partai golkar dalam bingkai khalayak - digital library uns/partai... · partai golkar dalam bingkai...
TRANSCRIPT
Partai Golkar dalam Bingkai Khalayak
(Analisis Audience Framing Pemberitaan Munas Partai Golkar ke VIII
pada Harian Kompas Periode Bulan Oktober 2009)
SKRIPSI
Untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai gelar Sarjana Ilmu Komunikasi
pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Ilmu Komunikasi
Disusun oleh :
ANNISA ROHMAH
D0205039
JURUSAN ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
ii
PERSETUJUAN
Skripsi ini disetujui untuk diuji dan dipertahankan di depan
Panitia Ujian Skripsi
Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik
Universitas Sebelas Maret
Surakarta
Hari : Rabu
Tanggal : 24 Maret 2010
Surakarta, 24 Maret 2010
Pembimbing,
Prof. Drs. H. Pawito, Ph.D NIP. 19540805 198503 1 002
iii
PENGESAHAN
Telah disetujui dan disahkan oleh Panitia Ujian Skripsi
Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik
Universitas Sebelas Maret
Surakarta
Hari : Rabu
Tanggal : 21 April 2010
Panitia Penguji :
1. Prof. Drs. H. Totok Sarsito, S.U, M.A, sebagai Ketua (......................)
NIP 19490428 197903 1 001
2. Tanti Hermawati, S.Sos, M.Si sebagai Sekretaris (.....................)
NIP. 19690207 199512 2 001
3. Prof. Drs. H. Pawito, Ph.D sebagai Penguji (......................)
NIP. 19540805 198503 1 002
Mengetahui
Dekan,
Drs. H. Supriyadi SN, SU
NIP 19530128 198103 1 001
iv
MOTTO
”Laa haulaa walaa quwwata illaa billaah”
(Tiada daya upaya selain dari Allah SWT)
”Kekuatan doa dan energi positif
mampu menembus keterbatasan dan ketidakmungkinan”
(Annisa Rohmah)
”Dalam menghadapi keadaan apapun, jangan lengah!
Sebab kelengahan menimbulkan kelemahan,
Dan kelemahan menimbulkan kekalahan,
Sedang kekalahan menimbulkan penderitaan”
(Panglima Besar Jenderal Soedirman)
v
PERSEMBAHAN
Karya sederhana ini peneliti persembahkan untuk:
1. Ibunda, atas kasih sayang dan pengorbanan
yang tidak pernah putus.
2. Bapak, atas doa dan motivasi untuk segera
menyelesaikan skripsi peneliti.
3. Kakak-kakak peneliti, Ichsan Adhie dan
Sarah Fauziah, untuk doa dan dukungannya.
4. Almamater peneliti.
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur tiada terhingga hanya kepada Allah SWT, Tuhan yang
memberi nafas dan kesempatan hidup yang berharga. Hanya karena ridho dan
petunjukNya-lah, peneliti mampu menyelesaikan tugas yang tampak berat ini
dengan lancar. Skripsi ini merupakan pertanggungjawaban peneliti atas
perjuangan empat tahun menempuh pendidikan di Ilmu Komunikasi FISIP UNS.
Meski tidak sedikit menemui hambatan dalam menyelesaikan skripsi ini,
banyak pihak yang tak pernah lelah memberi dukungan dan membagi ilmunya
kepada penulis. Untuk itulah, penulis ingin menghaturkan rasa terima kasih dan
penghargaan yang begitu mendalam kepada berbagai pihak berikut ini.
1. Drs. H. Supriyadi SN, SU selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Dra. Prahastiwi Utari, Ph.D, selaku Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP
Universitas Sebelas Maret yang memiliki dedikasi begitu luar biasa.
3. Dra. Christina T.H, M.Si, selaku pembimbing akademik peneliti yang
banyak memberikan kemudahan dan motivasi kepada peneliti.
4. Prof. Drs. Pawito, Ph.D, selaku dosen pembimbing yang selalu
mengarahkan dan membantu peneliti menulis skripsi ini hingga akhir.
5. Ibunda, Bapak, Kakak-kakakku: Ichsan dan Sarah, Pakde, Uti, serta
seluruh keluarga yang memberi doa dan dukungan yang tak pernah putus.
vii
6. Sahabat-sahabat yang selalu menjadi pelipur lara, Leonie Bunga, Ayoe
Niken, Sovya Marda, dan Aditya Kundhala. Serta sahabat-sahabat dari
kampus tercinta: Paramita Sari, Sri Hartini, dan Arin Prasetyo, terimakasih
untuk tawa dan tangis bersama, semoga kisah kecil di kampus ini akan kita
bawa sampai kita tua nanti.
7. Kisbandi Virdha Kurniawan, untuk semua diskusi yang berarti, serta
perhatian, kesabaran, dan motivasi yang diberikan kepada peneliti dalam
menghadapi setapak demi setapak proses kehidupan selama setahun ini.
8. Kawan-kawan seperjuangan di Nolima Organizer: Albert, Pandu, Agung,
Densa, Indah, Yaninta; dan keluarga Komunikasi 2005 yang istimewa:
Azizah, Sumi, Filia, Heni, Nanda, Dini, Ida, Festy, Windy, Ajeng, dll.
9. Keluarga besar Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) VISI FISIP UNS.
Sebuah “rumah” kecil, yang sering terlupakan, tapi nyatanya dari sinilah
langkah kecil itu dimulai. Terimakasih “tetua-tetua” VISI: Haris, Tedy,
Joni, Abdul, Ika, Nila, Rini; serta adik-adikku: Ema, Adinda, Rizky,
Wahyu, Wida, Nosi, Nanda, Alina, Intan, dan lain-lain.
10. Responden skripsi ini, Suhartono, Sutta Dharma, Eko, Ansyor, Nanda,
Rorie, Haris, Joni, dan Mita. Terimakasih untuk waktu dan diskusinya.
11. Seluruh pihak yang tak dapat disebutkan satu per satu.
Semoga skripsi yang peneliti susun ini dapat memberikan manfaat, bagi
siapa saja yang membacanya. Terimakasih.
Surakarta, April 2010
Peneliti,
viii
ANNISA ROHMAH
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL................................................................................................. i
HALAMAN PERSETUJUAN................................................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN.................................................................................... iii
HALAMAN MOTTO................................................................................................ iv
HALAMAN PERSEMBAHAN................................................................................ v
KATA PENGANTAR............................................................................................... vi
DAFTAR ISI.............................................................................................................. viii
DAFTARGAMBAR.................................................................................................. xi
DAFTAR TABEL...................................................................................................... xii
ABSTRAK................................................................................................................. xiv
ABSTRACT………………………………………………………………………... xv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah.............................................................................. 9
C. Tujuan Penelitian............................................................................... 10
D. ManfaatPenelitian.............................................................................. 10
E. Telaah Pustaka
1. Demokrasi, Partai Politik dan Pers Indonesia.............................. 11
2. Proses Produksi Berita................................................................. 18
3. Framing sebagai Bagian dari Paradigma Konstruktivisme.......... 23
4. Pembentukan Konstruksi Realitas oleh Berita dan Media........... 31
5. Audience sebagai Khalayak Aktif ............................................... 36
F. Metodologi Penelitian
1. Tipe dan Jenis Penelitian.............................................................. 41
2. Obyek Penelitian.......................................................................... 43
ix
3. Teknik Pengumpulan Data........................................................... 44
4. Teknik Pengambilan Sampel…................................................... 44
5. Teknik Analisa Data.................................................................... 46
6. Validitas Data……………………............................................... 54
7. Kerangka Pemikiran……………………………………………. 55
BAB II DESKRIPSI LOKASI
A. Partai Golongan Karya (Golkar)
1. Sejarah dan Perkembangan Partai Golkar…................................ 56
2. Tujuan, Visi, Misi dan Platform Partai Golkar ........................... 60
3. Paradigma Lama dan Paradigma Baru…..................................... 64
4. Susunan Kepengurusan................................................................ 65
5. Musyawarah Nasional (Munas) Partai Golkar ke-VIII………… 67
B. Harian Kompas
1. Sejarah Harian Kompas……....................................................... 70
2. Visi dan Misi Harian Kompas…….............................................. 74
3. Struktur Organisasi Perusahaan…............................................... 75
4. Kebijakan Keredaksian……………............................................ 76
5. Rubrikasi……………………………………………………….. 77
6. Oplah, Sirkulasi, dan Profil Pembaca………………………….. 79
BAB III PARTAI GOLKAR DALAM BINGKAI MEDIA DAN KHALAYAK
A. Pola Pemberitaan Munas Golkar ke VIII pada Harian Kompas........ 82
1. Persaingan Perebutan Kursi Ketua Umum Partai Golkar……… 86
1.1 Persaingan Perebutan Kursi Ketua Umum Partai Golkar
dalam Pandangan Kompas………………………………..... 92
2. Arti Penting Munas Partai Golkar ke VIII……………………... 101
2.1 Arti Penting Munas Partai Golkar ke VIII dalam Pandangan
Kompas…………………………………………………….. 103
3. Isu Politik Uang dan Pragmatisme dalam Pemilihan Ketua
Umum……………………………………………..……………. 108
3.1 Isu Politik Uang dan Pragmatisme dalam Pemilihan Ketua
Umum dalam Pandangan Kompas……………………………... 112
x
4. Indikasi Rekayasa dan Kericuhan pada Pelaksanaan Munas…... 117
4.1 Indikasi Rekayasa dan Kericuhan pada Pelaksanaan Munas
dalam Pandangan Kompas…………………………………. 120
5. Posisi Politik Partai Golkar Pasca Munas……………………… 125
5.1 Posisi Politik Partai Golkar Pasca Munas dalam Pandangan
Kompas…………………………………………………….. 128
B. Melihat Bingkai Pembaca Kompas terhadap Pelaksanaan Munas
Partai Golkar……………………………………………………...... 132
1. Pandangan Pembaca Kompas terhadap Persaingan Perebutan
Kursi Ketua Umum Partai Golkar……………………………… 139
2. Pandangan Pembaca Kompas terhadap Arti Penting Munas
Partai Golkar ke VIII…………………………………………… 154
3. Pandangan Pembaca Kompas terhadap Isu Politik Uang dan
Pragmatisme dalam Pemilihan Ketua Umum.…………………. 161
4. Pandangan Pembaca Kompas terhadap Kericuhan dan Indikasi
Rekayasa pada Pelaksanaan Munas……………..……………... 171
5. Pandangan Pembaca Kompas terhadap Posisi Politik Partai
Golkar Pasca Munas……………………..................................... 180
C. Membandingkan Frame Kompas dengan Frame Pembaca
Kompas…………………………………………………………….. 190
1. Persaingan perebutan kursi Ketua Umum Partai Golkar............. 190
2. Arti penting Munas Partai Golkar ke VIII……………………... 193
3. Isu politik uang dan pragmatisme dalam Pemilihan Ketua
Umum……................................................................................... 195
4. Indikasi Rekayasa dan Kericuhan pada Pelaksanaan Munas…... 196
5. Posisi Politik Partai Golkar Pasca Munas.................................... 198
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan........................................................................................ 202
B. Saran.................................................................................................. 208
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................... 211
xi
LAMPIRAN
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1.1 A Process Model of Framing Research ............................................29
Gambar 1.2 Analisis Data Interaktif Miles dan Huberman...................................47
Gambar 1.3 Kerangka Berpikir..............................................................................55
xii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1.1 Variabel Independen dan Variabel Dependen pada Frame..................28
Tabel 1.2 Daftar Responden Penelitian................................................................46
Tabel 1.3 Kerangka Framing Pan dan Kosicki....................................................50
Tabel 2.1 Paradigma Lama dan Baru Partai Golkar...........................................65
Tabel 2.2 Rubrikasi Harian Umum Kompas........................................................77
Tabel 2.3 Oplah Kompas per Lima Tahun...........................................................79
Tabel 2.4 Sirkulasi Harian Kompas Tahun 1993.................................................79
Tabel 2.5 Segmentasi Kompas dari Segi Pendidikan..........................................80
Tabel 2.6 Segmentasi Kompas dari Segi Penghasilan.........................................80
Tabel 2.7 Segmentasi Kompas dari Segi Pekerjaan.............................................81
Tabel 3.1 Daftar Berita Bulan Oktober 2009.......................................................84
Tabel 3.2 Daftar Berita yang Dianalisis...............................................................86
Tabel 3.3 Berita Bertema Persaingan Antar Calon Ketua Umum.......................92
Tabel 3.4 Berita Bertema Arti Penting Munas Partai Golkar VIII....................103
Tabel 3.5 Berita Bertema Isu politik uang dan pragmatisme dalam
pemilihan Ketua Umum.....................................................................112
Tabel 3.6 Berita Bertema Indikasi Rekayasa dan Kericuhan pada
Pelaksanaan Munas............................................................................120
Tabel 3.7 Berita Bertema Posisi Politik Partai Golkar Pasca Munas.................128
Tabel 3.8 Rangkuman Pendapat Pembaca Kompas tentang Persaingan
Antar Calon Ketua Umum.................................................................153
Tabel 3.9 Rangkuman Pendapat Pembaca Kompas tentang Arti Penting
Munas Partai Golkar..........................................................................160
Tabel 3.10 Rangkuman Pendapat Pembaca Kompas tentang Isu politik uang
dan pragmatisme dalam pemilihan Ketua Umum..............................170
Tabel 3.11 Rangkuman Pendapat Pembaca Kompas tentang Indikasi
xiii
Rekayasa dan Kericuhan pada Pelaksanaan Munas...........................179
Tabel 3.12 Rangkuman Pendapat Pembaca Kompas tentang Posisi Politik
Partai Golkar Pasca Munas................................................................188
Tabel 3.13 Perbandingan Media Frame dan Audience Frame.............................199
xiv
ABSTRAK ANNISA ROHMAH, D0205039, Partai Golkar dalam Bingkai Khalayak (Analisis Audience Framing Pemberitaan Munas Partai Golkar ke VIII pada Harian Kompas Periode Bulan Oktober 2009), Skripsi, Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2010.
Pemberitaan peristiwa besar, seperti Munas Partai Golkar, melalui surat kabar dipercaya memberi kecenderungan dan efek tertentu bagi khalayak. Pembaca sebagai khalayak aktif memiliki pemahaman tersendiri terhadap sebuah berita. Pemahaman ini diolah dalam diri individu dan membentuk pandangan tertentu. Pendapat pembaca juga dimungkinkan mendapat pengaruh dari cara penyajian berita oleh media massa.
Penelitian ini merupakan studi kualitatif dengan menggabungkan analisis framing model Pan dan Kosicki dengan teori Dietram Aren Scheufele terhadap pemberitaan Munas Partai Golkar ke VIII pada Harian Kompas bulan Oktober 2009. Tujuan penelitian ini ialah mengetahui kontruksi Partai Golkar yang dibangun Harian Kompas pada Munas Partai Golkar dan persepsi pembaca Kompas tentang Partai Golkar. Penelitian ini memakai orientasi bingkai khalayak (audience frames) sebagai variabel dependen. Untuk mengetahui bingkai khalayak, peneliti meletakkan fokus pada tiga unsur: bagaimana persepsi setelah membaca berita, faktor yang mendasari persepsi, dan apakah bingkai khalayak sama dengan bingkai media.
Penelitian ini secara umum menyimpulkan bahwa Kompas melihat Partai Golkar memiliki kemiripan dengan Golkar masa orde baru yang lekat dengan kekuasaan. Kompas banyak mengkritisi dinamika politik dan perilaku elite yang negatif pada pelaksanaan munas. Sementara pembaca Kompas menilai banyak masalah dalam munas yang mencitrakan Partai Golkar sebagai partai yang tidak solid. Namun pragmatisme Partai Golkar dianggap sebagai kesalahan yang membudaya dan sulit dihapuskan. Faktor yang mempengaruhi persepsi khalayak diantaranya intensitas membaca berita, penggunaan media lain, pemahaman mengenai Partai Golkar, serta kegiatan keseharian. Pada dasarnya, sebagian besar persepsi khalayak dipengaruhi oleh frame media, akan tetapi ada pula persepsi khalayak yang bertolak belakang dengan frame media yakni terkait persaingan calon ketua umum dan terjadinya politik uang. Kata kunci : Partai Golkar, bingkai khalayak, bingkai media
xv
ABSTRACT ANNISA ROHMAH, D0205039, The Construction of Golkar Party (Audience Framing Analysis on Reporting to the 8th National Conference of the Golkar Party in Kompas daily newspaper Period on October 2009), Thesis, Department of Communication Sciences, Faculty of Social and Political Sciences, Sebelas Maret University, Surakarta, 2010.
Reporting the big event, such as the National Conference of Golkar Party, on the newspaper is believed to give certain trends and effects for the audience. Reader as an active audience has its own understanding of a story. This understanding is processed within the individual and establish in a particular view. Opinions reader is also possible under the influence of how the presentation of news by the media.
This research is a study combining qualitative framing analysis of Pan and Kosicki model with the theory of Dietram Aren Scheufele preaching to the 8th National Conference of the Golkar Party in Kompas daily newspaper period on October 2009. The purpose of this research is to know the construction of the Golkar Party, which was built by Kompas daily newspaper on the National Conference of the Golkar Party and the Kompas readers’ perception of the Golkar Party. This study used an audience frame oriented (audience frames) as the dependent variable. To find the audiences frame, researchers put the focus on three elements: how the perception after reading the news, the factors underlying perception, and whether the frame of audiences same with the media frame.
These studies generally conclude that Kompas see the Golkar party still has a similar character with Golkar in Orde Baru which is closely with power. Kompas criticize the political dynamics and the negative behavior of elite on National Conference. All that is shown through the choice of words, in writing, the choice of interviewees, and the results of interviews with reporters of Kompas. While Kompas readers assess many problems on National Conference that the imaging Golkar Party as the party that is not solid. But pragmatism in Golkar Party is considered as the entrenched error and difficult to be abolished. Factors that affect the public perception are the intensity of read news, use of other media, understanding of the Golkar Party, and daily activities. Basically, almost all perception of the audiences is under the influence of the media frame, but some perception of the audiences has an opposite frame with the media frame, such as the election of the political party’s leader and money politics.
Keywords: Golkar Party, media frame, audience frames
xvi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hingar bingar pesta demokrasi di Indonesia baru saja usai. Dua perhelatan
besar bangsa tahun 2009, yakni Pemilihan Umum (Pemilu) Legislatif pada 9 April
dan Pemilihan Presiden (Pilpres) pada 8 Juli lalu telah mendapatkan hasil. Partai
Demokrat merebut kemenangan dari Partai Golongan Karya (Golkar) dengan
jumlah suara 20,85%, padahal Demokrat pada Pemilu lima tahun lalu hanya
memperoleh suara 7,45%. Sedang Golkar harus menelan kekalahan dengan
jumlah suara yang turun drastis dari Pemilu 2004, yakni 14,45%. Fakta ini
merupakan catatan sejarah, karena inilah jumlah suara terkecil yang diperoleh
partai berlambang pohon beringin ini dalam sembilan kali pemilu.
Sejak Pemilu tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, hingga 1997
Golkar−yang pada awal berdiri bernama Sekretariat Bersama (Sekber)
Golkar−dibawah kepemimpinan mantan Presiden Soeharto berhasil mengemban
kepercayaan rakyat dengan memperoleh kemenangan sebagai mayoritas tunggal.1
Meskipun pada Pemilu 1999, Golkar hanya mendapat peringkat kedua dengan
jumlah 22,43% suara, namun pada Pemilu 2004 Golkar berhasil mengembalikan
kejayaannya dengan menjadi juara pertama. Akan tetapi kecenderungan suara
Partai Golkar terus mengalami penurunan, bahkan pada pemilu tahun 2004,
Golkar hanya mendapat suara 21,58%. Padahal pada Pemilu 1997 Golkar berhasil
1 www.golkar.or.id akses tanggal 28 Oktober 2009 pukul 19.04
xvii
memperoleh suara mutlak 74,5%, sebelum akhirnya Soeharto digulingkan
mahasiswa pada reformasi 1998.
Sama halnya dengan pemilu legislatif (Pileg), Pilpres pun membawa hasil
yang sangat mengecewakan bagi partai bernomor urut 23 ini. Calon Presiden dan
Wakil Presiden yang diusung Partai Golkar dan rekan koalisinya Partai Hati
Nurani Rakyat (Hanura), yakni Jusuf Kalla (JK) dan Wiranto, kalah telak dari
pasangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono serta Megawati Soekarno
Putri-Prabowo Subianto. SBY-Boediono menyempurnakan kemenangan Partai
Demokrat dengan memperoleh kemenangan dengan jumlah suara 60,80% dalam
satu putaran saja2. Sementara JK-Wiranto hanya bercokol pada posisi ketiga
dengan jumlah suara 15.081.814 atau 12,41% dari total suara pemilih.
Dua pukulan ini membuat posisi politik Partai Golkar semakin sulit.
Dalam alur sejarah, Golkar selalu menjadi partai yang masuk dalam pemerintah.
Golkar tidak pernah memiliki sejarah menjadi oposisi, karena sejak era orde baru,
Golkar kental dengan image sebagai partai penguasa (the ruler’s party)3. Bahkan
politisi Partai Golkar banyak yang duduk sebagai pejabat penting, seperti dewan
legislatif, menteri, gubernur, kepala daerah, hingga kepala camat ataupun lurah.
2 Wacana Pilpres Satu Putaran digulirkan Denny J.A, Direktur Eksekutif Lingkaran Survei
Indonesia (LSI) dan Lembaga Studi Demokrasi (LSD), serta menjadi salah satu materi iklan kampanye SBY-Boediono. Hal ini memicu protes dari kedua pasangan calon lain yang mengharapkan pilpres dapat berlangsung dua putaran agar dapat mengalahkan SBY-Boediono. Dalam berbagai survei pra-pilpres, SBY-Boediono selalu mendapat dukungan lebih dari 50%.
3 Akbar Tandjung, The Golkar Way: Survival Partai Golkar di Tengah Turbulensi Politik Era Transisi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2007, hal: 39
xviii
Padahal, Partai Golkar tergolong partai berbasis massa bukan partai
kader4. Pada saat krisis, persatuan partai cenderung melemah bahkan bisa dengan
mudah hilang sama sekali. Sehingga dimungkinkan sekali satu per satu golongan
dalam partai ini akan memisahkan diri dari partai dan membentuk partai baru
karena ketidakpuasannya terhadap Partai Golkar. Hal ini pernah dibuktikan
Golkar sebelum Pemilu 1999 dimana beberapa kader dan ormas pendukungnya
memisahkan diri. Diantaranya, Edi Sudradjat yang mendirikan Partai Keadilan
dan Persatuan (PKP) yang kemudian berganti nama menjadi Partai Keadilan dan
Persatuan Indonesia (PKPI), Hj. Mien Sugandhi dengan Partai Musyawarah
Kekeluargaan Gotong Royong (Partai MKGR) yang berganti nama menjadi Partai
Gotong Royong (PGR), R. Hartono yang membentuk Partai Karya Peduli Bangsa
(PKPB) dan Yapto Soerjosoemarno yang mendirikan Partai Patriot Pancasila.5
Pada kondisi yang sekarang, keadaan internal partai Golkar terus
bergejolak. Partai yang memiliki banyak tokoh penting ini sering mengalami
konflik kepentingan antar kadernya. Kondisi ini mau tidak mau menuntut Partai
Golkar untuk segera merumuskan kembali arah dan ideologi partai secara cermat.
Jika tidak, sejumlah pengamat politik memastikan Golkar akan kehilangan
“taringnya” dan segera menemui kematiannya. Pengamat politik Bima Arya
Sugiarto misalnya, mengatakan ada lima krisis yang sebenarnya tengah dihadapi
4 Jika dilihat dari segi komposisi dan fungsi anggotanya, partai politik dibedakan menjadi dua, yakni partai massa dan partai kader. Partai massa lebih mengutamakan kekuatan berdasarkan keunggulan jumlah anggota. Sedang partai kader lebih mementingkan keketatan organisasi dan disiplin kerja anggotanya. Selengkapnya lihat Prof. Miriam Budihardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001, hal: 166
5 Selengkapnya lihat Op.Cit, hal 106-111
xix
Partai Golkar, yakni krisis elektoral, krisis orientasi, krisis kader muda, krisis
basis sayap, dan krisis loyalitas6.
Pertama, krisis elektoral, yakni tingkat kepercayaan publik yang menurun
drastis. Dibuktikan dengan perolehan jumlah suara yang jatuh secara signifikan
meskipun Partai Golkar memiliki figur JK yang cukup bersinar ketika menjadi
Wakil Presiden periode 2004-2009. Kedua, krisis orientasi, artinya Partai Golkar
tidak mengedepankan visi misi dan kekokohan partai dalam gerak politiknya,
akan tetapi justru berkutat pada masalah oposisi atau mendukung pemerintah,
masuk atau tidak masuk dalam lingkaran kekuasaan.
Ketiga, krisis kader muda, yakni Partai Golkar kurang memberi tempat
kepada kader mudanya dalam kepengurusan. Akibatnya kaum muda dalam partai
lebih tersisih sehingga kepengurusan masih banyak didominasi golongan senior.
Krisis keempat, yakni organisasi sayap Partai Golkar yang semakin terpecah dan
seakan berdiri sendiri. Kelima, krisis loyalitas, yakni munculnya berbagai faksi
dalam partai yang justru saling menyerang, sehingga kesatuan partai tidak lagi
harmonis.
Maka Musyawarah Nasional (Munas) Partai Golkar ke VIII yang
dilaksanakan pada 5-8 Oktober 2009 di Pekanbaru, Riau, menjadi titik tolak Partai
Golkar untuk bangkit dari keterpurukan Pemilu 2009. Munas yang secara rutin
dilaksanakan per 5 tahun ini mengevaluasi kepemimpinan JK selama menjadi
Ketua Umum Partai Golkar periode 2004-2009 sekaligus memutuskan langkah
kongkrit Golkar untuk memenangi Pemilu 2014. Munas Golkar ini juga
6 Kompas, “Lima Krisis Lilit Golkar”, edisi 10 Agustus 2009
xx
menentukan Ketua Umum Partai Golkar periode 2009-2015 yang menjadi
nahkoda Golkar ke depan. Ketua Umum Golkar-lah yang menentukan, apakah
Golkar kembali menjadi partner pemerintah atau justru mencetak sejarah dengan
memposisikan diri sebagai lawan.
Namun ada yang berbeda dalam proses penyelenggaraan Munas kali ini.
Pemilihan ketua umum dipilih secara langsung oleh Dewan Pimpinan Pusat
(DPP) serta masing-masing Dewan Pimpinan Daerah (DPD) tingkat I dan DPD
tingkat II. Pada Munas sebelumnya pemilihan ketua umum terlebih dahulu dipilih
dalam Konvensi Ketua Umum Partai Golkar, setelah itu baru dilakukan proses
pemilihan pada munas. Sistem pemilihan langsung ini, sesuai dengan platform
partai, merupakan kebijakan partai untuk menyesuaikan diri dengan sistem
demokrasi Indonesia.
Seperti diketahui, pada awalnya pemilu di Indonesia memang ditujukan
untuk memilih anggota lembaga perwakilan, yaitu DPR, DPRD Provinsi, dan
DPRD Kabupaten/Kota. Setelah amandemen keempat UUD 1945 pada 2002,
pilpres yang semula dilakukan oleh MPR, disepakati untuk dilakukan langsung
oleh rakyat sehingga pilpres pun dimasukkan ke dalam rezim pemilu. Kemudian
pada 2007, berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007, pemilihan
kepala daerah dan wakil kepala daerah (Pilkada) pun juga dimasukkan sebagai
bagian dari rezim pemilu.7
Ada empat calon kandidat yang lolos seleksi menjadi calon Ketua Umum
Partai Golkar, yakni Aburizal Bakrie, Hutomo Mandala Putra (Tommy Soeharto),
7 http://id.wikipedia.org/wiki/Pemilihan_umum_di_Indonesia akses data tanggal 19 Desember 2009 pukul 13.12
xxi
Surya Paloh, dan Yuddy Chrisnandi. Keempatnya secara sengit terus bersaing
jelang munas dilaksanakan, mulai dari penayangan iklan, saling klaim dukungan,
hingga perang opini di media massa. Aburizal akhirnya menang dengan
mendapatkan suara 296, mengalahkan Surya Paloh dengan jumlah suara 250.
Sementara Tommy Soeharto dan Yuddy Chrisnandi sama sekali tidak mendapat
dukungan suara atau nol.
Munas yang berlangsung panas dan penuh dengan kericuhan ini tentu saja
menjadi titik perhatian media. Bagaimana tidak, tokoh-tokoh yang mengajukan
diri menjadi ketua umum adalah tokoh-tokoh besar Golkar yang royal
mengeluarkan uang untuk melakukan kampanye. Bahkan Aburizal Bakrie dan
Surya Paloh adalah pemilik media besar di negeri ini. Aburizal Bakrie adalah
pemilik VIVA News, TV One, dan ANTV. Sedangkan Surya Paloh memiliki
Metro TV serta Media Indonesia. Tommy Soeharto sebenarnya juga merupakan
salah satu pemilik saham di MNC Group–terdiri dari RCTI, TPI, Global TV,
Global Radio, Koran Seputar Indonesia dan Tabloid Genie–, akan tetapi MNC
lebih berkonsentrasi pada siaran entertainment bukan media berita.
Pemberitaan media massa pun tidak hanya berkutat pada pelaksanaan
teknis Munas, tetapi lebih menyoroti pada persaingan antar calon ketua umum.
Isu-isu sensitif seperti politik uang, klaim dukungan, hingga tekanan pada calon
lain pun terus menghiasi surat kabar mendekati pelaksanaan Munas. Sejenak
masalah kebimbangan ideologi Golkar seperti terabaikan oleh media, bahkan oleh
politisi Golkar sendiri. Image dan posisi politik Partai Golkar kini seakan kembali
bergeser seperti masa orde baru dahulu−yakni partai yang sangat dekat dengan
xxii
perebutan kekuasaan. Anggota Dewan Penasihat Partai Golkar periode 2004-2009
Sultan Hamengku Buwono X pun sempat menyindir Partai Golkar sebagai partai
pragmatis sehingga idealisme partai telah melemah8.
Salah satu media massa yang memberi perhatian khusus terhadap
pelaksanaan Munas Golkar adalah Harian Kompas. Kompas adalah media cetak
nasional yang memiliki oplah terbesar di Indonesia. Sebagai salah satu media
nasional yang dianggap netral−meskipun tak ada media yang benar-benar netral−,
Kompas secara kontinyu menuliskan pemberitaan tentang persiapan, persaingan
antar calon ketua umum, memberi space khusus pada hari pelaksanaan munas,
serta melakukan follow-up pemberitaan pasca Munas berlangsung.
Meskipun Kompas memiliki ideologi tak terlalu jauh dengan Partai Golkar
yakni nasionalis moderat9, tetapi Kompas pasti memiliki kepentingan dan arah
kebijakan tersendiri dalam pemilihan serta pemuatan berita. Seperti yang
diungkapkan Pemimpin Umum Harian Kompas Jacoeb Oetama, bahwa tidak ada
peristiwa yang begitu saja jatuh dari langit. Senantiasa ada latar belakang, ada
proses, ada kait-kaitan, dan ada konteks10. Ada dua konteks dalam pemberitaan
surat kabar, yakni konteks yang berhubungan langsung dengan fakta dan
persoalan di lapangan, serta konteks dalam kerangka referensi (frame of
8 Lihat berita Kompas, “Penentuan Nasib Partai”, edisi 2 Oktober 2009 9 Kompas menyatakan diri sebagai koran yang moderat, tidak condong ke salah satu pihak, berada ditengah-tengah. Sementara Partai Golkar, dalam internalnya pun sebenarnya masih terjadi silang pendapat mengenai ideologi Partai Golkar. Aburizal dan Tommy menyatakan Partai Golkar memperjuangkan NKRI dengan berpegang pada Pancasila dan UUD ‘45. Surya Paloh mengklaim ideologi Partai Golkar adalah Nasionalis moderat, sedang menurut Yuddy Partai Golkar berbasis nasionalis religius kerakyatan. Selengkapnya lihat wawancara Harian Kompas dengan empat kandidat Ketua Umum Partai Golkar, Kompas, edisi 5 Oktober 2009, hal: 5
10 Jacoeb Oetama, “Sampaikan Informasi secara Menarik dan Bermakna”, artikel, Kompas, edisi 28 Juni 2000, dalam Jacoeb Oetama, Pers Indonesia: Berkomunikasi dalam Masyarakat Tidak Tulus, Kompas, Jakarta, 2001, hal: 141
xxiii
reference).11 Surat kabar dipandang memiliki kemampuan untuk menampilkan hal
tersebut lebih baik dibanding media lain.
Jacoeb Oetama juga menegaskan bahwa dengan kelebihan surat kabar
tersebut, isi surat kabar akan menimbulkan kecenderungan tertentu bagi khalayak
pembacanya. Pun demikian, pemberitaan Kompas mengenai pelaksanaan Munas
Golkar ini tentu juga memberikan gambaran dan perspektif sendiri bagi
pembacanya.
Pembaca sebagai audience, mau tidak mau pasti mendapatkan efek dari
pemberitaan yang termuat pada Harian Kompas. Seperti yang diungkapkan Keith
R Stamm dan John E Bowes, ada dua bagian dasar dari efek yang timbul dari
komunikasi massa, yakni efek primer dan efek sekunder. Efek primer meliputi
terpaan, perhatian, dan pemahaman. Sedang efek sekunder meliputi perubahan
tingkat kognitif (perubahan pengetahuan dan sikap) dan perubahan perilaku
(menerima dan memilih).12
Oleh karena itu, setiap individu pembaca Kompas, meskipun dengan
tingkat perhatian yang terbatas dimungkinkan memiliki pemahaman tertentu
terhadap pemberitaan Munas Partai Golkar yang disajikan Harian Kompas.
Pemahaman ini diolah sedemikian rupa dalam diri individu pembaca dan
kemudian membentuk sebuah pandangan tertentu mengenai Partai Golkar.
Pendapat pembaca Kompas ini juga sangat dimungkinkan mendapat pengaruh
dari cara pemberitaan dan framing berita yang sengaja dibentuk oleh Kompas.
11 Kerangka referensi bisa berasal dari pengalaman empiris, visi misi, otonomi, independensi,
pandangan dan sikap dasar surat kabar tersebut. Selengkapnya lihat Jacoeb Oetama, Ibid 12 Selengkapnya lihat Nurudin, Komunikasi Massa, Cespur, Malang, 2004, hal: 192-200
xxiv
Penelitian ini memfokuskan diri pada tiga hal, antara lain konstruksi Partai
Golkar pada pelaksanaan Munas Partai Golkar yang dibentuk oleh Harian
Kompas, persepsi dari pembaca Kompas mengenai pemberitaan Munas Partai
Golkar, serta perbedaan dan persamaan diantara dua konstruksi tersebut. Melalui
penelitian ini dengan memperhatikan muatan berita pada Harian Kompas, peneliti
berharap mengetahui konstruksi Partai Golkar pada pemberitaan Munas Gokar ke-
VIII yang terbentuk oleh Harian Kompas (frame media) dan oleh pembacanya
(frame khalayak pembaca) sehingga dapat melihat perbandingan konstruksi frame
media dan frame pembaca. Oleh karena itu, penelitian ini mengambil judul:
Partai Golkar dalam Bingkai Khalayak (Analisis Audience Framing
Pemberitaan Munas Partai Golkar ke VIII di Pekanbaru pada Harian
Kompas Periode Bulan Oktober 2009)
B. Rumusan Masalah
Dari paparan latar belakang di atas, dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana Harian Kompas mengkonstruksi dan mengemas berita Munas
Golkar ke VIII di Pekanbaru?
2. Bagaimana persepsi pembaca Kompas tentang Partai Golkar pada
pelaksanaan Munas Partai Golkar ke VIII di Pekanbaru?
3. Bagaimana hubungan konstruksi Partai Golkar yang dibentuk oleh
Kompas dan pembaca Kompas?
xxv
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui frame Harian Kompas pada pemberitaan Munas Partai
Golkar ke VIII di Pekanbaru
2. Untuk mengetahui persepsi pembaca Kompas mengenai Partai Golkar dan
pelaksanaan Munas Partai Golkar ke VIII di Pekanbaru pada Harian
Kompas
3. Untuk mengetahui hubungan konstruksi Partai Golkar dalam pelaksanaan
Munas Partai Golkar ke VIII yang dibentuk oleh Harian Kompas dan
pembaca Kompas
D. Manfaat Penelitian
1. Secara khusus bagi peneliti, memberi gambaran tentang kecenderungan
Kompas dalam membingkai dan mengemas berita Munas Golkar VIII,
mengetahui frame pembaca setelah membaca pemberitaan di Kompas,
serta mencari tahu perbedaan dan persamaan kedua frame tersebut.
2. Dalam tataran yang lebih umum dan praktis, penelitian ini diharapkan
memberi gambaran bagi mahasiswa, dosen, akademisi komunikasi,
praktisi media massa bahwa perkembangan politik sangat dinamis. Politik
terus berubah sesuai dengan arah kepentingan partai politik dan aktor
dibelakangnya, sehingga politik harus selalu diawasi dan mendapat
pengawalan masyarakat agar tidak melenceng dari hakikat awalnya.
3. Memberikan kesadaran bahwa pada dasarnya pemberitaan media tidak
sepenuhnya obyektif dan informatif, sehingga khalayak diharapkan lebih
xxvi
berhati-hati ketika berhadapan dengan infomasi media. Serta, khalayak
mampu secara bijaksana menyikapi pemberitaan media massa tersebut.
E. Tinjauan Pustaka
1. Demokrasi, Partai Politik dan Pers Indonesia
Demokrasi merupakan dambaan setiap rakyat yang menginginkan
persamaan hak dan kewajiban dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Demokrasi sulit didefiniskan karena selalu berkembang sesuai dinamika
masyarakat. Menurut negarawan Athena, Pericles, ada empat kriteria yang
dapat mendefinisikan istilah demokrasi. Pertama, pemerintahan oleh rakyat
dengan partisipasi rakyat yang penuh dan langsung. Kedua, kesamaan di
depan hukum. Ketiga, pluralisme yakni penghargaan atas bakat, minat,
keinginan, dan pandangan. Keempat, penghargaan terhadap pemisahan dan
wilayah pribadi untuk memenuhi kepribadian individual.13 Pada kriteria
pertama, masyarakat membutuhkan sebuah wadah untuk menyalurkan aspirasi
dan partisipasi politiknya. Maka dari itu muncul partai politik atau parpol.
Parpol adalah satu unsur yang tidak bisa dipisahkan dari negara yang
menjunjung tinggi demokrasi. Parpol lahir karena kesadaran bahwa rakyat
mempunyai hak untuk berpartisipasi menentukan siapa yang membuat
kebijakan umum bagi dirinya. Parpol secara lebih sederhana sebenarnya telah
menjadi buah pikir masyarakat sejak peradaban Yunani Kuno, atau dalam
13 Lihat Roy C Macridis, Contemporary Political Ideologies: Movements and Regimes, Boston,
Toronto: Little, Brown, and Company, 1983, hal: 19-20 dalam Eep Saefulloh Fatah, Pengkhianatan Demokrasi ala Orde Baru: Masalah dan Masa Depan Demokrasi Terpimpin Konstitusional, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2000, hal: 17
xxvii
interaksi politik pada kebudayaan Cina Kuno, Hindu India dan Babylonia.
Namun, parpol–dalam bentuk yang lebih modern–ditemukan pada awal abad
ke-19. Bentuk parpol ini muncul dari semangat modernitas dalam dunia
politik. Kemunculan ini berkaitan dengan kenyataan bahwa kepentingan
politik kolektif membutuhkan suatu sistem organisasi-birokratis yang
menjamin efisiensi dan efektivitas dalam perjuangan politik.14
Secara umum partai politik dapat diringkas sebagai kelompok yang
terorganisir yang anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita
yang sama. Tujuannya ialah memperoleh kekuasaan politik dan merebut
kedudukan politik–(biasanya) dengan cara konstitusionil–untuk melaksanakan
kebijaksanaan mereka.15 Sedang, Max Weber dalam bukunya Economie et
Societe (1959) justru melihat parpol dalam aspek profesionalime. Menurutnya,
parpol adalah organisasi publik yang bertujuan membawa pemimpinnya
berkuasa dan memungkinkan para pendukungnya (politisi) untuk
mendapatkan keuntungan dari dukungan tersebut.16
Partai politik setidaknya memiliki empat karakteristik pokok17, yakni
memiliki orientasi jangka panjang, memiliki struktur organisasi dari level
lokal hingga nasional, bertujuan untuk merebut dan mendapatkan kekuasaan,
serta berupaya untuk memperoleh dukungan luas dari masyarakat.
14 Firmanzah, Ph.D, Mengelola Partai Politik: Komunikasi dan Positioning Ideologi Politik di Era
Demokrasi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2008, hal: 56 15 Prof. Miriam Budihardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001,
hal: 161 16 Op. Cit, hal: 66 17 La Palombara dan Weiner dikutip dalam Firmanzah, Ph.D, Op.Cit, hal: 67-68
xxviii
Setiap negara menerapkan sistem kepartaian yang berbeda-beda,
tergantung pada pola pemerintahan negara yang bersangkutan. Secara mudah
Maurice Duverger mengklasifikasikan sistem kepartaian sebagai berikut18:
a. Sistem partai tunggal (one-party system)
Yakni hanya terdiri dari satu partai penguasa atau partai yang
memiliki posisi dominan diantara partai kecil lain. Dalam sistem
kepartaian ini, pihak yang kalah tidak diperbolehkan melakukan
perlawanan terhadap partai dominan dan pimpinan yang terpilih.
b. Sistem dwi-partai (two-party system)
Yakni adanya dua partai atau adanya beberapa partai tetapi dengan
peranan dominan dari dua partai. Dalam sistem ini, fungsi kepartaian
tampak jelas karena partai yang menang akan berkuasa sedangkan
partai yang kalah akan menjadi partai oposisi.
c. Sistem multi partai (multi-party system)
Sistem kepartaian ini membuka kesempatan partai-partai kecil
karena kesadaran keberagaman budaya dan politik. Dalam sistem ini,
pada akhirnya partai-partai kecil akan berkoalisi dengan partai
pemenang untuk memperkuat pemerintahan. Akan tetapi peran oposisi
sangat lemah, sehingga posisi partai pemenang lebih diuntungkan.
Indonesia pada masa kolonial Belanda sempat menerapkan sistem
multi partai. Parpol sempat dilarang pada masa kependudukan Jepang, namun
sistem multi partai kembali digunakan usai kemerdekaan, tepatnya pada masa
18 Ibid, hal: 167-170
xxix
orde lama (1945-1965). Dibawah pimpinan Soekarno, Indonesia mengalami
dua bentuk demokrasi pada masa orde lama. Wilopo menamakan periodisasi
1945-1957 sebagai periode “Revolusi”/“Demokrasi Parlementer” sementara
periode 1957-1965 sebagai periode “Demokrasi Terpimpin”.19 Berdasarkan
Maklumat Wakil Presiden No. X, 3 November 1945 tentang penganjuran
pembentukan parpol, pemerintahan dijalankan perdana menteri, kabinet, dan
parlemen. Akibatnya, terjadi pergulatan politik yang ditandai tarik menarik
kekuatan partai dalam lingkaran kekuasaan, dan tarik menarik antara partai di
dalam lingkaran kekuasaan dengan kekuatan politik diluar kekuasaan: pihak
kedua mencoba menarik pihak pertama keluar dari lingkaran kekuasaan.20
Keadaan yang demikian melegalkan peranan partai “koalisi” dan partai
“oposisi”. Oposisi menurut Prof. Dr. A. Hoogerwerf disebabkan
ketidakpuasan pada kekuasaan yang terpolarisasi pada kelompok-kelompok
yang mampu menampung tuntutan-tuntutan (artikulasi kepentingan) mereka.21
Ketidakpuasan pada sistem demokrasi parlementer membuat Soekarno
mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menandai sistem Demokrasi
Terpimpin. Kekuasaan menjadi tersentralisasi pada Presiden dan secara
signifikan diimbangi kekuasaan PKI dan Angkatan Darat.22 Setelah kudeta
PKI gagal di akhir September 1965, kekuasaan bergeser kearah terbentuknya
peta baru yakni lahirnya orde baru.
19 Eep Saefulloh Fatah, Op.Cit, hal: 17 20 Ibid 21 Redi Panuju, Oposisi Demokrasi dan Kemakmuran Rakyat, Pustaka Book Publisher, Yogyakarta, 2009, hal: 31
22 Eep Saefulloh Fatah, Op.Cit, hal: 19
xxx
Pada masa orde baru, tepatnya tahun 1973, terjadi penyederhanaan
parpol, yakni dua parpol (Partai Persatuan Pembangunan dan Partai
Demokrasi Pembangunan) dan Golkar yang bisa ikut pemilu. Golkar selalu
menang mutlak pada setiap pemilu hingga pemilu 1997. Afan Gaffar, seperti
dikutip Amir Effendi Siregar, menyebut sistem kepartaian ini The Hegemonic
Party System (Sistem Kepartaian Hegemonik) dengan Golkar sebagai
pemenang hegemoni23. Sistem kepartaian hegemonik, menurut La Palombara
dan Weiner dalam tulisannya “Political Parties and Political Development”
yang dikutip Afan Gaffar, ditandai sebuah partai atau koalisi partai yang
mendominasi proses politik dalam suatu negara dalam kurun waktu lama.24
Usai reformasi, pemilu 1999 diselenggarakan dengan membuka
kesempatan pendirian partai kecil. Indonesia kembali menerapkan sistem
multipartai dikombinasikan dengan sistem pemerintah presidensial. Perbedaan
antara sistem partai Indonesia tahun 1950 dan pasca reformasi menurut
Marcus Mietzner berkaitan dengan sifat dan arah kompetisi antar-partai.
“Indonesia's party system in the immediate post-independence period was eroded by the centrifugal tendencies of the key parties, the institutional stability of current party politics is to a large extent due to the centripetal direction of inter-party competition. In other words, if in the 1950s the parties undercut the effectiveness of the party system by rushing to the margins of the politico-ideological spectrum, in the post-Suharto period they have converged inward towards the centre.”
(Sistem partai di Indonesia dalam periode pasca-kemerdekaan terkikis
oleh kecenderungan sentrifugal oleh partai utama, sementara stabilitas kelembagaan politik partai pada era ini adalah sentripetal kearah persaingan antar-partai. Dengan kata lain, jika di tahun 1950-an partai-
23 Ibid, hal: 191 24 Ibid, hal: 192
xxxi
partai melemahkan efektivitas sistem partai, dalam periode pasca-Soeharto mereka telah berkumpul atau terpusat). 25
Dalam sistem presidensial, kedudukan presiden dan parlemen sama-
sama kuat. Kedua lembaga tersebut tidak bisa saling menjatuhkan atau
membubarkan.26 Meskipun ada perbedaan antara partai pemenang yang
berkoalisi dengan partai yang kalah–bisa disebut oposisi, namun peranan
oposisi sangat lemah dan tidak diakui dalam peraturan negara.
Indonesia pasca reformasi berusaha menjalankan demokrasi yang
seadil-adilnya. Eep Syaefullah Fatah, menyebutkan empat kriteria pokok
praktek politik demokrasi yang benar. Diantaranya adalah27:
a. Partisipasi politik yang luas dan otonom dari seluruh elemen
masyarakat, tidak ada pembatasan dan eksklusivitas dalam penentuan
sumber rekruitmen politik dan formulasi kebijakan publik.
b. Sirkulasi kepemimpinan politik secara efektif dan kompetitif, berkala,
dan melibatkan seluruh elemen masyarakat dalam prosesnya.
c. Kontrol terhadap kekuasaan yang efektif, melalui kelembagaan politik
formal dari tingkat suprastruktur dan infrastruktur sehingga sikap kritis
terhadap pemerintah/oposisi adalah prasyarat yang penting.
d. Kompetisi politik yang leluasa dan sehat dalam suasana kebebasan
sehingga perbenturan kepentingan dan nilai politik dimungkinkan
25 Marcus Mietzner, “Comparing Indonesia's party systems of the 1950s and the post-Suharto era: From centrifugal to centripetal inter-party competition”, Journal of Southeast Asian Studies, 39 (3), The National University of Singapore, 2008, hal: 433
26 Maswadi Rauf,dkk, Sistem Presidensial dan Sosok Presiden Ideal, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2009, hal: 30
27 Selengkapnya lihat Eep Saefulloh Fatah, Op.Cit, hal: 14-15
xxxii
terjadi asalkan tidak menghancurkan sistem politik. Amien Rais
menyebutkan ada empat macam kebebasan di alam demokrasi, yakni
kebebasan mengeluarkan pendapat, kebebasan persuratkabaran,
kebebasan berkumpul dan kebebasan beragama28.
Sementara, Alfian dalam bukunya “Pemikiran dan Perubahan Politik
Indonesia” seperti dikutip oleh Eep Syaefullah, menjelaskan bahwa sistem
demokrasi merupakan upaya memelihara keseimbangan antara konflik dan
konsensus. Sehingga, demokrasi memberikan peluang perbedaan pendapat,
persaingan dan pertentangan diantara individu, kelompok, atau diantara
keduanya, diantara individu dengan pemerintah, dan diantara lembaga
pemerintah sendiri.29 Dalam bahasa Eep Syaefullah, harus ada pendamaian
paradoks yang inhern dalam demokrasi, yaitu antara kebebasan dan konflik di
satu sisi dengan keteraturan, stabilitas dan konsensus disisi lain.30
Kebebasan berpolitik tidak hanya berimbas pada kehidupan politik
bangsa, tetapi juga memberikan dampak positif bagi kemerdekaan pers yang
sempat terbungkam selama 32 tahun. Jaminan kemerdekaan pers di Indonesia
dikukuhkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun
1999 tentang Pers pada 23 September 1999 oleh Presiden BJ Habibie.
Pertalian antara sistem pers dan kehidupan politik ini, menurut Jacoeb Oetama
dalam artikelnya “Kebebasan Pers dan Demokrasi”31, karena pers menjadi
28 Ibid, hal: 9 29 Ibid, hal: 10 30 Ibid, hal: 10-11 31Jacoeb Oetama, Pers Indonesia: Berkomunikasi dalam Masyarakat Tidak Tulus, Kompas, Jakarta, 2001, hal: 50-51
xxxiii
bagian atau subsistem dari sistem politik suatu negara. Sehingga sistem pers
akan mengikuti sistem politik negara yang bersangkutan. Maka, sebagai
bagian dari infrastruktur negara, parpol memiliki keterkaitan yang sangat erat
dengan pers, terutama dalam pencitraan diri dan komunikasi politik bagi
masyarakat. Seperti yang diungkapkan Dirk Tomsa berikut ini.
“Almost equally important is how a party is actually represented in the media. Due to the media's highly influential role in shaping public opinion, no party can afford to have a hostile relationship with the media for an extended period of time. In other words, a party that consistently receives bad publicity will sooner or later run the risk of being abandoned by its supporters and eventually face disappearance into oblivion.”
(Hampir sama pentingnya adalah bagaimana partai politik diberitakan
media. Hal ini dikarenakan media sangat berpengaruh dalam membentuk opini publik, jadi sebuah partai tidak boleh bermusuhan dengan media dalam jangka waktu yang lama. Misalnya, partai tertentu yang secara konsisten menerima publikasi yang buruk dari media, cepat atau lambat akan menanggung risiko ditinggalkan oleh para pendukungnya dan akhirnya menghilang dan terlupakan).32
Partai Golkar pun sempat mengalami pemberitaan buruk berkali-kali, terutama
pada masa reformasi 1998 dan masa transisi antara tahun 1999-2004.
