pbl mpt sk 2
DESCRIPTION
mptTRANSCRIPT
LI 1. Mampu memahami reaksi Hipersensitivitas
1.1. DefinisiHipersensitivitas adalah peningkatan reaktivitas atau sensitivitas terhadap antigen
yang pernah dipajankan atau dikenal sebelumnya. (Buku imunologi)Atau respon imun ayng berlebihan dan yang tidak diinginkan karena dapat
menimbulkan kerusakan jaringan tubuh. (Buku IPD)
1.2. Klasifikasia. Menurut waktu timbulnya reaksi
- Reaksi cepatReaksi cepat terjadi dalam hitungan detik, menghilang dalam 2 jam. Ikatan
silang antara alergen dan IgE pada permukaan sel mast menginduksi penglepasan mediator vasoaktif. Manifestasi reaksi cepat berupa anafilaksis sistemik atau anafilaksis berat.
- Reaksi intermedietReaksi intermediet terjadi setelah beberapa jam dan menghilang dalam 24
jam. Reaksi intermediet diawali oleh IgG dan kerusakan jaringan pejamu yang disebabkan oleh sel neutrofil atau sel NK. Manifestasi reaksi intermediet berupa :
Reaksi transfusi darah (eritroblastosis, fetalis, dan anemia hemolitik autoimun).
Reaksi Arthus lokal dan reaksi sistemik (serum sickness, vaskulitis nekrotis, glomerulonefritis, artritis reumatoid dan LES).
- Reaksi lambatReaksi lambat terlihat sekitar 48 jam setalah terjadi pajanan dengan
antigen yang terjadi oleh aktivasi oleh sel Th. Pada DTH, sitokin yang dilepas sel T mengaktifkan sel efektor makrofag yang menimbulkan kerusakan jaringan. Contoh reaksi lambat adalah dermatitis kontak, reaksi M. Tuberkulosis dan reaksi penolakan tandur.
b. Menurut Gell dan Coombs- Reaksi hipersensitivitas tipe I atau reaksi cepat atau reaksi alergi.- Reaksi hipersensitivitas tipe II atau reaksi sitotoksik.- Reaksi hipersensitivitas tipe III atau reaksi kompleks imun.- Reaksi hipersensitivitas tipe IV atau reaksi lambat.
LI. 2 Mampu memahami reaksi Hipersensitivitas tipe 1
2.1. DefinisiReaksi hipersensitifitas tipe 1 adalah suatu reaksi yang terjadi secara cepat atau
reaksi anafilaksis atau reaksi alergi mengikuti kombinasi suatu antigen dengan antibodi yang terlebih dahulu diikat pada permukaan sel basofilia (sel mast) dan basofil.
2.2. Mekanisme
Pada tipe 1 terdapat beberapa fase, yaitu :
a. Fase sensitasi yaitu waktu yang dibutuhkan untuk membentuk IgE sampai diikat silang oleh reseptor spesifik pada permukaan sek mast/basofil.
b. Fase aktivasi yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen yang spesifik dan sel mast/basofil melepas isinya yang berisikan granul yang menimbulkan reaksi. Hal ini terjadi oleh ikatan silang antara antigen dan IgE.
c. Fase efektor yaitu waktu yang terjadi respon yang kompleks (anafilaksisi) sebagai efek mediator-mediator yang dilepas sel mast/basofil dengan aktivasi farmakologik.
Antigen menginduksi sel B untuk membentuk antibodi IgE dengan bantuan sel Th yang mengikat erat dengan bagian Fc-nya pada sel mast dan basofil. Beberapa minggu kemudian, apabila tubuh terpajan ulang dengan antigen yang sama, maka antigen akan diikat oleh IgE yang sudah ada pada permukaan sel mast dan basofil. Akibat ikatan antigen-IgE, sel mast dan basofil mengalami degranulasi dan melepas mediator dalam waktu beberapa menit yang preformed antara lain histamin yang menimbulkan gejala reaksi hipersensitivitas tipe I.
Mediator primer utama pada hipersensitivitas Tipe 1
Mediator Efek
HistaminPeningkatan permeabilitas kapiler, vasodilatasi, kontraksi otot polos, sekresi mukosa gaster
ECF-A Kemotaksis eosinofil
NCF-A Kemotaksis neutrofil
ProteaseSekresi mukus bronkial, degradasi membran basal pembuluh darah, pembentukan produk pemecah komplemen
PAF Agregasi dan degranulasi trombosit, kontraksi otot polos paru
Hidrolase asam Degradasi matriks ekstraseluler
Mediator sekunder utama pada Hipersensitivitas Tipe 1
Mediator Efek
Sitokin Aktivasi berbagai sel radang
BradikininPeningkatan permebilitas kapiler, vasodilatasi, kontraksi otot polos, stimulasi ujung saraf nyeri
Prostaglandin D2Kontrakso otot polos paru, vasodilatasi, agregasi trombosit
LeukotrienKontraksi otot polos, peningkatan permeabilitas, kemotaksis
LI 2.3 Manifestasi reaksi tipe I
a. Reaksi lokal
Reaksi hipersensitivitas tipe I lokal terbatas pada jaringan atau organ spesifik
yang biasanya melibatkan permukaan epitel tempat alergen masuk. Kecenderungan
untuk menunjukkan reaksi tipe I adalah diturunkan dan disebut atopi. Sedikitnya 20%
populasi menunjukkan pnyakit yang terjadi melalui IgE seperti rinitis alergi, asma,
dan dermatitis atopi.
