pbhptbawang hama.docx

13
Hama Hama ulat bawang a. Klasifikasi Kingdom : Animalia Filum : Arthropoda Kelas : Insecta Ordo : Lepidoptera Famili : Noctuidae Subfamili : Amphipyrinae Spesies : Spodoptera exigua Ulat Spodoptera exigua dijumpai hampir pada setiap umur tanaman bawang merah. Ulat berukuran panjang sampai + 25 mm, berwarna hijau atau coklat dengan garis tengah berwarna kuning. Hama ini termasuk hama yang menyerang banyak spesies tanaman inang. Menurut Smits (1987), hama ini mempunyai lebih dari 200 spesies tanaman inang yang termasuk dalam lebih dari 40 famili yang berbeda, namun tanaman inang yang utama adalah keluarga bawang- bawangan, cabai merah dan jagung (Duriat dkk., 1994).

Upload: putri-wedingtyas

Post on 10-Jul-2016

13 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: PBHPTBAWANG HAMA.docx

Hama

Hama ulat bawang

a. Klasifikasi

Kingdom            : Animalia

Filum                  : Arthropoda

Kelas                  : Insecta

Ordo                   : Lepidoptera

Famili                 : Noctuidae

Subfamili            : Amphipyrinae

Spesies               : Spodoptera exigua

Ulat Spodoptera exigua dijumpai hampir pada setiap umur tanaman bawang

merah. Ulat berukuran panjang sampai + 25 mm, berwarna hijau atau coklat dengan

garis tengah berwarna kuning. Hama ini termasuk hama yang menyerang banyak

spesies tanaman inang.  Menurut Smits (1987), hama ini mempunyai lebih dari 200

spesies tanaman inang yang termasuk dalam  lebih dari 40 famili yang berbeda,

namun tanaman inang yang utama adalah keluarga bawang-bawangan, cabai merah

dan jagung (Duriat dkk., 1994).

B. Bioekologi

Rentangan sayap ngengat panjangnya antara 25 – 30 mm.  Sayap depan

berwarna coklat tua dengan garis-garis yang kurang tegas dan terdapat pula bintik-

bintik hitam.  Sayap belakang berwarna keputih-putihan dan tepinya bergaris-garis

hitam.  Ngengat betina mulai bertelur pada umur 2 – 10 hari.

Page 2: PBHPTBAWANG HAMA.docx

Telur berbentuk bulat sampai bulat panjang, diletakkan oleh induknya dalam

bentuk kelompok pada permukaan daun atau batang dan tertutup oleh bulu-bulu

atau sisik dari induknya. Tiap kelompok telur maksimum terdapat 80 butir.  Jumlah

telur yang dihasilkan oleh seekor ngengat betina sekitar 500 – 600 butir.  Setelah 2

hari telur menetas menjadi larva.

Larva atau ulat muda berwarna hijau dengan garis-garis hitam pada

punggungnya.  Ulat tua mempunyai beberapa variasi warna, yaitu hijau, coklat

muda dan hitam kecoklatan.  Ulat yang hidup di dataran tinggi umumnya berwarna

coklat.

Stadium ulat terdiri dari 5 instar.  Instar pertama panjangnya sekitar 1,2 – 1,5

mm, instar kedua sampai instar terakhir antara 1,5 – 19 mm.  Setelah instar terakhir

ulat merayap atau menjatuhkan diri ke tanah untuk berkepompong.  Ulat lebih aktif

pada malam hari.  Stadium larva berlangsung selama 8 – 10 hari.

Pupa berwarna coklat muda dengan panjang 9 – 11 mm, tanpa rumah pupa. 

Pupa berada di dalam tanah dengan kedalaman + 1 cm, dan sering dijumpai juga

pada pangkal batang, terlindung di bawah daun kering, atau di bawah partikel

tanah.  Pupa memerlukan waktu 5 hari untuk berkembang menjadi ngengat.

