbagai lembaran, seperti
pelepah kurma, kayu, kulit hewan, batu dsb. Ada dua sumber pokok ajaran Islam
yaitu al-Qur‟an dan al-Hadits yang harus ditulis dan di hafal secara utuh untuk
mendorong kaum Muslimin awal untuk bersungguh-sungguh mementingkan
kepandaian tulis baca (Yunus, 1996: 42). Dengan semangat yang tinggi dari Nabi
Muhammad dan juga dorongan yang kuat untuk belajar pada permulaan wahyu,
maka saat itu munculah tempat atau lembaga untuk belajar menulis, membaca
dan menghafal Al-Qur‟an. Keempat. Al Qur‟an merupakan sumber ilmu
pengetahuan, yang memuat kisah-kisah terdahulu, segala macam hukum dasar
dalam Islam, sifat-sifat Allah.2
Dengan landasan diatas Rasulullah mulai membangun jiwa umat Islam.
Rasul membimbing sahabt-sahabat untuk beriman dan juga berilmu. Berawal
dari rumah Rasulullah sendiri digunakan untuk berdakwah, kemudian Nabi
membuat satu tempat pertemuan di rumah sahabat yang bernama Abu al-Arqam,
di luar kota Makkah. Tempat itulah yang dikenal Dar al-Arqam.
Lembaga Dar al Arqam merupakan pusat kegiatan ummat Islam awal.
Mula-mula secara sembunyi-sembunyi karena khawatir terhadap tindakan suku
Quraisy yang tidak menyukai Rasul. Dalam perkembangannya menjadi tempat
yang terbuka untuk umum. Kegiatannya pun bertambah banyak.
Bangsa Arab sebelum Islam, secara struktural kelihatannya tidak
mementingkan lembaga pendidikan formal. Hal tersebut berkaitan dengan
budaya mereka yang bertumpu pada tradisi lisan. Pendidikan mereka didasrakan
pada ikutan atau taqlid. Anak-anak berkembang atas dasar mengikuti dan
mencontoh perilaku orang dewasa. Sebagaimana kabilah dan suku memang telah
mengajarkan prinsip-prinsip hidup yang dibanggakan, seperti sya’ir-sya’ir.
Beberapa ilmu yang berkembang sebelum Islam adalah: Ilmu nasab, sejarah, dan
agama. Abu Bakar ahli di bidang tersebut dan ia juga ahli dalam ilmu cuaca
(Fanani, 2006: 41-42).
2 Q.S. Ali Imron:191. “(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau
duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi
(seraya berkata): "Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci
Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka.”
71
B. Ilmu Pengetahuan Islam di Era Khulaur ar-Rasyidin. Setelah kelanjutan perkembangan ilmu dan juga pendidikan Islam di era
Rasulullah, lalu dilanjutkan oleh para khalifah Khulafaur ar-Rasyidin yaitu: Abu
Bakar al-Shidiq berkuasa selama kurang lebih dua tahun (632-634 M),
dilanjutkan oleh Umar bin Khatab, berkuasa selama 10 tahun (634-644 M),
Usman bin Affan, berkuasa selama 12 tahun (644-656 M), Ali bin Abi Thalib,
berkuasa selama kurang lebih lima tahun (656-661 M). dengan demikian, masa
kekhalifahan Khulaur ar-Rasyidin berlangsung 29 tahun (Yatim, 1994; 35-36,
Nasution, 1977; 22-23, al-Usairy, 2003; 139-177).
Kelanjutan dari meluasnya kekuasaan Islam ada dua gerakan perpindahan
manusia, orang Arab Muslim keluar jazirah Arab, orang Arab datang ke jazirah
Arab. Dua gerakan perpindahan ini membawa dampak tersendiri, baik positif
maupun negatife.Orang Ajam yang berasal dari luar Arab adalah bangsa yang
pernah mewarisi kebudayaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan bangsa
Arab. Walaupun nyala api ilmu pengetahuan mereka hampir padam, namun
bekasnya masih nyata. Hal ini terlihat pada adanya kota-kota tempat
perkembangan kebudayaan Yunani seperti Iskandariyah, Antioka, Yonde, Harran
dan Shapur. Kedatangan mereka ke jazirah Arab, dimana kemudian mereka
masuk Islam dan berbahasa dengan bahasa Islam (Arab) serta berkeyakinan
dengan keyakinan Islam. Mendorong penguasa waktu itu yakni Umar bin
Kahatab, memerintahkan untuk membuat tata bahasa Arab agar mereka terhindar
dalam membaca Al-Qur‟an dan Hadits Nabi.
Menurut Musyrifah Sunanto, Ali bin Abi Thalib-lah pembuatan pertama
dasar-dasar ilmu nahwu yang selanjutnya disempurnakan oleh Abu al-Aswad al
Duwaly. Selain itu perlu menafsirkan ayat Al-Qur‟an sehingga mereka terhindar
dari kesalahan dalam memahami. Maka bertindaklah beberapa sahabat dalam
menafsirkan al-Qur‟an seperti yang didengan oleh Nabi dan dari pemahaman
mereka sendiri sebagai ahli bahasa. Mereka adalah Ali bin Abi Thalib, Abdullah
bin Ibn Abbas, Abdullah bin Mas‟ud, Ubay bin Kaab. Merekalah yang dianggap
sebagai mufasir pertama dalam Islam.
Untuk kepentingan pengajaran di luar jazirah Arab, dikirim guru-guru
yang terdiri dari sahabat-sahabat ahli ilmu, yaitu, Abdullah bin Mas‟ud pergi ke
Kuffah, Abu Musa Al-Asy‟ari dan Anas bin Malik pergi ke Bashrah, Muadz,
Ubadah, Abu Darda dikirim ke negri Syam, Abudllah bin Amr bin Ash dikirim
ke negri Mesir. Melalui tangan-tangan merekalah berkembang ilmu pengetahuan
keIslaman dinegeri-negeri tersebut dan menghasilkan banyak ulama (ahli ilmu).
Selanjutnya umat Islam mulai bergerak untuk mempelajari adat istiadat
mereka, kaedah-kaedah orang Yahudi, Nasrani, ilmu-ilmu yang berkembang di
kalangan mereka. Hanya saja usaha-usaha mulia khalifah Umar itu tidak
berlangsung lama, karena Umar terbunuh oleh orang yang sakit hati padanya.
Namun umar tetap diakui oleh sarjana muslim dan bukan muslim bahwa ia
72
adalah orang kedua sesudah Nabi yang paling menentukan jalannya kebudayaan
Islam.
Kedudukan khalifah selanjutnya diganti oleh Usman bin Affan, seorang
yang lemah lembut. Walaupun ia mempunyai beberapa kelebihan, tetapi dalam
hal pemikiran kreatif Usman tidak muncul. Justru kelemah-lembutannya
dipergunakan oleh keluarga bani Ummayah yang pernah memegang kekuatan
politik sebelum Islam untuk meningkatkan dan mengembalikan kedudukannya
sebagai pemimpin kaum Quraisy pada masa Islam. Peluang yang dimanfaatkan
oleh keluarga bani Ummayah untuk menduduki jabatan penting menyebabkan
timbulnya berbagai protes dan sikap oposisi yang datang hampir dari seluruh
daerah. Gerakan itu berakhir dengan pembunuhan terhadap kholifah ketiga,
Usman bin Affan.
Diduga terjadinya pembunuhan Usman merupakan malapetaka besar yang
menimpa umat Islam. Dikalangan umat Islam terjadi benturan antara ajaran
islam yang diturunkan melaui Nabi Muhammad yang berbangsa Arab dengan
alam pemikiran yang dipengaruhi kebudayaan Helenesia dan Persia. Perbenturan
itu membawa kegoncangan-kegoncangan dan kericuhan dalam beberapa bidang
sebagai berikut:
a. Bidang bahasa Arab
Pada masa Jahiliyah, ketika bangsa Arab belum bergaul luas dengan
bangsa lain, bahasa mereka msih murni sehingga bangsawan Quraisy yang
ingin anak-anaknya fasih berbahasa Arab selalu mengirim anak-anak mereka
ke dusun. Namun sesudah perluasan Islam keluar Jazirah Arab dan bangsa
Arab bergaul luas dengan bangsa Persi, Mesir, Syam, maka beraburlah
bahasa-bahasa ini sehingga menimbulkan kekacauan dalam tata bahasa.
b. Bidang Akidah
Di luar Jazirah Arab terdapat agama-agama Yahudi, Nasrani,
Zoroaster, Kafir Yunani dan Romawi, Manes, Hindu. Yang akidahnya jauh
berbeda dengan akidah Islam.Ditambah lagi agama Nasrani sangat
dipengaruhi oleh filsafat Helenesia. Bertemunya akidah Islam dengan
akidah-akidah lain di luar Islam menimbulkan aliran-aliran, antar lain aliran,
antara lain aliran Mujassimah yang meyakini bahwa Allah memiliki jisim
seperti jisim (wujud fisik) manusia. Oleh karena itu sejarahnya mesti
dipelajari untuk dapat menjalankan nasiti (policy) ketatanagaraan, hukum,
serta penyebaran agama Islam secara jitu (Poeradisastra, 2008: 14).
c. Bidang Politik
Politik Islam yang diajarkan Nabi adalah system musyawarah. Segala
sesuatu berdasarkan musyawayah termasuk dalam pemilihan kepala negara.
Di luar Jazirah Arab berlaku system monarki absolut, yaitu segala sesuatu
dalam kekuasaan mutlak raja termasuk dalam penentuan calon pengganti
73
raja. Bergumullah dua system itu beberapa tahun sesudah pertemuannya.
Pergumulan itu menyebabkan umat Islam pecah menjadi beberapa firqah
(kelompok). Persoalan pertama kali timbul pada saat wafatnya Rasulullah
adalah persoalan politik. Dalam perkembangan selanjutnya dari persoalan
politik kemudian berkembangan menjadi persoalan teologi. Hal ini berarti
bahwa masalah politik menjadi faktor pendorong perkembangan pemikiran
dalam Islam, dan faktor tersebut sangat mempengaruhi perkembangan
pendidikan dan ilmu pengetahuan dalam Islam (Nasution, 1996: 1).
Dalam suasana yang demikian timbul suatu kelompok yang netral
yang bersikap moderat dan toleran karena mempunyai tujuan untuk tetap
menggalang solidaritas dan kesatuan umat. Untuk keperluan tersebut mereka
meninggalkan politik dan menyibukkan diri dalam pendalaman ilmu
terutama untuk mengkaji sunah Nabi Muhammad Saw.dan menggunakannya
untuk memahami dan mendalami agama secara lebih luas. Diantara mereka
adalah Abdullah bin Umar dan Abdullah bin Abbas. Kelompok ini karena
pengalamannya dalam mengahadapi berbagai golongan yang mempunyai
pandangan yang berbeda akhirnya dianggap sebagai kelompok yang banyak
dianut oleh mayoritas ummat (Sunanto, 2007: 34).
Disamping itu ketekunan mereka terhadap kajian as-Sunah
menyebabkan as-Sunah mendapat perhatian umat Islam dan pada akhirnya
as-Sunah menjadi terpelihara. Tak diragukan lagi bahwa usaha bagi
pertumbuhan ilmu pengetahuan Islam pada khususnya dan agama Islam pada
umumnya karena as-Sunah merupakan sumber agama Islam yang kedua
sesudah al-Qur‟an. Hanya saja usaha ini masih bersifat hafalan dan belum
dibukukan, as-Sunah baru dibukukan oleh al-Zuhri atas perintas khlaifah
Umar bin Abdul Aziz pada masa Daulah Bani Umayyah I. Meskipun
demikian usaha mereka ini merupakan rintisan bagi kajian baru dalam
sejarah pemikiran secara rasional dalam as-Sunah.
C. Ilmu Pengetahuan Islam di Era Bani Umayyah
Setelah berakhirnya kekholifaan Ali bin Abi Thalib. Setelah Ali bin Abi
Thalib meninggal dunia, pemerintahan Islam sempat di pegang oleh Hasan bin
Ali, putra Ali bin Abi Thalib selama 6 bulan, lalu pemerintahn di serahkan oleh
Mu‟awiyah dikarenakan Hasan menginginkan kedamaian dan agar tidak terjadi
perselisihan dalam umat Islam (Hamka, 1978: 47). maka pemerintahan Islam
dilanjutkan dengan berdirinya dinasti Umayyah adalah Mu‟awiyah ibn Abi
Sufyan, berkuasa selama kurang lebih selama Sembilan belas tahun (661-680 M).
Abdul al Malik Ibn Marwan, berkuasa berkuasa selama kurang lebih dua puluh
tahun (685-705 M).al-Walid bin Abd. Al Malik, berkuasa selama sepuluh tahun
(705-715 M). Umar ibn Abd.Aziz, berkuasa selama kurang lebih tiga tahun (717-
720 M).dan Hisyam bin Abd. Malik, berkuasa selama kurang lebih selama
74
Sembilan belas tahun (724-743 M) (Nasution, 1977; 78-91, Yatim, 1994; 41-42,
Usairy, 2003; 179-211). Benturan kelompok-kelompok di kalangan umat Islam, khususnya dalam
bidang politik, berakhir dengan kemenangan Muawiyah bin Abi Sufyan, yang
memproklamirkan Bani Umayyah, sebagai pemimpin daulah Islamiyah.
Muawiyyah menjadi kholifah dengan berbagai cara, dan telah mengubah sistem
musyawarah, menjadi sistem monarki. Hal tersebut banyak di dukung oleh
kondisi umat Islam pada waktu itu. Sistem musyawarah dapat berjalan hanya
pada satu generasi saja, yakni pada generasi didikan Nabi sendiri. Mu‟awiyah
termasuk orang yang berhasil memadukan sistem musyawarah dengan sistem
monarki dan daulat Islamiyah dapat dikuasai karena dia banyak memperhatikan
riwayat dan kisah-kisah raja besar sebelumnya, baik dari kalangan Arab ataupun
bukan Arab, untuk meniru serta meneladani siasat dan politik mereka dalam
menghadapi pergolakan yang terdapat didalamnya (Amin, 1965: 166). Menurut Musyrifah, Salah satu aspek dari kebudayaan adalah
mengembangkan ilmu pengetahuan. Jikalau pada masa Nabi dan masa Khulafaur
ar-Rasyidin perhatian ilmu pengatahuan pendidikan terpusat pada usaha
memperdalam pengajaran Aqidah, akhlak, ibadah, mua’amalah dan kisah-kisah
al-Qur‟an, maka perhatian sesudah itu, sesuai dengan kebutuhan zaman, yakni
tertuju ada ilmu-ilmu yang diwariskan oleh bangsa-bangsa sebelum munculnya
Islam (Sunanto, 2007: 38). Dalam daerah kekuasan Bani Umayyah, Ibu kota Daulah Umayyah
terletak di Dasmaskus, suatu kota tua dinegri Syam yang berpenilnggalan
kebudayaan maju. selain meneruskan wilayah taklukan pada masa Nabi dan
Khulafaur ar-Rasyidin, bani Umayyah memperluas wilayah kekuasaannya di
Andalus, Afrika Utara, Syam, Irak, Iran, Khurosan sampai benteng Tiongkok.
terdapat kota-kota pusat kebudayaan seperti: Yunani, Iskandariyah, Antiokia,
Marran, Yunde dan Sahpur, yang dikembangkan ilmuwan-ilmuwan beragama
Yahudi, Nashrani dari Zoroaster. Setelah masuk Islam para Ilmuwan itu tetap
memelihara ilmu-ilmu peninggalan Yunani, bahkan mendapatkan perlindungan.
Sedikit banyaknya, perkembangan ilmu pengetahuan diluputi oleh para ilmuwan
yang mendapatkan jabatan tinggi di istana khalifah. Seperti ada yang menjadi
dokter pribadi, bendaharawan atau wajir (Sunanto, 2007: 38).
Oleh karena itu, berbagai bahasa, sistem tata Negara, kebudayaan, dan
sejarahnya mesti dipelajari untuk menjalankan ketatanegaraan, hukum, serta
penyebaran agama Islam secara jitu. Dalam perjumpaan dan percakapan dengan
agama dan kepercayaan lain untuk membela agama Islam terhadap sisa-sisa
agama dan kepercayaan lain itu, kaum Muslimin mulai mempelajari dan
mempergunakan filsafat Yunani, tetapi dengan membersihkannya dari kekafiran.
Oleh karena itu, mereka menerjemahkan karya-karya filsafat Yunani dan
pengetahuan Yunani melalui bahasa Suryani karena aslinya telah musnah
terbakar di perpustakaan-perpustakaan Iskandariyah ketika penyerbuan Julius
75
Kaisar pada tahun 48 pra-Masehi, kemudian dibakar oleh Kaisar Lucius
Domitius Aurelianus pada tahun 272 M, dan terakhir oleh Jendral Theodosius
pada tahun 371 M. ketika itu bahasa Suryani merupakan bahasa ilmu dan
kesusastraan yang kaya dan banyak menerjemahkan karya filsafat dan
pengetahuan dari bahasa Yunani. Dan keuntungan bagi para penerjemah adalah
bahwa bahasa Suryani ini masih serumpun dengan bahasa Arab dan banyak
kaum Muslimin yang pandai bahasa itu (Poeradisastra, 2008: 14-15).
Sebagaimana dalam Dhuha al-Islam, Ahmad Amin mengatakan “ diantara
para kholifah bani Umayyah, Kholid bin Yazid sangat tertaik pada ilmu kimia
dan ilmu kedokteran. Ia menyediakan sejumlah harta dan memerintahkan para
sarjana Yunani yang bermukim di Mesir untuk menerjemahkan buku-buku kimia
dan kedokteran ke dalam bahasa Arab. Usaha ini menjadi terjemahan pertama
dalam sejarah umat Islam” (Amin, 1972: 225).
Al-Walid bin Abdul Malik, memberikan perhatian kepada Bismaristan. Ia
mendirikan Bimaristan di Damaskus pada tahun 884. Selanjutnya, pada masa
Kholifah Umar bin Abdul Aziz memerintah, ia memerintahkan kepada para
ulama secara resmi untuk membukukan hadits-hadits Nabi (secara tidak resmi
sebenarnya sudah ada sejak zaman sahabat telah membukukan). Kholifah Umar
bin Abdul Aziz memilih Ibn Abjar, seorang dokter yang berada di Iskandariyah
yang kemudian menjadi dokter peribadinya. Sehingga mempengaruhi pandangan
kholifah terhadap ilmu kedokteran dan ilmu-ilmu lainnya yang berasal dari
Yunani (Susanto, 2007: 45).
Terlepas dari ilmuwan-ilmuwan yang kemudian memeluk Islam. Namun
ada juga ilmuwan yang tetap pada keyakinan mereka, di antaranya Yahya al
Dimasyqi. Ia adalah seorang pejabat di masa khlaifah Abdul Malik bin Marwan,
seorang penganut Kristen fanatik yang berusaha mempertahankan akidahnya.
Yahya al-Dimasyqi, menggunakan metode logika untuk. Dengan sikap dan cara
sudut pandang Yahya al-Dimasyqi, mendorong umat Islam menyelidiki dan
memepelajari logika mereka untuk mempertahankan Islam sekaligus untuk
mematahkan hujjah mereka (Amin, t.t: 264). Pembicaraan mereka kemudian
berkembang sampai menyinggung soal qadar dan sifat-sifat Tuhan. Kelompok
yang banyak mempersoalkan masalah-masalah ini kemudian dikenal sebagai
kelompok Mu‟tazilah. Kelompok ini dikenal sebagai golongan rasionalis Islam
yang banyak mempergunakan akal dalam pembahasannya.
Dalam Sejarah Islam Klasik, Musyrifah Sunanto berpendapat bahwa
penyusunan ilmu pengetahuan secara sistematis sebagai berikut:
Pengaruh lain dari ilmuwan-ilmuwan yang beragama Kristen adalah
penyusunan ilmu pengetahuan secara lebih sistematis. Didikan ulama-
ulama yang dikirim oleh khalifah Umar pada masa pemerintahannya
menghasilkan ulama ahli ilmu dan sejumlah yang lebih besar dan lebih
menjurus sesuai dengan lingkungan di mana mereka berada. Selain itu
berubah pula dari sistem hafalan kepada sistem tulisan menurut aturan-
76
aturan ilmu pengetahuan yang berlaku. Pendukung ilmu tidak lagi
berbangsa Arab asli tapi didukung pula oleh golongan non-Arab
(Susanto, 2007: 41).
Dengan demikian, golongan diataslah yang mengubah sistem ilmu
pengetahuan terjadi pada umat Islam. Sehingga hal tersebut meluas dan terjadi
pembidangan ilmu pengetahuan sebagai berikut : Pertama, Ilmu pengetahuan
bidang agama yaitu, segala ilmu yang bersumber dari Al-Qur‟an dan Hadits.
Kedua, Ilmu pengetahuan bidang sejarah yaitu, segala ilmu yang membahas
tentang perjalanan hidup, kisah dan riwayat. Ketiga, Ilmu pengetahuan bidang
bahasa yaitu, segala ilmu yang mempelajari bahasa nahwu, sharaf, dan lain-lain.
Keempat, Ilmu pengetahuan bidang filsafat yaitu, segala ilmu yang pada
umumnya berasal dari bangsa asing seperti ilmu mantiq, kedokteran, kimia,
astronomi, ilmu hitung dan ilmu yang berhubungan dengan ilmu tersebut. Pada
masa Umawiyah Masyarakat Muslim telah banyak memperhatikan al ilmu al-
naqliyah, yaitu ilmu-ilmu yang berkaitan dengan Al-Qur‟an al Karim yang
meliputi Tafsir, Qiraat, al-Hadits dan Ushul Fiqhi, serta Lisaniyah seperti ilmu
al-Lughah, ilmu Nahwu, ilmu al-Bayan dan al-Adab (Maksum, 1999: 53-54.
Empat bidang diatas saling bahu-membahu. Ahli ilmu agama dalam
ajarannya memerlukan filsafat dan sejarah, ahli tafsir, ahli hadits dan ahli fiqih
memerlukan sya’ir-sya’ir dan adab dalam memahami ayat Al-Qur‟an dan Hadits,
ahli sejarah dan tukang kisah memerlukan bahan yang terdapat dalam al-Qur‟an
dan Hadits, demikian juga ahli filsafat memerlukan Al-Qur‟an, Hadits dan
sejarah.
Dengan demikian ilmu pengetahuan sudah merupakan suatu keahlian,
masuk ke dalam bidang pemahaman dan pemikiran yang memerlukan
sistematika dan penyusunan. Golongan yang sudah biasa dengan keahlian ini
adalah golongan non-Arab yang disebut Mawali.3 Karena kefanatikan kepada
bangsa Arab, khalifah Abdul Malik bin Marwan mewajibkan bahasa Arab
menjadi bahasa resmi negara, sehingga semua perintah dan peraturan serta
komunikasi secara resmi memakai bahasa Arab. Akibatnya bahasa Arab
dipelajari orang. Maka tumbuhlah ilmu qowaid dan ilmu lain untuk mempelajari
bahasa Arab.4
Kemajuan dalam bidang Administrasi dan bahasa, yakni dari bahasa
Yunani dan Pahlawi ke bahasa Arab juga masih pada masa Abdul Malik. Orang-
3Mawali berasal dari kata “Maula” artinya budak tawanan perang yang sudah
dimerdekakan. Mereka mula-mula berasal dari bangsa Pesia atau keturunananya. Dalam
perkembangan selanjutnya kata Mawali diperuntukan pula untuk bangsa lain selain Arab. Istilah
ini muncul Karena bani Umayyah berusaha untuk mempertahankan kemusnian bangsa Arab.
4 Dengan menjadi bahasa resmi Negara pada masa bani Umayyah, maka bahasa Arab
banyak digunakan di berbagai Negara sampai saat ini, seperti: Irak, Syiria, Mesir, Lebanon, Libia,
Tunisia, Aljazair, Maroko, di samping Saudi Arabia, Yaman, Emirat Arab, dsb.
77
orang bukan arab pada waktu itu telah mulai pandai bahasa Arab. Untuk
menyempurnakan pengetahuan mereka tentang bahasa Arab, terutama
pengetahuan pemeluk Islam baru dari bangsa-bangsa bukan Arab, perhatian
kepada bahasa Arab, terutama tata bahasanya, mulai diperhatikan. Inilah yang
mendorong Sibaweih untuk pertama kali menyususn ilmu nahwu yang
selanjutnya menjadi pegangan dalam soal tata bahasa Arab. Guna mendukung
upaya ini, Abdul Malik juga membangun lembaga pendidikan yang dikenal
dengan al-Badiah, yakni lembaga pengajaran bahasa Arab klasik, dengan tujuan
selain untuk memasyarakatkan penggunaan bahasa Arab secara internasional,
juga dalam rangka menjaga kemurnian bahasa Arab dari pengaruh bahasa non-
Arab( Nasution,1985; 63, Syahlabi, 1968; 34).
Penduduk daerah Islam terdiri dari dua unsur, Arab dan Ajam. Masa
sahabat kebanyakan yang berilmu adalah unsur Arab. Setelah ulama kalangan
sahabat menyebarkan ilmunya ke daerah yang dikuasai, maka di sana unsur Arab
dan Ajam bersama mengambil ilmu sehingga pada generasi berikutnya
pemegang peranan dalam bidang ilmu pengetahuan adalah unsur Ajam. Adapun
sebabya, seperti yang disimpulkan oleh Ibn Khaldun, bahwa agama pada
mulanya belum memerlukan ilmu dan kecerdasan sesuai dengan kesederhanaan
dan kebaduian bangsa Arab, agama masih merupakan hukum syari‟ah yang
berupa perintah dan larangan Allah. Kebanyakan orang Islam hafal akan hukum
tersebut dan mereka pun mengetahui sumbernya dari Al-Qur‟an dan Hadits, yang
dapat mereka proleh dari Rasul dan sahabat. Pada waktu itu kaum Muslimin
masih terdiri dari bangsa Arab yang belum kenal kepada pengajaran, karang-
mengarang dan pembukuan ilmu, serta belum ada keinginan untuk itu karena
memamng belum diperlukan. Kemudian ilmu-ilmu itu menjadi suatu kecakapan
yang perlu dipelajari. Mulailah ilmu masuk ke dalam lapangan kepandaian dan
kerajinan. Yang memiliki kerajinan dan kepandaian adalah orang Arab dan Ajam
atau Mawali karena mereka mewarisi dari ibunya (Amin, 1972: 191).
Kemajuan dalam bidang ilmu agama Islam, dinasti bani Umayyah juga
memiliki perhatian yang cukup besar terhadap pengembangan ilmu agama Islam,
seperti tafsir, hadits, fiqih, dan ilmu kalam. Pada zaman inilah timbul beberapa
nama seperti Hasan al-Bisri, Ibn Shihab al-Zuhri, dan Washil ibn „Ata yang
merupakan para pakar dalam ilmu kalam. Yang menjadi pusat dari kegiatan
ilmiah ini adalah Kufah dan Bashrah di Irak (Nasution, 1985: 34).
Jadi, bisa dikatakan bahwa peradaban Islam pada masa itu sudah bersifat
internasional, meliputi tiga benua; sebagian Eropa, sebagaian Afrika, sebagian
Asia. Penduduknya meliputi puluhan bangsa menganut bermacam-macam
agama, bermacam-macam kebudayaan, bermacam-macam bahasa.Semua itu
disatukan dengan bahasa Arab sebagai bahasa pemersatu dan agama Islam
menjadi agama resmi negara. Sedangkan berbagai kemajuan yang terjadi pada
zaman dinasti Umayyah tersebut terjadi disebabkan oleh beberapa faktor yaitu.
Pertama, Adanya daerah yang luas yang memiliki berbagai kekayaan sumber
78
alam, adat istiadat, budaya, tradisi ilmiah dan lain sebagainya, keadaan alam ini
setelah dikelola dengan baik dapat membawa kemajuan. Kedua, Adanya
kebutuhan terhadap berbagai ilmu agama dan ilmu umum, serta lainnya bagi
pembangunan wilayah yang luas itu. Ketiga, Adanya semangat dan motivasi
yang kuat untuk membangun kejayaan Islam dan memberi manfaat bagi
kehidupan umat manusia.
D. Ilmu Pengetahuan Islam di Era Abbasiyah
Apa yang telah dirintis oleh Daulah Umayyah di Damaskus (660-750 M.)
dilanjutkan oleh Daulah Abbasiyah (750-1258 M.) Selanjutnya para khalifah
bani Abbas yang terkenal antara lain: Abu al-Abbas, berkuasa Selama empat
tahun (750-754 M.), al-Mansur, berkuasa selama dua puluh satu tahun (754-775
M.), al-Mahdi, berkuasa selama sepuluh tahun (775-785 M), Harun al-Rasyid,
berkuasa selama kurang lebih dua puluh empat tahun (785-809 M), al-Ma‟mun,
berkuasa selama dua puluh tahun (813-833 M.), al-Mu‟tasim, berkuasa selama
kurang lebih Sembilan tahun (833-842 M), al-Wathiq, berkuasa selama lima
tahun (842-847 M.), al-Mutawakil, berkuasa selama enam belas tahun (847-861
M), dan Mu‟tasim, berkuasa selama enam belas tahun (1242-1258 M.) (Yatim,
1994;49-60, al-Usairy, 2003; 213-236, Mahmudunnasir, 1991: 246-282).
Sejarah mencatat, bahwa di zaman khalifah Abbasiyah ini, Islam pernah
mencapai puncak kedidak jayaan. Diantara kemajuan tersebut sebagai berikut:
Pertama, kemajuan dalam bidang administrasi pemerintahan. Khalifah al-
Mansur, mengadakan tradisi baru dengan mengangkat wazir yang membawahi
kepala-kepala departemen. Untuk memegang jabatan wazir ini, al-Mansur pilih
Khalid Ibn Barmak, seorang yang berasal dari Balkh di Persia. Khalifah Abu
Ja‟far Abdullah al-Mansur, telah memperkerjakan para penerjemah yang
menerjemahkan buku-buku kedokteran, ilmu pasti dan filsafat dari bahasa
Yunani, Parsi dan Sanskrit (Poeradisastra, 2008: 15).
Kedua, kemajuan dalam bidang ekonomi. Khalifah al-Mahdi, melakukan
perbaikan dan peningkatan dalam bidang ekonomi. Pertanian ditingkatkan
dengan mengadakan irigasi, penghasilan gandum, kurma dll., bertambah.
Demikian pula hasil pertambangan seperti perak, emas, tembaga, dan besi
berkembang dengan pesat. Kegiatan dagang transit antara Timur dan Barat juga
berkembang dengan pesat. Berkenaan dengan ini, Bashrah menjadi pelabuhan
yang penting.
Ketiga, kemajuan dalam bidang kesehatan. Di zaman Harun al-Rasyid
kehidupan yang makmur, kecukupan, dan kemewahan sebagaimana yang
dilukisan dalam cerita 1001 malam telah mewarnai kehidupan masyarakat.
Kekayaan yang banyak, digunakan olehnya untuk keperluan sosial. Untuk itu ia
mendirikan rumah sakit, menyelenggarakan pendidikan kedokteran, dan farmasi.
Sejarah mencatat, bahwa pada masa itu, Baghdad terdapat 800 dokter.
79
Keempat, kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan. Di zaman khlaifah
al-Ma‟mun perhatian terhadap pembangunan dan pengembangan di bidang ilmu
pengetahuan mengalami peningkatan. Upaya ini antara lain dilakukan dengan
melakukan penterjemahan buku-buku, kebudayaan Yunani dengan cara menggaji
melakukan penterjemah dari penganut agama lain. Untuk kegiatan ilmiah ini, al-
Ma‟mun juga mendirikan Bait al-Hikmah dan berbagai lembaga pendidikan,
berupa sekolah atau lembaga atau madrasah. Selain itu, al-Ma‟mun juga
mendatangkan buku-buku ilmu pengetahuan dan filsafat dari Bizantium yang
selanjutnya diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Kegiatan penterjemahan ini
berjalan kira-kira satu abad lamanya. Bait al-Hikmah didirikan oleh al-Makmun,
bukan hanya merupakan pusat penerjemahan, tetapi juga berperan sebagai
akademik yang mempunyai perpustakaan. Di antara cabang-cabang ilmu
pengetahuan yang diutamakan di Bait al-Hikmah adalah ilmu kedokteran,
astronomi, matematika, optic, geografi, fisika, sejarah, filsafat dan agama
(Yatim, 1994: 49-60, Al-Usairy, 2003: 139-177, Mahmudunnasir, 2003: 266-
272).
Kelima, kemajuan dalam bidang pendidikan. Pada zaman ini antara lain
didirikan Bait al Hikmah di Baghdad dan al-Azhar di Kairo yang hingga kini
masih harum namanya sebagai Universitas Islam yang tertua dan termuka
usianya di seluruh dunia.
Keenam, kemajuan dalam bidang peradaban dan kebudayaan. Di zaman
Harun al-Rasyid, didirikan pemandian-pemandian umum, berbagai gedung-
gedung, masjid, istana raja, jembatan, irigasi, pertambangan, industry logam,
kerajina, perhiasan, lukisan yang indah dsb.
Semenjak dunia Islam pada waktu itu dalam keadaan maju, jaya makmur,
sebaliknya dunia Barat masih dalam keadaan gelap, bodoh dan primitive. Dunia
Islam sudah sibuk mengadakan penyelidikan di laboratorium dan observatorium.
Dunia Barat masih asik dengan jampi-jampi dan dewa-dewa. Hal ini disebabkan
agama yang dibawa Nabi Muhammad telah menimbulkan dorongan untuk
menumbuhkan suatu kebudayaan baru yaitu kebudayaan Islam. Dorongan itu
mula-mula menggerakkan teciptanya ilmu-ilmu pengetahuan dalam lapangan
agama (ilmu naqli), bermunculanlah ilmu-ilmu agama dalam berbagai bidang.
Kemudian, ketika umat Islam keluar dari Jazirah Arab, mereka menemukkan
perbendaharaan Yunani. Dorongan dari agama ditambah pengaruh dari
perbendaharaan Yunani menimbulkan dorongan untuk munculnya berbagai ilmu
pengetahuan untuk muncul berbagai ilmu pengetahuan di bidang akal (ilmu aqli)
(Sunanto,2007: 54, Poeradisastra, 2008: 15).5
5 Al-Ma‟mun ibn Harun Al-Rasyid pada tahun 830 M .mendirikan Darul Hikmah atau
akademi Ilmu pengetahuan pertama di dunia, terdiri dari perpustakaan pusat pemerintahan,
observatorium bintang dan universitas (darul‟l ulum). Bahkan fakultas kedokteran telah didirikan
pada tahun 765 M oleh Jurjis Ibn Naubakht. Al-Ma‟mun mengirimkan serombongan penerjemah
ke Konstatinopel, Roma, dll.yang antara lain terdiri dari Abu Yahya Ibn al-Batriq (w.815 M),
80
Oemar Amin, menegaskan bahwa pebendaharaan Yunani karena pada
waktu Islam datang, ilmu Yunani sudah mati yang ada tinggal hanyalah buku-
bukunya saja. Ketika Islam sampai ke Binzatium, Persia, dan lain-lain, mereka
tidak lagi menjumpai ilmu Yunani dipelajari orang, yang didapati hanyalah
beberapa tabib Yunani, perkembangan baru tidak diperoleh lagi (Hoesen,1975:
24, Ali, 1967: 234, De Boer, 1970: 14, Hasyim, 1979: 35).6
Prestasi luar biasa umat Islam pada masa bani Umayyah yang dapat
menaklukkan wilayah-wilayah kerajaan Romawi dan Persia, segera disusul
dengan prestasi yang lebih hebat lagi dalam penaklukkan bidang ilmu pada abad
berikutnya. Penelaahan ilmu yang dimulai sejakbani Umayyah menjadi usaha
besar-besaran pada masa bani Abbasiyah.
Gerakkan membangun ilmu secara besar-besaran dirintis oleh khalifah
Ja‟far al-Mansur (al-Gurabi, 1959: 137). Setelah ia mendirikan kota Baghdad
(144 H/762 M) dan menjadikannya sebagai ibu kota Negara. Ia menarik banyak
ulama dan para ahli dari berbagai daerah untuk datang dan tinggal di Baghdad. Ia
merangsang usaha pembukuan ilmu agama, seperti fiqih, tafsir, tauhid, sejarah.
Akan tetapi yang lebih mendapat perhatian adalah penerjemahan buku ilmu yang
berasal dari luar (Amin,1965: 272).
Muhammad ibn Sallam (777-839 M.), pemimpin darul hikmah Hajjaj Ibn Hunayn ibn Ishak (809-
847 M).
6 Diceritakan asal muasal kedatangan kebudayaan Yunani adalah filosof-filosof Yunani
yang lari dinegaranya Karena dikejar-kejar oleh rajanya, akibat perbedaan mazhab (pandangan).
Sebenarnya merekalah penyusun ilmu secara sistematis, namuan ketika Yunani dijajah oleh
bangsa Romawi, raja-rajanya yang beragama Kristen tidak mentolerir. Masa raja Konstantin
Agung (wafat 366 M), pepustakaan, yang diidrikan oleh raja Perbeku yang bersifat Liberal,
dibubarkan atau dimusnahkan, pengetahuan dianggap sebagai sihir yang dikutuk, filsafat dan ilmu
dibasmi.Kaisar Yustinius pada tahun 529 M menutup sekolah filsafat yang masih ada pengajarnya
dan mereka diusir.para sarjana itu kemudian lari ke Paris dan mendapatkan kedudukan terhormat
di Islatana Kisra An usirwan (531-578 M) dan aliran filsafat Neo Plato yang mereka bawa
diterima baik. Didirikanlah di Yunde Sahpur sebuah perguruan tinggi, di mana sarjana itu
mengajar bermacam ilmu, antara lain kedokteran dan filsafat. Sekolah ini berurat akar di kota ini
sampai berdirinya bani Abbasiyah, seperti di Harran menjadi pusat kegiatan Yunani di Irak,
dimana penduduknya berbicara dengan bahasa Arab.
81
Hasyim
Abdul Muthalib
Al Abbas Abdullah Abu
Thalib
Abdullah Nabi Muhammad SAW. Ali
„Ali
Muhammad Abdullah Daud Sulayman
Ibrahim 1. Abul Abbas (749-754) 2. Al Manshur (754-775)
Musa
3. Al-Mahdi (775-785)
4. Al-Hadi (785-786) 5. Harun Al Rasyid (786-809)
Ibrahim
6. Al- Amin (809-813) 7. Al Ma’mun (813-833) 8. Al
Mutaksim (833-842)
Tabel 3.1: Silsilah Kholifah Abbasiyah zaman Integrasi Ilmu
E. Pertumbuhan Ilmu Pengetahuan dan Perkembangannya dalam Islam
1. Pertumbuhan Ilmu Naqli (Ilmu Agama Islam)
Ilmu naqli adalah ilmu yang bersumber dari naqli (Al-Qur‟an dan Hadis),
yaitu ilmu yang berhubungan dengan agama Islam. Ilmu ini mulai disusun dasar
perumusannya pada sekitar 200 tahun setelah hijrah Nabi sehingga menjadi ilmu
yangkita kenal sekarang.
82
Agama Islam di samping sebagi ajaran juga sebagi ilmu. Sebagai ajaran,
agama mengandung unsur masalah yang gaib, adanya hubungan baik dengan
kekuatan yang gaib tersebut. adapun agama sebagai ilmu disebut dengan ilmu
agama. Ilmu agama dapat dimakanai sebagai prosedur, proses dan produk. Ilmu
agama sebagai proses merupakan aktivitas penelitian tentang fenomena dan
ajaran agama secara rasional, kognitif dan teologis. Ilmu agama sebagai
prosedur adalah aktifitas kajian atau penelitian tentang fenomena dan ajaran
agama dengan metode-metode ilmiah. Makna ilmu agama sebagai produk
adalah berisi tentang kumpulan fenomena dan ajaran agama secara sistematis
merupakan hasil aktivitas kajian atau penelitian dengan menggunakan metode
ilmiah (Mulyadi, 2010:159). Ilmu-ilmu yang termasuk ilmu naqli adalah sebagai
berikut:
a. Ilmu Tafsir
Untuk menggunakan al-Qur‟an sebagai sumber ajaran Islam secara
langsung tidak semua orang memiliki kemampuan. Sejarah mencatat, bahwa
pada priode pertama dari masa pertumbuhan Islam, ternyata yang memiliki
kemampuan memahami Al-Qur‟an sangat terbatas.
Dilihat dari segi pertumbuhan dan perkembangan, Ulum al-Qur’an atau
Ulum at-Tafsir, sama dengan pertumbuhan ilmu-ilmu lainnya, yakni tumbuh dan
berkembang dari keadaan yang sederhana dan bercampur dengan pembahasan
ilmu lainnya hingga menjadi sebuah ilmu yang berdiri sendiri.
Pada masa Rasulullah Saw. serta masa Khulafaur Rasyidin, Ulum at-Tafsir
masih diriwayatkan melalui penuturan secara lisan. Al-Qur‟an diturunkan dalam
bahasa Arab menurut uslub-uslubnya yang diwahyukan kepada seorang yang
ummy. Penafsiran al-Qur‟an telah tumbuh pada masa Nabi dan beliaulah
sebagai al-Mufassir al-Awwal dari kitab Allah untuk menerangkan maksud-
maksud wahyu yang diturunkan padanya. Tafsir yang diterima Nabi sedikit
sekali dan sahabat-sahabat Rasul tidak ada yang berani menafsirkan al-Qur‟an
ketika masih hidup.Rasul sendirilah yang memikul tugas menafsirkan al-Qur‟an
(Al Munawar, 2002: 63-64).
Ketika zaman kekhalifahan Utsman ra. Dimana orang Arab mulai bergaul
dengan orang-orang non-Arab, pada saat itu Utsman memerintahkan supaya
kaum Muslimin berpegang pada mushaf induk dan membuat reproduksi menjadi
beberapa buah naskah untuk dikirim ke daerah-daerah. Bersamaan dengan itu ia
memerintahkan supaya membakar semua mushaf-mushaf lainnya yang ditulis
orang menurut caranya masing-masing.
Dengan perintah reproduksi naskah al-Qur‟an ini berarti Ustman
meletakkan dasar yang di kemudian hari dikenal dengan nama ilmu Rasmi al-
Utsmani (ilmu tentang penulisan al-Qur‟an) yang merupakan bagian dari
pembahasan Ilmu al-Qur‟an. Selain itu terdapat nama lain yang juga
berpengaruh terhadap perkembangan ilmu ini, yakni Ali bin Abi Thalib r.a,
dengan perintahnya kepada Abul Aswadi al-Duali, agar meletakkan kaidah
83
pramasastra bahasa Arab guna menjaga corak keasliannya. Dengan perintah ini
berarti Ali bin Abi Thalib adalah orang yang meletakkan dasar ilmu I’rabAl-
Qur’an yang juga merupakan bagian dari Ulum Al-Qur’an. selain itu ada nama
lain seperti, Ibn Abbas, Aibn Mas‟ud, Zaid bin Tsabit, Ubai bin Ka‟ab, Abu
Musa al-Asy‟ari, Abdullah bin Zubair.
Menurut Abuddin Nata, pada pengkodifikasi al-Qur‟an, ilmu tafsir berada
di atas segala ilmu yang lain, karena ia dipandang sebagai induk ilmu Al-
Qur‟an, atau ilmu yang utama dari Ulum al-Qur’an. Dalam pertumbuhan dan
perkembangan Ilmu Tafsir yang terjadi pada abad pertama hingga, abad ke lima
belas, terdapat hal-hal yang menarik untuk di pahami sebagai berikut:
Ilmu tafsir mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang luar biasa
jika dibandingkan dengan ilmu Keislaman lainya. Hal ini antara lain dapat
dilihat bahwa pada setiap abad selalu terdapat ulama yang menulis kitab-
kitab yang sekaligus berkaitan dengan berbagai cabang ilmu tersebut. Ilmu
tafsir memiliki cabang yang sangat luas itu, memperhatikan luasnya
isyarat yang terkandung di dalam al-Qur‟an. Kitab-kitab yang membahas
ilmu tafsir yang demikian banyak itu boleh jadi masih berserakan di
berbagai perpustakaan baik di Barat dan di Timur, dan sebagaian mungkin
sudah ada yang hilang mengingat kitab itu di tulis dalam kondisi industry
kertas masih belum tumbuh seperti sekarang.
Keberadaan berbagai cabang ilmu tafsir tersebut tujuan utamanya adalah
agar setiap orang yang membaca, memahami, menghayati, dan mengamalkan
kandungan al-Qur‟an atau menafsirkannya tidak terjerumus ke dalam kesalahan
yang sesat dan menyesatkan. Munculnya berbagai cabang ilmu tafsir tersebut
menggambarkan kesungguhan, ketekunan, motivasi, keikhlasan para ulama yang
tinggi dalam mengembangkan khazanah studi Islam, khususnya dalam bidang
ilmu tafsir yang pada gilirannya dapat meningkatkan mutu kehidupan
masyarakat (Nata, 2011: 166-167).
Pemahaman ayat-ayat al-Qur‟an melalui penafsiran-penafsirannya
mempunyai peranan yang sangat besar bagi maju mundurnya umat sekaligus
dapat mencerminkan perkembangan serta corak pemikiran mereka
(Shihab,2003: 83). Dari segi tatacara kerjanya, penafsiran al-Qur‟an yang telah
dilakukan para ulama di masa lalu dan juga masa sekarang menggunakan yang
bermacam-macam. Quraish Shihab menyebutkan dalam “Membumikan Al-
Qur‟an” bahwa metode penalaran; pendekatan dan corak-corak penafsiran Al-
Qur‟an meliputi metode tahlily, maudhu’iy, muqaran (komparasi) dan analisis.
Pada masa bani Abbasiyah, para penafsir yang termasyur dari golongan ini
seperti: (1) Ibn Jarir al-Thabary, (2) Ibn Athiyah al-Andalusi, (3) As-Suda yang
mendasarkan penafsirannya pada Ibn Abbas, Ibn Mas‟ud dll. Sedangkan tafsir bi
al-Ra’yi adalah penafsiran al-Qur‟an dengan menggunakan akal dengan
mempergunakan akal dengan memperluas pemahaman yang terkandung
84
didalamnya. Ulama yang termashur dari golongan ini seperti; (1) Abu Bakar
Asma dari golongan Mu‟tazilah dan Abu Muslim Muhammad al-Isfahany dari
golongan Mu‟tazilah (Shiddiwqy, 2000: 245).
b. Ilmu Hadis
Hadis merupakan sumber kedua ajaran Islam, setelah al-Qur‟an al-Karim.
Dalam Ushul al-Hadist, Allah Swt. mengakhiri risalah alsamawiyah-Nya
melalui ajaran Islam, dan ia mengutus Nabi Muhammad Saw.sebagai rasul yang
memberikan petunjuk, dan Allah menurunkan al-Qur‟an kepadanya sebagai
mukjizat terbesar, bukti yang agung serta Nabi Muhammad Saw. diperintahkan
untuk menyampaikan dan menjelaskannya kepada manusia (al-Khatib, 1989:
34).
Karena kedudukan itulah maka umat Islam berusaha menjaga dan
melestarikannya di setiap kurun waktu.
Pertumbuhan dan perkembangan Ilmu hadits tersebut sangat terkait
dengan permasalahn yang timbul dalam perjalanan hadis itu sendiri. Para ahli
pada umumnya membagi hadis pada dua priode besar, yaitu masa mutaqaddimin
dan masa muta’akhirin. Masa mutaqadimin terbagi melaui lima tahap priode:
1) Masa turunnya wahyu (13 SH/609M-11 H/632 M)
Pada masa ini menerima hadis dari Nabi Muhammad Saw. secara lisan,
kemudian disebarluaskan secara lisan juga. Selain khawatir jarang orang yang
dapat menulis, juga Nabi Muhammad sesudah kekhawatiran itu hilang dan para
sahabat sudah cukup memahami dan mendalami serta menghafal al-Qur‟an,
maka diperbolehkanlah Abdullah ibn Amr bin Ash. Karakteristik priode ini ialah
bahwa wahyu merupakan focus segala kegiatan ilmiah, baik hafalan maupun
tulisan. Adapun hadis lebih banyak berupa hafalan dan ingatan para sahabat
yang mendengar atau melihat Nabi Muhammad melakukan suatu perbutan
(Abdurrahman, 2002: 64-65). .
2) Masa Khulafa al-Rasyidin (12 H/634 M – 40 H/661 M)
Pada masa khulafaur al-Rasyidin, para sahabat tidak lagi berpusat di
Madinah tetapi mulai menyebar ke berbagai penjuru wilayah Islam untuk
menyampaikan ajara Islam, termasuk Hadits, sehingga penyebaran Hadits sudah
mulai berkembang. Untuk menjaga segala kemungkinan, maka Abu Bakar dan
Umar ibn Khathatab memerintahkan penjagaan ketat dalam periwayatan Hadits.
Periwayatan hadits dilakukan hanya jika diperlu saja dan harus dengan
kesaksian lain dan berhati-hati dalam penelitiannya (Ash Shiddieqy, 2000: 245).
Pada masa itu dikenal dengan aqallu al-riwayah, yakni menyedikitkan
(memperkuat) dalam periwayatan hadits. Adanya usaha dalam memperketat
penyebaran hadits yang digunakan oleh para sahabat merupakan indicator
terhadap seseorang bahwa tidak mudah menerima dan menyebarluaskan segala
sesuatu yang dinisbahkan kepada nabi Muhammad Saw.
85
3) Masa sahabat kecil dan Tabi‟in (40 H/661 M – Akhir abad ke-1 H)
Pada masa sahabat kecil dan Tabi‟in,7 kekuasaan Islam yang sudah
dirintis masa khulafa al-Rasyidin sudah semakin meluas, sehingga menyebabkan
terjadinya perlawatan para sahabat ke kota-kota lain. Di kota-kota yang baru
banyak berkumpul orang-orang Arab dan „Ajam (non-Arab) untuk mendapatkan
ilmu dari kalangan sahabat.Kegiatan itu menghasilkan banyak ilmuwan di
kalangan Tabi‟in.
Namun, pada masa itu mulai terjadi pertemuan atau pergumulan antara
berbagai agama dan budaya, antara agama dan budaya Islam dengan agama dan
budaya-budaya lainnya. Pertemuan itu menimbulkan perbedaan pendapat yang
membawa kepada pertentangan antar golongan. Disamping itu, mulai juga
terjadi pertentangan antar berbagai kepentingan politik. Masing-masing
golongan berusaha untuk menguatkan dan memenangkan hujjah politik dan
golongannya masing-masing. Jika mereka tidak mendapatkan hujjah yang
didukung Al-Qur‟an da Hadis, sebagian mereka tidak segan-segan membuatnya
sendiri. Disisi lain pertentanga politik Ali dan Mu‟awiyah, permusuhan Ali,
Aisyah, dan Mu‟awiyyah, pertentangan antara Arab dan non-Arab, juga menjadi
pemicu lahirnya hadits-hadits palsu. Keadaan pertentangan yang membawa
terjadinya banyak pemalsuan hadits seperti itu, akhirnya mendorong para sarjana
muslim untuk mempelajari hadits dengan telitii sehingga dapat membedakan
hadis yang shahih atau yang palsu. Kegiatan terhadap rangkaian dan
kesinambungan perawi hadis melahirkan ilmu Rijal al Hadits yang mempelajari
masing-masing perawi hadits, sehingga dapat diketahui perawi yang jujur dan
yang berbohong. Penelitian lain dari kesesuian hadits dengan prinsip-prinsip
agama melahirkan ilmu Dirawah al-Hadits.
4) Masa Pembukuan Hadis secara resmi (Abad ke-2 H)
Pada masa Rasulullah dan Tabi‟in periwayatan hadis masih lebih banyak
mendasarkan pada kekuatan hafalan. Sedangkan sahabat kemudian banyak yang
wafat. Hal ini akhirnya mendorong khalifah Umar ibn Abdul al-Aziz dari daulah
Bani Umayyah untuk membukukan Hadis. Khalifah Umar meminta gubernur
Madinah Muhammad ibn Amr ibn Hazm. Untuk menuliskan hadis-hadis Rasul.
Ternyata, Ibn Hazm menuliskan hadis-hadis yang didapati dari Amrah binti
Rahman al-Anshariyah dan Qasim ibn Muhammad ibn Abi Bakar. Pada masa
ini, seorang ulama besar di bidang Hadis pada masanya, juga membukukan
7Disebut sahabat kecil, karena mereka masih kanak-kana pada saat hidupnya Nabi
Muhammad dan tidak jauh usiannya dengan mereka yang lahir sesudah priode sahabat ini.dan
generasi berikutnya sesudah sahabat ini, yakni generasi yang tidak bertemu langsung dengan nabi
Muhammad, hanya bertemu dengan sahabat yang masih hidup, mereka disebut dengan tabi‟in.
generasi yang paling utama, terkadang sering disebut denga tabi;in besar.
86
Hadis yang ada di Madinah. Sesudah itu, para ulama berlomba-lomba untuk
membukukan Hadis.
Para ulama di abad ke-2 H. ini membukukan Hadis secara keseluruhan
tanpa penyaringan, mana yang dari Nabi, Sahabat dan Tabi‟in, sehingga, kitab-
kitab Hadis susunan ulama pada masa ini masih terdapat Hadis marfu yang
mauquf dan maqthu’.8Di antara kitab-kitab hadis dihasilkan diabad ke-2 H. ini,
yang termashur adalah kitab al-Muwaththa susunan Imam Malik, yang
mengandung 1726 hadis. Selain itu juga kitab Musnad susunan as-Syafi‟i,
Musnad Abu Hanifah dan al-Jami susunan Imam Abd al-Razzaq ibn Hammam.
5) Masa Pentashihah dan Penyaringan Hadis (Abad ke-3 H)
Masa pembukuan hadis di abad ke-2 H. masih bercampur, baik yang
datang dari Nabi Muhammad, sahabat maupun Tabi‟in. Begitu juga, masih
bercampurnya antara Hadis-hadis yang shahih, hasan, dan dha‟if. Hal tersebut
membuat ulama Hadis pada abad ke-3 H. tergugah untuk meneliti hadis secara
lebih seksama, memisahkan hadis yang shahih dari hadis yang tidak shahih,
serta hadis yang kuat dari hadis yang lemah. Untuk itu, mereka mempelajari
sejarah rawi dan perjalanan hidupnya, mempelajari sifat-sifat rawi yang baik dan
yang cacat, lalu memberitahukannya kepada umum dan membukukannya.
Berkenaan dengan hal ini, para ulama membuat ketentuan untuk menetapkan
mana rawi yang boleh diterima hadisnya dan mana yang tidak. Ketentuan hal ini
disebut dalam ilmu Jarh wa Ta’dil yang membahas tentang cacat dan keadilan
perawi hadis (Yunus, 1955: 11).
Ulama yang mula-mula menulis hadis dengan menyaring hadis-hadis
yang shahih adalah Imam al-Bukhary (w. 256 h) yang hadis terkenal dengan
kitab al-Jami al-Shahih, kemudian diikuti oleh muridnya yaitu Imam Muslim
(W. 261 H) dengan kitab hasil karyanya Shahih Muslim. Dengan usaha yang
dilakukan oleh keduannya, maka terbentuklah sumber hadis yang bersih.
Sesudah itu, muncul beberapa imam ahli hadis yang menyaring hadis-hadis yang
belum disaring oleh kedua imam tersebut, Imam Abu Daud (w. 275 H) al-
Turmudzi (w.279 H), al-Nasai (w 303 H), Ibn Majah (w 273 H), yang masing-
masing menyusun kitab hadis denagn sebutan Sunan.Kitab-kitab tersebutlah
yang disebut kitab induk yang enam (kutub al-Sittah). Sesudah itu muncul Imam
Ahmad ibn Hanbal (w. 241 H) yang kitabnya disebut Musnad Ash-Shiddieqy,
2000, 63). Usaha pelestarian Hadis di masa mutaakhirin (jika dibandingkan
dengan masa mutaqaddimin), dibagi menjadi beberapa tahap dengan ciri
tersendiri, baik sistemnya maupun pen-tadwin-an (pembukuan). Para
mutaqaddimin mengumpulkan hadisnya dengan cara menemui sendiri para
8Istilah Marfu‟ dalam ilmu hadis adalah hadis riwayatnya sampai kepada nabi
Muhammad.Istilah hadis Mauquf adalah perkataan sahabat Nabi, sehingga riwayatnya pun hanya
sampai kepada sahabat dan hadis Maqthuf adalah hadis yang sanadnya hanya sampai kepada
Tabi‟in atau generasi di bawahnya.
87
penghafalnya yang tersebar di seluruh pelosok tanah Arab, Persia, dan lain-
lainnya, kemudian memilih dan menyaring, maka ulama muta’akhirin melalui
cara mutaqaddimin.
Masa ini ulama mempergunakan sistem istidrak dan istikhraj.9 Kitab-
kitab istidrakini disebut Mussirak, misalnya tiga Mu‟jam yaitu Mu’jam Kabir,
Mu’jam Ausath, Mu’jam Shaghir susunan Imam Sulaiman ibn Ahmad al-Tabani
(w. 360 H) Mustadrak susunan al-Hakim Naisaburi (w. 405 H), shahih ibn
Huzaimah (w. 311 H), Mustadrak al-Taqsim wa al-Anwa susunan Abi Hakim
Muhammad ibn Hiban (w. 354 H) dan lain-lain. di antara kitab-kitab mustakhraj
adalah Mustakhraj Shahih al-Bukhari karangan al-Hafidz Abu Bakar al-Barkoni
(w. 425 H), dan lain-lain. dengan demikian pada akahir abad ke-4 dapat
dikatakan pembinaan dan pelestarian Hadis yang diterima dari Nabi Muhammad
Saw. telah selesai.
Pada abad ke-5 sampai abad ke-7, para ulama hanya berusaha untuk
memperbaiki susunan kitab, mengumpulkan Hadis al-Bukahari dan Muslim
dalam kitab, mempermudah jalan pengambilannya, mengumpulkan Hadis
hukum dalam satu kitab, mengumpulkan Hadis taghrib dan tarhib dalam satu
kitab, memberikan syarat terhadap susunan Hadis yang ada, menyusun kitab
atraf dan lain-lain, dalam abad ini timbulah istilah al-jami, al-jawami, al-takhrij
(Ash-Shiddqiey, 2000: 93-94).10
c. Ilmu Kalam
Ilmu kalam adalah ilmu yang membicarakan tentang wujud Tuhan
(Allah), sifat-sifat yang mesti ada pada-Nya, sifat-sifat yang tidak boleh ada
pada-Nya dan sifat-sifat yang mungkin ada pada-Nya, serta membicarakan
tentang Rasul-rasul Tuhan, untuk menetapkan kerasulannya dan mengetahui
sifat-sifat yang mesiti ada padanya, sifat-sifat yang tidak boleh ada padanya, dan
sifat-sifat yang mungkin ada padanya (Hanafi, 1986: 3).
