paradigma positivisme 1.2 (2 oktober 2011)
TRANSCRIPT
POSITIVISME: KARAKTERISTIK DAN PERKEMBANGANNYA
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Filsafat Ilmu
Disusun Oleh:
1. Faiza Tiara Hapsari, S.H.
2. Fitria Yudhiana, S.H.
3. Ghandis Clarinda Tiara Hanum, S.H.
4. Ika Edriantika, S.H.
5. Jusi Raninora Gussuthaw, S.H.
MAGISTER ILMU HUKUM HET – HAKI
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2011
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Filsafat adalah pengetahuan tentang cara berpikir radikal dan universal,
yaitu model berpikir yang mempertanyakan sesuatu sampai tuntas. Cara kerja
filsafat tiada lain merupakan cara kerja berpikir manusia dalam memenuhi
hasratnya untuk mengetahui segala sesuatu dan menganalisis segala permasalahan
yang dialami dan yang akan dialami baik dalam kehidupannya di dunia bahkan
dalam menembus batas metafisika setelah kehidupannya kelak.1
Filsafat adalah induk dari ilmu. Kelahiran suatu ilmu tidak dapat
dipisahkan dari peranan filsafat, sebaliknya perkembangan ilmu memperkuat
keberadaan filsafat. Dengan mengetahui filsafat ilmu berarti akan memahami
seluk beluk ilmu yang paling dasar sehingga dapat diupayakan kemungkinan
pengembangannya serta mengerti keterjalinan antar ilmu yang satu dengan
lainnya. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa filsafat ilmu adalah dasar yang
menjiwai dinamika proses kegiatan memperoleh pengetahuan secara ilmiah. Ini
berarti bahwa terdapat pengetahuan yang ilmiah dan tak-ilmiah. Adapun yang
tergolong ilmiah ialah yang disebut ilmu pengetahuan atau singkatnya ilmu saja,
yaitu akumulasi pengetahuan yang telah disistematisasi dan diorganisasi
sedemikian rupa; sehingga memenuhi asas pengaturan secara prosedural,
metologis, teknis, dan normatif akademis. Dengan demikian teruji kebenaran
ilmiahnya sehingga memenuhi kesahihan atau validitas ilmu, atau secara ilmiah
dapat dipertanggungjawabkan.
Secara historis perkembangan filsafat dapat dilihat dari pembagian
zamannya, yaitu Filsafat Zaman Kuno, Filsafat Abad Pertengahan, Filsafat Zaman
Modern, dan Filsafat Posmodernisme. Dari keempat pembagian zaman tersebut,
kami akan membahas mengenai paradigma ilmu pada zaman modern.
Periode sejarah yang lazim disebut “modern” mempunyai banyak
perbedaan pandangan tentang jiwa dengan periode pertengahan. Ada dua hal
1 Maman Rachman,dkk Filsafat Ilmu 2006 UPT MKU Universitas Negeri Semarang:Semarang hal 129
penting yang menandai sejarah modern, yakni runtuhnya otoritas gereja dan
menguatnya otoritas sains.2 Ciri-ciri yang menonjol yang terjadi pada zaman
modern ini adalah penolakan terhadap otoritas gereja dan sebaliknya penerimaan
besar-besaran terhadap otoritas sains.
Otoritas sains yang oleh kebanyakan filosof dipandang sebagai epos
modern, sangat berbeda dengan otoritas gereja, karena otoritas sains bersifat
intelektual, bukan politis. Tidak ada hukuman bagi yang menolak otoritas sains,
juga tidak ada nasihat-nasihat bijak yang membujuk mereka untuk menerimanya.
Otoritas sains diakui semata-mata karena daya tarik intrisiknya bagi akal. Otoritas
sains hanya mengungkapkan segala sesuatu yang pada saat itu telah dipastikan
kebenarannya secara ilmiah. Hal ini sangat berbeda dengan otoritas gereja yang
berupa sekumpulan dogma Katolik lengkap dari sejarah masa lalu dan masa
mendatang yang ketentuan-ketentuannya berupa kepastian absolut dan tidak bisa
diubah selamanya.
Zaman modern dengan otoritas sainsnya membukakan mata beberapa
orang untuk tidak terpuruk dalam “kebodohan” yang tunduk pada dogma Katolik
yang absolut. Zaman modern diawali dengan Renaissance yang berarti kelahiran
kembali. Lahir kembali disini untuk menghidupkan kembali kebudayaan klasik
Yunani-Romawi Kuno yang telah lama “mati” karena otoritas gereja. Yang
selanjutnya pada zaman modern ini mulai muncul kembali beberapa aliran
pemikiran, seperti Rasionalisme, Empirisme, Realisme, Positivisme, Romantisme
dan lain lain.
Pada makalah ini kelompok kami hanya akan membahas mengenai aliran
pemikiran positivisme. Pertama, kami akan mencoba mencari tahu dan
menjabarkan mengenai latar belakang aliran pemikiran postivisme meliputi kapan
berlangsungnya , dimana dan siapa pencetusnya serta hal-hal apa yang
mempengaruhi pemikiran tentang positivisme. Kedua, kami akan mencoba
menggali mengenai perkembangan aliran pemikiran positivisme pada zaman
modern, di dalamnya meliputi klasifikasi aliran postivisme dan beberapa kritik
2 Bertrand Russel Sejarah Filsafat Barat dan kaitannya dengan kondisi sosio-politik dari zaman kuno hingga sekarang diterjemahkan oleh Sigit Jatmiko, dkk. 2002 (Pustaka Pelajar : Yogyakarta) hal 645
tentang aliran positivisme serta aliran ilmu lain yang lahir dari kritik terhadap
paradigma positivisme.
