pekerja rumahan di indonesia hasil dari penelitian ......untuk mewawancarai 3.010 pekerja rumahan...
TRANSCRIPT
Pekerja Rumahan di Indonesia Hasil dari Penelitian Pemetaan Pekerja Rumahan di Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur dan Banten Proyek ILO MAMPU – Akses ke lapangan kerja & pekerjaan yang layak untuk perempuan, 2015
2
Rangkuman eksekutif
Pekerjaan rumahan bukanlah hal baru dan pekerja rumahan seringkali disebut sebagai
‘pekerja sub-kontrak’ di Indonesia. Pekerjaan rumahan adalah suatu kegiatan yang dilakukan
oleh keluarga, sebagian besar perempuan, dari generasi ke generasi, dengan nenek, ibu dan
anak perempuan terlibat dalam pekerjaan rumahan. Meskipun sudah ada untuk waktu yang
lama, mereka sebagian besar tidak terlihat dan tidak dipahami dengan baik. Beberapa upaya
telah dilakukan di masa lalu untuk memahami dan meningkatkan kondisi pekerja rumahan di
Indonesia termasuk penelitian serta kerja-kerja advokasi oleh kelompok-kelompok pekerja
berbasis rumahan yang didukung oleh organisasi internasional dan organisasi masyarakat sipil
terkait. Namun, isu pekerjaan rumahan belum mendapat cukup perhatian para pengambil
kebijakan, pengusaha, serikat pekerja dan masyarakat umum, dan pekerja rumahan tetap
tidak terlihat di statistik resmi dan undang-undang ketenagakerjaan dan kurang ada informasi
tentang kondisi kerja mereka. Juga tidak ada konsensus dan pemahaman bersama tentang
status pekerja rumahan, dan pekerja rumahan seringkali dirancukan dengan pekerja mandiri,
pekerja rumah tangga, atau bahkan seseorang yang melaksanakan beberapa kegiatan untuk
mengisi waktu.
Guna untuk memiliki pemahaman yang lebih baik tentang isu-isu pekerjaan rumahan untuk
perencanaan dan perumusan kebijakan dan program di Indonesia, proyek ILO/MAMPU
berupaya meningkatkan kesadaran tentang pekerjaan rumahan dan meningkatkan
ketersediaan data tentang pekerja rumahan. Proyek bekerja sama secara dekat dengan Badan
Pusat Statistik Indonesia untuk membahas pencantuman pertanyaan tambahan yang
memungkinkan identifikasi pekerja berbasis rumahan dalam kuesioner survei angkatan kerja
rutin. Selain itu, proyek melakukan pemetaan pekerja rumahan di Sumatera Utara, Jawa
Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur dan Banten untuk memperoleh informasi
tentang situasi dan kondisi kerja pekerja rumahan, sehingga informasi tersebut dapat
digunakan oleh para pemangku kepentingan terkait termasuk pengambil kebijakan,
pengusaha, serikat pekerja, Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) dan organisasi pekerja
rumahan dalam upaya mereka meningkatkan kondisi hidup dan kondisi kerja pekerja
rumahan di Indonesia. Penelitian ini menggunakan pendekatan stratified random sampling
untuk mewawancarai 3.010 pekerja rumahan perempuan di 297 desa di enam provinsi di
Indonesia.
Penelitian ini menemukan bahwa pekerja rumahan di Indonesia memiliki beberapa
karakteristik yang sama yang lazim untuk pekerja rumahan di seluruh dunia. Mereka dapat
ditemukan di berbagai industri dan sektor melaksanakan berbagai jenis pekerjaan di rumah
atau di rumah seorang teman. Mereka cenderung memiliki tingkat pendidikan yang lebih
rendah dibandingkan masyarakat pada umumnya, persepsi yang terbatas tentang kesetaraan
gender, dan lebih dari 80 persen perempuan yang diwawancarai sudah menikah di mana
suami mereka memiliki pekerjaan lepas atau jangka pendek di bidang pekerjaan
berketerampilan rendah atau tidak berketerampilan. Penelitian ini juga menemukan
3
perempuan penyandang disabilitas di seluruh provinsi kecuali di Yogyakarta (1 persen dari
perempuan yang diwawancarai). Mereka memasuki pekerjaan rumahan melalui jaringan
sosial misalnya teman dan tetangga dan pekerjaan rumahan merupakan sumber utama
pendapatan mereka. Rata-rata lama bekerja sebagai pekerja rumahan adalah 5 tahun, dan
sekitar separuh dari perempuan yang diwawancarai menyatakan bahwa mereka ingin
mendirikan bisnis sendiri jika diberi kesempatan. Dua puluh persen menyatakan mereka akan
lebih memilih untuk menjadi ibu rumah tangga penuh waktu dan sebagian kecil sampel
mengungkapkan preferensi mereka untuk bekerja di sektor formal atau melanjutkan
pendidikan.
Hampir semua perempuan tidak memiliki kontrak tertulis tetapi 47 persen perempuan
tersebut memiliki perjanjian lisan. Meskipun demikian, para perempuan tersebut bekerja
sesuai dengan pesanan dan spesifikasi dari pemberi kerja atau perantara mereka. Sementara
sebagian diberi instruksi tentang bagaimana cara mengerjakan pekerjaan dengan pelatihan
sambil bekerja, para pekerja perempuan jarang menerima pelatihan. Mayoritas perempuan
menerima bahan baku tetapi kurang lazim bagi pekerja rumahan untuk menerima peralatan
dari pemberi kerja atau perantara mereka, dan mereka tidak mendapatkan kompensasi untuk
biaya terkait produksi. Hampir 60 persen pekerja rumahan memiliki sedikit pengetahuan
tentang perusahaan yang mempekerjakan mereka atau sumber pemberi pesanan produksi.
Delapan belas persen pekerja memproduksi untuk pasar internasional.
Pekerja rumahan dibayar dengan besaran per satuan dan besarannya ditentukan oleh
pemberi kerja tanpa negosiasi. Meskipun jam kerjanya panjang dengan lebih dari 30 persen
perempuan tersebut bekerja lebih dari 48 jam atau lebih per minggu, mendapatkan
penghasilan tepat di atas tingkat kemiskinan dan kurang dari 50 persen dari upah rata-rata.
Sebagian besar pekerja menerima pembayaran pada saat pengiriman produk mereka tetapi
banyak mengalami keterlambatan dalam menerima pembayaran.
Keuntungan utama pekerjaan rumahan meliputi kemampuan untuk memperoleh penghasilan
dan bahwa pekerjaan rumahan memungkinkan mereka untuk melakukan kegiatan ekonomi
atau pengasuhan lainnya. Tantangan utama meliputi penghasilan rendah dan pesanan kerja
yang tidak stabil. Sebagian memandang terbatasnya ruang di rumah karena pekerjaan
rumahan sebagai tantangan.
Sementara sebagian besar pekerja rumahan melaporkan kesehatan yang baik, tetapi masih
melaporkan berbagai keluhan kesehatan termasuk sesekali demam, batuk dan sakit kepala.
Mereka melaporkan bahwa mereka tetap bekerja sekalipun sedang cedera atau sakit.
Mayoritas pekerja rumahan tidak memiliki akses ke program bantuan sosial dan asuransi
sosial pemerintah.
Para pekerja rumahan tidak terhubung dengan baik dengan kelompok yang mendukung hak-
hak di tempat kerja dan kelompok yang paling lazim diikuti oleh pekerja rumahan adalah
kelompok keagamaan tradisional yang biasanya tidak menyediakan platform untuk diskusi
tentang isu-isu terkait pekerjaan. Pekerja rumahan pada umumnya tidak bernegosiasi dengan
pemberi kerja karena khawatir akan kehilangan pekerjaan.
4
Penelitian ini memberikan penjelasan tentang kondisi pekerja rumahan 'yang jelas menunjukkan
perlunya perbaikan. Pekerja rumahan adalah pekerja dan mereka memainkan peran penting dalam
menafkahi keluarga mereka dan mempertahankan mata pencaharian mereka. Pekerja rumahan
seharusnya tidak lagi tak terlihat. Keberadaan dan kontribusi mereka harus diakui sehingga mereka
dapat memiliki peningkatan akses ke perlindungan hukum dan sosial dan berjuang menuju kerja layak.
Dalam hal ini, komitmen yang kuat diperlukan dari semua pihak termasuk pengambil kebijakan,
pengusaha, serikat pekerja, organisasi pekerja rumahan dan organisasi dukungan mereka.
Rekomendasi kunci untuk mempromosikan kerja layak bagi pekerja rumahan di Indonesia adalah
sebagai berikut:
1. Kumpulkan data tentang pekerja rumahan.
2. Kenali pekerja rumahan sebagai pekerja.
3. Berdayakan pekerja rumahan untuk mengatasi defisit kerja layak.
4. Perluas perlindungan sosial untuk pekerja rumahan.
5. Promosikan praktek yang bertanggung jawab dalam rantai pasokan.
6. Promosikan kesetaraan gender dan non-diskriminasi di kalangan masyarakat umum dan
para pemangku kepentingan kunci untuk menciptakan sebuah lingkungan yang
memungkinkan bagi perempuan maupun laki-laki untuk mengakses kerja layak.
5
Daftar isi Rangkuman eksekutif .............................................................................................................................. 2
1. Pendahuluan ................................................................................................................................... 8
1.1 Latar belakang ............................................................................................................................... 8
1.2 Ruang lingkup penelitian pemetaan pekerja rumahan............................................................... 10
1.3 Metodologi dan sampel .............................................................................................................. 12
2. Kerangka regulasi di Indonesia ...................................................................................................... 17
3. Konteks ekonomi dan sosial .......................................................................................................... 18
4. Karakteristik pekerja rumahan perempuan dalam sampel ........................................................... 21
5. Jenis pekerjaan pekerja rumahan ................................................................................................. 28
6. Pengaturan kerja pekerja rumahan .............................................................................................. 30
6.1 Perjanjian kerja ........................................................................................................................... 30
6.2 Tempat kerja ............................................................................................................................... 31
6.3 Spesifikasi, instruksi dan pelatihan ............................................................................................. 31
6.4 Biaya produksi ............................................................................................................................. 33
6.5 Hubungan ke pasar ..................................................................................................................... 35
7. Kondisi kerja pekerja rumahan ..................................................................................................... 38
7.1 Waktu kerja ................................................................................................................................. 38
7.2 Upah pekerja rumahan ............................................................................................................... 39
7.3 Mekanisme pembayaran pekerja rumahan ................................................................................ 43
7.4 Keuntungan dan kesulitan .......................................................................................................... 45
8. Perlindungan sosial dan keselamatan dan kesehatan pekerja rumahan ...................................... 46
9. Asosiasi dan perundingan bersama .............................................................................................. 51
10. Kesimpulan dan rekomendasi ....................................................................................................... 53
Daftar referensi ..................................................................................................................................... 61
Daftar tabel
Tabel 1: Deskripsi sampel menurut geografi ....................................................................................... 13
Tabel 2: Indikator penduduk, kemiskinan dan ketidaksetaraan, 2013 .............................................. 19
Tabel 3: Indikator kunci PDB regional, 2013 ....................................................................................... 19
Tabel 4: Indikator kunci pasar kerja .................................................................................................... 20
Tabel 5: Tingkat pendidikan pekerja rumahan berbanding dengan rata-rata provinsi (persen) ...... 21
Tabel 6: Karakteristik sampel kunci ..................................................................................................... 22
Tabel 7: Rata-rata ukuran rumah tangga dan usia perkawinan ......................................................... 23
Tabel 8: Sikap terhadap kesetaraan gender (%) ................................................................................. 24
Tabel 9: Kegiatan utama responden selama bulan sebelumnya ........................................................ 26
Tabel 10: Jumlah tahun sebagai pekerja rumahan ............................................................................. 27
Tabel 11: Pekerjaan menurut sub-sektor industri untuk pekerja rumahan ....................................... 28
6
Tabel 12: Contoh kegiatan per klasifikasi industri .............................................................................. 29
Tabel 13: Pekerjaan pekerja rumahan ................................................................................................. 30
Tabel 14: Jenis perjanjian pekerja rumahan ....................................................................................... 31
Tabel 15: Pekerja rumahan mendapatkan spesifikasi atau instruksi ................................................. 32
Tabel 16: Pekerja rumahan mendapatkan pelatihan .......................................................................... 32
Tabel 17: Pekerja rumahan menerima bahan ..................................................................................... 33
Tabel 18: Pekerja rumahan yang menerima peralatan....................................................................... 34
Tabel 19: Pengetahuan pekerja rumahan tentang perusahaan untuk mana mereka memproduksi
.............................................................................................................................................................. 36
Tabel 20: Rata-rata waktu kerja pekerja rumahan dibandingkan dengan rata-rata provinsi ........... 38
Tabel 21: Rata-rata jam kerja untuk pekerja rumahan dan perempuan di angkatan kerja .............. 38
Tabel 22: Rata-rata jam kerja per minggu menurut sektor untuk pekerja rumahan ........................ 39
Tabel 23: Upah bulanan rata-rata pekerja rumahan (Rp.) ................................................................. 40
Tabel 24: Upah rata-rata di sektor manufaktur untuk karyawan biasa dan pekerja rumahan (Rp.) 41
Tabel 25: Upah rata-rata menurut sektor untuk pekerja rumahan (Rp.)........................................... 41
Tabel 26: Contoh besaran upah per satuan ........................................................................................ 43
Tabel 27: Waktu pembayaran dan pekerjaan rumahan ..................................................................... 45
Tabel 28: Kesulitan yang dihadapi oleh pekerja rumahan ................................................................. 46
Tabel 29: Pekerja rumahan yang mendapat program bantuan dan asuransi sosial.......................... 47
Tabel 30: Hari-hari yang hilang karena kecelakaan kerja oleh pekerja rumahan .............................. 49
Tabel 31: Pekerja rumahan dan perundingan ..................................................................................... 52
Daftar gambar
Gambar 1: Pasar untuk mana pekerja rumahan memproduksi ......................................................... 37
Daftar kotak
Kotak 1: Definisi dua kategori pekerja berbasis rumahan .................................................................. 10
Kotak 2: Pekerjaan informal: Hirarkhi penghasilan dan resiko kemiskinan menurut status kerja dan
jenis kelamin ......................................................................................................................................... 11
Kotak 3: Mengapa saya memulai menjadi pekerja rumahan ............................................................. 27
Kotak 4: Hubungan rantai pasokan: kasus Ibu Dina, Banten .............................................................. 36
Kotak 5: Kasus Ibu Samiah dan Ibu Hani di Banten dan Ibu Sintha dan Ibu Lilis di Sumatera Utara42
Kotak 6: Pekerja rumahan dan negosiasi di Jawa Barat ..................................................................... 52
Kotak 7: Pekerja rumahan dan negosiasi di Banten ........................................................................... 53
Daftar singkatan
APINDO Asosiasi Pengusaha Indonesia BPJS Badan Penyelenggara Jaminan Sosial BPS Badan Pusat Statistik ILO International Labour Organization (Organisasi Perburuhan Internasional) Kemenaker Kementerian Tenaga Kerja PDB Produk Domestik Bruto Rp. Rupiah UKM Usaha Kecil dan Menengah
7
Sakernas Survei Angkatan Kerja Nasional Susenas Survei Sosial Ekonomi Nasional USD United States Dollar
Ucapan terima kasih Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari Proyek ILO/MAMPU yang didanai oleh Australia tentang Akses Perempuan ke Lapangan Kerja dan Kerja Layak di Indonesia. Penelitian ini merupakan sebuah upaya kolaboratif oleh:
Tim ILO/MAMPU, Aya Matsuura, Kepala Penasehat Teknis, Novita Hendrina, National
Officer di Medan, Hirania Cornelia, National Officer bidang Monitoring dan Evaluasi
dan Berbagi Pengetahuan, Agnes Gurning, National Officer bidang Gender, Advokasi
dan Pengorganisasian, Tolhas Damanik, National Officer bidang Sektor Swasta dan
Disabilitas, Lilis Suryani, National Officer di Surabaya, Maya Iskarini, asisten
Administrasi dan Keuangan, Nun Zairida, asisten Administrasi.
Para penulis laporan, Emma Allen, Ekonom Pasar Kerja ILO di Jakarta, Elisabeth
Siahaan, Universitas Sumatera Utara, Y. Wasi Gede Puraka, INKRISPENA di Jakarta,
Institute for Research and Empowerment (IRE) di Yogyakarta dan Centre for Human
Rights Studies of University of Surabaya (CHRUS) di Jawa Timur.
Para petugas Survey yang berasal dari pusat-pusat penelitian yang bekerja sama, serta Mitra Pelaksana Proyek, BITRA dan MWPRI.
Penelitian ini mendapatkan manfaat dari masukan berharga yang diberikan oleh berbagai kolega dan terima kasih sebanyak-banyaknya disampaikan kepada:
Nelien Haspels, Spesialis Gender Senior, ILO Bangkok
Joni Simpson, Spesialis Gender, ILO Bangkok
Sukti Dasgupta, Ekonom Senior, ILO Bangkok
Raphael Crowe, Spesialis Gender Senior, ILO Jenewa
Robert Kyloh, Penasehat Ekonomi Senior, ILO Jenewa
Mustafa Hakki Ozel dan David Hunter, Badan Statistik ILO Proyek juga mengucapkan terima kasih kepada para pekerja rumahan yang meluangkan waktu untuk berperan serta di dalam penelitian ini berbagi pengalaman dan cerita mereka.
Tentang para penulis Emma Allen adalah penulis utama laporan ini. Dia adalah seorang ekonom pasar kerja di Kantor ILO Jakarta. Dia fokus pada isu-isu yang berkaitan dengan promosi ketenagakerjaan, dengan fokus khusus pada kebijakan ketenagakerjaan, analisis pasar kerja dan tren ketenagakerjaan. Dia menyelesaikan pendidikan doktoralnya di bidang ekonomi makro, dengan spesialisasi di bidang kebijakan ketenagakerjaan dan penilaian kebijakan berbasis bukti.
8
Dr Elisabeth Siahaan, SE, M.Ec, mendukung pengumpulan data dan pengembangan laporan ini untuk Sumatera Utara. Dia adalah seorang dosen di Jurusan Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Sumatera Utara. Penulis diakui sebagai staf pengajar profesional oleh IPB. Penulis telah menerbitkan banyak makalah penelitian khususnya di bidang pengembangan usaha. Y. Wasi Gede Puraka, S.Sos, M.Hum, mendukung pengumpulan data dan pengembangan laporan ini untuk Jawa Barat dan Banten. Dia adalah Direktur Eksekutif INKRISPENA (Pusat Penelitian Krisis dan Strategi Pengembangan Alternatif). Penulis merupakan staf pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia dan menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Serikat Pekerja Universitas Indonesia. Bidang penelitiannya mencakup hubungan kerja, konflik sosial, filsafat sosial, dan monitoring dan evaluasi. The Institute for Research and Empowerment (IRE) mendukung pengumpulan data dan pengembangan laporan ini untuk Jawa Tengah dan Yogyakarta. Sukasmanto, SE, M.Si, merupakan peneliti utamanya dan dia memiliki Gelar Sarjana dan Master di bidang Manajemen dari Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada. Fokus penelitiannya adalah pada usaha kecil menengah (UKM), kewirausahaan sosial, manajemen keuangan, dan manajemen keuangan publik. Dina Mariana, Weningtyas Kismorodati, Muhammad Imam Zamroni, Sunaryo Hadi Wibowo dan Bridget Keenan, yang juga bekerja di IRE, mendukung pengumpulan data dan tugas-tugas analisis untuk laporan ini. The Centre for Human Rights Studies of University of Surabaya (CHRUS) mendukung pengumpulan data dan pengembangan laporan ini untuk Jawa Timur. Dian Noeswantari merupakan peneliti utamanya dan dia berpengalaman dalam penelitian yang berkaitan dengan anak-anak, perempuan, gender, usaha, lingkungan, dan hak asasi manusia. Aloysia Vira Herawati, Inge Christanti, dan Joaquim Valentino Lede Rohi, yang juga bekerja di CHRUS, mendukung pengumpulan data dan tugas-tugas analisis untuk laporan ini.
1. Pendahuluan
1.1 Latar belakang
Pekerjaan rumahan bukanlah hal baru dan pekerja rumahan seringkali disebut sebagai
‘pekerja sub-kontrak’ di Indonesia. Pekerjaan rumahan adalah suatu kegiatan yang dilakukan
oleh keluarga, sebagian besar perempuan, dari generasi ke generasi, dengan nenek, ibu dan
anak perempuan terlibat dalam pekerjaan rumahan. Ada penelitian yang menyatakan bahwa
pekerjaan rumahan sudah ada sejak tahun 1928 di industri tekstil1. Meskipun sudah ada
untuk waktu yang lama, mereka sebagian besar tidak terlihat dan tidak dipahami dengan baik
1 M. Oey-Gardiner, E. Suleeman, I. Tjandraningsih, W. Hartanto dan H. Wijaya (2007), “Women and children homeworkers in Indonesia”, S. Mehrotra dan M. Biggeri (2007), “Asian Informal Workers. Global risks, local protection”, (Routledge, AS dan Kanada).
9
tetapi sebagian orang berpendapat bahwa pekerjaan rumahan merupakan fenomena
signifikan di pasar kerja2.
Sementara pekerjaan rumahan merupakan sumber pendapatan penting bagi banyak orang,
dan pekerja rumahan memberi kontribusi penting untuk kesejahteraan keluarga dan
masyarakat, mereka menghadapi berbagai tantangan dalam meningkatkan kondisi hidup dan
kerja. Pekerjaan rumahan ditandai dengan upah rendah dan jam kerja panjang. Mereka
bekerja di rumah terisolasi dari orang lain, sehingga mereka memiliki akses terbatas ke
informasi dan sumber daya lainnya dan kurang memiliki suara dan perwakilan untuk berjuang
menuju kerja layak. Mereka juga memiliki perlindungan hukum dan sosial yang terbatas dan
mereka merupakan salah satu pekerja paling tidak beruntung.
Telah ada upaya-upaya untuk meningkatkan keterlihatan mereka dan meningkatkan kondisi
kerja mereka di Indonesia sejak sekitar tahun 1990-an, tetapi perhatian terhadap isu-isu
pekerja rumahan tidak selalu berkelanjutan. Dari tahun 1988-1996, ILO melaksanakan sebuah
proyek regional yang meliputi Indonesia, Filipina dan Thailand yang menyasar pekerja
perempuan miskin di daerah perdesaan atau migran di daerah perkotaan yang bekerja dalam
pekerjaan rumahan dengan dukungan dari Pemerintah Denmark. Proyek ini bertujuan untuk
memiliki data dan meningkatkan kesadaran dan pengakuan terhadap pekerjaan rumahan di
kalangan pihak-pihak terkait, mempromosikan pemberlakuan efektif undang-undang dan
kebijakan ketenagakerjaan terkait dan mendorong organisasi pekerja rumahan perempuan3.
Pada tahun 1996, beberapa LSM4 dan akademisi5 mendirikan Mitra Wanita Pekerja Rumahan
Indonesia (MWPRI) di Malang, Jawa Timur dengan tujuan untuk memperbaiki situasi sosial-
ekonomi pekerja berbasis rumahan dan pekerja perekonomian informal Indonesia. Sejak itu,
MWPRI telah terlibat dalam pengembangan organisasi PR dan mewakili PR di tingkat lokal,
nasional, sub-regional dan internasional, meskipun skala kegiatannya bergantung pada
ketersediaan sumber daya eksternal6. Beberapa penelitian terkait dengan pekerja rumahan
telah dilakukan di masa lalu tetapi sebagian besar berskala kecil dan menerapkan berbagai
definisi berbeda tentang pekerja rumahan, yang meliputi pekerja keluarga tidak dibayar atau
pekerja mandiri, dan data komprehensif tentang pekerja rumahan sebagaimana didefinisikan
di Konvensi Pekerjaan Rumahan No. 177 (1996) tidak tersedia untuk memberikan
pemahaman yang lebih baik tentang situasi pekerja rumahan di Indonesia. Oleh karena itu,
isu-isu pekerjaan rumahan sebagian besar tetap tak terlihat dan pemahaman berbeda
tentang situasi dan status pekerja rumahan adalah lumrah hingga saat ini di Indonesia.
Pada tahun 2012, ILO menjadi bagian dari MAMPU (Maju Perempuan Indonesia untuk
Penanggulangan Kemiskinan), sebuah program kerjasama Pemerintah Indonesia dan
Australia, untuk meningkatkan akses ke pekerjaan dan perlindungan sosial dan mata
2 Ibid. 3 ILO (1994), “Home work”, (ILO, Jenewa). 4 Yayasan Pengembangan Pedesaan, Yayasan Bina Swadaya Yogyakarta, Yayasan Pemerhati Sosial Indonesia, dan Lembaga Daya Darma. 5 LPM Universitas Merdeka. 6 N. Haspels dan A. Matsuura (2015), “Home-based workers: Decent work and social protection through organization and empowerment. Experiences, good practices and lessons from home-based workers and their organizations”, (ILO, Jakarta).
10
pencaharian bagi perempuan miskin di Indonesia di wilayah geografis terpilih. Berdasarkan
penilaian awal dan konsultasi dengan berbagai pemangku kepentingan, proyek ILO/MAMPU
bekerjasama dengan konstituen ILO tripartit (Kementerian Tenaga Kerja, APINDO, dan Serikat
Pekerja) mulai fokus pada peningkatan kondisi kerja pekerja rumahan, termasuk perempuan
penyandang disabilitas di dalam pekerjaan berbasis rumahan pada tahun 2014.
Menyadari perlunya data tentang pekerja rumahan untuk meningkatkan keterlihatan mereka
dan agar memiliki pemahaman yang jelas tentang kondisi kerja mereka, kegiatan proyek
ILO/MAMPU mencakup peningkatan kesadaran tentang pekerjaan rumahan dan peningkatan
ketersediaan data tentang pekerja rumahan. Untuk meningkatkan ketersediaan data, proyek
bekerja sama dengan Badan Pusat Statistik Indonesia untuk membahas pencantuman
pertanyaan-pertanyaan tambahan yang memungkinkan identifikasi pekerja berbasis
rumahan dalam kuesioner survei angkatan kerja rutin. Selain itu, proyek melakukan
pemetaan pekerja rumahan di provinsi-provinsi terpilih untuk mendapatkan informasi
tentang situasi dan kondisi kerja pekerja rumahan, sehingga informasi tersebut dapat
digunakan oleh para pemangku kepentingan terkait termasuk para pengambil kebijakan,
pengusaha, serikat pekerja, Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) dan organisasi pekerja
rumahan dalam upaya mereka meningkatkan kondisi hidup dan kerja pekerja rumahan di
Indonesia. Laporan ini menyajikan temuan-temuan dari penelitian pemetaan tersebut.
1.2 Ruang lingkup penelitian pemetaan pekerja rumahan
Proyek ILO/MAMPU bekerja sama dengan para peneliti nasional untuk melaksanakan
penelitian pemetaan pekerja rumahan di Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah,
Yogyakarta, Jawa Timur, dan Banten antara akhir tahun 2014 dan awal tahun 2015. Fokus
penelitian ini adalah untuk memahami situasi dan kondisi kerja pekerja rumahan, dan ini
berguna untuk memahami perbedaan antara pekerja berbasis rumahan mandiri dan pekerja
berbasis rumahan bergantung (yang disebut sebagai pekerja rumahan) (Kotak 1).
Kotak 1: Definisi dua kategori pekerja berbasis rumahan
Ada dua kategori dasar pekerja berbasis rumahan. Pembedaan ini penting dalam memahami tantangan yang dihadapi oleh para pekerja ini:
Pekerja berbasis rumahan mandiri menanggung seluruh resiko menjadi operator mandiri. Mereka membeli sendiri bahan baku, persediaan, dan peralatan, dan membayar biaya utilitas dan transportasi. Mereka menjual sendiri barang jadi mereka, utamanya ke pelanggan dan pasar lokal tetapi kadang-kadang ke pasar internasional. Sebagian besar tidak mempekerjakan orang lain tetapi mungkin memiliki anggota keluarga tidak dibayar bekerja dengan mereka.
Pekerja berbasis rumahan sub-kontrak (disebut pekerja rumahan) dikontrak oleh pengusaha perorangan atau perusahaan, seringkali melalui perantara. Mereka biasanya diberi bahan baku dan dibayar per satuan. Mereka biasanya tidak menjual barang jadi. Namun, mereka sesungguhnya menanggung banyak biaya produksi: tempat kerja, peralatan, persediaan, utilitas, dan transportasi. Pekerja rumahan bukan pekerja rumah tangga yang bekerja di atau untuk rumah tangga melaksanakan tugas-tugas kerumahtanggaan. Mereka juga berbeda dengan pekerja berbasis rumah mandiri yang bekerja di rumah secara mandiri.
11
Sumber: WIEGO, home-based workers, http://wiego.org/informal-economy/occupational-
groups/home-based-workers (diakses November 2015); N. Haspels dan A. Matsuura (2015), “Home-
based workers: Decent work and social protection through organization and empowerment.
Experiences, good practices and lessons from home-based workers and their organizations”, (ILO,
Jakarta).
Kotak 2: Pekerjaan informal: Hirarkhi penghasilan dan resiko kemiskinan menurut status kerja dan jenis kelamin
Sumber: L. Lim: Extending livelihood opportunities and social protection to empower poor urban
informal workers in Asia. A multi-country study: Bangladesh, Indonesia, Nepal, Pakistan, Philippines,
and Thailand, (Oxfam for Asia Development Dialogue, Thailand, 2015).
Pada kenyataannya, pekerja rumahan dan pekerja mandiri memiliki banyak ciri yang sama,
misalnya ketidaktentuan kerja, pendapatan rendah, kondisi kerja dan hidup yang buruk yang
seringkali di rumah di bawah standar dan kurangnya akses ke layanan dukungan publik atau
swasta7. Kedua kelompok tersebut juga kurang memiliki suara dalam pengambilan keputusan
tentang kebijakan dan layanan publik yang sangat penting untuk produktivitas mereka,
7 N. Haspels dan A. Matsuura (2015), “Home-based workers: Decent work and social protection through organization and empowerment. Experiences, good practices and lessons from home-based workers and their organizations”, (ILO, Jakarta).
12
misalnya kebijakan alokasi lahan dan perumahan, serta layanan infrastruktur dan transportasi
dasar8. Namun, penelitian ini fokus pada pekerja berbasis rumahan sub-kontrak (pekerja
rumahan) untuk menangani perlunya meningkatkan keterlihatan pekerja rumahan, yang
seringkali dirancukan dengan pekerja mandiri yang dianggap memiliki kendali dalam
mengelola pekerjaan mereka, dan bertanggung jawab untuk membuat perbaikan, sementara
pekerja rumahan dalam kenyataannya tidak memiliki tingkat kendali yang sama dan sangat
tergantung dan rentan.
1.3 Metodologi dan sampel
Sampel penelitian ini didasarkan pada pendekatan stratified random sampling dan terdiri dari
3.010 pekerja rumahan di desa-desa yang dipilih secara acak di enam provinsi di Indonesia,
meliputi:
Sumatera Utara: sampel 300 pekerja rumahan.
Jawa Barat: sampel 804 pekerja rumahan.
Jawa Tengah: sampel 780 pekerja rumahan.
Yogyakarta: sampel 80 pekerja rumahan.
Jawa Timur: sampel 710 pekerja rumahan.
Banten: sampel 336 pekerja rumahan.
Populasi survei penelitian ini mengacu pada pekerja rumahan perempuan. Sebagai langkah
pertama dalam proses sampling, enam provinsi dipilih karena insiden tingginya angka
mempekerjakan perempuan di sektor manufaktur menurut statistik resmi dari survei
angkatan kerja Indonesia. Mengikuti pendekatan ini, kabupaten-kabupaten di provinsi-
provinsi ini dipilih secara acak berdasarkan tingginya angka mempekerjakan perempuan di
sektor manufaktur menurut data dari survei angkatan kerja bulan Agustus 2014, yang
menghasilkan pemilihan 297 desa di dalam 104 kecamatan yang berada di 37 kabupaten.
Rata-rata 10 pekerja rumahan diwawancarai per desa. Berdasarkan perkiraan dari survei
angkatan kerja, ukuran sampel per kabupaten ditetapkan setara dengan 0,1%
mempekerjakan perempuan di sektor manufaktur di kabupaten-kabupaten tersebut.
Karena survei angkatan kerja tidak memberikan informasi geografis di bawah tingkat
kabupaten, kecamatan (dan desa) di dalam kabupaten-kabupaten tersebut dipilih secara acak
dengan menggunakan data dari survei Badan Pusat Statistik Indonesia terhadap perusahaan
besar dan menengah di sektor manufaktur. Pangkalan data untuk survei ini mencantumkan
sebuah daftar berisi alamat semua perusahaan yang terdaftar secara formal di seluruh
Indonesia dan informasi tentang jumlah pekerja yang mereka pekerjakan dan klasifikasinya
sesuai dengan klasifikasi industri berstandar internasional.
Sampel disiapkan dengan menggunakan alamat yang dirinci di dalam survei perusahaan besar
dan menengah di sektor manufaktur dari Badan Pusat Statistik Indonesia. Data perusahaan
dipilah menurut apakah perusahaan tersebut merupakan industri yang padat sumber daya
8 Ibid.
13
(resource intensive), padat karya (labour intensive) ataukah padat modal (capital intensive) di
dalam sektor manufaktur, serta apakah merupakan perusahaan berukuran besar (100+
karyawan) ataukah menengah (20-99 karyawan).9 Kecamatan kemudian dipilih secara acak
berdasarkan keberadaan perusahaan besar dalam industri yang padat sumber daya, karya
dan modal dengan asumsi bahwa pekerja rumahan merupakan bagian dari rantai pasokan
perusahaan-perusahaan besar di industri tersebut. Para peneliti diberi daftar perusahaan
lengkap dengan alamatnya per kecamatan yang digunakan sebagai titik acuan untuk
mengidentifikasi desa-desa di daerah-derah di sekitar pabrik sampel yang akan didekati
untuk mewawancarai pekerja rumahan. Setelah peneliti di desa-desa sasaran, mereka
mencari pekerja rumahan menggunakan berbagai strategi. Misalnya, peneliti menghubungi
pemerintah setempat, LSM yang bekerja dengan pekerja rumahan atau pekerja
perekonomian informal lainnya dan para tokoh desa dan menjelaskan tentang pekerjaan
rumahan, dan meminta mereka untuk memperkenalkan para warga desa yang melaksanakan
pekerjaan rumahan.
Dengan mempertimbangkan bahwa jumlah pekerja rumahan di setiap desa yang diidentifikasi
di dalam sampel tidak konsisten dan pekerja rumahan tidak ditemukan di setiap desa yang
termasuk dalam sampel, maka jumlah pekerja rumahan yang diwawancarai per desa
disesuaikan di lokasi. Jika tidak ditemukan pekerja rumahan, atau jumlah pekerja rumahan
perempuan di satu desa kurang dari kuota sampel yang diperlukan, maka proses
mengidentifikasi dan mewawancarai pekerja rumahan dilanjutkan di desa terdekat di dalam
kecamatan yang sama. Tabel 1 merangkum deskripsi sampel menurut lokasi geografis. Perlu
dicatat bahwa daerah-daerah yang dimasukkan di dalam sampel memiliki sejumlah besar
perusahaan yang bekerja di sektor manufaktur. Banyak kabupaten ini juga memiliki tingkat
pertumbuhan ekonomi lebih tinggi karena lebih besarnya tingkat kegiatan usahanya.
Tabel 1: Deskripsi sampel menurut geografi Sumatera
Utara Kecamatan Desa
Sampel
Perkotaan
Perdesaa
n Jawa Barat Kecamatan Desa
Sampel
Perkotaan
Perdesaa
n
Deli Serdang
Percut Sei Tuan
Bandar Khalifa 26 1
Bogor Regency
Babakan Madang
Cipambuan 11 1
Sambirejo Timur
8 1 Kudu Manggu 9 1
Kenangan Baru 5 1 Sukaraja 10 1
Tembung 10 1
Cileungsi
Cileungsi 16 1
Sunggal
Purwodadi 11 1 Narogong 13 1
Payageli 7 1 Pasir Angin 8 1
Muliorejo 3 1
Citereup
Citeureup 3 1
Tanjung Morawa
Dalu 3 1 Gunung Sari 3 1
Tanjung Morawa
10 1 Luwinutuk 3 1
Dagang Gelambir
7 1 Pasir Mukti 2 1
Medan
Medan Deli
Tanjung Mulia 12 1 Puspanegara 15 1
Mabar Hilir 13 1 Sanja 7 1
Mabar 12 1 Sukahati 10 1
Medan Johor
Kedai Durian 13 1 Tajur 3 1
Pangkalan Masyur
1 1 Tarikolot 3 1
Titi Kuning 9 1
Gunung Putri
Bojong Nangka 8 1
Serdang Berdagai
Teluk Mengkudu
Bogak Besar 11 1 Cicadas 13 1
Sialang Buah 10 1 Gunung Putri 10 1
Pekan Sialang Buah
9 1 Nagrag 4 1
Pematang Siantar
Siantar Marihat
Parhorasan Nauli
13 1 Tlajung Udik 7 1
9 Sebagian pekerja rumahan yang terkait dengan penelitian ini terhubung dengan usaha mikro dan kecil melalui modalitas sub-kontrak, tetapi kerangka sampel ditentukan dengan menggunakan survei Badan Pusat Statistik Indonesia tentang usaha besar dan menengah.