2. Proses Produksi Berita
Manusia tidak bisa lepas dari komunikasi. Secara umum dikenal empat
jenis komunikasi, yakni komunikasi internal, komunikasi antar personal,
komunikasi kelompok dan komunikasi massa. Seiring dengan perkembangan
era informasi yang pesat, komunikasi massa menjadi salah satu solusi agar
tidak tertinggal dalam globalisasi. Komunikasi massa secara mudah
32 Dirk Tomsa, Party Politics and the Media in Indonesia: Creating a New Dual Identity for Golkar, Contemporary Southeast Asia, Singapore, 2007, Vol. 29, Iss. 1
xxxiv
merupakan komunikasi yang dilakukan melalui media massa33. Selanjutnya
media massa lebih populer disebut dengan nama pers.
Pers, berdasar Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999, adalah
lembaga dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan
jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah,
dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, serta
data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media
cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.
Dalam menjalankan kegiatannya, pers memiliki peranan penting dalam
kehidupan masyarakat. Bernard C Cohen, seperti yang dikutip Luwi Ishwara,
menyebutkan sedikitnya ada lima peran utama yang dimiliki pers yaitu34:
1. Pers sebagai pelapor (informer) peristiwa-peristiwa diluar
pengetahuan masyarakat dengan netral dan tanpa prasangka
2. Pers sebagai interpreter yang memberikan penafsiran atau arti pada
sebuah peristiwa, misalnya dengan analisis atau komentar berita
3. Pers sebagai wakil dari publik (representative of the public), sehingga
reaksi pers adalah reaksi atau respon dari masyarakat umum
4. Pers sebagai anjing penjaga (watchdog) atau pengkritik pemerintah
5. Pers sebagai pembuat kebijaksanaan (advokasi) yang tampak pada
kolom editorial (tajuk rencana), artikel, dan jenis berita yang dipilih
dan cara penyajiannya.
33 Nurudin, Komunikasi Massa, Cespur, Malang, 2004, hal: 2 34 Luwi Ishwara, Catatan-Catatan Jurnalisme Dasar, Kompas, Jakarta, 2005, hal: 7-8
xxxv
Pada dasarnya, penerbitan pers berisi tiga komponen.35 Komponen
pertama adalah penyajian berita; kedua adalah pandangan atau pendapa; dan
ketiga adalah periklanan. Sesuai dengan tujuan penerbitan pers untuk ikut
memajukan kecerdasan bangsa dan menegakkan keadilan36, komponen berita
mendapat porsi dan spot yang paling besar diantara komponen yang lain.
Kata berita berasal dari kata “Vrit” dalam Bahasa Sansekerta yang
berarti “ada” atau “terjadi”. Ada yang menyebut “Vritta” yang berarti
“kejadian” atau “yang terjadi”. Kata “Vritta” kemudian berubah menjadi
“berita” atau “warta” dalam Bahasa Indonesia. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia rumusan Depdikbud Republik Indonesia, berita diartikan “laporan
mengenai kejadian atau peristiwa yang hangat.”37
Definisi berita sangat beragam. Menurut Charnley, berita merupakan
laporan hangat, padat, dan cermat mengenai suatu kejadian, bukan kejadian itu
sendiri.38 Sedangkan Dean M Lyce Spencer mengartikan berita sebagai suatu
kenyataan atau ide yang benar yang dapat menarik perhatian sebagian besar
dari pembaca.39 JB Wahyudi berpendapat bahwa berita adalah laporan tentang
peristiwa atau pendapat yang memiliki nilai penting, menarik bagi khalayak,
masih baru, dan dipublikasikan secara luas melalui media massa periodik.40
Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa berita
merupakan laporan yang ditulis sesuai fakta, menarik bagi pembaca,
35Totok Djuroto, Manajemen Penerbitan Pers, Remaja Rosdakarya, 2000, Bandung, hal: 45 36 Ibid. 37 Ibid, hal: 46 38Mursito BM, Penulisan Jurnalistik: Konsep dan Teknik Penulisan Berita, Studi Pemberdayaan
Komunikasi, Solo, 1999, Hal: 37 39Totok Djuroto. Op.Cit, hal: 47 40 Ibid
xxxvi
merupakan kejadian atau peristiwa penting, tidak memihak (obyektif),
memiliki nilai kebaruan, dan disiarkan melalui media massa secara berkala.
Prinsip obyektivitas adalah hal mutlak yang harus diperhatikan dalam menulis
sebuah berita. Menurut Michael Bugeja, obyektivitas adalah melihat dunia
seperti apa adanya, bukan bagaimana yang diharapkan semestinya.41 Prinsip
ini bisa diwujudkan dengan asas keberimbangan atau cover both sides.
Setiap berita akan berusaha untuk menjawab enam unsur pertanyaan:
Apa, Siapa, Dimana, Kapan, Mengapa, dan Bagaimana. Keenam unsur pokok
ini lazim disebut 5 W dan 1 H, yakni What (apa yang sedang terjadi), Who
(siapa subyek pemberitaan), Where (dimana kejadiannya), When (kapan
peristiwa itu terjadi), Why (mengapa peristiwa itu dapat terjadi), dan How
(bagaimana peristiwa itu berlangsung).42
Secara umum, berita dibagi menjadi empat. Pertama, straight news
atau berita langsung (lugas). Menurut Totok Djuroto, informasi yang
dituangkan dalam berita diperoleh langsung dari sumber berita. Penulisan
berita langsung lebih mengutamakan aktualitas informasinya.43 Dalam berita
jenis ini, potongan-potongan peristiwa disusun secara piramida terbalik, yakni
potongan yang paling penting diletakkan di atas (lead berita). Semakin ke
bawah, informasi yang ditulis dalam berita semakin kurang penting.
Kedua, soft news atau berita ringan. Berita ringan tidak mengutamakan
unsur penting yang hendak diberitakan namun sesuatu yang menarik dan
menyentuh sisi emosional. Berita ringan, berdasar kejadiannya, bisa dibagi 41 Luwi Ishwara, Op.Cit, hal: 44 42 Mursito BM, Op.Cit, hal: 58 43 Totok Djuroto, Op.Cit, hal: 49
xxxvii
menjadi dua, yaitu berita ringan yang berdiri sendiri dan berita ringan yang
berfungsi sebagai pendamping berita penting sebelumnya.
Ketiga, feature atau berita kisah. Cara penyajian feature dapat
mengabaikan pegangan utama penulisan berita 5 W + 1 H.44 Berita jenis ini
merupakan tulisan kejadian yang dapat menyentuh pembaca lewat penjelasan
rinci, lengkap, serta mendalam. Nilai utamanya adalah kemanusiaan atau
informasi yang dapat menambah pengetahuan baru. Menurut Walter Fox dan
Ken Metzler45, ada sembilan jenis feature, yakni sketsa kepribadian, profil
organisasi atau proyek, berita feature (news feature), artikel pengalaman
pribadi, feature layanan, wawancara, untaian mutiara, dan narasi.
Keempat, indepth news atau berita mendalam. Berita mendalam pada
dasarnya memiliki struktur dan cara penulisan yang sama dengan berita kisah.
Perbedaannya terletak pada unsur manusiawi pada berita kisah belum tentu
ada dalam berita mendalam. Berita jenis ini digunakan untuk menuliskan
permasalahan secara lengkap, mendalam, dan analitis. Berita mendalam ditulis
berdasarkan liputan terencana dan sering membutuhkan waktu yang lama.
Dalam pemberitaan Munas Partai Golkar di Harian Kompas,
pemberitaan lebih didominasi dengan bentuk straight news dan soft news.
Akan tetapi pada saat beberapa hari pelaksanaan Munas, Kompas
menyelipkan beberapa tulisan feature yang menggambarkan sisi lain
pelaksanaan Munas. Bahkan pada pemberitaan pada hari pertama pelaksanaan
44 Ibid, hal: 64 45 Luwi Ishwara, Op.Cit, hal: 62-65
xxxviii
Munas, Kompas menyediakan satu halaman khusus yang berisi wawancara
eksklusif dengan masing-masing kandidat calon Ketua Umum Partai Golkar.
3. Framing Sebagai Bagian dari Paradigma Konstruktivisme
Paradigma konstruksionis pertama kali diperkenalkan oleh sosiolog
interpretatif yang banyak meneliti mengenai konstruksi sosial atas realitas,
Peter L. Berger dan Thomas Luckman. Bagi Berger realitas itu tidak dibentuk
secara ilmiah, tidak juga sesuatu yang diturunkan oleh Tuhan. Tetapi
sebaliknya, ia dibentuk dan dikonstruksi.46
Sebagai hasil dari konstruksi sosial, realitas dalam berita merupakan
realitas subyektif dan realitas obyektif sekaligus. Dalam realitas subyektif,
realitas menyangkut makna, interpretasi, dan hasil relasi antara individu
dengan obyek. Sedangkan realitas obyektif, yakni sesuatu yang dialami,
bersifat eksternal, berada diluar, misalnya rumusan, institusi, aturan, dan lain
sebagainya.47
Dalam menerapkan gagasan Berner pada berita, sebenarnya teks berita
tidak bisa disamakan dengan realitas, ia harus dilihat sebagai sebuah
konstruksi atas realitas. Karenanya, sebuah peristiwa yang sama bisa
dikonstruksi secara berbeda. Wartawan dimungkinkan mempunyai pandangan
yang berbeda ketika melihat suatu peristiwa, dan pandangan tersebut dapat
dicermati melalui konstruksi peristiwa yang diwujudkan dalam teks berita.
46 Eriyanto, Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media, LKiS, Yogyakarta, 2002,
hal: 15 47 Ibid, hal: 16
xxxix
Ada dua karakteristik dalam pendekatan konstruksionis. Pertama,
pendekatan konstruksionis menekankan pada politik pemaknaan dan proses
bagaimana seseorang membuat gambaran tentang realitas. Kedua, pendekatan
konstruksionis memandang kegiatan komunikasi sebagai proses yang dinamis.
Pesan tidak menampilkan fakta apa adanya. Dalam menyampaikan pesan,
seseorang menyusun citra tertentu atau merangkai ucapan tertentu dalam
memberikan gambaran tentang realitas. Komunikator dengan realitas yang ada
akan menampilkan fakta tertentu kepada komunikan, memberi pemaknaan
terhadap peristiwa dalam konteks pengalaman, pengetahuannya sendiri.48
Salah satu jenis analisa yang didasarkan pada pendekatan
konstruksionis adalah analisis framing. Secara umum, framing adalah
pendekatan untuk melihat bagaimana realitas itu dibentuk dan dikonstruksi
oleh media.49 Proses framing terjadi melalui proses konstruksi terhadap
sebuah realitas atau peristiwa. Orang media kemudian memberikan
pemaknaan tertentu terhadap peristiwa tersebut. Pemaknaan ini membuat
wartawan memilih angle berita apa yang akan ia tulis dan siapa saja
narasumber yang akan dia wawancara dengan lebih mendalam.
Pada dasarnya wartawan media massa cenderung memilih seperangkat
asumsi tertentu yang berimplikasi bagi pemilihan judul berita, struktur berita,
dan keberpihakan kepada seseorang atau sekelompok orang, meskipun
keberpihakan tersebut sering bersifat subtil dan tidak sepenuhnya disadari.50
48 Ibid, hal: 40-41 49 Ibid, hal: 66 50 Dr. Deddy Mulyana, MA dalam Ibid, hal XI
xl
Pemahaman media mengenai makna dari realitas sosial serta bagaimana cara
media menampilkan hasil pemaknaannya ini menjadi fokus analisis framing.
Framing dapat digunakan untuk melihat siapa yang mengendalikan
siapa dalam struktur kekuasaan, pihak mana yang diuntungkan dan dirugikan,
siapa penindas dan siapa tertindas, tindakan politik mana yang konstitusional
dan yang inkonstitusional.51
Konsep framing sesungguhnya dapat dibedakan menjadi dua: frame
media (media framing) dan frame khalayak (audience framing).52 Konsep ini
berdasarkan pendapat Kinder and Sanders (1990) yang menilai bahwa frame
menunjukkan “maksud tersembunyi dalam sebuah wacana politik” yang setara
dengan konsep bingkai media, dan sebagai “struktur internal dari pikiran”
yang setara dengan bingkai individu.53
Keberadaan frame media sangat penting, karena frame media membuat
sebuah peristiwa tampak penting dan memiliki arti. Hal ini menurut Robert M.
Entman karena proses framing dapat dipandang dalam dua dimensi besar:
seleksi isu dan penekanan atau penonjolan aspek-aspek realitas atau isu
tersebut.54 Framing dilihat sebagai seleksi dari berbagai aspek realitas yang
diterima dan membuat peristiwa lebih menonjol dalam suatu teks komunikasi.
Dalam banyak hal, itu berarti menyajikan secara khusus definisi terhadap
51 Ibid, hal: XV 52 Pawito, Ph.D, Penelitian Komunikasi Kualitatif, LKiS, Yogyakarta, 2007, hal: 186 53 Dietram A. Scheufele, Framing as Theory of Media Effect, Journal of Communication, Vol. 49,
Internasional Communication Assosiation, 1999, hal: 106 54 Bimo Nugroho, Eriyanto, Frans Surdiasis, Politik Media Mengemas Berita, Institut Studi Arus
Informasi, Yogyakarta, 1999, hal: 21
xli
masalah, interpretasi sebab akibat, evaluasi moral, dan tawaran penyelesaian
sebagaimana masalah itu digambarkan.55
Pembingkaian media dilakukan dengan memilih isu yang akan
dimunculkan di media serta mengaburkan isu yang tidak dikehendaki untuk
dimuat, kemudian menonjolkan isu yang terpilih menggunakan berbagai
strategi wacana, antara lain dengan penempatan spot berita (headline atau
penulisan judul dengan huruf besar), pengulangan berita, pencantuman foto
atau grafis yang mendukung salah satu pihak, penggunaan label yang
mendiskreditkan pihak tertentu, dan lain sebagainya.
Untuk melihat strategi media mengemas berita dibutuhkan elemen-
elemen sebagai perangkat untuk menafsirkan isi berita. Secara umum, ada tiga
kategori besar elemen framing menurut Jisuk Woo56. Pertama, level
makrostruktural yakni pembingkaian tingkat wacana. Wacana merupakan
tingkat isu paling umum yang tampak tersirat (latent). Kedua, level
mikrostruktural yakni penonjolan sisi-sisi berita sehingga mengaburkan sisi-
sisi lainnya. Level ini dapat dicermati pada pemilihan fakta, angle, serta
narasumber. Ketiga, level retoris yakni penekanan fakta yang ditonjolkan,
yaitu dengan pemilihan kata, kalimat, retorika, gambar, atau grafik.
Ada empat model framing yang dapat digunakan untuk menganalisa
frame media, antara lain model framing Murray Edelman, Robert N. Entman,
William A Gamson, serta Zhongdang Pan dan Gerald M Kosicki (Pan dan
Kosicki). Model framing yang memiliki dimensi yang paling lengkap adalah 55 Robert Entman, Framing: Toward Clarification of a Fractured Paradigm, Journal of
Communication, Vol. 43, No. 4, 1993, hal: 52 dalam Ibid, hal: 20 56 Eriyanto, Op.Cit, hal: 287
xlii
model framing Pan dan Kosicki. Menurut Pan dan Kosicki ada dua konsepsi
framing yang saling berkaitan, yakni konsepsi psikologis dan konsepsi
sosiologis57. Perangkat framing Pan dan Kosicki dibagi menjadi empat
struktur besar, yakni struktur sintaksis, skrip, tematik, dan retoris.
Selain frame media, kajian framing tidak bisa dipisahkan dari frame
individu atau frame khalayak (audience frame). Frame individu menurut
Entman adalah “Sekumpulan ide yang tersimpan dalam diri individu yang
membimbing individu untuk memproses informasi”. Pan dan Kosicki
menambahkan, isu yang berkaitan dengan frame of reference individu dapat
memiliki dampak signifikan pada persepsi, pengorganisasian, dan interpretasi
terhadap informasi yang masuk dalam diri individu.58
Oleh karena itu, penelitian menggunakan pendekatan framing, menurut
Dietram Aren Scheufele, seharusnya tidak hanya berpijak pada bagaimana
media membuat bingkai keberpihakan terhadap suatu peristiwa. Akan tetapi
pendekatan framing juga dapat menentukan mana diantara media frame dan
audience frame yang akan dijadikan variabel independen dan mana yang akan
menjadi variabel dependen.
Jika media frame ditempatkan sebagai variabel independen atau
variabel bebas, maka bingkai yang dibentuk media dipercaya memiliki
pengaruh terhadap bingkai yang dibuat khalayak yang menjadi variabel
dependen. Namun jika bingkai media ditempatkan sebagai variabel dependen,
57 Konsepsi psikologis lebih menekankan pada bagaimana seseorang memproses informasi dalam
dirinya. Sedangkan konsepsi sosiologis menekankan bagaimana seseorang mengklarifikasikan, mengorganisasikan dan menafsirkan pengalaman sosialnya untuk mengerti dirinya dan realitas di luar dirinya. Secara lengkap lihat Eriyanto, ibid, hal: 252-253
58 Dietram A. Scheufele, Op.Cit, hal: 107
xliii
maka bingkai media merupakan sesuatu yang muncul karena berbagai faktor
dalam internal media. Faktor-faktor tersebut bisa berupa ideologi media,
kepentingan pemilik media, ataupun individu wartawan.
Tabel 1.1
Variabel Independen dan Variabel Dependen pada Frame
Bentuk/Variabel Frame Sebagai Variabel
Independen
Frame Sebagai Variabel
Dependen
Frame Media Bagaimana bentuk frame media
yang mempengaruhi persepsi
khalayak dari sebuah wacana?
Bagaimana proses pembentukan
frame tersebut bekerja?
Faktor apa saja (dalam internal
media) yang menyebabkan
perangkat frame tertentu ada
dalam pemberitaan? Bagaimana
proses pembuatan frame dan
frame apa yang digunakan
media?
Frame Individu Apa pengaruh skema kognisi
individu pada pembingkaian?
Bagaimana individu
menggunakan skema individu
untuk memproses informasi?
Bagaimana efek realitas yang
terbentuk oleh skema individu
tersebut?
Faktor-faktor apa yang
mempengaruhi pembentukan
frame individu? Apakah frame
individu sama dengan frame
media? Bagaimana cara khalayak
dalam mengkonstruksi atau
menolak frame media?
Sumber: Olahan Peneliti59
Scheufele membuat sebuah model proses framing, yang dibagi
menjadi inputs, proses dan hasil (outcomes). Pada Gambar 1.1 dapat terlihat
bahwa hasil dari sebuah proses, menjadi input untuk proses yang lain. Secara
lebih spesifik Scheufele membagi proses itu menjadi empat yaitu : frame
59 Secara lengkap lihat penjabaran Scheufele dalam Eriyanto, Op.Cit, hal: 292-295
xliv
building, frame setting, individual effect of framing, dan hubungan individual
framing dengan media frames.60
Gambar 1.1 A Process Model of Framing Research
Frame Building. Pokok utama dari proses pembentukan frame adalah
bagaimana nilai-nilai struktural dan organisasional dalam sistem media, serta
karakteristik wartawan yang mana yang mempengaruhi isi berita. Ada tiga hal
yang mempengaruhi frame building, yakni: Pertama, wartawan itu sendiri.
Wartawan secara aktif mengkonstruksi frame dan membuat pemahaman
tertentu terhadap informasi. Pembentukan frame ini dipengaruhi ideologi,
aturan tingkah laku, dan norma profesional yang berlaku. Kedua, adalah frame
sebagai hasil dari acuan kerja rutin organisasi media. Ketiga, adalah faktor
eksternal dari media seperti: aktor politik, kekuasaan, atau kelompok
60 Dietram A. Scheufele, Op.Cit, hal: 115
xlv
kepentingan. Frame yang tercipta oleh eksternal media ini–yang kemudian
menjadi sumber berita–diadopsi oleh jurnalis ketika mengkonstruksi berita.
Frame Setting. Terminologi ini hampir sama dengan Agenda Setting
yang dikemukakan McComb dan Shaw. Agenda setting dan frame setting,
sebenarnya berdasarkan pada proses yang hampir sama. Agenda setting
memusatkan perhatian pada isu mana yang lebih penting. Frame setting
sebagai level kedua agenda setting, lebih memperhatikan pada hal-hal penting
dari sebuah isu. Frame mempengaruhi opini publik dengan menekankan nilai-
nilai yang spesifik, fakta-fakta dan pertimbangan-pertimbangan lain,
menjelaskan keterkaitan yang lebih jelas dengan isu.
Individual level effect of framing. Merupakan proses penghubung
antara audience framing dan hal-hal yang ada dalam individu, seperti
kebiasaan, ideology, tanggung jawab dan sebagainya. Kebanyakan penelitian
menguji hasil pada individu dari framing media memiliki hubungan langsung,
yang diantaranya dijembatani audience frame.
Journalis as Audience. Jurnalis juga merupakan audience. Ia memiliki
serangkaian nilai, ideologi, norma-norma tingkah laku, dan sebagainya.
Seperti khalayak biasa, hal itu mempengaruhi dalam menjelaskan sebuah
peristiwa atau isu. Ia juga mudah terpengaruh frame dari media itu sendiri.
Dari model tersebut dapat dilihat bahwa antara media frames dan
audience frames pada dasarnya merupakan proses yang saling berhubungan.
Audience frame dipengaruhi oleh media frames dan begitu pula sebaliknya
media frames sangat tergantung pada bagaimana individu melihat sebuah isu.
xlvi
Keduanya berinteraksi dalam sistem yang lebih besar, yang dipengaruhi oleh
ideologi, nilai-nilai, norma yang berlaku dan sebagainya
Perlu ditekankan disini, bahwa penelitian ini memusatkan perhatian
pada audience frames, dengan tidak mengaburkan media frames. Dalam
pemberitaan suatu peristiwa atau realitas sosial yang baru, seperti pelaksanaan
Munas Golkar ke VIII, media tentu memiliki sudut pandang yang berbeda-
beda. Frame yang dibentuk oleh media justru menegaskan bahwa media–
dengan segala faktor yang melatarbelakanginya–berada pada posisi tertentu
terhadap isu tersebut. Sedang pembaca, dengan latar belakang individualnya
membuat sebuah frame tertentu atas sebuah isu, yang sedikit banyak juga
mendapat pengaruh dari media frame tersebut.
4. Pembentukan Konstruksi Realitas oleh Berita dan Media
Media massa dalam komunikasi massa berperan menjadi komunikator
atau penyampai pesan kepada khalayak sebagai komunikan. Komunikator
dalam komunikasi massa sifatnya melembaga bukan orang per orang,
misalnya seorang wartawan saja. Wartawan adalah salah satu bagian dari
lembaga. Artinya, berbagai sikap dan perilaku wartawan sudah diatur dan
harus tunduk pada sistem yang sudah diciptakan dalam saluran komunikasi
massa tersebut.61
Media bukan saluran bebas, ia menjadi subjek yang mengonstruksi
realitas, lengkap dengan pandangan, bias, dan pemihakannya. Tony Bennet
61 Nurudin, Komunikasi Massa, Cespur, Malang, hal: 17-18
xlvii
menyatakan media dipandang sebagai agen konstruksi sosial yang
mendefinisikan realitas sesuai dengan kepentingannya.62 Jelasnya, ada
berbagai kepentingan yang bermain di media massa, seperi kepentingan
ideologi antara masyarakat dan negara, kepentingan kapitalisme pemilik
modal, kepentingan keberlangsungan (suistainabilitas) lapangan kerja bagi
karyawan, dan sebagainya.63
Maka, isi media menurut Brian McNair dapat lebih ditentukan oleh64:
1. Kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik (the political approach)
2. Pengelola media sebagai pihak yang aktif dalam proses produksi berita
(organizational approach)
3. Gabungan berbagai faktor, baik internal media ataupun eksternal
media (cultural approach)
Menurut Stuart Hall, media massa pada dasarnya tidak memroduksi,
melainkan menentukan realitas melalui pemilihan kata-kata. Makna tidak
secara sederhana dapat dianggap sebagai reproduksi dalam bahasa, tetapi
sebuah pertentangan sosial, perjuangan dalam memenangkan wacana.65
Dalam proses konstruksi sosial terhadap sebuah wacana, pengalaman
dan kecenderungan individu−dalam hal ini adalah wartawan−mengendap,
mengkristal, dan membentuk pemahaman yang memberikan kemampuan
62 Eriyanto, Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media, LKiS, Yogyakarta, 2002, hal: 23
63 Drs. Alex Sobur, M.Si, Analisis Teks Media, Rosdakarya, Bandung, 2001, hal: 30 64 Rachmat Kriyantono S.Sos M.Si, Riset Komunikasi. Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2006, hal: 279
65 Op.Cit, hal: 40
xlviii
individu untuk memetakan, menerima, mengidentifikasi, dan memberikan
label pada peristiwa atau informasi yang dihadapi.66
Media massa adalah tempat bertemunya pihak-pihak yang memiliki
latar belakang, sudut pandang, dan kepentingan yang heterogen. Setiap pihak
akan mengeluarkan pendapat dan pandangan mereka terhadap suatu wacana
sesuai dengan kepentingan dirinya dan kelompoknya. Dalam konteks inilah
mereka menggunakan bahasa simbolik atau retorika dengan konotasi tertentu
yang bermuara pada membenarkan tindakan sendiri dan memburukkan pihak
lain.67 Jadi, sebetulnya media punya potensi untuk menjadi peredam atau
bahkan pendorong konflik. Media bisa memperjelas sekaligus mempertajam
konflik atau sebaliknya, mengaburkan dan mengeliminirnya.68
Kedudukan media dan berita, jika dilihat dari paradigma
konstruksionis adalah sebagai berikut69 :
a. Fakta/ peristiwa adalah hasil konstruksi.
Realitas hadir karena dihadirkan oleh konsep subyektif wartawan,
tercipta lewat konstruksi, sudut pandang tertentu dari wartawan, tidak
ada yang bersifat obyektif. Realitas tergantung pada konsep
pemahaman wartawan pada saat melihat sebuah realitas atau peristiwa.
b. Media adalah agen konstruksi pesan.
Media bukan hanya saluran pesan yang bebas, ia secara aktif
menafsirkan realitas untuk disajikan kepada khalayak. Caranya dengan
66 Bimo Nugroho, Eriyanto, Frans Surdiasis, Politik Media Mengemas Berita, Institut Studi Arus Informasi, Yogyakarta, 1999,hal: 23
67 Ibid, hal: 26 68 Drs. Alex Sobur, M.Si, Op.Cit, hal: 171 69 Eriyanto, Op.Cit, hal: 19-36
xlix
memilih, mana realitas yang akan diambil dan mana realitas yang akan
disembunyikan atau dibuang, siapa yang akan dijadikan narasumber
berita, dan mendefinisikan aktor atau peristiwa.
c. Berita bukan refleksi dari realitas, ia hanyalah konstruksi atas realitas.
Berita bisa diibaratkan sebagai sebuah sandiwara. Artinya, berita
bukan merupakan realitas yang sebenarnya, akan tetapi merupakan
gambaran pertarungan antar pihak yang memiliki kepentingan dalam
sebuah isu. Oleh karena itu, terkadang muncul pihak yang dipandang
sebagai “pahlawan” atau pihak yang benar dan ada pula pihak yang
berperan sebagai “musuh” atau pihak yang jahat.
d. Berita bersifat subyektif
Opini dalam penulisan berita tidak dapat dihilangkan karena ketika
meliput wartawan melihat dengan perspektif dan pertimbangan
subyektif. Oleh karena itu, sering kali terjadi perbedaan antara fakta
dengan penulisan berita oleh wartawan, dan hal ini tidak bisa
dipersalahkan karena memang demikianlah penafsiran wartawan
tersebut terhadap peristiwa.
e. Wartawan adalah agen konstruksi realitas
Wartawan adalah partisipan yang menjembatani keragaman
subyektifitas pelaku sosial. Dalam penulisan berita, wartawan ikut
mendefinisikan apa yang terjadi berdasar pemahaman individualnya
terhadap realitas. Ketika seorang wartawan menulis berita, maka
sebetulnya dia membuat dan membentuk dunia, membentuk realitas.
l
f. Nilai, etika dan pilihan moral, dan keberpihakan wartawan adalah
bagian yang integral dalam produksi berita.
Wartawan tidak saja menulis sesuai fakta atau realitas secara apa
adanya, tetapi ia akan melandaskan kepentingan moral dan nilai-nilai
kepercayaan tertentu yang ia yakini untuk mengkonstruksi berita.
Pengonstruksian realitas oleh media, menurut Ibnu Hamad, biasanya
dilakukan dengan tiga tindakan. Pertama, dalam hal pilihan kata (simbol
politik) serta pemilihan direct quotation (kutipan langsung). Kedua,
melakukan pembingkaian (framing) peristiwa politik, minimal karena
keterbatasan kolom dan halaman surat kabar. Dan yang terakhir, menyediakan
ruang dan waktu untuk sebuah peristiwa politik tertentu, atau sering dimaknai
dengan agenda setting media.70
Pembentukan berita oleh awak media juga tidak serta merta tampak
secara jelas. Organisasi media masih memiliki tanggung jawab terhadap
prinsip “obyektivitas” dari sebuah pemberitaan. Oleh karena itu, Dan Nimmo
menjelaskan bahwa media memiliki strategi untuk menggambarkan sebuah
fakta dengan tanpa mengesampingkan pedoman obyektivitas. Ada lima
strategi yang disebutkan Nimmo.71
Pertama, penyajian kemungkinan yang bertentangan. Maksudnya,
media massa akan menyajikan pertentangan atau mengkonfrontir pihak-pihak
yang saling bertolak belakang. Hal ini dilakukan apabila media massa tidak
70 Secara lengkap lihat Drs. Alex Sobur, M.Si, Op.Cit, hal: 166-167 71 Secara lengkap lihat Dan Nimmo, Komunikasi Politik: Komunikator, Pesan, dan Media,
Rosdakarya, Bandung, 1999, hal: 224-225
li
mendapatkan bukti atau menyingkap “fakta” yang sesungguhnya. Kedua,
menggunakan penyajian bukti yang mendukung. Artinya, media massa bisa
menyebut seseorang sebagai “pakar” dengan juga menampilkan bukti bahwa
orang tersebut “ahli” dalam hal tertentu.
Ketiga, menggunakan tanda kutip, yakni media massa dapat
menggunakan tanda kutip terhadap sebuah kalimat atau kata yang dirasa
sensitif atau memojokkan salah satu pihak. Keempat, penyusunan cerita
dengan urutan yang tepat, biasanya dengan model piramida terbalik. Model
piramida terbalik adalah menempatkan hal-hal yang paling penting dalam
sebuah berita (5W+1H) pada bagian awal berita dan bahan yang
kepentingannya berkurang ditempatkan setiap paragraf berikutnya. Kelima,
pelabelan analisis berita. Berita yang mengandung unsur “komentar” atau
“analisis” diberi label khusus agar tidak terkesan memihak, namun merupakan
kesadaran bahwa berita tersebut memang merupakan opini media.
5. Audience sebagai Khalayak Aktif
Khalayak penonton atau pembaca (audience) dalam komunikasi massa
disebut dengan komunikan atau penerima pesan. Herbert Blumer
menyebutkan setidaknya ada lima karakteristik audience, yakni72:
a. Audience cenderung berisi individu-individu yang condong berbagi
pengalaman dan dipengaruhi hubungan sosial. Pemilihan produk
media merupakan seleksi dari kesadaran mereka
72 Nurudin, Komunikasi Massa, Cespur, Malang, 2004, hal: 97-98
lii
b. Audience cenderung luas, mencakup wilayah jangkauan sasaran media
massa yang bersangkutan
c. Audience cenderung heterogen, mereka berasal dari berbagai lapisan
dan kategori sosial
d. Audience cenderung anonim, yakni tidak mengenal satu sama lain
(meliputi semua audience, bukan kasus orang per orang)
e. Audience secara fisik dipisahkan oleh komunikator, artinya antar
individu dipisahkan oleh ruang dan waktu
Khalayak, menurut F Faser Bond, harus dibedakan berdasar tujuan
psikologisnya dalam penggunaan media massa. Ia menggolongkan khalayak
menjadi tiga bagian, yakni khalayak intelek, khalayak praktisi, dan khalayak
non-intelek. Khalayak intelek adalah golongan masyarakat kritis yang reaktif
terhadap terpaan informasi dari media. Khalayak praktisi adalah golongan
pekerja yang tidak terlalu tertarik dengan berita “serius” serta lebih fokus pada
pemenuhan kebutuhan karier dan keluarga. Sementara khalayak non-intelek
adalah golongan yang menyukai isu-isu sensasional seperti gosip.73
Dalam penggunaan media massa, audience tidak bisa mengelak dari
efek yang ditimbulkan oleh media massa. Terlebih lagi, media massa selalu
membuat penonjolan (salience) terhadap sebuah berita. Penonjolan ini,
menurut Alex Sobur memang dimaksudkan sebagai strategi wacana yang
menyuguhkan kepada publik tentang pandangan tertentu agar pandangannya
73 Septiawan Santana, Jurnalisme Kontemporer, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2005, hal: 212-
213
liii
diterima. Suatu peningkatan dalam penonjolan juga akan mempertinggi
probabilitas penerima lebih memahami informasi, melihat makna lebih tajam,
lalu memprosesnya dan menyimpannya dalam ingatan.74
Maka menurut Steven M Chaffee, ada tiga pendekatan untuk
mengetahui efek media massa. Pendekatan pertama, yakni efek yang berkaitan
dengan pesan atau media itu sendiri, terdiri dari lima jenis efek yaitu efek
ekonomi, sosial, penjadwalan kegiatan sehari-hari, hilangnya perasaan tidak
nyaman, dan menumbuhkan perasaan tertentu. Pendekatan kedua, yakni
melihat jenis perubahan pada diri khalayak yang berupa perubahan sikap
(kognitif), perasaan (afektif), dan peilaku (behavioral). Efek kognitif adalah
akibat yang sifatnya informatif bagi dirinya; Efek afektif yaitu khalayak turut
merasa iba, terharu, sedih, dan sisi emosional lainnya; Sedang efek behavioral
yakni akibat dalam bentuk perilaku, tindakan atau kegiatan. Sementara
pendekatan ketiga, yakni observasi terhadap khalayak (individu, kelompok,
organisasi, masyarakat, atau bangsa) yang dikenai efek komunikasi massa.75
Dalam melihat efek media massa terhadap masing-masing individu,
Melvin De Fleur dan Sandra Ball-Rokeach membaginya dalam dua dimensi:
interaksi audience dan bagaimana tindakan audience terhadap isi media. Ada
tiga teori yang menjelaskan kedua hal tersebut.76 Pertama, Individual
Differences Perspective atau perspektif perbedaan individu. Artinya, pengaruh
media berbeda pada masing-masing individu, tergantung pada kondisi
74 Drs. Alex Sobur, M.Si, Analisis Teks Media, Rosdakarya, Bandung, 2001, hal: 164 75 Selengkapnya lihat Drs. Elvinaro Ardianto, M.Si dan Dra. Lukiati Komala Erdinaya, M.Si,
Komunikasi Massa: Suatu Pengantar, cetakan ketiga, Simbiosa Rekatama Media, Bandung, 2007, hal: 49-56
76 Selengkapnya lihat Nurudin, Op.Cit, hal: 98-100
liv
psikologis dan pengalaman masa lalunya. Perbedaan pengaruh ini juga akan
membuat respon yang berbeda dari masing-masing individu.
Kedua, Social Categories Perspective atau perspektif kategori sosial.
Dalam masyarakat, terdapat perkumpulan sosial yang bisa membuat
audience−yang berada pada kelompok sosial tertentu−memiliki
kecenderungan dan reaksi yang sama terhadap pengaruh media. Hal ini karena
kelompok sosial memiliki norma sosial, nilai, dan sikap tertentu yang diyakini
bersama oleh anggota kelompok tersebut. Ketiga, Social Relationship
Perspective atau perspektif hubungan sosial. Artinya, antar individu saling
memengaruhi satu sama lain terhadap pengaruh media massa. Hubungan
sosial secara informal antar manusia memiliki pengaruh yang kuat terhadap
pembentukan pandangan dan sikap individu.
Dari teori tersebut dapat dipahami bahwa efek media massa dapat
dilihat dari dua faktor utama, yakni77:
1. Faktor individu.
Faktor individu lebih banyak dikarenakan faktor psikologis seseorang,
yakni selective attention (kecenderungan menerima pesan dari media
yang sesuai minat dan pendapat), selective perception (kecenderungan
mencari media yang mendorong kecenderungan dirinya), selective
retention (kecenderungan mengingat pesan yang sesuai dengan
kebutuhan dirinya), motivasi dan pengetahuan, kepercayaan, pendapat,
nilai dan kebutuhan, pembujukan, kepribadian dan penyesuaian diri.
77 Ibid, hal: 215-223
lv
2. Faktor Sosial
Faktor sosial artinya hubungan individu dengan individu lain
mempunyai peran kuat dalam proses efek media massa. Faktor tersebut
antara lain umur dan jenis kelamin, pendidikan dan latihan, pekerjaan
dan pendapatan, agama, serta kondisi demografis (tempat tinggal).
Efek media massa sebenarnya tidak hanya karena faktor dalam diri dan
lingkungan audience. Akan tetapi, media massa memiliki peran dalam
pembentukan efek. Hal ini disebabkan karena media massa dibutuhkan
khalayak untuk mendapatkan informasi mengenai realitas sosial dan politik
yang terjadi di sekitar mereka. Karena itu, bagaimana media membingkai
realitas tertentu berpengaruh pada bagaimana individu menafsirkan peristiwa
tersebut. Dengan kata lain, frame yang disajikan media ketika memaknai
realitas mempengaruhi bagaimana khalayak menafsiran peristiwa.78
Dalam sebuah penelitian, June Woong Rhee menyatakan khalayak
sebenarnya mempunyai persepsi yang terbatas. Pengetahuan memang didapat
dari lingkungan sosial, pergaulan, dan pengalaman pribadi. Tetapi untuk
realitas sosial atau politik, apa yang terjadi diluar, sebagian terbesar bersumber
dari apa yang disajikan media.79 Pernyataan ini bukan menunjukkan bahwa
khalayak adalah pihak yang pasif. Justru khalayak secara aktif menafsirkan
realitas politik berdasar frame media dan pemahaman individualnya.
78 Eriyanto, Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media, LKiS, Yogyakarta, 2002,
hal: 149 79 Ibid, hal: 150
lvi
Demikian pula dengan audience Harian Kompas yang membaca
pemberitaan Munas Golkar ke VIII. Pada dasarnya, mereka tidak mengetahui
secara langsung kejadian atau peristiwa pelaksanaan munas yang diadakan di
Pekanbaru, Riau. Audience mendapatkan informasi pelaksanaan munas
melalui pemberitaan di Harian Kompas. Kemudian, secara aktif audience
menafsirkan pemberitaan tersebut berdasar faktor-faktor yang telah disebutkan
di atas. Tafsiran audience ini bisa sama dengan frame yang dibuat media, akan
tetapi bisa juga berbeda meskipun tetap ada benang merah penghubungnya.
F. Metodologi Penelitian
1. Tipe dan Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif-kualitatif. Deskriptif
kualitatif semata-mata mengacu pada identifikasi sifat-sifat yang membedakan
atau karakteristik sekelompok manusia, benda, atau peristiwa.80 Penelitian
deskriptif hanya memaparkan dan memberi gambaran atas suatu peristiwa
atau kajian semata.
Jalaluddin Rakhmat menjelaskan, ada empat tujuan menggunakan
penelitian deskriptif, yakni:81
a. Mengumpulkan informasi aktual secara rinci yang melukiskan
gejala yang ada
b. Mengidentifikasi masalah atau memeriksa kondisi dan praktek-
praktek yang berlaku 80 Ulber Silalahi, Metode Penelitian Sosial, Refika Aditama, Bandung, 2009, hal: 27 81 Drs. Jalaluddin Rakhmat, M.Sc, Metode Penelitian Komunikasi, Rosdakarya, Bandung, 1991,
hal: 25
lvii
c. Membuat perbandingan atau evaluasi
d. Menentukan apa yang dilakukan orang lain dalam menghadapi
masalah yang sama dan belajar dari pengalaman mereka untuk
menerapkan rencana dan keputusan pada waktu yang akan datang
Sedang penelitian kualitatif, menurut John W Creswell, adalah suatu
proses penyelidikan berdasarkan tradisi penyelidikan yang jelas untuk
memahami permasalahan sosial. Penelitian ini membentuk gambaran holistik,
menuliskan analisa, melaporkan pandangan informan secara terperinci, dan
disusun dalam sebuah latar ilmiah82.
Penelitian kualitatif tidak bermaksud untuk memberikan penjelasan
(explanation), mengontrol gejala komunikasi, mengemukakan prediksi, atau
untuk menguji teori apapun, tetapi lebih dimaksudkan untuk mengemukakan
gambaran dan atau pemahaman mengenai bagaimana dan mengapa suatu
gejala atau realitas komunikasi terjadi.83 Penelitian menggunakan metode
kualitatif menekankan pada pendekatan induktif atau khusus ke umum.
Penelitian ini menggunakan pisau analisis framing yang merupakan
bentuk pendekatan analisis isi kualitatif. Penelitian menggunakan analisis
framing berkenaan dengan penyajian pesan oleh (atau melalui) media massa di
satu sisi (media frame) dan penerimaan pesan oleh individu khalayak disisi
lain (audience frame)84. Dalam penelitian ini, Harian Kompas (media frame)
82 John W Creswell, Qualitative Inquiry and Research Design: Choosing Among Five Traditions,
SAGE Publications, California, 1998, hal: 15 83 Pawito, Ph.D, Penelitian Komunikasi Kualitatif, LKiS, Yogyakarta, 2007, hal: 35 84 Ibid, hal: 185-186
lviii
ditempatkan sebagai variabel independen, sedangkan khalayak pembaca
(audience frame) ditempatkan sebagai variabel dependen.
Variabel independen merupakan variabel sebab atau sesuatu yang
mengkondisikan terjadinya perubahan dalam variabel lain. Sedangkan variabel
dependen adalah variabel yang merespons perubahan dalam variabel
independen.85 Menempatkan Kompas sebagai variabel independen berarti
meyakini bahwa pemberitaan dan bingkai yang dibentuk Kompas memiliki
pengaruh terhadap pembentukan bingkai khalayak pembacanya.
2. Obyek Penelitian
Obyek penelitian dalam penelitian ini adalah berita yang dimuat
Harian Kompas tentang Munas Partai Golkar ke VIII pada periode bulan
Oktober 2009 sebanyak 10 berita. Alasan pemilihan periode waktu bulan
Oktober 2009 disebabkan karena Munas Partai Golkar VIII dilaksanakan pada
tanggal 5-8 Oktober dan Kompas secara berkesinambungan memberikan
sajian berita tentang perkembangan munas setiap harinya.
Sedangkan alasan pemilihan media Kompas karena Harian Kompas
secara kontinyu memberikan porsi pemberitaan dan pembahasan yang cukup
besar terhadap isu politik ini. Bahkan pada saat pelaksanaan munas, Kompas
memberikan halaman khusus. Kompas juga dikenal memiliki ideologi
moderat–hampir mirip dengan ideologi Partai Golkar–serta menjadi referensi
surat kabar nomor satu di Indonesia.
85 Ulber Silalahi, Op.Cit, hal: 133
lix
3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam mengumpulkan data, peneliti menggunakan dua cara, yaitu:
a. Data Primer
Data primer merupakan teks berita Harian Kompas yang dipilih
peneliti sesuai dengan tema yang telah ditetapkan. Selain itu, data
primer juga diperoleh dengan cara wawancara mendalam (depth
interview) dengan pihak Kompas yang berhubungan langsung dengan
berita pelaksanaan Munas Partai Golkar ke VIII serta pembaca
Kompas (audience). Dalam depth interview atau wawancara
mendalam, pewawancara relatif tidak memiliki kontrol atas respon
informan, artinya informan bebas memberikan jawaban86.
b. Data Sekunder
Data sekunder merupakan pengumpulan data yang diperoleh dengan
mengutip sumber lain untuk melengkapi sumber primer. Sedangkan
data sekunder dapat berupa artikel-artikel atau pemberitaan di
berbagai media massa ataupun buku-buku referensi dan sebagainya.
4. Teknik Pengambilan Sampel
Penelitian ini menggunakan teknik cuplikan yang bersifat selektif
dengan menggunakan pertimbangan berdasarkan konsep teoritis yang
digunakan. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan menggunakan teknik
purposive sampling. Pusposive sampling atau pemilihan sampel bertujuan
86 Rachmat Kriyantono S.Sos M.Si, Riset Komunikasi. Kencana Prenada Media Group, Jakarta,
2006, hal: 98
lx
merupakan pemilihan siapa subyek yang ada dalam posisi terbaik untuk
memberikan informasi yang dibutuhkan87.
Berita yang diteliti berjumlah 10 berita dari total 22 berita mengenai
Munas Partai Golkar ke VIII yang dimuat pada bulan Oktober 2009. Peneliti
menentukan tema utama dari ke-22 berita tersebut kemudian
mengkategorikannya dalam lima sub tema. Setelah itu, tanpa bermaksud untuk
membuat generalisasi, peneliti memilih 10 berita yang paling menonjol frame
beritanya serta paling banyak dibaca oleh responden penelitian ini, untuk
dianalisis lebih lanjut berdasarkan sub tema yang telah ditentukan.
Pihak Kompas yang dipilih adalah wartawan politik dan hukum Harian
Kompas yang meliput secara langsung pelaksanaan munas dan beritanya
paling banyak dimuat, yakni Sutta Dharmasaputra dan Suhartono. Sedangkan
khalayak pembaca yang dipilih adalah kategori khalayak intelek yang pernah
membaca Harian Kompas dalam pemberitaan Munas Partai Golkar VIII.
Peneliti memilih pembaca Kompas yang memiliki pemahaman yang baik
mengenai isu tersebut. Hal ini dimaksudkan agar hasil wawancara sesuai
kebutuhan penelitian. Responden penelitian dapat dilihat dalam tabel berikut.
87 Ulber Silalahi, Op.Cit hal: 272
lxi
Tabel 1.2
Daftar Responden Penelitian
No Nama Lengkap Usia Pekerjaan 1 Eko Setyawan 22 Mahasiswa 2 Ansyor 21 Mahasiswa 3 Kisbandi Virdha Kurniawan 24 Mahasiswa 4 Ertika Nanda 22 Mahasiswa 5 Rorie Asya’ari 22 Pembawa Berita/Mhswa 6 Haris Firdaus 23 Fresh graduate 7 Paramita Sari 22 Guru Jurnalistik/Mhswa 8 Joni Rusdiana 26 Mahasiswa S2
5. Teknik Analisa Data
Analisis data kualitatif digunakan bila data-data yang terkumpul dalam
riset adalah data kualitatif, dan riset kualitatif adalah riset yang menggunakan
cara berpikir induktif yakni cara berpikir yang berangkat dari hal-hal yang
khusus (fakta empiris) menuju hal-hal yang umum (tataran konsep).88 Pada
dasarnya, analisis data dalam penelitian komunikasi kualitatif dikembangkan
dengan maksud hendak memberikan makna (making sense of) terhadap data,
menafsirkan (interpreting) atau mentransformasikan (transforming) data ke
dalam bentuk narasi yang kemudian mengarah pada temuan yang
bernuansakan proposisi-proposisi ilmiah yang akhirnya sampai pada
kesimpulan.89
Penelitian ini menggunakan teknik analisa data interaktif model Miles
dan Huberman. Miles dan Huberman mengemukakan bahwa aktivitas dalam
analisa data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus
88 Op.Cit, hal: 192 89 Pawito, Ph.D, Op.cit, hal: 101
lxii
menerus sampai tuntas, sehingga datanya sudah jenuh.90 Komponen analisa
data model interaktif ini ada tiga, yakni: data reduction (reduksi data), data
display (penyajian data), dan conclusion drawing/verification (pengujian
kesimpulan).
Gambar 1.2 Analisis Data Interaktif Miles dan Huberman91
1. Data reduction (reduksi data)
Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang
pokok, menfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan
polanya.92 Menurut Pawito, ada tiga tahap dalam reduksi data.93
Pertama, langkah-langkah editing, pengelompokan, dan meringkas
data. Kedua, menyusun kode-kode dan catatan mengenai berbagai
aktivitas dan proses sehingga dapat ditemukan tema, kelompok dan
pola data. Ketiga, menyusun rancangan konsep-konsep serta
penjelasan berkenaan dengan tema, kelompok, dan pola data.
90 Prof. Dr. Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, Alfabeta, Bandung,
2008, hal: 246 91 Ibid, hal: 247 92 Ibid 93 Pawito, Ph.D, Op.Cit, hal: 104-105
Data display
Conclusion drawing/verifying
Data Collection
Data reduction
lxiii
Dalam penelitian ini, peneliti mengumpulkan semua berita
politik di Harian Kompas periode bulan Oktober 2009, kemudian
memilih berita yang berhubungan dengan Munas Partai Golkar.
Setelah berita terkumpul, peneliti meringkas tema dan frame berita
secara umum dari masing-masing berita kemudian membaginya dalam
sub-sub tema. Setelah sub tema terbentuk, peneliti membuat interview
guide sebagai panduan wawancara pihak media dan responden.
Untuk pihak media dan responden berita, setelah peneliti
melakukan wawancara dan melakukan rekap hasilnya, peneliti
mengelompokkan jawaban responden ke dalam poin-poin sub tema
yang telah ditentukan. Peneliti juga memberikan kode pada jawaban
atau respon yang hampir sama dari masing-masing responden.
2. Data display (penyajian data)
Penyajian data melibatkan langkah-langkah mengorganisasikan
data, yakni menjalin (kelompok) data yang satu dengan (kelompok)
data yang lain sehingga seluruh data yang dianalisis benar-benar
dilibatkan dalam satu kesatuan.94 Penyajian data ini dapat berupa tabel,
grafik, pictogram, diagram, matrik, dan sebagainya disertai dengan
narasi teks. Setelah data direduksi, peneliti menggabungkan frame
berita dengan hasil wawancara dengan pihak media dan serta
wawancara dengan responden (audience) melalui narasi teks. Analisa
94 Ibid, hal: 106
lxiv
dibuat terpisah antara pihak media dan responden, sehingga
membentuk hasil frame masing-masing.
3. Conclusion drawing/verification (pengujian kesimpulan)
Kesimpulan dalam penelitian kualitatif adalah merupakan
temuan baru yang sebelumnya belum pernah ada. Temuan dapat
berupa deskripsi atau gambaran suatu obyek yang sebelumnya masih
remang-remang atau gelap sehingga setelah diteliti menjadi jelas.95
Pengujian kesimpulan dilakukan dengan mengimplementasikan prinsip
induktif dengan mempertimbangkan pola-pola data yang ada dan atau
kecenderungan dari display data yang telah dibuat.96 Setelah masing-
masing analisis dijabarkan dalam penyajian data, selanjutnya peneliti
menggabungkan kedua analisis (antara analisis frame media dan frame
audience), melihat persamaan, dan perbedaan keduanya. Setelah
kesimpulan didapatkan, peneliti menguji kesimpulan ini dengan
rumusan masalah yang dibuat pada awal penelitian.
Untuk mencari frame media, peneliti menggunakan pendekatan model
Pan dan Kosicki. Ada empat perangkat framing pada model Pan dan Kosicki
yaitu sintaksis, skrip, tematik dan retoris. Kecenderungan dan kecondongan
wartawan dalam memahami suatu peristiwa dapat diamati dari keempat
struktur tersebut.
