pemahaman komunitas pesantren nurrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri...
TRANSCRIPT
PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NUR
ASSA’ADAH DAN IHYA AS-SUNNAH DI
TASIKMALAYA TERHADAP PERINTAH
BERJILBAB DALAM QS AL-NŪR (24):31
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
Sri Fajri Yanti
NIM: 11150340000251
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN
TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF
HIDAYATULLAH
JAKARTA
1441 H/2020 M
PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NUR
ASSA’ADAH DAN IHYA AS-SUNNAH DI TASIKMALAYA
TERHADAP PERINTAH BERJILBAB DALAM QS AL-
NŪR (24):31
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama
Di Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Fakultas Ushuluddin UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta
Oleh:
Sri Fajri Yanti
NIM: 11150340000251
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF
HIDAYATULLAH
JAKARTA
1441 H/2020 M
i
LEMBAR PERNYATAAN
Yang bertandatangan di bawah ini :
Nama : Sri Fajri Yanti
NIM : 11150340000251
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang berjudul
PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NUR
ASSA‟ADAH DAN IHYA AS-SUNNAH DI TASIKMALAYA
TERHADAP PERINTAH BERJILBAB DALAM QS AL-NŪR
(24):31 adalah benar merupakan karya saya sendiri dan tidak
melakukan tindakan plagiat dalam penyusunannya. Adapun
kutipan yang ada dalam penyusunan karya ini telah saya
cantumkan sumber kutipannya dalam skripsi. Saya bersedia
melakukan proses yang semestinya sesuai dengan peraturan
perundangan yang berlaku jika ternyata skripsi ini sebagian atau
keseluruhan merupakan plagiat dari karya orang lain.
Demikian pernyataan ini dibuat untuk dipergunakan seperlunya.
Jakarta, 08 Maret 2020
Sri Fajri Yanti
NIM. 11150340000251
Materai
Rp. 6000,-
ii
dc
PENGESAHAN SIDANG MUNAQASYAH
Skripsi yang berjudul PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NUR ASSA'ADAH DAN IHYA AS-SUNNAH DI TASIKMALAYA TERHADAP PERINTAH BERJILBAB DALAM QS AL-NŪR (24):31 telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 20 April 2020. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Agama (S.Ag) pada Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir.
Jakarta, 15 Juli 2020
Sidang Munaqasyah Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,
Dr. Eva Nugraha, M.Ag
Fahrizal Mahdi, Lc., MIRKH NIP. 19710217 199803 1 002 NIP. 19820816 201503 1 004
Anggota,
Penguji I, Penguji II,
Moh. Anwar Syarifuddin, MA
Ala'i Nadjib, MA NIP. 19720518 199803 1 010 NIP. 19711205 200501 2 004
Pembimbing,
Kusmana, MA., Ph.D NIP. 19650424199503 1 001
iv
PEDOMAN TRANSLITERASI
Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri P Dan K
Nomor: 158 Tahun 1987 – Nomor: 0543 B/U/1987
1. Konsonan
No Arab Latin
No Arab Latin
ṭ ط Tidak Dilambangkan 16 ا 1
ẓ ظ b 17 ب 2
ʻ ع t 18 ت 3
gh غ ṡ 19 ث 4
f ف j 20 ج 5
q ق ḥ 21 ح 6
k ك kh 22 خ 7
l ل d 23 د 8
m م ż 24 ذ 9
n ن r 25 ر 10
w و z 26 ز 11
h ه s 27 س 12
` ء sy 28 ش 13
y ي ṣ 29 ص 14
ḍ ض 15
2. Vokal pendek
kataba كتب a = ـ
su‟ila سئل i = ـ
v
yażhabu يذهب u = ـ
3. Vokal panjang
ا... = ā قال qāla qīla قيل ī = اي yaqūlu ي قول ū = او
4. Diftong
اي = ai كيف kaifa ḥaula حول au = او
vi
ABSTRAK
SRI FAJRI YANTI
Pemahaman Komunitas Pesantren Nur Assa’adah dan Ihya
As-Sunnah Di Tasikmalaya Terhadap Perintah Berjilbab
dalam QS al-Nūr (24):31
Sebelum datangnya Islam, jilbab dan cadar merupakan
budaya berpakaian perempuan Arab yang menjadi hiasan,
perlindungan dari debu dan terik matahari bagi mereka sekaligus
sebagai penanda bagi identitas sosialnya dalam masyarakat.
Perempuan yang hanya mengenakan jilbab, menunjukkan
identitasnya sebagai perempuan merdeka. Sementara mereka
yang berjilbab dan bercadar, menunjukkan identitasnya sebagai
keturunan bangsawan. Adapun mereka yang tidak mengenakan
keduanya menunjukkan seorang perempuan budak. Setelah Islam
datang, cadar dan jilbab mengalami perubahan baik dari segi
bentuk maupun fungsinya. Sebagaimana kronologis turunnya QS
al-Nūr (24):31 merupakan respon dari model berpakaian
perempuan Arab saat itu yang mengenakan jilbab menjulur
kebelakang sehingga tidak menutupi leher dan dada mereka.
Model sepeti ini, membuat sebagian dari anggota tubuh
sensualnya dapat terekspos. Karenanya, seorang perempuan harus
berpakaian dengan cara yang bermartabat. Pendapat yang hampir
disepakati oleh kebanyakan ulama tafsir klasik mengindikasikan
bahwa dalam konteks sosio-kultural mereka, membiarkan wajah
dan tangan terbuka dianggap boleh. Dalam penelitian ini, penulis
mengobservasi Pesantren Nur Assa‟adah dan Ihya As-Sunnah di
Tasikmalaya yang keduanya terdapat praktik bercadar. Penulis
tertarik untuk mencari informasi tentang pemahaman mereka
terhadap QS al-Nūr (24):31 yang dipahami oleh mayoritas ulama
sebagai perintah berjilbab. Akan tetapi dalam praktiknya kedua
pesantren tersebut melebihi dari apa yang dipahami mayoritas
ulama. Tulisan ini menggunakan metode kualitatif dengan
mengumpulkan data dari hasil observasi, wawancara, dan
dokumentasi. Adapun pengolahan data yang digunakan adalah
deskriptif analitik. Penelitian ini menemukan bahwa kedua
vii
pesantren tersebut memiliki pandangan yang cukup berbeda
dalam memahami QS al-Nūr (24):31. Ma‟had Ihya As-Sunnah
memahami ayat ini sebagai perintah menutupi seluruh tubuh
perempuan tanpa terkecuali. Artinya diharuskan memakai cadar.
Pemahaman ini bersandar kepada para ulama yang bermanhāj
salafi yang seringkali memahami teks keagamaan dengan
mengembalikan pada al-Qur‟an, hadis, dan salaf al-ṣāliḥ.
Sedangkan Pesantren Nur Assa‟adah memaknai ayat ini sebagai
perintah berjilbab. Akan tetapi menurut komunitas ini, aurat
perempuan merupakan seluruh tubuhnya. Sebagaimana yang
banyak disebutkan dalam kitab-kitab fikih bermazhab Syafi‟i.
Sehingga persoalan batas aurat sudah menjadi perdebatan yang
klasik. Dengan demikian, mereka lebih memilih kata anjuran saja
dalam memakai cadar.
Kata kunci: jilbab, cadar, tafsir, ayat, pemahaman, praktik,
Syafi’iyyah, salafi
viii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah Swt., karena
atas nikmat, rahmat, dan hidayah-Nya penelitian ini dapat
terwujud dengan judul “Pemahaman Komunitas Pesantren Nur
Assa‟adah dan Ihya As-Sunnah Di Tasikmalaya Terhadap
Perintah Berjilbab dalam QS Al-Nūr (24):31”. Skripsi ini
diajukan guna memenuhi syarat dalam penyelesaian pendidikan
pada Program Studi Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Terwujudnya skripsi ini tidak terlepas dari dukungan berbagai
pihak yang turut memberi andil, baik secara langsung maupun
tidak langsung. Maka sepatutnya penulis mengucapkan rasa
terima kasih dan penghargaan sebesar-besarnya kepada:
1. Ibu Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis,
Lc.,MA., selaku Rektor Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. Yusuf Rahman, MA., selaku Dekan Fakultas
Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Bapak Dr. Eva Nugraha, MA., selaku Kaprodi Ilmu Al-
Qur‟an dan Tafsir, dan Bapak Fahrizal Mahdi, Lc.,
MIRKH., selaku Sekprodi Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir.
4. Dosen pembimbing skripsi penulis, Bapak Kusmana,
MA., Ph.D., yang senantiasa membimbing, mengarahkan,
dan memberikan motivasi dalam melakukan penelitian
ix
ini, sehingga penulisan skripsi dapat terselesaikan dengan
baik.
5. Dosen penasehat akademik, Bapak Prof. Dr. H. Said Agil
Husin Al Munawar, MA., yang telah memberikan nasihat
dan ilmu kepada penulis selama studi di Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Seluruh dosen di Program Studi Ilmu Al-Qur‟an dan
Tafsir yang dengan tulus memberikan ilmu pengetahuan
kepada penulis.
7. Para Staff Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta dan Perpustakaan Fakultas
Ushuluddin, terima kasih untuk referensi yang ada
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
8. Ayahanda dan ibunda tercinta, Bapak Wasman dan Ibu
Dede Yeni, berkat dukungan, do‟a yang tiada hentinya
mereka panjatkan, kasih sayang dan pengertian yang
begitu luasnya kepada penulis, yang tak akan pernah bisa
tergantikan oleh apapun. Semoga ayahanda dan ibunda
senantiasa diberikan kesehatan dan umur yang panjang.
9. Adik-adik tersayang, Zidan Fauzan, Muhammad Ihsan,
Zulfanul Hakim, dan Alwi Adnan yang selalu menjadi
penyemangat dan penulis rindukan.
10. Bunaya Ihsanul Aziz terkasih, yang setiap kata tidak
sangsi lagi dengan maknanya hingga penulis belajar
banyak hal serta banyak membantu penulis dalam
penelitian ini.
x
11. Keluarga Pesantren Tahfizh Nurul Hikmah yang telah
mengajarkan banyak hal paling berkesan selama di
Ciputat, khususnya Ummi Nabila, Ka Rani, Teh Pupah,
Ela, Eva, Diana, Ka Led, „Ilma, dan masih banyak yang
lainnya.
12. Semua teman-teman Kelas Bilingual terkasih yang telah
setia menemani proses belajar selama kurang lebih 3
tahun.
13. Ka Awi terasyik, kaka sekaligus teman yang setia
menemani dan penyampai cerita yang baik.
14. Teh Dede Laila Wardah, Teh Naz, dan Krisma, sahabat
yang selalu mendukung dan menguatkan penulis dalam
perjalanan hidup di Ciputat.
15. Keluarga Yayasan Cinta Al-Qur‟an Indonesia, khususnya
kepada Ustadz Zaenal, Ustadz Tarwin, Ustadz Teguh,
Ustadzah Muna, Ustadzah Nur, Ustadzah Lestari, dan
Ustadzah Awi yang senantiasa membimbing penulis dan
bertukar informasi tentang banyak hal.
16. Ma‟had Ihya As-Sunnah Tasikmalaya yang bersedia
menjadi objek penelitian sehingga banyak membantu
penulis dalam mewujudkan penelitian ini, khusunya
kepada Ustadzah Yiyis selaku Wakil Kesiswaan Putri
SMAIT-TQ Ihya As-Sunnah yang setia menemani selama
proses observasi.
17. Para informan Ihya As-Sunnah, Ummu Fatimah, Ustadzah
Jeri, Ustadzah Rania, Difaa‟, Silvia, Suci, dan Fatikhah,
xi
yang telah bersedia untuk diwawancara sehingga
penelitian terlaksana.
18. Pesantren Nur Assa‟adah Tasikmalaya yang bersedia
menjadi objek penelitian sehingga banyak membantu
penulis dalam mewujudkan penelitian ini, khususnya
kepada Teh Nova Saepina selaku Pengurus Santri Putri
yang membantu proses perizinan penelitian.
19. Para informan Pesantren Nur Assa‟adah, Ustadz Zaky
Alma‟ani, Teh Nova, Tasya, Syifa, Putri, Fira, dan Siska
yang telah bersedia untuk diwawancara sehingga
penelitian terlaksana.
20. Seluruh teman-teman Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir angkatan
2015 yang telah menemani dan banyak membantu dalam
memberikan informasi dengan baik.
xii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN.............................................. i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING................ ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN................................. iii
PEDOMAN TRANSLITERASI...................................... iv
ABSTRAK......................................................................... vi
KATA PENGANTAR....................................................... viii
DAFTAR ISI....................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR......................................................... xvi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah....................................... 1
B. Identifikasi, Rumusan, dan Pembatasan Masalah..... 9
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian............................. 10
D. Tinjauan Pustaka................................................. 11
E. Metodologi Penelitian.......................................... 15
F. Sistematika Penulisan........................................... 17
BAB II CADAR: KONSEP DAN TAFSIR
A. Pengertian Libās, Jilbab, Niqāb, dan Khimār........ 19
B. Sejarah Pakaian dalam Islam................................ 21
C. Cadar: Wacana dan Praktik.................................. 26
D. Tafsir Ayat-Ayat Terkait Cadar............................. 29
xiii
1. Teks, Terjemah, dan Kata Kunci........................ 29
2. Konteks: Munāsabah dan Asbāb al-Nuzūl........... 31
3. Tafsir.................................................................. 33
3.1 Tafsir Klasik........................................ 34
Jāmi’ al-Bayān............................... 34
al-Jāmi’ li Aḥkām al-Qur’ān........... 38
3.2 Tafsir Modern..................................... 41
Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm.............. 41
Tafsir Al-Mishbāh.......................... 43
BAB III GAMBARAN UMUM PESANTREN NUR
ASSA’ADAH DAN IHYA AS-SUNNAH
A. Profil Pesantren Nur Assa‟adah............................. 46
1. Sejarah Berdirinya........................................... 48
2. Visi dan Misi................................................... 50
3. Sarana dan Prasarana........................................ 52
B. Profil Ma‟had Ihya As-Sunnah............................. 55
1. Sejarah Berdirinya............................................ 56
2. Visi dan Misi.................................................... 57
3. Sarana dan Prasarana........................................ 60
BAB IV PEMAHAMAN DAN PRAKTIK CADAR DI
PESANTREN NUR ASSA’ADAH DAN IHYA AS-SUNNAH
TASIKMALAYA
A. Pemahaman Ma‟had Ihya As-Sunnah Tentang Perintah
Berjilbab dalam QS al-Nūr (24):31........................ 68
1. Pemaknaan Ayat الا ما ظهر منها) (........................ 69
xiv
2. Pemaknaan Ayat ( وليضربه بخمرهها على جيىبهها) ........ 74
B. Pemahaman Pesantren Nur Assa‟adah Tentang Perintah
Berjilbab dalam QS al-Nūr (24):31........................ 76
1. Pemaknaan Ayat منهاالا ما ظهر) (........................ 77
2. Pemaknaan Ayat ( وليضربه بخمرهها على جيىبهها) ....... 80
C. Sumber Rujukan.................................................... 83
1. Ma‟had Ihya As-Sunnah.................................... 83
1.1 Ḥirāsah al-Faḍīlah.................................... 84
1.2 Al-Wajīz fī Fiqh al-Sunnah........................ 84
1.3 Fiqh al-Sunnah li al-Nisā’.......................... 85
1.4 „Abd al-„Azīz ibn Bāz................................ 86
1.5 Ṣāliḥ ibn Fauzān........................................ 87
1.6 Muṣṭafā al-„Adawī..................................... 88
2. Pesantren Nur Assa‟adah.................................... 90
2.1 Safīnah al-Najāh........................................ 91
2.2 Ḥāsyiyah al-Bājūrī..................................... 92
2.3 Tafsīr al-Jalālain......................................... 93
D. Argumentasi Pemakaian Cadar Bagi Pesantren Nur
Assa‟adah dan Ihya As-Sunnah............................ 95
1. Ma‟had Ihya As-Sunnah................................... 95
1.1 Argumentasi Internal................................ 96
1.2 Argumentasi Eksternal.............................. 98
2. Pesantren Nur Assa‟adah................................... 101
2.1 Argumentasi Internal................................. 103
2.2 Argumentasi Eksternal............................... 106
xv
E. Refleksi dan Praktik Cadar di Pesantren Nur Assa‟adah
dan Ihya As-Sunnah dalam Wacana Cadar Global
Sekarang............................................................... 109
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan............................................................. 114
B. Saran....................................................................... 117
DAFTAR PUSTAKA.......................................................... 118
LAMPIRAN........................................................................ 124
xvi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 3.1 Kamar Mandi Putri....................................... 53
Gambar 3.2 Asrama Putra................................................. 54
Gambar 3.3 Asrama Putri.................................................. 54
Gambar 3.4 Gedung Sekolah Putra................................... 61
Gambar 3.5 Gedung Sekolah Putri.................................... 62
Gambar 3.6 Dapur Putri.................................................. 63
Gambar 3.7 Toko As Sunnah Herbal................................. 64
Gambar 3.8 Majalah Dinding Siswa................................... 65
1
BAB I
PENDAHULUAN
Pada bab pendahuluan, penulis memaparkan latar belakang
masalah yang menjadi argumen penulis atas pentingnya
penelitian ini, kemudian menguraikan identifikasi, rumusan, dan
pembatasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan
pustaka, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.
A. Latar Belakang Masalah
Pemahaman manusia terhadap baik dan buruk, benar dan
salah, boleh dan tidak boleh dilakukan karena ajaran agama
menentukan sistem kepercayaan sehingga tidak heran lagi apabila
suatu waktu konsep agama turut andil dalam menentukan
perilaku manusia terhadap apa yang mereka lihat dan perbuat.1
Jilbab merupakan fenomena simbolik yang sarat dengan makna.
Diskursus mengenai jilbab, kerudung, cadar dan semacamnya,
sesungguhnya bukan persoalan baru dalam sejarah kaum
perempuan. Yahudi dan kristen, dua agama besar sebelum Islam
juga telah mewajibkan penggunaan kerudung bagi kaum
perempuan. Yang jelas, tradisi penggunaan kerudung, jilbab, dan
cadar sudah ada jauh sebelum ayat-ayat jilbab diturunkan. Hanya
1 Indra Tanra, “Persepsi Masyarakat Tentang Perempuan Bercadar,”
Jurnal Equilibrium, vol.2, no.1 (2016): 118.
2
saja, diskursus jilbab dalam Islam agak berbeda dengan agama
dan kepercayaan sebelumnya.2 Allah Swt berfirman:
وقل للمؤمنات ي غضضن من أبصارهن ويفظن ف روجهن ول ي بدين زين ت هن إل ها وليضربن بمرهن على جيوبن ..ما ظهر من
“Dan katakanlah kepada para perempuan yang
beriman, agar mereka menjaga pandangannya dan
memelihara kemaluannya, dan janganlah
menampakkan perhiasannya (auratnya) kecuali yang
(biasa) terlihat. Dan hendaklah mereka menutupkan
kain kerudung ke dadanya...” (QS al-Nūr/24:31).
Quraish Shihab menyebutkan dalam tafsirnya, kata خمر
adalah bentuk jamak dari kata خمار yaitu tutup kepala yang
panjang. Sejak dahulu wanita menggunakan tutup kepala itu,
hanya saja sebagian mereka tidak menggunakannya untuk
menutup tetapi membiarkan melilit punggung mereka.3
Kata جيوب adalah bentuk jamak dari جية yaitu lubang di leher
baju, yang digunakan untuk memasukkan kepala dalam rangka
memakai baju, yang dimaksud ini adalah leher hingga ke dada.
Dari jayb ini sebagian dada tidak jarang dapat nampak. Ayat ini
memerintahkan mereka untuk menutupi dada dengan kerudung
panjang itu. Ini berarti kerudung diletakan di kepala karena
2 Nasaruddin Umar, Fikih Wanita Untuk Semua (Jakarta: PT Serambi
Ilmu Semesta, 2010), 27. 3 M Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbāh: Pesan, Kesan dan Keserasian
Al-Qur’an (Jakarta: Lentera Hati, 2002), vol. 9, 327.
3
memang sejak semula ia berfungsi demikian, lalu dijulurkan ke
bawah sehingga menutup dada.4
Al-Biqā‟ī memperoleh kesan dari penggunaan kata ضرب yang
biasa diartikan memukul atau meletakkan sesuatu secara cepat
dan sungguh-sungguuh. Maksudnya adalah pemakaian kerudung
hendaknya diletakkan dengan sungguh-sungguh untuk tujuan
menutupinya. Bahkan huruf ba’ pada kata تخمرهن dipahami oleh
sementara ulama berfungsi sebagai الإلصاق ”al-ilṣāq” yakni
kesertaan dan ketertempelan. Ini untuk lebih menekankan lagi
agar kerudung tersebut tidak berpisah dari bagian badan yang
harus ditutup. Kandungan penggalan ayat ini berpesan agar dada
ditutup dengan kerudung (penutup kepala).5
Menurut mayoritas ulama, ayat di atas merupakan perintah
memakai jilbab bagi perempuan mukmin. Berkaitan dengan
diperintahkannya jilbab, para ahli tafsir menyatakan bahwa kaum
wanita pada zaman pra Islam, biasa berjalan di depan kaum laki-
laki dengan leher dan dada terbuka serta lengan telanjang.
Mereka biasa meletakkan jilbab mereka di belakang pundak
dengan membiarkan dadanya terbuka. Hal ini acapkali
mendatangkan keinginan dari kaum laki-laki untuk
menggodanya, karena mereka terkesima dengan keindahan tubuh
dan rambutnya. Kemudian Allah memerintahkan kepada
4 M Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbāh: Pesan, Kesan dan Keserasian
Al-Qur’an, 328. 5 M Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbāh: Pesan, Kesan dan Keserasian
Al-Qur’an, 328.
4
perempuan untuk menutupkan jilbabnya pada bagian yang biasa
mereka perlihatkan supaya terjaga dari kejahatan laki-laki.6
Nasarudin Umar mengemukakan bahwa ayat khimār di atas
turun untuk menanggapi model pakaian perempuan ketika itu
yang menggunakan penutup kepala (muqani’)7 tetapi tidak
menjangkau bagian dada, sehingga bagian dada dan leher tetap
kelihatan.8 Menurut Imam Ibn Manżūr di dalam kitabnya Lisān
al-‘Arab mengatakan النصيف الخمار للمرأة ”al-khimār li al-mar’ah
al-naṡīf” yang artinya khimār bagi perempuan adalah penutup
kepala. Adapula yang menyatakan khimār adalah kain penutup
yang digunakan wanita untuk menutup kepala hingga mencapai
dada, agar leher dan dadanya tidak nampak.9
Ada dua istilah populer digunakan al-Qur‟an untuk penutup
kepala, yaitu خمر dan جلاتية, keduanya dalam bentuk jamak dan
bersifat generik. Kata khumur (QS al-Nūr/24:31) bentuk jamak
dari khimār, dan kata jalābīb (QS al-Aḥzāb/33:59) bentuk jamak
dari kata jilbāb. Al-Qur‟an dan hadis tidak pernah menyinggung
bentuk pakaian secara khusus mengenai penutup muka, bahkan
6 Ratna Wijayanti, “Jilbab Sebagai Etika Busana Muslimah dalam
Perspektif Al-Qur‟an,” Jurnal Studi Islam, vol.7, no.2, (2017), 157. 7 Jenis pakaian perempuan pada masa Nabi sebagaimana dapat
ditelusuri di dalam sya‟ir-sya‟ir Jahiliah, antara lain burqu’, kain transparan
atau perhiasan perak yang menutupi bagian muka kecuali dua bola mata;
niqāb, kain halus yang menutupi bagian hidung dan mulut; miqna’ah,
kerudung mini yang menutupi kepala; qina’, kerudung lebih lebar; litsam atau
niṣaf, kerudung lebih panjang atau selendang; dan khimar. (Nasaruddin Umar,
Fikih Wanita Untuk Semua, 22) 8 Nasaruddin Umar, Fikih Wanita Untuk Semua, 23.
9 Ibn Manżūr, Lisān al-‘Arab, (Beirut: Dār al-Ṣadīr, tt), 257.
5
dalam hadis10
, muka dengan tegas masuk dalam pengecualian dan
dalam suasana ihram tidak boleh ditutupi.11
Jilbab merupakan bentuk peradaban yang sudah dikenal
beratus-ratus tahun sebelum datangnya Islam, dan memiliki
bentuk yang sangat beragam. Dalam masyarakat Arab pra Islam,
jilbab bukanlah hal baru bagi mereka. Biasanya anak wanita yang
sudah mulai menginjak usia dewasa mengenakan jilbab sebagai
tanda bahwa mereka minta untuk segera dinikahkan dan menjadi
ciri khas yang membedakan antara wanita merdeka dan para
budak atau hamba sahaya.12
Di kalangan masyarakat sering terjadi kesalahpahaman
seolah-olah jilbab sama dengan kerudung, padahal sebenarnya
kerudung tidak identik dengan jilbab karena kerudung hanya
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari jilbab yang harus
dipakai oleh perempuan Islam atau kain selendang yang dibiarkan
menutup kepala (tidak memakai peniti), sedangkan jilbab adalah
penutup kepala (dengan peniti). Sehingga seseorang mengenakan
10
Dalam tafsir Al-Qurṭubī disebutkan hadis tentang kebolehan
menampakkan wajah dan setengah tangan melalui riwayat Qatādah:
الخر إذا عركت أن عن عائشة رضى الله عنها عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال: )ل يل لمرأة تؤمن بالله واليوم تظهر إل وجهها ويديها إلى ها هنا( وقبض على نصف الذراع.
“Diterima dari „Āisyah bahwa Nabi bersabda: Tidak diperkenankan
bagi seorang perempuan yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya
jika sampai usia baligh untuk menampakkan (anggota badannya)
selain wajah dan kedua tangannya sampai disini (sambil menunjuk
setengah hasta).” 11
Nasaruddin Umar, Fikih Wanita Untuk Semua, 29. 12
Wahyu Fahrul Rizki, “Khimar dan Hukum Memakainya Dalam
Pemikiran M Quraish Shihab dan Buya Hamka,” Jurnal Al-Mazāhib, vol.5,
no.1, (2017), 22.
6
jilbab pasti berkerudung tetapi orang yang berkerudung belum
tentu berjilbab. Masyarakat Indonesia mengenal bahwa khimār
adalah jilbab, yakni kain penutup kepala yang diulurkan hingga
dada.13
Berangkat dari hal tersebut, dalam penelitian ini penulis
memilih kata jilbab sebagaimana yang dipahami oleh masyarakat
Indonesia.
Indonesia merupakan salah satu negara muslim terbesar di
dunia, namun penggunaan jilbab dan lebih utamanya cadar masih
menjadi suatu kontroversi.14
Dari perkembangan budaya, sampai
saat ini jilbab sudah diterima oleh masyarakat. Namun lain halnya
dengan cadar. Cadar merupakan penambah untuk penutup wajah
sehingga hanya terlihat mata saja.15
Bercadar adalah langkah
selanjutnya dalam penggunaan jilbab. Bagi sebagian umat
muslim, bercadar adalah konsekuensi logis dari proses
pembelajaran lebih intens mengenai hakikat perempuan.16
Sebagian besar pengguna cadar beranggapan bahwa seorang
wanita harus menutupi sebagian wajah mereka dan hanya
menyisakan dua bola matanya. Dasar penggunaan cadar adalah
13
Wahyu Fahrul Rizki, “Khimar dan Hukum Memakainya dalam
Pemikiran M Quraish Shihab dan Buya Hamka”, 32. 14
Amalia Sofi Iskandar, “Konstruksi Identitas Muslimah Bercadar,”
Diakses, 02 Februari, 2019,
https://repository.unej.ac.id/bitstream/handle/123456789/58973/Amalia%20So
fi%20Iskandar.pdf?sequence=1 15
Rizki Nurul Ambia, “Strategi Komunikasi Komunitas Wanita
Indonesia Bercadar (WIB) Dalam Mensosialisasikan Jilbab Bercadar,” (Skripsi
S1., Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016), 3. 16
Lintang Ratri. “Cadar, Media, dan Identitas Perempuan Muslim,”
Diakses, 25 Juli, 2019,
https://ejournal.undip.ac.id/index.php/forum/article/view/3155
7
untuk menjaga perempuan sehingga tidak menjadi fitnah dan
menarik perhatian laki-laki yang bukan mahramya.17
Cadar sudah dikenal oleh sebagian bangsa Arab sebelum
Islam yang merupakan salah satu model pakaian dan perhiasan
wanita. Cadar juga dikenal pada zaman Nabi Muhammad, nenek
moyang di Turki dan Mesir, serta wanita-wanita badui di
Perkampungan Saudi. Namun penyebutan cadar (niqāb) tidak
pernah datang dari lisan Nabi Muhammad melainkan satu kali
saja dalam konteks pelarangan memakai cadar bagi wanita yang
sedang ihram.18
Terdapat keberagaman mengenai hukum penggunaan cadar
menurut sementara ulama. Perdebatan tersebut disebabkan
perbedaan pandangan mereka dalam memahami maksud QS al-
Nūr (24):31 dalam menentukan batas aurat perempuan. Mayoritas
ulama menjelaskan bahwa QS al-Nūr (24):31 adalah perintah
mengulurkan jilbab hingga dada, dengan tanpa menutup wajah.
