pedagogi materi

Upload: misya-citraningrum

Post on 10-Jan-2016

94 views

Category:

Documents


15 download

DESCRIPTION

Pedagogi Materi Subjek

TRANSCRIPT

PEDAGOGI MATERI-SUBYEK:

PEDAGOGI MATERI-SUBYEK:

DASAR-DASAR PENGEMBANGAN PBM

BAHAN PERKULIAHAN

PEDAGOGI MATERI-SUBYEK

Dr. Nelson Siregar

Sekolah Pasca Sarjana

IKIP Bandung PENGANTAR

Kumpulan makalah ini merupakan pikiran yang dihasilkan oleh tim penelitian Hibah Bersaing FPMIPA, yang dilaksanakan dari tahun 1994 hingga 1998 mengenai penerapan pedagogi materi-subyek dalam penulisan buku-teks MIPA. Ada pandangan bahwa hubungan antara buku-teks sebagai perwujudan dari materi subyek dan pbm kiranya cukup erat dilihat posisinya sebagai pelaku acuan bagi pengajar dan pembelajar. Materi-subyek dipandang sebagai acuan karena secara implisit merupakan sumber bagi pengembangan epistemologi pengajaran IPA dan wujud dari transformasi disiplin keilmuan yang khas diperuntukkan bagi pengajaran.

Kasus monumental yang mendukung pandangan ini adalah penemuan Tabel Periodik oleh Mendeleyef tahun 1864 ketika menjabat sebagai profesor kimia umum. Tabel tersebut adalah hasil upaya untuk menyederhanakan cara mengajar berbagai sifat unsur (dan senyawa) yang begitu beragam ke dalam suatu sistim dengan menggunakan kartu-kartu yang kemudian ternyata menampilkan suatu pola jika diurutkan berdasarkan kenaikan berat atom. Upaya tersebut merupakan transformasi pengetahuan disiplin keilmuannya menjadi materi-subyek menggunakan pedagogi untuk menyederhanakan pengetahuan sintaktikalnya. Jadi secara epistemologi, asal usul dari pengajaran yang seharusnya diturunkan dari disiplin keilmuannya telah diletakkan yang kiranya masih merupakan pandangan yang kurang mendapat perhatian dari pakar pendidikan.

Sebagai wawasan keilmuan, kumpulan makalah ini dapat menjadi dasar untuk memberdayakan guru menghadapi pakar luar yang menerapkan dasar epistemologi yang kurang mengenal logika internal dari pbm. Pendekatan yang lazim digunakan adalah pandangan sepihak disiplin tertentu karena pbm dilihat sebagai lahan publik yang tidak memerlukan pengetahuan substantif tertentu. Posisi guru adalah pelaksana tanpa kewenangan keilmuan. Keadaan ini perlu dihindari karena setiap disiplin ilmu mempunyai struktur ilmu yang perlu dihargai dan dipahami oleh peneliti sebelum layak untuk melaksanakan penelitian.

Pedagogi materi-subyek diharapkan dapat menjadi jembatan keilmuan yang menghubungkan aspek lapangan yang merupakan kewenangan dan aspek teori pengajaran yang menjadi kewenangan pakar ilmu pengajaran. Dengan jembatan ini, para pakar dapat bersikap lebih realistis dengan menghargai kendala fisik maupun sosial-budaya tempat pbm dilaksanakannya kegiatan pbm. Pbm berlansung bukan dalam situasi universil tanpa kendala melainkan dalam situasi lokal dengan berbagai kendalanya, melainkan dalam situasi yang membawa upaya proses membangun pengetahuan bersama lebih bermakna lokal daripada universal. Walaupun produk dari proses tersebut pada ahirnya juga akan bermakna universil, tetapi ini memerlukan waktu dan kedewasaan berfikir yang perlu diawali dengan kemaknaan lokal.

Pertanyaan mengenai, siapakah masyarakat otoritas dari pengembangan ilmu pengajaran dengan demikian dapat dijawab: mereka adalah masyarakat guru lapangan dan pakar pendidikan yang menghargari epistemologi ilmu pengajaran. Berarti, kontribusi pakar luar secara epistemologi kurang menentukan, karena lebih mengarah pada konten, yang kemudian oleh pakar pengajaran menggunakan pengetahuan sintaktikalnya dibangun menjadi pengetahuan substantif. Walaupun yang membentuk masyarakat ini adalah guru dan pakar pendidikan, hubungan kerja adalah hubungan ketergantungan yang saling menguntungkan karena wewenang keilmuan yang dimiliki merupakan keutuhan epistemologi dari ilmu pengajaran.

Untuk menunjang hubungan tersebut, masyarakat diatas tersebut perlu mempunyai pandangan epistemologi yang mapan mengenai fenomena pbm yang walaupun dapat dilihat dari berbagai aspek namun hakekatnya tetap sama yaitu fenomena wacana. Nampaknya, keinginan ini masih jauh dari kenyataan, karena salah satu hambatannya adalah bahwa pakar pbm belum mempunyai pandangan epistemologi seperti yang disyaratkan sebagai suatu disiplin keilmuan. Dasar metodologi yang digunakan berasal dari disiplin keilmuan lain yang tidak mengenal secara dekat problematika pbm. Epistemologi yang mendasari pbm kiranya harus ditemukan sendiri oleh masyarakat guru dan pakar pbm, dan melihat pbm sebagai aspek lapangan dari ilmu pengajaran, ini perlu dilihat sebagai kewenangan para guru.

Perkuliahan Pedagogi Materi-Subyek merupakan langkah awal dari pembentukan masyarakat dimaksud dengan memberikan wawasan keilmuan dari ilmu pengajaran kepada guru-guru yang mempersiapkan diri sebagai guru peneliti. Langkah awal ini diperlukan agar masyarakat tersebut dapat berkembang secara adil dengan masing-masing komponen mempunyai kontribusi yang seimbang untuk memajukan disiplin ilmu pengajaran.

Bandung 4 Februari 1999

Penulis

DAFTAR ISI

I-3

1. PENDAHULUAN

2. PERANAN STRUKTUR ILMU DALAM PENGAJARAN IPAII-1

2.1. PENDAHULUANII-1

2.2. Pandangan Epistemologi Pengajaran IPAII-2

2.2.1. Apa yang Mendasari suatu Pengetahuan?II-3

2.2.2. Di mana Pengetahuan itu Berada?II-5

2.2.3. Bagaimana Pengetahuan itu Diperoleh?II-5

2.3. Struktur Ilmu dalam Pengajaran IPAII-5

2.4. Struktur Keilmuan Menurut Analisis-wacanaII-6

2.5. Kasus Penemuan NeutrinoII-9

3. Totalitas dan Logika Internal Proses Belajar Mengajar .............................3-1

3.1. Totalitas Proses Belajar Mengajar ..............................................................3-1

3.1.1. Interaksi Sosial ..................................................................................3-1

3.2.2. Interaksi Kognitif ................................................................................3-3

3.2. Logika Internal PBM ....................................................................................3-3

3.2.1. Pengetahuan Dasar untuk Mengajar .................................................3-3

3.2.2. Pengetahuan Konten Pedagogi .........................................................3-5

3.3. Eksplanasi Ilmiah dan Eksplanasi Pedagogi ................................................3-5

4 PBM SEBAGAI WACANA KELAS .................................................................4-1

4.1. Wacana Kelas .............................................................................................4-1

4.1.2. Pelaksanaan Analisis ........................................................................4-1

4.1.2. Realisasi Motif ...................................................................................4-1

4.2. Model Representasi Mengajar ....................................................................4-2

4.2.1. Model Argumentasi Toulmin ..............................................................4-2

4.2.2. Pembentukan Model Representasi Mengajar ....................................4-3

4.2.3. Peranan Ketrampilan Intelaktual .......................................................4-4

5. STRUKTUR PBM MENURUT PEDAGOGI MATERI SUBYEKIII-11

5.1. Tahapan Pengembangan PBMIII-11

5.2. Definisi PbmIII-12

5.2.1. Pandangan Penelitian StandarIII-13

5.2.2. Pandangan Analisis WacanaIII-13

5.2.3. Pandangan Pedagogi Materi SubyekIII-14

5.3. Antar-hubungan Komponen PBMIII-15

5.3.1. Komponen PengajarIII-17

5.3.2. Komponen PembelajarIII-18

5.3.3. Komponen Materi-SubyekIII-18

5.4. Eksplanasi Ilmiah vs Eksplanasi PedagogiIII-19

5.5. Logika InternalIII-21

5.5.1. Model Representasi MengajarIII-21

5.5.2. Rumusan Logika Internal PBMIII-23

5.6. Pengenalan dalam Masalah PBMIII-24

5.6.1. Pemetaan PermasalahanIII-26

5.6.2. Pertanyaan PenelitianIII-27

5.6.3. Penentuan Area PenelitianIII-27

5.7. Pengalihan Analisis ke dalam Aspek MetodologiIII-27

5.7.1. Pengembangan DesainIII-27

5.7.2. ImplementasiIII-29

5.8. Bagaimana Mengembangkan PBMIII-29

5.8.1. Repertoire MengajarIII-29

5.8.2. Peranan Pengajaran terhadap PembelajaranIII-31

6. INTERAKSI KELAS DALAM PBMIV-1

6.1. PendahuluanIV-1

6.2. Penelitian Interaksi KelasIV-2

6.3. Metoda FanselowIV-3

6.4. Pedagogi Materi-Subyek: Model TrialogueIV-5

6.4.1. Unit DataIV-5

6.4.2. Mejaga ValiditasIV-6

6.4.3. PelaksanaanIV-7

6.4.3.1. Perekaman Wacana-kelasIV-7

6.4.3.2. Memelihara KeakrabanIV-8

6.4.3.3. TranskripsiIV-9

6.5. Mengamati dan MenginterviuIV-9

6.6. Peranan Model Teoretis dalam Analisis-wacanaIV-10

6.6.1. Instrumen Interaksi KelasIV-11

6.6.2. Dimensi dari AnalisisIV-13

6.6.3. Prosedur MencacahIV-14

6.6.4. Rekaman PBMIV-14

6.6.5. Rekaman InterviuIV-15

6.7. Analisis DataIV-15

6.7.1. Catatan LapanganIV-16

6.7.2. Menurunkan Profil Kegiatan Belajar-mengajarIV-17

6.7.2.1. Prosedur AnalisisIV-17

6.7.3. Analisis TranskripsiError! Bookmark not defined.

6.7.3.1. Penyiapan Teks Dasar dari TranskripsiIV-19

6.7.3.2. Format Analisis: Struktur-MakroIV-19

6.8. Pengetahuan Sintatktikal Dalam Pendidikan IPAIV-1

6.8.1. Struktur Global4

6.9. Analisis Aspek Sintaktikal Penelitian5

6.10. Keterbatasan AnalisisIV-1

Apendiks

Ilustrasi Analisis Artikel Penelitian

Bahan Analisis Teks

Bahan Analisis Transkripsi PBMI. PENDAHULUAN

Mengapa Pedagogi Materi Subyek, bukan teori mengajar? Pertanyaan ini diekukkakan untuk mencoba membedakan perkuliahan ini dari perkuliahan lain yang merujuk pada teori mengajar tertentu. Karena, mata-kuliah ini merupakan upaya untuk mengembangkan wawasan dari pengajar yang telah mempunyai cukup pengalaman di lapangan. Disamping tujuannya untuk memahami dan menghaluskan pbm, sasaran Pedagogi Materi-subyek adalah analisis permasalahan pbm secara mikro; yaitu, masalah kewacanaan dari kesehari-harian pbm. Dari tujuan ini, pendekatan analisis wacana merupakan pilihan utama, unit analisis yang cukup halus dan berkemampuan untuk digabungkan menjadi unit yang lebih besar sejalan dengan kompleksitas permasalahan dan dengan tuntutan perlunya teori mengajar yang jelas struktur keilmuannya dan khas epistemologi pengembangan dan pengujiannya.

Disayangkan bahwa selama ini perbedaan diatas kurang mendapat perhatian akibat dari adanya anggapan yang cukup kuat dan meluas, tetapi keliru, mengenai peranan metoda ilmiah dalam pembelajar IPA. Metoda ilmiah ditampilkan sebagai keilmuan IPA yang diwujudkan sebagai pengajaran IPA. Pandangan ini keliru karena PBM bukanlah fenomena mengajarkan kegiatan ilmiah, melainkan fenomena wacana keilmuan yang berlangsung dalam lingkungan pedagogi. Tepatnya, pbm adalah masalah substansi dan bentuk wacananya yang dilihat sebagai hasil interaksi antara pengajar, pembelajar, dan materi-subyek. Substansi dan bentuk wacana tersebut banyak ditentukan oleh proses utama yang membentuk pbm, yaitu, mengkonstruksi pengetahuan secara bersama.

