bab ii landasan teori a. sikap 1. definisi...
TRANSCRIPT
25
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Sikap
1. Definisi sikap
Mekanisme mental yang mengevaluasi, membentuk pandangan, mewarnai
perasaan dan akan ikut menentukan kecenderungan perilaku individu terhadap
manusia lainnya atau sesuatu yang sedang dihadapi oleh individu, bahkan
terhadap diri individu itu sendiri disebut fenomena sikap. Fenomena sikap yang
timbul tidak saja ditentukan oleh keadaan objek yang sedang dihadapi tetapi juga
dengan kaitannya dengan pengalaman-pengalaman masa lalu, oleh situasi di saat
sekarang, dan oleh harapan-harapan untuk masa yang akan datang. Sikap
manusia, atau untuk singkatnya disebut sikap, telah didefinisikan dalam berbagai
versi oleh para ahli (Azwar, 2007).
Thurstone mendefinisikan sikap sebagai derajat afek positif atau afek negatif
terhadap suatu objek psikologis (dalam Azwar, 2007). Sikap atau Attitude
senantiasa diarahkan pada suatu hal, suatu objek. Tidak ada sikap tanpa adanya
objek (Gerungan, 2004). LaPierre mendefinisikan sikap sebagai suatu pola
perilaku, tendensi, atau kesiapan antisipatif, predisposisi untuk menyesuaikan diri
Universitas Sumatera Utara
26
dalam situasi sosial, atau secara sederhana, sikap adalah respon terhadap stimuli
sosial yang telah terkondisikan. Definisi Petty & Cacioppo secara lengkap
mengatakan sikap adalah evaluasi umum yang dibuat manusia terhadap dirinya
sendiri, orang lain, objek atau isu-isu (dalam Azwar, 2007).
Menurut Fishben & Ajzen, sikap sebagai predisposisi yang dipelajari untuk
merespon secara konsisten dalam cara tertentu berkenaan dengan objek tertentu.
Sherif & Sherif menyatakan bahwa sikap menentukan keajegan dan kekhasan
perilaku seseorang dalam hubungannya dengan stimulus manusia atau kejadian-
kejadian tertentu. Sikap merupakan suatu keadaan yang memungkinkan timbulnya
suatu perbuatan atau tingkah laku (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2003).
Azwar (2007), menggolongkan definisi sikap dalam tiga kerangka pemikiran.
Pertama, kerangka pemikiran yang diwakili oleh para ahli psikologi seperti Louis
Thurstone, Rensis Likert dan Charles Osgood. Menurut mereka sikap adalah suatu
bentuk evaluasi atau reaksi perasaan. Sikap seseorang terhadap suatu objek
adalah perasaan mendukung atau memihak (favorable) maupun perasaan tidak
mendukung atau tidak memihak (unfavorable) pada objek tersebut.
Kedua, kerangka pemikiran ini diwakili oleh ahli seperti Chave, Bogardus,
LaPierre, Mead dan Gordon Allport. Menurut kelompok pemikiran ini sikap
merupakan semacam kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu objek dengan cara-
cara tertentu. Kesiapan yang dimaksud merupakan kecenderungan yang potensial
untuk bereaksi dengan cara tertentu apabila individu dihadapkan pada suatu
stimulus yang menghendaki adanya respon .
Universitas Sumatera Utara
27
Ketiga, kelompok pemikiran ini adalah kelompok yang berorientasi pada
skema triadik (triadic schema). Menurut pemikiran ini suatu sikap merupakan
konstelasi komponen kognitif, afektif dan konatif yang saling berinteraksi didalam
memahami, merasakan dan berperilaku terhadap suatu objek.
Jadi berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa sikap adalah
kecenderungan individu untuk memahami, merasakan, bereaksi dan berperilaku
terhadap suatu objek yang merupakan hasil dari interaksi komponen kognitif,
afektif dan konatif.
2. Komponen sikap
Azwar (2007) menyatakan bahwa sikap memiliki 3 komponen yaitu:
a. Komponen kognitif
Komponen kognitif merupakan komponen yang berisi kepercayaan
seseorang mengenai apa yang berlaku atau apa yang benar bagi objek
sikap.
b. Komponen afektif
Komponen afektif merupakan komponen yang menyangkut masalah
emosional subjektif seseorang terhadap suatu objek sikap. Secara umum,
komponen ini disamakan dengan perasaan yang dimiliki terhadap sesuatu.
c. Komponen perilaku
Komponen perilaku atau komponen konatif dalam struktur sikap
menunjukkan bagaimana perilaku atau kecenderungan berperilaku yang
ada dalam diri seseorang berkaitan dengan objek sikap yang dihadapinya.
3. Karakteristik sikap
Universitas Sumatera Utara
28
Menurut Brigham (dalam Dayakisni dan Hudiah, 2003) ada beberapa ciri
atau karakteristik dasar dari sikap, yaitu :
a. Sikap disimpulkan dari cara-cara individu bertingkah laku.
b. Sikap ditujukan mengarah kepada objek psikologis atau kategori, dalam
hal ini skema yang dimiliki individu menentukan bagaimana individu
mengkategorisasikan objek target dimana sikap diarahkan.
c. Sikap dipelajari.
d. Sikap mempengaruhi perilaku. Memegang teguh suatu sikap yang
mengarah pada suatu objek memberikan satu alasan untuk berperilaku
mengarah pada objek itu dengan suatu cara tertentu.