95 Prof. Dr. Sugiyono, Op.Cit, hal: 253 96 Pawito, Ph.D, Op.Cit
lxv
Untuk lebih jelasnya mengenai model framing dari Zhongdan Pan dan
Gerald M. Kosicki dapat dilihat dari tabel berikut:97
Tabel 1.3 Kerangka Framing Pan dan Kosicki
Struktur Perangkat Framing Unit Yang Diamati
Sintaksi Cara wartawan menusun fakta
1. skema berita Headline Lead Latar informasi Kutipan Sumber Pernyataan Penutup
Skrip Cara wartawan mengisahkan fakta
2. Kelengkapan berita What (Apa) Who (Siapa) Where (Dimana) When (Kapan) Why (Kenapa) How (Bagaimana)
Tematik Cara wartawan menulis fakta
3. Detail 4. Koherensi 5. Bentuk kalimat 6. Kata ganti
Detail paragraf, proposisi, dan kalimat Maksud dan hubungan antar kalimat Nominalisasi antar kalimat Koherensi Bentuk kalimat Kata ganti
Retoris Cara wartawan menekankanfakta
7. Leksikon 8. Grafis 9. Metafora
Leksikon/ pilihan kata Idiom Metafor Gambar/ foto/ grafis Pengandaian
97 Eriyanto, Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media, LKiS, Yogyakarta, 2002,
hal: 256
lxvi
Sintaksis, adalah susunan kata atau frase dalam kalimat. Dalam
wacana berita, sintaksis menunjuk pada pengertian susunan dari bagian berita:
headline, lead, latar informasi, sumber, penutup dalam satu kesatuan teks
berita secara keseluruhan. Bentuk sintaksis yang paling populer adalah
struktur piramida terbalik yang dimulai dengan judul headline, lead, episode,
latar dan penutup. Dalam bentuk piramida terbalik, bagian atas lebih penting
dibandingkan dengan bagian bawahnya. Headline merupakan berita yang
dijadikan topik utama media, sedang Lead (teras berita) merupakan paragraf
pembuka dari sebuah berita yang biasanya mengandung kepentingan lebih
tinggi. Struktur ini sangat tergantung pada ideologi peneliti terhadap peristiwa.
Skrip, dalam struktur ini dilihat bagaimana strategi bercerita atau
bertutur yang dipakai oleh wartawan dalam mengemas berita. Bentuk umum
dari struktur skrip adalah pola 5 W + 1 H – What (Apa), Who (Siapa), Where
(Dimana), When (Kapan), Why (Kenapa), How (Bagaimana). Meskipun pola
ini tidak selalu ada dalam setiap berita, kategori informasi ini yang diharapkan
diambil oleh wartawan untuk dilaporkan. Unsur kelengkapan berita ini dapat
menjadi penanda framing. Skrip memberi tekanan mana yang didahulukan,
dan mana yang bisa kemudian sebagai strategi untuk menyembunyikan
informasi penting. Upaya penyembunyian itu dilakukan dengan menempatkan
di bagian akhir agar terkesan kurang menonjol.
Tematik. Bagi Pan dan Kosicki, berita mirip sebuah pengujian
hipotesis: peristiwa yang diliput, sumber yang dikutip dan pernyataan yang
diungkapkan, itu digunakan untuk membuat dukungan yang logis bagi
lxvii
hipotesis yang dibuat. Tema yang dihadirkan atau dinyatakan secara tidak
langsung atau kutipan sumber dihadirkan untuk mendukung hipotesis.
Pengujian hipotesis ini digunakan untuk menyebut struktur tematik dari berita.
Struktur tematik berhubungan dengan bagaimana fakta itu ditulis, kalimat
yang dipakai, bagaimana menempatkan dan menulis sumber ke dalam teks
berita. Ada beberapa elemen yang dapat diamati dari perangkat tematik ini.
a. Detail, berhubungan dengan kontrol informasi oleh komunikator,
komunikator ingin menonjolkan atau mengurangi informasi tertentu
yang menguntungkan.
b. Koherensi, yaitu pertalian atau jalinan antar kata, proposisi atau
kalimat. Dua buah kalimat atau proposisi yang menggambarkan fakta
yang berbeda dapat dihubungkan dengan menggunakan koherensi.
Bentuk kalimat, yaitu bagaimana wartawan memilih bentuk kalimat
yang digunakan, apakah kalimat aktif, pasif, kalimat majemuk, dsb.
c. Kata ganti, dapat digunakan untuk memanipulasi bahasa dengan
menciptakan imajinasi.
Retoris. Struktur retoris dari wacara berita menggambarkan pilihan
gaya atau kata wartawan untuk menekankan arti yang ingin ditonjolkan.
Wartawan menggunakan perangkat retoris untuk membuat citra,
meningkatkan kemenonjolan pada sisi tertentu dan meningkatkan gambaran
yang diinginkan dari berita. Struktur retoris dari wacara berita menunjukkan
kecenderungan bahwa yang disampaikan tersebut adalah sebuah kebenaran.
lxviii
Ada beberapa elemen struktur retoris yang dipakai oleh wartawan.
Yang paling penting adalah leksikon, pemilihan dan pemakaian kata-kata
tertentu untuk menandai atau menggambarkan peristiwa. Selain lewat kata,
penekanan pesan dapat berita juga dapat dilakukan dengan unsur grafis. Grafis
biasanya muncul lewat bagian tulisan yang dibuat lain dibandingkan tulisan
lain. Bagian-bagian yang menonjol ini menekankan kepada khalayak
pentingnya bagian tersebut.
Penelitian ini menggunakan orientasi media frame sebagai variabel
independen dan audience frame sebagai variabel dependen, maka penelitian
ini meletakkan fokus penelitian pada unsur berikut:
a. Media frame sebagai variabel independen
· Bagaimana bentuk frame media yang mempengaruhi persepsi
khalayak dari sebuah wacana?
· Bagaimana proses pembentukan frame tersebut bekerja?
b. Audience frame sebagai variabel dependen
· Faktor-faktor apa yang mempengaruhi pembentukan frame individu?
· Apakah frame individu sama dengan frame media?
· Bagaimana cara individu dalam mengkonstruksi atau menolak frame
media?
lxix
6. Validitas Data
Validitas data dalam penelitian kualitatif lebih menunjuk pada tingkat
sejauh mana data yang diperoleh telah secara akurat mewakili realitas atau
gejala yang diteliti. Sedang reliabilitas berkenaan dengan tingkat konsistensi
hasil dari cara pengumpulan data.98 Salah satu caranya adalah dengan proses
triangulasi, yaitu teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan
sesuatu yang lain di luar data untuk keperluan pengecekan atau pembanding
terhadap data itu. Triangulasi yang digunakan dalam penelitian ini antara lain:
a. Triangulasi Data; yakni upaya untuk mengakses sumber-sumber yang
lebih bervariasi guna memperoleh data berkenaan dengan persoalan
yang sama.99 Triangulasi data yang dipakai dalam penelitian ini antara
lain teks berita Munas Partai Golkar ke VIII yang telah dikonversikan
dalam bentuk narasi, transkip depth interview dengan pihak Harian
Kompas, serta transkip depth interview dengan pembaca Kompas
b. Triangulasi Teori; yakni penggunaan perspektif teori yang bervariasi
dalam menginterpretasi data yang sama.100 Pada penelitian ini,
berbagai teori telah dijelaskan pada telaah pustaka untuk dipergunakan
dalam menganalisis penelitian. Teori yang dipakai antara lain teori
tentang partai politik, teori tentang media massa, teori tentang efek
media massa terhadap audience, serta teori mengenai analisa framing
sebagai bagian dari paradigma konstruktivisme.
98 Pawito, Ph.D, Penelitian Komunikasi Kualitatif, LKiS, Yogyakarta, 2007, hal: 97 99 Ibid, hal: 99 100 Ibid, hal: 100
lxx
7. Kerangka Penelitian
Untuk mempermudah proses penelitian ini, diperlukan kerangka
pikiran yang menjadi rambu atau batasan penelitian berdasarkan pada teori-
teori yang telah disampaikan pada bahasan sebelumnya. Kerangka pikir
mempermudah peneliti untuk melihat sudut-sudut pembahasan yang berkaitan
dengan penelitian ini.
Gambar 1.3 Kerangka Berpikir101
101 Olahan Peneliti
Ideologi, nilai, kepercayaan
personal
Faktor lain: penggunaan media lain, intensitas,
aktivitas, dll
Munas Golkar ke VIII
Liputan Wartawan Kompas
Teks Berita
Penyajian untuk khalayak
(surat kabar)
Audience frame tentang Partai Golkar
Ideologi, visi misi media
massa
Media frame
Nilai dan Kepercayaan personal
lxxi
BAB II
DESKRIPSI LOKASI
A. Partai Golongan Karya (Golkar)
1. Sejarah dan Perkembangan Partai Golkar
Partai Golkar didirikan pada 20 Oktober 1964 oleh golongan militer, yakni
Angkatan Darat Republik Indonesia untuk menandingi pengaruh Partai Komunis
Indonesia (PKI) yang sangat kuat. Ketika awal berdiri, organisasi ini bernama
Sekretariat Bersama Golongan Karya atau disingkat dengan nama Sekber Golkar.
Sekber Golkar beranggotakan 61 organisasi fungsional yang tidak berada pada
pengaruh politik tertentu, dan terus mengalami peningkatan anggota hingga 291
organisasi. Sekber Golkar pertama kali dipimpin oleh Brigadir Jenderal (Brigjen)
Djuhartono, yang kemudian digantikan oleh Mayor Jenderal (Mayjen) Suprapto
Sukowati lewat Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) I, Desember 1965.
Organisasi-organisasi yang bernaung dibawah Sekber Golkar kemudian
dikelompokkan berdasarkan kekaryaannya dalam 7 (tujuh) Kelompok Induk
Organisasi (KINO) yang diputuskan dalam Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas)
I pada Desember 1965 dan Rakornas II pada Nopember 1967, yakni:
1. KINO Koperasi Serbaguna Gotong Royong (KOSGORO)
2. KINO Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI)
3. KINO Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR)
4. KINO Organisasi Profesi
5. KINO Ormas Pertahanan Keamanan (HANKAM)
lxxii
6. KINO Gerakan Karya Rakyat Indonesia (GAKARI)
7. KINO Gerakan Pembangunan
Pada 4 februari 1970 Sekber Golkar memutuskan untuk menjadi salah satu
organisasi peserta Pemilu 1971 dengan mengganti namanya menjadi Golongan
Karya (Golkar). Perubahan nama ini diputuskan secara formal pada Musyawarah
Sekber Golkar pada 17 Juli 1971 dan dikukuhkan kembali pada Musyawarah
Nasional (Munas) I di Surabaya, 4-10 September 1973. Pada saat itu, Golkar telah
menggunakan lambang pohon beringin sebagai logo organisasinya. Logo yang
menjadi tanda gambar Golkar tersebut tetap dipertahankan sampai sekarang.
Pada Pemilu 1971 Golkar berhasil menjadi kuda hitam dengan
memenangkan Pemilu dengan jumlah 34.348.673 suara atau 62,79 % dari total
perolehan suara. Golkar berhasil mengungguli partai-partai besar seperti
Nahdhatul Ulama (NU), Partai Nasional Indonesia (PNI), Parmusi dan Murba.
NU hanya menang di Jawa Timur dan Kalimantan Selatan, Partai Katholik di
Nusa Tenggara Timur, PNI di Jawa Tengah, Parmusi di Sumatera Barat dan Aceh,
sedangkan Murba tidak memperoleh suara signifikan sehingga tidak memperoleh
kursi DPR.102 Selanjutnya dari Pemilu ke Pemilu sejak tahun 1971, 1977, 1982,
1987, 1992, dan 1997 GOLKAR terus menerus berhasil mengemban kepercayaan
rakyat dengan memperoleh kemenangan sebagai mayoritas tunggal.103
Kemenangan Golkar dalam pemilu secara kontinyu ini dimungkinkan
salah satunya karena adanya peraturan monoloyalitas PNS pada masa
102 http://id.wikipedia.org/wiki/Partai_Golongan_Karya akses tanggal 16 Nopember 2009 pukul
16.15 103 www.golkar.or.id akses tanggal 28 Oktober 2009 pukul 19.04
lxxiii
pemerintahan orde baru milik Mayjen Jendral Soeharto. Peraturan Monoloyalitas
merupakan kebijakan pemerintah yang mewajibkan Pegawai Negeri Sipil (PNS)
untuk menyalurkan aspirasi politiknya kepada Golkar104. Peraturan monoloyalitas
PNS diatur dalam Undang-Undang (UU) No.6 Tahun 1970 pada 11 Februari
1970. Kebijakan ini disusul dengan diberlakukannya UU No.3 Tahun 1975
tentang masa mengambang (floating mass) yang membatasi gerak partai politik
non-Golkar hanya sampai kecamatan, sementara Golkar lepas dari aturan ini.105
Golkar pada masa orde baru dikendalikan oleh posisi Dewan Pembina
yang diketuai oleh mantan Presiden Soeharto. Ketua Dewan Pembina Golkar
adalah sebuah jabatan yang semenjak Munas II Golkar 1978 di Denpasar Bali
diberikan kedudukan dan otoritas tertinggi dalam organisasi Golkar.106 Dewan
Pembina berwewenang untuk mengatur dan memutuskan kebijakan strategis
Golkar, terutama dengan tiga jalur pengaturan informalnya, yakni jalur A, jalur B,
dan jalur G. Jalur A adalah jalur lingkungan militer, jalur B untuk lingkungan
birokrasi dan jalur G untuk Golkar.
Secara lebih khusus dalam hubungannya dengan Dewan Pimpinan Pusat
Partai Golkar, ada empat wewenang yang dimiliki oleh Dewan Pembina, yaitu:
a. Wewenang membatalkan kebijaksanaan atau keputusan DPP bilamana dinilai menyimpang dari ketentuan-ketentuan organisasi
b. Wewenang membekukan sementara kepengurusan DPP bilamana mendesak dan mengancam kelangsungan hidup organisasi
c. Wewenang mengundang Munas Luar Biasa d. Wewenang menyusun komposisi personalia Dewan Pertimbangan dan
Dewan Penasihat107
104 Op.Cit 105 Eep Saefulloh Fatah, Pengkhianatan Demokrasi ala Orde Baru: Masalah dan Masa Depan
Demokrasi Terpimpin Konstitusional, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2000, hal: 195 106 Ibid, hal: 47 107 Zulfikar Ghazali, “Golkar dalam Politik Indonesia” dalam Ibid, hal: 200
lxxiv
Pasca pemilu 1997–dimana Golkar menang mutlak dengan jumlah suara
74,5% suara–terjadi pergolakan besar dari mahasiswa terhadap rezim Soeharto
yang berkuasa selama lebih dari 30 tahun. Puncaknya pada Mei 1998 terjadi
kerusuhan besar dan Soeharto harus rela turun dari jabatan Presiden untuk yang
ketujuh kalinya. Jabatan Presiden kemudian diserahkan kepada wakil presiden
ketika itu, yakni BJ Habibie.
Tuntutan refomasi utamanya adalah menurunkan Soeharto dari jabatan
presiden seumur hidup dan menjatuhkan semua sistem orde baru yang merugikan
rakyat. Reformasi juga menuntut adanya pembaharuan undang-undang di bidang
politik yang dimasa orde baru hanya menguntungkan Golkar. Akhirnya,
ditetapkankanlah undang-undang baru tentang Partai Politik, Pemilihan Umum,
dan Susunan dan Kedudukan ke MPR, DPR, dan DPRD.
Meskipun ada desakan yang luar biasa untuk membubarkan Golkar,
namun Golkar tetap mampu bertahan dan menegaskan adanya PARADIGMA
BARU Partai Golkar pada Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub), 9-11
Juli 1998. Partai Golkar dalam paradigma baru, atau diringkas sebagai Golkar
Baru memiliki semboyan: GOLKAR BARU, BERSATU UNTUK MAJU.
Untuk menyesuaikan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
baru, maka Golkar mendeklarasikan perubahan nama partainya menjadi Partai
Golkar pada 7 Maret 1999. Perubahan nama ini dimaksudkan untuk melakukan
reformasi terhadap tubuh Golkar dan menempatkan diri sebagai partai politik
yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan partai politik lain.
lxxv
Pada Pemilu 1999, perolehan suara Partai Golkar mengalami penurunan
menjadi peringkat kedua setelah PDI Perjuangan dengan jumlah 23.741.758 suara
atau 22,44%. Hal ini telah diprediksi sebelumnya karena masyarakat sudah
antipati dengan keberadaan Partai Golkar. Namun pada Pemilu 2004 Partai
Golkar kembali menjadi partai pemenang pemilu dengan meraih 24.480.757 suara
atau 21,58%, mengungguli Partai Demokrat, PDIP, PKB, PKS dan PAN.
Kemenangan ini merupakan prestasi tersendiri bagi Partai Golkar pada
masa transisi. Akbar Tandjung yang merupakan Ketua Umum Partai Golkar pada
periode 1999-2004 dinilai sangat berjasa mengembalikan kepercayaan masyarakat
terhadap Partai Golkar. Akan tetapi, meski memenangkan pemilu, jumlah suara
Partai Golkar sebenarnya terus mengalami penurunan prosentase. Penurunan
jumlah suara Partai Golkar yang paling memrihatinkan terjadi pada Pemilu
Legislatif 2009 dengan hanya mengantongi suara 14,45%.
Saat ini, Partai Golkar dipimpin oleh Ketua Umum Aburizal Bakrie (2009-
2015) yang terpilih secara aklamasi pada Munas Partai Golkar ke-VIII di
Pekanbaru, Riau, 5-9 Oktober 2009. Aburizal Bakrie menang dari calon lain
seperti Surya Paloh, Hutomo Mandala Putra (Tommy Soeharto) dan Yuddy
Chrisnandy. Sebelumnya jabatan ini dipegang oleh Muhammad Jusuf Kalla (JK)
yang juga menjadi Wakil Presiden pada masa jabatan 2004-2009.
2. Tujuan, Visi, Misi dan Platform Partai Golkar108
Tujuan Partai Golkar yaitu: Mempertahankan, mengamankan dan
108 Merupakan pedoman Partai Golkar Periode Kepengurusan 2004-2009. Semua data disarikan
dari www.golkar.or.id akses tanggal 28 Oktober 2009 pukul 19.04
lxxvi
mengamalkan Pancasila dan UUD 1945; Mewujudkan cita-cita bangsa sebagai
mana di maksud dalam UUD 1945; Menciptakan masyarakat adil dan makmur
merata material dan spiritual berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dalam wadah
Negara Kesatuan Republik Indonesia; serta Mewujudkan Kedaulatan Rakyat
dalam rangka mengembangkan kehidupan Demokrasi Pancasila yang menjunjung
tinggi dan menghormati kebenaran, keadilan, hukum dan hak asasi manusia.
Misi Partai Golkar antara lain: Mempertegas komitmen untuk menyerap,
memadukan, mengartikulasikan, dan memperjuangkan aspirasi serta kepentingan
rakyat–khususnya kelompok masyarakat yang berada pada posisi marginal yang
selama ini kurang mendapat perhatian dan kerap menjadi korban pembangunan–
sehingga menjadi kebijakaan politik yang bersifat publik; Melakukan rekruitmen
kader yang berkualitas melalui sistem prestasi dan mendapat dukungan rakyat
untuk duduk dalam jabatan politik di lembaga permusyawaratan/perwakilan dan
permerintahan. Jabatan politik tersebut diabdikan sepenuhnya untuk kepentingan
dan kesejahteraan rakyat; serta Meningkatkan proses pendidikan dan komunikasi
politik yang dialogos dan partisipatif, yaitu membuka diri terhadap berbagai
pikiran, aspirasi dan kritik dari masyarakat.
Visi Partai Golkar, yakni:
1. Partai Golkar adalah Partai Terbuka ( Inklusif) bagi segenap golongan dan
lapisan masyarakat tanpa membedakan latar belakang agama, suku,
bahasa, dan status sosial ekonomi.
2. Partai Golkar adalah Partai Mandiri yang merupakan organisasi kekuatan
sosial politik yang yang mampu mengambil setiap keputusan politik dan
lxxvii
kebijakan organisasi tanpa campur tangan atau intervensi dari siapapun
dan pihak manapun.
3. Partai Golkar adalah Partai Demokratis. Sebagai partai yang demokratis
Partai Golkar senantiasa baik secara internal maupun secara eksternal
betul-betul menjadi pelopor tegaknya kehidupan politik yang demokratis
dan terbuka.
4. Partai Golkar adalah Partai Moderat. Sebagai partai yang Moderat Partai
Golkar senantiasa mengutamakan posisi tengah (moderat) dan tidak
berorientasi ke kiri atau ke kanan secara ekstrem.
5. Partai Golkar adalah Partai yang Solid. Sebagai partai yang solid Golkar
secara utuh dan kukuh senantiasa berupaya mendayagunakan segenap
potensi yang dimilikinya secara sinergis.
6. Partai Golkar adalah Partai yang Mengakar. Sebagai partai yang mengakar
Partai Golkar senantiasa mengupayakan agar para anggota dan kadernya
tumbuh dan berkembang dari bawah berdasarkan azas prestasi, bukan
berdasarkan atas kolusi dan nepotisme.
7. Partai Golkar adalah Partai yang responsif. Sebagai partai yang responsif
Partai Golkar senantiasa peka dan tanggap terhadap aspirasi dan
kepentingan rakyat, serta konsisten untuk memperjuangkan menjadi
keputusan politik yang bersifat publik dan menguntungkan seluruh rakyat
tanpa membedakan latar belakang suku, etnis, agam , bahasa, aliran dan
kebudayaan.
lxxviii
Platform Partai Golkar , antara lain:
1. Partai Golkar berpijak pada landasan tegaknya Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Partai Golkar baru
menolak gagasan negara federal dan setuju dilakukannya pengurangan
terhadap kecenderungan sentralisme dalam pengelolaan negara dengan
memberikan otonomi yang luas kepada daerah.
2. Partai Golkar berwawasan kebangsaan. Dengan wawasan ini, maka semua
potensi bangsa mendapat kesempatan yang sama untuk berkembang secara
optimal, sehingga kelompok minoritas sekalipun akan merasa seperti
berada di rmahnya sendiri.
3. Partai Golkar adalah partai majemuk (pluralis). Partai Golkar tidak
sependapat dengan pembelahan masyarakat (social fragmentation)
berdasarkan sifat primordial dan sektarian. Partai Golkar mengembangkan
perspektif fungsi sehingga pendekatan yang dilakukan adalah berorientasi
pada program (program oriented) bukan berorientasi ideologi (ideology
oriented).
4. Partai Golkar adalah partai yang komitmen pada demokrasi. Demokrasi
yang hendak dibangun adalah Demokrasi Indonesia, yaitu demokrasi yang
dilandaskan pada prinsip dan nilai Pancasila.
5. Partai Golkar adalah partai yang berjuang untuk mewujudkan
kesejahteraan rakyat sebagai upaya mewujudkan salah satu tujuan
nasional.
lxxix
6. Partai Golkar adalah partai yang komitmen pada penegakan hukum,
keadilan dan hak-hak asasi manusia.
7. Partai Golkar adalah partai yang senantiasa mendasarkan gerak
langkahnya pada nilai-nilai etika dan moralitas berdasarkan ajaran agama.
8. Partai Golkar adalah Partai yang dalam setiap gerak langkahnya senantiasa
berpijak pada wawasan pembaharuan dan pembangunan yang telah
menjadi sikap dasar Partai Golkar sejak kelahirannya, bahkan menjadi
salah satu butir dari nilai-nilai dasar Partai Golkar seperti tercantum dalam
Ikrar Panca Bhakti Golongan Karya.
3. Paradigma Lama dan Paradigma Baru
Paradigma baru diusulkan oleh Akbar Tandjung dalam Munaslub Golkar
1998 untuk menggeser paradigma lama yang telah melekat dalam tubuh Partai
Golkar. Inti dari paradigma baru adalah mengharapkan Golkar dibangun dengan
nilai-nilai baru selaras dengan tuntutan reformasi, dan menjadikan dirinya sebagai
partai politik yang terbuka (inklusif), mandiri (independen), demokratis, moderat,
solid, mengakar dan responsif dengan melaksanakan fungsi-fungsi partai politik
secara konsisten109.
Secara umum, perbedaan paradigma lama dan paradigma baru adalah
sebagai berikut.
109 Akbar Tandjung, The Golkar Way: Survival Partai Golkar di Tengah Turbulensi Politik Era Transisi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2007, hal: 98
lxxx
Tabel 2.1 Paradigma Lama dan Baru Partai Golkar
Paradigma Lama Paradigma Baru Keterangan
Dewan Pembina memiliki
kewenangan mutlak
Institusi Dewan Pembina
dihapuskan
Dewan Pembina diganti
menjadi Dewan Penasehat
yang hanya memberi saran
Pengambilan keputusan
bersifat top-down dengan
melibatkan jalur ABG
Pengambilan keputusan
bersifat bottom-up. Jalur
ABG dihapuskan
DPD I dan DPD II diberi
hak penuh pada
pengambilan keputusan
strategis dan Munas
Pola rekruitmen pengurus
dipengaruhi kedekatan
politis dan nepotisme
Sistem kaderisasi merit
system (dedikasi, prestasi,
loyalitas, dan kecakapan)
Pemilihan pimpinan
berdasarkan suara dari DPD
Golkar tidak otonom,
terutama dari militer dan
birokrasi
Golkar bersifat independen
dan mandiri
Dukungan rakyat adalah
sumber utama kekuatan
Golkar
Pola kepemimpinan
sentralistik. Ketua Umum
seperti pelaksana keputusan
Ketua Dewan Pembina
Kepempinan bersifat
kolegial
Ketua Umum sangat
menentukan namun tetap
beradasar mekanisme yang
demokratis
Sumber: disarikan dari Akbar Tandjung, 2007.
4. Susunan Kepengurusan
Struktur Organisasi Partai Golkar terdiri dari tingkat Pusat, tingkat
Provinsi, tingkat Kabupaten/Kota, tingkat Kecamatan, dan Tingkat
Desa/Kelurahan atau sebutan lainnya yang masing-masing berturut-turut dipimpin
oleh Dewan Pimpinan Pusat (DPP), Dewan Pimpinan Daerah Provinsi (DPD
tingkat I), Dewan Pimpinan Daerah Kabupaten/Kota (DPD tingkat II), Pimpinan
Kecamatan dan Pimpinan Desa/Kelurahan atau sebutan lain.
lxxxi
Berdasarkan hasil Munas Partai Golkar ke VIII, 5-8 Oktober 2009,
komposisi dan personalia DPP Partai Golkar 2009-2015 adalah sebagai berikut.
Ketua Dewan Pertimbangan : Akbar Tandjung
Ketua Umum : Aburizal Bakrie
Wakil Ketua Umum : HR Agung Laksono,
Theo L Sambuaga
Ketua Bidang Kaderisasi : Hafiz Zawawi
Ketua Bidang Organisasi dan Daerah : Mahyudin
Ketua Bidang Hub Eksekutif dan Yudikatif : HM Rusli Zainal
Ketua Bidang Hubungan Legislatif : Priyo Budi Santoso
Ketua Bidang Informasi dan Penggalangan Opini : Fuad Mansyur
Ketua Bidang Pemenangan Pemilu Wilayah Sumatera : Andi Achmad Dara
Ketua Bidang Pemenangan Pemilu Wilayah Jawa & Bali : Sharif Cicip Sutarjo
Ketua Bidang Pemenangan Pemilu Wilayah Maluku Papua : Freddy Latumahina
Ketua Bidang Pemenangan Pemilu Wilayah Kalimantan : Ahmadi Nur Supit
Ketua Bidang Pemenangan Pemilu Wilayah Sulawesi : Fachri Andi Laluasa
Ketua Bidang Perempuan : Ratu Atut Chosyiah
Ketua Bidang Pemuda : Yorris Raweyay
Ketua Bidang Pekerja, Tani dan Nelayan : Yamin Tawari
Ketua Bidang Usaha dan Koperasi : Firman Subagyo
Ketua Bidang Keagamaan dan Kebudayaan : Hajriyanto Thohari
Ketua Bidang Kemahasiswaan dan LSM : Fadel Muhammad
Ketua Bidang Kerja Sama Internasional : Iris Indira Murti
Ketua Bidang Pemikiran dan Kajian Kebijakan : Rizal Mallarangeng
Ketua Bidang Pendidikan : Indra B. Utoyo
Ketua Bidang Kesehatan dan Lingkungan Hidup : Ade Komaruddin
Ketua Bidang Bidang Penanganan Kerawanan Sosial : Pontjo Sutowo
Ketua Bidang Hukum dan HAM : Muladi
Ketua Bidang Umum : Rully Chairul Azwar
Ketua Bidang Khusus : Nurdin Halid
lxxxii
Sekjen : Idrus Marham
Wasekjen : Harry Azhar Azis, Musfihin Dahlan, Muhidin, Ahmad
Dolly Kurnia, Titiek Soeharto, Mujib Rohmat, Nurul
Arifin, Ricky Rachmadi, Happy Bone Zulkarnain,
Hasanuddin Mochdar, I Made Sumarjaya Linggih,
Immanuel Blegur, Oktaviano dan Leo Nababan.
Bendara Umum : Setya Novanto
Wakil Bendahara : Airlangga Hartarto,: Erwin Aksa, Hariara Tambunan,
Agus G Kartasasmita, Azis Syamsuddin, Bobby
Suhardiman, Melchias Mekeng, Tri Hanurita
Sudwikatmono, Mustoko Weni, Bambang Atmanto
Wiyogo, Watty Amir, Hamzah Sangaji dan Rahman Akil.
5. Musyawarah Nasional (Munas) Partai Golkar ke-VIII
Pelaksanaan Musyawarah Nasional (Munas) Partai Golkar telah diatur
dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART). Pada Periode
kepengurusan 2004-2009 Munas diatur pada AD Bab XIV tentang Musyawarah
dan Rapat-rapat Pasal 30 Ayat 2, yakni:
a. Musyawarah Nasional adalah pemegang kekuasaan tertinggi Partai yang diadakan sekali dalam 5 (lima) tahun.
b. Musyawarah Nasional berwenang: i. Menetapkan dan atau mengubah Anggaran Dasar dan Anggaran
Rumah Tangga Partai. ii. Menetapkan Program Umum Partai.
iii. Menilai Pertanggungjawaban Dewan Pimpinan Pusat. iv. Memilih dan menetapkan Ketua Umum. v. Menetapkan Dewan Pimpinan Pusat.
vi. Menetapkan Ketua Dewan Penasehat. vii. Menetapkan keputusan-keputusan lainnya.
Selain itu Munas juga diatur dalam ART Bab XI tentang Musyawarah dan
rapat-Rapat Pasal 25, yakni:
lxxxiii
1) Musyawarah Nasional dihadiri oleh : a. Peserta. b. Peninjau. c. Undangan.
2) Peserta terdiri atas : a. Dewan Pimpinan Pusat. b. Unsur Dewan Pimpinan Daerah Provinsi. c. Unsur Dewan Pimpinan Daerah Kabupaten/Kota. d. Unsur Pimpinan Pusat Organisasi Sayap. e. Unsur Pimpinan Pusat Ormas Pendiri. f. Unsur Pimpinan Pusat Ormas Yang Didirikan.
3) Peninjau tediri atas : a. Dewan Penasehat Pusat. b. Unsur Pimpinan Pusat Ormas yang menyalurkan aspirasi politiknya
kepada Partai Golkar. c. Unsur Badan, Lembaga dan Pokja Dewan Pimpinan Pusat.
4) Undangan terdiri atas: a. Perwakilan Institusi. b. Perorangan.
5) Jumlah Peserta, Peninjau dan Undangan ditetapkan oleh Dewan Pimpinan Pusat.
6) Pimpinan Musyawarah Nasional dipilih dari dan oleh Peserta. 7) Sebelum Pimpinan Musyawarah Nasional terpilih, Pimpinan Sementara
adalah Dewan Pimpinan Pusat Partai. Munas Partai Golkar ke VIII berdasar AD dan ART partai seharusnya
dilaksanakan pada bulan Desember 2009. Akan tetapi berdasar keputusan Rapat
Pimpinan Nasional (Rapimnas) Partai Golkar pada bulan Agustus, munas
diajukan menjadi bulan Oktober. Pemilihan bulan Oktober, menurut JK, adalah
untuk mengembalikan tradisi pelaksanaan munas pada bulan Oktober mendekati
Hari Ulang Tahun (HUT) Golkar pada tanggal 20 Oktober. Selain itu, bulan
Oktober dipandang sebagai waktu yang strategis karena pada bulan tersebut
terdapat dua agenda penting negara, yakni penentuan ketua MPR dan DPR serta
pemilihan kabinet pemerintahan SBY.
Munas Partai Golkar ke VIII ini dilaksanakan di Ballroom Hotel Labersa,
Pekanbaru, Riau. Salah satu agenda penting dalam Munas ke VIII adalah
lxxxiv
pemilihan Ketua Umum Partai Golkar pengganti JK. Ada empat calon yang
berhasil lolos verifikasi. Keempatnya berdasar abjad, yakni Aburizal Bakrie,
Hutomo Mandala Putra, Surya Paloh, dan Yuddy Chrisnandi.
Aburizal Bakrie, lahir di Jakarta, 15 November 1946. Pengalamannya
antara lain Anggota Dewan Penasihat Partai Golkar (2004-2009), Menteri
Koordinator (Menko) Perekonomian (2004-2005), Menko Kesejahteraan Rakyat
(2005-2009), pemilik Bakrie Group of Companies, Ketua Umum Kepala Dinas
(Kadin) Indonesia (1994-1999, 1999-2004).
Hutomo Mandala Putra atau lebih akrab dengan nama Tommy Soeharto,
lahir di Jakarta 15 Juli 1962. Pengalamannya antara lain Anggota Dewan
Pertimbangan Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR), Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Golkar (1992-1997, 1997), Pendiri PT
Humpuss (1984), Ketua Dewan Pertimbangan Pemuda Panca Marga (PPM).
Surya Paloh, lahir di Banda Aceh 16 Juli 1951. Pengalamannya antara lain
sebagai Ketua Dewan Penasihat Partai Golkar (2004-2009), Anggota Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) (1977-1982, 1982-1987), Pemilik Media Group
(Metro TV dan Media Indonesia), Ketua Umum Forum Komunikasi Putra/I
Purnawirawan Indonesia (F-KPPI), 1979.
Yuddy Chrisnandi, lahir di Bandung 29 Mei 1968. Pengalamannya antara
lain Ketua Departemen Organisasi, Keanggotaan, dan Kaderisasi DPP Golkar
(2004-2009), Anggota DPR dari Partai Golkar (2004-2009), Dosen Program
Pascasarjana Studi Ilmu Politik Universitas Indonesia, Staf Khusus Wakil
Presiden Bidang Politik dan Keamanan (Polkam) (2001-2003).
lxxxv
Munas Partai Golkar VIII akhirnya menetapkan Aburizal Bakrie sebagai
Ketua Umum pada periode 2009-2015. Partai Golkar dibawah kepemimpinan
Aburizal Bakrie akan melaksanakan empat program yang akan dijalankan secara
kontinyu pada periode 2009-2015. Empat program tersebut disampaikan Aburizal
Bakrie dalam pidato politiknya pada penutupan Munas VIII110.
Pertama, melakukan konsolidasi yang bersifat vertikal dan horizontal.
Kader serta pengurus di pusat dan daerah harus menyatu. Seluruh kader partai
harus disiplin untuk mengikuti garis partai dengan menghormati kesepakatan
internal partai. Kedua, melakukan kaderisasi. Kader terbaik Golkar masih banyak
di seluruh Indonesia. Untuk merebut kejayaan Partai Golkar, maka kader inilah
yang menjadi andalan partai. Selain kader yang sudah ada, harus dicetak kader
baru. Untuk itu perlu dijalankan kaderisasi. Ketiga, melakukan kreativitas dan
ketajaman ide serta gagasan. Golkar harus menjadi partai yang hidup dan dinamis.
Untuk menghadapi isu strategis dan persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia,
harus diciptakan solusi yang kreatif melalui ide-ide yang cemerlang. Keempat,
memenangi pemilu 2014, pemilihan presiden 2014 dan pemilihan kepala daerah
yang terlaksana hampir setiap tahun.
B. Harian Kompas
1. Sejarah Harian Kompas111
Kompas terbit sebagai buah pertarungan politik antara kekuatan organisasi
110 Lihat http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/a/aburizal-bakrie/biografi/06.shtml, akses
tanggal 16 Nopember 2009 pukul 16.33 111 Disarikan dari Redaksi Kompas Biro Jawa Tengah, Company Profile Harian Umum Kompas,
2005, tidak diterbitkan
lxxxvi
politik berbasis ideologi komunis melawan kelompok yang tidak berpijak pada
ideologi tersebut, termasuk Partai Katolik. Salah satu upaya Partai Katolik saat itu
adalah menerbitkan surat kabar yang mampu menyuarakan kepentingan partai dan
dapat meng-counter wacana ideologi komunis yang dilakukan oleh surat kabar
underbow Partai Komunis Indonesia (PKI).
Ide awal penerbitan harian ini sebenarnya justru datang dari Jenderal
Ahmad Yani, yang mengutarakan keinginannya kepada Frans Seda untuk
menerbitkan surat kabar yang berimbang, kredibel, dan independen. Frans
kemudian mengemukakan keinginan itu kepada Auwjong Peng Koen (P.K.
Ojong) (1920-1980) dan Jakob Oetama112. Saat itu Jacoeb Oetama adalah
wartawan mingguan Penabur milik gereja Katolik dan P.K. Ojong adalah
pemimpin redaksi mingguan Star Weekly.
Terbitan surat kabar tersebut awalnya diberi nama Bentara Rakyat sesuai
dengan badan usaha yang membawahinya, yakni Yayasan Bentara Rakyat.
Yayasan ini terdiri dari perwakilan elemen hierarkis dari Majelis Agung Wali
Gereja Indonesia (MAWI) Partai Katolik, Perhimpunan Mahasiswa Katolik
Republik Indonesia (PMKRI), Pemuda Katolik dan Wanita Katolik. Pemilihan
nama Bentara Rakyat sengaja untuk menandingi keberadaan surat kabar PKI yaitu
Harian Rakyat yang merupakan harian terbesar di tahun 1960-an. Dengan
kemiripan identitas ini, diharapkan akan mampu memasuki segmen pasar Harian
Rakyat.
Rencana penerbitan surat kabar Bentara Rakyat diajukan kepada Presiden
112 http://digilib.petra.ac.id, akses tanggal 31 Oktober 2009 pukul 12.23
lxxxvii
RI pada saat itu, Soekarno. Kemudian Soekarno mengganti namanya dengan
Kompas, alasan penggunaan nama ini karena Kompas hendak digunakan sebagai
media pencari fakta dari segala penjuru. Meskipun sudah mengantongi ijin,
Kompas tidak segera terbit karena Panglima Militer Jakarta saat itu, Letnan
Kolonel Dachja, menyaratkan Kompas memperoleh 5000 tanda tangan
pelanggannya. Kemudian, tokoh-tokoh Katolik pergi ke Pulau Flores yang
mayoritas penduduknya beragama Katolik untuk mengumpulkan tanda tangan
anggota partai, guru, dan anggota koperasi kopra di Kabupaten Ende Lio,
Kabupaten Sikka, dan Kabupaten Flores Timur.
Akhirnya, sejak 2 Juni 1965, harian Kompas secara resmi menjadi salah
satu surat kabar yang terbit secara teratur. Kemudian tepat 28 Juni 1965, Kompas
terbit dengan motto "Amanat Hati Nurani Rakyat". Dalam operasionalisasinya,
Kompas diawaki oleh P.K. Ojong sebagai pemimpin umum dan Jacoeb Oetama
sebagai pemimpin redaksi ditambah beberapa redaksi dan wartawan dari majalah
Intisari.
Format harian Kompas pertama kali masih sangat sederhana hanya dengan
empat halaman. Berita utama pada saat itu berjudul "KAA II Ditunda Empat
Bulan", sementara kata perkenalan Pojok Kompas di kanan bawah berbunyi,
"Mari ikat hati, mulai hari ini dengan Mang Usil". Pada halaman pertama pojok
kiri atas tertulis nama staf redaksi. Edisi pertama Kompas memuat 11 berita luar
negeri dan 7 berita dalam negeri di halaman pertaman. Istilah tajuk rencana belum
ada, tetapi di halaman 2 ada 'Lahirnya Kompas' sebagai tajuk harian ini. Di
halaman 3 berisi antara lain 3 artikel yaitu berita luar negeri, ulasan mengenai
lxxxviii
penyakit ayan dengan Dr Kompas. Halaman 4 berisi antara lain berita dan artikel
yakni 2 berita luar negeri dan satu dalam negeri. Di halaman ini juga tercatat ada 2
berita olahraga satu diantaranya tentang tim PSSI ke Pyongyang.
Berselang tiga bulan terbit, Kompas dilarang terbit beserta surat kabar lain,
sehari setelah peristiwa 30 September 1965. Hanya harian "Angkatan
Bersendjata", "Berita Yudha", kantor berita "Antara", dan "Pemberitaan Angkatan
Bersendjata" yang diizinkan terbit oleh Pelaksana Penguasa Perang Daerah
(Pepelrada). Kompas diizinkan terbit kembali pada 6 Oktober 1965.
Peluang Kompas untuk berkembang semakin terbuka setelah terjadi
pembersihan besar-besaran terhadap PKI dan simpatisannya yang terjadi sejak
akhir 1965. Pada periode pers zaman demokrasi terpimpin diberlakukan Peraturan
Presiden No. 6 Tahun 1964 yang menetapkan setiap surat kabar berafiliasi dengan
salah satu partai politik. Kompas sendiri berafiliasi dengan Partai Katolik.
Seiring berjalannya waktu, karena alasan visi harian Kompas yang
terbuka, maka Kompas melepaskan diri dari Partai Katolik (kemudian muncul
dasar humanisme transendental Kompas). Perkembangan selanjutnya adalah
Kompas berhasil memiliki mesin cetak sendiri sejak 25 November 1972. Pada
tahun yang sama Kompas membentuk PT Transito Asri Media, anak perusahaan
yang mendistribusikan buku-buku import dan lokal pada jaringan toko buku yang
dimilikinya sendiri. Pada tahun 1973 Kompas mendirikan percetakan Gramedia
dan menerbitkan majalah anak-anak Bobo.
Ketika peristiwa Malari tahun 1974, terjadi pembredelan pada beberapa
pers yang dinilai konfrontatif terhadap pemerintah. Pada peristiwa tersebut, harian
lxxxix
Kompas terhindar dari pembredelan massal tersebut karena Kompas memiliki
sikap moderat. Namun pada tahun 1978, Kompas tidak dapat menghindarkan diri
dari pembredelan karena berita seputar penolakan berbagai pihak terhadap
pencalonan kembali Soeharto sebagai presiden periode 1978-1983. Selain
Kompas, enam surat kabar lain juga mengalami nasib serupa, diantaranya Sinar
Harapan, Merdeka, Pelita, The Indonesia Times, Sinar Pagi, dan Pos Sore113.
Setelah kasus pembredelan tersebut, Kompas berkembang menjadi koran
dengan gaya bahasa halus, melakukan kritik secara implisit atau secara tidak
langsung. Akibat dari gaya baru tersebut, sejumlah kalangan menjuluki harian
Kompas sebagai koran moderat. Hal tersebut justru menjadi keunggulan Kompas
dibanding harian-harian lain. Ben Anderson kemudian juga menjuluki Kompas
sebagai 'New Order Newspaper Par Excellence' karena meskipun dalam
pengawasan yang ketat, Kompas tetap mampu bertahan dan sekaligus juga
menyampaikan kritik terhadap pemerintah meskipun dengan gaya halus.
2. Visi dan Misi Harian Kompas
Visi surat kabar merupakan ujung pangkal dalam menentukan kebijakan
editorial dalam menentukan peristiwa yang dianggap penting oleh surat kabar
tersebut. Dan yang lebih penting lagi visi merupakan nilai dasar yang dihayati
bersama oleh para wartawan yang bekerja pada suatu surat kabar.
Visi Harian Kompas adalah “Menjadi institusi yang memberikan
pencerahan bagi perkembangan masyarakat Indonesia yang demokratis dan 113 Data dari Cornelis Lay, Involusi Politik: Esai-esai Indonesia, Program Pasca Sarjana Politik
Loka dan Otonomi Daerah dan Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 2006, hal: 154
xc
bermartabat, serta menjunjung tinggi asas dan nilai kemanusiaan.” (Redaksi
Kompas Jawa Tengah. 2005).
Visi Kompas adalah manusia dan kemanusiaan. Oleh karena itu manusia
dan kemanusiaan senantiasa diusahakan menjadi nafas pemberitaan dan
komentarnya. Hal ini mendorong Kompas selalu berusaha peka terhadap nasib
manusia dan berkeyakinan114. Sejak lepasnya Harian Kompas dari Partai Katolik
pada tahun 1973, Kompas tidak terikat pada kepentingan kelompok manapun.
Oleh sebab itu dalam pemberitaannya, Kompas bertindak untuk kepentingan
bangsa dan masyarakat secara mandiri tanpa dipengaruhi oleh kelompok-
kelompok tertentu.115
Misi Harian Kompas adalah: “Mengantisipasi dan merespon dinamika
masyarakat secara professional, sekaligus memberi arah perubahan dengan
menyediakan dan menyebarluaskan informasi yang terpercaya.” (Redaksi
Kompas Jawa Tengah. 2005).
Misi yang diemban Harian Kompas adalah mengasah nurani dan membuat
cerdas. Artinya pemberitaan Kompas selalu mementingkan dimensi kemanusiaan,
hak asasi manusia, keadilan, kesetaraan, anti diskriminasi dan perlawanan
terhadap penindasan.116
3. Struktur Organisasi Perusahaan
Harian Kompas sebagai organisasi pers memiliki struktur organisasi untuk
114 Gigih Mardana, “Analisis Framing Komunikasi Politik Elite NU di Harian Kompas dan Republika
Periode November-Desember 2004”) (Surakarta: Universitas Sebelas Maret, 2005) Skripsi di Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik hal: 73
115 Ibid, hal: 74 116 Ibid, hal: 75
xci
memudahkan komando pelaksanaan kerja dan pembagian tugas. Kemampuan
manajerial di bidang masing-masing dituntut untuk bekerja secara efektif dan
efisien dengan harapan fungsi dan perannya dapat berjalan secara optimal.
Susunan Organisasi Perusahaan Harian Kompas (sampai Oktober 2009), yakni:
Pemimpin Umum : Jacob Oetama
Wakil Pemimpin Umum : Agung Adiprasetyo, St. Sularto
Pemimpin Redaksi/Penanggung Jawab : Rikard Bagun
Wakil Pemimpin Redaksi : Trias Kuncahyono, Taufik Mihardja
Redaktur Senior : Ninok Leksono
Redaktur Pelaksana : Budiman Tanuredjo
Wakil Redaktur Pelaksana : Andi Suruji, James Luhulima
Sekretaris Redaksi : Retno Bintarti, M. Nasir
4. Kebijakan Keredaksian117
Kebijakan keredaksian merupakan pedoman dalam menentukan kejadian
yang patut diangkat oleh surat kabar untuk menjadi bahan berita. Kebijakan
redaksi Kompas harus sesuai dengan visi misi yang menjunjung nilai demokrasi
dan kemanusiaan. Ungkapan jurnalistik yang digunakan Kompas adalah "liput
dua belah pihak, dengar pihak lain jangan-jangan masih ada kemungkinan lain".
Dengan ungkapan tersebut, pemberitaan yang dimuat tetap menjunjung
demokrasi, kemanusiaan, dan asas praduga tak bersalah. Kompas tidak membuat
kebijakan persentase volume atau isi yang akan dimuat baik politik, ekonomi dan
117 Redaksi Kompas Biro Jawa Tengah, Op.Cit
xcii
berita lainnya. Jadi, yang aktual dan bermanfaat bagi pembacanya itulah yang
dimuat.
Secara kongkret, kebijakan keredaksian Kompas dijabarkan sebagai
berikut :
1) Kompas merupakan media yang tidak berpihak pada suatu golongan,
partai, maupun agama tertentu.
2) Tidak membenarkan mengkritik seseorang mengenai hal-hal yang bersifat
pribadi.
3) Tidak membenarkan bagi wartawannya untuk mencari keuntungan pribadi.
4) Menggunakan sistem check dan recheck dalam berita.
5) Tidak memihak salah satu golongan, kelompok, ataupun pihak-pihak
tertentu dalam menangani kasus-kasus pemberitaan.
6) Menghargai hal-hal yang bersifat off-the record.
7) Menghormati hak jawab dalam bentuk berita maupun surat pembaca.
8) Kompas tidak akan memuat hal-hal yang berbau SARA.
5. Rubrikasi
Rubrikasi Harian Kompas jika dilihat berdasar pembagian halamannya
dapat dilihat dalam berikut.
Tabel 2.2 Rubrikasi Harian Umum Kompas
Hal Edisi Reguler Hal Edisi Minggu
1 Topik Utama Umum 1-2 Topik Utama Umum
2-3,5 Politik dan Hukum 3 Nusantara
xciii
4 Halaman Khusus Munas
Golkar
4 Metropolitan
6-7 Opini: Artikel, Tajuk Rencana,
Surat Pembaca, Susunan
Redaksi
56 Internasional
8-9 Internasional 6-10 Olahraga
12 Pendidikan dan Kebudayaan 9 Iklan
13 Lingkungan dan Kesehatan 11 Buku
14 Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi
12
Persona, Surat Pembaca,
Susunan Redaksi, Kehidupan
15 Sambungan berita hal. 1 13 TTS, Kontak Jodoh dan
Kartun
16 Sosok 14 Iklan
17-18
20-21
Bisnis dan Investasi 15 Foto Pekan ini
19 Iklan 17-18 Kehidupan
22-24 Nusantara 19 Urban
25-27 Metropolitan 20 Urban Sosialita
28-31 Olahraga 21 Urban Hiburan
32 Nama dan Peristiwa 22 Urban Santap
A-H Edisi Daerah 23 Urban Desain
24-25 Kompas Anak
26-28 Seni
29-30 Keluarga
31 Konsultasi
32 Nama dan Peristiwa
Sumber: Olahan peneliti
xciv
6. Oplah, Sirkulasi, dan Profil Pembaca
Harian Kompas adalah surat kabar nasional yang memiliki oplah tertinggi
di Indonesia. Bahkan pada tahun 2008 saja diperkirakan pembaca surat kabar ini
mencapai 2,25 juta orang di seluruh Indonesia. Secara rinci perkembangan oplah
Harian Kompas dapat dilihat dalam tabel berikut.
Tabel 2.3 Oplah Kompas per Lima Tahun
Tahun Jumlah Oplah 1965 23.267
1970 77.316
1975 203.925
1980 317.495
1985 467.364
1990 520.328
1995 523.497
Sumber: Pusat Dokumentasi dan Redaksi Kompas118
Secara umum, penyebaran Harian Kompas di Indonesia cukup merata.
Akan tetapi target pemasaran utama tetap di Pulau Jawa dan terutama Jakarta.
Lihat tabel berikut.
Tabel 2.4 Sirkulasi Harian Kompas Tahun 1993
Wilayah Jumlah
Jakarta 294.004
Jawa Barat 61.272
Sumatera 64.852
118 Data ini dikutip dari Haris Firdaus, “Konstruksi Kompas dalam dua blog” (Analisis Wacana Kritis tentang
Konstruksi Harian Umum Kompas dalam Blog Kompas Inside dan Inside Kompas) (Surakarta: Universitas Sebelas Maret, 2009) Skripsi di Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik hal: 101
xcv
Jawa Tengah 16.518
Jawa Timur 17.910
Indonesia Timur 36.880
Sumber: Pusat Dokumentasi dan Redaksi Kompas119
Sedang segmentasi pembaca Harian Kompas dapat dilihat berdasar tiga
kategori, yakni dari segi pendidikan, segi penghasilan, serta segi pekerjaannya.
Simak tabel berikut.
Tabel 2.5 Segmentasi Kompas dari Segi Pendidikan
Tingkat Pendidikan Prosentase Pembaca
Pendidikan lulus SD 0,7%
Pendidikan lulus SLTP 2,49%
Pendidikan lulus SLTA 24,95%
Pendidikan lulus D1/D2 10,52%
Sarjana Muda 8,2%
S1 45,64%
S2 7,5%
Sumber: Nielsen Media Research, 1999120
Tabel 2.6
Segmentasi Kompas dari Segi Penghasilan Tingkat Penghasilan Prosentase Pembaca
< 250.000 1,1%
250.000-350.000 5,1%
350.000-500.000 6,7%
500.000-750.000 16,3%
750.000-1.000.000 16,7%
1.000.000-1.500.000 20,9%
> 1.500.000 33,2%
119 Ibid, hal: 102 120 Ibid, hal: 103
xcvi
Sumber: Nielsen Media Research, 1999121
Tabel 2.7 Segmentasi Kompas dari Segi Pekerjaan
Jenis Pekerjaan Prosentase Pembaca
White Collar 34%
Blue Collar 12%
Ibu Rumah Tangga 12%
Mahasiswa 23%
Lain-lain 14%
Sumber: Nielsen Media Research, 1999122
Dari ketiga tabel tersebut tampak bahwa pembaca Harian Kompas
sebagian besar adalah lulusan Sarjana yang memiliki intelektualitas cukup tinggi.
