peb+ makrosomia
DESCRIPTION
jhhjhTRANSCRIPT
Laporan Kasus Dibacakan :
Kepada Yth :
PREEKLAMPSIA DAN BAYI MAKROSOMIA
Oleh
Andree Hartanto
Pembimbing
dr.Abraham Maukar, Sp.OG
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I
DEPARTEMEN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SAM RATULANGI
MANADO
2013
BAB I
PENDAHULUAN
Hipertensi pada kehamilan adalah penyakit yang sudah umum dan merupakan salah satu dari tiga
rangkaian penyakit yang mematikan, selain perdarahan dan infeksi, dan juga banyak memberikan
kontribusi pada morbiditas dan mortalitas ibu hamil. Pada tahun 2001, menurut National Center for
Health Statistics, hipertensi gestasional telah diidentifikasi pada 150.000 wanita, atau 3,7% kehamilan.
Selain itu, Berg dan kawan-kawan (2003) melaporkan bahwa hampir 16% dari 3.201 kematian yang
berhubungan dengan kehamilan di Amerika Serikat dari tahun 1991 - 1997 adalah akibat dari komplikasi-
komplikasi hipertensi yang berhubungan dengan kehamilan.1
Meskipun telah dilakukan penelitian yang intensif selama beberapa dekade, hipertensi yang dapat
menyebabkan atau memperburuk kehamilan tetap menjadi masalah yang belum terpecahkan. Secara
umum, preeklamsi merupakan suatu hipertensi yang disertai dengan proteinuria yang terjadi pada
kehamilan. Penyakit ini umumnya timbul setelah minggu ke-20 usia kehamilan dan paling sering terjadi
pada primigravida. Jika timbul pada multigravida biasanya ada faktor predisposisi seperti kehamilan
ganda, diabetes mellitus, obesitas, umur lebih dari 35 tahun dan sebab lainnya.1
Morbiditas janin dari seorang wanita penderita hipertensi dalam kehamilan berhubungan secara
langsung terhadap penurunan aliran darah efektif pada sirkulasi uteroplasental, juga karena terjadi
persalinan kurang bulan pada kasus-kasus berat. Kematian janin diakibatkan hipoksia akut, karena sebab
sekunder terhadap solusio plasenta atau vasospasme dan diawali dengan pertumbuhan janin terhambat /
intrauterine growth restriction (IUGR). Di negara berkembang, sekitar 25% mortalitas perinatal
diakibatkan kelainan hipertensi dalam kehamilan. Mortalitas maternal diakibatkan adanya hipertensi
berat, kejang grand mal, dan kerusakan end organ lainnya.1,2,3,4
Namun, dalam praktek sehari-sehari, sering ditemukan bahwa pada ibu hamil dengan
preeklampsia, dapat melahirkan bayi makrosomia. Hal ini berlawanan dengan kenyataan bahwa pada ibu
preeklampsia terjadi penurunan aliran darah pada sirkulasi uteroplasental.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Hipertensi Dalam Kehamilan
Yang dimaksud dengan preeklamsi adalah timbulnya hipertensi disertai proteinuri akibat
kehamilan, setelah umur kehamilan 20 minggu atau segera setelah persalinan. Sedangkan yang dimaksud
dengan eklamsi adalah kelainan akut pada preeklamsi dalam kehamilan, persalinan, atau nifas yang
ditandai dengan timbulnya kejang dengan atau tanpa penurunan kesadaran (gangguan sistem saraf pusat).
Ada pula istilah eclamsia sine eclampsia adalah eklamsi yang ditandai oleh penurunan kesadaran tanpa
kejang.7
Hipertensi kronik adalah hipertensi pada ibu hamil yang sudah ditemukan sebelum kehamilan
atau yang ditemukan pada umur kehamilan < 20 minggu, dan yang menetap setelah 12 minggu
pascasalin. Hipertensi kronis yang diperberat oleh preeklamsi atau eklamsi adalah preeklamsi atau
eklamsi yang timbul pada hipertensi kronis dan disebut juga Superimposed Preeclampsia.11 Sedangkan
hipertensi gestasional adalah timbulnya hipertensi dalam kehamilan pada wanita yang tekanan darah
sebelumnya normal dan tidak disertai proteinuri. Gejala ini akan menghilang dalam waktu < 12 minggu
pascasalin.7
2.2 Klasifikasi Hipertensi dalam Kehamilan
Wanita hamil dengan hipertensi secara luas dapat dibagi menjadi 3 kategori yaitu hipertensi
kronis, hipertensi non-proteinuri (kadang dikenal sebagai pregnancy-induced hypertension), dan pre-
eklamsi. Menurut The International Society for the Study of Hypertension in Pregnancy (ISSHP)
klasifikasi hipertensi pada wanita hamil dibagi menjadi :
1. Hipertensi gestasional dan/atau proteinuria selama kehamilan, persalinan, atau pada wanita hamil yang
sebelumnya normotensi dan non-proteinuri.
