pekerja wanita
TRANSCRIPT
-
8/10/2019 pekerja wanita
1/6
Naskah No. 20, Juni-Juli 2000 1
Wanita Bekerja dan Implikasi Sosial
Ratna P. Tjaja*
Pendahuluan
Pembangunan merupakan sebuah upaya multi dimensional untuk mengubah
keadaan dari tertentu menuju kondisi yang lebih baik. Perubahan itu harus disertai
peningktan harkat dan martabat manusia tanpa pandang bulu. Setiap orang dari lapisan
manapun berhak memperoleh manfaat dari pembangunan. Bila salah salah satu
mengalami ketertinggalan, maka pembangunan dianggap tidak sukses. Hal ini
disebabkan karena pembangunan harus mengintroduksikan nilai-nilai egalitarianisme
dan demokrasi sosial. Salah satu dampak yang harus diperhitungkan adalah perubahan
sosial yang terjadi pada perubahan nilai-nilai kemasyarakatan. Karena pembangunanmengintroduksikan spriit of progress maka bisa jadi muncul ekspektasi untuk hidup
lebih baik dari setiap warga. Mereka ingin mengalami kemajuan, baik dalam pengertian
ekonomi maupun politik. Ironisnya tidak semua golongan dapat meningkatkan taraf
hidup mereka, sehingga terjadi deprivasi relatif. Ini merupakan sebuah penomena
kemunculan kesadaran individu atau kelompok terhadap hak-hak ekonomi dan politik
yang tercabut.
Kesadaran inilah yang saat ini sedang menggejala dan dialami oleh para pekerja
atau buruh, baik laki-laki maupun perempuan. Para pekerja tersebut pada umumnya
juga didorong olah ekspektasi ekonomi melalui peningkatan pendapatan. Bekerja
sebagai buruh di perkotaan atau menjadi pembantu rumah tangga di negara manca,
dilakukan oleh kaum wanita baik yang belum maupun yang sudah dengan tujuan yang
sama yaitu memperoleh penghasilan yang lebih baik. Namun kecenderungan wanita
perdesaan lebih tertuju untuk bekerja di luar negeri dibandingkan alternatif bekerja
sebagai buruh atau pembantu rumah tangga di dalam negeri. Bekerja sebagai buruh atau
pembantu di dalam negeri, di samping memiliki status sosial yang kurang terhormat
juga pendapatan yang diperoleh tidak memadai.
Berbagai kecenderungan wanita selama beberapa tahun terakhir ini, ditandai
makin meningkatnya angka partisipasi angkatan kerja wanita, yang didominasi oleh
mereka yang berusia relatif muda. Kenaikan tingkat partisipasi angkatan kerja wanita
sebagian disebabkan oleh bertambahnya kemiskinan dan merebaknya pengangguran.
Seperti sudah dikaji banyak ahli, di lingkungan keluarga semakin mereka dihimpitkemiskinan, semakin berat tekanan yang mengharuskan mereka mencari pekerjaan
produktif sekalipun dengan imbalan yang sangat rendah.
Posisi Tawar Menawar Buruh Wanita
* Ratna P. Tjaja adalah Deputi I Bidang Pertumbuhan dan Kuantitas Penduduk Kantor Menteri Negara
Transmigrasi dan Kependudukan-red.
-
8/10/2019 pekerja wanita
2/6
Naskah No. 20, Juni-Juli 2000 2
Selama dua dekade terakhir ini diperkirakan jumlah tenaga kerja wanita terserap
di sektor industri sebagai buruh mengalami kenaikan sekitar 4,3% setiap tahunnya.
Menurut Pudjiwati Sayogjo (1989), peningkatan itu terjadi paling-tidak karena dua
faktor: Pertama, karena sektor industri, seperti industri rokok, tekstil, konfeksi dan
industri makanan serta minuman untuk sebagian menuntut ketelitian, ketekunan dan
sifat-sifat lain yang umumnya merupakan ciri kaum wanita. Kedua, karena tenaga kerjawanita dipandang lebih penurut dan murah sehingga secara ekonomis lebih
menguntungkan bagi pengusaha.
Elson dan Pearson (1984) menyatakan bahwa penggunaan tenaga kerja wanita
untuk jenis-jenis pekerjaan tertentu sesungguhnya adalah strategi pengusaha untuk
mendapatkan tenaga kerja yang murah. Kedua ahli tersebut dengan tegas menyatakan
tidak benar apabila pembagian kerja timbul karena kaum wanita dianggap paling cocok
untuk pekerjaan tertentu. Dalam kenyataannya, hal itu hanya sekedar mitos belaka atau
sengaja dimitoskan.