Sekitar 50%-70% dari populasi membentuk IgE terhadap antigen yang masuk
tubuh melalui mukosa seperti selaput lendir hidung, paru dan konjungtiva, tetapi
hanya 10-20% masyarakat yang menderita rinitis alergi dan sekitar 3%-10% yang
menderita asma bronkial. IgE yang sudah ada pada permukaan sek mast akan
menetap untuk beberapa minggu. Sensitasi dapat pula terjadi secara pasif bila serum
(darah) orang yang alergi dimasukkan ke dalam kulit/sirkulasi orang normal. Reaksi
alergi yang mengenai kulit, mata, hidung, dan saluran napas.
b. Reaksi sistemik-anafilaksis
Anafilaksis adalah reaksi tipe I yang dapat fatal dan terjadi dalam beberapa menit
saja. Anafilaksis adalah reaksi hipersemsitivitas Gell dan Coombs tipe I atau reaksi
alergi yang cepat, ditimbulkan IgE yang dapat mengancam nyawa. Sel mast dan
basofil merupakan sek efektor yang melepas berbagai mediator. Reaksi dapat dipacu
berbagai alergen seperti makanan (asal laut, kacang-kacangan), obat atau sengatan
serangga dan juga lateks, latihan jasmani dan bahab diagnostik kainnya. Pada 2/3
pasien dengan anafilaksis, pemicu spesifiknya tidak dapat diidentifikasi.
c. Reaksi pseudoalergi atau anafilaktoid
Reaksi pseudoalergi atau anafilaktoid adalah reaksi sistemik umum yang melibatkan
penglepasan mediator oleh sel mast yang tejadi tidak melalui IgE. Mekanisme
pseudoalergi merupakan mekanisme jalur efektor non imun. Secara klinis reaksi ini
menyerupai reaksi tipe I seperti syok, urtikaria, bronkospasme, anafilaksis, pruritus,
tetapi tidakberdasarkan atas reaksi imun. Menifestasi klinis sering serupa, sehingga
sulit dibedakan satu dengan yang lainnya. Reaksi ini tidak memerlukan pajanan
terdahulu untuk menimbulkan sensitasi. Reaksi anafilaktoid dapat ditiimbulkan
antimikroba, protein, kontras dengan yodium, AINS, etilenoksid, taksol, penisilin,
dan pelemas otot.
LI 3. Mampu memahami reaksi Hipersensitifitas tipe 2
3.1. Definisi
Disebut juga reaksi sitolitik/ sitotoksik, karena dibentuk ab jenis IgG/ IgM terhadap antigen yang merupakan bagian sel pejamu Istilah sitolitik lebih tepat, karena reaksi yang terjadi disebabkan lisis bukan efek toksik
Terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe 2 sangat berkaitan dengan adanya suatu proses penanggulangan munculnya sel klon baru.
3.2. Mekanisme
Terjadinya Reaksi Hipersensitivitas Tipe-II ini sangat erat kaitannya dengan adanya suatu
proses penanggulangan munculnya sel klon baru. Adanya sel klon baru tersebut dapat ditemukan
pada:
1. sel tumor
2. sel terinfeksi virus
3. sel yang terinduksi mutagen
Selanjutnya sel-sel tersebut dikenal dengan sel target, yakni suatu sel karena adanya
faktor lingkungan sel tersebut mengalami perubahan DNA (kecacatan-DNA). Oleh karena itu sel
tersebut harus diperbaiki (DNA repair) atau dimusnahkan melalui sistem imunologik. Jika sel
tersebut tidak dimusnahkan oleh sistem imun tubuh maka sel tersebut dapat berkembang menjadi
klon baru yang selanjutnya dapat menimbulkan gangguan penyakit.
Contohnya; Reaksi transfusi, AHA, Reaksi obat, Sindrom Good posture, miastenia gravis,
pemvigus. Mekanisme reaksinya ada 3 macam yaitu` :
1. Fagositosis sel melalui proses apsonik adherence atau immune adherence
2. Reaksi sitotoksis ekstraseluler oleh sel K (Killer cell) yang mempunyai reseptor untuk Fc.
Adanya Antigen yang merupakan bagian sel pejamu,menyebabkan dibentuknya Antbodi
IgG/IgM sehingga mengaktifkan sel K yang memiliki reseptor Fc sebagai efektor ADCC.
3. Lisis sel karena bekerjanya seluruh sistem komplemen. Ikatan Ag-Ab mengaktifkan
komplemen sehingga menyebabkan lisis.
Reaksi hipersensitivitas tipe 2 dapat melalui 2 jalur ;
1. Melalui jalur ADCC (Antibody Dependent Cell Cytotoxicity)
Reaksi sitotoksis ekstraseluler oleh sel K (Killer cell) yang mempunyai reseptor untuk Fc.