- Hipertensi gestasional (tanpa proteinuria)
- Proteinuria gestasional (tanpa hipertensi)
- Hipertensi gestasional dengan proteinuria (pre-eklamsi)
2. Chronic hypertension (sebelum kehamilan 20 minggu) dan penyakit ginjal kronis (proteinuria sebelum
kehamilan 20 minggu)
- Hipertensi kronis (without proteinuria)
- Penyakit ginjal kronis (proteinuria dengan atau tanpa hipertensi)
- Hipertensi kronis dengn superimposed
- Pre-eklamsi (proteinuria)
3. Unclassified hypertension dan/atau proteinuria
4. Eklampsia.8
Klasifikasi hipertensi pada kehamilan oleh Working Group of the NHBPEP (2000) dibagi menjadi 5 tipe,
yaitu :
1. Hipertensi gestasional
2. Preeklamsi
3. Eklamsi
4. Preeklamsi superimposed pada hipertensi kronis
5. Hipertensi kronis.9
2.3.2 Preeklamsi
Preeklampsia merupakan sindrom spesifik-kehamilan berupa berkurangnya perfusi organakibat
vasospasme dan aktivasi endotel, yang ditandai dengan peningkatan tekanan darah danproteinuria
(Cunningham et al, 2003, Matthew warden, MD, 2005). Preeklampsia terjadi padaumur kehamilan diatas
20 minggu, paling banyak terlihat pada umur kehamilan 37 minggu,tetapi dapat juga timbul kapan saja
pada pertengahan kehamilan. Preeklampsia dapat berkembang dari preeklampsia yang ringan sampai
preeklampsia yang berat.10
Proteinuria adalah tanda penting dari preeklampsia, dan Chesley (1985) menyimpulkan secara
tepat bahwa diagnosis diragukan dengan tidak adanya proteinuria. Proteinuria yaitu protein dalam urin 24
jam melebihi 300mg per 24 jam, atau pada sampel urin secara acak menunjukkan 30 mg/dL (1 + dipstick)
secara persisten. Tingkat proteinuria dapat berubah-ubah secara luas selama setiap periode 24 jam,
bahkan pada kasus yang berat. Oleh karena itu, satu sampel acak bisa saja tidak membuktikan adanya
proteinuria yang berarti.2,5 Dengan demikian, kriteria minimum untuk diagnosis preeklamsi adalah
hipertensi dengan proteinuria yang minimal. Temuan laboratorium yang abnormal dalam pemeriksaan
ginjal, hepar, dan fungsi hematologi meningkatkan kepastian diagnosis preeklamsi. Selain itu,
pemantauan secara terus-menerus gejala eklampsia, seperti sakit kepala dan nyeri epigastrium, juga
meningkatkan kepastian tersebut.5
Nyeri epigastrium atau nyeri pada kuadran kanan atas merupakan akibat nekrosis hepatocellular,
iskemia, dan oedem yang merentangkan kapsul Glissoni. Nyeri ini sering disertai dengan peningkatan
serum hepatik transaminase yang tinggi dan biasanya merupakan tanda untuk mengakhiri kehamilan.5
Trombositopeni adalah karakteristik dari preeklamsi yang memburuk, dan hal tersebut mungkin
disebabkan oleh aktivasi dan agregasi platelet serta hemolisis mikroangiopati yang disebabkan oleh
vasospasme yang berat. Bukti adanya hemolisis yang luas dengan ditemukannya hemoglobinemia,
hemoglobinuria, atau hiperbilirubinemi dan merupakan indikasi penyakit yang berat.5 Faktor lain yang
menunjukkan hipertensi berat meliputi gangguan fungsi jantung dengan oedem pulmonal dan juga
pembatasan pertumbuhan janin yang nyata.5
Kriteria diagnosis pada preeklamsi terdiri dari :
Kriteria minimal, yaitu :
- TD 140/90 mmHg pada kehamilan > 20 minggu.
- Proteinuria 300 mg/24 jam atau 1+ dipstick.
Kemungkinan terjadinya preeklamsi :
- TD 160/110 mmHg.
- Proteinuria 2.0 g/24 jam atau 2+ dipstick.
- Kreatinin serum > 1.2 mg/dL kecuali sebelumnya diketahui sudah meningkat.
- Trombosit <100.000/mm3.
- Hemolisis mikroangiopati (peningkatan LDH).
- peningkatan ALT atau AST.
- Nyeri kepala persisten atau gangguan penglihatan atau cerebral lain.
- Nyeri epigastrium persisten.1
Beratnya preeklamsi dinilai dari frekuensi dan intensitas abnormalitas yang dapat dilihat pada Tabel
2.1. Semakin banyak ditemukan penyimpangan tersebut, semakin besar kemungkinan harus silakukan
terminasi kehamilan. Perbedaan antara preeklamsi ringan dan berat dapat sulit dibedakan karena
preeklamsi yang tampak ringan dapat berkembang dengan cepat menjadi berat.5
Meskipun hipertensi merupakan syarat mutlak dalam mendiagnosis preeklampsia, tetapi tekanan darah
bukan merupakan penentu absolut tingkat keparahan hipertensi dalam kehamilan. Contohnya, pada
wanita dewasa muda mungkin terdapat proteinuria +3 dan kejang dengan tekanan darah 135/85 mmHg,
sedangkan kebanyakan wanita dengan tekanan darah mencapai 180/120 mmHg tidak mengalami kejang.
Peningkatan tekanan darah yang cepat dan diikuti dengan kejang biasanya didahului nyeri kepala berat
yang persisten atau gangguan visual.5
Tabel 2.1 Gejala Beratnya Hipertensi Selama Kehamilan 5
2.5 Faktor Risiko
Faktor risiko pada preeklamsi dapat dibagi menjadi 3 yaitu :
1. Faktor risiko maternal :
- Kehamilan pertama
- Primipaternity
- Usia < 18 tahun atau > 35 tahun
- Riwayat preeklamsi
- Riwayat preeklamsi dalam keluarga
- Ras kulit hitam
- Obesitas (BMI ≥ 30)
- Interval antar kehamilan < 2 tahun atau > 10 tahun.5,7
2. Faktor risiko medikal maternal :
- Hipertensi kronis, khusunya sebab sekunder hipertensi kronis seperti hiperkortisolisme,
hiperaldosteronisme, faeokromositoma, dan stenosis arteri renalis
- Diabetes yang sedang diderita (tipe 1 atau 2), khususnya dengan komplikasi mikrovaskular
- Penyakit ginjal
- Systemic Lupus Erythematosus
- Obesitas
- Trombofilia
- Riwayat migraine
- Pengguna anti depresan selective serotonin uptake inhibitor > trimester I.4,5,7
3. Faktor risiko plasental atau fetal :
- Kehamilan multipel
- Hidrops fetalis
- Penyakit trofoblastik gestasional
- Triploidi.3,4,5,7
2.6 Etiologi
Menurut Sibai (2003), sebab-sebab potensial yang mungkin menjadi penyebab preeklamsi adalah
sebagai berikut :
1. Invasi trofoblastik abnormal pembuluh darah uterus.
2. Intoleransi imunologis antara jaringan plasenta ibu dan janin.
3. Maladaptasi maternal pada perubahan kardiovaskular atau inflamasi dari kehamilan normal.
4. Faktor nutrisi.
5. Pengaruh genetik.5
2.6.1 Invasi Trofoblastik Abnormal
Pada implantasi normal, arteri spiralis uterus mengalami remodelling yang luas ketika diinvasi
oleh trofoblas endovaskular (Gambar 2.1). Akan tetapi, pada preeklamsi terdapat invasi trofoblastik yang
tidak lengkap. Pada kasus ini, pembuluh darah decidua, tetapi bukan pembuluh darah myometrial,
menjadi sejajar dengan trofoblas endovaskular. Meekins dan kawan-kawan (1994) menjelaskan jumlah
arteri spiralis dengan trofoblas endovaskular pada plasenta wanita normal dan wanita dengan preeklamsi.