Pertanyaan diatas juga mencoba menegaskan bahwa pedagogi materi-subyek adalah wawasan mengajar untuk meletakkan pandangan teoretis yang lebih menyeluruh agar pengajar mampu mengelola berbagai metoda mengajar sesuai dengan tugas membangun pengetahuan tersebut. Dasar yang berlaku dalam pedagogi materi-subyek juga berlaku dalam berbagai metoda pengajaran, tetapi dengan karakter yang lebih mengkhususkan diri pada peranan struktur materi subyek dalam pbm.

Mengingat guru dan pembelajar merupakan pelaku-pelaku yang lebih mengendalikan arah pbm, maka pendalaman terhadap proses mengkonstruksi pengetahuan perlu diarahkan pada interaksi kedua pelaku ini. Analisis wacana dalam hal ini merupakan metoda yang semakin penting untuk mewujudkan maksud pendalaman tersebut. Disamping dapat menjaga keutuhan interaksi, motif yang mengendalikan pengembangan wacana dapat diungkapkan lebih rinci dan mendalam berdasarkan situasi yang ada. Analisis wacana juga merupakan instrumen konseptual untuk memadukan pandangan-pandangan psikologi, pedagogi, dan logika disiplin-keilmuan yang secara terpisah memusatkan diri pada pembelajar, pengajar, dan materi-subyek.

Masing-masing pandangan tersebut dapat dirumuskan sbb.:

(1) Pandangan psikologi yang mensyaratkan agar materi-subyek disesuaikan dengan pengetahuan dan kemampuan pembelajar.

(2) Pandangan pedagogi yang menyarankan perlunya transformasi materi-subyek kedalam berbagai bentuk representasi agar mudah diajarkan dan mudah dijangkau.

(3) Pandangan logika-keilmuan keilmuan yang menginginkan agar struktur ilmu dan logika-keilmuan yang diperankan oleh materi-subyek dapat mendasari setiap eksplanasi terutama oleh pengajar.

Metoda mengajar yang kurang menghargai dasar kewacanaan pbm umumnya berpandangan makro dan cenderung mengkonsentrasikan diri, diantaranya, hanya pada pembelajar. Pandangan ini telah menyebabkan pengembangan PBM salah arah yang terlihat dalam reduksi peranan pengajar sebagai fasilitator. Reduksi ini kiranya tidak sejalan dengan hakekat pbm yang melihat bahwa fungsi otoritas pengetahuan dari pengajar adalah sebagai pengendali wacana. Fungsi ini dalam pbm tidak dapat dilepaskan dari pengajar sebagai salah pelaku dalam antar-ketergantungan untuk mengkonstruksi pengetahuan.

Tugas pedagogi materi-subyek adalah mendiskripsi dan mengembangkan pemahaman atas proses mengkonstruksi tersebut sewajar mungkin berdasarkan interaksi antara pengajar, pembelajar dan materi-subyek. Tugas ini kiranya tidak mudah karena memerlukan kehati-hatian ekstra agar tidak mudah terkecoh oleh kendala rutinitas yang mengaburkan motif dari setiap tindakan. Tetapi diyakini bahwa analisis wacana mempunyai kelebihan tertentu yang membuatnya cukup mampu merinci interaksi tersebut menurut tindakan dan kejadian dalam pbm. Lebih mendasar adalah bahwa interaksi ini mempunyai logika tersendiri yang kurang banyak dipahami oleh peneliti luar kecuali pengajar. Tetapi disayangkan bahwa pemahaman tersebut baru merupakan pengetahuan tacit (tidak mudah diungkapkan secara verbal) karena memerlukan peristilahan dan dasar teori tertentu.

Kehati-hatian lain muncul karena target penelitian pengajaran bukan hanya pada aspek konten atau aspek substansi melainkan terutama pada aspek sintaktikal dari materi-subyek. Perbedaan ini menuntut perlunya antar-hubungan dari aspek-aspek materi-subyek dinyatakan lebih eksplisit sebagai konten, substansi, dan sintaktikal. Seandainya konten adalah batu bata, maka substansi adalah bangunannya sedangkan sintaktikal adalah ketrampilan mengkonstruksi bangunan tersebut menggunakan batu bata. Tetapi, yang lebih ditampilkan dari materi-subyek adalah aspek konten dan aspek substansi karena merupakan produk yang lebih mudah diamati; aspek sintaktikal selalu terselubung sebagai proses, jadi memerlukan cara tertentu untuk mengungkapannya.

Cukup menolong jika sebelum mengikuti mata kuliah ini, pembaca telah memahami dasar-dasar pbm agar menunjang upaya untuk memahami pandangan dan dasar pedagogi materi-subyek. Cara lain yang dapat ditempuh adalah Buku Richard I. Arens (1989) yang kiranya dapat dijadikan pengetahuan pengantar untuk memperoleh pandangan menyeluruh mengenai berbagai metoda mengajar. Bukunya yang berjudul: Learning to Teach, dianggap penting karena merupakan peralihan dari pandangan pembelajaran ke pandangan pengajaran; jadi mulai memasuki area pedagogi yang selama ini kurang diperhatikan. Pengajar diberi peranan yang lebih jelas baik menurut pandagan pembelajaran maupun pandangan pengajaran.

Untuk mendukung pemahaman anda, pada ahir kumpulan makalah ini ditampilkan dua macam latihan, yaitu:

(1) Contoh buku teks yang telah menerapkan pedagogi materi-subyek sebagai upaya pendahuluan untuk memahami bagaimana aspek-aspek ketrampilan intelektual diidentifikasi dari teks. Pembaca disarankan untuk menganalisis buku ini berdasarkan pemahamannya atau mendiskusikannya. Hasil diskusi dapat dirumuskan sebagai saran perbaikan sesuai dengan pandangan pedagogi materi-subyek yang lebih berkembang.

(2) Proyek-mini berupa menganalisis interaksi pbm secara nyata dilaksanakan di dalam kelas menggunakan data hasil rekaman. Latihan ini diharapkan dapat memberikan kesempatan untuk merefleksikan pengalaman pbm pembaca menurut padangan analisis wacana.

Latihan pertama dimaksukan untuk mengembangkan substansi dari pedagogi-materi-subyek menggunakan pengertian-pengertian dasar. Pengetahuan substansi adalah pengetahuan mengenai bangunan atau struktur dari suatu pengetahuan. Contohnya, tabel periodik adalah suatu pengetahuan substantif karena merupakan bangunan yang mengorganisasikan semua unsur-unsur menurut sifat keperiodikan dan kesamaan sifat kimianya. Pemahaman yang lebih mendalam menunjukkan bahwa sistim tabel periodik sebenarnya dikendalikan oleh nomor atom: Sifat fisika dan sifat kimia unsur-unsur berubah secara periodik mengikuti nomor atomnya.

Jika diperhatikan lebih jauh, yang menjadi konten dari tabel periodik adalah atom-atom dari berbagai unsur, karena merupakan unit-unit pembentuk keseluruhan tabel. Yang menjadi substansinya adalah hukum periodik sifat periodik unsur-unsur merupakan fungsi nomor atomnya, karena fungsinya untuk mengorganisasi setiap unsur menjadi table periodik dan mengembangkannya melalui prediksi. Sebagai contoh, peramalan unsur Germanium oleh Mendelyeff pada 1867 merupakan kemampuan prediksi dari pengetahuan substansi. Dengan semangat yang sama, pembaca juga, jika benar-benar mencermati kriteria totalitas dan logika internal pbm, dapat membuat ramalan mengenai pelaksanaan pbm oleh guru tertentu jika sejumlah informasi (sebagai konten) dapat diakses. Yang menjadi pengetahuan sintaktikal adalah penerapan berbagai aturan, hukum, dan kenyataan-kenyataan yang perlu untuk menerapkan dan mengembangkan tabel periodik. Walaupun tabel periodik dirumuskan oleh hukum periodik, penerapan terhadap beberapa kasus memerlukan hukum dan aturan lain. Contohnya, teori mengenai isotop untuk menjelaskan pembalikan posisi Kalium dan Indium yang sebenarnya menyalahi hukum periodik.

Latihan kedua mencoba membawa analisis ke aspek yang lebih serius kepada analisis kekeliruan dari banyak metoda mengajar menurut kenyatan lapangan untuk kemudian dicoba menyajukan saran menurut pandangan pembaca. Jika diperhatikan sebagai pengetahuan substansi, dasar pengorganisasian pbm adalah logika internal, tetapi ini kiranya masih terlalu umum dibandingkan dengan hukum periodik. Walaupun demikian, dasar tersebut sudah memadai sebagai titik tolak metodologi penting untuk mulai membicarakan bagaimana membangun struktur sintaktikal dari pbm. Pekerjaan membangun ini mengikuti aturan, nilai, tradisi, kendala, dlsb., yang hanya mempunyai kemaknaan yang jelas jika dikaitkan dengan konteks pelaksanaan sehari-hari dari pbm. Jadi pembaca dianjurkan agar berani mencoba mengembangkan proyek tertentu yang dilakukan secara kelompok berdasarkan deskripsi umum dari proyek mini tersebut.

Dirasakan bahwa penggunaan konsep inti dalam konteks tertentu lebih menunjang pemahaman dibandingkan dengan definis formal tanpa konteks. Walaupun pada awalnya penggunaan tersebut sukar karena menuntut pengetahuan yang lebih menyeluruh dalam bentuk antar-hubungan ide inti (pengetahuan substantif), cara penggunaan tersebut penting untuk meningkatkan pemahaman yang memadai. Pemahaman konsep inti hanya mungkin jika pengetahuan sintaktikal yang mengendalikannya dalam bentuk mengkonstruksi pengetahuan dapat dilibatkan.

Dengan memusatkan perhatian pada pbm, pada totalitas dan logika internal, banyak hal-hal yang dapat diamati secara mendalam dan menyatu menurut konteks kesehari-harian dari pelaksanaannya. Pengamatan langsung dan diikuti dengan upaya merefleksi kejadian-kejadian mengenai interaksi antara pengajar, pembelajar, dan materi-subyek, dapat menghasilkan pandangan dasar bagi pengajar untuk memahami lebih kritis bagaimana sebenarnya proses mengkonstruksi pengetahuan itu berlangsung. Untuk menunjang pemahaman ini, analisis wacana dapat memberikan berbagai kemudahan untuk mengungkapkan makna keseharian dari proses mengkonstruksi tersebut menggunakan konstruk teoretis motif yang menjadi sumber kekuatan intelektual dari berbagai tindakan.

Pedagogi materi-subyek memusatkan diri pada interaksi tersebut dengan pandangan bahwa setiap pelaku pbm mempunya hak prerogatif yang diperlukan untuk memelihara kelangsungan interaksi tersebut. Keberhasilan pengajar perlu ditunjang oleh hak prerogatif mengendalikan wacana dari pbm; keberhasilan pembelajar perlu ditunjang oleh hak prerogatif bertanya untuk mengembangkan pemahamannya. Pembatasan hak mengendalikan dan hak bertanya diperankan oleh motif kerja-sama yang kiranya diperlukan agar interaksi untuk membangun pengetahuan berlangsung dengan selalu mengacu pada nilai kebenaran yang merupakan hak prerogatif dari materi-subyek..

Kumpulan makalah ini bertujuan untuk memperkenalkan bagaimana pedagogi materi-subyek diwujudkan dalam pbm secara alamiah. Kegiatan utama berfikir dari kehidupan kelas membuat deskripsi yang memenuhi ktriteria keutuhan dan kedalaman permasalahan dapat ditempuh menggunakan perekam audio (atau audio-video). Pengembangan dan pemapanan struktur tersebut dicapai melalui interviu untuk memperoleh gambaran bagaimana realisasi motif berlangsung dalam interaksi pbm.