Fenomena yang terjadi saat ini banyak perempuan muslimah
yang memakai jilbab dengan menambahkan penutup muka
(cadar). Penggunaan cadar tersebut salah satunya
teraktualisasikan di Pesantren Ihya As-Sunnah dan Nur
Assa‟adah Tasikmalaya.
17
Indra Tanra, “Persepsi Masyarakat Tentang Perempuan Bercadar,”
118. 18
Rizki Nurul Ambia, “Strategi Komunikasi Komunitas Wanita
Indonesia Bercadar,” 38.
8
Pesantren Ihya As-Sunnah merupakan salah satu lembaga
pendidikan Islam (ahl al-sunnah wa al-jama’ah) yang bermanhāj
salaf al-ṣāliḥ. Terdiri dari santri putra dan putri. Pesantren Ihya
As-Sunnah menjadi salah satu tempat menuntut ilmu yang cukup
terkenal di Tasikmalaya sebab terdapat praktik bercadar yang
sangat apik. Di Tasikmalaya, pesantren yang memiliki peraturan
dalam praktik bercadar bagi seluruh santriwatinya terbilang
jarang. Sedangkan Pesantren Nur Assa‟adah yang berlokasi di
Sambongjaya Tasikmalaya merupakan salah satu lembaga
pendidikan Islam yang memiliki kultur Nahdlatul „Ulama, tetapi
tidak berafiliasi dengan ORMAS tersebut. Penulis tertarik dengan
praktik bercadar yang dilakukan oleh sebagian santriwati di
Pesantren Nur Assa‟adah, karena umumnya pesantren yang
berkultur NU tidak ditemukan santriwatinya yang memakai
cadar.
Penulis merasa terpanggil untuk melakukan penelitian di
Pesantren Ihya As-Sunnah yang menerapkan praktik bercadar
pada seluruh santriwatinya dan penggunaan cadar bagi sebagian
santriwati di Pesantren Nur Assa‟adah. Sehingga penulis ingin
mengetahui dan menganalisis pemahaman kedua pesantren
tersebut terhadap makna berjilbab menjadi bercadar dalam QS al-
Nūr (24):31.
9
B. Identifikasi, Rumusan, dan Pembatasan Masalah
1. Identifikasi
Dari latar belakang di atas, penulis mengidentifikasi beberapa
masalah sebagai berikut:
1.1 Awal mula diwajibkannya menutup aurat dalam Islam. Ini
dapat diteliti sebelum mengkaji pemahaman tentang jilbab
menurut komunitas tertentu;
1.2 Batasan-batasan aurat menurut para ulama;
1.3 Faktor meningkatnya muslimah bercadar di Tasikmalaya;
1.4 Hukum memakai cadar menurut para ulama;
1.5 Pemahaman komunitas Pesantren Nur Assa‟adah dan Ihya
As-Sunnah di Tasikmalaya terhadap perintah berjilbab
dalam QS al-Nūr (24):31;
1.6 Argumentasi memakai cadar bagi komunitas Pesantren
Nur Assa‟adah dan Ihya‟As-Sunnah.
Dari enam poin diatas penulis membatasi hanya pada poin 5
dan 6 yaitu pemahaman komunitas Pesantren Nur Assa‟adah dan
Ihya As-Sunnah di Tasikmalaya terhadap perintah berjilbab
dalam QS al-Nūr (24):31 dan argumentasi pemakaian cadar bagi
kedua pesantren tersebut.
2. Rumusan Masalah
Sebagaimana identifikasi penelitian di atas, maka rumusan
masalah yang akan penulis kaji adalah:
10
2.1 Bagaimana komunitas Pesantren Nur Assa‟adah dan Ihya
As-Sunnah di Tasikmalaya memahami perintah berjilbab
menjadi bercadar dalam QS al-Nūr (24):31?
3. Pembatasan Masalah
Berdasarkan judul dan latar belakang di atas, penulis
membatasi penelitian ini supaya pembahasan yang dipaparkan
lebih terarah dan jelas. Penulis membatasi tulisan ini hanya pada
pemahaman Pesantren Nur Assa‟adah dan Ihya As-Sunnah di
Tasikmalaya terhadap QS al-Nūr (24):31 dan argumentasi
pemakaian cadar di kedua pesantren tersebut. Dalam penelitian
ini, penulis memfokuskan pemahaman kedua pesantren terhadap
ayat tentang jilbab pada QS al-Nūr (24):31 saja, karena menurut
jumhur ulama ayat ini menjadi perdebatan dalam menentukan
batas aurat perempuan, sehingga berdampak terhadap pemakaian
jilbab dan cadar.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berdasarkan permasalahan di atas maka tujuan yang hendak
dicapai melalui penelitian ini adalah:
1. Mengetahui dan menganalisis pemahaman komunitas
muslimah bercadar terhadap QS al-Nūr (24):31
tentang perintah memakai jilbab sehingga menjadi
memakai cadar;
2. Menginformasikan praktik jilbab bercadar dari kasus
yang diangkat di dua pesantren;
11
3. Mengetahui argumentasi penggunaan cadar pada
perempuan bercadar di dua pesantren.
Adapun manfaat yang diharapkan penulis melalui penelitian
ini adalah mampu memberikan informasi tentang pemahaman
komunitas bercadar di kedua pesantren Tasikmalaya dalam
menafsirkan ayat perintah berjilbab dan pemenuhan tugas dalam
bentuk skripsi bagi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, Fakultas Ushuluddin, Program Studi Ilmu Al-Qur‟an dan
Tafsir, serta memberikan kontribusi keilmuan tentang wacana
pakaian dalam Islam.
D. Tinjauan Pustaka
Adapun sebagai bahan perbandingan bagi penulisan dan
untuk mendukung kevalidan skripsi ini, maka penulis paparkan
beberapa karya yang berhubungan dengan pemahaman terhadap
ayat perintah berjilbab menurut komunitas muslimah bercadar.
Perbedaan skripsi ini berjudul Pemahaman Komunitas Pesantren
Nur Assa’adah dan Ihya As-Sunnah Di Tasikmalaya Terhadap
Perintah Berjilbab dalam QS (24):31. Penelitian skripsi ini
bertujuan untuk menganalisis pemahaman komunitas bercadar
terhadap QS al-Nūr (24):31 dalam memaknai perintah berjilbab
menjadi bercadar di Pesantren Nur Assa‟adah dan Ihya As-
Sunnah, serta mencari argumentasi dan faktor yang menyebabkan
mereka untuk memutuskan memakai cadar. Sedangkan skripsi
orang lain membahas pemahaman wanita berjilbab dari
komunitas yang berbeda dan perspektif lain seperti psikologis,
12
penafsiran ayat jilbab, dan sosiologis. Berdasarkan hasil
penelusuran kepustakaan, berikut beberapa penelitian terdahulu
yang dilakukan oleh sejumlah sarjana:
1. Adam Haekal Radintya (Skripsi, 2017)19
. Skripsi ini
membahas tentang pemahaman dan pengaplikasian
mahasiswi HIQMA dan LDK di UIN Jakarta terhadap
penggunaan jilbab;
2. Muhammad Zaky Fakhruddin (Skripsi, 2017)20
. Skripsi
ini membahas keberagaman makna pada kata ḍaraba
yang ada dalam al-Qur‟an dan cara menerjemahkannya
versi M Quraish Shihab;
3. Rizki Nurul Ambia (Skripsi, 2016)21
. Penelitian ini
membahas strategi yang dilakukan oleh Komunitas
Wanita Bercadar (WIB) dalam mensosialisasikan jilbab
bercadar dengan pendekatan diri dan peduli dengan
lingkungan sekitar;
4. Ditha Ainur Rizka (Skripsi, 2010)22
. Skripsi ini
membahas persoalan jilbab sebagai tolak ukur berbusana
Islam dengan melakukan perbandingan atas pemikiran
19
Adam Haekal, “Jilbab Antara Pemahaman Ayat dan Aplikasinya
Studi Kasus Mahasiswi Anggota HIQMA dan LDK UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta,” (Skripsi S1., Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
2017). 20
Muhammad Zaky Fakhruddin, “Kolokasi Kata Ḍaraba Dalam Al-
Qur‟an: Studi Terjemahan M Qurasih Shihab,” (Skripsi S1., Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017). 21
Rizki Nurul Ambia, “Strategi Komunikasi Komunitas Wanita
Indonesia Bercadar “. 22
Ditha Ainur Rizka, “Jilbab Dalam Tata Busana Kontemporer: Studi
Komparasi Pemikiran al-Uṡaimīn dan M Qurasih Shihab,” (Skripsi S1.,
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2010).
13
dua ulama kontemporer di Arab yakni Muḥammad ibn
Ṣālih al-Uṡaimīn dan di Indonesia yaitu Muhammad
Quraish Shihab. Pendekatan yang digunakan untuk
menemukan perbedaan dan persamaan pendapat kedua
ulama tersebut adalah sosiologis historis;
5. Ade Susanti (Skripsi, 2008).23
Tulisan ini membahas
tentang penyesuaian diri yang dilakukan mahasiswi
bercadar dengan sahabatnya di UIN Jakarta serta cara
berinteraksi sosial dengan lingkungan selain
komunitasnya;
6. Anwar Musaddad (Skripsi, 2008)24
. Skripsi ini
membahas frekuensi beribadah dan berperilaku Islami
terdapat hubungan dengan pemakaian jilbab. Metode yang
digunakan adalah stratified random sampling (mengambil
50 orang siswi Pesantren Madinatunnajah sebagai
sample);
7. Ade Irawan (Skripsi, 2006)25
. Tulisan ini membahas
kontekstualisasi dari hijab, khimār dan jilbab berdasarkan
telaah dari penafsiran Muhammad Said al-Asymawī;
8. Firdaus (Skripsi, 2001)26
. Skripsi ini membahas analisa
penafsiran QS 24:31 dan QS 33:59 tentang kerudung;
23
Ade Susanti, “Gambaran Persahabatan dan Penyesuaian Diri Pada
Mahasiswi UIN Jakarta Yang Mengenakan Cadar,” (Skripsi S1., Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008). 24
Anwar Musaddad, “Hubungan Antara Jilbab Dan Perilaku Islami:
Studi Kasus Santriwati Pesantren Madinatunnajah Tangerang,” (Skripsi S1.,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008). 25
Ade Irawan, “Hijab, Khimar dan Jilbab: Usaha Kontekstual
Substantif Telaah Penafsiran Muhammad Said al-Asymawi Atas QS al-Ahzab
(33): 53:59 dan al-Nur (24):31,” (Skripsi S1., Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2006).
14
9. Nasaruddin Umar (Buku, 2010)27
. Buku ini membahas
fikih wanita yang mengulas tuntas tema-tema penting
tentang perempuan dalam hukum Islam, seperti aurat
perempuan, jilbab, khitan, wali nikah, dan lain-lain;
10. M Quraish Shihab (Buku, 2004)28
. Karya ini menguraikan
tentang persoalan hukum memakai jilbab hingga
perdebatan para ulama dalam menentukan batas aurat
perempuan berdasarkan sumber-sumber agama;
11. Fadwa El Gundi (Buku, 2005)29
. Buku ini membahas
seputar wacana dan praktik berbusana dalam Islam;
12. Lisa Aisiyah dan Rosdalina (Jurnal, 2018)30
. Tulisan ini
menjelaskan tentang hukum memakai cadar dalam Islam
dengan mengungkap kehadiran praktik tersebut pada masa
Nabi Muhammad;
13. Nasaruddin Umar (Jurnal, 2006)31
. Jurnal ini menjelaskan
sejarah awal kemunculan praktik pemakaian jilbab dan
cadar sebelum Islam.
26
Firdaus, “Kerudung Dalam Perspektif Al-Qur‟an: Studi Analisis
Surah an-Nur:31 dan al-Ahzab:59,” (Skripsi S1., Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2001). 27
Nasaruddin Umar, Fikih Wanita Untuk Semua (Jakarta: PT Serambi
Ilmu Semesta, 2010). 28
M Quraish Shihab, Jilbab: Pakaian Wanita Muslimah (Ciputat:
Lentera Hati, 2014). 29
Fadwa El Gundi, Jilbab: Antara Kesalehan, Kesopanan, dan
Perlawanan (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2005). 30
Lisa Aisiyah dan Rosdalina “Problematika Hukum Cadar dalam
Islam: Sebuah Tinjauan Normatif-Historis,” Jurnal Ilmiah Al-Syir’ah, vol. 16,
no. 1 (2018). 31
Nasaruddin Umar “Menstruasi Kosmetik dan Croissants,” Jurnal
Az-Zikra, no. 17, (2006).
15
E. Metodologi Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Metodologi penelitian yang digunakan oleh penulis adalah
pendekatan penelitian kualitatif yaitu dengan melakukan
penelitian yang menghasilkan data deskriptif dengan pengamatan
langsung dan memaparkan sesuai data yang didapat.32
2. Sumber Data
Dalam teknik pengumpulan data yang akan penulis dapatkan
adalah dari dokumen, literatur-literatur, artikel dan data-data yang
ada sebagai sumber pendukung, sedangkan sumber primernya
penulis akan peroleh dari hasil wawancara, observasi, dan
dokumentasi.
3. Tempat dan Objek Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di Pesantren Ihya As-Sunnah
Jl. Terusan BCA No. 11, Tuguraja, Cihideung, Kota Tasikmalaya
dan Pesantren Nur Assa‟adah Kp. Cibeber RT 005 RW 007 Kel.
Sambongjaya Tasikmalaya Jawa Barat. Objek penelitiannya
adalah santriwati bercadar di Pesantren Ihya As-Sunnah dan Nur
Assa‟adah.
32
Lexy J Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2004), 4.
16
4. Teknik Pengumpulan Data
Ada tiga cara dalam teknik pengumpulan data yang
penulis gunakan dalam penelitian ini:
4.1 Observasi
Dalam hal ini, penulis mencoba mengamati secara langsung
praktek penggunaan jilbab bercadar di Pesantren Ihya As-Sunnah
dan Nur Assa‟adah.
4.2 Wawancara/Interview
Wawancara adalah salah satu cara yang digunakan untuk
mendapatkan informasi dari informan dengan cara bertanya
langsung secara bertatap muka.33
Penulis akan mewawancarai
informan dengan alat elektronik seperti record, handphone, dan
catatan penulis.
4.3 Dokumentasi
Metode ini digunakan penulis untuk mendapatkan data-data
yang berkaitan dengan penelitian, seperti biografi Pesantren Ihya
As-Sunnah dan Nur Assa‟adah, foto kegiatan kedua pesantren,
rekaman, atau majalah pesantren.
5. Metode Analisis Data
Analisis data ini menggunakan metode deskriptif analitik.
Pertama, penulis menggambarkan apa adannya sesuai situasi dan
kejadian. Selain metode deskriptif, penulis juga menganalisis data
terkumpul dengan membaginya ke dalam unit-unit analisis yang
koheren.
33
Bagong Suyanto, Metodologi Penelitian Sosial Berbagai Alternatif
Pendekatan (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), 69.
17
F. Sistematika Penulisan
Untuk memberikan gambaran secara besar dari keseluruhan
tentang permasalahan yang dibahas agar terarah, serta
memudahkan pembaca dalam menelaahnya, maka penulis
membagi skripsi ini dalam lima bab, sebagai berikut:
Bab pertama berisi pendahuluan yang akan memaparkan latar
belakang masalah yang menjadi argumen penulis atas pentingnya
penelitian ini, kemudian menguraikan identifikasi, rumusan, dan
pembatasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan
pustaka, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab kedua berisi cadar, konsep dan tafsir yang memuat
pengertian libās, jilbāb, niqāb, dan khimār, sejarah pakaian dalam
Islam, wacana dan praktik cadar, dan tafsir ayat-ayat terkait
cadar.
Bab ketiga berisi profil Pesantren Ihya As-Sunnah dan Nur
Assa‟adah yang terdiri dari sejarah berdirinya, kegiatan
pesantren, visi misinya, serta sarana dan prasarananya.
Bab keempat berisi temuan dan analisis data, bab ini
mengungkap pemahaman Pesantren Ihya As-Sunnah dan Nur
Assa‟adah terhadap QS al-Nūr (24):31 tentang perintah memakai
jilbab, argumentasi pemakaian cadar, serta pemahaman dan
praktik cadar di dua pesantren tersebut dengan wacana cadar
global sekarang.
18
Bab kelima berisi penutup yang berisikan kesimpulan dan saran
yang dilakukan oleh penulis berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan. Kesimpulan ini berisi jawaban pokok terhadap
masalah yang sedang diteliti, kemudian saran yang berisi
rekomendasi-rekomendasi dari penulis.
19
BAB II
CADAR: KONSEP DAN TAFSIR
Pada bab dua ini, penulis menjelaskan cadar dalam tinjauan
konsep dan tafsir yang memuat pengertian libās, jilbāb, niqāb,
dan khimār, sejarah pakaian dalam Islam, wacana dan praktik
cadar, serta tafsir ayat-ayat terkait cadar.
A. Pengertian Libās, Jilbāb, Niqāb, dan Khimār
Secara umum, umat Islam mengenal kata لثاس “libās” sebagai
pakaian atau sesuatu yang dipakai oleh manusia dan melekat pada
tubuh. Dalam bahasa Arab, kata libās bisa berarti pakaian,
percampuran, menutupi.1 Kata libās ditemukan sebanyak sepuluh
kali dalam al-Qur‟an. Libās pada mulanya berarti penutup,
apapun yang ditutup. Fungsi pakaian sebagai penutup amat jelas.
Tetapi perlu dicatat bahwa ini tidak harus berarti menutup aurat
karena cincin yang menutup sebagian jari juga disebut libās dan
pemakainya ditunjuk dengan menggunakan akar katanya. Kata
libās digunakan oleh al-Qur‟an untuk menunjukkan pakaian lahir
maupun batin.2
Menurut Fadwa El Guindi ada tiga poin penting tentang libās;
pertama, istilah libās telah digunakan secara luas dalam al-Qur‟an
dan hadis, dan penggunaannya itu untuk pakaian nyata. Kedua,
penggunaannya bukan hanya menjabarkan bentuk-bentuk
1 Adib Bisri dan Munawir A Fatah, Kamus al-Bisri Indonesia-Arab
Arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka Progressif, 1999), 652. 2 M Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur‟an: Tafsir Maudhu‟i Atas
Pelbagai Pesoalan Umat (Bandung: Mizan, 1996), 152.
20
material pakaian dan ornamen laki-laki dan perempuan, tetapi
mencakup bentuk-bentuk yang beraneka ragam dari jilbab dan
berjilbab. Ketiga, kata ini melembagakan kawasan sakral yang
tidak terlihat dan tidak terkatakan, di mana ide-ide kultural terkait
secara relasional.3
Sedangkan jilbab masdar dari fi‟l rubā‟ī mujarrad (kata kerja
yang terdiri dari empat huruf) jalbaba yujalbibu jalbabatan wa
jilbāban artinya pakaian luas yang dipakai di luar baju, seperti
jubah atau baju yang menutupi semua badan wanita. Dalam kitab
al-Mu‟jam al-Wasīṭ, jilbab ialah pakaian yang menutupi baju
wanita yang sedang dipakai sehingga bagaikan selimut. Menurut
al-Biqā‟ī, jilbāb bisa bermakna khimār, yaitu setiap sesuatu yang
menutupi kepala.4 Kata jilbāb merupakan bentuk mufrad dari
jalābīb, yang disebutkan dalam QS al-Aḥzāb (33):59.5
Khimār berasal dari kata khamara yakhmuru khamran artinya
menutupi dan menyimpan sesuatu. Secara macam minuman keras
dikatakan khamr, karena dapat menutupi akal. Sedangkan jamak
dari Khimār adalah khumur-khumr-akhmirah bermakna sesuatu
(kain) yang dapat menutupi kepala. Demikian menurut al-Biqā‟ī
dan Abū Ḥayyām. Akan tetapi, khimār ada dua macam, yaitu
3 Fadwa El Guindi, Jilbab: Antara Kesalehan, Kesopanan, dan
Perlawanan (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2005), 126. 4 Umar Faruk, “Cadar Wanita Muslimah dalam Perspektif al-Qur‟an,”
(Tesis S2., Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2015), 5. 5 Nasaruddin Umar, Fikih Wanita Untuk Semua (Jakarta: Serambi
Ilmu Semesta, 2010), 27.
21
kain penutup kepala tanpa wajah, serta penutup kepala dan
wajah.6
Selain itu, ada beberapa istilah untuk jenis pakaian lain
diantaranya niqāb dan cadar. Kata niqāb dalam Lisān al-„Arab
memiliki beberapa arti, di antaranya (1) warna, contoh: niqāb al-
mar‟ah artinya warna kulit perempuan, karena niqāb bisa
menutupi warna kulit perempuan dengan warna yang sama: (2)
cadar (qinā‟) di atas pucuk hidung adalah penutup hidung dan
wajah perempuan.7
Cadar dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah veil
(sebagaimana varian Eropa lain, misalnya voile dalam bahasa
Perancis) yang biasa dipakai untuk merujuk pada penutup
tradisional kepala, wajah (mata, hidung, atau mulut), atau tubuh
perempuan di Timur Tengah dan Asia Selatan.8 Dalam hal ini
penggunaan kata niqāb sama dengan cadar yakni kain yang
menutupi bagian hidung dan mulut sehingga terlihat kedua mata
saja.
B. Sejarah Pakaian dalam Islam
Sandang atau pakaian merupakan salah satu kebutuhan pokok
manusia. Ia juga merupakan produk budaya sekaligus tuntunan
6 Lisa Aisiyah dan Rosdalina “Problematika Hukum Cadar dalam
Islam: Sebuah Tinjauan Normatif-Historis,” Jurnal Ilmiah Al-Syir‟ah, vol. 16,
no. 1 (2018): 78 . 7 Ibn Manżūr, Lisān al-„Arab, 257.
8 Lintang Ratri. “Cadar, Media, dan Identitas Perempuan Muslim,”
Diakses, 25 Juli, 2019,
https://ejournal.undip.ac.id/index.php/forum/article/view/3155
22
agama dan moral. Dari sini lahir apa yang dinamakan pakaian
tradisional, daerah, nasional dan pakaian resmi untuk perayaan
tertentu atau ibadah. Dalam ajaran Islam, ketika melaksanakan
haji atau umrah ada pakaian-pakaian khusus untuk laki-laki yakni
pakaian tidak berjahit, sedangkan wanita tidak diperkenankan
menutup wajahnya.9
Sebelum Islam datang, orang Arab sebagai satu bangsa yang
mempunyai kultur tersendiri mereka juga mempunyai pakaiannya
sendiri yang sesuai dengan kehidupan di padang pasir,
berkesesuaian dengan cuaca dan udara yang panas terik serta ada
kaitannya dengan apa yang telah mereka warisi dari nenek
moyang mereka. Pada saat itu, sebelum kedatangan Islam mereka
telah memakai jubah, surban, selendang, dan sebagainya.10
Oleh karena itu, sebagian dari tuntunan agama lahir dari
budaya masyarakat, karena agama sangat mempertimbangkan
kondisi masyarakat sehingga menjadikan adat istiadat sebagai
salah satu pertimbangan hukum. Islam mengatur sedemikian rupa
dalam penggunaan pakaian, seperti dalam hal ibadah atau sehari-
hari. Akan tetapi yang terpenting adalah substansi dari pakaian itu
sendiri yang tidak keluar dari syariat. Sehingga apapun bentuk
modelnya seperti pakaian daerah, busana beribadah, atau yang
disesuaikan dengan budaya berpakaian di daerahnya itu tidak
9 M Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah: Pandangan
Ulama Masa Lalu dan Cendekiawan Kontemporer (Ciputat: Lentera Hati,
2004), 38. 10
Shofian Ahmad dan Lotfiah Zainol Abidin, Aurat: Kod Pakaian
Islam (Utusan Publications, 2004), 13.
23
menjadi persoalan. al-„Ādah muḥakkimah, demikian rumus yang
dikemukakan oleh pakar-pakar hukum Islam. Menurut sebagian
pakar, tidak mustahil bahwa bentuk pakaian yang ditetapkan atau
dianjurkan oleh suatu agama lahir dari budaya yang berkembang
ketika itu. Namun moral, keindahan, dan sejarah bangsa ikut serta
menciptakan ikatan-ikatan khusus bagi anggota masyarakat yang
melahirkan bentuk pakaian dan warna favorit.11
Memakai pakaian tertutup bukan monopoli dan budaya
masyarakat Arab, bahkan menurut Murtaḍā Muṭahharī, pakaian
penutup seluruh badan wanita telah dikenal di kalangan bangsa-
bangsa kuno dan masyarakat Sassan Iran dibanding yang lain.
Pakar lain menambahkan bahwa orang-orang Arab meniru orang
Persia yang mengikuti agama Zardasyt dan menilai wanita
sebagai makhluk tidak suci, karena itu mereka diharuskan
menutup mulut dan hidung mereka dengan sesuatu agar napas
mereka tidak mengotori api suci yang merupakan sesembahan
agama Persia lama.12
Pada masa Nabi, pakaian wanita adalah busana yang umum
dikenakan mereka pada masa tersebut. Artinya, kaum wanita
menutupi tubuh mereka dengan kain dan kepalanya dengan
kerudung akan tetapi sebagian telinga, leher, dan dadanya
terlihat. Hal tersebut mengundang kekaguman pria, di samping
untuk menampik udara panas yang merupakan iklim umum
11
M Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah: Pandangan
Ulama Masa Lalu dan Cendekiawan Kontemporer, 38. 12
M Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah: Pandangan
Ulama Masa Lalu dan Cendekiawan Kontemporer, 41.
24
padang pasir. Kemudian al-Qur‟an merespon kejadian tersebut
agar kaum wanita menguraikan kain kerudungnya hingga
menutupi dada.13
Mengingat hal itu, ada peristiwa yang berkaitan dengan
kejadian tersebut. Menurut Asghar Ali Engineer, perempuan di
Madinah pada masa itu diharuskan pergi keluar selama waktu
pagi untuk menghilangkan rasa bosan diri mereka. Beberapa
penggoda malam biasa menunggu mereka dan mengusiknya.
Ketika ditangkap, para penggoda malam mengatakan, “tidak
mengetahui kalau perempuan itu adalah perempuan merdeka
(hurrah)”. Para penggoda mengira bahwa mereka adalah budak
perempuan. Perlu dicatat bahwa beberapa budak perempuan di
Arab pada masa itu biasa terjun ke prostitusi, karena paksaan dari
tuannya sehingga banyak orang yang sering kali menggoda
mereka. Tetapi bagi perempuan merdeka, menghadapi situasi
tersebut pada waktu yang sama sangat memalukan.14
Hal seperti
ini bahkan terjadi di Madinah sehingga Nabi Muhammad harus
mencari solusi agar kebiasaan ini tidak berlanjut. Salah satu
solusi yang ditawarkan al-Qur‟an dari street crime (kejahatan
jalanan) adalah perlindungan terhadap tubuh perempuan beriman
dengan menutupi wajah mereka dengan cadar, agar dapat dikenali
sebagai perempuan merdeka (hurrah) dan tidak akan diganggu.
13
Shofian Ahmad dan Lotfiah Zainol Abidin, Aurat: Kod Pakaian
Islam, 13. 14
Asghar Ali Engineer, Pembebasan Perempuan, terj-Agus Nuryatno
(Yogyakarta: LKis, 2007), 88.
25
Pada masanya solusi tersebut ternyata cukup efektif
meminimalisir kejahatan.15
Efektifitas ajaran jilbab yang digunakan untuk melindungi
tubuh perempuan dimaknai sebagai identitas sosial dalam
masyarakat. Hal tersebut disebabkan masyarakat Arab saat itu
menilai bahwa perempuan yang mengenakan jilbab disertai cadar
merupakan identitas mereka dari keturunan bangsawan.
Sementara mereka yang hanya menggunakan jilbab,
menunjukkan identitasnya sebagai perempuan merdeka. Adapun
mereka yang tidak mengenakan keduanya, menunjukkan identitas
seorang perempuan budak.16
Demikian model pakaian tertutup
bagi perempuan bukan hal yang baru. Jauh sebelum Islam, model
jilbab atau sejenisnya telah dikenal dibanyak belahan dunia
lainnya.17
Menurut teori Kefgen dan Touchie Specht, fungsi dan
perilaku pada pakaian akan mendorong dan mengingatkan
pemakainya terhadap peranan seseorang dalam busana yang
dipakainya. Sebab, setiap pakaian merupakan simbol akan
kelompok sosial tertentu. Oleh sebab itu, Jalaluddin Rakhmat
menjelaskan tiga fungsi busana muslimah; (1) diferensiasi, (2)
perilaku, (3) emosi. Dengan busana orang membedakan dirinya
dan kelompoknya dari orang lain. Busana muslimah membedakan
15
Zaitunah Subhan, Al-Qur‟an dan Perempuan: Menuju Kesetaraan
Gender dalam Penafsiran (Jakarta: Prenadamedia Group, 2015), 356. 16
Lisa Aisiyah dan Rosdalina “Problematika Hukum Cadar dalam
Islam: Sebuah Tinjauan Normatif-Historis,” 87. 17
Zaitunah Subhan, Al-Qur‟an dan Perempuan: Menuju Kesetaraan
Gender dalam Penafsiran, 356.
