part two gula2
TRANSCRIPT
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Konfirmasi Bakteri Asam Laktat dan Bakteri Escherichia coli (EPEC)
Konfirmasi bakteri dilakukan pada kelima bakteri uji, yaitu L. plantarum kik,
L. fermentum 2B4, L. plantarum sa28k, L. acidophilus, dan Enteropatogenik E. coli
(EPEC). Konfirmasi bakteri asam laktat dan E. coli dilakukan dengan metode
sederhana yaitu pewarnaan Gram.
Keempat bakteri asam laktat yang digunakan (Lactobacillus plantarum kik,
L. fermentum 2B4, L. plantarum sa28k, dan L. acidophilus) adalah Gram positif (sel
berwarna biru setelah pewarnaan) dan berbentuk batang (Lampiran 1). Menurut
Axellson (2004) bakteri asam laktat adalah bakteri Gram positif, tidak membentuk
spora, katalase negatif, tidak memiliki sitokrom, anaerobik tetapi bersifat aerotoleran,
berbentuk batang yang tahan asam dan menghasilkan asam laktat sebagai produk
utama selama fermentasi gula. Enteropatogenik E. coli adalah Gram negatif (sel
berwarna merah) dan berbentuk batang (Lampiran 1). Menurut Omaye (2004)
E. coli adalah bakteri yang dapat memfermentasi laktosa, Gram negatif, tidak
membentuk spora, berbentuk batang, dan menghasilkan gas dari glukosa.
Bakteri Gram positif memiliki komposisi dinding sel yang mengandung lipid
rendah dan bersifat dihambat oleh pewarna basa (kristal violet) sedangkan bakteri
Gram negatif memiliki komposisi dinding sel yang mengandung lipid tinggi
(11-22%) dan kurang dihambat oleh pewarna basa (kristal violet) (Fardiaz 1992).
Menurut Presscott (2002) pewarnaan Gram bakteri menggunakan kristal violet
sebagai pewarna primer yang diikuti oleh larutan iodium sebagai mordant. Senyawa
iodium berfungsi meningkatkan interaksi antara sel bakteri dan larutan pewarna
Gram. Bakteri Gram positif mempertahankan warna kompleks kristal violet-iodium
setelah pencucian, sedangkan bakteri Gram negatif kehilangan kompleks kristal
violet-iodium dan menjadi kurang berwarna. Safranin menghasilkan warna yang
berbeda dengan kristal violet yaitu merah (pink). Bakteri gram negatif yang kurang
berwarna menyerap warna safranin sehingga berwarna pink (merah) tetapi tidak
mengubah warna ungu pada bakteri Gram positif.
37
Menurut Volk dan Wheeler (1993) zat warna basa bersifat sebagai ion positif
(zat pewarna+ Cl
-), sehingga bakteri dan zat pewarna basa dapat berinteraksi akibat
adanya asam nukleat dalam jumlah besar dalam protoplasma sel, jika bakteri diwarnai
muatan negatif dalam asam nukleat bakteri bereaksi dengan ion positif zat pewarna
basa. Contoh pewarna basa (metilen biru dan safranin). Perbedaan pewarnaan antara
bakteri Gram positif dan bakteri Gram negatif disebabkan dinding sel bakteri Gram
positif berbeda dengan dinding sel bakteri Gram negatif, kompleks zat pewarna
yodium terperangkap antara dinding sel dan membran sitoplasma organisme Gram
positif, sedangkan penghilangan zat lipida dari dinding sel organisme Gram negatif
dengan pencucian alkohol memungkinkan kompleks zat pewarna iodium dapat
disingkirkan dari sel.
Bakteri yang digunakan sebagai starter dalam fermentasi irisan pisang
(L. plantarum kik dan L. fermentum 2B4) dikonfirmasi lebih lanjut menggunakan
API Test CHL 50. Konfirmasi menggunakan API test bersifat lebih spesifik karena
dalam pengujiannya digunakan berbagai jenis gula. Hasil konfirmasi menggunakan
API Test CHL 50 disajikan pada Gambar 3.
Gambar 3 Identifikasi Lactobacillus plantarum kik dan L. fermentum 2B4
menggunakan API Test CHL 50.
Gambar 3 memperlihatkan perubahan warna sumur pada API Test CHL 50
setelah inkubasi 24 jam. Warna kuning menunjukkan nilai positif (+) yang artinya
bakteri dapat menggunakan gula yang tersedia dalam sumur API Test CHL 50
38
sedangkan warna biru menunjukkan nilai negatif (-) atau gula yang tersedia dalam
sumur API Test CHL 50 tidak dapat digunakan oleh bakteri uji. Output software
API Test CHL 50 (Lampiran 2) memperlihatkan bahwa L. plantarum kik
adalah spesies L. plantarum, nilai ID yaitu 99.7%. Demikian halnya dengan bakteri
L. fermentum 2B4, hasil output software API Test CHL 50 memperlihatkan
L. fermentum 2B4 adalah spesies L. fermentum dengan nilai ID yaitu 99.7%.
4.2. Kurva Pertumbuhan L. plantarum kik dan L. fermentum 2B4
Pembuatan kurva pertumbuhan dilakukan terhadap kedua kultur yang akan
digunakan sebagai starter dalam fermentasi irisan pisang, yaitu L. platarum kik dan
L. fermentum 2B4. Pertumbuhan organisme uniseluler (bersel tunggal) diartikan
sebagai pertambahan jumlah sel yang berarti juga pertambahan jumlah organisme.
Umur sel ditentukan setelah proses pembelahan sel selesai. Umur kultur ditentukan
dari waktu atau lamanya inkubasi (Fardiaz 1992). Kurva pertumbuhan L. plantarum
kik dan L. fermentum 2B4 disajikan pada Gambar 4 dan Gambar 5.
Gambar 4 Kurva pertumbuhan Lactobacillus plantarum kik.
8.93
0
2
4
6
8
10
0 3 6 9 12 15 18 21 24
Log cfu/ml
Waktu pertumbuhan (Jam)
1.6
0
0.5
1
1.5
2
2.5
0 3 6 9 12 15 18 21 24 27
OD (λ = 600nm)
Waktu pertumbuhan (Jam)
39
Gambar 5 Kurva pertumbuhan Lactobacillus fermentum 2B4.
Fase pertumbuhan awal (fase adaptasi) terjadi pada waktu 0-6 jam. Pada waktu
pertumbuhan ini, peningkatan bakteri tidak terlalu signifikan. Peningkatan jumlah sel
bakteri dari 5.32-6.77 log cfu/ml (L. plantarum kik) dan 5.14-6.41 log cfu/ml
(L. fermentum 2B4) (Lampiran 7). Fase pertumbuhan logaritmik untuk kedua spesies
dimulai pada jam ke 6-12 dimana pertumbuhan jumlah bakteri meningkat dengan
pesat, yaitu meningkat hingga 8.93 log cfu/ml (L. plantarum kik) dan 8.89 log cfu/ml
(L. fermentum 2B4). Fase pertumbuhan tetap (stasioner) dimulai pada jam ke 12-24,
peningkatan jumlah sel bakteri cenderung tetap, yaitu berkisar 9 log cfu/ml baik
L. plantarum kik maupun L. fermentum 2B4.
Umur kultur yang diaplikasikan sebagai starter dalam fermentasi irisan pisang
baik kultur L. plantarum kik maupun L. fermentum 2B4 adalah umur 12 jam.
Pertimbangan ini didasarkan pada umur 12 jam, pertumbuhan bakteri memasuki fase
pertumbuhan lambat (fase akhir logaritmik dan fase awal stasioner). Fase
pertumbuhan lambat adalah fase dimana jumlah populasi masih naik karena jumlah
sel yang tumbuh masih lebih banyak daripada jumlah sel yang mati (Fardiaz 1992).
Selain itu, pada umur 12 jam kedua bakteri telah mencapai populasi 108 cfu/ml.
Merujuk pada penelitian yang dilakukan oleh Giraud et al. (1996) kultur L. plantarum
A6 dan L. plantarum Lactolabo yang digunakan dalam fermentasi singkong adalah
108 cfu/g berat kering singkong.
8.89
0
2
4
6
8
10
0 3 6 9 12 15 18 21 24
Log cfu/ml
Waktu pertumbuhan (Jam)
1.543
0
0.5
1
1.5
2
2.5
0 3 6 9 12 15 18 21 24 27
OD (λ = 600nm)
Waktu pertumbuhan (Jam)
40
Jumlah L. plantarum kik dan L. fermentum 2B4 pada umur 12 jam mencapai
8.93 log cfu/ml ekuivalen 1.6 dan 8.89 log cfu/ml ekuivalen 1.543 jika dilakukan
pengukuran berdasarkan densitas optik (λ = 600 nm) (Lampiran 8). Tujuan dari
pengukuran sel bakteri menggunakan densitas optik (OD) adalah memudahkan
aplikasi pemanfaatan starter dengan populasi yang diinginkan tanpa harus
menghitung jumlah bakteri terlebih dahulu. Dengan demikian, starter yang digunakan
untuk penelitian selanjutnya hanya disesuaikan dengan nilai OD (λ = 600 nm) yang
diperoleh pada kurva pertumbuhan kedua kultur pada jam ke-12.
Menurut Fardiaz (1992) waktu generasi adalah waktu yang dibutuhkan oleh
suatu populasi sel untuk bertambah jumlahnya menjadi dua kalinya.Waktu generasi
pertumbuhan L. plantarum kik pada umur 12 jam adalah 1 jam dengan nilai konstanta
kecepatan pertumbuhan (k) adalah 1 generasi/jam, sedangkan waktu generasi
pertumbuhan L. fermentum 2B4 pada umur 12 jam adalah 0.96 jam atau 57.87 menit
dengan nilai k adalah 1.04 generasi/jam. Waktu generasi setiap kultur yang digunakan
penting diketahui, karena dengan mengetahui waktu generasi kultur dapat diketahui
kecepatan pembelahan sel kultur yang akan digunakan. Waktu generasi pertumbuhan
kedua kultur tidak berbeda, sehingga selama fermentasi kultur campuran mungkin
akan terjadi kompetisi yang besar antara kedua BAL dalam memperoleh sumber
nutrien untuk pertumbuhan.
4.3. Penentuan Lama Fermentasi Irisan Pisang
Selama fermentasi irisan pisang oleh kultur campuran L. plantarum kik dan
L. fermentum 2B4 (1 : 1) diamati perubahan-perubahan yang terjadi pada cairan
fermentasi meliputi jumlah bakteri asam laktat, total asam tertitrasi, pH, dan aktivitas
amilase ekstraseluler. Tujuan pengujian ini adalah mencari lama fermentasi optimal.
Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah pisang tanduk.
Menurut Jenie et al. (2009) kadar pati dan kadar amilosa pisang tanduk lebih tinggi
dibandingkan kadar pati dan kadar amilosa pisang siam, uli, dan kepok. Kadar
amilosa yang tinggi pada pati alami sangat berperan penting dalam pembentukan pati
resisten.
41
Pisang tanduk yang digunakan adalah pisang tanduk tua dengan indeks warna
pisang berwarna hijau, berat rata-rata 398.70 g, panjang bagian sisi luar pisang
37.48 cm, panjang bagian sisi dalam 29.21 cm, diameter bagian pangkal pisang 3.93
cm, diameter bagian tengah pisang 4.67 cm, dan diameter bagian ujung pisang 4.05
cm. Aurore (2008) melaporkan klasifikasi kematangan buah pisang terdiri dari 8
kelompok yang dibedakan berdasarkan indeks warna, pisang yang memiliki indeks
warna hijau termasuk dalam kelompok 1-3 yaitu buah belum dapat dimakan karena
dagingnya sangat keras dan kaya akan pati.
Fermentasi irisan pisang dilakukan dalam kondisi mikroaerofilik. L. plantarum
kik bersifat obligat homofermentatif dan L. fermentum 2B4 bersifat heterofermentatif.
