pembaharuan pendidikan islam
DESCRIPTION
Menurut Pemikiran Nurkholis MajidTRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam perjalanan sejarah, pendidikan dalam dunia Islam pernah mencapai
zaman kemajuan dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan,1 pada masa
pemerintahan Daulah Abbasiyah. Namun demikian setelah abad ke-13 dunia
Islam mengalami kemunduran. Bahkan menurut Al-Afghani dan Abduh,
keterbelakangan umat Islam karena ketertinggalannya dalam bidang ilmu
pengetahuan.2 Karena itu pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, dunia Islam
ditandai dengan munculnya gerakan modernisme yang banyak diilhami oleh
kebangkitan kekuasaan politik, ekonomi maupun pendidikan Eropa. Gerakan
modernisme pada dasarnya berusaha untuk menyesuaikan ajaran Islam dengan
pemikiran dan perkembangan modern.3
Lahirnya gerakan modernisme ini dilatarbelakangi oleh adanya kemunduran
umat Islam di dalam berbagai bidang, ekonomi, sosial, budaya, dan pendidikan.
Ketika memasuki abad ke-18 terjadilah desakan hebat oleh penetrasi Barat
1 Di bidang hukum tercatat nama-nama seperti Imam Abu Hanifah (699 M-767 M), Imam Malik (712 M-795 M), Imam Syafi’i (767 M-819 M), Imam Ahmad Bin Hanbal (780 M-855 M). Di bidang teologi tercatat nama-nama Washil bin Atha (81 H-131 H), Abu Huzail (135 H-235 H), al-Nazdam (185 H-221 H), al-Jubai (w. 259 H), al-Asy’ari (873-935 M), al-Maturidi (W. 944 M), al-Bazdawi (421-493 H). Di bidang tasawuf dikenal nama-nama Rabi’ah al-Adawiyah (714 –801 M), Zu al-Nun al-Mishri (W. 859 M), Abu Yazid al-Bustami (874-947 M), al-Hallaj (858-922 M). Di bidang filsafat dikenal nama al-Farabi (870-950 M), al-Kindi (W. 870), Ibn Miskawaih (930-1030 M), Ibn Sina (980-1037). Di bidang ilmu pengetahuan dikenal nama Ibn Haitsam (965-1039), Ibn Hayyan (721-815 M), al-Khawarizmi (780-850 M), al-Mas’udi (w. 975 M), dan al-Razi (865-923 M).
2 Mansur Isnah, Diskursus Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Global Pustaka Utama, 2001), h. 35
3 Baca Gerakan Modernisme Islam dalam Ensiklopedi Islam Asia Tenggara Tematis Dunia Islam, Jilid 5, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Houve, 2002), h. 347
2
terhadap dunia Islam,4 yang membuat umat Islam bangun dari tidurnya serta
menyadari betapa mundurnya umat Islam bila dibandingkan dengan kemajuan
Barat.
Usaha untuk memulihkan kembali kekuatan Islam pada umumnya – yang
dikenal dengan gerakan pembaharuan – didorong oleh oleh dua faktor yang saling
mendukung, yaitu pemurnian ajaran Islam dari unsur-unsur asing yang dipandang
sebagai penyebab kemunduran Islam itu seperti gerakan Wahhabiyah dan gerakan
Sanusiyyah di Afrika Utara,5 dan menimba gagasan-gagasan pembaharuan dan
ilmu pengetahuan dari Barat seperti dengan pengiriman para pelajar Muslim oleh
penguasa Turki Usmani dan Mesir ke negara-negara Eropa untuk menimba ilmu
pengetahuan dan dilanjutkan dengan gerakan penerjemahan karya-karya Barat ke
dalam bahasa Islam.
Gerakan yang lahir di Timur Tengah itu telah memberikan pengaruh besar
kepada gerakan kebangkitan Islam di Indonesia. Bermula dari pembaharuan
pemikiran dan pendidikan Islam di Minangkabau yang disusul oleh pembaharuan
pendidikan yang dilakukan oleh masyarakat Arab di Indonesia. Sementara itu,
hampir pada waktu bersamaan, pemerintah penjajahan menjalankan politik etis,
politik balas budi. Belanda mendirikan sekolah-sekolah formal pribumi putera,
terutama dari kalangan priyayi dan kaum bangsawan.6
4 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993), h. 173 5 Gerakan Sanusiyyah dipimpin oleh said Muhammad Sanusi dari Aljazair. 6 Pendidikan Belanda tersebut membuka mata kaum terpelajar akan kondisi masyarakat Indonesia. Pengetahuan mereka akan kemiskinan, kebodohan, dan ketertindasan masyarakat
3
Pembaruan pendidikan menurut Prof. Santono S. Hamijaya, sebagaima
dikutip oleh Cece Wijaya dkk., adalah suatu perubahan yang baru dan kualitatif,
berbeda dari hal (yang ada sebelumnya) serta sengaja diusahakan untuk
meningkatkan kemampuan guna mencapai tujuan tertentu dalam pendidikan.7
Berbagai usaha telah dilakukan untuk mereformasi pendidikan, hanya saja
setelah reformasi digulirkan, tetap saja menjadi persoalan dan bahkan membuka
perselisihan di kalangan umat Islam terpelajar antara pendidikan tradisional dan
pendidikan modern. Kedua kelompok ini saling mencurigai satu sama lain dan
saling menuduh terhadap kelemahan pihak lain sehingga terputuslah interaksi
antara ilmu pengetahuan keislaman dengan teknologi modern.8 Karena itu, Malik
Fajar menilai bahwa lembaga pendidikan Islam seharusnya mempunyai semangat
menatukan antara semangat Helenisme dan Semitis dalam bentuk sistem
kurikulum yang bervariasi. 9 Di samping itu, upaya integrasi yang dilakukan pada
umumnya belum membuahkan hasil.10 Ada banyak faktor yang menyebabkan
tertinggalnya perkembangan dunia pendidikan di Indonesia. 11 Pertama, karena
Indonesia, pada saatnya mendorong lahirnya organisasi-organisasi sosial seperti Budi Utomo, Taman Siswa, Jong Java, Jong Sumatrranen Bond, Jong Ambon, Jong Selebes, dan sebagainye Lihat John D. Legge, Sukarno sebuah Otobiografi Politik, (Jakarta: SH, 1985). 7 Cece Wijaya dkk., Upaya Pembaharuan dalam Pendidikan dan Pengajaran, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1992), h. 6 8 Zarkowi Soejoti, Pendidikan Islam Perkembangan dan Peranannya dalam Membangun Sistem Pendidikan Nasional, Pidato Penerimaan Gelar Doktor Honoris Causa, 30 Januari 2002, h. 36 9 Yang dimaksud seamngat Helenisme dan Semitis adalah integrasi keilmuan antara agama dan ilmu umum. Untuk lebih jelasnya baca, Reorientasi Pendidikan Islam (Jakarta: Fajar Dunia, 1999), h. 104 10 Fazlur Rahman, Islam and Modernity, h. 130 11 Dari segi pendidikan, bangsa Indonesia saat ini masih terbelakang dalam lingkup Asia, bahkan dalam lingkup yang lebih kecil lagi Asia Tenggara. Malaysia, misalnya menganggap Indonesia kini tidak memenuhi syarat (unqualified), meskipun Malaysia pernah di tahun 1970-an”hutang budi” pada
4
kebijakan politik kolonial Belanda yang menempatkan pendidikan Islam sebagai
saingan yang harus dihadapi dan dihancurkan. Kedua, sistem pendidikan yang
diterapkan di Indonesia adalah sistem pendidikan Barat, yang berorientasi kepada
kepentingan ideologi sekuler yang berpotensi mendangkalkan agama dari segala
aspeknya.12
Selain faktor di atas, menurut Nurcholish Madjid,13 ada persoalan-persoalan
lain yang menyebabkan pendidikan di Indonesia ketinggalan zaman, yaitu:
Pertama, salah satunya adalah ketidakmampuan dalam menguasai bahasa Inggris.
Kedua, pendidikan di Indonesia masih didekati secara nativistik, yaitu suatu orientasi
yang hanya bertumpu kepada bangsa sendiri, bahwa baik dan benar hanya datang dari
bangsa sendiri. Dengan demikian, pendidikan seharusnya menumbuhkan nilai-nilai Indonesia dalam hal mengimpor guru dari Indonesia. Lihat Nurcholish Madjid, “Kata Pengantar” dalam Pendidikan Untuk Masyarakat Indonesia Baru, 70 Tahun H.A.R. Tilaar, (Jakarta: Grassindo, 2002), h. xxiii 12 Agus Salim Sitompul, Menyatu Dengan Umat Mnenyatu Dengan Bangsa, Pemikiran Keislaman HMI (1947-1997), (Logos: Jakarta, 2002), h. 62 13 Nurcholish Madjid lahir di Jombang, Jawa Timur 17 Maret 1939 M./26 Muharam 1358 H. Ayahnya K.H. Abdul Madjid, seorang kyai jebolan Pesantren Tebuireng, Jombang. Ibunya Hj. Mardiyah Fathonah putri kyai Abdullah Sadjad teman baik Kyai Hasyim As’ari. Sketsa ini menunjukkan bahwa Nurcholish Madjid terlahir dari subkultur pesantren. Nurcholish Madjid anak sulung dari lima bersaudara. Pendidikannya dimulai dari pesantren Darul Ulum Rejoso, Jombang selama 2 tahun. Kemudian melanjutkan pendidikannya ke KMI (Kulliyatul Mu’allimin al-Islamiyah) di Pesantren Darussalam Gontor, Ponorogo, Jawa Timur sampai tamat tahun 1960. Setelah menamatkan studi di Gontor, Ponorogo, oleh pimpinan (KH. Zarkasyi), Nurcholish Madjid dipersiapkan untuk melanjutkan studinya ke Al-Azhar, Kairo. Tetapi, disebabkan beberapa faktor akhirnya Nurcholish Madjid tidak jadi berangkat dan melanjutkan studinya ke Fakultas Sastra dan Kebudayaan Islam IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tamat tahun 1968. Dan sejak tahun 1978 sampai tahun 1984 melanjutkan pendidikan doktoralnya di University of Chicago dan meraih gelar Ph.D. atas beasiswa dari For Foundation. Selama kuliah ia aktif di berbagai kegiatan kemahasiswaandan terpilih menjadi ketua Umum Pengurus Besar HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) selama dua periode (1966-1969 dan 1969-1971). Jabatan lain; Presiden Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara (1967-1969) dan wakil sekjen IIFSO (International Islamic Federation of Students Organitaion), Pemimpin Umum Majalah Mimbar Jakarta (1971-1974), Direktur LSIK (Lembaga Studi Ilmu-ilmu Kemasyarakatan), jakarta (1972-1977), Fellow dalam Eisenhover Fellowship (1990), anggota Komnas HAM RI, dosen Program Pascasarjana IAIN Jakarta, pendiri sekaligus Ketua Yayasan Wakaf Paramadina, serta Rektor Universitas Paramadina Mulya (sejak 27 Februari 1998 sampai sekarang).
5
kemanusiaan universal (personality development) seperti masyarakat madani, civil,
civilized atau berperadaban. Pada akhirnya, akan muncul penghargaan terhadap
sesama manusia, egaliterianisme, toleran dan nondiskriminatif.
Ketiga, kurangnya kesadaran yang penuh dalam hal etos penelitian. Menurut
Nurcholish Madjid, orang-orang Amerika dan Barat pada umumnya tetap yang paling
baik. Hampir semua temuan dilakukan oleh orang-orang Barat. Oleh sebab itu, etos
penelitian sangat terkait dengan tekanan kuat pada aspek pengembangan pribadi.
Keempat, hal yang terkait dan sangat penting dibicarakan berkenaan dengan
pendidikan adalah kebebasan. Dalam hal ini Nurcholish Madjid “kagum” dan
sekaligus “kecewa” atas apa yang dikatakan oleh seseorang penulis buku Amerika
keturunan India, Kishore Mahbubani. Mahbubani mengatakan, “Can Asian Think?”
Kesimpulannya adalah bahwa orang Asia tidak dapat berpikir. Mengapa? Menurut
Nurcholish Madjid jawabannya sangat sederhana, sebagai berikut:
“Orang-orang Asia tidak berani berbeda. Mereka lebih menekankan kerukunan dan
keharmonisan. Karena tidak terbiasa dengan perbedaan, maka ketika muncul
perbedaan sedikit saja sudah menimbulkan stigma yang luar biasa dan ditanggapi
dengan permusuhan dan reaksi yang keras. Ketidaksanggupan untuk berbeda inilah
kemudian melahirkan berbagai tindak kekerasan. Mahbubani berpendapat bahwa
ketidakmampuan orang Asia berpikir bukan bukan soal gen atau ras tetapi karena soal
budaya”.14
14 Nurcholish Madjid, “Kata Pengantar” dalam Pendidikan Untuk Masyarakat Indonesia Baru, 70 Tahun H.A.R. Tilaar, (Jakarta: Grassindo, 2002), h. xxvi
6
Kelima, menonjolkan pendidikan verbalisme di Indonesia. Sudah lama pendiidkan
di Indonesia berwatak verbalistik, melalui berisi omongan, teori-teori abstrak, namun
sedikit sekali bersinggungan dengan realitas atau kenyataan sesungguhnya. Oleh
sebab itu, pendidikan harus mendorong dan mengupayakan rasa curiosity yang tinggi
terhadap alam. Berkaitan dengan ini, program-program pendidikan berupa outhound
training harus segera diperbanyak dan dikembangkan.
Keenam, pluralitas keagamaan harus diperkenalkan, bahwa bangsa Indonesia
majemuk dari segi keyakinan ajaran agama. Di Indonesia terdapat multi agama.
Masing-masing ajaran agama itu mempunyai ukuran tingkah sendiri dan setiap umat
beragama harus menjadi toleran dan memiliki rasa penghargaan terhadap orang lain.
Ketujuh, persoalan penting lainnya adalah pendidikan terkait dengan soal
penghargaan terhadap peran dan posisi guru. Masyarakat yang maju selalu
menempatkan guru dalam posisi yang sangat terhormat.
Rendah dan minimnya ilmu yang dimiliki orang-orang Islam atau kemiskinan
intelektual, membawa konsekuensi rendahnya kemampuan umat Islam memberi
respon pada tantangan zaman secara kreatif dan bermanfaat, yang mengalami
perubahan dan perkembangan yang sangat cepat.15
Menurut Nurcholish Madjid, keyakinan diri dan kemampuan menghadapi masa depan
sangat tergantung pada bagaimana cara berpikir. Jika Islam mengajarkan bahwa Allah
15 Nurcholish Madjid, Tradisi Islam, Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di Indonesia , (Jakarta: Paramadina, 1997), h. 45
7
tidak akan mengubah nasib suatu kaum, sehingga mereka sendiri mengubah apa yang
ada pada diri mereka, maka interpretasi yang paling sesuai dengan dalam perubahan
nasib sangat tergantung pada perubahan cara berpikir. Sebab cara berpikir merupakan
salah satu hal yang paling substantif dalam diri manusia.16 Untuk membentuk cara
berpikir seseorang, pendidikan memegang peranan penting.
Kasus ini mengindikasikan pendidikan adalah suatu keniscayaan. Umat Islam dituntut
untuk memiliki kesuburan dan kematangan intelektual, agar mampu merespons setiap
tantangan zaman, melakukan suatu pembaruan guna memenuhi kebutuhan manusia
kontemporer. Kalau pendidikan sebagai suatu keniscayaan, maka pendidikan akan
membuahkan manusia terdidik yang memiliki kesuburan intelektual sehingga ia
mempunyai kelebihan dari yang lainnya.
Menyikapi kondisi di atas, tokoh cendekiawan Muslim yang mempopulerkan
masyarakat madani di Indonesia, membangun peta pembaharuan di hadapan
intelektual yaitu sebuah agenda pembaruan intelektual yang dipersiapkan untuk
menggugurkan segala macam bentuk ajaran, kegemaran, maupun tradisi yang
bersikukuh keras dengan caranya sendiri. Maka rancangan pembaharuan yang
dimunculkannya meliputi kebebasan intelektual dan gagasan yang ditangkap dari
gagasan sekularisasi. Di sinilah terletak konsistensi pemikiran Nurcholish Madjid
yang kemudian sangat relevan untuk membicarakan masyarakat madani sebagai
landasan berpijak, sebab masyarakat madani adanya keterbukaan, kebebasan yang
16 Ibid., h. 29
8
bertanggungjawab dan kesediaan menerima realitas kehidupan bersama dalam
kemajemukan plural harus dipandang sunnatullah.
Simpul pemikiran Nurcholish Madjid adalah monoteisme radikal dan
kemodernan. Variannya antara lain gagasan tentang sekularisasi serta
inklusivisme dan universalisme Islam. Sekularisasi versi Nurholish Madjid
adalah”Menduniawiakan nilai-nilai yang semestinya bersifat duniawi dan
melepaskan umat Islam dari kecenderungan mengkhawatirkannya”. Gagasan
inklusivisme dan universalisme Islam dalam pendapat Nurcholish Madjid bahwa,
Islam tidak identik dengan ideologi. Sedang gagasan kemodernan terartikulasikan
lewat jargon modernisasi adalah rasionalisasi, bukan westernisasi”35
Dalam buku, Islam Doktrin dan Peradaban, karya monumental Nurcholish
Madjid, nama Ibn Taimiyyah disebut puluhan kali, begitu juga dalam buku Islam
Agama Peradaban. Kutipan Nurcholish Madjid tentang pendapat Ibn Taimiyyah
terkesan “aneh” dan kurang. Tetapi kekaguman Nurcholish Madjid terhadap Ibn
Taimiyyah itu apakah selalu tercermin dalam pemikiran-pemikirannya.? Ini
perlu penelitian. Dalam tulisan-tulisannya, Nurcholish Madjid sering mengutif
pendapat Ibn Taimiyah. Oleh karena itu patut diduga pemikiran Nurcholish
Madjid dipengaruhi oleh pemikiran Ibn Taimiya.
Nurcholish Madjid juga patut diduga pemikirannya dipengaruhi oleh
pemikiran Fazlur Rahman, sebab ketika kuliah di University of di Chicago 35 Ibid., h. xvii
9
sebagai gurunya. Oleh karena itu apakah sama pembaruan pemikiran Islam
Nurcholish Madjid dengan neo-modernisme Fazlur Rahman?. Ini perlu
pembuktian dalam penelitian.
Nurcholish Madjid dikenal sebagai seorang cendekiawan Muslim, pemikir
neo-modernisme. Hal ini dapat dilihat dari karya-karya tulis dan pemikirannya.
Melalui karya-karyanya tentang masyarakat, agama, lembaga pendidikan
pesantren dari berbagai khazanah ilmiah, sehingga dapat ditemukan pemikirannya
yang berhubungan pembaruan pendidikan Islam.
Dengan demikian, dalam identifikasi masalah ada banyak pengaruh yang
menyebabkan suatu pemikiran, baik mengenai karya tulis, situasi dan kondisi
kehidupan masyarakat. Selain itu ada perbedaan penafsiran dalam melihat karya
tulis seorang tokoh sehingga dalam pengungkapan suatu pemikiran terjadi
perbedaan.
B. Penelitian Yang Sudah Ada.
C. Permasalahan.
1. Identifikasi Maslah
Ada tiga belas agenda pembaruan Nurcholish Madjid, sebagaimana dikutip oleh
Sukadi, dari Majalah UMMAT, 18 September 1995 yaitu:38
38 Ibid., h. xix
10
1. Kembali ke Kitab Suci dan Sunnah Nabi.Diakuinya, ini dalil klasik para pembaru
sejak Ibn Taymiyyah tujuh abad lalu. Tapi perlu ditegaskan kembali karena
“membawa akibat program usaha memberantas bid’ah, yaitu suatu yang
sebenarnya bukan agama tapi dianggap agama”;
2. Mempertegas mana perkara yang benar-benar agama, dan mana pula yang
sesungguhnya aspek kultural dari agama;
3. Menggunakan sejarah sebagai sumber ilmu. Tiap penemuan terdahulu menjadi
dasar untuk melanjutkan dan mengembangkannya. Maka mempelajari warisan
kekayaan intelektual Islam adalah keharusan;
4. Mempertegas inti agama Islam, tauhid. Maka, yang selain Allah harus
didemitologisasi, didesakralisasi dan didevaluasi;
5. Menyadari bahwa Allah Maha Mutlak. Hakikat-Nya tak munkin dipahami oleh
manusia yang nisbi. Maka implikasinya yang jauh dan dalam harus disadari:
bahwa manusia tidak boleh memutlakkan sesuatu kecuali Allah;
6. Allah adalah asal dan tujuan hidup manusia. Tapi, karena Allah tidak mungkin
diketahui, maka orientasi hidup kepada-Nya itu tidak untuk “mengetahui” secara
“gnostik” akan hakikat-Nya, melainkan demi memperoleh perkenan atau ridha-
Nya. Maka persoalannya ialah bagaimana manusia terus menerus mendekati
Allah dengan menempuh jalan menuju kepada-Nya. Jadi, seorang Muslim harus
terus bergerak, dinamis, tidak kenal henti. Sebab, berhenti berarti anggapan diri
telah “mencapai” Kebenaran Yang Mutlak”;
11
7. Mencapai derajat taqwa kepada Allah dan ridha-Nya yang juga dinamakan jiwa
rabbaniyyah, rabbiyyah – semangat ketuhanan. Semua kegiatan manusia haruslah
berasaskan semangat kesadaran akan kehadiran Tuhan dan keinginan mencapai
perkenan-Nya;
8. Menggalakan ijtihad sebagai keharusan. Jika ijtihad merupakan usaha terus
menerus dengan penuh kesungguhan untuk menangkap pesan agama dan
bagaimana mewujudkan pesan itu dalam kaitannya dengan kenyataan ruang dan
waktu, maka meninggalkan ijtihad berarti menganggap persoalan sudah selesai
dan kita semua “sudah sampai”;
9. Menyadari bahwa ilmu tidak punya batas, sebab batas ilmu adalah Allah SWT.
Yang ada pada manusia ialah “perbatasan” (frontier) dan ilmu yang
dikembangkan manusia sendiri. Karena itu, sesuai dengan prinsip ijtihad, manusia
harus berusaha menembus perbatasan itu, dengan temuan-temuan dan kreasi-
kreasi baru. Suatu kegiatan ijtihad harus dilakukan tanpa takut salah, sebab takut
salah adalah justru kesalahan yang lebih berbahaya;
10. Mengembangkan ide-ide keterbukaan, yang sangat terkait dengan prinsip amat
penting, yaitu keharusan untuk mendengarkan pendapat orang lain dengan hati
terbuka;
11. Mempetegas prinsip kenisbian ke dalam (relativisme internal). Karena itu harus
ada sikap toleransi dan menahan diri dari merendahkan orang seiman, yaitu sikap
yang dalam kitan suci disebut sebagai tindakan pertama dalam rangka
menegakkan persaudaraan berdasarkan iman;
12
12. Sesaui dengan prinsip Islam tentang kemanusiaan, maka dalam lingkup
masyarakat yang meliputi pula golongan-golongan bukan Muslim, paham
kemajemukan masyarakat harus dijaga sebaik-baiknya dengan menumbuhkan
toleransi, sikap menghargai orang lain. Dan dengan mengakui hak masig-masing
untuk bereksistensi menurut keyakinan;
13. Karena kita tidak mungkin mengetahui Kebenaran Mutlak yang ialah Allah itu
sendiri, namun juga tidak mungkin hidup tanpa rasa makna kemudian berada
dalam keraguan terus-menerus, maka kebenaran yang kita tangkap dalam diri kita
harus diterima sebagai kebenaran wujudi atau eksistensial yang secara nyata
menyatu dalam diri kita. Dan ini harus difungsikan sebagai pangkal usaha untuk
mendekatkan diri kepada kebenaran Mutlak (Allah) dalam suatu jalan harus yang
dijaga dan diterangi hati nurani.
2. Pembatasan Masalah
Berdasarkan keterangan di atas, maka penulis tidak akan membahas semua agenda
pembaruan Nurcholish Madjid sebagaimana disebutkan di atas, namun membatasi
pada pembaruan pendidikan Islam.
3. Perumusan Masalah.
Pengertian pembaharuan pendidikan menurut Prof. Santono S. Hamijaya,
sebagaimana dikutip oleh Cece Wijaya dkk., adalah suatu perubahan yang baru dan
kualitatif, berbeda dari hal (yang ada sebelumnya) serta sengaja diusahakan untuk
13
meningkatkan kemampuan guna mencapai tujuan tertentu dalam pendidikan.39 Dan
faktor-faktor pendidikan yang mesti dipraktekan dalam pembaharuan pendidikan
adalah faktor guru, faktor siswa, program/tujuan dan kurikulum.40
Berdasarkan keterangan di atas, maka penulis merumuskan obyek pengkajian
masalah tentang pemikiran pembaruan pendidikan Nurcholish Madjid, sebagai
berikut:
Dan faktor-faktor pendidikan yang mesti dipraktekan dalam pembaharuan
pendidikan adalah faktor guru, faktor siswa, program/tujuan dan kurikulum.40
Berdasarkan keterangan di atas, maka penulis merumuskan permasalahan sebagai
berikut:
1. Bagaimanakah konsep pembaharuan pendidikan Nurcholish Madjid?
2. Aspek-aspek apa saja yang perlu diperbaharui menurut Nurcholish Madjid?
3. Bagaimanakah penerapan gagasan pembaharuan pendidikan Nurcholish
Madjid untuk masa sekarang dan yang akan datang?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian.
1. Tujuan Penelitian.
Sejalan dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah
untuk mengetahui pembnaharuan pendidikan Islam menurut pemikiran Nurcholish
39 Cece Wijaya dkk., Upaya Pembaharuan dalam Pendidikan dan Pengajaran, (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 1992), h. 6 40 Ibid., h. 23-24 40 Ibid., h. 23-24
14
Madjid. Di samping itu juga bertujuan untuk menmginformasikan kepada masyarakat
tentang pembnaharuan pendidikan Islam menurut pemikiran Nurcholish Madjid.
2. Manfaat Penelitian.
Sejalan dengan tujuan penelitian di atas, maka penelitian ini di atas, maka
penelitian ini diharpkan dapat memberi sumbangan kecil dalam pengembangan
wacana pendidikan Islam dan dapat pula menjadi kontribusi pemikiran terhadap
khazanah kepustakaan Islam dengan menempatkannya sebagai bahan bacaan yang
berguna bagi masyarakat secara umum.
E. Kerangka Pemikiran.
Penelitian tentang tokoh dapat dijelaskan dengan menggunakan berbagai
kerangka berfikir, yang mengacu kepada fokus penelitian dan tujuan yang hendak
dicapai. Dalam penelitian ini digunakan suatu kerangka berfikir yang bersifat makro
(kully) yang secara sederhana dapat dirumuskan dalam beberapa pernyataan sebagai
berikut:1
1. Pemikiran merupakan suatu pergulatan kreatif di kalangan manusia, dalam hal ini
pemikir, dengan mengerahkan daya berfikir dan menggunakan cara berfikir tertentu.
Hal itu merupakan refleksi kepedulian terhadap sesuatu yang dipandang penting
dalam dan bagi kehidupan manusia.
1 Rangkaian proposisi ini dikutip dari Cik Hasan Bisri, Penuntun Penyusunan Rencana Penelitian dan Penulisan Skripsi: Bidang Ilmu Agama Islam, (Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1998), h. 48-49
15
2. Produk pemikiran mengacu pada aspek normatif dan aspek empirik yang dibingkai
oleh kerangka acuan (frame of reference) yang digunakan oleh pemikir. Aspek
normatife itu mengacu pada keyakinan, nilai, norma, dan kaidah yang dianutnya.
Sedangkan aspek empirik mengacu pada pengalaman, baik pengalaman dirinya
maupun pengalaman orang lain dan komunitasnya.
3. Corak pemikiran mencerminkan produk “zamannya”, yang terikat oleh ruang dan
waktu, serta hal-hal yang berpengaruh dalam kehidupan dalam ruang dan waktu
tersebut. Ia merupakan suatu sintesis dan tuntutan kesinambungan dan tuntutan
perubahan.
4. Substansi pemikiran mencakup dimensi historis, dimensi definisi, situasi, dan
dimensi idealisme. Ia bersifat abstrak, oleh karena itu menuntut penjabaran dan
operasionalisasi.
F. Metodologi Penelitian.
1. Obyek Penelitian.
Berdasarkan pembatasan dan perumusan masalah yang telah disebutkan
sebelumnya, maka obyek penelitian hanya diarahkan pada:
1. Bagaimana pembaharuan pada aspek tujuan pendidikan dalam dalam pandangan
Nurcholish Madjid?
2. Bagaimana pembaharuan pada aspek materi pendidikan Islam dalam pandangan
Nurcholish Madjid?
16
3. Bagaimana pembaharuan pada aspek metodologi pengajaran agama dalam
pandangan Nurcholish Madjid?
4. Bagaimana peran orang orang tua dan guru dalam pendidikan agama anak menurut
pemikiran Nurcholish Madjid?
2. Teknik Pengumpulan Data.
Teknik yang digunakan dalam pencarian data adalah penelitian kepustakaan
(Library research) dengan membaca karya-karya Nurcholish Madjid sendiri sebagai
data primer dan buku-buku atau komentar terhadap Nurcholish Madjid sebagai data
sekunder.
3. Teknik Analisa Data.
Dalam menganalisis data, dipergunakan metode analisis isi (content
analyzing).2 Metode ini dimaksudkan untuk menganalisis makna yang terkandung
dalam pemikiran Nurcholish Madjid tentang pembaharuan pendidikan. Isi yang
terkandung dalam pemikiran ini, kemudian dilanjutkan dengan interpretasi. Selain itu
juga akan digunakan analisis semantic, karena dalam mengemukakan konsep
pemikiran pembaruan pendidikan itu, Nurcholish Madjid sering menggunakan
iostilah-istilah kunci yang mempunyai makna tertentu.
4. Pendekatan Penelitian.
2 Analisis isi adalah suatu teknik penelitian untuk membuat inferensi-inferensi yang dapat ditiru dan shahih data dengan memperhatikan konteksnya. Lihat Farij Wajdi (Terj.), Analisis Isi Pengantar, Teori dan Metodologi, (Jakarta: Raja Wali Press, 1991), h. 15
17
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendekatan adalah: “1). Proses
perbuatan, cara mendekati; 2). Usaha dalam rangka aktivitas penelitian untuk
mengadakan hubungan dengan orang yang diteliti; metode-metode untuk mencapai
pengertian tentang masalah penelitian.”3 Dalam bahasa Inggris, pendekatan
diistilahkan dengan :”approach” dalam bahasa Arab disebut dengan “madkhal”.
Secara terminology, Mulyono Sumardi menyatakan, bahwa “pendekatan”
bersifat axiomatic. Ia terdiri dari serangkaian asumsi mengenai hakikat bahasa dan
pengajaran bahasa serta belajar bahasa.”4 Bila dikaitkan dengan pendidikan Islam,
“pendekatan” berarti serangkaian asumsi mengenai hakikat pendidikan Islam dan
pengajaran agama Islam serta bel;ajar agama Islam.
Pendekatan selalu terkait dengan tujuan, metode dan teknik. Karena teknik
yang bersifat implementasional dalam pengajaran tidak terlepas dari metode apa yang
digunakan. Sementara metode sebagai rencana yang menyelruh tentang penyajian
materi pendidikan selalu didasarkan dengan pendekatan, dan pendekatan merujuk
kepada tujaun pendidikan yang telah ditetapkan sebelumnya.
Dalam proses pendidikan Islam, pendekatan mempunyai kedudukan yang
sangat penting dalam upaya mencapai tujuan, karena ia menjadi sarana yang sangat
bermakna bagi materi pelajaran yang tersusun dalam kurikulum pendidikan, sehingga
3 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), Edisi ke-2, Cet. Ke-4, h. 218 4 Mulyono Sumardi, Pengajaran Bahasa Asing, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), Cet. Ke-2, h. 1-12
18
dapat difahami atau diserap oleh anak didik dan menjadi pengertian-pengertian yang
fungsional terhadap tingkah lakunya.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan dua model pendekatan, yaitu
pendekatan historis dan pendekatan humanis. Pendekatan historis yang dimaksudkan
di sini adalah sejarah Nurcholish Madjid. Pendeklatan ini ditujukan untuk meneliti
kondisi sosial pada masa hidup Nurcholish Madjid, Pemikiran seorang tokoh tidak
lepas dari pengaruh kondisi sosial di sekitarnya.
Adapun pendekatan humanistis yang dimaksud, berdasarkan pandangan
Jaques Waardenburg, adalah pendekatan kemanusiaan dan aspek-aspek hidup
manusia. Termasuk dalam pendekatan humanistis ini adalah pendekatan aspek
filosofis dan aspek psikologis dari obyek yang diteliti Pendekatan ini dimaksudkan
untuk meneliti bagaimana kondisi kehidupan Nurcholish Madjid dalam kapasitasnya
sebagai seorang pemikir yang tentu mengalami tahap-tahap perkembangan pemikiran,
apalagi mengingat ia seorang tokoh yang banyak mengkaji filsafat, kalam.
G. Sistematika Penulisan.
Penulisan ini terdiri lima bab, yaitu:
Bab pertama pendahuluan yang menguraikan latar belakang masalah,
Penelitian yang sudah ada, permasalahan, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka
pemikiran, metodologi penelitian, sistematika penulisan.
19
Bab kedua kajian teoritis tentang pembaharuan pendidikan. Bab ini menguraikan
tentang pengertian pembaharuan, latar belakang pembaharuan pendidikan, obyek
pembaharuan pendidikan.
Bab ketiga, biografi Nurcholish Madjid, meliputi riwayat hidup, karya-karya dan
pandangan para tokoh tentang pemikiran Nurcholish Madjid.
Bab keempat, pembaharuan pendidikan Islam Nurcholish Madjid. Bab ini membahas
pembaharuan pada aspek tujuan pendidikan dalam dalam pandangan Nurcholish
Madjid, Pembaharuan pada aspek materi pendidikan Islam dalam pandangan
Nurcholish Madjid, Pembaharuan pada aspek metodologi pengajaran agama dalam
pandangan Nurcholish Madjid. Peran orang orang tua dan guru dalam pendidikan
agama anak menurut pemikiran Nurcholish Madjid.
Bab kelima penutup, meliputi kesimpulan dan saran.
20
BAB II
RIWAYAT HIDUP NURCHOLISH MADJID
A. Latar Belakang Keluarga.
Nurcholish Madjid lahir di sudut kampung kecil di desa Mojoanyar, Jombang
Jawa Timur pada 17 Maret 1939 M.1 bertepatan dengan tanggal 26 Muharram 1358
H.2 Ia lahir dari kalangan keluarga tradisionalis (untuk tidak menyebut kalangan
nahdliyyin) yang kuat mempunyai sapaan akrab “Cak Nur”. Pada usianya yang
tergolong amat muda ia sudah mengguncang wacana pemikiran Islam di tanah air.
Berangkat dari dunia pesantren yang tradisional, ia justru menyadarkan masyarakat
Indonesia modern akan pentingnya keberanian intelektual untuk menyuarakan
moralitas.
Ayah Nurcholish Madjid, H. Abdul Madjid adalah seorang kiai alumnus
pesantren Tebuireng, Jombang Syaikh Hasyim Asy’ari. Karena itu tak heran bila
Abdul Madjid amat dekat dengan K.H. Hasyim Asy’ari. Hubungan antara murid dan
guru kemudian semakin erat barangkali karena beberapa alasan. Pertama , Abdul
Madjid merupakan santri kinasih Hasyim Asy’ari, tokoh kharismatis yang
1Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish
Madjid, Djohan Efendi, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid, 1968-1980, tejemahan Nanang Tahqiq, dari judul aslinya”The Emegence of neo-Modernism; A Progressive Liberal Movement of Islamic Though in Indonesia; A Textual Study Examining of Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib and Abdurrahman Wahid 1968-1980, (Jakarta: Paramadina, 1999), Cet. Ke-1, h. 74
2Jamaluddin Malik, dan Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia , (Jakarta: Zaman Wacana Mulia, 1996), h. 121-122. Lihat Dedy Djamaluddin Malik, Zaman Baru Islam Indonesia :Pemikiran M. Amin Rais, Nurcholish Madjid, dan Jalaluddin Rakhmat, (Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1998), Cet. Ke-1, h. 25
21
mempelopori kelahiran NU.3 Kedua, Abdul Madjid sendiri pernah dinikahkan dengan
Halimah, seorang wanita keponakan gurunya. Tentang hal ini, Nurcholish Madjid
sendiri pernah mengisahkannya, “Waktu itu Kiai Hasyim sendiri yang menginginkan
ayah menjadi mantunya.”4 Tapi, demikian diungkapkan Nurcholish Madjid,
pemikiran tersebut tidak membuahkan keturunan. Karena alasan inilah mereka
kemudian “berpisah” baik-baik. Hasyim Asy’ari menganjurkan ayah untuk menikah
dengan ibu saya sekarang. Demikian Nurcholis Madjid menuturkan hingga ayahnya
berkenalan dengan ibunya. Ibu Nurcholish sendiri adalah putri Kiai Abdullah Sadjad
dari Kediri yang juga teman baik Kiai Hasyim Asy’ari.
Ayah Nurcholish Madjid, H. Abdul Madjid di samping seorang kiai yang
alumnus pesantren Tebuireng, Jombang, juga , juga seorang kiai tamatan SR (Sekolah
Rakyat, sekolah resmi pertama yang didirikan oleh pemerintah Indonesia). Menurut
Greg Barton, setelah melakukan serangkaian wawancara, sebagaimana diungkapkan
Nurcholish Madjid sendiri bahwa sang ayah, Abdul Madjid, digambarkan sebagai
berikut:
“Meskipun pendidikan resmi Abdul Madjid hanya tamatan SR, tetapi ia memiliki pengetahuan yang cukup luas. Fasih dalam bahasa Arab dan mengakar dalam tradisi pesantren. Abdul Madjid sering dipanggil “Kiai Haji” sebagai ungkapan penghormatan ketinggian ilmu-ilmu keislaman yang dimilikinya, walaupun ia sendiri secara pribadi tidak pernah menyebut diri sebagai kiai dan tidak pernah secara bergabung dengan kalangan ulama. Dan meskipun ia tetap menyebut diri sebagai “orang biasa”, namun hal itu tidaklah
3 Lihat Dedy Djamaluddin Malik dan Idi Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia
:Pemikiran M. Amin Rais, Nurcholish Madjid, dan Jalaluddin Rakhmat, (Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1998), Cet. Ke-1, h. 120
4Ibid.
22
membendung keinginannya untuk mendirikan sebuah madrasah. Bahkan ia menjadi pengelola utama pada pembangunan madrasah yang ia kelola sendiri dan juga yang paling berperan dalam membesarkan Madrasah Wathaniyah di Mojoanyar, Jombang”.5
Sketsa singkat latar belakang keluarga Nurcholish Madjid cukuplah untuk
menunjukkan bahwa ia terlahir dari subkultur pesantren.6 Di kawasan Jawa yang
menurut Geertz,7 menyimpan ketegangan simbolik antara pelbagai kekuatan,
Nurcholish Madjid tumbuh sebagai pribadi dan meresapi masa kecilnya. Tak heran
dalam menghirup ketegangan-ketengan kultur antara penghayatan seorang anak
manusia dengan perubahan yang menyertai dinamika masyarakat Jawa saat itu sedikit
banyak juga ikut mempengaruhi visi Nurcholish Madjid di kemudian hari. Melewati
masa mudanya, Nurcholish Madjid, misalnya merupakan salah seorang yang menjadi
saksi dari berbagai ketegangan kultur yang mewarnai Jombang kala itu. Seperti kita
tahu, Jombang secara geografis berada di daerah jantung Islam Jawa. Sebagai jantung
Islam, ia menyerap dan menyalurkan pelbagai gejolak masyarakat tempat Nurcholish
Madjid melewati masa kecilnya. Nurcholish Madjid sendiri pernah mengungkapkan
kegiatannya kala itu, “Yang menjadi sumber kebencian saya terhadap komunitas
lain”, demikian ujar Nurcholish Madjid pada suatu kesempatan kepada Editor,”
5 Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish
Madjid, Djohan Efendi, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid, 1968-1980, Op. Cit., h. 72 6 Sebuah subkultur minimal harus memiliki keunikannya sendiri dalam aspek-aspek berikut:
cara hidup yang dianut, pandangan hidup dan tata nilai yang diikuti, serta herarkhi kekuasaan intern tersendiri yang ditaati sepenuhnya. Ketiga persyaratan minimal ini terdapat dalam kehidupan pesantren, sehingga dirasa cukup untuk mengenakan predikat subkultur pada kehidupan itu.” Lihat Abdurrahman Wahid, “Pesantren sebagai Subkultur”, dalam M. Dawam Rahardjo,, Pesantren dan Pembaharuan, (Jakarta: LP3ES, 1988), h. 43
7 Dedy Djamaluddin Malik dan Idi Subandy Ibrahim, Op. Cit., h. 121
23
adalah pengalaman saya dengan PNI Merah, yang siap menggilas anak-anak santri.9
Sebagai anak yang dibesarkan dalam tradisi pesantren dengan muatan kultural Jawa,
perlahan Cak Nur kecil tumbuh sebagai seorang pribadi. Ia mereguk pemahaman
agama dari dunia tempat agama yang tidak hanya diterima sebagai bagian dari
ritualisasi tetapi juga ketika keberagamaan begitu dipengaruhi oleh kultur lokal.
Pemikiran Nurcholish Madjid sedemikian rupa tidak bisa dilepaskan dari
pengaruh lingkungan rumah dan eksistensi keluarganya. Pengaruh yang paling
menonjol terletak pada sosok ayah, Abdul Madjid. Ayahnya berperan besar dalam
membentuk “embrio” dan watak pemikiran dan intelektualitas awal Nurcholish
Madjid. Pengaruh besar sang ayah itu sebagaimana diungkapkan Greg Barton sebagai
berikut:
“Almarhum Abdul Madjid adalah teman dekat dan pengagum Wahid
Hasyim, ayah Abdurrahman Wahid, sebagai Menteri Agama satu periode dan
pemimpin berpengaruh NU pada awal 50-an sampai wafatnya April 1953, keduanya
masih keluarga melalui perkawinan pertama Abdul Madjid”.10
Selanjutnya, Barton mengatakan bagaimana sosok dan silsilah kehidupan
ayah Nurcholish Madjid, Abdul Madjid, sebagai berikut:
“Abdul Madjid adalah salah seorang murid kesayangan Kiai Hasim Asj’ari di Pesantren Tebuireng, Jombang. Untuk beberapa tahun lamanya ayah Nurcholish Madjid belajar langsung di bawah bimbingan Hasyim Asj’ari, bahkan pernah dinikahkan dengan cucu Sang Guru (setelah cerai menjadi Nyi Kiai Adlan Ali dan Abdul Madjid sendiri kemudian menikah dengan gadis lain atas pilihan Sang Guru yang melahirkan Nurcholish Madjid). Tidak dapat
9Ibid. 10 Ibid., h. xvi
24
diingkari bahwa wawasan intelektual Abdul Madjid, yang kemudian mempengaruhi pemikiran Nurcholish Madjid dengan kental, dibentuk oleh guru dan pembimbingnya ini. Dan terutama ketika Abdul Madjid mengikuti Kiai Hasyim Asj’ari untuk bergabung dalam Masyumi, dan terus bertahan di Masyumi sebagai rasa hormat terdalam pada Sang Guru yang ketika meninggal masih menjadi tokoh Masyumi”.11
Di samping itu, menurut Siti Nadroh, ayah Nurcholish Madjid adalah seorang
kiai dan termasuk di antara tokoh masyarakat sekaligus tokoh Nahdhatul Ulama di
daerahnya yang tetap konsisten memegang pilihan politisnya kepada Masyumi.
Sangat dimungkinkan ayah Nurcholish Madjid berlangganan buletin-buletin dan
majalah yang berisi pemikiran para tokoh Masyumi.12 Dengan demikian, menjadi
suatu yang sangat mungkin pula Nurcholish Madjid telah berkenalan dengan
pemikiran-pemikiran para tokoh Masyumi sejak di rumahnya sekaligus bermanfaat
besar dalam pembentukan pemikiran Nurcholish Madjid selanjutnya.
Berdasarkan keterangan tentang latar belakang keluarga di atas, maka dapat
dipahami bahwa Nurcholish Madjid berasal dari lingkungan keluarga agamis, santri,
sederhana dan demokratis.
B. Latar belakang Pendidikan.
1. Pendidikan Dasar.
Ayahnya yang pertama-tama mengajarkan, mendidik dan menanamkan nilai-
nilai al-Qur’an ke dalam jiwa Nurcholish Madjid meskipun ketika itu usia Nurcholish
Madjid usia 6 tahun (usia untuk masuk SD). Pendidikan dasar Nurcholish Madjid
ditempuh di dua sekolah tingkat dasar, yaitu di Madrasah Ibtidaiyah al-Wathaniyah
11 Ibid., h. 73 12 Ibid., h. 73
25
Mojoanyar, Jombang (sore) yang didirikan tahun 1948 dan dipimpin ayahnya sendiri
dan bareng sekolah di SR Sekolah Rakyat di Mojoanyar, Jombang (pagi).
Selanjutnya, setelah tamat SR di kampunya, ia dimasukkan oleh ayahnya
Nurcholish Madjid melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama di kota yang sama.
Jadi Nurcholish Madjid telah mengenal dua model pendidikan. Pertama, pendidikan
dengan pola madrasah, yang sarat dengan penggunaan kitab-kitab kuning. Kedua ,
pola pendidikan umum secara memadai, sekaligus berkenalan dengan metode
pengajaran modern.13
2. Belajar di Pesantren Darul Ulum Jombang.
Setelah selesai menempuh pendidikan di Sekolah Menengah Pertama,
selanjutnya Nurcholish Madjid dimasukkan oleh ayahnya ke Pesantren Darul Ulum
Jombang tahun 1952.14 Di pesantren ini Nurcholish Madjid yang berusia 14 tahun
menunjukkan prestasi yang mengagumkan, sama dengan ketika Nurcholish Madjid
belajar di dua sekolah tingkat dasar.15
Pesantren Darul Ulum Jombang merupakan salah satu dari empat besar
pesantren di Jombang, yaitu Tebuireng di Cukir yang menjadi basis Hadratus Syaikh
13 Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish
Madjid, Djohan Efendi, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid, 1968-1980, Op. Cit., h. 74 14 Dedy Jamaluddin Malik, dan Idi Subandy Ibrahim, Op. Cit. , h. 122 15 Greg Barton, Op. Cit., h. 74
26
Hasyim Asy’ari pendiri NU,16 Bahrul Ulum, Tambak Beras; Mamba’ul Ma’arif di
Denanyar dan Darul Ulum di Rejoso.17
Jika Nurcholish Madjid masuk pada tahun 1952, berarti pesantren Darul Ulum
sedang dipegang oleh “tiga serangkai” kiai besar, yaitu K.H. Tamim Ramli, K.H.
Dahlan Khalil, dan K.H. Ma’sum Khalil, seandainya merujuk pada wafatnya K.H.
Dahlan Khalil tahun 1958 (usia 57 tahun), sebulan kemudian K.H. Ramli Tamim
(usia 70 tahun) dan wafatnya K.H. Ma’sum Khalil tahun 1962.18
Nurcholish Madjid belajar di Pesantren Darul ‘Ulum di Rejoso
Jombang.tidak lama, yaitu hanya kurang lebih dua tahun. Hal ini rupanya merupakan
akibat prinsip ideologi politik ayah Nurcholish Madjid, sebagai warga Nahdatul
Ulama yang memegang pilihan politisnya pada Masyumi, sementara tokoh-tokoh
Nahdatul Ulama lainnya, karena satu dan lain hal, memilih keluar dari Masyumi.
Peristiwa ini terjadi tahun 1952. Sikap politik ayah Nurcholish Madjid di pesantren
16 K.H. Hasyim Asy’ari lahir di Gedang, Jombang, Jawa Timur, hari Selasa 24 Zulhijjah,
1287 H, bertepatan dengan 14 Februari 1871 M. Lihat Saifullah Maksum, (editor) Menapak Jejak Mengenal Watak Sekilas Biografi 26 Tokoh Nahdatul Ulama, (Jakarta: Yayasan Saifuddin Zuhri, 1994), h. 57 Ayahnya bernama Kiai Asy’ari, ulama asal Demak, sedng ibunya bernama Halimah, putri Kiai Usman, pengasuh pesantren Gedang, tempat ia dilahirkan. Lihat Solichin Salam, KH. Hasyim Asy’ari Ulama Besar Indonesia, (Jakarta: Jaya Murni, 1963), h. 19 KH. Hasyim Asy’ari merupakan seorang yang terlahir dengan sosok yang cerdas atau biji yang baik, dan hidup serta dibesarkan dalam lingkungan pesantren yang memang mendukung kemajuan keilmuan agamanya, sehingga semua itu mengantarkannya kepada martabat tertinggi di mata para kiai Jawa dengan gelar “Hadlratus Syekh” (Tuan Guru Besar). Lihat Zamakhsari Dlofier, Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai, (Jakarta: LP3ES, 1982), h. 92.
17 Mahmud Sujuti, Politik Tarekat Qadiriyyah Wa Naqsabandiyah, (Yogyakarta: Galang Press, 2001), h. 68
18 Ibid., h. 72
27
Darul Ulum Jombang kurang mendapat sambutan. Akhirnya, Nurcholish Madjid
dianggap sebagai “anak Masyumi yang kesasar” ke kandang Nahdatul Ulama.19
Dengan melihat pendidikan dasar dan menengah yang diterimanya terungkap
bahwa Nurcholish Madjid dididik dalam suasana ilmu-ilmu keislaman. Selanjutnya
ditambah dengan kemampuannya menguasai bahasa Internasional Arab-Inggris pada
akhirnya Nurcholish Madjid mampu mengakses bahan bacaan yang cukup luas
termasuk khazanah kitab-kitab klasik.
3. Menjadi Santri di Pesantren Gontor Ponorogo.
Setelah Nurcholish Madjid tidak betah di Pesantren Darul Ulum di Rejoso,
Jombang, selanjutnya Nurcholish Madjid pindah ke Pesantren Gontor, seperti dalam
pengakuannya, sang ayah adalah seorang tokoh kelas menengah di lingkungan
nahdliyyin Jombang, tetapi secara politik berafiliasi ke Masyumi. Nurcholish
kemudian disekolahkan di pesantren NU di Jombang, tetapi karena sering diledek
sebagai anak orang Masyumi, sang ayah memindahkannya ke pesantren Gontor, yang
relatif berafiliasi pada Masyumi.20 Nurcholish Madjid masuk pesantren Gontor,
Ponorogo, Jawa Timur pada tahun 1955.21 Ketika masuk Pesantren Gontor,
19 Nur Khalik Ridwan, Pluralisme Borjuis, Kritiuk atas Nalar Pluralisme Cak Nur,
(Yogyakarta: Galang Press, 2002), h. 48. Lihat Dedy Djamaluddin Malik dan Idi Subandy Ibrahim, Op. Cit., h. 123
20 Fachri Ali dan Bachtiar Efendi, Me rambah Jalan Baru Islam, Rekonstruksi Pemikiran
Islam Masa Orde Baru, (Bandung: Mizan, 1986), h. 176 21 Nur Khalik Ridwan, Op. Cit., h. 49
28
Nurcholish Madjid berumur 16 tahun dan selesai belajar di pesantren Gontor tersebut
ketika berumur 21 tahun.
Jarak tempuh pesantren ini dari Jombang adalah sekitar 120 km. Pesantren ini
adalah sebuah pesantren yang cukup memberikan nuansa pemikiran reformis bagi
Nurcholish Madjid.22 Pondok pesantren Gontor Ponorogo didirikan tahun 1926 oleh
K.H. Ahmad Sahal sebagai pengasuh dan K.H. Imam Zarkasyi sebagai Direkturnya
pada masa itu.23 Sekarang ini di bawah pimpinan K.H. Abdullah Syukri Zarkasyi,
M.A., K.H. Ahmad Hassan Sahal, dan K.H. Imam Badri.24
Kurikulum Gontor ditempuh untuk jangka waktu enam tahun dengan tiga
tahun terakhir mempelajari metode-metode pengajaran. Maka sangat lazim bahwa
alumni Gontor masih menetap di pesantren paling tidak untuk satu tahun lagi untuk
mengajar. Adapun untuk kelangsungan ekonomi para guru sepenuhnya bergantung
kepada pesantren, yaitu berupa jatah makan dan rumah pondokan”.25
Rupanya di Gontor Cak Nur merasa lebih cocok. Dan menurut pengakuan
Cak Nur, Gontor sendiri banyak memberi bekas kepadanya. Bagi Cak Nur, Gontor
inilah yang memberi inspirasi kepadanya mengenai modernisme dan non-
sektarianisme. Pluralisme di sini cukup terjaga. Para santri boleh ke NU atau
Muhammadiyah. Karena suasana seperti ini, Cak Nur merasa begitu cocok belajar di
Gontor. Jika dilihat dari proses perkembangan pendidikan Nurcholish Madjid ketika
22 Siti Nadroh, Op. Cit., h. 22 23 Dr. Kaelany H.D., M.A., Gontor dan Kemandirian (Pondok, Santri, dan Alumni), (Jakarta:
Bina Utama, Publishing, 2002), Cet. Ke-1, h. 17 24 Ibid., h. ix 25 Greg Barton, Op. Cit., h. 75
29
masuk pesantren di Gontor Ponorogo ini dari tahun 1955 sampai Nurcholish Madjid
menyelesaikan studinya tahun 1960, terungkap bahwa Nurcholish Madjid menempuh
pendidikan selama enam tahun. Satu hal yang sangat signifikan dalam proses
pertumbuhan dan kematangan intelektualitas Nurcholish Madjid.
Berkaitan dengan ini, Komaruddin Hidayat, mengatakan dengan sangat
apresiasif, sebagai berikut:
“Jika ditelusuri ke belakang riwayat pendidikan dan aktivitas intelektualnya, maka akan sangat mudah dipahami mengapa Cak Nur tampil menjadi pemikir yang independen dan lontaran pemikirannya selalu bernada menggugat kemapanan. Selama enam tahun melewatkan pendidikan menengahnya di Pesantren Gontor Ponorogo, iklim pendidikan yang diterimanya menjadikan untuk berpikir kritis, tidak memihak pada salah satu mazhab secara fanatik dan, lebih dari itu, kemampuan berbahasa Arab serta Inggris sangat ditekankan agar para santri mampu melihat dan menyadari bahwa dunia ini begitu luas. Salah satu ciri menonjol pada alumni pesantren Gontor Ponorogo adalah terlatih berpikir komparatif sehingga tidak mudah terjebak pada fanatisme mazhab”26.