26
dirinya dari kelompok wanita lain. Busana muslimah mendorong
pemakainya untuk berperilaku yang sesuai dengan citra diri
muslimah, apalagi jika dipakai secara massal akan mendorong
emosi keagamaan yang konstruktif.18
C. Cadar: Wacana dan Praktik
Diskursus mengenai cadar, jilbab, kerudung dan
semacamnya, sesungguhnya bukan persoalan baru dalam sejarah
kaum perempuan.19
Kalangan antropolog berpendapat, darah
kutukan (menstrual taboo) menjadi asal usul penggunaan
kerudung atau cadar.20
Kerudung atau semacamnya bukan
berawal dan diperkenalkan oleh agama Islam dengan mengutip
ayat-ayat jilbab dalam al-Qur‟an dan hadis tentang aurat. Jauh
sebelumnya sudah ada konsep kerudung atau cadar (veil) yang
diperkenalkan dalam Kitab Taurat dan Kitab Injil.21
Penggunaan kerudung atau cadar semula dimaksudkan
sebagai pengganti “gubuk pengasingan” bagi keluarga raja atau
bangsawan. Keluarga tersebut tidak harus lagi mengasingkan diri
18
Jalaluddin Rakhmat, Islam Alternatif, (Bandung: Mizan, 1990), 73. 19
Nasaruddin Umar, Fikih Wanita Untuk Semua, 27. 20
Menstrual taboo (darah kutukan) merupakan mitos tentang
perempuan haid dengan memberikan beban berat terhadap mereka yang
seolah-olah tidak dipandang dan diperlakukan sebagai manusia, karena selain
harus diasingkan juga harus melakukan berbagai ritual yang berat.
Kepercayaan menstrual taboo menjadi sumber terciptanya bentuk-bentuk
tradisi ajaran Yahudi yang dilekatkan pada tubuh perempuan, misalnya
perempuan haid harus diberi tanda bahwa ia sedang mengalami menstruasi
dengan memakai kosmetik, alas kaki, cadar hingga diasingkan dari keluarga.
Lihat Nasaruddin Umar, “Menstruasi Kosmetik dan Croissants,” Jurnal Az-
Zikra, no.17, (2006): 65-66. 21
Nasaruddin Umar, “Menstruasi Kosmetik dan Croissants,” Jurnal
Az-Zikra no.17, (2006): 65-66.
27
di dalam gubuk pengasingan tetapi cukup menggunakan pakaian
khusus yang dapat menutupi anggota badan yang dianggap
sensitif. Di masa lalu, perempuan yang menggunakan cadar jelas
dari keluarga bangsawan atau orang-orang terhormat. Modifikasi
gubuk pengasingan (menstrual hut) menjadi cadar (menstrual
hood) juga dilakukan di New Guinea, British Columbia, Asia dan
Afrika bagian Tengah, Amerika bagian Tengah, dan lain
sebagainya. Cara ini juga pernah dipopulerkan salah seorang
keluarga Ratu di Kepulauan Charlotte.22
Jenis pakaian perempuan pada masa Nabi sebagaimana dapat
ditelusuri dalam syair jahiliah, antara lain burqu‟ )ترق( kain
transparan atau perhiasan perak yang menutupi bagian muka
kecuali dua bola mata, niqāb )نقاب( kain halus yang menutupi
bagian hidung dan mulut, miqna‟ah )هقنعة( kerudung mini yang
menutupi kepala, qinā‟ )قناع( kerudung lebih lebar, liṡām )لثام(
atau niṣāf )نصاف( kerudung lebih panjang atau selendang, dan
khimār.23
Cadar merupakan versi lanjutan dari jilbab. Pengguna cadar
menambahkan penutup wajah sehingga hanya terlihat mata
mereka saja, bahkan telapak tangan pun ditutupi. Jika berjilbab
mensyaratkan penggunaan baju panjang, maka bercadar diikuti
kebiasaan penggunaan gamis, rok panjang dan lebar, dan
biasanya seluruh aksesoris berwarna hitam atau gelap. Namun
jika jilbab bisa masuk ke dalam budaya lokal, maka
22
Nasaruddin Umar, Mendekati Tuhan dengan Kualitas Feminin
(Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2014), 35-36. 23
Nasaruddin Umar, Fikih Wanita Untuk Semua, 22.
28
konvensionalisasi cadar belum sepenuhnya diterima oleh
masyarakat Indonesia secara umum, karena pemahaman akan
cadar masih berjarak dengan budaya setempat. Cadar masih
barang asing yang menakutkan. Eksklusivitas dan ketertutupan
komunitas cadar juga menghambat proses sosialisasi. Belum lagi
masyarakat Indonesia yang serba ingin tahu dari pola masyarakat
kolektif, melihat hal-hal yang serba tertutup membuat mereka
enggan untuk berinteraksi lebih jauh. Apa yang menjadi opini
masyarakat adalah cadar belum menjadi budaya muslim
Indonesia dan masih menjadi milik komunitas tertentu yang
mengkhususkan diri mempelajari agama Islam.24
Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan oleh Lintang
Ratri, perempuan bercadar memiliki keyakinan bahwa
menggunakan cadar menambahkan atribut baru dalam diri yang
harus diimplementasikan ke dalam aktivitas sehari-hari yaitu
ketakwaan. Hal menarik adalah fakta bahwa perempuan bercadar
cenderung mengidentifikasi diri sebagai istri dan bukan dirinya
karena keengganan mereka memberikan nama asli pemberian
orang tua, mereka lebih nyaman dipanggil nama suaminya. Ini
terkait pula dengan keyakinan bahwa nama adalah aurat. Cadar
selalu dilekatkan pada citra perempuan saleha. Mereka
memfokuskan kehidupannya untuk kehidupan sesudah mati.
Dunia hanya fasilitas menuju akhirat. Perempuan yang
menggunakan cadar tidak lagi berkutat dengan kewajiban-
24
Lintang Ratri. “Cadar, Media, dan Identitas Perempuan Muslim,”
Diakses, 25 Juli, 2019,
https://ejournal.undip.ac.id/index.php/forum/article/view/3155
29
kewajiban sebagai seorang muslim, tapi lebih memperkaya
amalan dari sunnah Rasul. Bagi perempuan bercadar, al-Qur‟an
dan hadis tidak lagi untuk dipertanyakan, namun diyakini dan
dilaksanakan. Hal ini juga menjadikan mereka memiliki karakter
kuat dan ikhlas, karena mereka menyadari tidak mudah bagi
orang lain bahkan yang sesama muslim untuk menerima
keberadaan mereka tanpa pertanyaan-pertanyaan.25
D. Tafsir Ayat Terkait Cadar
Dalam penelitian ini, penulis berusaha menjelaskan
keberadaan jilbab dalam al-Qur‟an. Ada beberapa ayat al-Qur‟an
yang berkaitan dengan jilbab dan cadar. Setidaknya, ada dua ayat
secara khusus yang berkaitan dengan kedua hal tersebut yakni QS
al-Nūr (24):31 dan al-Aḥzāb (33):59.
1. Teks, Terjemah, dan Kata Kunci
Pertama, QS al-Nūr (24):31
وقل للمؤمنت ي غضضن من ابصارىن ويفظن ف روجهن ول ي بدين زي ن ت هن ال ما ول ي بدين زي ن ت هن ال
ها وليضربن بمرىن على جي وبن لب عولتهن او ظهر من هن او اب ناء ب عولتهن او اخوانن او ب ء ب عولتهن او اب ناى هن او اب ى ن اخوانن اب
هن او ما ملكت ايان هن او ا ربة من او بن اخوتن او نساى بعي غي اول ال لتفل الذين ل يظهروا على عورت النساء ول يضربن برجلهن لي علم الرجال او الط
عا ايو المؤ ي ج وت وب و ا ال الل )١٣ (من ون لعلكم ت فلحون ما يفي من زي نتهن
25
Lintang Ratri. “Cadar, Media, dan Identitas Perempuan Muslim,”
Diakses, 25 Juli, 2019,
https://ejournal.undip.ac.id/index.php/forum/article/view/3155.
30
“Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman,
agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara
kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya
(auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat. Dan hendaklah
mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan
janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali
kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami
mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami
mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-
putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara
perempuan mereka, atau para perempuan (sesama Islam)
mereka, atau hamba sahaya yang mereka miliki, atau para
pelayan laki-laki (tua) yang tidak mempunyai keinginan
(terhadap perempuan) atau anak-anak yang belum
mengerti tentang aurat perempuan. Dan janganlah mereka
menghentakkan kakinya agar diketahui perhiasan yang
mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kamu semua
kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar
kamu beruntung.” (QS al-Nūr /24:31).
Kedua, QS al-Aḥzāb (33):59
زواجك وب نتك ونساء المؤمني يدني عليهن من جلبيبهن ي ها النب قل ل ي
غفورا رحيما )٩٥(ذلك ادن ان ي عرفن فل ي ؤذين وكان الل“Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak
perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, “Hendaklah
mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.”
Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk
dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah
Maha Pengampun, Maha Penyayang.”S (QS al-
Aḥzāb/33:59).
Kata kunci: walyaḍribna bikhumurihinna, walā yubdīna
zīnatahunna
31
2. Konteks: Munāsabah dan Asbāb al-Nuzūl
Dalam ruang lingkup ilmu tafsir, terdapat beberapa istilah
yang menempati posisi penting dalam menafsirkan al-Qur‟an,
diantaranya munāsabah dan asbāb al-nuzūl. Menurut Ibn
„Arabiy, munāsabah adalah keterkaitan ayat-ayat al-Qur‟an
antara sebagiannya dengan sebagian yang lain, sehingga ia
terlihat sebagai suatu ungkapan yang rapih dan sistematis.26
Adapun pengertian asbāb al-nuzūl adalah suatu peristiwa maupun
pertanyaan, yang terjadi pada waktu atau masa tertentu, dan
menjadi penyebab turunnya al-Qur‟an.27
Mengetahui penyebab
penurunan wahyu bisa membantu mufassir dalam mengungkap
makna yang sebenarnya, hikmah dibalik penetapan sebuah
hukum, serta upaya memahami pesan al-Qur‟an secara
komprehensif dan proporsional.28
Dalam QS al-Nūr (24):30, Allah memerintahkan Nabi
Muhammad agar berpesan kepada mukmin laki-laki untuk
menahan sebagian pandangan mereka, yakni tidak membukanya
lebar-lebar melihat segala sesuatu yang kurang baik apalagi
terlarang oleh agama seperti melihat aurat perempuan (kecuali
istri). Tetapi bukan berarti menutupnya sama sekali sehingga
merepotkan mereka. Disamping itu, mereka diperintahkan untuk
menjaga kemaluannya secara utuh sehingga tidak
26
Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī, al-Itqān fī „Ulūm al-Qur‟ān (Beirut:
Mu‟assasah al-Risālah, 2008), 630. 27
Mannā‟ Khalīl al-Qaṭṭān, Mabāḥiṡ fī „Ulūm al-Qur‟ān (Beirut:
Mu‟assasah al-Risālah, 1989), 77. 28
Muchlis M Hanafi, Asbābun Nuzūl: Kronologi dan Sebab Turunnya
Wahyu al-Qur‟an (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‟an, 2015), 8.
32
menggunakannya pada sesuatu yang dilarang oleh agama Islam.
Kini perintah serupa ditujukan untuk disampaikan kepada
mukmin perempuan agar menahan pandangan, menjaga
kemaluan, mengulurkan jilbab hingga dada dan tidak melakukan
sesuatu yang dapat menarik perhatian laki-laki. Menahan
pandangan dan memelihara kemaluan adalah suci dan terhormat
karena mampu menutup salah satu pintu kejahatan yaitu
perzinaan.29
Terlihat jelas bahwa ayat 31 memiliki hubungan
(munāsabah) dengan ayat 30.
Al-Qurṭūbī menyebutkan dalam kitab tafsirnya, bahwa asbāb
al-nuzūl QS al-Nūr (24):31 adalah ketika kaum perempuan pada
waktu itu menutup kepala mereka dengan kerudung (penutup
kepala), mereka menguraikan kerudung tersebut ke belakang
punggungnya. Al-Naqqāsy juga menambahkan apa yang mereka
lakukan sama seperti yang dilakukan para biarawati. Sehingga
bagian atas dada, leher dan kedua daun telinga tidak tertutup.
Kemudian Allah memerintahkan mereka untuk menutupkan kain
kerudung itu ke dadanya agar tertutup.30
Adapun asbāb al-nuzūl QS al-Aḥzāb (33):59 bahwa
kebiasaan perempuan Arab pada saat itu mengenakan pakaian
yang terbuka sehingga membuat laki-laki bebas mengeksplorasi
pandangan mereka dan menimbulkan pikiran-pikiran kotor yang
tidak senonoh, maka Allah menyuruh Nabi Muhammad untuk
29
M Quraish Shihab Al-Lubāb: Makna, Tujuan, dan Pelajaran dari
Surah-Surah Al-Qur‟an (Jakarta: Lentera Hati), vol. 2, 598. 30
Muḥammad ibn Aḥmad al-Qurṭubī, al-Jāmi‟ li Aḥkām al-Qur‟ān
jilid 12, terj- Ahmad Khotib (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), 580.
33
memerintahkan perempuan itu memanjangkan penutup kepala
mereka jika hendak keluar dari rumah karena suatu keperluan.
Sebelum ayat ini diturunkan, perempuan mukmin yang tidak
mengenakan penutup kepala seringkali digoda pada saat pergi
membuang hajat, lantaran para pemuda mengira bahwa
perempuan tersebut adalah hamba sahaya. Setelah ayat ini
diturunkan, perempuan merdeka dapat dibedakan dari perempuan
hamba sahaya.31
Menurut Ibn Jarīr, ayat ini merupakan larangan
menyerupai cara berpakaian perempuan-perempuan budak.
Bahkan Umar pernah memukul seorang perempuan budak yang
memakai jilbab. Dari informasi sebab turunnya ayat tersebut
sangatlah jelas bahwa jilbab diperlukan hanya sebagai pembeda
antara perempuan merdeka dari perempuan budak. Ciri tersebut
diletakkan diatas kain kepala yaitu kerudung.32
3. Tafsir
Dalam penelitian ini, penulis membatasi pada QS al-Nūr
(24):31 saja karena ayat tersebut menuai perdebatan para ulama
dalam menentukan batasan aurat perempuan, sehingga
berdampak terhadap pemakaian jilbab dan cadar.33
Hal tersebut
diungkapkan dengan ayat وليضرتن تخورهن على جيىتهن dan
hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya dan ول
dan janganlah menampakkan يثدين زينتهن ال ها ظهر هنها
31
al-Qurṭubī, al-Jāmi‟ li Aḥkām al-Qur‟ān jilid 12, 582. 32
Zaitunah Subhan, Al-Qur‟an dan Perempuan: Menuju Kesetaraan
Gender dalam Penafsiran, 357. 33
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‟an, Kedudukan dan Peran
Perempuan: Tafsir Al-Qur‟an Tematik, (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf
Al-Qur‟an, 2009), 169.
34
perhiasannya, kecuali yang (biasa) terlihat. Penulis memilih
beberapa kitab tafsir dengan mengelompokkannya berdasarkan
periode, yaitu klasik dan modern. Di antara kitab tafsir pada
periode klasik adalah Jāmi‟ al-Bayān „an Ta‟wīl Ay al-Qur‟ān
karya Muḥammad ibn Jarīr al-Ṭabarī (w. 923M/310H) dan al-
Jāmi‟ li Aḥkām al-Qur‟ān karya al-Qurṭubī (w. 1272M/671H).
Sedangkan tafsir pada periode modern adalah Tafsīr al-Qur‟ān
al-Karīm karya Muḥammad ibn Ṣāliḥ al-„Uṡaimīn (w.
2001M/1421H) dan Tafsir Al-Misbāh karya M Quraish Shihab
(1944M/1363H).
3.1 Tafsir Klasik
Jāmi’ al-Bayān ‘an Ta’wīl Ay al-Qur’ān ( al-Ṭabarī, w.
310 H )
al-Ṭabarī menjelaskan bahwa maksud ayat ول يثدين زينتهن ال ها
adalah janganlah menampakkan perhiasan mereka kepada ظهر هنها
orang yang bukan mahramnya34
. Ia memahami makna zīnah
sebagai perhiasan yang dibagi menjadi dua bagian:
- Perhiasan yang tidak nampak, seperti: gelang kaki,
gelang, kalung, dan bandul.
34
Mahram adalah orang yang tidak bisa dinikahi karena memiliki
hubungan darah. Diantaranya, suami, ayah, ayah suami, putranya yang laki-
laki, putra suami, saudara, putra dari saudara, putra dari saudari, wanita,
budak, laki-laki yang menyertainya (tapi laki-laki itu tidak mempunyai
kebutuhan lagi kepada wanita), anak kecil yang belum mengetahui aurat
wanita, paman. Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‟an, Kedudukan dan Peran
Perempuan: Tafsir Al-Qur‟an Tematik, (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf
Al-Qur‟an, 2009), 165.
35
- Perhiasan yang nampak. Terdapat perbedaan pendapat
dalam memaknai ayat ini. Sebagian mengatakan bahwa
maksudnya adalah baju yang nampak. Sebagian yang lain
berpendapat bahwa yang nampak adalah wajah, telapak
tangan, gelang, cincin, dan celak mata.35
Pendapat yang mengatakan bahwa baju adalah perhiasan yang
boleh ditampakkan merujuk pada beberapa hadis sebagai berikut.
حاق، عن حدثنا ابن حميد، قال: ثنا ىارون بن الدغية، عن الحجاج، عن أبي إسأبي الأحوص، عن ابن مسعود، قال: الزينة زينتان: فالظاىرة منها الثياب، وما
خفي: الخلخالن والقرطان والسواران."Ibn Ḥamīd menceritakan kepada kami, ia berkata: Hārūn
ibn al-Mughīrah menceritakan kepada kami dari al-Ḥajjāj,
dari Abū Isḥāq, dari Abū al-Aḥwaṣ, dari Ibn Mas‟ūd, ia
berkata, “Perhiasan dibagi menjadi dua yaitu yang
nampak, misalnya baju, dan yang tersembunyi, misalnya
gelang kaki, bandul, dan gelang.”36
Riwayat yang sama disampaikan dari Ibn Mas‟ūd, Ibrāhīm,
dan al-Ḥasan dengan jalur periwayatan yang berbeda.
حدثنا ابن الدثنى، قال: ثنا محمد بن جعفر، قال: ثنا شعبة، عن أبي إسحاق، عن ها ( قال: أبي الأحوص، عن عبد الله، قال:) ول ي بدين زين ت هن إل ما ظهر من
الثياب.“Ibn al-Muṡannā menceritakan kepada kami, ia berkata:
Muḥammad ibn Ja‟far menceritakan kepada kami, ia
35
Muḥammad ibn Jarīr al-Ṭabarī, Jāmi‟ al-Bayān „an Ta‟wīl Ay al-
Qur‟ān, terj- Ahsan Askan, dkk, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), vol. 19, 101. 36
al-Ṭabarī, Jāmi‟ al-Bayān „an Ta‟wīl Ay al-Qur‟ān, 101.
36
berkata: Syu‟bah menceritakan kepada kami dari Abū
Isḥāq, dari Abū al-Aḥwaṣ, dari „Abdullāh berkata tentang
ayat ر هنهاول يثدين زينتهن إل ها ظه “dan janganlah mereka
menampakkan perhiasannya kecuali yang (biasa) nampak
daripadanya.” Ia berkata, maksudnya adalah baju.37
Adapun yang berpendapat bahwa perhiasan yang boleh
diperlihatkan adalah celak mata, cincin, gelang, dan wajah,
merujuk pada beberapa hadis yang diriwayatkan dari Ibn Abbās,
Sa‟īd ibn Jubayr, „Aṭā‟, Qatādah, al-Ḍaḥḥāk, dan al-Awzā‟ī.
حدثنا أبو كريب، قال: ثنا مروان، قال: ثنا مسلم الدلئي، عن سعيد بن جبي، ها ( قا ل: الكحل والخاتمعن ابن عباس:) ول ي بدين زين ت هن إل ما ظهر من
“Abū Kurayb telah menceritakan kepada kami, ia berkata:
Marwān menceritakan kepada kami, ia berkata: Muslim
al-Malā‟ī menceritakan kepada kami dari Sa‟īd ibn
Jubayr, dari Ibn „Abbās tentang ayat ول يثدين زينتهن إل ها
هنهاظهر “dan janganlah mereka menampakkan
perhiasannya kecuali yang (biasa) nampak daripadanya.”
Ia berkata, maksudnya adalah celak mata dan cincin.38
حدثنا ابن بشار، قال: ثنا أبو عاصم، قال: ثنا سفيان، عن عبد الله بن مسلم ها ( بن ىرمز، عن سعيد بن جبي، في قولو: ) ول ي بدين زين ت هن إل ما ظهر من
قال: الوجو والكف “Ibn Basysyār telah menceritakan kepada kami, ia
berkata: Abū „Āṣim menceritakan kepada kami, ia
berkata: Sufyān menceritakan kepada kami dari „Abdullāh
ibn Muslim ibn Harmuz, dari Sa‟īd ibn Jubayr tentang
firman Allah: ظهر هنهاول يثدين زينتهن إل ها “dan janganlah
mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang (biasa)
37
al-Ṭabarī, Jāmi‟ al-Bayān „an Ta‟wīl Ay al-Qur‟ān, 102. 38
al-Ṭabarī, Jāmi‟ al-Bayān „an Ta‟wīl Ay al-Qur‟ān, 104.
37
nampak daripadanya.” Ia berpendapat bahwa maksudnya
wajah dan telapak tangan.39
Dalam menafsirkan ayat وليضرتن تخورهن على جيىتهن, al-Ṭabarī
memaknainya sebagai perintah memanjangkan kerudung
perempuan hingga dada. Lafazh خور merupakan bentuk jamak
dari خوار yang bermakna menutupi rambut, leher dan anting-
anting mereka. al-Ṭabarī juga memaparkan dua hadis yang
diriwayatkan oleh „Āisyah mengenai ayat ini.40
حدثنا ابن وكيع، قال ثنا زيد بن حباب، عن إبراىيم بن نافع، قال: ثنا الحسن بن مسلم بن يناق، عن صفية بنت شيبة، عن عائشة، قالت: لدا نزلت ىذه الآية:) وليضربن بمرىن على جيوبن ( قال شققن الب رد مما يلي الحواشي،
فاختمرن بو.“Ibn Wakī‟ menceritakan kepada kami, ia berata: Zaid ibn
Ḥubayb menceritakan kepadaku dari Ibrāhīm ibn Nāfi‟ ia
berkata al-Ḥasan ibn Muslim ibn Yanāq dari Ṡafiyyah
binti Syaybah, dari Āisyah, ia berkata: Ketika turun ayat (
ى جيىتهن (وليضرتن تخورهن عل mereka menyobek kain mantel
hingga ke sisi sampig dan difungsikan sebagai kerudung.
(HR al-Bukhārī)
حدثن يونس، قال أخبرنا ابن وىب، أن قرة بن عبد الرحمن، أخبره، عن ابن النساء شهاب، عن عروة، عن عائشة زوج النب صلى الله عليه وسلم أنا قالت: يرحم الله
الدهاجرات الأول، لدا أنزل الله:) وليضربن بمرىن على جيوبن ( شققن أكثف .مروطهن، فاختمرن بو
“Yūnus menceritakan kepadaku, ia berkata: Ibn Wahab
memberitahukan kepada kami, ia berkata: Qurrah ibn
39
al-Ṭabarī, Jāmi‟ al-Bayān „an Ta‟wīl Ay al-Qur‟ān, 102. 40
al-Ṭabarī, Jāmi‟ al-Bayān „an Ta‟wīl Ay al-Qur‟ān, 109.
38
„Abd al-Rahmān memberitahukan kepadaku dari Ibn
Syihāb, dari „Urwah, dari „Āisyah, istri Nabi Muhammad
SAW. dia berkata: Semoga Allah merahmati wanita-
wanita kaum Muhājirīn yang pertama. Ketika ayat ini
diturunkan, ) وليضرتن تخورهن على جيىتهن ( mereka menyobek
kain mereka yang tebal lalu menggunakannya sebagai
kerudung. (HR al-Bukhārī)
Berdasarkan dalil-dalil diatas, al-Ṭabari mengambil
kesimpulan bahwa perhiasan yang boleh diperlihatkan adalah
wajah dan telapak tangan. Baginya hal ini merupakan pendapat
yang paling utama karena sesuai dengan ijma‟ bahwa ketika
shalat seorang perempuan hendaknya membuka wajah dan
telapak tangan.41
al-Jāmi’ li Aḥkām al-Qur’ān ( al-Qurṭūbī, w. 671 H )
Pada ayat ini, al-Qurṭubī memaknai kata zīnah sebagai
perhiasan. Ia membaginya menjadi dua macam, yaitu:
- Zīnah khilqiyyah (perhiasan fisik) misalnya wajah
perempuan. Wajah adalah pokok perhiasan, keindahan
sebuah penciptaan, dan ciri identitas.
- Zīnah muktasabah (perhiasan yang diupayakan) misalnya
pakaian, perhiasan, celak mata, dan pacar.42
Di antara perhiasan itu, ada yang biasa nampak dan
tersembunyi. Penjelasan ini sama halnya dengan apa yang
disebutkan al-Ṭabarī dalam tafsirnya. Perhiasan yang biasa
nampak adalah pakaian. Pendapat ini diriwayatkan oleh Ibn
41
al-Ṭabarī, Jāmi‟ al-Bayān „an Ta‟wīl Ay al-Qur‟ān, 109. 42
al-Qurṭūbī, al-Jāmi‟ li Aḥkām al-Qur‟ān, 579.
39
Mas‟ūd. Adapula ulama besar seperti Sa‟īd ibn Jubayr, „Aṭā‟, dan
al-Awzā‟ī berpendapat bahwa yang biasa nampak adalah wajah
wanita, kedua telapak tangan dan busana yang dipakainya.
Sedang sahabat Nabi Ibn „Abbās, Qatādah, dan Miswār ibn
Makhzamah berpendapat bahwa yang boleh termasuk juga celak
mata, gelang, setengah dari tangan yang dalam kebiasaan wanita
Arab dihiasi dengan pacar, anting, cincin, dan semacamnya.
Berbeda dengan Ibn al-„Arabī yang mengatakan bahwa pacar
termasuk perhiasan yang tersembunyi jika dipakai di kedua
telapak kaki.43
Menurut al-Qurṭubī, seorang perempuan tidak boleh
menampakkan perhiasannya kecuali apa yang biasa nampak,
yaitu wajah dan telapak tangan. Sehingga perempuan muslimah
berbusana menutupi seluruh tubuhnya dengan wajah dan telapak
tangan yang terbuka. Pernyataan ini berdasarkan pada hadis Nabi
yang menceritakan tentang Asmā‟ putri Abū Bakr yang menemui
Rasulullah dengan mengenakan pakaian tipis.44
عن عائشة رضي الله عنها أن أسماء بنت أبي بكر رضي الله عنهما دخلت على رسول الله ا ثياب رقاق فأعرض عنها رسول الله صلى الله عليو صلى الله عليو و سلم وعليه
عليو وسلم وقال لذا :) ي أسماء إن الدرأة إذا بلغت المحيض ل يصلح أن يرى منها إل ىذا(. وأشار إل وجهو وكفيو. )رواه ابو داود(
“Diriwayatkan dari „Āisyah, bahwa Asmā‟ binti Abū Bakr
pernah menemui Rasulullah saw dengan mengenakan
pakaian tipis. Melihat hal tersebut, Rasulullah berpaling
43
al-Qurṭūbī, al-Jāmi‟ li Aḥkām al-Qur‟ān, 577. 44
al-Qurṭūbī, al-Jāmi‟ li Aḥkām al-Qur‟ān, 578.
40
darinya dan bersabda:”Wahai Asmā‟, apabila seorang
wanita sudah haid, maka tidak pantas terlihat darinya
kecuali ini”. Lalu Nabi mengisyaratkan wajah dan telapak
tangannya.