14
Siantar Nagori
Sejahtera 10 1 Wanaherang 4 1
Siantar Utara
Sigulang-gulang 7 1 Klapa Nunggal Bojong 3 1
Binjai
Binjai Utara Jatinegara 6 1
Kabupaten Sukabumi
Cicurug
Nanggerang 17 1
Binjai Selatan
Sukamaju 9 1 Tenjo Ayu 11 1
Asahan Tanjungbala
i
Asahan Mati 5 1
Cidahu
Cidahu 15 1
Bagan Asahan Induk
11 1 Giri Jaya 19 1
Bagan Asahan Pekan
15 1 Jaya Bakti 18 1
Tanjung Balai
Tanjung Balai Utara
Kuala Silo Bestari
30 1 Nanggerang 1 1
Tebing Tinggi
Bajenis Pelita 5 1
Kabupaten Bandung
Cikancung
Ciluluk 17 1
Tebing Tinggi Kota
Badak Bejuang 10 1 Hegarmanah 19 1
Jawa Tengah Kecamatan Desa Sampe
l Perkotaan
Perdesaa
n Tanjunglaya 11 1
Banyumas
Ajibarang
Ciberung 11 1
Dayeuh Kolot
Cangkuang Wetan 10 1
Karang Bawang 10 1 Citeureup 9 1
Pandansari 9 1 Pasawahan 32 1
Karang Lewas
Karang Gude Kulon
10 1
Majalaya
Balekambang 1 1
Pasir Wetan 10 1 Biru 45 1
Purwokerto Selatan
Karang Klesem 6 1 Majasetra 1 1
Purwokerto Kulon
2 1 Padaulun 5 1
Teluk 22 1 Sukamaju 5 1
Cilacap
Cilacap Selatan
Cilacap 1 1 Sukamukti 1 1
Tambakreja 8 1
Margahayu
Margahayu Selatan 4 1
Karang Pucung
Cidadap 9 1 Margahayu Tengah 11 1
Gunung Telu 11 1 Sayati 7 1
Sindang Barang 10 1 Sukamenak 20 1
Kroya
Bajing Kulon 8 1
Kabupaten Karawang
Klari
Duren 3 1
Pekuncen 10 1 Duren Kosambi 5 1
Pucung Kidul 11 1 Duseh 3 1
Pucung Lor 12 1 Gintung Kerta 15 1
Jepara
Batealit Bantrung 13 1 Pancawati 17 1
Samosari 9 1 Walahar 11 1
Jepara Bandengan 6 1 Teluk Jambe
Timur
Sukaluyu 6 1
Kedungcino 16 1 Wadas 24 1
Tahunan
Krapyak 15 1
Kabupaten Bekasi
Cibitung
Cibuntu 15 1
Mantingan 10 1 CIbuntu 6 1
Tahunan 8 1 Wanasari 19 1
Welahan
Karanganyar 12 1 Cikarang Selatan
Cibatu 12 1
Kendengsidialit 11 1
Cikarang Utara
Karang Asih 11 1
Teluk Wetan 10 1 Karang Baru 17 1
Kebumen
Karanganyar Grenggeng 11 1 Mekar Mukti 13 1
Sidomulyo 11 1 Mekarmukti 1 1
Kebumen
Bandung 11 1 Pasir Gombong 9 1
Gemeksekti 12 1
Tambun Selatan
Jati Mulya 13 1
Jemur 10 1 Lambang Jaya 12 1
Kuwarasan
Kuwaru 11 1 Mangun Jaya 13 1
Lemah Duwur 11 1 Tambun 13 1
Pondok Gerbangsari
11 1
Kota Bandung
Andir
Ciroyom 4 1
Prembun
Prembun 10 1 Dungus Cariang 31 1
Sembir Kadipaten
12 1 Garuda 1 1
Klaten
Karanganom
Kunden 12 1 Kebon Jeruk 4 1
Ngabeyan 11 1 Maleger Utara 1 1
Tarubasan 6 1
Bandung Kulon
Cigondewah Kaler 6 1
Klaten Tengah
Buntalan 9 1 Cigondewah Rahayu 7 1
Semangkak 12 1 Cijerah 11 1
Prambanan
Bugisan 12 1 Warung Muncang 17 1
Cucukan 5 1 Cinambo
Babakan Penghulu 20 1
Kemudo 13 1 Cisaranten Wetan 20 1
Kudus
Dawe Lau 10 1
D I Yogyakarta
Kecamatan Desa Sampe
l Perkotaan
Perdesaa
n
Soco 10 1
Bantul
Piyungan Sitimulyo 9 1
Gebog
Karang Malang 10 1 Srimartani 11 1
Klumpit 10 1
Sewon
Bangun Harjo 10 1
Padurenan 10 1 Panggungharjo 12 1
Kaliwungu
Banget 10 1 Timbulharjo 8 1
Blimbing Kidul 10 1
Sleman Berbah
Jogotirto 9 1
Kedung Dowo 10 1 Kalitirto 5 1
Purbalingga
Kaligondang
Brecek 10 1 Tegaltirto 16 1
Kalikajar 10 1 Jawa Timur Kecamatan Desa Sampe
l Perkotaan
Perdesaa
n
Penaruban 9 1
Sidoarjo Taman
Sambibulu 10 1
Padamara
Bojanegara 11 1 Wage 12 1
Karanggambas 10 1 Kalijaten 8 1
Padamara 10 1 Kletek 5 1
Purbalingga Purbalingga
Wetan 10 1 Krembangan 15 1
15
Wirasana 10 1 Gedangan
Keboansikep 11 1
Kabupaten Semarang
Bawen
Asinan 4 1 Punggul 10 1
Bawen 16 1
Waru
Wedoro 10 1
Doplang 10 1 Wadungasri 6 1
Bergas
Gondoriyo 13 1 Berbek 4 1
Karangjati 9 1 Tambakrejo 10 1
Waringin Putih 8 1 Jabon
Trompoasri 13 1
Pringapus Derekan 9 1 Panggreh 7 1
Wonoyoso 11 1 Sidoarjo
Lemah Putro 10 1
Kota Semarang
Genuk
Banjardowo 10 1 Bluru Kidul 9 1
Genuksari 11 1
Surabaya
Tandes
Manukan Wetan 10 1
Karangroto 9 1 Manukan Kulon 10 1
Ngaliyan
Bringin 8 1 Balongsari 10 1
Podorejo 17 1 Tambaksari
Gading 19 1
Tambak aji 5 1 Rangkah 11 1
Semarang Utara
Bandarharjo 10 1 Lakarsantri
Sumurwelut 10 1
Panggung Kidul 10 1 Lidah Kulon 10 1
Banten Kecamatan Desa Sampe
l Perkotaan
Perdesaa
n Gunung Anyar
Rungkut Tengah 10 1
Kota Tangerang
Batu Ceper
Batu Ceper 15 1 Gunung Anyar 10 1
Batu Jaya 17 1
Jember
Ambulu Karanganyar 9 1
Batu Sari 16 1 Sabrang 14 1
Cikupa
Bitung Jaya 5 1 Silo
Silo 24 1
Bojong 2 1 Harjomulyo 3 1
Cibadak 7 1 Ledokombo
Sumber Lesung 9 1
Cikupa 1 1 Slateng 11 1
Pasir Gadung 5 1
Banyuwangi
Muncar _ _ _ _
Pasir Jaya 5 1 Kalipuro
Kalipuro 22 1
Sukamulya 9 1 Gombengsari 8 1
Talagasari 16 1
Genteng
Genteng Kulon 7 1
Karawaci
Bugel 13 1 Genteng Wetan 20 1
Grendeng 11 1 Kembiritan 13 1
Margasari 12 1
Gresik
Menganti Gempolkurung 10 1
Pabuaran 14 1 Laban 10 1
Periuk Periuk 5 1 Kebomas
Sidomukti 18 1
Kabupaten Tangerang
Cikupa
Bitung Jaya 4 1 Kawisanyar 2 1
Sukamulya 1 1
Wringinanom
Kesamben Kulon 10 1
Talagasari 48 1 Mondoluku 10 1
Curug
Binong 11 1 Soko 10 1
Cukangngalih 10 1
Kabupaten Pasuruan
Gempol
Randupitu 6 1
Curug Kulon 15 1 Karang Rejo 14 1
Curug Wetan 2 1 Legok 22 1
Dukuh 2 1 Kejapanan 1 1
Kadu Sempur 13 1 Pandaan
Sebani 18 1
Sukabakti 14 1 Kebonwaris 7 1
Pasar Kemis
Gelam Jaya 13 1 Purwodadi Sentul 2 1
Kotabumi 7 1
Kabupaten Kediri
Plemahan Mejono 14
Kuta Jaya 1 1 Puhjarah 3 1
Pangadegan 9 1 Wates Janti 5 1
Pangadokan Kidul
5 1
Pare
Bendo 30 1
Pasar Kemis 7 1 Sumber Bendo 5 1
Sindang asih 1 1 Pare 8 1
Sindang Jaya 1 1 Tertek 1 1
Sindang Sari 7 1 Pelem 4 1
Suka Asih 12 1
Kota Malang
Sukun
Pisang Candi 2 1
Tanjung Rejo 6 1
Bakalan Krajan 5 1
Cipto Mulyo 3 1
Blimbing Bale Arjosari 24 1
Kabupaten Malang
Singosari Gunung Rejo 9 1
Candi Renggo 13 1
Lawang Ketindan 12 1
Sumber Ngepoh 6 1
Kabupaten Mojokerto
Ngoro Kembangsri 10 1
Ngoro 20 1
Trowulan Jatipasar 10 1
Sumber: Data survei.
Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah melalui wawancara dan diskusi
kelompok terarah (focus group discussion). Petugas survei diberi pelatihan tentang konsep-
konsep kunci yang berkaitan dengan survei ini termasuk definisi pekerja rumahan dan rantai
nilai. Untuk menentukan apakah orang yang diidentifikasi memang pekerja rumahan ataukah
bukan, petugas survei mengajukan beberapa pertanyaan penyaringan terkait dengan
pekerjaan responden untuk memverifikasi status mereka sebagai pekerja rumahan sebelum
16
memulai wawancara. Karena para pekerja rumahan biasanya hidup saling berdekatan, pada
umumnya hanya ditemukan 2 atau 3 jenis pekerjaan rumahan di satu desa.
Sementara beberapa langkah diambil untuk meningkatkan kekokohan desain penelitian,
penelitian ini menghadapi beberapa keterbatasan. Khususnya, tidak ada data tentang pekerja
rumahan termasuk kerangka pengambilan sampel di Indonesia. Ini membatasi penggunaan
sampling acak dalam desain penelitian, dengan lokasi yang dipilih secara acak sedangkan
individu yang diwawancarai dipilih secara acak di lokasi. Selain itu, penelitian ini tidak dapat
memperoleh informasi untuk mmenggambarkan hubungan rantai pasokan secara jelas
karena tidak mungkin untuk mewawancarai para perantara dan pemberi kerja yang
mempekerjakan pekerja rumahan yang diwawancarai. Pekerja rumahan pada umumnya
memiliki rasa takut kehilangan pekerjaan, dan mereka tidak ingin perantara atau pemberi
kerja mereka mengetahui tentang partisipasi mereka dalam survei ini.
Penelitian ini pada awalnya bertujuan untuk memahami situasi pekerja rumahan penyandang
disabilitas. Namun, karena kesulitan teknis untuk mengintegrasikan metodologi yang telah
mapan secara internasional untuk melaksanakan survei tentang disabilitas ke dalam
penelitian pemetaan ini, maka penelitian ini hanya mengidentifikasi keberadaan pekerja
rumahan penyandang disabilitas dan tidak mencari informasi rinci khusus untuk pekerja
rumahan penyandang disabilitas.
Instrumen utama yang digunakan untuk penelitian ini adalah kuesioner yang dikembangkan
oleh proyek ILO/MAMPU, yang terdiri dari 83 pertanyaan terformulasi dalam sepuluh topik
inti. 10 topik tersebut meliputi informasi geografis, informasi rumah tangga, kepemilikan
rumah tangga, karakteristik pekerja rumahan, pendapatan dan pengeluaran, integrasi ke
pasar ke belakang dan ke depan, alasan memasuki pekerjaan rumahan, akses sosial dan
ekonomi, akses kesehatan, dan kesetaraan gender. Instrumen survei tersebut dikembangkan
berdasarkan bahan-bahan yang ada termasuk model survei angkatan kerja ILO10, survei
angkatan kerja Indonesia11, kuesioner pedoman untuk pekerja rumahan dari survei tentang
pekerja informal Asia dari Santosh Mehrotra dan Mario Biggeri12, kuesioner untuk pekerja
berbasis rumahan (2013) dan kuesioner tentang resiko dan kerentanan pekerja berbasis
rumahan di Asia Selatan tahun 2014 yang dibagi oleh HomeNet Asia Selatan, dan kuesioner
dari penelitian multi negara tentang kesehatan perempuan dan kekerasan dalam rumah
tangga terhadap perempuan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)13. Diskusi kelompok
terarah juga dilaksanakan untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang
10 ILO Department of Statistics (2010), “Model labour force survey questionnaire (version. A)”, (ILO, tidak dipublikasikan, Jenewa). 11 BPS (2014), “Situasi angkatan kerja di Indonesia bulan Februari 2014”, (BPS, Jakarta). 12 Lampiran 2.1: Questionnaire guidelines for homeworkers (and control group), halaman 44, Asian Informal Workers: Global risks, local protection, Santosh Mehrotra and Mario Biggeri, Routledge Tayler & Francis Group London and New York (AS dan Kanada, 2007) 13 Claudia Garcia-Moreno, Henrica A.F.M. Jansen, Mary Ellsberg, Lori Heise, dan Charlotte Watts (2005), “WHO Multi-country Study on Women’s Health and Domestic Violence against Women: Initial results on prevalence, health outcomes and women’s responses”, (WHO, Jenewa)
17
pengalaman dan persepsi pekerja rumahan. Untuk setiap provinsi yang disurvei, satu diskusi
kelompok terarah dilaksanakan dengan peserta perempuan antara 10 hingga 15.
2. Kerangka regulasi di Indonesia
Menurut Konvensi ILO tentang Pekerjaan Rumahan, 1996 (No. 177), pekerjaan rumahan
didefinisikan sebagai pekerjaan yang dilaksanakan oleh seseorang, yang disebut sebagai
pekerja rumahan, (i) di rumahnya atau di tempat lain pilihannya, selain tempat kerja pemberi
kerja, (ii) untuk mendapatkan upah, (iii) yang menghasilkan suatu produk atau jasa
sebagaimana ditetapkan oleh pemberi kerja, terlepas dari siapa yang menyediakan peralatan,
bahan atau input lain yang digunakan”.14 Di Indonesia, pekerjaan rumahan atau pekerja
rumahan tidak secara eksplisit didefinisikan di dalam regulasi ketenagakerjaan nasional
maupun dalam statistik nasional dan ada pemahaman yang berbeda tentang pekerjaan
rumahan di kalangan pengambil kebijakan, masyarakat umum, dan bahkan kadang-kadang di
kalangan pekerja rumahan sendiri.
Sebuah kajian ILO15 terhadap undang-undang ketenagakerjaan menunjukkan bahwa pekerja
rumahan secara implisit dicakup oleh UU Ketenagakerjaan No. 13 (2003) berdasarkan
ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
Pasal 1 (2): Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.
Pasal 1 (3): Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Kajian ini selanjutnya menetapkan bahwa pekerja rumahan berada dalam hubungan kerja dan
pengusaha berkewajiban mematuhi berbagai ketentuan UU Ketenagakerjaan No. 13 (2003)
sebagai berikut:
Pasal 1 (5): Pengusaha adalah orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum
yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri.
Pasal 1 (6): Perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak,
milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik
swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar
upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Pasal 1 (15): Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dan pekerja/buruh
berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah.
Pasal 51 (1): Perjanjian kerja dibuat secara tertulis atau lisan.
Pasal 86 (1): Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan
atas a) keselamatan dan kesehatan kerja.
14 ILO (1996) Convention on Home Work (No. 177), Kantor Perburuhan Internasional, Jenewa. 15 M. Fajerman: Review of the regulatory framework for homeworkers in Indonesia 2013. (Jakarta, ILO, 2014). Fajerman, M. (2014) Review of the Regulatory Framework for Homeworkers in Indonesia, Kantor ILO tingkat Negara untuk Indonesia dan Timor-Leste, Jakarta.
18
Pasal 88 (1): Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Pasal 90 (1): Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum
berdasarkan wilayah provinsi atau kabupaten/kota atau upah minimum berdasarkan
sektor pada wilayah provinsi atau kabupaten/kota.
Namun, dalam praktiknya pekerja rumahan dikecualikan dari cakupan UU Ketenagakerjaan
karena tidak adanya konsensus mengenai status hukum pekerja rumahan serta pendapat
umum di Indonesia bahwa UU Ketenagakerjaan hanya berlaku bagi pekerja di pekerjaan
formal dan tidak untuk pekerja di perekonomian informal.
Di tingkat lokal, ada beberapa kemajuan untuk mengakui dan memperluas perlindungan
hukum dan sosial pada pekerja rumahan sebagai akibat dari kerja advokasi berkelanjutan
untuk memperbaiki kondisi perempuan di beberapa daerah. Misalnya, Dinas Pemberdayaan
Perempuan di Malang, Jawa Timur, mengeluarkan peraturan daerah tentang perempuan
yang rentan pada tahun 2013 yang mengakui pekerja rumahan perempuan sebagai bagian
dari kelompok perempuan yang harus memiliki akses ke upah layak, perlindungan sosial,
pasar, layanan keuangan dan layanan lainnya, meskipun ada banyak tantangan dalam
implementasi. Oleh karena itu, mayoritas pekerja rumahan mengalami tidak adanya atau
tidak memadainya akses ke perlindungan hukum dan sosial.
3. Konteks ekonomi dan sosial
Enam provinsi yang dicakup di dalam penelitian ini memiliki populasi yang besar, dan mengisi lebih dari 50 persen dari total penduduk di Indonesia (Tabel 2). Provinsi-provinsi tersebut pada umumnya ditandai dengan kinerja ekonomi yang kuat dengan tingkat pertumbuhan PDB provinsi di atas 5,4 persen dan empat provinsi Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Banten memiliki tingkat yang lebih tinggi dari pada rata-rata nasional (Tabel 3). Sumatera Utara dan Jawa Timur juga memiliki PDB per kapita provinsi yang lebih tinggi dari pada rata-rata nasional. Provinsi-provinsi ini memiliki struktur ekonomi yang terdiversifikasi yang meliputi manufaktur, dan perusahaan-perusahaan besar dan menengah di provinsi-provinsi ini beroperasi di berbagai industri misalnya makanan, minuman dan tembakau, pengolahan kayu, pengolahan karet, garmen, elektronik dan otomotif. Kontribusi enam provinsi ini ke PDB nasional sebesar 46,6 persen. Meskipun kinerja ekonomi di enam provinsi ini secara umum kuat, ada 16,5 juta orang miskin di provinsi-provinsi ini, yang lebih dari separuh jumlah orang miskin di Indonesia (Tabel 2). Perkiraan garis kemiskinan untuk provinsi-provinsi dalam penelitian ini berkisar antara Rp. 256.368 dan Rp. 330.517 per bulan. Indeks GINI16 provinsi-provinsi yang tercakup dalam penelitian ini berkisar antara 0,35 di Sumatera Utara dan 0,44 di Yogyakarta. Ini menunjukkan
16 Indeks Gini merangkum tingkat ketimpangan dalam nilai, dengan nol mengacu pada kesetaraan sempurna
dan satu mengacu ketimpangan sempurna.
19
bahwa manfaat pertumbuhan ekonomi tidak selalu terdistribusikan untuk membantu mengurangi kemiskinan.
Tabel 2: Indikator penduduk, kemiskinan dan ketidaksetaraan, 2013 Provinsi Penduduk, juta
(2013)
Jumlah orang
miskin (juta)
Indeks GINI Garis kemiskinan
Rp. Per bulan
(Perkotaan)
Garis kemiskinan
Rp. Per bulan
(Perdesaan)
Sumatera
Utara
13,6 1,3 0,35 330.517 292.186
Jawa Barat 45,3 4,4 0,41 281.189 268.251
Jawa Tengah 33,3 4,7 0,39 268.397 256.368
D.I. Yogyakarta 4,0 0,5 0,44 317.925 275.786
Jawa Timur 38,4 4,9 0,36 278.563 269.294
Banten 11,5 0,7 0,40 300.109 264.294
Nasional 248,8 28,6 0,41 308.826 275.779
Sumber: BPS (2014) Tren indikator-indikator sosio-ekonomi pilihan, Agustus 2014, Badan Pusat
Statistik, Jakarta.
Tabel 3: Indikator kunci PDB regional, 2013 Provinsi Bruto Regional Produk
Domestik di Harga Pasar
Konstan 2000 (triliun)
Bruto Regional Tingkat
Pertumbuhan Produk
Domestik di Harga Pasar
Konstan 2000
Bruto Regional Per
Kapita Produk Domestik
tanpa Minyak dan Gas
di Harga Pasar Konstan
2000 (juta)
Sebaran Persentase
Bruto Regional Produk
Domestik di Harga Pasar
Terkini
Sumatera Utara 142.5 6.0% 10.4 5.3%
Jawa Barat 386.8 6.1% 8.4 14.1%
Jawa Tengah 223.1 5.8% 6.4 8.2%
D.I. Yogyakarta 24.6 5.4% 6.8 0.8%
Jawa Timur 419.4 6.5% 10.9 15.0%
Banten 105.9 5.9% 9.2 3.2%
Nasional 2661.1 5.9% 10.1 100%
Sumber: BPS (2013) GDP Regional, Badan Pusat Statistik, Jakarta.
Dalam hal informasi pasar kerja, tren di provinsi-provinsi yang tercakup dalam penelitian ini
pada umumnya serupa dengan kondisi rata-rata nasional. Misalnya, partisipasi angkatan kerja
perempuan secara umum rendah berkisar dari 42,3 persen di Jawa Barat hingga 61,6 persen
di Yogyakarta berbanding dengan tingkat partisipasi angkatan kerja laki-laki yang berkisar dari
80,9 persen di Yogyakarta hingga 83,8 persen di Jawa Timur (Tabel 4). Tingkat ketidakaktifan
di seluruh provinsi adalah tinggi di kalangan perempuan utamanya disebabkab oleh tanggung
20
jawab kerumahtanggaan, dan rata-rata 48,5 persen di antara 6 provinsi tersebut. Tingkat ini
tertinggi di Jawa Barat (57,7 persen). Ini menunjukkan bahwa perawatan rumah merupakan
faktor signifikan yang membatasi partisipasi angkatan kerja perempuan, dan kebutuhan
untuk menghasilkan pendapatan tambahan untuk rumah tangga, terutama di kalangan
perempuan yang berkutat dengan kegiatan rumah tangga penuh waktu, cenderung
mempengaruhi keputusan perempuan untuk bekerja berbasis rumahan.
Tabel 4: Indikator kunci pasar kerja
Indikator pasar kerja Sumatera Utara Jawa Barat
Laki-laki Perempuan Total Laki-laki Perempuan Total
Penduduk berusia 15 tahun ke atas
4.611.630 4.739.411 9.351.041 16.906.222 16.559.154 33.465.346
Aktif secara ekonomi 3.838.460 2.433.623 6.272.083 14.000.986 7.005.153 21.006.139
- Bekerja 3.630.703 2.250.668 5.881.371 12.871.114 6.359.829 19.230.943
- Menganggur 207.757 182.955 390.712 1.129.872 645.324 1.775.196
Tidak aktif secara ekonomi
773.170 2.305.788 3.078.958 2.905.236 9.553.971 12.459.207
- Bersekolah 465.283 514.289 979.572 1.511.737 1.441.402 2.953.139
- Merawat rumah 54.996 1.649.949 1.704.945 284.782 7.543.525 7.828.307
- Lainnya 252.891 141.550 394.441 1.108.717 569.004 1.677.761
Tingkat partisipasi angkatan kerja
83.23% 51.35% 67.07% 82.82% 42.3% 62.77%
Tingkat pengangguran
5.41% 7.52% 6.23% 8.07 % 9.21% 8.45%
Tingkat ketidakaktifan
16.77% 48.65% 32.93% 17.18% 57.7% 37.23%
Indikator pasar kerja Jawa Tengah D I Yogyakarta
Laki-laki Perempuan Total Laki-laki Perempuan Total
Penduduk berusia 15 tahun ke atas
12.348.319 12.833.648 25.181.967 1.392.750 1.455.004 2.847.754
Aktif secara ekonomi 10.240.302 7.306.724 17.547.026 1.127.120 896.341 2.023.461
- Bekerja 9.671.796 6.878.886 16.550.682 1.083.433 872.610 1.956.043
- Menganggur 568.506 427.838 996.344 43.687 23.731 67.418
Tidak aktif secara ekonomi
2.108.017 5.526.924 7.634.941 265.630 558.663 824.293
- Bersekolah 1.000.617 948.636 1.949.253 138.857 131.688 270.545
- Merawat rumah 316.204 4.044.925 4.361.129 61.797 377.725 439.522
- Lainnya 791.196 533.363 1.324.559 64.976 49.250 114.226
Tingkat partisipasi angkatan kerja
82,93% 56,93% 69,68% 80,93% 61,60% 71,05%
Tingkat pengangguran
5,55% 5,86% 5,68% 3,88% 2,65% 3,33%
Tingkat ketidakaktifan
17,1% 43,1% 30,32% 19,07% 38,40% 28,95%
Indikator pasar kerja Jawa Timur Banten
Laki-laki Perempuan Total Laki-laki Perempuan Total
Penduduk berusia 15 tahun ke atas
14.435.358 15.143.324 29.578.682 4.258.134 4.103.471 8.361.605
Aktif secara ekonomi 12.098.291 8.051.707 20.149.998 3.546.825 1.791.220 5.338.045
- Bekerja 11.577.438 7.729.070 19.306.508 3.226.730 1.627.262 4.853.992
- Menganggur 520.853 322.637 843.490 320.095 163.958 484.053
Tidak aktif secara ekonomi
2.337.067 7.091.617 9.428.684 711.309 2.312.251 3.023.560
- Bersekolah 1.177.453 1.140.685 2.318.138 382.861 347.597 730.458
- Merawat rumah 328.771 5.396.341 5.725.112 71.037 1.823.192 1.894.230
21
- Lainnya 830.843 554.591 1.385.434 257.411 141.461 398.872
Tingkat partisipasi angkatan kerja
83,81% 53,17% 68,12% 83,30% 43,65% 63,84%
Tingkat pengangguran
4,31% 4,01% 4,19% 9,02% 9,15% 9,07%
Tingkat ketidakaktifan
16,19% 46,83% 31,88% 16,70% 56,35% 36,16%
Sumber: BPS (Agustus 2014) Situasi Angkatan Kerja di Indonesia, Badan Pusat Statistik, Jakarta.
4. Karakteristik pekerja rumahan perempuan dalam sampel
Bab ini menyajikan karakteristik pekerja rumahan perempuan meliputi informasi tentang
tingkat pendidikan, persepsi jender serta informasi rumah tangga mereka misalnya status
perkawinan dan disabilitas.
Tingkat pendidikan
Tabel 5 di bawah menyajikan informasi tentang tingkat pendidikan pekerja rumahan.
Sekurang-kurangnya lebih dari seperempat perempuan yang diwawancarai berpendidikan
sekolah dasar (SD) di semua provinsi sasaran dan seperempat lainnya berpendidikan sekolah
lanjutan tingkat pertama (SLTP). Mereka yang tidak bersekolah atau tidak lulus SD adalah di
bawah 15 persen, berkisar dari 7,6 persen di Yogyakarta hingga 14,7 persen di Sumatera
Utara. Sumatera Utara dan Yogyakarta memiliki jumlah lebih tinggi perempuan
berpendidikan sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA) (umum dan kejuruan) (masing-masing
33,4 persen dan 38,8 persen), mereka yang lulus SLTA (umum dan kejuruan) adalah di bawah
seperempat di Jawa Barat (16,5 persen), Jawa Tengah (16,3 persen), Jawa Timur (21,9 persen)
dan Banten (23,9 persen). Dibandingkan dengan rata-rata provinsi, pekerja rumahan
perempuan pada umumnya memiliki tingkat pendidikan lebih rendah.
Tabel 5: Tingkat pendidikan pekerja rumahan berbanding dengan rata-rata provinsi (persen) Tingkat pendidikan Sumatera
Utara Jawa Barat Jawa Tengah
D.I.
Yogyakarta Jawa Timur Banten
Rata-
rata
sampel
Rata-
rata
BPS
Rata-
rata
sampel
Rata-
rata
BPS
Rata-
rata
sampel
Rata-
rata
BPS
Rata-
rata
sampel
Rata-
rata
BPS
Rata-
rata
sampel
Rata-
rata
BPS
Rata-
rata
sampel
Rata-
rata
BPS
Tidak bersekolah 1,00 0,4 5,8 2,4 3,2 6,7 1,3 1,6 4,1 7 3,3 2,8
Tidak lulus sekolah
dasar 13,7 5,6 6,2 10,9 9,4 15,1 6,3 5,4 9,2 15 7,4 11,7
Sekolah dasar 27,0 18,4 33,6 34,2 39,4 30,6 26,3 12,2 36,5 30 27,4 22,4
Sekolah lanjutan
tingkat pertama 24,0 20,3 36,9 17,5 31,0 22,9 26,3 17,4 27,3 17 37,8 18,8
Sekolah lanjutan
tingkat atas (umum) 27,7 25,1 14,1 16,0 10,8 11,2 22,5 18,3 13,7 14 18,8 19,4
Sekolah lanjutan
tingkat atas (kejuruan) 5,7 14,4 2,4 9,9 5,5 8,0 16,3 20,5 8,2 10 5,1 12,7
Diploma I/II/III/
Akademi 1,0 3,5 0,7 2,8 0,5 1,8 1,3 6,4 0,9 2 0,0 3,7
22
Universitas 0,0 12,4 0,2 6,4 0,3 3,7 0,3 18,2 0,1 6 0,3 8,5
Total 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
Sumber: Data survei; BPS (2014) Situasi Angkatan Kerja di Indonesia, Badan Pusat Statistik, Jakarta.
Informasi rumah tangga
Tabel 6 di bawah ini menyajikan status perkawinan dan informasi usia responden. Sebagian
besar pekerja rumahan perempuan, lebih dari 80 persen, menikah. Sementara angka
perempuan sebagai kepala rumah tangga pada umumnya di bawah 10 persen di provinsi-
provinsi yang disurvei, angka ini lebih tinggi di Jawa Tengah (31,6 persen). Usia rata-rata
perempuan yang diwawancarai adalah 40. Namun, usia responden bervariasi secara luas
dengan yang termuda adalah 13 di Jawa Barat dan yang tertua adalah 83 di Jawa Timur yang
menunjukkan perempuan dengan semua kelompok umur terlibat dalam pekerjaan rumahan.
Tabel 6: Karakteristik sampel kunci Variabel Sumatera
Utara Jawa Barat Jawa Tengah
D.I.
Yogyakarta Jawa Timur Banten
Jml. % Jml. % Jml. % Jml. % Jml. % Jml. %
Laki-laki 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0
Perempuan 300 100,0 804 100,0 780 100,0 80 100,0 710 100,0 336 100,0
Rumah tangga dikepalai
oleh perempuan 21 7,0 54 6,7 55 31,6 10 12,5 52 7,3 6 7,8
Status perkawinan -
lajang 13 4,3 49 6,1
41 5,3 3 3,8 29 4,1
21 6,3
Status perkawinan –
menikah 261 87,0 677 84,2
685 87,8 71 88,8 596 83,9
305 90,8
Status perkawinan –
cerai hidup 7 2,3 23 2,9
13 1,7 3 3,8 24 3,4
3 0,9
Status perkawinan –
cerai mati 19 6,3 55 6,8
41 5,3 3 3,8 61 8,6
7 2,1
Penyandang disabilitas 4 1,3 7 0,9 10 1,3 0 0,0 4 0,5 3 0,9
Usia Termu
da
Tertu
a
Termu
da
Tertu
a
Termu
da Tertua
Termu
da Tertua
Termu
da Tertua
Termu
da Tertua
Termuda dan tertua 13 74 13 80 15 76 15 76 19 83 - -
Usia rata-rata 40 38 40 40 40 -
Sumber: Data survei.
Ukuran rata-rata rumah tangga pekerja rumahan adalah antara 4 dan 5 orang yang sedikit
lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata nasional dan provinsi sebagaimana ditunjukkan di
Tabel 7. Suami para pekerja rumahan biasanya ditemukan bekerja di bidang pekerjaan
berketerampilan rendah dan tidak berketerampilan dengan pengaturan kontrak yang
23
rawan.17 Misalnya, penelitian ini menemukan bahwa pasangan pekerja rumahan secara
dominan bekerja sebagai pekerja produksi, pekerja jasa berketerampilan rendah atau sebagai
buruh tani. Selain itu, pasangan pekerja rumahan cenderung bekerja sebagai pekerja lepas
bukan di pertanian atau sebagai karyawan dengan kontrak jangka pendek. Data ini
menunjukkan bahwa meskipun suami mereka memperoleh penghasilan, penghasilan
tersebut mungkin tidak cukup atau tidak stabil, karena lebih dari 75 persen pasangan pekerja
rumahan bekerja sebagai pekerja lepas bukan di pertanian dan sebagai karyawan dengan
kontrak jangka pendek, yang kemungkinan besar tanpa akses ke perlindungan sosial.
Perkawinan pertama para perempuan di provinsi-provinsi yang tercakup di dalam penelitian
ini cenderung dalam rentang usia 16 hingga 18 tahun atau 19 hingga 24 tahun.
Tabel 7: Rata-rata ukuran rumah tangga dan usia perkawinan Provinsi Penduduk, juta
(2013) Rata-rata ukuran
rumah tangga (2013)
Usia perkawinan pertama perempuan % (2012)
10-15 16-18 19-24 25+
Sumatera Utara 13,6 4,3 3,2 20,7 56,4 19,6
Jawa Barat 45,3 3,7 15,7 36,4 38,3 9,6
Jawa Tengah 33,3 3,7 11,5 34,8 42,3 11,3
D.I. Yogyakarta 4,0 3,3 3,8 22,4 53,8 20,0
Jawa Timur 38,4 3,6 15,0 36,7 39,1 9,2
Banten 11,5 4,1 13,8 33,2 41,2 11,4
Nasional 248,8 3,9 11,1 32,1 44,0 12,8
Sumber: BPS (2014) Tren indikator-indikator sosio-ekonomi pilihan, Agustus 2014, Badan Pusat
Statistik, Jakarta.
Sikap terhadap kesetaraan gender
Kesadaran akan kesetaraan gender mungkin bisa menjadi kunci untuk meningkatkan mata
pencaharian dan kondisi kerja pekerja rumahan, karena mereka sendiri perlu menghargai dan
mengakui kontribusi mereka terhadap keluarga dan masyarakat dan mulai membuat
keputusan dan bertindak misalnya pengorganisasian dan perundingan bersama dengan
memobilisasi pemahaman dan dukungan dari anggota keluarga mereka termasuk suami dan
keluarga suami mereka. Penelitian ini berusaha memahami sikap pekerja rumahan terhadap
kesetaraan gender.
Tabel 8 menyajikan data tentang sikap pekerja rumahan secara umum tentang peran
perempuan di dalam rumah tangga dan kadar emansipasi mereka dari suami mereka. Tujuh
dari sepuluh responden setuju dengan pernyataan bahwa istri yang baik harus mematuhi
suaminya sekalipun bila dia tidak setuju. Ini menunjukkan bahwa mayoritas pekerja rumahan
perempuan memiliki kecenderungan untuk tetap diam dan mengikuti apa yang suami mereka
katakan, sekalipun bila itu bertentangan dengan keinginan mereka sendiri. Rata-rata, 40
persen responden setuju bahwa semua keputusan penting dalam keluarga harus diambil oleh
suami, yang menunjukkan bahwa persepsi mereka tentang pengambilan keputusan tidak
17 Ketenagakerjaan rawan mengacu pada penduduk bekerja yang kontrak kerjanya, baik lisan ataupun tertulis, berdurasi relatif pendek atau yang kontraknya dapat diputus dengan pemberitahuan pendek. Lihat ILO (2012) Indikator-indikator Kerja Layak:konsep dan definisi, Kantor Perburuhan Internasional, Jenewa.
24
sama antara perempuan dan laki-laki. Namun, mayoritas pekerja rumahan setuju bahwa istri
memiliki hak untuk menyampaikan pendapatnya, sekalipun berbeda dengan suami.
Persepsi tentang tugas-tugas rumah tangga sedikit lebih menyetujui tanggung jawab
bersama, namun ini mungkin lebih sebagai sebuah aspirasi alih-alih sebagai kenyataan. Yang
positif, mayoritas responden cenderung melihat pendidikan anak laki-laki dan perempuan
sebagai sama-sama penting, meskipun hampir seperempat perempuan di Jawa Barat setuju
dengan pernyataan yang menyatakan bahwa investasi untuk anak laki-laki bersekolah itu
lebih penting dari pada investasi untuk anak perempuan bersekolah. Data ini memberitahu
kita bahwa suami pekerja rumahan cenderung memiliki kewenangan yang lebih besar di
dalam rumah tangga.
Tabel 8: Sikap terhadap kesetaraan gender (%) Sumatera Utara Setuju Tidak setuju Tidak tahu
Istri yang baik harus mematuhi suaminya sekalipun bila dia tidak setuju 62,0 33,7 4,3
Seluruh keputusan penting di keluarga harus diambil oleh suami 44,5 50,8 4,7
Bila istri pergi bekerja, suami harus membantu merawat rumah 75,0 20,0 5,0
Istri memiliki hak menyampaikan pendapatnya sekalipun berbeda dengan suami 92,0 3,3 4,7
Investasi untuk anak laki-laki bersekolah itu lebih penting dari pada investasi
untuk anak perempuan bersekolah 9,3 87,7 3,0
Jawa Barat Setuju Tidak setuju Tidak tahu
Istri yang baik harus mematuhi suaminya sekalipun bila dia tidak setuju 66,2 26,4 7,5
Seluruh keputusan penting di keluarga harus diambil oleh suami 42,4 51,2 6,3
Bila istri pergi bekerja, suami harus membantu merawat rumah 77,7 14,4 7,8
Istri memiliki hak menyampaikan pendapatnya sekalipun berbeda dengan suami 81,8 8,8 9,3
Investasi untuk anak laki-laki bersekolah itu lebih penting dari pada investasi
untuk anak perempuan bersekolah 24,0 66,7 10,3
Jawa Tengah Setuju Tidak setuju Tidak tahu
Istri yang baik harus mematuhi suaminya sekalipun bila dia tidak setuju 73,7 24,9 1,4
Seluruh keputusan penting di keluarga harus diambil oleh suami 47,6 51,2 1,3
Bila istri pergi bekerja, suami harus membantu merawat rumah 74,2 24,4 1,4
Istri memiliki hak menyampaikan pendapatnya sekalipun berbeda dengan
suami 90,5 8,5 1,0
Investasi untuk anak laki-laki bersekolah itu lebih penting dari pada investasi
untuk anak perempuan bersekolah 8,8 89,9 1,3
DIY Setuju Tidak setuju Tidak tahu
Istri yang baik harus mematuhi suaminya sekalipun bila dia tidak setuju 73,8 26,3 0,0
Seluruh keputusan penting di keluarga harus diambil oleh suami 30,0 70,0 0,0
Bila istri pergi bekerja, suami harus membantu merawat rumah 85,0 15,0 0,0
Istri memiliki hak menyampaikan pendapatnya sekalipun berbeda dengan suami 96,3 3,8 0,0
25
Investasi untuk anak laki-laki bersekolah itu lebih penting dari pada investasi
untuk anak perempuan bersekolah 10,0 88,8 1,3
Jawa Timur Setuju Tidak setuju Tidak tahu Istri yang baik harus mematuhi suaminya sekalipun bila dia tidak setuju 64,1 33,8 2,1
Seluruh keputusan penting di keluarga harus diambil oleh suami 36,9 62,0 1,1
Bila istri pergi bekerja, suami harus membantu merawat rumah 72,7 19,7 7,6
Istri memiliki hak menyampaikan pendapatnya sekalipun berbeda dengan suami 86,3 9,0 4,6
Investasi untuk anak laki-laki bersekolah itu lebih penting dari pada investasi untuk anak perempuan bersekolah
13,2 84,8 2,0
Banten Setuju Tidak setuju Tidak tahu
Istri yang baik harus mematuhi suaminya sekalipun bila dia tidak setuju 79,2 16,1 4,8
Seluruh keputusan penting di keluarga harus diambil oleh suami 45,5 52,1 2,4
Bila istri pergi bekerja, suami harus membantu merawat rumah 64,3 28,3 7,4
Istri memiliki hak menyampaikan pendapatnya sekalipun berbeda dengan suami 83,0 12,5 4,5
Investasi untuk anak laki-laki bersekolah itu lebih penting dari pada investasi untuk anak perempuan bersekolah 7,4 87,8 4,8
Sumber: Data survei.
Hubungan antara pekerja rumahan dan suami mereka mungkin berdampak pada pilihan kerja
serta kondisi kerja pekerja rumahan. kadar kemandirian dan sejauh mana istri didukung oleh
suami mereka memainkan peran penting di sini. Secara umum, sebagian besar pekerja
rumahan melaporkan bahwa hubungan mereka dengan suami mereka baik dan bahwa itu
memungkinkan mereka mandiri. Pekerja rumahan jarang menolak pekerjaan karena suami
mereka tidak menginginkan mereka bekerja. Sebagai ilustrasi, kurang dari 15 persen
perempuan yang diwawancarai menunjukkan bahwa mereka menolak bekerja karena suami
mereka tidak menginginkan mereka bekerja. Namun, banyak pekerja rumahan menyebutkan
bahwa bila mereka melakukan kegiatan di luar rutinitas normal mereka, suami mereka bisa
lebih bersikap mengawasi. Misalnya, peserta FGD di Banten menyebutkan bahwa mereka
harus meminta persetujuan kepada suami mereka bila mereka melakukan tugas-tugas di luar
rutinitas normal mereka dan mengabari suami mereka tentang kegiatan mereka secara
berkala melalui pesan teks.18
Masuk ke pekerjaan rumahan
Masuknya perempuan ke pekerjaan rumahan memiliki berbagai pola berbeda di seluruh
provinsi yang disurvei dalam penelitian ini. Misalnya, di Sumatera Utara, pekerja rumahan
pada umumnya baru masuk ke pekerjaan rumahan setelah anak-anak mereka mulai
bersekolah. Sementara di Jawa Timur banyak pekerja rumahan menunjukkan bahwa mereka
selalu terlibat dalam pekerjaan rumahan dan bahwa itu “diwariskan” dari keluarga mereka.
Di Jawa Tengah, pekerja rumahan seringkali mulai bekerja setelah menikah dan anak pertama
mereka telah berusia 2 tahun.
18 Persepsi semacam ini dapat juga ditemukan di pekerja perempuan di EPZ Tanjung Priok, sebagaimana didokumentagsikan oleh Aris Arif Mundayat [et al.], Bertahan Hidup di Desa atau Tahan Hidup di Kota: Balada Buruh Perempuan, Jakarta: Women Research Institute, 2008. hlm. 74.
26
Sekitar 50 persen pekerja rumahan yang diwawancarai dalam penelitian ini diperkenalkan ke
dalam pekerjaan rumahan oleh tetangga mereka, yang juga seorang pekerja rumahan atau
perantara. 20 persen lainnya diperkenalkan dengan pekerjaan rumahan oleh teman dan 15
persen diperkenalkan ke dalam pekerjaan rumahan oleh keluarga mereka. Kurang lazim
diperkenalkan ke pekerjaan rumahan secara langsung melalui pemberi kerja atau melalui
pejabat pemerintah.
Sebagian besar pekerja rumahan menunjukkan bahwa pekerjaan rumahan merupakan
kegiatan perekonomian utama mereka dan sumber utama pendapatan. Ketika ditanya
tentang kegiatan utama mereka selama bulan sebelumnya, mayoritas menunjukkan ‘bekerja’
baik pekerjaan rumahan atau jenis pekerjaan lain (88,5 persen) (Tabel 9). Hanya sebagian kecil
yang menunjukkan bahwa mereka fokus pada perawatan rumah atau kegiatan-kegiatan lain
sebagai kegiatan utama mereka. Kurang dari 10 responden mengidentifikasi sekolah sebagai
kegiatan utama mereka.
Sementara kegiatan yang paling umum yang dikerjakan oleh pekerja rumahan adalah
pekerjaan rumahan, mereka juga menunjukkan bahwa mereka melakukan kegiatan-kegiatan
ekonomi seperti jasa binatu, menjaga toko, mengumpulkan tanaman bumbu dan sayuran
untuk dijual, jasa kebersihan, dan peternakan. Pada umumnya dianggap bahwa pekerja
rumahan melaksanakan berbagai kegiatan ekonomi karena kerawanan pengaturan kerja
mereka atau karena rendahnya tingkat kompensasi untuk pekerjaan mereka, dan temuan
menunjukkan bahwa pekerja rumahan yang tercakup dalam penelitian ini juga melaksanakan
berbagai kegiatan ekonomi.
Tabel 9: Kegiatan utama responden selama bulan sebelumnya Kegiatan Utama Sumatera
Utara Jawa Barat Jawa Tengah
D.I.
Yogyakarta Jawa Timur Banten
Jml. % Jml. % Jml. % Jml. % Jml. % Jml. %
Bekerja (termasuk
pekerjaan rumahan) 294 98,0 682 84,8 738 94,6 76 95,0 664 93,5 202 60,1
Sekolah N/A N/A 2 0,2 2 0,3 1 1,3 3 0,4 1 0,3
Perawatan rumah 5 1,7 98 12,2 30 3,8 1 1,3 12 1,7 114 33,9
Kegiatan lain 1 0,3 22 2,7 10 1,3 2 2,5 31 4,4 19 5,7
Total 300 100 804 100 780 100 80 100 710 100 336 100
Sumber: Data survei.
Rata-rata, penelitian ini juga menemukan bahwa di dalam rumah tangga pekerja rumahan, 1
hingga 2 anggota rumah tangga berkemungkinan terlibat dalam kegiatan pekerjaan rumahan.