Sebagaimana diketahui, bahwa Pesantren Gontor menerapkan semboyan:
Berpikir bebas setelah berbudi tinggi, berbadan sehat dan berpengetahuan luas”.
Sehingga terbentuklah iklim pendidikan yang kritis, tidak berpihak kepada salah satu
mazhab pemikiran secara fanatik dan mengajarkan kehidupan sosial yang relatif
modern.27 Bahkan berpikir bebas itu merupakan salah satu suasana kehidupan yang
harus ada dalam dalam pondok pesantren modern, sebagaimana dijelaskan oleh
Bapak K.H. Imam Zarkasyi, pendiri Pesantren Gontor, dalam seminar Pondok
26 Komaruddin Hidayat, Kata Pengantar, dalam Nurcholish Madjid, Islam Agama
Peradaban, Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam Dalam Sejarah, (Jakarta: Paramadina, 2000), h. xii-xiii
27 Siti Nadroh, Op. Cit., h. 22-23
30
Pesantren seluruh Indonesia di Yogyakarta pada tanggal 4 – 7 Juli 1965 mengatakan,
bahwa kehidupan dalam Pondok Pesantren dijiwai suasana-suasana yang dapat
disimpulkan dalam Pancajiwa sebagai berikut: “Jiwa keikhlasan, jiwa kesederhanaan,
jiwa kesanggupan menolong diri sendiri (Zelf-Help) atau berdikari (berdiri di atas
kaki sendiri), jiwa ukhuwah diniyah yang demokratis, dan jiwa bebas dalam berpikir
dan berbuat, bebas dalam menentukan masa depannya, dalam memilih jalan hidup di
dalam masyarakat kelak bagi para santri; dengan berjiwa besar dan optimis dalam
menghadapi kehidupan. Kebebasan itu bahkan sampai kepada bebas dari pengaruh
asing/kolonial.28
Di samping itu, Pesantren Gontor memodernisasi diri dengan
mengintegrasikan sistem madrasah dan sistem pesantren. Dengan kurikulum normal
Islam berintegrasi dengan pesantren, seperti yang dilakukan Mahmud Yunus di
Padang dan model madrasah “Arabiyyah tempat guru K.H. Imam Zarkasyi, al-
Hasyimi diintegrasikan dengan model pesantren. Materi pelajaran yang diberikan di
antaranya, al-Qur’an, tajwid, fiqih, ushul fiqih, perbandingan agama, dan sejarah
kebudayaan Islam.29
Jika diukur dengan masa sekarang, pendidikan di Gontor ketika Nurcholish
Madjid “nyantri” di akhir 1950-an, pola pendidikan yang dikembangkan dapat
dianggap sebagai pendidikan yang progresif. Jika dianalisis dari ukuran saat itu, gaya
28 Lihat Dr. Kaelany H.D., M.A., Gontor dan Kemandirian (Pondok, Santri, dan Alumni),
(Jakarta: Bina Utama, Publishing, 2002), Cet. Ke-1, h. 49 29 Nurcholish Madjid, “K.H. Imam Zarkasyi di Mata Umat, (Ponorogo, Gontor Press, 1996),
h. 49
31
pendidikan yang dipelopori Pesantren Gontor sangat revolusioner. Kurikulum Gontor
memberikan secara intensif perpaduan yang liberal, yakni tradisi belajar klasik
dengan gaya modern Barat. Hal ini terwujud secara baik dalam sistem pengajaran
maupun mata pelajarannya. Dinamika utuh di setiap pesantren-pesantren,ternyata
juga diajarkan di Gontor, istimewanya semua itu diberikan dalam bentuk praktik
pengajaran yang modern yangsangat berbeda di lingkungan tradisi pesantren pada
umumnya.30
4. Kuliah di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Di pesantren Gontor, Cak Nur sempat menunjukkan kembali bahwa ia
merupakan orang yang pantas diperhitungkan. Dan kecerdasan Cak Nur ini rupanya
ditangkap pula oleh pimpinan pesantren K.H. Zarkasyi, sehingga setelah lulus dari
Gontor, sang guru bermaksud mengirim Cak Nur ke Universitas Al-Azhar, Kairo.
Tetapi karena di Mesir saat itu sedang terjadi krisis Terusan Suez yang cukup
kontroversial itu, keberangkatan Cak Nur sampai tertunda. Sambil menunggu
keberangkatannya ke Mesir itulah, Cak Nur memanfaatkan untuk mengajar di Gontor
selama satu tahun. Namun, waktu yang ditunggu-tunggu untuk berangkat ke Mesir
sulit memperoleh visa, sehingga tidak memungkinkan Cak Nur pergi ke Mesir. Cak
Nur sendiri memang sempat kecewa. Tetapi, Pak Zarkasyi bisa menghiburnya dan
rupanya tak kehilangan akal. Lalu ia mengirim surat ke IAIN Jakarta dan meminta
agar murid kesayangannya bisa diterima di lembaga pendidikan tinggi Islam
30 Greg Barton. Op. Cit., h. 75
32
bergengsi tersebut. Maka, berkat bantuan salah seorang alumni Gontor yang ada di
IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, Cak Nur kemudian diterima sebagai mahasiswa di
sana, meskipun tanpa menyandang ijazah negeri.31 Dengan demikian, setelah
menyelesaikan pendidikannya di pesantren Gontor, maka pada tahun 1961
Nurcholish melanjutkan ke IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang kini bernama
Universitas Islam Negeri Jakarta.32
Di tempat yang baru ini, Nurcholish memilih Fakultas Adab atau Sastra.
Sebuah pilihan yang bukan tanpa sengaja atau ikut-ikutan seperti sering terjadi pada
tidak sedikit mahasiswa Indonesia, bahkan sampai sekarang. Sebab dari latar
belakang pendidikan seperti yang dipilih Nurcholish inilah, banyak lahir pemikir-
pemikir Islam yang tangguh. Sebut saja, Fazlur Rahman (sang guru ketika kuliah di
Chicago), Iqbal (seorang penyair dan pemikir terkemuka dari Pakistan) atau
Abdurahman Wahid (pemikir Muslim Indonesia kontemporer kenamaan) yang
kemudian menjadi “partner” dialog Nurcholish Madjid di kemudian hari. Dan pada
1968 Cak Nur berhasil meraih gelar S1 dalam bidang sastra Arab dari almamaternya.
Karya tulis dalam bentuk skripsi yang ditulisnya adalah, “Al-Qur’an,’Arabiyyun
Lughatan Wa ‘Alamiyyun Ma’nan” (Al-Qur’an Secara Bahasa Adalah Arab, Secara
31 Dedy Jamaluddin Malik, dan Idi Subandy Ibrahim, Op. Cit. , h. 122. “Proses peralihan dari
Gontor ke IAIN Jakarta merupakan fenomena yang sangat istimewa bagi Nurcholish Madjid. Hanya dengan sepucuk “surat sakti” dari K.H. Zarkasyi, salah satu pimpinan Pesantren Gontor ketika itu, Nurcholish Madjid bisa masuk di IAIN Jakarta, meskipun tanpa ijazah Negeri. Dapat dikatakan, di tengah orang-orang lain yang memiliki ijazah negeri kesulitan untuk masuk di perguruan tinggi. Belum lagi kalau dibandingkan dengan mereka yang tidak punya ijazah negeri, miskin dan tidak memiliki relasi seperti K.H. Zarkasyi dalam kasus Cak Nur, maka sekolah menjadi barang mahal”. Lihat Khalik Ridwan, Op. Cit., h. 53-54
32Resmi IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta menjadi UIN tahun 200…
33
Makna Adalah Universal). Nurcholish Madjid adalah lulusan terbaik di IAIN Jakarta
dengan meraih predikat sarjana.33
Pada masa menjadi mahaiswa, Nurcholish memilih aktif di organisasi
mahasiswa Islam, HMI (Himpunan Mahasiswa Islam). Di organisasi ini, Cak Nur
pernah menjadi orang nomor satu. Beliau pernah terpilih menjadi Ketua PB HMI
selama dua periode berturut-turut; periode 1966-1969 dan periode 1969-1971. Satu
periode di mana Republik Indonesia sedang bergejolak dan merupakan masa transisi
dari rezim lama ke rezim baru yang membawa paradigma baru, termasuk paradigma
dalam membangun Indonesia ke depan saat itu yang kemudian menjadi “latar
belakang” yang sedikit banyak menjadi variabel signifikan bagi lahirnya gagasan dan
pemikiran keislaman Nurcholish yang relatif “asing” bagi umat Islam Indonesia saat
itu. Dan di bawah kepemimpinannya, HMI berhasil menelorkan prinsip-prinsip
organisasi yang kemudian disebut sebagai Nilai Dasar Perjuangan HMI (NDP HMI).
Beberapa tahun kemudian, Nurcholish muda terpilih untuk memimpin Persatuan
Mahasiswa Islam Asia Tenggara (PEMIAT) dan Asisten Sekretaris Jenderal IIFSO
(International Islamic Federation of Student Organization).
Setelah menyelesaikan kuliahnya, Nurcholish Madjid diangkat menjadi tenaga
pengajar di almamaternya. Tetapi merasa tidak puas dengan ilmu keislaman yang
diperoleh dari IAIN Jakarta, Nurcholish Madjid melanjutkan pendidikannya ke
University of Chicago, Amerika Serikat. Di sini, Nurcholish menjadi murid Dari
seorang ilmuwan muslim ternama kelahiran Pakistan Fazlur Rahman yang
33 Lihat Khalik Ridwan, Op. Cit., h. 59
34
mempengaruhi pola pemikiran Nurcholish di kemudian hari dalam persoalan-
persoalan keislaman.34
Berdasarkan uraian tentang riwayat pendidikan Nurcholish Madjid di atas,
maka dapat dipahami bahwa ia adalah seorang tokoh yang secara intelektual dididik
dan dibesarkan dalam lingkungan tradisi keagamaan Islam yang kuat dan dunia
keilmuan Barat yang kritis. Pengembaraan intelektualismenya akhirnya
mengantarkan Nurcholish Madjid ke arah mazhab neo-modernisme dengan wacana
yang bersifat humanitarianistik dan sarat dengan pemikiran yang liberal, tetapi tetap
autentik dan sekaligus historis.
C. Karir Nurcholish Madjid.
Setelah berhasil meraih Ph.D dalam disiplin pemikiran Islam dari University
of Chicago, Nurcholish kembali ke almamaternya. Beberapa tahun kemudian,
dipercaya untuk memimpin IAIN Syarif Hidayatullah.
Sejak 1986, bersama kawan-kawan di ibu kota, Nurcholish Madjid
mendirikan dan memimpin Yayasan Wakaf Paramadina, dengan kegiatan-kegiatan
yang mengarah kepada gerakan intelektual Islam di Indonesia. Yayasan inilah yang
kemudian menjadi motor lahirnya lembaga pendidikan Paramadina, termasuk
Universitas Paramadina. Hingga sekarang, di tempat inilah Nurcholish memberikan
kuliah dan gagasannya seputar keislaman. Melalui yayasan ini, Nurcholish berhasil
34 Fazlur Rahman adalah seorang intelektual muslim yang mengusung berbagai gagasan
keislaman yang kemudian menjadikannya disebutkan sebagai pembawa gagasan neomodernisme yang pada gilirannya dikembangkan pula oleh Nurcholish Madjid di Indonesia.
35
menarik kalangan kelas menengah dan elit masyarakat untuk mengikuti berbagai
kegiatan pengkajian Islam dan kemasyarakatan. Setiap bulannya yayasan ini
mengadakan kegiatan yang dikenal dengan KKA (Klub Kajian Agama) bertempat di
hotel berbintang dan dihadiri oleh banyak peminatnya mulai dari pejabat pemerintah,
pengusaha, budayawan, artis, pemuda, mahasiswa dan beragam kaum professional
lain.
Selain itu, Nurcholish Madjid juga pernah menjadi peneliti pada LIPI (1978-
sekarang) dan guru besar tamu pada Universitas McGill, Montreal, Canada, 1991-
1992. Fellow dalam Eisenhower Fellowship, bersama istri, 1990.
Di luar dunia akademis, sejak 1991, Nurcholish Madjid, juga pernah menjabat
Wakil Ketua Dewan Pakar Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI). Dan
pernah pula menduduki posisi yang amat penting dan menentukan dalam perjalanan
sejarah politik Indonesia; pada masa transisi, Cak Nur dipercaya untuk menduduki
posisi Ketua LPU (Lembaga Pemilihan Umum) untuk periode pertama di era
reformasi yang kemudian berhasil membentuk KPU. Dia juga sebagai anggota
Komnas HAM.
Namun demikian, Nurcholish Madjid adalah seorang yang sangat konsisten.
Satu kenyataan yang jarang dimiliki ilmuwan Indonesia. Beliau sama sekali tidak
tergoda untuk masuk ke dalam hiruk pikuk dunia politik, kendati kesempatan kepada
beliau sangat terbuka. Sebagai seorang cendekiawan, Nurcholish menghasilkan karya
yang menjadi acuan wajib bagi setiap orang yang hendak memahami dan mendalami
gagasan dan pemikiran-pemikiran keislaman dari berbagai perspektif; social, politik.
36
Ekonomi, budaya dan agama. Dengan demikian, walaupun seringkali gagasan dan
pemikiran Nurcholish Madjid ini mendatangkan kontroversi dan tuduhan yang
kurang bersahabat terhadapnya adalah seorang pemikir konsisten dan langka dalam
dunia ilmuwan di Indonesia. Dan harus diakui beliau adalah “sang lokomotif penarik
gerbong kesemarakan perkembangan Islam di Indonesia”.35 Namun sebagai seorang
ilmuwan yang rendah hati, Nurcholish menyatakan “apa yang kami lakukan adalah
ibarat setitik air di tengah lautan luas.”36
Berdasarkan uraian tentang karir Nurcholish Madjid di atas, maka dapat
dipahami bahwa selaku seorang modernis di Indonesia, Nurcholish Madjid menaruh
perhatian besar terhadap usaha-usaha pengayaan intelektual (intelleectual
enrichment), baik tentang masalah masa kini, maupun perkiraan masa depan.
Agaknya usaha memodernisasi pendidikan merupakan media penunjang untuk
membumikan gagasan-gagasannya.
D. Karya Nurcholish Madjid.
Kajian dan penelusuran terhadap karya-karya Nurcholish Madjid dianggap
perlu dalam rangka mencari mata rantai gagasan dan pemikirannya, serta
hubungannya dengan konsep-konsep pembaharuan yang menjadi bahasan sentral
tulisan ini. Dalam pembahasan ini, karya yang dihasilkan Nurcholish Madjid, baik
berupa buku, artikel atau tinjauan buku, tidak akan diungkap dan dijelaskan semua.
35 Tempo 14 Juni 1986 36 Tempo 21 Juni 1986
37
Namun pembahasan hanya akan ditekankan kepada beberapa karyanya yang
dianggap mewakili gagasan-gagasan sentralnya.
Selanjutnya penulis menyebutkan beberapa karya Nurcholish Madjid yang
telah beredar secara berurutan berdasarkan tahun terbitnya, adalah sebagai berikut:
Khazanah Intelektual Islam, diterbitkan pertama kali oleh PT. Bulan Bintang,
Jakarta tahun 1984. Karya suntingan ini dimaksudkan untuk memperkenalkan salah
satu segi kejayaan Islam di bidang pemikiran, khususnya yang berkaitan dengan
filsafat dan teologi. Nurcholish Madjid memperkenalkan tokoh-tokoh Muslim klasik,
seperti Al-Kindi (258 H./870 M.), Al-Asy’ari (w. 300 H./913 M.), Al-Farabi (w. 337
H/950 M.), Ibn Sina (370 H.-428 H./980 M.-1037 M.), Al-Ghazali (w. 505 H./111
M.), Ibn Rushd (w. 594 H./1198 M.), Ibn Taimiyah (w. 728 H./1328 M.), Ibn
Khaldun (w. 808 H./1406 M.), Al-Afghani (1255 H.-1315 H./1839 M.-1897 M.), dan
Muhammad Abduh (1262 H.-1323 H./1845-1905 M.). Sebagaimana dikatakan secara
jujur oleh Nurcholish Madjid, bahwa buku ini merupakan sekedar pengantar
pemikiran kepada kajian yang lebih luas dan mendalam tentang khazanah kekayaan
pemikiran Islam.37
Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, diterbitkan pertama kali oleh penerbit
Mizan, Banudng tahun 1987. Buku ini hanya semacam kumpulan tulisan yang
tercecer yang dikemas dalam rentang waktu dua dasawarsa sebagai wujud respons
terhadap isu-isu yang berkembang saat itu. Signifikansi buku ini terlihat dengan jelas
37 Nurcholish Madjid, Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1984), h. v-
vi.
38
bagaimana Nurcholish Madjid “menganyam” pemikiran dalam gagasan-gasan di
sekitar kemodernan, keislaman, dan keindonesiaan. Di bawah prinsip “untuk mencari
dan terus mencari kebenaran” , bahwa Tuhan adalah kebenaran yang mutlak.
Eksistensi buku ini mampu menunjukkan “giginya” dengan beberapa kali cetak
ulang.38
Bilik-Bilik Pesantren, Sebuah Potret Perjalanan, diterbitkan oleh penerbit
Paramadina, Jakarta, tahun 1992. Buku ini berisi tentang kritik Nurcholish Madjid
tentang lembaga pendidikan tradisional pesantren. Dalam buku tersebut, salah satu
kritiknya tentang kurikulum pesantren. Menurut Nurcholish Madjid, dalam aspek
kurikulum terlihat, bahwa pelajaran agama masih dominan di lingkungan pesantren,
bahkan materinya hanya khusus yang disajikan dalam berbahasa Arab. Mata
pelajarannya meliputi fiqih, (paling utama), aqaid, nahwu-sharaf (juga mendapat
kedudukan penting), dan lain-lain. Sedangkan tasawuf dan semangat serta rasa
agama (religiusitas) yang merupakan inti dari kurikulum “keagamaan” cenderung
terabaikan. Nurcholish Madjid membedakan istilah materi pelajaran “agama” dan
“keagamaan”. Perkataan “agama” lebih tertuju pada segi formil dan ilmunya saja.
Sedangkan perkataan keagamaan mengenai semangat dan rasa agama (religiusitas).
Menurut Nurcholish Madjid, materi “keagamaan” ini hanya dipelajari sambil lalu saja
tidak sungguh-sungguh. Padahal justru inilah yang lebih berfungsi dalam masyarakat
38Cetakan pertama tahun 1987, cetakan kedua tahun 1988, cetakan ketiga tahun 1989, cetakan
keempat tahun 1992, cetakan kelima tahun 1993, cetakan keenam tahun 1994, cetakan ketujuh tahun 1994, cetakan kedelapan tahun 1995, cetakan kesembilan tahun 1997, cetakan kesepuluh bulan Januari tahun 1998, cetakan kesebelas bulan November tahun 1998, cetakan keduabelas tahun 1999. Lihat Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, (Banudng: Mizan, 1987), Cet. Ke-12
39
zaman modern, bukan fiqih atau ilmu kalamnya apalagi nahwu-sharafnya serta
bahasa Arabnya. Di sisi lain, pengetahuan umum nampaknya masih dilaksanakan
secara setengah-setengah, sehingga kemampuan santrti biasanya sangat terbatas dan
kurang mendapat pengakuan dari masyarakat umum.39
Islam, Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah
Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan. Diterbitkan oleh Yayasan Wakaf
Paramadina,Februari tahun 1992 (cetakan pertama), Desember 1992 (cetakan kedua),
September 1995 (cetakan ketiga), dan September 2000 (cetakan keempat).Buku ini
adalah kumpulan dari sebagian makalah Klub Kajian Agama (KKA) yang
diselenggarakan oleh Yayasan Wakaf Paramadina, Jakarta. Klub itu sendiri
berbentuk pertemuan diskusi besar dengan hadirin 200 orang, sekali sebulan. Dengan
sistem keanggotaan dan partisipasi tertentu serta tradisi pembahasan yang
bersemangat pluralistik, terbuka dan tenggang rasa, KKA Paramadina telah berjalan
relatif sangat lancar dan berkelanjutan, sejak permulaan diadakannya pada bulan
Oktober 1986 sampai sekarang.40 Sebuah buku yang merupakan karya
monumentalnya, yang bukan karena jumlah halamannya yang memang tebal
(mencapai 625 halaman), namun karena isinya yang komprehensif, sempurna.
Bahkan Frans Magnis Suseno, seorang rohaniawan Katolik mengomentarinya,
sebagai buku tenhtang “Islam Ideal”, yang memuat secara mendalam dan substansif
39 urcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren, Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta: Paramadina,
1992), h. 7-12 40 Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah
Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan. (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 2000), Cet. Ke-4, h. vii
40
argumen-argumen pembaruan Islam di Indonesia yang dirintisnya sejak tahun 70-
an.41 Dalam buku ini, Nurcholish Madjid memaparkan tentang bagaimana manusia
mempunyai tujuan hidup yang transendental berdasarkan iman yang dinyatakan
dalam bentuk amal, kebajikan sosial, menciptakan masyarakat egaliter dan inklusif
dalam mencari kebenaran dan keadilan.
Islam: Agama Peradaban, Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam
dalam Sejarah. Buku ini diterbitkan oleh penerbit Paramadina, Jakarta, tahun 1995.
Dalam buku ini, pada bagian pertama dibahas tentang pendekatan sejarah dalam
memahami doktrin dan peradaban Islam, bagian kedua tentang konsep-konsep corak
keberagamaan, dan bagian ketiga tentang pemaknaan Islam bagi pengalaman dan
ritual keagamaan.42
Masyarakat Religius. Buku ini diterbitkan oleh Paramadina, Jakarta tahun
1997. Mengetengahkan tentang Islam dan konsep kemasyarakatan, komitmen pribadi
dan sosial, dan konsep pendidikan agama Islam di rumah tangga.
Selain buku-buku di atas, karya Nurcholish Madjid lainnya adalah: Pintu-
Pintu Menuju Tuhan, diterbitkan Paramadina, 1994; Islam Agama Peradaban
Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah, diterbitkan oleh
penerbit Paramadina tahun 1995; Islam Kerakyatan dan Keindonesiaan, diterbitkan
oleh penerbit Mizan, Bandung, 1996; Tradisi Islam, Peran dan Fungsinya dalam
41 Franz Magnis Suseno, “Nurcholish Madjid, Islam dan Modernitas” , dalam Mengkaji
Ulang, Pembaruan Pemikiran Islam: Respon dan Kritik Terhadap Gagasan Nurcholish Madjid, (Jakarta: Ulumul Qur’an, 1993), h. 36
42Nurcholish Madjid, Islam: Agama Peradaban, Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah, (Jakarta: Paramadina, 19950, h. vii-viii.
41
Pembangunan, diterbitkan oleh Paramadina tahun 1997; Cita-cita Politik Islam Era
Reformasi, diterbitkan oleh Paramadina, tahun 1999.
Dari karya-karya tulis Nurcholish Madjid yang telah disebutkan, ada satu
karakteristik kuat yang dapat diangkat ke permukaan. Semuanya berangkat dari
keprihatinan yang mendalam terhadap kondisi umat Islam. Dari sikap itu, Nurcholish
Madjid lalu mengajukan alternatif agar Islam menjadi agama yang benar-benar
fungsional dalam kehidupan. Untuk itu al-Qur’an dan As-Sunnah harus ditafsirkan
secara kreatif, kritis dan bertanggungjawab serta dipahami secara keseluruhan dengan
menggunakan metode filosofis sehingga nilai-nilai universal yang dikandungnya
mampu menjadi landasan yang kukuh bagi segala tindakan umat, dan dapat sesuai
dengan kehidupan konkret.
Berdasarkan uraian tentang berbagai karya Nurcholish Madjid di atas, maka
dapat dipahami bahwa Nurcholish Madjid adalah seorang teolog, filosof, sejarawan,
konseptor, pemikir “moralis” dan “demokrat”, dan pembaharu.
Boleh dikatakan, nurcholish Madjid merupakan seorang dari sedikit
intelektual, bukan hanya di kalangan Islam, tetapi juga intelektual umumnya, yang
sering berbicara tentang moral dan melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari.
Komitmen moral itulah agaknya selain wawasannya yang luas yang membuat tokoh
ini sering disebut sebagai “Guru Bangsa” belakangan ini. Karena seperti halnya guru
di sekolah tidak hanya mengajar, tetapi juga harus memberi contoh yang baik kepada
muridnya.
42
E. Pengaruh Nurcholish Madjid Terhadap Perkembangan Pemikiran
Keislaman di Indonesia.
Sebagaimana diketahui di atas, Nurcholish Madjid yang mengalami “dua
dunia” yang sedikit banyak berbeda pada usia-usia pembentukan mental dan
kepribadiannya yang mempunyai pengaruh yang sangat signifikan terhadap
pandangan dan pemikirannya tentang Islam belakangan; yaitu di satu sisi, Nurcholish
identik dengan seorang pembaharu yang ide dan gagasannya “menantang” umat
Islam untuk senantiasa melakukan pembaharuan dalam arti mengimplementasikan
Islam sejalan dengan semangat realitas yang berkembang dengan tanpa
menghilangkan ruh atau spirit Islam yang universal. Di sisi lain, Nurcholish Madjid
yang lahir dari lingkungan nahdliyyin ini sangat apresiatif terhadap kajian-kajian atau
wacana pemikiran yang dibawakan para ulama klasik sebagaimana yang digeluti
hampir semua pesantren konvensional di Indonesia, yang ketika itu kerapkali dituduh
sebagai dunia penuh kejumudan dan stagnasi dalam konteks pemikiran Islam.
Dengan kata lain, di samping menggeluti pemikiran-pemikiran Islam
kontemporer yang biasanya lahir sebagai respon realitas yang berkembang,
Nurcholish Madjid seringkali mencari rujukan pendapatnya, sebagai perbandingan,
pada kajian-kajian yang dibawakan ulama salaf sebagaimana terkandung dalam kitab
kuning. Klasifikasi Fachri Ali dan Bachtiar Effendi yang menggolongkan Nurcholish
43
Madjid ke dalam aliran neo-modernisme tidak dapat dilepaskan dari “dua dunia” yang
ditekuni Nurcholish Madjid. Satu aliran yang dengan kuat mendapatkan pengaruh
dari Fazlur Rahman, guru Nurcholish Madjid ketika berada di Amerika Serikat. Satu
hal lain, yang membedakan Nurcholish Madjid dari pemikir Islam lain, terutama dari
sekelompok yang olehnya disebut sebagai neo-fundamentalisme Islam adalah
“keberaniannya” merujuk pada literature non-muslim dalam mengkaji persoalan-
persoalan sosiologis yang dihadapi umat Islam. Sebut saja, misalnya, rujukannya
terhadap Robert N. Bellah dan Harvey Cox tentang sekularisasi. Dan yang pasti,
sebagai seorang “pembaharu”, pengaruh Nurcholish Madjid terhadap perkembangan
pemikiran keislaman di Indonesia tidak dapat dipungkiri.
Fachri Ali melukiskan usia-usia formative age berada dalam situasi yang
bergejolak secara social maupun politik. Lahir setengah decade lebih sedikit sebelum
proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Nurcholish Madjid untuk ukuran
sekarang, tentunya telah ikut merasakan transisi dan perubahan besar masyarakat
Indonesia sebagai akibat dari peralihan pemerintahan jajahan kepada pemerintahan
bangsanya sendiri. Bagaimanapun juga, periode crucial yang tidak bisa (lagi) dialami
oleh generasi pelanjut ini mempengaruhi kesadaran Nurcholish Madjid dan juga
orang-orang yang segenerasi dengannya-tentang arti dinamika sebuah masyarakat.
Kesadaran sosiologis akan arti perkembangan dan dinamika masyarakat-seperti
tercemin dalam pandangan-pandangan keagamaannya dewasa ini, tentulah sedikit
banyak berutang pada pengalaman-pengalaman penting masa kecilnya itu.
44
Nurcholish Madjid mampu melahirkan pengaruh terhadap perubahan-
perubahan tertentu dalam masyarakat Indonesia. Pengaruh dan perubahan-perubahan
itu bisa bersifat institusional dan literer. Secara institusional hasil pengaruh
pribadinya itu bisa terlihat dalam wujud dan kinerja spesifik organisasi HMI di masa
kepemimpinannya dan beberapa periode setelahnya. Tapi pengaruh institusional
paling menonjol dari Nurcholish Madjid adalah Yayasan Paramadina. Melalui
lembaga ini, Nurcholish Madjid meletakkan pengaruhnya bukan saja pada sosialisasi
pemikiran-pemikirannya, melainkan pula pada terbentuknya komunitas tertentu-
walau masih samar-samar-yang menjadi pendukungnya dari kalangan santri kota.
Secara literer, kehadiran Nurcholish Madjid telah memperkaya khazanah intelektual
di negara kita. Ini ditandai dengan bukan saja oleh publikasi pemikiran-pemikirannya
sendiri, melainkan pula oleh studi tentang diri dan pemikirannya. Dengan kata lain,
baik melalui pemikiran-pemikiran maupun studi tentangnya telah dengan sendirinya
melahirkan dinamika intelektual di negara dan masyarakat kita. Melalui karya-karya
ini, kita bukan saja mendapat bahan untuk memahami dunia intelektual Indonesia,
melainkan pula memberikan landasan bagi perdebatan dan perjalanan intelektual
lebih lanjut bagi generasi-generasi mendatang.43
Kondisi fenomenalitas Nurcholish Madjid juga terlihat pula dalam sejumlah
perkembangan "baru" dalam pemikirannya. Perkebangan pemikiran baru ini pula
yang menyebabkan sebagian ilmuwan merasa tidak nyaman dengan digolongkannya
43 Fachri Ali, Intelektual, "Pengaruh Pemikiran dan Lingkungannya; Butir-butir Catatan untuk
Nurcholish Madjid" (Kata Pengantar untuk Dialog Keterbukaan, Paramadina, Jakarta, hal. xxi, 1997
45
Nurcholish Madjid pada kelompok/aliran pemikiran tertentu. Sebagaimana banyak
dilakukan sejumlah pengamat pemikiran Intelektual Muslim Indonesia, Nurcholish
digolongkan ke dalam aliran Neo-Modernisme44 dan aliran substantifistik.
Azyumardi Azra mencatat keunikan dan kondisi fenomenalitas Nurcholish Madjid
sebagai berikut.
"Cak Nur merupakan pemikir yang sulit untuk 'dikatakan' ke dalam satu tipologi, apalagi jika tipologi itu dipegangi sebagai sesuatu yang 'mutlak'. Juga, pemikiran dan concern Cak Nur terlalu sulit untuk dikaitkan kepada satu sumber atau faktor. Ia boleh saja dipengaruhi Fazlur Rahman atau Ibn Taimiyyah; tetapi pada saat yang sama ia juga bisa berbeda dengan mereka secara sangat kreatif dan imaginatif."45 Nurcholish Madjid, dalam pengamatan Azyumardi Azra,46 kerapkali
mengumandangkan gagasan dan pemikiran yang berada di luar tipologi aliran
pemikiran di mana Nurcholish Madjid dikategorisasikan. Misalnya aliran neo-
modernisme. Dalam konteks ini, dengan meminjam kerangka Gramsci, Azyumardi
Azra menyebut Nurcholish Madjid sebagai seorang "organis intellectual", yakni
intelektual yang tidak hanya terlibat dalam proses sosial, tetapi juga bahkan
melakukan "social enginering". Dia jelas bukan tipe intelektual yang asyik semata-
mata dengan "intellectual exescises", atau "intelektual menara gading", apalagi
44 Kategorisasi ini dilakukan oleh Fachri Ali dan Bactiar Effendi dalam karyanya Merambah
Jalan Baru…. Agaknya kategorisasi ini mengacu pada kategorisasi yang dibuat Greg Barton yang menulis tentang Fazlur Rahman yang banyak memberikan pengaruh terhadap Nurcholish Madjid sebagai mahasiswanya. Akan tetapi, berbeda dari Barton dan Fachri Ali/Bachtiar Effendi, Azyumardi Azra berpendapat lain tentang Nurcholish Madjid yang juga gurunya itu. Azyumardi Azra adalah orang yang menggolongkan Nurcholish Madjid ke dalam pemikir Neo-Tradisionalis, bukan Neo-Modernisme, terutama dengan karyanya yang terkenal Islam: Doktrin dan Peradaban yang diterbitkan Paramadina. Selengkapnya, komentar Azyumardi tentang Nurcholish Madjid bisa dibaca pada Azyumardi Azra, "Cak Nur: Neo-Modernis atau Neo-Tradisionalis" dalam www.Paramadina.com
45 Azyumardi Azra, www.Paramadina.com 46 Azyumardi Azra, "Cak Nur; Neo Modernis atau Neo Tradisionalis", www.Paramadina.com
46
"intelektual dadakan" atau "intelektual karbitan". Berkaitan dengan sifat alamiahnya
sebagai "organic intellectual", terjadinya pergeseran dalam agenda Nurcholish
Madjid. Agendanya kini tidak lagi "mengagetkan" atau "membangunkan" ummat dari
"tidurnya" yang lama-melalui schock therapy tadi-agar siap berpartisipasi dalam
modernisasi atau membangun bangsa. Nurcholish Madjid menyadari bahwa ummat
sudah mulai bangun. Dia berbicara banyak, misalnya, tentang "Muslim intellectual
boom" atau "panen sarjana" di kalangan ummat Islam, yang pada gilirannya berperan
besar dalam mengangkat harkat umat. Dalam konteks keagamaan, ummat juga tidak
lagi terlibat dan menghabiskan energi secara sia-sia dalam masalah furu'iyyah.
Kegairahan baru terlihat jelas dalam kehidupan keagamaan ummat. Meski Nurcholish
Madjid menyebut kesemarakan keagamaan belakangan ini masih terbatas pada
tingkatan apa yang disebutnya sebagai "antusiasme" atau belum lagi mencapai
peningkatan kualitatif yang lebih bermakna, jelas ia mempunyai harapan baru
terhadap semua perkembangan ini..
47
BAB III
KRITIK NURCHOLISH MADJID TERHADAP PENDIDIKAN ISLAM DI
INDONESIA
A. Kritik Tentang Tertinggalnya Dunia Pendidikan Di Indonesia
Sebelum menjelaskan tentang kritik Nurcholish Madjid terhadap pendidikan
di Indonesia, terlebih dahulu menjelaskan rumusan-rumusan tentang konsep-konsep
pendidikan menurut para tokoh pendidikan Islam, sebagai berikut:
Rumusan tentang pengertian pendidikan Islam secara khusus, para ahli
pendidikan Islam berbeda pendapat. Muhammad Athiyah al-Abrasyi misalnya
memberikan pengertian bahwa pendidikan Islam (al-Tarbiyah al-Islamiyah) adalah
mempersiapkan manusia supaya hidup dengan sempurna dan bahagia, mencintai
tanah air, tegap jasmaninya; sempurna budi pekertinya (akhlaknya), teratur
pikirannya, halus perasaannya, manis tutur katanya baik dengan lisan atau tulisan.1
Berdasarkan rumusan ini, berarti pendidikan Islam adalah suatu proses educatif yang
mengarah kepada pembentukan akhlak atau kepribadian.
Ahmad D. Marimba juga memberikan pengertian, bahwa pendidikan Islam
adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap
1 Muhammad Athiyah al-Abrasyi, al-Tarbiyah al-Islamiyah, (Dar al-Fikr al-Araby, t.t), h. 100
48
perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju kepada terbentuknya
kepribadian yang utama menurut ukuran-ukuran Islam.2
Beradasarkan rumusan Ahmad D. Marimba di atas, maka dapat dipahami
bahwa ia menyebutkan ada lima unsur utama dalam pendidikan, yaitu: 1)
Usaha/kegiatan yang bersifat bimbingan, pimpinan atau pertolongan yang dilakukan
secara sadar. 2) Ada pendidik, pembimbing atau penolong, 3) Ada yang dididik, atau
siterdidik. 4) Adanya dasar dan tujuan dalam bimbingan tersebut, dan 5) Dalam usaha
itu tentu ada alat-alat yang dipergunakan.3
Definisi dari rumusan Ahmad D.Marimba di atas selanjutnya dinilai oleh
Ahmad Tafsir sebagai definisi yang belum mencakup semua yang kita kenal sebagai
pendidikan. Definisi itu cukup memadai bila kita membatasi pendidikan hanya pada
pengaruh seseorang kepada orang lain, dengan sengaja (sadar). Pendidikan oleh diri
sendiri dan oleh lingkungan, nampak belum tercakup ke dalam batasan pendidikan
yang diberikan oleh Ahmad D. Marimba tersebut. Namun demikian, Ahmad Tafsir
lebih lanjut mengatakan bahwa pengertian mana yang akan anda ambil, boleh saja,
terserah kepada anda.4 Namun menurut Azyumardi Azra, :”Pendidikan – yang kata
itu juga dilekatkan kepada Islam – telah didefinisikan secara berbeda-beda oleh
orang-orang yang berlainan sesuai dengan pendapatnya masing-masing. Tetapi semua
pendapat itu bertemu dalam pandangan, bahwa: “Pendidikan adalah suatu proses
2 Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Al-Ma’arif, 1980), h.
13 3 Ibid. 4 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosda Karyta,
1994), Cet. Ke-2, h. 15
49
dimana suatu bangsa mempersiapkan generasi mudanya untuk menjalankan
kehidupan dan untuk memenuhi tujuan hidup secara efektif dan efisien”.5
Selanjutnya, perbedaan antara pendidikan umum dengan pendidikan Islam,
menurut Azyumardi Azra, adalah menyangkut nilai-nilai yang dipindahkan. Dalam
pendidikan Islam, nilai-nilai yang dipindahkan itu berasal dari sumber-sumber nilai
Islam, yakni al-Qur’an, Sunnah, dan Ijtihad. Nilai-nilai itulah yang diusahakan
pendidikan Islam untuk dipindahkan dari satu generasi kepada generasi selanjutnya,
sehingga terjadi kesinambungan ajaran-ajaran Islam di tengah masyarakat.6
Selanjutnya, berkaitan dengan pendidikan Islam, di Indonesia dikenal dua
istilah, yaitu: (1) “Pendidikan Agama Islam” dipakai pula dalam pengertian sebagai
nama bidang studi dan (2) “Pendidikan Keagamaan Islam”, yang dipakai sebagai
satuan pendidikan.
Pendidikan agama Islam sebagai nama bidang studi, dipakai di lingkungan
sekolah-sekolah yang bernaung di bawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
berpadanan dengan bidang studi lain seperti: bidang studi Bahasa Indonesia,
Matematika, Geografi dan sebagainya. Pengertian Pendidikan Agama Islam sebagai
satuan pendidikan dipakai dalam lingkungan Departemen Agama, dan berjenjang
sejak dari Taman Kanak-Kanak sampai ke Perguruan Tinggi. Pengertian yang kedua
ini mengacu kepada satuan pendidikan persekolahan atau kelembagaan yang
5 Azyumardi Azra, Esei-esei Intelektual Muslim & Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana
Ilmu, 1998), Cet. Ke-1, h. 3 6 Ibid., h. 5
50
esensinya berbeda dengan pengertian Pendidikan agama Islam sebagai bidang studi di
sekolah-sekolah di lingkungan Departmen Pendidikan dan Kebudayaan.
Di samping istilah pendidikan Islam dan pendidikan agama Islam tersebut,
terdapat istilah pengajaran. Pengajaran agama Islam kalau dilihat dari kajian syari’ah,
maka sejarah kehidupan manusia ini sebenarnya diawali dengan pengajaran yang
dialami oleh Adam a.s., sebagaimana diterangkan dalam firman Allah dalam al-
Qur’an :”Dan mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya,
kemudian mengemukakannya kepada Malaikat lalu berfirman: “Sebutkan kepada-Ku
nama-nama benda itu jika amu memang orang-orang yang benar. Mereka
menjawab; “Maha Suci Engkau, tidak ada kami ketahui selain apa yang telah
Engkau ajarkan kepada kami, sesungguhnya Engkau Yang Maha Mengetahui lagi
Maha Bijaksana” . (Q.S. al-Baqarah: 31-32).
Ayat di atas menjelaskan bahwa Allah SWT telah mengajarkan al-asma’ yang
berlambangkan pengetahuan dan konsepsi benda-benda di alam semesta ini, dimana
masing-masing benda memiliki sifat dan karakteristiknya. Setelah ilmu itu
ditransferkan kepada Adam a.s., lalu direproduksinya dan disampaikannya kepada
Malaikat. Hal ini merupakan supremasi manusia dengan potensi intelektual yang
dimilikinya.
51
Langgulung merumuskan batasan pengertian tentang pengajaran berupa
pemindahan pengetahuan dari seseorang yang mempunyai pengetahuan kepada orang
lain yang belum mengetahuinya.7
Dari terminologi di atas, terdapat unsur-unsur substansial kegiatan pengajaran
yang meliputi:
1). Pengajaran adalah usaha pemindahan pengetahuan.
2). Pemindahan pengetahuan dilakukan oleh seseorang yang mempunyai
pengetahuan (pengajar) kepada orang lain yang belum mengetahuinya (pelajar)
melalui suatu proses belajar mengajar.
Pemindahan pengetahuan dilakukan melalui suatu proses pembelajaran di
mana terjadi interaksi antara pengajar dengan pelajar. Proses pembelajaran dilakukan
mengacu kepada penguasaan sejumlah pengetahuan, ketrampilan dan sikap tertentu
sesuai dengan isi proses pembelajaran tersebut.8
Adapun menurut Nurcholish Madjid, pendidikan agama sesungguhnya adalah pendidikan untuk
pertumbuhan total seseorang anak didik. Pendidikan agama tidak benar jika hanya dibatasi hanya
kepada pengertian-pengertiannya yang konvensional dalam masyarakat. Meskipun pengertian
pendidikan agama yang dikenal dalam masyarakat itu tidak seluruhnya salah –jelas sebagian besar
adalah baik dan harus dipertahankan- namun tidak dapat dibantah lagi bahwa pengertian itu harus
disempurnakan.Maka dalam pengertiannya yang tidak atau belum sempurna itulah kita mendapatkan
gejala-gejala tidak wajar berkenaan dengan pendidikan agama:seorang tokoh agama misalnya, justru
7 Hasan Langgulung, Pendidikan dan Peradaban Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1985), h.
3 8 Ahmad D. Marimba, Op. Cit., h. 16
52
menumbuhkan dan membesarkan anak-anaknya menjadi nakal dan binal. Padahal Nabi saw.
menegaskan bahwa beliau diutus hanyalah untuk menyempurnakan berbagai keluhuran budi.9
Menurut Nurcholish Madjid, kalau dipahami bahwa agama akhirnya menuju kepada penyempurnaan
berbagai keluhuran budi, maka pertumbuhan seorang anak tokoh keagamaan menjadi anak yang nakal
dan binal (baca: tidak berbudi) adalah suatu ironi dan kejadian menyedihkan yang tiada taranya,10 dan
itulah barangkali wujud bahwa anak adalah fitnah seperti dimaksudkan firman Allah:
“Ketahuilah bahwa sesungguhnya harta bendamu dan anak-anakmu adalah ujian (fitnah) (dari Tuhan),
dan sedangkan Allah sesungguhnya menyediakan pahala yang agung. (QS. Al-Anfal/8: 28).
Berdasarkan keterangan di atas, maka menurut Nurcholish Madjid, peran
orang tua dalam mendidik anak melalui pendidikan keagamaan yang benar adalah
amat penting. Dan di sini ditekankan memang pendidikan oleh orang tuanya, bukan
pengajaran. Sebagian dari usaha pendidikan itu memang dapat dilimpahkan kepada
lembaga atau orang lain, seperti kepada sekolah dan guru agama, misalnya. Tetapi
yang sesungguhnya dapat dilimpahkan kepada lembaga atau orang lain terutama
hanyalah pengajaran agama, berujud latihan dan pelajaran membaca bacaan-bacaan
keagamaan, termnasuk membaca al-Qur’an dan mengajarkan ritus-ritus.11
Berbagai usaha telah dilakukan untuk mereformasi pendidikan, hanya saja setelah reformasi
digulirkan, tetap saja menjadi persoalan dan bahkan membuka perselisihan di kalangan umat Islam
terpelajar antara pendidikan tradisional dan pendidikan modern. Kedua kelompok ini saling
mencurigai satu sama lain dan saling menuduh terhadap kelemahan pihak lain sehingga terputuslah
9 Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius, Membumikan Nilai-nilai Islam dalam
Kehidupan Masyarakat, (Jakarta: Paramadina, 2000), Cet. Ke-2, h. 93 10 Ibid. 11 Ibid., h. 94
53
interaksi antara ilmu pengetahuan keislaman dengan teknologi modern.12 Karena itu,
Malik Fajar menilai bahwa lembaga pendidikan Islam seharusnya mempunyai
semangat menyatukan antara semangat Helenisme dan Semitis dalam bentuk sistem
kurikulum yang bervariasi.13 Di samping itu, upaya integrasi yang dilakukan pada
umumnya belum membuahkan hasil.14
Memang ada banyak faktor yang menyebabkan tertinggalnya perkembangan dunia
pendidikan di Indonesia.15 Pertama, karena kebijakan politik kolonial Belanda yang
menempatkan pendidikan Islam sebagai saingan yang harus dihadapi dan
dihancurkan. Kedua , sistem pendidikan yang diterapkan di Indonesia adalah sistem
pendidikan Barat, yang berorientasi kepada kepentingan ideologi sekuler yang
berpotensi mendangkalkan agama dari segala aspeknya.16
Selain faktor di atas, menurut Nurcholish Madjid,17 ada persoalan-persoalan lain yang
menyebabkan pendidikan di Indonesia ketinggalan zaman, yaitu:
12 Zarkowi Soejoti, Pendidikan Islam Perkembangan dan Peranannya dalam Membangun
Sistem Pendidikan Nasional, Pidato Penerimaan Gelar Doktor Honoris Causa, 30 Januari 2002, h. 36 13 Yang dimaksud seamngat Helenisme dan Semitis adalah integrasi keilmuan antara agama
dan ilmu umum. Untuk lebih jelasnya baca, Reorientasi Pendidikan Islam (Jakarta: Fajar Dunia, 1999), h. 104
14 Fazlur Rahman, Islam and Modernity, h. 130 15 Dari segi pendidikan, bangsa Indonesia saat ini masih terbelakang dalam lingkup Asia,
bahkan dalam lingkup yang lebih kecil lagi Asia Tenggara. Malaysia, misalnya menganggap Indonesia kini tidak memenuhi syarat (unqualified), meskipun Malaysia pernah di tahun 1970-an”hutang budi” pada Indonesia dalam hal mengimpor guru dari Indonesia. Lihat Nurcholish Madjid, “Kata Pengantar” dalam Pendidikan Untuk Masyarakat Indonesia Baru, 70 Tahun H.A.R. Tilaar, (Jakarta: Grassindo, 2002), h. xxiii
16 Agus Salim Sitompul, Menyatu Dengan Umat Mnenyatu Dengan Bangsa, Pemikiran Keislaman HMI (1947-1997), (Logos: Jakarta, 20, h. 62
17 Pada saat ini Nurcholish Madjid menjadi pendiri sekaligus Ketua Yayasan Wakaf Paramadina, serta Rektor Universitas Paramadina Mulya (sejak 27 Februari 1998 sampai sekarang)
54
Pertama, salah satunya adalah ketidakmampuan dalam menguasai bahasa Inggris.
Kedua, pendidikan di Indonesia masih didekati secara nativistik, yaitu suatu orientasi
yang hanya bertumpu kepada bangsa sendiri, bahwa baik dan benar hanya datang dari
bangsa sendiri. Dengan demikian, pendidikan seharusnya menumbuhkan nilai-nilai
kemanusiaan universal (personality development) seperti masyarakat madani, civil,
civilized atau berperadaban. Pada akhirnya, akan muncul penghargaan terhadap
sesama manusia, egaliterianisme, toleran dan nondiskriminatif.
Ketiga, kurangnya kesadaran yang penuh dalam hal etos penelitian. Menurut
Nurcholish Madjid, orang-orang Amerika dan Barat pada umumnya tetap yang paling
baik. Hampir semua temuan dilakukan oleh orang-orang Barat. Oleh sebab itu, etos
penelitian sangat terkait dengan tekanan kuat pada aspek pengembangan pribadi.
Keempat, hal yang terkait dan sangat penting dibicarakan berkenaan dengan
pendidikan adalah kebebasan. Dalam hal ini Nurcholish Madjid “kagum” dan
sekaligus “kecewa” atas apa yang dikatakan oleh seseorang penulis buku Amerika
keturunan India, Kishore Mahbubani. Mahbubani mengatakan, “Can Asian Think?”
Kesimpulannya adalah bahwa orang Asia tidak dapat berpikir. Mengapa? Menurut
Nurcholish Madjid jawabannya sangat sederhana, sebagai berikut:
“Orang-orang Asia tidak berani berbeda. Mereka lebih menekankan kerukunan dan
keharmonisan. Karena tidak terbiasa dengan perbedaan, maka ketika muncul
perbedaan sedikit saja sudah menimbulkan stigma yang luar biasa dan ditanggapi
dengan permusuhan dan reaksi yang keras. Ketidaksanggupan untuk berbeda inilah
kemudian melahirkan berbagai tindak kekerasan. Mahbubani berpendapat bahwa
55
ketidakmampuan orang Asia berpikir bukan bukan soal gen atau ras tetapi karena soal
budaya”.18
Kelima , menonjolkan pendidikan verbalisme di Indonesia. Sudah lama
pendiidkan di Indonesia berwatak verbalistik, melalui berisi omongan, teori-teori
abstrak, namun sedikit sekali bersinggungan dengan realitas atau kenyataan
sesungguhnya. Oleh sebab itu, pendidikan harus mendorong dan mengupayakan rasa
curiosity yang tinggi terhadap alam. Berkaitan dengan ini, program-program
pendidikan berupa outhound training harus segera diperbanyak dan dikembangkan.
Keenam, pluralitas keagamaan harus diperkenalkan, bahwa bangsa Indonesia
majemuk dari segi keyakinan ajaran agama. Di Indonesia terdapat multi agama.
Masing-masing ajaran agama itu mempunyai ukuran tingkah sendiri dan setiap umat
beragama harus menjadi toleran dan memiliki rasa penghargaan terhadap orang lain.
Ketujuh, persoalan penting lainnya adalah pendidikan terkait dengan soal
penghargaan terhadap peran dan posisi guru. Masyarakat yang maju selalu
menempatkan guru dalam posisi yang sangat terhormat.
Rendah dan minimnya ilmu yang dimiliki orang-orang Islam atau kemiskinan
intelektual, membawa konsekuensi rendahnya kemampuan umat Islam memberi
18 Nurcholish Madjid, “Kata Pengantar” dalam Pendidikan Untuk Masyarakat Indonesia
Baru, 70 Tahun H.A.R. Tilaar, (Jakarta: Grassindo, 2002), h. xxvi
56
respon pada tantangan zaman secara kreatif dan bermanfaat, yang mengalami
perubahan dan perkembangan yang sangat cepat.19
Menurut Nurcholish Madjid, keyakinan diri dan kemampuan menghadapi
masa depan sangat tergantung pada bagaimana cara berpikir. Jika Islam mengajarkan
bahwa Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum, sehingga mereka sendiri
mengubah apa yang ada pada diri mereka, maka interpretasi yang paling sesuai
dengan perubahan nasib sangat tergantung pada perubahan cara berpikir. Sebab cara
berpikir merupakan salah satu hal yang paling substantif dalam diri manusia.20 Untuk
membentuk cara berpikir seseorang, pendidikan memegang peranan penting.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa memang diakui oleh semua orang
bahwa pendidikan di Indonesia jauh tertinggal dibandingkan pendidikan bangsa lain,
bahkan semakin rendah peringkatnya di dunia maupun di Asia Tenggara, sehingga
dengan Vietman saja masih kalah. Oleh karena itu kritik Nurcholish Madjid di atas
tidak bisa dibantah. Namun Nurcholish Madjid menekankan kepada umat Islam
untuk memiliki kesuburan dan kematangan intelektual, agar mampu merespons setiap
tantangan zaman, melakukan suatu pembaharuan guna memenuhi kebutuhan manusia
kontemporer. Kalau pendidikan sebagai suatu keniscayaan, maka pendidikan akan
membuahkan manusia terdidik yang memiliki kesuburan intelektual sehingga ia
mempunyai kelebihan dari yang lainnya.
19 Nurcholish Madjid, Tradisi Islam, Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di
Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1997), h. 45 20 Ibid., h. 29
57
B. Kritik Terhadap Lembaga Pendidikan Pesantren.
Nurcholish Madjid sebagai salah seorang yang dibesarkan dua kultur
pesantren yang berbeda terpanggil,21 memberikan perhatian untuk melihat sisi
kelemahan yang harus mendapatkan perhatian serius. Menurutnya, dunia pendidikan
pesantren ada plus-minusnya. Ia tidak mengungkapkan terlalu jauh tentang plusnya,
tetapi Nurcholish Madjid menjelaskan, paling tidak minus pesantren terlihat dari segi
metodologi yang tidak begitu efesien, penekanan pada hal-hal yang sebenarnya tidak
terlalu berlebihan misalnya fiqih dan minimnya ilmu-ilmu umum.22
Lebih lanjut Nurcholish Madjid menilai bahwa faktor utama yang
menyebabkan dunia pesantren tidak mengikuti perkembangan zaman, dikarenakan
visi dan tujuan pesantren diserahkan pada proses improvisasi yang dipilih sendiri oleh
kiai atau bersama-sama para pembantunya.23
Dari segi kurikulum, Nurcholish Madjid menilai bahwa pelajaran agama
masih dominan di lembaga pendidikan pesantren yaitu fiqih, tasawuf, nahwu
mendapat tempat yang sangat berlebihan. Sedangkan semangat rasa keagamaan yang
merupakan inti kurikulum keagamaan cenderung terabaikan.
21 Nurcholish Madjid pada mulanya pernah mengecap pendidikan di pesantren Tradisional
Darul Ulum Rejoso Jombang, sebagai lembaga pendidikan tradisonal, ia mempelajari khazanah keilmuan Islam Klasik. Kemudian ia juga mengecap pendidikan modern pada pesantren Gontor Ponorogo, dimana ia dibimbing dengan sistem dan metode yang modern, sehingga mampu memberikan nuansa kritis, analisis dan berwawasan luas.