Terlepas dari hal tersebut, al-Qurṭubī menyebutkan pendapat
Ibn Khuwaizimandād yang merupakan salah satu dari ulamanya,
dengan ungkapan:
“Jika seorang wanita berparas cantik dan dikhawatirkan
terjadinya fitnah dari wajah dan kedua telapak tangannya,
maka dia harus menutupi wajah dan kedua telapak
tangannya. Tapi jika dia sudah lanjut usia atau buruk rupa,
maka dia boleh untuk membuka wajah dan kedua telapak
tangannya.”45
Untuk menentukan batasan aurat perempuan yang harus
ditutupi, al-Qurṭubī memahami ayat وليضرتن تخورهن على جيىتهن
sebagai perintah mengulurkan jilbab sampai kantong baju yang
terletak di dada. Mayoritas ulama membaca sukun pada huruf lam
yang menunjukkan bahwa kata tersebut merupakan bentuk
perintah (amr). Lafaz يضرتن berada dalam posisi jazm karena
merupakan bentuk kata kerja perintah (fi‟l amr). Hanya saja
menurut Imam Sibawayh, lafaz ini dimabnikan pada satu posisi
karena mengikuti bentuk fi‟l māḍī.46
Kata خور adalah bentuk jamak dari خوار yaitu kain yang
digunakan untuk menutup kepala seorang perempuan. Sedangkan
kata جيىب merupakan jamak dari جية yang memiliki arti tempat
potongan baju zirah dari pakaian (saku). Menurut Muqātil
45
al-Qurṭūbī, al-Jāmi‟ li Aḥkām al-Qur‟ān, 579. 46
al-Qurṭūbī, al-Jāmi‟ li Aḥkām al-Qur‟ān, 580.
41
maksud adalah ke dadanya atau ke tempat potongan جيىتهن على
itu. Pada ayat ini terdapat dalil yang menyatakan bahwa kantong
baju itu terdapat di dada. Demikian pula dengan kantong baju
para salaf, sebagaimana yang dibuat oleh kaum perempuan di
Andalusia dan Mesir, baik bagi laki-laki, anak-anak, maupun
lainnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa maksud perintah
mengulurkan jilbab sampai kantong baju adalah untuk menutupi
bagian dada karena kantong baju pada saat itu terletak di bagian
dada.47
3.2 Tafsir Modern
Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm (Muḥammad ibn Ṣāliḥ al-
‘Uṡaimīn, w. 1421 H)
Dalam Tafsīr al-Qur‟ān al-Karīm, al-„Uṡaimīn
mengatakan bahwa awal ayat QS al-Nūr (24): 31 yakni وقل
لوؤهنت يغضضن هن اتصارهن sama dengan ayat 30 dengan redaksi ل
ىا هن اتصارهن Keduanya memiliki pesan yang sama .قل للوؤهنين يغض
yaitu perintah menundukan pandangan bagi laki-laki maupun
perempuan. al-„Uṡaimīn menyebutkan maksud kata zīnah pada
ayat ini dengan membaginya ke dalam dua pendapat.
- Pendapat pertama, menurut pandangan mufasir adalah
zīnah khilqiyyah (perhiasan bersifat fisik) seperti wajah
dan kedua telapak tangan.
- Pendapat kedua, zīnah khārijiyyah (perhiasan luar)
misalnya pakaian luar. Pakaian luar ini termasuk
47
al-Qurṭūbī, al-Jāmi‟ li Aḥkām al-Qur‟ān, 581.
42
pengecualian yang biasa nampak. Artinya sesuatu yang
boleh ditampakkan adalah pakaian luar, bukan wajah dan
telapak tangan.48
Bagi al-„Uṡaimīn, pendapat kedua adalah pendapat yang kuat.
Sebagaimana yang telah diumpamakan oleh Ibn Mas‟ūd bahwa
perhiasan yang biasa nampak adalah jilbab, pakaian, selendang,
mantel dan sejenisnya. Berbeda dengan perhiasan gelang, cincin,
dan sejenisnya yang tidak boleh dibiarkan terbuka kecuali kepada
orang-orang tertentu (mahram). Karena perhiasan tersebut masih
bisa untuk disembunyikan.49
Adapun makna ضرب pada ayat ini adalah mengulurkan
disertai dengan menempelkan. Kata خوار dimaknai sebagai
sesuatu yang menutupi kepala perempuan. Pada ayat ini Allah
memerintahkan perempuan muslim untuk mengulurkan jilbab
sampai dada. Namun, apakah maksud mengulurkan jilbab dari
kepala sampai dada itu dengan membiarkan wajah terbuka dan
dada tertutup ataukah melewati wajah sehingga ia tertutup?.
Menurut al-„Uṡaimīn, pendapat yang paling dekat adalah yang
menutupi wajah karena jilbab terurai dari atas kepala sampai
dada. Apabila menutupinya merupakan suatu kewajiban maka
wajah termasuk bagian utama.50
48
Muḥammad ibn Ṣāliḥ al-„Uṡaimīn, Tafsīr al-Qur‟ān al-Karīm
(Surah al-Nūr), (Saudi: Mu‟assasah al-Syaikh Muḥammad ibn Ṣāliḥ al-
„Uṡaimīn al-Khairiyah, 1436 H), 166. 49
al-„Uṡaimīn, Tafsīr al-Qur‟ān al-Karīm (Surah al-Nūr), 166-167. 50
al-„Uṡaimīn, Tafsīr al-Qur‟ān al-Karīm (Surah al-Nūr), 167.
43
Tafsir Al-Mishbāh (M Quraish Shihab, 1363 H)
Qurasih Shihab merupakan salah satu pakar tafsir di
Indonesia yang menguraikan beragam penafsiran tentang jilbab,
khususnya QS al-Nūr (24):31. Penulis memilih Tafsir al-Mishbāh
sebab di dalamnya memaparkan penafsiran sejumlah ulama yang
beragam tentang batasan aurat dari pendapat yang dinilai ketat
hingga longgar. Pada ayat ini, ia menjelaskan makna zīnah dan
penggalan ayat ال ها ظهر هنها dengan berbagai pandangan. Kata
memiliki makna sesuatu yang menjadikan lainnya indah dan زينة
baik (perhiasan). Sementara ulama membaginya ke dalam dua
macam. Ada yang bersifat khilqiyyah (fisik yang melekat pada
diri seseorang) dan ada juga yang bersifat muktasabah (dapat
diupayakan). Menurut Ibn „Āsyūr yang bersifat fisik melekat
adalah wajah, telapak tanan, dan setengah dari kedua lengan.
Sedangkan yang diupayakan adalah pakaian indah, perhiasan,
celak mata, dan pacar.51
Penggalan ayat ال ها ظهر هنها diperselisihkan maknanya oleh
para ulama, khususnya makna kata ال. Pemahaman kata tersebut
dipahami oleh para ulama sebagai berikut.
- Pertama, memahami kata illā dalam arti tetapi atau dalam
istilah ilmu bahasa Arab disebut istiṡnā munqaṭi‟ (yang
dikecualikan bukan bagian yang disebut sebelumnya). Hal
ini bisa dipahami: “janganlah mereka menampakkan
hiasan mereka sama sekali, tetapi apa yang nampak
51
M Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbāh, 330.
44
(secara terpaksa atau tidak sengaja, seperti ditiup angin)
maka itu dapat dimaafkan.”52
- Kedua, menyisipkan kalimat dalam penggalan ayat. Akan
tetapi kalimat dimaksud menjadikan penggalan ayat ini
mengandung pesan lebih kurang. Sehingga bisa dipahami
seperti berikut: “janganlah mereka (wanita-wanita)
menampakkan hiasan (badan mereka). Mereka berdosa
jika berbuat demikian. Tetapi jika terlihat tanpa disengaja
maka mereka tidak berdosa.”53
Jika penggalan ayat ini dipahami dengan kedua pendapat
diatas, maka hal tersebut tidak menentukan batas bagi hiasan
yang boleh ditampakkan. Sehingga berarti seluruh anggota badan
tidak boleh tampak kecuali dalam keadaan terpaksa. Pemahaman
ini dikuatkan dengan sekian banyak hadis dan salah satu firman
Allah QS al-Aḥzāb (33):53 yang dijadikan dalil oleh penganut
kedua pendapat di atas.
- Ketiga, memahami ال ها ظهر هنها dalam arti apa yang biasa
nampak atau dibutuhkan keterbukaannya. Kebutuhan
yang dimaksud adalah menimbulkan kesulitan bila bagian
badan tersebut ditutup. Mayoritas ulama memahami
penggalan ayat ini dengan makna tersebut. Cukup banyak
hadis yang mendukung pendapat ini. Di antaranya hadis
yang menceritakan tentang Asmā binti Abū Bakr.54
52
M Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbāh, 329-330. 53
M Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbāh, 329-330. 54
M Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbāh, 329-330.
45
Penggalan ayat selanjutnya adalah وليضرتن تخورهن على جيىتهن.
Quraish Shihab memaknai kata خور sebagai bentuk jamak dari
kata خوار yaitu tutup kepala yang panjang. Sejak dahulu wanita
menggunakan tutup kepala, hanya saja sebagian mereka tidak
menggunakannya untuk menutupi dada tetapi membiarkan melilit
punggung mereka. Ayat ini memerintahkan mereka menutupi
dada mereka dengan kerudung panjang itu.55
Kata بجيى adalah bentuk jamak dari جية yaitu lubang di leher
baju, yang digunakan untuk memasukkan kepala dalam rangka
memakai baju, yang dimaksud adalah leher hingga dada. Dari جية
ini sebagian dada tidak jarang dapat nampak. Al-Biqā‟ī
memperoleh kesan dari penggunaan kata ضرب yang biasa
diartikan memukul atau meletakkan sesuatu secara cepat dan
sungguh-sungguh. Ini dapat diartikan bahwa pemakaian kerudung
hendaknya diletakkan dengan sungguh-sungguh untuk tujuan
menutupinya. Bahkan huruf ba‟ pada kata تخورهن dipahami oleh
sementara ulama berfungsi sebagai الإلصاق yakni kesertaan dan
ketertempelan. Hal ini untuk lebih menekankan lagi agar
kerudung tersebut tidak berpisah dari bagian badan yang harus
ditutupi.56
55
M Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbāh, 327. 56
M Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbāh, 328.
46
BAB III
GAMBARAN UMUM PESANTREN NUR ASSA’ADAH
DAN IHYA AS-SUNNAH
Pada bab tiga, penulis memaparkan gambaran umum
Pesantren Nur Assa’adah dan Ihya As-Sunnah, meliputi profil
Pesantren Ihya As-Sunnah dan Nur Assa’adah, sejarah
berdirinya, kegiatan pesantren, visi misinya, serta sarana dan
prasarananya
A. Profil Pesantren Nur Assa’adah
Pondok Pesantren Nur Assa’adah merupakan lembaga
pendidikan yang bermanhāj ahl al-sunnah wa al-jamaah yang
memegang kultur salah satu organisasi masyarakat yaitu
Nahdlatul Ulama’ (NU), tapi tidak berafiliasi dengan organisasi
tersebut. Pesantren ini berlokasi di Kota Tasikmalaya, tepatnya di
Jalan Gubernur Sewaka RT 005 RW 007 Kelurahan
Sambongjaya Kecamatan Mangkubumi.1 Sang Mutiara dari
Priangan Timur, itulah julukan bagi Kota Tasikmalaya,
dikarenakan ia sebagai kota besar yang berkembang pesat dan
memiliki segudang potensi alam, bahkan menjadi tempat wisata.
Tidak kalah menarik, kota ini juga menjadi pusat pendidikan,
budaya, seni dan industri, khususnya industri bordir yang sudah
mendunia. Ia terletak di jalur utama Selatan Pulau Jawa di
wilayah Provinsi Jawa Barat. Kota ini dikenal sebagai Kota
1 Pondok Pesantren Nur Assa’adah, Profil Yayasan Nur Assa’adah al-
Asy’ary, (Akta Notaris, no. 442, 30 Maret 2016).
47
Santri, khususnya pada abad ke-19, karena hampir di seluruh
wilayah ini tersebar pondok pesantren yang mengajarkan agama
Islam. Hal ini membuktikan bahwa rekam jejak pesantren sangat
bagus dan tidak dipandang sebelah mata.2
Secara faktual, ada beberapa tipe pondok pesantren yang
berkembang di masyarakat;
1) Pondok Pesantren Tradisional, yaitu pesantren yang
masih mempertahankan bentuk aslinya dengan
mengajarkan kitab berbahasa Arab yang ditulis oleh
ulama pada abad ke-15 atau biasa disebut Kitab Kuning.
Pola pengajaran pondok pesantren tradisional
menerapkan sistem halaqah (kelompok) yang
dilaksanakan di mesjid. Sedangkan kurikulum
pembelajaran sepenuhnya diserahkan kepada para kyai
pesantren.
2) Pondok Pesantren Modern, yaitu pesantren yang
cenderung mengadopsi seluruh sistem belajar secara
klasikal dan meninggalkan sistem belajar yang
tradisional. Kurikulum yang dipakai adalah kurikulum
sekolah yang berlaku secara nasional.
3) Pondok Pesantren Komprehensif, yaitu pesantren yang
mengembangkan sistem tradisional dan sistem modern.
2 Asep Rohim, “Penyebaran Pesantren Abad Ke-19 Sampai Awal
Abad ke-20,” Diakses, 11 November, 2019,
www.academia.edu/10985566/Penyebaran_Pesantren_Abad_ke-
19_sampai_awal_abad_ke-20
48
Disamping menerapkan pengajian kitab salaf dengan
metode sorogan (murid belajar langsung kepada guru
secara individual) dan wetonan (beberapa murid
menyimak penyampaian guru dengan duduk
disekelilingnya), namun secara reguler sistem sekolah
pun terus dikembangkan bahkan pendidikan keterampilan
juga diaplikasikan.3
Berdasarkan temuan Zamakhsyari Dhofier di atas, penulis
mengkategorikan Pesantren Nur Assa’adah ke dalam Pondok
Pesantren Komprehensif. Mengingat ia menerapkan pengajian
kitab salaf juga mengembangkan beberapa lembaga pendidikan
formal dari jenjang Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Sekolah
Menengah Atas (SMA). Sebagian santri Nur Assa’adah ada yang
mengikuti pembelajaran pesantren saja. Sehingga ketika proses
pembelajaran sekolah dimulai, kegiatan mereka diisi dengan
mengaji kitab kuning bersama kyainya.
1. Sejarah Berdirinya Pesantren Nur Assa’adah
Pesantren memiliki hubungan tersendiri dengan daerah-
daerah di Nusantara, termasuk Tasikmalaya. Sebagai lembaga
yang khas, ia sudah melekat kuat dalam perjalanan sejarah,
khususnya era sebelum 1980-an. Pada era tersebut, hampir di
seluruh wilayah ini tersebar pondok pesantren, salah satunya
Pondok Pesantren Nur Assa’adah. Ia berdiri pada tahun 1989
3 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan
Hidup Kyai (Jakarta: LP3ES, 1994), 11.
49
dibawah pimpinan KH Saepul Asy’ari. Berawal dari berdirinya
mesjid yang menjadi tempat ibadah sekaligus tempat pertama
belajar mengajar baik kalangan remaja maupun dewasa, hingga
mereka menyandang status santri. Seiring berjalannya waktu,
berkembanglah menjadi komunitas pengajian dengan jumlah
santri yang cukup banyak.4
Dalam rangka mewadahi semangat mereka dalam mencari
ilmu, tercetuslah upaya untuk mendirikan sebuah lembaga
pendidikan non formal berbasis agama. Dimulai dengan
membangun kamar-kamar untuk tempat tinggal para santri putra
dan putri. Akan tetapi, adanya keterbatasan dalam fasilitas tidak
membuat mereka putus asa dalam belajar. Keterbatasan ini
mengajarkan mereka tentang kesederhanaan. Berdasarkan
informasi yang didapat bahwa setiap santri yang mondok di
pesantren ini tidak dikenakan biaya pembangunan maupun
pengajaran. Mereka cukup membawa segala kebutuhan makan,
baik berupa rupiah atau makanan, yang kemudian akan
digunakan untuk keperluan bersama. Hal ini menunjukkan
keterbukaan bagi siapa saja yang bertekad menuntut ilmu,
khususnya bagi masyarakat yang memiliki keterbatasan
ekonomi.5
4 Dikutip dari brosur Yayasan Pondok Pesantren Nur Assa’adah dan
wawancara bersama menantu dari Pimpinan Pesantren sekaligus menjabat
sebagai Kepala Sekolah MA, Zaky Alma’ani di Rumah Pimpinan,
Sambongjaya, Mangkubumi, Kota Tasikmalaya. 5 Zaky Alma’ani (Staf Pengajar Pesantren Nur Assa’adah),
diwawancarai oleh Sri Fajri Yanti, Tasikmalaya, 23 Agustus 2019, Jawa Barat.
50
Seiring berjalannya waktu, Pesantren Nur Assa’adah
mengalami perkembangan yang sangat pesat, hingga terbentuklah
nama Yayasan Nur Assa’adah Al-Asy’ary yang kemudian
menaungi beberapa lembaga pendidikan formal. Diantaranya
diawali dengan berdirinya pendidikan Diniyyah Takmiliyah
Awaliyah (DTA), Taman Kanak-Kanak Al-Qur’an (TKA) dan
Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA). Pada tahun 2008 pesantren
Nur Assa’adah mendirikan lembaga pendidikan formal jenjang
pertama yaitu Sekolah Menengah Pertama (SMP) Plus Gunung
Jembar. Dengan demikian sampai saat ini terus melakukan
perubahan dengan prinsip “Berinovasi Tiasa Henti”, hingga pada
tahun 2014 SMP Plus Gunung Jembar Terakreditasi “B”.6
Pada tahun 2011, Yayasan Pondok Pesantren Nur Assa’adah
mengembangkan pendidikannya dengan mendirikan Madrasah
Aliyah Terpadu (MAT) Gunung Jembar yang bertujuan untuk
mengintergrasikan dan menyalurkan minat bakat santri untuk
melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Sampai
pada tahun 2016, Yayasan Nur Assa’adah telah sah dan tercatat
secara hukum dengan nomor akta notaris No. AHU-
0018353.AHA.01.04 Tahun 2016.7
2. Visi dan Misi Pesantren Nur Assa’adah
VISI; Kokoh dalam Iman dan Taqwa, Unggul dalam berprestasi
6 Zaky Alma’ani, Wawancara.
7 Zaky Alma’ani, Wawancara.
51
MISI;
1. Kualitas Iman, membina siswa dengan
mengakulturasikan nilai keimanan yang diperoleh
dari ajaran Islam guna mewujudkan generasi yang
berkualitas;
2. Kualitas Pikir, mentransformasikan nilai keimanan
dan ilmu pengetahuan;
3. Kualitas Ilmu, menghasilkan pendidikan yang
berorientasi pada nilai keimanan, ilmu, dan amal;
4. Kualitas Karya, melahirkan karya dan kreatifitas,
berinovasi dan berdaya saing yang ketat;
5. Kualitas Hidup, menghasilkan siswa yang mampu
bersinergi antara Iman ilmu pengetahuan dan amal
untuk kemaslahatan umat.8
Berdasarkan visi misi di atas, Pesantren Nur Assa’adah
memiliki tujuan yang komprehensif. Selain berupaya menguatkan
keimanan dan meningkatkan ibadah para santri, ia juga sangat
memperhatikan ilmu pengetahuan. Hal ini dapat dibuktikan
dengan adanya proses pembelajaran baik di pesantren atau
sekolah. Dengan ilmu, setiap amalan menjadi bernilai, bahkan
menumbuhkan cara berpikir terbuka dan wawasan yang luas.
Disamping mengutamakan iman sebagai pondasi keyakinan hati
dan ilmu untuk memilah sesuatu yang bernilai positif dan negatif,
tak kalah penting untuk menyatukan keduanya sehingga
8 Zaky Alma’ani, Wawancara.
52
melahirkan perilaku yang baik. Sehingga iman, ilmu, dan amal
menjadi prinsip pokok pesantren dalam membina para santrinya.
3. Sarana dan Prasarana
Setiap satuan pendidikan perlu memiliki sarana yang meliputi
perabot, peralatan pendidikan, media pendidikan, buku dan
sumber belajar lainnya yang menunjang proses pembelajaran
yang teratur dan berkelanjutan. Begitu juga prasarana yang
meliputi lahan, ruang kelas, ruang pimpinan, ruang pendidik,
tempat beribadah dan ruang lainnya yang diperlukan untuk
menunjang proses pembelajaran yang tertib.9
Tabel 3.1 Sarana dan Prasarana
No. Fasilitas Jumlah
1. Luas Tanah 19.800 m2
2. Asrama Putra 2 bangunan
3. Asrama Putri 2 bangunan
4. Mesjid 1 buah
5. Aula 2 ruangan
6. MCK 4 buah
7. Perpustakaan 1buah
Pesantren ini memiliki luas tanah 19.800 m2 yang meliputi
beberapa gedung bangunan diantaranya 1 rumah pimpinan
pesantren yang ditempati oleh keluarga besar pimpinan, 1 mesjid
yang diberi nama Nur Assa’adah Al-Asy’ary, 2 aula untuk
9 Badan Standar Nasional Pendidikan, “Standar Sarana dan
Prasarana,” Diakses, 11 November, 2019, www.bsnp-indonesia.org/standard-
sarana-dan-prasarana/.
53
pengajian umum bagi masyarakat (Majlis Ta’lim), 1 kantor
sebagai pusat administrasi pesantren dan 4 kamar mandi.
Gambar 3.1 Kamar Mandi Putri
Untuk mewadahi dan menumbuhkan minat baca para santri,
tersedia 1 perpustakaan. Adapun tempat tinggal untuk para santri
terdapat 2 asrama putra dengan jumlah santri 87 orang dan 2
asrama putri bagi 63 santri. Sehingga jumlah keseluruhan santri
Pesantren Nur Assa’adah saat ini adalah 150 orang.10
10
Pondok Pesantren Nur Assa’adah, Profil Yayasan Nur Assa’adah
al-Asy’ary.
54
Gambar 3.2 Asrama Putra
Gambar 3.3 Asrama Putri
55
B. Profil Ma’had Ihya As-Sunnah
Ma’had Ihya As-Sunnah (MIAS) merupakan lembaga
pendidikan yang berkedudukan di Kampung Cigaraja, Kelurahan
Tuguraja, Kecamatan Cihideung, Kota Tasikmalaya, Provinsi
Jawa Barat. Secara geografis, posisi pesantren ini sangat strategis
karena berada di jantung Kota Tasikmalaya. Posisi strategis ini
membuka ruang komunikasi dan interaksi Ma’had Ihya As-
Sunnah dengan berbagai masyarakat.11
Ma’had Ihya As-Sunnah (MIAS) juga merupakan lembaga
pendidikan pondok pesantren bermanḥāj ahl al-sunnah wa al-
jama’ah dengan pemahaman salaf al-ṣāliḥ. Ia termasuk salah satu
pesantren di Tasikmalaya yang memberlakukan pemakaian cadar
bagi santri putri sejak berdirinya, yakni tahun 1998. Lembaga ini
bernaung dibawah Yayasan Ihya As-Sunnah yang dirintis oleh
tujuh orang; Abu Rizal Fadillah, Abu Qatadah, Maman Suratman,
Iin Sholihin (alm.), Engkos Kostijo (alm.), Ujang Yusuf, dan
Haryono.12
Jika dikategorikan ke dalam tipe pesantren, Ma’had
Ihya As-Sunnah memiliki tipe pesantren modern yang cenderung
mengadopsi seluruh sistem belajar klasikal dan meninggalkan
sistem belajar tradisional. Namun kurikulum yang dipakai adalah
kurikulum yang dikelola sendiri oleh Ma’had Ihya As-Sunnah.
Yayasan Ihya As-Sunnah tidak hanya menaungi pesantren
atau Ma’had saja, akan tetapi beberapa lembaga pendidikan
11
Ma’had Ihya As-Sunnah, Profil Yayasan Ihya As-Sunnah,
(Tasikmalaya, 2015). 12
Ma’had Ihya As-Sunnah, Profil Yayasan Ihya As-Sunnah.
56
formal lainnya dari jenjang PAUD sampai SMA. Sehingga dalam
sistem belajar antara pesantren dan sekolah tidak dipisahkan.
Kegiatan para santri dari mulai berangkat sekolah sampai
aktivitas belajar di asrama memakai kurikulum yang sama.
Berbeda dengan pesantren tradisional yang memisahkan antara
sistem pembelajaran sekolah dengan pesantren.13
1. Sejarah Berdirinya Ma’had Ihya As-Sunnah
Pada awal berdirinya, Ma’had Ihya As-Sunnah merupakan
lembaga pendidikan non formal yang hanya menerapkan metode
Kulliyatul Muta’allimin al-Islamiyah (KMI)14 pada tahun 1998-
2001 dan Mastery Learning (belajar tuntas atau mulazamah)15
tahun 2001-2003. Awal bulan Juli 2003, Ma’had Ihya As-Sunnah
selain mempertahankan adanya program Mastery Learning juga
membuka program pendidikan setingkat SD atau MI dan program
setingkat SMP atau MTs.16
Berikutnya awal bulan Juli 2006, pesantren ini membuka
program pendidikan setingkat SMA atau MA. Dibukanya
program-program pendidikan tersebut tidak terlepas dari
13
Ma’had Ihya As-Sunnah, Profil Yayasan Ihya As-Sunnah. 14
Kulliyatul Muta’allimin al-Islamiyyah (KMI) adalah persemaian
guru-guru Islam. Metode ini berupaya mendidik para santri untuk menjadi
guru Agama Islam dengan pembekalan memadai dan diharapkan dapat
mengajar anak-anak tingkat SD dan SLTP dalam bidang agama. 15
Mastery Learning adalah salah satu metode pembelajaran yang
didasarkan atas pandangan bahwa setiap individu memiliki potensi untuk
mencapai prestasi belajar optimal, asalkan diberi waktu belajar sesuai dengan
kebutuhannya. (Diakses melalui www.file.upi.edu pada 13 November 2019
pukul 11.02) 16
Ma’had Ihya As-Sunnah, Profil Yayasan Ihya As-Sunnah.
57
perkembangan dakwah dan penyebarannya. Pada masa kedua ini,
Ma’had Ihya As-Sunnah (MIAS) bekerja sama dengan salah satu
lembaga pendidikan di Kota Tasikmalaya. Hal tersebut untuk
menyelamatkan status peserta didik. Adapun garapan riil kegiatan
Proses Belajar Mengajar (PBM) dan muatan kurikulum dikelola
secara utuh oleh Ma’had Ihya As-Sunnah (MIAS). Setelah
melalui kajian dewan syura’ dan masukan dari beberapa pakar
pendidikan dengan tetap menjaga azas, visi misi dan tujuan asasi
MIAS, maka pada bulan Juli 2010 Yayasan Ihya As-Sunnah
menempuh proses perizinan penyelenggaraan pendidikan tingkat
PAUD, SD, SMP, dan SMA serta lahirlah secara de jure satuan
pendidikan PAUD Ihya As-Sunnah, SDIT-TQ Ihya As-Sunnah,
SMPIT-TQ Ihya As-Sunnah, dan SMAIT-TQ Ihya As-Sunnah.17
2. Visi dan Misi Ma’had Ihya As-Sunnah
Sebagaimana telah disebutkan bahwa Ma’had Ihya As-
Sunnah (MIAS) merupakan lembaga pendidikan pondok
pesantren bermanḥāj ahl al-sunnah wa al-jama’ah dengan
pemahaman salaf al-ṣāliḥ, yang memiliki visi misi dan tujuan
sebagai berikut;
VISI; Menjadi lembaga Islam bermutu dalam membentuk
generasi rabbani dan mewujudkan masyarakat yang islami.
MISI;
a) Menyelenggarakan lembaga pendidikan Islam yang
bermutu;
17
Ma’had Ihya As-Sunnah, Profil Yayasan Ihya As-Sunnah.
58
b) Menyebarluaskan dakwah ahl al-sunnah ke seluruh
lapisan masyarakat;
c) Membangun perekonomian sesuai syari’at Islam.
Tujuan
a) Lurus akidah dan manhājnya;
b) Benar ibadahnya;
c) Memiliki akhlak mulia;
d) Berjihad di jalan Allah;
e) Kuat fisiknya;
f) Bermanfaat bagi yang lain;
g) Sehat akalnya;
h) Memiliki keahlian;
i) Disiplin dan terprogram dalam segala hal;
j) Istiqamah;
k) Mahir berbahasa Indonesia, Arab dan Inggris;
l) Memiliki hafalan al-Qur’an dan hadis;
m) Memiliki budaya belajar;
n) Siap terjun ke lapangan dakwah.18
Menurut hemat penulis, lahirnya visi misi di atas tidak
terlepas dari latar belakang keilmuan dan orientasi pemahaman
para pendiri pesantren ini. Ma’had Ihya As-Sunnah memiliki
sikap tegas dalam menganut kepercayaan beragama. Prinsip yang
paling utama adalah memegang teguh dan menyebarluaskan
manḥāj ahl al-sunnah wa al-jama’ah dengan pemahaman salāf
18
Ma’had Ihya As-Sunnah, Profil Yayasan Ihya As-Sunnah.
59
al-ṣāliḥ. Gerakan dakwah ini seringkali disebut dengan salafiyyah
yang berupaya mengikuti ajaran al-Qur’an dan hadis sesuai
dengan pemahaman ulama salaf.