9Yang dimaksud dengan sistem Istidrak adalah mengumpulakn hadis yang diriwayatkan
oleh al-Bukaharai dan Muslaim atau tidak oleh salah satu dari keduannya tetapi memenuhi syarat-
syarat yang dipergunakan oleh al-Bukahari dan Muslim atau salah satu dari keduannya.
Sedangkan yang dimaksud dengan Istikhraj adalah mengambil hadits dari al-Bukhari dan Muslim,
lalu meriwayatkandengan cara sendiri, bukan dari sanad al-Bukhari atau Muslim, lalu
meriwayatkan dengan cara sendiri, bukan dari sanad al-Bukhari atau Muslim.
10Yang dimaksud dengan takhrij adalah menerangkan derajat, tempat pengambilan dan
pemberian penilaian terhadap hadis-hadis yang terdapat pada kitab fiqih, kitab tafsir dan kitab-
kitab ilmiah lainnya yang belum diterangkan perawi pentakhrijnya maupun penilaiannya.Taghrib
dan tarhib adalah menerengkan keutamaan amal, menggemarkan agar orang suka beramal, dan
keutamaan agar orang menjauhkan diri dari perbuatan yang terlarang.Kitab atraf ialah kitab yang
hanya menyebut sebagian hadis, kemudian mengumpulkan seluruh sanad baik sanad suatu kitab
maupun sanad dari beberapa kitab.Sedangkan yang dimaksud syarah ialah menerangkan arti dari
hadits-hadis yang bersangkutan.
88
Sebagaimana Ibn Khaldun dikutip oleh Ahmad Hanafi berpendapat,
bahwa ilmu kalam ialah ilmu yang berisi alasan-alasan mempertahankan
kepercayaan iman dengan menggunakan dalil-dalil pikiran dan berisi bantahan
terhadap orang-orang yang menyeleweng dari kepercayaan-kepercayaan aliran
golongan salaf dan ahli sunah (Hanafi, 1986: 3).
Ilmu kalam adalah salah satu dari empat disiplin keilmuan yang telah
tumbuh dan menjadi bagian tradisi kajian tentang agama Islam.Tiga lainnya
ialah disiplin-disiplin keilmuan fiqih, tasawuf, dan falsafah. Ilmu kalam erat
kaitannya dengan ilmu mantiq atau logika, dan pada kerangka ini, Nurcholish
Madjid secara lugas mendeskripsikan bahwa ilmu kalam tumbuh dalam
kerangka logika dan seiring dengan falsafah secara keseluruhan yang mulai
dikenal bergaul dengan bangsa-bangsa yang berlatar belakang peradaban Yunani
(Hellenisme) (As-Shiddqiey, 2000: 93).
Akan tetapi pada dasarnya ketika logika sebagai dasar menyusun
argument dan menguji silogisme, masuk dalam Islam, para teolog tidak
menggunakannya, sebab logika erat kaitannya denga filsafat. Dan banyak para
kalangan yang berpendapat bahwa lahirnya ilmu kalam beberapa abad pasca
wafatnya Nabi Muhammad dan dilatarbelakangi oleh sosial politik umat Islam
pada masa awal pertumbuhannya. Akan tetapi, secara umum latar belakang
lahirnnya ilmu kalam oleh dua faktor sebagai berikut:
Pertama, teori politik. Teori ini antara lain digunakan oleh Harun
Nasution. Misalnya ia mengatakan bahwa, peroalan politik yang terjadi antara Ali
bin Abi Thalib dan Mu‟awiyyah tentang perebutan kekuasaan yang diselesaikan
dengan jalan abitrase oleh kaum Khawarij dipandang bertentangan dengan ajaran
Islam. Disamping itu mengutip pendapat Musyrifah Susanto yakni ”untuk
membela Islam dengan bersenjatakan filsafat, seperti halnya musuh yang
menyerang dan menjelek-jelekkan Islam dengan memakai senjata”. Kedua,
karena semua masalah termasuk masalah agama telah bergeser dari pola rasa
kepada pola akal dan ilmu. Kaum Mu‟tazilah berjasa dalam menciptakan ilmu
kalam, karena mereka adalah pembela gigih berani terhadap Islam dari serangan
Yahudi, Nashrani, dan Wasani. Menurut riwayat, mereka mengirim juru-juru
dakwah ke segenap penjuru untuk menolak serangan musuh. Diantara pelopor dan
ahli ilmu Kalam yang terbesar yaitu Washil bin Atha, Abu Huzail al-Allaf, Au
Hasan al-Asya‟ari dan Imam Al-Ghazali (Amin, 1967: 364).
Dalam perkembangan selanjutnya, ilmu kalam tidak lagi memonopoli
kaum Mu‟tazilah. Adalah seorang sarjana dari kota Basrah di Irak, bernama Abu
al Hasan al-Asy‟ari (260-324 H./873-935 M. ) yang terdidik dalam alam
Mu‟tazilah. Tetapi kemudian pada usia 40 tahun ia meninggalkan paham
Mu‟tazilah dan justru mempelopori suatu jenis ilmu kalam yang anti Mu‟tazilah.
Ilmu kalam Asy‟ari itu, yang juga sering disebut Asy‟ariyyah, kemudian tumbuh
dan berkembang menjadi ilmu kalam yang paling berpengaruh dalam Islam
sekarang, Karena dianggap paling sah menurut pandangan sebagian besar kaum
89
Sunni. Kebanyakan mereka ini kemudian menegaskan bahwa “jalan keselamatan”
hanya didapat seseorang yang dalam masalah kalam menganut Asy‟ari (Madjid,
2000: 209).
d. Ilmu Tasawuf
Secara bahasa kalimat tasawuf masuk dalam “babut-taful” dengan wazan,
tasawwuffa,yatasawwuf, tasawwufan. Tasawwufal-rajulu yakni, seorang laki-laki
telah berpindah halnya daripada kehidupan biasa pada kehidupan sufi. Sedangkan
Asmaran AS. mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata “saf” yang artinya
suci, bersih atau murni; atau kata “saf” yang artinya sah atau baris dari kata
“suffah” yang berarti serambi masjid; dan juga “shuf” yaitu bulu domba.
Asmaran 1996:42). Sedangkan Karen Amstrong diartikan dengan pakainan
bersahaja yang terbuat dari wol kasar yang diduga merupakan pakaiaan
kegemaran Nabi Muhammad Saw. (Zuhri, 1995: 45).
Ilmu Tasawuf adalah salah satu ilmu yang tumbuh dan matang pada
zaman Abbasiyah. Inti ajarannya tekun beribadah dengan menyerahkan diri
sepenuhnya kepada Allah, meninggalkan kesenangan dan perhiasan dunia, serta
bersunyi diri beribadah. Dalam sejarah sebelum timbul aliran tasawuf terlebih
dahulu muncul aliran zuhud. Aliran zuhud ini timbul pada akhir abad ke-1 dan
permulaan abad ke-2 H. terdapat sejumlah terori yang berkaitan dengan
pengertian tasawuf. Harun Nasution mislanya, mengatakan bahwa, teori yang
diterima adalah istilah itu berasal dari kata “suf” yang berarti wol. Kemunculan
Tasawuf adalah sebagai reaksi terhadap hidup mewah dari kahlifah dan keluarga
serta pembesar-pembesar negara sebagai akibat dari kekayaan yang diperoleh
setelah Islam meluas ke Syiria, Mesir, Mesopotamia, Persia. Aliran zuhud ini
mulai nyata kelihatan di Kufah dan Basrah di Irak. Para Zahid Khufahlah yang
pertama sekali memakai wol kasar sebagai reaksi terhadap pakaian sutra yang
dipakai golongan bani Umayyah seperti Sufyan al-Tsauri (w.235 H). Orang sufi ingin hidup sederhana dan menjauhi hidup keduniawian dan
kesenangan jasmani, dan untuk itu mereka hidup sebagai orang miskin dengan
wol kasar tersebut (Nasution, 1985: 72, Rachman, 1994: 42). Basrah sebagai kota
tenggelam dalam kemewahan, aliran zuhud mengambil corak lebih ekstrim
sehingga akhirnya meningkat kepada ajaran mistik. Zahid-zahid yang terkenal di
sini adalah Hasan al-Bashri (w. 110 H), dan Rabi‟ah al-Adawiyah (w. 185 H.).
(Nasution, 1978: 64). Dalam memperhatikan kemewahan hidup dan maksiat yang dilakukan
khalifah dan pembesar-pembesar orang yang zahid ini teringat kepada ancaman
yang terdapat dalam al-Qur‟an terhadap orang yang tidak patuh kepada Allah, tak
perduli pada larangan dan tak menjalankan perintah-perintah-Nya. Karena itu
mereka melarikan diri dari masyarakat mewah dan tak patuh. Mereka teringat
kepada dosa mereka, maka mereka bertaubat (Nasution, 1978: 66).
90
e. Ilmu Bahasa
Pada zaman daulah Abbasiyah, ilmu bahasa (lughah) tumbuh dan
berkembang dengan pesat, karena bahsa Arab menjadi bahasa internasional.
Adapun yang dimaksud dengan ilmu bahasa dalam hal ini adalah ilmu yang
tidak berdiri sendiri, akan tetapi menyeluruh meliputi ilmu Nahwu, Sharaf,
Ma’ani, Bayan, Bad’, Arudh, Qamus, dan Insya. Kota Bashrah dan Kuffah
merupakan pusat pertumbuhan dan kegiatan ilmu bahasa, keduanya berlomba-
lomba dalam bidang tersebut, sehingga terkenal sebuah aliran Basrah dan aliran
Kuffah yang para pendukungnya merasa bangga dengan alirannya masing-
masing. Aliran Basrah lebih banyak terpengaruh dengan mantiq
dibandingkandengan Kuffah. Dalam era ini banyak dihasilkan kitab-kitab yang
bernilai tinggi dalam bidang bahasa.
Yang menarik pada masa ini diantara empat tokoh tersebut adalah salah
satu tokoh yaitu Sibawaih (761-793 M.) yang merupakan seorang ahli
gramatikal yang paling terkenal dalam sejarah Arab, meskipun dia bangsa Persia
yang kurang bagus bahasa Arab. Walaupun Sibawaih meninggal dunia dalam
usia yang masih sangat muda, tiga puluh dua tahun, selama hayatnya dia telah
menghasilkan buku karangan yang sangat besar dan sangat bermanfaat.
Karangannya dikenal dengan nama Kitab al-Sibawayh, yang dikomentari
bahwasanya buku ini mengalahkan buku yang telah ada sebelumnya dan
memuaskan orang yang datang sesudah masanya (Amin, 1995: 55).
f. Ilmu Fiqih
Mazhab hukum Islam telah ada sejak masa sahabat, seperti mazhab
Aisyah, mazhab Abdullah bin Umar dan mazhab Abdullah bin Mas‟ud.
Kemudian hari banyak para cendikiawan yang bermunculan dari masa kemasa
atau dari tempat ke tempat lainnya. Bahkan pada abad ke-2 H. hingga
pertengahan abad ke-4 H. yang merupakan priode emas perkembangan ijtihad
yang melahirkan tiga belas mujtahid yang mengkodifikasi mazhabnya dan alur
pemikirannya kemudian diikuti oleh banyak orang.
Sedangkan ketika pada zaman Abbasiyah, merupakan zaman keemasan
tamadun Islam telah banyak melahirkan ahli-ahli hukum (fuqaha) yang terkenal
dalam sejarah Islam dengan kitab-kitab fiqihnya yang terkenal hingga sampai
sekarang. Para fuqaha yang lahir di zaman ini terbagi dalam dua aliran: ahli
Hadis dan ahli Ra’yi. Ahli Hadis adalah aliran yang mengarang fiqih
berdasarkan Hadis. Pemuka aliran ini adalah imam Malik dengan pengikut-
pengikutnya seperti Imam al-Syafi‟i, pengikut Syufyan dan pengikut Imam
Hanbali.
Karena polemik yang demikian, akhirnya para ulama‟ sibuk membuat apa
yang mereka namakan ushul fiqih, yaitu kaidah-kaidah yang harus diikuti oleh
mujtahid dalam mengambil hukum. Maka lahirlah dan bekembang istilah-istilah
hukum seperti wajib, sunnah, mandub dan mustahil. Selanjutnya lahir pula para
91
fuqaha ternama yang memiliki banyak murid dan pengikut yang
mengembangkan buah pikirannya. Bahkan, sampai sekarang pedoman bagi para
qadhi dalam menetapkan perkara pengadilan. Imam-imam fuqaha yang akhirnya
menukik menjadi salah satu mazhab itu antara lain sebagai berikut: Pertama.
Imam Abu Hanifah, yaitu Nu‟man bin Tsabit ibn Zauthi, dilahirkan di Kufa
pada tahun 80 H. ia banyak memiliki murid, diantaranya Abu Yusuf Ya‟qub al-
Anshary, Ja‟far ibn Hudzail bin Qais al-Kaufy dan Muhammad ibn Hasan al-
Aibany. Kedua. Imam Malik, yaitu Malik ibn Anas ibn Malik ibn Abi Amir
dilahirkan di Madinah pada tahun 93 H. ia adalah seorang ahli hukum yang
mempunyai banyak pengetahuan luas dalam Hadis. Murid-muridnya banyak
berdatangan dari Mesir, Afrika utara, Andalusia yang kemudian
mengembangkan madzhab Maliki di negrinya masing-masing. Diantara murid-
muridnya dari Mesir adalah Abu Muhammad Abdullah ibn Muslim al-Quraisy,
Abu Abdullah Abdurrahman ibn Kasirra al-Ataqy dan Asyhab ibn Abd. al- Aziz
al-Qaisy al-Amiry. Sedangkan murid-muridnya yang datang dari Afrika Utara
dan Andalusia adalah: Abu Abdullah Zaiyad ibn Abdurrahman al-Qurthuby, Isa
ibn Dariar al-Andalusy dan Yahya ibn Yahya ibn Katsir al-Lisy. Adapun di
antara pendukung-pendukungnya yang berasal dari belahan timur terdiri dari
fuqaha yang tidak pernah bertemu dengan Imam Malik akan tetapi mempelajari
dan menyetujui pemikirannya. Di antara mereka adalah; Ahmad Ibn Ma‟mal ibn
Khailan al-Abdi, Abu Ishaq Ismail al-Qadhy dan Abu Marwan Abdul Malik al-
Majisun. Ketiga. Imam Syafi‟i, yaitu Abu Abdullah Muhammad ibn Idris ibn
Askalan, merupakan seorang yang sangat cerdas dan pernah berguru kepada
Imam Malik. Pendukung-pendukungnya dari dan Hasan ibn Muhammad ibn
Shahab al-Baghdady. Pendukung-pendukungnya dari Hasan Irak di antaranya
Abu Thur al-Baghdady. Pendukung-pendukungnya dari Mesir di antaranya
Yusuf ibn Yahya Mazny al-Mishry dan Rabbi Sulaiman ibn Abdul Jabar al-
Murady. Keempat. Imam Ahmad, yaitu Ahmad ibn Hanbal ibn Hilal az-Zahily
sy-Syaibany yang lahir pada tahun 164 H. pahamnya hampir mirip dengan Imam
Syafi‟i. ia adalah ahli hadis yang banyak meriwayatkan hadis semasa hidupnya.
1. Pertumbuhan Ilmu Aqli (Rasio) Ilmu aqli adalah ilmu yang berdasarkan pada pemikiran rasio. Ilmu yang
tergolong ilmu aqli ini kebanyakan dikenal umat Islam berasala dari buku
terjemahan asing seperti, Yunani, Persia atau India. Menurut Baharuddin,
memang dalam Al-Qur‟an ada dasar-dasar ilmu ini, tetapi umat Islam mengenal
ilmu ini setelah mempelajarinya dari luar.
Dengan akalnya manusia mencapai kebenaran empiris dan rasional setelah
melakukan telaah terhadap fenomena-fenomena yang ada disekitarnya. Dari
sinilah ilmu pengetahuan terus berkembang sehingga ber-implikasi kepada
munculnya perkembangan dalam kehidupan sosial. Hal terpenting yang perlu
diketahui dalam perubahan sosial telah begitu signifikan mempengaruhi segenap
92
sektor kehidupan manusia, baik ekonomi, politik, sosial, dan budaya.
Demikianlahnya dengan pendidikan sebagai bagian terpenting dari peradaban
manusia tentunya tidak terlepas dari pengaruh sosial (Ahmad, 2005: 57).
Sumbangan-sumbangan kaum Muslimin kepada ilmu pengetahuan
demikian besarnya. Yang termasuk kedalam ilmu ini antara lain ilmu kimia,
fisika, tatanegara, music, astronomi dan ilmu hitung. Umat Islam mengenal ilmu
ini ketika keluar dari jazirah Arab. Mereka mendapatkan tata caranya di kota-
kota pusat pengembangannya, buku-bukunya, dan sarjana-sarjananya. Ketika
umat Islam menguasainya, mereka tetap memelihara dan memanfaatkannya,
terutama pada masa daulah Abbasiyah. Khalifah-khalifahnya mencintai ilmu.
Mereka mengadakan asimilasi ilmu-ilmu itu dengan agama Islam. Usaha yang
pertama adalah mengadakan penerjemahan secara besar-besaran. Ilmu yang
pertama kali menjadi daya tarik umat Islam dan khalifahnya adalah ilmu
kedokteran.
Menurut hemat penulis, hubungan antara agama dan ilmu tidaklah
berlawanan atau bertentangan satu sama lainnya. Sebagaimana penulis jelaskan
pada bab sebelumnya terdapat dalil al-Qur‟an dan Hadits yang mendukung
keduanya, dan mendorong umat Muslim untuk menuntut ilmu. Jadi dapat di
katakan, bahwa Islam tidak pernah ada sarjana-sarjana muslim yang dibunuh
seperti yang dialami Giordano Bruno yang dibunuh pada tahun 1600 M. dan
Galileo Galilei yang mati di penjara pada tahun 1642 M. dibawah pengadilan
iman (inkuisisi) gereja Roma, atau Miguel Sarvetto (penemu peredaran darah
dengan menukil dari Abu al-Hasan „Ali ibn an-Nafs, dibakar pada tahun 1553
M. dibawah reformator Jean Calvin (Poeradisastra, 2008: 16).
Sarjana-sarjana Muslim yang bertolak ukur dari tauhid menganggap
hukum-hukum alam sebagai sunatullah yang obyektif, tertib, dan teratur.
Mereka tidak merancukan kepercayaan dengan metode pembahasan ilmiah atau
memutarbalikkan fakta, sedangkan kurafat memang dilarang oleh Islam. Mereka
tidak dibelenggu oleh kedunguan-kedunguan gambaran alam semesta yang
dipunyai Ptoleimaios dan dilindungi oleh gereja berdasarkan nash-nash Bible
perjanjian lama. Segala kesimpulan objektif telaah mereka tidak pernah
sekalipun berlawanan dengan Al-Qur‟an dan Hadits. Bahkan Al-Qur‟an
dianggap selalu memperkuat hasil-hasil penelitian ilmiah mereka.
Sebagaimana Sayyed Hossein Nasr, Ph.D. Guru Besar Sejarah Ilmu
Pengetahuan Universitas Teheran, mengemukakan pendapatnya sebagai berikut:
Ilmu pengetahuan Islam menjadi ada dari suatu perkawinan antara
semangat yang memancar dari wahyu al-Qur‟an dan ilmu-ilmu yang ada
dari berbagai peradaban yang diwarisi Islam dan yang telah diubah
melalui daya tenaga rohaniyah menjadi sebuah zat baru yang sekaligus
berbeda dari dan kesinambungan dengan apa yang ada sebelumnya. Sifat
internasional dan cosmopolitan peradaban Islam berasal dari watak
internasional peradaban Islam berasal dari watak internasional wahyu
93
Islam dan terpantul dalam peredaran keilmubumian dunia Islam (dar al
Islam). Sehingga memungkinkan Islam menciptakan ilmu pengetahuan
pertama yang benar-benar bersifat internasional dalam sejarah umat
manusia.
Islam menjadi ahli waris pustaka kecendikiawan semua peradaban besar
sebelumnya, kecuali peradaban besar Timur Jauh. Islam menjadi sebuah tempat
berlindung di sebuah jagat rohani baru. Pasal ini haruslah diulangi, khususnya
karena sekian banyak orang di Barat keliru mengira bahwa Islam hanya bertindak
sebagai sebuah jembatan yang dilalui oleh gagasan-gagasan, teori atau ajaran
memasuki benteng pikiran Islam kalau tidak lebih dahulu dimuslimkan dan dituh-
padukan ke dalam pandangan dunia Islam yang menyeluruh. Apa pun yang tidak
dapat mengikat perdamaian (salam) dengan Islam, lambat laun akan terusir dari
kehidupan cendikia Islam atau sepenuhnya dibuang ke tepi pemandian warna-
warni ilmu pengetahuan Islam.” (Nasr, 1976: 21)
a. Abad penerjemahan (750-900 M. )
Usaha penerjemahan dari bahsa Yunani ke bahasa Arab sebenarnya sudah
dimulai sejak zaman Umayah, tetapi usaha besar-besaran dimulai sejak khalifah
al-Mansyur di masa daulah Abbasiyah. Pusat penting tempat penerjemahan
adalah Yunde Sahpur. Kota Baghdad menjadi kota yang besar dan menjadi
ibukota Daulah Abbasiyah, akan tetapi Yonde Sahpur tetap menjadi sebagai kota
ilmu pengetahuan pertama dalam Islam. Pada zaman al-Ma‟mun kemauan usaha
penerjemahan mencapai puncaknya dengan didirikannya sekolah tinggi terjemah
di Baghdad, dilengkapi dengan,lembaga ilmu yang disebut Bait al-Hikmah, suatu
lembaga yang dilengkapi observatorium, perpustakaan, dan badan penerjemah
(al-Ghurabi,1959: 132). Akibat penerjemahan buku Yunani kedalam bahasa Arab
dan masuknya kebudayaan Hellenesia ke dalam kebudayaan Islam telah
menciptakan suasana subur di kalangan kaum Muslimin tertentu dengan
pemikiran yang rasional.
Pada tahun 856 M., khalifah al-Mutawakil mendirikan sekolah tinggi
terjemah di Baghdad yang dilengkapi dengan museum buku-buku. Sekolah ini
didirikan menurut model Hunain (Hoesen, 1975: 30).11
Pada sekolah ini semangat
sosok Hunain tetap dihidupkan. Khalifah mengumpulkan sebanyak-banyaknya
orang Kristen yang siap berjalan kelilng benua atas biaya pemerintah. Tugas
11 Hunain ibn Ishaq (809-877 M.) penerjemah buku kedokteran Yunani, termasuk buku
dengan nama “ Materia Medika”. Hunain juga menerjemahkan buku Galen dalam lapangan ilmu
pengobatan dan filsafat sebanyak 100 buah ke dalam bahsa Syria 39 buah kedalam bahasa Arab.
Selain menerjemah ia juga mengarang bukunya sendiri. Buku karangannya dalam bahsa Arab dan
juga Persia, banyak dijumpai, misalnya “ Soal Pengobat” disusun dalam bentuk soal jawab.
Bukunya yang terkenal adalah “ Sepuluh Soal Tentang Mata”. Buku ini sampai dipelajari dan di
susun oleh pelajar-pelajar ilmu mata (Opthalmologi).
94
mereka hanyalah mengumpulkan buku Yunani sebanyak-banyaknya kemudian
dibawa ke Baghdad untuk diterjemahkan kedalam bahasa Arab.
1) Abad Penerjemahan Ilmu Aqli
Muhammad Jamil Khayyat sebagaimana dikutip oleh Maksum
berpendapat bahwa “ pendidikan Islam dalam perjalannya sangat dipengaruhi
oleh arus pergumulan, yaitu politik dan pemikiran, salah satu pengaruh dari
adanya pergumulan bidang politik dan pemikiran adalah ditemukan tempat-
tempat pendidikan yang kshusus dan sekaligus merupakan aliran pemikiran
tertentu. Seperti Darul Hikmah pada masa bani Abbasiyah lebih menunjukan
kepada pola pendidikan filsafat dan pengikut Syi‟ah”.
Dengan kegiatan penerjemahan, sebagian besar karangan Aristoteles,
bagian tertentu dari kalangan Plato, karangan mengenai Neo Platonisme,
sebagian besar karangan Glen, serta karangan dalam ilmu kedokteran lainnya
dan juga karangan ilmu pengetahuan Yunani lainnya dapat dibaca oleh alim
ulama‟ Islam (Nasution, 1978: 11).
Bertolak dari buku yang diterjemahkan itu, para ahli di kalangan kaum
muslim mengembangkan penelitian dan pemikiran mereka, menguasai semua
ilmu dan pemikiran filsafat yang pernah berkembang di masa itu serta
melakukan penelitian secara empiris dengan mengadakan pemikiran spekulatif
dalam batas-batas yang tidak bertentangan dengan kebenaran wahyu. Semenjak
itulah masa pembentukan ilmu-ilmu Islam dalam bidang aqli, yang sering
dinamakan abad keemasan yang berlangsung antara 900-1100 M. (Baharuddin,
2011: 176).
Dinamakan zaman keemasan, oleh karena itu adalah masa begitu
memuncaknya kebudayaan Islam di segala bidang ilmu aqli. Memuncaknya
kebudayaan Islam terlihat pada lahirnya ilmuan yang mampu menciptakan ilmu
dengan kemampuan diri sendiri, bahkan sering membantah dan membatalkan
teori menerjemahkan, mempelajari dan meneliti secara teliti kemudian berusaha
untuk mempraktekkannya.
Suatu keadaan, masa keemasan bidang ilmu ini terjadi justru tatkala politik
Abbasiyah mulai merosot. Kemunduran kekuasaan Abbasiyah menyebabkan
situasi politik tidak menentu karena kekuasan telah terbagi-bagi oleh timbulnya
daula-daulah (Negara-negara) kecil di daerah pinggiran. Ditambah lagi
timbulnya pertentangan idiologi antara paham sunnah dan paham Syiah, seperti
daulah Ghaznawiyah di Afghanistan dan bani Saljuk mempergunakan paham
sunnah sedangkan daulah Fathimiyah di Mesir pendiri kota Kairo dan
Universitas al-Azhar penganut paham Syiah. Namun dunia Islam dalam
keporak-poranda justru kegiatan intelektual dan ilmiah semakin
berkembang.Adapun sebabnya adalah kehidupan politik sangat tergantung pada
terlaksananya keadilan dan terjaminnya keamanan. Sedangkan kezhaliman
95
sering menyebbakan para sarjana dan ahli pengetahuan meninggalkan praktek
politik dan lari kelapangan teori dan ilmu pengetahuan.
Praktek politik menyeret mereka ke lembah kesukaran sedangkan ilmu
hanya dapat dikembangkan dalam suasana tenang. Lagi pula jiwa para khalifah
dan pembesar lainnya tetap menghormati ahli ilmu dengan syarat tidak
mencampuri persoalan politik praktis. Hal tersebut membuka kemungkinan bagi
mereka untuk melakukan penyelidikkan ilmiah dengan aman dan tentram
(Baharuddin, 2011: 177).
Disamping itu, seiring dengan perkembangan masyarakat dan sebagai
hasil persentuhan asimilasi dan alkulturasi, dalam Islam berkembang pula hasil
pemikiran di bidang fiqih, hadits, filsafat, serta tasawuf. Namun demikian,
tampaknya persoalan politik tetap mempengaruhi dinamika dan pergumulan
pemikiran tersebut. Sejarah Islam telah mencatat bahwa antar aliran pemikiran
dan kekuasaan saling mengambil keuntungan (Nasution, 1985: 61-63).
Jika dilihat perkembangan yang di akibatkan dari akulturasi dan asimilasi
antar bangsa dan kebudayaan, telah mengambil keuntungan masing-masing di
tiap disiplin ilmu yang bermunculan. Karena antar bangsa dan budaya di setiap
daerah atau Negara mengungkinkan tidak persis sama, dengan menggabungkan
perbedaan tersebut maka terlahirlah sebuah peradaban yang manju dari segala
bidang, salah satunya ilmu pengetahuan. Oleh karenanya wajar jika Rasulullah
pernah bersadba, “ikhtilafurrahmah” (perbedaan itu adalah rahmat).
Sungguhpun Rasul sejak berabad-abad yang lalu sudah dapat menjelaskan
dengan baik dari keuntungan atau manfaat “perbedaan”, namun agaknya
sebagain umat muslim kurang memperhatikan nilai-nilai yang terkandung dari
setiap yang ada dalam al-Qur‟an dan Hadits.
96
97
BAB IV
PARADIGMA PENGEMEBANGAN SAINS DAN
PENDIDIKAN ISLAM PADA ZAMAN AL MA’MUN
A. Biografi Al-Ma’mun (786-833 M./199-218 H.)
1. Masa Kecil Al-Ma’mun
Nama lengkap khalifah ini adalah Abdullah Abbas al-Ma‟mun.
Abdullah al-Ma‟mun dilahirkan di Baghdad pada tanggal 15 Rabi‟ul Awal
170 H/ 786 M. Bertepatan dengan wafat kakeknya Musa al-Hadi dan naik
tahta ayahnya, Harun al-Rasyid. Al-Ma‟mun termasuk putra yang jenius,
sebelum usia 5 tahun ia dididik agama dan membaca Al-Qur‟an oleh dua
orang ahli yang terkenal bernama Kasai Nahvi dan Yazidi.
Al-Ma‟mun beribukan seorang bekas hamba sahaya bernama
Marajil dari Persia. Selain belajar al-Qur‟an, ia juga belajar Hadits dari
Imam Malik di Madinah. Kitab yang digunakan adalah karya Imam Malik
sendiri, yaitu kitab Al-muwatha. Disamping ilmu-ilmu itu, ia juga pandai
Ilmu Sastra, belajar Ilmu Tata negara, hukum, filsafat, astronomi, dan lain
sebagainya. Sehingga ia dikenal sebagai pemuda yang pandai. Setelah
berhasil mengatasi berbagai konflik internal, terutama dengan saudaranya
bernama al-Amin, akhirnya al-Ma‟mun menggapai cita-citanya menjadi
khalifah pada tahun 198 H/ 813 H.
Al-Ma‟mun adalah seorang khalifah termasyhur sepanjang sejarah
dinasti Bani Abbasiyah. Selain seorang pejuang pemberani, juga seorang
penguasa yang bijaksana. Pemerintahannya menandai kemajuan yang
sangat hebat dalam sejarah Islam. Selama kurang lebih 20 tahun masa
kepemimpinannya mampu meninggalkan warisan kemajuan intelektual
Islam yang sangat berharga. Kemajuan itu meliputi berbagai aspek ilmu
pengetahuan, seperti matematika, kedokteran, astronomi, dan filsafat.
Kholifah Harun al-Rasyid mempercayakan anak-anaknya pada
guru pribadi. Al-Ma‟mun dipercayakan dibawah bimbingan Ja‟far Ibn
Yahya seorang yang bijaksana dalam berpikir dan juga pemaaf. Ja‟far juga
yang mengusulkan kepada Harun al-Rasyid untuk menjadikannya seorang
khalifah, yang kemudian disambut baik oleh Harun al-Rasyid (Saefuddin,
2002: 41).
Al-Ma‟mun adalah pribadi yang jarang bermain. Selama dua puluh
bulan tinggal di Baghdad beliau tidak sembarangan mendengarkan
nyayian yang bisa menghibur di dalam istana, karena menurutnya nyayian
itu dapat mengganggu konsentrasinya dalam mengkaji berbagai buku.
Semua itu dilakukan untuk mengembalikan keutuhan kerajaan yang
hampir runtuh dan juga karena kecintaan al-Ma‟mun terhadap ilmu
pengetahuan (Syalabi, 1982: 121-122).
98
2. Masa Remaja dan Dewasa Al-Ma’mun
Al-Ma‟mun merupakan salah satu kholifah Abbasiyah yang paling
terkemuka. Banyak para ahli sejarah berpendapat tanpa ketokohan dan
kemampuan al-Ma‟mun niscaya pristiwa-pristiwa yang terjadi pada
zamanya itu pasti dapat meruntuhkan kerajaan dan kebudayaan Islam.
Al-Mamun dinilai sebagai salah satu kholifah terbesar sepanjang
sejarah Abbasiyah karena ia mampu mempromosikan berbagai bidang
studi seni, filsafat dan ilmu pengetahuan. Ia mendorong dan menyukai
diadakannya berbagai diskusi dan untuk mempromosikan ilmu
pengetahuan ia mendirikan perpustakaan dan observatorium serta lembaga
lainnya. Banyak sarjana yang berprestasi yang dibawah perlindungannya
(Hasan, 1992: 219).
Pemaaf adalah salah satu sifat al-Ma‟mun yang paling nyata. Ia
pernah memaafkan al-Fahdl ar-Rabi‟ yang telah menghasut berbagai
pihak untuk menentang beliau. Beliau memaafkan Ibrahmi al-Mahdi yang
telah melantik dirinya di Baghdad pada saat al-Ma‟mun berada di Merw,
meskipun al-Mu‟tashim dan al-Abbas ibn al-Ma‟mun menyarankan untuk
membunuhnya.
Pemerintahan al-Ma‟mun menandai pemisahan antara priode awal
dan priode kedua Dinasti Abbasiyah. Kelompok yang semula membantu
kekholifahan pada tahun-tahun pertama, turun dari panggung kekuasaan.
Diantara yang paling penting dari kelompok ini adalah para abna‟
(keturunan veteran revolusi Abbasiyah yang berasal dari Khurasan. Klan
Abbasiyah sendiri yang telah memainkan peranan penting selama ini,
setelah periode ini, peran mereka tidak begitu menentukan lagi. Sama
halnya juga pad keluarga-keluarga Arab seperti al-Muhalabi dan Syaibani,
mereka menghilang dari istana. Selama pemerintahan al-Ma‟mun,
kelompok-kelompok tersebut digantikan dengan oleh orang-orang baru
yang memiliki idiologi baru, yang ingin menerapkan metode
pemerintahan baru pula. Klompok yang paling penting dan berpengaruh
adalah yang dipimpin oleh saudara al-Ma‟mun sendiri yang bernama Abu
Ishaq (Perpustakaan Nasional RI, 1997: 96).
Tak salah kiranya jika sejarah menyatakan masa kegemilangan
Daulah Abbasiyah salah satu masa adalah masa pemerintahan al-Ma‟mun.
Sejak belia, ia sudah menunjukan sikap dan sifat yang baik, guna sebagai
bekal untuk menjadi seorang pemimpin. Dari bekal yang didapatnya
itulah, yang menjadi landasan beliau dapat menjalankan pemerintahannya
dan perduli terhadap ilmu pengetahuan dan perkembangannya.
Perhatian yang sangat besar beliau tunjukan pada pengembangan
ilmu pengetahuan karena cintanya yang demikian besar terhadap ilmu
pengetahuan. Tidak heran banyak upaya yang al-Ma‟mun lakukan untuk
99
mewujudkan kecintaan dan perhatian terhadap ilmu pengetahaun yang
bukan saja bermanfaat bagi dirinya, tetapi berguna untuk sumber terbesar
dalam mewujudkan pemerintahan yang baik dikemudian hari karena
mampu menguasai berbagai aspek ilmu pengetahuan yang dapat
menyeimbangkan segala aspek penting dalam kehidupan. Selanjutnya al-
Ma‟mun wafat pada tahun 218 H/833 M di Tarsus, pada usia 48 tahun
(Syalabi, 1973: 144).
Al-Ma‟mun selain merupakan seorang kholifah, ia juga merupakan
seorang ilmuwan Muslim, penyair, khatib, muhaddits, serta mahir dalam
bidang filsafat dan perbintangan. Ia juga dapat menguasai empat bahasa
selain bahasa Arab, yaitu bahasa Yunani, Ibrani, Persia, India. Berkat
perhatiaannya terhadap ilmu perbintangan, akhirnya ia membangun dua
tempat pemantauan peredaran bintang, salah satunya terdapat di Syamsiah
Baghdad dan yang satunya lagi dikenal dengan Mirshad al-Makmuni
terdapat di puncak gunung Qasyiun Damaskus.
Pada tahun 215 H (830 M), al-Ma‟mun mendirikan Baitul Hikmah
di kota Baghdad, yang ia jadikan sebagai pusat ilmu dan ilmuan serta
sekretariat tim terjemah. Dalam upayanya penterjemahan tersebut, buku-
buku karya ilmuwan Barat dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan
berhasil diterjemahkan. Begitu juga dengan buku-buku yang berbahasa
Persia dan India. Buku-buku yang telah diterjemahkan sebelum masa al-
Ma‟mun pun kembali di tinjau kembali sehingga lebih mengarah kepada
kesempurnaan ( Gaudah, 2007: 330).
Namun sebelum di dirikan Baitul- Hikmah, pada zaman Harun al-
Rasyid telah berdiri Dar al-Hikmah di Baghdad. Perpustakaan dihampiri
dengan hamparan karpet yang bagus, di hiasi dengan prabot yang mahal-
mahal. Di himpun dalam buku dari berbagai sumber. Dilengkapi dengan
alat tulis, pegawai-pegawai dan pesuruh-pesuruh untuk berkhidmat pada
perpustakaan ini. Dan juga dilengkapi berbagai guru-guru dari berbagai
bidang, seperti: ahli baca al-Qur‟an, fuqaha, astrolog, tata bahasa, filogi
dan dokter (Syalabi, 1973: 149).
Semenjak awal pemerintahan Harun al-Rasyid (786-809 M)
problem sukesi sangatlah sengit. Harun telah mewasiatkan tahata
kekhalifahan kepada putra tertuanya al-Amin dan kepada putra keduanya
yang bernama al-Ma‟mun, seorang gubernur Khurasan dan orang yang
berhak menaiki tahta kekholifaan setelah kakaknya. Setelah kematian
Harun al-Rasyid, al-Amin berusaha mengkhianati hak adiknya dan
menunjuk anak laki-lakinya yang akan menjadi penggantinya kelak.
Akibatnya pecalah perang sipil. Al-Amin didukung oleh militer
Abbasiyah di Baghdad, sementara al-Ma‟mun harus berjuang untuk
memerdekakan Khurasan dalam rangka untuk mendapatkan dukungan
dari pasukan perang Khurasan. Al-Ma‟mun berhasil mengalahkan saudara
100
tuannya, dan memploklamirkan kekhalifahaan pada tahun 813 M, namun
peperangan sengit tersebut tidak hanya melemahkan kekuatan militer
Abbasiyah, akan tetapi melemahkan warga Irak dan sejumlah provinsi
lainnya (Lapidus, 2000: 193-194).
Kecakapan dan kepemimpinannya yang kuat membuatnya berhasil
mengatasi banyak tantangan yang timbul, mulai dari tantangan untuk
merebut kursi khalifah yang hendak diserahkan oleh khalifah al-Amin
kepada putranya, sampai kepada tantangan pemberontakan-
pemberontakan yang timbul di masa pemerintahannya dan permusushan
dari kerajaan Romawi timur. Ia berhasil mengalahkan al-Amin,
memadamkan pemberontakan Abu as-Saraya dan Muhammad Ibnu
Ibrahim al Alawi (815), pemberontakan Babek al-Khirmiy (816 M), dan
lain-lain dan Romawi timur untuk berdamai dengannya.
Keberhasilan menjaga stabilitas kerajaan memungkinkannya untuk
melaksanakan ambisinya yang besar untuk memajukan ilmu pengetahuan.
Ia mendirikan lembaga ilmiah, Bait al-Hikmah, lembaga terjemah yang
dilengkapi oleh perpustakaan yang besar dan observatorium. Ia
menyediakan dana besar, baik untuk menggaji ilmuwan-ilmuwan yang
berkerja menterjemahkan buku-buku asing atau berkerja bagi
pengembangannya, maupun untuk biaya pengiriman orang-orang ke
Konstaninopel dan lain-lain dalam rangka mencari dan membeli
manuskrip-manuskrip ilmu dan filsafat agar dapat dibawa ke Baghdad dan
diterjemahkan. Aktivitas pengembangan ilmiah sangat memuncak
dimasanya. Karena teologi Mu‟tazilah sangat mendorong bagi kemajuan
ilmu dan falsafat, maka al-Ma‟mun menjadikan Mu‟tazilah sebagai
mazhab resmi Kerajaan Abbasiyah (Nasution,1992: 612).
Al-Ma‟mun kholifah yang pertama kali membuat sistem putra
mahkota, ia mengambil pelajaran dari peristiwa-peristiwa sejarah. Dia
melihat bahwa pemerintahan (khalifah) bukanlah miliknya secara khusus
yang kemudian diwariskan kepada anak-anaknya. Pemerintahan dalam
pandangannya bertujuan untuk kemaslahatan umum. Karenanya harus
diperhatikan kebaikan dan juga kemaslahatan manusia.
Al-Ma‟mun tidak menjadikan anaknya, al-Abbas untuk
menggantikan dirinya. Padahal, anaknya ini meski dikenal sebagai salah
seorang panglima perang yang sangat terkenal. Al-Ma‟mun mengangkat
saudaranya al-Mu‟tashim. Karena ia melihat bahwa al-Mu‟tashim lebih
memiliki kelebihan dari anaknnya sendiri baik dari sisi keberanian
maupun kapabiltas (Al-Usairy, 2010: 233).
. Perkembangan intelektual dimulai dengan diterjemahkan
khazanah intelektual Yunani klasik seperti filsafat Aristitoles. Khalifah
sendiri yang mengalokasikan anggaran khusus untuk menggaji para
penterjemah dari golongan Kristen, kaum salabi, dan bahkan juga para
101
penyembah bintang. Untuk melengkapi kehausan terhadap berbagai
cabang ilmu (Saefudin, : 2002: 7-8).
Harun al Rasyid ayah dari al-Ma‟mun, oleh para sejarahwan
dianggap sebagai khalifah paling besar dan cemerlang yang membawa
Dinasti Abbasiyah ke zaman keemasannya. Jika al-Ma‟mun berkuasa
selama 20 tahun, maka Harun al-Rasyid memerintah selama 23 tahun dan
membuat dinasti ini mencapai kemajuan dan kejayaan di bidang politik,
ekonomi, perdagangan, ilmu pengetahuan dan peradaban Islam (Clot,
1989: 46).
Kekuasaan Harun al-Rasyid amat luas, yang terbentang dari
daerah-daerah Laut Tengah di sebelah Barat sampai India di sebelah
Timur. Puncak kejayaan pemerintahan Bani Abbas berada pada masa
Khalifah Harun al Rasyid dan putranya, al-Ma‟mun, yang disebut “ Masa
Keemasan Islam” (The Golden Age of Islam). Pada tahun 800 M/184 H
Baghdad telah menjadi kota metropolitan dan kota bagi dunia Islam, yakni
sebagai pusat pendidikan, ilmu pengetahuan, pemikiran, peradaban Islam,
serta pusat perdagangan, ekonomi dan polotik (al Masudi, t.t: 396).
Al-Ma‟mun sendiri menjabat sebagai khalifah pada tahun 813 M
dan berusia 28 tahun. Masa pemerintahannya dipandang sebagai masa
keemasan yang melanjutkan kebesaran yang dicapai ayahnya, Harun al-
Rasyid. Ia jauh berbeda dengan saudaranya Kholifah al Amin. Al Ma‟mun
memiliki sifat pemaaf, tidak suka terhadap hiburan dan perminan. Suyuthi
menyatakan: “Al-Ma‟mun adalah tokoh Bani Abbas yang paling utama
keilmuannnya, keberaniannya, kehebatannya, kesabarannya, dan
kecerdasannya”. Ia berkonsentrasi penuh pada pengembalian keutuhan
kerajaan yang hampir runtuh, yang diakibatkan masalah politis kekuasaan
sebelumnya antara al-Ma‟mun dengan al-Amin. Dan ia juga
berkonsentrasi ada ilmu pengetahuan dan buku-buku yang ia baca
(Saefuddin, 2002: 44). Ia dikenal karena keintelektualannya dan kecintaan
terhadap ilmu pengetahuan, serta jasa-jasa dalam mengembangkan ilmu
pengetahuan. Ia banyak mengumpulkan buku-buku untuk disimpan di
perpustakaan Bait Al-Hikmah. Ia juga banyak mengundang banyak
penterjemah untuk menterjemahkan buku-buku sains dan filsafat Yunani
ke dalam bahasa Arab dengan imbalan gaji yang besar dan memuaskan.
Kehausan akan ilmu pengetahuan mendorongnya untuk menyibukkan diri
dalam mempelajari berbagai pemikiran sains dan filsafat (al-Mas‟udi, t.t:
5, Atsir, t.t: 383).
Al-Ma‟mun pernah meninggalkan istana selama delapan tahun
guna untuk mempelajari Filsafat dari orang-orang Yunani, yang kemudian
mengembangkannya dengan menterjemahkan karya-karya Yunani ke
dalam bahsa Arab. Pada masa al-Ma‟mun, paham Mutazilah dijadikan
paham Negara. Ia mewajibkan seluruh penduduk untuk mengikuti paham
102
ini, bagi yang tidak mau mentaati maka ia akan dihukum. Untuk menguji
paham seseorang apakah Mutazilah atau bukan ia memberlakukan Mihnah
(inquisition), semacam lembaga penyelidikan untuk meneliti paham
seseorang (Atsir, t.t: 383).
Salah satu pertanyaan yang diajukan dalam Mihnah adalah tentang
kemakhlukkan al-Qur‟an. Bagi yang menentang paham bahwa al-Qur‟an
bukan makhluk maka ia akan diberi hukuman. Salah satu ulama yang
terkenal yang menjadi korban Mihnah adalah Ahmad Ibn Hanbal. Ia
disiksa dan dipenjara selama bertahun-tahun karena bertahan dengan
pendapatnya bahwa al-Qur‟an bukan makhluk (Khalikan, t.t: 24).
Keberpihakan al-Ma‟mun terhadap paham Mutazilah tempaknnya
tidak dapat dipisahkan dari kehausannya akan pengetahuan yang rasional.
Kecintaan terhadap filsafat mendorongnnya untuk menyetujui paham
Mutazilah yang rasional dan filosofis daripada paham yang lain.
Mutazilah menganut paham Qodariyah, kebebasan manusia dalam berbuat
kehendak, dan paham sunatullah, yakni paham yang memandang bahwa
alam ini diatur oleh Tuhan melalui hukum penciptaan-Nya, sedangkan
Asy‟ariyah menganut paham Fatalisme dan menolak adanya sunatullah
yang mengatur alam semesta (Nasution, 1995:115).
B. Paradigma Pengembangan Sains dalam Islam
Paradigma dalam bangunan ilmu pengetahuan dapat diibaratkan
sebagai landasan dalam kerangka berpikir hingga terbentuk sebuah model
dalam sebuah teori ilmu pengetahuan. Berangkat dari paradigma ini pula
kemudian dibangun teori-teori berikutnya. Selanjutnya, jika ilmuwan
telah menerima suatu paradigma tertentu, maka riset-risetnya akan
ditunjukkan untuk menjawab masalah-masalah yang muncul dari
paradigma tersebut. Sampai suatu saat paradigma tadi berhenti
mengajukan pertanyaan-pertanyaan atau muncul semakin banyak
keganjilan yang tak dapat masuk dalam kerangka paradigma dimaksud.
Ilmuwan akan mempertanyakan paradigma baru yang lain. Sebuah
paradigma baru akan menghasilkan teori baru yang lain (Jalaluddin, 2013:
148).
Umumnya paradigma pengembangan ilmu tak lepas dari nilai-nilai
filsafat yang melandasinya. Manusia berhubungan dengan realitas bukan
sesuatu yang telah ada (given) tanpa interpretasi, melainkan dirantai dan
dibangun oleh skema konseptual. Haidar Baqir mengatakan, “bahwa
paradigma-paradigma itu bisa saja dipilih berdasarkan keyakinan dan
selera intelektual masing-masing kelompok ilmuwan.” Dengan demikian
paradigma pengembangan ilmu sepenuhnya tergantung kepada para
ilmuwan itu sendiri (Jalaluddin, 2013: 250).
103
Dalam pandangan Jhon Ziman, pembentukan paradigma ini sangat
mendasar sifatnya bagi ilmu pengetahuan. Tanpa komitmen dari masing-
masing individu ilmuwan pada “gambar dunia” (world picture) yang
sama, tak akan tercipta komunikasi. Dalam keilmuan Barat paradigma
bersumber dari hasil pemikiran manusia berupa komitmen para ilmuwan
yang kemudian terbentuk sebagai world picture dari latar belakang filsafat
masing-masing (Jalaluddin, 2013: 250).
Dalam pandangan Islam, world picture yang terbetuk berdasarkan
komitmen para ilmuwan tersebut, semuanya berpangkal dari sumber
tunggal, yakni pesan-pesan kitab suci al-Qur‟an. Setidaknya Harun
Nasution mengatakan bahwa al-Qur‟an adalah kitab yang komplet,
sempurna, dan mencakup segala-galanya termasuk sistem
kemasyarakatan, ilmu pengetahuan dan teknologi modern (Nasution,
1983: 25). Pendapat ini didasarkan pada pernyataan-pernyatan ayat al-
Qur‟an itu sendiri, antara lain Firman Allah Swt.:
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan
telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai
Islam itu Jadi agama bagimu. (Q.S. Al-Maidah:3)
Ayat tersebut diatas dapat diartikan bahwa al-Qur‟an adalah kitab
yang sempurna isinya dalam arti suatu pun tidak dilupakan di dalamnya.
Segala-galanya dijelaskan di dalamnya (Nasution, 1983: 30).
Ayat-ayat al-Qur‟an yang termasuk ayat-ayat kauniyah memang
tidak memberi penjelasan rinci mengenai proses fenomena alam berupa
teori-teori tertentu. Proses tersebut harus dipikirkan manusia. Pada
dasarnya ayat-ayat kauniyah mengandung dorongan kepada manusia
untuk memperhatikan dan memikirkan alam sekitar. Kandungan-
kandungan ayat-ayat ini sekaligus menunjukkan bahwa al-Qur‟an juga
mengungkapkan fenomena alam yang menjadi pembahasan ilmu
pengetahuan modern.
Dalam ilmu pengetahuan kealaman (natural science), orang
mengumpulkan pengetahuan dengan mengadakan pengamatan atau
observasi, pengukuran atau pengumpulan data pada alam sekitar. Baik
yang hidup seperti manusia, binatang, dan tumbuh-tumbuhan, maupun
yang tak tak bernyawa seperti binatang, matahari, gunung, lautan, dan
benda-benda yang mengelilingi manusia (Baiquni, 1983: 1).
Dengan memperhatikan gejala dan peristiwa alam ini manusia
sampai pada kesimpulan, bahwa kejadian-kejadian seperti itu tidaklah
timbul begitu saja. Semuanya itu mesti diciptakan dan digerakkan oleh
104
Allah Swt. Maha Pencipta dan Penggerak alam semseta (Nasution, 1983:
68).
Dalam hubungan dengan paradigma pengembangan ilmu ini, Syed
Hossein Nasr menjelaskan, bahwa ilmuwan (ulama) Islam di masa klasik,
mempelajari alam, buka semata-mata karena jiwa ilmiah yang terdapat
dalam diri mereka. Lebih dari itu adalah “untuk menyatakan hikmat
Pencipta dalam ciptaan-Nya,” dan “untuk memperhatikan ayat-ayat Tuhan
dalam alam sesuai dengan ajaran al-Qur‟an (Nasution, 1983: 68). Secara
paradigmatis, dalam Islam terlihat adanya hubungan antara ilmu,
ilmuwan, kajian keilmuan dan niali-nilai ajaran agama. Ilmu bersumber
dari Tuhan.1 Ilmuwan (ulama) mereka yang memiliki pengetahuan tentang
fenomena alam yang memiliki sifat khasyah (takut, kagum kepada Allah).
Berangkat dari landasan prinsip-prinsip al-Qur‟an ini pula
paradigma pengembangan ilmu dalam Islam disusun. Tak mengherankan
bila tujuh abad sebelum Charles Darwin mengemukakan teori evolusi,
ilmuwan Muslim telah mengemukakan hal itu. Mereka mengemukakan
bahwa penciptaan berlaku melalui evolusi. Selain itu berdasarkan al-
Qur‟an pula mereka berpendapat bahwa airlah yang menimbulkan
kehidupan (Nasution, 1983: 66). Sedangkan dalam pandangan
Kuntowijoyo, pengembangan eksperimen-eksperimen ilmu pengetahuan
yang berdasarkan paradigma al-Qur‟an jelas akan memperkaya khazanah
ilmu pengetahuan manusia (Kuntowijoyo, 1991: 335). Harun Yahya
dalam Menyingkap Rahasia Alam, menunjukkan bahwa bukti tentang
tanda-tanda kekuasaan Allah dalam kehidupan di alam raya ini. Ia ingin
menunjukkan bukti kebenaran mutlak ayat-ayat al-Qur‟an dalam telah
ilmiah dan cakupan yang luas. Pernyataan ayat-ayat al-Qur‟an tidak hanya
harus dipahami secara normative. Di balik semuanya itu, ayat-ayat al-
Qur‟an juga mengandung pesan-pesan yang berhubungan dengan prinsip-
prinsip ilmu pengetahuan (Yahya, 2004: 164-165). Selanjutnya
dikemukakan oleh al-Qardlawi, aspek material adalah ilmu yang
berhubungan dengan pembahasan mengenai alam jagat raya, baik yang di
atas maupun yang di bawah. Ilmu ini mencakup anta lain ilmu alam,
kimia, astronomi, kedokteran, teknik, ilmu biologi, botani, fisika dan lain
1 (30) Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat:
"Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka
berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan
membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa
bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman:
"Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." (31) Dan Dia
mengajarkan kepada Adam Nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian
mengemukakannya kepada Para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama
benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!"
105
sebagainya. Jelasnya, ilmu dibangun atas dasar observasi dan eksperimen
(al-Qardlawi, 2001: 35). Berangkat dari paradigma seperti ini pula, maka
dalam perjalanannya, Islam mampu mengemban “hegemoni” peradaban
dunia, yang oleh Eward Mortimer disebut-sebut sebagai “peradaban
sepuluh abad” (Mortimer, 1986: 32).
C. Langkah-langkah Kholifah al-Ma’mun dalam Mengembangkan
Ilmu Pengetahuan
1. Gerakan Penerjemahan Ilmu zaman al-Ma’mun
a. Faktor Penyebab Gerakan Penerjemah
Jika di telaah secara historisitas sosial pendidikan pada umat Islam
baru menemukan pemekarannnya ketika komunitas Islam telah tersebar ke
berbagai penjuru dan belahan bumi di luar Jazirah Arab. (Arief, 2005:
104). Tersebarnya “ilmu-ilmu non agama” ke dalam tubuh Islam pada
masa Abbasiyah memegang tampuk kekuasannya tepanya di masa
Khalifah al-Mansur sampai masa al-Ma‟mun hingga masa-masa
sesudahnya sampai abad X M. dengan penerjemahan buku-buku asing
secara besar-besaran telah tampil begitu mengesankan sehingga dunia
ilmu pengetahuan semakin berkembanglah dan meluas di tangan kaum
muslimin. Ilmu-ilmu “non-agama” atau disebut dengan ilmu „aqliyah.
Ilmu „aqliyah dikenal dengan ilmu-ilmu klasik („ulum al-Qudama atau
awail). Yang dimaksud dengan ilmu jenis ini adalah filsafat, kedokteran,
olahraga, arsitekstur, aljabar, mantiq, ilmu falaq, ilmu alam, kimia, music,
sejarah, geografi dsb. (al-Mursyi, 1986: 193) diadopsi oleh komunitas
Muslim dengan antusias dengan sikap apresiatif. Menurut Nakosten,
tersebarnya ilmu-ilmu asing yang masuk pada kubu umat Islam, ada
beberapa faktor penting yang patut diketahui yaitu:
Pertama, Penganiayaan dan pengusiran yang dilakukan oleh
orang-orang Kristen Ortodoks yang mewakili penguasa Byzantium, atas
sekte-sekte Kristen. Sekte-sekte ini mencari tempat yang lebih kondusif
dan aman ke daerah-daerah yang berada di bawah penguasaan kerajaan
Sasania dan mereka yang juga menyebar ke semenanjung Arabia. Mereka
yang menyebar ini membawa tradisi ilmiah Yunani dan Helenisme,
terutama di bidang kedokteran, matematika, astronomi, filsafat, dan
teknologi, lalu mengembangkannya di suatu tempat baru yang mereka
huni. Ketika umat Islam menaklukkan kerajaan Romawi dan Sasania,
penganiayaan Kristen Ortodoks mendorong kelompok-kelompok
minoritas untuk menyambut gembira kedatangan pasukan Muslim yang
dikenal toleran terhadap orang yang berbeda agama, budaya, dan
kehidupan sosial. Kelompok-kelompok ini menjalin persahabatan yang
baik dengan komunitas Muslim dan membuka jalur transmisi pengetahuan
yang mereka bawa.
106
Selain itu penaklukan Alexander Agung terhadap Mesir, Persia
dan India yang secara otomatis disertai dengan transmisi ilmu
pengetahuan Yunani ke daerah-daerah tersebut. Pada babakan sejarah
berikutnya ilmu pengetahuan ini dikembangkan dan diperkaya dengan
polesan tradisi lokal sebelum pada akhirnya ditransmisi ke dalam
peradaban Islam. Kedua, Nakosten menambahkan bahwa peranan
Akademi Jundi Syapur yang berhasil memadukan tradisi ilmiah dari
berbagai kawasan budaya India, Yunani, Helenisme, Syiria, Hebrew, dan
Persia. Di tempat ini pula penterjemahan ilmu pengetahuan kuno
menyebarkannya kepada kaum muslim sampai tugas ini diambil alih oleh
Baghdad di Timur dan Sisilia serta Cordova di Barat. Kegiatan ilmiah
bangsa Yahudi yang menerjemahkan karya-karya Yunani ke dalam bahasa
Ibrani dan Arab pada masa pra-Islam (Nakosteen, 1968: 18-20).
Masuk dan berkembangnya ilmu-ilmu asing ini memaksa umat
Islam untuk merekonstruksi sistem pendidikan yang masih berlangsung
dengan dominasi “Ilmu-ilmu agama” dalam kurikulum pengajarannya.
Terjadi proses tarik menarik dalam merespon keadaan ini. Institusi-
institusi pendidikan Islam hingga masa ini berada dalam otoritas ulama
yang menguasai al-„ulum al dinniyah.
