patofisiologi strongyloidiasis

4
PATOFISIOLOGI. Transmisidengan penetrasi larva filariform infektif melalui kulit dari tanah yang terkontaminasi, atau per oral. Transmisi juga kemungkinan dapat terjadi transplacental (dari ibu ke janin yang dikandungnya) dan transmammary (dari ibu ke bayinya melalui air susu) oleh karena pernah ditemukan kasusnya pada hewan mamalia lain. Penetrasi larva filariform infektif menembus kulit menimbulkan Cutaneus Larva Migrans dan Visceral Larva Migrans. Larva ini kemudian menembus saluran limfatik atau kapiler terbawa sampai ke jantung kanan dan kapiler pulmonal. Kemudian keluar dari kapiler pulmonal dan penetrasi ke dalam alveoli paru. Diduga saat keluar dari kapiler pulmonal parasit ini menyebabkan perdarahan dan menimbulkan infiltrasi seluler pada paru. Kadang dapat terlihat gambaran bercak infiltrat yang menyebar pada gambaran radiologis paru (Loeffler’s pneumonia). Kumpulan gejala klinis yang ditimbulkan oleh parasit muda ini saat sedang berada di paru dan saluran pernafasan disebut dengan Sindroma Loeffler. Parasit ini kemudian bermigrasi ke saluran nafas atas, sampai ke esofagus dan tertelan masuk ke lambung dan usus. Di sana parasit ini dengan cepat berkembang menjadi dewasa. Betina lalu berkembang biak secara parthenogenesis (Kraust, 1932 dan Faust berpendapat bahwa ada bentuk parasitik jantan, dan bahwa betina juga berkembang biak melalui kopulasi yang terjadi di duodenum atau yeyunum. Walaupun para ahli selain mereka belum ada yang dapat menemukan bentuk parasitik jantan). Betina kemudian membuat lubang di mukosa saluran cerna untuk menaruh telur – telurnya . Pada infeksi berat

Upload: melany-sii-penghayal

Post on 02-Feb-2016

48 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

data

TRANSCRIPT

Page 1: PATOFISIOLOGI Strongyloidiasis

PATOFISIOLOGI.

Transmisidengan penetrasi larva filariform infektif melalui kulit dari tanah yang

terkontaminasi, atau per oral. Transmisi juga kemungkinan dapat terjadi transplacental (dari

ibu ke janin yang dikandungnya) dan transmammary (dari ibu ke bayinya melalui air susu)

oleh karena pernah ditemukan kasusnya pada hewan mamalia lain. Penetrasi larva filariform

infektif menembus kulit menimbulkan Cutaneus Larva Migrans dan Visceral Larva Migrans.

Larva ini kemudian menembus saluran limfatik atau kapiler terbawa sampai ke jantung kanan

dan kapiler pulmonal. Kemudian keluar dari kapiler pulmonal dan penetrasi ke dalam alveoli

paru. Diduga saat keluar dari kapiler pulmonal parasit ini menyebabkan perdarahan dan

menimbulkan infiltrasi seluler pada paru. Kadang dapat terlihat gambaran bercak infiltrat

yang menyebar pada gambaran radiologis paru (Loeffler’s pneumonia). Kumpulan gejala

klinis yang ditimbulkan oleh parasit muda ini saat sedang berada di paru dan saluran

pernafasan disebut dengan Sindroma Loeffler.

Parasit ini kemudian bermigrasi ke saluran nafas atas, sampai ke esofagus dan tertelan

masuk ke lambung dan usus. Di sana parasit ini dengan cepat berkembang menjadi dewasa.

Betina lalu berkembang biak secara parthenogenesis (Kraust, 1932 dan Faust berpendapat

bahwa ada bentuk parasitik jantan, dan bahwa betina juga berkembang biak melalui kopulasi

yang terjadi di duodenum atau yeyunum. Walaupun para ahli selain mereka belum ada yang

dapat menemukan bentuk parasitik jantan). Betina kemudian membuat lubang di mukosa

saluran cerna untuk menaruh telur – telurnya . Pada infeksi berat gambaran mukosa dapat

terlihat seperti gambaran sarang tawon (“honeycombed appearance”). Telur yang menetas

mengeluarkan larva rhabditiform yang lalu akan keluar melalui feses. Saat parasit ini berada

di saluran cerna, timbullah gejala – gejala saluran cerna seperti nyeri abdomen, kram,

malabsorbsi dan sebagainya.