4. Faktor-faktor yang mempengaruhi sikap
Azwar (2007) menyimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi
pembentukan sikap adalah pengalaman pribadi, kebudayaan, orang lain yang
dianggap penting, media massa, institusi atau lembaga pendidikan dan lembaga
agama, serta faktor emosi dalam diri individu.
a. Pengalaman pribadi
Middlebrook (dalam Azwar, 2007) mengatakan bahwa tidak adanya
pengalaman yang dimiliki oleh seseorang dengan suatu objek psikologis,
cenderung akan membentuk sikap negatif terhadap objek tersebut. Sikap akan
lebih mudah terbentuk jika yang dialami seseorang terjadi dalam situasi yang
melibatkan faktor emosional. Situasi yang melibatkan emosi akan
menghasilkan pengalaman yang lebih mendalam dan lebih lama membekas.
b. Pengaruh orang lain yang dianggap penting
Universitas Sumatera Utara
29
Pada umumnya, individu cenderung untuk memiliki sikap yang konformis
atau searah dengan sikap orang yang dianggapnya penting. Kecenderungan ini
antara lain dimotivasi oleh keinginan untuk berafiliasi dan keinginan untuk
menghindari konflik dengan orang yang dianggap penting tersebut.
c. Pengaruh Kebudayaan
Burrhus Frederic Skinner, seperti yang dikutip Azwar sangat menekankan
pengaruh lingkungan (termasuk kebudayaan) dalam membentuk pribadi
seseorang. Kepribadian merupakan pola perilaku yang konsisten yang
menggambarkan sejarah penguat (reinforcement) yang kita alami (Hergenhan
dalam Azwar, 2007). Kebudayaan memberikan corak pengalaman bagi
individu dalam suatu masyarakat. Kebudayaan telah menanamkan garis
pengarah sikap individu terhadap berbagai masalah.
d. Media Massa
Berbagai bentuk media massa seperti televisi, radio, surat kabar, majalah
dan lain-lain mempunyai pengaruh yang besar dalam pembentukan opini
dan kepercayaan individu. Media massa memberikan pesan-pesan yang
sugestif yang mengarahkan opini seseorang. Adanya informasi baru
mengenai sesuatu hal memberikan landasan kognitif baru bagi terbentuknya
sikap terhadap hal tersebut. Jika cukup kuat, pesan-pesan sugestif akan
memberi dasar afektif dalam menilai sesuatu hal sehingga terbentuklah arah
sikap tertentu.
e. Lembaga Pendidikan dan Lembaga Agama
Universitas Sumatera Utara
30
Lembaga pendidikan serta lembaga agama sebagai sesuatu sistem
mempunyai pengaruh dalam pembentukan sikap dikarenakan keduanya
meletakkan dasar pengertian dan konsep moral dalam diri individu.
Pemahaman akan baik dan buruk, garis pemisah antara sesuatu yang boleh dan
tidak boleh dilakukan, diperoleh dari pendidikan dan dari pusat keagamaan
serta ajaran-ajarannya. Konsep moral dan ajaran agama sangat menetukan
sistem kepercayaan sehingga tidaklah mengherankan kalau pada gilirannya
kemudian konsep tersebut ikut berperanan dalam menentukan sikap individu
terhadap sesuatu hal. Apabila terdapat sesuatu hal yang bersifat kontroversial,
pada umumnya orang akan mencari informasi lain untuk memperkuat posisi
sikapnya atau mungkin juga orang tersebut tidak mengambil sikap memihak.
Dalam hal seperti itu, ajaran moral yang diperoleh dari lembaga pendidikan
atau lembaga agama sering kali menjadi determinan tunggal yang menentukan
sikap.
f. Faktor Emosional
Suatu bentuk sikap terkadang didasari oleh emosi, yang berfungsi sebagai
semacam penyaluran frustrasi atau pengalihan bentuk mekanisme pertahanan
ego. Sikap demikian dapat merupakan sikap yang sementara dan segera
berlalu begitu frustrasi telah hilang akan tetapi dapat pula merupakan sikap
yang lebih persisten dan bertahan lama.
Menurut Bimo Walgito (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2003), pembentukan
dan perubahan sikap akan ditentukan oleh dua faktor, yaitu :
Universitas Sumatera Utara
31
a. Faktor internal (individu itu sendiri) yaitu cara individu dalam menanggapi
dunia luar dengan selektif sehingga tidak semua yang datang akan diterima
atau ditolak.
b. Faktor eksternal yaitu keadaan-keadaan yang ada di luar individu yang
merupakan stimulus untuk membentuk atau mengubah sikap.
Sementara itu Mednick, Higgins dan Kirschenbaum (dalam Dayakisni &
Hudaniah, 2003) menyebutkan bahwa pembentukan sikap dipengaruhi oleh tiga
faktor, yaitu :
a. Pengaruh sosial, seperti norma dan kebudayaan.
b. Karakter kepribadian individu
c. Informasi yang selama ini diterima individu
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pembentukan sikap
dipengaruhi oleh faktor ekstrinsik yang berasal dari luar individu dan faktor
intrinsik yang berasal dari dalam individu.
5. Perwujudan sikap dalam perilaku
Werner dan Defleur (Azwar, 2007) mengemukakan 3 postulat guna
mengidentifikasikan tiga pandangan mengenai hubungan sikap dan perilaku, yaitu
postulat of consistency, postulat of independent variation, dan postulate of
contigent consistency. Berikut ini penjelasan tentang ketiga postulat tersebut:
a. Postulat Konsistensi
Postulat konsistensi mengatakan bahwa sikap verbal memberi petunjuk
yang cukup akurat untuk memprediksikan apa yang akan dilakukan seseorang
Universitas Sumatera Utara
32
bila dihadapkan pada suatu objek sikap. Jadi postulat ini mengasumikan
adanya hubungan langsung antara sikap dan perilaku.
b. Postulat Variasi Independen
Postulat ini mengatakan bahwa mengetahui sikap tidak berarti dapat
memprediksi perilaku karena sikap dan perilaku merupakan dua dimensi
dalam diri individu yang berdiri sendiri, terpisah dan berbeda.
c. Postulat Konsistensi Kontigensi
Postulat konsistensi kontigensi menyatakan bahwa hubungan sikap dan
perilaku sangat ditentukan oleh faktor-faktor situasional tertentu. Norma-
norma, peranan, keanggotaan kelompok dan lain sebagainya, merupakan
kondisi ketergantungan yang dapat mengubah hubungan sikap dan perilaku.