Menurut data sejarah, ternyata ilmu-ilmu non agama, berhasil
bukan hanya diadopsi, akan tetapi berhasil dikembangkan sedemikian
rupa hingga masa-masa itu Islam disebut-sebut oleh sejarahwan sedang
menguasai panggung peradaban dunia di saat Eropa dan belahan dunia
lain berada dalam kegelapan (the dark age). Hal tersebut pada akhirnya
dimaksudkan untuk dapat mengungkap pengalaman historis sosiologis
umat Islam dalam memperkenalkan dan memposisikan ilmu di masa
klasik (Arief, 2005:106-107).
Para ilmuwan diutus untuk mencari naskah-naskah Yunani ke
Bizantium dalam berbagai bidang ilmu seperti “filsafat dan kedokteran”.
Perburuan dalam menemukan manuskrip-manuskrip di dunia Timur
(Persia) seperti dalam bidang Tata Negara dan sastra, juga dilakukan.
Bahkan al-Ma‟mun sendiri mewajibkan kepada seluruh pejabat
pemerintahan untuk menguasai dua bahasa, agar menambah tenaga
penerjemah buku tersebut. Haran sebuah kota yang berada di
Mesopotamia adalah salah satu jalur yang sering dilalui dan banyak
penduduknya yang berbahsa Yunani.
b. Munculnya Gerakan Penerjemah
Pengembangan ilmu pengetahuan telah dimulai pada zaman klasik,
hal ini terjadi dikarenakan faktor yang dominan dari al-Qur‟an dan Sunah
yang mendorong mengembangkan ilmu pengetahuan dan memanfaatkan
serta mempelajari warisan berbagai budaya dan ilmu pengetahuan di
107
sekitar daerah tersebut, dengan cara menerjemahkannya. Upaya ini
sebetulnya sudah di mulai pada zaman Kholifah Umar bin Abdul Aziz
(Dinasti Umayah), akan tetapi berkembang pesat pada zaman Kholifah al-
Ma‟mun (Dinasti Abbasiyah). Melalui Baitul Hikmah, yang didirikannya,
al-Ma‟mun berusaha mencari dan mengumpulkan berbagai manuskrip
peninggalan ilmu pengetahuan tersebut dan menterjemahkannya ke dalam
bahasa Arab. Melalui tradisi penterjemahan inilah, maka lahirlah para
ilmuwan dari umat Islam yang mencapai prestasi yang melewati para
ilmuawn sebelumnya. Mereka itu seperti: al-Khawarizmi dalam bidang
fisika, Abd. al-Jabar dalam bidang matimatika, al-Kindi, al-Farabi, Ibn
Sina, Ibn Rusyd, al-Razi dan al-Zahrawi dalam bidang fisika, matematika,
seni, pemerintahan, farmakologi dan kedokteran, al-Farabi dalam bidang
tasawuf.
Pada zaman pemerintahan al-Ma‟mun (Dinasti Abbasiyah),
bangsa-bangsa non-Arab banyak yang masuk Islam. Terjadinya asimilasi
berlangsung secara efektif dan bernilai guna. Bangsa-bangsa itu
memberikan sumbangan dalam pengembangan ilmu pengetahuan dalam
Islam. Misalnya, al-Ma‟mun yang juga memiliki darah Persia dari Ibu
(Istri ke dua Harun al-Rasyd), yang sangat kuat di bidang pemerintahan
dan banyak berjasa dalam perkembangan ilmu filsafat dan sastra (Amin,
t.t: 207)
Zaman al-Ma‟mun merupakan fase kedua dari zaman al-Mansur
sampai Harun al-Rasyd. Pada saat pemerintahan berkuasa itu sangat
memberikan dukungan baik politik, ekonomi, fasilitas dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan, terlebih lagi adanya gerakan
penterjemahan yang berlangsung sampai zaman al-Ma‟mun. hingga tahun
300 H. buku-buku yang diterjemahkan pada masa al-Ma‟mun adalah
tentang filsafat dan kedokteran. Pada zaman al-Ma‟mun juga telah ada
pembuatan kertas, yang sangat membantu dalam pengembangan ilmu.
Melalui gerakan penerjemahan inilah, maka para ulama Islam yang bukan
hanya menguasai ilmu agama saja, melainkan lebih dari itu, para ulama
dapat menguasai ilmu-ilmu umum, seperti: astronomi, fisika, matematika,
pemerintahan, filsafat, kedokteran, geografi, biologi, sastra, dan lain
sebagainya.
Kentalnya dengan adanya tradisi ilmiah membuat umat Islam pada
zaman al-Ma‟mun bak seperti waktu yang bernilaikan emas permata,
selanjutnya menimbulkan kebanggaan dan rasa motivasi untuk
menggerakkan intelektual Islam. Tradisi yang dimaksud antara lain
seperti: 1) Tradisi meneliti secara bayani selanjutnya mengasilkan ilmu
agama (tafsir, fiqih, ilmu al-Qur‟an, ilmu Hadits dsb), burhani yang
mengasilkan ilmu sosial (sosiologi, sejarah, geografi, dsb.), ijbari yang
mengasilkan sains dan terapan (kimia, fisika, matematika, astronomi,
108
biologi dsb), jadali yang menghasilkan filsafat dan irfani yang
menghasilkan tasawuf. 2) Tradisi rihlah ilmiah atau perajalanan jauh
selama berpuluh-puluh tahun guna memperoleh ilmu pengetahuan
sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Imam Syafi‟i, Imam Bukhori,
Imam al-Ghazali, Ibn Khaldun, dsb. 3) tradisi menulis, yang dilakukan
kebiasaan para ulama klasik saat menumpahkan ilmunya untuk di pelajari
oleh para muridnya. 4) tradisi berdebat, dengan tujuan untuk
mendapatkan pendapat baru (Nata, 2011: 38).
Dapat dipahami dengan jelas bahwa pada zaman al-Ma‟mun
betapa kecintaanya terhadap ilmu pengetahuan membuat ia melanjutkan
dan juga mengembangkan kegiatan yang telah dilakukan oleh
pendahulunya bahkan al-Ma‟mun dalam hal ras atau pun suku, ia tidak
membeda-bedakan mana yang bangsa Arab dan mana yang bukan, mana
yang Muslim dan non-Muslim sebagai penghalang dalam meningkatkan
pengembangan ilmu pengetahuan melalui geraka penerjemahan.
Al-Ma‟mun memahami bahwa ilmu pengetahuan bukanlah
dimiliki oleh kaum Muslimin saja, akan tetapi ia mencari cara bagaimana
agar ilmu yang dimiliki oleh Barat yang mayoritas non-Muslim juga bisa
dikuasai oleh umat Muslim. Melalui gerakan penerjemahan inilah yang ia
galakkan agar menimbah kecintaan kaum Muslimin terhadap ilmu
pengetahuan yang menghantarkan mereka kebahagian di dunia dan akhirat
sebagaimana diajarkan dalam Islam.
2. Optimalisasi Institusi Pendidikan pada zaman al- Ma’mun
Khalifah al-Ma‟mun adalah seorang kholifah Islam yang arif dan
bijaksana, cerdas, baik akhlaknya, mengedepankan kemerdekaan berpikir
dan berdiskusi. Menurut tinjauan dan pendapatnya sesungguhnya
pertikaian dalam beberapa masalah agama menyebabkan umat Islam
terpecah belah, terbagi beberapa golongan. Untuk menghindari hal
tersebut diadakan majelis Munazarah tempat diskusi persoalan agama
yang pelik, majelis ini berlangsung di hadapan al-Ma‟mun sendiri serta
dihadiri para ulama ternama. Hasil pembahasan diumumkan kepada rakyat
agar mereka dapat beramal menurut hukum yang sama berdasarkan
pendapat-pendapat yang telah disatukan supaya tidak terjadi perselisihan.
Selain majelis, awal sejarah pendidikan Islam tidak bisa
dipisahkan peranannya dari masjid akan fungsinya. Disamping masjid
digunakan untuk ibadah seperti shalat, masjid dapat digunakan untuk
menyebarkan ilmu pengetahuan. Di setiap masjid para ulama mengajarkan
berbagai ilmu, dan disana pula telah disiapkan pula ruangan baca atau
perpustakaan untuk membaca buku.
Institusi pendidikan Islam zaman al-Ma‟mun, termasuk kategori
lembaga pendidikan Islam di era klasik. Dalam Typology of Institution of
109
Learning, George Makdisi membagi institusi pendidikan Islam klasik
berdasarkan kriteria mata pelajaran yang diajarkan di sekolah-sekolah
Islam, menjadi dua jenis, yaitu: institusi pendidikan inklusif atau terbuka
terhadap pengetahuan umum dan institusi pendidikan eksklusif atau
tertutup terhadap pengetahuan umum.
Sedangkan menurut Charles Michael Stanton, berdasarkan kriteria
hubungan institusi pendidikan dengan Negara yang berbentuk teokrasi,
setidaknya ada dua macam, yaitu: institusi pendidikan Islam formal dan
institusi pendidikan informal (Stanton, 1994:122). Jadi dapat dikatakan
bahwa institusi pendidikan diatas mengandung pengertian bahwa pada
zaman al-Ma‟mun sudah terbentuk dalam sistem pendidikan Islam yang
bersifat umum dan khusus.
a. Institusi Pendidikan Islam Multikultural zaman al-Ma’mun.
Berdasarkan penggolongannya George Makdisi, institusi
pendidikan Islam zaman al-Ma‟mun dapat dikelompokkan sebagai
berikut:
Pertama, Maktab atau Kuttab, yaitu institusi pendidikan dasar.
Mata pelajaran yang diajarkan di kuttab adalah khat atau kaligrafi, al-
Qur‟an, akidah dan syair. Dan menurut jenisnya, kuttab dapat
diklasifikasikan menjadi dua, yaitu kuttab yang tertutup terhadap ilmu
pengatahuan umum dan yang terbuka terhadap pengetahuan umum.
Kuttab atau maktab berasal dari kata kataba yang berarti menulis atau
tempat menulis. Jadi katab adalah tempat belajar untuk menulis. Sebelum
datang Islam Kuttab telah adadi negri Arab, walaupun waktu itu belum
dikenal banyak ( Zuhairini, dkk. 1997: 89).
Sewaktu agama Islam diturunkan Allah sudah ada di antara para
sahabat yang pandai baca dan tulis. Kemudian adanya tempat dan
dorongan yang kuat dalam Islam, sehingga berkembanglah di kalangan
umat Islam. Ayat al-Qur‟an yang pertama diturunkan, telah
memerintahkan untuk membaca dan memberikan gambaran bahwa
kepandaian dan menulis merupakan saran utama dalam pengembangan
ilmu pengetahuan dalam pandangan Islam. (Zuhairini, dkk. 1997: 89).
Pada mulanya, awal perkembangan Islam, Kuttab dilaksanakan di rumah-
rumah guru-guru yang bersangkutan dan diajarkan adalah semata-mata
menulis dan membaca. Sedangkan dalam hal ini, Ahmad Syalabi dalam
Sejarah Pendidikan Islam, mengungkapkan penjelasan sebagai berikut:
….bahwa mengajarkan menulis dan membaca dewasa ini adalah
salah satu dari pekerjaan kaum zimmi dan tawanan-tawanan
perang Badar. Orang-orang tersebut tentu saja tidak ada
hubungannnya dalam al-Qur‟an al-Karim, juga dengan agama
Islam. Zaman ini disambung lagi dengan zaman yang datang
110
kemudian yang juga di masa itu pekerjaan mengajarkan menulis
dan membaca itu adalah dikenal sebagai pekerjaan kaum Zimmi.
Adapun kaum Muslimin yang telah belajar menulis dan membaca,
banyak pekerjaan-pekerjaan yang lebih penting memerlukan
tenaga mereka (Syalabi, 1973: 37).
Kemudian pada akhir abad pertama Hijriyah, mulai timbul jenis
kuttab, yang disamping memberikan pelajaran menulis dan membaca,
juga mengajarkan membaca al-Qur‟an dan pokok-pokok ajaran agama.
Namun pada mulanya, kuttab jenis ini merupakan pindahan dari
pengajaran al-Qur‟an yang berlangsung di Masjid, yang sifatnya umum
(anak-anak dan dewasa). Anak-anak ikut pengajian di dalamnya tetapi
karena mereka tidak dapat menjaga kesucian dan kebersihan masjid, lalu
diadakan tempat khusus disamping masjid untuk anak-anak belajar al-
Qur‟an dan pokok-pokok ajaran agama. Selanjutnya berkembanglah
tempat-tempat khusus untuk pengajaran anak-anak dan berkembanglah
kuttab-kuttab yang bukan hanya mengajarkan al-Qur‟an tetapi juga
pengetahuan-pengetahuan dasar lainnya. Dengan demikian kuttab menjadi
lembaga pendidikan dasar yang bersifat formal (Zuhairini, dkk. 1997: 91).
. Kedua, Halaqah. artinya lingkaran. Proses belajar mengajar yang
berkembang dalam halaqah sangat sederhana, yaitu seorang syekh sambil
duduk di sebuah kursi memimpin sebuah pertemuan dan menerima murid-
murid yang duduk di lantai setengah lingkaran di sekitarnya. Murid-murid
tersebut mendengarkan dengan baik, terhadap apa yang di baca dari
tulisannya maupun komentar-komentar terhadap catatan-catatan orang
lain.
Sebagai ilustrasi dapat dilihat bahwa Ibn Sina menyelenggarakan
halaqah mulai saat fajar di pagi hari, ia membacakan materi yang
diajarkan dan berdiskusi sampai pertengahan waktu pagi (Stanton, 1994:
156). Ahmad Syalabi juga menjelaskan bahwa al-Ghazali sebagai seorang
yang telah mengasingkan dari kehidupan masyarakat umum, mendirikan
sebuah lingkaran para ilmuan-ilmuan di rumahnya yang memperoleh
perhatian secara pribadi ditentukan oleh kemampuannya yang menarik
para murid dan popularitas intelektual di halaqahnya sendiri (Syalabi,
1945: 31).
Masa keterkaitan seorang murid terhadap halaqah tergantung
ketekunan dan target yang ingin dicapainya. Apabila ia telah sampai pada
titik maksimal dalam belajar pada seorang syeikh, maka ia dapat beralih
ke syeikh yang lain. Kurikulum yang dipergunakan dalam institusi
halaqah tergantung pada minat dan pengetahuan seorang syekh,
berdasarkan dari pengalaman dan keahliannya.(Arief, 2002:110).
Ketiga, Majelis adalah institusi pendidikan yang digunakan untuk
kegiatan transmisi dari berbagai disiplin ilmu, sehingga majlis banyak
111
jenisnya. Setidaknya ada tujuh macam majelis, yaitu: 1) majlis al-Hadis,
2) majelis at-Tadris, 3) majelis al-Munazarah, 4) majelis al-Muzakarah,
5) majelis as-Syu‟ara, 6) majelis al-Adab, 7) majelis al-Fatwa. Al-
Ma‟mun sering mengadakan majelis pertemuan para ulama di istana, ia
sering mengundang berbagai ulama diseluruh negeri dalam berbagai
keahlian, yang dibahas adalah seputar permasalah agama. Ia sendiri yang
memadu jalannya acara, disamping ada tata tertib majelis yang di
adakannya, antar lain tidak boleh saling menjatuhkan, menjunjung tinggi
profesionalitas kebenaran.
Keempat, Masjid yang berfungsi sebagai sarana pengajaran telah
dikenal sejak zaman Nabi Muhammad Saw. sebagai otoritas penafsir
wahyu Allah (al-Qur‟an). Seringkali kepada beliau, baik di dalam maupun
di luar masjid, masyarakat menanyakan tentang berbagai hal menyangkut
aqidah dan akhlak. Maka Nabi pun memberikan penjelasan-penjelasan,
sementara pendengarnya membentuk lingkaran (halaqah) di depan beliau.
Sepeninggalan Nabi, tradisi ini diteruskan oleh para sahabat. Pada masa
ini materi pengajaran bertambah dengan pembicaraan tentang hadits-
hadist Nabi. Dengan demikian, nisbat sebutan ahlu al „ilmi yang
berkembang ketika itu adalah mereka yang menguasai dan menghafal
banyak hadits. Pada masa selanjutnya, materi-materi pengajaran di dalam
masjid semakin bervariasi, dari fiqih, bahasa sampai syair-syair Arab
(Lewis, et.al (eds). tt1123-1124). Disamping itu, bahwa penyelenggara
pendidikan tidak hanya terbatas pada masjid utama, tetapi juga di masjid-
masjid biasa. Di Mesir, selain di masjid „Amr bin Ash (sebagai masjid
utama), pengajaran juga dilakukan di masjid Ibn Tulun dan masjid al-
Azhar (yang dibangun belakangan. Bahkan lebih dari itu, khalifah al-
„Aziz dari dinasti Fathimiyah dan wazirnya, Ya‟qub ibn Kilis, pada tahun
988 M. telah menyelenggarakan 35 perkuliahan di masjid al-Azhar, dan
masing-masing pengajar diberi rumah pada seperempat dari seluruh areal
kompleks masjid. (Arief, 2002: 109-110).
Kelima, Ribath adalah tempat kegiatan kaum sufi yang ingin
menjauhkan diri dari kehidupan duniawi dan berkonsentrasi sepenuhnya
untuk ibadah. Ribath pada asalnya adalah kamp, yaitu tempat tentara yang
dibangunkan di perbatasan negri untuk mempertahankan Negara dari
serangan musuh. Ribath banyak ditemukan pada masa Bani Umayah dan
Abbasiyah, didirikan di antar Negara Islam dan Negara musuh (Yunus,
1992: 95).
Seiring dengan berjalannya waktu, kemudian ribath tidak lagi
menjadi tempat tentara yang berjuang untuk mempertahankan Negara,
melainkan tempat orang-orang yang berjuang melawan hawa nafsunya,
yaitu orang-orang Sufi. Mereka tinggal di ribath beribadah siang dan
malam hari. Dengan demikian maka arti ribath ialah tempat tinggal
112
oaring-orang sufi. Selain daripada beribadat dan membaca zikir mereka
juga belajar agama di sana dari syekh kepala ribath. Dengan demikian
ribath itu salah satu tempat belajar juga di samping masjid dll (Yunus,
1992: 96).
Keenam, Al-Manazil al-Ulama (rumah-rumah ulama) adalah
tempat tinggal seorang guru yang digunakan untuk mentransmisi ilmu
agama dan ilmu umum dan kemungkinan lain perdebatan ilmiah. Ulama
yang tidak diberi kesempatan mengajar di institusi pendidikan formal akan
mengajar di rumah-rumah mereka.
Mengutip pendapat Abuddin Nata, menjelaskan bahwa sebaik-
baiknya tempat untuk belajar adalah di masjid, karena duduk di masjid
untuk keperluan pendidikan dan pengajaran membutuhkan faedah guna
menumbuhkan tradisi yang baik dan menghilangkan kebiasaan yang
buruk (Nata,2010: 155). Hal tersebut kiranya berbeda dengan rumah yang
privasinya selalu terjaga, tidak sembarangan orang dapat memasukinya,
kecuali atas izin dari empunya. Oleh karenanya rumah hanya dapat
dijadikan tempat belajar manakala ketika darurat saja.
Ketujuh, Toko buku, berperan sebagai tempat transmisi ilmu dan
Islam. Dalam sejarah tercatat, bahwa selama kejayaan khlaifah Abbasiyah,
toko buku berkembang pesat di wilayah Timur Tengah, dan peran
pentingnya menyebar di seluruh wilayah Islam, khususnya melalui Afrika
Utara dan semenanjung Siberia. Sebelum perpustakaan oleh bangsa
Mongol, Baghdad memiliki lebih dari 100 penjual buku. Para pembeli dan
penjual manuskrip besar bagi kehidupan intelektual dalam sebuah
masyarakat melalui karya-karya pilihan mereka yang diterjemahkan dari
bahasa Yunani, Persia, atau bahasa-bahasa bangsa Timur, dan karya-karya
bahasa Arab yang disalin dan di sediakan untuk umum (Stanton, 1994:
160).
Disamping sebagai tempat menjual buku-buku dan manuskrip,
toko buku juga sering dijadikan sebagai tempat halaqah untuk membahas
dan mengkaji berbagai macam disiplin ilmu. Pemilik toko buku biasa
berfungsi sebagai tuan rumah dan pemimpin halaqah tersebut. Ia
mengundang para ilmuan yang ada di sekitarnya untuk melakukan diskusi
tentang masalah-masalah intelektual dan keagamaan. Bahkan tidak jarang
ulama yang diundang untuk menyampaikan materi keagamaan dan
berdiskusi dengan ilmuan setempat. Proses pendidikan yang dilakukan
oleh ulama dalam institusi informal toko buku memiliki tujuan yang amat
berguna dalam menyebarkan ilmu pengetahuan dan menyediakan karya
tulis, khususnya karya-karya filsafat dan sains Yunani klasik bagi
masyarakat umum (Arief, 2002: 111).
Kedelapan, Observatorium adalah tempat kajian ilmu pengetahuan
dan filsafat Yunani. Guna mengembangkan ilmu pengetahuan yang terjadi
113
di masa Abbasiyah berkuasa, dibangun tempat untuk penelitian dan kajian
ilmiah lainnya. Di zaman al-Ma‟mun tempat ini digunakan sebagai tempat
belajar mengajar, dimana siswa akan selalu aktif, seperti belajar
memecahkan masalah, eksperimen, learning by doing, serta belajar
menemukan sesuatu yang sifatnya ilmiah. Oleh sebab itu, kegiatan ini
bukan hanya ada di kelas-kelas saja melainkan di lembaga pusat kajian
ilmiah.
Kesembilan, Perpustakaan yaitu tempat koleksi buku dan tempat
riset. Pada awalnya perpustakaan cenderung didirikan di rumah orang-
orang kaya, bangsawan dan istana-istana para penguasa. Karena ajaran-
ajaran al-Qur‟an memerintahkan individu-individu untuk mengajarkan
ilmu pengetahuan dan menyediakan kekayaan yang dimilikinya bagi
orang lain yang kurang beruntung, maka para hartawan Muslim
membiayai perpustakaan dan seringkali membukanya untuk para
ilmuwan, juga untuk umum.
Diantara peran ulama yang sangat berjasa dalam kajian
keperpustakaan adalah Ibn Ishaq al-Naqdim, pengarang kitab al-Fihrist.
Kitab al-Fihrist merupakan karya bibliografi yang paling komperhenshif
tentang manuskrip-manuskrip yang ditulis atau diterjemahkan oleh
sarjana-sarjana Muslim sampai abad kesepuluh. Disamping mendaftar
buku-buku, Ibn Ishaq al-Naqdim juga mencatat identitas kebangsaan,
tanggal kelahiran dan kematian dan mengomentari sifat, perhatian, studi
dan pristiwa-pristiwa yang terjadi pada diri si pengarang (Azra, 1994: 13).
Dari uraian di atas dapat menjelaskan bahwa posisi ulama di dalam
lembaga pendidikan informal sangat besar kontribusinya dalam
mengembangkan kehidupan intelektual Islam. Ulama tidak hanya
menyampaikan materi pelajarannya pada halaqah yang ada di rumahnya,
tetapi mereka juga ikut berpartisipasi aktif dalam mengunjungi toko-toko
buku, perpustakaan sanggar sastra dan bahkan institusi-institusi formal
dan informal lainnya, guna menumbuh kembangkan ilmu pengetahuan
kepada masyarakat, juga menanamkan rasa kepedulian ilmu pengetahuan
kepada para penguasa dan hartawan, pada realitasnya tidak sedikit
perpustakaan yang dibangun oleh para penguasa dan hartawan (Arief,
2002: 11-12). Di sisi lain, para ulama juga memberikan kontribusi
intelektual yang sangat berharga dalam melacak bibilografi dan indeks
terhadap tokoh-tokoh sebelumnya, seperti yang dilakukan oleh Ibn Ishaq
al-Nadim.
Kesepuluh. Zawiyah, yaitu tempat yang hampir menyerupai ribath,
yaitu tempat untuk belajar, tetapi lebih kecil bangunannya dari ribath.
Biasanya didirikan di padang sahara di tempat-tempat yang sunyi senyap,
terjauh dari pada penduduk yang ramai (Yunus, 1992: 96). Berbeda
pandangan dengan Mahmud Yunus, sebagaimana Abuddin Nata
114
mengatakan “ zawiyah adalah tempat yang berada di pinggiran masjid
yang digunakan sebagai tempat untuk melakukan bimbingan spiritual,
wirid, dzikir, mujahadah, muhasabah, dan istighasah untuk menyucikan
diri dan memperoleh penghayatan dan pengalaman batin, serta merasakan
kehadiran Tuhan dalam dirinya, yang selanjutnya memancar dalam sikap
dan perbuatan terpuji berupa akhlak mulia” (Nata, 2010: 206). Jadi
zawiyah merupakan tempat yang kecil di pinggiran masjid dan digunakan
untuk bertahanus atau menyendiri agar dapat menemukan pengalaman
spiritual batin.
Jika ditelaah lebih jauh lagi pada institusi pendidikan Islam,
ternyata ditemukan konsep dasar pendidikan multikultural pada masa
kejayaan Islam yaitu ketika al-Ma‟mun menjadi kholifah (813-833 M)
dari bani Abbas di Baitul Hikmah, yaitu institusi pendidikan tinggi Islam
pertama yang dibangun pada tahun 830 M oleh khalifah al-Ma‟mun (Asar,
1992: 109). Bahwasanya institusi tersebut telah mengukir sejarah baru
dalam peradaban umat manusia, di mana bangsa Barat belum mengenal
konsep pendidikan multicultural. Dimana subyek toleransi, perbedaan
etnik kutural, dan agama sudah dikenal dan merupakan hal yang biasa.
Konsep demokrasi dan pluralitas sudah begitu kental dalam kehidupan
sehari-hari termasuk dalam kegiatan pendidikan di intitusi ini.
Pendidikan multikultural masih diartikan sangat ragam, dan belum
ada kesepakatan, apakah pendidikan multicultural tersebut beragam
budaya atau pendidikan untuk membentuk sikap agar menghargai
keragaman budaya (Rosyada, 2008: 3). Pendidikan multikultural bisa
diartikan sebagai pendidikan keragaman budaya dalam masyarakat dan
terkadang juga menawarkan ragam model untuk keragaman budaya dalam
masyarakat dan terkadang juga diartikan sebagai pendidikan untuk
membina siswa agar menghargai keragaman budaya masyaakat.
Berdasarkan apa yang telah dikemukakan diatas, seluruh lembaga
pendidikan Islam pada masa Abbasiyah, dapat diklasifikasikan menjadi
tiga tingkatan, yaitu: Pertama, Pendidikan dasar (rendah) yang terdiri dari
kuttab, rumah, toko buku, dan istana. Kurikulum pendidikan dasar
meliputi materi pelajaran : 1) Membaca dan menghafal al-Qur‟an, 2)
Pokok-pokok agama Islam: wudhu, shalat, puasa, 3) Menulis, 4) Tarikh,
5) Membaca dan menghafal syair, 6) Berhitung, 7) Dasar-dasar nahwu
dan sharaf. Kurikulum diatas ini tidak seragam di seluruh daerah,
mengingat situasi kondisi setempat yang berbeda-beda. Kedua,
Pendidikan menengah yang mencakup masjid dan sanggar seni. Adapun
kurikulum yang diajarkan sebagai berikut: 1) Al-Qur‟an, 2) Bahasa dan
sastra Arab, 3) Fiqih, 4)Tafsir, 5) Hadits, 6) Nahwu/sharaf, 7) Ilmu-ilmu
eksakta, 8) Mantiq, 9) Falaq. 10) Tarikh, 11) Ilmu-ilmu kealaman, 12)
Kedokteran, 13)Musik. Ketiga, Pendidikan tinggi yang meliputi masjid,
115
madrasah, dan perpustakaan seperti Bait al Hikamh dan Dar Hikmah di
Kairo. Kurikulum pendidikan tinggi lebih menunjukkan adanya
keberagaman, akan tetapi pendidikan tinggi meliputi dua fakultas.
Pertama, fakultas ilmu agama dan sastra. Fakultas ini mempelajari: 1)
Tafsir, 2) Hadits, 3) Fiqih/Ushul fiqih, 4) Nahwu/sharaf, 5) Balaghah, 6)
Bahasa dan sastra arab, Kedua, fakultas ilmu filsafat (hikmah). Fakultas
ini mempelajari : 1) Mantiq, 2) Ilmu alam dan kimia, 3) Music, 4) Ilmu-
ilmu eksakta, 5) Ilmu ukur, 6) Ilmu falaq, 7) Ilmu teologi, 8)Ilmu hewan,
9) Ilmu nabati, 10) Ilmu kedokteran (Arief, 2005: 139-140).
Menurut beberapa para ahli menilai bahwasanya pembagian
tingkatan diatas masih terbuka untuk diperdebatkan, hal ini terlihat dalam
fungsi lembaga masjid yang kadang-kadang dianggap lembaga pendidikan
yang memberikan materi pelajaran tingkat menengah dan kadang-kadang
pendidikan yang memberikan materi pelajaran di tingkat menengah,
kadang-kadang di tingkat tinggi.
Hafalan adalah ciri utama pendidikan Islam pada masa klasik dan
pertengahan. Hal ini bisa dimaklumi karena kekuatan hafalan sangat
dibutuhkan untuk menjaga al-Qur‟an dan keotentikan hadits layak untuk
dipercaya kalau pembawa hadits itu orang yang kuat hafalannya.
Madrasah yang mengkonstruksikan kajian pada ilmu-ilmu keagamaan
juga menggunakan kekuatan hafalan menjadi sebuah keharusan (Anwar,
2006: 23). Cara menghafal adalah selalu mengulang-ulang pelajaran. Al-
Shirazi, syeikh pertama Nizhamiyah Baghdad, biasa mengulangi
pelajarannya sampai 100 kali agar memperoleh kepastian bahwa
hafalannya itu betul-betul tertancap di memori hafalannya (Al-Jauzi, t.t:
7).
Mengandalkan kekuatan hafalan saja, menurut ahli pendidikan
Islam klasik adalah tidak banyak manfaatnya. Oleh karena itu,
pemahaman menjadi keharusan (Anwar, 2006: 10-11).‟Abdul al-Latif al-
Bagdadi memberi nasehat kepada murid-muridnya untuk berusaha keras
mengahafal dan memahami buku yang dibacanya. Seandainya buku itu
hilang, maka tidak terpengaruh sedikitpun buat murid-muridnya (Makdisi,
1981: 103). Hafalan, mengulang-ulang, memahami dan mudhakarah saja
belumlah cukup, karena secara fitrah manusia bisa lupa. Oleh karena itu,
mencatat hasil belajar diatas tidak dapat di sepeleka. Al-Zarnuji
memberikan nasehat bagi setiap siswa untuk selalau membawa secarik
kertas dan alat tulis untuk merekam sesuatu yang berguna bagi
perkembangan ilmiahnya (Burhan, t.t: 8). Sehubung dengan ini, sistem
pendidikan Islam, mestinya memberikan materi pendidikan sosial yang
Islami, pendidikan ekonomi yang Islami, pendidikan politik yang lslami,
yang selanjutnya dijabarkan dalam berbagai mata pelajaran (bidang studi)
seperti sekarang ini yang semuannya sudah bersifat Islami atau dengan
116
kata lain,semua mata pelajaran yang diajarkan di sekolah sudah bernuansa
Islami (Tamsir., 2006: .45).
3. Tokoh-tokoh Pengembang Ilmu dan Pendidikan Islam
Multikultural Zaman Al-Ma’mun
a. Kholifah Al-Ma’mun (813-833 M)
Sebagaimana mengenai biografi al-Ma‟mun sudah dibahas di atas,
ia adalah kholifah Daulah Abbasiyah, putra dari mendiang Kholifah
Harun al-Rasyid. Ia memprakarsai kegiatan keilmuan-keilmuan dan
penerjemahan karya-karya ilmuwan Yunani ke dalam bahasa Arab. Ia
mendirikan sebuah akademi di Baghdad yang bernama Baitul Hikmah
(gedung kebijaksanaan) yang didalamnya terdapat observatorium yang
diperintahkan untuk pengembangan ilmu pengetahuan. Naskah-naskah
Yunani diburu dari Konstantinopel untuk memperkaya perpustakaan
akademi ini dan untuk diterjemahkan kedalam bahasa Arab. Selain itu
sebuah akademi kedokteran di dirikan pada masa pemerintahannya.
Al-Ma‟mun dikenal sebagai tokoh pengembang ilmu pengatahuan
sekaligus pendidik multicultural. Ia sangat toleran sekali terhadap
rakyatnya atau orang-orang yang berbeda agama, seperti agama Kristen,
serta ia lebih familiar terhadap peradaban-peradaban yang berbeda dengan
bangsa Arab, misalnya peradaban Rusia, Pagan dan lain-lain. Ia dikenal
juga karena kejeniusannya dalam memajukan intelektual Islam dan
memperbanyak membangun intitusi pendidikan Islam yang membuatnya
satu di antara kholifah sekaligus intelektual besar sepanjang sejarah
Sebagaimana uraian di atas, menjelaskan bahwa al-Ma‟mun selain
ia adalah kholifah besar, ia juga seorang intelektual yang jenius sepanjang
sejarah. Ia adalah tokoh yang memiliki visi dan misi pengembangan ilmu
dan pendidikan multicultural, baik dalam mengelola peradaban Islam
maju dibandingkan dengan peradaban sebelumnya, selain itu kepribadian
yang dimiliki al-Ma‟mun sepertinya sangat diperlukan dalam
melaksanakan pengembangan ilmu dan pendidikan sebagai pemimpin
yang semestinya diteladani. Jadi dapat disimpulkan bahwa al-Ma‟mun
adalah tokoh yang memiliki visi dan misi multicultural dalam mengelola
institusi pendidikan Islam, dimana sosok intelek dan berkepribadian yang
amat sangat luhur itulah yang sangat di perlukan dalam melaksanakan
pendidikan multicultural sebagai kholifah yang patut diteladani akan sifat
baiknya.
b. Abu Ja’far Muhammad Ibn Musa al-Khawarizmi (780-850 M)
117
Beliau ahli di bidang al-Jabar dan astronomi, direktur
perpustakaan Baitul Hikmah atau pusat studi dan riset astronomi dan
matematika. Ia adalah seorang nasionalis dan ahli Pahlevi, dan sebagai
tokoh pengembangan ilmu zaman al-Ma‟mun sekaligus pendidik
multikultural, selain al-Ma‟mun ia juga menciptakan suasana bebas,
terbuka, toleran dan sederajat dalam mengelola Baitul Hikmah dan ikut
andil dalam menerjemahkan buku-buku warisan Hellenisme dari Yunani
ke dalam bahsa Arab (Siwito, Fauzan, 2003: 33). Al-Khawarizmi berkerja
dalam obsevatorium tempat dia menekuni telaah matematika dan
astronomi.
Berikut disebutkan beberapa sumbangan orisinal al-Khwarizmi
pada zaman al-Ma‟mun dalam al-jabar dan matematika pada umumnya.
Pertama, ia memperkenalkan perhitungan sistem decimal (persepuluhan)
yang menggantikan sistem seksagesimal (perenam puluhan), suatu sistem
perhitungan kuno dari Babilonia. Sistem seksagesimal itu sampai
sekarang masih tersisa dalam perhitungan waktu: jam (60 menit), (60
detik), dan perhitungan busur drajat. Kedua, ia meletakkan dasar-dasar
ilmu hitung dan aljabar. Untuk pertama kalinya al-Khawarizmi
menggunakan simbol-simbol dan variable-variable, mendahului sarjana-
sarjana Eropa, dan menggunakan simbol-simbol itulah yang mendorong
kemajuan pesat matematika. Ketiga, ia menerapkan bilangan “nol” untuk
pertama kalinya dalam perhitungan sistem decimal (aritmatika) dan (al
jabar). Keempat, ia menemukan nilai (phi) yang menyatakan
perbandingan keliling sebuah lingkaran terhadap garis tengahnya, yaitu
sebesar 22/7 = 3,1428571 (bandingkan dengan modern yang bernilai =
3,1415926). Al-Khawarizmi menemukan bahwa perbandingan keliling
terhadap garis tengah lingkaran bernilai tetap (konstanta) tanpa
tergantung kepada ukuran lingkarannya. Penemuan konstanta (phi)
tersebut sangat berguna untuk perhitungan-perhitungan yang berkaitan
dengan lingkaran dan bola seperti luas dan volume. Kelima, Ia berjasa
menyusun daftar logaritma. Istilah logaritma (algoritma) berasal dari nama
al-Khawarizmi sendiri. Istilah algoritma sendiri sekarang digunakan
dalam pengertian sebagai suatu tata cara sistematis untuk menemukan
jawaban dari sebuah soal di mana tiap langkah harus jelas letaknya.
Keenam, ia juga menemukan metode aljabarik untuk menghitung tinggi
segitiga. Dengan metode tersebut, tinggi sembarang segitiga dapat
dihitung dengan metode penjabaran sisi-sisi segitiga yang diketahui.
Ketujuh, ia merumuskan penyelesain persamaan kuadrat dengan
memperkenalkan konsep variable, parameter, akar kuadrat, dan bersama
ilmuan muslim lainnya memecahkan persamaan kuadrat ax2 +
bx + c = 0
dengan rumus yang sekarang dikenal ABC: X1,2 = [-b (b2
– 4 ac) ] /
2a. x disebut sebagai akar-akar persamaan kuadrat (variable yang dicari) ;
118
sedangkan a, b, dan c disebut sebagai parameter. Selain rumus tersebut al-
Khawarizmi juga memperkenalkan metode “pelengkap kuadrat” untuk
menyelsaikan persamaan kuadrat dan kubik, suatu metode yang sampai
sekarang dipelajari oleh siswa SMU (Heriyanto, 2011: 13-14).
c. Al Kindi (806-866 M).
Di kalangan kaum Muslimin, orang yang pertama memberikan
pengertian filsafat dan lapanganya adalah al-Kindi. Ia adalah Abu Yusuf
ibn Ishaq bin Ash-Shabah bin Imran bin Al-Asy‟ats bin Qais dan terkenal
dengan sebutan “Filosuf Arab” keturunan Arab asli. Berasal dari Kindah
di Yaman, tetapi lahir di Kufah (Irak) di tahun 804 M. Orang tuanya
adalah gubernur Di Basrah (Jaudah, 2010: 113-116). Setelah dewasa, ia
pergi ke Baghdad dan mendapat perlindungan dari Khalifah al-Ma‟mun
(813-833 M) dan Khalifah al-Mu‟tashim (833-842 M).
Al-Kindi menganut aliran Mu‟tazilah dan kemudian belajar
filsafat. Zaman itu adalah zaman penerjemahan buku-buku Yunani dan
Suryani dan al-Kindi turut aktif dalam kegiatan penerjemahan ini, akan
tetapi usahanya lebih banyak dalam memberi kesimpulan daripada
menerjemahkan, karena ia termasuk orang yang berada sehingga ia dapat
membayar orang lain untuk menerjemahkan buku-buku yang ia perlukan
(Nasution, 1978: 14, Jaudah, 2010: 115).
Al-Kindi mendapat kedudukan yang tinggi dari al-Ma‟mun, al-
Mu‟tashim, dan anaknya yaitu Ahmad, bahkan menjadi gurunya. Dalam
risalahnya yang ditunjukan kepada al-Mu‟tashim, ia menyatakan bahwa
filsafat adalah ilmu yang terkemuka serta terbaik. Ia membagi filsafat
menjadi tiga bagian: ilmu Fisika (ilmu thibbiyat) sebagai tingkatan yang
paling bawah, ilmu matematika (al-ilmu al-riyadhi) sebagai tingkatan
menengah, dan ilmu ketuhanan (ilmu al-rububiyah) sebagai tingkatan
paling tinggi. Alasan pembagian tersebut ialah karena ilmu ada kalanya
berhubungan dengan sesuatu yang dapat diindera, yaitu benda atau fisika,
adakalanya berhubungan dengan benda tetapi mempunyai wujud sendiri
yaitu ilmu matematika yang terdiri dari ilmu hitung, teknik, astronomi,
dan musik atau tidak berhubungan dengan benda sama sekali yaitu ilmu
ketuhanan (Hanafi, 1986: 17). Al-Kindi banyak mengarang buku tetapi
berapa banyak jumlahnya tidak ada kesepakatan para penulis biografi. Al-
Nadim dan Al-Qafthi menyebut 238 buah (karangan pendek) dan sebagian
dari karangannya itu telah musnah.2 Isi karangannya meliputi filsafat,
2Yakub Al-Kindi memiliki lebih dari 200 buku yang di rangnya. Bahkan Dr.
Abdul Halim Muntashir mengatakan alam bukunya “ Tarikh Al-Ilm wa Daur Al Arab fi
Taqaddumihi” bahwa buku karangan Al-Kindi lebih dari 230 buku. Akan tetapi yang
sangat disayangkan, kebanyakan dari buku-buku ini hilang dan tidak sampai ke tangan
kita kecuali judul-judulnya saja yang diberitahukan oleh penerjemahnya kepada kita.
119
logika, ilmu hitung, astronomi, kedokteran, ilmu jiwa, politik, optik,
musik, fisika dan ilmu alam, tekhnik mesin, matematika dan sebagainya
(Nasution, 1987: 15). Bukunya tentang optik diterjemahkan ke dalam
bahasa latin yang banyak mempengaruhi Roger Bacon.3Apa yang
dilakukan Bacon tidaklah seperti yang dilakukan oleh kaum Muslimin
dengan menterjemahkan karya-karya Phytagoras ( 530-495 pra-Masehi),
Plato (425-347 pra-Masehi), Aristoteles (388-322 pra-masehi),
Aristarchos (310-230 pra-masehi) Euclides (330-260 pra-masehi),
Claudius Ptolemaios (87-168 M.) (Poeradisastra, 2008: 18-19).
Menurut sejarah, al-Kindi adalah filsuf Muslim pertama. Ia amat
sangat mahir dan sangat terkenal namanya sebagai ilmuwan. Ia
dikelompokkan sebagai tokoh-tokoh pengembang ilmu pengetahuan
sekaligus pendidik multicultural, karena ia dikenal sebagai tokoh yang
humanis dan al-Kindi adalah orang yang pertama kali mengajak kaum
muslimin untuk hidup saling memahami dan menyelaraskan pemikiran-
pemikiran yang berbeda-beda.
d. Al- Farghani
Ahli astronomi yang terkemuka lainnya pada zaman al-Ma‟mun
dalam periode ini adalah Abu al-Abbas Ahmad al-Farghani (al-Farganus),
ia lahir dan besar di Faghanah, Asia Tengah yang hidup pada abad ketiga
Hijriyah atau kesembilan masehi. Ia termasuk seorang tokoh astronom
yang terkemuka pada zaman kholifah al-Ma‟mun. Al-Faraghani aktif
memulai observasi astronominya ketika al-Ma‟mun membangun sebuah
observatorium astronomi di Baghdad pada tahun 830 M (Heriyanto, 2011:
128-129). Melalui Observasi yang terus menerus dilakukannya, ia
berhasil menentukan jarak dan ukuran planet atau benda langit (Bulan
Merkurius, Venus, Matahari, Mars, Jupiter, dan Saturnus). Dalam
menentukan jarak planet, ia mengikuti teori, bahwa “tak ada ruang yang
terbuang”, sesuai dengan falsafah “tak ada ruang kosong” di alam raya,
3Bermodalkan bahasa Arab, Bacon kemudian mempelajari bahasa Ilmu
Pengetahuan pasti dan ilmu pengetahuan alam seperti juga beberapa orang sarjana
Kristen lainya pada masa itu. Antara tahun 1250-1257 ia pulang dan melanjutkan
pelajaran bahasa Arabnya di Universitas Oxford dengan membawa sejumlah besar buku-
buku Ilmiah Islam dari Paris. Beberapa karya sarjana-sarjana Muslim, diantaranya al-
Munazhier karya Ali al-Hasan ibn Haitsam (965-1038 M), di terjemahkan oleh Bacon
kedalam bahasa Latin, bahasa Ilmiah Eropa pada masa itu.Dalam naskah-naskah tersebut
terdapat keterangan-keterangan tentang mesiu dan mikroskop.Bacon secara tidak jujur
telah mencantumkan namanya sendiri pada terjmahan-terjemahan itu dan melakukan
palgiat secara terang-terangan.
120
sehingga dia menetapkan apogium suatu pelanet bersinggungan dengan
perigium planet berikutnya.4
Al-Farghani, pada tahun 861 M diangkat oleh al-Mutawakkil
menjadi pengawas dalam pembangunan kilometer di Fusthath. Karyanya
yang utama adalah “Al-Mudkhi Ila ilmi Hayai al-Aflal” yang pada tahun
1135 M diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh John dari Sevilla dan
Gerard dari Cremona. Di samping obsevatorium al-Ma‟mun, ada juga
obsevatorium swasta yang dikelola oleh tiga bersaudara anak-anak Musa
ibn Syakir (850-870 M). Tiga bersaudara ini meninggalkan banyak
karangan berharga, di antaranya ilmu untuk mengukur permukaan datar
dan bulat. Buku ini disalin oleh Gerard cremona ke dalam bahasa Latin
dengan nama “LiberTrium Fratrum” Hoesen,1975:99-104).
Al-Faraghani, pada tahun 247 H. atau 861 M. diutus oleh khalifah
Al-Mutawakil ke Mesir untuk mengawasi pembangunan alat ukur sungai
Nil. Pada tahun 246 H./860 M., dia menulis sebuah buku yang berjudul
“Jawani‟ Ilmi An-Nujum Wa Al-Harakat As-Samawiyyah.” Buku ini telah
di terjemahkan kedalam bahasa Latin, dan sangat besar pengaruhnya
dalam perjalanan ilmu perbintangan di Eropa pada abad kelima belas dan
keenam belas Masehi (Jaudah, 2002: 527-528).
e. Al-Fazari
Namanya adalah Abu Ishak Ibrahim bin Habib Al-Fazari. Dalam
lapangan ilmu astronomi, penulisannya dimulai sejak diterjemahkannya
buku “Maha Sidhanta” dari bahasa India kebahasa Arab oleh al-Fazari di
Baghdad tahun 771 M. selanjutnya dilakukan penerjemahan dari daftar-
daftar Pahlevi yang disusun sejak periode Sasania. Sesudah itu barulah
diterjemahkan buku Yunani Almagest karangan Ptolomeus. Dua buku
karangan Ptolomeus yang lain masing-masing diterjemahkan oleh al-
Hajjaj ibn Mathar pada tahun 212 H/887 M dan oleh Hunain ibn Ishaq
yang kemudian direvisi oleh Tsabit ibn Qurra. Pada awal abad IX M.
tempat observatorium dengan alat-alat yang lebih akurat dibangun di
Yunde Shapur. Oleh al-Ma‟mun, sehubungan dengan kepentingan
lembaga ilmu pengetahuan Bait al-Hikmah, dibangun sebuah
observatorium astronomi dekat gerbang Syamsiyah di bawah pimpinan
Sindi bin Ali dan Yahya ibn Abi Mansur (830 M). Para ahli astronomi dan
lembaga ini tidak hanya membuat observatorium sistematis terhadap
gerakan benda-bendalangit di jagat raya, tetapi juga membuktikan secara
tepat elemen-elemen yang fundametal yang terdapat dalam almagest, yaitu
4Apegium dan pergium adalah masing-masing titik terjauh dan titik terdekkat
lintasan orbit pelanet dengan bumi. Semakin lonjong suatu lintasan maka semakin besar
perbedaan antar apogium dan pergium
121
garis gerak yang tidak beraturan dan garis edar matahari, panjang tahun
syamsiyah dan sebagainya. Al-Ma‟mun segera membangun sebuah
cabang dan observatorium ini yang didirikan di gunung Qosayun di
luarkota Damaskus. Alat perlengkapan obsevatori pada waktu itu antara
lain terdiri atas quadrant, astrolobe (alat pengukur letak tinggi tempat
yang dipergunakan pada masa pertengahan), dial (alat pengukur waktu,
kecepatan, suhu) dan bola dunia (Jaudah, 2002: 527-529).
Al-Fazari adalah orang pertama yang mengajarkan astrolobe
(nama Arab-nya Asthurtab). Model astrolobe ini mungkin diambildari
Yunani. Buku-buku terbitan yang ditulis mengenai astrolobe di masa itu
ialah yang ditulis oleh Ali ibn Isa al-Asthurlabi, hidup di Baghdad dan
Damaskus sebelum tahun 830 M. Para ahli astronomi al-Ma‟mun
memperlihatkan ketelitian yang tinggi dalam hal operasi giodotik
(pengukuran panjang dari busur derajat letak tinggi tempat dari
permukaan air laut). Tujuan dari operasi ini adalah untuk menentukan
ukuran bumi dan jarak lingkar bumi dengan satu asumsi bahwa bumi ini
adalah bundar.5 Dalam kalendernya yang bernama “As-Sindhind Al-
Kabir” ia memadukan antara pengetahuan Iran, India dan Barat. Pada
tahun 174 H (790 M), ia menulis sebuah buku yang berjudul “ Zaij Ala
Sunni Al-Arab.” Buku ini merupakan kumpulan jadwal bintang pertama
yang mempergunakan kalender Hijriyah. Artinya, ia telah merubah
kalender India yang berdasarkan peredaran bintang menjadi kalender
berdasarkan Hijriyah. Ia juga menulis buku yang berjudul “Al‟Amal Fi Al-
Astharlab Al-Musthuh.”
Pengukuran-pengukuran ini dilakukan di dataran Sinjar di antara
sungai Furat dan juga dekat Palmira yang menghasilkan 56 2/3 mil Arab
sebagai panjang busur dari satu derajat meridian yang merupakan hasil
yang akurat yang secara ekstrim dapat menentukan panjang sesungguhnya
dari busur derajat tempat itu yaitu ±2877 kaki. Berdasarkan hasil hitungan
ini diperhitungkan bahwa jarak lingkaran bumi adalah 20.400 mil dan
garis tengahnya adalah 6.500 mil. Di antara orang-orang yang mengambil
bagian dalam operasi ini adalah putra dari Musaibn Syakir dan barangkali
juga al-Khawarizmi, yang daftarnya satu setengah abad kemudian direvisi
oleh Maslamah al- Majrithi dari Andalusia (w.1007 M) dan ditejemahkan
kedalam bahasa Latin pada tahun 1126 M. oleh Adelard dari Bath yang
menjadi dasar penulisan ilmu bumi pada masa selanjutnya baik di Timur
5Dalam kalendernya yang bernama “As-Sindhind Al-Kabir” ia memadukan
antara pengetahuan Iran, India dan Barat. Pada tahun 174 H (790 M), ia menulis sebuah
buku yang berjudul “ Zaij Ala Sunni Al-Arab.” Buku ini merupakan kumpulan jadwal
bintang pertama yang mempergunakan kalender Hijriyah. Artinya, ia telah merubah
kalender India yang berdasarkan peredaran bintang menjadi kalender berdasarkan
Hijriyah. Ia juga menulis buku yang berjudul “Al‟Amal Fi Al-Astharlab Al-Musthuh.”
122
maupun di Barat. Daftar astronomi dari Arab ini dapat menggeser dan
menggantikan daftar-daftar yang pernah dibuat oleh India dan Yunani,
dan bahkandaftar Arab ini dipakai oleh orang Cina (Hoesen, 1975: 98).
Al-Biruni, selain seorang yang ahli dalam astronomi, ia juga ahli
di bidang Geografi, matematika dan fisika. Ia ahli dalam Mineralogi yang
menulis Kitab Al Jamahir, ia adalah orang yang mempersoalkan
perputaran bumi mengelilingi sumbunya, dan menyatakan universitas
hukum alam dengan mengatakan gravitasi di bumi sama dengan gravitasi
di langit. Kecuali itu ia juga menulis Kitab As Saidana yang berisi segala
informasi yang ada tentang pengobatan pada zaman itu (Baiquni, 1996:
70).
Berkembangnya ilmu pengetahuan dan peradaban yang menjadi
tonggak puncak peradaban Islam di zaman keemasan dalam Islam di
sebabkan, karena institusi pendidikan Islam yang telah menerapkan
konsep pendidikan berbasis multicultural. Nilai-nilai multicultural yang
actual dikembangkan saat itu adalah toleransi, keterbukaan, kesedrajatan,
kebebasan, kedailan, keragaman dan demokrasi. Majunya peradaban dan
perkembangan ilmu pengetahuan juga didukung oleh tokoh-tokoh
pendidik yang memiliki visi dan misi berbasis kultural.
D. Hasil Pencapaian Al-Ma’mun dalam Mengembangkan Sains
1. Berdirinya Baitul Hikmah Zaman al-Ma’mun
Lembaga pengetahuan ini menjelma menjadi tempat ilmuan
muslim guna melakukan penelitian dan menimba ilmu pengetahuan. Pada
zaman al-Ma‟mun Baitul Hikmah dilengkapi dengan observatorium.
Sejarah mencatat, pada saat itu belum ada dibelahan bagian dunia lainnya
yang mampu menandingi dan menyaingi Baitul Hikmah (Syuyuti, t.t: 34).
Lembaga ini adalah kelanjutan dari Dar Hikmah, perpustakaan yang
pernah di bangun oleh Kholifah Harun al-Rasyid. Seperti pepatah
mengatakan “Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya”, kiranya tepat jika al-
Ma‟mun mengikuti jejak ayahnya sebagai Ilmuwan, ulama, sekaligus
kholifah.
Sebagaimana Syuyuti mengatakan, “Keberadaan Baitul Hikmah
yang semakin berkembang menunjukkan betapa besar kecintaan al-
Ma‟mun terhadap ilmu pengetahuan. Bukan saja sebagai salah satu bentuk
jasa beliau dalam mengembangkan ilmu pengetahaun, Baitul Hikamah
telah menjadi surga bagi para ilmuan dan para penuntut ilmu pada zaman
tersebut.”
Para ilmuwan dan penuntut ilmu merasakan begitu besar
manfaatnya yang di dapat sejak berdirinya Baitul Hikmah dibangun
hingga mengalami perkembangan yang begitu pesat, baik di bidang
keilmuwan, maupun semakin banyak karya-karya yang dihasilkan dari
123
proses penerjemahan dan perburuan manuskrip lainnya. Al-Ma‟mun juga
mengisi Baitul Hikmah dengan berbagai manuskrip berharga yang didapat
dari berbagai daerah di antaranya adalah daerah pemerintah Byzantium
(Amin, 2001: 72).
Di Baitul Hikmah, segala ilmu pengetahuan dikaji, diteliti, dan
dikembangkan oleh para ilmuan. Studi yang berkembang pesat di lembaga
tersebut antara lain: matematika, astronomi, kedokteran, zoology serta
geografi. Sebagai kholifah yang punya intelektual tinggi, juga inovatif, al-
Ma‟mun meminta para ilmuan tidak hanya menguasai pengetahuan hasil
transfer dari peradaban lain saja. Ia juga mendorong para ilmuwan Muslim
untuk melahirkan inovasi dan mengembangkan ilmu pengetahuan yang
dikuasainya. (Syuyuti, t.t: 56). Upaya tersebut akhirnya tercapai, hingga
Baghdad menjelma menjadi kota yang kaya raya di dunia dan menjadi
pusat intelekual pada saat itu. Penduduk Baghdad mencapai satu juta jiwa
populasi terbesar saat itu dan selama kepemimpinannya, telah melahirkan
sederet ilmuwan yang terkemuka di dunia yang pernah dimiliki oleh umat
Muslim.
Sebagaimana pada pembahasan sebelumnya, di Baghdad telah
didirikan peneropong bintang-bintang oleh al-Ma‟mun, yang langsung
berhubungan dengan Baitul Hikmah. Lalu al-Ma‟mun menyuruh para
ulama untuk mempelajari kitab al-Majisthi yang berisi ilmu falaq.
Kemudian al-Ma‟mun menyuruh para ulama untuk membuat alat
peneropong, untuk mempelajari hal ihwal tentang perbintangan
sebagaimana yang dibuat oleh Bathlimus pengarang kitab al-Majisthi.
Alat peneropong tersebut kemudian mereka namai sebagai “Peneropong
al-Ma‟muni” (Yunus, 1992:62-65).
Jika melihat keharmonisan al-Ma‟mun terhadap para ulama, tidak
mungkin al-Ma‟mun atau para ulama saling memusuhi satu sama lain
sebagaimana pendapat para penulis lainnya yang mengatakan bahwa al-
Ma‟mun adalah orang yang kejam dengan sering menghukum para ulama
sebagaima pada peristiwa Mihnah. Sebagaimana yang pernah
dikemukakan oleh Tamim Ansary sebagai berikut:
ia dibawa ke istana dan diminta berdebat dengan teolog terkemuka
tentang pertanyaan apakah al-Qur‟an itu makhluk ciptaan atau
bukan. Filsuf menyerang Ibn Hanbal dengan logika, ulama itu
memukul balik dengan kitab suci. Filsuf mengikatnya dalam
buhul-bukul argument, Ibn Hanbal berkelit lepas dengan doa
kepada Allah. Jelas, tidak ada seorang pun yang bisa benar-benar
“menang” dalam debat semacam ini karena para pendebat tidak
sepakat pada hal-hal yang mendasar. Ketika Ibn Hanbal menolak
untuk mengingkari pandangannya, ia dipukul secara fisik, tapi
tidak mengubah pikirannya. Ia dikurung dalam penjara. Ia tetap
124
saja berpegangan pada prinsip-prinsipnya: tidak akan pernah
membiarkan nalar menginjak-injak wahyu, tidak pernah! (Ansary,
2010: 184-185).
Oleh karena itu, bukti fisk yang berkembang adalah al-Ma‟mun
dengan para ulama saling bersinergi dalam mengembangkan ilmu.
Dimana al-Ma‟mun memiliki sikap pemaaf, berjiwa besar sebagai
pemimpin, dan bijaksana. Tidak mungkin jikalau ia melakukan resistensi
terhadap para ulama, akan tetapi justru sebaliknya. Jika tidak ada kiprah
al-Ma‟mun dengan upaya-upaya yang menyelamatkan kerajaan dan
peradaban yang diwariskan oleh pendahulunya (Kholifah al-Mansur dan
Harun al-Rasyid), maka bisa dipastikan umat Islam belum mencapai titik
puncak kejayaan (the golden age).