Sama halnya dengan akidah, dalam setiap aktivitas pun
tetap memegang prinsip syari’ah, baik dalam perekonomian dan
pembelajaran. Hal tersebut tercermin dalam visi dan misinya.
Dalam membangun perekonomian harus dijalankan sesuai
dengan nilai-nilai syari’ah yakni berbisnis tanpa riba, makanan
yang terjamin kehalalannya, bahan pakaian tidak terbuat dari
barang najis dan memilih obat-obat herbal. Sehingga pesantren
ini membuka peluang bisnis untuk mencegah dari perekonomian
yang tidak sesuai syari’ah. Adapun pembelajarannya, mendidik
para santri untuk senantiasa berinteraksi dengan al-Qur’an dan
hadis. Salah satunya adalah menjalankan program target hafalan
al-Qur’an dan hadis. Disamping itu, supaya bisa berkomunikasi
secara luas para santri harus menguasai berbagai bahasa seperti
bahasa Indonesia, Arab, dan Inggris.
Analisa penulis di atas sama halnya dengan apa yang
dijelaskan oleh Zainal Abidin dalam tulisannya yang berjudul
Buku Putih Dakwah Salafiyah bahwa arus pemikiran gerakan
salafiyyah seringkali mengedepankan naṣ syar’iyyah baik secara
metode atau sistem, dan senantiasa komitmen terhadap petunjuk
Nabi juga para sahabat baik secara keilmuan maupun
pengamalan. Mereka menolak berbagai manḥāj yang menyelisihi
60
petunjuk tersebut, baik dalam persoalan ibadah atau ketetapan
syari’at.19
3. Sarana dan Prasarana
Dalam menunjang keberhasilan pelayanan publik perlu
adanya sarana dan prasarana. Ma’had Ihya As-Sunnah memiliki
fasilitas yang sangat memadai dalam kelangsungan belajar.
Tabel 3.2 Sarana dan Prasarana
No. Fasilitas Putra Putri Jumlah
1. Luas Tanah - - ±20.000 m2
2. Asrama 36 kamar 40 kamar 76 kamar
3. Mesjid 2 buah 1 buah 3 buah
4. Aula 1 buah 1 buah 2 buah
5. Perpustakaan 1 buah 1 buah
6. Lapangan 1 buah - 1 buah
7. Tempat Belajar 1 gedung 1 gedung 2 gedung
8. Ruang Kepala
Sekolah 3 buah - 3 buah
9. Ruang Guru 1 buah 1 buah 2 buah
10. Tata Usaha 3 buah - 3 buah
11. Dapur 1 buah 1 buah 2 buah
12. Kantin 1 buah 1 buah 2 buah
13. Klinik 1 buah 1 buah
14. Mini Market 1 buah 1 buah
15. Toko Herbal 1 buah 1 buah
19
Zainal Abidin bin Syamsudin, Buku Putih Dakwah Salafiyah
(Jakarta: Pustaka Imam Abu Hanifah, 2009), 26.
61
Pesantren dengan luas tanah ±20.000 m2 memiliki beberapa
gedung bangunan diantaranya 1 gedung keadministrasian sekolah
yang meliputi ruang kepala sekolah, ruang guru ikhwan, ruang
guru akhwat dan ruang tata usaha (TU). Untuk mengelola
perapihan administrasi pesantren terdapat 2 ruang tata usaha
(TU). Adapun tempat proses belajar antara santri putra dan putri
dipisahkan, diantaranya 2 gedung putra untuk tingkat SMP dan
SMA, begitu juga santri putri. Kemudian 1 gedung untuk jenjang
PAUD dan SD. Untuk tempat tinggal santri putra terdapat 36
kamar dan 40 kamar di asrama putri. Masing-masing asrama
memiliki 1 aula yang biasa digunakan untuk acara wisuda tahfizh
dan tempat berkumpul para santri. Di samping itu, pesantren ini
juga menyediakan fasilitas rumah bagi guru yang sudah berumah
tangga dan fasilitas kamar bagi guru yang belum menikah.20
Gambar 3.4 Gedung Sekolah Putra
20
Ma’had Ihya As-Sunnah, Profil Yayasan Ihya As-Sunnah.
62
Gambar 3.5 Gedung Sekolah Putri
Dalam rangka menumbuhkan dan mewadahi minat baca para
santri tersedia 1 perpustakaan utama. Adapun fasilitas beribadah
terdapat 3 mesjid yang meliputi 1 mesjid utama yang biasa
digunakan untuk pengajian umum dengan masyarakat, 1 mesjid
putra, dan 1 mesjid putri. Selain itu, berbagai aktivitas olahraga
bisa dilakukan di lapangan yang cukup luas, baik basket atau
futsal. Ma’had ini juga memiliki 1 klinik untuk menampung dan
mengobati para santri yang sakit. Terdiri dari 3 ruangan; 1 ruang
administrasi klinik dan 2 ruang pasien. Pada masing-masing
63
asrama tersedia 1 ruang dapur dan 1 kantin. Sehingga
memudahkan para santri dalam memenuhi kebutuhan makan.21
Gambar 3.6 Dapur Putri
Berdasarkan observasi yang penulis lakukan, Yayasan Ihya
As-Sunnah memiliki pengelolaan dalam administrasi, sistem
pembelajaran dan fasilitas yang memadai. Selain mendirikan
lembaga pendidikan formal, yayasan ini juga mengembangkan
perekonomiannya melalui beberapa macam, di antaranya
membuka mini market sebagai tempat perbelanjaan dalam
memenuhi kebutuhan masyarakat khususnya para santri. Mini
21
Ma’had Ihya As-Sunnah, Profil Yayasan Ihya As-Sunnah.
64
market ini dinamai MIAS Mart. Dalam menjalankan sunnah
Nabi, mereka memilih menggunakan pengobatan herbal. Salah
satunya dengan membuka toko obat herbal yang dinamai As-
Sunnah Herbal, letaknya berdekatan dengan Ma’had.22
Gambar 3.7 Toko As Sunnah Herbal
Demikian juga, lembaga ini memiliki semangat yang tinggi
dalam menyebarluaskan ajaran agama yang mereka pahami.
Selain berdakwah secara langsung melalui majlis ta’lim, mereka
juga aktif di berbagai media sosial seperti website23
, facebook24
,
instagram25
, dan youtube26
. Bahkan bekerja sama dengan salah
satu stasiun tv lokal yaitu Media Gema Islam Televisi (MGI
22
Ma’had Ihya As-Sunnah, Profil Yayasan Ihya As-Sunnah. 23
https://miastasikmalaya.com/ 24
https://www.facebook.com/IhyaAssunahTsm/ 25
https://www.instagram.com/ihya.assunnah.tsm/ 26
https://www.youtube.com/channel/UCMqpX5gc_1_3y_yGFQ2fLbg
65
TV)27
. Demi mewujudkan dan meningkatkan semangat berkarya
dalam menulis, Ihya As-Sunnah memberikan fasilitas mading
(majalah dinding), cetak majalah dan membuka website28
khusus
yang berisi karya para santri.29
Gambar 3.8 Majalah Dinding Siswa
27
https://mgitv.com/ 28
https://www.smaihyaassunnah.sch.id/artikel-islami/ 29
Ma’had Ihya As-Sunnah, Profil Yayasan Ihya As-Sunnah.
66
Selanjutnya penulis mendapatkan info keuangan terkait
biaya masuk Ma’had Ihya As-Sunnah berdasarkan jenjangnya.
Tabel 3.3 Biaya Pendaftaran Ma’had Ihya As-Sunnah
No. Jenjang Biaya Awal
Tahun
1.
Ekstern30
SMPIT-TQ Rp. 18.000.000,-
2. SMAIT-TQ Rp. 18.000.000,-
3. TBAIT-TQ Rp. 18.000.000,-
4. TDIT-TQ dan PGBAIT-
TQ Rp. 3.200.000,-
5. TBAIT-TQ ke TD/PGBA Rp. 10.500.000,-
6. Biaya Pendaftaran Rp. 500.000,-
7.
Intern31
SMPIT-TQ Rp. 11.500.000,-
8. SMAIT-TQ Rp. 11.500.000,-
9. Biaya Pendaftaran Rp. 250.000,-
Untuk sekolah formal diantaranya; Sekolah Menengah
Pertama Islam Terpadu Tahfidzul Qur’an (SMPIT-TQ), dan
Sekolah Menengah Atas Islam Terpadu Tahfidzul Qur’an
(SMAIT-TQ). Sedangkan program non formal meliputi;
Takhosus Bahasa Arab Islam Terpadu Tahfidzul Qur’an (TBAIT-
TQ), Tadribud Du’at Islam Terpadu Tahfidzul Qur’an (TDIT-
TQ), dan Pendidikan Guru Bahasa Arab Islam Terpadu Tahfidzul
Qur’an (PGBAIT-TQ). TBA merupakan program khusus Bahasa
Arab selama 1 tahun dan diperuntukkan bagi calon santri yang
30
Calon santri yang bukan berasal dari SD/SMP/SMA Ihya As-
Sunnah. 31
Santri yang berasal dari SD/SMP/SMA Ihya As-Sunnah.
67
tidak lulus ketika tes masuk ke jenjang SMA. Adapun TD dan
PGBA adalah program khusus yang mempelajari keagamaan saja.
68
BAB IV
PEMAHAMAN DAN PRAKTIK CADAR DI PESANTREN
NUR ASSA’ADAH DAN IHYA AS-SUNNAH
TASIKMALAYA
Pada bab ini penulis akan menjelaskan bagaimana santriwati
dan guru Pesantren Nur Assa‟adah dan Ihya As-Sunnah
memahami ayat perintah berjilbab dan praktik bercadar di kedua
pesantren tersebut. Penulis melakukan observasi langsung di
Pesantren Nur Assa‟adah dan Ihya As-Sunnah dan melakukan
wawancara kepada beberapa santriwati. Penulis mengambil 8
sampel pada masing-masing pesantren. Di antaranya 6 orang
santriwati dan 2 orang pengajar di Pesantren Nur Assa‟adah serta
5 orang santriwati dan 3 pengajar di Ma‟had Ihya As-Sunnah.
A. Pemahaman Ma’had Ihya As-Sunnah Tentang Perintah
Berjilbab dalam QS al-Nūr (24):31
Ma‟had Ihya As-Sunnah ini menjadi salah satu objek
penelitian penulis karena menerapkan aturan pemakaian cadar
bagi seluruh santri putri. Penulis melakukan penelitian dengan
mengobservasi dan mewawancarai secara langsung kepada 8
orang di antaranya 3 dari pengajar dan 5 dari santriwati kelas XII.
Beberapa dari pengajar di antaranya Ummu Fatimah, Ustadzah
Jeri, dan Ustadzah Rania. Sedangkan dari santriwati yaitu Difaa‟,
Putri, Suci, Fatikhah dan Silvia. Berdasakan hasil wawancara,
setidaknya penulis mendapatkan 3 poin tentang pemahaman
perintah berjilbab dari beberapa informan tersebut.
69
1. Pemaknaan Ayat منهاالا ما ظهر) (
Berdasarkan hasil wawancara, penulis menemukan bahwa
apa yang dipahami oleh sebagian komunitas Ihya As-Sunnah
tidak terlepas dari pendapat sementara ulama. Ummu Fatimah
yang merupakan salah satu informan yang mengajar di Ihya As-
Sunnah, mengaku bahwa terdapat perselisihan para ulama dalam
menafsirkan ayat ini. Ia mengemukakan bahwa sesuatu yang
boleh terlihat dari perempuan muslimah adalah pakaian luar saja
karena hal tersebut tidak dimungkinkan untuk disembunyikan.
Berbeda dengan wajah, baginya termasuk perhiasan (zīnah) yang
harus ditutup.
“Surah al-Nūr ayat 31 ini diawali dengan perintah
ghodd al-baṣar atau menjaga pandangan. Ini kan kalo
ayat 30 menjaga pandangan untuk laki-laki dan ayat 31
menjaga pandangan untuk perempuan. Maksudnya di
sini dengan berhijab itu kita bisa membantu menjaga
pandangan laki-laki gitu ya. Kemudian pada ayat walā
yubdīna zīnatahunna illā mā ẓahara minhā berarti
janganlah menampakkan perhiasan, illā mā ẓahara
kecuali yang nampak. Di situ banyak sih yang
menafsirkan yang nampak itu ada yang menafsirkan
hanya pakaian luar saja, ada yang seukuran telapak
tangan. Tapi di sini, kalo saya pribadi lebih memahami
bahwa illā mā ẓahara minhā itu kecuali yang nampak
itu ya baju yang ada di luar saja. Adapun yang
namanya wajah tetep zīnah perhiasan yang harus
ditutup. Tapi di sini kalo untuk meyakini apakah di situ
wajib, kalo saya sendiri tidak mengambil yang wajib,
lebih mengambil ke sunnah yang dianjurkan atau
mu‟akkadah. Kalo sampai wajib itu belum mengambil
70
yang itu. Karena kan memang di situ hukum memakai
jilbab sendiri terutama cadar kan berbeda ya.”1
Sebagaimana yang telah disebutkan pada bab sebelumnya,
menurut penulis, pemahaman Ummu Fatimah merujuk pada hadis
riwayat Ibn Mas‟ūd yang diuraikan al-Ṭabarī dalam kitab
tafsirnya dengan mengatakan bahwa pakaian luar adalah
perhiasan yang boleh ditampakkan. Selain itu, seperti wajah,
gelang, dan bandul menjadi perhiasan yang tidak boleh
ditampakkan.2
Hal yang sama diungkapkan oleh Ustadzah Jeri bahwa
seluruh tubuh perempuan muslimah wajib tertutup, termasuk
wajah. Bahkan lebih tegas lagi ia menyebutkan bahwa perhiasan
perempuan seperti gelang, cincin, dan kalung tidak boleh
ditampakkan. Baginya, meskipun wajah tidak secara jelas
disebutkan dalam ayat tersebut, akan tetapi ia termasuk zīnah
(perhiasan) paling besar karena menjadi daya tarik bagi laki-laki.
“Kalo makna zīnah kan ayatnya itu walā yubdīna
zīnatahunna tidak memperlihatkan perhiasan mereka.
Maksudnya memperlihatkan di sini itu misalnya dia
1 Ummu Fatimah (Staf Pengajar Tahfidz Putri Ma‟had Ihya As-
Sunnah), diwawancarai oleh Sri Fajri Yanti, Tasikmalaya, 22 Agustus 2019,
Jawa Barat. 2 Hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Mas‟ūd:
حدثنا ابن حميد، قال: ثنا هارون بن الدغيرة، عن الحجاج، عن أبي إسحاق، عن أبي الأحوص، عن ابن مسعود، قال: الزينة زينتان: فالظاهرة منها الثياب، وما خفي: الخلخالان والقرطان والسواران.
"Ibn Ḥamīd menceritakan kepada kami, ia berkata: Hārūn ibn al-
Mughīrah menceritakan kepada kami dari al-Ḥajjāj, dari Abū Isḥāq,
dari Abū al-Aḥwaṣ, dari Ibn Mas‟ūd, ia berkata, “Perhiasan dibagi
menjadi dua yaitu yang nampak, misalnya baju, dan yang
tersembunyi, misalnya gelang kaki, bandul, dan gelang.”
71
punya gelang atau punya kalung, jangan sengaja
menggunakan sesuatu yang memang membuat
perhiasan mereka terlihat. Kalo perhiasan saja tidak
bisa ditampakkan apalagi muka. Memang tidak ada
kata wajah. Nah namanya muka ini kan sebaik-baik
perhiasan. Justru perhiasan paling besar itu ya muka
kita gitu. Orang pertama kali liat kita pasti tertariknya
bukan karena kaki dan jarinya cantik, tapi karena
mukanya cantik. Jadi maksud zīnah yang harus ditutup
di sini adalah semua perhiasan termasuk muka. Illā mā
zahara minhā kecuali yang nampak. Maksudnya yang
nampak di sini itu tampak karena tidak sengaja.
Misalnya lagi lari tersingkap kakinya. Jadi jangan
memperlihatkan perhiasan kecuali tidak sengaja.”3
Bagi penulis, pemahaman Ustadzah Jeri merujuk pada
pendapat al-„Uṡaimīn yang memaknai wajah sebagai sebaik-baik
perhiasan yang harus ditutupi karena dapat menarik perhatian
lawan jenis. Ustadzah Jeri juga mengatakan tentang kewajiban
menutupi wajah, sama halnya dengan pendapat al-„Uṡaimīn. Ini
berarti pemakaian cadar menurutnya merupakan suatu kewajiban.
Berbeda dengan Ustadzah Rania, ia menjelaskan bahwa
pembahasan cadar tidak tertera dalam al-Qur‟an. Al-Qur‟an
hanya menyebutkan tentang perintah berjilbab. Praktik
penggunaan cadar dapat ditemukan di beberapa hadis Nabi dan
cerita sahabat. Oleh karena itu, hukum pemakaian cadar adalah
sunnah.
“Kalo cadar itu ga ada ya kalo di ayat al-Qur‟an.
Kebanyakan itu di hadis. Kalo di al-Qur‟an hanya
3 Ustadzah Jeri (Staf Pengajar Bahasa Arab Putri Ma‟had Ihya As-
Sunnah), diwawancarai oleh Sri Fajri Yanti, Tasikmalaya, 23 Agustus 2019,
Jawa Barat.
72
menjelaskan tentang jilbab gitu. Nah dari situ kita bisa
mengambil kesimpulan kalo cadar itu tidak wajib
karena Allah tidak memerintahkan langsung di dalam
al-Qur‟an. Ini berarti sunnah dari kebiasaan dulu
Rasulullah kepada istri-istrinya memerintahkan untuk
bercadar. Kan karena kita mengikuti sunnah Rasul
maka kita mengikuti cara hidup Rasul.”4
Ia juga memahami bahwa perhiasan perempuan adalah
sesuatu yang harus ditutupi olehnya. Misalnya paha, betis, atau
gelang kaki. Adapun perhiasan yang nampak adalah wajah dan
telapak tangan.
“Walā yubdīna zīnatahunna dan janganlah
menampakkan perhiasan kecuali, artinya boleh
menampakkan perhiasan kecuali kepada mahramnya.
Perhiasan itu seperti gelang kaki ya. Intinya sesuatu
yang menurut wanita itu yang harus disembuyiin kalo
kita keluar. Contoh paha atau betis seperti itu. Kalo
dulu zaman Rasul perhiasan itu banyak dipake gelang
kaki contohnya. Kalo apa yang nampak, ada ulama
yang berpendapat telapak tangan dan wajah.”5
Menurut penulis, pemahaman Ustadzah Rania berbeda
dengan penafsiran al-„Uṡaimīn. Pemahamannya mendekati
pendapat ulama tafsir seperti al-Ṭabarī dan al-Qurṭubī yang
mengecualikan wajah dan telapak tangan. Akan tetapi, Ustadzah
Rania mengemukakan bahwa memakai cadar hukumnya sunnah
karena menjadi tradisi dan kebiasaan para istri Nabi saat itu.
Penulis melihat hal ini sebagai ketidakkonsistenan informan
dalam memaknai penggunaan cadar. Hal ini terlihat ia memilih
4 Ustadzah Rania (Bidang Kesantrian Putri Ma‟had Ihya As-Sunnah),
diwawancarai oleh Sri Fajri Yanti, Tasikmalaya, 23 Agustus 2019, Jawa Barat. 5 Ustadzah Rania, Wawancara.
73
memakai cadar meskipun di satu sisi memiliki pemahaman yang
berbeda dengan al-„Uṡaimīn.
Selain ayat ini, keberadaan cadar mereka kuatkan dengan
beberapa dalil, diantaranya QS al-Aḥzāb (33):32, 53, 59 dan
hadis tentang ḥadīṡ al-ifk (berita kebohongan) yang menyangkut
fitnah „Aisyah.
Sebagaimana yang telah disebutkan pada bab sebelumnya
bahwa perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam menetapkan
batas aurat perempuan bila berhadapan dengan laki-laki bukan
mahramnya adalah disebabkan perbedaan pandangan mereka
dalam memahami maksud firman Allah dalam QS al-Nūr (24):31
pada redaksi الا ما ظهر منها (kecuali yang biasa terlihat). Sebagian
ulama tafsir klasik memahami maksud ayat tersebut dengan
wajah dan telapak tangan yang biasa terlihat. Sehingga perintah
mengulurkan jilbab sampai dada tersebut adalah dengan
membiarkan wajah dan telapak tangan terbuka. Pendapat ini
disebutkan oleh al-Ṭabarī dan al-Qurṭubī dalam tafsirnya.
Sebagian yang lain memahami ayat tersebut dengan pakaian luar.
Artinya sesuatu yang boleh terlihat hanyalah pakaian luar.
Dengan demikian, wajah, telapak tangan dan perhiasan (cincin,
gelang, kalung) menjadi sesuatu yang harus ditutupi oleh
perempuan muslimah. Pendapat ini dipegang oleh Muḥammad
ibn Ṣāliḥ al-„Uṡaimīn dalam tafsirnya.
Berdasarkan hasil wawancara di atas, penulis menemukan
bahwa apa yang dipahami oleh para informan Ihya As-Sunnah
74
merupakan bagian dari pendapat sementara ulama yang
mengemukakan bahwa wajah perempuan harus ditutup dengan
memakai cadar. Penulis menilai bahwa pemahaman tersebut
merujuk pada pendapat al-„Uṡaimīn, termasuk Ibn Mas‟ūd yang
menjadi sumber pemahaman tersebut.
2. Pemaknaan Ayat ( وليضربن بخمرهنا على جيىبهنا)
Sebagaimana yang dipahami Ustadzah Jeri, bahwa makna
adalah jilbab yang menutupi kepala. Sedangkan wajah خمار
termasuk bagian dari kepala, sehingga ia harus ditutup. Baginya,
hal tersebut merupakan apa yang dipahami oleh orang Arab pada
saat itu. Kemudian ia memahami kata وليضربن sebagai perintah
kepada perempuan mukmin untuk menguraikan khimārnya.
“Wal yaḍribna bikhumurihinna „ala juyūbihinna
menjulurkan kerudungnya sampai ke dada. Di sini ada
lam „amr, „amr itu kan kata kerja perintah di dalam
bahasa Arab. Jadi, hendaklah mereka. Kemudian
khimār itu kalo kita terjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia kan katanya jilbab. Namanya jilbab kan kita
ga tutup muka. Tapi kalo khimār menurut pemahaman
orang Arab, yang mana al-Qur‟an diturunkan di situ,
nah itu tuh menutupi seluruh kepala. Nah sedangkan
wajah kan bagian dari kepala. Dari situ sudah. Terus
waktu turun ayat hijab itu, „Aisyah sama sahabat yang
lain, mereka langsung menarik kaya sarung gitu
langsung ditutup semua. Nah kenapa mereka tidak
menutup ininya saja kalau memang hijab itu tanpa
muka. Tapi mereka langsung menutup seluruh kepala
beserta muka. Berarti mereka pahamnya hijab itu yang
menutupi seluruh kepala, termasuk muka. Namanya
orang Arab kan al-Qur‟an turun dengan bahasa mereka,
otomatis ketika ada perintah dengan bahasa mereka,
mereka lebih pahamlah gitu. Dan itu diceritakan di
75
hadis. Kata khimār juga kalo dibaca di tafsir-tafsir pasti
khimār itu tuh ghiṭō al-ra‟s penutup kepala. Muka kan
bagian dari kepala.”6
Berdasarkan uraian di atas, penulis menemukan bahwa
pemahaman para informan Ihya As-Sunnah terhadap QS al-Nūr
(24):31 adalah perintah kepada seluruh perempuan muslim untuk
menutupi seluruh tubuhnya termasuk wajah dan telapak tangan
ketika bertemu atau sekedar berpapasan dengan laki-laki bukan
mahram. Pernyataan ini direfleksikan dalam cara berbusana
mereka dengan memakai cadar. Berdasarkan tinjauan penulis,
pemahaman ini ditemukan dalam salah satu kitab tafsir modern
karya Muḥammad ibn Ṣāliḥ al-„Uṡaimīn yang berjudul Tafsīr al-
Qur‟ān al-Karim. Dalam tafsir ini secara jelas disebutkan bahwa
perempuan muslim wajib memakai khimār. Istilah khimār yang
dimaksud adalah sesuatu yang menutupi kepala sampai dada
sehingga kainnya melewati wajah. Hal ini disebabkan wajah
termasuk pusat keindahan yang dapat menimbulkan fitnah.
Adapun sesuatu yang boleh terlihat hanyalah pakaian luar karena
tidak mungkin untuk disembunyikan.
Akan tetapi penulis menemukan, pendapat seperti ini
tidak disebutkan secara jelas dalam kitab-kitab tafsir klasik.
Bahkan kitab-kitab tersebut menyebutkan pendapat jumhur ulama
bahwa maksud الا ما ظهر منها (kecuali apa yang nampak) adalah
wajah dan telapak tangan. Menurut hemat penulis, pemahaman
cadar Ihya As-Sunnah mengambil riwayat yang sesuai dengan
apa yang mereka pahami dan tidak membandingkan dengan
6 Ustadzah Jeri, Wawancara.
76
pendapat lain. Mereka banyak merujuk fatwa ulama bermanhāj
salafi, misalnya „Abd al-„Azīz ibn Bāz, Ṣāliḥ ibn Fawzān, dan
Muṣṭafā al-„Adawī yang mana mereka memiliki hubungan guru
dan murid. Begitu juga dengan al-„Uṣaimīn. Penulis berasumsi
bahwa hal tersebut disebabkan cara memahami nash dan
pengambilan hukum (istidlāl) yang berbeda, dimana mereka
melihat teks-teks agama berdasarkan apa yang terjadi di masa
lalu dan kemudian diaplikasikan secara tekstual pada masa kini.
Dengan demikian, pemahaman tentang keharusan bercadar
dianggap pendapat minoritas dalam kitab-kitab tafsir.
B. Pemahaman Pesantren Nur Assa’adah Tentang Perintah
Berjilbab dalam QS al-Nūr (24):31
Sebagaimana dijelaskan pada bab sebelumnya, bahwa
Pesantren Nur Assa‟adah merupakan lembaga pendidikan non
formal bermanhāj ahl al-sunnah wa al-jamaah yang memegang
kultur Nahdlatul Ulama‟ (NU), tapi tidak berafiliasi dengan
organisasi tersebut. Berbeda dengan Ma‟had Ihya As-Sunnah,
Pesantren Nur Assa‟adah tidak menerapkan aturan praktik
bercadar bagi santriwatinya. Akan tetapi, ada sejumlah santriwati
yang mengenakan cadar yaitu 8 orang dari 63 santriwati. Penulis
mengobservasi dan mewawancarai 6 orang santri bercadar, 2
santri tidak bercadar, dan 2 orang pengajar. Beberapa santri
bercadar diantaranya Syifa, Tasya, Fira, dan Siska. Kemudian
santri tidak bercadar yakni Putri dan Ulpi. Mereka adalah
santriwati sekaligus siswi yang menduduki bangku Madrasah
„Aliyah (MA). Adapun dalam rangka mengkonfirmasi pernyataan
77
para santriwati saat dilakukan wawancara, penulis menghadirkan
2 pengajar. Diantaranya Ustadz Zaky Alma‟ani sebagai salah satu
staf pengajar di pesantren dan sekolah, sekaligus menantu
pimpinan pesantren juga Ustadzah Nova Saepina sebagai staf
pengajar dan pengurus santri putri.
1. Pemaknaan Ayat الا ما ظهر منها) (
Berdasarkan hasil wawancara yang penulis dapatkan,
sebagian santriwati Nur Assa‟adah memahami bahwa aurat
perempuan terbagi menjadi dua macam yaitu ketika di dalam dan
di luar shalat. Aurat perempuan di dalam shalat adalah seluruh
tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangan. Sedangkan di luar
shalat yaitu seluruh tubuh perempuan. Hal ini sebagaimana
tertera dalam kitab Safīnah al-Najāh karya Sālim ibn Sumayr al-
Hadramī. Akan tetapi, Tasya sebagai salah seorang santri yang
mengawali pemakaian cadar sejak bulan Juni 2018, mengakui
bahwa hal tersebut terdapat ikhtilāf di kalangan para ulama. Ada
yang menyatakan wajah serta telapak tangan boleh terbuka dan
tidak boleh terbuka dengan alasan kehati-hatian.
“Da tos jelas dina safinah ge nan dina bab orat,
„awrātunnisā jamī‟u badānihā cenah. Ari orat awewe
teh sakabeh badan. Pami nuju netepan mah terkecuali
wajah sareng telapak tangan dua. Janten aya nu
nafsirkeun oge, kan benten-bentennya, janten wajah ge
nan orat. Pami emang apik pisan nafsirkeunana kitu.”7
7 Tasya (Santri Putri Bercadar Pesantren Nur Assa‟adah
Tasikmalaya), diwawancarai oleh Sri Fajri Yanti, Tasikmalaya, 21 Agustus
2019, Jawa Barat.