Sedang rata-rata tertinggi penghasilan pembaca Kompas didominasi oleh pembaca
yang penghasilannya tinggi, yakni diatas 1,5 juta rupiah. Sementara itu, sebagian
besar pembaca Kompas merupakan pekerja kantoran dengan level yang tinggi
atau eksekutif. Jadi, kesimpulannya, pembaca Harian Kompas lebih didominasi
oleh kalangan menengah keatas yang memiliki pekerjaan mapan dan penghasilan
yang cukup tinggi.
121 Ibid 122 Ibid, hal: 104
xcvii
BAB III
PARTAI GOLKAR
DALAM BINGKAI MEDIA DAN KHALAYAK
Dalam bab ini peneliti mengupas bagaimana konstruksi Partai Golongan
Karya (Golkar) dalam pemberitaan Musyawarah Nasional (Munas) Partai Golkar
VIII pada Harian Kompas serta pendapat pembaca Kompas mengenai
pemberitaan tersebut. Struktur penulisan bab ini terdiri dari tiga sub bab. Sub bab
pertama diawali deskripsi sub tema atau topik yang menjadi wacana berita di
Kompas. Setelah itu, peneliti mengungkapkan pandangan Kompas mengenai
pelaksanaan Munas Partai Golkar dari pemberitaan di Kompas berdasar masing-
masing sub tema. Peneliti memperjelas frame Kompas dengan menampilkan hasil
wawancara dengan pihak Kompas dan analisis pada dua berita. Selanjutnya, pada
sub bab kedua peneliti menjabarkan bingkai tentang Partai Golkar dan pola
pemberitaan pada Harian Kompas yang terbentuk oleh pembaca Kompas. Setelah
menemukan frame media dan frame pembaca, pada sub bab terakhir bab ini
peneliti menggabungkan dan membandingkan kedua frame tersebut.
A. Pola Pemberitaan Munas Golkar ke VIII pada
Harian Kompas
Munas Partai Golkar VIII secara berkesinambungan mendapat tempat
dalam pemberitaan rubrik Politik dan Hukum serta beberapa kali menempati
headline Harian Kompas. Bahkan pada saat pelaksanaan munas, Kompas
xcviii
memberikan halaman khusus untuk pemberitaan Munas Partai Golkar tepatnya
pada halaman 4.
Rangkaian pemberitaan mengenai Munas Partai Golkar di Kompas
sebenarnya sudah muncul sejak bulan Agustus 2009, diawali dengan berita
mengenai salah satu tokoh Partai Golkar, Surya Paloh yang tidak mau terburu-
buru untuk mencalonkan diri menjadi Ketua Umum Partai Golkar. Keputusan
tersebut dikarenakan Surya Paloh memilih untuk legowo dan menunggu calon lain
mengajukan diri terlebih dahulu. Itulah awal pemberitaan mengenai persaingan
antar calon Ketua Umum Partai Golkar yang di ekspos Kompas.
Selanjutnya, Kompas secara rutin menyajikan perkembangan dan proses
yang terjadi jelang munas. Pemberitaan berkisar pada persiapan teknis, liputan
seminar serta diskusi tentang Partai Golkar, pernyataan dan aktivitas politik
masing-masing calon ketua umum, hingga persaingan dan perang opini antar
calon. Akan tetapi pemberitaan yang paling menonjol disajikan Kompas pada
bulan Oktober. Pasalnya, suasana jelang munas pada saat itu semakin memanas,
dimana masing-masing calon ketua umum juga semakin berani untuk saling
menyerang di media.
Pada hari pelaksanaan munas, 5-8 Oktober 2009, Kompas sempat
menampilkan wawancara eksklusif dengan empat calon ketua umum, laporan
hasil rapat paripurna, kericuhan yang terjadi, serta beberapa feature menarik yang
merupakan sisi lain pagelaran munas. Kompas juga melakukan jajak pendapat
mengenai citra Partai Golkar dalam masyarakat. Seusai munas berakhir, Kompas
xcix
tidak berhenti menampilkan follow up aktivitas politik Partai Golkar terutama
tentang sikap politis Partai Golkar terhadap pemerintahan SBY.
Berita mengenai Munas Partai Golkar VIII di Harian Kompas pada bulan
Oktober 2009 secara keseluruhan berjumlah 22 berita. Namun, peneliti hanya
melakukan analisis terhadap 10 berita untuk mempermudah merumuskan frame
media. Daftar berita Munas Partai Golkar Harian Kompas pada bulan Oktober
2009 dapat dilihat dalam tabel berikut.
Tabel 3.1 Daftar Berita Bulan Oktober 2009
No Judul Berita Tgl Terbit
(2009)
Hal
1 Tommy Optimis Bisa Salip Ditikungan 1 Oktober 3
2 Penentuan Nasib Partai 2 Oktober 3
3 Munas Tak Diundur
*Kalla Minta Tak ada Hura-hura
3 Oktober 5
4 Musyawarah Nasional di Riau Titik Kritis Golkar 5 Oktober 1
5 Beringin Berkembang atau Tumbang 5 Oktober 4
6 Perebutan Pimpinan Munas
*Munas Golkar Akan Berlangsung Sengit
6 Oktober 4
7 Partai Golkar Diminta Awasi Pemerintah 6 Oktober 1
8 Uang Jalan, Pesawat Carteran, sampai Program
Miliaran
6 Oktober 4
9 Pengawasan Bukan Jatuhkan Pemerintah
*Yudhoyono Peringatkan Sikap Kalla
7 Oktober 4
10 Politik Uang Tercium Kuat di Munas 7 Oktober Headline
11 “Dinamika Politik” yang Bisa Mempermalukan 7 Oktober 4
12 Sidang Ricuh, 4 Calon Ketua Umum Lolos
Verifikasi
8 Oktober 1
c
13 Repotnya Musyawarah, Repotnya Pekanbaru 8 Oktober 4
14 Pernyataan Presiden Disesalkan 8 Oktober 4
15 Selidiki Politik Uang di Munas
*Lebih dari Separuh Pemilik Suara adalah Pejabat
Negara
8 Oktober 4
16 Kekuasaan, Uang, dan Jaringan di Antara Empat
Calon
9 Oktober 4
17 DPP Golkar Terbentuk
*Aburizal: Oposisi atau Koalisi Bukan Pilihan
Ideologis
9 Okober 4
18 Golkar Belum Berubah Sejak Orde Baru 9 Oktober 4
19 Akomodasi Lawan Politik 10 Oktober 4
20 Golkar Merapat ke Pemerintah
*PAN Masih Bisa Beroposisi
12 Oktober 2
21 Partai Golkar diharapkan Tetap Komit Jadi
Oposisi
12 Oktober 5
22 Aburizal Bakrie Akan Fokus Urusi Partai Golkar 15 Oktober
Dari 22 berita tersebut, peneliti menentukan lima sub tema yang merujuk
pada tema utama penelitian. Lima sub tema diambil berdasarkan topik utama dari
masing-masing frame berita yang ditentukan peneliti. Umumnya dalam satu berita
terdapat satu topik berita, tetapi tidak jarang pula pada berita-berita tertentu
terdapat dua topik dalam satu berita. Dalam kasus tersebut, peneliti mengambil
topik yang paling dominan diantaranya. Lima sub tema tersebut antara lain:
a. Persaingan perebutan kursi Ketua Umum Partai
Golkar
b. Arti penting Munas Partai Golkar ke VIII
ci
c. Isu politik uang dan pragmatisme dalam pemilihan Ketua Umum
d. Indikasi Rekayasa dan Kericuhan pada Pelaksanaan
Munas
e. Posisi Politik Partai Golkar Pasca Munas
Sedangkan 10 berita yang dipilih oleh peneliti untuk dianalisis lebih lanjut
antara lain sebagai berikut.
Tabel 3.2 Daftar Berita yang Dianalisis
No Judul Berita Tgl Terbit
(2009)
Hal
1 Penentuan Nasib Partai 2 Oktober 3
2 Musyawarah Nasional di Riau Titik Kritis Golkar 5 Oktober 1
3 Perebutan Pimpinan Munas
*Munas Golkar Akan Berlangsung Sengit
6 Oktober 4
4 Uang Jalan, Pesawat Carteran, sampai Program
Miliaran
6 Oktober 4
5 Politik Uang Tercium Kuat di Munas 7 Oktober Headline
6 “Dinamika Politik” yang Bisa Mempermalukan 7 Oktober 4
7 Selidiki Politik Uang di Munas
*Lebih dari Separuh Pemilik Suara adalah Pejabat
Negara
8 Oktober 4
8 Kekuasaan, Uang, dan Jaringan di Antara Empat
Calon
9 Oktober 4
9 Golkar Belum Berubah Sejak Orde Baru 9 Oktober 4
10 Partai Golkar Diharapkan Tetap Komit Jadi
Oposisi
12 Oktober 3
cii
1. Persaingan Perebutan Kursi Ketua Umum Partai
Golkar
Munas Partai Golkar VIII pada tahun 2009 memang terasa berbeda
karena salah satu agenda penting munas yakni pemilihan ketua umum partai
dilakukan dengan sistem pemilihan langsung. Pemilihan langsung ini berarti
Dewan Pimpinan Pusat (DPP), masing-masing Dewan Pengurus Daerah
(DPD), baik DPD tingkat I dan DPD tingkat II, memiliki hak pilih terhadap
salah satu kandidat yang dinyatakan lolos seleksi menjadi calon ketua umum.
Sebelumnya, Partai Golkar menerapkan tata cara pemilihan ketua
umum dengan sistem konvensi, setelah itu calon ketua umum baru dipilih
kembali pada munas. Secara harfiah, konvensi dapat diartikan sebagai aturan-
aturan yang berdasarkan tradisi atau kesepakatan tidak tertulis.123 Bagi Partai
Golkar, konvensi merupakan upaya membangun citra partai yakni dengan
memperbaiki mekanisme proses rekruitmen pimpinannya secara
demokratis.124 Namun kenyataannya, konvensi justru memperlihatkan adanya
kompleksitas power struggle antar faksi di tingkat elite partai. Peta faksi tidak
jelas dan berubah sesuai kepentingannya, misalnya pada Munas Partai Golkar
2004 dimana pemilihan ketua umum dimenangkan kelompok pragmatis
kekuasaan.125
Berdasarkan keputusan Panitia Pengarah (Steering Comittee) Munas
Partai Golkar VIII yang diketuai Syamsul Mu’arif, DPP Golkar, DPD I, DPD
123 B.N Marbun, SH, Kamus Politik, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2002, hal: 297 124 Akbar Tandjung, The Golkar Way: Survival Partai Golkar di Tengah Turbulensi Politik Era
Transisi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2007, hal: 19 125 Ibid, hal: 19-20
ciii
II serta organisasi pendiri atau yang didirikan Golkar, masing-masing
memiliki satu suara. Jadi kalkulasinya sebagai berikut: DPP 1 suara, DPD I 33
suara, DPD II 494 suara, dan organisasi massa (ormas) 10 suara, sehingga
total jumlah suara yaitu 538 suara. Meskipun kemudian, jumlah suara DPD II
hanya 492 suara karena hak suara DPD II Kepulauan Seribu dan DPD II
Langkat dianulir karena terdapat surat mandat ganda.
Sistem pemilihan langsung ternyata membawa dua konsekuensi.
Pertama, kader Partai Golkar bebas menyalonkan diri menjadi ketua umum
partai, dengan catatan bahwa dirinya memenuhi persyaratan yang ada.
Persyaratan ketua umum telah diatur dalam Anggaran Dasar (AD) dan
Anggaran Rumah Tangga (ART) Kepengurusan Partai Golkar periode 2004-
2009, antara lain126:
a. Pernah menjadi Pengurus Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar dan atau sekurang-kurangnya pernah menjadi Pengurus Dewan Pimpinan Daerah Partai Golkar Provinsi dan/atau serta pernah menjadi Pengurus Organisasi Pendiri dan yang didirikan selama 1 (satu) periode penuh dan didukung oleh minimal 30 % hak suara.
b. Aktif terus menerus menjadi anggota Partai Golkar sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun dan tidak pernah menjadi anggota partai politik lain.
c. Pernah mengikuti pendidikan dan latihan kader. d. Memiliki prestasi, dedikasi, disiplin, loyalitas dan
tidak tercela. e. Memiliki kapabilitas dan akseptabilitas. f. Tidak pernah terlibat G 30 S PKI. g. Bersedia meluangkan waktu dan sanggup bekerjasama secara kolektif
dalam Partai Golkar.
126 www.golkar.or.id akses tanggal 28 Oktober 2009 pukul 19.04
civ
Awalnya ada empat orang calon yang diunggulkan dan memenuhi
persyaratan tersebut, yakni Aburizal Bakrie, Ferry Mursyidan Baldan, Surya
Paloh, dan Yuddy Chrisnandi. Ferry Mursyidan dan Yuddy Chrisnandi
tercatat pernah menjadi pengurus DPP Partai Golkar, Aburizal Bakrie pernah
menjabat menjadi pengurus Musyawarah Kerja Gotong Royong (MKGR),
sementara Surya Paloh pernah menjadi pengurus Angkatan Muda
Pembaharuan Indonesia (AMPI). Akan tetapi dalam perkembangannya, kader
partai yang tidak memenuhi persyaratan pun menyalonkan diri atau sekedar
mewacanakan diri menyalon sebagai Ketua Umum Partai Golkar.
Sebut saja dua orang dari trah keluarga Cendana (sebutan untuk
keluarga mantan Presiden Soeharto), Siti Hardiyanti Rukmana atau Tutut
Soeharto dan Hutomo Mandala Putra atau Tommy Soeharto. Tutut masih
tercatat sebagai anggota Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB), sehingga Tutut
tidak diperbolehkan menyalonkan diri menjadi Ketua Umum Partai Golkar.
Sedangkan Tommy pernah terjerat kasus hukum sebagai aktor intelektual
pembunuhan berencana Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita, sehingga bisa
dipersoalkan dari sisi PDLT (Prestasi, Dedikasi, Loyalitas, dan Tidak tercela).
Namun dalam pelaksanaan munas, Tommy dinyatakan lolos persyaratan
tersebut. Dengan demikian, empat calon yang akhirnya maju, yakni Aburizal
Bakrie, Surya Paloh, Yuddy Chrisnandi, dan Tommy Soeharto, kesemuanya
lolos seleksi.
Kehadiran Yuddy Chrisnandi dan Tommy Soeharto dalam bursa calon
Ketua Umum Partai Golkar dinilai cukup berani dan mendobrak tradisi.
cv
Pasalnya, Partai Golkar belum pernah diketuai oleh golongan muda,
khususnya kader yang berusia dibawah 50 tahun. Bahkan sebagian pimpinan
Partai Golkar masih diisi oleh golongan senior, termasuk diantaranya Surya
Paloh dan Aburizal Bakrie.
Konsekuensi kedua, persaingan antar calon ketua umum semakin jelas
dan nyata. Hal ini mengingatkan pada kampanye Pemilihan Umum (Pemilu)
Presiden dan Wakil Presiden, Pemilihan Gubernur (Pilgub), ataupun
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), dimana aktor politik (calon dan tim
suksesnya) melakukan komunikasi politik. Menurut Dan Nimmo dalam
bukunya Komunikasi Politik: Khalayak dan Efek, pelaku kampanye –kandidat,
penasihat, konsultan dan komunikator politik lain– berusaha mengatur kesan
pemberi suara dengan mengungkapkan lambang-lambang yang akan
menghimbau untuk memilih mereka. Kesan ini bisa diwujudkan dalam opini
dan pernyataan di media, orasi, ataupun tindakan.
Kaitannya dalam pelaksanaan Munas Partai Golkar, karena pemilihan
berdasarkan akumulasi suara dari masing-masing daerah, para calon ketua
umum melakukan kampanye serta mencari dukungan ke daerah. Mereka
mengklaim bahwa daerah-daerah yang mereka kunjungi mendukung
pencalonan dirinya. Dukungan daerah ini diwujudkan dalam surat pernyataan
dukungan ataupun pernyataan langsung kepada calon ketua umum. Klaim
dukungan ini dimaksudkan untuk memberikan informasi kepada daerah lain,
baik yang sudah menentukan pilihan atau belum, bahwa calon ketua umum
tersebut memiliki pendukung yang banyak sehingga layak untuk dipilih.
cvi
Tidak hanya klaim dukungan, para calon ketua umum pun saling
serang opini secara terbuka di media massa. Terlebih lagi Aburizal Bakrie dan
Surya Paloh menggunakan stasiun televisi milik mereka, yakni TV One dan
Metro TV, untuk melakukan kampanye. Bahkan TV One dan Metro TV dalam
siaran live, menyiarkan prosesi pemilihan dan perhitungan suara Ketua Umum
Partai Golkar di munas. Selain klaim dukungan, berbagai isu seperti politik
uang, kompetensi calon, dan posisi Partai Golkar dalam pemerintahan pun
menjadi wacana strategis untuk saling menyerang.
Salah satu isu sensitif yang menjadi perdebatan dalam pelaksanaan
munas adalah adanya politik uang. Tidak mau dituding melakukan politik
transaksional, para calon ketua umum mencoba menawarkan sesuatu yang
berbeda agar mendapat simpati dari pendukungnya. Aburizal Bakrie dan
Surya Paloh berlomba-lomba memberi fasilitas, seperti pelesiran,
menyediakan tempat penginapan, hingga memberi pesawat carteran untuk
berangkat ke Pekanbaru. Aburizal Bakrie juga sempat menyelenggarakan
turnamen golf “ARB Cup” pada saat jeda pelaksanaan munas. Sedangkan
Tommy Soeharto mencoba menawarkan program pemberdayaan rakyat
“Trikarya” dengan total nilai mencapai miliaran rupiah. Sementara Yuddy
Chrisnandi tidak banyak memberikan janji, dirinya justru lebih sering
mengkritik perilaku Aburizal Bakrie dan Surya Paloh di media massa. Sikap
elite politik yang demikian mau tidak mau memunculkan perpecahan dalam
tubuh partai.
cvii
Seperti yang dikatakan Redi Panuju, untuk mempertahankan dan
menguatkan kekuasaan, orang yang memiliki kekuasaan akan melakukan
asosiasi-asosiasi (pengelompokan). Banyak istilah untuk menamai kelompok
ini, misalnya ruling elitee, power elitee, strategic elitee, ruling class, dan
sebagainya.127 Demikian pula dalam internal Partai Golkar mulai tumbuh
faksi-faksi yang mendukung calon tertentu. Dukungan ini ternyata terstruktur
dan terorganisir, hingga ada penyebutan “tim sukses” untuk kelompok
tersebut. Misalkan saja, Aburizal Bakrie yang mendapat dukungan dari tokoh
sekaliber Akbar Tandjung dan Agung Laksono, Surya Paloh yang didampingi
Ariady Ahmad, Jefrey Geovani, dan Zainal Bintang, Tommy Soeharto yang
mendapat dukungan Marwah Daud Ibrahim dan Justiani, dan Yuddy
Chrisnandi yang mendapat simpati Indra J Piliang, Emil Tanri Abeng, dan
Renny Djayusman. Tokoh-tokoh Partai Golkar ini kemudian ikut arus masuk
dalam persaingan pemilihan ketua umum partai dan membentuk blok-blok
tersendiri.
Untuk lebih jelasnya, persaingan ini dapat dilihat dalam teks berita
yang disajikan di Harian Kompas dan pendapat Kompas sendiri mengenai
persaingan tersebut.
1.1 Persaingan Perebutan Kursi Ketua Umum Partai
Golkar dalam Pandangan Kompas
127 Redi Panuju, Oposisi Demokrasi dan Kemakmuran Rakyat, Pustaka Book Publisher,
Yogyakarta, 2009, hal: 28-29
cviii
Dua berita di Kompas bertema persaingan perebutan kursi Ketua
Umum Partai Golkar yang dianalisis peneliti diantaranya sebagai berikut.
Tabel 3.3 Berita Bertema Persaingan Perebutan Kursi Ketua Umum
No Judul Berita Tgl Terbit
1 Uang Jalan, Pesawat Carteran, sampai Program Miliaran (1) 6 Okt 2009
2 Kekuasaan, Uang, dan Jaringan di Antara Empat Calon (2) 9 Okt 2009
Berita pertama (1) berjudul “Uang Jalan, Pesawat Carteran, sampai
Program Miliaran…” yang ditulis oleh Sutta Dharmasaputra, sedangkan
berita kedua (2) berjudul “Kekuasaan, Uang, dan Jaringan di Antara Empat
Calon…” ditulis oleh Suhartono. Kedua berita ini sama-sama merupakan
feature news, yakni feature berita yang mendampingi berita utama. Feature ini
dapat dikenali melalui bentuk kalimat judul yang lebih flexibel, yakni ditulis
dengan huruf miring dan tiga titik dibelakang judul. Tiga titik dibelakang
judul mengesankan bahwa kalimat tersebut belum selesai karena ada sesuatu
yang akan diungkapkan lebih lanjut dalam tubuh berita. Kalimat seperti ini
membuat pembaca merasa penasaran dan terdorong untuk membaca
kelanjutan isi berita.
Pada berita (1), Kompas menulis judul berita dengan unsur what atau
apa yang dilakukan oleh subyek, dalam hal ini apa yang diberikan atau
ditawarkan subyek (calon Ketua Umum Partai Golkar) kepada pendukungnya
dalam proses kampanye. Dalam penulisan judul, “apa” yang diberikan oleh
subyek (uang, pesawat carteran, dan program miliaran) merupakan sesuatu
cix
yang dianggap berlebihan, kemudian dipertegas pada paragraf lead dengan
penambahan unsur skrip subyek (who) dan tempat (where).
Jorjoran. Barangkali itu istilah tepat untuk menggambarkan persaingan antarkandidat calon Ketua Umum Partai Golkar 2009-2014 yang berlangsung di Musyawarah Nasional VIII di Pekanbaru, Riau.
Kompas memilih menggunakan kata jorjoran dalam lead tersebut.
Jorjoran berarti berlaku royal, rela mengeluarkan banyak uang untuk sesuatu
yang tidak terlalu dibutuhkan, serta bersikap berlebihan untuk saling
menyaingi. Jorjoran merupakan kata yang dianggap Kompas dapat
menggambarkan perilaku boros beberapa calon ketua umum. Seperti yang
diungkapkan wartawan Kompas, Sutta Dharmasaputra. Sutta menekankan
bahwa upaya penggalangan dukungan banyak dilakukan dengan perilaku
pragmatis, salah satunya dengan jorjoran uang tersebut.
“Persaingan antarkandidat terjadi sangat ketat. Masing-masing kandidat menggunakan berbagai cara untuk meraih dukungan sebanyak-banyaknya. Sayangnya, persaingan itu lebih banyak terjadi pada upaya penggalangan dukungan dengan cara-cara pragmatis ketimbang programatis.” (Wawancara dengan Sutta Dharmasaputra)
Unsur sintaksis berupa narasumber pada berita (1) yang dipilih
Kompas adalah narasumber dari masing-masing tim sukses atau pendukung
calon ketua umum. Pertama, Sugeng Suparwoto (tim sukses Surya Paloh),
Akbar Tandjung (tim sukses Aburizal Bakrie), Justiani (tim sukses Tommy
Soeharto), dan Tafip Syamsul Hadi (tim sukses Yuddy Chrisnandi). Hal ini
merupakan perwujudan dari kebijakan keredaksian Kompas yang berusaha
untuk tidak memihak salah satu pihak, sehingga harus meliput kedua belah
pihak–dalam hal ini cover all sides. Kompas tidak menyebutkan gelar atau
cx
jabatan dari masing-masing narasumber tersebut, tetapi setiap narasumber
diberi label “tim sukses” atau “tim (nama calon)”.
Sementara latar pada berita (1), Kompas bercerita tentang usaha yang
dilakukan keempat kandidat untuk menarik massa pendukungnya. Pemaparan
masing-masing calon tidak didasarkan Kompas pada urutan kandidat
berdasarkan huruf abjad nama depan. Kompas mengurutkan penceritaan dari
kandidat yang dianggap paling banyak mengeluarkan dana dalam proses
kampanye ini, yakni Surya Paloh, Aburizal Bakrie, Tommy Soeharto, baru
kemudian Yuddy Chrisnandi.
Dari keempat calon yang ada, Surya Paloh dan Aburizal Bakrie yang paling memanjakan para pendukungnya. Informasi yang berkembang di munas, kedua orang ini yang paling berpeluang menjadi ketua umum.
Hal ini didasarkan pada pandangan Kompas bahwa persaingan antar
calon ketua umum memang tidak imbang. Hanya Surya Paloh dan Aburizal
Bakrie yang benar-benar berjuang untuk memenangkan kompetisi ketua
umum. Seperti yang dikatakan oleh Wartawan Kompas, Suhartono.
“Persaingan yang sebenarnya hanya terjadi di Surya paloh dan Ical menjelang dan di saat pemilihan. Sebetulnya persaingan mereka seimbang, hanya bedanya Ical ditopang dengan materi yang jauh lebih besar dan dukungan perangkat kekuasaan penguasa yang berada di baliknya. Adapun Surya topangan materi juga besar, akan tetapi tidak ada perangkat kekuasaan yang ikut mendukung.” (Wawancara dengan Suhartono)
Penekanan kandidat yang paling boros pada awal berita mengesankan
bahwa Kompas ingin menonjolkan kekuatan uang yang dimiliki dua orang
kandidat terkuat. Suhartono mengungkapkan hal tersebut, meskipun
sebenarnya masyarakat secara luas kurang simpatik terhadap Surya Paloh
maupun Aburizal Bakrie.
cxi
“Surya paloh dan Ical secara ekonomi dan latar belakang politik cukup baik, namun kedekatnnya dengan penguasa dalam bidang ekonomi dan politik cukup kuat, sehingga mengurangi dukungan masyarakat luas.” (Wawancara dengan Suhartono)
Sementara itu, kesederhanaan kampanye Yuddy Chrisnandi
ditempatkan paling akhir. Hal ini membuat perbedaan antar kandidat tampak
sangat kentara dan ironis. Pada level retoris, penonjolan terhadap
kesederhanaan Yuddy juga diwujudkan Kompas dalam bentuk grafis, yakni
insert yang bertuliskan kalimat ”Dari empat kandidat, hanya Yuddy
Chrisnandi yang mengeluarkan biaya paling sedikit” dengan jenis dan ukuran
huruf yang sangat besar pada tengah berita.
Secara keseluruhan, berita ini banyak menggunakan kata yang
memiliki unsur retoris, diantaranya adalah leksikon “pelesiran”, metafora
“politik dagang sapi”, dan “kalau tidak mukti (berkuasa), akan mati”.
“Pelesiran” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai
bersenang-senang, mencari kesenangan, berjalan-jalan, bertamasya, atau
pesiar. Penggunaan kata ini menunjukkan bahwa calon ketua umum ingin
memanjakan para pendukungnya dengan aktivitas lain diluar dunia politik.
Sedangkan kata “politik dagang sapi” menunjukkan bahwa ada tawar
menawar suara dalam pemilihan ketua umum layaknya seperti transaksi jual-
beli. Sementara metafora “kalau tidak mukti (berkuasa), akan mati”, memberi
penekanan bahwa perilaku calon ketua umum yang menggunakan kekuatan
uang untuk memperoleh kekuasaan bertujuan agar dirinya tetap eksis dan
bertahan dalam kompetisi politik. Seperti yang diungkapkan George Wilhelm
cxii
Frederich Hegel, bahwa kekuasaan politik yang sebenarnya adalah kekuasaan
yang terorganisir dari suatu golongan untuk menindas golongan yang lain128.
Diakhir latar berita tersebut, Kompas memberikan sebuah kesimpulan
terhadap perilaku keempat kandidat ketua umum tersebut. Karena berita ini
bukan merupakan jenis berita straight news, maka wartawan bisa
memasukkan opininya didalam berita, meskipun opini tersebut harus
berdasarkan fakta yang ia tulis dalam berita tersebut.
Banyak yang berkata bahwa saat ini perjuangan politik memang tidak bisa dipisahkan dengan kekuasaan logistik. Karena itu, ada pepatah Jawa yang mengatakan, kalau tidak mukti (berkuasa), akan mati. Namun Golkar hendaknya mempertimbangkan unsur etik, selain logistik, kalau tidak ingin partai ini mendidik kadernya menjadi sangat pragmatis.
Kalimat tersebut memberi penegasan bahwa Kompas memilih sikap
tidak sepakat dengan perilaku kandidat yang rela mengeluarkan banyak uang
dalam proses kampanye pemilihan ketua umum. Penggunaan uang ditakutkan
akan mendorong kader atau anggota partai memiliki orientasi lain sehingga
dalam jangka panjang bisa membentuk partai ini menjadi partai pragmatis.
Hal ini dikuatkan dengan pernyataan Sutta Dharma yang menjelaskan tentang
kebijakan keredaksionalan Kompas.
“Kebijakan pemberitaan selalu ada. Namun, kebijakan itu tidak mengarahkan pada dukungan pada kandidat tertentu tapi pada kebijakan bangsa yang lebih besar, misalnya, mendorong partai semakin transparan, ada persaingan sehat, partai bersih dari KKN.” (Wawancara dengan SUtta Dharmasaputra)
Sementara untuk berita (2), judul berita menggunakan unsur what
(apa) dan who (subyek). Unsur “apa” disini merupakan sesuatu yang
seharusnya dimiliki oleh subyek (calon ketua umum) dalam proses pemilihan
128 Ibid, hal: 33
cxiii
Ketua Umum Partai Golkar, yakni kekuasaan, uang dan jaringan. Penjelasan
lebih lanjut dapat dilihat dalam lead berita.
Idealisme dan kegigihan berjuang saja rasanya tidak cukup untuk meraih kursi nomor satu di Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar.
Lead tersebut mempertegas bahwa kekuasaan, uang, dan jaringan
(yang tertulis dalam judul) adalah hal yang lebih dibutuhkan calon ketua
umum dibandingkan idealisme dan kegigihan sang calon (yang tertulis dalam
lead). Realita tersebut digambarkan Kompas sebagai sebuah ironi dari
keseluruhan proses pemilihan ketua umum. Pasalnya, Kompas memiliki
pandangan dan kriteria tersendiri untuk calon Ketua Umum Partai Golkar
yang ideal, seperti yang diungkapkan Suhartono dan Sutta Dharma berikut.
“Tahu sejarah dan organisasi serta misi dan visi golkar, berjuang untuk memajukan golkar dan perekonomian bangsanya, selain memperbaiki dan meningkatkan gengsi partai golkar, punya integritas dan misi dan visi kenegaraan, memiliki kemampuan ekonomi dan punya latar belakang politik yang matang.” (Wawancara dengan Suhartono)
“Sosok yang menjadi panutan pemilih Golkar di 2014 atau bahkan
panutan bangsa secara keseluruhan. Dia harus kader terbaik partai, memiliki rekam jejak yang bagus, dan visi yang jelas dalam membawa partai dan bangsa lima tahun ke depan.” (Wawancara dengan Sutta Dharmasaputra)
Namun kriteria tersebut tidak tampak dari masing-masing calon, karena yang
menonjol dan paling menentukan adalah kekuatan dari luar diri calon ketua
umum seperti kekuasaan, uang, dan jaringan.
Berita (2) memiliki beberapa perbedaan dengan berita (1). Pertama,
berita (2) tidak memiliki unsur sintaksis narasumber. Berita dibuat seperti
opini, namun sarat dengan data-data yang faktual. Perbedaan selanjutnya, alur
berita (2) adalah kebalikan dari berita (1). Jika pada berita (1) dipaparkan
cxiv
profil atau cerita mulai dari kandidat yang paling kaya dan boros, maka pada
berita (2) cerita kandidat dimulai dari kandidat yang dianggap paling gagal
dalam hasil pemilihan ketua umum, sementara kandidat yang berhasil menang
ditempatkan pada akhir berita.
Sama halnya dengan berita (1), pembalikkan alur berita pada berita (2)
tampak menunjukkan perbandingan yang kontras dari masing-masing calon
ketua umum. Pembandingan ini, menurut Dan Nimmo, merupakan salah satu
strategi untuk menunjukkan gejala ketidakberesan namun tetap menjaga
obyektivitas dan etika media. Pada bagian awal berita, penceritaan Yuddy
sebagai pihak yang kalah dikesankan sebagai sesuatu yang wajar karena
Yuddy memang tidak memiliki modal yang memadai untuk memenangkan
kompetisi. Seperti yang diungkapkan Suhartono.
“…Yuddy Chrisnandi cukup lumayan, meski secara ekonomi tidak bisa diandalkan untuk membangun partai yang kuat secara ekonomi, punya visi dan misi politik yang baik, namun masih kurang pengalaman. Masih dibutuhkan lima tahun lagi untuk matang dan dewasa secara politik.” (Wawancara dengan Suhartono)
Pandangan Kompas ini diwujudkan dalam kalimat di teks berita (2). Seperti yang dialami sosok muda Yuddy Chrisnandi. Dia tak punya
uang untuk “membeli” suara, kecuali untuk mendukung operasional kampanyenya yang kecil-kecilan. Apalagi kekuatan dan kekuasaan untuk “menekan” para pemilihnya. Ia juga tak punya jaringan ke struktur Partai Golkar untuk bisa memperluas dukungan.
Dalam kalimat tersebut, Kompas menggunakan leksikon “membeli”
untuk gabungan kata “suara” dan kata “menekan” untuk gabungan kata “para
pemilihnya”. Kata “membeli” dan “menekan” ditulis menggunakan tanda
kutip sehingga tampak lebih menonjol. Namun, penonjolan tersebut terkesan
cxv
sebagai sesuatu yang negatif. Menurut Nimmo, untuk menunjukkan
obyektivitas media, kata yang dianggap sensitif dan menyudutkan salah satu
pihak biasanya ditulis dengan tanda kutip.
Kata “membeli” dianggap sensitif karena sesuatu yang dibeli–dalam
hal ini hak suara anggota–secara ideal tidak bisa dipaksakan karena berasal
dari keinginan pribadi. Jika suara dapat dibeli, maka pilihan tersebut hanya
berdasarkan besarnya kompensasi (uang) yang diterima. Sementara kata
“menekan” berarti melakukan tindakan agar para pemilik suara tidak memilih
berdasar hati nurani tetapi karena sesuatu dari luar individu. Pada berita
Kompas diatas, Yuddy Chrisnandi digambarkan tidak melakukan hal-hal
tercela tersebut. Sikap Kompas yang ingin membandingkan calon ketua umum
nampak jelas pada penceritaan Aburizal Bakrie sebagai pihak yang menang
menjadi Ketua Umum Partai Golkar berikut.
Adapun Surya Paloh, meskipun untuk persoalan dana dan kekuatan tak ada masalah, ia tak memiliki apa yang dipunyai pesaingnya, Aburizal Bakrie yaitu segalanya. Sebut saja mulai dari jaringan, uang, hingga dukungan kekuasaan yang menyatu dan terkoordinasi.
Penekanan pada kalimat ini yaitu pada perbandingan antara Surya
Paloh dan Aburizal Bakrie, dimana dikatakan bahwa Aburizal Bakrie
memiliki semua kategori yang dibutuhkan untuk menjadi ketua umum. Oleh
karena Aburizal memiliki segalanya, maka Aburizal Bakrie-lah yang bisa
memenangkan persaingan.
Sementara dari unsur retoris, berita ini menggunakan foto yang cukup
besar pada bagian atas berita. Foto tersebut menggambarkan beberapa peserta
rapat yang memilih untuk tidur pada saat penghitungan suara dilakukan. Hal
cxvi
ini mengesankan bahwa proses pemilihan ketua umum partai tidak menjadi
persoalan yang penting bagi sebagian peserta rapat. Padahal, keempat calon
ketua umum sudah melakukan berbagai cara untuk menarik simpati dan
dukungan agar memenangkan persaingan tersebut.
Sikap Kompas juga terlihat pada kalimat bagian akhir berita berikut.
Munas VIII Partai Golkar berakhir semalam. Namun kesibukan belum akan berakhir. Seorang petinggi Partai Golkar menyarankan Kompas untuk memantau transaksi bank pada Kamis siang. Apakah itu mengindikasikan adanya politik uang seperti yang tercium kuat selama Munas berlangsung? Wallahualam…
Kalimat pertanyaan pada akhir berita tersebut menunjukkan bahwa
berdasar informasi orang dalam Partai Golkar, Kompas mencium adanya
politik uang yang mewarnai bursa pemilihan Ketua Umum Partai Golkar.
Namun permasalahan tersebut seakan dibiarkan Kompas menjadi sebuah
misteri. Hal ini dibuktikan dengan pilihan kata “Wallahualam” yang berarti
“hanya Allah yang tahu” dan tiga titik dibelakangnya. Artinya, persoalan ini
dianggap Kompas sangat sulit untuk ditelusuri dan dibongkar, sehingga hanya
Tuhan yang mengetahui siapa yang benar dan siapa yang bersalah.
2. Arti penting Munas Partai Golkar ke VIII
Partai Golkar tengah terpuruk karena kekalahan dua kali pemilu pada
tahun 2009. Beberapa pihak menyatakan kegagalan tersebut merupakan
implikasi dari multi krisis yang tengah dialami partai ini. Para pinisepuh Partai
Golkar seperti mantan Menteri Keuangan JB Sumarlin, mantan Menteri
Tenaga Kerja Cosmas Batubara, hingga mantan Menteri Urusan Peranan
cxvii
Wanita Sulasikin Murpratomo menyebutkan, ada beberapa alasan mengapa
jumlah suara Partai Golkar terus mengalami penurunan129.
Pertama, pimpinan Partai Golkar tidak mampu lagi merangkul seluruh
pengurus dan pendukungnya hingga ke tingkat akar rumput di pelosok desa.
Padahal, pemilih Partai Golkar yang loyal justru berasal dari masyarakat di
daerah pedesaan. Faisal H Basri dan Indra J Piliang dalam artikelnya yang
berjudul “Sepuluh Memorandum untuk Golkar-Orde Baru” menuliskan,
partai ini masih membutuhkan komunitas masyarakat di daerah untuk
mengumpulkan pendukung. Pasalnya jika terjadi penolakan di tingkat pusat
atau Jakarta, Partai Golkar biasanya menggunakan strategi bermain isu
kedaerahan untuk mempertahankan posisi politiknya130. Kedua, Partai Golkar
tidak memiliki tokoh partai yang menjadi panutan seluruh kader, seperti
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di Partai Demokrat, Megawati di Partai
Demokrasi Indonesia Pembangunan (PDIP), Amien Rais di Partai Amanat
Nasional (PAN), atau di tubuh Partai Golkar sendiri pada era orde baru
Soeharto. Ketiga, Partai Golkar kini dinilai telah kehilangan ideologinya dan
tidak mampu bertahan dalam kompetisi partai politik di Indonesia.
Maka dari itu, Munas Partai Golkar VIII menjadi momentum penting
yang harus dimanfaatkan partai. Agenda munas, seperti hasil evaluasi laporan
pertanggungjawaban kepemimpinan Jusuf Kalla (JK) dan ketua umum partai
yang terpilih akan berdampak besar untuk masa depan Partai Golkar.
129 Lihat Selengkapnya dalam Kompas, Musyawarah Nasional di Riau Titik Kritis Golkar, edisi 5
Oktober 2009 130 http://groups.yahoo.com/group/bubarkangolkar/message/348 akses data 16 November 2009
pukul 16.23
cxviii
Pengamat politik Eep Syaefullah Fatah mengutarakan ada dua poin penting
yang harus dicapai dalam pelaksanaan munas kali ini.131 Pertama, kejelasan
rekonsiliasi dan reposisi Golkar periode 2009-2014. Kedua, pembentukan
karakter Golkar, karena menurut Eep, terjadi perdebatan antara kelompok
yang oportunis–yakni pihak-pihak yang hanya ingin mengambil keuntungan
untuk diri sendiri tanpa berpegang pada prinsip-prinsip tertentu132–dengan
kelompok yang berkeinginan berjuang. Pernyataan Eep tersebut tidak salah,
pelaksanaan munas diwarnai persaingan antar kelompok. Munas tidak bisa
dielakkan dari keributan antar peserta munas yang ditengarai memiliki
kepentingan masing-masing. Untuk lebih jelasnya, arti penting munas dapat
dilihat dalam teks berita yang disajikan di Kompas sebagai berikut.
2.1 Arti penting Munas Partai Golkar ke VIII dalam
Pandangan Kompas
Berita di Kompas yang bertema Arti penting Munas Partai Golkar ke
VIII diantaranya adalah sebagai berikut.
Tabel 3.4 Berita Bertema Arti Penting Munas Partai Golkar VIII
No Judul Berita Tgl Terbit
1 Penentuan Nasib Partai (3) 2 Oktober
2 Musyawarah Nasional di Riau Titik Kritis Golkar (4) 5 Oktober
131 Selengkapnya lihat Kompas, Golkar Harus Manfaatkan Munas untuk Kebangkitan, terbit 9
September 2009 132 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Usaha, Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Cetakan kedua, Balai Pustaka, Jakarta, 1989, hal: 628
cxix
Berita (3) dan berita (4) sama-sama merupakan berita soft news.
Persamaan lain dari dua berita ini karena keduanya merupakan rangkuman
pendapat mengenai Partai Golkar dari para ahli. Jika berita (3) berisi ragam
pendapat para pengamat politik pada saat pelaksanaan sebuah acara diskusi
tentang Partai Golkar, maka berita (4) adalah rangkuman pendapat yang
dikumpulkan Kompas dari para pinisepuh atau senior Partai Golkar.
Judul pada berita (3), “Penentuan Nasib Partai”, merupakan
penegasan bahwa munas VIII memang merupakan momentum yang sangat
menentukan bagi hidup mati Partai Golkar. Hal tersebut dikuatkan kembali
pada penjelasan lead berita yang menggunakan unsur skrip yang cukup
lengkap yakni what (apa), when (waktu), where (tempat), dan who (siapa).
Musyawarah Nasional VIII Partai Golkar di Pekanbaru, Riau, 5-9 Oktober 2009 akan menjadi penentuan nasib partai itu pada masa depan. Yaitu apakah Golkar akan kembali merebut kejayaan seperti pada era Orde Baru atau semakin terpuruk.
Sintaksis narasumber yang ditulis Kompas cukup banyak, yakni Wakil
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Golkar yang juga pendukung Aburizal
Bakrie, Rully Chairul Azwar, kader Partai Golkar yang juga pendukung
Yuddy Chrisnandi, Indra J Piliang, Pengamat Lingkaran Survey Kebijakan
yang juga pendukung Surya Paloh, Sunarto Ciptohardjono, Anggota Dewan
Penasihat Partai Golkar Sultan Hamengku Buwono X, dan Yuddy Chrisnandi.
Alur berita pada berita (3) lebih banyak mengevaluasi kekurangan
Partai Golkar, sehingga momentum munas harus dijadikan patokan untuk
mengembalikan kejayaan partai. Perbaikan Partai Golkar ini utamanya dengan
pemilihan ketua umum yang sesuai dengan kebutuhan partai.
cxx
“Permasalahannya sekarang adalah siapa calon pemimpin yang karakternya paling sesuai dengan kebutuhan Golkar?” kata Rully Chaerul Azwar.
Menurut Wartawan Kompas Suhartono, ada dua karakter calon ketua
umum yang bertolak belakang dan membuat munas menjadi sangat penting
untuk diberitakan.
“…Prosesi suksesi dari calon ketum golkar didukung penguasa (SBY) versus calon independen Golkar yang mewakili oposisi (rakyat).” (Wawancara dengan Suhartono)
Selanjutnya Kompas menuliskan, pemilihan Ketua Umum Partai
Golkar ini terbentur oleh beberapa permasalahan internal. Pertama, terdapat
tiga kelompok dominan yang ada di dalam Partai Golkar, yakni kelompok
yang menginginkan berkoalisi dengan pemerintah, kelompok yang
menginginkan menjadi oposan, dan kelompok muda yang memiliki idealisme
tinggi. Kedua, adanya motif yang berbeda ketika memilih ketua umum partai,
yakni memilih kandidat yang mampu memberi imbalan, kandidat yang
kemungkinan besar menang, atau kandidat yang akan membesarkan partai.
Sikap Kompas tampak menonjol pada subjudul “Bangun Idealisme”.
Dalam isi beritanya, Kompas menekankan pernyataan Sultan Hamengku
Buwono (HB) X bahwa permasalahan yang tengah menimpa Partai Golkar
sebenarnya karena telah hilangnya idealisme partai. Penyebabnya tidak lain
karena pragmatisme politik para kader dan anggota Partai Golkar yang
meresahkan. Maka, jika persoalan pragmatisme ini dapat dihapuskan, munas
bisa menjadi titik tolak kejayaan Partai Golkar pada pemilu mendatang.
cxxi
Anggota Dewan Penasehat Partai Golkar, Sultan Hamengku Buwono X menilai, Golkar harus bisa membangun idealisme sesuai keberadaan roh partai. Pragmatisme yang berkembang telah melemahkan idealisme partai.
Konsolidasi internal membangun idealisme menjadi salah satu tantangan terbesar Partai Golkar yang harus bisa dipikul pengurus baru. …dst
Sementara itu, berita (4) menggambarkan bahwa pelaksanaan munas
kali ini adalah pengharapan baru agar Partai Golkar bisa bangkit dari titik
kritisnya. Bagian judul berita, “Musyawarah Nasional di Riau Titik Kritis
Golkar”, memberi kesan bahwa Partai Golkar saat sebelum munas tengah
berada pada kondisi memrihatinkan. Untuk itu, momentum nasional partai
seperti munas ini menjadi penentu eksistensi partai ini di dunia politik.
Leksikon “kritis” yang digunakan Kompas mengandung arti bahwa
posisi politik Partai Golkar usai pemilu presiden seperti berada diantara hidup
dan mati. Analoginya, jika mampu melalui masa berat ini, Partai Golkar pasti
kembali berjaya, namun jika tidak sanggup bertahan, partai tertua di Indonesia
ini akan mati. Kekalahan Partai Golkar dalam pemilu presiden adalah
akumulasi permasalahan internal partai. Maka dari itu, hasil dari munas
diharapkan mampu membuat Partai Golkar melewati masa kritisnya.
Rendahnya perolehan suara Golongan Karya pada pemilihan umum Juli 2009 dinilai karena lemahnya kepemimpinan partai. Oleh karena itu, Munas Partai Golkar pada 5-8 Oktober 2009 di Pekanbaru Riau menjadi penting untuk melahirkan pemimpin baru yang kuat dan solid. Jika tidak, partai ini akan semakin terpuruk dalam pemilihan umum ke depan.
Unsur sintaksis narasumber yang digunakan Kompas cenderung
merupakan pihak-pihak netral yang tidak memiliki kepentingan tertentu di
munas. Mereka adalah JB Sumarlin (mantan Menteri Keuangan), Cosmas
cxxii
Batubara (mantan Menteri Tenaga Kerja), dan Sulasikin Murpratomo (mantan
Menteri Urusan Peranan Wanita).
Kompas membuat alur berita yang bersifat evaluatif, dimana
narasumber yang ditampilkan Kompas pada awalnya memberikan penilaian
terhadap kekurangan Partai Golkar selama ini. Akan tetapi pada bagian akhir,
terutama pada subjudul pertama “Masih diperhitungkan”, Kompas berusaha
menunjukkan sisi bahwa Partai Golkar sebenarnya masih punya harapan besar
untuk bangkit dari keterpurukan dan seharusnya tetap harus bertahan dengan
kekuatan yang dimiliki saat ini, misalnya dari sisi kualitas kader dan
pengalaman partai. Lihat potongan berita berikut.
Munculnya persaingan para calon ketua Partai Golkar dari kalangan mapan dan cukup dikenal masyarakat dalam Munas mendatang, menurut Cosmas, mengindikasikan bahwa Partai Golkar masih diperhitungkan sebagai pilihan sosial politik bangsa.
Hingga saat ini, menurut Sulasikin, Golkar adalah satu-satunya partai lama yang masih bertahan utuh. “Golkar jangan sampai mengikuti partai-partai lain yang mau dipecah. Meskipun didalam partai ada konflik kepentingan, partai harus tetap utuh,” ujarnya.
Namun pada kenyataannya, Sutta Dharma dan Suhartono merasa
sangat kecewa dengan tata cara dan peristiwa yang terjadi pada saat munas
berlangsung. Suhartono sebenarnya mengharapkan munas berlangsung
demokratis dan tidak ada intervensi dari penguasa agar harapan-harapan
terhadap munas dapat tercapai. Namun yang terjadi justru sebaliknya.
“Mengecewakan, karena intervensi penguasa melalui berbagai cara seperti tekanan kepada pimpinan partai golkar di daerah yang menjabat pimpinan, intervensi di panitia munas golkar, kehadiran konsultan politik Fox, yang pernah meng-arrange SBY-Boediono saat pilpres, tekanan pejabat militer, termasuk kehadiran sekretaris kabinet Sudi Silalahi di malam pemilihan ketum golkar. Kehadiran Sudi baru diketahui beberapa jam setelah pemilihan usai.” (Wawancara dengan Suhartono)
cxxiii
Pernyataan hampir serupa diungkapkan Sutta Dharma. Sutta berharap,
Partai Golkar sebagai partai tua seharusnya bisa memanfaatkan Munas sebagai
proses demokrasi yang bisa dicontoh partai lain. Namun pada pelaksanaannya,
momentum tersebut tidak dimanfaatkan secara maksimal oleh Partai Golkar.
“Golkar sebagai partai yang memiliki pengalaman panjang seharusnya memelopori menjadikan Munas partai sebagai puncak pelaksanaan berdemokrasi yang sesungguhnya. Munas seharusnya dimulai dari proses berdemokrasi dari tingkat ranting, cabang, daerah, wilayah, sampai ke pusat. Pembicaraan bukan dimulai dari orang tapi dimulai dari evaluasi, perumusan tantangan bangsa ke depan dan program untuk menjawab tantangan tersebut. Berdasarkan itu semua, figur pimpinan baru dipilih, bukan karena faktor perkoncoan, primordialisme, melanggengkan kekuasaan, atau uang.” (Wawancara dengan Sutta Dharmasaputra)
3. Isu Politik Uang dan Pragmatisme dalam Pemilihan Ketua Umum
Bukan rahasia jika Partai Golkar identik dengan politik uang. Image
tersebut melekat pada Partai Golkar dan khususnya mantan Presiden Soeharto
pada saat pemerintahan orde baru. Pada masa itu, KKN (Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme) dan suap menyuap adalah hal yang dianggap lumrah demi
pencapaian dan pelanggengan kekuasaan. Sayangnya, politik uang atau politik
transaksional masih menjadi isu sentral dalam setiap aktivitas politik Partai
Golkar. Padahal Partai Golkar telah menyatakan perubahannya dalam
“Paradigma Baru Partai Golkar” pada tahun 1999. Tindakan yang menyangkut
uang dalam proses pencapaian kekuasaan seperti ini, disebut Firmanzah dalam
buku Mengelola Partai Politik: Komunikasi dan Positioning Ideologi Politik
di Era Demokrasi, dapat dikategorikan sebagai perilaku pragmatisme politik.
cxxiv
Jika ditilik dari aspek bahasa, pragmatisme dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia berarti:133
1. Kepercayaan bahwa kebenaran atau nilai suatu ajaran (paham, doktrin, gagasan, pernyataan, ucapan, dan sebagainya) bergantung pada (diukur dari) penerapannya bagi kepentingan manusia
2. Paham yang menyatakan bahwa segala sesuatu tidak tetap, melainkan tumbuh dan berubah terus
3. Pandangan yang memberi penjelasan yang berguna terhadap suatu permasalahan dengan melihat sebab akibat, berdasarkan kenyataan untuk tujuan praktis
4. Gerakan di Amerika Serikat (Bidang Filsafat) yang menentang ajaran atau teori tertentu (yang mutlak serta idealism yang bersumber pada teori yang kabur) Dari pengertian tersebut, pragmatisme berarti keyakinan bahwa segala
sesuatu yang dimaksudkan untuk kebaikan bersama bisa dicapai dengan
perilaku, tindakan, dan sikap yang mengutamakan segi kepraktisan dan
kegunaan (kemanfaatan). Dalam ranah politik, pragmatisme merupakan
sesuatu tidak ideal, pasalnya pencapaian tujuan dilakukan dengan segala cara,
karena terfokus pada hasil yang sesuai dengan keinginan seseorang atau
sekelompok orang. Dengan demikian, pragmatisme adalah jalan pintas, tidak
melalui prosedur berdasar etika politik yang dihormati bersama, sehingga
memiliki kecenderungan untuk merusak tatanan sistem politik yang ada.