Madazli dan kawan-kawan (2000) membuktikan bahwa besarnya defek invasi trofoblastik terhadap arteri
spiralis berhubungan dengan beratnya hipertensi.5,11
Dengan menggunakan mikroskop elektron, De Wolf dan kawan-kawan (1980) meneliti pembuluh
darah yang diambil dari tempat implantasi plasenta pada uterus. Mereka memperhatikan bahwa
perubahan pada preeklampsia awal meliputi kerusakan endotelial, perembesan isi plasma pada dinding
arteri, proliferasi sel miointimal, dan nekrosis tunika media. Mereka menemukan bahwa lipid mengumpul
pertama kali pada sel-sel myointimal dan kemudian pada makrofag akan membentuk atherosis (Gambar
2.2). Obstruksi lumen arteriol spiral oleh atherosis dapat mengganggu aliran darah plasenta. Perubahan-
perubahan ini dianggap menyebabkan perfusi plasenta menjadi berkurang secara patologis, yang pada
akhirnya menyebabkan sindrom preeklamsia.5
Gambar 2.1 Implantasi plasenta normal5
Gambar 2.2 Atherosis5
2.6.2 Faktor Imunologis
Karena preeklamsi terjadi paling sering pada kehamilan pertama, terdapat spekulasi bahwa terjadi
reaksi imun terhadap antigen paternal sehingga menyebabkan kelainan ini.5 Hanya ada sedikit data yang
mendukung keberadaan teori bahwa preeklamsi adalah proses yang dimediasi sistem imun. Perubahan
adaptasi pada sistem imun dalam patofisiologi preeklamsia dimulai pada awal trimester kedua. Wanita
yang cenderung mengalami preeklamsi memiliki jumlah T helper cells (Th1) yang lebih
sedikit.dibandingkan dengan wanita yang normotensif. Ketidakseimbangan ini terjadi karena terdapat
dominasi Th2 yang dimediasi oleh adenosin. Limfosit T helper ini mengeluarkan sitokin spesifik yang
memicu implantasi dan kerusakan pada proses ini dapat menyebabkan preeklamsi.3,5,16
2.6.3 Vaskulopati dan Perubahan Inflamasi
Perubahan-perubahan yang terjadi merupakan akibat dari respon dari plasenta karena terjadi
iskemik sehingga akan menimbulkan urutan proses tertentu. Desidua juga memiliki sel-sel yang bila
diaktivasi maka akan mengeluarkan agen noxious. Agen ini dapat menjadi mediator yang mengakibatkan
kerusakan sel endotel. Sitokin tertentu seperti tumor necrosis factor- α (TNF- α) dan interleukin memiliki
kontribusi terhadap stres oksidatif yang berhubungan dengan preeklamsi. Stres oksidatif ditandai dengan
adanya oksigen reaktif dan radikal bebas yang akan menyebabkan pembentukan lipid peroksida. Hal ini
akan menghasilkan toksin radikal yang merusak sel-sel endotel, memodifikasi produksi Nitric Oxide, dan
mengganggu keseimbangan prostaglandin. Fenomena lain yang ditimbulkan oleh stres oksidatif meliputi
pembentukan sel-sel busa pada atherosis, aktivasi koagulasi intravaskular (trombositopeni), dan
peningkatan permeabilitas (edema dan proteinuria).6,3
Bagan 2.1 Patofisiologi terjadinya gangguan hipertensi akibat kehamilan. 5
2.7 Patofisiologi
Walaupun mekanisme patofisiologi yang jelas tidak dimengerti, preeklamsi merupakan suatu
kelainan pada fungsi endotel yaitu vasospasme. Pada beberapa kasus, mikroskop cahaya menunjukkan
bukti insufisiensi plasenta akibat kelainan tersebut, seperti trombosis plasenta difus, inflamasi vaskulopati
desidua plasenta, dan invasi abnormal trofoblastik pada endometrium. Hal-hal ini menjelaskan bahwa
pertumbuhan plasenta yang abnormal atau kerusakan plasenta akibat mikrotrombosis difus merupakan
pusat perkembangan kelainan ini.4,5,7 Hipertensi yang terjadi pada preeklamsi adalah akibat vasospasme,
dengan konstriksi arterial dan penurunan volume intravaskular relatif dibandingkan dengan kehamilan
normal. Sistem vaskular pada wanita hamil menunjukkan adanya penurunan respon terhadap peptida
vasoaktif seperti angiotensin II dan epinefrin. Wanita yang mengalami preeklamsi menunjukkan
hiperresponsif terhadap hormon-hormon ini dan hal ini merupakan gangguan yang dapat terlihat bahkan
sebelum hipertensi tampak jelas. Pemeliharaan tekanan darah pada level normal dalam kehamilan
tergantung pada interaksi antara curah jantung dan resistensi vaskular perifer, tetapi masing-masing
secara signifikan terganggu dalam kehamilan. Curah jantung meningkat 30-50% karena peningkatan nadi
dan volume sekuncup. Walaupun angiotensin dan renin yang bersirkulasi meningkat pada trimester II,
tekanan darah cenderung untuk menurun, menunjukkan adanya reduksi resistensi vaskular sistemik.
Reduksi diakibatkan karena penurunan viskositas darah dan sensivitas pembuluh darah terhadap
angiotensin karena adanya prostaglandin vasodilator. 4,5,7
Gambar 4.(Atas) FLT-1 pada sel endotel dengan jumlah sFLT1 yang sedikit pada sirkulasi.
Agonis VEGF dan PIGF melekat pada FLT1. (Bawah) Pembuluh darah dari pasien preeclampsia dengan
jumlah sFLT1 yang sangat banyak, sehingga menangkap VEGF dan PIGF.`
Ada bukti yang menunjukkan bahwa adanya respon imun maternal yang terganggu terhadap
jaringan plasenta atau janin memiliki kontribusi terhadap perkembangan preeklamsi. Disfungsi endotel
yang luas menimbulkan manifestasi klinis berupa disfungsi multi organ, meliputi susunan saraf pusat,
hepar, pulmonal, renal, dan sistem hematologi. Kerusakan endotel menyebabkan kebocoran kapiler
patologis yang dapat bermanifestasi pada ibu berupa kenaikan berat badan yang cepat, edema non
dependen (muka atau tangan), edema pulmonal, dan hemokonsentrasi. Ketika plasenta ikut terkena
kelainan, janin dapat terkena dampaknya akibat penurunan aliran darah utero-plasenta. Penurunan perfusi
ini menimbulkan manifestasi klinis seperti tes laju jantung janin yang non-reassuring, skor rendah profil
biofisik, oligohidramnion, dan pertumbuhan janin terhambat pada kasus-kasus yang berat.4,5,7 Selama
kehamilan normal, tekanan darah sistolik hanya berubah sedikit, sedangkan tekanan darah diastolik turun
sekitar 10 mmHg pada usia kehamilan muda (13-20 minggu) dan naik kembali pada trimester ke III.