Artinya, di rumah tangga pekerja rumahan, ada kemungkinan bahwa seseorang yang bekerja
utamanya sebagai pekerja rumahan, serta satu orang lain yang membantu kegiatan pekerjaan
rumahan. Pekerja rumahan kadang-kadang menerima bantuan dari anak mereka saat
mengerjakan pekerjaan rumahan, dengan kurang dari 30 persen pekerja rumahan
melaporkan bahwa anak-anak mereka membantu pekerjaan rumahan. Kadang-kadang suami
27
pekerja rumahan dapat membantu mereka menyelesaikan pesanan ketika mereka sedang
berjuang untuk memenuhi tenggat waktu. Beberapa pekerja rumahan menyatakan bahwa
suami mereka membantu mereka menyelesaikan pesanan kerja, terutama ketika mereka
lelah.
Kotak 3: Mengapa saya memulai menjadi pekerja rumahan
Ibu Ida adalah seorang pekerja rumahan yang memotong kelebihan benang dari kaos. Dia memilih
berhenti bekerja di sebuah pabrik setelah melahirkan bayinya. Dia enggan kembali bekerja di pabrik
tersebut karena dia harus merawat anak-anaknya dan rumah tangganya. Dia mendapati bahwa
tuntutan bekerja di pabrik tidak memungkinkan dia bekerja dan merawat rumah tangga. Namun, dia
juga membutuhkan penghasilan untuk membiayai kebutuhan rumah tangga sehari-hari. Oleh karena
itu, pekerjaan rumahan merupakan sebuah kompromi.
Di pagi hari dari pukul 05.00 hingga 09.00 dia menyelesaikan pekerjaan rumah tangganya. Setelah itu
dia memulai pekerjaannya sebagai pekerja rumahan. Ketika melaksanakan pekerjaannya sebagai
pekerja rumahan dia bisa beristirahat untuk menyusui bayinya. Jika bayinya menangis, dia berhenti
bekerja sejenak untuk mengurus bayinya. Setelah bayinya tenang, dia meneruskan bekerja hingga
pukul 12.00. Antara pukul 12.00 dan 14.00 dia memasak makan siang, mengurus bayinya, beribadah
dan beristirahat. Pada sore hari dia mulai bekerja pukul 14.00 dan selesai pukul 18.00. Dia memasak
makan malam, mengurus keluarganya dan beribadah. Setelah makan malam dia melanjutkan
pekerjaannya selama kurang lebih 2 jam sambil menonton televisi.
Sumber: Diskusi kelompok terarah, Yogyakarta.
Lama bekerja sebagai pekerja rumahan
Tabel 10 di bawah ini menyajikan rata-rata lama waktu pekerja rumahan telah bekerja sebagai
pekerja rumahan. Lama rata-rata adalah 5,9 tahun. Lama rata-rata ini meningkat seiring usia
yang menyoroti bahwa banyak pekerja rumahan yang diwawancarai telah bekerja secara
berkelanjutan. Lama rata-rata di Yogyakarta jauh lebih lama dari pada provinsi-provinsi lain
dengan lama rata-rata untuk kelompok usia 50-54 dan 55-59 tercatat masing-masing 24,7
tahun dan 18,0 tahun. Di Jawa Timur, banyak dari kelompok usia lebih muda juga memiliki
lama lagi rata-rata lebih panjang dibandingkan provinsi lain, dan lama rata-rata untuk
kelompok usia 20-24 dan kelompok usia 25-29 masing-masing 6,7 tahun dan 6,9 tahun. Lama
rata-rata kelompok usia di bawah 20 tahun di Sumatera Utara dan Jawa Tengah juga relatif
panjang, yang menunjukkan bahwa sebagian perempuan tersebut memulai pekerja rumahan
di usia muda.
Tabel 10: Jumlah tahun sebagai pekerja rumahan Tahun
Kelompok usia
Sumatera Utara
Jawa Barat Jawa Tengah DIY Jawa Timur Banten
Di bawah 20 4,0 0 4,9 0 0 0
20-24 2,6 1,5 - 1,8 6,7 1,5
25-29 3,4 2,9 - 2,2 6,9 2,9
30-34 3,4 2,9 - 2,2 5,7 2,9
35-39 5,2 3 - 4,2 8,8 3,0
28
40-44 5,9 3,5 - 7,2 8,0 3,5
45-49 7,3 4,6 - 11,7 6,1 4,6
50-54 8,8 5,1 - 24,7 7,2 5,1
55-59 9,0 6,5 0,0 18,0 9,3 6,5
60+ 11,2 4,5 0,0 14,0 3,2 4,5
Total 5,8 3,5 - 9,6 6,9 3,5
Sumber: Data survei.
Jika diberi pilihan, 50 persen pekerja rumahan yang diwawancarai menunjukkan bahwa
mereka ingin membangun usaha sendiri. Dua puluh persen menyatakan bahwa mereka akan
lebih memilih menjadi ibu rumah tangga penuh waktu. Hanya sebagian kecil dari sampel yang
tertarik untuk menjadi pekerja di perekonomian formal atau melanjutkan pendidikan mereka.
Informasi yang disampaikan di dalam diskusi kelompok terarah menyoroti bahwa banyak
perempuan lebih memilih tinggal di rumah untuk memenuhi tanggung jawab perawatan
mereka atau memiliki pekerjaan yang memberi mereka fleksibilitas yang sama seperti yang
mereka miliki sebagai pekerja rumahan.
5. Jenis pekerjaan pekerja rumahan
Pekerja rumahan pada umumnya dianggap terkonsentrasi di sektor garmen. Namun,
penelitian ini menemukan bahwa pekerja rumahan bukanlah kelompok yang homogen dan
mereka ada di banyak pekerjaan berbeda, seperti juga terlihat melalui pelaksanaan proyek
ILO/MAMPU. Ada pekerja rumahan yang bekerja di berbagai sektor dan industri
melaksanakan kegiatan-kegiatan seperti mengolah sayuran (misalnya bawang merah,
bawang putih, dll.), makanan laut (misalnya udang, ikan), menjahit tas, melepas benang dari
pakaian jadi, membuat suku cadang produk elektronik, dan memproduksi peralatan olahraga,
dan bordir.
Tabel 11 di bawah ini merangkum keberadaan pekerjaan rumahan menurut sub-sektor
industri untuk provinsi-provinsi yang tercakup di dalam penelitian ini. Di empat dari enam
provinsi yang disurvei, lebih dari 40 persen pekerja rumahan ditemukan di sub-sektor
‘manufaktur lainnya’. Di Sumatera Utara dan Yogyakarta, sebagian besar pekerja rumahan
ditemukan masing-masing di sub-sektor ‘pengolahan makanan’ dan ‘kulit, barang kulit dan
alas kaki’, diikuti oleh sektor ‘manufaktur lainnya’. Tren konsentrasi pekerja rumahan
menurut sub-sektor pada umumnya sama dengan tren konsentrasi pekerjaan menurut sub-
sektor. Misalnya, di Sumatera Utara, pengolahan makanan merupakan sub-sektor pekerjaan
paling umum di bidang manufaktur.
Tabel 11: Pekerjaan menurut sub-sektor industri untuk pekerja rumahan Sub-Sektor Sumatera
Utara Jawa Barat
Jawa
Tengah
D.I.
Yogyakarta Jawa Timur Banten
Jml % Jml % Jml % Jml % Jml % Jml %
Pengolahan makanan 144 48,0 116 14,5 95 12,2 11 13,8 85 12,0 38 11,3
Pengolahan minuman 10 3,3 2 0,2 N/A N/A N/A N/A 4 0,6 1 0,3
Pengolahan tembakau N/A N/A N/A N/A 1 0,1 N/A N/A 1 0,1 N/A N/A
29
Tekstil (pemintalan, tenun, pencelupan) 13 0,3 13 1,6 63 8,1 11 13,8 57 8,0 24 7,1
Pakaian jadi (menjahit baju) 29 9,7 232 28,9 126 16,2 13 16,3 62 8,7 50 14,9
Kulit, barang kulit dan alas kaki 13 4,3 36 4,5 70 9,0 29 36,3 44 6,2 60 17,9
Pengolahan kayu, bambu dan rotan 12 4,0 23 2,9 98 12,6 2 2,5 122 17,2 13 3,9
Furnitur N/A N/A 15 1,9 9 1,2 1 1,3 41 5,8 4 1,2
Manufaktur lain 79 26,3 367 45,6 318 40,8 13 16,3 294 41,4 146 43,5
Total 300 100 804 100 780 100 80 100 710 100 336 100
Sumber: Data survei.
Ketika melihat keseluruhan keberadaan pekerjaan rumahan di dalam klasifikasi industri 19,
42,7 persen pekerja rumahan berada di industri manufaktur padat karya yang meliputi
manufaktur tekstil, pakaian jadi, alas kaki, kayu dan produk kayu, dan furnitur. Hanya 16,9
persen pekerja rumahan berada di industri padat sumber daya yang meliputi pengolahan
makanan, minuman, tembakau dan kertas, serta kimia, minyak bumi, farmasi dan karet,
meskipun hampir separuh pekerja rumahan di Sumatera Utara berada di industri padat
sumber daya. Selanjutnya, tidak ada pekerja rumahan yang diwawancarai melaporkan
bekerja di sub-sektor manufaktur kimia, minyak bumi, obat-obatan atau karet. Bagian sampel
lainnya (40,4 persen) berada di industri padat modal yang meliputi logam, elektronik, mesin
dan manufaktur otomotif. Contoh kegiatan per kelompok ditunjukkan di Tabel 12 di bawah
ini.
Tabel 12: Contoh kegiatan per klasifikasi industri
Klasifikasi industri
Padat karya Padat sumber daya Padat modal
Contoh kegiatan
mengencangkan jepitan bra.
mengemas mainan.
menjahit sepatu.
menjahit bantalan helm.
membuat bunga dari pita.
mengupas sayuran.
membuat makanan ringan.
mengemas item-item makanan lain.
menggulung kawat elektronik dan meletakkannya di dalam kemasan.
memoles dan menempelkan label pada perkakas.
mengencangkan tutup atas aki mobil.
menggulung tempat kartu telepon seluler.
memasang saklar listrik.
Sumber: Data survei.
Sementara pekerja rumahan semuanya terlibat dalam produksi, pekerja rumahan dengan
keterampilan khusus misalnya pekerja kerajinan pada umumnya memiliki posisi tawar yang
19 Aswicahyono, Hill dan Narjoko menjelaskan manufaktur padat karya mencakup manufaktur tekstil, pakaian jadi, alas kaki, kayu dan produk kayu dan furnitur, dan industri padat sumber daya mencakup pengolahan makanan, minuman, tembakau dan kertas serta bahan kimia, minyak bumi, farmasi dan karet, dan industri padat modal mencakup manufaktur elektronik, mesin dan otomotif.
30
lebih kuat karena pemberi kerja, sub-kontraktor atau perantara mungkin tidak dapat dengan
mudah menemukan pekerja pengganti yang memiliki keterampilan yang diperlukan untuk
memproduksi untuk mereka, sementara pekerja produksi berketerampilan rendah dapat
digantikan dengan mudah. Para pekerja rumahan juga diwawancarai tentang pekerjaan
mereka untuk memahami porsi pekerja rumahan sebagai pekerja kerajinan. Menurut Tabel
13 di bawah ini, porsi pekerja rumahan yang bekerja sebagai pekerja kerajinan adalah kecil di
seluruh provinsi sedangkan porsi pekerja kerajinan di Yogyakarta relatif lebih tinggi (28,8
persen). Di Sumatera Utara, hanya 6,3 persen pekerja rumahan bekerja sebagai pekerja
kerajinan.
Tabel 13: Pekerjaan pekerja rumahan Pekerjaan Sumatera
Utara Jawa Barat
Jawa
Tengah
D.I.
Yogyakarta Jawa Timur Banten
Jml. % Jml. % Jml. % Jml. % Jml. % Jml. %
Pekerja kerajinan 19 6,3 141 17,5 87 11,2 23 28,8 145 20,4 30 8,9
Pekerja produksi tekstil, garmen
dan kulit 50 16,7 284 35,3 221 28,3 37 46,3 119 16,8 134 39,9
Pekerja produksi makanan dan
minuman 149 49,7 118 14,7 96 12,3 11 13,8 81 11,4 39 11,6
Pekerja produksi kayu, rotan
dan bambu 12 4,0 15 1,9 80 10,3 N/A N/A 68 9,6 13 3,9
Pekerja produksi lainnya 59 19,7 243 30,2 251 32,2 9 11,3 278 39,2 119 35,4
Tidak tahu 11 3,7 3 0,4 45 5,8 N/A N/A 19 2,7 1 0,3
Total 300 100 804 100 780 100 80 100 710 100 336 100
Sumber: Data survei.
6. Pengaturan kerja pekerja rumahan
6.1 Perjanjian kerja
Pekerja rumahan pada umumnya dikenal bekerja di bawah pengaturan informal tanpa
kontrak atau perjanjian tertulis. Penelitian ini meneliti situasi pekerja rumahan di enam
provinsi dan menemukan bahwa sangat jarang pekerja rumahan memiliki perjanjian tertulis.
Sebagaimana ditunjukkan oleh Tabel 14, hanya 2 persen pekerja rumahan yang diwawancarai
memiliki perjanjian tertulis dengan pemberi kerja atau perantara mereka. Proporsi pekerja
yang memiliki ‘perjanjian lisan’ adalah 53,4 persen dan yang ‘tanpa perjanjian’ adalah 41,8
persen. Ada sebagian kecil pekerja rumahan yang menyatakan bahwa mereka tidak kenal
dengan perjanjian kerja (2,8 persen). Bila melihat hasil menurut provinsi, Jawa Timur memiliki
persentase tertinggi pekerja rumahan yang menyatakan bahwa mereka memiliki perjanjian
lisan (93,5 persen). Proporsi pekerja rumahan tanpa perjanjian tertinggi di Banten (71,1
persen).
31
Karena UU Ketenagakerjaan No. 13 (2003) menyatakan bahwa hubungan kerja adalah
hubungan antara pengusaha dan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja yang
mengandung unsur-unsur pekerjaan, upah dan perintah kerja (Pasal 1 (15)), dan bahwa
perjanjian kerja dapat dibuat baik secara lisan ataupun tertulis (Pasal 51), maka dapat
dikatakan bahwa lebih dari 50 persen pekerja rumahan memiliki hubungan kerja dan bahwa
mereka harus dicakup oleh berbagai ketentuan misalnya pembayaran upah minimum.
Tabel 14: Jenis perjanjian pekerja rumahan Provinsi Perjanjian tertulis Perjanjian lisan Tanpa perjanjian Tidak tahu
Jml. dalam
sampel
% sampel Jml. dalam
sampel
% sampel Jml. dalam
sampel
% sampel Jml. dalam
sampel
% sampel
Sumatera Utara 3 1,0 135 45,0 152 50,7 10 3,3
Jawa Barat 7 0,9 476 59,2 278 34,6 43 5,3
Jawa Tengah 37 4,7 230 29,5 507 65,0 6 0,8
D.I. Yogyakarta 2 2,5 25 31,3 53 66,3 0 0
Jawa Timur 9 1,3 664 93,5 30 4,2 7 1,0
Banten 2 0,6 78 23,2 239 71,1 17 5,1
Total/average 60 2,0 1608 53,4 1259 41,8 83 2,8
Sumber: Data survei.
6.2 Tempat kerja
Analisis data menunjukkan bahwa pekerja yang diwawancarai dalam penelitian ini bekerja di
dalam rumah mereka sendiri atau di rumah teman. Sebagian kecil mendeskripsikan tempat
kerja mereka sebagai sebuah struktur yang melekat pada rumah mereka, misalnya halaman
atau garasi. Tidak ada responden yang mengidentifikasi tempat kerja pemberi kerja mereka
sebagai tempat kerja mereka. Meskipun ini memberi pekerja rumahan fleksibilitas untuk
mengelola baik tanggung jawab ekonomi maupun tanggung jawab perawatan, namun ini
menyoroti pentingnya mempromosikan kesehatan dan keselamatan di tempat kerja. Tanpa
perhatian dan pertimbangan yang cukup terhadap kesehatan dan keselamatan di tempat
kerja yang merupakan rumah pekerja rumahan, kesehatan dan keselamatan pekerja rumahan
dan anggota keluarga mereka bisa dirugikan jika peralatan atau perlengkapan tidak disimpan
dengan benar atau bahan baku mengandung kandungan berbahaya. Kenyataannya, sebagian
pekerja rumahan mengeluhkan bau menyengat dari bahan baku yang mereka gunakan
menimbulkan masalah kesehatan untuk mereka misalnya sakit kepala.
6.3 Spesifikasi, instruksi dan pelatihan
Penelitian ini selanjutnya meneliti rincian spesifikasi. Dalam hal informasi tentang apa dan
bagaimana cara memproduksi produk (desain, bahan, dll.), rata-rata, 78,1 persen pekerja
rumahan melaporkan bahwa mereka mendapatkan spesifikasi dari pemberi kerja mereka
(Tabel 15). Pemberian spesifikasi paling umum di Banten (91,1 persen). Persentase yang tinggi
32
ini mungkin menunjukkan bahwa pekerja rumahan mungkin memproduksi barang terkait
dengan pasar internasional (misalnya sepatu, pakaian, dll.) dimana produknya harus lulus
standar kualitas dan spesifikasi tertentu. Pemberian spesifikasi paling tidak umum di
Yogyakarta.
Tabel 15: Pekerja rumahan mendapatkan spesifikasi atau instruksi Provinsi Mendapatkan spesifikasi dari pemberi kerja Tidak mendapatkan spesifikasi dari pemberi
kerja
Jumlah di sampel % sampel Jumlah di sampel % sampel
Sumatera Utara 220 73,3 80 26,7
Jawa Barat 650 80,8 154 19,2
Jawa Tengah 555 71,2 225 28,8
D.I. Yogyakarta 51 63,8 29 36,3
Jawa Timur 567 79,9 143 20,1
Banten 306 91,1 30 8,9
Total 2349 78,1 661 21,9
Sumber: Data survei.
Karena pekerja rumahan memproduksi sesuai dengan spesifikasi dari pemberi kerja,
penelitian ini menanyakan kepada pekerja rumahan apakah mereka mendapatkan pelatihan
dari pemberi kerja mereka untuk meningkatkan keterampilan dan pengetahuan mereka agar
dapat menyelesaikan pesanan kerja secara tepat, dan menemukan bahwa jarang pekerja
rumahan mendapatkan pelatihan. Tabel 16 merangkum tren terkait dengan pekerja rumahan
memperoleh pelatihan. Penelitian ini menemukan bahwa pekerja rumahan pada umumnya
tidak mendapatkan pelatihan dari pemberi kerja. Ini terutama terjadi di Sumatera Utara dan
hanya 17,3 persen pekerja rumahan mendapatkan pelatihan dari pemberi kerja. Ini mungkin
menunjukkan bahwa sebagian besar pekerja rumahan di Sumatera Utara mengerjakan tugas-
tugas dasar.
Di tempat pekerja rumahan mendapatkan pelatihan, pelatihan itu sebagian besar adalah
pelatihan sambil bekerja yang bersifat informal, di mana pemberi kerja mengunjungi rumah
mereka dan memberikan beberapa instruksi tentang metode memproduksi produk tersebut
sesuai dengan spesifikasi. Rasio pekerja rumahan yang mendapatkan pelatihan tertinggi di
Banten (56,8 persen), di mana pemberian spesifikasi oleh pemberi kerja juga tertinggi.
Secara umum, ditemukan bahwa pemberi kerja memberikan instruksi untuk memproduksi
barang dengan standar kualitas, alih-alih pelatihan yang bertujuan meningkatkan
keterampilan pekerja rumahan. Ini menunjukkan terbatas atau tidak adanya peluang bagi
pekerja rumahan untuk belajar keterampilan baru untuk meningkatkan daya kerja mereka
dan banyak yang bekerja tanpa ruang lingkup untuk meningkatkan pendapatan mereka,
bahkan setelah bekerja selama bertahun-tahun.
Tabel 16: Pekerja rumahan mendapatkan pelatihan
33
Provinsi Mendapatkan pelatihan dari pemberi kerja Tidak mendapatkan pelatihan dari pemberi
kerja
Jumlah di sampel % sampel Jumlah di sampel % sampel
Sumatera Utara 52 17,3 248 82,7
Jawa Barat 398 49,5 406 50,5
Jawa Tengah 305 39,1 475 60,9
D.I. Yogyakarta 20 25,0 60 75,1
Jawa Timur 210 29,6 500 70,4
Banten 191 56,8 145 43,2
Total 1175 39,0 1834 61,0
Sumber: Data survei.
6.4 Biaya produksi
Karena rumah sebagai tempat kerjanya, pekerja rumahan pada umumnya menanggung
sendiri berbagai biaya produksi, termasuk penyediaan tempat kerja dan peralatan, biaya
transportasi dan utilitas meliputi listrik dan air dan masukan-masukan terkait lainnya.
Menurut penelitian, lebih dari 70 persen responden menyatakan bahwa mereka tidak pernah
menerima kompensasi atas biaya yang terkait dengan proses produksi mereka terkait dengan
pekerjaan rumahan.
Dalam hal pasokan bahan baku, pekerja rumahan pada umumnya menerima bahan baku dari
pemberi kerja mereka, meskipun ada kasus di mana pekerja rumahan membeli sebagian atau
seluruh bahan baku. Dalam penelitian ini, mayoritas pekerja rumahan (95,0 persen)
menyatakan bahwa mereka menerima bahan baku dari pemberi kerja mereka (Tabel 17). Di
enam provinsi yang disurvei, sekitar 50 persen pekerja rumahan menyatakan bahwa mereka
mengambil bahan baku dari pemberi kerja atau perantara mereka sementara sebagian besar
dari sisanya menyatakan bahwa bahan baku dikirimkan kepada mereka oleh pemberi kerja
atau perantara mereka. Hanya sejumlah kecil pekerja rumahan yang membeli bahan baku
sendiri pasar.
Tabel 17: Pekerja rumahan menerima bahan Provinsi Menerima bahan dari pemberi kerja Tidak menerima bahan dari pemberi kerja
Jumlah di sampel % sampel Jumlah di sampel % sampel
Sumatera Utara 291 97.9 9 3.0
Jawa Barat 717 89.4 87 10.8
Jawa Tengah 754 96.7 26 3.3
D.I. Yogyakarta 79 98.8 1 1.3
Jawa Timur 685 96.5 25 3.5
Banten 329 97.9 7 2.1
34
Total 2855 94.9 155 5.1
Sumber: Data survei.
Tabel 18 menyajikan hasil penelitian dalam kaitannya dengan penyediaan alat. Dibandingkan
dengan penyediaan bahan baku, kurang lazim pekerja rumahan mendapatkan peralatan dari
pemberi kerja. Rata-rata, hampir 40 persen tidak mendapatkan peralatan yang diperlukan
untuk penyelesaian produk pekerja rumahan. Terkecuali pekerja rumahan di Banten, di mana
mayoritas pekerja rumahan (92,2 persen) mendapatkan peralatan dari pemberi kerja mereka
yang mungkin terkait dengan fakta bahwa produk yang diproduksi di kalangan pekerja
rumahan di Banten memerlukan spesifikasi lebih khusus yang diperlukan untuk memenuhi
standar untuk pasar internasional. Di sisi lain, lebih dari separuh pekerja rumahan (60 persen)
di Sumatera Utara tidak mendapatkan peralatan. Pekerja rumahan dalam pengolahan
makanan di Sumatera Utara menunjukkan bahwa mereka biasanya menggunakan pisau,
parang, gunting mereka sendiri yang dapat dengan mudah ditemukan di pasar lokal.
Penjelasan lebih lanjut dari diskusi kelompok terarah menunjukkan bahwa pilihan peralatan
dalam pengolahan makanan tidak terlalu berpengaruh pada kualitas produk, itulah mengapa
peralatan jarang disediakan oleh pemberi kerja.
Tabel 18: Pekerja rumahan yang menerima peralatan Provinsi Mendapatkan peralatan dari pemberi kerja Tidak mendapatkan peralatan dari pemberi kerja
Jumlah di sampel % sampel Jumlah di sampel % sampel
Sumatera Utara 120 40,0 180 60,0
Jawa Barat 503 63,3 301 37,4
Jawa Tengah 455 58,3 325 41,7
D.I. Yogyakarta 35 43,8 45 56,3
Jawa Timur 389 54,8 321 45,2
Banten 309 92,0 27 8,0
Total 1811 60,4 1199 39,6
Sumber: Data survei.
Proyek ini telah mendengar pengalaman di mana pekerja rumahan harus membayar sebagai
deposit untuk mulai bekerja sebagai jaminan untuk bahan yang diberikan oleh pemberi kerja
atau perantara. Oleh karena itu, penelitian ini juga memeriksa kejadian di mana pekerja
rumahan diminta membayar deposit sebelum mulai bekerja sebagai pekerja rumahan.
Kenyataannya, penelitian ini menemukan bahwa 2 persen pekerja rumahan diharuskan
membayar deposit untuk bahan dan peralatan yang mereka terima. Meskipun persyaratan
membayar deposit sangat sedikit terjadi di kalangan pekerja rumahan yang diwawancarai,
namun penting untuk mengenali adanya praktik ini oleh pemberi kerja dan perantara karena
praktik ini memberi beban lebih pada pihak pekerja rumahan untuk masuk ke dalam
35
pekerjaan untuk memperoleh penghasilan dan berupaya mendapatkan dan
mempertahankan pendapatan yang layak.
Penelitian ini juga menemukan beban tambahan diletakkan pada pihak pekerja rumahan.
Pekerja rumahan mengungkapkan bahwa mereka pada umumnya bertanggung jawab untuk
bekerja lebih atas produk rusak, misalnya menambah jam kerja untuk memperbaiki produk
yang rusak, sehingga produk dapat diterima oleh pemberi kerja atau perantara mereka.
Karena mereka dibayar berdasarkan jumlah output yang mereka produksi, dan bukan
berdasarkan jumlah jam kerja, mereka tidak diberi kompensasi untuk jam tambahan mereka
bekerja memperbaiki produk yang rusak.
6.5 Hubungan ke pasar
Penelitian internasional tentang pekerja rumahan biasanya menemukan bahwa pekerja
rumahan memiliki pengetahuan yang sangat terbatas tentang pemberi kerja mereka dan
pasar untuk mana mereka memproduksi,20 karena pekerja rumahan sering menerima
pekerjaan dari perantara yang memberikan bahan baku dan mengumpulkan produk jadi, dan
perantara ini mungkin bekerja dengan sub-kontraktor yang selanjutnya memasok produk ke
perusahaan yang lebih besar. Oleh karena itu, panjangnya rentang rantai pasokan merupakan
salah satu faktor yang seringkali menghambat proses mengidentifikasi pemberi kerja utama
yang memberikan pesanan produksi atau dari mana produk itu berasal. Namun, pengetahuan
tentang pemberi kerja mereka dan pasar diperlukan jika pekerja rumahan bernegosiasi untuk
memperbaiki kondisi kerja mereka.
Di enam provinsi yang disurvei, ada berbagai pola di mana pekerja rumahan merupakan
bagian dari rantai pasokan. Yang paling umum adalah bahwa bila produk pekerja rumahan
telah selesai, perantara mengumpulkan produk dari pekerja rumahan dan mengirimkan
produk ke perusahaan lain yang mungkin bekerja dengan perusahaan nasional dan
internasional. Terkecuali kasus di Jawa Barat dan Banten, di mana pekerja rumahan
cenderung bekerja berkelompok dan pemimpin kelompok akan mengirimkan produk jadi ke
perantara. Di Sumatera Utara perusahaan seringkali memiliki hubungan langsung dengan
pekerja rumahan (tanpa perantara). Meskipun penelitian ini tidak dapat memperoleh
gambaran lengkap rantai pasokan untuk melacak di mana produk yang dibuat oleh pekerja
rumahan dikirim dan dijual, namun menjadi jelas dari beberapa wawancara bahwa sebagian
pekerja terlibat dalam produksi barang bagi perusahaan yang terkenal secara global.
Tabel 19 menyajikan pengetahuan pekerja rumahan tentang perusahaan yang
mempekerjakan mereka. Tabel ini menunjukkan bahwa rata-rata, 58,1 persen responden
memiliki pengetahuan tentang perusahaan yang mempekerjakan mereka atau yang memberi
perintah produksi, meskipun ada variasi di enam provinsi dengan persentase tinggi pekerja
rumahan mengetahui pemberi kerja di Jawa Tengah (87,6 persen), sedangkan persentase
rendah di Banten sebesar 23,5 persen. Ketika ditanya nama perusahaan untuk mana mereka
20 S. Mehrotra dan M. Biggeri (2007), “Asian informal workers : Global risks, local protections”, (Routledge, London dan AS).
36
memproduksi, beberapa merek yang sangat terlihat dalam rantai pasokan global disebutkan
di Jawa Tengah. Sementara pekerja rumahan yang menyebutkan ini tidak menerima
pekerjaan langsung dari perusahaan-perusahaan yang diakui secara internasional ini, mereka
menyadari bahwa mereka memproduksi untuk merek-merek tersebut karena nama
perusahaan disebutkan di produk yang dikerjakan oleh pekerja rumahan.
Pekerja rumahan cenderung berhubungan dengan perantara ketimbang berhubungan
langsung dengan pabrik atau merek (Lihat Kotak 4 untuk contoh dari Banten). Memang,
sebagian besar pemberi kerja yang mempekerjakan pekerja rumahan adalah usaha mikro dan
kecil yang bertindak sebagai pemasok, sub-pemasok, atau perantara pabrik yang lebih besar,
dan pekerja rumahan mungkin tidak memiliki pengetahuan tentang pabrik dengan mana
usaha mikro tersebut melakukan bisnis. Para pekerja rumahan yang tidak memiliki
pengetahuan tentang perusahaan untuk mana mereka memproduksi tersebut cenderung
direkrut ke dalam pekerjaan rumahan melalui keluarga atau teman-teman.
Tabel 19: Pengetahuan pekerja rumahan tentang perusahaan untuk mana mereka memproduksi Provinsi Perusahaan diketahui Perusahaan tidak diketahui
Jumlah di sampel % sampel Jumlah di sampel % sampel
Sumatera Utara 198 66,0 102 34,0
Jawa Barat 333 41,4 471 58,6
Jawa Tengah 683 87,6 97 12,4
D.I. Yogyakarta 62 77,5 18 22,5
Jawa Timur 371 52,3 339 47,7
Banten 79 23,5 257 76,5
Total 1726 58,1 1284 41,9
Sumber: Data survei.
Kotak 4: Hubungan rantai pasokan: kasus Ibu Dina, Banten
Ibu Dina bekerja di sektor pakaian jadi di Kabupaten Tangerang, Banten. Baginya pekerjaan rumahan
merupakan jenis pekerjaan yang fleksibel karena dia tidak diawasi secara langsung, bekerja kapanpun
dia inginkan dan tidak harus mengisi daftar hadir. Dia memilih untuk terlibat dalam jenis pekerjaan ini
karena dia dapat bekerja menurut keleluasaannya sendiri sembari melaksanakan pekerjaan rumah
tangga dan mengasuh anak. Dia juga bisa beristirahat dengan keleluasaannya sendiri dan tidak
tertekan oleh target produksi harian.
Perantara yang Ibu Dina bekerja untuknya adalah temannya yang memberinya bahan baku dan
mengumpulkan produk jadi. Dia tidak tahu pabrik mana yang membeli produk jadinya atau di pasar
mana produk jadinya dijual. Teman perantaranya menunjukkan bahwa pesanan kerja diberikan oleh
pemilik sebuah perusahaan pakaian di kabupaten yang sama. Namun, menurut teman perantaranya,
pemilik pabrik ini juga menerima bahan dari pihak lain yang asalnya dia tidak tahu.
Sumber: Diskusi kelompok terarah, Banten.
37
Di Indonesia, ada pemahaman yang berbeda tentang pekerjaan rumahan dan sebagian orang
berpandangan bahwa produk yang diproduksi oleh pekerja rumahan adalah untuk konsumsi
sendiri atau konsumsi lokal saja dan mereka tidak dianggap berkontribusi terhadap
perekonomian nasional, regional dan global. Namun, ketika ditanya tentang pasar untuk
produk yang diproduksi oleh pekerja rumahan, 18 persen menyatakan bahwa mereka
memproduksi untuk pasar internasional, dan 14 persen menyatakan mereka memproduksi
untuk pasar nasional (Gambar 1). Penelitian ini menegaskan bahwa rantai pasokan global
terkait dengan pekerja rumahan di Indonesia melalui pengaturan sub-kontrak berlapis-lapis.
Karena pekerja rumahan pada umumnya memiliki informasi yang terbatas, juga mungkin
bahwa lebih banyak produk dijual di pasar internasional dan nasional dari pada yang diklaim
oleh pekerja rumahan dalam penelitian ini. Sebagian kecil pekerja rumahan (16 persen)
menyatakan bahwa mereka tidak tahu di mana produk mereka dijual.
Gambar 1: Pasar untuk mana pekerja rumahan memproduksi
Sumber: Data survei.
Di dalam kabupaten34%
Di dalam provinsi18%
Pasar nasional14%
Pasar internasional18%
Tidak tahu16%
38
7. Kondisi kerja pekerja rumahan
7.1 Waktu kerja
Menurut sebuah penelitian skala kecil yang dilakukan oleh proyek ILO/MAMPU pada tahun
2013, pekerja rumahan pada umumnya bekerja dengan jam kerja panjang dan memiliki
volume produk yang besar untuk diselesaikan dalam waktu singkat.21 Untuk memberikan
wawasan lebih lanjut tentang situasi ini, sub-bab ini menyajikan data tentang rata-rata jam
kerja pekerja rumahan.
Tabel 20 di bawah ini menunjukkan variasi rata-rata waktu kerja untuk pekerja rumahan di 6
provinsi. Di seluruh enam provinsi tersebut, rata-rata, 45,6 persen pekerja rumahan bekerja
paruh waktu (kurang dari 35 jam per minggu) dan 32,6 persen pekerja rumahan bekerja
dengan jam kerja berlebihan (48 jam atau lebih). Porsi pekerja rumahan yang bekerja dengan
jam kerja berlebihan sangat tinggi di Jawa Timur sebesar 55,2 persen dan itu bahkan lebih
tinggi dari rata-rata provinsi. Lebih dari seperempat pekerja rumahan juga bekerja dengan
jam kerja berlebihan di Sumatera Utara (27,33 persen), Jawa Barat (40,4 persen) dan Banten
(33,7 persen).
Tabel 20: Rata-rata waktu kerja pekerja rumahan dibandingkan dengan rata-rata provinsi Provinsi Pemetaan pekerja rumahan (%) Provinsi (%)
Jam paruh waktu
(kurang dari 35 jam)
Jam kerja rata-rata (35
hingga 47 jam)
Jam kerja berlebihan
(48 jam atau lebih)
Jam paruh waktu
(kurang dari 35 jam)
Jam kerja rata-rata (35
hingga 47 jam)
Jam kerja berlebihan
(48 jam atau lebih)
Sumatera Utara 40,33 32,33 27,33 37,6 24,9 37,5
Jawa Barat 51,7 3,4 40,4 28,8 28,3 42,9
Jawa Tengah 39,7 37,3 22,9 36,6 27,0 36,4
D.I. Yogyakarta 53,8 30,0 16,3 33,3 31,8 34,9
Jawa Timur 43,8 1,0 55,2 40,7 25,2 34,1
Banten 44,1 1,4 33,7 23,8 34,6 41,6
Sumber: Data survei; Sakernas (2014) data mikro
Penelitian ini juga menemukan bahwa rata-rata jam kerja pekerja rumahan lebih panjang dari
pada rata-rata jam kerja perempuan di angkatan kerja sebagaimana dideskripsikan di dalam
statistik angkatan kerja Indonesia di hampir semua provinsi (Tabel 21). Pekerja rumahan
bekerja antara 6 hingga 7 hari per minggu selama rata-rata 6 hingga 7 jam per hari. Di
Indonesia rata-rata jam kerja per bulan adalah 42, dengan pekerja yang bekerja antara 5
hingga 6 hari per minggu selama 8 jam per hari. Oleh karena itu, dibandingkan dengan rata-
rata, pekerja rumahan cenderung bekerja dengan jam kerja lebih sedikit per hari, tetapi lebih
banyak hari per minggu.
Tabel 21: Rata-rata jam kerja untuk pekerja rumahan dan perempuan di angkatan kerja Provinsi Rata-rata jam kerja untuk pekerja
rumahan Rata-rata jam kerja untuk perempuan di angkatan
kerja
Sumatera Utara 39 35
Jawa Barat 45 39
Jawa Tengah 38 36
D.I. Yogyakarta - 36
Jawa Timur - 36
Banten 40 40
21 ILO (2015), “Indonesia: Pekerja RUmahan di Jawa Timur – Temuan dari penelitian kualitatif” (ILO, Jakarta).
39
Sumber: Data survei; Sakernas (2014) datamikro
Penelitian ini juga melihat jam kerja menurut sektor ekonomi yang berbeda. Tabel 22
merangkum hasilnya. Secara umum pekerja rumahan di sektor kulit, barang kulit dan alas kaki
cenderung memiliki jam kerja lebih panjang dari pada sektor lain kecuali di Jawa Barat dan
Jawa Timur. Jam kerja terpanjang adalah 66 jam oleh pekerja rumahan di sektor pengolahan
tembakau di Jawa Timur. Jam kerja terpendek adalah 13 jam di kalangan pekerja rumahan
dalam pengolahan makanan di Yogyakarta.
Tabel 22: Rata-rata jam kerja per minggu menurut sektor untuk pekerja rumahan Sektor Sumatera
Utara Jawa Barat Jawa Tengah D.I.
Yogyakarta Jawa Timur Banten
Jml. pekerj
a Jam
Jml. pekerj
a Jam
Jml. pekerj
a Jam
Jml. pekerj
a Jam
Jml. pekerj
a Jam
Jml. peker
ja Jam
Pengolahan makanan 144 38,3 116 47,8 95 30,7 11 13,0 85 50,1 38 45,9
Pengolahan minuman 10 43,3 2 30,0 N/A N/A N/A N/A 4 46,3 1 42,0
Pengolahan tembakau N/A N/A N/A N/A 1 N/A N/A N/A 1 66,0 N/A N/A
Tekstil (pemintalan, tenun, pencelupan)
13 32,2 13 44,8
63 39,4 11 30,7 57 50,0 24 41,1
Pakaian jadi (menjahit baju)
29 37,3 232 40,2
126 38,5 13 36,5 62 48,6 50 35,6
Kulit, barang kulit dan alas kaki
13 56,5 36 36,5
70 57,6 29 38,6 44 40,2 60 43,3
Pengolahan kayu, bambu dan rotan
12 35,7 23 48,1
98 37,3 2 29,5 122 45,8 13 39,4
Furnitur N/A N/A 15 55,1 9 31,2 1 N/A 41 43,6 4 28,8
Manufaktur lain 79 40,7 367 37,5 318 33,6 13 32,0 294 46,6 146 39,8
Sumber: Data survei.
Ketika pekerja rumahan ditanya apakah mereka ingin bekerja lebih lam untuk mendapatkan
upah tambahan, 40 persen responden menyatakan bahwa mereka bersedia, meskipun
banyak dari pekerja rumahan ini sudah bekerja dengan jam yang melebihi jam kerja normal.
Temuan ini merupakan indikasi upah rendah. Banyak pekerja rumahan bersedia bekerja
dengan jam berlebihan guna untuk memberikan penghasilan bagi keluarga mereka. Bagi
mereka, bekerja dengan jam kerja lebih sering dianggap sebagai satu-satunya pilihan yang
mereka miliki untuk meningkatkan pendapatan mereka. Bekerja dengan jam kerja berlebihan
dapat berdampak negatif terhadap kesehatan dan produktivitas mereka. Meskipun tidak
tercakup dalam penelitian ini, jumlah jam yang sebenarnya digunakan pekerja rumahan untuk
melaksanakan pekerjaan mereka juga dapat berdampak pada kesehatan mereka. Karena
pekerja rumahan pada umumnya melakukan beberapa tugas tanggung jawab rumah tangga
dan mencari penghasilan, mereka mungkin melaksanakan pekerjaan rumahan pada larut
malam setelah menyelesaikan pekerjaan rumah tangga. Dalam hal ini, kesehatan para pekerja
rumahan yang bekerja paruh waktu juga dapat terganggu karena waktu istirahat dan tidur
mereka akan terganggu.
7.2 Upah pekerja rumahan
Upah rendah seringkali disebut sebagai salah satu tantangan utama yang dihadapi oleh
pekerja rumahan. Sebagaimana ditunjukkan di Tabel 23 di bawah ini, upah rata-rata per bulan
yang diterima oleh pekerja rumahan berkisar dari Rp. 377.331 hingga Rp. 1,2 juta per bulan
di seluruh 6 provinsi yang disurvei dengan sebagian besar provinsi memiliki upah rata-rata
40
bulanan antara Rp. 377.000 dan Rp. 569.000. Data dari survei angkatan kerja pada bulan
Agustus 2014 memperkirakan bahwa upah rata-rata untuk karyawan biasa di Indonesia
adalah Rp. 1,9 juta, berkisar antara Rp. 1,4 juta dan Rp. 2,4 juta di provinsi-provinsi yang
dicakup oleh penelitian ini. Rata-rata upah minimum nasional adalah Rp. 1,5 juta pada tahun
2014, berkisar antara Rp. 0,9 juta dan Rp. 1,5 juta di enam provinsi yang dicakup dalam
penelitian ini. Membandingkan dengan upah rata-rata untuk karyawan biasa dan upah
minimum rata-rata nasional, jelas bahwa upah yang diterima oleh pekerja rumahan jauh lebih
rendah.
