pedoman imunisasi

193
Edisi Ketiga Tahun 2008 Pedoman Imunisasi Di Indonesia Penyunting I.G.N. Ranuh Hariyono Suyitno Sri Rezeki S Hadinegoro Cissy B Kartasasmita Ismoedijanto Soedjatmi ko Disclaimer Isi di dalam buku Pedoman Imunisasi di Indonesia ada lah hasil kesepakatan para penulis dan editor Satgas Imunisasi IDAI yang berasal dari berbagai sumber. Buku ini merupakan pedoman umum dalam melakukan imunisasi di Indonesia dan dapat disesuaikan dengan kondisi setempat. Kemungkinan dapat terjadi perbedaan dengan sumber-sumber lain karena perkembangan ilmu dan kebijakan setempat. Hak Cipta Dilindungi Undang- undang Dilarang memperbanyak, mencetak dan menerbitkan sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara dan bentuk apapun juga tanpa seizin penulis dan penerbit Diterbitkan pertama kali tahun 2001 Diterbitkan kedua kali tahun 2005 Diterbitkan ketiga kali tahun 2008 Koordinator Penerbitan Prof. DR. Dr. Sri Rezeki S. Hadinegoro, Sp.A(K) Art director: J.A. Wempi Type setting: Diyan Dwinandio, Unggul Sodjo Edisi 3, cetakan pertama 2008 Penerbit buku ini dikelola oleh: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia Kata Sambutan Menteri Kesehatan Program imunisasi di Indonesia semakin penting kedudukannya dalam upaya mencapai Indonesia Sehat tahun 2010. Pencegahan terhadap penyakit infeksi yang dapat dicegah dengan imunisasi telah menampakkan hasilnya. Kejadian penyakit poliomielitis, difteria, tetanus neonatorum, pertusis, campak, dan hepatitis B, berangsur-angsur berkurang. Dalam waktu dekat diharapkan penyakit poliomielitis dapat dieradikasi dari seluruh dunia melalui program imunisasi yang berkesinambungan. Untuk melengkapi panduan imunisasi yang senantiasa up-to date, kami merasa bangga kepada upaya anggota Ikatan Dokter Anak Indonesia khususnya anggota Satgas Imunisasi IDAI yang telah merevisi buku imunisasi ini untuk ketiga kalinya. Buku Pedoman Imunisasi ini akan menunjang perubahan pandangan dan strategi dalam bidang vaksinologi yang senantiasa berubah sejalan dengan situasi epidemiologi global dan kemajuan teknologi dalam bidang kesehatan. Sebagaimana Buku Imunisasi di Indonesia edisi pertama dan edisi kedua yang telah tersebar luas di tanah air ini, kami harapkan edisi ketiga tetap menjadi acuan dalam meningkatkan program imunisasi dan sebagai acuan untuk vaksin-vaksin baru. Buku ini dapat dipergunakan bersama-sama dengan buku Pedoman Imunisasi Departemen Kesehatan yang telah ada (Kepmenkes No. 1611/MENKES/SK/XI/2005 tentang Pedoman Penyelenggaraan Imunisasi). Akhirul kata, kami ucapkan selamat dan terima kasih kepada para penulis yang dikoordinasi oleh Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia yang telah menyusun buku imunisasi ini. Karya dan jerih payahnya akan membantu meningkatkan kesejahteraan anak Indonesia.

Upload: bella-nabila-soraya

Post on 23-Oct-2015

1.789 views

Category:

Documents


11 download

DESCRIPTION

tugas tutorial pedoman imunisasi

TRANSCRIPT

Page 1: pedoman imunisasi

Edisi Ketiga Tahun 2008

Pedoman Imunisasi

Di Indonesia

Penyunting

I.G.N. RanuhHariyono Suyitno

Sri Rezeki S HadinegoroCissy B Kartasasmita

IsmoedijantoSoedjatmi ko

Disclaimer

Isi di dalam buku Pedoman Imunisasidi Indonesia ada lah hasil kesepakatan para penulis dan editor Satgas Imunisasi IDAI yangberasal dari berbagai sumber. Buku ini merupakan pedoman umum dalam melakukanimunisasi di Indonesia dan dapat disesuaikan dengan kondisi setempat. Kemungkinan dapatterjadi perbedaan dengan sumber-sumber lain karena perkembangan ilmu dan kebijakansetempat.

Hak Cipta Dilindungi Undang-undang

Dilarang memperbanyak, mencetak dan menerbitkan sebagian atau seluruh isi buku ini dengancara dan bentuk apapun juga tanpa seizin penulis dan penerbit

Diterbitkan pertama kali tahun 2001 Diterbitkan kedua kali tahun 2005 Diterbitkan ketiga kalitahun 2008

Koordinator Penerbitan

Prof. DR. Dr. Sri Rezeki S. Hadinegoro, Sp.A(K)

Art director: J.A. Wempi

Type setting: Diyan Dwinandio, Unggul Sodjo

Edisi 3, cetakan pertama 2008

Penerbit buku ini dikelola oleh:

Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia

Kata Sambutan Menteri Kesehatan

Program imunisasi di Indonesia semakin penting kedudukannya dalam upaya mencapaiIndonesia Sehat tahun 2010. Pencegahan terhadap penyakit infeksi yang dapat dicegah denganimunisasi telah menampakkan hasilnya. Kejadian penyakit poliomielitis, difteria, tetanusneonatorum, pertusis, campak, dan hepatitis B, berangsur-angsur berkurang. Dalam waktu dekatdiharapkan penyakit poliomielitis dapat dieradikasi dari seluruh dunia melalui program imunisasiyang berkesinambungan.

Untuk melengkapi panduan imunisasi yang senantiasa up-to date, kami merasa bangga kepadaupaya anggota Ikatan Dokter Anak Indonesia khususnya anggota Satgas Imunisasi IDAI yangtelah merevisi buku imunisasi ini untuk ketiga kalinya. Buku Pedoman Imunisasi ini akanmenunjang perubahan pandangan dan strategi dalam bidang vaksinologi yang senantiasaberubah sejalan dengan situasi epidemiologi global dan kemajuan teknologi dalam bidangkesehatan.

Sebagaimana Buku Imunisasi di Indonesia edisi pertama dan edisi kedua yang telah tersebarluas di tanah air ini, kami harapkan edisi ketiga tetap menjadi acuan dalam meningkatkanprogram imunisasi dan sebagai acuan untuk vaksin-vaksin baru. Buku ini dapat dipergunakanbersama-sama dengan buku Pedoman Imunisasi Departemen Kesehatan yang telah ada(Kepmenkes No. 1611/MENKES/SK/XI/2005 tentang Pedoman Penyelenggaraan Imunisasi).

Akhirul kata, kami ucapkan selamat dan terima kasih kepada para penulis yang dikoordinasioleh Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia yang telah menyusun buku imunisasi ini.Karya dan jerih payahnya akan membantu meningkatkan kesejahteraan anak Indonesia.

Page 2: pedoman imunisasi

Karya dan jerih payahnya akan membantu meningkatkan kesejahteraan anak Indonesia.

Jakarta, April 2008

DR. Siti Fadilah Supari, Dr., Sp.JP Menteri Kesehatan RepublikIndonesia

Prakata Ketua Umum Pengurus Pusat IDAI

M

erupakan kebanggaan dari Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia dapat menyajikanBuku Imunisasi di Indonesia Edisi ketiga ini. Mengingat banyak hal-hal yang perlu disesuaikandengan kemajuan bidang imunisasi maka edisi ketiga ini merupakan kebutuhan, bukan sajauntuk dokter spesialis anak namun untuk semua penyedia layanan jasa kesehatan yangberkecimpung dengan program imunisasi.

Program imunisasi yang telah lebih dari tiga abad lalu diakui sebagai upaya pencegahan yangpenting, pada sepuluh tahun terakhir ini telah mengalami kemajuan yang signifikan. Edisi ketigadiharapkan dapat menjadi acuan dalam mengatasi kemajuan tersebut. Misalnya perubahanepidemiologi beberapa penyakit dan adanya kemajuan teknik pembuatan vaksin, upayapemerintah dalam melaksanakan eradikasi polio, eliminasi tetanus neonatorum, reduksicampak, dan memutuskan rantai penularan hepatitis B sedini mungkin, akan mengubah jadwalimunisasi.

Tambahan topik dan revisi terutama diperlukan untuk menjawab beberapa masalah, antara lain,(1) bertambahnya jenis vaksin di luar program PPI (vaksin non-PPI), baik sebagai vaksin barumaupun vaksin yang telah lama beredar kini muncul dalam kemasan baru, (2) keamananpemberian suntikan vaksin (safety injection) perlu mendapat perhatian, dan (3) sesuai denganmaturasi perjalanan imunisasi, program imunisasi akan mengalami hambatan akibat kejadianikutan yang diduga menjadi penyebab imunisasi; dalam hal ini PP IDAI telah menunjukkansikapnya menghadapi hal ini.

Sebagaimana pembuatan buku imunisasi yang diharapkan senantiasa menjadi acuan, tentunyabuku ini tetap memerlukan revisi-revisi di kemudian hari. Akhirnya saya selaku Ketua UmumIkatan Dokter Anak Indonesia mengucapkan penghargaan yang setinggi-tingginya atas kerjakeras seluruh kontributor anggota Satgas Imunisasi dan semua pihak yang membantupenerbitan buku imunisasi ini.

Jakarta, Mei 2008

Sukman Tulus. Putra, Dr., Sp.A(K), FACC, FESC

Kata Pengantar Tim Satgas Imunisasi IDAI

K

ami mengucapkan puji syukur ke hadirat Allah Subhanawata’ala, bahwa Buku PedomanImunisasi edisi 1 (tahun 2002) dan edisi 2 (tahun 2005) tampaknya sangat dibutuhkan olehdokter dan petugas kesehatan yang terkait dengan vaksin dan imunisasi, sehingga dalam waktusingkat habis dari peredaran. Mengingat banyaknya permintaan untuk mencetak ulang buku ini,maka kami menerbitkan Buku Imunisasi edisi ke-3 dengan revisi beberapa topik dan adanyatambahan informasi vaksin-vaksin baru.

Perubahan dalam buku edisi ke-3 tahun 2008 adalah,

Penyimpanan dan transportasi vaksin dari Bab XII menjadi Bab II, isi ditambah dan dibagimenjadi 2 topik yaitu rantai vaksin dan kualitas vaksin,Prosedur imunisasi dari Bab II menjadi Bab III, dengan tambahan topik safety injection,Influenza, pneumokokus dan rotavirus direvisi dengan tambah an informasi terbaru,Tambahan topik yaitu vaksin human papilloma virus,Jadwal imunisasi ditambah dengan vaksin human papilloma virus (HPV), untuk anakremaja,Vaksin untuk tujuan khusus dan vaksin untuk turis digabung menjadi satu dalam Bab VImengenai vaksin yang dianjurkan (non PPI), sehingga jumlah bab berkurang satu menjadi12,Kontroversi dalam imunisasi ditambah dengan miskonsepsiImunisasi kelompok berisiko dari Bab III dipindahkan ke Bab IX

Kami mengucapkan terima kasih kepada para kontributor, terutama yang telah melakukan revisi,

Page 3: pedoman imunisasi

perbaikan dan penambahan topik-topik baru untuk edisi ke 3 ini. Mengingat pekerjaan untukmembuat revisi buku edisi ke-3 ini cukup melelahkan,

kami telah dibantu oleh dua orang editor baru yaitu Prof. Dr. Ismoedijanto dr.,Sp.A(K) danSoedjatmiko dr., Sp.A(K)., Msi. Untuk itu kami ucapkan terima kasih.

Selanjutnya kami mengharapkan masukan dan saran dari para pengguna buku ini, untukpenyempurnaan pada edisi mendatang. Semoga buku ini bermanfaat bagi semua pihak yangterkait dengan vaksin dan imunisasi, sehingga derajat kesehatan anak Indonesia semakinmeningkat.

Tim Penyunting

Prof. I.G.N. Ranuh dr., Sp.A(K)

Prof. Dr. Hariyono Suyitno dr., SpA(K)

Prof. Dr. Sri Rezeki S. Hadinegoro dr., Sp.A(K) Prof. Cissy B. Kartasasmita dr., MSc., Ph.D.,SpA(K) Prof. Dr. Ismoedijanto, dr., SpA(K)

Soedjatmiko, dr., SpA(K), MSi.

Daftar Isi

Halaman

Disclaimer............................................................................................................ ii

Kata sambutan Menteri Kesehatan .................................... iii

Prakata ketua Pengurus Pusat IDAI .................................. iv

Kata pengantar tim Satgas Imunisasi IDAI........................ v

Daftar.................................................................................... isi vii

Daftar.................................................................... kontributor ix

Daftar............................................................................. istilah xii

Bab I. Dasar-dasar Imunisasi........................................ 1

1. Imunisasi upaya pencegahan primer 22. Aspek imunologi imunisasi 10

...... 3...... Jenis vaksin 23

Bab II. Penyimpanan dan Transportasi Vaksin.......... 29

1. Rantai vaksin 302. Kualitas vaksin 40

Bab III. Prosedur Imunisasi............................................ 45

1. Tatacara pemberian imunisasi 462. Penjelasan kepada orang tua mengenai imunisasi 623. Catatan imunisasi 724. Safety injection............................................................................. 76

Bab IV. Jadwal Imunisasi............................................... 89

1. Program pengembangan imunisasi 902. Jadwal imunisasi rekomendasi IDAI 973. Jadwal imunisasi tidak teratur 1174. Imunisasi anak sekolah, remaja, dan dewasa 122

Bab V. Vaksin pada Program ImunisasiNasional (PPI) ... ...130

1. Tuberkulosis .................................................... 1312. Hepatitis B .......................................................

Page 4: pedoman imunisasi

2. Hepatitis B ....................................................... 1353. DTP (difteria, tetanus, pertusis)

.......................... 143

4. Poliomielitis ...................................................... 1575. Campak.......................................................... 171Bab VI. Vaksin yang Dianjurkan (non

PPI)....................... 1781. MMR (campak, gondong, rubella)...................... 1792. Haemophilus inß uenzae tipe B (Hib)............ 188

3. Demam tifoid .................................................. 1924. Varisela ........................................................... 1975. Hepatitis A ...................................................... 2036. Rabies.............................................................. 2107. Inß uenza ........................................................ 2218. Pneumokokus.................................................. 2329. Rotavirus ........................................................ 241

10. Kolera + ETEC.................................................. 24411. Yellow fever ................................................... 24812. Japanese encephalitis

...................................... 254

13. Meningokokus.................................................. 26214. Human Papilloma Virus (HPV)..................... 267

Bab VII. Imunisasi Pasif.................................................. 271Bab VIII. Vaksin Kombinasi

........................................... 292Bab IX. Imunisasi Kelompok

Berisiko.......................... 3041. Imunisasi bayiberisiko....................................... 3052. Imunisasi bayi pada ibuberisiko.......................... 315

Bab X. Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi(KIPI) ........... 318

1. KlasiÞ kasi kejadian ikutan pascaimunisasi.......... 3192. Pelaporan kejadian ikutan pascaimunisasi .......... 341

Bab XI. Miskonsepsi dan Kontroversi dalam Imunisasi 348

1. Miskonsepsi imunisasi....................................... 3492. Kontroversi dalam imunisasi ........................... 360

Bab XII. Tanya Jawab Orang Tua Mengenai Imunisasi ......... 371

Daftar vaksin yang beredar di Indonesia........................ 385

Daftar Kontributor

Achmad Suryono UKK Perinatologi IDAI, Bagian IKA, FK

(alm) Universitas Gajah Mada/RSUP Dr. Sardjito,Jogyakarta

Agus Firmansyah UKK Gastrohepatologi IDAI, Departemen IKA FK UniversitasIndonesia/RSUP Dr.Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Page 5: pedoman imunisasi

Indonesia/RSUP Dr.Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Alan R UKK Infeksi & Pediatri Tropis IDAI, Departemen

Tumbelaka IKA FK Universitas Indonesia/RSUP Dr.CiptoMangunkusumo, Jakarta

Arwin A P Akib UKK Alergi Imunologi IDAI, Departemen IKA FK UniversitasIndonesia/RSUP Dr.Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Boerhan Hidayat UKK Gizi IDAI, Bagian IKA FK UniversitasAirlangga/ RSUP Dr. Soetomo, Surabaya

Cissy BKartasasmita

CorryS.Matondang(alm)

UKK Pulmonologi IDAI, Bagian IKA,FK Universitas Padjadjaran/ RSUP Dr.Hasan Sadikin, Bandung

UKK Alergi Imunologi IDAI, BagianIKA FK Universitas Indonesia/ RSUPDr.Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Dahlan Ali Musa UKK Tumbuh Kembang- Pediatri SosialIDAI

Fatimah Indarso UKK Perinatologi IDAI, Bagian IKA, FKAirlangga/RSUP Dr. Soetomo, Surabaya

Hanifah Oswari UKK Gastrohepatologi IDAI, Departemen IKA, FK UniversitasIndonesia/RSUP Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Hardiono D UKK Neurologi IDAI, Departemen IKA

Poesponegoro FK Universitas Indonesia/ RSUP Dr.CiptoMangunkusumo, Jakarta

Hariyono UKK Tumbuh Kembang Pediatri Sosial

Soeyitno IDAI , Bagian IKA, FK Diponegoro/ RSUPDr. Kariadi, Semarang

Hartono Gunardi UKK Tumbuh Kembang Pediatri Sosial IDAI, DepartemenIKA FK Universitas Indonesia/ RSUP Dr.Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Hindra Irawan UKK Infeksi dan Pediatri Tropis IDAI,

Satari Departemen IKA FK Universitas Indonesia/RSUP Dr.Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Iskandar Syarif UKK Neurologi IDAI, Bagian IKA FK UniversitasAndalas/RSUP Dr. M. Djamil, Padang

Ismoedijanto UKK Infeksi dan Pediatri Tropis IDAI, Bagian IKA, FKAirlangga/RSUP Dr. Soetomo, Surabaya

IGN Gde Ranuh UKK Tumbuh Kembang Pediatri Sosial IDAI, Bagian IKA, FKAirlangga/ RSUP Dr. Soetomo, Surabaya

Jose R L Batubara UKK Endokrin IDAI, Departemen IKA FK UniversitasIndonesia/RSUP Dr.Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Kusnandi Rusmil UKK Tumbuh Kembang Pediatri Sosial IDAI, Bagian IKA, FKUniversitas Padjadjaran/ RSUP Dr. Hasan Sadikin, Bandung

Nastiti N.Rahajoe UKK Pulmonologi IDAI

Noenoeng UKK Pulmonologi IDAIRahajoe

Purnamawati S. UKK Gastrohepatologi IDAIPujiarto

Soedjatmiko UKK Tumbuh Kembang Pediatri Sosial IDAI, Departemen IKA FKUniversitas Indonesia/ RSUP Dr.Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Page 6: pedoman imunisasi

Soegeng UKK Infeksi dan Pediatri Tropis IDAI,

Soegijanto Bagian IKA, FK Airlangga/RSUP Dr.Soetomo, Surabaya

Sofyan Ismael UKK Neurologi IDAI, Departemen IKA FK UniversitasIndonesia/RSUP Dr.Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Sri Rezeki UKK Infeksi dan Pediatri Tropis IDAI,

S.Hadinegoro Departemen IKA FK Universitas Indonesia/RSUP Dr.Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Syahril Pasaribu UKK Infeksi & Pediatri Tropis IDAI, Bagian IKA, FK SumateraUtara/ RSUP Dr. H Adam Malik, Medan

Syawitri P Siregar UKK Alergi Imunologi IDAI, Bagian IKA FK UniversitasIndonesia/RSUP Dr.Cipto Mangunkusumo, Jakarta

TH Rampengan UKK Infeksi & Pediatri Tropis IDAI, Bagian IKA, FK SamRatulangi/ RSUP Dr. Malalayang, Manado

TitutS.Poesponegoro(alm)

Toto WisnuHendarto

UKK Perinatologi IDAI, Bagian IKA RSIbu & Anak Harapan Kita, Jakarta

UKK Perinatologi IDAI, Bagian IKA RSIbu & Anak Harapan Kita, Jakarta

UKK = Unit Kerja Koordinasi, merupakan badan khusus PP IDAI

Daftar Istilah

AAP American Academy of Pediatrics

ACIP Advisory Committee on Immunization

AEFI Adverse Events Following Immunization

AFP Acute Flaccid Paralysis, lumpuh layuh

AKABA Angka Kematian Balita

AKB Angka Kematian Bayi

APC Antigen Presenting Cell

ASI Air Susu Ibu

BCG Bacille Cal mette Guerin

BIAS Bulan Imunisasi Anak Sekolah

BTA Bakteri Tahan Asam

CDC Center of Disease Control

DALY Disability Adjusted Life Year

DT Difteria, Tetanus

DTwP Difteria, Tetanus, Pertusis (whole cell)

DTaP Difteria, Tetanus, Pertusis (acellular)

ERAPO Eradikasi Polio

ETN Eliminasi Tetanus Neonatorum

FDA Food Drug Administration

FKUI Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

GVHD Graft Versus Host Disease

Page 7: pedoman imunisasi

HBIg Hepatitis B Immunoglobulin

HbsAg Hepatitis B surface antigen

Hep-B Hepatitis B

Hib Haemophyllus influenza type b

HIV Human Immunodeficiency Virus

HLA Human Leucocyte Antigen

HPV Human Papilloma Virus

IDAI Ikatan Dokter Anak Indonesia

IgA Imunoglobulin A

IgG Imunoglobulin G

IgM Imunoglobulin M

IPV Inactivated Polio Vaccine

ISPA Infeksi Saluran Pernapasan Akut

IU International Unit

KIPI Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi

KLB Kejadian Luar Biasa

MHC Major Histocompatibility Complex

MMR Measles, Mumps, Rubella

NHMRC National Health and Medical Research Council

NIGH Normal Immunoglobulin Human

OPV Oral Polio Vaccine

PIN Pekan Imunisasi Nasional

PPI Program Pengembangan Imunisasi

PRP Polyribosyribitol Phosphate

PRP-OMP Polyribosyribitol Phosphate-Outer Membrane Protein

PRP-T Polyribosyribitol Phosphate-TetanusPuskesmas Pusat Kesehatan Masyarakat

RSCM Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo

UKK Unit Kerja Koordinasi

Bab I

Dasar-Dasar Imunisasi

Bab 1 - 1 Imunisasi Upaya Pencegahan Primer 1 - 2 Aspek Imunologi Imunisasi

1 - 3 Jenis Vaksin

Pengantar

Sistem kesehatan nasional imunisasi adalah salah satu bentuk intervensi kesehatanyang sangat efektif dalam upaya menurun kan angka kematian bayi dan balita. Dasar

utama pelayanan kesehatan, bidang preventif merupakan prioritas. Penurunan insidens penyakitmenular telah terjadi berpuluh-puluh tahun yang lampau di negara-negara maju yang telah

Page 8: pedoman imunisasi

melakukan imunisasi dengan teratur dengan cakupan luas. Demikian juga di Indonesia;dinyatakan bebas penyakit cacar tahun 1972 dan penurunan insidens beberapa penyakitmenular secara mencolok terjadi sejak tahun 1985, terutama untuk penyakit difteria, tetanus,pertusis, campak, dan polio. Bahkan kini penyakit polio secara virologis tidak ditemukan lagisejak tahun 1995, dan diharapkan beberapa tahun yang akan datang Indonesia akan dinyatakanbebas polio. Sejarah imunisasi telah dimulai lebih dari 200 tahun yang lalu, sejak EdwardYenner tahun 1798 pertama kali menunjukkan bahwa dengan cara vaksinasi dapat mencegahpenyakit cacar. Untuk dapat melakukan pelayanan imunisasi yang baik dan benar diperlukanpengetahuan dan ketrampilan tentang vaksin (vaksinologi), ilmu kekebalan (imunologi) dan caraatau prosedur pemberian vaksin. Dengan melakukan imunisasi terhadap seorang anak, tidakhanya memberikan perlindungan pada anak tersebut tetapi juga berdampak kepada anaklainnya karena terjadi tingkat imunitas umum yang meningkat dan mengurangi penyebaraninfeksi. Sangat penting bagi para profesional untuk melakukan imunisasi terhadap anak maupunorang dewasa. Dengan demikian akan memberikan kesadaran pada masyarakat terhadap nilaiimunisasi dalam menyelamatkan jiwa dan mencegah penyakit yang berat.

Bab 1-1

Imunisasi Upaya Pencegahan Primer

I.G.N. Ranuh

Penduduk Indonesia pada tahun 2007 telah melampaui 220 juta dan ditengarai pulabahwa pertumbuhan penduduk bergerak lebih cepat, tidak sesuai dengan perhitungansemula. Menurut Haryono Suyono pengendalian pertumbuhan penduduk hanyadifokuskan pada pasangan usia subur yang sangat miskin yang notabene jumlahnyakecil sekali, yaitu 19% dari total jumlah pasangan usia subur di Indonesia

Perhitungan tahun 2006 mengatakan bahwa laju pertumbuhan penduduk akan terus turunbahkan pada tahun 2020 – 2025 dimungkinkan mencapai 0,92 %. Namun kenyataan dewasa inilaju pertumbuhan penduduk Indonesia telah mencapai angka yang cukup tinggi 1,3%. Jumlahanak di bawah 15 tahun masih merupakan golongan penduduk yang sangat besar, yaitu kuranglebih 70 juta (30,26%) dan usia balita 23,7 juta (10,4%).

Masalah lain yang penting dan memprihatinkan adalah meningkatnya kurang gizi di berbagaipelosok Indonesia. Apabila gizi kurang 37,5% pada tahun 1998 berhasil ditekan mencapai19,3% pada tahun 2002, gizi buruk 6,3% pada tahun 1989 tidak berhasil ditekan bahkan setelahtahun 2002 berprevalensi untuk menjadi lebih dari 10% yang dapat kita saksikan akhir-akhir ini.Penyebabnya adalah kurang berfungsinya Posyandu di masyarakat pada masa lalu, yaitu sejakkrisis moneter 1997, bencana alam yang datang bertubi-tubi di tanah air kita ini dan situasi politikdan keamanan yang tidak kondusif.

Dengan revitalisasi posyandu dan program KB diharapkan situasi kesehatan masyarakat danpertumbuhan penduduk dapat dikendalikan kembali. Berkurangnya fungsi Posyandu,pemantauan

anak kurang mendapatkan perhatian yang tercermin dengan menurunnya kesehatananak pada umumnya, khususnya adanya gizi kurang dan infeksi yang beberapa tahunyang lalu sudah reda menyerang anak-anak kembali seperti poliomielitis, demam tifoid,difteri, campak, demam dengue, dan lainnya.

Pembangunan nasional jangka panjang menititkberatkan pada kualitas hidup sumberdaya manusia yang prima. Untuk itu kita bertumpu pada generasi muda yangmemerlukan asuhan dan perlindungan terhadap penyakit yang mungkin dapatmenghambat tumbuh kembangnya menuju dewasa yang berkualitas tinggi gunameneruskan pembangunan nasional jangka panjang tersebut.

Profil epidemiologis di Indonesia sebagai gambaran tingkat kesehatan di masyarakatmasih memerlukan perhatian khusus yaitu,

Angka kematian kasar (CMR): 7,51 per 1000/tahunAngka kematian bayi (IMR): 48 per 1000 lahir hidup/tahunAngka kematian balita (U5MR) : 56 per 1000 lahir hidup/ tahunAngka kematian ibu hamil (MMR): 470 per 100.000 lahir hidup/tahunCakupan imunisasi: BCG 85%, DTP 64%, Polio 74%, HB1 91%, HB2 84,4%, HB3 83,0%,TT ibu hamil: TT1 84% dan TT2 77% (WHO)

Angka kematian bayi (AKB atau IMR) dalam dua dasawarsa terakhir ini menunjukkan penurunanyang bermakna. Apabila pada tahun 1971 sampai 1980 memerlukan sepuluh tahun untukmenurunkan AKB dari 142 menjadi 112 per 1000 kelahiran hidup; maka hanya dalam kurunwaktu lima tahun, yaitu tahun 1985 sampai 1990 Indonesia berhasil menurunkan AKB dari 71

Page 9: pedoman imunisasi

menjadi 54 dan bahkan dari data 2001 telah menunjukkan angka 48 per 1000 kelahiran hidup(Profil Kesehatan Indonesia 2001). Penurunan tersebut diikuti dengan menurunnya angkakematian balita atau AKABA yang telah mencapai 56 per 1000 kelahiran hidup.

Prestasi yang gemilang tersebut tidak lain disebabkan karena penggunaan teknologitepat guna selama itu, yaitu memanfaatkan dengan baik Kartu Menuju Sehat dalammemantau secara akurat tumbuh kembang anak, peningkatan penggunaan ASI,pemberian segera cairan oralit pada setiap kasus diare pada anak dan pemberianimunisasi pada anak balita sesuai Program Pengembangan Imunisasi (PPI) yaitu BCG,Polio, Hepatitis B, DTP dan campak, bahkan pada tahun 1990 Indonesia telahmencapai Universal Child Imunization (UCI) dengan cakupan imunisasi sebesar 90%pada anak balita. Program ini diperkuat dengan gerakan PIN (Pekan ImunisasiNasional) terhadap penyakit polio pada tahun 1985 – 1996 – 1997 secara berturut-turutdan serentak di seluruh tanah air menghilangkan kasus polio selama 10 tahun (1997-2005).

Namun kemudian karena adanya outbreak polio yang dimulai di Jawa Barat dilakukan tindakan-tindakan khusus untuk mencegah menjalarnya lagi polio liar di Indonesia secara intensif denganpengulangan PIN pada tahun 2005 dan 2006 diharapkan kita berhasil mengendalikan. Padakesempatan tersebut dan melalui crash program campak vaksinasi terhadap tetanus dancampak diberikan dengan harapan dapat mengurangi kesakitan dan kematian karena keduapenyakit tersebut.

Vaksinasi, sebagai upaya pencegahan primer

Seiring dengan menurunnya angka kesakitan dan kematian anak pada umumnya maka kualitashidup bangsa akan meningkat pula. Di samping itu, dengan terjadinya transisi demografik yangmengakibatkan berkurangnya jumlah anak dalam satu keluarga (satu keluarga memiliki 3 oranganak) maka kelompok usia produktif akan meningkat. Meskipun demikian usia anak di bawah 15tahun masih merupakan kelompok penduduk yang sangat besar dan memerlukan perhatianyang lebih besar lagi.

Hasil penelitian di dunia mengatakan bahwa angka kelahiran dan usia harapan hidup di suatunegara berkaitan, yaitu makin

rendah angka kelahiran makin tinggi usia harapan hidup. Untuk itu pencegahanterhadap infeksi maupun upaya yang menentukan situasi yang kondusif untuk itu mutlakharus dilakukan pada anak dalam tumbuh kembangnya sedini mungkin guna dapatmempertahankan kualitas hidup yang prima menuju dewasa.

Demikian pula perhitungan ekonomi memperlihatkan bahwa pencegahan adalah suatucara perlindungan terhadap infeksi yang paling efektif dan jauh lebih murah dari padamengobati apabila sudah terserang penyakit dan memerlukan perawatan rumah sakit.

Secara konvensional, upaya pencegahan penyakit dan keadaan apa saja yang akanmenghambat tumbuh kembang anak, seperti cedera dan keracunan karena kecelakaan,kekerasan pada anak, fisik, mental maupun seksual, konsumsi alkohol dan obat-obatan

terlarang, dapat terlaksana dalam tiga kategori, yaitu pencegahan primer, sekunder dan tersieryang dapat dilaksanakan selama masa tumbuh kembang sejak pra-konsepsi, prenatal, masaneonatal, bayi, masa sekolah dan remaja menuju dewasa.

Pencegahan primer adalah semua upaya untuk menghindari terjadinya sakit atau kejadian yangmengakibatkan seseorang sakit atau menderita cedera dan cacat. Memperhatikan gizi dengansanitasi lingkungan yang baik, pengamanan terhadap segala macam cedera dan keracunanserta vaksinasi atau imunisasi terhadap penyakit adalah rangkaian upaya pencegahan primer.

Pencegahan sekunder apabila dengan deteksi dini, diketahui adanya penyimpangankesehatan seorang bayi atau anak sehingga intervensi atau pengobatan perlu segera diberikanuntuk koreksi secepatnya. Memberi pengobatan sesuai diagnosis yang tepat adalah suatuupaya pencegahan sekunder agar tidak terjadi komplikasi yang tidak diinginkan, yaitu sampaimeninggal maupun meninggalkan gejala sisa, cacat fisik maupun mental. Sedangkanpencegahan tersier adalah membatasi berlanjutnya gejala sisa tersebut dengan upayapemulihan seorang pasien agar dapat hidup mandiri tanpa bantuan orang lain, seperti contohpada terapi rehabilitasi medik

pada penyakit polio maupun cacat lainnya karena cedera kecelakaan dan lain-lainsebab.

Vaksinasi atau lazim disebut dengan imunisasi merupakan suatu teknologi yang sangat

Page 10: pedoman imunisasi

berhasil di dunia kedokteran yang oleh Katz (1999) dikatakan sebagai ”sumbangan ilmupengetahuan yang terbaik yang pernah diberikan para ilmuwan di dunia ini”. Satu upayakesehatan yang paling efektif dan efisien dibandingkan dengan upaya kesehatanlainnya.

Pada tahun 1974 cakupan imunisasi baru mencapai 5% dan setelah dilaksanakannyaimunisasi global yang disebut dengan extended program on immunization (EPI)cakupan terus meningkat dan hampir setiap tahun minimal sekitar 3 juta anak dapat

terhindar dari kematian dan sekitar 750.000 anak terhindar dari kecacatan. Namun demikian,masih ada satu dari empat orang anak yang belum mendapatkan vaksinasi dan dua juta anakmeninggal setiap tahunnya karena penyakit yang dapat dicegah dengan vaksinasi.

Di masa depan harapan akan hilangnya penyakit polio, campak dan lain-lainnya di dunia adalahsesuatu yang tidak mustahil sehingga setiap anak dapat tumbuh kembang secara optimal.Perbaikan gizi anak disertai penyehatan lingkungan tidak cukup untuk mencegah tertularnyaanak oleh kuman, virus maupun parasit. Vaksinasi dapat menekan penyakit yang endemik danerat hubungannya dengan lingkungan hidup.

WHO telah mencanangkan program imunisasi tersebut sejak 1994 dengan EPI dan kemudianlebih luas lagi dengan GPV (global programme for vaccines and immunization), organisasipemerintah dari seluruh dunia bersama UNICEF, WHO dan World Bank. Ditambah lagiorganisasi perorangan Bill and Melinda Gates children’s vaccine programme dan RockefellerFoundation.

Kekebalan atau imunitas tubuh terhadap ancaman penyakit adalah tujuan utama dari pemberianvaksinasi. Pada hakekatnya kekebalan tubuh dapat dimiliki secara pasif maupun aktif.Keduanya dapat diperoleh secara alami maupun buatan. Imun pasif

yang didapatkan secara alami adalah kekebalan yang didapatkan transplasental, yaituantibodi diberikan ibu kandungnya secara pasif melalui plasenta kepada janin yangdikandungnya. Semua bayi yang dilahirkan telah memiliki sedikit atau banyak antibodidari ibu kandungnya. Sedangkan imun pasif buatan adalah pemberian antibodi yangsudah disiapkan dan dimasukkan ke dalam tubuh anak. Seperti halnya pada bayi barulahir dari ibu yang mempunyai HbSAg positif memerlukan imunoglobulin yang spesifikhepatitis B yang harus diberikan setelah lahir dengan segera.

Pada seorang yang sedang sakit dapat pula diberikan antibodi spesifik secara pasifsesuai antigen yang menyebabkan sakitnya. Imun aktif dapat diperoleh pula secaraalami maupun buatan. Secara alami imun aktif didapatkan apabila anak terjangkit suatupenyakit, yang berarti masuknya sebuah antigen yang akan merangsang tubuh anak

membentuk antibodinya sendiri secara aktif dan menjadi imun karenanya. Mekanisme yangsama adalah pemberian vaksin yang merangsang tubuh manusia secara aktif membentukantibodi dan kebal secara spesifik terhadap antigen yang diberikan.

Imunisasi dan Vaksinasi

Perlu diketahui bahwa istilah imunisasi dan vaksinasi seringkali diartikan sama. Imunisasiadalah suatu pemindahan atau transfer antibodi secara pasif, sedangkan istilah vaksinasidimaksudkan sebagai pemberian vaksin (antigen) yang dapat merangsang pembentukanimunitas (antibodi) dari sistem imun di dalam tubuh.

Imunitas secara pasif dapat diperoleh dari pemberian dua macam bentuk, yaitu imunoglobulinyang non-spesifik atau gamaglobulin dan imunoglobulin yang spesifik yang berasal dari plasmadonor yang sudah sembuh dari penyakit tertentu atau baru saja mendapatkan vaksinasi penyakittertentu. Imunoglobulin yang non-spesifik digunakan pada anak dengan defisiensi imunoglobulinsehingga memberikan perlindungan dengan segera dan cepat yang seringkali

dapat terhindar dari kematian. Hanya saja perlindungan tersebut tidaklah berlangsungpermanen melainkan hanya untuk beberapa minggu saja. Demikian pula imunoglobulinyang non-spesifik selain mahal, memungkinkan anak menjadi sakit karena secarakebetulan atau karena suatu kecelakaan serum yang diberikan tidak bersih dan masihmengandung kuman yang aktif. Sedangkan imunoglobulin yang spesifik diberikankepada anak yang belum terlindung karena belum pernah mendapatkan vaksinasi dankemudian terserang misalnya penyakit difteria, tetanus, hepatitis B.

Vaksinasi, merupakan suatu tindakan yang dengan sengaja memberikan paparandengan antigen yang berasal dari mikroorganisme patogen. Antigen yang diberikantelah dibuat demikian rupa sehingga tidak menimbulkan sakit namun mampumengaktivasi limfosit menghasilkan antibodi dan sel memori. Cara ini menirukan infeksi

alamiah yang tidak menimbulkan sakit namun cukup memberikan kekebalan. Tujuannya adalahmemberikan ”infeksi ringan” yang tidak berbahaya namun cukup untuk menyiapkan respon imun

Page 11: pedoman imunisasi

sehingga apabila terjangkit penyakit yang sesungguhnya di kemudian hari anak tidak menjadisakit karena tubuh dengan cepat membentuk antibodi dan mematikan antigen/penyakit yangmasuk tersebut. Demikian pula vaksinasi mempunyai berbagai keuntungan, yaitu

Pertahanan tubuh yang terbentuk akan dibawa seumur hidupnyaVaksinasi adalah cost-effective karena murah dan efektifVaksinasi tidak berbahaya. Reaksi yang serius sangat jarang terjadi, jauh lebih jarang daripada komplikasi yang timbul apabila terserang penyakit tersebut secara alami.

Daftar Pustaka

1. World Health Organization, The World Health Report 2007. Asaferfuture: global publichealth security in the 21st century. Diunduh dari: http://www.who.int/whr/2007/en/index. html.

2. Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF, editors. Nelson Textbook ofPediatrics. Edisi18. Philadelphia:Saunders Elsevier. 2007.

3. WHO, Unicef, The World Bank. State of the World’s Vaccines and Immunization.Geneva: WHO. 2002.

4. Departemen Kesehatan & Kesejahteraan Sosial RI. Sensus Kesehatan RumahTangga (SKRT) 2004.

5. KSK _Satgas Imunisasi IDAI, Learning about Vaccination, 2004.6. SUSENAS 1989 –2002, Direktorat Gizi Msyarakat, DepKes RI.7. DepKes: Profil Kesehatan Indonesia, 2004.

Bab 1-2

Aspek Imunologi Imunisasi

Corry S Matondang, Sjawitri P Siregar

Imunisasi adalah suatu cara untuk meningkatkan kekebalan seseorang secara aktifterhadap suatu antigen, sehingga bila kelak ia terpajan pada antigen yang serupa, tidakterjadi penyakit. Dilihat dari cara timbulnya maka terdapat dua jenis kekebalan, yaitukekebalan pasif dan kekebalan aktif. Kekebalan pasif adalah kekebalan yang diperolehdari luar tubuh, bukan dibuat oleh individu itu sendiri. Contohnya adalah kekebalanpada janin yang diperoleh dari ibu atau kekebalan yang diperoleh setelah pemberian

suntikan imunoglobulin. Kekebalan pasif tidak berlangsung lama karena akan dimetabolismeoleh tubuh. Waktu paruh IgG 28 hari, sedangkan waktu paruh imunoglobulin lainnya lebihpendek. Kekebalan aktif adalah kekebalan yang dibuat oleh tubuh sendiri akibat terpajan padaantigen seperti pada imunisasi, atau terpajan secara alamiah. Kekebalan aktif berlangsung lebihlama daripada kekebalan pasif karena adanya memori imunologik.

Tujuan Imunisasi

Tujuan imunisasi untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu pada seseorang, danmenghilangkan penyakit tertentu pada sekelompok masyarakat (populasi) atau bahkanmenghilangkan penyakit tertentu dari dunia seperti pada imunisasi cacar variola. Keadaan yangterakhir ini lebih mungkin terjadi pada jenis penyakit yang hanya dapat ditularkan melaluimanusia, seperti misalnya penyakit difteria.

Respons imun

Respons imun adalah respons tubuh berupa urutan kejadian yang kompleks terhadapantigen (Ag), untuk mengeliminasi antigen tersebut. Dikenal dua macam pertahanantubuh yaitu 1) mekanisme pertahanan nonspesifik disebut juga komponen nonadaptifatau innate artinya tidak ditujukan hanya untuk satu macam antigen, tetapi untukberbagai macam antigen, 2) mekanisme pertahanan tubuh spesifik atau komponenadaptif ditujukan khusus terhadap satu jenis antigen, terbentuknya antibodi lebih cepatdan lebih banyak pada pemberian antigen berikutnya; hal ini disebabkan telahterbentuknya sel memori pada pengenalan antigen pertama kali.

Bila pertahanan nonspesifik belum dapat mengatasi invasi mikroorganisme makaimunitas spesifik akan terangsang. Mikroorganisme yang pertama kali dikenal oleh sistem imunakan dipresentasikan oleh sel makrofag (APC= antigen presenting cell) pada sel T untuk antigenTD (T dependent) sedangkan antigen TI (T independent) akan langsung diproses oleh sel B

Mekanisme pertahanan spesifik terdiri atas imunitas selular dan imunitas humoral. Imunitashumoral akan menghasilkan antibodi bila dirangsang oleh antigen. Semua antibodi adalahprotein dengan struktur yang sama yang disebut imunoglobulin (Ig) yang dapat dipindahkan

Page 12: pedoman imunisasi

secara pasif kepada individu yang lain dengan cara penyuntikan serum. Berbeda denganimunitas selular hanya dapat dipindahkan melalui sel; contohnya pada reaksi penolakan organtransplantasi oleh sel limfosit dan pada graft versus-host-disease.

Respons imun terdiri dari dua fase,

fase pengenalan, diperankan oleh sel yang mempresentasikan antigen (APC), sel limfositB, limfosit Tfase efektor, diperankan oleh antibodi, dan limfosit T efektor (Gambar 1)

Pajanan Antigen pada Sel T

Umumnya antigen bersifat tergantung pada sel T (TD=T dependent antigen), artinyaantigen akan mengaktifkan sel imunokompoten bila sel ini mendapat bantuan sel Th (Thelper) melalui zat yang dilepaskan sel Th aktif. Antigen TD adalah antigen yangkompleks seperti bakteri, virus dan antigen yang bersifat hapten. Sedangkan antigenyang tidak memerlukan sel T (TI=T independent antigen) untuk menghasilkan antibodidengan cara langsung merangsang sel limfosit B misalnya antigen yang strukturnyasederhana dan berulang-ulang, biasanya merupakan molekul besar dan menghasilkanIgM, IgG2 dan sel memori yang lemah. Contohnya polisakarida komponen endotoksinyang terdapat pada dinding sel bakteri. Endotoksin adalah TI antigen yang dapatmerangsang aktivasi sel B dan memproduksi antibodi dan berperan juga sebagai

stimulan sel B poliklonal.

Kualitas respons imun yang timbul tergantung pada faktor intrinsik Ag dan faktor-faktor lainseperti,

Jumlah dosis antigenCara pemberian antigen. Pada pemberian secara intradermal (id), intramuskular (im),subkutan (sc), organ sasaran adalah kelenjar limfoid regional. Secara intravenus (iv)berada di limpa, sedangkan pemberian secara oral akan ke plaquePeyer’s, dan melaluiinhalasi berada di jaringan limfoid bronkhial.Penambahan zat yang bekerja sinergis dengan antigen, misalnya ajuvan atau antigen lainSifat molekul antigen, jumlah protein, ukuran dan daya larutnyaFaktor genetik pejamu

Limfosit Th umumnya mengenal antigen bila dipresentasikan bersama molekul produk MHC(mayor histocompatibility complex) kelas I & II yaitu molekul yang antara lain terdapat padamembran sel makrofag. Setelah antigen diproses oleh sel makrofag akan

dipresentasikan bersama MHC kelas I atau kelas II kepada sel Th sehingga terjadiikatan antara TCR (T cell receptor) dengan antigen. Kemudian akan terjadi diferensiasimenjadi sel Th efektor, sel Tc efektor serta sel Th memori dan sel Tc memori ataspengaruh sitokin berada di jaringan perifer. Sel Th efektor mengaktivasi makrofag(Gambar 1.1). Peran utama dari sel Th ialah membantu sel limfosit B menghasilkanantibodi.

Pada manusia terdapat dua jenis sel Th yaitu sel Th1 dan sel Th2 yang dapatdibedakan dengan sitokin yang dihasilkannya dan fungsi efektornya. Misalnya Th1mensekresi sitokin IL-2, IL-3, TNF-a, TNF-a, TNF-a dan TH2 mensekresi IL-4, IL-5, IL-6,IL-10, dan IL-13. Sedangkan peran utama sel Tc atau sel CD8 ialah untuk mengenaldan kemudian melisis sel target yang terinfeksi sehingga disebut juga sel cytotoxic T

lymphocyte (CTLs) yang berperan pada infeksi virus, bakteri dan parasit.

Gambar 1.1. Aktivasi sel limfosit T pada Respon Imun Selular Dikutip dan dimodifikasi dariAbdul K Abbas, 2001

Page 13: pedoman imunisasi

Respon Imun Selular

Respons imun selular diperankan oleh sel limfosit T yang dapat langsung melisis selyang mengekspresikan Ag spesifik (sel Tc=sel T sitotoksik) atau mensekresi sitokinyang akan merangsang terjadi proses inflamasi (Th=sel T helper) hipersensitivitas tipelambat. Sel Tc dan sel Th berperan pada mikroorganisme intraselular seperti infeksivirus, parasit dan beberapa bakteri. Sel T sitotoksik akan melisis sel yang mengandungvirus. Sel Th aktif juga merangsang sel Tc (sel T cytotoxic) untuk mengenal antigenpada sel target bila berasosiasi dengan molekul MHC kelas I.

Reaksi hipersensitivitas tipe lambat diperankan oleh sel Th1 yang mensekresi sitokinbila dirangsang oleh Ag.

Respons Imun Humoral

Reseptor imunoglobulin (Ig) pada sel limfosit B mengenal dan berinteraksi dengan epitopantigen. Mulanya imunoglobulin permukaan ini adalah kelas IgM dan pada perkembanganselanjutnya sel B juga memperlihatkan IgG, IgA dan IgD pada membrannya dengan bagianF(ab) yang serupa. Perkembangan ini tidak perlu rangsangan antigen tertentu.

Pajanan Antigen pada Sel B

Antigen akan berikatan dengan imunoglobulin permukaan sel B dan dengan bantuan sel Th(bagi antigen TD) akan terjadi aktivasi enzim dalam sel B, sedemikian rupa hingga terjadilahtransformasi blast, proliferasi, dan diferensiasi menjadi sel plasma yang mensekresi antibodi danmembentuk sel B memori. Sedangkan antigen TI dapat secara langsung mengaktivasi sel Btanpa bantuan sel Th. Antibodi yang disekresi dapat menetralkan Ag sehingga virulensinyahilang, atau berikatan dengan Ag sehingga lebih mudah difagositosis oleh makrofag dalamproses opsonisasi. Kadang fagositosis

dapat dibantu dengan melibatkan komplemen sehingga terjadi penghancuran Ag.

Selain itu ikatan antibodi dengan Ag juga mempermudah lisis oleh sel Tc. Peristiwa inidisebut antibody dependent cellular mediated cytotoxi city (ADCC). Hasil akhir aktivasisel B adalah eliminasi Ag dan pembentukan sel memori yang kelak bila terpapar lagidengan Ag serupa akan cepat berproliferasi dan berdeferensiasi. Hal inilah yangdiharapkan pada imunisasi. Walaupun sel plasma yang terbentuk tidak berumurpanjang, kadar antibodi spesifik yang cukup tinggi mencapai kadar protektif danberlangsung dalam waktu cukup lama dapat diperoleh dengan vaksinasi tertentu atauinfeksi alamiah. Hal ini disebabkan karena adanya antigen yang tersimpan dalam seldendrit dalam kelenjar limfe yang dipresentasikan pada sel memori sewaktu-waktu dikemudian hari (Gambar 1.2)

Gambar 1.2. Mekanisme imunitas humoral

Dikutip dan dimodifikasi dari Abul K.Abbas, 2001

Respons antibodi terhadap antigen

Respons imun primer adalah respons imun yang terjadi pada pajanan pertama kalinyadengan antigen. Antibodi yang terbentuk pada respons imun primer kebanyakan adalah

Page 14: pedoman imunisasi

IgM dan IgG dengan titer yang lebih rendah dibandingkan dengan respons imunsekunder, demikian pula dengan afinitas serta lag phase lebih lama. Respons imunsekunder antibodi yang dibentuk terutama adalah IgG, dengan titer dan afinitasnya lebihtinggi serta phase lag lebih pendek (Gambar 1.3). Pada imunisasi, respons imunsekunder inilah yang kelak diharapkan akan memberi respons adekuat bila terpajanpada antigen yang serupa.

Memori Imunologik

Peran utama vaksinasi ialah menimbulkan memori imunologik yang banyak. Sel B memoriterbentuk di jaringan limfoid di bagian sentral germinal. Antigen asing yang sudah terikat denganantibodi akan membentuk komplek Ag-antibodi dan akan terikat dengan komplemen (C).Komplek Ag-Ab-C akan menempel pada sel dendrit

Gambar 1.3. Respons imun primer dan sekunder Dikutip dan dimodifikasi dari Abul K. Abbas2001

folikel (FDC=follicular dendritic cells) karena terdapat reseptor C di permukaan seldendrit. Terjadi proliferasi dan diferensiasi sel limfosit B dan akan terbentuk sel plasmayang menghasilkan antibodi dan sel B memori yang mempunyai afinitis antigen yangtinggi. Sel B memori akan berada di sirkulasi sedangkan sel plasma akan migrasi kesumsum tulang. Bila sel B memori kembali ke jaringan limfoid yang mempunyai antigenyang serupa maka akan terjadi proses proliferasi dan diferensiasi seperti semuladengan menghasilkan antibodi yang lebih banyak dan dengan afinitas yang lebih tinggi.Terbentuknya antibodi sebagai akibat ulangan vaksinasi (boosting effect) tergantungdari dosis antigen yang diberikan.

Sel T memori dibentuk dengan melalui beberapa tahapan. Sel APC akanmempresentasikan antigen yang sudah diprosesnya bersamasama molekul MHC di

jaringan limfoid perifer pada sel limfosit T; bersamaan dengan ini akan disekresi sitokin. Salahsatu fungsi dari sitokin adalah proliferasi sel T dengan Ag spesifik (clonal expansion) dandiferen-siasi yang menghasilkan sel efektor dan sel T memori. Sel efektor akan meninggalkanjaringan limfoid dan berada di sirkulasi dan bermigrasi ketempat terjadi infeksi untukmengeliminasi infeksi sedangkan sel T memori yang tidak aktif dan berada di sirkulasi untukjangka waktu yang lama. Antigen ekstraselular akan diproses di APC menjadi peptida yangakan dikenal oleh molekul MHC kelas II. Sedangkan Ag intraselular diproses di sitoplasma APCakan dikenal oleh molekul MHC kelas I. Sel limfosit T CD4+ mempunyai fungsi memproduksisitokin sel helper untuk mengelimasi mikroba ekstraselular. Sedangkan molekul CD8+ yangmempunyai fungsi sitolitik (CTL=cytolytic T lymphgocytes) akan memusnahkan mikobakteriumintrasel (Gambar 1).

Keberhasilan Imunisasi

Keberhasilan imunisasi tergantung pada beberapa faktor, yaitu status imun pejamu, faktorgenetik pejamu, serta kualitas dan kuantitas vaksin.

Status Imun Pejamu

Terjadinya antibodi spesifik pada pejamu terhadap vaksin yang diberikan akanmempengaruhi keberhasilan vaksinasi. Misalnya pada bayi yang semasa janinmendapat antibodi maternal spesifik terhadap virus campak, bila vaksinasi campakdiberikan pada saat kadar antibodi spesifik campak masih tinggi akan memberikan hasilyang kurang memuaskan. Demikian pula air susu ibu (ASI) yang mengandung IgAsekretori (sIgA) terhadap virus polio tidak mempengaruhi keberhasilan vaksinasi polioyang diberikan secara oral, karena pada umumnya kadar sIgA terhadap virus polio padaASI sudah rendah pada waktu bayi berumur beberapa bulan. Pada penelitian di SubBagian Alergi-Imunologi, Bagian IKA FKUI/ RSCM, Jakarta ternyata sIgA polio sudah

aldo
Highlight
Page 15: pedoman imunisasi

tidak ditemukan lagi pada ASI setelah bayi berumur 5 bulan. Kadar sIgA tinggi terdapatpada kolostrum. Karena itu bila vaksinasi polio oral diberikan pada masa pemberian kolostrum(kurang atau sama dengan 3 hari setelah lahir), hendaknya ASI (kolostrum) jangan diberikandahulu 2 jam sebelum dan sesudah vaksinasi.

Keberhasilan vaksinasi memerlukan maturitas imunologik. Pada bayi neonatus fungsi makrofagmasih kurang, terutama fungsi mempresentasikan antigen karena ekspresi HLA (humanleucocyte antigen) masih kurang pada permukaannya, selain deformabilitas membran sertarespons kemotaktik yang masih kurang. Kadar komplemen dan aktivitas opsonin komplemenmasih rendah, demikian pula aktivitas kemotaktik serta daya lisisnya. Fungsi sel Ts (T supresor)relatif lebih menonjol dibandingkan pada bayi atau anak karena memang fungsi imun padamasa intra uterin lebih ditekankan pada toleransi, dan hal ini masih terlihat pada bayi baru lahir.Pembentukan antibodi spesifik terhadap antigen tertentu masih kurang. Jadi dengan sendirinya,vaksinasi pada neonatus akan memberikan hasil yang kurang dibandingkan pada anak. Maka,apabila imunisasi diberikan sebelum bayi berumur 2 bulan, jangan lupa memberikan imunisasiulangan.

Status imun mempengaruhi pula hasil imunisasi. Individu yang mendapat obatimunosupresan, menderita defisiensi imun kongenital, atau menderita penyakit yangmenimbulkan defisiensi imun sekunder seperti pada penyakit keganasan juga akanmempengaruhi keberhasilan vaksinasi. Bahkan adanya defisiensi imun merupakanindikasi kontra pemberian vaksin hidup karena dapat menimbulkan penyakit padaindividu tersebut. Demikian pula vaksinasi pada individu yang menderita penyakitinfeksi sistemik seperti campak, tuberkulosis milier akan mempengaruhi pulakeberhasilan vaksinasi.

Keadaan gizi yang buruk akan menurunkan fungsi sel sistem imun seperti makrofag danlimfosit. Imunitas selular menurun dan imunitas humoral spesifisitasnya rendah.Meskipun kadar globulin-g normal atau bahkan meninggi, imunoglobulin yang terbentuk

tidak dapat mengikat antigen dengan baik karena terdapat kekurangan asam amino yangdibutuhkan untuk sintesis antibodi. Kadar komplemen juga berkurang dan mobilisasi makrofagberkurang, akibatnya respons terhadap vaksin atau toksoid berkurang.

Faktor Genetik Pejamu

Interaksi antara sel-sel sistem imun dipengaruhi oleh variabilitas genetik. Secara genetikrespons imun manusia dapat dibagi atas responder baik, cukup, dan rendah terhadap antigentertentu. Ia dapat memberikan respons rendah terhadap antigen tertentu, tetapi terhadap antigenlain dapat lebih tinggi. Karena itu tidak heran bila kita menemukan keberhasilan vaksinasi yangtidak 100%.

Faktor genetik dalam respons imun dapat berperan melalui gen yang berada pada kompleksMHC (major histocompatibility complex) dan gen non MHC. Gen kompleks MHC berperan dalampresentasi antigen. Sel Tc akan mengenal antigen yang berasosiasi dengan molekul MHC kelasI, dan sel Td serta sel Th akan mengenal

antigen yang berasosiasi dengan molekul MHC kelas II. Jadi respons sel T diawasisecara genetik sehingga dapat dimengerti bahwa akan terdapat potensi variasi responsimun. Pada gen non MHC, secara klinis kita melihat adanya defisiensi imun yangberkaitan dengan gen tertentu, misalnya agamaglobulinemia yang terangkai dengankromosom X yang hanya terdapat pada anak laki laki atau penyakit alergi yaitu penyakityang menunjukkan perbedaan responsi imun terhadap antigen tertentu merupakanpenyakit yang diturunkan. Faktor faktor ini menyokong adanya peran genetik dalamrespons imun, hanya saja mekanisme yang sebenarnya belum diketahui.

Kualitas dan Kuantitas Vaksin

Vaksin adalah mikroorganisme atau toksoid yang diubah sedemikian rupa sehinggapatogenisitas atau toksisitasnya hilang tetapi masih tetap mengandung sifat antigenisitas.Beberapa faktor kualitas dan kuantitas vaksin dapat menentukan keberhasilan vaksinasi, seperticara pemberian, dosis, frekuensi pemberian ajuvan yang dipergunakan, dan jenis vaksin.

Cara pemberian vaksin akan mempengaruhi respons imun yang timbul. Misalnya vaksinpolio oral akan menimbulkan imunitas lokal di samping sistemik, sedangkan vaksin polioparenteral akan memberikan imunitas sistemik saja.Dosis vaksin terlalu tinggi atau terlalu rendah mempengaruhi respons imun yang terjadi.Dosis terlalu tinggi akan menghambat respons imun yang diharapkan, sedang dosis terlalurendah tidak merangsang sel imunokompeten. Dosis yang tepat dapat diketahui dari hasiluji klinis, karena itu dosis vaksin harus sesuai dengan dosis yang direkomendasikan.Frekuensi pemberian mempengaruhi respons imun yang terjadi. Sebagaimana telah kitaketahui, respons imun sekunder menimbulkan sel efektor aktif lebih cepat, lebih tinggi

Page 16: pedoman imunisasi

produksinya, dan afinitasnya lebih tinggi. Di samping

frekuensi, jarak pemberianpun akan mempengaruhi respons imun yang terjadi. Bilapemberian vaksin berikutnya diberikan pada saat kadar antibodi spesifik masih tinggi,maka antigen yang masuk segera dinetralkan oleh antibodi spesifik yang masih tinggitersebut sehingga tidak sempat merangsang sel imunokompeten. Bahkan dapat terjadiapa yang dinamakan reaksi Arthus, yaitu bengkak kemerahan di daerah suntikanantigen akibat pembentukan kompleks antigen antibodi lokal sehingga terjadiperadangan lokal. Karena itu pemberian ulang (booster) sebaiknya mengikuti apayang dianjurkan sesuai dengan hasil uji klinis.

Ajuvan adalah zat yang secara nonspesifik dapat meningkatkan respons imunterhadap antigen. Ajuvan akan meningkatkan respons imun dengan mempertahankanantigen pada atau dekat dengan tempat suntikan, dan mengaktivasi sel APC (antigen

presenting cells) untuk memproses antigen secara efektif dan memproduksi interleukinyang akan mengaktifkan sel imunokompeten lainnya.Jenis vaksin, vaksin hidup akan menimbulkan respons imun lebih baik dibanding vaksinmati atau yang diinaktivasi (killed atau inactivated) atau bagian (komponen) darimikroorganisme. Rangsangan sel Tc memori membutuhkan suatu sel yang terinfeksi,karena itu dibutuhkan vaksin hidup. Sel Tc dibutuhkan pada infeksi virus yangmengeluarkan melalui budding. Vaksin hidup diperoleh dengan cara atenuasi. Tujuanatenuasi adalah untuk menghasilkan organisme yang hanya dapat menimbulkan penyakityang sangat ringan. Atenuasi diperoleh dengan memodifikasi kondisi tempat tumbuhmikroorganisme, misalnya suhu yang tinggi atau rendah, kondisi anerob, atau menambahempedu pada media kultur seperti pada pembuatan vaksin BCG yang sudah ditanamselama 13 tahun. Dapat pula dipakai mikroorganisme yang virulen untuk spesies lain tetapiuntuk manusia avirulen, misalnya virus cacar sapi.

Persyaratan Vaksin

Dengan mempelajari respons imun yang terjadi pada pajanan antigen, maka terdapatempat faktor sebagai persyaratan vaksin, yaitu 1)mengaktivasiAPCuntukmempresentasikanantigendanmemproduksi interleukin, 2)mengaktivasi sel T dan sel B untuk membentuk banyak sel memori, 3) mengaktivasi selT dan sel Tc terhadap beberapa epitop, untuk mengatasi variasi respons imun yang adadalam populasi karena adanya polimorfisme MHC, dan 4) memberi antigen yangpersisten, mungkin dalam sel folikular dendrit jaringan limfoid tempat sel B memoridirekrut sehingga dapat merangsang sel B sewaktu-waktu menjadi sel plasma yangmembentuk antibodi terus menerus sehingga kadarnya tetap tinggi.

Apakah persyaratan ini seluruhnya atau sebagian saja, tergantung dari ada atau tidaknya variasirespons genetik yang nyata dan respons imun yang dibutuhkan. Vaksin yang dapat memenuhikeempat persyaratan tersebut adalah vaksin virus hidup. Pada umumnya antibodi yangterbentuk akibat vaksinasi sudah cukup untuk mencegah terjadinya infeksi, sehinggapembentukan sel Tc terhadap berbagai epitop antigen tidak merupakan keharusan. Padapenyakit difteria dan tetanus misalnya yang dibutuhkan adalah antibodi untuk netralisasi toksin.

Daftar Pustaka

1. Roitt I. Essential Immunology. Edisi ke-11. Blackwell Publishing, 2006.2. Plotkin SA, Mortimer EA. Vaccines. Philadelphia: WB Saunders, 2004.3. Grabenstein JD. ImmunoFacts: Vaccines and Immunologic Drugs. St. Louis, MO: Wolters

Kluwer Health, Inc., 2006.4. Cell MediatedImmuneResponses: Activation of TLymphocytes by Cell Associated

Microbes. Dalam: Abul K.Abbas, Andrew H.Lichtman, penyunting. BasicImmunology,functions and disorders of the immune system. Edisi pertama. W.B.Saunders,2001.h.87-108.

5. Humoral Immune Responses: Activation of B lymphocytes and Production of Antibodies.Dalam: Abul K.Abbas, Andrew H.Lichtman, penyunting. Basic immunology, functions anddisorders of immune system. Edisi pertama W.B.Saunders, 2001.h.125-45.

Bab 1-3

Jenis Vaksin

Hariyono Suyitno

Pada dasarnya, vaksin dapat dibagi menjadi 2 jenis, yaitu

aldo
Highlight
Page 17: pedoman imunisasi

Live attenuated (kuman atau virus hidup yang dilemahkan)Inactivated (kuman, virus atau komponennya yang dibuat tidak aktif)

Sifat vaksin attenuated dan inactivated berbeda sehingga hal ini menentukanbagaimana vaksin ini digunakan.

Vaksin hidup attenuated diproduksi di laboratorium dengan cara melakukan modifikasi virus ataubakteri penyebab penyakit. Vaksin mikroorganisme yang dihasilkan masih memiliki kemampuanuntuk tumbuh menjadi banyak (replikasi) dan menimbulkan kekebalan tetapi tidak menyebabkanpenyakit.

Vaksin inactivated dapat terdiri atas seluruh tubuh virus atau bakteri, atau komponen (fraksi) darikedua organisme tersebut. Vaksin komponen dapat berbasis protein atau berbasis polisakarida.Vaksin yang berbasis protein termasuk toksoid (toksin bakteri yang inactivated) dan produk sub-unit atau sub-vision. Sebagian besar vaksin berbasis polisakarida terdiri atas dinding selpolisakarida asli bakteri. Vaksin penggabungan (conjugate vaccine) polisakarida adalah vaksinpolisakarida yang secara kimiawi dihubungkan dengan protein; karena hubungan ini membuatpolisakarida tersebut menjadi lebih poten.

Vaksin Hidup Attenuated

Vaksin hidup dibuat dari virus atau bakteri liar (wild) penyebab penyakit. Virus atau bakteri liar inidilemahkan (attenuated) di laboratorium, biasanya dengan cara pembiakan berulang-ulang.Misalnya vaksin campak yang dipakai sampai sekarang, diisolasi

untuk mengubah virus campak liar menjadi virus vaksin dibutuhkan 10 tahun dengancara melakukan penanaman pada jaringan media pembiakan secara serial dari seoranganak yang menderita penyakit campak pada tahun 1954.

Supaya dapat menimbulkan respons imun, vaksin hidup attenuated harus berkembangbiak (mengadakan replikasi) di dalam tubuh resipien. Suatu dosis kecil virus atau bakteriyang diberikan, yang kemudian mengadakan replikasi di dalam tubuh dan meningkatjumlahnya sampai cukup besar untuk memberi rangsangan suatu respons imun.Apapun yang merusak organisme hidup dalam botol (misalnya panas atau cahaya) ataupengaruh luar terhadap replikasi organisme dalam tubuh (antibodi yang beredar) dapatmenyebabkan vaksin tersebut tidak efektif.Walaupun vaksin hidup attenuated dapat menyebabkan penyakit, umumnya bersifat

ringan dibanding dengan penyakit alamiah dan itu dianggap sebagai kejadian ikutan(adverse event). Respons imun terhadap vaksin hidup attenuated pada umumnya samadengan yang diakibatkan oleh infeksi alamiah. Respons imun tidak membedakan antarasuatu infeksi dengan virus vaksin yang dilemahkan dan infeksi dengan virus liar.Vaksin virus hidup attenuated secara teoritis dapat berubah menjadi bentuk patogenikseperti semula. Hal ini hanya terjadi pada vaksin polio hidup.Imunitas aktif dari vaksin hidup attenuated tidak dapat berkembang karena pengaruh dariantibodi yang beredar. Antibodi yang masuk melalui plasenta atau transfusi dapatmempengaruhi perkembangan vaksin mikroorganisme dan menyebabkan tidak adanyarespons. Vaksin campak merupakan mikroorganisme yang paling sensitif terhadapantibodi yang beredar dalam tubuh. Virus vaksin polio dan rotavirus paling sedikit terkenapengaruh.Vaksin hidup attenuated bersifat labil dan dapat mengalami kerusakan bila kena panasatau sinar, maka harus dilakukan pengelolaan dan penyimpanan dengan baik dan hati-hati.

Vaksin hidup attenuated yang tersedia

Berasal dari virus hidup: vaksin campak, gondongan (parotitis), rubela, polio, rotavirus,demam kuning (yellow fever).Berasal dari bakteri: vaksin BCG dan demam tifoid oral.

Vaksi n Inactivated

Vaksin inactivated dihasilkan dengan cara membiakkan bakteri atau virus dalam mediapembiakan (persemaian), kemudian dibuat tidak aktif (inactivated) dengan penanamanbahan kimia (biasanya formalin). Untuk vaksin komponen, organisme tersebut dibuatmurni dan hanya komponen-komponennya yang dimasukkan dalam vaksin (misalnya

kapsul polisakarida dari kuman pneumokokus).Vaksin inactivated tidak hidup dan tidak dapat tumbuh, maka seluruh dosis antigendimasukkan dalam suntikan. Vaksin ini tidak menyebabkan penyakit (walaupun padaorang dengan defisiensi imun) dan tidak dapat mengalami mutasi menjadi bentukpatogenik. Tidak seperti antigen hidup, antigen inactivated umumnya tidak dipengaruhi

aldo
Highlight
aldo
Highlight
aldo
Highlight
aldo
Highlight
aldo
Highlight
aldo
Highlight
aldo
Highlight
aldo
Highlight
aldo
Highlight
Page 18: pedoman imunisasi

oleh antibodi yang beredar. Vaksin inactivated dapat diberikan saat antibodi berada didalam sirkulasi darah (misalnya pada bayi, menyusul penerimaan antibodi yang dihasilkandarah).Vaksin inactivated selalu membutuhkan dosis multipel. Pada umumnya, pada dosispertama tidak menghasilkan imunitas protektif, tetapi hanya memacu atau menyiapkansistem imun. Respons imun protektif baru timbul setelah dosis kedua atau ketiga. Hal iniberbeda dengan vaksin hidup, yang mempunyai respons imun mirip atau sama denganinfeksi alami, respons imun terhadap vaksin inantivated sebagian besar humoral, hanyasedikit atau tak menimbulkan imunitas selular. Titer antibodi terhadap antigen inactivatedmenurun setelah beberapa waktu. Sebagai hasilnya maka vaksin inactivatedmembutuhkan dosis suplemen (tambahan) secara periodik.

Pada beberapa keadaan suatu antigen untuk melindungi terhadap penyakit masihmemerlukan vaksin seluruh sel (whole cell), namun vaksin bakterial seluruh selbersifat paling reaktogenik dan menyebabkan paling banyak reaksi ikutan atauefek samping. Ini disebabkan respons terhadap komponen-komponen sel yangsebenarnya tidak diperlukan untuk perlindungan (contoh antigen pertusis dalamvaksin DPT).

Vaksin inactivated yang tersedia saat ini berasal dari,

Seluruh sel virus yang inactivated, contoh influenza, polio (injeksi disuntikkan),rabies, hepatitis ASeluruh bakteri yang inactivated, contoh pertusis, tifoid, kolera, lepra.

Vaksin fraksional yang masuk sub-unit, contoh hepatitis B, influenza, pertusis a-seluler,tifoid Vi, lyme disease.Toksoid, contoh difteria, tetanus, botulinumPolisakarida murni, contoh pneumokokus, meningokokus, dan Haemophillus influenzaetipe bGabungan polisakarida (Haemophillus influenzae tipe b dan pneumokokus)

Vaksin Polisakarida

Vaksin polisakarida adalah vaksin sub-unit yang inactivated dengan bentuknya yang unikterdiri atas rantai panjang molekulmolekul gula yang membentuk permukaan kapsul bakteritertentu. Vaksin polisakarida murni tersedia untuk 3 macam penyakit yaitu pneumokokus,meningokokus dan Haemophillus influenzae type b.Respons imun terhadap vaksin polisakarida murni adalah sel T independen khusus yangberarti bahwa vaksin ini mampu memberi stimulasi sel B tanpa bantuan sel T helper.Antigen sel T independen termasuk vaksin polisakarida, tidak selalu imunogenik padaanak umur kurang dari 2 tahun. Anak kecil tidak memberi respons terhadap antigenpolisakarida; mungkin

ada hubungannya dengan keadaan yang masih imatur dari sistem imunnya, terutamafungsi sel T.

Dosis vaksin polisakarida yang diulang tidak menyebabkan respons peningkatan(booster response). Dosis ulangan vaksin protein inactivated menyebabkan titerantibodi menjadi lebih tinggi secara progresif atau meningkat. Hal ini tidak dijumpaipada antigen polisakarida. Antibodi yang dibangkitkan oleh vaksin polisakaridamempunyai aktifitas fungsional kurang dibandingkan dengan apabila dibangkitkanoleh antigen protein. Hal ini karena antibodi yang dihasilkan dalam respons terhadapvaksin polisakarida hanya didominasi IgM dan hanya sedikit IgG yang diproduksi.Pada akhir tahun 1980-an telah ditemukan bahwa masalah seperti di atas dapatdiatasi melalui proses yang disebut penggabungan atau konjugasi (conjugation).

Konjugasi mengubah respons imun dari sel T independen menjadi sel T dependen yangmenyebabkan peningkatan sifat imunitas (immunogenicity) pada bayi dan responspeningkatan antibodi terhadap dosis vaksin ganda vaksin polisakarida. Conjugasi yangpertama adalah Haemophillus influenzae type b. Suatu vaksin konjugasi lainnya ialahvaksin pneumokok.

Vaksin Rekombinan

Antigen vaksin dapat pula dihasilkan dengan cara teknik rekayasa genetik. Produk ini seringdisebut sebagai vaksin rekombinan. Terdapat 3 jenis vaksin yang dihasilkan dengan rekayasagenetik yang saat ini telah tersedia.

Vaksin hepatitis B dihasilkan dengan cara memasukkan suatu segmen gen virus hepatitisB ke dalam gen sel ragi. Sel ragi yang telah berubah (modified) ini menghasilkan antigenpermukaan hepatitis B murni.Vaksin tifoid (Ty 21a) adalah bakteria Salmonella typhi yang secara

Page 19: pedoman imunisasi

genetik diubah (modified) sehingga tidak menyebabkan sakit.

• Tiga dari 4 virus yang berada di dalam vaksin rotavirus hidup adalah rotavirus kerarhesus yang diubah (modified) secara genetik menghasilkan antigen rotavirusmanusia apabila mereka mengalami replikasi.

Daftar Pustaka

1. American Academy of Pediatrics. Active Immunization. Dalam Pickering LK.,Penyunting. Red Book 2000, Report of the Committee on Infectious Diseases. Edisike 25. Elk Grove Village:American of Pediarics, 2000. h.6-26.

2. National Health and Medical Research Council. The Australian ImmunisationHandbook. 9th ed. Australian Government Department of Health and Ageing. 2008.

3. WHO, Unicef, The World Bank. State of the World’s Vaccines and Immunization.Geneva: WHO. 2002.

4. Centers for Disease Control and Prevention. Classification of vaccine. Dalam Atkinson W,Humiston S, Wolfe, R., penyunting. Epidemiology and Prevention of vaccine PreventableDiseases. Edisi ke 5. Atlanta:Department of Health & Human Services, CDC, 1999.h.4-8

5. Plotkin SA, Mortimer EA. Vaccines. Philadelphia: WB Saunders, 2004.

Bab II

Penyimpanan dan

Transportasi Vaksin

Bab II-1. Rantai vaksin Bab II – 2. Kualitas vaksin

Pen gantar

Secara umum vaksin terdiri dari vaksin hidup dan vaksin mati (inaktif) yang mempunyaiketahanan dan stabilitas yang berbeda terhadap perbedaan suhu. Oleh karena itu harusdiperhatikan syarat-syarat penyimpanan dan transportasi vaksin untuk menjaminpotensinya ketika diberikan kepada seorang anak. Bila syarat-syarat tersebut tidakdiperhatikan maka vaksin sebagai material biologis mudah rusak atau kehilanganpotensinya untuk merangsang kekebalan tubuh, bahkan bisa menimbulkan kejadian

ikutan pasca imunisasi (KIPI) yang tidak diharapkan. Untuk menghindari halhal yang tidakdiinginkan dibutuhkan pemahaman mengenai ketahanan vaksin terhadap perbedaan suhu danpemahaman rantai vaksin (cold –chain). Diperlukan syarat-syarat tertentu, sehingga sejak daripabrik sampai saat diberikan kepada pasien vaksin tetap terjamin kualitasnya. Selain itu perlupula mengenali kondisi vaksin yang sudah tidak dapat dipergunakan lagi, antara lain daritanggal kadaluwarsa, warna cairan, kejernihan, endapan, warna vaccine vial monitor (VVM),kerusakan label, dan sisa vaksin yang sudah dilarutkan.

Bab II-1

Rantai Vaksin

Soedjatmiko, Dahlan Ali Musa

Rantai vaksin adalah rangkaian proses penyimpanan dan transportasi vaksin denganmenggunakan berbagai peralatan sesuai prosedur untuk menjamin kualitas vaksinsejak dari pabrik sampai diberikan kepada pasien. Rantai vaksin terdiri dari prosespenyimpanan vaksin di kamar dingin atau kamar beku, di lemari pendingin, di dalam alatpembawa vaksin, pentingnya alat-alat untuk mengukur dan mempertahankan suhu.

Secara umum ada 2 jenis vaksin yaitu vaksin hidup (polio oral, BCG, campak, MMR,varicella dan demam kuning) dan vaksin mati atau inaktif (DPT, Hib, pneumokokus,typhoid, influenza, polio inaktif, meningokokus). Dampak perubahan suhu pada vaksinhidup dan mati berbeda. Untuk itu harus di ketahui suhu optimum untuk setiap vaksinsesuai petunjuk pernyimpanan dari pabrik masing-masing.

Suhu optimum untuk vaksin hidup

Secara umum semua vaksin sebaiknya disimpan pada suhu +2 s/d +80 C, di atas suhu +80 Cvaksin hidup akan cepat mati, vaksin polio hanya bertahan 2 hari, vaksin BCG dan campak yangbelum dilarutkan mati dalam 7 hari. aksin hidup potensinya masih tetap baik pada suhu kurangdari 2oC s/d beku. Vaksin polio oral yang belum dibuka lebih bertahan lama (2 tahun) bila

Page 20: pedoman imunisasi

disimpan pada suhu -25oC s/d -15oC, namun hanya bertahan 6 bulan pada suhu +2oC s/d +80 C.

Vaksin BCG dan campak berbeda, walaupun disimpan pada suhu -25oC s/d -15oC, umur vaksintidak lebih lama dari suhu +2oC s/d +8o C, yaitu BCG tetap 1 tahun dan campak tetap 2 tahun.Oleh

karena itu vaksin BCG dan campak yang belum dilarutkan tidak perlu disimpan di -25 s/d -15 o Catau di dalamfreezer.

Suhu optimum untuk vaksin mati

Vaksin mati (inaktif) sebaiknya disimpan dalam suhu +2oC s/d +8oC juga, pada suhudibawah +2oC (beku) vaksin mati (inaktif) akan cepat rusak. Bila beku dalam suhu -0.5oC vaksin hepatitis B dan DPT-Hepatitis B (kombo) akan rusak dalam 1/2 jam, tetapidalam suhu di atas 8o C vaksin hepatitis B bisa bertahan sampai 30 hari, DPT-hepatitisB kombinasi sampai 14 hari. Dibekukan dalam suhu -5oC s/d – 10oC vaksin DPT, DTdan TT akan rusak dalam 1,5 sd 2 jam, tetapi bisa bertahan sampai 14 hari dalam suhudi atas 8oC.

Kamar Dingin dan Kamar Beku

Kamar dingin (cold room) dan kamar beku (freeze room) umumnya berada di pabrik,distributor pusat, Departemen Kesehatan atau Dinas Kesehatan Propinsi, berupa ruang yangbesar dengan kapasitas 5 – 100 m3, untuk menyimpan vaksin dalam jumlah yang besar. Suhukamar dingin berkisar +2oC s/d +8oC, terutama untuk menyimpan vaksin-vaksin yang tidak bolehbeku. Suhu kamar beku berkisar antara -25oC s/d -15oC, untuk menyimpan vaksin yang bolehbeku, terutama vaksin polio. Kamar dingin dan kamar beku harus beroperasi terus menerus,menggunakan 2 alat pendingin yang bekerja bergantian. Aliran listerik tidak boleh terputussehingga harus dihubungkan dengan pembangkit listerik yang secara otomatis akan berfungsibila listerik mati. Suhu ruangan harus dikontrol setiap hari dari data suhu yang tercatat secaraotomatis. Alarm akan berbunyi bila suhu kurang dari 2oC, atau diatas 8oC, atau listrik padam.Pintu tidak boleh sering dibuka tutup. Kamar dingin dan kamar beku tidak boleh digunakan untukmembuat cool pack atau cold pack, atau meletakkan benda-benda

lain. Pembuatan cold pack dan cold pack menggunakan lemari pendingin tersendiri

Lemari es dan freezer

Setiap lemari es sebaiknya mempunyai 1 stop kontak tersendiri. Jarak lemari es dengandinding belakang 10–15 cm, kanan kiri 15 cm, sirkulasi udara disekitarnya harus baik.Lemari es tidak boleh terkena panas matahari langsung.

Suhu di dalam lemari es harus berkisar +2oC s/d +8oC, digunakan untuk menyimpanvaksin-vaksin hidup maupun mati, dan untuk membuat cool pack (kotak dingin cair).Sedangkan suhu di dalam freezer berkisar antara -25oC s/d -15oC, khusus untukmenyimpan vaksin Polio dan pembuatan cold pack (kotak es beku).

Termostat di dalam lemari es harus diatur sedemikian rupa sehingga suhunya berkisarantara +2oC s/d +8oC dan suhufreezer berkisar -15oC s/d -25oC. Perubahan suhu dapatdiketahui setelah 24 jam pengaturan termostat, dengan melihat termometer Dial atau

Muller yang diletakkan pada rak ke 2. Di dalam lemari es lebih baik bila dilengkapi freeze watchatau freeze tag pada rak ke 3, untuk memantau apakah suhunya pernah mencapai dibawah 0derajat.

Setelah suhu stabil, posisi termostat jangan diubah, sebaiknya termostat difiksasi dengan pitaperekat (selotape) agar tidak tergeser ketika mengambil atau meletakkan vaksin. Sebaiknyapintu lemari es hanya dibuka dua kali sehari, yaitu ketika mengambil vaksin dan mengembalikansisa vaksin, sambil mencatat suhu lemari es.

Pintu lemari es ada dua jenis : membuka ke depan dan membuka ke atas, masing-masingmempunyai keuntungan dan kerugian. Lemari es dengan pintu membuka ke atas lebihdianjurkan untuk penyimpanan vaksin.

Tabel 2.1. Perbedaan lemari es dengan pintu membuka ke depan dan ke atas

Pintu membuka ke depan Pintu membuka ke atas

Page 21: pedoman imunisasi

1. Suhu tidak stabil. 1. Suhu lebih stabil.

Pada saat pintu dibuka Pada saat pintu dibuka ke atas,

kedepan, suhu dingin turun suhu dingin turun dari atas

dari atas kebawah dan keluar kebawah, tidak keluar

2. Bila listerik padam relatif 2. Bila listerik padam relatif bisa

tidak bertahan lama bertahan lebih lama

3. Jumlah vaksin yang bisa 3. Jumlah vaksin yang bisa

disimpan lebih sedikit disimpan lebih banyak

4. Susunan vaksin lebih mudah 4. Susunan vaksin lebih sulit

dilihat dari depan dikontrol karena bertumpuk sulit

dilihat dari atas

Karet-karet pintu harus diperiksakerapatannya, untuk menghindari keluarnya udara dingin. Bila pada dinding lemari es telahterdapat bunga es, atau di freezer telah mencapai tebal 2-3 cm harus segera dilakukanpencairan (defrost). Sebelum melakukan pencairan, pindahkan semua vaksin ke cool box ataulemari es yang lain. Cabut kontak listerik lemari es, biarkan pintu lemari es danfreezer terbukaselama 24 jam, kemudian dibersihkan. Setelah bersih, pasang kembali kontak listerik, tunggusampai suhu stabil. Setelah suhu lemari sedikitnya mencapai + 80 C dan suhufreezer – 15 0 C,masukkan vaksin sesuai tempatnya.

Susunan vaksin di dalam lemari es

Karena vaksin hidup dan vaksin inaktif mempunyai daya tahan berbeda terhadap suhu dingin,maka kita harus mengenali bagian yang paling dingin dari lemari es. Kemudian kita meletakkanvaksin hidup dekat dengan bagian yang paling dingin, sedangkan vaksin mati jauh dari bagianyang paling dingin. Di antara kotak-kotak vaksin beri jarak selebar jari tangan (sekitar 2 cm) agarudara dingin bisa menyebar merata ke semua kotak vaksin.

Page 22: pedoman imunisasi

Text Box:

Text Box:

Page 23: pedoman imunisasi

Text Box:

Bagian paling bawah tidak untuk menyimpan vaksin tetapi khusus untuk meletakkan cool pack,untuk mempertahankan suhu bila listerik mati. Pelarut vaksin jangan disimpan di dalam lemaries atau freezer, karena akan mengurangi ruang untuk vaksin, dan akan pecah bila beku.Penetes (dropper) vaksin polio juga tidak boleh diletakkan di lemari es atau freezer karena akanmenjadi rapuh, mudah pecah.

Tidak boleh menyimpan makanan, minuman, obat-obatan atau benda-benda lain didalam lemari es vaksin, karena akan mengganggu stabilitas suhu karena sering dibuka.