L. plantarum kik dan L. fermentum 2B4 adalah bakteri yang menghasilkan asam
laktat sebagai produk metabolitnya. Selain itu, Jenie et al. (2009) melaporkan kedua
spesies ini, yaitu L. plantarum kik dan L. fermentum 2B4 memiliki kemampuan untuk
menghasilkan amilase ekstraseluler. Amilase ekstraseluler adalah enzim yang mampu
mendegradasi amilosa menjadi senyawa yang lebih sederhana (maltosa dan glukosa),
sehingga diasumsikan senyawa sederhana tersebut dapat dimanfaatkan oleh bakteri
asam laktat sebagai salah satu sumber karbon untuk menghasilkan asam laktat.
4.3.1. Jumlah Bakteri Asam Laktat
Pertumbuhan jumlah L. plantarum kik dan L. fermentum 2B4 selama
fermentasi irisan pisang tanduk disajikan dalam Gambar 6. Jumlah kultur campuran
bakteri asam laktat (BAL) selama fermentasi dari 0 sampai 96 jam berkisar 6.39
hingga 8.31 log cfu/ml.
Hasil analisis ragam menunjukkan waktu fermentasi (P<0.05) berpengaruh
terhadap jumlah BAL kultur campuran selama fermentasi (Lampiran 10c). Hasil uji
lanjut Duncan (Lampiran 10d) memperlihatkan jumlah BAL pada waktu fermentasi
72 jam (8 log cfu/ml) dan 96 jam (8.31 log cfu/ml) tidak berbeda signifikan, tetapi
berbeda signifikan dengan jumlah BAL awal (6.39 log cu/ml), jumlah BAL pada
waktu fermentasi 24 jam (6.68 log cfu/ml) dan 48 jam (7.17 log cfu/ml).
42
Gambar 6 Hubungan lama fermentasi dan jumlah kultur campuran L. plantarum kik
dan L. fermentum 2B4 pada cairan fermentasi.
Kurva pertumbuhan kultur campuran BAL selama fermentasi irisan pisang
tanduk memperlihatkan fase adaptasi terjadi hingga waktu fermentasi ke-24 jam,
6.68 log cfu/ml. Fase adaptasi ditandai dengan tidak terjadinya peningkatan jumlah
yang signifikan dengan jumlah kultur awal, 6.39 log cfu/ml (0 jam). Fase adaptasi
kultur campuran relatif lambat. Persiapan kultur dilakukan pada media MRSB,
sehingga pada saat diinokulasi ke irisan pisang membutuhkan waktu adaptasi hingga
lama fermentasi 24 jam. Fase adaptasi bergantung pada kecepatan penyesuaian
dengan lingkungan, jika nutrien yang tersedia dan kondisi lingkungan yang baru
sangat berbeda, diperlukan waktu penyesuaian untuk mensintesis enzim-enzim yang
dibutuhkan untuk metabolisme. Fase pertumbuhan logaritmik dimulai pada waktu
fermentasi 24 sampai 72 jam, dan fase pertumbuhan stasioner diawali pada waktu
fermentasi 72 jam. Jumlah BAL pada waktu fermentasi ke 72 sampai 96 jam secara
signifikan tidak berbeda, yaitu berkisar 8 log cfu/ml.
4.3.2. Produksi Asam
Total asam tertitrasi selama fermentasi irisan pisang tanduk disajikan dalam
Gambar 7. Total asam tertitrasi selama fermentasi dari 0 sampai 96 jam berkisar 0.03
hingga 0.31%.
6.39 6.687.17
8.008.31
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
0 24 48 72 96
Log cfu/ml
Lama Fermentasi (Jam)
43
Hasil analisis ragam menunjukkan waktu fermentasi (P<0.05) berpengaruh
terhadap total asam tertitrasi (Lampiran 11c). Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 11d)
memperlihatkan total asam tertitrasi pada waktu fermentasi 72 jam (0.3%) dan
96 jam (0.31%) tidak berbeda signifikan, tetapi berbeda signifikan dengan total asam
tertitrasi awal (0.03%), total asam tertitrasi fermentasi 24 jam (0.21%) dan 48 jam
(0.25%).
Gambar 7 Hubungan lama fermentasi dan total asam tertitrasi pada cairan fermentasi.
Peningkatan total asam tertitrasi ini berkorelasi positif dengan peningkatan
populasi BAL selama fermentasi irisan pisang tanduk (Gambar 6). Hasil
metabolisme utama BAL selama fermentasi adalah asam laktat. Menurut Axelsson
(2004) metabolisme BAL selama fermentasi mengakibatkan perubahan karbohidrat
(gula-gula sederhana) menjadi substrat fosforilasi. Kelompok bakteri ini memiliki
kapasitas untuk mendegradasi karbohidrat (gula-gula sederhana), hasil metabolisme
tergantung pada substrat gula yang tersedia, tetapi umumnya produk akhir yang
dihasilkan adalah asam laktat. Menurut Raimbault et al. (1996) metabolit utama BAL
homofermentatif adalah asam laktat (80% dari total asam) dan BAL heterofermentatif
menghasilkan asam laktat berkisar 50-80% dari total asam. Reddy et al. (2008)
0.03
0.21
0.25
0.30 0.31
0
0.05
0.1
0.15
0.2
0.25
0.3
0.35
0 24 48 72 96
Total Asam Tertitrasi (%)
Lama Fermentasi (Jam)
44
melaporkan L. plantarum menghasilkan asam laktat 14.25 g/L dari media campuran
karbohidrat (20 g/L). Pada media campuran (pati, glukosa, fruktosa, dan sukrosa)
L. fermentum menghasilkan asam laktat 10 g (mmol/L) (Calderon et al. 2003a).
4.3.3. Perubahan pH
Perubahan pH selama fermentasi irisan pisang tanduk disajikan dalam Gambar
8. Selama fermentasi 96 jam terjadi perubahan pH dari 6.38 hingga 3.77-4.12. Nilai
pH cairan semakin rendah diakibatkan produk metabolisme utama yang dihasilkan
oleh kultur campuran bakteri asam laktat adalah asam laktat.
Gambar 8 Hubungan lama fermentasi dan pH pada cairan fermentasi.
Hasil analisis ragam menunjukkan waktu fermentasi (P<0.05) berpengaruh
terhadap pH (Lampiran 12c). Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 12d)
memperlihatkan pH pada waktu fermentasi 72 jam (4.14) dan 96 jam (4.12) tidak
berbeda signifikan, tetapi berbeda signifikan dengan pH awal (6.38), pH fermentasi
24 jam (3.77) dan 48 jam (3.98).
Nilai pH cairan fermentasi secara signifikan menurun sampai 24 jam
fermentasi, yaitu dari 6.38 hingga 3.77. Penurunan pH ini berkorelasi dengan
peningkatan total asam tertitrasi (asam laktat) setelah 24 jam fermentasi (Gambar 7).
6.38
3.773.98 4.14 4.12
0
1
2
3
4
5
6
7
0 24 48 72 96
pH
Lama Fermentasi (Jam)
45
Setelah 24 jam fermentasi, nilai pH cairan fermentasi meningkat menjadi 4.14
pada 72 jam. Peningkatan pH ini disebabkan oleh terbentuknya etanol oleh bakteri
asam laktat heterofermentatif (L. fermentum 2B4). Axelsson (2004) melaporkan
fermentasi glukosa (gula sederhana) oleh bakteri asam laktat heterofermentatif
melalui jalur 6-PG/PK menghasilkan asam laktat, etanol, CO2, dan 1 mol ATP/mol
glukosa. Menurut Reddy et al. (2008) BAL homofermentatif memfermentasi 1 mol
glukosa menjadi 2 mol asam laktat sedangkan BAL heterofermentatif memfermentasi
1 mol glukosa menjadi 1 mol asam laktat, 1 mol etanol, dan 1 mol CO2.
Salah satu produk etanol yang dihasilkan oleh L. fermentum adalah manitol
(gula alkohol). Manitol dihasilkan oleh L. fermentum dari fruktosa yang digunakan
sebagai aseptor elektron eksternal yang berperan untuk mempertahankan
keseimbangan redoks, meningkatkan energi pertumbuhan, dan meningkatkan daya
saing (Van der Meulen et al. 2007). Calderon et al. (2003a) melaporkan pada media
yang mengandung pati, glukosa, fruktosa, dan sukrosa, L. fermentum menghasilkan
asam laktat 10 g (mmol/L), etanol 91 mmol/L, asam asetat 21 mmol/L, mannitol 57
mmol/L, dan aktivitas amilase 8 unit/ml.
4.3.4. Aktivitas Amilase Ekstraseluler yang dihasilkan selama Fermentasi
Aktivitas enzim amilase ekstraseluler yang dihasilkan oleh kultur campuran
L. plantarum kik dan L. fermentum 2B4 selama fermentasi irisan pisang tanduk
disajikan dalam Gambar 9. Aktivitas amilase ekstraseluler oleh kultur campuran
bakteri asam laktat (BAL) selama fermentasi dari 0 sampai 96 jam berkisar 0.03
hingga 0.30 log cfu/ml.
Hasil analisis ragam menunjukkan lama fermentasi (P<0.05) berpengaruh
terhadap aktivitas amilase ekstraseluler yang dihasilkan selama fermentasi (Lampiran
13c). Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 13d) memperlihatkan aktivitas amilase
ekstraseluler tertinggi dihasilkan pada waktu fermentasi 96 jam (0.30 unit/ml).
Aktivitas amilase ekstraseluler yang dihasilkan pada waktu fermentasi 96 jam
berbeda signifikan dengan aktivitas amilase ekstraseluler yang dihasilkan pada waktu
fermentasi 24 jam (0.05 unit/ml), 48 jam (0.09 unit/ml), dan 72 jam (0.18 unit/ml).
46
Gambar 9 Hubungan lama fermentasi dan aktivitas enzim amilase ekstraseluler cairan
fermentasi.
L. plantarum dan L. fermentum diketahui tergolong bakteri asam laktat yang
memiliki kemampuan untuk menghasilkan enzim amilase yang mampu mendegradasi
pati menjadi monomer sederhana (glukosa) dan menghasilkan asam laktat. Reddy et
al. (2008) menyatakan bakteri asam laktat amilolitik dapat memfermentasi berbagai
jenis amilosa dari sumber pati yang berbeda dan mengkonversinya menjadi asam
laktat. Beberapa kajian L. plantarum dan L. fermentum diklasifikasikan dalam bakteri
asam laktat amilolitik yaitu Giraud et al. (1994) melaporkan L. plantarum A6 yang
diisolasi dari fermentasi singkong memiliki kemampuan produksi amilase sehingga
mendegradasi pati singkong dan menghasilkan asam laktat. Menurut Calderon et al.
(2003a); Calderon et al. (2003b) L. fermentum Ogi E1 hasil isolasi dari fermentasi
Ogi mampu memproduksi enzim amilase. Demikian halnya, Sanni et al. (2002)
melaporkan L. plantarum dan L. fermentum yang diisolasi dari berbagai makanan
fermentasi di Nigeria, berpotensi memproduksi enzim amilase.
Aktivitas amilase ekstraseluler semakin meningkat dengan lamanya waktu
fermentasi. Peningkatan produksi amilase ekstraseluler berkorelasi positif dengan
peningkatan jumlah BAL selama waktu fermentasi (Gambar 6). Peningkatan produksi
amilase ekstraseluler terjadi pada waktu fermentasi jam ke-24. Pada waktu ini, fase
pertumbuhan kultur campuran memasuki fase pertumbuhan logaritmik. Fase
0.03 0.05
0.09
0.18
0.30
0.00
0.05
0.10
0.15
0.20
0.25
0.30
0.35
0 24 48 72 96
Aktivitas enzim amilase ekstraseluler
(unit/ml)
Lama Fermentasi (Jam)
47
logaritmik adalah fase pertumbuhan dimana bakteri membelah dengan pesat, selama
fase ini BAL mampu menghasilkan beberapa hasil metabolit yaitu asam laktat dan
amilase ekstraseluler. Menurut Vishnu et al. (2006) bakteri asam laktat menghasilkan
amilase ekstraseluler yang bervariasi, aktivitas enzim meningkat selama fase
pertumbuhan logaritmik. Giraud et al. (1994) menyatakan pada prinsipnya aktivitas
amilase diproduksi pada akhir fase pertumbuhan, pada fase ini memungkinkan terjadi
degradasi sempurna dari granula pati menjadi asam laktat.