Dalam konteks Munas Partai Golkar, isu pragmatisme politik santer
terdengar terutama dalam agenda pemilihan ketua umum partai. Yuddy
Chrisnandi dalam beberapa kali kesempatan menyebut bahwa calon ketua
umum lain sering memberi “gizi” untuk daerah yang dikunjunginya. Secara
133 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Usaha, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cetakan kedua, Balai Pustaka, Jakarta, 1989
cxxv
denotatif, “gizi” berarti zat makanan pokok yang diperlukan bagi pertumbuhan
dan kesehatan badan.134 Sementara “Gizi” yang dimaksud Yuddy tidak lain
adalah uang yang dibagi-bagikan agar daerah tersebut memberikan suara
kepada sang calon ketua umum. Informasi yang beredar pada pelaksanaan
munas, salah satu calon ketua umum mampu memberikan Rp 500 juta hingga
1 miliar untuk satu suara. Yuddy bahkan menuntut Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) segera melakukan pemeriksaan dan penyelidikan terhadap
pemilik suara di munas yang sebagian besar adalah pejabat negara. Berdasar
Undang Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2009 Pasal 12 B, Pegawai Negeri
Sipil (PNS) dan penyelenggara negara diwajibkan untuk melaporkan
pemberian uang diatas Rp 10 juta kepada KPK135. Selanjutnya KPK yang
memutuskan apakah uang pemberian tersebut termasuk gratifikasi atau bukan.
Namun seperti sudah diduga, politik transaksional ini tidak bisa dibuktikan
dengan jelas kecuali hanya dari desas-desus pihak-pihak tertentu.
Sebenarnya secara terbuka para calon ketua umum berani menyatakan
mengeluarkan banyak dana dalam proses pencalonan. Namun mereka
menampik anggapan bahwa dana kampanye tersebut digunakan untuk
membeli suara. Aburizal dan Surya Paloh mengatakan bahwa mereka hanya
memberi santunan kepada daerah-daerah yang mereka kunjungi. Bantuan
tersebut merupakan uang pembinaan agar operasional DPD bisa berjalan baik,
bukan untuk membeli suara DPD yang bersangkutan.
134 Ibid, hal: 279 135 Selengkapnya lihat berita Kompas, Selidiki Politik Uang di Munas: Lebih dari Separuh
Pemilik Suara adalah Pejabat Negara, terbit 8 Oktober 2009
cxxvi
Disisi lain, jauh-jauh hari sebelum munas, Aburizal juga berjanji
memberikan dana abadi sebesar 1 triliun untuk kas Partai Golkar jika dirinya
terpilih menjadi ketua umum. Dana abadi tersebut akan digunakan untuk
membangun kantor DPP baru yang lebih representatif. Janji Aburizal ini
mendapat respon yang beragam dari kader partai. Sebagian pejabat Partai
Golkar menganggap saat ini Partai Golkar memang masih membutuhkan
orang kaya untuk membesarkan partai. Pengurus Partai Golkar tidak sedikit,
sehingga butuh penyokong kokoh untuk menghidupi organisasi. Gubernur
Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Muladi menyatakan, Partai
Golkar membutuhkan banyak uang untuk menggerakkan mesin partai di 500
daerah. Sebagai perbandingan, menurut Muladi, untuk membayar rekening
listrik kantor dan gaji pegawai DPP saja membutuhkan uang Rp 300 juta per
bulan.136 Namun sebagian lain, Yuddy diantaranya, menyatakan bahwa janji
Aburizal Bakrie tersebut justru memperkuat pragmatisme politik yang telah
ada dalam internal partai. Bahkan ketika Aburizal akhirnya menang dalam
pemilihan ketua umum, menurut Yuddy, hal itu menandakan idealisme dan
moral Partai Golkar telah mati karena kalah dengan uang.
Kompas beberapa kali membahas politik uang dan pragmatisme politik
partai ini dalam pemberitaannya. Berikut adalah gambaran isu politik uang
dan pragmatisme yang dibentuk oleh Kompas.
136 Lihat selengkapnya dalam Kompas, “Aburizal Bakrie Dinilai Tepat Jadi Ketua Umum”, edisi 5
Agustus 2009
cxxvii
3.1 Isu politik uang dan pragmatisme dalam
pemilihan Ketua Umum dalam Pandangan Kompas
Berita di Kompas yang bertema isu politik uang dan pragmatisme
dalam pemilihan Ketua Umum Partai Golkar diantaranya adalah sebagai
berikut.
cxxviii
Tabel 3.5
Berita Bertema Isu politik uang dan pragmatisme dalam pemilihan Ketua Umum Partai Golkar
No Judul Berita Tgl Terbit
1 Politik Uang Tercium Kuat di Munas (5) 7 Okt 2009
2 Selidiki Politik Uang di Munas
*Lebih dari Separuh Pemilik Suara adalah Pejabat Negara
(6)
8 Okt 2009
Kedua berita yang dianalisis pada sub tema ini merupakan jenis berita
straight news. Berita (5) yang berjudul “Politik Uang Tercium Kuat di
Munas” ditulis oleh dua wartawan, Sutta Dharmasaputra dan Suhartono.
Judul pada berita (5) menggunakan unsur what (apa) dan where (tempat).
Unsur skrip what yang tertulis menunjukkan bahwa ada indikasi terjadinya
politik uang pada pelaksanaan munas (where).
Indikasi politik uang tersebut berasal dari isu-isu yang beredar pada
saat pelaksanaan munas. Penjelasannya secara lebih lengkap dapat dilihat pada
paragraf lead berita berikut.
Menjelang pemilihan Ketua Umum Partai Golkar, Rabu (7/10) malam ini, praktik-praktik politik uang semakin kuat tercium. Informasi yang beredar, “harga” satu suara mencapai ratusan juta rupiah.
Leksikon “harga” yang digunakan Kompas mengesankan bahwa suara
pada hakikatnya tidak bisa dibeli. Harga semestinya ditujukan untuk barang
yang diperjual-belikan atau memiliki nilai jual. Penggunaan tanda kutip yang
diberikan Kompas menunjukkan keprihatinan Kompas pada transaksi jual beli
suara dan nominal harga yang sangat tinggi. Seperti yang disampaikan Dan
cxxix
Nimmo bahwa penulisan tanda kutip pada kata-kata tertentu menunjukkan
keberpihakan media meskipun tersembunyi dalam koridor etika obyektivitas.
Untuk unsur sintaksis narasumber pada berita ini, Kompas cukup
beragam dan lengkap sesuai prinsip cover both sides yang dikedepankan
Kompas, antara lain Yuddy Chrisnandi, Marwah Daud Ibrahim (disebut
sebagai tim sukses Tommy Soeharto), Ketua Sidang Paripurna Fadel
Muhammad, Zainal Bintang (disebut sebagai pendukung Surya Paloh), dan
Akbar Tandjung (disebut sebagai tim sukses Aburizal Bakrie). Dalam hal ini
Kompas, sesuai dengan kebijakan redaksinya, berusaha menggunakan
narasumber perwakilan dari masing-masing pihak yang berkepentingan.
Sikap Kompas justru terlihat dari pilihan alur dan pernyataan dari
masing-masing narasumber. Pada bagian awal berita, indikasi politik uang
disampaikan oleh dua calon ketua umum, yakni Yuddy Chrisnandi dan tim
sukses Tommy Soeharto, Marwah Daud Ibrahim. Kedua pihak ini
memberikan sinyal bahwa politik uang memang terjadi dalam proses
pelaksanaan munas, utamanya dalam proses pemilihan ketua umum, dan
mengklaim bahwa pihak mereka bukanlah yang melakukan hal tersebut.
Yuddy Chrisnandi, salah seorang calon ketua umum, dalam konferensi pers, Selasa, juga mengaku mendapatkan informasi yang valid soal adanya praktik politik uang itu. “Kami juga mendengar dari sumber-sumber yang layak dipercaya dan pendukung kami di DPD (Dewan Pimpinan Daerah), saat ini semakin kencang untuk memberi tawaran yang lebih besar,” kata Yuddy.
Marwah Daud Ibrahim dari tim sukses Hutomo Mandala Putra atau Tommy Soeharto juga mencium adanya praktik politik uang itu. Pihaknya pun mendapat desakan dari daerah untuk melakukan transaksi yang juga cukup besar. Namun, lanjutnya, Tommy tetap pada pendirian tidak akan terbawa arus melakukan transaksional suara.
cxxx
Kompas juga menampilkan metafora yang merupakan sindiran Yuddy
Chrisnandi terhadap pihak yang dirasanya melakukan politik transaksional ini.
“Saya ini elang, bukan bebek. Meskipun sendiri, tetap melayang-layang,” katanya.
Artinya, meskipun Yuddy tidak mendapatkan dukungan karena dirinya tidak
memberikan materi kepada peserta munas, namun Yuddy tetap merasa
percaya diri untuk berjuang seorang diri.
Setelah pernyataan tentang politik uang dari kedua calon ketua umum,
Kompas tidak memuat pernyataan atau pendapat dari pihak dua kandidat yang
lain, Aburizal Bakrie dan Surya Paloh. Pernyataan dari kubu Aburizal Bakrie
dan Surya Paloh ditempatkan Kompas pada sub judul kedua yakni
“Optimisme Satu Putaran” di bagian akhir berita. Namun pernyataan
keduanya tidak terkait dengan politik uang, mereka justru dipaparkan Kompas
tengah memberikan tanggapan mengenai pemandangan umum dukungan DPD
I dan organisasi massa (ormas) kepada mereka, serta mengklaim bahwa calon
yang mereka unggulkan bisa meraih kemenangan dalam satu putaran.
Alur yang dibuat Kompas tersebut menegaskan bahwa Kompas
memiliki pola pikir yang hampir serupa dengan Yuddy Chrisnandi dan
Tommy Soeharto, yakni politik uang memang ada dan diindikasikan
dilakukan oleh pihak Aburizal Bakrie dan Surya Paloh. Kompas tampak
memberikan sebuah penggambaran, sementara ada dua kandidat yang
mencemaskan politik uang, dua kandidat lain yang disinyalir melakukan hal
tersebut justru sibuk saling mengklaim dukungan. Keyakinan adanya politik
uang juga disampaikan oleh Wartawan Kompas Suhartono berikut.
cxxxi
“Sudah pasti, karena sejarah dan semangat kader golkar yang biasa terjebak dalam politik uang dan pragmatisme kepentingan.” (Wawancara dengan Suhartono)
Tidak berbeda jauh dengan berita (5), pada berita (6) juga
mencantumkan kata “politik uang” pada bagian judul. Bedanya, judul berita
(6) yang ditulis Sutta Dharmasaputra, Syahnan Rangkuti, dan Suhartono ini
dibuat seperti kalimat perintah untuk menyelidiki politik uang di munas.
Kesan yang hendak dimunculkan Kompas, sudah ada bukti bahwa pada munas
memang terjadi politik uang (bukan sekedar isu saja, seperti pada berita (5)
diatas). Wartawan Kompas, Sutta Dharmasaputra juga menegaskan bahwa
politik uang dalam Partai Golkar bukan hanya isu saja tetapi memang realita.
“Politik uang bukan lagi menjadi isu tapi sudah menjadi realita. Banyak kandidat menggelontorkan uang untuk mendapat dukungan. Mereka tidak berani melawan arus atau memberikan pendidikan politik pada kadernya. Panitia Munas juga tidak membuat peraturan yang ketat untuk mencegah terjadinya politik uang tapi justru menganggapnya sebagai hal yang lumrah dalam berpolitik dewasa ini. Tak pelak, Munas menjadi ajang bagi bagi uang ketimbang debat visi misi atau program brilian dan jauh ke depan.” (Wawancara dengan Sutta Dharmasaputra)
Kalimat perintah dalam penulisan berita di Kompas ini juga
ditunjukkan pada pilihan kata “harus” yang terdapat pada kalimat lead.
Komisi Pemberantasan Korupsi harus menyelidiki politik uang yang terjadi di Musyawarah Nasional Partai Golongan Karya di Pekanbaru, Riau, mengingat banyak peserta Munas merupakan pejabat Negara yang tidak boleh menerima gratifikasi.
Usulan Kompas agar KPK melakukan penyelidikan berawal dari
pernyataan Yuddy Chrisnandi. Dalam tulisan Kompas, Yuddy dinyatakan
sebagai pihak yang dirugikan dalam praktek politik uang di munas.
Penempatan Yuddy sebagai korban memberi kesan bahwa Yuddy adalah
“pahlawan” yang membuka tabir kecurangan di munas, sehingga
cxxxii
menimbulkan anggapan bahwa ada pihak lain yang dijadikan sebagai
“penjahat” atau pelaku politik uang. Hal ini merupakan salah satu bentuk
konstruksi media atau berita jika dilihat dari paradigma konstruktivisme
bahwa berita bukan refleksi dari realitas, yakni muncul pihak yang dipandang
sebagai ”pahlawan” atau pihak yang benar dan ada pula pihak yang berperan
sebagai ”musuh” atau pihak yang jahat.137
Unsur sintaksis narasumber yang digunakan Kompas antara lain
Yuddy Chrisnandi, Tommy Soeharto, Aburizal Bakrie, Sugeng Prawoto
(disebut sebagai tim sukses Surya Paloh), dan anggota DPR dari fraksi Partai
Golkar. Alur penceritaan dan penempatan narasumber pada berita (6) hampir
sama dengan berita (5). Pada bagian awal, Yuddy dan Tommy memberikan
pernyataannya mengenai politik uang yang terjadi pada saat munas. Yuddy,
diceritakan menuntut penyelidikan oleh KPK terhadap pejabat pemerintah
yang menjadi peserta munas. Sementara Tommy, menyatakan tidak mau
terjebak dalam pragmatisme politik yang tidak sesuai dengan prinsip dirinya.
Berbeda dengan berita (5), pada berita (6) Kompas menampilkan
pendapat dari dua pihak yang sebelumnya dikesankan sebagai pelaku politik
uang, yakni Aburizal Bakrie dan Surya Paloh. Namun pernyataan Aburizal
dan Surya Paloh yang tertulis di Kompas lebih ditekankan seperti jawaban
atau pembelaan diri atas isu politik uang yang dituduhkan kepada mereka.
Aburizal Bakrie yang juga Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, ketika ditanya soal politik uang hanya menyatakan bahwa setiap pengurus daerah membutuhkan dana untuk pembinaan. Aburizal yakin,
137 Selengkapnya Eriyanto, Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media, LKiS, Yogyakarta, 2002, hal: 24-25
cxxxiii
uang tidak bisa mempengaruhi suara karena pemberian suara dilakukan secara tertutup dan rahasia.
Sugeng Parwoto sebagai tim sukses Surya Paloh membantah keras adanya politik uang atau jual beli suara di munas. “Kita tidak punya kemampuan memberi uang sampai Rp 500 juta,” ujarnya.
Kedua pernyataan tersebut kemudian disanggah kembali oleh seorang
fungsionaris partai Golkar yang enggan disebutkan namanya. Kerahasiaan
narasumber ini, menurut wartawan Kompas Suhartono, karena Kompas selalu
menjaga narasumber yang tidak bersedia disebutkan identitas dirinya. Dalam
kebijakan keredaksian, Kompas menyebutnya sebagai kebijakan untuk
menghargai hal-hal yang bersifat off the record. Dirinya menuturkan sangat
prihatin dengan Partai Golkar yang masih menggunakan uang dalam proses
politik. Dari alur tersebut, Kompas mengambil sikap untuk mendesak pihak-
pihak tertentu bahwa sikap royal memberikan uang kepada daerah-daerah
adalah bentuk politik yang menghancurkan partai itu sendiri.
4. Indikasi Rekayasa dan Kericuhan pada
Pelaksanaan Munas
Selain tidak bisa lepas dari pengaruh uang, Partai Golkar juga dikenal
sebagai partai yang keputusan politiknya penuh dengan rekayasa. Model
rekayasa politik yang dikembangkan orde baru bermula dari adanya
kebutuhan jangka pendek untuk keluar dari krisis ekonomi dan politik warisan
cxxxiv
orde lama, serta kebutuhan jangka panjang untuk menciptakan pemerintahan
yang kuat dan berkemampuan menjalankan pembangunan yang sukses.138
Langkah-langkah politis orde baru selanjutnya yang kental dengan
nuansa rekayasa, menurut Redi Panuju, pertama, menarik banyak pemilih
dengan peraturan monoloyalitas Pegawai Negeri Sipil (PNS). Seluruh PNS
tidak memiliki pilihan lain selain masuk dan menyalurkan aspirasi politiknya
di Golkar. Kedua, kebijakan massa mengambang (floating mass) yang
membuat parpol tidak memiliki kesempatan merambah tingkat pedesaan
sehingga pendukungnya sangat terbatas. Golkar merupakan pengecualian,
karena Golkar bisa memanfaatkan jalur ABG (ABRI, Birokrat, Golkar) yang
dapat mempermudah akses kemanapun.139 Warisan “rekayasa” ala Soeharto
ini ternyata tetap dilestarikan Partai Golkar. Meskipun telah mendeklarasikan
perubahan pasca Reformasi 1998, masyarakat masih belum bisa menghapus
anggapan miring tersebut. Pasalnya, sebagian tokoh-tokoh Partai Golkar yang
masih bertahan hingga saat ini merupakan loyalis Golkar pada era Soeharto.
Dalam proses pelaksanaan Munas Partai Golkar, indikasi rekayasa
keputusan politik kembali tercium media. Sekali lagi, rekayasa diduga untuk
memuluskan jalan calon ketua umum agar lebih mudah memenangkan
kompetisi. Indikasi rekayasa sudah terendus sejak penentuan tata tertib sidang,
pemilihan pimpinan sidang, aturan dan tata cara pemilihan ketua umum,
hingga rekayasa kericuhan. Kericuhan dalam pelaksanaan munas ini dianggap
138 Selengkapnya lihat Eep Saefulloh Fatah, Pengkhianatan Demokrasi ala Orde Baru: Masalah
dan Masa Depan Demokrasi Terpimpin Konstitusional, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2000, hal: 23
139 Redi Panuju, Oposisi Demokrasi dan Kemakmuran Rakyat, Pustaka Book Publisher, Yogyakarta, 2009, hal: 39-40
cxxxv
kubu Surya Paloh sebagai sebuah kesengajaan untuk mempermalukan Partai
Golkar dan Jusuf Kalla (JK) sebagai Wakil Presiden pada waktu itu.
Keributan yang terjadi pada peserta munas disebabkan karena
beberapa hal. Pertama, permasalahan surat mandat ganda dari DPD II
Kepualuan Seribu, Langkat, dan Halmahera Tengah. Dalam pasal 6 soal
penentuan peserta munas disebutkan bahwa peserta harus membawa surat
mandat dari DPD masing-masing yang diputuskan dalam Musyawarah Daerah
(Musda).140 Surat mandat yang sah juga digunakan sebagai legitimasi hak
suara milik DPD yang bersangkutan untuk keperluan voting. Kedua, kesalahan
prosedur yang terjadi ketika peserta munas mulai melakukan pemungutan
suara pemilihan ketua umum. Hal ini menyebabkan banyak peserta munas
tersulut emosi dan pemungutan suara diulang kembali. Kedua permasalahan
ini membuat peserta munas melakukan protes dan interupsi. Para peserta
saling berteriak, berebut mic, berdiri, bahkan hampir terjadi baku hantam.
Indikasi rekayasa yang terjadi pada pelaksanaan Munas Partai Golkar
ternyata juga menjadi perhatian Kompas dan menempati beberapa space
pemberitaannya. Untuk lebih jelasnya, indikasi rekayasa dan kericuhan pada
pelaksanaan munas dalam teks berita yang disajikan di Harian Kompas dan
pendapat Kompas sendiri dapat dilihat sebagai berikut.
4.1 Indikasi Rekayasa dan Kericuhan pada
Pelaksanaan Munas dalam Pandangan Kompas
140 Kompas, “Perebutan Pimpinan Munas: Munas Golkar akan Berlangsung Sengit”, edisi 6
Oktober 2009
cxxxvi
Berita di Kompas yang bertema indikasi rekayasa dan kericuhan pada
pelaksanaan munas yang dianalisis, yaitu:
cxxxvii
Tabel 3.6
Berita Bertema Indikasi Rekayasa dan Kericuhan pada Pelaksanaan Munas
No Judul Berita Tgl Terbit
1 Perebutan Pimpinan Munas
*Munas Golkar Akan Berlangsung Sengit (7)
6 Okt 2009
2 “Dinamika Politik” yang Bisa Mempermalukan (8) 7 Okt 2009
Berita (7) yang berjudul “Perebutan Pimpinan Munas: Munas
Golkar Akan Berlangsung Sengit” ditulis oleh tiga wartawan, yakni Sutta
Dharmasaputra, Suhartono, dan Syahnan Rangkuti. Berita ini adalah jenis
berita straight news, sementara berita (8) berjudul “Dinamika Politik yang
Bisa Mempermalukan” yang ditulis oleh Suhartono adalah feature news.
Pada berita (7), judul berita menggunakan unsur what (apa), yakni
terjadinya perebutan pimpinan munas dan how (bagaimana) yakni perebutan
pimpinan tersebut diperkirakan berlangsung dengan sengit. Prediksi Kompas
bahwa pelaksanaan rapat dalam munas berlangsung dengan sengit juga
terpapar dalam lead berita.
Rapat Paripurna I Musyawarah Nasional VIII Partai Golongan Karya yang dimulai Senin (5/20) akan berlangsung seru dan sengit. Agenda yang krusial adalah pemilihan pimpinan sidang dan pengesahan tata tertib.
Kata “sengit” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti tajam,
keras, sangat menyakiti hati, pedas, hebat, dahsyat, dan bengis.141 Sehingga
leksikon “sengit” yang digunakan Kompas menunjukkan ada pihak-pihak
yang bertikai dan saling menyerang dalam pelaksanaan munas. Kata sengit
mengesankan bahwa pihak-pihak yang bersaing tersebut sama-sama kuat
141 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Usaha, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, cetakan kedua, Balai Pustaka, Jakarta, 1989, hal: 815
cxxxviii
sehingga sulit menentukan siapa yang akan memenangkan persaingan.
Dalam penjelasan lebih lanjut, Kompas berusaha memaparkan bahwa
ada banyak hal dalam pelaksanaan munas yang dapat memicu terjadinya
rekayasa politik. Rekayasa ini dengan mudah bisa menyulut kericuhan,
sehingga pelaksanaan munas diprediksi berlangsung ramai. Kata yang dapat
menunjukkan hal ini, salah satunya adalah metafora “bermuka dua”.
Peserta juga sudah terbelah, khususnya antara kubu Surya Paloh dan Aburizal Bakrie. Tiap-tiap kandidat juga mengklaim dapat dukungan yang besar sehingga diperkirakan banyak pengurus daerah yang “bermuka dua” atau banyak yang bukan pemegang mandat atau juga ada daerah yang terpecah dan masing-masing membuat mandat sendiri.
Metafora “bermuka dua” yang berarti tidak jujur atau tidak satu
pendiriannya ini ditujukan kepada pengurus daerah (DPD). Kompas
memberikan penegasan bahwa kepengurusan daerah sebenarnya memiliki
kepentingan ketika menjadi pendukung salah satu calon, misalnya untuk uang
atau kekuasaan. Jika DPD bisa memanfaatkan keadaan dengan mendukung
lebih dari satu calon, kemungkinan untuk mendapatkan apa yang menjadi
tujuan mereka menjadi lebih besar. Seperti pengakuan dari Wartawan Kompas
Suhartono yang meliput secara langsung di Pekanbaru Riau berikut.
“Pengakuan sejumlah ketua DPD Golkar yang juga merangkap bupati atau walikota. Kebetulan mereka bukan sosok yang bersih dalam memerintah sehingga gampang "ditekan" oleh aparat kejaksaan yang notabene dibawah pemerintah sehingga mereka bisa diatur untuk memilih calon yang dikehendaki oleh pemerintah. Dalam hal ini, untuk mendukung Aburizal Bakrie. Juga kehadian Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi waktu itu di salah satu ruang di acara pemilihan ketum golkar.” (Wawancara dengan Suhartono)
Prediksi adanya rekayasa dari internal peserta rapat juga dituliskan
Kompas dalam proses pemilihan pimpinan sidang dan penentuan aturan
cxxxix
pemilihan ketua umum partai berikut.
Selain itu, pemilihan orang dari DPP, DPD I, dan ormas pun akan ramai karena setiap kandidat akan berusaha memasukkan orangnya sebagai pimpinan Sidang.
Informasi yang berkembang, sudah ada upaya agar pemilik suara hanya bisa mengusulkan satu nama sehingga dari empat bakal calon yang ada bisa langsung dikerucutkan, bahkan bisa langsung ditetapkan menjadi ketua umum.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Wartawan Kompas, Sutta
Dharmasaputra yang melihat secara langsung pelaksanaan munas.
“Dalam politik, rekayasa adalah sebuah hal yang tidak bisa dihindari untuk mencapai sebuah tujuan. Karena itu, saya tidak dalam posisi yang anti terhadap sebuah proses rekayasa. Yang terpenting adalah tujuan dari rekayasa tersebut. Masing-masing tim sukses calon, pasti selalu menempatkan orang-orangnya untuk memuluskan pencapaian tujuan, mulai dari posisi panitia Munas, penentuan peserta Munas, Pimpinan Munas.” (Wawancara dengan Sutta Dharmasaputra)
Kompas tidak menggunakan unsur sintaksis narasumber berkompeten
untuk menjelaskan prediksi pelaksanaan munas, misalnya dari panitia
pelaksana atau panitia pengarah munas. Narasumber yang digunakan Kompas
justru fungsionaris Partai Golkar yang tidak mau disebutkan namanya. Hal ini
semakin menguatkan bahwa banyak hal yang disembunyikan pada
pelaksanaan munas, sehingga peserta munas yang memberikan keterangan
kepada media enggan untuk dipublikasikan identitasnya. Namun dilain pihak,
Suhartono mengakui memang banyak menemui kendala dalam mewawancarai
narasumber yang berkompeten. Pasalnya, banyak rapat yang tertutup bagi
wartawan dan basecamp kubu ketua umum yang jauh dan sulit ditempuh.
Sementara, berita (8) menggunakan judul khas feature, yakni
dituliskan dengan huruf miring. Dari judul tersebut, dapat menggambarkan
cxl
bahwa Kompas mengambil kesimpulan “dinamika politik” (leksikon dari
Kompas untuk menyebutkan kericuhan yang terjadi pada saat munas)
merupakan sesuatu yang justru bisa mempermalukan Partai Golkar sendiri.
Kesan yang muncul, Kompas tidak sepakat bahwa kericuhan yang terjadi
dianggap sebagai sebuah dinamika politik yang wajar. Hal ini dibuktikan
dengan pemberian tanda kutip pada kata “dinamika politik”.
Leksikon “dinamika politik” tersebut juga dikonfrontir dalam tubuh
berita tepatnya dalam pemilihan narasumber berita. Unsur sintaksis
narasumber yang digunakan Kompas, pertama, Wakil Ketua DPR Priyo Budi
Santoso (merupakan pendukung Aburizal Bakrie) menganggap bahwa
kericuhan yang terjadi adalah sesuatu yang wajar-wajar saja terjadi dalam
pelaksanaan sebuah musyawarah nasional.
“Dinamika politik itu biasa dan kita bisa menyelesaikannya. Tetapi jangan sampai mempermalukan Golkar dan terutama Pak Kalla sebagai Wapres,” ujarnya lagi
Pernyataan tersebut langsung dikonfrontir Kompas dengan jawaban
Ketua Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang juga merupakan tim
sukses Surya Paloh, Zainal Bintang. Pernyataan Zainal Bintang dituliskan
Kompas dengan memberikan gambaran singkat tentang penyebab kericuhan.
Zainal heran, sumber masalah yang menyebabkan kericuhan dalam sidang, selain mic dan perangkat tata suara (sound system) yang ngadat sehingga terjadi rebutan antar peserta, juga karena akumulasi persaingan antar pendukung calon ketua umum yang sudah terpolarisasi.”Jadi mereka pun gampang tersulut dengan keributan kecil,” katanya lagi.
Zainal menegaskan bahwa kericuhan yang terjadi bukan proses dinamika
politik yang dianggap wajar oleh Priyo Budi Santoso, karena diindikasikan
cxli
sengaja dilakukan pihak-pihak tertentu yang memiliki tujuan tertentu pula.
Menurut Sutta Dharma, pada dasarnya Partai Golkar adalah partai
yang tidak menghindari konflik namun tidak menyimpan konflik tersebut
dalam jangka panjang. Kericuhan yang terjadi dalam pelaksanaan munas
adalah wujud kekecewaan dan kemarahan pendukung yang tidak siap
menerima kekalahan. Pasalnya, kemenangan didapatkan dengan cara yang
tidak elegan dan tidak demokratis. Oleh karena itu, menurut Suhartono,
seluruh perilaku elite di dalam gedung memang patut diwaspadai, misalnya
dari hal yang paling kecil seperti ajakan pergi ke toilet.
“…pada saat itu, para pemilih bisa ditekan atau dipengaruhi dengan bujuk rayu atau lainnya dengan berbagai cara seperti diajak ke toilet dan disitulah dilakukan transaksi atau pembayaran tunai upah memilih calon.” (Wawancara dengan Suhartono)
Leksikon yang digunakan Kompas selanjutnya adalah gonjang-ganjing
yang terdapat pada lead berita. Gonjang ganjing mengandung makna bahwa
pelaksanaan munas ini penuh dengan permasalahan internal, sehingga terjadi
pergolakan dan kebingungan dari internal partai sendiri. Sedangkan untuk
latar berita, hampir setengah tubuh berita banyak digunakan Kompas untuk
mendeskripsikan kericuhan yang terjadi di ruang rapat.
Dari pemaparan tersebut, pada awal berita, Kompas tampak
menjelaskan kejadian dan pergolakan yang terjadi saat rapat berlangsung. Dua
narasumber yang berbeda pendapat dimunculkan, sehingga mengesankan
Kompas mengambil posisi aman dalam prinsip cover both sides. Namun
disatu sisi Kompas tampak lebih memberikan perhatian bagi pernyataan
Zainal Bintang yang menegaskan bahwa kericuhan yang terjadi bukan sesuatu
cxlii
yang wajar, namun sebagai implikasi dari kepentingan beberapa pihak yang
bisa mempermalukan partai ini.
5. Posisi Politik Partai Golkar Pasca Munas
Sejak Partai Demokrasi Indonesia Pembangunan (PDIP) kalah dalam
Pemilu 2004 dan Megawati menyatakan diri sebagai partai oposisi, peran
oposisi sering dibicarakan dalam arena politik beberapa tahun kebelakang.
Oposisi menurut Prof. Dr. A. Hoogerwerf disebabkan ketidakpuasan terhadap
kekuasaan yang terpolarisasi pada kelompok-kelompok yang mampu
menampung tuntutan-tuntutan (artikulasi kepentingan) mereka.142 Oposisi
PDIP pada saat itu, menurut fungsionaris PDIP Tjahjo Kumolo adalah oposisi
yang efektif, mengkritisi kebijakan pemerintah yang tidak memihak kepada
rakyat.143 Oposisi ini kemudian sering disebut sebagai oposisi konstruktif.
Karena Partai Golkar juga mengalami kekalahan yang sama seperti
PDIP, partai ini juga memiliki dua pilihan politis: bergabung dalam koalisi
besar atau menjadi oposisi pemerintah. Wacana yang berkembang awalnya
melalui pernyataan Jusuf Kalla (JK), Partai Golkar berniat menjadi oposisi. JK
menganggap kekalahannya sebagai capres pada pemilu 2009 adalah penanda
bahwa Partai Golkar tidak bisa lagi mendampingi pemerintahan SBY.
Peran oposisi sebenarnya masih menjadi perdebatan pelaku politik di
Indonesia. Pengamat politik Indra J Piliang menyatakan, perangkat
ketatanegaraan Indonesia yang menggunakan sistem kabinet presidensial 142 Redi Panuju, Oposisi Demokrasi dan Kemakmuran Rakyat, Pustaka Book Publisher,
Yogyakarta, 2009, hal: 31 143 Ibid, hal: 121
cxliii
didesain bukan untuk membentuk pemerintahan koalisi atau oposisi. Hanya
sistem kabinet parlementer yang dapat memunculkan kekuatan oposisi.144
Pelaksanaan munas pada tanggal 5-8 Oktober 2009 kemudian menjadi
sangat politis mengingat Presiden SBY baru melantik Kabinet Indonesia
Bersatu Jilid 2 pada 20 Oktober 2009. Pihak-pihak yang menginginkan koalisi
dengan pemerintah, diindikasikan berusaha mempercepat pelaksanaan munas.
Tujuannya agar setelah munas, kader Partai Golkar dapat dipilih SBY sebagai
menteri. Seperti diketahui, SBY masih menginginkan Partai Golkar bergabung
dalam koalisi besar Partai Demokrat hingga 2014. Menurut Redi Panuju145,
hal ini dikarenakan SBY dengan Partai Demokrat membutuhkan sekutu
karena masih terlalu lemah untuk dapat membendung kekuatan politik
eksternalnya.
Pada saat Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Partai Golkar, 12-13
Agustus 2009, Aburizal yang mendukung koalisi, berusaha memajukan
tanggal pelaksanaan munas pada akhir bulan September 2009. Usul Aburizal
ini ditolak, meskipun munas tetap dijadwalkan sebelum pelantikan kabinet.
Bahkan pada hari-hari menjelang munas berlangsung, calon ketua umum
pendukung oposisi, Yuddy Chrisnandi, masih sempat mengusulkan untuk
memundurkan munas kembali pada bulan Desember. Alasannya, untuk
menghormati dan ikut prihatin terhadap korban gempa Padang pada 30
September 2009 yang masih berduka.
144 Ibid, hal: 121-122 145 Ibid, hal: 47
cxliv
Pilihan koalisi atau oposisi Partai Golkar juga menjadi pembicaraan
politik nasional secara luas. Terlebih, dua calon kuat ketua umum partai ini
secara tegas menyatakan arah politik yang berbeda. Aburizal mendukung
koalisi, sementara Surya Paloh menginginkan Partai Golkar memosisikan diri
menjadi oposisi. Jika Partai Golkar memilih koalisi, dianggap Presiden Partai
Keadilan Sejahtera (PKS) Tifatul Sembiring, akan membuat parlemen menjadi
tumpul. Penyebabnya, fraksi-fraksi di DPR sebagian besar merupakan koalisi
besar pendukung SBY dan kader Partai Golkar Priyo Budi Santoso baru saja
terpilih sebagai Wakil Ketua DPR. Namun jika Partai Golkar mendeklarasikan
diri menjadi partai oposisi pemerintah, tentu ini merupakan hal baru bagi
partai yang identik dengan warna kuning ini. Pasalnya, Partai Golkar selalu
berada dalam lingkaran kekuasaan dan sangat asing dengan oposisi.
Terpilihnya Aburizal Bakrie menjadi titik tolak penentuan koalisi
Partai Golkar bersama Partai Demokrat dalam pemerintahan. Empat kader
Partai Golkar akhirnya mendapat kehormatan untuk masuk dalam Kabinet
Indonesia Bersatu jilid 2, diantaranya Menteri Koordinator Kesejahteraan
Rakyat (Menko Kesra) Agung Laksono, Menteri Perindustrian M.S Hidayat,
Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad, Menteri Negara Badan
Usaha Milik Negara Mustafa Abubakar.
5.1 Posisi Politik Partai Golkar Pasca Munas dalam
Pandangan Kompas
Berita di Kompas yang bertema Posisi Politik Partai Golkar Pasca
Munas yang dianalisis peneliti diantaranya sebagai berikut.
cxlv
cxlvi
Tabel 3.7
Berita Bertema Posisi Politik Partai Golkar Pasca Munas
No Judul Berita Tgl Terbit
1 Golkar Belum Berubah Sejak Orde Baru (9) 9 Okt 2009
2 Partai Golkar Diharapkan Tetap Komit Jadi Oposisi (10) 12 Okt 2009
Berita (9) yang berjudul “Golkar Belum Berubah Sejak Orde Baru”
dan berita (10) yang berjudul “Partai Golkar Diharapkan Tetap Komit
Jadi Oposisi” sama-sama merupakan jenis berita straight news. Kedua berita
ini diterbitkan setelah prosesi Munas Partai Golkar VIII usai. Oleh karena itu,
isi pemberitaannya menyoroti hasil dan keputusan politik terutama
menyangkut posisi politis Partai Golkar dalam pemerintahan 2009-2014 yang
dirumuskan pada saat munas.
Untuk berita (9), pembahasan berita secara umum ingin berfokus pada
pelaksanaan Munas Partai Golkar yang masih dipenuhi dengan rekayasa
politik seperti pada masa orde baru, termasuk diantaranya adalah kemenangan
Aburizal Bakrie menjadi ketua umum partai ini.
Kompas menggunakan unsur sintaksis tiga narasumber yang cukup
netral, yakni pengamat politik dari tiga instansi berbeda, diantaranya Arbit
Sani (pengamat politik dari Universitas Indonesia), Daniel Sparingga
(pengamat politik dari Universitas Airlangga), dan Lili Romli (pengamat
politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia). Ketiganya memberikan
penilaian yang hampir serupa terhadap pelaksanaan munas, bahwa banyak
catatan yang harus diperbaiki partai ini untuk kehidupan politik selanjutnya.
cxlvii
Seperti yang diungkapkan oleh wartawan Kompas Sutta
Dharmasaputra berikut.
“Sayangnya, (Munas) belum menunjukkan kemajuan besar yang banyak diharapkan banyak orang. Persaingan antar kandidat sangat ketat tapi lebih banyak diwarnai politik uang ketimbang pertarungan pemikiran politik. Pembicaraan Munas juga lebih banyak diwarnai soal pemilihan ketua umum ketimbang program partai lima tahun ke depan, atau permasalahan riel yang dihadapi bangsa ini.” (Wawancara dengan Sutta Dharmsaputra)
Menurut Sutta, Munas lebih banyak berkutat pada persoalan pemilihan
ketua umum sehingga persoalan partai dalam pemerintahan atau permasalahan
bangsa kurang mendapat porsi pembahasan yang besar. Padahal, pembahasan
persoalan partai, seperti koalisi atau oposisi sangat berpengaruh terhadap
program-program politik dalam usaha pemenangan pemilu 2014.
Dalam pemaparan Kompas, Arbit Sani menilai bahwa kemenangan
Aburizal adalah kemenangan Presiden SBY, karena Aburizal dari awal sudah
menyatakan akan bergabung dengan pemerintahan SBY jika dirinya terpilih
menjadi ketua umum. Koalisi Partai Golkar dengan pemerintah ini,
ditambahkan Lili Romli, akan memunculkan banyak konsekuensi.
Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Lili Romli, menilai kemenangan Aburizal Bakrie akan membuat Dewan Perwakilan Rakyat tumpul karena Partai Golkar dipastikan akan berkoalisi dengan Partai Demokrat. “Sudah jelas pernyataan Ical sebelumnya bahwa dia akan membawa Partai Golkar bergabung dengan partai pemenang pemilu,” katanya.
Hal ini dikuatkan dengan pernyataan Wartawan Kompas Suhartono.
Aburizal Bakrie sejak awal memang sudah berancang-ancang menjadi partai
koalisi Demokrat. Dibuktikan dengan datangnya Aburizal Bakrie ke kediaman
Presiden SBY setelah munas berakhir.
cxlviii
“Sesaat setelah Ical terpilih, Ical langsung menemui SBY di Cikeas untuk menyatakan koalisinya dengan pemeirntah. Tentu, itu akan dilakukan oleh Ical yang sudah mendapat "restu" dari pemerintah untuk memegang Golkar. Golkar saat itu memang menantikan kadernya untuk menjadi orang pemerintah. karena, golkar terbiasa dan tidak bisa "hidup" jika tidak berkoalisi dengan pemerintah.” (Wawancara dengan Suhartono)
Leksikon tumpul digunakan Kompas diatas, menunjukkan bahwa DPR
sebagai lembaga perwakilan dari rakyat sudah tidak bisa lagi memperjuangkan
kepentingan rakyat dalam mengkritisi pemerintah. Kritik-kritik DPR terhadap
pemerintah diprediksi tidak akan setajam jika ada partai besar yang
berkomitmen untuk menjadi oposisi. Dalam hal ini, Kompas memberikan
porsi pemberitaan yang cukup besar terhadap pernyataan Lili Romli. Hal ini
dibuktikan pada penulisan berita pada bagian akhir.
Kemenangan Ical juga telah mengubah peta politik dan pemerintahan Indonesia. Kekuatan atau peran eksekutif akan lebih dominan dibandingkan dengan legislatif, seperti yang terjadi pada masa orde baru.
Dengan demikian, lanjut Lili, dikhawatirkan akan muncul demokrasi jalanan seperti yang terjadi menjelang reformasi tahun 1998.
Sementara berita (10), yang merupakan kelanjutan berita (9), pada
bagian judul Kompas langsung menunjuk pada posisi politik oposisi yang
diharapkan diambil Partai Golkar. Kompas tidak menggunakan unsur skrip
who (siapa) pada judul maupun lead berita untuk menunjuk siapa yang
mengharapkan Partai Golkar menjadi oposisi. Sehingga anjuran atau harapan
tersebut seolah menjadi harapan Kompas dan harapan kebanyakan orang.
Unsur skrip who (siapa) yang mengusulkan posisi oposisi Partai
Golkar ditempatkan Kompas pada tubuh berita, yakni Presiden Partai
Keadilan Sejahtera (PKS) Tifatul Sembiring. Selain Tifatul Sembiring,
Kompas memakai narasumber lain, yakni Sultan Hamengku Buwono X
cxlix
(disebut sebagai mantan anggota Dewan Penasehat Partai Golkar), dan Hestu
Cipto Handoyo (disebut sebagai ahli hukum tata Negara dari Universitas Atma
Jaya Yogyakarta).
Anjuran itu disampaikan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Tifatul Sembiring di Jakarta, Jumat (9/10) petang. Ia berpendapat, posisi tawar Golkar tetap lemah apabila memilih bergabung dengan koalisi besar pimpinan Partai Demokrat. “Karena itulah, secara pribadi saya menganjurkan Golkar tetap memegang komitmen menjadi oposisi,” katanya.
Pemilihan narasumber yang tidak menolak anjuran Tifatul Sembiring
mengesankan Kompas ingin menunjukkan bahwa pernyataan Tifatul tentang
posisi oposisi pemerintah adalah sesuatu yang benar dan cenderung ideal yang
seharunya diambil oleh Partai Golkar. Ketidakidealan posisi Partai Golkar
juga dikuatkan dengan pernyataan Hestu Cipto Handoyo yang menggunakan
leksikon “lingkaran kekuasaan”.
Hestu Cipto Handoyo menilai kepemimpinan Aburizal Bakrie lima tahun kedepan akan mirip dengan gaya kepemimpinan Kalla. Golkar akan memilih masuk dalam lingkaran kekuasaan.
Leksikon kekuasaan pada gabungan kata “lingkaran kekuasaan”
menunjukkan bahwa kekuasaan disini adalah kekuasaan dalam lingkup
pemerintahan. Kekuasaan pemerintahan dikesankan menjadi sesuatu yang
negatif karena di tempatkan pada sebuah lingkup (lingkaran), sehingga seakan
terpisah atau dibedakan dengan pihak yang dikuasai (rakyat).
cl
B. Melihat Bingkai Pembaca Kompas terhadap
Pelaksanaan Munas Partai Golkar
Ada empat tahapan yang peneliti lakukan dalam menganalisa analisis
framing ini. Tahap pertama, pengumpulan data pada level teks media berupa
berita pilihan seputar Munas Partai Golkar VIII pada Harian Kompas. Tahap
kedua, pengumpulan data pada sisi produksi berita yakni bagian keredaksian
Harian Kompas. Tahap ketiga, pengumpulan data pada level audience atau
pembaca Harian Kompas yang pernah membaca pemberitaan mengenai Munas
Partai Golkar. Tahap terakhir yakni pembandingan hasil analisis teks dan pihak
redaksi media massa dengan analisis hasil wawancara dengan pembaca Kompas.
Analisis teks berita dan kebijakan redaksional Kompas telah diuraikan
dalam bahasan sebelumnya, sedangkan pada sub bab kedua ini peneliti mencoba
melihat bingkai dan pandangan pembaca Kompas dalam mengkonstruksi realitas
Munas Partai Golkar VIII. Metode yang dipakai adalah wawancara mendalam
(depth interview) dengan pembaca Kompas yang pernah membaca pemberitaan
Munas Partai Golkar dan memiliki pemahaman yang cukup tentang peristiwa
tersebut. Teknik ini digunakan sebagai alat bantu untuk mengetahui bagaimana
pandangan pembaca tentang Munas Partai Golkar pada umumnya dan Partai
Golkar pada khususnya setelah membaca pemberitaan di Harian Kompas.
Wawancara dilakukan peneliti berawal dari asumsi dasar framing yang
salah satunya berada pada level individu. Pengguna media massa, dalam hal ini
pembaca Kompas, bukan merupakan individu yang pasif dalam menerima terpaan
media. Menurut Robert Entman, terdapat sekumpulan ide yang tersimpan dalam
cli
diri individu yang membimbing individu pengguna media massa tersebut untuk
memproses informasi. Pan dan Kosicki juga menegaskan bahwa frame of
reference atau kerangka acuan individu pengguna media massa tersebut memiliki
dampak signifikan pada persepsi, pengorganisasian, dan interpretasi terhadap
informasi yang masuk.146
Pembaca Kompas yang diwawancarai adalah responden dari kategori
khalayak intelek yang dipilih berdasarkan pada beberapa kriteria yang ditentukan
peneliti. Diantaranya adalah pernah membaca pemberitaan mengenai Munas
Partai Golkar VIII di Harian Kompas pada bulan Oktober 2009 sekurang-
kurangnya dua berita, serta memiliki pemahaman yang cukup baik tentang Munas
Partai Golkar dan perkembangan politik bangsa secara umum. Dengan
pemahaman yang baik, diharapkan responden tersebut memiliki kompetensi dan
relevansi dengan permasalahan yang diangkat. Berikut adalah profil singkat
masing-masing responden penelitian ini.
a) Responden I : Eko Setiawan
Eko Setiawan berasal dari Bangka Belitung dan sedang menempuh
kuliah di Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UNS Surakarta. Bersama
dengan Ansyor (responden II), Eko berlangganan Harian Kompas dan
hampir membaca keseluruhan rangkaian pemberitaan mengenai Munas
Partai Golkar. Selain surat kabar, laki-laki 22 tahun ini memperoleh
informasi mengenai Munas Partai Golkar melalui media televisi
khususnya Metro TV dan beberapa kali menyaksikan TV One. Eko
146 Selengkapnya lihat Dietram A. Scheufele, Framing as Theory of Media Effect, Journal of
Communication, Vol. 49, Internasional Communication Assosiation, 1999, hal: 107
clii
mengaku sangat tertarik dengan wacana yang berkembang pada Munas
Partai Golkar karena menurutnya, partai ini memiliki tapak sejarah yang
berpengaruh langsung terhadap perkembangan politik bangsa Indonesia.
Peneliti tertarik melakukan wawancara dengan Eko karena Eko adalah
Mahasiswa Berprestasi (Mawapres) FISIP 2008 serta aktif atau pernah
aktif di berbagai organisasi seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI),
Himpunan Mahasiswa Komunikasi (HIMAKOM) FISIP UNS, dan
Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Visi FISIP UNS. Wawancara dengan
Eko berlangsung menyenangkan karena Eko sangat kritis, berwawasan
luas dan sangat antusias dengan peristiwa Munas Partai Golkar.
b) Responden II : Ansyor
Ansyor adalah laki-laki asli Palembang yang juga sedang
melanjutkan kuliah di Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UNS. Sama halnya
dengan Eko, Ansyor yang berlangganan Harian Kompas sering
menyempatkan diri membaca pemberitaan Munas Partai Golkar.
Ketertarikan Ansyor terhadap pemberitaan Munas Partai Golkar didorong
oleh rasa penasarannya terhadap pilihan politis yang diambil partai ini.
Ansyor juga sering menyaksikan pemberitaan Munas Partai Golkar di
Metro TV dan TV One, meskipun Ansyor menilai pemberitaan di Metro
TV pada saat munas tampak tidak obyektif. Ansyor memiliki banyak
prestasi dan merupakan aktivis kampus. Dirinya mengikuti berbagai
organisasi seperti HMI, HIMAKOM FISIP UNS, LPM Visi FISIP UNS,
cliii
serta Student English Club. Ansyor berwawasan luas dan pribadi yang
menyenangkan sehingga wawancara berlangsung santai dan interaktif.
c) Responden III : Kisbandi Virdha Kurniawan
Kisbandi Virdha Kurniawan berasal dari Sragen dan saat ini
tinggal di Solo karena dirinya sedang menyelesaikan kuliah di Ilmu
Komunikasi FISIP UNS. Kisbandi tidak berlangganan Harian Kompas dan
bukan pembaca Kompas yang aktif, akan tetapi dirinya beberapa kali
membaca berita mengenai Munas Partai Golkar di surat kabar tersebut.