Pembentukkan ruangan intervillair, yang menurunkan resistensi vaskular, lebih lanjut akan menurunkan
tekanan darah.4,5,7 Patogenesis pada konvulsi eklamsi masih menjadi subyek penelitian dan spekulasi.
Beberapa teori dan mekanisme etiologi telah dipercaya sebagai etiologi yang paling mungkin, tetapi tidak
ada satupun yang dengan jelas terbukti. Beberapa mekanisme etiologi yang dipercaya sebagai patogenesis
dari konvulsi eklamsi meliputi vasokonstriksi atau vasospame serebral, hipertensi ensefalopati, infark atau
edema serebral, perdarahan serebral, dan ensefalopati metabolik. Akan tetapi, tidak ada kejelasan apakah
penemuan ini merupakan sebab atau efek akibat konvulsi.4,5,7,19
2.10.4 Penatalaksanaan Preeklamsi Berat
Tujuan penatalaksanaan pada preeklamsi berat adalah mencegah konvulsi, mengontrol tekanan
darah maternal, dan menentukan persalinan. Persalinan merupakan terapi definitif jika preeklamsi berat
terjadi di atas 36 minggu atau terdapat tanda paru janin sudah matang atau terjadi bahaya terhadap janin.
Jika terjadi persalinan sebelum usia kehamilan 36 minggu, ibu dikirim ke rumah sakit besar untuk
mendapatkan NICU yang baik.15 Pada preeklamsi berat, perjalanan penyakit dapat memburuk dengan
progresif sehingga menyebabkan pemburukan pada ibu dan janin. Oleh karena itu persalinan segera
direkomendasikan tanpa memperhatikan usia kehamilan. Persalinan segera diindikasikan bila terdapat
gejala impending eklamsi, disfungsi multiorgan, atau gawat janin atau ketika preeklamsi terjadi sesudah
usia kehamilan 34 minggu. Pada kehamilan muda, bagaimana pun juga, penundaan terminasi kehamilan
dengan pengawasan ketat dilakukan untuk meningkatkan keselamatan neonatal dan menurunkan
morbiditas neonatal jangka pendek dan jangka panjang.5,15,20
Pada 3 penelitian klinis baru-baru ini, penatalaksanaan secara konservatif pada wanita dengan
preeklamsi berat yang belum aterm dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas neonatal. Namun, karena
hanya 116 wanita yang menjalani terapi konservatif pada penelitian ini dan karena terapi seperti itu
mengundang risiko bagi ibu dan janin, penatalaksanaan konservatif hanya dikerjakan pada pusat neonatal
kelas 3 dan melaksanakan observasi bagi ibu dan janin. Semua wanita dengan usia kehamilan 40 minggu
yang menderita preeklamsi ringan harus memulai persalinan. Pada usia kehamilan 38 minggu, wanita
dengan preeklamsi ringan dan keadaan serviks yang sesuai harus diinduksi. Setiap wanita dengan usia
kehamilan 32-34 minggu dengan preeklamsi berat harus dipertimbangkan persalinan dan janin sebaiknya
diberi kortikosteroid. Pada pasien dengan usia kehamilan 23-32 minggu yang menderita preeklamsi berat,
persalinan dapat ditunda dalam usaha untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas perinatal. Jika usia
kehamilan < 23 minggu, pasien harus diinduksi persalinan untuk terminasi kehamilan.15 Tujuan obyektif
utama penatalaksanaan wanita dengan preeklamsi berat adalah mencegah terjadinya komplikasi serebral
seperti ensefalopati dan perdarahan. Ibu hamil harus diberikan magnesium sulfat dalam waktu 24 jam
setelah diagnosis dibuat. Tekanan darah dikontrol dengan medikasi dan pemberian kortikosteroid untuk
pematangan paru janin. Batasan terapi biasanya bertumpu pada tekanan diastolik 110 mmHg atau lebih
tinggi.
Beberapa ahli menganjurkan mulai terapi pada tekanan diastolik 105 mmHg , sedangkan yang
lainnya menggunakan batasan tekanan arteri rata-rata > 125 mmHg. Tujuan dari terapi adalah menjaga
tekanan arteri rata-rata dibawah 126 mmHg (tetapi tidak lebih rendah dari 105 mmHg) dan tekanan
diastolik < 105 mmHg (tetapi tidak lebih rendah dari 90 mmHg). Terapi inisial pilihan pada wanita
dengan preeklamsi berat selama peripartum adalah hidralazin secara IV dosis 5 mg bolus. Dosis tersebut
dapat diulangi bila perlu setiap 20 menit sampai total 20 mg. Bila dengan dosis tersebut hidralazin tidak
menghasilkan perbaikan yang diinginkan, atau jika ibu mengalami efek samping seperti takikardi, sakit
kepala, atau mual, labetalol (20 mg IV) atau nifedipin (10 mg oral) dapat diberikan. Akan tetapi adanya
efek fetal distres terhadap terapi dengan hidralazin, beberapa peneliti merekomendasikan penggunaan
obat lain dalam terapi preeklamsi berat. Pada 9 penelitian acak yang membandingkan hidralazin dengan
obat lain, hanya satu penelitian yang menyebutkan efek samping dan kegagalan terapi lebih sering
didapatkan pada hidralazin.20
Bila ditemukan masalah setelah persalinan dalam mengontrol hipertensi berat dan jika hidralazin
intra vena telah diberikan berulang kali pada awal puerperium, maka regimen obat lain dapat digunakan.
Setelah pengukuran tekanan darah mendekati normal, maka pemberian hidralazin dihentikan. Jika
hipertensi kembali muncul pada wanita post partum, labetalol oral atau diuretik thiazide dapat diberikan
selama masih diperlukan.5,7,15,20 Pemberian cairan infus dianjurkan ringer laktat sebanyak 60-125 ml
perjam kecuali terdapat kehilangan cairan lewat muntah, diare, diaforesis, atau kehilangan darah selama
persalinan. Oliguri merupakan hal yang biasa terjadi pada preeklamsi dan eklamsi dikarenakan pembuluh
darah maternal mengalami konstriksi (vasospasme) sehingga pemberian cairan dapat lebih banyak.