78
“Karena sudah jelas di dalam kitab Safīnah bahwa
„awrātunnisā jamī‟u badānihā yaitu aurat perempuan
adalah seluruh badannya. Akan tetapi, wajah dan
telapak tangan dikecualikan ketika shalat. Sebetulnya
dalam penafsiran terdapat perbedaan. Ada yang
menafsirkan wajah termasuk aurat, jika mengambil
pendapat yang ketat.”
Menurut penulis, pemahaman Tasya tentang cadar merujuk
pada pendapat Mazhab Syafi‟i yang mengatakan seluruh tubuh
perempuan adalah aurat.
Hal yang sama dikemukakan oleh Ustadz Zaki Alma‟ani
bahwa terdapat perbedaan penafsiran dalam penggalan ayat ini.
Ustadz Zaky membaginya menjadi 2 macam; pertama, sesuatu
yang biasa nampak adalah wajah dan telapak tangan. Pendapat ini
dinukil dari mazhab Imam Mālik dan salah satu pendapat Mazhab
Syafi‟i. Kedua, wajah dan telapak tangan tidak boleh nampak
karena keduanya dapat menimbulkan fitnah. Ini adalah pendapat
sebagian Mazhab Syafi‟i yang lain. Akan tetapi, pendapat yang
paling kuat menurut Imām al-Jalālain adalah pendapat kedua
karena dengan menutupi wajah dan telapak tangan dapat
menghindari terjadinya fitnah. Penjelasan tersebut diambil dari
kitab Tafsīr al-Jalālain karya Jalāl al-Dīn al-Maḥallī dan Jalāl al-
Dīn al-Suyūṭī, serta Kitab Ḥāsyiyah al-Ṣāwī „alā Tafsīr al-
Jalālain karya Imām al-Ṣāwī.
Melihat perbedaan tersebut, Ustadz Zaki Alma‟ani
mengambil pendapat yang kedua yang menyatakan bahwa wajah
dan telapak tangan harus tertutup. Meskipun ia lebih memilih
dengan kata anjuran, bukan keharusan.
79
“Ari ngaluarkeun pendapat pribadi mah abi teu
wantun. Abinya salah satu dewan didieulah kitu, salah
satu mudaris didieu teu pernah ngawajibkeun, boh
wajib secara syar‟i atau wajib secara aturan
pesantren. Ngan pedah menganjurkan. Da naon, da
memang anu nyebatkeun wajah sanes orat oge tetep
sunah kitu, menganjurkan. Nya ieu mah Imam Mazhab.
Sok sanaos nyebatkeun bahwa wajah dan telapak
tangan itu bukan aurat tapi paling tidak sunnah atau
baik. Nya abi teu wantun ngawajibkeun anu teu
wantun. Lamun nganjurkeun iyah. Abi pribadi mah
kitu.”8
“Saya tidak berani jika mengeluarkan pendapat sendiri.
Namun, saya sebagai salah satu dewan pengajar disini
tidak pernah mewajibkan cadar, baik wajib syar‟i atau
wajib secara aturan pesantren. Kenapa? karena yang
berpendapat wajah bukan aurat juga mengatakan
sunnah, menganjurkan (memakai cadar). Menurut
Imam Mazhab. Meskipun tidak disebutkan bahwa
wajah dan telapak tangan itu bukan aurat, tapi paling
tidak sunnah atau baik. Saya tidak berani
mewajibkannya. Tapi jika menganjurkan iya. Itu
menurut saya.”
Bagi penulis, pemahaman Ustadz Zaky merujuk pada
pendapat Mazhab Syafi‟i yang mengatakan seluruh tubuh
perempuan adalah aurat. Ini berarti pemakaian cadar menjadi
keharusan. Akan tetapi dalam praktiknya ia lebih memilih kata
anjuran memakai cadar. Dalam hal ini, penulis melihat bahwa
pemahaman terhadap cadar masih setengah matang sehingga
dilematis diterapkan.
8 Zaky Alma‟ani (Staf Pengajar Pesantren Nur Assa‟adah
Tasikmalaya), diwawancarai oleh Sri Fajri Yanti, Tasikmalaya, 10 Desember
2019, Jawa Barat.
80
Berdasarkan hasil wawancara di atas, penulis menemukan
bahwa Pesantren Nur Assa‟adah memahami penggalan ayat ini
sama halnya dengan pendapat kebanyakan para ulama yang
mengatakan bahwa perempuan diperintahkan untuk memakai
jilbab tanpa menutupi wajahnya. Pemahaman tersebut penulis
temukan dalam beberapa kitab tafsir yaitu Tafsīr al-Ṭabarī dan
Tafsīr al-Qurṭubī. Sehingga jika ditinjau dari aspek praktik
berjilbab di Pesantren Nur Assa‟adah, ia mengikuti pendapat
mayoritas ulama. Meskipun dalam pemahamannya tentang aurat,
sebagian informan Pesantren Nur Assa‟adah lebih
mempertahankan pendapat sebagian Mazhab Syafi‟i yang
berpandangan bahwa aurat perempuan adalah seluruh tubuhnya,
sehingga pemakaian cadar diperlukan.
2. Pemaknaan Ayat ( وليضربن بخمرهنا على جيىبهنا)
Menurut Ustadz Zaki Alma‟ani, penggalan ayat ini serupa
dengan ayat sebelumnya dalam hal batas aurat perempuan. Ayat
ini menjadi perdebatan di kalangan ulama apakah jilbab yang
diulurkan itu melewati wajah atau tidak. Ia juga memahami kata
khimār dengan jilbab yang menutupi kepala, pundak, dan dada.
Adapun yang menyatakan bahwa wajah harus tertutup maka
khimār yang dimaksud adalah jilbab yang terurai dari kepala
hingga melewati wajah. Seperti halnya salah satu pendapat
Mazhab Syafi‟i.
“Justru didinya, ku perbedaan pendapat. Ru‟ūs
didinya teh upami bahasa madzhab anu tadi madzhab
salah satu Imam Syafi‟i mah ru‟ūs didinya teh sareng
81
wajahna. Kepala teh berikut wajah. Ngan upami
pendapat anu wajah sanes orat, kepala teh ieu
hungkul, henteu termasuk wajah.”9
“Justru di ayat ini terjadinya perbedaan pendapat.
Maksud ru‟ūs disini jika melihat pendapat sebagian
Mazhab Syafi‟i adalah kepala, dan wajah termasuk
bagian dari kepala. Tapi jika yang berpendapat bahwa
wajah bukan aurat, maka kepala itu yang ini saja, tidak
termasuk wajah.”
Sama halnya dengan penggalan ayat sebelumnya, bagi
penulis Ustadz Zaky terlihat mempertahankan pendapat Mazhab
Syafi‟i yang mengemukakan bahwa wajah termasuk bagian yang
harus ditutup.
Begitu juga dengan Siska yang merupakan salah seorang
santri berstatus mahasiswa yang bercadar. Ia mengawali
pemakaian cadar sejak bulan Juli 2019. Baginya, dalam surat al-
Nūr (24):31 ini tidak disebutkan secara jelas batasan aurat
perempuan sehingga memakai cadar bukanlah suatu keharusan.
Pernyataannya terlihat saat menjawab pertanyaan dari penulis.
“Kalo di surat al-Nūr henteu disebatkeun semuanya
(seluruh tubuh), tapi kedah menutupi aurat we. Kalo
bisa mah menutupi sadayana, walaupun masih muka
ge kan kumahanya, upami masih bisa menjaga keneh
mah nya teu nanaon kitu teu ngango cadar oge kitu, da
eta mah sunah. Wajah mah asa tidak mewajibkan
untuk itu. Lamun sepertinya sadayana seorang wanita
itu wajib ngango cadar, panginten sadayana oge
ngango cadar kitu tah. Moal aya nu teu nganggo pami
9 Zaky Alma‟ani, Wawancara.
82
diwajibkeun mah. Cadar mah kan sunnah. Ibaratkeun
shalat we da kan wajib eta mah.”10
“Di QS al-Nūr itu tidak disebutkan semuanya, cukup
perintah menutup aurat. Tetapi diusahakan untuk
menutupi semuanya, jikapun tidak memakai cadar juga
tidak apa-apa, yang penting masih menjaga. Karena itu
adalah sunnah. Sepertinya wajah itu tidak mewajibkan
untuk itu. Jika semua wanita itu wajib memakai cadar,
mungkin mereka semua juga memakai cadar. Tidak
ada yang tidak pakai jika sudah diwajibkan. Cadar itu
sunnah. Ibarat shalat aja kan itu wajib.”
Menurut analisa penulis, pemahaman Siska mendekati
pendapat ulama tafsir al-Ṭabarī dan al-Qurṭubī yaitu membiarkan
wajah terbuka karena baginya QS al-Nūr (24):31 tidak
menyebutkan batasan aurat perempuan secara jelas. Sehingga ia
memilih pendapat jumhur ulama. Akan tetapi, bagi penulis
pemahaman ini cukup dilematis karena dalam praktiknya Siska
memakai cadar.
Ustadz Zaki Alma‟ani mengemukakan, kebanyakan kitab
fikih yang biasa digunakan di pesantren yang berkultur Nahdlatul
„Ulama (NU) menjelaskan bahwa seluruh tubuh perempuan
ketika di luar shalat adalah aurat tanpa terkecuali. Kitab tersebut
diantaranya Safīnah al-Najāh karya Sālim ibn Sumayr al-
Hadramī, Ḥāsyiyah al-Bājūrī „alā Ibni Qāsim al-Ghozzī karya
Ibrāhīm al-Bājūrī, dan Fatḥ al-Mu‟īn karya Zainuddīn al-
Malībārī, yang ketiganya memiliki warna Mazhab Syafi‟iyyah.
10
Siska (Santri Putri Bercadar Pesantren Nur Assa‟adah
Tasikmalaya), diwawancarai oleh Sri Fajri Yanti, Tasikmalaya, 22 Agustus
2019, Jawa Barat.
83
Dari pernyataan di atas, penulis berkesimpulan bahwa
pemahaman komunitas Pesantren Nur Assa‟adah dipengaruhi
oleh orientasi kemazhaban yaitu Mazhab Syafi‟iyyah. Hal ini
terbukti karena banyaknya merujuk pada kitab-kitab yang
bermazhab Syafi‟i. Komunitas ini banyak mempertahankan
pendapat Mazhab Syafi‟i. Sehingga dalam masalah aurat mereka
mengambil pendapat sebagian Syafi‟iyyah yang mengatakan
bahwa seluruh tubuh perempuan di luar shalat adalah aurat. Akan
tetapi terdapat perdebatan di kalangan Syafi‟iyyah sendiri yaitu
ada sebagian yang lain berpendapat bahwa wajah dan telapak
tangan boleh terbuka. Melihat hal tersebut, komunitas ini menilai
baik jika wajah dan telapak tangan tertutup. Selain itu, penerapan
cadar di Pesantren Nur Assa‟adah dikembalikan pada pribadi
masing-masing khususnya para santriwati, sehingga tidak ada
unsur paksaan dalam memakainya. Dengan demikian, komunitas
Nur Assa‟adah tidak menerapkan aturan memakai cadar bagi
santriwatinya.
C. Sumber Rujukan
1. Ma’had Ihya As-Sunnah
Berdasarkan pemahaman beberapa informan Ma‟had Ihya
As-Sunnah, penulis menemukan sumber rujukan kitab dan ulama
yang dinilai mempengaruhi faham keagamaan mereka, khususnya
praktik bercadar. Beberapa kitab yang menjadi rujukannya
adalah:
84
1.1 Ḥirāsah al-Faḍīlah
Kitab Ḥirāsah al-Faḍīlah merupakan salah satu karya Bakr
ibn „Abdillāh Abū Zaid11
. Kitab ini berisi tentang menjaga
kehormatan wanita, salah satunya adalah dengan mengenakan
busana yang tertutup. Penulis menemukan kata hijāb dalam kitab
ini sebagai istilah untuk menutupi aurat perempuan. Pembahasan
tentang hijāb yang dimaksud meliputi pemaknaan, cara
pemakaian, dalil-dalil yang mewajibkan penggunaannya, dan
keutamaan memakai hijāb. Pengarang kitab ini menjelaskan
bahwa perempuan muslimah harus menutupi seluruh badannya
tanpa terkecuali, termasuk perhiasan seperti gelang, kalung dan
sejenisnya. Salah satu dalil yang digunakan adalah QS al-Nūr
(24):31. Menurut Bakr ibn „Abdillāh, penggalan ayat الا ما ظهر منها
dipahami sebagai pakaian luar yang biasa nampak, seperti gamis,
jilbab, selendang, dan mantel.12
1.2 al-Wajīz fī Fiqh al-Sunnah wa al-Kitāb al-‘Azīz
Adapun dalam masalah fikih, mereka merujuk kepada kitab
al-Wajīz fī Fiqh al-Sunnah wa al-Kitāb al-„Azīz karya Abd al-
„Aẓīm ibn Badawī yang bermadzhab Ḥanbalī. Pengarang kitab ini
11
Nama lengkapnya adalah Bakr ibn „Abdillāh Abū Zaid ibn
Muḥammad ibn „Abdillāh ibn Bakr ibn „Uṡmān ibn Yaḥyā ibn Ghaihāb ibn
Muḥammad. Silsilah ini berhenti hingga Zaid teratas yakni Zaid ibn Suwayd
ibn Zaid ibn Suwayd ibn Zaid ibn Harām ibn Suwayd ibn Zaid al-Quḍā‟ī dari
kabilah Bani Zaid al-Quḍā‟iyyah yang tersohor di kawasan al-Wasym dan
dataran tinggi Nejd. Disanalah ia dilahirkan pada tahun 1365 H. Sewaktu di
Mekkah, ia pernah belajar kepada „Abd al-„Azīz ibn „Abdullāh ibn Bāz yang
merupakan mantan mufti Kerajaan Arab Saudi. Di Madinah, ia juga belajar
kitab Fatḥ al-Bārī, Bulūgh al-Marām, serta beberapa risalah tentang fikih dan
tauhid kepada Ibn Bāz selama kurang lebih 2 tahun. 12
Bakr ibn „Abdillāh, Ḥirāsah al-Faḍīlah (tp, tt), 12.
85
merupakan salah satu ulama kontemporer yang dilahirkan di Desa
Syīn Mesir pada tahun 1954 M. Secara aliran mazhab dan akidah,
ia berfaham salafi. Ia juga pernah menjadi Wakil Ketua
Jam‟iyyah Anṣār al-Sunnah al-Muḥammadiyah sebuah organisasi
salafi wahabi konservatif. Dalam kitab ini, Badawī tidak
menyebutkan perbedaan pendapat para ulama. Ia hanya
menyebutkan pendapat yang paling kuat tentang suatu perkara
disertai dalilnya.13
1.3 Fiqh al-Sunnah li al-Nisā’
Kitab ini merupakan salah satu kitab fikih karya Abū Mālik
Kamāl ibn al-Sayyid Sālim. Abū Mālik adalah salah satu ulama
kontemporer sekaligus mantan engineer yang berasal dari Mesir.
Lalu ia meninggalkan profesi tersebut dan beralih menimba ilmu
agama dengan memfokuskannya pada bidang hadis dan fikih. Di
antara gurunya adalah Muṣṭafā al-„Adawī yang dulunya juga
seorang ilmuwan teknik mesin lalu beralih ke dalam bidang
keagamaan.14
Setelah menyebutkan kitab yang menjadi rujukan beberapa
informan, penulis menelusuri siapa saja para ulama yang menjadi
sumber rujukan dan dinilai mempengaruhi pemikiran mereka, di
antaranya:
13
Abd al-„Aẓīm ibn Badawī, al-Wajīz fī Fiqh al-Sunnah wa al-Kitāb
al-„Azīz (Mesir: Dār Ibn Rajab, 2001), 8-12. 14
Muhammad Abduh Tuasikal, “Ilmuwan yang Menjadi Ulama,”
Diakses, 18 Desember, 2019, https://rumaysho.com/2992-ilmuwan-yang-
menjadi-ulama-1.html
86
1.4 ‘Abd al-‘Azīz ibn Bāz
Nama lengkapnya „Abd al-„Azīz ibn „Abdullāh ibn Bāz. Ia
merupakan seorang ulama kontemporer yang ahli di bidang sains,
hadis, akidah, dan fikih. Ia dilahirkan di Riyadh pada tahun 1909
H/1330 H dan meninggal pada tahun 1999 M/1420 H. Syekh Bin
Bāz pernah menjabat sebagai Mufti Kerajaan Arab Saudi, Rektor
Universitas Islam Madinah, Hay‟ah Kibār al-„Ulamā (semacam
MUI di Arab Saudi), Dewan Riset Ilmu, dan Fatwa al-Lajnah al-
Dā‟imah li al-Buhūṡ al-„Ilmiyyah wa al-Iftā‟. Semasa hidupnya,
Bīn Bāz pernah belajar kepada Muḥammad ibn „Abd al-Laṭīf,
Ḥamīd ibn Fāris, Sa‟d al-Bukhārī dan lainnya. Selain itu, ia juga
memiliki murid yang kemudian menjadi ulama terkenal di
kalangan mereka. Di antara muridnya adalah Muḥammad ibn
Ṣāliḥ al-„Uṡaimīn, Muqbil ibn Hādī al-Wadi‟ī, „Abd al-Muḥsin
ibn Hammād, Ṣāliḥ ibn Fawzān, dan lainnya. 15
Akidah dan manhāj dakwahnya dapat dilihat dari tulisan
maupun karya-karyanya. Misalnya dalam buku al-„Aqīdah al-
Ṣaḥīḥah yang menerangkan akidah ahl al-sunnah wa al-jamā‟ah,
menegakkan tauhid dan memerangi kesyirikan. Bin Bāz sangat
menyandarkan tafsir al-Qur‟an dan syarḥ hadis yang dibawakan
dalam kitab-kitabnya pada pemahaman salaf al-ṣāliḥ serta ulama-
ulama ahli sunnah yang mengikuti mereka. Pembelaannya
terhadap akidah tauhid dan sunnah yang murni pun tertuang
15
Amin Farih, “Analisis Pemikiran Abdullah Bin Baz dan Sayyid
Muhammad Al-Maliky: Mencari Titik Kesepakatan Sunny dan Wahabi
Melalui Metodologi Istinbat Hukum,” (Laporan Penelitian Individual, IAIN
Walisongo, 2014), 83.
87
dalam banyak karyanya, salah satunya adalah al-Taḥżīr „alā al-
Bidā‟.16
1.5 Ṣāliḥ ibn Fauzān
Nama Ṣāliḥ ibn Fauzān sudah tidak asing lagi bagi dunia
Islam terutama dalam lingkungan ulama-ulama yang mengikuti
manhāj salafi. Ia berasal dari keluarga Fauzān (ālu fawzān) dan
dilahirkan pada tahun 1353 H/1933 M di Asy-Syumaisiyah, Arab
Saudi. Semasa mudanya, Ṣāliḥ ibn Fauzān belajar hadis, tafsir,
dan bahasa Arab kepada para ulama Arab Saudi dan Mesir di
Universitas Al-Azhar. Ia menuntut ilmu pada banyak ulama besar
ahli fikih, diantaranya „Abd al-„Azīz ibn Bāz, „Abdullāh ibn
Humaid, Muḥammad al-Amīn al-Syinqiṭī, dan lainnya.17
Sebagai pemikir muslim, Ṣāliḥ ibn Fauzān banyak
mengeluarkan ide dalam hal ketauhidan. Pemikirannya banyak
terinspirasi dari Ibn Taimiyyah, Ibn Qayyim al-Jawziyyah,
Muḥammad ibn Ṣāliḥ al-„Uṡaimīn, „Abd al-„Azīz ibn Bāz. Ia
menyandarkan dalil al-Qur‟an dan syarḥ hadis yang dibawakan
dalam kitabnya pada pemahaman salaf al-ṣāliḥ serta para ulama
ahlu sunnah yang mengikuti mereka. Pembelaannya terhadap
16
Amin Farih, “Analisis Pemikiran Abdullah Bin Baz dan Sayyid
Muhammad Al-Maliky,” 83. 17
Yulian Purnama, “Biografi Syaikh DR. Shalih bin Fauzan Al
Fauzan,” Diakses, 15 Januari, 2020, https://muslim.or.id/9338-biografi-syaikh-
dr-shalih-bin-fauzan-al-fauzan.html
88
akidah dan sunnah yang murni tertuang dalam banyak karya,
salah satunya kitab al-Tawḥīd li al-Ṣaff al-Ṡāliṡ al-„Aliy.18
1.6 Muṣṭafā al-‘Adawī
Muṣṭafā al-„Adawī adalah salah seorang ulama ahli sunnah
yang cukup terkenal di dunia Islam dengan latar belakang
pendidikan yang sangat unik. Ia lahir di Desa Maniah Samanūd
Mesir pada tanggal 17 September 1954. Muṣṭafā al-„Adawī
memang sosok anak yang memiliki perhatian dan kecintaan yang
besar terhadap al-Qur‟an. Hal itu terbukti saat masih kanak-
kanak, ia berhasil menghafal al-Qur‟an dan belajar tata bahasa
Arab, hadis, fikih, dan sebagainya. Ia juga telah menyelesaikan
studinya di Jurusan Teknik Mesin Universitas Manshuriyah
Mesir pada tahun 1972 M. Pada masa aktif kuliahnya, Muṣṭafā al-
„Adawī pergi ke Mekkah untuk melaksanakan umrah. Disinilah
awal mula ia mendalami manhāj salafi dan banyak membaca
buku tersebut.19
Setelah melakukan pengembaraan ilmiah selama bertahun-
tahun dan berguru kepada Syekh Muqbil ibn Hādī al-Wādi‟ī
(seorang ulama ahli hadis terkenal pada masa itu) di Yaman,
Muṣṭafā al-„Adawī kembali ke Mesir untuk mengajar kitab hadis
seperti Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ Muslim, tafsir al-Qur‟an, dan
18
Muhammad Lutfi AlFajar, “Nilai-Nilai Pendidikan Tauhid dalam
Kitab At-Tauhid Lish Shaffil Awwal Al-„Aliy Karya Dr. Shalih Bin Fauzan
Bin Abdullah Al-Fauzan,” (Skripsi S1., Universitas Islam Negeri Maulana
Malik Ibrahim Malang, 2016), 54. 19
Yufni Faisol, “Konsep Adil dalam Poligami: Telaah Pemikiran
Mushthofa Al-„Adawī dalam Tafsir Al-Tashīl Lita‟wīl Al-Tanzīl,”
International Journal Ihya „Ulum Al-Din, vol.18, no.1, (2016), 27-28.
89
fikih. Ia juga sangat aktif menulis sehingga beragam karya telah
dihasilkannya dalam beberapa bidang kajian Islam, seperti fikih,
hadis, muṣṭalāh al-ḥadīṡ, dan tafsir. Diantara karyanya di bidang
tafsir adalah al-Tashīl li Ta‟wīl al-Tanzīl.
Sumber yang digunakan dalam tafsirnya adalah al-Qur‟an itu
sendiri yaitu penafsiran ayat dengat ayat. Kemudian hadis Nabi,
aṡar yang diterima dari para salaf al-ṣāliḥ, para sahabat, tabi‟in,
dan tābi‟ al-tābi‟īn. Muṣṭafā al-„Adawī berupaya menjauhkan diri
dari sumber isrā‟īliyāt dan pendapat yang tidak memiliki dasar
yang kuat. Ia cenderung memahami ayat atau hadis yang
dijadikannya argumentasi secara tekstual. Latar belakang
keilmuannya yang lebih banyak bersentuhan dengan ulama hadis,
menjadikan Muṣṭafā al‟Adawī menafsirkan al-Qur‟an dengan
warna riwāyah.20
Berdasarkan uraian di atas, penulis berasumsi bahwa
komunitas Ma‟had Ihya As-Sunnah dalam memahami keagamaan
banyak merujuk kepada ulama yang berpemahaman salafi,
khususnya tentang akidah dan fikih. Dilihat dari kitab-kitab yang
mereka gunakan seperti kitab Ḥirāsah al-Faḍīlah, al-Wajīz fī
Fiqh al-Sunnah wa al-Kitāb al-„Azīz, dan Fiqh al-Sunnah li al-
Nisā‟ serta beberapa ulama fatwa yang menjadikannya sebagai
tolak ukur dalam memahami faham keagamaan. Ulama yang
dimaksud adalah „Abd al-„Azīz ibn Bāz, Muṣṭafā al-„Adawī, dan
Ṣāliḥ ibn Fauzān yang mana ketiganya masih memiliki hubungan
20
Yufni Faisol, “Konsep Adil dalam Poligami: Telaah Pemikiran
Mushthofa Al-„Adawī dalam Tafsir Al-Tashīl Lita‟wīl Al-Tanzīl,” 33.
90
guru dan murid. Para ulama tersebut sangat terkenal dengan
pemahamannya yang bermanhāj salafi, di mana mereka
memahami dan mempraktikkan suatu nash secara tekstual.
Sehingga dalam praktik bercadar, konteks ayat tidak
dipertimbangkan ke masa kini.
Hal ini terbukti ketika mereka memaknai jilbab pada QS al-
Nūr (24):31 sebagai perintah menutupi seluruh tubuh perempuan
muslimah tanpa terkecuali. Ini disebabkan pemaknaan pada
penggalan ayat ال ما ظهر منها adalah pakaian luar karena tidak
mungkin disembunyikan. Berbeda dengan wajah harus ditutup
karena dianggap sebagai pusat keindahan sehingga dapat
menimbulkan ketertarikan bagi laki-laki. Menurut hemat penulis,
jika memakai cadar bertujuan untuk tidak menarik perhatian laki-
laki maka hal ini dianggap tidak sesuai dengan konteks di
Indonesia. Pemakaian cadar justru mengundang perhatian orang
lain khususnya laki-laki karena berbusana seperti ini dianggap
tidak biasa bagi masyarakat Indonesia. Di samping itu,
pemakaian cadar yang hanya memperlihatkan mata saja
menimbulkan rasa penasaran bagi yang memandangnya.
2. Pesantren Nur Assa’adah
Berdasarkan hasil wawancara di atas, penulis menelusuri
sumber rujukan baik itu kitab atau tokoh ulama yang dinilai
mempengaruhi pemikiran keagamaan Pesantren Nur Assa‟adah.
Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Ustadz Zaki bahwa
dalam proses belajar mengajar para santri di Pesantren Nur
91
Assa‟adah memakai kitab yang biasa digunakan di pesantren
salaf berkultur Nahdlatul „Ulama (NU) juga memiliki orientasi
fikih Mazhab Syafi‟i. Di antara kitab-kitab yang menjadi sumber
rujukan adalah:
2.1 Safīnah al-Najāh
Kitab ini ditulis oleh Sālim ibn Sumair al-Khaḍramī. Ia adalah
seorang hakim yang berkiprah dalam bidang politik dan militer.
Ia lahir di Kampung Dzi Ashbah, daerah Hadhramaut, Yaman.
Pada masa mudanya, ia belajar al-Qur‟an kepada ayahnya sendiri
yaitu Abdullāh ibn Sa‟d ibn Sumair. Di Hadhramaut, Sālim
digelari al-mu‟allim. Gelar ini menjadi istilah khusus di
Hadhramaut untuk menyebut orang yang pakar dalam al-Qur‟an
sehingga berkompeten mengajarkannya. Ia juga pernah
berkunjung ke Jawa tepatnya di Betawi, karena ada persoalan
politik Hadhramaut. Domisili di Jawa inilah yang nampaknya
menjadi salah satu faktor kitab Safīnah al-Najāh populer di
Indonesia, khususnya lembaga-lembaga pendidikan Islam di
Jawa.21
Kitab Safīnah al-Najāh adalah kitab fikih bermazhab Syafi‟i
yang bentuknya ringkasan (mukhtaṣar) mengenai dasar-dasar
fikih. Kitab ini ditujukan bagi pelajar dan pemula sehingga hanya
berisi kesimpulan hukum fikih tanpa menyertakan dalil dan dasar
pengambilannya dalam penetapan hukum. Pembahasan materi di
dalamnya terdiri dari 6 bab pokok, yaitu tauhid, ṭaharah
21
Muafa, “Mengenal Kitab Safinatu An-Najah,” Diakses, 02 Januari,
2020, http://irtaqi.net/2018/02/26/mengenal-kitab-safinatu-najah/
92
(bersuci), shalat, jenazah, zakat, dan puasa. Kitab ini populer di
kalangan pondok pesantren Nahdliyyin dan masuk sebagai salah
satu materi kurikulum dasarnya.22
2.2 Ḥāsyiyah al-Bājūrī ‘alā Ibni Qāsim al-Ghozzī
Pengarang kitab ini bernama Ibrāhīm al-Bājūrī al-Miṣrī yang
dilahirkan pada tahun 1197 H. Secara genealogis, kitab ini
berasal dari Matn Abī Syujā‟ yang sangat terkenal di kalangan
Syafi‟iyyah. Kitab Matn Abī Syujā‟ diberi syarah (syarḥ) oleh
Kitab Fatḥ al-Qarīb yang juga banyak dipelajari oleh
masyarakat. Kemudian Kitab Fatḥ al-Qarīb dibuatkan ḥāsyiyah23
oleh al-Bājūrī sehingga karyanya menjadi terkenal dengan nama
Ḥāsyiyah al-Bājūrī „alā Ibni Qāsim al-Ghozzī. 24
Dalam kitabnya, al-Bājūrī banyak membahas isu-isu yang
sering terjadi dan kasus-kasus aktual seperti hukum melihat
wanita, aurat, hukum dokter lelaki mengobati pasien wanita
ajnabiyyah, hukum menunda kehamilan, hukum vasektomi atau
tubektomi, masalah riba, dan lain-lain. Meskipun kitab ini berupa
22
Yasin Munandar, “Studi Analisis Materi Fikih dalam Kitab Safīnat
Al-Najāh Karya Syaikh Salim bin Sumair Al-Hadhromiy dan Relevansinya
dengan Materi Fikih Kelas VII MTs,” (Skripsi S1., Institut Agama Islam
Negeri Ponorogo, 2018), 5. 23
Karya syarah (syarḥ) merupakan karya tulis berupa kitab yang
mengelaborasi karya lain yang lebih orisinal, yang dipandang sebagai matn
(teks inti). Adapun ḥāsyiyah adalah Penjabaran atau elaborasi lebih lanjutnya.