B. IDENTIFIKASI PERMASALAHAN
Dari latar belakang diatas kelompok kami mencoba mengidentifikasikan
permasalahan mengenai paradigma positivisme:
1. Apa itu paradigma positivisme dan hal apa yang melatarbelakangi lahirnya
paradigma positivisme ini ?
2. Bagaimanakah perkembangan dan kritik terhadap paradigma positivisme
pada zaman modern ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Paradigma Positivisme
Sejarah merupakan konstruksi dari bangunan yang disusun oleh manusia
di masa lampau. Sejarah bekerja atas dokumen, dan tidak ada dokumen berarti
tidak ada sejarah. Begitulah realita historis sejarah. Oleh karena itu, tidak setiap
peristiwa di masa lampau bisa dikatakan sebagai sejarah dalam artian yang
sesungguhnya, tetapi ketersediaan dokumenlah yang menjadikan sejarah sebagai
sebuah kejadian (actually event) di masa silam. Teori digunakan sebagai key for
understanging atau kunci untuk mengerti. Dalam sejarah, kajian mengenai teori
dan metodologi adalah wajib hukumnya dan suatu keharusan yang tidak bisa
dihindari. Setiap teori yang digunakan oleh seorang sejarawan akan
memformulasikan dirinya menjadi sebuah approachment atau pendekatan.
Optimalisasi pendekatan inilah yang harus dikejar dan dikuasai oleh seorang
sejarawan.3
Sejarah telah melukiskan bahwa masalah perolehan pengetahuan menjadi
problem aktual yang melahirkan aliran Rasionalisme dan Empirisme yang pada
gilirannya telah melahirkan aliran Kritisisme sebagai alternatif dan solusi terhadap
pertikaian dua aliran besar tersebut. Di sinilah arti penting dari kemunculan
Positivisme yang merupakan representasi jawaban berikutnya terhadap problem-
problem mendasar tersebut.
Filsafat positivisme merupakan salah satu aliran filsafat modern yang lahir
pada abad ke-19. Dasar-dasar filsafat ini diletakkan oleh Henry de Saint Simon.
Menurut Simon untuk memahami sejarah orang harus mencari hubungan sebab
akibat hukum-hukum yang menguasai proses perubahan.4Positivisme sendiri
kemudian dikembangkan pertama kali oleh Auguste Comte (1798-1857
M).Tokoh ini dikenal sebagai pencetus Hukum Tiga Tahap (Law of Three Stages).
3Dian Kurnia, Aliran Positivisme dalam Teori Sejarah, <file:///F:/My%20Project/Bahan%20Kuliah%20S2/Filsafat%20Ilmu/Perkembangan%20Positivisme/Bahan%20Internet/Aliran%20Positivisme%20Dalam%20Teori%20Sejarah%20%C2%AB%20be%20a%20Professional%20Writer%20%E2%84%A2.htm>, diakses pada bulan September Tahun 2011
4Ibid.
Pemikiran Auguste Comte ini diklaim sebagai “jembatan” antara Rasionalisme
Descartes dan Empirisme Bacon.5
Dalam Hukum Tiga Tahap, Comte menyebutkan bahwa manusia
berkembang ke arah kemajuan, tidak saja pada proses sejarah kehidupannya,
melainkan juga pada proses perkembangan jiwanya secara individual.6
Hukum Tiga Tahap terdiri dari :7
Pertama, zaman teologis (fiktif), zaman di mana manusia percaya bahwa
di belakang gejala-gejala alam, terdapat kuasa-kuasa adikodrati yang mengatur
fungsi dan gerak gejala-gejala tersebut. Zaman teologis ini dibagi lagi atas tiga
periode. Periode pertama di mana benda-benda dianggap berjiwa (animisme).
Periode kedua manusia percaya pada dewa-dewa (politesime). Periode ketiga
manusia percaya pada satu Allah sebagai Yang Maha Kuasa (monoteisme).
Kedua, zaman metafisis (abstrak), kekuatan yang adikodrati diganti
dengan ketentuan-ketentuan abstrak.
Ketiga, zaman positif (riil), yaitu ketika orang tidak lagi berusaha
mencapai pengetahuan tentang yang mutlak, baik teologis maupun metafisis.
Sekarang orang berusaha mendapatkan hukum-hukum dari fakta-fakta yang
didapatinya dengan pengamatan dan akalnya. Tujuan tertinggi dari zaman ini akan
tercapai bilamana gejala-gejala telah dapat disusun dan diatur di bawah satu fakta
yang umum saja.
Hukum tiga tahap ini tidak hanya berlaku bagi perkembangan rohani
seluruh umat manusia, tetapi juga berlaku bagi tiap perseorangan. Umpamanya
sebagai kanak-kanak adalah seorang teolog, sebagai pemuda menjadi metafisis,
dan sebagai orang dewasa ia adalah seorang fisikus.
Positif adalah kata yang dipakai dalam bahasa Perancis untuk
pengalaman. Adapun yang menjadi titik tolak dari pemikiran positivis ini adalah,
apa yang telah diketahui adalah yang faktual dan positif, sehingga metafisika
ditolaknya. Aliran ini meyakini bahwa pengetahuan manusia bersifat objektif,
yang diperoleh melalui penyelidikan empirik dan rasional.