Oleh karena itu, sejauh mana prediksi perilaku dapat disandarkan pada sikap
akan berbeda dari waktu ke waktu dan dari satu situasi ke situasi lainnya.
Postulat yang terakhir ini lebih masuk akal dalam menjelaskan hubungan
sikap dan perilaku.
Apabila individu berada dalam situasi yang betul-betul bebas dari berbagai
bentuk tekanan atau hambatan yang dapat mengganggu ekspresi sikapnya maka
dapat diharapkan bahwa bentuk-bentuk perilaku yang ditampakkannya merupakan
ekspresi sikap yang sebenarnya. Artinya, potensi reaksi sikap yang sudah
terbentuk dalam diri individu itu akan muncul berupa perilaku aktual sebagai
cerminan sikap yang sesungguhnya terhadap sesuatu. Sebaliknya jika individu
Universitas Sumatera Utara
33
mengalami atau merasakan hambatan yang dapat mengganggu kebebasannya
dalam mengatakan sikap yang sesungguhnya atau bila individu merasakan
ancaman fisik maupun ancaman mental yang dapat terjadi pada dirinya sebagai
akibat pernyataan sikap yang hendak dikemukakan maka apa yang diekspresikan
oleh individu sebagai perilaku lisan atau perbuatan itu sangat mungkin tidak
sejalan dengan sikap hati nuraninya, bahkan dapat sangat bertentangan dengan
apa yang dipegangnya sebagai suatu keyakinan. Semakin kompleks situasinya dan
semakin banyak faktor yang menjadi pertimbangan dalam bertindak maka
semakin sulitlah mempediksikan perilaku dan semakin sulit pula menafsirkannya
sebagai indikator (Azwar, 2007).
B. Sikap terhadap kematian
1. Definisi sikap terhadap kematian
Secara umum, kematian didefinisikan sebagai kehilangan permanen dari
fungsi integratif manusia secara keseluruhan. Namun, terdapat banyak definisi
kematian (Hasan, 2006). Kematian dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
berarti perihal mati. Mati itu sendiri dalam KBBI adalah sudah kehilangan
nyawanya, tidak hidup lagi dan tidak bernyawa (Depdiknas, 2005).
Kematian merupakan fakta biologis, tapi juga memiliki aspek sosial, budaya,
sejarah, agama, hukum, psikologis, perkembangan, medis dan etikal yang saling
terkait dekat satu sama lain (Papalia, 2004). Salah satu jenis kematian adalah
kematian fisiologis (Physiological death) yang terjadi saat semua proses fisik
yang mendukung kehidupan telah hilang, kematian otak (brain death) yaitu
Universitas Sumatera Utara
34
ketiadaan secara total aktivitas otak selama paling tidak 10 menit serta kematian
serebral (cerebral death) yaitu hilangnya aktivitas di cerebral cortex.
Kematian dapat disimpulkan sebagai proses biologis yang terjadi pada
individu saat fungsi-fungsi organ tubuh individu secara fisiologis tidak berfungsi
lagi atau tidak bernyawa lagi dan kondisi ini tidak dapat pulih kembali.
Berdasarkan berbagai uraian tentang sikap dan tentang kematian di atas, maka
dapat disimpulkan bahwa sikap terhadap kematian adalah kecenderungan individu
untuk memahami, merasakan, bereaksi dan berperilaku terhadap proses biologis
yang terjadi saat fungsi-fungsi organ tubuh individu secara fisiologis tidak
berfungsi lagi atau tidak bernyawa lagi dan kondisi ini tidak dapat pulih kembali.
Hal ini merupakan hasil interaksi dari komponen kognitif, afektif dan perilaku.
2. Aspek-aspek sikap terhadap kematian
Sikap yang berkaitan dengan kematian dapat berfokus pada hal-hal berikut
(Corr, Nabe & Corr, 2003) :
a. Sikap tentang diri individu pada saat sekarat yaitu merefleksikan ketakutan
dan kecemasan tentang kemungkinan mengalami proses kematian yang
panjang, sulit atau sakit.
b. Sikap tentang kematian diri yaitu berfokus kepada apa makna kematian
bagi diri individu.
c. Sikap tentang apa yang akan terjadi pada diri setelah kematian yaitu
berfokus pada apa yang akan terjadi pada diri individu sesudah kematian.
Universitas Sumatera Utara
35
d. Sikap yang berkaitan dengan kematian atau rasa kehilangan orang lain
yang dicintai yaitu berfokus pada bagaimana individu memandang
kematian orang lain yan dicintai.
3. Faktor yang mempengaruhi Sikap terhadap Kematian
Adapun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi sikap individu terhadap
kematian adalah :
a. Usia
Ketakutan terhadap kematian berhubungan dengan variabel usia (Nelson
& Nelson dalam Lahey, 2003). Lansia secara umum distreotipekan sebagai
individu yang menunggu kematian tanpa rasa takut (Barrow, 1996). Lansia
memiliki sedikit rasa takut terhadap kematian daripada individu pada usia
dewasa awal (Lefrancois, 1993).
b. Agama
Sikap agama terhadap kematian mempengaruhi bagaimana individu dari
usia tertentu memandang kematian (Papalia, 2004). Sikap agama yang
dianut individu dapat menjadi prediktor penting untuk menentukan sikap
individu terhadap kematian. Christopher, Drummond, Jones, Marek dan
Therriault menemukan bahwa religiusitas secara positif berhubungan
dengan sikap positif terhadap kematian (misalnya memandang kematian
sebagai akhir hidup yang alami) dan secara negatif berkaitan dengan sikap
negatif terhadap kematian (misalnya memandang kematian sebagai
kegagalan) (Dezutter et all, 2007).
