pbl 3

16
1. M&M asma (Aplikasi Klinis Patofisiologi) 1.1 definisi Suatu inflamasi kronis pada jalan napas yang diperankan oleh banyak sel dan elemen sel, khususnya, sel mast, eosinophil, limfosit T, makrofag, neutrofil, dan sel epitel. Menurut WHO, asma adalah keadaan kronik yang ditandai oleh bronkospasme rekuren akibat penyempitan lumen saluran nafas sebagai respons terhadap suatu stimuli yang tidak menyebabkan penyempitan serupa pada kebanyakan orang. Menurut Pedoman Nasional Asma Anak 2004, asma adalah mengi berulang dan/atau batuk persisten dengan kharakteristik sebagai berikut : timbul secara episodic, cenderung pada malam/ dini hari (nocturnal), musiman, setelah aktivitas fisik, serta terdapat riwayat asma atau atopi lain pada pasien dan/ atau keluarganya. 1.2 Etiologi Menurut Patino dan Martinez (2001) dalam Martinez (2003) faktorlingkungan dan faktor genetik memainkan peran terhadap kejadian asma. Menurut Strachan dan Cook (1998) dalam Eder et al(2006) pada kajian meta analisis yang dijalankan menyimpulkan bahwa orang tua yang merokok merupakan penyebab utama terjadinya mengi dan asma pada anak. Menurut Corne et al (2002) paparan terhadap infeksi juga bisa menjadi pencetus kepada asma. Infeksi virus terutamanya rhinovirus yang menyebabkan simptom infeksi salur pernafasan bagian atas memicu kepada eksaserbasi asma. Gejala ini merupakan petanda asma bagi semua peringkat usia (Eder et al, 2006). Terdapat juga teori yang menyatakan bahwa paparan lebih awal terhadap infeksi virus pada anak lebih memungkinkan untuk anak tersebut diserang asma (Cockrill et al, 2008). Selain faktor linkungan, faktor genetik juga turut berpengaruh terhadap kejadian asma. Kecenderungan seseorang untuk menghasilkan IgE diturunkan dalam keluarga (Abbas et al, 2007). Pasien yang alergi terhadap alergen sering mempunyai riwayat keluarga yang turut menderita asma dan ini membuktikan bahwa factor genetik sebagai faktor predisposisi asma (Cock rill et al, 2008). Menurut Tatum dan Shapiro (2005) dalam Eder et al (2006) ada juga bukti yang menyatakan bahwa udara yang tercemar berperan

Upload: sheila-prilia-andini

Post on 10-Jul-2016

218 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: pbl 3

1. M&M asma (Aplikasi Klinis Patofisiologi)1.1 definisi

Suatu inflamasi kronis pada jalan napas yang diperankan oleh banyak sel dan elemen sel, khususnya, sel mast, eosinophil, limfosit T, makrofag, neutrofil, dan sel epitel.

Menurut WHO, asma adalah keadaan kronik yang ditandai oleh bronkospasme rekuren akibat penyempitan lumen saluran nafas sebagai respons terhadap suatu stimuli yang tidak menyebabkan penyempitan serupa pada kebanyakan orang.

Menurut Pedoman Nasional Asma Anak 2004, asma adalah mengi berulang dan/atau batuk persisten dengan kharakteristik sebagai berikut : timbul secara episodic, cenderung pada malam/ dini hari (nocturnal), musiman, setelah aktivitas fisik, serta terdapat riwayat asma atau atopi lain pada pasien dan/ atau keluarganya.