Karya ilmuan yang di terjemahkan antara lain seperti: karya
Aristoteles, Plato, Galen, Hippocrates, Dioscorides, Ptolemy dan
Alexander dari Aphrodisias (Nakosten, 1995: 15). Dan buku-buku Yunani
yang dibawa dari Ankara dan Amuriyah, terdapat buku-buku lain yang
dibawa dari pulau Cyprus, Ibnu Nubatah al-Masari telah menyebutkan
masalah ini. Al-Ma‟mun telah melantik Sahal bin Harun sebagai penulis
harta simpanan Darul Hikmah yang berupa buku-buku karangan para ahli
filsafat yang dibawa dari pulau Cyprus, yaitu sesudah kholifah berdamai
dengan pemerintahan pulau Cyprus dan meminta pemerintahan tersebut
untuk mengirim buku-buku Yunani. Perintah tersebut berunding dengan
orang-orangnya dan meminta pendapat mereka tentang rancangannya
untuk mengirim buku-buku tersebut kepada al-Ma‟mun. Akan tetapi
semua yang berunding telah menolak rancangannya, kecuali seorang
padre yang mendukung dengan alasan-alasan buku yang mengandung
ilmu-ilmu aqli akan merusak pemerintahan Abbasiyah dan
menjerumuskan para ulama ke jurang kesalahan. Dengan itu ia
mencadangkan supaya buku-buku tersebut diserahkan kepada kholifah al-
Ma‟mun secepatnya. Pendapat tersebut akhirnya diterima, dan buku-buku
itu pun segera dikirim kepada al-Ma‟mun yang merasa amat gembira dan
disana terdapat buku yang dibawa dari Konstantinopel (Syalabi,
1997:201).
Buku-buku Yunani merupakan buku yang paling banyak
diterjemahkan oleh pemerintahan al-Ma‟mun akan tetapi buku-buku yang
diterjemahkan, merupakan buku-buku yang terlebih dahulu disingkirkan
dari hal-hal yang berbau musyrik, seperti adanya kepercayaan pada
mitologi para dewa, artinya al-Ma‟mun maupun umat Muslim tetap
berhati-hati terhadap kemusyrikan, meski hanya sebatas penerjemahan
karya non-Muslim. Tidak hanya memanfaatkan dan menerjemahkan
buku-buku yang memberi manfaat langsung dari perkembangan umat
125
Islam pada masa itu, tetapi memang juga buku-buku yang penting untuk
diterjemahkan dan sudah tidak terdapat lagi di daerah lain, meskipun
muncul rencana untuk meyesatkan umat Islam melalui buku yang
dipinjam. Namun al-Ma‟mun, tetap dengan senang hati dan
menerjemahkan karya tersebut, karena pasti akan ada manfaat lain selain
daripada kemudharatannya saja.
Mengenai hal ini, Ibnu as Nadim telah menyebut bahwa kholifah
al-Ma‟mun mempunyai perutusan dengan raja Roma, dan pada suatu hari
al-Ma‟mun mengirim surat kepada raja Roma untuk meminta izin
menyelamatkan ilmu-ilmu purba yang tersimpan di negeri Roma.
Permintaan al-Ma‟mun akhirnya disetujui oleh raja Roma. Dengan hal itu
al-Ma‟mun melantik serombongan tokoh-tokoh, di antarnya seperti al-
Hajajj bin Matar, Ibnu al-Batriq, Salam.
Mereka pun telah kembali dengan membawa buku-buku yang telah
mereka pilih. Kholifah al-Ma‟mun pun mengarahkan mereka supaya
menerjemahkannya. Dikatakan juga bahwa Yuhana bin Masuwaih adalah
termasuk kedalam rombongan yang dikirim ke negeri Roma tersebut.
Kholifah al-Ma‟mun pun mendapat tenaga Hunain bin Ishaq yang masih
berusia muda dan memintanya menyalin buku-buku tersebut kedalam
bahasa Arab, dan ia pun diberikan upah oleh al-Ma‟mun dengan emas
seberat buku yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab (Syalabi, 1997:
202-203).
Karya terbesar yang terpenting dalam zaman al-Ma‟mun adalah
karena ia telah membangun Baitul Hikmah yang membuat Baghdad
menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang berkembang pesat
pada saat itu dan secara tidak langsung telah melahirkan berbagai
ilmuwan penting yang telah berkontribusi lewat karyanya yang sangat
bermanfaat bagi perkembangan umat Islam.
a. Munculnya Konsep Dasar Mutikultural pada Baitul Hikmah dan
Pengaruhnya.
Intitusi di zaman al-Ma‟mun telah mengukir sejarah baru dalam
peradaban manusia di mana bangsa Barat sekalipun belum mengenalnya,
apa yang disebut dengan konsep multicultural dalam pendidikan. Konsep
demokrasi dan pluralitas sudah begitu kental dalam kehidupan sehari-hari
termasuk dalam ke (Syalabi, 1995giatan ilmiah ini.
Berikut dapat digambarkan dengan jelas adanya konsep dasar
multicultural pada institusi Baitul Hikmah adalah sebagai berikut:
Pertama, nilai-nilai kebebasan berekspresi, keterbukaan, toleransi dan
kesetaraan dapat dijumpai pada proses pengumpulan manuskrip dan
penerjemahan buku-buku sains dari Yunani guna melengkapi intitusi-
intisuti pendidikan Islam pada zaman al-Ma‟mun. Ia memberikan
126
kebebasan berekspresi, keterbukaan dan kesetaraan sarjana Muslim dan
non-Muslim.
Al-Ma‟mun telah memberikan penghargaan dengan memberikan
emas kepada para sarjana baik yang Muslim dan non-Muslim yang telah
menterjemahkan buku-buku Yunani ke dalam bahasa Arab. Suasana
kebebasan intelektual di institusi ini merupakan peletakan dasar-dasar
konsep multicultural dalam pendidikan Islam. Nilai-nilai toleransi
merupakan nilai strategis dalam membangun dasar yang kuat dalam
perdamaian (Ta‟cub, 2002:200).
Sebagaimana pendapat Nurcholish Majid, menyatakan bahwa
interaksi positif antara masyarakat Arab Muslim dengan kalangan non-
Muslim haya dapat terjadi pada suasan kebebasan, keterbukaan dan
adanya toleransi (Majid, 2000: 222). Sependapat dengan Ya‟qub, bahwa
nilai-nilai toleransi merupakan nilai strategis dalam membangun dasar
yang kuat dalam perdamaian. Oleh sebab itulah berdampak pada
meningkatnya semangat para penerjemah dalam melaksanakan tugas. Hal
semacam inilah yang di inginkan oleh al-Ma‟mun yang terpenting dalam
bentuk nyata.
Kedua, perbedaan entik kultural dan agama bukan hambatan atau
rintangan dalam melakukan suatu kemajuan, terutama dalam hal kemajuan
penerjemahan. Para penerjemah yang memiliki perbedaan kultur, suku,
ras, bangsa dan agama seperti : 1) Abu Sahl Fazhl bin Nawbakht yang
berkebangsaan Persia. 2) Yuhanah bin Masuya yang berkebangsaan Syria.
3) Hunayn bin Ishaq yang beragamakan Kristen Neestorian dari Hiriah.
4). Alan al-Syu‟bi yang berkebangsaan Persia. 5) Qutha bin Luqa yang
beragamakan Kristen dari Yacobite. 6) Abu Bisr Matta ibn Yunus yang
beragamakan Kristen Nestorian. 7). Ishaq bin Hunayin beragamakan
Kristen Nestorian. 8) Hubaish beragamakan Kristen yang sama.
Konsep dasar pendidikan multicultural di Baitul Hikmah lebih
bersifat internal dan khusus yang lebih menekankan pada aspek
keragaman dan kesedrajatan peserta didik dala proses pendidikan. Oleh
karena itu, subyek-subyek multicultural yang dapat dilihat pada halaqah,
kuttab, masjid, ribath, dan majelis mengenai keadilan, kemiskinan, dan
latar belakang kelompok-kelompok minoritas dalam bidang sosial dan
budaya, ekonomi dan pendidikan yang bertujuan untuk mencapai
pemberdayaan kelompok-kelompok minoritas tersebut.
Kebudayaan bangsa, kondisi-kondisi sosial-politik, ekonomi dan
pendidikan yang berbasis multicultural pada zaman al-Ma‟mun membawa
pengaruh yang luar biasa terhadap kemajuan peradaban bangsa seperti:
Pertama, Terjalinnya asimilasi antara bangsa Arab dengan mawali (non
Arab) atau bangsa-bangsa lain yang lebih dulu mengalami perkembangan
di bidang ilmu pengatahuan dan teknologi. Kedua, Gerakkan
127
penerjemahan yang dikelola dalam suasan keberagaman, kesedrajatan,
perbedaan-perbedaan kebudayaan toleransi terhadap semua kelompok dan
agama khususnya agama Kristen membawa pengaruh pada kemajuan ilmu
pengetahuan dan juga ilmu pengetahuan agama. Ketiga, Kebebasan dalam
memilih materi dan guru dalam belajar mengajar dan hubungan yang
harmonis antar guru dan murid dan nilai-nilai toleransi antara keduanya
keduanya berkembangnya ilmu pengatahuan dan lahirnya imam-imam
mazhab seperti, Imam Syafi‟i yang merupakan mazhab ketiga dan Imam
Hanbali yang merupakan mazhab keempat.
Gambar: 4.1 Konsep dasar pendidikan Multikultural pada Institusi Baitul
Hikmah
2. Berkembangnya Cabang-cabang Ilmu Pengetahuan
Ilmu-ilmu yang tumbuh dan juga berkembang pada zaman al-
Ma‟mun tersebut adalah sebagai berikut:
a. Ilmu-ilmu Agama
Ilmu Agama yang dimaksud penulis disini adalah ilmu-ilmu yang
muncul di tengah-tengah suasan Keislaman, berkaitan dengan agama dan
bahasa al-Qur‟an. Syalabi menyebutkannya “ilmu-ilmu Islam” dan
sebagian cendikiawan yang lain menyebutkannya “lmu-ilmu naqli”.
Memang ilmu pengetahuan telah berkembang sejak Dinasti Umayyah.
Akan tetapi pada zaman Dinasti Abbasiyah, ilmu pengetahuan mengalami
perkembangan yang sangat pesat. Adapun cabang ilmu pengetahuan
agama antara lain sebgai berikut:
1) Ilmu Tafsir
Pada masa Abbassiyah ilmu tafsir mengalami perkembangan yang
sangat pesat dengan melakukan penafsiran secara sistematis, menyeluruh
serta terpisah dari hadits. Menurut Ibn Nadim, orang yang pertama
Nilai-nilai kebebasan
Keterbukaan
Toleransi Kesetaraan
Beda etnik, agama, ras
128
melakukan penafsiran secara sistematis berdasarkan tertib mushab adalah
al-Fara (Fa‟al, 2008: 69). Dan pada zaman Abbasiyah, muncul berbagai
aliran seperti Sunni, Syi‟ah, dan Muktazilah yang mempengaruhi
penafsiran al-Qur‟an (S.J, 2008:61).
Dari berbagai tafsir yang ada, terdapat dua kategori tafsir, yaitu:
Pertama. Tafsir bil al-Matsur, yaitu penafsiran al-Qur‟an berdasarkan
pada sanad dan periwayatannya, meliputi tafsir al-Qur‟an dengan al-
Qur‟an, al-Qur‟an dengan Hadits dan al-Qur‟an dengan perkataan para
sahabat. Kedua, Tafsir bil al-Ra‟yi, yaitu penafsiran al-Qur‟an dengan
ijtihad (Fa‟al, .2008: 69).
Tafsir al-Qur‟an ini belum dikodifikasikan sebelum masa
Abbasiyah, pertama. Ketika terjadi kebangkitan ilmu pengetahuan pada
zaman itu, tafsir secara sistematis sesuai susunan al-Qur‟an dibukukan.
Orang yang pertama membukukan tafsirnya ialah al-Farra atau Umar ibn
Bukhair, karena ia sering sekali di tanya oleh gubernur Irak di zaman
Kholifah al-Ma‟mun mengenai tafsiran ayat-ayat tertentu, maka Umar ibn
Bukhair meminta kepada al-Farra untuk menulis tafsir al-Qur‟an
(Mammur, t.t: 229).
2) Ilmu Hadits
Pada zaman Daulah Abbasiyah, kegiatan pengkodifikasian Hadits
dilakukan dengan giat, sebagai kelanjutan dari usaha para „ulama
sebelumnya. Perlu diketahui, pengkodifikasian Hadits pada masa
Umayyah dilakukan, akan tetapi tidak melakukan penyeleksian atau
penyaringan terlebih dahulu, dan dampaknya adalah hadis Rasulullah
dengan Hadits palsu bercampur.
Hadis dan Ilmu Hadits berbeda pengertian, Jika Hadis adalah
segala sesuatu perkataan, perbuatan, atau persetujuan yang di sandarkan
kepada Nabi Muhammad SAW terhadap sesuatu yang ia lihat atau yang
diceritakan kepadanya. Sedangkan Ilmu Hadits adalah ilmu tentang
kaidah-kaidah untuk mengetahui tentang keshahihan atau kelemahan
Hadits, cara mendapatkannya dan menyampaikannya pada orang lain.
(Atthabari, 1968: 39). Oleh karena itu berkenaan dengan keutamaan
Hadits sebagai hukum Islam yang kedua setelah al-Qur‟an maka para
ulama Islam di zaman Abbasiyah, berusaha semaksimal mungkin
menyaring Hadits Rasulullah agar dapat diteima sebagai sumber hukum
yang sah dalam Islam. Penyeleksian Hadits dilakukan dengan cara
mengkritik terhadap sanad, maupun matan Hadits (Atthabari, 1968: 42).
3) Ilmu Kalam
Ilmu ini lahir karena dorongan untuk membela agama Islam dari
pemikiran orang-orang Yahudi dan Nasrani yang menggunakan filsafat
129
sebagai senjata, dan juga untuk memecahkan pelbagai permasalahan
agama dengan menggunakan akal pikiran dan ilmu pengetahauan. Pada
zaman Abbasiyah kaum Mutazilah berjasa dalam mengembangkan ilmu
kalam, karena kegigihan mereka membela umat Islam dari serangan-
serangan pikiran dari Yahudi dan Nasrani. Menurut riwayat mereka
mengirim para juru dakwah kesegala penjuru, untuk menolak serangan-
serangan musuh Islam.
4) Ilmu Fikih
Salah satu kebanggaan umat Islam pada zaman Abbasiyah pada
pemerintahan pertama adalah memiliki empat imam mazhab yang ulung
dengan segala kapasitasnya sebagai seorang ulama besar. Mereka adalah
Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi‟i dan Imam Ahmad bin
Hanbali. Kempat ulama fiqih tersebut adalah harta yang berharga umat
Islam.
Metode pengambilan (istimbath) hukum yang dipergunakan oleh
para fuqoha pada masa itu dibedakan menjadi ahl ra‟yi dan ahl hadits.
Aliran pertama mengistimbatkan hukum Islam berdasarkan pada sejumlah
nash-nash yang jelas (matsur) jika tidak terdapat nash yang jelas, serta
banyak mendasarkan pada pemikiran hukumnya pada kemampuan akal
pikiran dan pengalaman. Aliran ini terdapat di Kuffah dan tokohnya yang
paling terkenal adalah Imam Abu Hanifah. Selanjutnya, aliran kedua
adalah yang mengistimbathkan hukum berdasarkan Hadis-hadis Rasul.
Aliran ini banyak terdapat di Madinah dan tokoh yang paling terkenal
adalah Imam Malik. Di antara ahl ra‟yi dan ahl hadis, terdapat ulama
yang cenderung menggabungkan kedua metode tersebut yang liberal dan
konservatif adalah Imam Syafi‟i dan Imam Hanbali.
Keempat imam tersebut dalam penetapan hukum memiliki metode
tersendiri dari masing-masing ulama tersebut diatas. Akan tetapi
menariknya ulama tersebut (Imam Maliki, Hanafi, Syafi‟i dan Hanbali)
sama-sama menggunakan hukum logika yang diadopsi dari Arsitoteles
(Saefudin2002: 62).
Pertentangan antara ulama hukum Islam (fiqih) memberikan
gamabaran baru bahwa betaapa luasnya hukum Islam. Oleh karena itu,
agar dapat menghindari pelbagai pertentangan yang lebih luas lagi dan
membawa akibat negatif, maka ulama fiqih berusaha menyusun ilmu
ushul fiqih yang dapat menjadikan sebagai pegangan umum bagi semua
para ahli hukum Islam (S.J, 2008: 173). Keempat pemikir hukum Islam
tersebut dalam wacana pemikiran Islam kemudian dikenal dengan istilah
empat imam mazhab fiqih. Akan tetapi keempat imam mazhab tersebut
dalam menentukan hukum Islam, hanya dianut oleh masyarakat Sunni,
130
sedangkan untuk Syi‟ah, yang dianut adalah Imam Ja‟fari (Saefudin2002:
62).
5) Ilmu Tasawuf
Ilmu Tasawuf adalah ilmu yang tumbuh dan berkembang pada
zaman Abbasiyah, ilmu tasawuf adalah ilmu syari‟at yang baru
diciptakannya. Inti ajarannya adalah tekun beribadah dengan
menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah, meninggalkan perhiasan dan
kesenangan dunia dan bersunyi diri dalam ibadah.
6) Nahwu
Ilmu Nahwu adalah ilmu yang berkembang pada masa Abbasiyah
(132 H) di Baghdad, Kuffah, dan Basrah, kemudian dua aliran Nahwu
yaitu mazhab Basrah dengan tokohnya Ibn Ahmad dan Sibaweh dan
Mazhab Kufah dengan tokohnya al-Kisaaiy dan al-Farra (Hammur,
t.t:267). Pada masa Kholifah Umar bin Khotob, wilayah Islam
berkembang ke berbagai penjuru dunia, maka banyak orang-orang yang
bukan Arab masuk Islam. Mereka membaca al-Qur‟an dan meriwayatkan
Hadits dengan bahasa Arab, namun diantar mereka tidak bisa menguasai
bahasa Arab dengan baik, akibatnya terjadilah kesalahan dalam membaca
dan mengartikannya. Lalu pada masa Ali bin Abi Thalib,
menginstruksikan kepada Aswad ad-Duali untuk menyusun kaidah Ilmu
Nahwu (Syuyuti, 1968: .121).
b. Ilmu-ilmu Umum
1) Humaniora
Kemajuan peradaban Islam pada masa kejayaan Islam juga
mencakup bidang Humaniora. Dalam bidang ini peradaban Islam
tercermin dalam bidang ilmu Bahasa dan Sastra.
Ilmu Bahasa dan Sastra tumbuh dan berkembang, karena Bahasa
Arab semakin berkembang dewasa, memerlukan suatu ilmu bahasa yang
menyeluruh dan yang dimaksud ilmu bahasa (al-lughah) yaitu: Nahwu,
Sharaf, Ma‟ani, Bayan, Badi‟, Arudh, Qamus dan Insya. Kota Basrah dan
Kuffah merupakan pusat pertumbuhan ilmu bahasa (ulum al-lughah),
kedua kota tersebut saling berlomba dalam bidang tersebut, sehingga
muncul “Aliran Bashrah” dan “Aliran Kuffah” yang masing-masing
pendukung bangga terhadap alirannya. Akan tetapi aliran Bashrah lebih
banyak terpengaruh dengan “Mantiq” (logika) dibandingkan dengan
aliran Kuffah, sehingga mereka dikenal sebagai aliran ahli Mantiq (S.J,
2008:64-67).
2) Filsafat
131
Filsafat muncul sebagai hasil integrasi antara ajaran Islam dan
kebudayaan klasik Yunani yang terdapat di Suri‟ah, Mesir, Mesopotamia,
Persia dan India. dan mulai berkembang pada masa Kholifah Harun al-
Rasyid serta Kolifah al-Ma‟mun. Para filsuf Muslim yang menjadi tokoh
dunia adalah Ya‟qubbin Ishaq al-Kindi. Ia adalah seorang filsub Arab
yang pernah menulis 50 buku, yang sebagiannya adalah di bidang filsafat.
Gelombang penerjemahan sangat berpengaruh terhadap
meluasnya tradisi helenistik ke dunia Islam. Umat muslim banyak
menekuni tradisi intelektual Yunani, termasuk filsafat, sehingga terjadilah
apa yang disebut dengan Azra sebagai “helenisasi pemikiran Islam dan
Islamisasi pemikiran helenistik”. Wajar kiranya tradisi helenistik
kemudian membanjiri khazanah keilmuan kaum Muslim karena pada
awalnya filsafat berkaitan erat dengan ilmu-ilmu eksanta yang dipelajari
kaum Muslimin dengan tekun. Kenyataannya banyak sekali, orang yang
menjadi ahli dalam berbagai bidang, seperti ahli kedokteran, fisika,
kimia,dan filsafat (Saefuddin, 2002: 186).
3) Kedokteran
Pada masa Dinasti Abbasiyah kedokteran telah mencapai
puncaknya dan telah melahirkan dokter yang terkenal Yuhanah bin
Musawih (w.242 H) dengan karyanya al „ashr almaqolat fi al‟ain (tentang
pengobatan penyakit mata). Perkembangan ilmu kedokteran sejalan
dengan perkembangan ilmu filsafat. Pada awalnya Kholifah al-Mansur
mengundang dokter dari Jundishapur kemudian mengundang dokter
ternama dari Syiria, India, Mesir, dan Bizantium untuk berkumpul di
Baghdad. Buku-buku Yunani diterjemahkan kedalam bahasa Arab. Buku-
buku Yunani yang menjadi standar ialah karya Hipocrates, Galen, Pail,
Alexander, Thales, Dicerides dan lain sebagainnya (S.J., 2002: 180).
4) Astronomi
Astronomi membantu umat Islam dalam menentukan letak Ka‟bah.
Di sisi lainnya astronomi juga memiliki kelebihan untuk meramal, seperti
garis politik para kholifah dan amir berdasarkan perhitungan kerjanya
kepada peredaran bintang. Pada awal abad kesembilan sudah ada
dilakukan observasi-observasi pertama dan teratur di sebelah Barat Daya
Parsi dengan mengunakan alat-alat yang sudah sempurna; dan sebelum
pertengahan abad tersebut berlalu maka Kholiafh al-Ma‟mun telah
mendirikan pos-pos observasi astronomi di Baghdad dan di luar kota
Damaskus. Alat-alat yang digunakan pada saat itu berupa kwadrat,
astrolabium, jarum matahari dan bulatan dunia.
Dengan cara demikian para ahli astronomi kholifah
menyelenggarakan salah satu pekerjaan pengukuran tanah yang paling
132
sulit, yaitu pengukuran derajat busur. Maksud pekerjaan itu adalah untuk
mengetahui dan menetapkan ukuran kebesarn lingkaran bumi,
berdasarkan pada teori bahwa bumi itu bulat bentuknya. Hasil pengukuran
yang dilangsungkan di daratan sebelah Utara sungai Eufrot dan disekitar
Palmyra menyatakan, bahwa panjang derajat sebuah busur ialah 56 2/3
mil Arab. Ketelitian ukuran tersebut sangatlah mengagumkan karena
ukuran drajat busur yang sebenarnya pada saat itu sepanjang 28877 kaki
lebih pendek (Hitti, t.t: 145).
5) Matematika
Ilmu ini pada awalnya di bawa oleh Kholifah al-Mansur dari India
melalui bukunya Sind qwa Hind. Dari terjemahan buku ini oleh al-Fazari,
dikenal sistem angka Arab dan angka “nol” yang mempermudah
perhitungan. Selanjutnya, ilmu ini dikembangkan lagi oleh Khwarizmi
dan Habash al-Hasib dengan membuat table angka (Fa‟al, 2008: 78). Ilmu
matematika (hitung) adalah ilmu yang berkembang pesat di kalangan umat
Islam, karena hukum-hukum syari‟at tentang zakat dan waris menuntut
perhitungan aritmatika.
6) Geografi
Pada masa Dinasti Abbasiyah, daerah perdagangan semakin luas.
Sebagai ibukota Negara, hubungan Baghdad dengan kota-kota yang lain,
baik melalui darat maupun laut, berkembang pesat dan lalu lintasnya
ramai sekali. Hal itu menimbulkan usaha untuk memudahkan perjalanan,
diantaranya dengan membuka jalan-jalan baru. Ilmuwan-ilmuwan Muslim
juga sangat perduli dengan Bumi dan segala isinya. Ilmu tentang bumi
pada zaman modern dibagi menjadi beberapa disiplin ilmu, Geografi,
Geologi, Geofisika, dan Meteorologi.
Perkembangan berbagai macam cabang ilmu pengetahuan diatas
menunjukan begitu pesatnya transformasi ilmu pengetahuan pada masa
itu. Kholifah al-Ma‟mun yang memang menjunjung tinggi akal dan
memberi kebebasan dalam berpikir memuat berbagai cabang ilmu
pengetahuan dapat berkembang pesat pada masa itu.
Jika disandingkan pada Indonesia di era kepemimpinan Sueharto,
dimana kebebasan dalam berpikir dan pendapat sangat dibatasi sekali oleh
pemerintah. Tak ada satupun yang berani dalam mengeskporasi
pikirannya untuk kepentingan umum atau perkembangan Indonesia. Bagi
yang mencoba untuk melawan pemerintah, maka tidak segan-segan untuk
di masukkan ke dalam penjara dan ada juga yang sampai di asingkan atau
di bunuh. Oleh karenanya al-Ma‟mun cukup jenius dengan memberikan
133
kebebasan berpikir dan pendapat, agar semua ilmu pengatahuan dapat
berkembangan dan menjadi maslahat umat manusia.
Ilmu Fiqih dan Filsafat misalnya mencapai puncaknya pada masa
ini dikarenakan ada keterkaitan satu sama lainnya atau lebih tepatnya
metode yang digunakan oleh imam mazhab dalam menetapkan hukum
Islam sama-sama menggunakan logika yang diadopsi dari Aristoteles.
Pada masa itu pula masyarakat memiliki kebebasan untuk
mengikuti mazhab yang diyakininya, sehingga setiap mazhab memiliki
pengikut yang menyakini ajaran yang telah diajarkan oleh imam mazhab.
Kebebasan berpikir dan berpendapat para mujahid semakin giat berijtihad
sehingga memperluas hukum Islam, karena itu untuk menghindari
pertentangan maka dari itu diperluakn pedoman umum berupa ushul fiqih
yang menjadi pedoman umum bagi para ahli hukum. Sedangkan dalam
bidang filsafat dapa masa itu benar-benar pada puncaknya. Kaum
Muslimin banyak mengadopsi pemikiran Aristoteles, Plato dan Plotinus.
Kaum Muslimin sangat asik mendalami pemikiran-pemikiran filsafat
Yunani. Ilmuwan Muslim berpendapat, bahwa filsafat Yunani telah
banyak membantu mereka dengan alat-alat yang sangat bermanfaat, sperti
dialektika, silogisme, dan logika deduktif untuk memecahkan masalah
teoritis pengetahuan dan ilmu-ilmu agama yang merupakan poros
kehidupan di dunia Islam. Selanjutnya kegiatan penerjemahan yang begitu
banyak dan memakan waktu yang cukup lama dari karya-karya Yunani
juga turut andil dalam berkembangnya filsafat di kalangan kaum
Muslimin pada saat itu.
3. Munculnya Tokoh-tokoh Penting dalam Berbagai Ilmu
Pengetahuan
Hadirnya berbagai cabang ilmu pengatahuan tidak terlepas dari
kemunculan tokoh-tokoh penting dalam berbagai bidang ilmu
pengetahuan tersebut tidak hanya sebagai tokoh utama lahirnya ilmu-ilmu
tersebut, tetapi juga sebagai penggerak terhadap kemajuan-kemajuan
daripada ilmu-ilmu tersebut sehingga terdengar begitu hebatnya sampai
saat ini. Dikarenakan jasa kerja keras mereka dan buah pikirannyalah
umat Islam dapat maju daripada kemajuan yang pernah ada sebelumnya,
khususnya pada penulisan ini adalah Kholifah al-Ma‟mun dari Dinasti
Abbasiyah yang cenderung amat perduli terhadap ilmu pengetahuan.
Berikut ini adalah dampak yang terjadi akibat dari perkembangan
ilmu pengetahuan yang mengakibatkan bermunculan para tokoh-tokoh
penting dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan yaitu: Pertama, Tokoh-
tokoh dalam bidang ilmu agama:
a. Dalam Bidang Ilmu Tafsir
134
1) As-Suda (w.127 H/ 810 M.) tafsirannya mendasarkan pada Ibnu
Abbas dan Ibn Mas‟ud dan para sahabat lainnya.
b. Dalam Bidang Hadits
1) Imam Bukhari yaitu Abu Abdullah Muhammad bin Abi Hasan al
Bukhari, lahir di Bukhara 194 H dan wafat di Baghdad 256 H.
Kitabnya: al Jami‟al-Musnad al-Mukhtashar min al-Hadits
Rasulullah Saw wa Sunanih wa Ayyamin, dan terkenal dengan
sebutan Shahih Bukhari.
2) Imam Muslim yaitu Abu Husain Muslim bin al-Hajajj Ibn
Muslim Ward Ibn Qusyairi, wafat di Naishabur tahun 261 H.
Kitabnya a-Jami‟al-Shahih, atau sering disebut dengan Shahih
Muslim.
3) Muhammad Ibn Umar al-Waqidi (748-823 M) lahir di Madinah
dan wafat di Baghdad (Amin, 1965: 68).
c. Dalam Bidang Ilmu Kalam
1) Abu al-Huzail Al‟Allaf (135-235 H). termasuk kedalam golongan
Mu‟tazilah yang banyak menggunakan akal pikiran.
d. Dalam Bidang Ilmu Fiqih
1) Malik bin Malik lahir di Madinah (713-795 H) dengan karyanya
al-Mu‟watha (Razak, 1977: 110).
2) Muhammad Ibn Idris as-Syafi‟i lahir di Ghazza (767- 820 H)
dengan karyanya al-Umm, al-Risalah, dan al-Mabsut.
3) Muhammad Ibn Umar al-Waqidi (748-823 M) lahir di Madinah
dan wafat di Baghdad.
4) Ahmad bin Hambal lahir di Baghdad (780-855 H) dengan
karyanya al-Kharraj (Nasution, 1985: 18).
e. Dalam Bidang Ilmu Tasawuf
1) Zunnun al-Misri lahir di Mesir (w.859 M) ia adalah orang yang
membawa paham al-Ma‟rifah (Nasution, 1978:76-77)
Kedua. Tokoh-Tokoh Dalam Bidang Ilmu Umum;
a. Dalam Bidang Ilmu Humaniora
1) Al-Farra, yaitu Abu Zakariya Yahya bin Zaiyad al Farra (w.208
H), Kitab Nawhu karangannya terdiri dari 6000 halaman.
b. Dalam Bidang Ilmu Filsafat
1) Al-Kindi (804 M. – 874 M.)
Di kalangan kaum Muslimin, orang yang pertama memberikan
pengertian filsafat dan lapanganya adalah al-Kindi. Ia adalah Abu
Yusuf ibn Ishaq bin Ash-Shabah bin Imran bin Al-Asy‟ats bin Qais
dan terkenal dengan sebutan “Filosuf Arab” keturunan Arab asli.
135
Berasal dari Kindah di Yaman, tetapi lahir di Kufah (Irak) di tahun
804 M. Orang tuanya adalah gubernur di Basrah (Jaudah, 2002:113-
116). Setelah dewasa, ia pergi ke Baghdad dan mendapat
perlindungan dari Khalifah al-Ma‟mun (813-833 M) dan Khalifah al-
Mu‟tashim (833-842 M).
Al-Kindi menganut aliran mu‟tazilah dan kemudian belajar
filsafat. Zaman itu adalah zaman penerjemahan buku-buku Yunani
dan Suryani dan al-Kindi turut aktif dalam kegiatan penerjemahan ini,
akan tetapi usahanya lebih banyak dalam memberi kesimpulan
daripada menerjemahkan, karena ia termasuk orang yang berada
sehingga ia dapat membayar orang lain untuk menerjemahkan buku-
buku yang ia perlukan (Nasution, 1978: 14, Jaudah, 2002: 115). Al-
Kindi mendapat kedudukan yang tinggi dari al-Ma‟mun, al-
Mu‟tashim, dan anaknya yaitu Ahmad, bahkan menjadi gurunya.
Dalam risalahnya yang ditunjukan kepada al-Mu‟tashim, ia
menyatakan bahwa filsafat adalah ilmu yang terkemuka serta terbaik.
Ia membagi filsafat menjadi tiga bagian: ilmu Fisika (ilmu thibbiyat)
sebagai tingkatan yang paling bawah, ilmu matematika (al-ilmu al-
riyadhi) sebagai tingkatan menengah, dan ilmu ketuhanan (ilmu al-
rububiyah)sebagai tingkatan paling tinggi. Alasan pembagian tersebut
ialah karena ilmu ada kalanya berhubungan dengan sesuatu yang
dapat diindera, yaitu benda atau fisika, adakalanya berhubungan
dengan benda tetapi mempunyai wujud sendiri yaitu ilmu matematika
yang terdiri dari ilmu hitung, teknik, astronomi, dan musik atau tidak
berhubungan dengan benda sama sekali yaitu ilmu ketuhanan (Hanafi,
1986: 17). Al-Kindi banyak mengarang buku tetapi berapa banyak
jumlahnya tidak ada kesepakatan para penulis biografi. Al-Nadim dan
al-Qafthi menyebut 238 buah (karangan pendek) dan sebagian dari
karangannya itu telah musnah.6 Isi karangannya meliputi filsafat,
logika, ilmu hitung, astronomi, kedokteran, ilmu jiwa, politik, optik,
musik, fisika dan ilmu alam, tekhnik mesin, matematika dan
sebagainya (Nasution, 1978:15). Bukunya tentang optik
diterjemahkan ke dalam bahasa Latin yang banyak mempengaruhi
Roger Bacon.7Apa yang dilakukan Bacon tidaklah seperti yang
6Yakub Al-Kindi memiliki lebih dari 200 buku yang di rangnya. Bahkan Dr.
Abdul Halim Muntashir mengatakan alam bukunya “ Tarikh Al-Ilm wa Daur Al Arab fi
Taqaddumihi” bahwa buku karangan Al-Kindi lebih dari 230 buku. Akan tetapi yang
sangat disayangkan, kebanyakan dari buku-buku ini hilang dan tidak sampai ke tangan
kita kecuali judul-judulnya saja yang diberitahukan oleh penerjemahnya kepada kita.
7Bermodalkan bahasa Arab, Bacon kemudian mempelajari bahasa Ilmu
Pengetahuan pasti dan ilmu pengetahuan alam seperti juga beberapa orang sarjana
Kristen lainya pada masa itu. Antara tahun 1250-1257 ia pulang dan melanjutkan
136
dilakukan oleh kaum Muslimin dengan menterjemahkan karya-karya
Phytagoras (530-495 pra-Masehi), Plato (425-347 pra-Masehi),
Aristoteles (388-322 pra-masehi), Aristarchos (310-230 pra-masehi)
Euclides (330-260 pra-masehi), Claudius Ptolemaios (87-168 M.)
(Poeradisastra, 2008:18-19).
2) Al-Farabi (872 M- 950 M)
Ia adalah Abu Nasr ibn Muhammad ibn Muhammad
Thankhan al- Farabi. Sebutan al-Farabi diambil dari nama kota Farab
tempat lahirnya tahun 259 H/872 M dan wafat di Damaskus
339H/950 M. Ayahnya berasal dari Iran, ibunya seorang wanita
Turkistan. Ia pernah menjadi perwira Turkistan. Sejak kecil al-Farabi
suka belajar dan mempunyai kecakapan luar biasa dalam bidang
bahasa. Bahasa-bahasa yang dikuasai adalah Iran, Turkistan, dan
Kurdistan, tetapi tampaknya ia tidak mengenal bahasa Yunani dan
Syria yang menjadi bahasa ilmu kedokteran dan filsafat waktu itu. Di
Barat al-Farobi dikenal sebagai Alpharabius (Baiquni, 1996: 68).
Setelah ia besar, ia menuju Baghdad untuk belajar antara lain
kepada Abu Bisri ibn Mathius. Selama di Baghdad ia memusatkan
perhatiannya kepada logika. Baghdad adalah pusat pemerintahan dan
ilmu, tetapi karena waktu pertama kali ia datang belum menguasai
bahasa Arab, maka ia belajar bahasa Arab dan ilmu Nahwu kepada
Abu Bakar al-Sarraj. Sesudah itu pindah ke Harran untuk berguru
kepada Yuhana ibn Jilan, kemudian kembali lagi ke Baghdad untuk
mendalami filsafat. Di Baghdad, ia tinggal selama 30 tahun. Selama
waktu itu ia mempergunakan waktunya untuk mengarang, mengajar,
dan mengulas buku filsafat. Muridnya yang terkenal pada masa itu
antara lain Yahya ibn „Ady. Pada tahun 330 H/941 M, ia pindah ke
Damsyik. Di sini ia mendapat kedudukan yang baik dari Saifullah
Amir dari Dinasti Hamdan di Habab (Alepo) sehingga ia diajak turut
serta dalam suatu pertempuran untuk merebut Damsyik, lalu menetap
di kota itu sampai wafat tahun 337 H/950 M pada usia 80 tahun
(Jaudah, 2002: 526-527). Ketika menetap di Baghdad, Al-Farabi
berkenalan dengan para filsuf dan ilmuan senior, diantarnya Al-Kindi
dan Ar-Razi.Ia seorang yang gigih dalam mengajak orang untuk
pelajaran bahasa Arabnya di Universitas Oxford dengan membawa sejumlah besar buku-
buku Ilmiah Islam dari Paris. Beberapa karya sarjana-sarjana Muslim, diantaranya al-
Munazhier karya Ali al-Hasan ibn Haitsam (965-1038 M), di terjemahkan oleh Bacon
kedalam bahasa Latin, bahasa Ilmiah Eropa pada masa itu.Dalam naskah-naskah tersebut
terdapat keterangan-keterangan tentang mesiu dan mikroskop.Bacon secara tidak jujur
telah mencantumkan namanya sendiri pada terjmahan-terjemahan itu dan melakukan
palgiat secara terang-terangan.
137
menuntut ilmu dan mengadakan eksperimen. Ia juga menghimbau
agar kurafat dan sebagainya di musnahkan.
Al-Farabi luas pengetahuannya, mendalami ilmu-ilmu yang
ada pada zamannya, serta mengarang buku-buku dalam ilmu tersebut.
Buku-bukunya menunjukan bahwa ia mendalami ilmu-ilmu bahasa,
matematika, kimia, astronomi, kemiliteran, musik, ilmu alam,
ketuhanan, fisika, dan mantik. Menurut Massignon, ahli ketimuran
Perancis, al-Farabi adalah seorang filosof Islam yang pertama dengan
sepenuharti kata. Sebelumnya memang ada al-Kindi yang membuka
pintu filsafat Yunani bagi dunia Islam, tetapi al-Kindi tidak
menciptakan sistem (mahdzab) filsafat tertentu dan persoalan
persoalan yang dibicarakannya masih belumdipecahkan secara
memuaskan. Sebaliknya al- Farabi telah dapat memecahkan satu
sistem filsafat yang lengkap dan telah memainkan peranan penting
dalam dunia Islam seperti peranan yang dimiliki Platinus bagi dunia
Barat. Al-Farabi juga menjadi guru bagi Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, dan
filosof-filosof Islam yang datang sesudahnya. Oleh karena itu, ia
mendapat gelar “Guru Kedua” (al-mu ‟allimu al-tsani) sebagai
kelanjutan dari Aristoteles yang mendapat gelar “Guru Pertama” (al-
mu „allimu Al-awwal). Banyak karyanya yang dikarang olehnya,
namun telah hilang dan tidak bisa ditemukan sampai sekarang.
Meskipun Al-Farabi seorang ilmuan terkenal, tapi ia adalah orang
yang zuhud dan sangan moderat. Karanganya antara lain: “Al Musiqi
Al-Kabir”, Ihsha‟u Al-Iqa”, Kalam Fi Al-Musiqi”, Ihsha‟u Al-Ulum
Wa At Ta‟arif Bi Aghradhiha”, “Ara‟Ahlu Al-Madinah Al-Fadhilah”,
Jawami‟ As-Syahsah”, Nuhus Al-Hukmi” (Baharuddin, 2011: 181)
Banyak karangan al-Farabi tetapi banyak yang tak dikenal
sebagaimana karangan Ibnu Sina. Hal ini mungkin karena karangan
al-Farabi hanya berupa risalah (karangan pendek), sedikit sekali yang
merupakan buku besar yang mendalam pembicaraannya. Kebanyakan
karangannya telah hilang dan yang masih ada kurang lebih 30 buah
saja yang ditulis dalam bahasa Arab.
Pada abad pertengahan, al-Farabi menjadi sangat terkenal
sehingga orang Yahudi banyak yang mempelajari karangannya dan
disalin kedalam bahasa Ibrani (sampai sekarang salinan tersebut
masih tersimpan di perpustakaan Eropa) di samping salinan dalam
bahasa Latin, baik yangdisalin langsung dari bahasa Arab atau dari
bahasa Ibrani. Sebagian besar karangan al-Farabi terdiri dari ulasan
dan penjelasan terhadap filsafat Aristoteles, Plato, dan Galinus dalam
bidang logika, fisika, etika, dan matematika. Meskipun banyak tokoh
filsafat yang diulas fikirannya, tetapi ia lebih banyak terkenal sebagai
pengulas Aristoteles. Ibnu Sina pernah mempelajari buku ilmu
138
Metafisika karangan Aristoteles lebih dari 40 kali tetapi belum juga
mengerti maksudnya. Setelah ia membaca buku karangan al-Farabi
yang berjudul “Intisari Buku Metafisika” (aghradh kitab maba‟da al-
thabi‟ah) barulah ia mengerti.
Dalam buku terakhirnya, al-Farabi membicarakan macam-
macam ilmu dan bagian-bagiannya, yaitu ilmu bahasa, ilmu mantik,
ilmu kekotaan (al-ilmu al-madani), ilmu fiqh dan ilmu kalam. Filsafat
al-Farabi merupakan campuran antara filsafat Atistoteles dan Neo
Platonis dengan fikiran keislaman yang jelas dan corak aliran Syi‟ah
Imamiyah. Misalnya, dalam soalmantik dan filsafat fisika ia
mengikuti aristoteles, dalam soal etika dan politik ia mengikuti Plato,
dan dalam matefisika ia mengikuti plotinus. Selain itu al-Farabi
adalah seorang filosof sinkretisme (paduan) yang percaya akan
kesatuan (ketunggalan) filsafat (Hanafi, 1996: 118-121).
3) Ibnu Sina (980-1037 M)
Nama lengkapnya adalah Abu Ali bin Sina, lahir di Afsyana
daerah dekat Bukhara tahun 980 M. dan meninggal pada tahun 1037
M dengan usia 57 tahun. Ia dari keluarga Persia yang gemar belajar
(Nata, 2011: 99). Ia dikenal selain sebagai dokter yang mendapat
julukan “Bapak Dokter” oleh penulis Barat karena pengaruhnya
terhadap ilmu kedokteran Barat berkat bukunya al-Qanun fial-Thib
yang sampai penghujung tahun 1500 M masih tetap menjadi buku
standar untuk universitas universitas Eropa, juga dikenal dalam
bidang filsafat dengan julukannya al-Syaikh al-Rais (kyai utama)
(Majid, 2000: 33). Sebenarnya, hidup Ibnu Sina tidak pernah
mengalami ketenangan dan usianya pun tidak panjang. Meskipun
banyak kesibukan-kesibukan dalam urusan politik sehingga ia tidak
banyak mempunyai kesempatan untuk mengarang, namun ia telah
berhasil meninggalkan berpuluh-puluh karangannya.
Diantara pemikiran-pemikiran Ibnu Sina yang dalam bentuk
buku banyak yang dimunculkan. Akan tetapi, karangan Ibnu Sina
yang terkenal adalah: Pertama, Asy-Syifa. Buku ini buku filsafat yang
terpenting dan terbesar dari Ibnu Sina, terdiri dari empat bagian, yaitu
logika, fisika, matematika, dan metafisika (ketuhanan). Buku tersebut
mempunyai beberapa naskah yang tersebar di berbagai perpustakaan
Barat dan Timur. Bagian ketuhanan dan fisika pernah dicetak dengan
cetakan batu di Teheran. Pada tahun 1956 M lembaga keilmuan
Cekoslowakia di Praha menerbitkan pasal keenam dari bagian fisika
yang khusus mengenai ilmu jiwa dengan terjemahannya ke dalam
bahasa Perancis di bawah asuhan Jean Pacuch. Bagian logika
139
diterbitkan di Kairo pada tahun 1954 M dengan nama Al-Burhan di
bawah asuhan Dr. Abdurrahman Badawi.
Kedua, An-Najat. Buku ini merupakan ringkasan buku asy-
Syifa dan pernah diterbitkan bersama buku Al-Qanun dalam ilmu
kedokteran pada tahun 1331 M diMesir. Ketiga,Al-Isyarat wa
Tanbihat. Buku ini adalah buku terakhir dan yang paling baik. Pernah
diterbitkan di Leiden pada tahun 1892 M, sebagian diterjemahkan ke
dalam bahasa Perancis,kemudian diterbitkan di Kairo lagi pada tahun
1947 M di bawah asuhan Dr. Sulaiman Dunia. Keempat, Al-Hikmat
al-Masyriqiyyah. Buku ini banyak dibicarakan orang karena
ketidakjelasan maksud judul buku dan naskah.Naskahnya yang masih
ada memuat bagian logika. Ada yang mengatakan bahwa isi buku
tersebut mengenai tasawuf, tetapi menurut Charles Nailino berisi
filsafat Timur sebagai imbangan dari filsafat Barat. Kelima, Al-
Qanun, atau canon of medicine menurut penyebutan orang-orang
Barat buku ini pernah diterjemahkan kedalam bahasa Latin dan
pernah menjadi buku standar untuk universitas-universitas di Eropa
sampai akhir abad XVII M. buku ini pernah diterbitkan di Roma
tahun 1593 M dan di India tahun 1323 M. Risalah-risalah lain yang
banyak jumlahnya dalam lapangan filsafat etika, logika, dan psikologi
(Baharuddin, 2011: 184).
4) Ibnu Rusyd
Nama lengkap Ibn Rusyd adalah Abu al-Walid Muhammad
ibn Muhammad ibn Rusyd. Ia lahir di Cordova tahun 1126 M, berasal
dari keluarga hakim-hakim Andalusia. Ia sendiri pernah menjadi
hakim di Sevilla dan beberapa kota lain di Spanyol. Pernah pula ia
menjadi dokter istana dan sebagai filosof serta ahli dalam hukum. Ia
mempunyai pengaruh besar di kalangan istana, terutama di zaman
Sultan Abu Yusuf Ya‟kub al-Mansyur (Bani Muwahidari). Sebagai
seorang filosof ia tidak disenangi oleh kaum ulama dan kaum fuqaha
(ulama ortodok). Ia dituduh membawa filsafat yang menyeleweng
dari ajaran-ajaran Islam dan dengan demikian ditangkap dan
diasingkan. Buku-bukunya dibakar kecuali yang murni bersifat ilmu
pengetahuan (science) seperti kedokteran, matematika dan astronomi.
Ibnu Rusyd sendiri kemudian dipindahkan ke Maroko dan meninggal
di sana dalam usia 72 tahun pada tahun 1198 M (Majid, 2000: 37,
Jaudah, 2002: 484).
140
Pada masa Daulah Muwahidari inilah Andalusia kembali
mencapai masa gemilang dalam lapangan ilmu pengetahuan.8Pada
waktu itu pula masa lahirnya Ibnu Rusyd (Averroes). Ibnu Rusyd
dikatakan sebagai orang besar dalam ilmu Filsafat. Ia telah
membangun Eropa dengan fikiran-fikiran Islam dan mengantarkan
dunia Barat ke pintu gerbang renaisance. Dalam bidang kedokteran,
terdapat 16 jilid karangannya, buku itu bernama “Kulliyat fi al-Thib”
(aturan umum kedokteran). Buku ini disalin kedalam bahasa Latin
oleh Bonacosa tahun 1255 M. kemudian buku Ibnu Rusyd ini disalin
kedalam bahasa Inggris dan dicetak berulang-ulang di Eropa (Hoesen,
1975:484-485).
Ibnu Rusyd juga meninggalkan karangan-karangnnya dalam
ilmu hukum misalnya Bidayat al-ujtahid. Karangannya tentang
Aristoteles banyak diterjemahkan ke dalam bahasa latin sehingga ia
terkenal dengan nama “Commentator”. Perbedaan Ibnu Rusyd
dengan filosof-filosof Islam lain seperti al-Kindi, al-Farabi, dan Ibnu
Sina, bahwa Ibnu Rusyd selain seorang filosof juga ahli fiqh. Kalau
ibnu Rusyd di Eropa dikenal dengan komentator dari Aristoteles, di
Timur atau dunia Islam ia dikenal sebagai orang yang membela kaum
filosof dari serangan-serangan Al-Ghazali dengan buku karangannya
yang berjudul Tahaful al-Tahafut (Nasution, 1978: .48). Averoes
adalah nama lain Ibnu Rusyd selain memiliki karya ilmiah di dalam
bidang kedokteran, astronomi, fisika, ia juga membela para ahli
filsafat yang dikeritik dari kitab Tahafut al Falasifa, karangan Imam
Al Ghazali. Ia menulis Tahafut At-Tahafut. Di Eropa aliran
rasionalisme Ibn Rusyd di ajarkan di Uneversitas dan ia memiliki
banyak pengikut (Baiquni, 1996: 72).
Dari segi lain Ibnu Rusyd ianggap sebagai filosof yang berusaha
untuk menggabungkan agama dan filsafat dengan argumentasinya
yang menyatakan bahwa kebenaran agama dan kebenaran filsafat itu
satu meskipun dinyatakan dalam lambang yang berbeda
Di dalam beberapa bukunya, Ibnu Rusyd telah menjelaskan
susunan mata. Dia juga menyebutkan suatu realita ilmiah yang
8 Tak dapat di ragukan lagi, bahwa peradaban Islma maju pada waktu daulah
Abbasiyah, juga dipengaruhi cara pendidikan dan pengajaran filsafat Hellenisme. Dari
perkembangan filsafat Hellenisme ini yang memiliki makna yang bersejarah dalam masa
renainsance. Hasil pemikiran Hellenisme yang sudah mendapat corak dari Islam, seperti
teknologi, filsafat, pendidikan, dan sebagainya lalu dipelajari oleh orang Eropa, lalu
karya ilmiah ini diterjemahkan dalam bahasa Latin dan Eropa Selatan. Dan kemudian
peradaban Islam yang keemasan berubah, dan mulailah bangsa-bangsa Barat membuat
kebudayaan dan teknologi. Setelah karya ilmiah ilmuwan Muslim klasik dapat di transfer
dalam bahasa asing lainnya, ilmu orang Islam banyak mempengaruhi ilmuwan-ilmuwan
Barat, seperti karanga buku al-Kindi tentang optic sangat mempengaruhi Bacon.
141
berisikan bahwa manusia hanya akan terkena penyakit cacar sekali
dalam seumur hidup. Dia pernah berkomentar tentang anatomi,
“Siapa yang mempelajari tentang anatomi, keimanannya kepada
Allah akan bertambah” (Jaudah, 2002: 485).
Sesungguhnya Ibnu Rusyd juga membela pandangan bahwa
kebenaran tertinggi selalu bersifat filosofis, dan bagi yang mampu,
agama haruslah di interpretasikan secara demikian. Konsekuensinya
Ibnu Rusyd dengan kuat sekali berpegang kepada pendiriannya
bahwa ada pemahaman agama menurut kaum al-khawas, terutama
para filosof dan ada yang menurut kaum al-awwam. Pemahaman
khawas sama sekali tidak boleh diberikan kepada seseorangyang
kemampuannya hanyalah menangkap pengertian awwam sebab akan
membawa kepada kekafiran; sebaliknya orang yang mampu
berfikiran filosofis tetapi tidak menafsirkan kebenaran agama secara
demikian adalah juga kafir (Majid, 2000: 48).
c. Dalam Bidang Kedokteran
1) Muhammad Al-Razi (854-975 M)
Dia bernama Abu Bakar Muhammad bin Zakariya Al-Razi
terkenal di dunia Barat dengan sebutan Rozes. Ia dilahirkan di
propinsi Rayy, Iran pada tahun 240 H. (854 M.) dan Ibnu Katsir
dalam Bidayah mengatakan bahwa dia wafat pada tahun 311 H. (923
M.) sebagian berpendapat ia wafat pada tahun 364 H / 975 M.
(Jaudah, 2007: 139).
Ia adalah murid Hunain ibn Ishaq. Sewaktu masih muda, Al-
Razi hidup sebagai dokter kimia selanjutnya sebagai guru dokter
medicine. Ia dianggap sebagai dokter paling besar dalam Islam dan
telah memperkenalkan usus-usus binatang sebagai benang penjahit
operasi dan penggunaan air raksa sebagai obat salap dalam
pengobatan penyakit kulit (Arief, 2005: 104-105). Penemuan ilmiah
terbesar dalam bidang kedokteran dan kimia. Dia memiliki hasil studi
penting dan bernilai dalam bidang filsafat. Kebanyakan dari buku-
buku ini ditulis dalam bidang kedokteran, farmasi, kimia, dan filsafat,
astronomi, fisika, matematika, music, dan ilmu-ilmu keagamaan
(Jaudah, 2002: 139-140. Ia unggul dalam bidang kedokteran
dan oprasi mata. Kitab-kitab karangannya tidak kurang dari 200 buku
yang kebanyakan berisi ilmu kedokteran. Salah satu karangan al-Razi
yang termasyhur adalah “Campak dan Cacar”. Buku ini disalin ke
dalam bahasa Inggris sudah 40 kali cetak. Sebuah bukunya yang
masyhur ialah “al-Hawi”. Buku ini merupakan sari ilmu pengetahuan
kedokteran Yunani, Syria, India, dan Arab. Dia menulis buku ini
dengan sangat istimewa sehingga menjadi buku rujukkan terpenting
142
bagi dunia kedokteran sampai abad ke-18. Buku ini sangat menarik
perhatian Kristen Eropa. Raja Charles I dari Anjau memerintahkan
agar buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Latin yang menjadi
bahasa resmi ilmu pengetahuan Eropa. Penerjemahan ini dilakukan
tahun 1279 M oleh seorang dokter Sisilia bernama Faraj Ibn Salim
dan Girgenti. Di samping ilmu kedokteran, al-Razi juga mengarang
ilmu agama Islam, filsafat, matematika, astronomi dan ilmu alam.
Muhammad al-Razi dianggap sebagai orang kedua setelah Ibn Sina
dalam hal pengetahuan dan tulisannya mengenai masalah-masalah
medis.
2) Yuhanah
Yuhanah bin Musawih (w.242 H) ia adalah dokter yang ada
pada puncak kejayaan Abbasiyah. Yuhanah menulis karya berjudul
al-„ashr almaqolat fi al-„ain (tentang pengobatan penyakit mata).
3) Ibnu Sina (890 M-1037 M.)
Nama aslinya adalah Abu Ali Husein ibn Abdullah ibn Sina,
lahir di Afsyana, suatu tempat yang terletak di dekat Bukhara. Daerah
tersebut sekarang Uzbekistan, Persia dan ia wafat di Hamdzan
(sekarang Iran) (Jaudah, 2002:276-277). Orang tuanya berkedudukan
sebagai pegawai tinggi di pemerintahan dinasti Samani. Menurut
sejarah hidup yang disusun oleh muridnya, Jurjani, dan semenjak
kecil Ibnu Sina telah banyak mempelajari ilmu pengetahuan yang ada
di zamannya seperti fisika, matematika, kedokteran, hukum, dan lain-
lain. Sewaktu masih berumur 17 tahun ia telah dikenal sebagai dokter
dan atas panggilan istana pernah mengobati Pangeran Nuh Ibn
Mansyur sehingga pulih kembali kesehatannya. Setelah orang tuanya
meninggal, ia pindah ke Jurjan, suatu kota di dekat laut Kaspia. Di
sanalah ia mulai menulis ensiklopedianya tentang ilmu kedokteran
yang kemudian terkenal dengan nama al-Qanun fi al-Thib. Kemudian
ia pindah ke Rayy, suatu kota di sebelah selatan Teheran dan bekerja
untuk Ratu Sayyidah dan anaknya Majid al-Daulah. Kemudian Sultan
Syams al-Daulah yang berkuasa di Hamdan mengangkat Ibnu Sina
menjadi menterinya. Kemudian ia pindah ke Isfahan dan meninggal
tahun 1037 M. Pengaruh ilmunya pada peradaban dan kebudayaan
Eropa tidaklah terbatas. Bukunya “al-Qanun fi al-Thib” dianggap
orang sebagai himpunan perbendaharaan ilmu kedokteran. Ilmu
ketabiban modern mendapat pelajaran dari Ibnu Sina. Dalam abad XII
M Gerard Cremona menyalin buku Ibnu Sina ke dalam bahasa Latin.
Permintaan atas buku itu sangat besar, selama 100 tahun tidak putus-
143
putusnya. Sampai ke penghujung tahun 1500 M pengaruh Ibnu Sina
terhadap ilmu kedokteran sangat terasa (Baiquni, 1997: 70).
d. Dalam Bidang Ilmu Astronomi
1) Al-Fazari.
Namanya adalah Abu Ishak Ibrahim bin Habib al-Fazari. Dalam
lapangan ilmu astronomi, penulisannya dimulai sejak
diterjemahkannya buku “Maha Sidhanta” dari bahasa India kebahasa
Arab oleh al-Fazari di Baghdad tahun 771 M. selanjutnya dilakukan
penerjemahan dari daftar-daftar Pahlevi yang disusun sejak periode
Sasania. Sesudah itu barulah diterjemahkan buku Yunani Almagest
karangan Ptolomeus. Dua buku karangan Ptolomeus yang lain
masing-masing diterjemahkan oleh al-Hajjaj ibn Mathar pada tahun
212 H/887 M dan oleh Hunain ibn Ishaq yang kemudian direvisi oleh
Tsabit ibn Qurra. Pada awal abad IX M. tempat observatorium
dengan alat-alat yang lebih akurat dibangun di Yunde Shapur. Oleh
al-Ma‟mun, sehubungan dengan kepentingan lembaga ilmu
pengetahuan Bait al-Hikmah, dibangun sebuah observatorium
astronomi dekat gerbang Syamsiyah di bawah pimpinan Sind ibn Ali
dan Yahya ibn Abi Mansur (830 M). Para ahli astronomi dan lembaga
ini tidak hanya membuat observatorium sistematis terhadap gerakan
benda-benda langit di jagat raya, tetapi juga membuktikan secara
tepat elemen-elemen yang fundametal yang terdapat dalam Almagest,
yaitu garis gerak yang tidak beraturan dan garis edar matahari,
panjang tahun Syamsiyah dan sebagainya. Al-Ma‟mun segera
membangun sebuah cabang dan observatorium ini yang didirikan di
gunung Qosayun di luarkota Damaskus. Alat perlengkapan obsevatori
pada waktu itu antara lain terdiri atas quadrant, astrolobe (alat
pengukur letak tinggi tempat yang dipergunakan pada masa
pertengahan), dial (alat pengukur waktu, kecepatan, suhu) dan bola
dunia (Jaudah, 2002: 528-529).