22 Lihat Nurcholish Madjid, Dialog Keterbukaan, Artikulasi Niali-Nilai Islam dalam Wawasan Sosial Politik Kontemporer, ed, Edy Efendi, (Jakarta: Paramadina, 1998), Cet. Ke-1, h. 111
23 Lihat Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren, Sebuah Potret Perjuangan, (Jakarta: Paramadina, 1997), h. 6
58
Jika diperbandingkan dengan hasil penelitian Mastuhu sebagaimana dikutip oleh
Yasmadi, bahwa prosentase perbandingan kurikulum pesantren dengan kurikulum
lain; beberapa pesantren menyelenggarakan pendidikannya dengan 20 % berisi
pelajaran umum, 80 % berisi pelajaran agama, misalnya madrasah yang diasuh
pondok pesantren Tebuireng. Sedangkan pada sekolah-sekolah umum berlaku
ketentuan kurikulum sebagaimana diatur Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
dan madrasah berlaku ketentuan dari Departemen Agama.24
Nurcholish Madjid sebagai seorang cendekiawan Muslim yang banyak
menangkap khazanah kekayaan Islam klasik menyadari keunggulan perpaduan
keilmuan yang telah mengantarkan Islam pada era keemasan dan kemajuan itu.25
Sementara itu realitas dunia pendidikan Islam “pesantren” tradisional di Indonesia
masih enggan memperlihatkan keengganan untuk mengadopsi “ilmu-ilmu umum”.
Lembaga pendidikan ini mempertahankan aspek keilmuan klasik saja. Aspek ini dari
satu sisi punya nilai positif sebagai salah satu aset yang dimilikinya dan patut untuk
dilirik kembali dalam membangun sistem pendidikan pada abad keruhanian ini.
Untuk kelengkapannya pesantren perlu mengadopsi pengetahuan modern.
Sebenarnya pendapat Nurcholish Madjid di atas tidak ada hal yang baru,
sebab pada umumnya para tokoh Islam yang lain juga menilai pesantren banyak
24 Lihat Yasmadi, Modernisasi Pesantren, Kritik Nurcholish Madjid Terhadap Pendidikan Islam Tradisional, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), h. 79
25 Sejarah pendidikan Islam telah menunjukkan bahwa keseimbangan antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu dunia terdapat pada masa kejayaan dan kegemilangan Islam itu. Seperti diungkapkan oleh Hasan Langgulung,”Keseimbangan ini tidaklah hilang kecuali pada zaman kelemahan. Jadi kelemahan dan kemunduran umat Islam bukan karena Islam, tetapi karena menjauhi Islam. Artinya umat Islam ketika itu tidak mau lagi menerima ilmu-ilmu modern yang bersumber dari Barat. Lihat Hasan Langgulung Asas-asas Pendidikan Islam, h. 117
59
kekurangannya, terutama pada pesantren salafiyah/tradisional dari segi tujuan,
metodologi dan kurikulumnya.26 Namun yang berbeda adalah corak dan bentuk
pembaharuannya. Dalam hal ini misalnya Abdurrahman Wahid mengatakan bahwa
pesantren seharusnya mendirikan sekolah umum di tengah-tengah kehidupan
pesantren.27 Sehingga pesantren tidak hanya mencetak para ulama atai kyai yang ahli
agama melainkan juga mampu melahirkan ahli agama yang tidak miskin dengan ilmu
umum.
Pesantren akan tetap sebagai lembaga pendidikan alternatif tetapi memerlukan
aplikasi dan kajian serta pengembangan yang berkesinambungan sesuai dengan
perubahan dan perkembangan zaman. Untuk itu, diperlukan metodologi atau
pendekatan studi Islam dan keilmuan pesantren yang bukan hanya
mempertimbangkan dalam bahasa M. Amin Abdullah normatifitas, melainkan
historisitas.28
C. Kritik Terhadap Sekolah Tinggi Agama Islam.
Nurcholish Madjid menilai, munculnya banyak Sekolah Tinggi Agama Islam
akhir-akhir ini, bahkan sampai ke pelosok-pelosok, telah menimbulkan masalah
campuran antara syukur dan kuatir. Syukur, karena betapapun juga gejala ini
26 Penyusunan kurikulum amat tergantung pada tujuan pendidikan yang diharapkan. Sebab kurikulum secara garis besarnya dapat diartikan seperangkat materi pendidikan dan pengajaran yang diberikan kepada murid sesuai dengan tujuan pendidikan yang akan dicapai. Lihat Jalaludin dan Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam, Konsep dan Perkembangan (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), Cet. Ke-2, h. 43
27 Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi Esai-Esai Pesantren, h. 50 28 Untuk lebih jelasnya baca Amin Abdullah, Dinamika Islam Kultural, (Bandung: Mizan,
2000), h. 27-29
60
merupakan pertanda langsung kegairahan yang luar biasa kepada ilmu-ilmu agama,
yang barangkali dapat dikaitkan dengan “Kebangkitan Islam” dewasa ini. Kuatir,
karena – meminjam istilah dunia ekonomi – banyaknya lembaga-lembaga kajian
formal ilmiah Islam itu dapat menuju kepada situasi “ inflatoir” . Situasi “ inflatoir”
ini dapat benar-benar terjadi, kalau pertumbuhan kuantitatif sekolah tinggi agama
Islam itu tidak disertai dengan peningkatan kualitatif. Dan mengingat prasarana yang
kita lihat sekarang ini sangat kurang, peningkatan kualitatif itu sungguh merupakan
tantangan yang berat.29
Selanjutnya menurut Nurcholish Madjid, perkembangan ke arah situasi
“ inflatori” itu lebih-lebih lagi dapat terjadi jika hasrat untuk studi tingkat perguruan
tinggi di sekolah agama tersebut terutama hanya karena “mode” karena pikiran dasar
“tak ada rotan akar pun jadi”, maksudnya daripada tak sekolah di mana-mana.30
Jika hal ini benar, maka menurut Nurcholish Madjid, berarti sekolah tingg
agama sekadar menjadi pilihan terakhir (setelah gagal kemana-mana). Sehingga yang
terjadi adalah sekolah tinggi agama itu pun menjadi gudang tempat menumpukknya
bahan manusia yang mutunya tidak terlalu tinggi. Padahal, mendalami agama
(tafaqquh fi al-din) adalah bidang spesialisasi yang dituntut dari kelompok kecil
orang pada setiap golongan masyarakat dengan tugas mengemban fungsi sebagai
sumber kekuatan moral, sebagaimana diterangkan dalam firman Allah dalam al-
29 Lihat Nurcholish Madjid, Cendekiawan & Relegiusitas Masyarakat, Kolom-Kolom di
Tabloid Tekad, (Jakarta: Paramadina, 1999), Cet. Ke-1, h. 164 30 Ibid.
61
Qur’an: Hai Bani Israil! Ingatlah nikmat-Ku yang telah kulimpahkan kepadamu, dan
Aku mengutamakan kamu dari semua yang lain. (Q.S. Al-Baqarah/2:122)
Di mana tanpa menyebutnya sebagai kelompok elite, para sarjana agama itu
menurut Nurcholish Madjid, diasumsikan merupakan “orang-orang pilihan” dengan
tugas “pilihan” pula. Sehingga merupakan suatu keharusan mereka memiliki dan
memelihara kualitas pengetahuan dan kemampuan yang tinggi.
Melihat fungsi sekolah tinggi agama yang bersifat profetis ini – sebagai
sumber kekuatan moral masyarakat – yang kenyataannya sedikit saja berurusan
dengan masalah penghidupan material, maka salah satu kendala usaha peningkatan
kualitas sekolah agama ini menurut Nurcholish Madjid, ialah tidak dimilikinya daya
tarik dalam kaitannya dengan “janji kerja” (the promise of job) seperti sekolah-
sekolah jurusan lainnya. Ini dapat berdampak kepada rendahnya gengsi sekolah
agama dan ilmu-ilmu yang menjadi garapannya. Dan kurangnya gengsi ini akan
dengan sendirinya berdampak negatif menurunnya kemampuan memenuhi fungsi
sebagai sumber kekuatan moral masyarakat tersebut. Karena itu, ada persoalan besar
dalam meningkatkan kualitas sekolah agama yang menuntut perhatian serius kita.31
Seleksi terhadap calon mahasiswa tersebut dalam pandangan Nurcholish
Madjid, dimaksudkan untuk memperoleh bahan/bibit SDM yang berkualitas. Seleksi
tersebut dalam pandangan Nurcholish Madjid, adalah termasuk seleksi minat berstudi
di perguruan tinggi agama Islam. Sebab menurut penilaian Nurcholish Madjid, ada
pula kecenderungan bahwa sebagian mahasiswa yang akhirnya memilih berstudi di
31 Ibid., h. 165
62
IAIN (sekarang berubah menjadi UIN). Tentang adanya perubahan IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta menjadi UIN ini Nurcholish Madjid menyatakan, :”Menurut
saya, konvervasi IAIN menjadi UIN, kurang tepat karena minat menjadi ulama
agaknya akan mengalami marginalisasi. Ada tanda-tanda bahwa menjadi ulama
cenderung menjadi pilihan terakhir. Jika menjadi ulama merupakan pilihan terakhir,
maka hal ini akan sangat berbahaya bagi masa depan umat Islam.”32 itu dikarenakan
mereka tidak diterima pada perguruan tinggi negeri lainnya. Selanjutnya menurut
Nurcholish Madjid, jika menjadi ulama merupakan pilihan terakhir, maka hal ini
akan sangat berbahaya bagi masa depan umat Islam. Hal ini berarti bahwa niatan
untuk mengkaji agama Islam sudah tidak murni lagi. Jika dipertegas, boleh jadi,
sebagian mereka berpandangan :”Daripada menganggur, lebih baik menjadi ulama.”
Dan hal ini sangat berbahaya, karena jika menjadi ulama merupakan pilihan terakhir,
berarti kita akan memperoleh bahan/bibit SDM yang berkualitas rendah33.
Salah satu bahaya yang dimaksud oleh Nurcholish Madjid adalah rendahnya
kualitas bahan baku SDM yang akan menjadi ulama. Padahal, untuk menjadi ulama
dibutuhkan bibit-bibit SDM yang unggul. Dalam hal ini menarik apa yang
dimaksudkan oleh Nabi SAW., sebagai berikit: “Manusia bagaikan barang tambang;
yang terbaik di masa Jahiliyah pastilah terbaik di masa Islam.”34
32 Sebagaimana dikatakannya dalam orasi yang disampaikannya pada Ceramah Umum
“Metodologi Dan Orientasi Studi Islam Masa Depan.” Pada tanggal 4 September 2000, yang diselenggarakan oleh Lembaga Penelitian dan Penerbitan (LPP) Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakartra. Orasi ini ditranskrip dan diedit oleh Muhbib Abdul Wahab dalam buku JAUHAR (Jurnal Pemikiran Islam Kontekstual) Volume 1, No. 1, Desember 2000, h. 3
33 Ibid. 34 Ibid.
63
Sejarah membuktikan ucapan Nabi tersebut, seperti tampak pada figur Umar
bin Khathab, Abu Bakar, Utsman dan sebagainya. Oleh karena itu, yang patut
menjadi keprihatinan kita bersama menurut Nurcholish Madjid, adalah jika nanti
bidang-bidang studi agama di IAIN menjadi pilihan terakhir, maka kita akan
mempunyai bibit ulama yang berkualitas rendah. Bila kelak lulus atau menjadi
sarjana/ulama, mereka akan menjadi orang yang tidak tahu bagaimana harus menjadi
ulama dan tidak mempunyai tanggungjawab moral, karena memang potensi mereka
kurang/lemah. Dengan keterbatasan potensi seperti itu, ulama lulusan IAIN, yang
seharusnya dituntut mempunyai tanggungjawab moral, akan tampil dogmatis karena
pilihan-pilihan di hadapannya sangat terbatas.46
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa kritik Nurcholish Madjid tentang
Sekolah Tinggi Agama Islam tersebut di atas sebenarnya sudah banyak diketahui dan
selalu dibicarakan oleh banyak. Namun yang berbeda adalah Nurcholish Madjid
menganggap kurang tepat konvervasi IAIN menjadi UIN, alasannya akan berdampak
pada minat menjadi ulama akan mengalami marginalisasi. Namun menurut penulis,
dengan IAIN menjadi UIN tersebut justru akan mengangkat citra perguruan tinggi
Islam, terutama IAIN yang selama ini dikenal hanya melahirkan ulama-ulama yang
unggul dalam bidang keagamaan, seperti bidang syariah. Dengan menjadi UIN
diharapkan akan melahirkan juga ulama-ulama dalam bidang ilmu pengetahuan dan
teknologi seperti kedokteran, pertanian, ekonomi, sosial, politik, bahasa dan lain
sebagainya yang diwarnai dengan nilai-nilai Islam.
46 Ibid.
64
Berbeda dengan Nurcholish Madjid di atas, menurut Abuddin Nata, dewasa
ini lembaga pendidkan Islam Negeri memasuki fase baru, yaitu keadaan dimana
ruang lingkup program akademik yang dilaksanakan selama ini dalam bentuk institut
sudah perlu dikembangkan kepada ruang lingkup program akademik yang lebih luas
dalam bentuk universitas.47 Sebenarnya pemikiran untuk merintis menjadi universitas
itu sejak masa Mahmud Yunus.48
Selanjutnya menurut kesimpulan Abuddin Nata, perubahan IAIN menjadi
UIN memiliki dasar pemikiran yang cukup kuat dan peran yang amat strategis bagi
pengembangan Islam di Indonesia dan pemberdayaan umat dalam rangka
menyongsong era globalisasi yang menuntut kualitas yang tinggi, sehingga mampu
bersaing di pasaran global. Permasalahan yang akan meengganggu terwujudnya
rencana pengembangan IAIN menjadi UIN sudah pasti, terutama kekhawatiran akan
hilang dan menciutnya Fakultas-fakultas Agama yang ada di IAIN saat ini, serta hal-
hal lain yang bersifat psikologis politis. Namun berbagai solusi untuk mengatasi
47 Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan, Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di
Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2003),Edisi Pertama, h. 63
48 Pemikiran tentang perlunya Lembaga Pendiidkan Tinggi Islam dalam bentuk universitas di Indonesia sebenarnya sudah dirintis sejak zaman Mahmud Yunus. Menurutnya bahwa Universitas Islam Darul Hikmah didirikan di Bukit Tinggi pada tanggal 27 Rajab 1373 H. (tahun 1953 M), dengan nama perguruan Islam Darul Hikmah dan mempunyai satu fasilitas, yaitu Fakultas Hukum Islam. Pada tanggal 12 Oktober 1957 (18 Rabi’ul Awal 1377 H.) dirubah namanya menjadi Universitas Islam Darul Hikmah dan mempunyai liama fakultas, yaitu Fakultas Hukum Islam di Bukit Tinggi, Fakultas Ushuluddin di Padang Panjang, Fakultas al-Da’wah wa al-Irsyad di Payakumbuh, Fakultas Fiqh wa Ushul di Solok, dan Fakultas Lughat al-Arabiyah wa al-Tarbiyah di Padang.
65
permasalahan tersebut juga sudah ada. Tinggal saja kemauan, kesungguhan dan
kesanggupan dari pimpinan pengelola IAIN saat ini dan di masa yang akan datang.49
49 Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan, Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2003),Edisi Pertama, h. 76
66
BAB IV
PEMBAHARUAN PENDIDIKAN ISLAM MENURUT PEMIKIRAN
NURCHOLISH MADJID
A. Corak Pembaharuan Pendidikan Nurcholish Madjid
Sebelum menjelaskan tentang corak pembaharuan pendidikan Nurcholish
Madjid, terlebih dahulu menjelaskan konsep pembaharuan Nurcholish Madjid,
sebagai berikut:
Di tengah hiruk pikuk polemik seputar modernisasi, westernisasi dan
sekularisme, termasuk di kalangan umat Islam sendiri,5 Nurcholish Madjid, seorang
cendekiawan muslim yang masih sangat muda saat itu, tampil mengemukakan
pandangan dan pemikirannya seputar persoalan tersebut, tentu saja dikaitkan dengan
ajaran Islam. Ketika tidak sedikit tokoh umat Islam yang menolak modernisasi atas
dasar atau pijakan teologis, Nurcholish, dengan pijakan yang sama tetapi interpretasi
berbeda, mengumandangkan gagasan dan pemikirannya yang berbeda dan ketika itu
5 Diantara tokoh umat Islam yang sedikit banyak mendukung modernisasi adalah Deliar Noer.
Deliar menyatakan "modernisasi bukanlah persoalan teologis karena esensi modernisasi itu sesuai dengan ajaran Islam tentang kemasyarakatan. Bahkan ajaran Islam itu sendiri selalu dalam keadaan modern. Karenanya, masyarakat modern bukan hanya tidak bertentangan dengan Islam; tetapi bahkan harus direalisasikan oleh kaum Muslim." Deliar Noer, "Umat Islam dan Masalah Modernisasi", makalah diskusi Cibulan, dikutip M. Syafii Anwar dalam Pemikiran dan Aksi Islam… hal. 41 dari Kamal Hasan dalam Muslim Intelectual Responses to "New Orde Modernization in Indonesia, Kuala Lumpur Dewan Bahasa dan Pustaka, 1980, hal. 13-14. Sedangkan Amien Rais menyatakan bahwa modernisasi merupakan suatu kebutuhan mutlak yang patut didukung pelaksanaannya. Hanya saja dia menyesalkan pelaksanaannya yang telah dimanfaatkan oleh unsur-unsur tertentu untuk mencapai tujuan politisnya. Yang ditolak atau sedikitnya dikhawatirkan Amien Rais dari modernisasi ketika itu adalah eksploitasi politis dari modernisasi yang pada gilirannya akan dapat memperlemah peranan agama dalam masyarakat Indonesia.
67
merupakan gagasan kontroversial. Gagasan Nurcholish terpusat pada gerakan yang
kemudian dikenal "pembaharuan pemikiran Islam".
Menurut Nurcholish, modernisasi harus dibedakan dari westernisasi.
Modernisasi, bagi Nurcholish, lebih identik dengan rasionalisasi dalam arti bahwa
modernisasi merupakan satu proses menghilangkan pola pikir tidak rasionalistik
digantikan dengan pola baru yang lebih rasionalistik.6 Oleh karena itu, lanjut
Nurcholish, bagi umat Islam, modernisasi merupakan suatu keharusan mutlak.
Modernisasi berarti bekerja dan berfikir sesuai dengan aturan hukum alam. Menjadi
modern berarti mengembangkan kemampuan berfikir secara ilmiah, bersikap dinamis
dan progresif dalam mendekati kebenaran-kebenaran universal. Sejumlah ayah al-
Qur'an mengindikasikan banyak petunjuk kepada umat Islam untuk menjadi modern
dalam pengertian di atas.7 Dengan pengertian di atas, maka Nurcholish berpandangan
bahwa modernisasi tidak identik dengan westernisasi. Jika modernisasi identik
dengan westernisasi yang juga memasukkan unsur-unsur sekularisme, maka bagi
umat Islam tidak ada cara lain kecuali harus menolak seluruh konsep modernisasi.
Nurcholish menulis:
"Kita sepenuhnya berpendapat bahwa modernisasi ialah rasionalisasi yang ditopang oleh dimensi-dimensi moral, dengan berpijak pada prinsip-prinsip keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Akan tetapi kita juga sepenuhnya menolak pengertian yang mengatakan modernisasi ialah westernisasi, sebab kita menolak westernisasi. Dan westernisasi yang kita maksudkan itu ialah suatu keseluruhan paham yang membentuk way of life, di mana faktor yang
6 Nurcholish Madjid, "Modernisasi dan Rasionalisasi," Mimbar Demokrasi, Bandung, 1968, hal. 5 7 QS. XVI:3, QS. XXVII:28, QS. VII:54, XXV:2, QS.XXXII:7, QS.X:101, QS. XXV:13, QS.II:70.
68
paling menonjol ialah sekularisme, dengan segala percabangannya sebagaimana telah diterangkan di atas".8
Di sini yang ditolak oleh Nurcholish bukanlah modernisasi, melainkan
westernisasi yang dalam asumsinya memuat nilai-nilai sekularisme yang jelas-jelas
ditolak dalam Islam, sebab pandangan sekularistis adalah pandangan yang bercirikan
pemisahan gereja dan negara; dia adalah paham yang menafikan otoritas Tuhan
dalam persoalan-persoalan dunia. Pandangan sekularistis menyatakan bahwa
persoalan dunia harus diurus atau diatur dengan cara-cara lain yang tidak berasal dari
Tuhan. Dengan kata lain, "sekularisme", seperti kesimpulan Nurcholish, "adalah
paham tidak Tuhan dalam kehidupan duniawi manusia". Sebab ajaran Islam tidak
mengenal pemisahan antara persoalan dunia dan ahirat, juga tidak memisahkan
persoalan individu dan sosial.9
Namun demikian, meski Nurcholish menolak sekularisme, dia tidak menolak
sekularisasi. Bagi Nurcholish, sekularisasi bukan sekularisme dan bahkan tidak
identik dengan sekularisme. Sekularisme adalah satu paham tertutup; sebuah ideologi
tersendiri lepas dari agama, dalam arti bahwa sekularisme adalah penolakan adanya
kehidupan akhirat dalam kehidupan duniawi ini.10 Sekularisme, dalam konteks
demikian, bukan sebuah proses tetapi sebuah ideologi tertutup yang berfungsi sangat
8 Nurcholish, Islam, Kemodernan dan Keindoneiaan, Bandung, Mizan, 1987, hal. 171-203. 9 M. Syafii Anwar, Pemikiran dan Aksi…, hal. 43 10 Nurcholish Madjid, "Sekitar Usaha Membangkitkan Etos Intelektualisme Islam Indonesia"
dalam Endang Saefuddin Anshari(ed) 70 tahun Prof. HM. Rasyidi, (Jakarta: Pelita, 1985), h. 216
69
mirip sebagai agama.11 Berbeda dari kalangan yang membaca sekularisasi dari
perspektif filosofis dan teologis, bagi Nurcholish, sekularisasi adalah sebuah proses
sosiologis. Dalam hal ini, Nurcholish Madjid banyak dipengaruhi oleh sosiolog
seperti Talcot Parson, Robert N. Bellah, dan Harvey Cox yang memandang
sekularisasi dari perspektif sosiologis.
Harvey Cox, misalnya, membedakan sekularisme dan sekularisasi. Cox
menulis:
Sekularisasi adalah istilah deskriptif yang mempunyai arti luas dan mencakup. Ia muncul dengan samaran-samaran berbeda, tergantung kepada sejarah keagamaan dan politik suatu wilayah yang dimaksudkan. Namun, di manapun istilah sekularisasi muncul, ia harus dibedakan dari sekularisme. Sekularisasi menunjukkan suatu proses sejarah, yang hampir pasti tidak mungkin diputar kembali, di mana masyarakat dibebaskan dari kungkungan pengawasan keagamaan. Dengan demikian, sekulerisasi pada dasarnya adalah suatu perkembangan pembebasan (liberating development). Sedangkan sekularisme adalah nama untuk ideologi, suatu pandangan dunia baru yang bersifat tertutup, yang berfungsi mirip agama 12
Talcot Parson memberikan pengertian sekularisasi dari perspektif sosiologis
dengan lebih jelas sebagai berikut:
“Sekularisasi dalam pengertian sosiologis mengandung pengertian
pembebasan masyarakat dari belenggu takhayul dalam beberapa aspek
11 Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 1987), h.
218-219 12 Harvey Cox, Secular City, New York Macmillan Company, 1966. Bisa dilihat pula dalam
Nurcholish Madjid, "Beberapa Catatan Sekitar Masalah Pembaharuan Pemikiran Islam" dalam Islam, Kemodernan, h. 216
70
kehidupannya, dan dalam arti tidak berartinya orientasi keagamaan dalam
norma-norma dan nilai-nilai kemasyarakatan.” 13
Robert N. Bellah yang meneliti masyarakat Islam klasik di dunia Arab
menulis:
Masyarakat Islam klasik telah berhasil melakukan devaluasi radikal atau sekularisasi atas semua struktur sosial yang ada berhadapan dengan cinta mengenai hubungan Tuhan dengan manusia yang sentral. Dengan cara itu, hubungan kesukuan atau kekeluargaan yang telah menjadi pusat kesucian masyarakat Arab pra Islam dihapuskan. Dengan kata lain proses devaluasi radikal atau sekularisasi dalam pengertian sosiologis berpangkal pada monoteisme yang berakibat penurunan nilai pranata kesukuan dan kekeluargaan di zaman jahiliyah pra-Islam menjadi obyek yang tidak lagi mutlak dan sakral, kemudian memusatkan rasa kesucian hanya kepada Tuhan Yang Maha Esa belaka. 14 Dengan kata lain, sebagaimana berbagai pandangan di atas, Nurcholish
membedakan antara sekularisme dan sekularisasi. Dalam hal ini, sekularisasi bukan
upaya 'memisahkan' persoalan-persoalan duniawi dan ukhrawi, melainkan sebagai
sarana bagi umat Islam untuk 'membedakan' diantara keduanya. Bahkan Nurcholish
memasukkan dimensi baru ke dalam konsep sekularisasi; yakni dimensi tauhid. Bagi
Nurcholish, sekularisasi dalam perspektif sosiologis merupakan konsekuensi dari
tauhid. Tauhid itu sendiri menghendaki pengarahan setiap kegiatan hidup untuk
Tuhan dalam upaya mencari ridha-Nya, yang justru merupakan sakralisasi kegiatan
13 Talcott Parson, Theories of Society; Foundations of Modern Sociological Theory, New
York, The Free Press, 1961, sebagaimana dikutip oleh Nurcholish Madjid dalam "Sekitar Usaha Membangkitkan Etos Intelektualisme Islam di Indonesia," dalam 70 Tahun Prof. HM. Rasyidi, Jakarta, Harian Pelita, 1985, h. 216.
14 Robert N. Bellah, Beyond Belief, New York, Harper & Row Publisher, 1970, h. 151 dan dikutip Nurcholish Madjid dalam "Sekitar Usaha Membangkitkan Etos Intelektualisme Islam di Indonesia," dalam 70 Tahun Prof. HM. Rasyidi, Jakarta, Harian Pelita, 1985, h. 217.
71
manusia. Dengan demikian, sekularisasi mengandung makna pengalihan sakralisasi
dari suatu obyek alam ciptaan (makhluk) ke Tuhan Yang Maha Esa.15
Sebagaimana telah dikatakan pada bab sebelumnya, bahwa Nurcholish Madjid
adalah seorang tokoh yang secara intelektual dididik dan dibesarkan dalam
lingkungan tradisi keagamaan Islam yang kuat dan dunia keilmuan Barat yang kritis.
Pengembangan intelektualitasnya akhirnya mengantarkan Nurcholish Madjid ke arah
mazhab neo-modernisme dengan wacana yang bersifat humanitarianistik dan sarat
dengan pemikiran yang liberal, tetapi tetap autentik sekaligus historis.
Menurut penelitian Greg Barton dalam bukunya yang spektakuler,
Nurcholish Madjid merupakan salah seorang tokoh modernis yang paling produktif
dari tiga tokoh lainnya (Djohan Effendi, Ahmad Wahib dan Abdurrahman Wahid).
Menurut Greg Barton, gagasan pemikiran Nurcholish Madjid berkisar pada tiga
kriteria utama; yaitu pembaharuan pemikiran Islam, Islam dam masyarakat industri
modern, serta Islam dan hubungan iman dan ilmu pengetahuan. Nurcholish Madjid
lebih banyak menekankan perlunya rasionalisasi moral agama dalam masyarakat
industri, hubungan keimanan dan ilmu pengetahuan. 1
Selanjutnya, Greg Barton menyebut Nurcholish Madjid termasuk dalam
lingkaran neo-modernisme atau gerakan pembaharuan Islam. Menurut Abd A’la yang
mengutip Fazlur Rahman, neo-modernisme merupakan gerakan pembaharuan Islam
15 Nurcholish Madjid, "Sekitar Usaha Membangkitkan Etos Intelektualisme Islam di
Indonesia," dalam 70 Tahun Prof. HM. Rasyidi, Jakarta, Harian Pelita, 1985, h. 217.…", hal. 217 1Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish
Madjid, Djohan Efendi, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid 1968-1980, terjemahan Nanang Tahqiq, (Jakarta: Paramadina, Jakarta, 1999, h. 5-77
72
yang muncul sebagai jawaban terhadap kekurangan atau kelemahan yang terdapat
pada gerakan-gerakan Islam yang muncul sebelumnya, yaitu revivalisme pra-
modernis, modernisme klasik, dan neo-revivalisme.2 Dengan demikian, aliran
pemikiran ini hadir mengembangkan “sayapnya” untuk mengkritisi dan sekaligus
mengapresiasi aliran-aliran pemikiran Islam yang lain yang timbul dalam sejarah
perjalanan umat Islam, serta pemikiran yang berkembang di Barat.
Yang hendak dicari oleh pembaharuan pemikiran Islam adalah corak jawaban
yang akurat dan tepat dalam menghadapi tuntutan umat Islam yang semakin
berkembang. Meminjam istilah Dawam Rahardjo, yaitu “respon kreatif-dialektif”
sebagai usaha menghindarkan Islam dari dua corak respon lainnya, yaitu menjadi
agama yang tidak sesuai atau tidak berfungsi dalam modernisasi dan menjadi sumber
perlawanan.3
Besarnya peran kelompok pembaharu bukanlah sesuatu yang unik bagi
Indonesia. Menurut Smith seperti yang diuraikan oleh M. Rusli Karim, di tiga negara
Asia Selatan (India, Pakistan, dan Srilangka) pun telah diterima anggapan mengenai
pentingnya peran para pembaharu agama.4 Dalam konteks Indonesia yang sedang
mengalami proses modernisasi dalam berbagai bidang sosial, politik, dan ekonomi,
jelas dibutuhkan sebuah agama yang mampu memberikan landasan nilai dan moral
universal. Dalam kaitan ini, komitmen Nurcholish Madjid begitu tinggi dan terlihat
2Abd A’la, Dari Neo-Modernisme dan ke Islam Liberal, (Jakarta: Paramadina, 2000, h. 1 3 Dawam Rahardjo, Intelektual Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa, Risalah
Cendekiawan Muslim, (Bandung: Mizan, 1993), h. 381 4M. rusli Karim, Negara dan Peminggiran Islam Politik, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999,
h. 222
73
jelas pada Islam, bukan pada institusi keislaman. Sehingga ia melontarkan gagasan
“Islam, Yes; Partai Islam, No!”, sebuah pemikiran baru menurut M. Syafi’i Anwar,5
yang dilontarkan Nurcholish Madjid untuk mengcounter banyaknya bermunculan
partai-partai Islam ketika itu. Kata Komaruddin Hidayat, ada tiga “kata kunci” dari
pembaharuan pemikiran Nurcholish Madjid sebagai aktualisasi diri seorang Muslim,
yaitu tahapan jihad, ijtihad, dan mujahadah. Ketiga dimensi ini merupakan satu
kesatuan meskipun masing-masing memiliki nuansa dan aksentuasi yang berbeda.6
Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat dipahami bahwa corak
pembaharuan pendidikan Nurcholish Madjid sangat dipengaruhi paham
pembaharuannya dalam ajaran Islam, yaitu rasionalis, kritis, inklusif-pluralis.
Berkenaan dengan corak pemikiran ke-islaman Nurcholish Madjid tersebut, timbul
beberapa pertanyaan sebagai berikut: 1) Apakah yang dimaksud dengan berbagai
corak pemikiran Islam tersebut? 2) Apa yang melatar belakangi timbulnya corak
pemikiran Islam tersebut? 3) Apa ciri-ciri yang dapat diidentifikasi untuk mengetahui
corak pemikiran Islam tersebut?
Melalui penelusuran terhadap berbagai literatur ke-islaman yang otoritatif,
dan dengan menggunakan pendekatan deskriptif-analitis, dalam sub bab ini akan
menjawab berbagai pertanyaan tersebut di atas.
1. Corak Pemikiran Islam Rasional
5 Lihat M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia, Sebuah Kajian Politik
tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru, (Jakarta: Paramadina, 1995), Cet. Ke-1, h. 49-50; dan Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan, h. 204
6 Komaruddin Hidayat, “Schoun, Nasr dan Caknur” Mengkaji Ulang Pembaruan Pemikiran Islam, Vol. IV, No. I, Ulumul Qur’an, Jakarta, 1993, h. 84
74
1.1. Pengertian Islam Rasional
Kata “rasional” berasal dari bahasa Inggris, rational yang berarti masuk
akal, berakal.7 Kata “rasional” selanjutnya dapat berarti pemikiran, pandangan
dan pendapat yang sejalan dengan pendapat akal. Sedangkan pengertian akal
dapat berarti daya berpikir yang ada dalam diri manusia dan merupakan salah
satu daya dari jiwa serta mengandung arti berpikir, memahami dan mengerti.8
Kata akal berasal dari bahasa Arab, yaitu ’aqala yang berarti mengikat dan
menahan. Pada zaman Jahiliyah orang yang berakal (’aqil) adalah orang-orang
yang dapat menahan amarahnya dan mengendalikan hawa nafsunya, sehingga
karenanya dapat mengambil sikap dan tindakan yang bijaksana dalam
menghadapi segala persoalan.9
Kata akal sebagai masdar (kata benda) dari ‘aqala tidak didapat dalam al-
Qur’an, namun bentukan dari kata akal tersebut terdapat dalam bentuk fi’il
mudhari (kata kerja) sebanyak 49 buah dan tersebar di berbagai surat dalam al-
Qur’an. Kata-kata itu, misalnya adalah ta’qilun dalam surat al-Baqarah ayat 49,
ya’qilun dalam surat al-Furqan ayat 44 dan surat Yasin ayat 68, na’qilu dalam
surat al-‘Ankabut ayat 43, dan ‘aqaluha dalam surat al-Baqarah ayat 75.
Pengertian akal lebih lanjut dapat dijumpai dalam pendapat para filsuf
Islam. Al-Kindi misalnya mengatakan bahwa akal adalah daya berpikir yang
7 John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1979),
Cet. Ke-VIII, h. 466 8 Kafrawi Ridwan, dkk. (Ed.), Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ikhtiar Baru van Hoeve, 1999),
Cet. Ke-IX, h. 98 9 Ibid., h. 98
75
terdapat di kepala. Dilihat dari segi fungsi dan sifatnya, al-Kindi membagi akal
ke dalam dua bagian, yaitu akal praktis dan akal teoritis. Akal praktis adalah akal
yang menerima arti-arti yang berasal dari materi melalui indera pengikat. Akal
teoritis menangkap arti-arti murni, yaitu arti-arti yang tak pernah ada dalam
materi Tuhan, roh, dan malaikat. Akal praktius memusatkan diri pada alam
materi, sedangkan akal teoritis sebaliknya bersifat metafisis, mencurahkan
perhatian pada alam immateri.10
Berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui bahwa yang dimaksud
rasional adalah sesuatu yang masuk akal atau sesuatu dengan pendapat akal
dengan berbagai tingkatannya. Rasional dapat juga berarti potensi rohaniah
dengan mana manusia dapat membedakan antara yang benar dan salah, baik dan
benar. Islam rasional adalah Islam yang dalam menjelaskan ajaran-ajarannya
tidak hanya mengandalkan pendapat wahyu, tetapi juga mengikutsertakan akal
pikiran. Islam rasional juga berarti Islam yang menghargai pendapat akal pikiran
dan menggunakannya untuk memperkuat dalil-dalil ajaran agama. Dan juga
berarti Islam yang menjelaskan hikmah filosofi dari sesuatu teks atau perintah
atau larangan yang terdapat dalam wahyu. Allah SWT misalnya memerintahkan
shalat, dan melarang berbuat maksiat. Kemudian akal digunakan untuk mencari
hikmah yang terdapat dalam perintah shalat dan larangan berbuat maksiat
10 Ibid., h. 98
76
tersebut.11 Penggunaan akal untuk memahami ajaran agama yang demikian itu
sangat dianjurkan dalam ajaran Islam. Itulah sebabnya muncul sebagian dari
kalangan umat Islam seperti Nurcholish Madjid yang bersungguh-sungguh
menggunakan akal pikiran.
1.2. Paham Islam Rasional Nurcholish Madjid
Munculnya paham Islam Rasional di Indonesia seiring dengan munculnya
gerakan pembaharuan dalam Islam. Dalam kaitan ini kata Abuddin Nata, dua
tokoh pembaharu Islam di Indonesia, yakni Nurcholish Madjid dan Harun
Nasution patut dikedepankan. Bahkan kita boleh mengatakan bahwa paham
Islam rasional di Indonesia dipelopori oleh dua tokoh ini.12
Paham Islam rasional yang dibawa oleh Nurcholish Madjid dapat
dilihat dari ide-ide pembaharuan yang dimajukannya. Dalam kaitan ini
Muhammad Kamal Hasan mengatakan bahwa lahirnya apa yang disebut
Gerakan Pembaharuan pada sebagian pemuda Muslim pada masa 1970-1972
merupakan perkembangan paling radikal dalam pemikiran religio-politik
Islam di dalam Orde Baru Indonesia. Kandungan intelektual Pembaharuan
merupakan suatu usaha untuk memformulasi kembali secara postulat-postulat
Islam fundamental mengenai Tuhan, manusia dan alam fisik, dan cara
11 Abuddin Nata, Peta Keragaman Pemikiran Islam Di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2001), Cet. Ke-2, h. 62 12 Ibid, h. 73
77
perhubungan semua itu di dalam realitas-realitas politik.13 Dalam gerakan
pembaharuan tersebut Nurcholish Madjid merupakan motor penggeraknya.
Dalam nomenklatur (tatanama) yang didisain untuk makna konsep-konsep
agama secara rasional, ide-ide pembaharuan secara umum ditujukan kepada
para cendekiawan Muslim kota dan kepada para pelajar yang berasal dari latar
belakang pendidikan umum yang merupakan mayoritas anggota Himpunan
Mahasiswa Islam (HMI).14
Proses “liberalisasi” (pembebasan) ini perlu menyerap sekularisasi,
mencanangkan kebebasan pemikiran, menerima “ide progres” dan
menanamkan sikap-sikap terbuka. Menyadari bahkan kaum Muslimin takkan
suka menerima konsep sekularisme, Nurcholish Madjid berhati-hati di dalam
menjelaskan bahwa kata “sekularisasi” tidak berarti menerima sekularisme,
karena ini jelas bertentangan dengan Weltanschauung Islam. Gagasan
sekularisasi, sebagaimana diakui Nurcholish Madjid diambil dari Talcot
Parson, Harvey Cox dan Robert N. Bellah. Sekulerisasi dipahami Nurcholish
Madjid sebagaimana telah diuraikan di atas adalah sebagai pembebasan atau
“menduniawikan” nilai-nilai yang sudah semestinya duniawi dan melepaskan
umat Islam dari kecenderungan untuk mengukhrawikannya.15 Dalam
pengertian ini, menurut Nurcholish Madjid sekularisasi pada hakikatnya
13 Muhammad Kamal Hasan, Modernisasi Indonesia Respon Cendekiawan Muslim, (Jakarta:
Lingkaran Studi Indonesia Ciputat, 1987), h. 114 14 Ibid., h. 115 15Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 1987), h. 207
78
adalah rasionalisasi dan desaklralisasi. Terdapat konsistensi antara
sekularisasi dan rasionalisasi, sebab substansi sekularisasi adalah
memecahkan dan memahami masalah-masalah duniawi dengan mengerahkan
kecerdasan rasio.16 Jadi, dengan sekularisasi dimaksudkan menganggap
temporal nilai-nilai yang memang sebenarnya temporer (duniawi), tetapi umat
cenderung menganggapnya ukhrawi. Istilah itu juga berarti “desakralisasi”
terhadap tiap sesuatu yang lain daripada sesuatu yang yang benar-benar
transendental. Proses desakralisasi diaplikasikan kepada semua “sasaran”
duniawi” baik moral maupun materil. Menurut Nurcholish Madjid, nilai-nilai
termasuk ke dalam kategori-kategori duniawi, dan karenanya merupakan
sasaran proses desakralisasi.17
Upaya rasionalisasi dalam pengertian ilmiah sangat dimungkinkan,
kalau dunia sebagai obyek ilmiah dilepaskan dari mitos-mitos yang
menyakralkannya. Desakralisasi, demitologisasi atau sekuralisasi secara
implisit mengandung devaluasi radikal terhadap obyek mitologi,
diturunkannya nilai-nilai sakral menjadi obyek yang hanya mengandung
kegunaan praktis.18 Oleh karena itu, lebih jelas Nurcholish Madjid
mengatakan bahwa segala sesuatu harus kembali kepada prinsip tauhid yang
16Ibid., h. 229 17 Muhammad Kamal Hasan, Modernisasi Indonesia Respon Cendekiawan Muslim, (Jakarta:
Lingkaran Studi Indonesia Ciputat, 1987), h. 119 18Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Telaah Kritis Tentang Masalah
Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan, (Jakarta: Paramadina, 1992), h. xxv
79
terangkum dalam syahadat, di mana orang harus mantap dan tidak menabukan
“sesuatu”, karena hanya Tuhanlah yang tabu.19
Artinya, sekuralisasi yang dimaksud Nurcholish Madjid adalah pembebasan tatanan sosio-kultural dari ikatan-ikatan formal keagamaan. Agama ditempatkan pada tingkat yang lebih abstrak sebagai nilai-nilai etis. Akan tetapi, bukan berarti agama kehilangan “ruh” signifikansinya dalam kehidupan duniawi. Sebagai sistem nilai, agama berfungsi memberikan arah dan orientasi, sekaligus makna hidup terhadap tertib sosial.20 Tentu saja peran ini tidak bisa dimainkan oleh agama yang “terbelenggu” dalam bentuk-bentuk kelembagaan formal atau organisatoris dan hukum yang legal spesifik. Dengan demikian agama harus dilihat sebagai kenyataan universal, yang mampu melingkupi pluralisme yang menguat dalam masyarakat modern.21
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dipahami bahwa paham
pembaharuan Nurcholish Madjid pada intinya melakukan rasionalisasi
terhadap ajaran Islam yang memang seharusnya dipahami secara rasional.
Namun paham pemikirannya ini mendapatkan tantangan keras dari kelompok
Islam tradisionalis.23 Dalam kaitan ini yang paling vokal menentang ide
sekuralisasi Nurcholish Madjid adalah Endang Saefuddin Anshari dari
Bandung. Namun ide-ide rasional Nurcholish Madjid sangat mendapatkan
19Ibid., h. 220 20Montgomery Watt, Islamic Political Thought, Edin burg University Press, 1980, h. 32 21Goenawan Muhammad, “Sebuah Pengantar”, dalam Nurcholish Madjid, Pintu-Pintu
Menuju Tuhan, (Jakarta: Paramadina, 2002), h. xiii 23Islam tradisionalis merupakan salah satu corak paham ke-Islaman yang paling populer dan
banyak dianut oleh masyarakat Islam Indonesia. Paham ke-Islaman yang sering dikonfrontir dengan Islam modernis ini sering dituduh sebagai penghambat kemajuan dan membawa kemunduran umat Islam. Berbagai pemikiran yang dimajukan kalangan modernis sering ditujukan untuk membawa umat Islam membawa kemajuan, dengan terlebih dahulu meninggalkan sikap tradisionalisnya. Selanjutnya kata tradisionalis yang berada di belakang kata Islam, berasal dari bahasa Inggris tradition yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia menjadi tradisi. Lihat John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1979), Cet. Ke-VII, h. 599.. Kata tradisi diartikan segala sesuatu, seperti adat, kepercayaan, kebiasaan, ajaran dan sebagainya yang turun temurun dari nenek moyang. Lihat W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), Cet. Ke-XII, h. 1088
80
sambutan luar biasa dari kalangan muda Islam, khususnya yang tergabung
dalam Himpunan Mahasiswa Islam, dan mahasiswa serta masyarakat
perkotaan pada umumnya. Ide-ide Nurcholish Madjid kini dikembangkan
melalui sejumlah karyanya dan dikaji secara intensif melalui Yayasan Wakaf
Paramadina dan Universitas Madania Mulya.
2. Islam Inklusif-Pluralis
2. 1. Pengertian Islam Inklusif-Pluralis
Kata inklusif berasal dari bahasa Inggris, inclusive yang berarti sampai
dengan dan termasuk.24 Demikian pula kata pluralis juga berasal dari bahasa
Inggris, plural yang berarti jamak atau banyak.25 Inclusif-pluralis selanjutnya
digunakan untuk menunjukkan paham keberagamaan yang didasarkan pada
pandangan bahwa agama-agama lain yang ada di dunia ini sebagai yang
mengandung kebenaran dan dapat memberikan manfaat serta keselamatan
bagi penganutnya. Selain itu Islam inklusif-pluralis dimaksudkan tidak
semata-mata menunjukkan pada kenyataan tentang adanya kemajemukan,
melainkan keterlibatan aktif terhadap kenyataan kemajemukan tersebut.26
Pandangan inklusif-pluralis tersebut secara filosofis teoritis dapat
dijumpai dalam kajian Ilmu Perbandingan Agama. Dalam hubungan ini
Schuon misalnya mengatakan bahwa dalam kenyataannya tidak ada bukti-
24John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1980),
Cet. Ke-8, h. 316. 25 Ibid., h. 435 26Alwi Shihab, Islam Inklusif, (Bandung: Mizan, 1998), Cet. Ke-1, h. 41
81
bukti yang mengandung pernyataan bahwa kebenaran unik dan khusus hanya
dimiliki agama tertentu saja.27
Dalam pada itu Huston Smith mengatakan bahwa pernyataan
keselamatan merupakan monopoli dari salah satu agama saja sebenarnya sama
saja dengan mengatakan bahwa Tuhan hanya ditemukan dalam ruangan ini
saja dengan dan tidak ada di ruangan sebelah atau hanya dalam busana ini
saja, dan tidak ada dalam busana lain.28
Berbagai pemikiran tersebut merupakan dasar yang dapat digunakan
untuk membangun paham Islam Inklusif-pluralis. Namun demikian Alwi
Shihab mengatakan sebagaimana dikutip oleh Abuddin Nata,.29 bahwa
keberagamaan yang inklusif-pluralis harus dibedakan (tidak sama) dengan
kosmopolitanisme, relativisme dan sinkretisme.30
27Frithjof Schuon, Mencari Titik Temu Agama-agama, (terj.) Safroedin Bahar dari judul asli,
The Transcendent Unity of Religion, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987), Cet. Ke-1, h. 17 28Huston Smith, Agama-agama Manusia, (terj.) Safroedin Bahar, dari judul asli The Religion
of Man, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985), Cet. Ke-1, h. 101 29 Abuddin Nata, Peta Keragaman Pemikiran Islam Di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2001), Cet. Ke-2, h. 189 30Kosmopolitanisme menunjuk kepada suatu realita di mana aneka ragam agama, ras dan
suku bangsa hidup berdampingan di suatu lokasi. Ambil misal kota New York. Kota ini adalah kota kosmopolitan. Di kota ini terdapat orang Yahudi, Nasrani, Muslim, Hindu, Budha, bahkan orang-orang yang tanpa agama sekalipun. Seakan seluruh penduduk dunia berada di kota ini. Namun interaksi positif antar penduduk ini, khususnya di bidang agama sangat minimal, kalaupun ada. Sementara itu, relativisme adalah pandangan bahwa hal-hal yang menyangkut “kebenaran” atau “nilai” ditentukan oleh pandangan hidup serta kerangka berpikir seseorang atau masyarakatnya. Sebagaimana akibatnya maka doktrin agama apa pun harus dinyatakan benar. Tegasnya “semua agama adalah sama”, karena kebenaran agama-agama walaupun berbeda-beda dan bertentangan satu dengan yang lainnya, tetapi harus diterima. Oleh karena itu konsep atau paham ini tidak mengenal kebenaran absolut atau kebenaran abadi. Selanjutnya inklusif-pluralis bukan pula sinkretisme, yakni menciptakan suatu agama baru dengan memadukan unsur-unsur tertentu atau sebagian komponen ajaran dari beberapa agam untuk dijadikan bagian integral dari agama baru tersebut. Lihat Abuddin Nata, Abuddin Nata, Peta Keragaman Pemikiran Islam Di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), Cet. Ke-2, h. 191
82
Selanjutnya apabila konsep inklusif-pluralis hendak diterapkan di
Indonesia, maka ia harus bersyaratkan satu hal, yaitu komitmen yang kokoh
terhadap agama masing-masing. Seorang inklusif-pluralis, dalam berinteraksi
dengan aneka ragam unsur dalam masyarakat, tidak saja dituntut untuk
membuka diri, belajar dan menghormati mitra dialognya, tetapi juga harus
commited terhadap agama yang dianutnya. Hanya dengan sikap yang
demikian, seseorang akan terhindar dari paham relativisme dan sinkretisme.
2. 2. Paham Islam Inklusif-Pluralis Nurcholish Madjid
Paham Islam Inklusif-Pluralis sebenarnya sudah lama berkembang di
Indonesia. Paham ini banyak dijumpai pada kalangan Islam modernis, seperti
Nurcholish Madjid, Alwi Shihab dan lain-lain. Dalam hubungan ini
Nurcholish Madjid mengatakan bahwa Islam sendiri adalah agama
kemanusiaan, dalam arti bahwa ajaran-ajarannya sejalan dengan
kecenderungan alami manusia yang menurut fitrahnya bersifat abadi
(perenial). Oleh karena itu seruan untuk menerima agama yang benar itu
harus dikaitkan dengan fitrah tersebut, sebagaimana dapat kita baca dalam
Kitab Suci. Menurut Nurcholish Madjid hal ini sejalan dengan firman Allah
SWT.:”Maka hadapkanlah wajahmu untuk agama ini sesuai dengan
kecenderungan alami menurut fitrah Allah yang Dia telah ciptakan manusia
atasnya. Itulah agama yang tegak lurus, namun sebagian manusia tidak
menyadari-(Nya). (QS. Al-Rum/30: 30).
83
Menurut Nurcholish Madjid bahwa dengan berdasar pada ayat
tersebut, agama itu harus diterima sebagai kelanjutan atau konsistensi hakikat
kemanusiaan itu sendiri. Dengan kata lain, beragama yang benar harus
merupakan kewajiban manusiawi. Cukuplah sebagai indikasi bahwa suatu
agama atau kepercayaan tidak dapat dipertahankan jika ia memiliki ciri kuat
bertentangan dengan naluri kemanusiaan yang suci. Karena itu dalam firman
Allah yang dikutip di atas terdapat penegasan bahwa kecenderungan alami
manusia kepada kebenaran (fitrah) merupakan agama yang benar dan
kebanyakan manusia tidak menyadari.31
Pengertian dan pemahaman seseorang tentang agama yang dianutnya
jelas bukan agama itu sendiri. Karena itu tidak ada alasan untuk menyatakan
mutlak dan apriori menyalahkan pengertian dan pemahaman orang lain. Kita
tidak bisa berharap banyak untuk mengembangkan sikap pluralis dan
tumbuhnya budaya dialog dengan agama-agama universal, jika klaim-klaim
kebenaran (truth claim) menjadi bagian dari keberagamaan yang dominan.32
Dalam kenyataannya kata Abuddin Nata, memang banyak faktor yang
menyebabkan masing-masing pemeluk berkecenderungan menampilkan corak
keberagamaan yang berbeda. Dalam hal ini pemikiran Eric Fromm tentang
dua modus eksistensi, yaitu memiliki dan menjadi (mode of having and mode
of being) cukup relevan dikemukakan. Dua modus eksistensi ini menurut
31Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius, (Jakarta: Paramadina, 1977), h. 47 32 Syamsul Arifin, dkk., Spiritualitas Islam dan Peradaban Masa Depan (Yogyakarta:
SIPRESS, 1996), h. 18
84
Fromm merupakan dua modus pengamalan yang mendasar yang kekuatannya
masing-masing menentukan perbedaan antara watak-watak individual dan
berbagai tipe wtak sosial. Dalam kehidupan keagamaan, dua modus eksistensi
tersebut memberikan pengaruh yang sangat besar, dan tentu saja akan
melahirkan dua modus keberagamaan yang berbeda baik pada dataran
personal maupun pada dataran sosial.33
Agama yang dipahami dan dikembangkan dalam kerangka modus
memiliki akan berhenti pada keberagamaan yang personal dan cenderung
dogmatis. Agama dalam modus seperti ini tidak memberikan peluang
terhadap pemberdayaan akal pikiran dalam menerjemahkan teks-teks ajaran
Tuhan. Dalam keberagamaan semacam ini manusia sebenarnya telah
kehilangan kemerdekaannya. Bahkan dalam hubungan ini, Fromm dengan
agak ekstrim menggambarkan hubungan manusia dengan Tuhan seperti
manusia yang menyembah berhala. Dalam missi kenabian tercatat bahwa
berhala selalu menjadi simbol sejarah hilangnya kemerdekaan manusia.
Berhala merupakan ciptaan manusia sendiri yang padanya manusia
memproyeksikan kekuatan-kekuatannya sendiri sehingga manusia menjadi
semakin lemah.34
Keberagamaan yang hakiki sebenarnya menekankan proses
kemerdekaan terhadap diri manusia. Penyembahan manusia terhadap Tuhan,
33 Lihat Abuddin Nata, Abuddin Nata, Peta Keragaman Pemikiran Islam Di Indonesia ,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), Cet. Ke-2, h. 199 34Ibid.
85
bukanlah dalam pengertian ketidakmampuan manusia sehingga menjadikan
dirinya bersifat fatalistik, pasrah dan sebagainya. Penyembahan yang
sesungguhnya yang paling utama dimaksudkan sebagai refleksi dari tuntutan
spritualitas manusia yang dengan kodrat penciptaannya telah menjadikan
dirinya sebagai makhluk spritual. Ia tidak sekedar sebagai homo sapiens,
tetapi yang paling penting lagi, ia adalah homo religious. Demikian dikatakan
oleh Karen Amstrong dalam bukunya A History of God. Dengan demikian
kita melihat hubungan di sini tidak terpusat pada Tuhan, tetapi pada diri
manusia. Karena itu sebenarnya penyembahan manusia pada Tuhan, bukan
untuk Tuhan, karena disembah atau tidak, Tuhan tetap berkuasa.35
Dalam kerangka pemikiran yang demikian, terdapat ruang kebebasan
(freedom space) bagi diri manusia untuk mengekspresikan tuntutan
spritualitasnya. Semua ini dapat dicapai, manakala keberagamaan yang
dikembangkan berada dalam kerangka modus menjadi. Dalam keberagamaan
yang menjadi itu, manusia tidak pernah puas terhadap apa yang selama ini
dipahami. Karena itu juga agama tidak berhenti pada pemahaman dirinya,
tetapi didialogkan dengan keberagamaan orang lain. Keberagamaan dalam
modus memiliki jelas merugikan manusia, sedangkan keberagamaan dalam
modus menjadi sangat memberikan manfaat bagi manusia. Karena itu jika
35Di dalam al-Qur’an surat al-Dzariat ayat 156 Allah berfirman: Aku tidak ciptakan jin dan
manusia melainkan agar menyembah-Ku.. Aku tidak menginginkan pemberian rezeki dan Pemberi makan serta memiliki kekuatan yang tangguh. Pada ayat tersebut jelas sekali, sungguhpun manusia dip[erintahkan untuk menyembah Tuhan, namun Tuhan tidak membutuhkan apa pun dari manusia. Ini menunjukkan bahwa penyembahan manusia kepada Tuhan adalah untuk manusia sendiri.