Hama  ulat bawang tersebut menyebar di daerah sentra produksi bawang

merah di Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara Barat dan Irian.

C. Gejala Serangan

Ulat bawang dapat menyerang tanaman sejak fase pertumbuhan awal (1-10

hst) sampai dengan fase pematangan umbi (51-65 hst). Ulat muda (instar 1) segera

Page 3: PBHPTBAWANG HAMA.docx

melubangi bagian ujung daun, lalu masuk ke dalam daun bawang. Ulat memakan

permukaan daun bagian dalam, dan tinggal bagian epidermis luar. Daun bawang

terlihat menerawang tembus cahaya atau terlihat bercak-bercak putih transparan,

akhirnya daun terkulai.

D. Pengendalian hama ulat bawang

Prinsip pengendalian hama tanaman yang di kembangkan oleh manusia dewasa

ini adalah menekan jumlah populasi hama yang menyerang tanaman sampai pada

tingkat populasi yang tidak merugikan. Komponen pengendalian hama yang dapat di

terapkan untuk mencapai sasaran tersebut antara lain pengendalian hayati,

pengendalian secara fisik dan mekanik, pengendalian secara kultur teknis dan

pengendalian secara kimiawi.

a.       Pengendalian Hayati

 Suatu teknik pengendalian hama secara biologi yaitu dengan

memanfaatkan musuh alami seperti prodator, parasitoid dan pathogen.

Keuntungan pengendalian hayati ini adalah aman, tidak menimbulkan

pencemaran lingkungan dan tidak menyebabkan resistensi. Beberapa spesies

predator dari S. litura adalah Solenopsis sp, Paedorus sp, Euberellia sp, Lycosa

sp, dan laba-laba.

b.      Pengendalian Secara Kultur Teknis

Pengendalian serangga hama dengan memodifikasi kegiatan pertanian agar

lingkungan pertanian menjadi tidak menguntungkan bagi perkembangan hama.

Usaha-usaha tersebut mencakup sanitasi, pengolahan tanah, pergiliran tanaman,

pemupukan berimbang, penggunaan mulsa, penggunaan tanaman perangkap.

Komponen pengendalian yang harus disertakan adalah pengendalian fisik

dengan jalan memberikan kerodong kasa (Gambar 1.) pada seluruh tanaman

dengan tinggi kerodong 175 cm, yang dipasang sejak sebelum bibit bawang

merah ditanam sampai saat panen. Pada keadaan ini petani masih dapat masuk

kedalam lerodong kasa untuk melakukan aktivitas pemeliharaan tanamannya

a.l.: tanam, aplikasi herbisida, penyiangan, penyiraman, monitoring serangan

hama, pengendalian  hama ulat secara mekanis dan panen.