Di pihak perusahaan cenderung mencari tenaga kerja wanita yang berusia muda
dengan pertimbangan dapat menekan pengeluaran. Sebagaimana hasil penelitian dariMather(1982), bahwa banyak perusahaan mencari tenaga kerja wanita yang berumur
13-20 tahun dengan tujuan menekan pengeluaran. Disamping dapat memberi upah
murah, pengusaha juga merasa lebih dapat menghemat uang perusahaan karena tidak
perlu memberi tunjangan sosial akibat tidak adanya tanggungan keluarga. Hal ini
berbeda bila perusahaan memperkerjakan tenaga kerja pria yang selain lebih mahal juga
memiliki amggota keluarga yang harus diberi tunjangan, entah itu istri atau anak.
Secara lebih rinci, Manning (1980) mengemukakan dua keuntungan yang
diperoleh pengusaha bila mereka memperkerjakan kaum wanita. Pertama, kaum wanita
lebih telaten dan lebih penurut sehingga tidak banyak menimbulkan kesulitan dalam
menerapakan langkah kebijaksanaan perusahaan. Kedua, angkatan kerja wanita sangat
banyak dari segi upah relatif lebih murah daripada kaum pria sehingga karenanya dapat
menekan biaya produksi.
Dibandingkan dengan bekerja di desa asal mereka, pendapatan yang mereka
peroleh dari bekerja sebagai buruh industri juga mereka nilai lebih membanggakan
daripada bekerja di sektor formal. Tetapi, masalahnya tentu bukan sekedar apakah upah
yang mereka terima sebagai buruh industri itu lebih besar pendapatan yang mereka
terima dari bekerja di desa
Pengalaman dan pengetahuan yang mereka peroleh entah itu dari media massa
ataupun dari hasil perbincangan dengan orang lain mengenai berapa sesungguhnya upah
wajar yang berhak diterima tentu akan mempengaruhi kesadarn buruh kaum wanita.
Jadi berbeda dengan dugaan semula, pengusaha yang mengasumsikan bahwa
kaum buruh wanita akan lebih bersikap nrimo, penurut, mau digaji lebih rendah
daripada kaum pria, ternyata itu semua tidak terjadi. Diam-diam, perasaan grundel dan
tidak puas terhadap lingkungan kerja dan upah yang diterima telah tersebar merata di
benak buruh kaum wanita dan begitu ada momen tertentu bukan tidak mungkin itu
semua akan meledak dalam bentuk aksi pemogokan dan demonstrasi.
-
8/10/2019 pekerja wanita
3/6
Naskah No. 20, Juni-Juli 2000 3
Untuk mengatasi masalah sikap pengusaha yang cenderung mengeksploitasi
buruh wanita dan buruh pada umumnya, pemerintah sesungguhnya tidak begitu saja
menutup mata. Melalui Menteri Tenaga Kerja, pemerintah telah mencoba berbagai cara
untuk mencegah perusahaan yang masih bersikap nakal, antara lain melalui Peraturan
Pemerintah Nomor 5 tahun 1989 yang mengancamkan sanksi hukuman bagi perusahaan
yang melanggar Ketentuan Upah Minimal.
Tetapi karena sanksi yang diberikan relatif ringan yaitu ancaman denda hanya
100.000,- dan sanksi hukuman yang diancamkan juga hanya 3 bulan penjara, maka
dapat diduga pihak perusahaan tidak merasa terbebani dan bukan menjadi persoalan
yang serius dengan adanya sanksi dan denda tersebut. Dengan kata lain hadirnya
Peraturan Pemerintah Nomor 5/1989 itu dalam kenyataannya tidak berjalan terlalu
efektif. Ancaman denda yang terlalu kecil dan sanksi hukuman kurungan tidak
sebanding dengan keuntungan yang bakal diperoleh jika mereka melanggarnya.
Saat ini yang masih menjadi persoalan adalah pemenuhan tuntutan kenaikan upah
itu acap kali masih dilakukan secara karitas dan dalam banyak hal juga terpaksa.
Banyak kasus membuktikan bahwa kenaikan upah yang dilakukan dan perhatian yangdiberikan atas nasib kaum buruh wanita bukan dilakukan atas dasar pertimbangan
bahwa hal tersebut merupakan hak buruh. Banyak pengusaha melakukan kenaikan upah
dan memperlakukan buruh wanita secara lebih manusiawi setelah didesak berbagai
pihak baik buruh sendiri, pemerintah, maupun pers atau setelah dilakukan kalkulasi
bahwa kenaikan upah itu memang dari segi ekonomis dapat dipenuhi.