Ketertarikan laki-laki berusia 24 tahun ini terhadap Munas Partai Golkar
sebenarnya bermula dari banyaknya pemberitaan mengenai munas ini di
TV One dan Metro TV. Selain itu, menurut Kisbandi, Partai Golkar
berbeda karena memiliki tokoh-tokoh politik besar yang sama-sama
memiliki kesempatan besar untuk menjadi ketua umum. Sebelum
menentukan Kisbandi sebagai responden, peneliti melakukan beberapa
kali diskusi dengan Kisbandi. Peneliti tertarik dengan pola pikir Kisbandi
mengenai politik yang unik dan berbeda, sehingga peneliti memilihnya
sebagai salah satu responden. Wawancara dengan Kisbandi berjalan
dengan lancar dan menyenangkan.
d) Responden IV : Ertika Nanda
Ertika Nanda adalah gadis asli Temanggung yang kini masih
menempuh kuliah di Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UNS. Ertika
memiliki banyak prestasi, mulai dari tingkat lokal hingga internasional,
serta aktif di beberapa organisasi. Ertika yang juga merupakan Mawapres
cliv
UNS 2009 ini sebenarnya bukan pembaca aktif Kompas, namun dirinya
sempat membaca berita mengenai Munas Partai Golkar dan
menyaksikannya di Metro TV. Ertika mengaku tidak terlalu mengikuti
perkembangan dunia politik secara menyeluruh, namun Partai Golkar
adalah partai yang cukup lama dikenalnya karena faktor orang tuanya yang
mengidolakan salah satu tokoh dari partai ini. Dari pengalaman dan
prestasinya tersebut, peneliti meyakini Ertika memiliki wawasan dan
pengetahuan yang luas dan terbuka sehingga layak untuk dijadikan
responden. Wawancara dengan Ertika berlangsung santai karena Ertika
banyak memberikan komentar-komentar segar dalam setiap jawabannya.
e) Responden V : Rorie Asya’ri
Rorie Asya’ri bertempat tinggal di Karanganyar meskipun dirinya
adalah orang Solo. Rorie masih menempuh studi di Jurusan Ilmu
Komunikasi FISIP UNS. Diusianya yang masih 22 tahun, Rorie memiliki
banyak prestasi, diantaranya sebagai Putra Solo pada tahun 2007 dan
Cosmopolitan Men 2009. Profesi Rorie sebagai pembawa berita di TA TV
serta Master of Ceremony (MC) di berbagai acara menuntut Rorie untuk
sering membaca dan melihat tayangan berita teraktual, salah satunya
mengenai Munas Partai Golkar. Bagi Rorie, Munas Partai Golkar harus
disimak karena Partai Golkar adalah partai besar di negeri ini. Rorie
sebenarnya gemar membaca banyak macam surat kabar, namun untuk
pemberitaan Munas Partai Golkar, dirinya hanya mengetahui dari Kompas
clv
dan Metro TV. Rorie adalah pribadi yang supel dan cerdas sehingga
wawancara berjalan hangat dan menyenangkan.
f) Responden VI : Haris Firdaus
Haris Firdaus berasal dan bertempat tinggal di Sukoharjo meskipun
dalam kesehariannya lebih sering berada di Kota Solo. Laki-laki berusia
23 tahun ini adalah seorang fresh graduate yang kini tengah meniti
kariernya sebagai wartawan di Majalah Gatra. Ketika masih menjadi
mahasiswa, Haris adalah seorang aktivis pers mahasiswa yang dikenal
cerdas, kritis, memiliki banyak prestasi, bahkan sempat menerbitkan
sebuah buku. Lulusan cum laude ini sering menyempatkan diri untuk
membaca Harian Kompas. Mengenai pemberitaan Munas Partai Golkar,
Haris yang hobi menulis puisi ini memiliki banyak ketertarikan terutama
dalam penayangan siaran langsung penghitungan suara pemilihan ketua
umum di Metro TV dan TV One. Alasannya dalam melihat pemberitaan
mengenai isu ini bagi Haris karena Munas Partai Golkar yang disiarkan
langsung melalui media televisi ini terjadi kericuhan dan konfrontasi
politik yang tajam. Wawancara dengan Haris sangat mengasyikkan, karena
Haris adalah sosok yang memiliki wawasan dan pengetahuan yang sangat
luas karena kegemarannya membaca.
g) Responden VII : Paramita Sari
Paramita Sari berasal dari Yogyakarta namun berkuliah di Jurusan
Ilmu Komunikasi FISIP UNS Surakarta. Paramita beberapa kali membaca
pemberitaan Munas Partai Golkar terutama pada bulan Oktober dan
clvi
menyaksikan tayangan beritanya di TV One dan Metro TV. Ketertarikan
Paramita, disebabkan karena adanya keterkaitan berita Munas Partai
Golkar dengan skripsi yang tengah ia kerjakan. Menurut Paramita yang
juga menjadi tenaga pengajar Jurnalistik di SMA Negeri 4 Yogyakarta ini,
dirinya merasa penasaran karena pada masa menjelang munas ada wacana
publik yang sangat gencar mengenai isu koalisi dan oposisi pemerintah.
Peneliti tertarik menjadikan Paramita sebagai responden penelitian karena
Paramita adalah sosok perempuan yang cerdas dan banyak membaca
literatur sosial politik. Wawancara dengan Paramita berlangsung santai
dan interaktif karena Paramita senang bertukar pikiran.
h) Responden VIII : Joni Rusdiana
Joni Rusdiana lahir di Banjarnegara dan selama beberapa tahun
terakhir Joni menetap di Kota Solo. Joni kini tengah menempuh kuliah
program magister di Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UNS. Joni yang kini
menjadi tenaga pengajar di Universitas Boyolali adalah mantan aktivis
pers mahasiswa yang sangat kritis dan cerdas. Sebenarnya Joni tidak
secara khusus mencari pemberitaan Munas Partai Golkar ketika membaca
Harian Kompas. Namun dirinya beberapa kali membaca berita Munas
Partai Golkar karena menurutnya, munas sebuah partai adalah sesuatu
yang penting untuk diketahui. Terlebih lagi, Partai Golkar adalah partai
besar yang memiliki cerita sejarah yang sangat panjang. Peneliti sangat
tertarik menjadikan Joni sebagai responden penelitian karena Joni adalah
sosok yang sangat cerdas dan berwawasan luas. Terbukti, wawancara
clvii
dengan Joni berlangsung cukup lama, menyenangkan dan banyak
informasi yang didapatkan peneliti.
Untuk mengetahui persepsi delapan responden penelitian tersebut
mengenai Munas Partai Golkar ke VIII, peneliti mengelompokkan hasil
wawancara mereka ke dalam lima sub tema yang telah ditentukan diawal.
1. Pandangan Pembaca Kompas terhadap
Persaingan Perebutan Kursi Ketua Umum Partai Golkar
Persaingan dalam perebutan Ketua Umum Partai Golkar ternyata
mendapat perhatian yang besar dari pembaca Kompas. Penyebabnya, selain
karena ada persaingan secara terbuka di media massa, para kandidat ketua
umum adalah tokoh-tokoh politik di Indonesia yang sudah cukup lama dikenal
masyarakat. Kiprah mereka dalam dunia politik tidak saja terdengar pada saat
pelaksanaan munas, tapi sudah semenjak bertahun-tahun yang lalu. Berikut
dipaparkan pendapat pembaca Kompas mengenai masing-masing kandidat
Ketua Umum Partai Golkar.
Berdasarkan huruf abjad, kandidat pertama adalah Aburizal Bakrie
atau yang kerap disapa dengan nama Ical. Ical sudah sejak lama dikenal
masyarakat sebagai salah satu konglomerat atau orang paling kaya di
Indonesia. Kelompok perusahaan keluarganya, Bakrie Group of Companies,
terdiri dari perusahaan-perusahaan besar yang sukses dibidang usahanya
masing-masing, antara lain pertambangan, telekomunikasi, media massa, real
estate, dan lain sebagainya. Setelah menjadi saudagar kaya, Ical kemudian
clviii
loncat pagar menjadi politisi di bawah bendera Partai Golkar. Namun
kekayaan Ical kemudian sering dipermasalahkan dalam perjalanan karir
politiknya. Salah satunya seperti yang diungkapkan oleh Rorie Asya’ri
berikut.
“Aburizal Bakrie memang orang yang kaya dan Golkar jadi money oriented, apa-apa seperti hanya uang dan uang. Tapi Aburizal Bakrie memang dia berpengalaman, pengalaman organisasi dia panjang, dia juga orang yang ‘punya’. Tapi harus diingat partai politik itu tidak hanya memimpin partai politik saja tapi juga memimpin banyak orang dan memimpin bangsa walaupun dalam scoop yang lebih kecil, yakni anggota Golkar.” (wawancara dengan Rorie Asyari)
Menurut Rorie, tidak hanya karena kaya, nama Aburizal Bakrie
dikenal luas masyarakat sejak kasus semburan lumpur panas dari perusahaan
miliknya, PT Lapindo Brantas di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong,
Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur sejak 27 Mei 2006, tidak kunjung
terselesaikan. Semburan lumpur panas selama beberapa bulan ini
menyebabkan tergenangnya kawasan permukiman, pertanian, dan
perindustrian di tiga kecamatan di sekitarnya, serta mempengaruhi aktivitas
perekonomian di Jawa Timur.147 Bahkan hingga kini, para korban masih
meminta pertanggungjawaban PT Lapindo Brantas atas kerugian yang mereka
derita. Permasalahan ini dianggap Rorie merupakan sebuah kasus berat yang
erat kaitannya dengan pencalonan Aburizal Bakrie menjadi ketua umum.
“…Kalau kita mau flashback, dia tersangkut masalah Lapindo dan itu belum beres. Justru banyak pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) di Lapindo. Jadi alangkah tidak pantas dan tidak layak apabila seorang ketua dipilih berdasar materi, tanpa memerhatikan kurangnya dia. Lapindo saja
147 http://id.wikipedia.org/wiki/Banjir_lumpur_panas_Sidoarjo Akses tanggal 27 Pebruari 2010
pukul 19.27 WIB
clix
belum kelar, bagaimana kalau ada masalah di Golkar, apa tidak ada kemungkinan dia akan ignore?” (wawancara dengan Rorie Asyari)
Melihat permasalahan yang sedemikian pelik, menurut Rorie,
mempersulit posisi Aburizal dalam bursa pencalonan ketua umum. Namun,
pernyataan berbeda di katakan oleh Eko Setiawan. Menurut Eko, banyak
alasan yang membuat Aburizal bisa dengan mudah memenangkan kompetisi.
Salah satunya karena Aburizal telah mempersiapkan pencalonan dirinya sejak
beberapa tahun silam.
“Ical cukup baik dalam membangun dukungan, mulai dari menggaet Akbar Tandjung maupun Agung Laksono. Ical memang terlihat sangat siap menghadapi munas ini sampai ke internal DPD. Yang kedua, meminjam istilah Yuddy yaitu ‘gizi’ atau apalah namanya, namun itu belum terbukti.” (wawancara dengan Eko Setiawan)
Aburizal, dalam pandangan Eko, cukup cerdas membangun jaringan
pendukung dalam internal partai. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya
dukungan yang mengalir, terutama dari tim suksesnya yang terdiri dari tokoh-
tokoh penting Partai Golkar pada masa lalu, yakni Akbar Tandjung dan Agung
Laksono. Aburizal juga dinilai Eko telah berhasil merangkul kepengurusan di
daerah-daerah untuk mendukung pencalonan dirinya. Meskipun demikian,
menurut Eko, Aburizal tidak bisa lepas dari isu politik uang dalam pencapaian
tujuan politiknya tersebut.
Kandidat kedua adalah Hutomo Mandala Putra atau Tommy Soeharto.
Tommy adalah anak bungsu mantan Presiden Soeharto yang pada masa orde
baru kerap dijuluki dengan julukan Pangeran Cendana. Reputasi Tommy
sebenarnya tidak terlalu baik di mata pembaca Kompas. Tommy adalah
seorang pengusaha yang pengalaman politik di Partai Golkar sangat minim.
clx
Terlebih lagi Tommy pernah masuk penjara karena menjadi otak pembunuhan
Hakim Agung yang menangani kasus korupsinya, Syafiuddin Kartasasmita
pada 26 Juli 2001. Namun, menurut Joni Rusdiana, bagaimanapun label
“Keluarga Cendana” masih memiliki magnet yang cukup besar di masyarakat.
“…dia berusaha menghidupkan lagi dinasti bapaknya, karena Cendana itu kuat. Sosok Golkar, Soeharto, Cendana itu sangat kuat. Cendana saya pikir masih punya pe-de (percaya diri) yang sangat besar, meskipun juga dicaci masyarakat habis-habisan, dibongkar dengan perkara yang besar dan banyak. Tapi tetap pe-de karena seperti dinasti di Indonesia. Sepertinya dia merasa bahwa mahkota dari bapaknya itu diberikan ke dia. Trackrecord Tommy kita sudah tahu suka main wanita, suka balap, bisnis kotor.” (Wawancara dengan Joni Rusdiana)
Menurut Joni, meskipun Tommy memiliki masa lalu yang kurang terpuji,
tetapi Tommy masih memiliki kesempatan dalam bursa pemilihan Ketua
Umum Partai Golkar karena faktor nama besar keluarganya tersebut.
Pendapat berbeda disampaikan Ertika Nanda. Menurut Ertika,
meskipun Tommy masih mengandalkan nama orangtuanya, masyarakat
Indonesia sudah tidak lagi memercayai apa saja yang diwariskan oleh keluarga
Soeharto. Dalam pernyataan Ertika, masyarakat sudah mulai dewasa, dapat
menentukan mana yang baik dan yang tidak baik untuk masa depan politik
bangsa.
“…dia bergerilya kepada tetua Golkar dan mungkin hanya mengandalkan dia sebagai putra pimpinan masa orde baru. Tapi itu ya lucu, karena dia masih berani, masyarakat kita kan sudah lebih krtitis.” (Wawancara dengan Ertika Nanda)
Meskipun langkah politik Tommy Soeharto masih dianggap sebagian
orang mendompleng nama-nama besar tokoh pada masa lalu, uniknya Tommy
berusaha menggunakan cara dan pendekatan yang berbeda. Tommy mengaku
clxi
tidak menerapkan cara “politik dagang sapi” atau politik jual beli suara seperti
yang ia tuduhkan kepada calon ketua umum lain. Tommy hanya menawarkan
bantuan program “Trikarya” bagi kepengurusan daerah jika dirinya terpilih
nanti. Hal ini dilihat Ansyor sebagai perubahan yang sangat positif dari
seorang Tommy Soeharto.
“…mungkin sebagian orang menganggap dia akan melakukan segala cara di munas. Tapi saya melihat dia mau memperbaiki citra dirinya yang selama ini mungkin dianggap korup.” (Wawancara dengan Ansyor)
Dalam pandangan Ansyor, pencalonan Tommy Soeharto sebagai
Ketua Umum Partai Golkar sekaligus sebagai bukti kepada masyarakat bahwa
Tommy Soeharto yang sekarang tidak sama dengan Tommy Soeharto yang
dulu. Tommy Soeharto yang sekarang bukan merupakan sosok yang dekat
dengan korupsi ataupun suap menyuap seperti yang sudah melekat pada
dirinya dan keluarganya pada masa lampau.
Kandidat Ketua Umum Partai Golkar selanjutnya adalah Surya Paloh.
Surya Paloh cukup dikenal pembaca Kompas sebagai seorang pengusaha
media massa. Surya Paloh selalu berusaha menempatkan dirinya sebagai
tokoh yang nasionalis dan sering muncul di media dengan orasi politiknya
yang terkenal keras. Salah seorang pembaca Kompas yang menganggap
demikian adalah Joni Rusdiana.
“…dia ingin mencitrakan dirinya nasionalis. Aku tertarik ketika Tsunami Aceh dia mengambil kebijakan medianya yang pertama terjun ke lapangan, media lain enggak. Tampaknya dia ingin jadi orang yang dianggap kacang sing ora lali karo lanjaranne. Dia memang berada di Jakarta, tapi asalnya bukan dari Jakarta, dia punya kampung halaman. Dia ingin membesarkan kampung halaman. Dia nasionalis, tapi aku kurang tahu nasionalis yang seperti apa. Soalnya dia nasionalis yang teoritis
clxii
PPKN (Pendidikan Pancasila dan Kewargaan Negara) banget. Bahasanya berapi-api tapi esensinya tidak tahu.” (Wawancara dengan Joni Rusdiana)
Joni berpendapat, Surya Paloh menggunakan dua cara untuk
menunjukkan tingkatan nasionalisme dirinya. Pertama, meskipun dirinya telah
sukses di ibu kota Jakarta namun Surya Paloh tetap memberikan perhatian
yang besar kepada tanah kelahirannya di wilayah Paloh, Nangroe Aceh
Darussalam. Kedua, Paloh sering melakukan orasi dan pidato politik yang
berapi-api tentang nasionalisme bangsa, terutama di media miliknya, Metro
TV dan Media Indonesia. Namun dilain pihak, terlalu seringnya Surya Paloh
muncul di media, menurut Joni, justru menimbulkan kesan yang buruk
terhadap Surya Paloh sendiri.
“…Penting juga, dia salah satu orang yang narsis. Metro TV itu ketika Surya Paloh meresmikan apa saja, pasti diliput.” (Wawancara dengan Joni Rusdiana)
Senada dengan Joni, Haris Firdaus juga menganggap Surya Paloh
adalah tokoh politik yang terlalu sering muncul di media. Eksistensi Surya
Paloh, menurut Haris, bukan karena prestasinya di dunia politik. Melainkan
karena Surya Paloh memanfaatkan media massa miliknya untuk
mempopulerkan diri. Metro TV pun selalu berusaha menampilkan citra positif
terhadap sosok Surya Paloh. Padahal jika ditelisik lebih jauh, menurut hemat
Haris, Surya Paloh sebenarnya memiliki sejarah politik yang dekat dengan
orde baru.
“… dia sebenarnya terlau narsis. Surya Paloh sebenarnya pemain lama, pemain sangat senior di bidang pers dari sejak orde baru. Dia dekat sekali dengan orang-orang orde baru. Jadi saya heran bagaimana dia bisa memimpin Metro yang seolah-olah sangat reformis dan demokratis, padahal Surya Paloh punya rekam jejak yang sangat dekat dengan orde
clxiii
baru. Dia adalah pengusaha yang menguasai berbagai macam koran di jaman orde baru dan itu tidak ada yang bisa menandingi.” (Wawancara dengan Haris Firdaus)
Citra Surya Paloh yang lekat dengan orde baru ini, dalam pandangan
Haris, berusaha ditutup Surya Paloh dengan bentuk media massanya, Metro
TV, yang selalu kritis dan reformis.
Kandidat terakhir adalah Yuddy Chrisnandi. Nama Yuddy sebelumnya
tidak terlalu dikenal oleh masyarakat meskipun dirinya aktif dalam
kepengurusan DPP Partai Golkar. Namun pada saat pencalonan Yuddy
menjadi Ketua Umum Partai Golkar, Yuddy lebih sering muncul di media
massa. Yuddy dikesankan media sebagai tokoh muda yang masih menjunjung
idealisme tinggi terhadap partai. Kemunculannya menjadi salah satu calon
ketua umum dianggap pembaca Kompas seperti sebuah oase ditengah
pragmatisme politik para calon ketua umum. Salah satu pembaca Kompas
yang memiliki pendapat serupa adalah Paramita Sari.
“…Sebenarnya dia benar-benar visioner, mungkin dia ada kepentingan tapi dia adalah kandidat yang paling bersih dari keempat kandidat lain.” (Wawancara dengan Paramita Sari)
Paramita menggunakan kata “bersih” untuk menunjukkan bahwa
dalam persaingan pemilihan Ketua Umum Partai Golkar memang ada dugaan
terjadi politik uang, sedang Yuddy Chrisnandi adalah kandidat ketua umum
yang dipercaya tidak melakukan hal tersebut. Sementara Kisbandi Virdha
mencoba realistis bahwa Yuddy juga mengeluarkan banyak uang dalam proses
pemilihan meskipun tidak ditujukan untuk membeli suara. Namun disisi lain,
clxiv
Kisbandi mengakui bahwa Yuddy adalah seorang generasi muda yang
memiliki idealisme tinggi untuk membesarkan partai.
“…walaupun dia menawarkan “cuma” dengan biaya 1 milyar, tapi dia punya idealisme yang tinggi untuk memperbaiki keterpurukan partai. Satu-satunya yang ditawarkan itu hanya idealismenya saja. Dia juga kritis karena dia termasuk golongan pemuda. Jadi saya rasa dia lebih kritis daripada tiga kandidat lainnya. Tapi seperti pemikiran kaum muda, dia juga hanya kritis tanpa hati-hati atau sembrono, tanpa melihat imbas setelah melakukan itu. Terlebih lagi dia juga tidak menawarkan sesuatu yang lain, dia hanya menawarkan idealisme saja.” (Wawancara dengan Kisbandi Virdha Kurniawan)
Sayangnya menurut Kisbandi, Yuddy hanya memanfaatkan
kepercayaan masyarakat tentang generasi muda yang kritis dan idealis dalam
menyikapi dinamika politik yang tengah terjadi. Yuddy, sebagai calon yang
paling muda diantara calon yang lain, menjadikan doktrin tersebut sebagai
kekuatan dirinya. Dalam bahasa Eko Setiawan, Yuddy memang tidak punya
kekuatan lain selain idealisme tersebut.
“…Yuddy tidak punya senjata lain untuk menyerang calon lain. Yuddy tidak punya uang untuk mempengaruhi, kemudian mengajak untuk kembali pada sesuatu yang lebih ideal.” (Wawancara dengan Eko Setiawan)
Secara terbuka sebelum munas, keempat kandidat tersebut saling
menyerang dan menjatuhkan calon lain di media massa. Persaingan antar
calon Ketua Umum Partai Golkar yang diekspos besar-besaran di media massa
merupakan sesuatu yang baru bagi masyarakat. Kampanye di media massa
biasanya hanya dilakukan dalam proses pileg atau pilpres yang melibatkan
seluruh rakyat Indonesia. Namun Rorie menganggap persaingan calon Ketua
Umum Partai Golkar di media merupakan sesuatu yang lumrah dan hanya
merupakan rangkaian kampanye politik biasa. Seperti yang diungkapkan oleh
clxv
Norris (2000) yang dikutip Firmanzah, bahwa kampanye politik adalah suatu
proses komunikasi politik, di mana parpol atau kontestan individu berusaha
mengkomunikasikan ideologi maupun program kerja yang mereka
tawarkan.148
“Biasa peperangan dalam media itu. Sebagai negara demokrasi tentunya Indonesia seharusnya melegalkan, saling menjatuhkan melalui media itu hal yang lumrah. Karena mereka pasti ada agenda untuk menjatuhkan pesaing mereka yang pasti berimbas pada elektabilitas, atau untuk mempopulerkan diri agar terkesan lebih mampu dibandingkan yang lain.” (Wawancara dengan Rorie Asyari)
Saling serang, klaim dukungan, menuduh pihak lain yang dilakukan
oleh keempat calon ketua umum dan masing-masing tim suksesnya, dalam
kacamata Rorie, merupakan sesuatu yang bisa di maklumi di era keterbukaan
informasi. Setiap pihak berhak menyampaikan pendapat dan gagasan, asalkan
sesuai dengan fakta yang bisa dipertanggungjawabkan. Karena, seperti yang
diungkapkan Amien Rais, dalam sistem pemerintahan demokrasi, pemerintah
menjamin kebebasan berpendapat dan persuratkabaran.149
Namun, Ertika menuturkan, akan lain halnya jika para calon ketua
umum bukan pemilik media. Pemilihan ketua umum partai pada dasarnya
tidak berdampak secara langsung bagi masyarakat Indonesia secara
keseluruhan. Namun karena dua dari empat calon ketua umum adalah pemilik
media berita terbesar di Indonesia, pemberitaan tentang persaingan ini menjadi
agenda utama media yang bersangkutan.
148 Firmanzah, Ph.D, Marketing Politik, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2007, hal: 267 149 Selengkapnya lihat Eep Saefulloh Fatah, Pengkhianatan Demokrasi ala Orde Baru: Masalah
dan Masa Depan Demokrasi Terpimpin Konstitusional, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2000, hal: 9
clxvi
Ertika mencontohkan jika calon ketua umum Partai Demokrat
merupakan pemilik media, terutama media televisi, maka munas dan
pemilihan Ketua Umum Partai Demokrat pasti juga menjadi topik
pemberitaan utama. Senafas dengan Ertika, Kisbandi juga menilai
kepemilikan media sangat berpengaruh terhadap citra Partai Golkar di
masyarakat dan elektabilitas sang calon ketua umum.
“Jelas persaingan tidak seimbang. Dua kandidat, Ical dan Surya Paloh punya media besar skala nasional. Sebenarnya kalau dipartai lain pun kalau kandidat-kandidatnya ingin meraih posisi Ketua Umum mereka punya media, itu juga akan terlihat seperti Golkar. Terlihat “Wah” karena kandidat ketua umum Golkar punya media. Jadi dia begitu di blow up-nya sampai segitunya, kita pun kaget, kok Golkar pemilihannya sampai sebegitunya.” (Wawancara dengan Kisbandi Virdha Kurniawan)
Lebih jauh, Haris menyayangkan sikap media massa yang demikian.
Media seharunya menjadi pihak yang netral dan independen dari intervensi
apapun dari luar, termasuk dari persoalan modal. Inilah yang mendasari
adanya pembedaan pimpinan dalam sebuah perusahaan media massa, yakni
pemimpin redaksi dan pemimpin perusahaan. Pemisahan ini bertujuan untuk
menjaga agar idealisme di ruang redaksi tidak mendapat pengaruh dari
permasalahan kapital pada ruang perusahaan dan iklan. Namun dalam
prakteknya, pemilahan kepentingan ini sangat sulit untuk diterapkan.
Pasalnya, seperti yang diutarakan Brian McNair, bahwa isi media salah
satunya ditentukan oleh kekuatan ekonomi dan politik (political approach).
“…mereka mendayagunakan media massa mereka. Ini menunjukkan pada satu kondisi tertentu, media massa tidak bisa lepas dari jerat persoalan modal. Metro yang berani dan kritis, sampai pada pemilik, seperti sudah selesai persoalannya. Itu sebenarnya salah, publik tidak butuh siapa calon Golkar, dukungannya seperti apa. Golkar hanya satu partai politik saja, dan itu pemilihannya bersifat internal. Ini menunjukkan
clxvii
watak asli media kita bahwa mereka tidak bisa mandiri dari modal. Idealisme bahwa ruang usaha berpisah dari ruang redaksi itu susah sekali kalau sudah menyangkut pemilik.” (Wawancara dengan Haris Firdaus)
Meskipun Aburizal Bakrie dan Surya Paloh merupakan pemilik media
massa, dalam perspektif Haris, seharusnya mereka bisa memilahkan
kepentingan pribadi dengan kepentingan media. Masyarakat Indonesia tidak
memiliki hak suara terhadap pemilihan Ketua Umum Partai Golkar, hak suara
hanya dimiliki oleh utusan dari masing-masing Dewan Pengurus Daerah
(DPD) Partai Golkar. Jadi, pemasangan iklan kampanye yang cukup besar di
surat kabar dan pemberitaan yang berlebihan di media televisi, menurut Haris,
berarti mempergunakan ruang publik dengan cara yang tidak bijaksana. Pun
demikian dengan kader Partai Golkar. Dalam pandangan Haris, para kader
sebenarnya tidak membutuhkan iklan atau pemberitaan yang terlalu banyak di
media massa. Sebagai anggota partai yang merasakan secara langsung
kepemimpinan para kandidat, mereka seharusnya sudah memiliki penilaian
tersendiri terhadap masing-masing kandidat.
Menurut Haris, salah satu kriteria ketua umum Partai Golkar yang
ideal adalah ketua umum yang memulai karir politiknya dari bawah, bukan
sosok yang masuk ke dalam partai karena punya uang dan dukungan. Seperti
yang tertulis pada poin keenam Visi Partai Golkar pada periode kepengurusan
2004-2009, yang menjelaskan bahwa Partai Golkar adalah partai yang
mengakar. Artinya, partai ini berusaha agar anggota dan kadernya tumbuh dan
berkembang dari bawah berdasar azas prestasi, bukan nepotisme atau kolusi.
Partai Golkar sebenarnya punya banyak kader berkualitas, tapi kemudian
clxviii
banyak kader baru yang masuk. Dalam pandangan Haris, Partai Golkar terlalu
banyak menerima intervensi dari orang-orang diluar partai yang memiliki
kekuatan kapital dan kekuasaan.
Pendapat berbeda disampaikan Rorie. Rorie mencontohkan, pemimpin
partai yang paling ideal adalah kepemimpinan model Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) di Partai Demokrat. Selama enam tahun terakhir, SBY
menjadi maskot Demokrat, meskipun banyak anggapan bahwa unsur
ketokohan di Partai Golkar terlalu tinggi. Namun Rorie melihat, bentuk
kepemimpinan ini seharusnya ditiru oleh partai lain karena hampir tidak ada
gejolak dalam internal partai.
Gejolak dalam internal partai memang menjadi persoalan yang serius
di Partai Golkar. Permasalahan internal seperti pertikaian dan perbedaan arah
politik para kadernya seolah menjadi konsumsi orang banyak. Citra partai
yang demikian tentu berpengaruh terhadap elektabilitas Partai Golkar untuk
pemilu mendatang. Oleh karena itu, Ketua Umum Partai Golkar yang terpilih
harus mampu memperkuat hubungan antar kader dan anggota partai. Seperti
yang diutarakan oleh Eko berikut.
“Golkar harus menyolidkan internal. Karena didalam Golkar terdapat faksi-faksi tertentu, misal pendukung JK (Jusuf Kalla), pendukung Akbar, dan itu harus disolidkan untuk pemilu berikutnya, kemarin terlihat Golkar tidak solid ketika mendukung JK.” (Wawancara dengan Eko Setiawan)
Jika partai bisa menunjukkan kesolidan internal di depan publik,
menurut Eko, masyarakat akan menaruh kepercayaan yang besar. Semakna
dengan Eko, Paramita juga menganggap bahwa citra partai adalah kebutuhan
yang tidak bisa ditawar lagi. Sebenarnya ada beberapa strategi yang bisa
clxix
dilakukan untuk menjaga citra parpol menurut Firmanzah, diantaranya
konsistensi terhadap image yang sudah terbentuk, rasionalisasi image yang
telah ada, idealisasi dari image politik yang telah tercipta, dan menciptakan
fantasi tentang simbol-simbol yang ada.150 Namun, menurut Paramita, citra
Partai Golkar yang baru justru belum terlihat jelas dan nyata.
“Seharusnya dia harus memperlihatkan dengan jelas kepada masyarakat tentang citra Golkar sendiri karena di masa orde baru citra Golkar negatif. Yang ideal untuk posisi pimpinan Golkar kali ini dia bisa menjelaskan kepada masyarakat bahwa Golkar itu sudah berubah, dia tidak lagi menjadi kepanjangan tangan pemerintah dalam hal yang negatif, tapi dia berada dalam pemerintahan yang menjalankan tugasnya dengan baik.” (Wawancara dengan Paramita Sari)
Paramita menegaskan bahwa Partai Golkar harus bisa menghadirkan
karakter partai yang baru dan menghapuskan citra orde baru dalam tubuh
Partai Golkar. Pendapat senada dinyatakan oleh Joni. Namun Joni
menganggap, citra Partai Golkar yang lekat dengan orde baru ini justru yang
menyebabkan Partai Golkar mampu bertahan pada tingkat akar rumput.
“…Golkar itu pemain lama. Golkar itu sangat multikultur, banyak kepentingan, dia partai besar yang sangat susah untuk ditumbangkan. Menurutku Golkar itu sudah mengakar dari masyarakat, sosok-sosok Golkar, seperti Soeharto bersama menteri-menteri sampai bawah-bawahnya. Buat masyarakat kampung terutama, buat mereka, PNS kan masih menjadi prestis yang prestisius.” (Wawancara dengan Joni Rusdiana)
Joni sependapat dengan Paramita bahwa seharusnya citra buruk orde
baru, salah satunya mencakup politik yang menggunakan uang, harus
dihapuskan jika ingin Partai Golkar tetap mendapat dukungan dari tingkat
sosial masyarakat lainnya. Namun dilain pihak, Partai Golkar tidak bisa
150 Op.Cit, hal: 249
clxx
menafikkan kebutuhan uang untuk menjalankan roda organisasi. Dalam
pandangan Kisbandi, organisasi tidak mungkin bisa bertahan tanpa sokongan
keuangan yang kuat. Maka paling tidak, sebagai partai besar di Indonesia,
Ketua Umum Partai Golkar haruslah orang kaya.
“Ketua umum Golkar syaratnya, selain bermodal kuat, karena sekarang partai kan biaya operasional partai sangat tinggi, dia juga harus punya kemampuan untuk meramu atau meracik sistem agar berjalan dengan lancar.” (Wawancara dengan Kisbandi Virdha)
Jadi, meskipun kebutuhan keuangan organisasi sangat tinggi, Kisbandi
juga menekankan pentingnya kapabilitas dan idealisme ketua umum untuk
membesarkan partai. Tidak berbeda jauh dengan Kisbandi, Ansyor
menuturkan, idealisme yang tinggi seperti visi dan misi Yuddy Chrisnandi
adalah kriteria yang paling dibutuhkan untuk memperbaiki paradigma baru
Partai Golkar. Uang, menurut Ansyor, bukan hal mutlak yang harus dimiliki
oleh seorang calon ketua umum.
“Seharusnya idealisme yang diutamakan, jadi tidak melihat calon itu berasal dari orang kaya. Kemudian mereka nanti bisa menghidupi partai, lalu calon itu telah memberi sesuatu kepada kita tetapi kita melihat bagaimana visi dan misi dia kedepan.” (Wawancara dengan Ansyor)
Dari pemaparan tersebut, pembaca Kompas menilai bahwa persaingan
antar calon Ketua Umum Partai Golkar pada dasarnya disebabkan oleh
kepemilikan media massa besar di Indonesia oleh dua orang kandidat sehingga
proses kampanye sangat di blow up. Persaingan yang memanas tersebut
dimanfaatkan keempat kandidat untuk saling menyerang dan menjatuhkan
pihak lain. Berikut adalah rangkuman pendapat mengenai persaingan antar
calon Ketua Umum Partai Golkar dari masing-masing responden.
clxxi
Tabel 3.8 Rangkuman Pendapat Pembaca Kompas
tentang Persaingan Antar Calon Ketua Umum
No Nama Pendapat 1 Eko
Setiawan Pesaingan karena kurang solidnya hubungan internal antar kader partai, sehingga para calon saling menyerang di media massa. Sebenarnya Yuddy Chrisnandi adalah calon yang paling ideal dan berkompetensi, namun Yuddy terbentur masalah dana yang terbatas. Bagaimanapun DPD membutuhkan biaya untuk operasional sehingga akan memilih calon ketua umum yang kaya dan rela mengeluarkan banyak uang untuk kader dan partai
2 Ansyor Persaingan calon sangat terlihat karena pemanfaatan media milik calon ketua umum. Pemilihan Ketua Umum Partai Golkar terlalu fokus pada calon yang kaya sehingga kurang memperhatikan visi dan misi serta idealisme calon ketua umum
3 Kisbandi Virdha
Persaingan calon ketua umum tidak seimbang karena dua calon merupakan pemilik media besar nasional. Pemilihan ketua umum partai sebenarnya adalah hal yang biasa, namun pemilihan Ketua Umum Partai Golkar terlihat istimewa karena di blow up media dan para calon adalah orang-orang kaya
4 Ertika Nanda
Persaingan ketua umum di ekspos media karena faktor kepemilikan media. Selain itu juga karena ada perilaku boros para calon ketua umum, misalnya carteran pesawat untuk berangkat ke tempat munas dan pelesiran. Hal tersebut mengindikasikan adanya permainan uang.
5 Rorie Asya’ri
Persaingan di media massa sebenarnya adalah sesuatu yang lumrah dan wajar karena setiap pemilihan umum pasti ada agenda untuk saling menjatuhkan pihak lain. Namun bentuk kepemimpinan di Partai Golkar tidak ideal, karena tidak ada ketokohan yang kuat seperti SBY di Partai Demokrat.
6 Haris Firdaus
Persaingan terlalu berlebihan karena mempergunakan ruang publik di media massa. Hal ini mengindikasikan idealisme ruang redaksi media massa tidak bisa terlepas dari pengaruh kepemilikan modal. Di lain pihak, Partai Golkar terlalu banyak mendapat campur tangan pihak-pihak yang memiliki kekuasaan yang kemudian masuk ke dalam partai, sehingga partai ini tidak berdaya dan tidak bisa menegakkan kedaulatan.
7 Paramita Sari
Persaingan antar calon ketua umum disebabkan karena adanya kepentingan dari masing-masing calon. Salah satunya adanya perbedaan kepentingan antara pihak yang menginginkan koalisi dan pihak yang menginginkan menjadi oposan pemerintah.
8 Joni Rusdina
Persaingan antar calon ketua umum tidak wajar karena dalam satu partai seharusnya saling mendukung dan berintegrasi. Tapi mereka menggunakan konflik karena ada kepentingan masing-masing calon ketua umum diluar kepentingan partai.
clxxii
2. Pandangan Pembaca Kompas terhadap Arti
Penting Munas
Pelaksanaan Munas Partai Golkar VIII cukup mendapat perhatian
media massa. Bukan saja karena adanya persaingan antar calon ketua umum,
namun juga karena munas kali ini adalah momentum pertemuan seluruh
pengurus daerah Partai Golkar setelah keterpurukan Partai Golkar dalam
pemilu legislatif dan pemilu presiden tahun 2009. Para pembaca Kompas pun
meyakini bahwa pelaksanaan Munas Partai Golkar VIII memiliki arti yang
sangat penting dan menentukan arah politik Partai Golkar pada pemilu
selanjutnya. Seperti yang diutarakan oleh Joni Rusdiana berikut.
“…Pertama, munas sebuah partai itu ya penting, karena itu bagian dari demokrasi. Partai apapun, besar atau kecil. Kalau Golkar kan partai besar. Yang kecil saja diberitakan, apalagi yang besar. Berikutnya karena Golkar punya masalah, Golkar sendiri kemarin kalah. Kemudian JK (Jusuf Kalla) mendapat cacian habis-habisan. Nah, jawaban-jawaban JK dan Golkar menjadi penting. Munas juga akan menentukan apakah Golkar akan ikut pemerintahan atau tidak.” (Wawancara dengan Joni Rusdiana)
Menurut Joni, pelaksanaan Munas Partai Golkar VIII memang layak
untuk disimak dan diberitakan media. Sebabnya, sebagai partai politik paling
tua yang masih bertahan, dinamika politik yang terjadi pada Partai Golkar
cukup menentukan kondisi politik bangsa Indonesia.
Tak berbeda jauh dengan Joni, Eko Setiawan menuturkan, pelaksanaan
Munas Partai Golkar VIII kali ini memang memberikan keuntungan tersendiri
bagi Partai Golkar karena diadakan sebelum Presiden terpilih Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) secara resmi menetapkan nama-nama menteri dalam
Kabinet Indonesia Bersatu jilid II.
clxxiii
“Munas Golkar tahun ini cukup strategis, karena diadakan persis sebelum SBY menentukan kursi kabinet. Pada saat pemilu, Golkar masih gamang ketika JK kalah, Golkar akan menjadi oposisi atau ikut dalam pemerintahan masih belum jelas. Artinya ketua umum yang terpilih akan menentukan Golkar akan kemana, ketika Ical yang terpilih, Ical akan ikut SBY, tapi kalau Surya Paloh jelas akan beroposisi.” (Wawancara dengan Eko Setiawan)
Waktu pelaksanaan munas pada awal Oktober, dalam pandangan Eko,
harus dimanfaatkan benar-benar untuk merumuskan arah politik yang dipilih
Partai Golkar: koalisi atau oposisi. Pilihan arah politik partai ini harus segera
diputuskan dalam munas, agar kader Partai Golkar mendapat kesempatan
masuk dalam kabinet SBY atau tidak. Seperti diketahui, SBY yang masih
menginginkan Partai Golkar bergabung dalam koalisi besar, juga menunggu
keputusan akan kemana Partai Golkar menempatkan posisinya dalam
pemerintahan.
Pendapat berbeda disampaikan Kisbandi Virdha. Dirinya menganggap
munas kali ini terasa sangat penting justru karena sistem pemilihan ketua
umum yang berbeda dengan pemilihan ketua umum pada Munas Partai Golkar
VII di Denpasar Bali tahun 2004 silam.
“Ada sesuatu yang baru dalam pemilihan ketua umum. Dulu kan ditentukan dengan konvensi Partai Golkar, sekarang dipilih langsung oleh DPP dan DPD nya. Nah, berarti itu kan ada peningkatan sistem walaupun masih seperti coba-coba.” (Wawancara dengan Kisbandi Virdha)
Kisbandi menyoroti, pergantian sistem ini adalah salah satu upaya
Partai Golkar untuk membuat pembaharuan positif terhadap mekanisme
partai. Selain itu, hal ini juga merupakan bukti kepada masyarakat bahwa
Partai Golkar yang sekarang bisa berlaku demokratis. Senafas dengan
Kisbandi, menurut Ertika Nanda, munas kali ini adalah pembuktian kepada
clxxiv
masyarakat bahwa Partai Golkar masih tetap bertahan dalam kancah politik di
Indonesia.
“…pentingnya munas kemarin adalah menunjukkan eksistensi Golkar di mata publik. Dan itu dilakukan Partai Golkar dengan mem-blow up media dimana-mana. Untuk politik Golkar di pemerintahan akan lebih, mereka seperti meminta untuk dipandang lagi karena mereka lumayan dianggap penting pada saat munas. Jadi menaikkan posisi tawar.” (Wawancara dengan Ertika Nanda)
Ertika menuturkan, segala bentuk blow up media pada saat munas
justru kurang menekankan pada pentingnya pelaksanaan munas terhadap
posisi politik Partai Golkar. Akan tetapi Partai Golkar terkesan ingin
menonjolkan diri agar aktivitas politik yang dilakukan, diperhatikan oleh
masyarakat dan menjadi sesuatu yang penting serta layak untuk diketahui.
Sementara Ansyor cenderung memiliki pendapat yang serupa dengan
Eko. Menurutnya, arti penting pelaksanaan munas adalah penentuan posisi
partai ini dalam pemerintahan selama lima tahun ke depan. Namun Ansyor
merasa kecewa dengan keputusan munas yang memenangkan Aburizal Bakrie
sebagai Ketua Umum Partai Golkar.
Aburizal Bakrie dari awal telah mewacanakan diri untuk menjadi
rekan koalisi Partai Demokrat jika dirinya menang. Dalam pandangan Ansyor,
hal tersebut justru merugikan rakyat. Pasalnya, jika Partai Golkar berada di
pihak pemerintah, tidak ada lagi yang bisa memperjuangkan nasib rakyat
miskin yang kurang mendapat perhatian pemerintah. Lebih jauh Ansyor
menduga, waktu pelaksanaan munas memang disengaja dilaksanakan sebelum
penempatan kabinet agar pihak yang pro dengan pemerintah bisa
mengusahakan kadernya untuk menjadi menteri kabinet SBY.
clxxv
Senada dengan Ansyor, perbedaan pandangan dan arah politik antar
kader yang mencalonkan diri menjadi Ketua Umum Partai Golkar ini menurut
Paramita justru merusak makna dari penyelenggaraan munas itu sendiri.
Sepengetahuan Paramita, munas yang pada awalnya menjadi harapan baru
bagi masa depan partai, dalam pelaksanaannya malah dipenuhi dengan
kericuhan karena adanya blok-blok tersendiri dalam internal partai.
“…pelaksanaannya penuh dengan kekacauan, ada konflik internal karena masing-masing dari pendukung kandidat saling bentrok. Padahal, seharusnya meskipun dalam satu organisasi satu partai banyak kandidat, tidak seharusnya saling bentrok. Mereka intinya satu, tapi malah seperti ada blok-blok seperti itu.” (Wawancara dengan Paramita Sari)
Berbagai macam kepentingan yang ada pada saat munas, dalam
pandangan Paramita, justru menjadi titik perhatian utama seluruh peserta dan
media. Sedang esensi kesatuan dan kesolidan partai yang seharusnya menjadi
tujuan pelaksanaan munas seakan dilupakan begitu saja. Ketidakidealan
pelaksanaan munas ini menurut Rorie Asya’ri disebabkan karena dua
persoalan penting.
“…Satu, ketua yang memimpin, Fadel Muhammad, kurang bisa merangkul semua, kurang tegas, kurang bisa menurunkan temperamen peserta rapat. Kepemimpinan itu salah satu yang penting dalam sebuah konvensi. Fadel kurang berhasil menjaga suasana kondusif. Kedua, peserta Golkar secara mentalitas juga harus berubah. Munas adalah acara untuk memilih pemimpin yang nantinya menahkodai kapal Golkar. Nah, misalnya mereka punya agenda sendiri-sendiri, egois, teriak sana teriak sini, tidak memberi kesempatan pada orang lain untuk berbicara, itu sudah dalam tahap yang tidak proposional.” (Wawancara dengan Rorie Asya’ri)
Rorie berpandangan, substansi pelaksanaan munas sebenarnya bisa
diraih jika dua hal tersebut–kepemimpinan yang baik dari ketua rapat dan
sinergi dari seluruh peserta rapat–dapat terjaga hingga munas berakhir. Namun
clxxvi
pada kenyataannya, suasana munas tetaplah tidak kondusif. Haris Firdaus
berpendapat, pelaksanaan munas yang demikian semakin menunjukkan bahwa
Partai Golkar bukan partai yang solid. Bahkan partai ini tidak bisa
memanfaatkan munas sebagai momentum kebangkitan bersama.
“Pertama, tidak ada munas partai politik yang begitu terjadi ketegangan kemudian konfrontasi politik yang tajam. Itu artinya Golkar bukan partai politik yang solid karena beberapa partai politik cukup mengandalkan mekanisme internal untuk tidak terlalu gembar gembor.” (Wawancara dengan Haris Firdaus)
Dalam pandangan Haris, idealnya partai politik yang tengah
menghadapi persoalan besar akan melakukan konsolidasi dan koordinasi yang
baik ketika ada pertemuan akbar seperti musyawarah nasional. Munas
selayaknya menjadi wadah untuk memperbaiki organisasional partai sehingga
tidak perlu ada ribut-ribut di media mengenai ketidakharmonisan antar peserta
rapat. Partai Golkar, menurut Haris, telah gagal mencapai tujuan utama
pelaksanaan munas karena perilaku peserta rapat itu sendiri.
Haris mencontohkan, jalannya pelaksanaan munas sangat kacau
bahkan mengalahkan keributan dalam gedung parlemen yang terdiri dari
fraksi-fraksi partai politik yang beragam. Seperti yang diungkapkan Prof.
Miriam Budihardjo, bahwa partai politik adalah kelompok yang terorganisir
yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang
sama. Namun munas Partai Golkar yang seharusnya terdiri dari kader Partai
Golkar yang memiliki tujuan yang serupa, tidak mampu menyamakan
pandangan politik antar kadernya.
“…Saya tidak membayangkan perilaku elite politik seperti itu, teriak-teriak dan lari, kemudian banyak terjadi kekacauan. Saya tidak tahu
clxxvii
apakah itu proses demokrasi atau bagaimana, tapi agak kacau secara teknisnya. Kenapa dalam satu partai politik bisa terdapat banyak sekali kepentingannya dan tidak ada kelompok dominan yang memayungi Golkar yang bisa dipercaya oleh semua orang Golkar. Kendala-kendala teknis, temperamen dan pamrih kepentingan pribadi itu yang membuat munas kemarin kurang ideal. Orang tidak bisa mengorbankan kepentingan pribadi untuk kepentingan parpol. (Wawancara dengan Haris Firdaus)
Haris menegaskan, jika Partai Golkar menginginkan tercapainya
kebangkitan partai pada saat munas, seharusnya para peserta tidak bersikap
layaknya elite politik yang tidak mengerti etika politik yang baik. Namun,
menurut Eko, sebenarnya munas tetap dapat menghasilkan sesuatu yang
bermakna. Jika memang tujuan munas adalah sebagai momentum perbaikan
dan kebangkitan, munas idealnya harus melakukan pembahasan yang
mendalam tentang dua hal penting yakni permasalahan partai dan
permasalahan bangsa.
“…Pertama, Golkar punya pandangan yang menyeluruh tentang kondisi partai, tidak hanya semata-mata memilih ketua umum. Kemarin terlihat munas Golkar masih politis, memang betul dia partai politik tapi jangan mengabaikan sisi-sisi kesejahteraan masyarakat. Secara keseluruhan dia seharusnya juga membahas masalah partai, karena Golkar kalah dalam Pilpres dan Pileg, itu seharusnya menjadi evaluasi menyeluruh. Kedua, adalah tentang masalah kebangsaan. Ketiga adalah bagaimana Golkar bisa merekrut kader-kader berkualitasnya untuk masuk kepengurusan baru.” (Wawancara dengan Eko Setiawan)
Jika munas dapat merumuskan strategi untuk menyelesaikan dua
persoalan tersebut, dalam pandangan Eko, maka Munas Partai Golkar VIII
telah berhasil menyelamatkan partai ini dari keterpurukan.
Dari pemaparan tersebut, pembaca Kompas menilai bahwa Munas
Partai Golkar VIII sebenarnya merupakan momentum yang sangat krusial bagi
Partai Golkar. Munas kali ini adalah wadah untuk mengevaluasi kekalahan
clxxviii
beruntun yang dialami Partai Golkar pada Pemilu 2009. Evaluasi tersebut
diharapkan bisa merumuskan langkah yang akan menentukan nasib partai ini
selanjutnya: mati atau berkembang. Namun, pada kenyataannya munas
dinodai oleh berbagai kepentingan antar kubu yang membuat munas menjadi
ricuh. Hal ini justru membuat munas kehilangan makna dan esensinya bagi
partai. Berikut adalah rangkuman pendapat mengenai arti penting Munas
Partai Golkar VIII dari masing-masing responden.
Tabel 3.9 Rangkuman Pendapat Pembaca Kompas tentang Arti Penting Pelaksanaan Munas
No Nama Pendapat 1 Eko
Setiawan Partai Golkar masih ragu akan menjadi oposisi atau rekan koalisi Partai Demokrat. Maka pelaksanaan munas sangat strategis karena dilakukan sebelum pelantikan Kabinet Indonesia Bersatu jilid 2. Jika Partai Golkar memilih koalisi, maka kadernya bisa mendapat kesempatan untuk menjadi menteri. Pada intinya munas harus memiliki pandangan menyeluruh tentang kondisi partai dan masalah kebangsaan.
2 Ansyor Pelaksanaan Munas Partai Golkar VIII dari awal sudah ditujukan untuk mendukung pemerintahan SBY, dibuktikan dengan waktu penyelenggaraannya sebelum pelantikan kabinet.
3 Kisbandi Virdha
Munas Partai Golkar VIII saat ini bertujuan untuk menunjukkan kepada masyarakat bahwa partai ini juga bisa berlaku demokratis, dibuktikan dengan menerapkan sistem pemilihan ketua umum dengan pemilihan langsung dan meninggalkan sistem konvensi.
4 Ertika Nanda
Munas Partai Golkar VIII ingin menunjukkan kepada masyarakat bahwa Partai Golkar masih eksis dan aktivitasnya penting untuk diketahui khalayak. Salah satu caranya dengan melakukan blow up di media.
5 Rorie Asya’ri
Munas sebenarnya momentum penting, tapi pelaksanaannya tidak ideal. Penyebabnya, pertama, pimpinan sidang/rapat tidak tegas dalam memimpin. Kedua, peserta rapat tidak bisa saling menghormati dan menghargai sehingga terjadi kericuhan.
6 Haris Firdaus
Munas seharusnya dapat menyatukan anggota partai, namun pelaksanaan munas sangat kacau karena perilaku elite politik yang kurang beretika. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi internal Partai Golkar tidak solid, terlalu banyak kepentingan
clxxix
dan tidak memiliki pandangan politik yang sama. 7 Paramita
Sari Terlalu banyak kepentingan antar kader Partai Golkar sehingga menyebabkan munas berlangsung ricuh dan terdapat blok-blok tersendiri antar peserta rapat.
8 Joni Rusdiana
Munas sebuah partai itu penting karena merupakan bagian dari demokrasi. Terlebih Partai Golkar punya masalah, yakni kalah dalam pemilu dan Jusuf Kalla mendapat cacian habis-habisan. Masyarakat pasti menunggu bagaimana reaksi JK dan Partai Golkar. Selain itu munas kali ini juga akan menentukan apakah Golkar akan ikut pemerintahan atau tidak
3. Pandangan Pembaca Kompas terhadap Isu politik
uang dan pragmatisme dalam pemilihan Ketua Umum Partai Golkar
Partai Golkar tidak bisa lepas dari persoalan uang dan kapital. Hal ini
disebabkan sejak masa orde baru partai ini menjadi wadah orang-orang kaya
yang ingin melebarkan sayap ke dunia politik. Sampai saat inipun Partai
Golkar masih dimotori oleh orang-orang kaya bahkan konglomerat negeri ini.
Namun, banyak anggapan yang menyebutkan bahwa kader Partai Golkar
masih mempergunakan kekuatan uang tersebut untuk meraih tujuan politisnya
terutama dalam perebutan kekuasaan. Seperti yang tercium pada saat
pemilihan Ketua Umum dalam Munas Partai Golkar VIII. Politik uang masih
menjadi isu lama yang menarik untuk ditelusuri bagi pembaca Kompas.
Ansyor misalnya, dirinya beranggapan bahwa politik uang terutama di
Partai Golkar tidak lagi menjadi hal yang tabu untuk dibicarakan. Realita
politik di Partai Golkar memang demikian, terlebih kader-kader partai yang
baru pun ikut arus menjadi politisi yang pragmatis.