86
dihubungkan dengan peranan agama untuk memberi rahmat bagi manusia,
tampaknya paham keberagamaan dalam modus menjadi termasuk yang paling
sejalan dengan missi pengembangan agama yang inklusif-pluralis. Paham
keagamaan dalam modus menjadi ini banyak dianut oleh kalangan
cendekiawan modernis Indonesia36, termasuk Nurcholish Madjid.
Paham keagamaan inklusif-pluralis yang bertumpu pada filsafat
perenialis dan keberagaman modus menjadi lebih lanjut dikembangkan oleh
Alwi Syihab dalam bukunya yang berjudul Islam Inklusif Menuju Sikap
Terbuka dalam Beragama. Buku setebal 384 halaman yang diterbitkan
Mizan Bandung tahun 1998 ini berbicara tentang pluralisme agama,
paradigma baru misi agama-agama, demi inklusivisme agama, prospek
hubungan Islam-Kristen, Titik Temu Kristen-Islam, dan lain sebagainya.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Corak pemikiran Nurcholish
Madjid tersebut banyak mengundang pro dan kontra di kalangan umat Islam itu
sendiri. Namun menurut menulis hal itu adalah suatu hal yang biasa saja, dan itu juga
resiko bagi seorang pembaharu. Sebab setiap ada gagasan yang baru, maka sudah
pasti akan ada reaksi antara yang pro dan yang kontra. Bahkan dapat dikatakan
Nurcholish Madjid dikenal luas di kalangan terpelajar sebagai orang yang menyulut
isu modernisme dalam bentuk agak radikal kalau tidak dikatakan revolusioner.
B. Aspek-Aspek Pembaharuan Pendidikan Nurcholish Madjid
36Ibid., h. 200
87
1. Pembaharuan Pada Aspek Visi, Misi dan Tujuan Pendidikan
1.1. Visi Pendidikan
Dalam masa yang cukup panjang pendidikan Islam di Indonesia di
persimpangan jalan, antara mempertahankan tradisi lama dan mengadopsi
perkembangan baru. Upaya mempertahankan sepenuhnya tradisi lama berarti status
quo yang menjadikannya terbelakang meskipun memuaskan secara emosional dengan
identitas pendidikan Islam masa lalu. Sementara itu, mengadopsi perkembangan baru
begitu saja berarti mengesampingkan akar sejati dan nilai autentik dari sejarah
pendidikan Islam, walaupun berhasil memenuhi keperluan pragmatis untuk menjawab
tantangan sesaat dari lingkungan sekitarnya. Situasi ini tercermin dalam
kebingungan, maju mundur, dan ketidakjelasan arah dan tujuan modernisasi
pendidikan Islam selama ini.37
Jalan keluar dari situasi di atas menuntut adanya penegasan visi pendidikan
Islam. Visi itu ditempatkan sebagai pemandu yang menjamin konsistensi pendidkan
Islam dalam konteks perubahan dan dinamika yang terjadi pada dirinya secara terus
menerus. Kerangka visi pendidikan Islam itu harus dibangun mempertimbangkan
sumber nilai/ajaran Islam, karakter essensial dari sejarah pendidikan Islam, dan
rumusan tuntutan masa depan.
37Lihat M. Wahyuddin Azies, “Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia”, dalam Abuddin
Nata, Manajemen Pendidikan, Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia , (Jakarta: Prenada Media, 2003), Edisi Pertama, h. 96
88
Selanjutnya, setelah menelaah lebih jauh kritik Nurcholish Madjid terutama
terhadap dunia pendidikan Islam tradisional Pesanren sebagaimana telah diuraikan
pada bab tiga, dan mempelajari pikiran-pikiran serta gagasan-gagasannya, maka dapat
dipahami bahwa visi pendidikan masa depan Nurcholish Madjid berobsesi
menciptakan suatu sistem pendidikan yang memiliki keterpaduan antara unsur
keislaman, keindonesiaan, dan keilmuan. Berorientasi menumbuhkan nilai-nilai
kemanusiaan universal (personality development) seperti masyarakat madani yang
pada akhirnya akan muncul penghargaan terhadap sesama manusia, egalitarianisme,
toleran dna non diskriminatif. Juga berorientasi mengembangkan sumber daya
manusia (SDM) Indonesia yang unggul.38
Visi pendidikan Nurcholish Madjid tersebut di atas, bisa dijadikan acuan
dalam menetapkan kebijakan dalam bidang pendidikan di Indonesia, sebab visi
pendidikan Nurcholish Madjid tersebut di atas, pada intinya sesuai dengan visi
pendidikan nasional, yaitu :”Terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial
yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia
berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif
menjawab tantangan zaman yang selalu berubah.”39
38Untuk lebih jelasnya, lihat Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 1999), Cet. Ke-12 Lihat Nurcholish Madjid, Orasi yang disampaikan pada Ceramah Umum “Metodologi dan Orientasi Studi Islam Masa Depan” pada tanggal 4 September 2000, yang diselenggarakan oleh Lembaga Penelitian dan Penerbitan (LPP) Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Orasi ini ditranskrip dan diedit oleh Muhbib Abdul Wahab, pada JAUHAR (Jurnal Pemikiran Islam Kontekstual), Volume 1, No. 1, Desember 2000, h. 1
39Lihat RUU Sisdiknas, 2001
89
1.2. Misi Pendidikan
Misi pendidikan Nurcolish Madjid adalah40 :
a. Mengupayakan pelajar dan mahasiswa, agar menguasai bahasa Inggris.
Sebab menurut Nurcholish Madjid, saat ini bahasa Inggris sangat instrumental
untuk meningkatkan mutu pendidikan disebabkan 90 persen buku terbit setiap
hari dalam bahasa Inggris.
b. Pendidikan harus mendorong dan mengupayakan rasa curiosity yang tinggi
terhadap alam. Berkaitan dengan ini, menurut Nurcholish madjid, program-
program pendidikan berupa outbound training harus segera diperbanyak dan
dikembangkan.
c. Menanamkan kesadaran dalam hal etos penelitian. Sebab menurut Nurcholish
Madjid orang-orang Amerika dan Barat pada umumnya tetap yang paling
baik. Dan hampir semua temuan dilakukan oleh orang-orang Barat. Oleh
karena itu, etos penelitian sangat terkait dengan tekanan kuat pada aspek
pengembangan pribadi.
d. Mengembangkan ide-ide keterbukaan, yang sangat terkait dengan prinsip
amat penting, yaitu keharusan untuk mendengarkan pendapat orang lain
dengan hati terbuka.
40Lihat Nurcholish Madjid, Tradisi Islam, Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di
Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1997), h. 45. Lihat Majalah UMMAT, tanggal 18 September 1995.
90
e. Penghargaan terhadap peran dan posisi guru. Menurut Nurcholish Madjid,
masyarakat yang maju selalu menempatkan guru dalam posisi yang sangat
terhormat.
Misi pendidikan menurut Nurcholish Madjid tersebut di atas, pada intinya
sesuai dengan misi pendidikan nasional, sebagaimana disebutkan dalam RUU
Sisdiknas, 2001, sebagai berikut:
a. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh
pendidikan yang bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia.
b. Membantu dan memfasilitasi pengembangan potensi anak bangsa secara utuh
sejak usia dini sampai akhir hayat dalam rangka mewujudkan masyarakat
belajar.
c. Meningkatkan kesiapan input dan kualitas proses pendidikan untuk
mengoptimalkan pembentukan kepribadian yang bermoral agama, penguasaan
ilmu pengetahuan dan keterampilan hidup.
d. Meningkatkan profesionalisma dan akuntabilitas lembaga pendidikan sebagai
pusat pembudayaan ilmu pengetahuan, keterampilan, pengalaman, sikap, dan
nilai berdasarkan standar nasional dan global.
e. Memberdayakan peranserta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan
berdasarkan prinsip otonomi daerah dalam konteks Negara Kesatuan Republik
Indonesia.41
41 Lihat RUU Sisdiknas, 2001
91
1.3. Tujuan Pendidikan Islam
Pekerjaan mendidik mengandung makna sebagai proses kegiatan menuju ke
arah tujuannya, karena pekerjaan tanpa tujuan yang jelas akan menimbulkan suatu
ketidak-menentuan (indenterminisme) dalam proses-nya. Lebih-lebih yang masih
berada pada taraf perkembangan, maka tujuan merupakan faktor yang paling penting
dalam proses kependidikan itu, oleh karena dengan adanya tujuan yang jelas, materi
pelajaran dan metode-metode yang dipergunakan, mendapat corak dan isi serta
potensialitas yang sejalan dengan cita-cita yang terkandung dalam tujuan pendidikan.
Tujuan pendidikan Islam atau tujuan-tujuan pendidikan lainnya, mengandung
di dalamnya suatu nilai-nilai tertentu sesuai pandangan dasar masing-masing yang
harus direalisasikan melalui proses yang terarah dan konsisten dengan menggunakan
berbagai sarana fisik dan non-fisik yang sama sebangun dengan nilai-nilainya.
Perlu diuraikan berbagai istilah “tujuan” atau sasaran”, atau “maksud” yang
dalam bahasa Arab dinyatakan dengan kata-kata “Ghayat”, atau “Ahdaf”, atau
“Maqasyid”, dalam bahasa Inggris misalnya “tujuan” dikatakan dengan “goal”, atau
“purpose”, atau “objectives”, atau “aim” dan sebagainya.42 Secara sederhana, tujuan
(goals, aim = Inggris atau ghayat, qasyid = Arab) mengandung pengertian arah atau
maksud yang hendak dicapai lewat upaya atau aktivitas.43 Dengan adanya tujuan,
semua aktivitas dan gerak manusia menjadi terarah dan bermakna
42 Lihat H.M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis
Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, (Jakarta: Bumi Aksara, 2002), Cet. Ke-5, h. 223 43 Lihat Abdurrahman Saleh Abdullah, Teori-Teori Pendidikan Beradasrkan al-Qur’an,
Terjemahan M. Arifin, Zainuddin, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), Cet. Ke-1, h. 131-132
92
Tujuan adalah suasana ideal yang ingin diwujudkan. Dalam tujuan pendidikan
suasana itu tampak pada tujuan akhirnya. Tujuan akhir biasanya dirumuskan secara
padat dan singkat, seperti terbentuknya kepribadian Muslim.,44 kematangan, dan
integritas pribadi.45
Dalam merumuskan tujuan pendidikan Islam, paling tidak ada beberapa hal
yang perlu diperhatikan, yaitu:
1. Tujuan dan tugas manusia di muka bumi, baik secara vertikal maupun
horizontal.
2. Sifat-sifat dasar manusia.
3. Tuntutan masyarakat dan dinamika peradaban kemanusiaan.
4. Dimensi-dimensi kehidupan ideal Islam. Dalam aspek ini setidaknya
ada 3 macam dimensi ideal Islam, yaitu : (a) mengandung nilai yang
berupaya meningkatkan kesejahteraan hidup manusia di muka bumi.
(b) mengandung nilai yang mendorong manusia berusaha keras untuk
meraih kehidupan yang baik. (c) mengandung nilai yang dapat
memadukan antara kepentingan kehidupan dunia dan akhirat (fi al-
dunya hasanah wa fi al-akhirat al-hasanah).46
Selanjutnya, dengan memperhatian visi dan misi pendidikan menurut
pemikiran Nurcholish Madjid sebagaimana telah diuraikan di atas, maka
44Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Al-Ma’arif, 1989), h.
49 45Murni Djamal, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana
Perguruan Tinggi Agama/IAIN, 1983), h. 157 46H.M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1987), h. 33-34
93
dapat dipahami bahwa tujuan akhir pendidikan Islam, menurut Nurcholish
Madjid adalah menumbuhkan nilai-nilai kemanusiaan universal (personality
development) seperti masyarakat madani, civil, civilized atau berperadaban,
yang pada akhirnya, akan muncul penghargaan terhadap sesama manusia,
egaliterianisme, toleran dan nondiskriminatif. Dan bertujuan untuk
pengembangan SDM yang unggul.47
Pencapaian suasana ideal dalam mengambil kekuatan pendidikan tidak
hanya merujuk pada tujuan akhir saja, karena ia belum memberikan suatu
gambaran makna yang jelas.48 Ia masih sangat normatif, sehingga tidak
operatif. Oleh karena itu perlu penjabaran yang lebih rinci ke dalam bagian-
bagian tertentu, yang diistilahkan dengan tujuan khusus.49 Oleh karena itu,
penulis perlu menguraikan konsep masyarakat madani dan SDM yang unggul
menurut pandangan Nurcholish Madjid, agar terlihat penjabarannya yang
lebih rinci, sebagai berikut:
1. 3. 1. Konsep Masyarakat Madani
1.3. 1. 1. Masyarakat Madani sebagai Konsep Jalan Tengah
47 Lihat Nurcholish Madjid, Orasi yang disampaikan pada Ceramah Umum “Metodologi dan
Orientasi Studi Islam Masa Depan” pada tanggal 4 September 2000, yang diselenggarakan oleh Lembaga Penelitian dan Penerbitan (LPP) Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Orasi ini ditranskrip dan diedit oleh Muhbib Abdul Wahab, pada JAUHAR (Jurnal Pemikiran Islam Kontekstual), Volume 1, No. 1, Desember 2000, h. 1
48 Ahmad D. Marimba, Op. Cit. h. 47 49Herbert Spencer mengemukakan tujuan khusus pendidikan tersebut meliputi : (1) kesehatan,
(2) kepemimpinan, (3) kekeluargaan, (4) pekerjaan, (5) kewarganegaraan, (6) pemanfaatan waktu luang dan (7) etika. Lihat . Murni Djamal, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama/IAIN, 1983), h.158
94
Di Indonesia, awal dekade 90-an konsep jalan tengah muncul ke permukaan
dalam bentuk gagasan masyarakat madani yang akrab dengan tokoh Nurcholish
Madjid. Perdebatan tentang masyarakat madani memperlihatkan kecenderungan yang
cukup besar, sehingga muncul berbagai rumusan. Agaknya di sinilah signifikan-nya
menghadirkan permikiran Nurcholish Madjid, sebab ia memunculkan rumusan
dengan sintesa Barat dan Islam.
Sebelum menjelaskan konsep masyarakat madani menurut pandangan
Nurcholish Madjid, terlebih dahulu penulis menjelaskan istilah “madani” secara
etimologis, terminologis dan historis, sebagai berikut:
Istilah “madani” berasal dari kata “madinah” . Sedangkan, kata “madinah”
itu sendiri berasal dari akar kata "dana" atau "madana". Secara etimologi “dana”
berarti ketundukan atau ketaatan (agama), hutang (kredit), taqwa, wara', maut
(kematian), kemenangan, hari pembalasan, dan sebagainya. Sedangkan “madana”
(mudun, Aamaddun), di samping memiliki arti yang sama dengan term “dana” , juga
dapat berarti peradaban, kota, membangun kota dan lain-lain.51 Kata “tamaddun”
yang berarti peradaban dalam bahasa Inggeris disebut dengan “civilization” . Term
“civilization” berkaitan dengan permasalahan sosial dan budaya. Dalam suatu
peradaban ikatan sosial, ekonomi, politik, lembaga, ideologi (seperti industri dan
51 Lihat Ibrahim Madkur, al-Mu'jam al-Wajiz, cet. ke-1, (Majma' al-Lughat al-'Arabiyyah, 1995), h. 576 dan 240; al-Thahir Ahmad al-Zawi, Tartib al-Qamus al-Muhtih 'Ala Thariqat al-AMishbah al-Munir wa Asbab al-Balighab, juz II, cet. ke-3, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), h. 242-243; Ibrahim Ahmad Abd al-Fath, al-Qamus al-Qawim al-Qur'an al-Karim, cet. ke-1, (Kairo: Majma' al-Buhuts al-Islamiyyat, 1983), h. 238-239; lbrahim Anis, al-Mu'jam al-Wasith, juz 1, h. 305 dan 859. Ahmad Athiat Allah, al-Qamus al-Islami, cet. ke-1, (Kairo: Makaniyyat al-Nahdlat al-Misriyyat, 1966); Attabi' Ali Ahmad Zuhdi Muhdlar, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak, 1996), h. 922-924 dan 1673-1675
95
pemerintahan) lebih penting dari pada ikatan kekeluargaan.52 “Civilization” juga
diartikan semua cara yang dilakukan orang untuk membuat dunianya lebih indah dan
dirinya lebih menyenangkan serta memperoleh kebahagiaan.53
Menurut Nurcholish Madjid, kedua akar kata tersebut sebagai asal term
madinah, setelah mengalami proses peleburan -tashrif- kata. Kata dana-yadinu
mengandung makna ketundukan dan kepatuhan kepada ajaran din yang dinyatakan
dalam supremasi hukum dan peraturan. Bila term madinah secara peristilahan berarti
"kota", namun secara kebahasaan, "madinah" mengacu kepada pengertian "pola hidup
berperadaban", sehingga "madaniyah" adalah kata-kata Arab untuk "peradaban",
sama dengan kata-kata "hadlirat" yang asal maknanya ialah "pola kehidupan menetap,
di suatu tempat", bukan pola hidup nomad atau badawah.83 Term "madinah" sangat
dekat pengertian "negara", setidaknya "negara kota", dengan kualifikasi adanya
keadaban "madaniyah" atau "civility"54.
Senada dengan Nurcholish Madjid, Muhammad Naquib al-Attas
berpendapat,55 term "madinah" tidak sebatas kota kecil atau besar, lebih jauh dari itu
menggambarkan suatu fenomena kehidupan sosial yang mempunyai hakim
(penguasa) atau pengatur. Ketundukan dan kepatuhan merupakan ciri utama dari
madinah, sebab, al-Attas berangkat dari term dana yang memiliki arti berhutang.
52 Encyclopedia International, (New York: Grolier Incorporated, 1972), h. 450. 53 Illustrated World Encyclopedia, vol. 5, (USA: Bobley Publishing CGorp, 1995), h. 1237 83 Badawah (gurun/kampung) identik dengan hawijiyah dan washyiyah (daerah yang belum
maju/terbelakang), sedangkan kebalikannya al-Hadlarat yaitu strata yang tinggi dari beberapa strata perkembangan manusia. Lihat Wahbah Zuhaily, al-Qur'an Paradigma, h. 5.
54 Nurcholish Madjid, “Masyarakat Modern” , h. 1 55 Muhammad Naquib al-Attas, Islam: The Concept of Religion and the Foundation of Ethics
and Morality, (Kuala Lumpur: Yayasan Anda Akademik, 1976), h. 2
96
Pengertian ini terkait dengan konsep din berarti hutang, ketundukan, kebijaksanan,
dan kecenderungan alami. Maka bila berangkat dari sini orang yang berhutang
mempunyai suatu kewajiban (kepatuhan untuk membayar hutangnya).
Bagi al-Attas, aplikasi term dana memberikan gambaran tentang suatu
kehidupan yang berperadaban, suatu kehidupan sosial yang mempunyai hukum,
peraturan, keadilan, dan kekuasaan.56
Unsur-unsur di ataslah yang memperlihatkan signifikannya pertukaran nama
Yastrib ke Madinah. Sebab, peralihan nama tersebut mengindikasikan bahwa
kebenaran “din” telah real di bawah kekuasaan dan supremasi hukum.57
Dalam bahasa Semit -induk bahasa Arab- kata “din” tersebut berarti undang-
undang atau hukum. Dengan demikian, kata “dana” dan “din” menunjukkan
pengertian dasar sebagai undang-undang atau hukum yang harus ditunaikan manusia
dan mengabaikannya akan berarti berhutang yang akan tetap dituntut untuk
ditunaikan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.58
Quraish Shihab -pakar tafsir di Indonesia- juga menulis, din (agama) dan dain
(utang) adalah dua kata dari akar yang sama yang mempunyai kaitan makna yang
erat. Beragama berarti usaha mensyukuri anugerah-anugerah Tuhan. Dengan kata
lain, membayar "utang" dan "budi baik" Tuhan kepada manusia. Ini terlihat dalam
wahyu yang terakhir kali diturunkan kepada Muhammad, "Telab Ku ridloi (Ku terima
56 Muhammad Naquib al-Attas, Islam: The Concept of Religion, h. 2-3 57Ibid. 58 Dapat dilihat dalam Sidi Gazalba, Ilmu, Filsafat, dan Islam tentang Manusia dan Agama ,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1978), h. 95.
97
dengan puas dan senang) Islam (penyerahan dirimu) sebagai agama (pembayaran
utang)." (al-Maidah:3). 59
Itulah di antara sifat yang dimiliki masyarakat Madinah ketika berada di
bawah pimpinan Nabi Muhammad yang tunduk dan taat pada konstitusi yang
diciptakan bersama, sehingga dengan berbagai kebijakan Nabi tersebut tidak salah
kiranya bila dia dikatakan sebagai "Kepala Agama" dan "Kepala Negara". Sebab,
dalam diri Nabi berkumpul dua kekuasaan; kekuasaan spritual dan kekuasaan
duniawi.60
Wawasan kenegaraan dan kemasyarakatan Madinah sangat tepat dijadikan
sebagai teladan dan rujukan dalam mewujudkan masyarakat "ideal" madani. Hal ini
berangkat dari beberapa azas yang tumbuh subur dalam masyarakat Madinah yang
amat relevan dengan konteks masyarakat modern.
Konsep masyarakat madani tidak terlepas dari konsep jalan tengah yang
mencoba mensintesakan dan menemukan titik kesamaan antara Barat dan Timur.
Gagasan ini dipelopori oleh kalangan intelektual dalam merespon munculnya
discourse antara keharusan menerima peradaban Barat dan mempertahankan ciri
59 Quraish Shihab, Lentera Hati, Kisah dan Hikmah Kehidupan, cet. ke-14, (Bandung: Mizan,
1998). h. 44 60 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya I, cet ke-5, (Jakarta: UI Press,
1985), h. 110; Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah II, cet. ke-4, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), h. 25.
98
kultural bangsa sendiri.61 Dan di Indonesia konsep ini melekat erat dengan pribadi
Nurcholish Madjid yang sejak awal begitu konsisten menggagas pemikiran dengan
platform jalan tengah tersebut.
Kalangan intelektual yang tampil dengan gagasan "masyarakat baru" dengan
mengambil posisi jalan tengah, menurut Anwar Ibrahim adalah suatu fenomena
mutakhir yang terjadi di daratan Asia akhir abad ke-20 ini. Pada abad XIX dan awal
abad XX sejarah Asia mencatat munculnya perdebatan discourse intelektual tentang
respon cendekiawan terhadap peradaban Barat dan masa depan kebudayaan
tradisional Asia. Dalam konteks ini muncul dua kubu. Pertama, kelompok yang
merespon positif peradaban Barat sehingga mengalir gelombang pembaharuan Asia
(westernisasi). Kedua, kelompok yang anti Barat dan tetap bertahan dengan
peradaban Asia yang tradisional. Respon sejumlah cendekiawan ini melahirkan
berbagai dampak bagi perubahan sosio-kultural dimana mereka berada.
Fenomena seperti tersebut di atas pernah terjadi pada beberapa negara Islam
di belahan dunia, seperti Mesir, Turki, India, Pakistan, termasuk Indonesia. Imperium
61 Jepang misalnya, muncul seperti Fukuazawa Yuk:chi -pembaharu bidang pendidikan yang
terkemuka pada masa Meiji, Jepang-, menekankan keharusan Jepang untuk menguasai peradaban Barat dan Inoue Kaoru, menekankan perlunya Jepang mengadakan pembaharuan di bidang kekaisaran, pergaulan masyarakat, supaya Jepang dapat sejajar dan bersaing dengan negara-negara Barat. Di sisi lain, muncul pula kelompok yang anti Barat. Mereka antara lain diwakili oleh elite Jepang yang nasionalis. Kelompok ini mengkritik sistem pendidikan yang telah terbaratkan sebagai sumber makin merosotnya moral anak-anak muda dan keroposnya semangat juang mereka. Mereka antara lain: Miyake Setsurei, Shiga Shigetaka, Inoe Enryo, dan Sugiura Jugo. Demikian pula haInya Cina, telah muncul sejumlah intelektual yang menyerukan suatu gerakan kebudayaan baru yang dipelopori oleh Ch'en Tu-Asiu (1874-1942). Golongan ini yakin bahwa pembaratan adalah satu-satunya jalan yang harus ditempuh untuk memperoleh kembali martabat mereka dihadapan bangsa-bangsa lain. Tetapi, di sisi lain muncul pula selumlah intelektual yang mencari perlindungan segera dan rasa aman di bawah naungan tradisi serta menolak segala sesuatu yang berbau asing. Selanjutnya lihat, Anwar Ibrahim, Renaisans Asia Gelombang Reformasi di Ambang Alaf Baru, terj. Ali Fauzi, cet. ke-1, (Bandung Mizan, 1996), h. 27-30.
99
Usmani misalnya, ketika mengawali reformasi sosio-kultural-politik negaranya juga
memunculkan dua kubu. Kubu restorasionis yang menghendaki pemberlakuan
undang-undang (qanun) Sulaiman al-Qanuni dan menentang sikap perubahan yang
memberikan kesempatan bagi kekuasaan Eropa dan Kristen. Kedua, kubu modernis
yang menghendaki adopsi beberapa metode Eropa untuk pelatihan, pengorganisasian,
administrasi militer, serta perubahan sistem pendidikan dan ekonomi untuk
kepentingan sipil yang diperlukan untuk mendukung negara madani. Begitu pula
halnya Mesir, pada dekade 1920-an lahir tokoh-tokoh politik sekuler dan intelektual
modernis Mesir yang mempertahankan orientasi Barat dan prinsip politik nasional
dan liberal secara terang-terangan, seperti: Ali Abdul Raziq (terkenal dengan ide
negaranya) dan Thaha Husein (ide sekularisasi) yang sama-sama berangkat dari nilai
humanistik Barat. Tetapi, pada dekade 1930-an dan 1940-an muncul pula golongan
ulama tradisional atau tarekat shufi yang sama-sama menentang sekularisme dan
westernisme, disebabkan komitmennya terhadap Islam. Gerakan yang mengajarkan
etika. Islam ini menyerukan pembentukan pemerintahan Islam yang dijalankan atas
bimbingan ulama dan berusaha keras menerapkan syariat Islam.62
Nurcholish Madjid menggunakan tiga term, (demokrasi, masyarakat madani
"civil society", dan civility) sebagai satu kesatuan konsep ketika membicarakan
rumusan masyarakat madani. Menurutnya, jika demokrasi -sebagaimana dipahami di
negara maju- harus mempunyal "rumah", maka rumahnya adalah masyarakat madani
62 Lihat Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies, cet. ke-1, (New York: Cambridge
University Press, 1988), h. 597 dan h. 625-626.
100
(civil society), sedangkan civility merupakan kualitas etik yang dimiliki oleh
masyarakat,63 seperti toleransi, keterbukaan, dan kebebasan yang bertanggung jawab.
Nurcholish Madjid berpendapat, masyarakat madani sangat ditentukan oleh
sejauh mana kualitas civility tersebut dimiliki warganya. Civility mengandung makna
toleransi, yang berarti kesediaan pribadi-pribadi untuk menerima berbagai macam
pandangan politik dan tingkah laku sosial yang berbeda; juga kesediaan untuk
menerima pandangan yang sangat penting bahwa tidak ada jawaban yang paling
benar terhadap suatu masalah.64
Masyarakat madani dalam pandangan Nurcholish Madjid adalah bentuk
masvarakat yang mengisyaratkan identitas "bersama". Masyarakat dengan hak dan
kewajibannya adalah bagian utuh dari pengertian masyarakat madani, dimana hak-
hak azasl masyarakat sebagai warga negara mendapat pengakuan oleh negara dan
sebaliknya setiap warga negara juga dituntut untuk memenuhi kewajibannya kepada.
Negara.65 Barangkali disinilah letak demokratisnya suatu masyarakat madani bagi
Nurcholish Madjid. Sebab, diberbagai negara yang memberlakukan sistem
63 Lihat artikel Nurcholish Madjid, "Potensi Dukungan Budaya Nasional bagi Reformasi
Sosial-Politik dalam Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi", cet. ke-1, (Jakarta: Paramadina, 1999), h. 144-149; "Budaya Nasional Masyarakat Madani dan Masa Depan Bangsa", dalam Tim MAULA (ed), Jika Rakyat Berkuasa, Upaya Membangun Masyarakat Madani dalam Kultur Feodal, cet. ke-1, (Bandung, Pustaka Hidayah, 1999), h. 264-267. Kedua artikel ini semula adalah makalah Nurcholish yang disampaikan dalam Seminar Nasional Majelis Wilayah KAHMI Jawa Timur "Orde Baru dan Visi Masa Depan" 21-22 Agustus 1996, Surabaya. Awalnya makalah tersebut berjudul "Potensi Budaya Nasional bagi Reformasi Sosial-Politik Masa Depan". Setelah diedit dan disunting ulang, makalah tersebut dimuat pada dua buku di atas dengan mengalami beberapa perobahan redaksi bahasa, namun tidak mengurangi muatan substansialnya.
64 Nurcholish Madjid, Cita-Cita Politik, h.148 65 Nurcholish Madjid, "Budaya Nasional, Mayarakat Madani, dan Masa Depan Bangsa",
dalam Tim MAULA (ed), Jika Rakyat Berkuasa, Upaya Membangun Masyarakat Madani dalam Kultur Feodal, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), Cet. Ke-1, h. 265-266.
101
pemerintahan otokratis cenderung meremehkan hak-hak warganya, padahal realitas
hidup, bersama dalam kemajemukan harus dipahanmi sebagai suatu sunnatullah.
Gagasan "masyarakat madani" bagi Nurcholish Madjid, nampaknya
merupakan titik kulminasi dari kronologis pemikirannya. Ide dan gagasan; Islam,
Yes; Partai Islam, No!, sekularisas, dan komitmennya. tentang keimanan,
kemanusiaan dan kemodernan telah mencerminkan suatu sintesa pemikiran dari dua
realitas yang merupakan posisi jalan tengah. Ide-ide ini menampakkan bentuknya
yang konkrit dalam gagasan masyarakat madani.
Konsep masyarakat madani yang dikemukakan Nurcholish Madjid, yang
merupakan konsep jalan tengah, sebab mensintesakan antara peradaban (produk)
"Barat" dan "Islam" amatlah relevan dengan sosok Nurcholish Madjid sendiri. Sebab,
ia adalah tokoh yang memiliki wawasan dan pemahaman yang mendalam tentang
khazanah ilmu-ilmu Islam klasik (yang bersumber dari kitab kuning) dan juga
mempunyai wawasan keilmuan umum "modern".
Rumusan masyarakat madani yang berangkat dari paradigma pemikiran
Nurcholish Madjid sebagaimana telah dideskripsikan sebelumnya- terasa lebih
kompleks bila dibandingkan dengan konsep masyarakat madani yang dikemukakan
oleh tokoh-tokoh lainnya.66
66 Bandingkan dengan Akram Dhiyauddin Umati, Madinah Society at The Time of The
Prophet Its Characteristic and Organization, cet. ke-1, (Saudi Arabia: Dar al-Ilmiyat al-Kutub al-Islamiyat, 1995), h. 71 dan 90. Anwar Ibrahim, Renaisans Asia; Fahmi Huwaydi, "Demokrasi Oposisi dan Masyarakat Madani", terj. Muhammad Abdul Ghaffar E.M, cet ke-1, (Bandung. Mizan, 1996), h. 296; Muhammad AS Hikam, "Demokrasi dan Civil Society", cet. ke-1, (Jakarta: LP3ES, 1999); M. Dawam Rahardjo, "Negara dan Strategi Pemberdayaan Lembaga Swadaya Masyarakat Madani", dalam Tin MAULA (ed), Jika Rakyat Berkuasa, h. 280; Muhammad AS Hikam "Reformasi dan
102
Rumusan Nurcholish Madjid tersebut di atas telah mencerminkan perpaduan
kedua sumber khazanah "Barat" dan "Islam". Bentuk sebuah masyarakat madani
dapat diidentifikasi melalui beberapa azas nilai yang merupakan ciri kekhususannya,
seperti: pluralisme, toleransi, akhlak (etika dan moral), tertib hukum, predictability
dan keadilan.
Karakter masyarakat yang memiliki dimensi-dimensi nilai di atas telah
diperkenalkan oleh Nabi Muhammad lebih kurang 14 abad yang lalu. Dengan kata
lain, melalui keteladanan, Nabi telah berhasil mewujudkan masyarakat egaliter,
partisipatif, gambaran sebuah masyarakat yang adil, terbuka, dan demokratis.67
Nabi Muhammad telah merintis dan memberi teladan kepada umat manusia
dalam membangun masyarakat madani (masyarakat beradab) dengan mereformasi
sosio-kultural masyarakat Yatsrib yang kering dari nilai-nilal etika, dan tidak
mengindahkan hak-hak azasi perorangan dengan tatanan masyarakatnya yang kacau.
Perobahan mendasar yang dipelopori Muhammad ini, menurut Nurcholish
Madjid, mengantarkan masyarakat Yatsrib kepada suatu tatanan masyarakat beradab
(madaniyah), masyarakat yang tunduk dan patuh kepada ajaran kepatuhan (din) dan
dinyatakan dalam supremasi hukum dan peraturan.68 Maka setelah mencapai tingkat
Pemberdayaan Civil Society", dalam Tin MAULA, Jika Rakyat Berkuasa, h. 288; Maswadi Rauf, " Masyarakat Madani(Civil Society): Akar Demokrasi di Indonesia", dalam Tim MAULA, Jika Rakyat Berkuasa, h. 298; Adi Suryadi Culla , "Masyarakat Madani, Pemikiran, Teori dan Relevansinya dengan Cita-Cita Reformasi", cet. ke-1, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999).
67 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Kemanusiaan, dan Kemodernan, cet ke-2, (Jakarta: Paramadina, 1992), h. 114.
68 Nurcholish Madjid, "Masyarakat Madani dalam Persfektif Agama dan Politik, Asas-Asas Pluralisme dan Toleransi Masyarakat Madani" makalah disampaikan pada Seminar Nasional di Auditorium IAIN Jakarta 22 Pebruari 1999, h. 1.
103
kemapanan, nama Yatsrib dirobah Nabi menjadi “Madinah” , artinya "kota",
kemudian sering dilengkapi menjadi "al-Madinah al-Nabi" Kota Madinah,
sebelumnya bernama Yatsrib. Yatsrib sebuah nama yang mengandung konotasi
pagan, dan kemudian berubah menjadi “Madinat al-Nabi” (kota Nabi) pasca
hijrahnya Rasulullah ke negeri ini.69
Sampai sekarang terkenal dengan nama al-Madinah al-Munawwarah
Madinah mempunyai 29 nama: Madinah, al-Madinah al-Munaiwarah, Tayyibah,
Tabab al-Miskinah, al-Azra, al-Jabirah, al-Muhibbah, al-Muhabbah, al-Mahburah,
Yatsrib, al-Najiyah, al-Mufiyah, Akkalah al-Buldan, al-Mubarakah, al-Mahfufah, al-
Muslimah, al-Mujimah, al-Qudsiyah, al-Ashimah, al-Marzuqah, al-Sya'fiyah, al-
Khairiah, al-Mahbubah, al-Marhumah, Jabirah, al-Mukhtarah, al-Muharramah, al-
Qaimah, dan Tababa.70 Secara konvensional, perkataan Madinah diartikan dengan
"kota". Tetapi, secara ilmu kebahasaan perkataan itu mengandung makna peradaban.
Dalam bahasa Arab, untuk "peradaban" digunakan kata-kata "madaniyyah" atau
"taamaddun, selain kata "hadharat". Wahbah Zuhaily membedakan pengertian
antara term tamaddun dan madaniyyah. Tamaddun berarti juga modernisasi atau
kosmopolitansi, sedangkan madaniyyah merupakan fisik kosmopolitansi. Fisik,
69 Lihat Cyril Glassie, The Concise Encyclopedia of Islam, (London: Stacey- International,
1989), h. 266 70 Lihat, Ensiklopedia Hukum Islam, 3, cet. ke-1, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), h.
1025.
104
sarana perhubungan, yang dapat diterima oleh kebudayaan, karena keduanya
mengandung dimensi ideolgis ritual dan moral dari peradaban.71
Nurcholish Madjid beranggapan, tindakan Nabi Muhammad SAW merobah
nama Yatsnib menjadi Madinah pada dasarnya adalah pernyataan sikap, atau
proklamasi, bahwa Nabi bersama pendukungnya (Muhajirin dan Anshor) hendak
mendirikan dan membangun masyarakat yang berperadaban (madaniyyah),72
sehingga perobahan nama memiliki makna yang integral.
Senada dengan pendapat tersebut di atas, Dawam Rahardjo berpendapat,
madinah, mudun dan madain yang artinya "kota" berkaitan erat dengan tamaddun
dalam arti "Peradaban", maka pergantian Yatsrib menjadi Madinat al-Nabi
menunjukan telah muncul suatu peradaban baru di Yatsrib. Kata “tamaddun” berasal
dari kata kerja m-d-n (artinya membangun), dalam bahasa Indonesia diterjemahkan
menjadi “peradaban”. Peradaban (civilization) akar katanya a-d-b yang artinya
"kehalusan" (Refinement), pembawaan yang baik, sopan santun, tata susila,
kemanusiaan atau kesusasteraan.73 Wujud makna ini merupakan ciri atau karakter
masyarakat perkotaan "madinah" atau civility.
Kaitannya dalam mewujudkan masyarakat madani di Indonesia, Azyumardi
Azra mengatakan, organisasi-organisasi formal nonpolitis, baik bersifat sosial,
71 Lihat Wahbah Zuhaily, Al-Qur'an Paradigma Hukum dan Peradaban, Al-Qur'an, terj.
Muhammad Lukman Hakiem dap Muhammad Fuad Hariri, (judul asli, al-Karim, Bunyatahu al-Tasri'iyat wa Khashaishuhu al-Hadlariyat), cet. ke-1, (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), h. 6.
72 Nurcholish Madjid, "Memberdayakan Masyarakat Menuju Negeri yang A dli dan Terbuka dan Demokratis dalam Cita-Cita Politik, h. 164.
73 Dawam Raharjo, M., Ensiklopedi A1-Qur'an, Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci, cet. ke-1. (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 336.
105
pendidikan, atau keagamaan merupakan salah satu pilar terpenting bagi
pengembangan masyarakat madani.74 Selanjutnya menurut Azyumardi Azra, :”Akan
tetapi, harus diakui, pembangunan masyarakat madani dalam kerangka dan
pendekatan ini lebih bersifat evolusioner daripada revolusioner. Pada saat yang sama,
kerangka dan pendekatan ini secara impisit menawarkan ongkos sosial minimal, yang
dalam konteks Indonesia dapat dikatakan, “tanpa mengorbankan hasil-hasil yang
telah dicapai dalam pembangunan selama ini.”75 Sebaliknya, menurut Azyumardi
Azra, :”Pendekatan revolusioner dalam pengembangan masyarakat madani, tidak saja
akan meminta biaya sosial yang mahal, tetapi bahkan dapat menghancurkan
ketertiban dan keteraturan masyarakat yang merupakan esensi masyarakat madani itu
sendiri.”76
3. 1. 2. Azas-Azas Masyarakat Madani
Pendidikan yang berakar dari dan untuk pengembangan kebudayaan nasional,
harus mampu menumbuhkembangkan berbagai sikap manusia Indonesia yang
memungkinkan lahirnya masyarakat madani Indonesia yang dicita-citakan. Dalam
visi Nurcholish Madjid, bangsa Indonesia memiliki suatu perlengkapan yang
diperlukan untuk menegakkan masyarakat madani. Tepat kiranya pembicaraan azas-
azas masyarakat madani mendapatkan tempat pertama untuk mengaca kemungkinan
74 Azyumardi Azra, Menuju Masyarakat Madani, Gagasan Fakta, dan Tantangan, (Bandung:
Rosda Karya, 1999), Cet. Ke-1, h. ix 75 Ibid., h. x 76 Ibid.
106
pembentukan masyarakat madani yang dicita-citakan. Azas-azas tersebut, sebagai
berikut:
a. Azas Pluralisme
Dalam konteks Indonesia, istilah "pluralisme" sudah menjadi gejala umum
dan nasional, namun ada indikasi, "kita" memahami pluralisme hanya sepintas lalu,
tanpa makna yang lebih mendalam dan tidak berakar dalam ajaran kebenaran.
Menurut Nurcholish Madjid, faham kemajemukan masyarakat atau pluralisme tidak
cukup hanya dengan sikap mengakui dan menerima kenyataan masyarakat yang
majemuk, tetapi lebih dari itu harus disertai dengan sikap yang tulus untuk menerima
kenyataan kemajemukan itu sebagai nilai positif yang merupakan rahmat Tuhan Yang
Maha Esa kepada manusia.77
Pemahaman pluralitas pada gilirannya menumbuhkan pluralisme yaitu suatu
sistem nilai yang memandang secara positif-optimis terhadap kemajemukan dengan
menerimanya sebagai kenyataan dan berbuat sebaik mungkin berdasarkan kenyataan
itu.78
Pluralisme adalah wujud dari "ikatan keadaban" (bond of civility), dalam arti
masing-masing pribadi atau kelompok, dalam suatu lingkungan interaksi sosial yang
lebih luas, memiliki kesediaan memandang yang lain dengan penghargaan, betapapun
77 Nurcholish Madjid, Masyarakat Madani, h. 3. 78 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin, h.lxxv
107
perbedaan yang ada, tanpa saling memaksakan kehendak, pendapat, atau pandangan
sendiri.79
Jadi paham kemajemukan atau pluralisme di Indonesia tidak cukup dengan
mengatakan bahwa masyarakat Indonesia majemuk, beraneka ragam terdiri dari
berbagai suku, agama. yang justru menggambarkan kesan fragmentasi, bukan
pluralisme. Pluralisme juga tidak boleh dipahami sekedar kebaikan negatif (negative
good), hanya ditilik dari kegunaannya untuk menyingkirkan fanatisme. Pluralisme
harus dipahami sebagai "pertalian sejati kebhinnekaan dalam ikatan-ikatan keadaban"
(genuine engagement of diversities within the bonds of civility), atau suatu pertemuan
yang sejati dari keberagaman dalam ikatan-ikatn kesopanan (bonds of civility).80
Bahkan pluralisme adalah suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia, antara
lain melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan. Sebagaimana disebut dalam
al-Qur'an, Tuhan menciptakan mekanisme pengawasan dan pengimbangan antara
sesama manusia guna memelihara keutuhan bumi (a1-Baqarah/12:251).81
Dari sini dibutuhkan pandangan hidup yang lebih kosmopolit yaitu tata
pergaulan nasional dalam arti lahiriyah maupun maknawiyah yang berwawasan
meliputi seluruh anggota bangsa. Ini mengingat bahwa Indonesia terbentuk dari
gabungan berbagai kelompok etnis, ras, agama, serta suku yang beragam.82 Jadi
79 Nurcholish Madjid, Menuju Masyarakat Madani, h. 328 80 Nurcholish Madjid, "Pluralisme Agama di Indonesia" dalam jurnal Ulumul Qur'an, no 3,
vol. xi, 1995, h. 63. 81 Nurcholish Madjid, Masyarakat Madani, h. 3-4 82 Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, cet. ke-8, (Bandung: Mizan,
1995), h. 40.
108
pluralisme tidak sebatas kesadaran moral yang tidak punya implikasi-implikasi yang
berpengaruh pada tatanan kehidupan sosial.
Senada dengan Nurcholish Madjid, Kontuwijoyo berpandangan bahwa Islam
mengakui adanya diferensiasi dan bahkan polarisasi sosial. Al-Qur'an menggariskan
bahwa fenomena ketidaksamaan sosial tersebut sebagai sunnatullah, sebagai hukum
alam dan realitas empiiris yang ditakdirkan terhadap, dunia manusia.83 Dari sini
lahirlah sikap penghargaan terhadap kelompok-kelompok yang berbeda tersebut.
Sikap positif ini dikenal juga dengan toleransi.
Dalam suatu masyarakat demokratis, perbedaan pendapat justru merupakan
hikmah untuk membentuk suatu masyarakat yang mempunyai horison yang luas dan
kaya. Saling pengertian hanya dapat ditumbuhkan apabila komunikasi antar
penduduk dan antar etnis dapat terwujud dengan bebas dan intens. Ketidakserasian
antaretnis yang meletup di berbagai daerah akhir-akhir ini antara lain disebabkan
kesenjangan komunikasi.
b. Toleransi
Wajah budaya Indonesia yang bhineka menuntut sikap toleran yang tinggi
dari setiap anggota masyarakat. Sikap toleran tersebut harus dapat diwujudkan oleh
semua anggota dan lapisan masyarakat, sehingga terbentuk suatu masyarakat yang
kompak tapi beragam, sehingga kaya akan ide-ide.84
83 Kuntowijoyo, Paradigma Islam, Interpretasi Untuk Aksi, cet. ke-1, (Bandung: Mizan,
1911), h. 299. 84 Mengenai toleransi dalam keagamaan, lihat uraian Hamdan Farchan, “Membongkar
Reduksi Agama Membangun Civil Society,”Kompas, 19 Mei 1998
109
Pengalaman toleransi dan kebebasan beragama dalam sejarah umat manusia
secara gemilang terlihat pula pada masa kepemimpinan Nabi Muhammad di
Madinah. Prinsip kebebasan beragama diterapkan oleh Nabi di tengah masyarakat
yang plural dan majemuk. Nabi Muhammad berhasil membangun, masyarakat yang
berkedudukan sama di depan hukum melalui Piagam Madinah. Prinsip kekuasaan
berdasarkan hukum, kesamaan semua orang didepan hukum, toleransi dan kebebasan
beragama serta paham pluralisme merupakan kontribusi peradaban Islam yang sangat
besar kepada umat manusia.85
Bila dilihat pemahaman toleransi di kalangan masyarakat Indonesia, demikian
Nurcholish Madjid, nampaknya masih relatif terbatas pada persoalan prosedural, dan
tata-cara pergaulan yang "enak" antara berbagai kelompok yang berbeda-beda.
Padahal toleransi adalah persoalan prinsip, tidak sekedar prosedur. Toleransi adalah
persoalan ajaran dan kewajiban melaksanakan ajaran itu. jika toleransi menghasilkan
adanya tatacara, pergaulan yang "enak" antara berbagai kelompok yang berbeda-
beda, maka "hasil" itu harus dipahami sebagai hikmah atau manfaat dari pelaksanaan
suatu ajaran yang benar itu sendiri.86
Pendapat Nurcholish Madjid tersebut sejalan dengan Franz Magnis Suseno. Ia
berpendapat, bersikap, toleran tidak hanya berarti meniadakan tidak memerangi, tidak
memusuhi. Lebih dari itu, toleransi harus dikembangkan menjadi sikap saling
menghormati yang bernilai positif. Artinya mengakui hak orang dan golongan lain
85 Nurcholish Madjid, "Universalisme Agama dan Kemiskinan Peradaban" dalam Dawam
Rahardjo, Ensiklopedi al-Qur'an, h.xxix. 86 Nurcholish Madjid, "Masyarakat Madani, h. 434
110
mengikuti agamanya atau kemampuan untuk bersikap hormat terhadap keyakinan
orang lain, terhadap apa yang dianggapnya suci, terhadap cara orang dan golongan
lain mengungkapkan keyakinan mereka (sikap ini disebut juga dengan budaya hati),
sebagai suatu yang suci, luhur, Ilahi bagi hati orang lain terlepas dari apa keyakinan
sendiri.87
Toleransi bukanlah sejenis netralisme kosong yang bersifat prosedural
semata-mata, tetapi suatu pandangan hidup yang berakar dalam kebenaran ajaran
agama. Sehingga, para pemeluk agama ditantang untuk dapat dengan kongkrit
menggali ajaran-ajaran agamanya dan mengembangkan paham toleransi yang otentik
dan absah serta berangkat dari ajaran kebenaran.88 Oleh sebab itu, Toleransi -sebagai
salah satu azas masyarakat madani- menurut Nurcholish Madjid lebih prinsipil
daripada toleransi yang tumbuh di masyarakat Eropa.
Menurut Nurcholish Madjid, pertumbuhan paham toleransi Eropa antara lain
dimulai oleh "Undang-Undang Toleransi 1689" (The Tolerance Act of 1689) di
Inggris, tetapi hanya berlaku dan diterapkan terhadap berbagai pecahan intern gereja
Anglikan saia, sementara paham Katolik dan Unitarianisme tetap dipandang tidak
legal. Abad XVIII, toleransi dikembangkan karena ketidak pedulian terhadap agama.
Paham toleransi ini menumbuh suburkan sikap kebencian pada agama, bahkan agama
diklaim sebagai sumber segala kebobrokan masyarakat. Toleransi yang berkembang
di Barat lebih bersifat pada intern agama. Karena, sebagian usaha mereka untuk
87 Franz Magnis Suseno, "Pluralisme Keagamaan: Sebuah Tanggung Jawab Bersama" dalam
Tim Editor, Kontekstualisasi Ajaran Islam, cet. ke-1, (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 47 88 Nurcholish Madjid, Masyarakat Madani, h. 6
111
mengatasi perpecahan, bahkan perperangan karena perbedaan pcnafsiran ajaran
agama. Kondisi ini baru berubah ketika muncul konsili Vatikan (1960). Konsili ini
menyerukan semua kaum agama khususnya Nasrani dan Islam, melupakan sejarah
masa lalu. Nurcholish Madjid menganggap bahwa adanya konsili ini merupakan
permulaan ditinggalkannya prinsip "extra eccelecium nulla sallus" (di luar gereja
tidak ada keselamatan), diganti dengan pandangan lebih positif kepada agama-agama
lain, dengan mengakui adanya keselamatan di luar gereja sendiri.89
Azas pluralisme dan toleransi bukanlah sesuatu yang fidak berdasar dalam
Islam. Dengan demikian, ketika nabi Muhammad meletakan azas-azas pluralisme dan
toleransi dalam Piagam Madinah, dengan sendirinya Nabi sama sekali tidaklah
bertindak atas dasar kepentingan sesaat dan kegunaan jangka pendek, tapi karena
ajaran prinsipil dalam agama yang diwahyukan kepadanya.
Bertrand Russel -seorang yang dikenal karena kritiknya sangat tajam terhadap
agama-agama- mengakui akan toleransi Islam dan menyatakan bahwa toleransi inilah
yang pada hakikatnya menjadi sumber kekuatan orang-orang muslim klasik dalam
mengendalikan orang-orang non-muslim yang merupakan mayoritas penduduk di
negeri-negeri Islam.90 Russel melihat juga, kelebihan-kelebihan Islam atas agama-
agama yang lain sebagai agama yang lapang atau "kurang fanatik" karena konsep
89 Lihat Nurcholish Madjid, Tradisi Islam, Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di
Indonesia, cet. ke-1, (Jakarta: Paramadina, 1997), h. 134-135; Nurcholish Madjid, "Masyarakat Madani, 4-5
90 Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusian, Membangun Tradisi dan Misi Baru Islam Indonesia, cet.ke-1, (Jakarta: Parmadina, 1995), h. 9.
112
toleransinya. Dalam Islam terumuskan dalam term ahl-kitab dimana sebelum Islam
praktis konsep itu tidak pernah ada.91
Jauh lebih prinsipil dari itu, agaknya Nurcholish Madjid menangkap
pentingnya penghargaan oleh umat Islam terhadap kelompok lain. Oleh karena itu,
ungkapan, "al-Islam ya'lu wa la yu la 'alaih" tidak mesti memunculkan klaim-klaim
ekslusivistik bagi umat Islam. Sebaliknya, tentu saja kalangan non muslim dapat
memposisikan diri dalam posisi yang wajar sebagai komponen bangsa, sehingga
menggiring pada commom platform (kalimat sawa'), yang merupakan implementasi
dari azas pluralisme, dan toleransi.
Lebih lanjut Nurcholish Madjid menulis: Kenyataan bahwa sebagian besar
bangsa Indonesia beragama Islam disebut sebagai dukungan... Islam adalah agama
yang pengalamannya dalam melaksanakan toleransi dan pluralisme adalah unik
dalam sejarah agama-agama. Sampai sekarang bukti hal itu kurang lebih masih
nampak jelas dan nyata pada berbagi mayarakat dunia: dimana agama Islam
merupakan anutan mayoritas, agama-agama lain tidak mengalami kesulitan berarti;
tapi sebaliknya: dimana agama mayoritas bukan Islam dan kaum muslim menjadi
minoritas mereka ini selalu mengalami kesulitan yang tidak kecil, kecuali di negar-
negara demokratis Barat. Di sana umat Islam sejauh ini masih memperoleh
kebebasan beragama yang menjadi hak mereka..92
91 Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban Membangun Makna dan Relevansi Doktrin
Islam dalam Sejarah, cet.ke-1, (Jakarta: Parmadina, 1995), h. 69-70. 92 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin, h. xcviii
113
Azas pluralisme dan toleransi yang dikemukakan di atas menjadi penyangga
berdirinya masyarakat madani. Azas tersebut menjadi pokok dalam menciptakan
suatu tatanan masyarakat madani di tengah kemajemukan suku, ras, agama, budaya,
dan lain-lain. Dalam perspektif sejarah Islam telah terbukti melalui usaha reformasi
nabi Muhammad di Madinah. Sedangkan dalam konteks real Indonesia, azas ini perlu
penghayatan yang lebih mendalam. Sebab, dengan ini diharapkan muncul kerukunan
dan kebersamaan, dalam latar belakang keragaman masing-masing.