Al-Fazari adalah orang pertama yang mengajarkan astrolobe
(nama Arab-nya Asthurtab). Model astrolobe ini mungkin diambil
dari Yunani. Buku-buku terbitan yang ditulis mengenai astrolobe di
masa itu ialah yang ditulis oleh Ali ibn Isa al-Asthurlabi, hidup di
Baghdad dan Damaskus sebelum tahun 830 M. Para ahli astronomi
al-Ma‟mun memperlihatkan ketelitian yang tinggi dalam hal operasi
giodotik (pengukuran panjang dari busur derajat letak tinggi tempat
dari permukaan air laut). Tujuan dari operasi ini adalah untuk
menentukan ukuran bumi dan jarak lingkar bumi dengan satu asumsi
bahwa bumi ini adalah bundar. Dalam kalendernya yang bernama “As-
Sindhind Al-Kabir” ia memadukan antara pengetahuan Iran, India dan Barat.
144
Pada tahun 174 H (790 M), ia menulis sebuah buku yang berjudul “ Zaij
„ala Sunni al-Arab.” Buku ini merupakan kumpulan jadwal bintang pertama
yang mempergunakan kalender Hijriyah. Artinya, ia telah merubah kalender
India yang berdasarkan peredaran bintang menjadi kalender berdasarkan
Hijriyah. Ia juga menulis buku yang berjudul “Al‟Amal Fi al-Astharlab al-
Musthuh. Dalam kalendernya yang bernama “As-Sindhind al-Kabir” ia
memadukan antara pengetahuan Iran, India dan Barat. Pada tahun 174
H (790 M), ia menulis sebuah buku yang berjudul “Zaij Ala Sunni Al-
Arab.” Buku ini merupakan kumpulan jadwal bintang pertama yang
mempergunakan kalender Hijriyah. Artinya, ia telah merubah
kalender India yang berdasarkan peredaran bintang menjadi kalender
berdasarkan Hijriyah. Ia jiga menulis buku yang berjudul “Al‟Amal Fi
al-Astharlab al-Musthuh.”
Pengukuran-pengukuran ini dilakukan di dataran Sinjar di
antara sungai Furat dan juga dekat Palmira yang menghasilkan 56 2/3
mil Arab sebagai panjang busur dari satu derajat meridian yang
merupakan hasil yang akurat yang secara ekstrim dapat menentukan
panjang sesungguhnya dari busur derajat tempat itu yaitu ±2877 kaki.
Berdasarkan hasil hitungan ini diperhitungkan bahwa jarak lingkaran
bumi adalah 20.400 mil dan garis tengahnya adalah 6.500 mil. Di
antara orang-orang yang mengambil bagian dalam operasi ini adalah
putra dari Musaibn Syakir dan barangkali juga al-Khawarizmi, yang
daftarnya satu setengah abad kemudian direvisi oleh Maslamah al-
Majrithi dari Andalusia (w.1007 M) dan ditejemahkan kedalam
bahasa Latin pada tahun 1126 M. oleh Adelard dari Bath yang
menjadi dasar penulisan ilmu bumi pada masa selanjutnya baik di
Timur maupun di Barat. Daftar astronomi dari Arab ini dapat
menggeser dan menggantikan daftar-daftar yang pernah dibuat oleh
India dan Yunani, dan bahkan daftar Arab ini dipakai oleh orang Cina
(Hoesen, 1978: 98, Baiquni, 1994:70).
2) Al-Farghani. Ahli astronomi yang terkemuka lainnya dalam periode ini
adalah Abu al-Abbas Ahmad al-Farghani (Al-Farganus), ia lahir dan
besar di Faghanah, Asia Tengah yang hidup pada abad ketiga Hijriyah
atau kesembilan Masehi. Al-Faraghani, pada tahun 861 M diangkat
oleh al-Mutawakkil menjadi pengawas dalam pembangunan
kilometer di Fusthath. Karyanya yang utama adalah “Al-Mudkhi Ila
ilmi Hayai al-Aflal” yang pada tahun 1135 M diterjemahkan ke dalam
bahasa Latin oleh John dari Sevilla dan Gerard dari Cremona. Di
samping obsevatorium al-Ma‟mun, ada juga obsevatorium swasta
yang dikelola oleh tiga bersaudara anak-anak Musaibn Syakir (850-
145
870 M). Tiga bersaudara ini meninggalkan banyak karangan
berharga, di antaranya ilmu untuk mengukur permukaan datar dan
bulat. Buku ini disalin oleh Gerard Cremona ke dalam bahasa Latin
dengan nama “LiberTrium Fratrum” (Hoesen, 1978: 99-104). Al-
Faraghani, pada tahun 247 H./861 M). diutus oleh khalifah al-
Mutawakil ke Mesir untuk mengawasi pembangunan alat ukur sungai
Nil. Pada tahun 246 H./860 M., dia menulis sebuah buku yang
berjudul “Jawani‟Ilmi An-Nujum Wa Al-Harakat As-Samawiyyah.”
Buku ini telah di terjemahkan kedalam bahasa Latin, dan sangat besar
pengaruhnya dalam perjalanan ilmu perbintangan di Eropa pada abad
kelima belas dan keenam belas Masehi.
3) Al-Battani (Albategnius) (854 M-929 M)
Nama aslinya adalah Abu Abdullah Al-Battani dilahirkan
sekitar tahun 240 H (854 M) di daerah Battan, Harran dan ia wafat
pada tahun 317 H./929 M. Ia adalah seorang ilmuwan Muslim
terkemuka dalam bidang astronomi dan matematika. Bahkan para
ilmuwan Barat menganggapnya sebagai salah satu dari orang yang
paling jenius dalam ilmu astronomi dan ia ahli perbandingan terbesar
dan penyelidikan yang tekun (Jaudah, 2002: 158-159). Antara tahun
887-918 M ia mengadakan observasi di Rakkah. Ia mengoreksi
beberapa pendapat Ptoleomaeus, termasuk melakukan perhitungan
yang benar terhadap orbit bulan dan planet-planet tertentu. Ia
membuktikan tentang kemungkinan gerhana matahari yang berbentuk
cincin, serta berhasil menentukan dengan tepat sekali garis edar
matahari (Hoesen, 1978: 104). Copernicus sangat terpengaruh pada
teori yang dikemukakan oleh al-Battani. Bukunya yang bernama “De
Revolusionibus Orbium Coelistium” dikarang atas dasar pendapat al-
Battani (Hoesen, 1978: 106).
Al-Battani telah menciptakan berbagai penemuan ilmiah dalam
ilmu astronomi, dismping juga penemuannya dalam bidang
matematika (trigonometri bebentuk pola, aljabar, geometri), dan
geografi (Jaudah, 2002: 160). Ia banyak mengarang buku yang berisi
tentang hasil pengamatan bintang-bintang, perbandingan antara
berbagai kalender yang digunakan di berbagai suku bangsa (Hijriyah,
Persia, Masehi, dan Qibti), dan peralatan yang digunakan dalam
mengamati bintang-bintang serta cara membuatnya. Kitab yang
paling terkenal adalah “Az-Zaij Ash-Shabi.” Buku ini di tulis pada
tahun 287 H (900 M) berdasarkan pengalamannya dalam mengamati
bintang-bintang di Ar-Raqqah (daerah timur Syiria). Battani berasal
dari kelompok Ash-Shabi di Harran yang di anggap Rasulullah
Saw.sebagai dari ahlul kitab. Dan buku ini telah di terjemahkan
146
kedalam bahasa Latin dan dipelajari oleh para ilmuwan di bidang
astronomi di Eropa.
Dalam pengantar bukunya tersebut, Al-Battani menjelaskan
tentang mengapa ia dan semua pakar astronomi Arab memperhatikan
ilmu perbintangan (ilmu astronomi). Lebih lanjut ia mengatakan,
“Ilmu yang paling mulia kedudukannya adalah ilmu perbintangan.
Sebab, dengan ilmu itu dapat diketahui lama bulan dan tahun, waktu,
musim, pertambahan dan pengurangan siang dan malam, letak
matahari dan bulan serta gerhananya, serta jalannya pelanet ketika
berangkat dan kembali” (Jaudah, 2002:165).
Al-Battani di mata ilmuwan Barat mendapat tempat yang sangat
di kagumi, sebagaimana di tegaskan oleh pakar sejarah George Sarton
bahwa dia merasa sangat kagum kepada Al-Battani yang di anggap
sebagai salah satu astronomi Arab yang terkemuka. Para ilmuwan
Barat sampai meletakkan nama Albategnius atau Al-Battani sebagai
salah satu nama lembah di bulan.
4) Al-Biruni
Nama lengkapnya adalah Abu Ar-Raihan al-Biruni (973-1050
M) asli Persia, tinggal di Ghaznah Afghanistan. Ia adalah seorang
sarjana yang terkemuka dibidang ilmu pasti. Ia menguasai selain
bahasa Arab, Sanadkrit, Persia, juga bahasa Hibrew, Syria dan Turki.
Pada tahun 1030 M beliau menulis sebuah buku yang berjudul“Al-
Qamun al-Mas‟udi fi al-Nujum” yang dipersembahkan kepada
Mas‟ud putra Mahmud al-Ghaznah. Mas‟ud adalah penunjangnya
dalam melakukan penyelidikan-penyelidikan. Tahun itu juga ia
menyusun buku soal-jawab singkat tentang geometri, aritmatika,
astronomi dan astrologi yang berjudul“Al-Tafhim li Awail Shina‟at al-
Tanjum” (Hoesen, 1978: 112).
e. Dalam Bidang Matematika
1) Al-Khawarizmi (780 M.-850 M.)
Sumbangan Islam yang terbesar kepada ilmu pengetahuan di
seluruh dunia adalah di bidang ilmu hitung berupa angka-angka yang
hingga kini di Barat masih disebut angka-angka Arab. Dengan angka-
ngka Romawi, pemangkatan demikian tidak mungkin dinyatakan. Ini
adalah sumbangan Islam kepada Ilmu pasti, sedangkan ilmu
pengetahuan (pasti) adalah landasan ilmu pengetahuan alam dan
teknologi, bahkan dipergunakan pula oleh ilmu-ilmu sosial, seperti
ekonomi, ekonometri, sosiometri (Poeradisastra, 2008: 32). Dalam
perjalanan ilmu Aljabar, muncul seorang yang bernama al-
Khawarizmi. Namanya dikenal di Eropa sebagai Algorism. Nama
147
aslinya adalah Muhammad ibn Musa al-Khawarizmi dilahirkan di
Khawarizmi, Uzbekistan pada tahun 194 H/780 M.-266 H./850 M.
bukunya al-Jabar wal-Muqabala (pengutuhan kembali dan
perbandingan) dalam terjemahan latinnya merupakan rangsangan
kepada ilmu pasti Eropa abad pertengahan (Baiquni, 1994: 23).
Aljabar ciptaannya lebih tinggi lagi dan kemudian bernama
aritmatika. Nama ini muncul ketika penyalin-penyalin Barat
menamakannya aritmatika, bahasa Yunani, yang berarti ilmu hitung.
Dari kata arithmos inilah muncul kata aritmatika. Aljabar yang
kemudian bernama arimatika karangan al-Khawarizmi itu sangat
terang dan disusun rapi. Setelah ia menerangkan persamaan tingkat
dua, diterangkannya pula cara memperbanyak dan membagi.
Kemudian diterangkannya pula soal-soal yang bersangkutan dengan
ukuran luas muka. Ia mengarang buku “Hisab Al-Jabr wa al-
muqabalah” (perhitungan tentang integrasi dan persamaan) yang
diterjemahkan kedalam bahasa Latin oleh Gerard Cremona pada abad
XII M dan digunakan sebagai buku pegangan universitas-universitas
di Barat sampai abad XVI M. Buku inilah yang memperkenalkan
ilmu Aljabar kedunia yang diberi nama al-Qarism, dari nama al-
Khawarizmi. Dalam perjalannya kembali ke istana al-Makmun. ia
mensitesiskan matimatika yang diketahuinya dan menyajikannya
dalam satu seri berjudul “al-Jabr wa al-Muqabalah”. Teks latin al-
Jabr digunakan sebagai teks dasar pelajaran matematika di Eropa
sampai abad ke-16 (Hoesen, 1978: 104).
Al-Khawarizmi penemu lqarisme (logaritme) dalam ilmu
matematika. Dia pula yang menjembatani antara ilmu matematika
klasik (Yunani, India) menjadi metematika modern. Dia mampu
menggunakan sistem matematika yang tinggi yaitu integrasi dan
persamaan, yang dalam matematika disebut integral dan differensial,
yang dalam matematika modern kedua macam teori itu bisa
digabungkan dan dinamakan “kalkulus”. Selain itu ia juga ahli
geografi dan ia membuat table astronomi. Sehingga kini “Algorithm”
diartikan sebagai urutan langkah yang harus diambil dalam proses
menghitung (Baiquni, 1994: 68).
2) Umar al-Khayyam
Di antara ilmuwan aljabar yang dipengaruhi oleh al-
Khawarizmi adalah Umar al-Khayyam yang mengembangkan ilmu
aljabar lebih lanjut sehingga ilmu ini dinamai al-Khayyam. Kalau al-
Khawarizmi lebih banyak menumpahkan perhatiannya pada
quadratic (lipat empat), maka Umar al-Khayyam mengutamakan
persamaan kubik dan persamaanderajat misalnya:
148
a. x3+bx2 = cx+d
b. x2+cx = bx+ d
c. x3+d = bx2 +cx
Cara demikian ini dinamakan analisis ilmu ukur. Dalam dunia
Islam, sarjana yang sejalan dengan Umar al-Khayyam di antaranya
Sijmi dan Ibn Laith. Selain itu Ibn al-Haitham dapat menyelesaikan
soal yang belum digarap al-Khayyam. Kemajuan yang diperoleh Ibn
al-Haitham dilanjutkan oleh al-Kuhi. Demikianlah segala ilmu hitung
telah diselesaikan oleh kalangan Islam.
f. Dalam Bidang Kimia
1) Jabir Ibn Hayyan (731-815 M.)
Bapak ilmu Kimia adalah Jabir Ibn Hayyan yang berkembang
di Kufah pada tahun 776 M. setelah al-Razi (925 M), nama Jabir Ibn
Hayyan adalah nama yang terbesar dalam bidang kimia pada abad
pertengahan ini. Seperti para pendahulunya orang Mesir dan Yunani,
Jabir bertolak dari satu asumsi bahwa metal dasar seperti timah, timah
hitam, besi dan tembaga dapat ditransfusikan menjadi emas atau
perak karena adanya satu substansi yang misterius. Dia mencurahkan
segenap tenaganya untuk membuktikan dugaannya itu. Dalam segi
praktek, Jabir dapat memberi petunjuk lanjutan pengetahuan modern
tentang evaporation penguapan), filtration (penyaringan), sublimation
(penghalusan), melting (pencairan), distilation (penya-ringan) dan
crystalisation (pengkristalan). Praktek Jabir ini telah diuji
kebenarannya, Di Eropa Ibn Hayyan di kenal sebagai Gaber. Selain ahli
dalam kimiya, ia seorang filosof dan ilmu logika yang berkerja di bidang
kedokteran dan fisika. Namun karya utamanya tetap pada bidang kimiya. Ia
juga mahir dalam kristalisasi, sublimasi, distilasi, kalsinasi dan sebagainnya,
ia juga pernah berhasil membuat berbagai jenis asam. Ia adalah seorang sufi
pengikut Ja‟far Ash Shodiq (Hoesen, 1978: 38, Baiquni, 1994: 68).
2) Muhammad Ar-Razi (865-925 M.)
Sarjana lain yang mashyur namanya dalam ilmu kimia adalah
Ar-Razi, nama latinya adalah Rhazes, hanya saja dia lebih banyak
dikenal dalam lapanganilmu kedokteran, ditambah lagi dengan
bukunya yang berjudul “Al-Kimia” baru saja didapati orang di istana
seorang Pangeran India, maka pekerjaannya yang telah dilakukan Ar-
Razi dalam ilmu kimia baru saja diketahui orang. Kalau dibanding
dengan ahli kimia Islam lainnya, Al-Razi mempunyai jalan
penyelidikan sendiri. Jabir misalnya, membagi benda-benda atas
tubuh, nyawa dan akal. Yang termasuk bagian tubuh adalah emas,
perak.Yang termasuk bagian nyawa ialah sulphur, arsenik. Yang
149
termasuk bagian akal ialah mercury, dan sal-amoniak (batu bara dan
sari minyak). Sedangkan Al-Razi membagi benda-benda menjadi
sayur-sayuran, hewan, dan logam. Bahasa kimia modern sekarang
ternyata banyak diambil dari konsep Al-Razi ini (Baiquni, 1994: 69).
g. Dalam bidang Sejarah
1) Ibn Hisyam (w.834 M) adalah seorang murid Ibn Ishaq yang
berjasa meneruskan karya gurunya tersebut dalam penulisan
sejarah Nabi (sirah nabawiyah) (Amin, 1995: 64).
2) Muhammad Ibn Sa‟ad (w. 830 M) Karyanya yaitu kitab at-
Thabaqat al-Kubra dan at-Thabaqat as-Sughra.
3) Ibn Sa‟id (w.845 M) karyanya Thabaqat al-Kubra.
h. Sastra
1) Abu Nawas (747-815 M) lahir di kota al-Hawaz Persia, dan
tumbuh besar di Bashrah karyanya adalah al-Qashidah
2) Al-Jahiz (776-869 M)
i. Musik
1) Ishaq al-Mawshil (767-850 M) seorang penyanyi terkenal zaman
al-Ma‟mun.
4. Berkembangnya Tradisi Intelektual Zaman al-Ma’mun
Lahirnya gerakan intelektual, berarti lahirnya para ulama dan
ilmua yang kemudian membangun kebudayaan dan peradaban terjadi
karena didukung oleh tradisi intelektual pada saat itu. Yakni nilai-nilai
Keislaman dan spirit keilmuan yang diterapkan dalam kehidupan mereka
yang telah berubah menjadi atmosfer berkembangnya intelektual yang
mengalami puncaknya pada zaman Abbasiyah di Baghdad (Hamur, 1997:
35).
. Berbagai kebiasaan yang melekat dan mendarah daging di
kalangan umat Islam yang selanjutnya menimbulkan kebagaan serta
mendorong gerakan intelektual Islam. Hal semacam inilah yang penulis
yakini dari optimalisasi pengembangan institusi-intitusi pendidikan Islam
pada zaman Abbasiyah, terutama zaman al-Ma‟mun dapat berkembang
tradisi-tradisi intelektual pada umat muslim. Dimana seorang menuntut
ilmu baik di instansi pendidikan (kuttab, majlis, halaqah, perpustakaan,
masjid, dst), atau dimanapun tempatnya akan melahirkan budaya ilmiah
yang intelektual. Adapun tradisi intelektual tersebut dapat dikemukakan
dibawah ini adalah sebagai berikut:
a. Tardisi Belajar Langsung dengan Guru
Pada zaman al-Ma‟mun, pengajaran diberikan secara langsung
kepada murid-murid, seorang demi seorang. Pelajaran diberikan dengan
150
cara dibacakan oleh guru dan diulang-ulang membacanya oleh murid, atau
di ditekan oleh guru lalu ditulis oleh murid atau murid disuruh menyalin
dari buku yang ditulis oleh guru dengan tangan (Watt, 1997: 97). Pada
akhir pelajaran, guru mengulang membaca pelajaran dan disuruhnya
seorang murid membacakannya untuk membetulkan jika ada murid yang
salah menuliskannya. Kegiatan semacam ini memungkin diktat-diktat
yang di tulis, maka lahirlah kitab-kitab tulisan tangan yang pada akhirnya
dicetak menjadi naskah, dan dari naskah tersebut menjadi kitab yang
termasyhur pada zamannya (Yunus, 1992: 60).
Seorang pelajar di zaman klasik tidak memilih sekolah yang baik
melainkan memilih guru atau syekh yang termashur kealimannya dan
keshalehannya. Murid bebas memilih guru, jikalau pengajaran guur tidak
dapat memuaskan baginya, boleh pindah ke halaqah dengan guru yang
berbeda dari sebelumnya.
Kalau guru mengajarkan ilmu dan kitab yang telah dituliskan
dengan tangan, maka tiap-tiap pelajar harus memiliki satu naskah kitab
itu. Mula-mula guru membaca satu pasal dari kitab itu sebelum
mengajarkannya kepada pelajar sebagai persiapan. Kemudian guru mulai
membacakan kitab dan pelajar mendengarkan dengan penuh perhatian
serta melihat ke naskah kitab yang di tangan mereka masing-masing.
Keterangan guru itu amatlah penting terutama keterangan dari ulama besar
(Yunus, 1992: 61). Hal semacaman ini masih ditemukan diberbagai
pondok pesantern salafi, dimana metode belajarnya sama persis, yakni
guru membacakan satu pasal kemudian menjelaskan dan murid
mendengarkan.
Banyak ulama-ulama yang berkontribusi mengembangkan ilmu,
terutama pada zaman al-Ma‟mun, antara lain sebagai berikut: Pertama,
Muhammad Ibn Sa‟ad (168-230 H/784-845 M) yang lahir di Bashrah dan
wafat di kota Baghdad adalah seorang ulama ahli Hadits dan Sejarah. Ia
belajar berbagail ilmu pengetahuan keagamaan kepada belajar khusus
pada al-Waqidi (Yatim, 1997: 88). Ia seorang yang kuat hafalan,
menguasai banyak ilmu Hadis dan Sejarah.
Kedua, Imam Syafi‟i, ia memiliki nama asli Muhammad Abu
Abdillah ibn Idris ibn Usman ibn Syafi‟i. Ia masih satu keturunan dengan
Nabi Muhammad Saw. dari nenek moyang Abdi Manaf, sementara ibunya
bernama Fatimah dari keturunan Ali ibn Abi Thalib. Syafi‟i lahir dalam
keadaan yatim, karena ayahnya meninggal dunia pada saat ia masih
kandungan ibunya (Marwan, 1999: 33). Meskipun dalam keadaan yang
sangat sedarhana, penuh dengan kesulitan hidup, akan tetapi semnagat
belajarnya dan kecerdasannya sungguh amat luar biasa, karena pada usia
sembilan tahun ia sudah hafal al-Qur‟an 30 juz di luar kepala dan lancar.
Ia belajar sastra Arab sampai mahir dan banyak menghafal syair-syair dari
151
Imru‟u al-Qais, Zuhair dan Jarir selama kurang lebih sepuluh tahun.
Sampai akhirnya ia terdorong untuk memahami kandungan al-Qur‟an.
Selanjutnya Syafi‟i belajar fiqih kepada Muslim ibn Khalid al
Zanjy seorang Mufti Makkah dan belajar Hadits pada Sufyan ibn
“Uyainah di Makkah. Kemudian ia pergi ke Madinah dan menjadi murid
imam Malik serta mempelajarai al-Muwathatha‟ yang telah dihafalnya.
Syafi‟i berguru pada imam Malik sampai Imam Malik meninggal dunia,
hingga akhirnya ia pindah ke Yaman. Di Yamani pernah mendapatkan
tuduhan dari khalifah Abbasiyah, bahwa al-Syafi‟i telah membai‟at Alawy
atau dituduh sebagai Syi‟i. Karena tuduhan itulah ia pernah dihadapkan
kepada Harun al Rasyid, kholifah Abbasiyah. Akan tetapi Harun al Rasyid
membebaskannya dari tuduhan tersebut. Imam Syafi‟i wafat pada tanggal
28 Rajab tahun 204 H, dalam usia 54 tahun akibat penyakit yang
dideritanya (Abdullah, 2001: 39).9
Syafi‟i dilahirkan pada tahun 150 H. (akhir masa pemerintahan al
Mansur) dan meninggal dunia pada masa pemerintahan Al-Ma‟mum.
Masa hidupnya relative singkat. Namun demikian masa itu sedang maju-
majunya ilmu fiqih dan Syari‟at Islam, bahkan kemajuan di hampi segala
bidang, seperti politik, sosial budaya, sastra ekonomi dan berbagai ilmu
pengetahuan. Pada waktu itu muncul tiga mazhab fiqih yang besar dan
memiliki peranan yang penting yang menonjol di dunia Islam dan
kehidupan kaum Muslimin sampai saat ini, yaitu Mazhab imam Maliki,
Hanafi, dan Syafi‟i (Zahra, 1948: 134).10
Ketika gemilangnnya
pemerintahan Abbasiyah dalam segala bidang adalah faktor yang
mendominasi secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi
pemikiran Syafi‟i. Dimasa inilah timbul prakarsa dan usaha
pengembangan beragam ilmu, yang mendapat dukungan dan usaha dari
pemerintah.
Syafi‟i seperti yang dideskripsikan oleh Suwito dan Fauzan,
Muhammad ibn Idris al-Syafi‟i membagi ilmu menjadi dua macam:
9 Guru-guru Imam Syafi‟I terdiri dari ulama Mekkah, Madinah, Irak dan
Yaman. Guru dari Mekkah antara lain: Sufyan bin Uyainah, Muslim bin Khalid al-Zinji,
Sa‟ad bin Salim al-Kadda, Daud bin Abdul al-Rahman, Abd. Hamid al-„Aziz bin Abi
Zuwad. Guru dari Madinah: Malik ibn Anas, Ibrahim bin Sa‟ad al-Anshari, Abd. „Aziz
ibn Mhammad ibn Sa‟id ibn Abi Fudaik, Abdullah ibn Nafi‟. Guru Ulama Irak: Waki ibn
Jarrah, Abu Usamah, Hammad ibn Usamah, Isma‟il Ulaiyah, dan Abd al Wahab ibn al-
Majid, Guru dari Yaman: Muttaraf ibn Hazim, Hisyam ibn Yusuf, Umar ibn Salamah dan
Yahya ibn Hasan.
10Ketika kepopuleran fiqih di Madinah tertuju pada Imam Malik, Syafi‟I pergi
ke Madinah untuk belajar padanya, dan ketika kepopuleran fiqih di Irak tertuju pada
imam Abu Hanifah, Syafi‟ pun belajar pada muridnya yang bernama Muhammad Ibn al-
Hasan al-Syaibany. Oleh Karena itu, Syafi‟i memiliki pengetahuan fiqih Ashhab al-
Hadits (Imam Malik) dan fiqih Asshab ar-Ra‟yi (Abu Hanifah).
152
pertama, ilmu fiqh untuk agama. Dan kedua ilmu Thib untuk keperluan
tubuh, selain dua macam itu laksana perhiasan di dalam persidangan
(Nata, 2003: 53, Suwito dan Fauzan (eds.), 2003: 42). Al-Syafi‟i dikenal
sebagai penyusun pertama ilmu ushul fiqh dengan kitabnya yang berjudul
al-Risalah untuk memahami hukum Islam. Bagi Syafi‟i peranan akal
dibatasi pada wilayah analogi (qiyas) untuk menggali hukum istinbath
atau hanya mencari dan menetukan hukum-hukum yang benar-benar
terdapat secara implisit dan tersembunyi. Maka Syafi‟i pun menolak
dengan adanya menggunakan akal secara bebas dalam menetukan hukum.
Maka dari itu, Syafi‟i juga membedakan antara Istihsan dengan qiyas
dalam menentukan hukum (Kamal, 2013: 2, Zaid, 2003: 45). 11
Ketiga, Ahmad bin Hanbal (780-855 M). Ia berguru pada Imam
Syafi‟i secara langsung. Ahmad ibn Hanbal merupakan murid dari imam
Syafi‟i yang paling termasyhur dikalangan murid-murid yang lain. Namun
guru utamanya adalah Sufyan bin Uyainah, seorang tokoh ahli Mazhab
Hejaz (Ahmad, 2003: 110).
Para guru Ahmad ibn Hanbal selengkapnya yaitu: Imam Ismail ibn
Aliyah, Hasyim bin Basyir, Muhammad bin Khalid, Mansur bin Salamah,
Mudlafar bin Mudrik, Utsman bin Umar, Masyim bin Qasim, Abu Said
Maulana Banu Hasyim, Muhammad ibn Yazid, Muhammad bin Ady,
Yazid bin Harun, Muhammad bin Jafar, Ghundur, Yahya bin Said al-
Qathathan, Abdurrahman bin Mahdy, Basyar bin Fadl, Muhammad bin
Bakar, Abu Daud ath-Thayalisi, Ruh bin Ubaidah, Waki bin al-Jahrah,
Mu‟awiyah al-Aziz, Abdullah bin Nuwaimir, Abu Usamah, Sufyan bin
Uyainah, Yaya bin Salim, Muhammad ibn Idris al-Syafi‟I, Ibraahim bin
Said, Abdurrazak bin Human, Musa bin Thariq, Walid bin Muslim, Abi
11
Karena tidak ada pengembangan akal di luar teks, maka al-Syafi‟i menolak
prinsip-prinsip istihsan yang diakuai oleh Imam Abu Hanifah (W.150 H). Istihasan itu
sendri berarti : sesuatu yang baik menurut Ijtihad akal. Baik secara Indrawi atau bahkan
secara maknawi. Kita boleh meninggalkan hasil hukum analogi tertentu dan mengambil
hukum lain sesuai bagi manusia berdasarkan kemaslahatan atau ke adilan atau darurat,
misalnya boleh minum khamar dengan tujuan untuk obat, atau kebutuhan. Sesuatu yang
pada dasarnya tidak diperbolehkan oleh hukum qiyas diperbolehkan oleh hukum istihsan.
Tujuannya adalah untuk memberikan kemudahan dan keluasan serta keringanan kepada
manusia dalam bidang hukum. Plihan-pilihan terbaik menurut akal adalah perintah Allah
dan nabiNya kepada kita: “Orang-orang yang mendengarkan pendapat-pendapat,
kemudian mereka pilih dan ikuti yang terbaik” (Q.S. Al-Zumar: 39). Dan Hadis dari
Abdullah ibn Mas‟ud dari Rasulullah bersabda : “Apa yang baik dalam pandangan kaum
Muslimin adalah baik di sisi Allah”. Sebagaimana al-Syafi‟i telah membatasi kebebasan
akal dan mereduksinya dalam bid. Hukum fiqih, kemudian datang Abul Hasan al-
Asy‟ariy melawan kaum rasionalis Mu‟tazilah dalam bid. Akidah dan Ushul al-din dan
menggantinya dengan otoritas naql. Baik Syafi‟i maupun al-Asy‟ari membangun otoritas
teks dalam mengahadapi atau melawan akal.
153
Mahsar al-Dimasyiqy, Ibnu Yaman, Mutamar bin Sulaiaman, Yahya bin
Zaidah dan Abu Yusuf al-Qadhaly (Chalil, 2000: 254).
b. Tradisi Berdebat (Munazarah) sebagai Latihan Intelektual
Tradisi ini dilakukan dalam upaya saling menguji tingkat
kedalaman, keluasan, ketajaman dan daya analisis serta kecerdasan
seorang ulama, serta dalam rangka saling tukar-menukar informasi dan
memecahkan berbagai macam persoalan. Adanya terdaisi ini akibat dari
saling ingin tahu, ingin memperluas pemahaman atau wawasan dengan
menjunjung tinggi saling menghormati dan menghargai perbedaan yang
ada, serta perasaan ilmu pengetahuan yang dimiliki masih sangat kurang.
Pada zaman al-Ma‟mun tradisi ini sengaja dipersiapkan oleh
pemerintahanya, baik di pusat (Baghdad) atau di daerah dan dilaksanakan
di suatu forum yang sering disebut al-Salon, al-Adabiyah (sanggar sastra).
Dalam tekhnik pelaksanaannya, setiap peserta diundang dalam forum
tersebut dan harus mematuhi etika serta tata tertib yang ditentukan, mulai
dari susunan acara, tempat duduk, tatacara mengemukakan pendapat atau
saran, pakaian yang harus digunakan, pengaturan suara, adab dan lain
sebagainya (Syalabi, 1983: 88-89, Zaid, 1999: 45). Tokoh-tokoh yang
muncul dalam sejarah adalah mereka yang berani dan tegas dalam ilmu
yang diyakininya benar. Meraka yang menjalani pendidikan tinggi di
institusi-intitusi formal melakukan hal tersebut karena kecintaan terhadap
kehidupan intelektual. Kehidupan inteletual yang benar-benar tekun dan
telah berhasil menguasai ilmunya, terbuka peluang untuk maju menjadi
mufti.
c. Tradisi Rihlah Ilmiah
Perjalanan untuk menuntut ilmu, telah menjadi tradisi yang amat
snagat kuat pada zaman al-Ma‟mun bagi para ulama, ilmuwan. Berkaitan
dengan hal tersebut, Abdurahman Mas‟ud pernah mengatakan sebagai
berikut:
Nabi Menjamin bahwa berjuang dalam angka menuntut ilmu akan
diberikan banyak kemudahan oleh Tuhan menuju surga. Para
pengikut atau murid Muhammad Saw. telah berhasil meneruskan
dan menerapkan ajaran tentang semnagat mencari ilmu. Motivasi
religious ini juga bisa ditemukan dalam tradisi rihlah ilmiah
(mengembara). Tradisi utama yang disebut dengan ar-rihlah fi
thalab al‟ilmu (pengembaraan dalam rangka mencari ilmu) atau
dalam istilah modern disebut the spirit of inquiry merupakan bukti
sedemikian besarnya rasa keingintahuan di dalam para ulama
(Mas‟ud, 2004: 34). Islamlah yang secara sungguh-sungguh
154
mendorong pengikutnya untuk menuntut ilmu sejauh mungkin
hingga ke negeri Cina.
Tradisi rihlah ilmiah tampaknya sudah berjalan cukup lama.
Menurut Hasan, tradisi rihlah ini sudah berjalan sejak, khalifah Harun al-
Rasyid, misalnya pelajar Muslim mengadakan perjalanan ke India,
Srilanka, Malaysia, dan Cina, bahkan sejauh Korea melalu laut (Hasan,
1992: 135). Pelajar banyak yang melakukan rihlah sampai keluar negeri
untuk menuntut ilmu pengatahuan.
Imam Bukhari (w. 870) adalah sorang perawi Hadis termasyhur
untuk mengumpulkan Hadits-Hadits yang shahih, mula-mula ia akan
mengumpulkan terlebih dahulu yang berada di negerinya, setelah itu ia
pergi Balkh, Marw, Naisapur, al-Rai, Baghdad, Basrah, Kufah, Mekkah,
Madinah, Mesir, Damaskus, Qisariyah, „Asqalan dan Hims. Pada setiap
negeri yang dikunjunginya ia kumpulkan Hadis-hadis yang didapat
kemudian ia kembali lagi ke negerinya setelah memakan waktu selama 16
tahun di Turkistan (Khalifah, t.t: 541). Meskipun ia menolak ribuan
Hadits yang ia dengar, namun pada akhirnya ia menyususn 7.397 Hadits
sebagaimana yang tertuang dalam karyanya Shahih Bukhori (Bukhsh,
1927: l.449-450, Al-Bukhari, 1960: 1296-1297).
Pada tahun 198 H/813 M, Imam Syafi‟i pindah ke Mesir karena
pemerintahan dipegang oleh kholifah al-Ma‟mun, yang cenderung
berpihak kepada Mu‟tazillah, yang justru di jauhi oleh Imam Syafi‟i yang
kurang menyukai Mu‟tazillah karena menganut paham bahwa al-Qur‟an
itu makhluk. Hal ini tampaknya jelas terjadi pada peristiwa mihnah yang
menimpa Ahmad ibn Hanbal sebagai ahli fiqih.
Selain Imam Syafi‟i yang cenderung melakukan rihlah ilmiah,
Ahamd ibn Hanbal juga demikian. Ketika masih kecil ia belajar kepada
guru-guru yang ada di Baghdad. Setelah berusia 16 tahun, ia baru
berangkat menuntut ilmu keluar kota maupun negeri seperti Kuffah,
Bashrah, Syam, Yaman, Mekkah, dan Madinah (Bukhari, Abdullah
Superwarior). Pada setiap kota ataupun negeri yang disinggahinya ia tak
segan-segan berguru kepada syekh, terutama dalam bidang Hadits. Setiap
mendengar pada suatu kota tempat ada ulama yang ahli dalam ilmu
Hadits, beliau langsung berangkat ke kota tersebut.
Imam Syafi‟i (150-204 H) dinilai sebagai tokoh yang mampu
memiliki aliran pemikiran hukum Islam. Pertama, aliran ahl-al-ra‟y yang
berkmbang di lembah Mesopotamia, yang menjadi pusat pemerintahan
dan peradaban Islam di Baghdad dengan pemimpin imam Abu Hanifah,
Kedua. aliran ahl al-hadits di Hijaz dengan tampilannya seorang sarjana
Madinah. Ia pernah belajar dan berguru dengan Imam Malik dan al-
155
Syaybani pengikut mazhab Hanafi (Bukhsh, 1927: 449-450, Robson,
1960: 296-1297).
Ia berpendapat bahwa mencari ilmu lebih utama dari menjalankan
shalat sunah. Bahkan orang yang memuntut ilmu pun lebih uatama dari
orang yang berjihad di jalan Allah. Dalam pandangannya, bahwa sorang
mujahid yang berjuang dijalan Allah. Selama seorang pelajar memiliki
niat yang bersih dan betul-betul mencari ilmu untuk kemashlahatan diri
dan masyarakat, maka ia akan senantiasa mendapatkan bimbingan dari
Tuhan.
Orang yang tidak mencintai ilmu, menurut Syafi‟i tidak memiliki
kebaikan sama sekali. Sehingga tidak ada antara pembatas pengetahuan
dan kebenaran. Sudah tentu demikian, sebab pengetahuan diperoleh
dengan ilmu. Kebenaran pun akan sulit diperoleh tanpa bekal ilmu. Ilmu
menjadi pelita bagi pemiliknya yang meneranginya di kala kesulitan. Ilmu
bisa menjadi salju yang bisa menyejukkan di kala kepayahan; ilmu juga
mampu menjadi petunjuk dalam mencapai tangga kebenaran (Musfah,
206: 313-314).
Ishaq al-Mawshili (767-850 M) seorang penyanyi yang paling
terkenal pada masa al-Ma‟mun, suatu ketika menghadiri majelis Yahya
ibn Aktsam dan mendebatnya. Sedangkan dalam pertemuan di istana, ia
sering duduk bersama para ulama dan sastra. Al-Ma‟mun pernah berkata
padanya, “Jika Ishaq al-Mawshili belum terlanjur terkenal sebagai
penyanyi yang ulung di kalangan manusia, maka aku akan
mengangkatnya menjadi seorang qadhi” (Amin, 1995: 80). Kiranya pantas
al-Ma‟mun mengatakan demikian, karena kehidupannya adalah dengan
cara membeli budak yang sangat murah, lalu di ajari bernyanyi, sastra,
musik, bahasa, kemudian dijual dengan harga yang sangat mahal. Hal
tersebut membuktikan bahwa al-Ma‟mun tidak sembarangan mengangkat
seseorang menjadi pejabat pemerintahan. Oleh karena itu wajar ia
menganut paham Muta‟zilah yang mengandalkan akal. Selain itu adanya
kejadian Mihnah adalah sebab ia seorang yang begitu teliti dalam memilih
seseorang yang akan memegang jabatan pemerintahan.
Yahya bin Yahya al-Laithy seorang ahli Hadits, pergi ke Timur
dalam berusia 28 tahun. Ia pergi ke Madinah untuk mendengarkan al-
Muwaththa dari Imam Malik. Kemudian berangkat ke Mekkah untuk
mendengarkan ilmu Sufyan bin „Uyainnah. Kemudian pergi ke Mesir
untuk mendengarkan ilmu dari al-Laith bin Sa‟ad dan Abdullah bin
Wahab. Setelah itu ia pun kembali ke Andalus, tempat dimana ia tinggal
(Amin, 1995: 1003).
Aktivitas keilmuan pada zaman al-Ma‟mun mencapai puncak
keemasan dalam sejarah kemajuan Islam, karena al-Ma‟mun sendiri
adalah seorang ulama besar. Majelis al-Ma‟mun penuh dengan para ahli
156
ilmu, seperti ahli sastra, ahli kedokteran, dan ahli filsafat. Mereka
diundang oleh al-Ma‟mun dari segala penjuru negeri yang telah maju.
Terkadang ia sendiri yang berperan aktif dalam berdiskusi dan juga
berdebat dengan para ahli tersebut (Yunus, 1992: 172). Baitul Hikmah,
tempat berkumpulnya buku-buku berbagai ilmu pengetahuan dalam
bermacam-macam bahasa. Demikian pula di sana tempat berkumpulnya
ulama-ulama besar.
Para pelajar melakukan rihlah ilmiah bukan semata-mata
mendengarkan ilmu pengetahuan saja dari guru-guru, melainkan juga ada
yang hendak mengadakan penyelidikannya sendiri. Mereka
mengumpulkan bahan-bahan ilmu dari hasil penyelidikan. Mereka
mencatat apa yang di alami dan dilihat sendiri kemudian dibuktikan apa
yang telah diselidikinya. Kemudian, buku itu menjadi sumber yang asli
yang dapat dipertanggung jawabkan ke otentikannya.
d. Tradisi Menerjemahkan Buku dan Manuskrip
Pengembangan ilmu lainya pada zaman al-Ma‟mun adalah
menerjemahkan karya orang lain. Misalnya, Hunayn ibn Ishaq (194-259
H/809-873 M) adalah seorang beragamakan Kristen keturunan Nestoria,
yang akrab dengan ilmu kedokteran dan ia pernah menajdi dokter istana
khalifah sekaligus guru kedokteran di Baghdad. Ia keliling wilayah
Imperium Byzantium untuk mengumpulkan manuskrip-manuskrip dari
karya ilmuwan dan filsafat. Setelah memproleh manuskrip tersebut
kemudian ia menerjemahkan hasil karya ilmuan orang lain dengan
melibatkan tim termasuk anaknya Ishaq, kemenakannya Hubaish.
Demikian dengan Jabir ibn Hayyan (721-815 M), dari Tarsus memusatkan
diri dalam ilmu kimia dengan cara menerjemahkan buku-buku Persia dan
Yunani.
Aktivitas menerjemahkan ilmu pengetahuan berlangsung di antar
penuntut ilmu jyang berbeda agama. Mereka sepenuhnya melibatkan diri
dalam pengembangan ilmu, baik dalam pengambangan filsafat dan ilmu
umum (Watt, t.t: 97). Adanya asimilasi antara orang yang beragama Islam
dan Kristen, terjadi di pusat belajar Kolose Kristen Nestorian di
Gondeshapur yang mengembangkan bidang kedokteran. Faktor-faktor
yang menyebabkan munculnya gerakan penerjemahan.
Gerakan penerjemahan yang dimulai berkembang pesat pada masa
Daulah Abbasiyah dan puncaknya pada zaman al-Ma‟mun. Faktor-faktor
yang menyebabkan gerakan penerjemahan di antaranya adalah: Pertama,
Tersebarnya ilmu pengetahuan Yunani, hellenistik dan hellenisme ke
penjuru dunia Islam yang disebabkan faktor-faktor historis yang luar
biasa. Menurut Mehdi Nakosten, faktor-faktor yang terpenting adalah
sebagai berikut: Pertama, peran orang-orang Kristen ortodok sebagai
157
Nestorian. Meraka adalah sekte-sekte yang dikucilkan oleh gereja induk
mereka. Pada saat penaklukan kaum Muslimin di Persia dan Romawi,
mereka menyambut baik, karena umat Muslim telah bertindak toleran dan
bagi mereka, kaum Muslimin sebagai kaum pembebas. Kedua,
Penaklukkan yang dilakukan oleh Alexander yang agung dan para
penggantinya telah menyebarkan ilmu pengetahun dan filsafat ke Persia
dan India, tempat ilmu pengatahuan dan filsafat Yunani diperkaya dengan
pemikiran-pemikiran yang asli. Ketiga, Peran akademi Jundishapur di
Persia yang mengembangkan kurikulum studi yang disusun setelah
universitas Alexanderia, dan selama abad keenam disamakan dengan ilmu
pengetahuan India, Grecian, Syiria, Hellenestik, Hebrew dan Zoroastrian
(Saefuddin, 2002: 151). Para ilmuwan di utus ke daerah Bizantium untuk
mencari naskah-naskah Yunani dalam berbagai ilmu terutama filsafat dan
kedokteran. Perburuan manuskrip-manuskrip di daerah Timur, seperti di
Persia terutama di bidang tata Negara dan sastra (Abdurrahman, 2003:
124).
e. Tradisi Menulis, Mensyarah dan Mentahqiq
Gerakan intelektual, kebudayaan dan peradaban sesungguhnya
dimulai dari gerakan membaca dan menulis yang sudah di ajarkan oleh
Allah Swt dalam peristiwa turunya wahyu pertama kepada Nabi
Muhammad Saw. dalam surah al-„Alaq ayat 1-5: “Bacalah dengan
menyebut nama Tuhanmu Yang Menciptakan. Dia telah Menciptakan
manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmu yang paling
pemurah. Yang Mengajar (manusia) dengan perantara kalam. Dia
mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. Dampaknya
yang terjadi muncullah tradisi untuk meneliti dan lebih lanjut munculnya
tradisi membaca dan menulis. Oleh sebab itu tradisi meneliti, membaca
dan menulis saling erat kaitannya. Melalui tradisi membaca dan menulis
inilah maka lahir berbagai karya tulis, mulai dari manuskrip kemudian
dicetak menjadi buku yang membahas berbagai ilmu agama dan ilmu
umum, bahasa, sastra dan lain sebagainya. Aktivitas para pelajar yang
tidak kalah menariknya adalah menulis buku sebagai karya yang menjadi
penguasaan ilmu yang diperoleh dari guru (syekh). Mereka bukan hanya
belajar saja, namun mereka juga sambil menulis. Walaupun pada awalnya
tulisan berupa manuskrip-manuskrip, namun berikutnya menjadi buku
yang dicetak dan memiliki kualitas yang dapat di pahami oleh banyak
orang..
Al-Jahiz (776-869 M) adalah seorang sastrawan yang terkenal
pada zaman al-Ma‟mun, ketika sedang menulis berani melepaskan diri
dari ikatan tradisi. Sejak kecil ia gemar membaca dan belajar tanpa ada
batasnya. Ia pernah menginap di sebuah toko buku untuk membaca. Ia
158
juga pernah belajar bahsa dan kemudian belajar fiqih dari al-Nazhzham,
dan belajar filsafat. Meskipun demikian ia banyak belajar kepada tokoh-
tokoh Mu‟tazilah, akan tetapi keluasan ilmu dan kecerdasan akalnya
menghasilkan banyak perbedaan dengan gurunya.
Ketika al-Jahijz mulai mengarang, mula-mula mengesampingkan
gaya lama yang dipakai oleh para ahli bahasa. Dia memakai gaya bahasa
yang mampu mengungkapkan kenyataan dan hal-hal yang bersifat ilmiah
dena teliti. Karya yang paling penting adalah Kitab al-Hayawan terdiri
dari tujuh jilid, dan pembahasannya seputar hewan-hewan.
Begitupun juga Imam al-Bukhari oleh gurunya, Ishaq bin
Rahawaih, di dorong dan disarankan agar menulis kitab yang singkat yang
hanya memuat Hadits-hadits shahih. Saran tersebut telah mendorong ia
untuk menulis kitab al-Jami‟ al-Shahih (Al-Asqalani, t.t.: 6).
Ibn Sa‟id (w. 845 M) mengarang sebuah buku tentang
kemenangan umat Islam dalam peperangan yang berjudul “Thabaqat al-
Kubra”, sebanyak 8 jilid (Hasan, t.t: 135) Banyak para murid mengadakan
perjalanan dan menulis buku yang menerangkan apa yang mereka
saksikan dan alami. Abu Nawas (747-815 M) lahir di kota al-Hawaz,
Persia, akan tetapi dibesarkan di kota Bashrah. Setelah berbaur dengan
orang Arab asli, ia dapat berbicara dengan bahsa Arab dengan sangat
fasih. Ia menulis qasidah yang amat sangat elok tentang al-Mahdi ketika ia
sudah bertaubat dari kebiasaan buruknya. Qasidah itu ia susun bertahun-
tahun lamanya. Karya Abu Nawas dipengaruhi oleh unsur budaya Arab
dan budaya Iran (Amin, 1995: 64).
Muhammad ibn Musa al-Khawarizmi (780-848 M) adalah ahli al
Jabar, astronomi, dan geografi yang handal. Bahkan orang Eropa
mengenal al-Khawarizmi dengan sebutan algorismus. Al-Khawarizmi
menulis buku al-Muktashar fi Hisab al-Jabr wa al-Muqabalah. Dalam
ilmu hitung ia yang pertama menggunakan bilangan puluhan yang sampai
sekarang dipakai seluruh dunia yang orang Barat menyebutnya “angka
Arab”.
Muhammad ibn Sa‟ad, seperti gurunya, al-Waqidi dikenal sebagai
sejarahwan produktif. Di antara karyanya, yaitu Kitab at-Thabaqat al-
Kabir dan at-Thabaqat al-Shaghir. Dalam menulis ia mengumpulkan
sanad-sanad dilengkapi dengan riwayat-riwayat. Ia juga mengikuti
gurunya al-Waqidi dalam memperhatikan geografis kota-kota (Yatim,
1994: 88).
Muhammad Ibn „Umar Al-Waqidi (130-207 H/748-823 M) lahir di
Madinah dan wafat di Baghdad. Ia adalah seorang ahli hadits, fiqih, dan
sejarahwan Arab yang terkenal. Semasa hidupnya ia senang mengembara
keberbagai negeri. Pengembaraanya berkisar di kota Hijaz (Makkah,
Madinah, Ta‟if, dan Jeddah), termasuk kota Syiria dan Baghdad.
159
Kepustakaan pribadinya penuh dengan berbagai buku. Ia juga seorang
murid yang produktif. Karyanya yang masih dapat di baca adalah Kitab
Maghazi. Sejak masa muda ia telah berhasil mengumpulkan berbagai
informasi tentang al-Maghazi dan al-Sirah. Selama hidupnya ia terus
bertanya pada orang yang ia angap tentang sejarah yang diperlukan.
Dalam Husayn Ahmad Amin, Ia pernah berkata: “Aku belum pernah tahu
anak sahabat atau anak yang mati syahid, atau budak belian kecuali aku
bertanya kepadanya, “Apakah anda pernah mendengar salah satu orang
anggota keluargamu yang memberi tahu kepadamu tentang kesyahidan si
fulan, dan di mana dia terbunuh? jika dia memberi informasi kepadaku,
aku akan menuju tempat itu untuk menyelidikinya” (Amin, 1995: 68).
Keunggulan karyanya yang ditulisnya terletak pada penulisan
metodologi sejarah secara ilmiah dengan meberikan urutan dan rincian
berbagai peristiwa secara logis. Ia memiliki dua orang anak laki-laki yang
membantu siang dan malam menuliskan buku-bukunya. Ia meninggalkan
30 judul buku dalam berbagai ilmu. Akan tetapi sebagian bukunya
membahas peristiwa sejarah. Muridnya yaitu Ibn Sa‟ad dan Abu Ja‟far
Muhammad ibn Jarir al-Thabari, ketika berbicara dan menulis pasti
merujuk pada apa yang didengaar dari gurunya. Karya yang pernah
ditulis, antara lain seperti: 1)Kabilah-kabilah Arab pra Islam, 2) Sejarah
Dakwah Nabi, 3) Wafatnya Nabi, 4) Peristiwa Tsaqifah dan Bay‟at Abu
Bakar as-Shidiq sebagai khalifah, 5)Perang Riddah, 6) Ekspansi Islam ke
Suriah dan Iraq (Yatim, 1995: 85).Ahmad bin Hanbal menulis kitab al-
Musnad, yang berisi Hadits-hadits Nabi sebanyak 40.000 Hadits. Di
antara sekian banyak, terdapat 10.000 Hadits yang berulang-ulang,
sedangkan sisanya 30.000 yang tidak berulang-ulang. Jumlah tersebut
merupakan Hadits Shahih dan Hasan yang sudah dihimpun dan dipilih
dari apa yang ia terima sebanyak lebih dari 750.000 Hadits. Ahmad ibn
Hanbal memiliki murid yang sangat banyak sekali, antara lain seperti:
Imam Bukhari, Imam Muslim, Abu Dawud, Abu Zur‟ah, Imam Hanbal
bin Ishaq al-Syaibany. Kerena banyaknya murid beliau, maka al-Musnad
diriwyatkan oleh mereka, sehinga harumlah nama dari penyusun tersebut.
Membaca, menulis, mensyarah dan mentahqiq merupakan budaya
intelektual yang mesti ditularkan kepada generasi muda, misalnya
membaca atau “Kitab Kuning” sebagai khazanah klasik disamping
banyak memuat ilmu agama tetapi juga dapat di gali ilmu umum seperti
kedokteran, filsafat, ekonomi, astronomi yang menjadi karya kebanggaan
umat Islam seperti yang dilakukan oleh Ibnu Sina, Ibn Rusyd dan lain
sebagainya (Aripin, 2014: 177).
160
f. Tradisi Kehidupan Ilmiah
Kehidpupan ilmiah pada masa al-Ma‟mun mengalami kemajuan
pesat. Seperti dalam deskripsi pada pembahsan sebelumnya, kehidupan
ilmiah telah melahirkan sosok intelektual Muslim yang cerdas dan sukses
dalam mengembangkan ilmu, sehingga menjadi ilmuwan besar pada
zamannya, termasuk sekarang pun orang mengenalnya. Ada beberapa hal
yang secara de facto mendorong tumbuh dan berkembang kehidupan
ilmiah tresebut, yaitu : pertama, khalifah al-Ma;mun secara aktif terlibat
penuh dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Khalifah al-Ma‟mun
adalah Pemimpin yang mencintai dan mengutamakan ilmu dengan
kekuasaannya secara efektif dapat mendorong orang-orang yang hidup
pada masa tersebut untuk mengikuti sesuai dengan kehendak pemimpin.
Secara politik, struktur pemerintahan al-Ma‟mun digerakkan oleh
orang-orang Persia yang telah menguasai filsafat dan ilmu pengetahuan.
Kehendak politik (political will) membuka pintu lebar untuk masuknya
berbagai macam ilmu pengetahuan dengan menembus batas agama dan
Negara. Khalifah menjadikan kota Baghdad sebagai pusat pemerintahan
sekaligus pusat ilmu pengetahuan, sehingga orang-orang yang ahli dalam
ilmu masing-masing diundang datang ke Baghdad, bahkan ke istana untuk
berdiskusi.
Secara sosial kemasyarakatan, al-Ma‟mun telah mengubah kondisi
percampuran bangsa keturunan Arab dan non-Arab (Mawali) sehingga
terjadi asimilasi peradaban. Para penduduk datang dari berbagai Negara
dengan membawa watak dan karakter masing-masing, sehingga terjadi
proses kompetitif yang memberikan inspirasi pada semua pihak akan
kemajuan yang telah dicapai oleh bangsa-bangsa lain. Hal ini juga telah
memudahkan terjalinnya kontak sosial untuk mendapatkan informasi
penting yang ada di daerah masing-masing.
Dukungan khalifah terhadap ilmu pengetahuan ini didukung oleh
keseriusan para pengkaji ilmu. Mereka tidak hanya puas dengan membaca
karya seorang ulama besar, namun juga secara langsung mendatang
ulamanya untuk belajar. Walaupun jarak memisahkan Negara, para pelajar
tetap berusaha untuk bertemu dengan ulama besar tersebut. Kedua,
penghargaan terhadap orang berilmu (ulama) tinggi. Fakta yang
mendukung pelajar dan ulama pergi melakukan rihlah ilmiah yaitu karena
pada tiap-tiap negri Islam ada wakaf yang tidak sedikit untuk ulama dan
pelajar terutama yang datang dari negeri lain. Sebab itu mereka senang
merantau menuntut ilmu yang telah tersedia wakaf untuk makan, minum,
kediaman, pakaian dan obat-obatan.
Menurut riwayat Ibn Jabir, pelajar-pelajar yang miskin mendapat
bantuan untuk segala kebutuhannya seperti, makanan, pakaian, kediaman
serta obat-obatan (Yunus, 1992: 126). Oleh karena itu, tidak
161
mengherankan jikalau banyak para pelajar dari berbagai penjuru dunia
untuk menuntut ilmu dan mencari guru yang termasyhur, „alim dan
sholeh. Misalnya, Imam Syafi‟i. Walaupun ia sudah menguasai dan
menghafal al-Muwaththa, ia pergi langsung ke Madinah untuk mepelajari
kitab itu secara langsung dari mulut imam Malik. Selanjutnya tatkala
Imam Syafi‟i datang ke Mesir disambut oleh Ibnu Abdul Hakam dengan
sambutan kehormatan yang luar biasa serta dimuliakannya dan
dihormatinya sebagai ulama yang besar. Kemudian dianugrakannya Imam
Syafi‟i 1.000 dinar dari harta bendanya sendiri, 1000 dinar dari Ibnu
„Isamah dan 1000 dinar dari saudagar (Yunus, 1992: 132).
Lain halnya dengan Imam Syafi‟i, al-Jahiz pada mulanya adalah
seorang penjual roti dan ikan di sahan dan kehidupannya amat sangat
sederhana. Tetapi kehidupannya berubah cepat ketika ia dikenal sebagai
orang yang memiliki ilmu yang luas dan dalam, sehingga dari buah
pikiran dan kerjakerasnya melimpah kekayaan. Ia pernah menghadiahkan
buku karangannya sendiri Kitab al-Hayawan, kepada Muhammad bin
Abdul Malik, lalu dianugrahinya uang sebesar 5000 dinar, dan ia
menghadiahkan Kitab al-Bayan wa al-Tabyin kepada Ibnu Abu Dawud,
lalu dianugrahinya 5000 dinar dan ia hadiahkan Kitab al-Zar‟uwan Nahl
kepada Ibrahim bin Abbas al-Suhly, lalu diberikannya uang 5000 dinar.
