parotitis
DESCRIPTION
kedokteranTRANSCRIPT
PAROTITIS
A. DEFINISI
Parotitis epidemika ialah penyakit virus akut yang biasanya menyerang
kelenjar ludah terutama kelenjar parotis. Gejala khasnya yaitu terjadi
pembesaran kelenjar ludah terutama kelenjar parotis (Behrman, et al., 2000).
Parotitis epidemika (gondongan) adalah suatu infeksi virus menular
yang menyebabkan pembengkakan unilateral (satu sisi) atau bilateral (kedua
sisi) pada kelenjar liur disertai nyeri. Pada saluran kelenjar ludah terjadi
kelainan berupa pembengkakan sel epitel, pelebaran dan penyumbatan
saluran (Pudjiadi dan Hadinegoro, 2009).
B. EPIDEMIOLOGI
Sebelum ditemukan vaksin parotitis pada tahun 1967, parotitis
epidemika merupakan penyakit yang sangat sering ditemukan pada anak.
Insidens pada umur < 15 tahun adalah 85% dengan puncak insidens
kelompok umur 5-9 tahun. Setelah ditemukan vaksin parotitis, kejadian
parotitis epidemika menjadi sangat jarang. Di negara barat seperti Amerika
dan Inggris, rata-rata didapat kurang dari 1.000 kasus per tahun. Demikian
pula insidens parotitis bergeser pada anak besar dan dewasa muda serta
menyebabkan kejadian luar biasa di tempat kuliah atau tempat kerja. Di
Indonesia, tidak didapatkan adanya data mengenai insidens terjadinya
parotitis epidemika (Pudjiadi dan Hadinegoro, 2009).
Jika dibandingkan dengan campak atau cacar air, gondongan tidak
terlalu menular. Penyakit gondongan tersebar di seluruh dunia dan dapat
timbul secara endemik atau epidemik. Epidemi terjadi pada semua musim
tetapi sedikit lebih sering pada musim dingin akhir dan musim semi. Sumber
infeksi mungkin sukar dilacak karena 30-40% infeksi adalah subklinis.
Kebanyakan penyakit ini menyerang anak-anak yang berumur 2-15 tahun,
namun pada orang dewasa justru lebih berat. Jarang ditemukan pada anak
yang berumur kurang dari 2 tahun. Gender juga berpengaruh terhadap angka
kejadian parotitis. Laki-laki lebih sering terkena parotitis dibandingkan
perempuan (Maharani dan Soenartyo, 2009).
1
Jika seseorang pernah menderita gondongan, maka dia akan memiliki
kekebalan seumur hidupnya. Yang terkena biasanya adalah kelenjar parotis,
yaitu kelenjar ludah yang terletak diantara telinga dan rahang. Pada orang
dewasa, infeksi ini bisa menyerang testis (buah zakar), sistem saraf pusat,
pankreas, prostat, payudara dan organ lainnya. Adapun mereka yang beresiko
besar untuk menderita atau tertular penyakit ini adalah mereka yang
menggunakan atau mengkonsumsi obat-obatan tertentu untuk menekan
hormon kelenjar tiroid dan mereka yang kekurangan zat Iodium dalam tubuh
(Maharani dan Soenartyo, 2009).
C. ETIOLOGI
Parotitis adalah penyakit virus sistemik yang disebabkan oleh virus
ribonucleic acid (RNA) spesifik, yang dikenal sebagai Rubulavirus (virus
mumps). Rubulavirus termasuk dalam genus Paramyxovirus dan merupakan
anggota dari famili Paramyxoviridae. Virus ini berantai tunggal dengan RNA
yang dikelilingi oleh glikoprotein. Salah satu dari kedua glikoprotein
berfungsi sebagai perantara neuraminidase dan aktivitas hemaglutinasi,
sedangkan yang lain bertanggung jawab atas fusi membran lipid dengan sel
inang. Manusia dikenal sebagai satu-satunya inang bagi virus mumps
(Plotkin, et al., 2008).
Virus mumps, Rubulavirus, memiliki morfologi yang sama dengan
human parainfluenza viruses (yang merupakan bagian dari genus
Paramyxovirus). Virus mumps juga memiliki karakteristik epidemiologi
dengan measles (virus RNA, genus Morbillivirus, famili Paramyxoviridae)
dan rubella (virus RNA, genus Rubivirus, famili Togaviridae) (Plotkin, et al.,
2008).