Pengontrolan perlu dilakukan secara rasional karena pada wanita eklamsi telah ada cairan ekstraselular
yang banyak yang tidak terbagi dengan benar antara cairan intravaskular dan ekstravaskular. Infus dengan
cairan yang banyak dapat menambah hebat maldistribusi cairan tersebut sehingga meninggikan risiko
terjadinya edema pulmonal atau edema otak.20
2.10.6 Pilihan obat anti hipertensi
Tujuan utama dalam mengobati hipertensi kronis dalam kehamilan adalah menurunkan risiko
maternal, tetapi pemilihan obat anti hipertensi lebih memperhatikan keselamatan janin. Terapi lini I yang
banyak disukai adalah metil dopa, berdasarkan laporan tentang stabilnya aliran darah uteroplasental dan
hemodinamika janin dan ketiadaan efek samping yang buruk pada pertumbuhan anak yang terpapar metil
dopa saat dalam kandungan.4,5
Preeklamsi lebih umum diderita pada wanita dengan hipertensi kronis, dengan insidensi sekitar
25%. Faktor risiko untuk superimposed preeklamsi meliputi insufisiensi ginjal, riwayat menderita
hipertensi selama 4 tahun atau lebih, dan hipertensi pada kehamilan sebelumnya. Pencegahan pada
preeklamsi meliputi identifikasi wanita risiko tinggi, deteksi dini secara klinis dan laboratorium,
pengamatan intensif atau terminasi kehamilan jika ada indikasi. Penatalaksanaan preeklamsi meliputi
perawatan di rumah sakit, kontrol tekanan darah, profilaksis konvulsi pada impending eklamsi, dan
terminasi pada waktunya. Banyak wanita dengan preeklamsi mempunyai sejarah normotensi sebelumnya
sehingga peningkatan tekanan darah secara akut bahkan pada tingkat terendah (150/100 mmHg) dapat
menyebabkan simptomatologi yang signifikan dan memerlukan terapi. Penatalaksanaan tidak
mengganggu patofisiologi penyakit, tetapi dapat memperlambat progresi penyakit dan menyediakan
waktu bagi fetus untuk mencapai maturitas. Preeklamsi kadang-kadang dapat sembuh sendiri walau
jarang dan pada kebanyakkan kasus adalah memburuk sejalan dengan waktu.4,5 Ketika persalinan
mungkin dapat menjadi terapi yang tepat bagi ibu, haruslah memperhatikan masa gestasi fetus yang < 32
minggu. Selain memperhatikan masa gestasi, bila didapatkan tanda-tanda gawat janin intra uterin, atau
IUGR atau gangguan maternal seperti hipertensi berat, hemolisis, peningkatan enzim hati, hitung
trombosit yang rendah, gangguan fungsi ginjal, pandangan kabur, dan sakit kepala. Persalinan per
vaginam lebih disukai daripada seksio untuk menghindari penambahan stress akibat operasi.7,20
Terapi anti hipertensi harus memperhatikan keamanan maternal. Seleksi obat anti hipertensi dan
rute pemberian tergantung pada antisipasi waktu persalinan. Jika persalinan terjadi lebih dari 48 jam
kemudian, metil dopa oral lebih disukai karena keamanannya. Alternatif lain seperti labetalol oral dan
beta bloker serta antagonis kalsium juga dapat dipergunakan. Jika persalinan sudah akan terjadi,
pemberian parenteral adalah praktis dan efektif. Anti hipertensi diberikan sebelum induksi persalinan
untuk tekanan darah diastol 105-110 mmHg atau lebih dengan tujuan menurunkannya sampai 95-105
mmHg.5,6,15
Jenis-jenis obat yang dipergunakan dalam penanganan hipertensi dalam kehamilan :
1. Hidralazine
Merupakan obat pilihan, golongan vasodilator arteri secara langsung yang dapat menyebabkan
takikardi dan meningkatkan cardiac output akibat hasil respon simpatis sekunder yang dimediasi oleh
baroreseptor. Efek meningkatkan cardiac output penting karena dapat meningkatkan aliran darah uterus.
Hidralazin dimetabolisme oleh hepar.5,15
Hidralazine diberikan dengan cara intravena ketika tekanan diastol mencapai 110 mmHg atau lebih atau
tekanan sistolik mencapai lebih dari 160 mmHg. Dosis hidralazine adalah 5-10 mg setiap interval 15-20
menit sampai tercapai hasil yang memuaskan, yaitu tekanan darah diastol turun sampai 90-100 mmHg
tetapi tidak terdapat penurunan perfusi plasenta. Efek puncak tercapai dalam 30-60 menit dan lama kerja
4-6 jam. Efek samping seperti flushing, dizziness, palpitasi, dan angina. Hidralazine telah terbukti dapat
menurunkan angka kejadian perdarahan serebral dan efektif dalam menurunkan tekanan darah dalam 95%
kasus preeklamsi.5,15
2. Labetalol
Labetalol merupakan penghambat beta non selektif dan penghambat α1-adrenergik post sinaps
yang tersedia dalam bentuk oral maupun intra vena.15
Labetalol diberikan secara intravena, merupakan pemblok 1 dan non selektif β, dan digunakan juga
untuk mengobati hipertensi akut pada kehamilan. Pada sebuah penelitian yang membandingkan labetalol
dengan hidralazine menunjukkan bahwa labetalol menurunkan tekanan darah lebih cepat dan efek
takikardi minimal, tetapi hidralazine menurunkan tekanan arteri rata-rata lebih efektif. Protokol
pemberian adalah 10 mg intravena. Jika tekanan darah belum turun dalam 10 menit, maka diberikan 20
mg labetalol. Kemudian 10 menit berikutnya 40 mg, selanjutnya 80 mg, pemberian diteruskan sampai
dosis maksimal kumulatif mencapai 300 mg atau tekanan darah sudah terkontrol. Onset kerja adalah 5
menit, efek puncak 10-20 menit, dan durasi kerja 45 menit-6 jam. Pemberian labetalol secara intra vena
tidak mempengaruhi aliran darah uteroplasenter. Pengalaman membuktikan bahwa labetalol dapat
ditoleransi baik oleh ibu maupun janin. Menurut NHBPEP, pemberian labetalol tidak melebihi 220 mg
tiap episode pengobatan.15