Adanya Antigen yang merupakan bagian sel pejamu,menyebabkan dibentuknya Antbodi
IgG/IgM sehingga mengaktifkan sel K yang memiliki reseptor Fc sebagai efektor ADCC.
2. Melalui aktivitas sistem komplemen
A. Reaksi transfusia. Sejumlah besar protein dan glikoprotein pada membran SDM disandi oleh
berbagai gen.b. Individu golongan darah A mendapat transfusi golongan B terjadi reaksi transfusi,
karena anti B isohemaglutinin berikatan dengan sel darah B yagn menimbulka kerusakan darah direk oleh hemolisis masif intravaskular- Reaksi dapat cepat/ lambat- Reaksi cepat:
Disebabkan oleh inkompatibilitas golongan darah ABO yang dipacu oleh IgM.
Dalam beberapa jam hemoglobin bebas dapat ditemukan dalam plasma dan disaring melalui ginjal dan menimbulkan hemaglobinuria.
Beberapa hemaglobin diubah menjadi bilirubin yang pada kadar tinggi bersifat toksik.
Gejala khas:Demam, menggigil, nausea, bekuan dalam pembuluh darah, nyeri pinggang bawah, dan hemoglobinuria.
- Reaksi lambat: Terjadi pada orang yang mendapat transfusi berulang dengan darah yang
kompatibel ABO namun inkompatibel dengan golongan darah yang lain. Terjadi 2-6 hari setelah transfusi. Darah yagn ditransfusikan memacu pembentukan IgG terhadap berbagai
antigen membran golongan darah, tersering adalah golongan resus, Kidd, Kell, dan Duffy
B. Penyakit hemolitik pda bayi baru lahir
Ditimbulkan oleh inkompatibilitas Rh dalam kehamilan, yaitu pada ibu dengan golongan darah rhesus – dn janin dengan rhesus (+).
C. Anemia hemolitik
a. Antibiotika tertentu seperti penisilin, sefalosporin, dan streptomisin dapat diabsorbsi non spesifik pada protein membran SDM yang membentuk kompleks serupa kompleks molekul hapten pembawa
b. Pada beberapa penderita, kompleks membentuk ab yang selanjutnya mengikat obat pada SDM dan dengan bantuan komplemen menimbulkan lisis dengan dan anemia progresif.
3.3 Manifestasi klinis
LI 4. Mampu memahami reaksi Hipersensitivitas 3
4.1. DefinisiReaksi hipersensitivitas tipe III atau yang disebut juga reaksi kompleks imun adalah reaksi imun tubuh yang melibatkan kompleks imun yang kemudian mengaktifkan komplemen sehingga terbentuklah respons inflamasi melalui infiltrasi masif neutrofil.
4.2 Mekanisme
Dalam keadaan normal komplex imun dalam sirkulasi diikat dan diangkut eritrosit ke
hati, limpa dan disana dimusnahkan oleh sel fagosit mononuklear, terutama di hati, limpa dan
paru tanpa bantuan komplemen. Pada umumnya kompleks yang besar dapat dengan mudah
dan cepat dimusnahkan oleh makrofag dalam hati. Kompleks kecil dan larut sulit untuk
dimusnahkan, karena itu dapat lebih lama berada dalam sirkulasi. Diduga bahwa gangguan
fumhsi fagosit merupakan salah satu penyebab mengapa kompleks tersebut sulit
dimusnahkan. Meskipun kompleks imun berada di dalam sirkulasi dalam jangka waktu lama,
biasanya tidak berbahaya. Permasalahan akan timbul bila kompleks imun tersebut mengendap
di jaringan.
1. Kompleks imun mengendap di dinding pembuluh darah.
Infeksi dapat disertai antigen dalam jumlah yang berlebih, tapi tanpa adanya
respon antibodi yang efektif.
Makrofag yang diaktifkan kadang belum dapat menyingkirkan kompleks imun
sehingga makrofag dirangsang terus menerus untuk melepaskan berbagai bahan
yang dapat merusak jaringan.
Kompleks imun yang terdiri atas antigen dalam sirkulasi dan IgM atau IgG3
( dapat juga IgA) diendapkan di membran basal vaskular dan membran basal
ginjal yang menimbulkan inflamasi lokal dan luas.
Kompleks yang terjadi dapat menimbulkan agregrasi trombosit, aktivasi
makrofag, perubahan permeabilitas vaskular, aktivasi sel mast.
2. Kompleks imun mengendap dijaringan
Hal yang mungkin terjadi pada pengendapan kompleks imun dijaringan adalah
- Ukuran kompleks imun
Kompleks imun yang sangat besar yang dibentuk pada kelebihan antibodi ,
dengan cepat akan dibuang dari sirkulasi oleh sistem fagosit ik mononuklir dan
kerena itu relatif tidak berbahaya. Kompleks imun yang sangat patogen yang
pada umumnya berukuran kecil ataunsedang, beredar lebih lama dan mengikat
kurang kuat pada sel-sel fagosit.
- Permeabilitas vaskular yang meningkat
Karena histamin yang dilepaskan oleh sel mast.