Kumpulan makalah ini bermanfaat untuk mempersiapkan guru berpengalaman menjadi guru pembimbing karena dengan wawasan pedagogi materi-subyek, permasalahan pmb sehari-hari dapat dianalisis lebih realistik. Tujuan analisis bukan untuk menemukan kelemanan melainkan menemukan mengapa terjadi kesalahan tersebut untuk mendasari suatu saran yang dapat disepakati bersama. Lebih jauh, manfaatnya adalah untuk memberdayakan guru-gur agar dapat tampil lebih profesional. Melalui peningkatan pemahamannya mengenai seluk-beluk mengajar, yang sebagian besar masih merupakan pengetahuan tacit, guru dapat meningkatkan kemampuannya untuk mengembangkan pbm. Pemahaman tersebut dapat dihimpun sebagai pengetahuan praktis mengajar dan selanjutnya dapat digunakan sebagai dasar untuk mengembangkan saran-saran penghalusan pelaksanaan pbm.

II. PERANAN STRUKTUR ILMU DALAM PENGAJARAN IPA

A. PENDAHULUAN

Hubungan antara dua sistim, yaitu disiplin keilmuan dan domain substantifnya, di satu pihak, dan disiplin keilmuan dan transformasi pedagogi menjadi materi-subyek dilain pihak, merupakan sumber kesulitan bagi pengembangan diri pengajar. Dalam batas tertentu, hubungan ini telah berkembang menjadi padangan dualisitik dengan konsekuensi terjadinya kancah perebutan pengaruh antara ilmuan dan pakar pendidikan guru. Ada sementara keyakinan bahwa pendidikan sains di sekolah menengah dan sekolah dasar merupakan tanggung jawab pakar disiplin.

Biasanya, dan khususnya di dalam pendidikan IPA, dalam kancah tersebut pakar disiplin ilmu keluar sebagai pemenang: pelaksanaan inservice training dilaksanakan dan dikendalikan oleh pakar disiplin, termasuk proyek-proyek pendidikan lainnya yang sebenarnya merupakan kewenangan pakar-pakar pendidikan.

Pandangan yang lebih realistik terhadap masalah ini perlu mempertimbangkan tingkat pengakuan terhadap kewenangan tersebut. Kelihatannya formalitas kelembagaan tidak dengan sendirinya menjadi penentu kewenangan tersebut, tetapi nampaknya lebih pada wacana keilmuan dari masyarakat pakar. Jika pandangan academic freedom dapat diterapkan, legalitas pengakuan tersebut bukan pada masalah akademik melainkan pada kekuatan dan peranan intelektual yang menjadi penggerak dari kewewenangan tersebut. Dalam arena kewacanaan, isu teoretis dan pragmatis kewenangan tersebut ditentukan oleh seberapa jauh masyarakat pakar mengakui dan menghargai peranan dan kekuatan intelektual tersebut. Sayangnya, dalam arena tersebut pakar pendidikan kurang mampu mengangkat wibawa disiplin keilmuannya karena kurang mantap dan jelas menampilkan karakter tertentu dari epistemologi keilmuannya (Siregar, 1998).

Para calon pakar pendidikan IPA, karenanya, perlu mendalami logika internal yang merupakan kekuatan intelektualnya dengan jalan terlebih dahulu menguasai dasar epistemologi pengajaran IPA. Penguasaan ini memungkinkan calon pakar lebih berwibawa dalam menghadap upaya-upaya pakar luar yang walaupun maksudnya baik tetapi dalam jangka panjang sebenarnya berdampak merongrong wibawa disiplin keilmuannya. Dengan pandangan epistemologi yang memadai, pendidik maupun calon pendidik dengan mudah membedakan hubungan disiplin suatu keilmuan dengan domain substantifnya dari hubungan disiplin tersebut dengan materi-subyek yang merupakan domain substansi dari pedidikan IPA.

Bab ini memperkenalkan epistemologi pendidikan MIPA dengan terlebih dahulu menampilkan berbagai pandangan epistemologi yang dianut oleh baik oleh guru maupun pakar disiplin MIPA. Sejalan dengan sifat dasar IPA, tidak mengherankan mengapa terdapat ketegangan antara pandangan reduksionis yang diwakili oleh psikololgi pembelajaran dan pandangan mikronaturalistik (diwakili oleh analisis wacana). Ketegangan muncul karena psikologi pembelajaran yang mengklaim dirinya sebagai pendekatan ilmiah dengan mereduksi fenomena mengajar menjadi fenomena alamiah seperti halnya fisika yang dalam pandangan naturalistik kurang menyentuh nilai-nilai kebenaran yang lebih mendalam dari kemanusiaan. Psikologi berasumsi bahwa masalah pbm adalah masalah prilaku karena mudah diobservasi dan diukur; mikro-naturalistik berasumsi bahwa pbm merupakan masalah wacana sosial. Tegasnya, psikologi melihat pbm sebagai masalah alamiah dengan mengeluarkan aspek yang tidak mudah observasi seperti motif dan sikap; analisis wacana melihat pbm sebagai upaya bersama untuk membangun pengetahuan dengan ucapan merupakan sumber data.

B. Pandangan Epistemologi Pengajaran IPA

Perbedaan hubungan disiplin & domain substantif tersebut dan transformasi disiplin keilmuan menjadi materi-subyek, membawa konsekuensi perlunya epistemologi pendidikan IPA dibedakan dari epistemologi IPA itu sendiri. Pembedaan ini memudahkan upaya pengorganisasian sejumlah disiplin ilmu lainnya menjadi suatu bangunan substantif dari disiplin pengajaran IPA.

Perbedaan epistemologi mungkin dapat dijelaskan dalam bentuk pertanyaan :

(1) Bagaimana menentukan peranan IPA agar dalam mengendalikan transformasi keilmuan IPA menjadi materi-subyek peranan tersebut juga menghargai peranan pengajar dan pembelajar.

(2) Bagaimana menerjemahkan peranan tersebut kedalam proses belajar-mengajar dengan tetap menjaga kewajaran kewacanaan pbm.

Pertanyaan ini menjadi dasar untuk melibatkan pembahasan struktur ilmu dalam pendidikan IPA yang diyakini merupakan sumber untuk merumuskan logika internal dari pbm. Dengan demikian kekuatan intelektual sebagai dasar untuk mengembangkan epistemologi disiplin ilmu pengajaran sebagai dasar untuk mentransformasikan disiplin keilmuan menjadi materi-subyek. Pertanyaan kedua mencoba mengarahkan upaya tersebut lebih dekat dengan tugas mengajar dengan membatasi wacana keilmuan ke dalam wacana pedagogi. Caranya, adalah dengan membatasi diri pada ketrampilan intelektual yang sebenarnya merupakan ketrampilan untuk menggunakan hukum, aturan, teori untuk memecahkan masalah. Bukannya, untuk mengembangkan ilmu seperti yang dilakukan oleh ilmuan.

Sebagai upaya pendahuluan hubungan tersebut perlu dipetakan ke dalam suatu taksonomi epistermologi untuk melengkapi calon pakar dengan kekuatan intelektual tanpa harus perlu patuh terhadap epistemologi keilmuan tertentu. Karena:

(1) Dengan memahami epistemologi dari keilmuannya dan keilmuan dari disiplin lainnya yang terkait, calon pakar dapat bersikap kritis terhadap proposisi maupun asumsi yang diberlakukan dalam disiplin keilmuannya yang mempunyai konsekuensi praktis terhadap apa yang diyakini dan dilakukan oleh pelaku lapangan.

(2) Klarifikasi epistemologi yang mengendalikan seseorang dalam melaksanakan tugasnya dapat memberikan kepuasan dan selanjutnya kemudahan untuk memahami berbagai perubahan yang selalu melanda dunia pendidikan.

(3) Pemahaman atas berbagai isu epistemologi dapat mendorong upaya bersama untuk meneliti dasar isu tersebut. Kebanyakan dari isu ini hanya menyangkut metoda dan teknik mengajar, bukan dasar dari pendekatannya melainkan pada apa arti belajar, memahami, dan menjadi terdidik.

Karena tugas mengajar adalah tugas bersama mengkonstruksi pengetahuan, pemahaman epistemologi keilmuannya barangkali lebih sentral dari pada tugas lainnya. Berarti, pengetahuan calon pakar pendidikan tidak perlu difokuskan pada konten dan metoda, karena ini akan menjadi kendala untuk memahami arena wacana perdebatan dari pengembangan ilmu pengajaran IPA. Pandangan epistemologi lebih jauh dapat membekali calon pakar dengan kehati-hatian yang lebih mendasar untuk menghadapi berbagai perdebatan yang tidak jelas dasarnya. Kalau tidak, calon dapat terperosok pada sikap asal aman yang selalu berahir pada kompromi padahal dasar dari materi perdebatan mungkin tidak jelas.

Cunningham dan Fitzgerald (1996) mengemukakan tiga kehatian-hatian epistemologi dan tujuh isu utama yang diperlukan untuk membangun kekuatan intelektual untuk menghadapi berbagai pandangan dalam membangun dasar teori dari tugas membaca atau menulis. Menurut pandangan penulis, tugas membaca dan menulis dapat disejajarkan dengan tugas guru yang juga menyangkut tugas bersama untuk membangun suatu pengetahuan. Kehatian-hatian ini dapat memperluas wawasan calon pakar yang barangkali walaupun cukup homogen tetapi kurang mengarah pada pengembangan kekuatan intelektual seperti yang dikemukakan diatas.

1. Apa yang Mendasari suatu Pengetahuan?

Linder (1992) mengungkapkan bahwa dalam melaksanakan tugasnya pengajar fisika cenderung merefleksikan pandangan realisme metaphysical. Pandangan ini meyakini bahwa karakteristik utama dari kegiatan ilmliah adalah pengumpulan fakta realitas fenomena alamiah bebas dari pikiran atau pendapat seseorang. Pewujudan pandangan ini di dalam kelas terlihat dari kurangnya penghargaan guru terhadap upaya bersama untuk membangun model atau teori, dan terhadap upaya peramalan novel facts (fakta di luar yang lazim). Kontribusi seseorang dengan demikian kurang dihargai karena ilmu fisika adalah pengetahuan formal terlepas dari pikiran seseorang yang mempelajarinya.

Epistemologi berdasarkan materi subyek beranggapan bahwa sumber pengetahuan tidak perlu seluruhnya mengikuti pandangan realisme, melainkan juga berdasarkan pandangan keilmuan lain seperti deduktif-hipotetik, struktural/kontekstualis, dlsb. Dasar dari epistemologi tersebut adalah perbedaan antara epistemologi IPA dan epistemologi ilmu sosial.

(1) Dapatkah kita mempunyai satu pengetahuan tunggal terlepas dari Pembelajar?

(2) Apakah ada sesuatu yang kita sebut Kebenaran Tunggal?

(3) Pengujian apa yang harus disarankan agar suatu pengetahuan mempunyai nilai kebenaran?

(4) Apakah Pengetahuan itu terutama universal atau lokal?

Nampaknya dari pertanyaan-tertanyaan diatas, pandangan pengajar lebih mengarah pada kutub positif atau pada alternatif dari pandangan IPA. Bennet dan Carre, (1994), diantaranya, mengemukakan bahwa walaupun pandangan seorang guru mengarah pada realisme :

IPA adalah kumpulan hukum-hukum, suatu badan pengetahuan yang akurat dan terorganisasi. Saya menyajikan konten jelans dan mengendalikan praktikum untuk mencegas kegiatan yang tidak bertujuan. Singkatnya, murid-murid mengumpulkan informasi penting dan mengukuhkan sendiri apa yang telah menjadi konsep kunci. Kami selalu menggunakan bahasa ilmiah akurat (Guru A).

Dipihak lain, juga terdapat pandangan guru yang bertentangan dengan pandangan realisme metafisikal diatas. Orientasi pandangan ini adalah bahwa tugas mengajar juga melibatkan pikirian murid:

IPA adalah pekerjaan priaktikum dengan petuntuk (hands-on), untuk menemukan dunia sekitar menggunakan kelima indra. Inisiatif dikendalikan oleh murid; mereka mengemukakan pertanyaan dan saya mendorong mereka untuk bekerja independen. Saya menjaga diri agar tidak memberikan petunjuk atau informasi untuk menolong keingin-tahuan mereka. Saya tidak kuatir apakah murid menggunakan bahasa deskriptif atau non-ilmiah (Guru B).

IPA adalah kreasi pikiran manusia; kebenaran dibentuk didalam pikiran pengamat. Saya berasumsi bahwa murid mempunyai pengetahuan yang cukup luas dan saya menolong mereka menggunakan dan menghubungkan apa yang mereka telah ketahui dengan masalah yang baru. saya menantang mereka untuk menolak, membentuk kembali, atau mengembangkan pikiran dan mempertimbangkan mengapa mereka berprilaku demikian. saya mendorong mereka untuk menggunakan bahasa ilmiah sewaktu menjelaskan sesuatu (Guru C).