D. KLASIFIKASI
Parotitis epidemika diklasifikasikan menjadi dua, yaitu (Maharani dan
Soenartyo, 2009) :
1. Parotitis Kambuhan
2
Sudah pernah terinfeksi sebelumnya kemudian kambuh. Anak-anak
mudah terkena parotitis kambuhan yang timbul pada usia antara 1 bulan
hingga akhir masa kanak-kanak. Kambuhan berarti sebelumnya anak telah
terinfeksi virus kemudian kambuh lagi (Maharani dan Soenartyo, 2009).
2. Parotitis Akut
Parotitis akut ditandai dengan rasa sakit yang mendadak, kemerahan
dan pembengkakan pada daerah parotis. Dapat timbul sebagai akibat
pasca-bedah yang dilakukan pada penderita terbelakang mental dan
penderita usia lanjut, khususnya apabila penggunaan anestesi umum lama
dan adanya gangguan dehidrasi (Maharani dan Soenartyo, 2009).
E. TANDA DAN GEJALA
Infeksi parotitis epidemika ditandai dengan gejala prodromal berupa
demam, nyeri kepala, nafsu makan menurun selama 3-4 hari, yang diikuti
peradangan kelenjar parotis (parotitis) dalam waktu 48 jam dan dapat
berlangsung selama 7-10 hari. Penularan terjadi 24 jam sebelum sampai 3
hari setelah terlihatnya pembengkakan kelenjar parotis. Satu minggu setelah
terjadi pembengkakan kelenjar parotis pasien dianggap sudah tidak menular
(Pudjiadi dan Hadinegoro, 2009).
Pada anak, manifestasi prodormal jarang terjadi tetapi mungkin tampak
bersama dengan demam, nyeri otot (terutama pada leher), nyeri kepala, dan
malaise. Awalnya ditandai dengan nyeri dan pembengkakan parotis yang
khas, mula-mula mengisi rongga antara tepi posterior mandibula dan mastoid
kemudian meluas dalam deretan yang melengkung ke bawah dan ke depan, di
atas dibatasi oleh zigoma. Edema kulit dan jaringan lunak biasanya meluas
lebih lanjut dan mengaburkan batas pembengkakan kelenjar, sehingga
pembengkakan lebih mudah disadari dengan pandangan daripada dengan
palpasi (Behrman, et al., 2000).
Pembengkakan terjadi dengan cepat dalam waktu beberapa jam dengan
puncak pada 1-3 hari. Pembengkakan jaringan mendorong lobus telinga ke
atas dan ke luar, dan sudut mandibula tidak lagi dapat dilihat. Pembengkakan
perlahan-lahan menghilang dalam 3-7 hari. Satu kelenjar parotis biasanya
3
membengkak sehari atau dua hari sebelum yang lain, tetapi lazim
pembengkakan terbatas pada satu kelenjar. Daerah pembengkakan terasa
lunak dan nyeri. Edema faring dan palatum mole homolateral menyertai
pembengkakan parotis dan memindahkan tonsil ke medial. Pembengkakan
parotis biasanya disertai dengan demam sedang hingga 40°C (Behrman, et
al., 2000).
F. PATOGENESIS
Gambar 1. Skema Patogenesis Parotitis
Virus mumps masuk tubuh melalui hidung atau mulut yang berasal dari
percikan ludah, kontak langsung dengan penderita parotitis lain, muntahan,
4
dan urin. Infeksi akut oleh virus mumps pada kelenjar parotis dibuktikan
dengan adanya kenaikan titer IgM dan IgG secara bermakna dari serum akut
dan serum konvalesens. Pada infeksi pertama antibodi yang terbentuk terlebih
dahulu adalah IgM. IgG muncul setelahnya, yang mana kadarnya lebih tinggi
dalam darah dan tidak menurun secara dramatis. Jika terjadi paparan lagi, IgG
akan naik jauh lebih tinggi dan lebih cepat daripada IgM. IgG merupakan
penanda utama pada infeksi sekunder (Maharani dan Soenartyo, 2009).