Nurcholish Majid adalah cendekiawan muslim Indonesia yang paling intens
menyuarakan pentingnya kesadaran pluralisme dan toleransi. Pada prinsipnya secara
substantial gagasan-gagasan yang dilontarkannya sejak dekade 70-an telah
menggiring pad aide masyarakat madani. Semangat pemikiran ini selalu mewarnai
setiap gagasan-gagasan Nurcholish Madjid muda sampai dengan akhir abad ke-20 ini. Berdasarkan keterangan di atas, maka dapat dipahami, bahwa dalam
pandangan Nurcholish Madjid, pendidikan Islam harus mampu
menumbuhkembangkan berbagai sikap manusia Indonesia yang memungkinkan
lahirnya masyarakat madani Indonesia yang dicita-citakan. Sikap tersebut mencakup
sikap demokrasi, sikap saling pengertian, tidak memaksakan kehendak, dan sikap
toleransi, sikap menghargai harkat dan martabat manusia. Dengan demikian proses
pendidikan harus dilaksanakan dengan mengikutsertakan masyarakat, dan proses
humanisasi serta pendidikan yang demokratis sehingga dapat mewujudkan
masyarakat madani yang pada gilirannya melahirkan manusia-manusia demokratis,
toleransi, dan berakhlak mulia.
114
1. 3. 2. Sumber Daya Manusia Indonesia Yang Unggul 1. 3. 2. 1. Konsep SDM Yang Unggul
SDM yang unggul menurut Nurcholish Madjid adalah yang berimataq
(beriman dan bertaqwa),93 dan beriptek (berilmu pengetahuan dan teknologi). Oleh
karena itu pula menurut Nurcholish Madjid, mengapa dalam al-Qur’an dijelaskan
bahwa orang yang mencapai derajat tinggi di sisi Allah adalah orang yang beriman
dan berilmu sebagaimana firman Allah berikut:94
)١١: اادلة... (يرفع اهللا الذين آمنوا منكم والذين أوتوا العلم درجات...
93 Menurut Nurcholish Madjid, perkataan Arab iman adalah mashdar dari kata kerja amana
dapat diterjemahkan menjadi “beriman” (yakni, menempuh hidup percaya), sebagaimana perkataan aslama juga dapat diterjemahkan dengan “berislam” (yakni, menempuh hidup pasrah dan tunduk kepada Tuhan). Lihat Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 2003), Cet. Ke-2, h. xii. Sedangkan definisi taqwa menurut Nurcholish Madjid, bukan sekedar seperti ditafsirkan banyak orang – Yakni, “sikap takut kepada Allah,” atau “sikap menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya,” tetapi lebih menyangkut wacana “Kesadaran Ketuhanan” (God-consciousness atau rabbaniyah). Tentang masalah ini, Nurcholish Madjid menjelaskan bahwa dalam Kitab Suci al-Qur’an terdapat kata-kata rabbaniyin yang berarti “orang-orang yang berketuhanan.” Dari situ, diambil kata-kata rabbaniyah,”semangat Ketuhanan,” yang menjadi inti semua ajaran para nabi dan rasul Tuhan :”Tidaklah sepatutnya seorang manusia yang kepadanya Tuhan menurunkan Kitab Suci, keputusan yang adil dan martabat kenabian akan berkata kepada manusia, “Jadilah kamu sekalian orang-orang yang menyembah kepada-Ku,” Sebaliknya, (ia akan berkata), “Jadilah kamu sekalian orang-orang yang berketuhanan dengan menyebarkan ajaran Kitab Suci dan dengan kajian pendalamannya oleh dirimu sendiri.” (Q.S. Ali Imran/3:79). Lihat Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 1995), Cet. Ke- 3, h. 7
94 Lihat Nurcholish Madjid, , Orasi pada Ceramah Umum "Metodologi dan Orientasi Studi Islam Masa Depan” pada tanggal 4 September 2000, yang diselenggarakan oleh Lemabaga Tinggi Penelitian dan Penertiban (LPP) Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Orasi ini ditranskrip dan diedit oleh Muhbib Abdul Wahab dalam JAUHAR (Jurnal Pemikiran Islam Kontekstual), Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Volume 1, No. 1, Desember 2000, h. 3
115
Artinya:
"…Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman dan yang diberi ilmu
diantara kamu beberapa derajat…" (QS. Al-Mujadalah (58): 11)
Ayat di atas maksudnya, Allah akan mengangkat orang-orang beriman secara
khusus dan orang-orang yang berilmu secara khusus juga. Bisa juga maksudnya
adalah Allah akan mengangkat orang-orang beriman yang berilmu (al-Mu’minin al-
‘Ulama) beberapa derajat. 95
Menurut Nurcholish Madjid, mengapa dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa
orang yang mencapai derajat tinggi di sisi Allah adalah orang yang beriman dan
berilmu sebagaimana firman Allah tersebut di atas. Alasannya menurut Nurcholish
Madjid, adalah kalau orang itu beriman, maka ia akan mempunyai dorongan untuk
berbuat baik atau mempunyai komitmen terhadap nilai-nilai transendental. Jadi,
hidupnya dijiwai oleh semangat berbuat baik. Karena berilmu, maka ketika
berhadapan dengan bagaimana melaksanakan agenda berbuat sebaik-baiknya bagi
masyarakat, maka ia dapat memberikan berbagai deretan alternatif. Semakin luas
ilmu seseorang, semakin luas pula deretan alternatif yang ada di hadapannya. Oleh
karena itu, ia menjadi lebih terjamin untuk sukses karena deretan alternatif-nya
banyak. Sebaliknya, bila seseorang tidak berilmu, dengan sendirinya deretan
alternatif itu menjadi pendek dan pilihan-pilihan itu menjadi sangat sedikit. Kalau dua
pilihahnya, maka kemungkinannya hanyalah: ya atau tidak.
95 Lihat Syaikh an-Nawawi al-Jawi, Kitab at-Tafsir al-Munir, (Semarang: al-M’arif, tt.), h.
361
116
Selanjutnya, untuk memperkuat argumentasinya, Nurcholish Madjid
menyebutkan perumpamaan, suatu matsal atau metafor dalam kitab suci, yang
berkaitan dengan kisah Ya'kub ketika berpesan kepada anak-anaknya yang hendak
pergi mencari Yusuf, sebagai berikut:
: يوسـف ... (وقال يبين ال تدخلوا من باب واحد وادخلوا من أبواب متفرقـة
٦٧(
"Dan (Ya’qub) berkata: Janganlah kalian masuk (bersama-sama) melalui satu pintu,
melainkan masuklah melalui berbagai pintu yang berlainan." (QS. Yusuf (12): 67).
Dalam kitab Tafsir Ruhul Bayan disebutkan, bahwa Nabi Ya’qub berpesan
kepada anak-anaknya yang hendak pergi ke Mesir untuk mencari Yusuf jangan hanya
melalui satu pintu gerbang, namun melalui beberapa pintu gerbang, yakni melalui
beberapa jalan dan gang. Ia mengkhawatirkan adanya mata-mata, sebab mata-mata
dan sihir berdampak besar terhadap yang dimata-matai dan sihir. Ya’qub berwasiat
demikian karena anak-anaknya tampan dan berpenampilan menarik dan terkenal
dekat dengan raja Mesir. Ya’qub mengkhawatirkan apabila mereka masuk dalam
suatu kelompok, akan dicelakakan oleh penduduk Mesir.96
96 Ismail Haqqi al-Buruswi, Tafsir Ruhul Bayan, Juz XIII Terjemahan Prof. Dr. H.M.D.
Dahlan, (Bandung: CV Diponegoro, 1998), h. 60-61
117
Ayat di atas ingin menjelaskan bahwa apa yang dinasihatkan oleh Ya’qub
bukanlah sesuatu yang pasti mengarah ke tujuan, tetapi merupakan strategi dan cara
menyusun siasat guna meraih kebaikan dari sang Raja.97
Berdasarkan ayat di atas, menurut Nurcholish Madjid, jika kita masuk melalui
satu pintu, maka alternatifnya adalah berhasil atau gagal. Sebaliknya bila kita masuk
dari berbagai pintu, maka kemungkinan untuk berhasil itu banyak. Untuk bisa
membuka dan masuk ke abwab mutafarriqah (multipintu/akses), diperlukan SDM
yang berkualitas tinggi atau tingkat kecerdasan yang tinggi. SDM yang sangat
dibutuhkan dalam konteks ini adalah SDM yang tidak hanya mau dan mampu
berjuang di jalan Allah, melainkan juga-dan ini yang sangat penting-harus tafaqquh fi
al-Din, sebagaimana diisyaratkan dalam surat al-Taubah ayat 122 (Fa laula nafarin
min kulli firqotin minhum thaifatun li yatafaqqahu fi ad-dini…..).
Menurut Kitab Tafsir Ruhul Bayan, Ayat di atas mengandung dalil, bahwa
memperdalam agama dan mengkaji ilmu merupakan fardhu kifayah. Namun menurut
Nurcholish Madjid, Tafaqquh fi al-Din dalam ayat di atas berarti memahami dan
meliputi seluruh aspek, dalam arti yang seluas-luasnya; seperti halnya syari'ah
meliputi segala aspeknya, tidak hanya terbatas pada hukum Islam. Itu semua
merupakan contoh betapa besar peran SDM dari segi potensi kecerdasan dan
kemampuan.
1. 3. 2. 2. Unsur Etika Dalam SDM Indonesia
97Ibid.
118
Yang dimaksud dengan unsur etika dalam sumber daya manusia di sini,
bukanlah bagaimana membina sumber daya manusia secara etis dan berakhlak -
4meski hal inipun sungguh amat penting - tetapi apa peranan etika dalam hakikat
sumber daya manusia atau "ke-SDM-an". Dengan kata lain, sub bab ini akan
mencoba membahas bahwa dalam hakikat sumber daya manusia tidak hanya penting
diperhatikan masalah keahlian sebagaimana yang telah umum dipahami dan diterima,
tetapi juga penting diperhatikan masalah etika atau akhlak dan keimanan pribadi-
pribadi yang bersangkutan. Jadi, sebagaimana benar bahwa SDM yang bermutu
menurut Nurcholish Madjid ialah yang mempunyai tingkat keahlian yang tinggi juga
tidak kurang benarnya bahwa SDM tidak akan mencapai tingkat yang diharapkan jika
tidak memiliki pandangan dan tingkah laku etis dan moral yang tinggi berdasarkan
keimanan yang tangguh.97
Biarpun pernyataan seperti di atas itu tentu terdengar sebagai klise (dan orang
barangkali akan segera berasosiasi dengan khutbah-khutbah di tempat-tempat ibadat),
namun kiranya masih tetap harus sempat dibicarakan dengan serius dan mendalam.
Berkenaan dengan ini barangkah para cendekiawan dengan aspirasi keagamaan
mempunyai posisi yang sedikit lebih memungkinkan daripada yang lain-lain, satu dan
lain hal karena masalah etika dan moral yang kukuh biasanya menyangkut masalah
makna dan tujuan hidup, atau apa yang disebut the problem of ultimacy. Dan makna
dan tujuan hidup itu, tidak lagi dapat dibantah, untuk sebagian besar umat manusia,
97 Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan,Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam
Indonesia. (Jakarta: Paramadina, 2003), Cet. Ke-2, h. 90
119
menurut Nurcholish Madjid, bersumber dalam ajaran-ajaran keagamaan, melalui
sistem keimanan dan amal perbuatan yang dibawanya.98
Kita bangsa Indonesia biasa menyebutkan bahwa Pancasila adalah sumber
segala sumber pandangan kemasyarakatan dan kenegaraan kita, karena ia adalah
dasar negara. Sejajar dengan itu, kita juga suka mengatakan bahwa sumber daya
manusia Indonesia adalah sumber daya manusia yang dijiwai oleh nilai-nilai
Pancasila.
Lepas dari kernyataan bahwa ungkapan-ungkapan serupa itu, lagi-lagi,
terdengar sloganistik dan klise, namun jelas tetap mengandung kebenaran.
Masalahnya di sini ialah bagaimana kita melihatnya secara relevan. Ini kita mulai
dengan menyadari bahwa nilai-nilai Pancasila adalah "titik temu" semua pandangan
hidup yang ada di negeri kita, termasuk pandangan hidup yang dirangkum oleh
agama-agama. Dan menurut Nurcholish Madjid, nilai-nilai Pancasila itu, baik
potensial maupun aktual, telah terkandung dalam ajaran semua agama yang ada (jika
tidak, maka bagamana mungkin kita yang mendapatkan makna dan tujuan hidup
dalam agama itu dapat menerima nilai-nilai Pancasila). Oleh karena itu Pancasila
dapat dipandang sepenuhnya sebagai titik temu agama-agama di Indonesia juga. Dan
karena mencari, menemukan dan mengajak kepada titik temu antara umat yang
berbeda-beda itu sendiri adalah perintah agama, maka menemukan dan mengajak
bersatu dalam Pancasila adalah juga perintah agama.99
98 Ibid. 99 Ibid., h. 98
120
Berdasarkan nuktah-nuktah yang telah dicoba paparkan di atas tadi, maka
kiranya jelas bahwa SDM tidaklah cukup hanya menekankan keahlian dan
keterampilan teknis semata. Betapapun pentingnya segi keterampilan dan keahlian
teknis itu -dan memang mustahil terwujud SDM dengan kemampun optimal tanpa itu
semua- namun, ditinjau dari sudut manusia secara utuh keseluruhan, yang menjadi
subyek pembangunan dan tidak menjadi obyek pembangunan, maka keterampilan
dan keahlian itu semua nilainya adalah instrumental, bukan intrinsik. Karenanya nilai
yang bersifat instrumental itu semua harus "mengabdi" kepada yang bernilai intrinsik,
yaitu diwujudkan demi nilai kemanusiaan itu sendiri dan bukan sebaliknya, yaitu
manusia dipandang sebagai "berharga" hanya karena unsur keahlian dan
keterampilannya semata.
Bertitik tolak dari hal itu, dan berdasarkan bahwa semua penganut agama
harus mengamalkan agamanya dengan baik, maka segi etika SDM Indonesia, yaitu
menyangkut hal-hal sebagai berikut:100 Pertama , Keimanan dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ini berarti
bahwa SDM Indonesia terwujud dari manusia Indonesia yang menyadari tentang
adanya asal dan tujuan hidup yang lebih tinggi daripada pengalaman hidup duniawi
atau terrestrial ini. Asal dan tujuan hidup itu melambung dan menembus petala-petala
langit yang tujuh, menuju kepada perkenan atau ridla Allah, mencapai penyatuan
eksistensi nisbi manusia dengan Eksistensi mutlak Illahi. Dengan menyadari tentang
100 Ibid., h. 98-100
121
asal dan tujuan hidup itu, berarti setiap manusia Indonesia akan selalu
bertanggungjawab dan mempertanggungjawabkan atas segala perbuatannya.
Kedua , Karena dasar keimanan dan taqwa itu maka SDM Indonesia bekerja
tidak atas dasar keyakinan keliru bahwa kebahagiaannya sebagai manusia yang utuh
terletak dalam ekspedienst fisik dan material, tetapi dalam peningkatan kualitas jiwa
dan ruhani. Dengan begitu ia tidak tersesat masuk ke dalam sikap-sikap
mementingkan diri sendiri dan memenuhi keinginan rendah diri sendiri. Sehingga
mampu mengingkari diri sendiri (melakukan self denial), bebas dari dorongan
mencari kenikmatan hidup lahiri semata (pleasure seeking), juga bebas dari sifat-sifat
tamak, loba, rakus dan mementingkan diri sendiri.
Ketiga , Karena itu SDM Indonesia berpangkal dari semangat dan kemampuan
menunda kesenangan sementara. la berpegang teguh kepada prinsip "deferred
gratification" atau ganjaran kenikmatan yang tertunda, karena yakin di belakang hari,
dalam jangka panjang, ada kebahagiaan yang lebih besar dan lebih hakiki. Dengan
kata lain, SDM Indonesia adalah SDM yang mampu berpikir dan mengembangkan
tingkah laku atas dasar prinsip "Berakit-rakit ke hulu berenang-renang ke tepian,
bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian". Yaitu prinsip, dalam bahasa
Jawa, "Wani ngalah duwur wekasane" (Berani mengalah, namun akhirnya menang),
yang seperti juga dikatakan dalam bahasa Inggris, "You may lose the battle, but you
should win the war".
Keempat, SDM Indonesia adalah manusia yang tabah, gigih, tahan menderita,
karena yakin kepada masa depan. Karena keimanan dan taqwanya, ia senantiasa
122
berpengharapan kepada Tuhan Yang Maha Esa, sehingga sesuatu yang
dikehendakinya jika toh tidak terwujud sekarang, ia yakin akan terwujud besuk, atau
lusa, atau minggu depan, atau bulan depan, atau tahun depan, bahkan dalam
kehidupan akhirat sesudah kematian. Hidup penuh harapan itulah yang menjadi
dorongan batin atau motivasi yang tinggi dan kuat. Sehingga ia tekun, rajin,
produktif, dan senantiasa menggunakan waktu lowong untuk kerja keras yang
menghasilkan sesuatu. la bukanlah tipe manusia yang mencari "apa enaknya", tapi
menurut "apa baiknya".
Kelima, SDM Indonesia tidak memiliki dorongan untuk hidup mewah dan
berlebihan (hidup berlebihan adalah ciri kepribadian yang tidak tenang dan selalu
mencari kompensasi). Sebaliknya, ia hidup sederhana, penuh kepuasan positif (yaitu
[Arab] qanaah, bukan [Inggris] complacency), hemat, rendah hati dan bebas dari
nafsu pamer atau penyakit demonstration effect.
Keenam, SDM Indonesia adalah SDM yang mampu bersikap dan berlaku
adil, jujur dan fair meskipun terhadap diri sendiri, kerabat dan handai taulan. Ia tidak
mudah tenggelam dalam rasa cinta sehingga buta terhadap kekurangan orang, tidak
pula dirasuk habis oleh rasa benci sehingga tertutup dari kebaikan orang. Karenanya
jika seorang SDM Indonesai berhasil atau sukses, ia tidak dengan gegabah mengaku
keberhasilan dan kesuksesannya adalah berkat kemampuan dirinya sendiri. Ia sadar
bahwa “tidak ada daya dan tidak pula kemampuan, kecuali dengan Allah yang Maha
Agung”. Dalam keadaan rendah hati itu ia melihat apapun yang menjadi bagian
123
keberhasilannya sebagai amanat Tuhan Yang Maha Esa, lalu baktikan kepada-Nya
melalui kesadaran pemenuhan fungsi sosial harta kekayaan.
Itulah ira-kira segi-segi etika sumber daya manusia Indonesia. Berbagai
kajian ilmiah tentang masyarakat manusia mengatakan bahwa kualitas-kualitas
pribadi seperti itu, kurang lebih, adalah faktor yang amat penting, dan jauh lebih
penting daripada banyak yang lain, yang menentukan kemampuan optimal kinerja
sumber daya manusia, termasuk produktifitas, yang diperlukan bagi kemajuan
masyarakat, bangsa dan negara. Karena itu para ahli mengamati bahwa negara yang
maju, atau yang dalam proses serius menuju kemajuan, senantiasa menunjukkan ciri-
ciri orientasi etis yang kuat atau tegar (ethically tough, yakni masalah benar-salah dan
baik-buruk mampu dilihat dan disikapi dengan jelas, tegas dan tidak kompromi),
sedangkan negara yang tertinggal umumnya berwawasan etika yang lemah (ethically
soft, yakni masalah benar-salah dan baik-buruk tidak mampu dilihat dan disikapi
dengan tegas, melainkan cenderung untuk diremehkan atau diabaikan, “toned down” ,
“played down”). Menurut penilaian Nurcholish Madjid, berkenaan dengan inilah
sungguh amat disayangkan, dan merupakan pertanyaan besar, mengapa Indonesia
yang dikenal sebagai bangsa dengan jiwa keagamaan yang bergairah ini justru dalam
masalah etika dikenal sebagai bangsa yang lembek atau lunak, soft.101
Sebagai catatan perlu disadari bahwa semua yang dijabarkan di atas itu ada
dalam bingkai apa yang seharusnya, yang normatif. Pengetahuan tentang normatif
belaka tidak cukup, dan tidak membawa hasil nyata. Yang diperlukan adalah juga
101 Ibid.
124
segi-segi yang operatif, yang praktis. Sudut pandang ini benar semata. Tetapi juga
dapat dipertanyakan, jika kita tidak tahu, dan tidak menyadari, apa yang seharusnya,
yang normatif, maka apakah kita masih punya ruang untuk bicara tentang pedoman,
prinsip dan nilai-nilai asasi? Semuanya ini perlu karena semuanya akan menuntun
manusia, jika memang mengandung kebenaran.
Di sinilah peranan dari pendidikan agama di Indonesia. Yaitu mempertinggi
dan memperkukuh kesadaran nilai-nilai assai itu, agar masyarakat tidak jatuh kepada
godaan pragmatisme yang tak terkendali seperti sering terdengar mulai dikuatirkan
orang. Tapi sikap skeptis pun masih tetap selalu muncul, seberapa jauhkah agama
memang benar-benar berperan, mengingat kenyuataan sering ,mendemonstrasikan
kesenjangan antara keadaan dan klaim-klaim peran agama itu. Barangkali jawabnya
dapat ditemukan dalam apa yang oleh Armstrong, dikatakan bahwa agama sering
dibajak (hijacked) oleh pemeluknya sendiri. Salah satu bentuk hijacking terhadap
agama itu ialah jika para pemeluk menjadi lebih mementingkan bentuk daripada isi,
simbol daripada substansi.102
Dalam Islam, peringatan agar orang tidak hanya mementingkan simbol dan
formalitas, melainkan lebih memperhatikan isi dan substansi, dinyatakan sebagai
berikut:
Kebajikan itu bukanlah kamu menghadapkan wajah-wajahmu ke arah timur atau barat, melainkan kebajikan itu ialah lorang yang beriman kepada Allah, -Hari Kemudian, para Malaikat, Kitab-kitab Suci, dan para Nabi. Dan orang itu mendermakan hartanya, betapapun cintanya kepada harta itu, untuk kaum kerabat, anak-anak yatim, kaum miskin, orang terlantar di jalan, orang
102 Ibid., h. 101
125
meminta-minta dan orang yang terbelenggu perbudakan. Dan orang itu menegakkan shalat, menunaikan zakat. Dan orang itu menepati janji jika mereka mengikat janji, tabah dalam kesulitan, kesusahan dan bencana. Mereka itu orang-orang yang benar, dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa.103
Begitulah barangkali gambaran sederhana bentuk tantangan para agamawan
Indonesia dalam mengembangkan unsur etika sumber daya manusia.
2. Pembaharuan Pada Aspek Materi Pendidikan Agama Islam
2. 1. Materi Pendidikan Agama Di Lingkungan Rumah Tangga
Nurcholish Madjid membedakan istilah materi pelajaran “agama” dan
“keagamaan”. Perkataan “agama” lebih tertuju pada segi formal dan ilmunya saja.
Sedangkan perkataan “keagamaan” lebih mengenai semangat dan rasa agama
(religiusitas). Menurut Nurcholish Madjid, selama ini materi “keagamaan” ini hanya
dipelajari sambil lalu saja tidak secara sungguh-sungguh. Padahal justru inilah yang
lebih berfungsi dalam masyarakat zaman modern, bukan fiqih atau ilmu kalamnya
apalagi nahwu-sharafnya serta bahasa Arabnya.104
Sebelum menjelaskan pembaharuan pada aspek materi pendidikan agama
Islam menurut pandangan Nurcholish Madjid, terlebih dahulu penulis menjelaskan
konsep tentang materi pendidikan agama Islam yang selama ini secara umum sudah
dikenal di kalangan umat Islam Indonesia, sebagai berikut:
103 Q.S. 104 Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren, h. 13
126
Sebagaimana diketahui bahwa inti ajaran pokok Islam meliputi masalah
keimanan (aqidah), masalah keislaman (syari’ah), dan masalah ihsan (akhlak).
Selanjutnya, ’aqidah adalah bersifat i’tiqad batin, mengajarkan keesaan Allah, Esa
sebagai Tuhan yang mencipta, mengatur dan meniadakan alam ini. Sedangkan
syari’ah adalah berhubungan dengan amal lahir dalam rangka menta’ati semua
peraturan dan hukum Tuhan, guna mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan,
dan mengatur pergaulan hidup dan kehidupan manusia. Adapun akhlak adalah suatu
amalan yang bersifat pelengkap penyempurna bagi kedua amal tersebut (yakni
‘aqidah dan syari’ah) dan mengajarkan tentang tata cara pergaulan hidup manusia.105
Tiga inti ajaran pokok ini kemudian dijabarkan dalam bentuk rukun iman,
rukun Islam dan akhlak; dan dari ketiganya lahirlah beberapa keilmuan agama, yaitu
ilmu tauhid, ilmu fiqih dan ilmu akhlak. Ketiga kelompok ilmu agama ini kemudian
dilengkapi dengan pembahasan dasar hukum Islam, yaitu al-Qur’an dan al-Hadis,
serta ditambah lagi dengan sejarah Islam (tarikh); sehingga secara berurutan :1). Ilmu
Tauhid/Keimanan, 2). Ilmu Fiqih, 3). Al-Qur’an, 4). Al-Hadis, 5). Tarikh Islam.
Lingkup maupun urutan ketiga materi pokok pendidikan agama ini sebenarnya telah
dicontohkan oleh Luqman ketika mendidik puteranya sebagaimana disebutkan dalam
firman Allah dalam al-Qur’an surat Luqman ayat 12, 13, 14, 17, 18, dan 19.
Selanjutnya, ruang lingkup pembahasan, luas mendalamnya pembahasan,
tergantung kepada jenis lembaga pendidikan yang bersangkutan, tingkatan kelas,
105 Zuhairini,dkk., Metodik Khusus Pendidikan Agama Islam, ((Malang: Biro Ilmiah Fakultas
Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Malang, 1983), h. 60
127
tujuan dan tingkat kemampuan anak didik sebagai konsumennya. Untuk sekolah-
sekolah agama tentunya pembahasannya lebih luas, mendalam dan terperinci
daripada sekolah-sekolah umum, demikian pula perbedaan untuk tingkat rendah dan
tingkatan/kelas yang lebih tinggi.
Adapun sistematika pengajarannya dan teknis penyajiannya terserah kepada
kebijaksanaan masing-masing pendidik, dengan memperhatikan bahan/materi dan
waktu yang tersedia sesuai dengan jadual yang telah ditetapkan. Cara penyajiannya
tidak selalu harus terpisah-pisah tetapi juga bisa secara korelasi dan bahkan apabila
mungkin diberikan secara integrated kepada mata pelajaran lain.
Untuk perguruan tinggi, bahan tentang keimanan, hendaknya dijadikan bahan
bersifat elementer (dasar), yakni cukup dengan hanya menunjukkan literatur yang
berhubungan dengan masalah inti. Sedang yang penting ialah pengetahuan para
mahasiswa terhadap konsepsi/pandangan Islam terhadap problema sosial masa kini;
misalnya masalah Keluarga Berencana, masalah Undang-undang Perkawinan, Sistem
Zakat dan urgensinya, masalah-masalah ini lebih menarik dan sesuai dengan
perkembangan pikiran mereka yang sekaligus dapat menambah tebalnya iman
mereka.106
Hal lain yang sangat perlu mendapat perhatian ialah bahwa sesuai dengan
kekhususannya, maka materi/bahan kurikulum pendidikan agama sebagian besar
adalah bersifat abstrak philosophis yang sulit diadakan pendekatan secara scientific.
106 Ibid., h. 63
128
Oleh karena itu diharapkan kemampuan dan ketrampilan pendidik berusaha sedapat
mungkin untuk mengkonkritisir bahan-bahan tersebut.107
Dari uraian-uraian di atas terlihat bahwa materi pendidikan agama Islam pada
hakikatnya merupakan ruang lingkup atau isi ajaran Islam,108 yaitu masalah keimanan
yang dijabarkan dalam bentuk rukun iman, masalah keislaman yang dijabarkan dalam
rukun Islam, dan masalah ihsan yang dijabarkan dalam bentuk akhlak.
Setelah penulis menjelaskan tentang konsep materi pendidikan agama yang
secara umum sudah dikenal di kalangan umat Islam, selanjutnya penulis menjelaskan
materi pendidikan agama menurut pandangan Nurcholish Madjid, sebagai berikut:
Menurut Nurcholish Madjid, pendidikan yang dalam istilah al-Qur’annya
disebut “tarbiah” itu mengandung arti “penumbuhan” atau “peningkatan”109 Menurut
Nurcholish Madjid, penumbuhan atau peningkatan itu, pertama-tama ialah
penumbuhan dan peningkatan segi jasmani anak, dengan terutama si ibu tanpa pamrih
dan atas cinta kasih yang semurni-murninya mencurahkan diri dan perhatiannya
kepada pertumbuhan anaknya. Hubungan emosional yang amat pekat dan penuh
kemesraan si ibu itu menjdai taruhan “survival” si anak memasuki dunia kehidupan.
Bahkan hubungan itu telah terbentuk sejak dalam kandungan. Sedemikian rupa
pekatnya unsur cinta kasih itu, sehingga tempat janin dalam bahasa Arab, disebut
rahin (rahim, secara etomologis berarti cinta kasih), salah satu perintah Ilahi yang
107 Ibid., h. 64 108 Menurut Mahmud Syaltout, ajaran Islam dibagi kepada dua bagian, yaitu ajaran tentang
akidah dan ajaran tentang syari’ah. Kemudian syari’ah itu sendiri terdiri atas ibadah dan mu’amalah. Lihat Mahmud Syaltout, al-Islam ‘Aqidah wa Syari’ah, (Kuwait: Dar al-Qalam, 1966), h. 11-13
109 Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius Membumikan Nilai-nilai Islam dalam Kehidupan Masyarakat, (Jakarta: Paramadina, 2002), Cet. Ke-2, h. 83
129
amat penting kepada manusia. Setingkat dengan ketulusan ibu dan ayah yang
mendampinginya itulah seorang anak, diisyaratkan memohonkan rahmat Tuhan bagi
keduanya.
Namun sesudah itu, menurut Nurcholish Madjid, tentu usaha penumbuhan
dan peningkatan oleh orang-tua bagi anaknya tidak terbatas hanya kepada segi fisik
semata-mata. Justru tidak kurang pentingnya ialah usaha penumbuhan dan
peningkatan potensi positif seorang anak agar menjadi manusia dengan tingkat
kualitas yang setinggi-tingginya.110 Menurut Nurcholish Madjid, orang-tua tidaklah
berkuasa untuk membuat anaknya “baik”, sebab potensi kebaikan itu sebenarnya
justru sudah ada pada si anak. Tetapi orang-tua dapat, dan berkewajiban, berbuat
sesuatu guna mengembangkan apa yang secara primoridal sudah ada pada si anak,
yaitu nature kebaikannya sendiri sesuai dengan fithrahnya. Sementara itu, di pihak
lain, orang-tua mempunyai peranan menentukan dan memikul beban tanggung jawab
utama jika sampai terjadi si anak menyimpang dari nature dan kualitas rendah. Inilah
salah satu makna sebuah Hadits yang amat terkenal, yang menegaskan betapa setiap
anak dilahirkan dalam fitrah (nature kesucian), kemudian ibu-bapaknyalah yang
berkemungkinan membuatnya menyimpang dari fitrah itu.
Selanjutnya apa yang dimaksudkan dengan agama? Bukankah agama bagi
semua orang sudah begitu jelas, sehingga mestinya tidak perlu lagi perenungan akan
apa maksudnya? Tapi bagi banyak orang renungan itu sudah sering terdengar.
Misalnya, di antara para muballigh dan tokoh agama ada yang memperingatkan
110 Ibid.
130
bahwa agama bukanlah sekedar tindakan-tindakan ritual seperti salat dan membaca
do’a. agama lebih dari itu, yaitu keseluruhan tingkah laku manusia yang terpuji, yang
dilakukan demi memperoleh ridlo atau perkenan Allah. Menurut Nurcholish Madjid,
agama, dengan kata lain, meliputi keseluruhan tingkah laku manusia dalam hidup ini,
yang tingkah laku itu membentuk keutuhan manusia berbudi luhur (ber-akhlaq
karimah), atas dasar percaya atau iman kepada Allah dan tanggung jawab pribadi dan
iman kepada hari kemudian. Inilah makna pernyataan dalam do’a pembukaan (iftitah)
salat kita, bahwa salat kita itu sendiri, juga darmabakti kita, hidup kita dan mati kita,
semua adalah untuk atau milik Allah, seru sekian alam. Inilah pernyataan tentang
makna dan tujuan hidup yang diperintahkan Tuhan untuk kita kemukakan setiap
saat.111
“Katakan (wahai Muahmmad) : ”Sesungguhnya Tuhanku telah memberi petunjuk kepadaku ke arah jalan yang lurus, berupa agama yang benar yaitu agama Ibrahim yang hanif, dan dia itu tidak termasuk kaum yang musyrik. “Katakanlah (wahai Muhammad): Sesungguhnya sembahyangku, darmabaktiku, hidupku dan matiku adalah untuk Allah Tuhan seru sekalian alam, tiada mempunyai sekutu. Untuk semua itulah aku diperintahkan, dan aku adalah yang pertama dari golongan yang pasrah (Muslim).” 112
Karena itu renungan tentang apa yang dimaksudkan dengan pendidikan
agama muncul secara logis, sebgai kelanjutan dari renungan tentang apa itu agama.
Karena agama adalah seperti yang dimaksudkan di atas, maka agama menurut
Nurcholish Madjid, tidak terbatas hanya kepad pengajaran tentang ritus-ritus dan
segi-segi formalistiknya belaka. Ini tidak berarti pengingkaran terhadap pentingnya
111 Ibid. 112 Q.S.al-An’am/6:161-162
131
ritus-ritus dan segi-segi formalistik agama, tidak pula pengingkaran terhadap
perlunya ritus-ritus dan segi-segi formal itu diajukan kepada anak. Semua orang telah
menyadari dan mengakui hal itu, sebab ritus dan formalistis itu menurut Nurcholish
Madjid, merupakan atau ibarat “bingkai” bagi agama, atau “kerangka” bagi bangunan
keagamaan. Karena itu setiap anak perlu diajari bagaimana melaksanakan ritus-ritus
itu dengan memenuhi segala “syarat dan rukun” keabsahannya.113
Sebagai “bingkai” atau “kerangka”, menurut Nurcholish Madjid, ritus dan
formalitas bukanlah tujuan dalam dirinya sendiri. Ritus dan formalitas yang dalam hal
ini terwujud dalam apa yang biasa disebut “Rukun Islam” baru mempunyai makna
yang hakiki jika menghantarkan orang yang bersangkutan kepada tujuannya yang
hakiki pula, yaitu kedekatan (taqarrub) kepada Allah dan kebaikan kepada sesama
manusia (akhlaq karimah). Ini dapat kita miliki rasa kemusiaan seperti sikap tidak
peduli kepada nasib yatim dan tidak pernah melibatkan diri dalam perjuangan
mengangkat derajat orang miskin, adalah palsu dalam agama. Orang itu boleh jadi
melakukan salat, namun salatnya tidak berpengaruh kepada pendidikan budi
pekertinya, dengan indikasi ia suka pamsih dan bergaya hidup mementingkan diri.
Maka ia dikutuk oleh Allah :114
“Tahukah engkau (hai Muhammad), siap yang mendustakan agama? Yaitu
yang mengabaikan anak yatim, dan yang tidak dengan membela nasib orang miskin”
113 Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius Membumikan Nilai-nilai Islam dalam Kehidupan
Masyarakat, (Jakarta: Paramadina, 2002), Cet. Ke-2, h. 83 114 Ibid.
132
“Maka celakalah mereka yang sembahyang itu! Yaitu mereka yang
melupakan sembahyang sendiri. Mereka yang suka pamrih, dan yang enggan
menolong barang sedikit.” 115
Maka pendidikan agama, menurut Nurcholish Madjid, sesungguhnya adalah
pendidikan untuk pertumbuhan total seorang anak didik. Pendidikan agama tidak
benar jadi dibatasi hanya kepada pengertian-pengertian pendidikan agama yang
dikenal dalam masyarakat. Meskipun pengertian pendidikan agama yang dikenal
dalam masyarakat itu tidaklah seluruhnya salah jelas sebagian besar adalah baik dan
harus dipertahankan namun tidak dapat dibantah lagi bahwa pengertian itu harus
disempurnakan. Maka dalam pengertiannya yang tidak atau belum sempurna itulah
kita mendapatkan gejala-gejala tidak wajar berkenaan dengan pendidikan agama.
Seorang tokoh agama misalnya, justru menumbubuhkan dan membesarkan anak-
anaknya menjadi nakal dan binal. Padahal Nabi saw menegaskan keluhuran budi. Hal
ini diungkapkan dalam sebuah hadits terkena, “Sesungguhnya aku diutus hanyalah
untuk menyempurnakan berbagai keluhuran budi” (Innama bu’its-tu li-utamima
makarima-al-akhlaq-I). 116
Menurut Nurcholish Madjid, kalau kita pahami bahwa agama akhirnya
menuju kepada penyempurnaan berbagai keluhuran budi, maka pertumbuhan seorang
anak tokoh keagamaan menjadi anak yang nakal dan binal (baca: tidak berbudi)
115 Q.S. Al-Ma’un/1- 7 116 Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius Membumikan Nilai-nilai Islam dalam Kehidupan
Masyarakat, (Jakarta: Paramadina, 2002), Cet. Ke-2, h. 86
133
adalah suatu ironi dan kejadian menyedihkan yang tiada taranya, dan itulah
barangkali wujud bahwa anak adalah fitnah seperti dimaksudkan dalam firman Allah:
“Ketahuilah bahwa sesungguhnya harta-bendamu dan anak-anakmu adalah
ujian (fitnah) (dari tuhan), dan sedangkan Allah sesungguhnya menyediakan pahhala
yang agung.” 117
Karena itu, menurut Nurcholish Madjid, peran orang tua dalam mendidik anak
melalui pendidikan keagamaan yang benar adalah amat penting. Dan di sini yang
ditekankan memang pendidikan oleh orang tua, bukan pengajaran. Sebagian dari
usaha pendidikan itu memang dapat dilimpahkan kepada lembaga atau orang lain,
seperti kepada sekolah dan guru agama, misalnya. Tetapi yang sesungguhnya dapat
dilimpahkan kepada lembaga dan pelajaran membaca bacaan-bacaan keagamaan,
termasuk membaca al-Qur’an dan mengerjakan ritus-ritus.
Sebagai pengajaran, peran “orang lain” seperti sekolah dan guru hanyalah
terbatas terutama kepada segi-segi pengetahuan dan bersifat kognitif meskipun tidak
berarti tidak ada sekolah atau guru yang juga sekaligus berhasil memerankan
pendidikan yang lebih bersifat aktif. Namun jelas bahwa segi afektif itu akan lebih
mendalam diperoleh anak di rumah tangga, melalui orang tua dan suasana umum
kerumah tanggaan itu sendiri.
Setelah penulis menjelaskan tentang pengertian pendidikan agama menurut
pandangan Nurcholish Madjid, selanjutnya penulis menyebutkan materi pendidikan
agama Islam menurut pandangan Nurcholish Madjid, sebagai berikut:118
117 Q.S. Al-An’fal/8:28
134
2. 1. 1. Materi Ketuhanan
Menurut Nurcholish Madjid, dapat dikatakan bahwa pendidikan agama
berkisar antara dua dimensi hidup: penanamaan rasa taqwa kepada Allah dan
pengembangan rasa kemanusiaan kepada sesama. Memgikuti tema-tema Al
Qur’an sendiri, penanaman rasa taqwa kepada Allah sebagai dimensi pertam
hidup ini dimulai dengan pelaksanaan kewajiban-kewajiban formal agama berupa
ibadat-ibadat. Dan pelaksanaan itu harus disertai dengan penghayatan yang
sedalam-dalamnya akan makna ibadat-ibadat tersebut, sehingga ibadat-ibadat itu
tidak dikerjakan semata-mata sebagai ritus formal belaka, melainkan dengan
keinsafan mendalam akan fungsi edukatifnya bagi kita. Dengan cara inilah antara
lain kita dapat selamat dari kutukan Tuhan atas tindakan beribadat yang muspra
seperti diperingatkan dalam Al Qur’an surat al Ma’un yang telah dikutip di atas.
Rasa taqwa kepada Allah itu, menurut Nurcholish Madjid, kemudian
dapat dikembangkan dengan menghayati keagungan dan kebesran tuhan lewat
perhatian kepada alam semesta beserta segala isinya, dan kepada lingkungan
sekitar. Sebab menurut al Qur’an hanyalah mereka yang memahami alam sekitar
dan menghayati hikmah dan kebesaran yang terkandung di dalmnya sebagai
ciptaan Ilahi yang dapat dengan benar-benar merasakan kehadiran Tuhan
sehingga bertaqwa kepada-Nya, sebagaimana diterangkan dalam firman-Nya
dalam al-Qur’an:
118 Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius Membumikan Nilai-nilai Islam dalam Kehidupan
Masyarakat, (Jakarta: Paramadina, 2002), Cet. Ke-2, h. 96-99
135
“Tidaklah engkau perhatikan bahwa Allah menurunkan air dari langit
kemudian dengan air itu kami hasilkan beraneka buah-buahan dalam berbagai
warna.”
.“Dan di gunung pun ada garis-garis putih dan merah dalam berbagai corak
warna, juga ada yang hitam kelam” .
“Demikian pula manusia, binatang melata dan ternak, semuanya terdiri dari
berbagai corak warna.”
“Sesungguhnya yang bertaqwa kepada Allah dari kalangan para hambanya
ialah orang-orang yang berpengetahuan” .
“Sesungguhnya Allah adalah maha mulia dan maha pengampun.” 119
Menurut Nurcholish Madjid, kata-kata Arab untuk “orang-orang yang
berpengetahuan” ialah al-ulama, bentuk jamak dari perkataan alim yang artinya
ialah orang berilmu. Dalam firman itu disebutkan bahwa yang benar-benar
bertaqwa dan takut kepada Allah hanyalah al-ulama (para ulama). Yang
dimaksud dengan al-ulama ialah orang-orang yang berpengetahuan. Yakni
mereka yang senantiasa memperhatikan alam raya dan gejala-gejala alam seperti
turunnya hujan dari langit, tumbuhnya tanaman berkat air itu dan hasilnya yang
terdiri dari bermacam buah-buahan dalam berbagai warna. Selain itu juga paham
serta menangkap hikmah dari batu-batuan atau barang mineral dan kandungan
bumi pada umumnya yang bermacam-macam warna; yang putih dan yang merah
119 Q.S. Fathir: 27-28
136
dengan variasi earna yang banyak sekali antara keduanya, juga yang hitam kelam,
sesuai dengan bahan kimia yang dikandungnya.120
Menurut Nurcholish Madjid, yang dimaksud “al-ulama” dalam firman
itu juga mereka yang memperhatikan gejala umat manusia dan kehidupan mereka,
secara biologis dan fisik yang bermacam-macam warna, dapat juga secara
sosiologis dan cultural yang terdiri dari berbagai “warna” paham hidup, ideology
dan budaya. Dan, akhirnya, yang dimaksud dalam firman itu dengan “al ulama”
ialah mereka yang memperhatikan, mempelajari dan meneliti, selalain dunia flora
seperti tersebut di atas (tetumbuhan dengan hasil biuah-buahannya yang beraneka
warna), juga dunia fauna, yng terdiri dari berbagai jenis binatang liar dan ternak,
yang semuanya juga ada dalam berbagai corak warna. Singkatnya, yang dimaksud
dengan “al ulama” dalam firman tersebut, dan yang dipuji Tuhan sebagai
golongan hamba-Nya yang ini mampu benar-benar bertaqwa kepada-Nya ialah
yang sekarang ini dalam masyarakat disebut para sarjana atau ilmuwan
(scientists), yang dlaam wawasan keilmuannya tetap menghayati kehadiran Tuhan
dengan segala keagungan-Nya.
Dengan begitu, menurut Nurcholish Madjid, hasil perhatian,
pengamatan dan penelitiannya kepada gejala alam dan sosial kemanusiaan tidak
hanya menghasilkan ilmu-pengetahuan yang bersifat kognetif belaka, juga tidak
hanya yang bersifat aplikatif dan penggunaan praktis semata (berwujud
120 Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius Membumikan Nilai-nilai Islam dalam Kehidupan
Masyarakat, (Jakarta: Paramadina, 2002), Cet. Ke-2, h. 99
137
kemampuan teknologis manusia), tetapi membawanya kepada keinsafan
Ketuhanan yang lebih mendalam, melalui penghayatan keagungan dan kebsaran
Tuhan sebagai mana tercermin dalam seluruh ciptaan-Nya. Dlaam Al Qur’an
banyak sekali firman yang bernada perintah atau anjuran kita memperhatikan
alam atau gejala alam seperti itu, yang pada pokoknya bertujuan menginsafkan
manusia akan kebesaran dan keagungan Tuhan. Karena keinsafan ini merupakan
unsure amat penting dalam menumbuh rasa taqwa, maka pendidikan keagamaan
harus pula meliputi hal-hal yang nota bene diperintahkan Tuhan dalam AL
Qur’an.121
Dalam bahasa Al Qur’an, dimensi hidup Ketuhanan ini, menurut Nurcholish
Madjid, juga disebut jiwa rabbaniyah atau ribbiyah. Dan jika dicoba merinci apa
saja wujud nyata atau substansi jiwa ketuhannan itu, maka kita dapatkan nilai-
nilai keagamaan prebiadi yang amat penting yang harus ditanamkan kepada anak.
Kegiatan menanamkan nilai-nilai itulah yang sesunggunhnya akan menjadi inti
pendidikan keagamaan. Di antara nilai-nilai itu yang sangat mendasar, menurut
Nurcholish Madjid, ialah122 :
(1) iman : yaitu sikap batin yang penuh kepercayaan kepada Tuhan. Jadi tidak
cukup hanya percaya kepada adanya Tuhan, melainkan harus meningkat
121 ibid. 122 Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius Membumikan Nilai-nilai Islam dalam Kehidupan
Masyarakat, (Jakarta: Paramadina, 2002), Cet. Ke-2, h. 98-100
138
menjadi sikap mempercayai kepada adanya Tuhan dan menaruh
kepercayaan kepada-Nya.
(2) Islam : Sebagai kelanjutan adanya iman, maka sikap pasrah kepada-Nya
(yang merupakan makna asal perkataan Arab “ Islam” ), dengan meyakini
bahwa apa pun yang datang dari Tuhan tentu mengandung hikmah
kebaikan, kita yang dlaif ini tidak mungkin mengetahui seluruh wujudnya.
Sikap taat (Arab :”din” I) tidak absah (dan tidak diterima oleh Tuhan)
kecuali jika berupa sikap pasrah (islam) kepada-Nya.
(3) Ihsan : yaitu kesadaran yang sedalam-dalamnya bahwa Allah senantiasa
hadir atau berada bersama kita di mana pun kita berada. Bertalian dengan
ini, maka kita harus berbuat, berlaku dan bertindak menjalankan sesuatu
dengan sebaik mungkin dan penuh rasa tanggung jawab, tidak setengah-
tengah dan tidak dengan sikap sekadarnya saja.
(4) Taqwa : yaitu sikap yang sadar penuh bahwa Allah selalu mengawasi kita,
kemudian kita berusaha berbuat hanya sesuatu yang diridhai Allah,
dengan menjauhi atau menjaga diri dari sesuatu yang tidak diridhai-Nya.
Taqwa inilah yang mendasari budi pekerti luhur atau al akhlak al karimah
yang akan kita bicarakan lebih lanjut di bawah.
(5) Ikhlas : yaitu sikap murni dalam tingkah laku dan perbuatan, semata-mata
demi memperoleh ridha atau perkenan Allah, dan bebas dari pamrih lahir
dan batin, tertutup maupun terbuka. Dengan sikap ang ikhla orang akan
139
mampu mencapai tingkat tertinggi nilai karsa batinnya dan karya lahirnya,
baik pribadi maupun social.
(6) Tawakal : (dalam ejaan yang lebih tepat, “Tawakal” ) : yaitu sikap
senantiasa bersandar kepada Allah, dengan pebuh harapan kepada-Nya
dan keyakinan bahwa dia akan menolong kita dalam mencari dan
menemukan jalan yang terbaik. Karena kita “mempercayai” atau
“manaruh kepercayaan” kepada Allah , maka tawakal adalah suatu
kemestian.
(7) Syukur : yaitu sikap penuh rasa terima kasih dan penghargaan, dalam hal
ini atas segala nikmat dan karunia yang tidak terbilang banyaknya, yang
dianugrahkan Allah kepada kita. Sikap bersyukur sebenarnya sikap
optimis kepada hidup ini dan pandangan senantiasa berpengharapan
kepada Allah. Karena itu sikap bersyukur kepada Allah adalah
sesungguhnya sikap bersyukur kepada diri sendiri,karena manfaat besar
kejiwaannya yang akan kembali kepada yang bersangkutan, sebagaimana
diterangkan dalam Firman Allah dalam Al-Qur’an: “Dan sesungguhnya
telah kami berikan hikmat kepada Luqman, yaitu: “Bersyukurlah kepada
Allah” . Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka
sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang
140
tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha
Terpuji.” 123
(8) Shabar (sabar) : yaitu sikap tabah menghadapi segala kepahitan hidup,
besar dan kecil, lahir dan batin, fidiologis maupun psikologis, karena
keyakianan yang tak tergoyahkan bahwa kita semua berasal dari Allah dan
akan kembali kepada-Nya. Jadi sabar adalah sikap batin yang tumbuh
karena kesadaran akan asal dan tujuan hidup, yaitu Allah Swt.
Masih banyak lagi nilai-nilai keagamaan pribadi yang diajarkan dalam Islam.
Nmum kiranya sedikit yang tersebutkan di atas itu akan cukup mewakili nilai-nilai
keagamaan mendasar yang perlu ditanamkan kepada anak, sebagai bagian amat
penting dari pendidikan keagamaannya. Biasanya, orang tua atau pendidik akan dapat
mengembangkan pandangan tersebut sehingga meliputi niali-nilai keagamaan
lainnya, sesui dengan perkembangan anak.
2. 1. 2. Materi Kemanusiaan.
Pendidikan agama, menurut Nurcholish Madjid, tidak dapat difahami secara
terbatas hanya kepada pengajaran agama. Karena itu keberhasilan pendidikan agama
bagi anak-anak tidak cukup diukur hanya dari segi seberapa jauh anak itu menguasai
hal-hal yang bersifat kognitif atau pengetahuan tentang ajaran agama atau ritus-ritus
keagamaan semata. Justru yang lebih penting, berdasarkan ajaran Kitab dan Sunnah
sendiri, ialah seberapa jauh tertanam nilai-nilai keagamaan tersebut dalam jiwa anak,
123 QS. Luqman: 12
141
dan seberapa jauh pula nilai-nilai itu diwujudkan secara nyata dalam tingkah laku dan
budi pekerti sehari-hari akan melahirkan budi pekerti luhur atau akhlaq al-karimah.
Keterkaitan yang erat antara taqwa dan budi luhur itu, menurut Nurcholish
Madjid, adalah juga makna keterkaitan antara iman dan amal shaleh, salat dan zakat,
hubungan Allah (hablun min Allah) dan hubungan dengan sesama manusia (hablun
min an-nash), bacaan takbir (lafal Allah-u Akbar) pada pembukaan shalat dan bacaan
taslim (lafal Assalamu’alaikum) pada penutupan salat. Kesimpulannya, menurut
Nurcholish Madjid, terdapat keterkaitan yang mutlak antara Ketuhanan sebagai
dimensi hidup pertama manusia yang vertical dengan kemanusiaan sebagai dimensi
hidup kedua hidup manusia yang hrizontal. Oleh karena sedemikian kuatnya
penegasan-penegasan dalam sumber-sumber suci agama (Kitab suci Al-Qur’an dan
Sunnah Nabi) mengenai keterkaitan antara kedua dimensi itu, maka pendidikan
agama, baik di rumah tangga maupun di sekolah, tidak dapat disebut berhasil kecuali
jika anak didik tertanam dan tumbuh dengan baik kedua nilai itu (Ketuhanan dan
Kemanusiaan, Taqwa dan budi luhur).
Di atas telah dikemukakan beberapa nilai Ketuhanan yang amat perlu
ditanamkan kepada anak. Tentang nilai-nilai budi luhur, sesungguhnya kita dapat
mengetahuinya secara akal sehat atau petunjuk Nabi, bahwa kita akan mengetahui
amal perbuatan yang berbudi luhur jika kita rajin bertanya kepada hati nurani kita.
Justru dalam agama Islam hati kita disebut nurani (dari bahasa Arab, nurani, artinya
cahaya atau terang), karena baik menurut al-Qur’an maupun sunnah Nabi, hati kita
adalah modal primordial (ada sebelum lahir) untuk menerangi jalan hidup kita
142
sehingga kita terbimbing ke arah yang benar dab baik, yakni ke arah budi luhur.
Tetapi, sekedar untuk pegangan operatif dalam menjalankan pendidikan keagamaan
kepada anak, mungkin nilai-nilai akhlaq berikut ini patut sekali dipertimabangkan
oleh orang tua untuk ditanamkan kepada anak dan keturunannya, sebagai berikut124:
(1). Silaturrahmi (dari bahasa Arab, shilat al-rahim); Yaitu pertalian rasa
cinta kasih antara sesama manusia, khususnya antara saudara, kerabat, handai taulan,
tetangga, dan seterusnya. Sifat utama Tuhan adalah kasih sayang (rahim, rahmah)
sebagai satu-satunya sifat Ilahi yang diwajibkan sendiri atas Diri-Nya, sebagaimana
diterangkan dalam Firman-Nya dalam al-Qur’an: “Katakanlah: “Kepunyaan
siapakah apa yang ada di langit dan di bumi?” . Katakanlah: “Kepunyaan Allah” .
Dia telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang….”125
Dalam al-Qur’an dan Terjemahnya yang dikeluarkan oleh Departemen Agama
RI halaman 188, disebutkan bahwa ayat di atas maksudnya: Allah telah berjanji
sebagai kemurahan dari-Nya akan melimpahkan rahmat kepada makhluk-Nya.126
Maka menurut Nurcholish Madjid, manusia pun harus cinta kepada sesamanya, agar
Allah cinta kepadanya. “Kasihilah kepada orang di bumi, maka Dia (Tuhan) yang
ada di langit akan kasih kepadamu.” (al-Hadis)
(2). Persaudaraan (ukhuwah); Yaitu semangat persaudaraan, lebih-lebih antara
kaum beriman (biasa disebut ukhuwah Islamiyah) seperti disebutkan dalam al-
124 Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius Membumikan Nilai-nilai Islam dalam Kehidupan
Masyarakat, (Jakarta: Paramadina, 2002), Cet. Ke-2, h. 101-104 125 QS. Al-An’am: 12. 126 Al-Qur’an dan Terjemahnya, Departemen Agama RI, Edisi Revisi, (Bandung: Gema
Risalah Press Bandung, 1992), h. 188
143
Qur’an,127 yang intinya ialah hendaknya kita tidak mudah merendahkan golongan
yang lain, kalau-kalau mereka itu lebih baik daripada kita sendiri; tidak saling
menghina, saling mengejek, banyak berprasangka, suka mencari-cari kesalahan
orang lain, dan suka mengumpat (membicarakan keburukan seseorang yang tidak ada
di depan kita).