Orientasi keilmuan dan orientasi mengajar ketiga guru diatas menunjukkan bahwa disamping menyangkut aspek sintaktikal yang berhubungan dengan sumber data, tugas mengajar juga perlu melibatkan pandangan murid. Ketiga guru diatas dapat dilihat sebagai mewakili pandangan epistemologi yang beragam menurut (menurut Bennet dan Carre, 1994):

Guru A sebagai veifier.

Guru B cenderung sebagai problem-solver.

Guru C sebagai berorientasi personal dan sosial.

Berbeda dengan pandangan guru A, yang lebih sejalan dengan epistemologi keilmuan IPA, Guru B, dan C yang melihat bahwa murid juga mempunyai wewenang untuk membentuk pengetahuannya. Namum, guru B tetapi melihat bahwa pengamatan tetap merupakan bagian utama dari pembelajaran IPA. Guru C nampaknya lebih mendekati pandangan epistemologi dengan pandangan kewacanaan.

2. Di mana Pengetahuan itu Berada?

Disamping pandangan mengenai sumber pengetahuan, epistemologi juga mempermasalahkan keberadaan dari pengetahuan. Pertanyaan yang lebih khusus dalam pengajaran IPA adalah:

(5) Sehubungan dengan pembelajar, di mana pengetahuan itu berada?

Pertanyaan ini muncul karena adanya pandangan sepihak bahwa berdasarkan hubungan antara pakar disiplin dan domain substantifnya maka lokasi pengetahuan tersebut adalah pada pakar itu sendiri. Tetapi apakah ini tidak bertentangan dengan pandangan pada isu (4) bahwa disamping bersifat universil, kebenaran juga dapat bersifat lokal. Jadi sehubungan dengan disiplin pengajaran, pengetahuan tersebut dapat juga berada didalam kelas sebagai proses sosial membangun ilmu.

Guru C kiranya menjadi wakil dari pandangan keilmuan seperti yang diinginkan oleh disiplin keilmuan, sedangkan Guru A dan Guru B lebih cenderung kepada pandangan keilmuan. Hal ini akan lebih jelas jika diingat bahwa pengetahuan yang dikembangkan di dalam kelas adalah materi-subyek yang sebenarnya merupakan representasi dari ilmu yang dimiliki oleh pakar disiplin.

3. Bagaimana Pengetahuan itu Diperoleh?

Posisi dari IPA terhadap isu ini adalah posisi empirisi, seperti yang diperlihatkan oleh ketiga Guru diatas. Tetapi secara epistemologi, ilmu dapat tidak dibentuk hanya oleh pengamatan, melainkan juga oleh pikiran kreatif. Khususnya, untuk proses belajar-mengajar isu diatas dapat dirinci menjadi:

(6) Apa kontribusi pengamatan dan aktivitas mental terhadap upaya untuk memperoleh pengetahuan?

(7) Sejauh mana pengetahuan itu ditermukan, bukan diciptakan?

Dari pandangan wacana keilmuan, yang melihat bahwa pengembangan ilmu ditentukan bukan hanya oleh pengamatan, berarti apa yang dilakukan oleh pengajar, murid, dan buku teks adalah pelaku-pelaku.

C. Struktur Ilmu dalam Pengajaran IPA

Bab ini mencoba mengukuhkan peranan struktur ilmu dalam tugas eksplanasi pedagogi untuk menolong pemahaman yang lebih mendasar dari tugas mengajar. Struktur keilmuan memberikan kejelasan posisi dari materi-subyek dilihat sebagai hasil prumusan kurikulum dan hubungannya dengan keinginan bahwa pelajaran sekolah lanjutan harus merupakan wakil setia dari disiplin keilmuan. Yaitu, mata pelajaran sekolah merupakan pengantar yang absah kepada disiplin ilmu menurut nama yang disandangnya: biologi yang diajarkan disekolah harus sesuai dengan biologi yang diketahui oleh pelaku ilmuan. Ini dapat diwujudkan jika konsep kunci dan operasi intelektual yang digunakan oleh peneliti dapat diidentifikasi dan diungkapkan lebih eksplisit (Gardner, 1975).

Selama ini, pengajaran IPA sebahagian besar adalah kumpulan kesimpulan berupa sifat-sifat, formula, hukum-hukum, persamaan reaksi, deskripsi proses, dsb. Ketrampilan intelektual yang membawahi kesimpulan-kesimpulan tersebut jarang ditekankan, bahkan mengalami distorsi, atau terabaikan. Konsep IPA diperkenalkan seolah-olah sudah merupakan kenyataan yang lazim tanpa perlu meragukan bahwa konsep tersebut mungkin tidak sejalan dengan kehidupan sehari-hari. Contohnya, tanpa memperhatikan ketrampilan intelektual yang mendasarinya, hukum Newton dipandang sebagai suatu prinsip yang lazim; padahal ini berlawanan dengan kenyataan bahwa setiap benda yang bergerak selalu memerlukan gaya agar tetap bergerak seperti yang dikemukan oleh Aristotles. Konsep gesekan dan hambatan udara dalam kehidupan sehari-hari merupakan kenyataan yang selalu menyertai setiap benda yang bergerak. Apakah mungkin membuktikan hukum Newton tanpa asumsi-asumsi non-empirik?

Kesulitan diatas hanya mungkin diatasi dengan menyertakan pembicaraan struktur ilmu yang sebenarnya merupakan asas pembenaran terhadap kesimpulan-kesimpulan IPA. Diantaranya pengungkapan bahwa hukum Newton bukanlah suatu hukum empirik, melainkan hukum hasil penalaran deduktif.

D. Struktur Keilmuan Menurut Analisis-wacana

Ilustrasi pandangan pengajar yang cenderung dikendalikan oleh pengetahuan praktisnya seperti yang ditampilkan sebelumnya cukup memadai untuk menurunkan struktur pengetahuan. Disamping orientasi personal, di dalam kelas struktur pengetahuan tersebut juga berorientasi sosial. Tetapi, lebih penting adalah bahwa dasar konstruksi pengetahuan dari tugas mengajar dapat dibuat lebih eksplisit berdasarkan analisis wacana.

Implikasi dari pandangan diatas adalah bahwa tugas mengkonstruksi pengetahuan berlangsung dengan wacana sebagai media interaksi dan selanjutnya juga merupakan media penting untuk menghasilkan data. Peranan analisis wacana dengan demikian adalah untuk membuat pembedaan antara struktur sintagmatik (struktur permukaan wacana) dan struktur paradigmatik (struktur dalam yang ditentukan oleh materi-subyek). Struktur ilmu dengan demikian lebih berhubungan dengan struktur paradigmatik. Struktur sintagmatik berhubungan dengan organisasi sekuensial sedangkan struktur paradigmatik berhubungan dengan organisasi dari materi-subyek dari wacana. Disini, istilah materi-subyek perlu dilihat sebagai struktur yang terdiri tidak hanya konten, tetapi juga substantif, dan sintaktis. Aspek kontent, yang karena kedudukannya sebagai komponen dari aspek substantif dalam analisis dapat diwakili oleh aspek substantif.

Cukup penting untuk melibatkan pandangan Shulman (1987) dalam pembicaraan mengenai struktur materi-subyek yang melihatnya sebagai terdiri atas aspek konten, aspek substansi, dan aspek sintaktikal. Aspek sintaktikal kiranya dapat sejajar dengan aspek epistemologi dari keilmuan dengan membatasi pembicaraan tidak lagi dihubungkan dengan tugas mengembangkan ilmu, tetapi dengan tugas merekonstruksi pengetahuan kedalam bentuk yang lebih sederhana. Aspek sintaktikal dalam hal ini berhubungan dengan upaya menjaga agar, dalam konteks pedagogi, konstruksi konten menjadi struktur substansi tetap mengikuti dasar pengembangan (hukum, aturan, teori, dlsb) dan dasar validasi (metodologi) dari materi-subyek.

Gambar 1.1 menampilkan struktur ilmu menurut dimensi sintaktikal dan dimensi substantif menurut tahapan pengembangan ilmu seperti yang ditunjukkan oleh label italik tebal dalam tanda kurung. Pemetaan ini perlu mengambil pandangan wacana, karena aspek sintaktikal sebenarnya dikendalikan oleh motif penulis buku teks; jadi sebenarnya merupakan teritori analisis-wacana. Pengoperasian ketrampilan intelektual dengan demikian dapat dikembangkan berdasarkan tindakan wacana (aspek sintaktikal) yang diterapkan terhadap unsur-unsur dalam aspek substantif.

Gambar 1.1

Hubungan Antara Aspek Sintaktikal dan Aspek Substantif

(Menurut Gardner, 1976)

Mendefinisikan:Proses menemukan konsep baru atau meminjam yang sudah ada utk mengembang-kan teori baru (Abduction)Konsep Teoretis:Rujukan terhadap entitas yang merupakan ide kunci

Menghubungkan:Proses Menalar utk merumus-kan pernyataan hubungan an-tar konstruk atau persamaan matematik (Intraduction).Struktur Logika:Operator logika yang menghu-bungkan konsep teoretis dalam bentuk persamaan matematik atau pernyataan

Menguji:Proses menghubungkan konstruk dengan definisi operasional (Transduction).Definisi Operasional:

Pernyataan mengenai bagaimana konstruk dihubungkan dengan observasi.

Memroduksi:Proses memrediksi teori yang dapat diuji secara empirik biasanya melalui deduksi (Production).Model Teoretis:

Gambaran mental atau hubungan yang memudahkan visualisasi untuk memapankan peristilahan

Dalam bentuk formal, hubungan kedua aspek ini diperankan oleh operasi logika; jadi merupakan fasilitas untuk mewujudkan fungsi sintaktikal terhadap elemen- elemen didalam dimensi subsatantif. Operasi tersebut sifatnya spesifik menurut disiplin keilmuan. Sebagai contoh, kebiasaan Mendefinisikan suatu Konsep Teoretis dalam pendidikan cenderung kurang formal, karena artikulasi konsep berkembang menurut pemahaman. Tetapi, dalam sains fungsi tersebut bersifat formal karena merupakan dasar untuk merumuskan model teoretis atau matematik. Sifat spesifik ini merupakan salah satu dasar penting untuk merumuskan tradisi wacana suatu disiplin keilmuan (Matthiesen, 1993).

E. Kasus Penemuan Neutrino

Dari disiplin fisika mengenai antar hubungan aspek sintaktikal dan aspek substantif, sejarah penemuan neutrino oleh Wolfgang Pauli pada tahun 1931(Gardner, 1975) merupakan ilustrasi yang memadai untuk memperlihatkan hubungan aspek sintaktikal dan aspek substantif. Penemuan tersebut dimulai dari pengamatan peluruhan In116 berdasarkan reaksi:

49In116 ---------> 50Sn116 + -1eoGambar 1.2.

Persamaan Reaksi Peluruhan Logam Radio Aktif

Yang menjadi pengetahuan substantif dari proses penemuan neutrino adalah reaksi peluruhan 49In116 menjadi 50Sn116 dan -1eo (Gambar 1.2.), sedangkan yang menjadi pengetahuan konten adalah setiap partikel yang terdapat dalam reaksi tersebut. Aspek sintaktikal dari penemuan ini perlu memperhatikan terlebih dahulu aspek substansi yang terlibat. Reaksi peluruhan tersebut perlu dirujuk sebagai model teoretis dari reaksi peluruhan 49In116 dan persoalan yang muncul. Sebagai model dasar, pengembangan reaksi peluruhan menjadi terarah, diantaranya kemungkinan membuat prediksi menurut aspek sintaktikal berupa hukum, aturan, heuristik, atau intuisi.

Elektron yang dipancarkan dalam reaksi peluruhan ini ternyata mempunyai energi kinetik lebih kecil dari biasanya, (2,95 Mev) dengan rata-rata hanya 1.30 Mev, yang berarti sejumlah energi tertentu hilang. Wolfgang Pauli memperkirakan bahwa jika hukum kekekalan energi diberlakukan terhadap reaksi peluruhan tersebut, seharusnya ada partikel lain yang dipancarkan bersamaan dengan elektron (tahap intraduction). Partikel ini disebutnya neutrino (yang kecil netral) yang dalam tahap pengembangan teori disebut abduction. Pengetahuan sintaktikal yang diterapkan disini adalah suatu prediksi keberadaan suatu konstruk teoretis neutrino yang hampir tidak mempunyai sifat-sifat yang dapat dideteksi secara lazimnya, karena tidak mempunyai massa diam, dan muatan (tahap transduction).

