pcs

Upload: ida-bagus-dharma-putra

Post on 16-Jul-2015

86 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB I PENDAHULUAN

Tulang tengkorak yang tebal dan keras membantu melindungi otak, tetapi meskipun memiliki helm alami, otak sangat peka terhadap berbagai jenis cedera. Cedera kepala telah menyebabkan kematian dan cacat pada usia kurang dari 50 tahun, dan luka tembak pada kepala merupakan penyebab kematian nomor 2 pada usia dibawah 35 tahun. Hampir separuh penderita yang mengalami cedera kepala meninggal. 1,2 Otak bisa terluka meskipun tidak terdapat luka yang menembus tengkorak. Berbagai cedera bisa disebabkan oleh percepatan mendadak yang memungkinkan terjadinya benturan atau karena perlambatan mendadak yang terjadi jika kepala membentur objek yang tidak bergerak.1,2 Kerusakan otak bisa terjadi pada titik benturan dan pada sisi yang berlawanan. Cedera percepatan-perlambatan kadang disebut coup contrecoup (bahasa perancis untuk hit-counterhit). Cedera kepala yang berat dapat merobek, meremukkan atau menghancurkan saraf, pembuluh darah dan jaringan di dalam atau di sekeliling otak. Bisa terjadi kerusakan pada jalur saraf, perdarahan atau pembengkakan hebat. Perdarahan, pembengkakan dan penimbunan cairan (edema) memiliki efek yang sama yang ditimbulkan oleh pertumbuhan massa di dalam tengkorak. 2 Karena tengkorak tidak dapat bertambah luas, maka peningkatan tekanan bisa merusak atau menghancurkan jaringan otak. Dan karena posisinya di dalam tengkorak, maka tekanan cenderung mendorong otak ke bawah. Otak sebelah atas bisa terdorong ke dalam lubang yang menghubungkan otak dengan batang otak, keadaan ini disebut herniasi. Sejenis herniasi serupa bisa mendorong otak kecil dan batang otak melalui lubang di dasar tengkorak (foramen magnum) ke dalam medula spinalis. Herniasi ini bisa berakibat fatal karena batang otak mengendalikan fungsi vital (denyut jantung dan pernafasan). 1,2,3 Cedera kepala yang tampaknya ringan kadang bisa menyebabkan kerusakan otak yang hebat. Usia lanjut dan orang yang mengkonsumsi antikoagulan (obat untuk mencegah pembekuan darah), sangat peka terhadap terjadinya perdarahan disekeliling otak (hematoma subdural). 2

1

Kerusakan otak seringkali menyebabkan kelainan fungsi yang menetap, yang bervariasi tergantung kepada kerusakan yang terjadi, apakah terbatas (terlokalisir) atau lebih menyebar (difus). Kelainan fungsi yang terjadi juga tergantung kepada bagian otak mana yang terkena. Gejala yang terlokalisir bisa berupa perubahan dalam gerakan, sensasi, berbicara, penglihatan dan

pendengaran. Kelainan fungsi otak yang difus bisa mempengaruhi ingatan dan pola tidur penderita, dan bisa menyebabkan kebingungan dan koma. 1,3

2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Cedera Kepala A. Fraktur Tulang Tengkorak Patah tulang tengkorak merupakan suatu retakan pada tulang tengkorak. Kejadian ini bisa melukai arteri dan vena, yang kemudian mengalirkan darahnya ke dalam rongga di sekeliling jaringan otak. Patah tulang di dasar tengkorak juga bisa merobek meningens (selaput otak). Cairan serebrospinal (cairan yang beredar diantara otak dan meningens) bisa merembes ke hidung atau telinga. Bakteri kadang memasuki tulang tengkorak melalui patah tulang tersebut, dan menyebabkan infeksi serta kerusakan hebat pada otak. Sebagian besar patah tulang tengkorak tidak memerlukan pembedahan, kecuali jika pecahan tulang menekan otak atau posisinya bergeser.5

Gambar 1. Fraktur Tulang Tengkorak

B. Konkusio Konkusio adalah hilangnya kesadaran (dan kadang ingatan) sekejap, setelah terjadinya cedera pada otak yang tidak menyebabkan kerusakan fisik yang nyata. Konkusio menyebabkan kelainan fungsi otak tetapi tidak menyebabkan kerusakan struktural yang nyata. Hal ini bahkan bisa terjadi setelah cedera kepala

