pelaksanaan penuntutan uang pengganti secara … · lihat contohnya seperti, kejahatan dunia maya...
TRANSCRIPT
i
PELAKSANAAN PENUNTUTAN UANG PENGGANTI SECARA
TANGGUNG RENTENG OLEH KEJAKSAAN TERHADAP SAKSI
(DIAJUKAN SEBAGAI TERDAKWA DALAM BERKAS TERSENDIRI)
DALAM KASUS KORUPSI BUKU AJAR TAHUN 2003
DI PENGADILAN NEGERI WONOGIRI
(Skripsi)
Disusun dan Diajukan Untuk
Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana Dalam Ilmu Hukum
Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh :
Whisnu Adhi Nugroho
E 0005309
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
1
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan peradaban dunia semakin sehari seakan-akan berlari
menuju modernisasi. Perkembangan yang selalu membawa perubahan dalam
setiap sendi kehidupan tampak lebih nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk
kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan jaman dan bertransformasi
dalam bentuk-bentuk yang semakin canggih dan beranekaragam. Kejahatan dalam
bidang teknologi dan ilmu pengetahuan senantiasa turut mengikutinya. Kejahatan
masa kini memang tidak lagi selalu menggunakan cara-cara lama yang telah
terjadi selama bertahun-tahun seiring dengan perjalanan usia bumi ini. Bisa kita
lihat contohnya seperti, kejahatan dunia maya (cybercrime), tindak pidana
pencucian uang (money laundering), tindak pidana korupsi dan tindak pidana
lainnya.
Salah satu tindak pidana yang menjadi musuh seluruh bangsa di dunia
ini. Sesungguhnya fenomena korupsi sudah ada di masyarakat sejak lama, tetapi
baru menarik perhatian dunia sejak perang dunia kedua berakhir. Di Indonesia
sendiri fenomena korupsi ini sudah ada sejak Indonesia belum merdeka. Salah
satu bukti yang menunjukkan bahwa korupsi sudah ada dalam masyarakat
Indonesia jaman penjajahan yaitu dengan adanya tradisi memberikan upeti oleh
beberapa golongan masyarakat kepada penguasa setempat.
Kemudian setelah perang dunia kedua, muncul era baru, gejolak korupsi
ini meningkat di Negara yang sedang berkembang, Negara yang baru memperoleh
kemerdekaan. Masalah korupsi ini sangat berbahaya karena dapat menghancurkan
jaringan sosial, yang secara tidak langsung memperlemah ketahanan nasional
serta eksistensi suatu bangsa. Reimon Aron seorang sosiolog berpendapat bahwa
korupsi dapat mengundang gejolak revolusi, alat yang ampuh untuk
mengkreditkan suatu bangsa. Bukanlah tidak mungkin penyaluran akan timbul
2
apabila penguasa tidak secepatnya menyelesaikan masalah korupsi. (B.
Simanjuntak, 1981:310)
Di Indonesia sendiri praktik korupsi sudah sedemikian parah dan akut.
Telah banyak gambaran tentang praktik korupsi yang ter espos ke permukaan. Di
negeri ini sendiri, korupsi sudah seperti sebuah penyakit kanker ganas yang
menjalar ke sel-sel organ publik, menjangkit ke lembaga-lembaga tinggi Negara
seperti legislatif, eksekutif dan yudikatif hingga ke BUMN. Apalagi mengingat di
akhir masa orde baru, korupsi hampir kita temui dimana-mana. Mulai dari pejabat
kecil hingga pejabat tinggi.
Walaupun demikian, peraturan perundang-undangan yang khusus
mengatur tentang tindak pidana korupsi sudah ada. Di Indonesia sendiri, undang-
undang tentang tindak pidana korupsi sudah 4 (empat) kali mengalami perubahan.
Adapun peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang korupsi, yakni :
1. Undang-undang nomor 24 Tahun 1960 tentang pemberantasan tindak
pidana korupsi,
2. Undang-undang nomor 3 Tahun 1971 tentang pemberantasan tindak
pidana korupsi,
3. Undang-undang nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak
pidana korupsi,
4. Undang-undang nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-
undang pemberantasan tindak pidana korupsi.
Label Korupsi tidak semata-mata diperuntukkan bagi pegawai negeri, TNI,
Polri, Pegawai BUMN/BUMD atau anggota parlemen pusat dan daerah, atau
pejabat dan pelaku fungsi yudikatif atau konglomerat dan badan usaha swasta,
namun juga dapat ditempelkan pada semua lembaga dan anggota masyarakat
dengan pekerjaan tertentu yang secara langsung atau tidak langsung berhubungan
dengan kepentingan publik, misalnya pengacara, akuntan publik, notaris dan lain-
lain.
3
Untuk memahami korupsi harus mulai dengan membuang jauh-jauh mitos
bahwa korupsi adalah soal budaya. Dalam berbagai budaya, memberi hadiah pada
pejabat publik dilakukan secara terbuka dan transparan.
Korupsi merupakan kata-kata yang sudah tidak asing lagi terdengar di
telinga dewasa ini. Bahkan budaya korupsi sudah mengakar ke seluruh elemen
masyarakat Indonesia. Istilah Korupsi sudah dikenal dan ada dalam khasanah
hukum Indonesia sejak adanya Peraturan Penguasa Militer Nomor
PRT/PM/06/1957 tanggal 9 April 1957 Penguasa Militer berwenang pula
mengadakan penyelidikan terhadap harta benda di dalam daerah yang
kekayaannya diperoleh secara mendadak dan mencurigakan.
Menurut asal katanya korupsi berasal dan bahasa latin yaitu "corruptio",
dan dalam bahasa Inggris menjadi "corruption" yang selanjutnya dalam bahasa
Indonesia disebut dengan korupsi. Korupsi secara harfiah mengandung arti jahat
atau busuk.
Korupsi terjadi dimana terdapat monopoli atas kekuasaan dan diskresi (hak
untuk melakukan penyimpangan kepada suatu kebijakan), tetapi dalam kondisi
tidak adanya akuntabilitas.
Dalam arti sempit, kompsi berarti pengabaian standar perilaku tertentu
oleh pihak yang berwenang demi memenuhi kepentingan diri sendiri. Badan
Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) mendefinisikan korupsi sebagai
tindakan yang merugikan kepentingan umum dan masyarakat luas demi
keuntungan pribadi atau kelompok tertentu.
Undang-undang No. 31 Tahun 1999 perubahan Undang-undang No. 20
Tahun 2001 tentang Pemberantasan tindak Pidana Korupsi dalam pasal 2 dan
pasal 3 mendefinisikan korupsi sebagai berikut:
4
1. Dalam Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara....
2. Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang
lain atau suatu korporasi menyalahgunakan wewenang, kesempatan
atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang
dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.. ..
Penjelasan Pasal 2 ayat (1) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan
"secara melawan hukum" mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil
"maupun" dalam arti material, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur
dalam peraturan perundang-vndangan, namun apabila perbuatan tersebut
dianggap tercela, karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma
kehidupan social dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.
Dengan adanya kata-kata "maupun' dalam penjelasan tersebut, dapat
diketahui bahwa undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 mengikuti 2 (dua) ajaran
sifat melawan hukum secara alternatif, yaitu:
1. Ajaran sifat melawan hukum formil
2. Ajaran sifat melawan hukum material
Sehingga suatu tindak pidana korupsi tidak harus menunggu agar terlihat
secara nyata apakah benar tindakan tersebut mempakan tindak pidana korupsi atau
bukan. Namun apabila tindakan tersebut dipandang sebagai tindakan korupsi dan
meresahkan masyarakat maka tindakan tersebut sudah dapat digolongkan kedalam
tindak pidana korupsi secara formil.
Korupsi pada umumnya dilakukan oleh orang yang memiliki kekuasaan
dalam suatu jabatan, sehingga karakteristik kejahatan korupsi selalu berkaitan
dengan penyalahgunaan kekuasaan, dalam perspektif kejahatan yang terorganisir.
Sehingga korupsi seindiri identik dengan persekongkolan suatu korporasi.
5
Pertanggungjawaban dalam tindak pidana korupsi sendiri adalah antara
lain korporasi dan orang. Tentu saja korporasi dikaitkan dengan badan hukum
atau bukan badan hukum yang menjadi satu kesatuan. Sedangkan orang sendiri
berkaitan dengan orang yang menerima upah atau gaji dari Negara.
Penjatuhan pidana dalam tindak pidana korupsi dibagi menjadi beberapa
bagian yaitu pidana mati, pidana penjara, serta pidana tambahan. Pidana mati
dapat dijatuhkan kepada orang atau korporasi yang menjalankan praktik korupsi
dalam keadaan tertentu sesuai yang tertuang dalam pasal 2 Undang-undang No.
31 tahun 1999 jo Undang-Undang No, 20 Tahyun 2001 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Pidana penjara dapat dijatuhkan kepada mereka yang
terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan praktik tindak pidana
korupsi berdasarkan pasal 2 dan 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi tentunya setelah mendapatkan keputusan hakim yang tetap dan mengikat.
Pidana tambahan adalah antara lain pidana dalam hal pembayaran uang denda dan
uang pengganti yang harus ditanggung oleh terpidana setelah mendapat kekuatan
hukum yang tetap dari pengadilan yang mengadili perkara tersebut. Selain itu
pidana tambahan dapat berupa Perampasan barang bergerak yang berwujud atau
yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang
diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana
tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan
barang-barang tersebut. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu
paling lama 1 (satu) tahun. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu
atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu yang telah atau dapat
diberikan oleh pemerintah kepada terpidana.
Pasal 18 Undang-undang No. 31 tahun 1999 jo Undang-undang No. 20
Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi menjadi arah solusi
terbatas pengembalian asset pelaku dengan bentuk penyitaan asset pelaku yang
tidak berkehendak membayar hutang pengganti. Pembayaran uang pengganti ini
sendiri dapat dibayarkan secara individual dan secara bersama-sama (tanggung
6
renteng). Adapun yang dimaksud dengan tanggung renteng adalah bentuk
pembayaran uang pengganti secara bersama-sama beberapa terpidana yang sudah
dinyatakan bersalah oleh pengadilan dan harus memenuhi kewajibannya untutk
membayar kerugian Negara yang ditimbulkan dari perbuatannya. Tanggung
renteng ini dapat dibebankan terhadap orang atau korporasi yang oleh pengadilan
telah dinyatakan bersalah telah meninbulkan kerugian Negara dari perbuatan yang
dilakukan oleh orang atau korporasi tersebut.
Dalam kasus dugaan korupsi Buku Ajar Tahun 2003 di Kabupaten
Wonogiri yang sudah dijadikan terdakwa yakni Drs. Roeswardiyatmo, M.Pd (
Mantan Kepala Dinas Pendidkan Kabupaten Wonogiri/Penanggung Jawab
Program Proyek Buku Ajar Tahun 2003), Drs. Purwanto, GP, M.Si (Mantan
Kasubdin TK/SD Dinas Pendidikan Kabupaten Wonogiri/Penanggung Jawab
Kegiatan Proyek Buku Ajar Tahun 2003), serta Drs. Susilo, M.Pd (Mantan Kasi
Sarana dan Prasarana Dinas Pendidikan Kabupaten Wonogiri/Pemimpin Kegiatan
Proyek Buku Ajar Tahun 2003). Dalam surat tuntutan Jaksa NO.REG.
PERKARA : PDS-04/W.GIRI/05-2008 halaman 506 huruf ke 6 disebutkan pula
tuntutan bagi Drs. Dwi Putro Setyantomo, MM (Diajukan sebagai terdakwa dalam
berkas tersendiri) mengenai uang pengganti yang harus dekembalikan secara
tanggung renteng oleh ketiga terdakwa, H. Murod Irawan (Mantan Dirut Balai
Pustaka/Buron/Tidak pemah dihadirkan dalam sidang), serta PT. Balai Pustaka
sebesar Rp. 3.615.377.120 (tiga milyar enam ratus lima belas juta tiga ratus tujuh
puluh tujuh ribu seratus dua puluh rupiah) . Padahal di dalam persidangan Drs.
Dwi Putro Setyantomo, MM dihadirkan sebagai saksi dari ketiga terdakwa.