Lemari es dengan pintu membuka kedepan

Bagian yang paling dingin lemari es ini adalah di bagian paling atas (freezer). Di dalamfreezer di simpan cold pack, sedangkan rak tepat dibawah freezer untuk meletakkanvaksin–vaksin hidup, karena tidak mati pada suhu rendah. Rak yang lebih jauhdarifreezer (rak ke 2 dan 3) untuk meletakkan vaksin-vaksin mati (inaktif), agar tidakterlalu dekat freezer, untuk menghindari rusak karena beku. Termometer Dial atau Mullerdiletakkan pada rak ke 2, freeze watch atau freeze tag pada rak ke 3

Gambar 2.1 . Tata letak vaksin dalam lemari es yang membuka ke depan, perhatikan bahwavaksin hidup (BCG, campak, polio) boleh dekat pendingin (freezer), vaksin mati harus jauh daripendingin (freezer)

Lemari es dengan pintu membuka ke atas

Bagian yang paling dingin dalam lemari es ini adalah bagian tengah (evaporator) yangmembujur dari depan ke belakang. Oleh karena itu vaksin hidup diletakkan di kanan-kiribagian yang paling dingin (evaporator). Vaksin mati diletakkan dipinggir, jauh darievaporator. Beri jarak antara kotak-kotak vaksin selebar jari tangan (sekitar 2 cm).Letakkan termometer Dial atau Muller atau freeze watch/freeze tag dekat vaksin mati.

Page 24: pedoman imunisasi

Text Box:

Gambar 2.2. Lemari es dengan pintu membuka keatas

Keterangan gambar: Kotak vaksin hidup boleh dekat pendingin, vaksin mati (inaktif) jauh daripendingin

Wadah pembawa vaksin

Untuk membawa vaksin dalam jumlah sedikit dan jarak tidak terlalu jauh dapatmenggunakan cold box (kotak dingin) atau vaccine carrier (termos). Cold box berukuranlebih besar, dengan ukuran 40 – 70 liter, dengan penyekat suhu dari poliuretan, selainuntuk transportasi dapat pula untuk menyimpan vaksin sementara. Untukmepertahankan suhu vaksin di dalam kotak dingin atau termos dimasukkan cold packatau cool pack.

Gambar 2.3. KotakDingin, b) Vaksin Carrier,

c) cool pack

Cold Pack dan Cool Pack

Cold pack berisi air yangdibekukan dalam suhu -15 s/d –

25 0 C selama 24 jam, biasanya di dalam wadahplastik berwarna putih. Cool pack berisi airdingin (tidak beku) yang didinginkan dalam suhu+2 s/d +80 C selama 24 jam, biasanya di dalamwadah plastik berwarna merah atau biru. Cold

pack (beku) dimasukkan ke dalam termos untuk mepertahankan suhu vaksin ketika membawavaksin hidup sedangkan cool pack (cair) untuk membawa vakdin hidup dan vaksin mati (inaktif).

Gambar 2.4. Cara membawa vaksin dalam vaccine carrier

Daftar Pustaka

Page 25: pedoman imunisasi

1. DirektoratJenderal PPM & PL. Pedoman Teknis Pengelolaan Vaksin danRantaiVaksin.Jakarta : Departemen Kesehatan RI; 2005

2. Direktorat Jenderal PPM & PL. Modul Pelatihan Pengelolaan Rantai Vaksin ProgramImunisasi. Jakarta : Departemen Kesehatan RI; 2004.

3. Keputusan Menteri Kesehatan R I. Pedoman Penyelenggaraan Imunisasi. Jakarta:Departemen Kesehatan RI; 2005.

4. National Health and Medical Research Council. National Immunization Program.The Australian Immunization Handbook. Edisi ke-9. Commonwealth of Australia;2008.

5. Committee on Infectious Diseases American Academy of Pediatrics. PickeringLK,Baker CL, Overturf GD, Prober CG, penyunting. Red Book: 2003 Report of theCommittee on Infectious Diseases. Edisike-26. Elk Grove Village, IL: AmericanAcademy of Pediatrics; 2003.

6. Plotkins S, Orenstein WA, penyunting. Vaccines, edisi keempat. Philadelphia,Tokyo, WB Saunders, 2004.

7. WHO, Unicef, The World Bank. State of the World’s Vaccines and Immunization.Geneva: WHO. 2002.

Bab II-2

Menilai Kualitas Vaksin

Soedjatmiko, Dahlan Ali Musa

Seperti telah diuraikan dalam Bab II-1, vaksin hidup akan mati pada suhu di atas batastertentu, dan vaksin mati (inaktif) akan rusak di bawah suhu tertentu. Bila pengelolaanvaksin dan rantai vaksin tidak baik, maka vaksin tidak mampu merangsang kekebalantubuh secara optimal bahkan dapat menimbulkan kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI)yang tidak diharapkan. Oleh karena itu dalam pelayanan sehari-hari kita kita perlumemahami beberapa hal praktis untuk menilai apakah vaksin masih layak diberikankepada pasien atau tidak. Namun untuk mengetahui potensi vaksin yang sesungguhnyaharus dilakukan pemeriksaan laboratorium yang rumit.

Kualitas rantai vaksin dan tanggal kadaluwarsa

Untuk mempertahankan kualitas vaksin maka penyimpanan dan transportasi vaksin harusmemenuhi syarat rantai vaksin yang baik, antara lain: disimpan di dalam lemari es atau freezerdalam suhu tertentu, transportasi vaksin di dalam kotak dingin atau twermos yang tertutup rapat,tidak terendam air, terlindung dari sinar matahari langsung, belum melewati tanggal kadaluarsa,indikator suhu berupa VVM (vaccine vial monitor) atau freeze watch / tag belum melampauibatas suhu tertentu.

VVM (vaccine vial monitor)

Vaccine vial monitor untuk menilai apakah vaksin sudah pernah terpapar suhu diatas batas yangdibolehkan, dengan membandingkan

warna kotak segi empat dengan warna lingkaran di sekitarnya. Bila warna kotak segi empatlebih muda daripada lingkaran dan sekitarnya (disebut kondisi VVM A atau B) maka vaksinbelum terpapar suhu di atas batas yang diperkenankan. Vaksin dengan kondisi VVM B harussegera dipergunakan.

A. Segi empat lebih terang dari lingkaran sekitar

Bila belum kadaluwarsa: GUNAKAN vaksin.

B. Segi empat berubah gelap tapi lebih terang dari lingkaran sekitar

Bila belum kadaluwarsa: SEGERA GUNAKAN vaksin.

C. Segi empat sama warna dengan lingkaran sekitar

JANGAN GUNAKAN vaksin: Lapor kepada pimpinan.

D. Segi empat lebih gelap dari lingkaran sekitar

JANGAN GUNAKAN vaksin: Lapor kepada pimpinan.

Gambar 2.5. Perubahan warna Vaccine Vial Monitor

Bila warna kotak segi empat sama atau lebih gelap daripada lingkaran dan sekitarnya (disebut

Page 26: pedoman imunisasi

Text Box:

kondisi VVM C atau D) maka vaksin sudah terpapar suhu di atas batas yang diperkenankan,tidak boleh diberikan pada pasien.

Freeze watch dan freeze tag

Alat ini untuk mengetahui apakah vaksin pernah terpapar suhu dibawah 00 C. Bila dalam freezewatch terdapat warna biru yang melebar ke sekitarnya atau dalam freeze tag ada tanda silang(X), berarti vaksin pernah terpapar suhu di bawah 0oC yang dapat merusak vaksin mati (inaktif).Vaksin-vaksin tersebut tidak boleh diberikan kepada pasien.

Warna dan kejernihanvaksin

Warna dan kejernihanbeberapa vaksin dapatmenjadi indikator praktisuntuk menilai stabilitasvaksin. Vaksin polio harusberwarna kuning oranye. Bilawarnanya berubah menjadipucat atau kemerahan berartipHnya telah berubah,

sehingga tidak stabil dan tidak bolehdiberikan kepada pasien.

Vaksin toksoid, rekombinan danpolisakarida umumnya berwarnaputih jernih sedikit berkabut. Bilamenggumpal atau banyak endapan

berarti sudah pernah beku, tidak bolehdigunakan karena sudah rusak. Untuk meyakinkan dapat dilakukan uji kocok seperti dibawahini.

Bila vaksin setelah dikocok tetap menggumpal atau mengendap, maka vaksin tidak bolehdigunakan karena sudah rusak.

Gambar 2.7. Uji kocok (Shake test)

Pemilihan vaksin

Vaksin yang harus segera dipergunakan adalah : vaksin yang belum dibuka tetapi telah dibawake lapangan, sisa vaksin telah dibuka (dipergunakan), vaksin dengan VVM B, vaksin dengantanggal kadaluarsa sudah dekat (EEFO = early expire first out), vaksin yang sudah lamatersimpan dikeluarkan segera (FIFO = first in first out).

Sisa vaksin di sarana pelayanan statis (Puskesmas, Klinik, Rumah Sakit, praktekswasta)

Sisa vaksin yang telah dibuka di sarana pelayanan statis masih bisa diberikan padapelayanan berikutnya bila masih memenuhi syarat-syarat, tidak melewati tanggalkadaluwarsa, disimpan dalam suhu +2 s/d +80 C, tidak pernah terendam air, VVM A atauB, tidak lebih dari 3 - 4 minggu setelah dibuka. Oleh karena itu sebaiknya selalu ditulistanggal mulainya penggunaan vaksin terebut. Vaksin yang sudah terbuka atau sedangdipakai diletakkan dalam satu wadah/tempat khusus (tray), sehingga segera dapatdikenali.

Khusus untuk vaksin yang telah dilarutkan, stabilitas vaksin lebih singkat. Vaksin BCGyang telah dilarutkan walaupun disimpan di dalam suhu +2 s/d +80 C hanya stabil selama 3jam(WHO 6 jam). Vaksin campak yang telah dilarutkan walaupun disimpan di dalam suhu +2 s/d +8

Page 27: pedoman imunisasi

0 C hanya stabil selama 6 - 8 jam. Vaksin Hib yang sudah dilarutkan harus dibuang setelah 24jam. Vaksin varisela yang sudah dilarutkan harus dibuang setelah 30 menit.

Tabel 2.3. Masa pemakaian vaksin dari vial yang sudah dibuka di sarana pelayanan statis

Vaksin MasaPemakaian

POLIO 2 minggu

DPT 4 minggu

DT 4 minggu

TT 4 minggu

Hepatitis B 4 minggu

Sisa vaksin di saranapelayanan luar gedung

Vaksin yang belum dibuka tetapi sudah dibawa ke lapangan harus diberi tanda khususuntuk segera dipergunakan pada pelayanan berikutnya, selama semua syarat-syaratmasih terpenuhi. Sisa vaksin yang telah dibuka di lapangan sebaiknya dimusnahkandengan membakar di dalam insinerator bersama alat suntik bekas, atau dikubursedalam 2-3 meter.

Daftar Pustaka

1. DirektoratJenderal PPM & PL. Pedoman Teknis Pengelolaan Vaksin danRantaiVaksin.Jakarta : Departemen Kesehatan RI; 2005

2. Direktorat Jenderal PPM & PL. Modul Pelatihan Pengelolaan Rantai Vaksin ProgramImunisasi. Jakarta : Departemen Kesehatan RI; 2004.

3. Keputusan Menteri Kesehatan R I. Pedoman Penyelenggaraan Imunisasi. Jakarta:Departemen Kesehatan RI; 2005.

4. National Health and Medical Research Council. National Immunization Program. The

Australian Immunization Handbook. Edisi ke-9. Commonwealth of Australia; 2008. 5. Committeeon Infectious Diseases American Academy of Pediatrics. PickeringLK, Baker

CL, Overturf GD, Prober CG, penyunting. Red Book: 2003 Report of the Committee on

Infectious Diseases. Edisike-26. Elk Grove Village, IL: American Academy of Pediatrics;

2003.

Bab III

Prosedur Imunisasi

1. Tatacara pemberian imunisasi2. Penjelasan kepada orang tua mengenai imunisasi3. Catatan imunisasi4. Safety injection

Pengantar

Imunisasi sebagai upaya pencegahan primer yang sangat handal, memerlukan pemahaman danketrampilan dari para pelakunya mengenai prosedur-prosedur yang harus dilakukan sebelum,selama dan sesudah melakukan imunisasi.

Prosedur imunisasi dimulai dari menyiapkan dan membawa vaksin, mempersiapkananak dan orangtua, tehnik penyuntikan yang aman, pencatatan, pembuangan limbah,sampai pada teknik penyimpanan dan penggunaan sisa vaksin dengan benar.Penjelasan kepada orang tua serta pengasuhnya sebelum dan setelah imunisasi perludipelajari pula. Pengetahuan tentang kualitas vaksin yang masih boleh diberikan padabayi/anak perlu mendapat perhatian. Ukuran jarum, lokasi suntikan, cara mengurangiketakutan dan rasa nyeri pada anak juga perlu diketahui. Imunisasi perlu dicatat denganlengkap, termasuk keluhan kejadian ikutan pasca imunisasi.

Dengan prosedur imunisasi yang benar diharapkan akan diperoleh kekebalan yangoptimal, penyuntikan yang aman, kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) yang minimal,

Page 28: pedoman imunisasi

serta pengetahuan dan kepatuhan orangtua pada jadwal imunisasi.

Bab III-1

Tata-Cara Pemberian Imunisasi

Qariyono Q7uyitno

Sebelum melakukan vaksinasi, dianjurkan mengikuti tata cara seperti berikut

Memberitahukan secara rinci tentang risiko imunisasi dan risiko apabila tidak divaksinasi.Periksa kembali persiapan untuk melakukan pelayanansecepatnya bila terjadi reaksi ikutan yang tidak diharapkan.Baca dengan teliti informasi tentang yang akan diberikan dan jangan lupa mendapatpersetujuan orang tua. Melakukan tanya jawab dengan orang tua atau pengasuhnyasebelum melakukan imunisasi.

Tinjau kembali apakah ada indikasi kontra terhadap vaksin yang akan diberikan.Periksa identitas penerima vaksin dan berikan antipiretik bila diperlukan.Periksa jenis vaksin dan yakin bahwa vaksin tersebut telah disimpan dengan baik.Periksa vaksin yang akan diberikan apakah tampak tanda-tanda perubahan.Periksa tanggal kadaluwarsa dan catat hal-hal istimewa, misalnya adanyaperubahan warna yang menunjukkan adanya kerusakan.Yakin bahwa vaksin yang akan diberikan sesuai jadwal dan ditawarkan pulavaksin lain untuk mengejar imunisasi yang tertinggal (catch up vaccination) biladiperlukan.Berikan vaksin dengan teknik yang benar. Lihat uraian mengenai pemilihan jarumsuntik, sudut arah jarum suntik, lokasi suntikan, dan posisi penerima vaksin.Setelah pemberian vaksin, kerjakan hal-hal seperti berikut. o Berilah petunjuk

(sebaiknya tertulis) kepada orang tua atau

pengasuh apa yang harus dikerjakan dalam kejadian reaksi yang biasa atau reaksi ikutanyang lebih berat.

Catat imunisasi dalam rekam medis pribadi dan dalam catatan klinis.Catatan imunisasi secara rinci harus disampaikan kepada Dinas Kesehatan bidangPemberantasan Penyakit Menular ( P2M ).Periksa status imunisasi anggota keluarga lainnya dan tawarkan vaksinasi untuk mengejarketinggalan, bila diperlukan.

Dalam situasi vaksinasi yang dilaksanakan untuk kelompok besar, pelaksanaannya dapatbervariasi, namun rekomendasi tetap seperti di atas yang berpegang pada prinsip-prinsiphigienis, surat persetujuan yang valid, dan pemeriksaan/penilaian sebelum imunisasi harusdikerjakan.

Penyimpanan

Vaksin yang disimpan dan diangkut secara tidak benar akan kehilangan potensinya.Instruksi pada lembar penyuluhan (brosur) informasi produk harus disertakan. Aturanumum untuk sebagian besar vaksin, bahwa vaksin harus didinginkan pada temperatur 2-8o C dan tidak membeku. Sejumlah vaksin (DPT, Hib, hepatitis B, dan hepatitis A)menjadi tidak aktif bila beku. Pengguna dinasehatkan untuk melakukan konsultasi gunamendapatkan informasi khusus vaksin-vaksin individual, karena beberapa vaksin (OPVdan Yellow fever) dapat disimpan dalam keadaan beku. Pedoman secara rincibagaimana menyimpan secara benar dan pengangkutannya diuraikan pada Bab IIPenyimpanan dan Transportasi Vaksin.

Pengenceran

Vaksin kering yang beku harus diencerkan dengan cairan pelarut khusus dan digunakan dalamperiode waktu tertentu. Apabila

vaksin telah diencerkan, harus diperiksa terhadap tanda-tanda kerusakan (warna dankejernihan). Perlu diperhatikan bahwa vaksin campak yang telah diencerkan cepat mengalamiperubahan pada suhu kamar. Jarum ukuran 21 yang steril dianjurkan untuk mengencerkan danjarum ukuran 23 dengan panjang 25 mm digunakan untuk menyuntikkan vaksin.

Pembersihan kulit

Tempat suntkan harus dibersihkan sebelum imunisasi dilakukan, namun apabila kulit telah

Page 29: pedoman imunisasi

bersih, antiseptik kulit tidak diperlukan.

Pemberian suntikan

Sebagian besar vaksin diberikan melalui suntikan intramuskular atau subkutan dalam.Terdapat perkecualian pada dua jenis vaksin yaitu OPV diberikan per-oral dan BCGdiberikan dengan suntikan intradermal (dalam kulit). Walaupun vaksin sebagian besardiberikan secara suntikan intramuskular atau subkutan dalam, namun bagi petugaskesehatan yang kurang berpengalaman memberikan suntikan subkutan dalam,dianjurkan memberikan dengan cara intra muskular.

Teknik dan ukuran jarum

Para petugas yang melaksanaan vaksinasi harus memahami teknik dasar dan petunjukkeamanan pemberian vaksin, untuk mengurangi risiko penyebaran infeksi dan traumaakibat suntukan yang salah. Pada tiap suntikan harus digunakan tabung suntikan dan

jarum baru, sekali pakai dan steril. Sebaiknya tidak digunakan botol vaksin yang multidosis,karena risiko infeksi. Apabila memakai botol multidosis (karena tidak ada alternatif vaksin dalamsediaan lain) maka jarum suntik yang telah digunakan menyuntik tidak

boleh dipakai lagi mengambil vaksin. Tabung suntik dan jarum harus dibuang dalam tempattertutup yang diberi tanda (label) tidak mudah robek dan bocor, untuk menghindari luka tusukanatau pemakaian ulang. Tempat pembuangan jarum suntik bekas harus dijauhkan dari jangkauananak-anak. Diharapkan semua petugas kesehatan memahami benar buku petunjuk ini.

Sebagian besar vaksin harus disuntikkan ke dalam otot. Penggunaan jarum yang pendekmeningkatkan risiko terjadi suntikan subkutan yang kurang dalam. Hal ini menjadi masalahuntuk vaksin-vaksin yang inaktif (inactivated).

Standar jarum suntik ialah ukuran 23 dengan panjang 25 mm, tetapi ada perkecualian lain dalambeberapa hal seperti berikut:

v. pada bayi-bayi kurang bulan, umur dua bulan atau yang lebih muda dan bayi-bayi kecillainnya, dapat pula dipakai jarum ukuran 26 dengan panjang 16 mm,

v. untuk suntikan subkutan pada lengan atas, dipakai jarum ukuran 25 dengan panjang 16mm, untuk bayi-bayi kecil dipakai jarum ukuran 27 dengan panjang 12 mm,

v. untuk suntikan intramuskular pada orang dewasa yang sangat gemuk (obese)dipakai jarum ukuran 23 dengan panjang 38 mm,

v. untuk suntikan intradermal pada vaksinasi BCG dipakai jarum ukuran 25-27dengan panjang 10 mm.

Arah sudut jarum pada suntikan intramuskular

Jarum suntik harus disuntikkan dengan sudut 450 sampai 600 ke dalam otot vastuslateralis atau otot deltoid. Untuk otot vastus lateralis, jarum harus diarahkan kearah lutut dan untuk deltoid jarum harus diarahkan ke pundak. Kerusakan sarafdan pembuluh vaskular dapat terjadi apabila suntikan diarahkan pada sudut 900.Pada suntikan dengan sudut jarum 450 sampai 600 akan mengalami hambatan

ringan pada waktu jarum masuk ke dalam otot.

Tempat suntikan yang dianjurkan

Paha anterolateral adalah bagian tubuh yang dianjurkan untuk vaksinasi pada bayi-bayi dananak-anak umur di bawah 12 bulan. Regio deltoid adalah alternatif untuk vaksinasi pada anak-anak yang lebih besar (mereka yang telah dapat berjalan) dan orang dewasa.

Sejak akhir tahun 1980, WHO telah memberi rekomendasi bahwa daerah anterolateral pahaadalah bagian yang dianjurkan untuk vaksinasi bayi-bayi dan tidak pada pantat (daerah gluteus)untuk menghidari risiko kerusakan saraf iskhiadika (nervus ischiadicus). Buku pedoman ACIPdan AAP dan buku pedoman Selandia Baru juga menganjurkan paha anterolateral sebagaitempat suntikan vaksin. Buku pedoman Inggris mengajurkan paha anterolateral atau lengan ataspada bayi sebagai tempat suntikan.

Risiko kerusakan saraf ischiadika akibat suntikan di daerah gluteus lebih banyakdijumpai pada bayi karena variasi posisi saraf tersebut, masa otot lebih tebal, sehinggapada vaksinasi dengan suntikan intramuskular di daerah gluteal dengan tidak disengajamenghasilkan suntikan subkutan dengan reaksi lokal yang lebih berat. Vaksin hepatitisB dan rabies bila disuntikkan di daerah gluteal kurang imunogenik; hal ini berlaku untuksemua umur.

Rekomendasi untuk penyuntikkan vaksin di daerah paha anterio lateral sebenarnya

Page 30: pedoman imunisasi

telah diketahui, namun beberapa petugas kesehatan masih segan meninggalkanpraktek tradisionalnya dengan menyuntik di daerah gluteal. Sehubungan dengan haltersebut, dianjurkan untuk selalu mengulang kembali dengan memberi peringatanbahwa bila vaksin-vaksin tersebut disuntikkan di daerah gluteal harus hati-hati, yaitu

dengan memilih lokasi suntikan yang tepat untuk menghidari saraf ischiadika. Sedangkan untukvaksinasi BCG, harus disuntik pada kulit di atas insersi otot deltoid (lengan atas), sebabsuntikan-suntikan diatas puncak pundak memberi risiko terjadinya keloid.

Posisi anak dan lokasi suntikan

Vaksin yang disuntikkan harus diberikan pada bagian dengan risiko kerusakan saraf, pembuluhvaskular serta jaringan lainnya. Penting bahwa bayi dan anak jangan bergerak saat disuntik,walaupun demikian cara memegang bayi dan anak yang berlebihan akan menambah ketakutansehingga meningkatkan ketegangan otot. Perlu diyakinkan kepada orang tua atau pengasuhuntuk membantu memegang anak atau bayi, dan harus diberitahu agar mereka memahami apayang sedang dikerjakan.

Alasan memilih otot vastus lateralis pada bayi dan anak umur di bawah 12 bulan adalah

v. Menghindari risiko kerusakan saraf ischiadika pada suntikan daerah gluteal.v. Daerah deltoid pada bayi dianggap tidak cukup tebal untuk menyerap suntikan secara

adekuat.v. Sifat imunogenesitas vaksin hepatitis B dan rabies berkurang bila disuntikkan di daerah

gluteal.v. Menghindari risiko reaksi lokal dan terbentuk pembengkakan di tempat suntikan

yang menahun.vi. Menghindari lapisan lemak subkutan yang tebal pada paha bagian anterior.

Vastus lateralis, posisi anak dan lokasi suntikan

Vastus lateralis adalah otot bayi yang tebal dan besar, yang mengisi bagiananterolateral paha. Vaksin harus disuntikkan ke dalam batas antara sepertiga ototbagian atas dan tengah yang merupakan bagian yang paling tebal dan padat.Jarum harus membuat sudut 45o-60o terhadap permukaan kulit, dengan jarum kearah lutut, maka jarum tersebut harus menembus kulit selebar ujung jari di atas (kearah proksimal) batas hubungan bagian atas dan sepertiga tengah otot.

Anak atau bayi diletakkan di atas meja periksa, dapat dipegang oleh orang tua/pengasuh atauposisi setengah tidur pada pangkuan orang

Text Box:

tua atau pengasuhnya. Celana(popok) bayiharus dibukabila menutupi otot vastus lateralis sebagai lokasi suntikkan, bila tidakdemikian vaksin akan disuntikkan terlalu bawah di daerah paha. Kedua tangan dipegang

Page 31: pedoman imunisasi

menyilang pelvis bayi dan paha dipegang dengan tangan antara jempol dan jari-jari. Posisi iniakan mengurangi hambatan dalam proses penyuntikan dan membuatnya lebih lancar.

Gambar 3.1. Diagram lokasi suntikan yang dianjurkan pada otot paha

Dikutip dan dimodifikasi dari Australian Immunization Handbook, 1997

Gambar 3.2. Potongan/ belahan lintang paha: menunjukkan bagian yang disuntikDikutip dan dimodifikasi dari Australian Immunization Handbook, 1997

Lokasi suntikan pada vastus lateralis

Letakkan bayi di atas tempat tidur atau meja, bayi ditidurkan terlentang,Tungkai bawah sedikit ditekuk dengan fleksi pada lutut,Cari trochanter mayor femur dan condlylus lateralis dengan cara palpasi, tarik garis yangmenghubungkan kedua tempat tersebut. Tempat suntikan vaksin ialah batas sepertigabagian atas dan tengah pada garis tersebut (bila tungkai bawah sedikit menekuk, makalekukan yang dibuat oleh tractus iliotibialis menyebabkan garis bagian distal lebih jelas)Supaya vaksin yang disuntikkan masuk ke dalam otot pada batas antara sepertiga bagianatas dan tengah, jarum ditusukkan satu jari di atas batas tersebut.

Deltoid, posisi anak dan lokasi suntikan

Posisi seorang anak yang paling nyaman untuk suntikan di daerahdeltoid ialah duduk di atas pangkuan ibu atau pengasuhnya.

Lengan yang akan disuntik dipegang menempel pada tubuh bayi, sementaralengan lainnya diletakkan di belakang tubuh orang tua atau pengasuh.Lokasi deltoid yang benar adalah penting supaya vaksinasi berlangsung amandan berhasilPosisi yang salah akan menghasilkan suntikan subkutan yang tidak benar danmeningkatkan risiko penetrasi saraf.

Untuk mendapatkan lokasi deltoid yang baik membuka lengan atas dari pundak kesiku. Lokasi yang paling baik adalah pada tengah otot, yaitu separuh antaraakromion dan insersi pada tengah humerus. Jarum suntik ditusukkan membuatsudut 45o-60o mengarah pada akromion. Bila bagian bawah deltoid yang disuntik,ada risiko trauma saraf radialis karena saraf tersebut melingkar dan muncul dari

otot trisep.

Pengambilan vaksin dari botol (Vial)

Untuk vaksin yang diambil menembus tutup karet atau yang telah dilarutkan, harus memakaijarum baru. Apabila vaksin telah diambil dari vial yang terbuka, dapat dipakai jarum yang sama.Jarum atau semprit yang telah digunakan menyuntik seseorang tidak boleh digunakan untukmengambil vaksin dari botol vaksin karena risiko kontaminasi silang, vaksin dalam botol yangberisi dosis ganda (multidosis) jangan digunakan kecuali tidak ada alternatif lain.

Penyuntikan subkutan

Tabel 3.1. Pedoman penyuntikan subkutan*

Umur Tempat Ukuran jarum

Bayi Paha daerah anterolateral Ukuran 23-25

(0-12 bln) Panjang 16-19 mm

1-3 tahun Paha daerahanterolateral atau Ukuran 23-25

daerah lateral lengan atas Panjang 16-19 mm

> 3tahun Daerah lateral lengan atas Ukuran 16-19 mm

Panjang 16-19 mm

Page 32: pedoman imunisasi

Text Box:

Text Box:

*Penyuntikan subkutanuntuk imunisasi MMR, varisela, meningitis

Gambar 3.3. Lokasi penyuntikkansubkutan

pada bayi (a) dan anak besar (b)

Page 33: pedoman imunisasi

Text Box: Umur Tempat Ukuran Jarum

Perhatian untuk penyuntikan intramuskular

Pakai jarum yang cukup panjang untuk mencapai ototSuntik dengan arah jarum 45-600 , lakukan dengan cepatTekan kulit sekitar tempat suntikan dengan ibu jari dan telunjuk saat jarum ditusukkanAspirasi semprit sebelum vaksin disuntikkan, untuk meyakinkan tidak masuk ke dalamvena. Apabila terdapat darah, buang dan ulangi dengan suntikan baru.Untuk suntikan multipel diberikan pada bagian ekstrimitas berbeda

Pemberian dua atau lebih vaksin pada hari yang sama

Pemberian vaksin-vaksin yang berbeda pada umur yang sesuai, boleh diberikan pada hari yangsama. Vaksin inactivated dan vaksin virus hidup, khususnya vaksin yang dianjurkan dalamjadwal imunisasi, pada umumnya dapat diberikan pada lokasi yang berbeda saat hari kunjunganyang sama. Misalnya pada kesempatan yang sama dapat diberikan vaksin-vaksin DPT, Hib,hepatitis B, dan polio.

Lebih dari satu macam vaksin virus hidup dapat diberikan pada hari yang sama, tetapiapabila hanya satu macam yang diberikan. Vaksin virus hidup yang kedua tidak bolehdiberikankurang dari 2 minggu dari vaksin yang pertama, sebab respons terhadapvaksin kedua mungkin telah banyak berkurang. Sebagai tambahan perlu diperhatikanbahwa ada interaksi spesifik antara vaksin demam kuning dan kolera, dan vaksin-vaksintersebut tidak boleh diberikan dalam jarak 4 minggu satu sama lain. Vaksin-vaksin yangberbeda tidak boleh dicampur dalam satu semprit. Vaksin-vaksin yang berbeda yangdiberikan pada seseorang pada hari yang sama harus disuntikkan pada lokasi yangberbeda dengan menggunakan semprit yang berbeda.

Page 34: pedoman imunisasi
Page 35: pedoman imunisasi
Page 36: pedoman imunisasi

Text Box:

Daftar Pustaka

1. American Academy of Pediatrics. Vaccine administration. Dalam: Pickering LK.,penyunting. Red Book 2000, Report Committee on Infect Dis. Edisi ke-25. Eik GroveVillage: American Academy of Pediatrics 2000.h.16-20.

2. Centers for Diseases Control and Prevention.Vaccine Safety. Dalam: Atkinson W,HumistonS, Wolfe C, NelsonR., penyunting. Epidemiology and prevention of vaccinepreventable diseases, edisi ke-5. Atlanta: Department of Health & Human Services, PublicHealth Service, CDC 1999. h. 277-89.

3. National Health and Medical Research Council. Standard vaccination procedures. Dalam:Walson C, penyunting. The Australian Immunisation Handbook, edisi ke-9. Canberra:NHMRC. 2008.

4. WHO, Unicef, The World Bank. State of the World’s Vaccines and Immunization. Geneva:WHO. 2002.

Page 37: pedoman imunisasi

Bab III-2

Penjelasan Kepada Orangtua Mengenai

Imunisasi

Soedjatmiko & Noenoeng Rahajoe

Untuk meningkatkan kualitas pelayanan kedokteran termasuk imunisasi, maka kita perlumemahami dan menyadari kedudukan pasien sebagai konsumen dan dokter sebagai pemberijasa. Untuk itu kita perlu mengetahui dan melaksanakan Undang-undang RI nomor 8 tahun 1999tentang Perlindungan Konsumen dan Undang–undang no 29 tahun 2004 tentang PraktikKedokteran.

Hak dan kewajiban konsumen serta pemberi layanan (pelaku usaha)

Di dalam UU tentang Perlindungan Konsumen, Bab I, Ketentuan Umum, pasal 1, ayat 5ditulis bahwa: Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yangdisediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen. Ayat 2: Konsumenadalah setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat,baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun mahluk hidup lain dantidak untuk diperdagangkan.

Bab III pasal 4 Hak Konsumen:

a. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barangdan/atau jasa

b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasatersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan

c. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barangdan/atau jasa

d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yangdigunakan

e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketaperlindungan konsumen secara patut

f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen.g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatifh. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang

dan jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.

i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan

Pasal 5. Kewajiban Konsumen adalah

a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatanbarang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan

b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasac. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati

d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secarapatut

Pasal 7. Kewajiban Pelaku Usaha adalah

a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanyab. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai barang dan/atau

jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaanc. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak

diskriminatifd. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan

berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku

e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/ atau mencoba barangdan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barng dan/atau jasa yangdiperdagangkan.

f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibatpenggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa tersebut

g. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasayang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Page 38: pedoman imunisasi

Pasal 6. Hak Pelaku Usaha:

a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisidan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan

b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang tidak beritikadbaik

c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketakonsumen

d. Hak untuk rehabiitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugiankonsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/ atau jasa yang diperdagangkan

e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan lainnya

Bab IV tentang Perbuatan yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha, pasal 9, Pelaku Usahadilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasasecara tidak benar : ayat 1c. dengan menggunakan kata-kata berlebihan seperti :aman, tidak berbahaya, tidak mengandung risiko atau efek sampingan tan paketerangan yang lengkap.

Hak pasien dan kewajiban dokter

Di dalam UU 29/2004 tentang Praktik Kedokteran pasal 39 bahwa praktik kedokteranberdasarkan kesepakatan dokter dan pasien untuk pemeliharaan kesehatan,

pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit dan pemulihan.

Pasal 44 ayat 1 dan pasal 51 ayat (a); dalam menyelenggarakan praktik kedokteran dokter wajibmengikuti standar pelayanan kedokteran, sesuai standar profesi dan standar proseduroperasional serta kebutuhan medis pasien.

Di dalam pasal 52, tertulis: Pasien dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteranmempunyai hak mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medissebagaimana dimaksud dalam pasal 45 ayat 3.

Di dalam pasal 52, tertulis: Pasien dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteranmempunyai hak mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medissebagaimana dimaksud dalam pasal 45 ayat 3.

Di dalam pasal Pasal 45 ayat 1: setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yangakan dilakukan terhadap pasien harus mendapat persetujuan. Persetujuan tersebutdiberikan setelah pasien mendapat penjelasan secara lengkap (ayat 2). Penjelasantersebut sekurang-kurangnya mencakup: diagnosis dan tatacara tindakan medis, tujuantindakan, alternatif tindakan lain dan risikonya, risiko dan komplikasi yang mungkinterjadi, prognosis terhadap tindakan yang dilakukan (ayat 3). Persetujuan tersebut dapatdiberikan tertulis maupun lisan (ayat 4). Tindakan yang berisiko tinggi harus tertulis danditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan (ayat 5). Tatacara mengenaipersetujuan tindakan kedokteran tersebut diatur oleh Peraturan Menteri (ayat 6).Peraturan menteri untuk tata cara persetujuan tindakan kedokteran karena belum adayang baru sementara masih berdasarkan Permenkes no. 585 tahun 1989.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas maka dokter berkewajiban memberikan penjelasan secaraprofesional dan proporsional tentang manfaat vaksin, kemungkinan kejadian ikutan pascaimunisasi dan hal-hal lain seputar vaksinasi, sehingga keluarga pasien mendapat informasiyang jelas dan benar agar tidak terjadi salah pengertian dikemudian hari.

Penjelasan kepada orangtua berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) no.585 tahun 1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik

Di dalam Peraturan Menteri Kesehatan tersebut dinyatakan bahwa informed consent adalahpersetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenaitindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut (Pasal 1 ayat a). Informasi harusdiberikan kepada pasien baik diminta ataupun tidak diminta (Pasal 4 ayat 1). Semua tindakanmedik yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat persetujuan (Pasal 2 ayat 1)secara tertulis maupun lisan (Pasal 2 ayat 2). Bila tindakan medik dilakukan tanpa adanyapersetujuan dari pasien atau keluarganya, maka dokter dapat dikenakan sanksi administratifberupa pencabutan surat izin praktek (Pasal 13).

Namun perlu diperhatikan bahwa di dalam Permenkes tersebut yang dimaksud dengantindakan medik adalah tindakan diagnostik atau terapeutik (Pasal 1, ayat b), sehinggabanyak yang berpendapat bahwa vaksinasi tidak perlu persetujuan tindakan medik.Namun, di Amerika dan Australia persetujuan tindakan medik sebelum vaksinasidianggap perlu, walaupun tidak harus tertulis. The American Academy of Pediatrics

Page 39: pedoman imunisasi

(AAP) menganjurkan pemberian penjelasan secara tertulis (berupa brosur) yangdisusun dan disediakan oleh pemerintah bekerjasama dengan AAP dan produsenvaksin. Selain itu AAP menganjurkan agar setiap kali pemberian imunisasi orangtuasebelumnya menandatangani pesetujuan tertulis, atau dicatat dalam catatan medikbahwa penjelasan telah dilakukan dan difahami oleh orangtua.

The Australian National Health and Medical Research Council (NHMRC) jugamenganjurkan agar setiap kali sebelum imunisasi diberikan penjelasan tertulis disampingpenjelasan lisan. Pada imunisasi perorangan orangtua diberi daftar isian (kuesioner) danketerangan tertulis tentang perbandingan risiko imunisasi dan bahaya penyakit yang dapatdicegah dengan vaksin tersebut

untuk dibaca dan didiskusikan dengan dokter. Di Australia tidak ada keharusan untukmendapatkan persetujuan tertulis dari orangtua, cukup dicatat di dalam catatan medik bahwaorangtua telah diberikan penjelasan. Namun beberapa klinik meminta persetujuan tertulis.Imunisasi masal (di sekolah) dilakukan setelah ada persetujuan tertulis dari orangtua. Namunjika orangtua hadir dibutuhkan persetujuan lisan dari orangtua, walaupun telah ada persetujuantertulis pada imunisasi sebelumnya.

Sejalan dengan peningkatan pendidikan dan pengetahuan masyarakat serta kesadarankonsumen tentang hak-haknya, dihimbau kepada anggota IDAI sebelum melakukan imunisasisebaiknya memberikan penjelasan kepada orangtua (sesuai maksud pasal 2 ayat 3 Permenkes585/1989) bahwa imunisasi dapat melindungi anak terhadap bahaya penyakit dan mempunyaimanfaat lebih besar dibandingkan dengan risiko kejadian ikutan yang dapat ditimbulkannya.Cara penyampaian dan isi informasi disesuaikan dengan tingkat pendidikan serta kondisi dansituasi pasien (sesuai Pasal2 ayat4Permenkes585/1989). Imunisasi yang harus dilaksanakanberdasarkan program pemerintah untuk kepentingan masyarakat banyak (di Posyandu,Puskesmas) tidak diperlukan persetujuan tindakan medik (sesuai pasal 14 Permenkes585/1989).

Hal-hal yang harus dijelaskan atau ditanyakan kepada orangtua/keluarga sebelumdilakukan imunisasi

Keadaan Bayi/Anak

Orangtua atau pengantar bayi/anak dianjurkan mengingat dan memberi tahukan secaralisan atau melalui daftar isian tentang hal-hal yang berkaitan dengan indikasi kontra ataurisiko kejadian ikutan pasca imunisasi tersebut di bawah ini,

ï¶ pernah mengalami kejadian ikutan pasca imunisasi yang berat (memerlukanpengobatan khusus atau perlu perawatan di rumah sakit),

alergi terhadap bahan yang juga terdapat di dalam vaksin (misalnya neomisin),sedang mendapat pengobatan steroid jangka panjang, radioterapi atau kemoterapi,menderita sakit yang menurunkan imunitas (leukemia, kanker, HIV/AIDS),tinggal serumah dengan orang lain yang imunitasnya menurun (leukemia, kanker, HIV /AIDS),tinggal serumah dengan orang lain dalam pengobatan yang menurunkan imunitas(radioterapi, kemoterapi, atau terapi steroid)pada bulan lalu mendapat imunisasi yang berisi vaksin virus hidup (vaksin campak,poliomielitis, rubela),pada 3 bulan yang lalu mendapat imunoglobulin atau transfusi darah,menderita penyakit susunan syaraf pusat.

Pemberian Antipiretik sebelum dan sesudah imunisasiKepada orangtua atau pengantar diberitahukan bahwa 30 menit sebelum imunisasiDTP/DT, MMR, Hib, hepatitis B dianjurkan memberikan antipiretikparasetamol 15mg/kgbb kepada bayi/anak untuk mengurangi ketidaknyamanan pasca vaksinasi.Kemudian dilanjutkan setiap 3-4 jam sesuai kebutuhan, maksimal 6 kali dalam 24 jam.Jika keluhan masih berlanjut, diminta segera kembali kepada dokter.

Manfaat vaksinasi

Kepada pengantar atau orang tua sebaiknya dijelaskan secara profesional danproporsional manfaat vaksinasi yang akan dilakukan. Perlu dijelaskan bahwa vaksintidak melindunghi 100 %, tetapi dapat memperkecil risiko tertular dan memperingan

dampak bila terjadi infeksi.

Reaksi KIPI

Page 40: pedoman imunisasi

Orangtua atau pengantar perlu diberitahu bahwa setelah imunisasi dapat timbul reaksi lokal ditempat penyuntikan atau reaksi umum berupa keluhan dan gejala tertentu, tergantung pada jenisvaksinnya. Reaksi tersebut umumnya ringan, mudah diatasi oleh orangtua atau pengasuh, danakan hilang dalam 1-2 hari. Di tempat suntikan kadang-kadang timbul kemerahan,pembengkakan, gatal, nyeri selama 1 sampai 2 hari. Kompres hangat dapat mengurangikeadaan tersebut. Kadang-kadang teraba benjolan kecil yang agak keras selama beberapaminggu atau lebih, tetapi umumnya tidak perlu dilakukan tindakan apapun.

BCG

Orangtua atau pengantar perlu diberitahu bahwa 2-6 minggu setelah imunisasi BCGdapat timbul bisul kecil (papula) yang semakin membesar dan dapat terjadi ulserasidalam waktu 2-4 bulan, kemudian menyembuh perlahan dengan menimbulkan jaringanparut tanpa pengobatan khusus. Bila ulkus mengeluarkan cairan orangtua dapatmengkompres dengan cairan antiseptik. Bila cairan bertambah banyak atau korengsemakin membesar orangtua harus membawanya ke dokter.

Hepatitis B

Kejadian ikutan pasca imunisasi pada hepatitis B jarang terjadi. Segera setelahimunisasi dapat timbul demam yang tidak tinggi, pada tempat penyuntikan timbulkemerahan, pembengkakan, nyeri, rasa mual dan nyeri sendi. Orangtua/pengasuh

dianjurkan untuk memberikan minum lebih banyak (ASI atau air buah). Jika demam pakailahpakaian yang tipis. Bekas suntikan yang nyeri dapat dikompres air dingin. Jika demam berikanparasetamol 15 mg/kgbb setiap 3-4 jam bila diperlukan, maksimal 6 kali dalam 24 jam, bolehmandi atau cukup diseka dengan air hangat.

Reaksi yang dapat terjadi segera setelah vaksinasi DPT antara lain demam tinggi, rewel, ditempat suntikan timbul kemerahan, nyeri dan pembengkakan, yang akan hilang dalam dua hari.Orangtua/ pengasuh dianjurkan untuk memberikan minum lebih banyak (ASI atau air buah), jikademam pakailah pakaian yang tipis, bekas suntikan yang nyeri dapat dikompres air dingin, jikademam berikan parasetamol15 mg/kgbb setiap 3-4jambila diperlukan, maksimal6 kali dalam 24jam, boleh mandi atau cukup diseka dengan air hangat. Jika reaksi tersebut memberat danmenetap, atau jika orangtua merasa khawatir, bawalah bayi/anak ke dokter.

DT

Reaksi yang dapat terjadi pasca vaksinasi DT antara lain kemerahan, pembengkakan dan nyeripada bekas suntikan. Bekas suntikan yang nyeri dapat dikompres dengan air dingin. Biasanyatidak perlu tindakan khusus.

Polio oral

Sangat jarang terjadi reaksi sesudah imunisasi polio, oleh karena ituorangtua/pengasuh tidak perlu melakukan tindakan apapun.

Campak dan MMR

Reaksi yang dapat terjadi pasca vaksinasi campak dan MMR berupa rasa tidak nyamandi bekas penyuntikan vaksin. Selain itu dapat terjadi gejala-gejala lain yang timbul 5-12hari setelah penyuntikan selama kurang dari 48 jam yaitu demam tidak tinggi, erupsikulit kemerahan halus/tipis yang tidak menular, pilek. Pembengkakan kelenjar getahbening kepala dapat terjadi sekitar 3 minggu pasca imunisasi MMR. Orangtua/pengasuh

dianjurkan untuk memberikan minum lebih banyak (ASI atau air buah), jika

demam pakailah pakaian yang tipis, bekas suntikan yang nyeri dapat dikompres air dingin, jikademam berikan parasetamol 15 mg/kgbb setiap 3-4 jam bila diperlukan, maksimal 6 kali dalam24 jam, boleh mandi atau cukup diseka dengan air hangat. Jika reaksi-reaksi tersebut berat danmenetap, atau jika orangtua merasa khawatir, bawalah bayi/anak ke dokter.

Daftar Pustaka

1. Depkes RI. Peraturan Menteri Kesehatan RI no. 585/Menkes/Per/IX/ 1989 tentangpersetujuan tindakan medik. Depkes RI, Jakarta1990.

2. Watson C (penyunting). The Australian Immunisation Handbook, Edisi ke-9. NHMRC,2008.

3. Peter G, Lepow ML, McCracken GH, Phillips CF. Report of the Committee on InfectiousDiseases. American Academy of Pediatrics, Illinois 1994.

4. StarkeJR, Munoz F. Tuberculosis. Dalam: Behrman RE, penyunting. Nelson Textbook ofPediatrics. Edisi ke-16. WB Saunders, Tokyo 2000.

5. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia. Undang-undang Republik Indonesia

Page 41: pedoman imunisasi

nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Dalam : YLKI, Liku-likuperjalanan UUPK. YLKI, Jakarta 2001.

6. Undang-undang Republik Indonesia no 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.CV Eko Jaya, Jakarta 2004.

Bab III-3

Pencatatan Imunisasi

Jose RL. Batubara

Setiap bayi/anak sebaiknya mempunyai dokumentasi imunisasi seperti kartu imunisasi yangdipegang oleh orang tua atau pengasuhnya. Setiap dokter atau tenaga paramedis yangmemberikan imunisasi harus mencatat semua data-data yang relevan pada kartu imunisasitersebut. Orang tua/pengasuh yang membawa anak ke tenaga medis atau paramedis untukimunisasi diharapkan senantiasa membawa kartu imunisasi tersebut.

Data yang harus dicatat pada kartu imunisasi

Jenis vaksin yang diberikan, termasuk nomor batch dan nama dagangTanggal melakukan vaksinasiEfek samping bila adaTanggal vaksinasi berikutNama tenaga medis/paramedis yang memberikan vaksin

Jika data vaksinasi tidak diberikan oleh tenaga medis/ paramedis sebelumnya,maka data tentang hal-hal tersebut di atas harus dilengkapi oleh petugas medisyang melanjutkannya. Sehingga kartu imunisasi yang lengkap, baik jadwalmaupun efek samping yang akan merupakan informasi penting untukdokter/paramedis yang akan memberikan vaksin berikutnya. Kartu vaksinasi inisebaiknya selalu dipegang oleh orang tuanya. Diharapkan para dokter yangmemberikan vaksinasi mempunyai sistem untuk mengingatkan orang tua untuk

melakukan vaksinasi berikutnya sesuai dengan jadwal vaksinasi yang sudah ditetapkan.Sebaiknya waktu imunisasi berikutnya dibicarakan dengan orang

tuanya (misalnya untuk ibu yang berkarir imunisasi DPT diberikan sehari sebelum hari libur,mengingat apabila terjadi demam ibu berada di rumah).

Pentingya kartu vaksinasi ini juga untuk menilai jenis dan jumlah vaksin yang diberikan danbagaimana pemberian vaksinasi selanjutnya untuk pasien dengan imunisasi tidak lengkap dancara mengejar (catch up) imunisasi yang tertinggal.

Contoh Surat Persetujuan Imunisasi dan Kartu Vaksinasi

Surat Persetujuan Imunisasi

NamaJenis kelaminTanggal lahirNama orag tuaAlamat (tilpon, kota)Ya

Saya mohon nama anak yang tertera di atas untukdiimunisasi sesuai dengan jadwal imunisasi yang telahdirekomendasikan.

(Berikan tanda  apabila ingin diimunisasi atau berialasan apabila tidak boleh)

BCGPolio oralHepatitis BDPTCampak, dst

Tanda tangan Tanggal /

Page 42: pedoman imunisasi

/ /Tidak

Saya telah mengerti penjelasan yang diberikan padasaya mengenai program imunisasi, namun saya tidakingin anak saya diimunisasi.

Nama orang tua/ wali........................................................Tanda tangan Tanggal / / /

Jose RL. Batubara

Kartu Imunisasi

JenisVaksin

NamaVaksin

Nobatch

TanggalImunisasi

TempatImunisasi Paraf

Penjelasan Singkat Dalam Lampiran Kartu Imunisasi

Apa? Imunisasi merupakan upaya yang sederhana dan efektif untuk melindungi anak bapak/ibuterhadap penyakit yang berbahaya. Terdapat 7 penyakit yang diwajibkan (vaksin PP1) untukdiimunisasi pada bayi/anak (TBC, polio, hepatitis B, difteria, batuk rejan, tetanus, dan campak).Saat mi telah bertambah penyakit infeksi yang dapat dicegah dengan imunisasi yang tidaktergolong dalam vaksin PPI namun sangat dianjurkan seperti, gondongan, rubela, demam tifoid,hepatitis A, cacar air.

Bagaimana? Tubuh tidak dapatmembuatkekebalan terhadap penyakitinfeksi tersebut di atas.Namun, dengan imunisasi (suntikan atau diminum) tubuh dapat membentuk kekebalan(antibodi) terhadap penyakit infeksi tersebut. Imunisasi memberikan perlindungan 95% apabiladiberikan dengan cara yang tepat.

Mengapa? Terima kasth kepada Program Imunisasi, oleh karena pada saat mi kejadianpenyakit infeksi tersebut di Indonesia telah sangat menurun. Hal mi bukan kemudian imunisasitidak penting lagi. Bakteria dan virus penyebab sampai saat mi masth berada di masyarakat,maka apabila hanya sedikit yang diimunisasi akan mudah terjadi kejadian luar biasa (wabah).

Dimana? Imunisasi yang diwajibkan oleh Departemen Kesehatan (PP1) dapat diperoleh disemua fasiitas kesehatan sedangkan untuk vaksinasi lain dapat diperoleh pada dokter pribadianda.

Kapan? Pemberian vaksinasi telah diatur dalam jadwal imunisasi (ithat Bab Jadwal Imunisasi)

Page 43: pedoman imunisasi

Daftar Pustaka

1. National Health and Medical Research Council. MMR. Dalam: Watson C, penyunting. TheAustralian Immunisation Handbook. Edisi ke-9. Canberra: NHMRC. 2008.

2. American Academy of Pediatrics. Dalam: Pickering LK., penyunting. Red Book 2000,Report Committee on Infectious Diseases. Edisi ke-25. Elk Grove Village: AmericanAcademy of Pediatrics 2000.

3. Centersfor Disease Control and Prevention. Dalam: AtkinsonW, HumistonS, Wolfe C,Nelson R., penyunting. Epidemiology and prevention of vaccine preventable diseases. Edisike-5. Atlanta: Department of Health & Human Services, Public Health Service, CDC, 1999.

Bab III-4

Penyuntikan yang Aman (Safety Injection)

Soedjatmiko

Imunisasi bertujuan untuk merangsang sistem imunitas tubuh agar membentuk kekebalanhumoral atau seluler terhadap antigen yang diberikan melalui penetesan di mulut ataudisuntikan. Namun proses ini dapat pula menimbulkan kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI)yang tidak diharapkan bila berbagai prosedur dalam imunisasi tidak dilakukan dengan benardan baik. Upaya untuk mengoptimalkan pembentukan kekebalan tubuh dan memperkecil KIPIdimulai dari prosedur produksi, penyimpanan, transportasi dan penggunaan vaksin, penyediaandan penggunaan alat suntik, teknik penyuntikan yang aman (safety injection) dan penangananlimbah.

Tujuan prosedur penyuntikan yang aman selain untuk menghasilkan kekebalan yangoptimal pada bayi/anak yang disuntik dan menghindari KIPI, juga untuk menghindarikecelakaan atau penularan infeksi pada bayi/anak tersebut, pada dokter/paramedisyang melakukan penyuntikan atau pada masyarakat disekitarnya.

Jenis alat suntik (semprit)

1. Semprit auto-disable atau auto-destruct (AD)

Untuk imunisasi rutin atau masal WHO-UNICEF-UNFPA sejak tahun 1999menganjurkan penggunaan semprit auto-disable (AD) yang hanya bisa dipakai 1 kalikemudian otomatis terkunci, macet atau patah. Semprit ini tidak dapat dipakai ulang,

sehingga tidak akan menyebarkan partikel patogen (misalnya hepatitis B atau HIV) yang masukke dalam semprit ketika proses penyuntikan atau mengkontaminasi sisa vaksin ketikamenghisap vaksin dari

botol atau ampulnya. Harga semprit ini murah dan sudah tersedia secara luas.

Beberapa merek semprit AD antara lain uniject, Soloshot, Destrojet, Univec, Terumo, K1 danMedico inject. Beberapa merek sudah terpasang jarum, namun ada merek dengan jarumterpisah. Sebelum menggunakan semprit AD terlebih dahulu bacalah dengan cermat carapenggunaannya, karena berbeda-beda.

Pada prinsipnya piston semprit AD hanya boleh digerakkan kedepan atau kebelakang satu kalisaja, setelah itu macet, tidak dapat ditarik atau patah, tergantung mereknya. Setelah

Page 44: pedoman imunisasi

mengeluarkan semprit dari kemasannya, jangan mendorong udara yang ada di dalam semprit,karena setelah piston sampai ke ujung akan terkunci, sehingga bila ditarik untuk menghisapvaksin piston akan macet atau patah. Oleh karena itu jangan mendorong udara yang adadidalam semprit, langsung tusukkan jarum ke dalam botol atau ampul vaksin, kemudian tarikpiston untuk menghisap vaksin. Setelah vaksin masuk ke dalam semprit, boleh membuangudara yang ada di ujung semprit dengan mendorong piston secukupnya. Setelah udara habisterbuang segera suntikan vaksin pada bayi/ anak, lakukan aspirasi seperti biasa, kemudiandorong piston sampai vaksin habis, sehingga piston akan terkunci, tidak bisa ditarik lagi ataupatah. Kemudian semprit dan jarum bekas harus dimasukkan ke dalam wadah dan dihancurkandengan prosedur tertentu, untuk mencegah digunakan ulang

2. Semprit dan jarum sekali pakai (disposable) bukan AD

Semprit ini banyak digunakan untuk penyuntikan obat dan vaksinasi. Beberapa merekyang sering digunakan antara lain Terumo dan BD. Sebaiknya semprit jenis ini hanyadigunakan untuk mencampur vaksin dan pelarutnya. Kemudian semprit dan jarum bekasharus dimasukkan ke dalam wadah dan dihancurkan dengan prosedur tertentu, untukmencegah digunakan ulang. Penyuntikan pada bayi dan anak sebaiknya dengansemprit AD.

3. Pre filled syringe (PFS) auto disable (AD)

Alat suntik ini sudah terpasang jarum dan sudah diisi vaksin oleh pabrik sebanyak 1 dosis, untuksatu kali penyuntikan, setelah disuntikkan tidak bisa diisi ulang sehingga tidak bisa dipakai lagi.Karena sudah diisi dengan 1 dosis dari pabriknya, maka tidak perlu menghisap vaksin dari botolatau ampul, sehingga menghemat waktu, dan dosisnya sudah tepat. Contoh: vaksin Hepatitis BUniject produksi Biofarma. Kemudian semprit bekas harus dimasukkan ke dalam kotak limbahdan dihancurkan dengan prosedur tertentu, untuk mencegah melukai dan mengkontaminasiorang lain.

4. Pre filled syringe (PFS), pre filled injection device (PID) bukan AD

Alat suntik ini sudah dilengkapi dengan jarum dan diisi vaksin oleh pabrik sebanyak 1dosis, untuk satu kali penyuntikan. Setelah disuntikan semprit masih bisa berfungsi.Contoh: vaksin Hib, kombinasi DPaT- Hib, tipoid, influenza, hepatitis A, pneumokokus.Untuk mencegah pemakaian ulang semprit bekas, segera masukkan ke dalam wadahdan dihancurkan dengan prosedur tertentu.

5. Semprit dan jarum yang bisa dipakai ulang

Semprit dan jarum jenis ini sebaiknya tidak dipakai lagi, karena sangat berisiko terjadikontaminasi dan penyebaran infeksi melalui semprit, jarum atau vaksin yang telahterkontaminasi ketika menghisap vaksin.

Prosedur penyuntikan yang aman bagi bayi dan anak

1. Siapkan semua perlengkapan imunisasi ditempat yang berdekatan (bundling) di tempatyang terlindung dari sinar matahari langsung:

a. Vaksin yang disimpan dan dibawa dengan benar dan baik (lihat bab Rantai Vaksin)b. Pelarut khusus untuk masing-masing vaksin, pemotong ampulc. Semprit auto-disabled atau auto-destructed (AD)d. Desinfektan/antiseptike. Kotak limbah diletakan sedemikian rupa hingga mudah memasukkan semprit bekas pakaif. Alat/obat kedaruratan yaitu adrenalin, jarum dan slang infus, cairan infus, kortikosteroid

g. Blangko pencatatan imunisasi

2. Periksa kualitas penyimpanan dan transportasi vaksin, suhu, tanggal kadaluwarsa,VVM (vaccine vial monitor), warna vaksin, gumpalan, endapan, label dan indikatorkualitas vaksin lainnya. Bila vaksin sudah kadaluarsa, walaupun baru beberapa haritidak boleh digunakan. Bila ada gumpalan, endapan, perubahan warna vaksin,perubahan warna VVM lsama atau lebih gelap da ri tepinya (kondisi C dan D), ataulabel pernah terendam air, vaksin tidak boleh digunakan.

3. Tanyakan identitas bayi/anak apakah sesuai dengan nama yang terdapat dalamKMS, kartu atau buku imunisasi, untuk menghindari pemberian vaksin yang tidaksesuai.

4. Tanyakan kondisi bayi/anak sekarang dan beberapa hari sebelumnya, imunisasiyang telah didapat, jarak dengan imunisasi sekarang, KIPI yang pernah terjadi, dan

Page 45: pedoman imunisasi

informasi yang berkaitan dengan indikasi kontra untuk vaksin yang

akan diberikan. Sebaiknya disertai pertanyaan singkat rutin pediatrik: asupan nutrisi, polatidur, miksi, defekasi dan tumbuhkembang.

5. Berikan penjelasan vaksin yang akan diberikan, teknik penyuntikan, manfaat,kemungkinan KIPI yang bisa terjadi, cara mencegah dan pertolongan pertama bila terjadiKIPI (informed consent).

6. Lakukan pemeriksaan fisik rutin untuk memeriksa kesehatan bayi/anak secara umum,sambil mencari indikasi kontra imunisasi dan memeriksa bagian tubuh yang akan disuntik.

7. Sebelum membuka bungkus semprit atau jarum, perhatikan apakah kemasannya masihutuh dan rapat. Bila kemasan sobek, tidak utuh atau rusak, sebaiknya jarum atau semprittidak digunakan, segera dibuang seperti semprit atau jarum bekas pakai.

8. Jangan menyentuh jarum sedikitpun. Buang jarum yang telah tersentuh bendatidak steril kedalam kotak limbah kemudian dihancurkan.

9. Baca nama vaksin dan ambil pelarut yang khusus untuk vaksin tersebut. Campurvaksin dengan pelarutnya, boleh menggunakan semprit dan jarum bukan AD,tetapi semprit dan jarum yang telah digunakan untuk melarutkan tidak boleh untukmenyuntikkan. Kocok vaksin sehingga larut homogen. Tulis tanggal dan jammelarutkan vaksin.

10. Baca nama vaksin, ambil 1 dosis vaksin untuk 1 kali penyuntikan. Janganmenghisap lebih dari 1 dosis vaksin ke dalam semprit. Jangan meninggalkanjarum pada botol atau ampul vaksin untuk pengambilan vaksin berikutnya.

11. Jangan menggunakan semprit bekas untuk menghisap vaksin atau menyuntikkan,walaupun sudah disterilkan ulang atau mengganti dengan jarum baru yang steril.

12. Jangan mencampur sisa vaksin dari 2 botol atau ampul, walaupun vaksinnya sama.13. Posisi bayi dan anak yang akan diimunisasi tidak mudah bergerak atau memberontak

ketika disuntik, terutama lengan atau paha yang akan disuntik. Untuk bayi kecil Lebih baikdalam gendongan orangtua/pengasuh, dipeluk dengan posisi dada bayi menempel didada orangtua/pengasuh. Untuk bayi/anak yang sudah bisa duduk sebaiknya duduk dandipeluk dipangkuan orangtua dengan dada dan wajah menghadap ke dadaorangtua/pengasuh. Salah satu tangan bayi/anak dikepit oleh ketiak orangtua/ pengasuhagar tidak mudah berontak , kedua kaki dikepit diantara kedua paha orangtua/pengasuh,atau dipegang oleh orangtua/ pengasuh. Bagian yang akan disuntik (paha, lengan)dipegang oleh penyuntik. Bila anak cenderung berontak, penyuntik dapat meminta bantuanorangtua/pengasuh, paramedis atau oranglain untuk membantu memegang siku atau lututdekat bagian yang akan disuntik. Cara memegang jangan membuat bayi/anak kesakitanatau ketakutan.

14. Untuk mengurangi ketakutan, alihkan perhatian anak dengan mengajak bicara,atau bermain dengan mainan. Jangan diancam atau dipaksa sehingga membuatanak ketakutan.

15. Untuk mengurangi rasa nyeri dapat diberikan krim EMLA (eutetic mixture oflocal anesthesia) 1 jam sebelumnya, lidokain topikal 10 menit sebelumnya, etilklorid spray beberapa detik sebelumnya, atau ditekan dibagian yang akan disuntikselama 10 detik sebelum disuntikan. Pada bayi baru lahir dapat diberikan sukrosa.Manfaatnya bervariasi.

16. Bersihkan bagian yang akan disuntik dengan desinfektan/ antiseptik, tunggu sampaimengering

17. Untuk mengurangi rasa nyeri, otot harus dalam keadaan lemas, dengan mengatur posisilengan sedikit fleksi pada sendi siku, atau posisi tungkai sedikit rotasi ke dalam. Selain itukulit sebaiknya diregangkan kesamping agar jarum mudah menembus kulit untukmengurangi rasa nyeri.

18. Penyuntikan menggunakan semprit dan jarum AD yang belum pernah digunakan samasekali. Penyuntikan menggunakan semprit yang sudah diisi vaksin (PFS) dari pabrikvaksin (bukan AD), hanya sekali pakai, langsung dimasukkan ke kotak limbah kemudiandihancurkan.

19. Sudut penyuntikan disesuaikan dengan prosedur tiap vaksin: intradermal (sekitar15 derajat) , subkutan (45 derajat) atau intra muskular (60 – 90 derajat).Kedalaman penyuntikan subkutan dan intra muskular harus disesuaikan denganketebalan lemak dan otot bayi /anak.

20. Untuk mencegah vaksin keluar lagi setelah disuntikan, sebelum penyuntikan kulitbayi/anak digeser kesamping (metode Z – tract), setelah penyuntikan kulitdilepaskan lagi ke posisi semula sehingga vaksin yang telah masuk ke dalam ototatau subkutan tidak dapat keluar lagi.

21. Luka bekas suntikan ditekan agak kuat dengan kapas dan desinfektan agar darah

Page 46: pedoman imunisasi

tidak keluar lagi, dan akan mengurangi rasa nyeri. Jangan menekan luka berdarahdengan jari atau bahan tidak steril. Luka bekas suntikan sebaiknya ditutup denganplester.

22. Catat vaksin yang telah disuntikan dan tanggal penyuntikan dalam KMS atau bukuimunisasi dan laporan imunisasi. Lebih baik bila dilengkapi dengan nama dagang vaksin,nomor batch/

lot/serie, produsen, dosis, bagian tubuh yang disuntik, paraf dokter/paramedis yangbertanggung jawab.

23. Setelah penyuntikan lebih baik bila bayi/anak tidak langsung pulang, menunggu sekitar 15menit untuk deteksi kemungkinan terjadinya KIPI yang segera.

24. Sisa vaksin multidosis di pelayanan Puskemas, Klinik, Rumah Sakit:

1 BCG setelah dilarutkan dapat dipakai dlm 3jam

2 Campak dan meningokokus ACW135Y setelah dilarutkan dapat dipakai dalam 8 jam

3 Polio bisa dipakai dalam 2 minggu

4 DPT, DT, TT , hepatitis B, DPT-HepB, bisa dipakai dalam 4 minggu,

Sisa vaksin yang dibawa ke lapangan (Posyandu, PIN, crash program), tetapi belumdibuka segera dipakai pada kegiatan berikutnya. Vaksin yang sudahdibuka/dilarutkanharus dimusnahkan hari itu juga. Sisa vaksin tersebut di atas masihbisa dipakai dengan syarat-syarat vaksin belum kadaluwarsa, disimpan dalam suhu 2oC– 8oC, VVM warna segi empat lebih muda (kondisi VVM A atau B), tidak pernahterendam air dan sterilitas terjaga.

Prosedur penyuntikan yang aman bagi penyuntik (paramedis, dokter)

1. Jangan menekan luka berdarah akibat suntikan dengan jari atau bahan tidak steril.2. Jangan mencabut jarum atau memasang kembali tutup jarum bekas pakai, karena

berisiko tertusuk dan terkontaminasi darah yang ada pada jarum.

3. Selesai menggunakan semprit dan jarum segera masukkan ke dalam kotak limbah tanpamencabut atau menutup jarum.

4. Jika terpaksa memasang kembali penutup jarum karena imunisasi tertunda akibat anakmeronta-ronta, penutupan jarum dilakukan dengan teknik satu tangan agar tidak menusukjari tangan yang lain. Caranya : tutup jarum diletakkan dimeja (jangan dipegang), dengantangan kanan pegang semprit, masukkan jarum kedalam tutupnya, dorong terus hinggasebagian besar jarum bisa masuk kedalam tutupnya sehingga tutup terdorong. Tekan tutuptegak lurus di atas meja, sehingga jarum tertutup kuat. Masukkan semprit dan jarumtersebut ke dalam kotak limbah.

5. Jangan meletakkan semprit dan jarum bekas sembarangan karena dapat melukai danmengkontaminasi penyuntik atau orangorang yang berada dekat tempat penyuntikan.

Prosedur penyuntikan yang aman bagi lingkungan

1. Jangan meletakkan semprit dan jarum bekas sembarangan karena dapat diambil ataumelukai dan mengkontaminasi masyarakat yang berada dekat tempat penyuntikan.

2. Buang dan hancurkan limbah imunisasi (semprit, jarum, kapas, botol, ampul vaksin)sesuai dengan prosedur yang dianjurkan (dikubur atau dibakar)

Mengamankan semprit dan jarum bekas

Semprit dan jarum setelah digunakan untuk melarutkan vaksin atau untuk menyuntikharus segera dimasukkan kedalam kotak limbah. Kotak ini harus mempunyai lubangkecil yang mudah untuk dimasuki semprit bekas tetapi tidak mudah tumpah keluar lagi,

tidak mudah tembus oleh jarum (untuk mencegah menusuk

orang yang berada disekitarnya) dan tahan air. Kotak ini tersedia dipasaran dengannama safety box berwarna kuning, terbuat dari karton tebal. Namun boleh jugamenggunakan barang-barang bekas seperti botol plastik bekas air mineral, jerikenplastik untuk kotal limbah Gambar 16.

Page 47: pedoman imunisasi

Gambar 3.5. Tempat pembuangan limbah vaksinasi

Letakkan kotak ini dekat dengan penyuntik agar mudah memasukkan semprit dan jarum bekas,namun letakkan ditempat yang aman (misalnya di atas meja) sehingga tidak diambil, tertendangatau terinjak oleh penyuntik atau orang lain yang ada disekitarnya. Semprit dan jarum bekasjangan dikeluarkan lagi dari

kotak tersebut untuk dipindahkan ke kotak lain. Jika sudah penuh, segera ditutup rapat agarketika dibawa ketempat penghancuran tidak tumpah keluar.

Gambar 3.6. Cara pembuangan limbah vaksinasi

Membakar semprit dan jarum bekas

Text Box:

Sebaiknya spuit dan jarumbekas dibakar dalam insinerator (alat pembakar) yang bersuhu lebih dari 800 derajat C,

karena dapat menghancurkan semprit dan jarum, serta mematikan mikroorganisme yangmungkin terdapat dalam semprit/ jarum dari darah bayi/anak. (Gambar 3.7)

Gambar 3.7. insinerator (alat pembakar)

Bila tidak ada insinerator, pembakaran dapat dilakukan di dalam drum bekas yang diganjaldengan batu bata. Kotak limbah dimasukkan ke dalam drum, api dinyalakan dibawah drumtersebut. Semprit dan jarum yang sudah terbakar hancur kemudian ditimbun ditempat yangaman. (Gambar 3.8)

Page 48: pedoman imunisasi

Gambar 3.8. Alat pembakar sederhana

Bila terpaksa, pembakaran dapat dilakukan di dalam lubang, sebaiknya di lahan yangjarang di olah dan jauh dari pemukiman. Gali lubang sedikitnya sedalam 1 meter,masukkan kotak limbah ke dalam lubang, bakar kotak limbah menggunakan kertas,minyak tanah atau bensin. Setelah semua terbakar, timbun lubang dengan tanah.(Gambar 3.9)

Gambar 3.9. Pembakaran limbah vaksinasi

Membuang semprit dan jarum bekas ke dalam lubang khusus

Bila tidak mungkin dibakar, semprit dan jarum bekas dapat dibuang ke dalam lubang khusus.Kedalaman lubang sedikitnya 2 meter, dengan lebar 1 meter, diatasnya ditutup dengan beton,ditengahnya ada pipa besi. Semprit dan jarum bekas dimasukkan kedalam lubang melalui pipabesi tersebut tanpa dibakar. Cara ini masih kurang aman, bila banjir ada kemungkinanmengkontaminasi lingkungan.

Menimbun semprit dan jarum bekas di dalam lubang pembuangan

Gali lubang sedalam 2–3 meter di lokasi yang diperkirakan dalam 5 tahun tidak akan digali.Masukkan semprit dan jarum bekas ke dalam lubang, kemudian ditutup dengan tanah. Cara inimasih berbahaya karena bila ada banjir, atau tergali, maka dapat melukai atau mengkontaminasilingkungan sekitarnya.

Daftar Pustaka

1. Unicef. Pelatihan Safe Injection. Jakarta : Ditjen PPM & PL dan PATH Depkes RI; 2005.2. DirektoratJenderal PPM & PL. Pedoman Teknis Pengelolaan Vaksin danRantaiVaksin.

Jakarta : Departemen Kesehatan RI. ; 20053. Direktorat Jenderal PPM & PL. Modul Pelatihan Pengelolaan Rantai Vaksin Program

Imunisasi. Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 2004.4. Keputusan Menteri Kesehatan R I. Pedoman Penyelenggaraan Imunisasi. Jakarta:

Departemen Kesehatan RI; 2005.

Bab IV

Jadwal Imunisasi

Bab 4-1. Program Pengembangan Imunisasi (PPI) 4-2. Jadwal imunisasi rekomendasi IDAI 4-3. Jadwal imunisasi yang tidak teratur

4-4. Imunisasi anak sekolah, remaja dan dewasa

Pen gantar

Pengembangan Program Imunisasi (PPI) merupakan program pemerintah dalam bidangimunisasi guna mencapai komitmen internasional yaitu universal child immunization. MelaluiPPI diharapkan beberapa masalah penanggulangan penyakit infeksi dapat dilaksanakan seperti

Page 49: pedoman imunisasi

eradikasi polio, eliminasi tetanus maternal dan neonatal, reduksi campak, peningkatan mutupelayanan imunisasi, standar pemberian suntikan yang aman dan keamanan pengelolaanlimbah tajam.

Jadwal imunisasi rekomendasi IDAI tahun 2004 disusun lebih tegas, kapan seorang bayi/anaksebaiknya mendapat imunisasi sehingga didapatkan hasil maksimal. Dalam jadwal terbaru inijuga akan lebih mudah apabila imunisasi diberikan dalam bentuk vaksin kombinasi. Pada anakyang mendapatkan imunisasi tidak sesuai dengan jadwal yang dianjurkan dengan sebab lupa,tidak tahu, atau catatan hilang maka hendaknya petugas kesehatan membantu membuat jadwalimunisasi yang sesuai.

Dengan kemajuan pengetahuan dan teknologi, maka imunisasi diperuntukkan kepadaseluruh kelompok umur. Tujuan imunisasi pada kelompok anak sampai dewasa adalahsebagai penguat kadar antibodi yang telah menurun atau untuk memberikanperlindungan pada penyakit yang succeptible pada kelompok yang lebih tua.

Bab IV-1

Program Pengembangan Imunisasi

Sofyan Ismael

Program imunisasi nasional dikenal sebagai Pengembangan Program Imunisasi (PPI) atauexpanded program on immunisation (EPI) dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 1977. ProgramPPI merupakan program pemerintah dalam bidang imunisasi guna mencapai komitmeninternasional yaitu universal child immunization pada akhir 1982. Program UCI secara nasionaldicapai pada tahun 1990, yaitu cakupan DTP3, polio 3 dan campak minimal 80% sebelum umur1 tahun. Sedangkan cakupan untuk DTP1, polio 1 dan BCG minimal 90%. Imunisasi yangtermasuk dalam PPI adalah BCG, polio, DTP, campak, dan hepatitis B. Program imunisasimelalui PPI, mempunyai tujuan akhir (ultimate goal) sesuai dengan komitmen internasionalyaitu,

Eradikasi polio (ERAPO),Eliminasi tetanus maternal dan neonatal (maternal and neonatal tetanus elimination -MNTE),Reduksi campak (RECAM),Peningkatan mutu pelayanan imunisasi,Menetapkan standar pemberian suntikan yang aman (safe injection practices),Keamanan pengelolaan limbah tajam (safe waste disposal w).

Cakupan Imunisasi

Target UCI 80-80-80 merupakan tujuan antara (intermediate goal), yang berarti cakupanimunisasi untuk BCG, DPT, polio, campak,

dan hepatitis B harus mencapai 80% baik di tingkat nasional, propinsi, dan kabupaten bahkan disetiap desa. Seluruh propinsi (97% dari 302 kabupaten) di Indonesia telah mencapai target UCI.Jumlah sasaran bayi di Indonesia per tahun 4,6 juta sedang jumlah ibu hamil 5,1 juta.

Tabel 4.1. Cakupan Imunisasi di Indonesia

Jenis Imunisasi Cakupan1996/1997 (%)

Cakupan2003 (%)

1 dosis BCG 99,6 97,73 dosis DPT 90,9 90,84 dosis polio 85,0 90,43 dosis hep.B 62,0 79,41 dosis campak 91,7 90,42 dosis TT ibu hamil 73,3 71,5

Page 50: pedoman imunisasi

Data: Subdit Imunisasi Ditjen PPM&PLP DepKes, 2004

Eradikasi Polio (ERAPO)

Dalam sidang ke-41, WHA (world health assembly) pada tahun 1988 mengajak seluruhdunia untuk mengeradikasi polio pada tahun 2000. Eradikasi polio didefinisikan sebagaitidak ditemukan lagi kasus polio baru yang disebabkan oleh virus polio liar. Namunmelihat kenyataan, maka WHA tahun 2000 mengharapkan polio dapat dieradikasi dariregional Asia Tenggara tahun 2004 dan sertifikasi bebas polio oleh WHO pada tahun2008. Adapun strategi ERAPO meliputi (1) mencapai cakupan imunisasi rutin yangtinggi dan merata, (2) melaksanakan imunisasi tambahan (PIN) minimal 3 tahun berturut-turut, (3) melaksanakan survailans acute flaccid paralysis (AFP) ditunjang denganpemeriksaan laboratorium, (4) melaksanakan mopping up, dan akhirnya (5) sertifikasipolio.

Pekan imunisasi nasional (PIN)

Pekan imunisasi nasional adalah pekan pada saat setiap anak balita umur 0-59 bulanyang tinggal di Indonesia mendapat 2 tetes vaksin polio oral, tanpa melihat statusimunisasi dan kewarganegaraannya. Vaksin polio diberikan 2 kali dengan waktu selangsekitar 4 minggu telah dilakukan berturut-turut pada tahun 1995, 1996, 1997, dan 2002,2005 dan 2006 Indonesia telah berhasil melaksanakan PIN dengan baik. Pada hari PINtelah diimunisasi sebanyak 22 juta anak balita di seluruh Indonesia.

Survailans acute flaccid paralysis (AFP)

Survailans acute flaccid paralysis atau lumpuh layu merupakan salah satu dari 3 strategieradikasi polio yang dilaksanakan di Indonesia. Tujuan dari Survailans AFP untuk mengetahuilokasi transmisi virus liar. Upaya untuk menemukan kasus polio dilakukan dengan menemukansemua anak berusia < 15 tahun yang menderita kelumpuhan. Spesimen tinja anak tersebut sertakontak diperiksa di laboratorium untuk mengetahui apakah kelumpuhan tersebut disebabkanoleh virus polio atau bukan. Sejak dilaksanakannnya survailans AFP pada tahun 1995 sampaitahun 2000, berdasar kriteria klinis masih dijumpai kasus polio kompatibel, yaitu kasus yangdicurigai klinis polio namun tinjanya tidak sempat diperiksa atau tinja tidak adekuat. Namunsejak tahun 1997, Indonesia menggunakan kriteria virologis dan penentuan polio berdasar padaada tidaknya virus polio liar pada pemeriksaan tinja. Hasil pemeriksaan tiga laboratorium yangtelah dikukuhkan WHO (Bio Farma di Bandung, Badan Penelitian & Pengembangan KesehatanDepkes di Jakarta, dan Balai Laboratorium Kesehatan di Surabaya) menunjukkan bahwa sejaktahun 1995 tidak pernah ditemukan lagi virus polio liar di Indonesia. Virus polio liar terakhirditemukan pada tahun 1995 di Kabupaten Malang, Probolinggo, Cilacap, Palembang danMedan, seluruhnya 7 kasus terdiri atas virus

tipe 1, 2, dan 3. Namun kemudian pada Maret 2005 dilaporkan adanya kasus polio di SukabumiJawa Barat. Dari pemeriksaan di laboratorium Virologi Bio Farma Bandung dan LaboratoriumVirologi Rujukan WHO di Pure India, diketahui bahwa virus yang ditemukan pada penderita diCidahu adalah virus impor strain Nigeria yang beberapa waktu sebelumnya juga berjangkit diYaman dan Arab Saudi. Setelah dilakukan outbreak respons immunization mopping-up, danPIN, sejak februari 2006 tidak lagi ditemukan virus polio liar di Indonesia.

Outbreak respons immunization (ORI) dan Mopping up

Apabila di suatu wilayah terdapat kasus polio maka harus dilakukan imunisasi polio masal lagiyang dikenal sebagai outbreak respons immunization (ORI) mopping-up, dengan tujuanmemutuskan sisa fokus transmisi virus polio liar. Pelaksanaan ORI pada daerah outbreak,sedangkan mopping-up dilakukan baik pada daerah tempat virus polio liar ditemukan maupunpada virus polio yang kompatibel.

Masalah yang dihadapi

1. Krisis ekonomi dan konflik sosial politik yang melanda Indonesia sejak tahun 1997 telahmelemahkan kinerja program imunisasi rutin, survailans AFP, serta suplemen vitamin Aterutama di propinsi Aceh, NTT, Maluku dan Irian Jaya.

2. Hal ini menyebabkan ancaman virus polio liar yang berasal dari negara lain di dalamregional Asia Tenggara yang belum bebas polio (misalnya India, Afganistan, dan China),dapat muncul kembali.

3. Pekan imunisasi telah dilakukan kembali di propinsi Aceh, NTT, Maluku dan IrianJaya, dikenal sebagai Pekan Imunisasi Sub Nasional (Sub PIN) yang dilaksanakanpada bulan September, Oktober 2006 dan februari 2007 bersamaan denganimunisasi campak.

Page 51: pedoman imunisasi

Eliminasi tetanus neonatorum (ETN)

Tujuan umum eliminasi tetanus neonatorum adalah membebaskan Indonesia dari penyakittetanus neonatorum, sehingga tahun 2005 tetanus neonatorum tidak menjadi masalahkesehatan masyarakat lagi. Sedangkan tujuan khususnya adalah (1) Secara epidemiologisberarti menurunkan insidens tetanus neonatorum menjadi 1 per 10.000 kelahiran hidup di pulauJawa-Bali pada tahun 1995 dan seluruh Indonesia pada tahun 2000-2005. (2) Menekan angkakematian tetanus neonatorum menjadi separuh dari CFR (case fatality rate) sebelumnya, denganjalan menemukan kasus dan mencari faktor risiko. Eliminasi tetanus neonatorum di Indonesiatelah dilaksanakan sejak tahun 1991. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan risikoyaitu meliputi status imunisasi TT ibu hamil, pertolongan persalinan, dan perawatan tali pusat.Untuk pelayanan imunisasi tetanus toksoid (TT) dilakukan pada anak sekolah SD kelas VI,calon pengantin wanita, dan ibu hamil. WHO merekomendasikan pemberian 5 dosis TT untukmendapatkan kekebalan seumur hidup, sedangkan untuk meningkatkan pertolongan persalinanmelalui peningkatan pelatihan dan pembinaan dukun bayi.

Reduksi campak

Reduksi campak ditentukan oleh jumlah kasus dan kematian campak, yaitu penurunan 90%kasus dan 90% kematian akibat campak dibandingkan dengan keadaan sebelum programimunisasi campak mulai. Kendala yang timbul dalam reduksi campak ialah,

1. Imunisasi campak dalam PPI sejak tahun 1982 secara nasional telah mencapaicakupan 80%,

2. Namun angka kesakitan campak masih tinggi,

3. Pemberian imunisasi campak rutin 1 dosis ternyata tidak cukup.

Maka strategi yang disusun oleh Departemen Kesehatan adalah,

1. Cakupan imunisasi campak rutin minimal harus > 90%, kepada sasaran campak diberikanjuga vitamin A 100.000 IU.

2. Upaya akselerasi dengan memberikan imunisasi pada anak usia 9 bulan sampai 5 tahundi daerah kumuh perkotaan atau daerah kantung cakupan. Upaya ini dicapai denganmengadakan sweeping di desa dengan cakupan rendah. Kegiatan sweeping diperlukanuntuk membantu Puskesmas dalam meratakan cakupan di tingkat desa.

3. Melakukan crash program campak untuk mencegah KLB,

a. Pada balita di daerah kantong cakupan rendah (daerah sulit dicapai, pemukimantransmigrasi baru),

b. Anak usia < 12 tahun di tempat pengungsian,

Pada kedua kegiatan di atas, vitamin A dosis 100. 000 IU untuk bayi umur 6-11 bulan dan200.000 IU diberikan pada umur 1-5 tahun (kecuali balita yang pernah mendapat vitamin Adalam 1 bulan terakhir).

4. Melakukan ring vaksinasi pada setiap KLB campak pada sekitar desa KLB, sasaran. umur9 bulan-5 tahun atau sampai umur kasus tertua, diberikan 1 dosis vaksin campak tanpamelihat status imunisasi sebelumnya. Kegiatan ini untuk memutuskan transmisi bila dilakukandalam waktu 7-10 hari setelah onset KLB. Diberikan juga vitamin A untuk anak 9- 11 bulan100.000 IU sedangkan untuk usia 1-5 tahun 200.000 IU (kecuali balita yang pernah mendapatvitamin A dalam 1 bulan terakhir).

5. Melakukan catch-up campaign pada anak sekolah tingkat dasar di seluruhIndonesia, yang dalam pelaksanaannya dilakukan bertahap dalam program BIAS(bulan imunisasi anak sekolah)(lihat Bab 4-4 Imunisasi Anak Sekolah, Remaja danDewasa).

Page 52: pedoman imunisasi

Daftar Pustaka

1. Penyakit Polio. Subdit Survailans Direktorat Jenderal PPM&PL, Departemen KesehatanRl. Diunduh dari http i/www.depkes.go.id/index.php?option= news&task=viewarticle&sid=1826&Itemid=2.

2. Departemen Kesehatan & Kesejahteraan Sosial Rl. Petunjuk pelaksanaan Sub PekanImunisasi Nasional. Jakarta: Direktorat Jenderal PPM&PL, 2000.

3. WHO. Measles reduction. WHO SEARO, Geneva 2003.4. WHO, Unicef, The World Bank. State of the World’s Vaccine and Immunization. Geneva:

WHO. 2002.

Bab IV-2

Jadwal Imunisasi

Sri Rezeki S.Hadinegoro

Jadwal Imunisasi IDAI secara berkala dievaluasi untuk penyempurnaan, departemenKesehatan/ WHO, kebijakan global, dan pengadaan vaksin di Indonesia.