Secara rata-rata, besaran upah yang diterima memungkinkan pekerja rumahan untuk naik di
atas garis kemiskinan provinsi. Namun, besaran upah tersebut biasanya di bawah 50 persen
upah minimum dan di bawah 30 persen upah rata-rata. Terkecuali Jawa Barat di mana upah
bulanan rata-rata pekerja rumahan (Rp. 908.489) mendekati upah minimum provinsi (Rp. 1
juta). Di Jawa Barat, rata-rata jam kerja pekerja rumahan lebih panjang dari provinsi lain
(Tabel 21).
Tabel 23: Upah bulanan rata-rata pekerja rumahan (Rp.) (1) (2) (3) (4) (5) = ((4)/(3))x100 (6)
Provinsi Garis kemiskinan,
per kapita per
bulan
Upah bulanan rata-
rata untuk
karyawan biasa
Upah minimum22 Rasio Kaitz
(%)
Upah bulanan rata-
rata untuk pekerja
rumahan
Sumatera
Utara 330.663 1.730.339 1.505.850 87,0 377.331
Jawa Barat 291.474 1.950.345 1.000.000 51,3 908.489
Jawa Tengah 281.570 1.408.241 910.000 64,6 387.172
D.I.
Yogyakarta 321.056 1.724.646 988.500 57,3 568.750
Jawa Timur 289.945 1.574.956 1.000.000 63,5 423.043
Banten 315.819 2.396.002 1.325.000 55,3 378.998
National 308.826 1.952.589 1.494.134 76,5 377.331
Sumber: Data survei; BPS (2014) Situasi Tenaga Kerja di Indonesia, Agustus 2014, Badan Pusat
Statistik, Jakarta.
Ketika melihat upah bulanan rata-rata pekerja rumahan dibandingkan dengan upah rata-rata
untuk karyawan biasa di bidang manufaktur, pekerja rumahan perempuan jelas kurang
beruntung. Perempuan pada umumnya dibayar lebih rendah dari pada laki-laki di Indonesia,
dengan kesenjangan upah gender diperkirakan 77,8 persen secara rata-rata untuk karyawan
biasa di seluruh negeri. Perempuan di bidang manufaktur juga menerima upah lebih rendah
dari pada laki-laki (Tabel 24). Selanjutnya, pendapatan pekerja rumahan cenderung kurang
dari 50 persen upah yang diterima oleh karyawan perempuan biasa di sektor manufaktur.
22 Upah minimum di Indonesia ditentukan melalui sebuah proses tahunan yang dipimpin oleh dewan upah daerah otonom yang terdiri dari pekerja, pengusaha dan pemerintah, yang memperkirakan jumlah yang dibutuhkan oleh pekerja untuk mencapai “standar hidup layak minimum” atau “kebutuhan hidup layak” (KHL) untuk provinsi atau kabupaten tertentu.
41
Tabel 24: Upah rata-rata di sektor manufaktur untuk karyawan biasa dan pekerja rumahan (Rp.) Upah rata-rata untuk karyawan biasa di bidang
manufaktur Upah bulanan rata-rata untuk
pekerja rumahan Provinsi Laki-laki Perempuan
Sumatera Utara 1.863.540 1.291.210 377.331
Jawa Barat 2.001.797 1.611.239 1.194.615
Jawa Tengah 1.228.142 826.709 387.172
D.I. Yogyakarta 1.317.739 919.364 568.750
Jawa Timur 1.711.444 1.161.389 423.043
Banten 2.433.929 2.033.729 378.998
Total 1.927.994 1.403.925 377.331
Sumber: Data survei; BPS (2014) Situasi Tenaga Kerja di Indonesia, Agustus 2014, Badan Pusat
Statistik, Jakarta.
Upah pekerja rumahan bervariasi berdasarkan sektor, jam kerja dan provinsi sebagaimana
ditunjukkan di Tabel 25. Pendapatan rata-rata tertinggi pekerja rumahan ditemukan di sektor
pengolahan makanan di Jawa Barat, sedangkan yang terendah ditemukan di sektor furnitur
di Banten. Sektor furnitur menandai upah terendah juga di Jawa Barat dan Jawa Timur. Di
Jawa Barat dan Jawa Timur, semua upah rata-rata berada di atas upah minimum. Di provinsi
lainnya, Sumatera Utara, Jawa Tengah dan Yogyakarta, mereka yang bekerja di pengolahan
makanan menerima upah terendah. Dengan pengecualian Jawa Barat dan Jawa Timur,
pekerja rumahan yang diwawancarai dalam penelitian ini yang bekerja di pengolahan
makanan tidak mendapatkan penghasilan cukup untuk naik di atas garis kemiskinan.
Sebagaimana disajikan oleh Tabel 26, ada variasi besar dalam upah rata-rata di berbagai
provinsi berbeda bahkan untuk sektor yang sama, bahkan dengan mempertimbangkan
perbedaan dalam jam kerja. Misalnya, upah bulanan rata-rata untuk pengolahan makanan
adalah Rp. 1.222.112 di Jawa Barat, sedangkan Banten adalah Rp. 200.395. Penelitian ini tidak
mampu mengeksplorasi faktor yang berkontribusi terhadap variasi yang sangat besar
tersebut dan penelitian lebih lanjut dapat dilakukan untuk mengidentifikasi faktor-faktor
tersebut. Kotak 5 di bawah ini mengilustrasikan pekerja rumahan perempuan dan upah
mereka.
Tabel 25: Upah rata-rata menurut sektor untuk pekerja rumahan (Rp.) Sumatera Utara Upah rata-rata (Rp) per bulan Jam kerja rata-rata per minggu
Pengolahan makanan 234.125 38,3
Pengolahan minuman 294.980 43,3
Pengolahan tembakau N/A N/A
Tekstil (pemintalan, tenun, pencelupan) 478.400 33,2
Pakaian jadi (menjahit baju) 563.103 37,3
Kulit, barang kulit dan alas kaki 1.023.153 56,5
Pengolahan kayu, bambu dan rotan 552.500 35,7
Furnitur N/A N/A
Manufaktur lain 431.082 40,7
Jawa Barat Upah rata-rata (Rp) per bulan Jam kerja rata-rata per minggu
42
Pengolahan makanan 1.222.112 47,8
Pengolahan minuman 1.000.000 30,0
Pengolahan tembakau N/A N/A
Tekstil (pemintalan, tenun, pencelupan) 1.194.615 44,8
Pakaian jadi (menjahit baju) 783.658 40,2
Kulit, barang kulit dan alas kaki 916.857 36,5
Pengolahan kayu, bambu dan rotan 903.478 48,1
Furnitur 604.667 55,1
Manufaktur lain 642.523 37,5
Jawa Tengah Upah rata-rata (Rp) per bulan Jam kerja rata-rata per minggu
Pengolahan makanan 267.121 30,7
Pengolahan minuman N/A N/A
Pengolahan tembakau N/A N/A
Tekstil (pemintalan, tenun, pencelupan) 449.015 39,4
Pakaian jadi (menjahit baju) 480.163 38,5
Kulit, barang kulit dan alas kaki 430.728 57,6
Pengolahan kayu, bambu dan rotan 342.538 37,3
Furnitur 445.888 31,2
Manufaktur lain 294.749 33,6
D.I. Yogyakarta Upah rata-rata (Rp) per bulan Jam kerja rata-rata per minggu
Pengolahan makanan 236.363 13,0
Pengolahan minuman N/A N/A
Pengolahan tembakau N/A N/A
Tekstil (pemintalan, tenun, pencelupan) 527.272 30,7
Pakaian jadi (menjahit baju) 750.769 36,5
Kulit, barang kulit dan alas kaki 705.172 38,6
Pengolahan kayu, bambu dan rotan 950.000 29,5
Furnitur N/A N/A
Manufaktur lain 359.230 32,0
Jawa Timur Upah rata-rata (Rp) per bulan Jam kerja rata-rata per minggu
Pengolahan makanan 556.259 50,1
Pengolahan minuman 320.000 46,3
Pengolahan tembakau 500.000 66,0
Tekstil (pemintalan, tenun, pencelupan) 430.684 50,0
Pakaian jadi (menjahit baju) 534.129 48,6
Kulit, barang kulit dan alas kaki 411.454 40,2
Pengolahan kayu, bambu dan rotan 535.606 45,8
Furnitur 296.146 43,6
Manufaktur lain 343.142 46,6
Banten Upah rata-rata (Rp) per bulan Jam kerja rata-rata per minggu
Pengolahan makanan 200.395 45,9
Pengolahan minuman 250.000 42,0
Pengolahan tembakau N/A N/A
Tekstil (pemintalan, tenun, pencelupan) 318.000 41,1
Pakaian jadi (menjahit baju) 370.408 35,6
Kulit, barang kulit dan alas kaki 859.704 43,3
Pengolahan kayu, bambu dan rotan 444.154 39,4
Furnitur 125.000 28,8
Manufaktur lain 464.323 39,8
Sumber: Data survei.
Kotak 5: Kasus Ibu Samiah dan Ibu Hani di Banten dan Ibu Sintha dan Ibu Lilis di Sumatera Utara23
Ibu Samiah tinggal di Banten dan merupakan seorang pekerja rumahan di sektor pakaian jadi yang
tidak pernah bersekolah. Dia membuang kelebihan benang dari kemeja untuk merek internasional
yang terkenal. Menurut dia, kerja membuang benang tidak rumit dan tidak memerlukan banyak
keterampilan. Dia hanya harus memotong kelebihan benang pada jahitan kemeja. Dalam satu hari,
dia melaksanakan tugas ini untuk rata-rata 100 kemeja selama sembilan jam. Dia bekerja selama 6
hari seminggu. Dia menerima maksimal Rp. 500.000 per bulan untuk pekerjaan ini. Ini berarti bahwa
23 Semua nama perorangan yang muncul di laporan ini telah dirubah untuk melindungi identitas perorangan tersebut.
43
dia menerima penghasilan rata-rata Rp. 20.830 per hari atau Rp. 2.975 per jam. Penghasilannya
menempatkan dirinya jauh di bawah upah minimum kabupaten (Rp. 1,3 juta) dan hanya sedikit di atas
garis kemiskinan (Rp. 0,3 juta).
Ibu Hani memiliki ijazah SLTA dan merupakan seorang pekerja rumahan di sektor furnitur di Banten.
Dia melaksanakan tugas finishing untuk pembuatan jok mobil, termasuk memotong benang. Dia
bekerja rata-rata selama 4 jam sehari dan 7 hari seminggu. Untuk satu kursi mobil, dia bekerja selama
2 jam dengan besaran upah per satuan Rp. 2.500 per unit. Dalam satu bulan dia mendapatkan Rp.
150.000. Ini berarti bahwa dia mendapatkan Rp. 5.000 dalam satu hari atau Rp. 1.250 per jam.
Baik Ibu Samiah maupun Ibu Hani menyelesaikan pekerjaan yang berada di tahap akhir dari proses
produksi, yaitu tugas finishing atau memotong benang dari sisa jahitan. Ibu Samiah bekerja dengan
jam kerja berlebihan dan Ibu Hani bekerja paruh waktu. Kedua pekerja tersebut sama-sama tidak
mampu menghasilkan upah yang setara dengan upah minimum provinsi bahkan jika mereka bekerja
penuh waktu. Ini juga menyoroti bahwa tingkat pendidikan tidak banyak memainkan peran dalam
penghasilan bagi pekerja rumahan.
Ibu Sintha adalah seorang pekerja rumahan di Sumatera Utara dan pekerjaannya adalah memotong
bawang. Meskipun dia bekerja dengan jam kerja panjang (63 jam per minggu), upah bulanannya
adalah Rp. 200.000 yang berada di bawah garis kemiskinan untuk Sumatera Utara (Rp. 330.517 untuk
daerah perkotaan). Ibu Lilis, di sisi lain, bekerja 3 jam per hari dan 5 hari per minggu (15 jam per minggu
total) menjahit pakaian, dan menerima upah bulanan Rp. 400.000.
Sumber: Diskusi kelompok terarah, Banten dan Sumatera Utara.
7.3 Mekanisme pembayaran pekerja rumahan
Penelitian ini menemukan bahwa penghasilan pekerja rumahan biasanya ditentukan dengan
menggunakan sistem besaran per satuan. Di antara responden yang diwawancarai dalam
penelitian ini, lebih dari 90 persen menyatakan bahwa mereka dibayar per unit yang mereka
produksi (Lihat Tabel 26 untuk contoh besaran upah per satuan). Secara umum,
kecenderungannya adalah semakin pendek waktu yang dibutuhkan, semakin rendah besaran
upah per satuannya, dan sebaliknya.
Tabel 26: Contoh besaran upah per satuan
Provinsi Contoh besaran upah per satuan
Sumatera Utara
- Menggunting bawang: Rp. 125 per kg (Pekerja rumahan dapat menyelesaikan 1 kg dalam 15 menit).
- Membersihkan ikan: Rp. 3.000 per kg (Pekerja rumahan dapat menyelesaikan 10-15 kg dalam 4-8 jam per hari, dan menerima Rp. 30.000 – 45.000).
- Mengupas udang: Rp. 2.700 per kg (Pekerja rumahan dapat menyelesaikan 1 kg dalam 2 jam).
Jawa Barat - Menjahit sol sepatu bagian atas: Rp. 25.000 per 1 lusin pasang sepatu (Pekerja rumahan dapat menyelesaikan 1 lusin pasang sepatu per hari).
- Membuat pangsit di Bandung: Rp. 600 per bungkus (Pekerja rumahan dapat menyelesaikan 30-50 bungkus dalam sehari, dan menerima Rp. 18.000 - Rp. 30.000).
44
- Memilin serat kabel charger telepon seluler: Rp. 1000 per 1 bundel kabel (tiap bundel berisi 100 buah kabel serat). (Pekerja rumahan bisa menyelesaikan sekitar 10-15 bundel per hari, dan menerima Rp. 10.000 - Rp. 15.000).
Jawa Tengah - Membungkus sedotan: Rp. 5.000 per 5 bungkus (Pekerja rumahan dapat menyelesaikan 5 bungkus dalam 6 jam).
- Membatik: Rp. 5.000 per unit (Pekerja rumahan dapat menyelesaikan 1 unit dalam 3 jam).
Yogyakarta - Bekerja pada industri kayu, barang dari kayu dan gabus (tidak termasuk furnitur) dan barang anyaman dari bambu, rotan dan sejenisnya: Rp. 500 per unit (Pekerja rumahan dapat menyelesaikan 1 unit dalam sekitar 30 menit)
- Bekerja pada pakaian industri: Rp. 1.500 per pakaian (Pekerja rumahan dapat menyelesaikan 1 pakaian dalam 45 menit)
Jawa Timur - Memasang senar untuk raket bulutangkis: Rp. 2.500 per lusin (Pekerja rumahan dapat menyelesaikan 12 raket dalam 2 jam).
- Memotong tali sandal: Rp. 7.000 per lusin pasang (Pekerja rumahan dapat 5-6 lusin per hari, dan menerima Rp. 35.000 - Rp. 42.000).
- Merakit tutup panci: Rp. 1.000 per lembar tutup panci (Pekerja rumahan dapat menyelesaikan 20-50 lembar tutup panci dalam 8-10 jam per hari dengan bantuan dari anggota keluarga, dan menerima Rp. 20.000 - 50.000).
Banten - Membuang benang dari kemeja: Rp. 115 per kemeja (Jika pekerja rumahan dapat menyelesaikan 100 kemeja dalam satu hari, mereka menerima Rp. 11.500).
- Membuang benang dari kaos: Rp. 60 per kaos (Pekerja rumahan menerima 30-60 kaos dalam satu hari untuk diselesaikan, dan menerima Rp. 1.800 - 3.600 per hari).
Sumber: Data survei; data dari proyek ILO/MAMPU.
Penelitian ini menemukan bahwa besaran upah per satuan sebagian besar pekerja rumahan
ditentukan oleh pemberi kerja mereka tanpa perundingan. Misalnya, di Sumatera Utara 97,67
persen pekerja rumahan yang diwawancarai melaporkan bahwa pemberi kerja mereka
menentukan besaran upah per satuan mereka. Di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan
Banten masing-masing 76,9 persen, 84,5 persen, 89,7 persen dan 85,1 persen. Hanya
sebagian kecil pekerja rumahan menentukan sendiri atau merundingkan besaran upah
mereka. Informasi dari diskusi kelompok terarah menjelaskan lebih lanjut bahwa mereka
menerima besaran upah per satuan tanpa perundingan karena dua faktor, meliputi i) takut
kehilangan pekerjaan mereka dan ii) takut persaingan dari pekerja lain. Pekerja rumahan jelas
berada dalam posisi tawar yang lemah.
Pemberitahuan tentang besaran upah per satuan sebelum mulai mengerjakan pesanan kerja
memberi pekerja rumahan kejelasan dalam hal pendapatan mereka nantinya. Menurut
penelitian ini, lebih dari 80 persen pekerja rumahan pada umumnya diberitahu besaran upah
per satuan mereka sebelum mulai bekerja. Selain itu, pekerja rumahan melaporkan bahwa
mereka pada umumnya dibayar langsung oleh pemberi kerja atau perantara untuk pekerjaan
mereka, dengan 90 persen sampel menunjukkan bahwa mereka dibayar langsung tanpa
tanda terima. Terkecuali kasus Yogyakarta. Di Yogyakarta hanya 72,5 persen responden
menyatakan bahwa mereka dibayar langsung untuk pekerjaan rumahan mereka, responden
lainnya menunjukkan bahwa pasangan mereka atau anggota keluarga mereka lainnya
menerima pembayaran. Situasi di Yogyakarta mungkin menunjukkan bahwa sebagian pekerja
45
rumahan mungkin tidak memiliki kendali penuh atas upah yang mereka peroleh karena
keterlibatan pasangan mereka atau anggota keluarga lainnya dalam menerima pembayaran.
Dalam hal ketepatan waktu pembayaran, penelitian ini menemukan bahwa pekerja rumahan
biasanya dibayar setelah mereka mengirimkan produk, tetapi pengaturan untuk pembayaran
dapat bervariasi. Contohnya, sebagian pekerja rumahan yang diwawancarai dalam penelitian
ini dibayar pada saat mereka mengirimkan produk. Ada juga pekerja rumahan yang dibayar
baru setelah produk yang mereka produksi telah dijual oleh pemberi kerja mereka. Tabel 27
merangkum ketepatan waktu pembayaran untuk pekerjaan rumahan. Tabel ini menunjukkan
bahwa banyak pekerja rumahan dibayar pada saat pengiriman (40,9 persen) ataupun antara
1 dan 15 hari setelah mereka mengirimkan produk (42,2%). Sekitar 17 persen pekerja
rumahan menerima pembayaran lebih dari 15 hari setelah pengiriman. Perlu disoroti bahwa
59,1 persen responden mengalami keterlambatan dalam menerima pembayaran. Ini
menunjukkan bahwa resiko produksi dibebankan pada pekerja rumahan. Bagi pekerja
rumahan, keterlambatan pembayaran berhubungan langsung dengan berbagai resiko karena
mereka mungkin tidak memiliki penghasilan lain untuk melindungi mereka dari sakit
mendadak atau cedera, yang selanjutnya akan berdampak pada kemampuan mereka untuk
memperoleh pendapatan.
Tabel 27: Waktu pembayaran dan pekerjaan rumahan Provinsi Saat pengiriman 1 hingga 15 hari setelah
pengiriman 16 hingga 30 hari
setelah pengiriman Lebih dari 30 hari
setelah pengiriman
Jumlah di sampel
% sampel Jumlah di sampel
% sampel Jumlah di sampel
% sampel Jumlah di sampel
% sampel
Sumatera Utara 106 35,3 139 46,3 47 15,7 8 2,7
Jawa Barat 388 48,3 273 34,0 129 16,0 14 1,7
Jawa Tengah 318 40,8 335 42,9 84 10,8 43 5,5
D.I. Yogyakarta 31 38,8 40 50,0 8 10,0 1 1,3
Jawa Timur 313 44,0 300 42,3 60 8,5 37 5,2
Banten 81 24,1 180 53,6 54 16,1 21 6,3
Total /rata-rata 1228 40,9 1267 42,2 382 12,7 124 4,1
Sumber: Data survei.
7.4 Keuntungan dan kesulitan
Keuntungan utama yang diungkapkan oleh pekerja rumahan adalah bahwa mereka mampu
mendapatkan penghasilan dengan beberapa fleksibilitas untuk menjadwal kerja sementara di
rumah dan kemungkinan untuk mengelola beberapa tugas atau kegiatan yang berhubungan
dengan menghasilkan pendapatan serta tanggung jawab rumah tangga. Mayoritas pekerja
rumahan melaporkan bahwa mereka melakukan pengasuhan anak sembari bekerja rumahan.
Bagian sampel yang lain melaporkan bahwa mereka mendapatkan bantuan dari anggota
keluarga lain dalam mengurus anak atau mengerjakan pekerjaan rumahan saat anak-anak
mereka bersekolah.
Sebagaimana ditunjukkan di Tabel 28, kesulitan paling umum yang diungkapkan oleh pekerja
rumahan terkait dengan rendahnya tingkat upah (52,25 persen), diikuti oleh ketidaktentuan
dalam pesanan kerja (33 persen). Kesulitan lain terkait dengan ketidakmampuan mereka
untuk berunding dengan perantara dan akses ke infrastruktur. Kesulitan utama yang
46
diungkapkan oleh peserta diskusi kelompok terarah adalah serupa dan mereka menyebutkan
upah rendah, ketidakstabilan pesanan kerja, dan pasokan bahan baku. Sementara
kemampuan melakukan beberapa tugas sekaligus (multi-tasking) dikemukakan sebagai
keuntungan utama oleh banyak responden, sebagian pekerja rumahan di dalam diskusi
kelompok terarah memandangnya sebagai kerugian karena membutuhkan banyak energi
agar bisa efektif dalam melaksanakan beberapa tugas secara bersamaan. Pekerja rumahan
lainnya juga menunjukkan kerugian lain dari pekerjaan rumahan yang membuat rumah
mereka berantakan karena bahan baku dan peralatan memenuhi ruang terbatas yang mereka
miliki di rumah. Pekerjaan rumahan juga dapat berdampak pada kesehatan pekerja rumahan
dan keluarga mereka karena sebagian bahan baku atau peralatan mungkin berbahaya.
Keluhan lain meliputi pekerjaan rumahan menganggu waktu keluarga, dan mereka tidak
diberi peralatan atau fasilitas kerja dalam mendukung pekerjaan mereka.
Tabel 28: Kesulitan yang dihadapi oleh pekerja rumahan Kesulitan Sumatera
Utara Jawa Barat Jawa Tengah
D.I.
Yogyakarta Jawa Timur Banten
Jml. % Jml. % Jml. % Jml. % Jml. % Jml. %
Buruknya akses ke infrastruktur
dasar 28 9,3 147 18,3 65 5,8 2 2,1 52 4,5 7 2,3
Kurangnya pendidikan,
pelatihan atau keterampilan 22 7,3 88 10,9 38 3,4 3 3,2 33 2,9 11 3,6
Tingginya biaya transportasi 8 2,7 58 7,2 97 8,7 4 4,2 69 6,0 20 6,5
Pesanan kerja tidak konsisten 122 40,7 351 43,7 242 21,6 20 21,1 353 30,6 124 40,3
Upah terlalu rendah 183 61,0 422 52,5 519 46,3 47 49,5 372 32,3 241 71,9
Biaya bahan dan alat terlalu
tinggi 16 5,3 36 4,5 60 5,4 9 9,5 26 2,3 3 1,0
Ketidakmampuan berunding
dengan perantara 41 13,7 84 10,4 99 8,8 10 10,5 112 9,7 5 1,6
Lainnya 29 9,7 N/A N/A N/A N/A N/A N/A 135 11,7 N/A N/A
Sumber: Data survei.
8. Perlindungan sosial dan keselamatan dan kesehatan pekerja rumahan
Perlindungan sosial
Indonesia memiliki banyak program bantuan sosial dan asuransi sosial yang dirancang untuk
mengurangi kemiskinan dan melindungi penduduk usia kerja. Pertanyaannya adalah apakah
pekerja rumahan memiliki akses ke program-program ini. Tabel 28 menunjukkan bahwa
pekerja rumahan memiliki akses terbatas ke program bantuan sosial dan asuransi sosial
47
pemerintah, dengan sekitar 40 persen dari sampel tidak memiliki akses ke bentuk
perlindungan sosial atau asuransi sosial apapun. Jika pekerja rumahan memiliki akses ke
program perlindungan sosial, yang paling umum adalah program asuransi kesehatan atau
program beras untuk rakyat miskin. Namun, di antara pekerja rumahan yang melaporkan
terdaftar di asuransi kesehatan atau asuransi ketenagakerjaan, sebagian besar bukan
merupakan anggota aktif yang membayar kontribusi meskipun mereka masih memiliki kartu
keanggotaan mereka, yang menunjukkan bahwa kemungkinan terbesar adalah bahwa
mereka memenuhi syarat untuk mengakses skema tersebut karena mereka dikategorikan
sebagai rumah tangga miskin. Sebagaimana terlihat dari upah bulanan rata-rata pekerja
rumahan (Tabel 23), upah rata-rata pekerja rumahan tepat di atas garis kemiskinan, meskipun
itu adalah 50 persen dari upah minimum dan kurang dari 30 persen dari upah rata-rata, dan
ini menjelaskan bahwa sebagian besar pekerja rumahan tidak akan memenuhi syarat untuk
mengakses skema bagi masyarakat miskin. Alasan utama buruknya akses ke program
perlindungan sosial adalah rendahnya tingkat kesadaran, dan bahwa pekerjaan suami mereka
tidak memberikan akses ke asuransi kesehatan, dan biaya asuransi dipandang terlalu tinggi
untuk rumah tangga mereka (misalnya Rp. 50.000 per bulan).
Tabel 29: Pekerja rumahan yang mendapat program bantuan dan asuransi sosial Sumatera Utara Number in sample Sample average (%)
Jamsostek/BPJS Ketenagakerjaan 24 8,0
Jamkesmas/BPJS Kesehatan 82 27,3
Membeli/mendapat beras miskin (RASKIN) 64 21,3
Program Keluarga Harapan (PKH) 4 1,3
Surat Miskin (SKTM) 7 2,3
Kartu Sehat 6 2,0
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) 11 3,7
Kredit Usaha Rakyat (KUR) N/A N/A
Tidak ada 115 38,3
Lainnya 25 8,3
Jawa Barat Number in sample Sample average
Jamsostek/BPJS Ketenagakerjaan 25 3,1
Jamkesmas/BPJS Kesehatan 123 15,3
Membeli/mendapat beras miskin (RASKIN) 275 34,2
Program Keluarga Harapan (PKH) 21 2,6
Surat Miskin (SKTM) 103 12,8
Kartu Sehat 12 1,5
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) 9 1,1
Kredit Usaha Rakyat (KUR) 8 1,0
Tidak ada 339 42,2
Lainnya 0 0,0
Jawa Tengah Number in sample Sample average
Jamsostek/BPJS Ketenagakerjaan 25 2,3
Jamkesmas/BPJS Kesehatan 299 27,7
Membeli/mendapat beras miskin (RASKIN) 325 30,1
Program Keluarga Harapan (PKH) 28 2,6
Surat Miskin (SKTM) 46 4,3
Kartu Sehat 44 4,1
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) 52 4,8
Kredit Usaha Rakyat (KUR) 14 1,3
Tidak ada 247 22,9
Lainnya N/A N/A
DIY Number in sample Sample average
Jamsostek/BPJS Ketenagakerjaan N/A N/A
Jamkesmas/BPJS Kesehatan 42 35,0
48
Membeli/mendapat beras miskin (RASKIN) 33 27,5
Program Keluarga Harapan (PKH) 5 4,2
Surat Miskin (SKTM) N/A N/A
Kartu Sehat 1 0,8
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) 4 3,3
Kredit Usaha Rakyat (KUR) 4 3,3
Tidak ada 22 18,3
Lainnya 9 7,5
Jawa Timur Number in sample Sample average
Jamsostek/BPJS Ketenagakerjaan 20 2,8
Jamkesmas/BPJS Kesehatan 123 17,3
Membeli/mendapat beras miskin (RASKIN) 247 34,8
Program Keluarga Harapan (PKH) 31 4,4
Surat Miskin (SKTM) 90 12,7
Kartu Sehat 12 1,7
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) 9 1,3
Kredit Usaha Rakyat (KUR) 8 1,1
Tidak ada 307 43,2
Lainnya 74 10,4
Banten Number in sample Sample average
Jamsostek/BPJS Ketenagakerjaan 13 3,8
Jamkesmas/BPJS Kesehatan 87 25,7
Membeli/mendapat beras miskin (RASKIN) 66 19,5
Program Keluarga Harapan (PKH) 1 0,3
Surat Miskin (SKTM) 6 1,8
Kartu Sehat 6 1,8
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) 1 0,3
Kredit Usaha Rakyat (KUR) 2 0,6
Tidak ada 156 46,2
Lainnya N/A N/A
Sumber: Data survei.
Pasal 99 UU Ketenagakerjaan No. 13/2003 menyatakan bahwa semua pekerja berhak atas
jaminan sosial, namun, saat ini belum ada pengaturan yang fleksibel yang secara memadai
mendukung pekerja musiman atau pekerja lepas untuk memastikan hak ini. Selain itu, hanya
1 dari 4 karyawan upahan reguler di sektor formal yang saat ini aktif memberikan kontribusi
untuk program-program seperti dana pensiun dan dana tabungan hari tua.24 Menurut data
yang dikumpulkan dalam penelitian ini, cakupan pekerja rumahan oleh program asuransi
ketenagakerjaan bahkan lebih rendah, dengan hanya 1 dari setiap 30 pekerja rumahan
memiliki akses ke program-program semacam itu. Rendahnya tingkat cakupan di kalangan
pekerja rumahan bukanlah tidak terduga, karena mayoritas kontrak antara pekerja rumahan
dan pemberi kerja mereka adalah informal.
Berkenaan dengan kehamilan, temuan penelitian ini menunjukkan bahwa saat hamil
mayoritas pekerja rumahan melakukan pemeriksaan pada bidan, perawat atau dokter
kandungan atau ginekolog. Hasilnya campuran untuk kesehatan pasca melahirkan. Misalnya,
di Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur, masing-masing 67,3 persen,
54,2 persen, 69,6 persen dan 64,9 persen dari sampel menyelesaikan konsultasi tindak lanjut
enam minggu setelah melahirkan. Di Yogyakarta dan Banten, hasilnya lebih tinggi, dengan
masing-masing 86,3 persen dan 85,7 persen dari sampel melakukan konsultasi pasca
24 BPJS Ketenagakerjaan (2014), “Laporan tahunan”, (BPJS Ketenagakerjaan, Jakarta).
49
melahirkan, dan itu menunjukkan bahwa perawatan kesehatan pasca melahirkan sangat
kurang diakses atau dimanfaatkan oleh pekerja rumahan.
Keselamatan dan kesehatan kerja
Sementara sebagian besar pekerja rumahan yang diwawancarai dalam penelitian ini
menyatakan bahwa kondisi kesehatan mereka berada pada tingkat yang normal atau baik,
para perempuan yang diwawancarai masih melaporkan berbagai keluhan kesehatan, meliputi
sesekali demam, batuk dan sakit kepala. Responden pada umumnya melaporkan bahwa sakit
ini tidak mengganggu secara substansial terhadap kegiatan kerja mereka dan bahwa mereka
beristirahat kerja atas keinginan mereka sendiri bila sakit.
Namun, perilaku dan pilihan mereka untuk beristirahat kerja dipengaruhi oleh kekhawatiran
akan berkurangnya pesanan kerja dari perantara jika mereka tidak bisa menyelesaikan
pesanan kerja tepat waktu. Mereka juga tidak mampu untuk beristirahat karena beristirahat
dan tidak bekerja untuk menyelesaikan pesanan berdampak langsung pada pendapatan
mereka sebagai pekerja rumahan yang dibayar berdasarkan jumlah produk yang diselesaikan.
Pekerja rumahan melaporkan bahwa karena bekerja dari rumah, kehidupan kerja mereka sulit
untuk dipisahkan dari kehidupan rumah mereka, sehingga mereka sering tetap bekerja ketika
sakit yang dapat berujung pada semakin lamanya waktu pemulihan dan semakin rendahnya
produktivitas.
Diskusi kelompok terarah mengungkapkan beberapa hal terkait dengan kesehatan,
khususnya mengenai stres dan kurangnya kepatuhan terhadap standar keselamatan kerja.
Misalnya, pekerja rumahan sering melaporkan mengalami stres karena rendahnya tingkat
pendapatan dan tidak mampu membayar biaya sekolah atau memenuhi kewajiban hutang.
Selain itu, pekerja rumahan yang bekerja di industri-industri tertentu, misalnya menempelkan
bantalan busa di helm untuk sepeda motor, melaporkan bahwa asap seringkali membuat
mereka merasa sesak napas dan mati rasa di tangan dan jari-jari mereka.
Tabel 30 menunjukkan hubungan antara kecelakaan kerja berdasarkan sektor ekonomi. Rata-
rata responden yang diwawancarai menunjukkan bahwa mereka mengambil libur 2 hari
karena kecelakaan kerja pada tahun lalu. Data menunjukkan bahwa kegiatan kerja dengan
waktu pemulihan terpanjang juga memiliki kejadian kecelakaan kerja paling sering. Misalnya,
pekerja rumahan di sektor garmen dan tekstil cenderung memiliki kejadian kecelakaan kerja
tertinggi dan waktu pemulihan terpanjang. Pemberian pelatihan, misalnya pelatihan
keselamatan dan kesehatan, adalah penting untuk memastikan kesehatan pekerja dan
mengurangi cedera terkait kerja yang bisa melemahkan potensi produktif pekerja rumahan.
Tabel 30: Hari-hari yang hilang karena kecelakaan kerja oleh pekerja rumahan Sumatera Utara Hari hilang minimum Hari hilang maksimum Rata-rata hari hilang
Pengolahan makanan 0 14 0.89
Pengolahan minuman 0 2 0.40
Pengolahan tembakau N/A N/A N/A
Tekstil (pemintalan, tenun, pencelupan) 0 15 3.23
Pakaian jadi (menjahit baju) 0 7 1.31
Kulit, barang kulit dan alas kaki 0 4 1.23
Pengolahan kayu, bambu dan rotan 0 7 1.17
50
Furnitur N/A N/A N/A
Manufaktur lain 0 28 1.29 Jawa Barat Hari hilang minimum Hari hilang maksimum Rata-rata hari hilang
Pengolahan makanan 0 7 2.0
Pengolahan minuman N/A N/A N/A
Pengolahan tembakau N/A N/A N/A
Tekstil (pemintalan, tenun, pencelupan) 0 7 2.2
Pakaian jadi (menjahit baju) 0 7 1.8
Kulit, barang kulit dan alas kaki 0 3 0.7
Pengolahan kayu, bambu dan rotan 0 7 2.9
Furnitur 0 2 1.0
Manufaktur lain 0 10 1.7 Jawa Tengah Hari hilang minimum Hari hilang maksimum Rata-rata hari hilang
Pengolahan makanan 1 30 4
Pengolahan minuman N/A N/A N/A
Pengolahan tembakau N/A N/A N/A
Tekstil (pemintalan, tenun, pencelupan) 0 60 8
Pakaian jadi (menjahit baju) 0 14 3
Kulit, barang kulit dan alas kaki 1 31 6
Pengolahan kayu, bambu dan rotan 0 7 2
Furnitur 1 14 5
Manufaktur lain 1 90 5 DIY Hari hilang minimum Hari hilang maksimum Rata-rata hari hilang
Pengolahan makanan 0 1 1
Pengolahan minuman N/A N/A N/A
Pengolahan tembakau N/A N/A N/A
Tekstil (pemintalan, tenun, pencelupan) 1 3 2
Pakaian jadi (menjahit baju) 0 1 1
Kulit, barang kulit dan alas kaki 1 3 2
Pengolahan kayu, bambu dan rotan 1 1 1
Furnitur 2 2 2
Manufaktur lain 1 3 2 Jawa Timur Hari hilang minimum Hari hilang maksimum Rata-rata hari hilang
Pengolahan makanan 0 75 3
Pengolahan minuman 0 14 4
Pengolahan tembakau 2 2 2
Tekstil (pemintalan, tenun, pencelupan) 0 14 1.66
Pakaian jadi (menjahit baju) 0 30 1.85
Kulit, barang kulit dan alas kaki 0 30 1.70
Pengolahan kayu, bambu dan rotan 0 60 1.67
Furnitur 0 7 2.24
Manufaktur lain 0 65 1.21 Banten Hari hilang minimum Hari hilang maksimum Rata-rata hari hilang
Pengolahan makanan 1 2 1.9
Pengolahan minuman N/A N/A N/A
Pengolahan tembakau N/A N/A N/A
Tekstil (pemintalan, tenun, pencelupan) 2 3 2.3
Pakaian jadi (menjahit baju) 1 4 2.4
Kulit, barang kulit dan alas kaki 0 3 1.1
Pengolahan kayu, bambu dan rotan 2 2 2
Furnitur N/A N/A N/A
Manufaktur lain 0 7 1.5
Sumber: Data survei.
Penelitian ini juga menanyakan kepada para responden tentang kesadaran mereka tentang
HIV/AIDS, menyusul tren yang berkembang dalam hal jumlah ibu rumah tangga terinfeksi HIV
di Indonesia.25 Ketika ditanya tentang kesadaran mereka, lebih dari 70 persen dari sampel
25 Kementerian Kesehatan (2014), “Laporan situasi HIV/AIDS di Indonesia”, (Kementerian Kesehatan, Jakarta).
51
menyatakan bahwa mereka telah mendengar tentang HIV/AIDS dari berbagai sumber.
Namun, ketika ditanya apakah mereka pernah diuji HIV, sebagian besar (lebih dari 97 persen)
mengatakan mereka belum pernah diuji.
9. Asosiasi dan perundingan bersama
Karena pekerja rumahan bekerja di rumah terisolasi dari orang lain, mereka terbatas atau
tidak memiliki akses ke informasi atau sumber daya lain yang mendukung mereka dalam
meningkatkan kondisi kerja dan hidup mereka. Sebagai seorang pekerja perorangan, pekerja
rumahan berada dalam posisi lemah ketika bernegosiasi dengan pemberi kerja atau perantara
mereka untuk meningkatkan kondisi kerja, dan pengorganisasian telah digunakan sebagai
strategi yang berhasil untuk meningkatkan mata pencaharian pekerja rumahan di banyak
belahan dunia. Penelitian ini melihat keterlibatan pekerja rumahan dalam kelompok, asosiasi
atau organisasi di enam provinsi.
Sebagian besar pekerja rumahan di Yogyakarta (90 persen) ditemukan mengikuti sebuah
kelompok secara rutin. Proporsi pekerja rumahan yang mengikuti kelompok di Jawa Tengah,
Jawa Timur dan Sumatera Utara adalah 58,0 persen, 53,2 persen dan 47,67 persen. Proporsi
tersebut rendah di Jawa Barat dan Banten dengan 21,6 persen dan 16,7 persen. Alasan tidak
mengikuti sebuah kelompok terkait dengan tidak adanya kelompok atau organisasi serta
kurangnya waktu.
Sebagian besar pekerja rumahan yang menjadi anggota kelompok terlibat dalam kelompok
desa tradisional atau dalam kelompok keagamaan perempuan, misalnya perwiridan
perempuan. Kelompok-kelompok semacam itu merupakan bagian dari struktur dan hierarki
kekuasaan desa tradisional dan mereka jarang berbicara tentang pekerjaan dan kondisi kerja.
Dengan demikian, struktur tradisional ini mungkin tidak memberikan platform untuk bekerja
bersama, terutama dalam kaitannya dengan mewujudkan hak-hak di tempat kerja. Namun,
praktik pergi keluar untuk menghadiri pertemuan dengan kelompok atau organisasi dapat
digunakan sebagai dasar bagi pekerja rumahan untuk mulai berorganisasi untuk melakukan
tindakan bersama.
Tabel 31 menyajikan tanggapan pekerja rumahan terkait dengan negosiasi dan perundingan
dengan pemberi kerja mereka. Tabel ini menunjukkan bahwa 62,8 persen pekerja rumahan
yang diwawancarai tidak pernah bernegosiasi dengan pemberi kerja mereka tentang upah
atau kondisi kerja. Ini menunjukkan bahwa sebagian besar pekerja rumahan menerima
ketentuan kerja sebagaimana yang ditetapkan oleh pemberi kerja mereka dan bahwa mereka
tidak berpandangan bahwa ketentuan kerja bisa dinegosiasikan atau mereka tidak memiliki
kapasitas untuk bernegosiasi dengan pemberi kerja mereka. Memang, data dari diskusi
kelompok terarah menunjukkan bahwa mayoritas pekerja rumahan khawatir kehilangan
pekerjaan mereka. Khususnya, mereka takut pemberi kerja tidak akan lagi memberi mereka
pekerjaan jika mereka mencoba untuk melakukan perundingan untuk kondisi kerja yang lebih
baik dan upah yang lebih baik.
52
Tabel 31: Pekerja rumahan dan perundingan
Provinsi
Ya, berunding sendiri secara mandiri
Ya, bersama dengan pekerja rumahan lain
Ya, didukung oleh LSM lokal
Tidak, belum pernah bernegosiasi
Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah %
Sumatera Utara 89 29,7 38 13,0 0 0,0 172 57,3
Jawa Barat 128 15,9 168 20,9 0 0,0 508 63,2
Jawa Tengah 148 26,8 69 9,7 1 0,1 492 69,2
D.I. Yogyakarta 19 23,8 1 1,3 0 0,0 60 75,0
Jawa Timur 206 26,4 101 12,9 11 1,4 462 59,2
Banten 176 52,4 35 10,4 0 0,0 125 37,2
Total/rata-rata 650 22,5
412 14,3 12 0,4 1813 62,8
Sumber: Data survei.