Sering terjadi kesediaan pengusaha untuk menaikkan upah dilakukan dengan
syarat-syarat tertentu dan harus membawa korban. Kaum buruh yang vokal, pemimpin
atau buruh yang gigih memperjuangkan nasib diri dan teman-temannya acap kali harus
menjadi tumbal keluar dari perusahaan tersebut karena dianggap penyulut keributan.
Sampai saat ini, ada kesan bahwa para pengusaha-pengusaha masih melihat buruh
terutama kaum buruh wanita bukan sebagai mitra kerja yang memiliki hubungan saling
tergantung dengan pemilik perusahaan, tetapi masih melihatnya sebagai alat untuk
menekan biaya dan mencari keuntungan semata.
Oleh karena itu, tidak kalah pentingnya adalah bagaimana memberi kekuatan
tawar menawar (bargaining power) kepada kaum buruh wanita serta mengubah persepsi
pengusaha dari sekedar memanfaatkan buruh sebagai sarana produksi menjadi
kesadaran untuk lebih memanusiakan buruh dan memperlakukan mereka sebagai mitra
kerja, bukan komponen produksi. Dengan menaikan kekuatan tawar menawar kaum
buruh wanita dan menghargai mereka sebagai mitra kerja, niscaya dimasa mendatang
masalah perburuhan dapat terselesaikan secara lebih arif dan bijaksana.
Implikasi Sosial Migrasi Tenaga Kerja Wanita
Meningkatnya partisipasi wanita dalam pasar kerja bukanlah terjaadi secara
kebetulan, karena peranan wanita dalam pasar tenaga kerja secara tradisional
sebenarnya cukup besar. Terutama di daerah perdesaan dan khususnya sektor pertanian.
-
8/10/2019 pekerja wanita
4/6
Naskah No. 20, Juni-Juli 2000 4
Peningkatan persentase wanita kerja disebabkan oleh du afaktor utama, yaitu
peningkatan dari sisi penawaran dan sisi pemintaan (Tjiptoherijanto, 1997). Pertama,
dari sisi penawaran peningktan tersebut disebabkan antara lain oleh semakin
membaiknya tingkat pendidikan wanita dan disertai pula dengan menurunnya angka
kelahiran. Hal tersebut didorong pula oleh kondisi makin besarnya penerimaan sosial
atas wanita yang bekerja di luar rumah. Kedua, dari sisi permintaan, perkembanganperekonomian (dari sisi produksi) memerlukan tenaga kerja wanita, seperti halnya
industri tekstil dan garmen. Sedangkan fenomena lain yang makin mendorong
masuknya wanita ke lapangan kerja adalah karena makin tingginya biaya hidup bila
hanya ditopang oleh satu penyangga pendapatan keluarga (one earner household).
Fenomena ini mulai muncul ke permukaan dan terlihat jelas terutama pada keluarga
yang berada di daerah perkotaan.
Nampaknya sebagian besar masyarakat Indonesia sepakat bahwa peranan wanita
atau perempuan tidak bisa dipisahkan dengan peran dan kedudukan mereka dalam
keluarga. Mengingat di masa lalu, wanita lebih banyak terkungkung dalam peran
sebagai pendamping suami dan pengasuh anak. Namun seiring dengan kemajuan
ekonomi dan meningkatnya pendidikan wanita maka banyak ibu rumah tangga dewasaini yang tidak hanya berfungsi sebagai manajer rumah tangga, tetapi juga ikut berkarya
di luar rumah.
Kecenderungan untuk bekerja di luar rumah jelas akan membawa konsekuensi
sekaligus berbagai implikasi sosial, antara lain meningkatnya kanakalan remaja akibat
kurangnya perhatian orang tua, makin longgarnya nilai-nilai ikatan
perkawinan/keluarga dan lain-lain. Hal-hal ini lebih sering diasosiasikan sebagai akibat
dari semakin banyaknya ibu rumah tangga bekerja di luar rumah, terutama di perkotaan.
Permasalahan akan menjadi makin rumit, bila ibu rumah tangga yang bekerja di luar
rumah dalam jangka waktu yang relatif lama (baik di kota lain atau di luar negeri).
Dengan kata lain ibu rumah tangga harus tinggal di kota lain dan berpisah dengan
keluarganya dalam kurun waktu lama. Yang berarti itensitas pertemuan dengan keluarga
menjadi jauh berkurang dan secara langsung maupun tidak langsung akan
mempengaruhi keharmonisan dalam keluarga.