Jadwal imunisasi tahun 2008 secara garis besar sama dibandingkan dengan jadwal tahun2004 yang tertera pada buku imunisasi edisi kedua. Perbedaan terletak pada penambahanvaksin pneumokokus konjugasi (PCV=pneumococcal conjugate vaccine), vaksin influenzapada program imunisasi yang dianjurkan (non-PPI) serta jadwal imunisasi varisela yangdianjurkan diberikan pada umur 5 tahun (jadwal tahun 2007), Pada jadwal 2008ditambahkan vaksin rotavirus dan HPV (human papilloma virus).Pemberian hepatitis B saat lahir sangat dianjurkan untuk mengurangi penularan hepatitis Bdari ibu ke bayinya sedini mungkin.Pemberian vaksin kombinasi, dengan maksud untuk mempersingkat jadwal, mengurangijumlah suntikan, dan mengurangi kunjungan tetap dianjurkan. Selain vaksin kombinasiDTP dengan Hib (baik DTwP/Hib maupun DTaP/ Hib, atau DTaP/Hib/IPV), DepartemenKesehatan memberikan vaksin kombinasi DTwP dengan Hepatitis B (DTwP/HepB) dalamPPI.

Imunisasi campak yang hanya diberikan satu kali pada usia 9 bulan, dalam kajianBadan Penelitian & Pengembangan Depkes ternyata kurang memberikanperlindungan jangka panjang. Oleh karena itu, campak diberikan penguat padasaat masuk sekolah dasar melalui program BIAS (Bulan Imunisasi Anak Sekolah).

Mengacu pada ketentuan WHO 2005 mengenai program eradikasi polio, apabila diIndonesia tidak terdapat lagi virus polio liar (wild polio virus) selama 3 tahun berturut-turut,besaran cakupan imunisasi polio cukup tinggi (>90%), serta survailans AFP yang baik;maka untuk imunisasi rutin (PPI) dapat diberikan eIPV (enhanced inactivated poliovaccine, injectable poilo vaccine). Namun untuk PIN vaksin polio oral tetap merupakanpilihanJadwal imunisasi Program Pengembangan Imunisasi (PPI) Departemen Kesehatan yangbaru tetap dapat dipergunakan, bersama jadwal imunisasi IDAI.

Imunisasi Wajib (PPI)

Imunisasi yang diwajibkan meliputi BCG, polio, hepatitis B, DTP dan campak.

BCG

Imunisasi BCG diberikan pada umur sebelum 3 bulan. Namun untuk mencapai cakupanyang lebih luas, Departemen Kesehatan menganjurkan pemberian imunisasi BCG padaumur antara 0-12 bulan.

Dosis 0,05 ml untuk bayi kurang dari 1 tahun dan 0,1ml untuk anak (>1 tahun).VaksinBCG diberikan secara intrakutan di daerah lengan kanan atas pada insersioM.deltoideus sesuai anjuran WHO, tidak di tempat lain (bokong, paha). Hal inimengingat penyuntikan secara intradermal di daerah deltoid lebih mudah

Page 53: pedoman imunisasi

dilakukan (jaringan lemak subkutis tipis), ulkus yang terbentuk tidak menganggustruktur otot setempat (dibandingkan pemberian di daerah gluteal lateral atau pahaanterior), dan sebagai tanda baku untuk keperluan diagnosis apabila diperlukan.Imunisasi BCG ulangan tidak dianjurkan.

Vaksin BCG tidak dapat mencegah infeksi tuberkulosis, namun dapat mencegahkomplikasinya. Para pakar menyatakan bahwa

1. efektivitas vaksin untuk perlindungan penyakit hanya 40%,2. sekitar 70% kasus TB berat (meningitis) ternyata mempunyai parut BCG, dan (3) kasus

dewasa dengan BTA (bakteri tahan asam) positif di Indonesia cukup tinggi (25%-36%)walaupun mereka telah mendapat BCG pada masa kanak-kanak. Oleh karena itu, saat iniWHO sedang mengembangkan vaksin BCG baru yang lebih efektif.

Vaksin BCG merupakan vaksin hidup, maka tidak diberikan pada pasienimunokompromais (leukemia, anak yang sedang mendapat pengobatan steroid jangkapanjang, atau menderita infeksi HIV).Apabila BCG diberikan pada umur lebih dari 3 bulan, sebaiknya dilakukan uji tuberkulinterlebih dahulu. Vaksin BCG diberikan apabila uji tuberkulin negatif.

Hepatitis B

Vaksin hepatitis B (hepB) harus segera diberikan setelah lahir, mengingat vaksinasi hepBmerupakan upaya pencegahan yang sangat efektif untuk memutuskan rantai penularan melaluitransmisi maternal dari ibu kepada bayinya.

Jadwal imunisasi hepatitis B

ï¶ Imunisasi hepB-1 diberikan sedini mungkin (dalam waktu 12 jam) setelah lahir,mengingat paling tidak 3,9% ibu hamil mengidap hepatitis B aktif dengan risiko penularankepada bayinya sebesar 45%.

ï¶ Imunisasi hepB-2 diberikan setelah 1 bulan (4 minggu) dari imunisasi hepB-1yaitu saat bayi berumur 1 bulan. Untuk mendapat respons imun optimal, intervalimunisasi HepB2 dengan hepB-3 minimal 2 bulan, terbaik 5 bulan. Maka imunisasihepB-3 diberikan pada umur 3-6 bulan.

ï¶ Jadwal dan dosis hepB-1 saat bayi lahir, dibuat berdasarkan

status HBsAg ibu saat melahirkan yaitu (1) ibu dengan status HbsAg yang tidak diketahui,(2) ibu HBsAg positif, atau (3) ibu HBsAg negatif.

ï¶ Departemen Kesehatan mulai tahun 2005 memberikan vaksin hepB-0 monovalen (dalamkemasan uniject) saat lahir, dilanjutkan dengan vaksin kombinasi DTwP/hepB pada umur 2-3-4 bulan. Tujuan vaksin HepB diberikan dalam kombinasi dengan DTwP untukmempermudah pemberian dan meningkatkan cakupan hepB-3 yang masih rendah.

Hepatitis B saat bayi lahir, tergantung status HbsAg ibu

ï¶ Bayi lahir dari ibu dengan status HbsAg yang tidak diketahui: HepB-1 harus diberikandalam waktu 12 jam setelah lahir, dan dilanjutkan pada umur 1 bulan dan 3-6 bulan.Apabila semula status HbsAg ibu tidak diketahui dan ternyata dalam perjalanan selanjutnyadiketahui bahwa ibu HbsAg positif maka ditambahkan hepatitis B imunoglobulin (HBIg) 0,5ml sebelum bayi berumur 7 hari.

ï¶ Bayi lahir dari ibu dengan status HbsAg-B positif: diberikan vaksin hepB-1dan HBIg 0,5ml secara bersamaan dalam waktu 12 jam setelah lahir.

Ulangan imunisasi hepatitis B

ï¶ Telah dilakukan penelitian multisenter di Thailand dan Taiwan terhadap anak dari ibupengidap hepatitis B, yang telah memperoleh imunisasi dasar 3x pada masa bayi. Padaumur 5 tahun, 90,7% diantaranya masih memiliki titer antibodi anti HBs protektif (kadar antiHBs >10 ug/ml). Mengingat pola epidemiologi hepatitis B di Indonesia mirip dengan polaepidemiologi di Thailand, maka dapat disimpulkan bahwa imunisasi ulang (booster) padausia 5 tahun belum diperlukan. Idealnya, pada usia 5 tahun dilakukan pemeriksaan kadar

Page 54: pedoman imunisasi

anti HBs.

ï¶ Apabila sampai dengan usia 5 tahun anak belum pernah memperoleh imunisasihepatitis B, maka secepatnya diberikan

imunisasi Hep B dengan jadwal 3 kalipemberian (catch-up vaccination).

ï¶ Ulangan imunisasi hepatitis B (hepB-4) dapat dipertimbang kan pada umur 10-12 tahun,apabila kadar pencegahan belum tercapai (anti HBs <10 µg/ml).

Cakupan imunisasi hepatitis-B ketiga di Indonesia sangat rendah apabila dibandingkan denganDTP-3. Untuk mengatasi hal tersebut, sejak tahun 2006 imunisasi hep-B pada jadwalDepartemen Kesehatan dikombinasikan dengan DTwP (Tabel 4.2). Jadwal Depkes dapatdipergunakan bersama jadwal imunisasi IDAI

Tabel 4.2. Pemberian imunisasi hepatitis B*

Umur Imunisasi Kemasan

Saat lahir HepB-0 Uniject (hepB-monovalen)

2 bulan DTwP dan hepB-1 Kombinasi DTwP/hepB-1

3 bulan DTwP dan hepB-2 Kombinasi DTwP/hepB-2

4 bulan DTwP dan hepB-3 Kombinasi DTwP/hepB-3

*Jadwal Departeman Kesehatan

DTwP (whole-cell pertussis) dan DTaP (acelluler pertussis)

Saat ini telah ada vaksin DTaP (DTP dengan komponen acelluler pertussis) di samping vaksinDTwP (DTP dengan komponen whole cell pertussis) yang telah dipakai selama ini. Keduavaksin DTP tersebut dapat dipergunakan secara bersamaan dalam jadwal imunisasi.

Jadwal imunisasi

ï¶ Imunisasi DTP primer diberikan 3 kali sejak umur 2 bulan (DTP tidak bolehdiberikan sebelum umur 6 minggu) dengan interval 4-8 minggu. Interval terbaikdiberikan 8 minggu, jadi DTP-1 diberikan pada umur 2 bulan, DTP-2 pada umur 4bulan dan DTP-3 pada umur 6 bulan. Ulangan booster DTP selanjutnya diberikansatu tahun setelah DTP-3 yaitu pada

umur 18-24 bulan dan DTP-5 pada saat masuk sekolah umur 5 tahun.

Vaksinasi ulangan pada program BIAS

v. Pada booster umur 5 tahun harus tetap diberikan vaksin dengan komponen pertusis(sebaiknya diberikan DTaP untuk mengurangi demam pasca imunisasi) mengingatkejadian pertusis pada dewasa muda meningkat akibat ambang proteksi telah sangatrendah sehingga dapat menjadi sumber penularan pada bayi dan anak.

v. Sejak tahun 1998, DT-5 diberikan pada kegiatan imunisasi di sekolah dasar (pada bulanimunisasi anak sekolah atau BIAS). Ulangan DT-6 diberikan pada 12 tahun, mengingatmasih dijumpai kasus difteria pada umur lebih dari 10 tahun.

v. Ulangan DT-6 pada umur 12 tahun direncanakan oleh depkes untuk diubah ke vaksin dT(adult dose), buatan PT Bio Farma Indonesia.

Page 55: pedoman imunisasi

Dosis vaksinasi DTP

v. DTwP atau DTaP atau DT adalah 0,5 ml, intramuskular, baik untuk imunisasi dasarmaupun ulangan.

Pemberian DTP kombinasi

v. Vaksin DTP dapat diberikan secara kombinasi dengan vaksin lain yaitu DTwP/HepB,DTaP/Hib, DTwP/Hib, DTaP/IPV, DTaP/Hib/IPV sesuai jadwal.

Tetanus

Upaya Departemen Kesehatan melaksanakan Program Eliminasi Tetanus Neonatorum(ETN) tahun 2000 belum terlaksana sepenuhnya. Maka pada pemberian vaksin tetanusbeberapa hal perlu mendapat perhatian.

Jadwal imunisasi tetanus, sesuai dengan imunisasi DTPPerkiraan lama waktu perlindungan antibodi tetanus.

Program imunisasi mengharuskan seorang anak minimal mendapat vaksin tetanus toksoidsebanyak lima kali untuk memberikan perlindungan seumur hidup. Dengan demikian, setiapwanita usia subur (WUS) telah mendapat perlindungan untuk bayi yang akan dilahirkannyaterhadap bahaya tetanus neonatorum (pemberian vaksin TT WUS dan TT ibu hamil).

Perlindungan tersebut dapat diperoleh dengan cara sebagai berikut.

v. Imunisasi DTP primer pada bayi 3 kali akan memberikan imunitas selama 1-3 tahun. Tigadosis toksoid pada bayi tersebut, setara dengan 2 dosis toksoid pada dewasa.

v. Ulangan DTP pada umur 18-24 bulan (DTP 4) akan memperpanjang imunitas 5 tahunyaitu sampai dengan umur 6-7 tahun, pada umur dewasa dihitung setara 3 dosis toksoid.

v. Dosis toksoid tetanus kelima (DTP/ DT 5) bila diberikan pada usia masuk sekolah, akanmemperpanjang imunitas 10 tahun lagi yaitu pada sampai umur 17-18 tahun; pada umurdewasa dihitung setara 4 dosis toksoid.

v. Dosis toksoid tetanus tambahan yang diberikan pada tahun

berikutnya di sekolah (DT 6 atau dT) akan memperpanjang

imunitas 20 tahun lagi; pada umur dewasa dihitung setara 5

dosis toksoid.

v. Upaya ETN dengan target sasaran TT 5 kali juga dilakukan pada anak sekolah melaluikegiatan BIAS.

Dosis vaksin DTP atau TT diberikan dengan dosis 0,5 ml secara intramuskular.

Polio

Terdapat 2 kemasan vaksin polio yang berisi virus polio-1, 2, dan 3.

OPV (oral polio vaccine), hidup dilemahkan, tetes, oral.IPV (inactivated polio vaccine), in-aktif, suntikan.

Kedua vaksin polio tersebut dapat dipakai secara bergantian. Vaksin IPV dapat diberikan padaanak sehat maupun anak yang menderita imunokompromais, dan dapat diberikan sebagaiimunisasi dasar maupun ulangan. Vaksin IPV dapat juga diberikan bersamaan dengan vaksinDTP, secara terpisah atau kombinasi.

Jadwal

v. Polio-0 diberikan saat bayi lahir sesuai pedoman PPI sebagai tambahan untukmendapatkan cakupan imunisasi yang tinggi. Hal ini diperlukan karena Indonesia rentanterhadap transmisi virus polio liar dari daerah endemik polio (India, Afganistan, Sudan).Mengingat OPV berisi virus polio hidup maka diberikan saat bayi meninggalkan rumahsakit/rumah bersalin agar tidak mencemari bayi lain karena virus polio vaksin dapat

Page 56: pedoman imunisasi

sakit/rumah bersalin agar tidak mencemari bayi lain karena virus polio vaksin dapatdiekskresi melalui tinja. Untuk keperluan ini, IPV dapat menjadi alternatif.

v. Untuk imunisasi dasar (polio-2, 3, 4) diberikan pada umur 2, 4, dan 6 bulan, interval antaradua imunisasi tidak kurang dari 4 minggu.

v. Dalam rangka eradikasi polio (Erapo), masih diperlukan Pekan Imunisasi Polio (PIN) yangdianjurkan oleh Departemen Kesehatan. Pada PIN semua balita harus mendapatimunisasi OPV tanpa memandang status imunisasinya (kecuali pasien imunokompromaisdiberikan IPV) untuk memperkuat kekebalan di mukosa saluran cerna dan memutuskantransmisi virus polio liar.

Dosis

OPV diberikan 2 tetes per-oral.IPV dalam kemasan 0,5 ml, intramuskular. Vaksin IPV dapat diberikantersendiriatau dalamkemasankombinasi (DTaP/IPV, DTaP/Hib/IPV).Imunisasi polio ulangan diberikan satu tahun sejak imunisasi polio-4, selanjutnyasaat masuk sekolah (5-6 tahun).

Campak

Vaksin campak rutin dianjurkan diberikan dalam satu dosis 0,5 ml secara sub-kutan dalam,pada umur 9 bulan.Dari hasil studi Badan Penelitian & Pengembangan dan Dirjen PPM&PL DepartemenKesehatan mengenai campak didapatkan,

v. Survei di empat provinsi, 18,6%-32,6% anak sekolahmempunyai kadar campak di bawah batas perlindungan,

v. Dijumpai kasus campak pada anak usia sekolah,v. Beberapa propinsi masih melaporkan kejadian luar biasa (KLB) campak,

Departemen Kesehatan mengubah strategi reduksi & eliminasi campak, sebagai berikut.Disamping imunisasi umur 9 bulan, diberikan juga imunisasi campak kesempatan kedua(second opportunity pada crash program campak) pada umur 6-59 bulan dan SD kelas 1-6.Crash program campak ini telah dilakukan secara bertahap (5 tahap) di semua provinsipada tahun 2006 dan 2007.Selanjutnya imunisasi campak dosis kedua diberikan pada program school based catch-upcampaign, yaitu secara rutin pada anak sekolah SD kelas 1 dalam program BIAS.Apabila telah mendapat imunisasi MMR pada usia 15-18 bulan dan ulangan umur 6 tahun;ulangan campak SD kelas 1 tidak diperlukan.

Imunisasi yang dianjurkan

Imunisasi yang dianjurkan diberikan kepada bayi/anak mengingat burden of diseasenamun belum masuk ke dalam program imunisasi nasional sesuai prioritas. Imunisasidianjurkan adalah Hib, pneumokokus, influenza, MMR, tifoid, hepatitis A, varisela,rotavirus, dan HPV.

Haemophilus influenzae tipe b (Hib)

Terdapat dua jenis vaksin Hib konjungat yang beredar di Indonesia yaitu vaksin Hib yang berisiPRP-T (capsular polysaccharide polyribosyl ribitol phosphate – konjugasi dengan proteintetanus) dan PRP-OMP (PRP berkonjugasi dengan outer membrane protein complex).

Jadwal imunisasi

+ Vaksin Hib yang berisi PRP-T diberikan pada umur 2,4, dan 6 bulan

+ Vaksin Hib yang berisi PRP-OMP diberikan pada umur 2 dan 4 bulan, dosis ketiga (6bulan) tidak diperlukan.

+ Vaksin Hib dapat diberikan dalam bentuk vaksin kombinasi (DTwP/Hib, DTaP/Hib,

Page 57: pedoman imunisasi

DTaP/Hib/IPV)

Dosis

+ Satu dosis vaksin Hib berisi 0,5 ml, diberikan secara intramuskular.

+ Tersedia vaksin kombinasi DTwP/Hib, DTaP/Hib, DTaP/ Hib/IPV (vaksin kombinasi yangberedar berisi vaksin Hib PRP-T) dalam kemasan prefilled syringe 0,5 ml.

Ulangan

+ Vaksin Hib baik PRP-T ataupun PRP-OMP perlu diulang pada umur 18 bulan.

+ Apabila anak datang pada umur 1-5 tahun, Hib hanya diberikan 1 kali.

Pneumokokus

Sejak jadwal imunisasi edisi tahun 2007, vaksin pneumokokus dimasukkan dalamkelompok imunisasi yang dianjurkan sesuai dengan Rekomendasi Satgas imunisasiIDAI tanggal 30 April 2006.

Terdapat 2 jenis vaksin pneumokokusyang beredar di Indonesia, yaitu vaksin pneumokokus polisakarida berisi polisakarida murni, 23serotipe disebut pneumococcus polysaccharide vaccine (PPV23). Vaksin pneumokokusgenerasi kedua berisi vaksin polisakarida konjungasi, 7 serotipe disebut pneumococcalconjugate vaccine (PCV7).

Tabel 4.3. Perbedaan PPV23 dan PCV7

Vaksin polisakarida (PPV23) Vaksinpolisakarida konjungasi (PCV7)

T cellindependent • T cell dependent (memory cell)

Tidak imunogenikpd umur <2 tahunIndikasi: umur> 2thn, risiko tinggiMempunyai imunitasjangka

pendek

Nama: Pneumo-23@

(Sanofi

Pasteur)

Imunogenik pada umur<2 tahunIndikasi: anak sehat dananak risiko tinggiUmur 2 bulan-5 tahunMempunyai imunitasjangka panjangNama: Prevenar@(Wyeth)

Jadwal dan dosis PCV7

Vaksin PCV7 diberikan sejak usia 2 bulan sampai 9 tahun. Dosis dan interval pemberian sesuaiumur tertera pada Tabel 4.4.

Tabel 4.4. Jadwal dan dosis vaksin PCV7

Dosis pertama Imunisasidasar Imunisasi

(bulan) ulangan*

2- 6 3 dosis, interval 6-8mgg 1 dosis, 12-15 bulan

7-11 2 dosis, interval 6-8 mgg 1 dosis, 12-15 bulan

12-23 2 dosis, interval 6-8 mgg

≥24 1 dosis

Page 58: pedoman imunisasi

*Imunisasi ulangan minimal 6-8 minggu setelah dosis terakhir imunisasi dasar Dikutipdengan modifikasi dari AAP, Committee on Infectious Diseases 2006.

Cara pemberian

Vaksin PCV7 dikemas dalam prefilled syringe 5 ml diberikan secara intramuskular.

Dosis pertama tidak berikan sebelum umur 6 minggu.Untuk bayi BBLR (≤1500 gram) vaksin diberikan setelah umur kronologik 6 -8 minggu,tanpa memperhatikan umur atau apabila berat badan telah mencapai > 2000gram.Dapat diberikan bersama vaksin lain misalnya DTwP, DTaP, TT, Hib, HepB, IPV, MMR,atau varisela, dengan mempergunakan syringe terpisah. Untuk setiap vaksin diberikanpada sisi badan yang berbeda.

Kelompok risiko tinggi

Untuk anak risiko tinggi berumur 24-59 bulan, vaksin PCV7 diberikan bersama vaksin PPV23karena kelompok ini rentan terhadap semua serotipe pneumokokus. Kelompok risiko tinggiadalah anak yang menderita penyakit kronik seperti penyakit sickle cell, asleniakongenital/didapat, disfungsi limpa, infeksi HIV, defisiensi imun kongenital, penyakit jantungbawaan dan gagal jantung, penyakit paru kronik termasuk asma yang diobati dengankortikosteroid oral dosis tinggi, cerebrospinal fluid leaks, insufisiensi ginjal kronik termasuksindrom nefrotik, penyakit yang berhubungan dengan pengobatan imunosupresif atau radiasitermasuk penyakit keganasan dan transplantasi organ solid, dan diabetes melitus (Tabel 4.5).

Tabel 4.5. Jadwal dan dosis vaksinPCV7 & PPV23 untuk kelompok risiko tinggi umur 24-59 bulan

Dosis sebelumnya Dosis PCV7 dan PPV23

4 dosis PCV7 Umur 24bln: 1 dosis PPV23, minimal 6-8 mgg setelah PCV7 dosis terakhir. UlanganPPV23: 1 dosis PPV23, 3-5 th setelah PPV23 dosis pertama

1-3dosis PCV7 1 dosis vaksinPCV7

1 dosis vaksin PPV23, 6-8 mgg setelah PCV7 dosis terakhir. Ulangan PPV23: 1dosis PPV23, 3-5 th setelah PPV23 dosis pertama

1 dosis PPV23 2 dosisvaksin PCV7, interval 6-8 mgg, mulai minimal 6-8 mgg setelah PPV23 dosisterakhir. Ulangan PPV23: 1 dosis PPV23, 3-5 th setelah PPV23 dosis pertama

Belum pernah 2 dosis vaksinPCV7 interval 6-8 mgg

1 dosis vaksin PPV23, 6-8 mgg setelah vaksin PCV dosis terakhir.

Ulangan PPV23: 1 dosis PPV23, 3-5 th setelah PPV23 dosis pertama

Influenza

Imunisasi influenza telah direkomendasikan oleh Satgas Imunisasi IDAI sejak April 2006 dantelah dimasukkan dalam kelompok vaksin yang dianjurkan, sesuai jadwal Satgas Imunisasi IDAIperiode 2006.

Vaksin influenza

Vaksin trivalen influenza yang terdiri dari dua virus influenza subtipe A yaituH3N2 dan H1N1, serta virus influenza tipe B. Vaksin influenza diproduksi duakali setahun berdasarkan perubahan galur virus influenza yang bersirkulasidi masyarakat.WHO Global Influenza Program merekomendasikan komposisi vaksininfluenza yang berlaku untuk tahun berikutnya pada bulan September danFebruari. Musim influenza pada terjadi bulan Mei-Juni di belahan bumiSelatan (Southern hemisphere),

Page 59: pedoman imunisasi

dan November-Desember untuk belahan bumi Utara (Northern

hemisphere).

Untuk Indonesia dipilih vaksin formulasi dari belahan utara atau selatan yang diproduksioleh produsen vaksin sesuai dengan waktu yang tepat (perhatikan tanggal kadaluarsavaksin tersebut).

Jadwal

Rekomendasi WHO untuk tahun 2006/2007 komposisi vaksin belahan utara adalah A/NewCaledonia/20/99(H1N1)-like virus; A/Wisconsin/6 7/2005 (H3N2)-like virus; danB/Malaysia/2506/2004 like virus.Vaksin influenza diberikan pada anak umur 6–23 bulan, baik anak sehat maupun denganrisiko (asma, penyakit jantung, penyakit sel sickle, HIV, dan diabetes)Imunisasi influenza diberikan setiap tahun, mengingat tiap tahun terjadi pergantian jenisgalur virus yang beredar di masyarakat. Vaksin tahun sebelumnya tidak boleh diberikanuntuk tahun sekarang.Indikasi lain: anak yang tinggal dengan kelompok risiko tinggi atau pekerja sosial yangberhubungan dengan kelompok risiko tinggi

Dosis dan cara pemberian

Dosis tergantung umur anak,

v. umur 6-35 bulan: 0.25mlv. umur ≥ 3 tahun : 0.5 mlv. umur < 8 tahun : untuk pemberian pertama kali diperlukan 2 dosis dengan interval minimal

4-6 minggu, pada tahun berikutnya hanya diberikan 1 dosis.

Vaksin influenza diberikan secara intramuskular pada paha anterolateral ataudeltoid.

MMR

Vaksin MMR diberikan pada umur 15-18 bulan, minimal interval6 bulan antara imunisasi campak (umur 9 bulan) dan MMR.Dosis satu kali 0,5 ml, secara subkutan.MMR diberikan minimal 1 bulan sebelum atau setelah penyuntikan imunisasi lain.Apabila seorang anak telah mendapat imunisasi MMR pada umur 12-18 bulan dan 6tahun, imunisasi campak (monovalen) tambahan pada umur 5-6 tahun tidak perludiberikan.Ulangan imunisasi MMR diberikan pada umur 6 tahun.

Demam tifoid

Di Indonesia tersedia 2 jenis vaksin yaitu vaksin suntikan (polisakarida) dan oral (bakteri hidupyang dilemahkan).

Vaksin capsular Vi polysaccharide

ï¶ diberikan pada umur lebih dari 2 tahun, ulangan dilakukan setiap 3 tahun.

ï¶ kemasan dalam prefilled syringe 0,5 ml, pemberian secara intramuskular

Tifoid oral Ty21a

ï¶ diberikan pada umur lebih dari 6 tahun

ï¶ dikemas dalam kapsul, diberikan 3 dosis dengan interval selang sehari (hari 1,3, dan 5).

ï¶ imunisasi ulangan dilakukan setiap 3-5 tahun. Vaksin oral pada umumnya diperlukanuntuk turis yang akan berkunjung ke daerah endemis tifoid.

Page 60: pedoman imunisasi

Hepatitis A

Vaksin hepatitis A diberikan pada daerah yang kurang terpajan (under exposure). Disamping vaksin Hep A monovalen yang telah kita kenal, saat ini telah beredar vaksinkombinasi HepB/HepA.

Jadwal imunisasi

+ Vaksin hep A diberikan pada umur lebih dari 2 tahun.

+ Vaksin kombinasi HepB/HepA tidak diberikan pada bayi kurang dari 12 bulan. Makavaksin kombinasi diindikasikan pada anak umur lebih dari 12 bulan, terutama untuk catch-up immunisation yaitu mengejar imunisasi pada anak yang belum pernah mendapatimunisasi HepB sebelumnya atau imunisasi HepB yang tidak lengkap.

Dosis pemberian

+ Kemasan liquid 1 dosis/vial prefilled syringe 0,5ml.

+ Dosis pediatrik 720 ELISA units diberikan dua kali dengan

interval 6-12 bulan, intramuskular di daerah deltoid

+ Kombinasi HepB/HepA (berisi HepB 10 µgr dan HepA

720 ELISA units) dalam kemasan prefilled syringe 0,5 ml

intramuskular.

+ Dosis HepA untuk dewasa (≥ 19 tahun) 1440 ELISA units, dosis 1 ml, 2 dosis, interval 6-12 bulan.

Varisela

Kesepakatan pada rapat Satgas Imunisasi IDAI Maret 2007, telah ditentukan perubahan umurpemberian vaksin varisela dari umur 10 tahun menjadi 5 tahun. Hal ini berdasarkan,

1. Efektifitas vaksin varisela tidak diragukan lagi, namun apabila cakupan imunisasi belumtinggi dapat mengubah epidemiologi penyakit dari masa anak ke dewasa (pubertas).Akibatnya angka kejadian varisela orang dewasa akan meningkat dibandingkan anak.

2. Dampak varisela pada dewasa lebih berat daripada anak, apalagi apabila terjadipada masa kehamilan dapat mengakibatkan sindrom varisela kongenital denganangka kematian yang tinggi.

3. Penularan terbanyak terjadi di sekolah (TK dan SD).

Berdasarkan pertimbangan tersebut,maka imunisasi varisela diberikan pada saat anak masuk sekolah Taman Kanak-kanak umur 5tahun, kecuali terjadi kejadian luar biasa varisela, atau atas permintaan orang tua dapatdiberikan pada umur > 1 tahun.

Jadwal

Imunisasi varisela diberikan pada anak umur ≥ 5 tahun.Untuk anak yang mengalami kontak dengan pasien varisela, imunisasi dapat mencegahapabila diberikan dalam kurun 72 jam setelah kontak (catatan: kontak harus segeradipisahkan).

Dosis

Dosis 0,5 ml, subkutan, satu kali.Untuk umur lebih dari 13 tahun atau dewasa, diberikan 2 kali dengan jarak 4-8 minggu.

Page 61: pedoman imunisasi

Tabel 4.6. Ringkasan Jadwal Imunisasi Berdasarkan Umur Pemberian

Umur Vaksin Keterangan

Saat lahir Hepatitis B-1 HB-1 harus diberikan dalam waktu 12

jam setelah lahir, dilanjutkan pada umur 1 dan 6 bulan. Apabila statusHbsAg-B ibu positif, dalam waktu 12 jam setelah lahir diberikan HBIg0,5 ml bersamaan dengan vaksin HB-1. Apabila semula status HbsAgibu tidak diketahui dan ternyata dalam perjalanan selanjutnya diketahuibahwa ibu HbsAg positif maka masih dapat diberikan HB-Ig 0,5 mlsebelum bayi berumur 7 hari.

Polio-0 Polio-0 diberikan saat kunjungan pertama. Untuk bayiyang lahir di RB/RS polio oral diberikan saat bayi dipulangkan(untuk menghindari transmisi virus vaksin kepada bayi lain).

1bulan Hepatitis B-2 HB-2 diberikan pada umur 1bulan,

Interval HB-1 dan HB-2 adalah 1 bulan.

Umur Vaksin Keterangan

0-2 bulan BCG BCGdapat diberikan sejak lahir. Apabila

BCG akan diberikan pada umur >3 bulan sebaiknya dilakukan ujituberkulin terlebih dulu dan BCG diberikan apabila uji tuberkulin negatif.

2 bulan DTP-1 DTP diberikan pada umur lebih dari 6

minggu, dapat dipergunakan DTwP atau DTaP atau diberikan secarakombinasi dengan Hib (PRP-T).

Hib -1 Hib diberikan mulai umur 2 bulan dengan interval 2 bulan. Hibdapat diberikan secara terpisah atau dikombinasikan dengan DTP.

Polio-1 Polio-1 dapat diberikan bersamaandengan DTP-1.

PCV-1 PCV-1 diberikan pada umur 2 bulan

4 bulan DTP -2

Hib -2

Polio-2 PCV-2

DTP-2 (DTwP atau DTaP)dapat diberikan terpisah ataudikombinasikan dengan Hib-2(PRP-T).

Polio-2 diberikan bersamaandengan DTP-2

PCV-2 diberikan pada umur 4bulan

6 bulan DTP -3 DTP-3 dapat diberikan terpisah atau

dikombinasikan dengan Hib-3 (PRP-T).

Hib -3 Apabila mempergunakan Hib-OMP, Hib-3 pada umur 6 bulantidak perlu diberikan.

Polio-3 Polio-3 diberikan bersamaan denganDTP-3.

PCV-3 PCV-3 diberikan pada umur 6 bulan

6 bulan

Page 62: pedoman imunisasi

Hepatitis B-3 HB-3 diberikan umur 3-6 bulan. Untuk

mendapat respons imun optimal interval HB-2 dan HB-3 minimal 2bulan, terbaik 5 bulan.

6-23 bln Influenza Influenza dapat diberikan sejak umur 6

bulan

Umur Vaksin Keterangan

9 bulan Campak Campak-1 diberikan pada umur 9 bulan,

Campak-2 merupakan program BIAS pada SD kl 1, umur 6 tahun.Apabila telah mendapat MMR pada umur 15 bulan, Campak-2 tidakperlu diberikan.

12 -15 bl PCV-7 Ulangan PCV-7 diberikan 1 dosis, 12-15

bulan

15-18 bulanMMR

Hib-4

Apabila sampai umur 12bulan belum mendapatimunisasi campak, MMRdapat diberikan padaumur 12 bln

Hib-4 diberikan pada 15-18 bulan (PRP-T atauPRP-OMP).

18 bulan DTP-4 DTP-4(DTwP atau DTaP) diberikan 1 tahun

setelah DTP-3 atau kombinasi DTP/Hib

Polio-4 Polio-4 diberikan bersamaan denganDTP-4.

2 tahun Hepatitis A Vaksin HepA direkomendasikan pada

umur >2 tahun, diberikan dua kali dengan interval 6-12 bulan.

2-3 tahun Tifoid Vaksin tifoidpolisakarida injeksi direko‑

mendasikan untuk umur >2 tahun. Imunisasi tifoid polisakarida injeksiperlu diulang setiap 3 tahun.

5 tahun DTP-5 DTP-5 diberikan pada umur 5 tahun

(DTwP/DTaP)

Polio-5 Polio-5 diberikan bersamaan denganDTP-5

Varisela Vaksin varisela diberikan pada umur 5tahun.

6 tahun MMR Diberikan untuk catch-up immuniza‑

tion pada anak yang belum mendapat MMR-1.

10tahun dT/ TT Menjelang pubertas vaksin tetanus

Page 63: pedoman imunisasi

ke-5

(dT atau TT) diberikan untuk mendapat imunitas selama 25tahun.

Umur Vaksin Keterangan

10 thn HPV Vaksin HPV diberikan pada perempuan

berumur 10 tahun atau lebih sebanyak 3 kali, dengan jadwal agakberbeda untuk vaksin bivalen (HPV 16, 18) dan kuadrivalen (HPV 6, 11,16, 18).

Vaksin bivalen kedua disuntikan 1 bulan setelah suntikan pertama, sun-tikan ketiga diberikan 6 bulan setelah suntikan pertama.

Vaksin kuadrivalen kedua disuntikan 2 bulan setelah suntikan pertama,suntikan ketiga diberikan 6 bulan setelah suntikan pertama.

Daftar Pustaka

1. Plotkins SA, Orenstein WA., penyunting. Vaccines, edisi ke-4. Philadelphia, Tokyo; WBSaunders, 2004.

2. Report of the Committee on Infectious Diseases. American Academy of Pediatrics. Illinois;Amerika Serikat, 2006.

3. National Health and Medical Research Council. National Immunisation Program: TheAustralian Immunisation Handbook. Edisi ke-9. Commonwealth of Australia, 2008.

4. World Health Organization, The World Health Report 2007. A safer future: global publichealth security in the 21st century. Diunduh dari:http://www.who.int/whr/2007/en/index.html.

5. Kassianos GC. Immunization Childhood and Travel Health. Edisi keempat. London:Blackwell Science, 2001.

6. AAP, Committee on Infectious Diseases 2006

7. Rekomendasi Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP), 2003

Bab IV-3

Jadwal Imunisasi Tidak

Teratur

Dahlan Ali Musa

Pada keadaan tertentu imunisasi tidak dapat dilaksanakan sesuai dengan jadwal yang sudahdisepakati. Keadaan ini tidak merupakan hambatan untuk melanjutkan imunisasi. Vaksin yangsudah diterima oleh anak tidak menjadi hilang manfaatnya tetapi tetap sudah menghasilkanrespons imunologis sebagaimana yang diharapkan tetapi belum mencapai hasil yang optimal.Dengan perkataan lain, anak belum mempunyai antibodi yang optimal karena belum mendapatimunisasi yang lengkap, sehingga kadar antibodi yang dihasilkan masih di bawah ambangkadar yang memberi perlindungan (protective level) atau belum mencapai kadar antibodi yangbisa memberikan perlindungan untuk kurun waktu yang panjang (life long immunity)sebagaimana bila imunisasinya lengkap. Dengan demikian kita harus menyelesaikan jadwalimunisasi dengan melengkapi imunisasi yang belum selesai.

Vaksin satu kali atau vaksin dengan daya lindung panjang

Untuk vaksin yang diberikan hanya satu kali saja atau vaksin yang dayaperlindungannya panjang seperti vaksin BCG, campak, MMR, varisela, makaketerlambatan dari jadwal imunisasi yang sudah disepakati akan mengakibatkanmeningkatnya risiko tertular oleh penyakit yang ingin dihindari. Setelah vaksin diberikanmaka risiko terkena penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi tersebut akan hilangatau rendah sekali, bahkan usia yang lebih tua saat

Page 64: pedoman imunisasi

menerima vaksin akan menghasilkan kadar antibodi yang cukup baik karena sistem imunitastubuhnya sudah lebih matang.

Belum pernah mendapat imunisasi

Anak yang belum pernah mendapat imunisasi terhadap penyakit tertentu, tidak mempunyaiantibodi yang cukup untuk menghadapi penyakit tersebut. Apabila usia anak sudah berada diluar usia yang tertera pada jadwal imunisasi dan dia belum pernah diimunisasi maka imunisasiharus diberikan kapan saja, pada umur berapa saja sebelum anak terkena penyakit tersebut,karena dia sangat sedikit atau sama sekali belum punya antibodi.

Imunisasi multidosis dengan interval tertentu

Untuk imunisasi yang harus diberikan beberapa kali dengan interval waktu tertentu agar kadarantibodi yang diinginkan tercapai (di atas ambang perlindungan) seperti vaksin DPT, polio, Hib,pneumokok konjugasi, hepatitis A atau hepatitis B, keterlambatan atau memanjangnya intervaltidak mempengaruhi respons imunologis dalam membentuk antibodi. Jumlah pemberianimunisasi tetap harus dilengkapi supaya kadar ambang perlindungan bisa dicapai dan anakterlindung dari penyakit. Keterlambatan akan menunda tercapainya ambang kadar antibodi yangmemberikan perlindungan.

Terdapat beberapa jenis vaksin (umumnya vaksin inaktif) yang daya perlindungannyaterbatas hingga kurun waktu tertentu saja (setelah itu kadar antibodi berada di bawahambang perlindungan), sehingga membutuhkan imunisasi ulang untuk meningkatkankembali kadar antibodinya. Bila imunisasi ulang terlambat atau tidak dilakukan, makakadar antibodi yang sudah rendah itu (terutama pada anak-anak yang tidak pernahmendapat infeksi alamiah) akan meningkatkan risiko terkena penyakit tersebut.

Status imunisasi tidak diketahui ataumeragukan

Anak dengan status imunisasi yang tidak diketahui atau meragukan, misalnya dokumentasiimunisasi yang buruk atau hilang, menyebabkan ketidakpastian tentang imunisasi yang sudahdan belum diberikan. Pada keadaan ini, anak harus dianggap rentan (susceptible) dan harusdiberikan imunisasi yang diperkirakan belum didapat. Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwapemberian vaksin MMR, varisela, Hib, hepatitis-B, campak, DPT atau polio yang berlebih akanmerugikan penerima yang sudah imun.

Tabel 4.7. Rekomendasi jadwal untuk vaksinasi yang tidak teratur

Vaksin Rekomendasi bila vaksinasi terlambat

BCG Umur < 12 bulan, bolehdiberikan kapan saja.

Umur > 12 bulan imunisasi kapan saja, namun sebaiknya dilakukan terlebih dahuluuji tuberkulin apabila negatif berikan BCG dengan dosis 0.1 ml intrakutan

DPwT atau Bila dimulai denganDPwT boleh dilanjutkam dengan

DPaT DPaT.

Berikan dT pada anak > 7 tahun, jangan DPwT atau DPaT walaupun vaksin tersedia.

Bila terlambat, jangan mengulang pemberian dari awal, tetapi lanjutkan dan lengkapiimunisasi seperti jadwal, tidak peduli berapapun jarak waktu/interval keterlambatandari pemberian sebelumnya.

Bila belum pernah imunisasi dasar pada usia < 12 bulan, imunisasi diberikan sesuaiimunisasi dasar, baik jumlah maupun intervalnya.

Bila pemberian ke-4 sebelum ulang tahun ke-4, maka pemberian ke-5secepat-cepatnya 6 bulan sesudahnya. Bila pemberian ke-4 setelah umur 4tahun, maka pemberian ke-5 tidak perlu lagi.

Polio oral Bilaterlambat, jangan mengulang pemberiannya dari awal tetapi lanjutkan dan

Page 65: pedoman imunisasi

lengkapi imunisasi seperti jadwal, tidak peduli berapapun jarak waktu/interval keterlambatan dari pemberian sebelumnya.

Vaksin Rekomendasi bila vaksinasi terlambat

Campak Pada umurantara 9 – 12 bulan, berikan kapan saja saatbertemu.

Bila umur anak > 1 tahun berikan MMR

Bila booster belum didapat setelah umur 6 tahun, maka vaksin campak/MMRdiberikan kapan saja saat bertemu melengkapi jadwal

MMR Bila sampai denganumur 12 bulan belum mendapat vaksin campak, MMR bisa diberikan kapan sajasetelah berumur 1 tahun

Hepatitis B Bila terlambat,jangan mengulang pemberian dari awal, tetapi lanjutkan dan lengkapi imunisasiseperti jadwal, tidak peduli berapapun jarak waktu/interval dari pemberiansebelumnya.

Anak dan remaja yang belum pernah imunisasi hepatitis B pada masa bayi, bisamendapat serial imunisasi hepatitis B kapan saja saat berkunjung.

Hib Umur saat ini RiwayatRekomendasi

(bulan) vaksinasi imunisasi

6 – 11 1 dosis 1x umur 6–11 bulan

Ulang 1x setelah 2 bulan atau umur 12 – 15 bulan

12 – 14 1 dosis sebelum umur 12 bulan

Berikan 2 dosis, interval 2 bulan

15 – 59 Berikan Jadwal tidak lengkap1 dosis

P n e um o - Umur saatini Dosis Keterangan

kokus (bulan) Vaksin

7 – 11 3 dosis 2 dosis, interval 4 minggu.

Dosis ke-3 setelah umur 12 bulan, paling sedikit 2 bulan setelahdosis ke-2

12 – 23 2 dosis Interval paling sedikit 2

bulan

>24 - 5th 1 dosis

Daftar Pustaka

1. National Health and Medical Research Council. National Immunization Program. TheAustralian Immunization Handbook. Edisi ke-9. Commonwealth of Australia, 2008.

2. Committee on Infectious Diseases American Academy of Pediatrics. PickeringLK, BakerCL, Overturf GD, Prober CG, penyunting. Red Book: 2003 Report of the Committee onInfectious Diseases. Edisike-26. Elk Grove Village, IL: American Academy of Pediatrics;2003.

Page 66: pedoman imunisasi

3. Plotkins S, Orenstein WA, penyunting. Vaccines, edisi keempat. Philadelphia, Tokyo, WBSaunders, 2004.

Bab IV-4

Imunisasi Anak Sekolah,

Remaja dan Dewasa

I G N Ranuh

Usia sekolah dan remaja saat memasuki usia merupakan kurun waktu dengan paparanlingkungan yang luas dan beraneka ragam. Angka kematian usia balita masih sekitar 56 per1000 kelahiran hidup, masa usia sekolah dan remaja menunjukkan grafik yang menurun danmeningkat lagi pada usia yang lebih lanjut.

Kesakitan dan kematian karena penyakit yang termasuk di dalam imunisasi nasional sudahsangat berkurang, seperti polio, difteria, tetanus, batuk rejan dan campak, terutama karenadilaksanakannya program Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS) pada bulan November setiaptahunnya. Hanya penyakit tuberkulosis paru yang justru menunjukkan peningkatan karenaimunisasi BCG ternyata kurang berhasil meskipun meningitis dan TB sekunder lainnya sepertimilier dan spondilitis TB sudah jauh berkurang.

Dengan terjadinya transisi epidemiologik dalam dua dekade terakhir ini, penyebabutama kesakitan dan kematian telah mengalami perubahan seperti yang dilaporkan didalam SKRT1995 dengan bergesernya penyebab kematian karena infeksi ke penyakitkardiovaskuler, terjadinya cedera dan keracunan karena kecelakaan, penyakit karenaobat-obatan terlarang, depresi, penyakit jiwa dan penyakit degeneratif. Namun demikian,laporan dari rumah sakit. Puskesmas maupun UKS (usaha kesehatan sekolah), penyakitinfeksi seperti ISPA, (infeksi saluran pernafasan akut), diare akut seperti kolera danpenyakit yang seringkali menunjukkan kejadian luar biasa atau wabah, seperti demamberdarah dengue masih merupakan hambatan utama dalam tumbuh kembang menujudewasa.

Keterlambatan Imunisasi Dasar

Apabila imunisasi dasar belum pernah diberikan pada anak pada usia yang seharusnya namunanak belum mencapai usia 8 tahun, perlu diberikan DTP 4 dosis (ke-1 sampai ke-3 berselang 1-2 bulan dan ke-4 diberikan 6 bulan’kemudian). Apabila anak sudah berumur lebih dari 8 tahun,diberikan dT (adult tetanus diphthteria toxoid), kemudian booster diberikan setiap 10 tahun.

Imunitas terhadap pertusis pasca imunisasi berlangsung selama 10 tahun setelah dosis terakhir.Meskipun demikian seorang anak yang telah menerima 5 dosis vaksin pertusis, kemungkinanterjangkitnya penyakit batuk rejan masih dapat terjadi pada usia remaja. Kebutuhan boosterpertusis pada usia remaja dan dewasa masih menjadi lahan penelitian.

Apabila belum pernah mendapatkan vaksin MMR (measles, mumps, rubella), imunisasi tersebutdapat diberikan pada semua umur di atas satu tahun. Pada anak yang sudah pernah menderitapenyakit campak maupun gondongan bukan merupakan halangan untuk memberikan MMR,karena dari anamnesis penyakit tersebut sulit untuk dibuktikan kebenarannya. Vaksin MMRterutama menjadi penting untuk wanita usia subur karena komponen rubela yang ada didalamnya dapat mencegah rubela kongetial apabila wanita tersebut hamil. Apabila setelahpemberian MMR diperlukan uji tuberkulin, maka perlu diperhatikan bahwa uji tuberkulin barudapat dilaksanakan sedikitnya sebulan kemudian karena vaksin campak yang mengandungvirus hidup dapat mengurangi sensivitas terhadap tuberkulin.

Pemberian dua vaksin yang mengandung virus hidup tidak dapat diberikan secarasimultan pada hari yang sama atau kurang dari 14 hari. Vaksin hidup yang kedua harusdiberikan sedikitnya setelah 14 hari dari yang pertama (rekomendasi AdvisoryCommittee

on Immunization Practices).

Imunisasi Anak Sekolah, Remaja, dan Dewasa

Pada usia sekolah dan remaja diperlukan vaksinasi ulang atau booster untuk hampir semua

Page 67: pedoman imunisasi

jenis vaksinasi dasar yang ada pada usia lebih dini. Masa tersebut sangat penting untukdipantau dalam upaya pemeliharaan kondisi atau kekebalan tubuh terhadap berbagai macampenyakit infeksi yang disebabkan karena kuman, virus maupun parasit dalam kehidupan menujudewasa.

Pada umumnya penularan infeksi dapat melalui fekal-oral, pernafasan, urin, maupun darahdan sekret tubuh lainnya. Di dalam lingkungan sekolah, infeksi dapat terjadi di antara parasiswa sekolah melalui jalan nafas dan kontak langsung melalui kulit sebagai lahanpenularan penyakit. Namun pada lingkungan Sekolah Luar Biasa (SLB) para siswamengalami perkembangan mental yang kurang, dapat terjadi penularan melalui fekal-oraldan urin.Guna menjaga penyebaran penyakit menular di sekolah, kiranya sekolah harus memilikicatatan imunisasi saat siswa pertama kali masuk sekolah terutama tentang penyakit yangmasuk di dalam daftar PPI. Pada usia 6 tahun, booster harus sudah diberikan terhadappenyakit difteria, tetanus dan polio. Secara luas telah dilaksanakan sebagai program BIAS.

Hepatitis B tidakperlu diulang, namun apabila tidakmenunjukkan adanyapembentukan antibodi atau kadar antibodi telah menurun di bawah ambangpencegahan vaksinasi hepatitis B (kurang dari 10 µg/dl), ulangan perlu diberikan.Perhatikan dan catat segera adanya peningkatan antibodi. Data terakhirmengatakan bahwa kadar anti-HBs memang akan mengurang dari tahun ke tahun,tetapi ternyata memori imunitas (anamnestic anti-HBs response) tetap bertahanselamanya setelah mendapatkan imunisasi. Meskipun kadar anti-HBs sudahmenurun sekali bahkan negatif seorang masih terlindungi dari sakit secara klinisdan sakit kronis. Jadi dosis booster hepB tidak diperlukan lagi bagi orang yangjelas telah memberikan respons yang baik setelah imunisasi.

Campak diberikan pada program BIAS, SD kelas 1.Imunisasi terhadap demam tifoid pada usia sekolah diperlukan karena adanyakebiasaan anak usia sekolah, terutama SD dan SMP untuk membeli makanan danpedagang kaki lima di sekolah yang tentunya kurang dapat dijamin kebersihannya.Pada usia pra-remaja (10-14 tahun) khususnya anak perempuan diperlukanvaksinasi ulang terhadap tetanus (dT), untuk mencegah kemungkinan terjaditetanus neonatorum pada bayi yang akan dilahirkan.Pemberian imunisasi hepatitis A, dosis anak tetap berpedoman pada usia dantidak pada berat badan. Meskipun berat badan melebihi orang dewasa dosisvaksin hepatitis A tetap dengan dosis anak seperti halnya pada vaksin hepatitis Bkarena response rate ternyata lebih tinggi dari orang dewasa meskipun beratbadannya melebihi normal.

Imunisasi influenza dan pneumokokus diberikan pada usia di atas 50 tahun khususnyakepada orang yang berisiko tinggi seperti yang bekerja di lingkungan kesehatan (dokter,perawat) dan menderita penyakit kronik seperti diabetes melitus, asma. Imunisasi rubeladiberikan pada wanita usia subur (tidak sedang mengandung) terutama pada merekadengan seronegatif.HPV

Mulai umur 10 tahun anak perempuan perlu diberikan imunisasi HPV, untuk mencegah infeksiHPV yang menetap lama (persisten) pada leher rahim yang dapat berkembang menjadi kankerleher rahim.

Tabel 4.8. Ringkasan imunisasi yang diperlukan pada masa remaja dan dewasa

Vaksin Indikasi Imunisasi Kontra indikasi

Hepatitis B Individu berisiko

Cacat mental Hemodialisis

Remaja belum pernah mendapatkan imunisasi

Perlu 3 dosisAdolesen: 1/2dosis dewasaDiberikan 2kali (usia 11-19 tahun)

Reaksianafilaktik

Remajayang belumpernahimunisasiPekerjakontak

Remaja/dewasayang sudah

imun: 2dosis IPVdenganinterval 4-8

IPV: reaksianafilaktiksetelah dosis

Page 68: pedoman imunisasi

Polio (IPV atau OPV)

kontakdenganpasien polioDewasayang belumimun &anaknyadiberikanOPV

interval 4-8minggu.

Dosis ke-3:6-12 bulan.

Bagi yangbelum imundiberikandosisimunisasidasar

sebelumnyaAlergiterhadapstreptomisin,polimiksin B,neomisin

Varisela Semua usia yang

belum vaksinasi /sakit

SeronegatifGuru TK, petugas TPA, mahasiswa kedokteranWanita usia subur yang tidak hamil

Individu yang seringkali ke luar negeri

<13th: 1 dosis

13 tahun: 2 dosis interval 4-8 minggu

Dosis: 0,5 ml (s.k)

Alergi anafilaktik terhadap gelatin/ neomisinMenderita TB aktifMendapatkan terapi imunosupresifImunodefisiensiMenderita kelainan kongenitalWanita hamil

Vaksin Indikasi Imunisasi Kontra

indikasi

Hepatitis A

Tinggal didaerahendemikMengidappeny.

kronik

MengidapgangguanpembekuandarahPetugassaji/memasakHomoseksual

Dosis 2 kali,selang 6-1 2bulan Dewasa:1,0 ml

Usia 2-1 7 tahun:0,5ml

Peka terhadapaluminium & bahan

pengawet

DTP /dT •Semua orang dewasa 2 dosis selang 4-6 minggu

Mempunyaipenyakit

Page 69: pedoman imunisasi

Semua orang dewasa

Remaja 11 -12th/

14-16 tahun apabila 5 tahun sebelumnya belummendapat DTP/dT

2 dosis selang 4-6 mingguDosis: 0,5 ml (i.m)

Booster setiap 10 tahun

syarafHyper-sensitif

berat

Influenza •

• •

Petugas kesehatan Usia >6 bulan dengankardiovaskular/paru kroniktermasuk asma Usia > 6bulan dengan penymetabolik (diabetes), ggnfungsi ginjal,hemolobinopati. defisiensiimun Ibu hamil trimester 2-3(saat outbreak) Usia 50tahun ke-atas Usia 6 bln-18 thn mendapat terapiaspirin jangka panjang

Dosis: 0,5 ml(i.m)

Diberikansekali

setiap tahun

Anafilaksisterhadap telur

Vaksin Indikasi Imunisasi Kontra

indikasi

Pneumokokus

Usia 65 tahunke-atasAnak >2 tahundenganpenyakitkardiovaskular/paru kronik,termasukgagal jantungkongestif, sakithati kronik.iabetes,alkohol,kardiomiopati,COPD atauemfisema Usia> 2 tahundengangangguanfungsi limpa,penyakit darahberat. gagalginjal,transplantasiorgan,mengidap HIV

Perlu 1dosisDosis: 0,5ml(i.m/s.k)Dosis ke-2 perlu

padarisikotinggisedikitnya5 tahun

setelahsuntikanpertama

Hati-hatipadahamiltrimesterpertama

Rubela • Khusus wanita yang

belum mendapatkan imunisasi rubela

Mereka dengan risiko paparan penyakit rubela

Campak&Gondong-an (MMR)

Remaja/ dewasaMemiliki risikotinggi

2 dosisselang 1bln

Dosis:0,5ml, subkutan

Terapiimuno-supresifHamil

TB aktif

Page 70: pedoman imunisasi

Wanita yang belum/ tidakterinfeksi HPV:

Semua wanita usia 10-26 tahunSemua wanita usia 26-55 tahun dengan hasil pap smear (-)

Diberikan dalam 3 kali pemberian, pada bulan 0, (1-2), 6 bulan secara intramuskular. Tidak

diperlukan booster.

Hamil Hipersensitivitas

Daftar Pustaka

1. Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP), CDC, 12/14/20012. Departemen Kesehatan R.I. Survai Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2004. Jakarta,

Depkes & Kesos, 2004.3. Grabenstein JD. ImmunoFacts Vaccines and Immunologic Drugs. St. Louis:Wolter

Kluwer Health, Inc. 2006.4. Harold Margolis, MD. and LindaMoyer. RN. VACCINATEADULTS, Spring/Summer

2000, Ask the Experts. http//www.immunize,org/va/ va6exprt.htm5. Pickering LK, penyunting : American Academy of Pediatrics. Red Book. Report

Committee on Infectious Diseases. Edisi ke-27. Elk Grove Village: American Academy ofPediatrics. 2006.

6. Watson C., penyunting: National Health and Medical Research Council. The AustralianImmunization Handbook. Edisi ke-9. Canberra: NHMRC. 2008.

7. William L. Atkinson.MD.RN. Vaccinate adults. Spring/Summer 2000, Ask the Experts.http//www. immunize.org/va/va6exprt.htm

Bab V

Vaksin pada Program Pengembangan

Imunisasi (PPI)

Bab 5-1. Tuberkulosis (BCG)

5-2. Hepatitis B

5-3. Difteria, tetanus, pertusis (DTP) 5-4. Poliomielitis

5-5. Campak

Pen gantar

Terdapat tujuh antigen yang termasuk dalam vaksin PPI. Cakupan vaksin PPI di Indonesia telahmencapai lebih dari 80% kecuali hepatitis B ketiga. Sesuai kesepakatan global, perlu diingatbahwa cakupan vaksin PPI harus dipertahankan tetap tinggi di seluruh pelosok negeri sebelumpemerintah memutuskan untuk menambahkan vaksin lain dalam PPI.

Imunisasi BCG, walaupun saat ini diragukan manfaatnya WHO tetap menganjurkan pemberianBCG sampai dihasilkan vaksin tuberkulosis yang baru. Vaksin hepatitis untuk bayi baru lahirsangat dianjurkan untuk Indonesia yang termasuk negara endemik tinggi hepatitis B. Untukmengurangi KIPI vaksin DTwP, vaksin DTaP telah banyak digunakan. Vaksin DTwP/DTaP

Page 71: pedoman imunisasi

dapat diberikan secara tunggal (mono valen) maupun kombinasi dengan vaksin lain (denganhepatitis B atau Hib). Demikian pula vaksin polio oral maupun suntikan (inaktif) dapat diberikansebagai vaksin monovalen maupun kombinasi. Imunisasi ulangan (penguat) vaksin campakdiberikan pada saat masuk sekolah dasar, namun apabila telah diberikan MMR pada umursetelah 15 bulan maka ulangan campak tidak diperlukan lagi.

Bab V-1

Tuberkulosis

Nastiti N.Rahajoe

Tuberkulosis (TB) disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis dan Mycobacteriumbovis. Tuberkulosis paling sering mengenai paruparu, tetapi dapat juga mengenaiorgan-organ lainnya seperti selaput otak, tulang, kelenjar superfisialis, dan lain-lain.Seseorang yang terinfeksi Mycobacterium tuberculosis tidak selalu menjadi sakittuberkulosis aktif. Beberapa minggu (2-12 minggu) setelah infeksi Mycobacteriumtuberculosis terjadi respons imunitas selular yang dapat ditunjukkan dengan uji

tuberkulin.

Epidemiologi

WHO report on tuberculosis epidemics tahun 1997 memperkirakan terdapat 7.433.000 kasus TBdi dunia dan terbanyak di Asia Tenggara. Dalam data jumlah kasus TB, Indonesia merupakantiga besar di dunia. Berdasarkan Survei 1979-1982 didapat prevalensi TB BTA (+) sebesar0,29%. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1980 dan 1986 mendapatkan bahwaTB adalah penyebab kematian ke empat. Sementara itu, SKRT 1992 menyebutkan bahwatuberkulosis adalah penyebab kematian ke dua di negara kita, sesudah penyakit kardiovaskular.Dari penelitian di 6 propinsi antara tahun 1983 – 1993 diperoleh angka prevalensi antara 0,21%(DI Yogyakarta) dan 0,65% (NTB dan DI Aceh). WHO memperkirakan bahwa di Indonesia setiaptahunnya terjadi 175.000 kematian akibat TB, dan terdapat 450.000 kasus TB baru setiaptahunnya. Tiga perempat dari kasus TB ini berusia 15-49 tahun, separuhnya tidak terdiagnosisdan baru sebagian kasus tercakup dalam program pemberantasan tuberkulosis yangdilaksanakan pemerintah.

Berdasarkan perhitungan DALY (disability adjusted life year) yang diperkenalkan olehworld bank, TB merupakan 7,87% dari total disease burden di Indonesia. Angka 7,7% inilebih tinggi dari berbagai negara di Asia lain sekitar 4%.

Belum diketahui prevalens TB pada anak., namun di berbagai rumah sakit di Indonesiaangka perawatan TB berat (TB milier, meningitis TB) masih tinggi.

Vaksin BCG (Bacille Calmette-Guerin)

Bacille Calmette-Guerin adalah vaksin hidup yang dibuat dari Mycobacterium bovisyang dibiak berulang selama 1-3 tahun sehingga didapatkan basil yang tidak virulentetapi masih mempunyai imunogenitas. Vaksinasi BCG menimbulkan sensitivitas

terhadap tuberkulin. Masih banyak perbedaan pendapat mengenai sensitivitas terhadaptuberkulin yang terjadi berkaitan dengan imunitas yang terjadi.

Vaksin yang dipakai di Indonesia adalah vaksin BCG buatan PT. Biofarma Bandung.Vaksin BCG berisi suspensi M. bovis hidup yang sudah dilemahkan. Vaksinasi BCG tidakmencegah infeksi tuberkulosis tetapi mengurangi risiko terjadi tuberkulosis berat sepertimeningitis TB dan tuberkulosis milier.Vaksin BCG diberikan pada umur <2 bulan, sebaiknya pada anak dengan uji Mantoux(tuberkulin) negatif.Efek proteksi timbul 8–12 minggu setelah penyuntikan. Efek proteksi bervariasi antara 0–80%, berhubungan dengan berhubungan dengan beberapa faktor yaitu mutu vaksin yangdipakai, lingkungan dengan Mycobacterium atipik atau faktor pejamu (umur, keadaan gizidan lain-lain).Vaksin BCG diberikan secara intradermal 0,10 ml untuk anak, 0,05 ml untuk bayi baru lahir.Vaksin BCG tidak boleh terkena sinar matahari, harus disimpan pada suhu 2-8° C, tidakboleh beku. Vaksin yang telah diencerkan harus dipergunakan dalam waktu 8 jam.

Tuberkulosis

Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi Vaksinasi BCG

Penyuntikan BCG secara intradermal akan menimbulkan ulkus lokal yang superfisial 3

Page 72: pedoman imunisasi

minggu setelah penyuntikan. Ulkus tertutup krusta, akan sembuh dalam 2-3 bulan, danmeninggalkan parut bulat dengan diameter 4-8 mm. Apabila dosis terlalu tinggi makaulkus yang timbul lebih besar, namun apabila penyuntikan terlalu dalam maka parutyang terjadi tertarik ke dalam (retracted).

Limfadenitis

Limfadenitis supuratif di aksila atau di leher kadang-kadang dijumpai setelah penyuntikan BCG.Hal ini tergantung pada umur anak, dosis, dan galur (strain) yang dipakai. Limfadenitis akansembuh sendiri, jadi tidak perlu diobati. Apabila limfadenitis melekat pada kulit atau timbul fistulamaka dapat dibersihkan (dilakukan drainage) dan diberikan obat anti tuberkulosis oral.Pemberian obat anti tuberkulosis sistemik tidak efektif.

BCG-itis diseminasi

BCG-itis diseminasi jarang terjadi, seringkali berhubungan dengan imunodefisiensi berat.Komplikasi lainnya adalah eritema nodosum, iritis, lupus vulgaris dan osteomielitis. Komplikasiini harus diobati dengan kombinasi obat anti tuberkulosis.

Kontraindikasi BCG

Reaksi uji tuberkulin >5 mm,Menderita infeksi HIV atau dengan risiko tinggi infeksi HIV, imunokompromais akibatpengobatan kortikosteroid, obat imuno-supresif, mendapat pengobatan radiasi, penyakitkeganasan yang mengenai sumsum tulang atau sistem limfe,Menderita gizi buruk,Menderita demam tinggi,

Menderita infeksi kulit yang luas,Pernah sakit tuberkulosis,Kehamilan.

Rekomendasi

BCG diberikan pada bayi <2 bulanPada bayi yang kontak erat dengan pasien TB dengan bakteri tahan asam (BTA)+3 sebaiknya diberikan INH profilaksis dulu, apabila pasien kontak sudah tenangbayi dapat diberi BCG.

BCG jangan diberikan pada bayi atau anak dengan imuno defisiensi, misalnyaHIV, gizi buruk dan lain-lain.

Daftar Pustaka

1. Departemen Kesehatan & Kesejahteraan Sosial RI. Gerakan terpadu nasionalpenanggulangan tuberkulosis nasional (Gerdunas TB). Jakarta: Depkes & Kesos, 2000.

2. Global tuberculosis control - surveillance, planning, financing. WHO Report 2006.WHO/HTM/TB/2006.362 (http://www.who.int/tb/publications /global_report/2006/pdf/full_report_correctedversion.pdf).

3. CDC. Guidelines for preventing the transmission of Mycobacterium tuberculosis in health-care settings, 2005. MMWR Recommendation Report. 2005;54(RR-17).

4. CDC. Guidelines for the investigation of contacts of persons with infectious tuberculosis:Recommendations from the National Tuberculosis Controllers Association and CDC —MMWR Recommendation Report. 2005;54(RR-15):1-37.

5. WHO. Tuberculosis and Air Travel: Guidelines for Prevention and Control (second edition).WHO 2006. WHO/HTM/TB/2006.363 (http://whqlibdoc.who.int/hq/2006/WHO_HTM_TB_2006.363_eng.pdf)

6. CDC. The Role of BCG vaccine in the prevention and control of tuberculosis in the

United States. (ACET and ACIP). MMWR Recomm Rep. 1996;45(RR-4).

7. American Thoracic Society, CDC, and Infectious Disease Society of America. Treatment

of tuberculosis. MMWR Recommendation Report. 2003;52(RR-11).

Bab V-2

Hepatitis B

Boerhan Hidayat, Purnamawati S Pujiarto

Infeksi virus hepatitis B (VHB) menyebabkan sedikitnya satu juta kematian/tahun. Saat

Page 73: pedoman imunisasi

ini terdapat 350 juta penderita kronis dengan 4 juta kasus baru/tahun. Infeksi pada anakumumnya asimtomatis tetapi 80-95% akan menjadi kronis dan dalam 10-20 tahun akanmenjadi sirosis dan/atau karsinoma hepatoselular (KHS). Di negara endemis, 80% KHSdisebabkan oleh VHB. Risiko KHS ini sangat tinggi bila infeksi terjadi pada usia dini. Dilain pihak, terapi antivirus belum mernuaskan, terlebih pada pengidap yang terinfeksi

secara vertikal atau pada usia dini.

Di kawasan yang prevalens infeksi VHBnya tinggi, infeksi terjadi pada awal masa kanak-kanakbaik secara vertikal maupun horisontal. OIeh karena itu, kebijakan utama tata laksana VHBadalah memotong jalur transmisi sedini mungkin. Vaksinasi universal bayi baru lahir merupakanupaya yang paling efektif dalarn menurunkan prevalens VHB dan KHS.

Epidemiologi

Indonesia termasuk daerah endemis sedang-tinggi. Prevalens HBsAg pada donor (1994) adalah9.4% (2.50 - 36.17%), dan pada Ibu hamil 3.6% (2.1 -6.7%).

Pen u laran

Semua orang yang mengandung HBsAg positif potensial infeksius. Transmisi terjadi melaluikontak perkutaneus atau parenteral, dan melalui hubungan seksual. Transmisi antar anakmerupakan modus

yang sering terjadi di negara endemis VHB. VHB dapat melekat dan bertahan dipermukaan suatu benda selama kurang lebih 1 minggu tanpa kehilangan daya tular.Darah bersifat infeksius beberapa minggu sebelum awitan, menetap selama fase akutberlangsung. Daya tular pasien VHB kronis bervariasi, sangat infeksius bila HBeAgpositif.

Kelompok yang rentan terhadap infeksi VHB

Pada dasarnya, individu yang belum pernah imunisasi hepatitis B atau yang tidakmemiliki antibodi anti-HBs, potensial terinfeksi VHB. Risiko kronisitas dipengaruhi olehfaktor usia saat yang bersangkutan terinfeksi. Kronisitas dialami oleh 90% bayi yangterinfeksi saat lahir, oleh 25-50% anak yang terinfeksi usia 1-5 tahun, dan oleh 1-5%

anak besar dan orang dewasa.Infeksi VHB juga umumnya akan menjadi kronis bila mengenaipada individu dengan defisiensi imun, baik kongenital maupun didapat (infeksi HIV, terapiimunosupresi, hemodialisis).

Pencegahan

Pencegahan merupakan upaya terpenting karena paling cost-effec tive. Secara garis besar,upaya pencegahan terdiri dan preventif umum dan khusus yaitu imunisasi VHB pasif dan aktif.

Umum. Selain uji tapis donor darah, upaya pencegahan umum mencakup sterilisasi instrumenkesehatan, alat dialisis individual, membuang jarum disposable ke tempat khusus, danpemakaian sarung tangan oleh tenaga medis. Mencakup juga penyuluhan perihal safe sex,penggunaan jarum suntik disposable, mencegah kontak mikrolesi (pemakaian sikat gigi, sisir),menutup luka. Selain itu, idealnya skrining ibu hamil (trimester ke-1 dan ke-3, terutama ibu risikotinggi) dan skrining populasi risiko tinggi (lahir di daerah hiperendemis dan belum pernahimunisasi, homo-heteroseksual, pasangan seks ganda, tenaga medis, pasien dialisis, keluargapasien VHB, kontak seksual dengan pasien VHB).

Khusus. Program imunisasi universal bayi baru lahir berhasil menurunkan prevalensinfeksi VHB dan KHS di Taiwan, Gambia, Alaska, Polynesia.

Imunisasi Pasif

Hepatitis B immune globulin (HBIg) dalam waktu singkat segera memberikan proteksimeskipun hanya untuk jangka pendek (3-6 bulan).1,5,14

HBIg hanya diberikan pada kondisi pasca paparan (needle stick injury, kontak seksual,bayi dan ibu VHB, terciprat darah ke mukosa atau ke mata). Sebaiknya HBIg diberikanbersama vaksin VHB sehingga proteksinya berlangsung lama.

Tabel 5.1. Kebijakan imunisasi pada needle stick injury

Kontakygterpapar

Tatalaksana bila sumberpenularan

HBsAg(+))

Page 74: pedoman imunisasi

HBsAg

Imunisasi (-) HBIg & vaksinatau Vaksin atau periksa

Periksa anti HBs bila anti HBs bila tergolong

tergolong risiko tinggi * risiko tinggi

Imunisasi (+)Responder

Imunisasi (+)Nonresponder

Tidak perluprofilaksis

HBIg 2x (jarak 1bulan) atau

HBIg & vaksin

Tidak perluprofilaksis

Bila sumberpenularan risikotinggi VHB,perlakukan sepertiHBsAg + (*)

Ket: HBIg (0,06 ml/kg; maksimum 5 ml)dalam 48 jam pertama setelah kontak

Bila sumber penularan needle stick injury HBsAg-HBeAg positif, maka 22%-31% kontakmengalami hepatitis akut dan 37%-61% mengalami sero-evidence infeksi VHB (Tabel 5.1).Kebijakan kontak seksual tergantung kondisi sumber penularan (Tabel 5.2).

Kontak yg terpapar

Imunisasi (-) atau anti HBs

Sumber Penularan : VHB Akut

HBIg 0,06 ml/kg atau HBIg vaksin atau Periksa anti HBs bila risiko tinggi

Sumber Penularan: Carrier

HBIg dan Vaksin atau periksa anti HBs bila tergolong risiko tinggi

Imunisasi (+) Tidak periu profilaksis Tidak perlu profilaksis

Lupa : periksa anti HBs

Anti HBs(-): HBIg & vaksin

Anti HBs(-): HBIg & vaksin

Keterangan: HBIg (0,06 ml/kg;maksimum 5 ml) dalam waktu < 14 hari sesudah kontak terakhir

Page 75: pedoman imunisasi

Pada bayi dan ibu VHB, HBIg (0,5 ml) diberikan bersama vaksin di sisi tubuh berbeda, dalamwaktu 12 jam setelah lahir. Efektivitas proteksinya (85%-95%) dalam mencegah infeksi VHB dankronisitas. Bila yang diberikan hanya vaksin VHB, tingkat efektivitasnya 75%.

Imunisasi aktif

Vaksin VHB yang tersedia adalah vaksin rekombinan Pemberian ketiga seri vaksin dan dengandosis yang sesuai rekomendasinya, akan menyebabkan terbentuknya respons protektif (antiHBs ≥ 10 mIU/mL) pada > 90% dewasa, bayi, anak dan remaja.

Vaksin diberikan secara intramuskular dalam. Pada neona tus dan bayi diberikan di anterolateralpaha, sedangkan pada anak besar dan dewasa, diberikan di regio deltoid.

Siapa yang harus mendapat imunisasi hepatitis B?

Semua bayi baru lahir tanpa memandang status VHB ibuIndividu yang karena pekerjaannya berisiko tertular VHBKaryawan di lembaga perawatan cacat mentalPasien hemodialisis

Pasien koagulopati yang membutuhkan transfusi berulangIndividu yang serumah dengan pengidap VHB atau kontak akibat hubunganseksualDrug usersHomosexuals, bisexual, heterosexuals

Jadwal dan dosis. Pada dasarnya, jadwal imunisasi hepatitis B sangat fleksibelsehingga tersedia berbagai pilihan untuk menyatukannya ke dalam programimunisasi terpadu. Namun demikian ada beberapa hal yang perlu diingat.

Minimal diberikan sebanyak 3 kaliImunisasi pertama diberikan segera setelah lahir

Jadwal imunisasi yang dianjurkan adalah 0,1,6 bulan karena respons antibodi palingoptimalInterval antara dosis pertama dan dosis kedua minimal 1 bulan. Memperpanjang intervalantara dosis pertama dan kedua tidak akan mempengaruhi imunogenisitas atau titerantibodi sesudah imunisasi selesai (dosis ketiga).Dosis ketiga merupakan penentu respons antibodi karena merupakan dosis booster.Semakin panjang jarak antara imunisasi kedua dengan imunisasi ketiga (4 - 12 bulan),semakin tinggi titer antibodinya.Bila sesudah dosis pertama, imunisasi terputus, segera berikan imunisasi kedua.Sedangkan imunisasi ketiga diberikan dengan jarak terpendek 2 bulan dari imunisasikedua.Bila dosis ketiga terlambat, diberikan segera setelah memungkinkan.

Setiap vaksin hepatitis B sudah dievaluasi untuk menen tukan dosis sesuai umur (age-specificdose) yang dapat menim bulkan respons antibodi yang optimum. Oleh karena itu, dosis yangdirekomendasikan bervariasi tergantung produk dan usia resipien. Sedangkan dosis pada bayi,dipengaruhi pula oleh status HBsAg ibu.

Pasien hemodialisis membutuhkan dosis yang lebih besar atau penambahan jumlah suntikan.

Tabel 5.3. Imunisasi hepatitits B pada bayi baru lahir.

HBsAg ibu Imunisasi keterangan

Positif HBIg (0.5ml) dan Dosis 1: <12 jam

Vaksin HB pertama

Negatif atau Vaksin HB Dosis I: Segera setelah

tidak diketahui* lahir

Status HBV ibu semula tidak diketahui

tetapi bila dalam 7 hari terbukti ibu

HBV, segera beri HBIg

Page 76: pedoman imunisasi

Pada pasien koagulopati penyuntikansegera setelah memperoleh terapi faktor koagulasi, dengan jarum kecil (no ≤ 23). tempatpenyuntikan ditekan minimal 2 menit.

Bayi prematur: bila ibu HBsAg (-) imunisasi ditunda sampai bayi berusia 2 bulan atau beratbadan sudah mencapal 2 kg.

Catch up immunization. Merupakan upaya imunisasi pada anak atau remaja yang belumpernah diimunisasi atau terlambat > dari 1 bulan dari jadwal yang seharusnya. Khusus padaimunisasi hepatitis B, imunisasi catch up ini diberikan dengan interval minimal 4 minggu antaradosis pertama dan kedua, sedangkan interval antara dosis kedua dan ketiga minimal 8 mingguatau 16 minggu sesudah dosis pentama.19

Efektivitas, lama proteksi. Efektivitas vaksin dalam mencegah infeksi VHB adalah 90%-95%.Memori sistem imun menetap minimal sampai 12 tahun pasca imunisasi sehingga pada anaknormal, tidak dianjurkan untuk imunisasi booster.5,12,17,18

Pada pasien hemodialisis, proteksi vaksin tidak sebaik individu normal dan mungkin hanyaberlangsung selama titer anti HBs ≥ 10 mIU/ml. Pada kelompok ini dianjurkan untuk melakukanpemeriksaan anti HBs setiap tahun dan booster diberikan bila anti HBs turun menjadi <10mIU/ml.

Non responder. Mereka yang tidak memberikan respons terhadap imunisasi primer,diberikan vaksinasi tambahan (kecuali bila HBsAg positif). Tambahan satu kalivaksinasi menyebabkan 15%-25% non responder memberikan respons antibodi yangadekuat. Bila vaksinasi diulang 3 kali, sampai dengan 40% dapat memben tuk antibodiyang adekuat. Bila sesudah 3 kali vaksinasi tambahan tidak terjadi serokonversi, tidakperlu imunisasi tambahan lagi.

Uji serologis. Pada bayi-anak, pemeriksaan anti-HBs pra dan pas-ca imunisasi tidakdianjurkan. Uji serologis pra imunisasi hanya dilakukan pada yang akan memperolehprofilaksis pasca paparan dan individu berisiko tinggi tertular infeksi HBV. Uji serologipas-ca irnunisasi perlu dilakukan pada bayi dan ibu pengidap VHB, individu yangmemperoleh profilaksis pasca paparan, dan pasien imunokompromis. Uji serologis,

pasca imunisasi ini dilakukan 1 bulan sesudah imunisasi ke-3.

Reaksi KIPI. Efek samping yang terjadi umumnya berupa reaksi lokal yang ringan dan bersifatsementara. Kadang-kadang dapat menimbulkan demam ringan untuk 1-2 hari.

Indikasi kontra. Sampai saat ini tidak ada indikasi kontra abolut pemberian vaksin VHB.Kehamilan dan laktasi bukan indikasi kontra imunisasi VHB.

Daftar Pustaka

1. WHO. Department of Communicable Diseases Surveillance and Response. Hepatitis B.2002.

2. Balistreri W. Acute and chronic viral hepatitis. Dalam: Suchy FJ, penyunting. Liver Diseasein children, edisi ke-2, St. Louis: Mosby, 2000: 460-509.

3. American Academy of Pediatrics. Hepatitis A, B, C, and E. Dalam Peter G, Hall CB, HalseyNA, Marcey SM. Pickering LK, penyunting. 2000 Red Book. Report of the committee oninfectious diseases, edisi ke-25, 2000: 237- 63.

4. LokASF danMcMahonBJ. Chronic hepatitis B. AASLD Practice Guidelines. Hepaatol 2001;34 (6): 1225 -41.

5. CDC. Recommended childhood and adolescent immunization schedule. MMWR2003, 52(4): Q1-4.

6. Mast E, Mahoney F, Kane M, et al. Hepatitis B vaccine. In: Plotkin SA, OrensteinWA, editors. Vaccines. 4th ed. Philadelphia: W.B. Saunders; 2004.

7. CDC. Updated U.S. Public Health Service guidelines for the management ofoccupational exposures to HBV, HCV and HIV and recommendations forpostexposure prophylaxis. MMWR Morbidity Mortality Weekly Report. 2001;50(RR-11):1-54.

8. CDC. A Comprehensive Immunization Strategy to Eliminate Transmission ofHepatitis B Virus Infection in the United States. Recommendations of the AdvisoryCommittee on Immunization Practices (ACIP) Part 1: Immunization of Infants,Children, and Adolescents. MMWR Morbidity Mortality Weekly Report.

2005;54(RR16);1-239. European Consensus Group on Hepatitis B Immunity. Are booster immunisations needed

for lifelong hepatitis B immunity? Lancet. 2000;355:561-5.10. Lok AS, McMahon BJ; Practice Guidelines Committee, American Association for the Study

of Liver Diseases (AASLD). Chronic hepatitis B: update of recommendations. Hepatology.

Page 77: pedoman imunisasi

of Liver Diseases (AASLD). Chronic hepatitis B: update of recommendations. Hepatology.2004:39:857-61.

Bab V-3

Difteria, Tetanus, Pertusis (DTP)

Qla* . QumuelaAa, Q5ri RexeAi Q5. Qadi*egoio

Difteria

Difteria adalah suatu penyakit akut yang bersifat toxin-mediated disease dandisebabkan oleh kuman Corynebacterium diphteriae. Nama kuman ini berasal daribahasa Yunani cfyo/jferayang berarti leather hide. Penyakit ini diperkenalkan pertamakali oleh Hyppocrates pada abad ke 5 SM dan epidemi pertama dikenal pada abad ke-6

oleh Aetius. Bakteri ini ditemukan pertama kali pada pseudo membran pasien difteria tahun 1883oleh Klebs. Anti-toksin ditemukan pertama kali pada akhir abad ke 19 sedang toksoid dibuatsekitar tahun 1920.

Corynebacterium diphteriae adalah basil Gram positif. Produksi toksin terjadi hanya bila kumantersebut mengalami lisogenisasi oleh bakteriofag yang mengandung informasi genetik toksin.Hanya galur toksigenik yang dapat menyebabkan penyakit berat. Ditemukan 3 galur bakteriyaitu, gravis, intermedius dan mitis dan semuanya dapat memproduksi toksin, tipe gravis adalahyang paling virulen.

Seseorang anak dapat terinfeksi difteria pada nasofaringnya dan kuman tersebut kemudian akanmemproduksi toksin yang menghambat sintesis protein selular dan menyebabkan destruksijaringan setempat dan terjadilah suatu selaput/membran yang dapat menyumbat jalan nafas.Toksin yang terbentuk pada membran tersebut kemudian diabsorbsi ke dalam aliran darah dandibawa ke seluruh tubuh. Penyebaran toksin ini berakibat komplikasi berupa miokarditis danneuritis, serta trombositopenia dan proteinuria.

Pada dasarnya semua komplikasi difteria, termasuk kematian merupakan akibat langsung daritoksin difteria. Beratnya penyakit dan komplikasi biasanya tergantung dari luasnya kelainanlokal.

Angka kematian difteria sangat tinggi, dan kematian tertinggi pada kelompok usia dibawah lima tahun.

Anti-toksin untuk difteria pertama kali dibuat dari serum kuda di Amerika Serikat padatahun 1891. Pemberian antitoksin ini dimaksudkan untuk mengikat toksin yang beredardalam darah, dan tidak dapat menetralisasi toksin yang sudah terikat pada jaringantertentu. Pasien dengan dugaan difteria harus segera mendapatkan pengobatanantitoksin dan antibiotik dengan dosis yang tepat dan dirawat dengan teknik isolasiketat. Terapi penunjang untuk membantu pernafasan dan pembebasan jalan perludiberikan segera bila diperlukan.

Pertusis

Pertusis atau batuk rejan/batuk seratus hari adalah suatu penyakit akut yang disebabkan olehbakteri Bordetella pertussis. Ledakan kasus pertusis pertama kali terjadi sekitar abad 16,menurut laporan Guillaume De Baillou pada tahun 1578 di Paris dan kuman itu baru dapatdiisolasi pada tahun 1906 oleh Jules Bordet dan Octave Gengou. Sebelum ditemukanvaksinnya, pertusis merupakan penyakit tersering yang menyerang anak dan merupakanpenyebab utama kematian (diperkirakan sekitar 300.000 kematian terjadi setiap tahun).

Bordetella pertussis adalah bakteri batang yang bersifat gram negatif dan membutuhkan mediakhusus untuk isolasinya. Kuman ini menghasilkan beberapa antigen antara lain toksin pertusis(PT),filament hemagglutinin (FHA), pertactine aglutinogen fimbriae, adenil siklase, endotoksin,dan trakea sitotoksin. Produk toksin ini berperan dalam terjadinya penyakit pertusis dankekebalan terhadap satu atau lebih komponen toksin tersebut akan menyebabkan seranganpenyakit yang ringan (label 13). Terdapat bukti bahwa kekebalan terhadap B. pertussis tidakbersifat permanen.

Pertusis juga merupakan penyakit yang bersifat toxin-mediated, toksin yang dihasilkan(melekat pada bulu getar saluran nafas atas) akan melumpuhkan bulu getar tersebutsehingga menyebabkan gangguan aliran sekret saluran pernafasan, berpotensimenyebabkan sumbatan jalan napas dan pneumonia.

Tabel 5.4. Peran aktifitas biologik & antibodi komponen toksin B.pertussis

Page 78: pedoman imunisasi

Komponen

toksinAktifitas biologik Peran antibodi

Pertusis toxin Memproduksi eksotoksin Mencegah kerusakan saluran

(PT) Sensitisasi histamin nafas dan intraserebral

pada binatang percobaan. Mencegah gejala klinis pada

Limfositosis

Aktifasi sel pankreas Merangsang sistem imun

Filamentous Memegang peranuntuk Mencegah kerusakan saluran

hemagglutinin melekatnya B. pertussis nafas tetapi tidak berperan

(FHA) pada sel epitel saluran intra serebral pada binatang

nafas percobaan

Pertactine 69- Nonfimbrial Memicu pencegahan

kDa OMP agglutinogen, infeksi pada saluran nafas

berhubungan dengan oleh 6. pertussis (binatang

kerja adenylcyclase percobaan)

Aglutinogen Surface antigen

berhubungan dengan fimbriae untukmelekatnya B. pertussis pada sel epitel

Memicu pencegahan

infeksi pada salurannafas oleh B. pertussis(binatang percobaan)

Adenylcyclase Menghambat fungsi Belum diketahuifagositosis

Tracheal Menyebabkanciliary Belum diketahui

cytotoxin stasis dan cytopathic

effects pada mukosa trakea

Sumber: Centre for Disease Control,1994.