Lebih dari 20 tahun kemudian, secara empirik Reines dan Cowan tahun 1956 berspekulasi bahwa neutrino dapat berinteraksi dengan proton menghasilkan neutron atau positron. Dengan menggunakan reaktor nuklir bertenaga tinggi, mereka dapat menghasilkan emisi beta (yang juga melibatkan neutrino) berkecepatan tinggi dan menemukan kejadian yang sesuai dengan spekulasi tersebut. Aspek sintaktikal yang terlibat disini adalah menguji aspek substantif definisi operasional definisi bagaimana konstruk teoretis neutrino dihubungkan dengan observasi (tahap production).

Reaksi peluruhan In116 menjadi Sn116 merupakan aspek substantif dari pengetahuan reaksi inti yang dibentuk oleh pengetahuan konten 49In116, 50Sn116, dan -1eo . Pengetahuan sintaktikal yang terlibat dalam reaksi ini adalah ditemukannya partikel neutrino menghasilkan elektron dengan energi yang lebih kecil dari lazimnya, yaitu lebih kecil dari 2.29 Mev, dengan energi rata-rata 1.30 Mev. Spekulasi Wolfgang Pauli bahwa neutrino memancar bersamaan dengan elektron yang menyebabkan energi kinetiknya berkurang merupakan hasil prediksi menggunakan reaksi peluruhan In116 sebagai model dan hukum kekekalan masa sebagai dasar.

F. Ilustrasi Analisis Artikel Penelitian Pengajaran IPA

Untuk melihat interaksi fungsi sintaktikal dan fungsi substantif dari pengembangan ilmu di dalam disiplin ilmu pengajaran IPA, dalam apendikss ditampilkan ilustrasi analisis artikel. Dalam penemuan neutrino, yang menjadi contoh dari disiplin ilmu fisika, aspek yang dilibatkan dalam fungsi substantif cukup terbatas pada persamaan reaksi dari peluruhan Indium. Dalam penelitian pengajaran, disamping materi-subyek, aspek lain juga dilibatkan seperti aspek psikologi (kesulitan pembelajar dalam membedakan konsep initi panas dan temperatur ), aspek pbm (penelitian juga bertindak sebagai guru kelas), dan aspek praktikum (dasar keilmuan dari topik pengajaran untuk melihat pemahaman murid), dsb.

Upaya untuk memahami artikel penelitian dapat lebih mudah jika penulis mencoba menganalisis permasalahan yang dihadapi oleh penulis artitkel dengan memetakannya menurut hubungan totalitas dari PBM yang dibentuk oleh interaksi pengajar, pembelajar, dan materi-subyek. Jika tidak, pembaca dapat mengalami kebingungan yang berkelanjutan, karena banyak hal yang sebenarnya perlu diketahui tetapi oleh penulis hanya secara implisit diungkapkan. Antar-ketergantungan dari ketiga komponen PBM dapat meragamkan satu topik secara mengejutkan, karena secara wajar dapat menghasilkan kurang-lebih 54 desain penelitian. Angka tersebut diperoleh jika diasumsikan bahwa setiap komponen melibatkan 3 konstruk teoretis dan hubungan ketergantungan setiap komponen dapat berlangsung menurut dua arah. Komponen pengajar dapat dikategorikan menjadi senior, madia, dan pemula; komponen materi-subyek dapat dikategorikan menurut dimensi rumit-sederhana, abstrak-konkrit, dan dinamik-statis; sedangkan komponen pembelajar dikategorikan menjadi kelompok atas, tengah, dan bawah.

Disamping analisis, bab ini juga melibatkan kritikan terhadap artikel penelitian untuk menajamkan pandangan pembaca. Diyakini bahwa pemahaman yang fungsional hanya dapat mewujud jika pembaca juga telah mampu melihat kelemahan-kelemahan suatu artikel. Jadi dalam bagian-bagian berikut, analisis juga dilengkapi dengan kritik bilamana dirasakan tepat saatnya untuk dikemukakan.

III. STRUKTUR PBM MENURUT PEDAGOGI MATERI SUBYEK

A. Tahapan Pengembangan PBM

Bagian ini memperkenalkan struktur pbm hasil pemetaan permasalahan yang mendasarinya untuk menelusuri motif yang mengawali setiap tindakan dalam pbm. Setiap motif ini merupakan upaya untuk mentransformasi eksplanasi ilmiah menjadi eksplanasi pedagogi yang seyogianya mengacu pada struktur ilmu agar hasil transformasi memenuhi kritteria teachable dan accessible. Keseluruhan strutktur pbm dengan demikian dapat dilihat sebagai suatu totalitas yang dibentuk oleh komponen materi-subyek komponen pengajar, dan komponen pembelajar dalam suatu hubungan ketergantungan untuk membangun pengetahuan.

Untuk berlaku lebih adil dalam merumuskan struktur pbm, berbagai pandangan pakar disiplin yang mempunyai kaitan erat dengan komponen-komponen pbm tersebut perlu terlebih dahulu dikemukakan sesuai dengan kronologi pengembangannya. Upaya awal dari pengembangan ini banyak dimotivasi oleh penelitian standar yang belum ditandai oleh yang belum mengenal kriteria totalitas dan logika internal pbm. Keadaan ini menyebabkan awal pengembangan tersebut merupakan upaya yang terkotak-kotak yang mudah dipahami karena disiplin ilmu yang melatari pengembangan tersebut cukup dominan. Awal pengembangan ini banyak dimotori oleh pandangan sepihak dari psikologi pembelajaran dari pekerjaan Skinner yang memusatkan diri pada komponen pembelajar.

Pada pertengahan perkembangannya, penelitian pbm didominasi oleh pandangan interaksi kelas yang mencoba menentukan karakteristik pengajaran yang sukses berdasarkan tingginya frekuensi kegiatan pembelajar dibandingkan dengan kegiatan pengajar. Pandangan ini banyak dimotivasi oleh disiplin sociolinguistik; interaksi dideskripsikan oleh karakteristik dari fungsi ucapan seperti meninisiasi, menerima, menolak, menjawak, dlsb. Pekerjaan Flanders merupakan acuan utama dari penelitian ini yang dikembangkan lebih lanjut berdasarkan karakteristik dari materi-subyek .. Pembicaraan struktur ilmu untuk mendeskripsikan pbm belum banyak dilibatkan, kalaupun ada ini masih terbatas pada aspek konten dan aspek substansi, belum secara utuh sebagai struktur ilmu.

Kedua pengembangan diatas ditandai oleh belum dilibatkannya materi-subyek dalam analisis secara komponen tersendiri, melainkan pada menggiatkan pembelajar dalam pbm. Keterbatasan ini mudah dipahami karena munculnya analisis wacana yang memusatkan diri pada materi-subyek baru dimulai sekitar tahun 1975 sejalan dengan munculnya komputer yang mendekati kemampuan berfikir manusia. Walaupun pengembangan sudah melibatkan hubungan ketergantungan, jadi telah mulai menerapkan kriteria totalitas, kriteria logika internal yang menjadi kerangka kerja bagai pemetaan kompleksitas pbm belum mendapat peran yang memadai. Karenanya, pekerjaan yang cukup komprehensif yang memampu mengimbangi kompleksitas pbm belum muncul. Kekeliruan induktif: Fallacy of Complex Questions, yaitu solusi dua alternatif berupa menerima atau menolak hipotesis terhadap masalah yang kompleks dapat diterapkan pada pekerjaan dalam tahapan ini.

Pengembangan selanjutnya, dengan demikian, perlu mengkonsentrasikan diri pada kompleksitas dari permasalahan pbm. Kompleksitas ini merupakan karakteristik dari pengembangan sekarang ini yang oleh pandangan pedagogi materi-subyek dicoba dengan mengidentifikasi pbm sebagai fenomena wacana. Upaya ini secara teoretis meletakkan dasar untuk mulai memetakan permasalahan pbm untuk menghindari pekerjaan dari kemungkinan dilanda oleh kekeliruan lain: Fallacy of Composition, yaitu asumsi bahwa apa yang berlaku pada salah satu komponen pbm juga berlaku untuk keseluruhan pbm. Salah satu upaya yang tengah dikembangkan sejalan dengan kehati-hatian ini adalah pedagogi materi-subyek yang dikembankan berdasarkan totalitas dan logika internal pbm.

Struktur pbm dikemukakan bersamaan interaksi pelaku-pelakunya dalam rangka membangun pengetahuan berdasarkan model trialogue dari pbm. Seperti telah disinggung dalam Pendahuluan, asumsi ini terutama berlaku atas interaksi tersebut dengan pandangan bahwa setiap pelaku pbm mempunya hak prerogatif yang diperlukan untuk memelihara kelangsungan interaksi tersebut dengan memberikan hak prerogatif kepada pengajar untuk mengendalikan wacana dari pbm. Hak prerogatif juga diberikan untuk memastikan keberhasilan pembelajar, yaitu berupa hak untuk bertanya dalam rangka mengembangkan pemahamannya. Hak ini diperlukan untuk menyehatkan hak mengendalikan pembelajar, karena keberhasilan pengendalian tersebut banyak ditentukan oleh sikap kerja-sama pembelajar dalam melaksanakan hak bertanyanya. Keseluruhannya adalah agar interaksi untuk membangun pengetahuan berlangsung dengan merujuk pada nilai kebenaran yang merupakan hak prerogatif dari materi-subyek.

Pemahaman atas permasalahan juga menempati posisi penting dalam sturktur pbm yang sebenarnya adalah hasil pengembangan struktur pbm oleh analisis wacana. Setiap pelaku merupakan wakil dari pandangan keilmuan: materi-subyek mewakili disiplin ilmu murni, pembelajar mewakili disiplin psikologi, sedangkan pengajar mewakili disiplin pedagogi. Interaksi untuk membangun pengetahuan dengan demikian selalu dilatar-belakangi oleh disiplin keilmuan tersebut.

Pengembangan desain dengan demikian cukup dipermudah oleh analisis permasalahan karena interaksi dapat dimanipulasi dengan jalan menjaga salah satu dari pelaku pbm tersebut konstan, sedangkan yang lainnya dapat dibiarkan bervariasi secara waja. Dengan demikian keseluruhan permasalahan pbm dapat dipilah menjadi masalah-masalah yang cukup kecil yang lebih memadai untuk diteliti sesuai dengan kendala waktu, biaya dan kerumitan masalah.

B. Definisi Pbm

Untuk memberikan suatu pandangan posisi dari pandangan penulis mengenai pbm, perkembangan pandangan penelitian standar, analisis wacana, dan pedagogi materi subyek perlu kiranya dikemukakan. Ketiga pandangan ini mewakili tahap-tahap perkembangan dari pemahaman struktur pbm menurut konologinya. Perlunya pemahaman atas perkembangan adalah untuk mendukung peranan materi-subyek dalam pbm yang selama ini tidak muncul sebagai komponen yang secalan dengan komponen lainnya.

1. Pandangan Penelitian Standar

Sebagai upaya awal, definisi yang lebih operasional barangkali menolong sebagai ide pembuka. Nampaknya, seperti telah disinggung diatas, Hopkins (1992), contohnya, belum melihat peranan sentral dari komponen materi-subyek dalam PBM terlihat dari konsentrasi pekerjaannya pada interaksi dan prilaku mengajar atau belajar.

Suatu tindakan yang diambil oleh guru atau koleganya untuk meningkatkan pengajaran, menguji teori dalam praktek (hal.1).

Dari definisi ini, Hopkins sebenarnya kurang melihat konteks yang lebih mendasar dari PBM yaitu mengkonstruksi pengetahuan menurut konteks kelokalannya. Pandangannya cukup terikat pada penelitian tindakan, walaupun sudah menampilkan langkah maju dalam melibatkan peranan teori dalam penelitian kelas. Pandangan tradisional mengenai tugas pengembangan pbm adalah peningkatan pelaksanaannya melalui, terutama studi kasus, disamping studi tindakan.

Tetapi secara umum pandangan totalitas dan logika internal PBM belum muncul, terlihat dari pandangannya yang terutama adalah data empirik berupa observasi, tetapi belum melibatkan interviu dan transkripsi sebagai sumber data.