Berdasarkan permasalahan tersebut diatas, maka penulis tertarik untuk
mengulas kasus yang terjadi di Kabupaten Wonogiri, untuk itu penulis
menetapkan judul "PELAKSANAAN PENUNTUTAN UANG PENGGANTI
SECARA TANGGUNG RENTENG OLEH KEJAKSAAN TERHADAP
SAKSI (DIAJUKAN SEBAGAI TERDAKWA DALAM BERKAS
TERSENDIRI) DALAM KASUS KORUPSI BUKU AJAR TAHUN 2003 DI
PENGADILAN NEGERI WONOGIRI"
7
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai
berikut:
1. Bagaimanakah pelaksanaan penuntutan uang pengganti secara
tanggung renteng terhadap seorang saksi (diajukan sebagai terdakwa
dalam berkas tersendiri)?
2. Hambatan apakah yang timbul dalam pelaksanaan penuntutan uang
pengganti secara tanggung renteng terhadap seorang saksi (diajukan
sebagai terdakwa dalam berkas tersendiri)?
C. Tujuan Penelitian
Suatu kegiatan penelitian sudah tentu mempunyai suatu tujuan penelitian
yang jelas dan sudah pasti, sebagai sasaran yang akan dicapai untuk pemecahan
masalah yang di hadapi. Maka berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan
di atas, maka tujuan penulisan hukum ini adalah
1. Tujuan Obyektif
a. Untuk lebih memahami bagaimana pelaksanaan penuntutan uang
pengganti secara tanggung renteng yang ditujukan kepada seorang
saksi (diajukan sebagai tersangka dalam berkas tersendiri)
b. Untuk lebih mengetahui apa yang menjadi hambatan dalam
pelaksanaan penuntutan uang pengganti secara tanggung renteng
yang ditujukan kepada seorang saksi (diajukan sebagai tersangka
dalam berkas tersendiri).
2. Tujuan Subyektif
a. Untuk memperoleh data sebagai bahan utama penyusunan skripsi
guna memenuhi syarat-syarat yang diperiukan untuk memperoleh
8
gelar kesarjanaan di bidang ilmu hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta
b. Untuk menambah pengetahuan penulis dalam penelitian hukum,
khususnya dalam bidang hukum Acara Pidana yang berhubungan
dengan Penuntutan Uang Pengganti secara tanggung renteng yang
dilakukan oleh Kejaksaan Negeri Wonogiri terhadap seorang saksi
(diajukan sebagai tersangka dalam berkas tersendiri) dalam kasus
Korupsi Buku Ajar tahun 2003 di Pengadilan Negeri Wonogiri.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
a. Dapat digunakan sebagai sumbangan karya ilmiah dalam perkembangan
ilmu pengetahuan hukum.
b. Salah satu usaha memperbanyak wawasan dan pengalaman serta
menambah pengetahuan tentang Hukum Acara Pidana.
c. Dapat bermanfaat dalam mengadakan penelitian yang sejenis berikutnya
2. Manfaat Praktis
a. Memberikan jawaban atas masalah yang diteliti
b. Untuk lebih mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir dinamis
sekaligus untuk mengetahui sejauh mana kemampuan penulis dalam
menerapkan ilmu yang diperoleh
c. Berdasarkan hasil penelitian ini, diharapkan akan menambah
pengetahuan kita sejauh mana penuntutan uang pengganti secara
tanggung renteng dapat diterapkan kepada seorang saksi (diajukan
sebagai tersangka dalam berkas tersendiri) dalam kasus Korupsi Buku
Ajar tahun 2003 di Kabupaten Wonogiri.
9
E. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan metode penelitian sebagai
berikut:
1. Jenis Penelitian
Dilihat dari jenis penelitian yang dipergunakan yaitu penelitian
Hukum empiris yang bersifat Deskriptif. Adapun yang dimaksud
dengan Penelitian Deskriptif yaitu penelitian yang dimaksudkan untuk
memberikan gambaran sejelas mungkin mengenai masalah yang diteliti.
Suatu penelitian deskriptif dimaksudkan untuk memberikan data yang
seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya.
Penelitian deskriptif pada umumnya bertujuan untuk mendiskripsikan
secara sistematis, faktual dan akurat terhadap suatu populasi atau daerah
tertentu mengenai sifat-sifat, karakteristik-karakteristik atau faktor-
faktor tertentu (Bambang Sunggono, 2003: 36).
Berdasarkan pengertian diatas metode penelitian jenis ini
dimaksudkan agar dapat lebih menekankan pada “Law in Action”
(hukum dalam pelaksanaannya) dan menggambarkan serta menguraikan
semua data yang diperoleh dari lapangan yang berkaitan dengan judul
skripsi secara jelas dan rinci yang kemudian dianalisis guna menjawab
permasalahan yang ada.
2. Sifat Penelitian
Penelitian yang akan dilakukan penulis adalah bersifat deskriptif
kualitatif, yakni penelitian untuk memberikan data yang seteliti
mungkin dengan menggambarkan gejala tertentu. Suatu penelitian
deskriptif dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin
mengenai manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya (Soerjono
Soekanto, 1986 :10)
10
Berdasarkan pengertian di atas, metode penelitian ini
dimaksudkan untuk memberikan data seteliti mungkin mengenai
penuntutan uang pengganti secara tanggung renteng yang dilakukan
Kejaksaan Negeri Wonogiri terhadap seorang saksi (diajukan sebagai
terdakwa dalam berkas tersendiri) serta akibat yang ditimbulkan apabila
dikomparasikan dengan undang-undang perlindungan korban dan saksi
3. Jenis dan Sumber Data Penelitian
a. Data yang digunakan
Data adalah semua informasi mengenai variable atau obyek
yang diteliti. Didalam penelitian dibedakan antara data yang
diperoleh langsung dari masyarakat (data primer I primary data) dan
dari buku pustaka (data sekunder / secondary data) (Soerjono
Soekanto, 1986 :12)
Adapun jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1) Data Primer yaitu data yang diperoleh langsung dari narasumber
yang berhubungan dengan obyek penelitian melalui wawancara.
2) Data Sekunder yaitu data yang diperoleh secara tidak langsung
dari perpustakaan yakni dari buku-buku, dokumen-dokumen, dan
peraturan perundang-undangan khususnya yang berkaitan dengan
penelitian hukum penulis.
b. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas :
1) Bahan Hukum Primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat
yang terdiri dari :
a) Surat Tuntutan Kejaksaan Negeri Wonogiri NO. REG.
PERKARA: PDS-04/W.GIRI/05.2008
11
b) Surat Putusan Pengadilan Negeri Wonogiri Nomor :
l00/Pid.B/2008/PN.Wng atas nama terdakwa Drs.
Roeswardiyatmo, M. Pd
c) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
d) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 perubahan Undang-
Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
e) Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan
Korban Dan Saksi
f) Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan
Republik Indonesia
2) Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan yang memberikan
penjelasan bahan hukum primer yng terdiri atas :
a) Berbagai Kepustakaan mengenai Hukum Acara Pidana
khususnya yang berkaitan dengan Tindak Pidana Korupsi dan
upaya hukum dalam lingkup pidana
b) Berbagai hasil seminar, makalah dan artikel yang berkaitan
dengan materi penelitian
3) Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan yang memberi petunjuk dan
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder yang berupa Kamus Ilmiah Populer, Kamus Hukum,
Kamus Bisnis, Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Kamus
Inggris-Indonesia
12
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah melalui
penelitian langsung di lapangan. Teknik pengumpulan data ini
diperlukan keakuratannya tentang pennasalahan yang diteliti oleh
penulis. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian
hukum ini adalah:
a. Studi Lapangan
Teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara terjun
secara langsung ke obyek penelitian. Yang dapat dilakukan dengan
cara:
1) Wawancara yaitu pengumpulan data dengan cara mengadakan
tanya jawab dengan narasumber guna memperoleh data yang
berhubungan dengan penelitian baik dilakukan secara lisan
maupun tertulis.
2) Observasi yaitu peninjauan secara cermat terhadap semua data
yang diperoleh yang berhubungan dengan objek penelitian.
b. Studi Kepustakaan
Studi kepustakaan merupakan teknik pengumpulan data
dengan cara mencari data-data dari buku-buku, dokumen-dokumen,
arsip dan juga peraturan perundang-undangan yang berhubungan
dengan objek penelitian.
5. Teknik Analisis Data
Analisis data merupakan proses mengumpulkan data mengolah
data ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dengan
analisis akan menguraikan data memecahkan masalah yang diselidiki
berdasarkan data-data yang diperoleh.
13
Analisis data yang digunakan oleh penulis adalah analisis data
model kualitatif model interaktif, yaitu data yang terkumpul akan
dianalisis melalui 3 tahap, yaitu mereduksi data, menyajikan data, dan
kemudian menarik kesimpulan. Selama itu pula suatu proses siklus
antara tahapan tersebut, sehingga data yang terkumpul berhubungan
satu dengan yang lain secaraotomatis (H.B. Sutopo, 1991:19).
Untuk lebih jelasnya, dibuat skema sebagai berikut:
(H. B. Sutopo, 1991:19)
Adapun penjelasan dari tahap - tahap tersebut adalah sebagai berikut:
a. Pengumpulan Data
Merupakan proses pencarian data dari berbagai sumber yang
relevan dengan pokok masalah yang diteliti dalam penelitian ini guna
memperoleh hasil penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan.
b. Reduksi Data
Kegiatan yang bertujuan untuk mempertegas, memperpendek,
membuat fokus, membuang hal - hal yang tidak penting yang muncul
dari catatan dan pengumpulan data. Proses ini beriangsung terus
menerus sampai lapoan akhir penelitian selesai.
Pengumpulan data
Penarikan Kesimpulan
Penyajian Data
Reduksi Data
14
c. Penyajian Data
Sekumpulan informasi yang memungkinkan kesimpulan riset
dapat dilaksanakan yang meliputi berbagai jenis matrik, gambar, tabel
dan sebagainya.
d. Penarikan Kesimpulan
Setelah memahami arti dari berbagai hal yang meliputi berbagai
hal yang ditemui dengan melakukan pencatatan - pencatatan eraturan,
pernyatan - pemyataan, konfigurasi - konfigurasi yang mungkin, alur
sebab akibat, akhimya peneliti menarik kesimpulan. (HB. Sutopo,
2002 :37).
Bahan hukum yang telah diperoleh penulis, selanjutnya diuraikan
serta dihubungkan sedemikian rupa, sehingga dapat disajikan dalam bentuk
tulisan yang lebih sistematis. Cara pengolahan dan analisis data yang akan
dilakukan penulis disini ialah secara deduktif yaitu menarik kesimpulan
dari suatu pennasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan
konkret yang dihadapi, selanjutnya akan dianalisis untuk melihat penerapan
peraturan perundang-undangan tentang penuntutan uang pengganti secara
tanggung renteng terhadap seorang saksi (diajukan sebagai tersangka dalam
berkas tersendiri)
15
F. Sistematika Penulisan Hukum
Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas, komprehensif dan
menyeluruh mengenai materi penulisan hukum yang akan disusun, rnaka Penulis
menyusun sistematika penulisan hukum ini sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Dalam bab ini diuraikan pendahuluan yang terdiri dari latar belakang
masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab ini diuraikan tentang kerangka teori yang melandasi
penelitian serta mendukung di dalam memecahkan masalah yang di
angkat dalam penulisan hukum ini, yaitu: tinjauan umu tentang korupsi
dan penyebabnya, modus operandi tindak pidana korupsi, dan kasus
korupsi di wonogiri.
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini, penulis menguraikan tentang,pelaksanaan penuntutan
uang pengganti secara tanggung renteng terhadap seorang saksi
(diajukan sebagai terdakwa dalam berkas tersendiri) dan hambatan yang
timbul ndalam pelaksanaan penuntutan uang pengganti secara tanggung
renteng (diajukan sebagai terdakwa dalam berkas tersendiri).
BAB IV PENUTUP
Bab ini berisikan tentang simpulan dan saran
Daftar Pustaka
Lampiran
16
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Umum Tentang Korupsi
a) Pengertian Secara Umum
Menyadari bahwa tidak satupun bangsa yang terbebas dari
korupsi maka pencegahan korupsi hendaknya memang dilakukan oleh
Negara-negara di dunia secara bersama dan terus menerus, dan khusus
bagi bangsa Indonesia permasalahannya bukan hanya mencegah tapi
juga memberantas mengingat jumlah kasus, kerugian Negara maupun
modus operandi korupsi terus meningkat dari tahun ke tahun (Rohim,
2008 : 3)
Korupsi sebagai fenomena penyimpangan dalam kehidupan
sosial, budaya, kemasyarakatan, dsan kenegaraan sudah dikaji dan
ditelaah secara kritis oleh banyak ilmuwan dan filosof. Kornpsi moral
mernjuk pada berbagai bentuk konstitusi yang sudah melenceng,
hingga para penguasa rezim termasuk dalam system demokrasi, tidak
lagi dipimpin oleh hukum tetapi lebih hanya berupaya melayani
dirinya sendiri. (Mansyur Semma, 2008 : 32)
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dimaksud
dengan kornpsi adalah penyelewengan atau penggelapan (uang Negara
atau perusahaan ) untuk keuntungan pribadi atau orang lain.