Gejala utama pertusis timbul saat terjadinya penumpukan lendir dalam saluran nafasakibat kegagalan aliran oleh bulu getar yang lumpuh yang berakibat terjadinya batukparoksismal tanpa inspirasi yang diakhiri dengan bunyi whoop. Pada serangan batukseperti ini, pasien akan muntah dan sianosis, menjadi sangat lemas dan kejang.Keadaan ini dapat berlanjut antara 1 sampai 10 minggu. Bayi di bawah 6 bulan dapatmenderita batuk namun tanpa disertai suara whoop.

Bayi dan anak prasekolah mempunyai risiko terbesar untuk terkena pertusis termasukkomplikasinya. Komplikasi utama yang sering ditemukan adalah pneumonia bakterial,gangguan neurologis berupa kejang dan ensefalopati akibat hipoksia. Komplikasiringan yang sering ditemukan adalah otitis media, anoreksia, dehidrasi, dan juga akibattekanan intraabdominal yang meningkat saat batuk antara lain epistaksis, hernia,

perdarahan konjungtiva, pneumotoraks dan lainnya.

Pengobatan pertusis secara kausal dapat dilakukan dengan antibiotik khususnya eritromisin,dan pengobatan suportif terhadap gejala batuk yang berat. Pemberian pengobatan eritromisinuntuk pencegahan pada kontak pertusis dapat dilakukan untuk mengurangi penularan.

Tetanus

Page 79: pedoman imunisasi

Tetanus adalah penyakit akut, bersifat fatal, gejala klinis disebabkan oleh eksotoksin yangdiproduksi bakteri Clostridium tetani. Gejala tetanus sudah mulai dikenal sejak abad ke 5 SM,namun baru pada tahun 1884 dibuktikan secara eksperimental melalui penyuntikan pus pasientetanus pada seekor kucing oleh Carle dan Rattone. Pembuktian bahwa toksin tetanus dapatdinetralkan oleh suatu zat dilakukan oleh Kitasato (1889), sedang Nocard (1897)mendemonstrasikan efek dari transfer pasif anti toksin yang kemudian diikuti oleh imunisasi pasifselama perang dunia I. Toksoid tetanus kemudian ditemukan pada tahun 1924 oleh

Descombey dan efektifitas imunisasi aktif didemonstrasikan pada perang dunia ke II.

Clostridium tetani adalah kuman berbentuk batang dan bersifat anaerobik, gram positifyang mampu menghasilkan spora dengan bentuk drumstick. Kuman ini sensitif terhadapsuhu panas dan tidak bisa hidup dalam lingkungan beroksigen. Sebaliknya, sporatetanus sangat tahan panas, dan kebal terhadap beberapa antiseptik. Spora tetanusdapat tetap hidup dalam autoklaf bersuhu 121 °C selama 10-15 menit. Kuman tetanusterdapat di dalam kotoran dan debu jalan, usus dan tinja kuda, domba, anjing, kucing,tikus dan lainnya. Kuman tetanus masuk ke dalam tubuh manusia melalui luka dandalam suasana anaerob, kemudian menghasilkan toksin (tetanospasmin) dandisebarkan melalui darah dan limfe. Toksin tetanus kemudian akan menempel padareseptor di sistem syaraf. Gejalautama penyakit initimbul akibat toksin tetanus

mempengaruhi pelepasan neurotransmitter, yang berakibat penghambatan impuls inhibisi.Akibatnya terjadi kontraksi serta spastisitas otot yang tak terkontrol, kejang dan gangguan sistimsyaraf otonom.

Tetanus selain dapat ditemukan pada anak-anak, juga dijumpai kasus tetanus neonatal yangbersifat fatal. Komplikasi tetanus yang sering terjadi antara lain laringospasme, infeksinosokomial, dan pneumonia ortostatik. Pada anak besar sering terjadi hiperpireksi yangmerupakan tanda tetanus berat. Perawatan luka, kesehatan gigi, telinga (OMSK) merupakanpencegahan utama terjadinya tetanus disamping imunisasi terhadap tetanus baikaktif maupunpasif.

Vaksin DTP

Toksoid difteria

Antitoksin difteria pertama kali diberikan pada anaktahun 1891 dan diproduksi secara komersialtahun 1892. Penggunaan kuda sebagai sumber anti toksin dimulai tahun 1894. Pada mulanyaanti toksin

difteria ini digunakan sebagai pengobatan dan efektifitasnya sebagai pencegahandiragukan. Banyak penelitian membuktikan bahwa efikasi pemberian anti toksin untukpengobatan difteria terutama dengan mencegah terjadinya toksisitas terhadapkardiovaskular. Pemberian antitoksin dini sangat mempengaruhi angka kematian akibatdifteria, sesuai laporan bahwa 1%-4% kematian terjadi pada kelompok yang menerimaantitoksin pada hari pertama dibandingkan dengan 15%-20% kematian pada kelompokyang mendapatkan antitoksin pada hari ke-7 atau lebih. Era pencegahan difteria dimulaidengan membuat kombinasi toksin dan antitoksin sebagai ramuan imunisasi, yangternyata tidak efektif.

Vaksinasi DTP

Untuk imunisasi primer terhadap difteria digunakan toksoid difteria (alum-precipitated toxoid)yang kemudian digabung dengan toksoid tetanus dan vaksin pertusis dalam bentuk vaksin DTP.

Vaksin DTP

Potensi toksoid difteria dinyatakan dalam jumlah unit flocculate (Lf) dengan kriteria 1 Lf adalahjumlah toksoid sesuai dengan 1 unit anti toksin difteria. Kekuatan toksoid difteria yang terdapatdalam kombinasi vaksin DTP saat ini berkisar antara 6,7-25 Lf dalam dosis 0,5 ml.

Jadwal

Jadwal untuk imunisasi rutin pada anak, dianjurkan pemberian 5 dosis pada usia 2, 4, 6,15-18bulan dan usia 5 tahun atau saat masuk sekolah. Dosis ke-4 harus diberikan sekurang-kurangnya 6 bulan setelah dosis ke-3. Kombinasi toksoid difteria dan tetanus (DT) yangmengandung 10-12 Lf dapat diberikan pada anak yang memiliki kontraindikasi terhadappemberian vaksin pertusis

Setelah mendapatkan 3 dosis toksoid difteria semua anak rata-rata memberikan titer

Page 80: pedoman imunisasi

lebih besar dari 0.01 IU dalam 1 ml (nilai batas protektif 0.01 IU). Dalam penelitianterhadap bayi yang mendapatkan imunisasi DPT di Jakarta, I Made Setiawan (1992)melaporkan bahwa (1) 71% - 94% bayi saat imunisasi pertama belum memiliki kadarantibodi protektif terhadap difteria, (2) pasca DTP 3 kali didapatkan 68% - 81% telahmemiliki kadar antibodi protektif terhadap difteria denganrata-rata 0.0378 Ill/ml. Dalamlaporan program pengembangan imunisasi, tahun 2003 didapatkan 98,45% bayimempunyai antibodi 0,1545 (0,1229-0,1936) setelah mendapat DTP-3. Lama kekebalansesudah mendapatkan imunisasi dengan toksoid difteria merupakan masalah yangpenting diperhatikan. Beberapa penelitian serologik membuktikan adanya penurunankekebalan sesudah kurun waktu tertentu dan perlunya penguatan pada masa anak.

Tosoid difteria

Kejadian ikutan pasca imunisasi toksoid difteria secara khusus sulit dibuktikan karena selama inipemberiannya selalu digabung bersama toksoid tetanus dan atau tanpa vaksin pertusis.Beberapa laporan menyebutkan bahwa reaksi lokal akibat pemberian vaksin dT (dosis dewasa)sering ditemukan lebih banyak dari pada pemberian toksoid tetanus saja. Namun kejadiantersebut sangat ringan dan belum pernah dilaporkan adanya kejadian ikutan berat. Untukmenekan kejadian ikutan akibat hipereaktifitas terhadap toksoid difteria, telah dilakukanbeberapa upaya untuk memperbaiki kualitas toksoid tersebut, yaitu (1) meningkatkan kemurniantoksoid dengan menghilangkan protein yang tidak perlu, (2) melarutkan toksoid dalam garamaluminium dan (3) mengurangi jumlah toksoid per inokulasi menjadi 1-2 Lf yang dianggap cukupefektif untuk mendapatkan imunitas.

Toksoid Pertusis

Antibodi terhadap toksin pertusis dan hemaglutinin telah dapat ditemukan dalam serumneonatus dengan konsentrasi sama dengan

ibunya, dan akan menghilang dalam 4 bulan. Namun demikian antibodi ini ternyata tidakmemberikan proteksi secara klinis. Vaksin pertusis adalah vaksin yang merupakansuspensi kuman B. pertussis mati. Pada awalnya vaksin ini sering tercemar dengancampuran mikroflora saluran nafas lainnya. Vaksin wP (whole-cell pertussis) awalnyadibuat di Amerika Serikat dengan standar yang berbeda-beda pada tiap pabrik.Umumnya vaksin pertusis diberikan dengan kombinasi bersama toksoid difteria dantetanus (DTP). Campuran DTP ini diadsorbsikan ke dalam garam alumunium. Sejak1962 dimulai usaha untuk membuat vaksin pertusis dengan menggunakan fraksi sel(aselular)yang bila dibandingkan dengan whole-cell ternyata memberikan reaksi lokaldan demam yang lebih ringan, diduga akibat dikeluarkannya komponen endotoksin dandebris. Di Jepang telah dimulai upaya untuk memurnikan vaksin pertusis dengan hanyamengambil komponen toksin yaitu FHA, pertactine, pertussis train dan aglutinogen

untuk membuat vaksin pertusis aselular. Vaksin ini telah dipakai sejak 1981 di Jepang denganhasil baik.

Kejadian ikutan pasca imunisasi DTP

Reaksi lokal kemerahan, bengkak, dan nyeri pada lokasi injeksi terjadi pada separuh(42,9%) penerima DTP.Proporsi demam ringan dengan reaksi lokal sama dan 2,2% di antaranya dapat mengalamihiperpireksia.Anak gelisah dan menangis terus menerus selama beberapa jam pasca suntikan(inconsolable crying).Dari suatu penelitian ditemukan adanya kejang demam (0,06%) sesudah vaksinasi yangdihubungkan dengan demam yang terjadi.Kejadian ikutan yang paling serius adalah terjadinya ensefalopati akut atau reaksianafilaksis dan terbukti disebabkan oleh

pemberian vaksin pertusis (Tabel 5.5).

Tabel 5.5. Insidens kejadian ikutan pasca imunisasi pada vaksin DTwP

Derajat Gejalaklinis Resipien (%)

Ringan Reaksilokal 10-50

Demam >38,5oC 10-50

Iritabel, lesu, sistemik 25-55

Page 81: pedoman imunisasi

Berat Gejala klinis Onset

interval Per dosis Per juta

dosis

Menangis >3 jam 0-24jam 1/5-1.000 1.000-

(inconsolable crying) 60.000Kejang 0-2 hari 1/1750-

12.500 80-570

Hypotonic hyporesponsive 0-24jam

1/1000-33.000 30-990

Reaksi anafilaktik 1-1 1/50.000 20Ensefalopati jam 1/50.000 20

1-2 hari

Indikasi kontra

Saat ini didapatkan dua hal yang diyakini sebagai kontraindikasi mutlak terhadap pemberianvaksin pertusis baik whole-cell maupun aselular, yaitu

Riwayat anafilaksis pada pemberian vaksin sebelumnyaEnsefalopati sesudah pemberian vaksin pertusis sebelumnyaKeadaan lain dapat dinyatakan sebagai perhatian khusus (precaution). Misalnya sebelumpemberian vaksin pertusis berikutnya bila pada pemberian pertama dijumpai, riwayathiperpireksia, keadaan hipotonik-hiporesponsif dalam 48 jam, anak menangis terusmenerus selama 3 jam dan riwayat kejang dalam 3 hari sesudah imunisasi DTP.

Riwayat kejang dalam keluarga dan kejang yang tidak

berhubungan dengan pemberian vaksin sebelumnya, kejadian ikutan pasca imunisasi, ataualergi terhadap vaksin bukanlah

suatu indikasi kontra terhadap pemberian vaksin DTaP. Walaupun

demikian, keputusan untuk pemberian vaksin pertusis harus

dipertimbangkan secara individual dengan memperhitungkan keuntungan dan risikopemberiannya.

Telah dibuktikan dalam penelitian, bahwa respons antibodi terhadap imunisasi dasardengan vaksin pertusis whole cell tergantung pada kadar antibodi maternal yangdidapat dari ibu. Sebaliknya respons yang diperoleh setelah penyuntikan vaksinaselular memberikan hasil baik dan tidak dipengaruhi oleh kadar antibodi maternalpravaksinasi. Made Setiawan (1992) melaporkan serokonversi antibodi protektifterhadap pertusis pada 65,8% bayi setelah mendapat imunisasi DTP 3 kali, sedangpeneliti lain di Indonesia menemukan angka dengan kisaran 70%-80%.

Vaksin Pertusis a-seluler

Vaksin pertusis aselular adalah vaksin pertusis yang berisi komponen spesifik toksin dariBordettellapertusisyanq dipilih sebagai dasar yang berguna dalam patogenesis pertusis danperannya dalam memicu antibodi yang berguna untuk pencegahan terhadap pertusis secaraklinis.

Latar belakang penggunaan vaksin pertusis a-selular

Vaksin DTwP telah dipergunakan sejak tahun 1970-an sampai saat ini walaupunmempunyai efek samping baik lokal maupun sistemik. Adanya data kejadian ikutan pascaimunisasi gejala susunan syaraf pusat yang serius(termasukensefalopati)yang bersifattemporal association.VaksinDTaP (pertusis aselular) dapatmemberikanimunogenisitas terhadap anti PT, antiFHA, dan anti pertactine sama baiknya dengan DTwP dalam berbagai jadwal imunisasi.Respons antibodi juga tampak tetap tinggi setelah pemberian vaksinasi ulangan padaumur 15-18 bulan dan 5-6 tahun.

Kejadian reaksi KIPI vaksin DTaP baik lokal maupun sistemik lebih rendah

Page 82: pedoman imunisasi

daripada DTwP.

Tabel 5.6. KIPI sistemik (per 1.000 dosis) vaksinasi DTwP dan DtaP

Gejala KIPI DTaP DTwPPembengkakan 90 260Nyeri lokal 46 297Iritabel 300 499Demam > 38.0oC 72 406

> 40.0oC 0,36 2,4Menangis > 3 jam 0,44 4,0Hypotonichyporesponsive 0,07 0,67Sianosis - 0,15Kejang 0,07 0,22

Sumber: Greco, dkk. N Engl J Med,1996

Tabel 5.7. KIPI lokal (per 1.000 dosis) 24 jam setelah DTwP dan DTaP

Vaksin Dosis Kejadianikutan pasca imunisasi (%)

Nyeri Kemerahan Bengkak Demam Demam

>2 cm >2 cm >38,5OC >39oC

DTaP 1275 2,5 0,1 0 9,9 0,2DTwP 455 19,1 1,1 1,3 42,2 1,3

Sumber: Wiersbitzsky S., dkk. Euro JPed, 1993

Di lain pihak, saat ini di beberapa negara yang telah mempunyai cakupan imunisasipertusis tinggi masih melaporkan pasien pertusis. Kemungkinan hal tersebut disebabkanorang dewasa yang non-imun terhadap pertusis sebagai sumber penularan pada anak.Vaksin DTwP dan DTaP dapat dipergunakan secara oergantian (interchangable) apabilakeadaan mendesakVaksin DTwP dan DTaP dapat pula diberikan dalam bentuk vaksin kombinasi (Bab VIIIVaksin Kombinasi).

Toksoid Tetanus (TT)

Dosis dan kemasan

Toksoid tetanus yang dibutuhkan untuk imunisasi adalah sebesar 40 IU dalam setiapdosis tunggal dan 60 IU bila bersama dengan toksoid difteria dan vaksin pertusis.Berbagai kemasan seperti, preparat tunggal (TT), kombinasi dengan toksoid difteria danatau pertusis (dT, DT, DTwP, DTaP) dan kombinasi dengan komponen lain seperti Hibdan hepatitis B.Sebagaimana toksoid lainnya, pemberian toksoid tetanus memerlukan pemberianberseri untuk menimbulkan dan mempertahankan imunitas. Tidak diperlukanpengulangan dosis bila jadwal pemberian ternyata terlambat, sebab sudah terbukti

bahwa respons imun yang diperoleh walaupun dengan interval yang panjang adalah samadengan interval yang pendek. Respons imun atau efikasi vaksin ini cukup baik.Ibu yang mendapatkan TT 2 atau 3 dosis ternyata memberikan proteksi yang baik terhadapbayi baru lahir terhadap tetanus neonatal. Kadar rata-rata antitoksin 0,01 AU/ml pada ibucukup untuk memberi proteksi terhadap bayinya.

Jadwal

Pemberian TT yang diberikan bersama DTP diberikan sesuai jadwal imunisasi.Kadar antibodi protektif setelah pemberian DTP 3 kali mencapai 0,01 IU atau lebih, hal inijuga terbukti pada penelitian bayi-bayi di Indonesia.Kejadian ikutan pasca imunisasi terutama reaksi lokal, sangat dipengaruhi oleh dosis,pelarut, cara penyuntikan, dan adanya antigen lain dalam kombinasi vaksin itu.

Page 83: pedoman imunisasi

DTaP atau DTwP tidak diberikan pada anak kurang dari usia 6 minggu,disebabkan respons terhadap pertusis dianggap tidak optimal, sedang responsterhadap toksoid tetanus dan difteria cukup baik tanpa memperdulikan adanyaantibodi maternal.

DT dan dt

Vaksin DT diberikan pada anak yang memiliki kontra indikasi terhadap vaksinpertusis, antara lain riwayat anafilaksis atau ensefalopati pada pemberiansebelumnya. Hati-hati bila pada pemberian DTP sebelumnya ada riwayat:hiperpireksia, hipotonik-hiporesponsif dalam 48 jam, anak menangis terusmenerus selama 3 jam atau lebih dan riwayat kejang dalam 3 hari sesudah

pemberian DTP.Vaksin dT (adult type) mengandung toksoid difteri yang lebih rendah (4 Lf) daripada vaksinDTP (40 Lf), tetapi toksoid tetanusnya sama (15 Lf). Vaksin dT dianjurkan untuk anak umurlebih dari 7 tahun, untuk memperkecil kemungkinan KIPI karena toksoid difteri.

Daftar Pustaka

1. National Health and Medical Research Council. Active and passive immunization. Dalam:Watson C, penyunting. The Australian Immunisation Handbook. Edisi ke-9. Canberra:NHMRC 2008.

2. American Academy of Pediatrics. Diphtheria. In: Pickering LK, Baker CJ, Long SS,McMillan JA, eds. Red Book: 2006 Report of the Committee on Infectious Diseases. 27thed. Elk Grove Village, IL: American Academy of Pediatrics; 2006:277–81.

3. CDC. Summary of notifiable diseases—United States, 2004. MMWR Morbid Mortal WklyRep. 2004;53:46.

4. World Health Organization. WHO vaccine-preventable diseases monitoring system: 2005global summary. Geneva, Switzerland: World Health Organization, 2006.

5. Galazka A. The changing epidemiology of diphtheria in the vaccine era. J Infect Dis.2000;181(suppl 1):S2-9.

6. WhartonM, Vitek CR. Diphtheria toxoid. In: PlotkinSA, Orenstein WA, eds. Vaccines. 4thed. Philadelphia: W.B. Saunders; 2004:211–28.

7. CDC. General recommendations on immunizations: recommendations of theAdvisory Committee on Immunization Practices (ACIP) and the AmericanAcademy of Family Physicians (AAFP). MMWR Recomm Rep. 2002;51(RR-2):1–35.

8. CDC. Preventing tetanus, diphtheria, and pertussis among adolescents: use oftetanus toxoid, reduced diphtheria toxoid and acellular pertussis vaccines:recommendations of the Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP).MMWR Recommm Rep. 2006;55(RR-3):1–50.

9. CDC. ACIP Votes to Recommend Use of Combined Tetanus, Diphtheria andPertussis (Tdap) Vaccine for Adults. Diunduh dari:http://www.cdc.gov/nip/vaccine/tdap/ tdap_adult_recs.pdf.

10. Wassilak SGF, Roper MH, Murphy TV, Orenstein WA. Tetanus toxoid. In:PlotkinSA, Orenstein WA, eds. Vaccines. 4th ed. Philadelphia, PA: WB Saunders Co.;2004:745- 81.

11. Pascual FB, McGinley EL, Zanardi LR, Cortese MM, Murphy TV. Tetanus surveillance –United States, 1998-2000. MMWR Surveill Summ 2003;52(SS-3):1-8.

12. Vandelaer J, Birmingham M, Gasse F, Kurian M, Shaw C, Garnier S. Tetanus in developingcountries: an update on the Maternal and Neonatal Tetanus Elimination Initiative. Vaccine.2003;21:3442-5.

13. CDC. Preventing tetanus, diphtheria, and pertussis among adolescents: use of tetanustoxoid, reduced diphtheria toxoid and acellular pertussis vaccines. Recommendations ofthe Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP). MMWR Recomm Rep.2006;55(RR-3):1-34.

14. American Academy of Pediatrics. Pertussis. In: Pickering LK, editor. Red book: 2003 reportof the Committee on Infectious Disease. 26thed. Elk Grove Village, IL: American Academyof Pediatrics; 2003. p. 498-520.

15. Edwards KM, Decker MD. Pertussis Vaccine. In: Plotkin SA, Orenstein WA, eds. Vaccines.4th ed. Philadelphia: W.B. Saunders; 2004:471-528.

16. CDC. Recommended antimicrobial agents for the treatment and posteexposure prophylaxisof pertussis: 2005 CDC guidelines. MMWR Recomm Rep. 2005;54(RR14):1-16.

17. Vademicum PT Bio Farma, 1997.

Bab V-4

Page 84: pedoman imunisasi

Poliomielitis

Hariyono Suyitno

Kata polio (abu-abu) dan myelon (sumsum), berasal dari bahasa latin yang berartimedulla spinalis. Penyakit ini disebabkan oleh virus poliomyelitis pada medula spinalisyang secara klasik menimbulkan kelumpuhan. Pada tahun 1789 Underwood yangberasal dari Inggris pertama kali menulis tentang kelumpuhan anggota badan bagianbawah (ekstremitis inferior) pada anak, yang kemudian dikenal sebagai poliomielitis.Pada permulaan abad ke 19 dilaporkan terjadi wabah di Eropa dan beberapa tahun

kemudian terjadi di Amerika Serikat. Pada saat itu banyak terjadi wabah penyakit pada musimpanas dan gugur. Pada tahun 1952 penyakit polio mencapai puncaknya dan dilaporkan terdapatlebih dari 21.000 kasus polio paralitik. Angka kejadian kasus polio secara drastis menurunsetelah pemberian vaksin yang sangat efektif. Di Amerika Serikat kasus terakhir virus polio liarditemukan pada tahun 1979. Di Indonesia imunisasi polio sebagai program memakai oral poliovaccine (OPV) dilaksanakan sejak tahun 1980 dan tahun

1990 telah mencapai UCI (universal of chlid immunization).

Etiologi

Virus polio termasuk dalam kelompok (sub-group) entero virus, famili Picornaviridae. Dikenaltiga macam serotipe virus polio yaitu P1, P2 dan P3. Virus polio ini menjadi tidak aktif apabilaterkena panas, formaldehid, klorin dan sinar ultraviolet.

Epidemiologi

Infeksi virus polio terjadi di seluruh dunia, untuk Amerika Serikat transmisi virus polio liarberhenti sekitar tahun 1979. Di Negaranegara Barat, eliminasi polio sejak tahun 1991.Program eradikasi polio global secara dramatis mengurangi transmisi virus polio liar diseluruh dunia, kecuali beberapa negara yang sampai saat ini masih ada transmisi viruspolio liar yaitu di India, Timur Tengah dan Afrika. Resevoir virus polio liar hanya padamanusia, yang sering ditularkan oleh pasien infeksi polio yang tanpa gejala. Namuntidak ada pembawa kuman dengan status karier asimtomatis kecuali pada orang yangmenderita defisien sistem imun.

Virus polio menyebar dari orang satu ke orang lain melalui jalur oro-faecal. Padabeberapa kasus dapat berlangsung secara oral-oral. Infeksi virus mencapai puncak pada musimpanas, sedangkan pada daerah tropis tidak ada bentuk musiman penyebaran infeksi. Virus poliosangat menular, pada kontak antar rumah tangga (yang belum diimunisasi) derajat serokonversilebih dari 90%. Kasus polio sangat infeksius dari 7 sampai 10 hari sebelum dan setelahtimbulnya gejala, tetapi virus polio dapat ditemukan dalam tinja dari 3 sampai 6 minggu.

Eradikasi Polio (ERAPO)

Keinginan melaksanakan eradikasi polio secara global dimulai saat pertemuan anggota WHOpada tahun 1988 yang mencanangkan bebas penyakit polio tahun 2000. Dalam programERAPO ini, pemerintah Indonesia membuat kebijaksanaan dengan mengambil strategi,

meningkatkan cakupan imunisasi OPV secara rutinmelaksanakan pekan imunisasi nasional (PIN)melakukan mopping up di daerah-daerah yang masih dijumpai transmisi virus polio liar(wild virus) danmelaksanakan surveilans AFP (acute flaccid paralysis=lumpuh layuh) yang mantap.

Data dari Depkes secara nasional memang menunjukkan bahwa cakupan OPV dapatdipertahankan pada tingkat 80%, namun di daerah-daerah konflik dan terpencil cakupanimunisasinya rendah.

Pekan Imunisasi Nasional (PIN) telah dilaksanakan berturutturut, yaitu tahun 1995,1996, 1997, 2002 yang dengan berhasil mencakup 100% target sekitar 20 juta balitapada tiap NID. Pada hari PIN tersebut telah diimunisasi sebanyak 22 juta anak balita diseluruh Indonesia.Setelah PIN, kasus polio menurun drastis; laporan terakhir menunjukkan bahwa daripemeriksaan laboratorium hanya ditemukan 7 kasus dengan virus polio liar ( tipe 1, 2,dan 3) pada tahun 1995, dan sejak itu tak pernah lagi ditemukan virus polio liar.Di daerah-daerah yang diduga terjadi transmisi polio liar telah dilakukan mopping up

pada tahun 1998 meliputi 52 kecamatan dan pada tahun 1997 mencakup 5 kecamatan.Disamping itu masih dilakukan PIN terbatas. Tahun 2001 di 5 provinsi dan 10 kecamatanyang surveilans AFP-nya rendah.Surveilans AFP dimulai tahun 1995 yang berusaha menemukan semua kasus AFP pada

Page 85: pedoman imunisasi

anak di bawah 15 tahun untuk diidentifikasi dan dilaporkan, yang kemudian tinjanyadiambil dalam waktu 24 jam untuk diperiksa. Kualitas surveilans dari tahun ke tahun terusmeningkat dengan AFP rate lebih dari 1, namun tahun 2000 turun menjadi 0,90 dan padatahun 2001 turun lagi menjadi 0,83. Hal ini sebagai dampak situasi politik dan sosialekonomi saat itu yang tidak stabil.Pemantauan tinja menunjukkan bahwa sejak tahun 1995 sampai saat ini tidak ditemukanlagi virus polio liar. Maka secara virologis Indonesia telah bebas polio, namun hal ini belumcukup dan masih harus melakukan surveilans AFP yang lebih baik. Hal ini berhasilditingkatkan, mulai tahun 2002 dan kemudian tahun 2003 AFP rate meningkat kembalilebih dari 1.

Pada bulan Maret – 2005 terjadi kejadian luar biasa (KLB), yaitu kasus lumpuhlayuh pada anak laki-laki umur 20 bulan dari desa Giri Jaya (kecamatan Cidahu,Kabupaten Sukabumi) yang belum pernah mendapat imunisasi polio. Padapemeriksaan tinja oleh laboratorium Global Specific Laboratory (GSL) di MumbaiIndia, menemukan virus polio liar (VPL) P1 dan merupakan strain (galur) yangsama dengan strain (galur) virus Arab Saudi. Maka disimpulkan bahwa VPL (viruspolio liar) tersebut berasal dari luar (impor).Dengan adanya KLB tersebut terjadi clustering kasus AFP karena transmisisetempat; antara bulan Maret – April 2005, di desa-desa sekitarnya dijumpai 13anak dengan onset lumpuh layuh hampir bersamaanTahun 2005 merupakan tahun munculnya kembali kasus polio (outbreak), sejakMaret – Desember 2005 di seluruh Indonesia tercatat 303 kasus dengan VPL

positif, yang terbanyak propinsi Banten dan Jawa Barat. Tindakan untuk mengatasi iniialah melakukan outbreak respons immunization (ORI) di lokasi KLB, imunisasi moppingup di beberapa desa/kecamatan berisiko, dan melaksanakan PIN sebanyak 5 putaran(bulan Agustus, September, November 2005, dan bulan Februari, April 2006) sertamelakukan Sub-Pin pada bulan Januari 2006 di seluruh Indonesia.Dengan tindakan penanggulangan tersebut diatas telah berhasil menekan kasus polio,yang sepanjang tahun 2006 ini hanya ditemukan 2 kasus dengan VPL positif, yaitu di Aceh(NAD) dan di Jawa Timur masing-masing satu kasus. Disamping kasus AFP yangdisebabkan oleh VPL dilaporkan pula lumpuh layuh akut yang disebabkan oleh VDPV(virus derived polio vaccine) di Madura.

Patogenesis

Virus polio masuk melalui mulut dan multiplikasi pertama kali terjadi pada tempatimplantasi dalam farings dan traktus gastrointestinal. Virus tersebut umumnya ditemukandi daerah tenggorok dan tinja sebelum timbulnya gejala. Satu minggu setelah timbulnyapenyakit, virus terdapat dalam jumlah kecil di tenggorok, tetapi virus menerusdikeluarkan bersama tinja dalam beberapa minggu. Virus menembus jaringan limfoidsetempat, masuk ke dalam pembuluh darah kemudian masuk sistem saraf pusat.Replikasi virus polio dalam neuron motor kornu anterior medula spinalis dan batang otakmengakibatkan kerusakan sel dan menyebabkan manifestasi poliomielitis yang spesifik.

Gambaran klinis

Masa inkubasi poliomielitis umumnya berlangsung 6-20 hari dengan kisaran 3-35 hari. Responsterhadap infeksi virus polio sangat bervariasi dan tingkatannya tergantung pada bentukmanifestasi klinisnya. Sekitar 95% dari semua infeksi polio termasuk sub-klinis tanpa gejala atauasimtomatis. Menurut estimasi rasio penyakit yang tanpa gejala terhadap penyakit yang paralitikbervariasi dari 50: 1 sampai 1000: 1 (rata-rata 200 : 1). Pasien yang terkena infeksi tanpa gejalamengeluarkan virus bersama tinja dan dapat menularkan virus ke orang lain. Sekitar 4% - 8%dari infeksi polio terdiri atas penyakit ringan yang non spesifik tanpa bukti klinis ataulaboratorium dari invasi dalam sistem saraf pusat. Sindrom ini dikenal sebagai poliomielitisabortif dengan ciri khas penyembuhan sempurna dan berlangsung kurang dari seminggu.

Meningitis aseptis non paralitik

Kejadian ini terjadi pada 1%–2 % dari infeksi polio, yang didahului oleh gejala prodomalpenyakit ringan yang berlangsung beberapa

hari. Anak iritabel, peka saraf meningkat; ada gejala kaku kuduk, kaku punggung dankaki yang berlangsung antara 2-10 hari yang akan sembuh sempurna.

Paralisis flaksid atau lumpuh layuh

Lumpuh layuh terjadi pada kurang dari 2% semua infeksi polio. Gejala kelayuhanumumnya mulai 1-10 hari setelah gejala prodromal dan berlangsung 2-3 hari. Pada

Page 86: pedoman imunisasi

umumnya tidak terjadi paralisis berikutnya setelah suhu kembali normal. Pada faseprodromal dapat terjadi bifasik terutama pada anak-anak dengan permulaan gejalaringan dipisahkan oleh periode 1-7 hari dari gejala utama (major symptoms). Gejalaprodromal termasuk hilangnya refleks superfisial, permulaan meningkatnya reflekstendon dalam (deep tendon), rasa nyeri otot dan spasme pada anggota tubuh dan

punggung. Penyakit berlanjut dengan paralisis flaksid disertai hilangnya refleks tendon dalam,keadaan ini menetap sampai beberapa minggu dan umumnya asimetris. Setelah fase ini lewat,kekuatan kembali, tidak ada gejala kehilangan sensoris atau perubahan kesadaran. Banyakanak dengan poliomyelitis paralitik dapat sembuh dan sebagian besar fungsi otak kembali padatingkat tertentu. Pasien dengan kelayuhan 12 bulan setelah timbulnya penyakit pertama kaliakan menderita dengan gejala sisa yang permanen.

Poliomielitis paralitik dibagi menjadi tiga kelompok,

1. Polio spinal, yang paling sering terjadi (79%) dari kasus paralitik yang tercatat dari tahun1969–1979 di Amerika Serikat. Terjadi paralisis asimetris yang sering pada tungkai bawah.

2. Polio bulbar, tercatat sekitar 2% dari semua kasus paralitik mengakibatkan kelumpuhanotot-otot yang dilayani oleh saraf kranial

3. Polio bulbospinal, tercatat 19% dari kasus paralitik dan merupakan kombinasi antaraparalisis bulbar dan spinal.

Diagnosis laboratorium

Diambil dari daerah faring atau tinja pada orang yang dicurigai terkena poliomyelitis.Isolasi virus dari cairan serebrospinal sangat diagnostik,tetapi hal itu jarang dikerjakan.Bila virus polio dapat disolasi dari seorang dengan paralisis flaksid akut harusdilanjutkan dengan pemeriksaan menggunakan cara oligonucleotide mapping (fingerprinting) atau genomic sequencing. Untuk menentukan apakah virus tersebut termasukvirus liar atau virus vaksin.Dengan cara serologis yaitu mengukur zat anti yang menetralisasi (neutralizingantibody) yang muncul awal dan mungkin ditemukan meningkat tinggi pada saatpenderita masuk rumah sakit oleh karena itu dapat terjadi kenaikan 4 kali yang tidakdiketahui.

Pemeriksaan cairan serebrospinal pada infeksi virus polio, umumnya terjadi kenaikanjumlah sel leukosit (10-200 sel/mm3, yang sebagian besar limfosit) dan terjadi kenaikankadar protein ringan dari 40 sampai 50 mg/100ml.

Vaksi n

Vaksin Virus Polio Oral (oral polio vaccine = OPV)

Vaksin virus polio hidup oral yang dibuat oleh PT.Biofarma Bandung, berisi virus polio tipe1,2, dan 3 adalah suku Sabin yang masih hidup tetapi sudah dilemahkan(attenuated).Vaksin ini dibuat dalam biakan jaringan ginjal kera dan distabilkan dengan sukrosa. Tiapdosis (2 tetes = 0,1 ml) mengandung virus tipe 1: 106,0 CCID50, tipe 2: 105,0 CCID50 dantipe 3 : 105,5 CCID50 dan eritromisin tidak lebih dari 2 mcg, serta kanamisin tidak lebihdari 10 mcg.Vaksin ini digunakan secara rutin sejak bayi lahir dengan dosis 2 tetes oral. Virus vaksinini kemudian menempatkan diri di usus dan memacu pembentukan antibodi baik dalamdarah

maupun pada epitelium usus, yang menghasilkan pertahanan lokal terhadap viruspolio liar yang datang masuk kemudian. Dengan cara ini, maka frekuensi eksresi poliovirus liar dalam masyarakat dapat dikurangi.

Vaksin akan menghambat infeksi virus polio liar yang masuk bersamaan, maka sangatberguna untuk mengendalikan epidemi. Jenis vaksin virus polio ini dapat bertahandalam tinja sampai 6 minggu setelah pemberian OPV.Penerima vaksin dapat terlindungi setelah dosis tunggal pertama namun tiga dosisberikutnya akan memberikan imunitas jangka lama terhadap 3 tipe virus polio.Vaksin polio oral harus disimpan tertutup pada suhu 2-8oC.Vaksin sangat stabil namun sekali dibuka, vaksin akan kehilangan potensidisebabkan oleh perubahan pH setelah terpapar udara. Kebijakan Departeman

Kesehatan mengajurkan bahwa vaksin polio yang telah terbuka botolnya pada akhir sesiimunisasi (pasa imunisasi masal) harus dibuang. Tetapi saat ini kebijakan WHOmembolehkan botol-botol yang berisi vaksin dosis ganda (multidose) digunakan pada sesi-sesi imunisasi, bila tiga syarat di bawah ini terpenuhi:

v. tanggal kadaluwarsa tidak terlampaui

Page 87: pedoman imunisasi

v. vaksin-vaksin disimpan dalam rantai dingin yang benar (2- 8oC)v. botol vaksin yang telah terbuka yang terpakai hari itu telah dibuang oleh petugas

Puskesmas.

Vaksin polio oral (OPV) dapat disimpan beku pada temperatur <-20oC. Vaksin yang bekudengan cepat dicairkan dengan cara ditempatkan antara dua telapak tangan dan digulir-gulirkan, dijaga agar warna tidak berubah yaitu merah muda sampai oranye muda (sebagaiindikator pH).Bila keadaan tersebut dapat terpenuhi, maka sisa vaksin yang telah terpakai dapatdibekukan lagi, kemudian dipakai lagi sampai warna berubah dengan catatan dan tanggalkadaluwarsa harus selalu diperhatikan.

Vaksin polio inactivated (inactived poliomyelitis vaccine = IPV)

Vaksin polio inactivated berisi tipe 1, 2, 3 dibiakkan pada sel-sel vero ginjal kera dandibuat tidak aktif dengan formaldehid. Pada vaksin tersebut dijumpai dalam jumlah kecilselain formaldehid juga ada neomisin, streptomisin dan polimiksin B.Vaksin polio inactivated harus disimpan pada suhu 2-80C dan tidak boleh dibekukan.Pemberian dengan dosis 0,5 ml dengan suntikan subkutan dalam tiga kali berturut-turutdengan jarak 2 bulan antara masing-masing dosis akan memberikan imunitas jangkapanjang (mukosal maupun humoral) terhadap tiga macam tipe virus polio.Imunitas mukosal yang ditimbulkan oleh IPV lebih rendah dibandingkan dengan yangditimbulkan oleh OPV.

Rekomendasi

Imunisasi primer bayi dan anak

Vaksin polio oral diberikan pada bayi baru lahir sebagai dosis awal, sesuai dengan PPIdan ERAPO tahun 2000. Kemudian diteruskan dengan imunisasi dasar mulai umur 2-3bulan yang diberikan tiga dosis terpisah berturut-turut dengan interval waktu 6-8 minggu.Satu dosis sebanyak 2 tetes (0.1 ml) diberikan per oral pada umur 2-3 bulan dapatdiberikan bersama-sama waktunya dengan suntikan vaksin DPT dan Hib. Bila OPV yangdiberikan dimuntahkan dalam waktu 10 menit, maka dosis tersebut perlu diulang.Pemberian air susu ibu tidak berpengaruh pada respons antibodi terhadap OPV danimunisasi tidak boleh ditunda karena hal ini. Anak-anak dengan imunosupresi dan kontakmereka yang dekat harus diimunisasi dengan IPV.

• Anak yang telah mendapat imunisasi OPV dapat memberikan ekskresi virus vaksinselama 6 minggu dan akan melakukan infeksi, pada kontak yang belum diimunisasi.Untuk mereka yang berhubungan (kontak) dengan bayi yang baru saja diberi OPVsupaya menjaga kebersihan dengan mencuci tangan setelah mengganti popok bayi.

Vaksinasi terhadap orang tua yang anaknya divaksinasi

Anggota keluarga yang belum pernah divaksinasi atau belum lengkap vaksinasinyadan mendapat kontak anak-anak yang mendapat vaksinasi OPV, harus ditawarkanvaksinasi dasar OPV pada waktu yang bersamaan dengan anak tersebut. Dalam halini tidak boleh diberikan IPV, mengingat risiko infeksi yang didapat dari anak dapatterjadi sebelum antibodi terbentuk sebagai respons terhadap IPV. Kepada orang

dewasa yang telah mendapat imunisasi sebelumnya, tidak diperlukan vaksinasi penguat(booster). Interval minimal antara dua dosis vaksinasi dapat diperpanjang dan dapatmenyelesaikan vaksinasinya tanpa mengulang lagi.

Imunisasi penguat (booster)

Dosis penguat OPV harus diberikan sebelum masuk sekolah, yaitu bersamaan pada saat dosisDPT diberikan sebagai penguat; dosis OPV berikutnya harus diberikan pada umur 15-19 tahunatau sebelum meninggalkan sekolah. Sejak tahun 2007 semua calon jemaah haji dan umroh dibawah umur 15 tahun, harus mendapat 2 tetes OPV

Imunisasi polio untuk orang dewasa

Untuk orang dewasa, sebagai imunisasi primer (dasar) dianjurkan diberi kan 3 dosis berturut-turut 2 tetes OPV dengan jarak 4-8 minggu. Semua orang dewasa seharusnya divaksinasiterhadap poliomyelitis dan tidak boleh ada yang tertinggal. Dosis penguat

untuk orang dewasa tidak diperlukan, kecuali mereka yang dalam risiko khusus,misalnya

Page 88: pedoman imunisasi

Bepergian ke daerah-daerah yang poliomielitis masih endemis atau saat terjadi epidemiPetugas-petugas kesehatan yang kemungkinan mendapat kontak dengan kasuspoliomyelitis.

Bagi mereka yang secara terus-menerus mengalami risiko infeksi, dianjurkan diberikandosis tunggal sebagai penguat 2 tetes setiap 10 tahun.

Vaksinasi untuk anak imunokompromais

Untuk mereka yang vaksin virus hidup merupakan indikasi kontra, misalnya mereka denganimunosupresi dari sesuatu penyakit atau kemoterapi, maka IPV dapat digunakan sebagaivaksinasi terhadap poliomyelitis. Hal ini juga dipakai untuk saudara-saudara anakimunokompromais dan anggota keluarga yang mendapat kontak. Sebagai vaksinasi dasar,diberikan suntikan IPV sebanyak 3 dosis masing-masing 0.5 ml, secara subkutan dalam atauintramuskular dengan interval 2 bulan. Dosis penguat harus diberikan yang jadwalnya samadengan pemberian OPV. Anak dengan HIV-positif dan anggota keluarga serumah yangmendapat kontak harus menerima IPV.

Kejadian ikutan pasca imunisasi

Kasus poliomielitis yang berkaitan dengan vaksin telah dilaporkan terjadi pada resipien(VDPV=vaccine derived polio virus) atau kontak (VAPP=vaccine associated polio paralytic).

Diperkirakan terdapat 1 kasus poliomielitis paralitik yang berkaitan dengan vaksin terjadisetiap 2.5 juta dosis OPV yang diberikan.Risiko terjadi paling sering pada pemberian dosis pertama dibanding dengan dosis-dosisberikutnya. Risiko yang relatif

kecil pada poliomielitis yang ditimbulkan pemberian OPV ini tidak bolehdiremehkan, namun tidak cukup menjadi alasan untuk mengadakan perubahanterhadap kebijakan imunisasi, karena vaksinasi tersebut terbukti sangat berguna.Harus ditekankan bahwa kebersihan terhadap kontak penerima vaksin yang baruadalah sangat penting.

Setelah vaksinasi sebagian kecil resipien dapat mengalami gejala pusing, diareringan, nyeri otot. Seperti kejadian ikutan pada vaksinasi yang lain, semua gejalayang timbul setelah vaksinasi harus dilaporkan ke Dinas Kesehatan setempat.

Indikasi kontra

Indikasi kontra pemberian OPV adalah sebagai berikut,

Penyakit akut atau demam (suhu >38.5oC), vaksinasi harus ditunda,Muntah atau diare, vaksinasi ditunda,Sedang dalam pengobatan kortikosteroid atau imunosupresif yang diberikan oral maupunsuntikan, juga yang mendapat pengobatan radiasi umum ( termasuk kontak denganpasien),Keganasan (untuk pasien dan kontak) yang berhubungan dengan sistem retikuloendotelial(limfoma, leukemia, dan penyakit Hodgkin) dan yang mekanisme imunologisnyaterganggu, misalnya pada hipogamaglobulinemia,Infeksi HIV atau anggota keluarga sebagai kontak,walaupun kejadian ikutan pada fetus belum pernah dilaporkan, OPV jangan diberikankepada orang hamil pada 4 bulan pertama kehamilan kecuali terdapat alasan mendesak,misalnya bepergian ke daerah endemis poliomyelitis,Vaksin polio oral dapat diberikan bersama-sama dengan vaksin inactivated dan virushidup lainnya (sesuai dengan indikasi) tetapi jangan bersama vaksin oral tifoid,Bila BCG diberikan pada bayi tidak perlu memperlambat

pemberian OPV, karena OPV memacu imunitas lokal dan pembentukan antibodidengan cara replikasi dalam usus,

OPV dan IPVmengandung sejumlah kecil antibiotik (neomisin, polimiksin,streptomisin) namun hal ini tidak merupakan indikasi kontra, kecuali pada anakyang mempunyai bakat hipersensitif yang berlebihan,Anggota keluarga kontak dengan anak yang menderita imunosupresi jangandiberikan IPV, jangan OPV.

Daftar Pustaka

1. American Academy of Pediatrics. Summaries of infectious diseases. Polio

Page 89: pedoman imunisasi

infections. Dalam: Pickering LK., penyunting. 2000 Red Book: Report of the Committee OnInfectious Diseases. Edisi ke-25 Elk Grove Village: American Academy of Pediatrics,2000.h.465-70.

2. Dept. Of Health, Republic of Indonesia, Subdirectorate of Epidemiology: AFP Surveilancedata Bulletin. 2006-2007.

3. Dep Kes Republik Indonesia: Achmad U. F. Dirjen PPM dan PL: Laporan KLB PolioSukabumi, 2006.

4. Ismoediyanto M, Soebagyo, Endarwati L, Ratgono A. An outbreak of acute paralysiscaused by VDPV in Madura, Indonesia. Third Asian Congress of Pediatric InfectiousDiseases, March, 2006

5. CDC. Poliomyelitis. In: Atkinson W, Hamborsky J, McIntyre L, Wolfe S, eds. Epidemiologyand prevention of vaccine-preventable diseases. 9th ed. Washington, DC: Public HealthFoundation; 2006. p. 97-110.

6. Alexander LN, Seward JF, Santibanez TA, et al. Vaccine policy changes and epidemiologyof polio in the United States. JAMA. 2004;292:1696-701.

7. CDC. Imported vaccine-associated paralytic poliomyelitis — United States, 2005. MMWRMorbid Mortal Wkly Rep. 2006;55;97-9.

8. CDC. Poliovirus infections in four unvaccinated children — Minnesota, August– October,2005. MMWR Morbid Mortal Wkly Rep. 2005;54;1053-5.

9. Kew OM, Sutter RW, de Gourville EM, Dowdle WR, Pallansch MA. Vaccine-derivedpolioviruses and the endgame strategy for global polio eradication. Annu Rev Microbiol.2005:59;587-635.

10. CDC. Update on vaccine-derived polioviruses. MMWR Morbid Mortal Wkly Rep.2006;55:1093-7.

11. CDC. Resurgence of wild poliovirus type 1 transmission and consequences ofimportations —21 countries, 2002–2005. MMWR Morbid Mortal Wkly Rep. 2006;55:145-50.

12. CDC. Progress toward interruption of wild poliovirus transmission— Worldwide,January 2005–March 2006. MMWR Morbid Mortal Wkly Rep. 2006;55:458-62.

13. World Health Organization. Conclusions and recommendations of the AdvisoryCommittee onPoliomyelitis Eradication, Geneva 11–12 October 2005. WklyEpidemiol Rec. 2005;80;410-6.

Bab V-5

Campak

Soegeng Soegijanto

Penyakit campak adalah penyakit akut yang disebabkan oleh virus campak yang sangatmenular pada anak-anak, ditandai dengan panas, batuk, pilek, konjungtivitis danditemukan spesifik enantem (Koplik’s spot), diikuti dengan erupsi makulopapular yangmenyeluruh. Bertahun-tahun kejadian penyakit campak terjadi pada anak-anak balitameminta banyak korban tetapi masyarakat belum menyadari bahayanya; bahkan adamitos jangan memberikan obat apa saja pada penderita sebelum bercak-bercak merah

pada kulit keluar.

Bahaya penyulit penyakit campak di kemudian hari adalah (1) kurang gizi sebagai akibat diareberulang dan berkepanjangan pasca campak; (2) Sindrom subakut panensifilitis (SSPE) padaanak> 10 tahun; (3) Munculnya gejala penyakit tuberkulosis paru yang lebih parah pascamengidap penyakit campak yang berat yang disertai pneumonia.

Etiologi

Penyakit campak disebabkan oleh karena virus campak. Virus campak termasuk didalam familiparamyxovirus. Virus campak sangat sensitif terhadap panas, sangat mudah rusak pada suhu370C. Toleransi terhadap perubahan pH baik sekali. Bersifat sensitif terhadap eter, cahaya, dantrysine. Virus mempunyai jangka waktu hidup yang pendek (short survival time) yaitu kurang dari2 jam. Apabila disimpan pada laboratorium, suhu penyimpanan yang baik adalah pada suhu -70oC.

Epidemiologi

Page 90: pedoman imunisasi

Penyakit campak bersifat endemik di seluruh dunia, namun terjadinya epidemicenderung tidak beraturan. Pada umumnya epidemi terjadi pada permulaan musimhujan, mungkin disebabkan karena meningkatnya kelangsungan hidup virus padakeadaan kelembaban yang relatif rendah. Epidemi terjadi tiap 2–4 tahun sekali, yaitusetelah adanya kelompok baru yang rentan terpajan dengan virus campak. Penyakitcampak jarang bersifat subklinis. Penyakit campak ditularkan secara langsung daridroplet infeksi atau, agak jarang dengan penularan lewat udara (airborne spread).

Pada awal tahun 1980, pada waktu angka cakupan imunisasi campak global hanya20%, didapatkan lebih dari 90 juta kasus. Pada pertengahan tahun 1990, dengan angka

cakupan 80%, angka tersebut turun tajam sampai 20 juta kasus. Jadi, bahkan dengan angkacakupan 80%, masih sulit untuk mencapai target eradikasi global.

World Health Organization (WHO) dengan programnya The Expanded Programme onImmunization telah mencanangkan target global untuk mereduksi insidens campak sampai90,5% dan mortalitas sampai 95,5% daripada tingkat pre-EPI pada tahun 1995. Beberapanegara berhasil hampir mendekati fase eliminasi. Beberapa macam jadwal imunisasi danstrategi telah digunakan, tetapi ada beberapa negara yang tidak berhasil. Kegagalan inibiasanya disebabkan oleh kegagalan dalam meng-implementasikan rencana strategi secaraadekuat. Prioritas utama untuk penanggulangan penyakit campak adalah melaksanakanprogram imunisasi lebih efektif. Eradikasi campak, didefinisikan sebagai pemutusan rantaipenularan secara global sehingga imunisasi dapat dihentikan, secara teori adalah mungkin olehkarena tidak adanya binatang reservoir dan pemberian imunisasi sangat efektif.

Strategi untuk eliminasi penyakit campak adalah (1) melakukan imunisasi masal pada anakumur 9 bulan sampai 12 tahun, (2) meningkatkan cakupan imunisasi rutin pada bayi umur 9bulan, (3) melakukan surveilens secara intensif dan (4) follow-up imunisasi

massal. Di klinik, WHO juga telah mengembangkan standar program penatalaksanaankasus, tetapi masih ada beberapa kesukaran, misalkan indikasi pemberian antibiotik,pemberian imunoglobulin intravena dan risiko tuberkulosa sebagai komplikasi jangkapanjang.

Gejala Klinis

Demam timbul secara bertahap dan meningkat sampai hari kelima atau keenam padapuncak timbulnya ruam. Kadang-kadang kurva suhu menunjukkan gambaran bifasik,ruam awal pada 24 sampai 48 jam pertama diikuti dengan turunnya suhu tubuh sampainormal selama periode satu hari dan kemudian diikuti dengan kenaikan suhu tubuhyang cepat mencapai 400C pada waktu ruam sudah timbul di seluruh tubuh. Pada kasus

yang tanpa komplikasi, suhu tubuh mengalami lisis dan kemudian turun mencapai suhu tubuhyang normal.

Gejala awal lainnya yang sering ditemukan adalah batuk, pilek, mata merah selanjutnya di carigejala Koplik’s spot. Dua hari sebelum ruam timbul, gejala Koplik’s spot yang merupakan tandapathognomonis dari penyakit campak, dapat dideteksi. Lesi ini telah didiskripsi oleh Koplik padatahun 1896 sebagai suatu bintik berbentuk tidak teratur dan kecil berwarna merah terang, padapertengahannya didapatkan noda berwarna putih keabuan. Mula-mula didapatkan hanya duaatau tiga sampai enam bintik. Kombinasi dari noda putih keabuan dan warna merah mudadisekarnya merupakan tanda patognomonik absolut dari penyakit campak. Kadang-kadang nodaputih keabuan sangat kecil dan sulit terlihat dan hanya dengan sinar yang langsung dan terangdapat terlihat. Timbulnya Koplik’s spot hanya berlangsung sebentar, kurang lebih 12 jam,sehingga sukar terdeteksi dan biasanya luput pada waktu dilakukan pemeriksaan klinis.

Ruam timbul pertama kali pada hari ketiga sampai keempat dari timbulnya demam. Ruamdimulai sebagai erupsi makulopapula eritematosa, dan mulai timbul pada bagian samping atasleher, daerah

belakang telinga, perbatasan rambut di kepala dan meluas ke dahi. Kemudianmenyebar ke bawah ke seluruh muka dan leher dalam waktu 24 jam. Seterusnyamenyebar ke ekstremitas atas, dada, daerah perut dan punggung, mencapai kaki padahari ketiga. Bagian yang pertama kena mengandung lebih banyak lesi daripada yangterkena kemudian. Setelah tiga atau empat hari, lesi tersebut berubah menjadi berwarnakecoklatan. Hal ini kemungkinan sebagai akibat dari perdarahan kapiler, dan tidakmemucat dengan penekanan. Dengan menghilangnya ruam, timbul perubahan warnadari ruam, yaitu menjadi berwarna kehitaman atau lebih gelap. Dan kemudian disusuldengan timbulnya deskuamasi berupa sisik berwarna keputihan.

Imunisasi campak

Pada tahun 1963, telah dibuat dua jenis vaksin campak

Page 91: pedoman imunisasi

a. Vaksin yang berasal dari virus campak yang hidup dan dilemahkan (tipe Edmonston B)b. Vaksin yang berasal dari virus campak yang dimatikan (virus campak yang berada dalam

larutan formalin yang dicampur dengan garam aluminium)

Dosis baku minimal untuk pemberian vaksin campak yang dilemahkan adalah 1000 TCID50 atausebanyak 0,5 ml. Untuk vaksin hidup, pemberian dengan 20 TCID50 saja mungkin sudah dapatmemberikan hasil yang baik. Pemberian yang dianjurkan secara subkutan, walaupun demikiandapat diberikan secara intramuskular.

Pada saat ini di negara yang sedang berkembang, angka kejadian campak masih tinggi danseringkali dijumpai penyulit, maka WHO menganjurkan pemberian imunisasi campak pada bayiberumur 9 bulan. Untuk negara maju imunisasi campak (MMR) dianjurkan pada anak berumur12-15 bulan dan kemudian imunisasi kedua (booster) juga dengan MMR dilakukan secara rutinpada umur 4-6 tahun, tetapi dapat juga diberikan setiap waktu semasa periode anak dengantenggang waktu paling sedikit 4 minggu dari imunisasi pertama.

Imunisasi campak tidak dianjurkan pada ibu hamil, anak dengan imunodefisiensi primer,pasien TB yang tidak diobati, pasien kanker atau transplantasi organ, mereka yangmendapat pengobatan imunosupresif jangka panjang atau anak immunocompromisedyang terinfeksi HIV. Anak yang terinfeksi HIV tanpa immunosupresi berat dan tanpabukti kekebalan terhadap campak, bisa mendapat imunisasi campak.

Kesulitan untuk mencapai dan mempertahankan angka cakupan yang tinggi bersama-sama dengan keinginan untuk menunda pemberian imunisasi sampai antibodi maternalhilang merupakan suatu hal yang berat dalam pengendalian penyakit campak. Padaanak-anak di negara berkembang, antibodi maternal akan hilang pada usia 9 bulan, danpada anak-anak di negara maju setelah 15 bulan.

Dosis dan cara pemberian

Dosis baku minimal untuk pemberian vaksin campak yang dilemahkan adalah 1000TCID50 atau sebanyak 0,5 ml.Untuk vaksin hidup, pemberian dengan 20 TCID50 mungkin sudah dapat memberikanhasil yang baik.Pemberian diberikan pada umur 9 bulan, secara subkutanwalaupun demikian dapat diberikan secara intramuskular.Daya proteksi vaksin campak diukur dengan berbagai macam cara. Salah satu indikatorpengaruh vaksin terhadap proteksi adalah penurunan angka kejadian kasus campaksesudah pelaksanaan program imunisasi.Imunisasi campak diberikan lagi pada saat masuk sekolah SD (program BIAS)

Reaksi KIPI

Reaksi KIPI imunisasi campak yang banyak dijumpai terjadi pada imunisasi ulang padaseseorang yang telah memiliki imunitas sebagian akibat imunisasi dengan vaksin campakdari virus

yang dimatikan. Kejadian KIPI imunisasi campak telah menurun dengandigunakannya vaksin campak yang dilemahkan.

Gejala KIPI berupa demam yang lebih dari 39,50C yang terjadi pada 5%-15% kasus,demam mulai dijumpai pada hari ke 5-6 sesudah imunisasi dan berlangsung selama 2hari.Berbeda dengan infeksi alami demam tidak tinggi, walaupun demikian peningkatansuhu tubuh tersebut dapat merangsang terjadinya kejang demam.Ruam dapat dijumpai pada 5% resipen, timbul pada hari ke 7-10 sesudah imunisasidan berlangsung selama 2-4 hari. Hal ini sukar dibedakan dengan akibat imunisasiyang terjadi jika seseorang telah memperoleh imunisasi pada saat masa inkubasipenyakit alami.

Reaksi KIPI berat jika ditemukan gangguan fungsi sistem saraf pusat seperti ensefalitisdan ensefalopati pasca imunisasi, diperkirakan risiko terjadinya kedua efek sampingtersebut 30 hari sesudah imunisasi sebanyak 1 diantara 1 milyar dosis vaksin.

Daftar Pustaka

1. Abbas AK and LichtmanAH. 2005. Antibodies and antigen. in Cellular and MolecularImmunology fifth ed. Elsevier Saunders, International Edition page 43-65.

2. Center for Disease Control and Prevention (CDC) 2006. National Immunization Program.The Pink Book. 9 edition. Global Laboratory Networks.

3. Duke T, Mgone CS. 2003. Measles : not just another viral exanthem. Lancet 361 (9359) :

Page 92: pedoman imunisasi

763-73.4. Featherstone D, Brown D, Sanders R. 2003. Development of the global measles laboratory

network. J Infect Dis 187(Suppl):264-269.5. Maldonado Y, 2003. Measles. In : Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB. TextBook of

Pediatrics. 17 ed. Philadelphia. WB Saunderss Company pp. 1026-1031.6. MMWR 2004. Epidemiology of Measles, United States 2001-2003. Morb Mortal Wkly Rep.

August 13;53(31):713-716.

7. Otten MW Jr, Okwo-Bele JM, Kezaala R, Biellik R, Eggers R, Nsimirimana D. 2003. Impactof alternative approaches to accelerated measles control : experience in the African region,1996-2002. J Infect Dis 187 Suppl 1:S36-43.

8. Strebel P, Cochi S, Grabowsky M, Bious J, Hersh BS, Okwo-BeleJM, Hoekstra E,Wright P, Katz S. 2003. The unfinished measles immunization agenda. J Infect Dis.187 Suppl 1: S1-7.

9. World Health Assembly 2003. Reducing global measles mortality. Fifty-sixth WorldHealth Assembly. 28 May 2003.

10. World Health Organization 2005a. Global measles and rubella laboratory network– update. Wkly Epidemiol Rec 80: 384-388.

11. American Academy of Pediatrics. Measles. In: PickeringLK, ed. Red book: 2006report of the Committee on Infectious Diseases. 27th ed. Elk Grove Village, IL:American Academy of Pediatrics; 2006. p. 441-52.

12. Strebel PM, Papania MJ, Halsey NA. Measles vaccine. In: Plotkin SA, OrensteinWA, eds. Vaccines. 4th ed. Philadelphia, PA: WB Saunders; 2003:389-440.

13. CDC. Recommended childhood and adolescent immunization schedule—United States,2006. MMWR Morbid Mortal Wkly Rep. 2006;54:Q1-Q4.

14. AtkinsonWL, PickeringLK, Schwartz B. General recommendations on immunization.Recommendations of the Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP) and theAmerican Academy of Family Physicians (AAFP). MMWR Recomm Rep. 2002;51(RR02):1-36.

Bab VI

Vaksin yang Dianjurkan

(non PPI)

1. Campak, gondong, rubella (Measles, Mumps, Rubella)2. Haemophillus influenzae tipe b (Hib)3. Demam tifoid4. Varisela5. Hepatitis A6. Rabies dan vaksin anti rabies7. Influenza8. Pneumokokus9. Rotavirus

10. Kolera dan ETEC (enterotoxigenic Escherichia coli)11. Yellow fever12. Japanese ensefalitis (JE)13. Meningokokus14. Human Papilloma Virus (HPV)

Pen gantar

Vaksin untuk tujuan khusus adalah vaksin-vaksin yang tidak termasuk vaksin PPI, namunpenting diberikan pada bayi/anak di Indonesia mengingat burden of diseases dari masing-masing penyakit tersebut. Untuk vaksin-vaksin tersebut, perlu diketahui mengenai indikasipemberiannya. Pertimbangan umum dalam memberikan vaksin-vaksin tersebut antara lainadalah insidens penyakit, kelompok susceptible, mortalitas, komplikasi, dan sekuele yangmungkin diakibatkan oleh penyakit tersebut; disamping imunogenisitas dan keamanan vaksin,serta harga vaksin. Dalam Edisi ketiga, ditambahkan penjelasan mengenai Rotavirus danHuman Papilloma Virus (HPV) serta vaksinnya.

Bab VI-1

Campak, Gondongan & Rubela

(Measles, Mumps, Rubella = MMR)

Page 93: pedoman imunisasi

Syahril Pasaribu

Cam pak (measles, morbilli, rubeola) - lihat Bab V-5 Gondongan (mumps, parotitis)

Gondongan adalah penyakit menular akut yang disebabkan oleh paramyxovirus,dengan predileksi pada kelenjar dan jaringan syaraf. Pada gondongan, paling seringterjadi pembengkakan pada kelenjar ludah, terutama kelenjar parotis. Penyebaranpenyakit ini adalah melalui droplet dan terutama terjadi pada anak dengan insidenspuncak pada usia 5-9 tahun. Masa inkubasi 12-25 hari, gejala prodromal tidak spesifikditandai dengan mialgia, anoreksia, malaise, sakit kepala dan demam ringan. Setelahitu timbul pembengkakan unilateral/bilateral kelejar parotis. Gejala ini akan berkurangsetelah 1 minggu dan biasanya menghilang setelah 10 hari. Namun pada beberapakeadaan infeksi terjadi tanpa gejala sama sekali. Tanda rangsangan meningeal dapatterjadi pada 15% kasus, tetapi gejala sisa yang permanen jarang ditemukan. Ketulian

adalah salah satu komplikasi yang serius tetapi jarang terjadi (1: 500 kasus yang dirawat dirumah sakit). Penularan terjadi sejak 6 hari sebelum timbulnya pembengkakan parotis sampai 9hari kemudian. Orkitis (biasanya unilateral) dilaporkan sampai 20% pada kasus gondonganlelaki dewasa, tetapi keadaan steril jarang ditemukan. Imunisasi dengan live attenuated vaccinesangat berhasil. Di USA telah terjadi reduksi 98% dari kasus yang dilaporkan di antara tahun1967 (ketika vaksin pertama kali diperkenalkan dan tahun 1985).

Rubela

Rubela pada umumnya merupakan penyakit infeksi akut yang ringan, yang disebabkanoleh virus rubela yang termasuk ke dalam famili togavirus. Penyebaran penyakit inimelalui udara dan droplet. Gejala klinis yang mencolok adalah timbulnya ruam makulo-papular yang bersifat sementara (kira-kira 3 hari), pembengkakan kelenjar post-auricular/dan sub-occipital. Kadang-kadang disertai arthritis dan arthralgia. Walaupunjarang, dapat terjadi komplikasi lain pada sistem syaraf dan trombositopenia. Apabilarubela menjangkiti ibu hamil, maka dapat terjadi sindrom rubela kongenital pada bayiyang dikandungnya.

Sindrom rubela kongenital

Pencegahan sindrom rubela kongenital (SRK) merupakan tujuan utama pemberianimunisasi rubela. Rubela adalah penyakit yang mendatangkan malapetaka apabila terjadi padaawal kehamilan, karena dapat menyebabkan kematian janin, kelahiran prematur dan cacatbawaan. Abortus dan lahir mati merupakan kejadian yang sering ditemukan. Berat ringannyadampak virus rubella terhadap janin tergantung kapan infeksi ini terjadi. Sampai 85% bayi yangterinfeksi pada kehamilan trimester pertama akan mempunyai gejala setelah lahir. Meskipuninfeksi dapat terjadi sepanjang kehamilan, jarang terjadi kelainan bila infeksi terjadi setelahkehamilan di atas 20 minggu. Infeksi kongenital virus rubela dapat mengenai semua sistemorgan bayi. Tuli merupakan gejala paling sering terjadi dan kadang-kadang merupakanmanifestasi tunggal infeksi rubela kongenital. Kelainan lain yang dapat timbul adalah kelainanpada mata berupa katarak, glaukoma, retinopati dan mikroftalmia. Kelainan pada jantung berupapatent ductus arteriosus (PDA), ventricular septal defect (VSD), stenosis dan retardasi mental.Kelainan lain yang dapat ditemukan adalah lesi pada tulang, spenomegali, hepatitis,trombositopenia dan purpura. Manifestasi SRK ini dapat baru tampak pada umur 2-4 tahun.

Vaksi n

Vaksin untuk mencegah campak, gondongan dan rubela merupakan vaksin kombinasiyang dikenal sebagai vaksin MMR (measles, mumps, dan rubella), dosis 0.5 ml. VaksinMMR merupakan vaksin kering yang mengandung virus hidup, harus disimpan padatemperatur 2-8oC atau lebih dingin dan terlindung dari cahaya. Vaksin harus digunakandalam waktu 1 jam setelah dicampur dengan pelarutnya, tetap sejuk dan terlindung daricahaya, karena setelah dicampur vaksin sangat tidak stabil dan cepat kehilanganpotensinya pada temperatur kamar. Pada temperatur 22-25oC, akan kehilangan potensi50% dalam 1 jam, pada temperatur > 37oC vaksin menjadi tidak aktif setelah 1 jam.

Dosis

Pemberian vaksin MMR dengan dosis tunggal 0,5 ml suntikan secara intra-muskularatau subkutan dalam. Imunisasi ini menghasilkan sero-konversi terhadap ketiga virus ini > 90%kasus. Diberikan pada umur 12-18 bulan.

Rekomendasi

Vaksin MMR harus diberikan sekalipun ada riwayat infeksi campak, gondongan dan rubella atauimunisasi campak. Tidak ada efek imunisasi yang terjadi pada anak yang sebelumnya telah

Page 94: pedoman imunisasi

mendapat imunitas terhadap salah satu atau lebih dari ketiga penyakit ini.

Bayi dan anak berisiko infeksi campak

Pada populasi dengan insidens yang tinggi pada infeksi campak dini, imunisasi MMR dapatdiberikan pada usia 9 bulan. Indikasi lain pemberian vaksin MMR adalah

• Anakdenganpenyakitkronis sepertikistikfibrosis, kelainanjantungbawaan, kelainan ginjal bawaan, gagal tumbuh, sindrom Down.

Anak berusia ≥1 tahun yang berada di day care centre, family day care dan playgroups.Anak yang tinggal di lembaga cacat mental.

Individu dengan HIV dapat diberikan vaksin MMR bila tidak ditemukan kontra indikasi lainnya.

Vaksinasi MMR yang terlambat

Vaksin MMR diberikan pada anak yang berusia > 12 bulan. Bila imunisasi dasar tidaklengkap sampai waktu pemberian MMR, maka dapat diberikan secara bersamaandengan menggunakan alat untuk dan tempat yang berbeda.

Anak dengan riwayat kejang

Anak dengan riwayat kejang atau riwayat keluarga pernah kejang harus diberikan MMRdan kepada orang tua diberikan pengertian bahwa dapat timbul demam 5-12 harisetelah imunisasi. Dianjurkan untuk mengurangi demam dengan pemberianparasetamol.

Reaksi KIPI

Pada penelitian yang mencakup 6000 anak yang berusia 1-2 tahun, dilaporkan setelahvaksinasi MMR dapat terjadi malaise, demam atau ruam yang sering terjadi 1 minggusetelah imunisasi yang berlangsung selama 2-3 hari.Dalam masa 6-11 hari setelah imunisasi, dapat terjadi kejang demampada 0,1% anakensefalitis pasca imunisasi <1/1000.000 dan pembengkakan kelenjar parotis pada 1%anak berusia sampai 4 tahun, biasanya terjadi pada minggu ketiga dan kadang-kadanglebih lama.Meningoensefalitis yang disebabkan oleh imunisasi gondongan terjadi kira-kira1/1000.000 kasus dengan galur virus gondongan Urabe, angka kejadian ini lebih kecildibandingkan apabila menggunakan jalur virus gondongan Jeryl Lyn.

Trombositopenia biasanya akan sembuh sendiri, kadang-kadang dihubungkan dengankomponen rubela dari MMR. Kepada orang tua harus dijelaskan tentang kemungkinangejala yang bakal timbul dan diberikan petunjuk untuk mengurangi demam, termasukpenggunaan parasetamol pada masa 5-12 hari setelah imunisasi.

Indikasi Kontra

Anak dengan penyakit keganasan yang tidak diobati atau gangguan imunitas, merekayang mendapat pengobatan dengan imunosupresif atau terapi sinar atau mendapatsteroid dosis tinggi (ekuivalen dengan 2 mg/kgbb/hari prednisolon).Anak dengan alergi berat (pembengkakan pada mulut atau tenggorokan, sulit bernapas,hipotensi dan syok) terhadap gelatin atau neomisin.Anak dengan demam akut, pemberian MMR harus ditunda sampai penyakit ini sembuh.Anak yang mendapat vaksin hidup yang lain (termasuk BCG dan vaksin virus hidup)dalam waktu 4 minggu. Pada keadaan ini imunisasi MMR ditunda lebih kurang 1 bulansetelah imunisasi yang terakhir. Individu dengan tuberkulin positif akan menjadi negatifsetelah pemberian vaksin.

Jika MMR diberikan pada wanita dewasa dengan kehamilan harus ditunda selama 2bulan, seperti pada vaksin rubela.Vaksin MMR tidak boleh diberikan dalam waktu 3 bulan setelahpemberian imunoglobulin atau transfusi darah (whole blood).Defisiensi imun bawaan dan didapat (termasuk infeksi HIV). Sebenarnya HIV bukanindikasi kontra, tetapi pada kasus tertentu, dianjurkan untuk meminta petunjuk padaspesialis anak konsultan.Setelah suntikan imunoglobulin, selama 6 minggu tidak boleh mendapat vaksin rubela,kalau boleh sampai 3 bulan setelah pemberian imunoglobulin atau produk darah yangmengandung

Page 95: pedoman imunisasi

imunoglobulin (darah, plasma). Dengan alasan yang sama imunoglobulin tidak bolehdiberikan dalam waktu 2 minggu setelah vaksinasi.

v. Disebabkan oleh karena komponen rubela, wanita hamil tidak dianjurkan mendapatimunisasi MMR dan dianjurkan untuk tidak hamil selama 3 bulan setelah mendapatsuntikan.

Penggunaan Imunoglobulin

v. Jika seorang anak berusia > 12 bulan belum mendapat imunisasi, kontak denganpasien campak dapat dicegah dengan pemberian vaksin MMR sesegera mungkin(dalam waktu 72 jam). Alasannya ialah masa inkubasi galur vaksin (4-6 hari) lebihsingkat dari masa inkubasi virus campak liar (1-14 hari). Akan tetapi pada anak denganimunokompromis, vaksin MMR adalah kontra indikasi, imunoglobulin (human) dapatdiberikan segera mungkin setelah paparan.

v. Pemeriksaan antibodi terhadap campak tidak menolong untuk membuat sesuatukeputusan penggunaan imunoglobulin, oleh karena imunisasi sebelumnya atau kadarserum antibodi yang rendah tidak memberi jaminan imunitas terhadap campak padaindividu imunokompromis. Pemeriksaan antibodi terhadap campak juga akan

memperlambat pemberian imunoglobulin, akan tetapi pemeriksaan ini mungkinmempunyai nilai untuk menegakkan diagnosa definitif campak.

v. Seorang bayi berusia < 12 bulan yang terpapar langsung dengan pasien campak,mempunyai resiko yang tinggi untuk berkembangnya komplikasi penyakit ini; kepadamereka harus segera diberikan imunoglobulin (daripada vaksin) dalam waktu 7 haripaparan, untuk mengurangi kemungkinan terjadinya campak. Kemudian vaksin MMRharus diberikan sesegera mungkin sampai usia 12 bulan, akan tetapi dengan interval 3bulan setelah pemberian imunoglobulin.

v. Dosis imunoglobulin (human) NIGH ialah 0,2 ml/kgbb pada anak sehat dan 0,5 ml/kgbbpada individu imunokompromis (dosis

maksimal 15 ml). Pada wanita hamil non imun yang terpapar dengan campak dapat diberikanNIGH 0.2 ml/kgbb.

v. Live mumps vaccine tidak memberikan perlindungan jika diberikan setelahterpapar dengan pasien mumps. Akan tetapi, jika paparan tadi tidak menimbulkaninfeksi, vaksin akan memberikan perlindungan terhadap infeksi berikutnya.Imunoglobulin tidak terlihat mempunyai nilai sebagai profilaksis setelah terpapardengan penyakit ini. Dari satu hasil penelitian di Alaska menunjukkan bahwa,pemberian immunoglobulin terhadap orang yang rentan tidak menunjukkanpenurunan kejadian mumps dan juga tidak mencegah timbulnya komplikasi.Antibodi maternal yang ditransfer melewati plasenta dapat melindungi bayi selama1 tahun kehidupan.

v. Live attenuated rubella vaccine dapat memberikan perlindungan terhadap infeksivirus rubela dan pemakaian yang luas vaksin ini menyebabkan sindrom rubelakongenital di Australia tidak ditemukan lagi. Pemakaian imunoglobulin setelah

terpapar dengan pasien rubela tidak memberikan perlindungan, sehingga pemberianimunoglobulin nilainya kecil untuk mencegah rubela pada wanita hamil.

Kontroversi seputar imunisasi MMR

Pernah dikatakan bahwa terdapat hubungan antara penyakit Crohn dan kolitis ulserativadengan MMR. Pada penelitian ini terlihat adanya risiko relatif kasus yang mendapat MMRakan menjadi penyakit Crohn sebanyak 2,95 dan kolitis ulserativa 2,05. Namun setelahditelusuri ternyata desain penelitian ini tidak benar. Kemudian dilakukan penelitian yangsama dengan skala besar secara internasional dan hasilnya tidak terdapat hubungankejadian penyakit ini dengan MMR.Adanyahubungan antara autismdanMMRdiperolehdariprogram televisi Denmark padatahun 1993, yang berasal dari seorang ibu yang anaknya kembar, salah satu diantaranyamenderita autism dan diklaim bahwa penyebabnya MMR.

Kemudian pernyataan ini ditindak lanjuti oleh Danish National Department of Epidemiologydan UK Joint Committee on Vaccination and Immunization. Ternyata tidak ada satupun databiologi dan epidemiologi yang menyokong pernyataan ini.

National Autistic Society menyatakan bahwa tidak ada peningkatan kasus autisticspectrum disorders dengan pemberian MMR.

Penelitian yang dilakukan di Swedia mengikuti kejadian autism selama 10 tahun.Penelitian ini mempunyai data yang baik dan konsisten. Mereka mengikuti insidenautism di Gothenburg selama 10 tahun sewaktu vaksin MMR diperkenalkansebagai program imunisasi pada anak. Terbukti bahwa kejadian autism tidakmeningkat sehubungan dengan pelaksanaan imunisasi MMR.

Page 96: pedoman imunisasi

Situasi yang sama juga terjadi pada asma. Ternyata tidak ada satupun penelitianyang menyokong adanya hubungan asma dengan vaksin MMR.

Daftar Pustaka

1. American Academy of Pediatrics. In: PickeringLK, editor. Red book: 2006 report ofthe Committee on Infectious Diseases. 27th ed. Elk Grove Village, IL: American

Academy of Pediatrics; 2003. p. 441-68.2. World Health Organization. Global status of mumps immunization and surveillance. Wkly

Epidemiol Rec. 2005;80:418-24, 707-43.3. CDC. Notice to readers: Updated recommendations of the Advisory Committee on

Immunization Practices (ACIP) for the Control and Elimination of Mumps. MMWR MorbidMortal Wkly Rep. 2006;55:629-630.

4. Strebel PM, Papania MJ, Halsey NA. In: Plotkin SA, Orenstein WA, eds. Vaccines. 4th ed.Philadelphia, PA: WB Saunders;2003:389-469.

5. Harling R, White JM, Ramsay ME, Macsween KF, van den Bosch C. The effectiveness ofthe mumps component of the MMR vaccine: a case control study. Vaccine. 2005;23:4070-4.

6. Katz SL, Hinman AR. Summary and conclusions: measles elimination meeting, 16-17March 2000. J Infect Dis. 2004;189(Suppl 1): S43-S47.

7. CDC. Epidemiology of measles—United States, 2001-2003. MMWR Morbid Mortal WklyRep. 2004;53:713-6.

8. CDC. Recommended childhood and adolescent immunization schedule—United States,2006. MMWR Morbid Mortal Wkly Rep. 2006;54:Q1-Q4.

9. AtkinsonWL, Pickering LK, Schwartz B. General recommendations on immunization.Recommendations of the Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP) and theAmerican Academy of Family Physicians (AAFP). MMWR Recomm Rep.2002;51(RR02):1-36.

10. CDC. Licensure of a combined live attenuated measles, mumps, rubella, and varicellavaccine. MMWR Morbid Mortal Wkly Rep. 2005;54:1212-14.

11. Reef SE, Frey TK, Theall K, Abernathy E, Burnett CL, Icenogle J, et al. Thechanging epidemiology of rubella in the 1990s: on the verge of elimination andnew challenges for control and prevention. JAMA. 2002;287:464-72.

12. Robertson SE, Featherstone DA, Gacic-Dobo M, Hersh BS. Rubella andcongenital rubella syndrome: global update. Rev Panam Salud Pública.2003;14:306-15.

Bab VI-2

Haemophillus Influenza tipe b

Hardiono D.Pusponegoro

Haemophyllus influenzae tipe b (Hib) bukan virus influensa, tetapi merupakan suatubakteri Gram negatif. Haemophyllus influenzae terbagi atas jenis yang berkapsul dantidak berkapsul. Tipe yang tidak berkapsul umumnya tidak ganas dan hanyamenyebabkan infeksi ringan misalnya faringitis atau otitis media. Jenis yang berkapsulterbagi dalam 6 serotipe dari a sampai f. Di antara jenis yang berkapsul, tipe bmerupakan tipe yang paling ganas dan merupakan salah satu penyebab tersering darikesakitan dan kematian pada bayi dan anak berumur kurang dari 5 tahun.

Infeksi Hib menyebabkan meningitis (radang selaput otak) dengan gejala demam, kakukuduk, penurunan kesadaran, kejang dan kematian. Penyakit lain yang dapat terjadiadalah pneumonia, selulitis, artritis dan epiglotitis.

Meningitis

Di negara barat, Hib menyebabkan penyakit pada 20-200 per 100.000 penduduk. Perbedaanangka kejadian tersebut disebabkan perbedan teknik pemantauan/surveilans, teknikpengambilan materi pemeriksaan, teknik pemeriksaan laboratorium, dan pola penggunaanantibiotik. Beberapa faktor risiko misalnya umur kurang dari 5 tahun, tingginya pembawa kumandi tenggorok (karier), penyebaran infeksi di tempat penitipan anak, lingkungan yang padat, danbayi tidak mendapat ASI. Laporan dari Asia menunjukkan bahwa Hib merupakan penyebabterpenting meningitis. Di Indonesia, dilaporkan bahwa Hib ditemukan pada 33% di antara kasusmeningitis. Pada penelitian lanjutan didapatkan

Page 97: pedoman imunisasi

bahwa Hib merupakan 38% di antara penyebab meningitis pada bayi dan anak berumur kurangdari 5 tahun. Laporan dari negara-negara Asia cenderung menunjukkan bahwa Hib merupakanpenyebab meningitis terbanyak bersama pneumokokus dan meningokokus, tetapi insidensmeningitis rendah.

Pneumonia

Haemophyllus influenzae sebagai penyebab pneumonia lebih sulit dibuktikan karenametode pengambilan bahan pemeriksaan jauh lebih sulit. Penelitian membuktikanbahwa pneumonia disebabkan oleh virus pada 25%-75% kasus, sedangkan bakteribiasanya ditemukan pada kasus yang berat. Bila kedua penyebab ditemukan,kemungkinan pneumonia pada awalnya disebabkan oleh virus, kemudian terjadi infeksibakteri. Kematian umumnya disebabkan oleh infeksi bakteri. Sebelum diperkenalkanvaksin, H. influenzae tipe b merupakan bakteri penyebab pneumonia yang penting.Identifikasi yang sulit dari bakteri ini mengakibatkan insiden yang pasti tidak diketahui,diduga H.influenzae tipe b bertanggung jawab terhadap 5-18% kejadian pneumonia. Dinegara yang telah berkembang, imunisasi menurunkan kejadian sindrom H.influenzae

tipe b invasif sampai lebih dari 95%, termasuk pneumonia.

Epidemiologi

Haemophyllus influenzae hanya ditemukan pada manusia. Penyebaran terjadi melalui dropletdari individu yang sakit kepada orang lain. Sebagian besar orang yang mengalami infeksi tidakmenjadi sakit, tetapi menjadi pembawa kuman karena Hib menetap ditenggorok. Prevalensikarier yang lebih dari 3% menunjukkan angka yang cukup tinggi. Penelitian pendahuluan diLombok menunjukkan prevalensi carrier-rate sebesar 4,6%, suatu angka yang cukup tinggi. Bilaprevalensi pembawa kuman cukup banyak, kemungkinan kejadian meningitis dan pneumoniaakibat Hib biasanya juga tinggi.

Walaupun demikian, dampak Hib secara keseluruhan baru dapat dipastikan setelah adanyasuatu penelitian populasi di lapangan. Penelitian populasi sedang dilakukan di Lombok.

Vaksin Hib

Bagian kapsul Hib yang disebut polyribosyribitol phosphate (PRP) menentukan virulensidari Hib. Vaksin Hib dibuat dari kapsul tersebut. Vaksin awal yang terbuat dari PRPmurni ternyata kurang efektif, sehingga saat ini digunakan konjugasi PRP denganprotein dari berbagai komponen bakteri lain. Vaksin yang beredar di Indonesia adalahvaksin konjugasi dengan membran protein luar dari Neisseria meningitidis yang disebutsebagai PRP-OMP dan konjugasi dengan protein tetanus yang disebut sebagai PRP-T.Kedua vaksin tersebut menunjukkan efikasi dan keamanan yang sangat tinggi. Keduavaksin tersebut boleh digunakan bergantian baik monovalen atau kombinasi.

Jadwal dan dosis

Vaksin Hib diberikan sejak umur 2 bulan.PRP-OMP diberikan 2 kali sedangkan PRP-T diberikan 3 kali dengan jarak waktu 2 bulan.Penelitian menunjukkan bahwa respons antibodi sudah terbentuk setelah suntikanpertama PRP-OMP dan setelah dua kali suntikan PRP-T, sedangkan titer antibodi yangtertinggi ditemukan setelah 3 kali suntikan PRP-T.Titer PRP-T bertahan lebih lama dibandingkan PRP-OMP.Ulangan umumnya diberikan 1 tahun setelah suntikan terakhir.Apabila suntikan awal diberikan pada bayi berumur 6 bulan–1 tahun, 2 kali suntikan sudahmenghasilkan titer protektif; sedangkan setelah 1 tahun cukup 1 kali suntikan tanpamemerlukan booster. Hal ini dokter sering menunda pemberian

vaksin Hib sehingga memerlukan dosis yang lebih sedikit. Pendapat ini salah, karena Hiblebih sering menyerang bayi kecil. Dua puluh enam persen terjadi pada bayi berumur 2-6bulan dan 25% pada bayi berumur 7-11 bulan (CDC). Kasus termuda di Jakarta berumur 3bulan.

• Vaksin tidak boleh diberikan sebelum bayi berumur 2 bulan karena bayi tersebut belum dapatmembentuk antibodi.