5 Koento Wibisono Siswomihardjo dalam Shidarta, Karakteristik Penalaran Hukum dalam Konteks Keindonesiaan, (Bandung: CV.Utomo, 2006), hlm. 84.
6Ibid, hlm. 86.7 Ihsan, Drs. H.A. Fuad. Filsafat Ilmu. 2010. Jakarta: Rineka Cipta, hlm. 184.
Di sini, yang dimaksud dengan “positif” adalah segala gejala yang tampak
seperti apa adanya, sebatas pengalaman-pengalaman obyektif. Jadi, setelah fakta
diperoleh, fakta-fakta tersebut diatur sedemikian rupa agar dapat memberikan
semacam asumsi (proyeksi) ke masa depan.8
Sedangkan menurut Comte pengertian positif terdiri dari beberapa
kemungkinan : 9
1. Sebagai lawan atau kebalikan sesuatu yang bersifat khayal, maka pengertian
positif pertama-tama diartikan sebagai sesuatu yang nyata.
2. Sebagai lawan atau kebalikan sesuatu yang bermanfaat, maka pengertian
positif diartikan sebagai pensifatan sesuatu yang bermanfaat.
3. Sebagai lawan atau kebalikan sesuatu yang meragukan, maka pengertian
positif diartikan sebagai pensifatan sesuatu yang sudah pasti.
4. Sebagai lawan atau kebalikan sesuatu yang kabur, maka pengertian positif
diartikan sebagai pensifatan sesuatu yang jelas atau tepat.
5. Sebagai lawan atau kebalikan sesuatu yang negatif, maka pengertian positif
dipergunakan untuk menunjukkan sifat-sifat pandangan filsafatnya, yang
selalu menuju ke arah penataan atau penertiban.
Comte berpendapat bahwa indra itu amat penting dalam
memperoleh pengetahuan, tetapi harus dipertajam dengan alat bantu dan
diperkuat dengan eksperimen. Kekeliruan indra akan dapat dikoreksi lewat
eksperimen. Eksperimen memerlukan ukuran-ukuran yang jelas. Panas
yang diukur dengan derajat panas, jauh diukur dengan meteran, berat
dengan kiloan, dan sebagainya. Kita tidak cukup mengatakan api panas,
matahari panas, kopi panas ketika panas. Kita juga tidak dapat mengatakan
panas sekali, panas, tidak panas. Kita memerlukan ukuran yang teliti. Di
sinilah kemajuan sains benar-benar dimulai.
Filsafat Positivisme mengajarkan beberapan ajaran, yaitu :10
8 Asmoro Akhmadi, Filsafat Umum,(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001), hlm. 116.9Koento Wibisono Siswomihardjo dalam Shidarta, Karakteristik Penalaran Hukum
dalam Konteks Keindonesiaan, Op.Cit.10Sidharta, Op.Cit., halaman 85.
1. Filsafat Positivisme dalam menyelidiki objek sasarannya didasarkan pada
kemampuan akal, sedang hal-hal yang tidak dapat dijangkau oleh akal tidak
dijadikan sasaran penyelidikan.
2. Dalam filsafat Positivisme segala sesuatu harus diarahkan pada pencapaian
kemajuan. Filsafat tidaklah hanya berhenti sampai pada pemenuhan keinginan
manusia untuk memperoleh pengetahuan atau pengertian mengenai barang
sesuatu saja.
3. Filsafat Positivisme mengajarkan bahwa filsafat harus sampai pada suatu
keseimbangan yang logis yang membawa kebaikan bagi setiap individu dan
masyarakat.
4. Filsafat positivisme mengajarkan bahwa kita harus dapat memberikan
pengertian yang jelas atau tepat, baik mengenai gejala-gejala yang tampak
maupun mengenai apa yang sebenarnya kita butuhkan, sebab cara berfilsafat
yang lama hanya memberikan pedoman yang tidak jelas, dan hanya
mempertahankan disiplin yang diperlukan dengan mendasarkan diri pada
kekuatan adikodrati.
Pemikiran Comte banyak dipengaruhi oleh Charles Lyell dan
Charles Darwin. Comte juga menuangkan gagasan positivisnya dalam
bukunya, the Course of Positivie Philosoph, yang merupakan sebuah
ensiklopedi mengenai evolusi filosofis dari semua ilmu dan merupakan
suatu pernyataan yang sistematis yang semuanya itu tewujud dalam tahap
akhir perkembangan. Perkembangan ini diletakkan dalam hubungan
statika dan dinamika, dimana statika yang dimaksud adalah kaitan organis
antara gejala-gejala (diinspirasi dari de Bonald), sedangkan dinamika
adalah urutan gejala-gejala (diinspirasi dari filsafat sejarah Condorcet).
Positivisme menggunakan metode deduksi-induksi. Hal ini
dikarenakan positivisme merupakan perpaduan antara rasionalisme dengan
metode deduksi dan empirisme dengan metode induksi.Induksi
menganggap hakikat ilmu adalah gabungan dari pengetahuan, percobaan,
penyusunan fakta, dan hukum umum. Dan berangkat dari khusus-umum,
sedangkan pola penalaran deduksi berarti dimulai dari umum ke khusus.
Positivisme lebih didominasi pola penalaran induksi. Induksi
adalah dasar perumusan hipotesis. Pernyataan-pernyataan spesifik yang
diperoleh dari observasi fakta-fakta tersebut, kemudian dicarikan pola-
polanya dengan meletakkan asumsi-asumsi tertentu. Artinya, pernyataan-
pernyataan spesifik itu ditarik menjadi suatu pernyataan umum.