Kemudian ia keluar dari Bashrah dan seolah-olah ia memiliki kebun yang
amat sangat luas (Yunus, 1992: 132). Wajar kiranya jika sejak zaman
dahulu sampai sekarang tradisi menulis membuahkan hasil yang tak
terkira, dari hasil pikiran dan kerja keras dalam mengembangkan ilmu,
sehingga dapat merubah konsisi sosial menjadi lebih maju, baik dalam hal
finansial sampai kepada kehormatan.
Ketiga, Komitmen murid untuk mewariskan hasil-hasil pemikiran
para guru. Jika ditelusuri dalam proses kesejarahan seorang tokoh, ia
menjadi besar setelah ilmunya secara khusus dikembangkan oleh para
muridnya. Para murid tidak mengembangkan ilmu orang lain, kecuali
ilmu yang diperoleh dari gurunya secara langsung. Karena memang setiap
pelajar yang sudah menguasai satu disiplin ilmu dari guru (syekh) lalu di
berikan ijazah oleh syekh tersebut sebagai tanda boleh mengajarkan ilmu
tersebut kepada orang lain, bukan oleh lembaga tempat ia belajar. Ibn
Hisyam (w.834 M) adalah seorang murid dari Ibn Ishaq (w. 768 M) yang
berjasa meneruskan karya gurunya tersebut dalam penulisan sejarah nabi
(sirat Rasul Allah) pada zaman al-Ma‟mun (Hasan, .t.t. 135).
Sejatinya, komitmen dari seorang murid terhadap gurunya yaitu
yang dianggap cocok dengan pemahaman murid tersebut. Sebab,
adakalanya murid melakukan modifikasi ilmu yang berbeda dari gurunya.
Hal ini wajar, karena murid tidaklah belajar pada satu guru saja, akan
tetapi kepada banyak guru yang di temuinya
162
g. Tradisi Mengoleksi Buku dan Membangun Perpustakaan
Dinasti Abbasiyah terutama pada fase pertama yang di pimpin oleh
Khalifah Abu Ja‟far al-Mansur, Khaolifah Harun al-Rasyid dan Abdullah
al-Ma‟mun, merupakan kholifah-kholifah yang sangat cinta sekali pada
ilmu pengetahuan, yang dengan kecintaan itulah kholifah sangat menjaga
dan memelihara buku-buku, baik yang bernuansakan agama atau umum,
baik hasil karya ilmuwan Muslim atau sebaliknya dan baik karya-karya
ilmuwan yang semasanya atau sebelumnya. Hal semacam ini kiranya
menjadi wajar, jika Kholifah Harun al-Rasyid pernah berpesan kepada
para tentaranya untuk tidak merusak kitab apa pun yang ditemukan dalam
medan perang (Umma, dkk. 1995: 67). Begitupun juga dengan Kholifah
al-Ma‟mun, dengan cara menggaji para penerjemah-penerjemah dari
golongan agama apa saja, baik Muslim maupun non Muslim untuk
menerjemahkan buku-buku Yunani, sampai akhirnya masih pada
pemerintahan atau zaman al-Ma‟mun berkuasa, kota Baghdad menjadi
pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan (Yatim, 1994: 53).
Jika melihat fenomena diatas, bahwasanya seiring dengan lahirnya
tradisi meneliti, membaca, menulis mensyarah atau mentahqiq, timbul
tradisi mengoleksi buku dan membangun perpustakaan sebagaimana pada
zaman al-Ma‟mun yang membangun Baitul Hikmah. Saking kecintaanya,
tidak sedikit para kholifah Abbasiyah diatas, tidak segan-segan memburu,
mendapatkan buku, memberikan upah yang tinggi pada penulis buku,
melakukan pengembaraan, memfasilitasi ilmuwan dan ulama agar mau
menulis buku. Budaya semacam ini yang jarang sekali ada di belahan
dunia, termasuk Indonesia pada saat ini. Buku-buku yang telah ditulis
mereka simpan di perpustakaan, mulai dari perpustakaan pemerintahan
pusat, pemerintah daearh, hingga perpustakaan pribadi. Banyaknya buku
yang mereka simpan dan miliki pada perpustakaan, sebetulnya akan
menjadi symbol kejayaan, keunggulan, dan perkembangan pusat
pemerintahan. Mayoritas akan mengatakan bahwasanya perpustakaan
adalah jantung yang menggerakan urat nadi dan pergerakan kebudayaan
dan peradaban Islam. Sungguh elok kiranya mengapa zaman al-Ma‟mun
disebut-sebut sebagai zaman puncak kejayaan Umat Islam, adalah ia
sangat perduli sekali dengan keberadaan perpustakaan pada
pemerintahannya.
h. Tradisi Meneliti
Menurut al-Qur‟an dan Hadis, bahwa cara mendapatkan
pengembangan ilmu (epistemologis) sangat beragam. Untuk mendapatkan
ilmu agama yang berdasar pada wahyu harus menggunakan metode
163
penelitian bayani12
dengan menggunakan langkah-langkah sebagaimana
yang dilakukan para mujtahid dengan berbagai syarat yang harus
dimilikinya. Selanjtnya, untuk mendapatkan ilmu alam yang berdasar
pada alam jagat raya harus menggunakan metode ijbari,13
yakni observasi
dan eksperimen yang dilakukan di laboratorium. Untuk mendapatkan ilmu
sosial yang berdasar pada perilku manusia harus menggunakan metode
penelitian burhani,14
yang dilakukan dengan mengumpulkan data dan fakta
di lapangan. Untuk mendapatkan ilmu filsafat harus menggunakan metode
penelitian ijbali15
yang dilakukan dengan menggunakan cara berfikir
sistematik, radikal, universal, mendalam, dan spekulatif. Untuk
mendapatkan ilmu makrifat harus menggunakan metode penelitian irfani16
12
Penelitian bayani adalah penelitian yang berupaya menjelaskan kandungan
ayat-ayat al-Qur‟an dan as-Sunah, menjelaskan berbagai aspek ajaran yang terdapat di
dalamnya, baik yang berkenaan dengan akidah (ilmu Aqaid), ibadah dan hukum Islam
(fikih), akhlak (tentang etika dan sopan santun). Untuk dapat memahami dan menarik
hukum yang terdapat di dalam al-Qur‟an tersebut para ahli misalnya berusaha berijtijad
dengan menggunakan berbagai kaidah ushul fiqih, ilmu bahasa, ilmu al-Qur‟an, ilmu
Hadis dsb. Melalui penelitian bayyani dengan menggunakan metode ijtihad dan ini
lahirlah para ulama mujtahid dalam bidang fiqih, tafsir dan sebagainya. 13
Secara harfiyah, ijbari artinya memaksa atau mencoba. Adapun dalam
penelitian, ijbari maksudnya mengadakan percobaan atau eksperimen di laboratorium
berkenaan dengan benda-benda alam, baik yang padat, cair atau gas, binatang atau
manusia secara fisik. Caranya antara lain membandingkan antara satu benda dengan
benda lain, memasukkannya ke dalam tabung, mencampurkannya dengan unsur benda
lainnya, mengamati, dan mencari reaksi yang ditimbulkannya yang dilakukan secara
berulang-ulang dan selanjtnya menarik kesimpulan sebagai teori. Selanjutnya teori yang
sudah ada dipadukan dengan cara teknik pembuktiannya, maka melalui penelitian dan
percobaan serta penerapan teori ini, maka lahirlah teknologi. 14
Secara harfiyah, burhani artinya fakta atau bukti-bukti. Adapun dalam
penelitian, burhani artinya mengumpulkan data-data melalui penyebaran angket,
observasi, wawancara, keterlibatan secara langsung dsb. maka dapat di ketahui tentang
sifat dan karakter tentang fenomena sosial yang kemudin disimpulkan dalam sebuah
pernyataan atau pendapat yang diperkuat dengan data-data. Penelitian burhani bisa
digunakan untuk ilmu-ilmu sosial, ekonomi, politik, budaya dan agama. 15
Secara harfiyah ijbali adalah perdebatan atau bantahan. Namun dalam
penelitian, jadali artinya mengerahkan segenap kemampuan akal untuk memikirkan
segala sesuatu secara mendalam, sietemik, radikal, universal, spekulatif, dialektif dan
komperhensif lalu dihasilkan sebuah pemikiran yang matang dan mendalam sehingga
secara logs dapat diterima oleh akal orang laindan sulit terbantahkan, kemudian
digunakan untuk menjelaskan tentang sesuatu. Misalnya, filsafat tentang kejadian alam
dsb. Filsafat tidak bisa di katakan ilmu karena kurang memenuhi ciri-ciri ilmu. Akan
tetapi filsafat adalah induk ilmu dan yang melahirkan ilmu . 16
Secara harfiyah irfani adrtinya tentang pengetahuan Tuhan secara mendalam.
Adapun dalam penelitian irfani adalah berupaya memperoleh makrifat, laduni, futu,
mauhubah yang dilakukan dengan cara melatih diri (riyadhah) dan mengendalikan diri
dari dosa (mujahadah) untuk hanya mengingat, mendekati dan mencintai Allah Swt.
Penelitian irfani menggunakan berbagai potensi rohani yang dimiliki manusia, yaitu
164
yang dilakukan dengan melakukan riyadah dan mujahadah disertai upaya
pembersihan diri dari dosa dan maksiat (Nata, 2011: 382).
i. Tradisi Berijtihad
Tradisi ini merupakan penopang risalah Islam yang abadi. Hal
tersebut menjadi bukti bagi manusia, bahwa Islam selalu memberikan
pintu terbuka bagi akal pikiran manusia yang selalu mencar-cari, Ijtihad
ini bukan saja diperkenankan, melainkan diperintahkan. Hal ini antara lain
didasarkan para Hadis yang berisi dialog Rasulullah Saw. dengan Mu‟adz
bin Jabal ketika Nabi mengangkat ia menajadi gubernur Yaman. Nabi
bertanya, bagaimana kalau dalam memutuskan perkara yang terjadi di
Yaman tidak dijumpai dasar hukummya di dalam al-Qur‟an dan Sunah,
maka Mu‟adz pun menjawab bahwa ia akan memutuskannya dengan
berijtihad menggunakan akal pikiran.
Di zaman pemerintahan khalifah al-Ma‟mun (Dinasti Abbasiyah),
Islam dalam kejayaannya di masa khalifah al-Ma‟mun, pada masa itu
pemerintahan banyak didominasi oleh kaum yang berpaham Mu‟tazilah,
bahkan khalifah al-Ma‟mun sendiri pun berpaham Mu‟tazilah. Ia
menerapkan madzhab Mu‟tazilah resmi sebagai madzhab yang dianut
negara pada tahun 827 M. (Ia dikenal karena intelektualitasnya dan
kecintaan terhadap ilmu pengetahuan, serta jasa-jasa dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan. Ia banyak mengumpulkan buku-buku
untuk disimpan di perpustakaan Baitul Al-Hikmah yang merupakan
sebuah pusat pengkajian dan kejayaan ilmu yang tak tertandingi, sebagai
“Centre for Excellence” (Muthahari, 2011: 207). Ia juga banyak
mengundang banyak penterjemah untuk menterjemahkan buku-buku sains
dan filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab dengan imbalan gaji yang besar
dan memuaskan. Kehausan akan ilmu pengetahuan mendorongnya untuk
menyibukkan diri dalam mempelajari berbagai pemikiran sains dan
filsafat. Hajar Al-Asqalani, Hady al-Sari, Riasah Idarat al-Buhuts al-
„Ilmiyah wa al-Ifta wa al-Da‟wah wa al-Irsyad (Ritadh,t.t, 6-7).
Di masa pemerintahannya, al-Ma‟mun menerapkan sistem politik
Mihnah. Mihna yang berarti ujian, semacam lembaga penyelidikan
paham seseorang, (al-Atsir, t.t:3). Bagi seluruh orang yang akan dan sudah
terlibat dalam pemerintahan, termasuk para ulama yang banyak
memberikan informasi atau fatwa kepada masyarakat. Bagi al-Ma‟mun,
orang-orang yang berpaham syirik tidak boleh menduduki jabatan dalam
pemerintahan. Kaum Mu‟tazilah, termasuk juga al-Ma‟mun, dalam
qalbu (hati) dll. Semua potensi rohani ini dibersihkan dengan cara riyadhah atau
mujahadah lalu ia memperoleh pengetahuan. Penelitian ini antara lain dilakukan oleh
para ahli tasawuf yang haasilnya ia sampaikan dalam bentuk ungkapan-ungkapan batin
dalam bentuk syair yang mereka susun berdasarkan pada pengalaman batinnya.
165
menyebarkan pahamnya cenderung menggunakan kekerasan. Orang-orang
yang sewaktu diuji ternyata didapati berbeda atau menentang terhadap
keyakinan Mu‟tazilah, maka mereka akan dihukum, bahkan tidak sedikit
yang kemudian dibunuh. Kaum Mu‟tazilah adalah golongan yang
membawa persoalan teologi secara mendalam dan bersifat filosofis.
Dalam pembahasannya mereka lebih banyak menggunakan akal, sehingga
sering dijuluki kaum rasionalis Islam. Paham ini diawali dan
dikembangkan oleh Washil ibn Atha.
Al-Ma‟mun memanfaatkan kekuasaan pemerintahan Islam untuk
mengajak rakyatnya menganut paham bahwa al-Qur‟an itu adalah
makhluk (Zahra,1996:178). Pada saat itu yang dijadikan bahan perdebatan
dan bahan ujian dalam pemerintahan al-Ma‟mun adalah tentang al-Qur‟an
itu adalah makhluk Allah dan dia tidak bersifat qadim. Bagi yang
berpaham al-Qur‟an itu qadim dan bukan makhluk, berarti dianggap telah
menduakan Allah atau syirik yang berdosa besar, bahkan dosanya tidak
akan diampuni (Masood, 2009: 46). Setelah wafatnya al-Ma‟mun, paham
Mutazillah diteruskan oleh adiknya yakni al-Muta‟sim, ulama yang tidak
sejalan dengan dasar resmi Negara banyak di jebloskan kepenjara dan
disiksa bertahun-tahun, diantaranya ulama yang terkenal “Ahamad Ibn
Hambal”. Karena pertentangan bahwa al-Qur‟an bukan makhluk. Pada
masa al Ma‟mun, sempat dibebaskan. Namun dipenjarakan kembali pada
masa Muta‟sim (Khalikan, t.t: 217).
Akan tetapi tradisi ini meskipun pada masa al-Ma‟mun di
dominasi Muta‟zilah, tetap saja tradisi berijtihad menyebabkan lahirnya
para fuqoha bidang hukum, para teolog dalam bidang kalam, para
muhaddits dalam bidang hadits, para mufasirin dala bidang tafsir, dan
seterusnya. Sikap Ijtihad demikian pada zaman al-Mansur, hingga zaman
al-Ma‟mun misalnya ditunjukkan oleh Abu Hanifah (699-767 M), Imam
Malik (714-798 M), Imam Syafi‟i (767-854 M) dan Ahmad ibn Hanbal
(780-855 M). Abu Hanifah misalnya, pernah berkata: “Tidak halal bagi
seseorang berpendapat dengan pendapat kami sehingga ia mengetahui
dari mana sumber pendapat itu. Selanjutnya Imam Malik berkata: “Aku
ini hanya seorang manusia yang salah dan mungkin benar, maka
koreksilah pendapatku. Segala yang sesuai dengan al-Qur‟an dan Sunah
ambilah ia, dan segala yang tidak sesuai dengan al-Qur‟an dan Sunah
tinggalkanlah ia. Imam Syafi‟i juga pernah berkata: “Apa yang telah
kukatakan padahal bertentangan dengan perkataan Nabi, maka apa yang
shahih dari Nabi itulah yang lebih patut kamu ikuti. Janganlah kamu taklid
kepadaku. Selanjutnya Imam Ahmad bin Hanbal, pernah berkata:
“Janganlah kamu bertaklid kepadaku! Ambilah dari sumber mana mereka
itu mengambil”(Razak, 1997:111, Daftari, (terj.) Jabali dan Thalib,
2001:63).
166
Kualiatas intelektual sesorang tidak semestinya sama antar satu
dengan yang lainnya, meski dalam jenis dan jenjang pendidikan yang
sama. Tergantung pada sejauh mana masing-masing orang menyerap
beragam ilmu pengetahuan yang diterimanya dan berupaya
menerapkannya di tengah kehidupan bermasyarakat (Lisa‟diyah, 2006:
101).
Dengan tradisi inilah, para ulama dan ilmuwan Muslim di zaman
dahulu dapat memiliki keleluasaan dalam mengeksplorasi gagasan dan
pemikirannya dan dengan demikian mereka dapat menghasilkan karya-
karya originalitas yang diperlukan bagi masyarakat Muslim di dunia.
Tabel 4.1: Kronologi Riwayat Hidup Ulama dan Ilmuwan serta
Keahlianya dalam segi Ilmu Pengetahuan Zaman al- Ma‟mun.
N0 Nama Ulama / Ilmuwan Riwayat
hidup
Keahlian ilmu
1 Jabir ibn Hayyan (721-815 M) Kimia
2 Abu Nawas (747-815 M) Syair
3 Imam Syafi‟i (767-820 M) Fikih
4 Muhammad ibn „Umar
al-Waqidi
(748-823 M) Sejarah, Fikih
dan Hadis
5 Ibn Hisya (w.834 M) Sejarah
6 Al-Nazaam (801-835 M) Teologi
7 Ahmad Ibn Hanbal (780-855 M) Fikih
8 Ibn Sa‟id (w.834 M) Sejarah
9 Muhammad ibn Sa‟id (784-845 M) Sejarah, Hadis
10 Al-Khawarizmi (780-874 M) Astronomi
11 Abu Huzail al-„Allaf (752-849 M) Teologi
MUta‟zilah
12 Ishaq al-Mawshili 767-850 M) Sya‟ir dan
penyanyi
13 Al-Jahizh (776-869 M) Sastrawan
14 Imam al Bukhari (810-870 M) Hadis
15 Hunayn ibn Ishaq (809-873 M) Fisikan dan
kedokteran
E. Pengembangan Ilmu Pengetahuan (Sains) dan Pengaruhnya
terhadap Sistem Kemajuan Masyarakat Islam
Secara prinsip dan konseptual bahwa pemahaman dan konsep
Islam sebagai konsep universal, segala ilmu pengetahuan hakikatnya
adalah bersumber dari satu, yakni Allah SWT sebagai sumber segala ilmu.
167
Perhatian orang-orang Muslim terhadap menuntut ilmu,
dikarenakan adanya dukungan oleh ajaran yang menganjurkan umatnya
untuk menuntut ilmu. Ketika dipuncak kejayaan dalam dunia Islam
bersikap terbuka dalam bidang keilmuan, sehingga jika ada satu buah
kitab ilmu pengetahuan di ujung negeri Cina sekalipun, niscaya akan
diburu untuk diterjemahkan (Muthahari, 2011: 226). Hal demikian itu
tidak lain sebagai implementasi dari al-Qur‟an dan Hadist Nabi
Muhammad Saw. Allah mengungkapkan penghargaan yang begitu tinggi
kepada orang-orang beriman yang berilmu dengan tanpa membatasi jenis
ilmu tersebut. Penghargaan Allah tersebut telah diabadikan dalam firman-
Nya:
“.... niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman
di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu
pengetahuan beberapa derajat ....”.(QS. Al-Mujadilah [58]: 11)
(Departemen Agama R.I, 2005:543).
Ditambah lagi Rasulullah Saw. juga sangat mencintai ilmu
pengetahuan melalui beberapa sabdanya dengan tanpa memisahkan jenis-
jenis ilmunya.
طلب العلم فريضة على كل مسلم ومسلمة“Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim, laki-laki maupun
perempuan”. (Hadits Shahih Riwayat Ibn „Adiy, Baihaqi, Thobroni, dan
Khatib, Bek, 1948:107).
يلتمس فيه علما سهل اهلل به طريقا الى الجنة من سلك طريقا “Barangsiapa merintis jalan untuk mencari ilmu, maka Allah
akan memudahkan baginya jalan menuju surga” (H.R. Muslim)
(Al-Ghazali,1983:33).
Dengan dasar konsep dan pemahaman inilah akhirnya umat Islam
mencapai puncak kejayaannya. Dikarenakan para pemimpin umat Islam
sangat menghargai ilmu pengetahuan. Sehingga, meskipun mereka tahu
bahwa Yunani adalah bukan Islam, dan juga bukan pemerintahan Islam
dan ilmu pengetahuannya pun cenderung hellenis, tetapi pemerintahan
Islam di kala itu menerjemahkan secara besar-besaran hasil karya ilmu
pengetahuan yang sudah dikembangkan Yunani, tentu dengan terlebih
dahulu melakukan seleksi terhadap ilmu-ilmu tersebut dan melakukan
penyesuaian dengan semangat agama Islam (Burns Ralp, 1963: 246-247).
168
Karya-karya ilmu filososfis dan rasional mendapat perhatian
khusus dalam penerjemahan. Dengan paradigma seperti itu, umat Islam
benar-benar mencapai puncak kejayaan gemilang yang belum pernah
dicapai oleh bangsa-bangsa yang ada di dunia ini sebelumnya, karena
memang ilmu-ilmu filosofis sangat menekankan tentang eksplorasi
berpikir, sedangkan kajian ilmu rasional menekankan pada konsep dasar
pola pikirnya. Ilmu filosofis dan rasional itu juga yang kemudian lebih
banyak menemukan ilmu pengetahuan dan teknologi terapan yang sangat
dibutuhkan manusia.
Hampir sebagian besar disiplin ilmu pengetahuan, baik yang
berbasis politik, ekonomi, sosial, budaya, eksak dan agama itu sendiri
adalah muncul dan dihasilkan oleh para pemikir umat Islam. Sehingga,
banyak ilmuwan Muslim yang cukup dikenal, di dunia Barat sekalipun.
Al-Khawarizmi (Algorismus) dan Ibn al-Haitam (Al-Hazen) dikenal
sebagai ahli matematika dan astronomi; Ibn Rusyd (Averroes) dan Ibn
Sina (Avicena) sangat dikenal sebagai ahli kedokteran; al-Khazini, al-
Khurasani, al-Razi dan Ibn Sina adalah penyumbang terbesar terhadap
ilmu fisika dan teknologi; dan lain-lain. Akan tetapi, sejarah
membuktikan, setelah efek samping pengembangan ilmu pengetahuan
yang berkembang tanpa kontrol, ditambah dengan kekisruhan politik
pemerintahan Islam di masa itu, maka justru umat Islam kemudian
menutup diri dari eksplorasi ilmu pengetahuan umum (Nasution, 1985:
54).
Padahal selama 500 tahun (the dark ages), rentang antara
Aristoteles (367-322 S.M) sampai St.Thomas Aquinas (1225-1274 M)
(ilmuwan Barat), suatu masa panjang, Priode inilah sebenarnya masa
kejayaan Islam terjadi, dan para Mahasiswa Eropa berbondong-bondong
belajar ke negeri Muslim. Mereka menjadi inspirator dan pelopor
pencerahan Eropa setelah mencuri ide-ode dari negeri Muslim. Adapun
pencurian terjadi dalam berbagai bentuk. Pada abad ke-11 dan ke-12
sejumlah pemikir Barat seperti Constantine The African, Adelard of Barth
melakukan perjalanan ke Timur Tengah dan mereka belajar Bahasa Arab
dan melakukan studi serta membawa ilmu baru ke Eropa. Leonardo of
Pisa belajar di Bougie, Aljazair pada abad ke-12, ia juga belajar
matematika dan aritmatika al-Khawarizmi (Setiawan dan Hendriarjo,
2005: 21-22).
Sementara itu, ilmu-ilmu Keislaman juga berkembang pesat.
Dalam bidang hadits tercatat nama-nama seperti Bukhari dan Muslim,
dalam Hukum Islam terkenal seperti Malik ibn Anas, Idris al-Syafi‟i, Abu
Hanifah, Ahmad Ibn Hambal. Dalam ilmu tafsir seperti al-Tabari, dalam
ilmu kalam seperti Wasail ibn Atha, Abu Al-Huzail, Abu Hasan Al-
Asy‟ari dan Al-Maturidi, dalam bidang tasawuf seperti Abu Yazid Al-
169
Bustami dan Husain Ibn Mnasur Al-Hallaj. Nama-nama tokoh
pentingdalam sejarah Islam baik dalam bidang politik, keilmuan, seniman,
dll. Dapat dilihat dalam kitab Tabaqat Al-Kubra karya Ibn Sa‟ad dan
Wafiyat Al-A‟yan wa Anba Al-Zaman karya Ibn Khalikan.
Kekisruhan politik pemerintahan Islam di saat Islam masih di
posisi puncak kejayaannya, adalah karena banyaknya terjadi perebutan
kekuasaan, bahkan secara ekstrim dapat dikatakan bahwa sebagaian besar
pergantian kepemimpinan umat Islam adalah selalu terjadi pertumpahan
darah. Belum lagi, pertentangan yang sangat sengit pada setiap pergantian
pemerintahan hanya karena perbedaan paham fikih keagamaan dan haluan
politiknya. Sebagaimana diungkap sebelumnya, di masa Islam dalam
kejayaannya di masa khalifah al-Ma‟mun zaman dinasti Abbasiyah, ada
suatu peristiwa tragis yang pernah terjadi, yakni peristiwa Mihnah (ujian)
(Nasution, 1985: 60).
Akibat peristiwa Minah bagi orang-orang yang akan menduduki
posisi penting di pemerintahan, yang berkonsekuensi penyiksaan terhadap
ulama-ulama Islam yang tidak sejalan dengan akidah pemerintahan yang
berpaham Mu‟tazilah yang beraliran dan berpola pikir filosofis dan
rasional di kala itu, maka membuat apriori yang dalam pada umat Islam,
yang pada akhirnya melakukan resistensi dan perlawanan.
Sesudah masa itu, untuk tujuan politis, khalifah al-Mutawakkil
kemudian membatalkan madzhab Mu‟tazilah sebagai madzhab negara dan
mendukung madzhab Ahlussunnah wa al-jama‟ah. Lebih dari itu,
kemudian akademi-akademi yang mengajarkan ilmu-ilmu filosofis dan
ilmu-ilmu rasional ditutup. Bahkan, banyak tokoh-tokoh Mu‟tazilah yang
diusir dari Baghdad (Nasution, 1985: 61-62).
Sejak kejadian perubahan inilah kemudian secara tidak sadar umat
Islam kemudian seolah membuat batas terhadap ilmu-ilmu filosofis dan
rasional, pada dasarnya adalah ilmu-ilmu umum yang menjadi dasar
pengembangan iptek di masa-masa berikutnya. Hal itu terjadi terus
menerus selama berabad-abad mewarnai paradigma berpikir sebagian
besar umat Islam, hina akhirnya dipahami seolah sebagai doktrin agama
yang sudah mutlak dan dianggap sebagai suatu kebenaran.
Terhambatnya perkembangan ilmu filosofis dan rasional pada
kalangan umat Islam di satu sisi, tetapi di sisi lain umat non Islam, yakni
masyarakat Barat, justru mendapat imbas dari perkembangan kemajuan
iptek umat Islam yang pernah ditempuh. Perkembangan eksplorasi ilmu-
ilmu filosofis dan rasional yang dilakukan bangsa Barat akhirnya
mengantar mereka menguasai perkembangan iptek dunia, di saat umat
Islam sudah mulai tenggelam dijerat paradigma dikotomisnya terhadap
ilmu pengetahuan.
170
Tak dapat di pungkiri lagi, akhirnya umat Islam terpuruk dan
terkurung dengan sikap statis atau diam ditempat yang membawa mereka
kepada kemunduran yang berkepanjangan. Sedangkan bangsa Barat
akhirnya menjadi pengawal perkembangan iptek, bahkan sampai bisa
menjelajah dan menjajah negara-negara di wilayah dunia Islam.
Mulnculnya kesadaran bahwa paradigma ilmu pengetahuan yang
telah terpengaruh oleh skulerisme dan materialisme telah menjadikan
pengetahuan modern menjadi kering dan kehilangan kesakralannya
(terpisah dari nilai-nilai tauhid dan teologis) (Sholeh,t.t: 5).
Menurut Murtadha Muthahari tidak sependat dengan klasifikasi
ilmu model al-Ghazali, bahkan menolak adanya dikotomi ilmu agama dan
ilmu non-agama. Menurutnya, pembedaan ilmu semacam itu dapat
melahirkan kesalahan konsepsi, bahwa ilmu non-agama terpisah dari
Islam dan tidak sesuai keuniversalan Islam. Penolakkan Murthadi atas
dikotomi ini berdasarkan pada pandangan bahwa ilmu dalam al-Qur‟an
dan Hadits hadir dalam maknanya yang umum. Demi menjaga identitas
Keislaman dalam persainagan budaya global, para ilmuwan Muslim
bersikap defensive dengan mengambil posisi konservatif-statis, yakni
dengan melarang segala mebentuk inovasi dan mengedepankan ketaatan
fanatic terhadap syari‟ah, salah satunya adalan fiqih produk pertengahan
yang dianggap telah final. Mereka melupakan sumber kreatifitas, yakni
ijtihad, bahkan mencanangkan ketertutupannya. Pada ranah inilah tanpa
sadar umat Islam telah menumbuhkan embrio dikotomi ilmu (Enginer,
2003: 20-21).
Menurut Ziauddin Sardar mengatakan bahwa salah satu faktor
penyebab dikotomi sistem pendidikan Islam adalah diterimanya budaya
Barat secara total bersamaan denagan adopsi ilmu pengetahuan dan
teknologi. Sebab mereka yang menganut pandangan tersebut
berkeyakinan, bahwa kemajuanlah yang terpenting bukan agama. Oleh,
sebab itu, kajian agama dibatasi bidangnya. Agama hanya membicarakan
hubungan individu dengan Tuhannya, lainnya bukan urusan agama (Hadi
& Imron, 2000: 73).
Hilangnya aspek kesakralan dari konsep ilmu Barat serta sikap
keilmuwan Muslim yang menyebabkan terjadinya stagnasi setelah
memisahkan wahyu dari akal, dan memisahkan pemikiran aksi dan kultur
dipandang sama bahayanya bagi perkembangan keilmuan Islam. Karena
itu muncul sebuah gagasan untuk mempertemukan kelebihan-kelebihan di
antara keduanya, sehingga lahirlah keilmuan baru yang modern tetapi
tetap bersifat religious dan bernafaskan tauhid, gagasan ini kemudian di
kenal dengan Islamisasi Ilmu pengetahuan atau Integrasi ilmu (Tabroni,
2000: 93).
171
Dalam menghilangkan dikotomi ilmu dengan proyek Islamisasi
ilmu pengetahuan atau Integrasi ilmu pengetahuan, Ziauddin Sardar
memberikan solusi yaitu dengan cara peletakkan epistemology dan teori
sistem pendidikan yang bersifat mendasar, lebih lanjut Ziauddin Sardar
mengatakan untuk menghilangkan perlu dilakukan usaha-usaha yaitu:
pertama, dari segi epistemology, umat Islam harus berani
mengembangkan kerangka masa kini yang terartikulasi sepenuhnya.
Kerangka pengetahuan di maksud setidaknya dapat menggambarkan
metode-metode dan pendekatan yang tepat yang nantinya dapat membantu
pakar Muslim dalam mengatasi masalah-masalah moral dan etika yang
sangat dominan di masa sekarang. Kedua, perlu adanya teoritis ilmu dan
teknologi yang menggambarkan gaya-gaya dan metode-metode aktifitas
ilmiah dan teknologi yang sesuai tinjauan dunia dan mencermeinkan nilai
dan norma budaya muslim. Ketiga, perlu diciptakan teori-teori sistem
pendidikan yang memadukan ciri-ciri terbaik sistem tradisional dan sistem
modern. Sistem pendidikan integralistik itu secara sentral harus mengacu
kepada konsep ajaran Islam, mislanya konsep tazkiyah al-nafs, tauhid dsb.
Disamping itu sistem tersebut juga harus mampu memenuhi kebutuhan-
kebutuhan masyarakat Muslim secara multidimensional masa depan. Dan
yang terpenting, pemaknaan pendidikan, mencari ilmu, sebagai
pengalaman belajar sepanjang masa (Sardar, 1984: 280-281).
Dalam Islam sebetulnya tidak dikenal pemisahan esensial ilmu
agama dan ilmu umum. Berbagai disiplin ilmu dan pespektif intelektual
yang dikembangkan dalam Islam memang mengandung hierarki tertentu
yang bertujuan kepada pengetahuan tentang hakikat Tauhid, yang
merupakn subtansial dari segenap ilmu. Inilah yang menjadi alasan
kenapa para ulama dan ilmuwan Muslim berusaha mengintegrasikan ilmu-
ilmu yang dikembangkan peradaban-peradaban non-Muslim ke dalam
hirarki ilmu pengetahuan menurut Islam. Dengan demikian, pendidikan
dalam Islam tidak menganal dikotomi dalam pengertian yang berlebihan,
akan tetapi hanya membedakan jenis-jenis atau klasifikasi, seesuai dengan
bidang (manfaat, metode dan cara memperolehnya, obyek), seperti yang
tampak pada table dibawah ini:
No Bidang Pembagian
1. Sisi Manfaat Ilmu
(Aksiologi)
a. Ilmu yang langsung bermanfaat untuk kehidupan
Dunia Ilmu yang langsung bermanfaat untuk
kehidupan Akhirat
2. Sisi Perolehan Ilmu
(Epistemologi)
a. Ilmu Kasbi atau Ilmu Mubasyarah
b. Ilmu Laduni atau Ilmu Mukhasayafah
3. Sisi Objek Ilmu
(Ontologi)
a. Ilmu yang bersifat Material
b. Ilmu yang bersifat Non-Material
172
Tabel 4.2: Paradigma Pembagian Ilmu dalam Persepektif Islam
Jika melihat daripada table diatas, kiranya sering orang
berpandangan bahwa adanya dikotomi itu teletak pada sisi manfaat ilmu
atau aksiologi, yang secara pembagian diameteral membagi ilmu kepada
ilmu untuk kepentingan dunia dan ilmu untuk kepentingan akhirat.
Sebagaimana al-Ghazali membagi ilmu kepada ilmu syari‟ah dan ghoiru
syari‟ah atau Al-Syafi‟i seperti yang dideskripsikan oleh Suwito dan
Fauzan, membagi ilmu menjadi dua macam: pertama, ilmu fiqh untuk
agama. Dan kedua ilmu Thib untuk keperluan tubuh, hal tersebut adalah
merupakan hanya hirarki atau tingkatan saja ilmu saja, bukan pemisahan
dua jenis yang berlainan.
Oleh karenanya, apa yang yang dimulai sejak Rasulullah, lalu
berkembang pada masa sahabat dan diteruskan pada genarasi selanjutnya
(Dinasti Umayah dan Abbasiyah), termasuk pada zaman al-Ma‟mun
adalah upaya Islam dalam mensinregikan atau dengan kata lain
mengintegrasikan ilmu, baik ilmu agama atau ilmu umum, baik yang
dikembangkan oleh ulama atau ilmuwan Muslim yang bertujuan pada
sumbu “Tauhid” atau pengetahuan tentang “Hakikat Yang Maha
Tunggal”.
Paradigma pengembangan ilmu pengetahuan pada era klasik,
adalah obor kehidupan yang akan terus mengiringi umat Islam dalam
peradaban dunia, bahwa konsep Islam yang di bawa oleh Rasulullah
adalah ramatan lil‟alamin (rahmat untuk seluruh alam), itu artinya
meskipun panggung dunia telah berubah pada masa kini, dimana ilmu
pengtahaun dan juga teknologi didominasi oleh Barat, akan tetapi tetap
saja Islam yang menjadi porosnya.
F. Pola Gerakan Intelektual yang Integrated Zaman Al-Ma’mun
Kemajuan umat Islam pada zaman klasik (abad ke-7-13 M) dalam
bidang kebudayaan dan peradaban yang didukung bukan saja dalam
bidang ilmu agama Islam: tafsir, fiqih, hadis, teologi dan tafsir, akan tetapi
juga dalam bidang ilmu pengetahuan di bidang sosial, politik, astronomi,
fisika, kimia, kedokteran, farmasi, arsitektur, seni, filsafat, teknik, biologi,
pemerintahan, geografi, seni, dan lain sebagainya. Berbagai kemajuan
dalam bidang ilmu inilah yang selanjutnya digunakan untuk membangun
kebudayaan dan peradaban Islam.
Sejarah mencatat, bahwa selain para ulama yang menguasai ilmu
agama Islam, seperti tafsir, hadis, fiqih, tasawuf, juga terdapat para ulama
yang menguasai ilmu-ilmu filsafat, seni dan sains dengan berbagai
cabangnya sebagaimana yang dikemukana diatas. Al-Ma‟mun adalah
salah satu dari yang penulis maksudkan, ia selain sebagai seorang
173
penguasa di zamannya, akan tetapi ia juga merupakan seorang ilmuwan
Muslim, penyair, khatib, muhaddits, serta mahir dalam bidang filsafat dan
perbintangan (astronomi). Ia juga dapat menguasai empat bahasa Arab,
yaitu bahasa Yunani, Ibrani, Persia, India (Jaudah, 2007: 330).
Hal senada pun terjadi pada ulama dan ilmuwan Muslim lainya
seperti: Al-Farabi (872-890 M), misalnya selain dikenal sebagai ahli
filsafat, ia juga dikenal sebagai ahli politik, kedokteran, ilmu kalam,
akidah, fiqih dan sejarah. Begitupun juga dengan Ibn Sina selain dikenal
sebagai ahli filsafat, sebagaimana terdapat pada bukunya Asy-Syifa, ia
juga dikenal sebagai ahli ilmu jiwa lalu dalam bukunya an-Najah, lalu ahli
kedokteran sebagaimana dalam bukunya al-Qonun fi at-Thibb, ahli
astronomi, kimia, fisika bahkan juga ahli tasawuf sebagaiman dalam kitab
al-Qanun fi at-Thibb (Nata, 2011: 31, As-SIrjani, 2011: 375, Majid, 2000:
225).
Nurcholis Majid menambahkan dalam Khazanah Intelektual Islam
bahwa, pada zaman klasik memiliki ilmuan yang ensiklopedik, seperti Ibn
Rusyd (w.595 H/1198 M), selain dikenal sebagai filosof Islam,
sebagaimana terdapat dalam kitab Fadhlu al-Maqal fima Baina al-Hikmah
wa Syari‟ah Min al-Ittihsal, juga dikenal sebagai ahli kedokteran
sebagaimana dalam kitab al-Kulliat, dan ahli fiqih sebagaimana dalam
kitab Bidayah al-Mujtahid. Mereka itulah sebagain ulama, sekaligus
ilmuwan yang pernah dimiliki oleh Islam yang memperhatikan masalah
agama, akhirat, spiritual dan juga masalah dunia (Majid, 1987: 5).
Meskipun zaman kontemporer saat ini tidak selengkap zaman klasik, akan
tetapi saat ini masih ada yang ulama yang karakternya seperti intelektual
pada zaman klasik, meskipun jarang ditemui dan tidak begitu banyak
jumlanya.
Melihat adanya fenomena ilmuwan yang demikian, maka
muncullah pemikiran dari beberapa ilmuwan untuk mencari sebab-
sebabnya. Ada yang berpendapat, bahwa hal tersebut diatas karena
perkembangan ilmu pengetahuan pada zaman al-Ma‟mun masih
sederhana, berada dalam taraf pertumbuhan, belum khusus seperti saat ini,
sehingga setiap orang dapat mengembangkan hasrat intelektualnya sesuai
dengan kehendaknya. Selanjutnya ada juga yang berpendapat, bahwa hal
demikian itu pernah terjadi, karena belum adanya pemahaman yang
dikotomik antara ilmu agama dengan ilmu umum. Dan mungkin saja pada
zaman al-Ma‟mun adalah masih zaman yang terbaik (tabi‟in),
sebagaimana Rasul pernah bersabda “Sebaik-baiknya zaman adalah
zamanku, lalu zaman para sahabat, dan zaman setelahnya (tabi‟in).”
Akan tetapi, yang menyebabkan lahirnya ilmuwan Muslim yang
multilatented atau ensiklopedik tersebut adalah karena adanya pola dan
model pendidikan dan model yang integrated. Pola atau model pendidikan
174
Islam di zaman al-Ma‟mun, selain masih dipengaruhi oleh semangat
Hellenis yang berbasis pada penelitian dan pemikiran, juga masih kental
dipengaruhi oleh semangat keagamaan yang berbasis pada wahyu. Hal ini
tentu berbeda dengan pola pendidikan yang berkembang di Barat.
Sebagaimana A. Malik Fadjar mengatakan: di Barat saat ini yang bersifat
dikotomis, yakni di satu pihak ada yang mengambil model Universitas
Studisorum berbasis Hellenis yang menekankan aspek kebutuhan pasar
dan memenuhi kebutuhan lapangan kerja, sebagaimana yang digunakan di
Inggris dan Amerika Serikat, yang selanjutnya dikenal sebagai Anglo
System, sedangkan di sisi yang lain ada yang mengambil model universite
Magistorum berbasis Semitis yang menekankan kepentingan kaum gereja
yang berorientasi doktriner keagamaan” (Nata, 2011:132, Kamaluddin,
2010: 172).
Jadi, jika di sandingkan pada zaman al-Ma‟mun atau klasik dengan
saat ini yang ada di Barat tentu saja tidak dapat disamakan dan amat
sangat jelas sekali perbedaanya.
Pola gerakan intelektual dan pengembangan ilmu yang
dikembangkan oleh umat Islam di zaman al-Ma‟mun atau klasik adalah
pola gerakan yang bersifat integrated. Yaitu pola yang didasarkan pada
integrasi antara dimensi fisik dan metafisik, dimensi lahir dan batin,
dimensi fisik dan tasawuf, dimensi fisik, panca indra, intuisi, akal, dan
wahyu, dunia dan akhirat, jasamni dan rohani, dan material spiritual. Hal
tersebut berpandangan pada dasar sifat dan krakteristik ajaran al-Qur‟an
dan Sunah yang tidak mengenal pemisahan antara berbagai urusan
tersebut dan tidak di temukan dikotomik dalam segala hal.
Keimanan kepada Tuhan yang bersifat batin dan menggunakan
indra batiniah, berupa an-nafs, ar-ruh, as-sir, al-qalb, al-fuad, al-lub, al-
zauq dan berbagai potensi batiniayh lainnya dalah sebuah realitas objektif
dan menjadi bagian integral dari kebutuhan manusia. Indra batin itulah
yang digunakan untuk memahami dan menghayati nilai-nilai spiritual dan
ajaran tentang keimanan. Indra batin inilah yang diberikan Tuhan untuk
membantu indra, fisik, dan akal manusia dalam memahami berbagai hal
yang berada di luar jangkauannya. Keimanan itulah yang selajutnya
menjadi energi positif yang menggerakkan orang untuk semakin meyakini
adanya hal-hal yang metafisis dengan cara memahami hukum-hukum
Tuhan yang bersifat metafisik yang terdapat berbagai fenomena sosial,
fenomena alam, dan berbagai hal lainnya. Ketika kajian empiris,
observasi, dan eksperimen yang dilakukan fisik, panca indra dan akal di
laboratorium misalnya menemukan teori tentang segala sesuatu yang
terdapat pada benda tersebut, dan teori tentang segala sesuatu yang
terdapat dalam benda tersebut, dan teori tersebut disusun dalam bentuk
ilmu pengetahuan (sains), maka sesungguhnya ilmuwan hanyalah
175
penemu, bukan pencipta. Yang menciptakan semua itu adalah Yang
Maha Pencipta (Tuhan). Para ilmuwan Muslim di zaman al-Ma‟mun atau
klasik menggunakan pola gerakan intelektualnya itu bertolak dari
pemahaman yang utuh tentang manusia dengan segenap potensi yang
dimilikinya, pemahaman yang utuh menjadi objek penelitian baik bersifat
fisik maupun nonfisik. Mereka memadukan antara empiris, spekulatif,
metafisis, dan bathiniah secara bersamaan. Itulah mengapa ketika dengan
meyakini adanya Tuhan, dalam waktu yang bersamaan para ilmuan atau
ulama di zaman al-Ma‟mun (klasik) dapat menjadi seorang sufi, seorang
ilmuwan yang menguasai anatomi manusia, karakteristik, benda-benda
fisik, sebagaimana terlihat dalam ilmu astronomi, fisika, biologi, kimia,
kedokteran, sosiologi, geografi, matematika, optic, farmasi, pemerintahan
dan lain sebagainya secara bersamaan (Nata, 2011: 33).
Secara historis dan sosiologis gerakan intelektual di zaman al-
Ma‟mun belum ada pola atau model yang khusus. Hal tersebut terjadi,
karena pada zaman tersbut belum ada gangguan atau bahkan pemaksaan
dari luar maupun dalam atau kekuatan secara politis yang mengharuskan
menggunkan model atau pola tertentu. Pada zaman al-Ma‟mun setiap
ulama dapat saling menghormati dan menghargai gagasan dan
pemikirannya masing-masing. Oleh karena itu, sejarah mencatat bahwa di
zaman tersebut yang ada memiliki persamaan dan model gerakan
intelektualnya dan ada juga memiliki perbedaan antar satu sama lain. Di
kalangan para ilmuwan bidang sosial dan ilmu alam (sains) pada ilmuwan
yang lebih banyak berkonsentrasi pada bidang teoritis, seperti al-Biruni
dalam bidang fisika dan ada juga yng berkonestrasi pada praktik, seperti
al-Razi dalam bidang fisika, ada juga yang berkonetrasi pada teoritis dan
praktis secara bersamaan, seperti Ibn Sina dalam bidang kedokteran, dan
Ibn Rusyd dalam bidang kedikteran dan hukum Islam (Nata, 2011: 134).
Jadi dapat dikatakan, pola gerakan integrasi keilmuan yang terjadi
pada zaman klasik sangat variatif, dinamis, proresif, inovatif dan holistic.
Hal ini sejalan dengan adanya kebebasan dan kemerdekaan yang tumbuh
dan berkembang di kalang ulama, belum ada tekanan politik dan berbagai
kepentingan dan pesanan yang diletakkan pada ilmuan. Dan model
intelktual yang di kembangkan di Yunani, India, dan Cina yang berbasi
pada budaya, tradisi tidak sepenuhnya digunakan oleh ulama. Dengan
demikian model gerakan intelktual pada zaman klasik memiliki ciri,
bahwa para ulama langsung mengakses al-Qur‟an dan Sunah, tanpa
mengikuti petunjuk ulama sebelumnya dan para ulama dapat menjadi
ulama ilmu agama serta juga dapat menjadi ilmuwan di berbagai bidang
seperti: ilmu alam, ilmu sosial, ilmu kedokteran, filsafat dan lain
sebagaianya.
176
Hal yang terjadi di atas berbeda pada zaman setelah zaman klasik,
dimana pemahaman keagamaan pada zaman pertengahan (abad ke-14 s/d
18 M), malah cenderung lebih mengutamakan ilmu agama, dan kurang
menghargai ilmu-ilmu umum, seperti ilmu sosial, alam, filsafat dan ilmu
lainya sudah mulai ditinggalkan dan tidak lagi ada pengembangan ilmu
umum oleh umat Islam, akan tetapi pengembangan ilmu umum justru
diambil alih oleh Barat. Secara politis umat Islam malah terpecah
menjadi dua kubu, Syi‟ah dan Sunni, hal tersebut hingga saat ini masih
terus berlangsung. Pada akhirnya di zaman pertengahan inilah telah terjadi
pandangan dikotomis antara ilmu agama dengan ilmu umum, yang mana
sudah tidak telihat jelas ingtergatif dari keduanya. Sampai munculnya
paradigma bahwa ilmu umum adalah sesuatu yang tidak wajib harus
dipelaari oleh umat Islam, karena kedudukannya hanya fardhu kifayah.
Pada abad pertengahanlah, dimana perhatian umat Islam lebih
banyak tertuju pada ilmu-ilmu agama yang membicarakan tentang moral,
tasawuf, atau tarekat dibandingkan ilmu umum, hal semacam ini menjadi
tumpang tindih. Karena meninggalkan ilmu-ilmu umum, maka terjadilah
apa yang saat ini dinamakan “dikhotomis” yaitu memisahkan antara ilmu-
ilmu agama dan ilmu-ilmu umum, serta meyakini bahwa mempelajari
ilmu umum sebagai bukan dari bagian perintah ajaran Islam. Keadaan
umat Islam yang terpinggirkan dan ketidakmampuan untuk mengakses
berbagai peluang atau informasi dalam bidang sosial, ekonomi, politik,
dan lain sebagainya.
Jika di telusuri terjadinya sikap dikotomis ilmu antara agama
dengan umum, tidak ditemukan pada zaman al-Ma‟mun akan tetapi pada
saat kholifah al-Mutawakil pada tahun 847-861 M. yang membatalkan
madzhab Mu‟tazilah sebagai madzhab negara dan mendukung madzhab
Ahl al-Sunnah wa al-Jama‟ah. Lebih dari itu, kemudian akademi-akademi
yang mengajarkan ilmu-ilmu filosofis dan ilmu-ilmu rasional ditutup.
Bahkan, banyak tokoh-tokoh Mu‟tazilah yang diusir dari Bagdad.
Agaknya wajar jika kemudian Ahl al-Sunnah wa al-Jama‟ah menutup
akademi-akademi yang mengajarkan ilmu-ilmu filosofis dan rasional,
karena golongan ini sebagian besar lebih berpaham Jabariyyah, yang
menganut Fatalisme, yakni segala hal yang ada dan terjadi pada manusia
lebih ditentukan oleh Tuhan. Dalam paham ini, manusia tidak punya daya
dan upaya untuk dirinya sendiri sekalipun (Nasution, Rasional: 1995:
115). Sejak saat itu, perkembangan dan eksplorasi keilmuan di bidang
filosofis dan rasional menjadi terhenti. Semua lembaga-lembaga yang
mengajarkan filsafat ditutup. Secara perlahan dan tanpa disadari oleh umat
Islam, mereka akhirnya seperti konservatif terhadap dirinya dengan ilmu-
ilmu filosofis dan rasional yang justru sebagai dasar perkembangan iptek.
Perkembangan iptek yang sebelumnya pernah mencapai puncak
177
kemajuannya pun akhirnya nyaris terhenti secara total. Sebagian umat
Islam seolah mengklaim, bahkan menganggap menghianati dan memusuhi
agama kepada orang-orang yang mempelajari ilmu umum, dan akan
dipandang mulia orang-orang yang mempelajari ilmu agama atau ilmu-
ilmu yang bernuansa akhirat.
Dengan demikan, pola gerakan yang terjadi di zaman al-Ma‟mun
(klasik) sangat variatif, dinamis, progresif, inovatif dan integrated serta
holistik. Hal ini sejalan dengan adanya kebebasan dan kemerdekaan yang
tumbuh dan berkembang di kalangan para ulama, belum ada tekanan
politik dan berbagai kepentingan dan pesan yang diletakkan kepada para
ilmuwan, dan sebagai pemula, atau printis. Tidak semuanya model atau
pola gerakan yang dikembangkan di India, Yunani di pakai oleh para
ulama Islam.
Jadi dapat dikatakan bahwa, pola gerakan integrated yang
digunakan dalam zaman al-Ma‟mun atau klasik memiliki ciri-ciri yaitu
setiap ulama dapat menjadi seorang ulama ilmu agama, juga dapat
menjadi ilmuwan dibidang misalnya, ilmu sosial, ilmu alam, filsafat, seni
dan lain sebagainya.
G. Model Pengembangan Ilmu Zaman Al-Ma’mun Terpusatkan
pada Ilmu-ilmu Alam (Sains)
Sebagaimana pada pembahahasan sebelumnya bahwasanya ilmu
pengetahuan oleh para ahli dibedakan menjadi dua, ada ilmu yang
berbasis pada fenomena alam atau dikenal dengan istilah natural science
dan ada juga yang berbasis pada fenomena sosial atau dikenal dengan
istilah social science. Oleh karenanya pada bab ini hanya terfokus pada
ilmu-ilmu alam (sains) yang dapat dikembangkan pada zaman al-Ma‟mun
atau priode kasik. Di dalam al-Qur‟an Allah Swt menyatakan:
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih
bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut
membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah
178
turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan
bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu
segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang
dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-
tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.
(Q.S. Al-Baqarah: 164).
Pada ayat di atas memberi petunjuk tentang hal-hal sebagai
berikut: Pertama, petunjuk yang berkenaan dengan berbagai hal yang
termasuk alam sebagai objek kajian ilmu pengetahuan, yakni proses
penciptaan langit dan bumi, peredaran waktu siang dan malam, bahtera
atau kapal yang berlayar di lautan dan diambil manfaatnya untuk manusia,
tentang air hujan, tumbuh-tumbuhan, peredaran angin dan awan. Kedua,
petunjuk yang berkenaan dengan perintah kepada manusia untuk
memikirkan dan memahami hukum-hukum yang terdapat di dalamnya.
Ketiga, petunjuk yang berkenaan dengan keyakinan, bahwa alam jagat
raya ini tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan tercipta dengan
kehendak Allah.
Dengan memahami dan mengkaji alam jagat raya ini, maka para
ahli akan menemukan berbagai teori yang disusun menjadi ilmu
pengetahuan alam atau yang lebih dikenal sekarang ini dengan sebutan
sains, seperti ilmu tumbuh-tumbuhan (flora), ilmu tentang makhluk hidup
(biologi) baik yang berkenaan dengan binatang (fauna) maupun manusia,
berkenaan dengan planet dan perbintangan ruang angkasa (astronomi),
benda-benda keras dan cair (fisika), yang dengan menggunakan ilmu-ilmu
murni ini para ahli di zaman klasik dapat melahirlkan ilmu farmologi,
botani, kedokteran, kimia.
Kajian tentang ayat-ayat kauniyah dengan menggunakan isyarat
ayat al-Qur‟an yang didukung dengan riset empiris berupa observasi
(burhani) dan eksperimen (Ijbari) telah banyak dilakukan oleh para
ilmuwan Muslim pada zaman klasik, seperti al-Khawarizmi tentang
astronomi, Ibn Hayyan tentang fisika, Ibnu Sina tentang kedokteran (Nata,
2011: 376-377). Di zaman sekarang ada orang yang bernama Zaghloul,
yang telah menulis 45 buku tentang ayat-ayat kosmologi. Ia mengatakan,
bahwa kehebatan kekuasaan Tuhan dan bukti nyata atas keesaan Allah
Swt. tanpa sekutu, kemiripan, dan tandingan adalah bertemunya alam
semesta yang sangat besar kesatuannya dengan alam yang sangat akurat
sekali, lalu bertemunya ilmu kosmologi modern dengan ilmu fisika
partikel. Hasil penelitian fisika partikel dasar pada neklus atom mulai
memberikan dimensi-dimensi konkret untuk memahami proses penciptaan
alam semesta dan fase-fasenya (El-Nagger, 2010: 18)
Dengan memperhatikan ayat-ayat tersebut serta penjelasannya,
179
dapat diketahui bahwa alam jagat raya adalah sumber ilmu pengetahuan,
khususnya ilmu pengetahuan alam (sains) ternyata tanda-tanda kekuasaan
Allah. Alam jagat raya tidak terjadi dengan sendirinya, karena akal tidak
mungkin dapat menerima adanya alam tanpa penciptanya. Namun akal
juga tidak bisa menerima jikalau pendapat, bahwa adanya Tuhan karena
adanya yang menciptakan, oleh karena itu, jika Tuhan diciptakan, maka
dirinya bukan lagi disebut Tuhan, melainkan sebagai makhluk. Dan
dengan menyadari alam sebagai ciptaan dan ayat Allah Swt, maka
manusia semakin memahami alam dengan segala hukum, hikmah dan
rahasia yang terkandung di dalamnya, maka manusia akan semakin
mengagungkan kebesaran Allah. Sebagaiman Allah berfirman :
Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata
dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam
warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah
di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya
Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (Q.S. Faathir: 28).
Pada ayat tersebut terdapat kata ulama, yaitu orang-orang yang
mengetahui kebesaran dan kekuasan Allah Swt. yang dihasilkan dari studi
dan penelitiannya terhadap berbagai ciptaan-Nya, seperti binatang yang
melata dan binatang ternak yang beraneka macam jenisnya, air hujan yang
turun dari langit, tanah subur yang terkena air hujan selanjutnya
menghasilkan ragam tumbuh-tumbuhan berupa sayur-mayur, buah-
buahan, dan bahan makanan lainya, gunung-gunung yang memiliki garis
putih, hitam pekat dan merah dan lain sebagainaya. Dengan cara
demikian, seorang ilmuwan dengan ilmunya yang luas dapat digunakan
untuk mengenal, mendekati, dan mencintai Allah, lebih dari apapun di
dunia ini. Sebagaimana Ian Barbour pernah mengungkapkan dengan
ungkapan menemukan Tuhan melalui sains (Babour. 2000: 87).
Al-Qur‟an sangat mendorong dikembangkannya ilmu
pengetahuan. Hal ini terlihat dari banyaknya ayat al-Qur‟an yang
menyuruh manusia agar menggunakan akal pikiran dan segenap potensi
yang dimilikinya untuk memperhatikan segala ciptaan Allah Swt.
Dorongan al-Qur‟an terhadap pengembangan ilmu pengetahuan tersebut
terlihat pula dari banyaknnya ayat al-Qur‟an (lebih dari 700 ayat) yang
berkaitan dengan ilmu pengetahuan, pujian dan dukungan yang tinggi bagi
180
orang-orang yang berilmu serta pahala bagi yang menuntut ilmu.
Sungguhpun banyak temuan di bidang ilmu pengetahuan yang sejalan
dengan ilmu pengetahuan (Nata, 2010:167).
Berdasarkan ayat-ayat tersebut diatas, jelaslah sudah bahwa al-
Qur‟an al-Karim amat banyak berbicara tentang berbagai ilmu
pengetahuan, karena berbagai isyarat ayat al-Qur‟an tersebut belum
disusun berdasarkan metodologi ilmu pengetahuan serta yang
dikemukakan dalam al-Qur‟an lebih pada prinsip-prinsip, spirit serta
kaidah dalam mengembangkan berbagai macam ilmu pengetahuan
tersebut. Dengan pengertian tersebut, maka Mulyadi Kartanegara, dapat
memberi kesimpulan bahwa ilmu adalah pengetahuan tentang segala
sesuatu sebagaimana adanya (Karanegara, 2003: 3). Pengertian tersebut
mengambarkan begitu luasnya ruang lingkup ilmu, baik dari segi sumber,
obyek, epistemology, bahkan aksiologinya (Suriasumantri, 1990: 294).
Ilmu tidak bisa dipandang secara parsial ataupun juga marjinal, tetapi
justru sebagai satu kesatuan sumber dan kesatuan eksistensi.