Penelitian mengenai infeksi Hib di populasi di Lombok, juga meneliti manfaat imunisasiHib terhadap kejadian dan kematian pneumonia pada balita. Data yang adamenunjukkan bahwa Hib memang merupakan penyebab meningitis yang terbanyak.Saat ini vaksin Hib digolongkan dalam vaksin yang dianjurkan, diharapkan 1-2 tahunmendatang dapat masuk dalam program nasional.

Page 98: pedoman imunisasi

Daftar Pustaka

1. Pusponegoro HD, Oswari H, Astrawinata D, Fridawati V. Epidemiologic study onbacterial meningitis in Jakarta and Tanggerang: preliminary report. Pediatr Infect Dis J1998; 17:S176-8

2. Gessner BD, Sutanto A, Steinhoff M, dkk. A population-based survey of Haemophylusinfluenzae type b nasopharyngeal carriage prevalence in Lombok Island, Indonesia.Pediatr Infect Dis J, 1998; 17:S179-82.

3. Petola. Need for Haemophyllus influenzae type b vaccination in Asia as evidenced byepidemiology of bacterial meningitis. Pediatr Infect Dis J, 1998; 17:S148-51.

4. Levine, Schwartz B. Pierce N, Kane M. Development, evaluation and implementation ofHaemophylus influenzae type b vaccines for young children in developing countries:current status and priority actions. Pediatr Infect Dis J 1998; 17:S95-113.

5. Wenger JD, Ward JI. Haemophilus influenzae vaccine. In: Plotkin SA, Orenstein WA, eds.Vaccines. 4th ed. Philadelphia: W.B. Saunders; 2004:229-68.

6. CDC. Active Bacterial Core Surveillance Report, Emerging Infections Program Network,Haemophilusinfluenzae, 2004- provisional. Atlanta: Department of Health and HumanServices; 2005.

7. Peltola H. Burden of meningitis and other severe bacterial infections of children in Africa:implications for prevention. Clin Infect Dis. 2001;31:64-75.

8. American Academy of Pediatrics. Haemophilus influenzae infections. In: Pickering LK, ed.Red Book: 2006 Report of the Committee on Infectious Diseases. 27th ed. Elk GroveVillage, IL: American Academy of Pediatrics; 2006:310-318.

Bab VI-3

Demam Tifoid

T. H. Rampengan

Salmonella typhi merupakan kuman patogen pada manusia yang menyebabkan infeksiinvasif, ditandai dengan demam, toksemia, nyeri perut, konstipasi atau diare. Bila tidakdiobati dapat menyebabkan kematian pada 10%-20% kasus karena perforasi usus,perdarahan, toksemia dan karena komplikasi lain. Virulensi Salmonella typhi untukmelakukan sirkulasi ke dalam sirkulasi sebagian berhubungan dengan antigenpermukaan Vi.

Epidemiologi

Infeksi terjadi melalui mulut dari makanan dan minuman yang terkontaminasi.Salmonella typhi hanya dijumpai pada manusia yang terinfeksi dan dikeluarkan melaluitinja dan urin. Masa inkubasi 3- 60 hari, terbanyak 7-14 hari. Insidens tertinggi demam

tifoid pada anak terutama di daerah endemis. Demam tifoid sering dijumpai di banyak negaraberkembang terutama di Asia, Afrika dan Amerika Latin, tertinggi di India, Pakistan danBangladesh.

Patogenesis

Kuman salmonella masuk bersama makanan/minuman, dan setelah berada dalam usus halusmengadakan invasi ke jaringan limfoid usus halus, terutama pleksus Peyer dan jaringan limfoidmesenterika. Setelah terjadi proses peradangan dan nekrosis setempat, kuman melewatipembuluh limfe masuk ke aliran darah (bakteremia primer) menuju organ dalam sistemretikuloendotelial (RES) terutama hati dan limpa. Di tempat ini kuman difagosit oleh

sel fagosit RES, sedangkan kuman yang tidak difagosit kembali masuk ke aliran darah danmenyebar ke seluruh tubuh (bakteremia sekunder). Sebagian kuman masuk ke organ tubuhterutama limpa dan kandung empedu yang selanjutnya kuman tersebut dikeluarkan kembali darikandung empedu ke rongga usus dan menyebabkan reinfeksi di usus.

Dalam masa bakteremia kuman mengeluarkan endotoksin yang susunan kimianyasama dengan antigen somatik (lipopolisakarida). Demam tifoid disebabkan karenaSalmonella typhi dan endotoksinnya merangsang sintesis dan pelepasan zat pirogenoleh leukosit pada jaringan yang meradang. Selanjutnya zat pirogen yang beredardalam aliran darah mempengaruhi pusat termoregulator di hipotalamus yangmengakibatkan timbul gejala demam. Makrofag akan menghasilkan substansi aktif yangdi sebut monokin, selanjutnya monokin ini dapat menyebabkan nekrosis selular danmerangsang sistem imun, menyebabkan instabilitas kapiler, depresi sumsum tulang dandemam.

Gejala klinis

Page 99: pedoman imunisasi

v. Gejala klinis pada anak umumnya lebih ringan dan lebih bervariasi dibandingkan dengandewasa. Dengan demikian maka lebih sulit untuk menegakkan diagnosis demam tifoidpada anak, terutama usia muda. Gejala demam tifoid pada anak bervariasi yaitu demamsatu minggu atau lebih, gangguan saluran pencernaan, dan gangguan kesadaran.

v. Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut padaumumnya, yaitu demam, nyeri kepala, anoreksia, mual, muntah, diare, konstipasi. Padapemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan yang meningkat.

v. Pada minggu kedua maka gejala/tanda klinis menjadi makin jelas, berupa demam remiten,lidah tifoid, pembesaran hati dan limpa, perut kembung bisa disertai gangguan kesadarandari ringan sampai berat.

v. Demam tidak selalu khas seperti pada orang dewasa, kadang – kadang mempunyaigambaran klasik berupa stepwise pattern, dapat pula mendadak tinggi dan remiten (39-410C) serta dapat pula bersifat ireguler terutama pada bayi.

v. Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah demam meningkat dengantanda–tanda antara lain lidah tampak kering, di lapisi selaput tebal, di bagianbelakang tampak lebih pucat, di bagian ujung dan tepi tampak lebih kemerahandan bila penyakit lebih progresif maka akan terjadi deskuamasi epitel sehinggapapila lidah lebih prominen.

v. Roseola tifosa lebih sering terlihat pada akhir minggu pertama dan permulaanminggu kedua, berupa nodul kecil, sedikit menonjol dengan diameter 2-4 mm,berwarna merah pucat, serta hilang pada penekanan. Roseola ini karena embolikuman pada kapiler kulit dan terutama dijumpai di daerah perut, dada, kadang–kadang di bokong maupun bagian fleksor lengan atas.

Komplikasi

Komplikasi demam tifoid dibagi dua:

1. Komplikasi pada usus berupa perdarahan usus, perforasi usus dan peritonitis.2. Komplikasi di luar usus berupa bronkitis, bronkopneumonia, ensefalopati, kolesistitis,

meningitis, miokarditis dan kronik karier.

Vaksin Demam Tifoid

1. Vaksin demam tifoid oral

ï¶ Vaksin demam tifoid oral dibuat dari kuman Salmonella typhi galur non patogen yangtelah dilemahkan. Kuman dalam vaksin akan mengalami siklus pembelahan dalam ususdan dieliminasi dalam waktu 3 hari setelah pemakaiannya. Tidak seperti vaksin parenteral,respons imun pada vaksin ini termasuk sekretorik

lgA. Secara umum efektifitas vaksin oral sama dengan vaksin parenteral yang diinaktivasidengan pemanasan, namun vaksin oral mempunyai reaksi samping lebih rendah. Vaksintifoid oral dikenal dengan nama Ty-21a.

+ Penyimpanan pada suhu 20C–80C

+ Kemasan dalam bentuk kapsul, untuk anak umur 6 tahun atau lebih.

+ Cara pemberian 1 kapsul vaksin dimakan tiap hari ke 1,3 dan 5, 1 jam sebelummakan dengan minuman yang tidak lebih dari 37oC. Kapsul ke-4 pada hari ke-7terutama bagi turis.

+ Kapsul harus ditelan utuh dan tidak boleh dibuka karena kuman dapat mati olehasam lambung.

+ Vaksin tidak boleh diberikan bersamaan dengan antibiotik, sulfonamid, atauantimalaria yang aktif terhadap salmonella.

+ Karena vaksin ini juga menimbulkan respon yang kuat dari interferon mukosa,pemberian vaksin polio oral sebaiknya ditunda dua minggu setelah pemberian

terakhir dari vaksin tifus ini.

+ Imunisasi ulangan diberikan tiap 5 tahun. Namun pada individu yang terus tereksposedengan infeksi Salmonella sebaiknya di berikan 3-4 kapsul tiap beberapa tahun.

+ Daya proteksi vaksin ini hanya 50%-80%, maka yang sudah divaksinasipun dianjurkanuntuk melakukan seleksi pada makanan dan minuman.

2. Vaksin polisakarida parenteral

Page 100: pedoman imunisasi

+ Susunan vaksin polisakarida setiap 0,5 ml mengandung kuman Salmonella typhi,polisakarida 0,025 mg, fenol dan larutan bufer yang mengandung natrium klorida, disodiumfosfat, monosodium fosfat dan pelarut untuk suntikan.

+ Penyimpanan pada suhu 20C-80C, jangan dibekukan. + Kadaluwarsa dalam 3 tahun.

+ Pemberian secara suntikan intramuskular atau subkutan pada daerah deltoid atau paha.

v. Imunisasi ulangan tiap 3 tahunv. Reaksi samping lokal berupa demam, nyeri kepala,pusing, nyeri sendi, nyeri otot, nausea,

nyeri perut jarang di jumpai. Sangat jarang bisa terjadi reaksi alergi berupa pruritus, ruamkulit dan urtikaria.

v. Indikasi kontra: alergi terhadap bahan–bahan dalam vaksin. Juga pada saat demam,penyakit akut maupun penyakit kronik progresif.

v. Daya proteksi 50%-80%, maka yang sudah divaksinasipun dianjurkan untukmelakukan seleksi pada makanan dan minuman.

Daftar Pustaka

1. Krugman S, Katz L.: Infectious diseases of children, Philadelphia; Mosby 2004.2. Sood SK. Immunization for Children Travelling Aboard. Pediatrics Clin North Am

2000: 47; 435-48.3. American Academy of Pediatrics. Dalam: Pickering L:K,Baker,CJ,Overturf GD,

Prober CG, Penyuting. Red book. 2003 Report of commitee on InfectiousDiseases. Edisi ke-26. Elk Grove: 2003. h. 541-7.

4. Lutwick LI, Rubin LG, Childhood immunizations. WB Saunders Company. PedClin of N Am 47, April 2000.

5. Centers for Disease Control and Prevention. Yellow Book(4) CDD Travelers health. HealthInformation for International Travel, 2005-2006.

6. Crump JA, Luby SP, Mintz ED. The global burden of typhoid fever. Bull World HealthOrgan. 2004;82(5):346-53.

7. Steinberg EB, Bishop R, Haber P, Dempsey AF, Hoekstra RM, Nelson JM, et al. Typhoidfever in travelers: who should be targeted for prevention? Clin Infect Dis. 2004;39:186-91.

8. Beeching NJ, Clarke PD, Kitchin NR, Pirmohamed J, Veitch K, Weber F. Comparison oftwo combined vaccines against typhoid fever and hepatitis A in healthy adults. Vaccine.2004;23:29-35.

Bab VI-4

Varisela

Hindra Irawan Satari

Vaksin varisela hidup yang dilemahkan (live attenuatted varicella vaccine)dikembangkan pertama kali di Jepang oleh Takahashi, yang dikenal dengan strain Oka.Di Amerika mendapat lisensi untuk dipegunakan pada anak sejak tahun 1995. Vaksinberasal dari VZV liar yang diisolasi dari seorang anak yang bernama belakang Oka,berusia 3 tahun. Hasil penelitian klinis di Amerika Serikat pada anak sehat menunjukkanbahwa vaksin aman dan mempunyai efektivitas tinggi untuk mencegah varisela yangberat.

Epidemiologi

Varisela (cacar air) adalah penyakit infeksi yang sangat menular disebabkan oleh virusvarisela-zoster. Cacar air merupakan fase akut invasi virus sedangkan herpes zoster

merupakan reaktivasi fase laten. Angka kematian meningkat pada individu imunokompromais7%-10% dibandingkan dengan anak sehat 0,1%-0,4%.

Patogenesis

Cacar air ditularkan melalui droplet infection dan sangat menular selama masa prodromal yangsingkat dan pada fase awal erupsi. Masa inkubasi 14 sampai 16 hari. Apabila lesi telah berubahmenjadi krusta, pasien tidak menularkan penyakit.

Gejala Klinis

Setelah masa inkubasi, muncul nyeri kepala ringan, demam tidak begitu tinggi dan lemah badan,diikuti dengan timbulnya lesi kulit

Page 101: pedoman imunisasi

24-36 jam kemudian. Ruam pertama muncul dalam bentuk erupsi makula yang dapatdisertai dengan daerah kemerahan. Ruam ini hanya timbul dalam beberapa jam, terasagatal, vesikel berisi cairan jernih, dan menimbul dari dasar; pada saat ini pada umumnyadiagnosis mudah ditegakkan. Perubahan lesi makula ke papul menjadi vesikelkemudian krusta, berlangsung dalam kurun waktu 6 sampai 8 jam. Lesi kemudianberubah menjadi krusta. Fase akut berlangsung 4-7 hari. Cacar air pada anak biasanyabersifat ringan dan berlangsung singkat. Bila menyerang dewasa sifatnya lebih beratdan dapat menyakibatkan penyakit yang serius serta fatal, terutama apabila menyerangpasien defisiensi imun, anak yang sedang mendapat pengobatan kortikosteroid atauterapi kemostatik, tanpa bergantung kepada golongan umur. Pada umur 12 tahun,sekitar 75% anak telah terserang varisela. Lima persen diantaranya bersifat sub-klinis.

Herpes Zoster

Infeksi herpes zoster berupa ruam vesikular yang terlokalisasi akibat reaktivasi virus varisela-zoster laten, akan timbul pada saat menurunnya kekebalan. Herpes zoster jarang ditemuisebelum umur 12 tahun (1% kasus), umumnya muncul pada usia 40 tahun (81 %). Herpes zostersering berupa penyakit yang serius pada usia lanjut dan individu yang menderitaimunokompromais; sehingga dapat menjadi herpes zoster menyeluruh yang meliputi organdalam, susunan syaraf dan paru.

Sindrom varisela kongenital

Infeksi varisela pada bayi baru lahir yang berat terjadi semasa perinatal akibat varisela dari ibuhamil. Sindrom varisela kongenital dilaporkan terjadi setelah infeksi varisela pada masa tengahkehamilan dan dapat berakibat malformasi kongenital, parut kulit dan anomali lain. Data terakhirdari Eropa mengindikasikan risiko yang tinggi bila infeksi maternal muncul

pada masa kehamilan 0-12 minggu (2%-4%). Bayi yang terinfeksi intrauterin juga mempunyairisiko (0,8%-1,7%) untuk terjadinya herpes zoster pada masa bayi, risiko meningkat apabilapaparan terjadi pada kehamilan 25-36 minggu. Masa awitan pada wanita hamil berlangsung 5hari sebelum kelahiran sampai 2 hari pasca kelahiran dan diperkirakan akan berakibat variselaberat pada 17% -30% bayi yang dilahirkan.

Komplikasi

Infeksi sekunder oleh kuman streptokokus pada vesikel dapat mengakibatkan terjadinyaerisipelas, sepsis, nefritis hemoragik akut. Infeksi stafilokokus dapat terjadi pada vesikeldan menyebabkan pioderma atau impetigo bulosa. Meski jarang, dapat terjadikomplikasi berat, seperti serebelitis, meningitis aseptik, mielitis transversa,trombositopenia dan pneumonia. Pada kasus lebih jarang lagi bahkan dapat menyerangorgan dalam dan sendi. Komplikasi pneumonia terjadi pada dewasa, bayi baru lahirserta pasien imunokompromais, tetapi jarang pada anak kecil. Aspirin atau salisilat tidakboleh diberikan pada pasien dengan varisela oleh karena ditakutkan terjadinya sindromReye.

Vaksi n

Vaksin virus hidup varisela-zoster (galur OKA) yang dilemahkan terdapat dalam bentukbubuk-kering (lyophilised). Bentuk ini kurang stabil dibandingkan vaksin virus hidup lain,sehingga memerlukan suhu penyimpanan tertentu. Vaksin harus disimpan sesuai denganpetunjuk pabrik. Vaksin variselazoster yang beredar di Indonesia dapat disimpan padasuhu 2oC-8oC.Bagi anak hanya diperlukan 1 dosis, sedang individu imunokompromais serta remaja(sama atau di atas 13 tahun) dan dewasa memerlukan 2 dosis, selang 1-2 bulan.

Serokonversi didapat pada 97% individu yang divaksinasi dan sekitar 70% terlindungiapabila terpapar infeksi oleh anggauta keluarga. Infeksi setelah terpapar apabila telahdivaksinasi dapat terjadi pada 1 %-2% kasus setahun, tetapi infeksi pada umumnyabersifat ringan.Vaksin dapat diberikan bersama dengan vaksin MMR.

American Academy of Pediatrics merekomendasikan vaksin ini diberikan 2 kalibagi anak berumur di bawah 13 tahun, suntikan pertama diberikan pada umur 12-15 bulan, sedangkan suntikan ulangan pada umur 4-6 tahun. Dosis kedua dapatdiberikan lebih awal dengan jarak antar suntikan 3 bulan.

Cara pemberian

Mengingat (1) kejadian varisela di Indonesia terbanyak terjadi pada anak yangtelah bergaul dengan anak seumurnya (awal sekolah) dan (2) penularan varisela(kepada adik atau anggota keluarga yang lain) terbanyak terjadi pada saat usia

Page 102: pedoman imunisasi

sekolah, maka Satgas Imunisasi pada tahun 2007 merekomendasikan:

Vaksin varisela diberikan mulai umur masuk sekolah 5 tahun, dosis 0,5 ml secarasubkutan, dosis tunggal.Atas pertimbangan tertentu vaksinasi varisela dapat diberikan setelah umur >1 tahun.Pada anak ≥ 13 tahun vaksin dianjurkan untuk diberikan dua kali selang 1 bulan.Pada keadaan terjadi kontak dengan kasus varisela, untuk pencegahan vaksin dapatdiberikan dalam waktu 72 jam setelah penularan (dengan persyaratan: kontak dipisah/tidakberhubungan).

Mengingat infeksi alamiah masih tinggi sehingga imunisasi pada sekelompok anak tertentu tidakmengubah epidemiologi penyakit ini, seperti peningkatan insiden pada golongan umur yanglebih tua.

Kejadian ikutan pasca imunisasi

Reaksi simpang jarang terjadi.Reaksi KIPI dapat bersifat lokal (1%), demam (1%), dan ruam papula-vesikel ringan.Pada individu imunokompromais:

ï¶ Reaksi sistemik muncul lebih sering (sekitar 12%-40% pada pasien leukemiadalam pengobatan rumatan) daripada reaksi lokal.

ï¶ Setelah penyuntikan vaksin, pada 1% individu imuno kompromais dapat timbulpenyulit varisela.

ï¶ Pada pasien leukemia yang mendapat vaksinasi varisela dapat muncul ruampada 40% kasus setelah vaksinasi dosis pertama, 4% diantaranya dapat terjadivarisela berat yang memerlukan pengobatan asiklovir.

Indikasi kontra

Vaksin varisela tidak dapat diberikan pada keadaan demam tinggi, hitung limfosit kurang dari1200/µl atau adanya bukti defisiensi imun selular seperti selama pengobatan induksi penyakitkeganasan atau fase radioterapi, pasien yang mendapat pengobatan dosis tinggi kortikosteroid(2 mg/kgBB per hari atau lebih). Vaksin ini juga indikasi kontra bagi pasien yang alergi padaneomisin.

Daftar Pustaka

1. GershonAA, Takahashi M, White CJ. Varicella vaccine. Dalam: Plotkin dan Orenstein,penyunting. Vaccines. Edisi ke–4. Philadelphia: W.B. Saunders 2004; 475-507.

2. Seward JF, Watson BM, Peterson CL, Mascola L, Pelosi JW, Zhang JX, et al. Varicelladisease after introduction of varicella vaccine in the United States, 1995-2000. JAMA.2002;287:606-11.

3. Gershon AA, Takahasi M, Seward J. Varicella vaccine. In: Plotkin SA, Orenstein WA, eds.Vaccines. 4th ed. Philadelphia: Saunders; 2004:783-823. CDC_ch04_113-380.indd 354 4/9/0710:06:52 AM Viral Hemorrhagic Fevers 355.

4. CDC. Decline in annual incidence of varicella – Selected States, 1990-2001. MMWRMorbid Mortal Wkly Rep. 2003;52:884-5.

5. Centers for Disease-Control. Prevention of varicella. Update. MMWR Morbid Mortal WklyRep. 1999;48:1-6.

6. ACIP Provisional Recommendations for Prevention of Varicella (http://www.cdc.gov/nip/vaccine/varicella/varicella acip recs prov june 2006.pdf).

7. Kuter B, Matthews H, Shinefi eld H, Black S, Dennehy P, Watson B, et al. Ten year follow-up of healthy children who received one or two injections of varicella vaccine. Pediatr InfectDis J. 2004;23:132-7.

8. Shinefield H, BlackS, Digilio L, Reisinger K, Blatter M, Gress JO, et al. Evaluationof a quadrivalent measles, mumps, rubella and varicella vaccine in healthychildren. Pediatr Infect Dis J. 2005;24:665-9.

9. Seward JF. Update on varicella. Pediatr Infect Dis J. 2001;20:619-21.10. ACIP Provisional recommendations for the use of zoster vaccine (http://www.cdc.

gov/nip/recs/provisional_recs/zoster-11-20-06. pdf).11. CDC. A new product (VariZIG) for postexposure prophylaxis of varicella available

under an Investigational New Drug application expanded access protocol. MMWRMorbid Mortal Wkly Rep. 2006; 55(MM8):209-210

Page 103: pedoman imunisasi

Bab VI-5

HEPATITIS A

Boerhan Hidajat, Purnamawati S. Pujiarto, Hanifah Oswari

Infeksi virus hepatitis A (VHA) bersifat global dengan variasi demografis sesuai tingkathigiene-sanitasi dan sosial-ekonomi suatu negara. VHA bersifat self limiting namunpotensial menimbulkan dampak epidemiologis dan klinis. Indonesia merupakan daerahendemis hepatitis virus baik VHA maupun hepatitis virus B dan C (VHB dan VHC). Sulituntuk mengetahui insidens pasti VHA karena pada sebagian kasus infeksinya bersifatasimtomatis terutama pada anak berusia < 6 tahun. Kelompok asimtomatis inimerupakan reservoir infeksi bagi komunitasnya, termasuk orang tua. Pasien penyakithati kronis (PHK) mempunyai morbiditas dan mortalitas lebih tinggi. Virus hepatitis Atergolong picornavirus (berukuran 27 nanometer). Terdiri dan satu rantai RNA linearyang dibungkus 3 protein yaitu VPI VP2, VP3. Neutralisasi termasuk oleh neutralizingantibody pasca imunisasi, ditujukan terhadap VPI-3. Virus HA sangat stabil pada suhutinggi maupun pada pH 3–10.

Epidemiologi

Di negara prevalens tinggi, infeksi umumnya teijadi pada usia <10 tahun, di daerah prevalenssedang, infeksi terjadi pada usia remaja dan dewasa muda, sedangkan di area prevalensrendah, infeksi terjadi pada dewasa dan usia lanjut.

Di daerah urban Jakarta, prevalens anti HAV pada kelompok usia < 9 tahun 39,6%, usia 10 - 19tahun 67,8%, dan 95% pada usia >50 tahun. Di Bandung, prevalens anti HAV 63,2% dan di ruralSulawesi 47,5%. Penelitian lain pada anak usia 6-8 tahun dan kelompok sosial ekonomi tinggi diJakarta menunjukkan bahwa prevalens anti HAV

hanya 1,7% dan mereka inilah yang kelompok yang rentan dan perlu imunisasi VHA.

Transmisi. Transmisi VHA terjadi melalui penularan fekal-oral dalam bentuk penularanantar individu (kontak erat) dan penularan melalui makanan atau minuman yangtercemar. Transmisi terjadi selama ekskresi virus di tinja masih berlangsung yaitu sejak2-3 minggu sebelum sampai dengan 8-19 hari sesudah gejala klinis rnuncul. Transmisidalam kontak erat terbukti dengan terjadinya penularan intrafamilial satu rumah (26%),di tempat penitipan anak (TPA, 11%), di lembaga retardasi mental, dan di kalanganhomoseksual (l5%). Meskipun jarang, transrnisi dapat pula terjadi di rumah sakit.Transmisi antar anak di sekolah bukan merupakan modus transmisi yang kerap. InfeksiVHA di sekolah merefleksikan adanya infeksi di populasi.

Wabah akibat makanan (tidak dimasak atau yang dibekukan), jarang terjadi tetapi dapatmenimbulkan dampak lingkungan yang besar. Di beberapa negara berkembang,

kejadian wabah VHA cukup tinggi akibat air kolarn renang yang tercemar atau tidak diklorinisasidengan adekuat. Meskipun jarang, penularan dapat juga terjadi melalui transfusidarah/komponen darah dan donor yang sedang berada pada fase viremia. Selain itu, transmisijuga terjadi pada pengguna obat terlarang (10%), serta pada wisatawan mancanegara (14%).

Populasi risiko tinggi tertular VHA

Anak usia ≥ 2 tahun, terutama anak di daerah endemis. Pada usia > 2 tahun antibodi maternalsudah menghilang. Di lain pihak, kehidupan sosialnya semakin luas dan semakin tinggi pulapaparan terhadap makanan dan minuman yang tercemar.

Pasien PHK, berisiko tinggi hepatitis fulminan bila tertular VHA. Kejadian hepatitis fulminanpada pengidap VHB dan VHC 55% dan 33%.

Kelompok lain, yaitu pria homoseksual, pasien koagulopati, pengguna narkotik intravena,pekerja dengan primata, dan kelompok sosioekonomi tinggi. Penelitian pada anak kelompoksosioekonomi tinggi di Jakarta menunjukkan persentase rendah anak sekolah kelompok sosioekonomi tinggi yang sudah memiliki proteksi alamiah.

Manifestasi klinis

Masa inkubasi HVA bervariasi antara 15 - 50 hari. Infeksi dapat simtomatik atauasimtomatik, tergantung usia. Infeksi asimtomatis dialami 70% anak usia < 6 tahunsedangkan 85% anak besar dan dewasa simtomatis dan umumnya memerlukan rawatinap. Gejala berlangsung < 2 bulan, tetapi 10% - 15% pasien mengalami prolonged ataurelapsing hepatitis selama 6 bulan. Sebagian besar hepatitis akut yang dirawat di rumahsakit adalah infeksi HVA.

Page 104: pedoman imunisasi

Virus bereplikasi di hati, diekskresi dan menumpuk di tinja. Selama 2 minggu sebelumikterik atau sebelum terjadinya peningkatan SGPT, daya tular sangat tinggi karenakonsentrasi virus di tinja sangat tinggi. Pada fase ikterik, konsentrasi virus di tinja jauh

berkurang tetapi telah dilaporkan fecal shedding bisa berlangsung beberapa bulan. Viremiaberlangsung singkat, sebagian kecil saja yang masih viremia pada awal masa penyembuhan.

HVA dapat menimbulkan komplikasi (1) hepatitis fuiminan (± 0.1%) yang pada VHB dan VHCmeningkat (55% dan 33%); (2) prolong hepatitis (12-18 minggu); dan (3) relapsing hepatitis(3,8% - 20%), biasanya kekambuhan Iebih dan satu kali.

Pencegahan

Upaya pence gahan merupakan upaya yang terpenting, dilakukan dengan pola hidupbersih/sehat dan imunisasi pasif maupun aktif.

Imunisasi pasif

Normal human immune globulin (NIHG) setiap milimiternya mengandung 100 IU anti HAVDiberikan sebagai upaya pencegahan setelah kontak (kontak serumah, kontak seksual, saatepidemi) atau upaya profilaksis pasca paparan. Diberikan pula sebagai upaya profilaksis prapaparan atau sebelum kontak (pengunjung dari daerah non endemis ke daerah endemis).Seyogyanya diberikan tidak lebih dari 2 minggu setelah paparan.

Imunoglobulin (Ig) diberikan secara intramuskular dalam dengan dosis 0,002 ml/kg beratbadan, pada anak besar dan dewasa ≤5 ml, sedangkan pada anak kecil atau bayi tidakmelebihi 3 ml.

Tabel 6.1. Rekomendasi profilaksis post exposure terhadap VHA.

Saat paparan (minggu) Usia (tahun) Rekomendasi

≤ 2 <2 Ig

≥ 2 Ig dan vaksin

> 2 <2 Ig

≥ 2 Vaksin

Keterangan: Ig=imunoglobulin

Tabel 6.2. Profilaksis pre exposure terhadap pengunjung dan daerah non endemis

Umur Lama Rekomendasi Keterangan

(thn) kunjungan

< 2 < 3 bulan Ig0.02ml/kg 1 kali

3 - 5 bulan Ig 0.06 ml/kg 1 kali

Jangka panjang Ig 0.06 ml/kg saat berangkat, di‑

ulang setiap 5 bln

≥2 <3 bulan Vaksin atauIg 0.02 ml/kg Dosis dan jadwal

3 - 5 bulan Vaksin atau Ig 0.06 ml/kg imunisasi aktif lihat

Jangka panjang Vaksin di bagian perihal

imunisasi aktif

Keterangan: Ig=imunoglobulin

Imunisasi aktif

Page 105: pedoman imunisasi

Imunisasi menyebabkan terbentuknya serum-neutralizing antibodies terhadap epitop permukaanvirus. Kandidat vaksinasi VHA berdasarkan rekomendasi ACIP tertera pada Tabel 6.3.Kebijakan imunisasi hepatitis A lebih bersifat individual. Imunisasi hepatitis A diberikan padaanak berusia ≥ 2 tahun.

Tabel 6.3. Indikator kandidat vaksinasi HVA

Kandidat vaksinasi HVA

Imunisasirutin Anak di daerah endemis HVA atau daerahdengan wabah periodik

Risiko tinggi VHA Pengunjung ke daerah endemis

Pria homoseksual dengan pasangan ganda IVDU

Pasien yang memerlukan konsentrat faktor VIII Staf TPA, staf dan penghuniinstitusi untuk cacat mental

Pekerja dengan primata bukan manusia Staf bangsal neonatologi

Risiko hepatitis fulminan Pasienpenyakit hati kronis

Risiko menularkanYHA Penyajimakanan, anak usia 2-3 tahun di TPA

Vaksin

Vaksin dibuat dan virus yang dimatikan (inactivated vaccine).Dosis vaksin bervariasi tergantung produk dan usia resipien.Vaksin diberikan2kali, suntikankedua atau booster bervariasi antara6 sampai 18 bulan setelah dosis pertama, tergantung produk.Vaksin diberikan pada usia ≥2 tahun.Vaksin hepatitis A terbukti mempunyai imunogenisitas baik.

Efek Samping

Vaksin HVA aman dan jarang menimbulkan efek samping. Reaksi lokal merupakan efeksamping tersering (21 %–54%) tetapi umumnya ringan. Demam dialami 4% resipien.

Uji serologi pra-pasca vaksinasi

Uji pra vaksinasi pada anak hanya dilakukan bila ada kecurigaan kuat terhadap infeksi masalampau. Uji pasca vaksinasi hanya dikerjakan pada individu dengan gangguan imunologistermasuk PHK.

Lama proteksi

Lama proteksi antibodi anti HVA diperkirakan menetap selama ≥ 20 tahun. Proteksijangka panjang terjadi akibat antibodi protektif yang menetap atau akibat anamnesticboosting infeksi alamiah.

Pemberian bersama vaksin lain

Pemberian vaksin VHA bersamaan dengan vaksin lain tidak mengganggu respons imunmasing-masing vaksin dan tidak meningkatkan frekuensi efek samping.

Indikasi kontra dan kondisi yang memerlukan perhatian khusus

Vaksin VHA tidak boleh diberikan kepada individu yang mengalami reaksi beratsesudah penyuntikan dosis pertama.

Daftar Pustaka

1. Sulaiman A, Julitasari. Panduan praktis hepatitis A. Edisi pertama. Jakarta, YayasanPenerbitan Ikatan Dokter Indonesia, 2000.

2. National Health and Medical Research Council. Dalam: Watson C, penyunting. TheAustralian Immunization Handbook. Edisi ke-9. Canberra: NHMRC 2008.

3. Bisanto J. Tinjauan multi-aspek hepatitis virus A pada anak. Dalam Tinjauan komprehensifhepatitis virus pada anak. Naskah lengkap Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan IlmuKesehatan Anak XLIII; Jakarta, 2000: 9-31.

Page 106: pedoman imunisasi

4. BergeJJ, DrennanDP, Jacob RI, Jakins A, Meyyerhoff AS, Stubblefield W, Weinberg M.The cost of hepatitis A infections in American adolescents and adults in 1997. Hepatol2000; 31: 469- 73.

5. Rosenthal P. Cost-effectiveness of hepatitis A vaccination in children, adolescents, andadults. Hepatol 2003; 37 (1): 44-51.

6. Averhoff F, Shapiro CN, Bell BP, Hyams I. Burd L. Deladisma A, Simard EP. Nalin D, KuterB. Ward C, Lundberg M, Smith N. Margolis HS. Control of hepatitis A through routinevaccination of children. JAMA 2001; 286 (23): 296S-73.

7. Werzberger A, Mensch B. Nalin DR, Kuter BJ. Effectiveness of hepatitis A vaccine in aformer frequently affected community: 9 years’ follow up after the Monroe field trial ofVAQTA®. Letter to Editor. Vaccine 2002; 20: 1699-701.

8. CDC. Prevention of hepatitis A through active or passive immunization:recommendations of the Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP).MMWR Morbid Mortal Wkly Rep. 2006; RR 55:1-23.

9. Bell BP, Feinstone SM. Hepatitis A vaccine. dalam: Plotkin SA, Orenstein WA,editors. Vaccines. 4th edition. Philadelphia: W.B. Saunders, 2004.

10. Mutsch M, Spicher VM, Gut C, Steffen R. Hepatitis A virus infections in travelers,1988-2004. Clin Infect Dis. 2006;42:490-7.

11. BacanerN,StaufferB,BoulwareDR,WalkerPF,KeystoneJS. Travel medicineconsiderations for North American immigrants visiting friends and relatives. JAMA.2004;291:2856-64.

12. CDC. Hepatitis Surveillance Report No. 61.2005. Atlanta: U.S. Department ofHealth

and Human Services. Centers for Disease Control and Prevention. 2006.

13. van Damme P, BanatvalaJ, Fay O, IwarsonS, McMahonB, VanHerckK, dkk. Hepatitis

A booster vaccination: is there a need? Lancet. 2003;362:1065–71.

Bab VI-6

Rabies dan Vaksinasi Anti Rabies

Q)skandar Qyarif

Rabies dari bahasa latin yang berarti kemarahan yang sangat, merupakan subjek yangmenarik perhatian karena menyebabkan ketakutan dan siksaan berat sejak ditemukandahulu kala. Rabies pada manusia adalah infeksi virus pada susunan saraf pusatbiasanya ditularkan melalui luka yang terkontaminasi ludah binatang yang terinfeksivirus rabies. Penyakit ini umumnya bersifat fatal tapi dapat dicegah (preventable fataldisease) dengan profilaksis pasca paparan (postexposure prophylaxis).

Epidemiologi

Saat ini sekitar 100 negara terdapat rabies pada binatang baik liar maupun domestikdan sekitar 2,5 milyar manusia yang hidup pada daerah ini. Diperkirakan terdapat50.000 kematian tiap tahun pada manusia oleh karena rabies, dan sekitar 10 juta orang

menerima vaksinasi pasca paparan. Anak umur 5–15 tahun berada dalam risiko terhadappenyakit ini. Sekitar 99% kematian terdapat di Asia, Afrika, dan Amerika Selatan, Indiamelaporkan sekitar 30.000 kematian tiap tahunnya.

Di Indonesia hanya beberapa daerah yang masih bebas rabies diantaranya Bali, NTB, DKI,Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Di Yogyakarta (Subdit Surveilan Rabies). Pada Tabel6.4 tertera 6 provinsi tertinggi kasus gigitan hewan tersangka rabies.

Tabel 6.4. Kasus gigitan hewan tersangka rabies di beberapa propinsi utama tahun 2001 s/d2005

No

Propinsi GHTR Rabies

Page 107: pedoman imunisasi

1 SumateraBarat 11022 44

2 SulawesiSelatan 6700 37*

3 SumateraUtara 4537 5*

4 NTT 4214 345 Sumatera

Selatan 4208 6

6 SulawesiUtara 2646 21

7 Maluku 3295 378 Sulawesi

Tenggara 2029 35*

GHTR : Gigitan Hewan Tular Rabies (data Subdit Surveilan Rabies Depkes RI). * Data Tahun2001-2004

Jumlah gigitan hewan tersangka rabies untuk seluruh Indonesia tahun 2001-2005 yang telahterdata sebanyak 56.245, yang mendapatkan vaksin anti rabies 33.135 (+50 %) dan yangmendapatkan vaksin dan serum anti rabies 193 orang (0,34%), sedangkan jumlah kasus rabies365 orang (0,6% dari kasus gigitan hewan tersangka rabies).

Etiologi

Virus rabies merupakan genus Lyssavirus, famili Rhabdoviridae, virus ini berbentuk pelurudengan panjang 130-380 nm dan diameter 70-85 nm.

Terdapat 7 galur (strain)Lyssavirus,

galur 1 Caninerabies virus rabies klasik

galur 2 Pada kelelawar di Lagos Nigeria

galur 3 Makola virus juga pada kelelawar di Nigeria galur 4 Duvenahage virus pada manusia(Afrika Selatan) galur 5 Lyssavirus kelelawar Eropa 1 (kasus manusia di

Rusia)

galur 6 Lyssavirus kelelawar Eropa 2 (2 kasus di Finlandia) galur 7 Baru terisolasi di kelelawarAustralia

Patogenesis

Secara umum diterima apabila virus memasuki luka, virus akan segera memasuki selotot didekatnya dan berkembang biak dalam sel otot dan segera melekat di reseptornikotinik asetilkholin pada neuromuscular junction. Pada saat virus memasuki sarafpertahanan tubuh tidak bisa lagi melawan virus ini. Virus akan bergerak dalam aksonmenuju susunan saraf pusat dengan kecepatan bervariasi 3 mm perjam, 20-24 mmperhari, 8-20 mm perhari. Virus akan merusak jaringan batang otak dan medula spinalis,hidrophobi merupakan gejala patognomonis penyakit ini karena kerusakan batang otak.Hidrophobi ini tidak ditemui pada penyakit lain oleh karena hanya rabies yangmengenai batang otak dengan kortekserebri intact sehingga tetap sadar.

Penemuan patologi berupa negri bodies di jaringan otak yang merupakan hallmark darirabies ini saat ini hanya pada sekitar 50% kasus sehingga tidak ditemuinya negri bodies

ini tidak mematikan diagnosis. Saat ini dikembangkan direct flurescent antibody test (DFAT)dengan sensitivitas yang lebih baik mendekati 100%. Selain luka gigitan dari binatang yangsakit, virus dapat juga melalui mukus membran dan kulit yang aberasi, transplantasi jaringan daninhalasi dari eksreta kelelawar.

Gambaran klinis

Masa inkubasi sangat bervariasi dari 5-6 hari sampai beberapa tahun dengan mayoritas kasusantara 20-60 hari, masa inkubasi pendek bila gigitan di daerah kepala bila dibandingkanekstremitas. Masa inkubasi lebih pendek pada anak karena jarak ke SSP lebih pendek jikadibandingkan dengan orang dewasa. Pada masa inkubasi ini tidak ditemui gejala. Gejaladimulai pada masa prodromal berupa malise, anoreksia, lelah, nyeri kepala, dan demam. Nyeridan parestesi di tempat gigitan atau ekspsur ditemui 50%-80% kasus. Rasa takut, agitasi,iritabel, nervus, sukar tidur, dan depresi menonjol pada masa ini. Masa prodromal iniberlangsung 2-10 hari.

Page 108: pedoman imunisasi

Text Box:

Setelah masa prodromal akan terjadi masa neurologik akut yang dapat berupa bentuk furipus(hebat) dan bentuk paralitik yang akan berlangsung 2-21 hari atau 2-12 hari. Bentuk furiousditandai dengan hidrophobi, aerophobi, hiperaktif yang mendadak, disorientasi, kelakuan yanganeh (bizarre) diselingi lusid interfal. Pada fase lusid ini penderita dapat mengutarakan apa yangterjadi dan yang dirasakan serta ditakutkan. Pada fase ini juga ditandai dengan disfungsi sarafotonom berupa dilatasi pupil dan hipersalivasi. Bentuk paralitik pasien tetap sadar dengangambaran seperti sindrom Gullain Barre, dengan gejala paralitik asending yang simetris, bentukini ditemui pada sekitar 20% kasus terutama setelah digigit kelelawar. Beberapa pasien dengangejala meningismus sampai epistotonus dengan LCS normal atau gejala iritasi meningealdengan peningkatan sel limfosit dan protein. Apabila pasien tidak meninggal dalam periode akutakibat kegagalan kardiorespirasi, pasien akan jatuh ke stadium koma. Walaupun dengantersedianya perawatan intensif dapat memperpanjang hidup sementara pasien dengankomplikasi miokarditis, gangguan hipofise dan syndrome inappropriate antidiuretic hormon(SIADH).

Pasien infeksius sekitar 1 minggu sebelum muncul gejala sampai sekitar 5 minggu setelahnya.Walaupun prinsipnya dapat menularkan tetapi sampai saat ini belum ada laporan penularanantar manusia kecuali pada transplantasi kornea dari pasien yang sebelumnya tidakterdiagnosis rabies. Untuk orang yang terkontak dengan pasien rabies baik oleh karena gigitan,air liur pasien pada selaput mukosa atau kulit yang tidak utuh diharuskan mendapat vaksinasipasca terpapar (lihat pencegahan). Umumnya pasien yang telah menunjukkan gejala rabiesakan meninggal karena tidak ada pengobatannya sampai saat ini, walaupun ada beberapalaporan yang selamat (3 kasus) tetapi semuanya telah mendapat pencegahan secara parsialsebelum terpapar.

Pengobatan

Pengobatan pasca paparan berupa pengobatan luka dan pemberian imun globulin danvaksinasi. Pengobatan luka merupakan bagian penting dari tatalaksana pasca gigitan yaknimencuci luka dengan sabun, detergen dan air yang banyak sekurang-kurangnya 10 menit. Lukadapat diberikan povidone-iodine, alkohol 40%-70%, bila luka cukup besar perlu dipasang kateteruntuk irigasi dan jahitan hanya jahitan situasi. Pemberian anti tetanus serum dan antibiotikauntuk pengobatan luka dari infeksi perlu diberikan.

Profilaksis setelah terpapar akan tergantung pada keadaan anjing yang menggigit apahewannya telah diimunisasi atau tidak atau anjing liar yang dapat ditangkap atau lari.Subdit Zoonosis Ditjen PPM & PLP Depkes RI (2000) memberikan bagan alur sebagaiberikut,

Hewan penggigit lari/hilang& tdk dpt ditangkap, mati atau dibunuh

Spesimen otak hewanDapat diperiksa

Di labor

Hewan penggigit dpt ditangkap & diobservasi 10-14hari

Positif

Page 109: pedoman imunisasi

Text Box:

Negatif

Stop VAR

Lanjutkan VAR

Tidak diberi VAR

Spesimen otak hewan diperiksa di lab

VAR

lanjutkan VAR distop Positif

Jika tdk dpt diperiksa

Lanjutkan VAR VAR lanjutkan

* VAR= vaksin anti rabies SAR= serum anti rabies

Gambar 6.1. alur pengobatan digigit hewan

Pedoman di Amerika Serikat (untuk postexposure rabies prophylaxis/ treatment PEP/PET)sebagai berikut.

1. Setiap serangan hewan tanpa provokasi terlebih dahulu berisiko tinggi rabies.2. Setiap gigitan atau mukous membran kontak dengan hewan domestik yang telah

diimunisasi sebelumnya dan pemiliknya dapat menjamin hewannya selama 10 hari makaPEP dapat ditunda.

3. Pada hewan dengan gejala rabies hewan segera dimatikan dan diperiksa otaknyadi laboratorium hewan segera untuk melihat ada atau tidaknya rabies.

4. Human rabies immunoglobulin dan vaksin diberikan pada kasus risiko tinggikecuali hanya pada orang yang telah divaksinasi sebelumnya dan antibodi dapatdideteksi hanya pemberian vaksin ulangan tanpa imunoglobulin.

Tabel 6.5. Petunjuk untuk post exposure treatment menurut WHO

Kategori Tipe kontakdengan hewan Pengobatan yang dianjur‑

yang diduga kan

I Kontak atau memberimakan Tidak diterapihewan, jilatan pada kulit

yang utuh

II Nibbling padakulit yangtidak utuh,garutan kecilatau aberasikulit tanpaperdarahan ,jilatan padakulit yang

Berikan vaksinsegera

Stop terapi jikahewan tetapsehat selamaobservasi 10hari atau jikahewandibunuh danhasilpemeriksaanrabies negatifpada

Page 110: pedoman imunisasi

kulit yangtidak utuh

III Satuatau lebihgigitan ataugarutan padakulitKontaminasiair liur padamembranmukosa,misalnyajilatan

laboratoriumyang dipercaya

Berikan VARdanSARsegera.Hentikan terapijika hewantetap sehatselama 10 hariobservasi ataujika hewandibunuh hasilpemeriksaanrabies negatifpada laborato-rium yangdipercaya

Pemberian serum anti rabies (SAR) yang berasal dari manusia dengan dosis 20 IU/kg BB,sedangkan yang berasal dari kuda dengan dosis 40 IU/kg BB. Reaksi anafilaksis jarang terjaditetapi uji kulit diperlukan pada serum yang berasal dari kuda. Pemberian SAR ini diinfiltrasikansebanyak mungkin di sekitar luka dan sisanya intramuskular dengan jarum dan tempat yangberbeda dari vaksin. Pemberian SAR dapat diberikan dalam 7 hari setelah pemberian vaksindan tidak diperlukan lagi setelahnya.

Bila uji kulit positif perlu dipertimbangkan bila ada indikasi dapat tetap diberikan denganpretreatmen dengan adrenalin/ epinefrin im dan antihistamin dan pasien diperlukantinggal 1 jam setelah pemberian, test kulit negatif untuk serum dari kuda ini tidakmenjamin tidak akan ada reaksi anafilaksis karenanya tetap disediakan adrenalindengan dosis anak 0,01/kg BB dan dewasa 0,5 ml subkutan atau im. Di Indonesiatersedia rabies imunoglobulin serum manusia (Imogam vaksin rabies dari AventisPasteur).

Vaksin rabies

Vaksin rabies dahulu berasal dari jaringan saraf (nervus tissue vaksin) yang mungkinmasih ada pada beberapa negara tapi di Indonesia sudah tidak dipakai lagi karena efek

samping yang serius, dapat berupa meningoensefalitis, meningoensefalomielitis, transversemielitis dan paralisis tipe Landry. Saat ini vaksin dari jaringan diploid manusia berupa humandiploid cell Vaccine (HDCV) misalnya imovax rabies vaccine dari Aventis Pasteur reaksiminimal. Di Eropa dan negara yang sedang berkembang melisensikan vaksin dari kultur selmonyet vero disebut purified vero cel vaccine (PVRV) dengan nama dagang Verorab denganhasil penggunaan vaksin vero dan HDCV setara.

Pemberian vaksin secara standar WHO intra muskular satu dosis 1 ml atau 0,5 ml tergantungvaksin yang tersedia pada hari 0, hari ke-3, hari ke-7, hari ke-14, dan hari ke-28. Juga dapat

diberikan reduksi jumlah suntikan dengan 2 dosis pada hari 0, 1 dosis hari ke-7 dan satu dosishari ke-21 (regimen Zagreb yang dipakai di Indonesia), dapat mengurangi kebutuhan satu vaksindan waktu kunjungan lebih singkat. Suntikan di regio deltoideus pada dewasa, paha lateral padaanak, dan jangan di daerah gluteus yang akan menyebabkan serokonversi yang rendah.

WHO berdasarkan penelitian di beberapa negara dan mengingat biaya yang cukuptinggi dengan standar regimen secara im dapat diberikan secara intradermal.

Untuk pemberian intra dermal diperlukan tenaga yang terlatih pemberian intradermaldan tidak diberikan pada kasus yang mendapat obat antimalaria kloroquin karena dapatmenurunkan pembentukan antibodi. Dosis intra dermal 0,1 ml bila sediaan im 0,5 dan0,2 bila sediaan im 1 ml.Pemberian intra dermal dapat berupa two-site intradermal regimen (2-2-2-0-1-1) yaitu 2suntikan pada hari 0, ke-3, ke-7, dan 1 suntikan hari ke-28 dan ke-90.Pemberian multi site intradermal regimen (8-0-4-0-1-1), 8 suntikan ID pada hari 2, 4suntikan hari ke-7 dan masing-masing 1 pada hari ke-28 dan 90. Delapan suntikan inimasing -masing 2 regio deltoideus, 2 supra skapula, 2 regio abdomen dan 2 paha lateral

quadran bawah. Empat suntikan hari ke-7 pada regio deltoideus dan paha kiri kanan.Vaksin yang sudah dilarutkan dan tetap dalam suhu 2-8 derajat C, harus dipakai dalam6jam berikutnya. Regimen ID ini sudah dipakai di Thailand (1995), Srilangka (1995), danFilipina (1997), negara-negara maju hanya mengadopsi suntikan im dengan dosis standar,kecuali untuk pre-exposure prophylaxis.

Page 111: pedoman imunisasi

Text Box:

Text Box: Text Box:

Pemberian vaksinasi sebelum terpapar ini biasanya diberikan pada orang yang berisiko tinggiterhadap rabies seperti dokter hewan, petugas karantina hewan, pemburu, penangkap anjing,tenaga lab yang berhubungan dengan virus rabies sedangkan pelancong ke daerah endemismasih kontroversi. Dosis sama dengan vaksinasi pasca terpapar pada hari 0, ke-7, ke-21 atauke-28 baik im

maupun ID. Booster dapat diberikan 1 kali setelah1 tahun, umumnya dapat diulang setelah 1 sampai5 tahun. Orang ini harus dicek titer antibodinya

setiap 6 bulan bila berhubungan dengan virus aerosol, dan yang lainnya setiap 2 tahun.

Studi di Vietnam memberikan imunogenisitas dan aman pemberian vaksinasi pada anaksecara im pada umur 2 dan 4 bulan, secara ID atau pada umur 2, 3, dan 4 bulan. WHOmasih mempelajari pemberian vaksinasi awal pada anak yang hidup di daerah denganrabies merupakan problem utama.

Regimen Intramuskular Standar WHO

Dosis : 1 dosis im (1,0 atau 0,5 ml) di otot deltoideus Day 0 3 7 14 28

SAR*

Regimen Suntikan Intramuskular pada beberapa tempat dengan jumlah vaksin dikurangi(2-1-1)

Dosis : 1 dosis im (1,0 atau 0,5 ml) di otot deltoideus

Hari 0 7 21

Tempat x2 x1 x1

SAR*

S A R = serum antirabies

Regimen Suntikan Intradermal pada 8 tempat (8-0-4-0-1 -1)

Dosis: 0,1 ml intradermal pertempat suntikan

Hari 0 7 28 90

Tempat x8 x4 x1 x1

SAR

Page 112: pedoman imunisasi

Regimen Suntikan Intradermal pada 2 tempat (2-2-2-0-1 -1)

Dosis: dosis intradermal 1/5 dari dosis intramuskular (0,1 atau 0,2 ml) pertempat

Hari 0 3 7 28 90

Tempat x2 x2 x2 x1 x1

SAR

Pencegahan pada binatang

Saat ini di negara maju semua binatang peliharaan yang berpotensi menularkan rabiesdiberikan imunisasi terhadap rabies, bahkan pada hewan liar dengan daerah yang sangat luasdiberikan umpan yang ditebarkan dengan pesawat udara (imunisasi secara oral). Bila 80%populasi anjing dapat divaksinasi sudah cukup untuk menghambat penularan. Pemusnahanhewan liar terutama anjing dapat menurunkan penyebaran penyakit ini di Cina, Indonesia,Thailand dan Vietnam.

Daftar Pustaka

1. Fishbein DB, Robinson LE: Rabies. N Engl J Med 1999; 329: 1632-8.2. Adam WG: Rabies. Dalam BehrmanRE, Kliegman RM, Jenson HB penyunting Nelson Text

Book of Pediatrics 17 eds Saunders 2004 h 1101-4.3. WHO. Weekly epidemiological record. No 14. 2002. http://www.who.int/wer4. Bertolini J, Merlin M. Rabies httpi/www.emedicine.com. Last update october 2004.

5. SubdinZoonosis Ditjen PPM & PLP Depkes-Kesos RI. BaganTatalaksanaKasusGigitan Hewan tersangka Rabies.

6. Warrell MJ, Warrell DA. Rabies and other lyssavirus diseases. Lancet.2004;363:959- 69.

7. Taplitz RA. Managing bite wounds. Currently recommended antibiotics fortreatment and prophylaxis. Postgrad Med. 2004;116:49-52, 55-6, 59.

8. Knobel DL, Cleaveland S, Coleman PG, Fevre EM, Meltzer MI, Miranda ME et al.Re-evaluating the burden of rabies in Africa and Asia. Bull World Health Organ.2005;83:360-8.

9. Wilde H, Briggs DJ, Meslin FX, Hemachudha T, Sitprija V. Rabies update for travelmedicine advisors. Clin Infect Dis. 2003;37:96-100.

10. Rendi-Wagner P, Jeschko E, Kollaritsch H, osterreichische Expertengruppe furReisemedizin. Travel vaccination recommendations for Central and Eastern Europeancountries based on country-specific risk profiles. Wien Klin Wochenschr. 2005;117Suppl4:11-9.

11. Richardson M. The management of animal and human bite wounds. Nurs Times.2006;102:34-6.

12. Jackson AC, Warrell MJ, Rupprecht CE, Ertl HC, Dietzschold B, O’Reilly M, et al.Management of rabies in humans. Clin Infect Dis. 2003;36:60-3.

13. CDC. Human rabies prevention — United States, 1999. Recommendations of the AdvisoryCommittee on Immuniza-tion Practices (ACIP). MMWR Morbid Mortal Wkly Rep.1999;48(RR-1):1-21.

14. World Health Organization Expert Consultation on Rabies. World Health Organ Tech RepSer. 2005;931:1-88.

15. Khawplod P, Wilde H, Sirikwin S, Benjawongkulchai M, Limusanno S, Jaijaroensab W,Chiraguna N, et al. Revision of the Thai Red Cross intradermal rabies post-exposureregimen by eliminating the 90-day booster injection. Vaccine. 2006;24:3084-6.

16. Heudorf U, Tiarks-Jungk P, Stark S. Travel medicine and vaccination as a task of infectionprevention. Gesundheitswesen. 2006;68:316-22.

17. Rupprecht CE, Gibbons RV. Clinical practice. Prophylaxis against rabies. N Engl J Med.2004;351:2626-35.

Bab VI-7

INFLUENZA

Cisy Kartasasmita

Page 113: pedoman imunisasi

Influenza adalah penyakit infeksi saluran nafas yang disebabkan oleh virus influenza Adan virus influenza B. Penyakit ini sangat menular, yang dapat mengakibatkankomplikasi serius. Namun demikian, seringkali masyarakat dan dokter, memakai istilah“influenza” atau “flu” untuk setiap penyakit infeksi saluran naf as dengan gejala demam,rinitis, nyeri tenggorokan, batuk, nyeri kepala, nyeri otot, apapun virus penyebabnya,dikenal sebagai influenza like illness (ILI). Gejala tersebut tidak spesifik, dan di masalalu mungkin tidak penting untuk mendeteksi virus penyebabnya, karena pengobatannyasimtomatis. Pada saat ini dengan adanya obat dan vaksin untuk pencegahan beberapajenis virus, perlu dipastikan virus penyebab penyakit tersebut.

Pemberian vaksin influenza yang dilemahkan (inactivated influenza vaccine) kepadaindividu yang berisiko timbulnya komplikasi infeksi, merupakan satu-satunya cara untuk

pencegahan atau mengurangi infeksi influenza serta mencegah kematian pada saat epidemi.Setelah vaksinasi hampir semua orang dewasa yang divaksinasi mempunyai titer antibodi yangdapat melindunginya dari galur (strain) virus yang ada di dalam vaksin. Sebagai tambahan,individu tersebut juga diproteksi terhadap berbagai varian. Bayi, orang usia lanjut, dan pasiendengan gangguan kekebalan, akan menghasilkan titer antibodi yang rendah setelah vaksinasi.Dengan perkataan lain vaksin influenza lebih efektif untuk mencegah komplikasi saluran nafasbawah atau komplikasi lain, daripada mencegah infeksi. Harus diingat bahwa vaksin influenzatidak mencegah infeksi primer akibat virus lain maupun bakteri patogen dalam saluran nafas.

Virologi

Virus influenza merupakan virus bersampul (enveloped viruses), termasuk kelompokOrthomyxoviridae. Gambaran karakteristik virus yaitu mempunyai glikoproteindipermukaannya, yaitu hemaglutinin (HA) dan neuraminidase (NA). Dijumpai 3 tipe virusyaitu A, B dan C. Influenza tipe A terdiri dari beberapa sub-tipe, yang dibedakanberdasarkan surface antigen HA dan NA. Telah dapat diidentifikasikan 15 HA dan 9 NAsubtipe yang berbeda. Tiga tipe hemagglutinin (H1, H2, dan H3) dan 2 tipe NA (N1 danN2) dapat diidentifikasi pada virus influenza manusia. Antigen HA berperan terhadappenempelan virus (virus attachment) pada sel manusia, dan sebagai mediator untukreaksi bersatunya sampul virus dan membran sel, melalui persatuan ini kemampuanakses virus ke bagian dalam sel meningkat. Sedangkan neuraminidase (N1 dan N2)berperan terhadap penetrasi virus ke dalam sel manusia. Variasi kedua glikoproteineksternal HA dan NA, adakalanya secara periodik berubah, hal ini menyebabkan

perubahan antigenisitas. Virus yang sudah berada dalam sel, maka RNA akan replikasi danprotein virus disintesis menghasilkan ribuan partikel virus baru per sel. Akibat infeksi tersebut selpejamu mati. Proses lisis sel parenkim paru dan saluran nafas, mengakibatkan deskuamasiepitel saluran nafas.

Antigenic shift

Antigenic shift merupakan perubahan besar (major) salah satu antigen permukaan (HA dan atauNA), sehingga dihasilkan subtipe virus dengan HA baru (dan/atau NA baru). Menurut informasiyang mutakhir reservoar alamiah untuk virus influenza adalah burung, semua subtipe 15HA dan9 NA dapat diidentifikasi pada burung. Bila terjadi proses antigenic shift subtipe virus influenzabaru akan diperkenalkan ke manusia. Berbagai jalan bisa menghasilkan subtipe virus baru.

Pertama, melalui genetic reassortment antara virus manusia dan unggas (avian), yaitu virusmanusia yang bersirkulasi mengubah segmen gen-nya dengan virus avian. Hal ini terjadi kalausel pejamu terinfeksi oleh 2 virus influenza A. Segmen RNA kedua virus bereplikasi dalamnukleus sel, sehingga dihasilkan galur virus ketiga yang baru. Binatang yang diyakini selama inibisa sebagai intermediate host tempat genetic reassortment adalah babi, karena babi mempunyamixing vessels yang ideal, selain babi bisa terinfeksi baik oleh virus manusia maupun unggas.Akhir-akhir ini diduga pada manusia juga bisa terjadi karena tersedianya mixing vesselstersebut.

Kedua, transmisi langsung dari unggas ke manusia tanpa melalui langkah reassortment,seperti terbukti penularan flu burung di Hongkong tahun 1997. Saat itu virus yangdiidentifikasi pada manusia dan ayam sama jenisnya, yaitu H5N1. Pada kejadiantersebut 18 orang terinfeksi dan 6 diantaranya meninggal. Begitu pula penyebaran avianinfluenza di berbagai negara termasuk di Indonesia.

Ketiga, virus “lama” yang pernah bersirkulasi pada manusia beberapa waktu laluberedar kembali, seperti yang terjadi di Rusia (Russian flu) tahun1977. Virus Rusiatersebut (H1N1) pernah bersirkulasi sebelum tahun 1957 dan mengakibatkan epidemikbesar tahun 1950. Karena populasi secara imunologi naif terhadap subtipe virustersebut, infeksi dapat segera menyebar dan mengakibatkan tingginya morbiditas danmortalitas di seluruh populasi. Biasanya diasosiasikan dengan pandemik.

Page 114: pedoman imunisasi

Tiga influenza pandemik utama di dunia terjadi di abad ke 20. Pertama adalah Spanish flu, yangdisebabkan oleh virus H1N1 influenza A, terjadi tahun 1918 -1919, setelah Perang Dunia Imenyebabkan kematian sedikitnya 40 juta orang. Kedua terjadi tahun 1957, dikenal sebagaiAsian flu, disebabkan oleh virus H2N2 dan ketiga Hong Kong flu, terjadi tahun 1968 akibat virusH3N2.

Antigenic drift

Antigenic drift merupakan perubahan kecil (minor) pada antigen permukaan yang timbulakibat mutasi viral genome, sehingga terjadi substitusi asam amino pada tempatantigenik. Antigenic drift akan menghasilkan varian/galur baru yang berbeda secaraparsial dengan galur terdahulu. Tergantung dari mutasinya, subtipe baru kemungkinanmasih bisa dikenal secara parsial oleh pertahanan imun pejamu. Akibat dari perubahanantigenic drift dapat terjadi epidemi influenza yang baru. Di negara empat musimbiasanya terjadi epidemi saat musim dingin. Namun adakalanya antigenic drift sangatdominan sehingga galur yang baru sangat berbeda dengan induknya, hal inimenyerupai antigenic shift, akibatnya bisa terjadi pandemi seperti yang terjadi diHongkong tahun 1968.

Influenza A dapat menyebabkan penyakit yang sedang maupun berat pada semuaumur. Selain menyebabkan penyakit pada manusia juga pada binatang seperti babi dan burung.Influenza B umumnya menyebabkan penyakit yang lebih ringan dibandingkan yang tipe A, danterutama menyerang anak-anak. Influenza B lebih stabil dari influenza A, dengan sedikitantigenic drift dan menyebabkan immunitas yang cukup stabil. Virus ini hanya menyerangmanusia. Virus influenza B mungkin dapat dihubungkan dengan sindom Reye. Influenza Csangat jarang dilaporkan menyebabkan penyakit pada manusia, mungkin karena padaumumnya bermanifestasi subklinis. Tidak pernah dihubungkan dengan epidemi. Nomenklaturuntuk mendeskripsi kan tipe virus influenza berdasarkan urutan sebagai berikut (1) tipe virus, (2)tempat dimana virus pertama kali di isolasi, (3) nomor galur, (4) tahun isolasi, (5) subtipe virus.

Epidemiologi

Penularan virus melalui udara (aerosol) dan percikan ludah (droplets) kontak langsung dariseseorang yang infeksius. Penularan terjadi 1- 2 hari sebelum gejala timbul sampai 4-5 harisesudahnya. Tak ada

status karier. Virus influenza seringkali menyebabkan kejadian luar biasa (KLB), baik berupaepidemi maupun pandemi influenza. Setiap kurun waktu tertentu, sepuluh tahun atau mungkinlebih, sub-tipe influenza A baru muncul, dan menyebabkan pandemik, seperempat atau lebihpopulasi dunia akan terserang pada satu periode jangka pendek. Sporadik KLB dapatterlokalisasi di keluarga, sekolah, dan komunitas yang terisolasi.

Jaringan Intemasional WHO untuk surveilans influenza meliputi 110 National InfluenzaCenters di 83 negara, memonitor aktivitas inluenza di dunia. Data surveilans setiaptahun dipergunakan sebagai rekomendasi panduan untuk komposisi vaksin. Penyakitinfluenza timbul terutama pada musim dingin dan mencapai puncaknya dari Desembersampai Maret di daerah yang beriklim subtropis, tetapi dapat timbul lebih awal atau lebihlambat. Selama tahun 1976-2001, di Amerika Serikat aktivitas puncak timbul palingsering pada bulan Januari (24%) dan Februari (40%) dan rata-rata terjadi 20.000kematian per tahun. Pada daerah tropis influenza dapat timbul setiap saat selamasetahun. Pada anak usia 0-4 tahun, angka perawatan rumah sakit adalah 500 per100.000 orang yang berisiko tinggi dan 100 per 100.000 orang yang tidak berisiko tinggi.Dalam kelompok usia 0-4 tahun, angka perawatan rumah sakit tertinggi adalah anakumur 0-1 tahun dan angka ini sama dengan angka yang ditemukan pada orang usia ≥

65 tahun.

Kematian akibat influenza dapat disebabkan oleh pneumonia, ataupun eksaserbasi penyakitkardiopulmonal dan penyakit kronis lainnya. Pada penelitian epidemi influenza yang terjadi daritahun 1972-1973 sampai 1994-1995, kematian terjadi selama 19 dari 23 musim epidemiinfluenza. Selama 19 musim influenza tersebut, perkiraan angka kematian akibat influenza kira-kira 30 sampai > 150 kematian per 100.000 orang usia ≥ 65 tahun. Lebih dari 90% kematianpada lansia karena pneumonia dan influenza.

Manifestasi Klinik

Secara umum flu merupakan penyakit infeksi saluran nafas yang bisa sembuh spontan.Virus influenza biasanya tidak menyebar kemana-mana karena cenderung diam di epitelsaluran nafas dan paru paru. Oleh karena itu sangat jarang virus masuk ke sirkulasidarah atau organ lain. Masa inkubasi umumnya 2 hari, bervariasi antara I - 4 hari. Gejala

Page 115: pedoman imunisasi

klinis bisa ringan atau berat tergantung virulensi virus. Gejala ditandai dengan demamtinggi mendadak (38 – 400C), merupakan gejala utama, dapat disertai nyeri kepala, nyeriotot (mialgia), lemas, nafsu makan hilang, lelah, muntah dan diare. Gejala saluranpernafasan seperti pilek, hidung tersumbat, dan nyeri menelan. Batuk yang mula mulakering berubah menjadi produktif dengan sputum yang tidak banyak, dan bening kental(mukoid), namun bisa purulen. Batuk terjadi sebagai akibat destruksi epitel trakea.Gejala demam dan saluran nafas tersebut bisa berlangsung lima hari, namun bisaberlangsung 7 – 10 hari. Sedangkan rasa lemah dan batuk bisa menetap sampai 1 – 2

minggu kemudian. Perjalanan penyakit dapat lebih berat dan dapat berisiko menyebabkankematian pada lansia, pasien penyakit paru atau jantung kronis.

Vaksinasi influenza

Vaksin influenza mengandung virus yang tidak aktif (inactivated influenza virus), diproduksi darivirus yang tumbuh pada embrio ayam. Formulasi vaksin influenza di-review secara berkala,sehingga perubahan komposisi menyesuaikan dengan antigenic shifts dan antigenic drift.Vaksin influenza mengandung antigen dari 2 subtipe virus influenza A dan satu galur virusinfluenza B, subtipe-nya setiap tahun direkomendasikan oleh WHO. Rekomendasi WHOberdasarkan virus yang bersirkulasi pada suatu musim influenza, yang didapat denganmelakukan surveilans aktif galur influenza baru di dunia. Rekomendasi WHO ada 2 setiap tahununtuk dunia belahan utara (northern hemisphere) dan belahan selatan (southern hemisphere).Namun pada umumnya tidak banyak beda antara

galur untuk kedua belahan bumi tersebut. Galur tersebut akan di rekomendasikan untuk vaksindi tahun yang akan datang. Untuk periode 2006–2007 WHO merekomendasikan untuk belahanutara vaksin influenza berisi A/New Caledonia/20/99(H1N1)-like virus, A/Wisconsin /67/2005(H3N2)-like virus dan B/Malaysia/2506/2004- like virus. Sedangkan untuk belahan bumi selatanberisi A/New Caledonia/20/99(H1N1)-like virus, A/Wisconsin/67/2005(H3N2)-like virus danB/Malaysia/2506/2004-like virus, untuk kedua belahan bumi tidak banyak perbedaan galurvirusnya. Untuk daerah sekitar katulistiwa dapat menyesuaikan.

Vaksin influenza

Terdapat dua macam vaksin yaitu whole-virus vaccine dan split-virus vaccine.Untuk menjaga agar daya proteksi berlangsung terus menerus, maka perlu dilakukanvaksinasi secara kontinu teratur setiap tahun, menggunakan vaksin yang me ngandunggalur yang mutakhir.Vaksinasi influenza menunjukkan keefektifan tinggi.Vaksin influenza inaktif aman dan imunogenisitas tinggi.Vaksin influenza harus disimpan dalam lemari es dengan suhu 2oC-8oC. Tidak bolehdibekukan.

Saat ini di Indonesia telah beredar 2 macam vaksin influenza yaitu Fluarix (GSK) danVaxigrip (Aventis Pasteur ).

Rekomendasi Satgas Imunisasi IDAI (15 Juni 2006)

Imunisasi influenza untuk anak sehat usia 6–23 bulanSemua orang usia ≥ 65 tahunAnak dengan penyakit kronik seperti asma, diabetes, penyakit ginjal, kelemahan sistimimunAnak dan dewasa yang menderita penyakit metabolik kronis, termasuk diabetes, penyakitdisfungsi ginjal, hemoglobinopati dan imunodefisiensi

Orang yang bisa menularkan virus influenza ke seseorang yang berisiko tinggi mendapatkomplikasi yang berhubungan dengan influenza, seperti petugas kesehatan dan petugasdi tempat perawatan dan orang-orang sekitarnya, semua orang yang kontak serumah,pengasuh anak usia 6–23 bulan, dan orangorang yang melayani atau erat dengan orangyang mempunyai risiko tinggi.

Jadwal dan Dosis

Dosis untuk <3 tahun 0,25 ml dan untuk ≥ 3 tahun 0,5 ml.Untuk anak yang pertama kali mendapat vaksin influenza trivalen (TIV) usia ≤ 8 tahunvaksin diberikan 2 dosis dengan selang waktu minimal 4 minggu, kemudian imunisasidiulang setiap tahun.Vaksin influenza diberikan secara suntikan intramuskular di otot deltoid pada orangdewasa dan anak yang lebih besar sedangkan untuk bayi dapat diberikan di pahaanterolateral.Pada anak atau dewasa dengan gangguan imun, diberikan 2 dosis dengan jarakinterval minimal 4 minggu, untuk mendapatkan antibodi yang memuaskan.

Page 116: pedoman imunisasi

interval minimal 4 minggu, untuk mendapatkan antibodi yang memuaskan.Bila anak usia 9 tahun atau lebih cukup satu kali saja, teratur, setiap tahun satu kali.

KIPI vaksin influenza

Efek samping minimal berupa ruam makula/papula, 9% menunjukkan reaksi lokal ringan dantransien serta 28% reaksi sistemik ringan.

Pada anak usia antara 6 bulan sampai 5 tahun didapatkan reaksi demam 18%.Reaksi lokal nyeri, eritema dan indurasi pada tempat suntikan, pada 15%-20% resipien,terjadi selama 1–2 hariGejala sistemik tidak spesifik pada <1% resipien berupa demam, lemas dan mialgia (flu-like symptoms), yang timbul beberapa jam

setelah penyuntikkan, terutama pada anak usia muda, timbul setelah 6 - 12 jam pascavaksinasi, selama 1 atau 2 hari.

Reaksi segera (immediate hypersensitivity seperti hives, angiooedema, asma, sistemikanafilaktis) jarang didapat. Hal ini terjadi karena respons alergi terhadap komponen vaksin,seperti protein telur. Pasien dengan riwayat anafilaksis setelah makan telur atau adanyarespons alergi terhadap protein telur jangan diberi vaksin influenza.

Indikasi Kontra

Individu dengan hipersensitif anafilaksis terhadap pemberian vaksin influenzasebelumnya dan komponen vaksin seperti telur jangan diberi vaksinasi influenza.Termasuk ke dalam kelompok ini seseorang yang setelah makan telur mengalamipembengkakan bibir atau lidah, atau mengalami distres nafas akut atau pingsan.Vaksin influenza tidak boleh diberikan pada seseorang yang sedang menderita penyakitdemam akut yang berat.Tidak boleh diberikan pada ibu hamil dan menyusui.

Antivirus

Obat antivirus generasi pertama adalah amantadin dan rimantadin, keduanya merupakan M2inhibitor. Sedangkan oseltamivir dan zanamivir adalah golongan neuramidase inhibitor. Obatantivirus dapat dibedakan menjadi obat-obat untuk pengobatan penyakit influenza (amantadin,rimantadin dan oseltamivir), dan obat untuk pencegahan influenza (amantadin, rimantadin,oseltamivir dan zanamivir). Hanya oseltamivir dan zanamivir efektif untuk influenza B.Oseltamivir merupakan salah satu pilihan utama mengingat resistensi virus influenza A terhadapamantadin dan rimantadin meningkat. Oseltamivir dan oseltamivir carboxylase dapat diberikanpada anak. Penelitian baru dilakukan pada anak usia 3 – 12 tahun dan 5 – 16 tahun.

Indikasi pemberian anti virus untuk penyakit influenza

1. Pasien yang berisiko dan orang serumah yang belum mendapat imunisasi pada waktuinfeksi influenza terjadi didaerahnya.

2. Untuk mengendalikan kejadian luar biasa di komunitas terisolasi atau semi isolasi.3. Pasien yang berisiko karena adanya riwayat alergi telur (sehingga tidak dapat diimunisasi).

4. Adanya ketidakcocokan vaksin dan virus yang bersirkulasi. 5. Ancaman pandemikdan vaksin tidak tersedia.

Antivirus untuk influenza harus diberikan dalam waktu 24-48 jam sejak mulai sakit.Obat diberikan secara oral kecuali zanamivir secara inhalasi. Efek samping berupakeluhan susunan saraf pusat seperti gelisah sulit konsentrasi, sulit tidur, pusing,nyeri kepala dan jitteriness dan gangguan perut. Amantadin dan mungkinrimantadin meningkatkan risiko terjadinya kejang pada anak dengan riwayatpernah kejang.

Daftar Pustaka

1. Canadian Immunization Guide. Fifth edition, 1998.2. CDC. Press release, October 2003. The advisory committee onuimmunization practice vote

to recommend influenza vaccination for children aged 6 to 23 months. http://www.cdc.gov/od/oc/media/pressel/r031016.htm.

3. Offit PA, Bell LM. Vaccines, what you should know. Third edition, Wiley, 2003.4. Epidemiology and Prevention of Vaccine-Preventable Diseases. Atkinson W, Humiston S,

Wolfe C, Nelson R. Eds. 5th edition. Department of Health & Human Services, PublicHealth Service, CDC, January 1999.

5. The Australian Immunisation Handbook. 6th edition. National Health and MedicalResearch Council (NHMRC), 1997.

6. Red Book. Report of the Committee on Infectious Diseases. American Academy of

Page 117: pedoman imunisasi

Pediatrics, 2006.7. Yee TT and Ee AL. What to know about Influenza. Newsletter, 2000.8. WHO. http://www.who.int/csr/disease/influenza/update/en/index.html.

9. Gonzales M, Pirez MC, Dibarboure, Garcia A, Picolet H. Safety and immunogenicity ofpaediatric presentation of an influenza vaccine.Ach Dis.Child. 83:488-491, 2000.

10. GoodmanMJ, NordinJD, Harper P, DeFor T, Zhou XZ. The safety of trivalent InfuenzaVaccine among Healthy Children 6 – 24 months of age. Peasitrics,117:pp:e821-e826,2006.

11. Wilschut J, McElhaney JE. Influenza. Mosby. Elsevier Limited. The Neherland, 2005.

Bab VI-8

PNEUMOKOKUS

Cisy Kartasasmita

Pneumokokus dan H influenzae adalah bakteri gram positif diplokokus merupakanpenyebab terpenting penyakit infeksi saluran nafas pada masa anak. Diduga di negaraberkembang, setiap tahun sedikitnya 1 juta anak meninggal karena penyakit infeksipneumokokus. Pneumokokus selain merupakan penyebab utama pneumonia, jugamenyebabkan meningitis, bakteremia, sepsis, sinusitis, otitis media, dan konjungtivitisterutama pada anak usia di bawah 2 tahun dan lansia. Sebagian pneumokokus dapatditemukan sebagai flora normal saluran nafas atas, sedangkan yang lain merupakankuman yang berhubungan dengan penyakit invasif. Kemampuan pneumokokus untukmengadakan invasi karena peran polisakarida. Pneumokokus menyebabkan penyakitinvasif maupun non-invasif. Penyakit akibat infeksi pneumokokus invasif antara lain

adalah pneumonia, meningitis, bakteremia dan infeksi di tempat lain dikelompokkan sebagaiInvasive Pneumococcal Diseases (IPD). Risiko untuk seorang anak menderita IPD dipengaruhioleh beberapa faktor risiko yaitu umur, jenis kelamin, keadaan lingkungan, dan berbagaipenyakit kronis.

Serotipe pneumokokus ditentukan oleh polisakarida yang melingkari dinding sel. Sampai saatini telah dapat diidentifikasikan lebih dari 90 serotipe. Namun hanya beberapa serotipemenyebabkan penyakit yang serius seperti IPD. Serotipe 4, 6B, 9V, 14, 18C, 19F, dan 23Fmerupakan penyebab terbanyak IPD pada anak di Amerika. Sedangkan serotipe 6B, 9V, 14,19A, 19F, dan 23F merupakan isolat yang tersering yang dihubungkan dengan penisilinresistensi. Kapsul polisakarida melingkari dinding sel dan merupakan

komponen utama antigenik kuman, dan merupakan faktor yang menentukan virulensi kuman.Virulensi pneumokokus ditandai oleh jumlah polisakarida yang dihasilkan, semakin banyakmenghasilkan polisakarida semakin virulen. Setelah bakteri melakukan invasi kapsulpolisakarida akan memproteksi kuman dengan cara menginhibisi fagositosis neutrofil danpemusnahan bakteri yang klasik melalui sistim komplemen. Faktor penting untuk terjadinyapenyakit pneumokokus termasuk kemampuan kuman menyerang sistem imun dan tidak adanyaantibodi spesifik terhadap pneumokokus.

Epidemiologi

Pneumokokus merupakan bagian dari flora normal saluran nafas atas pada anak sehat,dan disebarkan dari manusia-ke-manusia melalui percikan ludah.

Dilaporkan bahwa laju pembawa kuman di nasofaring dewasa berkisar antara 5%–30%,pada anak sehat 20%–50% dan 25%–75% bayi membawa kuman pneumokokus setiap

Page 118: pedoman imunisasi

saat. Kolonisasi tertinggi didapatkan pada bayi usia muda, laki-laki, anak yang tinggal diPanti dan anak yang dititipkan di Tempat Penitipan Anak.Faktor risiko lain untuk kolonisasibayi yang tidak dapat ASI,infeksi virus pada saluran nafas atas,

perokok pasif,saudara yang dititipkan di tempat penitipan anak,negara 4 musim pada musim dingin.Beberapa faktor meningkatkan risiko penularan bakteri di lingkungan keluarga dan rumahtangga yaitu kepadatan hunian, cuaca, dan adanya pasien infeksi saluran pernafasanbagian atas, pnemonia, atau otitis.Risiko tinggi pada kelainan anatomi dan fungsi adalah: asplenia, defisiensi imunoglobulin,sindrom nefrotik, multipel mieloma, AIDS, gagal ginjal kronik, transplantasi organ, dankeganasan

limfoid, penyakit kardiovaskular kronis dan penyakit paru kronis, diabetes melitus, alkoholisme,sirosis hepatis dan pasien dengan kebocoran cairan serebrospinal akibat trauma atau pascaoperasi.

Di seluruh dunia 10% dari 12 juta kematian yang diperkirakan pada balita setiap tahun,disebabkan karena infeksi pneumokokus. Dari Amerika Serikat dilaporkan insidensibakteriemia 15- 19/100.000, meningitis 1-2/100.000, kematian 10-30%. Sebelumimunisasi pneumokokus diberlakukan, setiap tahun di Amerika Serikat dilaporkansebanyak 4 juta anak menderita infeksi telinga, 125.000 anak dirawat denganpneumonia, 2500 kasus meningitis dan 30.000 sepsis. Di Australia pada suku Aborigininsidensi infeksi pneumokokus dilaporkan mencapai 200/100.000 per tahun, dengankematian 10%. Di Papua New Guinea, hampir 50% kematian akibat infeksi salurannafas pada anak berhubungan dengan S.

pneumoniae.

Hasil penelitian di Ujung Berung, Bandung pada 698 balita dengan pneumonia tidak berat,didapatkan isolat positif 25,4% dan 67,8% diantaranya positif S.pneumoniae. Penelitian lanjutandi Majalaya dari 1012 spesimen apus nasofaring, 59,9% isolat positif untuk pneumokokus dan42% positif H.influenzae. Penelitian lain di Ujung Berung, Bandung, pada bayi baru lahir yangdiikuti sampai usia 2 bulan didapatkan 1 isolat positif pneumokokus pada bayi baru lahir dan2.8%, 9,3%, 12%, dan 13,9% pada minggu ke 2, ke 4, ke 6 dan ke 8. Pada saat yang samadidapatkan 57,1% saudara bayi tersebut menunjukkan isolat positif juga, yang kemungkinanbesar merupakan sumber penularan. Penelitian Soewignyo dkk. yang dilaksanakan di Lombokpada 484 anak umur < 24 bulan, didapatkan pada 48 kasus S pneumoniae positif, denganpeningkatan dengan bertambahnya umur. Hasil penelitian pada 169 isolate ditemukan serotipe6, 23, 33, 15, 12, 19, 14, 9, 18, 4, 10, 22, dan 7.

Hal lain yang penting adalah meningkatnya resistensi isolat pneumokokus terhadap berbagaiantibiotik. Di Amerika Serikat

didapatkan resistensi pneumokokus terhadap penisilin sebesar 25%, dan 79% diantaranya multidrug resistance. Adanya peningkatan resistensi ini merupakan salah alasan perlunya imunisasi.

Vaksi n

Salah satu kesulitan dalam membuat vaksin pneumokokus karena ada 90 serotipe yangberbeda yang dapat menyebabkan penyakit. Namun, hanya 7 serotipe pneumokokusyang mempunyai kontribusi terhadap 80% infeksi pada anak.

Jenis vaksin

Terdapat 2 macam vaksin pneumokokus

Vaksin pneumokokus polisakarida (pneumococcal polysaccharide vaccine = PPV).Vaksin PPV 23 valen mengandung 23 serotipe ( 1, 2, 3, 4, 5, 6B, 7F, 8, 9N, 9V, 10A,11A, 12F, 14, 15B, 17F, 18C, 19A, 19F, 20, 22F, 23F, dan 33F) yang bertanggung jawabterhadap 85%–95% IPD pada anak dan dewasa di Amerika. Vaksin PPV 23 yang

tersedia di Indonesia adalah Pneumo-23®.

Vaksin PPV tidak dapat merangsang respon imunologik pada anak usia muda dan bayisehingga tidak mampu menghasilkan respon booster. Untuk meningkatkan imunogenositaspada bayi, dikembangkan vaksin pneumokokus konjugasi.

Vaksin pneumokokus polisakarida konjugasi (pneumococcal conjugate vaccine = PCV).Vaksin PCV pertama berisi 7-valen, mengandung serotipe 4, 6B, 9V, 14, 18C, 19F, dan 23F.

Page 119: pedoman imunisasi

Ketujuh serotipe PCV penyebab hampir 90% penyakit pneumokokal invasif pada anak usiamuda di Amerika Serikat dan Canada, dan 75% anak di Eropa. Vaksin PCV7 yang saat iniberedar di Indonesia adalah Prevenar®.

Tabel 6.6. Perbedaan antara PPV-23 dan PCV-7

PPV-23 PCV-7

Polisakarida bakteri o Konyugasi polisakarida denganT- independent antigen protein difteriTidak imunogenik pada < 2 o T-dependent

tahun, rekomendasi untuk > 2 o Imunogenik pada anak < 2

tahun tahun

Imunitas jangka pendek, tidak o Mempunyai memori jangka

ada respon booster panjang

Mengandung 23 serotipe o Imunitas jangka panjang, respon

14,6B,19F 18C, 23F, 4, 9V, 19A, booster positif

6A, 7F, 3, 1, 9N, 22F, 18B, 15C, o Mengandung 7 serotip: 4,

12F, 11A, 18F, 33F, 10A, 38, 13 6B, 9V, 14, 18C, 19F, dan 23F

(Pneumo-23®) (Prevenar®)

Impak dari pemberian vaksin

Efikasi PPV23 kebanyakan pada orang dewasa ≥18 tahun, terutama lansia di atas 60 tahun atauanak ≥2 tahun dengan faktor risiko. Penelitian case-control pada anak ≥2 tahun dengan risikodan lansia ≥ 65 tahun di Amerika mendapatkan efikasi sebesar 81% (34%–94%) pascavaksinasi.