Universitas Sumatera Utara
36
C.Religiusitas
1.Defenisi religiusitas
Menurut Drikarya (dalam Widiyanta, 2005) kata “religi” berasal dari bahasa
latin ’religio’ yang akar katanya ’religare’ yang berarti mengikat. Maksudnya
adalah suatu kewajiban-kewajiban atau atauran-aturan yang harus dilaksanakan,
yang kesemuanya itu berfungsi untuk mengikat dan mengutuhkan diri seseorang
atau sekelompok orang dalam hubungannya dengan Tuhan atau sesama manusia,
serta alam sekitarnya. Mangunwijaya membedakan antara istilah religi atau agama
dengan istilah religiusitas. Agama menunjuk pada aspek formal, yang berkaitan
dengan aturan-aturan dan kewajiban-kewajiban, sedangkan religiusitas menunjuk
pada aspek religi yang telah dihayati oleh individu di dalam hati. Glock & Stark
memahami religiusitas sebagai kepercayaan individu tentang ajaran-ajaran agama
tertentu yang dianut dan dampak dari ajaran agama, dalam kehidupan sehari-hari
(dalam Pujiono, 2006).
Religiusitas adalah istilah yang mengacu pada individu yang mencurahkan
perhatian yang lebih besar pada agama yang dianutnya (Corsini, 2002).
Adisubroto (dalam Widiyanta, 2005) menjelaskan bahwa manusia religius adalah
manusia yang struktur mental keseluruhannya secara tetap diarahkan kepada
pencipta nilai mutlak, memuaskan dan tertinggi yaitu Tuhan.
Universitas Sumatera Utara
37
Religius adalah suatu keadaan dimana individu merasakan dan mengajui
adanya kekuatan tertinggi yang menaungi kehidupan manusia, dan hanya kepada-
Nya manusia merasa bergantung serta berserah diri. Semakin seseorang mengakui
adanya Tuhan dan kekuasaan-Nya, maka akan semakin tinggi tingkat
religiusitasnya (Dister dalam Rahayu, 1997).
Berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa religiusitas adalah
penghayatan manusia akan ajaran, kewajiban dan aturan agama yang dianutnya
yang diamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.
2. Dimensi religiusitas
Menurut Glock dan Stark (dalam Rahmat, 2003), dimensi religiusitas antara
lain :
a. Dimensi Ideologis
Dimensi ideologis merupakan bagian dari keberagamaan yang berisi
kepercayaan atau doktrin agama yang harus dipercayai. Misalnya
kepercayaan umat Kristen terhadap Ketuhanan Kristus dan kepercayaan
umat Islam kepada Nabi Muhammad SAW.
b. Dimensi Ritualistik
Dimensi ritualistik berkaitan dengan perilaku, maksudnya perilaku yang
mengacu pada perilaku-perilaku khusus yang ditetapkan agama. Seperti
tata cara ibadah, berpuasa dan pengakuan dosa.
c. Dimensi Eksperensial
Dimensi eksprensial berkaitan dengan perasaan keagamaan yang dimiliki
seseorang. Psikologi menamainya religious experiences (pengalaman
Universitas Sumatera Utara
38
religius). Pengalaman keagamaan ini misalnya kekhusukan dalam sholat
dan ketenangan batin saat berdoa.
d. Dimensi Intelektual
Dimensi intelektual yaitu informasi khusus tentang suatu agama yang
harus diketahui oleh penganutnya. Dimensi ini berhubungan erat dengan
pengetahuan tentang agama yang dianut oleh seseorang.
e. Dimensi Konsekuensial
Dimensi konsekuensial menunjukkan akibat ajaran agama dalam perilaku
umum. Dimensi ini merupakan efek ajaran agama pada perilaku individu
dalam kehidupan sehari-hari.
D. Lansia
1. Definisi lansia
Masa dewasa akhir atau lanjut usia adalah periode perkembangan yang
bermula pada usia 60 tahun yang berakhir dengan kematian. Masa ini adalah masa
pemyesuaian diri atas berkurangnya kekuatan dan kesehatan, menatap kembali
kehidupan, masa pensiun dan penyesuaian diri dengan peran-peran sosial
(Santrock, 2006).
Lansia merupakan usia yang mendekati akhir siklus kehidupan manusia di
dunia. Usia tahap ini dimulai pada usia 60 tahun sampai akhir kehidupan (Hasan,
2006). Masa lansia dibagi dalam tiga kategori yaitu: orang tua muda (young old)
(65-74 tahun) , orang tua tua (old-old) (75-84 tahun) dan orang tua yang sangat
tua oldest old (85 tahun ke atas) (Papalia, 2005). Barbara Newman & Philip
Universitas Sumatera Utara
39
Newman membagi masa lansia ke dalam 2 periode , yaitu masa dewasa akhir
(later adulthood) (usia 60 sampai 75 tahun) dan usia yang sangat tua (very old
age) (usia 75 tahun sampai meninggal dunia) (Newman & Newman , 2006).
Secara legal atau menurut peraturan pemerintah Indonesia, permulaan usia
lanjut telah ditetapkan, yaitu usia untuk pensiun (Suling & Pelenkahu, 1996) :
a. Anggota Tentara Nasional Indonesia pensiun pada usia 55 tahun
b. Pegawai Negeri Sipil pensiun pada usia 56-58 tahun
c. Profesor di perguruan tinggi pensiun pada usia 65 tahun
Tahap usia lanjut adalah tahap dimana terjadi penuaan dan penurunan.
Penurunan lebih jelas dan lebih dapat diperhatikan pada usia lanjut daripada pada
usia tengah baya. Penuaan merupakan perubahan kumulatif pada makhluk hidup,
termasuk tubuh, jaringan dan sel yang mengalami kapasitas fungsional. Pada
manusia, penuaan dihubungkan dengan perubahan degeneratif pada kulit, tulang,
jantung, pembuluh darah, paru-paru, syaraf dan jaringan tubuh lainnya (Hasan,
2006).
Penuaan terbagi atas penuaan primer (primary aging) dan penuaan sekunder
(secondary aging). Pada penuaan primer tubuh melemah dan mengalami
penurunan karena proses normal yang alamiah. Pada penurunan sekunder terjadi
proses penuaan karena faktor-faktor ekstrinsik seperti lingkungan atau perilaku
(Hasan, 2006).