Hampir sepertiga pekerja rumahan menyatakan bahwa mereka telah berunding dengan
pemberi kerja mereka secara mandiri atau bersama dengan pekerja rumahan lainnya. Ini
menunjukkan bahwa sejumlah kecil pekerja rumahan telah mengorganisir diri guna untuk
berunding dengan pemberi kerja mereka. Namun, pekerja rumahan belum didukung oleh
serikat pekerja atau lembaga swadaya masyarakat lainnya dalam negosiasi. Ini kemungkinan
karena terbatasnya akses ke organisasi semacam itu dan/atau terbatasnya pemahaman
tentang peran organisasi dan strategi negosiasi. Sebagian pekerja sebelumnya bekerja di
pabrik dan menjadi anggota serikat pekerja dan baru belakangan menjadi pekerja rumahan.
Mereka menyebutkan bahwa serikat pekerja menentang pekerjaan rumahan karena
merupakan satu bentuk alih daya dan mereka berpendapat bahwa eksploitasi tenaga kerja
adalah lazim terjadi di kalangan pekerja rumahan. Oleh karena itu sebagian pekerja rumahan
enggan mendekati serikat pekerja untuk meminta dukungan.
Dalam diskusi kelompok terarah, pekerja rumahan melaporkan bahwa mereka pada
umumnya lebih menyukai perundingan bersama ketimbang perundingan mandiri, karena
perundingan mandiri dapat dianggap memicu persaingan dengan pekerja rumahan lainnya.
Namun, banyak pekerja rumahan memutuskan untuk bernegosiasi secara perorangan karena
pekerja rumahan lainnya tidak ingin menghadapi resiko kehilangan pekerjaan mereka melalui
negosiasi.
Selain itu, diskusi kelompok terarah di Jawa Barat menyoroti bahwa pekerja rumahan tidak
siap dalam kasus di mana pekerja rumahan bernegosiasi bersama, dan bahwa organisasi
mereka cenderung spontan dan berbasis di sekitar isu tunggal. Setelah isu tersebut
terselesaikan dengan pemberi kerja, pekerja rumahan kembali ke kegiatan normal mereka
dan tidak merawat forum organisasi. Kotak 6 dan 7 memberikan ilustrasi lebih lanjut tentang
pengalaman pekerja rumahan bernegosiasi.
Kotak 6: Pekerja rumahan dan negosiasi di Jawa Barat
Pekerja rumahan perempuan di Kecamatan Dayeuh Kolot (Kota Bandung) menerima pesanan
menjahit sol sepatu ke bagian atas sepatu seharga Rp. 25.000 per lusin. Pekerja rumahan di Kecamatan
ini menerima tawaran ini dan karena para pekerja rumahan ini tidak memiliki pengalaman dalam
menjahit sol sepatu, mereka mendapatkan pelatihan dari perantara tentang keterampilan ini selama
53
satu minggu. Setelah pekerjaan dimulai, para pekerja rumahan mendapati bahwa mereka bisa
menyelesaikan 12 pasang sepatu (satu lusin) dalam satu hari. Mereka kemudian merasa bahwa
besaran upah per satuan yang ditawarkan terlalu rendah mengingat waktu yang harus mereka
curahkan dalam menyelesaikan pekerjaan tersebut dan kebutuhan keluarga mereka atas penghasilan
tambahan.
Para pekerja rumahan ini mencoba untuk bernegosiasi dengan perantara mereka untuk meningkatkan
besaran upah per satuan untuk pekerjaan ini, tetapi perantara memberitahu mereka bahwa pemberi
kerja di pabrik merupakan satu-satunya orang yang memiliki kewenangan untuk menyesuaikan
besaran upah per satuan. Perantara menyarankan agar pekerja rumahan bernegosiasi dengan
pemberi kerja. Saran ini dilaksanakan oleh pekerja rumahan. Bersama-sama, mereka menemui
pemberi kerja dan menegosiasikan kenaikan besaran upah per satuan. Namun, mereka tidak sepakat
tentang jumlah yang ingin mereka rundingkan secara nominal sebelum pertemuan, yang membuat
mereka berada dalam posisi kurang menguntungkan. Dalam pertemuan tersebut, pemberi kerja
menyetujui kenaikan Rp. 1.000 per lusin pasang sepatu, sehingga membuat besaran upah per satuan
yang baru Rp. 26.000 per lusin pasang sepatu. Pekerja rumahan menerima tawaran ini.
Sumber: Diskusi kelompok terarah, Jawa Barat.
Kotak 7: Pekerja rumahan dan negosiasi di Banten
Ibu Mutia adalah seorang perantara dan pekerja rumahan dari Kecamatan Batu Ceper, Kota
Tangerang. Dia memiliki dua pekerjaan karena pendapatan yang diterimanya dari pekerjaannya
sebagai perantara tidak cukup untuk menutup biaya hidupnya. Sebagai perantara, Ibu Mutia
mendistribusikan pesanan kerja ke kerabatnya yang tinggal di sekitar lingkungannya. Sebagai pekerja
rumahan, kegiatan utamanya adalah menjahit lengan ke kemeja untuk merek yang terkenal secara
internasional.
Ketika Ibu Mutia mulai bekerja sebagai pekerja rumahan dan perantara, dia mendapatkan Rp. 100 per
satuan untuk menjahit lengan ke kemeja, serta Rp. 50 per satuan untuk mengirimkan produk jadi ke
pabrik. Namun, Ibu Mutia, dan juga pekerja rumahan yang dipekerjakannya, menganggap besaran
upah per satuan untuk pekerjaan ini sangat rendah. Mereka mengadakan pertemuan tim dan
memutuskan bahwa mereka ingin berunding untuk kenaikan besaran upah per satuan untuk produk-
produk yang mereka produksi. Mereka pergi sebagai sebuah kelompok untuk berbicara dengan
pemberi kerja. Namun, mereka tidak bersama-sama memutuskan berapa yang ingin mereka ajukan
untuk besaran upah per satuan yang baru sebelum bertemu dengan pemberi kerja.
Pabrik yang bekerja dengan para pekerja rumahan tersebut adalah sebuah perusahaan swasta yang
merupakan sub-kontraktor sebuah perusahaan yang lebih besar di Jakarta. Setelah berdiskusi dengan
Ibu Mutia dan pekerja rumahan, pemilik pabrik menawarkan untuk menaikkan besaran upah per
satuan untuk menjahit lengan ke kemeja sebesar Rp. 25, sehingga pekerja rumahan akan menerima
Rp. 125 per satuan, sementara Ibu Mutia masih akan menerima Rp. 50 per satuan sebagai perantara
untuk pengiriman produk. Tawaran ini diterima oleh pekerja rumahan.
Sumber: Diskusi kelompok terarah, Banten.
10. Kesimpulan dan rekomendasi
54
Kesimpulan
Penelitian ini menjelaskan situasi dan kondisi kerja pekerja rumahan perempuan yang
sebagian besar tak terlihat di enam provinsi, Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah,
Yogyakarta, Jawa Timur, dan Banten, di Indonesia. Temuan-temuannya menegaskan bahwa
pekerja rumahan ini memberi kontribusi penting untuk perekonomian rumah tangga dan di
luarnya. Namun, mereka bekerja dalam kondisi di bawah standar dan bahwa diperlukan
upaya oleh berbagai pemangku kepentingan untuk meningkatkan kondisi hidup dan kerja
para pekerja ini. Temuan-temuan kunci adalah sebagai berikut:
Provinsi-provinsi yang disurvei memiliki jumlah orang miskin relatif tinggi meskipun
kinerja ekonominya baik. Ada juga sejumlah besar perempuan yang tidak aktif secara
ekonomi di provinsi-provinsi tersebut karena melakukan perawatan rumah, yang
menunjukkan bahwa banyak perempuan terus bertanggung jawab atas perawatan rumah
dan perawatan rumah merupakan faktor kunci penghambat partisipasi angkatan kerja
perempuan. Kebutuhan akan pendapatan di kalangan keluarga yang kurang beruntung
secara ekonomi dipadukan dengan tanggung jawab perempuan atas perawatan rumah
memaksa banyak perempuan mencari cara untuk memperoleh penghasilan, misalnya
pekerjaan rumahan, untuk bertahan hidup. Oleh karena itu, mungkin ada banyak
perempuan yang terlibat dalam pekerjaan rumahan di provinsi ini meskipun tidak ada
data resmi tentang prevalensi pekerja rumahan.
Pekerja rumahan perempuan pada umumnya memiliki tingkat pendidikan lebih rendah
dari pada rata-rata provinsi. Sekurang-kurangnya lebih dari seperempat perempuan yang
diwawancarai memiliki pendidikan sekolah dasar (SD) di semua provinsi sasaran dan
seperempat lainnya memiliki pendidikan sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP).
Lebih dari 80 persen perempuan tersebut berstatus menikah. Ukuran rata-rata rumah
tangga pekerja rumahan adalah antara 4 dan 5 orang yang sedikit lebih tinggi dari pada
rata-rata nasional dan provinsi. Suami pekerja rumahan biasanya ditemukan memiliki
pekerjaan lepas atau jangka pendek dalam bidang pekerjaan berketerampilan dan tidak
berketerampilan, yang menunjukkan bahwa rumah tangga pekerja rumahan mungkin
tidak memiliki pendapatan yang stabil dan pendapatan dari pekerjaan rumahan adalah
penting.
Penelitian ini menemukan perempuan penyandang disabilitas di antara pekerja rumahan
di seluruh provinsi kecuali Yogyakarta. Proporsi perempuan penyandang disabilitas di 5
provinsi tersebut adalah rata-rata sekitar 1 persen.
Banyak pekerja rumahan perempuan tidak memiliki persepsi kesetaraan gender terutama
dalam hal pengambilan keputusan di dalam rumah tangga.
Masuk ke dalam pekerjaan rumahan bersifat informal dan melalui jaringan sosial misalnya
teman dan kerabat. Lebih dari 50 persen perempuan diperkenalkan dengan pekerjaan
rumahan oleh tetangga.
Mayoritas menunjukkan bahwa pekerjaan rumahan merupakan kegiatan perekonomian
utama dan sumber utama pendapatan mereka. Lazim bahwa pekerja perempuan
mendapatkan bantuan dari anggota keluarga rumah tangga lainnya termasuk anak-anak
untuk menyelesaikan pekerjaan mereka.
55
Pekerja rumahan perempuan rata-rata bekerja sebagai pekerja rumahan selama sekitar 6
tahun, meskipun lamanya bekerja sebagai pekerja rumahan rentangnya berkisar sangat
lebar dengan yang terlama adalah 25 tahun.
Lima puluh persen pekerja rumahan mengindikasikan bahwa mereka ingin mendirikan
usaha sendiri jika diberi pilihan. Dua puluh persen menyatakan mereka akan lebih memilih
untuk menjadi ibu rumah tangga penuh waktu. Hanya sebagian kecil dari sampel yang
tertarik untuk menjadi pekerja di sektor formal atau melanjutkan pendidikan. Diskusi
kelompok terarah menyoroti bahwa banyak perempuan lebih memilih untuk tinggal di
rumah untuk memenuhi tanggung jawab perawatan rumah tangga mereka atau memiliki
pekerjaan yang memberi mereka fleksibilitas yang sama dengan yang mereka memiliki
sebagai pekerja rumahan.
Pekerja rumahan ditemukan di beragam sektor dan industri termasuk pengolahan
makanan, tekstil, pakaian jadi, kulit, kayu, dan lain-lain, yang tidak memerlukan
keterampilan khusus. Sebagian kecil perempuan tersebut bekerja di kerajinan.
Hampir semua perempuan tersebut bekerja tanpa kontrak tertulis. Empat puluh tujuh
persen dari perempuan tersebut menyatakan bahwa mereka bekerja di bawah perjanjian
lisan dan 53 persen menyatakan mereka tidak memiliki perjanjian.
Lokasi kerja untuk sebagian besar pekerja rumahan adalah rumah mereka sendiri atau di
rumah teman. Hanya sebagian kecil mengindikasikan tempat kerja mereka sebagai
sebuah struktur yang melekat pada rumah mereka misalnya halaman atau garasi.
Para perempuan tersebut bekerja sesuai dengan pesanan dan spesifikasi oleh pemberi
kerja atau perantara mereka tetapi mereka jarang mendapatkan pelatihan. Pemberian
spesifikasi yang paling umum adalah di bidang produksi barang terkait dengan pasar
internasional. Dalam hal pelatihan diberikan, itu adalah pelatihan sambil bekerja yang
sebagian besar informal untuk mengajarkan bagaimana pekerjaan tersebut harus
diselesaikan untuk memenuhi spesifikasi, dan tidak untuk meningkatkan keterampilan
para pekerja.
Mayoritas perempuan menerima bahan baku dari pemberi kerja mereka meskipun ada
juga kasus di mana pekerja rumahan membeli sebagian atau seluruh bahan baku. Kurang
lazim pekerja rumahan mendapatkan peralatan dari pemberi kerja/perantara mereka.
Lebih dari 70 persen pekerja menyatakan mereka tidak pernah menerima kompensasi
atas biaya yang berkaitan dengan produksi. Dua persen pekerja diminta untuk membayar
deposit untuk bahan dan peralatan yang mereka terima.
Hampir 60 persen pekerja rumahan memiliki sedikit pengetahuan tentang perusahaan
yang mempekerjakan mereka atau yang memberikan pesanan produksi. Penelitian ini
juga menegaskan adanya pekerja rumahan dalam rantai pasokan global dengan 18 persen
pekerja menyatakan bahwa produk mereka dijual di pasar internasional.
Jumlah jam kerja pekerja rumahan lebih panjang dari pada rata-rata perempuan. Mereka
cenderung bekerja dengan jam kerja lebih pendek per hari, tetapi lebih banyak hari per
minggu dibandingkan dengan rata-rata perempuan. Para pekerja rumahan sebagian besar
terbagi ke dalam dua jenis, yaitu mereka yang bekerja paruh waktu dan mereka yang
bekerja dengan jam kerja berlebihan (lebih dari 48 jam per minggu). Banyak pekerja
56
rumahan ingin bekerja lebih karena mereka dibayar dengan besaran upah per satuan dan
mereka melihatnya sebagai satu-satunya cara untuk meningkatkan pendapatan mereka.
Pekerja rumahan dibayar dengan besaran upah per satuan dan besaran upah per satuan
pada umumnya dikendalikan oleh pengusaha tanpa negosiasi. Sebagian besar dari mereka
enggan bernegosiasi karena takut kehilangan pekerjaan.
Pendapatan pekerja rumahan cenderung tepat di atas garis kemiskinan namun di bawah
upah minimum. Mereka merupakan salah satu pekerja dengan upah terendah dalam
rantai produksi, sebagaimana terbukti dari pembandingan upah rata-rata pekerja di
sektor manufaktur.
Banyak pekerja rumahan mengalami keterlambatan dalam menerima gaji. Fakta bahwa
pekerja rumahan mengalami keterlambatan pembayaran menunjukkan bahwa mereka
menanggung beberapa tanggung jawab atas biaya produksi, yang bisa membuat mereka
lebih rentan dalam jangka waktu sementara.
Keuntungan utama pekerjaan rumahan yang disampaikan oleh perempuan adalah bahwa
mereka bisa memperoleh penghasilan, dan bahwa pekerjaan rumahan memungkinkan
mereka mengerjakan kegiatan ekonomi atau perawatan lainnya.
Tantangan utama yang disampaikan oleh pekerja rumahan adalah penghasilan yang
rendah dan pesanan kerja yang tidak stabil. Sebagian menyampaikan bahwa terbatasnya
ruang di rumah juga merupakan tantangan. Rumah mereka menjadi tempat kerja mereka,
ruangan mereka mungkin dipenuhi oleh bahan baku dan produk jadi. Ini bisa berbahaya
karena sebagian bahan mungkin berbahaya. Karena mereka tidak memiliki kontrak
tertulis, mereka juga khawatir bahwa pekerjaan tersebut bisa lenyap kapanpun. Ini juga
membuat pekerja rumahan enggan bernegosiasi tentang meningkatkan kondisi kerja
mereka.
Sementara sebagian besar pekerja rumahan dilaporkan berada dalam kondisi sehat,
mereka masih memiliki keluhan terkait kesehatan dan menyampaikan bahwa mereka
seringkali tetap bekerja saat cedera atau sakit dan jarang mengambil jeda dari kegiatan
kerja, karena beristirahat berakibat langsung pada hilangnya pendapatan. Mereka
khawatir perantara mungkin mengurangi atau memutus pesanan kerja jika mereka
istirahat bekerja. Ini menimbulkan kekhawatiran umum atas kesehatan pekerja rumahan.
Pekerja rumahan terbatas aksesnya ke program bantuan sosial dan asuransi sosial
Pemerintah.
Pekerja rumahan tidak terhubung dengan baik dengan kelompok yang mendukung hak-
hak di tempat kerja. Kelompok paling umum yang diikuti oleh pekerja rumahan adalah
kelompok keagamaan tradisional, yang biasanya tidak memberikan platform untuk diskusi
tentang isu-isu terkait pekerjaan. Pekerja rumahan enggan bernegosiasi untuk kondisi
kerja yang lebih baik karena tingginya kerentanan. Ketika pekerja rumahan yang
bernegosiasi mereka seringkali melakukannya secara perorangan tanpa persiapan yang
memadai. Ini menghantarkan pada hasil yang tidak optimal.
Rekomendasi
57
Karena pekerja rumahan bekerja untuk mendukung mata pencaharian mereka dan
kesejahteraan keluarga mereka, maka penting untuk mengakui mereka sebagai pekerja dan
berjuang menuju penanganan defisit kerja layak yang dihadapi oleh pekerja rumahan. Dalam
mempromosikan kerja layak bagi pekerja rumahan, tindakan harus diambil oleh para
pemangku kepentingan terkait untuk membawa perubahan positif pada berbagai tingkatan
berbeda termasuk di tingkat kebijakan maupun di tingkat masyarakat. Karena mayoritas
pekerja rumahan adalah perempuan, promosi kerja layak untuk pekerja rumahan merupakan
bidang kerja penting dalam meningkatkan kesejahteraan perempuan di Indonesia.
Meningkatkan kondisi kerja pekerja rumahan dapat membawa dampak positif saat Indonesia
berjuang menuju pengentasan kemiskinan dan pembangunan berkelanjutan secara sosial.
Dalam upaya ini, rekomendasi berikut diberikan dalam menanggapi tantangan yang dihadapi
oleh pekerja rumah:
1. Kumpulkan data tentang pekerja rumahan
Ada kebutuhan untuk memiliki data tentang pekerja rumahan guna untuk lebih memahami
prevalensi dan kondisi kerja para pekerja ini di Indonesia. Pekerja rumahan saat ini tidak
terlihat di dalam statistik dan pengumpulan data tentang mereka dapat membantu
meningkatkan keterlihatan pekerja rumahan dan kontribusi yang mereka berikan terhadap
perekonomian.
Menurut Badan Pusat Statistik di Indonesia, kuesioner survei angkatan kerja baru yang akan
digunakan sejak tahun 2016 akan mencakup beberapa pertanyaan baru yang mencakup
tempat kerja. Ini merupakan perkembangan positif karena ini merupakan langkah penting
untuk memungkinkan identifikasi kategori pekerjaan termasuk pekerjaan berbasis rumahan.
Pengumpulan data tentang berbagai kategori pekerja termasuk pekerja berbasis rumahan
harus dimapankan sehingga data dapat tersedia untuk pengembangan kebijakan dan
program dan pemantauan dan evaluasi kondisi kerja para pekerja ini. Setelah data terkumpul,
hasil harus disebarluaskan untuk digunakan lebih lanjut oleh para pemangku kepentingan
terkait, termasuk pembuat kebijakan dan pekerja rumahan.
Selain itu, penelitian lain dapat dilakukan bila diperlukan untuk membangun sebuah dasar
bukti untuk mempromosikan kerja layak bagi pekerja rumahan.
2. Berdayakan pekerja rumahan untuk menangani defisit kerja layak melalui
peningkatan kesadaran, pelatihan, dan pembentukan dan manajemen kelompok
Memberdayakan pekerja rumahan untuk mengambil tindakan untuk meningkatkan kondisi
hidup dan kerja mereka merupakan bagian penting dalam mempromosikan kerja layak bagi
pekerja rumahan. Karena sebagian besar pekerja rumahan memiliki tingkat pendidikan
rendah dan pemahaman terbatas tentang isu-isu yang berdampak pada mereka, maka
penting bahwa pekerja rumahan didukung untuk meningkatkan kesadaran dan memperkuat
kapasitas untuk menangani kondisi kerja di bawah standar melalui:
Peningkatan kesadaran tentang:
o Kesetaraan gender dan non-diskriminasi.
o Pekerja rumahan sebagai pekerja.
58
o Hak pekerja.
o Pentingnya memiliki kontrak tertulis dan menyimpan catatan.
Pelatihan tentang berbagai topik misalnya:
o Keselamatan dan kesehatan kerja dan rumah aman.
o Keterampilan kepemimpinan dan negosiasi.
o Melek finansial termasuk penghitungan besaran upah per satuan dan biaya
produksi (misalnya tenaga kerja, utilitas, pengiriman produk jadi, dan lain-lain)
sehingga mereka dapat menggunakan informasi tersebut ketika negosiasi
dengan pemberi kerja mereka.
o Pembentukan dan manajemen kelompok sehingga pekerja rumahan dapat
berbagi informasi, saling membantu, dan bekerja bersama untuk memperkuat
suara dan perwakilan mereka.
o Keterampilan advokasi.
Pelatihan keterampilan kerja untuk meningkatkan daya kerja mereka.
Memberikan akses ke layanan keuangan (misalnya simpan pinjam) untuk mendukung
perempuan dalam mengambil kendali dalam mengelola keuangan mereka sendiri.
Topik-topik peningkatan kesadaran dan pelatihan di atas telah digunakan di banyak negara
untuk memberdayakan pekerja berbasis rumahan dengan hasil positif. Topik-topik lain dapat
ditambahkan bila perlu untuk berkontribusi pada pemberdayaan pekerja rumahan.
Dalam penelitian ini, 50 persen pekerja rumahan mengindikasikan bahwa mereka ingin
mendirikan usaha sendiri jika diberi pilihan. Para perempuan ini harus memiliki akses ke
pelatihan perusahaan dan layanan dukungan lainnya (misalnya keuangan, hukum,
pemasaran, jaringan, dan lain-lain) sehingga mereka dapat memulai, mengelola dan
meningkatkan usaha mereka.
3. Akui pekerja rumahan sebagai pekerja melalui regulasi
Sebagai langkah untuk memperluas perlindungan efektif untuk pekerja rumahan, maka
penting untuk secara resmi mengakui pekerja rumahan sebagai pekerja. Ini dapat dilakukan
melalui perumusan kebijakan lokal dan nasional tentang pekerjaan rumahan atau revisi
undang-undang yang ada. Ini harus dilakukan melalui konsultasi erat dengan para pemangku
kepentingan terkait termasuk perwakilan dari kelompok pekerja rumahan. Berbagai
pemangku kepentingan harus bekerja sama untuk mengamankan komitmen politik untuk
mengakui pekerja rumahan sebagai pekerja. Konvensi ILO tentang Pekerjaan Rumahan, 1996
(No. 177) yang belum diratifikasi oleh Indonesia, dan Rekomendasi Pekerjaan Rumahan, 1996
(No. 184) memberikan prinsip-prinsip dasar dan pedoman dalam mempromosikan kerja layak
bagi pekerja rumahan.
4. Perluas perlindungan sosial kepada pekerja rumahan
Meskipun banyak program bantuan sosial dan asuransi sosial yang dirancang untuk
mengurangi kemiskinan dan melindungi penduduk usia kerja di Indonesia, mayoritas pekerja
rumahan ditemukan tidak memiliki akses ke program-program tersebut. Karena pekerja
rumahan sebagian besar dibayar berdasarkan satuan yang mereka selesaikan, hilangnya hari-
hari kerja karena sakit atau cedera memiliki dampak negatif pada pendapatan mereka.
59
Menyadari bahwa pekerja rumahan mendapatkan upah rendah yang tepat di atas garis
kemiskinan tetapi di bawah upah minimum, hilangnya hari-hari kerja berarti mereka akan
segera menghadapi resiko jatuh ke dalam kemiskinan. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa
tidak banyak pekerja rumahan mengakses perawatan pasca melahirkan. Upaya harus
dilakukan untuk memastikan bahwa skema perlindungan sosial penting tersedia dan dapat
diakses oleh pekerja rumahan untuk melindungi mereka dari berbagai resiko.
5. Promosikan praktik bertanggung-jawab di rantai pasokan
Asosiasi-asosiasi pengusaha dan anggota serta perusahaan multinasional, nasional dan lokal
lainnya di Indonesia dapat memainkan peran kunci dalam mempromosikan kerja layak bagi
pekerja rumahan dengan meningkatkan kesadaran tentang isu-isu pekerja rumahan dan
mempromosikan praktik mempekerjakan pekerja rumahan yang bertanggung jawab. Dengan
globalisasi dan meningkatnya fleksibilitas di pasar tenaga kerja, rantai produksi menjadi
kompleks, dan menjadi lebih sulit untuk mendapatkan gambaran penuh semua bagian rantai
pasokan. Pekerja rumahan seringkali ditemukan bekerja di bagian terbawah rantai pasokan,
melaksanakan pekerjaan produksi sederhana untuk produk yang masuk ke pasar lokal,
nasional dan internasional. Mempromosikan kerja layak untuk pekerja rumahan bukan hanya
merupakan hal yang benar untuk dilakukan, tetapi juga sangat penting untuk rantai pasokan
yang berkelanjutan. Dalam hal ini, tindakan-tindakan berikut direkomendasikan:
Panggilah perusahaan multinasional, nasional dan lokal, pembeli internasional dan
pembeli lainnya, pengecer dan lain-lain untuk mendaftar dan mematuhi standar
internasional tentang pekerja rumahan melalui pengembangan dan pelaksanaan kode
etik atau pedoman. Inisiatif Perdagangan Etis (Ethical Trading Initiative, ETI), sebuah
aliansi perusahaan, menyediakan panduan dan studi kasus yang berguna
(http://www.ethicaltrade.org/).
Ambillah peran proaktif dalam meningkatkan kesadaran tentang isu-isu pekerja
rumahan di kalangan pelaku usaha termasuk perantara di Indonesia sehingga mereka
dapat mempromosikan kepatuhan yang lebih baik terhadap standar ketenagakerjaan
di kalangan pekerja rumahan.
Terapkan berbagai langkah untuk meningkatkan kondisi kerja dan produktivitas
pekerja rumahan termasuk namun tidak terbatas pada:
o Pembayaran upah yang adil dan pembayaran upah tepat waktu.
o Ketersediaan pesanan kerja yang stabil.
o Pelatihan keselamatan dan kesehatan kerja untuk pekerja rumahan.
o Pelatihan keterampilan untuk pekerja rumahan.
o Penyediaan bahan, perlengkapan dan peralatan yang diperlukan untuk
menyelesaikan pesanan.
o Pembayaran upah reguler tanpa penangguhan.
o Memberikan akses pekerja rumahan ke perlindungan sosial.
6. Promosikan kesetaraan gender dan non-diskriminasi di kalangan masyarakat umum,
pengambil kebijakan, perusahaan dan asosiasi pengusaha, serikat pekerja, dan
60
organisasi terkait lainnya untuk menciptakan lingkungan yang memungkinkan bagi
perempuan serta laki-laki untuk mengakses kerja layak
Penelitian ini menemukan bahwa salah satu alasan utama bagi perempuan untuk terlibat
dalam pekerjaan rumahan adalah fleksibilitas pekerjaan rumahan untuk memungkinkan
perempuan mengurus tanggung jawab rumah tangga sementara memperoleh penghasilan.
Selain itu, di Indonesia, partisipasi angkatan kerja perempuan pada umumnya rendah dengan
banyak perempuan menyebut tanggung jawab rumah tangga sebagai alasan utama menjadi
tidak aktif secara ekonomi. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa pekerja rumahan pada
umumnya tidak memiliki persepsi tentang kesetaraan gender, terutama dalam hal
pengambilan keputusan. Temuan ini menunjukkan bahwa persepsi kesetaraan gender dan
peran gender sangat mempengaruhi bagaimana perempuan bekerja, yang membatasi
potensi mereka. Oleh karena itu, meningkatkan kesadaran tentang kesetaraan gender dan
mengubah norma-norma terkait dengan peran tradisional perempuan dan laki-laki baik untuk
perempuan maupun laki-laki adalah diperlukan di rumah tangga, masyarakat, dan di tingkat
nasional untuk menciptakan lingkungan yang memungkinkan bagi perempuan untuk
mengakses kerja layak.
Isu-isu gender harus diarusutamakan dalam regulasi lokal dan nasional. Bila kelompok
masyarakat ada, kelompok-kelompok ini dapat dimanfaatkan untuk membahas isu-isu gender
dan mempromosikan kesetaraan gender di rumah maupun di masyarakat.
61
Daftar referensi
E. Allen (2013), “Labour and social trends in Indonesia 2013: Reinforcing the role of decent work in equitable growth”, (ILO, Jakarta). Allen, E. (2015), “Labour and social trends report: Strengthening competitiveness and productivity through decent work”, (ILO, Jakarta). H. Aswicahyono, H. Hill dan D. Narjoko (2010), “Industrialisation after a Deep Economic Crisis: Indonesia, Journal of Development Studies”, “The Journal of Development Studies” (Routledge). BPJS Ketenagakerjaan (2014), “Laporan Tahunan”, (BPJS Ketenagakerjaan, Jakarta). BPS (2014), “Situasi angkatan kerja di Indonesia, Agustus 2014”, (Badan Pusat Statistik, Jakarta). BPS (2014), “Survei angkatan kerja, Agustus 2014”, (Badan Pusat Statistic, Jakarta). BPS (2014), “Survei perusahaan besar dan menengah di sektor manufaktur, 2013”, (Badan Pusat Statistik, Jakarta). Y.K. Che dan J. Sakovics (2008), “Hold-up problem, The new palgrave dictionary of economics”, (New York). M. Chen (2014), “Informal Economy Monitoring Study Sector Report: Home-Based Workers, WIEGO Secretariat”,(Cambridge, USA). D. de Vaus (2002), “Surveys in Social Research (Fifth edition)”, (Allen and Unwin, Crows Nest). M. Fajerman (2014), “Review of the Regulatory Framework for Homeworkers in Indonesia”, (ILO, Jakarta). D. Grimshaw (2011), “What do we know about low-wage work and low-wage workers? Analysing the definitions, patterns, causes and consequences in international perspective, Conditions of Work and Employment Series No. 28”, (ILO, Jenewa). ILO (1996), “Convention on Home Work (No. 177)”, (ILO, Jenewa) ILO (2001), “Report of the Director-General: Reducing the decent work deficit - a global challenge”, (ILO, Geneva). ILO (2012), “Decent work indicators: concepts and definitions”, (ILO, Jenewa). Department of Statistics ILO (2010), “Model labour force survey questionnaire (version A)”, (ILO, tidak dipublikasikan, Jenewa).
62
ILO (2015), “Indonesia: Homework in Jawa Timur - Findings from a qualitative study”, (ILO, Jakarta). L. Lim (2015), “Extending livelihood opportunities and social protection to empower poor urban informal workers in Asia. A multi-country study: Bangladesh, Indonesia, Nepal, Pakistan, Philippines, and Thailand”, (Oxfam for Asia Development Dialogue, Thailand). D. McCormick dan H. Schmitz (2001), “Manual for value chain research on homeworkers in the garment industry”, (HomeNet International, New Delhi). S. Mehrotra dan M. Biggeri (eds) (2007), “Asian informal workers: Global risks, local protections”, (Routledge, London dan AS). Kementerian Kesehatan (2014), “Laporan situasi HIV/AIDS di Indonesia”, (Kementerian Kesehatan, Jakarta). N. Haspels; A. Matsuura (2015), “Home-based workers: Decent work and social protection through organization and empowerment. Experiences, good practices and lessons from home-based workers and their organizations”, (Jakarta, ILO). WHO (2005), “A WHO multi-country study on women's health and life experiences”, (World Health Organization, Jenewa).
Homeworkers in Indonesia Results from the Homeworker Mapping Study in North Sumatra, West Java, Central Java, Yogyakarta, East Java and Banten
ILO MAMPU Project - Access to employment & decent work for women, 2015
2
Executive summary
Home work is not new and homeworkers are often referred as ‘putting-out workers’ in
Indonesia. Home work is an activity undertaken by families, mostly women, for generations,
with grandmothers, mothers and daughters being involved in home work. Despite their
existence for a long time, they are largely invisible and not well understood. Some work have
been done in the past to understand and improve homeworkers’ conditions in Indonesia
including research as well as advocacy work by home-based workers’ groups supported by
relevant international and civil society organizations. However, the issue of home work has
not received sufficient attention from the policy makers, employers, trade unions and the
general public, and homeworkers remain invisible in the official statistics and the labour laws
and there is a lack of information on their working conditions. There is also no consensus and
shared understanding on the status of homeworkers, and homeworkers are often confused
with self-employed workers, domestic workers, or even someone who is doing some activities
to pass time.
In order to have a better understanding on the issues of home work for policy and programme
planning and formulation in Indonesia, the ILO/MAMPU project worked to increase
awareness on home work and improve the availability of data on homeworkers. The project
worked closely with the Indonesia’s National Statistics Office to discuss the integration of
additional questions that allow the identification of home-based workers in the regular labour
force survey questionnaire. In addition, the project carried out a mapping of homeworkers in
North Sumatra, West Java, Central Java, Yogyakarta, East Java and Banten to obtain
information on the situations and working conditions of homeworkers, so that the
information can be used by relevant stakeholders including policy makers, employers, trade
unions, Civil Society Organizations (CSOs) and homeworkers’ organizations in their work to
improve the living and working conditions of homeworkers in Indonesia. The study used a
stratified-random sampling approach to interview 3010 women homeworkers in 297 villages
across six provinces in Indonesia.
This study found that homeworkers in Indonesia share several characteristics that are
common to homeworkers across the world. They can be found in various industries and
sectors carrying out different types of work at home or in the home of a friend. They tend to
have a lower level of educational attainment than the general population, limited perception
on gender equality, and over 80 per cent of the interviewed women are married with their
husband having casual or short-term jobs in low skill or unskilled occupations. The study also
found women with disabilities in all provinces except in Yogyakarta (1 per cent of the women
interviewed). They enter home work through social networks such as friends and neighbours
and home work is their primary source of income. The average years of work as a
homeworkers is 5 years, and about half of the interviewed women stated that they would like
to set up their own business if given a chance. Twenty per cent stated they would prefer to
be a full time housewife and a small percentage of the sample expressed their preference to
work in the formal sector or to study further.
3
Almost all women do not have written contract but 47 per cent of the women have verbal
agreements. Nonetheless, the women work according to orders and specifications of their
employers or intermediaries. While some are instructed on how to complete work by on-the-
job training, the women workers rarely receive training. The majority of women receive raw
materials but it is less common for the homeworkers to receive tools from their employers or
intermediaries, and they do not receive compensation for the production-related expenses.
Close to 60 per cent of the homeworkers have some knowledge of the company that hires
them or gives original production orders. Eighteen per cent of the workers are producing for
the international market.
The homeworkers are paid by piece-rate and the rate is determined by the employers without
negotiation. Despite long working hours with more than 30 per cent of the women working
more than 48 hours or more per week, earn just to rise above the poverty level and less than
50 per cent of the average wage. Most workers receive payment upon delivery of their
products but many experience delays in receiving payment.
The main advantages of home work include the ability to earn income and that home work
allows them to do other economic or caring activities. The main challenges included low
income and unstable work order. Some see limited space at home due to home work as a
challenge.
While most homeworkers reported good health, but still reported various health complaints
including occasional fever, coughs and headaches. They reported that they continue working
even with injuries or illness. The majority of homeworkers do not have access to the
government’s social assistance and social insurance programmes.
The homeworkers are not well connected with groups that supports rights at work and the
most common group that homeworkers attend is a traditional religious group which typically
doesn’t provide a platform for discussion of work related issues. Homeworkers generally do
not negotiate with their employers because of their fear of losing jobs.
The study shed light on the homeworkers’ conditions which clearly indicate the need for
improvements. Homeworkers are workers and they play an important role in supporting their family
and maintaining their livelihoods. Homeworkers should no longer be invisible. Their existence and
contribution should be recognized so that they can have improved access to legal and social protection
and work towards decent work. In this regard, a strong commitment is required from all parties
including policy makers, employers, trade unions, homeworkers’ organizations and their support
organizations. The key recommendations to promote decent work for homeworkers in Indonesia are
listed below:
1. Collect data on homeworkers.
2. Recognize homeworkers as workers.
3. Empower homeworkers to address decent work deficits.
4. Extend social protection to homeworkers.
5. Promote responsible practices in supply chain.
6. Promote gender equality and non-discrimination among general public and the key
stakeholders to create an enabling environment for women as well as men to access decent
work.
4
Contents
Executive summary ................................................................................................................................. 2
1. Introduction .................................................................................................................................... 8
1.1 Background ................................................................................................................................... 8
1.2 Scope of the homeworker mapping study .................................................................................... 9
1.3 Methodology and sample ........................................................................................................... 11
2. Regulatory framework in Indonesia .............................................................................................. 15
3. Economic and social context ......................................................................................................... 17
4. Characteristics of women homeworkers in the sample ............................................................... 19
5. Types of work of homeworkers .................................................................................................... 26
6. Work arrangements of homeworkers ........................................................................................... 28
6.1 Work agreement ......................................................................................................................... 28
6.2 Place of work ............................................................................................................................... 29
6.3 Specifications, instructions and training ..................................................................................... 29
6.4 Cost of production ...................................................................................................................... 31
6.5 Links to the market ..................................................................................................................... 33
7. Working conditions of homeworkers ............................................................................................ 35
7.1 Working time .............................................................................................................................. 35
7.2 Wages of homeworkers .............................................................................................................. 37
7.3 Homework payment mechanism ................................................................................................ 40
7.4 Advantages and difficulties ......................................................................................................... 42
8. Social protection and safety and health of homeworkers ............................................................ 43
9. Association and collective bargaining ........................................................................................... 47
10. Conclusions and recommendations .............................................................................................. 50
List of references ................................................................................................................................... 56
5
List of tables
Table 1: Sample description by geography ......................................................................................... 12
Table 2: Population, poverty and inequality indicators, September, 2013 ....................................... 17
Table 3: Regional GDP key indicators, 2013 ........................................................................................ 18
Table 4: Key indicators of the labour market ...................................................................................... 18
Table 5: Educational attainment of homeworkers in comparison to provincial averages for women
(per cent) .............................................................................................................................................. 20
Table 6: Key sample characteristics ..................................................................................................... 20
Table 7: Average household size and age of marriage ....................................................................... 21
Table 8: Attitudes on gender equality (%) ........................................................................................... 22
Table 9: Respondents’ main activity during the previous month ...................................................... 24
Table 10: The average number of years spent working as homeworkers ......................................... 26
Table 11: Employment by industrial sub-sector for homeworkers .................................................... 26
Table 12: Examples of activities per industrial classification .............................................................. 27
Table 13: Homeworkers occupations .................................................................................................. 28
Table 14: Type of agreement of homeworkers ................................................................................... 29
Table 15: Homeworkers receiving specifications or instructions ....................................................... 30
Table 16: Homeworkers receiving training ......................................................................................... 30
Table 17: Homeworkers receiving materials ....................................................................................... 31
Table 18: Homeworkers receiving tools .............................................................................................. 32
Table 19: Homeworkers knowledge of companies for which they produce...................................... 33
Table 20: Average working time of homeworkers in comparison to the provincial average ........... 35
Table 21: Average working hours for homeworkers and women in the labour force ...................... 36
Table 22: Average working hours per week by sector for homeworkers .......................................... 36
Table 23: Average monthly wage of homeworkers (IDR) ................................................................... 37
Table 24: Average wages in manufacturing sector for regular employees and homeworkers (IDR) 38
Table 25: Average wages by sector for homeworkers (IDR) ............................................................... 39
Table 26: Examples of piece rate ......................................................................................................... 40
Table 27: Payment timing and homework .......................................................................................... 42
Table 28: Difficulties encountered by homeworkers .......................................................................... 43
Table 29: Homeworkers receiving social assistance and insurance programmes ............................. 44
Table 30: Days lost from occupational injuries by homeworkers ...................................................... 46
Table 31: Homeworkers and bargaining ............................................................................................. 48
List of figures
Figure 1: Markets for which homeworkers produce ........................................................................... 34
List of boxes
Box 1: Definitions of two categories of home-based workers ............................................................. 9
Box 2: Informal employment: Hierarchy of earnings and poverty risk by employment status and
sex ......................................................................................................................................................... 10
Box 3: Why I started to be a homeworker .......................................................................................... 25
Box 4: Supply chain linkages: a case of Ms. Dina, Banten .................................................................. 34
6
Box 5: Cases of Mrs. Samiah and Mrs. Hani in Banten and Mrs. Sintha and Mrs. Lilis in North
Sumatra ................................................................................................................................................ 40
Box 6: Homeworkers and negotiation in West Java ........................................................................... 49
Box 7: Homeworkers and negotiation in Banten ................................................................................ 49
Acronyms
APINDO Asosiasi Pengusaha Indonesia (The employers’ association of Indonesia ) BPJS Social Security Provider (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) BPS Badan Pusat Statistik (Statistics Indonesia) GDP Gross Domestic Product IDR Indonesian Rupiah ILO International Labour Organization MOM Ministry of Manpower SMEs Small and Medium Enterprises Sakernas Survei Angkatan Kerja Nasional (National Labour Force Survey) Susenas Survei Sosial Ekonomi Nasional (National Socioeconomic Survey) USD United States Dollar
Acknowledgments The research was carried out as part of the Australian funded ILO/MAMPU Project on Women’s Access to Employment and Decent Work in Indonesia. The research was a collaborative efforts by:
The ILO/MAMPU team, Aya Matsuura, Chief Technical Advisor, Novita Hendrina, National Officer in Medan, Hirania Cornelia, National Officer on Monitoring and Evaluation and Knowledge Sharing, Agnes Gurning, National Officer on Gender, Advocacy and Organizing, Tolhas Damanik, National Officer on Private Sector and Disability, Lilis Suryani, National Officer in Surabaya, Maya Iskarini, Administrative and Finance assistant, Nun Zairida, Administrative assistant.