Definisi Hopkins juga kurang menekankan fase pemetaan atau penemuan masalah (fase eksplorasi) yang untuk sementara masih perlu mendasari penelitian kelas. Fase ini diperlukan untuk memberikan kesempatan bagi pengajar mendokumentasi pengetahuan praktis-mengajar. Pandangannya untuk langsung meningkatkan (memperbaiki) pengajaran kiranya kurang menghargai pandangan PBM sebagai budaya kelas.

2. Pandangan Analisis Wacana

Dilain pihak, walaupun penelitian dapat juga melibatkan evaluasi, penelitian kelas perlu menghindarinya karena PBM berlangsung didalam suatu budaya tertentu, yaitu, budaya kelas. Peneliti perlu menghargai berbagai kendala yang pada batas tertentu juga membentuk budaya sekolah. Kiranya, peneliti yang menerapkan suatu skala penilaian sebagai dasar untuk membuat perbaikan, tanpa menghargai kendala yang ada, merupakan tindakan yang mengabaikan totalitas permasalahan. Tugas utama penelitian adalah mendeskripsikan PBM seakurat mungkin menurut kendala yang sehari-hari harus dihadapi oleh pengajar dan pembelajar.

Definisi penelitian-kelas, seperti telah dikemukakan, juga perlu melibatkan peranan materi-subyek karena kurangnya perhatian terhadap peranan ini telah menyebabkan berbagai pendekatan terdahulu menemui jalan buntu. Peranan tersebut perlu mendapat tempat tertentu dalam mendefinisikan penelitian-kelas.

Demikian juga topik (materi-subyek) jarang sekali dibicarakan didalam konteks interaksi langsung muka dengan muka. Yang menjadi keperdulian sentral pakar sosiolinguist adalah bagaimana pembicaraan yang diucapkan oleh pembicara diorganisasi dan dipadu dalam berbagai cara, dan terdengar sesuai dengan situasi sosial (Stubbs, 1984: 44).

Sehubungan dengan pertimbangan diatas, peranan materi-subyek dalam pbm perlu dibuat eksplisit sebagai salah satu komponen utama pembentuk PBM. Peranan ini dinyatakan oleh proposisi-proposisi yang dikonstruksi oleh pembelajar dan pengajar dan merupakan unsur pembentuk materi-subyek. Berbagai aspek yang membentuk suatu penelitian dapat digunakan untuk mendeskripsikan berbagai masalah, tetapi disini karena perhatian tertuju pada penelitian-standar aspek tersebut cenderung diabaikan.

Sehubungan dengan pertimbangan diatas, dalam mendefinisikan penelitian-kelas unsur-unsurnya perlu dipetakan terhadap penelitian-standar. Untuk maksud tersebut, pemisahan penelitian-makro dan penelitian-mikro kiranya menolong untuk merumuskan karakteristik penelitian-kelas. Diantaranya yang penting adalah kenyataan bahwa penelitian-standar banyak dikembangkan oleh pakar psikologi sosiologi pendidikan bukannya pakar pendidikan.

Pakar pendidikan merasakan bahwa pandangan pakar-luar diatas kurang memahami secara dekat problema yang terdapat didalam kelas terutama yang dihadapi oleh pengajar. Pada umumnya, pakar-luar tersebut berorientasi kuantitatif menggunakan statistik (pendekatan probabilistik) sebagai dasar untuk membuat eksplanasi. Penelitian-kelas di lain pihak umumnya dikembangkan oleh pakar ilmu sosial atau wacana sosial dengan orientasi lebih pada PBM. Pendekatannya lebih berorientasi kualitatif terutama analisis wacana, walaupun pendekatan ini kemudian dapat dikuantitatifkan untuk memudahkan tugas menganalisis data.

3. Pandangan Pedagogi Materi Subyek

Deskripsi penelitian kelas pada bagian sebelumnya meletakkan dasar bagi definisi pendahuluan penelitian kelas; definisi yang lebih ketat dan formal sebenarnya masih terlalu sulit karena konsep mengenai penelitian kelas itu sendiri berkembang mengikuti pemahaman yang semakin mendalam. Diantaranya, ini menyangkut masih belum memadainya deskripsi metodologi karena masih perlu mempertimbangkan inti permasalahan PBM. Jadi, untuk sementara, definisi yang cukup memadai adalah bahwa:

Upaya bersama dalam bentuk suatu antar-ketergantungan materi-subyek, pembelajar, dan pengajar sehubungan dengan isu totalitas dan logika-internal dari tugas sosial mengkonstruksi pengetahuan dari PBM.

Untuk memahami PBM, seseorang perlu melakukan observasi langsung/tak-langsung, dan interviu untuk mendalami gejala-gejala yang muncul dari kondisi antar ketergantungan.Observasi dan interviu perlu memelihara kondisi lingkungan alamiah PBM dengan jalan menerapkan kehatian-hatian pandangan naturalistik yang diantaranya dengan menghndari intervensi atau menekan dampaknya menjadi sekecil mungkin. Agenda pengamatan seyogianya didasari oleh teori tertentu agar pengumpulan data dapat mengacu pada sistim deskriptif tertentu. Sistim ini merupakan pewujudan dari pandangan totalitas dalam menerapkan metodologi penelitian kelas.

C. Antar-hubungan Komponen PBM

Keberhasilan PBM dalam meningkatkan pemahaman materi-subyek yang utuh dan kritis berhubungan erat dengan upaya pengajar dan pembelajar untuk mengkonstruksi kerangka-berfikir bersama. Upaya mengkonstruksi tersebut diwujudkan melalui interaksi verbal dalam bentuk wacana antara komponen-komponen materi-subyek, pengajar, dan pembelajar. Istilah materi-subyek, pengajar, dan pembelajar, di satu pihak, dan mengkonstruksi di lain pihak, masing-masing adalah totalitas dan logika-internal dari PBM. Interaksi dari ketiga komponen totalitas tersebut berlangsung berdasarkan hubungan ketergantungan yang saling menguntungkan dengan melihat setiap komponen sebagai kewenangan wacana menurut posisinya masing-masing. Kewenangan pengajar adalah sebagai pengendali yang berkaitan dengan tugas menyelaraskan materi-subyek untuk meningkatkan interaksi kelas. Kewenangan pembelajar adalah sebagai pemula yang berkaitan dengan tugas memahami nilai kebenaran dari materi-subyek melalui interaksi kelas. Kewenangan materi-subyek adalah sebagai rujukan nilai kebenaran bagi interaksi kelas karena peranannya sebagai wakil disiplin ilmu.

Pandangan diatas nampaknya tidak sejalan dengan pandangan belajar aktif yang yakin bahwa belajar yang melibatkan diskusi kelompok, proyek, dan pengalaman langsung. Walaupun pandangan ini secara intuitif menarik dan diterima umum tanpa ragu, tetapi bukannya tanpa masalah. Cukup mendasar untuk juga memperkirakan bahwa belajar aktif juga mengandung maksud yang telah ditetapkan sebelumnya oleh buku teks atau guru.

Barnes (1976), contohnya, menemukan bahwa walalupun pembelajar dilibatkan dalam pembelajaran kolaboratif fan jelas menekankan keaktifan, ternyata pengajar mempunyai wewenang penting dalam menentukan definisikan dan mengendalikan bentuk wacana yang diperbolehkan selama pembelajaran. Strategi untuk mencapainya termasuk pemihakan kepada jawaban pembelajar tertentu tetapi tidak yang lain, dan mengajukan pertanyaan tertentu untuk mengarahkan pembelajar kepada jawaban tertentu. Lebih jauh, ditemukan bahwa hanya sedikit pembelajar yang dapat melihat prinsip yang ingin dimapankan melalui kegiatan. Lebih sering pembelajar melakukan kegiatan tersebut hanya sebagai ritual yang harus diikuti untuk menyenangkan guru. Gantinya berupaya untuk mengembangkan pengertian yang asli, pembelajar hanya membuat perkiraan dan pendapat yang kiranya sesuai dengan harapan pengajar.

Dari situasi diatas mungkin sukar menyimpulkan bahwa murid aktif membangun pengetahuannya, sementara adalah guru yang mengetahui jawaban, mengemukakan pertanyaan. Kedua peneliti tersebut nampaknya cukup tegas menyimpulkan bahwa:

Kebebasan pembelajar untuk mengemukakan pendapatnya sendiri sebagian besar adalah ilusif; pengajar dengan tegas tetap memegang kendali atas apa yang seharusnya dikatakan dan dilakukan, kesimpulan apa yang seharusnya dicapai, interpretasi apa yang seharusnya diajukan atas pengalaman (hal. 807).

Jadi cukup beralasan untuk mempertimbangkan situasi yang lebih realistik mengenai pelaksanaan pbm menurut pandangan wacana mengenai pedagogi kelas seperti dikemukakan diatas. Kompleksitas pbm nampaknya perlu didekati dengan mempertimbangkan subjektivitas setiap pelaku pbm, konteks sosial budayanya, dan dasar trialogue dari interaksinya. Pendekatan sosiokultural berupa dasar trialogue ini merupakan faktor pembeda terhadap pendekatan Piaget yang menekankan fungsi kongnitif individual atau model pembelajaran psikologi lainnya. Dasar trialogue tersebut juga merupakan pengoperasian dari asumsi pbm sebagai fenomena wacan dan secara menyeluruh mewadahi subjektivitas pelaku pbm, dasar dialogikal dari pembentukan makna sesuai dengan konteks sosio-kultural sekolah.

Berdasarkan dasar trialogue diatas, lebih jauh studi mengenai kehidupan kelas pada ahirnya harus memperlihatkan logika-internal PBM yang membawahi interaksi ketergantungan dari setiap pelaku pbm. Dasar trialgue tersebut dapat diungkapkan berdasarkan motif atau tema pokok yang mengendalikan hubungan dialogikal pengajar, pembelajar, dan materi-subyek.

Fungsi motif memudahkan analisis pembentukan makna menurut konteks kesehari-harian dimana interkasi dialogikal berlangsung. Unit-unit tindakan yang membentuk suatu motif adalah unit-unit wacana yang juga merupakan unit bersama setiap komponen. Adanya unit analisis bersama ini merupakan fasilitas untuk mengungkapkan hubungan antar-ketergantungan dari komponen-komponen dalam PBM.

Tindakan seseorang sebenarnya merupakan hasil konstruksinya secara aktif berdasarkan interpretasi terhadap kejadian di dalam lingkungannya. Mempelajari tindakan seseorang perlu melibatkan perspektif yang mengendalikan (tetapi juga dipengaruhi oleh) tindakan tersebut yang selanjutnya berkembang menjadi interaksi sosial. Metodologi sosial yang sesuai untuk mempelajari tindakan tersebut adalah etnografi. Seperti telah dikemukakan, etnografi digunakan untuk mempelajari interaksi sosial tersebut dalam bentuk hubungan antar-ketergantungan secara alami menggunakan observasi, partisipasi informal, dan percakapan sebagai metoda.

Untuk lebih memapankan pandangan diatas dengan kriteria totalitas dan logika internal, hubungan ketergantungan komponen-komponen PBM dan konteks sosialnya perlu dipetakan terlebih dahulu. Rumusan hubungan ketergantungan yang dihasilkan oleh pemetaan tersebut menjadi dasar untuk selanjutnya memetakan PBM kedalam area-area penelitian kelas.

Gambar 3.1

Model Trialogue PBM

Kurikulum

Presentasi

Pembelajar Pengajar

Organisasi Transformasi

Materi-subyek

Konteks

Hasil-Belajar

1. Komponen Pengajar

Pandangan terhadap peranan guru dalam proses belajar- sangat beragam bergantung pada latar belakang pakar. Terutama di tahun 70 hingga 80-an saat minat dan perhatian para akhli terpaku pada teori belajar, seperti (Yinger, 1982):

(1) Studi motivasi belajar.

(2) Minat.

(3) Pertumbuhan.

(4) Kesiapan pembelajar.

Peranan guru diganti oleh paket-paket instruksional yang karenanya kurang menghargai peranan aktif guru. Dasar teoretisnya adalah belajar aktif lebih unggul dari pada belajar secara kelas yang umumnya didominasi guru.