3. Obat anti hipertensi lain
NHBPEP merekomendasikan nifedipin (Ca channel blocker). Obat ini menginhibisi influk
transmembran ion kalsium dari ECS ke sitoplasma kemudian memblok eksitasi dan kontraksi coupling di
jaringan otot polos dan menyebabkan vasodilatasi dan penurunan resistensi perifer. Obat ini mempunyai
efek tokolitik minimal. Dosis 10 mg oral dan diulang tiap 30 menit bila perlu. Nifedipin merupakan
vasodilator arteriol yang kuat sehingga memiliki masalah utama hipotensi. Pemberian nifedipin secara
sub lingual, menurut penelitian yang dilakukan oleh Mabie dan kawan-kawan, menunjukkan bahwa dapat
terjadi penurunan tekanan darah yang cepat sehingga dapat menyebabkan hipotensi. Karena alasan ini,
nifedipin tidak digunakan pada pasien dengan IUGR atau denyut jantung janin abnormal. Walaupun
nifedipin tampak lebih potensial, obat ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut untuk digunakan
dalam kehamilan.5,15
Pemakaian obat anti hipertensi lain seperti verapamil lewat infus 5-10 mg per jam dapat
menurunkan tekanan darah arteri rata-rata sebesar 20%. Obat lain seperti nimodipin dapat digunakan baik
secara oral maupun infus dan terbukti dapat menurunkan tekanan darah pada wanita penderita preeklamsi
berat. Hal ini dinyatakan pada penelitian yang dilakukan oleh Belforts dan kawan-kawan. Pemakaian
ketanserin secara intra vena juga memberikan hasil yang baik menurut penelitian Bolte dan kawan-
kawan. Nitroprusid tidak direkomendasikan lagi oleh NHBPEP kecuali tidak ada respon terhadap
pemberian hidralazin, labetalol atau nifedipin. Sodium nitroprussid dapat menyebabkan vasodilatasi arteri
dan vena tanpa efek terhadap susunan saraf otonom atau pusat. Onset kerja 1-2 menit, puncak kerja
terjadi setelah 1-2 menit, dan lama kerja 3-5 menit. Obat ini sangat efektif dalam mengontrol tekanan
darah dalam hitungan menit di ICU. Rekomendasi penggunaan obat secara intra vena tidak lebih dari 30
menit pada ibu non parturien karena efek samping toksisitas sianida dan tiosianat pada janin.
Trimethaphan merupakan pemblok ganglionik yang digunakan oleh ahli anestesi dalam menurunkan
tekanan darah sebelum laringoskopi dan intubasi untuk anestesi umum. Efek samping terhadap janin
adalah ileus mekonium. Nitrogliserin diberikan secara intra vena sebagai vasodilator vena yang tampak
aman bagi janin. Obat ini merupakan anti hipertensi potensi sedang.5,15
4. Metil dopa
Merupakan agonis α-adrenergik, dan merupakan satu-satunya obat anti hipertensi yang telah
terbukti keamanan jangka panjang untuk janin dan ibu. Obat ini menurunkan resistensi total perifer tanpa
menyebabkan perubahan pada laju jantung dan cardiac output. Obat ini menurunkan tekanan darah
dengan menstimulasi reseptor sentral α-2 lewat α-metil norefinefrin yang merupakan bentuk aktif metil
dopa. Sebagai tambahan, dapat berfungsi sebagai penghambat α-2 perifer lewat efek neurotransmitter
palsu. Jika metil dopa digunakan sendiri, sering terjadi retensi cairan dan efek anti hipertensi yang
berkurang. Oleh karena itu, metil dopa biasanya dikombinasikan dengan diuretik untuk terapi pada pasien
yang tidak hamil. Dosis awal 250 mg 3 kali sehari dan ditingkatkan 2 gram/hari. Puncak plasma terjadi 2-
3 jam setelah pemberian. Paruh wakti 2 jam. Efek maksimal terjadi dlam 4-6 jam setelah dosis oral.
Kebanyakan disekresi lewat ginjal. Efek samping yang sering dilaporkan adalah sedasi dan hipotensi
postural. Terapi lama (6-12 bulan) dengan obat ini dapat menyebabkan anemia hemolitik dan merupakan
indikasi untuk memberhentikan obat ini.3,5,15
5. Klonidin
Merupakan agonis α-adrenergik lainnya. Terapi biasanya dimulai dengan dosis 0.1 mg 2 kali
sehari dan ditingkatkan secara incremental 0.1-0.2 mg/hari sampai 2.4 mg/hari. Tekanan darah menurun
30-60 mmHg. Efek maksimal 2-4 jam dan lama kerja 6-8 jam. Aliran darah ginjal dan laju filtrasi
glomerulus dapat terjaga, tetapi cardiac output menurun namun tetap berespon terhadap latihan fisik.
Efek samping adalah xerostomia dan sedasi. Penghentian klonidin dapat menyebabkan krisis hipertensi
yang dapat diatasi dengan pemberian kembali klonidin. Sampai sekarang belum ada penelitian besar yang
mempelajari klonidin seperti metil dopa.15
6. Prazosin
Merupakan pemblok kompetitif pada reseptor α1-adrenergik. Obat ini dapat menyebabkan
vasodilatasi pada resistensi dan kapasitas pembuluh darah sehingga menurunkan preload dan afterload.
Prazosin menurunkan tekanan darah tanpa menurunkan laju jantung, curah jantung, aliran darah ginjal,
dan laju filtrasi glomerulus. Obat ini dimetabolisme hampir seluruhnya di hepar. Sekitar 90% ekskresi
obat melalui kandung empedu ke dalam faeses. Selama kehamilan, absorbsi menjadi lambat dan waktu
paruh menjadi lebih panjang. Dalam sebuah penelitian, kadar puncak tercapai dalam 165 menit pada
wanita hamil. Prazosin dapat menyebabkan hipotensi mendadak dalam 30-90 menit setelah pemberian.
Hal ini dapat dihindari dengan pemberian sebelum tidur. Percobaan binatang menunjukkan tidak ada efek
teratogenik. Prazosin bukan merupakan obat yang kuat sehingga sering dikombinasikan dengan beta
bloker.15
7. Diuretik
Obat ini memiliki efek menurunkan plasma dan ECF sehingga curah jantung dan tekanan darah
menurun, juga menurunkan resistensi vaskular akibat konsentrasi sodium interselular pada sel otot polos.