3. Bentuk reaksi
Reaksi tipe III mempunyai 2 bentuk reaksi, lokal dan sistemik.
a. Reaksi lokal atau Fenomen Arthus
Arthus merupakan bentuk reaksi dari kompleks imun. Antibodi yang ditemukan
adalah jenis presipitin. Pada pemeriksaan mikroskopis, terlihat neutrofil menempel
pada endotel vaskular dan bermigrasi ke jaringan tempat kompleks imun diendapkan.
Reaksi yang timbul berupa kerusakan jaringan lokal dan vaskular akibat akumyulasi
cairan (edem) dan SDM (eritema) sampai nekrosis. Pertama suntikan obat dapat
memicu pembentukan kompleks imun yang mengaktifkan komplemen yaitu C3a dan
C5a ( anafilatoksin ) yang terbentuk pada aktivasi komplemen, meningkatkan
permeabilitas pembuluh darah yang dapat menimbulkan edem. C3a dan C5a
berfungsi juga sebagai faktor kemotaktik, lalu komplemen diikat oleh sel mast.
Dan neutrofil dan trombosit mulai dikerahkan ditempat reaksi dan menimbulkan
stasis dan obstruksi total aliran darah, sasaran dari anafilatoksin adalah pembuluh
darah kecil, sel mast, otot polos, dan leukosit perifer yang menimbulkan kontraksi
otot polos, degranulasi sel mast, peningkatan permeabilitas vaskular dan respons
triple terhadap kulit, neutrofil yang diaktifkan memakan kompleks imun dan bersama
dengan trombosit yang digumpalkan melepas berbagai enzim litik ( protease,
kolagenase), akhirnya terjadi perdarahan yang disertai nekrosis jaringan setempat.
b. Reaksi tipe III sistemik – serum sickness
Antibodi yang berperan biasanya jenis IgM atau IgG. Komplemen yang
diaktifkan melepas anafilatoksin (C3a, C5a) yang memacu sel mast dan basofil
melepas histamin. Mediator lainnya dan MCF (C3a, C5a, C5, C6, C7)
mengerahkan polimorf yang melepas enzim proteolitik dan protein polikationik.
Kompleks imun lebih mudah untuk diendapkan di tempat-tempat dengan tekanan
darah yang meninggi dan disertai putaran arus, misalnya dalam kapiler
glomerolus, bifurkasi pembuluh darah, pleksus koroid dan korpus silier mata.
Pada artritis reumatoid, sel plasma dalam sinovium membentuk anti-IgG (FR
berupa IgM) dan membentuk kompleks imun di sendi. Komplemen juga
menimbulkan agregasi trombosit yang membentuk mikrotrombi dan melepas
amin vasoaktif. Bahan vasoaktif yang dilepas sel mast dan trombosit
menimbulkan vasodilatasi, peningkatan vaskular dan inflamasi. Neutrofil
dikerahkan dan menyingkirkan kompleks imun. Neutrofil yang terkepung di
jaringan akan sulit untuk menangkap dan makan kompleks, tetapi akan melepas
granulnya(angry cell). Kejadian ini menimbulkan lebih banyak kerusakan
jaringan. Reaksi Herxheimer adalah serum sickness (tipe III) yang terjadi
sesudah pemberian pengobatan terhadap penyakit infeksi kronis.
LI 4.3 Manifestasi
LI 5. Mampu memahami reaksi Hipersensitivitas 4
5.1 DefinisiMerupakan hipersensitivitas tipe lambat yang dikontrol sebagian besar oleh
reaktivitas sel T terhadap antigen. Reaksi hipersensitivitas tipe IV telah dibagi menjadi :
- Delayed Type Hypersensitivity Tipe IVMerupakan hipersensitivitas granulomatosis, terjadi pada bahan yang tidak
dapat disingkirkan dari rongga tubuh seperti talkum dalam rongga peritoneum dan kolagen sapi dari bawah kulit.
- T Cell Mediated CytolysisKerusakan jaringan terjadi melalui sel CD8
+/CTL/Tc yang langsung membunuh sel sasaran.
5.1. MekanismeDelayed Type Hypersensitivity Tipe IV :a. Fase sensitasi
Membutuhkan waktu 1-2 minggu setelah kontak primer dengan antigen. Th diaktifkan oleh APC melalui MHC-II. Berbagai APC (sel Langerhans/SD pada kulit dan makrofag) menangkap antigen dan membawanya ke kelenjar limfoid regional untuk dipresentasikan ke sel T sehingga terjadi proliferasi sel Th1 (umumnya).
b. Fase efektorPajanan ulang dapat menginduksi sel efektor sehingga mengaktifkan sel Th1 dan
melepas sitokin yang menyebabkan :- Aktifnya sistem kemotaksis dengan adanya zat kemokin (makrofag dan sel
inflamasi). Gejala biasanya muncul nampak 24 jam setelah kontak kedua.- Menginduksi monosit menempel pada endotel vaskular, bermigrasi ke
jaringan sekitar.- Mengaktifkan makrofag yang berperan sebagai APC, sel efektor, dan
menginduksi sel Th1 untuk reaksi inflamasi dan menekan sel Th2.