The authors of the report, Emma Allen, ILO Labour Market Economist in Jakarta, Elisabeth Siahaan, University of North Sumatra, Y. Wasi Gede Puraka, INKRISPENA in Jakarta, the Institute for Research and Empowerment (IRE) in Yogyakarta and the Centre for Human Rights Studies of University of Surabaya (CHRUS) in East Java.
Survey enumerators coming from the cooperating research centers, as well as the Project’s Implementing Partners, BITRA and MWPRI.
The research benefited from valuable inputs provided by various colleagues and many thanks go to:
Nelien Haspels, Senior Gender Specialist, ILO Bangkok
Joni Simpson, Gender Specialist, ILO Bangkok
Sukti Dasgupta, Senior Economist, ILO Bangkok
Raphael Crowe, Senior Gender Specialist, ILO Geneva
Robert Kyloh, Senior Economic Advisor, ILO Geneva
7
Mustafa Hakki Ozel and David Hunter, ILO Statistics The Project would also like to thank homeworkers who took the time to take part in this research to share their experiences and stories.
About the authors Emma Allen is the lead author of this report. She is a labour market economist in the ILO Jakarta Office. She focuses on issues related to employment promotion, with a particular focus on employment policy, labour market analysis and employment trends. She completed her doctoral studies in macroeconomics, with specializations in employment policy and evidence based policy assessment. Dr Elisabeth Siahaan, SE, M.Ec, supported data collection and the development of this report for North Sumatra. She is a lecturer at department management of Faculty economic and business, University of North Sumatra. The author has been acknowledged as professional faculty by IPB. The author has published many research papers especially in the areas of enterprise development. Y. Wasi Gede Puraka, S.Sos, M.Hum, supported data collection and the development of this report for West Java and Banten. He is the Executive Director of INKRISPENA (Research Centre for Crisis and Alternative Development Strategy). The author has been an associate lecturer in Faculty of Social and Political Sciences, Universitas Indonesia and held position as Secretary General of Universitas Indonesia Workers Union. His areas of research include employment relations, social conflicts, social philosophy, and monitoring and evaluation. The Institute for Research and Empowerment (IRE) supported data collection and the development of this report for Central Java and Yogyakarta. Sukasmanto, SE, M.Si, was the lead researcher and he has a Bachelor’s and Master’s Degrees in Management from the Faculty of Economics at the University of Gadjah Mada. His research focus is on small medium enterprises (SME), social entrepreneurship, finance management, and public finance management. Dina Mariana, Weningtyas Kismorodati, Muhammad Imam Zamroni, Sunaryo Hadi Wibowo and Bridget Keenan, who also work at IRE, supported the data collection and analytical tasks for this report. The Centre for Human Rights Studies of University of Surabaya (CHRUS) supported data collection and the development of this report for East Java. Dian Noeswantari was the lead researcher and she has experience in research related to children, women, gender, business, environment, and human rights. Aloysia Vira Herawati, Inge Christanti, and Joaquim Valentino Lede Rohi, who also work at CHRUS, supported the data collection and analytical tasks for this report.
8
1. Introduction
1.1 Background
Home work is not new and homeworkers are often referred as ‘putting-out workers’ in
Indonesia. Home work is an activity undertaken by families, mostly women, for generations,
with grandmothers, mothers and daughters being involved in home work. There is a research
stating that home work has existed since 1928 in the textile industry1. Despite their existence
for a long time, they are largely invisible and not well understood but some argue that
homework is a significant phenomenon in the labour market2.
While home work is an important source of income for many, and homeworkers make
important contribution to the well-being of the family and the community, they face multiple
challenges in improving living and working conditions. Home work is characterized by low pay
and long working hours. They work at home in isolation from others, so they have limited
access to information and other resources and lack voice and representation to work towards
decent work. They also have limited legal and social protection and they are amongst the
most disadvantaged workers.
There have been efforts to increase their visibility and improve their working conditions in
Indonesia since around the 1990s, but the attention to the issues of homeworkers has not
always been sustained. From 1988-1996, the ILO implemented a regional project covering
Indonesia, Philippines and Thailand targeting poor women workers in rural areas or migrants
in urban areas engaged in home work with support from the Danish Government. The project
aimed at having data and increasing the awareness and recognition of home work amongst
concerned parties, promoting the effective application of relevant labour legislation and
policies and promoting the organization of women homeworkers3. In 1996, NGOs4 and
academicians5 founded Mitra Wanita Pekerja Rumahan Indonesia (MWPRI or the National
Network of Friends of Women Homeworkers) in Malang, East Java with a view to improve the
socio-economic situation of Indonesian home-based and informal economy workers. Since
then, MWPRI has engaged in developing HBWs’ organizations and represented HBWs at the
local, national, sub-regional and international levels, though the scale of activities has
depended on the availability of external resources6. Several studies related to homeworkers
have been carried out in the past but they are mostly small-scale and they applied different
definitions of a homeworker, including unpaid family workers or self-employed, and
comprehensive data on homeworkers as defined in Home Work Convention No. 177 (1996)
1 M. Oey-Gardiner, E. Suleeman, I. Tjandraningsih, W. Hartanto and H. Wijaya (2007), “Women and children homeworkers in Indonesia”, S. Mehrotra and M. Biggeri (2007), “Asian Informal Workers. Global risks, local protection”, (Routledge, USA and Canada). 2 Ibid. 3 ILO (1994), “Home work”, (ILO, Geneva). 4 Yayasan Pengembangan Pedesaan (the Rural Development Foundation), Bina Swadaya Yogyakarta Foundation, Yayasan Pemerhati Sosial Indonesia, and Lembada Daya Darma. 5 LPM Merdeka University. 6 N. Haspels and A. Matsuura (2015), “Home-based workers: Decent work and social protection through organization and empowerment. Experiences, good practices and lessons from home-based workers and their organizations”, (ILO, Jakarta).
9
was not available to provide better understanding on the situations of homeworkers in
Indonesia. Therefore, the issues of home work remained mostly invisible and different
understanding on the situations and status of homeworkers have been common to this date
in Indonesia.
In 2012, the ILO became part of the MAMPU (Maju Perempuan Indonesia untuk
Penanggulangan Kemiskinan or Empowering Indonesian Women for Poverty Reduction), a
cooperation programme of the Indonesian and the Australian Governments, to improve
access to jobs and social protection and livelihoods for poor women in Indonesia in selected
geographical areas. Based on initial assessments and consultations with various stakeholders,
the ILO/MAMPU project in cooperation with the ILO’s tripartite constituents (Ministry of
Manpower, APINDO, and Trade Unions) started focusing on improving the working conditions
of homeworkers, including women with disabilities in home-based work in 2014.
Recognizing the needs for data on homeworkers to increase their visibility and to have a clear
understanding on their working conditions, the activities of the ILO/MAMPU project included
increasing awareness on home work and improving the availability of data on homeworkers.
For improving the data availability, the project worked closely with the Indonesia’s National
Statistics Office to discuss the integration of additional questions that allow the identification
of home-based workers in the regular labour force survey questionnaire. In addition, the
project carried out a mapping of homeworkers in the selected provinces to obtain information
on the situations and working conditions of homeworkers, so that the information can be
used by relevant stakeholders including policy makers, employers, trade unions, Civil Society
Organizations (CSOs) and homeworkers’ organizations in their work to improve the living and
working conditions of homeworkers in Indonesia. This report presents the findings from the
mapping study.
1.2 Scope of the homeworker mapping study
The ILO/MAMPU project teamed up with national researchers to carry out the homeworker
mapping study in North Sumatra, West Java, Central Java, Yogyakarta, East Java, and Banten
between late 2014 and early 2015. The focus of the study was to understand the situation
and the working conditions of homeworkers, and it is useful to understand the distinction
between self-employed own account home-based workers and dependent home-based
workers (referred as homeworkers) (Box 1).
Box 1: Definitions of two categories of home-based workers
There are two basic categories of home-based workers. The distinction is important in understanding the challenges these workers face:
Self-employed home-based workers assume all the risks of being independent operators. They buy their own raw materials, supplies, and equipment, and pay utility and transport costs. They sell their own finished goods, mainly to local customers and markets but sometimes to international markets. Most do not hire others but may have unpaid family members work with them.
10
Sub-contracted home-based workers (called homeworkers) are contracted by an individual entrepreneur or a firm, often through an intermediary. They are usually given the raw materials and paid per piece. They typically do not sell the finished goods. They do, however, cover many costs of production: workplace, equipment, supplies, utilities, and transport. Homeworkers are not domestic workers who work in or for households carrying out household tasks. They also differ from home-based self-employed worker who work at home with autonomy.
Source: WIEGO, home-based workers, http://wiego.org/informal-economy/occupational-
groups/home-based-workers (accessed November 2015); N. Haspels and A. Matsuura (2015), “Home-
based workers: Decent work and social protection through organization and empowerment.
Experiences, good practices and lessons from home-based workers and their organizations”, (ILO,
Jakarta).
Box 2: Informal employment: Hierarchy of earnings and poverty risk by employment status and sex
Source: L. Lim: Extending livelihood opportunities and social protection to empower poor urban
informal workers in Asia. A multi-country study: Bangladesh, Indonesia, Nepal, Pakistan, Philippines,
and Thailand, (Oxfam for Asia Development Dialogue, Thailand, 2015).
In reality, homeworkers and own-account workers share many common features, such as
irregularity of work, low incomes, poor working and living conditions often in substandard
11
housing and lack of access to public or private support services7. Both groups also have little
voice in decision-making about public policies and services that are crucial to their
productivity, such as land allocation and housing policies, as well as basic infrastructure and
transport services8. However, the study focused on sub-contracted home-based workers
(homeworkers) to address the need to increase the visibility of homeworkers, who were often
confused with self-employed own account workers who were regarded as having a control in
managing their work, and being responsible for making improvements, while homeworkers
in reality do not have the same level of control and are highly dependent and vulnerable.
1.3 Methodology and sample
The sample of this study drew upon a stratified random sampling approach and comprised of
3010 homeworkers in randomly selected villages across six provinces in Indonesia, including:
North Sumatra: sample of 300 homeworkers.
West Java: sample of 804 homeworkers.
Central Java: sample of 780 homeworkers.
Yogyakarta: sample of 80 homeworkers.
East Java: sample of 710 homeworkers.
Banten: sample of 336 homeworkers.
The survey population of this study refers to women homeworkers. As a first step in the
sampling process, six provinces were selected due to their high incidence of women’s
employment in the manufacturing sector according to official statistics from Indonesia’s
labour force survey. Following this approach, districts within these provinces were randomly
selected based on their high incidence of women’s employment in the manufacturing sector
according to data from the August 2014 labour force survey, resulting in the selection of 297
villages within 104 sub-districts that were located in 37 districts. An average of 10
homeworkers were interviewed per village. Based on estimates from the labour force survey,
the sample size per district was set at equivalent to 0.1% of women’s employment in the
manufacturing sector within these districts.
As the labour force survey does not provide geographical information below the district level,
sub-districts (and villages) within these districts were randomly selected using data from
Statistics Indonesia’s survey of large and medium and enterprises in the manufacturing
sector. The database for this survey includes a list with the addresses of all formally registered
companies across Indonesia and information on the number of workers that they hire and
their classification according to the international standard classification of industry.
7 N. Haspels and A. Matsuura (2015), “Home-based workers: Decent work and social protection through organization and empowerment. Experiences, good practices and lessons from home-based workers and their organizations”, (ILO, Jakarta). 8 Ibid.
12
The sample was prepared using addresses detailed in the survey of large and medium
enterprises in the manufacturing sector from Statistics Indonesia. Enterprise data was
disaggregated according to whether enterprises were a resource intensive, labour intensive
or capital intensive industry within the manufacturing sector, as well as whether they were
large (100+ employees) or medium (20-99 employees) sized enterprises.9 Sub-districts were
then randomly selected based on the presence of large enterprises in resource, labour and
capital intensive industries with the assumption that homeworkers are part of the supply
chains of large enterprises in those industries. Researchers were provided with a short list of
enterprises with their addresses per sub-district which was used as a reference point to
identify villages in the areas surrounding the sampled factories that would be approached to
interview homeworkers. Once researchers were in target villages, they looked for
homeworkers using various strategies. For example, researchers contacted local government,
NGOs working with homeworkers or other informal economy workers and village leaders and
explained about home work, and requested them to introduce villagers carrying out home
work.
Taking into account that there were an inconsistent number of homeworkers in each village
identified in the sample and that homeworkers were not found in every village included in
the sample, the number of homeworkers interviewed per village was adjusted in situ. If no
homeworkers are found, or the number of women homeworkers in one village is less than
the required sample quota, the process of identifying and interviewing homeworkers
continued in the nearest village within the same sub-district. Table 1 summarizes the
description of sample by geographical location. It is worth noting that the areas included in
the sample have a large number of companies that work in the manufacturing sector. Many
of these districts also had higher rates of economic growth due to greater levels of business
activity.
Table 1: Sample description by geography North
Sumatra Sub-district Village
Sample
Urban
Rural
West Java Sub-district Village Sampl
e Urba
n Rura
l
Deli Serdang
Percut Sei Tuan
Bandar Khalifa 26 1
Bogor Regency
Babakan Madang
Cipambuan 11 1
Sambirejo Timur
8 1 Kudu Manggu 9 1
Kenangan Baru 5 1 Sukaraja 10 1
Tembung 10 1
Cileungsi
Cileungsi 16 1
Sunggal
Purwodadi 11 1 Narogong 13 1
Payageli 7 1 Pasir Angin 8 1
Muliorejo 3 1
Citereup
Citeureup 3 1
Tanjung Morawa
Dalu 3 1 Gunung Sari 3 1
Tanjung Morawa
10 1 Luwinutuk 3 1
Dagang Gelambir
7 1 Pasir Mukti 2 1
Medan
Medan Deli
Tanjung Mulia 12 1 Puspanegara 15 1
Mabar Hilir 13 1 Sanja 7 1
Mabar 12 1 Sukahati 10 1
Medan Johor
Kedai Durian 13 1 Tajur 3 1
Pangkalan Masyur
1 1 Tarikolot 3 1
Titi Kuning 9 1
Gunung Putri
Bojong Nangka 8 1
Serdang Berdagai
Teluk Mengkudu
Bogak Besar 11 1 Cicadas 13 1
Sialang Buah 10 1 Gunung Putri 10 1
Pekan Sialang Buah
9 1 Nagrag 4 1
Pematang Siantar
Siantar Marihat
Parhorasan Nauli
13 1 Tlajung Udik 7 1
Siantar Nagori
Sejahtera 10 1 Wanaherang 4 1
9 Some homeworkers associated with this study were linked with micro and small enterprises through subcontracting modalities, but the sample frame was determined using the statistics Indonesia survey of large and medium enterprises.
13
Siantar Utara
Sigulang-gulang 7 1 Klapa Nunggal Bojong 3 1
Binjai
Binjai Utara Jatinegara 6 1
Sukabumi Regency
Cicurug
Nanggerang 17 1
Binjai Selatan
Sukamaju 9 1 Tenjo Ayu 11 1
Asahan Tanjungbala
i
Asahan Mati 5 1
Cidahu
Cidahu 15 1
Bagan Asahan Induk
11 1 Giri Jaya 19 1
Bagan Asahan Pekan
15 1 Jaya Bakti 18 1
Tanjung Balai
Tanjung Balai Utara
Kuala Silo Bestari
30 1 Nanggerang 1 1
Tebing Tinggi
Bajenis Pelita 5 1
Bandung Regency
Cikancung
Ciluluk 17 1
Tebing Tinggi Kota
Badak Bejuang 10 1 Hegarmanah 19 1
Central Java Sub-district Village Sampl
e Urba
n Rura
l Tanjunglaya 11 1
Banyumas
Ajibarang
Ciberung 11 1
Dayeuh Kolot
Cangkuang Wetan 10 1
Karang Bawang 10 1 Citeureup 9 1
Pandansari 9 1 Pasawahan 32 1
Karang Lewas
Karang Gude Kulon
10 1
Majalaya
Balekambang 1 1
Pasir Wetan 10 1 Biru 45 1
Purwokerto Selatan
Karang Klesem 6 1 Majasetra 1 1
Purwokerto Kulon
2 1 Padaulun 5 1
Teluk 22 1 Sukamaju 5 1
Cilacap
Cilacap Selatan
Cilacap 1 1 Sukamukti 1 1
Tambakreja 8 1
Margahayu
Margahayu Selatan 4 1
Karang Pucung
Cidadap 9 1 Margahayu Tengah 11 1
Gunung Telu 11 1 Sayati 7 1
Sindang Barang 10 1 Sukamenak 20 1
Kroya
Bajing Kulon 8 1
Karawang Regency
Klari
Duren 3 1
Pekuncen 10 1 Duren Kosambi 5 1
Pucung Kidul 11 1 Duseh 3 1
Pucung Lor 12 1 Gintung Kerta 15 1
Jepara
Batealit Bantrung 13 1 Pancawati 17 1
Samosari 9 1 Walahar 11 1
Jepara Bandengan 6 1 Teluk Jambe
Timur
Sukaluyu 6 1
Kedungcino 16 1 Wadas 24 1
Tahunan
Krapyak 15 1
Bekasi Regency
Cibitung
Cibuntu 15 1
Mantingan 10 1 CIbuntu 6 1
Tahunan 8 1 Wanasari 19 1
Welahan
Karanganyar 12 1 Cikarang Selatan
Cibatu 12 1
Kendengsidialit 11 1
Cikarang Utara
Karang Asih 11 1
Teluk Wetan 10 1 Karang Baru 17 1
Kebumen
Karanganyar Grenggeng 11 1 Mekar Mukti 13 1
Sidomulyo 11 1 Mekarmukti 1 1
Kebumen
Bandung 11 1 Pasir Gombong 9 1
Gemeksekti 12 1
Tambun Selatan
Jati Mulya 13 1
Jemur 10 1 Lambang Jaya 12 1
Kuwarasan
Kuwaru 11 1 Mangun Jaya 13 1
Lemah Duwur 11 1 Tambun 13 1
Pondok Gerbangsari
11 1
Bandung Municipalit
y
Andir
Ciroyom 4 1
Prembun
Prembun 10 1 Dungus Cariang 31 1
Sembir Kadipaten
12 1 Garuda 1 1
Klaten
Karanganom
Kunden 12 1 Kebon Jeruk 4 1
Ngabeyan 11 1 Maleger Utara 1 1
Tarubasan 6 1
Bandung Kulon
Cigondewah Kaler 6 1
Klaten Tengah
Buntalan 9 1 Cigondewah Rahayu 7 1
Semangkak 12 1 Cijerah 11 1
Prambanan
Bugisan 12 1 Warung Muncang 17 1
Cucukan 5 1 Cinambo
Babakan Penghulu 20 1
Kemudo 13 1 Cisaranten Wetan 20 1
Kudus
Dawe Lau 10 1
D I Yogyakarta
Sub-district Village Sampl
e Urba
n Rura
l
Soco 10 1
Bantul
Piyungan Sitimulyo 9 1
Gebog
Karang Malang 10 1 Srimartani 11 1
Klumpit 10 1
Sewon
Bangun Harjo 10 1
Padurenan 10 1 Panggungharjo 12 1
Kaliwungu
Banget 10 1 Timbulharjo 8 1
Blimbing Kidul 10 1
Sleman Berbah
Jogotirto 9 1
Kedung Dowo 10 1 Kalitirto 5 1
Purbalingga
Kaligondang
Brecek 10 1 Tegaltirto 16 1
Kalikajar 10 1 East Java Sub-district Village Sampl
e Urba
n Rura
l
Penaruban 9 1
Sidoarjo
Taman
Sambibulu 10 1
Padamara
Bojanegara 11 1 Wage 12 1
Karanggambas 10 1 Kalijaten 8 1
Padamara 10 1 Kletek 5 1
Purbalingga
Purbalingga Wetan
10 1 Krembangan 15 1
Wirasana 10 1 Gedangan
Keboansikep 11 1
Kabupaten Semarang
Bawen
Asinan 4 1 Punggul 10 1
Bawen 16 1
Waru
Wedoro 10 1
Doplang 10 1 Wadungasri 6 1
Bergas Gondoriyo 13 1 Berbek 4 1
14
Karangjati 9 1 Tambakrejo 10 1
Waringin Putih 8 1 Jabon
Trompoasri 13 1
Pringapus Derekan 9 1 Panggreh 7 1
Wonoyoso 11 1 Sidoarjo
Lemah Putro 10 1
Kota Semarang
Genuk
Banjardowo 10 1 Bluru Kidul 9 1
Genuksari 11 1
Surabaya
Tandes
Manukan Wetan 10 1
Karangroto 9 1 Manukan Kulon 10 1
Ngaliyan
Bringin 8 1 Balongsari 10 1
Podorejo 17 1 Tambaksari
Gading 19 1
Tambak aji 5 1 Rangkah 11 1
Semarang Utara
Bandarharjo 10 1 Lakarsantri
Sumurwelut 10 1
Panggung Kidul 10 1 Lidah Kulon 10 1
Banten Sub-district Village Sampl
e Urba
n Rura
l Gunung Anyar Rungkut Tengah 10 1
TANGERANG
Municipality
Batu Ceper
Batu Ceper 15 1 Gunung Anyar 10 1
Batu Jaya 17 1
Jember
Ambulu Karanganyar 9 1
Batu Sari 16 1 Sabrang 14 1
Cikupa
Bitung Jaya 5 1 Silo
Silo 24 1
Bojong 2 1 Harjomulyo 3 1
Cibadak 7 1 Ledokombo
Sumber Lesung 9 1
Cikupa 1 1 Slateng 11 1
Pasir Gadung 5 1
Banyuwangi
Muncar _ _ _ _
Pasir Jaya 5 1 Kalipuro
Kalipuro 22 1
Sukamulya 9 1 Gombengsari 8 1
Talagasari 16 1
Genteng
Genteng Kulon 7 1
Karawaci
Bugel 13 1 Genteng Wetan 20 1
Grendeng 11 1 Kembiritan 13 1
Margasari 12 1
Gresik
Menganti Gempolkurung 10 1
Pabuaran 14 1 Laban 10 1
Periuk Periuk 5 1 Kebomas
Sidomukti 18 1
TANGERANG Regency
Cikupa
Bitung Jaya 4 1 Kawisanyar 2 1
Sukamulya 1 1
Wringinanom
Kesamben Kulon 10 1
Talagasari 48 1 Mondoluku 10 1
Curug
Binong 11 1 Soko 10 1
Cukangngalih 10 1
Pasuruan Kabupaten
Gempol
Randupitu 6 1
Curug Kulon 15 1 Karang Rejo 14 1
Curug Wetan 2 1 Legok 22 1
Dukuh 2 1 Kejapanan 1 1
Kadu Sempur 13 1 Pandaan
Sebani 18 1
Sukabakti 14 1 Kebonwaris 7 1
Pasar Kemis
Gelam Jaya 13 1 Purwodadi Sentul 2 1
Kotabumi 7 1
Kediri Kabupaten
Plemahan Mejono 14
Kuta Jaya 1 1 Puhjarah 3 1
Pangadegan 9 1 Wates Janti 5 1
Pangadokan Kidul
5 1
Pare
Bendo 30 1
Pasar Kemis 7 1 Sumber Bendo 5 1
Sindang asih 1 1 Pare 8 1
Sindang Jaya 1 1 Tertek 1 1
Sindang Sari 7 1 Pelem 4 1
Suka Asih 12 1
Malang Kota
Sukun
Pisang Candi 2 1
Tanjung Rejo 6 1
Bakalan Krajan 5 1
Cipto Mulyo 3 1
Blimbing Bale Arjosari 24 1
Malang Kabupaten
Singosari Gunung Rejo 9 1
Candi Renggo 13 1
Lawang Ketindan 12 1
Sumber Ngepoh 6 1
Mojokerto Kabupaten
Ngoro Kembangsri 10 1
Ngoro 20 1
Trowulan Jatipasar 10 1
Source: Survey data.
The method used to collect the data was through interview and focus group discussions.
Enumerators were trained on key concepts related to this survey including the definition of
homeworkers and value chains. To determine whether the identified person was indeed a
homeworker or not, enumerators asked a few screening questions related to the
respondent’s work to verify their status as a homeworker before starting an interview. As
homeworkers usually live close to each other, there were generally only 2 or 3 kinds of home
work found within one village.
While several measures were taken to improve the robustness of research design, this study
faces several limitations. In particular, no data exists on homeworkers including sampling
15
frames in Indonesia. This limited the use of a random sampling in the research design, with
locations selected randomly while the individuals interviewed were selected randomly in situ.
In addition, the study was not able to obtain information to clearly draw supply chain linkages
as it was not possible to interview the intermediaries and employers who were engaging the
interviewed homeworkers. The homeworkers generally had fear of losing jobs, and they did
not want their intermediaries or employers to know about their participation in this survey.
The study had initially aimed to understand the situation of homeworkers with disabilities.
However, due to technical difficulties to integrate internationally established methodologies
to carry out a survey on disability into the mapping study, the study only identified the
incidence of homeworkers with disabilities and it did not seek detailed information specific
to homeworkers with disabilities.
The main instrument used for this study was a questionnaire developed by the ILO/MAMPU
project, which consisted of 83 formulated questions across ten core topics. The 10 topics
included geographic information, household information, household’s possession,
homeworkers’ characteristic, income and expenses, backward and forward integration to the
market, the reason for homework, social and economic access, health access, and gender
equality. The survey instrument was developed based on existing materials including the ILO’s
model labour force survey10, Indonesia’s labour force survey11, a guideline questionnaire for
homeworkers from the survey on Asian informal workers from Santosh Mehrotra and Mario
Biggeri12, questionnaire for home-based workers (2013) and questionnaire on risk and
vulnerability of home-based workers in South Asia 2014 shared by HomeNet South Asia, and
a questionnaire from the World Health Organization (WHO) Multi-country study on women’s
health and domestic violence against women13. Focus group discussions were also carried out
to obtain better understanding on the experiences and perceptions of homeworkers. For each
province surveyed, one focus group discussion was conducted with between 10 to 15 female
participants.
2. Regulatory framework in Indonesia
According to the ILO Convention on Home Work, 1996 (No. 177), home work is defined as
work carried out by a person, referred as a homeworker, (i) in his or her home or in other
premises of his or her choice, other than the workplace of the employer, (ii) for remuneration,
10 ILO Department of Statistics (2010), “Model labour force survey questionnaire (version. A)”, (ILO, unpublished, Geneva). 11 BPS Statistics Indonesia (2014), “Labour force situation in Indonesia February 2014”, (BPS Statistics Indonesia, Jakarta). 12 Annex 2.1: Questionnaire guidelines for homeworkers (and control group), page 44, Asian Informal Workers: Global risks, local protection, Santosh Mehrotra and Mario Biggeri, Routledge Tayler & Francis Group London and New York (USA and Canada, 2007) 13 Claudia Garcia-Moreno, Henrica A.F.M. Jansen, Mary Ellsberg, Lori Heise, and Charlotte Watts (2005), “WHO Multi-country Study on Women’s Health and Domestic Violence against Women: Initial results on prevalence, health outcomes and women’s responses”, (WHO, Geneva)
16
(iii) which results in a product or service as specified by the employer, irrespective of who
provides the equipment, materials or other inputs used”.14 In Indonesia, home work or
homeworkers are not explicitly defined in the national labour regulations nor in national
statistics and there are different understandings surrounding home work among policy
makers, general public, and even sometimes among homeworkers themselves.
An ILO review15 of the labour law indicates that homeworkers are implicitly covered by the
Manpower Act No. 13 (2003) based on the following provisions:
Article 1 (2): Manpower is every individual or person who is able to work in order to produce goods and/or services either to fulfill his or her own needs or to fulfill the needs of the society.
Article 1(3): A worker/labourer is any person who works and receives wages or other forms of remuneration.
The review further establishes that homeworkers are in an employment relationship and
entrepreneurs are under an obligation to observe various provisions of the Manpower Act
No. 13 (2003) as follows:
Article 1 (5): An entrepreneur is an individual or partnership or legal entity that operates a self-owned enterprise.
Article 1 (6): An enterprise is every form of business, which is either a legal entity or not, which is owned by an individual, a partnership or legal entity that is either privately owned or state owned, which employers workers/labourers by paying them wages or other forms of remuneration.
Article 1(15): An employment relation is a relationship between an entrepreneur and
a worker/labourer based on a work agreement, which contains the elements of job,
wages and work order.
Article 51: Work agreements can be made either orally or in writing.
Article 86: Every worker/labourer has the right to receive protection on a)
occupational safety and health.
Article 88 (1): Every worker/labourer has the right to earn a living that is decent from
the viewpoint of humanity.
Article 90 (1): Entrepreneurs are prohibited from paying wages lower than the
provincial or district/city-based minimum wages or provincial or district/city-based
sectoral minimum wages.
However, homeworkers are excluded from the coverage of the Manpower Act in practice due
to the lack of consensus on the legal status of homeworkers as well as a general notion in
Indonesia that the labour law is applicable only for workers in formal employment and not
for workers in the informal economy.
14 ILO (1996) Convention on Home Work (No. 177), International Labour Office, Geneva. 15 M. Fajerman: Review of the regulatory framework for homeworkers in Indonesia 2013. (Jakarta, ILO, 2014). Fajerman, M. (2014) Review of the Regulatory Framework for Homeworkers in Indonesia, ILO Country Office for Indonesia and Timor-Leste, Jakarta.
17
At the local level, there have been some progress to recognize and extend legal and social
protection to homeworkers as a result of continuing advocacy work to improve the conditions
of women in some areas. For example the Women’s Empowerment Department in Malang,
East Java, issued a local regulation on vulnerable women in 2013 which recognized women
homeworkers as part of the group of women who should have access to decent wage ,social
protection, market, financial and other services, though there have been challenges in
implementation. Therefore, the overall majority of homeworkers experience no or
insufficient access to legal and social protection.
3. Economic and social context
The six provinces covered in this study have large populations, and account for over 50 per cent of the total population in Indonesia (Table 2). The provinces are generally characterized by strong economic performance with the provincial GDP growth rates above 5.4 per cent and the four provinces of North Sumatra, West Java, East Java, and Banten have a higher rate than the national average (Table 3). North Sumatra and East Java also has the higher provincial GDP per capita than the national average. These provinces have diversified economic structure which includes manufacturing, and large and medium firms in these provinces operate in various industries such as food, beverage and tobacco, wood processing, rubber processing, garment, electronics and automotive. The contribution of these six provinces to the national GDP amounts to 46.6 per cent. Despite generally strong economic performance in the six provinces, there were 16.5 million poor people in these provinces, which is more than half the number of poor people in Indonesia (Table 2). The poverty line estimates for the provinces in this study ranged between IDR 256,368 and IDR 330,517 per month. The GINI index16 of the provinces covered in this study ranged between 0.35 in North Sumatra and 0.44 in Yogyakarta. This indicates that the benefits of economic growth are not necessarily distributed to help reduce poverty.
Table 2: Population, poverty and inequality indicators, September, 2013 Province Population,
millions (2013)
Number of poor
people
(millions)
GINI index Poverty line IDR
per month
(urban)
Poverty line IDR
per month
(rural)
Poverty line IDR
per month
(provincial)
North
Sumatra
13.6 1.3 0.35 330,517 292,186
311,063
West Java 45.3 4.4 0.41 281,189 268,251 276,825
Central Java 33.3 4.7 0.39 268,397 256,368 261,881
D.I.
Yogyakarta
4.0 0.5 0.44 317,925 275,786
303,843
East Java 38.4 4.9 0.36 278,563 269,294 273,758
16 The Gini index summarizes the extent of inequality in a value, with zero referring to perfect equality and one referring to perfect inequality.
18
Banten 11.5 0.7 0.40 300,109 264,294 288,733
National 248.8 28.6 0.41 308,826 275,779 292,951
Source: BPS (2014) Selected trends of socio-economic indicators, August 2014, Badan Pusat Statistik,
Jakarta.
Table 3: Regional GDP key indicators, 2013 Province Gross Regional
Domestic Product at
2000 Constant Market
Prices (trillions)
Growth Rate of Gross
Regional Domestic
Product at 2000
Constant Market Prices
Per Capita Gross
Regional Domestic
Product Without Oil and
Gas at 2000 Constant
Market Prices (millions)
Percentage Distribution
of Gross Regional
Domestic Product at
Current Market Prices
North Sumatra 142.5 6.0% 10.4 5.3%
West Java 386.8 6.1% 8.4 14.1%
Central Java 223.1 5.8% 6.4 8.2%
D.I. Yogyakarta 24.6 5.4% 6.8 0.8%
East Java 419.4 6.5% 10.9 15.0%
Banten 105.9 5.9% 9.2 3.2%
National 2661.1 5.9% 10.1 100%
Source: BPS (2013) Regional GDP, Badan Pusat Statistik, Jakarta.
In terms of labour market information, the trends in provinces covered in this study are
generally similar to the national average condition. For example, women’s labour force
participation is generally low ranging from 42.3 per cent in West Java to 61.6 per cent in
Yogyakarta compared to men’s labour force participation rate ranging from 80.9 per cent in
Yogyakarta to 83.8 per cent in East Java (Table 4). The rates of inactivity in all provinces are
high among women mainly due to household responsibilities, and it was on average 48.5 per
cent among the 6 provinces. The rate was highest in West Java (57.7 per cent). This shows that
housekeeping is a significant factor limiting women’s labour force participation, and the need
to generate additional income for the household, especially among women who are engaged
in full-time housekeeping activities, is likely to influence women’s decision to work home-
based.
Table 4: Key indicators of the labour market Labour market indicator
North Sumatra West Java
Men Women Total Men Women Total
Population 15 Years of Age and Over
4,611,630 4,739,411 9,351,041 16,906,222 16,559,154 33,465,346
Economically Active 3,838,460 2,433,623 6,272,083 14,000,986 7,005,153 21,006,139
- Working 3,630,703 2,250,668 5,881,371 12,871,114 6,359,829 19,230,943
- Unemployed 207,757 182,955 390,712 1,129,872 645,324 1,775,196
Not Economically Active
773,170 2,305,788 3,078,958 2,905,236 9,553,971 12,459,207
19
- Attending school 465,283 514,289 979,572 1,511,737 1,441,402 2,953,139
- Housekeeping 54,996 1,649,949 1,704,945 284,782 7,543,525 7,828,307
- Other 252,891 141,550 394,441 1,108,717 569,004 1,677,761
Labour force participation rate
83.23% 51.35% 67.07% 82.82% 42.3% 62.77%
Unemployment rate 5.41% 7.52% 6.23% 8.07 % 9.21% 8.45%
Inactivity rate 16.77% 48.65% 32.93% 17.18% 57.7% 37.23%
Labour market indicator
Central Java D I Yogyakarta
Men Women Total Men Women Total
Population 15 Years of Age and Over
12,348,319 12,833,648 25,181,967 1,392,750 1,455,004 2,847,754
Economically Active 10,240,302 7,306,724 17,547,026 1,127,120 896,341 2,023,461
- Working 9,671,796 6,878,886 16,550,682 1,083,433 872,610 1,956,043
- Unemployed 568,506 427,838 996,344 43,687 23,731 67,418
Not Economically Active
2,108,017 5,526,924 7,634,941 265,630 558,663 824,293
- Attending school 1,000,617 948,636 1,949,253 138,857 131,688 270,545
- Housekeeping 316,204 4,044,925 4,361,129 61,797 377,725 439,522
- Other 791,196 533,363 1,324,559 64,976 49,250 114,226
Labour force participation rate
82.93% 56.93% 69.68% 80.93% 61.60% 71.05%
Unemployment rate 5.55% 5.86% 5.68% 3.88% 2.65% 3.33%
Inactivity rate 17.1% 43.1% 30.32% 19.07% 38.40% 28.95%
Labour market indicator
East Java Banten
Men Women Total Men Women Total
Population 15 Years of Age and Over
14,435,358 15,143,324 29,578,682 4,258,134 4,103,471 8,361,605
Economically Active 12,098,291 8,051,707 20,149,998 3,546,825 1,791,220 5,338,045
- Working 11,577,438 7,729,070 19,306,508 3,226,730 1,627,262 4,853,992
- Unemployed 520,853 322,637 843,490 320,095 163,958 484,053
Not Economically Active
2,337,067 7,091,617 9,428,684 711,309 2,312,251 3,023,560
- Attending school 1,177,453 1,140,685 2,318,138 382,861 347,597 730,458
- Housekeeping 328,771 5,396,341 5,725,112 71,037 1,823,192 1,894,230
- Other 830,843 554,591 1,385,434 257,411 141,461 398,872
Labour force participation rate
83.81% 53.17% 68.12% 83.30% 43.65% 63.84%
Unemployment rate 4.31% 4.01% 4.19% 9.02% 9.15% 9.07%
Inactivity rate 16.19% 46.83% 31.88% 16.70% 56.35% 36.16%
Source: BPS (August 2014) Labour force situation in Indonesia, Badan Pusat Statistik, Jakarta.
4. Characteristics of women homeworkers in the sample
This chapter presents the characteristics of the women homeworkers including information
on educational attainment, gender perceptions as well as their household information such
as marital status and disability.
Educational attainment
Table 5 below presents information on educational attainment of the homeworkers. At least
more than a quarter of the interviewed women had primary school education in all the
targeted provinces and another quarter had junior high school education. Those who did not
have any schooling or incomplete primary school education was less than 15 per cent, ranging
20
from 7.6 per cent in Yogyakarta to 14.7 per cent in North Sumatra). North Sumatra and
Yogyakarta had a higher number of women with senior high school education (general and
vocational) (33.4 per cent and 38.8 per cent respectively), while those who had completed
senior high school (general and vocational) was less than a quarter in West Java (16.5 per
cent), Central Java (16.3 per cent), East Java (21.9 per cent) and Banten (23.9 per cent). In
comparison to the provincial average, the women homeworkers generally had lower levels of
educational attainment.
Table 5: Educational attainment of homeworkers in comparison to provincial averages for women (per cent)
Educational
attainment
North Sumatra West Java Central Java
D.I.
Yogyakarta East Java Banten
Sample
average
BPS
average
Sample
average
BPS
average
Sample
average
BPS
average
Sample
average
BPS
average
Sample
average
BPS
average
Sample
average
BPS
averag
e
No schooling 1.00 2.6 5.8 3.2 3.2 6.8 1.3 8.1 4.1 10.9 3.3 3.5
Not yet completed
primary school 13.7 12.1 6.2 11.2 9.4 18.0 6.3 10.8 9.2 16.8 7.4 13.2
Primary school 27.0 22.0 33.6 33.8 39.4 32.1 26.3 19.6 36.5 28.8 27.4 21.7
Junior high school 24.0 19.0 36.9 16.7 31.0 17.6 26.3 15.8 27.3 15.4 37.8 18.4
Senior high school
(general) 27.7 23.2 14.1 15.4 10.8 10.1 22.5 14.6 13.7 11.5 18.8 17.9
Senior high school
(vocational) 5.7 9.2 2.4 8.6 5.5 7.6 16.3 14.0 8.2 7.6 5.1 11.2
Diploma I/II/III/
Academy 1.0 3.9 0.7 3.6 0.5 2.3 1.3 5.4 0.9 2.0 0.0 4.5
University 0.0 8.1 0.2 7.5 0.3 5.5 0.3 11.6 0.1 6.9 0.3 9.6
Total 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
Source: Survey data; BPS (2014) Labour force situation in Indonesia, Badan Pusat Statistik, Jakarta.
Household information
Table 6 below presents marriage status and the age information of the respondents. Most of
the women homeworkers, over 80 per cent, are married. While the rate of women as
household head is generally less than 10 per cent in the surveyed provinces, the rate is higher
in Central Java (31.6 per cent). The average age of the interviewed women is 40. However,
the respondents’ age varied widely with the youngest being 13 in West Java and the oldest
being 83 in East Java which indicates women with all age groups are engaged in home work.
Table 6: Key sample characteristics Variable North
Sumatra West Java Central Java
D.I.
Yogyakarta East Java Banten
No. % No. % No. % No. % No. % No. %
Men 0 0.0 0 0.0 0 0.0 0 0.0 0 0.0 0 0.0
Women 300 100.0 804 100.0 780 100.0 80 100.0 710 100.0 336 100.0
21
Female headed
households 21 7.0 54 6.7 55 31.6 10 12.5 52 7.3 6 7.8
Marital status - single 13 4.3 49 6.1 41 5.3 3 3.8 29 4.1 21 6.3
Marital status - married 261 87.0 677 84.2 685 87.8 71 88.8 596 83.9 305 90.8
Marital status - divorced 7 2.3 23 2.9 13 1.7 3 3.8 24 3.4 3 0.9
Marital status - widowed 19 6.3 55 6.8 41 5.3 3 3.8 61 8.6 7 2.1
People with disabilities 4 1.3 7 0.9 10 1.3 0 0.0 4 0.5 3 0.9
Age Young
est Oldest
Young
est
Oldest Young
est
Oldest Young
est
Oldest Young
est
Oldest Young
est
Oldest
Youngest and oldest 13 74 13 80 15 76 15 76 19 83 - -
Average age 40 38 40 40 40 -
Source: Survey data.
The average size of the homeworkers’ household was between 4 and 5 persons which was
slightly higher compared to the national and provincial average as shown in Table 7. The
husbands of homeworkers were typically found to work in low skill and unskilled occupations
with precarious contracting arrangements.17 For example, this study found that the spouses
of homeworkers were predominantly employed as production workers, low skilled service
workers or as agricultural labourers. In addition, the spouses of homeworkers tended to work
as a casual workers not in agriculture or as employees on short term contracts. The data
indicates that although their husbands earned income, the income may not be sufficient or
stable, as over 75 per cent of the homeworkers’ spouses worked as a casual workers not in
agriculture and as employees on short term contracts, most likely without any access to social
protection. The first marriage of the women within the provinces covered in this study tended
to be within the age ranges of 16 to 18 years or 19 to 24 years.