(3). Persamaan (al-musawah); Yaitu pandangan bahwa semua manusia, tanpa
memandang jenis kelamin, kebangsaan ataupun kesukuannya, dan lain-lain, adalah
sama dalam harkat dan martabat. Tinggi rendah manusia hanya ada dalam pandangan
Tuhan yang tahu kadar taqwa itu.128 Prinsip ini dipaparkan dalam Kitab Suci sebagai
kelanjutan pemaparan tentang prinsiup persaudaraan di kalangan kaum beriman. Jadi
persaudaraan berdasarkan iman (ukhuwah Islamiyah) diteruskan dengan persaudaraan
berdasarkan kemanusiaan (ukhuwah insaniyah).
(4). Adil (dari perkataan Arab “’adl”; Yaitu wawasan yang “seimbang” atau
“balanced” dalam memandang, menilai atau menyikapi sesuatu atau seseorang, dst.
Jadi Menurut Nurcholish Madjid, tidak apriori menunjukkan sikap positif atau
negatif. Sikap kepada sesuatu atau seseorang dilakukan hanya setelah
mempertimbangkan segala segi tentang sesuatu atau seseorang tersebut secara jujur
dan seimbang, dengan penuh I’tikad baik dan bebas dari prasangka. Sikap iniu juga
disebut tengah (wasath) dan al-Qur’an menyebutkan bahwa kaum beriman dirancang
oleh Allah untuk menjadi golongan tengah (ummat wasath) agar dapat menjadi saksi
127 Q.S. al-Hujurat/49: 10-12 128 QS al-Hujurat/49: 13
144
untuk sekalian umat manusia, sebagai kekuatan penengah (wasath, Indonesia:
“Wasit”).129
(5). Baik sangka (husnu al-Zhan); Yaitu sikap penuh baik sangka kepada
sesama manusia, berdasarkan ajaran agama bahwa manusia itu pada asal dan hakekat
aslinya adalah baik, karena diciptakan Allah dan dilahirkan atas fitrah atau kejadian
asal yang suci. Sehingga manusia itu pun pada hakekat aslinya adalah makhluk yang
berkecenderungan kepada kebenaran dan kebaikan (hanif).
(6). Rendah hati (tawadhu); Yaitu sikap yang tumbuh karena keinsafan bahwa
segala kemuliaan hanya milik Allah, maka tidak sepantasnya manusia “mengklaim”
kemuliaan itu kecuali dengan pikiran yang baik dan perbuatan yang baik, yang itu
pun hanya Allah yang akan menilainya130 Lagi pula, kita menurut Nurcholish Madjid,
harus rendah hati karena “Di atas setiap orang yang tahu (berilmu) adalah Dia Yang
Maha Tahu (Maha Berilmu).”131 Apalagi kepada sesama orang yang beriman, sikap
rendah hati itu adalah suatu kemestian. Hanya kepada mereka yang jelas-jelas
menentang kebenaran kita dibolehkan untuk bersikap “tinggi hati.”132
(7). Tepat Janji (a-wafa); Salah satu sifat orang yang benar-benar beriman
ialah sikap selalu menepati janji bila membuat perjanjian.133 Dalam masyarakat
dengan pola hubungan yang lebih kompleks dan luas, sikap tepat janji lebih-lebih lagi
merupakan unsur budi luhur yang amat diperlukan dan terpuji.
129 Q.S. al-Baqarah/2: 143 130 Q.S. Fathir/35: 10 131 Q.S. Yusuf/12: 76 132 Q.S. al-Maidah/5 : 54 dan Q.S. al-Fath/48: 29 133 Q.S. al-Baqarah/2: 177
145
(8). Lapang dada (insyirah): Yaitu sikap penuh kesediaan menghargai orang
lain dengan pendapat-pendapat dan pandangan-pandangannya, seperti dituturkan
dalam al-Qur’an mengenai sikap Nabi sendiri disertai pujian kepada beliau.134 Sikap
terbuka dan toleran serta kesediaan bermusyawarah secara demokratis terkait erat
sekali dengan budi luhur lapang dada ini.
(9). Dapat dipercaya (al-amanah, amanah); Salah satu konsekuensi iman ialah
amanah atau penampilan diri yang dapat dipercaya. Amanah sebagai budi luhur
adalah lawan dari khianat (khiyanah) yang amat tercela. Keteguhan masyarakat
memerlukan orang-orang para anggotanya yang terdiri dari pribadi-pribadi yang
penuh amanah dan memiliki rasa tanggungjawab yang besar.
(10). Perwira (iffah atau ta’afuf): Yaitu sikap penuh harga diri namun tidak
sombong (jadi tetap rendah hati), dan tidak mudah menunjukkan sikap memelas atau
iba dengan maksud mengundang belas kasihan orang lain dan mengharapkan
pertolongannya.135
(11). Hemat (qana’ah); Yaitu sikap tidak boros (israf) dan tidak pula kikir
dalam menggunakan harta, melainkan sedang (qawam) antara keduanya136. Apalagi
al-Qur’an menggambarkan bahwa orang yang boros adalah teman setan yang
menentang Tuhannya.137
134 Q.S. Ali Imran/3: 159 135 QS. Al-Baqarah/2: 273 136 Q.S. al-Furqan/25: 67 137 Q.S. Ali Imran/3: 17 dan 93
146
(12). Dermawan (al-munfaqin, menjalankan infaq); Yaitu sikap kaum
beriman yang memiliki kesediaan yang besar untuk menolong sesama manusia,
terutama mereka yang kurang beruntung (para fakir miskin dan terbelenggu oleh
perbudakan dan kesulitan hidup lainnya (raqabah) dengan mendermakan sebagian
dari harta benda yang dikaruniakan dan diamanatkan Tuhan kepada mereka. Sebab
manusia tidak akan memperoleh kebaikan sebelum mendermakan sebagian dari harta
nemda yang dicintainya itu.138
Sama halnya dengan nilai-nilai Ketuhanan yang membentuk ketaqwaan
tersebut di muka, nilai-nilai Kemanusiaan yang membentuk akhlak mulia di atas itu
tentu masih dapat ditambah dengan deretan nilai yang banyak sekali. Namun kiranya
yang tersebut di atas itu akan sedikit membantu mengidentifikasi agenda pendidikan
keagamaan dalam rumah tangga juga di luar rumah tangga yang lebih konkret dan
operasional. Sekali lagi, pengalaman nyata orang tua dan pendidik akan
membawanya kepada kesadaran akan nilai-nilai budi luhur lainnya yang lebih relevan
untuk perkembangan anak. Maka faktor eksperimentasi, asalkan disertai ketulusan
niat dan kejujuran memandang masalah, akan sangat penting dalam usaha
menemukan agenda-agenda pendidikan keagamaan untuk anak, dalam rumah tangga,
juga di luar rumah tangga.139
Tanggungjawab pendidikan keagaman ini sungguh amat berat, khususnya atas
orang tua. Karenanya kita hendaknya tidak putus-putus memohon pertolongan kepada
138 Q.S. Al-Furqan/25: 67 139 Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius Membumikan Nilai-nilai Islam dalam Kehidupan
Masyarakat, (Jakarta: Paramadina, 2002), Cet. Ke-2, h. 104
147
Allah untuk memperoleh bimbingan dan petunjuk-Nya. Seperti pengakuan yang lebih
mendalam dalam ajaran kesufian Islam, manusia tidak akan mampu melaksanakan
apa-apa, termasuk melaksanakan perbuatan baik seperti mendidik anak, jika tanpa
bantuan dan bimbingan Allah, karena karena “Tiada daya, tiada pula kemampuan,
kecuali dengan Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Agung (La haula wa La quwwata
illa billahil-‘Aliyyil ‘Azhim).”140
Berikut ini adalah do’a-do’a pendek dari al-Qur’an yang relevan untuk orang
tua yang benar-benar menaruh perhatian kepada pertumbuhan anak-turunnya menjadi
orang-orang yang shaleh:
Oh. Tuhanku, bimbinglah aku agar mampu untuk bersyukur atas karunia-Mu
yang telah Engkau karuniakan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku, dan agar
mampu untuk berbuat baik yang Engkau ridlai. Serta berilah aku kebaikan
(keshalehan) berkenaan dengan anak-turunku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada
Engkau, dan sesungguhnya aku termasuk mereka yang pasrah (kepada Engkau).141
Oh Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang-orang yang pasrah kepada
Engkau, dan juga jadikanlah dari anak turun kami umat yang pasrah kepada
Engkau, serta bimbinglah kami dalam amal-ibadat kami, dan berilah kami taubat,
Sesungguhnya Engkau adalah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.142
140 Ibid., 105 141 Q.S. al-Ahqaf/46: 15 142 Q.S. al-Baqarah/2: 127
148
Oh Tuhanku, jadikanlah aku orang yang menegakkan salat, demikian pula
anak-turunku. Oh Tuhan Kami, terimalah do’a kami ini.143
Doa yang pertama adalah ajaran langsung Allah kepada umat manusia, dalam
rangkaian ajaran-Nya agar manusia selalu hormat dan berbuat baik kepada orang tua,
khususnya kepada ibu. Sedangkan do’a kedua dan ketiga menurut Nurcholish Madjid,
adalah do’a-do’a Nabi Ibrahim, beserta puteranya, Ismail a.s. yang dituturkan dalam
Kitab Suci untuk kita tiru da kita teladani. Semua do’a itu menunjukkan perhatian
atau concern yang mendalam dan tulus kepada pertumbuhan anak-turun agar mereka
semua menjadi manusia yang saleh, beriman dan berbudi luhur.144
Berdasarkan keterangan di atas, maka dapat dipahami bahwa materi
pendidikan agama menurut pandangan Nurcholish Madjid terbagi dua, yaitu materi
Ketuhanan dan materi Kemanusiaan. Dua macam materi pendidikan agama tersebut,
bukan hanya untuk pendidikan agama di lingkungan rumah tangga saja, tetapi juga
untuk di luar lingkungan rumah tangga, seperti di sekolah atau madrasah. Namun di
sini Nurcholish Madjid tidak menjelaskan sistematika pengajarannya dan teknis
penyajiannya. Mungkin Nurcholish Madjid menyerahkan kepada kebijaksanaan
masing-masing pendidik, dengan memperhatikan bahan/materi dan waktu yang
tersedia sesuai dengan jadual yang telah ditetapkannya.
Selanjutnya kedua macam materi tersebut, yaitu materi Ketuhanan dan materi
kemanusiaan itu tidak bisa dipisahkan, sebab satu sama lainnya saling berkaitan.
143 Q.S. Ibrahim/14: 40 144 Lihat Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius Membumikan Nilai-nilai Islam dalam
Kehidupan Masyarakat, (Jakarta: Paramadina, 2002), Cet. Ke-2, h. 106
149
Menurut Nurcholish Madjid, keterkaitan antara taqwa dan akhlaq itu sejajar dengan
keterkaitan antara iman dan amal, antara hubungan dengan Tuhan (habl min Allah)
dan hubungan dengan manusia (habl min al-nas), antara takbir (dalam permulaan
salat, sebagai tanda dimulainya seorang hamba mengadakan hubungan dengan
Tuhan) dan taslim (dalam akhir salat, sebagai tanda dimulainya hubungan yang baik
antar sesama manusia, bahkan sesama makhluk), bahkan antara salat itu sendiri
(sebagai suatu bentuk hubungan dengan Allah) dengan zakat (sebagai suatu bentuk
hubungan kemanusiaan).145
2. 2. Materi Pendidikan Akhlak dan Tasawuf di Madrasah.
Nurcholish Madjid sebagai salah seorang cendekiawan Muslim yang
mempunyai perhatian besar terhadap dunia tasauf akhir-akhir ini di Universitas
Paramadina Mulya. Tasauf ini dikemas sesuai dengan selera zaman mutakhir dengan
slogan tasauf tampil dengan topik-topik seperti :”Metode Menjemput Maut.” Mi’raj
Orang Beriman Menuju Pertemuan dengan Tuhan.” “Kematian, Sebuah Perjalanan
Menuju Tuhan,” dan lain-lain.
Berdasarkan alasan di atas, penulis mengetengahkan materi pendidikan
akhlak dan tasauf di madrasah atau di sekolah menurut pandangan Nurcholish
Madjid. Selain itu, Sufisme menurut Nurcholish Madjid terbatas pada segi-segi yang
praktis, sedangkan segi pendidikan kontemplatifnya sangat kurang. Karena itu
perkataan “Tarekat” (yaitu pilar atau ajaran ber-tasauf yang bersifat praktis) lebih
145 Ibid., h. 107
150
dikenal daripada perkatan tasauf khususnya di kalangan para pengikut awam yang
justru menjadi bagian terbesar dari pengikut tasauf ini.146
Selanjutnya, menurut penilaian Nurcholish Madjid, karena dominasi Fiqh,
seorang anak didik lebih paham, misalnya, syarat dan rukun bagi sah-tidaknya salat,
tanpa dengan mantap mengetahui apa sesungguhnya makna salat itu bagi
pembentukan diri pribadinya, lahir dan batin. Karena dominasi Kalam, ia lebih
mampu, misalnya, bagaimana membuktikan bahwa Tuhan ada, tanpa memiliki
keinsafan yang cukup mendalarn tentang apa makna kehadiran Tuhan (rasa
Ketuhanan dalam kalbu) itu dalam hidup ini. Juga kenyataan bahwa pengajaran
agama di lembaga-lembaga pendidikan kita (sekolah dan madrasah, dari tingkat
paling bawah sampai tingkat paling tinggi), menurut Nurcholish Madjid umumnya
didominasi oleh orientasi lahiriah Fiqh dan Kalam, yakni oleh segi-segi eksoteris.147
Berbeda dengan, misalnya, masyarakat Kristen atau Yahudi masyarakat
Muslim klasik -yaitu yang ada di masa Nabi dan para Khalifah yang bijaksana (a1-
khulafa ar-rasyidin), menurut Nurcholish Madjid adalah suatu keseluruhan yang
homogen dengan kesadaran keagamaan (religiusitas) yang tinggi. Religiusitas mereka
itu melahirkan tingkah laku lahiriah yang penuh dengan budi luhur (al-akhlaq al-
karimah) yang melandasi bangunan masyarakat yang mereka dirikan. Karena itu
masyarakat Muslim klasik itu juga disebut masyarakat etis atau akhlaqi.148
146 Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren, h. 56 147 Ibid.., h. 109 148 Ibid.
151
Namun kemudian muncul Tasawuf sebagai disiplin ilmu tersendiri dalam
Islam. Seperti halnya Fiqh, Kalam dan Falsafah sebagai disiplin-disiplin ilmu,
Tasawuf tumbuh sebagai kelanjutan wajar dari keperluan kepada adanya semacam
diferensiasi ilmu pengetahuan dalam Islam di abad-abad kedua dan ketiga Hijrah.
Menurut Nurcholish Madjid, sebetulnya masyarakat Islam klasik itulah yang
menjadi teladan untuk diwujudkan kembali oleh umat Islam sepanjang sejarah,
termasuk oleh kaum sufi. Peneladanan kepada masyarakat klasik itu melahirkan
konsep Salafiyah (klasisisme). Dari berbagai sumber yang ada, masyarakat Salaf itu
mewujudkan kesatuan tak terpisahkan antara taqwa dan akhlaq, atau antara
religiusitas dan etika. Sebuah Hadits Nabi s.a.w. menyebutkan, "Yang paling banyak
memasukkan orang ke surga ialah taqwa kepada Allah dan keluhuran budi."149
Dari keterangan singkat itu, jelas bahwa Tasawuf tidak bisa dipisahkan dari
keseluruhan agama. Bahkan jika Tasawuf itu adalah disiplin yang lebih berurusan
dengan masalah-masalah inti (batin), maka ia juga berarti merupakan inti keagamaan
(religiusitas) yang bersifat esoteris. Dari sudut ini maka menurut Nurcholish Madjid,
"ilmu" tasawuf tidak lain adalah penjabaran secara nalar (nazar, teori ilmiah) tentang
apa sebenarnya taqwa itu. Dan penjabaran. tentang taqwa itu dikaitkan dengan ihsan
seperti tersebutkan dalam sebuah Hadits, "ihsan ialah bahwa engkau menyernbah
Tuhan seolah-olah engkau melihat-Nya, dan jika engkau tidak melihat-Nya, maka
149 Bulugul al-Maram, Hadits No. 1561, h. 309
152
(engkau harus menyadari bahwa) Dia melihat engkau." Hadits ini sejalan dengan
firman Allah, "Dan sembahlah Tuhanmu sehingga datang kepadamu keyakinan.150
Karena itu pengajaran Tasawuf hendaknya menanamkan ke dalam jiwa anak
didik kesadaran akan hadirnya Tuhan dalam hidup, dan Tuhan selalu mengawasi
segala tingkah laku kita: "Ke mana pun kamu menghadap, maka di sanalah wajah
Tuhan."151 "Dia beserta kamu di mana pun kamu berada, dan Dia mengetahui segala
sesuatu yang kamu perbuat."152 Dari segi ini akan tampak jelas betapa eratnya rasa
Ketuhanan (rabbaniyah), taqwa, ihsan atau religiusitas dengan rasa kemanusiaan
(insaniyah), amal saleh, akhlaq, budi pekerti atau tingkah laku etis. Juga tampak
kaitan antara aspek lahir dan aspek batin, antara eksoterisme dan esoterisisme. Karena bidang garapan Tasawuf berada dalam inti keagamaan itu sendiri,
maka timbul beberapa masalah metodik-didaktik. Menurut Nurcholish Madjid, yang
pertama ialah masalah yang ditimbulkan oleh kenyataan bahwa pengajaran agama di
lembaga-lembaga pendidikan kita (sekolah dan madrasah, dari tingkat paling bawah
sampai tingkat paling tinggi) umumnya didominasi oleh orientasi lahiriah Fiqh dan
Kalam, yakni oleh segi-segi eksoteris.153
Karena dominasi Fiqh, seorang anak didik lebih paham, misalnya, syarat dan
rukun bagi sah-tidaknya salat, tanpa dengan mantap mengetahui apa sesungguhnya
makna salat itu bagi pembentukan diri pribadinya, lahir dan batin. Dan karena
150 Q.S, al-Hijr/15:99 151 Q.S. al-BAqarah/2:115 152 Q..S al-Hadid/57:4 153 Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius Membumikan Nilai-nilai Islam dalam Kehidupan
Masyarakat, (Jakarta: Paramadina, 2002), Cet. Ke-2, h. 106
153
dominasi Kalam, ia lebih mampu, misalnya, bagaimana membuktikan bahwa Tuhan
ada, tanpa memiliki keinsafan yang cukup mendalarn tentang apa makna kehadiran
Tuhan (rasa Ketuhanan dalam kalbu) itu dalam hidup ini.154
Maka persoalan pertama ialah tenaga pengajar itu sendiri. Tidak hanya untuk
kepentingan pengajaran Tasawuf dan Akhlaq, tapi untuk kepentingan pengajaran
agama itu secara keseluruhan, mudak diperlukan tenaga pengajar yang menghayati
makna kesufian itu, yang makna itu -seperti telah dikemukakan- berada disekitar
konsep-konsep taqwa, ihssn, rabbaniyah (rasa Ketuhanan), dan seterusnya.
Adalah para tokoh Tasawuf klasik sendiri yang pertama-tama menyadari
adanya persoalan metodik-didaktik ini. Justru, secara historis, berkembangnya ilmu
Tasawuf sehingga tumbuh menjadi disiplin kajian tersendiri dalam lingkungan ilmu-
ilmu keislaman adalah sedikit banyak marupakan usaha untuk membendung ekses
onientasi lahiriah dari Fiqh dan Kalam. Maka, disebabkan bidang garapan khususnya
itu, dengan sendirinya Tasawuf lebih menekankan urusan batin, tanpa meninggalkan
urusan lahir. Mereka terkenal kaya dengan lukisan-lukisan tentang bagaimana yang
lahir itu terkait-tanpa mungkin dipisahkan- dengan yang batin, dan sebaliknya. Jika
diibaratkan kacang, Tasawuf adalah nilai gizi kacang itu, yang meskipun tak tampak
namun nilai gizi itulah yang membuat kacang berharga. Sebaliknya, kacang yang
kaya dengan gizi akan rusak jika tidak dibungkus oleh kulitnya. Maka yang baru
memerlukan yang lahir, sebagaimana orang yang akan mampu mendaki gunung
(batiniah) dengan sendirinya harus mampu berjalan di tanah datar (lahiriah).
154 Ibid.
154
Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa Nurcholish Madjid
nampaknya menyayangkan kenyataan yang terjadi behwa pengajaran agama di
lembaga-lembaga pendidikan umumnya didominasi oleh orientasi lahiriah fiqih dan
kalam, yakni segi-segi eksoteris. Akibatnya perhatian terhadap aspek tasawuf dan
akhlak terabaikan. Padahal komponen inilah yang menjadi landasan pembangunan
masyarakat Klasik. Lantaran itulah masyarakat Muslim Klasik pada masa Nabi dan
para khalifah yang bijaksana (al-Khulafa al-Rasyidin) disebut masyarakat etis atau
akhlaqi, suatu masyarakat yang mewujudkan kesatuan tak terpisahkan antara taqwa
dan akhlaqi, atau antara religiusitas dan etika.
Dimensi akhlak dan etika merupakan aspek mendasar yang harus mendapat
perhatian cukup serius oleh dunia pendidikan. Sebab masyarakat madani yang dicita-
citakan itu menurut Nurcholish Madjid adalah masyarakat yang berbudi luhur atau
berakhlak mulia. Inilah yang disebut masyarakat yang berperadaban atau
masyarakat madani “Civil Society”.155 Salah satu upaya mempersiapkan kualitas
masyarakat yang beradab adalah adanya perhatian yang cukup serius terhadap aspek
tasauf dan akhlak. Barangkali berangkat dari adagium di ataslah dasar membangun
lembaga pendidikan alternatif yang ideal.
Selanjutnya harus ditemukan cara bagaimana menyadarkan anak didik akan
makna ibadat-ibadat lahiriah, dan apa yang sebenarnya diharapkan dari ibadat-ibadat
itu bagi pembentukan diri pribadinya, yakni akhlaqnya. Dan, sekali lagi, sebagaimana
155 Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren, h. 10
155
juga halnya dengan semua bidang pendidikan, mutu dan kemampuan pengajar akan
sangat menentukan. Dengan menyadari problema-problema di atas, kita bisa memperkirakan
penjenjangan pendidikan atau pengajaran Tasawuf dan Akhlaq di madrasah-madrasah
kita sebagai berikut:156
2. 2. 1. Jenjang Madrasah Ibtidaiyah Sesuai dengan perkembangannya, untuk anak didik tingkat madrasah
ibtidaiyah atau sekolah dasar, yang jelas diperlukan menurut Nurcholish Madjid,
ialah pengetahuan tingkat dasar tentang pokok-pokok agama seperti Rukun Islam dan
Rukun Iman, serta kemampuan untuk melaksanakan secara benar (menurut Fiqh)
ibadat sehari-hari. Tapi itu tidak berarti membiarkan mereka tumbuh dengan orientasi
lahiriah yang akan menghilangkan makna ibadat mereka itu. Sebab, seperti dikatakan
oleh Ibn Atha Allah, "Amal perbuatan (seperti ibadat) adalah gambar-gambar
(lahiriah) yang berdiri tegak, sedangkan jiwa (ruh) amal perbuatan itu ialah adanya
rahasia keikhlasan di dalamnya (Sharh al-Hikam, h. 11).
Jadi penting sekali ditanarnkan sejak masa sangat dini rasa keikhlasan dalam
ibadat dan dalam segala perbuatan yang lain. Berkenaan dengan praktik ibadat itu,
pendidikan keikhlasan ini bias dilakukan, misalnya--dan barangkali terutama--dengan
menanamkan penghayatan yang sedalam mungkin akan arti dan makna bacaan-
bacaan dalam salat. Harus disadarkan kepada anak-anak bahwa salat itu pada
hakikatnya adalah peristiwa yang amat penting bagi dirinya, karena ia merupakan
156 Ibid., h. 110-113
156
kesempatan tawajjuh (menghadap, "sebo", "sowan" atau beraudiensi) dengan Tuhan.
Dan seluruh bacaan di dalamnya dirancang sebagai dialog dengan Tuhan, maka suatu
pengalaman ihsan (menyembah Tuhan seakan-akan melihat-Nya) akan tumbuh pada
jiwa anak. Ini adalah bibit keikhlasan, dan pangkal tolak akhlaq yang mulia, karena
hal itu akan menumbuhkan sikap hidup yang diliputi oleh semangat kehadiran dan
pengawasan Tuhan dalam hidup itu.157 2. 2. 2. Jenjang Madrasah Tsanawlyah
Anak didik pada perkembangan tingkat tsanawiyah belum begitu jauh
berbeda dengan anak didik pada perkembangan tingkat ibtidaiyah. Karena itu, pada
dasamya, pendidikan Tasawuf dan Akhlaq untuk mereka masih merupakan
kelanjutan yang ada pada tingkat sebelumnya. Tapi menurut Nurcholish Madjid,
mungkin pendidikan Tasawuf dan Akhlaq untuk tingkat tsanawiyah ini sudah harus
mulai dikembangkan dengan memperkenalkan konsep-konsep keagamaan yang
mengarah kepada pembentukan pribadi yang kuat, seperti -selain ikhlas yang akan
selalu menempati urutan pertama dan tertinggi- misalnya sabar, tawakkal, inabah,
harapan (raja ', baik sangka kepada Tuhan, tidak kenal putus asa), mawas (khawf,
tidak menganggap, wajar saja [for granted] Tuhan dan kehendak-Nya), taubat,
taqarrub, azm (keteguhan hati), rahmah (cinta kasih kepada sesama), pemaa4
menahan marah, toleran, ramah, dan seterusnya.
157 Ibid.
157
Untuk menopang itu semua, dan sebagai kerangka yang lebih utuh, bisa
diajarkan kutipan-kutipan dari al-Qur'an yang menerangkan tentang berbagai kualitas
orang-orang yang beriman kepada Allah.158
2. 2. 3. Jenjang Madrasah 'Aliyah Karena baik sistem pendidikan secara menyeluruh maupun pendidikan agama
secara khusus selalu berada dalam suatu kontinuitas yang tak terputus-putus, maka
pada jenjang Aliyah ini pun pendidikan Tasawuf dan Akhlaq harus merupakan
kelanjutan wajar yang ada sebelumnya.
Menurut Nurcholish Madjid, pengembangan lebih lanjut diberikan dengan
bertitik tolak dari pemahaman akan makna "nama-nama indah" (al-asma al-husna)
dari Tuhan. Sebab, kita harus menyadari, bahwa nama-nama Tuhan itu dipaparkan
dalam Kitab Suci sebagai petunjuk bagaimana mempersepsi Tuhan: "Tuhan
mempunyai nama-nama vang indah, maka serulah Dia dengan nama-nama itu."159
Seperti diketahui, persepsi manusia tentang Tuhan bisa sangat tidak seimbang (tidak
utuh), karena persepsi itu biasanya amat terpengaruh oleh pengalaman hidup manusia
itu sendiri. Maka, relevan dengan hal ini, para ahli Tasawuf sering mengemukakan
sabda Nabi agar kita meniru kualitas Tuhan, atau meniru akhlaq Tuhan (Ittashiffu bi
shifat-il-Lah, dan Takhalaqu bi akhlaq-i1-Lah).
158 Misalnya Q.S. al-Furqan/25:16 sampai akhir surah, dan Q.S. al-Luqman/31:13-19 159 Q.S. al-A'raf/7:180
158
Tetapi, menurut Nurcholish Madjid, sesuai dengan tingkat perkembangan
anak didik, mungkin pada jenjang lanjutan atas ini segi-segi kognitif tentang Tasawuf
dan Akhlaq harus sudah mulai diperkenalkan. Maka sebaiknya mereka diperkenalkan
dengan sejarah tumbuhnya ilmu Tasawuf. Secara garis besar diperkenalkan kepada
mereka adanya beberapa pemikir besar dalam Tasawuf seperti Ibn 'Arabi, al-Rumi,
Ibn 'Athi' Allah, al-Bisthami, al-Ghazali, at-Hallaj, al-Qushayri, dll. Begitu pula
secara garis besar, sudah bisa diperkenalkan tentang adanya berbagai aliran tarekat
atau persaudaraan sufi, seperti Qadiri, Naqshabandi, Bektashi, Rifa'i, Shadhili,
Shattari, Tijani, dll. Dan yang khusus berkaitan langsung dengan Indonesia, menurut
Nurcholish Madjid, bisa diperkenalkan arti dan kedudukan tokoh-tokoh Tasawuf
Indonesia seperti Syeikh Siti Jenar, al-Raniri, bahkan Ronggowarsito, dll. Mungkin
ada baiknya mereka diajak berwisata ke suatu pusat tarekat.
3. Pembaharuan Pada Aspek Metodologi Studi Islam
Sebelum menjelaskan pembaharuan pada aspek metodologi studi Islam
menurut pandangan Nurcholish Madjid, terlebih dahulu penulis menjelsakn tentang
pengertian metodologi studi Islam, sebagai berikut:
Di kalangan para ahli masih terdapat perbedaan di sekitar permasalahan
apakah studi Islam (agama) dapat dimasukkan ke dalam bidang ilmu pengetahuan,
mengingat sifat dan karakteristik antara ilmu pengetahuan dan agama berbeda.
Dilihat dari segi normatif sebagaimana yang terdapat dalam Al-Qur’an dan
hadis, maka Islam lebih merupakan agama yang tidak dapat diberlakukan kepadanya
159
paradigma ilmu pengetahuan yaitu paradigma analitis, kritis, metodologis, historis
dan empiris. Sedangkan jika dilihat dari segi historis, yakni Islam dalam arti yang
dipraktekkan oleh manusia serta tumbuh dan berkembang dalam sejarah kehidupan
manusia, maka Islam dapat dikatakan sebagai sebuah disiplin ilmu, yakni Ilmu Ke-
Islaman atau Islamic Studis.160
Perbedaan dalam melihat Islam yang demikian itu menimbulkan perbedaan
dalam menjelaskan Islam itu sendiri. Ketika Islam dilihat dari sudut normatif, maka
Islam merupakan agama yang di dalamnya berisi ajaran Tuhan yang berkaitan dengan
urusan akidah dan muamalah.161
Sedangkan ketika Islam dilihat dari sudut historis atau sebagaimana yang
nampak dalam masyarakat, maka Islam tampil sebagai sebuah disiplin ilmu (Islamic
Studies).162 Studi Islam (Islamic Studies) adalah pengetahuan yang dirumuskan dari
ajaran Islam yang dipraktekkan dalam sejarah dan kehidupan manusia. Sedang
pengetahuan agama adalah pengetahuan yang sepenuhnya diambil dari ajaran-ajaran
Allah dan Rasul-Nya secara murni tanpa dipengaruhi sejarah, seperti ajaran tentang
160 Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), Cet.
Ke-28, h. 102 161 Cara melihat Islam sebagai sebuah norma ini misalnya dijumpai pada pemikiran Mahmud
Syaltout yang membagi Islam pada urusan akidah dan muamalah dalam bukunya yang berjudul al-Islam Aqidah wa Syari’ah; dan pada Maulana Muhammad Ali dalam bukunya berjudul Islamologi yang mengatakan bahwa Islam terdiri dari ajaran keimanan yang merupakan pokok, dan ajaran ibadah yang merupakan cabang.
162 Di antara tokoh yang melihat Islam dari sudut historis ini adalah Harun Nasution dan Fazlur Rahman. Dalam bukunya berjudul Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya , Harun Nasution, mengatakan Islam berlainan dengan apa yang umum diketahui, bukan hanya mempunyai satu dua aspek, tetapi mempunyai berbagai aspek. Islam sebenarnya mempunyai aspek teologi, aspek ibadah, aspek moral, aspek mistisisme, aspek filsafat, aspek sejarah, aspek kebudayaan dan lain sebagainya. Sementara itu dalam bukunya berjudul Islam, Fazlur Rahman mengemukakan bahwa Islam memiliki aspek hukum, teologi, syari’ah, filsafat, tasawuf, dan pendidikan.
160
akidah, ibadah, membaca al-Qur’an dan akhlak. Maka muncullah apa yang dikenal
dengan Madrasah Diniyah, yaitu lembaga pendidikan yang secara khusus
mengajarkan pengetahuan agama; Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Aliyah dan
Institut Agama Islam yang di dalamnya diajarkan studi Islam yang meliputi Tafsir,
Hadis, Teologi, Filsafat, Tasawuf, Hukum Islam, Sejarah Kebudayaan Islam dan
pendidikan Islam.163
Selanjutnya studi Islam sebagaimana dikemukakan di atas berbeda pula
dengan apa yang disebut sebagai sains Islam. Sains Islam sebagaimana dikemukakan
Hussein Nasr adalah sains yang dikembangkan oleh kaum Muslimin sejak abad Islam
kedua, yang keadaannya sudah tentu merupakan salah satu pencapaian besar dalam
peradaban Islam. Selama kurang lebih tujuh ratus tahun, sejak abad kedua hingga
kesembilan masehi, peradaban Islam mungkin merupakan peradaban yang paling
produktif dibandingkan peradaban manapun di wilayah sains, dan sains Islam berada
pada garda depan dalam berbagai kegiatan mulai dari kedokteran sampai
astronomi.164 Dengan demikian sains Islam mencakup berbagai pengetahuan modern
seperti kedokteran, astronomi, matematika, fisika dan sebagainya yang dibangun atas
arahan nilai-nilai Islami. Sehingga muncullah Universitas Islam yang di dalamnya
diajarkan berbagai ilmu pengetahuan modern yang bernuansa Islam yang selanjutnya
disebut sains Islam.
163 Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), Cet.
Ke-28, h. 104 164 Sayyid Hussein, Menjelajah Dunia Modern, (terj.) Hasti Tarekat, dari judul asli “A Young
Muslim’s Guide in The Modern Word, (Bandung: Mizan, 1995), Cet. Ke-2, h. 93
161
Sedangkan metodologi berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua suku
kata: “metodos” berarti “cara” atau “jalan”, dan “logos” yang berarti “ilmu”.
Metodologi berarti ilmu tentang jalan atau cara.
Adapun dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa, “Metode”
adalah cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksana kegiatan guna
mencapai tujuan yang telah ditentukan.”165. Seiring dengan itu, Mahmud Yunus
mengatakan, metode adalah :”Jalan yang hendak ditempuh oleh seseorang supaya
sampai kepada tujuan tertentu, baik dalam lingkungan perusahaan atau perniagaan,
maupun dalam kupasan ilmu pengetahuan dan lainnya.”166
Dari dua definisi di atas, dapat dipahami bahwa metode mengandung arti
adanya urutan kerja yang terencana, sistematis dan merupakan hasil eksperimen
ilmiyah guna mencapai tujuan yang telah direncanakan.
Sedangkan Runes, sebagaimana dikutip oleh Mohammad Noor Syam, secara
teknis menerangkan bahwa metode adalah :
1. Sesuatu prosedur yang dipakai untuk mencapai suatu tujuan.
2. Sesuatu teknik mengetahui yang dipakai dalam proses mencapai ilmu
pengetahuan dari suatu materi tertentu.
3. Suatu ilmu yang merumuskan aturan-aturan dari suatu prosedur.167
165 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1995), Edisi ke-2, Cet. Ke-4, h. 652-653 166 Mahmud Yunus, Ilmu Mengajar, (Jakarta: Pustaka Mahmudiyah, 1954), Cet. Ke-1, h. 7 167 Mohammad Noor Syam, Falsafah Pendidikan Pancasila, (Surabaya: Usaha Nasional,
1986), h. 131
162
Berdasarkan pendapat Runes tersebut, bila dikaitkan dengan proses
pendidikan Islam, maka metode berartti suatu prosedur yang dipergunakan
pendidik dalam melaksanakan tugas-tugas kependidikan untuk mencapai tujuan
yang telah ditetapkan (dari si pendidik). Selain itu metode juga dapat berarti
teknik tertentu dalam proses mencari ilmu pengetahuan (dari peserta didik).
Kemudian dapat pula berarti cara yang dipergunakan dalam merumuskan aturan-
aturan tertentu dari suatu prosedur (dari segi pembuat kebijakan).
Berdasarkan asal kata metodologi seperti yang telah dikemukakan
sebelumnya, metodologi adalah ilmu tentang cara atau jalan untuk mencapai
tujuan. Oleh Asmuni Syukir menjelaskan, metodologi adalah “Imu pengetahuan
yang mempelajari tentang cara-cara atau jalan yang ditempuh untuk mencapai
suatu tujuan dengan hasil yang efektif dan efesien.”168 Dengan demikian terdapat
perbedaan sangat tipis antara pengertian metode dengan pengertian metodologi.
Adapun pengertian “studi Islam” adalah pengetahuan yang dirumuskan
dari ajaran Islam yang dipraktekkan dalam sejarah dan kehiudpan manu
Berdasarkan penjelasan tentang pengertian “studi Islam” dan
“metodologi” di atas, maka dapat dipahami, bahwa metodologi studi Islam adalah
Imu pengetahuan yang mempelajari tentang cara-cara atau jalan yang ditempuh
untuk mencapai suatu pengetahuan yang dirumuskan dari ajaran Islam yang
168 Asmuni Syukir, Dasar-dasar Strtegi Da’wah Islamiyah, (Surabaya: Bina Ilmu, 1979), h.
90
163
dipraktekkan dalam sejarah dan kehiudpan manusia dengan hasil yang efektif
dan efesien.
Setelah penulis menjelaskan pengertian metodologi studi Islam,
selanjutnya penulis menjelaskan tentang kedudukan metodologi terhadap
materi/mahan pelajaran dalam pandangan Nurcholish Madjid, sebagai berikut:
Dalam pandangan Nurcholish Madjid, metodologi itu lebih penting dari
pada materi. Pendapat beliau ini sejalan dengan pendapat Prof. Dr. Mahmud
Yunus, alumni pertama Universitas Darul Ulum dari Indonesia, dalam bukunya
al-Tarbiyah wa al-Ta'lim bahwa "al-Thariqat ahammu min al-maddah"
(Metodologi itu sering lebih penting daripada materi atau bahan).169 Begitu juga
sejalan dengan pendapat Mukti Ali, bahwa metodologi adalah masalah yang
sangat penting dalam sejarah pertumbuhan ilmu.170 Selanjutnya Mukti Ali
mengatakan, bahwa yang menentukan dan membawa stagnasi dan masa
kebodohan atau kemajuan bukanlah karena ada atau tidak adanya orang-orang
yang jenius, melainkan karena metode penelitian dan cara melihat sesuatu.171
Berdasarkan keterangan dari Mukti Ali di atas, Abuddin Nata, dalam bukunya
“Metodologi Studi Islam”, mengatakan bahwa untuk mencapai suatu kemajuan,
169 Lihat Nurcholish Madjid, , Orasi pada Ceramah Umum "Metodologi dan Orientasi Studi
Islam Masa Depan” pada tanggal 4 September 2000, yang diselenggarakan oleh Lemabaga Tinggi Penelitian dan Penertiban (LPP) Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Orasi ini ditranskrip dan diedit oleh Muhbib Abdul Wahab dalam JAUHAR (Jurnal Pemikiran Islam Kontekstual), Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Volume 1, No. 1, Desember 2000, h. 1
170 Mukti Ali, Metodologi Ilmu Agama Islam, dalam Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim (Ed.), dalam Metodologi Penelitian Agama Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Tata Wacana Yogya, 1990), Cet. Ke-2, h. 44
171 Ibid., h. 44
164
kejeniusan saja belum cukup, melainkan harus dilengkapi dengan ketepatan
memilih metode yang akan digunakan untuk kerjanya dalam bidang
pengetahuan.172 Metode dan berpikir yang benar tak ubahnya seperti orang
berjalan. Seorang yang lumpuh sebelah kakinya dan tidak dapat berjalan dengan
cepat, tetapi memilih jalan yang benar akan mencapai tujuannya lebih cepat
daripada jago lari yang mengambil jalan terjal lagi berbelok-belok. Betapapun
cepatnya jago lari itu, ia akan datang datang terlambat padatempat yang dituju,
sedangkan orang yang lumpuh sebelah kakinya yang memilih jalan yang benar
akan akan sampai kepada tujuan dengan segera. Dari contoh ini semakin terlihat
tentang pentingnya metode dalam melaksanakan suatu kegiatan. Metode yang
tepat adalah masalah yang pertama yang harus diusahakan dalam pelbagai cabang
ilmu pengetahuan. Kewajiban pertama bagi setiap peneliti adalah memilih metode
yang paling tepat untuk riset dan penelitiannya.173
Selanjutnya untuk memperkuat pendapatnya tentang sangat pentingnya
metodologi tersebut, Nurcholish Madjid mengutip pendapat Mahmud Yunus
bahwa seorang guru yang mempunyai penguasaan metodologi yang baik,
sekalipun bahannya kurang, pasti akan lebih mampu mantransfer pengetahuan
lebih efektif dari pada seorang guru yang menguasai begitu banyak bahan/materi
tetapi tidak tahu metodologi. Juga Nurcholis Madjid mengibaratkan metodologi
172 Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), Cet.
Ke-28, h. 100 173 Lihat Sayyed Hossein Nasr, Menjelajah Dunia Modern, (terj.) Hasti Tarekat, dari judul
asli A Young Muslims Guide in The Modern Word, (Bandung: Mizan, 1995), Cet. Ke-2, h. 46
165
itu dengan SDM sebuah negara, dan mengibaratkan materi dengan SDA (Sumber
Daya Alam).
Menurut Nurcholish Madjid, demikian pula sebuah negara jauh lebih terjamin
mencapai kekuatannya dalam berbagai bidang jika SDM-nya unggul meskipun
SDA (Sumber Daya Alam)-nya kurang. Kasus Jepang, Korea Selatan, Taiwan,
Hongkong dan Singapura dapat dijadikan sebagai contoh. Sebaliknya sebuah
negara yang kaya SDA tetapi miskin SDM akan sulit mencapai kemajuan, seperti
negara kita. Dahulu negara kita diposisikan sebagai negara paling kaya setelah
Amerika Serikat, dan Uni Sovyet. Setelah Uni Sovyet bubar, negara kita
menempati posisi kedua setelah Amerika. Akan tetapi, mengapa tingkah laku,
kekayaan dan kemampuan kita dalam mengelola negara begitu rendah sehingga
perilaku kita seperti negara mini. Jika kita baca majalah Time edisi Millenium,
kita akan menyadari betapa kita telah kalah jauh dengan Singapura. Dalam
majalah tersebut dijumpai sederetan tokoh-tokoh yang berpengaruh, di antaranya
adalah Lie Kwan Youw. Tokoh inilah, menurut majalah Time, yang telah
membuat negara mini menjadi negara raksasa (Singapura). Hal itu tidak lain
disebabkan oleh SDM yang unggul atau karena metodologi yang canggih. Jadi
metodologi itu, seperti ungkapan Mahmud Yunus, memang lebih penting dari
pada materi/bahan.174
174 Lihat Nurcholish Madjid, , Orasi pada Ceramah Umum "Metodologi dan Orientasi Studi
Islam Masa Depan” pada tanggal 4 September 2000, yang diselenggarakan oleh Lemabaga Tinggi Penelitian dan Penertiban (LPP) Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Orasi ini ditranskrip dan diedit oleh Muhbib Abdul Wahab dalam JAUHAR (Jurnal Pemikiran Islam
166
Selanjutnya menurut Nurcholish Madjid, :”Akan tetapi, jika seseorang dapat
mensinergikan antara metodologi dengan materi/bahan, maka ibarat negara, hasil
perpaduan itu akan melahirkan seperti negara Amerika, Super Power . Amerika
adalah negara yang tidak hanya kaya sumber daya alam, melainkan juga unggul
dalam SDM.”175
Nurcholish Madjid memberikan banyak perspektif mengenai metodologi
studi Islam. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa umat Islam kini banyak
kehilangan perspektif sejarah dan sosial dalam memahami Islam. Umat Islam
cenderung bersikap dan berpikir normatif, sehingga pola pemahaman dan
pengamalan Islamnya kemudian cenderung dogmatis dan formalistik. Oleh karena
itu, dalam pembahasan ini penulis menjelaskan beberapa pendekatan atau
metodologi studi Islam dalam pandangan Nurcholish Madjid, sebagaimana
disebutkannya pada buku jurnal “JAUHAR” Program Pascasarjana IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta Volume 1 No. 1 Desember tahun 2000, sebagai berikut:
a. Pendekatan Antropologis dan Sosiologis.
Pendekatan antropologis dalam memahami agama dapat diartikan sebagai
salah satu upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktek
keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Melalui pendekatan
ini agama nampak akrab dan dekat dengan masalah-masalah yang dihadapi
Kontekstual), Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Volume 1, No. 1, Desember 2000, h. 2
175 Ibid., h. 3
167
manusia dan berupaya menjelaskan dan memberikan jawabannya.176 Dengan kata
lain bahwa cara-cara yang digunakan dalam disiplin ilmu antropologi dalam
melihat suatu masalah digunakan pula untuk memahami agama. Antropologi
dalam kaitan ini sebagaimana dikatakan Dawam Rahardjo, lebih mengutamakan
pengamatan langsung, bahkan sifatnya lebih partisipatif. Dari situ timbul
kesimpulan-kesimpulan yang sifatnya induktif yang mengimbangi pendekatan
deduktif sebagaimana digunakan dalam pengamatan sosiologis. Penelitian
antropologis yang induktif dan grounded, yaitu turun ke lapangan tanpa berpijak
pada, atau setidak-tidaknya dengan upaya membebaskan diri dari kungkungan
teori-teori formal yang pada dasarnya sangat abstrak sebagaimana yang dilakukan
di bidang sosiologi dan lebih-lebih ekonomi yang mempergunakan model-model
matematis, banyak memberi sumbangan kepada penelitian historis.177
Dengan demikian pendekatan antropologis sangat dibutuhkan dalam
memahami agama, karena dalam ajaran agama tersebut terdapat uraian dan
informasi yang dapat dijelaskan lewat bantuan ilmu antropologi dengan cabang-
cabangnya.
176 Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), Cet.
Ke-28, h. 35 Ibid., h. 3 177 M. Dawam Rahardjo, “Pendekatan Ilmiah Terhadap Fenomena Keagamaan” dalam M.
Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim, Metodologi Penelitian Agama, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990), Cet. Ke-2, h. 19
168
Selanjutnya sosiologi178 dapat digunakan sebagai salah satu pendekatan
dalam memahami agama. Hal demikian dapat dimengerti, karena banyak bidang
kajian agama yang baru dapat dipahami secara proposional dan tepat apabila
menggunakan jasa bantuan dari ilmu sosiologi. Dalam agama Islam dapat
dijumpai peristiwa Nabi Yusuf yang dahulu budak lalu akhirnya bisa jadi
penguasa di Mesir. Mengapa dalam melaksanakan tugasnya Nabi Musa harus
dibantu oleh Nabi Harun, dan masih banyak lagi contoh lain. Beberapa peristiwa
tersebut baru dapat dijawab dan sekaligus dapat ditemukan hikmahnya dengan
bantuan ilmu sosial. Tanpa ilmu sosial peristiwa-peristiwa tersebut sulit pula
dipahami maksudnya. Di sinilah letaknya sosiologi sebagai salah satu alat dalam
memahami ajaran agama.
Menurut Nurcholish Madjid, masalah utama SDM yang kita hadapi adalah
memahami masyarakat dan lingkungan kita, dan dalam kaitan ini ada ayat-ayat yang
sering dikutip oleh orang Muhammadiyah, sebagai berikut:
اخلري ويأمرون باملعروف وينهون عن إىل منكم أمة يدعون ولتكن
).١٠٤: آل عمران. (املنكر وأولئك هم املفلحون
178 Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hidup bersama dalam masyarakat, dan
menyelidiki ikatan-ikatan antara manusia yang menguasai hidupnya itu. Sosiologi mencoba mengerti sifat dan maksud hidup bersama, cara terbentuk dan tumbuh serta berubahnya perserikatan-perserikatan hidup itu serta pula kepercayaannya, keyakinan yang memberi sifat tersendiri kepada cara hidup bersama itu dalam tiap persekutuan hidup manusia. Lihat Hasan Shadily, Sosiologi untuk Masyarakat Indonesia, (Jakarta: Bina Aksara, 1983), Cet. Ke-IX, h. 1
169
Artinya: "Dan hendaknya diantara kamu ada umat yang menyeru kepada al-khayr,amar
ma'ruf dan nahi munkar, dan mereka itulah orang-orang yang bahagia." (QS. Ali
Imran (3): 104).
Dalam Tafsir al-Maraghi dijelaskan, bahwa setelah Allah SWT
memerintahkan kaum Mukminin pada ayat-ayat terdahulu, yaitu perintah
menyempurnakan jiwa dan membersihkannya dari kotor dan najis yang
mengeruhkanya, dengan beramal, bertaqwa kepada Allah dan memelihara
keikhlashan terhadap Allah hingga mati, serta berpegang teguh pada kitab-Nya
dengan mengikuti ajarannya, dan berjalan pada sunnah rasul-Nya di saat hawa nafsu
menguasai mereka, dan pendapat-pendapat yang saling bertentangan. Pada ayat ini
Allah memerintahkan mereka agar melakukan penyempurnaan terhadap selain
mereka, yaitu anggota-anggota umat dan menghimbau agar mengikuti perintah-
perintah syari’at serta meninggalkan larangan-larangan-Nya, sebagai pengakuan
terhadap mereka demi terpeliharanya hukum-hukum dan dalam rangka memelihara
syari’at dan undang-undang.179
Dalam Tafsir al-Maraghi pula disebutkan, bahwa yang dimaksud al-ummah
pada ayat di atas adalah segolongan yang terdiri dari banyak individu yang antara
179 Lihat Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Terjemahan Bahrun Abu Bakar, Lc,
dkk., (Semarang: Toha Putra, 1993), Jilid 4, Cet. Ke-2, h. 35.
170
mereka terdapat ikatan yang menghimpun, dan persatuan yang membuat mereka
seperti organ dalam satu tubuh. Sedangkan al-khair adalah sesuatu yang di dalamnya
terkandung kebaikan bagi umat manusia dalam masalah agama dan duniawi. Dalam
tafsir al-Maraghi juga disebutkan, bahwa kata al-ma’ruf adalah apa yang dianggap
baik oleh syari’at dan akal, dan kata al-munkar adalah lawan katanya.180
Kata Nurcholish Madjid, sengaja tidak diterjemahkan ungkapan-ungkapan al-
Qur’an tentang kewajiban kaum Muslim dalam surah Alu Imran/3:104 di atas, karena
masing-masing istilah tersebut – al-khayr, ‘amar ma’ruf dan nahyi munkar- sarat dan
padat dengan makna yang tidak mudah dipindahkan ke bahasa lain. Setiap usaha
pemindahannya ke bahasa lain melalui terjemahan tentu melibatkan suatu komponen
makna, sehingga setiap usaha penerjemahan itu tidak selalu tepat maknanya. Seperti
misalnya, terjemah “al-khayr” menjadi “kebajikan” (dalam Tafsir Departemen
Agama), “kebaikan” (Tafsir Mahmud Yunus), atau malah “bakti” (Tafsir al-Furqan,
A. Hasan). Menurut Nurcholish Madjid, masing-masing kata mempunyai
keabsahannya sendiri, namun tidak secara sempurna telah membawakan makna al-
khayr. Rasyid Ridha dalam Tafsir al-Manar yang sangat terkenal menjelaskan bahwa
al-khayr dalam firman itu, yang dimaksud adalah al-islam dalam makna generiknya
yang umum dan universal, yaitu agama semua Nabi dan Rasul sepanjang zaman.181
Menurut Nurcholish Madjid, Firman tersebut jika redaksinya dijadikan dalam
bentuk mashdar, maka berbunyi: "al-da'wah ila al-khair; al-amr bi al-ma'ruf; dan al-
180Ibid, h. 34 181 Lihat Nurcholish Madjid, Cendekiawan & Religiusitas Masyarakat, Kolom-Kolom di
Tabloid Tekad, (Jakarta: Paramadina, 1999), h. 111
171
nahy 'an al-munkar." Yang hendak digarisbawahi di sini adalah bahwa kata "ma'ruf"
dan "al-khair" kedua-duanya biasa diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan
"kebaikan". Akan tetapi, kedua kata tersebut tentu tidak berkonotasi sama. "al-khair"
adalah kebaikan universal, suatu kebaikan pada dataran yang paling tinggi, dan
karena itu berlaku untuk segala ruang dan waktu. Sedangkan "al-ma'ruf", bila ditinjau
dari segi bahasa, yaitu berasal dari "'arafa-ya'rifu", termasuk 'urf (adat, kebiasaan),
berarti kebaikan seperti diakui oleh manusia dalam ruang dan waktu tertentu. Dengan
kata lain, "al-ma'ruf" dapat diterjemahkan sebagai "sesuatu yang diakui sebagai
baik". Oleh karena itu, menurut Nurcholish Madjid dalam bahasa lain, "al-khair"
adalah kebaikan normatif, sedangkan "al-ma'ruf" adalah kebaikan historis-
operasional. Selanjutnya menurut Nurcholish Madjid, kita tidak akan dapat
mengamalkan ayat tersebut kalau kita tidak memahami masyarakat. Jadi, apa yang
dikehendaki oleh masyarakat dan dipersepsi sebagai baik, tidak berarti kita menyerah
total kepada masyarakat, melainkan dengan berpijak pada apa yang ada dalam
masyarakat itu, kita dapat menarik sedemikian rupa kepada al-khair. Dalam konteks
ini, kaedah ushuliyyah: "al-'adat muhakkamah" ada relevansinya. Bahkan adat itu
dijadikan sebagai sumber dalam menetapkan hukum.182
182 C. Snouck Hurgronje dalam hal ini telah berbuat suatu yang sangat merugikan kita karena
dia telah memisahkan antara hukum Islam dan hokum adat. Padahal dalam persepsi Islam, tidak ada pemisahan tersebut. Hukum adat yang memang jelas-jelas tidak bertentangan dengan Islam dapat diakomodasikan ke dalam hukum Islam (muhakkamah) . Lihat Nurcholish Madjid, , Orasi pada Ceramah Umum "Metodologi dan Orientasi Studi Islam Masa Depan” pada tanggal 4 September 2000, yang diselenggarakan oleh Lemabaga Tinggi Penelitian dan Penertiban (LPP) Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Orasi ini ditranskrip dan diedit oleh Muhbib Abdul Wahab dalam JAUHAR (Jurnal Pemikiran Islam Kontekstual), Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Volume 1, No. 1, Desember 2000, h. 5
172
Hal tersebut, berarti bahwa kita akan dapat mengamalkan ayat tersebut di
atas, kalau kita memahami keadaan dan kondisi masyarakat dan serta situasi
lingkungannya. Oleh karena itu menurut Nurcholish Madjid, kita harus mempelajari
keadaan manusia, yang dalam disiplin keilmuan modern, berada di sekitar disiplin
sosiologi, antropologi, dan yang lebih penting lagi adalah sejarah. Kita tidak mungkin
bisa melakukan al-amr bi al-ma'ruf kalau tidak mengerti sejarah, tidak mengetahui
keadaan masyarakat kita, serta situasi dan kondisi yang ada sekarang ini. Singkatnya,
al-khair adalah kebaikan universal yang normatif.