Page 4: PBHPTBAWANG HAMA.docx

  Kasa dibuat dari bahan plastik dengan ukuran  lubang 17 mesh. Pengendalian

dengan cara ini sudah mulai dilakukan oleh petani di Kab. Probolinggo sejak 6 –

8 tahun terakhir, dikombinasikan monitoring serangan ulat , dua kali seminggu, 

pengendalian mekanis yaitu mengambil dan membuang kelompok telur dan ulat

yang ada pada daun dan permukaan atas kerodong kasa, aplikasi insektisida 1 –

2 kali per musim tanam jika serangan hama thrips meningkat. Penggunaan

kerodong kasa ini dapat mengurangi bahkan meniadakan  penggunaan

insektisida kimia, sehingga efek negatif penggunaan insektisida juga dapat

ditiadakan. Kerodong kasa dapat diterapkan pada luasan pertanaman yang

sempit maupun yang luas namun pada umumnya ukuran kerodong kasa yang

diterapkan oleh petani per unit antara 500 m2 sampai 2000 m 2. Keberhasilan

pengendalian hama ulat dengan menggunakan kerodong kasa ini dapat mencapai

100 % dan bawang merah dapat dipanen dengan hasil optimal. Biaya

penggunaan kerodong kasa untuk pertanaman bawang merah dengan luas lahan

1300 m 2 adalah sebesar Rp. 1.652.500,- (Analisa biaya tertera pada Lampiran

1.). Biaya penggunaan kerodong kasa ini setara dengan biaya aplikasi

penggunaan insektisida. Namun kerodong kasa ini dapat digunakan untuk 6 – 8

kali musim tanam bila perawatan kasa dilakukan dengan baik (Rosmahani, dkk.,

2001).       

  Keberhasilan kerodong kasa  pada usahatani bawang merah ini    adalah

sebagai barier fisik bagi masuknya hama ulat S. exigua pada pertanaman bawang

merah.  Ukuran lubang bahan kerodong kasa  adalah sebesar 17 mesh, sehingga

ngengat yang datang tidak dapat masuk kedalam pertanaman bawang  merah.

Jika ngengat hinggap pada permukaan bagian atas kerodong kasa dan bertelur

maka masih ada kemungkinan telur untuk jatuh pada daun bawang merah di

dalam kerodong kasa. Hal ini dapat ditanggulangi dengan pengendalian mekanis

yaitu dengan mengambil dan membuang kelompok telur yang ada pada tanaman

bawang merah. Secara tidak langsung secara ekologis kerodong kasa dapat 

membantu memperbaiki lingkungan tumbuh bawang merah pada saat musim

kemarau (saat tanam bulan Agustus).  Pada saat tanam tersebut udara panas dan

kering , dengan temperatur udara > 30 °C. Pada kondisi udara yang panas dan

kering daun bawang merah  dapat mengalami respirasi yang  tinggi (Sumami

Page 5: PBHPTBAWANG HAMA.docx

dan Rosliani, 1995), keadaan ini menyebabkan tanaman menjadi lemas, dan

lemah. Penggunaan kerodong kasa secara fisik juga dapat mengurangi  intensitas

sinar matahari dan  respirasi tanaman sehingga pertumbuhan tanaman bawang

merah dapat berlangsung dengan normal sehingga dapat menghasilkan umbi

dengan baik. Selain itu penggunaan kerodong kasa menyebabkan pengurangan

penggunaan insektisida  dalam jumlah besar sehingga juga dapat menekan efek

negatif insektisida baik di lapangan maupun di tingkat kosumen

c.       Pengendalian Kimiawi

Usaha mengendalikan hama dengan menggunakan bahan kimia pestisida

yang mempunyai daya racun terhadap serangga hama yang di sebut Insektisida.

Pengendalian dengan kimiawi menggunakan Insektisida dengan bahan aktif

deltametrin

Pengendalian ulat bawang pada tanaman bawang merah hingga saat ini

masih mengandalkan penggunaan insektisida secara intensik baik dengan

meningkatkan dosis maupun dengan meningkatkan interval waktu penyemprotan

dengan system kelender.

Page 6: PBHPTBAWANG HAMA.docx

Musuh alami

Laba-laba

Nama Ilmiah : Lycosa sp

Klasifikasi

Kerajaan : Animalia

Filum : Arthropoda

Kelas : Arachnida

Ordo : Araneae

Family : -

Genus : Lycosa

Spesies : Lycosa sp

Bioekologi :

Tidak semua laba-laba membuat jaring untuk menangkap mangsa, akan tetapi

semuanya mampu menghasilkan benang sutera --yakni helaian serat protein yang tipis

namun kuat-- dari kelenjar (disebut spinneret) yang terletak di bagian belakang

tubuhnya. Serat sutera ini amat berguna untuk membantu pergerakan laba-laba, berayun

dari satu tempat ke tempat lain, menjerat mangsa, membuat kantung telur, melindungi

lubang sarang, dan lain-lain.