Obat diuretika yang poten dapat menyebabkan penurunan perfusi plasenta karena efek segera meliputi
pengurangan volume intravaskular, dimana volume tersebut sudah berkurang akibat preeklamsi
dibandingkan dengan keadaan normal. Oleh karena itu, diuretik tidak lagi digunakan untuk menurunkan
tekanan darah karena dapat meningkatkan hemokonsentrasi darah ibu dan menyebabkan efek samping
terhadap ibu dan janin. Pemakaian furosemid saat ante partum dibatasi pada kasus khusus dimana
terdapat edema pulmonal. Obat diuretika seperti triamterene dihindari karena merupakan antagonis asam
folat dan dapat meningkatkan risiko defek janin.9,15
8. Penghambat ACE
Obat ini menginduksi vasodilatasi dengan menginhibisi enzim yang mengkonversi angiotensi 1
menjadi angiotensin 2 (vasokonstriktor poten), tanpa penurunan curah jantung. Sebagai tambahan, obat
ini juga meningkatkan sintesis prostaglandin vasodilatasi dan menurunkan inaktivasi bradikinin
(vasodilator poten). Contoh obat ini seperti captopril, enalapril, dam lisinopril.13
Tabel 2.4 Panduan Obat Anti Hipertensi 15
2.10.7 Efek Samping Obat
Efek samping obat-obat anti hipertensi antara lain, yaitu :
1. ACE inhibitor
Digunakan pada trimester dua dan tiga telah menyebabkan disfungsi ginjal pada fetus yang
mengakibatkan oligohidramnion dan anuria. ACE inhibitor telah dihubungkan dengan hipoplasia
pulmoner, pertumbuhan terhambat, kelainan ginjal dan hipoplasia lain pada tulang tengkorak.15
2. Diantara golongan penghambat beta, atenolol
Terutama ketika dimulai pada awal kehamilan, berhubungan dengan pertumbuhan janin
terhambat pada beberapa penelitian yang tidak terkontrol dan sebuah penelitian kecil. Pada kebanyakan
penelitian, penyebab asal dari hubungan tersebut tidak jelas karena beberapa obat telah digunakan
bersama-sama atau karena ketidakmampuan untuk membedakan apakah ini adalah efek dari patofisiologi
ibu atau efek dari obat.15
3. Diuretika
Memiliki efek samping terhadap ibu maupun janin. Efek maternal seperti hipokalemia,
hiponatremia, hiperglikemi, hiperurikemi, hiperlipid, dan penurunan volume plasma sehingga dapat
menganggu pertumbuhan janin. Efek terhadap janin adalah gangguan elektrolit, trombositopeni, dan
IUGR.13
Beberapa efek obat anti hipertensi terhadap pemberian ASI, yaitu :
- Diuretik thiazide sebaiknya dihindari karena dapat menurunkan produksi ASI dan digunakan untuk
mensupresi laktasi.
- Metil dopa kemungkinan aman selama pemberian ASI, dimana tingkat plasma yang rendah ditemukan
pada janin.
- Beta bloker lain selain propranolol ditemukan dalam konsentrasi besar dalam susu ibu daripada plasma
ibu.
- Klonidin ditemukan dalam jumlah sedikit di ASI. Hal yang sama terdapat pada ACE inhibitor.15
American College of Obstetricians and Gynecologists menyimpulkan bahwa
kata makrosomia tepat digunakan pada janin yang, saat lahir, memiliki berat 4500
gram atau lebih.1 Sedangkan menurut Cunningham semua neonatus dengan berat
badan 4000 gram atau lebih tanpa memandang usia kemilan dianggap sebagai
makrosomia.2
Terdapat beberapa faktor risiko yang meningkatkan kemungkinan bayi
besar: (1) ukuran orang tua besar, terutama obesitas pada ibu; (2) pertambahan
berat badan ibu yang berlebihan selama kehamilan, porsi makanan yang
dikonsumsi ibu hamil akan berpengaruh pada berat badan ibu. Asupan gizi yang
berlebih bisa mengakibatkan bayi lahir dengan berat di atas rata-rata; (3) ibu
dengan diabetes milletus, tingginya gula darah ibu bisa berpengaruh pada berat
badan bayi; (4) multiparitas, ada kecendrungan berat badan lahir anak kedua dan
seterusnya lebih besar daripada anak pertama; (5) ibu hamil dengan riwayat
melahirkan bayi makrosomia, ibu yang sebelumnya pernah melahirkan bayi
makrosomia berisiko 5-10 kali lebih tinggi untuk kembali melahirkan bayi
makrosomia dibandingkan ibu yang belum pernah melahirkan bayi makrosomia;
(6) janin laki-laki; (7) ras dan etnik.1-3
Persalinan janin makrosomia berhubungan dengan persalinan lama,
meningkatnya kemungkinan untuk operasi sesar, distosia bahu, dan trauma
pleksus brakialis yang dapat menjadi permanen. Komplikasi pada ibu hamil
adalah sebagai hasil proses persalinan yaitu perdarahan postpartum, robekan
perineum atau sfingter anus, rupur uterus dan serviks dan infeksi post partum.2-5
Diagnosa pasti adanya makrosomia hanya dapat ditentukan setelah bayi
dilahirkan. Identifikasi akurat adanya bayi makrosomia sangat diperlukan untuk
mencegah berbagai komplikasi yang dapat ditimbulkan akibat trauma persalinan.
Berdasarkan American College of Obstetricians and Gynecologists Practice
Bulletin on Macrosomia, ada tiga metode yang dapat digunakan untuk
mengidentifikasi bayi dengan berat badan 4000 gram atau lebih yaitu pemeriksaan
ultrasonografi (diameter biparietal, panjang femur, kepala, dan lingkar perut), pemeriksaan fisik
(pengukuran tinggi fundus uteri berdasarkan manuver Leopold),
riwayat ibu hamil.4-7
Pengetahuan pasti tentang berat badan janin dapat menghindarkan seorang
wanita dari persalinan per vaginam yang kemungkinan besar akan mengalami
kemacetan akibat disproporsi fetopelvis sejati atau penyulit distosia bahu.
Terdapat beberapa pendekatan kontroversial untuk mencegah penyulit persalinan
pada makrosomia. Pertama, induksi persalinan profilaksis. Sebagian pihak
menganjurkan induksi persalinan jika ditegakkan diagnosis makrosomia pada
wanita nondiabetes sebagai suatu cara menghindari pertumbuhan janin lebih
lanjut. Akan tetapi, induksi persalinan belum terbukti dapat menurunkan angka
sesar atau distosia bahu. Kedua, sesar elektif. Protokol sesar rutin pada wanita
pengidap diabetes dengan janin yang secara sonografis diperkirakan memiliki
berat 4250 gram atau lebih dilaporkan secara bermakna dapat mengurangi distosia
bahu. Ketiga pencegahan distosia bahu. Kekhawatiran utama dalam melahirkan
janin makrosomia adalah distosia bahu dan risiko kelumpuhan pleksus brakialis.