Sudarto mengemukakan bahwa perkataan kornpsi semula
hanyalah bersifat umum dan barn menjadi istilah hukum untuk pertama
kalinya adalah di dalam Peraturan Penguasa Militer Nomor
Prt/PM/06/1957 tentang Pemberantasan Korupsi.
17
Korupsi pada umumnya dilakukan oleh orang yang memiliki
kekuasaan dalam suatu jabatan sehingga karakteristik korupsi selalu
berkaitan dengan penyalahgunaan kekuasaan, dalam perspektif
kejahatan yang terorganisir, korupsi pada akhirnya dijadikan sebagai
modus operandi untuk membangun diri sebagai kekuatan besar dari
kejahatan yang terorganisir, sebagaimana dinyatakan oleh Syed
Hussain Alatas bahwa korupsi adalah senjata utama kejahatan yang
terorganisir untuk memantapkan kekuasaan dan kebebasan untuk
berbuat. Dengan kata lain korupsi merupakan bagian atau sub system
dari kejahatan yang terorganisir. Selanjutnya Syed Hussain Alatas
menegaskan bahwa kejahatan yang terorganisisr mempunyai kaitan
dengan korupsi yang terorganisir dimana penerimaan uang suap kecil-
kecilan yang merupakan pelanggaran yang kurang serius dapat
berkembang ke bidang-bidang yang lebih serius, yakni kejahatan. Hal
ini selanjutnya akan menjurus kearah konsolidasi organisasi penjahat
Ada beberapa perbedaan antara korupsi yang terorganisasi di dalam
birokrasi dengan kejahatan yang terorganisasi. Perbedaannya
terlihat dari struktur organisasi dan cara operasionalisasinya.
Salah satu indikator bahwa korupsi telah merajalela dalam
suatu Negara adalah system pengadilan yang tidak berjalan dan
banyaknya konspirasi illegal. Bagi penguasa eksekutif banyak yang
dilakukan untuk mempengaruhi pengadilan agar sesuai dengan
keinginannya. Mereka terkadang mampu untuk mempengaruhi
kehendak hukum yang sebenanmya mencari keadilan dan
mempengaruhi hakim untuk mematuhi segala keinginannya.
Dalam perkembangan selanjutnya korupsi tidak hanya makin
meluas, tetapi dilakukan secara sistematis sehingga tidak saja semata-
mata merugikan keuangan Negara tetapi juga melanggar hak-hak
ekonomi dan sosial masyarakat, sehingga wajar apabila korupsi
digolongkan sebagai extraordinary crime.
18
b) Pengertian secara Yuridis
Menurut Undang-Undang No. 31 tahun 1999 perubahan
Undang-undang No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi disebutkan bahwa definisi dari korupsi sendiri adalah
terdapat dalam pasal 2 dan 3.
Selanjutnya dari penjelasan umum Undang-Undang Tipikor ini
dpat diketahui agar bahwa dapat menjangkau berbagai modus operandi
penyimpangan keuangan Negara atau perekonomian Negara yang
semakin canggih dan rumit maka tindak pidana korupsi ini dirumuskan
sedemikian rupa sehingga meliputi perbuatan-perbuatan mnemperkaya
diri sendiri aatau orang lain atau suatu korporasi secara melawan
hukun dalam pengertian formil dan materiil.
Dengan perumusan tersebut pengertian melawan hukum dalam
tindak pidana korupsi dapat pula mencakup perbuatan-perbuatan
tercela yang menurut perasaan keadilan masyarakat harus dituntut dan
dipidana. Perumusan tindak korupsi itu sendiri dalam undang-undang
tipikor ini dirumuskan secara tegas sebagai tindak pidana formil. Hal
ini sangat penting untuk pembuktian sebab dengan rumusan secara
formil meskipun hasil korupsi telah dikembalikan kepada Negara maka
pelaku tindak pidana korupsi tersebut tetap dapat diajukan ke
pengadilan dan tetap dapat dipidana (Edy Yunara, 2005 :38)
c) Unsur-Unsur Korupsi
Dalam pasal 2 dan 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999
disebutkan bahwa unsur-unsur korupsi antara lain kesalahan berupa
kesengajaan atau kealpaan dan perbuatan melawan hukum. Disamping
kedua unsur diatas menurut Sudarto ada beberapa syarat yang harus
dipenuhi yaitu ada suatu tindak pidana yang dilakukan, adanya
19
pembuat yang mampu bertanggung jawab dan tidak adanya alasan
pemaaf.
1) Kesengajaan atau Kealpaan
Yang dimaksud dengan dengan kesengajaan tentu dilakukan
dengan sadar dan dengan maksud. Hal ini berkaitan dengan
penyalahgunaan jabatan atau wewenang. Hal ini meriupakan
perbuatan menggunakan kewenangan yang dimiliki, untuk
melakukan tindakan yang memihak atau pilih kasih kepada
kelompok atau perorangan, sementara bersikap diskriminatif
terhadap kelompok atau perseorangan yang lainnya (Rohim, 2008 :
28).
Adapun maksudnya tentunya berkaitan dengan pengadaan
barang dan jaksa, penguasa eksekutif di daerah mengunakan
imunitasnya untuk memilih rekanan dalam pengadaan proyek di
lingkungan kedinasan yang ada di daerahnya. Tentunya yang
menguntungkan baginyalah yang akan memenangkan proyek
tersebut.
2) Perbuatan Melawan Hukum
Adanya sifat perbuatan melawan hukum secara fonnil lebih
dititikberatkan pada pelanggaran terhadap pelanggaran terhadap
peraturan perundang-undangan yang tertulis, sedangkan suatu
perbuatan dikatakan telah memenuhi unsur melawan hukum secara
material, apabila perbuatan itu merupakan pelanggaran terhadap
norma kesopanan yang lazim atau kepatutan yang hidup dalam
masyarakat. Dengan kata lain, setiap perbuatan yang dianggap atau
dipandang tercela oleh masyarakat merupakan perbuatan melawan
hukum secara material.
20
3) Adanya Tindak Pidana Yang Dilakukan
Yang dimaksud adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh
oknum pejabat tertentu atau rekanan telah memenuhi syarat adanya
suatu tindak pidana korupsi yang diatur secara tegas didalam
undang-undang. Dalam artian bahawa mereka telah dianggap oleh
hukum melakukan penyalahgunaan wewenang ataupun jabatan
dalam penerapannya.
4) Kemampuan Bertanggung Jawab
Adalah orang yang melakukan tindakan yang bertentangan
dengan undang-undang. Sehingga orang yang telah melakukan
tindakan ini dapat dijatuhi hukuman yang telah ditentukan dalam
undang-undang.
Bilamanakah seseorang itu dapat dipertanggung jawabkan
atas perbuatan yang dilakukannya. Berbagai pendapat mengenai
hal ini J.E Jonkers berpendapat bahwa pertanggungjawaban pidana
adalah merupakan sendi daripada pengertian kesalahan yang luas,
yang tidak boleh dicampuradukkan dengan yang disebutkan dalam
pasal 44 KUHP. J.E Jonkers menyebut ada tiga syarat mengenai
pertanggungjawaban pidana, yaitu:
a) kemungkinan untuk menentukan kehendaknya terhadap suatu
perbuatan
b) mengetahui maksud yang sesungguhnya daripada perbuatan
itu
c) keinsyafan bahwa hal itu dilarang dalam masyarakat
Simons menyatakan bahwa ciri-ciri psikis yang dimiliki
oleh orang yang mampu bertanggung jawab pada umumnya adalah
21
ciri-ciri yang dimiliki oleh orang yang sehat rohaninya, yang
mempunyai pandangan normal, yang dapat menerima secara
normal pandangan-pandangan yang dihadapinya yang dibawah
pengaruh pandangan tersebut ia dapat menentukan kehendaknya
dengan cara yang normal pula
Moeljatno menarik kesimpulan mengenai kemampuan
bertanggungjawab antara lain:
a) harus ada kemampuan untuk membeda-bedakan antara
perbuatan yang baik dan buruk, yang sesuai hukum dan
melawan hukum.
b) harus adanya kemampuan untuk menentukan kehendaknya
menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi.
Untuk menjelaskan hal bilamana terdapatnya kemampuan
bertanggungjawab pidana dapat dengan dua cara, yaitu:
a) Cara pertama, yakni dengan berdasarkan atau mengikuti dari
rumusan pasal 44 (1). Dari pasal tersebut yang sifatnya beriaku
umum, artinya berlaku bagi semua bentuk dan wujud
perbuatan. Pasal 44 (1) menentukan dua keadaan jiwa yang
tidak mampu bertanggung jawab. Dengan berpikir sebaliknya,
maka orang yang mampu bertanggungjawab atas semua
perbuatannya (berwujud tindak pidana) adalah apabila tidak
terdapat dua keadaan jiwa sebagaimana yang dimaksud dalam
pasal 44 (1), artinya apabila jiwanya tidak cacat dalam
pertumbuhannya, atau jiwanyaa tidak terganggu karena
penyakit, demikian itulah orang mampu bertanggungjawab.
b) Kedua dengan tidak menghubungkannya dengan pasal 44 (1),
dengan mengikuti pendapat Satochid Kartanegara, orang yang
22
mampu bertanggungjwab itu ada tiga syarat yang hams
dipenuhi, yakni:
1) Keadaan seseorang yang sedemikian rupa (normal)
sehingga ia bebas atau mempunyai kemampuan
dalam menentukan kehendaknya terhadap perbuatan
yang ia (akan) lakukan.
2) Keadaan jiwa orang itu yang sedemikian rupa, sehingga ia
mempunyai kemampuan untuk dapat mengerti terhadap
nilai perbuatannya beserta akibatnya.
3) Keadaan jiwa seseorang itu sedemikian rupa sehingga ia
mampu untuk menyadari, menginsyafi, bahwa perbuatan
yang (akan) dilakukannya itu adalah suatu kelakuan yang
tercela, kelakuan yang tidak dapat dibenarkan oleh hukum,
atau oleh masyarakat maupun tata susila.
Semua yang berkenaan dengan kemampuan
bertanggungjawab dan pertanggungjawaban pidana diatas dikutip
dari buku Adami Chazawi, 2002 : 114-115
5) Tidak adanya alasan pemaaf
Yang dimaksud adalah seperti yang ditulis dalam pasal 3
undang-undang 31 thun 1999 yaitu setiap orang yang bertujuan
menguntungkan diri sendiri atau orang lain.... jelas kata-kata
menguntungkan orang lain adalah tidak dengan maksud, dengan
kata lain perbuatan yang dilakukan oleh si terdakwa belum tentu
dimengerti sendiri oleh terdakwa karena kekurang cakapan dari
terdakwa dalam mengurus tugas yang dibebankan yang ada di
daerah.
23
Dari kata “……menguntungkan diri sendiri atau orang
lain…..” tentu saja mempunyai penafsiran yang luas dari definisi
tersebut. Sehingga seseorang dianggap pula bersalah apabila oleh
jaksa dianggap membantu memberikan keuntungan kepada orang
lain yang merugikan Negara. Walaupun dirinya sendiri tidak ikut
menikmati hasil dari korupsi itu sendiri.
d) Subjek Tindak Pidana Korupsi
Dalam system hukum perdata Belanda yang masih kita anut
sampai saat ini, maka dikenal sebagai subjek hukum terbagi menjadi
dua, yaitu yang pertama adalah manusia (persoon) dan kedua adalah
badan hukum (rechtpersoon). Dari pembagian subjek hukum diatas,
apabila korporasi ini merupakan subjek hukum yang dapat melakukan
hubungan hukum, maka korporasi termasuk dalam kualifikasi badan
hukum.
Yang dimaksud dengan orang tentu saja masih berkaitan
dengan Negara. Yang dimaksud disini adalah orang yang menerima
gaji atau upah dari Negara. Sehingga identik dengan kata pegawai
negeri.
Sedangkan korporasi sendiri nmenurut undang-undang adalah
kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan
badan hukum atau bukan badan hukum.