Aktivitas amilase ekstraseluler yang dihasilkan oleh kultur campuran
L. plantarum kik dan L. fermentum 2B4 (0.30 unit/ml) lebih rendah jika
dibandingkan dengan penelitian pengujian aktivitas amilase yang dihasilkan oleh
BAL amilolitik lainnya. Giraud et al. (1994) melaporkan L. plantarum A6 yang
diisolasi dari fermentasi singkong memiliki aktivitas amilase 60 unit/ml pada pH 6
dan 2 unit/ml tanpa pengaturan pH medium. pH optimal aktivitas amilase L.
plantarum A6 adalah 5.5 (Giraud et al. 1996). L. plantarum C5, L. fermentum K9,
dan L. plantarum OB8 adalah BAL yang diisolasi dari produk fermentasi Nigeria.
Ketiga BAL ini memiliki aktivitas amilase 12.7 unit/ml dan 11.9 unit/ml selama 12
jam fermentasi tanpa pengaturan pH medium (Sanni et al. 2002).
Nilai aktivitas amilase ekstraseluler kultur campuran menyerupai aktivitas
amilase yang dihasilkan oleh L. amylophilus GV6, hasil isolasi dari limbah industri
pati yaitu 0.31 unit/ml pada pH medium 6.5 (Vishnu et al. 2006). Perbedaan aktivitas
amilase yang dihasilkan mungkin disebabkan oleh pH fermentasi irisan pisang tanduk
yang tidak dikendalikan. Nilai pH selama proses fermentasi irisan pisang tanduk
berada pada kisaran 3.77-4.12. Calderon et al. (2003a) melaporkan aktivitas
α-amilase L. fermentum Ogi E1 pada medium pati mengalami penurunan signifikan,
pada pH 5 aktivitas α-amilase yang dihasilkan 8.1 unit/ml, namun setelah pH medium
pati diturunkan menjadi pH 4 aktivitas α-amilase menjadi 3.3 unit/ml. Demikian
halnya, menurut Giraud et al. (1996) aktivitas relatif amilase L. plantarum A6 pada
pH 5.5 adalah 100% sedangkan aktivitas relatif amilase pada pH 4 lebih rendah,
hanya berkisar 60-65%.
48
Kultur campuran L. plantarum kik dan L. fermentum 2B4 juga mungkin
berpengaruh terhadap amilase ekstraseluler yang dihasilkan. Kedua BAL ini memiliki
sifat fermentasi berbeda sehingga menghasilkan produk metabolit yang berbeda.
Selama fermentasi irisan pisang tanduk, kedua kultur BAL yang digunakan mungkin
berkompetisi dalam memperoleh sumber nutrien. Giraud et al. (1996) melaporkan
L. plantarum A6 yang diinokulasikan dalam fermentasi singkong mampu
menghambat pertumbuhan BAL heterofermentatif alami singkong.
Berdasarkan pertumbuhan BAL, produksi asam, dan penurunan pH, pada cairan
fermentasi selama 96 jam, maka ditetapkan lama fermentasi optimal irisan pisang
tanduk adalah 72 jam. Jumlah BAL, total asam tertitrasi, dan pH cairan pada lama
fermentasi 72 jam tidak berbeda signifikan dengan jumlah BAL, total asam tertitrasi,
dan pH cairan lama fermentasi 96 jam, hanya aktivitas amilase yang berbeda
signifikan.
Dalam penelitian ini, pati (amilosa) pisang sangat dibutuhkan dalam proses
pembentukan pati resisten. Jika pati (amilosa) pisang mengalami degradasi yang
tinggi oleh amilase yang dihasilkan oleh BAL menjadi senyawa yang lebih
sederhana, dikhawatirkan dapat mengakibatkan penurunan produksi pati resisten
tepung pisang. Sajilata et al. (2006) melaporkan kadar amilosa yang tinggi
berkorelasi positif dengan kadar RS yang dihasilkan. Makanan yang mengandung
amilosa tinggi (tepung jagung dengan kadar amilosa 70%) memiliki kadar pati
resisten lebih tinggi, yaitu 20 g/100 g berat kering dibandingkan tepung jagung yang
mengandung amilosa 25%, yaitu 3 g/100 g berat kering. Pembentukan pati resisten
tipe III dipertimbangkan sebagai proses kristalisasi amilosa (Eerlingan dan Delcour
1995; Thompson 2000). Sievert dan Pomeranz (1990) melaporkan peningkatan kadar
amilosa pada pati dihubungkan dengan peningkatan entalpi gelatinisasi pati.
49
4.4. Fermentasi Irisan Pisang dengan Beberapa Rasio Kultur Campuran
(L. plantarum kik dan L. fermentum 2B4) dan Pemanasan Otoklaf
Pada tahap ini dilakukan penentuan rasio kultur campuran (L. plantarum kik
dan L. fermentum 2B4) dan pengaruh pemanasan otoklaf (121⁰C) terhadap
pembentukan RS III tepung pisang dan sifat fungsionalnya. Kajian meliputi sifat
fisikokimia dan sifat biologi tepung pisang maupun tepung pisang modifikasi (TPM).
Tepung pisang modifikasi (TPM) yang memiliki sifat fisikokimia dan sifat biologi
terbaik akan diuji sifat fungsionalnya.
Penampakan irisan pisang tanduk setelah diberi perlakuan pemanasan otoklaf
menjadi berwarna lebih gelap dibandingkan irisan pisang tanpa perlakuan pemanasan
otoklaf (Lampiran 5). Pemanasan otoklaf mengakibatkan terjadinya reaksi browning
(pencoklatan) pada irisan pisang tanduk dan menghasilkan tepung pisang berwarna
lebih gelap (coklat). Tepung pisang yang diperoleh melalui fermentasi kultur
campuran BAL berwarna lebih cerah jika dibandingkan dengan tepung pisang tanpa
fermentasi (Lampiran 6).
Perbedaan penampakan tepung pisang fermentasi dan tanpa fermentasi
diakibatkan oleh pemanfaatan gula-gula sederhana dan gula reduksi yang terkandung
dalam irisan pisang tanduk oleh kultur campuran BAL selama fermentasi. Hal ini
menyebabkan tepung modifikasi hasil fermentasi berwarna lebih cerah, karena reaksi
pencoklatan terhambat.
4.4.1. Kadar Pati Resisten
Pengaruh fermentasi kultur campuran BAL dan pemanasan otoklaf terhadap
kadar pati resisten tepung pisang dan TPM disajikan dalam Gambar 10. Kadar pati
resisten tepung pisang dan TPM yang dihasilkan berada pada kisaran 5.87-13.71%.
Hasil analisis ragam menunjukkan fermentasi dengan beberapa rasio campuran
BAL dan interaksinya dengan pemanasan otoklaf (P<0.05) tidak berpengaruh
signifikan terhadap kadar pati resisten tepung pisang yang dihasilkan. Hanya proses
pemanasan otoklaf yang
pisang (Lampiran 15c).
9.69% sedangkan yang difermentasi berkisar antara 9.5
Selama fermentasi, kultur campuran BAL terlebih dahulu memanfaatkan gula
gula sederhana (gula yang larut, gula reduksi, dan gula non reduksi) yang memang
tersedia secara alami dalam
pisang terdiri dari pati (amilosa dan
(Zhang et al. 2005; Cordenunsi
dalam golongan mono dan disakarida, sumber karbon ini lebih mudah dimanfaatkan
oleh kultur campuran BAL dibandingkan
Total asam (asam laktat) yang dihasilkan pada
berkisar 0.34-0.35% yang ekuivalen dengan 3 mmol/L asam laktat. Asam laktat yang
dihasilkan selama fermentasi
pengaruh terhadap pembentukan pati resisten. Menurut Onyan
pati resisten tipe III meningkat signifikan ketika pati singkong disuspensi dengan 10
mmol/L asam laktat dibandingkan pati singkong yang disuspensi dengan 1 dan 100
mmol/L asam laktat, kadar
menjadi 7.20 g/100 g bk.
Gambar 10 Pengaruh rasio
terhadap kadar pati resisten
0
2
4
6
8
10
12
14
16
Tanpa
fermentasi
6.39
Pati Resisten (%)
yang berpengaruh signifikan terhadap kadar pati resisten
c). Kadar pati resisten tepung pisang tanpa fermentasi
sedangkan yang difermentasi berkisar antara 9.54-10.08% (Lampiran 15
Selama fermentasi, kultur campuran BAL terlebih dahulu memanfaatkan gula
gula sederhana (gula yang larut, gula reduksi, dan gula non reduksi) yang memang
sedia secara alami dalam irisan pisang tanduk. Sumber karbon yang tersedia pada
pisang terdiri dari pati (amilosa dan pati resisten), glukosa, fruktosa, dan sukrosa
. 2005; Cordenunsi et al. 2008). Glukosa, fruktosa, dan sukrosa termasuk
dalam golongan mono dan disakarida, sumber karbon ini lebih mudah dimanfaatkan
oleh kultur campuran BAL dibandingkan pati resisten (oligosakarida) dan amilosa.
Total asam (asam laktat) yang dihasilkan pada tepung pisang selama
yang ekuivalen dengan 3 mmol/L asam laktat. Asam laktat yang
dihasilkan selama fermentasi irisan pisang relatif rendah sehingga tidak memberikan
pengaruh terhadap pembentukan pati resisten. Menurut Onyango et al. (2006) kadar
III meningkat signifikan ketika pati singkong disuspensi dengan 10
mmol/L asam laktat dibandingkan pati singkong yang disuspensi dengan 1 dan 100
mmol/L asam laktat, kadar pati resisten tipe III meningkat dari 0.44
menjadi 7.20 g/100 g bk.
rasio kultur campuran BAL dan perlakuan pemanasan
terhadap kadar pati resisten tepung pisang.
Tanpa
fermentasi
(1 : 1) (2 : 1) (3 : 1)
6.396.02 5.87 6.45
12.99 13.08 13.22 13.71
Rasio L. plantarum kik : L. fermentum 2B4
Tanpa Otoklaf Otoklaf
50
pati resisten tepung
a fermentasi adalah
piran 15b).
Selama fermentasi, kultur campuran BAL terlebih dahulu memanfaatkan gula-
gula sederhana (gula yang larut, gula reduksi, dan gula non reduksi) yang memang
pisang tanduk. Sumber karbon yang tersedia pada
), glukosa, fruktosa, dan sukrosa
. 2008). Glukosa, fruktosa, dan sukrosa termasuk
dalam golongan mono dan disakarida, sumber karbon ini lebih mudah dimanfaatkan
(oligosakarida) dan amilosa.
tepung pisang selama fermentasi
yang ekuivalen dengan 3 mmol/L asam laktat. Asam laktat yang
pisang relatif rendah sehingga tidak memberikan
. (2006) kadar
III meningkat signifikan ketika pati singkong disuspensi dengan 10
mmol/L asam laktat dibandingkan pati singkong yang disuspensi dengan 1 dan 100
III meningkat dari 0.44 g/100 g bk
dan perlakuan pemanasan otoklaf
51
Kadar pati resisten tepung pisang meningkat secara signifikan setelah irisan
pisang diberi perlakuan pemanasan otoklaf. Kadar pati resisten tepung pisang tanpa
perlakuan pemanasan otoklaf adalah 6.18% dan meningkat signifikan setelah
perlakuan pemanasan otoklaf menjadi 13.25% (Lampiran 15b). Peningkatan pati
resisten setelah perlakuan pemanasan otoklaf terutama diakibatkan oleh terjadinya
gelatinisasi dan retrogradasi pati pada irisan pisang tanduk. Selama proses
gelatinisasi, granula pati pecah dan bersifat ireversibel, pati yang mengalami
gelatinisasi terdiri dari granula yang membengkak dan molekul amilosa yang
terdispersi dalam air, tetapi setelah dingin terjadi proses kristalisasi pati yang telah
mengalami gelatinisasi akibat energi kinetik tidak cukup tinggi melawan
kecenderungan molekul-molekul amilosa untuk bersatu kembali (retrogradasi)
(Winarno 2002). Xue et al. (1996) melaporkan retrogradasi pati adalah faktor utama
pembentukan pati resisten. Menurut Schmiedl et al. (2000) waktu retrogradasi
berpengaruh terhadap entalpi (∆H) retrogradasi dan kadar pati resisten tipe III yang
dihasilkan. Koksel et al. (2008) menyatakan kadar pati resisten yang tinggi
diakibatkan retrogradasi pati, pada saat tahap retrogradasi, molekul pati berikatan
kembali dan membentuk struktur yang sangat rapat dan stabil oleh ikatan hidrogen.