1.2 Etiologi

Menurut Patino dan Martinez (2001) dalam Martinez (2003) faktorlingkungan dan faktor genetik memainkan peran terhadap kejadian asma. Menurut Strachan dan Cook (1998) dalam Eder et al(2006) pada kajian meta analisis yang dijalankan menyimpulkan bahwa orang tua yang merokok merupakan penyebab utama terjadinya mengi dan asma pada anak. Menurut Corne et al (2002) paparan terhadap infeksi juga bisa menjadi pencetus kepada asma. Infeksi virus terutamanya rhinovirus yang menyebabkan simptom infeksi salur pernafasan bagian atas memicu kepada eksaserbasi asma. Gejala ini merupakan petanda asma bagi semua peringkat usia (Eder et al, 2006). Terdapat juga teori yang menyatakan bahwa paparan lebih awal terhadap infeksi virus pada anak lebih memungkinkan untuk anak tersebut diserang asma (Cockrill et al, 2008). Selain faktor linkungan, faktor genetik juga turut berpengaruh terhadap kejadian asma. Kecenderungan seseorang untuk menghasilkan IgE diturunkan dalam keluarga (Abbas et al, 2007). Pasien yang alergi terhadap alergen sering mempunyai riwayat keluarga yang turut menderita asma dan ini membuktikan bahwa factor genetik sebagai faktor predisposisi asma (Cock rill et al, 2008). Menurut Tatum dan Shapiro (2005) dalam Eder et al (2006) ada juga bukti yang menyatakan bahwa udara yang tercemar berperan dalam mengurangkan fungsi paru, mencetuskan eksaserbasi asma seterusnya meningkatkan populasi pasien yang dirawatdi rumah sakit. Mekanisme patogenik yang menyebabkan bronkokonstriksi adalah disebabkan alergen yang memicu kepada serangan asma. Walaupun telah dikenal pasti alergen outdoor sebagai penyebab namun alergen indoor turut memainkan peran seperti house dust mites, hewan peliharaan dan kecoa. Apabila pasien asma terpapar dengan alergen, alergen tersebut akan menempel di sel mast. Sel mast yang telah teraktivasi akan melepaskan mediator. Mediator-mediator ini yang akan menyebabkan bronkokonstriksi dan meningkatkan permeabilitas epitel jalan nafas sehingga membolehkan antigen menempel ke IgE-spesifik yang mempunyai sel mast. Antara mediator yang paling utama dalam implikasi terhadap patogenesis asma alergi adalah histamin dan leukotrien (Cockrill et al, 2008).

Histamin merupakan mediator yang menyebabkan kontraksi otot polos bronkus, augmentasi permeabilitas vaskuler dan pembentukan edema salur pernafasan serta menstimulasi reseptor iritan yang bisa memicu bronkokonstriksi sekunder (Cockrill et al, 2008). Menurut Drazen et al (1999) dalam Kay A.B. (2001) sel mast turut memproduksi sisteinil leukotriene yaitu C4,D4 dan E4. Leukotriene ini akan menyebabkan kontraksi otot

Page 2: pbl 3

polos, vasodilatasi, meningkatkan permeabilitas vaskuler dan hipersekresi mukus apabila berikatan dengan reseptor spesifik.

Faktor resiko : a. Jenis Kelamin

Anak laki-laki sampai usia 10 tahun adalah 1,5 sampai 2 kali lipat anak perempuan. Pada orang dewasa rasio ini berubah menjadi sebanding antara laki-laki dan perempuan pada usia 30 tahun.

b. Usia Asma pertama kali timbul pada usia muda. 25% anak asma presisten mendapat mengi pada usia <6bulan, dan 75% mendapat serangan mengi pertama sebelum usia 3 tahun.

c. Riwayat atopi Sensitisasi alergi terhadap alergen inhalan, susu, telur, atau kacang pada tahun pertama kehidupan merupakan predictor utama timbulnya asma.

d. Lingkunngan Adanya alergen di lingkungan anak meningkatkan risiko penyakit asma. Alergen yang sering mencetuskan penyakit asma antara lain adalah serpihan kulit binatang piaraan, tungau debu rumah, jamur dan kecoa

e. Ras Prevalens asma dan kejadian serangan asma pada ras kulit hitam lebih tinggi daripada kulit putih.

f. Asap rokokPrevalens asma pada anak yang terpajan asap rokok lebih tinggi daripada anak yang tidak terpajan rokok. Risiko terhadap asap rokok sudah dimulai sejak janin dalam kandungan, umumnya berlangsung terus setelah anak dilahirkan.

g. Outdoor air politon Diduga adanya pajanan terhadap endotoksin sebagai komponen bakteri dalam jumlah banyak dan waktu yang dini mengakibatkan system imun anak terangsang melalui jejak Th1. Saat ini teori tersebut dikenal sebagai hygiene hypothesis.

h. Infeksi respiratorik Infeksi virus berulang yang tidak menyebabkan infeksi respiratorik dapat memberikan anak proteksi terhadap asma.