Yang dimaksud dengan saksi adiah orang yang dapat
memeberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan,
penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang
suatu perkara pidana yang ia dengan sendiri, ia lihat sendiri dan atau ia
alami sendiri. Seorang saksi tidak dapat dibenarkan kesaksiaannya
apabila ia satu keturunan keluarga dari terdakwa. Seorang saksi dapat
dijadikan tersangka apabila dia terbukti melanggar undang-undang.
24
2. Tinjauan Umum Tentang Saksi
a. Pengertian Saksi
Suatu kasus pidana persoalan pembuktian sangat menentukan.
Keberhasilan kerja Kepolisian sebagai penyidik tergantung pada
keterbukaan para saksi yang dihadapkan dalam proses penyidikan
untuk didengar keterangannya. Namun tidak jarang didapatkan dalam
masyarakat, bahwa para saksi tersebut enggan memberikan
keterangan, karena merasa terancam jiwanya dan merasa tertekan dari
pihak lain termasuk dari pihak tersangka. Oleh karena itu perlunya
suatu ketentuan hukum untuk mengatur bagaimana saksi bisa
dilindungi secara hukum, agar peristiwa pidana tersebut bisa
terungkap secara sempurna. Sejak diberlakukannya Kitab Undang-
undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada tahun 1981,
perlindungan hukum hanya terbatas pada tersangka dan terdakwa,
perlindungan hukum terhadap saksi belum disentuh, namun pada
tahun 2006 yang lalu telah diberlakukan UU No 13 tahun 2006
tentang perlindungan saksi dan korban yang mulai berlaku 11 Agustus
2006, sehingga secara normatif telah mengatur bagaimana seorang
saksi dapat dilindungi secara hukum. Oleh karena itu para aparat
penegak hukum harus mampu memahami dan menerjemahkan aturan
hukum ini guna diberlakukan agar para saksi dalam kasus pidana
mendapatkan perlindungan hukum.
Pengertian saksi dalam kasus pidana, adalah orang yang dapat
memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan,
penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu
perkara pidana yang ia dengan sendiri, ia lihat sendiri dan atau ia
alami sendiri. Jika mengacu pada pengertian dan definisi saksi
tersebut, maka dapat diartikan secara luas termasuk di dalamnya
adalah saksi ahli. Karena sebenarnya saksi ahli tersebut termasuk saksi
yang sangat dibutuhkan oleh penyidik dalam proses penyidikannya
25
sebagai ahli dari bidang tertentu untuk mengungkap suatu kasus
pidana. Sebenarnya perlindungan hukum terhadap saksi ini sangat
penting, karena jika seorang saksi kunci dalam suatu kasus pidana,
tidak mendapatkan perlindungan hukum, dalam arti harus dilindungi
dari aspek rasa aman, maka akan tidak bebas memberikan keterangan
yang dia ketahuinya kepada penyidik kepolisian, sehingga
berdasarkan Pasal 8 UU No 13 tahun 2006 menegaskan bahwa
perlindungan terhadap saksi harus diberikan sejak tahapan
penyelidikan. Namun terkadang para penegak hukum kurang
memerhatikan hal-hal tersebut, yang pada akhirnya suatu kasus pidana
tidak terungkap secara sempurna kasusnya, karena adanya tekanan-
tekanan pihak tersangka kepada saksi, yang tidak jarang justru
menjurus kepada terancamnya jiwa saksi tersebut, dan terkadang pula
terhadap keluarga saksi.
Memang disadari bahwa saat ini masih kurang disadari oleh
penegak hukum tentang keberadaan Undang-undang perlindungan
saksi ini, sehingga secara normatif belum tampak sebagai aturan yang
harus dilaksanakan, termasuk bagi pemerintah masih dalam proses
pembentukan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, padahal
sudah banyak terjadi peristiwa hukum yang nampaknya belum secara
maksimal para saksi dapat dilindungi secara hukum, padahal dapat
diketahui bahwa tujuan akhir dari perlindungan saksi ini, agar saksi
dapat bebas memberikan keterangan kepada penyidik sebagai bukti
yang kuat atas suatu tindak pidana, sehingga seorang saksi harus
dijamin keamanan fisik dan jiwanya, bebas memberikan keterangan,
tanpa ada tekanan, malahan keluarganyapun harus dilindungi,
demikian pula terhadap harta bendanya dan semuanya bebas dari
tekanan-tekanan dan ancaman. Jika dicermati ketentuan pidana dalam
UU No 13 tahun 2006 tersebut, jelas ditegaskan dalam pasal 37 bahwa
jika seseorang memaksakan kehendaknya baik menggunakan
kekerasan maupun cara-cara tertentu yang menyebabkan saksi tidak
26
memperoleh perindungan hukum, sehingga saksi tersebut tidak
memberikan kesaksian pada tahap pemeriksaan pada pemeriksaan
tingkat manapun
3. Tinjauan Umum Tentang Uang Pengganti Secara Tanggung Renteng
a. Penuntutan Uang Pengganti secara Tanggung Renteng
1) Uang Pengganti
Polemik mengenai realisasi uang apengganti menjadi selalu
berkepanjangan, baik sejak undang-undang Yindak Pidana Korupsi
yang lama ( UU No. 3 Tahun 1971) maupun yang baru ( UU No. 31
Tahun 1999 perubahan UU No. 20 Tahun 2001) khususnya dalam
uang pengganti. kaitan pelaksanaan pembyaran uang pengganti.
Polemik mengenai eksekusi uamg pengganti inipun berkelanjutan
mengenai kritikan publik terhadap Kejaksaan mengenai pelaksanaan
setor uang pengganti. Betapa tidak, beberapa waktu lalu Departemen
Keuangan memberikan versi berbeda mengenai besaran uang
pengganti dengan versi yang diajukan Kejaksaan Agung. Bahkan
untuk menunjukkan keseriusan Pemerintah terhadap polemik ini,
Wakil Presiden Jusuf Kalla mengingatkan agar tidak terjadi korupsi
ganda dalam pengelolaan dana pengganti dan uang kerugian yang
dikelola dan dilaporkan ke Departemen Keuangan dan Badan
Pemeriksa Keuangan, Kejaksaan Agung harus menyusun dan
membuat laporan yang transparan dan memenuhi prinsip
akuntabilitas.
Sebenarnya ada pemahaman yang keliru dari para pengamat
mengenai penempatan uamg kedalam kas Kejaksaan yang
menimbulkan polemik mengenai pemaknaan status Uang Sitaan dan
Uang Pengganti, bahkan makna Uang Kerugian yang yang tidak
dikenal dalam tindak pidana korupsi. Inipun masih memisahkan
27
mengenai pengertian “keuangan Negara” yang sampai sekarang juga
masih menjadi perdebatan, khususnya terhadap badan hukum plat
merah (BUMN/BUMD).
Dalam kaitan dengan makna “Keuangan Negara” inipun
menjadi polemik dalam tataran implementasi regulasi mengenai hal
tersebut. Pertama-pertama yang perlu dipahami bahwa adanya
ketentuan pasal 1 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi yang mengatur pengertian “Pegawai Negeri”.
Pegawai Negeri dalam ketentuan ini diartikan secara luas, sehingga
perspektif Pegawai Negeri dianalogikan juga termasuk pimpinan
BUMN sebagai persoon yang menerima gaji atau upah dari keuangan
Negara atau daerah atau yang menerima gaji atau upah dari korporasi
lain yang mempergunakan yang mempergunakan modal atau fasilitas
dari Negara atau masyarakat. Dari pendekatan regulasi mengenai
korupsi, terlepas ada atau tidaknya pemisahan kekayaan Negara
(dengan cara penempatan keuangan Negara sebagai penyetotan
modal) yang tetap dianggap sebagai bagian dari keuangan Negara,
maka pimpinan BUMN masuk dalam kategoris sebagai “Pegawai
Negeri”, meskipun, pendekatan sejarah memberikan makna limitative
terhadap pengertian “pegawai negeri”, yaitu memangku suatu jabatan
umum, diangkat oleh kekuasaan umum dan menjalankan sebagian
organ,alat dan atau tugas-tugas Negara.
Polemik terjadi pada tataran Implementatif mengenai makna
“Keuangan Negara” dengan status BUMN dalam kaitannya dengan
penempatan Keuangan Negara. Undang-undang No. 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara, khususnya mengenai nruang lingkup
keuangan Negara pasal 2 yang ternyata sejalan dengan penjelasan
umum Undang-undang No, 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana
Korupsi, sehingga Keuangan Negara memiliki makna yang ekstensif
meliputi kekayaan Negara yang dipisahkan meupun yang tidak
dipisahkan. Dalam pengertian ini kekurangan satu rupiahpun akan
28
berarti uang Negara akan berkurang dan dianggap merugikan Negara,
sehingga sifatnya masih berada pada ranah Hukum Pidana.
Namun pemaknaan secara contrario muncul manakala Undang-
Undang No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN menegaskan bahwa
kekayaan Negara yang dipisahkan adalah kekayaan Negara yang
berasal dari APBN untuk dijadikan penyertaan modal Negara pada
Pesero dan atau Perum serta perseroan Negara lainnya. Bahkan pasal
11 Undang-undang No. 19 Tahun 2003 memiliki makna tegas bahwa
pengelolaan BUMN didasarkan pada prinsip-prinsip pengelolaan yang
ditentukan dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1995 tentang
Perseroan Terbatas sehingga harus diartikan bahwa persero, perum
dan lainnya itu tunduk pada Undang-Undang Perseroan Terbatas yang
masuk dalam ranah hukum perdata. Jadi, memang untuk menentukan
ada atau tidak adanya kerugian Negara ini sangat tergantung dengan
pemaknaan kekayaan Negara yang terpisah atau tidak terpisah, yang
akhirnya akan menentukan area Hukum Perdata atau Hukum Pidana
sebagai Kerugian Negara tersebut. Dengan adanya Fatwa Mahkamah
Agung Republik Indonesia dari Wakil Ketua Mahkamah Agung
Republik Indonesia Bidang Yudisial dengan Nomor :
WKMA/Yud/20/VIII/2006 tanggal 16 Agustus 2006 seharusnya
polemik yang menjadi sikap rutinitas tentunya harus berakhir
manakala subyek pelaku tindak pidana korupsi adalah para pelaku
BUMN yang merupakan aparatur Negara untuk menentukan kriteria
ada tidaknya kerugian Negara, karena kekayaan yang dipisahkan pada
perusahaan Negara/perusahaan daerah tidak dapat diartikan sebagai
keuangan Negara dan karenanya tidak mempunyai kekuatan mengikat
secara hukum.
Permasalahan yang dianggap pokok pada tulisan pendek ini
adalah : bentuk pelaksanaan uang pengganti apakah dapat
dilaksanakan oleh penegak hukum, dan pada tahap proses yang
29
manakah bias dilakukan tindakan upaya paksa pensitaan yang diikuti
terhadap uang pengganti tersebut.
a) Uang Pengganti Era Undang-Undang No. 3 Tahun 1971
Sebagaimana telah dijelaskan diatas bahwa persoalan Uang
Pengganti ini tidaklah lepas kaitannya atas unsur “Kerugian Negara”
disatu sisi, dengan isu “dwang middelen” (upaya paksa).
Pasal 34 Undang-undang No. 3 tahun 1971 mengenai uang
pengganti, pembayarannya harus dilakukan yang jumlahnya
sebanyak-banyaknya sama dengan harta yang diperoleh dari korupsi,
dan menurut penjelasan pasalnya menyatakan bahwa apabila
pembayaran uang pengganti tidak dapat dipenuhi oleh terdakwa maka
berlakulah ketentuan mengenai pelaksanaan pembayaran uang denda,
artinya tidak ada pembayaran denda akan berakibat pelaku dikenakan
pidana kurungan tidak lebih dari 8 bulan (pasal 30 KUHP).
Untuk menutupi unsur kerugian Negara itulah diperlukan upaya
paksa (dwang middelen). Tindakan atau upaya paksa penegak hukum
dalam rangka menyelamatkan Uamg Negara itu dapat dilakukan
secara tahapan :
Pra Ajudikasi, berupa tindakan atau upaya paksa penegak
hukum dengan cara melakukan pensitaan terhadap harta atau benda
yang ada pada penguasaan tersangka/terdakwa maupun harta atau
benda yang ada pada pihak ketiga tetapi harta atau benda itu diduga
memiliki keterkaitannya dengan suatu tindak pidana. Jadi tidaklah
memiliki sifat limitatif terhadap eksistensi status harta benda tersebut.