Usia lanjut merupakan periode terakhir dalam hidup manusia yaitu umur 60
tahun ke atas. Masa ini adalah saat untuk mensyukuri segala sesuatu yang sudah ia
Universitas Sumatera Utara
40
capai di masa lalu. Pada saat ini keadaan fisiknya sudah jauh menurun (Irwanto
dkk, 1994).
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa masa dewasa akhir atau
masa lanjut usia merupakan periode terakhir dalam rentang hidup manusia,
dimulai pada usia 60 tahun dan akan berakhir dengan kematian. Individu pada
usia ini diharapkan telah mencapai kematangan dan kebijaksanaan. Periode ini
juga ditandai oleh penurunan fisik.
2. Ciri-ciri lansia
Sama seperti periode sebelumnya dalam rentang kehidupan seseorang, usia
lanjut ditandai dengan perubahan fisik dan psikologis tertentu. Efek-efek tersebut
menentukan, sampai sejauh tertentu, apakah pria atau wanita usia lanjut akan
melakukan penyesuaian diri secara baik atau buruk (Hurlock, 1999).
a. Lanjut usia merupakan periode kemunduran
Kemunduran yang dialami individu lanjut usia berupa kemunduran fisik dan
mental. Kemunduran itu sebagian datang dari faktor fisik dan sebagian lagi dari
faktor psikologis. Penyebab kemunduran fisik ini merupakan suatu kemunduran
pada sel-sel tubuh, bukan karena penyakit khusus tapi karena proses menua.
Kemunduran dapat juga mempunyai penyebab psikologis, sikap tidak senang
terhadap diri sendiri, orang lain, pekerjaan dan kehidupan.
b. Perbedaan individual pada efek menua
Individu menjadi tua secara berbeda karena mereka mempunyai sifat bawaan
yang berbeda, sosial ekonomi dan latar pendidikan yang berbeda, dan pola hidup
yang berbeda. Perbedaan terlihat diantara individu-individu yang mempunyai
Universitas Sumatera Utara
41
jenis kelamin yang sama, dan semakin nyata bila pria dibandingkan dengan
wanita karena menua terjadi dengan laju yang berbeda pada masing-masing jenis
kelamin. Bila perbedaan-perbedaan tersebut bertambah sesuai dengan usia,
perbedaan-perbedaan tersebut akan membuat individu bereaksi secara berbeda
terhadap situasi yang sama.
c. Usia tua dinilai dengan kriteria yang berbeda
Arti usia tua itu sendiri kabur dan tidak jelas dan tidak dapat dibatasi pada
anak muda, maka individu cenderung menilai tua itu dalam hal penampilan dan
kegiatan fisik. Bagi usia tua, anak-anak adalah lebih kecil dibandingkan dengan
orang dewasa dan harus dirawat, sedang orang dewasa adalah sudah besar dan
dapat merawat diri sendiri. Orangtua mempunyai rambut putih dan tidak lama lagi
berhenti dari pekerjaan sehari-hari. Banyak individu berusia lanjut melakukan
segala apa yang dapat disembunyikan atau disamarkan yang menyangkut tanda-
tanda penuaan fisik dengan memakai pakaian yang biasa dipakai orang muda dan
berpura-pura mempunyai tenaga muda. Inilah cara lansia untuk menutupi diri dan
membuat ilusi bahwa lansia belum berusia lanjut.
d. Berbagai stereotipe orang lanjut usia
Banyak stereotipe orang lanjut usia dan banyak kepercayaan tradisional
tentang kemampuan fisik dan mental. Stereotipe dan kepercayaan tradisional ini
timbul dari berbagai sumber, ada yang melukiskan bahwa usia lanjut sebagai usia
yang tidak menyenangkan, diberi tanda sebagai orang secara tidak menyenangkan
oleh berbagai media masa. Pendapat klise yang telah dikenal masyarakat tentang
usia lanjut adalah pria dan wanita yang keadaan fisik dan mentalnya loyo, usang
Universitas Sumatera Utara
42
sering pikun, jalan membungkuk, dan sulit hidup bersama dengan siapa pun,
karena hari-harinya yang penuh dengan manfaat sudah lewat, sehingga perlu
dijauhkan dari orang-orang yang lebih muda.
e. Sikap sosial terhadap lanjut usia
Pendapat klise tentang usia lanjut mempunyai pengaruh yang besar terhadap
sikap sosial baik terhadap usia lanjut maupun terhadap individu berusia lanjut.
Kebanyakan pendapat klise tersebut tidak menyenangkan, sehingga sikap sosial
tampaknya cenderung menjadi tidak menyenangkan.
f. Orang lanjut usia mempunyai status kelompok-minoritas
Terdapat fakta bahwa jumlah orang usia lanjut dewasa ini bertambah banyak,
tetapi status mereka dalam kelompok-minoritas, yaitu suatu status yang dalam
beberapa hal mengecualikan lansia untuk tidak berinteraksi dengan kelompok
lainnya, dan memberi sedikit kekuasaan atau bahkan tidak memperoleh kekuasaan
apapun. Status kelompok-minioritas ini terutama terjadi sebagai akibat dari sikap
sosial yang tidak menyenangkan terhadap individu usia lanjut dan diperkuat oleh
pendapat klise yang tidak menyenangkan tentang mereka.
g. Menua membutuhkan perubahan peran
Sama seperti individu berusia madya harus belajar untuk memainkan peranan
baru demikian juga bagi yang berusia lanjut. Pengaruh kebudayaan dewasa ini,
dimana efisiensi, kekuatan, kecepatan dan kemenarikan bentuk fisik sangat
dihargai, mengakibatkan orang berusia lanjut sering dianggap tidak ada gunanya
lagi. Lansia tidak dapat bersaing dengan orang-orang yang lebih muda dalam
berbagai bidang tertentu, dan sikap sosial terhadap lansia tidak menyenangkan.