3

yang ringan, tergantung kepada goncangan yang menimpa otak di dalam tulang tengkorak.5 Konkusio bisa menyebabkan kebingungan, sakit kepala dan rasa mengantuk yang abnormal. Sebagian besar penderita mengalami penyembuhan total dalam beberapa jam atau hari. Beberapa penderita merasakan pusing, kesulitan dalam berkonsentrasi, menjadi pelupa, depresi, emosi atau perasaannya berkurang dan kecemasan. 5 Gejala-gejala ini bisa berlangsung selama beberapa hari sampai beberapa minggu, jarang lebih dari beberapa minggu. penderita bisa mengalami kesulitan dalam bekerja, belajar dan bersosialisasi. Keadaan ini disebut sindroma pasca konkusio.4,5 Sindroma pasca konkusio masih merupakan suatu teka-teki; tidak diketahui mengapa sindroma ini biasanya terjadi setelah suatu cedera kepala yang ringan. Para ahli belum sepakat, apakah penyebabkan adalah cedera mikroskopi atau faktor psikis. Pemberian obat-obatan dan terapi psikis bisa membantu beberapa penderita sindroma ini.4,5 Yang lebih perlu dikhawatirkan selain sindroma pasca konkusio adalah gejala-gejala yang lebih serius yang bisa timbul dalam beberapa jam atau kadang beberapa hari setelah terjadinya cedera. Jika sakit kepala, kebingungan dan rasa mengantuk bertambah parah, sebaiknya segera mencari pertolongan medis. Biasanya, jika terbukti tidak terdapat kerusakan yang lebih berat, maka tidak diperlukan pengobatan. 3,4

Gambar 2. Konkusio

4

C. Gegar otak & robekan otak Gegar otak (kontusio serebri) merupakan memar pada otak, yang biasanya disebabkan oleh pukulan langsung dan kuat ke kepala. Robekan otak adalah robekan pada jaringan otak, yang seringkali disertai oleh luka di kepala yang nyata dan patah tulang tengkorak. 4,5 Gegar otak dan robekan otak lebih serius daripada konkusio. MRI menunjukkan kerusakan fisik pada otak yang bisa ringan atau bisa menyebabkan kelemahan pada satu sisi tubuh yang diserati dengan kebingungan atau bahkan koma. Jika otak membengkak, maka bisa terjadi kerusakan lebih lanjut pada jaringan otak. Pembengkakan yang sangat hebat bisa menyebabkan herniasi otak. Pengobatan akan lebih rumit jika cedera otak disertai oleh cedera lainnya, terutama cedera dada. 4 D. Perdarahan intrakranial Perdarahan intrakranial (hematoma intrakranial) adalah penimbunan darah di dalam otak atau diantara otak dengan tulang tengkorak. Hematoma intrakranial bisa terjadi karena cedera atau stroke. Perdarahan karena cedera biasanya terbentuk di dalam pembungkus otak sebelah luar (hematoma subdural) atau diantara pembungkus otak sebelah luar dengan tulang tengkorak (hematoma epidural).5 Kedua jenis perdarahan diatas biasanya bisa terlihat pada CT scan atau MRI. Sebagian besar perdarahan terjadi dengan cepat dan menimbulkan gejala dalam beberapa menit. Perdarahan menahun (hematoma kronis) lebih sering terjadi pada usia lanjut dan membesar secara perlahan serta menimbulkan gejala setelah beberapa jam atau hari.5 Hematoma yang luas akan menekan otak, menyebabkan pembengkakan dan pada akhirnya menghancurkan jaringan otak. Hematoma yang luas juga akan menyebabkan otak bagian atas atau batang otak mengalami herniasi. Pada perdarahan intrakranial bisa terjadi penurunan kesadaran sampai koma, kelumpuhan pada salah satu atau kedua sisi tubuh, gangguan pernafasan atau gangguan jantung, atau bahkan kematian. Bisa juga terjadi kebingungan dan hilang ingatan, terutama pada usia lanjut. 5

5

Hematoma epidural berasal dari perdarahan di arteri yang terletak diantara meningens dan tulang tengkorak. Hal ini terjadi karena patah tulang tengkorak telah merobek arteri. Darah di dalam arteri memiliki tekanan lebih tinggi sehingga lebih cepat memancar. Gejala berupa sakit kepala hebat bisa segera timbul tetapi bisa juga baru muncul beberapa jam kemudian. Sakit kepala kadang menghilang, tetapi beberapa jam kemudian muncul lagi dan lebih parah dari sebelumnya. Selanjutnya bisa terjadi kebingungan, rasa ngantuk, kelumpuhan, pingsan dan koma. 5 Hematoma subdural berasal dari perdarahan pada vena di sekeliling otak. Perdarahan bisa terjadi segera setelah terjadinya cedera kepala berat atau beberapa saat kemudian setelah terjadinya cedera kepala yang lebih ringan. Hematoma subdural yang bertambah luas secara perlahan paling sering terjadi pada usia lanjut (karena venanya rapuh) dan pada alkoholik. Pada kedua keadaan ini cedera tampaknya ringan dan selama beberapa minggu gejalanya tidak dihiraukan. Hasil pemeriksaan CT Scan dan MRI bisa menunjukkan adanya genangan darah. 5 . Hematoma subdural yang kecil pada dewasa seringkali diserap secara spontan. Hematoma subdural yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala neurologis biasanya dikeluarkan melalui pembedahan. Gejala-gejala yang menunjukkan hematome subdural yang besar yaitu: sakit kepala yang menetap rasa mengantuk yang hilang-timbul linglung perubahan ingatan kelumpuhan ringan pada sisi tubuh yang berlawanan.