4.4.2. Kadar Pati
Pengaruh fermentasi kultur campuran BAL dan pemanasan otoklaf terhadap
kadar pati tepung pisang dan TPM disajikan dalam Gambar 11. Kadar pati tepung
pisang dan TPM yang dihasilkan berada pada kisaran 62.12-70.29%.
Hasil analisis ragam menunjukkan fermentasi dengan beberapa rasio campuran
BAL dan interaksinya dengan pemanasan otoklaf (P<0.05) tidak berpengaruh
signifikan terhadap kadar pati tepung pisang yang dihasilkan. Hanya pemanasan
otoklaf yang berpengaruh signifikan terhadap kadar pati tepung pisang (Lampiran
16c).
Gambar 11 Pengaruh rasio
terhadap kadar pati tepung pisang
Kadar pati tepung pisang
difermentasi berkisar 64.56
yang dihasilkan oleh kultur campuran BAL
relatif rendah, yaitu 0.18 unit/ml (Gambar 9
fermentasi BAL tidak menyebabkan penurunan yang signifikan di
kontrol. Hasil ini serupa dengan penelitian fermentasi tepung
Lactobacillus (AD2) yang diisolasi dari fermentasi spontan
Norwegia, kadar pati tidak dipengaruhi oleh proses fermentasi
Akan tetapi lebih dipengaruhi oleh pemanasan otoklaf (
Kadar pati tepung pisang menurun secara signifikan setelah
perlakuan pemanasan otoklaf
otoklaf adalah 68.42% dan menurun signifikan setelah perlakuan pemanasan
menjadi 63.21% (Lampiran 16
akibat gelatinisasi pati, gelatinisasi pati menyebabkan substansi kerusakan pati yang
menunjukkan peningkatan level kerusa
Skrede et al. 2001).
0
20
40
60
80
Tanpa
fermentasi
70.29
Kadar Pati (%)
rasio kultur campuran BAL dan perlakuan pemanasan
terhadap kadar pati tepung pisang.
Kadar pati tepung pisang tanpa fermentasi adalah 66.52% sedangkan yang
64.56-66.12% (Lampiran 16b). Aktivitas amilase ekstraseluler
yang dihasilkan oleh kultur campuran BAL pada fermentasi irisan pisang
aitu 0.18 unit/ml (Gambar 9), sehingga degradasi pati
fermentasi BAL tidak menyebabkan penurunan yang signifikan di
Hasil ini serupa dengan penelitian fermentasi tepung gandum
(AD2) yang diisolasi dari fermentasi spontan sourdough
kadar pati tidak dipengaruhi oleh proses fermentasi (Skrede
Akan tetapi lebih dipengaruhi oleh pemanasan otoklaf (Skrede et al. 2003).
Kadar pati tepung pisang menurun secara signifikan setelah irisan
otoklaf. Kadar pati tepung pisang tanpa perlakuan pemanasan
dan menurun signifikan setelah perlakuan pemanasan
(Lampiran 16b). Pemanasan otoklaf mereduksi kandungan pati
gelatinisasi pati, gelatinisasi pati menyebabkan substansi kerusakan pati yang
eningkatan level kerusakan pati (Khetarpaul dan Chauhan 1990;
Tanpa
fermentasi
(1 : 1) (2 : 1) (3 : 1)
70.29 67.43 65.9869.98
62.76 64.81 63.14 62.12
Rasio L. plantarum kik : L. fermentum 2B4
Tanpa otoklaf Otoklaf
52
dan perlakuan pemanasan otoklaf
sedangkan yang
Aktivitas amilase ekstraseluler
pisang 72 jam
ehingga degradasi pati pisang akibat
fermentasi BAL tidak menyebabkan penurunan yang signifikan dibandingkan
gandum oleh kultur
sourdough gandum
(Skrede et al. 2001).
. 2003).
irisan pisang diberi
. Kadar pati tepung pisang tanpa perlakuan pemanasan
dan menurun signifikan setelah perlakuan pemanasan otoklaf
mereduksi kandungan pati
gelatinisasi pati, gelatinisasi pati menyebabkan substansi kerusakan pati yang
kan pati (Khetarpaul dan Chauhan 1990;
62.12
Kerusakan pati pisang akibat gelatinisasi pati pisang selama pemanasan
berkorelasi positif dengan peningkatan kadar p
pati pisang mengakibatkan granula pati pecah
mengalami kerusakan jaringan (struktur sel
proses pendinginan (suhu 30ºC, 24 jam)
yang telah mengalami linierisasi
membentuk struktur baru (pati kristal) yang bersifat resisten terhadap enzim
pencernaan.
4.4.3. Kadar Amilosa
Pengaruh fermentasi kultur campuran BAL dan
kadar amilosa tepung pisang
tepung pisang dan TPM yang dihasilkan berada pada kisaran 21.16
Gambar 12 Pengaruh rasio
terhadap kadar amilosa tepu
Hasil analisis ragam menunjukkan rasio campuran BAL, perlakuan pemanasan
otoklaf, dan interaksinya (P<0.05) berpengaruh signifikan terhadap kadar amilosa
tepung pisang yang dihasilkan
tanpa fermentasi adalah 25.47% sedangkan yang difermentasi berkisar 22.91
0
5
10
15
20
25
30
35
Tanpa
fermentasi
24.94
Kadar Amilosa (%)
Kerusakan pati pisang akibat gelatinisasi pati pisang selama pemanasan
berkorelasi positif dengan peningkatan kadar pati resisten (Gambar 10
pati pisang mengakibatkan granula pati pecah sehingga fraksi pati
kerusakan jaringan (struktur sel) (Osorio-Diaz 2002). Tetapi, selama
proses pendinginan (suhu 30ºC, 24 jam), struktur amilosa dan amilopektin
g telah mengalami linierisasi akibat pemanasan otoklaf berikatan kembali
membentuk struktur baru (pati kristal) yang bersifat resisten terhadap enzim
Kadar Amilosa
engaruh fermentasi kultur campuran BAL dan pemanasan otoklaf
tepung pisang dan TPM disajikan dalam Gambar 12. Kadar amilosa
tepung pisang dan TPM yang dihasilkan berada pada kisaran 21.16-26.01%.
rasio kultur campuran BAL dan perlakuan pemanasan
terhadap kadar amilosa tepung pisang.
Hasil analisis ragam menunjukkan rasio campuran BAL, perlakuan pemanasan
otoklaf, dan interaksinya (P<0.05) berpengaruh signifikan terhadap kadar amilosa
tepung pisang yang dihasilkan (Lampiran 17c). Kadar amilosa tepung pisang
tanpa fermentasi adalah 25.47% sedangkan yang difermentasi berkisar 22.91
Tanpa
fermentasi
(1 : 1) (2 : 1) (3 : 1)
24.9423.16 24.08
21.16
26.01 25.54 25.9224.66
Rasio L. plantarum kik : L. fermentum 2B4
Tanpa Otoklaf Otoklaf
53
Kerusakan pati pisang akibat gelatinisasi pati pisang selama pemanasan otoklaf
ati resisten (Gambar 10). Gelatinisasi
fraksi pati mengalami
Tetapi, selama
, struktur amilosa dan amilopektin pati pisang
berikatan kembali
membentuk struktur baru (pati kristal) yang bersifat resisten terhadap enzim
otoklaf terhadap
. Kadar amilosa
26.01%.
dan perlakuan pemanasan otoklaf
Hasil analisis ragam menunjukkan rasio campuran BAL, perlakuan pemanasan
otoklaf, dan interaksinya (P<0.05) berpengaruh signifikan terhadap kadar amilosa
Kadar amilosa tepung pisang
tanpa fermentasi adalah 25.47% sedangkan yang difermentasi berkisar 22.91-25%
24.66
54
(Lampiran 17d). Kadar amilosa tepung pisang kultur campuran BAL rasio 2 : 1
(25%) tidak berbeda signifikan dengan kadar amilosa tepung pisang kontrol, yaitu
25.47%.
Penurunan kadar amilosa tepung pisang setelah fermentasi diakibatkan kultur
campuran BAL mampu menghasilkan amilase ekstraseluler yang berfungsi memutus
ikatan amilosa pati pisang menjadi sakarida yang lebih sederhana. Kultur campuran
BAL mungkin juga menggunakan hasil degradasi amilosa oleh amilase ekstraseluler
sebagai salah satu sumber karbon selama proses fermentasi. Hasil yang sama
dilaporkan oleh Osungbaro (1990) bahwa kadar amilosa ogi (fermentasi sereal dari
pati jagung, sorgum, atau millet) mengalami penurunan selama fermentasi.
Reduksi amilosa pati tepung pisang oleh amilase ekstraseluler yang dihasilkan
kultur campuran BAL tidak menyebabkan terjadinya penurunan signifikan terhadap
kadar pati tepung pisang (Gambar 11). Hasil ini mengindikasikan bahwa amilase
ekstraseluler yang dihasilkan selama fermentasi irisan pisang tanduk oleh kultur
campuran BAL hanya memutus ikatan amilosa, tetapi tidak memutus ikatan
amilopektin pati pisang, sehingga kadar pati tepung pisang hasil fermentasi tidak
berbeda dengan kontrol.
Kadar amilosa tepung pisang meningkat secara signifikan setelah irisan pisang
diberi perlakuan pemanasan otoklaf. Kadar amilosa tepung pisang tanpa perlakuan
pemanasan otoklaf adalah 23.34% dan meningkat signifikan setelah perlakuan
pemanasan otoklaf menjadi 25.53% (Lampiran 17b). Peningkatan kadar amilosa pati
pisang setelah perlakuan pemanasan otoklaf diindikasikan sebagai akibat dari
debranching amilopektin sebagian selama pemanasan otoklaf (Aparicio-Saguilán et
al. 2005).
Hasil penelitian ini tidak menunjukkan korelasi positif antara kadar amilosa
dengan pembentukan pati resisten pati tepung pisang. Tepung pisang yang
dimodifikasi dengan fermentasi mengakibatkan penurunan kadar amilosa yang
signifikan dibandingkan tepung pisang tanpa fermentasi. Akan tetapi, kadar pati
resisten tepung pisang hasil fermentasi tidak berbeda signifikan dengan kadar pati
resisten tepung pisang tanpa fermentasi (Gambar 10). Beberapa penelitian
55
melaporkan bahwa terdapat korelasi positif antara kadar amilosa pati dengan kadar
pati resisten yang dihasilkan (Xue et al. 1996; Sagum dan Arcot 2000). Akerberg et
al. (1998) melaporkan kadar amilosa yang tinggi berperan untuk meningkatkan
pembentukan pati resisten. Menurut Bello-Perez et al. (2006) kadar amilosa tinggi
mengakibatkan kapasitas retrogradasi pati lebih besar dan memungkinkan
pembentukan pati resisten lebih tinggi. Menurut Sajilata et al. (2006) makanan yang
mengandung amilosa tinggi (tepung jagung dengan kadar amilosa 70%) memiliki
kadar pati resisten lebih tinggi, yaitu 20 g/100 g berat kering dibandingkan tepung
jagung yang mengandung amilosa 25%, yaitu 3 g/100 g berat kering.