Pernyataan umum ini adalah rumusan hipotesis tersebut, yang dilakukan
dengan menggunakan bahasa yang logis, sehingga dari rumusan itu
nantinya memungkinkan dibuat suatu ramalan konkret yang dapat
diselidiki kebenarannya. Tahap kedua (kemudian diperkuat sampai dengan
kegiatan tahap ketiga) menghasilkan susunan pengetahuan ilmiah tingkat
kedua, berupa hipotesis atau dalil (hukum-hukum).11
Deduksi meliputi kegiatan pembuatan ramalan konkret berdasarkan
rumusan hipotesis pada tahap sebelumnya. De Groot membedakan dua
pengandaran (operations) yang dilakukan dalam tahap ini. Pertama,
penagandaran logis, yaitu menurunkan pernyataan spesifik dari pernyataan
yang lebih umum. Kedua, pengandaran metodologis, yaitu
mengembangkan prosedur pemakaian konsep beserta penyusunan
prosedur pengujian pernyataan umum bersangkutan. Deduksi
dimaksudkan sebagai persiapan untuk kegiatan penelitian berikutnya. 12
Metode positivisme juga mempunyai sarana-sarana bantu yaitu
pengamatan, perbandingan, eksperimen dan metode historis. Tiga yang
pertama itu biasa dilakukandalam ilmu-ilmu alam, tetapi metode historis
khusus berlaku bagi masyarakat yaitu untuk mengungkapkan hukum-
hukum yang menguasai perkembangan gagasan-gagasan.
Lima asumsi dasar Positivisme :13
1. Logiko Empirisme
Kebenaran dapat dikatakan sebagai kebenaran bila dapat dibuktikan lewat
empiri (selama bisa dieksperimenkan)
2. Realitas Objektif
11 Sidharta, Op.Cit., halaman 131.12Ibid.13 Materi Perkuliahan Filsafat Ilmu Dr. Sidharta, S.H.,M.Hum.
Satu realitas saja. Subjek-Objek terpisah (tiada tempat untuk interpretasi
subjektif).
3. Reduksionisme
Setiap objek dapat diamati dalam satuan kecil. Jika tidak, itu bukan realitas
(misal Tuhan). Reduksionisme pada zaman modern diarahkan ke hukum-
hukum fisika (menuju unified science).
4. Determinisme
Keteraturan dunia karena hukum kausalitas yang linear. Tanpa kausalitas
ilmu tidak bisa berkembang dan tidak dapat diramalkan. Dengan ilmu dunia
dapat dikendalikan.
5. Asumsi bebas nilai
Tak ada tempat untuk subjektivitas, sehingga nilai-nilai tak relevan. Ilmu
selalu bebas nilai.
Jadi, pada dasarnya positivisme bukanlah suatu aliran yang khas. Ia
menyempurnakan Empirisme dan Rasionalisme yang bekerja sama.
Dengan kata lain, ia menyempurnakan metode ilmiah (scientific method)
dengan memasukkan perlunya eksperimen dan ukuran-ukuran. Jadi, pada
dasarnya positivisme itu sama dengan Empirisme plus Rasionalisme.
Hanya saja pada Empirisme menerima pengalaman batiniah, sedangkan
pada positivisme membatasi pada perjalanan objektif saja.14
B. Perkembangan Positivisme
Terdapat tiga tahap dalam perkembangan positivisme, yaitu:15
1. Tempat utama dalam positivisme pertama diberikan pada Sosiologi,
walaupun perhatiannya juga diberikan pada teori pengetahuan yang
diungkapkan oleh Comte dan tentang Logika yang dikemukakan oleh Mill.
Tokoh-tokohnya Auguste Comte, E. Littre, P. Laffitte, JS. Mill dan Spencer.
Pada dasarnya penggolongan ilmu pengetahuan vang dikemukakan Auguste
Comte sejalan dengan sejarah ilmu pengetahuan itu sendiri, vang
14 Ihsan, Op. Cit. , hlm. 183 15Ankersmit, F.R.dalam Arif Wibowo Positivisme dan Perkembangannya,
www.wordpess.com/arifwibowo/html.,diakses pada September 2011.
menunjukkan bahwa gejala-gejala dalam ilmu pengetahuan vang paling
umum akan tampil terlebih dahulu. Kemudian disusul dengan gejala-gejala
pengetahuan vang semakin lama semakin rumitatau kompleks dan semakin
konkret. Oleh karena dalam mengemukakan penggolongan ilmu pengetahuan,
Auguste Comte memulai dengan mengamati gejala-gejala vang paling
sederhana, yaitu gejala-gejala yang letaknya paling jauh dari suasana
kehidupan sehari-hari.16
2. Munculnya tahap kedua dalam positivisme – empirio-positivisme – berawal
pada tahun 1870-1890-an dan berpautan dengan Mach dan Avenarius.
Keduanya meninggalkan pengetahuan formal tentang obyek-obyek nyata
obyektif, yang merupakan suatu ciri positivisme awal. Dalam Machisme,
masalah-masalah pengenalan ditafsirkan dari sudut pandang psikologisme
ekstrim, yang bergabung dengan subyektivisme.