Masa inkubasi 15 sampai 21 hari kemudian virus bereplikasi di dalam
traktus respiratorius atas. Semakin banyak penumpukan virus di dalam tubuh
sehingga terjadi proliferasi di parotis / epitel traktus respiratorius kemudian
terjadi viremia (ikutnya virus ke dalam aliran darah) dan selanjutnya virus
berdiam di jaringan kelenjar / saraf yang kemudian akan menginfeksi
glandula parotis. Keadaan ini disebut parotitis (Maharani dan Soenartyo,
2009).
Gambar 2. Parotitis pada Sublingual Sinistra
5
Bila testis terkena infeksi maka terdapat perdarahan kecil dan nekrosis
sel epitel tubuli seminiferus. Pada pankreas kadang-kadang terdapat
degenerasi dan nekrosis jaringan (Yvonne, 2000).
Gambar 3. Orkitis Pasca Infeksi Parotitis Epidemika pada Skrotum Dekstra
G. PATOFISIOLOGI
6
Gambar 4. Skema Patofisiologi Parotitis
Pada umumnya penyebaran paramyxovirus sebagai agen penyebab
parotitis melalui kontak langsung dengan penderita, droplet, urin dan
muntahan penderita. Dari berbagai cara tadi virus masuk melalui saluran
pernapasan baik hidung maupun mulut. Virus mengalami masa inkubasi 12
sampai 25 hari kemudian virus bereplikasi dan mengalami masa viremia awal
selama 3-5 hari. Setelah replikasi awal, virus bereplikasi di kelenjar parotis,
menyebabkan terjadinya reaksi inflamasi (Ray, 2008).
Reaksi inflamasi merangsang keluarnya bradikinin yang akan
merangsang saraf sensorik dan mengakibatkan nyeri. Selain bradikinin, reaksi
inflamasi tadi merangsang pengeluaran histamin yang berakibat pada
peningkatan permeabilitas pembuluh darah sehingga terjadi edema pada pipi.
Edema pada pipi dapat menekan saraf aurikula temporal sehingga terjadi
nyeri pada telinga. Selain itu reaksi imun yang terjadi saat masa viremia awal
merangsang terjadinya respon imun spesifik seluler untuk kemudian
menghasilkan sel T. Sel T mengaktivasi sitokin yang akan merangsang
keluarnya IL-1, kemudian IL-1 menghasilkan pirogen endogen yang akan
diteruskan menuju hipotalamus sebagai pusat regulasi suhu tubuh untuk
merangsang prostaglandin dan akan menimbulkan demam (Ray, 2008).
H. PENEGAKKAN DIAGNOSIS
Penegakkan diagnosis dari parotitis epidemika yaitu (Behrman, et al., 2000) :
1. Anamnesis
a. Gejala yang pertama terlihat adalah nyeri ketika mengunyah atau
menelan, terutama jika menelan cairan asam misalnya jeruk.
b. Demam, biasanya suhu mencapai 38,9-40o Celcius
c. Pembengkakan kelenjar terjadi setelah demam
d. Nafsu makan berkurang
e. Menggigil
f. Sakit kepala
2. Pemeriksaan Fisik
a. Suhu meningkat mencapai 38,9-40o Celcius
7
b. Pembengkakan di daerah temporomandibuler (antara telinga dan
rahang)
c. Nyeri tekan pada kelenjar yang membengkak
d. Tanda meningeal seperti pemeriksaan kaku kuduk, kernig’s sign,
brudzinski’s sign perlu juga diperiksa karena meningitis terjadi pada
15% dari pasien yang terinfeksi mumps. Bila salah satu pemeriksaan
tanda meningeal positif maka dikatakan tanda meningeal positif
meskipun pada pemeriksaan yang lain negatif.
e. Pada laki-laki yang sudah mengalami pubertas biasanya mengalami
komplikasi seperti orkitis. Orkitis ditandai dengan nyeri testis dan
pembengkakan pada testis dan skrotum.
f. Pada wanita yang telah mengalami pubertas dapat menjadi ooforitis
atau pembengkakan pada ovarium.
g. Tuli bisa menjadi komplikasi parotitis, jadi dapat diperiksa dengan
menggunakan garpu tala.