1.3 klasifikasi

Pembagian derajat penyakit asma menurut GINA : 1. Intermiten

gejala kurang dari 1 kali/minggu serangan singkat gejala nocturnal tidak lebih dari 2 kali/bulan (<2 kali)

2. Persisten ringan Gejala lebih dari 1 kali/minggu tapi kurang dari 1 kali/hari Serangan dapat mengganggu aktivitas tidur

Page 3: pbl 3

Gejala nocturnal >2 kali/bulan

3. Persisten sedang Gejala terjadi setiap hari Serangan dapat mengganggu aktivitas dan tidur Gejala nocturnal > 1 kali dalam seminggu

4. persisten berat Gejala terjadi setiap hari Serangan sering terjadi Gejala asma nocturnal sering terjadi

Pembagian yang dibuat Phelan dkk (dikutip dari Konsensus Pediatri Internasiolnal III tahun 1998) : 1. Asma episodic jarang

75%populasi asma pada anak Episode <1x tiap 4-6 minggu Mengi setelah aktivitas berat Tidak dibutuhkan terapi profilaksis

2. Asma episodic sering 20% populasi asma Frekuensi serangan lebih sering Mengi pada aktivitas sedang tapi bisa dicegah dengan pemberian agonis-β2 Terjadi <1x/minggu Terapi profilaksis biasanya dibutuhkan

3. Asma persisten 5% anak asma Seringnya episode akut Mengi pada aktivitas ringan Diantara interval gejala dibutuhkan agonis-β2 >3x/minggu Terapi profilaksis sangat dibutuhkan

Page 4: pbl 3

1.4 patogenesis dan patofisiologisAda dua faktor utama berperan dalam timbulnya serangan asma. Interaksi kedua faktor tersebut akan mengakibatkan proses inflamasi, berupa terbentuknya mediator-mediator inflamasi termasuk sitokin. Semuanya akan mengakibatkan terjadinya perubahan struktur dan perubahan fungsi saluran nafas (kerusakan epitel saluran nafas, hipersekresi, kongesti pembuluh darah, edema, bronkokonstriksi, “airway remodelling”) yang akan memberikan gejala-gejala klinis asma. Reaksi bronkial terhadap alergen menunjukkan reaksi asma fase segera (immediate phase response) dan reaksi asma fase lanjut (late-phase response). Apabila ada suatu rangsangan atau paparan alergen pada permukaan mukosa saluran nafas, “primary effector cells” (pro inflammatory cells) yang terdapat pada saluran nafas seperti: sel mast, makrofag dan sel epitel akan mengeluarkan mediator inflamasi (termasuk sitokin) yang merangsang terjadinya proses inflamasi pada saluran nafas. Reaksi asma segera (RAS) berupa konstriksi bronkus, peningkatan permeabilitas pembuluh darah, edema dan migrasi sel. Ternyata, disamping itu mediator inflamasi tersebut juga akan menarik dan mengaktifkan “secondary effector cells” (sel inflamasi yang berasal dari sirkulasi seperti eosinofil, netrofil, makrofag danlimfosit) dan sel-sel ini pun akan menghasilkan mediator inflamasi yang akan memperberat inflamasi yang sudah terjadi sebelumnya. Pelepasan mediator inflamasi akibat infiltrasi sel-sel tersebut akan menimbulkan peningkatan kepekaan bronkus terhadap rangsangan (“bronchial

Page 5: pbl 3

hyperreactivity”). Reaksi asma fase lanjut (RAL) terjadi dalam waktu dua sampai empat jam setelah RAS. Fase lanjut ini mencapai puncaknya setelah 24 jam dan menurun secara bertahap.