Kadar pati resisten yang dihasilkan pada tepung pisang fermentasi lebih
dipengaruhi oleh linierisasi (debranching) amilopektin selama pemanasan otoklaf,
bukan kadar amilosa alami pati pisang. Pati pisang memiliki struktur granula yang
berbeda dengan pati-pati lainnya, sehingga kadar amilosa pada pati pisang tidak
berkorelasi positif dengan kadar pati resisten yang dihasilkan. Hasil serupa dilaporkan
oleh Vatanasuchart et al. (2009) bahwa kadar amilosa tidak mempengaruhi
pembentukan pati resisten pada tepung pisang. Akerberg et al. (1998) melaporkan
debranching amilopektin meningkatkan kadar pati resisten secara signifikan akibat
molekul linier yang berasal dari amilopektin memiliki peranan dalam retrogradasi.
Selanjutnya Xue et al. (1996) menyatakan pembentukan pati resisten menyebabkan
peningkatan persentasi kadar amilosa. Sama halnya dengan hasil kadar amilosa
tepung pisang yang dihasilkan pada penelitian ini, setelah pemanasan otoklaf kadar
amilosa tepung pisang meningkat signifikan dibandingkan tepung pisang tanpa
pemanasan otoklaf.
4.4.4. Daya Cerna Pati secara in vitro
Pengaruh fermentasi kultur campuran BAL dan pemanasan otoklaf terhadap
daya cerna pati tepung pisang dan TPM disajikan dalam Gambar 13. Daya cerna pati
tepung pisang dan TPM yang dihasilkan berada pada kisaran 19.72-69.66%.
Hasil analisis ragam menunjukkan rasio campuran BAL, perlakuan pemanasan
otoklaf, dan interaksinya (P<0.05) berpengaruh signifikan terhadap daya cerna pati
tepung pisang yang dihasilkan (Lampiran 18
fermentasi adalah 49.66%, sedangkan yang difermentasi berkisar 38.09
(Lampiran 18d). Daya cerna pati tepung pisang setelah fermentasi mengalami
penurunan yang signifikan jika dib
fermentasi. Daya cerna pati tepung pisang terendah dihasilkan dari kultur campuran
BAL rasio 2 : 1.
Gambar 13 Pengaruh rasio
terhadap daya cerna pati tepung
Penurunan daya cerna pati tepung pisang fermentasi
diakibatkan oleh amilase ekstraseluler, perubahan pH selama fermentasi, dan
metabolit selama fermentasi kultur campuran BAL. Amilase ekstraseluler yang
dihasilkan pada fermentasi 72 ja
4.14 (Gambar 8). Pada pH 4.14, aktivitas amilase ekstraseluler yang dihasilkan oleh
kultur campuran BAL tidak bekerja optimum, karena pH optimum
berkisar 5-5.5. Hal ini mengakibatkan degradasi amilosa tidak terjadi secara
sempurna, tetapi terjadi secara parsial yang menghasilkan produk dekstrin bukan
maltosa atau glukosa. Calderon
0
10
20
30
40
50
60
70
80
Tanpa
fermentasi
29.65
Daya Cerna Tepung (%)
Hasil analisis ragam menunjukkan rasio campuran BAL, perlakuan pemanasan
otoklaf, dan interaksinya (P<0.05) berpengaruh signifikan terhadap daya cerna pati
pisang yang dihasilkan (Lampiran 18c). Daya cerna tepung pisang tanpa
fermentasi adalah 49.66%, sedangkan yang difermentasi berkisar 38.09
Daya cerna pati tepung pisang setelah fermentasi mengalami
penurunan yang signifikan jika dibandingkan daya cerna pati tepung pisang tanpa
fermentasi. Daya cerna pati tepung pisang terendah dihasilkan dari kultur campuran
rasio kultur campuran BAL dan perlakuan pemanasan
terhadap daya cerna pati tepung pisang.
Penurunan daya cerna pati tepung pisang fermentasi irisan pisang tanduk
oleh amilase ekstraseluler, perubahan pH selama fermentasi, dan
fermentasi kultur campuran BAL. Amilase ekstraseluler yang
fermentasi 72 jam adalah 0.18 unit/ml (Gambar 9) dengan nilai pH
Pada pH 4.14, aktivitas amilase ekstraseluler yang dihasilkan oleh
mpuran BAL tidak bekerja optimum, karena pH optimum
5.5. Hal ini mengakibatkan degradasi amilosa tidak terjadi secara
sempurna, tetapi terjadi secara parsial yang menghasilkan produk dekstrin bukan
Calderon et al. (2003b) melaporkan aktivitas α
Tanpa
fermentasi
(1 : 1) (2 : 1) (3 : 1)
29.65
20.65 19.7224.43
69.66
58.61 56.45
68.03
Rasio L. plantarum kik : L. fermentum 2B4
Tanpa Otoklaf Otoklaf
56
Hasil analisis ragam menunjukkan rasio campuran BAL, perlakuan pemanasan
otoklaf, dan interaksinya (P<0.05) berpengaruh signifikan terhadap daya cerna pati
Daya cerna tepung pisang tanpa
fermentasi adalah 49.66%, sedangkan yang difermentasi berkisar 38.09-46.23%
Daya cerna pati tepung pisang setelah fermentasi mengalami
andingkan daya cerna pati tepung pisang tanpa
fermentasi. Daya cerna pati tepung pisang terendah dihasilkan dari kultur campuran
dan perlakuan pemanasan otoklaf
pisang tanduk
oleh amilase ekstraseluler, perubahan pH selama fermentasi, dan hasil
fermentasi kultur campuran BAL. Amilase ekstraseluler yang
) dengan nilai pH
Pada pH 4.14, aktivitas amilase ekstraseluler yang dihasilkan oleh
amilase BAL
5.5. Hal ini mengakibatkan degradasi amilosa tidak terjadi secara
sempurna, tetapi terjadi secara parsial yang menghasilkan produk dekstrin bukan
amilase yang
57
dihasilkan oleh L . fermentum Ogi E1 mengakibatkan hidrolisis pati menjadi dekstrin
(maltodekstrin), tetapi tidak menghasilkan maltosa dan glukosa. Akumulasi dekstrin
selama fermentasi terjadi pada pH 4, dimana aktivitas amilase rendah. Fiedorowicz et
al. (2003) menyatakan dekstrin memiliki sifat yang agak tahan terhadap enzim
pencernaan dan dapat berfungsi sebagai pati lambat cerna (SDS) dan serat pangan
yang larut air.
Nilai pH 4.14 selama fermentasi irisan pisang juga mungkin menginaktifkan
enzim β amilase yang secara alami terdapat pada pisang, pH optimum β amilase
berkisar 4.5-5.0 (Rahman 1992). Beta-amilase adalah enzim yang secara alami
terdapat dalam tanaman yang dapat memecah pati menjadi fraksi yang lebih kecil,
misalnya amilosa menjadi maltosa (disakarida dari glukosa) (Winarno 2002). Skrede
et al. (2001) melaporkan selama fermentasi tepung gandum dan tepung barley
menggunakan kultur Lactobacillus, produksi maltosa dihambat karena proses
fermentasi menginaktifkan enzim β amilase yang terdapat secara alami pada gandum
dan barley.
Daya cerna pati tepung pisang meningkat secara signifikan setelah irisan pisang
diberi perlakuan pemanasan otoklaf. Daya cerna pati tepung pisang tanpa perlakuan
pemanasan otoklaf adalah 23.61% dan meningkat signifikan setelah perlakuan
pemanasan otoklaf menjadi 63.19% (Lampiran 18b). Selama pemanasan otoklaf
terjadi kerusakan pati yang cukup besar, akibatnya terjadi pembentukan gula-gula
sederhana hasil degradasi pati oleh pemanasan otoklaf. Peningkatan daya cerna pati
setelah pemanasan otoklaf berkorelasi positif dengan penurunan kadar pati setelah
pemanasan otoklaf (Gambar 11). Gelatinisasi pati pisang mengakibatkan granula pati
pecah sehingga fraksi pati (amilosa, amilopektin, dan pati resisten) mengalami
perubahan struktur menjadi senyawa yang lebih sederhana, lebih mudah dicerna oleh
enzim pencernaan akibat pati selama proses pengolahan mengalami kerusakan
jaringan (struktur sel), sehingga daya cerna meningkat (Osorio-Diaz 2002).
4.4.5. Total Asam Tertitras
Pengaruh fermentasi kultur campuran BAL dan
total asam tertitrasi (TAT)
tepung pisang dan TPM yang dihasilkan berada pada kisaran 0.32
Hasil analisis ragam
berpengaruh signifikan terhadap TAT
perlakuan pemanasan otoklaf
tepung pisang tanpa perlakuan peman
campuran BAL dengan pemanasan
tepung pisang yang dihasilkan
perlakuan kombinasi fermentasi kultur campuran BAL
otoklaf, yaitu 0,35%.
Gambar 14 Pengaruh rasio
terhadap total asam tertitrasi tepung pisang.
Total asam tertitrasi tepung pisang
yang difermentasi adalah dan 0.34%
fermentasi tidak berbeda signifikan dengan kontrol. Hal ini terjadi diakibatkan
pisang hasil fermentasi ditiriskan terlebih dahulu kemudian diberi perlakuan
pemanasan otoklaf, sehingga asam laktat yang terbentuk
0.00
0.05
0.10
0.15
0.20
0.25
0.30
0.35
0.40
Tanpa
fermentasi
0.34
Total Asam Tertitrasi (%)
Asam Tertitrasi
engaruh fermentasi kultur campuran BAL dan pemanasan otoklaf
(TAT) tepung pisang dan TPM disajikan dalam Gambar 14
tepung pisang dan TPM yang dihasilkan berada pada kisaran 0.32-0.35%.
Hasil analisis ragam menunjukkan rasio campuran BAL (P<0.05) tidak
berpengaruh signifikan terhadap TAT tepung pisang yang dihasilkan. Akan t
otoklaf secara signifikan menurunkan TAT dibandingkan
tepung pisang tanpa perlakuan pemanasan otoklaf. Demikian juga, interaksi
campuran BAL dengan pemanasan otoklaf berpengaruh signifikan terhadap TAT
tepung pisang yang dihasilkan (Lampiran 19c). TAT tertinggi dihasilkan dari
perlakuan kombinasi fermentasi kultur campuran BAL rasio 2 : 1 dengan pemanasan
rasio kultur campuran BAL dan perlakuan pemanasan
terhadap total asam tertitrasi tepung pisang.
Total asam tertitrasi tepung pisang tanpa fermentasi adalah 0.33%
fermentasi adalah dan 0.34% (Lampiran 19b). Total asam tertitrasi tepung
fermentasi tidak berbeda signifikan dengan kontrol. Hal ini terjadi diakibatkan
pisang hasil fermentasi ditiriskan terlebih dahulu kemudian diberi perlakuan
sehingga asam laktat yang terbentuk selama proses fermentasi
Tanpa
fermentasi
(1 : 1) (2 : 1) (3 : 1)
0.34 0.34 0.35 0.340.33 0.34 0.32 0.34
Rasio L. plantarum kik : L. fermentum 2B4
Tanpa otoklaf Otoklaf
58
otoklaf terhadap
disajikan dalam Gambar 14. TAT
0.35%.