3. Perkembangan positivisme tahap terakhir berkaitan dengan Lingkaran Wina
(Vienna Circle atau Der wiener Kries) dengan tokoh-tokohnya Ernst Mach,
Moritz Schlick, dan Rudolf Carnap. Serta kelompok yang turut berpengaruh
pada perkembangan tahap ketiga ini adalah Masyarakat Filsafat Ilmiah
Berlin. Kedua kelompok ini menggabungkan sejumlah aliran seperti
atomisme logis, positivisme logis, serta semantika. Pokok bahasan
positivisme tahap ketiga ini diantaranya tentang bahasa, logika simbolis,
struktur penyelidikan ilmiah dan lain-lain.
Positivisme dapat dibagi menjadi dua, yaitu positivisme logis dan moral.
1. Positivisme Logis
Pemikiran ini dibawa oleh suatu aliran filsafat yang muncul pada
Tahun 1924 di Austria, yang dikenal dengan nama Lingkaran Wina, yaitu
antara lain lahir dari buku A.J. Ayer “Language, Truth, dan Logic’ (1936).
Lingkaran Wina dikenal luas sebagai gerakan yang berupaya keras
melahirkan filsafat yang ilmiah dengan menghapus semua proposisi yang
kabur, terutama proposisi-proposisi metafisis.
Teori Relativitas dari Albert Einstein, adalah salah satu teori yang
menjadi inspirasi dari Positivisme Logis. Teori yang dibawa aliran 16 Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, Yogyakarta: 2010, Pustaka Belajar,
hlm. 148.
Positivisme Logis berpegang pada empat asasyakni (1) Empirisme; (2)
Positivisme; (3) Logika; dan (4) Kritik Ilmu.17
Positivisme Logis adalah aliran pemikiran dalam filsafat yang
membatasi pikirannya pada segala hal yang dapat dibuktikan dengan
pengamatan atau pada analisis definisi dan relasi antara istilah-istilah. Fungsi
analisis ini mengurangi metafisika dan meneliti struktur logis pengetahuan
ilmiah. Tujuan dari pembahasan ini adalah menentukan isi konsep-konsep
dan pernyataan-pernyataan ilmiah yang dapat diverifikasi secara empiris.
Positivisme Logis lebih mendudukan subjek di atas segalanya dengan
kepastian yang tinggi. Positivisme Logis berangkat dari anggapan bahwa
“pengalaman subjektif elementer” sperti terungkap dalam kalimat “Saya
mengalami merah” merupakan dasar pengetahuan ilmiah. Kelebihan
Positivisme Logis adalah bahwa pengetahuan tidak mungkin lebih pasti
daripada itu, sedangkan kekurangannya adalah bahwa sepenuhnya
pengamatan itu bersifat subjektif. 18
Fokus utama aliran ini adalah menemukan batas (demarkasi) antara
pernyataan yang bermakna (sense) dan pernyataan tak bermakna (non-sense).
Jadi, setiap pernyataan bermakna harus bisa diverifikasi, jika tidak bisa
diverifikasi maka pernyataan tersebut adalah non-sense (metafisika).
Kaum positivisme logis berpendapat bahwa pembangunan masyarakat
perlu ditangani secara ilmiah. Karena itulah masalah metodologi ilmu
menjadi penting sebagai prinsip bagi pengembangan individu atau
masyarakat yang diidamkan. Kemudian dikembangkanlah apa yang disebut
dengan “The spirit of scientific conception of the world”, yakni semangat
dunia ilmiah yang berorientasi pada ilmu – ilmu alam dan ilmu pasti yang
telah mencapai tingkat perkembangan yang tinggi dan keberhasilan yang
sangat dikagumi.
Beberapa Ajaran Pokok Positivisme Logis :
a. Penerimaan prinsip verifiabilitas, yang merupakan kriteria untuk
menentukan bahwa suatu pernyataan mempunyai arti kognitif. Arti
17 Sidharta, Op. Cit., halaman 97-98.18Ibid, halaman 102.
kognitif suatu pernyataan tergantung pada apakah pernyataan itu dapat
diverifikasi atau tidak.
b. Semua pernyataan dalam matematika dan logika bersifat analitis
( tautologi) dan benar per-definisi. Konsep-konsep matematika dan
logika tidak diverifikasi tetapi merupakan kesepakatan defisional yang
diterapkan pada realitas.
c. Metode ilmiah merupakan sumber pengetahuan satu-satunya yang tepat
tentang realitas.
d. Filafat merupakan analisis dan klarifikasi makna dengan logika dan
metode ilmiah. (beberapa ahli positivisme logis berupaya untuk
menghilangkan semua filsafat yang tidak tersusun segabai ilmu-ilmu
logika-matematik)
e. Bahasa pada hakikatnya merupakan suatu kalkulus. Dengan formalisasi
bahasa dapat ditangani sebagai suatu kalkulus, yaitu dalam memecahkan
masalah-masalah filosofis (atau memperlihatkan yang mana dari
masalah-masalah itu merupakan yang semu) dan dalam hal menjelaskan
dasar-dasar ilmu.
f. Pernyataan-pernyataan metafisik tidak bermakna. Pernyataan-pernyataan
itu tidak dapat diverifikasi secara empiris dan bukan tautologi yang
berguna. Tidak ada cara yang mungkin untuk menentukan kebenarannya
atau kesalahannyadengan mengacu pada pengalaman, seperti ucapan “
Yang tiada itu sendiri tiada”, yang dipelopori oleh martin Heidegger, “
yang mutlak mengatasi waktu “, “Allah adalah sempurna“, ada murni
tidak mempunyai cirri “, pernyataan-pernyataan metafisik adalah
pernyataan semu.
g. Dalam bentuk positivisme ekstrim, pernyataan-pernyataan tentang
eksisitensi dunia luar dan pikiran luar yang bebas dari pikiran kita
sendiri, dianggap tidak bermakna, karena tidak ada cara empiris untuk
mengadakan verifikasi terhadapnya
h. Penerimaan terhadap teori emotif dalam aksiologi. Nilai-nilai tidak ada
apabila tidak bergantung pada kemampuan manusia untuk menetapkan
nilai-nilai. Nilai-nilai tidak merupakan objek-objek di dunia, tidak dapat
ditemukan dengan percccobaan, dan tidak dapat diperiksa, atau dialami
sebagaimana kita mengalami atau mengadakan verifikasi terhadap
eksistensi objek-objek.