Distosia bahu terjadi jika panggul ibu memiliki ukuran cukup untuk melahirkan
kepala janin, tetapi tidak cukup besar untuk melahirkan bahu janin yang
diameternya sangat besar.
American College of Obstetricians and Gynecologists Practice Bulletin on
Macrosomia merekomendasikan bahwa1,8:
· Ketika estimasi berat badan janin lebih dari 4500 gram dengan perpanjangan
kala 2 merupakan indikasi sectio cesarea.
· Sectio cesarea dipertimbangkan pada ibu nondiabetik dengan estimasi berat
badan janin lebih dari 5000 gram dan lebih dari 4500 gram pada ibu diabetes.
· Suspek makrosomia bukan kontraindikasi untuk persalinan pervaginam pada
ibu dengan riwayat sectio sesarea sebelumnya.
Seorang obstetrikus harus mempersiapkan diri terhadap kemungkinan
distosia bahu pada bayi dengan makrosomia dan mampu menggunakan teknikteknik
yang sesuai untuk melahirkan bayi dengan aman. Hindari traksi yang
terlalu kuat. Bahu dapat dilakirkan dengan manuver McRobert dan atau tekanan
pada suprapubik.8
LAPORAN KASUS
Nama : Ny.Oktavina Tinungki
Umur :30 th
CM :375129
Alamat :Manembo-nembo Atas Gg. III
Pekerjaan :IRT
G2P1A0, 30 tahun MRS tanggal 14 Juli 2013, jam 15.00 dirujuk dari RSUD Bitung dengan alasan bahan
tenun operasi habis. Pasien mengeluh nyeri perut bagian bawah ingin melahirkan dirasakan teratur.
Anamnesis
Nyeri perut bagian bawah ingin melahirkan dirasakan teratur
Pelepasan lendir campur darah (+)
Pelepasan air dari jalan lahir (-)
Pergerakan janin (+) dirasakan saat MRS
Riwayat penyakit jantung, paru-paru, ginjal, hati, kencing manis, disangkal
PAN: 4 kali di PKM Manimunempu
HPHT : 20 Oktober 2012 TTP: 27 Juli 2013
Kawin : 1 kali selama 4 tahun. KB: -
P1, 2009, aterm, seksio sesarea a/i gagal oksitosin drip, ♀, 3700 gr, hidup
Status praesens :
Keadaan umum : Cukup Kesadaran : CM
Tensi : 160/100 mmHg Nadi : 88 x/mt
Respirasi : 22 x/mt Suhu : 36,5 0 C
Konjungtiva : anemis (-) Sklera : ikterik (-)
C/P : dbn Ekstremitas : edema (-)
Tinggi badan : 160 cm Berat badan : 105 kg
Status Obstetrik :
TFU : 35 cm Letak janin : letak kepala U punggung kanan
BJA : 132-138 x/menit His : 3-4’ // 35-40’’
TBBA : Palpasi: 4000 gram
USG : Janin intrauterine tunggal letak kepala
FHM (+) FM (+), EPW ± 3162 – 3267 gr
Plasenta di corpus depan Gr II – III
Air ketuban cukup
Kesan : hamil aterm
Laboratorium : Hb 13,9 gr/dll, Leukosit: 20.300/mm3, Trombosit: 247.000/mm3,
GDS = 85 mg/dl
PD:Eff 90%, pembukaan 6-7 cm, ketuban (-) sisa slight mekonium, PP kep HI-II
Diagnosis : G2P1A0, 30 tahun, hamil 38-39 minggu inpartu kala I + PEB + bekas SC + HRP
Janin intra uterin tunggal hidup letak kepala
Sikap :
Seksio sesarea
Konseling, informed consent
Lab,EKG, urinalisis, EKG
Konsul mata, interna
Observasi T, N, R, His , BJJ
BAB III
PEMBAHASAN
Dalam kasus ini, akan dibahas beberapa pertanyaan, antara lain:
1. Bagaimana pada pasien dengan preeklampsia ini dapat terjadi bayi makrosomia?
Banyak penelitian yang
Obesity is associated with insulin resistance [20–21]. Insulinresistance predisposes to diabetes, pre-eclampsia [22], andmacrosomia [23]. Macrosomia tends to make vaginal deliveryvery difficult because of the size of the foetus, and is associatedwith an increase in Caesarean section rate. Following delivery ofmacrosomic infant, the uterus is more likely to be atonic and hencepredisposed to post partum haemorrhage. Also with a higherCaesarean section rate this also predisposes to post partum
haemorrhage.
Finally, most previous studies on the etiologyof preeclampsia were of a cross-sectional or case-controldesign in which women selected for study have already hadpreeclampsia. It is therefore difficult to know whetherdecreased uteroplacental perfusion was the cause of the diseaseor the result of the disease. Uteroplacental hypoperfusionmay be the result of preeclampsia occurring after theclinical expression of the disease. In order to detect changesin uteroplacental perfusion before the onset of preeclampsia,prospective or longitudinal studies are warranted.Mean birth weight is influenced by both the right and lefttails of the birth weight curve. Although preeclampsia significantlyincreases the risk of low birth weight and SGAbabies (the left tail of the birth weight curve), preeclampsiaalso increases the risk of high birth weight and LGA babies(the right tail of the birth weight curve) (8, 12). The lowerweights on the left side of the curve may be offset by higherweights on the right side of curve, resulting in a flatteningout of the normal distribution, without displacement of themean birth weight (12). The group of preeclamptic womenwho have LGA babies are probably mostly among thosewho gave birth after 37 weeks. The phenomenon of LGAand high birth weight infants born to preeclamptic patientsmay be the result of earlier growth-enhancing effects by anincreased uteroplacental blood flow due to higher bloodpressure (8, 18).Another possible explanation for these findings is thatpreeclampsia that is of early onset (≤37 weeks) may be morelikely to be severe, more likely to have a detrimental effecton fetal growth, and more likely to lead to “iatrogenic” prematuredelivery. Preeclampsia that is of late onset (>37weeks) may be more likely to be mild and less likely to leadto “iatrogenic” premature delivery. Uteroplacental hypoperfusion,if present, may be of too short a duration to affect
fetal size (8). Indeed, it would seem likely that preterm birthis a marker of disease severity and fetal growth restriction.Early-onset preeclampsia and late-onset preeclampsia maybe different diseases