Isu penyitaan dalam Hukum Acara Pidana sungguh dapat
dihubungkan dengan perampasan yang dalam hukum pidana material
merupakan jenis hukuman tambahan.
Jikalau soal penyitaan sebenarnya diatur pasal 38 KUHAP
sampai dengan pasal 46 KUHAP tersebut menyinggung penyitaan
30
sebagai salah satu upaya paksa (dwangmiddel atau coercial force) dari
kewenangan yang ada pada pihak penyidik, maka pasal 128 KUHAP
sampai dengan pasal 130 KUHAP mengatur apa yang harus ditempuh
dalam suatu proses, apa yang dilakukan oleh penyidik dalam
melakukan penyitaan.
Pasal 128 KUHAP sampai dengan pasal 130 KUHAP tersebut
merupakan aspek lain dari kewenangan penyidik, yang
menggambarkan jalannya prosesual dalam melakukan penyitaan,
disamping (pasal 38-46 KUHAP) kewenangan dan kewajiban dari
suatu penyidik.
Saat dan Pasca Ajudikasi, berupa tindakan atau upaya paksa
penegak hukum untuk melaksanakan realisasi Uang Pengganti.
Namun demikian Undang-undang lama tidak mengatur mengenai
alternative penyitaan terhadap harta benda terdakwa/terpidana apabila
pelaku tidak melakukan pembayaran uang pengganti karena didalam
penjelasan pasal 34 hanya dikatakan bahwa akan berlaku tentang
pidana denda dalam hal tidak ada realisasi uang pengganti. Hal ini
berlainan dengan perubahan melalui Undang-undang No. 31 Tahun
1999 terhadap permasalahan tidak adanya pembayaran uang pengganti
dimana terhadap harta benda pelaku dapat dilakukan pensitaan atas
harta benda atau yang ada pada penguasaan tersangka/terdakwa
maupun harta atau benda yang ada pada pihak ketiga tetapi harta atau
benda itu diduga memiliki keterkaitan dengan suatu tindak pidana.
Jadi tidaklah memiliki sifat limitatif terhadap eksistensi status harta
benda tersebut.
Sebenarnya tujuan dilakukan pensitaan maupun menetapkan
uang pengganti tersebut adalah dalam rangka pengemnbalian kerugian
negarayang ditimbulkan oleh pelaku secara tidak langsung ataupun
langsung (misalnya perbuatan tersangka dalam memperkaya orang
lain atau suatu badan) dan merupakan bentuk tindak pidana tambahan
31
yang hampir memiliki karakter hukum perdata (ganti rugi dalam
bentuk), sebab denda ebagai pidana pokok tentunya tidak memiliki
uang pengganti. Pidana tambahan secara murni dalam pasal 10 KUHP
pun tidak memiliki bentuk uang pengganti, tetapi terbatas hanya
pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, dan
pengumuman putusan hakim.
Jadi suatu pensitaan maupun pembayaran uang pengganti adalah
dalam rangka pengembalian kerugian keuangan Negara.
Pada tahap Prae Judiciel, dalam hal pensitaan, adalah dalam
rangka pensitaan terhadap benda bergerak (misal uang) milik
tersangka atau pihak ketiga yang diduga berasal dari tindak pidana
atau ada kaitannya dengan tindak pidana adalah sebagai pelaksanaan
upaya paksa dan tentunya untuk menjamin pengembalian kerugian
Uang Negara dalam hal terdakwa dihukum melakukan tindak pidana
korupsi.
Namun demikian, tahap judicial, pidana tambahan berupa
hukuman uang pengganti yang dicantumkan pada pasal 34 Undang-
Undang No. 3 Tahun 1971 ternyata tidak memberikan solusi yang
cukup apabila terdakwa tidak melakukan pembayaran uang pengganti
tersebut. Kendala pelaksanaan uang pengganti inilah yang
menyebabkan Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran
Mahkamah Agung No. 4 Tahun 1988 yang pada pokoknya
menyatakan bahwa pelaksanaan atas pembayaran uang pengganti
tidak dapat ditetapkan hukuman kurungan sebagai ganti apabial uang
pengganti itu dibayar oleh terpidana. Juga eksekusi atas pidana
pembayaran yang akan dilaksanakan oleh jaksa tidak perlu campur
tangan dari pihak pengadilan (misalnya dalam bentuk ijin penyitaan
yang dituangkan dalam penetapan dan lain-lain). Filosofi hukumnya
adalah bahwa penyitaan terhadap barang-barang milik terpidana
adalah masih merupakan pelaksanaan dari putusan hakim. Dan apabila
pelaksanaan dari harta benda terpidana tidak mencukupi lagi, sisanya
32
dari harta terpidana hanya dapat dilakukan melalui gugatan ganti rugi
melalui ranah hukum perdata.
Polemik uang pengganti inilah yang sebenarnya menjadi
permasalahan mengingat eksekusi terhadap pembayaran uang
pengganti berdasarkan Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 memakan
waktu yang lama, dan kalaupun uang pengganti sudah tersedia tetapi
belum dapat dilakukan penyetoran ke kas Negara apabila memang
ternyata ada pihak ketiga yang berkeberatan karena memang pasal 35
Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 memberikan sarana legalitas bagi
pihak ketiga mengajukan keberatan atas perampasan (sebagai
pelaksanaan pensitaan) harta benda (misal uang) tersebut.
Pemahaman uang yang akan disetor ke kas Negara dalam
perkara tindak pidana korupsi sebagai dwang middelen (upaya paksa)
meliputi, yaitu pertama berupa uang yang dilakukan pensitaan karena
penguasaan uang oleh seseorang diduga memiliki keterkaitan atau
berasal dari tindak pidana korupsi. Dalam hal ini pensitaan dilakukan
oleh penegak hukum untuk mencegah terjadinya pencucian uang
melalui proses pensamaran melalui asal-usul uang tersebut, sehingga
diperlukan tindakan paksa berupa pensitaan. Uang pensitaan ini
umumnya ditempatkan pada rekening penegak hukum atau
distatuskan sebagai penitipan bahkan dilakukan pemblokiran oleh
Bank atas perm intaan penegak hukum. Sehingga status Uang Sitaan
ini memang seharusnya diparkir dalam rekening penegak hukum
sampai ada status jelas dari putusan pengadilan yang berkekuatan
tetap mengenai terbukti tidaknya pelaku melakukan tindak pidana
korupsi, karena apabila terbukti, maka uang pensitaan ini dieksekusi
untuk dirampas menjadi milik Negara dan segera disetorkan ke kas
Negara. Kedua, status uang pengganti yang secara tegas jelas regulasi
mengatur bahwa uang pengganti hanya dapat dieksekusi setelah
putusan pengadilan memiliki kekuatan hukum tetap, dan umumnya
33
eksekusi uang pengganti, khususnya setoran kepada kas Negara
dilakukan sendiri oleh Terpidana, bukan oleh penegak hukum.
b) Uang Pengganti Era Undang-Undang No. 31 Tahun 1999
Uang pengganti berdasarkan Undang-Undang No. 3 tahun 1971
sebagai bentuk pelaksanaan upaya paksa memang memiliki perbedaan
dengan aturan Uang Pengganti dalam undang-Undang No. 31 tahun
1999 sebagaimana diatur dalam pasal 18.
Pasal 18
(1) Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam kitab
Undang-Undang Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan
adalah :
a. Perampasan barang bergerak yang berujud atau
yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak
yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari
tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik
terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan,
begitu pula harga dari barang yang menggantikan
barang tersebut;
b. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya
sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang
diperoleh dari tindak pidana korupsi;
c. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk
waktu paling lama 1 (satu) tahun;
d. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau
penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah
atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada terpidana;
2. Jika terpidana tidak membayar uang pengganti
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b paling lama
dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta
34
bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk
menutupi uang pengganti tersebut;
3. Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang
mencukupi untuk membayar uang pengganti sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf b, maka dipidana dengan
pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman
maksimum dari pidana pokoknya sesuai dengan ketentuan
dalam Undang-Undang ini dan lamanya pidana tersebut
sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.
Ketentuan pasal 18 Undang-undang No. 31 Tahun 1999 ini
meninggalkan beberapa permasalahan dalam praktek se bagaimana
juga tercantum dalam TOR (Term of Reference)
Berkaitan dengan pasal 18 ayat 1 huruf b, jika terpidana
membayar Uang Pengganti, seharusnya fungsi Uang Pengganti adalah
untuk menutupi kekurangan terhadap kerugian Negara dengan harta
benda pelaku yang dirampas (pelaksanaan pensitaan pada tahap pra
ajudikasi).
Banyak terjadi polemik yang terjadi dalam pelaksanaan pasal 18
ini. Berkaitan dengan pasal 18 ayat 1 huruf b, jika terpidana
membayar uang pengganti adalah untuk menutupi kekurangan
terhadap kerugian Negara berdasarkan selisih kerugian Negara dengan
harta benda pelaku yang sudah dirampas. Misalnya kerugian Negara
diperkirakan 100 Milyar dan penilaian terhadap pensitaan harta benda
pelaku ( yang kemudian dilakukan perampasan) hanya 60 milyar,
maka hukuman uang pengganti itu hanyalah 40 Milyar. Kenyataan
yang sering terjadi adalah nilai pensitaan kadang kala jauh lebih besar
daripada nilai kerugisan Negara. Dapat saja terjadi, nilai pensitaan
harta benda pelaku sudah sebanding dengan nilai kerugian Negara,
tetapi masih saja dilakukan penuntutan/penghukuman pidana
tambahan berupa uang pengganti (Indriyanto Seno Aji, 2009 :261)
35
Berkaitan dengan pasal 18 ayat 2, jika terpidana tidak membayar
uang pengganti sebagaimana dimaksud dsalam ayat (1) huruf b paling
lama 1 (satu) bulan setelah putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum yang tetap, maka harta bendanya dapat
disita dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.
Dalam Undang-Undang ini tidak ditentukan secara tegas
mengenai prosedur pensitaan harta benda terpidana tersebut, namun
demikian apabila mengacu “vage-feiten” mengenai prosedur itu dan
bentuk didasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No.4 tahun 1988
yang pada pokoknya menyatakan eksekusi atas pidana pembayaran
uang pengganti yang akan dilaksanakan oleh Jaksa tidak perlu campur
tangan pihak pengadilan ( misalnya dalam bentuk ijin penyitaan yang
dituangkan dalam penetapan atau lain-lain). Filosofi hukumnya adalah
bahwa penyitaan terhadap barang-barang milik terpidana adalah masih
merupakan pelaksanaan dari putusan hakim.
Dalam hal terpidana tidak membayar uang pengganti ataupun
membayar uang pengganti namun tidak mencukupi kerugian Negara,
maka harta benda terpidana dilakukan pensitaan yang sifatnya non
penetapan dari pengadilan mengingat pensitaan ini merupakan
pelaksanaan dari putusan pengadilan. Hanya saja sering kali pensitaan
ini dilakukan oleh penegak hukum (Jaksa Penuntut Umum sebagai
eksekutor) terhadap seluruh harta benda terpidana dengan tidak
mempertimbangkan tempus delicti. Karena hubungan antara pensitaan
dengan tempus delicti tidak diatur dalam Undang-Undang No. 31
Tahun 1999 sebagai lex specialis, karenanya prinsip lex generali
mengikat terhadap pensitaan tersebut sebagaimana tersebut pada pasal
39 KUHAP.
Polemik lainnya adalah potensi terjadinya korupsi ganda yang
dalam makna hukum sebagai penggelapan Uang Negara oleh aparatur
Negara. Akan terjadi korupsi ganda apabila terjadi kesalahan dalam
pengelolaan administrasi Negara tanpa ada prinsip akuntabilitas dan
36
transparan kelembagaan, meski polemik pro-kontra tentunya akan
terjadi.