(P<0.05) tidak
tepung pisang yang dihasilkan. Akan tetapi,
secara signifikan menurunkan TAT dibandingkan
. Demikian juga, interaksi rasio
berpengaruh signifikan terhadap TAT
TAT tertinggi dihasilkan dari
dengan pemanasan
dan perlakuan pemanasan otoklaf
adalah 0.33% sedangkan
Total asam tertitrasi tepung
fermentasi tidak berbeda signifikan dengan kontrol. Hal ini terjadi diakibatkan irisan
pisang hasil fermentasi ditiriskan terlebih dahulu kemudian diberi perlakuan
selama proses fermentasi
0.34
terikut pada cairan fermentasi,
proses penirisan cairan fermentasi sebelum pemanasan
Asam laktat yang dihasilkan sel
dan dengan adanya larutan asam
proses gelatinisasi pati dapat lebih mudah terjadi, sehingga kemungkinan kadar
resisten yang dihasilkan akan lebih tinggi.
Pemanasan otoklaf
mengakibatkan terjadinya pengeluaran air dari
tinggi. Molekul air yang keluar dari
(pemanasan otoklaf) mengakiba
dihasilkan.
4.4.6. Nilai pH
Pengaruh fermentasi kultur campuran BAL dan
tepung pisang dan TPM d
TPM yang dihasilkan berada pada kisaran 4.79
Gambar 15 Pengaruh rasio
terhadap pH tepung pisang.
0
1
2
3
4
5
6
7
8
Tanpa
fermentasi
5.96
pH
pada cairan fermentasi, bukan pada irisan pisang tanduk. Oleh karena itu,
proses penirisan cairan fermentasi sebelum pemanasan otoklaf perlu dikaji lanjut.
Asam laktat yang dihasilkan selama fermentasi terakumulasi pada cairan fermentasi
larutan asam pada proses pemanasan otoklaf mengakibatkan
proses gelatinisasi pati dapat lebih mudah terjadi, sehingga kemungkinan kadar
yang dihasilkan akan lebih tinggi.
otoklaf membuat pati pada irisan pisang tergelatinisasi dan
mengakibatkan terjadinya pengeluaran air dari irisan pisang akibat tekanan yang
tinggi. Molekul air yang keluar dari irisan pisang, selama proses gelatinisasi
) mengakibatkan penurunan TAT pada tepung pisang yang
engaruh fermentasi kultur campuran BAL dan pemanasan otoklaf
dan TPM disajikan dalam Gambar 15. Nilai pH tepung pisang dan
berada pada kisaran 4.79-6.72.
rasio kultur campuran BAL dan perlakuan pemanasan
terhadap pH tepung pisang.
Tanpa
fermentasi
(1 : 1) (2 : 1) (3 : 1)
5.96
4.94 4.79 5.03
6.736.35 6.33 6.35
Rasio L. plantarum kik : L. fermentum 2B4
Tanpa Otoklaf Otoklaf
59
Oleh karena itu,
perlu dikaji lanjut.
ama fermentasi terakumulasi pada cairan fermentasi
mengakibatkan
proses gelatinisasi pati dapat lebih mudah terjadi, sehingga kemungkinan kadar pati
pisang tergelatinisasi dan
pisang akibat tekanan yang
pisang, selama proses gelatinisasi
tkan penurunan TAT pada tepung pisang yang
otoklaf terhadap pH
pH tepung pisang dan
dan perlakuan pemanasan otoklaf
60
Hasil analisis ragam menunjukkan rasio campuran BAL, perlakuan pemanasan
otoklaf, dan interaksinya (P<0.05) berpengaruh signifikan terhadap pH tepung pisang
yang dihasilkan (Lampiran 20c). Nilai pH tepung pisang setelah fermentasi kultur
campuran BAL berkisar 5.6-5.7 sedangkan nilai pH tepung pisang tanpa fermentasi
adalah 6.3 (Lampiran 20d). Hal ini disebabkan, hasil metabolit utama BAL adalah
asam laktat yang sangat berpengaruh terhadap penurunan pH tepung pisang.
Nilai pH tepung pisang secara signifikan meningkat kembali setelah irisan
pisang diberi perlakuan pemanasan otoklaf. Sebelum pemanasan otoklaf pH pisang
adalah 5.2, setelah diberi perlakuan pemanasan otoklaf, pH meningkat menjadi 6.4
(Lampiran 20b). Peningkatan pH tepung pisang berkorelasi positif dengan penurunan
TAT tepung pisang setelah perlakuan pemanasan otoklaf.
Parameter utama yang digunakan dalam menentukan perlakuan kombinasi rasio
kultur campuran BAL dengan perlakuan pemanasan terbaik, dalam rangka
menghasilkan tepung pisang modifikasi yang berpotensi sebagai kandidat prebiotik,
sumber serat, dan memiliki sifat indeks glikemik rendah adalah parameter kadar pati
resisten, daya cerna pati secara in vitro, dan kadar amilosa. Hasil studi pengaruh rasio
BAL dan pemanasan otoklaf menunjukkan rasio BAL 2 : 1 dengan pemanasan
otoklaf terpilih untuk diuji lebih lanjut sifat fungsionalnya.
Pemilihan ini berdasarkan kadar pati resisten yang tinggi (13.22%), daya cerna
pati secara in vitro yang rendah (56.45%), dan kadar amilosa yang tinggi (25.92%)
(tidak berbeda signifikan dengan tepung pisang tanpa fermentasi). Kadar amilosa
yang tinggi menunjukkan derajat hidrolisis yang lebih rendah, amilosa adalah faktor
utama yang mempengaruhi indeks hidrolisis pati (IH), estimasi nilai indeks glikemik
(IG) secara signifikan lebih rendah pada kadar amilosa yang tinggi dibandingkan
kadar amilosa rendah (Frei et al. 2003; Hu et al. 2004; Margareta Leeman et al.
2006). Xue et al. (1996) menyatakan pati jagung yang kaya amilosa berkorelasi
positif terhadap penurunan glukosa darah dan level insulin. Selanjutnya, Akerberg et
al. (1998) menyatakan IG yang rendah tidak hanya ditentukan oleh RS, tetapi
rendahnya IG mungkin juga dipengaruhi oleh fraksi selain RS, produk dengan kadar
amilosa tinggi menghasilkan respon metabolik yang lebih rendah.
61
4.5. Sifat Fungsional Tepung Pisang Modifikasi (TPM)
Pengujian sifat fungsional dilakukan pada tepung pisang modifikasi (TPM)
terpilih. Tepung pisang modifikasi terpilih adalah tepung pisang yang diperoleh dari
kombinasi konsentrasi kultur campuran BAL rasio 2 : 1 dengan perlakuan pemanasan
otoklaf (TPMfo). Dalam penelitian tahap ini, tepung pisang perlakuan pemanasan
otoklaf tanpa fermentasi juga akan digunakan sebagai kontrol (TPMo). Uji sifat
fungsional meliputi pengujian sifat prebiotik TPM (viabilitas bakteri asam laktat, efek
dan indeks prebiotik) dan aktivitas prebiotik TPM terhadap bakteri penyebab diare,
uji kadar serat pangan, kadar RDS (pati yang cepat dicerna), SDS (pati yang lambat
dicerna), serta indeks glikemik (IG) secara in vitro.
4.5.1. Viabilitas Bakteri Asam Laktat
Kultur awal yang digunakan adalah L. acidophilus (5.18 log cfu/ml),
L. plantarum sa28k (5.16 log cfu/ml), dan L. fermentum 2B4 (5.14 log cfu/ml). Hasil
uji viabilitas L. acidophilus, L. plantarum sa28k, dan L. fermentum 2B4 dapat dilihat
pada Gambar 16. Ketiga BAL uji (probiotik) memperlihatkan pola pertumbuhan yang
serupa setelah inkubasi 24 jam. Pertumbuhan ketiga bakteri probiotik meningkat
1 log cfu/ml pada media akuades ditambah 2.5% TPMo dan akuades ditambah 2.5%
TPMfo. Viabilitas ketiga BAL probiotik dalam media yang hanya mengandung TPM
cukup baik.
Pertumbuhan ketiga bakteri probiotik pada media akuades yang ditambah
TPMo atau TPMfo menunjukkan bahwa bakteri probiotik mungkin menggunakan
pati resisten sebagai salah satu sumber karbon untuk pertumbuhan. TPM yang
digunakan bebas gula, sehingga sumber karbon yang tersedia untuk pertumbuhan
diduga hanya pati resisten, pati, dan serat pangan larut. Pati resisten memiliki derajat
polimerisasi (DP) yang lebih rendah dibandingkan pati (amilosa dan amilopektin) dan
serat pangan. Umumnya, bakteri probiotik akan memanfaatkan sumber karbon dalam
bentuk oligosakarida dibandingkan polisakarida (pati dan serat). Oligosakarida
memiliki derajat polimerisasi (DP) yang lebih rendah, sehingga lebih mudah
dimanfaatkan oleh bakteri probiotik. Derajat polimerisasi pati resisten tipe III
pati pisang adalah 12 sampai 25 (Lehmann
oligosakarida yang terdiri dari 2 sampai 20 unit saka
(Manning et al. 2004).
Gambar 16 Viabilitas L. acidophilus, L. plantarum
pada media yang mengandung TPM dibanding FOS
Pada media mMRS
jam, peningkatan pertumbuhan berkisar 2 log cfu/ml. Pertumbuhan ketiga probiotik
meningkat hingga mencapai 3 log cfu/ml setelah media
TPMo, mMRSB ditambah 2.5% TPMfo
media MRSB, kecuali
mencapai 4 log cfu/ml pada
Hasil ini memperlihatkan bahwa
penyedia sumber karbon bagi ketiga probiotik (kandidat prebiotik), peningkatannya
tidak berbeda signifikan dengan peningkatan pertumbuhan pada media yang
mengandung FOS (prebiotik komersial)
0
2
4
6
8
10
Lactobacillus acidophilus
6.926.55
7.87
9.08
8.29
Log cfu/ml
Akuades + 2.5% TPMo
MRSB
mMRSB + 2.5% FOS
pati pisang adalah 12 sampai 25 (Lehmann et al. 2002). Prebiotik adalah
oligosakarida yang terdiri dari 2 sampai 20 unit sakarida dengan berat molekul rendah
L. acidophilus, L. plantarum sa28k, dan L. fermentum
pada media yang mengandung TPM dibanding FOS setelah 24 jam
MRSB, ketiga BAL mampu tumbuh dengan baik dalam waktu 24
, peningkatan pertumbuhan berkisar 2 log cfu/ml. Pertumbuhan ketiga probiotik
meningkat hingga mencapai 3 log cfu/ml setelah media mMRSB ditambah 2.5%
mMRSB ditambah 2.5% TPMfo, dan mMRSB ditambah 2.5%
media MRSB, kecuali L. plantarum sa28k pertumbuhannya meningkat
mencapai 4 log cfu/ml pada media MRSB.
Hasil ini memperlihatkan bahwa TPMo dan TPMfo dapat bertindak sebagai
penyedia sumber karbon bagi ketiga probiotik (kandidat prebiotik), peningkatannya
tidak berbeda signifikan dengan peningkatan pertumbuhan pada media yang
(prebiotik komersial) dan glukosa, yaitu berkisar 3 log cfu/m
Lactobacillus acidophilus Lactobacillus plantarum
sa28k
Lactobacillus fermentum
2B4
6.53 6.786.62 6.77
7.98 7.95
9.089.38
8.908.29
8.838.31 8.388.17 8.15
Bakteri Probiotik
Akuades + 2.5% TPMo akuades + 2.5% TPMfo mMRSB
mMRSB + 2.5% TPMo mMRSB + 2.5% TPMfo
mMRSB + 2.5% FOS
62
. 2002). Prebiotik adalah
rida dengan berat molekul rendah
L. fermentum 2B4
setelah 24 jam.
dalam waktu 24
, peningkatan pertumbuhan berkisar 2 log cfu/ml. Pertumbuhan ketiga probiotik
B ditambah 2.5%
dan mMRSB ditambah 2.5% FOS, dan
meningkat hingga
dapat bertindak sebagai
penyedia sumber karbon bagi ketiga probiotik (kandidat prebiotik), peningkatannya
tidak berbeda signifikan dengan peningkatan pertumbuhan pada media yang
dan glukosa, yaitu berkisar 3 log cfu/ml.