(Nurcholish Majid, “Tradisi Syarḥ dan Ḥasyiyah dalam Fiqih dan Masalah
Stagnasi Pemikiran Islam,” Diakses, 02 Januari, 2020,
http://nurcholishmadjid.org/assets/pdf/buku/1994_06-Tradisi-Syarh-dan-
Hasyiyah-dalam-Fiqih.pdf 24
Muafa, “Mengenal Kitab Hasyiyah Al-Bajuri,” Diakses, 02 Januari,
2020, http://irtaqi.net/2018/03/02/mengenal-kitab-hasyiyah-al-bajuri/
ḥāsyiyah, namun dilihat dari pendekatan penulisannya cenderung
seperti syarah karena di dalamnya dijelaskan secara rinci dari
mulai kebahasaan (nahwu atau sharaf), fikih dan uṣūl fikih. Al-
Bājūrī juga menjelaskan diantara pendapat yang kuat (rājih) dan
lemah (marjūh).25
2.3 Tafsīr al-Jalālain
Tafsīr al-Jalālain adalah kitab yang dikarang oleh dua
mufasir bernama Jalāl al-Dīn al-Maḥallī dan Jalāl al-Dīn al-
Suyūṭī. Nama asli kitab tersebut adalah Tafsīr al-Qur‟ān al-
„Aẓīm, namun lebih dikenal dengan nama Tafsīr al-Jalālain
sebagai penisbatan kepada kedua pengarangnya. al-Maḥalli lahir
di Kairo dan hidup dalam usia 73 tahun (791H/1389M-
864H/1462). Sedangkan al-Suyūṭī lahir di Mesir pada bulan
Rajab tahun 849 H/1445 M dan meninggal pada 911 H/1505 M.
Kitab ini ditulis pertama kali oleh al-Maḥallī mulai dari surat al-
Kahfi hingga surat al-Nās, kemudian dilanjut ke penafsiran al-
Fātiḥah. Penafsiran ayat-ayat berikutnya diambil alih oleh
muridnya, al-Suyūṭī yang dimulai dari surat al-Baqarah sampai
al-Isrā‟.26
Model paparan ringkas dalam Tafsīr al-Jalālain dikenal
dengan metode ijmālī (global). Secara metodologis, tafsir ini
dapat digolongkan dalam tafsir dengan metode bi al-ra‟yi.
25
Muafa, “Mengenal Kitab Hasyiyah Al-Bajuri,” Diakses, 02 Januari,
2020, http://irtaqi.net/2018/03/02/mengenal-kitab-hasyiyah-al-bajuri/ 26
Kurdi Fadlal, “Studi Tafsīr Jalālain di Pesantren dan Ideologisasi
Aswaja,” Jurnal Nun, vol.2, no.2, (2016), 30-33.
93
94
Penilaian ini dikemukakan oleh banyak ulama. Hasbi al-Siddiqi
misalnya, pernah menyatakan bahwa diantara 20 karya tafsir
yang pernah ada, Tafsīr al-Jalālain diletakkan pada urutan nomor
satu sebagai tafsir bi al-ra‟yi. Kedua penulis tafsir ini sama-sama
bermazhab Syafi‟iyah dalam bidang fikih dan beraliran
Asy‟āriyah dalam teologi. Mazhab fikih dan teologi ini telah
diperlihatkan dalam penafsiran kedua pengarangnya.27
Berdasarkan hasil wawancara di atas, penulis berasumsi
bahwa Pesanten Nur Assa‟adah banyak merujuk kitab bermazhab
Syafi‟i. Hal ini dapat dibuktikan ketika merespon beberapa
pertanyaan dari penulis dengan bersumber pada kitab-kitab
diatas. Kitab tersebut merupakan kitab yang populer di kalangan
pesantren salaf bermazhab Syafi‟i khususnya NU. Di dalamnya
menyajikan beberapa pendapat Syafi‟iyyah tentang masalah fikih,
khususnya aurat. Karena dalam Madzhab Syafi‟i pun masih
terdapat perdebatan diantara guru dan murid. Melihat hal ini,
komunitas Pesantren Nur Assa‟adah mengambil pendapat yang
dianggap lebih kuat diantara ulama Mazhab tersebut. Dengan
demikian dalam masalah aurat, bagi mereka pendapat yang kuat
adalah pendapat sebagian Syafi‟iyyah yang mengatakan seluruh
tubuh wanita aurat. Maka pemakaian cadar menjadi suatu
keharusan. Akan tetapi, komunitas ini tidak menerapkan aturan
bercadar bagi santriwatinya karena menurut mereka persoalan
tentang cadar dikembalikan pada pribadi masing-masing.
27
Kurdi Fadlal, “Studi Tafsīr Jalālain di Pesantren dan Ideologisasi
Aswaja,” 30-33.
95
Komunitas Nur Assa‟adah menilai santriwati yang bercadar itu
sebagai suatu kebaikan.
D. Argumentasi Pemakaian Cadar Bagi Pesantren Nur
Assa’adah dan Ihya’ As-Sunnah
Setelah mengetahui pemahaman tentang aurat perempuan
beserta ayat-ayatnya dari sejumlah informan, penulis berupaya
memperoleh argumentasi mereka dalam pemakaian cadar.
Penulis membagi dalam dua kelompok. Kelompok pertama;
santriwati Ma‟had Ihya As-Sunnah, kelompok kedua; santriwati
Pesantren Nur Assa‟adah.
1. Ma’had Ihya As-Sunnah
Berdasarkan peraturan Ma‟had Ihya As-Sunnah bahwa setiap
santriwati (termasuk pengajar) diharuskan memakai busana yang
longgar misalnya gamis, jilbab yang panjang sampai menutupi
pinggang, memakai kaos kaki, dan memakai cadar. Pemakaian
cadar ini diberlakukan baik di dalam komplek pesantren maupun
di luar, terutama ketika melewati fasilitas umum. Peraturan dan
praktik cadar di pesantren ini, tidak terlepas dari cara memahami
suatu nash. Setelah mengetahui pemahaman mereka terhadap QS
al-Nūr (24):31, penulis berupaya menelusuri argumentasi mereka
dalam memakai cadar. Argumentasi tersebut penulis membaginya
menjadi dua macam, yaitu internal dan eksternal. Berikut
beberapa argumentasi para informan dalam pemakaian cadar:
96
1.1 Argumentasi Internal
Argumentasi internal merupakan alasan pemakaian cadar
disebabkan faktor dari diri sendiri.
Perlindungan diri
Argumentasi internal yang mendorong para informan untuk
bercadar adalah melindungi diri. Seperti tergambar dalam kutipan
berikut:
“Ya mungkin ingin lebih menjaga diri saja. Karena
biasanya kalo misalnya pakai, beda gitu ketika
sebelum pakai niqāb sama pakai niqāb tuh orang tuh
berbeda sikapnya ke kita. Ya bedanya mereka lebih
menghormati, mereka lebih segan. Jadinya memang,
apa ya, oh bener yang namanya kita berhijab tuh bisa
menjaga kita gitu, menjadikan kita lebih aman dari
godaan.”28
“Waktu itu lebih ke itu aja ya, pertama udah ngerasa
ga nyaman gitu ya. Pas di akademik kan yang ngajar
juga ada ikhwan akhwat gitu. Sebenernya kan untuk
tempat yang ikhtilaṭ seperti itu kan memang amannya
ya udah kita memang menutuplah.”29
Argumentasi melindungi diri muncul karena adanya
pemahaman bahwa memakai cadar akan menghindarkan diri dari
pergaulan sosial yang bebas, khususnya dengan lawan jenis.
Alasan seperti ini menimbulkan rasa nyaman terhadap diri
sendiri. Hal yang sama dirasakan oleh salah satu informan berikut
ini:
28
Ummu Fatimah, Wawancara. 29
Ustadzah Jeri, Wawancara.
97
“Udah enak aja, soalnya kalo pakai cadar tuh kaya
terjaga, trus lebih tenang aja gitu.”30
Perintah Agama
Di samping itu, pemakaian cadar juga merupakan upaya
untuk menjalankan perintah agama. Tentunya berdasarkan pada
dalil-dalil yang dipahami. Seperti diungkapkan oleh salah satu
informan berikut:
“Kalo kita pelajari lebih dalam ternyata cadar itu
tidak ikhtiāf loh. Sekurang-kurangnya untuk berjaga-
jaga. Jadi misalnya seperti ini, kalo misalnya kita
meyakini cadar itu wajib dan kita pake gitu, dan
ternyata ketika nanti dihisab di hari kiamat dan
hukumnya benar-benar wajib berarti kita kan udah
lepas dari kewajiban ya. Tapi kalo kita masih ragu-
ragu dan kita tetap memakai, tapi ternyata nanti kita
temukan kalo hukumnya sunnah kan kita gapapa.”31
“Ya karena pengen itu, mengikuti sunnah Nabi. Terus
perintah juga kan dari Nabi lebih baik pake cadar.
Disini masih suka ada kaya mang tukang gitu. Jadi
belum bersih dari ikhwan, belum steril.”32
Berdasarkan ungkapan para informan di atas menunjukkan
bahwa alasan internal memakai cadar adalah sebagai bentuk
menjalankan perintah agama dan tidak memberikan peluang yang
dapat menimbulkan godaan dari lawan jenis sehingga
menimbulkan rasa nyaman dalam diri. Dengan demikian,
pemakaian cadar dianggap sebagai bentuk perlindungan diri.
30
Suci (Santri Putri Bercadar Ma‟had Ihya‟ As-Sunnah Tasikmalaya),
diwawancarai oleh Sri Fajri Yanti, Tasikmalaya, 23 Agustus 2019, Jawa Barat 31
Ustadzah Jeri, Wawancara. 32
Putri (Santri Putri Bercadar Ma‟had Ihya‟ As-Sunnah
Tasikmalaya), diwawancarai oleh Sri Fajri Yanti, Tasikmalaya, 23 Agustus
2019, Jawa Barat
98
Penulis berasumsi bahwa para informan tersebut memahami
ayat dan hadis yang menggambarkan praktik bercadar pada masa
Nabi sebagai salah satu ajaran Islam yang perlu diikuti, bukan
sebagai suatu model berpakaian pada saat itu. Padahal mayoritas
ulama tafsir klasik dan modern pun tidak mengatakan pemakaian
cadar sebagai perintah bagi seluruh muslimah, dengan
mempertimbangkan konteks ayat tersebut di masa sekarang.
Dengan demikian, pembacaan sejumlah informan Ihya As-
Sunnah terhadap teks keagamaan cenderung mengikuti apa
adanya praktik bercadar yang dilakukan oleh para sahabat.
1.2 Argumentasi Eksternal
Argumentasi lain yang memperkuat keputusan mengenakan
cadar bersumber dari faktor eksternal, yaitu alasan pemakaian
cadar yang disebabkan faktor dari luar.
Mengikuti Model Yang Dikagumi
Sebagian informan mengemukakan bahwa argumentasi
penggunaan cadar adalah karena mengikuti model yang dikagumi
dan teman di lingkungannya. Misalnya ṣaḥābiyyah di masa Nabi
Muhammad dan para pengajar di Ma‟had Ihya As-Sunnah.
Sebagaimana disampaikan sebagian informan:
“Pasti kan berawal dari mendengar cerita para
sahabat gitu ya, para ṣaḥābiyyah. Mereka pake niqāb.
Para ṣaḥābiyyah itu mereka memakai niqāb.
Maksudnya kalo dipikir-pikir gitu ya saat itu, ya
memang dalilnya pasti ada sudah jelas. Hanya saja
kalo dipikir-pikir, saat itu saja para ṣaḥābiyyah saja
99
pakai dalam keadaan seperti itu. Apalagi hari ini, ya
mungkin lebih baiknya perempuan memakai niqāb.
Kemudian juga mungkin berpikir, kita tidak bisa
mengikuti apa yang, maksudnya amalan kita tidak
seperti amalan mereka loh, gitu. Paling tidak kita
menginginkan ada satu poinlah gitu yang kita bisa
mengikuti apa yang mereka lakukan.”33
“Dari guru-guru juga sih. Kan disini juga kalo
pelajaran ustadz harus memakai niqāb. Kemudian di
kelas juga ada hijab kan, jadi kalo ada pelajaran
ustadz itu hijab ditutup. Nah dari sana ana juga
berpikir, berarti jarak antara yang bukan mahram
benar-benar diperhatikan dalam Islam. Dari guru-
guru juga Ummu Fatimah ya, ana liat Ummu
Fatimah pakai niqāb. Bu Yiyis tadi juga gitu dan
meneladani para ṣaḥābiyyah dulu juga zaman
Rasūlullāh.”34
“Ya lebih ke lingkungan dan ajakan teman sih. Kalo
dulu di LIPIA banyak. Apalagi temen-temen yang
dari, ya memang pondoknya kaya disini. Kaya di Bin
Baz Yogja, Bukhori Solo, nah itu, kalo engga euu
anak-anak yang dari Ibn Taimiyah Bogor. Jadi sudah
banyak orang-orang yang seperti itu.”35
Dari kutipan di atas menunjukkan bahwa argumentasi
eksternal pemakaian cadar bagi para informan adalah setelah
mengamati praktik berpakaian yang dilakukan oleh orang-orang
di lingkungannya sehingga ada ketertarikan untuk menirunya.
Salah satunya meniru praktik bercadar ṣaḥābiyyah melalui buku
bacaan, para pengajar di pesantren, dan teman-temannya.
33
Ummu Fatimah, Wawancara. 34
Ustadzah Rania, Wawancara. 35
Ustadzah Jeri, Wawancara.
100
Menurut hemat penulis, peniruan tersebut tidak terlepas dari
anggapan informan bahwa praktik bercadar dibenarkan oleh
agama. Apalagi didukung dengan cerita para sahabat yang
mempraktikkan pemakaian cadar, karena mereka melihat para
sahabat sebagai tolak ukur dalam beragama. Hal tersebut
menguatkan asumsi penulis bahwa pemahaman dan praktik
keIslaman mereka meniru apa adanya para salaf al-ṣāliḥ.
Peraturan Pesantren
Selain itu, alasan lain memakai cadar adalah menjalani
peraturan pesantren. Sebagaimana diungkapkan oleh dua
informan berikut ini:
“Saya ga berniqāb. Karena memang pada dasarnya
saya ga pake niqāb yah, jadinya saya ga pake. Disini
cuman kalo lagi keluar doang, kalo lagi ke bagian
putra, kalo di kelas ada ustadz (memakai cadar). Tapi
kalo dijenguk mah engga. Tapi untuk lewatin gerbang
sampingnya itu harusnya pake. Jadi kalo misalkan
ada yang ga pake sebenernya itu ngelanggar.”36
“Memakai niqāb itu formalitas disini saja, di sekitar
lingkungan pesantren aja. Soalnya belum siap dan
keluarga besar belum mendukung.”37
Berdasarkan kutipan di atas menunjukkan bahwa peraturan
pesantren menjadi awal mula pemakaian cadar bagi Difaa‟ dan
Silvia selaku santriwati Ihya As-Sunnah. Hal ini sangatlah
36 Difaa‟ (Santri Putri Bercadar Ma‟had Ihya As-Sunnah
Tasikmalaya), diwawancarai oleh Sri Fajri Yanti, Tasikmalaya, 23 Agustus
2019, Jawa Barat. 37
Silvia (Santri Putri Bercadar Ma‟had Ihya‟ As-Sunnah
Tasikmalaya), diwawancarai oleh Sri Fajri Yanti, Tasikmalaya, 23 Agustus
2019, Jawa Barat.
101
menarik karena praktik bercadar tersebut dilakukan hanya di
lingkungan Ihya As-Sunnah dan sekitarnya. Selain formalitas
pesantren, ada ketidaksiapan dalam diri dan lingkungan keluarga
yang tidak mendukung praktik bercadar.
Bagi penulis, kedua informan tersebut lebih memilih untuk
tidak memakai cadar ketika berada di lingkungan rumah. Mereka
menginginkan cara berkomunikasi yang normal, baik dengan
keluarga ataupun masyarakat sekitar. Perempuan bercadar di
lingkungannya seringkali dianggap asing dan dipandang sebelah
mata, karena sebagian masyarakat masih menganggap bahwa
praktik tersebut tidak akan terlepas dari cara memahami teks
keagamaan yang kaku. Dengan demikian, Difaa‟ dan Silvia
memilih untuk berbusana layaknya muslimah pada umumnya.
2. Pesantren Nur Assa’adah
Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya bahwa cara
berbusana sebagian santriwati di Pesantren Nur Assa‟adah ada
yang memakai cadar. Mengingat hal itu, penulis mengambil 2
informan yang tidak memakai cadar dan 4 informan yang
memakainya sehingga dapat diketahui argumentasi mereka
tentang pemakaian cadar dari perspektif yang berbeda. Kedua
informan yang tidak bercadar memiliki beberapa alasan di
antaranya, belum mendapatkan izin dari keluarga khususnya
orangtua, khawatir tidak konsisten dalam memakai cadar dan
ketidaksiapan menerima respon yang dinilai negatif dari
masyarakat. Seperti diilustrasikan dalam kutipan berikut:
102
“Kumahanya, kirang didukung ku Bapakna. Saur
bapak mah: ah cenah ieu eta mah, janten cenah keun
we nu penting mah katutupan ieuh, katutupan dada.
Atuh pami ditiung, ditiung ageung, keun we teu
dicadar oge.”38
“Gimana ya, kurang didukung sama Bapak. Kata
Bapak: ah itu mah gitu, jadi katanya biarin aja yang
penting tertutup, menutupi dada. Kalo mau dijilbab,
dijilbab ukuran besar, ga apa-apa ga pake cadar
juga.”
“Abi teh teu acan kuat dina cobaanana kitu. Nya
jadina teh, pami naon teh, batur nyarioskeun tentang
kitu kitu kitu gening. Tah abi teh teu acan siap tina
etanana. Sareng kasieunan bilih teu istiqamah.”39
“Saya belum kuat dari cobaannya gitu. Ya jadinya,
kalo apa ya, orang lain ngomongin ini dan itu. Nah
saya belum siap dari itunya. Dan takut ga bisa
istiqamah.”
Hal ini disebabkan, menurut kedua informan, penggunaan
cadar secara tidak langsung mengesankan kesalehan dalam diri
perempuan dan masih dianggap sebagai identitas faham
radikalisme dan terorisme bagi sebagian masyarakat. Selain itu,
beberapa ulama berbeda pendapat dalam hukum memakai cadar.
Perbedaan itu terjadi karena cara pandang mereka dalam
memahami suatu nash. Di kalangan ulama fiqih terdapat
perdebatan dalam menentukan batas aurat perempuan yang
berkisar antara wajah dan telapak tangan. Misalnya sebagian
38
Ulpi (Santri Putri Bercadar Pesantren Nur Assa‟adah
Tasikmalaya), diwawancarai oleh Sri Fajri Yanti, Tasikmalaya, 21 Agustus
2019, Jawa Barat. 39
Putri (Santri Putri Bercadar Pesantren Nur Assa‟adah
Tasikmalaya), diwawancarai oleh Sri Fajri Yanti, Tasikmalaya, 21 Agustus
2019, Jawa Barat.
103
Mazhab Syafi‟i berpendapat bahwa wajah dan telapak tangan
boleh terbuka sedangkan sebagian Mazhab Syafi‟i yang lain
berpandangan sebaliknya. Dengan demikian, tidak adanya
pernyataan jelas dalam nash tentang perintah bercadar
memutuskan mereka untuk memakai jilbab tanpa cadar.
Berbeda dengan 4 informan yang memakai cadar
mengungkapkan beberapa argumentasi dan apa yang
melatarbelakangi mereka dalam bercadar. Pada awalnya keempat
informan ini berbusana layaknya muslimah pada umumnya, yakni
memakai baju lengan panjang, rok, celana, dan jilbab, terhitung
sejak menduduki Sekolah Dasar (SD) pada tahun 2010 sampai
awal masuk Sekolah Menengah Atas (SMA) pada tahun 2018. Di
pertengahan tahun 2019, mereka memutuskan untuk memakai
jilbab disertai cadar. Perubahan ini terjadi setelah beberapa lama
mereka mondok di Pesantren Nur Assa‟adah antara tahun 2017-
2019. Penulis membagi argumentasinya menjadi dua macam
yaitu internal dan eksternal. Beberapa argumetasi internal dan
eksternal para informan adalah sebagai berikut:
2.1 Argumentasi Internal
Argumentasi internal yang mendorong para informan dalam
memakai cadar adalah sebagai berikut:
Mencegah Perilaku Negatif
Pemakaian cadar dianggap dapat mencegah terjadinya
perilaku negatif. Seperti diungkapkan oleh salah satu informan
berikut ini:
104
“Peupeuriheun akhlak mah teu acan sae, urang teh
coba we menutupi heula aurat urang kitu tah. Sugan
we ku carana urang mun naon dicadar, ke ge akhlak
ge nuturkeun. Jantena teh pami urang bade berbuat
teh kapanan kieu: piraku atuh urang teh bade kieu da
urang teh dicadar, isin kitu tah. Jantena teh urang
teh menutupi heula aurat, janten engke we akhlak
nuturkeun jeung aya pegangan eta.”40
“Dari pada akhlak belum baik, kita mencoba
memperbaikinya dengan menutupi aurat kita.
Barangkali aja kalo kita pake cadar, akhlak
mengikuti. Jadi kalo kita mau melakukan sesuatu itu
gini: masa kita mau seperti ini (berbuat hal negatif),
kan kita pake cadar, malu gitu. Jadinya kita menutup
aurat dulu, nanti juga akhlak mengikuti dan supaya
jadi pegangan.”
Perlindungan Diri
Selain itu, alasan pemakaian cadar adalah sebagai bentuk
perlindungan diri dari lawan jenis yang kemudian muncul rasa
nyaman dalam diri. Sebagaimana kutipan dibawah ini:
“Ningali pas aya ceramah tidieu gening teh, niqāb
teh lebih nyaman kitu. Enya sih bener oge pas abi
ningal. Abi ge ngango kerudung ageung oge kitu
masih keneh diganggu ku pameget. Upami anu
ngango niqāb kitu asa geus sopan kitu. Pami pameget
teh sopan kitu ningali nu ngange niqāb teh.”41
“Liat waktu ada acara ceramah disini ka, niqāb itu
lebih nyaman gitu. Iya sih betul juga waktu aku liat.
Aku juga pake kerudung besar masih diganggu laki-
laki. Kalo yang pake niqāb gitu kaya sopan aja gitu.
Laki-laki tuh sopan gitu kalo liat yang pake niqāb.”
40
Tasya, Wawancara. 41
Siska, Wawancara.
105
“Pas sore teh abi ngange we. Tidinya teh
alḥamdulillāh gening, plong hate teh tenang. Asalna
teh isinnya, da teu biasa. Janten santri teh nu biasa
sok kumaha kitunya, atuh tiasa wantun nyarios
kumaha, tidinya mah janten asa terhormati ka
urangna. Janten asa urang teh kumahanya di mata
santri teh, janten teu wantunlah santri ngaheureuyan
ka urang teh. Asa terjaga gening alhamdulillahna.
Yang pernting mah hoyong asing di mata lelaki.”42
“Waktu sore aku pake (cadar). Dari situ
alḥamdulillāh hati tuh tenang, plong. Awalnya malu,
karena ga biasa. Jadi santri (putra) yang biasa suka
gimana gitu ya, dari situ (setelah pake cadar) kita
terasa dihormati. Jadi kita itu serasa gimana ya di
mata santri tuh, jadi ga berani santri becandain kita.
Alhamdulillahnya serasa terjaga. Yang penting itu
ingin asing di mata laki-laki.”
Perintah Agama
Di samping untuk menjaga diri, pemakaian cadar bagi
salah satu informan adalah sebagai bentuk melaksanakan perintah
Allah. Sebagaimana kutipan berikut:
“Hoyong43
menutupi aurat yang diperintahkan oleh
Allah.”44
Berdasarkan kutipan di atas, argumentasi utama pemakaian
cadar bagi para informan adalah menimbulkan rasa aman dan
nyaman dalam diri, terutama ketika berhadapan dengan lawan
jenis. Bagi mereka, dengan memakai cadar dapat menyadarkan
42
Syifa (Santri Putri Bercadar Pesantren Nur Assa‟adah
Tasikmalaya), diwawancarai oleh Sri Fajri Yanti, Tasikmalaya, 21 Agustus
2019, Jawa Barat 43
Ingin. 44
Syifa, Wawancara.
106
mereka dalam berbuat sesuatu. Misalnya ketika informan ada
keinginan untuk melakukan sesuatu yang dinilai melanggar
syari‟at, ia seakan langsung menyadari sebagai perempuan
bercadar, karena cadar dianggap sebagai identitas perempuan
saleha. Dengan demikian, pemakaian cadar dianggap dapat
mencegah terjadinya perbuatan negatif.
2.2 Argumentasi Eksternal
Argumentasi lain yang memperkuat para informan dalam
memakai cadar adalah dari faktor eksternal. Diantaranya sebagai
berikut:
Ajakan Guru
Sebagian informan mengungkapkan bahwa seringkali ada
ajakan dari guru. Seperti termuat dalam kutipan berikut:
“Awal mulana dicadar teh kajurung ku Akang
(Pimpinan Pesantren). Saur akang teh cenah, dicadar
cenah naon teh ameh hayang asup surga mah cenah
ceuk akang teh kitu. Hehehe. Saur akang teh:
santriyah cenah sok sok geura dicaladar hoyong ka
surga mah dikaraos kaki.”45
“Awal mulanya bercadar itu didorong oleh Akang
(Pimpinan Pesantren). Kata Akang tuh, bercadar! biar
masuk surga katanya. Kata Akang: santriyah.. ayo
segera bercadar kalo mau masuk surga, pake kaos
kaki.”
“Akang mah nya panginten kitu: santriyah....cenah,
geura dicaladar. Bari heureuy kitu tah. Jantena teh
45
Fira (Santri Putri Bercadar Pesantren Nur Assa‟adah Tasikmalaya),
diwawancarai oleh Sri Fajri Yanti, Tasikmalaya, 21 Agustus 2019, Jawa Barat.
107
menyuruh mah henteu, cuman menyadarkan we kitu
tah.”46
“Kata Akang kayanya gitu: santriyah... ayo bercadar.
Sambil bercanda gitu. Jadi tidak menyuruh, tapi
hanya menyadarkan.”
Berdasarkan kutipan kedua informan di atas, mereka
seringkali mendapatkan motivasi di sela-sela pengajian dari
Kyainya (Pimpinan Pesantren) untuk memakai cadar.
Mengikuti Model Yang Dikagumi
Alasan pemakaian cadar yang lainnya juga karena seringkali
mengamati praktik busana Bu Nyai (Istri Kyai) dan beberapa
teman seniornya yang memakai cadar, sehingga para informan
merasa tertarik untuk menirunya. Seperti ungkapan berikut:
“Pas pasantren didieu gening, naon teh pengurus teh
seueur nu dicadar, aya duaan, teh opi sareng teh iip.
Sok tataros kitu teh kunaon dicadar teh?. Da cenah
kedahna kitu saur eta teh. Karena ningal nu
arageung, pengurus ti kelas hiji SMP. Ke we cenah
aliyah, ayeuna mah sok diajar heula cenah.”47
“Waktu pesantren disini, apa ya, pengurus tuh banyak
yang pake cadar, ada dua orang, Ka Opi dan Ka Iip.
Suka bertanya gitu, kenapa pake cadar ka?. Katanya
emang harusnya begitu. Karena liat senior dan
pengurus dari kelas satu SMP. Nanti katanya Aliyah
(SMA), sekarang belajar dulu aja.”