Table 7: Average household size and age of marriage Province Population,
millions (2013) Average
household size (2013)
Age of women’s first marriage % (2012)
10-15 16-18 19-24 25+
North Sumatra 13.6 4.3 3.2 20.7 56.4 19.6
West Java 45.3 3.7 15.7 36.4 38.3 9.6
Central Java 33.3 3.7 11.5 34.8 42.3 11.3
D.I. Yogyakarta 4.0 3.3 3.8 22.4 53.8 20.0
East Java 38.4 3.6 15.0 36.7 39.1 9.2
Banten 11.5 4.1 13.8 33.2 41.2 11.4
National 248.8 3.9 11.1 32.1 44.0 12.8
Source: BPS (2014) Selected trends of socio-economic indicators, August 2014, Badan Pusat Statistik,
Jakarta.
Attitudes towards gender equality
17 Precarious employment refers to the employed population whose contract of employment, whether verbal or written, is of relatively short duration or whose contract can be terminated on short notice. See ILO (2012) Decent work indicators: concepts and definitions, International Labour Office, Geneva.
22
Awareness on gender equality may hold the key to improving the livelihoods and working
conditions of homeworkers, as they themselves need to value and recognize their
contribution to the family and the community and start making decisions and taking actions
such as organizing and collective bargaining by mobilizing understanding and support from
their family members including their husbands and in-laws. The study sought to understand
attitudes of the homeworkers on gender equality.
Table 8 presents data on the general attitudes of the homeworkers on the role of women in
the household and their degree of emancipation from their husbands. Seven out of ten
respondents agreed to the statement that a good wife has to obey her husband even if she
disagrees. This shows that the majority of women homeworkers have a tendency to remain
quiet and follow what their husband say, even when it goes against their own wishes. On
average, 40 per cent of the respondents agreed that all important decisions in the family
should be made by the husband, indicating that their perception on decision making is not
equal between women and men. However, the majority of homeworkers agreed that the wife
has a right to express her opinion, even if it differs from the husband.
Perceptions on household tasks were slightly more in favour of shared responsibilities,
however, this may be more of an aspiration rather than a reality. On a positive note, the
majority of the respondents tended to view education of boys and girls to equally important,
though close to a quarter of the women in West Java agreed to the statement stating that the
investment for a boy to go to school is more important than the investment for girl to go to
school. This data tells us that the husbands of homeworkers tend to have greater authority
within households.
Table 8: Attitudes on gender equality (%) North Sumatra Agree Disagree Don't know
A good wife has to obey to her husband even if she disagrees 62.0 33.7 4.3
All important decisions in the family should be made by the husband 44.5 50.8 4.7
When the wife goes to work, the husband should help with housekeeping 75.0 20.0 5.0
The wife has the right to express her opinion even if the opinion differs from the
husband’s 92.0 3.3 4.7
The investment for a boy to go to school is more important than the investment
for girl to go to school 9.3 87.7 3.0
West Java Agree Disagree Don't know
A good wife has to obey to her husband even if she disagrees 66.2 26.4 7.5
All important decisions in the family should be made by the husband 42.4 51.2 6.3
When the wife goes to work, the husband should help with housekeeping 77.7 14.4 7.8
The wife has the right to express her opinion even if the opinion differs from the
husband’s 81.8 8.8 9.3
The investment for a boy to go to school is more important than the investment
for girl to go to school 24.0 66.7 10.3
Central Java Agree Disagree Don't know
23
A good wife has to obey to her husband even if she disagrees 73.7 24.9 1.4
All important decisions in the family should be made by the husband 47.6 51.2 1.3
When the wife goes to work, the husband should help with housekeeping 74.2 24.4 1.4
The wife has the right to express her opinion even if the opinion differs from
the husband’s 90.5 8.5 1.0
The investment for a boy to go to school is more important than the
investment for girl to go to school 8.8 89.9 1.3
DIY Agree Disagree Don't know
A good wife has to obey to her husband even if she disagrees 73.8 26.3 0.0
All important decisions in the family should be made by the husband 30.0 70.0 0.0
When the wife goes to work, the husband should help with housekeeping 85.0 15.0 0.0
The wife has the right to express her opinion even if the opinion differs from the
husband’s 96.3 3.8
0.0
The investment for a boy to go to school is more important than the investment
for girl to go to school 10.0 88.8 1.3
East Java Agree Disagree Don't know A good wife has to obey to her husband even if she disagrees 64.1 33.8 2.1
All important decisions in the family should be made by the husband 36.9 62.0 1.1
When the wife goes to work, the husband should help with housekeeping 72.7 19.7 7.6
The wife has the right to express her opinion even if the opinion differs from the husband’s
86.3 9.0 4.6
The investment for a boy to go to school is more important than the investment for girl to go to school
13.2 84.8 2.0
Banten Agree Disagree Don't know
A good wife has to obey to her husband even if she disagrees 79.2 16.1 4.8
All important decisions in the family should be made by the husband 45.5 52.1 2.4
When the wife goes to work, the husband should help with housekeeping 64.3 28.3 7.4
The wife has the right to express her opinion even if the opinion differs from the husband’s 83.0 12.5 4.5
The investment for a boy to go to school is more important than the investment for girl to go to school 7.4 87.8 4.8
Source: Survey data.
The relationship between homeworkers and their husband may impact upon the choice of
work as well as the working condition of homeworkers. The degree of autonomy and the
extent to which wives are supported by their husbands plays an important role herein. In
general, most homeworkers reported that their relationship with their husband was good and
that it allowed them autonomy. Homeworkers rarely refused work because their husband
didn’t want them to work. To illustrate, less than 15 per cent of the interviewed women
indicated that they refused work because their husbands did not want them to work.
However, many homeworkers mentioned that when they undertake activities outside of their
normal routine, their husbands can be more controlling. For example, participants of the
focus group discussion in Banten mentioned that they should consult their husbands when
24
they are undertaking tasks outside of their normal routine and update their husbands on their
activities periodically by text message.18
Entry into home work
The entry of women into home work has different patterns across the provinces surveyed in
this study. For example, in North Sumatra, homeworkers generally only commence home
work once their children had started to attend school. While in East Java many homeworkers
indicated that they had always engaged in home work and that it was “inherited” from their
family. In Central Java homeworkers often commenced work once they were married and
their first child had turned 2 years old.
Approximately 50 per cent of the homeworkers interviewed in this study were introduced
into home work by their neighbour, who was also a homeworker or intermediary. A further
20 per cent were introduced to home work by their friend and 15 per cent were introduced
into home work by their family. It was less common to be introduced to home work directly
through employers or through government officials.
The majority of the homeworkers (88.2%) indicated that home work is their primary economic
activity and the main source of income. When asked about their main activity during the
previous month, the majority indicated ‘work’ either as home work or another type of work
(88.5 per cent) (Table 9). Only a small proportion indicted that they focus on housekeeping or
other activities as their main activity. Less than 10 respondents identified school as their main
activity.
While the most common activity in which homeworkers engage is home work, they also
indicated that they undertake economic activities such as laundry service, shopkeeping,
gathering herbs and vegetables for sale, cleaning services, and animal husbandry. It is
generally thought that homeworkers undertake a range of economic activities due to the
precariousness of their work arrangements or due to the low level of compensation for their
work, and the findings show that the homeworkers covered in the study are also undertaking
a range of economic activities.
Table 9: Respondents’ main activity during the previous month Main activity North
Sumatra West Java Central Java
D.I.
Yogyakarta East Java Banten
No. % No. % No. % No. % No. % No. %
Work (including
homework) 294 98.0 682 84.8 738 94.6 76 95.0 664 93.5 202 60.1
School N/A N/A 2 0.2 2 0.3 1 1.3 3 0.4 1 0.3
Housekeeping 5 1. 7 98 12.2 30 3.8 1 1.3 12 1.7 114 33.9
Other activities 1 0.3 22 2.7 10 1.3 2 2.5 31 4.4 19 5.7
18 This type of perception can also be found in women workers in EPZ Tanjung Priok, as documented by Aris Arif Mundayat [et al.], Bertahan Hidup di Desa atau Tahan Hidup di Kota: Balada Buruh Perempuan, Jakarta: Women Research Institute, 2008. p. 74.
25
Total 300 100 804 100 780 100 80 100 710 100 336 100
Source: Survey data.
On average this study also found that within the households of homeworkers, 1 to 2
household members are likely to be involved in homeworking activities. That is, in the
households of homeworkers, there is likely to be someone who primarily works as a
homeworker, as well as one other person who assists with home work activities.
Homeworkers sometimes receive help from their children while undertaking home work, with
less than 30 per cent of the homeworkers reporting that their children help with home work.
Sometimes the husbands of homeworkers may help them complete work orders when they
are struggling to meet deadlines. Several of homeworkers stated that their husbands help
them with completing work orders, especially when they are fatigued.
Box 3: Why I started to be a homeworker
Mrs. Ida is a homeworker who trims excess threads from shirts. She chose to stop working in a factory
after giving birth to her baby. She is reluctant to return to work at the factory as she needs to care for
her children and her household. She finds that the demands of working in a factory do not allow her
work and care for the household. However, she also needs an income to pay for the daily needs of the
household. Homework is therefore a compromise.
In the morning from 05.00 to 09.00 she completes her housework. After that she starts her work as a
homeworker. When undertaking her work as a homeworker she is able to take breaks to breastfeed
her baby. If her baby cries, she momentarily stops working to take care of her baby. After her baby is
calm, she continues to work until 12.00. Between 12.00 and 14.00 she cooks lunch, takes care of her
baby, prays and rests. In the afternoon she starts working at 14.00 and finishes at 18.00. She cooks
dinner, cares for her family and prays. After dinner she continues her work for approximately 2 hours
while watching television.
Source: Focus Group Discussion (FGD), Yogyakarta.
Years of work as homeworkers
Table 10 below presents the average length of time the homeworkers have been working as
homeworkers. The average length was 6.1 years. The average length increases with age
which highlights that many of the interviewed homeworkers have been working continuously.
The average lengths in Yogyakarta were particularly longer than other provinces with the
average lengths for the age group of 50-54 and 55-59 recorded as 24.7 years and 18.0 years
respectively. In East Java, many of the younger age groups also had longer average lengths
compared to other provinces, and the average lengths for 20-24 age group and 25-29 age
group were 6.7 years and 6.9 years respectively. The average length of the age group of less
than 20 in North Sumatra was also relatively long, indicating that some of those women
started home work at young age.
26
Table 10: The average number of years spent working as homeworkers Years
Age groups North
Sumatra West Java Central Java DIY East Java
Banten
Less than 20 4.0 0 1.4 0 0 0
20-24 2.6 1.5 3.1 1.8 6.7 1.5
25-29 3.4 2.9 2.9 2.2 6.9 2.9
30-34 3.4 2.9 5.6 2.2 5.7 2.9
35-39 5.2 3 7.0 4.2 8.8 3.0
40-44 5.9 3.5 8.4 7.2 8.0 3.5
45-49 7.3 4.6 10.1 11.7 6.1 4.6
50-54 8.8 5.1 11.1 24.7 7.2 5.1
55-59 9.0 6.5 10.2 18.0 9.3 6.5
60+ 11.2 4.5 10.4 14.0 3.2 4.5
Total 5.8 3.5 7.4 9.6 6.9 3.5
Source: Survey data.
If given a choice, 50 per cent of the homeworkers interviewed indicated that they would like
to set up their own business. Twenty per cent stated that they would prefer to be a full time
house wife. Only a small percentage of the sample were interested to become workers in the
formal economy or to improve their education. Information shared in the focus group
discussion highlighted that many women prefer to stay at home to fulfil their care
responsibilities or to have employment that provides them with the same flexibility that they
have as a homeworker.
5. Types of work of homeworkers
Homeworkers are generally thought to be concentrated in garment sector. However, the
study found that homeworkers are not homogeneous group and they are in many different
occupations, as also seen through the implementation of the ILO/MAMPU project. There
were homeworkers engaged in various sectors and industries carrying out activities such as
processing vegetables (e.g. onions, garlic, etc), seafood (e.g. shrimp, fish), sewing bags,
removing threads from completed garments, making parts of electronics products, and
producing sports equipment, and embroidery.
Table 11 below summarizes the incidence of homework by industrial sub-sector for the
provinces covered in this study. In the four out of the six surveyed provinces, more than 40
per cent of the homeworkers were found in ‘other manufacturing’ sub-sector. In North
Sumatra and Yogyakarta, the most homeworkers were found in ‘food processing’ and ‘leather,
leather goods and footwear’ subsectors respectively, followed by ‘other manufacturing’
sector. The trends of concentration of homeworkers by sub-sectors were generally similar to
the trends of concentration of employment by sub-sectors (capital intensive manufacturing
sectors). For example, in North Sumatra, food processing is the most common sub-sector of
employment in manufacturing.
Table 11: Employment by industrial sub-sector for homeworkers Sub-Sector North
Sumatra West Java
Central
Java
D.I.
Yogyakarta East Java Banten
27
No. % No. % No. % No. % No. % No. %
Food processing 144 48.0 116 14.5 95 12.2 11 13.8 85 12.0 38 11.3
Drink processing 10 3.3 2 0.2 N/A N/A N/A N/A 4 0.6 1 0.3
Tobacco processing N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A 1 0.1 N/A N/A
Textile (spinning, weaving, dyeing) 13 0.3 13 1.6 63 8.1 11 13.8 57 8.0 24 7.1
Wearing apparel (sewing / tailoring of
clothes) 29 9.7 232 28.9 126 16.2 13 16.3 62 8.7 50 14.9
Leather, leather goods and footwear 13 4.3 36 4.5 70 9.0 29 36.3 44 6.2 60 17.9
Wood, bamboo and rattan processing 12 4.0 23 2.9 98 12.6 2 2.5 122 17.2 13 3.9
Furniture N/A N/A 15 1.9 9 1.2 1 1.3 41 5.8 4 1.2
Other manufacturing 79 26.3 367 45.6 319 40.9 13 16.3 294 41.4 146 43.5
Total 300 100 804 100 780 100 80 100 710 100 336 100
Source: Survey data.
When looking at the overall occurrence of home work within industry classification19, 42.7 per
cent of the homeworkers were in labour intensive manufacturing industries which include the
manufacturing of textiles, wearing apparel, footwear, wood and wood products, and
furniture. Only 16.9 per cent of the homeworkers were in the resource intensive industries
which include the processing of food, beverages, tobacco and paper, as well as chemical,
petroleum, pharmaceuticals and rubber, though almost half of the homeworkers in North
Sumatra was in the resource intensive industries. Further, none of the homeworkers
interviewed reported to work in the chemical, petroleum, pharmaceuticals or rubber
manufacturing subsectors. The remaining portion of the sample (40.4 per cent) were in the
capital intensive industries which include metal, electronics, machinery and automotive
manufacturing. Examples of the activities per group are shown in Table 12 below.
Table 12: Examples of activities per industrial classification
Industrial classification
Labour Intensive Resource Intensive Capital Intensive
Examples of activities
fastening the clasps of bras.
packaging toys.
stitching shoes.
sewing the padding on helmets.
making flowers out of ribbons.
creating batik fabrics.
craving wood figurines.
peeling vegetables.
making snacks.
packaging other food items.
folding electronic cords and placing them inside packaging.
polishing and sticking labels on utensils.
fastening the top of car batteries.
folding the card holders of cellular phones.
19 Aswicahyono, Hill and Narjoko explains labour intensive manufacturing to include the manufacturing of textiles, wearing apparel, footwear, wood and wood products and furniture, and resource intensive industries to include the processing of food, beverages, tobacco and paper as well as chemical, petroleum, pharmaceuticals and rubber, and capital intensive industries to include metal, electronics, machinery and automotive manufacturing.
28
assembling electrical switches.
Source: Survey data.
While homeworkers are all engaged in production, homeworkers with specific skills such as
handicraft workers generally have a stronger bargaining power as the employers, sub-
contractors or intermediaries may not be able to find replacement workers with the required
skills to produce for them easily, while the low-skilled production workers may be replaced
easily. The homeworkers were also interviewed about their occupations to understand the
portion of homeworkers as handicraft workers. According to Table 13 below, the portion of
homeworkers working as handicraft workers was small in all provinces while the portion of
handicraft workers in Yogyakarta was relatively higher (28.8 per cent). In North Sumatra, only
6.3 per cent of the homeworkers were working as handicraft workers.
Table 13: Homeworkers occupations Occupation North
Sumatra West Java
Central
Java
D.I.
Yogyakarta East Java Banten
No. % No. % No. % No. % No. % No. %
Handicraft workers 19 6.3 141 17.5 87 11.2 23 28.8 145 20.4 30 8.9
Textile, garment and leather
production worker 50 16.7 284 35.3 221 28.3 37 46.3 119 16.8 134 39.9
Food and beverage production
worker 149 49.7 118 14.7 96 12.3 11 13.8 81 11.4 39 11.6
Wood, rattan and bamboo
production worker 12 4.0 15 1.9 80 10.3 N/A N/A 68 9.6 13 3.9
Other production worker 59 19.7 243 30.2 251 32.2 9 11.3 278 39.2 119 35.4
Don’t know 11 3.7 3 0.4 45 5.8 N/A N/A 19 2.7 1 0.3
Total 300 100 804 100 780 100 80 100 710 100 336 100
Source: Survey data.
6. Work arrangements of homeworkers
6.1 Work agreement
Homeworkers are generally known to work under informal arrangements without written
contracts or agreements. This study looked into the situation of the homeworkers in the six
provinces and found that it was extremely rare for the homeworkers to have a written
agreement. As Table 14 shows, only 2 per cent of the interviewed homeworkers had written
agreements with their employers or intermediaries. The proportion of those with ‘verbal
agreement’ was 53.4 per cent and those with ‘no agreement’ was 41.8 per cent. There was a
small portion of the homeworkers who stated that they were unfamiliar with working
agreements (2.8 per cent). When looking at the results by province, East Java had the highest
29
percentage of the homeworkers stating that they have a verbal agreement (93.5 per cent).
The proportion of the homeworkers with no agreement was highest in Banten (71.1 per cent).
Since the Manpower Act No. 13 (2003) states that an employment relationship is a
relationship between an entrepreneur and a worker/labourer based on a work agreement
which contains the elements of job, wages and worker order (Article 1(15)), and that work
agreements can be made either orally or in writing (Article 51), it can be argued that over 50
per cent of the homeworkers have an employment relationship and that they should be
covered by various provisions such as the payment of minimum wages.
Table 14: Type of agreement of homeworkers Province Written agreement Verbal agreement No agreement Don’t know
No. in
sample
% of
sample
No. in
sample
% of
sample
No. in
sample
% of
sample
No. in
sample
% of
sample
North Sumatra 3 1.0 135 45.0 152 50.7 10 3.3
West Java 7 0.9 476 59.2 278 34.6 43 5.3
Central Java 37 4.7 230 29.5 507 65.0 6 0.8
D.I. Yogyakarta 2 2.5 25 31.3 53 66.3 0 0
East Java 9 1.3 664 93.5 30 4.2 7 1.0
Banten 2 0.6 78 23.2 239 71.1 17 5.1
Total/average 60 2.0 1608 53.4 1259 41.8 83 2.8
Source: Survey data.
6.2 Place of work
Analysis of data indicates that the workers interviewed in this study work within their own
home (85%) or in the home of a friend (12%). A small proportion described their workplace
as a structure attached to their home, such as a yard or garage. None of the respondents
identified the workplace of their employer as their workplace. While this gives the
homeworkers flexibility to manage both economic and caring responsibilities, this highlights
the importance of promoting health and safety at workplace. Without sufficient attention and
consideration to health and safety at workplace which is the home of the homeworkers, the
health and safety of the homeworkers and their family members may be harmed if tools or
equipment are not properly stored or raw materials include hazardous contents. In fact, some
homeworkers complained about strong smell from raw materials that they use as they give
health problems such as headache.
6.3 Specifications, instructions and training
The study further looked into the details of the specifications. In terms of the information on
what and how to produce the products (designs, materials, etc), on average, 78.1 per cent of
the homeworkers reported that they receive specifications from their employer (Table 15).
The provision of specifications was most common in Banten (91.1 per cent). The high
30
percentage may indicate that the homeworkers may be producing goods linked to
international markets (e.g. shoes, clothes, etc) where the products must pass certain quality
and specification standards. The provision of specifications was least common in Yogyakarta.
Table 15: Homeworkers receiving specifications or instructions Province Receive specifications from the employers Did not receive specifications from the
employers
Number in sample % of sample Number in sample % of sample
North Sumatra 220 73.3 80 26.7
West Java 650 80.8 154 19.2
Central Java 555 71.2 225 28.8
D.I. Yogyakarta 51 63.8 29 36.3
East Java 567 79.9 143 20.1
Banten 306 91.1 30 8.9
Total 2349 78.1 661 21.9
Source: Survey data.
Since the homeworkers produce according to the specifications by the employers, the study
asked the homeworkers whether they received training from their employer to improve their
skills and knowledge to appropriately complete the work order, and found that it was rare for
the homeworkers to receive training. Table 16 summarizes the trends related to
homeworkers’ receipt of training. The study found that homeworkers generally do not receive
training from the employers. This was particularly true in North Sumatra and only 17.3 per
cent of the homeworkers received training from the employers. This may indicate that most
homeworkers in North Sumatra are engaged in elementary tasks.
Where homeworkers received training, the training was mostly informal on-the-job training,
with the employers visiting their home and giving some instruction on methods to produce
the product according to specifications. The ratio of the homeworkers receiving training was
the highest in Banten at (56.8 per cent), where the provision of the specifications by the
employers was also highest.
In general, it is found that employers provide instructions to produce goods to quality
standards, rather than training that is aimed at increasing the skills of homeworkers. This
indicates limited or no opportunities for homeworkers to learn new skills to improve their
employability and many are working without any scope for improving their income, even after
working for many years.
Table 16: Homeworkers receiving training Province Receive training from the employers Did not receive training from the employers
Number in sample % of sample Number in sample % of sample
North Sumatra 52 17.3 248 82.7
31
West Java 398 49.5 406 50.5
Central Java 305 39.1 475 60.9
D.I. Yogyakarta 20 25.0 60 75.1
East Java 210 29.6 500 70.4
Banten 191 56.8 145 43.2
Total 1175 39.0 1834 61.0
Source: Survey data.
6.4 Cost of production
Having home as their workplace, homeworkers generally bear various costs of production
themselves, including provision of a workplace and equipment, transport fees and utilities
including electricity and water and other related inputs. According to the study, over 70 per
cent of the respondents stated that they had never received compensation for the expenses
related to their production processes associated with home work.
In terms of supply of raw materials, homeworker generally receive the raw materials from
their employers, though there are cases where homeworkers buy part or whole of raw
materials. In this study, the majority of homeworkers (95.0 per cent) stated that they receive
raw materials from their employers (Table 17). Across the six provinces surveyed,
approximately 50 per cent of the homeworkers stated that they collected the raw materials
from their employers or intermediaries while most of the remaining stated that they had the
raw materials delivered to them by their employers or intermediaries. Only a very small
number of homeworkers purchased their raw materials from the market by themselves.
Table 17: Homeworkers receiving materials Province Receive materials from the employers Did not receive materials from the employers
Number in sample % of sample Number in sample % of sample
North Sumatra 291 97.9 9 3.0
West Java 717 89.4 87 10.8
Central Java 754 96.7 26 3.3
D.I. Yogyakarta 79 98.8 1 1.3
East Java 685 96.5 25 3.5
Banten 329 97.9 7 2.1
Total 2855 94.9 155 5.1
Source: Survey data.
Table 18 presents the results of the study in relation to the provision of tools. Compared to
the provision of the raw materials, it was less common for the homeworkers to receive tools
from the employers. On average, almost 40 per cent did not receive tools necessary for the
32
completion of products of the homeworkers. An exception was the case of homeworkers in
Banten, where the majority of homeworkers (92.2 per cent) received tools from their
employers which may be associated with the fact that the products produced among the
homeworkers in Banten required more particular specifications necessary for meeting the
standards for international market. On the other hand, more than half of the homeworkers
(60 per cent) in North Sumatra did not receive the tools. The homeworkers in food processing
in North Sumatra indicated that they normally use their own knives, cleavers, scissors which
can be easily found within local markets. Further explanation from focus group discussions
indicated that the choice of tools in food processing have little influence on the quality of the
product, which is why they are rarely provided by the employer.
Table 18: Homeworkers receiving tools Province Receive tools from the employers Did not receive tools from the employers
Number in sample % of sample Number in sample % of sample
North Sumatra 120 40.0 180 60.0
West Java 503 63.3 301 37.4
Central Java 455 58.3 325 41.7
D.I. Yogyakarta 35 43.8 45 56.3
East Java 389 54.8 321 45.2
Banten 309 92.0 27 8.0
Total 1811 60.4 1199 39.6
Source: Survey data.
The project has heard of experiences in which homeworkers had to pay for a deposit to start
working so as to guarantee for the materials given by the employers or intermediaries.
Therefore, the study also checked about the incidences where the homeworkers were
required to pay for a deposit prior to starting to work as a homeworker. In fact, the study
found that 2 per cent of the homeworkers were required to pay a deposit for the materials
and tools they received. While the requirement to pay a deposit was a minor incidence among
the interviewed homeworkers, it is important to recognize the existence of this practice by
the employers and intermediaries as this practice puts more burden on the side of
homeworkers to enter into work to earn income and to try to earn and maintain decent
income.
The study also found additional burden put on the side of the homeworkers. The
homeworkers shared that they were generally responsible for working further on faulty
products, e.g. putting more work hours to fix faulty products, so that the products can be
accepted by their employers or intermediaries. Since they are paid by the amount of outputs
they produce, and not by the number of hours work, they are not compensated for the extra
hours worked to fix faulty products.
33
6.5 Links to the market
International research on homeworkers typically finds that homeworkers have very limited
knowledge of their employers and the markets for which they produce,20 because
homeworkers often receive work from intermediaries who give raw materials and collects
finished products, and these intermediaries may be working with sub-contractors that further
supply the products to bigger companies. Therefore, the long length of the supply chain is one
factor that often hampers the process of identifying the main employer giving production
orders or where products come from. However, knowledge of their employers and the
markets is necessary if homeworkers were to negotiate to improve their working conditions.
In the six provinces surveyed, there were various patterns in which the homeworkers were
part of the supply chain. It was most common that when the products of the homeworkers
are complete, an intermediary collects the products from the homeworkers and delivers the
product to another company which may work with national and international companies. An
exception was the case of West Java and Banten, where homeworkers tended to work in
groups and the group leader would deliver finished products to the intermediary. In North
Sumatra the enterprise often had a direct relationship with the homeworkers (no
intermediary). While the study was not able to obtain a full picture of the supply chains to
track where the products made by the homeworkers are delivered to and sold, it became
clear from some of the interviews that some of the workers were engaged in the production
of goods for companies that are well-known globally.
Table 19 presents homeworkers’ knowledge of the companies which employ them. It shows
that on average, 58.1 per cent of the respondents had some knowledge of the company that
hires them or gives original production orders, though there were variations across the six
provinces with a high percentage of the homeworkers knowing the employer in Central Java
(87.6 per cent), while the percentage was low in Banten at 23.5 per cent. When asked the
name of the companies for which they produce, several highly visible brands in global supply
chains were mentioned in Central Java. While these homeworkers mentioning did not receive
work directly from these internationally recognized companies, they were aware that they
were producing for them because the company name was mentioned on the products that
the homeworkers were working on.
The homeworkers tend to have a relationship with intermediaries rather than a direct
relationship with a factory or a brand (See Box 4 for an example from Banten). Indeed, most
employers engaging homeworkers are micro and small enterprises that act as suppliers, sub-
suppliers, or intermediaries for larger factories, and homeworkers may not have knowledge
of the factory with which the microenterprise trades. Those homeworkers that didn’t have
knowledge of the company for which they produce tended to have been recruited into
homework through family or friends.
Table 19: Homeworkers knowledge of companies for which they produce Province Company known Company unknown
20 S. Mehrotra and M. Biggeri (2007), “Asian informal workers : Global risks, local protections”, (Routledge, London and USA).
34
Number in sample % of sample Number in sample % of sample
North Sumatra 198 66.0 102 34.0
West Java 333 41.4 471 58.6
Central Java 683 87.6 97 12.4
D.I. Yogyakarta 62 77.5 18 22.5
East Java 371 52.3 339 47.7
Banten 79 23.5 257 76.5
Total 1726 58.1 1284 41.9
Source: Survey data.
Box 4: Supply chain linkages: a case of Ms. Dina, Banten
Ms. Dina works in the wearing apparel sector in Tangerang District, Banten. For her home work is a
flexible type of work because she is indirectly supervised, works when she chooses and does not have
to fill in any absentee forms. She chose to engage in this type of work because she can work at her
own discretion while undertaking domestic work and child-rearing. She can also rest at her own
discretion and is not pressured by a daily production targets.
The intermediary that Ms. Dina works for is her friend who provides her with raw materials and
collects the finished products. She does not know which factory buys her finished products or to which
market her finished products are sold. Her intermediary friend indicated that work orders are given
by the owner of a garment apparel enterprise in the same district. However, according to her
intermediary friend, this factory owner also receives materials from other parties whose origins she
does not know.
Source: Focus group discussion, Banten.
In Indonesia, there are different understandings on home work and some assume that
products produced by homeworkers are for self or local consumptions only and they are not
considered to be contributing to national, regional and global economies. However, when
asked about markets for the products produced by the homeworkers, 18 per cent stated that
they produce for international markets, and 14 per cent stated they produce for national
markets (Figure 1). This study confirms that global supply chains are linked to homeworkers
in Indonesia through multi-layered subcontracting arrangements. Since the homeworkers
generally have limited information, it is also possible that more products are sold at the
international and national markets than claimed by the homeworkers in the study. A small
portion of the homeworkers (16 per cent) stated that they did not know where their products
are sold.
Figure 1: Markets for which homeworkers produce
35
Source: Survey data.
7. Working conditions of homeworkers
7.1 Working time
According to a small-scale study conducted by the ILO/MAMPU project in 2013, homeworkers
generally work long hours and have large volumes of products to complete within a short
period of time.21 To give further insight on this situation, this section presents data on the
average working hours of homeworkers.
Table 20 below shows variations on the average working time for the homeworkers in 6
provinces. Across the six provinces, on average, 45.6 per cent of the homeworkers worked
part time (less than 35 hours per week) and 32.6 per cent of the homeworkers worked
excessive working hours (48 hours or more). The portion of the homeworkers working
excessive work hours was particularly high in East Java at 55.2 per cent and it was even higher
than the provincial average. More than a quarter of the homeworkers also worked excessive
work hours in North Sumatra (27.33 per cent), West Java (40.4 per cent) and Banten (33.7 per
cent).
Table 20: Average working time of homeworkers in comparison to the provincial average Province Homeworker mapping (%) Province (%)
21 ILO (2015), “Indonesia: Homework in East Java - Findings from a qualitative study” (ILO, Jakarta).
Within the district34%
Within the province18%
National market14%
International market18%
Don’t know16%
36
Part time hours (less
than 35 hours)
Average working hours
(35 to 47 hours)
Excessive work hours (48 hours or
more
Part time hours (less
than 35 hours)
Average working hours
(35 to 47 hours)
Excessive work hours (48 hours or
more
North Sumatra 40.33
32.33 27.33 37.6 24.9 37.5
West Java 51.7 3.4 40.4 28.8 28.3 42.9
Central Java 39.7 37.3 22.9 36.6 27.0 36.4
D.I. Yogyakarta 53.8
30.0 16.3 33.3 31.8 34.9
East Java 43.8 1.0 55.2 40.7 25.2 34.1
Banten 44.1 1.4 33.7 23.8 34.6 41.6
Source: Survey data; Sakernas (2014) microdata
The study also found that the average working hours of the homeworkers was longer than
the average working hours of women in labour force as described in Indonesia’s labour force
statistics in almost all provinces (Table 21). The homeworkers worked between 6 to 7 days
per week for an average of 6 to 7 hours per day. In Indonesia the average of working hours
per month was 42, with workers working between 5 to 6 days per week for 8 hours per day.
Therefore, in comparison to the average, homeworkers tend to work less hours per day, but
more days per week.
Table 21: Average working hours for homeworkers and women in the labour force Province Average working hours for homeworkers Average working hours for women in labour force
North Sumatra 39 35
West Java 45 39
Central Java 38 36
D.I. Yogyakarta 31 36
East Java 46 36
Banten 40 40
Source: Survey data; Sakernas (2014) microdata
The study also looked at working hours by different economic sectors. Table 22 summarizes
the results. In general the homeworkers in leather, leather goods and footwear sector tended
to have longer working hours than other sectors except in West Java and East Java. The
longest working hours was 66 hours by a homeworker in Tobacco processing sector in East
Java. The shortest working hours was 13 hours among the homeworkers in food processing
in Yogyakarta.
Table 22: Average working hours per week by sector for homeworkers Sector North
Sumatra West Java Central Java D.I.
Yogyakarta East Java Banten
No. of worke
rs Hours
No. of worke
rs Hours
No. of worke
rs Hours
No. of worke
rs Hours
No. of worke
rs Hours
No. of workers
Hours
Food processing 144 38.3 116 47.8 95 30.7 11 13.0 85 50.1 38 45.9
Drink processing 10 43.3 2 30.0 N/A N/A N/A N/A 4 46.3 1 42.0
Tobacco processing N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A 1 66.0 N/A N/A
Textile (spinning, weaving, dyeing)
13 32.2 13 44.8
63 39.4 11 30.7 57 50.0 24 41.1
Wearing apparel (sewing / tailoring of clothes)
29 37.3 232 40.2
126 38.5 13 36.5 62 48.6 50 35.6
Leather, leather goods and footwear
13 56.5 36 36.5
70 57.6 29 38.6 44 40.2 60 43.3
Wood, bamboo and rattan processing
12 35.7 23 48.1
98 37.3 2 29.5 122 45.8 13 39.4
Furniture N/A N/A 15 55.1 9 31.2 1 N/A 41 43.6 4 28.8
Other manufacturing 79 40.7 367 37.5 319 33.6 13 32.0 294 46.6 146 39.8
37
Source: Survey data.
When the homeworkers were asked if they would like to work more hours for additional
payments, 40 per cent of the respondents stated that they were willing, though many of these
homeworkers were already working hours that exceeded normal working hours. This finding
is indicative of low pay. Many homeworkers are willing to work excessive hours in order to
provide an income for their family. For them, working more hours is often perceived to be the
only option that they have for increasing their income. Working excessive hours can
negatively impact their health and productivity. Although not covered in this study, the actual
hours that the homeworkers are carrying out their work can also have impact on their health.
As homeworkers generally juggles multiple tasks of household responsibilities and income
generation, they may be carrying out home work late at night after completing household
chores. In this case, the health of those homeworkers working part time may also be affected
as their rest and sleep periods would be affected.
7.2 Wages of homeworkers
Low wage is often mentioned as one of the key challenges faced by homeworkers. As shown
in Table 23 below, the average wage per month received by homeworkers ranged from IDR
377,331 to IDR 1.2 million per month across the 6 provinces surveyed with the most provinces
having the monthly average wage between IDR 377,000 and IDR 569,000. Data from the
labour force survey in August 2014 estimates that the average wage for regular employees in
Indonesia was IDR 1.9 million, ranging between IDR 1.4 million and IDR 2.4 million in the
provinces covered by this study. The average national minimum wage was IDR 1.5 million in
2014, ranging between IDR 0.9 million and IDR 1.5 million in the six provinces included in this
study. Comparing with the average wage for regular employees and the average national
minimum wage, it is clear that the wage received by homeworkers is much lower.
On average the level of wage received allowed homeworkers to rise above the provincial
poverty line. However, the level of wage was normally less than 50 per cent of the minimum
wage and less than 30 per cent of the average wage. The outlier was West Java where the
average monthly wage of the homeworkers (IDR 908,489) was close to the provincial
minimum wage (IDR 1million). In West Java, the average working hours of the homeworkers
was longer than the other provinces (Table 21).
Table 23: Average monthly wage of homeworkers (IDR) (1) (2) (3) (4) (5) = ((4)/(3))x100 (6)
Province Poverty line, per
capita per month
Average monthly
wage for regular
employees
Minimum wage22 Kaitz ratio
(%)
Average monthly
wage for
homeworkers
North
Sumatra
311,063 1,730,339 1,505,850 87.0 377,331
22 Minimum wages in Indonesia are determined through an annual process led by decentralized wage boards that consist of workers, employers and government, which estimate the amount needed for workers to achieve a “minimum decent standard of living” or the “kebutuhan hidup layak” (KHL) for a particular province or district.
38
West Java 276,825 1,950,345 1,000,000 51.3 908,489
Central Java 261,881 1,408,241 910,000 64.6 387,172
D.I.
Yogyakarta
303,843 1,724,646 988,500 57.3 568,750
East Java 273,758 1,574,956 1,000,000 63.5 423,043
Banten 288,733 2,396,002 1,325,000 55.3 378,998
National 292,951 1,952,589 1,494,134 76.5 377,331
Source: Survey data; BPS (2014) Labour situation in Indonesia, August 2014, Badan Pusat Statistik,
Jakarta.
When looking at the average monthly wage of homeworkers in comparison with the average
wage for regular employees in manufacturing, women homeworkers are clearly at
disadvantaged. Women are generally paid less than men in Indonesia, with the gender pay
gap estimated at 77.8 per cent on average for regular employees across the country. Women
in manufacturing also receive less wage than men (Table 24). Further, the income of
homeworkers tended to be less than 50 per cent of the wages received by women regular
employees in the manufacturing sector.
Table 24: Average wages in manufacturing sector for regular employees and homeworkers (IDR) Average wage for regular employees in manufacturing
Average monthly wage for
homeworkers Province Men Women
North Sumatra 1,863,540 1,291,210 377,331
West Java 2,001,797 1,611,239 1,194,615
Central Java 1,228,142 826,709 387,172
D.I. Yogyakarta 1,317,739 919,364 568,750
East Java 1,711,444 1,161,389 423,043
Banten 2,433,929 2,033,729 378,998
Total 1,927,994 1,403,925 377,331
Source: Survey data; BPS (2014) Labourer situation in Indonesia, August 2014, Badan Pusat Statistik,
Jakarta.
The wage of homeworkers varied by sector, working hours and province as show in Table 25.
The highest average income of homeworkers was found in the food processing sector in West
Java, while the lowest was found in the furniture sector in Banten. The furniture sector
marked the lowest wage also in West Java and East Java. In West Java and East Java, all the
average wages were above the minimum wage. In the remaining provinces of North Sumatra,
Central Java and Yogyakarta, those working in food processing received the lowest wages.
With the exception of West Java and East Java, the homeworkers interviewed in this study
that worked in food processing did not earn enough to income to rise above the poverty line.
As Table 26 presents, there are large variations in average wage in different provinces even
for the same sector, even taking into account difference in hours worked. For example, the
39
average monthly wage for food processing was IDR 1,222,112 in West Java, while that of
Banten was IDR 200,395. The study was not able to explore factors contributing to the very
large variations and further research may be conducted to identify the factors. Box 5 below
provides an illustration of women homeworkers and their wages.
Table 25: Average wages by sector for homeworkers (IDR) North Sumatra Average wage (IDR) per month Average hours of work per week
Food processing 234,125 38.3
Drink processing 294,980 43.3
Tobacco processing N/A N/A
Textile (spinning, weaving, dyeing) 478,400 33.2
Wearing apparel (sewing / tailoring of clothes) 563,103 37.3
Leather, leather goods and footwear 1,023,153 56.5
Wood, bamboo and rattan processing 552,500 35.7
Furniture N/A N/A
Other manufacturing 431,082 40.7
West Java Average wage (IDR) per month Average hours of work per week
Food processing 1,222,112 47.8
Drink processing 1,000,000 30.0
Tobacco processing N/A N/A
Textile (spinning, weaving, dyeing) 1,194,615 44.8
Wearing apparel (sewing / tailoring of clothes) 783,658 40.2
Leather, leather goods and footwear 916,857 36.5
Wood, bamboo and rattan processing 903,478 48.1
Furniture 604,667 55.1
Other manufacturing 642,523 37.5
Central Java Average wage (IDR) per month Average hours of work per week
Food processing 267,121 30.7
Drink processing N/A N/A
Tobacco processing N/A N/A
Textile (spinning, weaving, dyeing) 449,015 39.4
Wearing apparel (sewing / tailoring of clothes) 480,163 38.5
Leather, leather goods and footwear 430,728 57.6
Wood, bamboo and rattan processing 342,538 37.3
Furniture 445,888 31.2
Other manufacturing 294,749 33.6
D.I. Yogyakarta Average wage (IDR) per month Average hours of work per week
Food processing 236,363 13.0
Drink processing N/A N/A
Tobacco processing N/A N/A
Textile (spinning, weaving, dyeing) 527,272 30.7
Wearing apparel (sewing / tailoring of clothes) 750,769 36.5
Leather, leather goods and footwear 705,172 38.6
Wood, bamboo and rattan processing 950,000 29.5
Furniture N/A N/A
Other manufacturing 359,230 32.0
East Java Average wage (IDR) per month Average hours of work per week
Food processing 556,259 50.1
Drink processing 320,000 46.3
Tobacco processing 500,000 66.0
Textile (spinning, weaving, dyeing) 430,684 50.0
Wearing apparel (sewing / tailoring of clothes) 534,129 48.6
Leather, leather goods and footwear 411,454 40.2
Wood, bamboo and rattan processing 535,606 45.8
Furniture 296,146 43.6
Other manufacturing 343,142 46.6
Banten Average wage (IDR) per month Average hours of work per week
Food processing 200,395 45.9
Drink processing 250,000 42.0
Tobacco processing N/A N/A
Textile (spinning, weaving, dyeing) 318,000 41.1
Wearing apparel (sewing / tailoring of clothes) 370,408 35.6
Leather, leather goods and footwear 859,704 43.3
Wood, bamboo and rattan processing 444,154 39.4
Furniture 125,000 28.8
40
Other manufacturing 464,323 39.8
Source: Survey data.