Pada reaksi asma segera (RAS) tidak terjadi hipereaktivitas bronkus. Pada reaksi asma fase lanjut (RAL), sel eosinofil dan netrofil berinteraksi dengan mediator lain menyebabkan kerusakan dan deskuamasi sel epitel bronkus dengan cara meningkatkan fragilitas epitel dan melemahkan daya lekat sel epitel pada sel basal. Mekanisme migrasi sel radang ke saluran nafas sangat kompleks, mengikutsertakan “adhesion molecule substance” (ICAM-1,2,3, intergrin, selectin) serta peran limfosit dan lain-lain sel yang memproduksi limfokin dan sitokin yang berperan penting terjadinya inflamasi akut maupun kronik.

1.5 manifestasi klinis

Page 6: pbl 3

Pada serangan asma ringan: Anak tampak sesak saat berjalan. Pada bayi: menangis keras. Posisi anak: bisa berbaring. Dapat berbicara dengan kalimat. Kesadaran: mungkin irritable. Tidak ada sianosis (kebiruan pada kulit atau membran mukosa). Mengi sedang, sering hanya pada akhir ekspirasi. Biasanya tidak menggunakan otot bantu pernafasan. Retraksi interkostal dan dangkal. Frekuensi nafas: cepat (takipnea). Frekuensi nadi: normal. Tidak ada pulsus paradoksus (< 10 mmHg) SaO2 % > 95%. PaO2 normal, biasanya tidak perlu diperiksa. PaCO2 < 45 mmHg

Pada serangan asma sedang: Anak tampak sesak saat berbicara. Pada bayi: menangis pendek dan lemah, sulit menyusu/makan. Posisi anak: lebih suka duduk. Dapat berbicara dengan kalimat yang terpenggal/terputus. Kesadaran: biasanya irritable. Tidak ada sianosis (kebiruan pada kulit atau membran mukosa). Mengi nyaring, sepanjang ekspirasi ± inspirasi. Biasanya menggunakan otot bantu pernafasan. Retraksi interkostal dan suprasternal, sifatnya sedang. Frekuensi nafas: cepat (takipnea). Frekuensi nadi: cepat (takikardi). Ada pulsus paradoksus (10-20 mmHg) SaO2 % sebesar 91-95%. PaO2 > 60 mmHg. PaCO2 < 45 mmHg

Pada serangan asma berat tanpa disertai ancaman henti nafas: Anak tampak sesak saat beristirahat. Pada bayi: tidak mau minum/makan. Posisi anak: duduk bertopang lengan. Dapat berbicara dengan kata-kata. Kesadaran: biasanya irritable. Terdapat sianosis (kebiruan pada kulit atau membran mukosa). Mengi sangat nyaring, terdengar tanpa stetoskop sepanjang ekspirasi dan inspirasi. Menggunakan otot bantu pernafasan. Retraksi interkostal dan suprasternal, sifatnya dalam, ditambah nafas cuping hidung

Page 7: pbl 3

Frekuensi nafas: cepat (takipnea). Frekuensi nadi: cepat (takikardi). Ada pulsus paradoksus (> 20 mmHg) SaO2 % sebesar < 90 %. PaO2 < 60 mmHg. PaCO2 > 45 mmHg

Pada serangan asma berat disertai ancaman henti nafas: Kesadaran: kebingungan. Nyata terdapat sianosis (kebiruan pada kulit atau membran mukosa). Mengi sulit atau tidak terdengar. Penggunaan otot bantu pernafasan: terdapat gerakan paradoks torakoabdominal. Retraksi dangkal/hilang. Frekuensi nafas: lambat (bradipnea). Frekuensi nadi: lambat (bradikardi). Tidak ada pulsus paradoksus; tanda kelelahan otot nafas.