Efikasi vaksin PCV7 telah diteliti secara luas di banyak negara.

Penurunan episode pneumonia paling besar pada umur ≤ 2 tahun, 32,2% tahun pertamadan 23,4% tahun kedua. Efikasi 100% vaksin PCV7 untuk bayi LBW dan prematur,Efek samping sistemik maupun lokal berupa bengkak di tempat suntikan, nyeri padarabaan dan demam ≥ 380C tidak berbeda antara bayi BBLR dan bayi berat badan normal.Efikasi untuk OMA hasilnya baik, penurunan episode OMA

yang disebabkan serotipe yang ada dalam vaksin menurun 34%

(21 %–45%). Penurunan 51% terhadap OMA yang karena serotipe

sejenis dalam vaksin.

Efektif menurunkan 95% sepsis dan meningitis.Mengurangi kunjungan berobat.Menurunkan kolonisasi di nasofaring.

Menurunkan kejadian OMA dan IPD, penurunan kejadian penyakit pada umur < 1 tahun77%, umur 1 tahun 83%, 2 tahun 73% dan umur 4 tahun 49%. Penurunan kejadianbakteriemia 66%, pneumonia 39% dan meningitis 56%.Penurunan resistensi S. pneumonia terhadap penisilin 40%Menimbulkan herd effects 40% –55% artinya anak dan orang dewasa yang tidakdiimunisasi akan terlindungi dari paparan.

Menurunkan insiden serotipe vaksin sebesar 73% - 94%.

Rekomendasi

Rekomendasi Satgas Imunisasi IDAI telah dikeluarkan pada tanggal 15 Juni 2006

Vaksin pneumokokus polisakarida (PPV 23) diberikan pada,

Lansia di atas 65 tahun.

Page 120: pedoman imunisasi

Diberikan pada anak >2 tahun yang mempunyai risiko tinggi IPD yaitu anakdengan asplenia (kongenital atau didapat), penyakit sickle cell, splenic dysfunctiondan HIV. Imunisasi diberikan 2 minggu sebelum splenektomi.

Pasien umur > 2 tahun dengan imunokompromais yaitu HIV/AIDS, sindrom nefrotik,multipel mieloma, limfoma, penyakit Hodgkin, dan transplantasi organ.Pasien umur > 2 tahun dengan imunokompeten yang menderita penyakit kronis yaitupenyakit jantung kronis, penyakit paru atau ginjal kronis, diabetes.Pasien umur >2 tahun kebocoran cairan serebrospinal.

Catatan: Pasien risiko tinggi tersebut seyogyanya mendapat imunisasi PCV7 sesuai umur danpengulangan imunisasi PPV23 setelah 3–5 tahun.

Vaksin polisakarida konjugat (PVC7) direkomendasikan untuk anak di atas 2 bulan.

Semua anak sehat usia di atas 2 bulan sampai 5 tahun.Anak dengan risiko tinggi IPD termasuk anak dengan asplenia baik kongenital ataudidapat, termasuk anak dengan

penyakit sickle cell, splenic dysfucntion dan HIV. Imunisasi diberikan 2 minggu sebelumsplenektomi.

Pasien dengan immunokompromais yaitu HIV/AIDS, sindrom nefrotik, multipel mieloma,limfoma, penyakit Hodgkin, keganasan lain dan transplantasi organ.Pasien dengan immunokompeten yang menderita penyakit kronis yaitu penyakit jantungkronis, penyakit paru atau ginjal kronis, diabetes.

Pasien kebocoran cairan serebrospinal.Selainjuga dianjurkan pada anak yang tinggal di rumah yang huniannya padat,lingkungan merokok, di panti asuhan dan sering terserang akut otitis media.

Catatan: Anak yang tergolong imunokompeten hanya perlu 1 dosis sedangkandengan imunokompromais harus mendapat 2 dosis dengan jarak minimal 2 bulan,diikuti dengan pemberian PPV23 2 bulan kemudian.

Dosis & cara pemberian

Vaksin PPCV7 diberikan pada bayi umur 2, 4, 6 bulan, dan diulang pada umur 12-15 bulan.

Pemberian PCV7 minimal umur 6 minggu,Interval antara dua dosis 4-8 minggu,Paling sedikit diberikan 2 bulan setelah dosis PCV ketiga.

Apabila anak datang setelah berumur > 7 bulan maka diberikan jadwal dan dosis seperti terterapada Tabel 6.7.

Tabel 6.7. Dosis pemberian PVC7 pada bayi ≥ 7 bulan

Umur datang pertama kali Dosis vaksin yang diberikan

7-11 bulan 3 dosis*

12-23 bulan 2 dosis#

≥ 24 bulan sampai 5 tahun 1 dosis

Keterangan:

* 2 dosis interval 4 minggu, dosis ketiga diberikan setelah 12 bulan, paling sedikit 2 bulansetelah dosis kedua

# 2 dosis paling sedikit interval 2 bulan

Imunisasi untuk anak risiko tinggi

Meskipun data terbatas namun kesempatan untuk memberikan vaksin dengan serotipe yanglebih banyak menjadi dasar pemikiran pemberian kombinasi ini.

Setelah pemberian imunisasi PCV7, diberikan lanjutan imunisasi PPV23.Anak yang telah mendapat imunisasi PCV7 lengkap sebelum umur 2 tahun, padaumur 2 tahun diberi PPV23 1 dosis, dengan selang waktu suntik ≥ 2 bulan setelahPCV terakhir.

Page 121: pedoman imunisasi

Reaksi KIPI

Vaksin pnemokokus aman diberikan, tidak menyebabkan efek samping yangserius. Reaksi KIPI seringkali terjadi setelah dosis pertama.

Efek samping berupa eritema, bengkak, indurasi dan nyeri di bekas tempatsuntikan.Efek sistemik yang sering terjadi berupa demam, gelisah, pusing, tidur tidak

tenang, nafsu makan menurun, muntah, diare, urtikaria. Demam ringan sering timbul,namun demam tinggi di atas 39oC jarang dijumpai dilaporkan setelah pemberian dosisketiga.Reaksi berat seperti reaksi anafilaksis sangat jarang ditemukan.Pernah juga dilaporkan kejadian berat berupa nefrotik sindrom, limfadenopati, dan hiper-imunoglobulinemia.Reaksi KIPI biasanya terjadi setelah dosis kedua, namun berlangsung tidak lama, akanmenghilang dalam 3 hari.

Daftar Pustaka

1. Canadian Immunization Guide. Fifth edition, 1998.2. Epidemiology and Prevention of Vaccine-Preventable Diseases. Atkinson W, Humiston S,

Wolfe C, NelsonR. Eds.5th edition. Department of Health & Human Services, Public HealthService, CDC, January 1999.

3. McIntyre P. Pneumococcal vaccines. In Vaccine: Children& Practice 2000;l3:15-17.

4. Offit PA, Bell LM. Vaccines, what you should know. Thirdedition, Wiley, 2003.

5. Red Book. Report of the Committee on InfectiousDiseases. American Academy of

Pediatric, 1997.

6. DaganR. Can we identify pneumonia that may be reducedby pneumococcal conjugate vaccines?. In Proceeding ofPneumococcal diseases in Asian Children. Seoul Korea,2003.

7. Durbin WJ. Pneumococcal infections. Pediatrics inReview, 25: 2004.

8. Kaplan SL, Mason O, Wald ER, Schutze GS, Bradley JS,Tan TQ, Hoffman JA, Givner LB, Yogev R, Barson WJ.Decrease of invasive pneumococcal infections in childrenamong 8 Children’s Hospitals inthe United Statesafter theintroduction of the 7-valent Pneumococcal ConjugateVaccine. Pediatrics; 113:443-449, 2004.

9. Bridy-Pappas, Margolis MB, Center KJ, Isaacman DJ.Streptococcus pneumoniae: Description of the Pathogen,Disease Epidemiology, Treatment, and Prevention.Pharmacotherapy 25(9):1193-1212, 2005.

10. Poehling KA, Talbot TR, Griffin MR, Craig AS, WhitneyCG, Mstat EZ, Lexau CA, Thomas AR, HarrisonLH,Reingold AL, Hadler JL, Farley MM, AndersonBJ,Schaffner W. Invasive Pneumococcal Disease amonginfants before and after introduction of PneumococcalConjucate Vaccine. JAMA; 295:1668-74. 2006.

Bab VI-9

Rotavirus

Agus Firmansyah

Epidemiologi

Infeksi rotavirus terjadi di seluruh dunia. Pada daerah dengan empat musim, umumnyaterjadi pada musim dingin. Di Indonesia, puncak kejadian diare karena rotavirus terjadipada musim panas yaitu sekitar bulan Juli-Agustus. Diare karena rotavirus terjadi padausia 6-24 bulan, dengan puncaknya pada usia 9-12 bulan.

Page 122: pedoman imunisasi

Sepertiga kasus diare yang dirawat di rumah sakit di seluruh dunia disebabkan olehrotavirus dengan angka kematian 600.000 pertahun. Angka tersebut mencerminkan 20-25% dari seluruh kematian akibat diare dan 6% dari seluruh kematian pada balita. Di

Indonesia dilaporkan angka kejadian diare rotavirus di poliklinik rumah sakit atau Puskesmasberkisar 36-61% dari kasus diare pada balita. Namun laporan data survailans di tiga rumah sakitdi Jogyakarta dan Purworejo mendapatkan rotavirus sebagai penyebab diare mencapai 53,4%dari 1321 sampel tinja yang diperiksa dan kasus terbanyak berumur 24 bulan. Genotipeterbanyak adalah G1 57,4%, diikuti oleh G4 14,9%, G2 10,9%, dan campuran (mixed infection)G1 dan G2 7,9%.

Patogenesis

Rotavirus menginvasi enterosit matur pada hilus usus halus. Diare yang terjadi merupakanresultante dari malabsorbsi, sekresi air oleh sel kripta imatur dan defek transport akibat efektoksik protein virus (NSP4). Kesembuhan terjadi apabila lapisan epitel usus halus telahmengalami regenerasi.

Gejala klinis

Infeksi rotavirus mungkin asimtomatik atau simtomatik. Masa inkubasi antara 24-72 jam dangejala yang timbul didahului oleh demam dan muntah dan diare berair yang menyebabkandehidrasi berat dan kematian. Diare oleh rotavirus berlangsung selama 4-7 hari, 5% kasusdisertai kejang demam.

Pengobatan

Pengobatan diare karena rotavirus bersifat suportif, meliputi rehidrasi dan pemberianmakanan sesegera mungkin dan ASI tetap diberikan selama sakit.

Vaksi n

Vaksin Rotavirus (RV) yang telah ada di pasaran berasal dari human RV vaccine R/X4414, dengan sifat sebagai berikut.

Live, attenuated, berasal dari human RV /galur 89-12.Monovalen, berisi RV tipe G1, P1A (P8), mempunyai neutralizing epitope yang sama

dengan RV tipe G1, G3, G4, dan G9 yang merupakan mayoritas isolat yang ditemukanpada manusia.Vaksin diberikan secara oral dengan dilengkapi bufer dalam kemasannya.Pemberian dalam 2 dosis pada umur 6-12 minggu dengan interval 8 minggu.Faktor-faktor yang mengurangi imunogenisitas vaksin RV,

Apabila diberikan bersamaan dengan OPV (vaksin polio oral)Masih terdapatnya antibodi maternalAdanya bakteri enterik patogen di dalam usus

Rotavirus

Kejadian ikutan pasca imunisasi

Dari laporan penelitian vaksin RV di Finlandia, Amerika Selatan, dan Singapura, tidakditemukan kejadian intususepsi pada vaksin RV baru. Kejadian ikutan yang dilaporkan adalahdiare 7,5%, muntah 8,7%, dan demam 12,1%.

Daftar Pustaka

1. Bass DM. Rotavirus vaccinology: good news and bad news. JPGN 2000; 38;10-11.2. Barnes G. Rotavirus vaccine. JPGN 2000; 38:12-17.3. Wiopo SA, Soenarto Y, Breese J, Tholib A, Cahyono A, Aminah, Gentsch JR, Glass Rl.

Surveillance to determine the diseases burden and the epidemiology of rotavirus inIndonesia. Final report, August 18,2004. Dipresentasikan pada pertemuan Dirjen PPM &PL Departemen Kesehatan, Jakarta Oktober 2004.

4. Vesikari T, Karvonen A, Korhonan T, Espo M, Lebacq E, Fosters J, Zepp F, Delem A, DeVos B. Safety and immunogenocity of RIX4414 live atte nuated human rotavirus vaccinein adults, toddlers and previously uninfected infants. Vaccine 2004; 22; 1836- 42.

5. Bock HL. Rotavirus Vaccine -clinical update. Dipresentasi kan pada Seminar onVaccinology Update, Kinabalu Malaysia, 4-7 September 2004.

Page 123: pedoman imunisasi

Bab VI-10

Kolera dan Enterotoxigenic Escherichia coli

(ETEC)

Agus Firmansyah

Kolera disebabkan oleh infeksi enterotoksin yang dihasilkan oleh Vibrio choleraeserotipe O1 dan O139 dengan gejala-gejala khas, yaitu serangan mendadak berupadiare cair yang menyemprot yang kemudian diikuti oleh dehidrasi, asidosis metabolik,dan hipotensi. Kolera dapat bersifat ringan dan subklinis, namun pada kasus berat bilatidak diobati dengan cepat dan tepat, separuhnya akan meninggal. Penyakit iniumumnya ditularkan lewat air atau makanan yang tercemar dengan tinja manusia,walaupun Vibrio cholerae dapat pula berkembang biak di air laut dan air tawar.Meskipun 75% infeksi bersifat asimtomatis atau ringan, infeksi Vibrio cholerae dapatmenimbulkan diare berair yang masif yang menyebabkan syok dan kematian. InfeksiVibrio cholerae terjadi melalui makanan. Penyembuhan nya pada umumnya dengan

resusitasi cairan dan antibiotik akan berhasil baik.

Sejak tahun 1988, tidak ada negara yang secara resmi meminta sertifikat vaksinasi kolera. Olehkarena vaksin yang beredar saat ini efikasinya rendah (sekitar 50%) dan relatif banyak efeksampingnya, maka manfaat vaksinasi kolera banyak dipertanyakan. Keasaman lambungmerupakan daya tangkal yang terpenting terhadap infeksi kolera. Oleh karena itu, vaksinasikolera dianjurkan pada turis yang mempunyai riwayat reseksi lambung, aklorhidria, ulkuspeptikum yang mendapat terapi inhibitor reseptor H2 (misalnya simetidine) dan proton pumpinhibitor (misalnya omeprazol). Secara epidemiologis daerah-daerah yang tercatatditemukannya kolera ialah Asia, Afrika, Timur-Tengah, Amerika Selatan dan sebagian Oseania.

Vaksin Kolera

Vaksin kolera-CSL (suspensi V. cholerae klasik serotipe O1 Inaba dan Ogawa) yang telahdimatikan lewat pemanasan dengan penambahan fenol 0,5% sebagai pengawet. Vaksin inimemberi perlindungan terhadap kolera beberapa bulan, vaksin juga tidak efektif terhadap Vicholerae O139. Pada uji klinis yang dirancang dengan baik di Banglades dan Filipina, efektivitaskolera hanya 50-70% dengan lama perlindungannya antara 3-6 bulan.

Vaksin kolera hidup yang dilemahkan diberikan 1 kali suntikan dan efektif selama 3tahun. Efek samping berupa anoreksia, diare dan muntah terjadi pada kurang dari 10%resipien dan berlangsung sementara. Vaksin kolera hidup oral sedang dalampengembangan.

Rekomendasi

Di beberapa negara kolera bersifat endemis, namun vaksinasi rutin tidak dianjurkan.Kepada orang yang melakukan perjalanan dianjurkan lebih baik hati-hati memilihmakanan dan minuman, dipandang lebih penting dari pada vaksinasi.Sejak tahun 1973, WHO telah menghapuskan peraturan tentang vaksinasi kolera.Walaupun demikian, masih ada pejabat imigrasi beberapa negara yang meminta

sertifikat vaksinasi sebagai syarat. Untuk hal ini orang yang mengadakan perjalanan telahdinasehatkan mendapat dosis tunggal vaksin sehingga memiliki sertifikat sebelumberangkat (ini lebih baik daripada dipaksa mendapat vaksinasi di perbatasan suatunegara)Kenyataan menunjukan bahwa pengawasan perlintasan perbatasan sangat lemah, makanasehat di atas masih perlu dipertanyakan, dan harus ditekankan bahwa tak ada dasarmedis untuk melakukan vaksinasi kolera secara rutin untuk mereka yang melakukanperjalanan ke luar negeri.

Agus Firmansyah

Dosis vaksin kolera

v. Dosis tunggal, diberikan secara intra muskular dalamv. Dosis dewasa 0,5 mlv. Dosis anak umur 5-9 tahun 0,3 mlv. Dosis bayi 0,1 ml

vi. Dosis kedua diberikan 7-28 hari kemudian, untuk memperkuat respons imun, tetapitidak direkomendasikan kecuali ada risiko terpajan yang substantif.

Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi

Page 124: pedoman imunisasi

Pembengkakan dan indurasi dapat terjadi pada tempat suntikan, sedangkangejala lain seperti demam, malaise dan reaksi serius jarang terjadi.

Indikasi Kontra

Jangan menggunakan vaksin untuk orang-orang yang diketahui hipersensitifterhadap dosis yang diberikan sebelumnya atau

Bayi berumur kurang dari 6 bulanAnak-anak yang sering sakitKehamilan merupakan indikasi kontra yang relatif.

Pengelolaan Wabah

Vaksin kolera tidak ada manfaatnya dalam pengawasan kejadian wabah.

Daftar Pustaka

1. Sood SK. Immunisations for children traveling abroad. Pediat Clin N Amer 2000; 47:1-15.2. McLellan SLF. Vaccines for travelers. Infect Med 2000; 17:168-71.

3. Jiang ZD, Mathewson JJ, Ericsson CD, Svennerholm AM, Pulido C, DuPont HL.Characterization of enterotoxigenic Escherichia coli strains in patients with travelers’diarrhea acquired in Guadalajara, Mexico, 1992-1997. J Infect Dis. 2000;181:779-82.

4. Adachi JA, Jiang ZD, Mathewson JJ, Verenkar MP, Thompson S, Martinez-Sandoval F, etal. Enteroaggregative Escherichia coli as a major etiologic agent in traveler’s diarrhea in 3regions of the world. Clin Infect Dis. 2001;32:1706-9.

5. Shlim DR. Update in traveler’s diarrhea. Infect Dis Clin North Am. 2005;19:137-49.6. Connor BA. Sequelae of traveler’s diarrhea: focus on postinfectious irritable bowel

syndrome. Clin Infect Dis. 2005;41:S577-86.7. DuPont HL, Jiang ZD, Ericsson CD, Adachi JA, Mathewson JJ, DePont MW, et al.

Rifaximin versus ciprofloxacin for the treatment of traveler’s diarrhea: a randomizeddouble blind clinical trial. Clin Infect Dis. 2001;33:1807-15.

8. World Health Organization. Cholera, 2005. Wkly Epidemiol Rec. 2006;81:297-308.9. Griffith DC, Kelly-Hope LA, Miller MA. Review of reported cholera outbreaksworldwide, 1995-2005. Am J Trop Med Hyg. 2006;75 973-7.

Bab VI-11

Yellow Fever

Agus Firmansyah

Penyakit yellow fever atau demam kuning disebabkan oleh virus yellow fever yangtermasuk famili flavivirus. Nama yellow diberikan karena penyakit ini menyebabkanikterus. Penyakit ini dapat ringan seperti serangan flu dan dapat seberat hepatitis ataudemam berdarah. Masa inkubasi 2-5 hari. Pada infeksi yang khas, gejala awal berupanyeri kepala, nyeri perut, dan muntah. Kemudian diikuti dengan hepatitis virus beratdengan gagal hati dan ginjal. Bila turis terserang, angka kematiannya cukup tinggisekitar 50 persen.

Vaksinasi terhadap yellow fever unik karena merupakan satusatunya vaksinasi wajibyang disyaratkan oleh beberapa negara tujuan wisata. Sangat dianjurkan bagi mereka

yang mengunjungi Afrika dan Amerika Selatan. Sejak Juli 1996, 18 negara meminta

Yellow International Certificate Vaccination bagi turis yang memasuki

negara mereka. Negara-negara tersebut adalah Benin, Burkina Faso, Kamerun, Republik AfrikaTengah, Kongo, Cote d’lvoire, Gabon, Ghana, Liberia, Mail, Mauritania, Nigeria, Ruanda, SaoTome, Senegal, Togo, Zaire di Afrika dan French Guyana di Amerika Selatan.

Epidemiologi

Secara epidemiologis dibedakan dua bentuk yellow fever, yaitu bentuk yang ada diperkotaan(urban) dan di hutan (jungle). Kedua bentuk tersebut baik klinis maupun etiologis tidak berbeda.Yellow fever yang ditemukan di pedesaan adalah suatu epidemi penyakit virus yang ditularkandari orang ke orang lain oleh nyamuk Aedes aegypti. Di daerahdaerah yang telah dilakukanpemberantasan Aedes aegypti, maka yellow fever bentuk perkotaan dapat menghilang. Bentukyang ditemukan di

Page 125: pedoman imunisasi

hutan (jungle yellow fever) adalah yellow fever yang ditularkan di antara kera oleh berbagaimacam nyamuk hutan, yang bila menggigit manusia dapat menyebabkan infeksi. Bila orangtersebut kemudian digigit oleh nyamuk Aedes aegypti, dapat menjadi sumber penyebaran yellowfever bentuk perkotaan. Yellow fever perkotaan muncul secara periodik di Afrika Selatan padatahun terakhir ini dan berlanjut lebih sering terjadi di beberapa daerah di Afrika Barat dan Timur,ditemukan baik di kota maupun di pedesaan. Tindakan pencegahan terhadap yellow fevermeliputi eradikasi nyamuk Aedes aegypti, perlindungan terhadap gigitan nyamuk, dan vaksinasi.Yellow fever yang ditemukan di hutan hanya dapat dicegah dengan cara vaksinasi.

Vaksinasi untuk perjalanan international

Syarat vaksinasi untuk perjalanan internasional tergantung pada negara yang akandikunjungi dan jalur perjalanan yang dilalui. Persyaratan ini dapat mengalamiperubahan dari waktu ke waktu sehingga semua orang yang dalam perjalanan harusmencari informasi dari pejabat kesehatan negara yang bersangkutan. Orangorang yangtak memenuhi persyaratan untuk vaksinasi yellow fever harus dikarantina. Semua orangyang berumur lebih dari 1 tahun, yang dalam 6 hari saat tiba di suatu negara telahbepergian dari daerah infeksi sebagai yang tertera dalam daftar WHO, harus memilikisertifikat vaksinasi international yang baru (yang masih berlaku). Sertifikat vaksinasiyellow fever berlaku sampai 10 tahun, yaitu berlaku sejak 10 hari setelah tanggalvaksinasi atau pada kasus revaksinasi sebelum masa kadaluwarsa sertifikat yang

sebelumnya telah dimiliki sampai tanggal revaksinasi.

Vaksin yellow fever

• Vaksin yellow fever adalah CSL dari galur 17D, merupakan vaksin live attenuated,berbentuk vaksin kering beku (freezed dried vaccine), aman digunakan, dan efektif.

Setiap dosis 0,5 ml berisi tidak kurang dari 1,000 mouse LD50 units.Vaksin tersebut dikembangkan dalam embrio ayam dan berisi tidak lebih dari 2 IUneomisin dan 5 IU polimiksin; dikemas dalam vial untuk 5 dosis.Vaksin disuntikkan subkutan dalam sebanyak 0,5 ml berlaku untuk semua umur dan dapatmemberi proteksi sampai 10 tahun.

Vaksin diberikan dalam dosis tunggal dan perlu diulang tiap 10 tahun.Tidak boleh diberikan pada anak kurang dari 1 tahun, ibu hamil,imunokompromais, dan alergi telur.Idealnya diberikan lebih dari 10 hari sebelum memasuki negara tersebut danberjarak sekurangnya 3 minggu dari vaksinasi kolera. Vaksinasi hepatitis B dancampak dapat diberikan berturutan dengan vaksinasi yellow fever.Vaksin harus dilindungi dari sinar dan disimpan dalam keadaan beku di bawah -5°C.Setelah diencerkan dengan cairan sodium klorid, harus disimpan pada suhu 0°Cdan dipakai dalam waktu 1 jam.

Rekomendasi

Bayi umur 6 bulan atau lebih yang melakukan perjalanan atau bertempat tinggal di daerahyellow fever (saat ini di beberapa daerah di Afrika Selatan dan Amerika Selatan) harusdivaksinasi. Secara rinci mengenai imunisasi yellow fever dapat diperoleh dari petugaskesehatan pusat vaksinasi negara yang bersangkutan.Vaksinasi juga dianjurkan untuk mereka yang melakukan perjalanan ke daerah di luarperkotaan yellow fever endemis. Perlu waspada terhadap terjangkitnya yellow fever yangbelum sempat dilaporkan dapat menyebabkan meninggalnya turis yang belum divaksinasi.

Pada bayi umur kurang dari 6 bulan dan ibu hamil harus dipertimbangkan untuk vaksinasibila melakukan perjalanan ke daerah risiko tinggi, yang perjalanannya tidak dapat ditunda,dan pencegahan terhadap gigitan nyamuk sulit dilakukan.Petugas laboratorium yang mungkin terpajan terhadap virus yellow fever juga harusdivaksinasi.

Kejadian ikutan pasca imunisasi

Reaksi terhadap vaksin yellow fever galur 17D pada umumnya bersifat ringan; sekitar 2-5% penerima vaksin merasa pusing, mialgia, demam atau gejala ringan lainnya yangterjadi 5-10 hari setelah vaksinasi.Reaksi berat yang sampai mengganggu aktivitas sehari-hari terjadi pada 20% kasus.Reaksi hipersensitivitas vaksin seperti ruam, urtikaria, atau serangan asma sangatjarang terjadi, yaitu kurang dari 1 dalam 1 juta dosis pada umumnya terjadi padaseseorang dengan riwayat alergi telur.Lebih dari 34 juta dosis vaksin telah didistribusikan, namun hanya 2 kasus ensefalitis

Page 126: pedoman imunisasi

yang ada hubungannya dengan vaksinasi yellow fever yang telah dilaporkan di AmerikaSerikat. Dari satu kasus yang meninggal, dari jaringan otaknya telah diisolasi virus galur

17D.

Indikasi kontra

Bayi berumur 6 bulan atau kurang, walaupun secara teoritis lebih rentan terhadap kejadianikutan ensefalitis dibandingkan dengan anak yang lebih besar.Wanita hamil, vaksinasi perlu dipertimbangkan bila risiko infeksi yellow fever sangat besar.Walaupun belum ada informasi khusus tentang kejadian ikutan terhadap perkembanganfetus, namun secara teoritis vaksinasi harus dihindari dan menunda

perjalanan ke daerah yang ditemukan yellow fever sampai setelah persalinan.

Gangguan status imun. Virus vaksin yellow fever akan memperberat penyakit leukemia,limfoma, infeksi HIV simtomatis, penyakit keganasan pada umumnya, dan juga merekayang respons imunnya tertekan oleh kortikosteroid, obat-obat lainnya dan radiasi.

Hipersensitivitas. Vaksin yellow fever adalah virus hidup yang dikembangkandalam embrio ayam dan tidak boleh diberikan kepada anak yang hipersensitifterhadap telur. Bila seseorang mempunyai pengalaman hipersensitif terhadaptelur, harus dilakukan uji intradermal terlebih dahulu dengan pengawasan medis.Juga terhadap pasien yang sudah jelas hipersensitif terhadap neomisin danpolimiksin tidak diberikan vaksinasi.Pemberian vaksin lain pada hari yang sama. Vaksin virus hidup, misalnya campakdan kolera tidak boleh diberikan bersama-sama dengan vaksin yellow fever,diperlukan waktu 4 minggu interval untuk vaksin tersebut apabila diberikanberurutan.Tidak ada data yang menunjukan adanya kemungkinan pengaruh vaksin lainmisalnya tifoid, hepatitis B, rabies, dan Japanese ensefalitis dengan yellow fever.

Daftar Pustaka

1. Sood SK. Immunizations for children traveling abroad. Pediat Clin N Amer 2000; 47:1-15.2. McLellan SLF. Vaccines for travelers. Infect Med 2000; 17:168-71.3. National Health and Medical Research Council. Yellow Fever. Vaccines for foreign travel

Dalam: Watson C, penyunting. The Australian Immunization Handbook. Edisi ke-9.Canberra: NHMRC, 2008.

4. Monath TP. Yellow Fever. In: Plotkin S, Orenstein WA, eds. Vaccines. 3rd ed. Philadelphia:WB Saunders; 1999. p. 815-80.

5. Monath TP, Cetron MS. Prevention of yellow fever in persons traveling to the tropics. ClinInfect Dis. 2002;34:1369-78.

6. CDC. Adverse events associated with 17D-derived yellow fever vaccination—UnitedStates, 2001-2002. MMWR Morb Mortal Wkly Rep. 2002;51:989-93.

7. Marfin AA, Barwick Eidex R, Monath TP. Yellow Fever. In: Guerrant RL, Walker DH, WellerPF, eds. Tropical infectious diseases: principles, pathogens, & practice. 2nd ed.Philadelphia: Elsevier; 2006. p. 797-812.

8. Adhiyaman V, Oke A, Cefai C, Adhiyaman V, Oke A, Cefai C. Effects of yellow fevervaccination. Lancet. 2001;358:1907-8.

9. ChanRC, Penney DJ, LittleD, Carter IW, RobertsJA, Rawlinson WD. Hepatitis and deathfollowing vaccination with 17D-204 yellow fever vaccine. Lancet. 2001;358:121-2.

10. Struchiner CJ, Luz PM, Dourado I, Sato HK, Aguiar SG, Ribeiro JG, et al. Risk offatal adverse events associated with 17DD yellow fever vaccine. Epidemiol Infect.2004;132:939-46.

11. Troillet N, Laurencet F. Effects of yellow fever vaccination. Lancet. 2001;358:1908-9.

12. CetronMS, MarfinAA, Julian KG, Gubler DJ, Sharp DJ, Barwick RS, et al. Yellowfever vaccine. Recommendations of the Advisory Committee on ImmunizationPractices (ACIP), 2002. MMWR Recomm. Rep. 2002;51(RR-17):1-11.

13. Khromava AY, Eidex RB, Weld LH, Kohl KS, Bradshaw RD, Chen RT, et al.Yellow fever vaccine: An updated assessment of advanced age as a risk factor forserious adverse events. Vaccine. 2005;23: 3256-63.

14. World Health Organization. International Health Regulations. 2005. Geneva.Diunduh

dari http://www.who.int/csr/ihr/en/.

Bab VI-12

Page 127: pedoman imunisasi

Japanese Ensefalitis

Q)skandar Qyarif

Japanese ensefalitis (JE) adalah penyakit radang akut susunan syaraf pusat yangdisebabkan infeksi virus Japanese ensefalitis. JE adalah penyebab utama penyakitensefalitis yang disebabkan oleh virus di Asia. Japanese ensefalitis ditularkan kepadamanusia melalui gigitan nyamuk Culex, Anopheles dan Mansonia.

Epidemiologi

Menurut perkiraan ada sekitar 30.000–50.000 kasus JE dan 10.000 – 15.000 kematianterjadi setiap tahunnya, dan kebanyakan dari mereka adalah anak. Di daerah endemik,setiap tahunnya kejadian klinis yang dilaporkan berkisar antara 10-100 per 100.000penduduk. Mayoritas orang yang tinggal di daerah endemik JE telah terinfeksi oleh virustersebut sebelum berusia 15 tahun. Sejak kasus JE pertama dicatat pada akhir abad ke -

19, JE telah menyebar jauh dari daerah asalnya bahkan mencapai Australia pada tahun 2000.Japanese ensefalitis terjadi terutama di 1) Cina dan Korea; 2) sub-benua India; 3) Negara AsiaTenggara seperti Kamboja, Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, Filipina, Thailand danVietnam. Di Indonesia kasus JE dilaporkan terjadi di Lombok tahun 1960, Surabaya tahun 1968,Jakarta tahun April 1981 sampai Maret 1982,dan di Bali tahun 1999.

Patogenesis

Japanese ensefalitis tidak ditularkan dari orang ke orang. Penyakit ini disebabkan oleh virusyang termasuk genus Flavivirus.

Virus JE disebarkan melalui nyamuk yang telah terinfeksi. Jenis nyamuk spesifik yangmenularkan virus JE adalah nyamuk Culex tritaeniochynchus, yang berkembang biak di perairantanaman padi, rawa-rawa dan juga pada air menggenang yang terdapat di kolamkolam tempatpenanaman padi.

Pola penularan JE berbeda-beda antar daerah, bahkan antar negara, dan dari tahun ketahun. Di kebanyakan daerah, masa penularan dimulai pada bulan April dan Mei danberlangsung hingga bulan September atau Oktober.

Babi dan burung air, seperti bangau dan lain-lain yang sering berpindah-pindahmengikuti musim dari belahan bumi Utara ke Selatan dan sebaliknya adalah host virusyang utama. Sekali binatang tersebut terinfeksi, virus akan mampu bertahan di dalamdarah mereka tanpa mengakibatkan penyakit yang serius. Virus ini dapat dengan mudahmenyebar pada setiap nyamuk yang belum terinfeksi yang menggigit binatang yangtelah terinfeksi dan kemudian melanjutkan siklus penularan. Binatang setempat,kelelawar, ular dan katak dapat juga terinfeksi JE. Manusia dan kuda merupakanpejamu akhir dari virus dan tidak berkontribusi pada siklus penularan.

Kira-kira 1 dalam 25 sampai 1 dalam 1000 anak yang terinfeksi dengan virus JE akanmemperlihatkan gejala klinis. Dari yang ringan sampai berat. Faktor yang menentukan hal initidak diketahui. Diduga adalah jalan masuk virus, jumlah virus, keganasan virus, faktor pejamu,usia, genetik, keadaan umum dan imunitas.

Manifestasi klinis

Setelah gigitan nyamuk yang infeksius, virus akan memperbanyak dii dan menimbulkan viemiasebelum menyebar ke sistem syaraf pusat, termasuk otak dan sumsum tulang belakang. Gejalaawal adalah flu disertai demam, menggigil, rasa lelah, nyeri kepala, mual, muntah danpenurunan kesadaran. Perasaan bingung dan gelisah, bahkan kejang serta koma dapat terjadi.

Sebagian besar infeksi tidak dapat dideteksi secara klinis, hanya menimbulkan gejala-gejalaringan atau bahkan tanpa gejala sedikitpun. Gejala penyakit diperkirakan terjadi pada rata-rata 1dari 300 infeksi. Gejala-gejala ini biasanya timbul dalam waktu 4-14 hari setelah terjadinyainfeksi dan ditandai dengan gejala seperti sakit flu, disertai demam mendadak, menggigil, nyerikepala, rasa lelah, mual, dan muntah. Pada anak tahap awal dari penyakit dapat didominasi olehnyeri perut dan gangguan pada fungsi pencernaan. Setelah 3-4 hari tanda-tanda gangguan padasaraf akan muncul disertai perubahan pada tingkat kesadaran dimulai dari limbung hinggakoma.

Masa inkubasi sesudah gigitan nyamuk bervariasi, 5-15 hari dengan gambaran klinisdibagi atas 3 stadium.

1. Stadium prodromal. Pasien tiba-tiba demam tinggi, disertai dengan nyeri kepala, lemas,mual, muntah. Gejala ini berlangsung dalam 1-6 hari.

Page 128: pedoman imunisasi

2. Stadium ensefalitis akut. Demam yang terus menerus, tanda rangsangan meningeal,kejang, spastis dan gejala piramidal. Stadium ini berlangsung selama 2 minggu.

3. Stadium akhir atau sekuele, dengan lamanya waktu biasanya demam berkurang,gejala neurologis menetap, gejala sisa menetap seperti kerusakan mental, emosi labil,lesi motor neuron dan afasia.

Beberapa pasien sembuh spontan dan yang lainnya menjadi meningitis aseptik. Kejang terjadipada 85% anak dan pada 10% dewasa. Beberapa anak mengalami kejang yang diikutiperbaikan kesadaran dengan cepat sehingga didiagnosis kejang demam. Kejang umum tonikklonik lebih sering terjadi daripada kejang fokal. Kejang berulang atau kejang lama menandakanprognosis yang jelek. Gejala lain kejang subtle, twitching jari-jari, mata dan mulut, nistagmus,deviasi mata atau pernafasan tidak teratur.

Gambaran klasik JE adalah wajah dull flat mask-like dengan mata tidak berkedip, tremor,hipertonus dan kaku. Didapatkan pada 70-

80% anak Amerika dan 20-40% anak Indian. Opistotonus dan kejang rangsang terjadi pada 15%pasien.

Gejala ektrapiramidal lain adalah head nodding dan pergerakan pill rolling, opsoklonusmioklonus, koreoatetosis, bizarre facial grimacing dan lip smacking. Kelemahan saraf facialupper motor neuron (UMN) terdapat pada 10% anak dan kadang-kadang tidak jelas. Perubahanpola pernafasan, kelainan pupil dan reflek oculocepalic merupakan tanda prognosis yang jelek.

Baru–baru ini didapatkan pasien yang terinfeksi JE memperlihatkan gejala lumpuh layumendadak. Kelemahan lebih sering terjadi pada tungkai dibanding lengan dan biasanyaasimetris. Tiga puluh persen pasien menjadi ensefalitis. Pada pengamatan 1-2 tahunkemudian terdapat kelemahan yang menetap.

Virus JE dapat berkembang menjadi infeksi serius pada otak yang berakibat fatal pada30% dari kasus. Sekitar 40% - 75% akan menyebabkan kerusakan otak yang seriustermasuk kelumpuhan dan retardasi mental. Walaupun perawatan yang mendukunguntuk ensefalitis dapat menurunkan tingkat kematian, akan tetapi tidak ada obat yangdapat menyembuhkan JE.

Sebanyak 30%-50% dari kasus yang dinyatakan sembuh akan mengalami sekuele padasaraf dan kejiwaan termasuk kerusakan otak dan lumpuh. Kebanyakan kematian dan gejala sisapada saraf dan kejiwaan terjadi pada anak berusia di bawah 10 tahun. Infeksi yang terjadi padatrimester pertama dan kedua dari kehamilan dapat menyebabkan infeksi dalam rahim yangberakibat pada keguguran. Kira-kira 30% kasus JE yang dirawat di rumah sakit meninggal dan1/2 nya dengan gejala sisa yang berat. Gejala sisa berupa fleksi lengan atas dan hiperekstensitungkai dengan equine feet. Dua puluh persen kasus mengalami gangguan kognitif berat dangangguan bahasa. Gejala lain berupa kesukaran belajar, masalah tingkah laku dan kelainanneurologis yang ringan.

Dapat ditemukan peningkatan neutrofil dan hiponatremi. Peningkatan tekanan intrakranialditemukan pada 50% pasien dan

mempunyai prognosis buruk. Terdapat pleositosis 10-100 sel/mm3 dengan limfosit predominan,protein 50-200 mg% dan glukosa normal.

Diagnosis banding adalah ensefalitis virus lain (arbovirus, herpes, enterovirus,postinfeksi dan postvaksinasi encepalomielitis), infeksi susunan saraf pusat (SSP) lain(meningitis bakteri, TBC, malaria serebral, leptospirosis, tetanus, abses), infeksi laindengan manifestasi SSP (tifoid ensefalopati, kejang demam), dan penyakit noninfeksi(tumor, Reye sindrom, epilepsi, ensefalopati toksik dan alkoholik).

Diagnosis

Diagnosis JE ditegakkan dengan gejala klinis dan laboratorium. Diagnosis laboratoriumdapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu secara serologis, biologis, identifikasi virusJE dengan PCR, pemeriksaan darah, dan cairan likuor serebrospinal. Isolasi virus JEjarang berhasil, mungkin karena rendahnya titer virus dan produksi antibodi

netralisasi.1,2 Secara serologis dapat dilakukan pemeriksaan secara uji hemaglutinasi inhibisi(HI), uji komplemen fiksasi (CFT), uji hemolisis radial tunggal, neutralizing antibody (NA). Uji HIdan NA dapatmendeteksi infeksiJE lebih awal dari CFT dan juga dapat mendeteksi JE padastadium lebih lanjut.

Pencegahan

Page 129: pedoman imunisasi

1. Terhadap vektor

Pemberantasan vektor dapat dilakukan secara mekanis, biologis, kimia, ekologis dan genetik.

2. Terhadap reservoir

Melakukan pemeriksaan secara intensif untuk mengetahui adanya virus JE atau antibodidalam tubuh reservoir, sehingga kemungkinan wabah dapat terdeteksi secara dini.

3. Pencegahan terhadap manusia

mencegah terjadinya gigitan nyamuk.memberikan kekebalan dengan suntikan pencegahan.

Untuk turis, risiko terkena JE cukup rendah. Tidak lebih dari 1 kasus per tahun yangterdiagnosis pada turis di seluruh dunia. Pengunjung yang bepergian ke daerahpedesaan dan berada di alam terbuka atau daerah endemik kemungkinan terkenaterutama jika terjadi epidemi. Vaksinasi bisa dipertimbangkan jika bepergian ke daerahpedesaan dan tinggal selama lebih dari 2 minggu.

Imunisasi adalah cara yang paling baik untuk mencegah Japanese ensefalitis.Walaupun vaksin JE sudah ada dan telah digunakan di beberapa negara, tetapi vaksintersebut memiliki banyak keterbatasan. Vaksin tersebut merupakan inactivatedmouse-brain derived vaccine, dan diperlukan satu mencit/tikus untuk memproduksisetiap dosis vaksin sehingga vaksin tidak dapat diproduksi sesuai dengan skala yangdiperlukan untuk memenuhi kebutuhan. Selain itu diperlukan 3 dosis untuk mencapai

90% efektivitas dan suntikan tambahan diberikan setiap 3 tahun.

Vaksin JE

Terdapat tiga macam vaksin JE yang digunakan untuk manusia, yaitu vaksin inactivatedyang dibuat dari kultur jaringan ginjal marmut, vaksin inactivated galur Nakayama yangdibuat dari otak mencit dan vaksin hidup yang dilemahkan dari kultur jaringan ginjalmarmut.Vaksin diberikan secara serial dengan dosis 1 ml secara subkutan pada hari 0, 7 dan 28.Untuk anak yang berumur 1-3 tahun dosis yang diberikan masing-masing 0,5 ml denganjadwal yang sama.Booster diberikan pada individu yang berisiko tinggi dengan dosis 1 ml 3 tahun kemudian.

Penelitian terkontrol yang dilakukan di dua daerah endemik menunjukkan bahwa vaksin JEternyata efektif dan tanpa menimbulkan efek samping yang serius bagi vaksinasi selama masakanak-kanak. Seri tiga dosis vaksin berhasil mencegah penyakit JE pada 9 dari 10 orang.Sampai saat ini tidak ada data tentang keampuhan dan keamanan vaksin JE pada anak berusiadi bawah 1 tahun.

KIPI VaksinasI JE

Kemungkinan efek samping dari pemberian vaksin mencakup, tempat suntikan menjadikemerahan dan bengkak, demam, nyeri kepala, bercak pada kulit, menggigil, pusing,mual dan muntah, serta sakit perut. Juga dapat terjadi reaksi alergi. Saat ini secararesmi vaksin ini belum masuk ke Indonesia, tapi di beberapa tempat seperti Bali, vaksinini tersedia.

Pengobatan

Tidak ada pengobatan khusus untuk JE. Antibiotika tidak efektif terhadap virus, dan obatanti virus yang efektif untuk mengatasi penyakit ini belum dikembangkan. Tetapi

perawatan pasien yang baik sangat penting, dan dipusatkan pada pengobatan terhadap gejaladan komplikasi yang timbul. Kortikosteroid dapat diberikan, namun hasil penelitian double blindplasebo kontrol tidak menunjukkan keuntungan pemberian kortikosteoid. Isoquinolon efektifuntuk in vitro dan antibodi monoklonal efektif pada hewan percobaan.

Daftar Pustaka

1. Solomon T, Dung NM, Kneen R dkk. Japanese encephalitis. J Neurol NeurosurgPsychiatry 2000; 68: 405-15.

2. Potula R, Badrinath S dan Srinivasan S. Japanese encephalitis in and around Pondicherry,South India: a clinical appraisal and prognostic indicators for the outcome.

Journal of Tropical Pediatrics 2003; 49: 48-53.

Page 130: pedoman imunisasi

3. Marfin AA, Gubler DJ. Japanese encephalitis: the need for more effective vaccine. Didapatdari www.thelancet.com vol 366 Oktober 2005.

4. Masloman N, Widarso HS, Cicilia W. Japanese encephalitis in children. PediatricaIndonesiana 2005; 44: 46-8.

5. Harad W, Kuwabara M, Kuwayama M dkk. The clinical features about 5 cases of Japaneseencephalitis reported in Japan 2002. Kansenshogaku Zasshi 2004; 78(12): 1020-5.

6. Solomon T, Dung NM, Kneen R dkk. Seizures and raised intracranial pressure inVietnamese patients with Japanese encephalitis. Brain 2002; 125: 1084-93.

7. Sarkar N, Roy BK, Dass SK dkk. Bilateral intracerebral haemorrhages: an atypicalpresentation of Japanese encephalitis. J Assoc Physicians India 2005; 53: 144-6.

8. Ohrr H, Tandan JB, Sohn YM dkk. Effect of single dose of SA 14-14-2 vaccine 1year after immunisation in Nepalese children with Japanese encephalitis: a casecontrol study. Didapat dari www.thelancet.com vol 366 Oktober 2005.

9. Halstead SB, Tsai TF. Japanese encephalitis vaccine. In: Plotkin SA, OrensteinWA, editors. Vaccines, 4th edition. Philadelphia: Saunders;2004:919-58.

10. Halstead SB, Jacobson J. Japanese encephalitis. Adv Virus Res. 2003;61:103-38.11. Marfin AA, Barwick Eidex RS, Kozarsky PE, Cetron MS. Yellow fever and

Japanese encephalitis vaccines: Indications and complications. Infect Dis ClinNAm. 2005;19:151- 168.

12. Solomon T. Flavivirus encephalitis. N Engl J Med. 2004;351:370-378.13. Monath TP. Japanese encephalitis vaccines: current vaccines and future prospects. Curr

Top Microbiol Immunol. 2002;267:105-38.14. Plesner AM. Allergic reactions to Japanese encephalitis vaccine. Immunol Allergy Clin

North Am. 2003;23:665-97.

15. Takahashi H, Pool V, Tsai T, ChenRT, and the VAERS Working Group. Adverse eventsafter Japanese encephalitis vaccination: review of post-marketing surveillance data fromJapan and the United States. The VAERS Working Group. Vaccine 2000;18:2963- 2969.

Bab VI-13

Meningokokus

Dahlan Ali Musa

Epidemiologi

Infeksi meningokok adalah infeksi invasif yang mengakibatkan meningokoksemia, danatau meningitis. Penyebabnya adalah Neisseria meningitidis, suatu bakteri diplokokusgram negatif. Bakteri yang dapat mengakibatkan penyakit infeksi invasif ini berdasarkanpolisakarida dari permukaan sel bakterinya, dikelompokkan dalam 13 serogrup.Serogrup tersering adalah tipe A,B,C,X,Y,Z,W-135 dan L. Tidak ada hubungan yangpasti antara serogrup atau tipe dengan virulensi bakteri. Di Amerika, serogrup B dan Cmerupakan 45% dari kasus yang dilaporkan. Di tempat lain di dunia, yang seringmengalami epidemi maka serogrup A sering sebagai penyebabnya. Di Australia pada

tahun 1995 terjadi 2.1 kasus per 100.000 populasi, sebagian besar adalah serogrup B, denganpuncaknya pada usia 0-4 tahun dan 15-19 tahun. Pada abad ke-20, epidemi serogrup A terjadisecara siklus setiap 5-10 tahun di daerah meningitis belt yang dibatasi oleh Sudan di sebelahtimur, Gambia di barat, gurun Sahara di utara, dan daerah hujan tropis bagian selatan. Di Brazil,India utara, Mongolia dan Nepal dilaporkan banyak epidemi dalam 10 tahun terakhir ini olehserogrup A dan C. Serogrup W-135 didapatkan pada kurang dari 5 % kasus yang dilaporkan didunia. Epidemi pertama kali serogrup W-135 dilaporkan terjadi pada musim haji di Saudi Arabiapada tahun 2000, dan pada 2002 dilaporkan telah terjadi epidemi serogrup W-135 di Afrika Sub-Sahara.

Di masyarakat, pengidap karier Neisseria meningitidis di saluran nafas yang asimtomatikterdapat sekitar 20%, prevalensi akan meningkat pada penduduk yang hidup berkelompok di

suatu lingkungan yang sempit. Infeksi cenderung terjadi di kelompok yang terlokalisasi, seringdiantara anggota keluarga serumah, kelompok anak-anak prasekolah atau unit militer,dimungkinkan karena penyebaran organisme galur ganas di dalam kelompok.

Manifestasi klinis

Masa inkubasi penyakit ini mulai 1 hari sampai 10 hari, biasanya kurang dari 4 hari.Onset penyakit muncul saat meningokoksemia, ditandai dengan demam, menggigil,sangat lemah, prostration dan ruam yang pada awalnya dapat berupa ruam makula,ruam makulopapular, atau petekie. Pada kasus berat, purpura, koagulasi intravaskulardeseminata, syok, koma, dan kematian (sindrom Waterhouse-Friederichsen) dapatbermanifestasi dalam beberapa jam, kecuali mendapat pengobatan yang tepat. Tanda

Page 131: pedoman imunisasi

klinis meningitis meningokok tidak dapat dibedakan dengan meningitis akibat bakteripatogen lainnya. Komplikasi infeksi meningokok dapat berupa artritis, miokarditis,perikarditis, endoftalmitis, atau pnemonia.

Di Indonesia belum ada data yang pasti pada anak. Pencegahan diberikan kepada jemaah hajiyang akan berada untuk waktu yang lama di daerah yang kecil dengan jumlah orang yangsangat banyak serta padat. Arab Saudia masuk dalam meningitis belt tersebut di atas yangsering terjadi siklus epidemik meningokokus.

Vaksin tetravalen

Vaksin tetravalen mengandung lyophilized purified polysaccharides dari N.meningitidisserogrup A,C,W-135 dan Y, masing-masing antigen 50 mcg di dalam 0.5 ml dengan fenol25% sebagai preservasi.Tersedia dalam vial 0.5 ml dosis tunggal dengan larutan garam faali sebagai pelarut dalambotol yang terpisah dan vial 10 dosis dengan vial pelarut yang terpisah.

Saat ini belum tersedia vaksinuntuk mencegah anak dari penyakit serogrup B, karenavaksin yang mengandung polisakarida kapsul bakteri yang dimurnikan dari serogrup Bsecara imunogenik terlalu lemah untuk merangsang pembentukan antibodi.Imunitas yang memberi perlindungan bertahan selama 3 tahun.

Rekomendasi

Vaksin diberikan secara injeksi subkutan dalamVaksin diberikan kepada anak berusia 2 tahun atau lebih. Pada 90% penerima vaksinyang berusia 2 tahun atau lebih, vaksin tetravalen ini menghasilkan antibodi dalamwaktu 10-14 hari setelah pemberian vaksin.Vaksin boleh diberikan bersamaan dengan vaksin lain asalkan pada tempat yangberbedaVaksin disimpan pada temperatur 2oC-8oC dan tidak boleh beku.

Indikasi

Imunisasi meningokok secara rutin pada anak tidak dianjurkanImunisasi perlu dianjurkan pada anak usia 2 tahun atau lebih yang mempunyai risikotinggi.Vaksin diindikasikan untuk mengontrol kejadian luar biasa oleh salah satu serogrup yangdikandung oleh vaksin.Imunisasi akan sangat menguntungkan bagi pelancong yang menuju daerah atau negarayang dikenal sebagai daerah hiperendemik atau epidemik penyakit meningokok.

Imunisasi ulang

Antibodi meningokok pada orang dewasa dapat bertahan selama 10 tahun, tetapi padaanak khususnya yang menerima vaksin pada usia di bawah 4 tahun kadar antibodi dengancepat menurun dalam kurun waktu 3 tahun pertama.

Apabila terpapar dengan risiko baru atau risiko yang terus menerus oleh infeksi subgrup C,maka imunisasi ulang perlu diberikan setelah 1 tahun kepada anak yang menerimaimunisasi pada usia kurang dari 4 tahun dan setelah 5 tahun kepada anak yang menerimaimunisasi pada usia di atas 4 tahun.

Imunisasi ulang pada orang dewasa sebelum 5 tahun dari imunisasi pertamatampaknya tidak diperlukan, demikian pula apabila terjadi paparan baru terhadappenyakit dalam kurun waktu tersebut.

Kejadian ikutan pasca imunisasi

Reaksi sangat jarang terjadi setelah imunisasi

Apabila ada sangat ringan, berupa rasa sakit lokal dan kemerahan lokal selama 1-2 hari.Kadang terjadi neuritis brakialis pada lengan yang disuntik

Daftar Pustaka

1. National Health and Medical Research Council. National Immunization Program. TheAustralian Immunization Handbook. Edisi ke-9. Commonwealth of Australia, 2008.

2. Plotkins S, Orenstein WA, penyunting. Vaccines, edisi keempat. Philadelphia, Tokyo, WBSaunders, 2004.

3. LK American Academy of Pediatrics. Meningococcal infections. In: Pickering LK, editor.

Page 132: pedoman imunisasi

Red book: 2003 Report of the Committee on Infectious Disease. 26th ed. Elk Grove Village,IL: American Academy of Pediatrics; 2003. p. 430-6.

4. CDC. Prevention and control of meningococcal disease: recommendations of the AdvisoryCommittee on Immunization Practices (ACIP). MMWR Recomm Rep. 2005;54(RR-7):1-21.

5. Rosenstein NE, Perkins BA, Stephens DS, et al. Meningococcal disease. N Engl J Med.2001;344:1378-88.

6. Maiden MC, Stuart JM; UK Meningococcal Carriage Group. Carriage of serogroup Cmeningococci 1 year after meningococcal C conjugate polysaccharide vaccine. Lancet.2002;359:1829-31.

7. CDC. Update: Guillain-Barré Syndrome among recipients of Menactra meningococcalconjugate vaccine—United States, October 2005-February 2006. MMWR Morbid Mortal WklyRep. 2006;55: 364-6.

8. CDC. Notice to Readers: Recommendation from the Advisory Committee on ImmunizationPractices (ACIP) for Use of Quadrivalent Meningococcal Conjugate Vaccine (MCV4) inChildren Aged 2-10 Years at Increased Risk for Invasive Meningococcal Disease. MMWR2007;56(48):1265-1266.

9. CDC. Notice to Readers: Revised Recommendations of the Advisory Committee onImmunization Practices to Vaccinate All Persons Aged 11-18 Years with MeningococcalConjugate Vaccine. MMWR 2007;56(31):794-795.

Bab VI-14

HUMAN PAPILLOMA VIRUS

Kusnandi Rusmil

Infeksi Human Papilloma Virus (HPV) pada genitalia merupakan suatu infeksi yangsering terjadi dan bersifat asimtomatik. Infeksi HPV dapat sembuh sempurna, namunapabila menetap lebih dari 2 tahun (persistent infection) dapat berkembang menjadi lesipra-kanker disebut CIN= cervical intraepithelial neoplasia, dalam 9-15 tahun akanmenjadi kanker serviks (kanker leher rahim) dengan kejadian 1/625 infeksi HPV.Terbukti hasil pemeriksaan patologi dari spesimen pasien kanker serviks 99,7%ditemukan HPV DNA, tipe risiko tinggi atau disebut tipe onkogenik, 70% terdiri dari tipe16 dan 18.

Epidemiologi

Secara global kanker leher rahim menempati posisi kedua penyebab kematian wanitaakibat kanker. Setiap tahun ditemukan 510.000 kasus baru, 288.000 kasus meninggal, atausetiap dua menit seorang wanita meninggal oleh karena penyakit ini. Kejadian kanker leherrahim 80% kasus dijumpai di negara yang sedang berkembang. Di Asia Pasifik setiap empatmenit seorang wanita meninggal dunia sedangkan di Indonesia angka kejadian kanker leherrahim merupakan penyebab kematian pertama kanker pada perempuan. Diperkirakan terdapat80-100 kasus baru kanker leher rahim per 100.000 penduduk pertahun.

Angka kejadian infeksi diperkirakan 6,2 juta kasus baru pertahun. Kejadian infeksi pada wanitaberkisar 50%-80% selama hidupnya, 50% diantaranya merupakan tipe onkogenik. Kanker leherrahim merupakan manifestasi klinis dari infeksi (HPV) persisten.

Risiko tertinggi infeksi HPV terjadi pada usia remaja dan kanker leher rahim bisa mengenaiwanita mulai umur 15 tahun.

Faktor risiko

Page 133: pedoman imunisasi

Faktor risiko yang berperan untuk terjadinya kanker leher rahim adalah infeksi HPVmenetap yang terjadi sejak usia muda. Sedangkan ko-faktor yang mempengaruhi infeksiHPV menjadi kanker leher rahim adalah hubungan seksual yang dimulai pada usiamuda, berganti-ganti pasangan, pemakaian alat kontrasepsi hormonal, tingginyafrekuensi persalinan, imunosupresi/ infeksi HIV (human immuno deficiency virus),koinfeksi klamidia, koinfeksi HSV-2 (herpes simplex virus-2), perokok aktif atau pasif,faktor genetik, status sosial ekonomi rendah (gizi buruk, pendapatan dan pendidikanrendah, dan kurangnya fasilitias untuk skrining dan pelayanan kesehatan).

Vaksin HPV

Penelitian vaksin HPV bivalen dan kuadrivalen menunjukkan imunogenisitas yangtinggi.Vaksin HPV yang telah beredar di Indonesia dibuat dengan teknologi rekombinan. VaksinHPV berpotensi untuk mengurangi angka morbiditas dan mortalitas yang berhubungandengan infeksi HPV.Terdapat 2 jenis vaksin HPVVaksin bivalen (tipe 16 dan 18, Cervarix@)

Vaksin quadrivalen (tipe 6, 11, 16 dan 18, Gardasil@),Vaksin HPV mempunyai efikasi 96%-100% untuk mencegah kanker leher rahim yangdisebabkan oleh HPV tipe 16/18. Vaksin HPV telah disahkan oleh Food and DrugAdministration (FDA) dan Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP) dan diIndonesia sudah mendapat izin edar dari Badan POM RI.

Human Papilloma Virus

KIPI vaksin HPV

Efek samping lokal vaksin HPV bivalen dan kuadrivalen adalahnyeri, reaksi kemerahan dan bengkak pada tempat suntikan.Efek samping sistemik vaksin HPV bivalen dan kuadrivalen adalah demam, nyeri kepaladan mual.

Rekomendasi Satgas Imunisasi IDAI

Imunisasi vaksin HPV diperuntukkan pada anak perempuan sejak umur > 10 tahun.Dosis 0,5 mL, diberikan secara intramuskular pada daerah deltoid.Jadwal

Vaksin HPV bivalen, jadwal 0, 1 dan 6 bulan,Vaksin HPV kuadrivalen, jadwal 0, 2 dan 6 bulan.

Tabel 6.8. Spesifikasi vaksin bivalen dan quadrivalen

Vaksin HPV16/18 Vaksin HPV

6/11/16/18

Volume Per dosis 0.5mL Per dosis 0,5 mL

Adjuvant ASO4 Garam aluminium 225

Al(OH)3 500 ug ug

MPL 50 ug

Antigen L1 HPV 16 20ug L1 HPV 6 40 ug

L1 HPV 18 20 ug L1 HPV 11 20 ug

L1 HPV 16 40 ug L1 HPV 18 20 ug

Expression system Hi- 5Baculovirus Ragi (yeast)

Jadwal pemberian0,1,6 bulan intramuskular 0,2,6 bulan intramuskular Umur pra remaja(>10 th)Umur pra remaja (>10 th)

Page 134: pedoman imunisasi

Daftar Pustaka

1. WHO. Developmnet of new vaccine. dari http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs289/en/html.

2. Daley MF, Liddon N, Crane LA, Beaty BL, Barrow J. A national survey of pediatricianknowledge and attitudes regarding human papillomavirus vaccination. Pediatrics2006;118:2280-9.

3. Andrijono. Kanker serviks. Edisi pertama. Divisi Onkologi, Departemen Obstetri-Ginekologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, Jakarta 2007.

4. Pagliusi SR, Aguado MT. Vaccine. 2004;23:569–78.

5. McIntosh N. JHPIEGO strategy paper. 2000.

Pen gantar

Imunisasi pasif didapat dari penyuntikkan imunoglobulin manusia. Daya proteksi yangditimbulkan cepat, sedangkan lamanya proteksi sangat tergantung dosis, biasanya hanyabertahan beberapa minggu.

Dikenal 2 tipe imunoglobulin, yaitu yang normal dan spesifik. Imunoglobulin yangnormal berasal dari kumpulan plasma darah donor yang mengandung antibodi terhadapvirus yang banyak ditemukan di populasi umum. Sedangkan immunoglobulin spesifikdigunakan untuk proteksi seseorang terhadap virus atau bakteri tertentu seperti CMV,hepatitis B, rabies, tetanus dan varisela / zoster. Imunoglobulinnya didapatkan daridarah penderita dengan penyakit tertentu pada saat konvalesens, donor yang barnmendapat imunisasi atau seseorang yang pada skrening mempunyai titer antibodi tinggi.

Toto Wisnu Hendrarto

Imunisasi pasif adalah pemberian antibodi kepada resipien, dimaksudkan untuk memberikanimunitas secara langsung tanpa harus memproduksi sendiri zat aktif tersebut untuk kekebalantubuhnya. Antibodi yang diberikan ditujukan untuk upaya pencegahan atau pengobatanterhadap infeksi, baik untuk infeksi bakteri maupun virus. Mekanisme kerja antibodi terhadapinfeksi bakteri melalui netralisasi toksin, opsonisasi, atau bakteriolisis. Kerja antibodi terhadapinfeksi virus melalui netralisasi virus, pencegahan masuknya virus ke dalam sel dan promosi selnatural-killer untuk melawan virus. Dengan demikian pemberian antibodi akan menimbulkanefek proteksi segera. Imunisasi pasif tidak melibatkan sel memori dalam sistem imunitas tubuh,proteksi bersifat sementara selama antibodi masih aktif di dalam tubuh resipien, danperlindungannya singkat karena tubuh tidak membentuk memori terhadap patogen/ antigenspesifik.

Jenis imunisasi pasif

Imunisasi pasif dapat terjadi secara alami atau didapat. Transfer imunitas pasif alamiterjadi saat ibu hamil memberikan antibodi tertentu ke janinnya melalui plasenta, terjadidi akhir trimester pertama kehamilan, dan jenis antibodi yang ditransfer melalui plasentaadalah imunoglobulin G (IgG). Transfer imunitas alami dapat terjadi dari ibu ke bayimelalui kolostrum (ASI), jenis yang ditransfer adalah imunoglobulin A (IgA). Transferimunitas pasif didapat terjadi saat seseorang menerima plasma atau serum yang

mengandung antibodi tertentu untuk menunjang kekebalan tubuhnya. Jenis imunisasi pasif atauseroterapi tergantung dari cara pemberian dan jenis antibodi yang diinginkan, yaitu

Imunoglobulin (Ig)Imunoblobulin yang di berikan secara intravena (IgIV)Imunoglobulin spesifik (hyperimmune)Antiserum (antibodi dari binatang)Plasma manusia

Page 135: pedoman imunisasi

Indikasi imunisasi pasif

Tujuan pemberian imunisasi pasif adalah untuk pencegahan bila antibodi diberikan pada pasiendefisiensi sistem imun dan untuk pengobatan bila antibodi diberikan terhadap infeksi tertentu.Indikasi pemberian imunisasi pasif,

1. Adanya gangguan pada limfosit B, baik kongenital maupun didapat. Kelainantersebut dapat murni gangguan pada limfosit B sendiri, dapat juga kombinasigangguan/ defisiensi sistem imun lainnya.

2. Adanya risiko menderita infeksi atau komplikasi lebih berat bila terpapar olehinfeksi tertentu karena adanya imunokompromis, misalnya pasien leukemia yangterpapar infeksi campak atau cacar air.

3. Diperlukan antibodi siap pakai segera pada saat terpapar infeksi, yang tidak dapatterpenuhi dengan pemberian vaksinasi, misalnya pada neonatus dengan ibuHBsAg positif.

4. Sebagai pengobatan dalam menahan kerja toksin, misal pada kasus difteri,tetanus.

5. Sebagai pengobatan anti inflamasi terhadap kerja toksin pada organ tertentu, misal padapasien penyakit Kawasaki.

Imunoglobulin (Ig)

Imunoglobulin (Ig) adalah derivat plasma pasien dewasa yang diproses melalui fraksinasialkohol, steril dan tidak tercemar oleh virus hepatotropik, HIV atau jenis infeksi lain. Sekitar16,5% atau 165 mg/mL merupakan komposisi protein tertentu berasal dari plasma populasi yangsembuh/ pernah terpapar satu infeksi atau telah mendapat vaksinasi tertentu, sehingga memilikiantibodi spesifik terhadap infeksi tersebut. Fraksi yang dikandung 95% IgG, sisanya IgA dan IgM.

Cara pemberian secara intra muskular (im), di regio gluteal pada anak yang lebih besar ataupaha bagian anterior lateral pada pasien anak lebih kecil atau bayi. Jumlah maksimal yangdapat diberikan pada setiap kali suntikan adalah 5 ml pada anak lebih besar, dan 1-3 ml padaanak lebih kecil atau bayi. Khusus kasus defisiensi imun diberikan subkutan, tidakdirekomendasikan pemberian intrakutan, sedangkan pemberian intravaskular merupakankontraindikasi. Untuk mengurangi rasa nyeri pada bekas suntikan, Ig diberikan pada suhukamar.

Kadar antibodi dalam serum mencapai puncak terjadi dalam 48-72 jam setelahpemberian, dengan waktu paruh 3-4 minggu.

Indikasi pemberian Imunoglobulin

1. Terapi defisiensi antibodi

Dosis 100 mg/ kg berat badan (0,66 ml/ kg berat badan), secara intra muskular (im) perbulan. Dosis awal dibagi dalam dua dosis, selanjutnya diberikan dengan interval 2-4minggu. Pada pasien dewasa dapat diberikan subkutan, sehingga dapat dilakukansecara rawat jalan di rumah. Reaksi alergi sistemik terjadi pada 1% kasus, dan reaksijaringan lokal biasanya ringan.

2. Profilaksis hepatitis A

Diindikasikan untuk melindungi seseorang dari penyakit hepatitis A bila diberikan dalam 14hari setelah terpapar. Semua

wisatawan yang bepergian ke daerah endemis tinggi atau sedang, termasuk Afrika, TimurTengah, Asia, Eropa Timur, Amerika Tengah dan Selatan, perlu diberikan Ig atau vaksinhepatitis A sebelum keberangkatan. Ig dalam dosis tunggal 0.02 ml/kg, atau 2 ml diberikanuntuk orang dewasa, yang akan terpajan lebih dari 3 bulan, untuk pemajanan yang lebihlama, diberikan 0.06 ml/kg atau 5 ml dan diulang setiap 4-6 bulan apabila proses pemajananterus berlangsung.

3. Profilaksis campak

Diindikasikan untuk melindungi seseorang dari penyakit campak bila diberikan dalam 6 harisetelah terpapar.

Efek samping Imunoglobulin

1. Rasa nyeri pada tempat suntikan, yang akan berkurang bila Ig diberikan pada suhu kamar.Reaksi lain dan jarang terjadi adalah muka kemerahan (flushing), nyeri kepala, menggigildan mual.

Page 136: pedoman imunisasi

dan mual.2. Reaksi yang berat jarang timbul, misalnya nyeri dada, sesak nafas, reaksi

anafilaksis dan renjatan. Risiko terjadi reaksi sistemik meningkat bila diberikansecara intra vena (iv). Pemberian Ig dosis berulang dapat menimbulkan reaksisistemik seperti demam, menggigil, berkeringat, perasaan tidak nyaman danrenjatan.

3. Pada pasien defisiensi IgA selektif, kadar IgA dalam Ig sedikit, menimbulkanantibodi anti-IgA yang memberikan reaksi pada pemberian Ig berikutnya, tranfusidarah lengkap (whole blood) atau plasma Gejala sistemik yang timbul adalahmenggigil, dengan gejala mirip renjatan. Untuk mengurangi risiko ini dianjurkanpemberian IgIV tanpa IgA.

4. Risiko pembentukan antibodi terhadap IgG heterolog dapat terjadi, dan bisamenimbulkan reaksi sistemik, tetapi jarang terjadi.

5. Sebagian preparat Ig tidak mengandung thimerosal.

Perhatian khusus pada pemberian imunoglobulin

1. Hati-hati memberikan Ig pada pasien yang alergi pada pemberian Ig.2. Harus tersedia obat dan peralataan kedaruratan untuk mengatasi reaksi sistemik akut atau

anafilaksis, meskipun jarang terjadi.3. Ig diindikasikan kontra pada pasien dengan trombositopeni berat dan gangguan koagulasi.

Pada kasus ini dianjurkan pemberian IgIV4. Tidak dianjurkan melakukan penapisan rutin untuk difisiensi IgA.

Imunoglobulin intravena

Imunoglobulin intra vena (IgIV) dibuat dengan prosedur yang sama dengan pembuatan Ig,dengan modifikasi tertentu sehingga dapat diberikan secara intravena. Sediaan IgIV yangdirekomendasi, harus mengandung konsentrasi antibodi minimal terhadap campak, difteri, poliodan hepatitis B. Konsentrasi antibodi terhadap Streptococcus pneumoniae bervariasi dari satupruduk dengan produk yang lain. Kandungan protein bervariasi tergantung produsernya.Terdapat dalam sediaan cair dan kering, tidak mengandung thimerosal.

Indikasi pemberian imunoglobulin intravena

1. Defisiensi antibodi

Dosis IgIV pada sindrom imunodefisiensi adalah 300-400 mg/ kg berat badan, diberikansekali sebulan, secara IV. Dosis efektif pada masing-masing pasien berbeda, rata-rata200-800 mg/ kg berat badan per bulan. Konsentrasi IgG rumatan sebesar 500 mgdL (5g/L) sudah menghasilkan respon klinis yang baik.

2. Penyakit Kawasaki.

Pemberian IgIV pada 10 hari pertama perjalanan penyakit akan mengurangi lamanyademam dan risiko timbulnya kelainan pada arteri koronaria. Dosis yang dianjurkan adalah 2g/kg berat badan, dosis tunggal diberikan dalam 10-12 jam.

3. Infeksi HIV pada anak

Rekomendasi pemberian IgIV adalah sebagai berikut,

Adanya infeksi bakteri berulang, meskipun sudah diberikan profilaksis antibiotik.Tidak responsif terhadap pemberian vaksin campak, meskipun sudah diberikan 2 kali,terutama bagi pasien yang tinggal di daerah endemis campak.Adanya trombositopeni meskipun sudah mendapat terapi antiretroviralMasih adanya bronkiektasis meskipun sudah mendapat terapi pulmonal dan antibiotik.

4. Hipogamaglobulinemia pada pasien leukemia limfositik kronis, untuk mengurangi timbulnyainfeksi bakterial berulang.

5. Untuk mengurangi angka infeksi dan kematian pada pasien transplantasi sumsum tulang.Pada pasien dewasa untuk menurunkan insidensi pneumonia interstisial terutama yangdisebabkan oleh sitomegalovirus.

6. Pemberian profilaksis sepsis pada bayi prematur tidak terbukti aman dan efektifdalam penelitian metaanalisis. Sehingga IgIV tidak direkomendasikan diberikanrutin untuk mencegah sepsis awit lambat.

7. Kasus sindrom Guillain Barre8. Mungkin bermanfaat pada pasien anemia karena infeksi Parvovirus B-19, mieloma

multipel, resipien organ dari pasien dengan sitomegalovirus positif, neonatusdengan hipogamaglobulinemia yang berisiko infeksi, intractable epilepsy, sindrom

Page 137: pedoman imunisasi

vaskulitis sistemik, anemia hemolitik autoimun, trombositopenia aloimun padaneonatal yang tidak berespon terhadap pengobatan, immune-mediatedneutropenia, miastenia gravis dekompensata, dermatomiositis, polimiositis dantrombositopenia berat yang tidak berespon terhadap terapi.

Efek samping pemberian imunoglobulin intravena

Pada umumnya bersifat ringan dan dapat sembuh sendiri. Reaksi berat jarang terjadi dan tidakada indikasi kontra untuk pemberian berikutnya. Beberapa efek samping yang sering terjadi,

Reaksi piogenik, ditandai dengan adanya demam tinggi, menggigil dan gejala sistemik.Reaksi sistemik ringan dengan gejala seperti nyeri kepala, mialgia, kecemasan, mual ataumuntah.Gejala vasomotor atau kardiovaskular ringan ditandai dengan kulit kemerahan, perubahantekanan darah dan takikardia.Meningitis aseptik.Reaksi hipersensitifitas.Gagal ginjal akut.

Perhatian khusus pada pemberian IgIV

1. Hati-hati memberikan IgIV pada pasien dengan riwayat alergi pada pemberianimunoglobulin.

2. Harus tersedia obat dan peralataan kedaruratan untuk mengatasi reaksisistemik akut, meskipun jarang terjadi.

3. Risiko efek samping dikurangi dengan menurunkan kecepatan maupunvolume pemberian. Pasien dengan reaksi berat berulang yang tidakberespons dengan cara tersebut, berikan hidrokortison 1-2 mg/kg beratbadan secara IV selama 30 menit sebelum pemberian IgIV, atau berikanpreparat IgIV lain, tambahkan difenhidramin, aseaminofen atau aspirinsebelum pemberian IgIV.

4. Komplikasi vasomotor dan kardiovaskular seperti hipertensi dan gagaljantung sering terjadi saat memberikan IgIV dengan volume besar pada

pasien sakit berat.

5. Tidak dianjurkan melakukan penapisan rutin untuk difisiensi IgA.

Imunoglobulin Spesifik (IgS) dan antitoksin

Imunogobulin S (IgS, hyperimmune globulins) secara farmakologi maupun karakteristik biologiberbeda dengan imunoglobulin normal. Perbedaan yang bermakna terdapat pada kandunganantibodi spesifiknya. Sediaan ini diambil dari kumpulan darah pasien pada masa penyembuhandari penyakit tertentu atau setelah pemberian vaksinasi tertentu, sehingga darahnyamengandung titer antibodi sangat tinggi terhadap penyakit tersebut. Untuk itu IgS diindikasikanuntuk pencegahan infeksi bakteri spesifik seperti difteri, pertusis, tetanus dan kuman clostridiumlain, infeksi saluran nafas, stafilokokus, streptokokus invasif, dan pseudomanas. Pencegahaninfeksi virus seperti hepatitis A, B, C; TORCH, HIV, ebola, rabies, dan MMR. Pada tabel 1diuraikan ringkasan kegunaan IgS pada pencegahan dan pengobatan infeksi.

Antitoksin difteria

Antitoksin ditujukan untuk netralisasi toksin di tempat masuknya kuman dan sirkulasi,dalam upaya menghentikan bertambah beratnya proses penyakit dan mencegahtimbulnya komplikasi. Dosis ditentukan berdasarkan tempat infeksi

20.000-40.000 unit diberikan IV, bila infeksi terjadi pada pharing dan laring dalam waktu48 jam.40.000-60.000 unit, IV, bila infeksi terjadi pada nasopharing80.000-120.000 unit, IV, pada infeksi lanjut dan sudah tampak adanya bull-neck.

Uji hipersensitif harus dilakukan sebelum memberikan antitoksin difteri untuk mencegahtimbulnya reaksi alergi/ anafilaksis. Kasus tetanus neonatorum dosis diberikan 500 U, diberikansecara intramuskular.

Imunoglobulin tetanus (human tetanus immune globulin)

Pemberian Ig tetanus dan antitoksin tetanus diindikasikan untuk pencegahan pada luka dalamyang kotor, yang tidak akan terlindungi hanya dengan pemberian vaksin saja, riwayatimunisasinya tidak jelas/tidak pernah diimunisasi atau imunisasi dasarnya tidak lengkap.

Page 138: pedoman imunisasi

Disamping itu, juga diindikasikan untuk pengobatan dalam upaya netralisasi toksin yang bekerjasistemik. Dosis pemberian Ig tetanus untuk pencegahan adalah 250 unit, diberikan secara im.Untuk pengobatan, dosisnya adalah 3.000- 6.000 unit, im. Pada kasus tetanus neonatorum dosisdiberikan 500 U, diberikan secara im.

Antitoksin Tetanus

Jika TIg tidak tersedia dapat diberikan antitoksin yang berasal dari serum binatangsebanyak 1.500 – 5.000 IU, pemberian harus didahului dengan tes sensitifitas. Dosistunggal antitoksin tetanus berkisar antara 50.000-100.000 U. Untuk pengobatan tetanusneonatorum diberikan dengan dosis 40.000 U, dengan cara pemberiannya adalah20.000 U dari antitioksin dimasukkan ke dalam 200 cc cairan NaCl 0,9%, diberikan IVdalam 35-45 menit. Setengah dosis yang tersisa (20.000 U) diberikan secara im padapaha antero lateral.

Tabel 7.1. Manfaat imunisasi pasif dalam pencegahan dan pengobatan infeksi

Infeksi PencegahanRekomen Pengobatan Rekomen‑

dasi dasi

Infeksi Bakteri Infeksi respirasi (S.pneumoniae,N.meningitis,

H. influenzae)

Terbukti Tidak Terbukti Tidak

Difteri Tidak terbuktiTidak Terbukti

Pertusis Tidak terbuktiTidak Tidak Tidak

terbukti

Tetanus Terbukti Terbukti

Jenis clostridium

lain: Terbukti Terbukti

C.botulinum Tidak terbukti Tidak MungkinC.difficile

bermanfaat

InfeksiStaphylococcus

Sindrom syok toksikResisten antibiotikS.epidermidis padaneonatus

Tidak terbukti

Tidak terbukti Mungkin bermanfaat

Page 139: pedoman imunisasi

Mungkin bermanfaat Mungkin bermanfaat Belum ada penelitian

Infeksi PencegahanRekomen Pengobatan Rekomen‑

dasi dasi

Hepatitis B Terbukti Tidak

bermanfaat

Hepatitis C Tidak Tidak Tidak

bermanfaat

HIV Tidak Tidak Tidak Tidak

terbukti

RSV Terbukti Tidak Tidak

terbukti

Virus Herpes

CMVEBVHSVVZV

TidakTerbuktiTidakTerbukti

TidakTidak

MungkinbermanfaatTidakterbuktiTidakterbuktiTidakterbukti

Tidak

TidakTidak

Parvovirus Tidak Tidak Terbukti Tidak

Enterovirus Terbukti Tidak Terbukti Tidak

Pada neonatus Tidak Mungkin

bermanfaat

Ebola Mungkin Tidak

bermanfaat terbukti

Rabies Terbukti Tidak

bermanfaat

Measles Terbukti Tidak

bermanfaat

Rubella Tidak Tidak Tidak

bermanfaat

Mumps Tidak Tidak Tidak

bermanfaat

Tick borne

Page 140: pedoman imunisasi

Mungkin Tidak

encephalitis bermanfaat bermanfaat

Vaccinia Terbukti Terbukti

Keller MA.,dan Stiehm ER.Clin.Microbiol.Rev. 2000.

Jika antitoksin yang berasal dari serum binatang (ATS) yang dipakai lakukan terlebih dulu skintest untuk mencegah terjadinya syok anafilaksis. Skin test dilakukan dengan menyuntikkanantitoksin yang telah diencerkan dengan garam fisiologis dengan perbandingan 1:100,sebanyak 0,02 cc intrakutan. Pada saat yang bersamaan siapkan alat suntik yang telah diisidengan adrenaline. Skin test dengan larutan yang lebih encer (1:1000) dilakukan terhadappasien yang sebelumnya sudah pernah mendapatkan suntikan antitoksin dari serum binatang.Sebagai kontrol di tempat lain disuntikkan garam fisiologis intrakutan. Jika setelah 15 – 30 menitsetelah suntikan timbul benjolan di kulit yang dikelilingi oleh warna kemerahan berupa eritemadengan ukuran 3 mm atau lebih dibandingkan dengan kontrol maka lakukan desensitisasiterhadap pasien.

Imunoglobulin botulin um (human botulinum immune globulin)

Pemberian Ig botulinum diindikasikan untuk netralisasi neurotoksin yang menyebarsecara sistemik yang akan berikatan dengan reseptor di presinaptik neuro-endplate,sehingga menimbulkan konstipasi, gangguan menelan, letargi, kelumpuhan sarafkranial sampai kelumpuhan umum. Dosis Ig botulinum adalah 50 mg/kg berat badan,diberikan secara IV.

Imunoglobulin hepatitis A

Imunoglobulin hepatitis A diberikan dalam 2 minggu setelah ada paparan virus hepatitisA, secara im, dan perlindungan yang diperoleh sebesar 85%. Karena tidak mengandungtimerosal, dapat diberikan pada wanita hamil dan bayi.

Imunoglobulin hepatitis B

Imunoglobulin Hepatitis B dibentuk dari donor yang memiliki titer tinggi anti-HBs dan bebasterhadap antibodi HIV dan virus Hepatitis C (hyperimmunized donors). Titer tinggi yang dimilikiadalah 1:500.000, sangat tinggi disbanding Ig standar yang hanya mengandung antiboditerhadap hepatitis B 1:2 sampai 1:64.

Pemberian Ig hepatitis B diindikasikan pada bayi prematur untuk memberikan perlindungan aktifterutama pada ibu dengan HBsAg positif, yang berisiko tertular secara vertikal melalui plasenta.Disamping itu juga untuk individu yang berisiko tinggi tertular hepatitis B secara horizontalmisalnya pasien kontak seksual dengan pasien hepatitis B. Rekomendasi pemberian Ig hepatitisB

Pada masa perinatal

- Berat lahir kurang dari 2000 gram

Ig hepatitis B diberikan dalam 12 jam dengan dosis 0,5 ml, secara im pada paha sisilain dari pemberian vaksin hepatitis B pertama. Vaksin hepatitis B pertama yangdiberikan merupakan dosis tambahan, tidak termasuk 3 dosis yang seharusnyadiberikan. Evaluasi HBsAg dan antibodi anti HBsAg 3 bulan setelah jadwal vaksinasilengkap. Bila tidak terbentuk antibodi, lakukan ulangan sesuai prosedur pasien yangtidak responsif pada vaksinasi hepatitis B.

- Berat lahir lebih dari 2000 gram,

Ig hepatitis B diberikan dalam 12 jam dengan dosis 0,5 mi, secara IM, pada paha sisilain dari pemberian vaksin hepatitis B pertama. Vaksin hepatitis B pertama yangdiberikan merupakan bagian 3 dosis yang harus diberikan serial sampai umur 6 bulan.

Pada kasus kontak seksual hepatitis B

Pemberian Ig hepatitis B dilakukan dalam 14 hari setelah terjadi kontak dengan dosis 0,06mL/kg berat badan atau 5 mL. Berikan vaksinasi hepatitis B sesuai jadwal yang dianjurkan, padapasien yang belum pernah diberikan vaksinasi.

Page 141: pedoman imunisasi

Kontak serumah dengan pasien hepatitis B:

Pasien berumur kurang dari 12 tahun mendapat dosis 0,5 ml, diberikan secara im. Dosis bagipasien lebih tua umurnya atau dewasa diberikan dengan dosis 0,06 mL/ kg berat badan atau 5mL.

Imunoglobulin cytomegalovirus (CMV)

IgIV CMV diberikan untuk profilaksis kasus yang berisiko tinggi terhadap infeksi CMV. Dosisawal adalah 150 mg/kg, dilanjutkan dengan dosis rumatan setiap 2 minggu, diturunkan bertahapsampai 16 minggu. IgIV CMV efektif untuk penderita transplantasi ginjal dan hati. Penggunaanpada neonatus untuk mencegah penularan CMV secara vertikal pada neonatus masih belumdiketahui dengan pasti. Vaksin CMV masih dalam proses penelitian terutama dalam pembuktianklinis pada sukarelawan dan penderita transplantasi ginjal.

Imunoglobulin rabies

Dosis pemberian Ig rabies adalah 20 IU/kg berat badan (0,133 mL/ kg berat badan),diberikan bersamaan dengan pemberian vaksin rabies, dalam upaya pencegahan pascapaparan dalam kurun waktu mulai awal terpapar sampai terbentuknya antibodi aktif. BilaIgR tidak tersedia, vaksin dapat diberikan diikuti dengan pemberian IgR pada 7 haripertama setelah pengobatan. Bila pemberian vaksin dan IgR terlambat, keduanya harusdiusahakan untuk memperpendek interval antara waktu paparan dengan pengobatan.Dosis IgR 20 IU/kg berat badan, sebanyak-banyaknya diberikan secara infiltrasi disekitar luka. Sisanya diberikan im dengan alat dan jarum suntik yang terpisah. Bilalukanya banyak, lakukan pengenceran IgR dengan NaCl 0,9% agar volumenya cukup(diencerkan 2-3 kalinya). Pada anak dengan masa otot yang tipis, dianjurkan pemberian

IgR di tempat yang berbeda. Kemasan IgR manusia tersedia dalam vial 2 mL (300 IU) dan 10 mL(1500 IU). Antibodi pasif dapat menghambat

respon vaksin rabies; oleh sebab itu dosis yang direkomendasikan tidak boleh berlebih. Vaksintidak boleh disuntikkan dan diberikan dalam satu alat suntik yang sama. Reaksi hipersensitifitasterhadap IgR jarang terjadi.