Penegak hukum seringkali memiliki kendala dalam pelaksanaan
eksekusi uang pengganti karena adanya diskriminasi regulasi atursan
tindak pidana korupsi atas eksekusi Uang Pengganti. Disatu sisi,
dengan Undang-Undang No. 3 tahun 1971, eksekusi atas kekurangan
uang pengganti dilaksanakan melalui gugatan perdata berdasarkan
Surat Edaran Mahkamah Agung RI Tahun 1985. Inilah kegagalan
yang seringkali ditemui para penegak hukum, karena gugatan perdata
memiliki sistem pembuktian kompleksitas yang berbeda dengan
hukum pidana, selain itu gugatan perdata mensita waktu puluhan
tahun, sehingga terkumulasinya kuantitas secara maksimal yang
ditemukan Kejaksaan menjadi hal yang wajar. Disis lain, Undang-
Undang No. 31 Tahun 1999 memberikan legalitas pensitaan kekayaan
terpidana sebagai eksekusi uang pengganti. Mekanisme ini telah
mempercepat eksekusi uang pengganti dari terpidana secara langsung
karena memang regulasi tidak mengatur teknis mekanisme
pelaksanaan eksekusi uang pengganti itu.
2) Penuntutan
Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk
melimpahkan perkara ke pengadilan negeri yang berwenang
dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam hukum acara
pidana dengan permintaan agar diperiksa dan diputus oleh hakim
di sidang pengadilan.
Kejaksaan sebagai lembaga yang berwenang melakukan
penyidikan dan penuntutan berkewajiban untuk mengusut tuntas
permasalahan yang diberikan kepadanya secara adil dan bijaksana
tanpa adanya intervensi dari pihak manapun. Kejaksaan sebagai
37
penuntut umum berhak untuk mengajukan penunturan sesuai
dengan Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan.
Penuntutan secara tanggung renteng adalah penuntutan yang
ditujukan terhadap beberapa terdakwa yang diduga melakukan
korupsi secara bersama-sama dan dapat dibuktikan kebenarannya
bahwa perbuatan tersebut merupakan perbuatan korupsi.
Penuntutan secara tenggung renteng dapat dilaksanakan
terhadap seorang tersangka yang diduga telah melakukan
perbuatan korupsi bersama sama dengan orang lain.
Praktek setelah KUHAP berlaku membagi tahap penuntutan
menjadi tahap pra-penuntutan dan tahap penuntutan. Tetapi
KUHAP sendiri memuat kedua tahap ini dalam bab penuntutan.
Tahap pra penuntutan, yaitu tahap ini mulai saat penuntut
umum menerima berkas perkara dari penyidik. Dalam waktu
tujuh hari ia hams menentukan apakah berkas perkara tersebut
sudah lengkap atau belum. Apabila berkas perkara tersebut belum
lengkap maka penyidik hams mengembalukan kepada penyidik
disertai dengan petunjuk-petunju. Dalam waktu 14 hari penyidik
harus menyelesaikan kekurangan tersebut yang diminta oleh
penuntut umum. Dikatakan lengkap apabila bukti-bukti dan
berkas yang diajukan cukup dan disusun berdasarkan KUHAP.
Setelah dianggap lengksap maka penuntut umum membuat
dakwaan. Dalam pasal 137 KUHAP menyatakan bahwa penuntut
umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapa saja yang
didakwa melakukan suatu tindak pidana dengan melimpahkan
perkaranya ke pengadilan.
38
B. Kerangka Pemikiran
KETERANGAN BAGAN :
Dalam kasus korupsi buku ajar tahun 2003 yang digelar di Pengadilan
Negeri Wonogiri menyisakan suatu hal yang menurut hemat penulis kurang lazim
dalam suatu penuntutan di pengadilan yang dilakukan oleh pihak kejaksaan.
Terkesan tuntutan mengenai uang pengganti yang tercantum dalam surat tuntutan
jaksa No. Reg. Perkara : PDS-04/W.GIRI/05.2008 atas nama terdakwa Drs.
Roeswardiyatmo, M.Pd pada halaman 506 huruf ke 6 terkesan memaksakan
kehendak penuntut umum tanpa memperhatikan hak yang melekat pada seorang
saksi.
TERDAKWA TINDAK PIDANA KORUPSI
PENUNTUTAN (Pasal 18)
TUNTUTAN TANGGUNG RENTENG
SAKSI TERDAKWA
PUTUSAN
39
Dalam surat tuntutan disebutkan pula seorang saksi yang diikutsertakan
dalam penuntutan mengenai uang pengganti secara tanggung renteng yang wajib
dibayarkan. Kaitannya dengan pasal 10 Undang-undang Nomer 13 tahun 2006
tentang perlindungan saksi dan korban hal penuntutan terhadap seorang saksi
tidak dibenarkan.
40
BAB III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. PELAKSANAAN PENUNTUTAN UANG PENGGANTI SECARA
TANGGUNG RENTENG TERHADAP SEORANG SAKSI (DIAJUKAN
SEBAGAI TERDAKWA DALAM BERKAS TERSENDIRI)
1. Identitas Terdakwa
Terdakwa dalam kasus buku ajar tahun 2003 di Pengadilan Negeri
Wonogiri adalah Drs. Roeswardiyatmo, M.Pd (mantan Kepala Dinas
Pendidikan Kabupaten Wonogiri/Penanggung Jawab Program), Drs.
Purwanto, GP, M.Si (Kasubdin TK/SD/Penanggung Jawab Kegiatan), dan
Drs. Susilo, M.Pd (Kasi Sarana dan Prasarana/Pemimpin Kegiatan).
2. Identitas Saksi (diajukan sebagai terdakwa) Kasus Korupsi Buku
Ajar
Saksi yang akan dijadikan terdakwa dalam berkas tersendiri adalah
bemama Drs. Dwi Putro Setyantomo, MM yang menjabat sebagai Yang
Menjalankan Tugas (YMT) Kepala Badan Pengelola Keuangan Daerah
Kabupaten Wonogiri sejak tanggal 1 September 2003 sampai dengan 1
Januari 2004.
3. Kasus Posisi
Pada tanggal 8 Januari 2003 Drs. Roeswardiyatmo, M.Pd selaku
kepala dinas pendidikan Kabupaten wonogiri mengajukan proposal
Pengadaan Buku Wajib Siswa SD/MI, SLTP/MTs, SMA/Ma, dan SMK
Negeri /Swasta Tahun Anggaran 2003 di Kabupaten Wonogiri yang isinya
berupa Surat Keputusan Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Wonogiri
Nomor : 421-03/0063a tanggal 8 Januari 2003 Perihal: Usul Pengadaan
Buku Wajib bagi siswa kepada Bupati Wonogiri dengan nilai seluruhnya
Rp.23.008.189.900,- yang mana buku yang akan digunakan adalah brosur
dan daftar harga yang diberikan oleh Sri Mulyatiningsih (Staf Pemasaran
41
PT. Putra Ihsan Pramudhita, dimana H. Murad Irawan sebagai direktur PT.
Putra Ihsan Pramudhita/perwakilan pemasaran PT. Balai Pustaka (Persero)
di wilayah Kabupaten Wonogiri.
Selanjutnya proposal yang diajukan kepada bupati tadi diteruskan
oleh Drs. Roeswardiyatmo, M.Pd secara tertulis untuk disampaikan
kepada panitia angaran DPRD Wonogiri pada tanggal 28 Januari 2003
untuk kemudian dibahas oleh rapat Panitia Anggaran. Setelah dibahas di
rapat Panitia Anggaran DPRD maka akhimya pada rapat paripuma DPRD
ditetapkan Raperda APBD TA 2003 untuk dijadikan Peraturan Daerah
tentang APBD TA 2003 tanggal 25 Februari 2003, disetujui untuk
dianggarkan untuk dianggarkan dalam APBD Kabupaten Wonogiri Tahun
Angaran 2003 sebagaimana telah ditetapkan oleh Bupati Wonogiri dalam
Peraturan Daerah Kabupaten wonogiri Nomor : 1 Tahun 2003 tentang
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Wonogiri Tahun
Anggaran 2003 tanggal 25 Februari 2003 dan dijabrkan dalam Keputusan
Bupati Wonogiri Nomor : 29 Tahun 2003 tentang Pemjabaran Angaran
Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Wonogiri Tahun Angaran
2003 tanggal 26 Februari 2003 dimana dalam lampirannya untutk Pos
Belanja Dinas Pendidikan Kabupaten Wonogiri disebutkan anggaran
untuk Belanja Modal Buku Wajib SD/MI sebesar Rp. 7.247.456.000,-
(tujuh milyar dua ratus empat puluh tujuh juta empat ratus lima puluh
enam rbu rupiah) dengan kode rekening : 2.11.01.3.16.01.04.2
Pada tanggal 1 Mei 2003 Drs. Roeswardiyatmo, M.Pd selaku
kepala dinas pendidikan Wonogiri menerbitkan Keputusan Kepala Dinas
Pendidiklan Wonogiri Nomor : 900/043 tentang Penetapan Penanggung
jawab Program, Pemimpin Program, Pemimpin Kegiatan, dan staf
administrasi kegiatan pada Dinas Pendidikan Kabupaten Wonogiri TA
2003 dimana karena jabatan dari Drs.Roeswardiyatmo, M.Pd adalah
sebagai Kepala Dinas Kabupaten Wonogiri maka dengan sendirinya
menjadi Penanhggung Jawab Program.
42
Drs. Susilo, Mpd selaku Kepala Seksi Sarana dan Prasarana Subdin
TK/SD dan MI Dinas Pendidikan Kabupaten Wonogiri yang ditunjuk oleh
Drs. Roeswardiyatmo, M.Pd sebagai Pemimpin Kergiatan Prengadaan
Buku Wajib SD/MI tahun 2003 di Kabupaten Wonogiri berdasarkan Surat
Keputusan Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Wonogiri Nomor :
900/043 tentang Penetapan penanggung Jawab Program, Pemimpin
Program Pemimpin Kegiatan dan staf administrasi kegiatan pada Dinas
Pendidikan Kabupaten Wonogiri oleh jaksa dianggap telah melakukan
kekeliruan dalam perencanaan pengadaan barang dan jasa di lingkungan
kabupatem Wonogiri, sehingga proyek ini dilakukan dengan tanpa
perencanaan dan jadwal yang jelas.
Pada tanggal 21 Mei 2003 Drs. Susilo beserta dengan Drs.
Purwanto, GP, M.si diketahui oleh Drs. Roeswardiyatmo, M.Pd
mengajukan permohonan penunjukan langsung kepada bupati Wonogiri
dengan surat Nomor : 425/1566-c tertanggal 21 Mei 2003. Permohonan
tersebut disetujui oleh Bupati wonogiri dengan surat Nomor : 600/3616
tanggal 23 Mei 2003 dengan rekanan yaitu PT. Balai Pustaka
(Persero).Kemudian disetujui oleh Bupati Wonogiri.
Drs. Roeswardiyatmo, M.Pd menerbitkan surat Keputiusan Kepala
Dinas Pendidikan Kabupaten Wonogiri Nomor : 642.2/056 tanggal 26 Mei
2003 tentang Pembentukan Panitia Penunjukan Langsung. Namun surat
keputusan tersebut oleh Drs. Susilo, M.Pd tidak pemah diserahkan kepada
panitia yang telah dibentuk sehingga panitia yang dittunjuk tidak tahu dan
tidak melaksanakan tugasnya.
Kemudian Drs. Roeswardiyatmo, M.Pd menerbitkan Surat
Keputusan Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Wonogiri Nomor:
642.2/074 tertanggal 26 Mei 2003 tentang Pembentukan Panitia Pemeriksa
Barang. Namun Drs. Susilo, M.Pd tidak pula menyerahkan surat
43
keputusan ini kepada panitia pemeriksa barang sehingga panitia pemeriksa
barang tidak melaksanakan tugasnya.
Setelah addendum dilakukan oleh Drs. Susilo, M.Pd kemudian
diserahkan kepada H. Murod Irawan. Namun oleh H. Murod Irawan surat
addendum tidak pemah diserahkan kembali kepada PT. Balai Pustaka
(persero). Kemudian H. Murod Irawan men sub kontrakkan proyek ini
kepada 8 penerbit yang ditunjuk oleh H. Murod Irawan.
Dari hasil audit investigative yang dilakukan oleh Badan
Pengawasan Keuangan Dan Pembangunan perwakilan provinsi Jawa
Tengah berdasar surat Nomor : LHAI-1310/PW 11/5/2008 ditemukan
adanya mark up sebesar Rp. 2.983.677.461,14 (dua milyar sembilan ratus
delapan puluh tiga juta enam ratus tujuh puluh tujuh ribu empat ratus enam
puluh satu rupiah koma empat belas sen).