Tetapi terlepas dari anggapan diatas, guru sebenarnya mempunyai peranan penting dalam mendefinisikan dan mengendalikan bentuk wacana yang wajar selama pembelajaran. Pengendalian tersebut diarahkan pada memberikan kemudahan pada pemahaman yang lebih mendalam oleh pembelajar. PBM dapat diarahkan pada pemahaman teori-teori untuk mengembangkan kemampuan membuat eksplanasi oleh pembelajar dan menguji eksplanasi tersebut terhadap pengetahuan mereka yang sudah ada.

Strategi yang dilakukan oleh guru untuk mewujudkan pemahaman tersebut dapat mengambil bentuk:

(1) Mendukung interpretasi murid-murid tertentu, tetapi tidak untuk kelompok lain.

(2) Mengisyaratkan pembelajar mengenai pandangan tertentu.

(3) Memperkenalkan aturan tertentu untuk mengesampingkan kepincangan.

(4) Memudahkan pembelajar membuat pilihan untuk memastikan bahwa pandangan yang diinginkan sesuai dengan kerangka waktu yang dialokasikan.

Secara ideal, pembelajar dapat mengupayakan sendiri pemahaman yang mendalam, tetapi karena berbagai kendala yang ada di rumah maupun di sekolah sekarang ini membuat upaya tersebut sukar. Bahkan sebagian besar pembelajar cenderung kurang mempunyai kekuatan intelektual yang diperlukan untuk mewujudkan pembelajaran aktif. Melalui wacana, peranan pengajar cukup penting dalam membangun pemahaman pembelajar melalui upaya menyederhanakan proses pemahaman teori yang prosesnya berlangsung dari abstrak ke konkrit (Varelas, 1996).

2. Komponen Pembelajar

Pandangan etnografi terhadap proses mengkonstruksi ilmu selama pembelajaran menginginkan agar PBM berlangsung lebih wajar. Terutama sehubungan dengan materi-subyek, ini menyangkut (Louhglin, 1992):

(1) Apa yang telah diketahui,

(2) bagian yang sulit dan mudah, dan

(3) yang erat hubungannya dengan pengalaman.

Terhadap kepentingan siswa sendiri ini menyangkut:

(1) Kondisi kecemasannya,

(2) Bagian yang menarik, mendorong,

(3) Menantang hari depannya.

Sebagai kelompok belajar, pengajar perlu memperhatikan pembelajar sebagai:

(1) Individu dalam konteks perkembangannya.

(2) Rujukan yang cocok untuk memacu pembelajaran menurut kelompok prestasi.

(3) Waktu yang tepat pembelajar diberi arahan, melalui pengendalian.

(4) Saat yang tepat untuk mengurangi atau meniadakan pengendalian tersebut.

3. Komponen Materi-Subyek

Komponen Materi-subyek berfungsi sebagai konten wacana dalam PBM. Istilah konten disini mengambil pengertian umum, yaitu, media untuk berlangsungnya kegiatan belajar-mengajar. Peranan sentral materi-subyek diwujudkan sebagai komponen yang menjadi rujukan dalam proses mengkonstruksi pengetahuan:

(1) Pengajar merujuknya untuk mengorganisasi dan mempresentasi pelajaran.

(2) Pembelajar merujuknya untuk memahami dan mengembangkan strategi belajar tertentu.

Tugas pemetaan dengan demikian dapat diarahkan kepada deskripsi dari fungsi-fungsi ini.

D. Eksplanasi Ilmiah vs Eksplanasi Pedagogi

Gambaran diatas adalah mengenai komponen dari pbm yang belum mengungkapkan antar-hubungannya secara lebih terfokus pada logika internal pbm, yaitu, tugas membangun pengetahuan. Jika dilihat bahwa tugas utama pengajar adalah memberikan suatu eksplanasi, maka pertanyaan yang perlu dikemukakan adalah bagaimana bentuk eksplanasi tersebut. Dapat dipastikan bahwa bentuk tersebut tidak memadai jika disamakan dengan bentuk yang digunakan oleh ilmuwan, karena, target eksplanasi di dalam pbm adalah pembelajar yang status keilmuannya adalah pemula.

Dalam kegiatan belajar berikut, antar hubungan dari setiap komponen dipetakan berdasarkan peranan sentral dari materi-subyek yang dilihat sebagai suatu hasil transformasi ilmu yang dimiliki pakar menjadi suatu representasi tertentu yang cocok dengan pembelajar sebagai target dari eksplanasi. Dikemukakan perlunya pembedaan antara eksplanasi ilmiah dan eksplanasi pedagogi agar kesimpang-siuran antara pandangan antara pakar ilmuan dan pakar pendidikan dapat dibenahi walaupun baru pada tingkat konseptual.

Salah satu bentuk transformasi yang banyak mendasari penulisan buku teks adalah model matematik menjadi model ikonik (metafor visual). Contohnya, transformasi persamaan gelombang Schredinger menjadi teori orbital molekul menggunakan ikon dumbell (halter). Fungsi pedagogi materi-subyek dari model ikonik tersebut terletak pada kemampuannya untuk mengungkapkan kebenaran yang lebih dalam; jadi penggunaannya menyangkut kemampuan eksplanasi yang lebih tinggi (Selley, 1989).

Gambar 5.2 menjelaskan hubungan antara eksplanasi ilmiah dan eksplanasi pedagogik. Untuk pemula (mahasiswa) eksplanasi ilmiah perlu ditransformasikan menjadi bentuk materi-subyek agar memenuhi kriteria mudah-diajarkan dan mudah dijangkau. Mudah-diajarkan berhubungan dengan tugas manipulasi materi-subyek agar materi-subyek sesuai dengan kondisi intelektual peserta didik. Mudah dijangkau merujuk pada transformasi materi-subyek menurut kriteria psikologi pembelajaran.

Gambar 5.2.

Pemetaan Hubungan AntaraEksplanasi Ilmiah dan Eksplanasi Pedagogi

Fungsi Sintaktikal

Fungsi Substantif

Konteks Disiplin

Pernyataan 1Pernyataan 2Pernyataan 3Pernyataan 4. . . . . . . . . . . Pernyataan n

Transfomrasi Fungsi Wacana kedalam

Model Teoretis atau Matematik

Eksplanasi

IlmiahRekan Sejawat sbg khalayak sasaran

Representasi

Materi-Subyek

Pembelajar sbg

Khalayak Sasaran

Pedagogikal Psikologikal

TEACHABLE ACCESSIBLE

Eksplanasi

Pedagogi

Konteks Pedagogi

Ketrampilan

Intelektual

Analisis

Wacana

Salah satu penerapan dari eksplanasi pedagogi adalah perlunya pengajar menurunkan model representasi mengajar yang diperlukan dalam menyajikan materi-subyek di depan kelas. Karena kendala waktu dan tuntutan untuk menolong merekonstruksi kembali materi-subyek tersebut, pengajar dituntut untuk menemukan suatu model representasi pengajaran. Model representasi ini dalam analisis wacana diidentifikasi sebagai struktur makro yang dikendalikan oleh dimensi progresi dan dimensi elaborasi (lihat Gambar 5.4.)

E. Logika Internal

Seperti halnya pada struktur ilmu, inti dari pengembangan ilmu adalah eksplanasi ilmiah, dalam struktur pbm inti ini diperankan oleh eksplanasi pedagogi; masing-masing eksplanasi ini dapat dilihat sebagai representasi dari inti dari pekerjaan pakar ilmuwan dan pakar pendidikan. Karnanya dapat djuga dirujuk sebagai logika internal dari pbm yang menjadi inti dari pengembangannya: tugas besar dari pemahaman pbm adalah pemahaman dari eksplanasi pedagogi dan selanjutnya ini dapat ditingkatkan pada pengembangan pbm.

Dalam konteks yang lebih luas, pakar pbm perlu mempunyai pandangan tertentu mengenai totalitas dari kehidupan kelas dan sosial-budaya sebagau lingkungan kelokalan dimana makna dibentuk dan disepakati. Sebagai logika-internal, seperti telah dikemukakan dalam bagian sebelumnya, inti dari permasalahan ini kiranya cukup terselubung yang kurang dapat dipahami oleh pakar-luar karena pengungkapannya hanya mungkin melalui pendekatan transdisiplin sejalan dengan disiplin-disiplin yang diwakili oleh masing-masing komponen pbm.

Permasalahan rumusan mengenai fenomena PBM lebih jauh menyangkut identifikasinya sebagai fenomena wacana kognitif yang tugas utamanya adalah untuk membangun pengetahuan. Permasalahan instrumentasi menyangkut pengorganisasian instrumen penelitian untuk meningkatkan kemampuan menggalinya, yang disamping bersifat tidak merusak juga sensitif terhadap perubahan antar-aksi komponen yang membentuk PBM.

Tujuan diatas diwujudkan melalui analisis fungsi eksplanasi ilmiah dan eskplanasi pedagogi (pengembangan dari pedagogi materi-subyek) yang diperlukan untuk membuka jalan kepada pengitegrasian tersebut. Jika hubungan ini dapat diformalkan, pengintegrasian pengajaran pada berbagai strata (contohnya, school science, elementry school science, dan mungkin juga teacher science, contohnya, Geddis, 1992) dapat dilakukan secara inferensial berdasarkan pedagogi materi-subyek dan analisis wacana akademik.

1. Model Representasi Mengajar

Pengorganisasian wacana dilakukan menggunakan unit wacana yang dalam hal ini adalah proposisi (Van Dijk dan Kintsch, 1983), karena ikatan wacana dan materi-subyek yang tidak dapat dipisahkan. Tetapi, pengertian proposisi perlu dilonggarkan dari pengertiannya tindakan pengukuhan menjadi pengertian upaya pengukuhan agar penggunaan proposisi tetap sejalan dengan tugas mengkonstruksi ilmu di dalam kelas. Pekerjaan mengkonstruksi ini berlangsung antara pengajar dan pembelajar, dengan pembelajar menempati posisi pemula, sedangkan pengajar sebagai otoritas mewakili ilmuan.

Gambar 5.4 menampilkan secara komprehensif Model Representasi Mengajar berdasarkan argumentasi Toulmin (1957), walaupun tidak secara eksplisit memisahkan fenomena dari teori yang menjelaskan fenomena untuk mendukung klaim. Belakangan ini pekerjaan Toulmin semakin mendapat dukungan empirik. Chambliss (1995) menunjukkan bahwa pembaca mempunyai kemampuan mengenal struktur argumen teks; atau, pembaca juga mampu membangun komponen bila klaim tidak eksplisit model tersebut terutama dibentuk oleh struktur-makro dan struktur- mikro suatu wacana. Interaksi aspek sintaktikal dan aspek substantif dinyatakan oleh proposisi (P-N) dan garis penghubung proposisi. Dimensi progresi mengalurkan proposisi menurut urutan realisasi motif. Dimensi organisasi diperankan oleh dimensi Elaborasi yang mengatur hubungan organisasi struktur-makro atau struktur-mikro yang dalam hal ini diwakili oleh proposisi P-N dan S-n.

Gambar 5.4 Model Representasi Mengajar

TOPICElaborasi

P-I

P

r S-1

o

gP-II

r

eS-2S-3

s

iS-4

P-III

P-IVS-6

S-7S-8

S-9

P-V

S-10S-11

S-12

Organisasi makro-mikro yang merupakan unit analisis diturunkan berdasarkan kriteria Frederiksen (1987) dan Kintsch & van Dijk (1987). Kriteria tersebut mensyaratkan kejelasan antar hubungan unit-unit teks dan ketepatan struktur pengetahuan pada berbagai tingkat. Kriteria pertama dicapai melalui pentahapan wacana menurut dimensi progresi, sedangkan kriteria kedua melalui pengembangan materi-subyek menurut dimensi elaborasi.

Tugas utama dalam analisis-wacana adalah mengorganisasi unit terkecil, proposisi-mikro (pengukuhan yang mewakili struktur permukaan teks) menjadi unit yang lebih besar, proposisi-makro yang secara berulang-ulang dapat digabung menjadi proposisi-makro pada berbagai tingkat abstraksi yang ahirnya menjadi proposisi-global. Dilihat sebagai fungsi realisasi motif, keseluruhan organisasi proposisi yang dihasilkan, disebut struktur-makro, adalah jaringan kerja tema (representasi materi-subyek) yang berhubungan secara super-ordinat (hubungan keatas), subordinat (hubungan kebawah) dan koordinat (hubungan mendatar). Analisis-wacana dengan demikian menjadi dipermudah oleh dua bentuk keteraturan yang saling mengisi, yaitu, urutan proposisi-makro hasil realisasi motif dan keteraturan materi yang dikendalikan oleh materi-subyek.