Pedoman nilai baku frekuensi nafas pada anak sadar: Usia Frekuensi nafas normal

< 2 bulan < 60 x / menit 2 – 12 bulan < 50 x / menit 1 – 5 tahun < 40 x / menit 6 – 8 tahun < 30 x / menit

Pedoman nilai baku frekuensi nadi pada anak: Usia Frekuensi nadi normal

2 – 12 bulan < 160 x / menit 1 – 2 tahun < 120 x / menit 3 – 8 tahun < 110 x / menit

1.6 diagnosis + DDAnamnesaKeluhan sesak nafas, mengi, dada terasa berat atau tertekan, batuk berdahak yang tak kunjung sembuh, atau batuk malam hari. Semua keluhan biasanya bersifat episodik dan reversible. Mungkin ada riwayat keluarga dengan penyakit yang sama atau penyakit alergi yang lain.

Pemeriksaan fisik Perhatian pertama adalah pada keadaan umum pasien, pasien dengan kondisi yang sangat berat akan duduk tegak. Selain itu pada pemeriksaan fisik didapatkan :

- penggunaan otot-otot bantu pernafasan2.- Frekuensi nafas > 30 kali per menit3.- Takikardia > 120 x/menit4.- Pulsus Parokdoksus >12 mmHg5.- wheezing ekspiratoar

Page 8: pbl 3

PEMERIKSAAN PENUNJANGa. SpirometriCara yang sederhana adalah uji bronkodilator nebulizer golongan adrenerjek beta. Uji inidilakukan menggunakan spirometri sebelum dan sesudah penggunaan bronkhodilator, biladidapatkan peningkatan VEP1 atau KVP lebih dari 20% maka didiagnosis sebagai asma,tetapi bila tidak memenuhi kriteria ini diagnosis asma belum tentu gugur memerlukan teskonfirmasi yang lain.b. Uji provokasi bronkhusTes ini jarang dilakukan di indonesia. Tes ini untuk memprovokasi bronkus agar efek asmabisa dibaca, tes ini menggunakan histamin, metakolin, kegiatan jasmani, udara dingin,larutan garam hipertonik. Bila terjadi penurunan VEP1 sebesar 20% maka dianggapbermakna. Uji jasmani dilakukan dengan meminta penderita berlari cepat selama 6 menitsehingga mencapai denyut jantung 80 sd 90 % kemudian dievaluasi. Jika terjadi penurunanarus puncak ekspirasi minimal 10% maka dapat dinyatakan positif.c. Pemeriksaan sputumSputum eosinofil merupakan ciri dari asma, menggunakan kristal Charcot-leyden, danspiral Curschmann.d. Pemeriksaan eosinofil totalPada pemeriksaan darah dijumpai kadar eosinofil yang tinggi.e. Uji kulitTujuannya untuk menunjukkan antibodi spesifik dalam tubuh.f. Pemeriksaan kadar IgE total dan kadar IgE sputumTujuan pemeriksaan ini untuk menyokong dugaan atopi pada penderita.g. Foto dadaPemeriksaan foto thorak untuk menyingkirkan penyebab lain obstruksi saluran nafas yanglain seperti pneumothorax, pneumomediatinum, atelektasis dan lainnya. PemeriksaanThorax foto umum dilakukan dengan indikasi kecurigaan adanya pneumoni atau pasienasma yang setelah 6-12 jam dilakukan pengobatan intensif tidak membaik.h. Monitor Irama JantungPemeriksaan EKG tidak dilakukan secara rutin pada pasien asma, EKG dilakukan apabilaterdapat kemungkinan diagnosa banding Asma Cardiale ataupun gawat jantung lain yangkemungkinan menyertai Asma umumnya dilakukan pada penderita lansia dan atau umur45 tahun.i. Analisa gas darahPemeriksaan ini hanya dilakukan bila kita mencurigai adanya gangguan asam basa dalamtubuh. Gangguan asam basa dicurigai pada asma yang berat atau SpO2 tidak membaik >90%.

diagnosis banding Bronkitis Kronis

Ditandai dengan batuk kronik menegluarkan sputum 3 bulan dalam setahun paling sedikti terjadi dua tahun. Gejala utama batuk disertai sputum biasanya terjadi pada penderita > 35 tahun dan perokok berat. Gejalanya berupa batuk di pagi hari, lama-lama disertai mengi, menurunya kemampuan kegiatan jasmani pada stadium lanjut ditemukan sianosis dan tanda-tanda kor pumonal.