2.2 Definisi Post Concussion Syndrome Sindroma paska trauma atau dikenal sebagai Post Concussion Syndrome (PCS) adalah suatu kumpulan gejala (symptoms) pada seseorang yang dapat muncul pada beberapa minggu, bulan atau kadang tahunan setelah terjadi suatu concussion, yaitu suatu trauma atau cedera kepala ringan (mild traumatic brain injury). Sindroma paska trauma ini dapat pula muncul pada cedera kepala sedang ataupun cedera kepala berat. PCS merupakan suatu sequele dari cedera kepala

6

ringan yang sampai saat ini masih menjadi perdebatan. Beberapa hal yang menyebabkan PCS masih menjadi perdebatan antara lain ialah tentang durasi simptomya, tidak adanya defisit neurologis yang ditemukan, kondisi yang tidak konsisten, etiologi yang masih belum jelas diketahui, dan masalah statistik yang belum signifikan menunjukkan PCS.2,3 Banyak sekali pasien yang mengalami cedera kepala ringan (MTBI) akan mengalami gejala-gejala PCS. Di Inggris angka cedera kepala mencapai 250-300 per 100.000 penduduk dirawat di rumahsakit setiap tahun, dimana 8% masuk kategori cedera kepala berat dan 75% masuk dalam kategori cedera kepala ringan. Sedangkan yang tidak dirawat bisa mencapai 4 8 kali lipatnya. Dari semua yang CKR tersebut, hampir separuhnya mengalami PCS, dimana mayoritas akan membaik dalam 3 bulan dan sepertiganya akan memiliki gejala yang persisten.4 Angka kejadian cedera kepala di Amerika Serikat menurut Willer dan Leddy (2006) mencapai 1,5 sampai 2 juta setiap tahunnya, dimana sebanyak 85% masuk dalam kategori cedera kepala ringan (MTBI) namun memiliki efek yang lama. Angka ini tidak termasuk mereka yang tidak mengalami penurunan kesadaran sesat atau loss of consciousness (LOC) saat terjadinya trauma. Mayoritas pasien (75%) tidak mencari bantuan medis kecuali gejala yang dialaminya memberat atau menetap.3,4 Sampai saat ini masih belum ada definisi yang dapat diterima secara universal untuk post concussion syndrome (PCS) termasuk penyebab maupun penanganannya. Namun beberapa literatur mendefinisikan bahwa sindroma (kumpulan gejala) paska trauma minimal terdapat 3 dari beberapa gejala berikut: nyeri kepala (headache), dizziness, fatique, iritabel, gangguan memori dan konsentrasi, insomia, dan adanya photofobia dan fonofobia. Beberapa pendapat ahli masih berbeda dalam hal munculnya gejala-gejala tersebut. Beberapa ahli menyatakan gejala tersebut muncul paling tidak 3 bulan setelah trauma, namun terdapat pula ahli yang menyatakan bahwa gejala tersebut muncul dalam beberapa minggu setelah trauma. PCS dapat dibagi menjadi dua yaitu early onset dan late onset, dimana simtompnya muncul pada durasi lebih dari 6 bulan.4 Spektrum penderita cedera kepala sangat bervariasi. Spektrum penderita cedera kepala dapat mulai yang tidak mengeluhkan gejala dan tidak mencari

7

pertolongan medis sampai pada mereka yang mengalami koma atau penurunan kesadaran. Variasi ini membuat kriteria yang berbeda-beda dalam menentukan definisi PCS. Perbedaan tersebut baik pada gejala klinis maupun durasi dan onset gejala yang muncul.5