“Politik uang untuk hal seperti ini sudah menjadi rahasia umum. Ketika suara itu bisa dibeli, politik uang bisa saja terjadi. Saya juga sependapat adanya politik pragmatis Golkar, apalagi ketika kekuasaan yang disana itu bisa dibeli dan bisa dikontrol oleh kandidat yang memiliki
clxxx
modal kemudian kandidat itu memiliki pengaruh yang besar. Saya melihat mereka bisa menghalalkan segala cara dan melakukan lobi-lobi untuk melancarkan tujuannya.” (Wawancara dengan Ansyor)
Dalam pandangan Ansyor, orang-orang yang berkepentingan di Partai
Golkar bisa menempuh segala cara untuk mencapai tujuannya. Orang-orang
yang demikian, menurut Ansyor, adalah kader Partai Golkar yang memiliki
dua hal penting, yakni modal kuat dan kekuatan untuk memengaruhi.
Kondisi pragmatis Partai Golkar tersebut sangat berpengaruh terhadap
hubungan partai dengan masyarakat. Kepentingan masyarakat yang
seharusnya diupayakan oleh partai seakan terabaikan karena adanya
kepentingan lain dalam internal partai yang didukung dengan kekuatan uang.
“…Golkar sudah tidak bisa lagi menjadi corong aspirasi rakyat. Mereka orang-orangnya cenderung ke politik pragmatis. Jadi orang-orang yang duduk disana, mungkin tidak semuanya, tapi sebagian besar mengharapkan akan mendapat imbalan, akan mendapat kekuatan.” (Wawancara dengan Ansyor)
Keadaan demikian persis seperti yang diungkapkan oleh Max Weber
yang memandang partai politik dalam aspek profesionalisme, bahwa partai
politik adalah organisasi publik yang bertujuan untuk membawa pemimpinnya
berkuasa dan memungkinkan para pendukungnya (politisi) untuk
mendapatkan keuntungan dari dukungan tersebut. Artinya, pergerakan dalam
Partai Golkar muaranya adalah kekuasaan dan keuntungan kader, bukan untuk
kesejahteraan rakyat. Dalam kondisi seperti ini, politik dapat diartikan sebagai
alat untuk meraih kekuasaan.
Paramita menganggap, pragmatisme politik yang terjadi di Partai
Golkar bukan merupakan isu semata. Banyak hal yang bisa dijadikan bukti
clxxxi
terutama dalam proses pemilihan Ketua Umum Partai Golkar dalam Munas
Partai Golkar 2009.
“…dibuktikan dengan keempat kandidat kalau dilihat benar-benar, visi dan misi yang paling bagus Yuddy Chrisnandi. Karena masih muda, dia punya program-program yang untuk demokrasi bagus. Tapi ketika pemilihan sama sekali tidak ada yang memilih dia, Yuddy dapat nol, yang mendapat suara hanya Ical dan Surya Paloh. Ini makin kuat mendukung bahwa mereka memang diberi imbalan walau tidak secara langsung: ini saya kasih uang dan pilihlah saya, tapi dengan cara diberi pesawat carteran, jalan-jalan, fasilitas-fasilitas, itu menurutku sudah merupakan money politics.” (Wawancara dengan Paramita Sari)
Dalam pandangan Paramita, jika Partai Golkar memiliki keinginan
kuat untuk memperbaiki partai, seharusnya calon ketua umum yang dipilih
adalah calon dari kader muda yang mengutamakan idealisme partai dan
memiliki rencana program yang baik. Akan tetapi, salah satu calon ketua
umum yang dianggap Paramita memiliki kompetensi tersebut, yakni Yuddy
Chrisnandi, justru sama sekali tidak mendapat suara. Para peserta munas lebih
memilih untuk memberikan suara kepada Aburizal Bakrie atau Surya Paloh.
Paramita berpendendapat, hal inilah yang menguatkan adanya perilaku politik
uang yang dilakukan oleh kedua calon tersebut.
Senafas dengan Paramita, Eko Setiawan beranggapan bahwa politik
menggunakan kekuatan uang memang realitas yang tidak bisa terhindarkan.
Pasalnya, kader partai di kepengurusan daerah juga lebih mementingkan
kebutuhan finansial untuk menghidupi organisasi dibandingkan dengan
idealisme pokok partai. Maka pengurus daerah ini akan lebih jeli dalam
memilih calon mana yang paling banyak memberikan imbalan.
“…kita tidak tahu sebenarnya tapi itulah yang terjadi sekarang. Orang-orang dari DPD kan tergantung bagaimana dari DPP atau calon-calon
clxxxii
memberi uang untuk memilih mereka. Pragmatisme yang ada sekarang itu semacam itu, karena yang dibutuhkan DPD ya finansial. Mereka belajar seperti ini di munas. Nantinya kalau menjadi dewan mereka juga akan pragmatis. Memang tidak sehat, tapi apa boleh buat, proses demokrasi kita baru sampai disana.” (Wawancara dengan Eko Setiawan)
Dalam pandangan Eko, pragmatisme dalam Partai Golkar telah
mendarah daging dan turun temurun. Kader partai baru akan belajar cara-cara
dan sistem partai dari kader partai yang lama. Padahal kader partai yang lama
telah lebih dahulu memelajari budaya politik KKN yang diterapkan Soeharto
pada masa orde baru. Budaya politik pragmatis ini, menurut Eko, akan dibawa
dan dilestarikan kader Partai Golkar jika nantinya terpilih menjadi Dewan
Legislatif. Jika terus seperti ini, pragmatisme politik akan menjadi sistem yang
tidak bisa dihapuskan dari sistem politik di Indonesia.
Keyakinan bahwa Partai Golkar sejak dahulu sudah menggunakan
cara-cara instan dalam pencapaian tujuan juga diungkapkan Joni Rusdiana.
Menurut Joni, Partai Golkar sejak jaman orde baru memang telah menjadi alat
untuk mendapatkan kekuasaan. Dan sisa-sisa pragmatisme itu masih ada
sampai sekarang meskipun Partai Golkar telah mencanangkan perubahannya
dalam Paradigma Baru Partai Golkar.
“Dari dulu Golkar pragmatis. Golkar itu identik dengan kekuasaan. Kalau tidak pragmatis ya namanya bukan kekuasaan, kekuasaan jadi seperti alat. Jadi yang dikejar itu kesejahteraan masyarakat Indonesia, kedaulatan Indonesia, kejayaan Indoenesia, kebudayaan Indonesia, menggunakan logika politik yang sehat, itu tidak pragmatis. Kalau Golkar jelas pragmatis saya yakin itu.” (Wawancara dengan Joni Rusdiana)
Dalam perspektif Joni, Partai Golkar belum memikirkan permasalahan
kebangsaan secara keseluruhan. Kepentingan yang diutamakan partai ini
adalah bagaimana Partai Golkar dan kadernya dapat merebut atau mendapat
clxxxiii
bagian kekuasaan dalam pemerintahan. Langkah yang ditempuh Partai Golkar
dalam pencapaian kekuasaan ini, seperti yang diungkapkan oleh Ansyor,
adalah menggunakan kekuatan uang.
Namun pandangan berbeda diutarakan Kisbandi Virdha. Kisbandi
menilai bahwa tidak semua kader Partai Golkar pragmatis, meskipun ada
kecenderungan ke arah itu. Uang tidak dimaksudkan untuk meraih kekuasaan,
melainkan untuk memperkuat dan mengembangkan kepengurusan Partai
Golkar secara keseluruhan.
“…sebenarnya tidak pragmatis tapi ada kecenderungan kesitu. Tidak pragmatis terlihat dari Tommy, walaupun dia juga telah mengeluarkan uang yang tidak sedikit toh dia juga tidak mendapat suara satupun. Jadi, walaupun mereka butuh duit, tapi mereka tidak serendah itu.” (Wawancara dengan Kisbandi Virdha)
Tommy Soeharto, menurut Kisbandi, adalah salah seorang calon Ketua
Umum Partai Golkar yang mengeluarkan banyak dana untuk kampanye
pencalonan dirinya seperti halnya Aburizal Bakrie ataupun Surya Paloh.
Namun, Tommy juga bernasib sama dengan Yuddy Chrisnandi yang tidak
mendapat suara sama sekali. Dalam pandangan Kisbandi, hal ini dikarenakan
peserta memang sudah menentukan pilihan ketua umumnya, bukan menunggu
siapa calon yang menawarkan imbalan lebih besar.
Di lain pihak Kisbandi tidak menyalahkan apabila ada kader Partai
Golkar yang mau menerima bantuan dari kandidat ketua umum. Pasalnya,
uang adalah motor penggerak organisasi. Tanpa uang, kepengurusan di daerah
tidak bisa menjalankan program kerja yang telah direncanakan.
“…Pendapatan partai dari APBN kan juga dijatah, tidak bisa menggantungkan dari itu saja. Dia juga butuh bensin kan? Butuh gizi,
clxxxiv
kan? Salah satunya dari sponsor. Siapa yang mau jadi sponsor? Ya yang berkepentingan, tidak mungkin tidak berkepentingan memberi sponsor. Salah satunya dari ketua partai, antek-antek atau tim suksesnya kan juga punya kepentingan yang sama.” (Wawancara dengan Kisbandi Virdha)
Dalam pandangan Kisbandi, para kandidat ketua umum sebenarnya
memiliki kepentingan ketika memberikan bantuan kepada kepengurusan
daerah. Namun mereka menginginkan pengurus daerah menganggap
pemberian uang tersebut sebagai bantuan untuk mencukupi kebutuhan
kepengurusan di daerahnya. Jadi, jika tidak ingin dianggap melakukan
transaksional suara, pengurus daerah selayaknya melihat pemberian uang dari
kader Partai Golkar yang berkepentingan tersebut untuk mengembangkan
kepengurusan partai di daerah, bukan sebagai alat untuk menyuap mereka.
Kewajaran praktek politik uang yang disampaikan Kisbandi mendapat
pemakluman dari Joni. Meskipun Joni tidak sependapat jika ada calon yang
membagi-bagikan uang ketika melakukan kampanye, tapi praktek politik
uang dan suap menyuap adalah hal yang sudah lumrah terjadi di Indonesia.
“Politik uang wajar. Maksudnya wajar itu biasa karena sudah membudaya seperti itu, membeli suara. Prakteknya bukan didalam partai saja, sudah ada jauh sebelum itu, misal di pemilihan presiden, dilegislatif itu biasa. Ketika itu berjalan, sangat wajar mereka melakukan itu. Wajar bukan berarti saya sepakat. Apapun politik uang saya tidak sepakat. Membayar orang untuk bersikap yang tidak sesuai dengan yang seharusnya dia ambil, buat aku itu salah. Saya tidak sepakat, karena mungkin mereka orang kaya, jadi wajar, punya uang kok.” (Wawancara dengan Joni Rusdiana)
Joni menilai jika orang-orang yang berkepentingan dalam partai politik
adalah orang kaya, maka sangat wajar jika mereka menggunakan uangnya
untuk melakukan suap. Namun Haris Firdaus justru merasa heran mengapa
para kandidat bersusah payah melakukan praktek politik uang. Baginya,
clxxxv
jabatan Ketua Umum Partai Golkar bukan posisi yang strategis untuk meraih
kekuasaan di pemerintahan. Namun dua calon terkuat, Aburizal Bakrie dan
Surya Paloh malah memerebutkan posisi tersebut ketimbang menjabat
menjadi menteri.
“…Saya tidak bisa membayangkan apa sebenarnya kekuatan Ketua Umum Golkar? Buat apa jabatan ketua umum Golkar? Itu justru membuat Aburizal tidak lagi menjadi menteri. Kekuatan akan jauh lebih besar kalau dia jadi menteri. Kecuali, aburizal memang menyasar menjadi calon presiden, memang saya pikir itu adalah kesimpulan logis dari kenapa dua pengusaha itu bersaing begitu kuat.” (Wawancara dengan Haris Firdaus)
Pada pemilu 2014 mendatang Presiden SBY telah habis masa
jabatannya dan tidak bisa lagi mencalonkan diri menjadi Presiden. Dalam
pandangan Haris, Partai Golkar memiliki kesempatan yang besar untuk
merebut kepercayaan masyarakat karena ketokohan SBY sudah tidak ada
lagi. Partai Golkar dipastikan juga akan mencalonkan wakilnya untuk maju
dalam bursa pemilihan Presiden serta Wakil Presiden dan kemungkinan
besarnya adalah orang nomor satu di partai itu, yakni Ketua Umum Partai
Golkar. Kepentingan inilah yang menurut Haris paling mungkin untuk
menjawab mengapa pemilihan Ketua Umum Partai Golkar sangat penting
bagi keempat kandidat.
Idealnya, meskipun banyak kepentingan dan maksud tersembunyi,
namun persaingan antar calon ketua umum seyogyanya dilakukan dengan
perencanaan dan sikap politik yang mengutamakan etika. Terlebih lagi Partai
Golkar adalah partai lama, yang sudah memahami perilaku politik yang baik
dan bermoral. Namun, menurut Rorie Asya’ri, jika ada oknum yang sengaja
melakukan kecurangan, pihak lain sangat mudah terpancing untuk melakukan
clxxxvi
hal yang sama. Karena jika tidak melakukan hal yang sama, pihak lain
tersebut dipastikan akan kalah dengan mudah. Demikian pula dengan politik
uang yang dirasakan Rorie terjadi dalam Partai Golkar.
“…pada dasarnya aku tidak setuju, suara kok bisa dibeli, hati nurani kok bisa dibeli. Memang terdengar kabar kalau Aburizal Bakrie bagi-bagi uang, kemudian kubu Aburizal menuduh Surya Paloh melakukan hal yang sama. Tapi bagaimana kalau pesaing kita melakukan politik uang dan ada signal bahwa mereka akan menang karena salah satunya adalah politik uang yang mereka lakukan, apakah kita juga harus meniru politik uang itu? Biarkan mereka yang bermain politik uang, kita yang bersih, biar rakyat yang berbicara dan pasti akan ketahuan lama-lama kedoknya.” (Wawancara dengan Rorie Asya’ri)
Dua calon ketua umum yang paling santer terdengar melakukan politik
uang adalah Aburizal Bakrie dan Surya Paloh. Selain karena politik uangnya,
kedua calon ini juga yang paling diunggulkan untuk memenangkan
persaingan karena pengalaman dan pengabdiannya terhadap Partai Golkar.
Rorie memahami jika kedua calon ini berlomba-lomba mengeluarkan banyak
uang untuk meraih dukungan sebanyak-banyaknya. Pasalnya, jika salah satu
tidak melakukan hal tersebut, pengurus daerah tentu akan menjatuhkan
pilihannya kepada calon lain yang paling kuat.
Rorie menuturkan, seharusnya para kandidat tidak tergoda untuk
melakukan transaksional suara. Masyarakat umum dan media massa sebagai
pengamat politik, menurut Rorie, sudah pintar dan dewasa dalam menyikapi
dinamika politik. Elite politik yang bersih akan mendapat perhatian dan
dukungan, sementara kemenangan elite politik yang melakukan kecurangan
akan diingat sebagai elite yang berperilaku buruk. Tidak hanya bersih dari
politik uang, masyarakat akan memberikan apresiasi kepada kandidat ketua
clxxxvii
umum partai yang memiliki kompetensi diri untuk memperbaiki kondisi
partainya. Seperti yang diungkapkan oleh Ertika Nanda berikut.
“Meskipun uang bisa menjadi pendukung, tapi lebih kepada kapasitas dia yang qualified bukan uangnya. Uang iya, tapi ketika melihat kapasitas orang itu bagus, orang akan melihat kapasitasnya dan mengesampingkan uang yang dimiliki.” (Wawancara dengan Ertika Nanda)
Namun senada dengan Rorie, Ertika juga menyadari bahwa politik
uang yang dilakukan oleh salah satu calon akan memancing calon lain untuk
melakukan hal serupa. Dalam pandangan Rorie, hal tersebut bukan karena
kandidat ketua umum tidak memiliki idealisme, tetapi realita yang terjadi
dilapangan memaksa mereka untuk mengesampingkan idealisme dan pada
akhirnya akan bersikap pragmatis.
“Kita harus melihat kondisi negara kita, kita tidak bisa men-judge satu bagian dimana bagian itu merupakan bagian dari keseluruhan negara ini, sudah seperti mendarah daging. Memang kita bisa idealis bahwa politik uang itu tidak baik dan harus ditinggalkan. Tapi ketika tidak mempergunakan cara itu, dia tidak akan terpilih, konsekuensinya seperti itu. Dan idealisme kadang tidak bisa bertahan ketika berhadapan dengan realita. Kita bisa bilang macam-macam tentang Partai Golkar tapi tidak terlepas juga dengan kondisi negara kita yang dibawa pada saat masa orde baru. Maksudnya pada saat pemerintahan Soeharto, dia melestarikan bagaimana caranya KKN dan partai dia adalah Golkar. Kalau Golkar kemudian sekarang seperti itu, ya biasa saja, sudah warisan masa lalu.” (Wawancara dengan Ertika Nanda)
Dari pemaparan tersebut, pembaca Kompas menilai bahwa isu politik
uang dan pragmatisme politik yang terjadi pada Munas Partai Golkar VIII
sudah menjadi rahasia umum karena partai ini sejak jaman orde baru tidak
bisa melepaskan diri dari budaya KKN dan pragmatisme. Namun, harus
disadari pula bahwa dalam tubuh partai memerlukan biaya operasional yang
tidak sedikit, sehingga pengurus daerah tidak menolak pemberian uang yang
clxxxviii
akan membantu kepengurusan daerah. Politik uang dan pragmatisme politik
adalah kesalahan terstruktur dan telah membudaya dalam sistem politik
bangsa, sehingga tidak bisa menyalahkan satu atau dua pihak saja. Berikut
adalah rangkuman pendapat mengenai isu politik uang dan pragmatisme
politik dari masing-masing responden.
Tabel 3.10 Rangkuman Pendapat Pembaca Kompas
tentang Isu Politik Uang dan Pragmatisme Politik
No Nama Pendapat 1 Eko
Setiawan Politik uang terjadi karena kepengurusan di DPD membutuhkan finansial sehingga mereka memilih calon ketua umum yang bisa memberikan uang. Hal tersebut merupakan pembelajaran yang buruk tapi proses demokrasi Indonesia masih seperti itu.
2 Ansyor Politik uang sudah menjadi rahasia umum. Kekuasaan bisa dibeli dan dikontrol oleh kandidat yang punya modal dan pengaruh yang besar. Mereka bisa melakukan segala cara untuk mencapai tujuannya. Hal ini membuat Partai Golkar tidak bisa lagi menjadi corong aspirasi rakyat karena sebagian besar kadernya mengharapkan imbalan dan mendapatkan kekuatan.
3 Kisbandi Virdha
Politik uang itu sah-sah saja karena operasional dan kader partai memang butuh uang. Pihak yang memberikan uang adalah pihak yang berkepentingan, seperti calon ketua umum dan tim suksesnya. Tapi politik uang sifatnya hanya menawarkan, bukan untuk jual beli suara. Jadi walaupun kader partai membutuhkan uang tapi mereka tidak serendah itu.
4 Ertika Nanda
Di munas terlihat sekali siapa yang punya uang, dialah yang menang. Uang merupakan pendukung, namun seharusnya memilih pemimpin yang benar-benar berkualitas. Calon yang melakukan politik uang misalnya Tommy dan Aburizal. Merupakan hukum alam jika pada saat kampanye mengeluarkan uang, maka saat terpilih berusaha untuk mengembalikan uang itu. Akan tetapi kita tidak bisa menghakimi kondisi yang demikian, karena Partai Golkar tidak terlepas dari budaya KKN yang dibawa oleh Soeharto dan orde baru. Realitanya, Golkar masih menggunakan politik uang.
5 Rorie Asya’ri
Tidak setuju dengan politik uang, suara dan hati nurani sebenarnya tidak bisa dibeli. Memang ada informasi Aburizal Bakrie dan Surya Paloh membagi-bagikan uang. Jadi, bagaimana jika pesaing kita melakukan politik uang dan kemungkinan dia akan menang? Seharunya kita tidak meniru
clxxxix
pesaing kita tersebut, biarkan mereka yang bermain uang dan rakyat yang akan menilai dan berbicara siapa yang benar.
6 Haris Firdaus
Naïf jika tidak percaya ada politik uang, tapi memang tidak bisa dibuktikan. Politik uang di semua partai politik pasti ada, terlebih di Partai Golkar. Kemenangan Aburizal Bakrie cukup mengagetkan karena tidak kuat secara politik tapi kuat secara finansial. Sebenarnya apa kekuatan jabatan Ketua Umum sampai menggunakan politik uang? Kemungkinannya, Ketua Umum Partai Golkar akan diajukan menjadi Capres 2014.
7 Paramita Sari
Masih ada politik pragmatis di Partai Golkar dibutikan dengan Yuddy Chrisnandi yang tidak mendapat suara padahal visi dan misi dia yang paling bagus. Sehingga ada dugaan kuat Aburizal dan Surya Paloh memberi imbalan uang walaupun tidak secara langsung meminta untuk memilih mereka, tapi dengan memberikan fasilitas kepada para pemilih.
8 Joni Rusdiana
Sudah jelas bahwa Partai Golkar itu pragmatis. Praktek politik uang yang mereka lakukan sebenarnya sangat wajar. Artinya, dalam pemilu sebelumnya pun praktek seperti ini sudah biasa terjadi. Karena calon ketua umum Partai Golkar adalah orang-orang kaya jadi sangat wajar jika bisa melakukan hal tersebut.
4. Pandangan Pembaca Kompas terhadap Indikasi
Rekayasa dan Kericuhan pada Pelaksanaan Munas
Partai Golkar memang identik dengan berbagai bentuk rekayasa.
Keputusan dan kebijakan politik di Partai Golkar banyak diwarnai oleh
kepentingan-kepentingan pribadi atau kelompok yang berusaha mewujudkan
keinginannya tersebut. Tidak hanya melalui lobi-lobi dengan pihak yang
memiliki wewenang, tetapi pada saat Munas Partai Golkar VIII berhembus isu
bahwa kericuhan yang terjadi adalah sebuah rekayasa. Pasalnya kericuhan
terjadi karena oleh hal-hal kecil yang tidak berhubungan langsung dengan
ideologi partai. Para pembaca Kompas juga mencium kejanggalan dalam
kericuhan pada saat pelaksanaan Munas Partai Golkar ini. Penggambarannya
dapat dilihat pada pendapat yang diutarakan Ansyor berikut.
cxc
“Ricuh itu karena hal-hal sepele yang memperlihatkan bahwa mereka bersaing untuk menyuarakan pendapat mereka di munas dan sangat terlihat sekali antara kubu Aburizal dan Surya Paloh bersaing sekali untuk memenangi munas. Saya kira (kericuhan) itu juga di setting karena sudah biasa seperti itu, sebelumnya mereka mengadakan pertemuan dulu dengan pendukung Aburizal, begitu juga dengan Surya Paloh. Mereka berkoordinasi dulu sebelum munas.” (Wawancara dengan Ansyor)
Menurut Ansyor, pihak yang paling kentara berseteru dan membuat
munas ricuh adalah kubu Aburizal Bakrie dan kubu Surya Paloh. Masing-
masing pendukung dari kedua kandidat ketua umum tersebut saling beradu
pendapat sehingga terjadi perebutan mic (peralatan tata suara) dan meminta
interupsi berulang kali. Bahkan lebih jauh Ansyor menduga telah terjadi
konspirasi antara tim sukses dari kandidat dengan pengurus daerah yang
mendukungnya sebelum munas berlangsung.
Senafas dengan Ansyor, Paramita juga menganggap bahwa kericuhan
yang terjadi adalah akibat adanya blok-blok dari kandidat ketua umum.
Seperti yang diungkapkan Redi Panuju, bahwa dalam perebutan kekuasaan
akan terbentuk blok-blok tertentu yang memiliki banyak sebutan seperti ruling
elitee, power elitee, strategic elitee, atau ruling class. Namun Paramita tidak
melihat perselisihan antar kubu sebagai sebuah rekayasa yang telah
direncanakan sejak jauh hari sebelum munas. Paramita menganggap kericuhan
lebih disebabkan karena suasana yang kian memanas di dalam ruang sidang.
“Kalau kericuhan itu karena massa dari masing-masing kandidat membela kandidatnya masing-masing. Dan apapun itu yang menyangkut kedua orang calon terkuat akan menjadi konflik, hanya hal-hal kecil itu saja bisa menjadi konflik.” (Wawancara dengan Paramita Sari)
Dalam pandangan Paramita, segala sesuatu yang menyinggung
pemilihan Ketua Umum Partai Golkar pasti dipermasalahkan oleh para
cxci
pendukungnya. Pasalnya, kubu salah satu kandidat berusaha agar kubu lain
tidak mendapatkan keuntungan yang dapat meningkatkan elektabilitas
kandidat yang bersangkutan. Sementara masing-masing kubu juga berusaha
mencari kesempatan agar kandidatnya lebih menonjol dan lebih banyak
mendapat perhatian oleh semua peserta munas.
Kericuhan ini, menurut Eko Setiawan, memang disebabkan karena
adanya gesekan kepentingan yang sangat tajam antar kandidat Ketua Umum
Partai Golkar, terutama dua kandidat yang paling diunggulkan, yakni Aburizal
Bakrie dan Surya Paloh. Namun muara kericuhan sebenarnya bukan jumlah
total suara dan persaingan pribadi antar kedua kandidat. Dalam hemat Eko,
dua kepentingan yang menyebabkan munas berlangsung ricuh adalah karena
Partai Golkar adalah partai besar yang memiliki pendukung sangat beragam
atau plural serta adanya pilihan Partai Golkar untuk masuk ke dalam lingkaran
pemerintahan atau tidak.
“Kericuhan merupakan proses yang sulit dihindarkan, pertama karena Golkar adalah partai besar. Kedua karena munas posisinya strategis yakni sebelum SBY menentukan kabinet, ini menentukan Golkar akan masuk kabinet atau keluar pemerintahan. Kalau kemarin ada kerusuhan, memang tidak terhindarkan, gesekannya sangat kental. Tidak hanya di dalam tetapi diluar ruanganpun juga begitu.” (Wawancara dengan Eko Setiawan)
Pilihan posisi politik berkoalisi dengan pemerintah atau oposisi,
menurut Eko, yang menyebabkan suasana munas semakin memanas. Terlebih
lagi, Aburizal Bakrie dan Surya Paloh memiliki pandangan yang saling
berseberangan. Aburizal Bakrie menginginkan berkoalisi, sementara Surya
Paloh mengharapkan Partai Golkar lepas dari pemerintahan. Akibatnya hal-hal
kecil yang berawal dari gesekan antar pendukung dicurigai merupakan
cxcii
tindakan sabotase dari salah seorang kandidat. Mereka saling tuduh bahwa
pihak lain melakukan kecurangan dan sabotase. Dalam bahasa Eko, sabotase
ini kemungkinan ditujukan untuk menggembosi calon ketua umum lain.
Haris Firdaus juga memiliki pendapat yang serupa dengan Paramita
dan Eko. Menurut Haris, kericuhan pada dasarnya memang disebabkan karena
cara pandang peserta munas yang sudah berbeda. Pasalnya, masing-masing
peserta munas telah menentukan pilihan terhadap Ketua Umum Partai Golkar
yang baru sehingga frame berpikirnya hanya berpusat pada kemenangan calon
yang dijagokannya.
“Kericuhan itu karena perbedaan pendapat, yang dikhawatirkan muaranya sebenarnya ke pemilihan ketua umum, misalnya yang paling sering itu pengakuan atau pengesahan delegasi, dari provinsi atau kabupaten, yang berhak mendapatkan suara. Menurut saya relatif kecil persoalan satu suara atau dua suara. Cuma ada beberapa pihak yang kemudian konspiratif: ini sedang penjegalan, kecurangan, dan sebagainya.” (Wawancara dengan Haris Firdaus)
Meskipun banyak pihak menganggap kericuhan hanya sebuah
rekayasa, tapi secara bijaksana Joni Rusdiana menganggap bahwa kericuhan
yang terjadi pada saat munas sebenarnya bertujuan untuk membesarkan partai.
Rekayasa, dalam pandangan Joni, sesungguhnya bukan sesuatu yang baru dan
merupakan hal yang biasa terjadi dalam dunia politik. Pokok utama dari
sebuah rekayasa atau konspirasi, dalam pandangan Joni, adalah apa tujuan
dibalik rekayasa tersebut.
“Kalau politik itu biasa terjadi setting-settingan, dalam wacana publik sering terjadi setting-settingan, itu memang untuk membesarkan partai, strategi. Tapi saya tidak tahu disengaja atau tidak. Kepentingannya secara teoritis itu bagian dari strategi propaganda. Mewacanakan bahwa Golkar itu bukan partai yang patrialkal, tapi reformis. Semua orang, mayoritas masyarakat Indonesia menganggap bahwa Golkar itu berpenyakit, feodal,
cxciii
tapi sekarang dimunculkan Golkar yang baru dari Akbar Tandjung.” (Wawancara dengan Joni Rusdiana)
Menurut Joni, kericuhan yang terjadi pada saat munas adalah usaha
untuk menciptakan citra bahwa Partai Golkar adalah partai yang bisa
menjunjung tinggi asas demokrasi. Dalam sistem demokrasi, menurut Amien
Rais ada empat macam kebebasan, yakni kebebasan mengeluarkan pendapat,
kebebasan persuratkabaran, kebebasan berkumpul dan kebebasan beragama.
Maka, selayaknya seluruh peserta diberi kesempatan seluas-luasnya untuk
mengeluarkan pendapat dan interupsi, sehingga diharapkan keputusan politik
tidak hanya didasarkan pada pemimpin rapat saja. Dengan demikian, peserta
rapat boleh beradu argumen serta pendapat peserta tidak bisa dibatasi asalkan
sesuai dengan tata tertib rapat paripurna. Meskipun, konsekuensinya adalah
rapat berlangsung ricuh, banyak pihak yang protes dan tidak puas terhadap
keputusan yang diambil.
Anggapan bahwa kericuhan adalah representasi demokrasi yang terjadi
dalam tubuh Partai Golkar juga disampaikan oleh Kisbandi Virdha. Karena
pada dasarnya, seperti yang dinugkapkan Alfian, demokrasi memang
memberikan peluang bagi perbedaan pendapat, persaingan dan pertentangan.
Menurut Kisbandi, proses demokrasi itu terjadi secara alami sehingga tidak
mungkin direkayasa.
“Masalah kericuhan itu kan masalah teknis. Wajar, dimana-mana tidak mungkin tertib sekali, pasti ada kerikil-kerikil kecil. Cuma tidak signifikan dampaknya untuk pemilihan atau acara lain yang dominan. Menurut saya tidak mungkin juga itu disetting karena itu masalah-masalah kecil yang dibesar-besarkan, seperti rebutan mic, itu wajarlah di alam demokrasi seperti ini.” (Wawancara dengan Kisbandi Virdha)
cxciv
Sama halnya dengan bentuk demokrasi Indonesia yang
memperbolehkan rakyat menyampaikan ide, gagasan, keberatan, dan kritiknya
terhadap pemerintah yang berkuasa, dalam pandangan Kisbandi, protes-protes
kecil pada saat munas bisa dimaklumi sebagai kebebasan menyampaikan
pendapat. Sayangnya, para peserta munas seakan tidak menganggap hal
tersebut sebagai sebuah proses berdemokrasi. Persoalan kecil justru dibesar-
besarkan dan dipermasalahakan sehingga menghambat jalannya rapat.
Sependapat dengan Kisbandi, Rorie Asya’ri menganggap perilaku
yang demikian justru menunjukkan bahwa kader Partai Golkar tidak
profesional. Persoalan kecil seperti peralatan tata suara yang tiba-tiba mati
dalam perspektif Rorie merupakan kesalahan teknis, sehingga tidak
selayaknya dihubungkan dengan usaha menyabotase atau mengacaukan pihak
lain yang sedang menyampaikan ide dan gagasan. Namun demikian, menurut
Rorie, ada penyebab yang membuat kericuhan ini dibesar-besarkan dan
dibahas secara khusus di media.
“…Nah, kenapa sampai sebegitunya mereka mengangkat itu sebagai suatu kasus karena temperatur, tekanan, atmosfer dan suasana yang tidak mendukung lagi, sudah memanas. Jadi masing-masing pendukung ingin memenangkan yang mereka dukung, itu menyebabkan mereka gampang emosi.” (Wawancara dengan Rorie Asya’ri)
Rorie beranggapan, jika tidak ada persaingan antar calon ketua umum
yang sangat tinggi, maka kesalahan teknis yang terjadi dapat diselesaikan
dengan baik tanpa keributan. Namun karena masing-masing peserta sudah
memiliki pandangan yang berseberangan, maka satu sama lain ketika ada
kesempatan akan berusaha untuk menjatuhkan pihak lain.
cxcv
Sementara Ertika Nanda berusaha menempatkan dirinya sebagai pihak
yang netral. Seperti yang dikatakan Eep Syaefullah, bahwa seharusnya ada
pendamaian paradoks yang inhern dalam demokrasi, yaitu antara kebebasan
dan konflik di satu sisi dengan keteraturan, stabilitas dan konsensus disisi lain.
Maka menurut Ertika, meskipun dinamika politik bisa dikatakan sebagai
proses demokrasi, tapi tidak seharusnya segala bentuk perpecahan diatas
namakan proses berdemokrasi. Karena demokrasi yang sesungguhnya harus
mampu menyatukan perbedaan untuk menghindari perpecahan.
“Ada banyak faktor dalam pencapaian kekuasaan, apapun bisa terjadi, bisa direncanakan, bisa dibuat, negara kita memang seperti itu. Sebenarnya kalau pelaksanaan demokrasi, tidak seharusnya memberi kesempatan dan tidak selayaknya dipergunakan sebagai tameng untuk melakukan kericuhan. Seolah-olah ketika itu terjadi kemudian mengatakan inilah proses demokrasi, itu karena orang-orang kita tidak dewasa. Entah sudah direncanakan atau karena terjadi ketidakadilan, tetapi masyarakat kita sangat tidak dewasa.” (Wawancara dengan Ertika Nanda)
Kaitannya dengan pelaksanaan munas, Ertika menganggap kader partai
yang menyebutkan bahwa kericuhan pada saat munas adalah bentuk
demokrasi dalam Partai Golkar merupakan sikap yang tidak bijaksana. Ertika
beranggapan, sistem demokrasi seolah menjadi alasan atau pembenaran bahwa
kericuhan merupakan sesuatu yang harus dimaklumi oleh masyarakat. Secara
dewasa, dalam persepsi Ertika, perbedaan yang terjadi dalam tubuh partai
seharusnya diselesaikan secara baik sesuai dengan peraturan rapat yang
bersangkutan. Jika demokrasi diselesaikan dengan cara ribut-ribut, maka
menurut Ertika, Indonesia tidak akan maju dan dewasa.
Senada dengan pernyataan Ertika, menurut Haris, persoalan yang
dihadapi Partai Golkar justru bukan masalah rekayasa atau tidak, akan tetapi
cxcvi
terkait dengan bagaimana pembentukan image partai ini akibat kericuhan yang
terjadi. Haris berbeda pendapat dengan Joni. Jika Joni beranggapan bahwa
kericuhan adalah penanda bahwa partai ini bisa berlaku demokratis, menurut
Haris citra Partai Golkar justru rusak karena hal tersebut.
“…sebenarnya bukan rekayasa, tapi saya tidak membayangkan terjadi dalam partai politik karena partai politik adalah sebuah kelompok yang solid kemudian punya ideologi dominan. Perbenturan kepentingannya sangat nyata dan sangat pragmatis. Dalam sebuah parpol tidak wajar, itu menandai bahwa dalam internal partai politik tidak solid. Oke, itu mungkin bentuk demokrasi, tapi yang penting dalam partai kan kesolidan, kesamaan pandangan. Saya tidak terbayangkan itu terjadi dalam sebuah parpol, kepentingannya sangat besar.” (Wawancara dengan Haris Firdaus)
Sekali lagi Haris menganggap bahwa kericuhan menjelaskan bahwa
Partai Golkar tidak sehat secara internal. Terlalu banyak kepentingan pribadi
dan tidak adanya tokoh dominan sehingga tidak ada yang bisa menyatukan
berbagai macam kepentingan tersebut ke dalam satu kepentingan partai.
Padahal, menurut Prof. Miriam Budihardjo, partai politik terbentuk karena ada
orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Jadi, menurut Haris, proses
demokrasi memang diperlukan untuk berdialektika, namun hal tersebut
membuat Partai Golkar justru lupa bahwa yang terpenting dalam sebuah partai
adalah kesatuan dan kesamaan pandangan.
Dari pemaparan tersebut, pembaca Kompas menilai bahwa indikasi
rekayasa dan kericuhan memang tercium kuat. Rekayasa terjadinya kericuhan
dan keputusan-keputusan politik memang wajar terjadi karena banyaknya
kepentingan dari masing-masing kubu kandidat ketua umum. Ada yang
beranggapan bahwa kericuhan merupakan sesuatu yang lumrah dalam proses
berdemokrasi. Namun sebagian lain menganggap bahwa Partai Golkar terlalu
cxcvii
mengatasnamakan demokrasi sebagai pembenaran terjadinya kericuhan.
Segala bentuk rekayasa dan kericuhan justru membentuk citra bahwa Partai
Golkar bukan merupakan partai yang solid secara internal. Berikut adalah
rangkuman pendapat mengenai indikasi rekayasa dan kericuhan pada
pelaksanaan Munas Partai Golkar VIII dari masing-masing responden.
Tabel 3.11 Rangkuman Pendapat Pembaca Kompas
tentang Indikasi Rekayasa dan Kericuhan pada pelaksanaan Munas
No Nama Pendapat 1 Eko
Setiawan Kericuhan tidak bisa dihindari karena Partai Golkar adalah partai besar dan posisi munas strategis yakni sebelum SBY menentukan kabinet sehingga menentukan Partai Golkar akan koalisi atau oposisi. Gesekan kepentingan sangat kental, sehingga hal-hal kecil dicurigai, misalnya untuk menyabotase, tujuannya untuk menggembosi salah satu calon.
2 Ansyor Kericuhan disebabkan hal-hal sepele yang menunjukkan persaingan antara kubu Aburizal dan Surya Paloh untuk memenangkan munas. Kericuhan itu memang di setting karena sebelum munas ada pertemuan atau koordinasi dalam kubu terlebih dahulu.
3 Kisbandi Virdha
Kericuhan itu hanya masalah teknis, pasti ada kerikil kecil tidak mungkin tertib sekali sehingga tidak ada pengaruh yang signifikan terhadap pemilihan ketua umum. Masalah yang ada di munas adalah masalah kecil yang dibesar-besarkan sehingga tidak mungkin di setting.
4 Ertika Nanda
Dalam pencapaian kekuasaan, apapun bisa terjadi, direncanakan dan dibuat. Seharusnya sistem demokrasi tidak digunakan sebagai tameng untuk melakukan kericuhan. Meskipun hal tersebut direncanakan atau memang terjadi ketidakadilan, namun hal ini menunjukkan masyarakat Indonesia tidak dewasa.
5 Rorie Asya’ri
Tuduhan bahwa hal-hal kecil pada saat munas adalah usaha untuk menyabotase atau mengacaukan pihak lain merupakan hal yang tidak profesional. Kericuhan diangkat sebagai sebuah kasus karena tekanan dan suasana munas sudah memanas sehingga menyebabkan para peserta mudah tersulut emosi.
6 Haris Firdaus
Kericuhan disebabkan karena perbedaan pendapat yang muaranya ke pemilihan umum. Persoalannya sebenarnya relatif kecil namun ada pihak yang mengkonfrontasi bahwa hal tersebut adalah penjegalan atau kecurangan pihak lain. Yang tampak bukan masalah rekayasa, tapi dalam internal partai
cxcviii
perbenturan kepentingan sangat nyata dan pragmatis. Hal ini tidak wajar, menunjukkan internal partai tidak solid. Dalam sebuah partai politik yang utama adalah kesamaan pandangan dan kesolidan, tapi di Partai Golkar ada kepentingan lain yang sangat besar
7 Paramita Sari
Kericuhan itu karena masing-masing pendukung membela kandidatnya masing-masing. Apapun yang menyangkut para kandidat akan menjadi konflik. Para kandidat bersaing karena bermain kepentingan, memperebutkan posisi menjadi oposan atau koalisi. Dua calon terkuat, Aburizal Bakrie dan Surya Paloh memilih arah politik yang berbeda, sehingga persaingan ini semakin di blow up media.
8 Joni Rusdiana
Dalam politik, setting kericuhan atau rekayasa adalah hal yang biasa. Tujuannya adalah membesarkan partai dengan mewacanakan diri atau propaganda bahwa Partai Golkar bisa berlaku reformis tidak patrialkal. Partai Golkar sudah terkenal berpenyakit dan feodal, dan sekarang dimunculkan Partai Golkar yang baru.
5. Pandangan Pembaca Kompas terhadap Posisi
Politis Partai Golkar Pasca Munas
Pelaksanaan Munas Partai Golkar VIII pada tahun 2009 menjadi
sangat strategis karena tepat dua minggu sebelum Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) menetapkan menteri dalam Kabinet Indonesia Bersatu Jilid
2 pada 20 Oktober 2009. Pilihan posisi politik Partai Golkar menentukan
apakah kader Partai Golkar akan dimasukkan SBY ke dalam kabinet atau
tidak. Sebelumnya Partai Golkar melalui Jusuf Kalla sudah mengambil
ancang-ancang untuk menjadi oposisi. Namun karena dua pesaing kuat
kandidat Ketua Umum Partai Golkar, Aburizal Bakrie dan Surya Paloh
berbeda arah politik, munas yang direncanakan berlangsung bulan Desember
maju menjadi awal Oktober. Bahkan ketika Rapat Pimpinan Nasional
cxcix
(Rapimnas) Partai Golkar, Aburizal Bakrie pernah mengusulkan munas
diajukan kembali pada akhir September.
Menurut pembaca Kompas, waktu pelaksanaan munas memang dibuat
agar berlangsung sebelum SBY menetapkan nama-nama menteri. Tujuannya
agar kader yang menginginkan berkoalisi dengan Partai Demokrat lebih
leluasa dan memiliki kesempatan untuk dimasukkan ke dalam kabinet. Seperti
yang diutarakan Ertika Nanda berikut ini.
“…Pelaksanaan sebelum pemilihan kabinet juga supaya personil Partai Golkar dipilih di kabinet. Jelas munas itu menunjukkan eksistensi dan orang-orang yang telah mendukung ketua yang sudah jadi mungkin diajukan menjadi menteri.” (Wawancara dengan Ertika Nanda)
Menurut Ertika, persaingan ideologi mengenai arah politik calon ketua
umum sebenarnya sudah dimulai jauh hari sebelum munas. Bahkan waktu
pelaksanaan munas menjadi sangat penting untuk diatur sedemikian rupa agar
tujuan mereka tercapai. Perbedaan arah politik Partai Golkar, menurut Eko
Setiawan, juga membuat seluruh kader partai bimbang untuk meyakini
pendapat tokoh mana. Seperti diketahui, JK dan Surya Paloh berharap Partai
Golkar lepas dari pemerintah. Sementara Aburizal Bakrie dan Akbar Tandjung
menginginkan tetap berada dalam lingkaran kekuasaan. Keempatnya
merupakan tokoh yang sangat disegani oleh seluruh kader Partai Golkar.
“… Sebenarnya Partai Golkar sudah bimbang. Surya Paloh diluar pemerintahan, ical didalam pemerintahan. Kalau Golkar berada dalam pemerintahan, tentu Golkar akan eksis, terutama karena dia dekat dengan pemerintan dan kekuasaan, serta kader Golkar bisa mengakses link pemerintah. Dengan pola-pola tertentu pasti partai Golkar akan berkembang. Beda ketika Golkar ada diluar pemerintah, mereka akan sulit mengaplikasikan program partai dan rakyat jelas akan melihat program pemerintah daripada program partai.” (Wawancara dengan Eko Setiawan)
cc
Eko melihat, posisi koalisi memiliki banyak keuntungan. Keuntungan
tersebut dapat dimanfaatkan Partai Golkar untuk mengembangkan partai
selama periode lima tahun mendatang. Dengan banyak terlibatnya Partai
Golkar dalam kegiatan-kegiatan pemerintah, partai ini akan dipandang lebih
banyak oleh rakyat. Secara otomatis, hal ini akan mengembalikan kepercayaan
publik lagi terhadap Partai Golkar. Namun jika Partai Golkar memilih
beroposisi, partai ini akan kesulitan untuk mengaplikasikan program-
programnya di masyarakat. Senada dengan Eko, Paramita Sari menilai posisi
koalisi sebenarnya banyak keunggulan dikarenakan pemerintahan SBY selama
ini bersifat sentralistik.
“Jelas koalisi nanti akan diuntungkan karena terlihat sekali di pemerintahan 2009-2014 ini sangat sentralistik. Pemenangnya kan Demokrat secara telak, pendukungnya SBY juga terlalu banyak. Disana akan mudah bermain kepentingan karena kalau ikut yang kalah itu pasti akan jadi berat jalannya.” (Wawancara dengan Paramita Sari)
Koalisi memungkinkan Partai Golkar untuk ikut ambil bagian dalam
kebijakan-kebijakan pemerintah yang menyangkut kepentingan rakyat banyak.
Sementara jika pilihan Partai Golkar adalah menjadi oposisi, menurut
Paramita, kemungkinan karena Partai Golkar ingin mengambil hati
masyarakat kecil yang selama ini kurang mendapat perhatian pemerintah.
Namun, senada dengan Eko, Joni Rusdiana menganggap posisi oposisi
masih sangat rentan dengan kegagalan. Jika Eko beranggapan bahwa posisi
oposisi akan membuat rakyat tidak memerhatikan program partai, Joni justru
melihat ada kebingungan mengenai program apa yang akan dijalankan partai
selama lima tahun mendatang. Terlebih lagi, Partai Golkar adalah partai massa
cci
yang memiliki pendukung beragam, bukan merupakan partai kader yang
militan. Menurut Prof. Miriam Budihardjo, partai massa lebih mengutamakan
kekuatan berdasarkan keunggulan jumlah anggota. Sementara partai kader
lebih mementingkan keketatan organisasi dan disiplin kerja anggotanya.
Sehingga partai kader memiliki kegiatan kaderisasi yang terstruktur selama
rentang waktu sebelum pemilu, sementara partai massa cenderung memiliki
program yang beragam pula menyesuaikan dengan basis pendukungnya.
“…Menjadi oposisi itu hal yang membingungkan bagi Golkar karena hal yang baru. Oposan itu pekerjaannya apa sih? Kalau loyalitas itu loyalitas orang-orang kampung yang tidak militan, jadi loyalitas karena faktor psikologis. Cuma kasus saja kalau dia punya pandangan, persepsi yang baik: dulu ada Golkar saya kenyang, tapi sekarang? Saya kelaparan, harga mahal. Dengan kondisi sekarang ada PKS yang orang-orangnya militan, PAN juga sebagian militan. Kemudian PDIP yang saya tahu juga membuat gerakan-gerakan seperti PKS, membuat kajian-kajian, membuat klik-klik di masyarakat.” (Wawancara dengan Joni Rusdiana)
Menurut Joni, posisi oposisi akan membuat perubahan yang besar
dalam tubuh Partai Golkar. Selain itu, posisi ini kurang cocok diterapkan di
Indonesia yang menerapkan sistem pemerintahan presidensial. Namun jika
pilihan posisi politik Partai Golkar adalah berkoalisi dengan pemerintah yang
berkuasa, dalam pandangan Eko, juga tidak memberikan jaminan bahwa partai
ini akan lebih berkembang daripada sebelumnya. Paling tidak, menurut Eko,
Partai Golkar tetap eksis dan diperhatikan masyarakat Indonesia.
“Partai Golkar eksis iya, tapi kalau berkembang kita lihat dulu nanti karena mau tidak mau Partai Golkar masih berada dibawah SBY dan Demokrat, dan itu sangat berpengaruh. Ical dan kawan-kawan di Partai Golkar harus pintar-pintar memainkan posisinya di pemerintahan.” (Wawancara dengan Eko Setiawan)
Dalam pandangan Eko, posisi koalisi yang diambil Partai Golkar harus
dimanfaatkan benar-benar oleh Aburizal Bakrie sebagai ketua umum. Jika
ccii
dilihat dari segi kekuasaan, Partai Golkar memang diuntungkan karena masuk
dalam lingkaran pemerintah. Namun, posisi Partai Golkar tetap berada
dibawah kendali Partai Demokrat sebagai pemimpin koalisi besar. Namun
tidak semua pembaca Kompas menganggap posisi koalisi menguntungkan
bagi Partai Golkar. Ansyor, menilai pilihan koalisi ini justru sangat
mengecewakan terutama bagi rakyat kecil.
“Selama berkuasa, Golkar memang selalu berada di pihak pemerintah. Dan yang saya sesalkan saat ini Golkar yang diketuai oleh Aburizal masih pro terhadap pemerintah. Aburizal Bakrie harusnya beroposisi terhadap pemerintah karena memang itulah posisi yang berpihak kepada rakyat. Kalau Golkar berpihak kepada pemerintah, maka siapa lagi yang akan mengontrol pemerintah? Rakyat pasti akan kecewa terhadap Golkar dan bisa saja diramalkan pada pemilu 2014 nanti Golkar mengalami kekalahan.” (Wawancara dengan Ansyor)
Dalam pandangan Ansyor, meskipun banyak resiko yang harus
dihadapi jika memilih oposisi, tetapi dengan posisi tersebut lebih banyak
masyarakat yang menggunakan Partai Golkar sebagai wadah penyalur
aspirasinya. Selain itu, Partai Golkar bisa menempatkan diri sebagai pengawas
program pemerintah, sehingga apabila ada penyelewengan yang merugikan
rakyat, Partai Golkar bisa memperjuangkan keadilan untuk masyarakat.
Pilihan posisi berkoalisi dengan Partai Demokrat, menurut Ansyor, justru
membuat Partai Golkar kembali kehilangan pamor pada Pemilu 2014. Senada
dengan Ansyor, Kisbandi Virdha menganggap posisi oposisi adalah posisi
paling ideal yang seharusnya diambil Partai Golkar. Pasalnya, menurut
Kisbandi, tujuan koalisi hanya untuk mendapatkan kursi menteri saja.
cciii
Namun demikian, menurut Rorie Asya’ri, posisi Partai Golkar saat ini
justru menguntungkan bagi internal partai, tetapi jika partai ini tidak segera
melakukan pembenahan internal, pada pemilu 2014 partai ini tetap akan kalah.
“Untuk 2014, kalau pergantian ketua umum hanya sebagai formalitas, sebagai rutinitas lima tahunan, besok 2014 akan keteteran, kecuali kalau pemerintah SBY ini bener-bener jatuh, sampai ada revolusi besar-besaran akibat Century, Golkar dapat peluang. Nah, ini keuntungan si licik ‘abu-abu’, karena dia tidak berada di kutub yang jelas.” (Wawancara dengan Rorie Asya’ri)
Berbeda dengan Rorie, menurut Paramita Sari, popularitas dan
kekuatan Partai Golkar saat ini justru semakin menurun. Namun Paramita
mengamini pendapat Rorie bahwa penyebab melemahnya Partai Golkar
adalah permasalahan kesolidan program dan kadernya.
“Partai Golkar yang sekarang semakin melemah, dahulu orang kecil ketika ditanya tentang partai, pasti yang teringat Golkar. Simbol-simbol Golkar di masyarakat pada waktu itu sangat banyak, oleh karena itu Partai Golkar yang sekarang semakin melemah, tidak sampai ke akar rumput. Dia malah seperti ditinggalkan oleh basis pendukungnya yang dulu-dulu.” (Wawancara dengan Paramita Sari)
Partai Golkar setelah masa reformasi, dalam persepsi Paramita, tidak
lagi dekat dengan pendukungnya di daerah. Padahal basis pendukung paling
kuat partai ini justru berada di daerah. Terlebih lagi kondisi internal partai
penuh dengan konflik, sehingga kepercayaan masyarakat bahwa Partai Golkar
dapat memperjuangkan kepentingan mereka semakin surut. Paramita
menganggap, lemahnya Partai Golkar juga dikuatkan dengan persaingan antar
calon ketua umum pada pelaksanaan munas.