Mekanisme kedua reaksi adalah sama, perbedaannya terletak pada sel T yang teraktivasi. Pada Delayed Type Hypersensitivity Tipe IV, sel Th1 yang teraktivasi dan pada T Cell Mediated Cytolysis, sel Tc/CTL/ CD8
+ yang teraktivasi.
5.3 Manifestasi
a. Dermatitis kontak
Dermatitis kontak adalah penyakit CD4 yang dapat terjadi akibat kontak dengan bahan
tidak berbahaya ,merupakan contoh reaksi DTH.
b. Hipersensitivitas tuberkulin
Bentuk alergi bakterial spesifik terhadap produk fitrat biakan M.tuberkulosis yang bila
disuntikkan kekulit,akan menimbulkan reaksi hipersensitivitas lambat tipe IV.yang
berperan sel limfosit CD4+ T.
c. Reaksi jones mote
Reaksi hipersensitivitas tipe IV terhadap antigen protein yang berhubungan dengan
infiltrat basofil mencolok dikulit dibawah dermis.
d. T cell mediated cytolysis
Kerusakan terjadi melalui sel CD8+/CTL/Tc yang langsung membunuh sel sasaran dan
penyakit yang ditimbulkannya cenderung terbatas kepada beberapa organ saja dan
biasanya tidak sistemik.
LI 6. Mampu memahami Antihistamin dan Kortikosteroid
6.1. Antihistamin
a. DefinisiAda banyak golongan obat yang termaksud dalam antihistamin, yaitu antergan,
neontergan, difenhidramin, dan tripelenamin yang efektif untuk mengobati edema, eritem, dan pruritus, dan yang baru ini ditemukan adalah burinamid, metiamid, dan simetidin untuk menghambat sekresi asam lambung akibat histamin. Ada 2 jenis antihistain, yaitu :- Antagonis reseptor H1 (AH1)
FarmakodinamikAH1 menghambat efek histamin pada pembuluh darah, bronkus, bermacam otot polos, selain itu AH1 bermanfaat untuk mengobati reaksi hipersensitivitas atau keadaan lain yang disertai penglepasan histamin endogen berlebihan.
FarmakokinetikEfek yang ditimbulkan dari antihistamin 15-30 menit setelah pemberian oral dan maksimal setelah 1-2 jam. Lama kerja AH1 umumnya 4-6 jam. Kadar tertinggi terdapat pada paru-paru sedangkan pada limpa, ginjal, otak, otot, dan kulit kadarnya lebih rendah. Tempat utama biotransformasi AH1 ialah hati. AH1 disekresi melalui urin setelah 24 jam, terutama dalam bentuk metabolitnya.
IndikasiAH1 berguna untuk pengobatan simtomatik berbagai penyakit aergi dan mencegah atau mengobati mabuk perjalanan.
Efek sampingEfek samping yang paling sering adalah sedasi. Efek samping yang berhubungan dengan AH1 adalah vertigo, tinitus, lelah, penat, inkoordinasi, penglihatan kabur, diplopia, euforia, gelisah, insomnia, tremor, nafsu makan berkurang, mual, muntah, keluhan pada epigastrium, konstipasi atau diare,mulut kering, disuria, palpitasi, hipotensi, sakit kepala, rasa berat, dan lemah pada tangan.
- Antagonis reseptor H2 (AH2)a. Simetidin dan Ranitidin Farmakodinamik
Simetadin dan ranitidin menghambat reseptor H2 secara selektif dan reversible. Kerjanya menghambat sekresi asam lambung. Simetadin dan ranitidin juga mengganggu volume dan kadar pepsin cairan lambung.
FarmakokinetikAbsorpsi simetidin diperlambat oleh makan, sehingga simetidin diberikan bersama atau segera setelah makan dengan maksud untuk memperanjang efek pada periode pascamakan. Ranitidn mengalami
metabolisme lintas pertama di hati dalam jumlah cukup besar setelah pemberian oral. Ranitidin dan metabolitnya diekskresi terutama melalui ginjal, sisanya melalui tinja.
IndikasiEfektif untuk mengtasi gejala akut tukak duodenum dan mempercepat penyembuhannya. Selain itu, juga efektif untuk mengatasi gejala dan mempercepat penyembuhan tukak lambung. Dapat pula untuk gangguan refluks lambung-esofagus.
Efek sampingEfek sampingnya rendah, yaitu penghambatan terhadap resptor H2, seperti nyeri kepala, pusing, malaise, mialgia, mual, diare, konstipasi, ruam, kulit, pruritus, kehilangan libido dan impoten.
b. Famotidin Farmakodinamik
Famotidin merupakan AH2sehingga dapat menghambat sekresi asam lambung pada keadaan basal, malam, dan akibat distimulasi oleh pentagastrin. Famotidin 3 kali lebih poten daripada ramitidin dan 20 kali lebih poten daripada simetidin.
FarmakokinetikFamotidin mencapai kadarpuncak di plasma kira kira dalam 2 jam setelah penggunaan secara oral, masa paruh eliminasi 3-8 jam. Metabolit utama adalah famotidin-S-oksida. Pada pasien gagal ginjal berat masa paruh eliminasi dapat melibihi20 jam.