Sebagai tindak lanjut pelaksanaan Surat Perjanjian Pemborongan
Nomor : 425/2074.b tanggal 23 Juni 2003 untuk pengadaan buku wajib
SD/MI Kab. Wonogiri TA.2003 sebagaimana telah diadendum dengan
addendum surat perjanjian pemborongan Nomor : 425.2/3950.C tanggal
10 September 2003, Drs. Susilo, M.Pd selaku Pemimpin Kegiatan
Pengadaan Buku Ajar Tahun 2003 di Kabupaten Wonogiri telah
melakukan pembayaran kepada HR. Siswadi selaku direktur utama Balai
Pustaka (persero) yang dimulai pada akhir bulan agustus 2003, kemudian
H.R. Siswadi mengajukan permohonan pembayaran uang muka kepada
pemimpin kegiatan pengadaan buku wajib SD/MI di kabupaten Wonogiri
tahun 2003 sesuai Surat Nomor : 044/Mk.2/B.8.2003 tanggal kosong
Perihal Permohonan Pembayaran Uang Muka sebesar Rp. 1.
446.517.100,- yang pengajuannya dilakukan oleh Tatang S. Permana
berdasarkan surat kuasa dari H.R. Siswadi.
Dengan pengajuan tersebut maka Drs. Susilo, M.Pd pada tanggal
27 Agustus 2003 bersama dengan Agung Widodo, SE selaku pemegang
44
Kas Dinas Pendidikan Kabupaten Wonogiri dan diketahui oleh Drs.
Roeswardiyatmo, M.Pd mengajukan Surat Permintaan Pembayaran Beban
Tetap (SPP BT) Nomor : 900/3818 tanggal 27 Agustus 2003 untuk
pembayaran uang muka tersebut. Kemudian menanggapi surat tersebut
maka Kepala Badan Pengelola Keuangan Daerah Kabupaten Wonogiri
yang dijabat oleh Lakgiyatmo, S.E, M.M menerbitkan Surat Perintah
Membayar Uang Nomor : 1200/P tanggal 27 agustus 2003 untuk
pembayaran uang muka tersebut, kemudian oleh Tatang S. Permana pada
tanggal 29 Agustus 2003 telah dicairkan di Bank Pembangunan Daerah
cabang Wonogiri dan kemudian nmentransfer ke rekening : 123-
0090015522 PT. Balai Pustaka (Persero) pada PT. Bank Mandiri (Persero)
cabang Cikini Jakarta sebesar 1.424.802.300,- setelah dipotong PPh
sebesar Rp. 21.697.800,- dan biaya administrasi bank seb esar Rp.
17.000,-
Pada tanggal 1 November 2004 Drs. Susilo, M.Pd selaku
pemimpin kegiatan nenbuat konsep Berita Acara Hasil Pemeriksa Barang
bahwa barang sudah diterima 100%. Padaahal Drs. Susilo tahu bahwa
buku yang diterima baru berjumlah 275.420 eksemplar dari pesanan
sebesar 496.911 eksemplar. Bahwa pada tanggal 18 November 2003 Alm.
HR. Siswadi selaku direktur utama Balai Pustaka meminta pembayaran
termin pertama kepada pemimpin kegiatan sesuai dengan Surat Nomor :
087/Mk.2/B.l 1.2003 perihal permohonan pembayaran termin pertama
sebesar Rp. 2.893.034.200,- yang dilakukan oleh Tatang S. Permana
sesuai dengan surat kuasa Nomor : 017/MK.2/KS.11.2003 pada
tanggal 19 November 2003.
Berdasarkan surat permohonan pembayaran termin pertama
tersebut maka, Drs. Susilo M.Pd bersama dengan Agung Widodo, SE dan
diketahui oleh Dr. Roeswardiyatmo, M.Pd mengajukan Surat Permintaan
Pembayaran Beban Tetap (SPP BT) Nomor : 900/4651 tanggal 19
November 2003 sebesar Rp. 2.893.034.200,- kepada Kepala Badan
45
Pengelola Keuangan Daerah (BPKD) Kabupaten Wonogiri yang kala itu
dipimpin oleh Yang Menjalankan Tugas (YMT) Drs. Dwi Putro
Setyantomo, MM yang kemudian oleh beliau diterbitkanlah Surat Perintah
Membayar Uang (SPMU) Nomor : 1967/P tanggal 19 November 2003.
Pada tanggal 20 November 2003 dicairkanlah uang itu oleh Tatang. S
Permana di Bank Pembangunan Daerah (BPD) cabang Wonogiri dan
kemudian mentransfer ke rekening 123-0090015522 milik PT. Balai
Pustaka dengan Bank Mandiri (persero) sebesar Rp. 1.500.000.000,-
setelah dipotong PPh sebesar Rp. 43.395.513,- dan biaya administrasi
sebesar Rp. 7.500,- sedangkan uang sebesar Rp. 1.349.614.187,- pada hari
itu juga oleh Tatang. S Permana diserahkan kepada Naning untuk
ditransfer ke Rekening Bank Mandiri Cabang Sriwedari Solo Nomor :
138.0004016785 atas nama M. Indriastuti selaku kepala Bagian Keuangan
PT. Putra Ihsan Pramudhita dan ditambah ongkos kirim Rp. 7.500,- atas
permintaan H. Murod Irawan dengan persetujuan HR. Siswadi.
Pada tangal 18 Desember 2003 HR. Siswadi meminta kepada
pemimpin kegiatan untuk mencairkan termin yang kedua. Maka pada
tanggal 18 Desember 2003 pemimpin kegiatan beserta dengan Widodo, SE
mengajukan Surat Permintaan Pembayaran Beban Tetap (SPP BT) Nomor
: 900/7253 kepada Kepala Badan Pengelola Keuangan Daerah Kabupaten
Wonogiri yang masih dijabat oleh Drs. Dwi Putro Setyantomo, MM selaku
Yang Menjalankan Tugas (YMT). Kemudian oleh Drs. Dwi Putro
Setyantomo, MM diterbitkan Surat Perintah Membayar Uang (SPMU)
Nomor: 2365/P tanggal 19 Desember 2003.
Bahwa berdasarkan perjanjian yang telah disetujui, dalam isinya
bahwa PT. Balai Pustaka yang diwakili oleh H. Murod Irawan selaku
Direktur PT. Putra Ihsan Pramudhita dilakukan pencetakan buku sebanyak
496.911 eksemplar namun yang baru tercetak adalah 453.659 sehingga
masih ada kekurangan buku sebesar 43.252 eksemplar atau bila
dirupiahkan yaitu Rp. 631.699.658,86 (enam ratus tiga pulih satu juta
46
enam ratus sembilan puluh sembilan ribu enam ratus lima puluh delapan
rupian koma delapan puluh enam sen).
Pelaksanaan Penuntutan Uang Penganti secara tanggung renteng
terhadap saksi (diajukan sebagai terdakwa dalam berkas terscndiri).
Sebagai akibat perbuatan yang dilakukan terdakwa Drs. Roeswardiyatmo,
M.Pd, Drs. Purwanto, GP, M.Si, Drs. Susilo, M.Pd, , MM, H. Murod
Irawan, Alm. HR. Siswadi dan Drs. Dwi Putro Setyantomo, MM selaku
Yang Menjalankan Tugas (YMT) sejak tanggal 1 September 2003 sampai
dengan tanggal 1 Januari 2004 yang telah mencairkan termin kedua
kepada PT. Balai Pustaka (persero) sebesar Rp. 2.893.034.200,- padahal
syarat yang diajukan belum lengkap tetapi masih juga menerbitkan SPMU.
Disamping itu berkaitan dengan perbuatan ini berdasarkan hasil audit
investigative yang dilakukan Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan perwakilan Jawa Tengah ditemukan adanya mark up
sebesar Rp. 2.983.677.461,14 (dua milyar sembilan ratus delapan puluh
tiga juta enam ratus tujuh puluh tujuh ribu empat ratus enam puluh satu
rupiah koma empat belas sen) dan menguntungkan H. Murod Irawan.
Sehingga total kerugiann Negara yang diakibatkan dari perbuatan
ini menjadi Rp. 3.615.377.120,- (tiga milyar enam ratus lima belas juta
tiga ratus tujuh puluh tujuh ribu seratus dua puluh rupiah). Kerugian ini
dihitung dari nilai kerugian Mark Up sebesar Rp. 2.983.677.461,14 dan
kekurangan buku yang belum dikirim oleh H.Murod Irawan sebanyak
43.252 eksemplar atau Rp. 631.699.658,86.
Pengaturan penunututan uang pengganti diatur dalam pasal 18
Undang-undang No. 31 Tahun 1999 perubahan Undang-Undang No. 20
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Adapun
dasar pelaksanaan penuntutan uang pengganti oleh Kejaksaan adalah
bahwa terdakwa atau saksi (diajukan sebagai terdakwa dalam berkas
47
tersendiri) secara bersama-sama telah melakukan penyalahgunaan
kewenangan mereka sehingga Negara dirugikan karenanya.
4. Tuntutan Kejaksaan Negeri Wonogiri
Berdasarkan hasil pemeriksaan terdakwa dan saksi dipersidangan yang
dikaitkan dengan barang bukti yang ada di persidangan, maka penuntut
umum sesuai dengan undang-undang melakukan penuntutan yang tertuang
dalam Surat Tuntutan Jaksa No. Reg. Perkara : PDS-04/W.GIRI/05.2008
atas nama terdakwa Drs. Roeswardiyatmo, M. Pd sebagai berikut :
1. Menyatakan DRS. ROESWARDIYATMO, M. Pd BIN
SAROESMAN HARDJOSUKARTO tidak terbukti secara sah
dan meyakinkan bersalah melakukan ”TINDAK PIDANA
KORUPSI SECARA BERSAMA-SAMA”sebagaimana diatur
dan diancam pidana dalamn Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18
Undang-Undang Nomor : 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah
dirubah dengan Undang-undang Nomor : 20 Tahun 2001
Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor : 31 Tahun
1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal
55 ayat (1) KUHP, dalam DAKWAAN PRIMAIR
2. Menyatakan membebaskan terdakwa tersebut dari DAKWAAN
PRIMAIR
3. Menyatakan terdakwa DRS. ROESWARDIYATMO, M.Pd BIN
SAROESMAN HARDJOSUKARTO secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan ”TINDAK PIDANA
KORUPSI SECARA BERSAMA-SAMA” sebagaimana diatur
dan diancam dalam Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-undang Nomor :
31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah dirubah dengan Undang-undang Nomor : 20
48
Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor :
31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
jo. Pasal 55 ayat (1) KUHP, dalam DAKWAAN SUBSIDAIR
4. Menjatuhkan Pidana kepada terdakwa DRS.
ROESWARDIYATMO, M. Pd BIN SAROESMAN
HARDJOSUKARTO dengan pidana penjara selama 3 (TIGA)
tahun dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan
sementara, dengan perintah agar terdakwa tetap ditahan.
5. Menjatuhkan pidana Denda sebesar Rp. 50.000.000,-(lima puluh
juta rupiah) dengan ketentuan apabila pidana denda tersebut
tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 6
(enam) bulan
6. Menghukum terdakwa DRS. ROESWARDIYATMO, M.Pd
BIN SAROESMAN HARDJOSUKARTO tersebut untuk
membayar uang pengganti kepada negara sebesar Rp. 3.
615.377.120,- (tiga milyar enam ratus lima belas juta tiga ratus
tujuh puluh tujuh ribu seratus dua puluh rupiah) secara tanggung
renteng bersama-sama dengan Drs. Susilo, M. Pd Bin Sudarso,
B.A, Drs. Purwanto GP, M. Si Bin Sutarno B.A, H. Murod
Irawan, Drs. Dwi Putro Setyantomo, MM (diajukan sebagai
terdakwa dalam berkas tersendiri), serta PT. Balai Pustaka
(Persero), paling lambat 1 (satu) bulan setelah putusan ini
mempunyai kekutaan hukum tetap, dan apabila setelah lewat
waktu 1 (satu) bulan tersebut terdakwa tidak membayar uang
pengganti dimaksud, harta kekayaan terdakwa disita dan
dilelang untuk membayar uang pengganti tersebut. Apabila
terdakwa tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk
pembayaran uang pengganti tersebut maka terdakwa di pidana
penjara selama 2 (dua) tahun.
49
5. Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian diatas maka diketahui bahwa
pengaturan dalam pelaksanaan penuntutan uang pengganti diatur dalam
pasal 18 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 perubahan Undang-Undang
No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dimana terdakwa diduga telah melakukan perbuatan memperkaya diri
sendiri dan harta kekayaan yang ada padanya oleh jaksa diduga merupakan
uang hasil korupsi yang telah dilakukan.