Dalam sistem sosial budaya di Indonesia, peran dan tanggung jawab bagi
kelancaran dan keselamatan rumah tangga ada di tangan wanita, sedangkan peran ayah
atau bapak lebih dikaitkan sebagai penghasil dan penyangga pendapatan rumah tangga.
Pada kenyataannya, peran ibu rumah tangga tidaklah kecil dalam mendukung
perekonomiannya.
Bersamaan dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi dunia dan peningkatan
jumlah penduduk serta dengan munculnya era globalisasi, arus perdagangan danmaupun arus keluar masuk tenaga kerja tidak bisa dihambat. Terlebih lagi dengan
derasnya arus informasi yang dapat memberikan gambaran perkembangan di negara
lain pada saat yang hampir bersamaan, sehingga arus informasi kesempatan kerja dapat
diketahui oleh negara-negara pengekspor tenaga kerja, seperti halnya Indonesia. Namun
sayangnya tenaga kerja Indonesia yang mengadu nasib di luar negeri lebih banyak
berasal dari tingkat pendidikan yang rendah.
-
8/10/2019 pekerja wanita
5/6
Naskah No. 20, Juni-Juli 2000 5
Dilihat dari segi sosial, pengiriman tenaga kerja Indonesia ke luar negeri, terutama
untuk kaum wanitanya, sangat sering mendapatkan kritik akibat banyaknya kasus yang
muncul.Akhir-akhir ini terjadi kecenderungan feminisasi pekerja migran. Mereka
bekerja di sektor-sektor yang dikategorikan sebagai pekerjaan khas perempuan,
seperti pembantu rumah tangga, pengasuh anak, dan sebagainya. Seringkali mereka
menghadapi masalah karena keberadaannya sebagai perempuan, seperti pelecehanseksual, perkawinan semu, bahkan sampai kematian yang tidak jelas sebabnya.
Kompleksitas dampak sosial dari migrasi pekerja wanita ke luar negeri juga semakin
besar dengan hadirnya permasalahan lain seperti retaknya mahligai rumah tangga,
penyelewengan suami dan lain-lain. Berbagai permasalahan yang dialami perempuan
pekerja migran di negara lain lebih banyak diekspose media massa, labih sering dari
pada perempuan pekerja migran yang bekerja di dalam negeri. Namun bukan tidak
mungkin bahwa persoalan serupa dialami pula perempuan pekerja migran di kota-kota
besar di Indonesia.
Penutup
Meskipun hasil kerja tenaga kerja wanita yang bermigrasi dimanfaatkan sebesar-
besarnya bagi kesejahteraan keluarga misalnya dengan pengiriman remitten, terutama
bagi yang ditinggal ditempat asal, namun bagaimanapun wanita yang bekerja, apalagi
mengadu nasib di luar daerah atau luar negeri, selalu membawa konsekuensi bagi
keutuhan dan keharmonisan kehidupan keluarganya.
Berkecimpungnya wanita terutama wanita migran dalam lapangan kerja tidaklah
selalu membawa keberhasilan sesuai yang diinginkan. Bahkan tidak jarang wanita yang
bekerja dengan bekal pendidikan dan keterampilan yang jauh dari memadai, telah
menjadi obyek tindakan yang sangat merugikan. Hal ini karena posisi tawar menawar
mereka yang selalu berada dalam posisi yang tidak menguntungkan, bahkan cenderungselalu dikalahkan.
Salah satu upaya terpenting yang perlu dilakukan adalah bagaimana memberi
perlindungan yang layak bagi wanita kerja dan mengupayakan diperolehnya hak-
haknya sebagai pekerja. Termasuk pula hak-hak kodratnya sebagai kaum wanita
-
8/10/2019 pekerja wanita
6/6
Naskah No. 20, Juni-Juli 2000 6
Daftar Pustaka
T.O. Ihromi. 1995, Kajian Wanita dalam Pembangunan, Yayasan Obor Indonesia
(YOI). Jakarta.
Bagong Suyanto dan Emi Susanti Hendrarso. 1996, Wanita: Dari Subordinasi dan
Marginalisasi Menuju ke Pemberdayaan, Airlangga University Press.
Surabaya.
Tjiptoherijanto, Prijono. 1997, Migran Nakerwan, Makalah disampaikan pada serial
diskusi yang ke VII dengan tema Permasalahan Perempuan Pekerja Migran
Indonesia. Jakarta, 5 Maret 1997.
Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup. 1987, Mobilitas
Tenaga Kerja Wanita di Indonesia. Jakarta