2.3. Patofisiologi Patofisiologi dari postconcussion syndrome masih belum sepenuhnya jelas. Namun tidak bisa lepas dari patofisiologi proses cedera kepala itu sendiri. Hal ini dibuktikan dengan tidak ditemukannya kelainan organik pada pasien dengan gejala PCS yang nyata, di sisi lain terdapat gejala yang muncul membaik dalam waktu tiga bulan juga dengan tidak adanya kelainan organik yang nampak pada pemeriksaan. Adanya variasi tersebut membuat patofisiologi PCS masih menjadi perdebatan sampai saat ini.6 Cedera kepala ringan menunjukkan adanya benturan kepala yang disertai adanya periode loss of consciousness (LOC) atau pingsan yang singkat dan atau disertai adanya amnesia post trauma atau adanya disorientasi. Pada saat terjadinya trauma, skala koma Glasgow (GCS) menunjukkan angka 13-15, meskipun beberapa literatur terkini mengatakan bahwa skor GCS 15 dan kadang 14 menunjukkan adanya injuri yang minor, sedangkan skor 13 berkaitan dengan kemungkinan adanya kelainan intrakranial yang akan nampak pada pemeriksaan CT Scan kepala. Pingsan (LOC) adalah merupakan manifestasi trauma pada batang otak (brain stem) atau menandakan adanya cedera otak yang difus (diffuse cerebral injury).6 Pada cedera kepala ringan, gejala yang muncul karena diffuse axonal injury (DAI) yang ringan dimana hal ini disebabkan oleh mekanisme perenggangan atau puntiran (shear) akson-akson saraf akibat dari gerakan akselerasi dan deselerasi yang cepat saat terjadi cedera kepala. Patofisiologi cedera kepala sendiri terdiri dari dua tahap injuri, yaitu: initial atau primary injury dan secondary injury. Primary injury mengakibatkan kerusakan dan kematian neuronal. Contoh primary injury adalah hematoma atau lesi yang difus, dimana kondisi tersebut akan memicu terjadinya secondary injury. Proses yang terjadi pada secondary injury antara lain termasuk efek hipoksia, pelepasan asam amino

8

excitatory, penghasilan mediator inflamasi dan radikal bebas, yang kesemuanya akan mengakibatkan kerusakan yang semakin luas.6,7 Mekanisme cedera kepala sendiri terdapat tiga macam pergerakan, yaitu: linear, rotasional, dan angular. Pada cedera kepala yang sering terjadi adalah kombinasi ketiganya, sehingga sangat memungkinkan terjadinya peregangan atau puntiran dari neuron. Otak adalah suatu bagian yang homogen dan masing-masing bagian memiliki karakteristik fisik tersendiri (misalnya: gray matter, white matter, LCS, dll). Difuse axonal injury disebabkan oleh peregangan (sher) dari mekanisme rotasional atau angular pada akselerasi ataupun deselerasi.6,7

2.4. Diagnosa Gejala PCS dapat muncul segera setelah cedera kepala terjadi atau baru muncel beberapa minggu atau bahkan beberapa bulan. Semakin lama munculnya gejala PCS sejak terjadinya cedera kepala, maka semakin kecil tingkat severitasnya. Pola gejala yang muncul dapat berupa gejala fisik, mental atau emosional, dan dapat berubah menurut dimensi waktu. Pola yang umum adalah muncul gejala fisik terlebih dahulu segera setelah terjadi cedera, selanjutnya gejala akan berubah menjadi gejala psikologis yang lebih dominan.7,8 Gejala yang muncul pada post concussion syndrom terbagi menjadi tiga yaitu: (1) Somatik, (2) Kognitif, dan (3) Emosional. Secara rinci dapat dilihat pada table 1: Tabel 1. Gejala-gejala yang sering muncul pada PCS Tipe Somatik Gejala Nyeri kepala, dizziness, pandangan kabur, diplopia, nausea, vomitus, gangguan tidur, mudah kecapaian, hipersensitif terhadap suara dan cahaya, tinitus. Kognitif Gangguan atensi, memori, bicara, slow thingking, gangguan fungsi eksekutif Emosional Instabilitas emosional, sedih, anxietas, apatis

9

Gejala seperti menjadi lebih sensitif terhadap kegaduhan, gangguan konsentrasi dan memori, iritabel, depresi, ansietas, fatique dan gangguan dalam pengambilan keputusan (judgment) dapat dikatakan sebagai gejala late onset karena gejalagejala tersebut tidak muncul segera setelah cedera kepala terjadi, namun muncul beberapa hari atau beberapa minggu kemudian. Nausea dan rasa kantuk (drowsiness) sering muncul segera setelah cedera kepala terjadi namun tidak berlangsung lama, sementara nyeri kepala dan dizziness muncul segera setelah cedera kepala dan biasanya berlangsung lama.7,8 Secara umum pemeriksaan pasien dengan PCS akan didapatkan hasil pemeriksaan fisik yang normal. Pasien dengan PCS kadang hanya didapatkan kelainan neurologi yang sangat minimal, namun bila didapatkan adanya defisit motorik fokal maka harus dipikirkan adanya perdarahan intrakranial. Beberapa hal yang dapat ditemukan pada pasien dengan PCS antara lain: a. b. c. d. Adanya tanda-tanda depresi Adanya penurunan kemampuan membau dan merasakan (lidah). Adanya neurasthenia atau hiperesthesia (tapi bukan dermatomal). Gangguan kognitif, antara lain: naming (vocabularies), short-term memori dan intermediate memori, atensi, informasi processing, recall, menggambar dan fungsi eksekutif.