Universitas Sumatera Utara
43
h. Penyesuaian yang buruk merupakan ciri-ciri lanjut usia
Sikap sosial yang tidak menyenangkan bagi individu usia lanjut, nampak
dalam cara orang memperlakukan lansia, maka tidak heran lagi kalau banyak
individu usia lanjut mengembangkan konsep diri yang tidak menyenangkan. Hal
ini cenderung diwujudkan dalam bentuk perilaku yang buruk. Lansia yang pada
masa lalunya sulit dalam menyesuaikan diri cenderung untuk semakin jahat
ketimbang mereka yang dalam menyesuaikan diri pada masa lalunya mudah dan
menyenangkan.
i. Keinginan menjadi muda kembali sangat kuat pada lanjut usia
Status kelompok-minioritas yang dikenakan pada individu berusia lanjut
secara alami telah membangkitkan keinginan untuk tetap muda selama mungkin
dan ingin dipermuda apabila tanda-tanda menua tampak. Berbagai cara-cara kuno,
obat yang termanjur untuk segala penyakit, zat kimia, tukang sihir dan ilmu gaib
digunakan untuk mencapai tujuan tersebut. Kemudian timbul orang-orang yang
bisa membuat orang tetap awet muda, yang dipercaya mempunyai kekuatan magis
untuk mengubah usia lanjut menjadi muda lagi.
Individu yang memasuki masa lanjut usia mengalami perubahan-perubahan
sebagai berikut (Hutapea, 2005) :
a. Perubahan fisik
Perubahan fisik yang terjadi sewaktu memasuki usia tua antara lain :
1) Perubahan pada sistem kekebalan atau immunologi, dimana tubuh menjadi
rentan terhadap penyakit dan alergi.
Universitas Sumatera Utara
44
2) Konsumsi energik turun secara nyata diikuti dengan menurunnya jumlah
energi yang dikeluarkan tubuh atau energy expenditure.
3) Air dalam tubuh turun secara signifikan karena bertambahnya sel-sel mati
yang diganti oleh lemak maupun jaringan konektif.
4) Sistem pencernaan mulai terganggu, gigi mulai tanggal, kemampuan
mencerna makanan serta penyerapannya menjadi lamban dan kurang
efisien, gerakan peristaltik usus menurun sehingga sering konstipasi (susah
ke belakang).
5) Perubahan pada sistem metabolik, yang menyebabkan gangguan
metabolisme glukosa karena sekresi insulin yang menurun. Sekresi insulin
juga menurun karena timbulnya lemak.
6) Sistem saraf menurun yang menyebabkan munculnya rabun dekat,
kepekaan bau dan rasa berkurang, kepekaan sentuhan berkurang,
pendengaran berkurang, reaksi menjadi lambat, fungsi mental menurun
dan ingatan visual berkurang.
7) Perubahan pada sistem pernafasan ditandai dengan menurunnya elastisitas
paru-paru yang mempersulit pernafasan sehingga dapat mengakibatkan
munculnya rasa sesak dan tekanan darah meningkat.
8) Kehilangan elastisitas dan fleksibilitas persendian, tulang mulai keropos.
b. Perubahan psikososial
Perubahan psikososial menyebabkan rasa tidak aman, takut, merasa penyakit
selalu mengancam, sering bingung, panik dan depresif. Hal itu disebabkan antara
lain karena ketergantungan fisik dan sosioekonomi. Ketergantungan sosial
Universitas Sumatera Utara
45
finansial pada waktu pensiun membawa serta kehilangan rasa bangga, hubungan
sosial, kewibawaan dan sebagainya.
Rasa kesepian bisa muncul karena semua anak telah meninggalkan rumah dan
makin sedikitnya teman akrab yang sebaya. Kecemasan dan mudah marah
merupakan gejala yang umum yang dapat menyebabkan keluhan susah tidur atau
tidur tidak tenang.
c. Perubahan emosi dan kepribadian
Setiap ada kesempatan, lansia selalu mengadakan introspeksi diri. Terjadi
proses pematangan dan bahkan tidak jarang terjadi pemeranan gender yang
terbalik. Para wanita lansia bisa menjadi lebih tegar dibandingkan lansia pria,
apalagi dalam memperjuangkan hak mereka. Sebaliknya, pada saat lansia, banyak
pria tidak segan-segan memerankan peran yang sering distreotipekan sebagai
pekerjaan wanita, seperti mengasuh cucu, menyiapkan sarapan, membersihkan
rumah dan sebagainya. Persepsi tentang kondisi kesehatan berpengaruh pada
kehidupan psikososial, dalam hal memilih bidang kegiatan yang sesuai dan cara
menghadapi persoalan hidup.
Menurut Mubin dan Cahyadi (2006), fase lanjut usia ditandai dengan
perubahan-perubahan sebagai berikut :
a. Perubahan yang bersifat fisik :
1) Kekuatan fisik & motorik yang sangat kurang, terkadang ada sebagian
fungsi organ tubuhnya tidak dapat dipertahankan lagi.
2) Kesehatan sangat menurun sehingga sering sakit-sakitan.
b. Perubahan yang bersifat psikis :
Universitas Sumatera Utara
46
1) Munculnya rasa kesepian, yang mungkin disebabkan karena putra atau
putrinya sudah besar dan berkeluarga, sehingga tidak tinggal serumah lagi.
Lansia biasanya suka memelihara cucu-cucu untuk mengatasi rasa
kesepian tersebut.
2) Berkurangnya kontak sosial dan tugas-tugas sosial akibat kondisi fisik
yang menurun.
3) Lekas merasa jenuh dan kadang-kadang menjadi cerewet.
4) Mengalami penurunan dalam hal ingatan, penglihatan atau pendengaran
dan kadang-kadang dapat menjadi pikun.
5) Suka bercerita atau bernostalgia tentang kehebatannya di masa lampau.