Emfisema Paru Sesak merupakan gejala utama emfisema, sedangkan batuk dan mengi jarang menyertainya. Penderita biasanya kurus. Berbeda dengan asma, emfisema biasanya tida ada fase remisi, penderita selalu merasa sesak pada saat melakukan aktivitas. Pada

Page 9: pbl 3

pemeriksaan fisik di dapat dada seperti tong, gerakan nafas terbatas, hipersonor, pekak hati menurun, suara vesikuler sangat lemah. Pada foto dada di dapat adanya hiperinflasi.

Gagal Jantung Kiri Gejala gagal jantung yang sering terjadi pada malam hari dikenal sebagai paroksisimal dispneu. Penderita tiba-tiba terbangun pada malam hari karena sesak, tetapi sesak berkurang jika penderita duduk. Pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya kardiomegali dan udem paru.

Emboli Paru Hal-hal yang dapat menimbulkan emboli paru adalah gagal jantung dan tromboflebitis dengan gejala sesak nafas, pasien terbatuk-batuk disertai darah, nyeri pleura, keringat dingin, kejang, dan pingsang. Pada pemeriksaan fisik didapat ortopnea, takikardi, gagal jantung kanan, pleural friction, gallop, sianosis, dan hipertensi.

1.7 PenatalaksanaanTatalaksana asma anak dibagi menjadi beberapa halyaitu tatalaksana komunikasi, informasi, danedukasi (KIE)pada penderita dan keluarganya, penghindaran terhadapfaktor pencetus, danmedikamentosa. Pada KIEperlu ditemukankan bahwa keberhasilan terapi atau tatalaksana sangat bergantung pada kerjasama yang baik antara keluarga (penderita) dan dokter yang menanganinya.Keluarga penderita asma perlu dijelaskan mengenai asma secara detail dengan bahasaawam agar keluarga mengetahui apa yang terjadi pada asma, kapan harus pergi ke dokter, penanganan pertamaapabila terjadi serangan, dan sebagainya.Tatalaksana tentang penghindaran terhadap pencetus memegang peran yang cukup. Seranganasma akan timbul apabila ada suatu faktor pencetus yang menyebabkan terjadinya rangsangan terhadapsaluran respiratorik yang berakibat terjadi bronkokonstriksi, edema mukosa, dan hipersekresi.Penghindaran terhadap pencetus diharapkan dapat mengurangi rangsangan terhadap saluran respiratorik.Tatalaksana medikamentosa dibagi dalam dua kelompok besar yaitu tatalaksana saat serangandan tatalaksana jangka panjang. Pada saat serangan pemberian a-2 agonis pada awal serangan dapatmengurangi gejala dengan cepat. Bila diperlukan dapat diberikan kortikosteroid sistemik pada serangansedang dan berat.

Tatalaksana Jangka Panjang Tatalaksana jangka panjang (aspek kronis) pada asma anak diberikan pada asma episodik sering d a n p e r s i s t e n , s e d a n g k a n p a d a a s m a e p i s o d i k j a r a n g ti d a k d i p e r l u k a n . P r o s e s i n fl a m a s i k r o n i s y a n g terjadi pada asma bersamaan dengan proses remodelling yang ditandai dengan disfungsi epitel. Dengandasar tersebutpenanganan asma lebih ditujukan pada kedua proses tersebut. Yang masih dalam perdebatanadalahapakah proses inflamasi itu berjalan bersamaan denganproses remodelling  (secara paralel) ataukah setelah proses inflamasikronis baru terjadi proses remodelling  (secara sekuensial).Teori terakhir yang dikemukakan Holgate,menjelaskan proses remodelling  j u s t r u t e r j a d i s e c a r a p a r a l l e l dengan proses inflamasi, bukannya sekuensial yang selamaini dikenal, tetapi teori tersebut masihmendapat tantangan.Dengan pengertian bahwa inflamasi sudah terjadi pada saatditegakkan diagnosisasma, maka peran kortikosteroid menjadisangat penting, karenasampai saat ini kortikosteroidadalahantiinflamasi yang palingkuat. Pemberian kortikosteroidyang lama pada anakmerupakan perdebatany a n g c u k u p l a m a . P a r a a h l i s e p a k a t b a h w a p e m b e r i a n k o r ti k o s t e r o i d s e c a r a s i s t e m i k d a l a m