Plasma dari Manusia

Plasma dari manusia dapat digunakan untuk mengatasi infeksi walaupun terbatas karena resikotercemar hepatitis. Biasanya digunakan pada pasien luka bakar, untuk mengatasi hilangnyaprotein dan adanya penelitian untuk mencegah infeksi pseudomonas. Pemberian plasmabermanfaat pula untuk pasien defisiensi antibodi IgG, karena plasma juga mengandung Ig.

Antibodi hewan (antisera hewan)

Dibuat dari serum kuda, dengan cara mengendapkan fraksi globulin serum dengan amoniumsulfat. Digunakan pada penyakit berikut:

Antitoksin botulism, trivalen (jenis A, B, E)Antitoksin difteriAntitoksin tetanusGlobulin rabies

Antitoksin difteri

Antitoksin ditujukan untuk netralisasi toksin di tempat masuknya kuman dansirkulasi, dalam upaya menghentikan bertambah beratnya proses penyakit danmencegah timbulnya komplikasi. Dosis ditentukan berdasarkan tempat infeksi

20.000-40.000 unit diberikan iv, bila infeksi terjadi pada pharyng dan laryng dalamwaktu 48 jam.40.000-60.000 unit, iv, bila infeksi terjadi pada nasopharyng80.000-120.000 unit, iv, pada infeksi lanjut dan sudah tampak adanya bull-neck.

Tes hipersensitif harus dilakukan sebelum memberikan antitoksin difteri untuk mencegahtimbulnya reaksi alergi/anafilaksis. Kasus tetanus neonatorum dosis diberikan 500 U, diberikansecara im.

Antitoksin tetanus

Jika TIG tidak tersedia dapat diberikan antitoksin yang berasal dari serum binatang sebanyak1.500 – 5.000 IU, pemberian harus didahului dengan tes sensitifitas. Dosis tunggal antitoksintetanus berkisar antara 50.000-100.000 U. Untuk pengobatan tetanus neonatorum diberikan

Page 142: pedoman imunisasi

dengan dosis 40. 000 U, dengan cara pemberiannya adalah: 20.000 U dari antitioksindimasukkan ke dalam 200 cc cairan NaCl 0,9%, diberikan IV dalam 35-45 menit. Setengah dosisyang tersisa (20.000 U) diberikan secara im pada paha antero lateral.

Antitoksin botulinum

Dosis untuk anti toksin botulinum tergantung tingkat beratnya penyakit, pada pasiendewasa dapat diberikan antara 2-4 vial, secara im atau iv. Sebelum pemberian antitoksin botulinum harus dilakukan uji sensitifitas yaitu pertama dilakukan scratch, prick,atau puncture test. Bila hasilnya negatIf dilanjutkan dengan tindakan kedua yaitudengan melakukan tes intradermal, yang menunjukan hasil positif bila terbentuk indurasiselebar 3 mm dalam waktu 15-20 menit setelah tes dilakukan. Bila hasil tes positif dandidapat riwayat alergi, antitoksin botulinum diberikan melalui desensitisasi.

Indikasi antisera hewan

Penggunaan produk yang mengandung antibodi dari serum hewan demikian terbatasdan dengan indikasi yang kuat, yaitu bila preparat Ig dari manusia tidak tersedia,

(misalnya untuk difteria dan botulism).

Reaksi terhadap serum hewan

Sebelum pemberian serum hewan, sebaiknya dilakukan anamnesis adanya atopi seperti asma,rinitis alergika, urtikaria, atau riwayat pemberian serum hewan sebelumnya. Bila didapatkanatopi tersebut, pemberian serum hewan sangat berbahaya, kecuali pada kondisi tertentu.

Tes sensitivitas terhadap serum hewan

Tes Intradermal harus dilakukan sebelum pemberian serum hewan. Tes Intradermal (ID)dilakukan dengan penyuntikan 0,02-0.1 ml dari serum yang diencerkan dengan Nacl 0,9%1:100, dan dibaca setelah 10 sampai 30 menit. Hasil positif bila terdapat pembengkakan. Padapenderita yang berbakat alergi, cara yang dilakukan adalah memberikan 0,05 ml serum yangdiencerkan dengan Salin 1:1000 secara intradermal. Tes intradermal dapat menimbulkankematian, oleh karena itu persiapkan tindakan terapi reaksi anafilaksis dengan mempersiapkansemprit yang berisi 1 ml 1:1000 epinefrin yang secara cepat dapat diberikan, serta tersedianyapersonil yang trampil, dan dapat memberikan medikasi/cairan infus secara intravena biladiperlukan.

Bila tes kulit intradermal (id) berakibat fatal, cara lain yang cukup aman adalah scratchtest. Scratch, prick atau puncture test dilakukan dengan pemberian satu tetes 1:100serum yang diencerkan dengan Salin pada kulit yang digores secara superfisial danditunggu 15–30 menit. Hasil yang positif menunjukkan kemerahan atau indurasi.

Cara lama yang pernah dilakukan dan sekarang mulai ditinggalkan adalah tes mata.Tes mata dilakukan dengan cara meneteskan satu tetes serum yang diencerkan dengansalin 1:10 pada satu mata, sementara mata sisi lainnya diberi satu tetes Salin sebagaikontrol. Hasil tes positif, apabila terdapat produksi airmata yang berlebihan dan adanyareaksi kemerahan atau konjungtifitis setelah 10 sampai 30 menit pada sisi mata yangdiberi serum. Beberapa ahli

Alergi sudah meninggalkan cara ini dan lebih memilih Scratch tes atau tes intradermal.

Apabila scratch test atau tes mata negatif, tes kulit dan tes mata dapat diindikasikan sensitif.Tetapi bila hasilnya negatif tidak menjamin bebas alergi. Apabila riwayat alergi tidak ada dansensitifitas keduanya negatif, dosis serum dapat diberikan secara Intramuskular. Pemberian ivdapat dilakukan bila dosis antibodi yang dibutuhkan dapat mencapai kadar lebih tinggi secaracepat. Pada keadaan demikian dosis awal 0.5 ml yang diencerkan dengan 10 ml salin atauglukosa 5% diberikan secara intravena sepelan mungkin dan ditunggu 30 menit untuk melihatreaksinya. Bila reaksi tidak terjadi, sisa serum diencerkan 1:20 diberikan kembali IV dengankecepatan tidak lebih dari 1 ml per menit

Bila ada riwayat alergi, harus diputuskan apakah serum hewan akan diberikan apa tidak.Apabila pemberian harus tetap dilakukan dapat digunakan cara desensitisasi, tetapi sediakanepinefrin 1:1000 siap pakai didalam semprit, untuk tindakan antisipasi terhadap terjadinya reaksianafilaksis bila diperlukan. Cara desensitisasi sebagai berikut:

1. 0.05 ml serum diencerkan 1:20 diberikan secara subkutan2. 0.1 ml serum diencerkan 1:10 diberikan secara subkutan3. 0.3 ml serum diencerkan 1:10 diberikan secara subkutan4. 0.1 ml serum tidak diencerkan diberikan secara subkutan5. 0.2 ml serum tidak diencerkan diberikan secara subkutan

Page 143: pedoman imunisasi

6. 0.5 ml serum tidak diencerkan diberikan secara intra muskular 7. sisanya serumtidak diencerkan diberikan secara intra muskular

Jenis reaksi terhadap serum hewan

Reaksi yang terjadi dengan pemberian serum hewan melibatkan antibodi IgE,yang dapat diprediksi dengan melakukan tes kulit. 1) Reaksi demam tiba-tiba,

biasanya ringan karena semua serum

sudah dibuat tes pirogenisitas dan dapat diatasi dengan

antipiretik.

2. Serum sickness. Gejala timbul mulai hari ke 7 sampai ke 10 (bisa sampai 3 minggu),setelah terpapar protein asing, yaitu demam, urtikaria, ras makulopapuler, (90% kasus),arthritis atau artralgia, dan limfadenopati. Reaksi edem lokal terjadi di tempat suntikan,sebelum gejala sistemik muncul. Angioedema, glomerulonefritis, sindromGuillain-Barré,neuritis perifer, dan miokarditis juga dapat terjadi. Namun demikian serum sickness bisatimbul ringan dan hilang spontan dalam beberapa hari sampai 2 minggu. Penderita yangpernah mendapat injeksi serum ulangan sebelumnya, berisiko terjadi serum sickness lebihcepat (terjadi dalam beberapa jam sampai 3 hari). Antihistamin sangat membantumengatasi gatal, edem, dan urtikaria. Demam, rasa lemah, artralgia dan arthritis dapatdiatasi dengan pemberian asetosal atau anti inflamasi non steroid lainnya. Bila tidakberhasil dapat diberikan kortikosteroid (prednison atau predisolon) dengan dosis 1,5sampai 2mg/kg per hari, diberikan 5 sampai 7 hari.

3. Anafilaksis. Timbulnya dapat cepat dalam beberapa menit setelah terpapar zatallergen. Semakin cepat timbul, semakin berat gejala yang terjadi. Gejalautamanya adalah pada kulit gatal, merah, urtikaria, dan angioedem. Gangguanpernapasan seperti serak dan stridor, batuk, mengi, sesak nafas dan sianosis.Sistem kardiovaskular: nadi cepat dan lemah, hipotensi, dan aritmia. Gangguanpencernaan spasme dinding perut, muntah, diare, dan mulut kering.

Anafilaksis sebagai kegawatan medis Pengobatan reaksi anafilaksis

Tenaga medis yang memberikan produk biologis atau serum harus siapmenghadapi adanya reaksi anafilaksis. Obat-obatan, alat-alat

medis, dan personel yang terampil dalam resusitasi kardiopulmonal

harus siap untuk menghadapi reaksi anafilaksis.

Epinefrin adalah obat utama dalammenghadapireaksi anafilaksis. Gejala ringan seperti gatal,eritema, urtikaria dan angioedem diatasi

dengan injeksi epinephrin subkutan atau intramuskular, diikuti oleh suntikan difenhidramin atauantihistamin lain yang diberikan per oral atau parenteral. Pemberian epinefrin dapat diulangsetiap 5-15 menit, sampai kondisi pasien membaik dan tanda vitalnya stabil.

Pengobatan anafilaksis sistemik berat dan mengancam jiwa dengan gejala spasme bronkus,edem laring, renjatan dan gangguan kardiovaskuler memerlukan tindakan lanjut. Lakukantindakan resusitasi dengan mempertahankan jalan nafas, beri oksigen, jaga sirkulasi denganmemberikan cairan infuse. Bila perlu pemberian tetesan cepat larutan kristaloid seperti garamfisiologis atau ringer laktat dilakukan untuk mengatasi adanya renjatan. Epinefrin yangdiencerkan 1:1000, diberikan IV, merupakan indikasi pada keadaan ini. Obat-obatan lain yangdiperlukan adalah aminofilin IV untuk mengatasi spasme bronkus, golongan inotropik sepertidopamine untuk mempertahankan tekanan darah, kombinasi antihistamin reseptor H1, H2 yangdapat memberikan efek sinergis, serta kortikosteroid walaupun efeknya tidak diharapkan segera.Semua penderita dengan gejala anafilaksis harus diobservasi antara 4 sampai 24 jam, karenaadanya reaksi berulang. (lihat bab Cara mengatasi syok anafilaksis)

Daftar Pustaka

1. American Academy of Pediatrics. Active and passieve immunization. Dalam: PickeringLK., penyunting. Red Book 2006, Report Committee on Infection Diseases. Edisi ke 27.Elk Grove Village: American Academy of Pediatrics. 2000. h 54-66.

2. Keller MA., danStiehmER. Passive Immunity in Prevention and Treatment of InfectiousDiseases. Vol.13-No.4, Clin.Microbiol.Rev. Oct. 2000. h. 602-614.

3. UNICEF, WHO. Immunization Summary: the 2007 edition. Geneva: WHO. 2007.4. Grabenstein, JD. ImmunoFacts: Vaccines and Immunologic Drugs. St. Louis: Wolters

Kluwer Health, Inc. 2006.

Page 144: pedoman imunisasi

Vaksin Kombinasi (vaksin kombo)

Pen gantar

Pada saat ini makin banyak jenis vaksin baru dan pembuatan vaksin yang telahdiperbaharui dengan teknologi canggih berada di pasaran. Diperkenalkannya vaksinbaru di Indonesia, berakibat pada penataan jadwal imunisasi yang sudah cukup rumit.Dalam jadwal imunisasi rekomendasi IDAI edisi tahun 1999, seorang anak sampai umur5 tahun akan mendapat 13 kali suntikan vaksinasi yang terpisah. Maka, untukmengurangi jumlah suntikan telah dicoba memberikan beberapa jenis vaksin secarabersama-sama pada satu saat. Pemikiran tersebut menjadi dasar pembuatan vaksinkombinasi (vaksin kombo, combined vaccine), yang merupakan salah satu alternatif cara

untuk mengurangi jumlah suntikan dan kunjungan ke fasilitas kesehatan. Seperti telah diketahuibahwa tujuan akhir dari vaksinasi adalah eradikasi penyakit, maka vaksin kombinasi di pasaranberfungsi sebagai pelengkap vaksin monovalen dan bukan sebaliknya.

Vaksin Kombinasi

Sri Rezeki S.Hadinegoro

Vaksin kombinasi adalah

Gabungan beberapa antigen tunggal menjadi satu jenis produk antigen untuk mencegahpenyakit yang berbeda. Misalnya vaksin kombinasi DTP/Hib adalah gabungan antigen-antigen D-T-P dengan antigen Hib untuk mencegah penyakit difteria, pertusis, tetanus, danHib.Gabungan dari antigen dari galur (strain) multipel suatu organisme penyebab penyakityang sama. Misalnya vaksin polio terdiri dari antigen polio-1, polio-2, dan polio-3 untukpencegahan penyakit poliomielitis (galur 1, 2, dan 3).

Dasar vaksin kombinasi

Alasan utama pembuatan vaksin kombinasi adalah,

Kemasan vaksin kombinasi lebih praktis dibandingkan dengan vaksin vaksin monovalen,sehingga mempermudah pemberian maka dapat lebih meningkatkan cakupan imunisasi,Mengurangi frekuensi kunjungan ke fasilitas kesehatan sehingga mengurangi biayapengobatan,Mengurangi biaya pengadaan vaksin,

Memudahkan penambahan vaksin baru ke dalam program imunisasi yang telahada,Untuk mengejar imunisasi yang terlambat (catch-up immunization), danBiaya lebih murah. Apabila dihitung seluruh pengeluaran termasuk biaya berobat,transportasi, kecemasan anak dan

orang tua, biaya pengadaan dan penyimpanan vaksin, maka vaksin kombinasi lebih murahdibandingkan apabila beberapa vaksin monovalen diberikan secara terpisah.

Di samping keuntungan tersebut, vaksin kombinasi mempunyai beberapa kekurangan.

Terjadinya incompatibility (ketidakserasian) kimiawi maupun fisis, sebagai akibatpercampuran beberapa antigen beserta ajuvan, zat preservasi dan bufer.Sulit dihindari adanya perubahan respons imun (imunogenitas), sebagai akibat interaksiantara antigen dengan antigen lain atau antara antigen dengan ajuvan yang berbeda.Pemakaian vaksin kombinasi dapat membingungkan para dokter dalam menyusun jadwalimunisasi, apalagi bila dipergunakan vaksin dari pabrik yang berbeda.

Diharapkan apabila seorang dokter akan mempergunakan vaksin kombinasi, perlu membuatperencanaan dalam jadwal imunisasi.

The Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP), the American Academy of Pediatrics(AAP) dan the American Academy of Family Physicians (AAFP), merekomendasikan lebih baikmempergunakan vaksin kombinasi yang telah dikemas dari pabrik daripada memberikan duajenis vaksin monovalen yang diberikan secara terpisah pada saat bersamaan. Vaksin kombinasiyang dianjurkan adalah vaksin yang telah mendapat persetujuan dari pemerintah negara

Page 145: pedoman imunisasi

masing-masing, di Indonesia melalui izin dari Badan Pengawasan Obat dan MakananDepartemen Kesehatan RI (BPOM Depkes).

Daya Proteksi

Daya proteksi vaksin dinilai dari serokonversi kadar antibodi sebelum dan setelahdiberikan vaksinasi. Untuk mendapatkan kepastian

mengenai daya proteksi ini perlu dilakukan uji klinis secara random dan tersamar. Laporanbeberapa penelitian memberikan hasil yang bervariasi. Beberapa hasil uji klinis pada vaksinkombinasi di Amerika dan Eropa, mendapatkan titer antibodi salah satu antigen (ataukomponen) dari vaksin kombinasi lebih rendah apabila dibandingkan dengan vaksin terpisah.Walaupun demikian kadar antibodi masih berada di atas ambang pencegahan (protective level).Misalnya pada kombinasi DTwP/HepB titer antiHBsAg lebih rendah dibandingkan vaksinmonovalen walaupun titernya di atas 10 IU/ml (ambang pencegahan dicapai bila titer anti HbsAg>10 IU/ml). Titer antibodi anti PRP dari Hib pada vaksin kombinasi DTaP/Hib dan DTap/Hib/ IPVdijumpai lebih rendah dari vaksin Hib yang diberikan terpisah. Hal ini juga tampak pada vaksinkombinasi MMR/V, kadar anti bodi anti varisella lebih rendah dibandingkan vaksin variselaterpisah. Maka apabila mempergunakan vaksin kombinasi, tidak boleh lupa memberikanvaksinasi ulangang (booster). Dilaporkan kadar antibodi Hib meningkat sama dengan vaksinmonovalen setelah diberikan booster Hib pada umur 18 bulan.

Imunogenitas

Imunogenisitas dan efikasi vaksin berhubungan dengan titer antibodi yang terbentuksehingga dapat mencegah penyakit. Pada pemberian vaksin monovalen, antibodi yangterbentuk akan mengenal antigen melalui epitop protein atau polisakarida. Pada vaksinkombinasi, akibat pembuatannya terjadi modifikasi epitop antigen sel B sehingga secarateori dapat mengurangi kemampuan vaksin membuat antibodi untuk mengikat antigen.Hal tersebut akan mengurangi imunogenisitas yang berakibat mengurangi efikasivaksin. Sebagai contoh, komponen toksin pertusis akan menjadi tidak aktif sebagaiakibat proses kimiawi dari ajuvan formaldehid, aluminium hidroksida, atau aluminiumfosfat. Dapat pula karena pada vaksin berisi antigen pertama dan ajuvan setelahditambah antigen lain kedua, respons imun antigen kedua akan

berubah. Demikian juga buffer, stabilizer atau komponen lain akan mempengaruhi komponenvaksin lain.

Namun, kekhawatiran tersebut tidak terbukti dari hasil beberapa penelitian mengenai vaksinkombinasi. Penelitian di Thailand menyimpulkan bahwa pada vaksin kombinasi DTwP/hepBatau vaksin pentavalen DTwP/hepB/Hib terbukti memberikan imunogenisitas yang tinggiterhadap semua antigen (anti difteria, anti pertusis, anti tetanus, antiHBsAg, dan anti PRP) tanpamempengaruhi respons imun satu sama lainnya. Khususnya antiHBsAg pada vaksin kombinasiDTwP/HepB memberikan respons antibodi lebih baik daripada diberikan terpisah, sesuaidengan penelitian Bio Farma Bandung. Diduga DTwP menjadi ajuvan pada vaksin kombinasiDTwP/HepB sehingga akan membantu meningkatkan kadar antibodi . Dalam penelitian diMexico, Santos J. melaporkan bahwa imunogenisitas vaksin kombinasi DTwP/ HepBdibandingkan dengan pemberian terpisah pada umur 3, 4, dan 5 bulan. Setelah pemberian dosiskedua, proporsi titer antibodi anti HbsAg pada kelompok DTP/hepB lebih tinggi (94,9%)dibandingkan pemberian terpisah (66,1%). Dilaporkan juga bahwa pada penelitian serupa darikelompok vaksin DTwP/ hepB/Hib mempunyai seroconversion rate (94,4%) sebanding dengankelompok vaksin DTwP/hepB terpisah dengan Hib (95,7%).

Reaktogenitas

Badan POM DepKes RI memberikan rekomendasi untuk peredaran vaksin kombinasi diIndonesia berdasarkan studi imunogenitas dan keamanan (reaktogenitas) vaksinkombinasi tersebut, dibandingkan dengan vaksin monovalen atau kombinasi lain yangtelah beredar sebelumnya. Dari laporan beberapa uji kilins didapatkan bahwareaktogeni sitas yang timbul lebih banyak disebabkan oleh ajuvan dari pada antigenyang berada di dalamnya. Kejadian ikutan pasca imunisasi baik pada vaksin kombinasiDTwP/hepB tidak berbeda dengan pemberian DTwP dan hepB terpisah. Padapemberian

Page 146: pedoman imunisasi

vaksin kombinasi DTwP/Hib didapatkan lebih banyak reaksi lokal daripada DTwP dan Hibterpisah; sedangkan pada vaksin kombinasi MMR/V, jumlah ruam morbili form akan lebihbanyak dijumpai walaupun jumlah ruam tidak lebih banyak dibandingkan vaksin yang diberikanterpisah.

Angka Cakupan

Studi di Thailand melaporkan mengenai angka cakupan (coverage rate) vaksin kombinasiDTwP/hepB dibandingkan dengan DTwP dan hepB terpisah. Pada dosis ketiga didapatkandaya cakupan yang lebih tinggi pada vaksin kombinasi (94%) daripada pemberian terpisah(84%). Sedangkan pengalaman di Spanyol menggunakan vaksin kombinasi dapat mengurangitotal biaya 16% selama tahun 1998/1999. Kepraktisan pemberian vaksin yaitu penguranganjumlah suntikan atau jumlah kunjungan sehingga menurunkan biaya dapat menjadi sebabmeningkatkan angka cakupan.

Hal-hal yang perlu diperhatikan

Vaksin kombinasi dari jenis pabrik vaksin yang berbeda

Secara umum vaksin untuk mencegah penyakit yang sama dari pabrik yang berbedadapat diberikan secara bergantian pada seorang anak sesuai dengan jadwalimunisasinya, khususnya untuk hepatitis B dan Hib. Namun, untuk vaksin kombinasiapabila akan digunakan secara bergantian dengan vaksin monovalen(interchangeability) sebaiknya memilih vaksin dari pabrik yang sama. Demikian jugauntuk vaksin kombinasi yang mengandung DTaP, dianjurkan mempergunakan vaksindari pabrik yang sama oleh karena data penelitian dari pabrik yang berbeda sampai saatini belum ada, kecuali bila vaksin yang sama di negara tersebut tidak beredar.

Respons serologi vaksin kombinasi

Pemakaian jenis vaksin untuk mencegah penyakit yang sama dari pabrik yang berbeda secarabergantian ditentukan oleh respons serologi penyakit tersebut. Walaupun vaksin hepB, hepA,dan Hib telah terbukti dapat diberikan bergantian dari pabrik yang berbeda, komponen Hib akanmenentukan dapat atau tidaknya vaksin tersebut dipakai secara bergantian. Dari beberapa studiyang telah dilakukan, ternyata komponen utama vaksin Hib dalam vaksin kombinasi adalahPRP-T (polyribosyl ribitol phosphate konjugasi dengan toksoid tetanus) dan bukan PRP-OMP(polyribosyl ribitol phosphate konjugasi dengan outer membrane protein), jadi apabila suntikanpertama PRP-OMP maka suntikan kedua sebaiknya PRP-T, sedangkan suntikan ketiga bolehjenis vaksin Hib yang mana saja.

Pengadaan dan penyimpanan vaksin

Setiap fasilitas kesehatan seyogianya menyediakan semua jenis vaksin yang telahdirekomendasikan dalam jadwal imunisasi. Namun dalam hal penyediaan, vaksin monovalenatau kombinasi seringkali terjadi tumpang tindih maka perlu dipertimbangkan halhal sebagaiberikut, (a) apabila terlalu banyak variasi vaksin yang disediakan, dapat membingungkanpetugas imunisasi (khususnya perawat) atau malahan dapat terjadi kesalahan dalampengambilan dan pemberian, (b) vaksin yang jarang dipergunakan akan mudah kadaluwarsa, (c)memerlukan tempat penyimpanan lebih luas, dan (d) memerlukan pendanaan yang lebih besar.

Pemberian dosis antigen berlebih

Bayi dan anak mungkin mendapat dosis ekstra dari vaksin atau antigen padahal merekatelah imun (telah divaksinasi).

a. Seorang anak yang telah mendapat imunisasi dasar kedua dan ketiga sebenarmyatelah terlindung secara imunologik terhadap penyakit yang bersangkutan. Namun olehkarena pengukuran

kadar antibodi tidak dilakukan (tidak praktis dan mahal), maka suntikan ulangan diberikantanpa diketahui kadar antibodi yang telah ada. Pemberian suntikan ulangan diberikanberdasarkan pertimbangan klinis dan aspek kesehatan masyarakat guna menurunkan jumlahanak yang rentan (susceptible) sehingga meningkatkan daya pencegahan penyakit dimasyarakat.

b. Dosis antigen tambahan tersebut kadangkala diberikan secara tidak sengaja oleh karena

Page 147: pedoman imunisasi

tidak ada catatan imunisasi atau pada saat dilakukan program imunisasi masal.c. Pada saat dilakukan Pekan Imunisasi Nasional (PIN), imunisasi polio dan campak

diberikan pada anak yang terindikasi tanpa memperhatikan status imunisasinya.

d. Kadangkala vaksin kombinasi berisi beberapa antigen yang sebenarnya tidak seluruhnyadibutuhkan, namun terpaksa diberikan oleh karena vaksin yang berisi antigen monovalenyang diperlukan tidak tersedia. Misalnya, karena di Indonesia tidak ada vaksin rubelamonovalen maka diberikan MMR yang merupakan vaksin kombinasi yang juga berisi vaksincampak.

Bagaimana KIPI pada dosis vaksin yang berlebih?

Secara teori dikhawatirkan antigen tambahan (ekstra) yang sebenarnya tidak diperlukanberhubungan dengan risiko terjadinya KIPI. Namun, dari laporan penelitian yang ada tidakdijumpai KIPI yang serius.

Pemberian vaksin kombinasi pada umur yang tidak tepat dapat menimbulkan KIPI.Misalnya, pemberian vaksin kombinasi DTP/hepB-atau DTP/Hib tidak bolehdiberikan sebelum umur 6 minggu mengingat antigen DTP atau Hib (PRP-T)mengandung tetanus toksoid yang tidak direkomendasikan diberikan sebelumumur 6 minggu.Studi lain melaporkan ternyata pemberian dosis ekstra vaksin yang berisi virushidup yaitu vaksin OPV, MMR, varisela, dan rotavirus yang telah dilemahkan padaanak imunokompeten

yang pernah mendapat imunitas baik dari vaksin sebelumnya atau infeksi alamiah, tidakmenunjukkan peningkatan KIPI.

Berbeda dengan vaksin mati atau vaksin subunit yang pada umumnya mengandungajuvan garam aluminium. Pada pemberian dosis tambahan jenis vaksin ini, harusdipertimbangkan mengenai keuntungan dan kerugian sehubungan dengan reaktogenisitasyang dapat timbul.Secara klinis tampak efek samping ringan timbul pada pemberian dosis tambahan vaksinhepB atau Hib dari komponen vaksin kombinasi. Pemberian dosis tambahan dari vaksinyang mengandung ajuvan garam aluminium dapat meningkatlan reaksi hipersensitivitas,misalnya pemberian DT pada anak, dT atau TT pada dewasa. Pemberian dosis tambahankomponen toksoid tetanus yang ada di dalam vaksin sebaiknya diberikan ataspertimbangan khusus, misalnya seorang anak yang semula mendapat DT oleh karena dikemudian hari harus diberikan perlindungan terhadap pertusis maka berikan DPT olehkarena tidak tersedia antigen pertusis monovalen sehingga anak tersebut kelebihanantigen difteria dan tetanus.

Jenis Vaksin Kombinasi

Jenis vaksin kombinasi dibuat berdasarkan 4 kategori,

1. Pengembangan vaksin kombinasi yang paling lama diproduksi yaitu DTwP (komponenwhole-cell pertussis), disebut vaksin kombinasi tradisional.

2. Vaksin kombinasi dengan dasar vaksin campak atau MMR.3. Vaksin kombinasi dengan dasar DTaP (DTP dengan komponen a-cellular pertussis) atau

hepatitis B.4. Vaksin kombinasi lain yang sedang dikembangkan.

30 0 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi KetigaTahun 2008

Jenis vaksin kombinasi tertera padaTabel 8.1

Tabel 8.1. Jenis vaksin kombinasi

VaksinKombinasi Jenis Vaksin

DTwP /hepB DTwP

Page 148: pedoman imunisasi

1 Pengembangan vaksin DTwP (DTP dengankomponen whole-cell pertussis)

2 Penambahan vaksin baru pada campak atau MMR

DTwP /hepB DTwP/Hib

Campak/ yellow feverMMR /varisela

3 Pertusis a-sellular (DTaP) atau hep-B sebagai dasar kombinasi

a. Dasar kombinasi pertusisa-selular (DTaP)

DTaP /hep BDTaP/Hib DTaP/IPVDTaP/hepB/HibDTaP/Hib/IPVDTaP/hep-B/Hib/IPV

b. Dasar kombinasi hepatitis B Hep-B/ HibHep-B/hep-A

4 Vaksin kombinasilain (sedangdikembangkan)

DPwT/ Men

DPaT/Men

IPV/PneumoIPV/Pneumo/MenHib/Pneumo/Men

Keterangan: DTwP = DTP whole cell , DTaP = DTPa-celluler, Hep-B = hepatitis B, Hib =Haemophilus influenzae tipe b, IPV = inactived polio vaccine, Hep-A = hepatitis A, Pneumo =pneumokokus, Men = meningitis

Jadwal Imunisasi pada Vaksin Kombinasi

Pemberian vaksin kombinasi DTwP/hepB, DTaP/Hib, DTaP/ Hib/IPV dapat dimasukkan dalamjadwal imunisasi IDAI dengan beberapa pilihan jadwal.

a. Vaksin kombinasi DTwP/hepB

Apabila akan mempergunakan vaksin kombinasi DTwP/HB, maka jadwal imunisasidapat disusun sebagai berikut.

Tabel 8.2. Vaksin DTwP/hepB dalam jadwal imunisasi PPI Depkes

Umur Pemberian vaksin Keterangan

Saat lahir HepB+BCG+OPV

2 bulan DTwP/hepB+OPV DTwP/hepB diberikan ≥ 6

minggu

3 bulan DTwP/hepB+OPV

4 bulan DTwP/hepB+OPV

DTwP/hepB = vaksin kombinasi DTwPdan hepB

Tabel 8.3. Vaksin kombinasi DTwP/hepB

Page 149: pedoman imunisasi

Saatpemberian

Umur Pilihan 1 Pilihan 2

Saat lahir HepB+BCG+OPV HepB+BCG+OPV

2 bulan DTwP/ DTwP/hepB+Hib+OPVhepB+Hib+OPV

4 bulan DTwP+Hib+OPV DTwP/hepB+Hib+OPV

6 bulan DTwP/hepB+Hib+OPV DTwP/hepB+Hib+OPV

DTwP/hepB = vaksin kombinasi DTwP dan hepB

b. Vaksin kombinasi DTP/Hib

Apabila mempergunakan vaksin kombinasi DTwP/Hib atau DTaP/ Hib, maka jadwal imunisasidapat disusun sebagai berikut.

Tabel 8.4. Vaksin kombinasi DTwP/Hib atau DTaP/Hib dalam jadwal imunisasi

Vaksinkombinasi

Umur DTwP/Hib DTaP/ Hib

Saat lahir HepB + BCG + OPV HepB + BCG + OPV

2 bulan DTwP/Hib + hepB + OPV DTaP/Hib + hepB + OPV

4 bulan DTwP/Hib + OPV DTaP/Hib + OPV

6 bulan DTwP/Hib + hepB + OPV DTaP/Hib + hepB + OPV

DTwP/Hib = vaksin kombinasi DTwP dan Hib DTaP/Hib = vaksin kombinasi DTaPdan Hib

c. Vaksin kombinasi DTaP/Hib/IPV

Tabel 8.5. Vaksin kombinasi DTaP/Hib/IPV dalam jadwal imunisasi

Umur Vaksin kombinasiDTaP/Hib/IPV

Saat lahir HepB + BCG + IPV

2 bulan DTaP/Hib/IPV + hepB

4 bulan DTaP/Hib/IPV

6 bulan DTaP/Hib/IPV + hepB

DTaP/Hib/IPV = vaksin kombinasi DTaP, Hib (PRP-T), dan IPV

Daftar Pustaka

1. American Academy of Pediatrics. Combination vaccines for childhood immunisation:recommendations of the Advisory Committee on Immunisation Practices, the American ofPediatrics and the American Academy of Family Physicians. Pediatrics 1999; 103:1064-8.

2. Bogaaerts H. Clinical experience with a combined DTPw-HB vaccine in healthy infants.Satellite symposium and regional meeting. The 9th Asian Congress of Pediatrics,Hongkong, 24 Maret 1997.

3. UNICEF. Combination vaccine juggling with option. Geneva: Children’s Vaccine Initiative.1998.

4. Decker MD, Edwards KM. Combination Vaccines. Dalam: Plotkin SA, Mortimer EA.,penyunting. Vaccines. Edisi ke-4. Philadelphia: WB Saunders Company, 2004. h. 508 –14.

5. Centers for Disease Control and Prevention U.S. Combination vaccines for chlidhoodimmunization. Atlanta, Georgia: Department of Health & Human Services. Morbidity andMortality Weekly Report (MMWR) 1999; 48: RR-5.

Page 150: pedoman imunisasi

6. World Health Organization. Combined vaccine for world’s children. Dalam: Ditmann,penyunting. Progress towards implementing hepatitis B and Haemophillus influenzae typeb into childhood immunisation programmes. Geneva: WHO 1999.

7. Poovooravaan Y, Apiradee Theambooniers. Comparison study of combinedDTwPHB vaccines and separate administration of DTwP and HB vaccines in Thaichildren. Asian Paed. J. Allergy Immunol 1999; 17:113-20.

8. Hadinegoro SR, Rusmil K, Mulyati S, Sampana E, Sundoro J, Kaligis B,Mahendra. Efficacy and reactogenicity of DTwP/Hepatitis B (Bio Farma) combinedvaccine. Dipresentasikan pada Simposium Recent in Vaccinology. Bandung 4September 2004.

Bab IX

Imunisasi Kelompok

Berisiko

1. Imunisasi bayi berisiko2. Imunisasi bayi pada Ibu berisiko

Pen gantar

Kelompok berisiko dibagi menjadi bayi yang berisiko dan ibu yang berisiko. Padabayi/anak yang mempunyai risiko tinggi untuk mendapat infeksi atau perhatian khusus untukpemberian imunisasi berikut, diperlukan panduan. Kelompok ini termasuk bayi/anak yangmenderita defisiensi imun seperti bayi prematur, anak dengan penyakit keganasan, anak yangmendapatkan pengobatan imunosupresi, radioterapi, anak yang menderita infeksi HIV,transplantasi sumsum tulang/organ dan splenektomi; atau mereka yang pernah menderita reaksiefek samping yang serius setelah imunisasi.

Kelompok ibu yang berisiko dapat menularkan infeksi yang diderita terhadap bayi yangdilahirkan, perlu mendapat pertimbangan saat bayi akan diimunisasi. Perhatian khususdiperlukan pada ibu yang menderita hepatitis B, tuberkulosis, dan HIV.

Bab IX-1

Imunisasi pada Bayi dan Anak Berisiko

Sjawitri P. Siregar

Pada bayi dan anak yang mempunyai risiko tinggi untuk mendapat infeksi, harusdiimunisasi berdasarkan prioritas. Misalnya pada bayi dan anak yang menderitaimunokompromais, transplantasi sumsum tulang/organ dan splenektomi serta bayiprematur, imunisasi harus diatur.

Pasien imunokompromais

Penekanan respons imun (imunokompromais) dapat terjadi pada penyakit defisiensi imunkongenital (primer) dan defisiensi imun didapat (sekunder) yaitu pemakaian kortikosteroidsistemik dosis tinggi dan lama, penyakit keganasan seperti leukemia, limfoma, pasien denganpengobatan alkilating agents, antimetabolik, radioterapi, bayi/anak menderita HIV dantransplantasi sumsum tulang.

Defisiensi imun primer

Pada defisiensi imun primer humoral, defisiensi imun primer selular dan kombinasi defisiensikeduanya seperti pada penyakit X-linked agammaglobulinemia, Bruton, Wiskott-Aldrich, ataxiatelangiectasia dan sindrom di George , kontraindikasi untuk vaksinasi dengan vaksin hidup.Dapat diberikan imunisasi pasif dengan gammaglobulin spesifik atau dengan IGIV.

Pada defisiensi komplemen dapat diberikan semua jenis vaksin baik hidup ataupun vaksinkuman mati/dilemahkan sedangkan pada defisiensi fagosit misalnya pada penyakitgranulomatosis, tidak boleh diberikan vaksin bakteri hidup dan dianjurkan untuk divaksinasiterhadap penyakit influenza dan pneumokokus.

Defisiensi imun sekunder

Page 151: pedoman imunisasi

1. Mendapat pengobatan kortikosteroid dosis tinggi sama atau lebih dari 20 mg sehari atau2 mg/kgBB/hari dengan lama pengobatan >7 hari atau dosis 1 mg/kgBB/hari lamapengobatan >1 bulan.

2. Pengobatan dengan alkylating agents, antimetabolik dan radioterapi. Untuk penyakitkeganasan seperti leukemia, dan limfoma.

Pada pasien dengan sistem imun tertekan tidak boleh diberikan imunisasi vaksin hidupkarena dapat berakibat fatal disebabkan kuman akan bereplikasi hebat karena tubuhtidak dapat mengontrolnya. Vaksin hidup misalnya vaksin polio oral, MMR dan BCG.Vaksinasi dengan mikroorganisme hidup dapat diberikan setelah penghentian

pengobatan imunosupresif minimal 3 bulan.

Vaksinasi dengan mikroorganisme mati atau yang dilemahkan dapat segera diberikan sepertihepatitis B, hepatitis A, DTP, influenza danHib, dosis samadengan anaksehat. Responsimunyangtimbultidak sama dengan anak sehat, sehingga bila kontak dengan pasien campakharus diberikan imunisasi pasif dengan normal immunoglobulin (human) NIGH dosis 0.2ml/kgBB intramuskular. Untuk profilaksis varisela dosis lebih besar 0.4-1.0 ml/kgBB, bilamungkin sebaiknya diberikan imunisasi profilaksis (spesifik) dengan varicella-zosterimmunoglobulin (VZIG), namun pada saat ini belum ada di Indonesia.

Pengobatan kortikosteroid

Pada pasien dengan pengobatan kortikosteroid (1) topikal atau obat semprot hidung, paru,salep kulit, salep mata, injeksi lokal intra artikular, (2) kortikosteroid dosis rendah yangdiberikan setiap hari atau selang sehari, dapat diberikan imunisasi dengan vaksin hidup.Sedangkan pada pasien yang mendapat kortikosteroid sistemik dosis tinggi setiap hariatau selang sehari dan lama pemberian kurang dari 14 hari, dapat diberikan vaksinasidengan vaksin

hidup segera setelah penghentian pengobatan, namun ada pendapat yangmenganjurkan setelah penghentian 14 hari.

Pada pasien yang mendapat kortikosteroid sistemik dosis tinggi setiap hari atauselang sehari selama >14 hari, dapat diberikan vaksin hidup setelah penghentianpengobatan 1 bulan. Imunisasi dengan vaksin hidup dapat diberikan pada pasienyang telah menghentikan pengobatan imunosupresi selama 3 bulan atau 6 bulandengan pertimbangan bahwa status imun sudah mulai membaik dan penyakitprimernya sudah dalam remisi atau sudah dapat dikontrol.Keluarga pasien imunokompromais yang kontak langsung (serumah) dianjurkan untukmendapatkan vaksinasi polio inaktif (inactivated polio vaccine), varisela dan MMR.Vaksin varisela sangat dianjurkan untuk keluarga imunokompromais, oleh karena

walaupun dapat terjadi penularan tranmisi virus varisela pada pasien tetapi gejala lebihringan dari pada bila infeksi alamiah yang akan berakibat lebih buruk dan dapat fatal.Pengecualian untuk pasien leukemia limfositik akut dalam keadaan remisi lebih dari 1tahun, dapat diberikan imunisasi dengan virus hidup varisela, oleh karena bila mendapatinfeksi alamiah dengan varisela keadaannya dapat fatal.Pasien defisiensi imun kongenital ataupun yang didapat, imunisasi tidak akan memberikanrespons maksimal yang diinginkan, sehingga dianjurkan memeriksa titer antibodi serumsetelah imunisasi diberikan sebagai data untuk pemberian imunisasi berikutnya.

Infeksi human immunodefisiensi virus (HIV)

Pasien HIV mempunyai risiko lebih besar untuk mendapatkan infeksi sehingga diperlukanimunisasi, walaupun responsnya terhadap imunisasi kurang optimal. Yang menjadi pertanyaan,kapan pasien HIV harus diberikan imunisasi? Apabila diberikan terlambat mungkin tidak akanberguna karena penyakit sudah lanjut

dan efek imunisasi tidak ada atau kurang; namun apabila diberikan dini, vaksin hidupakan mengaktifkan sistim imun yang dapat meningkatkan replikasi virus HIV sehinggamemperberat penyakit HIV. Pasien HIV dapat diimunisasi dengan mikroorganisme yangdilemahkan atau yang mati. Vaksin pneumokok konjugasi (PCV7) diberikan pada anakdengan HIV (+). Pada umur kurang dari 23 bulan mendapatkan imunisasi PCV7 3 kalidengan interval 2 bulan, sedangkan anak umur 24-59 bulan karena mempunyai risikotinggi maka diberikan imunisasi dengan PCV7 2 kali dengan interval 2 bulan dandilanjutkan dengan imunisasi ke 3 memakai vaksin pnemumokok PCV23 (Tabel 9.1)

Tabel 9.1. Rekomendasi imunisasi untuk HIV anak

Vaksin Rekomendasi Keterangan

Page 152: pedoman imunisasi

IPV DPT Hib Hepatitis B* Hepatitis A MMR** Influenza Pneumokokus BCG ** Varisela **

Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya

Ya/tidak

Pasien dan keluarga serumah Sesuai dengan jadwal anak sehat Secepat mungkin

Sesuai jadwal anak sehat Sesuai jadwal anak sehat Diberikan umur 12 bulan Tiap tahundiulang

Secepat mungkin

Dianjurkan untuk Indonesia Tergantung berat penyakit

Dikutip dan dimodifikasi dari PlotkinSA, 2004

* Ada yang menganjurkan dosis Hepatitis B dilipat gandakan 2 X

** MMR, BCG dan Varisela dapat diberikan pada pasien HIV asimptomatik atau gejala HIVringan. Tidak diberikan pada kasus HIV berat dan kadar limfosit CD4+ <25%

Penyakit Hodgkin

• Pasien penyakit Hodgkin yang berumurlebih dari24bulandanorang dewasa (close contact)dianjurkan mendapat imunisasi pneumokok dan Hib, karena penderita ini berisiko terhadapkedua penyakit tersebut. Respons antibodi paling baik bila imunisasi diberikan 10-

14 hari sebelum dilakukan imunoterapi. Apabila diberikan bersama denganimunoterapi hasilnya kurang efektif dan harus diulang 3 bulan setelah kemoterapiatau radioterapi dihentikan.

Pada splenektomi dianjurkan untuk pemberian imunisasi pneumokok dan Hibsebelum pengangkatan limpa. Pemberian profilaksis antibiotik dengan penisilindianjurkan untukpenderita anemi sickle cell, thalasemia terhadap infeksi pneumokok.Dosis yang dianjurkan 2 x 125 mg sehari untuk anak kurang dari 5 tahun dan 2 kali250 mg sehari untuk anak > 5 tahun. Dapat juga profilaksis dengan amoksilin 20mg/kg sehari.Harus dijelaskan kepada orang tua bahwa walaupun sudah mendapat profilaksisantibiotika anaknya masih dapat menderita infeksi oleh kuman lain, sehingga bila

demam harus segera berobat untuk menghindarkan sepsis.Pada pasien keganasan seperti leukemia dan limfoma sebelum memulai pengobatandengan kemoterapi sebaiknya diberikan dahulu imunisasi (Tabel 9.2)

Tabel 9.2. Rekomendasi imunisasi pada pasien kanker

Vaksin Rekomendasi Keterangan

DPT

Polio (IPV)*PneumokokHib

Influenza**Varisela*

MMR*

YaYaYaYaYaYa

Tidak

Penderitakanker anakPenderitakanker

Untuk limfoma

Penderitakanker anakTergantungmusim**Penderitaseronegatif

Page 153: pedoman imunisasi

Dikutip dan dimodifikasi dari PlotkinSA,2004

* Keluarga dekat / serumah juga harus diimunisasi dengan IPV,varisela & MMR

** Untuk daerah yang tidak tergantung musim, vaksin influenza diberikan pada bulan Agustus-September tiap tahun

Pasien transplantasi sumsum tulang (TST)

Resipien transplantasi sumsum tulang (TST) alogenik akan menjadi defisiensi imundisebabkan4komponen (1) pengobatan imunosupresi

terhadap penyakit primer, (2) kemoterapi dan radioterapi yang diberikan pada pejamu(3) reaktivitas imunologi antara graft dan pejamu, serta (4) pengobatan imunsupresiyang diberikan setelah tranplantasi dilakukan. Sedangkan pada transplantasi sumsumtulang otolog hanya komponen (1) dan (2) yang berperan. Rekomendasi yangdianjurkan pada pasien transplantasi sumsum tulang tampak pada Tabel 9.3. Pada TSTalogenik, sistem imun resipien digantikan oleh sistem imun pejamu.

Sebaiknya sebelum transplantasi dilakukan, pada pasien diberikan imunisasi polio danDTP terlebih dahulu; karena terbukti setelah transplantasi, imunitas terhadap virus polio,tetanus dan difteri hampir tidak ada. Penelitian klinis menunjukkan bahwa bila donordiberikan imunisasi difteri dan tetanus sebelum transplantasi dilakukan kemudiansegera setelah itu diberikan imunisasi pada resipien dengan antigen yang sama akan

memberikan respons yang baik. Hal yang sama dapat dilakukan dengan vaksin inaktif pertusis,Hib, hepatitis B, pneumokok dan IPV (inactivated polio vaccine).

Pada TST otologus tidak terdapat perbedaan imunologik antara graft dan pejamu, sehinggaregenerasi sistem imun lebih cepat dan bahaya infeksi pun tidak seperti pada transplantasialogenik. Pada transplantasi TST alogenik, sistem imun resipien digantikan oleh sistem imunpejamu. Sebaiknya sebelum transplantasi dilakukan diberikan imunisasi terlebih dahulu kepadaresipien.

Imunisasi influenza dapat diberikan 1 tahun setelahtransplantasi, dan diulangi setiap tahunsebelum epidemi tiba. Imunisasi dengan hepatitis B diberikan setelah 1 tahun transplantasi.Pasien berumur diatas 12 tahun yang akan mendapat organ transplantasi sebaiknya diperiksaterlebih dahulu titer antibodi campak, rubela dan varisela. Mereka yang berisiko tinggi harusmendapat imunisasi MMR sebelum transplantasi dilakukan. Waktu terbaik adalah 1 bulansebelum transplantasi dilakukan. Titer antibodi setelah setahun transplantasi sebaiknyadiperiksa. Pada mereka yang rentan infeksi bila kontak dengan pasien campak, varisela danrubela sebaiknya diberikan imunisasi pasif dengan imunoglobulin dan bila mungkin

titer antibodi diperiksa terlebih dahulu. Karena hanya sedikit data mengenai imunisasipada pasien transplantasi, setiap senter mempunyai pengalaman dan cara yangberbeda.

Tabel 9.3. Rekomendasi imunisasi untuk pasien transplantasi sumsum tulang

VaksinTransplantasiTransplantasi SSTalogenik SSTotologus

Keterangan

DPT Ya Ya 2-3 dosis setelah 6-12bulan transplantasi.

Polio (IPV) Ya Ya 2-3 dosis setelah 6-12bulan transplantasi.

Campak Epidemik Hanyapada

Tidak diberikan dalam24

campak penderitaanak

bulan setelahtranplantasi. Tidakpada GVHD.

Terutama wanita.

Rubela Hib Ya Ya Ya Ya

2 dosis mulai 6-12bulan setelahtransplantasi.

12 bulan setelahtransplantasi. Hasiltidak baik pada GVHD.

Hepatitis B Tidak dalam masa 24

Page 154: pedoman imunisasi

Hepatitis BPneumokok Ya Ya bulan setelah trans-

plantasi. Tidak Ya ? pada GVHD.Varisela

TidakAnak dandewasamuda

Dikutip dan dimodifikasi dari PlotkinSA, 2004.

Keterangan: TST = transplantasi sumsum tulang GVHD = graft versus host disease

Bayi prematur dan berat lahir rendah

Bayi prematur dapat diimunisasi sesuai dengan umur kronologisnya dengan dosis dan jadwalyang sama dengan bayi cukup bulan. Vaksin DTwP atau DTaP, Hib dan OPV diberikan padaumur 2 bulan. Bila bayi masih dirawat pada umur 2 bulan sebaiknya diberikan IPV, bila akandiberikan OPV sebaiknya pemberian ini harus ditunda sampai saat bayi akan dipulangkan darirumah sakit/rumah bersalin untuk menghindarkan penyebaran virus polio

kepada bayi lain yang sedang dirawat. Pada bayi prematur respons imun kurang biladibandingkan bayi matur terhadap imunisasi hepatitis B, sehingga pemberian vaksinhepatitis B dapat dilakukan dengan 2 cara sebagai berikut:

Ibu positif HbsAg, berat lahir >2000 g: harus diberikan hepatitis B bersamaan denganHBIG pada 2 tempat yang berlainan dalam waktu 12 jam. Dosis ke-2 diberikan 1 bulankemudian, dosis ke-3 dan ke-4 diberikan umur 6 dan 12 bulan. Periksa titer anti-HBsdan HbsAg pada umur 9-15 bulan. Bila HBSAg dan anti-HBs negatif, reimunisasidengan 3 dosis dengan interval 2 bulan dan periksa kembali HbsAg dan anti-HBs.Ibu positif HbsAg, berat lahir <2000 g: harus diberikan vaksin Hepatitis B + HBIg pada 2tempat suntikan yang berlainan dalam waktu 12 jam. Imunisasi vaksin hepatitis B ke-2diberikan umur 1 bulan dan berat badan mencapai 2000 g, selanjutnya umur 2-3 bulan

dan 6 bulan umur kronologis. Periksa anti-HBs dan HbsAg pada umur 9-15 bulan. BilaHbsAg dan anti-HBs negatif, reimunisasi dengan 3 dosis dengan interval 2 bulan danperiksa kembali HbsAg dan anti-HBs.Ibu negatif HbsAg, berat lahir >2000 g: pemberian imunisasi hepatitis B dosis pertama saatlahir, selanjutnya umur 1 dan

6 bulan umur kronologis.

Ibu HbsAg negatif, berat lahir <2000 g: imunisasi pertama saat berat badan telah mencapai2000 g atau secara klinis keadaannya stabil dalam 30 hari umur kronologis atau pada saatkeluar dari RS sebelum 30 hari.umur kronologis. Imunisasi hepatitis B dalam 3 dosis pada umur 1-2 bulan, 2-4 bulan dan6-18 bulan umur kronologis.Ibu tidak diketahui status HbsAg, berat lahir >2000 g: diberikan vaksin hepatitis B dalam 12jam. Periksa HBsAg ibu segera. Bila hasil positif ditambahkan HBIg dalam waktu

7 hari.

• Ibu tidak diketahui status HbsAg, berat lahir <2000 g: diberikan vaksin hepatitis B.Periksa HBsAg ibu segera, bila tidak dapat dilakukan dalam 12 jam, berikan HBIgdalam 12 jam.

Saat ini telah beredar vaksin kombinasi hepatitis B dengan DTP, DTaP(DTP/HepB). Vaksin kombinasi baru dapat diberikan pada umur kronologis setelah6 minggu, jadi vaksin kombinasi tidak dapat diberikan sebagai imunisasi pertamapada bayi prematur.

Imunisasi pada anak dengan penyakit kronis

Anak dengan penyakit kronis peka terhadap infeksi, sehingga harus diberikanimunisasi seperti anak sehat, kecuali sudah terjadi defisiensi imun sekunder. Sangat dianjurkanuntuk imunisasi terhadap influenza dan pneumokokus.

Tabel 9.4. Imunisasi dan kondisi terpapar infeksi

Paparan infeksi Inkubasi

Page 155: pedoman imunisasi

Pemberian vaksinasi

Campak 8-12 hari 0-72 jam paparan

Varisela 14-16 hari 0-72 jam paparan

Rubela 14-23 hari Tidak perlu

Gondongan 12-25 hari Tidak perlu

Heptitis B 14-160 hari Perlu aktif dan pasif segera dlm 12 jam

Tetanus 24 jam - Perlu aktif dan pasifbeberapa bulan

Hepatitis A 15-50 hari Tidak perlu

Vaksinasi pada anak dengan reaksiefek samping

Pada anak yang pernah menderita reaksi efek samping yang serius setelah imunisasi, harusdiberikan imunisasi berikutnya di rumah sakit dengan pengawasan dokter.

Air susu ibu dan imunisasi

Tidak terdapat kontra indikasi pada bayi yang sedang menyusui bila ibunya diberikanimunisasi baik dengan kuman atau virus hidup dan kuman yang dilemahkan.Sebaliknya air susu ibu tidak akan menghalangi seorang bayi untuk mendapatkanimunisasi.

Daftar Pustaka

1. Atkinson W, Walfe C, Hamiston S, dkk. general recommendations on immunization.Dalam: Atkinson W, penyunting. Epidemiology and prevention of vaccine-preventablediseases; edisi ke-6. Atlanta, 2000; 18-20.

2. Vaccines. Plotkin SA, Orenstein WA, editors. 4th ed. Philadelphia: W.B. Saunders; 2004.3. NHMRC (National Health and Medical Research Council). The Australian Immunization

Handbook, edisi ke-9. 2008.4. WHO, Unicef, The World Bank. State of the World’s Vaccines and Immunization. Geneva:

WHO. 2002.

Bab IX-2

Imunisasi Bayi pada Ibu Berisiko

Toto Wisnu Hendrarto

Ibu menderita hepatitis B

Ibu yang menderita hepatitis B akut atau uji serologis HBsAg positif, dapat menularkanhepatitis B pada bayinya. Imunisasi hepatitis B pada bayi ditentukan oleh status HBsAgibu sebagaimana tertulis pada tabel 9.5 berikut ini.

Tabel 9.5. Skema Iimunoprofilaksis hepatitis B pada bayi berdasarkan status HBsAg ibu.*

Status HBsAg ibu Berat lahir ≥2000g Berat lahir <2000 g

HBsAg positif Vaksin Hepatitis B + HBIg

(dalamumur 12jam)

Imunisasidengan 3dosisvaksin pada0, 1, dan 6bulan umurkronologis.

VaksinHepatitis B+ HBIg(dalamumur 12jam)

Imunisasidengan 4dosis vaksinpada 0, 1, 2-3, dan 6bulan umur

Page 156: pedoman imunisasi

kronologis.

Periksaanti-HBsdan HBsAgpada umur9–15 bulan+

Bila HBsAgdan anti-HBs negatif,reimunisasidengan 3dosis,denganinterval 2bulan, danperiksakembaliHBsAg dananti-HBs.

kronologis.

Periksaanti-HBsdan HBsAgpada umur9–15 bulan+

Bila HBsAgdan anti-HBs negatif,reimunisasidengan 3dosis,denganinterval 2bulan, danperiksakembaliHBsAg dananti-HBs.

HBsAgtidakdiketahui

VaksinHepatitis B(dalam 12 jam)+ HBIg (dalam7 hari) bilahasilpemeriksaanHBsAg ibupositif

PeriksaHBsAg ibusegera

VaksinHepatitis B+ HBIg(dalam 12jam)

PeriksaHBsAg ibusegera, bilatidak dapatdilakukandalam 12jam, berikanHBIg.

Toto Wisnu Hendrarto

Status HBsAg ibu Berat lahir≥2000 g Berat lahir <2000 g

HBsAg negatif Dianjurkanvaksin Hepatitis Vaksin Hepatitis B dosis

B saat lahir. 1 dalam 30 hari umur

kronologis, bila secara klinis keadaannya stabil, atau padasaat keluar dari RS sebelum 30 hari umur kronologis.

HBsAg negatif Imunisasi Hepatitis B

dalam 3 dosis pada umur 0–2, 1–4, dan 6–18 bulan umur kronologis.

Bila vaksinasi kombinasi mengandung Hepatitis B, berikan saat usia 6–8 mingguumur kronologis

Evaluasi anti-HBs dan HBsAg tidak perlu dilakukan

Imunisasi Hepatitis B dalam 3 dosis pada umur 1–2, 2–4, dan 6–18 bulan umur kronologis.

Bila vaksinasi kombinasi mengandung Hepatitis B, berikan saat usia 6–8 minggu umurkronologis

Evaluasi anti-HBs dan HBsAg tidak perlu dilakukan

Page 157: pedoman imunisasi

Saat pemberian dosis vaksinHepatitis B tidak mempertimbangkan masa gestasi dan berat lahir.

Pendapat lain menganjurkan melakukan pemeriksaan serologis 1-3 bulan sesudahpemberian jadwal vaksinasi Hepatitis B selesai.

Yakinkan ibu tetap menyusui ASI, apabila vaksin Hepatitis B sudah diberikan.

Ibu menderita tuberkulosis

Bayi dilahirkan ibu menderita (TB) paru aktif sesaat sebelum, sesudah lahir, dan mendapatpengobatan kurang 2 bulan sebelum melahirkan, tidak cukup terlindungi dengan vaksinasi BCG.Tindakan yang dilakukan,

Jangan diberi BCG pada saat setelah lahir.Beri pencegahan dengan isoniazid (INH) 5 mg/kg BB sekali sehari per oral.Pada umur 8 minggu evaluasi bayi kembali, berat badan, dan lakukan pemeriksaan ujituberkulin dan foto dada bila memungkinkan.

ï¶ Apabila ditemukan kemungkinan TB aktif, mulai diberi

Imunisasi Bayi pada Ibu Berisiko

pengobatan anti TB sesuaikan program pengobatan TB pada bayi.

ï¶ Apabila kondisi bayi baik dan hasil uji tuberkulin negatif lanjutkan pencegahandengan isoniazid dalam waktu 6 bulan.

ï¶ Tunda pemberian BCG sampai 2 minggu setelah pengobatan selesai. Bila BCGsudahterlanjur diberikan, ulangi pemeriksaan 2 minggu setelah pengobatan INH selesai.

ï¶ Yakinkan ibu bahwa ASI tetap boleh diberikan dan catat berat badan bayi tiap 2minggu.

Ibu menderita HIV

Tidak ada tanda spesifik HIV yang dapat ditemukan pada bayi saat lahir.Tanda klinis dapat ditemukan pada umur 6 minggu setelah lahir, namun uji antibodi barudapat dideteksi pada umur 18 bulan, untuk menentukan status HIV bayi.Bayi yang dilahirkan dari ibu HIV positif, lakukan konseling pada keluarga rawat bayiseperti bayi yang lain dan perhatian khusus pada pencegahan infeksi. Bayi tetap diberiimunisasi rutin seperti layaknya bayi sehat lain.

Daftar Pustaka

1. DepartamenKesehatanR.I. Buku panduan manajemen masalah bayi baru lahir untukdokter, perawat, bidan di Rumah Sakit Rujukan Dasar. Kerja sama IDAI, MNHJHPIEGO,Departemen Kesehatan R.I. 2003.

2. WHO, Unicef, The World Bank. State of the World’s Vaccines and Immunization. Geneva:WHO. 2002.

3. Vaccines. Plotkin SA, Orenstein WA, eds. 4th ed. Philadelphia, PA: WB Saunders Co.;2004:745-81.

Bab X

Kejadian Ikutan Pasca

Imunisasi

1. Klasifikasi KIPI2. Pelaporan KIPI

Pen gantar

Reaksi lokal maupun sistemik yang tidak diinginkan dapat terjadi pasca imunisasi.Sebagian besar hanya ringan dan bisa hilang sendiri. Reaksi yang berat dan tidakterduga bisa terjadi meskipun jarang. Umumnya reaksi terjadi segera setelah dilakukanvaksinasi, namun bisa juga reaksi tersebut muncul kemudian. Sebagai pelaksana kitaharus mengetahui berapa besar insidensi dan bentuk kejadian yang tidak diharapkan

dari suatu imunisasi. Pasien dan keluarga harus diberi informasi mengenai risiko dan

Page 158: pedoman imunisasi

keuntungan vaksinasi dan tentunya tentang penyakit yang akan dicegah. Persetujuan tertulisdari pasien atau keluarga tidak diperlukan, namun mereka selain diberi informasi juga diberikesempatan untuk bertanya. Perlu dicatat di kartu imunisasi bahwa hal ini telah dilaksanakan.

Pasien dan keluarganya harus dinasihati agar melaporkan kepada tempat imunisasi diberikanbila terjadi reaksi pasca imunisasi yang serius, dan petugas harus melaporkan kejadian pascaimunisasi yang serius ini ke instansi yang berwenang di daerah tersebut dengan mengisiformulir KIPI yang telah tersedia.

Pelaporan kasus KIPI sangat penting dan harus selalu dibuat dan dikirimkan kepada KomiteDaerah (Komda) PP KIPI yang berkedudukan di tiap provinsi. Dengan laporan yangberkesinambungan, data KIPI Indonesia dapat dibuat dengan cermat oleh Komite Nasional(Komnas) PP KIPI.

Bab X-1

Kejadian Pasca Imunisasi (KIPI)

adverse events following immunization (AEFI)

Arwin P. Akib, Asri Purwanti

Keamanan vaksin sudah menjadi perhatian sejak lama, dan masalah medikolegalvaksin di Indonesia mulai mencuat di tahun 1990, sehingga mulai dibentuklah KOMNASpengkajian penanggulangan KIPI/PP KIPI yang merupakan badan independen yangdibentuk oleh Departemen Kesehatan dengan anggotanya terdiri dari IDAI, SubditImunisasi Depkes, BPOM dan lain-lain. Pembentukan itu kemudian diikuti olehorganisasi tingkat provinsi (Komda PP KIPI)bahkan di tingkat kabupaten. Seiringdengan kewaspadaan terhadap aspek medikolegal, imunisasi telah diakui sebagaiupaya pencegahan penyakit yang paling efektif yang berdampak terhadap peningkatankesehatan masyarakat.

Faktor terpenting yang harus dipertimbangkan dalam pembuatan vaksin adalah keseimbanganantara imunogenisitas (daya membentuk kekebalan) dengan reaktogenisitas (reaksi simpangvaksin). Untuk mencapai imunogenisitas yang tinggi vaksin harus berisi antigen yang efektifuntuk merangsang respons imun resipien sehingga tercapai nilai antibodi di atas ambangpencegahan untuk jangka waktu yang cukup panjang. Vaksin harus diupayakan agar tidakmenimbulkan efek simpang yang berat, dan jauh lebih ringan dibandingkan dengan gejala klinispenyakit secara alami. Pada kenyataannya tidak ada vaksin yang benar-benar ideal, namundengan kemajuan bioteknologi saat ini telah dapat dibuat vaksin yang efektif dan relatif aman.

Seiring dengan cakupan imunisasi yang tinggi maka penggunaan vaksin juga meningkat, danakibatnya kejadian yang berhubungan dengan imunisasi juga meningkat. Dalam menghadapihal tersebut

penting diketahui apakah kejadian tersebut berhubungan dengan vaksin yang diberikan ataukahsecara kebetulan.

Reaksi simpang yang dikenal sebagai kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) atau adverseevents following immunization (AEFI) adalah kejadian medik yang berhubungan denganimunisasi baik berupa efek vaksin ataupun efek samping, toksisitas, reaksi sensitivitas, efekfarmakologis, atau akibat kesalahan program, koinsidensi, reaksi suntikan, atau hubungankausal yang tidak dapat ditentukan.

Perlu juga dipertimbangkan adanya efek tidak langsung dari vaksin yang disebabkanKesalahan teknik pembuatan, pengadaan dan distribusi vaksin, kesalahan prosedur,kesalahan teknik imunisasi, atau kebetulan.

Untuk mengetahui hubungan antara imunisasi dengan KIPI diperlukan pencatatan danpelaporan dari semua reaksi simpang yang timbul setelah pemberian imunisasi (yangmerupakan kegiatan dari surveilans KIPI). Surveilans KIPI tersebut sangat membantuprogram imunisasi, khususnya untuk memperkuat keyakinan masyarakat akanpentingnya imunisasi sebagai upaya pencegahan penyakit yang paling efektif.

Definisi KIPI

Untuk kepentingan operasional maka Komnas PP KIPI menentukan bahwa kejadian ikutanpasca imunisasi adalah sebagai reaksi simpang yang dikenal sebagai kejadian ikutan pascaimunisasi (KIPI) atau adverse events following immunization (AEFI) adalah kejadian medik yangberhubungan dengan imunisasi baik berupa efek vaksin ataupun efek samping, toksisitas, reaksisensitivitas, efek farmakologis, atau kesalahan program, koinsidensi, reaksi suntikan, atau

Page 159: pedoman imunisasi

hubungan kausal yang tidak dapat ditentukan.

Pada keadaan tertentu lama pengamatan KIPI dapat mencapai masa 42 hari (artritis kronikpasca vaksinasi rubela), atau bahkan sampai 6 bulan (infeksi virus campak vaccine-strain padapasien imunodefisiensi pasca vaksinasi campak, dan polio paralitik serta

infeksi virus polio vaccine-strain pada resipien non imunodefisiensi atau resipienimunodefisiensi pasca vaksinasi polio).

Pada umumnya reaksi terhadap obat dan vaksin dapat merupakan reaksi simpang(adverse events), atau kejadian lain yang bukan terjadi akibat efek langsung vaksin.Reaksi simpang vaksin antara lain dapat berupa efek farmakologi, efek samping (side-effects), interaksi obat, intoleransi, reaksi idiosinkrasi, dan reaksi alergi yang umumnyasecara klinis sulit dibedakan satu dengan lainnya. Efek farmakologi, efek samping, sertareaksi idiosinkrasi umumnya terjadi karena potensi vaksin sendiri, sedangkan reaksialergi merupakan kepekaan seseorang terhadap unsur vaksin dengan latar belakanggenetik. Reaksi alergi dapat terjadi terhadap protein telur (vaksin campak, gondong,influenza, dan demam kuning), antibiotik, bahan preservatif (neomisin, merkuri), atauunsur lain yang terkandung dalam vaksin.

Kejadian yang bukan disebabkan efek langsung vaksin dapat terjadi karena kesalahanteknik pembuatan, pengadaan dan distribusi serta penyimpanan vaksin, kesalahan prosedur danteknik pelaksanaan imunisasi, atau semata-mata kejadian yang timbul secara kebetulan.

Persepsi awam dan juga kalangan petugas kesehatan, menganggap semua kelainan dankejadian yang dihubungkan dengan imunisasi sebagai reaksi alergi terhadap vaksin. Akan tetapitelaah laporan KIPI oleh Vaccine Safety Comittee, Institute of Medicine (IOM) USA menyatakanbahwa sebagian besar KIPI terjadi secara kebetulan saja (koinsidensi). Kejadian yang memangakibat imunisasi tersering adalah akibat kesalahan prosedur dan teknik pelaksanaan(programmatic errors).

Epidemiologi KIPI

Kejadian ikutan pasca imunisasi akan timbul setelah pemberian vaksin dalamjumlahbesar.Penelitian efikasi dankeamananvaksin dihasilkan melalui fase uji klinis yang lazim, yaitu fase 1,2, 3, dan 4. Uji klinis

fase 1 dilakukan pada binatang percobaan sedangkan fase selanjutnya pada manusia. Uji klinisfase 2 untuk mengetahui keamanan vaksin (reactogenicity and safety), sedangkan pada fase 3selain keamanan juga dilakukan uji efektivitas (imunogenisitas) vaksin.

Pada jumlah penerima vaksin yang terbatas mungkin KIPI belum tampak, maka untukmenilai KIPI diperiukan uji klinis fase 4 dengan sampel besar yang dikenal sebagaipost-marketing surveilance (PMS), Tujuan PMS adalah untuk memonitor danmengetahui keamanan vaksin setelah pemakaian yang cukup luas di masyarakat(dalam hal ini program imunisasi). Data PMS dapat memberikan keuntungan bagiprogram apabila semua KIPI (terutama KIPI berat) dilaporkan, dan masalahnya segeradiselesaikan. Sebaliknya akan merugikan apabila program tidak segera tanggapterhadap masalah KIPI yang timbul sehingga terjadi keresahan masyarakat terhadapefek samping vaksin dengan segala akibatnya.

Menurut National Childhood Vaccine Injury dari Committee of the Institute of Medicine(IOM) di USA sangat sulit mendapatkan data KIPI oleh karena,

Mekanisme biologis gejala KIPI kurang difahamiData KIPI yang dilaporkan kurang rinci dan akuratSurveilans KIPI belum luas dan menyeluruhSurveilans KIPI belum dilakukari untuk jangka panjangPublikasi KIPI dalam jumlah kasus yang besar masih kurang.

Mengingat hal tersebut, maka sangat sulit menentukan jumlah kasus KIPI yang sebenarnya.Kejadian ikutan pasca imunisasi dapat ringan sampai berat, terutama pada imunisasi masal atausetelah penggunaan lebih dari 10.000 dosis.

Klasifikasi KIPI

Komnas Pengkajian dan Penanggulangan KIPI (Komnas PP KIPI ) mengelompokkan etiologiKIPI dalam 2 klasifikasi,

1. Klasifikasi lapangan menurut WHO Western Pacific (1999 ) untuk petugas kesehatan dilapangan.

Page 160: pedoman imunisasi

2. Klasifikasi kausalitas menurut IOM 1991 dan 1994 untuk telaah Komnas PP KIPI.

1. Klasifikasi lapangan (WHO Western Pasific 1999)

Sesuai dengan manfaatnya di lapangan maka Komnas PP-KIPI memakai kriteria WHOWestern Pacific untuk memilah KIPI dalam lima kelompok penyebab, yaitu kesalahanprogram, reaksi suntikan, reaksi vaksin, koinsiden, dan sebab tidak diketahui. Klasifikasilapangan ini dapat dipakai untuk pencatatan dan pelaporan KIPI.

a. Kesalahan program/teknik pelaksanaan (programmatic errors)

Sebagian besar kasus KIPI berhubungan dengan masalah program dan teknikpelaksanaan imunisasi yang meliputi kesalahan program penyimpanan, pengelolaan,dan tata laksana pemberian vaksin. Kesalahan tersebut dapat terjadi pada berbagaitingkatan prosedur imunisasi, misalnya,

dosis antigen (terlalu banyak)lokasi dan cara menyuntiksterilisasi semprit dan jarum suntikjarum bekas pakaitindakan aseptik dan antiseptikkontaminasi vaksin dan peralatan suntikpenyimpanan vaksinpemakaian sisa vaksinjenis dan jumlah pelarut vaksintidak memperhatikan petunjuk produsen (petunjuk pemakaian, indikasi kontra dan lain-lain)

Kecurigaan terhadap kesalahan tata laksana perlu diperhatikan apabila terdapatkecenderungan kasus KIPI berulang pada petugas yang sama.

Mencegah program error (VSQ 1996)

Alat suntik steril utk setiap suntikanPelarut vaksin yg sudah disediakan oleh produsen vaksinVaksin yg sudah dilarutkan segera dibuang setelah 6 jam

lemari pendingin tidak boleh ada obat lain selain vaksinPelatihan vaksinasi dan supervisi yg baikProgram error dilacak, agar tidak terulang kesalahan yg sama

b. Reaksi suntikan

Semua gejala klinis yang terjadi akibat trauma tusuk jarum suntik baik langsung maupun tidaklangsung dan harus dicatat sebagai

reaksi KIPI. Reaksi suntikan langsung misalnya nyeri sakit, bengkak

dan kemerahan pada tempat suntikan, sedangkan reaksi suntikan tidak langsungmisalnya rasa takut, pusing, mual, sampai sinkop.

Reaksi ini tidak berhubungan dengan kandungan yang terdapat

pada vaksin, sering terjadi pada vaksinasi masal,

Syncope/fainting

Sering kali pada anak > 5 tahun ,Terjadi beberapa menit post imunisasi,Tidak perlu penanganan khusus.Hindari stres saat anak menunggu,Hindari trauma akibat jatuh/posisi sebaiknya duduk.

Hiperventilasi akibat ketakutan

Beberapa anak kecil terjadi muntah, breath holding spell, pingsan.Kadang menjerit, lari bahkan reaksi seperti kejang (pasien tersebut perlu diperiksa)

Beberapa anak takut jarum, gemetar, dan histeria.Penting penjelasan dan penenangan

Pencegahan reaksi KIPI Reaksi suntikan:

Page 161: pedoman imunisasi

Teknik penyuntikkan yang benarSuasana tempat penyuntikan yang tenangAtasi rasa takut yang muncul pada anak yang lebih besar

c. Induksi vaksin (reaksi vaksin)

Gejala KIPI yang disebabkan induksi vaksin umumnya sudah dapat

diprediksi terlebih dahulu karena merupakan reaksi simpang vaksin

dan secara klinis biasanya ringan. Walaupun demikian dapat saja terjadi gejala klinis hebatseperti reaksi anafilaktik sistemik dengan risiko kematian. Reaksi simpang ini sudahteridentifikasi dengan baik dan tercantum dalam petunjuk pemakaian tertulis oleh produsensebagai indikasi kontra, indikasi khusus, perhatian khusus, atau berbagai tindakan danperhatian spesifik lainnya termasuk kemungkinan interaksi dengan obat atau vaksin lain.Petunjuk ini harus diperhatikan dan ditanggapi dengan baik oleh pelaksana imunisasi.

1. Reaksi lokal

+ Rasa nyeri di tempat suntikan.

+ Bengkak-kemerahan di tempat suntikan sekitar 10 % + Bengkak pada suntikanDPT dan tetanus sekitar 50%

+ BCG scar terjadi minimal setelah 2 minggu kemudian ulserasi

dan sembuh setelah beberapa bulan.

2. Reaksi sistemik

+ Demam pada sekitar 10%, kecuali DPT hampir 50%, juga reaksi lain seperti iritabel,malaise, gejala sistemik.

+ MMR dan campak, reaksi sistemik disebabkan infeksi virus vaksin. Terjadi demam danatau ruam dan konjungtivitis pada 5%-15% dan lebih ringan dibandingkan infeksi campaktetapi berat pada kasus imunodefisiensi.

+ Pada mumps terjadi reaksi vaksin pembengkaan kelenjar parotis,

rubela terjadi rasa nyeri sendi 15% dan pembengkakan limfe. + OPV kurang dari 1% diare,pusing dan nyeri otot.

3. Reaksi vaksin berat

KejangTrombositopeniaHypotonic hyporesponsive episode/HHEPersistent inconsolable screaming bersifat self-imiting dan tidak merupakan masalahjangka panjangAnafilaksis, potential menjadi fatal tetapi dapat disembuhan tanpa dampak jangka panjangEnsefalopati akibat imunisasi campak atau DTP

Pencegahan terhadap reaksi vaksin

Perhatikan indikasi kontra.Vaksin hidup tidak diberikan kepada anak dengan defisiensi imunitas.Orang tua diajar menangani reaksi vaksin yg ringan dan dianjurkan segera kembaliapabila ada reaksi yg mencemaskan.

Parasetamol dapat diberikan 4x sehari untuk mengurangi gejala demam dan rasanyeri.Mengenal dan mampu mengatasi reaksi anafilaksis.Lainnya disesuaikan dengan reaksi ringan/berat yang terjadi atau harus dirujuk kerumah sakit dengan fasilitas lengkap.

d. Faktor kebetulan (koinsiden)

Kejadian yang timbul ini terjadi secara kebetulan saja setelah imunisasi. Indikatorfaktor kebetulan ditandai dengan ditemukannya kejadian yang sama di saatbersamaan pada kelompok populasi setempat dengan karakteristik serupa tetapitidak mendapat imunisasi.

Page 162: pedoman imunisasi

e. Penyebab tidak diketahui

Bila kejadian atau masalah yang dilaporkan belum dapat dikelompokkan ke dalam salah satupenyebab maka untuk sementara dimasukkan ke dalam keiompok ini sambi! menungguinformasi lebih lanjut. Biasanya dengan kelengkapan informasi tersebut akan dapat ditentukankelompok penyebab KIPI.

World Health Organization pada tahun 1991 meialui expanded programme on immunisation(EPI) telah menganjurkan agar pelaporan KIPI dibuat oleh setiap negara. Untuk negaraberkembang yang paling penting adalah bagaimana mengontrol vaksin dan mengurangiprogrammatic errors, termasuk cara menggunakan alat suntik dengan baik, alat yang sekalipakai atau alat suntik reusable, dan cara penyuntikan yang benar sehingga transmisi patogenmelalui darah dapat dihindarkan. Ditekankan pula bahwa untuk

memperkecil terjadinya KIPI harus selalu diupayakan peningkatan ketelitian pemberianimunisasi selama program imunisasi dilaksanakan.

2. Klasifikasi kausalitas

Vaccine Safety Committee 1994 membuat klasifikasi KIPI yang sedikit berbeda denganlaporan Comnittee Institute of Medicine (1991) dan menjadi dasar klasifikasi saat ini,yaitu

Tidak terdapat bukti hubungan kausal (unrelated )Bukti tidak cukup untuk menerima atau menolak hubungan kausal (unlikely)Bukti memperkuat penolakan hubungan kausal (possible)Bukti memperkuat penerimaan hubungan kausal (probable)Bukti memastikan hubungan kausal (very like/certain)

Gejala klinis KIPI

Gejala klinis KIPI dapat timbul secara cepat maupun lambat dan dapat dibagi menjadi gejalalokal, sistemik, reaksi susunan saraf pusat, serta reaksi lainnya. Pada umumnya makin cepatterjadi KIPI makin berat gejalanya.

Baku keamanan suatu vaksin dituntut lebih tinggi daripada obat. Hal ini disebabkan oleh karenapada umumnya produk farmasi diperuntukkan orang sakit sedangkan vaksin untuk orang sehatterutama bayi. Karena itu toleransi terhadap efek samping vaksin harus lebih kecil daripada obatobatan untuk orang sakit. Mengingat tidak ada satu pun jenis vaksin yang aman tanpa efeksamping, maka apabila seorang anak telah mendapat imunisasi perlu diobservasi beberapasaat, sehingga dipastikan bahwa tidak terjadi KIPI (reaksi cepat). Berapa lama observasisebenarnya sulit ditentukan, tetapi pada umumnya setelah pemberian setiap jenis imunisasiharus dilakukan observasi selama 15 menit.

Page 163: pedoman imunisasi

Text Box:

Page 164: pedoman imunisasi

Untuk menghindarkan kerancuan makagejala klinis yang dianggap sebagai KIPI dibatasi dalam jangka waktu tertentu timbulnya gejalaklinis (Tabel 10.2).

Tabel 10.2. Gejala klinis menurut jenis vaksin dan saat timbulnya KIPI

Jenis vaksin Gejala klinisKIPI Saat timbul

KIPI

Toksoid tetanus Syokanafilaktik 4 jam

(DPT,DT.TT) Neuritisbrakialis 2-28 hari

Komplikasi akut termasuk kecacatan Tidak ter‑

dan kematian catat

Pertusis whole-cell Syok anaphilaktik 4 jam

(DPwT) Ensefalopati 72 jam

Komplikasi akut termasuk kecacatan Tidak ter‑

dan kematian catat

Campak Syok anafilaktik 4 jam

Ensefalopati 5-15 hari

Trombositopenia 7-30 hari

Klinis campak pada resipien imuno- 6 bulan

Page 165: pedoman imunisasi

kompromais

Komplikasi akut termasuk kecacatan dan kematian

Polio hidup Polio paralisis 30hari

(OPV) Polio paralisis pada resipien imuno- 6 bulankompromais

Komplikasi akut termasuk keca Tidak ter‑

catan dan kematian catat

Hepatitis B Syok anafilaktik 4 jam

Komplikasi akut termasukkecacatan dan kematian

Tidak ter-catat

BCG BCG-itis 4-6 minggu

Dikutip dengan modifikasi dari RT Chen, 1999.

Angka kejadian

KIPI yang paling serius pada anak adalah reaksi anaflaktoid. Angka kejadian reaksianafilaktoid pada DTP diperkirakan 2 dalam 100.000 dosis , tetapi yang benar-benarreaksi anafilaktik hanya 1-3 kasus diantara 1 juta dosis. Anak yang lebih besar danorang dewasa lebih banyak mengalami sinkope, segera atau lambat. Episode hipotonik-hiporesponsif juga tidak jarang terjadi, secara umum dapat terjadi 4-24 jam setelahimunisasi. Kasus KIPI polio berat dapat terjadi pada 1 per 2,4 juta dosis vaksin (CDCVaccine Information Statement 2000), sedangkan kasus KIPI hepatitis B pada anakdapat berupa demam ringan sampai sedang terjadi 1/14 dosis vaksin, dan pada dewasa1/100 dosis (CDC Vaccine Information Statement 2000). Kasus KIPI campak berupademam terjadi pada 1/6 dosis, ruam kulit ringan 1/20 dosis, kejang yang disebabkandemam 1/3000 dosis, dan reaksi alergi serius 1/1.000.000 dosis.

Tabel 10.3 dapat digunakan,

Untuk mengantisipasi reaksi imunisasi.Mengidentifikasi kejadian yang tidak berhubungan dengan immunisasi.Sebagai perbandingan kejadian/rates untuk kepentingan pelaporan dan penyelidikan bilaternyata lebih besar kejadiannya.

Tabel 10.3. Reaksi Vaksin, interval kejadian dan rasio KIPI.

Vaksin

Reaksi Intervalkejadian

Rasioperjutadosis

BCG Limfadenitissupuratif 2-6 bulan 100-

1000 BCG-osteitis 1-12 bulan 1-700 BCG-it is

deseminata 1-12 bulan 2Hib Tidak diketahui - -Hepatitis B Anafilaktik Measles Kejang demam 0-4 jam 1-2 Trombositopenia 5-12 hari 333OPV Anafilaktik 15-35 hari 33 0-1 jam 1-50

TetanusVAPP (vaccineassociatedparaliytic 4-30 hari 1,4-3,4

(b)

Page 166: pedoman imunisasi

poliomyelitis) Neuritis Brakialis 2-28 hari 5-10 Anafilaktik 0-4 jam 1-6 Abses Steril 1-6

minggu 6-10

TD Sama dengantetanus - -

DTP

Persistent-inconsolablescreaming(menangisberkepanjanganlebih dari 3 jam)

0-24 jam 1000-60.000

Kejang demam 0-3 hari 570 (c) Episode hipotenik hiporesponsif

(ENH) 0-24 jam 570 Anafilaktik 0-4 jam 20 Ensefalopati 0-3 hari 0-1

Dikutip dari: Background rates of adverse events following immunization, supplementaryinformation on vaccine safety. Part 2 tahun 2000; WHO

Keterangan :

a. Reaksi (kecuali syok anafilaktik) tidak terjadi bila anak sudah kebal (± 90 % anak yangmenerima dosis kedua) anak umur di atas 6 tahun jarang mengalami kejang demam.

b. Risiko VAPP lebih tinggi pada penerima dosis pertama (1 per 1,4 - 3,4 juta dosis),sedangkan risiko pada penerima dosis vaksin selanjutnya 1 per 6,7 juta dosis.

(c) Kejang diawali dengan demam, frekuensi tergantung pada riwayat kejang sebelumnya,riwayat dalam keluarga serta umur.