Sumber segala ilmu adalah Allah Swt. sedangkan segala eksistensi
pada hakikatnya juga berasal dari Allah. Pengistilahan ini mungkin lebih
tepat jika dipandang sebagai tauhid atau integritas dalam keilmuan.
Sehingga, obyek ilmu pun akhirnya harus diyakini tidak hanya yang
indrawi (fisik), tetapi juga non-indrawi atau non-fisik( metafisik) (Nata,
dkk, 2003: 170).
Begitu juga sarana akal, dalam ayat tersebut hanya disebutkan
secara implisit saja, akan tetapi jika dicermati dalam ayat tersebut Allah
menyebutkan “agar kamu bersyukur” , hal ini manusia tidak mungkin bisa
bersyukur atas apa yang telah dianugrahkan Allah kepadanya, kecuali
mereka yang menggunakan akalnya dengan baik. Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa dalam mendapatkan pengetahuan, manusia dapat
memperolehnya dengan cara mendengar, melihat maupun merasakan
sesuatu yang baru, sehingga menjadi pengetahuan yang baru bagi dirinya.
Begitu juga dengan akal, seseorang mungkin hanya dengan kemampuan
akalnya, melalui trial and error ( coba-coba), pengamatan, percobaan, uji
kemungkinan (probabilitas), ia mampu mendapatkan pengetahuan baru
yang belum didapatkan sebelumnya (Shihab, 1997: 437).
Tuhanlah yang menciptakan jagat raya ini sebagaimana dalam al-
Qur‟an dan Hadits. Tuhan menciptakan bumi, bulan, matahari dan bintang
yang masing-msing berputar pada porosnya. Matahari mengelilingi bumi,
bulan dan bintang mengelilingi matahari. Semua berputar pada orbitnya.
Disamping itu, al-Qur‟an juga berbicara tentang air yang dinyatakan
sebagai sumber kehidupan, berbicara tentang tanah, gunung, lautan, langit,
api, binatang, tumbuh-tumbuhan dengan berbagai prilaku dan sifat-
sifatnya. Meskipun sudah banyak yang berhasil dikaji dan diketahui oleh
181
manusia lewat penelitian-penelitian ilmiah, akan tetapi rahasia yang
dibuka oleh Tuhan masih sedikit. Al-Qur‟an menyebut bahwa langit
berlapis tujuh, gunung diciptakan untuk memperkokoh kehidupan
manusia. Hal tersebut dijelaskan dalam al-Qur‟an karena mengandung
pelajaran dan makna yang mendalam bagi kehidupan manusia.
1. Prinsip-Prinsip Pengembangan Sains dalam Islam zaman Al-
Ma’mun
Agar ilmu pengetahuan tidak tersesat baik dalam
pengembangannya maupun dalam memanfaatkannya, maka Islam
menetapkan prinsip-prinsip sebagai berikut: Pertama. Prinsip Tauhid.
Menurut Islam bahwa sumber ilmu pengetahuan dapat berupaya wahyu
(ayat Qauliyah) alam jagat raya (ayat kauniyah), fenomena sosial (ayat
insaniyah) akal pikiran dan intuisi atau ilham yang semuanya berasal dari
Allah Swt. Sumber-sumber ilmu pengatahuan ini antara lain satu dan
lainnya berasal dari Tuhan, dan harus saling melengkapi antara satu dan
lainnya. Ilmu yang dibangun, di samping mengakui keabsahan
pengamalan indrawi (yang mendapat tekanan dari kaum empiris dan
positivis), juga pengalaman-pengalaman mental, mistik, religious,
intelektual, dan spiritual, yang di samping subjektivitasnya ternyata juga
memiliki basis-basis objektivitasnya di dunia non empirs (Kartanegara,
2005:43).
Kedua. Prinsip Integrated. Bahwa seluruh sumber ilmu
pengetahuan serta pengetahuan yang dihasilkan melalui sumber tersebut
saling membutuhkan antara satu dan lainnya. Ilmu agama membutuhkan
ilmu pengetahuan alam atau sains, dalam rangka melaksanakan dan
memperaktikkan ilmu agama agar ilmu pengetahuan alam tersebut tidak
disalahgunakan untuk tujuan-tujuan yang merugikan manusia dan
melanggar Allah Swt. Lebih dari itu, bahwa integrasi ilmu ini meliputi
integrasi bidang ilmu, sumber ilmu, pengalaman manusia, metode ilmiah,
penjelasan ilmiah, teoritis dan praktis (Nata, 2003, 58-177).
Ketiga. Prinsip pengamalan dan berpegang pada kebenaran.
Menurut Abuddin Nata, ilmu pengetahuan dalam Islam bukan hanya
kepuasan ilmu itu sendiri, melainkan ilmu tersebut harus diamalkan dan
dimanfaatkan baik untuk kepentingan sendiri, maupun kepentingan
masyarakat, bangsa dan Negara. Sebagaimana pepatah Arab mengatakan
bahwa: “Ilmu yang tidak diamalkan tak ubahnya seperti pohon yang tidak
berbuah”. Islam mengajarkan bahwa yang dituju oleh ilmu bukanlah
mencari pembenaran, melainkan mencari kebenaran. Orang yang mencari
pembenaran bisa saja mengatakan sesuatu yang tidak benar, namun dicar-
cari berbagaai alsana agar yang tidak benar itu dibenarkan. Prinsip ilmu
182
pengetahuan berbeda dengan prinsip politik yang bertumpu pada mencari
pembenaran” (Nata, 2011: 383-384).
Keempat. Prinsip kesesuaian dengan agama. Sebagaimana
dikemukakan dalam prinsp tauhid tersebut, bahwa semua sumber ilmu
dalam Islam pada hakikatnya berasal dari Allah, maka dari itu ilmu
pengetahuan yang bersumber pada kajian alam jagat raya pasti akan
sejalan dengan pengetahuan yang berasal dari wahyu. Dengan demikian,
antara ilmu agama dan ilmu umum tidak boleh bertentangan. Jika ada
pertentangan antara ilmu agama dan ilmu umum, maka harus diperbaiaki
adalah pendapat ilmu.
Kelima. Prinsip terbuka dan manfaat. Dalam Islam bahwa ilmu
yang dihasilkan oleh seseorang ilmuwan bersifat terbuka dan menjadi
milik bersama. Dengan sifatnya yang demikian, maka tidak oleh seorang
pun melarang membaca hasil temuan seorang ulama. Dengan sifat yang
terbuka, maka ilmu tersebut juga boleh dikritik atau dibatalkan oleh
ilmuwan lain. Dengan prinsipnya yang demikian itu, maka ilmu
pengetahuan akan berkembang dari waktu ke waktu. Dalam Islam bahwa
ilmu yang dihasilkan oleh seorang ilmuwan harus bermanfaat atau
berguna bagi peningkatan kesejahteran umat manusia, baik secara jasmani
maupun rohani. Dalam Islam, ilmu bukanlah tujuan, melainkan hanya
sebagai alat dan ilmu bukan hanya untuk ilmu, melainkan ilmu untuk
kemaslahatan umat manusia. Dengan cara demikian, setiap orang yang
mengembangkan ilmu pengetahuan akan memiliki kontribusi bagi
kesejahteraan umat manusia (Nata, 2011: 38-385).
Didalam ajaran agama Islam, bahwasanya segala ilmu itu
hakikatnya adalah bersumber dari satu zat, yakni Allah Swt. Sebagai
sumber daripada segala ilmu. Hal tersebut dilansir dan ditegaskan oleh
Allah dalam firmannya Q.S. al-An‟am ayat 73 sebagai berikut:
“Dan Dialah yang menciptakan langit dan bumi dengan benar.
Dan benarlah perkataan-Nya di waktu Dia mengatakan:
“Jadilah” lalu terjadilah, dan di tangan Nyalah segala kekuasaan
di waktu sangkakala ditiup. Dia Mengetahui yang ghaib dan yang
183
nampak. Dan Dialah yang Maha Bijaksana lagi Maha
Mengetahui. (Dep. Agama R.I, t.t: 136).
Dari interpretasi ayat diatas, menegaskan bahwasanya Allah yang
Maha Mengatahui yang ghaib dan yang nampak sebagai dimensi dari
seluruh benda di alam raya ini, ghaib yang non fisik atau immaterial dan
fisik atau material, karena memang aspek ontologis dan epistemologis
ilmu dalam Islam meliputi keduanya, yakni yang material (fisik) dan
immaterial (non-fisik). Dalam hal ini, Ibn „Abbas menyebut yang ghaib
sebagai apa yang tersembunyi pada manusia dan yang nampak sebagai
aktivitas manusia (al-Fairuzabadi, t.t: 90). Disamping itu juga Allah
menegaskan dalam dialognya dengan para malaikat di awal penciptaan
Nabi Adam yang akan didaulat menjadi kholifah di bumi. Disaat para
malaikat menolak dan mempertanyakan alasan Allah memilih Nabi Adam,
maka Allah kemudian mengungkapkan kelebihan Adam yang telah
diberikan semua nama, yakni ilmu. Dalam ayat ini bahwasanya manusia
diberikan potensi untuk mengetahui nama atau fungsi dan karakteristik
benda-benda. Ia juga dianugrahi potensi untuk berbahasa (Shihab, 2002:
143). Bahkan juga sering dikaitkan dengan pandangan Islam secara umum
mengenai ilmu ini adanya perintah Tuhan, langsung maupun tidak
langsung, kepada manusia untuk berfikir, merenung, menalar, dan lain
sebagainaya. Banyak sekali seruan dalam kitab suci kepada manusia untuk
mencari dan menemukan kebenaran dikaitkan dengan peringatan, gugatan,
atau perintah supaya berfikir, merenung dan menalar.17
Berdasarkan uraian tersebut di atas terlihat dengan jelas bahwa al-
Qur‟an dan Hadits memiliki pandangan yang integrated, baik pada
dataran ontologis, epistemologis, maupun aksiologis. Pandangan ini jauh
lebih unggul dibandingkan dengan pandangan pengembangan ilmu-ilmu
17 Nurcholis Majid dalam kerangka ini memetakan bahwa perkataan „aql (akal),
dalam kitab suci tersebutkan sebanyak 49 kali, sekali dalam bentuk kata kerja lampau,
dan 48 kali dalam bentuk kata kerja sekarang. Salah satunya adalah dalam surah al-Anfal
ayat 22, “Sesungguhnya seburuk-buruknya makhluk melata di sisi Allah ialah mereka
(manusia) yang tuli dan bisu, yang tidak menggunakan akalnya(la ya‟qilun). Perkataan
fikr (pikir) tersebut sebanyak 18 kali, dalam bentuk kata kerja lampau , dan 17 kali dalam
bentuk kata kerja sekarang. Salah satunya adalah Q.S Ali Imran (3) ayat 191; “… Mereka
yang selalu mengingat Allah pada saat berdiri, duduk maupun diatas lambung
(berbaring), serta memikirkan kejadian langit dan bumi”. Yang sama maknanya dengan
aqal dan fikir ialah tadabbur (merenungkan), yang dua kali tersebutkan dalam kitab suci,
kedua-duanya tentang sikap yang diharapkan dari manusia terhadap Al-Qur‟an. salah
satunya ialah Q.S. Muhammad (47) ayat 24, “Apakah mereka tidak merenungkan Al-
Qur‟an, ataukan pada hati dan jiwa mereka ada yang menyumbatnya ?”, Juga perkataan
Ibrah (bahkan renungkan atau pelajaran), yang tersebutkan dalam kitab suci sebanyak 6
kali, antara lain dalam Q.S. Yusuf (12) ayat 111; "Dalam kisah-kisah mereka itu sungguh
terdapat bahan pelajaran bagi orang yang berpengertian mendalam…”.
184
pengetahuan yang dikembangkan di Barat yang bersifat pasial, tidak utuh
dan tidak kokoh, sehingga mudah sekali ilmu-ilmu tersebut digunakan
untuk tujuan-tujuan yang dapat menghancurkan harkat dan martabat
manusia.
H. Paradigma Pengembangan Sains Integrated yang Berbasis pada
Tauhid di Zaman Al-Ma’mun Berikut ini adalah pengembangan ilmu pada aspek ontologis,
epistemologis dan aksiologis yang digunakan oleh para ulama atau
ilmuwa pada zaman klasik sebagai berikut:
1. Pengembangan Sains Berdasarkan Ontologis
Menurut Al-Qur‟an dan hadis bahwa sumber ilmu (ontology)
pengetahuan bukan hanya alam jagat raya (fenomena alam), perilaku
sosial (fenomena sosial) dan kekuatan daya pikir (ratio) sebagaimana yang
dianut dalam masyarakat Barat, melainkan juga ayat-ayat al-Qur‟an dan
matan Hadis Rasulullah, serta intuisi atau ilham. Dengan demikian,
sumber ilmu pengetahuan dalam pandangan Islam jauh lebih lengkap dan
lengkap jika dibandingkan dengan sumber ilmu pengetahuan menurut
pandangan Barat. Jika Objeknya ontologis yang dibahas wahyu (al-
Qur‟an) termasuk penjelasan atas wahyu yang dilakukan oleh Nabi
Muhammad Saw., berupa Hadits, dengan menggunakan metode ijtihad,
maka yang dihasilkannya adalah ilmu-ilmu agama seperti: Teologi, Fiqih,
Tafsir, Hadits, Tasawuf, dsb. Al-Qur‟an sebagai sumber ilmu
pengetahuan, bisa dijelaskan oleh Q.S. Yusuf ayat 1-2 dan Q.S. An-Nahl
ayat 44.18
Kemudian jika objeknya ontologis yang dibahasnya alam jagat
raya, maka para ahli akan menemukan berbagai teori yang disusun
menjadi ilmu pengetahuan alam atau yang lebih dikenal dengan sains,
seperti langit, bumi, serta segala isi yang ada di antara keduannya, yakni
matahari, bulan bintang, tumbuhan-tumbuhan, bintang, api, udara dsb
dengan menggunakan metode penelitian eksperimen di laboratorium
pengukuran, pertimbangan dsb., maka ilmu yang dihasilkan adalah Ilmu
alam (Natural Sciencis) seperti biologi, fisika, kimia, astronomi, dsb.
(Nata, 2011: 337). Dengan memperhatikan ayat-ayat al-Qur‟an dan
penjelasannya, dapat diketahui bahwa alam jagat merupakan sumber ilmu
18 (1). Alif, laam, raa. Ini adalah ayat-ayat kitab (Al Quran) yang nyata (dari
Allah). (2). Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa
Arab, agar kamu memahaminya. (Q.S. Yusuf : 1-2). 44. Dengan Keterangan-keterangan
(mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu
menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya
mereka memikirkan, (q.S. An-Nahl ayat 44).
185
pengetahuan, khususnya ilmu pengetahuan alam (sains) ternyata
merupakan tanda-tanda kekuasaan Allah Swt.
Ilmu pengetahuan alam seluruhnya pada hakikatnya berasal dari
Allah, karena sumber ilmu tersebut berupa wahyu, alam jagat raya,
manusia dengan prilakunya, akal pikiran dan intuisi batin seluruhnya
ciptaan dan anugrah Allah yang diberikan kepada manusia. Dengan
demikian para ilmuwan di zaman al-Ma‟mun atau klasik dalam berbagai
bidang ilmu: fisika, astronomi, kimia, kedokteran, biologi, botani,
perkebunan, dan lain sebagainya), sebenarnya bukan pencipta ilmu tapi
penemu ilmu, penciptanya adalah Tuhan. Atas dasar pandangan integrated
yang berbasis pada Tauhid tersebut maka seluruh ilmu hanya dapat
dibedakan dalam nama dan istilahnya saja, sedangkan hakikat dan
subtansi ilmu tersebut sebenarnya satu dan berasal dari Tuhan.
2. Pengembangan Sains Berdasarkan Epitemologis
Menurut Al-Qur‟an dan Hadis, bahwa cara mendapatkan
pengembangan ilmu (epistemologis) sangat beragam. Untuk mendapatkan
ilmu alam yang berdasar pada alam jagat raya harus menggunakan metode
ijbari,19
yakni observasi dan eksperimen yang dilakukan di laboratorium.
Dalam pandangan epistemologis, al-Qur‟an tentang bagaimana
mengembangkan ilmu pengetahuan tersebut berbeda dengan yang
dikemngkan di Barat. Jika di Barat pengembangan ilmu hanya
menggunakan pancaindra berdasarkan empiris, rasionalis, akal, dan
intuisi, maka dalam Islam semua alat untuk mencapai ilmu tersebut harus
disertai dengan penyucian batin (Shihab, 1997: 438).20
Petunjuk al-Qur‟an yang menginformasikan tentang pentingnya
mengintegrasikan kesucian batin dalam rangka pengembangan ilmu
pengetahuan ini sudah dipraktekkan oleh para ulama di masa lalu. Imam
Syafi‟i yang dikenal fuqoha yang besar pengaruhnya selalu memelihara
kesucian batin. Dalam kesempatan ia pernah mengadu kepada gurunya,
19 Secara harfiyah, ijbari artinya memaksa atau mencoba. Adapun dalam
penelitian, ijbari masdunya mengadakan percobaan atau eksperimen di laboratorium
berkenaan dengan benda-benda alam, baik yang padat, cair atau gas, binatang atau
manusia secara fisik. Caranya antara lain membandingkan antara satu benda dengan
benda lain, memasukkannya ke dalam tabung, mencampurkannya dengan unsur benda
lainnya, mengamati, dan mencari reaksi yang ditimbulkannya yang dilakukan secara
berulang-ulang dan selanjtnya menarik kesimpulan sebagai teori. Selanjutnya teori yang
sudah ada dipadukan dengan cara teknik pembuktiannya, maka melalui penelitian dan
percobaan serta penerapan teori ini, maka lahirlah teknologi.
20 M. Quraish Shihab,Wawasan Al-Qur‟an Tafsir Maudhu‟i atas Pelbagai
Persoalan Umat, … hal. 438.
186
Waqi‟, karena sulitnya mendapatkan ilmu pengetahuan. Gurunya itu
mengingatkan agar mensucikan batin.21
3. Pengembangan Sains Berdasarkan Aksiologis Selanjutnya dalam bidang aksiologi ilmu pengetahuan,
bahwasanya al-Qur‟an mengingatkan selain ilmu pengetahuan agama dan
umum sebagai milik Allah Swt. Dan harus diabadikan dalam rangka
beribadah kepada Allah, juga harus disertai dengan memiliki sifat dan ciri-
ciri tertentu pula. Antara lain yang paling menonjol adalah sifat khasyah
(tekun dan kagum kepada Allah) sebagaimana ditegaskan dalam Firman
Allah Swt:
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih
bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-
orang yang berakal. (Q.S. Ali „Imran: 190)
Dalam konteks ayat tersebut diatas, ulama adalah mereka yang
memiliki pengetahuan tentang fenomena alam yaitu proses penciptaan
langit dan bumi, serta peredaran waktu siang dan malam. Timbulnya akan
sikap takut dan penuh kagum kepada Allah tersebut diatas disebabkan
karena setelah para ulama atau ilmuwan mendalami ilmu pengetahuan
tersebut di atas, mereka merasa bahwa kekuasaan Allah itu demikian luas,
dan manusia merasa kecil dihadapannya, serta tidak mungkin untuk
21 Dalam teks Arabnya berbunyi: Syakautu ila waqi‟in suahifdzi fa arsyadani
ila tarki al-ma‟ashi wa „allamani bi anna al-ilm nurun wa nur Allah la yuda lil ashi.
Artinya : Aku mengadu kepada guruku waqi, karena sulitnya mengahafal, guru
mengajarkan agar aku meninggalkan perbuatan maksiat. Guru memberitahukan bahwa
ilmu itu adalah cahaya, dan cahaya itu tidak akan ddiberikan kepada orang-orang yang
berdosa. Hal yang sama juga dilakukan oleh Imam Bukhori yang dikenal sebagai ulama
besar dalam bidang hadits.menurut riwayat bahwa Imam Bukhori mennetukan metode
dan kriteria dalam penetapan hadits yang shahih dalam kitabnya Shahih Bukhari.
Menurutnya hadis shahih adalah hadis yang diriwayatkan oleh prawi yang adil, sempurna
ingatannya, bersambung sanadnya, tidak cacat, dan tidak bertentangan dengan nas yang
lebih tinggi. Ia mencoba pergi berkelana mencari hadis dari satu negri-ke negri lain,
kemudian menyeleksinya dengan kreteria tersebut. Dari 300.000 hadis yang ia dapat
kemudian ia teliti dengan cermat dan sampai pada kesimpulan bahwa hadis yang shahih
itu hanya setengah persennya saja,yakni 1500 hadis. Namuan yang sisanya itu terlebih
dahulu ia mintakan petunjuk kepada Allah dengan terlebih dahulu shalat Istiqharah.
187
menandingi-Nya (Ibrahim, 2000: 88-90).
Renungan manusia terhadap Allah adalah perenungan yang kontinyu
dalam segala segi kegiatanya sehari-hari. Perenungan ini merupakan landasan
yang tetap bagi kebijaksanaan yang akan lahir dari berpikir dan berbuat.
Kegiatan berpikir manusia adalah suatu kerja universal dan integral. Liputan
berpikirnya tidak saja mengenai keadaan langit dan bumi , akan tetapi termasuk
di dalamnya peristiwa-peristiwa dan sejarahnya. Kajian yang paling radikal dari
pengunungan misteri alam semesta ini ialah usaha membuka tabir sejarah
penciptaanya. Formulasi pengetahuan manusia tentang alam semesta disajikan
lewat rumusan yang sistemik dan rasional, untuk kemudian disebut sains.
Tafakur melahirkan sains. Makin dalam tafakur manusia, makin banyak kesan
yang terlintas dari pengamatannya.
Penghargaan yang tinggi diberikan oleh Allah kepada manusia yang
berhasil mensintesis kegiatan berpikir dan berzikirnya menjadi suatu rumusan
yang mencermikan keterkaitan hubungan antara keduanya. Allah Swt
menggambarkan hubungan itu dengan ungkapan: “…Tuhan kami, tidaklah
Engkau ciptakan semua ini dengan sia-sia. Mahasuci Engkau, maka lindungilah
kami dari azab neraka” (Saefuddin, 2010: 280-281).
Perasaan yang demikian, membawa manusia untuk mensyukuri
ilmu pengetahuan yang diberikan oleh Allah Swt itu dengan cara
menggunakannya untuk tujuan-tujuan yang mulia. Dengan kerangka
berfikir aksiologi keilmuan yang demikian itu, maka Islam menganjurkan
dan mendorong agar ummat manusia mengembangkan ilmu pengetahuan
apa saja, sehingga ia menjadi ahli agama, ahli ekonomi, ahli politik, ahli
pendidikan, ahli, biologi, ahli, fisika, ahli kedokteran dan sebagainya,
dengan ketentuan ilmu-ilmu tersebut diabadikan dalam rangka beribadah
kepada Allah melalui pemanfaatannya untuk tujuan-tujuan kemanusiaan,
peningkatan harkat dan martabat manusia, menciptakan kesejahteraan
sosial, pengembangan ilmu pengetahuan terutama dalam sains serta
pembinaan akhlak yang mulia (Nata, 2003: 78-79). Karena penting ilmu
pengetahuan itu harus diimbangi dengan akhlak yang mulia, sebagaima
Albert Enstein pernah berkata “Ilmu tanpa agama (akhlak) adalah buta”.
Hal demikian di atas perlu ditegaskan, karena dalam rangka
membangun peradaban manusia dan kesejahteraannya tidak hanya cukup
dilakukan oleh ahli ilmu agama saja, atau ahli umum saja. Melainkan
harus dilakukan bersama-sama. Untuk menciptakan masyarakat yang
beriman, bertaqwa, dan berakhlak mulia. Menurut Abuddin Nata dalam
Studi Islam Komperhensif, pengembangan ilmu pengetahuan secara
aksiologi adalah sebagai berikut: “Menurut al-Qur‟an dan Sunah untuk
menggunakan ilmu secara benar dan memberikan manfaat (aksiologi),
maka ilmu itu harus disandarkan dengan iman dan digunakan untuk
meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah dalam bentuk
mengarahkan penggunaan ilmu tersebut untuk hal-hal yang bermanfaat
188
bagi manusia dan untuk mendukung hal-hal yang berdampak positif bagi
umat manusia dan lingkungan hidup” (Nata, 2011: 383).
Dalam Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum, pandangan
integralistik tentang ilmu pengetahuan sebagaimana tercermin dalam
konsep ontology, epistemology, dan aksiologi sebagaimana tersebut tidak
berarti bahwa bahwa setiap manusia dapat menguasai seluruh
pengetahuan. Ilmu pengetahuan demikian luas, dan setiap jenis ilmu
pengetahuan memiliki cabang yang amat banyak, dan untuk mengetahui
satu cabang ilmu saja, tidak mungkin dilakukan oleh manusia,
dikarenakan memiliki keterbatasn waktu, usia manusia. Baik waktu, usia
manusia dan segenap kemampuan yang dimiliki manusia tidak mungkin
cukup untuk mendalami satu cabang saja dari ilmu pengetahuan (Shalah,
1978: 76).
Sikap demikian itu perlu dimiliki selain agar tidak menimbulkan
sikap sombong, juga agar ilmu yang dimilikinya tidak mandeg yang
disebabkan karena berhenti belajar. Orang yang merasa sudah cukup
ilmunya, lalui ia berhenti belajar, maka sesungguhnya ia telah menjadi
orang yang bodoh.
Bangunan ilmu yang bersifat integrative dengan memposisikan al-
Qur‟an dan hadits sebagai sumber utama selain sumber lainya
sebagaimana digambarkan berikut:
189
Gambar. 4.3 : Pola Bangunan Sains (Natural Sciences) Integratif
Gambaran tentang pengembangan ilmu dan berbagai cabang serta
sumbernya dalam ayat-ayat kauniyah dan ayat-ayat qauliyah, kiranya
dapat dijadikan sebagai salah satu alternative untuk membangun keilmuan
yang integrated. Ilmu diatas terdiri atas rumpun ilmu alam atau fenomena
alam (natural sciences). Pada umumnya ilmuwan pada zaman klasik
dalam menggali rumpun ilmu tersebut di atas bersumberkan pada ayat-
ayat qauliyah dan juga kauniyah. Oleh sebab itu cara yang ampuh
ditempuh oleh para ilmuwan klasik sebagaimana di zaman al-Ma‟mun
dengan menggalinya menggunakan metode eksperimen atau ijbari.
Berdasarkan uraian tersebut di atas terlihat dengan jelas bahwa
Kedokteran
Geologi
Matematika
Pengairan
Perikanan
Teknik
Geografi
Astronomi
Arsitektur
Pertanian
Kelautan
Farmasi
Peternakan
Biologi Kimia Fisika
ILMU ALAM
HASIL ESKPERIMEN
(IJBARI)
Al-Qur’an
Hadits
Ayat-ayat
Kauniyah
ALAM JAGAT RAYA
Teknologi
TAUHID
Ayat-ayat
qauliyah
PARADIGMA
PENGEMBANGAN
ILMU INTEGRATED
190
paradigma pengembangan ilmu pada zaman al-Ma‟mun merupakan
pengembangan integrated yang berbasis pada Tauhid yang melihat, baik
pada dataran ontology, epistemology, maupun aksiologi yang merupakan
kesatuan dari Allah. Paradigma atau Pandangan ini jauh lebih unggul
dibandingkan dengan pandangan pengembangan ilmu-ilmu pengetahuan
yang dikembangkannya di Barat yang bercorak parsial, tidak utuh dan
tidak kokoh sehingga mudah sekali ilmu-ilmu tersebut digunakan untuk
tujuan-tujuan yang menghancurkan martabat manusia, termasuk manusia
yang menciptakan ilmu pengtahuan itu sendiri.
Berpijak pada konsep Tauhid, tergambar bahwa paradigma
pengembangan ilmu dalam Islam telah memadukan unsur duniawiyah dan
ukhrowiyah. Pengembangan ilmu merupakan suatu proses membina
seluruh potensi manusia sebagai makhluk yang beriman dan bertakwa,
berpikir, dan berkarya untuk kemaslahatan diri dan lingkungannya untuk
merealisasikan fungsi kehambaan kepada Allah dan misi kekhalifahaan di
muka bumi sebagai makhluk yang memakmurkan kehidupan bersama
dengan aman, damai dan sejahtera.
Melalui landasan filosofis seperti itulah, dalam sejarah Islam telah
membuktikan sebagai umat yang memiliki peradaban gemilang dengan
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, bahkan mengungguli kejayaan
Barat pada zamannya. Dengan paradigma pengembangan yang integrated,
Islam telah melahirkan ilmuwan-ilmuwan besar dari berbagai disiplin
ilmu, seperti Jabir, al-Razi, al-Khawarizmi, al-Biruni, Ibnu Sina, Ibn
Rusyd, al-Farabi, al-Kindi, dan puluhan ilmuwan Muslim lainnya yang
diakui oleh dunia.
Selanjutnya sebagaimana diatas, berbagai teori dalam ilmu alam
ini dapat dipadukan dengan teknik, maka lahirlah teknologi, yang secara
harfiyah ilmu tentang teknologi, atau hasil sintesis dan perkawinan antara
ilmu alam dan teknik. Teknologi pada hakikatnya merupakan penerapan
teori-teori ilmu alam dengan teknik tertentu. Contoh, penerapan teori
tentang air yang dipanaskan mendidih, dan didinginkan membeku. Teori
ini melahirkan lemari kulkas yang dapat mendinginkan air, atau dispenser
yang dapat memanaskan dan mendinginkan air. Kemudian ketika
teknologi inilah yang akan menjadi sebuah peradaban yang maju dalam
hal intelektual dan lain sebagainya, sehinga tak salah kalau pada abad
klasik dan awal pertenghan Islam berada pada puncak kejayaan (the
golden age) dalam hal ilmu aqli. Islam mampu memegang kendali
peradaban dunia dimana Barat masih terkungkung dengan dogma-dogma
gereja yang mementingkan kepentingan politik sehingga Barat berada
dalam masa kegelapan (the dark age).
Teknologi merupakan totalitas cara-cara yang diciptakan manusia
untuk menyuguhkan benda-benda, mateil, peralatan dan kendaraan demi
191
kenyamanan, kelestarian, dan peningkatan kualitas kehidupannya.
Teknologi lahir sebagai penerapan yang cerdas dan bijaksana dari sains
dasar, yaitu fisika, kimia, geologi, biologi dan farmasi dengan dukungan
tak ternilai dari matematika dan dikelola dengan bantuan sains terapan dan
ilmu teknik (rekayasa) serta berpotensi melibatkan diri sebagai penjaga
gawang terjaganya misi manusia sebagai rahmatan lil „alamin (Bagir,
2005: 169).
Upaya yang dilakukan adalah dengan mengembalikan Sains
pengetahuan pada pusatnya yaitu tauhid. Hal ini dimaksudkan agar ada
koherensi antara ilmu pengetahuan dengan iman. Upaya yang lainnya,
yang merupakan antitesis dari usul yang pertama, adalah ilmuisasi Islam.
Upaya ini diusung oleh Kuntowijoyo. Dia mengusulkan agar melakukan
perumusan teori sains yang didasarkan kepada al-Qur‟an, menjadikan al-
Qur‟an sebagai suatu paradigma. Upaya yang dilakukan adalah
objektifikasi. Islam dijadikan sebagai suatu ilmu yang objektif, sehingga
ajaran Islam yang terkandung dalam al-Qur‟an dapat dirasakan oleh
seluruh alam (rahmatan lil „alamin), tidak hanya untuk umat Islam tapi
non-Muslim juga bisa merasakan hasil dari objektivikasi ajaran Islam.
Dari uraian di atas, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa dalam
mengintegrasikan ilmu-ilmu sains sebaiknya mengacu kepada perspektif
ontologis, epistemologis dan aksiologis.
Dari perspektif ontologis, bahwa ilmu pengetahuan (sains) itu pada
hakekatnya, adalah merupakan pemahaman yang timbul dari hasil studi
yang mendalam, sistematis, obyektif dan menyeluruh tentang ayat-ayat
Allah swt. baik berupa ayat-ayat qauliyyah yang terhimpun di dalam al-
Quran maupun ayat-ayat kauniyah yang terhampar dijagat alam raya ini.
Karena keterbatasan kemampuan manusia untuk mengkaji ayat-ayat
tersebut, maka hasil kajian atau pemikiran manusia tersebut harus
dipahami atau diterima sebagai pengetahuan yang relatif kebenarannya,
dan pengetahuan yang memiliki kebenaran mutlak hanya dimiliki oleh
Allah Swt.
Dari perspektif Epistemologi, adalah bahwa ilmu pengetahuan dan
teknologi diperoleh melalui usaha yang sungguh-sungguh dengan
menggunakan instrumen penglihatan, pendengaran dan hati yang
diciptakan Allah swt. terhadap hukum-hukum alam dan sosial
(sunnatullah). Karena itu tidak menafikan Tuhan sebagai sumber dari
segala realitas termasuk ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dari perspektif aksiologi, bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi
harus diarahkan kepada pemberian manfaat dan pemenuhan kebutuhan
hidup umat manusia. Bukan sebaliknya, ilmu pengetahuan dan teknologi
digunakan untuk menghancurkan kehidupan manusia. Perlu disadari
bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi adalah bagian dari ayat-ayat Allah
192
dan merupakan amanat bagi pemiliknya yang nantinya akan dimintai
pertanggung jawaban di sisi-Nya.
Ilmu pengetahuan alam (sains) adalah anugerah yang Tuhan
berikan kepada hamba-Nya untuk dapat mengenali-Nya. Jika ada sesuatu
yang disebut “ilmu”, namun tidak membawa seseorang mengenali-Nya
pastinya adalah kesia-siaan. Mengacu kepada Hadits, “buahnya ilmu
adalah ibadah”.
Spektrum ilmu seperti yang dimaksud diatas sejatinya amatlah
luas. Bukan sekedar ilmu agama saja, namun juga melingkupi semua
pengetahuan (sains) yang dapat mendekatkan seseorang kepada Tuhan-
Nya. Kalaupun ada yang disebut ilmu agama, dan sains itu semata
hanyalah persoalan pembagian ilmu. Sebagaimana sebuah mata uang,
dimana satu dengan yang lainnya saling melengkapi. Keduanya berusaha
menangkap tanda ilahi yang dalam istilah Syed Hossein Nasr sebagai
jejak ilahi (Vestigia Dei). Cara pandang seperti inilah yang membuat
muslim pada beberapa abad yang lalu menjadi mercusuar kemajuan sains.
1. Paradigma Islam terhadap Alam (Sains)
Islam melihat alam bertasbih, saling terkait satu sama lain dengan
manusia. Alam juga berjiwa, ia akan merasa sedih jika ada manusia yang
merusak alam, sebagai contoh: ketika manusia menginjak rumput atau
pohon apabila di tebang, ia akan mengeluarkan getah, hal tersebut sebagai
respsentasi bahwa pohon memiliki jiwa dan merasa sedih (mengeluarkan
air mata) jika di tebang rusak kelestariaanya. Akan tetapi alam juga akan
menjadi sahabat bagi manusia, apabila ia di lestarikan, di manfaatkan dan
di rawat, maka pohon akan mengeluarkan bunga dan juga buah yang dapat
dimakan oleh manusia, hal tersebut adalah sebagai tanda trimakasih alam
kepada manusia sebagai kholifah di Bumi.
Alam mengandung ayat-ayat Allah (kauniyah) sebagai tanda
bahwasanya alam merupakan kebesaran Tuhan Yang Maha Kuasa,
Menurut Islam pandangan terhadap alam semesta bukan hanya
berdasarkan akal semata. Alam semesta difungsikan untuk menggerakkan
emosi dan prasaan manusia terhadap keagungan al-Khaliq, kekerdilan
manusia di hadapan-Nya, dan pentingnya ketundukan kepada-Nya.
artinya, alam semesta dipandang sebagai dalil qath‟i yang menunjukkan
keesaan dan ketuhanan Allah.
a. Keteraturan Semesta adalah kekuasaan Allah
Allah adalah penata sunnah semesta yang dengan topangan
kekuasaan-Nya, Dia menjalankan dan mengatur semesta sebagaimana
ditegaskan dalam firman-Nya:
193
Dan Dia menahan [benda-benda] langit jatuh ke bumi, melainkan
denganizin-Nya…” (Q.S. al-Hajj: 65)
Manusia merupakan bagian dari alam semesta ini. Karenanya
dalam segala persoalan hidup dan matinya, manusia harus tunduk pada
ketentuan Allah, Penguasa tertinggi dan sunnah-sunnah ciptaan-Nya.
b. Alam Semesta Tunduk kepada Allah
Dari bahasan terdahulu, kita dapat menyimpulkan bahwa seluruh
semesta ini tunduk pada pengaturan, perintah, iradat dan kehendak Allah.
Allah menjelaskan hal itu dalam berbagai ayat:
Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya
bertasbih kepada Allah. Dan tidak ada satupun melainkan
bertasbih dengan memujinya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti
tasbih mereka. sesungguhnya Dia adalah Mahapenyantun lagi
Mahapengampun. (Q.S. al-Israa‟: 16-17)
Ketaatan dan ketundukan alam semesta membuktikan keagungan
dan kesucian Allah. Maka manusia yang berfikir dan berakal, lebih layak
lagi untuk mengakui nikmat dan karunia Allah, merasakan kebesaran-
Nya, atau memuji dan menyucikan-Nya dengan bertasbih. Inilah
pendidikan manusia yang paling mendasar.
c. Alam Semesta ditaklukkan untuk manusia.
Agama Islam adalah agama yang istimewa. Melalui pengarahan
bahwa manusia telah diberi kekuasaan oleh Allah untuk memanfaatkan
segala potensi alam semesta ini. Yang jelas, Allah telah menaklukkan
alam semesta bagi manusia, mulai dari yang pengaruhnya besar, seperti
matahari, hingga yang pengaruhnya kecil, seperti atom dan lebah. Firman
Allah:
194
Allah-lah yang telah menciptakan langit dan bumi dan
menurunkan air hujan dari langit, kemudian Dia mengeluarkan
dengan air hujan itu berbagai buah-buahan menjadi rezki
untukmu; dan Dia telah menundukkan bahtera bagimu supaya
bahtera itu, berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan Dia
telah menundukkan (pula) bagimu sungai-sungai. Dan Dia telah
menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang terus
menerus beredar (dalam orbitnya); dan telah menundukkan
bagimu malam dan siang. Dan Dia telah memberikan kepadamu
(keperluanmu) dan segala apa yang kamu mohonkan kepadanya.
dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu
menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan
sangat mengingkari (nikmat Allah). (Q.S. Ibrahim: 32-34)
Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk
kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-
Nya tujuh langit. dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu. (Q.S.
al-Baqarah: 29)
195
Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan
untukmu. dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan
perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami
(Nya), Dan Dia (menundukkan pula) apa yang Dia ciptakan untuk
kamu di bumi ini dengan berlain-lainan macamnya. Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kekuasaan
Allah) bagi kaum yang mengambil pelajaran. Dan Dia-lah, Allah
yang menundukkan lautan (untukmu), agar kamu dapat memakan
daripadanya daging yang segar (ikan), dan kamu mengeluarkan
dari lautan itu perhiasan yang kamu pakai; dan kamu melihat
bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari
(keuntungan) dari karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur. Dan
Dia menancapkan gunung-gunung di bumi supaya bumi itu tidak
goncang bersama kamu, (dan Dia menciptakan) sungai-sungai
dan jalan-jalan agar kamu mendapat petunjuk, dan (dia ciptakan)
tanda-tanda (penunjuk jalan). dan dengan bintang-bintang Itulah
mereka mendapat petunjuk. Maka Apakah (Allah) yang
menciptakan itu sama dengan yang tidak dapat menciptakan (apa-
apa) ?. Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran. Dan jika
kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat
menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S an-Nahl: 12-18)
196
Sebagaimana ayat di atas dapat juga dikatakan bahwa alam dapat
membawa manfaat bagi manusia, Allah telah menundukkan malam dan
siang, matahari dan bulan, bintang-bintang untuk manusia dengan
perintah-Nya. Hal tersebut sesungguhnya pada yang demikian itu benar-
benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah). Dan Allah jugalah
menundukkan lautan untuk umat manusia agar dapat memakan
daripadanya ikan, dan mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang dapat
dipakai manusia dalam berhias. Oleh karena itu sudah sepantasnya
manusia supaya dapat bersyukur.
Dan Allah menancapkan gunung-gunung di bumi supaya bumi itu
tidak bergoncang, lalu Allah menciptakan sungai-sungai dan jalan-jalan
agar manusia mendapat petunjuk, dan juga menciptakan tanda-tanda
penunjuk jalan dengan bintang-bintang. Setiap ayat yang diturunkan sejak
14 abad silam, menuturkan pemanfaatan sinar matahari, cahaya bulan,
tenaga angin, cahaya bintang, gunung-gunung, lautan, dan segala perkara
yang telah ditundukkan Allah bagi manusia dan Allah pun telah
memberikan kunci-kuncinya kepada manusia. Dan jika dilihat dari segi
pendidikan, al-Qur‟an telah mendidik manusia dalam pemanfaatan alam
semesta melalui cara yang tidak menyesatkan atau melampaui batas.
Dengan demikian pemanfaatan tersebut mengotori air sungai, tidak
berlebihan dalam memanfaatkan satwa lautan, serta tidak mendhalimi
saudaranya lewat permusuhan atau dusta.
Sebagaimana ayat-ayat Allah di atas terlihat jelas, bahwa alam di
tundukkan kepda manusia agar mereka dapat berpikir dengan akal
sehatnya, terdapat keagungan Allah. Oleh karena itu manusia harus dapat
memanfaatkan alam sebaik mungkin dan tidak boleh di ekploitasi untuk
kepentingan pribadi, agar alam senantiasa dapat terus membrikan
manfaatnya untuk kelangsungan hidup manusia. Jika tidak, maka alam
jugalah yang akan memberikan dampak yang tidak baik untuk manusia,
seperti pemanasan global yang sudah meresahkan masyarakat.
Ayat-ayat di atas dan juga ayat lain yang sejenis mendorong
manusia untuk melembutkan hati, memuji Allah, menyukuri nikmat
Allah, bertasbih kepada Allah, dan bertauhid kepada Allah, serta mampu
mendidik daya afeksi dan emosional manusia untuk tunduk kepada Allah.
Selain itu melalui ayat tersebut, akal manusia terdidik untuk terbiasa
dalam kondisi ilmiah. Artinya kita menggunakan prinsip praktis dan
penggunaan kaidah-kaidah ilmiah dalam mengolah potensi alam untuk
kesejahteraan manusia.
Ketika manusia melihat alam begitu mengagumkan, maka alam
pun disembah sebagaimana pada masyarakat Mesir kuno misalnya,
dengan sifat keprimitifannya, jika sungai Nil menjadi kering maka mereka
berupaya memberikan pengorbanan berupa wanita-wanita cantik untuk
197
diberikan kepada alam untuk dikorbankan, agar alam kembali
memberikan manfaat pada masyarakat Mesir kuno lewat sungai Nil
tersebut.
Jika melihat sisi Tauhid, sangat bertentangan sekali dengan Islam,
bahwasanya Islam tidak mengajarkan sebagaimana pada masyarakat
Mesir. Tetapi pada prinsipnya sama, bahwa alam dapat di manfaatkan
guna kelangsungan hidup orang banyak. Ilmu adalah hasil usaha manusia
dalam menentukan kebenaran, akan tetapi ilmu sifatnya tidak mutlak,
karena ia adalah hasil pemikiran manusia, oleh sebab itu ilmu dapat juga
salah. Jadi dapat disimpulkan bahwa ilmu mengandung kebenaran dan
juga kesalahan. Ilmu menggunakan bahan-bahan yang diciptakan oleh
Tuhan, agar manusia dapat menggunakannya dengan bijak untuk
memashlahatan umat manusia dimuka Bumi. Ilmu alat untuk bisa dekat
dengan Tuhan, untuk bisa berbuat baik pada manusia. Oleh karenanya
ilmu saling terkait antara, manusia, alam dan Tuhan.
Ilmu alam dalam bersifat empiris dan juga rasional, sebagai contoh
ilmu alam yang bersifat empiri: apabila ada tanaman yang ditanam, yang
ditanam dengan perawatan menggunakan pupuk dan air yang cukup, maka
tanaman tersebut akan tumbuh subur, dan akan menghasilkan buah yang
banyak hal tersebut dapat diterima oleh akal, lalu ada tanaman yang diberi
pupuk dengan yang tidak dapat diketahui perbedaannya sangat jelas. Oleh
karena itu paradigma keilmuan merupakan kacamata yang mempersepsi
alam berlandaskan Tauhid.
2. Al-Qur’an sebagai Sumber Ilmu Pengetahuan (Sains) Semua yang berasal dari Tuhan, termasuk pengetahuan (Sains)
karena Dia-lah Tuhan yang Maha Mengetahui Segala Sesuatu. Semua
persoalan ilmu pengetahuan yang telah mantap dan meyakinkan,
merupakan perwujudan atau manifestasi dari pemikiran yang sungguh-
sungguh dan mendalam yang dianjurkan oleh al-Qur‟an, tidak ada sedikit
pun yang bertentangan dengannya. Ilmu pengetahuan yang telah maju dan
telah banyak pula masalah-masalahnya yang muncul, meskipun demikian,
apa yang telah tetap dan mantap daripadanya tidaklah bertentangan sedikit
pun dengan salah satu dari ayat-ayat al-Qur‟an. Ini saja menurut al-Qattan
sudah merupakan kemukjizatan dari al-Qur‟an (al-Qatatan, t.t: 383).
Memang pada prinsipnya al-Qur‟an merupakan informasi ilmiah
yang banyak memperhatikan ilustrasi-ilustrasi tentang ilmu pengetahuan
dan teknologi, yang sedikit demi sedikit dan setahap demi setahap dapat
terungkap rahasianya melalui penelitian yang mendalam dan penyelidikan
yang serius, baik di laboratorium-laboratorium, di daratan, di lautan
maupun di angkasa raya. Padahal untul mengetahui bahwa al-Qur‟an
diturunkan di tengah-tengah masyarakat yang masih primitif yang
198
kebanyakan dari mereka buta huruf. Sehingga keberadaan ilmu
pengetahun pada waktu itu masih belum dapat menjamin terbongkarnya
informasi-informasi ilmiah yang dapat dijadikan sebagai fakta-fakta di
dalam mengungkapkan ilustrasi-ilustrasi ilmu pengetahuan yang
terkandung di dalam al-Qur‟an al-Karim (Charisma, 1991: 213). Dimana
al-Qur‟an hanya menyajikan garis besarnya saja, dan akal diperintah
untuk mencari perinciannya dengan memperhatikan rumus, isyarat atau
contoh-contoh yang ada, khususnya dalam hal ini mengenai sains (Azhim,
1989: 76). Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat al-„Ankabût ayat
43.
Al-Qur‟an sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, adalah
merupakan peletak dasar kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
(IPTEK). Dalam kaitan ini, Syamsul Arifin menyatakan bahwa al-Qur‟an
merupakan sumber ilmu pengetahuan yang utama, dan ia telah banyak
memberikan informasi, di samping sebagai petunjuk kepada manusia cara
memperoleh ilmu pengetahuan. Hal ini dapat dipahami secara lafzhi dari
beberapa ayat yang mengisyaratkan agar al-Qur‟an dijadikan sebagai
sumber ilmu. Ayat-ayat tersebut selalu memakai kata-kata seperti
ya‟qilûn, yudabbirûn, yatafakkarûn, dan lain sebagainya. Begitu pula
ketika al-Qur‟an mengisyaratkan untuk menjadikan alam semesta, diri
manusia maupun sejarah, dipakai kata-kata seperti yanzhuru, yafqahu,
yatadzakkaru, dan sebagainya. Di samping itu, cara memperoleh
pengetahuan al-Qur‟an juga dapat dipahami melalui konteks ayatnya.
Dalam kaitan ini Sayid Sabiq menjelaskan bahwa manusia pada
awal mula kelahirannya tidak tahu apa-apa, walaupun ia dibekali dengan
alat-alat persiapan yang memungkinkan dia tahu (QS. al-Nahl: 78). Alat-
alat tersebut adalah pendengaran, penglihatan dan akal; dimana dengana
alat-alat ini manusia dapat memperoleh pengetahuan, dapat mengamati
seluk beluk alam semesta, sehingga pada akhirnya ia mengetahui rahasia-
rahasia alam dan memanfaatkannya sesuai dengan perintah Allah, sebagai
rasa syukur atas pemberian-Nya yang begitu banyak. Oleh karena itu,
siapa saja yang tidak mendayagunakan alat-alat pemberian Allah Swt. itu,
berarti ia telah melepaskan diri dari sifat-sifat kemanusiaannya. Mereka
tidak berbeda dengan binatang, karena mereka tidak memiliki
pengetahuan sebagai benteng kepribadiannya, dan bahkan mereka lebih
sesat lagi (Sabiq, 1981: 71). Sebagaimana dalam surat al-A‟râf ayat 179.
Pengetahuan indera ini masih ada pengetahuan yang lebih tinggi
yaitu pengetahuan akal. Pengetahuan ini dapat dipahami dari term-term
yang ada dalam al-Qur‟an, yaitu: tafakkur (merenungkan), ta‟aqqul
(memikirkan), tafaqquh (memahami), dan tadzakkur (mengambil
pelajaran); dimana term-term ini diungkapkan dala bentuk kata kerja
(fi‟il). Hal ini menunjukkan bahwa term-term ini merupakan dasar
199
metodologi yang perlu dan bisa dikembangkan. Selain itu, pengetahuan
wahyu/ilham juga merupakan cara memperoleh pengetahuan atau
kebenaran. Pengetahuan ini merupakan pengetahuan yang langsung
diberikan oleh Allah Swt. kepada hamba-Nya yang dikehendaki, tanpa
adanya proses berpikir dan pengamatan empiris. Term-term yang
digunakan dalam pengetahuan ini adalah seperti „allamahu (Dia
mengajarinya) atau „allamanahu (Kami telah mengajarinya). Demikian
penjelasan Syamsul Arifin mengenai pengetahuan indera, akal dan wahyu
(Rakhmat, 1991: 207-210).
Al-Qur‟an (dalam kaitannya dengan akal manusia) mengarahkan
manusia untuk mempergunakan akal pikirannya dalam seluruh sikap,
gerak dan tindak. Ia menyuruh manusia untuk mempergunakan akal
pikirannya dalam mengamati dan meneliti alam semesta ini. Dimana alam
semesta ini merupakan laboratorium yang Allah ciptakan untuk manusia.
Al-Qur‟an juga mengajak untuk mengadakan perjalanan di dunia,
memikirkan peninggalan-peninggalan orang-orag atau umat terdahulu
serta meneliti keadaan bangsa-bangsa, kelompok-kelompok manusia,
kisah-kisah, sejarah dan pelajaran-pelajaran yang dapat diambil dari
mereka. Secara khusus, al-Qur‟an mengajak manusia untuk mempelajari
ilmu-ilmu kealaman, matematika, filsafat, sastra dan semua ilmu
pengetahuan yang dapat dicapai oleh pemikiran manusia. Al-Qur‟an
menganjurkan manusia untuk mempelajari ilmu-ilmu itu adalah semata-
mata untuk kesejahteraan dan kebahagiaan manusia itu sendiri, baik di
dunia maupun di akhirat. Dari sini, al-Qur‟an sebagai kitab yang
mendorong manusia untuk mempelajari berbagai ilmu, mengajarkan suatu
konsep yang utuh tentang ilmu ke-Tuhanan, prinsip-prinsip umum akhlak
dan hukum Islam.
Dalam hal ini, perlu dicatat dan diingat bahwa ilmu pengetahuan
(sains) dalam perspektif al-Qur‟an atau hakikat-hakikat ilmiah yang
disinggung al-Qur‟an sebagaimana yang dikemukakan oleh Quraish
Shihab, dikemukakan dalam redaksi yang singkat dan sarat makna,
sekaligus tidak terlepas dari ciri umum redaksinya yakni memuaskan
orang umum dan para pemikir. Orang umum (awam) memahami redaksi
tersebut ala kadarnya (sesuai kemampuannya), sedangkan para pemikir
melalui pemikiran, renungan dan analisis mendapatkan makna-makna
yang tidak terjangkau oleh orang umum itu ( Shihab, 1998: 166; al-
Ghazali, 1997: 174-193).
Lebih lanjut Achmad Baiquni menjelaskan bahwa untuk dapat
memahami ayat-ayat al-Qur‟an yang menyangkut alam semesta ini serta
proses alamiah yang terjadi di dalamnya, tidak lain harus dengan cara
meneliti alam, al-kaun itu sendiri dengan melakukan serangkaian
kegiatan. Dengan kegiatan dan penelitian itu, kita telah membaca ayat-
200
ayat Allah dan pada akhirnya akan dapat mengetahui dan memahami
rahasia-rahasia ayat-ayat Allah tersebut (Baiquni, 1996: 233-234).
Al-Qur‟an menuntut supaya manusia berpikir, merenung, melihat
dan bertanya diri, menarik dan menyimpulkan. Al-Qur‟an tidak hanya
membuka kesempatan untuk mengadakan penelitian saja, tetapi
memuaskan dan menarik naluri akal manusia, bahkan mendorong dan
mengharuskannya menjalankan fungsi serta tugas-tugasnya dengan
memperhatikan berbagai contoh yang telah dikemukakan dalam ayat-ayat
al-Qur‟an.
Posisi al-Qur‟an terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi itu juga
dapat dijelaskan dengan jalan mencari sumber ilmu dan sumber cara
mengembangkan ilmu menjadi teknologi. Al-Qur‟an sebagai sumber ilmu
memberikan benih-benih dasar yang paling esensi untuk dapat
dikembangkan oleh manusia menjadi ilmu dan teknologi yang tidak
terhingga ragamnya dan tidak terhingga arah pencapaiannya. Selain itu,
al-Qur‟an akan menjamin kebenaran ilmu yang bersumber darinya,
kebenaran arah pengembangannya, karena semuanya bersumber pada
sunnah Allah, dan jiwa ketaqwaan dan keimanan dari manusia sebagai
subyek yang melakukannya. Kisi-kisi batas kewenangan manusia untuk
menggapai ilmu juga telah ditetapkan di daam al-Qur‟an (al-Aqqad, 1986:
16).
Jelaslah bahwa al-Qur‟an demikian menghormati kedudukan ilmu
dengan penghormatan yang tidak ditemukan batasannya atau
bandingannya dengan kitab-kitab suci yang lain. Sebagai bukti, al-Qur‟an
mensifati masa Arab sebelum datangnya Islam dengan jahiliyah
(kebodohan). Al-Qur‟an memberikan kepada manusia kunci ilmu
pengetahuan (sains) tentang dunia dan akhirat serta menyediakan
peralatan untuk mencari dan meneliti segala sesuatu agar dapat
mengungkap dan mengetahui keajaiban dari kedua dunia itu. Al-Qur‟an
juga mendorong manusia mendapatkan sesuatu yang mungkin ia dapat di
dunia ini, kemudian memanfaatkannya untuk kesejahteraannya, baik
kesejahteraan dunia maupun akhirat. Dorongan-dorongan yang ada dalam
al-qur‟an bagi manusia untuk menggunakan akalnya, berpikir dan berpikir
tentang segala sesuatu yang ada di alam semesta ini, sekaligus merupakan
kemukjizatan al-Qur‟an ditinjau dari segi isyarat ilmiah.
Teknologi mengandung arti cara dan masukan yang dipergunakan
dalam usaha produksi. Kegiatan tafakur yang menghasilkan rumusan-
rumusan sains dimanfaatkan sepenuhnya oleh manusia untuk memenuhi
beberapa hajat kebutuhannya. Dengan berbekal pengetahuan tentang
watak tanaman, para petani berikhtiar mencari metode bercocok tanam
untuk mempertinggi produksi tanamannya.
201
Tabel. 4.4 : Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Peradaban Ilmiah
zaman Keemasan (The Golden Age) pada Masa Al-Mansur,
Harun Al-Rasyid, Al-Ma‟mun Dinasti Abbasiyah.
Bidang ilmu
pengetahuan
Perkembangan
Al-Mansur Harun al-
Rasyid
Al-Ma‟mun Tokoh Utama
Matematika Pertama
kali
dibawa
dari India
melalui
buku yang
berjudul
“Sind qwa
Hind
Dimanfaatkan
untuk hukum
syari‟at Islam
(zakat dan
waris)
Digunakan
untuk
perhitungan
waktu, busur
derajat,
bilangan Nol
(hitungan),
mengukur
ruang dsb.
Al-Khawarizmi
(780-850 M)
Kedokteran Kholifah
sering
mengunda
ng dokter
dari India,
Mesir,
Syiria,
untuk
menerjema
hkan buku
kedokteran
Yunani
-
Mengembangk
an ilmu
kesehatan, dan
pengobatan,
membangun
pendidikan
kedokteran
-
mengembangk
an ilmu
kesehatan
untuk
menyembuhka
n penyakit,
Hunain bin
Ishaq (809-873
M)
Filsafat Sudah ada
pada
zaman
mu‟awiyah
, tapi
belum
dikembang
kan.