3. Pemeriksaan Penunjang
Dalam prakteknya pemeriksaan penunjang tidak banyak dilakukan,
sebab dari anamnesis dan pemeriksaan fisik sudah terdiagnosis. Namun
jika gejala tidak jelas, maka diagnosis didasarkan pada :
a. Pemeriksaan darah rutin
Pemeriksaan ini tidak spesifik karena gambarannya seperti infeksi
virus lain. Biasanya menunjukan leukopenia dengan limfositosis
relative (Behrman, et al., 2000).
b. Amilase serum
Didapatkan pula kenaikan kadar amilase pada serum yang
mencapai puncaknya setelah satu minggu dan kemudian menjadi
normal kembali dalam dua minggu (Behrman, et al., 2000).
c. Uji serologi
Jika penderita tidak menampakan pembengkakan kelenjar di
bawah telinga namun tanda dan gejala lainnya mengarah ke penyakit
parotitis sehingga meragukan diagnosis maka dilakukan uji serologi
untuk membuktikan antibody mumps spesifik (Behrman, et al., 2000).
8
1) Complement fixation antibodies (CF)
CF test dapat digunakan untuk menentukan jumlah respon
antibodi terhadap komponen antigen S dan V bagi diagnosis infeksi
parotitis epidemika akut. Antibodi terhadap antigen V mencapai titer
puncak dalam 1 bulan dan menetap selama 6 bulan berikutnya dan
kemudian menurun secara lambat 2 tahun sampai suatu jumlah yang
rendah dan tetap ada. Peningkatan 4 kali lipat dalam titer dengan
analisis standar apapun menunjukan infeksi yang baru terjadi
(Behrman, et al., 2000).
2) Hemagglutination inhibition antibodies (HI)
Uji ini memerlukan dua spesimen serum, satu serum dengan onset
cepat dan serum yang satunya diambil pada hari ketiga. Jika perbedaan
titer spesimen 4 kali selama infeksi akut, maka kemungkinannya
parotitis (Behrman, et al., 2000).
3) Virus neutralizing antibodies (VN)
Tes ini untuk menentukan imunitas terhadap parotitis epidemika.
Tes ini adalah metode yang paling dapat dipercaya untuk menemukan
imunitas tetapi tidak praktis dan mahal (Behrman, et al., 2000).
d. Isolasi virus
Mengisolasi virus dengan membuat biakan virus yang terdapat
dalam saliva, urin, LCS atau darah. Biakan dinyatakan positif bila
terdapat hemadsorpsi dalam biakan yang diberi cairan fosfat-NaCl dan
tidak ada pada biakan yang diberi serum hiperimun (Behrman, et al.,
2000).
e. Polymerase Chain Reaction (PCR)
Pemeriksaan ini adalah sebuah pemeriksaan diagnostik terbaru.
Pemeriksaan ini lebih sensitif dibandingkan dengan pemeriksaan yang
lain. Bahan spesimen diambil dari swab orofaring atau cairan
serebrospinal (Behrman, et al., 2000).
9
I. PENATALAKSANAAN
Parotitis merupakan penyakit yang bersifat self-limited (sembuh / hilang
sendiri) yang berlangsung kurang lebih dalam satu minggu. Tidak ada terapi
spesifik bagi infeksi virus mumps oleh karena itu pengobatan parotitis
seluruhnya simptomatik dan suportif (Soedarmo, et al., 2008).
1. Penderita rawat jalan
Penderita baru dapat dirawat jalan bila tidak ada komplikasi dan
keadaan umum cukup baik.
a. Istirahat yang cukup
b. Pemberian diet lunak dan cairan yang cukup
c. Medikamentosa (simptomatik) :
Terapi yang digunakan yaitu obat pereda panas dan nyeri
(antipiretik dan analgesik) misalnya Parasetamol 7,5-10 mg/kgBB/hari
dibagi dalam 3 dosis.
2. Penderita rawat inap
Penderita dengan demam tinggi, keadaan umum lemah, nyeri kepala
hebat, gejala saraf perlu rawat inap di ruang isolasi.
a. Diet lunak, cair dan TKTP
b. Analgetik-antipiretik
c. Penanganan komplikasi tergantung jenis komplikasinya (Soedarmo, et
al., 2008).
J. KOMPLIKASI
Komplikasi dari infeksi mumps lazimnya adalah keterlibatan sistem
saraf pusat (meningitis), tetapi tidak sering. Meningitis terjadi pada 15% dari
pasien yang terinfeksi mumps, tetapi tanpa adanya kerusakan permanen.