6) Kehidupan keagamaan sangat baik, terutama dalam hal beribadah dan
beramal, karena dari segi usia rata-rata lansia sudah mendekati kematian
yang pasti datang menjemputnya.
Lansia atau Masa dewasa akhir juga ditandai dengan berbagai tantangan.
Tantangan ini termasuk penyesuaian pada masa pensiun, menyesuaikan diri
dengan perubahan dalam jaringan dukungan sosial, mengatasi masalah kesehatan
dan menghadapi kematian (Wayne & Llyod, 2006). Selain menghadapi kematian
diri sendiri, lansia juga kemungkinan menghadapi kematian pasangan, saudara
kandung, teman dan individu lain yang penting dalam hidupnya (Corr, Nabe &
Corr, 2003).
Menurut Erikson, tantangan dalam tahap akhir perkembangan manusia adalah
mencapai integritas ego. Individu yang mencapai integritas (integrity) mampu
untuk melihat masa lalu dengan perasaan puas, menemukan makna dan tujuan
Universitas Sumatera Utara
47
hidup, sebaliknya keputusasaan (despair) adalah kecenderungan untuk tinggal
dalam kesalahan masa lalu, meratapi pilihan yang tidak diambil dan merenung
tentang kematian yang semakin dekat dengan kepahitan. Erikson menekankan
bahwa lebih baik menghadapi masa depan dengan penerimaan daripada
tenggelam dalam penyesalan dan kesedihan. Hasil yang diharapkan pada usia ini
adalah pemenuhan dan kepuasan hidup dan kesediaan untuk menghadapi
kematian (Wayne & Llyod, 2006).
Tujuan tugas perkembangan lansia adalah menyelesaikan konflik pada masa
lalu & meraih makna hidup yang baru, baik sebagai penerimaan akan masa lalu
lansia maupun sebagai persiapan untuk menghadapi kematian. Jika proses ini
berhasil, hasilnya adalah integritas (Integrity) dan kebijaksanaan (Wisdom)
(Erickson & Erickson dalam Corr, Nabe & Corr, 2003). Jika tidak berhasil, maka
lansia akan merasa tidak puas dengan hal yang telah dilakukan dalam hidupnya
(Corr, Nabe & Corr, 2003).
Erickson memandang bahwa lansia mencoba untuk menemukan makna dalam
hidup yang akan membantu lansia untuk menghadapi kematian yang tidak dapat
dielakkan. Ahli gerontologi Robert Butler mengatakan bahwa lansia terlibat dalam
proses yang disebut meninjau kehidupan atau life review dimana lansia
merefleksikan konflik yang tidak dapat diselesaikan pada masa lalu untuk
mendapatkan makna bagi diri sendiri, menemukan makna hidup yang baru dan
sesuai serta mempersiapkan diri untuk kematian (Sigelman & Rider, 2003).
Integritas mengarah pada kemampuan untuk melihat kembali kehidupan
seseorang dan melihatnya sebagai hal yang memuaskan dan bermakna.
Universitas Sumatera Utara
48
Kemampuan melihat hidup sebagai sesuatu yang memuaskan dan bermakna
mengarah pada penerimaan kematian. Individu yang putus asa (despair)
memandang hidup sebagai hal yang tidak memuaskan, mengalami penyesalan
yang besar, menghindari perubahan serta mengalami ketakutan akan kematian
(Lemme, 1995). Integritas sebagaimana yang digunkan dalam teori Erickson
merupakan kemampuan untuk menerima kenyataan hidup dan menghadapi
kematian tanpa rasa takut (Newman & Newman, 2006).
3. Tugas perkembangan lansia
Menurut Robert Peck, tahap akhir dari perkembangan Erickson yaitu integritas
versus keputusasaan dapat digambarkan dengan tiga tugas-tugas perkembangan
atau isu-isu yang dihadapi pria dan wanita saat mereka tua, yaitu :
a. Diferensiasi versus kesibukan dengan peran (Differentiation versus
preoccupation)
Merupakan tugas perkembangan dari Peck dimana individu dewasa
lanjut harus mendefinisikan nilai diri dalam istilah yang berbeda dari
peran-peran kerja. Peck percaya individu dewasa lanjut perlu mengejar
serangkaian aktivitas yang bernilai sehingga dapat mengisi waktu yang
sebelumnya diisi dengan pekerjaan dan mengasuh anak.
b. Kekuatiran pada tubuh versus kesibukan pada tubuh (Body transcendence
versus body preoccupation)
Merupakan tugas perkembangan dari Peck dimana individu dewasa lanjut
harus mengatasi penurunan kesehatan fisik. Seiring dengan proses menua,
individu dewasa lanjut mungkin menderita penyakit kronis dan tentu saja
Universitas Sumatera Utara
49
penurunan kapasitas fisik. Bagi pria dan wanita yang identitasnya berkisar
di sekitar kesehatan fisik, penurunan kesehatan dan kerusakan kapasitas
fisik akan menghadirkan beberapa ancaman bagi identitas diri dan
perasaan akan kepuasan hidup. Namun, beberapa individu lansia
menikmati hidup melalui hubungan-hubungan antar manusia yang
memberi kesempatan untuk keluar dari kesibukan dengan tubuhnya.
c. Melampaui ego versus kesibukan dengan ego (Ego transcendence versus
ego preoccupation)
Merupakan tugas perkembangan dari Peck dimana individu lanjut usia
harus menyadari bahwa saat kematian tidak dapat dihindari dan mungkin
waktunya tidak terlalu lama, merasa tentram dengan dirinya dengan
menyadari individu lansia telah memberikan sumbangan untuk masa
depan melalui pengasuhan yang kompeten terhadap anak-anak atau
melalui pekerjaan dan ide-ide yang dimiliki oleh lansia.
E. Religiusitas pada Masa Lansia
Mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa biasanya merupakan gejala
menjadi tua yang amat wajar. Keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang
Maha Esa merupakan benteng pertahanan mental yang amat ampuh dalam
melindungi diri dari berbagai ancaman masa tua (Munandar, 2001).