Menurut analisis-wacana, motif direleasiasikan menurut dimensi vertikal dan horisontal. Realisasi vertikal menyangkut tindakan-makro yang diterapkan dalam rangka mewujudkan tujuan dari suatu wacana (dimensi progresi) dan tindakan makro menurut organisasi tema (dimensi elaborasi). Hubungan sekuensial tindakan-makro didalam dimensi progresi menentukan struktur wacana, sedangkan hubungan antar tindakan makro didalam dimensi elaborasi menentukan struktur materi-subyek yang dibentuk dalam wacana

Model Representasi Mengajar dengan demikian meletakkan dasar untuk mengkonstruksi ilmu yang dipetakan dari hasil transkripsi kegiatan belajar-mengajar. Pendalaman makna diperoleh dari analisis tindakan yang diterapkan terhadap materi-subyek yang dapat berupa tindakan intelektual menginformasikan dan mendalami. Segmentasi transkripsi kedalam unit-unit wacana dilakukan berdasarkan penanda batas wacana.

2. Rumusan Logika Internal PBM

Deskripsi Pengetahuan Konten Pedagogikal (Pedagogical Content Knowledge) yang disarankan oleh Shulman (1987) ditempuh melalui observasi langsung pelaksanaan mengajar oleh guru berpengalaman di dalam kelas. Tetapi sudah dapat diperkirakan bahwa kemungkinan untuk menemukan logika-internal PBM dari pengamatan tersebut adalah kecil karena bragamnya pelaksanaan tersebut. Walaupun keragaman ini penting, tetapi logika internal yang mengendalikannya menjadi sukar dipisahkan karena pembaurannya dengan berbagai aspek seperti yang dikemukakan dalam bagian II.C.2 (Eksplanasi Ilmiah vs Eksplanasi Pedagogi).

Istilah logika-internal merujuk kepada sesuatu yang menjadi sumber dari gejala yang dapat diamati pada permukaan suatu fenomena. Penggunaan istilah logika internal dimaksud untuk mengingatkan kemungkinan peneliti terkecoh oleh gejala-gejala permukaan karena pemunculannya beragam mengikuti situasi, kendala, dan lokalitas dari permasalahan.

Untuk mengatasi pengecohan tersebut, logika internal PBM perlu dikaitkan dengan dasar epistemologi dari penggabungan pedagogi umum dan materi-subyek. Dasar ini nampaknya terlepas dari perhatian Shulman. Seperti telah dikemukakan pada Bagian II.B.2., tanpa memusatkan perhatian pada epistemologi ini, upaya untuk menemukan logika internal yang mengendalikan keragaman pelaksanaan mengajar menjadi sulit.

Totalitas PBM yang telah dikemukakan dalam Bagian II.D., juga perlu menjadi batasan berfungsinya logika internal: logika internal baru dapat dirumuskan jika PBM dilihat sebagai hubungan antar-ketergantungan dari komponen-komponen PBM. Interaksi yang membentuk hubungan ketergantungan tersebut juga perlu dipusatkan pada interaksi kognitif yang dapat dianggap wadah perwujudan dari logika internal. Lebih tepat, dapat dikatakan bahwa interaksi kognitif tersebut dikendalikan oleh logika-internal.

Produk dari pengendalian tersebut mewujud sebagai Model Reperesentasi Mengajar seperti telah ditampilkan dalam Gambar 5.4. Jika diperhatikan, pengendalian tersebut diwujudkan melalui tindakan pengajar terhadap materi-subyek dan tindakan responsif pembelajar terhadap tindakan pengajar tersebut. Tetapi karena tindakan pengajar dapat juga tidak langsung terhadap materi-subyek, yaitu, yang berkaitan dengan tugas sosial mengkonstruksi pengetahuan, keseluruhan tindakan yang diambil dalam rangka mengkonstruksi ilmu perlu dibedakan sebagai tindakan wacana.

Jadi, disamping tindakan pengajar dan pembelajar diatas, tindakan wacana juga mencakup tindakan pedagogi pengajar terhadap pembelajar untuk meningkatkan partisipasi. Tindakan ini sejalan dengan istilah scaffolding-nya Ausubel (1968) mengenai bagaimana menolong pembelajar membangun pengetahuan. Istilah tersebut diambil dari konsep kerangka penopang yang digunakan oleh pekerja dalam menegakkan suatu bangunan. Dalam PBM konsep scaffolding ini merupakan dasar untuk merumuskan tindakan pedagogi yang dilaksanakan oleh pengajar untuk menopang pemahaman.

F. Pengenalan dalam Masalah PBM

Berdasarkan hubungan antar ketergantungan dari proses mengkonstruksi pengetahuan setiap permasalahan yang diangkat dalam suatu penelitian dapat dipetakan dalam model trialogue dari PBM. Sudah dapat diperkirakan bahwa komponen pengajar selalu mendapat peranan yang kurang penting atau bahkan tidak dilibatkan. Kecenderungan ini muncul karena terlalu dominannya teori pembelajaran dalam upaya mengembangkan PBM. Jadi pengembangan masalah kearah pengajaran merupakan upaya yang perlu untuk mengimbangi kecenderungan tersebut dan memperbaiki gambaran yang terdistorsi oleh fokus yang penekanan terhadap komponen pembelajar.

Disamping pengembangan secara menormalkan hubungan antar-ketergantungan yang saling menguntungkan seperti disinggung diatas, pengembangan yang lebih mengarah pada penghalusan dapat menyertakan konstruk-konstruk teoretis yang merupakan deskripsi dari setiap komponen. Contohnya, untuk komponen pembelajar, konstruk teoretis ini adalah bertanya, menjawab, atau bingung yang dapat dilihat peranannya dengan menjaga agar konstruk lainnya dari masing-masing komponen secara sistematis dibuat tidak bervariasi untuk melihat peranan konstruk pembelajar tersebut secara sendiri-sendiri atau secara bersamaan.

skripsi peningkatan yang dimaksud adalah dalam pengorganisasian kembali permasalahan menurut komponen dan konstruknya. Peneliti berada pada posisi yang menguntungkan karena model trialogue tersebut mempunyai kapasitas yang cukup besar untuk mengemulasi setiap permasalahan PBM. Potensi ini terlihat dari kemampuannya untuk mengadaptasikan satu permasalahan menjadi 27 variasi hasil dari interaksi dari dimensi pengajar, dimensi pembelajar, dan materi-subyek. Jika arah interaksi juga melibatkan pilihan mana yang dijadikan sebagai eksplanan atau eksplanandum, variasi tersebut meningkat menjadi 54.

Berarti, topik-topik penelitian skripsi sangat kaya, tetapi hubungan yang satu terhadap yang lain mengikuti suatu variasi yang sistematik. Ke-54 variasi tersebut masih dapat diintegrasikan menjadi satu penelitian. Pengintegrasian seperti ini kurang potensil dilakukan jika tidak didasarkan pada hubungan antar-ketergantungan dari setiap komponen, yaitu logika internal dari permasalahan PBM.

Gambar 2.2

Pemetaan Masalah

Permasalahan: Pemahaman mengenai tekanan udara

Tujuan: Mendeskripsi Konstruksi Pengetahuan

Pemetaan: Tekanan

Udara

Topik apa yang memadai?

Materi-subyek Bgm mengungkapkannya secara utuh? Strategi Rekonstruksi Bgm mewujudkan topik? Presentasi Apakah berpengalaman? Pembelajar Strategi Pengajar

Apa bentuknya? Konteks Siapa yang terlibat?

Hasil Temuan1. Pemetaan Permasalahan

Sebagai upaya awal, pemetaan permasalahan adalah juga intelektualisasi permasalahan dengan mencoba merumuskan hubungan antar ketergantungan dua komponen menurut konstruk teoretis dari permasalahan. Lebih lanjut, antar-hubungan ini masih memerlukan identifikasi salah satu dari komponennya sebagai eksplanan yang akan dibiarkan bervariasi. Contohnya, jika hubungan-ketergantungan tersebut adalah antara materi-subyek dan pembelajar, terdapat dua kemungkinan, jenis studi yaitu:

1. Studi miskonsepsi, jika yang menjadi eksplanan adalah materi-subyek (dibuat bervariasi menurut peralihan konsep dari konkrit ke abstrak dan dari sederhana ke kompleks), dan yang dengan sendirinya pembelajar dibuat tidak bervariasi (siswa saja, atau siswa dan siswi dengan latar belakang yang sama).

2. Studi kesulitan belajar, jika yang menjadi eksplanan adalah pembelajar yang dapat dibuat bervariasi, sedangkan materi-subyek tidak dengan menentukan topik tertentu.

Terlihat dari contoh diatas, intelektualisasi permasalahan menyangkut penentuan fokus (eksplanan) dan kerangka teori (miskonsepsi atau kesulitan belajar). Tetapi intelektualisasi yang lebih menyeluruh adalah memperkirakan jenis penelitian berdasarkan fokus dan kerangka teori dari permasalahan.

2. Pertanyaan Penelitian

Hasil intelektualisasi permasalahan selanjutnya membuka jalan kepada penghalusan permasalahan kedalam pertanyaan penelitian berdasarkan fokus yang telah ditentukan. Mengembangkan pertanyaan tersebut dilakukan berdasarkan pandangan yang sistematik terhadap solusi terhadap permasalahan. Jawaban yang sebenarnya memerlukan jawaban pendukung yang dirumuskan dalam bentuk pertanyaan. Jadi peneliti seolah-olah bekerja mundur ke dasar permasalahan untuk memantapkan jawaban terhadap permasalahan.

Pertanyaan penelitian juga diperkirakan dari fokus permasalahan yang masih memerlukan penajaman berdasarkan konstruk-konstruk dari setiap komponen. Jadi pertanyaan penelitian dapat dirumuskan berdasarkan konstruk-konstruk tersebut yang pengorganisasiannya sejalan dengan desain yang telah diperkirakan dalam analisis pendahuluan.

3. Penentuan Area Penelitian

Dari pemilihan komponen-komponen yang dilibatkan dalam penelitian, langkah penting selanjutnya adalah menentukan area penelitian. Terdapat kemungkinan bahwa studi miskonsepsi, contohnya dapat diteliti menurut area eksplanasi atau area praktikum. Dalam area eksplanasi miskonsepsi diteliti berdasarkan tugas pemecahan masalah oleh siswa; data yang digunakan adalah proses pemecahan masalah yang ditermpuh (verbal atau tertulis). Dalam area praktikum, siswa dihadapkan pada percobaan dan memperkirakan solusi terhadap masalah yang diperagakan oleh praktikum tersebut.

G. Pengalihan Analisis ke dalam Aspek Metodologi

1. Pengembangan Desain

Desain yang telah diperkirakan dalam analisis permasalahan (eksperimen, deskriptif, komparatif) sekarang dapat dibuat lebih rinci dengan menyebutkan secara khusus subyek penelitian, jenis informasi yang diinginkan, bagaimana memperolehnya, bagaimana mempersiapkannya, dan bagaimana menganalisisnya. Organisasi dari sumber informasi dan metoda untuk memperoleh dan mengolahnya membentuk desain studi (apakah studi kasus, studi tindakan, studi eksperimen kelas, atau evaluasi).

Pengembangan desain juga menyangkut bagaimana menjaga keabsyahan dari data yang diperoleh dan kesimpulan yang dapat diturunkan dari hasil analisis. Pengembangan ini diwujudkan melalui pemilihan metoda-metoda pengumpul data yang akan dilibatkan dan bagaimana mengorganisasikannya. Contohnya bagaimana mengorganisasikan data hasil observasi dengan hasil interviu; atau data hasil tes dengan hasil observasi berupa transkripsi dlsb.

A. Pengembangan Masalah

Langkah-langkah yang membentuk pengembangan masalah dapat dideskripsi sebagai berikut:

(1) Analisis Pendahuluan

(2) Intelektualisasi Permasalahan, contohnya fokus, kerangka teori, modus penelitian.

(3) Pertanyaan Penelitian

(4) Penentuan fokus terhadap, contohnya, apakah pengajar, pembelajar, atau materi subyek.

(5) Penentuan Area Penelitian

(6) Pilih dua komponen PBM yang diminati, komponen ketiga sebagai kondisi hubungan dari kedua komponen tersebut.

(7) Tentukan Tema Penelitian

(8) Komponen mana yang berlaku sebagai yang di