Hingga 50% dari laki-laki yang sudah mengalami pubertas terkena orkitis
(pembengkakan testis) sebagai komplikasi mumps. Kira-kira setengah dari
pasien orkitis memiliki resiko terjadinya atropi testis, tetapi jarang hingga
menimbulkan kemandulan (Wielders, et al., 2011).
Ooforitis (pembengkakan ovarium) dan mastitis dapat terjadi pada
wanita yang telah mengalami pubertas. Peningkatan jumlah kejadian abortus
10
spontan telah ditemukan pada wanita hamil trimester 1 kehamilannya yang
sedang mengalami infeksi mumps, namun belum ditemukan adanya bukti
bahwa mumps dapat menyebabkan cacat bawaan. Deafness (tuli) pada satu
telinga atau kedua telinga dapat terjadi pada 1/20.000 kasus yang telah
dilaporkan (Wielders, et al., 2011).
Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk mengetahui apakah terjadi
komplikasi terutama pada orkitis dan meningitis adalah sebagai berikut :
1. Orkitis
Orkitis akibat infeksi dari mumps dapat didiagnosis dengan
menggunakan pemeriksaan darah, tes C-reactive protein, urinalisis, dan
juga USG. Pada pemeriksaan darah lengkap didapatkan leukositosis,
leukopenia, dan peningkatan C-reactive protein rata-rata sebanyak 140
mg/L. Pada hitung jenis leukosit sebagian besar menunjukkan hasil normal
(Davis, et al., 2010).
Urinalisis, urethral swab, dan urin pancar tengah dapat digunakan
untuk menyingkirkan dugaan adanya infeksi bakterial. Pada USG
didapatkan adanya hipervaskularisasi testis dan epididimis, pembesaran
epididimis, dan juga adanya hidrokel. Pada saat ini Colour Doppler USG
lebih sensitif menunjukkan adanya pembesaran testis (unilateral atau
bilateral) dibanding dengan USG konvensional (Davis, et al., 2010).
2. Meningitis
Teknik diagnostik baru untuk mendiagnosis meningoencephalitis
virus adalah dengan memakai Polymerase Chain Reactive (PCR) untuk
mendeteksi DNA atau RNA virus dalam cairan serebrospinal. Pada
parotitis, penurunan kadar glukosa CSS sering terjadi. Uji lain yang
bermanfaat pada evaluasi pasien dengan dugaan meningoencephalitis virus
adalah dengan elektroensefalogram dan pemeriksaan neuroimaging
(Charles, 2000).
11
Table 1. Penemuan-penemuan Cairan Serebrospinal pada Berbagai Infeksi
SSP
Infeksi Tekanan (mmH2O)
Leukosit Total
(m2)
% PMN
Protein (mg/dl)
Glukosa (mg/dl)
Tidak ada infeksi/ normalMeningoencephalitis virusMeningitis bakteriAbses otak
50-80
100-150
100-300100-300
<5
10-1000
100-1000010-200
<25
<25%
>75%<25%
20-45
50-200
100-500
75-500
>50
>50
<40>50
K. PROGNOSIS
Prognosis dari parotitis epidemika umumnya baik, tetapi pada kondisi
tertentu dapat terjadi komplikasi (Turek, 2004).
L. PENCEGAHAN
Pencegahan terhadap parotitis epidemika dapat dilakukan secara
imunisasi pasif dan imunisasi aktif. Cara ini merupakan pendekatan terbaik
untuk menurunkan angka morbiditas dan mortalitas akibat gondong (Staf
Pengajar IKA FKUI, 2007).
1. Pasif : antibodi yang didapatkan dari ibu melalui plasenta dapat
melindungi bayi dari parotitis epidemika. Maka dari itu, jarang ditemukan
gondong pada bayi kurang dari 6 bulan. Selain itu, Gamma globulin
parotitis hiperimun tidak efektif dalam mencegah parotitis atau
mengurangi komplikasi (Staf Pengajar IKA FKUI, 2007).
2. Aktif : dilakukan dengan memberikan vaksinasi dengan virus parotitis
hidup yang dilemahkan (Mumpsvax-merck, sharp and dohme). Vaksin ini
tidak menyebabkan panas atau reaksi lain serta tidak mengekskresi virus
dan tidak menular terhadap kelompok yang rentan. Jarang ditemukan
parotis yang dapat berkembang selama 7-10 hari sesudah vaksinasi (Staf
Pengajar IKA FKUI, 2007).