Lactobacillus fermentum
2B4
8.908.238.23 8.17
mMRSB + 2.5% TPMfo
63
Menurut Wells et al. (2008) kandidat prebiotik tidak dihidrolisis atau diserap pada
bagian atas saluran gastrointestinal dan secara selektif difermentasi oleh satu atau
sejumlah bakteri komensal yang menguntungkan pada kolon seperti Bifidobacteria
dan Lactobacilli.
Ketiga jenis bakteri ini tumbuh lebih baik pada media mMRSB yang
mengandung TPMo dan TPMfo dibandingkan media yang hanya mengandung TPMo
dan TPMfo dalam akuades. Dalam media mMRSB tersedia beberapa senyawa nutrisi
lain yang lebih lengkap untuk pertumbuhan bakteri, seperti ekstrak khamir, pepton
sebagai sumber nitrogen, dan mineral (manganese sulfat dan magnesium sulfat) dan
sumber karbon dari TPMo dan TPMfo sedangkan dalam media akuades yang
ditambah TPMo atau TPMfo hanya tersedia sumber karbon, sumber nitrogen dan
mineral rendah. .
4.5.2. Efek dan Indeks Prebiotik
Efek prebiotik adalah meningkatnya populasi Bifidobacteria atau Lactobacillus
absolut tanpa mempertimbangkan konsentrasi prebiotik, sedangkan indeks prebiotik
adalah peningkatan populasi Bifidobacteria atau Lactobacillus yang dikorelasikan
dengan konsentrasi prebiotik (Roberfroid 2007). Efek dan indeks prebiotik TPMo,
TPMfo, dan FOS terhadap L. acidophilus, L. plantarum sa28k, dan L. fermentum 2B4
disajikan dalam Gambar 17 dan Gambar 18.
Efek prebiotik dari TPMo, TPMfo, dan FOS terhadap bakteri
L. acidophilus, L. plantarum sa28k, dan L. fermentum 2B4 tidak berbeda signifikan.
Pertumbuhan bakteri probiotik pada ketiga media adalah L. acidophilus (7.88-8.12
log cfu/ml), L. plantarum sa28k (7.66-8.76 log cfu/ml), dan L. fermentum 2B4 (7.78-
7.91 log cfu/ml). Pertumbuhan ketiga bakteri probiotik berbeda-beda pada tiap jenis
media, tetapi pertumbuhan bakteri probiotik pada media yang mengandung TPMo
dan TPMfo lebih tinggi dibandingkan FOS (prebiotik komersial).
Gambar 17 Efek prebiotik
sa28k, dan L. fermentum
Gambar 18 Indeks prebiotik
sa28k, dan L. fermentum
Demikian halnya terhadap indeks prebiotik. Indeks prebi
(TPMo, TPMfo, dan FOS) terhadap
L. plantarum sa28k (7.57
cfu/ml). Indeks prebiotik ketiga jenis media tidak berbeda signifikan, te
prebiotik media yang mengandung TPMo dan TPMfo lebih tinggi jika dibandingkan
0
12345
6789
10
L. acidophilus
8.09
Efek Prebiotik (log cfu/ml)
0
1234
56789
10
L. acidophilus
7.99
Indeks Prebiotik (log cfu/g)
prebiotik TPM dan FOS terhadap L. acidophilus, L. plantarum
L. fermentum 2B4.
prebiotik TPM dan FOS terhadap L. acidophilus, L. plantarum
L. fermentum 2B4.
Demikian halnya terhadap indeks prebiotik. Indeks prebiotik ketiga
dan FOS) terhadap L. acidophilus adalah 7.78-8.02 log cfu/g,
sa28k (7.57-8.67 log cfu/ml), dan L. fermentum 2B4 (7.68
cfu/ml). Indeks prebiotik ketiga jenis media tidak berbeda signifikan, te
prebiotik media yang mengandung TPMo dan TPMfo lebih tinggi jika dibandingkan
L. acidophilus L. plantarum sa28k L. fermentum 2B4
8.098.76
7.918.12 7.97 7.917.88 7.66 7.78
Bakteri Probiotik
TPMo TMPfo FOS
L. acidophilus L. plantarum sa28k L. fermentum 2B4
7.998.67
7.828.02 7.88 7.817.78 7.57 7.68
Bakteri Probiotik
TPMo TMPfo FOS
64
L. acidophilus, L. plantarum
L. acidophilus, L. plantarum
otik ketiga media
8.02 log cfu/g,
2B4 (7.68-7.82 log
cfu/ml). Indeks prebiotik ketiga jenis media tidak berbeda signifikan, tetapi indeks
prebiotik media yang mengandung TPMo dan TPMfo lebih tinggi jika dibandingkan
7.78
7.68
65
FOS (prebiotik komersial). Hal ini semakin mendukung bahwa kedua media, baik
TPMo dan TPMfo mampu digunakan dan menstimulasi pertumbuhan ketiga bakteri
probiotik.
4.5.3. Aktivitas Prebiotik Terhadap Bakteri Penyebab Diare
Bakteri patogen yang digunakan adalah bakteri Enteropatogenik E. coli
(EPEC), bakteri ini diketahui sebagai salah satu bakteri yang menyebabkan diare
pada manusia. Kultur awal EPEC yang digunakan dalam penelitian ini adalah 5.08
log cfu/ml. Pertumbuhan EPEC pada media mTSB ditambah 2.5% TPMo, mTSB
ditambah 2.5% TPMfo, mTSB ditambah 2.5% FOS, dan TSB disajikan dalam
Gambar 19.
Hasil memperlihatkan bahwa bakteri EPEC mampu menggunakan TPMo,
TPMfo, dan FOS sebagai sumber karbon selama pertumbuhan. Peningkatan
pertumbuhan EPEC mencapai 3 log cfu/ml. Pertumbuhan EPEC pada media TPMfo
(8.43 log cfu/ml) lebih rendah dibandingkan pertumbuhan EPEC di media TSB (8.63
log cfu/ml), sedangkan pertumbuhan EPEC pada media TPMo (8.93 log cfu/ml) dan
FOS (8.94 log cfu/ml) lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan pada media TSB. Hal
ini mengindikasikan TPMfo mungkin bersifat lebih selektif terhadap bakteri patogen
(EPEC).
TPMo dan TPMfo masih mengandung karbohidrat selain pati resisten yaitu
pati, dan serat pangan. sehingga diduga probiotik dan EPEC selain menggunakan pati
resisten juga memanfaatkan karbohidrat lain yang terdapat dalam TPM. Oleh karena
itu, perlu konfirmasi sifat prebiotik pati resisten yang diisolasi dari pati TPM.
Konfirmasi dapat dilakukan melalui pengujian viabilitas probiotik dalam media pati
resisten pati pisang.
Gambar 19 Pertumbuhan Enteropatogenik
mengandung TPM dibanding FOS
Gambar 20 Nilai aktivitas prebiotik TPM dan FOS terhadap
L. plantarum
Nilai aktivitas prebiotik
Nilai aktivitas prebiotik ketiga media berada di bawah nol. Nilai negatif memiliki arti
bahwa bakteri uji (probiotik) memiliki pertumbuhan yang lebih baik dalam media
yang mengandung glukosa dibandingkan media prebiotik
tertinggi untuk ketiga bakteri probiotik adalah
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
TPMo
Log cfu/ml
-0.5
-0.4
-0.3
-0.2
-0.1
0
Lactobacillus
acidophilus
-
Nilai Aktivitas Prebiotik
Pertumbuhan Enteropatogenik E. coli (EPEC) pada media
mengandung TPM dibanding FOS setelah 24 jam.
Nilai aktivitas prebiotik TPM dan FOS terhadap L. acidophilus,
L. plantarum sa28k, dan L. fermentum 2B4.
Nilai aktivitas prebiotik TPMo, TPMfo, dan FOS disajikan dalam Gambar 20.
Nilai aktivitas prebiotik ketiga media berada di bawah nol. Nilai negatif memiliki arti
bahwa bakteri uji (probiotik) memiliki pertumbuhan yang lebih baik dalam media
yang mengandung glukosa dibandingkan media prebiotik. Nilai aktivitas prebiotik
tertinggi untuk ketiga bakteri probiotik adalah TPMfo (-0.22 hingga
TPMo TPMfo FOS TSB
8.938.43
8.94 8.63
Enteropatogenik E. coli (EPEC)
Lactobacillus
acidophilus - EPEC
Lactobacillus
plantarum sa28k -
EPEC
Lactobacillus
fermentum 2B4 -
EPEC
-0.29
-0.21-0.26
-0.22 -0.20
-0.12
-0.32-0.38
-0.28
Bakteri Probiotik
TPMo TPMfo FOS
66
) pada media yang
L. acidophilus,
, dan FOS disajikan dalam Gambar 20.
Nilai aktivitas prebiotik ketiga media berada di bawah nol. Nilai negatif memiliki arti
bahwa bakteri uji (probiotik) memiliki pertumbuhan yang lebih baik dalam media
. Nilai aktivitas prebiotik
0.22 hingga -0.12) jika
8.63
dibandingkan nilai aktivitas prebiotik TPMo (
hingga -0.32) Hasil yang sama dilaporkan oleh Huebner
prebiotik komersial nutraflora P
negatif terhadap bakteri
4.5.4. Kadar Serat Pangan
Pengaruh fermentasi kultur campuran BAL dan
kadar serat pangan TPM disajikan dalam Gambar 21
dihasilkan berada pada kisaran
(serat pangan tidak larut air), dan 15.91
t student menunjukkan
signifikan baik terhadap kadar serat pangan larut
larut (Lampiran 21c), dan total serat pangan
dengan TPM tanpa fermentasi
Gambar 21 Pengaruh fermentasi
tepung pisang modifikasi
Serat pangan utama dalam pisang adalah hemiselulosa dan pektik polisakarida
(Zhang et al. 2005). Pada
adalah protopektin dan bersifat tidak larut air, senyawa pektin merupakan polimer
dari asam D-galakturonat yang dihubungkan dengan ikatan
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
Kadar Serat Pangan (%)
Serat pangan larut
dibandingkan nilai aktivitas prebiotik TPMo (-0.29 hingga -0.21) dan FOS (
0.32) Hasil yang sama dilaporkan oleh Huebner et al. (2007)
prebiotik komersial nutraflora P-95, raftilose P95, inulin-S, raftilinie HP bernilai
negatif terhadap bakteri L. plantarum 12006 dan L. acidophilus 33200.
Serat Pangan
engaruh fermentasi kultur campuran BAL dan pemanasan otoklaf
TPM disajikan dalam Gambar 21. Kadar serat pangan TPM yang
dihasilkan berada pada kisaran 2.27-2.90% (serat pangan larut air), 13.64
k larut air), dan 15.91-17.88 (total serat pangan).
TPM fermentasi (P<0.05) tidak menyebabkan penurunan
terhadap kadar serat pangan larut (Lampiran 21b), kadar serat tidak
, dan total serat pangan (Lampiran 21d) jika dibandingkan
tanpa fermentasi.
Pengaruh fermentasi kultur campuran BAL terhadap kadar serat pangan
tepung pisang modifikasi.
Serat pangan utama dalam pisang adalah hemiselulosa dan pektik polisakarida
. 2005). Pada jaringan tanaman muda, senyawa pektin yang banyak
adalah protopektin dan bersifat tidak larut air, senyawa pektin merupakan polimer
galakturonat yang dihubungkan dengan ikatan β-(1.4)-glukosida, asam
Tanpa fermentasi Fermentasi
2.38 2.27
14.9913.64
17.3715.91
Serat pangan larut Serat pangan tidak larut Total serat pangan
67
0.21) dan FOS (-0.28
. (2007) nilai aktivitas
S, raftilinie HP bernilai
otoklaf terhadap
. Kadar serat pangan TPM yang
% (serat pangan larut air), 13.64-14.99%
(total serat pangan). Hasil analisis
(P<0.05) tidak menyebabkan penurunan
kadar serat tidak
jika dibandingkan
adar serat pangan
Serat pangan utama dalam pisang adalah hemiselulosa dan pektik polisakarida
jaringan tanaman muda, senyawa pektin yang banyak
adalah protopektin dan bersifat tidak larut air, senyawa pektin merupakan polimer
glukosida, asam
Total serat pangan
68
galakturonat merupakan turunan dari galaktosa (Winarno 2002). Cordenunsi et al.