Bagi lansia, peribadatan di rumah ibadah merupakan sumber dukungan
yang dapat diterima, tersedia dan tidak mengeluarkan banyak biaya. Sosialisasi
yang disediakan oleh organisasi religius dapat membantu mencegah isolasi dan
Universitas Sumatera Utara
50
kesepian (Koenig & Larson dalam Santrock, 2004). Pada banyak komunitas di
dunia, individu yang berusia lanjut merupakan pemimpin spiritual dalam gereja
dan komunitas. Agama merupakan hal yang penting dalam kehidupan para lansia.
Lansia sering berdoa, membaca materi-materi keagamaan dan mendengarkan
program-program keagamaan (Levin, Taylor & Chatten dalam Santrock, 2004).
Lansia wanita memiliki ketertarikan terhadap agama yang lebih besar
dibandingkan lansia pria (Santrock, 2004). Bukti dalam sebuah literatur juga
menunjukkan bahwa wanita memiliki tingkat yang lebih tinggi dalam hal
kehadiran di gereja, lebih patuh pada perintah agama dan lebih sering berbicara
kepada pendeta dibandingkan pria (Chatters & Taylor, Cornwall, Greeley, Levin,
dalam Smith, Fabricatori & Peyrot, 1999).
Suatu penelitian yang berhubungan dengan sikap terhadap kegiatan
keagamaan dan agama pada usia tua membuktikan bahwa ada fakta-fakta tentang
meningkatnya minat terhadap agama sejalan dengan bertambahnya usia (Hurlock,
1999). Banyak individu yang percaya bahwa agama memainkan peran sentral
yang semakin meningkat dalam kehidupan seseorang yang mulai bertambah tua
(Sigelman & Rider, 2003).
F. Pengaruh Religiusitas Terhadap Sikap terhadap Kematian pada Lansia
Kematian sering kali dianggap merupakan hal yang menakutkan (Hasan,
2006). Perasaan takut untuk mati merupakan hal yang normal bagi kebanyakan
orang (Cavanaugh & Kail, 2000). Individu yang akan menghadapi kematian
biasanya terlihat menghadapi penderitaan. Bila kematian terjadi, kehidupan
Universitas Sumatera Utara
51
individu di atas dunia ini terputus karena individu yang meninggal tidak dapat
kembali lagi ke dunia, bersama-sama dengan keluarga, kerabat dan teman yang
dicintai (Hasan, 2006).
Walaupun kematian dipandang sebagai hal yang paling buruk, namun menurut
Erickson kematian merupakan peristiwa alamiah dan dapat diterima setelah
memiliki kehidupan yang utuh. Kematian merupakan saat untuk bertemu Tuhan,
untuk bersatu kembali dengan orang-orang yang dikasihi yang telah pergi
sebelumnya (Ross & Pollio, dalam Belsky, 1997).
Pemikiran akan kematian meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Hal
ini dapat dipahami sebab lansia lebih cenderung mengalami kematian teman-
teman dan individu yang dicintai serta cenderung lebih dekat dengan kematian
diri sendiri (Lemme, 1995). Lansia secara umum distereotipekan sebagai individu
yang menunggu kematian tanpa rasa takut (Barrow, 1996). Lansia memiliki
sedikit rasa takut terhadap kematian daripada individu pada usia dewasa awal
(Lefrancois, 1993). Alasan lansia lebih tidak takut terhadap kematian daripada
individu dewasa awal sebagaimana yang dinyatakan oleh Kalish (dalam Barrow,
1996) adalah karena lansia merasa bahwa tugas-tugas penting di dunia ini telah
selesai, lansia cenderung telah mengalami penyakit kronis atau merasakan sakit
pada tubuh dan lansia telah banyak kehilangan teman-teman dan kerabat.
Kehilangan ini membuat lansia lebih mampu merasakan realitas kematian.
Lansia lebih banyak berpikir tentang kematian dan lebih banyak
membicarakan kematian dibandingkan dengan individu pada usia dewasa madya
atau dewasa muda. Lansia juga mengalami kematian secara lebih langsung seiring
Universitas Sumatera Utara
52
dengan sakit atau meninggalnya teman-teman dan keluarga yang dimiliki. Lansia
didorong untuk lebih sering menguji arti kehidupan dan kematian dibandingkan
dengan individu dewasa muda (Santrock, 2006).
Ketakutan seseorang akan kematian berhubungan dengan variabel lain selain
variabel usia. Salah satu faktor yang signifikan adalah keyakinan agama. Individu
yang tingkat religiusitasnya tinggi cenderung mengalami sedikit rasa takut akan
kematian. Individu yang tidak religius mengalami tingkat kecemasan akan
kematian pada level sedang, sedangkan individu religius yang tidak
mempraktikkan kepercayaan mereka secara konsisten mengalami ketakutan akan
kematian dengan tingkat yang paling besar (Nelson & Nelson dalam Lahey,
2003). Ketakutan akan kematian berhubungan dengan rendahnya tingkat
religiusitas, kurangnya dukungan sosial dan pusat kendali eksternal (external
locus of control) (Newman & Newman, 2006).
Agama dapat menambah kebutuhan psikologis yang penting pada individu
lansia, membantu mereka menghadapi kematian, menemukan dan menjaga rasa
kebermaknaan dalam hidup, serta menerima kehilangan yang tak terelakkan di
masa tua (Koenig & Larson, dalam Santrock 1999). Banyak studi menunjukkan
bahwa individu yang religius memiliki tingkat ketakutan yang sedikit atas
kematian diri sendiri dan orang yang dikasihi. Individu yang religius lebih
cenderung mendeskripsikan kematian dengan cara yang positif (Belsky, 1997).
G.Hipotesa Penelitian
Hipotesa yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada pengaruh positif
religiusitas terhadap sikap terhadap kematian pada lansia
Universitas Sumatera Utara