Kriteria dignosis untuk PCS pertama kali disampaikan dalam International Classification of Disease revisi ke sepuluh (ICD-10) pada tahun 1992. Kode untuk PCS adalah F07.2 (Boake et.al, 2005).8 Menurut ICD-10 tersebut kriteria diagnostik untuk PCS adalah adanya riwayat cedera kepala (traumatic brain injury / TBI) dan disertai dengan 3 atau lebih dari 8 gejala berikut ini, yaitu: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Nyeri kepala (headache) Dizziness Fatique Iritabel Insomnia Gangguan konsentrasi Gangguan memori

10

8.

Intolerance dari stress, emosi, atau alkohol.

Selain berdasar pada ICD-10, terdapat kriteria lain yang juga telah dikenalkan, yaitu menurut Diagnostic and Statistic Manual of Mental Disorder (DSM) yang telah mencapai revisi ke empat. Menurut DSM-IV, kriteria untuk PCS meliputi: a. Riwayat trauma kepala yang menyebabkan adanya konkusi serebral yang signifikan. b. c. defisit kognitif dan atau memori Terdapat 3 dari 8 gejala (fatique, gangguan tidur, nyeri kepala, dizziness, iritabel, gangguan afektif, perubahan kepribadian, apatis) yang muncul setelah trauma dan menetap selama 3 bulan. d. e. f. Gejala-gejala muncul pada saat injuri atau memburuk setelah injuri. Mengganggu fungsi sosial Dieksklusi adanya demensia paska trauma atau kelainan lain yang menerangkan gejala yang muncul. Kriteria c dan d mensyaratkan bahwa munculnya gejala atau perburukan gejala harus mengikuti/setelah trauma kepala, dibedakan dengan gejala yang muncul sebelum trauma, dan minimal durasinya adalah 3 bulan.8 Pembanding kedua kriteria PCS berdasarkan ICD-10 maupun DSM-IV didapatkan hasil bahwa prevalensi PCS menurut ICD-10 lebih besar sekitar enam kali lipat dibandingkan dengan menggunakan DSM-IV. Perbedaan tersebut sangat signifikan baik untuk pasien TBI maupun ekstrakranial trauma kepala. Hal tersebut menyebabkan kriteria berdasarkan ICD-10 lebih inklusif dan ini dikarenakan kriteria yang lebih sedikit dibandingkan bila menggunakan DSM-IV. Namun, kedua kriteria tersebut masih menjadi perdebatan oleh para ahli, sehingga sampai saat ini masih diperlukan penyesuaian dan belum didapatkan kesepakatan untuk kriteria yang baru.8 Kriteria pada ICD-10 dan DSM-IV terdapat beberapa poin yang overlaping, yaitu: nyeri kepala, fatique, gangguan tidur, iritabel dan dizziness. Kelima kriteria ini memiliki nilai kesepakatan yang tinggi. Untuk menegakkan diagnosa PCS, tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik. Adapun pemeriksaan laboratrium yang dilakukan lebih kepada

11

pencarian underlying disease yang lain yang mungkin sebagai penyebab munculnya gejala yang menyerupai PCS. Beberapa kondisi yang mungkin dapat memberikan gejala yang mirip PCS yang dapat disingkirkan dengan pemeriksaan laboratorium antara laian adalah adanya toksisitas dan penyakit metabolik. Selain itu pemeriksaan laboratorium juga dilakukan bila ada kecurigaan adanya penyakit lain yang menyertai adanya PCS.9 Pemeriksaan imaging yang dapat dilakukan pada pasien PCS adalah CT scanning dan MRI, namun harus dengan indikasi yang jelas. CT Scanning digunakan untuk mengetahui adanya kelainan intrakranial dan adanya fraktur tulang tengkorak. Pada pasien yang tidak disertai adanya episode pingsan (LOC) dan dari pemeriksaan neurologinya dalam batas normal, hasil CT Scan biasanya tidak didapatkan gambaran yang patologis.9 Bila pemeriksaan CT Scan telah dilakukan segera setelah cedera kepala terjadi, maka CT scan ulang sudah tidak diperlukan pada pasien yang tidak ada defisit neurologi, kecuali pasien yang memiliki risiko perdarahan yang tertunda (lucid interval). Pasien dengan riwayat pingsan (LOC) dan memiliki kesadaran yang baik (GCS 15) sebagian besar akan memberikan gambaran CT scan yang normal, meskipun terdapat sejumlah kecil yang didapatkan adanya lesi struktural yang membutuhkan ntervensi bedah. Secara umum pemeriksaan CT Scan tunggal (sekali) masih bisa diterima (reasonable), cepat dan merupakan alat skrinning yang efektif yang dapat dilakukan pada pasien trauma kepala dengan gejala klinis yang nyata.6,9 Tidak adanya pingsan dan atau hasil CT scan yang normal tidak serta merta menyatakan bahwa tidak ada kerusakan pada otak. Adanya puntiran atau peregangan akson dan neuron yang akan menyebabkan diffuse axonal injury dapat muncul tanpa kelainan yang nyata pada gambaran CT scan kepala. Hal ini diduga oleh adanya penguatan (strained) dari jaringa lunak sekitar leher yang melindungi batang otak dan mencegah terjadinya pingsan (LOC).6,9 Pemeriksaan MRI lebih sensitif dibandingkan CT scan pada kasus cedera kepala ringan atau kasus PCS. Lesi di daerah frontotemporal adalah lesi yang paling sering ditemui dan nampaknya berhubungan dengan defisit yang ditemui pada pemeriksaan neuropsykologi. MRI yang dilakukan 24 jam setelah terjadinya