Akan tetapi terdapat problem epistemologis yang sangat
mendasar di dalam inti pemikiran poitivisme logis tersebut. Karl Popper
juga bersikap kritis terhadap tesis – tesis dasar positivisme logis, serta
menunjukkan pentingnya peran proses falsifikasi di dalam perumusan
dan perubahan suatu teori. Hal yang dikritik Popper pada positivisme
logis adalah tentang metode induksi, ia berpendapat bahwa induksi tidak
lain hanya khayalan belaka, dan mustahil dapat menghasilkan
pengetahuan ilmiah melalui induksi. Tujuan ilmu pengetahuan adalah
mengembangkan pengetahuan ilmiah yang berlaku dan benar, untuk
mencapai tujuan tersebut diperlukan logika, namun jenis penalaran yang
dipakai oleh positivisme logis adalah induksi dirasakan tidak tepat sebab
jenis penalaran ini tidak mungkin menghasilkan pengetahuan ilmiah yang
benar dan berlaku, karena kelemahan yang bisa terjadi adalah kesalahan
dalam penarikan kesimpulan, di mana dari premis yang dikumpulkan
kemungkinan tidak lengkap sehingga kesimpulan atau generalisasi yang
dihasilkan tidak mewakili fakta yang ada. Dan menurutnya, agar
pengetahuan itu dapat berlaku dan bernilai benar maka penalaran yang
harus dipakai adalah penalaran deduktif.
Pendapat yang lebih signifikan seperti dikatakan oleh Thomas
Kuhn, yang melihat bahwa teori ilmu pengetahuan selalu berada di dalam
sebuah pandangan dunia tertentu. Oleh sebab itu, perubahan radikal di
dalam ilmu pengetahuan hanya dapat terjadi jika seluruh pandangan
dunia yang ada ternyata sudah tidak lagi memadai dan diganti dengan
yang lain.
Para pengkritik positivisme logis berpendapat bahwa landasan
dasar yang digunakan oleh positivisme logis sendiri tidak dinyatakan
dalam bentuk yang konsisten. Misalnya prinip tentang teori tentang
makna yang dapat dibuktikan seperti yang dinyatakan di atas itu sendiri
tidak dapat dibuktikan secara empiris. Masalah lain yang muncul adalah
dalam hal pembuktian teori. Masalah yang dinyatakan dalam bentuk
eksistensi positif (misalnya ada burung berwarna hitam) atau dalam
bentuk universal negatif (misalnya tidak semua burung berwarna hitam)
mungkin akan mudah dibuktikan kebenarannya, namun masalah yang
dinyatakan sebaliknya, yaitu dalam bentuk eksistensi negatif (misalnya
tidak ada burung berwarna hitam) atau universal positif (misalnya semua
burung berwarna hitam) akan sulit atau bahkan tidak mungkin
dibuktikan.
2. Positivisme Moral
Positivisme moral menegaskan bahwa nilai-nilai didasarkan pada
kebudayaan dan perkambangannya sesuai dengan variasi-variasi waktu dan
tempat. Oleh karenaitu, kebaikan atau nilai moral kegiatan manusia tidak
terikat secara niscaya dan secara tidak berubah dengan hakikat pribadi
manusia, tetapi sama sekali tunduk kepada semua variasi yang mungkin.
Bukti utama bagi positivisme moral adalah kesaksian sejarah. Setiap bangsa
dan setiap kebudayaan mengembangakan nilai moralnya sendiri dan nilai-
nilai sering ditemukan bertentangan. Apa yang sebelumnya diperbolehkan
seakan-akan pada suatu generasi kemudian kurang mendapat penghargaan
dari manusia atau bahkan malah bersifat tidak sopan.
C. Kritik Terhadap Positivisme
Positivisme dikritik karena generalisasi yang dilakukannya terhadap segala
sesuatu dengan menyatakan bahwa semua ”proses dapat direduksi menjadi
peristiwa-peristiwa fisiologis, fisika, atau kimia” dan bahwa ”proses-proses sosial
dapat direduksi ke dalam hubungan antar tindakan-tindakan individu” dan bahwa
”organisme biologis dapat direduksi kedalam sistem fisika”.
Kritik juga dilancarkan oleh Max Horkheimer dan teoritisi kritis lain.
Kritik ini didasarkan atas dua hal, ketidaktepatan positivisme memahami aksi
sosial dan realitas sosial yang digambarkan positivisme terlalu konservatif dan
mendukung status quo. Kritik-kritik terhadap positivisme diantaranya disebabkan
karena:
1. Positivisme secara sistematis gagal memahami bahwa apa yang mereka sebut
sebagai ”fakta-fakta sosial” tidak benar-benar ada dalam realitas objektif, tapi
lebih merupakan produk dari kesadaran manusia yang dimediasi secara sosial.