Pelaksanaan penuntutan uang pengganti yang dilakukan oleh
Kejaksaan Wonogiri terhadap saksi (diajukan sebagai terdakwa dalam
berkas tersendiri) tentunya mengacu pada keterkaitan yang dilakukan oleh
saksi Drs. Dwi Putro Setyantomo, MM yang mencairkan pembayaran
termin pertama dan kedua dalam proyek pengadaan buku wajib tahun
2003 di Kabupaten Wonogiri. Telah disebutkan diatas bahwa YMT Kepala
Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD) Drs. Dwi Putro Setyantomo,
MM telah mengeluarkan Surat Perintah Membayar Uang yang diminta
oleh PT. Balai Pustaka Persero melalui pemimpin kegiatan, padahal
didalam pengajuannya belum dilampiri sejumlah dokumen yang
seharusnya ada didalamnya. Sehingga secara tidak langsung Drs. Dwi
Putro Setyantomo, MM ikut ambil bagian didalam pelaksanaan tindak
pidana korupsi tersebut.
Oleh karena keterkaitan tersebut maka oleh Jaksa Penuntut Umum,
Drs. Dwi Putro Setyantomo, MM selaku YMT kepala BPKD telah
menyalahgunakan kewenangannya sebagai kepala BPKD dan dianggap
ikut menikmati hasil korupsi tersebut, sehingga oleh Kejaksaan dituntut
secara tanggung renteng dalam pengembalian uang pengganti bersama-
sama dengan terdakwa, H. Murod Irawan dan PT. Balai Pustaka (Persero).
50
B. HAMBATAN YANG TIMBUL DALAM PELAKSANAAN
PENUNTUAN UANG PENGGANTI SECARA TANGGUNG RENTENG
TERHADAP SEORANG SAKSI (DIAJUKAN SEBAGAI TERDAKWA
DALAM BERKAS TERSENDIRI)
Berdasarkan uraian diatas tentunya tuntutan yang diajukan oleh
Jaksa Penuntut Umum dalam Surat Tuntutan Jaksa NO. REG. PERKARA
: PDS-04/W.GIRI/05.2008 Atas Nama Terdakwa : Drs. Roeswardiyatmo,
M.Pd tentunya mengalami hambatan. Hal ini dikarenakan Tuntutan Jaksa
dalam poin mengenai penuntutan uang pengganti secara tanggung renteng
yang harus ditanggung oleh Terdakwa Dr. Roeswardiyatmo, M.Pd
(mantan Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Wonogiri), Drs. Purwanto,
GP M.Si (Mantan Kasubdin TK/SD Dinas Pendidikan Kabupaten
Wonogiri), Drs. Susilo, M.Pd (Mantan Kasi Sarpras Dinas Pendidikan
Kabupaten Wonogiri), Drs. Dwi Putro Setyantomo, MM (Yang
Menjalankan Tugas Kepala Badan Pengelola Keuangan Daerah Kabupaten
Wonogiri, H. Murod Irawan (Direktur PT. Putra Ihsan Pramudita dan
perwkilan Balai Pustaka), dan PT. Balai Pustaka (persero) oleh Majelis
Hakim dalam putusannya tidak sependapat dengan Tuntutan yang diajukan
oleh Jaksa. Tentunya dasar yang digunakan oleh Majelis Hakim dalam
menolak tuntutan jaksa mengenai uang pengganti secara tanggung renteng
adalah sangat jelas yaitu bahwa Drs. Dwi Putro Setyantomo, MM dalam
persidangan yang telah digelar di Pengadilan Negeri Wonogiri
kapasitasnya hanyalah sebagai saksi sehingga apabila dimasukkan
kedalam tuntutan jaksa maka tentunya tidak akan memenuhi rasa keadilan
terhadapnya.
Bahwa tentunya kapasitas Drs. Dwi Putro Setyantomo, M. Pd
didalam persidangan hanyalah sebagai saksi dan bukan sebagai terdakwa.
Oleh karena itu terjadi ambivalensi yang terjadi pada tuntutan Jaksa
mengenai Penuntutan Uang Pengganti secara tanggung renteng yang juga
51
tersebut didalamnya Drs. Dwi Putro Setyantomo, MM. Disatu sisi sebagai
saksi namun disisi lain sudah diikutkan pula sebagai terdakwa/terpidana.
Tentunya Surat Tuntutan Jaksa yang telah diajukan didalam
persidangan bila dicermati secara seksama, dapat disinyalir bahwa saksi
Drs. Dwi Putro Setyantomo, MM telah dipesan secara tidak langsung
untuk kemudian dijadikan terdakwa dalam kasus yang sama. Terlepas dan
itu, mengenai besaran uang pengganti yang diajukan oleh jaksa yang
menurutnya telah menguntungkan H. Murod Irawan dan PT. Balai
Pustaka menurut pledoi yang diajukan kuasa hukum terdakwa Drs.
Roeswardiyatmo, M.Pd yakni Mustofa Kamal, S.H adalah kurang jelas.
didalam pledoinya yang dikemukakan diperesidangan mengenai adanya
mark up dan kekurangan buku yang kemudian oleh jaksa dilakukan
penuntutan uang pengganti yang harus ditanggung pula oleh saksi Drs.
Dwi Putro Setyantomo, MM adalah kurang jelas. Menurut pledoi dari
Mustofa Kamal, SH bahwa mark up yang ditimbulkan adalah kurang tepat
karena tidak sesuai dengan hukum pasar maupun norma dalam hukum
perdata yaitu harga yang sudah disepakati kedua belahpihak adalah sah
berlaku mengikat bagi parapihak untuk memenuhi hak dan kewajibannya
masing-masing.
Disamping itu dalam Pledoi yang diajukan kuasa hukum terdakwa
Drs. Roeswardiyatmo, M.Pd dikatakan bahwa PT. Balai Pustaka yang
ditunjuk sebagai rekanan adalah BUMN sehingga apabila ada tuntutan
yang mengatakan bahwa perbiuatan terdakwa telah menguntungkan H.
Murod Irawan dan PT. Balai Pustaka ( Persero) maka sama saja perbuatan
terdakwa telah pula menguntungkan Negara, karena PT. Balai Pustaka
merupakan BUMN.
52
BAB IV PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan apa yang telah diuraikan diatas didalam hasil penelitian dan
pembahasan, maka dapat dirumuskan simpulan sebagai berikut :
1. Pelaksanaan penuntutan uang pengganti secara tanggung renteng terhadap
seorang saksi (diajukan sebagai terdakwa dalam berkas tersendiri).
a. Bahwa dalam Surat Tuntutan Jaksa No. Reg. Perkara : PDS-
04/W.GIRI./05.2008 disebutkan adanya perbuatan dari Drs. Dwi Putro
Setyantomo, MM bersama sama dengan terdakwa Drs.
Roeswardiyatmo, M. Pd, Drs. Purwanto, GP, M. Si serta Drs. Susilo,
M. Pd yang oleh Jaksa Penunut Umum dinilai melanggar ketentuan
dalam Undang-undang No. 31 tahun 1999 perubahan Undang-Undang
N0. 20 tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dengan dasar bahwa Drs. Dwi Putro Setyantomo, MM yang saat itu
menjabat sebagai Yang Menjalankan Tugas (YMT) Kepala Badan
Pengelolaan Keuangan Daerah (BPKD) Kabupaten Wonogiri
menyetujui untuk mencairkan uang termin pertama sebesar Rp.
2.893.034.200,- dengan lampiran berita acara 100% dari Drs. Susilo,
M. Pd padahal diketahui oleh Drs. Susilo bahwa buku yang diterima
baru 275.420 eksemplar dari pesanan sebesar 496.911 eksemplar.
Sehingga oleh Jaksa Penuntut Umum Drs, Dwi Putro Setyantomo,
MM dianggap telah membantu dalam pelaksanaan tindak pidana
korupsi tersebut.
b. Adapun oleh Jaksa Penunut Umum yang menjadi dasar pelaksanaan
penuntutan uang pengganti secara tanggung renteng terhadap Drs.
Dwi Putro Setyantomo, MM adalah jaksa menilai Drs, Dwi Putro
Setyantomo, MM dianggap telah melakukan kesalahan karena telah
melakukan pelunasan pembayaran kepada pihak Balai Pustaka dengan
53
menerbitkan SPMU termin kedua padahal buku yang diterima masih
ada kekurangan sebesar 43.252 eksemplar atau apabila dirupiahkan
sebesar Rp. 631.699.658,86. Sehingga Negara menurut Jaksa
Penuntut Umum dirugikan sebesar nominal diatas.
2. Hambatan yang timbul dalam pelaksanaan penuntutan uang pengganti
terhadap seorang saksi (diajukan sebagai terdakwa dalam berkas
tersendiri).
a. Hal yang menghambat Jaksa Penuntut Umum dalam melakukan
penuntutan uang pengganti secara tanggung renteng yang ditujukan
kepada ketiga terdakwa dan Drs. Dwi Putro Setyantomo, MM
(diajukan sebagai terdakwa dalam berkas tersendiri) antara lain adalah
bahwa kapasitas Drs. Dwi Putro Setyantomo, MM didalam
persidangan adalah sebagai saksi, sehingga terjadi ambivalensi
terhadapnya. Disatu sisi Drs. Dwi Putro Setyantomo, MM hanya
sebagai saksi namun didalam tuntutan kapasitasnya berubah menjadi
terdakwa. Sehingga status yang melekat didalamnya dianggap kurang
jelas di persidangan.
b. Adapun dalam pasal 18 angka 2 Undang-undang No. 18 tahun 1999
perubahan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengenai uang pengganti
disebutkan "jika TERPIDANA tidak membayar uang pengganti.....".
Dari apa yang disebutkan diatas, kata terpidana sangat jelas bagi siapa
tumtutan tanggung renteng seharusnya ditujukan. Dalam posisi Drs.
Dwi Putro Setyantomo, MM di dalam persidangan hanyalah sebagai
saksi dan bukan sebagai terdakwa. Sehingga kurang tepat apabila Drs.
Dwi Putro setyantomo, MM selaku saksi juga ikut dituntut dalam
tuntutan jaksa.
54
B. Saran-saran
Jaksa sebagai lembaga penegak hukum diharapkan mampu memberikan
rasa keadilan kepada seseorang atau lembaga yang tengah mencarinya. Kejaksaan
seharusnya dalam melakukan penuntutan lebih cermat, seksama dan juga
bijaksana dalam menuntut dalam suatu perkara tindak pidana. Selain itu
Kejaksaan sebagai lembaga hukum hendaknya lebih
Kejaksaan Agung sebagai lembaga Negara dibidang hukum selayaknya
memberikan pelatihan etika profesi yang lebih kepada Jaksa anggotanya agar
kelak tidak dipandang sebagai lembaga yang menakutkan dimata masyarakat luas
yang beredar dewasa ini.
55
DAFTAR PUSTAKA
DARI BUKU :
Edy Yunara, 2005, Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Citra Aditya Bakti, Bandung
Indriyanto Seno Adji, 2009, Korupsi dan Penegakan Hukum, Diadit Media, Jakarta
Lamintang, 1991, Delik-delik Khusus Kejahatan Jabatan Dan Kejahatan-Kejahatan Jabatan Tertentu Sebagai Tindak Pidana Korupsi, Pionir Jaya, Bandung
Mansyur Semma, 2008, Negara dan Korupsi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta
Pope, Jeremy, 2007, Strategi Memberantas Korupsi Elemen Sistem Integritas Nasional, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta
Rohim, 2008, Modus Operandi Tindak Pidana Korupsi, Pena Multi Media, Jakarta
Soerjono, Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta
Suradi, 2006, Korupsi Dalam Sektor Pemerintah Dan Swasta, Gava Media, Yogyakarta
Surachman dan Andi Hamzah,1995, Jaksa Di Berbagai Negara Peranan dan Kedudukannya, Sinar Grafika, Jakarta
Wirjono Prodjodikoro, 1980, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia, PT. ERESCO, Jakarta-Bandung
Wiyono, 2009, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta
DARI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Perubahan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
56
Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban
Keputusan Presiden, No. 18 Tahun 2000, Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Visi Media, Jakarta
Surat Tuntutan Pidana NO. REG. PERKARA : PDS-04/W.GIRI/05. 2008 Atas Nama Terdakwa Drs. Roeswardiyatmo, M.Pd
Surat Putusan Pengadilan Negeri Wonogiri Nomor : 100/Pid.B/2008/PN.Wng. atas nama terdakwa Drs. Roeswardiyatmo, M.Pd.