12

cedera kepala dapat melihat adanya bekas kontusi yang lama, kaburnya batas antara white matter dan gray matter, dan adanya kontur otak yang irreguler. MRI yang dilakukan pada fase akut (segera setelah terjadinya cedera kepala) hanya memiliki sedikit manfaat saja, sehingga disarankan dilakukan observasi terlebih dahulu sampai paling tidak 24 jam dan dilakukan follow up untuk melihat adanya defisit neurologis ataupun adanya gejala klinis yang menetap atau bahkan memberat sebagai salah satu indikasinya.6,7 2.5. Penatalaksanaan Manajemen PCS masih menjadi banyak perdebatan para ahli. Terapi rehabilitasi neurokognitif adalah terapi yang paling banyak dilakukan, namun bukti empirik yang signifikan akan keberhasilan terapi ini belum ada. Sehingga sindrom yang ada dapat dikatakan tidak diterapi, kecuali hanya terapi simptomatik saja. Misalnya adalah penggunaan analgetik untuk nyeri kepala yang muncul, antidepresan untuk gejala depresi, dizziness atau anti muntah untuk terapi nausea yang muncul. Istirahat total sering dinasehatkan, namun hanya memberikan sedikit efektifias. Fisioterapi dan behavioral terapi sering diberikan pada pasien yang memiliki gangguan atensi. 10 Banyak neuropsycologist yang menyarankan penggunaan antidepresant pada pasien PCS. Salah satu yang menjadi terapi utama adalah golongan SSRI (Serotonin selektif reuptake inhibitor) dimana obat golongan ini diberikan pada psien post trauma dengan depresi. Keunggulannya adalah bahwa memiliki efikasi klinis yang baik dengan sedikit sekali efek samping. Namun, obat ini juga belm didukung dengan penelitian yang luas, sehingga level of evidence-nya masih relatif rendah. Dari berbagai penelitian yang ada (level of eviden rendah), dapat disimpulkan bahwa SSRI memiliki efikasi klinis dalam menurunkan gejala depresi dan kognitif impairment. Pada dekade terakhir telah banyak berkembang obat kelompok antidepresant baru dimana memiliki efek campuran pada serotonin, norepinephrin dan dopamin. Sampai saat ini belum ada penelitian obat tersebut untuk manajemen PCS. Salah satu obat, Trazodone, telah digunakan untuk mengobati gangguan tidur pada pasien-pasien dengan trauma kepala. Namun, efek antikholonergik dan