12
BAB III
PEMBAHASAN
Pemberian vaksinasi dengan virus “mumps”, sangat efektif dalam
menimbulkan peningkatan antibodi “mumps” pada individu yang seronegatif
sebelum dilakukan vaksinasi dan telah memberikan proteksi 15-95 %. Proteksi
yang baik sekurang-kurangnya selama 12 tahun dan tidak mengganggu vaksin
terhadap morbili, rubella, dan poliomielitis atau vaksinasi variola (Fauci, et al.,
2008).
Vaksin tidak boleh diberikan pada bayi di bawah usia 1 tahun karena efek
antibodi maternal. Selain itu tidak boleh diberikan pula pada individu dengan
riwayat hipersensitivitas terhadap komponen vaksin, demam akut, selama
kehamilan, leukemia dan keganasan, limfoma, sedang diberi obat-obat
imunosupresif, alkilasi dan anti metabolit serta pasien yang sedang menjalani
terapi radiasi (Fauci, et al., 2008).
Vaksin campak, parotitis, rubella [Measles Mumps Rubella (MMR)]
menimbulkan reaksi yang merugikan seperti terjadi demam atau ruam dalam
waktu 7-14 hari, dan kejang (demam) (Schwartz, 2005).
Imunisasi mumps termasuk dalam jenis imunisasi dasar yang baik diberikan
kepada anak-anak. Berdasarkan IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia), jenis
imunisasi dasar berupa :
1. Imunisasi BCG
Imunisasi BCG (Bacillus Calmette Guerin) merupakan imunisasi yang
digunakan untuk mencegah terjadinya penyakit TB yang berat sebab terjadinya
peyakit TB yang primer atau ringan dapat terjadi walaupun sudah dilakukan
imunisasi BCG. TB yang berat contohnya TB pada selaput otak, TB milier
pada seluruh lapangan paru, atau TB tulang. Vaksin BCG merupakan vaksin
yang mengandung kuman TB yang telah dilemahkan. Vaksin BCG diberikan
melalui intradermal. Efek samping pemberian imunisasi BCG adalah terjadinya
ulkus pada daerah suntikan, limfadenitis regional, dan reaksi panas (IDAI,
2013).
13
2. Imunisasi Hepatitis B
Imunisasi hepatitis B merupakan imunisasi yang digunakan untuk
mencegah terjadinya penyakit hepatitis. Kandungan vaksin ini dalah HbsAg
dalam bentuk cair. Frekuensi pemberian imunisasi hepatitis sebanyak 3 kali
dan penguatnya dapat diberikan pada usia 6 tahun. Imunisasi hepatitis ini
diberikan melalui intramuskuler. Angka kejadian hepatitis B pada anak balita
juga sangat tinggi dalam memengaruhi angka kesakitan dan kematian balita
(IDAI, 2013).
3. Imunisasi Polio
Imunisasi polio merupakan imunisasi yang digunakan untuk mencegah
terjadinya penyakit poliomilelitis yang dapat menyebabkan kelumpuhan pada
anak. Kandungan vaksin ini adalah virus yang dilemahkan. Imunisasi polio
diberikan secara oral. Ada empat strategi dalam mencegah terjadinya
poliomielitis yaitu imunisasi rutin OPV (Oral Polio Virus) dengan cakupan
tinggi, imunitas tambahan, surveilans AFP dan investigasi laboratorium, serta
mop-up untuk memutus rantai penularan terakhir (IDAI, 2013).
4. Imunisasi DPT
Imunisasi DPT (Diptheria, Pertussis, Tetanus) merupakan imunisasi
yang digunakan untuk mencegah terjadinya difteri, pertusis dan tetanus.
Vaksin difteri ini mengandung kuman difteri yang telah dihilangkan sifat
racunnya, namun masih dapat merangsang pembentukan zat anti (toksoid).
Pemberian pertama zat anti terbentuk masih sangat sedikit (tahap pengenalan)
terhadap vaksin dan mengaktifkan organ-organ tubuh membuat zat anti.
Imunisasi DPT diberikan melalui intramuskular. Pemberian DPT dapat berefek
samping ringan ataupun berat. Efek ringan misalnya terjadi pembengkakan,
nyeri pada tempat penyuntikan, dan demam. Efek berat misalnya terjadi
kesakitan kurang lebih empat jam, kesadaran menurun, terjadi kejang,
ensefalopati, dan syok (IDAI, 2013).