IndikasiEfektifitas pbat ini untuk tukak duodenum dan tukak lambung, refluks esofagitis, dan untuk pasiendengan sindrom Zollinger-Ellison.
Efek sampingEfek samping ringan dan jarang terjadi, seperti sakit kepala, pusing, konstipasi dan diare, dan tidak menimbulkan efek antiandrogenik.
c. Nizatidin Farmakodinamik
Potensi nizatin daam menghambat sekresi asam lambung. Farmakokinetik
Kadar puncak dalam serum setelah pemberian oral dicapai dalam 1 jam, masa paruh plasma sekitar 1,5 jam dan lama kerja sampai dengn 10 jam, disekresi melalui ginjal.
IndikasiEfektifitas untuk tukak duodenum diberikan satu atau dua kali sehari selama 8 minggu, tukak lambung, refluks esofagitis, sindrom Zollinger-Ellion.
Efek sampingEfek samping ringan saluran cerna dapat terjadi, dan tidak memiliki efek antiandrogenik.
6.2. Kortikosteroid
a. Mekanisme kerjaKortikosteroid bekerja dengan mempengaruhi kecepatan sintesis protein. Molekul
hormon memasuki sel melewati membran plasma secara difusi pasif.b. Farmakodinamik
- Kortikosteroid mempengaruhi metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak.selain itu juga mempengaruhi fungsi sistem kardiovaskular, ginjal, otot lurik, sistem saraf dan organ lain.
- Dalam klinik umumnya kortikosteroid dibedakan menjadi dua golongan besar yaitu glukokortikoid dan mineralokortikoid.
Efek utama glukokortikoid ialah pada penyimpanan glikogen hepar dan efek anti-inflamasi, sedangkan pengaruhnya pada keseimbangan air dan elektrolit kecil.
Efek pada mineralokortikoid ialah terhadap keseimbangan air dan elektrolit, sedangkan pengaruhnya pada penyimpanan glikogen hepar sangat kecil.
- Sediaan kortikosteroid dapat dibedakan menjadi 3 golongan berdasarkan massa kerjanya.
Sediaan kerja singkat mempunyai masa paruh biologis kurang dari 12 jam.
Sediaan kerja sedang mempunyai masa paruh biologis antara 12-36 jam. Sediaan kerja lama mempunyai masa paruh biologis lebih dari 36 jam.
c. FarmakokinetikPerubahan struktur kimia sangat mempengaruhi kecepatan absorpsi, mulai kerja
dan lama kerja karena juga mempengaruhi afinitas terhadap reseptor dan ikatan protein.
Glukokortikoid dapat di absorpsi melalui kulit, sakus konjungtiva dan ruang sinovial. Penggunaan jangka panjang atau pada daerah kulit yang luas dapat menyebabkan efek sistematik, antara lain supresi korteks adrenal.
d. IndikasiDari pengalaman klinis diajukan 6 prinsip yang harus diperhatikan sebelum obat
ini digunakan :- Untuk tiap penyakit pada tiap pasien, dosis efektif harus ditetapkan dengan trial
dan error dan harus di evaluasi dari waktu ke waktu sesuai dengan perubahan penyakit.
- Suatu dosis tunggal besar kortikosteroid umumnya tidak berbahaya.- Penggunaan kortikosteroid untuk beberapa hari tanpa adanya kontraindikasi
spesifik, tidak membahayakan kecuali dengan dosis sangat besar.- Bila pengobatan diperpanjang sampai 2 minggu atau lebih dari hingga dosis
melebihi dosis substisusi, insidens efek samping dan efek letal potensial akan bertambah.
- Kecuali untuk insufisiensi adrenal, penggunaan kortikosteroid bukan merupakan terapi kausal ataupun kuratif tetapi hanya bersifat paliatif karena efek anti-inflamasinya.
- Penghentian pengobatan tiba-tiba pada terapi jangka panjang dengan dosis besar, mempunyai risiko insufisiensi adrenal yang hebat dan dapat mengancam jiwa pasien.
e. KontraindikasiSebenarnya sampai sekarang tidak ada kontraindikasi absolut kortikosteroid.
Pemberian dosis tunggal besar bila diperlukan selalu dapat dibenarkan, keadaan yang mungkin dapat merupakan kontraindikasi relatif dapat dilupakan, terutama pada keadaan yang mengancam jiwa pasien.
Bila obat akan diberikan untuk beberapa hari atu beberapa minggu, kontraindikasi relatif yaitu diabetes melitustukak peptik/duodenum, infeksi berat, hipertensi atau gangguan sistem kardiovaskular lainnya.
f. Efek samping- Efek samping dapat timbul karena peenghentian pemberian secara tiba-tiba atau
pemberian terus-menerus terutama dengan dosis besar.- Pemberian kortikosteroid jangka lama yang dihentikan tiba-tiba dapat
menimbulkan insifisiensi adrenalm akut dengan gejala demam, malgia, artralgia dan malaise.
- Komplikasi yang timbul akibat pengobatan lama ialah gangguan cairan dan elektrolit , hiperglikemia dan glikosuria, mudah mendapat infeksi terutama tuberkulosis, pasien tukak peptik mungkin dapat mengalami pendarahan atau perforasi, osteoporosis dll.