13

kardiogenik obat ini membuat obat ini sangat terbatas penggunaannya.9,10 Pada pasien cedera kepala terdapat gangguan sistem cholinergic, dimana kondisi ini mirip dengan kondisi penyakit Alzheimer. Salah satu gejalanya adalah adanya gangguan atensi dan gangguan new learning ability sangat mirip dengan alzheimer. Gangguan memori ini biasanya akan membaik dengan memberikan preparat cholinergik. Physostigmine dan donepezil adalah suatu preparat acethylcholin esterase inhibitor yang secara temporari (sementara) akan menjaga kadar acethilcholin di otak, dimana golongan lechitine dan CDP-cholin adalah prekursor yang akan meningkatkan kadar acethylcholin di otak. Pada salah satu penelitian RCT, didapatkan hasil bahwa pemberian physostigmin tunggal atau dikombinasikan dengan preparat lechitine akan memberikan peningkatan performa pada tes neuropsykologi pada pasien trauma kepala. Kesulitannya adalah waktu paruh yang relatif pendek, cara pemberian yang tidak bisa per oral, dan adanya beberapa efek samping yang sering muncul. 10 Pemberian CDP-Cholin setelah trauma kepala selama satu bulan menunjukkan perbikan pada tes performa neuropsykologi dan mengurangi kemunculan PCS. Namun, penelitian ini tidak menunjukkan durasi dari peningkatan tersebut setelah pengobatan CDP-Cholin dihentikan. Preparat donepezil sudah terbukti meningkatkan fungsi kognitif pada pasien AD dan pasien trauma kepala berat, terutama untuk fungsi short dan long term memori. Donepezil juga bermanfaat untuk mengurangi ansietas, depresi, dan apathi pada pasien trauma kepala berat. 10 Semua penelitian yang ada menunjukkan bahwa preparat cholinergik sangat bermanfaat pada manajemen trauma kepala, namun untuk cedera kepala ringan dan PCS, belum ada penelitian yang signifikan. Sehingga bila berbasis pada mechanism based, preparat cholinergik dapat diterima, namun bila berbasis evidence, masih belum cukup bukti yang mendukung.10 Pengobatan psikoterapi telah terbukti dapat mengurangi gejala PCS. Adanya disabilitas yang muncul akibat trauma kepala atau karena PCS dapat diterapi dengan psychotherapy ini sehingga dapat meningkatkan kemampuan dalam bekerja dan kehidupan sosial pasien. Hampir 40% pasien PCS dirujuk ke bagian psykologi. Pasien PCS akan dilakukan Cognitive Behavioral Therapy (CBT)

14

sebagai protap standartnya, dimana tujuan CBT ini adalah untuk mempengaruhi kemampuan emosional dengan meningkatkan kepercayaan dirinya.11 Salah satu risiko yang kadang muncul dari CBT ini adalah bahwa power of suggestion yang diberikan malah dapat memperburuk gejala dan menyebabkan disabilitas yang lebih lama. Hal ini dapat terjadi bila pasien merasakan kondisi yang dialaminya (kelainan fisik) benar-benar akibat dari cedera kepala yang dialaminya sehingga malah akan semakin membuat dia merasa bersalah dan semakin tertekan. Oleh karena itu, bila diindikasikan konsultasi psikology, maka therapist harus fokus pada masalah psikologi saja, tidak perlu membahas masalah kelainan secara fisik akibat trauma kepala. 11 Penanganan pasien PCS di instalasi gawat darurat tidak ada kekhususan. Semua pasien dengan kecurigaan PCS dilakukan pemeriksaan fisik dan neurologi secara menyeluruh. Pemeriksaan CT Scan kepala bisa dilakukan apabila didapatkan kecurigaan adanya perdarahan intrakranial (adanya nyeri kepala yang hebat), meskipun kondisi tersebut sangat jarang (pasien dengan late onset tanpa defisit neurologi).9 Pemberian terapi suportif yaitu pemberian analgetik non-narkotik dan anti muntah dan terapi simptomatik yang lain dapat dilakukan. Meskipun kebanyakan pasien datang dengan keluhan yang berat, mereka dapat dipulangkan. Beberapa studi menyebutkan bahwa pasien yang masuk secara akut setelah cedera kepala ringan akan memiliki insiden yang lebih kecil untuk terjadi PCS dan ini terkait dengan morbiditas secara sosial dan psikologik. 9 Pada saat dipulangkan, pasien cedera kepala ringan tidak memerlukan pengobatan untuk mencegah terjadinya PCS. Beberapa penelitian menyatakan bahwa edukasi tentang gejala ynag mungkin muncul setelah terjadinya cedera kepala akan mengurangi insidensi PCS.9,10

2.6. Prognosis Cedera kepala bisa menyebabkan kematian atau penderita bisa mengalami penyembuhan total. Jenis dan beratnya kelainan tergantung kepada lokasi dan beratnya kerusakan otak yang terjadi. Berbagai fungsi otak dapat dijalankan oleh beberapa area, sehingga area yang tidak mengalami kerusakan bisa menggantikan