“…terpilihnya Ical ini merupakan awal dari keterpurukan Golkar. Karena pemilihan itu sudah dimulai dengan konflik dulu dalam internalnya. Jadi, yang tidak setuju dengan terpilihnya Ical pasti akan
cciv
membelot, tidak akan mendukung Golkar sepenuhnya, tidak sepenuh hati.” (Wawancara dengan Paramita Sari)
Persaingan antar calon ketua umum, menurut Paramita, tidak hanya
berhenti pada saat pelaksanaan munas saja. Pihak-pihak yang tidak puas
dengan hasil munas dan kemenangan Aburizal Bakrie diindikasikan akan
membuat perpecahan dalam hubungan internal. Maka pada masa mendatang,
menurut Eko, Partai Golkar harus benar-benar menjaga dan memperhatikan
kesolidan internal partai.
“Golkar kedepan harus pandai-pandai untuk menjaga internal, karena bibit-bibit (perpecahan) itu sudah ada, seperti kemarin Aburizal memasukkan Rizal Malarangeng di DPP. Saya kira itu sudah melangkahi kawan-kawan yang telah berproses terlebih dahulu.” (Wawancara dengan Eko Setiawan)
Senada dengan Rorie, Paramita menganggap ketidaksolidan dan
persoalan konflik internal inilah yang akan menghambat jalan Partai Golkar
pada pemilu 2014.
“Ketika Pemilu 2014, iya kalau sudah bersatu lagi, bagaimana kalau ternyata ada masalah internal lagi? Bagaimana nanti soal siapa yang dicalonkan Golkar untuk menjadi misalnya cawapres atau menyalon jadi capres? Kalau mereka tidak menyatu untuk kepentingan ini mereka akan pecah, itu merupakan keterpurukan. Dengan pemberitaan-pemberitaan kekacauan ini, berarti juga menjadi image negatif di masyarakat juga, kan?” (Wawancara dengan Paramita Sari)
Masyarakat umum, dalam pandangan Paramita, lebih memerhatikan
perilaku negatif elite politik dibandingkan dengan prestasinya. Citra Partai
Golkar di masyarakat pada saat pelaksanaan munas, menurut Paramita, sangat
buruk karena pertikaian antar kubu kandidat ketua umum. Apalagi, dalam
persepsi Haris Firdaus, Aburizal Bakrie terpilih menjadi Ketua Umum Partai
Golkar. Aburizal Bakrie, selama beberapa tahun terakhir memiliki citra yang
ccv
sangat buruk karena kasus lumpur Lapindo yang belum terselesaikan. Haris
menganggap terpilihnya Aburizal Bakrie merupakan kesalahan besar yang
akan membuat pendukung Partai Golkar yang konsen dengan persoalan Hak
Asasi Manusia dalam kasus Lapindo meninggalkan partai ini.
“Kemenangan Aburizal ini berdampak buruk, membuat Golkar semakin tidak dominan, tidak popular, paling tidak dengan orang-orang yang getol dengan persoalan Lapindo. Itu senjata yang bisa dimanfaatkan pada persoalan politik tertentu. Aburizal komitmennya terhadap SBY juga bisa dikatakan sekutu. Pengaruh munas buruk, itu blunder Golkar yang memilih Aburizal. Terbukti, sekarang Golkar tidak kedengaran suaranya ketimbang dulu.” (Wawancara dengan Haris Firdaus)
Namun, menurut Haris, pemilihan pemimpin Partai Golkar memang
berada pada situasi yang sulit. Pada dasarnya, masa depan Partai Golkar
ditentukan oleh siapa yang memimpin partai pada masa krisis saat ini. Padahal
Partai Golkar tidak memiliki tokoh yang dominan yang mampu menyatukan
seluruh kepentingan partai yang beragam. Sementara empat tokoh politik yang
menjadi calon ketua umum Partai Golkar tidak ada yang benar-benar kuat.
Haris mencontohkan Aburizal Bakrie dan Yuddy Chrisnandi.
“Mungkin secara ideal, Golkar itu sehat kalau tidak ada money politics dan tidak dipimpin oleh Aburizal, yang kemudian dipimpin oleh kader dari bawah.Tapi kalau Golkar dipimpin oleh Yuddy Chrisnandi Golkar juga akan kalah, karena dia tidak punya dukungan. Jadi menurut saya Golkar seperti itu, orang tidak lagi melihat partai tapi orang masih melihat tokoh. Kecuali, mungkin terjadi perubahan peta politik karena SBY tidak bisa lagi (menjabat presiden), orang akan mencari tokoh baru dan tidak tahu apakah tokoh Golkar bisa mengisi.” (Wawancara dengan Haris Firdaus)
Dalam pandangan Haris, Partai Golkar harus segera melakukan
pembenahan yang menyeluruh terhadap partai, sehingga partai ini tidak hanya
mengandalkan lengsernya Presiden SBY. Karena partai lain pun kini sedang
menyusun strategi untuk pemenangan pemilu Presiden 2014. Untuk itu, Joni,
ccvi
menyaratkan Partai Golkar harus membuat sebuah strategi yang benar-benar
baru agar tidak mengalami kekalahan kembali.
“…kalau Golkar tidak membuat strategi politik yang masih sama dengan yang lama, susah. Sementara partai lain membuat strategi yang baru yang lebih dekat dengan masyarakat, yang setiap sebelum pemilu sampai pemilu berikutnya dia akan bergerak karena dia membuat komunitas yang setiap saat harus dikelola. Dan Golkar seperti hangat-hangat tahi ayam, bekerja ketika menjelang pemilu, itu sudah kuno buat saya, sangat pragmatis. PDIP meskipun pragmatis, tapi dia menggunakan cara-cara yang modern, dengan konstan dia bergerak, berusaha menjadi pelayan masyarakat.” (Wawancara dengan Joni Rusdiana)
Dari pemaparan tersebut, pembaca Kompas menilai bahwa posisi
politis Partai Golkar pasca Munas Partai Golkar VIII memang sulit diprediksi.
Pilihan koalisi yang diambil Partai Golkar dipandang sebagai posisi yang
kurang menguntungkan bagi rakyat miskin dan dewan legislatif. Selain itu,
dilain pihak, pada saat pelaksanaan munas, citra Partai Golkar justru semakin
memburuk dikarenakan kericuhan dan perpecahan dalam internal partai.
Kurang kuat dan solidnya partai ini membuat banyak pembaca Kompas
meragukan eksistensi Partai Golkar pada pemilu 2014. Berikut adalah
rangkuman pendapat mengenai indikasi rekayasa dan kericuhan pada
pelaksanaan Munas Partai Golkar VIII dari masing-masing responden.
Tabel 3.12 Rangkuman Pendapat Pembaca Kompas
tentang Posisi Politis Partai Golkar
No Nama Pendapat 1 Eko
Setiawan Partai Golkar sebenarnya masih bimbang, Surya Paloh memilih oposisi, Aburizal memilih koalisi. Jika Partai Golkar berkoalisi, partai ini akan eksis karena dekat dengan pemerintah dan kekuasaa. Namun jika beroposisi, akan sulit mengaplikasikan program partai karena rakyat lebih memperhatikan program pemerintah. Dibawah Aburizal, Partai Golkar belum tentu berkembang karena masih dibawah bayang-bayang SBY dan sudah terdapat bibit-bibit perpecahan karena dirinya
ccvii
memasukkan tim sukses SBY dalam kepengurusan DPP. 2 Ansyor Partai Golkar selalu berada di pihak penguasa sejak dulu sampai
kepemimpinan Aburizal sekarang. Seharusnya Partai Golkar memilih oposisi, karena posisi tersebut lebih memungkinkan partai ini untuk membela rakyat dan mengontrol pemerintah. Hal ini membuat rakyat kecewa dan Partai Golkar diramalkan akan kembali kalah pada pemilu 2014.
3 Kisbandi Virdha
Posisi paling ideal bagi Partai Golkar adalah oposisi agar parlemen tidak dikuasai oleh pihak koalisi. Pasalnya tujuan untuk berkoalisi hanya didasarkan agar Partai Golkar mendapat kursi di kabinet.
4 Ertika Nanda
Koalisi Partai Golkar dengan Partai Demokrat agar partai ini tetap eksis dalam kancah politik di Indonesia. Salah satu caranya dengan berusaha memasukkan kadernya sebagai menteri di pemerintah SBY.
5 Rorie Asya’ri
Pada pemilu 2014 Partai Golkar punya peluang jika pemerintahan SBY dan Partai Demokrat jatuh
6 Haris Firdaus
Di Partai Golkar, ideologi tergantung siapa tokohnya. Jika dipimpin Aburizal, Partai Golkar tidak sehat karena ada politik uang dan bukan kader dari bawah. Namun jika dipimpin Yuddy, Partai Golkar juga akan kalah karena tidak punya dukungan. Kemenangan Aburizal merupakan blunder dan berdampak buruk, yakni membuat Partai Golkar tidak dominan, tidak popular, khususnya untuk korban Lapindo.
7 Paramita Sari
Koalisi akan menguntungkan Partai Golkar karena pemerintahan saat ini bersifat sentralistik, sehingga mudah bermain kepentingan. Namun Partai Golkar yang sekarang semakin melemah, tidak sampai akar rumput, dan ditinggalkan oleh pendukungnya. Terpilihnya Aburizal juga merupakan awal dari keterpurukan Partai Golkar karena di awal pemilihan sudah ada konflik dalam internal. Jadi yang tidak satu kubu dengan Aburizal pasti akan membelot dan tidak mendukung Partai Golkar sepenuh hati. Untuk 2014, posisinya kurang menguntungkan karena berbagai macam pemberitaan kekacauan membuat image negatif tentang Partai Golkar di masyarakat.
8 Joni Rusdiana
Posisi dan program oposisi cukup membingungkan bagi Partai Golkar karena merupakan sesuatu yang baru. Akan sulit diterapkan di Partai Golkar karena loyalitas pendukung Partai Golkar dalah loyalitas orang kampung karena faktor psikologis bukan karena militansi kader. Jika Partai Golkar masih mengharapkan menang dalam pemilu 2014, maka partai ini harus membuat strategi baru karena partai lain sudah melakukan strategi pendekatan dengan masyarakat dari sekarang. Apalagi, kecenderungan pemilih pemula adalah memilih partai-partai yang relatif baru.
ccviii
C. Membandingkan Frame Kompas dan Frame
Pembaca Kompas
Pada dua sub bab diatas telah dianalisis frame Kompas dan frame pembaca
Kompas dalam pemberitaan Munas Partai Golkar VIII. Dari dua bentuk frame
tersebut, pada dasarnya terdapat keterkaitan ataupun juga ketidakterkaitan antar
frame. Maka pada sub bab ketiga ini, peneliti membuat perbandingan antar frame
berdasarkan masing-masing sub tema yang telah ditentukan. Dalam penelitian
deskriptif, menurut Jalaluddin Rakhmat, salah satu tujuannya adalah melakukan
perbandingan atau evaluasi.151 Tujuan pembandingan ini adalah untuk mengetahui
apa saja persepsi media yang dipahami sama oleh pembaca serta apa saja persepsi
pembaca yang tidak terkait pada pandangan media tersebut. Perbandingan antar
frame dapat dilihat pada lima sub tema yang dijabarkan berikut.
1. Persaingan perebutan kursi Ketua Umum Partai
Golkar
Persaingan antar calon Ketua Umum Partai Golkar mendapat tempat
khusus bagi Harian Kompas. Pemberitaan mengenai komentar, opini, atau
kegiatan masing-masing calon ketua umum lebih sering ditampilkan Kompas
selama tiga bulan rangkaian pemberitaan Munas Partai Golkar. Di satu sisi,
pemberitaan mengenai persaingan ini menandakan bahwa pada realitanya,
antar calon ketua umum berjuang sekuat tenaga untuk memperebutkan kursi
151 Drs. Jalaluddin Rakhmat, M.Sc, Metode Penelitian Komunikasi, Rosdakarya, Bandung, 1991,
hal: 25
ccix
Ketua Umum Partai Golkar. Namun disisi lain, pembaca Kompas menilai
Kompas terlalu larut dalam hiruk pikuk tersebut.
“Masih terlihat Kompas hanya mengekspos ketua umum Golkar saja, program, visi dan misi mereka secara menyeluruh tidak diekspos lebih dalam.” (Wawancara dengan Eko Setiawan)
Bahkan lebih jauh, walaupun Kompas berusaha menjaga
kenetralannya, beberapa pembaca Kompas menilai Kompas memiliki
kecenderungan untuk memberikan ruang pemberitaan yang lebih besar
terhadap salah satu kandidat ketua umum, yakni Aburizal Bakrie. Namun
terlepas dari persepsi pembaca Kompas tersebut, berdasarkan analisis teks dan
hasil wawancara dengan pihak media, ada beberapa pandangan tersendiri dari
Kompas terhadap persaingan pemilihan Ketua Umum Partai Golkar VIII.
Diantaranya, persaingan antar kandidat ketua umum sangat kentara
terutama antara kandidat yang kaya dengan kandidat yang “miskin”. Kandidat
yang kaya, dalam hal ini Aburizal Bakrie dan Surya Paloh, mempergunakan
kekayaannya untuk memperoleh dukungan, sementara kandidat yang tidak
mengeluarkan banyak uang dalam proses kampanye, yaitu Yuddy Chrisnandi
dan Tommy Soeharto, lebih banyak mengkritisi kandidat yang kaya.
Pengeluaran dana kampanye yang berlebihan oleh kandidat kaya dinilai tidak
wajar dan sangat boros. Melihat hal tersebut, semakin tampak bahwa
persaingan perebutan ketua umum yang sesungguhnya hanya diantara
Aburizal Bakrie dan Surya Paloh.
Pandangan Kompas tersebut pada dasarnya tidak terlalu jauh dengan
perspektif yang ditangkap oleh pembaca Kompas. Pembaca Kompas
ccx
menganggap bahwa persaingan antar calon Ketua Umum Partai Golkar sangat
kontras, terutama dalam perilaku jorjoran uang. Namun, pembaca Kompas
melihat, perebutan ketua umum partai adalah hal yang biasa, akan tetapi
panasnya persaingan di tubuh Partai Golkar menjadi tidak imbang karena dua
calon ketua umum terkuat adalah pemilik media besar berskala nasional.
Hampir semua pembaca Kompas yang menjadi responden penelitian ini juga
menggunakan media televisi untuk melihat pemberitaan Munas Partai Golkar,
sehingga mereka dapat melihat persaingan yang lebih nyata diantara para
calon ketua umum. Selain karena faktor uang, pembaca Kompas juga
memandang bahwa persaingan yang terjadi didukung dengan adanya faksi
atau kubu masing-masing calon ketua umum yang ikut bersaing di media.
Ada dua pandangan yang bertolak belakang mengenai terjadinya
persaingan yang begitu nyata pada keempat calon ketua umum ini. Pandangan
pertama, pembaca Kompas yang melihat bahwa persaingan antar calon adalah
sesuatu yang wajar. Alasannya karena Indonesia adalah negara yang
menjunjung tinggi asas demokrasi. Di alam demokrasi, perbedaan, perang
argument, kampanye dan persaingan adalah sesuatu yang dilegalkan asalkan
tetap berada pada etika politik yang baik. Sementara pandangan yang kedua
adalah pembaca Kompas yang melihat bahwa persaingan antar calon ketua
umum yang sangat tajam ini tidak wajar. Penyebabnya, keempat calon ketua
umum berada pada satu payung partai, sehingga perbedaan yang begitu tajam
justru menjadi bumerang bagi mereka sendiri.
ccxi
Secara umum, Ketua Umum Partai Golkar yang ideal menurut Kompas
adalah mengetahui sejarah dan organisasi serta misi dan visi golkar, mau
berjuang memajukan Partai Golkar dan perekonomian bangsa, bisa
memperbaiki dan meningkatkan gengsi partai, punya integritas, misi dan visi
kenegaraan, memiliki kemampuan ekonomi dan punya latar belakang politik
yang matang. Namun menurut Kompas, pada realitanya hanya ada tiga syarat
agar bisa terpilih menjadi Ketua Umum, yakni memiliki kekuasaan, uang, dan
jaringan yang terorganisir. Pandangan pembaca Kompas juga sama dengan
Kompas, bahwa ketua umum yang menjadi pemenang adalah calon ketua
umum yang kaya dan yang rela mengeluarkan uang.
2. Arti penting Munas Partai Golkar ke VIII
Munas bagi partai politik pasti memiliki urgensi yang sangat krusial
untuk masa depan partai. Terlebih lagi bagi partai besar seperti Partai Golkar
yang baru mengalami dua kali kekalahan memalukan pada Pemilu 2009 silam.
Kompas menyimpulkan ada beberapa permasalahan pokok yang sedang
melanda Partai Golkar, yakni idealisme partai yang telah hilang dan
pragmatisme politik kadernya. Maka dari itu, Kompas memandang bahwa
Munas Partai Golkar tahun 2009 merupakan momentum yang menentukan
hidup mati partai. Artinya, jika momentum ini digunakan sebaik-baiknya,
maka Partai Golkar bisa kembali berjaya pada Pemilu 2014, dan sebaliknya,
jika momentum ini gagal menjadi tonggak kebangkitan, suara Partai Golkar
akan menurun bahkan mungkin hilang sama sekali. Kompas melihat, partai ini
ccxii
masih memiliki kesempatan yang besar untuk bangkit karena Partai Golkar
memiliki kader berkualitas dan banyak pengalaman.
Bagi Kompas, banyak agenda penting yang harus dicapai di munas,
yakni pembahasan persoalan partai dan permasalahan bangsa. Agenda yang
juga penting bagi internal partai adalah penentuan siapa yang terpilih menjadi
ketua umum partai. Permasalahannya, ada dua pihak yang bertentangan dari
calon ketua umum, yakni pihak yang pro dengan pemerintah, yaitu Aburizal
Bakrie, dan pihak yang independen (oposisi), yaitu Surya Paloh, Yuddy
Chrisnandi, dan Tommy Soeharto. Namun realitanya, pelaksanaan munas
ternyata penuh dengan ketidakidealan, sehingga munas bisa dikatakan tidak
berhasil mencapai tujuannya.
Pun demikian dengan pandangan pembaca Kompas. Mereka
menganggap bahwa Munas Partai Golkar adalah momentum yang penting
bagi Partai Golkar karena partai ini adalah partai besar yang kalah dalam
pemilu 2009. Selain itu, munas patut menjadi perhatian karena dua hal
penting: Pertama, munas sengaja dilaksanakan sebelum pelantikan kabinet
agar lebih leluasa menetapkan pilihan posisi koalisi terhadap pemerintah.
Kedua, perubahan mekanisme baru yang dipakai dalam pemilihan ketua
umum dari sistem konvensi menjadi pemilihan umum langsung. Kaitannya
dengan poin kedua, tujuan Partai Golkar adalah pembuktian diri kepada
masyarakat bahwa Partai Golkar yang sekarang bisa berlaku demokratis serta
masih eksis di kancah politik di Indonesia. Namun demikian, menurut
ccxiii
pembaca Kompas, perbedaan arah politik kandidat ketua umum membuat
esensi munas tidak tercapai karena penuh kekacauan dan konflik internal.
3. Isu politik uang dan pragmatisme dalam pemilihan Ketua Umum
Isu politik uang menjadi isu sensitif yang sering diberitakan oleh
Kompas. Pada hakikatnya, Kompas percaya bahwa politik uang memang
benar terjadi dalam proses pemilihan ketua umum Partai Golkar. Dasar yang
dipakai Kompas adalah informasi yang santer terdengar dan observasi
langsung pada saat peliputan munas. Bagi Kompas, fakta nominal harga satu
suara sangat tinggi dan mengejutkan. Namun, tidak semua calon dan tim
suksesnya yang menjadi pelaku politik uang. Kompas menempatkan pembuka
tabir kecurangan terjadinya politik uang adalah dua calon ketua umum sendiri
yakni Yuddy Chrisnandi dan Tommy Soeharto. Yuddy dan Tommy adalah
dua calon ketua umum yang dianggap bersih dari politik uang. Bahkan Yuddy
menjadi inisiator membawa kasus politik uang dan penerimaan uang suap ini
untuk ditindaklanjuti oleh KPK. Sementara itu, pelaku politik uang, menurut
Kompas, adalah pihak Aburizal Bakrie dan Surya Paloh.
Perilaku politik uang dan suap menyuap dikatakan Kompas merupakan
bentuk pragmatisme politik Partai Golkar. Kompas percaya bahwa Partai
Golkar sejak dahulu adalah partai dengan kader yang pragmatis. Hal tersebut
masih dilestarikan hingga saat ini. Sehingga, praktek politik uang yang terjadi
sekarang akan kembali menghancurkan partai ini sendiri.
ccxiv
Pembaca Kompas pun menganggap bahwa pragmatisme politik Partai
Golkar memang sudah ada sejak jaman orde baru. Namun, bagi mereka,
pragmatisme politik yang terwujud dalam praktek politik uang sudah menjadi
rahasia umum di Indonesia. Bahkan, lebih jauh dikatakan bahwa politik uang
wajar terjadi karena para calon ketua umum adalah orang-orang kaya sehingga
bisa mempergunakan kekayaannya untuk memenangkan kompetisi. Catatan
yang juga penting adalah bahwa kepengurusan daerah tidak akan menolak
adanya politik uang dari para calon. Pasalnya, DPD juga membutuhkan uang
untuk kelangsungan kehidupan organisasi partai di daerah masing-masing
sehingga mereka tidak mudah menolak pemberian uang.
Salah satu hal yang dijadikan bukti terjadinya politik uang yakni
karena Yuddy Chrisnandi tidak mendapat suara sama sekali. Padahal jika
dicermati, Yuddy adalah tokoh muda yang idealismenya masih kuat dan
punya visi misi yang baik. Dalam pandangan pembaca Kompas, hal ini justru
menyiratkan pertanyaan apa sebenarnya pentingnya jabatan Ketua Umum
Partai Golkar hingga para calon rela mengeluarkan uang yang tidak sedikit.
Namun demikian, meskipun politik uang merupakan perbuatan yang salah,
keadaan dan kondisi politik di Indonesia memaksa para calon ketua umum
untuk melakukannya. Sistem politik di Indonesia telah membudayakan adanya
politik suap menyuap sehingga masih sulit untuk dilepaskan.
4. Indikasi Rekayasa dan Kericuhan pada
Pelaksanaan Munas
ccxv
Ricuh menjadi sesuatu yang lumrah di alam demokrasi. Kebebasan
berpendapat dan kebebasan memilih seakan menjadi tameng untuk memberi
kelegalan dalam setiap aksi kericuhan. Pun demikian dengan kericuhan yang
terjadi pada penyelenggaraan Munas Partai Golkar VIII. Menurut Kompas,
pihak-pihak yang berseteru memenangkan pemilihan ketua umum memiliki
kekuatan yang sama besar, tertutama karena adanya dukungan blok-blok yang
besar. Blok-blok tersebut memiliki kepentingan yang berbeda-beda sehingga
akumulasi kepentingan justru menimbulkan kericuhan di munas. Selain
kepentingan dari masing-masing blok calon ketua umum, DPD juga memiliki
kepentingan internal yakni memperoleh keuntungan bagi diri sendiri dan
organisasinya di daerah. Maka mereka mudah dipengaruhi dan ditekan dengan
uang, khususnya oleh pihak Aburizal Bakrie. Kericuhan yang bermula dari
hal-hal kecil ini, bagi Kompas, tidak bisa terhindarkan dari sebuah proses di
partai politik. Namun hal ini bukan merupakan dinamika politik yang wajar
dalam wujud demokrasi di Indonesia.
Rekayasa tidak hanya pada aksi kericuhan yang terjadi, namun sudah
ada sejak proses pemilihan pimpinan sidang dan aturan pemilihan ketua
umum. Proses-proses tersebut dibuat sedemikian rupa agar menguntungkan
salah satu pihak, yakni Aburizal Bakrie atau Surya Paloh. Indikasi rekayasa
semakin menguat karena banyak hal yang ditutup-tutupi dan tersembunyi
dalam munas.
Pembaca Kompas juga menangkap persepsi yang sama dengan
pandangan yang disajikan Kompas. Kericuhan yang terjadi karena hal-hal
ccxvi
sepele tersebut merupakan bukti adanya rekayasa politik dalam pelaksanaan
munas. Akar terjadinya kericuhan karena masing-masing faksi atau blok antar
kandidat yang semakin memanas dimana terjadi perbenturan kepentingan
yang sangat tajam. Namun, dilain pihak ada pula pembaca Kompas yang
menganggap bahwa kericuhan adalah proses demokrasi yang tidak mungkin
direkayasa. Hanya saja peserta munas menunjukkan ketidakdewasaan dan
ketidakprofesionalan dalam proses penyelesaian persoalan tersebut.
Demokrasi hanya menjadi pembenaran untuk semua bentuk kericuhan.
Melihat hal tersebut, pembaca Kompas menilai bahwa Partai Golkar adalah
partai yang tidak solid karena terlalu banyak memiliki kepentingan pribadi.
5. Posisi Politik Partai Golkar Pasca Munas
Usai perhelatan munas rampung, banyak evaluasi yang diberitakan
Kompas mengenai hasil munas dan pilihan posisi politik partai ini dalam
pemerintahan SBY. Bagi Kompas, pelaksanaan munas dan terpilihnya
Aburizal Bakrie banyak diwarnai oleh rekayasa dan kecurangan. Kemenangan
Aburizal Bakrie layaknya kemenangan SBY karena sebagian besar partai
politik menjadi anggota koalisi Partai Demokrat. Konsekuensinya DPR akan
tumpul. Padahal, posisi ideal Partai Golkar adalah oposisi, hal ini ditujukan
untuk menjaga agar lembaga eksekutif tidak dominan dan otoriter.
Sementara pembaca Kompas melihat dari awal Partai Golkar memang
menginginkan koalisi dengan Partai Demokrat untuk masuk dalam lingkaran
kekuasaan. Posisi ini sangat disesalkan karena tidak akan ada lagi yang akan
berpihak kepada rakyat kecil. Namun sebenarnya Partai Golkar sendiri
ccxvii
bimbang, karena kedua pilihan politik memiliki keuntungan bagi mereka. Jika
memilih koalisi, Partai Golkar akan tetap berada dibawah bayang-bayang
Partai Demokrat, namun jika memilih oposisi, mereka masih bingung dengan
program kerjanya.
Tabel 3.13 Perbandingan Media Frame dan Audience Frame
Sub tema Media Frame Audience Frame
1. Persaingan Antar Calon Ketua Umum Partai Golkar
- Persaingan tidak imbang dan kontras antara calon yang kaya dengan calon yang miskin
- Persaingan yang sesungguhnya hanyalah diantara Aburizal Bakrie dan Surya Paloh
- Ketua Umum Partai Golkar yang ideal seharusnya memiliki kriteria: tahu sejarah partai, punya visi misi dan integritas, latar belakang ekonomi dan politik yang mapan. Namun realitanya, syarat menjadi ketua umum Partai Golkar harus memiliki tiga hal: kekuasaan, uang dan jaringan
a. Persaingan sangat kontras karena ada jorjoran uang dari calon ketua umum yang kaya
b. Persaingan tidak imbang karena dua calon ketua umum adalah pemilik media nasional
c. Masing-masing calon ketua umum memiliki faksi-faksi atau kubu yang terstruktur (jaringan)
d. Persaingan antar calon ketua umum wajar terjadi karena asas demokrasi Indonesia memberikan kebebasan berpendapat
e. Persaingan antar calon ketua umum tidak wajar karena terjadi didalam satu payung partai politik yang seharusnya solid
f. Kandidat yang bisa memenangkan persaingan adalah calon yang kaya dan rela mengeluarkan banyak uang
2. Arti Penting Munas Partai Golkar ke VIII
- Munas Partai Golkar 2009 adalah momentum penentuan hidup mati partai. Jika munas sukses, Partai Golkar akan kembali Berjaya, namun jika gagal, Partai Golkar diprediksi akan tumbang
- Momentum kebangkitan Partai Golkar ditentukan dengan siapa ketua umum yang akhirnya terpilih
- Ada beberapa permasalahan penting yang harus diselesaikan di munas, yakni adanya dua pihak
a. Munas Partai Golkar penting karena Partai Golkar adalah partai besar yang mengalami kekalahan dalam pemilu 2009
b. Munas berusaha untuk menghasilkan keputusan posisi koalisi, maka pelaksanaannya dibuat sebelum pelantikan kabinet
c. Munas penting karena perubahan mekanisme atau cara pemilihan ketua umum.
d. Munas sebagai bukti eksistensi Partai Golkar di depan masyarakat
e. Perbedaan arah politik
ccxviii
calon ketua umum yang bertentangan, yaitu calon yang pro pemerintah dengan calon independen (oposisi), matinya idealisme partai dan pragmatisme kader yang meresahkan.
- Sebagai partai besar dan berpengalaman lama, Partai Golkar masih punya kesempatan besar untuk bangkit dari keterpurukan
- Realita pelaksanaan munas ternyata penuh dengan ketidakidealan
kandidat ketua umum membuat esensi munas tidak tercapai karena penuh kekacauan dan konflik internal
3. Isu Politik Uang dan Pragmatisme dalam Pemilihan Ketua Umum
- Politik uang memang terjadi dalam proses pemilihan ketua umum, berdasarkan informasi yang santer terdengar saat munas
- Nominal harga satu suara sangat tinggi dan mengejutkan
- Yuddy Chrisnandi dan Tommy Soeharto bersih dari politik uang, bahkan Yuddy lah yang membuka tabir kecurangan politik uang di munas
- Aburizal Bakrie dan Surya Paloh dikesankan sebagai pelaku politik uang
- Politik uang telah menghancurkan Partai Golkar sendiri
a. Pragmatisme politik dan politik uang adalah sebuah rahasia umum, sudah ada sejak orde baru dan wajar terjadi karena para kandidat adalah orang kaya
b. Yuddy merupakan tokoh muda yang idealis namun tidak mendapat suara sama sekali, hal ini merupakan salah satu bukti terjadinya politik uang
c. Politik uang bisa dimaklumi karena DPD butuh uang untuk menjalankan organisasional partai di daerah
d. Politik uang mengherankan karena tujuan dari jabatan ketua umum tidak jelas.
e. Politik uang adalah sesuatu yang salah, tetapi keadaan memaksa mereka untuk melakukannya. Sistem politik di Indonesia telah membudaya sehingga sulit untuk dilepaskan
4. Indikasi Rekayasa dan Kericuhan pada Pelaksanaan Munas
- Kekuatan antar kandidat, Aburizal Bakrie dan Surya Paloh sama-sama kuat sehingga terjadi persaingan yang sengit dan saling menjatuhkan
- Rekayasa pada pelaksanaan munas terjadi karena banyaknya kepentingan peserta munas
- DPD punya kepentingan internal sehingga mereka mudah dipengaruhi dan ditekan dengan uang,
a. Kericuhan dikarenakan hal-hal sepele sehingga diindikasikan terjadi karena adanya rekayasa
b. Kericuhan disebabkan adanya faksi atau blok antar kandidat yang semakin memanas
c. Kericuhan adalah proses demokrasi yang tidak direkayasa, namun peserta menunjukkan ketidakdewasaan dan ketidakprofesionalan. Sehausnya demokrasi tidak selalu menjadi tameng untuk
ccxix
khususnya oleh pihak Aburizal Bakrie
- Banyak hal yang ditutup-tutupi dan tersembunyi dalam munas
- Kericuhan mempermalukan Partai Golkar, bukan merupakan dinamika politik yang wajar dalam demokrasi karena sengaja dilakukan untuk tujuan tertentu
segala bentuk kericuhan d. Kericuhan menandakan bahwa
Partai Golkar tidak solid dan terlalu banyak kepentingan pribadi
5. Posisi Politik Partai Golkar Pasca Munas
a. Pelaksanaan munas dan terpilihnya Aburizal Bakrie sebagai ketua umum banyak diwarnai rekayasa
b. Kemenangan Aburizal Bakrie adalah kemenangan SBY, konsekuensinya DPR akan tumpul karena sebagian besar fraksi di DPR mendukung pemerintah
c. Posisi ideal Partai Golkar adalah oposisi untuk menjaga agar lembaga eksekutif tidak dominan
- Partai Golkar dari awal menginginkan posisi koalisi
- Partai Golkar masih bimbang, jika memilih koalisi akan tetap berada dibawah bayang-bayang Partai Demokrat, namun jika oposisi, masih bingung dengan bentuk program kerjanya
- Koalisi dan oposisi masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan
- Posisi koalisi Aburizal Bakrie disesalkan karena tidak ada lagi yang akan berpihak pada rakyat kecil sehingga idealnya Partai Golkar berada di posisi oposisi
- Partai Golkar pada Pemilu 2014 diprediksi akan kembali kalah
Sumber : Olahan peneliti
ccxx
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Konstruksi Harian Kompas tentang Partai Golkar dalam
Pelaksanaan Munas Partai Golkar ke VIII di Pekanbaru
Penelitian ini bermaksud untuk mengetahui persepsi khalayak
pembaca mengenai Partai Golongan Karya (Golkar) dalam pelaksanaan
Musyawarah Nasional (Munas) Partai Golkar ke VIII di Pekanbaru pada
pemberitaan di Harian Kompas bulan Oktober 2009. Persepsi khalayak tidak
muncul dengan sendirinya, banyak faktor yang melatarbelakangi dan salah
satunya tergantung bagaimana media yang bersangkutan, yakni Harian
Kompas, mengkontruksi pemberitaan mengenai peristiwa tersebut. Maka
sebelum melihat bagaimana persepsi mengenai Partai Golkar yang pada
khalayak, harus diketahui terlebih dahulu konstruksi yang dibuat Kompas.
Dari analisis data yang telah dilakukan pada 10 teks berita mengenai
Munas Partai Golkar ke VIII di Kompas bulan Oktober 2009 dan hasil
wawancara dengan wartawan politik dan hukum Kompas, Suhartono dan Sutta
Dharmasaputra, dapat disimpulkan beberapa hal. Pertama, Kompas dalam
mengkonstruksi realitas pelaksanaan Munas Partai Golkar ke VIII di
Pekanbaru, berusaha menerapkan pedoman obyektivitas dalam pemilihan
narasumber dan redaksional berita. Pedoman obyektivitas yang dilakukan
Kompas antara lain selalu menampilkan narasumber dari semua pihak yang
ccxxi
berseberangan atau berbeda pendapat (cover both sides), misalnya diantara
kubu empat kandidat yang berseteru dalam perebutan Ketua Umum Partai
Golkar yakni Aburizal Bakrie dan Surya Paloh, Tommy Soeharto, dan Yuddy
Chrisnandi. Selain itu, pada redaksional berita, Kompas banyak menggunakan
tanda kutip pada kata-kata yang konfrontatif atau sensitif terhadap pihak lain,
seperti kata “harga” suara; “dinamika politik”, “bermuka dua”, dan “gizi”.
Kata-kata tersebut secara konotatif memiliki kecenderungan memperkeruh
suasana Munas yang sudah memanas, maka Kompas berada pada posisi netral
dengan menggunakan tanda kutip pada kata-kata tersebut.
Kedua, sesuai strategi yang diungkapkan Dan Nimmo tentang
penggambaran fakta tanpa melupakan prinsip obyektivitas, Kompas juga
menggunakan strategi tertentu pada redaksional dan tampilan berita untuk
menunjukkan fakta dan sikap media tetapi tampak obyektif. Strategi tersebut
diantaranya adalah: mengkonfrontir pendapat pihak-pihak yang berseteru;
penggunaan tanda kutip pada kata-kata sensitif; penggunaan kata atau kalimat
metafora seperti “bermuka dua”, “kalau tidak mukti (berkuasa), akan mati”;
insert yang menonjolkan kesederhanaan salah satu kandidat, Yuddy
Chrisnandi; penggunaan narasumber yang dirahasiakan identitasnya berulang
kali untuk menjelaskan kecurangan dan politik uang pada pelaksanaan Munas;
penerapan penulisan berita secara piramida terbalik yakni pihak yang
dianggap penting atau berjasa ditempatkan paling awal, sementara pihak yang
dianggap sebagai “penjahat” ditempatkan pada akhir berita. Contohnya
ccxxii
tampak dalam pemberitaan tentang indikasi politik uang yang dilaporkan
Yuddy Chrisnandi yang menyudutkan Aburizal Bakrie dan Surya Paloh.
Ketiga, sesuai misi Harian Kompas tentang kemanusiaan, keadilan,
dan perlawanan terhadap penindasan, Kompas tidak menyetujui dinamika
politik dan perilaku elite politik yang negatif pada pelaksanaan pemilihan
Ketua Umum Partai Golkar. Perilaku negatif tersebut diantaranya: persaingan
antar calon yang terlalu jorjoran uang, adanya politik uang dalam proses
pemilihan yang menegaskan pragmatisme partai, hingga kericuhan dan
indikasi rekayasa politik dalam pelaksanaan Munas. Kompas berusaha
mengkritisinya dengan berbagai cara, diantaranya dengan membandingkan
perilaku kandidat yang jorjoran dengan kandidat yang hanya mengeluarkan
sedikit uang; penggambaran dua kandidat Ketua Umum sebagai korban dari
tindakan politik uang, sementara dua kandidat lain sebagai pelaku politik
uang; serta pendeskripsian kejadian kericuhan karena permasalahan sepele.
Melihat pelaksanaan Munas tersebut, Kompas memandang Partai
Golkar yang sekarang masih memiliki kemiripan dengan Partai Golkar pada
masa orde baru, terutama dalam pragmatisme kader dan cara pengambilan
keputusan yang penuh rekayasa. Kompas melihat, pemilihan dan perebutan
Ketua Umum Partai Golkar yang ketat adalah satu kemajuan yang positif
untuk mengembalikan kejayaan partai, namun Kompas menyayangkan
kemajuan tersebut tetap dikotori dengan langkah dan strategi pragmatis, bukan
programatis dari para calon ketua umum. Kompas juga tidak sepakat dengan
posisi politik Partai Golkar yang memilih untuk berkoalisi dengan Partai
ccxxiii
Demokrat. Pilihan tersebut, menurut Kompas akan membentuk pemerintahan
yang tidak sehat, sehingga posisi ideal yang seharusnya diambil adalah oposisi
agar kontrol lembaga legislatif pada lembaga eksekutif tidak tumpul.
2. Persepsi Khalayak Pembaca Harian Kompas tentang Partai Golkar
dalam Pelaksanaan Munas Partai Golkar ke VIII
Khalayak pembaca yang menjadi responden penelitian ini memiliki
kesamaan yakni pembaca golongan usia muda dari kategori khalayak intelek
yang responsif terhadap pemberitaan media massa. Meskipun berasal dari
kategori khalayak yang sama, namun 8 responden penelitian ini memiliki latar
belakang yang berbeda. Perbedaan tersebut ikut mempengaruhi persepsi
mereka terhadap pemberitaan Munas Partai Golkar. Faktor paling menonjol
yang ditemukan peneliti yang melatarbelakangi persepsi pembaca Kompas
diantaranya adalah intensitas membaca rangkaian pemberitaan Munas Partai
Golkar ke VIII, penggunaan media massa lain terutama media elektronik
dalam mengakses informasi mengenai Munas Partai Golkar, pemahaman
mengenai sejarah Partai Golkar, serta kegiatan atau aktivitas keseharian.
Dari hasil wawancara yang dilakukan, secara umum mereka dapat
menangkap simbol-simbol pada berita di Kompas yang membentuk bingkai
media. Pembaca Kompas mengkombinasikan pemahaman yang diterimanya
dari bingkai media dengan pengetahuan dan keyakinannya, sehingga
memunculkan persepsi yang lebih beragam dibandingkan dengan pandangan
media. Ada tiga pokok persepsi yang muncul dari khalayak pembaca Kompas.
ccxxiv
Pertama, pembaca Kompas memandang pemilihan Ketua Umum
sebuah partai sebenarnya merupakan peristiwa politik biasa, namun
pemberitaan Munas Partai Golkar mendapat perhatian besar karena
kepemilikan media oleh dua calon Ketua Umum. Munas Partai Golkar yang
seharusnya menampilkan citra yang demokratis, justru banyak mengalami
permasalahan yang dimunculkan media, seperti persaingan antar kandidat
yang tidak sehat, pragmatisme kader dan pengurus daerah, perpecahan
internal, kericuhan, dan rekayasa politik, yang menyebabkan Partai Golkar
kembali mendapatkan citra buruk yakni sebagai partai yang tidak solid.
Kedua, meskipun prihatin dengan politik uang dan rekayasa yang
terjadi dalam proses pemilihan Ketua Umum Partai Golkar, pembaca Kompas
menilai permasalahan politik uang dan rekayasa politik Partai Golkar bukan
murni kesalahan partai ini saja. Akan tetapi karena politik uang dan rekayasa
politik telah membudaya dalam sistem politik di Indoensia sejak era orde baru
dan sangat sulit untuk dihapuskan, terutama bagi Partai Golkar sebagai partai
yang ditunggangi pemimpin orde baru.
Ketiga, pembaca Kompas melihat Partai Golkar tetap ingin
mempertahankan diri dalam lingkaran kekuasaan. Pembaca Kompas menilai,
posisi koalisi sebenarnya memberi keuntungan bagi Partai Golkar terutama
dalam pencitraan program kerja dan karakter partai di depan publik. Pun
demikian, posisi oposisi juga kurang sesuai diterapkan di Indonesia yang
menggunakan sistem pemerintahan presidensial. Akan tetapi dilain pihak,
posisi koalisi dipandang sebagai posisi yang tidak berpihak pada rakyat kecil.
ccxxv
3. Hubungan Konstruksi Kompas dan Khalayak Pembaca Kompas
Berdasarkan temuan frame media dan frame khalayak tersebut, tampak
bahwa frame khalayak pembaca banyak memiliki kemiripan dengan frame
yang dibentuk Kompas. Sehingga dapat disimpulkan bahwa frame khalayak
pembaca dipengaruhi oleh frame media Kompas. Khalayak tidak melihat
perisitiwa Munas Partai Golkar ke VIII secara langsung, sehingga persepsi
yang terbentuk dari khalayak mendapatkan pengaruh dari pemilihan isu dan
penonjolan fakta oleh Kompas. Terlebih lagi, khalayak yang menjadi
responden dalam penelitian ini adalah khalayak usia muda yang tidak
mengetahui secara langsung sejarah Partai Golkar di masa lalu, sementara
Kompas sebagai institusi media, pasti memiliki data dan dokumentasi yang
lengkap, sehingga khalayak lebih mempercayai data yang disajikan Kompas
karena tidak memiliki pengalaman empiris terhadap Partai Golkar.
Namun, meskipun pandangan khalayak banyak yang sama dengan
pandangan media, ada beberapa persepsi khalayak pembaca yang bertolak
belakang atau berbeda dengan frame media. Pertama, media menilai bahwa
persaingan antar Ketua Umum tidak imbang karena perbedaan kekayaan antar
calon ketua umum dan persaingan yang ketat diantara kandidat merupakan
kemajuan yang positif dalam partai. Sementara dalam persepsi khalayak,
persaingan antar Ketua Umum tidak imbang justru disebabkan karena
kepemilikan dua media televisi besar oleh dua kandidat dan justru
mempertanyakan urgensi jabatan Ketua Umum Partai Golkar. Pasalnya,
ccxxvi
perebutan Ketua Umum Partai Golkar justru membuat para kandidat tidak
terpilih menjadi pejabat pemerintah.
Kedua, media menganggap bahwa politik uang yang diindikasikan
terjadi pada pemilihan Ketua Umum Partai Golkar sangat memprihatinkan dan
mengecewakan. Hal ini menandakan bahwa Partai Golkar yang sekarang
masih sama dengan Partai Golkar pada era orde baru. Namun bagi khalayak
pembaca, politik uang wajar terjadi karena pengurus daerah membutuhkan
dana untuk operasional partai dan tidak bisa dipersalahkan kepada Partai
Golkar saja karena telah membudaya sehingga sulit dilepaskan dari sistem
politik di Indonesia.
B. Saran
1. Saran Bagi Praktisi Media
a. Dalam menjalankan fungsinya memberikan informasi kepada publik,
praktisi media perlu menjunjung obyektivitas dan netralitas berita
dengan prinsip cover both sides terutama pada berita politik atau berita
perseteruan. Tujuannya agar pemberitaan tidak berat sebelah sehingga
tidak memunculkan konflik baru yang lebih besar.
b. Kaitannya dengan kepemilikan media, para praktisi media terutama
bagian redaksi harus bisa memisahkan kepentingan pemberitaan di ruang
redaksi dengan kepentingan keuangan perusahaan meskipun obyek atau
subyek berita adalah pemilik atau petinggi media yang bersangkutan.
ccxxvii
2. Bagi Khalayak Media
a. Khalayak pembaca media diharapkan tidak hanya menerima informasi
secara mentah. Pembaca seyogyanya memahami bahwa berita
merupakan konstruksi bertahap dari wartawan yang meliput di lapangan
dan ideologi dari institusi media, sehingga pembaca atau pemirsa
diharapkan lebih kritis dalam merespon pemberitaan di media massa.
b. Untuk mengetahui permasalahan secara utuh, khalayak sebaiknya tidak
hanya membaca satu berita saja, namun mengikuti rangkaian berita yang
disajikan media. Pasalnya media memiliki keterbatasan dan kebijakan
tertentu dalam penentuan agenda setting.
3. Bagi Peneliti Lain
a. Sebagai bagian dari studi ilmu politik, masih banyak sudut pandang
yang bisa ditelaah dari penyelenggaraan momentum politik besar seperti
musyawarah nasional sebuah partai politik. Hal ini didukung dengan
mulai adanya keterbukaan dan kebebasan pemberitaan media massa
mengenai permasalahan politik di negeri ini.
b. Dalam menggali dan mengkonstruksi wacana di media cetak dengan
model analisis framing dirasa belum cukup menggunakan satu model
dan satu teori saja. Pendekatan dengan mengkombinasikan dengan
model dan teori lain akan memperkaya hasil analisis
c. Penggunaan metode wawancara mendalam (depth interview) terhadap
khalayak media selayaknya terlebih dahulu menggali lebih dalam
ccxxviii
mengenai latar belakang pembaca seperti pendidikan, organisasi,
pekerjaan, pemikiran, serta kesehariannya. Hal ini dilakukan untuk
mengetahui faktor-faktor yang membentuk pandangan atau persepsi
pembaca media mengenai sebuah pemberitaan atau informasi.
d. Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive
sampling dengan mengambil responden khalayak intelek. Penelitian
berikutnya akan sangat berguna jika menggunakan teknik pengambilan
sampel lain sehingga dapat lebih menjangkau khalayak yang lebih luas.
ccxxix
DAFTAR PUSTAKA
Artikel Ilmiah/Jurnal Mietzner, Marcus. Comparing Indonesia's party systems of the 1950s and the
post-Suharto era: From centrifugal to centripetal inter-party competition. Journal of Southeast Asian Studies, 39 (3). The National University of Singapore, 2008.
Scheufele, Dietram A. Framing as Theory of Media Effect. Journal of
Communication, Vol. 49. Internasional Communication Assosiation, 1999. Tomsa, Dirk. Party Politics and the Media in Indonesia: Creating a New Dual
Identity for Golkar. Singapore: Contemporary Southeast Asia. Vol. 29, Iss. 1, 2007.http://proquest.umi.com/pqdweb/?index=2&did=1284185441&SrchMode=1&sid=3&Fmt=3&VInst=PROD&VType=PQD&RQT=309&VName=PQD&TS=1268037558&clientId=80413 akses tanggal 8 Maret 2010 pukul 15.40.
Buku Ardianto M.Si, Drs. Elvinaro dan Dra. Lukiati Komala Erdinaya M.Si.
Komunikasi Massa: Suatu Pengantar. Cetakan ketiga. Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 1999.
BM, Mursito. Penulisan Jurnalistik: Konsep dan Teknik Penulisan Berita. Solo:
Studi Pemberdayaan Komunikasi, 1999. Budihardjo, Prof. Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2001. Creswell, John W. Qualitative Inquiry and Research Design: Choosing Among
Five Traditions. California: SAGE Publications, 1998. Djuroto, Totok. Manajemen Penerbitan Pers. Bandung: Rosdakarya, 2000. Eriyanto. Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media. Yogyakarta:
LKiS, 2002. Fatah, Eep Saefulloh. Pengkhianatan Demokrasi ala Orde Baru: Masalah dan
Masa Depan Demokrasi Terpimpin Konstitusional. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000.
Firmanzah, Ph.D. Marketing Politik. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007.
ccxxx
–––––––––––––. Mengelola Partai Politik: Komunikasi dan Positioning Ideologi
Politik di Era Demokrasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008. Ishwara, Luwi. Catatan-Catatan Jurnalisme Dasar. Jakarta: Kompas, 2005. Kriyantono S.Sos M.Si, Rachmat. Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2006. Lay, Cornelis. Involusi Politik: Esai-esai Indonesia. Yogyakarta: Program Pasca
Sarjana Politik Loka dan Otonomi Daerah dan Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gajah Mada, 2006.
Maswadi Rauf, et al. Sistem Presidensial dan Sosok Presiden Ideal. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2009. Nimmo, Dan. Komunikasi Politik: Komunikator, Pesan, dan Media. Bandung:
Remaja Rosdakarya, 1999. ––––––––––. Komunikasi Politik: Khalayak dan Efek. Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2000. Nurudin. Komunikasi Massa. Malang: Cespur, 2004 Oetama, Jacoeb. Pers Indonesia: Berkomunikasi dalam Masyarakat Tidak Tulus.
Jakarta: Kompas, 2001. Panuju, Redi. Oposisi Demokrasi dan Kemakmuran Rakyat. Yogyakarta: Pustaka
Book Publisher, 2009. Pawito, Ph.D. Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta: LKiS, 2007. Rakhmat M.Sc, Drs. Jalaluddin. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung:
Rosdakarya, 1991. Santana, Septiawan. Jurnalisme Kontemporer. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
2005. Silalahi MA, Dr. Ulber. Metode Penelitian Sosial. Bandung: Refika Aditama,
2009. Sobur M.Si, Drs. Alex. Analisis Teks Media. Bandung: Rosdakarya, 2001. Sudibyo, Agus. Politik Media dan Pertarungan Wacana. Yogyakarta: LkiS, 2001.
ccxxxi
Sugiyono, Prof. Dr. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta, 2008.
Tandjung, Akbar. The Golkar Way: Survival Partai Golkar di Tengah Turbulensi
Politik Era Transisi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Usaha. Kamus Besar
Bahasa Indonesia. Cetakan kedua. Jakarta: Balai Pustaka, 1989. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Cetakan kedelapan. Jakarta: Sekretariat Dewan Pers, 2007 Skripsi: Firdaus, Haris. Skripsi, Konstruksi Kompas dalam dua blog (Analisis Wacana
Kritis tentang Konstruksi Harian Umum Kompas dalam Blog Kompas Inside dan Inside Kompas). Surakarta: Universitas Sebelas Maret, 2009.
Mardana, Gigih. Skripsi, Analisis Framing Komunikasi Politik Elite NU di Harian
Kompas dan Republika Periode November-Desember 2004. Surakarta: Universitas Sebelas Maret, 2005.
Surat Kabar: Kompas, “Lima Krisis Lilit Golkar”, edisi 10 Agustus 2009 Kompas, “Golkar Harus Manfaatkan Munas untuk Kebangkitan”, edisi 9
September 2009 Kompas, “Aburizal Bakrie Dinilai Tepat Jadi Ketua Umum”, edisi 5 Agustus
2009 Website: http://digilib.petra.ac.id www.golkar.or.id http://groups.yahoo.com/group/bubarkangolkar/message/348 http://id.wikipedia.org/wiki/Partai_Golongan_Karya http://id.wikipedia.org/wiki/Pemilihan_umum_di_Indonesia http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/a/aburizal-bakrie/biografi/06.shtml Unpublished Company Profile Harian Umum Kompas, Redaksi Kompas Biro Jawa Tengah,
2005
ccxxxii