- Alkalosis hipokalemik jarang terjadi pada pasien dengan pengobatan derivat kortikosteroid sintetik.
- Tukak peptik ialah komplikasi yang kadang-kadang terjadi pada pengobatan dengan kortikosteroid. Sebab itu bila bila ada kecurigaan dianjurkan untuk melaakukan pemeriksaan radiologik terhadap saluran cerna bagian atas sebelum obat diberikan.
LI 7. Mampu menjelaskan batasan hukum Islam untuk menentukan alternatif terbaik dari dua pilihan sulit
Keberadaan berbagai penyakit termasuk sunnah kauniyyah yang diciptakan oleh Allah
Subhanahu wa Ta'ala. Penyakit-penyakit itu merupakan musibah dan ujian yang ditetapkan Allah
Subhanahu wa Ta'ala atas hamba-hamba- Nya. Dan sesungguhnya pada musibah itu terdapat
kemanfaatan bagi kaum mukminin. Shuhaib Ar-Rumi radhiallahu 'anhu berkata: Rasulullah
Shallallahu alaihi wa sallam bersabda: "Sungguh mengagumkan perkara seorang mukmin.
Sungguh seluruh perkaranya adalah kebaikan. Yang demikian itu tidaklah dimiliki oleh
seorangpun kecuali seorang mukmin. Jika ia mendapatkan kelapangan, ia bersyukur. Maka yang
demikian itu baik baginya. Dan jika ia ditimpa kesusahan, ia bersabar. Maka yang demikian itu
baik baginya." (HR. Muslim no. 2999)
Termasuk keutamaan Allah Subhanahu wa Ta'ala yang diberikan kepada kaum mukminin, Dia
menjadikan sakit yang menimpa seorang mukmin sebagai penghapus dosa dan kesalahan
mereka. Sebagaimana tersebut dalam hadits Abdullah bin Mas'ud radhiallahu 'anhu, bahwasanya
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Tidaklah seorang muslim ditimpa gangguan
berupa sakit atau lainnya, melainkan Allah menggugurkan kesalahan-kesalahan nya sebagaimana
pohon menggugurkan daun-daunnya." (HR. Al-Bukhari no. 5661 dan Muslim no. 6511) Di sisi
lain, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta'ala menurunkan penyakit, Dia pun menurunkan obat
bersama penyakit itu. Obat itupun menjadi rahmat dan keutamaan dari-Nya untuk hamba-hamba-
Nya, baik yang mukmin maupun yang kafir. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda
dalam hadits Abu Hurairah radhiallahu 'anhu: "Tidaklah Allah menurunkan penyakit kecuali Dia
turunkan untuk penyakit itu obatnya." (HR. Al-Bukhari no. 5678)
Abdullah bin Mas'ud radhiallahu 'anhu mengabarkan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam:
"Sesungguhnya Allah tidaklah menurunkan penyakit kecuali Dia turunkan pula obatnya
bersamanya. (Hanya saja) tidak mengetahui orang yang tidak mengetahuinya dan mengetahui
orang yang mengetahuinya." (HR. Ahmad 1/377, 413 dan 453. Dan hadits ini dishahihkan dalam
Ash-Shahihah no. 451) Jabir radhiallahu 'anhu membawakan hadits dari Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam: "Setiap penyakit ada obatnya. Maka bila obat itu mengenai penyakit akan
sembuh dengan izin Allah Subhanahu wa Ta'ala." (HR. Muslim no. 5705)
Al-Qur`anul Karim dan As-Sunnah yang shahih sarat dengan beragam penyembuhan dan obat
yang bermanfaat dengan izin Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sehingga mestinya kita tidak terlebih
dahulu berpaling dan meninggalkannya untuk beralih kepada pengobatan kimiawi yang ada di
masa sekarang ini. (Shahih Ath-Thibbun Nabawi, hal. 5-6, Abu Anas Majid Al-Bankani Al-
Iraqi)Karena itulah Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullahu berkata: 'Sungguh para
tabib telah sepakat bahwa ketika memungkinkan pengobatan dengan bahan makanan maka
jangan beralih kepada obat-obatan (kimiawi, -pent.). Ketika memungkinkan mengkonsumsi obat
yang sederhana, maka jangan beralih memakai obat yang kompleks.