Positivisme mengabaikan pengaruh peneliti dalam memahami realitas sosial
dan secara salah menggambarkan objek studinya dengan menjadikan realitas
sosial sebagai objek yang eksis secara objektif dan tidak dipengaruhi oleh
orang-orang yang tindakannya berpengaruh pada kondisi yang diteliti.
2. Positivisme tidak memiliki elemen refleksif yang mendorongnya berkarakter
konservatif. Karakter konservatif ini membuatnya populer di lingkaran politik
tertentu.
Aliran Positivisme juga mendapatkan respon dari beberapa tokoh
Muslim seperti Ismail Al-Faruqi, Seyyed Hossein Nasr, Ziauddin Sardar,
Naquib Al-Attas, Fazlurrahman, Maurice Bucaile, bahkan tokoh-tokoh
Muslim Indonesia seperti A. Mukti Ali, Nurcholish Madjid dan
Kuntowijoyo. Mereka memberikan kritiknya, sebab tidak satupun jenis
ilmu pengetahuan di dunia ini yang dapat membebaskan diri dari nilai-
nilai. Para pengkritik positivisme berargumentasi dengan menunjukkan
bahwa ilmu pengetahuan jenis apapun sarat dengan nilai (value loaded).
Oleh karena itu dilandasi kekecewaan terhadap modernisme yang
berupaya memisahkan agama dengan berbagai bidang kehidupan
(differentiation), antara objek dan subjek, antara teori dan praksis serta
ilmu dengan kepentingan, dan sikap optimis terhadap post-modernisme
yang tidak secara tegas memisahkan/menggabungkan agama dan dunia,
ilmu dan kepentingan (de-differentiation), maka mereka mencoba
membangun argumentasi bahwa ilmu pengetahuan selayaknya dibangun
atas dasar nilai, meskipun penelitian ini tidak ditujukan secara langsung
kepada tokoh-tokoh tersebut akan tetapi percikan dari pemikirannya
dicoba untuk dirangkai.
D. Aliran Yang Muncul Dari Kritik Terhadap Positivisme
1. Rasionalisme Kritis
Aliran positivisme mengandung beberapa kelemahan sehingga
memunculkan aliran post-positivisme antara lain aliran rasionalisme,
interpretive social science, critical social science, feminisme, dan post-
modernism. Positivisme dinilai lemah dalam hal membangun konsep teoritik
sebab positivisme yang mengandalkan kebenaran pada empirik inderawi saja.
Pada positivisme, ilmu yang valid adalah ilmu yang dibangun dari empiri,
sedangkan aliran lain seperti menurut rasionalisme ilmu yang valid
merupakan abstraksi, simplifikasi, atau idealisasi dari realitas dan terbukti
koheren dengan sistem logikanya. Positivisme yang mengandalkan kebenaran
pada empirik inderawi saja juga disangkal oleh aliran Rasionalisme bahwa
kemampuan manusia untuk menggunakan daya pikir dan nalar (empiric
logik) bisa memberikan arti yang lebih berarti daripada empirik inderawi.
2. Interpretive Social Science
Pendekatan positivistik dan rasionalisme juga mengandung
kelemahan, sehingga memunculkan aliran interpretive social science yang
mengoreksi kelemahan tersebut. Kelemahan dalam rasionalisme adalah
terlalu percaya pada empirik logik serta mengabaikan phenomena berupa
persepsi dan keyakinan subyek tentang sesuatu di luar subyek yang bersifat
transenden. Tokoh interpretive social science antara lain Max Weber (1864-
1920), Wilhem Dilthey (1833-1914) dengan bukunya “Einleitung in die
Geisteswissenshaften” (Introduction to the Human Science) –1883, Glaser &
Strauss, dan Guba & Lincoln.
Pendekatan positivisme dan rasionalisme hanya mengakui kebenaran
apabila dapat dibuktikan melalui empirik inderawi dan empirik logik.
Sementara itu, pendekatan interpretive social science mengakui adanya
kebenaran empirik etik yang memerlukan akal budi untuk melacak
kebenaran, menjelaskan fenomena, dan berargumentasi. Jadi kriterianya
bukan sekedar benar dan salah, akan tetapi mencakup nilai moral. Asumsi
dasarnya adalah bahwa manusia dalam berilmu pengetahuan tidak dapat lepas
dari pandangan moralnya, baik dalam tahap mengamati, menghimpun data,
menganalisis, maupun dalam membuat kesimpulan.
Pendekatan interpretive mengajak untuk menggunakan logika reflektif
di samping logika induktif dan deduktif, serta logika materiil dan logika
probabilistik. Pendekatan interpretive bukan hendak menampilkan teori dan
konsep yang bersifat normatif atau imperatif, namun mengangkat makna etika
dalam berteori dan berkonsep. Menurut Glaser & Strauss teori dihasilkan dari
observasi empiris, dan teori yang dikembangkan dari investigasi empiris
tersebut dipandang sebagai “grand theory”.
3. Critical Social Science
Critical social science menggabungkan antara pendekatan monothetik
dengan ideografik. Pada hal tertentu critical social science sejalan dengan
interpretive sosial science dalam hal kritik terhadap positivisme. Namun di
sisi lain, critical social science mengkritik pendekatan interpretive karena
pendekatan interpretive dinilai terlalu terpaku pada realitas subyektif dan
cenderung relativis. Pendekatan interpretive menempatkan ide manusia lebih
penting daripada kondisi aktualnya dan berfokus pada level mikro yang
bersifat lokal, jangka pendek dan mengabaikan konteks yang lebih luas dan
jangka panjang. Critical social science seringkali diasosiasikan dengan teori
konflik, dialektika materialisme, pertentangan kelas, dan strukturalis. Tokoh
critical social science antara lain Karl Max (1818-1883), Sigmund Freud
(1856-1939), Theodor Adorno (1903-1969), Erich Fromm (1900-1980),
Herbert Marcuse (1898-1979), Antonio Gramsci, Paulo Freire, dan Juergen
Habermas. Termasuk dalam pendekatan critical social science adalah
penelitian-penelitian model feminisme.