Page 10: pbl 3

j a n g k a panjang dapat mengganggu pertumbuha nanak sehingga harus berhati-hati dan bila memungkinkan dihindari. Berdasarkan hal tersebut, pemberian secara topikal menjadi pilihan utama. Pemberian kortikosteroid secara topikal (dalamhal ini secara inhalasi) dalam waktu lama (jangka panjang) dengan d o s i s d a n c a r a y a n g t e p a t ti d a k m e n y e b a b k a n g a n g g u a n p e r t u m b u h a n p a d a a n a k . P e n g g u n a a n kortikosteroid inhalasi telah dibuktikan keuntungandan keamanannya selama digunakan dengan carayangbenar.Pemberian yang salah, baik dosis maupun cara pemberian,justru akan berdampak negatif terhadap pertumbuhananak dan efek samping lainnya seperti moonface, hipertensi,perawakan pendek,dan sebagainya.Pada tahap awal, dosis kortikosteroid yang diberikandimulai dengan dosisrendah (pada anak >12 tahun setaradengan budesonide 200-400 mg, sedangkan pada anak < 12tahun 100-200 mg) dandipertahankan untuk beberapa saat(6-8 minggu) apabila keadaan asmanya stabil. Pemberiandosistersebut mempunyaiefektifitas yang baik pada asmayang membutuhkan obat pengendali. Selain ituefek sampingyang dikuatirkan yaitu gangguan pertumbuhan tidak terjadidengan kortikosteroid dosis r e n d a h . B i l a g e j a l a a s m a s u d a h s t a b i l d o s i s d a p a t d i t u r u n k a n s e c a r a p e r l a h a n s a m p a i a k h i r n y a ti d a k menggunakan obat lagi. Dikatakan asma stabilapabilatidak ditemukan/minimal gejala asmanya.Penderitadapattidur dengan baik, aktivitas tidak terganggu, dan kualitashidup cukup baik.Apabila dengan pemberian kortikosteroid dosis rendahhasilnya belum memuaskan, dapatdikombinasi dengan long   acting   beta-2   agonist  ( L A B A ) a t a u d e n g a n theophylline  slow release  (TSR),atau dengan antileukotrien, atau meningkatkan dosis kortikosteroid menjadi dosis medium (setara dengan budesonide 200-400 µg). Pemberian kortikosteroid secara inhalasi tidak mempunyai efek samping terhadap tumbuh kembang anak selama dosis yang diberikan < 400 µg dan dengan cara yang b e n a r . P a d a a n a k d i a n j u r k a n ti d a k m e l e b i h i 8 0 0 µ g , k a r e n a d e n g a n p e n a m b a h a n d o s i s k o r ti k o s t e r o i d tersebut tidak akan menambah manfaatnya, tetapi justru meningkatkan efek sampingnya. Griffiths, meneliti pemberian kortikosteroid dosis tinggi (setara dengan flutikasonpropionat 1000 ug) selamaminimal 6 bulan tidak memberikan gangguan terhadap reduksi metabolisme tulang dan bone-age  pada penderitaasma anak, namun hal itu masih memerlukanpenelitian lebih lanjut.

1.8 komplikasi

- Pneumothorax Keadaan dimana terdapat udara atau gas dalam rongga pleura, sehingga paru – paru kesulitan untuk mengembang.

- Pneumodiastinum Adanya udara atau gas bebas yang ditemukan pada mediastinum.

- Emfisema Pembesaran permanen abnormal ruang udara distal ke bronkiolus terminal, disertai dengan kerusakan dinding alveolar dan tanpa fibrosis yang jelas.