Imunisasi pada kelompok berisiko

Untuk mengurangi risiko timbulnya KIPI maka harus diperhatikan apakah resipien termasukdalam kelompok risiko. Yang dimaksud dengan kelompok risiko adalah,

1. Anak yang mendapat reaksi simpang pada imunisasi ter da hu lu.2. Bayi berat lahir rendah. Pada dasarnya jadwal imunisasi bayi kurang bulan sama

dengan bayi cukup bulan. Hal-hal yang perlu diperhatikan pada bayi kurang bulan.

a. Titer imunitas pasif melalui transmisi maternal lebih rendah dari pada bayi cukupbulan.

b. Apabila berat badan bayi sangat kecil (<1000 gram) imunisasi ditunda dandiberikan setelah bayi mencapai berat 2000 gram atau berumur 2 bulan, kecualiuntuk irnunisasi hepatitis B pada bayi dengan ibu yang HBs Ag positif.

c. Apabila bayi masih dirawat setelah umur 2 bulan, maka vaksin polio yangdiberikan adaiah suntikan IPV bila vaksin tersedia, sehingga tidak menyebabkanpenyebaran virus vaksin polio melalui tinja

3. Pasien imunokompromais

Pada pasien imunokompromais dapat terjadi sebagai akibat penyakit dasar atau sebagaiakibat pengobatan imunosupresan (kemoterapi, kortikosteroid jangka panjang). Jenis vaksinhidup merupakan indikasi kontra untuk pasien imunokompromais, untuk polio dapat diberikanIPV bila vaksin tersedia. Imunisasi tetap diberikan pada pengobatan kortikosteroid dosis kecildan pemberian dalam waktu pendek. Imunisasi harus ditunda pada anak dengan pengobatankortikosteroid sistemik dosis 2 mg/kg berat badan/hari atau prednison 20 mg/hari selama 14hari. Imunisasi dapat diberikan setelah 1 bulan pengobatan kortikosteroid dihentikan atau 3bulan setelah pemberian kemoterapi selesai.

4. Pada resipien yang mendapatkan human immuno globulin Imunisasi virus hidup diberikansetelah 3 bulan pengobatan untuk menghindarkan hambatan pembentukan respons imun.

5. Responnya terhadap imunisasi tidak optimal atau kurang tetapi kasus HIV memerlukanimunisasi. Ada pertimbangan bila diberikan terlambat mungkin tidak akan berguna karenapenyakit sudah lanjut dan efek imunisasi tidak ada atau kurang. Apabila diberikan dini, vaksinhidup akan mengaktifkan sistim imun yang dapat meningkatkan replikasi virus HIV sehinggamemperberat penyakit HIV. Pasien HIV dapat diimunisasi dengan mikroorganisme yang

Page 167: pedoman imunisasi

dilemahkan atau yang mati Sesuai jadwal anak sehat.

Tabel 10.4. Rekomendasi imunisasi untuk pasien HIV anak

Vaksin Rekomendasi Keterangan

IPV Ya Pasien dan keluarga serumah

DPT Ya Pasien dan keluarga serumah

Hib Ya Pasien dan keluarga serumah

Hepatitis B * Ya Sesuai jadwal anak sehat

Hepatitis A Ya Sesuai jadwal anak sehat

MMR ** Ya Diberikan umur 12 bulan

Influenza Ya Tiap tahun diulang

Pneumokok Ya Secepat mungkin

BCG *** Ya Dianjurkan untuk Indonesia

Varisela Tidak

Dikutip dan dimodifikasi dari PlotkinSA, 2004.

Keterangan:

* Ada yang menganjurkan dosis hepatitis B dilipatgandakan dua kali

** MMR dapat diberikan pada pasien HIV yang asimtomatik atau HIV dengan gejala ringan. ***Tidak diberikan pada HIV yang berat.

Tabel 10.5. Indikasi Kontra dan perhatian khusus untuk Imunisasi

Indikasi kontra dan perhatiankhusus Bukan indikasi kontra

(imunisasi dapat dilaku‑kan)

Berlaku umum untuksemua vaksin DPT, Polio, Campak, dan Hepatitis B

Indikasikontra Bukan indikasi kontraEnsefalopati dalam 7 hari pasca DPT sebelumnya

Perhatian khusus

Demam >40,5 C dalam 48 jam pasca DPT Demam <40,5 C pasca

sebelumnya, yang tidak berhubungan dengan DPT sebelumnya

penyebab lain Riwayat kejang dalam

Kolaps dan keadaan seperti syok (episode keluarga

hipotonik-hiporesponsif) dalam 48 jam pasca Riwayat SIDS dalam

DPT sebelumnya keluarga

Kejang dalam 3 hari pasca DPT sebelumnya Riwayat KIPI dalam kelu‑

Menangis terus>3 jam dalam 48 jam pasca DBT arga pasca DPTsebelumnya

Sindrom guillain-barre dalam 6 minggu pasca

vaksinasi

Page 168: pedoman imunisasi

Text Box:

Vaksin polio

Indikasikontra Bukan indikasi kontra

Infeksi HIV atau kontak HIV serumah Menyusui

Imunodefisiensi (keganasan hermatelogi atau Sedang balam terapi anti

tumor padat, imuno-defisiensi kongenital, terapi biotik

imunosupresan jangka panjang) Diare ringanImunodefisiensi penghuni serumah

Perhatian khusus Kehamilan

Campak

Perhatian khusus

Mendapat transfusi darah/produk darah atau imunoglobulin (dalam 3-11 bulan, tergantungproduk darah dan dosisnya)

Trambositopenia

Riwayat purpura trombositopenia

Hepatitis B

Indikasikontra Bukan indikasi kontra

Reaksi anafilaktoid terhadapragi Kehamilan

Dikutip dari rekomendasi ACIP danAAP dalam JC Watson, G. Petr, 1999. Keterangan:

D = vaksin difteria DT = vaksin difteria dan tetanus

T = vaksin tetanus untuk anak Td = vaksin tetanus untuk dewasa

P = vaksin pertusis whole cell aP = vaksin pertusis aselular

SIDS = sudden infant death syndrome KIPI = kejadian ikutan pasca imunisasi

HIV = human immunodeficiency virus PPD = purified protein derivative

Page 169: pedoman imunisasi

Text Box:

Text Box:

Page 170: pedoman imunisasi
Page 171: pedoman imunisasi

Text Box:

Daftar Pustaka

1. Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Pedoman Pemantauan dan PenanggulanganKejadianIkutanPaska Imunisasi, DepartemenKesehatan Republik Indonesia, Jakarta 2005.

Page 172: pedoman imunisasi

2. Reporting and Compensation Tables, National Childhood Vaccine Injury Act 1986,Comittee from the Institute of Medicine, National Academy of Science USA, dalam AtkinsonW, Wolfe CS, Humiston S, Nelson R,2000.

3. WHO: Background rates of adverse events following immunization, supplementaryinformation on vaccine safety. Part 2 , 2000.

Bab X-2

Pelaporan KIPI

Hindra Irawan Satari

Vaksinasi bertujuan untuk melindungi individu dan masyarakat terhadap seranganpenyakit infeksi yang dapat dicegah dengan vaksinasi. Vaksin mutakhir cenderung lebihaman walaupun demikian tidak ada vaksin yang tanpa risiko. Maka walaupun jarang,sebagian orang dapat mengalami reaksi ringan sampai mengancam jiwa setelahimunisasi. Pada beberapa kasus reaksi disebabkan oleh vaksin, pada kasus lainpenyebabnya adalah kesalahan pemberian vaksin, tetapi sebagian besar umumnyatidak berhubungan dengan vaksin. Apapun penyebabnya, apabila timbul kejadian ikutanpasca imunisasi masyarakat selalu bersikap menolak untuk pemberian imunisasiberikutnya, sehingga anak tersebut akan rentan terhadap penyakit yang dapat dicegahdengan imunisasi, sehingga dapat timbul kecacatan/kematian. Untuk itu, pelaporan KIPIyang cepat dan tepat diikuti dengan tindak lanjut yang benar dapat membantupelaksana program mengatasi masalah di lapangan sehingga masyarakat tidak resah

dan tetap mendukung program imunisasi.

Deteksi dan pelaporan KIPI

Kejadian ikutan pasca imunisasi adalah insiden medik yang terjadi setelah imunisasi dandianggap disebabkan oleh imunisasi. Komnas Pengkajian dan Penanggulangan KIPImenetapkan bahwa KIPI adalah semua kejadian penyakit atau kematian dalam kurun waktu 1bulan setelah imunisasi. Meskipun masyarakat seringkali beranggapan bahwa insiden mediksetelah imunisasi selalu disebabkan oleh imunisasi, insiden umumnya terjadi

secara kebetulan (koinsiden). Sebagian yang beranggapan bahwa vaksin sebagai penyebabKIPI juga keliru. Penyebab sebenarnya adalah kesalahan program yang sebetulnya dapatdicegah. Untuk menemukan penyebab KIPI kejadian tersebut harus dideteksi dan dilaporkan.

KIPI yang harus dilaporkan

Semua kejadian yang berhubungan dengan imunisasi seperti:

Abses pada tempat suntikan.Semua kasus limfadenitis BCG.Semua kematian yang diduga oleh petugas kesehatan atau masyarakat berhubungandengan imunisasi.Semua kasus rawat inap, yang diduga oleh petugas kesehatan atau masyarakatberhubungan dengan imunisasi.Insiden medik berat atau tidak lazim yang diduga oleh petugas kesehatan ataumasyarakat berhubungan dengan imunisasi.

Pelapor KIPI

Pelapor KIPI adalah

Petugas kesehatan yang melakukan pelayanan imunisasi.Petugas kesehatan yang melakukan pengobatan di pelayanan kesehatan, rumah sakitserta sarana pelayanan kesehatan lain.Peneliti yang melakukan studi klinis atau penelitian lapangan.

Hal-hal yang harus dilakukan oleh petugas kesehatan

Apabila orang tua membawa anak sakit yang baru diimunisasi, petugas kesehatan harus

Page 173: pedoman imunisasi

dapat mengenal KIPI dan menentukan apakah perlu dilaporkan dan perlu tindakan lebihlanjut.

Petugas harus mengetahui faktor pencetus dan harus mampu menggunakan definisikasus.Pada kasus ringan, petugas kesehatan harus tenang dan memberi nasehat pada orang tuauntuk mengobati pasien. Reaksi ringan, seperti limfadenitis BCG dan abses kecil padatempat suntikan, tidak perlu dilaporkan kecuali apabila tingkat kepedulian orang tua cukupbermakna.

Para orang tua dan anggota masyarakat harus mengetahui reaksi yang diharapkanterjadi setelah imunisasi dan dianjurkan untuk melapor serta membawa dengansegera anak yang sakit yang dikhawatirkan ke rumah sakit atau fasilitaskesehatan.

Pelapo ran

Laporan dibuat dengan mengisi formulir laporan yang disediakan.Menyerahkannya ke instansi kesehatan tingkat Kabupaten/ Daerah Tingkat II,dengan tembusan ke Sekretariat KOMDA PP KIPI yang berkedudukan di provinsi.Petugas kesehatan di tingkat II harus merekapitulasi kejadian serta menetapkankasus tersebut termasuk KIPI atau tidak, serta meneruskannya ke Instansi

Kesehatan Propinsi / Daerah Tingkat I sampai ke Subdit Imunisasi Dirjen PPM & PLPDepkes dengan tembusan kepada KOMNAS PP KIPI.Dalam hal mendesak, pelaporan dapat disampaikan melalui tele‑pon atau faxsimili, formulir pelaporan harus diisi kemudian.Data demografi

Data yang harus dilaporkan

1. Data pasien

Riwayat perjalanan penyakitRiwayat penyakit sebelumnya

Riwayat imunisasiPemeriksaan penunjang yang berhubungan

2. Data pemberian vaksin

Nomor batch-vaccineMasa kadaluwarsaNama pabrik pembuat vaksinKapan dan dari mana vaksin dikirim

Pemeriksaan penunjang tentang vaksin, apabila ada atau berhubungan

3. Data yang berhubungan dengan program

Perlakuan umum terhadap rantai dingin vaksin,

Penyimpanan vaksin, membeku? Kadaluwarsa?Perlakuan terhadap vaksin, misalnya mengocok vaksin sebelum disuntikkanPerlakuan setelah vaksinasi, misal pembuangan vaksin setelah selesaipelaksanaan imunisasi?

Perlakuan mencampur serta melakukan imunisasi

Apakah pelarut yang dipakai sudah benar?Apakah pelarut steril?Apakah dosis sudah benar?Apakah vaksin diberikan dengan cara dan tempat yang benar?

Ketersediaan jarum dan semprit

Apakah setiap semprit steril digunakan oleh satu orang?Perlakuan sterilisasi peralatan apakah telah dilakukan? 4. Data sasaran lain

Jumlahpasien yang menerima imunisasi denganvaksinnomor batch sama atau pada masayang sama atau keduanya, dan berapa jumlah pasien yang sakit serta bagaimanagejalanya.Jumlah sasaran yang diimunisasi dengan nomer batch lain (dari produsen sama atauberlainan) atau masyarakat yang tidak diimunisasi tetapi terkena penyakit dengan gejalayang sama.

Page 174: pedoman imunisasi

yang sama.

Waktu pelaporan

Kematian dan rawat inap merupakan kasus yang harus segera diperhatikan dan dilaporkan.Meski demikian kasus lain, seperti abses, limfadenitis BCG dan KIPI lain harus juga segeradilaporkan. Gunakan media komunikasi tercepat, seperti telepon, faksimili dan lain-lain.

Cara pelaporan

Semua kolom formulir yang dapat diisi, harus dilengkapi. Apabila perlu, jangan raguuntuk menuliskan laporan tambahan pada formulir tersebut.Laporan bulanan harus dibuat, sekalipun tidak ada kasus (tuliskan jumlah kasus 0, zeroreport).Petugas kesehatan di tingkat II/kabupaten harus mengidentifikasi masalah dan menilai,sehingga dapat terlihat,

v. Apakah kejadian ini berlangsung di Puskesmas/tempat yang sama setiap bulan.v. Apakah beberapa Puskesmas/tempat yang berbeda melaporkan hal yang sama.v. Bagaimana perbandingan laporan yang dibuat oleh Puskemas/tempat yang berbedadilaporkan.

Tindakan selanjutnya

Pelacakan harus dilakukan segera setelah laporan diserahkan tanpa ditunda. Pelacakan dimulaioleh petugas kesehatan yang mendeteksi KIPI, atau oleh supervisor yang melihat pola tertentudi daerah binaannya. Di lain fihak, dalam beberapa keadaan untuk KIPI tertentu tidak perludilakukan tindak lanjut, seperti penyakit yang tidak berhubungan dengan imunisasi, sepertipneumonia setelah penyuntikan DPT. Meskipun demikian apabila orang tua pasien atau fihakkeluarga menganggap kejadian tersebut berhubungan dengan imunisasi, berikan kesempatankepada mereka untuk mendiskusikan masalah tersebut dengan petugas kesehatan.

Bab 10-2. Pelap

FORM ULIR PELAPORANKEJADIAN IKUTAN PASCA IMUNISASI (KIPI)

Diisi oleh KOMNASPP KIPI Kode........................................

Tanggalterima.......................... :

Pasien

Nama

Nama orangtua Alamat:

Kota:

Provinsi.:

Tilpon:

Tanggal lahir .../.../....

Laki-laki Perempuan 0Wanita usis subur(WUS)Hamil 0Tidak hamil 0

Dokter penanggung jawab

Alamat (RS, Puskesmas, Klinik)

RT/RW: Kel:

Kota Kode pos:

Provinsi:

Pemberi imunisasi: dokter/ bidan/perawat/ jurim

Daftar vaksin yang pernah diberikan 4 minggu terakhir, termasukimunisasi terakhir

Jenisvaksin Pabrik Nomer

Batch

Pemberian TempatImunisasi

(*)Tetes oral/

subkutan i.m/intrakutan

Jumlahdosis

Tanggalimunisasi

1 2 (*) 1. RS 2. RB 3. Puskesmas 4. Dokter praktek 5. Bidanpraktek 6. Balai Pengobatan

7. Posyandu 8. Balai imunisasi 9. SekolahManifestasi kejadian ikutan

Keluhan, gejala klinis Waktugejalatimbul

Lama gejala Keterangan lanjutan/Hasil akhirmenit jam hari

Reaksi alergi Tindakan darurat * gatal Rawat inap/jalan * bengkak bibir Sembuh/tidak

Meninggal

Page 175: pedoman imunisasi

* urtikaria Meninggal(tgl.......... )

Muntah Gejala sisa Diare Diagnosis Pingsan Ensefalitis/

ensefalopati Kejang Sindrom Guillain-

Barre Sesak nafas Hipotensif

hiporesponsif Demam tinggi

(>39°C) Abses Bengkak Neuritis brakhialis Pembesaran kel

limf Syok anafilaksis

Kelemahan/kelumpuhan Polio paralitik

Kesadaranmenurun Trombositopenia

purpuraRiwayat reaksi simpang obat/ vaksin yang pernah dialamiObat-obatan yang diberikan bersamaan 0............................ ..... 0 Datalaboratorium (bila ada)Penyakit yang diduga diderita pada saat imunisasi (spesifik) Diagnosis dokter ..................................Pengobatan yang diberikan 0 0 0Penerimaan laporan KIPI .................. tanggal / /

Tanggal: / / Tanda tanganpelapor,

Daftar Pustaka

1. Departemen Kesehatan & Kesejahteraan Sosial RI. Petunjuk teknis kejadian ikutan pascaimunisasi. Edisi ke-4. Jakarta, Subdit Imunisasi, Ditjen PPM & PLP 2004.

2. American Academy of Pediatrics. Vaccine safety and contra indication: reporting of adverseevents. Dalam: PickeringLK., penyunting. Red Book 2000, Report Committee on InfectiousDiseases. Edisi ke-25. Elk Grove Village: American Academy of Pediatrics 2000.h.30-1.

3. Plotkin SA, Orenstein WA., penyunting. Vaccine safety. Dalam: Vaccine. Edisi ke-4. Philadelphia: W.B. Saunders 2004.

4. National Health and Medical Research Council. Reporting adverse reactions.Dalam: Watson C, penyunting. The Australian Immunisation Handbook. Edisi ke-9.Canberra: NHMRC 2008.

Bab XI

Miskonsepsi dan Kontroversi

Dalam Vaksinasi

1. Miskonsepsi2. Kontroversi

Pen gantar

Tak dapat diragukan bahwa imunisasi telah membawa perubahan yang sangat dramatikdi dunia kedokteran. Suatu program kesehatan yang paling efektif dan efisien dalammenurunkan angka kematian dan angka kesakitan. Namun demikian, ternyata masihbanyak kontroversi yang berasal dari faktor program imunisasi, vaksin atau resipienyang menerima imunisasi. Pada suatu saat masalah tersebut menjadi sangat intens,pada saat lain menyurut, tergantung pada adanya pemicu yang timbul di masyarakat.Masalahnya makin mencuat, karena imunisasi dilakukan pada anak yang sehat,sehingga bila terjadi reaksi betapapun kecilnya, akan memicu rasa tidak aman padaorang tua. Cara pemberian imunisasi sebenarnya menirukan kejadian sakit karenasuatu infeksi secara alamiah, sehingga menimbulkan “infeksi ringan” yang tidakberbahaya, namun cukup menyiapkan respon imun dan kekebalan. Dengan demikian

Page 176: pedoman imunisasi

apabila ada paparan penyakit yang sesungguhnya anak tidak menjadi sakit.

Bab XI-1

Miskonsepsi Imunisasi

Hartono Gunardi, Ismoedijanto

Di masyarakat sering terdengar pendapat yang salah atau miskonsepsi mengenai imunisasi.Tidak jarang dijumpai orangtua yang ragu atau bahkan menolak imunisasi dengan berbagaialasan. Ketakutan atau penolakan imunisasi mungkin berdasarkan pandangan religi, filosofistertentu, anggapan imunisasi sebagai intervensi pemerintah. Alasan lain adalah berhubungandengan keamanan dan efikasi vaksin atau pandangan bahwa penyakit yang dapat dicegah olehvaksinasi tidak menimbulkan masalah kesehatan yang berbahaya.

Keraguan tentang manfaat dan keamanan imunisasi perlu ditanggapi secara aktif.Apabila orangtua mendapat jawaban akurat dan informasi yang benar, maka orangtuadapat membuat keputusan yang benar tentang imunisasi.

Miskonsepsi imunisasi yang sering dijumpai,

1. Penyakit telah menghilang sebelum vaksin diperkenalkan, akibat perbaikansanitasi dan higiene.

Pengamatan difteria di Eropa setelah perang dunia ke II menunjukkan adanyapenurunan insidens penyakit, sejalan dengan perbaikan sanitasi dan higiene. Namunpenurunan kejadian penyakit yang permanent baru tampak setelah program imunisasi

dijalankan secara luas. Kondisi sosial ekonomi yang membaik mempunyai dampak positif bagipenyakit. Nutrisi yang cukup, penemuan antibiotik dan pengobatan lain, telah meningkatkanangka harapan hidup bagi pasien. Kepadatan penduduk yang berkurang, telah menurunkantransmisi penyakit. Angka kelahiran yang menurun

juga telah menurunkan jumlah anak yang rentan dan menurunkan transmisi antar keluarga.Pengamatan insidens penyakit jangka panjang dapat menerangkan dampak vaksin dalammenurunkan penyakit.

Pengalaman negara maju, seperti Inggris, Swedia dan Jepang, menunjukkan bahwapenghentian program imunisasi pertusis karena kekhawatiran terhadap efek samping vaksin,menimbulkan dampak peningkatan penyakit. Di Inggris, penurunan imunisasi pertusis padatahun 1974 diikuti oleh epidemi dengan lebih dari 100.000 kasus dan 36 meninggal pada tahun1978. Di Jepang pada kurun waktu yang hampir sama, terjadi penurunan cakupan imunisasipertusis dari 70% menjadi 20%-40%. Hal itu diikuti dengan peningkatan kasus pertusis dari 393dan tanpa kematian pada tahun 1974 menjadi 13.000 kasus dan 41 meninggal pada tahun 1979.Di Swedia, incidence rate per 100.000 anak umur 0-6 tahun meningkat dari 700 kasus padatahun 1981 menjadi 3.200 pada tahun 1985.

Untuk penyakit difteria, dapat disajikan data dari propinsi Ontario yang mempunyai datamorbiditas, mortalitas dan case fatality rate untuk kurun waktu 1880-1940. Sebelumditemukan antitoksin difteria, mortalitas difteria melampaui 50 per 100.000 populasi padamasa tersebut. Mortalitas menurun menjadi sekitar 15 per 100.000 pada Perang Dunia I,meskipun angka morbiditas tidak menurun. Setelah penggunaan toksoid difteri secaraluas pada akhir tahun 1920, penyakit difteria menurun drastis.

Dari pengalaman tersebut jelas bahwa dampak imunisasi lebih besar daripadaperbaikan sanitasi. Penghentian imunisasi akan meningkatkan kembali angka kejadianpenyakit.

2. Mayoritas anak yang sakit telah divaksinasi

Pendapat yang salah ini sering dijumpai dalam rumor maupun dalam literatur kelompok antivaksin. Memang dalam suatu kejadian luar biasa (KLB) jumlah anak yang sakit dan pernahdiimunisasi mungkin lebih banyak dibandingkan jumlah anak sakit dan belum diimunisasi.

Ketimpangan ini dapat diterangkan dengan 2 faktor, yaitu tidak ada vaksin yang efektif 100%.Supaya aman, maka bakteri atau virus dimatikan atau dilemahkan (attenuated) terlebih dahulu.Efektivitas sebagian besar vaksin pada anak adalah sebesar 85%- 95%, tergantung responindividu. Faktor kedua adalah jumlah anak yang diimunisasi lebih banyak dibanding jumlahanak yang belum diimunisasi di negara telah yang menjalankan program imunisasi. Bagaimanakedua faktor terebut berinteraksi diilustrasikan dalam contoh hipotetis sebagai berikut.

Page 177: pedoman imunisasi

Text Box: Campak MMR

Satu sekolah mempunyai 1000 murid. Semua murid pernah diimunisasi campak 2 kali, kecuali10 yang tidak pernah sama sekali. Ketika semua murid terpapar campak, 10 murid yang belumdiimunisasi, semuanya menderita campak. Dari kelompok yang telah diimunisasi campak 2 kali,sakit 25 orang. Kelompok anti imunisasi akan mengatakan bahwa persentase murid yang sakitadalah 71,4% (25/35) dari kelompok yang pernah imunisasi dan 28,6% (10/35) dari kelompokyang tidak pernah imunisasi. Padahal bila dihitung efek proteksi, maka imunisasi memberikanperlindungan sebesar (990– 25)/990 = 97,5%. Yang tidak diimunisasi, efek proteksi sebesar 0/10= 0%. Dengan kata lain, 100% murid yang tidak mendapat imunisasi akan sakit campak;dibanding kurang dari 2% murid yang mendapat imunisasi campak 2 kali akan menderita sakitcampak. Dengan demikian jelas bahwa imunisasi berguna untuk melindungi anak.

3. Vaksin menimbulkan efek samping yang berbahaya, kesakitan dan bahkankematian.

Vaksin merupakan produk yang sangat aman. Hampir semua efek simpang vaksinbersifat ringan dan sementara seperti nyeri di lengan pada bekas suntikan ataudemam ringan. KIPI secara definitif mencakup semua kejadian sakit pasca imunisasi.Prevalensi dan jenis sakit yang tercantum dalam KIPI dengan sendirinya hampirsama dengan prevalensi dan jenis sakit dalam keadaan seharihari tanpa adanyaprogram imunisasi. Hanya sebagian kecil yang

memang berkaitan dengan vaksin atau imunisasinya, sebagian besar akan bersifat ko-insidens.Kematian yang disebabkan oleh vaksin sangat sedikit. Sebagai ilustrasi semua kematian yangdilaporkan di Amerika sebagai KIPI pada tahun 1990 – 1992, hanya 1 yang mungkinberhubungan dengan vaksin. Institute of Medicine tahun 1994 menyatakan bahwa risikokematian akibat vaksin adalah amat rendah (extra-ordinarily low).

Besarnya risiko harus dibandingkan dengan besarnya manfaat vaksin. Bila satu efek simpangberat terjadi dalam sejuta dosis vaksin namun tidak ada manfaat vaksin, maka vaksin tersebuttidak berguna. Manfaat imunisasi akan lebih jelas bila risiko penyakit dibandingkan denganrisiko vaksin seperti yang terlihat pada Tabel 11.1.

Tabel 11.1. Risiko morbiditas dan mortalitas akibat penyakit dan akibat vaksin

Penyakit Vaksin

Difteria DTaP

Meninggal 1 : 20 Menangis terus lalu pulih

kembali

Tetanus Kejang/renjatan lalu

Meninggal 2: 10 pulih kembali

Ensefalopati akut

Pertussis Kematian

Pneumonia 1:8

Ensefalitis 1 : 20

Kematian 1 : 200

Page 178: pedoman imunisasi

Fakta menunjukkan bahwa penyakit lebih banyak menimbulkan risiko komplikasi maupunkematian pada anak dibanding imunisasi. Anak akan menderita lebih banyak sakit jika tidakmendapat imunisasi.

4. Penyakit yang dapat dicegah oleh vaksin telah tidak ada di negara kita, sehinggaanak tidak perlu imunisasi

Angka kejadian beberapa penyakit yang dapat dicegah oleh vaksin memang telah menurundrastis. Namun kejadian penyakit tersebut masih cukup tinggi di negara lain. Siapapun,termasuk wisatawan, dapat membawa penyakit itu secara tidak sengaja dan dapat menimbulkanwabah.

Hal tersebut serupa dengan KLB polio di Indonesia pada tahun 2005 yang lalu. Sejaktahun 1995, tidak ada kasus polio yang disebabkan oleh virus polio liar. Pada bulanApril 2005, Laboratorium Biofarma di Bandung mengkonfirmasi adanya virus polio liartipe 1 pada anak berusia 18 bulan yang menderita lumpuh layu akut pada bulan Maret2005 yang tidak pernah diimunisasi polio sebelumnya. Virus polio selanjutnyamenyebabkan wabah merebak ke 10 propinsi, 48 kabupaten. Sampai bulan April 2006tercatat 349 kasus polio, termasuk 46 kasus VDPV (vaccine derived polio virus) diMadura dan 2 kasus yang terjadi pada tahun 2006. Dari analisis genetik virus, diketahuibahwa virus berasal dari Afrika barat. Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa virussampai ke Indonesia melalui Nigeria Sudan dan sama seperti virus yang diisolasi diArab Saudi dan Yaman.

Dari pengalaman tersebut, terbukti bahwa anak tetap harus mendapat imunisasi karena duaalasan. Alasan pertama adalah anak harus diindungi. Meskipun risiko terkena penyakit adalahkecil, bila penyakit masih ada, anak yang tidak terproteksi tetap masih dapat terinfeksi. Alasankedua imunisasi anak penting untuk melindungi anak lain di sekitarnya. Terdapat sejumlah anakyang tidak dapat diimunisasi (misalnya karena alergi berat terhadap komponen vaksin) dansebagian kecil anak yang tidak memberi respon terhadap

imunisasi. Anak-anak tersebut rentan terhadap penyakit dan perlindungan yang diharapkanadalah dari orang-orang di sekitarnya yang tidak sakit dan tidak menularkan penyakitkepadanya.

5. Pemberian vaksin kombinasi (multipel) untuk berbagai penyakit pada waktu tertentumeningkatkan risiko efek simpang yang berbahaya dan dapat membebani sistem imun

Anak-anak terpapar pada banyak antigen setiap hari. Makanan dapat membawa bakteriyang baru ke dalam tubuh. Sistem imun juga akan terpapar oleh sejumlah bakteri yanghidup di mulut dan hidung. Infeksi saluran napas bagian atas akan menambah paparan4-10 antigen, sedangkan infeksi streptokokus pada tenggorokan memberi paparan 25-50 antigen. Tahun 1994 Institute of Medicine menyatakan bahwa dalam keadaannormal, penambahan jumlah antigen dalam vaksin tidak mungkin akan memberikanbeban tambahan pada sistem imun dan tidak bersifat imunosupresif. Data penelitianmenunjukkan bahwa imunisasi simultan dengan vaksin multipel tidak membebanisistem imun anak normal. Pada tahun 1999 Advisory Committee on ImmunizationPractices (ACIP) dan American Academy of Pediatrics (AAP) dan American Academy ofFamily Physicians (AAFP) merekomendasi pemberian vaksin kombinasi untukimunisasi anak. Keuntungan pemberian vaksin kombinasi adalah mengurangi jumlah

suntikan yang diperlukan untuk melindungi anak terhadap penyakit infeksi. Keuntungan lainadalah mengurangi biaya penyimpanan dan pemberian vaksin, mengurangi biaya kunjungan kefasilitas kesehatan dan memfasilitasi penambahan vaksin baru ke dalam program imunisasi.

Kombinasi vaksin menjadi satu tidak meningkatkan efek simpang secara keseluruhan. Vaksinkombinasi misalnya dengan DTaP, frekuensi efek simpang lebih rendah disbanding vaksindiberikan terpisah. Schmitt dkk membandingkan respon antibodi dan efek simpang vaksin padakelompok anak yang mendapat vaksin DTaP-HBV-IPV-Hib dalam satu suntikan dengankelompok

anak yang mendapat Hib dalam suntikan berbeda. Tidak ditemukan perbedaan bermakna dalamefek simpang vaksin pada regimen yang berbeda.

Dua alasan praktis dalam memberikan beberapa vaksin dalam satu kunjungan, yaitu anakmendapat perlindungan sedini mungkin dalam awal kehidupannya. Alasan lain adalahpemberian vaksin simultan akan menghemat waktu dan biaya serta mungkin kurang traumatisbagi anak.

6. Vaksin MMR menyebabkan autisme

Page 179: pedoman imunisasi

Autisme adalah kelainan perkembangan kronis yang ditandai dengan gangguan interaksi,komunikasi serta perhatian dan aktivitas yang repetitif dan restriktif.

Dr. Andrew Wakefield bersama peneliti lain dari Royal Free Hospital London, tahun1993 melaporkan adanya hubungan antara virus campak dan vaksin campak denganInflammatory Bowel Syndrome (IBD). Penelitian dilakukan pada 25 anak denganpenyakit Crohn dibandingkan dengan 22 anak normal. Tahun 1998 peneliti yang samamelaporkan sindrom baru dari IBD yang berhubungan dengan gangguan perkembanganseperti autism. Peneliti menduga vaksin MMR menyebabkan IBD dan menurunkanabsorpsi vitamin dan nutrien esensial dari saluran cerna, yang selanjutnya menimbulkanautism. Hubungan kausal dalam penelitian ini, dinilai lemah dan mengandung beberapakekurangan. Kekurangan pertama adalah penelitian dilakukan pada pasien yang sangatselektif yaitu yang dirujuk ke Royal Free Hospita,lLondon; sehingga tidak mewakilipopulasi pasien secara umum (bias rujukan atau referral bias). Seri kasus tidak dapatmenentukan adanya hubungan kausal. Kelemahan yang terpenting adalah hubungan

vaksin dan autisme dibuat berdasarkan ingatan orangtua (parental recall). Orangtua cenderungmenghubungkan gangguan perilaku dengan kejadian yang mudah diingat seperti imunisasi.Tidak ada bukti ilmiah yang mendasari teori tersebut. Lebih lanjut, 4 dari 12 kasus, menunjukkangangguan perilaku sebelum timbul gejala IBD.

Wakefield dan kawan-kawan, mempublikasi penelitian lain tentang pemeriksaan virus campakpada pasien inflammatory bowel disease, dugaan mekanisme terjadinya autism setelah vaksinMMR, yang mengandung vaksin campak, tidak terbukti karena tidak mengandung virus campak.

Telaah yang dilakukan oleh pakar Kanada dan WHO menyimpulkan bahwa dari dataepidemiologi yang ada saat sekarang, tidak menunjukkan adanya hubungan kausal antara viruscampak dan IBD. Tahun 1998, para pakar kedokteran Inggris, WHO dan internasional berkumpuluntuk membahas masalah tersebut dan berkesimpulan bahwa berdasarkan bukti yang ada saatitu, tidak ada hubungan antara campak, vaksin campak dengan penyakit Crohn (IBD) ataupunautisme.

7. Thimerosal menimbulkan gangguan perkembangan

Thimerosal (disebut thiomersal di Inggris dan di negara persemakmuran) merupakanpreservasi (pengawet) vaksin yang mengandung etilmekuri, suatu senyawa organikyang dimetabolisme menjadi merkuri. Thiomersal mengandung 49,6% merkuri, danberguna untuk mencegah kontaminasi bakteri dan jamur pada vaksin multidosis.Thimerosal telah digunakan di dalam vaksin sejak tahun 1930an.

Imunisasi berulang dengan vaksin yang mengandung thimerosal, pada bayi baru lahirterutama bayi kurang bulan, secara teoritis dapat meningkatkan kadar merkuri dalamdarah. Namun penelitian menunjukkan bahwa peningkatan kadar merkuri itu masihdalam rentang ‘normal’ yang diacu oleh US Department of Health & Human Services.Sejauh ini tidak ada bukti ilmiah bahwa thimerosal vaksin mengakibatkan gangguanperkembangan anak. Penelitian di Denmark yang membandingkan insidens autism

dalam periode waktu pemberian vaksin berthimerosal dengan insidens autism dalam periodepemberianvaksin bebas thimerosal. Ternyata setelah tahun 1992, yaitu saat pemberian vaksinbebas thimerosal, insidens autisme meningkat tajam. Dengan demikian dapat disimpulkanbahwa vaksin dengan

thimerosal tidak berkorelasi dengan insidens autisme. Penelitian di Inggris yang melibatkanlebih dari 13.000 anak yang mendapat vaksin mengandung thimerosal, menunjukkan bahwatidak ada bukti tentang paparan thimerosal pada umur dini menimbulkan efek buruk padaperkembangan saraf maupun psikologis.

Namun demikian, pada tahun 1999 Food and Drug Authority (FDA) menghimbau semuaprodusen vaksin agar menghilangkan atau mengurangi thimerosal dari vaksin. Demikian pulaAmerican Academy of Pediatrics (AAP) dan United States Public Health Service (USPHS)mengeluarkan pernyataan bersama untuk mengurangi atau menghilangkan thimerosal darivaksin. Pada tahun 2000 diluncurkan vaksin hepatitis B baru tidak mengandung thimerosal.

Selain miskonsepsi yang dikemukakan oleh WHO dan CDC di atas, ada beberapa pandangansalah yang sering dijumpai pada masyarakat Indonesia. Dapat diketahui pada bab Tanya JawabOrangtua Mengenai Imunisasi.

8. Bila anak tidak demam setelah divaksinasi, berarti vaksinnya tidak bekerja

Perlu dibedakan antara imunogenitas vaksin dan reaktogenitas vaksin.Imunogenitas adalah kemampuan vaksin tertentu untuk membentuk imunitas ataukekebalan pada individu yang menentukan daya proteksi vaksin. Reaktogenitas

Page 180: pedoman imunisasi

adalah respons tubuh yang tidak nyaman yang timbul setelah imunisasi.

Penelitian imunogenitas atau daya proteksi vaksin DTP setelah penyuntikanpertama kali adalah 6%-29%, dan setelah penyuntikan ketiga adalah 68%-81%.Reaktogenitas vaksin DTP menyebabkan demam menetap setelah penyuntikansekitar 46,9%.

9. Setelah imunisasi vaksin polio oral, bayi tidak boleh minum ASI selama beberapa jam

Dalam masyarakat termasuk di kalangan paramedis, terdapat isu bahwa setelah imunisasi poliooral, pemberian ASI perlu ditunda untuk jangka waktu tertentu. Ada yang menganjurkan untuk

menunda 15 menit, ada yang menganjurkan penundaan sampai 1 jam. Pendapat tersebut tidakberalasan.

Efek ASI pada serokonversi terhadap vaksin polio oral diteliti oleh John dan kawan-kawan, pada300 bayi berusia 6 - 51 minggu di India. Bayi dibagi dalam 6 kelompok dan mendapat vaksinpolio oral (OPV) trivalen. Grup pertama mendapat ASI on demand, namun wajib mendapat ASIdalam interval 30 menit sebelum sampai 15 menit sesudah OPV. Pada grup kedua, tiga, empat,lima pemberian ASI ditunda selama 3, 4, 5 dan 6 jam sesudah dan sebelum OPV. Grup ke enammendapat susu formula. Sampel darah diambil pada saat sebelum imunisasi dan dari 227 bayipada 4 minggu setelah OPV pertama dan/atau OPV ketiga. Dilakukan pengukuran antiboditerhadap virus polio tipe 1,2 dan 3 setelah dosis pertama dan ketiga. Hasil penelitianmenunjukkan bahwa respons rate sama pada seluruh kelompok yang mendapat ASI, tidaktergantung pada jadwal pemberian ASI, demikian pula pada kelompok susu formula. Dengandemikian, ASI tidak memperlihatkan hambatan pada pembentukan antibodi terhadap OPV padabayi setelah periode neonatus.

Daftar Pustaka

1. WHO. Six common misconceptions about immunization. Diunduh dari http://www.who.int/immunization_safety/aefi/immunization_misconceptions/en/print.html tanggal 19Februari 2007.

2. CDC Publications. Six Common Misconceptions about vaccination and how to respondto them. Diunduh dari : http://www.cdc.gov/nip/publications/6mishome.htm tanggal 19Februari 2007.

3. McKinnon NE. Diptheria prevented. Dalam: Cruickshank R(ed). Control of the commonfevers. Lancet: 1942; 41-56. Dikutip dari Wharton M, Vitek CR. Diphtheria Toxoid. DalamPlotkin SA, Orenstein WA (eds) Vaccines. Philadelphia, Saunders, 2004:211-28.

4. Macintyre CR, Gidding H. Myths & Realities. Responding to arguments againstimmunization. A guide for provider. Edisi ke-3. Canbera, Department of Health and AgedCare, 2001.

5. Heron J, Golding J, the ALSPAC Study Team. Thimerosal Exposure in Infants andDevelopmental Disorders: A Prospective Cohort Study in the United Kingdom Does NotSupport a Causal Association. Pediatrics 2004;114:577–83.

6. Anne-Marie Plesner, Peter H. Andersen and Preben B. Mortensen Kreesten M. Madsen,Marlene B. Lauritsen, Carsten B. Pedersen, Poul Thorsen, Thimerosal and the Occurrenceof Autism: Negative Ecological Evidence From Danish Population-Based Data. Pediatrics2003;112;604-6.

7. Joint statement of the American Academy of Pediatrics (AAP) and the United States PublicHealth Services (USPHS). Pediatrics 1999: 104; 568-9.

8. Schmitt HJ, Knuf M, Ortiz E, Sänger R, Uwamwezi MC, Kaufbold A. Primary vaccination ofinfants with diphtheria-tetanus-acellular pertussishepatitis B virus-inactivated polio virusand Haemophilus influenzae type b vaccines given as either separate or mixed injections.J Pediatr 2000;137:304-12.

9. David Elliman. Safety and efficacy of combination vaccines. Combinations reduce distressand are efficacious and safe. Editorial. BMJ 2003;326:995–6.

10. WHO. Outbreak of polio in Indonesia. Updated 10 April 2006. Diunduh dari http://www.searo.who.int/vaccine/linkfiles/polioupdate.pdf tanggal 13 Maret 2007.

Page 181: pedoman imunisasi

Bab XI-2

Kontroversi dalam Imunisasi

Ismoedijanto

Imunisasi telah membawa perubahan yang sangat dramatik di dunia kedokteran. Programkesehatan yang paling efektif dan efisien dalam menurunkan angka kematian dan angkakesakitan. Namun demikian, masih banyak kontroversi yang muncul dari faktor penerapanprogram imunisasi, vaksin dan bahan di dalamnya atau resipien penerima imunisasi. Pada suatusaat sangat intens, pada saat lain menyurut, tergantung pada ada-tidaknya pemicu yang timbuldi masyarakat Masalahnya dapat makin mencuat, karena imunisasi dilakukan pada anak yangsehat, sehingga betapapun kecilnya reaksi yang terjadi akan memicu rasa tidak aman padaorang tua. Konsep imunisasi pada dasarnya adalah menggugah respons tubuh dengan sengaja,agar anak kebal terhadap paparan penyakit yang dituju di kemudian hari. Pada perjalanansejarah imunisasi, keseimbangan antara imunitas dan reaktogenitas ini sering berubahubah,tergantung pada vaksin ataupun interaksi yang terjadi antara vaksin dan resipiennya. Perubahankeseimbangan ini dapat memicu kontroversi imunisasi, terutama bila skala besaran programmenjadi sangat besar, misalnya imunisasi global. Meskipun proporsi reaktogenitas tetap, namunbesaran program menyebabkan jumlah kasus menjadi lebih menonjol, dan menjadi lebihmenakutkan.

Imunisasi jangan hanya diperlakukan sebagai upaya klinik saja namun harus dipandangsebagai tindakan epidemiologik dan dinilai keberhasilannya dengan parameterepidemiologik, yaitu berapa banyak kasus dan berapa banyak penyakit yang dapatdicegah dengan imunisasi.

Masalah epidemiologik yang berbeda pada setiap benua bahkan setiap negara,mengakibatkan perbedaan kebutuhan akan imunisasi.

Beban penyakit di suatu negara atau region tertentu merupakan acuan utama pada saat kitamerencanakan dan memutuskan upaya imunisasi. Selanjutnya berkembang praktek imunisasiyang menekankan pada perlindungan individu, selaras dengan konsep penghargaan padaindividu di negara Barat. Praktek imunisasi menggunakan segala teknologi kedokteran yangada, vaksin yang efektif dan efisien, yang menurunkan probabilitas kemungkinan menjadi sakit.

Kenyataan bahwa penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi masih berada di sekitar kita,mengancam kematian dan kecacatan, merupakan alasan menempatkan imunisasi sebagaiujung tombak kesehatan anak. Setiap anak harus mendapat manfaat imunisasi, sampai adabukti ilmiah yang menghentikannya. Kembali keseimbangan akan imunitas dan reaktogenitasmerupakan pertimbangan yang harus dikaji, melebihi pertimbangan lain seperti pertimbangankeuntungan dan sebagainya.

Beberapa kontroversi yang timbul

1. Pelaksanaan program imunisasi

Perbedaan pendapat seringkali terjadi di antara para ilmuwan dengan para penentukebijakan di masa yang lampau dan bahkan sampai saat ini. Dari sejarah kita ketahuiadanya pertentangan program imunisasi di masyarakat, yaitu sejak masa Pasteurmengenalkan imunisasi rabies, sampai keputusan imunisasi demam tifoid semasaperang Boer. Demikian pula penentang imunisasi cacar di Inggris yang sampaimembawa masalah tersebut ke parlemen, bahkan perseteruan juga terjadi saatimunisasi telah menjadi program global. Para ibu di Jepang dan Inggris menolakimunisasi DTP karena menyebabkan reaksi panas. Setelah Perang Dunia II, vaksin

berkembang sangat pesat, sejalan dengan berkembangnya teknologi biakan pada sel hidup

Page 182: pedoman imunisasi

yang semula dianggap tidak etis. Untuk beberapa waktu keberhasilan imunisasi mencegahkejadian penyakit dan bahkan mampu menghilangkan penyakit cacar dari

bumi, telah menenangkan para penentang imunisasi, yang kemudian muncul kembali padapermulaan tahun 2000-an, yaitu dengan masih banyaknya orang tua yang menentang programimunisasi melalui media massa. Vaksin DTaP yang kurang menyebabkan panas dapatmeredam sikap anti imunisasi sampai timbul kasus autisme yang menurut penelitianMontgomery disebabkan oleh karena suntikan MMR. Kelompok penentang imunisasi pada saatini menggunakan media maya (internet) untuk memicu isu-isu anti imunisasi dengan bukti ilmiahyang tingkat evidence-nya rendah namun sensasional

Masalah yang dilontarkan adalah:

a. Imunisasi yang diwajibkan oleh pemerintah telah merampas hak warganegara untukmemilih tidak diimunisasi (hak untuk sakit dan menjadi sumber penularan). Khusus diIndonesia, Undang Undang Wabah memberikan sanksi pada siapapun yang melalaikanatau menghalangi pelaksanaan penganggulangan wabah.

b. Imunisasi pada anak mementingkan kekebalan jangka pendek terhadap beberapapenyakit menular tertentu dan menggangu kekebalan jangka panjang, penyakittersebut pindah ke usia yang lebih tua.

c. Imunisasi memindahkan satu penyakit dari satu masa ke penyakit lain pada usialain dan juga menghilangkan satu penyakit tetapi menimbulkan penyakit lain. Bagipara ilmuwan yang menghargai hak hidup kuman dan virus di bumi, isu ini bukanmerupakan masalah baru.

2. Vaksin dan keamanannya

Vaksin adalah suatu bahan yang dapat merangsang kekebalan dan dibuat denganmenggunakan teknologi kedokteran yang paling maju. Vaksinologi telah menyerap begitubanyak teknologi kedokteran yang terbaik, sehingga sulit mencari tandingan vaksin ini. BahkanKatz, 1999, menyebutnya sebagai the best science can give. Meskipun minimal ada kelemahandari metode imunisasi

ini. Kelemahan metode imunisasi ini tidak berarti vaksin tersebut tidak aman. Kelemahan inimungkin baru terungkap setelah vaksin digunakan dalam jangka waktu yang lama. Masalahyang kemudian muncul adalah siapa yang berminat untuk membiayai penelitian yangmembuktikan adanya efek samping yang minimal setelah 20-40 tahun pemberian imunisasi?Vaksin adalah substansi biologik hidup yang aman sampai suatu saat dapat dibuktikan cacat.Kontroversi berasal dari

a. Jenis dan bahan vaksin

Vaksin digolongkan menjadi beberapa jenis (vaksin mati-hidup, vaksin polisakarida, vaksinrekombinan) semuanya dibuat dengan cara yang berbeda dan memberikan “kelemahan” yangberbeda pula. Vaksin hidup paling banyak menuai tuduhan, karena atenuasi atau prosespelemahan yang kurang kuat akan menyebabkan penyakit atau menyimpangnya respon imunpenerima.

b. Bahan dalam vaksin

Bahan dalam vaksin terutama adalah bahan pengawet, bahan antibeku, bahanpewarna dan bahan yang ikut dalam proses pembuatan vaksin. Bahan inibermanfaat untuk penyimpanan vaksin dosis multipel, sehingga biaya imunisasidapat ditekan. Bahan merkuri merupakan bahan yang paling digunjingkanmerusak otak, seperti kasus keracunan merkuri di Minimata.

Tiomersal mengandung 49.6% Hg dari beratnya, dalam tubuh

dimetabolisir menjadi etilmerkuri dan thiosalisilat. Waktu paruh tubuh adalah 50hari. Paparan merkuri secara menahun bersifat neurotoksik dan nefrotoksik,

Meskipun bahan ini dalam vaksin selama imunisasi sampai usia 6 bulan (150 mcg) masihlebih rendah dari batas minimal yang direkomendasikan oleh WHO, bahan ini akandihilangkan dengan risiko harga vaksin akan per dosis meningkat. Vaksin yang bebas merkuriadalah

MMR, OPV, campak, BCG dan HB yang dosis tunggal dan DTaP

dosis tunggal. Bahan yang ada dalam vaksin lainnya adalah

Page 183: pedoman imunisasi

sisa formaldehid, bahan antibeku etilen glikol, gelatin dan glutamat pada vaksin cacar air,neomisin dan streptomisin untuk mencegah tumbuhnya kuman dalam biakan sel, dansebagainya. Bahan ini dianggap beracun, namun perlu informasi ambang kadarnya yangberbahaya. Bahan makanan dan minuman yang dikomsumsi sehari-hari mungkin jugamengandung bahan ini, tergantung pada kondisi lingkungannya. Formaldehid sisa tidak bolehlebih dari 0.02% w/v (British Pharmacopeia) atau 0.004%

w/v (Australia Therapeutic Good Administration).

c. Manfaat dan efikasi vaksin:

Efikasi vaksin harus lebih besar dari reaktogenisitas vaksin, dinyatakan padaperbandingan besaran outcome dan besaran reaksi imunisasi. Outcome ataukomplikasi yang terjadi pada penyakit campak di negara berkembang adalahkejadian pneumonia 1 kasus dari tiap 25 kasus klinik dan ensefalitis 1 kasus setiap2000 kasus atau 500 kasus setiap 1.000.000 penderita. Reaksi samping yang terjadipada suntikan campak adalah bengkak tempat suntikan , demam, meriang 1 diantara10 suntikan, ruam pada 1 anak diantara 100 suntikan dan kemungkinan ensefalitis 1diatara 1.000.000 dosis. Pada penyakit gondongan komplikasi mungkin terjadi kasusensefalitis 1 kasus tiap 200 kasus atau 15.000 kasus diantara 3.000.000 kasus,sementara pada imunisasi kemungkinanan ensefalitis kasus terjadi pada 1 kasusdiantara 3.000.000 dosis . Komplikasi pada rubella yang paling berat adalah adanyasindrom rubela kongenital pada 9 kasus diantara 10 kehamilan bila serangan terjadi

pada 10 minggu pertama, inflamasi otak pada 1 diantara 6000 pasien, nyeri sendi pada 1diantara 2 pasien yang sudah remaja, sementara bengkak, demam, meriang mungkin terjadipada 1 kasus setiap 10 dosis, kemungkinan terjadinya nyeri sendi, pembesaran kelenjar pada5 kasus setiap 100 dosis. Angka diatas menunjukkan manfaat lebih besar dari risikoimunisasi.

d. Kecenderungan genetik yang menyimpang

Tiap individu mempunyai probabilitas hidup dengan pola genetik yang menyimpang,sehingga seringkali tidak dapat memberikan respons imun yang diharapkan. Semakin tinggicakupan imunisasi, semakin banyak pula populasi yang tercakup dalam imunisasi yangmempunyai kecenderungan genetik tidak semestinya.

KIPI yang merupakan rekaman kasus apapun setelah imunisasi sangat bermanfaat untukmemperbaiki kualitas program imunisasi namun peningkatan kasus KIPI (Kejadian IkutanPasca Imunisasi) akan menyebabkan peningkatan sikap anti imunisasi, menurunkan angkacakupan dan akan menaikkan risiko wabah kembali.

3. Respon imun penerima vaksin

Resipien atau si-penerima vaksinasi yang sakit berat atau yang pertahanan tubuhnyatidak normal besar kemungkinannya akan menjadi sakit, atau menjadi karier sehat. Anakyang mendapat kortikosteroid, penderita HIV, anak dengan malnutrisi berat, merupakancontoh anak bermasalah. Imunisasi polio oral pada anak dengan defisiensi imun akanmengakibatkan pengeluaran virus polio lebih lama dibanding dengan anak normal.Banyak keadaan yang mempengaruhi kinerja vaksin dan terutama berakibat padarendahnya keberhasilan menggugah respon imun.

Pada sisi yang lain juga terdapat respon imun yang menyimpang sebagai akibatkecenderungan genetik yang dimiliki bayi. Reaksi samping atau akibat dari imun responyang menyimpang ini, sering ditimpakan pada kualitas atau kuantitas antigen (vaccinesafety) dalam vaksin atau bahan lain yang ada dalam vaksin, karena penapisan

(screening) anak dengan indikasi kontra masih belum dijalankan secara rutin, karena metodepemeriksaan yang sederhana dan akurat belum ada. Sebaiknya sebelum memberikanimunisasi, indikasi kontra dan kewaspadaan (precautions) dibaca sekali lagi.

4. Adanya pemicu

Seringkali suatu masalah menjadi hangat kembali setelah ada pemicu yang hadir. Beberapapemicu masalah besar antara lain,

Autisme

Wakefield dan Montgomerry telah mengajukan laporan penelitian

yang menunjukkan adanya hubungan sebab akibat antara vaksin

MMR dan kejadian autisme pada anak. Banyak hipotesis yang

Page 184: pedoman imunisasi

diajukan, hipotesis mekanisme imunologik, biologik, opioid excess, autoimmune, virus campakdalam usus. Kebanyakan hipotesis yang diajukan tidak menggunakan paradigma epidemiologik,tetapi paradigma imunologi atau biomolekuler dan belum memberikan bukti yang sahih.Penelitian epidemiologik menunjukkan tidak jelas

ada hubungan antara suntikan MMR dengan autism. Penelitian

dan pengamatan epidemiologik tidak dapat menyokong adanya hubungan sebab-akibat antaraASD (autistic syndrome disorder) dan

MMR, pengamatan juga tidak mendapatkan dukungan hubungan temporal antaraawitan ASD dan pemberian suntikan MMR., tidak memberikan dukungan hubungansuntikan MMR dengan kejadian

regresi, tidak jelas hubungan patogenetik yang berbasis bukti antara

suntikan MMR dan kejadian ASD. Adanya genome virus campak

belum disertai bukti bahwa virus itu berasal dari vaksin campak

monovalen atau MMR atau virus campak liar.

IBD (inflammatory bowel disease) akibat infeksi persisten bisa terjadi secara alamiah, pada anakdengan kelainan genetic, seperti adanya kelainan kromosom 7. Jenis bahan apa saja yang loloslewat usus dan menyebabkan gangguan perilaku, belum dapat ditentukan. Hubungan yangdiyakini ada baru sebatas gagasan hipotetik yang perlu bukti lebih lanjut. Berapa jumlah bahanyang akan menyebabkan kelainan perilaku belum mendapat kesepakatan yang jelas. Berapaproporsi anak yang mempunyai infeksi virus campak yang persisten setelah imunisasi danberapa proporsi anak yang dengan IBD menjadi autis, perlu pengamatan lebih lanjut. Bukti

hasil penelitian baru sepotong-potong yang belum utuh, belum dapat dirangkai menjadikesimpulan yang sahih. Banyak bagian dari jigsaw puzzle ilmiah yang belum terisi. Baikpengadilan London maupun redaksi majalah yang memuat tulisan Wakefield akhirnya menyesaldan menyatakan bukti yang diajukan lemah dan kabur.

Reaksi neurologik

Beberapa vaksin diduga menyebabkan reaksi pada susunan saraf. Reaksi ini sangat jarang danbelum jelas patogenesisnya. Kelainan nerologik yang diduga akibat vaksin terbagi menjadi:

demyelinating disease (ADEM dan GBS).non demyelinating disease (encephalopathy, SSPE, neuropathy, brachial neuritis).

Reaksi imunologik

Vaksin dapat menimbulkan penyimpangan respons imun sebagai reaksi tubuh terhadapbahan tambahan maupun bahan dasar vaksinnya sendiri. Reaksi pasca imunisasiterutama mengarah pada hipersensitivitas, dari tipe 1-4, dari reaksi anafilaksis, reaksiantibodi dengan antigen jaringan, reaksi Arthus dan delayed type hypersensitivity.Reaksi pasca imunisasi seharusnya dapat diketahui dengan memperhatikan butir-butirkewaspadaan dan indikasi kontra sebelum memberikan imunisasi.

Autoimun

Semakin banyak tulisan yang menghubungkan kenaikan kejadian autoimun dengankenaikan cakupan vaksin. Perimbangan Th1 dan Th2 dicoba dipakai sebagai alat untukmenjelaskan hubungan ini. Namun sampai kini belum jelas model mana yang pasti dan

mempunyai evidence-based yang tinggi yang cukup dipakai sebagai alasan menghentikanimunisasi dan memberikan metode lain untuk mencegah wabah penyakit menular. Menggugahrespon imun yang berlebihan akan menyebabkan beberapa bagian dari komponen imunologikmenyerang bagian dari tubuh sendiri. Meskipun

paradigma ini sudah dikenal, namun belum ada pengamatan jangka panjang yangmembuktikannya. Beberapa makalah biomolekuler menandai kenaikan insidens penyakitautoimun searah dengan kenaikan cakupan imunisasi, tanpa memberikan penjelasan yangsahih mengenai pengaruh perubahan gaya hidup dan lingkungan terhadap kenaikan insidenspenyakit autoimun.

Diabetes

Semula terdapat bukti bahwa ada hubungan sebab akibat antara infeksi virus (gondong, rubella)dan IDDM (insuline dependent diabetic mellitus). Kini banyak diajukan hipotesis hubungan

Page 185: pedoman imunisasi

dan IDDM (insuline dependent diabetic mellitus). Kini banyak diajukan hipotesis hubunganantara

IDDM dengan vaksin HB, MMR, DTP, HIb, pneumokokus. Selain

virus yang menyerang pankreas, juga terjadi proses autoimun yang menyerang sel pankreas,sehingga terjadi gangguan produksi insulin.

Jalan keluar dan anjuran apa yang harus dilakukan

Masalah yang dikemukakan tersebut telah memicu beberapa perdebatan danperbedaan pendapat antara pada pakar yang makin membingungkan orangtua. Adabeberapa tip yang bisa membantu para sejawat mencari jalan keluar masalahkontroversi imunisasi.

• Penjelasan yang jujur

Penjelasan yang jujur dan benar kepada orang tua sangat diperlukan untukmengimbangi segala informasi penentang imunisasi yang seolah-olah berdasar alasanyang kuat dan disertai dengan riset yang mendalam. Penjelasan harus dilakukan secaraproaktif, diberikan pada setiap orang tua bayi yang akan diimunisasi dengan vaksintertentu, meskipun orangtua tidak menanyakannya secara aktif. Selain membangun

komunikasi yang baik antara dokter dan orang tua, kesempatan ini akan memancing merekasehingga mampu atau tidak malu-malu menanyakan perihal imunisasi. Penjelasan mencakupmanfaat

imunisasi dan kemungkinan adanya reaksi samping. Bilamana orangtua menunjukkanpenolakan atau keraguan, sebaiknya imunisasi ditunda dulu sampai orang tua yakin akantindakan yang kita lakukan pada bayinya.

Menunjukkan empati dan perhatian yang besar Membeberkan kelemahan alasan anti-imunisasi saja tidak cukup, orang tua harus diyakinkan bahwa dokter juga sangatmemperhatikan dan membantu orang tua dalam upaya membesarkan anak.Kepercayaan pada dokter akan memperkuat penerimaan orangtua pada imunisasi,sehingga keraguan dan kemungkinan ikut hanyut secara emosional pada kelompokpenentang imunisasi dapat dibatasi.Menghindari pertempuran emosi

Pertempuran emosi akan mengurangi kemampuan analitis dan rasional. Menghadapiorangtua yang kecewa atau marah dengan kegeraman kita atas tidak rasionalnya pikiranyang digunakan sangat tidak bermanfaat. Sebaliknya mendengarkan akan membawa hasilyang lebih baik.

Membekali diri dengan pengetahuan

Membekali diri dengan pengetahuan yang cukup perihal pokokpokok dasarimunisasi. Termasuk diantaranya pengetahuan tentang sifat tiap vaksin yang kitagunakan.

Daftar Pustaka

1. Stratton KR, Gable A, Shetty P, McCormick, M (editor) Immunization safety review:Measles-Mumps-Rubella vaccine and autism , Immunization Safety ReviewCommittee, Institute of Medicine, national Academy Press, Washington DC, 2001

2. Chen RT, De Stefano F, Mootrey G, Kramarz P, Hibbs B. Vaccine recommendationchallenges and controversies, challenges and controversies in immunization safety.Infectious Disease Clinic of North America 2001; 15: 1-16.

3. Wakefield, A.J. Montgomery SM, Measles, Mumps, rubella vaccine: through a glass, darkly,Adverse Drug React: 2000; 19:1-19.

4. Dales L, Hammer SJ, Smith NJ. Time trends in autism and MMR immunization coverage inCalifornia JAMA;285(9):1183-5.

5. Black,C, Kyae JA, Jick H, Relation of childhood gastrointestinal disorder to autism: nestedcase control study using data from the UK general practice Research Database BMJ2002;325:419-421.

6. Madsen KM, HVIID A, Vestergaar M, schendel D, et al, A population based study ofmeasles, Mumps, and Rubella vaccination and auitism N Engl J Med;347:1477-1482

7. Campion EW 2002 Suspicion about the safety of vaccine N Engl j Med 347;19:1474-6.8. WHO 2001, Statement on the use of MMR vaccine,24 January, 2001

9. Cave S dan Mitchell D : Apa yang orang tua harus tahu tentang vaksinasi pada anak.Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 2003.

Page 186: pedoman imunisasi

Pen gantar

Setiap pemberi imunisasi harus siap untuk menerangkan dengan jelas kepada orangtua atau anak yang telah besar mengenai berbagai hal yang ditanyakan. Pemberiimunisasi harus selalu siap dengan jawaban yang sering ditanyakan oleh mereka.Pengetahuan mengenai imunisasi pada umumnya terutama keuntungan yangdidapatkan oleh si anak, akan jauh lebih besar daripada kerugian apabila dia harusmenderita penyakit. Pada umumnya efek samping merupakan hal yang terbanyakditanyakan, namun adanya isu-isu negatif terhadap imunisasi perlu mendapat perhatianpara dokter. Kunci komunikasi dalam advokasi imunisasi adalah dengarkan pertanyaandan keluhan mereka dengan penuh perhatian, kemudian jelaskan dengan bahasaawam yang mudah dimengerti.

Soedjatmiko, Alan R. Tumbelaka

Jadwal imunisasi

Mengapa jadwal imunisasi di beberapa praktek dokter, klinik atau rumah sakit berbeda-beda ?

Perbedaan jadwal imunisasi pada kurun waktu yang berbeda di beberapa praktek dokter antaralain karena: sumber rujukan yang berbeda, adanya modifikasi untuk memudahkan orangtua,atau pertimbangan khusus berdasarkan keadaan bayi dan anak pada saat itu. Sebaiknyamenggunakan jadwal imunisasi terbaru yang direkomendasikan oleh Satgas Imunisasi IDAI,karena dievaluasi secara periodik dengan mempertimbangkan perubahan epidemiologi penyakittertentu, adanya vaksin-vaksin baru yang resmi beredar di Indonesia dan negara tetangga sertamemperhatikan anjuran dari WHO (Badan Kesehatan Dunia),

Jadwal imunisasi mana yang terbaik ?

Jadwal yang terbaik adalah yang masih di dalam rentang umur Jadwal Imunisasi PPIDepkes maupun Rekomendasi Satgas Imunisasi PP IDAI (baca Bab IV tentang JadwalImunisasi). Namun harus dipertimbangkan pula hal-hal lain: keadaan dan riwayatbayi/anak yang berkaitan dengan indikasi kontra atau risiko kejadian ikutan pascaimunisasi, serta permintaan orangtua (misalnya vaksinasi cacar air sebelum umur 10tahun). Berdasarkan pertimbanganpertimbangan tersebut dokter dapat melakukanpenyesuaian untuk kepentingan bayi / anak, disertai penjelasan kepada orangtua.

Jika umur bayi atau anak sudah lebih dari umur yang dianjurkan dalam jadwal imunisasi,apakah boleh divaksin sesuai jadwal tersebut ?

Boleh, tidak berbahaya, karena anak yang belum mendapat imunisasi sesuai jadwal, berartibelum mempunyai kekebalan terhadap penyakit tersebut. Tetapi kalau umurnya sudah terlewatjauh beberapa tahun, untuk beberapa penyakit tertentu mungkin kurang penting, karenakemungkinan tertular semakin kecil. Tetapi ada penyakit tertentu yang tetap penting, walaupunsudah terlewat jauh. Untuk itu diskusikan dengan dokter, untuk mengejar imunisasi yangterlewatkan.

Jika sudah diimunisasi lengkap pada usia balita, apakah di sekolah perlu diimunisasi lagi? Mengapa perlu ?

Imunisasi yang perlu diberikan ulangan pada sekolah dasar yaitu imunisasi campak dan DT

Page 187: pedoman imunisasi

(kelas 1), dan TT (kelas 2, 3, dan 6). Banyak anak yang sudah divaksinasi campak ketika bayiternyata pada umur 5 - 7 tahun 28.3% masih terkena campak. Pada umur > 10 tahun masihbanyak dijumpai kasus difteri. Untuk pemberantasan tetanus neonatorum sedikitnya dibutuhkan5 kali suntikan tetanus toksoid sejak bayi sampai dewasa, sehingga kekebalan pada umurdewasa akan berlangsung sekitar 20 tahun lagi (lihat Bab IV tentang Jadwal Imunisasi)

Bayi prematur, apakah imunisasi harus ditunda ?

Ya, vaksin polio oral sebaiknya diberikan sesudah bayi prematur berumur 2 bulan, demikianpula DTP, hepatitis B dan Hib.

Bayi/anak sedang sakit atau sedang dalam pengobatan Bayi/anak sedang pilekbatuk bolehkah diimunisasi ?

Boleh. Batuk pilek ringan tanpa demam boleh diimunisasi, kecuali bila bayi sangatrewel, imunisasi dapat ditunda 1 - 2 minggu kemudian.

Jika sedang minum antibiotik bolehkah diimunisasi ?

Boleh, karena antibiotik tidak mengganggu potensi vaksin. Yang harus dipertimbangkan adalahpenyakit dan keadaan bayi/anak sesuai pedoman umum vaksinasi.

Jika sedang minum obat lain apakah boleh diimunisasi ?

Apabila anak sedang minum obat prednison 2 mg/kgbb/ hari, dianjurkan menunda imunisasi 1bulan setelah selesai pengobatan.

Jika sering menggunakan steroid inhalasi bolehkah diimunisasi ?

Boleh, karena steroid inhalasi tidak menekan sistem imun, asalkan digunakan sesuai dosis yangdianjurkan.

Penderita epilepsi bolehkan diimunisasi ?

Kelainan neurologik yang stabil dan riwayat kejang atau epilepsi di dalam keluarga bukanlahindikasi kontra untuk memberikan vaksinasi DPT. Orangtua atau pengasuh harus diingatkanbahwa sesudah vaksinasi dapat timbul demam, oleh karena itu dianjurkan untuk segeramemberikan obat penurun panas. Harus diingatkan pula bahwa demam pasca vaksinasicampak baru timbul 5 - 10 hari setelah imunisasi.

Penderita alergi bolehkah diimunisasi ?

Pasien asma, eksim dan pilek alergi boleh diimunisasi, tetapi kita harus sangat berhati-hati jika anak alergi berat terhadap telur. Jika ada riwayat reaksi anafilaktik terhadaptelur (urtikaria luas, pembengkakan mulut atau tenggorok, kesulitan bernapas, mengi,penurunan tekanan darah atau syok) merupakan indikasi kontra untuk vaksin influenza,demam kuning dan demam Q. Sedangkan untuk vaksin MMR karena kejadian reaksianafilaktik sangatjarang, masih boleh diberikan dengan pengawasan.

Bengkak, kemerahan setelah disuntik vaksin apakah akibat salah suntik ? Atau vaksinnyakadaluarsa ? Apakah berbahaya ?

Setelah penyuntikkan vaksin dapat timbul reaksi lokal di tempat penyuntikan misalnya bengkak,kemerahan, gatal, nyeri, selama 2 sampai 3 hari. Hal itu tidak berbahaya karena merupakanreaksi normal dari tubuh terhadap vaksin yang bersifat individual. Kompres hangat dapatmengurangi keadaan tersebut. Kadangkadang teraba benjolan kecil yang agak keras selamabeberapa minggu atau lebih, tetapi umumnya tidak perlu dilakukan tindakan apapun.

Terkadang diserta reaksi umum berupa demam, rewel, tergantung pada jenis vaksinnya. Reaksitersebut umumnya ringan, mudah diatasi oleh orangtua atau pengasuh, dan akan hilang dalam 1- 2 hari.

Obat penurun panas, bolehkah diberikan sebelum dan sesudah imunisasi ? Apakah tidak

Page 188: pedoman imunisasi

mengurangi potensi vaksin ?

Boleh. Sebaiknya 30 menit sebelum imunisasi suntik, terutama DPT/DT, boleh diberikan obatpenurun panas (berisi parasetamol) kepada bayi/anak untuk mengurangi nyeri dan demampasca vaksinasi. Kemudian dilanjutkan setiap 3-4 jam bila masih panas atau nyeri, maksimal 6kali dalam 24 jam. Obat penurun panas tidak menmpengaruhi potensi vaksin. Jika keluhanmasih berlanjut, diminta segera kembali kepada dokter.

Kekebalan setelah diimunisasi

Sesudah diimunisasi apakah pasti tidak akan tertular penyakit tersebut ?

Bayi/anak yang telah diimunisasi masih dapat tertular penyakit tersebut, namun jauhlebih ringan dibanding terkena penyakit secara alami.

Apabila bayi/anak sudah pernah sakit campak, rubela atau batuk rejan bolehkah diimunisasi untuk penyakit-penyakit tersebut?

Boleh, walaupun ada riwayat pernah menderita penyakit tersebut vaksinasi tidaklah berbahaya.Vaksinasi bayi/anak dengan riwayat pernah sakit campak akan meningkatkan kekebalan dantidak menimbulkan risiko. Diagnosis campak dan rubella tanpa konfirmasi laboratorium banyakyang meragukan. Anak dengan riwayat pernah sakit tersebut sebaiknya tetap diberikan MMR.

Polio

Setelah pemberian vaksin polio tetes, apakah dapat timbul panas, mencret ?

Walaupun sangat jarang terjadi, tetapi kadang-kadang dapat terjadi mencret ringan, tanpademam.

Pemberian vaksin polio lebih dari 2 tetes apakah berbahaya ?

Tidak berbahaya, karena virus vaksin polio sudah dilemahkan, artinya tidak dapat menimbulkankelumpuhan, tetapi masih bisa berkembang biak dan bisa merangsang kekebalan didalam ususmaupun di dalam darah bayi dan anak. Namun bila meneteskan terlalu banyak sebaiknyadicatat identitas bayi/anak, kemudian dilakukan pengamatan selama beberapa minggu.

Berapa lama jarak antara pemberian ASI atau susu formula dengan pemberian vaksinpolio oral ?

ASI dapat diberikan segera setelah imunisasi polio oral pada umur lebih dari 1 minggu.Hanya di dalam kolostrum terdapat antibodi dengan titer tinggi yang dapat mengikatvaksin polio oral. Susu formula boleh segera diberikan setelah vaksinasi polio oral.

Bagaimana jika bayi memuntahkan vaksin polio ?

Jika muntah terjadi sebelum 10 menit segera berikan lagi vaksin polio dengan dosissama. Jika muntah berulang, berikan lagi pada keesokan harinya.

Mana yang lebih bagus : vaksin polio yang diteteskan di mulut (polio oral) atauyang disuntikkan ?

Vaksin polio yang diteteskan dimulut adalah virus polio vaksin yang masih hidup tetapidilemahkan, sehingga masih bisa berkembang biak di usus, dan dapat merangsangusus dan darah untuk membentuk zat kekebalan (antibodi) terhadap virus polio liar.Artinya, bila ada virus polio liar masukke dalamusus bayi/anaktersebut, maka virus polio

liar tersebut akan diikat dan dimatikan oleh zat kekebalan tersebut yang dibentuk di usus dan didalam darah, sehingga tidak dapat berkembang biak, tidak membahayakan bayi/anak tersebut,dan tidak dapat menyebar ke anak-anak sekitarnya.

Page 189: pedoman imunisasi

Vaksin polio suntik, isinya virus polio mati yang disuntikan di otot lengan atau paha, sehinggatidak dapat berkembang biak di usus dan tidak menimbulkan kekebalan diusus, namun dapatmenimbulkan kekebalan di dalam darah. Oleh karena itu, bila ada virus polio liar yang masuk kedalam usus bayi/anak yang disuntik vaksin polio, maka virus polio liar masih bisa berkembangbiak di ususnya (karena tidak ada kekebalan di dalam ususnya) tetapi ia tidak sakit, karena adakekebalan di dalam darahnya. Tetapi karena virus polio liar masih bisa berkembang biakdiususnya, maka bisa menyebar melalui tinja ke anak-anak lain, dan dapat menyebabkankelumpuhan pada anak-anak disekitarnya. Oleh karena itu, di negara atau wilayah yang masihada transmisi polio liar semua bayi dan anak balita harus diberi virus polio yang diteteskan kedalam mulut, agar ususnya mampu mematikan virus polio liar, sehingga menghentikan prosespenyebaran. Bila selama 5 tahun atau lebih tidak ditemukan lagi virus polio liar, maka secarabertahap dapat menggunakan virus polio suntik.

Virus polio suntik boleh diberikan pada pasien yang kekebalannya rendah, misalnya karenasedang mendapat pengobatan kortikosteroid dosis tinggi dalam jangka lama, mendapat obat-obat anti kanker, menderita HIV AIDS, atau didalam rumahnya ada pasien tersebut.

Hepatitis B

Setelah vaksinasi Hepatitis B apakakah bisa timbul demam atau bengkak ?

Walaupun sangat jarang, tetapi dapat timbul demam yang tidak tinggi, pada tempat penyuntikantimbul kemerahan, pembengkakan, nyeri, rasa mual dan nyeri sendi. Orangtua/pengasuhdianjurkan untuk memberikan minum lebih banyak (ASI atau air buah), jika demam pakailahpakaian yang tipis, bekas suntikan yang nyeri dapat dikompres air dingin, jika demam berikanparasetamol 15 mg/kgbb setiap 3 - 4 jam bila diperlukan, maksimal 6 kali dalam 24 jam, bolehmandi atau cukup diseka dengan air hangat. Jika reaksi tersebut menjadi berat dan menetap,atau jika orangtua merasa khawatir, bawalah bayi/anak ke dokter.

BCG

Setelah suntikan vaksin BCG, mengapa sebulan kemudian timbul bisul yang menjadikoreng ? Apakah itu akibat salah suntik ?

Bisul yang timbul 2 minggu setelah imunisasi BCG adalah normal, karena merupakanreaksi tubuh terhadap vaksin BCG. Bisul kecil (papula) dapat membesar dan terjadikorengi selama 2-4 bulan, kemudian menyembuh perlahan dengan menimbulkanjaringan parut. Bila ulkus mengeluarkan cairan orangtua dapat mengkompres dengancairan antiseptik. Bila cairan bertambah banyak atau koreng semakin membesarorangtua harus membawanya ke dokter.

Apa beda vaksin DTP dan DTaP ? Mengapa vaksin DPaT jauh lebih mahal ?

Vaksin DTP dan DTaP kedua-duanya untuk mencegah penyakit difteri, pertusis dan tetanus.Perbedaan utama pada komponen antigen untuk pertusis. Vaksin DTP berisi sel bakteri Pertusisutuh yang berisi ribuan antigen, termasuk antigen yang tidak diperlukan, sehingga seringmenimbulkan reaksi panas tinggi, bengkak, merah, nyeri ditempat suntikan. Sedangkan vaksinDTaP berisi bagian bakteri pertusis yang tidak utuh dan hanya mengandung sedikit antigenyang dibutuhkan saja, sehingga jarang menimbulkan reaksi tersebut. Karena proses pembuatanDTaP lebih rumit, maka harganya jauh lebih mahal.

Setelah pemberian vaksin DTP , apa yang dapat terjadi pada bayi ?

Reaksi yang dapat terjadi segera setelah vaksinasi DTP antara lain demam tinggi, rewel, ditempat suntikan timbul kemerahan, nyeri dan pembengkakan, yang akan hilang dalam 2 hari.Orangtua/ pengasuh dianjurkan untuk memberikan minum lebih banyak (ASI atau air buah), jikademam pakailah pakaian yang tipis, bekas suntikan yang nyeri dapat dikompres air dingin, jikademam berikan parasetamol 15 mg/kgbb setiap 3-4 jam bila diperlukan, maksimal 6 kali dalam24 jam, boleh mandi atau cukup diseka dengan air hangat. Jika reaksi-reaksi tersebut berat danmenetap, atau jika orangtua merasa khawatir, bawalah bayi/anak ke dokter.

Campak dan MMR

Setelah vaksinasi campak dan MMR, apa yang dapat terjadi pada bayi ?

Reaksi yang dapat terjadi pasca vaksinasi campak dan MMR berupa rasa tidak nyamandi bekas penyuntikan vaksin. Selain

Page 190: pedoman imunisasi

itu dapat terjadi gejala-gejala lain yang timbul 5 - 12 hari setelah penyuntikan selama kurang dari48 jam yaitu demam tidak tinggi, erupsi kulit kemerahan halus/tipis yang tidak menular, pilek.Pembengkakan kelenjar getah bening kepala dapat terjadi sekitar 3 minggu pasca imunisasiMMR. Orangtua/pengasuh dianjurkan untuk memberikan minum lebih banyak (ASI atau airbuah), jika demam pakailah pakaian yang tipis, bekas suntikan yang nyeri dapat dikompres airdingin, jika demam berikan parasetamol 15 mg/kgbb setiap 3-4 jam bila diperlukan, maksimal 6kali dalam 24 jam, boleh mandi atau cukup diseka dengan air hangat. Jika reaksi-reaksi tersebutberat dan menetap, atau jika orangtua merasa khawatir, bawalah bayi/anak ke dokter.

Bayi yang pernah sakit campak apakah perlu divaksin campak pada umur 9 bulan ?

Boleh. Karena beberapa penyakit virus lain gejalanya mirip campak, sehingga orangtua bahkandokter keliru, bahwa penyakit yang disebabkan oleh virus lain dianggap sebagai campak.Seandainya benar-benar pernah menderita campak, bayi tetap boleh diberikan vaksin campak,tidak merugikan bayi, karena kekebalannya hanya bertahan beberapa tahun. Oleh karena itusemua anak balita dan usia sekolah di daerah yang banyak kasus campak dan cakupanimunisasinya masih rendah harus mendapat imunisasi campak ulangan (penguat) agarkekebalannya bisa berlangsung lama.

Apakah imunisasi MMR menyebabkan anak menderita autisme ?

Sampai saat ini belum ada bukti yang menyokong bahwa imunisasi (jenis imunisasiapapun) dapat menyebabkan autisme. Badan Kesehatan Dunia (WHO) maupunDepartemen Kesehatan tetap merekomendasikan pemberian imunisasi sesuai jadwalyang telah ditentukan.

Influenza

Setelah mendapat vaksinasi influenza apakah anak tidak akan batuk pilek lagi ?

Imunisasi Influenza hanya untuk mencegah penyakit influenza berat yang disebabkan oleh virusInfluenza A dan B jenis tertentu yang berbahaya. Vaksin influenza tidak dapat mencegah batukpilek karena alergi, iritasi atau oleh virus lain yang tidak berbahaya.

HIB (haemophilus influenza tipe B) Apakah vaksin Hib untuk mencegah influenza ?

Bukan. Vaksin Hib adalah untuk mencegah penyakit yang disebabkan oleh kuman Hib, yangdapat menyebabkan radang otak (meningitis), radang paru (pneumonia), infeksi telinga (otitismedia) dan lain lain.

Setelah divaksinasi Hib yang dapat mencegah meningitis dan pneumonia, apakah tidakperlu divaksin pneumokokus ?

Vaksin Hib hanya dapat mencegah meningitis (radang otak) dan pneumonia (radang paru) yangdisebabkan oleh kuman Hib. Sedangkan meningitis dan pneumonia yang disebabkan olehkuman Pneumokokus tidak dapat dicegah dengan vaksin Hib, tetapi harus dicegah vaksinPneumokokus. Oleh karena itu sebaiknya bayi mendapat kedua vaksin tersebut sesuai jadwal.

Tifoid

Anak yang sudah pernah sakit demam tifoid apakah perlu divaksin tifoid ?

Perlu, karena kekebalan setelah sembuh dari demam tifoid tidak berlangsung lama.

Cacar air

Page 191: pedoman imunisasi

Bila anak timbul beberapa gelembung cacar air, dapatkah vaksinasi cacar air untukmencegah bertambah banyaknya gelembung cacar air ?

Tidak bisa, sudah terlambat. Bila sudah timbul gelembung cacar air, berarti anak tersebut sudahtertular 3 - 7 hari yang lalu, virus cacar air sudah berkembang biak dan menyebar keseluruhtubuh anak, sehingga vaksinasi cacar air tidak dapat menghentikan proses tersebut.

Bila di dalam rumah atau sekolah ada penderita cacar air, apakah anak lain harus segeradivaksin untuk mencegah penularan ?

Apabila belum lewat 48 jam anak sehat kontak dengan pasien cacar air kemungkinan besaranak sehat tersebut dapat dicegah dengan vaksinasi cacar air agar tidak tertular. Tetapi bilalebih dari 48 jam, kemungkinan anak sudah tertular virus cacar air tersebut, kemudian sudahmulai berkembang biak di dalam tubuh anak tersebut, sehingga vaksinasi tidak mampumencegah kelanjutan penyakit tersebut.

Anak yang pernah sakit cacar air apakah perlu divaksinasi cacar air ?

Tidak perlu. Umumnya anak yang telah sakit cacar air akan mempunyai kekebalan sampaidewasa, sehingga tidak perlu divaksin cacar air lagi

Jarak antar vaksinasi dan bagian tubuh yang disuntik

Apabila jarak antar imunisasi lebih lama dari jarak yang dianjurkan, apakahvaksinasi perlu diulang ?

Tidak perlu diulang, karena sistem imunitas tubuh dapat “mengingat” rangsangan vaksinterdahulu. Lanjutkan dengan vaksinasi yang belum diberikan dengan jarak sesuaianjuran.

Apabila anak diberi beberapa jenis vaksin sekaligus apakah tidak berbahaya?

Tidak berberbahaya, asalkan imunisasi dilakukan di bagian tubuh yang letaknya berjauhan,menggunakan alat suntik yang berlainan dan memperhatikan ketentuan umum tentangpemberian vaksin.

Beberapa dokter menyuntikkan vaksin di tempat yang berbeda walaupun vaksinnyasama. Apakah ada perbedaan kekebalan? (Misalnya penyuntikan vaksin BCG ada yangdilengan atau pinggul, campak, hepatitis B, Hib, DTP di lengan atau paha).

Pemilihan tempat penyuntikan vaksin berdasarkan beberapa pertimbangan antara lain untukmendapatkan kekebalan optimal, cedera yang minimal pada jaringan, pembuluh darah, saraf disekitarnya, memperkecil kemungkinan rasa tidak nyaman pada bayi dan anak akibat gerakan,tekanan, sentuhan, terutama apabila bayi sudah dapat berjalan, atau sekedar pertimbanganestetis. Perbedaan tempat penyuntikan tidak menimbulkan perbedaan kekebalan, asalkankedalaman penusukan jarum atau jaringan yang disuntik vaksin sesuai dengan ketentuan untuksetiap jenis vaksin (intrakutan, subkutan, intramuskular).

Kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI)

Jika pada imunisasi terdahulu timbul kejadian ikutan pasca imunisasi, bagaimana jadwalvaksinasi selanjutnya ?

Jika kejadian ikutan pasca imunisasi hanya ringan, vaksinasi berikutnya dilanjutkansesuai jadwal. Jika mengalami KIPI berat sebaiknya dosis berikutnya tidak dilanjutkan.Jika kejadian ikutan pasca imunisasi DTP cukup berat, dosis berikutnya menggunakanvaksin DT.

Untuk mengurangi kemungkinan KIPI, apakah dibenarkan mengurangi dosismenjadi setengahnya atau menjadi dosis terbagi (split doses) ?

Pengurangan dosis menjadi setengahnya, atau membagi dosis sangat tidak dibenarkan,

Page 192: pedoman imunisasi

Text Box: Daftar Vaksin yang Beredar di Indonesia

karena tidak mengurangi kemungkinan KIPI dan kekebalan yang ditimbulkan tidakmemadai.

Daftar Pustaka

1. Watson C (editor). The Australian Immunisation Handbook 9th ed. NHMRC, 2008.2. Peter G, Lepow ML, McCracken GH, Phillips CF. Report of the Committee on Infectious

Diseases. American Academy of Pediatrics, Illinois 2004.

3. Satgas Imunisasi IDAI. Jadwal Imunisasi Rekomendasi IDAI. Sari Pediatri 2:1, Juni 2000.

Vaksin BioFarma

SanofiPasteur GSK BERNA Wyeth MSD

Hib PRP-T Act-Hib Hiberix

Tifoid Typhim-Vi Thypherix

HepatitisA Avaxim Havrix

720

Varisela Okavax Varilrix Influenza Vaxigrip Fluarix

Pneumo-kokus

Pneumo23

(PPV) Prevenar

(PCV)

Meningo-kokus Mencevax

Kolera Kolera Rabies Rabies Verorab HPV Cervarix Gardasil

Ket* MDV = multidose vial

Page 193: pedoman imunisasi