15

fungsi dari area lainnya yang mengalami kerusakan. Tetapi semakin tua umur penderita, maka kemampuan otak untuk menggantikan fungsi satu sama lainnya semakin berkurang. Kemampuan berbahasa pada anak kecil dijalankan oleh beberapa area di otak, sedangkan pada dewasa sudah dipusatkan pada satu area. jika hemisfer kiri mengalami kerusakan hebat sebelum usia 8 tahun, maka hemisfer kanan bisa mengambil alih fungsi bahasa. Kerusakan area bahasa pada masa dewasa lebih cenderung menyebabkan kelainan yang menetap. 1,4,8 Beberapa fungsi (misalnya penglihatan serta pergerakan lengan dan tungkai) dikendalikan oleh area khusus pada salah satu sisi otak. Kerusakan pada area ini biasanya menyebabkan kelainan yang menetap. Dampak dari kerusakan ini bisa diminimalkan dengan menjalani terapi rehabilitasi. Penderita cedera kepala berat kadang mengalami amnesia dan tidak dapat mengingat peristiwa sesaat sebelum dan sesudah terjadinya penurunan kesadaran. Jika kesadaran telah kembali pada minggu pertama, maka biasanya ingatan penderita akan pulih kembali.1,8 Status vegetatif kronis merupakan keadaan tak sadarkan diri dalam waktu yang lama, yang disertai dengan siklus bangun dan tidur yang mendekati normal. Keadaan ini merupakan akibat yang paling serius dari cedera kepala yang nonfatal. Penyebabnya adalah kerusakan pada bagian atas dari otak (yang mengendalikan fungsi mental), sedangkan talamus dan batang otak (yang mengatur siklus tidur, suhu tubuh, pernafasan dan denyut jantung) tetap utuh. Jika status vegetatif terus berlangsung selama lebih dari beberapa bulan, maka kemungkinan untuk sadar kembali sangat kecil.8

16

BAB III RINGKASAN

Cedera kepala telah menyebabkan kematian dan cacat pada usia kurang dari 50 tahun, dan luka tembak pada kepala merupakan penyebab kematian nomor 2 pada usia dibawah 35 tahun. Kerusakan otak seringkali menyebabkan kelainan fungsi yang menetap, yang bervariasi tergantung kepada kerusakan yang terjadi, apakah terbatas (terlokalisir) atau lebih menyebar (difus). Jenis-jenis cedera kepala yang mengenai otak adalah fraktur tulang tengkorak, konkusio, gegar otak dan robekan otak, perdarahan intrakranial. Patofisiologi dari postconcussion

syndrome masih belum sepenuhnya jelas. Namun tidak bisa lepas dari patofisiologi proses cedera kepala itu sendiri. Hal ini dibuktikan dengan tidak ditemukannya kelainan organik pada pasien dengan gejala PCS yang nyata, di sisi lain terdapat gejala yang muncul membaik dalam waktu tiga bulan juga dengan tidak adanya kelainan organik yang nampak pada pemeriksaan. Gejala yang muncul pada post concussion syndrom terbagi menjadi tiga yaitu somatik, kognitif, dan emosional dengan pemeriksaan fisik yang normal. Kriteria diagnosis PCS menggunakan ICD-10 pada tahun 1992 dan DSM-IV. Manajemen PCS masih menjadi banyak perdebatan para ahli. Terapi rehabilitasi neurokognitif adalah terapi yang paling banyak dilakukan, namun bukti empirik yang signifikan akan keberhasilan terapi ini belum ada. Sehingga sindrom yang ada dapat dikatakan tidak diterapi, kecuali hanya terapi simptomatik saja.

17

DAFTAR PUSTAKA

1. Jeffery Barth Et All. Management Of Concussion/ Mild Traumatic Brain Injury. Va/Dod Clinical Practice Guideline. Washington Dc. 2009. P 1659. 2. David Kushner, Md. Mild Traumatic Brain Injury. Toward Understanding Manifestations And Treatment. Miami, Departement Of Neurology, Uneversity Of Miami. Aug 1998. 158; 1617-1624 3. Nigel S King. Post Concussion Syndrome: Clarity Amid The Controversy. British Journal Of Psychiaatry (2003). 183; 276-278 4. Erin D. Bigler. Neuropsychology And Clinical Neuroscience Of Persistent Post-Concussive Syndrome. Cambridge University Press. Journal Of The International Neuropsychological Society (2008). 14. 122 5. Neurosensory Centers Of America. Post Concussion Syndrome. Whiplash Injury. Concussion.Pdf 6. Jeffrey J. Bazarian , Atabaki S. Predicting Postconcussion Syndrome After Minor Traumatic Brain Injury. Academic Emergency Medicine. August 2001. Vol 8: Number 8 7. Allan H. Ropper, M.D., And Kenneth C. Gorson, M.D. Concussion. N Engl J Med 2007;356:166-72. 8. Michael AM. Mild Traumatic Brain Injury and Postconcussion Syndrome. Oxford Workship Series. Washington DC. 2008. P 151-182 9. Jack J, Loftus CM. Manegement of Mild Brain Injury. Neurotrauma and Critical Care of the Brain. Thieme. New York. 2009. P 131-134 10. Barry Willer, Phd, John J. Leddy, Md. Management Of Concussion And Post-Concussion Syndrome. Current Treatment Options in Neurology. New York. 2006, 8:415426 11. Sayegh Aa, Sandford D, Carson Aj. Psychological Approaches To Treatment Of Postconcussion Syndrome: A Systematic Review. J Neurol Neurosurg Psychiatry 2010;81:1128-1134 Http://Www.Keystonensc.Com/Downloads/Epa-Whiplash-

18