- Atelektasis - pengkerutan sebagian atau seluruh paru-paruakibat penyumbatan saluran udara (bronkus

maupun bronkiolus) atau akibat pernafasan yang sangat dangkal. - Bronchitis

Page 11: pbl 3

- Peradangan pada cabang tenggorokan/ bronkus. - Gagal nafas - Perubahan bentuk thorax

Thorax membungkuk kedepan dan memanjang. Pada foto rontgen terlihat diafragma letaknya rendah, gambaran jantung menyempit, hilus kiri dan kanan bertambah. Pada asma berat dapat terjadi bentuk dada burung (pektus karinatum/ pigeon chest) dan tampak sulkus Harrison.

1.9 Pencegahan

Upaya pencegahan asma dapat dibedakan menjadi 3 yaitu: 1. Pencegahan primer ditujukan untuk mencegah sensitisasi pada bayi dengan risiko asma (orangtua asma), dengan cara :

- Penghindaran asap rokok dan polutan lain selama kehamilan dan masa perkembangan bayi/anak

- Diet hipoalergenik ibu hamil, asalkan / dengan syarat diet tersebut tidak mengganggu asupan janin

- Pemberian ASI eksklusif sampai usia 6 bulan

- Diet hipoalergenik ibu menyusui

Page 12: pbl 3

2. Pencegahan sekunder ditujukan untuk mencegah inflamasi pada anak yang telah tersentisisasi dengan cara menghindari pajanan asap rokok, serta allergen dalam ruangan terutama tungau debu rumah.

3. Pencegahan tersier ditujukan untuk mencegah manifestasi asma pada anak yang telah menunjukkan manifestasi penyakit alergi. Sebuah penelitian multi senter yang dikenal dengan nama ETAC Study (early treatment of atopic children) mendapatkan bahwa pemberian Setirizin selama 18 bulan pada anak atopi dengan dermatitis atopi dan IgE spesifik terhadap serbuk rumput (Pollen) dan tungau debu rumah menurunkan kejadian asma sebanyak 50%. Perlu ditekankan bahwa pemberian setirizin pada penelitian ini bukan sebagai pengendali asma (controller).

1.10 prognosis

Mortalitas akibat asma jumlahnya kecil. Gambaran yang paling akhir menunjukkan kurang dari 5000 kematian setiap tahun dari populasi berisiko yang jumlahnya kira-kira 10 juta penduduk. Angka kematian cenderung meningkat di pinggiran kota dengan fasilitas kesehatan terbatas.

Informasi mengenai perjalanan klinis asma menyatakan bahwa prognosis baik ditemukan pada 50–80% pasien, khususnya pasien yang penyakitnya ringan dan timbul pada masa kanak-kanak. Jumlah anak yang masih menderita asma 7–10 tahun setelah diagnosis pertama bervariasi dari 26–78% dengan nilai rata-rata 46%, akan tetapi persentase anak yang menderita ringan dan timbul pada masa kanak-kanak. Jumlah anak yang menderita asma penyakit yang berat relatif berat (6 –19%). Secara keseluruhan dapat dikatakan 70–80% asma anak bila diikuti sampai dengan umur 21 tahun asmanya sudah menghilang.

1.11 epidemiologiPrevalensi total asma di dunia diperkirakan 7,2% (6% pada dewasa dan 10%

pada anak). Prevalensi tersebut sangat bervariasi. Di Indonesia, prevalensi asma pada anak berusia 6- 7 tahun sebesar 3% dan untuk usia 13-14 tahun sebesar 5,2% (Kartasasmita, 2002)

Berdasarkan laporan National Center for Health Statistics atau NCHS (2003), prevalensi serangan asma pada anak usia 0-17 tahun adalah 57 per 1000 anak (jumlah anak 4,2 juta), dan pada dewasa > 18 tahun, 38 per 1000 (jumlah dewasa 7,8 juta). Jumlah wanita yang mengalami serangan lebih banyak daripada lelaki.

WHO memperkirakan terdapat sekitar 250.000 kematian akibat asma. Sedangkan berdasarkan laporan NCHS (2000) terdapat 4487 kematian akibat asma atau 1,6 per 100 ribu populasi. Kematian anak akibat asma jarang.