5. Imunisasi Campak
Imunisasi campak merupakan imunisasi yang digunakan untuk mencegah
terjadinya penyakit campak pada anak karena termasuk penyakit menular.
Kandungan vaksin ini adalah virus yang dilemahkan. Imunisasi campak
14
diberikan melalui subkutan. Imunisasi ini memiliki efek samping seperti
terjadinya ruam pada tempat suntikan dan panas. Angka kejadian campak juga
sangat tinggi dalam memengaruhi angka kesakitan dan kematian anak (IDAI,
2013).
6. Imunisasi MMR
Imunisasi MMR (Measles, Mumps, Rubella) merupakan imunisasi yang
digunakan dalam memberikan kekebalan terhadap penyakit campak, parotitis
dan campak jerman (rubella). Dalam imunisasi MMR, antigen yang dipakai
adalah virus campak strain edmonson yang dilemahkan, virus rubella strain RA
27/3, dan virus parotitis. Vaksin ini tidak dianjurkan untuk bayi di bawah usia
1 tahun karena dikhawatirkan terjadi interferensi dengan antibodi maternal
yang masih ada. Khusus di daerah endemik, sebaiknya diberikan imunisasi
campak yang monovalen dahulu pada usia 4-6 bulan atau 9-11 bulan dan
booster(ulangan) dapat dilakukan MMR pada usia 15-18 bulan (IDAI, 2013).
7. Imunisasi Varicella
Imunisasi varicella merupakan imunisasi yang digunakan untuk
mencegah terjadinya penyakit cacar air (varicella). Vaksin varicella merupakan
virus yang hidup varicellla zoster strain OKA yang dilemahkan. Pemberian
vaksin varicellla dapat disuntikan tunggal pada usia 12 tahun di daerah tropis
dan bila di atas usia 13 tahun dapat diberikan 2 kali suntikan dengan interval 4-
8 minggu (IDAI, 2013).
8. Imunisasi hepatitis A
Imunisasi hepatitis A merupakan imunisasi yang digunakan untuk
mencegah terjadinya peyakit hepatitis A. Pemberian imunisasi ini dapat
diberikan untuk usia di atas 2 tahun. Imunisasi awal menggunakan vaksin
Harvis (berisi virus hepatitis A strain HM175 yang dinonaktifkan) dengan 2
suntikan dan interval 4 minggu. Booster pada 6 bulan setelahnya. Jika
menggunakan vaksin MSD dapat dilakukan 3 kali suntikan pada usia 6 dan 12
bulan.
15
BAB IV
PENUTUP
KESIMPULAN
1. Parotitis epidemika adalah infeksi virus akut yang biasanya menyerang
kelenjar ludah terutama kelenjar parotis dan ditandai dengan adanya kelainan
berupa pembengkakan sel epitel, pelebaran dan penyumbatan saluran.
2. Virus yang sering menyebabkan parotitis adalah Rubulavirus (virus mumps)
yang termasuk dalam genus Paramyxovirus dan merupakan anggota dari famili
Paramyxoviridae. Rubulavirus merupakan virus RNA rantai tunggal yang
dikelilingi glikoprotein.
3. Manifestasi klinis parotitis antara lain demam, nyeri otot (terutama pada leher),
nyeri kepala, malaise, pembengkakan parotis, edema faring dan palatum mole
homolateral.
4. Virus mumps masuk tubuh melalui hidung atau mulut yang berasal dari
percikan ludah, kontak langsung dengan penderita parotitis lain, muntahan, dan
urin. Kemudian mengalami masa inkubasi, replikasi dan viremia, yang mana
merangsang mediator inflamasi sehingga muncul nyeri, edema dan demam.
5. Tidak ada terapi spesifik bagi infeksi virus mumps oleh karena itu pengobatan
parotitis seluruhnya simptomatis dan suportif, berupa istirahat cukup, diet
nutrisi, serta pengobatan simptomatik.
6. Komplikasi yang mungkin terjadi berupa meningitis, orkitis, ooforitis, mastitis,
abortus spontan, cacat bawaan dan tuli. Prognosis umumnya baik. Pencegahan
parotitis yaitu pemberian imunisasi baik secara aktif atau pasif.
16