Page 7: PBHPTBAWANG HAMA.docx

Morfologi :

Sejenis hewan berbuku-buku (arthropoda) dengan dua segmen tubuh, empat

pasang kaki, tak bersayap dan tak memiliki mulut pengunyah Sebagai gantinya, mulut

laba-laba berupa alat pengisap untuk menyedot cairan tubuh mangsanya.. Anatomi laba-

laba:

(1) empat pasang kaki

(2) cephalothorax

(3) opisthosoma

Page 8: PBHPTBAWANG HAMA.docx

Serangga lain

Kupu-kupu

Nama Ilmiah : Appias libythea

Klasifikasi :

Kingdom : Animalia

Divisi : Rhopalocera

Filum : Arthropoda

Kelas : Insecta

Ordo : Lepidoptera

Genus : Appias

Spesies : Appias libythea

Bioekologi :

Kupu-kupu dan ngengat dikenal sebagai hewan penyerbuk, yang membantu bunga-

bunga berkembang menjadi buah. Sehingga bagi petani, dan orang pada umumnya,

kupu-kupu ini sangat bermanfaat.

Pada pihak yang lain, berjenis-jenis ulat diketahui sebagai hama yang rakus. Bukan

hanya tanam-tanaman semusim yang dimangsanya, namun juga pohon buah-buahan dan

Page 9: PBHPTBAWANG HAMA.docx

pohon pada umumnya dapat habis digunduli daunnya oleh ulat dalam waktu yang relatif

singkat. Banyak jenis ulat –terutama dari jenis-jenis ngengat– yang menjadi hama

pertanian yang serius.

Morfologi :

Kupu-kupu biasanya memiliki warna yang indah cemerlang, ngengat cenderung

gelap, kusam atau kelabu.

Kupu-kupu umumnya hidup dengan mengisap madu bunga (nektar/ sari kembang)

Page 10: PBHPTBAWANG HAMA.docx

DAFTAR PUSTAKA

 Dibyantoro, A. L. H. 1993. Daya guna insektisida Reldan 24 EC terhadap Spodoptera

exigua Hubn. Pada tanaman bawang merah. Buletin Penelitian Hortikultura. 25

(2): 54 – 60.

Duriat, A.S., T.A. Soetiarso, L. Prabaningrum, R. Sutarya. 1994. Penerapan

Pengenmdalian Hama dan Penyakit Terpadu pada Budidaya Bawang Merah. Balai

Penelitian Hortikultura Lembang. Puslitbanghort. Badan Litbang Pertanian.

Hadisoeganda, W.W., E. Wuryaningsih dan T.K. Moekasan. 1995. Penyakit dan hama

bawang merah dan cara pengendaliannya. Dalam. Teknologi Produksi bawang

merah. Puslitbanghort. Balitbangtan.Jakarta Hal 57 – 73.

Koster,W.G. 1990.Explorating survey on shallot in rice based cropping system in

Brebes. Bul. Penel. Hort. 18 (1):19-30

Rosmahani, L., E. Korlina, Baswarsiati dan F. Kasijadi. 1998. Pengkajian tehnik

pengendalian terpadu hama dan penyakit penting bawang merah tanam di luar

musim. Eds. Supriyanto  A.dkk. Prosid. Sem.Hasil Penelitian dan Pengkajian

Sisitem Usahatani Jawa Timur. Balitbangtan. Puslit Sosek Petanian. BPTP

Karangploso. 116-131

Sumami, N dan R. Rosliani. 1995. Ekologi bawang merah. Dalam. Teknologi Produksi

Bawang Merah. Eds. Soenaryono, H. dkk. Puslitbang Hortikultura, Badan

Litbang Pertanian. Jakarta . 12 – 17.

Sutarya, R. 1996. Hama ulat Spodoptera exigua Hubn. pada bawang merah dan strategi

pengendaliannya. Jurnal Litbang Pertanian XV (2). 1996: 41 – 46