Menurut pandangan Nurcholish Madjid, menutup aurat adalah suatu kebaikan
universal normatif. Di mana dan kapan saja kita harus menutup aurat. Bahkan kalau
kita perhatikan bagaimana Allah menurunkan pakaian, maka salah satu tujuannya
adalah menutupi aurat.
Akan tetapi, kita kemudian berhadapan denga masalah al-'urf (adat kebiasaan)
berkaitan dengan aurat tersebut. Jadi, ada suatu kebaikan normatif, tetapi ketika
hendak diterjemahkan ke dalam ruang dan waktu, di situ muncul persoalan.183
Perhatikanlah kasus di pesantren Darul Ulum! Pada waktu itu, tidak ada orang yang
berani shalat di masjid dengan menggenakan celana. Memakai celana saat itu haram.
Kata Nurcholish Madjid: “KH. Ridwan Cholil-teman ayah saya, bahkan menjadi ipar-
bersikap sangat keras. Menurutnya, orang yang bershalat dengan menggenakan
183 Kata Nurcholish Madjid, :”Sebagai contoh, saya adalah teman Gus Dur (KH. Abdurrahman
Wahid), presiden RI sekarang). Saya sama-sama dari Jombang, dan juga sama-sama dari pesantren. Begitu tamat SR (Sekolah Rakyat), saya pun belajar di pesantren, yaitu Darul 'Ulum di Rejoso.” Ibid., h. 6
173
celana adalah Belanda, apalagi yang tidak mengenakan peci. Sebab dalam suatu hadis
dijelaskan bahwa kriteria perawi yang hadis yang dipercaya adalah tidak membuka
kepala di depan umum. Karena itu, sangat logis bahwa santri-santri di Rejoso saat itu
tidak ada yang berani membuka kopyah (peci).”184
Jadi, waktu itu (tahun 1950-an) menurut Nurcholish Madjid, memakai celana
dan melepas kopyah di masjid adalah munkar, tetapi kalau sekarang kita pergi ke
pesantren Darul Ulum Rejoso, boleh dikata hampir tidak ada lagi yang memakai
sarung. Hampir semuanya kini telah memakai celana, apalagi di pesantren itu ada
sekolah-sekolah yang modern seperti SMU Teladan dan sebagainya, jelas kita tidak
akan mendapati orang yang bercelana dan berkopyah. Dengan demikian, sekarang
memakai celana dan melepas kopyah menjadi ma'ruf, disebabkan oleh pergeseran
waktu.
Menurut Nurcholish Madjid, sekali lagi, kita tidak akan mempu melakukan
amar ma'ruf nahi munkar kalau kita tidak tahu persoalan-persoalan di sekitar kita.
Jika kita tidak tahu persoalan di sekitar kita, lalu kita lompat kepada al-khair,
akibatnya kita tampil menjadi orang-orang yang ekstrem, karena tidak menyadari
proses-proses yang terjadi dalam masyarakat, lalu kita juga menjadi dogmatis.
Mengacu kepada sosiologi, menurut Nurcholish Madjid, pada dasarnya
keduanya al-ma’ruf dan al-munkar menunjuk kepada kenyataan bahwa kebaikan dan
184 Kata Nurcholish Madjid, :”Jika saya berkunjung ke Rejoso, maka saya harus mencari mushalla untuk ganti celana denga sarung dan harus memakai peci. Jika nanti pulang, karena rumah saya tidak jauh dari Darul 'Ulum dan bisa ditempuh dengan naik sepeda, maka saya pun kembali mencari mushalla untuk ganti sarung dengan celana dan lepas kopyah. Seperti halnya orang Saudi atau orang Iran jika ke luar negeri, maka mereka tidak lagi pakai gamis, melainkan memakai celana, baik laki maupun perempuan.” Ibid.
174
keburukan yang ada dalam masyarakat itu, kemudian mendorong, memupuk dan
memberanikan diri kepada tindakan-tindakan kebaikan, dan pada waktu yang sama
mencegah, menghalangi dan menghambat tindakan-tindakan keburukan.185
Trilogi menyeru kepada al-khayr, ‘amar ma’ruf dan nahy-i munkar menurut
Nurcholish Madjid, merupakan pusat perjuangan umat Islam sepanjang sejarah.
Trilogi inilah yang menjadi dasar keunggulan umat Islam atas umat lain, sehingga
mereka pun disebut sebagai “yang beruntung, yang menang atau bahagia” (al-
muflihun, dalam ayat di atas). Namun semua ini tidak dapat disikapi secara “taken for
granted.” Karena yang pertama dari trilogi itu, yaitu seruan kepada al-khayr,
menuntut kemampuan umat Islam-melalui para pemimpinnya-untuk dapat memahami
nilai-nilai etis dan moral yang universal, yang berlaku di setiap zaman dan tempat.
Tanpa kemampuan ini, menurut Nurcholish Madjid, kita tidak akan mempunyai
pedoman yang jelas, yang menjadi tuntunan dan bimbingan kita dalam menghadapi
masa depan.186
Sedangkan yang kedua dari trilogi itu, yaitu ‘amar ma’ruf, menuntut
kemampuan memahami lingkungan hidup sosial, politik dan kultural-lingkungan
yang menjadi wadah terwujudnya al-khayr secara konkret, dalam konteks ruang dan
waktu (contohnya yang sedikit karikatural: dahulu celana panjang sebagai sarana
penutup aurat pernah merupakan barang munkar,, namun sekarang sudah dapat
185 Lihat Nurcholish Madjid, Cendekiawan & Religiusitas Masyarakat, Kolom-Kolom di
Tabloid Tekad, (Jakarta: Paramadina, 1999), h. 113 186 Ibid.
175
diterima sebagai “baik-baik” saja-yakni, ma’ruf-dan yang serupa celana itu cukup
banyak analoginya sekarang ini).187
Menurut Nurcholish Madjid, di sini juga perlu diperhatikan lingkungan dalam
konteks ruang dan waktu yang menjadi wadah bagi terjadinya keburukan nyata, yang
beroperasi dalam masyarakat. Lingkungan buruk akan menjadi wadah bagi al-
munkar, sehingga masyarakat bersangkutan mungkin akan terkena wabah dosa dan
kezaliman. Karena itu menurut Nurcholish Madjid, yang ketiga dari trilogi
perjuangan Islam adalah nahy-i munkar yang menuntut kemampuan kita umat Islam
mengidentifikasi faktor-faktor lingkungan hidup kultural, sosial dan politik, juga
ekonomi, yang kiranya akan menjadi wadah bagi munculnya perangai, tindakan dan
perbuatan yang berlawanan dengan hati nurani (tindakan yang tidak ma’ruf),
kemudian diusahakan untuk mencegah dan menghambat pertumbuhan lingkungan
itu.188
Pemahaman terhadap lingkungan dalam arti seluas-luasnya ini merupakan
fungsi ilmu, termasuk sains. Sedangkan sikap membenarkan dan menerima al-khayr
merupakan fungsi dari iman dan komitmen batin, karena itu tidak mungkin tanpa
tawhid dan taqwa kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa, dan dasar seluruh kegiatan
yang benar.189
b. Pendekatan Historis
187 Ibid. 188 Ibid., h. 114 189 Ibid.
176
Menurut Nurcholish Madjid, persoalan sejarah merupakan titik paling lemah
dari umat Islam, padahal al-Qur'an itu penuh dengan perintah supaya kita
mempelajari sejarah.190 Sehingga menurut Nurcholish Madjid, kita harus mempelajari
keadaan manusia, yang dalam disiplin keilmuan modern, berada di sekitar disiplin
sosiologi, antropologi, dan yang lebih penting lagi adalah sejarah. Kita tidak mungkin
bisa melakukan al-amr bi al-ma'ruf kalau tidak mengerti sejarah.191
Sejarah atau historis adalah suatu ilmu yang di dalamnya dibahas berbagai
peristiwa dengan memperhatikan unsur tempat, waktu, obyek, latar belakang, dan
pelaku dari peristiwa tersebut. Menurut ilmu ini segala persitiwa dapat dilacak
dengan melihat kapan peristiwa itu terjadi, di mana, apa sebabnya, siapa yang terlibat
dalam peristiwa tersebut.192
Pendekatan kesejarahan ini amat dibutuhkan dalam memahami agama, karena
agama itu sendiri turun dalam situasi yang konkret bahkan berkaitan dengan kondisi
sosial kemasayakatan. Dalam hubungan ini Kontowijoyo telah melakukan studi yang
190 Kata Komaruddin Hidayat, “Bagi Caknur, melakukan kritik historis terhadap perilaku Nabi dan para sahabat bukanlah hal yang tabu. Kesalahan apapun yang pernah dilakukan para sahabat, dan bahkan mungkin Nabi Muhammad sendiri sebagai seorang manusia, sama sekali tidak akan menodai dan merendahkan ajaran dasar islam karena Islam memang tidak memiliki obsesi bagi terwujudnya sebuah masyarakat suci (monastic and sacred society), melainkan historical society, dengan segala sifat kemanusiaannya. Oleh karena itu meskipun Caknur kritis terhadap Hadis-hadis yang dianggap lemah sanadnya, semua itu tetap dihargai sebagai kekayaan khazanah peradaban Islam yang turut serta memelihara dan menghidupkan api Islam yang menerangi perjalanan ummatnya. Komitmen etis para sahabat dan ulama-ulama Klasik yang senantiasa menjaga kesalehan individu dan kesalehan sosial inilah yang harus selalu dihidupkan ruhnya karena pesan akhir dari Islam dalam konteks historis adalah bermuara pada upaya mewujudkan amal saleh. Semua kisah-kisah dalam kitab suci dan pesan tersembunyi dibalik peristiwa penting dalam Islam selalu saja menyuarakan pesan etis. Lihat Komaruddin Hidayat, “Kata Pengantar,” dalam Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban, Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam Dalam Sejarah, (Jakarta: Paramadina, 2000), Cet. Ke-2, h. xvii
191 Ibid. 192 Lihat Taufik Abdullah (Ed.), Sejarah dan Masyarakat, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987), h.
105
177
mendalam terhadap agama yang dalam hal ini Islam, menurut pendekatan sejarah.
Ketika ia mempelajari al-Qur’an, ia sampai pada suatu kesimpulan bahwa pada
dasarnya kandungan al-Qur’an itu terbagi menjadi dua bagian. Bagian pertama, berisi
konsep-konsep, dan bagian kedua berisi kisah-kisah sejarah dan perumpamaan.
Selanjutnya jika pada bagian yang berisi konsep-konsep, al-Quran membentuk
pemahaman yang komprehensif mengenai nilai-nilai Islam, maka pada bagian kedua
yang berisi kisah-kisah dan perumpamaan, al-Qur’an ingin mengajak dilakukannya
perenungan untuk memperoleh hikmah. Melalui kontemplasi terhadap kejadian-
kejadian atau peristiwa-peristiwa hsitoris, dan juga melalui metafor-metafor yang
berisi hikmah tersembunyi, manusia diajak merenungkan hakikat dan makna
kehidupan. Banyak sekali ayat yang berisi ajakan semacam ini, tersirat maupun
tersurat, baik menyangkut hikmah historis ataupun menyangkut simbol-simbol.
Misalnya simbol tentang rapuhnya laba-laba, tentang luruhnya sehelai daun yang tak
lepas dari pengamatan Tuhan, atau tentang keganasan samudera yang menyebabkan
orang-orang kafir berdo’a.193
Melalui pendekatan sejarah ini seorang diajak untuk memasuki keadaan yang
sebenarnya berkenaan dengan penerapan suatu peristiwa. Dari sini, maka seseorang
tidak akan memahami agama keluar dari konteks historisnya, karena pemahaman
demikian itu akan menyesatkan orang yang memahaminya. Seseorang yang ingin
memahami al-Qur’an secara benar misalnya, yang bersangkutan harus mempelajari
193 Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 1991), Cet. Ke-
1, h. 328
178
sejarah turunnya al-Qur’an atau kejadian-kejadian yangh mengiringi turunnya al-
Qur’an yang selanjutnya disebut Ilmu Asbab al-Nuzul (Ilmu tentang sebab-sebab
turunnya ayat al-Qur’an) yang pada intinya berisi sejarah turunnya ayat al-Qur’an.
Dengan Ilmu Asbab al-Nuzul ini seseorang akan dapat mengetahui hikmah yang
terkandung dalam suatu ayat yang berkenaan dengan hukum tertentu, dan ditujukan
untuk memelihara syari’at dari kekeliruan memahaminya.194
Menurut Nurcholish Madjid, banyak ayat yang perlu direnungkan berkaitan
dengan hal tersebut di atas. Dalam banyak hal beliau tidak setuju dengan Ibn Hazm
yang terlalu banyak menasah ayat al-Qur'an hingga berjumlah 400 ayat.195 Menurut
Nurcholish Madjid, ada satu ayat yang oleh Ibn Hazm dianggap mansukh, padahal
sebetulnya tidak, yaitu bagian kedua dari ayat perang. Selama 13 tahun di Mekkah,
Rasulullah tidak diizinkan berperang. Sesampai di Madinah, Rasul mendambakan
194 Manna’ al-Qththan, Mabahits fi Ulum al-Qur’an, (Mesir: Dar al-Ma’arif, 1977), h. 79 195Lafal nasikh terdapat dalam al-Qur’an. Konteks ayat yang mengandung lafal tersebut
mengisyaratkan adanya nasikh (penghapusan, pembatalan dalam al-Qur’an. Dari segi etimologi, kata nasikh berarti pembatalan, penghapusan, pemindahan dari satu wadah ke wadah lain serta pengubahan. Sesuatu yang membatalkan, menghapus, memindahkan disebut nasikh, sedangkan yang dibatalkan, dihapus, dipindahkan disebut mansukh. Para ulama sepakat tentang ditemukannya nuansa ikhtilaf dalam arti kontradiksi dalam kandungan ayat-ayat al-Qur’an. Dalam menghadapi ayat-ayat yang sepintas dinilai mengandung kontradiksi, mereka berusaha memadukannya. Pemaduan tersebut oleh satu pihak ditempuh tanpa menyatakan adanya ayat yang dibatalkan, dihapus atau tak berlaku lagi, dan ada pula yang menyatakan bahwa ayat yang turun kemudian telah membatalkan ayat yang sebelumnya disebabkan perubahan kondisi sosial. Adapun secara terminologi, menurut ulama mutaqaddimin abad ke 3 Hijriyah memperluas arti nasikh hingga mencakup hal-hal berikut: Pertama , pembatalan hukum yang ditetapkan terdahulu oleh hukum yang ditetapkan kemudian. Kedua , pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang bersifat khusus yang datang kemudian. Ketiga, penjelasan yang datang kemudian terhadap hukum yang bersifat samar. Keempat, penetapan syarat terhadap hukum terdahulu yang belum bersyarat. Pengertian yang demikian luas, dipersempit oleh ulama muta’akhirin (ulama yang datang kemudian) nasikh terbatas pada ketentuan hukum yang datang kemudian, guna membatalkan, mencabut atau menyatakan berakhirnya masa berlaku hukum yang terdahulu, sehingga ketentuan hukum yang berlaku dalah yang ditetapkan terakhir.Lihat Muhammad Chirzin, al-qur’an & Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa 1998), h. 40
179
izin dari Allah untuk berperang, tetapi Islam belum mempunyai banyak kekuatan,
lalu turunlah ayat sebagai berikut: ).٣٩: احلج(رهم لقدير ظلموا وإن اهللا على نصبأم للذين يقاتلون أذن
Artinya:
"Telah diizinkanlah (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena
sesungguhnya mereka telah dianiaya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuasa
menolong mereka itu." (QS. al-Hajj (22): 39). حق إال أن يقولوا ربنا اهللا ولو ال دفع اهللا الناس بعـضهم بغري ديارهم أخرجوا من الذين
وبيع وصلوات ومساجد يذكر فيها اسم اهللا كثريا، ولينـصرن اهللا صوامعببعض هلدمت
٤٠: احلج. ( لقوي عزيزاهللامن ينصره إن
Artinya: "(Yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampong halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali mereka berkata: "Tuhan kami adalah Allah." Sekiranya. Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia terhadap sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat (sinagoge) orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa." (QS. al-Hajj (22): 40).
180
Ayat tersebut, menurut pandangan Nurcholish Madjid, mengandung
pengertian bahwa orang-orang yang digusur tanpa alasan yang benar itu berhak
mengangkat senjata.
Pendapat Nurcholish Madjid tersebut sejalan dengan penjelasan Syaikh
Nawawi al-Bantani, bahwa ayat tersebut merupakan ayat yang pertama kali
mengizinkan umat Islam untuk berperang melawan orang-orang kafir yang telah
menganiaya umat Islam dengan diusir dari Makkah dengan tanpa sebab yang dapat
dibenarkan, kecuali menegakkan kalimat Tauhid.196 Dengan demikian menurut
pendapat penulis, umat Islam diperbolehkan berperang apabila diusir dari tempat
sendiri atau disakiti, dianiaya/dizolimi oleh umat lain. Namun apabila umat lain itu
tidak menganiaya, tidak menbgusir atau tidak menyakiti atau tidak mengganggu umat
Islam, maka umat Islam tidak boleh mengganggu mereka apalagi memeranginya.
Bahkan menurut Nurcholish Madjid, perang dalam Islam itu adalah untuk
melindungi seluruh agama. Mengapa kita tiba-tiba mendapati orang-orang yang
merasa mendapat pahala dengan merusak gereja? Jika demikian, berarti bertentangan
dengan ajaran al-Qur'an. Singkatnya, tidak ada pembenaran untuk merusak rumah
ibadah agama apapun, karena hal ini menyangkut prinsip universal. Jika ada yang
merusak gereja, atau masjid, misalnya, maka seluruh dunia akan geger.
Oleh karena itu, menurut Nurcholish Madjid, kita perlu mengembangkan
kajian sejarah, terutama sejarah Islam masa klasik. Menurutnya, salah satu persoalan
196 Syaikh Nawawi al-Bantani, at-tafsir al-Munir, Jilid 2 (Semarang: Maktabah Usaha
Keluarga, tt.), h. 55
181
besar yang melanda umat Islam sekarang ini adalah bahwa mereka tidak mempunyai
kesadaran sejarah. Pemikiran mereka cenderung ahistoris, padahal al-Qur'an
senantiasa menyuruh kita untuk mempelajari sunnah-sunnah (tradisi, warisan sejarah)
masa lalu, sebagaimana firman Allah berikut:
ىف األرض فانظروا كيف كـان فسريوا خلت من قبلكم سنن قد
.)١٣٧: آل عمران(عاقبة املكذبني
Artinya: "Sesungguhnya telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah Allah; karena itu
berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang
yang mendustakan (Rasul-rasul)." (QS. Alu 'Imran (3): 137).
Ayat di atas menurut Kitab Tafsir al-Maraghi maksudnya adalah, bahwa
kehendak Allah pada makhluk-Nya berjalan sesuai dengan sunnatullah. Barangsiapa
yang berjalan pada sunnatullah tersebut akan berhasil, dan barangsiapa yang
menyimpang darinya, maka ia akan rugi. Secara global, ayat ini mengandung berita
tasyri’, janji, ancaman, perintah dan larangan. Sunnatullah telah menetapkan bahwa
bukti untuk menunjukkan suatu hakikat kenyataan itu bukan hanya dengan mulut.
Sebab lisan itu mudah dilupakan, dan sedikit sekali perhatian terhadapnya.
Mengingat hal ini, maka Allah memberikan petunjuk kepada mereka agar mengambil
182
pelajaran dari apa yang menimpa dengan apa yang dialami oleh orang-orang sebelum
mereka.197
Berdasarkan ayat tersebut, menurut Nurcholish Madjid, kita harus
mempelajari sejarah arkeologi. Karena itu, menurutnya:
“Saya merasa senang, misalnya, bisa pergi ke Arab Saudi atas undangan Kerajaan untuk menghadiri Festival Budaya. Kebanggaan mereka adalah sebuah museum yang luar biasa bagusnya sebab orang Saudi cenderung membeli sesuatu yang terbaik di dunia karena memang mereka mempunyai uang. Dalam festival itulah mulai ada gambaran: apa itu Mada'in Shalih dalam bentuk replika? Dalam kesempatan itu, saya anjurkan juga kepada mereka untuk membuat replika berhala "al-lata", "al-manath", dan "al-'uzza" serta "hubal" itu seperti apa dan harus diletakkan di museum itu? Hal ini penting karena Jazirah Arabia, waktu itu, merupakan lingkungan besar yang melatari sejarah dan sebab turunnya al-Qur'an dalam arti luas: mengapa al-Qur'an bicara mengenai ini dan itu? Ini penting dipahami karena kita bisa menjadi lebih historis.”198
Ajakan Nurcholish Madjid agar kita mempelajari sejarah arkeologi tersebut
sesuai dengan firman Allah :”…... berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah
bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan (Rasul-rasul)." (QS. Alu 'Imran
(3): 137).
Menurut Nurcholish Madjid, persoalan sejarah merupakan titik paling lemah
dari umat Islam, padahal al-Qur'an itu penuh dengan perintah supaya kita
mempelajari sejarah, yang kemudian dilaksanakan dengan baik sekali oleh Ibn
197 Lihat Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Terjemahan Bahrun Abu Bakar, Lc, dkk., (Semarang: Toha Putra, 1993), Jilid 4, Cet. Ke-2, h. 131.
198 Lihat Nurcholish Madjid, Orasi pada Ceramah Umum "Metodologi dan Orientasi Studi Islam Masa Depan” pada tanggal 4 September 2000, yang diselenggarakan oleh Lemabaga Tinggi Penelitian dan Penertiban (LPP) Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Orasi ini ditranskrip dan diedit oleh Muhbib Abdul Wahab dalam JAUHAR (Jurnal Pemikiran Islam Kontekstual), Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Volume 1, No. 1, Desember 2000, h. 16
183
Khaldun, dalam Muqaddimah-nya, yang kemudian disebut dengan 'Ulum al-'Umran
(ilmu tentang peradaban).
Menurut Nurcholish Madjid, suatu yang luar biasa pentingnya dalam sejarah
pemikiran umat manusia bahwa umat Islam dapat menciptakan angka nol. Sekarang
hal tersebut tampaknya menjadi hal biasa, tetapi bila direnungkan, ternyata penemuan
itu sangat luar biasa: bagaimana mungki sesuatu yang tidak ada (nol) dapat digambar!
Sedangkan nol itu adalah lambang kegenapan, karena semua angka yang diakhiri
dengan nol, pasti menjadi genap. Sebaliknya satu adalah simbol dari ganjil, sebab
semua angka yang diakhiri dengan satu pasti menjadi ganjil. Memang yang
menemukan angka nol adalah orang Islam, dari kawasan al-Khawarizmi. Oleh karena
itu, hampir semua peristilahan dalam matematika sekarang ini masih berasal dari
bahasa Arab.
Menurut Nurcholish Madjid, dahulu di Chicago di museum ilmu pengetahuan
dan industri, waktu ia belajar di sana, ada pameran mengenai sejarah pertumbuhan
ilmu pengetahuan modern dalam bentuk gambar pada dinding. Yang sangat menarik
adalah bahwa gambar pertama pada dinding ruang utama yang sangat besar itu ialah
gambar masjid Samarkand. Di bawah gambar masjid itu terdapat keterangan bahwa
dari masjid inilah ilmu pengetahuan modern lahir, yaitu matematik. Ternyata
pameran serupa-yang baru saja dilihat-sebagai pameran permanent di Universitas
Gamm di dekat Brussel, lagi-lagi gambar pertama yang dipampang adalah gambar
Masjid Samarkand. Menurutnya, semua itu tidak lain adalah hasil observasi terhadap
lingkungan. Karena itu, menurutnya di masa datang kita harus lebih serius
184
memperhatikan penegasan-penegasan al-Qur'an bahwa jagad raya ini adalah ayat.
Bahkan perkataan "'alam" itu sendiri artinya ayat. Dalam konteks ini, menarik untuk
didiskusikan bahwa agama pada intinya selalu membicarakan atau melibatkan
kenyataan tingkat tinggi (high reality, kasunyatan adhiluhung, bahasa Jawa-Red.).
Oleh karena itu, Allah disebut "Ta'ala" atau "al-'Aliyy" yang ternyata ada korelasinya
dalam perbendaharaan budaya Babilonia Kuna, yaitu "El-Eliyun" yang artinya Tuhan
Maha Tinggi. Kenyataan tinggi tidak bisa diterangkan kecuali melalui perumpamaan
(matsal).
Misalnya saja, mengapa Tuhan itu bersumpah dengan angka genap dan angka
ganjil? Menurut Nurcholish Madjid, baru sekarang kita tahu, bahwa ternyata
komputer dalam mekanisme kerjanya itu mempermainkan angka genap dan angka
ganjil. Komputer dengan segala kecanggihannya hanyalah merupakan permainan
"genap-ganjil." Menurut Nurcholish Madjid, dalam hal ini dilihat pada ayat: "Wa al-
syaf i wa al-watr" (Demi bilangan yang genap dan yang ganjil) (QS. Al-Fajr/89: 3).
c. Pendekatan Semiotika/Matsal.
Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi seluruh umat manusia menuju jalan yang
lurus dan benar. Sebagai petunjuk banyak cara yang ditempuh al-Qur’an untuk
sampai pada tujuan, salah satu cara al-Qur’an dalam menyampaikan ajaran adalah
dengan menggunakan matsal.
185
Dalam sejarah sastra Arab jauh sebelum datangnya Islam, bangsa Arab
senantiasa berlomba-lomba tentang kefasihan mereka dalam sastra baik berupa natsar
(prosa) maupun sya’ir (puisi).
Bagi orang Arab Jahiliyah, terbentuknya amtsal meluncur begitu saja tanpa
peraturan tertentu. Selanjutnya para Udaba membagi amtsal Arab menjadi dua
macam, pertama Amtsal Haqiqy, yaitu ungkapan amtsal yang timbul dari sebab
kejadian yang dialami masyarakat. Kedua, Amtsal Iftiradhy, yaitu suatu ungkapan
amtsal yang timbul dari alam khayal mereka.199
Ensiklopedi al-Qur’an dalam kajian kosa kata dan tafsirnya mencantumkan
terdapat kata amtsal dalam al-Qur’an sebanyak 169 kali.200
Adapun pengertian amtsal (tamsil) sama dengan dengan tasybih, namun tamsil
lebih banyak tasybihnya, karena setiap tamsil adalah tasybih, tetapi tidak semua
tasybih adalah tamsil. Dalam hal ini para ulama menekankan akan pentingnya
mengkaji ungkapan-ungkapan amtsal dalam al-Qur’an dan bentuk amtsal Arab.
Jika diteliti lebih jauh, bentuk amtsal al-Qur’an berbeda dengan amtsal Arab.
Dr. Muhammad Bakr Ismail, dalam bukunya Dirasat fi Ulum al-Qur’an,
mendefinisikan, amtsal adalah memindahkan sesuatu perkara dengan perkara lain,
baik pemisalan itu dengan cara isti’arah, cara tasybih atau dengan cara kinayah.
199 Ibrahim Ali Abu Kasyab, Turatsuna al-Adaby, (Kairo: Dar al-Itiba’ah al-Muhammadiyah,
tt.), h. 85 200 Team Bimantara, Ensiklopedi al-Qur’an; Kajian Kosa Kata dan Tafsirnya, (Jakarta: PT.
Internusa, 1997), 272
186
Amtsal al-Qur’an tidak linier dengan asal makna kebahasaan, tidak linier pula dengan
apa yang disebut dalam buku-buku sastra.201
Bentuk amtsal dalam al-Qur’an ada tiga ciri yang dapat dipergunakan untuk
mengetahui apa kata tersebut bermakna perumpamaan atau bermakna contoh;
Pertama , dalam amtsal al-Qur’an, kata amtsal mengandung pengertian tersebut
semuanya didahului oleh “dharaba” (artinya membuat, memberikan). Kedua , kata
amtsal yang mengandung perumpamaan pada umumnya muncul dalam susunan
bahasa yang antara keduanya dibubuhi hruf “kaf” sebagai media pembanding. Ketiga,
dalam perumpamaan itu terdapat banyak unsur sebagai penjelas maksud yang
dikehendaki.202
Dilihat dari segi istilah kata amtsal setidak-tidaknya dapat dilihat dari dua
disiplin lmu, yaitu Ulum al-Qur’an dan Ulum al-Adab al-Araby. Dalam istilah Ulum
al-Qur’an, amtsal didefinisikan sebagai ayat-ayat yang mengandung penyerupaan
keadaan sesuatu dengan keadaan sesuatu yang lain, baik dengan menggunakan
isti’arah maupun tasybih yang jelas, atau ayat-ayat yang mengandung makna yang
indah dengan ungkapan yang singkat.
Amtsal yang terdapat dalam al-Qur’an mempunyai beberapa tujuan, di
antaranya: sebagai peringatan, nasehat, anjuran, kecaman, pelajaran, supaya dapat
diterima akal/rasional, menggambarkan sesuatu yang dapat ditangkap dengan indra
agar dapat menyentuh perasaan. Pesan yang ingin disampaikan oleh amtsal dapat
201 Muhammad Bakr Ismail, Dirasat fi Ulum al-Qur’an, (Kairo: Dar al-Manar, 1991), h. 344 202 Team Bimantara, Ensiklopedi al-Qur’an; Kajian Kosa Kata dan Tafsirnya, (Jakarta: PT.
Internusa, 1997), 273
187
berupa pujian, ejekan, pahala, atau siksa, sanjungan atau hinaan, membenarkan
sesuatu atau menyalahkannya.203
Menurut Nurcholish Madjid, amtsal atau semiotika artinya ilmu menafsirkan
perumpamaan-perumpamaan, yang sudah mulai dirintis para filosof Muslim,
termasuk Ibn Sina, yang terkenal dengan risalahnya: "al-Risalah fi al-Tibyan 'an
Rumuz al-Anbiya” . Oleh karena itu, semua firman Allah itu disebut "ayat",
sedangkan ayat itu sebetulnya adalah matsal (perumpamaan).
Dalam kehidupan sehari-hari, bila ada sesuatu yang sulit diterangkan dalam
bahasa yang sederhana, maka kita akan mempergunakan perumpamaan. Misalnya
saja, bila saya ingin memiliki sesuatu yang saya dambakan tetapi mustahil, maka
dalam hal ini saya akan mempergunakan perumpamaan "Maksud hati memeluk
gunung, apa daya tangan tak sampai". Menurut Nurcholish Madjid, kalau saudara
kita mengetahui bahwa ungkapan tersebut merupakan perumpamaan, maka saudara
akan menuduh saya gila: "manusia memeluk gunung" Dalam konteks ini, ungkapan
ayat "wa tilka al-amtsal nadhribuha li al-Nas" itu luar biasa pentingnya, karena
menyangkut persoalan semiotika.
Menurut Nurcholish Madjid, semiotika artinya ilmu menafsirkan
perumpamaan-perumpamaan, yang sudah mulai dirintis para filosof Muslim,
termasuk Ibn Sina, yang terkenal dengan risalahnya: "al-Risalah fi al-Tibyan 'an
Rumuz al-Anbiya'. Oleh karena itu, semua firman Allah itu disebut "ayat", sedangkan
203 Badr al-Din Muhammad Ibn Abdullah al-Zarkasyi, Al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an, Jilid,
(Beirut: Dar al-Fikr, 1980), Cet. Ke-2, h. 573
188
ayat itu sebetulnya adalah matsal (perumpamaan). Maka, menurut Nurcholish
Madjid, seluruh keterangan mengenai Allah SWT. dalam al-Qur'an yang paling pas,
sebagaimana kita tahu, tetapi biasanya tidak kita pikirkan, tidak lain hanyalah: "wa
lam yakun lahu kufuwan ahad (Tak ada seorangpun yang menyamai-Nya, QS. al-
Ikhlas (112): 4). Dengan kata lain, kata Nurcholish Madjid, Tuhan itu tidak bisa
digambarkan. Karena itu, Islam menjadi agama ekonoklastik, agama anti gambar.
Tidak ada gambar obyek-obyek suci: Tuhan, malaikat, surga, dan sebagainya.
Kecuali setelah bersentuhan dengan budaya Asia Tengah dan Cina, dalam Islam
didapati gambar-gambar seperti miniatur, gambar-gambar dalam buku. Akan tetapi,
gambar-gambar itu tidak diakui sebagai standar. Maka, seni dalam Islam tidak pernah
menjadi seni suci, melainkan menjadi seni dekoratif-ornamental.
Bagaimana dengan firman Allah, misalnya, Tuhan itu Ghafur, Wadud, Halim,
dan sebagainya? Bahkan Tuhan Dzu intiqam (pendendam); Tuhan itu Jabbar
(Otoriter). Semua itu menurut Nurcholish Madjid, adalah pinjaman dari bahasa
manusia, karena manusia tidak bisa menangkap sesuatu yang sepenuhnya abstrak,
sehingga kemudian harus ada suatu medium untuk menyampaikan hal ini kepada
imajinasi manusia, lalu dipinjamlah kata-kata manusia, bahwa Tuhan itu Qahhar,
Jabbar, dan seterusnya. Selanjutnya menurut Nurcholish Madjid, :”Akan tetapi harus
diingat bahwa Tuhan adalah juga Halim, Lathif, Wadud, dan sebagainya. Jadi,
mengenai Tuhan, ada gambaran yang serba keras, dan sekaligus gambaran yang serba
halus, lembut. Mengapa semua itu terjadi, sehingga kita lalu mendapati ajaran,
terutama di kalangan kaum sufi, bahwa dzikir yang paling baik ialah dzikir dengan
189
al-Asma' al-Husna? Karena dengan menyebut nama-nama baik Tuhan, seluruh ajaran
sikap dan sifat itu ada, walaupun satu sama lain ada yang saling bertentangan, karena
memang Tuhan tidak bisa digambarkan.” Dalam rentetan ayat didapati adanya
pertentangan dimaksud, yaitu ayat berikut:
. وأن عذايب هو العذاب األلـيم . الرحيم الغفور عبادي أين أنا نبئ
).٥٠-٤٩: احلجر(
Artinya: "Kabarkanlah kepada hamba-hamba-Ku, bahwa sesungguhnya Aku-lah Yang Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang; dan bahwa sesungguhnya azabku adalah azab
yang sangat pedih." (QS. al-Hijr (15): 49-50)
Menurut Nurcholish Madjid, jadi di satu pihak ditegaskan bahwa Allah itu
Maha Pengasih Maha Panyayang, di lain pihak dinyatakan bahwa azab-Nya itu luar
biasa pedih. Berarti ada pertentangan. Kanyataan dari seluruh ciptaan Allah itu adalah
adanya hukum dualitas sebagaimana dinyatakan Allah sebagai berikut:
).٤٩: الذاريات( لعلكم تذكرون زوجني كل شيئ خلقنا ومن
Artinya:
190
"Segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan (dua unsur yang berbeda)
supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah." (QS. al-Dzariyat (51): 49).
Ayat tersebut di atas, maksudnya Allah menciptakan dari satu jenis menjadi
dua macam yang saling berlawanan/saling bertentangan seperti laki-laki dan
perempuan.204 Hal tersebut menurut pendapat Nurcholish Madjid, mirip dengan
hukum dialektika yang ada dalam filsafat. Dalam ayat lain juga ditegaskan lagi:
كلها مما تنبت األرض ومن أنفـسهم األزواج الذي خلق سبحان
).٣٦: يس(ومما ال يعلمون
Artinya: "Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasang-pasangan semuanya, baik dari
apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak
mereka ketahui." (QS. Yasin (36): 36).
Menurut tafsir al-Maraghi, ayat di atas maknanya: Maha suci Allah yang telah
menciptakan segala macam tumbuh-tumbuhan, buah-buahan dan berbagai macam
tanaman ini seluruhnya, dan yang telah menciptakan anak-anak mereka, ada yang
laki-laki dan ada pula yang wanita, dan yang telah menciptakan pula barang-barang
yang tidak mereka ketahui, yaitu yang Allah belum memberitahukan barang-barang
204 yaikh Nawawi al-Bantani, at-tafsir al-Munir, Jilid 2 (Semarang: Maktabah Usaha
Keluarga, tt.), h. 324
191
tersebut kepada mereka dan tidak memberi jalan kepada mereka untuk mengetahui
secara rinci, tetapi memberitahukan kepada mereka hal itu secara ijmal (umum),
seperti pada firman-Nya: “Wa yakhluqu ma la ta’lamun” . (QS. An-Nahl/16: 8).205
Karena itu, menurut Nurcholish Madjid, Allah pun menggambarkan dirinya
dengan "dualitas" tersebut, meskipun hal itu menyangkut pada Diri Allah yang al-
Wahid, al-Ahad. Jika kita hanya memahami Tuhan sebagai al-Ghafur al-Rahim, kita
akan mengalami kelembekan moral. Sebaliknya, jika kita memahami Tuhan hanya
sebagai Dzu intiqam, maka kita akan kehilangan harapan kepada Tuhan. Padahal
Allah SWT. berfirman sebagai berikut:
الغفورال تقنطوا من رمحة اهللا إن اهللا يغفر الذنوب مجيعا إنه هو ...
).٥٣: الزمر. (الرحيم
Artinya: "… janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesunguhnya Allah
mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang." (QS. al-Zumar (39): 53).
Dalam kitab Tafsir al-Munir disebutkan, bahwa ayat di atas maksudnya :
Janganlah berputus asa dari ampunan Allah, dan sesungguhnya Allah akan
205 Lihat Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Juz 28, Terjemahan Bahrun Abu
Bakar, Lc, dkk., (Semarang: Toha Putra, 1993), Jilid 3, Cet. Ke-2, h. 8
192
mengampuni dosa dengan cara taubat yang baik, kemudian memasukannya ke dalam
surga dengan karunia dan rahmat-Nya. Dan Allah akan menyiksa orang yang tidak
bertaubat, sesuai dengan kadar dosanya. Oleh karena itu, taubat wajib bagi setiap
orang.206
Seperti juga dikatakan oleh Nabi Ya'qub:
يوسف وأخيه وال تيأسوا من روح اهللا إنه من اذهبوا فتحسسوا يبين ).٨٧: يوسف(ال ييأس من روح اهللا إال القوم الكافرين
Artinya: "Hai anak-anakku, pergilah kamu; carilah berita tentang Yusuf dan saudara-
saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sebab yang berputus
asa dari Allah hanyalah orang-orang kafir." (QS. Yusuf (12): 87).
Dalam kitab tafsir Ruhul Bayan disebutkan, mereka (anak-anak Ya’qub)
berkata kepada Ya’qub: “Untuk Bunyamin kita tidak perlu bersusah payah
mencarinya, sementara Yusuf telah meninggal sejak dulu karena dimakan serigala
dan kita takkan mencari orang yang telah mati!” Ya’qub berkata: “Dan janganlah
206 Syaikh Nawawi al-Bantani, at-Tafsir al-Munir, Jilid II, (Bandung: Syirkah al-Ma’arif, tt.),
h. 243
193
kalian berputus asa dari bantuan Allah dan rahmat-Nya!” Kata al-ya’su bersinonim
dengan kata al-qunuthu yang artinya putus harapan.207
Lalu kita pun menurut Nurcholish Madjid, menemukan istilah di kalangan
kaum sufi, bahwa cara hidup yang paling tepat adalah antara khauf (cemas) dan raja '
(berharap) atau harap-harap cemas. Kalau hanya berharap saja, maka kita akan
menganggap remeh Tuhan atau menyepelekan Tuhan. Kita akan terjebak dalam
pemikiran demikian: "Pokoknya, dengan shalat atau 'umrah, semua dosa akan
diampuni. Sebaliknya, kita tidak boleh putus asa terhadap Allah.208
Persoalan dualitas hukum Tuhan tersebut menurut Nurcholish Madjid penting
dijadikan sebagai landasan dalam melihat masa depan kita, terutama dijadikan
sebagai acuan dalam persoalan negara (politik). Dalam hal ini, kita tidak perlu lari
kepada Morgento dengan teori mengenai politik dengan perimbangan kekuatan. Akan
tetapi, al-Qur'an sendiri menyatakan seperti itu.209 Sejarah membuktikan bahwa
ketika Allah SWT. memberikan kemenangan kepada Dawud terhadap penduduk
Yerussalem, maka hal itu diukur dengan yang berikut:
207 Ismail Haqqi al-Buruswi, Tafsir Ruhul Bayan, Terjemahan Prof. Dr. H.M.D. Dahlan, Juz
XIII, (Bandung: Diponegoro, 1998), h. 87 208 Lihat Nurcholish Madjid, Orasi pada Ceramah Umum "Metodologi dan Orientasi Studi
Islam Masa Depan” pada tanggal 4 September 2000, yang diselenggarakan oleh Lemabaga Tinggi Penelitian dan Penertiban (LPP) Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Orasi ini ditranskrip dan diedit oleh Muhbib Abdul Wahab dalam JAUHAR (Jurnal Pemikiran Islam Kontekstual), Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Volume 1, No. 1, Desember 2000, h. 11
209 Ibid.
194
ولو ال دفع اهللا الناس بعضهم ببعض لفسدت األرض ولكن اهللا ... ).٢٥١: البقرة( العاملني علىذو فضل
Artinya: "Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian
yang lain, pasti rusaklah bumi ini. Akan tetapi Allah mempunyai karunia (yang
dicurahkan) kepada semesta alam." (QS. al-Baqarah (2): 251).
Dalam Tafsir Ruhul Bayan, ayat di atas maksudnya, bahwa kalaulah Allah
tidak melindungi orang-orang yang berbuat baik dan beriman dari (kejahatan) orang-
orang kafir durhaka, niscaya bumi dan seisinya akan binasa. Allah melindungi kaum
Mu’minin dari jahatnya kaum kafir, melindungi kaum shaleh dari jahatnya kaum
durhaka.210
Selanjutnya, menurut Nurcholish Madjid, mengapa kita selamat dari kiamat
nuklir? Padahal kalau energi nuklir yang dimiliki Amerika dan Rusia diledakkan,
tujuh bumi tidak cukup. Menurutnya, tidak lain adalah karena adanya balance of
power (perimbangan kekuatan). Oleh karena itu, kita harus berterima kasih kepada
Rossenburgh (suami istri) yang telah membocorkan rahasia nuklir Amerika ke Rusia
melalui pensil yang isinya sudah diambil lalu diisi dengan lembaran kertas yang
210 Ismail Haqqi al-Buruswi, Tafsir ruhul Bayan, Juz II, Terjemahan Prof. Dr. H.M.D. Dahlan,
(Bandung: CV Diponegoro, 1995), h. 594
195
sangat tipis yang berisi rumus-rumus matematika ke Rusia. Lagi-lagi matematika.
Jadi, Allah tetap mengatur dunia ini dengan balance of power..
Sebagaiman gambaran mengenai Allah itu adalah walam yakun lahu kufuwan
ahad (Tak ada seoran pun yang menyamai-Nya; QS. al-Ikhlash (112): 4), maka
gambaran mengenai surga yang pas adalah qurratu a'yun. Hal ini dapat dipahami dari
ayat berikut:
ة أعني جزاء مبا كانوا يعملـون من قر هلم تعلم نفس ما أخفي فال ).١٧: السجدة(
Artinya: "Tidak seorang pun yang mengetahui (kebahagiaan yang mutlak itu) yang
disembunyikan (dirahasiakan) bagi mereka, yaitu (bermacam-macam nikmat) yang
menyedapkan pandangan mata sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka
kerjakan." (QS. al-Sajdah (32): 17).
Dalam tafsir al-Maraghi disebutkan, bahwa sesudah Allah SWT menjelaskan
tentang keadaan orang-orang kafir, yaitu kepala mereka ditundukkan karena malu dan
tidak punya muka disebabkan apa yang telah mereka perbuat ketika di dunia. Dan
setelah Dia menyebutkan balasan yang mereka dapati, yaitu adzab yang menghinakan
di hari kiamat. Kemudian Allah mengiringi hal tersebut dengan menyebutkan
keadaan ciri khas orang-orang yang beriman, yaitu mereka merendahkan dirinya
terhadap Rabb mereka, serta selalu bertasbih kepada-Nya seraya memuji-Nya; dan
196
mereka selalu menjauhkan tubuh mereka dari tempat tidurnya seraya berdo’a kepada
Rabb mereka dengan perasaan takut dan berharap. Selanjutnya Allah menuturkan
balasan yang mereka terima, yaitu berupa kenikmatan yang abadi hal-hal yang
membuat mereka gembira dan bahagia, sebagai balasan atas amal perbuatan mereka
yang baik dan perkataan-perkataan mereka yang baik selama di dunia.211
Selanjutnya yang dimaksud dengan Min qurrati a’yun adalah dari sesuatu
yang amat langka yang dapat membuat hati mereka sangat gembira dan bahagia.212
Berdasarkan keterangan dari tafsir al-maraghi di atas, maka tidak salah apabila
menurut pemahaman Nurcholish Madjid, bahwa gambaran mengenai surga yang pas
adalah qurratu a 'yun sebagaimana disebutkan pada ayat tersebut.
Menurut Nurcholish Madjid, tidak seorang pun mengetahui hakekat surga.
Soal sungai madu, sungai susu, sungai arak, bidadari, dan sebagainya adalah matsal,
perumpamaan. Dalam hal ini, perhatikan ayat berikut:
اليت وعد املتقون فيها أار من ماء غري آسـن اجلنة مثل من مخر لذة للشاربني وأـار وأاروأار من لنب مل يتغري طعمه
١: حممد... (من عسل مصفي
211 Lihat Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Juz 21, Terjemahan Bahrun Abu
Bakar, Lc, dkk., (Semarang: Toha Putra, 1993), Cet. Ke-2, h. 210 212 Ibid.
197
Artinya:
“ (Apakah) perumpamaan (penghuni) surga yang dijadikan kepada orang-orang yang
bertaqwa yang di dalamnya ada sungai-sungai dari air yang tiada berubah rasa dan
baunya, sungai-sungai dari air susu yang tiada berubah rasanya dan sungai-sungai
dari khamar (arak) yang lezat rasanya bagi peminumnya dan sungai-sungai dari
madu yang disaring …..(QS. Muhammad/47: 15).
Semua itu adalah matsal, yang harus kita pahami bukan seperti apa adanya.
Karena itu, gambaran yang tepat mengenai surga adalah sesuai dengan ayat al-Sajdah
di atas. Lalu Rasulullah bersabda dalam sebuah hadis Qudsi:
رأت وال أذن مسعت وال خطر ببـال عني أتدري عبادي ما ال إين أخفي هلم قرة أعـني ما تعلم نفس فال: "البشر، وإن شئتم فاقرؤوا ).١٧: السجدة(جزاء مبا كانوا يعملون
Menurut Nurcholish Madjid, surga adalah kasunyatan adhiluhung, high
reality, yang tidak bisa digambarkan kecuali dengan perumpamaan. Karena
sedemikian pentingnya, maka, menurut saya, umat Islam tidak akan maju (dalam
berpikir) kalau tidak memahami matsal, semiotika.213
d. Pendekatan Linguistik dan Lintas Studi Agama.
213 Kata Nurcholish Madjid, :”Semiotika ialah ilmu yang mempelajari tentang tanda.” Ibid.
198
Penguasaan bahasa asing menjadi sangat penting, tidak saja bahasa dalam arti
linguistic, tetapi juga bahasa dalam arti kultural. Dalam hal ini ada ungkapan Arab
sebagai berikut:
مكرهم علم لغة قوم أمن عن من
Artinya: "Siapa yang mengerti bahasa suatu kaum, maka ia akan terbebas dari tipu daya
mereka."
Karena itu, selain menguasai bahasa asing, lebih-lebih bahasa Arab dan
Inggris, menurut Nurcholish Madjid, kita juga harus memahami kultur bangsa-bangsa
pengguna bahasa itu. Bahkan kita juga harus menguasai CD Rom dan bahasa
komputer,214 berikut mengetahui cara mengoperasikannya. Dewasa ini dunia Islam,
luar biasa kaya dengan CD rom-CD rom itu. Sebagai contoh, sekarang ini banyak
dijumpai CD memuat seluruh kumpulan hadis Nabi, seluruh tafsir, dan sebagainya.
Jadi, ijtihad sekarang tidak sesulit pada masa Imam Syafi'i. Dengan sebuah CD rom
tentang fiqh, kita dapat mengetahui berbagai macam pendapat, misalnya, mengenai
zakat atau yang lain. Dengan kata lain, bila di masa lampau di pesantren, al-'ilm fi al-
shudur (ilmu itu ada dalam hafalan), lalu al-'ilm fi al-suthur (ilmu itu berada dalam
214 Kata Nurcholish Madjid, :”Hal tersebut penting mengingat sekarang ini kita mengalami
keterbatasan waktu dan tempat. Sebagai contoh, kita tidak mungkin bisa membawa seribu buku. Namun, dengan sebuah CD Rom, sekian banyak informasi dalam buku dapat dibawa ke mana-mana.”Ibid., h. 19
199
catatan/tulisan/buku), maka sekarang al-'ilm fi "sidi rum" (ilmu itu berada dalam CD
Rom).
Menurut Nurcholish Madjid, jika tidak menyiapkan diri ke arah tersebut, maka
kita akan ketinggalan. Sehubungan itu, masalah lain menyangkut kemampuan dalam
menerapkan metodologi adalah kemampuan untuk mengadakan studi perbandingan
(comparative study); tidak saja perbandingan di kalangan kita seperti muqaranat al-
madzahib, bahkan muqaranat al-adyan (perbandingan agama-agama). Seperti pada
masa-masa klasik, tokoh seperti al-Syahristani, al-'Amili, Ibn Taimiyah dan
sebagainya sangat mendalami kitab-kitab Taurat dan Injil. Ironisnya, umat Islam
sekarang ini memegang saja enggan. Ibn Taimiyah sendiri membuat kesimpulan yang
cukup mengagetkan.215 bahwa perubahan di dalam Injil sedikit sekali dan hanya
mengenai masalah-masalah khabariyah (berita-berita), terutama berita mengenai akan
diutusnya Nabi Muhammad Saw. Hal ini pun masih dapat dikejar, karena adanya
tokoh seperti Paraklitus. Ibn Taimiyah juga menggunakan argument itu (paraklitus).
Yang dimaksud "Paraklitus" itu sendiri adalah Nabi Muhammad Saw. Menurut Ibn
Taimiyah, mustahil semua orang setuju untuk mengubah Injil sehingga menjadi tidak
asli sama sekali.
Menurut Nurcholish Madjid, dari namanya, Injil (bahasa Yunani) artinya
berita gembira. Perlu diketahui bahwa bahasa Nabi 'Isa saat itu ada tiga, yaitu: bahasa
215 Kata Nurcholish Madiid, :”Dalam hal ini saya setuju dengan kesimpulan itu.” Ibid., h. 20.
200
Aramea216 (bahasa sehari-hari), 'Ibrani (bahasa kitab suci), dan Yunani (bahasa
pemikiran, mengingat daerah Palestina sudah teryunanikan selama 300-an tahun,
sejak zaman Iskandar Agung).217 Oleh karena itu, tidak mengherankan jika kitab
sucinya juga disebut "Evangga" (kabar gembira), antara lain karena kabar gembira
tentang dikuranginya orientasi hukum yang kaku terhadap bani Israel atau agama
Yahudi. Hal ini antara lain dapat dijumpai dalam ayat berikut:
وألحل لكم بعض الـذي حـرم التوراة ملا بني يدي من ومصدقا: آل عمـران . (عليكم وجئتكم بآية من ربكم فاتقوا اهللا وأطيعون
٥٠(
Artinya:
"Dan (aku dating kepadamu) membenarkan Taurat yang datang sebelumku, dan
untuk menghalalkan bagimu sebagian yang telah diharamkan untukmu, dan aku
datang kepadamu dengan membawa tanda (mukjizat) dari Tuhanmu. Karena itu,
bertaqwalah kepada Allah." (QS. Ali 'Imran (3): 50).
216 Menurut Nurcholish Madjid, Aramea adalah bahasa yang umum digunakan oleh
masyarakat Syam pada waktu itu, dan termasuk salah satu rumpun bahasa Semitik. Selain itu, yang termasuk ke dalam rumpun ini adalah Suryani (bahasa di kawasan Siria), Ibrani, dan Arab. Pada waktu daerah Syam dan Palestina adalah kawasan Hellenik, atau daerah-daerah yang teryunanikan. Karena itu, bahasa Yunani juga digunakan di kawasan itu khususnya untuk kalangan terpelajar. Selanjutnya, Rasulullah Saw. sangat "beruntung" karena beliau diutus di kalangan masyarakat yang bahasanya tunggal (Arab), dengan dominasi bahasa Quraisy. Ibid.
217 Menurut Nurcholish Madjid, Iskandar Agung itu menaklukkan Palestina sejak 250 SM. Sama seperti bangsa kita, hingga kini masih banyak orang Indonesia yang menggunakan bahasa Belanda karena kita dulu dijajah Belanda 350 tahun. Ibid.