Sebagai
integrasi
Penterjemahan
karya-karya
Yunani
Berkembang
kajian Filsafat,
yang berpikir
rasional,
sebagai induk
ilmu
pengetahua,
mazhab
mu‟tazilah
dasar Negara
Al-Kindi(804-
874 M)
202
antara
Islam dan
Kebudayaa
n klasik
Astronomi Sebagai
penentu
letak kiblat
atau
ka‟bah
Digunakan
untuk
meramal,
seperti garis
politik para
kholifah
Observatorium
sistem gerakan
benda-benda
angkasa dan
pengukuran
lingkaran bumi
Al-Khawarizmi,
(780-850 M)
Kimia -Penemuan
istilah buat
benda-
benda cair
dan padat
Sebagai ilmu
tentang benda
cair, padat dan
gas
-sebagai
pembeda
benda padat.
logam, asam
sulfur, dll
Jabir bin
Hayyan (731-
815 M)
Sejarah -sebagai
pencatat
sebuah
pristiwa di
istana
-sebagai
pencatat
sebuah
pristiwa
penting di
istana
Sebagai
penulisan
metodologi
secara ilmiah
berdasarkan
urutan dan
rincian
pristiwa secata
logis
Ibn Sa‟id
(w.845), Ibn
Hisyam (w.380
M)
Sastra Keindahan
dalam
berbicara
Seni dalam
berbicara
Seni dalam
berbicara
Al-Jahiz (776-
869 M)
Musik Menghibur
kholifah
Menghibur
kholifah,
perayaan
kerajaan
Menghibur
kholifah dan
tamu kerajaan
Ishaq al-Washili
(767-850 M)
Tafsir - - Pengkodifikasi
an tafsir secara
sistematis
As-Suda
(w.810 M)
Kalam
/Teologi
Penyelama
t dari
budaya
Helenestik
Sebagai
perkuat atau
lawan teologi
orang-orang
Kristen
-Aliran
Mu‟tazilah
sebagai
mazhab resmi
Negara
Berpikir
dengan
akal/rasio
Abu Huzail al-
„Alaf (w. 820
M)
203
Nahwu Penguasan
bahasa
Arab
Penguasaan
Bahasa Arab
Penguasaan
Bahasa Arab
dalam
membaca dan
mengaratikan
al-Qur‟an
Al-Fara (w. 845
M)
Fikih Menjawab
pelbagai
permaslala
han,
mengatasi
perbedaan
kondisi
sosial,
politik,
adat
istiadat,
tradisi
Menjawab
pelbagai
permaslalahan,
mengatasi
perbedaan
kondisi sosial,
politik, adat
istiadat, tradisi
Menjawab
pelbagai
permaslalahan,
mengatasi
perbedaan
kondisi sosial,
politik, adat
istiadat, tradisi
Syafi‟i, (w.320
M) Ahmad Ibn
Hanbali (w.885
M)
Tasawuf Penyucian
diri
Penyucian diri Penyucian diri Zunnun al-Misri
(w.869 M)
AR
BAITUL HIKMAH
ULAMA
TRADISI INTELEKTUAL
RIHLAH ILMIAH IJTIHAD
KUTTAB
RIBATH MAJELIS
MENULIS
MEMBACA ILMU
HALAQOH PENGETAHUAN HANQAH
PEMERINTAH ILMUAN
RUMAH ULAMA MASJID MENELITI
MUNAZARAH
INSTITUSI PENDIDIKAN ISLAM
PEND. MULTIKULTURAL
PERPUSTAKAAN MEWAKAFKAN BUKU
BELAJAR DENGAN GURU (SYEKH)
INTEGRASI ILMU AGAMA DAN UMUM
Gambar 4.5 :Pola Gerakan Intelektual Integratif zaman al-Ma’mun
PENTERJEMAHAN
167
BAB V
PENUTUP
Berdasarkan uraian dan analisa sebagaimana terdapat pada bab sebelumnya diatas dapat
ditarik kesimpulan dan beberapa saran yang perlu dikemukakan dalam penulisan tesis ini adalah
sebagai berikut:
A. Kesimpulan
1. Abbdullah Abbas al-Ma‟mun Ibn Harun al-Rasyid adalah seorang khalifah termasyhur
sepanjang sejarah Dinasti Abbasiyah. Selama 20 tahun masa kepemimpinannya mampu
meninggalkan warisan kemajuan intelektual Islam yang sangat berharga. Perhatian yang
besar, beliau tunjukkan pada pengembangan ilmu, karena cintanya yang demikian besar
terhadap ilmu pengetahuan. Tak heran jika langkah-langkah al-Ma‟mun untuk
mewujudkan kecintaan dan perhatian terhadap ilmu pengetahuan dapat berguna dalam
mewujudkan pemerintahan yang baik dikemudian hari karena mampu menguasai
berbagai aspek ilmu pengetahuan yang dapat menyeimbangkan segala aspek kehidupan.
Keberhasilannya menjaga stabilitas kerajaan memungkinnya untuk melaksanakan ambisi
besarnya untuk memajukan ilmu pengetahuan. Ia mendirikan Baitul Hikmah, lembaga
terjemah yang dilengkapi oleh perpustakaan yang besar dan observatorium.
2. Paradigma pengembangan ilmu pengetahuan (sains) dalam Islam merupakan pola
bangunan ilmu pengetahuan yang diibaratkan sebagai landasan kerangka berpikir
sehingga terbentuk sebuah model dakam suatu teori ilmu pengetahuan. Dalam pandangan
Islam, world picture yang terbentuk berdasarkan komitment para ilmuwan, semuanya
berpangkal dari sumber tungal, yakni pesan-pesan kitab suci al-Qur‟an. Pada dasarnya
ayat-ayat kauniyah mengandung dorongan kepada manusia untuk memperhatikan dan
memikirkan alam sekitar. Dengan memperhatikan gejala dan pristiwa alam ini manusia
sampai pada kesimpulan, bahwa kejadian-kejadian seperti itu tidaklah timbul begitu saja.
Semuanya itu mesti diciptakan dan digerakan oleh Allah Swt. Maha Pencipta dan
penggerak alam semesta. Berangkat pada prinsip-prinsip al-Qur‟an inilah pula paradigma
pengembangan ilmu pengetahuan (sains) dalam Islam disusun.
3. Langkah-langkah al-Ma‟mun dalam mengembangkan ilmu pengetahuan pada masa
pemerintahanya
a. Merupakan gerakan penerjemahan
b. Mengoptimalisasikan Institusi pendidikan Islam, serta Mengembangkan institusi
pendidikan.
c. Kehidupan tradisi intelektual pada masa al-Ma‟mun ditandai dengan integrasi
dimensi ilmiah dan rohaniah. Kemajuan intelektual didorong oleh kehidupan yang
tekun, kritis, kreatif, dan imajinatif. Tradisi ilmiah yang terjadi pada masa al-
Ma‟mun sampai sekarang masih ada yang berjalan terus. Walaupun dalam beberapa
hal sudah ada yang terputus. Model pembelajaran halaqah misalnya, masih dapat
ditemukan di pedesaan-pedesaan. Namun yang hilang adalah seorang guru tidak lagi
membuat diktat sendiri, lagi-lagi buku atau kitab yang diajarkan sebagai ilmu
khasnya. Semangat mencari ilmu sampai keluar negeri juga masih berjalan, namun
sekarang masih sangat terbatas bagi mereka beruntung lulus seleksi. Dengan
demikian, penelusuran hukum kemajuan yang diperoleh dari sejarah ini untuk
membangun kembali tradisi keilmuan perlu dilakukan secara sinergi antra ulama dan
ilmuan dan juga lingkungan hidup. Mengingat semakin luasnya bidang disiplin
203
204
keilmuan di masa sekarang ini, maka masih relevan model pembelajaran penguasaan
ilmu yang satu sebelum ilmu lainnya.
4. Hasil yang dicapai dalam mengembangkan ilmu pengetahuan:
a. Berdirinya Baitul Hikmah dan munculnya konsep dasar pendidikan multicultural di
instansi pendidikan Islam, (kuttab, halaqah, majelis dst). Konsep dasar pendidikan
multicultural telah dikenal sejak zaman al-Ma‟mun melalui institusi pendidikan
Islam, Kuttab, Halaqah, Ribath, Majelis, Rumah Ulama, Masjid, Zawiyah dan Baitul
Hikmah. Berkembangnya ilmu pengetahuan dan peradaban yang menjadi tonggak
puncak peradaban Islam pada zaman keemasan dalam Islam disebabkan karena
institusi pendidikan Islam yang telah menerapkan konsep pendidikan berbasis
multicultural. Adapun nilai-nilai kultural yang actual dikembangkan zaman al-
Ma‟mun adalah antara lain seperti: toleransi, keterbukaan, kesedrajatan, kebebasa,
keadilan, kemiskinan, keragaman, dan demikrasi. Selanjutnya dibalik pesatnya
peradaban ada sederet tokoh-tokoh pendidik yang memiliki world view berbasis
kultural, antara lain: al-Ma‟mun, al-Kindi, al-Khawarizmi, Imam Syafi‟i, Hunayin bin
Ishaq, Imam Ahmad bin Hanbal, Jabir bin Hayyan, al-Jahiz dll.
b. Seiringnya berdirinya Baitul Hikmah mulai banyak bermunculan berbagai cabang
ilmu pengetahuan yang penting untuk dikembangkan dan juga dipelajari seperti
pertumbuhan ilmu-ilmu agama (IlmuTafsir, Ilmu Hadis, Ilmu Fiqih, Ilmu Kalam,
Ilmu Tasawuf, Ilmu Akhlak) dan ilmu-ilmu umum (Ilmu Filsafat, Ilmu Kedokteran,
Ilmu Astronomi, Ilmu Matematika, Humaniora, dan Geografi).
c. Munculnya tokoh-tokoh penting dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan
memajukan peradaban dunia Islam yang sezaman dengan al-Ma‟mun. Seperti dalam
bidang Agama; Imam Syafi‟i, Imam Hanbali, Muhammad ibn Sa‟ad, Abu Huzail al-
„Alaf, Imam Bukhori) dan bidang umum; Jabir bin Hayyan, Muhammad ibn „Umar
al-Waqidi, Ibn Sa‟ad, al-Khawarizmi, al-Jahiz, Hunayn bin Ishaq).
d. Munculnya tradisi intelektual zaman al-Ma‟mun, secara historis umat Islam adalah
pelopor kebangkitan ilmu pengatahuan, kebudayaan, dan juga peradaban. Umat
Islamlah yang merintis dan bertindak sebagai pioner yang mengembangkan ilmu
pengetahuan agama dan juga umum secara komperhensif sebagaimana pada zaman
Kholifah al-Ma‟mun, yang telah mengembalikan situasi politik, ekonomi, sosial dan
lain sebagainya sehingga menjadi stabil, hal tersebut sampai saat ini tidak bisa
terpisahkan oleh sejarah dan masih banyak ditemui diberbagai perpustakaan di
belahan dunia. Terjadinya kondisi semacam ini, antar lain disebabkan karena pada
zaman al-Ma‟mun telah mengembangkan, menghidupkan lahirnya tradisi intelektual
yang amat beragam, yaitu: rihlah ilmiah, meneliti, membaca, menulis, munazarah,
membangun perpustakaan, membangun institusi pendidikan Islam, mewakafkan buku
dan belajar langsung dengan syekh atau guru.
e. Pengembangan Ilmu dan Pengaruhnya terhadap Sistem Kemajuan Masyarakat Islam,
secara sosio kultural, munculnya tradisi intelektual tersebut terkait dengan tradisi
menghargai dan menghormati para ulama dan ilmuwan. Sebagaimana al-Ma‟mun
menghargai dan menghormati kebebasan berpikir dan mengeksplorasi ilmu
pengetahuan yang di kembangkan oleh ulama dan ilmuwan secara beriringan satu
sama lain (integrated), serta adanya kebijakan pemerintah terhadap pengembangan
ilmu, baik dari sektor ekonomi, keamanan, kenyamanan, sosial, politik dan lain
sebagainya. Pada zaman al-Ma‟mun tidak ada disintegrasi atau paham dikotomis
205
terhadap pemisahan ilmu agama dan ilmu umum, semuanaya terkendali dengan baik.
Akan tetapi munculnya paham dikotomis terjadi pada pemerintahan Kholifah al-
Mutawakil yang cenderung kepada Asy‟ariyah dan meninggalkan paham Mutazilah
serta ilmu-ilmu umum. Ilmu pengatahuan berkembang begitu pesat berikut
kebudayaan Islam juga. Para ulama dan ilmuwan seolah-olah berlomba untuk
menimba ilmu pengatahuan dan melakukan penelitian untuk menghasilkan
penemuan-penemuan baru, misalnya Ibn Sina adalah seorang Filsuf, ia juga ahli
Tasawuf dan juga ahli kedokteran.
5. Paradigma pengembangan sains pada zaman al-Ma‟mun adalah pengembangan
integrated yang berbasis pada tauhid yang melihat ilmu dari :
a. Aspek ontologis yang dibahasnya alam jagat raya, maka para ahli akan menemukan
berbagai teori yang disusun menjadi ilmu pengetahuan alam atau yang lebih dikenal
dengan sains, seperti langit, bumi, serta segala isi yang ada di antara keduannya,
yakni matahari, bulan bintang, tumbuhan-tumbuhan, bintang, api, udara dsb dengan
menggunakan metode penelitian eksperimen di laboratorium pengukuran,
pertimbangan dsb., maka ilmu yang dihasilkan adalah Ilmu alam (Natural Sciencis)
seperti biologi, fisika, kimia, astronomi. Dengan memperhatikan ayat-ayat al-Qur‟an
dan penjelasannya, dapat diketahui bahwa alam jagat merupakan sumber ilmu
pengetahuan, khususnya ilmu pengetahuan alam (sains) ternyata merupakan tanda-
tanda kekuasaan Allah Swt.
b. Aspek epistemologis yaitu untuk mendapatkan ilmu alam yang berdasakanr pada
alam jagat raya harus menggunakan metode ijbari, yakni observasi dan eksperimen
yang dilakukan di laboratorium, maksudnya mengadakan percobaan atau eksperimen
di laboratorium berkenaan dengan benda-benda alam, baik yang padat, cair atau gas,
binatang atau manusia secara fisik. Teori yang sudah ada dipadukan dengan cara
teknik pembuktiannya, maka melalui penelitian dan percobaan serta penerapan teori
ini, maka lahirlah teknologi.
c. Aspek aksiologis yaitu untuk mensyukuri ilmu pengetahuan yang diberikan oleh
Allah Swt itu dengan cara menggunakannya untuk tujuan-tujuan yang mulia. Dengan
kerangka berfikir aksiologi keilmuan yang demikian itu, maka Islam menganjurkan
dan mendorong agar ummat manusia mengembangkan ilmu pengetahuan apa saja,
sehingga ia menjadi ahli agama, ahli ekonomi, ahli politik, ahli pendidikan, ahli,
biologi, ahli, fisika, ahli kedokteran dan sebagainya, dengan ketentuan ilmu-ilmu
tersebut diabadikan dalam rangka beribadah kepada Allah melalui pemanfaatannya
untuk tujuan-tujuan kemanusiaan, peningkatan harkat dan martabat manusia,
menciptakan kesejahteraan sosial, pengembangan ilmu pengetahuan terutama dalam
sains serta pembinaan akhlak yang mulia yang merupakan satu kesatuan dari Allah.
dan dengan Model pengembangan ilmu di zaman al-Ma‟mun terpusatkan pada ilmu-
ilmu alam (sains).
d. Integrasi ilmu pada zaman al-Ma‟mun adalam masa keemasan dalam hal ilmu
pengetahuan (ilmu-ilmu aqli) yang masih menyatukan ilmu agama dengan ilmu
umum yang berlandaskan pada aspek tauhid. Hal tersebut menandakan tidak ada
dikotomis terhadap ilmu, dengan pola gerakan yang Integrated pada pada zaman al-
Ma‟mun menciptakan suasan ilmiah, dimana para ilmuwan esiklopedik yaitu (ilmuan
yang dapat menguasai lebih dari satu disiplin ilmu) atau dapat menguasai berbagai
cabang ilmu pengetahuan.
206
B. Saran 1. Konteksualisasi pengembangan pada zaman al Ma‟mun merupakan Pengembangan Ilmu
pengetahuan yang maju pada zaman klasik dan pertengahan. Dimana peradaban saat ini
terlihat belum mengimbangi daripada kemajuan ilmu pengetahuan dan pengembangan.
Ilmu di zaman al Ma‟mun lebih maju dibandingkan dengan masa sekarang adalah di
masa al-Ma‟mun pengembangan ilmu masih berbasis pada Tauhid dan atau integrasi
keilmuan masih kental dengan nilai-nilai Keislaman, dibandingkan dengan masa sekarang
dimana ilmu masih belum tercerahkan dari sekularisasi ilmu pengetahuan.
2. Kemajuan peradaban ilmu pengetahuan di zaman al-Ma‟mun, adalah zaman keemasan
(The Golden Age) akan pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan (ilmu aqli)
oleh karenanya budaya ilmiah saat ini harus bisa lebih maju dibandingkan pengembangan
ilmu pada zaman al-Ma‟mun, dengan semangat menuntut ilmu dan terus
mengembangkannya, lalu meregenerasikannya adalah hal yang mesti lakukan bagi setiap
umat Muslim di dunia.
3. Bagi setiap Muslim diajnurkan untuk bisa memahami dan mensosialisasikan secara
intensif dan simultan tentang hal mendasar dan utama dalam konsep keilmuan yang dapat
membawa kemajuan umat Islam, yaitu pandangan bahwa ilmu itu sumbernya dari ayat-
ayat qauliyah dan kauniyah Allah, yang baik dan manfaatnya untuk kepentingan umat
manusia.
4. Bagi IlmuWan dan ulama atau tokoh-tokoh Islam hendaknya mengkampanyekan secara
sistemik, simultan dan kontinyu tentang pentingnya pengembangan ilmu pengetahuan
(sains) di kalangan umat Islam. Agar dapat memberikan sentuhan warna kehidupan yang
lebih baik dari masa sebelumnya.
5. Ilmuwan dan ulama atau tokoh-tokoh Islam harus memelopori penyusunan dan
penjelasan “integrasi ilmu”. Agar sama-sama dapat memecahkan pebagai permasalahan
dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
6. Zaman yang maju adalah zaman dimana ada dukungan dan perhatian penuh dari
pemerintahan (ulil amri), baik dari segi politik, ekonomi atau bahkan sosial. Setiap
muslim harus belajar akan sejarah kepemimpinan dan pemerintahan al-Ma‟mun dalam
membangun peradaban intelektual yang tinggi, agar tatanan eksplorasi ilmu pengetahuan
dan teknologi dapat terus dikembangkan oleh umat Islam.
7. Bagi pemerintah dan penyelengara institusi pendidikan, terutama pemerintah di
Indonesia, dengan jumlah penduduk Muslim terbesar, sebaiknya membuat sebuah sistem
pendidikan Islam yang integrated dan professional, dengan meibatkan seluruh komponen
yang terlibat, sehingga tercipta geberasi Muslim yang berkualitas tinggi dalam iman dan
takwa (imtak) dan professional dalam iptek.
211
Daftar Pustaka
Abid Al Jabiri, Muhammed. (2003.). Kritik Pemikiran Islam :
Wacana Baru Filsafat Islam. Cet. I.Yogyakarta: Fajar
Pustaka Baru.
Abdullah, Sulaiman. (2001). Dinamika Qiyas dalam Pembaharuan
Hukum Islam, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya.
Abdurrahman,Dudung. (2003).Sejarah Peradaban Islam dari Masa
Klasik Hingga Modern. Cet. II .Yogyakarta: LESFI.
Abdurrahman,Dudung. (1999). Metode Penelitian Sejarah. Cet. II.
Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Abdurrahman,M. (2002). Ilmu Hadits Sebagai Sumber Pemikiran,
dalam Taufik Abdullah.dkk (ed), Ensiklopedi Tematis Dunia
Islam: Pemikiran dan Peradaban. Jilid IV. Jakarta: PT. Ichtiar
Baru Van Hoeve.
Abu Zahrah,Muhammad. (1948). As-Syafi‟I Hayatuh wa‟ Ashuru
Arnuh wa Fiqih, edisi II. Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi.
________.(1996). Aliran Politik dan „Aqidah dalam Islam.Cet. I.
Jakarta: Logos.
„Ady Baihaqi Thabrani, Ibn. dan Khatib . Al Sayyid Ahmad al-
Hasyimy Bek, (1948). Mukhtar al-Hadis an-Nabawiyah wal
Hikam al Muhammadiyah, Cet. III. Surabaya: al Hidayah.
Adian,Donny Gahral. (2002). Menyoal Objektivisme Ilmu
Pengetahuan. Jakarta: Teraju.
Ahmad,Jamil. (2003). Seratus Muslim Terkemuka. Bandung: Pustaka
Firdaus.
Ahmed,Munirrudin. (1968). Islam Education and Scholar‟s Social
Status upto te 5th
Century Muslim Era 11th Century Christian Era)
in the Light of Tarikh Bagdad, Verlag: Der Islam Zurich.
Ahmed,Shaber, dkk., (1997). Islam dan Ilmu pengetahuan, penterj,:
Zetira Nadia Rahma, Bangil, Islamic Cultural Workshop.
Al-Abrasy, Muhammad Athiyah. (1975). Al-Tarbiyah al-
Islamiyah.Kairo: Maktabah Isa al-Babi al-Halabi.
Al-Asqalani,Ibn Hajar. Hady al-Sari. Riasah Idarat al-Buhuts al-
„Ilmiyah wa al-Ifta wa al-Da‟wah wa al-Irsyad. Ritadh,t.t.
Al-Atas, Sayed Muhammad Naquib. (1991). The Concept of
Education in Islam. Kuala Lumpur: International Islamic
Thought and Civilization.
212
_______. (1978). Islam and Scularism. Kuala Lumpur: Muslim Youth
Movement of Malaysia.
_______. (1995). .Islam dan Filsafat Sains. Terj. Saiful Muzzani.
Bandung: Mizan.
Ali,R.Moh. (2005). Pengantar Ilmu Sejarah Indonesia. Cet. I
.Yogyakarta: LKIS.
Ali,Abd. Hasa.(t.t.).al-Tarbiyah al-Islamiyah fi al-Qarn al-Rabi‟ al-
Hijryi.TT: Dar al-Fikr, al-Arabiy.
Ali, Syed Amir. (1967). Api Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Al-Albani,Syaikh. dalam kitab “Shahih wa Da‟if al-Jami‟ al-
Shaghir.”No. 7360.Maktabah al-Syamilah.
Al-Faruqi,Ismail Raji. (1984). Islamisasi Pengetahuan.terj. Oleh
Anas Mahyuddin dari Islamization of Knowledge. Bandung:
Pustaka.
Al-Fairuzabadi, Abi Thahir Muhammad ibn Ya‟qub. (t.t.). Tanwir al-
Maqbas Min Tafsir Ibn „Abbas. Indonesia: Dar Ihya‟ al-Kutub
al-„Arabiyyah.
Al-Kurdi,Abdul Hamid Rajih. (t.t.). Nazariah al-Marifah bain al-
Qur‟an wa al-Falsafah. Riyadh: Maktab Muayyad wa al-
Ma‟had al-„Ali li al-Islami, al-Mamlakah al-„Arabiyyah al-
Su‟udiyyah.
Al-Khatib,Muhammad Ajjaj.(1989. Ushul al-Hadits. Beirut: Dar al-
Fikr..
Al-Ghazali.Ihya‟ „Ulum al-Din. Jilid I. Semarang: Maktabah wa
Mathba‟ah Toha Putera, tt.
al-Qardlawi, Yusuf. (2001). Umat Islam Menyongsong Abad Ke-21,
terj.Yogi Prana Izza dan Ahsan Taqwim. Solo: Era
Intermedia,
_______. (1995). Jawahirul Qur‟an: Permata Ayat-ayat Suci.terj.
Muhammad Luqman Hakim. Cet.III. Surabaya: Risalah Gusti.
Al-Gurabi,Ali Mustafa. (1959). Tarikh al-Firaq al-Islamiyah. Kairo:
Mathba‟ah Ali Shahih.
Al-Ahwani,Ahmad Fuad. (1985). Al-Kindi Failusuf al-Arab.
Mesir:al-Matbaah al Hai‟at al-Misriyah.
Al-Mursyi,Ahmad Munir. (1986). .al-Tarbiyah al-Islamiyah, ushulu
wa Tathawwuruhu. Kairo: Maktabah Dar al-A‟lam.
Al Mas‟udi, Muruj, Jilid IV.
213
Al Munawar,Said Aqil Husin. (2002). Al-Qur‟an Membangun
Tradisi Kesalehan Hakiki, (ed). Abdul Halim. Cet.I.Jakarta:
Ciputat Press.
Al-Suyuti.(1968). Tarikh Al-Khulafa. Kairo: Al-Halaby.
Al-Usairy.(2003). Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga
Abad XX.Cet. II. Jakarta: Akbar.
Al-Zarnuji, Burhan ad-Din, Ta‟lim al-Muta‟alim Tariq al-Ta‟allum.
Indonesia: Dar Ihya al Kutub al-„Arabiyah,t.t.
Amin,Ahmad. (1965). Fajar al-Islam. Kairo: Maktabah al-Nahdah.
_______.(1972).Dhuhah al-Islam. Jilid I. Kairo: Maktabah al-
Nahdah..
Amin,Husayn Ahmad. (1995).Seratus Tokoh Dalam Sejarah
Islam.Cet.II. Peterj.: Bahruddin Fannani. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Amstrong,Karen. (2009). Sejarah Tuhan: Kisah Pencarian Tuhan
yang dilakukan oleh Orang-orang Yahudi, Kristen dan Islam
selama 4000 tahun. Cet.III. Bandung: Mizan Pustaka.
Ansary, Tamim. (2010). Dari Puncak Baghdad Sejarah Dunia Versi
Islam. Jakarta: Zaman.
Anshari, Endang Saifuddin. (1987). Ilmu, Filsafat dan Agama.
Surabaya: Bina Ilmu.
„Arabi, Ibnu. „Aridat al-Ahwadhi. JuzX.
_______. (2005). Reformulasi Pendidikan Islam. Cet.I.Jakarta:
CRSD.
Arifin,M. (1993). Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum,.
Jakarta: Bumi Aksara.
Asari, Hasan.(1994.). Menyingkap Zaman Keemasan Islam.Bandung:
Mizan.
Asar. (1994). Pendidikan Tinggi Islam, (Jakarta: Bulan Bintang.
As-Sirjani,Raghib. (2011). Sumbangan Peradaban Islam pada
Dunia. Cet.I Jakarta: Pustaka Al-Kautsarm.
Asnawi,Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum (Studi Komparasi
Pola Pembelajaran antara Pesantren Tradisional Plus dan
Pesantren Modern), Tesis pada Sekolah Pascasarjana UIN
Jakarta: 2010, tidak dipublikasikan.
Asrorah,Harun. (1999). Sejarah Pendidikan Islam.Cet. I . Jakarta:
Logos.
214
Ash Shiddieqy,Tengku Muhammad Hasbi. (2000). Sejarah dan
Pengantar Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir.Semarang: Pustaka
Rizki Putra.
AS,Asmaran. (1996), Pengantar Studi Tasawuf. Jakarta: Rajawali
Press.
Atsir,Ibn. Al-Kamilfii Tarikh. Juz VI. Beirut: Darul Ma‟arif.
At-Thabari.(1968). Tafsir At-Thabari.Kairo: El Habaly.
Azra,Azumardi. (1998).Esei-esei, Intelektual Muslim dan Pendidikan
Islam. Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu.
_______. (1999). dalam “ Hijaz Antara Sejarah Politik dan Sejarah
Sosial” Kata Pengantar dalam Badri Yatim. Sejarah Sosial
Tanah Suci 1800-1925. Jakarta: Logos.
_______. (1994). Pendidikan Tinggi Islam dan Kemajuan Sains.
dalam Charles Michael Stanton. Pendidikan Tinggi dalam Islam.
Jakarta: Logos.
_______. (2002). Paradigma Baru Pendidikan Nasional:
rekonstruksi dan Demokratisasi. Cet. I. Jakarta: Buku Kompas,
Audi,Robert (Ed), Berent Enc, (1995) “Paradigm”, dalam The
Cambridge Dictionary of Philosophy. Cambridge:
University Press.
Aziz,Abdul. (2012). Nilai-Nilai Pendidikan Islam. http :
//www.pdf.finder.com.
Bacharudin Jusuf Habibie. (2006). “Beberapa catatan Mengenai
Ilmu Pengetahuan, Teknologi, Budaya, dan Peradaban”,
Makalah disampaikan pada Rapat Senat Terbuka Luar Biasa
dalam Rangka Penganugrahan Doktor Honoris Causa dalam
Teknologi dan Peradaban di Universitas Hasanuddin, Makasar
pada tanggal 9 September.
Baboar,Ian. (1997). Menemukan Tuhan Melalui sains.Cet. I. Jakarta:
Gramedia.
Baharuddin, dkk. (2011). Dikotomi Pendidikan Islam.Cet.I. Bandung:
Rosda Karya.
Baiquni,Achmad. (1996).Al-Qur‟an dan Ilmu Pengetahuan
Kealamaman. Yogyakarta: PT. Dana Bakhti Prima Yasa.
_______. (1983). Islam dan Ilmu Pengetahuan Modrn. Jakarta:
Pustaka.
Bakar,Osman. (1988). Hierarki Ilmu: Membangun Rangka Pikir
Islamisasi Ilmu. Bandung: Mizan.
215
Bastaman,Hanah Djumhana (2003). Intergrasi Psikologi dengan
Islam: Menuju Psikologi Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Bidin, Masri Elmashar, dkk. (2003). Integrasi Ilmu Agama dan
Umum. Jakarta: UIN Jakarta Press.
Bek, Al-Sayyid Ahmad al-Hasyimiy. (1948).Mukhtar al-Ahadits al-
Nabawiyah wa al-Hikam al-Muhammadiya. Cet. III . Surabaya:
al-Hidayah.
Bryman,A. (1988). Quantity and Quality in Social Recearch.
London: UnwinHyman.
Brannen,Junia. (1997). Memandu Metode Penelitian Kualitatif dan
Kuantitatif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Bukhsh,Khuda. ((1927). The Education System of the Muslim in the
Moddle Age”, Islamic Culture,I
Burn,Edwar McNall.(1964).World Civilization, Their History and
Culture.New York: WWNorton.
Burns,Edward Mc Nall dan Philip Lee Ralp. (1963). Civilization from
Ancient to Contemporary. Vol. I. Newyork: W.W Norton and
Company, Inc.
Charisma,M. Chariq. (1991). Tiga Aspek Kemukjizatan Al-
Qur‟an.Surabaya: PT. Bina Ilmu.
Chejen,A.G. (1982).Ibn Hazm. Chicago: Kazi Publication INC.
Cholil,Moenawar. (1969). Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad
Saw. Jakarta: Bulan Bintang.
_______. (2000) Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab. Jakarta:
Bulan Bintang
Clot,Andre (1989). Harun Al-Rasyid and The World of The Thousand
and One Nights, London: Saqi Books.
Echols,John M. dan Hassan Shadily. (2000).Kamus Inggris-
Indonesia: An English- Indonesian Dictionary. , Cet. Ke-24.
Jakarta: Gramedia.
Daftari, Farhad. (2001).Tradisi-tradisi Intelektual Islam. (terj.) Fuad
Jabali dan Ujang Thalib, dari judul asli, Intellectual Tradition
in Islam.Cet.I. Jakarta: Erlanga.
Dawson, Christhoper. (1962).The Making of Europe.Vol. II. Meridian
books,
Jhon Mc Neill.The Rise of the West.tt.p, Mentor Books.
Degun,Save M. (1997). Kamus Besar Ilmu Pengetahuan. Cet.I.
Jakarta: LPKN.
216
Departemen Agama Republik Indonesia.(2005) Al-Qur‟an dan
Terjamahnya. Bandung: Syaamil Cipta Media.
Djakfar, Muhammad. (2002)..Islamisasi Pengembangan dari Tataran
Ide ke Praktis, dalam buku Quo Vadis Pendidikan Islam. (ed.).
Mudjia Rahardjo. Malang: Cendikia Paramulya.
El-Nagger, Zaghloul.( 2010). Selekta dari Tafsir-Tafsir Ayat-ayat
Kosmos dalam Al-Qur‟an. Cet.I. Jakarta: Shorouk International
Bookshop.
Engineer,Ashghar Ali. (2003). Pembebasan Perempuan, Penterj.:
Agus Nuryanto. Yogyakarta: LkiS.
Ensiklopedi Al-Qur‟an. (1997). Jilid I.Jakarta: Yayasan Bimantara.
Fadjar,A. Malik. (1999). Reorientasi Pendidikan Islam, Jakarta:
Yayasan Pendidikan Islam Fajar Dunia.
_______. (2010). Telaah tentang Model Perguruan Tinggi Ilsam,
dalam Laode M.Kamaluddin (ed), On Islamic Civilization. Cet.I.
Jakarta: Unissula dan Republikata.
Farrukh,Umar.(1989). ‟Abqariyat al-„Arab fi al „Ilmi wa al-Falsafah.
Beirut :al Maktabah al-„Ashriyah.
Fathudin,Usep. (2000).Perlukah Islamisasi Ilmu?. dalam Moeflich
Hasbullah, Gagasan dan perdebatan Islamisasi Ilmu
Pengetahuan. Cet. I. Jakarta: Cidesindo, LSAF, Iris.
Gaudah,Muhammad Gharib. (2007). 147 Ilmuwan Terkemuka dalam
Sejarah Islam, terj. Muhyiddin Mas Rida (ed). Cet.I .Jakarta: Al-
Kautsar.
Hakim,Taufiqul. (2004). Kamus At-Taqwa: Arab, Jawa, Indonesia:
Kamus santri. Bangsar:Amsilati.
Halim ibn Taimiyah, Taqiy al-Din Ahmad ibn „Abd al-. (t.t.).
Majmu‟Fatwa Syaikh al-Islam Ahmad ibn Taimiyah.Beirut: Dar
Fikr.
Halim,Sudarnoto Abdul. “Renaisains Universitas Islam Negri”,
Jurnal Alumni UIN Bijak: Tanggung Jawab Kaum Terpelajar,
edisi I, Juli 2012.
Hanafi,Ahmad. (1996). Pengantar Filsafat Islam. Cet.III. Jakarta:
Bulan Bintang.
Hanafi, Ahmad. (1986). Theology Islam, (Ilmu Kalam). Cet.VI,.
Jakarta: Bulan Bintang.
Handrianto,Budi. (2010). Islamisasi Sains: Sebuah Upaya
Mengiislamkan Sains Barat Modern. Cet.I. Jakarta: Al-Kautsar.
217
Hart,Michael. (1982). Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh
dalam Sejarah, Terj. Mahbub Djunaidi. Jakarta: PT. Dunia
Pustaka Jaya.
Hasan,Masuduh. (1992). History of Islam: Clasical Priod 571-1258
C.E. Cet.I. Delhi: Adam Publisher.
Hamka, Tafsir al-Azhar. (1988). Jilid XXX. Cet. I. Jakarta: Pustaka
Panjimas.
Hamka, (1978). Sejarah Umat Islam.Jakarta: Bumi Bintang.
Hamur,Ahmad Ibrahim. (1997). al-Daulat Abbasiyah al-Ashr al-
Abbas al-Awwal,Ashr al-Quwwah, wa al-nufudz wa al-amal.
Mesir: Dar al-Thaba‟ah aal-Muhammadiyah.
Hitti,Philip K. (1974). History of the Arab. London: Macmillan Press
Ltd.
_______. t.t. Dunia Arab Sejarah Ringkas. Cet.VII. Bandung: Sumur
Bandung.
Heriyanto,Husain. (2011). Menggali Nalar Saintifik Peradaba Islam.
Cet.I. Jakarta: Mizan.
Hoesen,Oemar Amin. (1975.). Kultur Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
http://www-groups.dcs.st nd.ac.uk/~history/Mathematicians/Galileo.
html. 2013.
Ikhrom. (2001). Dikhotomi Sistem Pendidikan Islam; Upaya
Mengkap Sebab- sebab dan Penyelesaiannya, dalam buku
Pradigma Pendidikan Islam (ed.) Ismail SM., et.al.
Yogyakarta: Pustaka Pelehar.
Izzuddin,Didin. (2001). Mihnah dan Politisasi Teologi: Studi Sejarah
dan Politik. Tesis program Magister UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Jalaluddin. (2013). Filsafat Ilmu Pengetahuan: Filsafat, Ilmu
Pengetahuan, dan Peradaban, Cet.II . Jakarta: RajaGrafindo
Persada.
J. Robson, Al-Bukhari. (1960). Muhammad bin Islamil, dalam
Encyclopedia of Islam, I, Leiden.
Jalaludin, Abdulah Idi, (1997), Filsafat Penddikan: Manusia,
Filsafat dan Pendidikan, Cet.II. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Kamal,Zainul. “Krisis Pemikiran dan Epistemologi Islam”.Makalah
disampaikan pada Seminar Nasional Prog. Magister Fak.
Ushuluddin, UIN Jakarta, Jakarta, 1 November 2013.
Kartanegara,Mulyadi. (2003). Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar
Epistemologi Islam. Bandung: Mizan.
218
_______. (2005). Integrasi Ilmu Sebuah Rekonstruksi Holistik.Cet. I.
Jakarta: UIN Jakarta Pres.
_______. (2003), Integrasi Ilmu dalam Persepektif Islam. Cet.I.
Jakata: UIN Jakarta Press.
Khaldun,Ibn. (2001). Mukaddimah Ibnu Khaldun, Beirut: Dar al-
Kitab Al-„Arabi.
Khalifah,Haji. Kasyf al-Dhunun „an Asami al-Kutub wa al-
Mutun.Beirut: Dar al-„Uluum al-Hadits, t.t.
Khalikan,Ibn. Wafiyat Al-A‟yan wa Anba Al-Zaman.Juz 1. Kairo:
Darl Fikr
Kartodirjo,Sartono. (1993). Pendekatan Ilmu Sosial dalam
Metodologi Sejarah.Jakarta: Gramedia.
Kuntowijiyo, (1994) .Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara
Wacana.
_______. (2004). Islam Sebagai Ilmu, Epistemologi, Metodologi dan
Etika, Jakarta: Teraju.
_______. (1991). Paradigma Islam: Interaksi untuk Aksi. Bandung:
Mizan,
Langgulung,Hasan. (1979). Falsafah at-Tarbiyah al-Islamiyah. Cet.I,
Jakarta: Bulan Bintang.
Lapidus, Ira.M. (2000.) Sejarah Sosial Ummat Islam. Cet.II. Jakarta:
PT. RajaGrafindo Persada.
Latifudin, (2008) “Paradigma Pendidikan Multikultural dalam
Pendidikan Islam,” Tesis pada Pascasarjana UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.tidak dipublikasikan
Lewis,Bernard, et.al (eds). The Encyclopedia of Islam.Vol. 5. Leiden:
E.J.Brill,tt, New Edition.
Mochtar, Affandi. dkk., (2008). Paradigma Baru Pendidikan Islam.
Jakarta: PIC UIN Jakarta.
M.Fa‟al,Fahsin. (2008). Sejarah Kekuasaan Islam. Cet.I. Jakarta:
CV.Artha Rivera.
Makdisi,George. (1981).The Rise of Colleges. Edinburgh: Edinburgh
University press.
Madjid,Nurcholish. (2000).Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah
Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan
Kemodernan. Jakarta: Paramadina.
_______. (1997).Asbabun Nuzul: Sejarah Turunnya Ayat-Ayat Al-
Qur‟an. Surabaya: Pustaka Anda.
219
_______. (ed).(1984). Nurcholis Majid (ed), Khazanah Intelektual
Islam, Jakarta: Bulan Bintang.
Mahmudunnasir. (1991). Islam: Konsepsinya dan Sejarahnya. Cet. I,
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Majah,Sunan Ibn, (1995). dari kitab “Al-Muqaddimah bab fadhl al
„ulama‟ wa al-hatsts„ala talab al-„ilmi, no.224 (Abu „Abdullah
Muhammad ibn Yazid al-Qazwini, Sunan Ibnu Majah.,Jilid I.
Beirut: Dar al-Fikr.
Mandzur,Ibnu. (t.t ). Lisan al „Arab.Cairo: Daarul Ma‟arif.
Marwan,Fuad. (1999). Perjalanan Spiritual Empat Imam Mazhab.
Jakarta: Kalam Mulia.
Masood,Esan. (2009). Ilmuan-Ilmuan Muslim Pelopor di Bidang
Sains Modern: Dari Musa al-Khawarizmi di Bidang
Matematika, Sampai Ibnu Sina di Bidang Ilmu Kedokteran
Kisah-Kisah yang perlu Diingat Kembali, Peterj.: Fani Yamani,
Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama.
Mas‟ud,Abdurrahman. (2004). Intelektual Pesantren, Perhelatan
Agama dan Tradisi, Cet.I. Yogyakarta: LKiS.
Mastuhu. (1999). Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, Jakarta:
Logos Wacana Ilmu.
Masruri, Hadi M. dan Rossidy Imron. (2007). Filsafat Sains dalam
Al-Qur‟an: Melacak Kerangka Dasar Integrasi Ilmu dan
Agama. Cet.I. Malang: UIN Malang Press.
Maksum.(1999). Madrasah Sejarah dan Perkembangannya. Ciputat,
Logos Wacana Dunia.
Moleong, Lexy J. (1995).Metodologi Penelitian Kualitatif.Bandung:
PT. Remaja Rosda Karya.
Mochtar,Affandi, dkk. (ed). (2008).Paradigma Baru Pendidikan
Islam: Rekam Implemntasi IAIN Indonesia Social Equity Project
(IISEP) 2002-2007. Cet.I. Jakarta: IAIN Indonesia Social Equity
Project.
Moh.Sofwan. (2004). Pendidikan Berparadigma Profetik,
Yogyakarta: IRCiSoD.
Mulia,T.G.S. dan K.A.H. Hidding. Ensiklopedia Indonesia. Jilid F-
M, Artikel: Ilmu Pengetahuan.
Muliawan,Jasa Ungguh. (2005).Pendidikan Islam Integratif: Upaya
Mengintegrasikan Kembali dikotomi Ilmu dan Pendidikan Islam.
Cet. I. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
220
Mujieb,M. Abdul dkk. (2009). Ensiklopedia Tasawuf Imam Al-
Ghazali: Mudah memahami dan Menjalankan Kehidupan
Spiritual.Cet.I. Jakarta: PT. Mizan Publika.
Muthahhari,Ayyatullah Murtadha.(2011). Dasar-Dasar Epistemologi
Pendidikan Islam.terj. Tarbiyatul Islam. Cet.I. Jakarta: Sadra
Internasional Institute.
_______. (2010). Pengantar Epistemologi Islam. Cet.I. Jakarta:
Shadra Perss.
Nakosteen,Mehdi.(1968).Kontribusi Islam and Civilization in
Islam.Cambridge: Harvard University Press.
_______. (1964). History of Islamic Origins of Wstern Education,
A.D.800-1350 with an Intruduction to Medieval Muslim
Education, Colorado: University of Colorado Press.
_______. (1995). “Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat,
Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam”.Cet.I. Surabaya:
Rislah Gusti.
Nasr, Sayyeed Hossein. (1986).Science And Civilization in Islam.
Cambridge: Harvard University press.
_______. (1993). A Young Muslim‟s Guide the Modern World.
Petaling Jaya: Mekar Publisher.
_______. (1996). Religion and the Order of Nature. Oxford: Oxford
University Press.
_______. (1976). Islamic Science: An Illustrated Study. London: t.t.p.
Nasution, Harun. (1985). Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah
Analisa Perbandingan. Jakarta: UI Press.
_______. (1978). Falsafah dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta:
Bulan Bintang.
_______. (1995). Islam Rasional:Gagasan dan Pemikiran Prof.
DR.Harun Nasution, editor: Syaiful Muzani. Bandung: Mizan..
_______. (1985). Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya. Jilid I.
Jakarta: UI Press.
_______. (1992). Ensiklopedi Islam Indonesia.Cet.I. Jakarta:
Djambatan.
_______. (1985). Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya. Jilid II.
Jakarta: UI Press.
Nata,Abuddin. (2001).Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf.Cet. V.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
_______. (2010). Ilmu Pendidikan Islam.Jakarta: UIN Jakarta Press.
_______. (2011). Studi Islam Komperhensif. Jakarta: Kencana, Cet.I.
221
_______. (2010). Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan (Tafsir al-Ayat al-
Tarbawi). Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet. IV.
_______. dkk. (2003). Integritas Ilmu Agama dan Ilmu Umum.
Jakarta: UIN Jakata Press.
_______. (2011). Studi Islam Komperhensif.Cet.I. Jakarta: Kencana.
_______.(2001) Pemikiran para Tokoh Pendidikan Islam: Seri
Kajian Filsafat Pendidikan Islam,Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
_______. (2012). Sejarah Sosial Intelektual Islam dan Institusi
Pendidikannya. Cet. I. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
_______. (2011). Metodologi Studi Islam. Cet.18. Jakarta: PT. Raja
Grafindo.
_______. (2010). Sejarah Pendidikan Islam pada Priode Klasik dan
Pertengahan. Cet. II. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
_______.(2000). Akhlak Tasawuf. Cet.III. Jakarta: RajaGrafindo
_______. (2005), Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di
Indonesia.Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Nizar,Samsul. (2008). Sejarah Pendidikan Islam: Menelusuri Jejak
Sejarah Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia Jakarta:
Kencana.
P.,Akhmad Jenggis. (2011). Kebangkitan Islam. Cet.I. Yogyakarta:
NFP Publishing.
Poerwadarminta,W.J.S. (1991).Kamus Umum Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka.
Poeradisastra, S.I.( 2008). Sumbangan Islam kepada Ilmu dan
Peradaban Modern. Cet.III. Jakarta: Komunitas Bambu.
SJ,Fadil. (2008). Pasang Surut Peradaban Islam dalam Lintasan
Sejarah. Cet.I. Malang: UIN Malang.
Sadra,Mulla. (1996). His Teaching, dalam Syyed Hossein Nasr dan
Oliver Leaman (ed), History of Islam Philoshophy, London:
Routledge.
Saefudin,Didin. (2002). Zaman Keemasan Islam: Rekonstruksi
Sejarah Imperium Dinasti Abbasiyah. Cet.I,Jakarta: PT.
Grasindo,
Salim, Peter dan Yenny Salim. (2002). Kamus Bahsa Indonesia
Kontemporer. Cet .II.Jakarta: Modern English Press.
Sardar,Ziauddin. (1986). Rekayasa Masa Depan Peradaban Muslim,
Terj. Rahma Astuti. Bandung: Mizan.
222
Sofwan, Moh. (2004). Pendidikan Berparadigma Profetik.
Yogyakarta: IRCiSoD.
Syarif,MM (ed). 1992). History Of Muslim Philoshophy, edisi
Indonesia, Para Filosof Muslim. Bandung: Mizan.
Rahman,Fazlur. (2000). Islam dan Modernitas: Tantangan
Transformasi Intelektual, Penterj.: Ahsin Muhammad, Bandung:
Pustaka.
Rachman, Budhy Munawar (ed), (1994). Kontektualisasi Doktrin
Islam Dalam Sejarah.Jakarta: Paramadina.
Rahim,Husni. (2005). Madrasah dalam Politik Pendidikan di
Indonesia.Cet. I.Jakarta: Logos.
Razak,Nasruddin. (1997). Dienul Islam.Cet.II. Bandung: al-Ma‟arif.
Rohan,Abujamin.( 2009). Ensiklopedi Lintas Agama. Cet.I. Jakarta:
Emerald.
Rosnani, Hasyim. (1996).Educational Dualism inMalaysia:
Implication Fof Theory and Practice. Kuala Lumpur: Oxford
University Press.
Rosyid, Ahmad Dimyati. (2004). Reaktualisasi Pemikiran Ibnu
Taimiyah: Kunci Sukses Pendidikan Masa Kini. Surabaya:
Roddas Media.
Sadar,Ziauddin. (1984). Argument for Islamic Science in Quest for
New Science. Aligarh: Center For Studies On Science.
Saefudin, Didin. (2002).Zaman Keemasan Islam : Rekonstruksi
Sejarah Imperium Dinasti Abbasiyah. Cet.I.Jakarta: PT.
Gramedia Widiasarana Indonesia.
Shihab, M.Quraish. (1997). Wawasan Al-Qur‟an: Tafsir Maudhu‟i
atas Pelbagai Persoalan Umat. Cet.V.Bandung: Mizan.
_______. (2003). Membumikan Al-Qur‟an: Fungsi dan Peran
Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan.
_______. (2002).Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian
Al-Qur‟an. vol.1dan 14. Jakarta: Lentera Hati.
Santoso,Slamet Iman. (1977).Sejarah Perkembangan Ilmu
Pengetahuan.Jakarta: Sastra Budaya.
Sarton,Goerge.(1927). Introduction to the History of Science. Vol.1.
Baltimore: Wilkins and Wilkins.
Soebahar,Abd. Halim.(2009).Matriks Pendidikan Islam.Yogyakarta:
Pustaka Marwa.
Sopyan,Yayan. (2010). Tarikh Tasyri‟: Sejarah Pembentukan Hukum
Islam. Depok: Gramata Publishing.
223
Shaber Ahmed, dkk.. (1997). Islam dan Ilmu pengetahuan. penterj,:
Zetira Nadia Rahma. Bangil: Islamic Cultural Workshop.
Supyarogo,Imam. (2005). “Membangun Integrasi Ilmu dan Agama:
Pengalaman UIN Malang”. dalam Zainal Abidin Bagir (ed),.
Integrasi ilmu dan Agama: Interprtasi dan Akal. Bandung:
Mizan.
Suriasumantri,Jujun S. (1990). Filsafat Ilmu Sebuah
Pengantar.Jakarta: Sinar Harapan.
Suwito dan Fauzan (Edit.).(2003). Sejarah Pemikiran Para Tokoh
Pendidikan, Cet. VI.Bandung: Angkasa.
_______. (2005). Sejarah Sosial Pendidikan Islam.Cet. I. Jakarta:
Kencana.
Susanto,Musyrifah.(2007). Sejarah Islam Klasik: Perkembangan
Ilmu Pengetahuan Islam. Cet.III. Jakarta: Prenada Media
Group.
Stanton,Michael Charles.Pendidikan Tinggi dalam Islam.Jakarta:
Logos,1994.
Syalabi,Ahmad. (1982).Al-Tarbiyah al-Islamiyah, Kairo: Maktabah
al-Nahdhah al-Mishriyah
________.( 1954).Histori of Muslim Education. Beirut: Dar al-
Kashshaf.
________. (1954).Taraikhul al-Tarbiyah al-Islamiyah, Mesir: Darul
al-Kasysyaf lil al-Nasyiri wa al-Thiba‟ah wa Tauzi.
_______. (1973). Sejarah Pendidikan Islam, Terj. Muhtar Yahya.
Jakarta: Bulan Bintang.
_______. (2002). At-Tarbiyatul wa Azmatu at-Tanmiyah al-
Basyariyyah. Riyadh: Maktabul Tarbiyatul al-Arabiy lil Daulah
lil Khalij.
Tafsir,Ahmad. (1994). Ilmu Pendidikan dalam Persepektif Islam.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Tambaruka,Rustam E.(1999).Pengantar Ilmu Sejarah. Cet. I.
Yogyakarta: Rineka Cipta.
T.J., De Boer, (1970). The History of Philosophy in Islam. London:
t.t.p.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. (2001). Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.
224
Titus,Harold H. (1985). Living Issues in Philosophy. terj. Rasyidi.
Jakarta: Bulan Bintang.
The Encyclopedia of Islam. (1979). “ilm”. New Edition, Vol.III.
London: Luzac & CO.
Umiarso dan Haris Fathoni Makmur. (2010).Pendidikan Islam dan
Krisis Moralisme Masyarakat Modern:Membangun Pendidikan
Islam Monotomik-Holistik. Yogyakarta: IRCiSoD.
Uhbiyati, Nur. (1988).Ilmu Pendidikan Islam (IPI). Cet. II.Bandung:
CV. Pustaka Setia.
Wan,Daud dan Mohd Nor Wan. (1989).The Concept of Knowledge in
Islam: Its Implications for Education in A Deveploping Country.
London:mMansell Publishing.
Watt, W. Montogomery. (1990), The Majesty That was Islam, terj.
Hartono Hadikumuro. Yogyakarta: Tiara Wacana.
________. (1997). Islam dan Peradaban Dunia: Pengaruh Islam dan
Eropa Abad Pertengahan. Jakarta: Gramedia.
Wojowasito,S. dan W.J.S. Poerwadarminta. (1980). Kamus Lengkap
Inggeris–Indonesia, Indonesia–Inggeris.Cet. Ke-15. Bandung:
Hasta.
Yahya, Harun. (2004). Menyingkap Rahasia ALam Semesta,.
Bandung: Dzikra.
Yatim,Badri. (1994). Sejarah Peradaba Islam Dirasah Islamiyah
II.Cet. II. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Yunus,Mahmaud. ( 1992). Sejarah Pendidikan Islam. Cet.VII.
Jakarta: Hidakarya Agung.
_______.(1955). Ilmu Musthalah al-Hadits. Padang: Padang Panjang
_______.(1997). Historiografi Islam. Jakarta: Logos.
Zaid,Abu.(2003). Al Imam al-Syafi‟i wa Ta‟sis al-Idiologiyah al-
Wasathiyah. Kairo: Dar al-Fikr al-Islamy.
Zaini,Syahminan. (1989). Intergritas Ilmu dan Aplikasinya Menurut
Al-Qur‟an, Jakarta: Kalam Mulia.
Saefudin, Didin. (2002). Zaman Keemasan Islam : Rekonstruksi
Sejarah Imperium Dinasti Abbasiyah. Cet. I. Jakarta: PT.
Gramedia Widiasarana Indonesia.
Zahra,Imam Mumammad Abu. (1996.). Aliran Politik dan „Aqidah
dalam Islam.Cet. I. Jakarta: Logos.
Zainuddin, M. (2008),.Paradigma Pengembangan Pendidikan Islam:
Menyiapkan Generasi Ulul Albab,. Cet.I. Malang: UIN-
Malang Press.
225
Zuhri,Mustafa. (1995). Kunci Memahami Ilmu Tasawuf. Surabaya:
PT. Bina Ilmu.
Zuhairini, dkk, (2006).Sejarah Pendidikan Islam.Jakarta: Bumi
Aksara.
Sumber dari Jurnal, Artikel.
Abu Hasan,Muhadi,dkk. “Pengislaman Sains dan Pengaruhnya dalam
Peradaban
Adebayo,RI. “The influence of The World Converences on Muslim
Education on Islamic Education in Nigeria, Artikel. Diakses dari
http://www.unilorin.edu.ng/
Ahmad, (2005).Pendidikan Islam dan Perubahan Sosial: Upaya
Mengoptimalkan Kurikulum Berbasis Kompetensi Pendidikan
Agama Islam, Kordinat, Jurnal Komunikasi Antara Perguruan
Tinggi Agama Islam dan Swasta, Vol.VI, No.1.
Anwar,Ali. (2006). “Peranan Madrasah Nizamiyah dalam Proses
Transmisi Ilmu Keagamaan”, NIZAMIYA, Jurnal Pendidikan
Islam, Vol.9.No.1.
Aripin,Samsul. (2014) “Strategi Pendidkan Islam dalam Upaya
Menjawab Tantangan Global, TARBIYA, of in Journal
Education Muslim Society, Vol.1,No.2.
Arief,Armai. (2006). Melacak Akar Timbulnya Dikhotomi dalam
Pendidikan B Islam, dalam ”Jauhar” Jurnal Pemikiran Islam
Kontekstual, Volume 3, Nomor 2, Jakarta: Pascasarjana
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Az. Fanani. (2006). Profesi Guru dalam Lintasan S ejarah Islam
(Refleksi Adanya UU Guru dan Dosen), NIZAMIYA, Jurnal
Pendidikan Islam, Vol.9, No.1.
Bagheri, Khosrow dan Zohreh Khosrovi, (2006). “TheIslamic
Concept of Education Reconsidered.” The American Journal
of Islamic Social Sciences.23:4.
Fadaie,Gholamreza. “Philoshopher‟s Worldview and Classification of
Knowledge.”Artikel diakses 13 Juni 2013.
Habiebie,B.J. (2006). “Beberapa catatan Mengenai Ilmu
Pengetahuan, Teknologi, Budaya, dan Peradaban”, Makalah
disampaikan pada Rapat Senat Terbuka Luar Biasa dalam
Rangka Penganugrahan Doktor Honoris Causa dalam
226
Teknologi dan Peradaban di Universitas Hasanuddin,
Makasar pada tanggal 9 September .
Halim,Sudarnoto Abdul. (2012). “Renaisains Universitas Islam
Negri”, Jurnal Alumni UIN Bijak: Tanggung Jawab Kaum
Terpelajar, edisi I.
Hasanudin. (2008). “Dominasi Peradaban Barat dalam Pendidikan
Islam.” : Jurnal Lentera Pendidikan. Vol.11,No.2.
Heck, Paul L. “The Hierarky of Knowledge in Islamic Civilization.”
Arabic T 49 2002.
Jejen,Musfah. (2006).“Pendidikan dalam Persepektif Imam Syafi‟i,
Mimbar, Jurnal Agama dan Budaya, Vo.23,No.3.
Jurnal. (2006). Pemikiran Islam kontekstual „Jauhar‟ volume 3
nomor 2 bulan Desember, terbitan program Pascasarjana UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Lisa‟diyah, (2006). “Drop Out Siswa Madrasah: Kecendrungan
Penyebab dan Solusi”,Edukasi, Jurnal Penelitian Pendidikan
Agama dan Keagamaan,Vol.4, No.4.
Mulyadi. (2010). “Kotribusi Filsafat Ilmu dalam studi Ilmu agama
Islam: Telah Pendekatan Fenomenologi”, Ulumuna, Jurnal
Studi Keislaman,Vol.IXV,No.1.
Rahman,Fazlur. (1988). “Islamization of Knowledge: A Response.”
AJISS 5-1.
Rofiq,Ahmad Choirul.(2010). “Signifikansi Teori-teori Popper,
Khun, Lakatos terhadap Pengembanagn Ilmu-Ilmu Keislaman”,
Ulumuna, Jurnal Studi Keislaman,Vol.IXV,No.1.
Rifa‟I,Nurlena. dkk., (2014). Integrasi keilmuan dalam
Pengambangan Kurikulum di UIN se-Indonesia, TARBIYA, of
in Journal Education Muslim Society, Vol.1,No.1.
Rosyada,Dede.(2008).“Pendidikan Mulikultural Melalaui Pendidikan
Agama Sebuah Gagasan Konsepsional”, TA‟DIB, Jurnal Ilmu
Pendidikan,Vo.11,No.1.
Sukari.(2006). “Pendidikan Islam Sebagai Subsistem Pendidikan
Universal”, At-Tarbawi, Jurnal, Kajian Kependidikan Islam,
Vol.4, No.1.
Setiawan,Abdul Aziz dan Anton Hindardjo.(2005). “Menggali
Khazanah Ekonomi islam: Kontribusi Genuine Ekonomi islam
Fase Awal, Kordinat, Jurnal Komunikasi Antara Perguruan
Tinggi Agama Islam dan Swasta, Vol.VI, No.1.
227
Yusuf,Akhyat . Pengertian Epistemologi, Logika, Metodologi, diktat
mata kuliah Filsafat Ilmu Pascasarjana UI.
Tamsir,Sukari. (2006). “Pendidikan Islam Sebagai Subsistem
Pendidikan Universal”, At-Tarbawi, Jurnal, Kajian
Kependidikan Islam, vol.4, No.1.
Wan Bakar,Wan Bakar. “The First World Conference on Moslem
Education 1977.”Pttx diakses dari
http://www.academia.edu/‟Islamia.Vol.III.
Zarkasy, Hamid Fahmy. (2005). “Worldview sebagai Epistemologi
Islam.”Jurnal Islamia.Vol.II.No.5.