Pre – paten period (= masa inkubasi ekstrinsik) ± 1 bulan. Keadaan terjadinya

autoinfeksi internal maupun eksternal akan mengarah ke hiperinfeksi. Hal ini akan

menyebabkan parasit ini dapat bertahan lama bahkan sampai bertahun – tahun pada tubuh

seseorang sehingga dapat bertahan hidup di belahan dunia mana pun dan dalam iklim apapun.

Hal ini pula yang diduga sebagai penyebab sering rekurennya gejala klinis yang merupakan

ciri dari penyakit ini.

Pada akhir masa inkubasi dan pada tahap awal infeksi aktif terjadi leukositosis (s/d

25.000) dengan eosinofilia ( > 40 %). Kemudian, saat infeksi menjadi kronis leukositosis

berganti menjadi neutropenia dan monositosis relatif, sementara eosinofilia moderat tetap

Page 2: PATOFISIOLOGI Strongyloidiasis

bertahan selama bertahun – tahun. Pada keadaan kurangnya eosinofil, disertai dengan

leukopenia, pada kasus kronis menunjukkan prognosa yang buruk.

Pada keadaan tertentu larva filariform dapat gagal keluar dari kapiler pulmonal paru

menuju alveoli, lalu bermigrasi ke dalam venule pulmonal dan masuk ke sirkulasi sistemik

tubuh. Hal ini dapat mengarah kepada “disseminated infection” yang dapat menyerang organ

– organ lain seperti paru, hati, dan jantung. Namun keadaan “disseminated (menyebar)” ini

sendiri tidak berhubungan dengan beratnya infeksi. Kasus “disseminated” biasanya terjadi

pada penderita dengan immunosupresi / immunocompromised.

Hiperinfeksi Strongyloides stercoralis merupakan sindrom autoinfeksi yang

meningkat dan gejala – gejalanya disebabkan oleh peningkatan migrasi larva Strongyloides

stercoralis. Hiperinfeksi dapat berakibat fatal. Sebagai penanda hiperinfeksi adalah

peningkatan deteksi jumlah larva dalam feses. Faktor resiko hiperinfeksi Strongyloidiasis

adalah pasien yang immunocompromized, diantaranya :

Pengguna kortikosteroid.

Diduga ikatan antara kortikosteroid dengan reseptor hormon steroid mempercepat

transformasi larva rhabditiform menjadi larva filariform infektif. Kortikosteroid juga

menyebabkan supresi eosinofil dan aktivasi limfosit.

Pengguna obat – obat imunosupresif untuk terapi kanker.

Penderita infeksi virus HTLV – 1

Ko-infeksi Strongyloidiasis dengan infeksi virus HTLV – 1 (Human T cell Lymphotropic

Virus type 1) mempercepat fase pre-leukemik infeksi HTLV – 1. Antigen strongyloides

mempecepat leukemogenesis.

Pengidap HIV / AIDS yang dengan keadaan imunodefisiensinya awalnya diduga

memiliki angka kejadian hiperinfeksi Strongyloidiasis yang tinggi, ternyata angka

hiperinfeksi ini tidaklah sesignifikan atau pun sebesaryang diperkirakan. Dan penyebab

penyimpangan ini juga masih belum diketahui pasti. Sedang pasien yang mendapat

transplantasi organ memiliki angka hiperinfeksi yang tidak tinggi walaupun memakai obat

obat imunosupresif. Hal ini kemungkinan dikarenakan obat yang dipakai untuk menekan

sistem imun tubuh pasien (untuk menekan reaksi penolakan tubuh terhadap organ yang baru

ditransplantasikan) adalah cyclosporin yang juga mempunyai efek antihelmentik.