(2008) melaporkan fraksi utama penyusun serat pangan larut air dalam pisang adalah
asam uranik, glukosa, mannosa, arabinosa, xylosa, dan galaktosa, fraksi ini
menunjukkan serat pangan larut tersusun atas poligalakturonan dan arabinoxylan
sedangkan fraksi serat yang tidak larut tersusun atas glukosa (berasal dari
hemiselulosa dan selulosa), galaktosa, xylosa, mannosa, arabinosa, asam uranik, serta
rhamnosa dan fukosa dalam jumlah rendah yang menunjukkan adanya galakturonan.
Peningkatan kadar pati resisten setelah perlakuan pemanasan otoklaf
berkorelasi positif dengan peningkatan total kadar serat pangan. Kadar pati resisten
digolongkan sebagai serat pangan yang tidak larut. Menurut Champ et al. (2003) total
serat pangan adalah jumlah dari polisakarida bukan pati, pati resisten, dan
oligosakarida yang tidak dapat dicerna. Sajilata et al. (2006) melaporkan pati resisten
walaupun bukan komponen dinding sel, akan tetapi secara nutrisi memiliki fungsi
yang sama dengan polisakarida bukan pati, pati resisten digolongkan sebagai serat
pangan yang tidak larut tetapi fungsinya sama dengan serat pangan larut.
4.5.5. Kadar Pati Cepat Cerna (RDS) dan Pati Lambat Cerna (SDS)
Pengaruh fermentasi kultur campuran BAL dan pemanasan otoklaf terhadap
kadar pati cepat cerna (RDS) dan kadar pati lambat cerna (SDS) TPM disajikan dalam
Gambar 22. Kadar RDS TPM yang dihasilkan berada pada kisaran 53.13-59.13%,
sedangkan Kadar SDS TPM berada pada kisaran 47.75-51.19%. Hasil analisis t
student menunjukkan TPM fermentasi (P<0.05) menyebabkan penurunan signifikan
terhadap RDS (Lampiran 22b), tetapi meningkatkan SDS secara signifikan
dibandingkan TPM tanpa fermentasi (Lampiran 22c).
Kadar RDS TPM fermentasi lebih rendah (53.13%) dibandingkan RDS TPM
tanpa fermentasi (59.13%). Tetapi, kadar SDS TPM fermentasi lebih tinggi (51.19%)
dibandingkan SDS TPM tanpa fermentasi (47.75%). Kadar RDS yang rendah dan
kadar SDS yang tinggi pada TPM fermentasi berkorelasi positif dengan daya cerna
pati tepung pisang secara in vitro (Gambar 13). Hal ini menjelaskan bahwa TPM
tanpa fermentasi lebih cepat dicerna dibandingkan TPM tanpa fermentasi. Menurut
Sagum dan Arcot (2000) peningkatan
sampel menjadi lebih mudah dicerna. Kadar
dibandingkan kadar SDS
campuran menghasilkan amilase ekstraseluler, tetapi kondisi pH lingkungan, yaitu
4.14 tidak mengoptimalkan aktivitas amilase ekstraseluler yang dihasilkan. Hal ini
mengakibatkan degradasi amilosa
tidak ditemukan maltosa atau glukosa melainkan dekstrin yang bersifat lambat
dicerna oleh enzim saluran pe
Gambar 22 Pengaruh fermentasi
cerna (RDS
4.5.6. Indeks Glikemik secara
Pengaruh fermentasi kultur campuran BAL dan
hidrolisis pati TPM disajikan dalam Gambar 23
hidrolisis pati yang lebih rendah dibandingkan
pati pada menit 30, 60, 90, 120, 150, dan 180 menit. Hidrolisis pati yang lebih
pada TPM fermentasi mengakibatkan nilai C
pati setelah 180 menit)
tanpa fermentasi, kedua nilai ini berkorelasi positif dengan kecepatan hidrolisis pati
Semakin besar persen pati yang terhidrolisis, maka nilai C
0
10
20
30
40
50
60
70
Tanpa fermentasi
Kadar Pati (%)
Pati cepat cerna (RDS)
Sagum dan Arcot (2000) peningkatan RDS dan penurunan jumlah SDS
sampel menjadi lebih mudah dicerna. Kadar SDS TPM fermentasi
SDS TPM tanpa fermentasi karena selama fermentasi kultur
campuran menghasilkan amilase ekstraseluler, tetapi kondisi pH lingkungan, yaitu
mengoptimalkan aktivitas amilase ekstraseluler yang dihasilkan. Hal ini
mengakibatkan degradasi amilosa irisan pisang tanduk tidak sempurna, sehingga
tidak ditemukan maltosa atau glukosa melainkan dekstrin yang bersifat lambat
dicerna oleh enzim saluran pencernaan.
Pengaruh fermentasi kultur campuran BAL terhadap kadar pati cepat
RDS) dan pati lambat cerna (SDS) tepung pisang modifikasi
Indeks Glikemik secara in vitro
engaruh fermentasi kultur campuran BAL dan pemanasan otoklaf
disajikan dalam Gambar 23. TPM fermentasi memiliki
hidrolisis pati yang lebih rendah dibandingkan TPM tanpa fermentasi, baik hidrolisis
pati pada menit 30, 60, 90, 120, 150, dan 180 menit. Hidrolisis pati yang lebih
mengakibatkan nilai C∞ (persentase kesetimbangan hidrolisis
dan k (konstanta kinetik) lebih rendah dibandingkan
, kedua nilai ini berkorelasi positif dengan kecepatan hidrolisis pati
Semakin besar persen pati yang terhidrolisis, maka nilai C∞ dan k akan semakin
Tanpa fermentasi Fermentasi
59.1353.13
47.7551.19
Pati cepat cerna (RDS) Pati lambat cerna (SDS)
69
SDS mengubah
TPM fermentasi lebih tinggi
karena selama fermentasi kultur
campuran menghasilkan amilase ekstraseluler, tetapi kondisi pH lingkungan, yaitu
mengoptimalkan aktivitas amilase ekstraseluler yang dihasilkan. Hal ini
pisang tanduk tidak sempurna, sehingga
tidak ditemukan maltosa atau glukosa melainkan dekstrin yang bersifat lambat
adar pati cepat
) tepung pisang modifikasi.
otoklaf terhadap
memiliki kecepatan
, baik hidrolisis
pati pada menit 30, 60, 90, 120, 150, dan 180 menit. Hidrolisis pati yang lebih rendah
kesetimbangan hidrolisis
lebih rendah dibandingkan TPM
, kedua nilai ini berkorelasi positif dengan kecepatan hidrolisis pati.
dan k akan semakin
besar pula. Nilai C∞ dan k
C∞ dan k TPM tanpa fermentasi
dan k dibutuhkan untuk menentukan nilai indeks hidrolisis (IH).
Gambar 23 Hidrolisis pati tepung pisang modifikasi secara
Gambar 24 Pengaruh fermentasi
glikemik tepung pisang modifikasi
Nilai indeks hidrolisis
Dalam estimasi IG, nilai IH yang digunakan adalah IH pada menit ke
karena memberikan hasil terbaik untuk mengestimasi respon glikemik secara
33.57
0
10
20
30
40
50
60
0
Hidrolisis Pati (%)
0
10
20
30
40
50
60
70
Tanpa fermentasi
Estimasi Indeks Glikemik
dan k TPM fermentasi adalah 49.15 dan 0.027 sedangkan nilai
tanpa fermentasi adalah 52.55 dan 0.033 (Lampiran 23
untuk menentukan nilai indeks hidrolisis (IH).
Hidrolisis pati tepung pisang modifikasi secara in vitro.
Pengaruh fermentasi kultur campuran BAL terhadap estimasi indeks
glikemik tepung pisang modifikasi.
Nilai indeks hidrolisis (IH) dibutuhkan dalam estimasi indeks glikemik (IG).
Dalam estimasi IG, nilai IH yang digunakan adalah IH pada menit ke
karena memberikan hasil terbaik untuk mengestimasi respon glikemik secara
33.57
43.68 45.83 47.4550.82
28.80
39.51 40.96 42.2845.55
30 60 90 120 150
Waktu (menit)
Tanpa fermentasi Fermentasi
Tanpa fermentasi Fermentasi
65.0661.40
70
adalah 49.15 dan 0.027 sedangkan nilai
Lampiran 23). Nilai C∞
stimasi indeks
(IH) dibutuhkan dalam estimasi indeks glikemik (IG).
Dalam estimasi IG, nilai IH yang digunakan adalah IH pada menit ke-90 (IH90),
karena memberikan hasil terbaik untuk mengestimasi respon glikemik secara in vivo
52.44
48.75
180
71
(r = 0.909) (Goni et al. 1997). Nilai indeks hidrolisis pati TPM fermentasi lebih
rendah dibandingkan TPM tanpa fermentasi (Lampiran 24a). Nilai IH90 TPM
fermentasi adalah 27.63 sedangkan nilai IH90 TPM tanpa fermentasi 32.19. Nilai IH
berkorelasi positif dengan nilai estimasi IG, nilai IH yang rendah menunjukkan nilai
estimasi IG yang rendah pula. Estimasi IG TPM tanpa fermentasi dan TPM
fermentasi disajikan pada Gambar 24. Hasil analisis t student menunjukkan TPM
fermentasi (P<0.05) memiliki estimasi IG yang lebih rendah dibandingkan TPM
tanpa fermentasi (Lampiran 24b).
Nilai estimasi IG TPM tanpa fermentasi adalah 65.06 sedangkan nilai estimasi
IG TPM fermentasi adalah 61.40. Hasil estimasi IG TPM tanpa fermentasi yang
dihasilkan dalam penelitian ini serupa dengan estimasi IG tepung pisang yang
dilaporkan oleh Juarez-Garcia et al. (2006) yaitu 65.08. Nilai IG pisang bergantung
pada derajat kematangan buah, nilai IG pisang berada pada kisaran 42-64 (Patterson
2006).
Nilai estimasi IG TPM tanpa fermentasi dan TPM fermentasi berbeda secara
signifikan. Nilai IG TPM fermentasi lebih rendah dibandingkan nilai IG TPM tanpa
fermentasi. Hal ini mengindikasikan perlakuan fermentasi menggunakan kultur
campuran BAL menyebabkan reduksi IG pada TPM yang dihasilkan. Penyebab
reduksi nilai IG pada TPM fermentasi yang dihasilkan, bukan disebabkan oleh kadar
amilosa, kadar pati resisten, dan kadar serat pangan (serat pangan larut dan serat
pangan tidak larut). Kadar amilosa, kadar pati resisten, dan kadar serat pangan TPM
tanpa fermentasi dan TPM fermentasi tidak berbeda signifikan. Perbedaan ini
disebabkan oleh SDS TPM fermentasi yang lebih tinggi dibandingkan SDS TPM
tanpa fermentasi (Gambar 22). Selain itu, selama fermentasi akibat pH yang rendah
(4.14), maka enzim β-amilase yang terdapat secara alami di dalam pisang diinaktikan,
sehingga mereduksi terbentuknya maltosa pada TPM fermentasi. Menurut Patterson
(2006) faktor yang mempengaruhi IG adalah struktur matriks makanan, dinding sel
dan struktur pati, struktur granula pati, kandungan amilosa dan amilopektin, kadar
serat pangan, asam organik, penghambat amilase, komposisi monosakarida,
komposisi karbohidrat, kadar pati resisten, dan gula alkohol.