Ibnul Qayyim juga berkata: "Berpalingnya manusia dari cara pengobatan nubuwwah seperti
halnya berpalingnya mereka dari pengobatan dengan Al-Qur`an, yang merupakan obat
bermanfaat." (Ath-Thibbun Nabawi, hal. 6, 29)
Mereka mengatakan: "Setiap penyakit yang bisa ditolak dengan makanan-makanan tertentu dan
pencegahan, janganlah mencoba menolaknya dengan obat-obatan." Ibnul Qayyim juga berkata:
"Berpalingnya manusia dari cara pengobatan nubuwwah seperti halnya berpalingnya mereka dari
pengobatan dengan Al-Qur`an, yang merupakan obat bermanfaat." (Ath-Thibbun Nabawi, hal. 6,
29)
Dengan demikian, tidak sepantasnya seorang muslim menjadikan pengobatan nabawiyyah
sekedar sebagai pengobatan alternatif. Justru sepantasnya dia menjadikannya sebagai cara
pengobatan yang utama, karena kepastiannya datang dari Allah Subhanahu wa Ta'ala lewat lisan
Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Sementara pengobatan dengan obat-obatan kimiawi kepastiannya tidak seperti kepastian yang
didapatkan dengan thibbun nabawi. Pengobatan yang diajarkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam diyakini kesembuhannya karena bersumber dari wahyu. Sementara pengobatan dari selain
Nabi kebanyakannya dugaan atau dengan pengalaman/ uji coba. (Fathul Bari, 10/210)
Namun tentunya, berkaitan dengan kesembuhan suatu penyakit, seorang hamba tidak boleh
bersandar semata dengan pengobatan tertentu. Dan tidak boleh meyakini bahwa obatlah yang
menyembuhkan sakitnya. Namun seharusnya ia bersandar dan bergantung kepada Dzat yang
memberikan penyakit dan menurunkan obatnya sekaligus, yakni Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Seorang hamba hendaknya selalu bersandar kepada-Nya dalam segala keadaannya. Hendaknya
ia selalu berdoa memohon kepada-Nya agar menghilangkan segala kemudharatan yang tengah
menimpanya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: "Siapakah yang mengijabahi (menjawab/
mengabulkan) permintaan orang yang dalam kesempitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan
(siapakah) Dia yang menghilangkan kejelekan?" (An-Naml: 62) Sungguh tidak ada yang dapat
memberikan kesembuhan kecuali Allah Subhanahu wa Ta'ala semata. Karena itulah, Nabi
Ibrahim 'alaihissalam berkata memuji Rabbnya: "Dan apabila aku sakit, Dialah yang
menyembuhkanku.' (Asy Syu'ara`: 80)
SOLUSI : Pengobatan Nabawi Untuk Asam Urat
Asam urat sudah dikenal sejak 2.000 tahun yang lalu dan menjadi salah satu penyakit tertua yang
dikenal manusia. Dulu, penyakit ini juga disebut "penyakit para raja" karena penyakit ini
diasosiasikan dengan kebiasaan mengonsumsi makanan dan minuman yang enak-enak. Kini,
asam urat bisa menimpa siapa saja, Tidak hanya penggemar makanan enak.
Asam urat adalah hasil metabolisme tubuh oleh salah satu unsur protein (zat purin) dan ginjal
adalah organ yang mengatur kestabilan kadarnya dalam tubuh dan akan membawa sisa asam urat
ke pembuangan air seni. Namun jika kadar asam urat itu berlebihan, ginjal tidak akan sanggup
mengaturnya sehingga kelebihan itu akan menumpuk pada jaringan dan sendi. Otomatis, ginjal
juga akan mengalami gangguan. Kandungan asam urat yang tinggi menyebakan nyeri dan sakit
dipersedian yang amat sangat.
Gangguan asam urat ditandai dengan suatu serangan tiba-tiba di daerah persendian. Saat bangun
tidur, misalnya, ibu jari kaki dan pergelangan kaki Anda terasa terbakar, sakit dan membengkak.
Bahkan selimut yang Anda gunakan terasa seperti batu yang membebani kaki Anda. Seperti
itulah gejala asam urat atau arthritis gout.
Gangguan asam urat disebabkan oleh tingginya kadar asam urat di dalam darah, yang
menyebabkan terjadinya penumpukan kristal di daerah persendian sehingga menimbulkan rasa
sakit. Selain rasa sakit di persendian, asam urat juga menyerang ibu jari kaki, dapat membentuk
tofi atau endapan natrium urat dalam jaringan di bawah kulit, atau bahkan menyebabkan
terbentuknya batu ginjal.
System Pengobatan Nabawi untuk mengatasi asam urat menggunakan metode Hijamah dan
Herbal Islami. Penyebab Utama asam urat adalah kelebihan zat purin dalam darah, sehingga bila
kandungan purinnya sedikit atau normal, tubuh bisa membuangnya lewat ginjal. Kelebihan purin
ini harus dikeluarkan dengan cara dibekam/hijamah bersama unsur-unsur kotor lainnya dalam
darah.
Selanjutnya disarankan untuk mengkonsumsi herbal-herbal Islami terutama Habbatussauda dan
minyak zaitun. Habbatussauda berfungsi untuk menggelontor toksin dalam darah dan melakukan
detoksifikasi intra sel (pengeluaran racun yang ada dalam sel), yang kemudian bersama unsur
darah kotor lainnya dikeluarkan dari tubuh lewat bekam/hijamah. Habbatussauda juga berfungsi
menghilangkan rasa nyeri di persendian karena mengandung zat yang memiliki efek anti
inflamatori atau anti peradangan.
Sementara minyak zaitun sangat efektif untuk menghilangkan rasa sakit dipersendian yang amat
mengganggu. Bergabung bersama efek anti peradangan dari habbatussauda maka rasa sakit ini
akan sangat terkurangi.
http://metallicaniack.multiply.com/journal/item/26/Hakekat_Sakit_dan_Obat_dalam_Pandangan
_Islam