4. Post Modernisme
Pendekatan post-positivisme yang keempat adalah post moderism
(posmo). Penelitian model posmo menolak semua ideologi, sistem keyakinan
yang terorganisasi (doktrin), termasuk menolak semua teori sosial. Penelitian
model posmo memberikan kedudukan yang penting terhadap intuisi,
imajinasi, pengalaman pribadi, subyektivitas yang ekstrim yang mana tidak
ada pemisahan antara mental dengan dunia luar. Peneliti Posmo meyakini
bahwa kausalitas tidak dapat dipelajari karena kehidupan itu terlalu kompleks
dan cepat berubah. Posmo menyatakan bahwa riset tidak akan pernah benar-
benar bisa merepresentasikan apa yang terjadi dalam dunia sosial. Tokoh
posmo antara lain Nietzsche, Sartre, Alvin Toffler, dan John Naisbitt. Peneliti
model posmo mulai menunjukkan ketertarikan pada riset-riset empiris dan
metode penelitian kualitatif meskipun hal ini berbeda dengan model
penelitian kualitatif pada studi histori.
BAB III
PENUTUP
Penulis mencoba untuk menyimpulkan isi dari makalah ini yaitu :
1. Pandangan Positivisme dalam kebenaran ilmu pengetahuan adalah baik,
karena mampu menyajikan kebenaran yang kongkrit, pasti, akurat dan
bermanfaat, tetapi bahayanya positivisme bersikap positivistis, yaitu yang
berpikir bahwa kebenaran harus kongkrit, eksak, tepat dan bermanfaat.
2. Secara ontologis, positivisme berpandangan bahwa realitas dapat dipecah-
pecah dan dapat dipelajari secara independen, dieliminasi dari obyek lain, dan
dapat dikontrol. Secara epistemologi, positivisme menuntut dipisahkannya
subyek peneliti dengan obyek penelitian. Tujuan pemisahan ini adalah agar
dapat diperoleh hasil yang obyektif. Tujuan penelitian yang berlandaskan
filsafat positivisme adalah menyusun bangunan ilmu nomothetik, yaitu ilmu
yang berupaya membuat hukum dan generalisasinya. Kebenaran dicari
melalui hubungan kausal-linear.Secara aksiologis, positivisme menuntut agar
penelitian itu bebas nilai (value free). Positivisme mengejar obyektivitas agar
dapat ditampilkan prediksi atau hukum yang keberlakuannya bebas waktu dan
tempat.
3. Positivisme dinilai lemah dalam hal membangun konsep teoritik. Ilmu-ilmu
yang dikembangkan dengan metodologi yang berlandaskan positivisme
menjadi miskin konseptualisasi teoritiknya. Tidak ada teori-teori baru yang
mendasar yang muncul, sehingga banyak ilmu sosial yang mengalami
stagnasi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Buku
Akhmadi, Asmoro, 2001. Filsafat Umum, Jakarta, RajaGrafindo Persada.
Ihsan, Drs. H. A. Fuad, 2010. Filsafat Umum, Jakarta, Rineka Cipta.
Mustansyir, Rizal & Misnal Munir, 2010. Filsafat Ilmu, Yogyakarta, Pustaka
Belajar.
Rachman, Maman, 2006. Filsafat Ilmu, Semarang, UPT MKU Universitas
Negeri Semarang.
Russel, Bertrand, 2002, Sejarah Filsafat Barat: Dan Kaitannya dengan
Kondisi Sosio-Politik dari Zaman Kuno Hingga Sekarang,
diterjemahkan oleh Sigit Jatmiko, dkk, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
Shidarta, Karakteristik Penalaran Hukum dalam Konteks Keindonesiaan,
2006. Bandung, CV Utomo.
Suriasumantri, Jujun. S., Ilmu dalam Perspektif, 2003. Jakarta, Yayasan Obor
Indonesia.
2. Jurnal/Diktat/Laporan
Setiardja, Prof. Dr. Drs. A. Gunawan, 2009. Buku Kuliah: Manusia dan Ilmu:
Telaah Filsafat Atas Manusia yang Menekuni Ilmu Pengetahuan,
Cetakan V, Semarang, Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro.
Sidharta, Dr. S.H., M.Hum., Materi Perkuliahan: Filsafat Ilmu, 2011.
Semarang, Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro.
3. Internet
Ankersmit, F.R.dalam Arif Wibowo Positivisme dan Perkembangannya,
www.wordpess.com/arifwibowo/html.,diakses pada September 2011.
Dian Kurnia, Aliran Positivisme dalam Teori Sejarah, <file:///F:/My
%20Project/Bahan%20Kuliah%20S2/Filsafat%20Ilmu/Perkembangan
%20Positivisme/Bahan%20Internet/Aliran%20Positivisme%20Dalam
%20Teori%20Sejarah%20%C2%AB%20be%20a%20Professional
%20Writer%20%E2%84%A2.htm>, diakses pada bulan September
Tahun 2011