46
Tasya, Wawancara. 47
Fira, Wawancara.
108
Mengikuti Kajian
Selain itu, salah satu informan seringkali mengikuti kajian
yang diikuti oleh komunitas bercadar. Sebagaimana diilustrasikan
dalam kutipan berikut:
“Ti masuk kampus tos aya niat, pas ngiringan kajian
sareng nu sanesna kitu, aya nu ngange niqāb kitu.
Kajiana biasa aya nu di Mesjid Agung, di RDA
(Rumah Dakwah Abu), di caket Polsek anu bade ka
Indihiang. Pami aya nu ngajak we teh, nu sok aya di
Mesjid AP (Asia Plaza) geningan. Awalna sih ningali
eta we kitu geningan, ningali rerencangan aya nu
sakelas oge nu ngange niqāb.”48
“Dari masuk kampus udah ada niat, pas ikut kajian
sama yang lainnya gitu, ada yang pake niqāb.
Kajiannya ada yang di Mesjid Agung, di RDA
(Rumah Dakwah Abu), dekat Polsek yang mau ke
Indihiang. Kalo ada yang ngajak aja ka, yang suka
ada di Mesjid AP (Asia Plaza). Awalnya sih liat gitu,
liat temen-temen ada yang pake cadar di kelas.”
Menurut hemat penulis, setidaknya ada dua poin penting yang
menjadi alasan para informan Pesantren Nur Assa‟adah untuk
memakai cadar. Pertama, dipengaruhi oleh ajakan Kyainya serta
melihat praktik bercadar yang dilakukan oleh teman-temannya
dan Bu Nyai (Istri Kyai). Kedua, munculnya rasa nyaman dalam
diri sejak memutuskan untuk memakai cadar. Hal tersebut hanya
dapat dirasakan oleh mereka yang bercadar.
Menurut analisa penulis, argumentasi pertama dianggap kuat
dalam mempengaruhi pemakaian cadar. Selain itu, praktik
48
Siska, Wawancara.
109
tersebut sudah lebih dulu dilakukan oleh Istri Kyai yang
kemudian beberapa santriwati ada yang menirunya. Umumnya di
pesantren yang berkultur NU, keluarga Kyai seringkali menjadi
tolak ukur dalam beragama. Sehingga praktik seperti ini dianggap
sesuatu yang baik dan berbuah pahala.
E. Refleksi dan Praktik Cadar di Pesantren Nur Assa’adah
dan Ihya As-Sunnah dalam Wacana Cadar Global
Sekarang
Secara historis-sosiologis, cadar dan jilbab tidak bisa
dilepaskan dari wacana tubuh sebagai identitas sosial. Tubuh
tidak hanya semata-mata menyandang identitas fisik, namun juga
identitas sosial dan bahkan menciptakan batasan-batasan sosial
tertentu. Jilbab dan cadar merupakan sebuah simbol dan bentuk
komunikasi non verbal yang memberikan tanda secara langsung
mengenai identitas dirinya sebagai seorang perempuan muslim
tanpa harus mengucapkannya melalui kata-kata kepada orang
lain.49
Sebagian umat Islam menganggap cadar sebagai perintah
Allah yang terdapat dalam al-Qur‟an, sementara sebagian muslim
yang lain dan juga umat non-muslim menganggapnya sebagai
praktik yang aneh. Belakangan ini di Indonesia cadar
diidentikkan sebagai pakaian yang berasal dari budaya Arab,
banyak orang beranggapan bahwa pemakaian cadar dinilai
sebagai pakaian yang berlebihan dan orang yang memakainya
49
Lisa Aisiyah dan Rosdalina “Problematika Hukum Cadar dalam
Islam: Sebuah Tinjauan Normatif-Historis,” 79.
110
dianggap menutup diri dari pergaulan sosial, serta dikhawatirkan
adanya penyalahgunaan cadar untuk kepentingan-kepentingan
bahwa apapun justifikasi terhadap cadar di masa lalu, hal itu tidak
mempunyai relevansi sama sekali dengan zaman modern.
Kalangan umat Islam ortodoks, khususnya ulama, disisi yang lain
menganggap cadar bagi perempuan sebagai kebutuhan yang
absolut dengan penggunaannya menjadi kebiasaan yang biasa
dilakukan.50
Praktik bercadar yang dilakukan di masa lalu, baik itu oleh
para sahabat Nabi atau jauh sebelum itu, ternyata diikuti oleh
sebagian orang di masa kini. Salah satunya teraplikasikan di
Ma‟had Ihya As-Sunnah dan sebagian santriwati Pesantren Nur
Assa‟adah Tasikmalaya. Meskipun kedua pesantren ini terdapat
praktik bercadar, namun keduanya memiliki cara pandang yang
berbeda dalam memahami suatu nash khususnya terkait ayat
jilbab.
Praktik bercadar di Pesantren Nur Assa‟adah nampaknya
menjadi minoritas. Karena dari jumlah 63 santriwati hanya 8
orang yang memakai cadar. Praktik seperti ini mulai terjadi pada
tahun 2003 tepatnya setelah KH Saepul Asy‟ari menunaikan
ibadah haji beserta istrinya. Setelah kepulangannya dari tanah
suci, istrinya merubah cara berbusana muslimah yang hanya
berjilbab menjadi bercadar. Melihat hal tersebut, sebagian
santriwati mulai mengikuti praktik bercadar dari tahun ke tahun
hingga saat ini. Bagi penulis, pemandangan seperti ini tidak
50
Ali Engineer, Pembebasan Perempuan, 83.
111
terlepas dari bagaimana para santri menjadikan Kyainya sebagai
tolak ukur dalam beragama, salah satunya dengan meniru cara
berbusana „Bu Nyai‟ (Istri Kyai). Karena jika melihat pesantren
lain yang berkultur NU, keumumannya adalah santriwatinya tidak
memakai cadar. Dengan demikian, santriwati bercadar di
Pesantren Nur Assa‟adah dianggap golongan minoritas baik di
kalangan komunitasnya atau diantara pesantren berkultur NU
lainnya.
Secara aturan, Pesantren Nur Assa‟adah tidak menerapkan
santriwatinya untuk memakai cadar, sehingga praktik bercadar
yang ada termasuk golongan minoritas. Meski begitu, praktik
seperti ini tidak menjadikannya sesuatu yang asing bagi para
santri yang lain. Melihat kedua praktik ini yakni santriwati yang
memakai cadar dan tidak memakainya, menunjukkan bahwa
pemahaman keagamaan mereka tidak kaku. Mereka menerima
praktik berbusana yang berbeda antara satu dan lainnya.
Meskipun dalam masalah aurat lebih cenderung mengambil
pendapat sebagian Mazhab Syafi‟i yang menyatakan seluruh
tubuh perempuan aurat, namun mereka melihat penafsiran QS al-
Nūr (24):31 sangat beragam dari mulai pendapat yang dinilai
ketat sampai longgar. Sehingga memakai cadar tidak menjadi
praktik yang diharuskan bagi para santrinya.
Berbeda dengan Ma‟had Ihya As-Sunnah, praktik bercadar
termasuk golongan mayoritas. Karena di pesantren ini
menerapkan peraturan memakai cadar bagi seluruh santriwatinya
baik jenjang SMP atau SMA. Hal tersebut tidak terlepas dari cara
112
mereka memahami suatu nash, salah satunya QS al-Nūr (24):31.
Berdasarkan hasil wawancara yang didapat, para informan Ihya
As-Sunnah memahami ayat tersebut sebagai perintah menutup
seluruh tubuh perempuan tanpa terkecuali. Sebagaimana
pengakuan salah satu informan bahwa Ma‟had Ihya As-Sunnah
tidak berpegang pada salah satu dari 4 mazhab (tidak bermazhab).
Akan tetapi, jika ada pendapat yang dinilai kuat dari ulama 4
mazhab maka mereka mengambil pendapat tersebut. Oleh karena
itu, penulis mengkategorikan Ihya As-Sunnah sebagai salah satu
komunitas yang memiliki pemahaman salafi, karena berdasarkan
temuan penulis kaum salafi merupakan salah satu komunitas yang
tidak bermazhab atau dengan kata lain anti taqlīd. Penulis
berasumsi, cara pandang seperti ini bisa saja terpengaruh oleh
para ulama yang biasa dijadikan rujukan oleh mereka. Khususnya
para ulama yang memiliki pemahaman yang sama yaitu salafi,
yang sering kali menyuarakan jargon “kembali pada al-Qur‟an,
hadis, dan salaf al-ṣāliḥ”.
Di sisi lain, mereka mengakui adanya perbedaan pendapat
para ulama dalam mengenakan cadar. Namun pendapat yang
dianggap kuat menurut mereka adalah mengenakannya karena
praktik seperti ini sudah ada pada masa Nabi. Hal ini
menunjukkan bahwa cara memahami masalah keagamaan mereka
adalah meniru apa adanya yang dilakukan oleh salaf al-ṣāliḥ.
Praktik bercadar di Ihya As-Sunnah sudah diterapkan sejak
berdirinya pesantren ini. Bagi penulis, praktik tersebut menjadi
identitas Ihya‟As-Sunnah dan minoritas di kalangan masyarakat.
113
Meski begitu, mereka tidak menutup diri pada masyarakat
yang berbeda faham dengannya. Hal ini bertujuan untuk
memudahkan masyarakat dalam menerima dakwah mereka.
Lembaga ini cukup aktif melakukan dakwah di berbagai media
guna menyebarluaskan pemahaman keagamaan mereka pada
khalayak. Lain halnya dengan Pesantren Nur Assa‟adah yang
berfokus pada pengajian para santri dan m sosial kemasyarakatan.
Selain itu, Yayasan Ihya As-Sunnah juga membuka peluang
bisnis dengan menjual pakaian dan obat herbal yang sesuai
dengan pemahaman mereka. Misalnya menjual jubah dan peci
untuk laki-laki, gamis, jilbab dengan ukuran panjang, dan cadar
untuk perempuan, serta obat herbal yang menurut mereka
terjamin kehalalannya. Oleh sebab itu, hal ini menunjukkan
bahwa mereka sangat berupaya menyebarluaskan pemahamannya
di berbagai bidang.
114
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, penulis
menyimpulkan pemahaman Pesantren Nur Assa‟adah dan Ihya
As-Sunnah terhadap QS al-Nūr (24):31 mengenai perintah
berjilbab menjadi bercadar dan argumentasi pemakaian cadar
bagi kedua komunitas tersebut.
1. Dalam memahami QS al-Nūr (24):31, sebagian komunitas
Pesantren Nur Assa‟adah mendukung pendapat yang
diambil oleh Imam Jalālain yaitu setiap muslimah harus
menutupi seluruh tubuhnya termasuk wajah, dengan
tujuan menghindari terjadinya fitnah. Selain itu, mereka
merujuk pada kitab-kitab fikih yang bermazhab
Syafi‟iyyah seperti Safīnah al-Najāh dan Ḥāsyiyah al-
Bājūrī yang mengemukakan pendapat serupa. Oleh karena
itu, dalam pemahamannya tentang aurat, Pesantren Nur
Assa‟adah cenderung mempertahankan pendapat sebagian
Mazhab Syafi‟i. Akan tetapi, pemahaman tersebut tidak
dijadikan sebagai peraturan di Pesantren Nur Assa‟adah,
karena persoalan batasan aurat perempuan pada ayat
tersebut masih menjadi perdebatan para ulama hingga saat
ini. Dengan demikian, praktik bercadar yang dilakukan
oleh 8 orang santriwati di Pesantren Nur Assa‟adah
dianggap sebagai golongan
115
minoritas, karena santriwati di pesantren yang berkultur
NU umumnya tidak memakai cadar. Pemahaman
Pesantren Nur Assa‟adah terhadap QS al-Nūr (24):31
bersifat representatif, artinya mewakili pendapat yang
lainnya di pesantren tersebut.
2. Sebagian komunitas Ma‟had Ihya As-Sunnah memahami
QS al-Nūr (24):31 sebagai perintah menutup seluruh
tubuh perempuan tanpa terkecuali, sehingga pemakaian
cadar menjadi suatu keharusan. Oleh karena itu, Ma‟had
Ihya As-Sunnah menerapkan peraturan memakai cadar
bagi seluruh santri putrinya. Hadirnya pemahaman
tersebut karena komunitas ini banyak mempertahankan
fatwa para ulama salafi dan kitab-kitabnya. Di antara
kitab rujukannya adalah Ḥirāsah al-Faḍīlah, Fiqh al-
Sunnah li al-Nisā’, dan al-Wajīz fī Fiqh al-Sunnah wa al-
Kitāb al-‘Azīz. Adapun ulama salafi yang banyak
dijadikan fatwa rujukan oleh mereka, khususnya tentang
cadar adalah „Abd al-„Azīz ibn Bāz, Ṣāliḥ ibn Fawzān,
dan Muṣṭafā al-„Adawī, yang ketiganya memiliki
hubungan guru dan murid dengan pemahaman yang sama.
Pemahaman komunitas Ihya As-Sunnah terhadap QS al-
Nūr (24):31 tidak bersifat representatif, karena penulis
menemukan pendapat yang berbeda di antara sejumlah
informan. Dengan demikian, pemahaman yang berbeda
lainnya yang tidak terlibat dengan penelitian ini sangatlah
dimungkinkan.
116
3. Argumentasi atau alasan dasar pemakaian cadar bagi 4
informan Pesantren Nur Assa‟adah terbagi dua macam;
Pertama, argumentasi internal yaitu alasan pemakaian
cadar yang muncul karena faktor dari diri sendiri. Di
antaranya, memakai cadar dapat mencegah terjadinya
perilaku negatif, merasa nyaman dan aman dari lawan
jenis, juga sebagai bentuk ibadah ketika memakainya.
Kedua, argumentasi eksternal yaitu alasan pemakaian
cadar yang muncul karena faktor dari luar. Di antaranya,
ajakan dari Kyai, mengamati praktik bercadar beberapa
temannya serta Bu Nyai (Istri Kyai), dan sering mengikuti
kajian bersama komunitas perempuan bercadar di sekitar
Kota Tasikmalaya seperti RDA (Rumah Dakwah Abu).
4. Adapun argumentasi pemakaian cadar bagi 8 informan
Ma‟had Ihya As-Sunnah terbagi dua macam; Pertama,
argumentasi internal yaitu alasan pemakaian cadar yang
muncul karena faktor dari diri sendiri. Di antaranya, ingin
melindungi diri karena bagi sebagian informan cadar akan
menghindarkan diri dari pergaulan sosial yang bebas,
khususnya dengan lawan jenis, merasa nyaman terhadap
diri sendiri, dan menjalankan ajaran agama. Kedua,
argumentasi eksternal yaitu alasan pemakaian cadar yang
muncul karena faktor dari luar. Di antaranya, mengikuti
model yang dikagumi seperti para sahabat di Masa Nabi
dan teman-teman di lingkungannya, serta menjalani
peraturan pesantren. Keikutsertaan di lingkungan
117
komunitas bercadar membentuk mereka menjadi
perempuan bercadar yang memiliki pemahaman serupa.
B. Saran
Dari penelitian yang sudah dilakukan, ada beberapa hal yang
sekiranya perlu disampaikan:
1. Dengan adanya penelitian ini, diharapkan kepada
perempuan muslimah untuk lebih mengetahui dan
memahami maksud QS al-Nūr (24):31 dari berbagai
literatur. Cara memahami ayat tersebut akan
bergantung pada rujukan yang dipakai.
2. Selanjutnya penulis mengharapkan adanya penelitian
lebih lanjut mengenai pemahaman suatu komunitas
terhadap QS al-Nūr (24):31 yang belum ada disini,
dikarenakan penulisan ini masih jauh dari sempurna.
118
DAFTAR PUSTAKA
„Abdillāh, Bakr ibn. Ḥirāsah al-Faḍīlah. tp, tt.
Abidin, Zainal bin Syamsudin. Buku Putih Dakwah Salafiyah.
Jakarta: Pustaka Imam Abu Hanifah, 2009.
Ahmad, Shofian dan Lotfiah. Aurat: Kod Pakaian Islam. Utusan
Publications, 2004.
Aisyiah, Lisa Aisiyah dan Rosdalina. “Problematika Hukum
Cadar dalam Islam: Sebuah Tinjauan Normatif-Historis.”
Jurnal Ilmiah Al-Syir’ah. vol. 16, no. 1 (2018): 78.
al-„Uṡaimīn, Muḥammad ibn Ṣāliḥ. Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm
(Surah al-Nūr). Saudi: Mu‟assasah al-Syaikh Muḥammad
ibn Ṣāliḥ al-„Uṡaymīn al-Khairiyah, 1436 H.
AlFajar, Muhammad Lutfi. “Nilai-Nilai Pendidikan Tauhid dalam
Kitab At-Tauhid Lish Shaffil Awwal Al-„Aliy Karya Dr.
Shalih Bin Fauzan Bin Abdullah Al-Fauzan.” Skripsi S1.,
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang,
2016.
Alma‟ani, Zaky (Staf Pengajar Pesantren Nur Assa‟adah).
Diwawancarai oleh Sri Fajri Yanti. Tasikmalaya, 23
Agustus 2019, Jawa Barat.
Al-Qur‟an, Lembaga Pentashihan Mushaf. Kedudukan dan Peran
Perempuan: Tafsir Al-Qur’an Tematik. Jakarta: Lajnah
Pentashihan Mushaf Al-Qur‟an, 2009.
al-Qurṭubī, Muḥammad ibn Aḥmad. al-Jāmi’ li Aḥkām al-Qur’ān
jilid 12, terj. Ahmad Khotib. Jakarta: Pustaka Azzam, 2009.
al-Suyūṭī, Jalāluddīn. al-Itqān fī ‘Ulūm al-Qur’ān. Beirut:
Mu‟assasah al-Risālah, 2008. al-Qaṭṭān, Mannā‟ Khalīl.
Mabāḥiṡ fī ‘Ulūm al-Qur’ān. Beirut: Mu‟assasah al-
Risālah, 1989.
119
al-Ṭabarī, Muḥammad ibn Jarīr. Jāmi’ al-Bayān ‘an Ta’wīl Ay al-
Qur’ān, terj. Ahsan Askan, dkk. Jakarta: Pustaka Azzam,
2009. vol. 19.
Ambia, Rizki Nurul. “Strategi Komunikasi Komunitas Wanita
Indonesia Bercadar (WIB) Dalam Mensosialisasikan Jilbab
Bercadar.” Skripsi S1., Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2016.
As-Sunnah, Ma‟had Ihya. Profil Yayasan Ihya As-Sunnah.
Tasikmalaya, 2015.
Badawi, Abd al-„Aẓīm ibn. al-Wajīz fī Fiqh al-Sunnah wa al-
Kitāb al-‘Azīz. Mesir: Dār Ibn Rajab, 2001.
Bisri, Adib dan Munawir. Kamus al-Bisri Indonesia-Arab Arab-
Indonesia. Surabaya: Pustaka Progressif, 1999.
Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren: Studi tentang
Pandangan Hidup Kyai. Jakarta: LP3ES, 1994.
ElGuindi, Fadwa. Jilbab: Antara Kesalehan, Kesopanan, dan
Perlawanan Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2005.
Engineer, Asghar Ali. Pembebasan Perempuan, terj. Agus
Nuryatno. Yogyakarta: LKis, 2007.
Fadlal, Kurdi. “Studi Tafsīr Jalālain di Pesantren dan
Ideologisasi Aswaja.” Jurnal Nun. vol.2, no.2 (2016).
Faisol, Yufni. “Konsep Adil dalam Poligami: Telaah Pemikiran
Mushthofa Al-„Adawī dalam Tafsir Al-Tashīl Lita’wīl Al-
Tanzīl.” International Journal Ihya ‘Ulum Al-Din. vol.18,
no.1 (2016): 27-28.
Fakhruddin, Muhammad Zaky. “Kolokasi Kata Ḍaraba Dalam
Al-Qur‟an: Studi Terjemahan M Qurasih Shihab.” Skripsi
S1., Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
2017.
120
Farih, Amin. “Analisis Pemikiran Abdullah Bin Baz dan Sayyid
Muhammad Al-Maliky: Mencari Titik Kesepakatan Sunny
dan Wahabi Melalui Metodologi Istinbat Hukum.” Laporan
Penelitian Individual, IAIN Walisongo, 2014.
Faruk, Umar. “Cadar Wanita Muslimah dalam Perspektif al-
Qur‟an.” Tesis S2., Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Surabaya, 2015.
Fatimah, Ummu (Staf Pengajar Tahfidz Putri Ma‟had Ihya As-
Sunnah). Diwawancarai oleh Sri Fajri Yanti. Tasikmalaya,
22 Agustus 2019, Jawa Barat.
Firdaus. “Kerudung Dalam Perspektif Al-Qur‟an: Studi Analisis
Surah an-Nur:31 dan al-Ahzab:59.” Skripsi S1., Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2001.
Haekal, Adam. “Jilbab Antara Pemahaman Ayat dan Aplikasinya
Studi Kasus Mahasiswi Anggota HIQMA dan LDK UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.” Skripsi S1., Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017.
Hanafi, Muchlis M. Asbābun Nuzūl: Kronologi dan Sebab
Turunnya Wahyu al-Qur’an. Jakarta: Lajnah Pentashihan
Mushaf Al-Qur‟an, 2015.
Irawan, Ade. “Hijab, Khimar dan Jilbab: Usaha Kontekstual
Substantif Telaah Penafsiran Muhammad Said al-Asymawi
Atas QS al-Ahzab (33): 53:59 dan al-Nur (24):31,” Skripsi
S1., Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
2006.
Iskandar, Amalia Sofi. “Konstruksi Identitas Muslimah
Bercadar.” Diakses, 02 Februari, 2019,
https://repository.unej.ac.id/bitstream/handle/123456789/58
973/Amalia%20Sofi%20Iskandar.pdf?sequence=1
Jeri, Ustadzah (Staf Pengajar Bahasa Arab Putri Ma‟had Ihya As-
Sunnah). Diwawancarai oleh Sri Fajri Yanti. Tasikmalaya,
23 Agustus 2019, Jawa Barat.
Majid, Nurcholish. “Tradisi Syarḥ dan Ḥasyiyah dalam Fiqih dan
Masalah Stagnasi Pemikiran Islam.” Diakses, 02 Januari,
2020, http://nurcholishmadjid.org/assets/pdf/buku/1994_06-
Tradisi-Syarh-dan-Hasyiyah-dalam-Fiqih.pdf
Manẓūr, Ibn. Lisān al-‘Arab. Beirut: Dār al-ṣadīr, tt.
Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2004.
Muafa. “Mengenal Kitab Hasyiyah Al-Bajuri.” Diakses, 02
Januari, 2020, http://irtaqi.net/2018/03/02/mengenal-kitab-
hasyiyah-al-bajuri/
Muafa. “Mengenal Kitab Safinatu An-Najah.” Diakses, 02
Januari, 2020, http://irtaqi.net/2018/02/26/mengenal-kitab-
safinatu-najah/
Munandar, Yasin. “Studi Analisis Materi Fikih dalam Kitab
Safīnat Al-Najāh Karya Syaikh Salim bin Sumair Al-
Hadhromiy dan Relevansinya dengan Materi Fikih Kelas
VII MTs.” Skripsi S1., Institut Agama Islam Negeri
Ponorogo, 2018.
Musaddad, Anwar. “Hubungan Antara Jilbab Dan Perilaku
Islami: Studi Kasus Santriwati Pesantren Madinatunnajah
Tangerang.” Skripsi S1., Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2008.
Nur Assa‟adah, Pondok Pesantren. Profil Yayasan Nur Assa’adah
al-Asy’ary. Akta Notaris, no. 442, 30 Maret 2016.
Pendidikan, Badan Standar Nasional. “Standar Sarana dan
Prasarana.” Diakses, 11 November, 2019, www.bsnp-
indonesia.org/standard-sarana-dan-prasarana/.
Purnama, Yulian. “Biografi Syaikh DR. Shalih bin Fauzan Al
Fauzan.” Diakses, 15 Januari, 2020,
https://muslim.or.id/9338-biografi-syaikh-dr-shalih-bin-
fauzan-al-fauzan.html
121
122
Rahmat, Jalaluddin. Islam Alternatif. Bandung: Mizan, 1990.
Rania, Ustadzah (Bidang Kesantrian Putri Ma‟had Ihya As-
Sunnah) Diwawancarai oleh Sri Fajri Yanti. Tasikmalaya,
23 Agustus 2019, Jawa Barat.
Ratri, Lintang. “Cadar, Media, dan Identitas Perempuan Muslim.”
Diakses, 25 Juli, 2019,
https://ejournal.undip.ac.id/index.php/forum/article/view/31
55
Rizka, Ditha Ainur. “Jilbab Dalam Tata Busana Kontemporer:
Studi Komparasi Pemikiran al-Uṡaimīn dan M Qurasih
Shihab.” Skripsi S1., Universitas Islam Negeri Sunan
Kalijaga Yogyakarta, 2010.
Rizki, Wahyu Fahrul. “Khimar dan Hukum Memakainya Dalam
Pemikiran M Quraish Shihab dan Buya Hamka.” Jurnal Al-
Mazāhib. vol.5, no.1 (2017): 22.
Rohim, Asep. “Penyebaran Pesantren Abad Ke-19 Sampai Awal
Abad ke-20.” Diakses, 11 November, 2019,
www.academia.edu/10985566/Penyebaran_Pesantren_Aba
d_ke-19_sampai_awal_abad_ke-20
Shihab, M Quraish. Al-Lubāb: Makna, Tujuan, dan Pelajaran
dari Surah-Surah Al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati. vol. 2.
Shihab, M Quraish. Jilbab: Pakaian Wanita Muslimah. Ciputat:
Lentera Hati, 2014.
Shihab, M Quraish. Tafsir Al-Misbāh: Pesan, Kesan dan
Keserasian Al-Qur‟an, jilid 9. Jakarta: Lentera Hati, 2002.
Shihab, M Quraish. Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i Atas
Pelbagai Pesoalan Umat Bandung: Mizan, 1996.
Siska (Santri Putri Bercadar Pesantren Nur Assa‟adah
Tasikmalaya). Diwawancarai oleh Sri Fajri Yanti.
Tasikmalaya, 22 Agustus 2019, Jawa Barat.
123
Subhan, Zaitunah. Al-Qur’an dan Perempuan: Menuju
Kesetaraan Gender dalam Penafsiran. Jakarta:
Prenadamedia Group, 2015.
Susanti, Ade. “Gambaran Persahabatan dan Penyesuaian Diri
Pada Mahasiswi UIN Jakarta Yang Mengenakan Cadar.”
Skripsi S1., Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2008.
Suyanto, Bagong. Metodologi Penelitian Sosial Berbagai
Alternatif Pendekatan Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2007.
Tanra, Indra Tanra. “Persepsi Masyarakat Tentang Perempuan
Bercadar.” Jurnal Equilibrium. vol.2, no.1 (2016): 118.
Tasya (Santri Putri Bercadar Pesantren Nur Assa‟adah
Tasikmalaya). Diwawancarai oleh Sri Fajri Yanti.
Tasikmalaya, 21 Agustus 2019, Jawa Barat.
Tuasikal, Muhammad Abduh. “Ilmuwan yang Menjadi Ulama.”
Diakses, 18 Desember, 2019, https://rumaysho.com/2992-
ilmuwan-yang-menjadi-ulama-1.html
Umar, Nasaruddin. “Menstruasi Kosmetik dan Croissants.”
Jurnal Az-Zikra. no.17, (2006): 65-66.
Umar, Nasaruddin. Fikih Wanita Untuk Semua. Jakarta: PT
Serambi Ilmu Semesta, 2010.
Umar, Nasaruddin. Mendekati Tuhan dengan Kualitas Feminin.
Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2014.
Wijayanti, Ratna. “Jilbab Sebagai Etika Busana Muslimah dalam
Perspektif Al-Qur‟an.” Jurnal Studi Islam. vol.7, no.2
(2017): 157.
LAMPIRAN 1
Surat Pemberitahuan Pasca Penelitian
124
125
126
Pertanyaan Wawancara
127
LAMPIRAN 2
Brosur Ma‟had Ihya As-Sunnah
128
Cover Profil Ihya‟ As-Sunnah
129
Dokumentasi Ma’had Ihya’ As-Sunnah
Gerbang Depan Santri Putra
Gerbang Belakang Santri Putri
130
Mesjid Utama Ihya As-Sunnah
Kantin Santri Putri
131
Mini Market MIAS
Toko Obat Herbal
132
Wisuda Tahfizh Santri Putri
Majalah Dinding Siswa
133
Wawancara dengan Informan di Halaman Asrama Putri
134
LAMPIRAN 3
Brosur Pesantren Nur Assa‟adah
135
136
Dokumentasi Pesantren Nur Assa’adah
Gerbang Masuk Pesantren Nur Assa‟adah
Mesjid Nur Assa‟adah
137
Aktivitas Belajar Bersama di Kamar Putri
Sebagian Santri Putri Nur Assa‟adah
138
Foto bersama Sebagian Informan di Lantai 2 Asrama Putri