Box 5: Cases of Mrs. Samiah and Mrs. Hani in Banten and Mrs. Sintha and Mrs. Lilis in North Sumatra23
Mrs. Samiah lives in Banten and is a homeworker in the wearing apparels sector who has never been
to school. She trims excess thread from shirts for international renowned brands. According to her,
the work of disposing threads is not complicated and does not require a lot of skills. She only has to
cut excess threads on the seams of shirts. In one day, she undertakes these tasks for an average of
100 shirts over a nine hour period. She works for 6 days a week. She receives a maximum of IDR
500,000 per month for this work. This means that she receives an average earning of IDR 20,830 per
day or IDR 2,975 per hour. Her earnings place her far below the district minimum wage (IDR 1.3 million)
and only just above the poverty line (IDR 0.3 million).
Mrs. Hani has a high school diploma and is a homeworker in the furniture sector in Banten. She
undertakes finishing tasks for the manufacturing of car seats, including cutting threads. She works on
average for 4 hours a day and 7 days a week. For one car seat, she works for 2 hours with a piece rate
of IDR 2,500 per unit. In one month she earns IDR 150,000. This means that she earns IDR 5,000 in one
day or IDR 1,250 per hour.
Both Mrs. Samiah and Mrs. Hani complete work that is at the last stages of the production process,
namely finishing tasks or cutting threads from leftover stitching. Mrs. Samiah works excessive working
hours and Mrs. Hanoi works part time. Neither workers are able to earn a wage that is equivalent to
the provincial minimum wage even if they work full time. It also highlights that educational attainment
plays a limited role in earnings for homeworkers.
Mrs. Sintha is a homeworker in North Sumatra and her work is to cut onions. Although she works long
hours (63 hours per week), her monthly wage is IDR 200,000 which is below the poverty line for North
Sumatra (IDR 330,517 for urban areas). Mrs. Lilis, on the other hand, works 3 hours per day and 5 days
per week (15 hours per week in total) by sewing clothes, and receives the monthly wage of IDR
400,000.
Source: Focus group discussions, North Sumatra and Banten.
7.3 Homework payment mechanism
This study found that the earnings of homeworkers are normally determined using a piece
rate system. Of the respondents who were interviewed in this study, over 90 per cent stated
that they are paid per unit they produce (See Table 26 for examples of piece rate). In general,
the tendency was the shorter the time needed, the lower the piece rate, and vice versa.
Table 26: Examples of piece rate
Province Piece rate examples
North Sumatra
- Cutting onions: IDR 125 per kg (Homeworkers can finish 1 kg in 15 minutes).
23 All individual names that appear in the report have been changed to protect the identity of individuals.
41
- Cleaning fish: IDR 3,000 per kg (Homeworkers can finish 10-15kgs in 4-8 hours per day, and receive IDR 30,000 – IDR45,000).
- Peeling shrimp: IDR 2,700 per kg (Homeworkers can finish 1 kg in 2 hours).
West Java - Sewing upper soles of shoes: IDR25,000 per 1 dozen pair of shoes (Homeworkers can finish 1 dozen pair of shoes per day).
- Making dumplings in Bandung: IDR600 per pack (Homeworkers can finish 30-50 packs in a day, and receive IDR 18,000 – IDR 30,000).
- Twisting cable fibers of cellular telephone charger: IDR 100 per 1 bundle of cables (each bundle contains 100 pieces of cable fiber). (Homeworkers can finish about 10-15 bundles per day, and receive IDR 10,000 – IDR 15,000).
Central Java - Wrapping straws: IDR 5,000 per 5 packs (Homeworkers can finish 5 packs in 6 hours).
- Making batik: IDR 5,000 per unit (Homeworkers can finish 1 unit in 3 hours).
Yogyakarta - Working on industrial wood, articles of wood and cork (excluding furniture) and goods woven from bamboo, rattan and the like: IDR 500 per unit (Homeworkers can finish 1 unit in about 30 minutes)
- Working on industrial clothes: IDR 1,500 per cloth (Homeworkers can finish 1 cloth in 45 minutes)
East Java - Putting strings for badminton rackets: IDR2,500 per dozen (Homeworkers can finish 12 rackets in 2 hours).
- Cutting sandal straps: IDR 7,000 per dozen pair (Homeworkers can 5-6 dozens per day, and receive IDR 35,000 – IDR 42,000).
- Assembling pan lids: IDR 1,000 per sheet of pan lids (Homeworkers can finish 20-50 sheets of pan lids in 8-10 hours per day with help from family members, and receive IDR 20,000 -50,000).
Banten - Thread disposal from shirts: IDR 115 per shirt (If homeworkers can finish 100 shirts in one day, they receives IDR 11,500).
- Thread disposal from t-shirts: IDR 60 per t-shirt (Homeworkers receive 30-60 t-shirts in one day to finish, and receive IDR1,800 – 3,600 per day).
Source: Survey data; data from the ILO/MAMPU project.
This study found that the piece rate of most homeworkers was determined by their employers
without negotiation. For example, in North Sumatra 97.67 per cent of the homeworkers
interviewed reported that their employer determined their piece rate. In West Java, Central
Java, East Java and Banten it was 76.9 per cent, 84.5 per cent, 89.7 per cent and 85.1 per cent
respectively. Only a small portion of homeworkers determine their own rate or negotiate
their rate. Information from the focus group discussions further explained that they accept
piece rates without negotiation due to two factors, including i) the fear of losing their job and
ii) the fear of competition from other workers. Homeworkers are clearly in a weak bargaining
position.
The notification of piece rates prior to commencing work orders gives homeworkers some
clarity in regard to their future income. According to this study, more than 80 per cent of
homeworkers were generally notified of their piece rate prior to beginning work. In addition,
the homeworkers reported that they are generally paid directly by the employer or
intermediary for their work, with 90 per cent of the sample indicating that they are paid
directly with no receipts. The exception was the case of Yogyakarta. In Yogyakarta only 72.5
cent of respondents stated that they are paid directly for their homework, the remaining
respondents indicating that their spouses or other family members receive the payments. The
42
situation in Yogyakarta may indicate that some homeworkers may not have the total control
of the wage they earn due to the engagement of their spouses or other family members in
receiving the payment.
In terms of timeliness of payment, this study found that homeworkers are usually paid after
they deliver products, but that the arrangements for payment can vary. For example, some
of the homeworkers interviewed in this study were paid when they delivered products. There
were also homeworkers who were paid only after the products they produced had been sold
by their employers. Table 27 summarizes the timeliness of payment for home work. It shows
that many homeworkers are paid either on delivery (40.9 per cent) or between 1 and 15 days
after they deliver the product (42.2%). Approximately 17 per cent of the homeworkers receive
their payments more than 15 days after delivery. It is worth highlighting that 59.1 per cent of
the respondents experienced delays in receiving payments. This indicates that risks of
production are placed on homeworkers. For homeworkers, delays in payment relates directly
to various risks as they may not have extra income to protect them from sudden illness or
injury, which would further affect their ability to earn income.
Table 27: Payment timing and homework Province Upon delivery 1 to 15 days after
delivery 16 to 30 days after
delivery Over 30 days after
delivery
Number in sample
% of sample
Number in sample
% of sample
Number in sample
% of sample
Number in sample
% of sample
North Sumatra 106 35.3 139 46.3 47 15.7 8 2.7
West Java 388 48.3 273 34.0 129 16.0 14 1.7
Central Java 318 40.8 335 42.9 84 10.8 43 5.5
D.I. Yogyakarta 31 38.8 40 50.0 8 10.0 1 1.3
East Java 313 44.0 300 42.3 60 8.5 37 5.2
Banten 81 24.1 180 53.6 54 16.1 21 6.3
Total /average 1228 40.9 1267 42.2 382 12.7 124 4.1
Source: Survey data.
7.4 Advantages and difficulties
The main advantages shared by the homeworkers were that they are able to earn income
with some flexibility to schedule work while at home and the possibility to manage multiple
tasks or activities related to income generation as well as household responsibilities. The
majority of homeworkers reported that they engage in childcare while homeworking. The
remaining portion of the sample reported that they either receive help from other family
members in child minding or engage in homework while their children are attending school.
As shown in Table 28, the most common difficulty shared by the homeworkers was associated
with low levels of remuneration (52.25 per cent), followed by the inconsistency in work orders
(33 per cent). The other difficulties related to their inability to bargain with intermediaries
and poor access to infrastructure. The main difficulties shared by the participants of focus
group discussions were similar and they listed low wages, instability of work order, and supply
of raw materials. While multi-tasking was raised as a key advantage by the many respondents,
some homeworkers in the focus group discussions viewed it as a disadvantage as it requires
a lot of energies to be effective in undertaking multiple tasks simultaneously. Other
43
homeworkers also pointed out another disadvantage of home work which makes their home
untidy as raw materials and equipment take up the limited space they have at home. This can
also affect the health of the homeworkers and their families as some raw materials or
equipment may be dangerous. Other complaints included that home work intrudes family
time, and they were not provided with working equipment or facilities in support of their
work.
Table 28: Difficulties encountered by homeworkers Occupation North
Sumatra West Java Central Java
D.I.
Yogyakarta East Java Banten
No. % No. % No. % No. % No. % No. %
Poor access to basic
infrastructure 28 9.3 147 18.3 65 5.8 2 2.1 52 4.5 7 2.3
Lack of education, training or
skills 22 7.3 88 10.9 38 3.4 3 3.2 33 2.9 11 3.6
High transportation cost 8 2.7 58 7.2 97 8.7 4 4.2 69 6.0 20 6.5
Work orders not consistent 122 40.7 351 43.7 242 21.6 20 21.1 353 30.6 124 40.3
Remuneration too low 183 61.0 422 52.5 519 46.3 47 49.5 372 32.3 241 71.9
Costs of the materials and tools
are too high 16 5.3 36 4.5 60 5.4 9 9.5 26 2.3 3 1.0
Inability to bargain with
intermediary 41 13.7 84 10.4 99 8.8 10 10.5 112 9.7 5 1.6
Other 29 9.7 N/A N/A N/A N/A N/A N/A 135 11.7 N/A N/A
Source: Survey data.
8. Social protection and safety and health of homeworkers
Social protection
Indonesia has many social assistance and social insurance programmes that are designed to
reduce poverty and protect the working age population. The question is whether
homeworkers have access to these programmes. Table 28 shows that homeworkers have
limited access to the Government’s social assistance and social insurance programmes, with
approximately 40 per cent of the sample without access to any form of social protection or
social insurance. If homeworkers do have access to social protection programmes, it is most
common to be either the health insurance programme or the rice for the poor programme.
However, among the homeworkers that reported to be enrolled in health insurance or
employment insurance, most were not active members paying contributions though they still
had their enrolment card, which indicates that they were most likely qualified to access the
scheme as they were categorized as a poor household. As seen from the average monthly
44
wage of homeworkers (Table 23), the average wage of the homeworkers was just above the
poverty line, though it was 50 per cent of the minimum wage and less than 30 per cent of the
average wage, and this explains that most of the homeworkers would not qualify to access
schemes for the poor. The main reasons for poor access to social protection programmes
were a low level of awareness, and that their husband’s employment didn’t provide access to
health insurance, and cost of insurance seen as too high for their household (e.g. IDR 50,000
per month).
Table 29: Homeworkers receiving social assistance and insurance programmes North Sumatra Number in sample Sample average (%)
Jamsostek / BPJS Ketenagakerjaan 24 8.0
Jamkesmas / BPJS Kesahatan 82 27.3
Membeli/mendapat beras miskin (RASKIN) 64 21.3
Program Keluarga Harapan (PKH) 4 1.3
Surat Miskin (SKTM) 7 2.3
Kartu Sehat 6 2.0
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) 11 3.7
Kredit Usaha Rakyat (KUR) N/A N/A
None 115 38.3
Other 25 8.3
West Java Number in sample Sample average
Jamsostek / BPJS Ketenagakerjaan 25 3.1
Jamkesmas / BPJS Kesahatan 123 15.3
Membeli/mendapat beras miskin (RASKIN) 275 34.2
Program Keluarga Harapan (PKH) 21 2.6
Surat Miskin (SKTM) 103 12.8
Kartu Sehat 12 1.5
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) 9 1.1
Kredit Usaha Rakyat (KUR) 8 1.0
None 339 42.2
Other 0 0.0
Central Java Number in sample Sample average
Jamsostek / BPJS Ketenagakerjaan 25 2.3
Jamkesmas / BPJS Kesahatan 299 27.7
Membeli/mendapat beras miskin (RASKIN) 325 30.1
Program Keluarga Harapan (PKH) 28 2.6
Surat Miskin (SKTM) 46 4.3
Kartu Sehat 44 4.1
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) 52 4.8
Kredit Usaha Rakyat (KUR) 14 1.3
None 247 22.9
Other N/A N/A
DIY Number in sample Sample average
Jamsostek / BPJS Ketenagakerjaan N/A N/A
Jamkesmas / BPJS Kesahatan 42 35.0
Membeli/mendapat beras miskin (RASKIN) 33 27.5
Program Keluarga Harapan (PKH) 5 4.2
Surat Miskin (SKTM) N/A N/A
Kartu Sehat 1 0.8
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) 4 3.3
Kredit Usaha Rakyat (KUR) 4 3.3
None 22 18.3
Other 9 7.5
East Java Number in sample Sample average
Jamsostek / BPJS Ketenagakerjaan 20 2.8
Jamkesmas / BPJS Kesahatan 123 17.3
Membeli/mendapat beras miskin (RASKIN) 247 34.8
Program Keluarga Harapan (PKH) 31 4.4
45
Surat Miskin (SKTM) 90 12.7
Kartu Sehat 12 1.7
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) 9 1.3
Kredit Usaha Rakyat (KUR) 8 1.1
None 307 43.2
Other 74 10.4
Banten Number in sample Sample average
Jamsostek / BPJS Ketenagakerjaan 13 3.8
Jamkesmas / BPJS Kesahatan 87 25.7
Membeli/mendapat beras miskin (RASKIN) 66 19.5
Program Keluarga Harapan (PKH) 1 0.3
Surat Miskin (SKTM) 6 1.8
Kartu Sehat 6 1.8
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) 1 0.3
Kredit Usaha Rakyat (KUR) 2 0.6
None 156 46.2
Other N/A N/A
Source: Survey data.
Article 99 of the Manpower Act No. 13/2003 states that all workers are entitled to social
security, however, there is currently no flexible arrangement that adequately supports
seasonal or casual workers to secure this entitlement. Moreover, only 1 in 4 regular wage
employees in the formal sector are currently actively contributing to programmes such as the
old age pension and the provident fund.24 According to the data collected in this study, the
coverage of homeworkers by employment insurance programmes is even lower, with only 1
in every 30 homeworkers having access to such programmes. The low level of coverage
among homeworkers is not unexpected, as the far majority of contracts between
homeworkers and their employers are informal.
In regard to pregnancy, the findings of this study among the women with children suggest
that while pregnant the majority of homeworkers underwent check-ups with a midwife, nurse
or obstetrician or gynecologist. Results were mixed for postnatal health. For example, in
North Sumatra, West Java, Central Java and East Java, 67.3 per cent, 54.2 per cent, 69.6 per
cent and 64.9 per cent of the sample respectively completed a follow up consultation six
weeks after giving birth. In Yogyakarta and Banten, the result was higher, with 86.3 per cent
and 85.7 per cent of the sample having postnatal consultations respectively, and it shows that
postnatal health care was accessed or utilized much less by the homeworkers.
Occupational safety and health
While most homeworkers interviewed in this study stated that their health condition was at
a fair or good level, the women interviewed still reported various health complaints, including
occasional fever, coughs and headaches. The respondents generally reported that these
afflictions did not interfere substantially with their work activities and that they rest from
work at their own discretion when ill.
However, their behaviour and choice to take respite is influenced by a fear of reduced work
orders from intermediaries if they can’t complete work orders on time. They also could not
24 BPJS Ketenagakerjaan (2014), “Annual report”, (BPJS Ketenagakerjaan, Jakarta).
46
afford to take a rest as taking a rest and not working to complete orders directly affected their
earnings of the homeworkers who were paid based on the quantity of the products
completed. The homeworkers reported that as they work from their home, their work life is
hard to separate from their home life, so they often continue to work when they are ill which
may result in longer recovery times and lower productivity.
Focus group discussions revealed several issues related to health, particularly concerning
stress and lack of adherence with occupational safety standards. For instance, homeworkers
often reported to experience stress due to low levels of earnings and not being able to pay
school fees or meet debt obligations. In addition, homeworkers who work in certain
industries, such as gluing foam pads on helmets for motorbikes, report that the fumes often
make them feel a shortness of breath and numbness in their hands and fingers.
Table 30 shows the relation between workplace injuries by economic sector. On average the
respondents interviewed indicated that they had taken 2 days off due to occupational injuries
in the last year. The data indicates that work activities with the longest recovery time also
have the most frequent incidence of workplace accidents. For example, homeworkers in the
garment and textiles sectors tended to have the highest incidence of occupational injuries
and the longest recovery times. Provision of training, such as occupational safety and health
training, would be important for ensuring health of workers and reducing work related
injuries that could weaken the productive potential of homeworkers.
Table 30: Days lost from occupational injuries by homeworkers North Sumatra Minimum days lost Maximum days lost Average days lost
Food processing 0 14 0.89
Drink processing 0 2 0.40
Tobacco processing N/A N/A N/A
Textile (spinning, weaving, dyeing) 0 15 3.23
Wearing apparel (sewing / tailoring of clothes) 0 7 1.31
Leather, leather goods and footwear 0 4 1.23
Wood, bamboo and rattan processing 0 7 1.17
Furniture N/A N/A N/A
Other manufacturing 0 28 1.29 West Java Minimum days lost Maximum days lost Average days lost
Food processing 0 7 2.0
Drink processing N/A N/A N/A
Tobacco processing N/A N/A N/A
Textile (spinning, weaving, dyeing) 0 7 2.2
Wearing apparel (sewing / tailoring of clothes) 0 7 1.8
Leather, leather goods and footwear 0 3 0.7
Wood, bamboo and rattan processing 0 7 2.9
Furniture 0 2 1.0
Other manufacturing 0 10 1.7 Central Java Minimum days lost Maximum days lost Average days lost
Food processing 1 30 4
Drink processing N/A N/A N/A
Tobacco processing N/A N/A N/A
Textile (spinning, weaving, dyeing) 0 60 8
Wearing apparel (sewing / tailoring of clothes) 0 14 3
Leather, leather goods and footwear 1 31 6
Wood, bamboo and rattan processing 0 7 2
Furniture 1 14 5
Other manufacturing 1 90 5 DIY Minimum days lost Maximum days lost Average days lost
47
Food processing 0 1 1
Drink processing N/A N/A N/A
Tobacco processing N/A N/A N/A
Textile (spinning, weaving, dyeing) 1 3 2
Wearing apparel (sewing / tailoring of clothes) 0 1 1
Leather, leather goods and footwear 1 3 2
Wood, bamboo and rattan processing 1 1 1
Furniture 2 2 2
Other manufacturing 1 3 2 East Java Minimum days lost Maximum days lost Average days lost
Food processing 0 75 3
Drink processing 0 14 4
Tobacco processing 2 2 2
Textile (spinning, weaving, dyeing) 0 14 1.66
Wearing apparel (sewing / tailoring of clothes) 0 30 1.85
Leather, leather goods and footwear 0 30 1.70
Wood, bamboo and rattan processing 0 60 1.67
Furniture 0 7 2.24
Other manufacturing 0 65 1.21 Banten Minimum days lost Maximum days lost Average days lost
Food processing 1 2 1.9
Drink processing N/A N/A N/A
Tobacco processing N/A N/A N/A
Textile (spinning, weaving, dyeing) 2 3 2.3
Wearing apparel (sewing / tailoring of clothes) 1 4 2.4
Leather, leather goods and footwear 0 3 1.1
Wood, bamboo and rattan processing 2 2 2
Furniture N/A N/A N/A
Other manufacturing 0 7 1.5
Source: Survey data.
The study also asked the respondents about their awareness on HIV/AIDS, following the
growing trend in the number of housewives with HIV infections in Indonesia.25 When asked
about their awareness, over 70 per cent of the sample stated that they had heard about
HIV/AIDS from various sources. However, when asked whether they have ever been tested
for HIV, the majority (over 97 per cent) said they have never been tested.
9. Association and collective bargaining
Since homeworkers work at home in isolation from others, they have limited or no access to
information or other resources that support them in improving their working and living
conditions. As an individual worker, homeworkers are in a weak position when negotiating
with their employers or intermediaries for improving the working conditions, and organizing
has been used as a successful strategy to improving the livelihoods of homeworkers in many
parts of the world. The study looked at the homeworkers’ involvement in groups, associations
or organizations in the six provinces.
The majority of the homeworkers in Yogyakarta (90 per cent) were found to attend a group
regularly. The proportions of the homeworkers attending a group in Central Java, East Java
and North Sumatra were 58.0 per cent, 53.2 per cent and 47.67 per cent respectively. The
25 Ministry of Health (2014), “HIV/AIDS situation report in Indonesia”, (Ministry of Health, Jakarta).
48
proportions were low in West Java and Banten with 21.6 per cent and 16.7 per cent
respectively. The reasons for not attending a group related to an absence of groups or
organizations as well as a lack of time.
Most of homeworkers that were members of groups were involved in traditional village
groups or in religious women’s group, such as perwiridan perempuan. Such groups are part
of traditional village structures and power hierarchies and they rarely talk about employment
and working conditions. As such these traditional structures may not provide a platform for
working collectively, particularly in relation to the realization of rights at work. However, the
practice of going out for meeting with a group or organization may be used as a basis for
homeworkers to start organizing to take collective actions.
Table 31 presents the homeworkers’ responses related to negotiation and bargaining with
their employers. It shows that 62.8 per cent of the homeworkers interviewed have never
negotiated with their employers on wages or working conditions. This indicates that most
homeworkers accept the terms of employment as provided by their employers and that they
do not think the terms of employment are negotiable or they do not have the capacity to
negotiate with their employers. Indeed, data from the focus group discussions indicates that
the far majority of homeworkers are fearful of losing their jobs. In particular, they fear that
employers will not give them jobs if they try to bargain for better working conditions and
better wages.
Table 31: Homeworkers and bargaining
Province
Yes, bargained independently myself
Yes, collectively with other homeworkers
Yes, supported by a local NGO
No, have not negotiated
Number % Number % Number % Number %
North Sumatra 89 29.7 38 13.0 0 0.0 172 57.3
West Java 128 15.9 168 20.9 0 0.0 508 63.2
Central Java 148 26.8 69 9.7 1 0.1 492 69.2
D.I. Yogyakarta 19 23.8 1 1.3 0 0.0 60 75.0
East Java 206 26.4 101 12.9 11 1.4 462 59.2
Banten 176 52.4 35 10.4 0 0.0 125 37.2
Total/average 650 22.5 412 14.3 12 0.4 1813 62.8
Source: Survey data.
Close to one-third of homeworkers stated that they had bargained with their employers
independently or collectively with other homeworkers. This shows that a small number of
homeworkers do organize themselves in order to negotiate with their employers. However,
homeworkers are not yet supported by trade unions or other non-government organizations
in negotiation. This is likely due to limited access to such organizations and/or a limited
understanding of the role of organization and negotiation strategies. Some workers were
previously employed in factories and were union members and only later on became
homeworkers. They mentioned that the unions opposed home work as it is a form of
outsourcing and they argue that labour exploitation is common among homeworkers. Some
homeworkers have therefore been reluctant to approach labour unions for support.
In focus group discussions, homeworkers reported that they generally preferred collective
bargaining over independent bargaining, as the latter can be seen to introduce competition
49
with other homeworkers. However, many homeworkers decide to negotiate individually as
other homeworkers do not want to face a risk of losing their jobs through negotiation.
In addition, focus group discussions in West Java highlighted that the homeworkers were not
well prepared in cases where homeworkers have negotiated collectively, and that they their
organization tended to be spontaneous and based around a single issue. Once the issue had
been resolved with the employer, the homeworkers returned to their normal activities and
did not maintain the organization forum. Boxes 6 and 7 provide a further illustration of
homeworkers’ experience with negotiation.
Box 6: Homeworkers and negotiation in West Java
Women homeworkers in the Dayeuh Kolot Sub-district (Bandung Municipality) received orders to sew
shoe soles onto shoe uppers for IDR 25,000 per dozen. The homeworkers in this sub-district accepted
this offer and as these homeworkers did not have experience in sewing shoe soles, they received
training from an intermediary on this for one week. Once the work commenced, the homeworkers
discovered that they could finish 12 pairs of shoes (one dozen) in one day. They then felt that the piece
rate offered was too low considering the time that they had to invest in completing the work and the
needs of their family for additional income.
The homeworkers tried to negotiate with their intermediary to increase the piece rate for this work,
but the intermediary informed them that the employer in the factory is the only one with the authority
to adjust the piece rate. The intermediary suggested that the homeworkers to negotiate with the
employer. This suggestion was taken up by the homeworkers. Together, they met the employer and
negotiated for an increase in the piece rate. However, they did not agree on the amount that they
would like to bargain for in nominal terms prior to the meeting, which put them at a disadvantage. In
the meeting, the employer agreed to an increase of IDR 1,000 per dozen pairs of shoes, thus making
the new piece rate IDR 26,000 per dozen pairs of shoes. The homeworkers accepted this offer.
Source: Focus group discussion, West Java.
Box 7: Homeworkers and negotiation in Banten
Ms. Mutia is an intermediary and homeworker from Batu Ceper Sub district, Tangerang City. She has
two jobs because the income that she receives from her work as an intermediary is insufficient to
cover her living expenses. As an intermediary, Ms. Mutia distributes work orders to her relatives who
live in the areas surrounding her neighbourhood. As a homeworker, her main activity is to sew sleeves
onto shirts for internationally known brands.
When Ms. Mutia began to work as a homeworker and intermediary, she received IDR 100 per piece
for sowing sleeves onto shirts, as well as IDR 50 per piece for delivering the finished products to the
factory. However, both Ms. Mutia, and the homeworkers she worked with, considered the piece rate
for this work to be very low. They held a team meeting and decided that they would like to bargain
for an increased piece rate for the products that they produced. They went as a group to talk to the
employer. However, they did not jointly decide how much they would like to propose for the new
piece rate before meeting the employer.
50
The factory that works with the homeworkers is a private company that is a subcontractor of a larger
company in Jakarta. After having a discussion with Ms. Mutia and the homeworkers, the factory owner
offered to increase the piece rate for sewing sleeves onto shirts by IDR 25, so that the homeworkers
would receive IDR 125 per piece, while Ms. Muita would still receive IDR 50 per piece as an
intermediary for the delivery of products. This offer was accepted by the homeworkers.
Source: Focus group discussion, Banten.
10. Conclusions and recommendations
Conclusions
The study shed light on the situations and working conditions of largely invisible women
homeworkers in the six provinces of North Sumatra, West Java, Central Java, Yogyakarta, East
Java, and Banten in Indonesia. The findings confirmed that these homeworkers are making
important contribution to household economy and beyond. However, they work in
substandard conditions and that efforts are needed by various stakeholders to improve the
living and working conditions of these workers. The key findings are summarized below:
The surveyed provinces have a relatively high number of poor people despite good
economic performance. There is also a high number of economically inactive women due
to housekeeping in these provinces, indicating that many women continue to be
responsible for housekeeping and housekeeping is a key factor hindering women’s labour
force participation. The need for income among the economically disadvantaged families
combined with women’s responsibilities for housekeeping push many women to find
ways to earn income, e.g. home work, for survival. Therefore, there may be many women
engaged in home work in these provinces though there is no official data on the
prevalence of homeworkers.
The women homeworkers generally have lower educational attainment than the
provincial average. At least more than a quarter of the interviewed women had primary
school education in all the targeted provinces and another quarter had junior high school
education.
Over 80 per cent of the women are married. The average size of the homeworkers’
household was between 4 and 5 persons which was slightly higher than the national and
provincial average. The husbands of homeworker are typically found to have casual or
short-term jobs in low skill and unskilled occupations, indicating that the homeworkers’
household may not have stable income and income from home work is important.
The study found women with disabilities among the homeworkers in all provinces except
Yogyakarta. The proportion of women with disabilities in the 5 provinces was about 1 per
cent on average.
Many women homeworkers did not have gender equality perceptions especially in terms
of decision-making in the household.
51
Entry into home work is informal and through social networks such as friends and
relatives. More than 50 per cent of the women were introduced into home work by
neighbour.
The majority indicated that home work was their primary economic activity and the main
source of income. It was common that the women workers received help from other
household family members including children to complete their work.
The women homeworkers on average worked as homeworkers for about 6 years, though
the years worked as homeworkers ranged widely with the longest being 25 years.
Fifty per cent of the homeworkers indicated that they would like to set up their own
business if given a choice. Twenty per cent stated they would prefer to be a full time
housewife. Only a small percentage of the sample were interested to become workers in
the formal sector or to study further. Focus group discussions highlighted that many
women prefer to stay at home to fulfill their care responsibilities or to have work that
provides them with the same flexibility that they have as a homeworker.
The homeworkers were found in a variety of sectors and industries including food
processing, textile, wearing apparel, leather, wood, etc, not requiring specific skills. A
small proportion of the women worked in handicraft.
Almost all the women worked without written contracts. Forty-seven per cent of the
women stated that they work under verbal agreement and 53 per cent stated they have
no agreement.
The location of work for the most homeworkers was their own home or in the home of a
friend. Only a small proportion indicated their workplace as a structure attached to their
home such as yard or garage.
The women worked according to orders and specifications by their employers or
intermediaries but they rarely had training. The provision of specifications was most
common in areas producing goods linked to international markets. In case training was
provided, it was mostly informal on-the-job training to instruct how the work should be
completed to meet the specifications, and not to improve the skills of the workers.
The majority of women receive raw materials from their employers though there are also
cases where homeworkers buy part or whole of raw materials. It was less common for the
homeworkers to receive tools from their employers/intermediaries. Over 70 per cent of
the workers stated they had never received compensation for the expenses related to
production. Two per cent of the workers were required to pay a deposit for the materials
and tools that they received.
Close to 60 per cent of the homeworkers had some knowledge of the company that hires
them or gives original production orders. The study also confirmed the presence of
homeworkers in global supply chains with 18 per cent of the workers stating that their
products are sold at international market.
The number of work hours by the homeworkers was longer than women on average. They
tend to work less hours per day, but more days per week compared to women on average.
The homeworkers were mostly divided into two types, namely those working part-time
and those working excessive hours (more than 48 hours per week). Many homeworkers
52
want to work more as they are paid by piece rate and they see it as the only way to
increase their income.
The homeworkers are paid by piece-rate and the determination of piece rate is commonly
controlled by the employers without negotiation. Most of them were reluctant to
negotiate because of the fear of losing jobs.
The earnings of the homeworkers tended to just rise above the poverty line but below the
minimum wage. They are among the lowest paid workers in the production chain, as
evidenced from comparing the average wage of workers in the manufacturing sector.
Many homeworkers experienced delays in receiving pay. The fact that homeworkers
experience delays in payments indicates that they carry some responsibility for the cost
of production, which could make them more vulnerable in interim periods.
The main advantages of home work shared by the women were that they are able to earn
income, and that home work allows them to do other economic or caring activities.
The main challenges shared by the homeworkers were low income and unstable work
order. Some shared that limited space at home is also a challenge. Their home being their
workplace, their space may be intruded by raw materials and completed products. This
can be dangerous as some materials may be hazardous. Since they do not have written
contracts, they were also concerned that the work could cease to exist at any time. This
also made the homeworkers reluctant to negotiate about improving their working
conditions.
While most of the homeworkers reported to be in good health, they still had health
related complaints and shared that they often continue to work with injuries or illness and
rarely take respite from work activities, as taking a rest results directly in loss of income.
They fear that intermediaries may reduce or cut the work orders if they take a break from
work. This raises a general concern over health of the homeworkers.
The homeworkers had limited access to the Government’s social assistance and social
insurance programmes.
Homeworkers were not well connected with groups that support rights at work. The most
common group that homeworkers attend is a traditional religious group, which typically
doesn’t provide a platform for discussion of work related issues. Homeworkers are
reluctant to negotiate for better working conditions due to high vulnerability. When
homeworkers do negotiate they often do it as a single worker without adequate
preparation. This leads to sub-optimal outcomes.
Recommendations
Since homeworkers work to support their livelihoods and the well-being of their family, it is
important to recognize them as workers and work towards addressing decent work deficits
faced by homeworkers. In promoting decent work for homeworkers, action needs to be taken
by relevant stakeholders to bring positive changes at different levels including at policy level
as well as at the community level. Since the majority of homeworkers are women, promotion
of decent work for homeworkers is an important area of work in improving women’s welfare
in Indonesia. Improving homeworkers’ working conditions can bring positive impacts as
53
Indonesia works towards poverty alleviation and socially sustainable development. In this
effort, the following recommendations are provided in response to the challenges faced by
homeworkers:
1. Collect data on homeworkers
There is a need to have data on homeworkers in order to better understand the prevalence
and the working conditions of these workers in Indonesia. Homeworkers are currently
invisible within statistics and collecting data on them can help increase the visibility of
homeworkers and the contribution they make to the economy.
According to the National Statistics Office in Indonesia, the new labour force survey
questionnaire to be used from 2016 will include several new questions including the place of
work. This is a positive development as this is a necessary step to allow for the identification
of the category of work including home-based work. Data collection on various categories of
workers including home-based workers should be well-established so that the data can be
available for policy and programme development and monitoring and evaluating the working
conditions of these workers. Once data is collected, results should be widely disseminated for
further use by relevant stakeholders, including policy makers and homeworkers.
In addition, other research may be carried out as needed to build an evidence base for
promoting decent work for homeworkers.
2. Empower homeworkers to address decent work deficits through awareness raising,
training, and group formation and management
Empowering homeworkers to take actions to improve their living and working conditions is
an imperative part in promoting decent work for homeworkers. Since most homeworkers
have low educational attainment and limited understanding on issues that affect them, it is
important that homeworkers are supported to increase awareness and strengthen capacity
to address substandard working conditions through:
Awareness raising on:
o Gender equality and non-discrimination.
o Homeworkers as workers.
o Workers’ rights.
o Importance of having a written contract and keeping record.
Training on various topics such as:
o Occupational safety and health and safe home.
o Leadership and negotiation skills.
o Financial literacy including calculation of piece-rate and production cost (e.g.
labour, utilities, delivery of finished products, etc) so that they can use the
information when negotiation with their employers.
o Group formation and management so that homeworkers can share
information, help each other, and work collectively to strengthen their voice
and representation.
o Advocacy skills.
54
Training on vocational skills to improve their employability.
Provide access to financial services (e.g. saving and loan) to support women in taking
control in managing their own finance.
The above awareness raising and training topics have been used in many countries to
empower home-based workers with positive results. Additional topics may be added as
appropriate to contribute to the empowerment of homeworkers.
In this study, 50 per cent of the homeworkers indicated that they would like to set up their
own business if given a choice. These women should have access to enterprise training and
other support services (e.g. financial, legal, marketing, networking, etc) so that they can start,
manage and improve their businesses.
3. Recognize homeworkers as workers through regulation
As a step to extend effective protection to homeworkers, it is important to formally recognize
homeworkers as workers. This may be done through the formulation of a local and national
policy on home work or the revision of the existing laws. It should be done in close
consultation with the relevant stakeholders including representatives from homeworkers’
groups. Various stakeholders should work together to secure political commitment to
recognize homeworkers as workers. The ILO’s Home Work Convention, 1996 (No. 177) which
is yet to be ratified by Indonesia, and the Home Work Recommendation, 1996 (No. 184)
provide basic principles and guidance in promoting decent work for homeworkers.
4. Extend social protection to homeworkers
Despite many social assistance and social insurance programmes designed to reduce poverty
and protect the working age population in Indonesia, the majority of the homeworkers were
found without access to these programmes. Since homeworkers are mostly paid by piece they
complete, the loss of work days due to illness or injury has negative impact on their earnings.
Recognizing that homeworkers earn low wages which are just above the poverty line but
below the minimum wages, the loss of work days means that they immediately face a risk of
falling into poverty. The study also showed that less homeworkers accessed postnatal care.
Efforts should be made to ensure that essential social protection schemes are available and
accessible by homeworkers to protect them from various risks.
5. Promote responsible practices in supply chain
Employers’ associations and members as well as other multinational, national and local
companies in Indonesia can play a key role in promoting decent work for homeworkers by
raising awareness on homeworkers’ issues and promoting responsible practices for engaging
homeworkers. With globalization and increasing flexibility in the labour market, the
production chain has become complex, and it has become more difficult to get a full picture
of all parts of the supply chain. Homeworkers are often found working at the bottom of the
supply chain, carrying out simple production work for products that go to local, national and
international markets. Promoting decent work for homeworkers is not only the right thing to
do but it is also necessary for sustainable supply chain. In this regard, the following actions
are recommended:
55
Call on multinational, national and local companies, international and other buyers,
retailers and others to subscribe and adhere to the international standards on
homeworkers through development and implementation of code of conducts or
guidelines. The Ethical Trading Initiative (ETI), an alliance of companies, provides
useful guidelines and case studies (http://www.ethicaltrade.org/).
Take a proactive role in raising awareness on the homeworkers issues among business
operators including intermediaries in Indonesia so that they can promote better
compliance of labour standards among homeworkers.
Implement various measures to improve the working conditions and productivity of
homeworkers including but not limited to:
o Payment of fair wages and timely payment of wages.
o Availability of stable work orders.
o Training on occupational safety and health for homeworkers.
o Skills training for homeworkers.
o Provision of materials, equipment and tools necessary for completing orders.
o Regular payment of wages without delay.
o Providing homeworkers’ access to social protection.
6. Promote gender equality and non-discrimination among general public, policy makers,
companies and employers’ associations, trade unions, and other relevant
organizations to create an enabling environment for women as well as men to access
decent work
The study found that one of the main reasons for women to engage in home work is the
flexibility of home work to allow women to take care of household responsibilities while
earning income. In addition, in Indonesia, women’s labour force participation is generally low
with many women citing household responsibilities as the main reason for being economically
inactive. The study also showed that the homeworkers generally lacked perception on gender
equality, especially in terms of decision making. These findings indicate that gender equality
perceptions and gender roles greatly influence how women work, limiting their potential.
Therefore, raising awareness on gender equality and changing norms related to traditional
roles of women and men for both women and men is needed in households, communities,
and at the national level to create an enabling environment for women to access decent work.
Gender issues should be mainstreamed in local and national regulations. Where community
groups exist, these groups may be utilized to discuss gender issues and promote gender
equality at home as well as in the community.
56
List of references
E. Allen (2013), “Labour and social trends in Indonesia 2013: Reinforcing the role of decent work in equitable growth”, (ILO, Jakarta). Allen, E. (2015), “Labour and social trends report: Strengthening competitiveness and productivity through decent work”, (ILO, Jakarta). H. Aswicahyono, H. Hill and D. Narjoko (2010), “Industrialisation after a Deep Economic Crisis: Indonesia, Journal of Development Studies”, “The Journal of Development Studies” (Routledge). BPJS Ketenagakerjaan (2014), “Annual report”, (BPJS Ketenagakerjaan, Jakarta). BPS (2014), “Labour force situation in Indonesia, August 2014”, (Badan Pusat Statistik, Jakarta). BPS (2014), “Labour force survey, August 2014”, (Badan Pusat Statistic, Jakarta). BPS (2014), “Survey of large and medium enterprises in the manufacturing sector, 2013”, (Badan Pusat Statistic, Jakarta). Y.K. Che and J. Sakovics (2008), “Hold-up problem, The new palgrave dictionary of economics”, (New York). M. Chen (2014), “Informal Economy Monitoring Study Sector Report: Home-Based Workers, WIEGO Secretariat”,(Cambridge, USA). D. de Vaus (2002), “Surveys in Social Research (Fifth edition)”, (Allen and Unwin, Crows Nest). M. Fajerman (2014), “Review of the Regulatory Framework for Homeworkers in Indonesia”, (ILO, Jakarta). D. Grimshaw (2011), “What do we know about low-wage work and low-wage workers? Analysing the definitions, patterns, causes and consequences in international perspective, Conditions of Work and Employment Series No. 28”, (ILO, Geneva). ILO (1996), “Convention on Home Work (No. 177)”, (ILO, Geneva) ILO (2001), “Report of the Director-General: Reducing the decent work deficit - a global challenge”, (ILO, Geneva). ILO (2012), “Decent work indicators: concepts and definitions”, (ILO, Geneva). ILO Department of Statistics (2010), “Model labour force survey questionnaire (version A)”, (ILO, unpublished, Geneva).
57
ILO (2015), “Indonesia: Homework in East Java - Findings from a qualitative study”, (ILO, Jakarta). L. Lim (2015), “Extending livelihood opportunities and social protection to empower poor urban informal workers in Asia. A multi-country study: Bangladesh, Indonesia, Nepal, Pakistan, Philippines, and Thailand”, (Oxfam for Asia Development Dialogue, Thailand). D. McCormick and H. Schmitz (2001), “Manual for value chain research on homeworkers in the garment industry”, (HomeNet International, New Delhi). S. Mehrotra and M. Biggeri (eds) (2007), “Asian informal workers: Global risks, local protections”, (Routledge, London and USA). Ministry of Health (2014), “HIV/AIDS situation report in Indonesia”, (Ministry of Health, Jakarta). N. Haspels; A. Matsuura (2015), “Home-based workers: Decent work and social protection through organization and empowerment. Experiences, good practices and lessons from home-based workers and their organizations”, (Jakarta, ILO). WHO (2005), “A WHO multi-country study on women's health and life experiences”, (World Health Organization, Geneva).