201
Menurut Nurcholish Madjid, dalam sejarah dahulu semua makanan itu halal
bagi Israel, kecuali makanan yang diharamkan oleh Israel (Ya'qub).218 Karena itu,
Nabi 'Isa lalu menghalalkan sebagian hal yang dahulu diharamkan. Pendapat
Nurcholish Madjid tersebut sejalan dengan pendapat Ahmad Musthafa al-Maraghi
dalam Tafsirnya, al-Maraghi.219 Selanjutnya sebagai gantinya, kata Nurcholish Majid,
kemudian Nabi 'Isa mengajarkan kasih kepada manusia. Ini adalah salah satu contoh
dari comparative study dalam perspektif agama-agama. Dalam hal ini Allah
berfirman sebagai berikut:
نية ابتدعوها ما وجعلنا ىف قلوب الذين اتبعوه رأفة ورمحة ورهبا ...... عليهم إال ابتغاء رضوان اهللا فما رعوها حق رعايتـها كتبناها
).٢٧: احلديد(
218 Lihat QS. Ali 'Imran (3): 93: حل لبين إسرائيل إال ما حرم اسرائيلكان الطعام كل . 219 Ahmad Musthafa al-Maraghi mengatakan :”Firman Allah “Wa Li Uhilla Lakum Ba’da al-
Lazi Hurrima ‘Alaikum”. Maksudnya, untuk menghalalkan sebagian dari rizki yang baik (halal), yang sebelumnya diharamkan bagi kaum Bani Israil. Hal itu terjadi karena kezaliman mereka, dan terlalu banyak meminta (bertanya). Akhirnya, hal-hal tersebut dihalalkan oleh Nabi Isa a.s., sebagaimana firman Allah :” Fa bi Zulmin Min al-Lazina Hadu Wa Harramna ‘Alaihim Thayyibatin Uhilla Lahum (an-Nisa (4) : 160. Para ahli tafsir mengatakan, bahwa di antara larangan Nabi tersebut adalah makan daging ikan, daging unta, lemak hewan, dan bekerja pada hari Sabtu. Lihat Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Terjemahan Bahrun Abu Bakar, Lc, dkk., (Semarang: Toha Putra, 1993), Jilid 3, Cet. Ke-2, h. 285.
202
Artinya: "Dan Kami jadikan dalam hati orang-orang yang mengikutinya rasa santun dan
kasih. Dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah padahal Kami tidak
mewajibkannya kepada mereka tetapi mereka sendirilah yang mengada-adakanya
untuk mencari keridhaan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan
pemeliharaan yang semestinya." (QS. al-Hadid (57): 27).
Rasa santun dan kasih sayang adalah etos dalam ajaran Nashrani (Kristen).
Mengapa harus diajarkan "kasih"? Perspektif ini sangat penting. Karena itu, menurut
Nurcholish Madjid, kita harus menganggap serius ayat-ayat pertama dalam surat al-
Baqarah, bahwa ciri orang bertaqwa itu adalah percaya kepada al-Qur'an yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad dan kitab-kitab suci yang telah diturunkan
sebelumnya (Taurat, Zabur, dan Injil).220
Menurut Nurcholish Madjid, lebih jauh riwayat yang berkaitan dengan hal
tersebut adalah demikian. Nabi Musa itu ditugasi oleh Allah Swt. untuk membimbing
bani Israel. Selama ratusan tahun, bani Israel di Mesir mengalami perbudakan yang
luar biasa. Nabi Musa, tentu saja, dihadapkan kepada persoalan komunitas yang telah
diperbudak lama sekali. Dengan kata lain, komunitas Nabi Musa adalah masyarakat
yang bermental budak. Mental budak adalah mental orang yang tidak sanggup
bekerja kecuali kalau diperintah atau diancam. Orang itu tidak sanggup mengambil
inisiatif atau memerintah dirinya sendiri. Oleh karena itu, budak tidak dapat disiplin.
220 Lihat QS. al-Baqarah (2): 4. Kata Nurcholish Madjid, umat Islam sekarang ini cenderung
verbal saja dalam membaca ayat dimaksud. Subhanallah (Maha Suci Allah), tidaklah mungkin Allah menyuruh kita beriman kepada kitab-kitab suci terdahulu hanya sekedar diucapkan semata! Ibid.
203
Jika seseorang itu disiplin, berarti ia sanggup memerintah dirinya sendiri. Syarat
utamanya ialah bahwa orang itu harus merdeka. Dalam konteks ini, menurut
Nurcholish Madjid, dijumpai sebuah pepatah Arab sebagai berikut: يضرب بالعصا واحلرالعبد
Budak baru bekerja bila dipukul dengan tongkat, dan orang merdeka) تكفيه اإلشارة
cukup diberi isyarat). Sebagai contoh, bila sering melanggar lalu lintas, berarti kita
sama dengan budak. Seorang merdeka akan berhenti pada lampu merah karena ia
menyadari bahwa berhenti saat lampu merah merupakan kesepakatan dan aturan
bersama serta demi kebaikan bersama. Orang merdeka manyadari ayat:
يا أيها ) ٣٤: اإلسراء( بالعهد إن العهد كان مسئوال وأوفوا)١: املائدة(الذين آمنوا أوقوا بالعقود
Artinya:
“Dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti pasti diminta
pertanggungjawabnya.” (Q.S. al-Isra/17: 34). “Hai orang-orang yang beriman,
penuhilah aqad-aqad itu.” (Q.S. al-Maidah/5: 1).
Aqad perjanjian mencakup: janji prasetia hamba kepada Allah dan perjanjian
yang dibuat manusia dalam pergaulan sesamanya.221 Perintah untuk memenuhi janji,
sebagaimana disebutkan dalam surat al-Isra ayat 34 tersebut di atas berlaku meliputi
perintah memenuhi janji antara kita dengan Allah, dan antara kita dengan sesama
221 Lihat al-Qur’an dan Terjemahnya, Departemen Agama RI, (Jakarta: Gema Risalah Press Bandung, 1992), Edisi Revisi, h. 156
204
manusia, sehingga setiap perjanjian akan dimintai pertanggungjawabannya, serta
akan mendapatkan siksa di hari kiamat bagi orang yang tidak memenuhi janjinya.222
Dalam penafsiran Nurcholish Madjid, rambu lalu lintas termasuk 'aqd atau 'aqd
ijtima'i (kontrak sosial), seperti dikatakan oleh al-Mawardi, sekaligus juga merupakan
hukum Allah, karena merupakan bagian dari deretan perintah Allah. Jika kita tidak
sanggup memerintah diri sendiri sebagai bangsa, jangan harap kita bisa disiplin.
Sayangnya kita baru merdeka selama dua tahun.223
Menurut Nurcholish Madjid, oleh karena yang dihadapi Nabi Musa adalah
masyarakat yang bermental budak dan tidak mampu berdisiplin, maka agama yang
diturunkan Allah kepada Nabi Musa adalah agama hukum, taurat. Dimulai dengan
the ten commandements (al-Kalimat al-'Asyr), dekalog dari Turisina. Dari sinilah kita
kemudian dapat memahami mengapa Allah bersumpah dengan Turisina. Dalam
konteks ini terdapat suatu proses, mengapa dalam al-Qur'an ada Tabut, Sakinah dan
sebagainya. Kita tidak akan dapat memahami idiom-idiom tersebut jika tidak
mempelajari agama Yahudi.
Dalam prosesnya, menurut Nurcholish Madjid, agama Nabi Musa tumbuh
menjadi agama yang terlalu keras dalam menerapkan hukum, sehingga Allah itu
hanya dipersepsi sebagai Hakim, yang sewaktu-waktu siap mengetuk pintu dan
222 Syaikh Muhammad Muhammad Nawawi al-Jawi, at-Tafsir al-Munir, Jilid I, ((Surabaya: al-Hidayah, tt.), h. 478
223 Lihat Nurcholish Madjid, Orasi pada Ceramah Umum "Metodologi dan Orientasi Studi Islam Masa Depan” pada tanggal 4 September 2000, yang diselenggarakan oleh Lemabaga Tinggi Penelitian dan Penertiban (LPP) Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Orasi ini ditranskrip dan diedit oleh Muhbib Abdul Wahab dalam JAUHAR (Jurnal Pemikiran Islam Kontekstual), Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Volume 1, No. 1, Desember 2000, h. 21
205
menghukum orang. Lalu turunlah seorang Nabi dengan membawa ajaran teodisi (teo
= Tuhan, disi = serba lembut), konsep mengenai Tuhan yang serba lembut dan serba
kasih. Pada waktu itulah muncul perkataan "rahman" (kasih). "Rahman" itu cognate
dengan "rahmat". Oleh karena itu, ketika Nabi Muhammad menggunakan kata
rahman, penggunaan itu mengundang polemik di kalangan orang Arab. Mereka tidak
setuju. Apa itu rahman? Lalu, turunlah ayat berikut:224
الرمحن أيا ما تدعو فلـه األمسـاء احلـسىن ادعوا ادعوا اهللا أو قل
).١١٠: اإلسراء(
Artinya: "Katakanlah: Serulah Allah atau serulah al-Rahman. Dengan mana saja kamu seru,
Dia mempunyai Nama-nama yang terbaik." (QS. al-Isra' (17): 110).
Pendapat Nurcholish Madjid tersebut, pada dasarnya tidak bertentangan
dengan perkataan Ibn Abbas tentang sebab turunnya ayat tersebut, sebagaimana
dikutip oleh Syaikh Nawawi, : “Pernah pada suatu malam, Rasulullah sujud, lalu
membaca do’a “Ya Allah Ya Rahman.” Lalu berkata Abu Jahal: Sesungguhnya
Muhammad melarang kita dari menyembah Tuhan-Tuhan kita, sedangkan ia sendiri
(Muhammad) menyeru/berdo’a kepada dua Tuhan (Allah dan ar-Rahman). Maka
224 Bahasa 'Ibrani dan bahasa Arab itu bersaudara, satu rumpun, yaitu rumpun bahasa Semit.
Jadi, dalam hal ini banyak cognate, dua kata dari dua bahasa yang mirip, karena akar katanya sama. Contohnya adalah batu, makan (bahasa Indonesia) dan watu, mangan (bahasa Jawa); keduanya adalah cognate.Ibid.
206
untuk membantah pernyataan Abu Jahal tersebut, Allah menurunkan ayat tersebut”.
Kata Syaikh Nawawi, maksudnya, kita diperintahkan untuk berdo’a dengan “Ya
Allah” ataupun “Ya Rahman”, sesuai dengan kehendak kita.225 Oleh karena itu tidak
salah apabila kata Nurcholish Madjid, orang Arab memang tidak mengenal kata
Rahman.
Menurut Nurcholish Madjid, kata itu (Rahman), selain memang merupakan
bahasa Arab, berasal dari bahasa Ibrani. Kata itu kemudian diintrodusir oleh Nabi
Saw. kepada masyarakat Yahudi, dan sekaligus menjadi persiapan bagi tampilnya
Nabi 'Isa. Maka, Nabi 'Isa itu mengajarkan rahmah, kasih, agape atau cinta. Sebab,
kata Nurcholish Madjid, cinta itu ada tiga:226
Pertama, hubb al-syahawat (cinta erotis), Cinta jenis ini tidak merupakan
unsur kebahagiaan melainkan unsur kesenangan. Pendapat Nurcholish Madjid ini
didasarkan pada firman Allah, sebagaimana dalam al-Qur'an dinyatakan
)١٤: آل عمران. (والبنني للناس حب الشهوات من النساء زين
Artinya:
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia, kecantikan kepada apa-apa yang
diingini, yait wanita-wanita, anak-anak ……(Q.S. Ali Imran/3: 14)
225 Syaikh Muhammad Muhammad Nawawi al-Jawi, at-Tafsir al-Munir, Jilid I, ((Surabaya:
al-Hidayah, tt.), h. 491 226 Ibid.
207
Dalam Tafsir al-Maraghi disebutkan, bahwa yang dimaksud Tazyin pada ayat
di atas, maksudnya adalah cinta manusia terhadap syahwat. Cinta akan syahwat ini
selalu dianggap baik di kalangan Pengertian ayat di atas adalah, bahwa Allah telah
menciptakan manusia dengan bekal cinta terhadap syahwat.227 Dengan demikian
pendapat Nurcholish tersebut di atas, sesuai dengan penjelasan dalam Tafsir al-
maraghi tersebut.
Kedua, mawaddah (cinta kasih), atau sakinah (philos sophos), cinta kearifan,
tidak bersifat fisik). Cinta jenis ini menurut Nurcholish Madjid, merupakan unsur
kebahagiaan.228
Ketiga, cinta yang paling tinggi adalah qurratu a'yun (cinta ruhani), lambang
kebahagiaan yang tertinggi. Qurratu a'yun itu intinya menurut Nurcholish Madjid
adalah surga. Menurutnya, cinta jenis ini antara lain dapat dijumpai dalam do'a:
وذرياتنا قرة أعني واجعلنا للمتقني إماما أزواجنا هب لنا من ربنا )٧٤: الفرقان(
227 Lihat Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Terjemahan Bahrun Abu Bakar, Lc, dkk., (Semarang: Toha Putra, 1993), Jilid 3, Cet. Ke-2, h. 188
228 Pendapat Nurcholish Madjid ini didasarkan pada Firman Allah, dalam al-Qur’an yang artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. “Q.S. al-Rum/30: 21
208
Artinya:
“Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami
sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang
bertaqwa.” (Q.S. al-Furqan/25: 74).
Menurut Nurcholish Madjid, begitu pula mengenai cinta yang disebut rahmah
atau cinta Ilahi. Hanya saja, kalau kita hanya sampai pada rahmah, agape (bahasa
Yunani), maka kita akan memperoleh sakinah dan qurrata a 'yun: kebahagiaan
surgawi. Inilah yang dalam bahasa al-Qur'an disebut fi al-dunya hasanah, suatu
kebahagiaan yang tidak bisa diterangkan, melainkan hanya bisa dirasakan. Nabi 'Isa
itu mengajarkan agape, cinta Ilahi, rahmah, yang dia sampaikan dalam pidato di atas
bukit Zaitun. Oleh karena itu, Allah dalam al-Qur'an bersumpah dengan wa al-zaitun.
Sementara itu, menurut Nurcholish Madjid, kata "al-Tin"-yang Allah juga
bersumpah dengannya-ditafsirkan oleh para mufassir dengan berbagai penafsiran.
Menurut Nurcholish Madjid, kata yang terakhir kira-kira mewakili suatu budaya yang
berada di kawasan laut tengah, yang memang di situ banyak tumbuh pohon tin, suatu
pohon yang buahnya awet sekali dan banyak manfaatnya. Dengan kata lain, tin
merupakan simbolisasi dari budaya Greeko-Roman, Yunani Rumawi, yang
mempengaruhi seluruh umat manusia, termasuk umat Islam. Pengaruh yang tampak
pada umat Islam, antara lain adalah kubah masjid.229
229 Menurut Nurcholish Madjid, sebagai contoh, bila saudara pergi ke Medinah dan
melaksanakan shalat di Masjid Nabawi, tepatnya pada area Raudhah, yang biasanya menjadi tempat orang berebut shalat di situ, cobalah saudara lihat ke atas (plafon, langit-langit masjid). Hiasannya ternyata adalah Bourok khas Eropa, karena yang membangun adalah orang Turki. Yang sekarang betul
209
Sayangnya, menurut Nurcholish Madjid ketika Paulus mengambil alih
penyebaran agama Nashrani, semuanya menjadi halal. Jadi, kalau menjadi orang
Yahudi itu serba haram, maka menjadi orang Nashrani serba halal. Bandingannya
adalah seperti orang India dan Cina. India itu serba haram (binatang itu serba
lambang dewa, haram disembelih, dan dimakan), sementara di Cina dijumpai restoran
kadal, ular, babi, dan sebagainya. Maka datanglah Islam sebagai wasath (moderat)
dengan mempertahankan segi hukumnya Nabi Musa dan menggabung segi kasihnya
Nabi 'Isa. a.s Perspektif ini hilang sama sekali di kalangan umat Islam sekarang,
padahal mereka sering membaca ayat:
صراط الذين أنعمت عليهم غري املغضوب املستقيم، الصراط اهدنا .عليهم وال الضآلني
Dalam Tafsir al-Maraghi disebutkan, bahwa “Shirath al-Lazina an’amta
‘alaihim” (artinya: Jalan mereka yang Engkau telah menganugrahkan nikmat kepada
mereka), menunjukkan bahwa ada umat-umat sebelum kita yang Allah SWT telah
memberikan pula agama kepadanya, dan mensyari’atkan hukum-hukum untuk
menjadi petunjuk dan memimpin hidupnya lalu mereka mengikutinya dan
khas Timur Tengah adalah tambahan baru (perluasan) oleh pemerintah Saudi. Lihat Nurcholish Madjid, Orasi pada Ceramah Umum "Metodologi dan Orientasi Studi Islam Masa Depan” pada tanggal 4 September 2000, yang diselenggarakan oleh Lemabaga Tinggi Penelitian dan Penertiban (LPP) Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Orasi ini ditranskrip dan diedit oleh Muhbib Abdul Wahab dalam JAUHAR (Jurnal Pemikiran Islam Kontekstual), Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Volume 1, No. 1, Desember 2000, h. 24.
210
melaksanakan petunjuk-Nya. Karena itu kita wajib mengikuti petunjuknya dan
menirunya.230 Dalam Tafsir al-Munir dijelaskan, bahwa mereka itu adalah orang-
orang yang berpegang teguh kepada agamanya, seperti para Nabi, orang-orang yang
jujur, para syuhada dan orang-orang shalih.231
Adapun yang dimaksud, “al-Maghdub ‘alaihim (mereka yang dimurkai Allah)
ialah golongan orang-orang yang keluar dari kebenaran setelah ia mengetahuinya dan
berpaling dari padanya, setelah kebenaran itu jelas baginya. Mereka merasa puas dan
rela dengan warisan yang diterima dari nenek moyang dan leluhur. Sedangkan al-
dhalin (mereka yang sesat) ialah mereka yang tidak mengetahui kebenaran itu
selamnya atau mengetahuinya akan tetapi masih merupakan pengetahuan yang
goncang dan kabur. Mereka ini berada dalam kebutaan yang mencampur adukan
kebenaran dan kebatilan, lagi menjauhkan diri dari jalan baik yang dapat
menyampaikan pada jalan lurus itu.232 Dalam Tafsir al-Munir dijelaskan yang
dimaksud dengan “al-Maghdub ‘alaihim orang-orang yang beragama Yahudi, dan
al-dhalin ialah orang-orang yang beragama Nasrani, dan orang-orang munafiq.233
230 Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Terjemahan Drs. M. Thalib,
(Yogyakarta: Sumber Ilmu, 1985), Juz 1, Cet. Ke-1, h. 3 231 Syaikh Muhammad Muhammad Nawawi al-Jawi, at-Tafsir al-Munir, Jilid I, ((Surabaya:
al-Hidayah, tt.), h. 3 232 Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Terjemahan Drs. M. Thalib,
(Yogyakarta: Sumber Ilmu, 1985), Juz 1, Cet. Ke-1, h. 4. 233 Syaikh Muhammad Muhammad Nawawi al-Jawi, at-Tafsir al-Munir, Jilid I, ((Surabaya:
al-Hidayah, tt.), h. 3
211
Dengan demikian, yang dimaksud dengan “al-Maghdub ‘alaihim dan al-dhalin ialah
semua golongan yang menyimpang dari ajaran Islam.234
Berdasarkan keterangan dari Kitab Tafsir tersebut di atas, dapat dipahami,
bahwa menurut ayat tersebut terdapat tiga golongan umat, yaitu: golongan orang-
orang yang beragama Islam, Yahudi dan Nasrani, yang ketiga-tiganya mempunyai
sikap dan jalan hidup yang berbeda. Dalam hal ini, menurut Nurcholish Madjid, "al-
Maghdhub 'alaihim" adalah mereka yang terlalu banyak menerapkan hukum;
sedangkan "al-dhallin" adalah mereka yang terlalu banyak menekankan "maaf-maaf",
sehingga menjadi terlalu permisif, seperti masyarakat Barat sekarang.235 Dan
sebetulnya Barat akan hancur dengan permisivismenya itu. Karena itu, Islam datang
dengan menggabungkan hukumnya Musa a.s dan kasihnya 'Isa a.s., jalan tengah.236
Berdasarkan keterangan di atas, maka dapat dipahami, bahwa menurut
pandangan Nurcholish Madjid, masalah lain yang menyangkut kemampuan dalam
menerapkan metodologi adalah kemampuan untuk mengadakan studi perbandingan
234 Yang dimaksud dengan “al-Maghdub ‘alaihim (mereka yang dimurkai) dan al-dhalin
(mereka yang sesat) ialah semua golongan yang menyimpang dari ajaran Islam. Lihat Departemen Agama Republik Indonesia, al -Qur’an dan Terjemahnya , (Bandung: Gema risalah Press Bandung, 1992), Edisi Revisi, h. 6
235 Dalam hal ini, kata Nurcholish Madjid: “Saya pernah pergi ke Universitas Amory di Atlanta. Di sana terjadi kontroversi, karena gereja kecil universitas itu digunakan untuk mengesahkan perkawinan dua pasang pengantin yang sama jenisnya (dua dosen lelaki). Mengapa hal ini dapat terjadi? Karena menurut Nurcholish Madjid, gereja telah menjadi permisif.”. Lihat Nurcholish Madjid, , Orasi pada Ceramah Umum "Metodologi dan Orientasi Studi Islam Masa Depan” pada tanggal 4 September 2000, yang diselenggarakan oleh Lemabaga Tinggi Penelitian dan Penertiban (LPP) Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Orasi ini ditranskrip dan diedit oleh Muhbib Abdul Wahab dalam JAUHAR (Jurnal Pemikiran Islam Kontekstual), Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Volume 1, No. 1, Desember 2000, h. 24
236 Kata Nurcholish Madjid, :Saya pernah bercerita demikian di hadapan jama'ah "kelas menengah ke atas", meskipun pemahaman agamanya kurang. Setelah mengenai Yahudi-Nashrani diceritakan, saya tanya kepada mereka: "Kira-kira, menurut Bapak-Ibu, umat Islam sekarang mirip mana? Mereka menjawab: "mirip Yahudi!" Mengapa begitu? Ibid.
212
(comparative study); tidak saja perbandingan di kalangan kita seperti muqaranat al-
madzahib, bahkan muqaranat al-adyan (perbandingan agama-agama), sebagaimana
telah diterangkan di atas. Namun di sini Nurcholish Madjid tidak menjelaskan
tentang teknis dan mekanismenya, apakah melalui debat, dialog antar umat beragama,
atau memasukan mata pelajaran agama-agama lain pada sekolah-sekolah Islam dan
perguruan tinggi, atau dengan memberi materi pengkajian kitab-kitab suci agama lain
sepertiu Injil, Taurat, dan lain-lain.
4. Pembaharuan Pada Aspek Murid/Anak didik
Anak didik yang dihadapi oleh dunia pendidikan Islam di negara-negara Islam
berkaitan erat dengan belum berhasilnya dikotomi antara ilmu-ilmu agama dengan
ilmu-ilmu umum ditumbangkan di lembaga-lembaga pendidikan Islam. Belum
berhasilnya penghapusan dikotomi antara ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu umum
mengakibatkan rendahnya kualitas intelektual anak didik dan munculnya pribadi-
pribadi yang pecah (split personality). Kondisi tersebut pada gilirannya akan
menimbulkan moralitas ganda (double morality) dari kaum Muslim. Misalnya
seorang Muslim yang saleh dan taat menjalankan ibadah, pada waktu yang sama ia
dapat menjadi pemeras, penindas, koruptor, atau melakukan perbuatan tercela
lainnya.237 Bahkan yang lebih ironis lagi dikotomi sistem pendidikan tersebut
237Lihat Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam Kajian Filosofis dan
Kerangka Dasar Operasionalisasinya, (Bandung: Trigenda Karya, 1993), h. 234
213
mengakibatkan tidak lahirnya anak didik yang memiliki komitmen spiritual dan
intelektual yang mendalam tentang Islam dari lembaga-lembaga pendidikan Islam.238
Menurut Nurcholish Madjid,239 ada persoalan-persoalan lain yang
menyebabkan pendidikan di Indonesia ketinggalan zaman, yaitu: Pertama, salah
satunya adalah ketidakmampuan dalam menguasai bahasa Inggris. Kedua, pendidikan
di Indonesia masih didekati secara nativistik, yaitu suatu orientasi yang hanya
bertumpu kepada bangsa sendiri, bahwa baik dan benar hanya datang dari bangsa
sendiri. Dengan demikian, pendidikan seharusnya menumbuhkan nilai-nilai
kemanusiaan universal (personality development) seperti masyarakat madani, civil,
civilized atau berperadaban. Pada akhirnya, akan muncul penghargaan terhadap
sesama manusia, egaliterianisme, toleran dan nondiskriminatif.
Ketiga , kurangnya kesadaran yang penuh dalam hal etos penelitian.
Keempat, hal yang terkait dan sangat penting dibicarakan berkenaan dengan
pendidikan adalah kebebasan. Kelima, menonjolkan pendidikan verbalisme di
Indonesia. Sudah lama pendiidkan di Indonesia berwatak verbalistik, melalui berisi
omongan, teori-teori abstrak, namun sedikit sekali bersinggungan dengan realitas atau
kenyataan sesungguhnya. Keenam, pluralitas keagamaan harus diperkenalkan.
Ketujuh, persoalan penting lainnya adalah pendidikan terkait dengan soal
238A. Syafi’I Ma’arif, Pendidikan Islam sebagai Paradigma Pembebasan, dalam Muslih Usa
(Ed.) Pendidikan Islam di Indonesia , (Yogyakarta: Tiara Pada saat ini Nurcholish Madjid menjadi pendiri sekaligus Ketua Yayasan Wakaf Paramadina, serta Rektor Universitas Paramadina Mulya (sejak 27 Februari 1998 sampai sekarang)Wacana Yogya, 1991), h. 20
239 Nurcholish Madjid, “Kata Pengantar” dalam Pendidikan Untuk Masyarakat Indonesia Baru, 70 Tahun H.A.R. Tilaar, (Jakarta: Grassindo, 2002), h. xxvi
214
penghargaan terhadap peran dan posisi guru. Masyarakat yang maju selalu
menempatkan guru dalam posisi yang sangat terhormat.
Rendah dan minimnya ilmu yang dimiliki orang-orang Islam atau kemiskinan
intelektual, membawa konsekuensi rendahnya kemampuan umat Islam memberi
respon pada tantangan zaman secara kreatif dan bermanfaat, yang mengalami
perubahan dan perkembangan yang sangat cepat.240
Berdasarkan keterangan di atas, maka dapat difahami, bahwa ada beberapa
usaha yang dilakukan Nurcholish Madjid untuk mengatasi masalah rendah dan
minimnya ilmu yang dimiliki orang-orang Islam atau kemiskinan intelektual dari
anak didik, sebagai berikut:
Pertama, anak didik harus diberikan pelajaran bahasa Inggris, sampai
menguasianya.
Kedua, menumbuhkan nilai-nilai kemanusiaan universal seperti masyarakat
madani atau berperadaban kepada anak didik, yang pada akhirnya ai akan muncul
menjadi manusia yang mempunyai penghargaan terhadap sesama manusia,
egaliterianisme, toleran dan nondiskriminatif.
Ketiga, anak didik harus diberi kesadaran penuh dalam hal etos penelitian.
Menurut Nurcholish Madjid, orang-orang Amerika dan Barat pada umumnya tetap
yang paling baik. Hampir semua temuan dilakukan oleh orang-orang Barat. Oleh
240 Nurcholish Madjid, Tradisi Islam, Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di
Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1997), h. 45
215
sebab itu, etos penelitian sangat terkait dengan tekanan kuat pada aspek
pengembangan pribadi.
Keempat, anak didik diberi kebebasan dalam berpendapat.
Kelima , harusnya anak didik tidak banyak diberikan pendidikan yang
menonjolkan verbalistik, namun harus lebih banyak yang bersinggungan dengan
realitas atau kenyataan sesungguhnya. Oleh sebab itu, pendidikan harus mendorong
dan mengupayakan rasa curiosity yang tinggi terhadap alam. Berkaitan dengan ini,
program-program pendidikan berupa outhound training harus segera diperbanyak dan
dikembangkan.
Keenam, anak didik diperkenalkan tentang pluralitas keagamaan, bahwa
bangsa Indonesia majemuk dari segi keyakinan ajaran agama. Di Indonesia terdapat
multi agama. Masing-masing ajaran agama itu mempunyai ukuran tingkah sendiri
dan setiap umat beragama harus menjadi toleran dan memiliki rasa penghargaan
terhadap orang lain.
Ketujuh, mengubah cara berfikir anak didik. Menurut Nurcholish Madjid,
keyakinan diri dan kemampuan menghadapi masa depan sangat tergantung pada
bagaimana cara berpikir. Jika Islam mengajarkan bahwa Allah tidak akan mengubah
nasib suatu kaum, sehingga mereka sendiri mengubah apa yang ada pada diri
mereka, maka interpretasi yang paling sesuai dengan perubahan nasib sangat
tergantung pada perubahan cara berpikir. Sebab cara berpikir merupakan salah satu
216
hal yang paling substantif dalam diri manusia.241 Untuk membentuk cara berpikir
seseorang, pendidikan memegang peranan penting.
Selanjutnya berkaitan dengan usaha peningkatan kualitas sekolah agama di
Indonesia, menurut Nurcholish Madjid, salah satu kendala usaha peningkatan kualitas
sekolah agama ialah tidak dimilikinya daya tarik dalam kaitannya dengan “janji
kerja” (the promise of job) seperti sekolah-sekolah jurusan lainnya. Ini dapat
berdampak kepada rendahnya gengsi sekolah agama dan ilmu-ilmu yang menjadi
garapannya. Dan kurangnya gengsi ini akan dengan sendirinya berdampak negatif
menurunnya kemampuan memenuhi fungsi sebagai sumber kekuatan moral
masyarakat tersebut. Karena itu, menurut Nurcholish Madjid, ada persoalan besar
dalam meningkatkan kualitas sekolah agama yang menuntut perhatian serius kita.242
Sebagian mereka lebih berperan sebagai pemain-pemain teknis dalam masalah-
masalah agama. Sementara ruh agama itu sendiri jarang benar digumulinya secara
intens dan akrab.
Dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan di sekolah tinggi agama
Islam, Nurcholish Madjid membicarakannya mulai dari segi yang terpenting: yaitu
masalah bahan manusia (human material), terutama menyangkut siapa yang akan
menjadi mahasiswa.243 Asumsinya menurut Nurcholish Madjid ialah, dengan bahan
241 Ibid., h. 29 242 Lihat Nurcholish Madjid, Cendekiawan & Relegiusitas Masyarakat, Kolom-Kolom di
Tabloid Tekad, (Jakarta: Paramadina, 1999), Cet. Ke-1, h. 165 243 Dalam bahasa Arab dikenal tiga istilah yang sering digunakan untuk menunjukkan pada
anak didik kita. Tiga istilah tersebut adalah murid yang secara harfiah berarti orang yang menginginkan atau membutuhkan sesuatu; tilmidz (jamaknya) talamidz yang berarti murid, dan thalib al-ilm yang menuntut ilmu, pelajar, atau mahasiswa.Lihat Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia,
217
manusia yang baik akan diperoleh produk yang baik. Sebaliknya, dengan bahan
manusia yang kurang bermutu, maka produknya pun akan kurang bermutu pula, dan
amat sukar, jika malah bukannya mustahil, dapat menghasilkan produk yang baik.
Menurut Nurcholish Madjid, bahan manusia yang baik dapat diperoleh
dengan melakukan seleksi yang tinggi. Di sini, menurut Nurcholish Madjid, kita
terbentur kepada realitas bahwa sekolah tinggi agama kita (Islam) biasanya
berpenampilan populis atau merakyat. Maka setiap usaha melakukan seleksi tinggi
akan punya risiko benturan dengan populisme itu, sehingga terasa tidak adil atau
mungkin malah “kejam” dan “snobis”, atau malah tidak relevan. Tapi kemungkinan
benturan itu kiranya dapat dipandang sebagai ”bahaya” yang lebih rendah
dibandingkan dengan “bahaya” membiarkan lembaga studi keislaman tumbuh tidak
efektif dan kurang berwibawa dalam jangka panjang.244
Pendapat Nurcholish Madjid di atas sebenarnya bukan hal yang baru, sebab
tentang perlunya seleksi siswa atau mahasiswa baru untuk mencari bibit unggul
hampir semua tokoh juga telah membicarakannya, dan hal itu sudah diterapkan oleh
sekolah negeri atau perguruan tiggi negeri atau sekolah swasta yang sudah diakui
oleh masyarakat kualitasnya. Namun Nurcholish Madjid tidak menjelaskan tentang
ciri-ciri siswa atau bibit yang unggul yang dapat dijadikan acuan bagi sekolah atau
(Jakarta: Hidakarya Agung, 1990), h. 79 dan 238 Ketiga istilah (murid, tilmidz, dan thalib) tersebut seluruhnya mengacu kepada seseorang yang tengah menempuh pendidikan. Perbedaannya hanya terletak pada penggunaannya. Pada sekolah yang tingkatannya rendah seperti Sekolah Dasar (SD) digunakan istilah murid dan tilmidz, sedangkan pada sekolah yang tingkatannya lebih tinggi seperti SLTP, SLTA, dan Perguruan Tinggi digunakan istilah thalib al-ilm. Lihat Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Logos Wacana Ilmu, 2001), Cet. Ke-4, h. 80
244 Ibid
218
perguruan tinggi. Dengan demikian Nurcholish Madjid hanya menekankan
pentingnya seleksi murid baru, sedangkan teknis serta ukuran penilaiannya
diserahkan kepada sekolah masing-masing sesuai dengan keadaan sekolahnya.
5. Pembaharuan Pada Aspek Guru
Kata “guru” berasal dari bahasa Indonesia yang berarti orang yang mengajar.
Dalam bahasa Inggris, dijumpai kata “ teacher” berarti pengajar.345 Selain itu terdapat
kata “tutor” yang berarti guru pribadi yang mengajar di rumah, mengajar ekstra ,
memberi les tambahan pelajaran,346educator, pendidik, ahli didik, lecturer , pemberi
kuliah, penceramah.347
Dalam bahasa Arab istilah mengacu kepada pengertian guru lebih banyak lagi
seperti al-alim (jamaknya ulama) atau al-mu’allim, yang berarti orang yang
mengetahui dan banyak digunakan para ulama/ahli pendidikan untuk menunjuk pada
hati guru. Di antara para ahli pendidikan Islam yang menggunakan kata al-alim atau
al-mu’allim adalah Imam al-Ghazali seperti disebut dalam buku al-fikr al-Tarbawy
inda Imam al-Ghazali.348
Selain itu ada sebagian ulama yang menggunakan istilah al-Mudarris untuk
arti orang yang mengajar atau orang yang memberi pelajaran.Di antara ulama
pendidikan yang menggunakan kata al-mudarris untuk arti guru adalah Ahmad
345 John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1982), h. 581
346 Ibid. 608 347 Ibid, h. 207 348 Muhammad at-Toumy al-Syaibany, Min Usus al-Tarbiyah al-Islamiyah, (Lebanon: al-
Munsiat al-Tsa’biyah li al-Nas wa al-Taudzi wa al-I’lan, 1979), h. 76
219
Tsalabi dalam bukunya”Tarikh al-Tarbiyah al-Islamiyah.349 Namun dibandingkan
dengan kata al-Mu’allim atau al-Ulama dengan kata al-Mudarris, ternyata
penggunaan kata al-Mu’allim atau al-alim lebih banyak dari penggunaan kata al-
Mudarris. Selain itu terdapat pula istilah al-Muaddib yang merujuk kepada guru yang
secara khusus mengajar di istana.350
Selain itu terdapat pula istilah ustad untuk menunjuk kepada arti guru yang
khusus mengajar pengetahuan agama Islam. Istilah ini banyak digunakan oleh
masyarakat Islam Indonesia dan di Malasyia. Sedangkan kata-kata ustadz dalam
buku-buku pendidikan Islam yang ditulis para ahli pendidikan islam yang ditulis para
ahli pendidikan jarang digunakan. Istilah tersebut di Mesir digunakan untuk
menunjuk kepada pengertian dokter. Selain itu terdapat pula syaikh yang digunakan
untuk merujuk kepada guru dalam bidang tasawuf.351 Dan ada pula sebutan Kyai,
Ajengan, dan Buya. Istilah dan Ajengan digunakan untuk guru besar pada pesantren-
pesantren di pulan Jawa. Sedangkan istilah Buya digunakan untuk ahli agama di
pulau Jawa, Aceh dan sebagaian Jakarta, seperti Buya Hamka, Buya Ismail dan
sebagainya. Menurut pandangan tradisional, guru adalah seorang yang berdiri di
depan kelas untuk menyampaikan ilmu pengetahuan.352
349 Ahmad Tsalabi, Tarikh al-Tarbiyah al-Islamiyah, (Mesir: Kasysyaf li al-Nasyr Saruji al-
Thaba’ah wa al-Tauzi, 1954), h. 89 350 Dr. Majdag Hanusy Saruji, Thuruq al-Ta’lim fi al-Islam, (Mesir: Mathba’ah Dar al-
Masyriq li al-Tarjamah wa al-Thaba’ah wa al-Nasyr, 1992), h. 10 351 Lihat misalnya Abdurrahman al-Khaliq, al-Fikr al-Shufi fi Dhau al-Kitab wa al-Sunnah,
(Kuwait: Maktabah Ibn Taimiyah, 1986), Cet. Ke-3, 316-349 352 Syafruddin Nurdin, M.Pd., Guru Profesional & Implementasi Kurikulum, (Jakarta: Ciputat
Press, 2002), Cet. Ke-1, h. 7
220
Menurut persatuan guru-guru Amerika Serikat, guru adalah semua petugas
yang terlibat dalam tugas-tugas kependidikan.353
Sedangkan menurut Balnadi Sutadipura, sebagaimana dikutip oleh Syafruddin
Nurdin, :”Guru adalah orang yang layak digugu dan ditiru.”354 Adapun menurut
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, guru adalah seorang yang mempunyai
gagasan yang harus diwujudkan untuk kepentingan anak didik, sehingga menunjang
hubungan sebaik-baiknya dengan anak didik, sehingga menjunjung tinggi,
mengembangkan dan menerapkan keutamaan yang menyangkut agama, kebudayaan,
keilmuan.355 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, guru adalah orang yang
pekerjaannya (mata pencahariannya, profesinya) mengajar.356
Berdasarkan keterangan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa seorang guru
bukan hanya sekedar pemberi ilmu pengetahuan kepada murid-muridnya atau
menurut Soepardjo Adikusumo “mengecer informasi dengan manjaja-jajaknnya di
depan kelas.”357 Akan tetapi, dia seorang tenaga professional yang dapat menjadikan
murid-muridnya mampu merencanakan, menganalisis dan menyimpulkan masalah
yang dihadapi. Dengan demikian, seorang guru hendaklah bercita-cita tinggi,
berpendidikan luas, berkepribadian kuat dan tegar serta berprikemanusiaan yang
mendalam.
353 Ibid 354 Ibid. 355 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Petunjuk Pelaksanaan Muatan Lokal,
(Jakarta: 1994), h. 65 356 Moelyono, Kamus Besar Bahasa Indonesia , (Jakarta: 1988), h. 288 357 Syafruddin Nurdin, Op. Cit., h. 9
221
Berkaitan dengan upaya meningkatkan kualitas lembaga pendidikan Islam,
menurut Nurcholish Madjid, daya terik sebuah lembaga keilmuan juga ditentukan
oleh kualitas para anggota civitas akademica-nya, khususnya para dosen atau
guru..258 Sama dengan mahasiswa, jika mungkin dalam hal ini pun seharusnya
dilakukan seleksi yang tinggi. Tapi seleksi yang tinggi mengasumsikan pemasokan
atau tawaran (supply) yang banyak. Kalau tidak, maka banyaknya permintaan dan
sedikitnya tawaran akan berakibat terekrutnya tenaga-tenaga yang “mediocre” belaka.
Padahal dengan kualitas tenaga pengajar yang tinggi itu, menurut Nurcholish Madjid
akan tumbuhlah daya tarik lembaga, sehingga pemasokan bahan manusia mahasiswa
itu lebih besar daripada permintaan, dan terjadilah seleksi yang tinggi.259
Selanjutnya dalam pandangan Nurcholish Madjid, guru atau dosen yang baik
adalah guru atau dosen yang bukan hanya menguasai materi/bahan akan diajarkan,
tetapi juga menguasasi metodologi. Bahkan dalam pandangan Nurcholish Madjid,
seorang guru atau dosen yang mempunyai penguasaan metodologi yang baik,
sekalipun bahannya kurang, akan lebih dan mampu mentrasnfer pengetahuan lebih
efektif daripada seorang guru yang menguasai begitu banyak bahan/materi tetapi
tidak tahu metodologi. Ia membandingkannya antara negara yang unggul dalam SDM
258 Dalam bahasa Arab dijumpai kata ustadz, mudarris, mu’allim dan mu’addib. Kata ustadz
jamaknya asatidz yang berarti teacher (guru), professor (gelar akademik), jenjang di bidang intelektual, pelatih, penulis, dan penyair. Lihat Hans Wehr, A. Dictionary of Modern Written Arabic, (Beirut: Librarie du Liban, London: Macdonald dan Evans, Ltd., 1974), Cet. Ke-4, h. 15 Adapun kata mudarris berarti teacher (guru), instructor (pelatih) dan lecturer (dosen). Ibid., h. 279. Selanjutnya kata mu’allim yang juga berarti teacher (guru), instructor (pelatih), trainer (pemandu). Ibid., h. 637 Selanjutnya kata mu’addib berarti educator, pendidik atau teacher in Koranic School (guru dalam lembaga pendidikan al-Qur’an). Ibid., h. 11
259 Lihat Nurcholish Madjid, Cendekiawan & Relegiusitas Masyarakat, Kolom-Kolom di Tabloid Tekad, (Jakarta: Paramadina, 1999), Cet. Ke-1, h. 166
222
dengan negara yang unggul dalam sumber daya alamnya. Menurutnya, demikian pula
sebuah negara jauh lebih terjamin mencapai kekuatannya dalam berbagai bidang jika
SDM-nya unggul meskipun SDA (Sumber Daya Alam)-nya kurang. Kasus Jepang,
Korea Selatan, Taiwan, Hongkong dan Singapura dapat dijadikan sebagai contoh.260
Sebaliknya, sebuah negara yang kaya SDA tetapi miskin SDM akan sulit
mencapai kemajuan, seperti negara kita. Akan tetapi, menurut Nurcholish Madjid,
jika seseorang dapat mensinergikan antara metodologi dan bahan atau materi, maka
ibarat negara, hasil perpaduan itu akan melahirkan seperti negara Amerika, Super
Power. Amerika adalah negara yang tidak hanya kaya sumber daya alam, melainkan
juga unggul dalam SDM. Karena itu, menurut Nurcholish Madjid, tantangan utama
kita adalah persoalan metodologi; dalam hal ini menyangkut persoalan SDM,
persoalan kemampuan dan pengembangan potensi manusia.261
Menurutnya, PPs. IAIN ke depan harus mampu mengembangkan berbagai
pendekatan dan metode dalam memahami dan mengaktualisasikan Islam. Beliau
mengajak umat Islam, khususnya para mahasiswa dan dosen untuk melihat
pentingnya pendekatan historis, sosiologis, antropologis, semiotis dan linguistik
dalam mengembangkan wacana studi Islam.
Pendapat Nurcholish Madjid di atas juga didasarkan pada kenyataan bahwa
umat Islam kini banyak kehilangan perspektif sejarah dan sosial dalam memahami
260 Lihat Nurcholish Madjid, “Metodologi Dan Orientasi Studi Islam Masa Depan.” Orasi ilmiah pada tanggal 4 September 2000, yang diselenggarakan oleh Lembaga Penelitian dan Penerbitan (LPP) Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakartra. Orasi ini ditranskrip dan diedit oleh Muhbib Abdul Wahab dalam buku JAUHAR (Jurnal Pemikiran Islam Kontekstual) Volume 1, No. 1, Desember 2000, h. 1
261 Ibid., h. 2
223
Islam. Umat Islam cenderung banyak bersikap dan berpikir normatif, sehingga pola
pemahaman dan pengamalan Islamnya kemudian cenderung dogmatis dan
formalistik..
Pandangan Nurcholish Madjid tentang guru atau dosen di atas walaupun
sebenarnya bukan hal yang baru dikatakan orang. Namun yang berbeda adalah
Nurcholish Madjid dalam mengungkapkan pentingnya penguasaan metodologi
daripada penguasaan bahan pelajaran membandingkannya antara negara yang unggul
dalam SDM dengan negara yang unggul dalam sumber daya alamnya. Menurutnya,
demikian pula sebuah negara jauh lebih terjamin mencapai kekuatannya dalam
berbagai bidang jika SDM-nya unggul meskipun SDA (Sumber Daya Alam)-nya
kurang. Kasus Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Hongkong dan Singapura dapat
dijadikan sebagai contoh. Dengan demikian seorang guru yang sedikit menguasai
bahan, tetapi menguasai metodologinya, lebih baik daripada seorang guru yang
banyak menguasai bahan, tetapi kurang menguasai metodologi. Seperti halnya negara
yang sumber daya alamnya sedikit, tetapi SDM-nya unggul adalah lebih baik,
daripada negara yang memiliki sumber daya alam yang banyak, tetapi SDM-nya
rendah.
224
6. Pembaharuan Pada Aspek Sarana dan Prasarana Pendidikan Islam
Dalam komponen pendidikan, sarana dan prasarana termasuk sebagai alat
pendidikan.262 Sistem pendidikan Islam terjalin secara inheren; tidak ada
pertentangan antar komponennya. Alat berhubungan secara organis dengan tujuan;
hukum yang berlaku padanya mengikuti hukum yang berlaku pada tujuan. Apabila
suatu tujuan bernilai wajib, dan apabila tujuan itu tidak bisa dicapai tanpa suatu alat,
maka alat itu bernilai wajib pula untuk digunakan sebagaimana dinyatakan dalam
kaidah ushul fiqih:263
Dalam pendidikan Islam, tujuan bernilai suci. Berdasarkan prinsip inherensi,
maka alat yang dipergunakan untuk mencapainya hendaknya bernilai suci pula.
Kaidah ushul fiqih menyatakan:
Artinya: “Alat mempunyai nilai yang sejalan dengan nilai tujuan.264
Abdurrahman al-Nahlawi membagi alat-alat pendiidkan menjadi dua macam:
(a) alat material atau manusia yang mempunyai pengaruh maknawi terhadap
pendidikan, seperti masjid, pendidik, keluarga, dan madrasah. Alat macam ini
262 Alat pendidikan ialah segala sesuatu yang digunakan untuk mencapai tujuan dalam pendidikan. Inilah batasan alat pendidikan yang dikemukakan banyak ahli pendidikan. Sementara itu menurut Sutari Imam Barnadib, alat pendidikan adalah suatu tindakan atau perbuatan atau situasi atau benda yang dengan sengaja diadakan untuk mencapai suatu tujuan pendidikan”. Lihat Sutari Imam Barnadib, Pengantar Ilmu Pendidikan Sistematis, (Yogyakarta: Andi Offset, 1993), h. 96
263 Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: logos Wacana Ilmu, 1999), Cet. Ke-2, h. 140
264 Ibid
225
disebutnya wasa ith al-tarbiyah (faktor pendidikan). (b) Alat-alat maknawi-psikhis,
seperti metode bercerita, metode dialog, atau teladan. Alat macam ini disebutnya
asalib atau wasail al-tarbiyah (metode pendidikan).265
Alat-alat macam pertama bisa diistilahkan dengan piranti keras (hardware),
dan macam yang kedua diistilahkan dengan piranti lunak (sofware). Yang dimaksud
dengan piranti lunak ialah alat-alat konkret seperti isi pendidikan, bahan pelajaran,
dan metode pendidikan. Selanjutnya yang dimaksud dengan piranti keras ialah alat
seperti gedung sekolah, perpustakaan dan alat peraga.266
Keadaan fisik sekolah seringkali menjadi perhatian dan bahan pertimbangan
pelajar yang hendak memasuki suatu sekolah. Kadang-kadang perhatian itu
berlebihan, sehingga terjadi salah pandang. Sekolah dipandang sebagai sarana untuk
meraih prestise, bukan sarana pendukung untuk mencapai tujuan. Tidak
mengherankan apabila kemudian tujuan menuntut ilmu (thalab al-‘ilm) menyimpang
menjadi mencari sekolah (thalab al-madrasah). Namun, ini tidak berarti bahwa
gedung sekolah tidak penting.
Keadaan gedung sekolah berpengaruh terhadap suasana belajar-mengajar,
bahkan menurut Nurcholish Madjid, sarana fisik sebagai perangkat keras lembaga
juga tidak kecil perannya dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan Islam.
Pendekatan lahiri ini menyangkut masalah pergedungan dan tata letak ruang yang
265 Abdurrahman al-Nahlawi, Ushul al-Tarbiyah al-Islamiyah wa Asalibuha fi al-Bayt wa al-Madrasah wa al-Mujtama’, (Beirut: Dar al-Fikr, 1979), h. 119. Lihat juga terjemahannya oleh Hery Noer Aly dengan judul Prinsip-Prinsip dan Metode Pendidikan Islam, (Bandung: Diponegoro, 1992), h. 189
266 Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: logos Wacana Ilmu, 1999), Cet. Ke-2, h. 144
226
tepat bagi gedung-gedung, sehingga mengundang kenyamanan dan kebetahan dalam
studi. Sebagai lembaga keislaman, penting sekali dipertimbangkan penggunaan
unsur-unsur arsitektur Islam yang baik, yang akan mempunyai makna simbolik
peradaban Islam.267
Selanjutnya menurut Nurcholish Madjid, dalam rangka pergedungan sudah
waktunya dipikirkan dengan sungguh-sungguh pengadaan gedung atau ruang
perpustakaan yang memadai. Lembaga-lembaga pendidikan dan keilmuan yang tinggi
yang bermutu biasanya menempatkan gedung perpustakaan sebagai bangunan sentral
kompleks atau kampusnya. Sementara itu, isi perpustakaan adalah faktor yang lebih-
lebih lagi amat menentukan tinggi rendahnya mutu pendidikan, penelitian dan
keilmuan lembaga ilmiah itu. Tetapi mengingat tingginya harga buku dan kitab, maka
pada tahap permulaan barangkali terpaksa harus dilakukan pilihan yang tepat atas
buku-buku yang menjadi isi perpustakaan. Dalam hal ini, sebagai lembaga keilmuan
Islam, penting sekali memiliki khazanah kepustakaan dari warisan budaya Islam
klasik yang kaya raya itu. Guna menjamin orientisitas penampilan keilmuan
lembaga.268
Menurut Nurcholish Madjid, di samping otentisitas, segi ke-up-to-date-an
yang ditampilkan lewat adanya wawasan kekinian dan masa depan juga harus benar-
benar dikembangkan. Kemandulan banyak lembaga Islam kita sekarang ini, seperti
juga bnayak lemabga lain, ialah tiadanya atau lemahnya kekinian dan masa depan itu.
267 Lihat Nurcholish Madjid, Cendekiawan & Relegiusitas Masyarakat, Kolom-Kolom di
Tabloid Tekad, (Jakarta: Paramadina, 1999), Cet. Ke-1, h. 167 268 Ibid
227
Tanpa aspek ini maka kemampuan memberi responsi kepada tantangan dan tuntutan
zaman akan sangat miskin. Maka ini memang menuntut prasarana berupa
kepustakaan yang modern dengan bahan-bahan bacaan yang juga up-to-date.269
Selain segi fisik, perangkat lunak yang mesti diperhatikan dan dikembangkan
ialah metodologi yang tepat dan efektif dalam pengajaran, pengkajian dan penelitian.
Sudah merupakan rahasia umum bahwa metodologi pengkajian agama di kalngan kita
masih sangat lemah dan kurang produktif. Menurut Nurcholish Madjid, pendekatan
yang lebih kritis dengan kesadaran segi kesejarahan yang tinggi amat diperlukan,
sehingga kita tidak mengalami kekacauan pandangan antara apa yang murni ajaran
dan apa yang merupakan produk sejarah. Ini dapat diterapkan kepada semua bidang
studi keagamaan, peradaban dan kebudayaan Islam, dalam semangat memperhatikan
sunnatullah bagi umat-umat yang telah lalu guna dapat mengambil pelajaran. Dan
sebagai tradisi intelektual, pendekatan ini merupakan kelanjutan pengembangan
metodologi ilmiah rintisan Ibn Khaldun. Berkaitan dengan soal metodologi ini,
penguasaan bahasa asing yang relevan juga amat diperlukan. Menurut Nurcholish
Madjid, kita sekarang sudah banyak mempelajari Bahasa Arab, tapi secara kualitatif
masih banyak perlu peningkatan, demikian pula Bahasa Inggris. Di samping itu,
penting sekali mulai dirintis peningkatan pengetahuan tentang bahasa-bahasa kaum
Muslim yang lainnya, seperti Persi, Urdu, Turki, Swahili dan lain-lain.270
269 Ibid. 270 Ibid.
228
Demikianlah kita berharap mutu pendidikan Islam, terutama pendidikan
tinggi Islam kita dapat berkembang di masa-masa mendatang, sejalan dengan
perkembangan Islam di Indonesia modern dewasa ini yang menunjukkan tanda-tanda
apresiasi ilmu keislaman yang tidak ada bandingannya dengan Indonesia di masa lalu.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa Nurcholish Madjid menginginkan
sekolah-sekolah agama seperti madrasah mempunyai gedung dan perlengkapan yang
lengkap yang tidak kalah dengan sekolah-sekolah kelas elit di Jakarta. Sehingga
sekolah-sekolah agama Islam, terutama di daerah-daerah tidak kalah dengan sekolah-
sekolah Kristen.
Berdasarkan keterangan di atas, maka dapat difahami. Bahwa sarana yang
berupa gedung dan perpustakaan amat erat hubungannya dengan mutu sekolah.
Sekalipun sederhana, tokoh-tokoh pendidikan Islam dahulu sudah mengetahui
pentingnya alat-alat bagi peningkatan mutu pendidikan. Dimulai dari yang amat
sederhana, pengajaran diberikan di rumah, kadang-kadang di mesjid atau di halaman
mesjid. Rumah Rasulullah pernah dijadikan tempat belajar. Rumah Arqam ibn Arqam
pernah dijadikan oleh para sahabat untuk mempelajari pokok-pokok ajaran Islam dan
pengajaran hafalan al-Qur’an. Sarana pendidikan seperti perpustakaan pada masa
pertengahan memberikan saham yang besar bagi peningkatan kualitas lembaga
pendidikan dan intelektual umat Islam.
7. Pembaharuan Pada Aspek Sistem Dan Kelembagaan Pendidikan Islam.
229
Diskursus klasik yang tetap aktual karena masih sering dipersoalkan oleh para
pakar pendidikan Islam adalah adanya dikotomi dalam sistem pendidikan islam. Hal
ini nampaknya sudah berkembang dan dianggap sebagai sistem pendidikan modern
yang sesuai dengan zaman. Sebenarnya hal itu tidak boleh terjadi karena dikotomi itu
yaitu sistem pendidikan Barat yang dinasionalisasikan dengan menambah beberapa
mata pelajaran agama Islam dan sistem pendidikan yang berasal dari zaman klasik
(tradisional) yang tidak diperbaharui secara mendasar, mempunyai arah yang berbeda
atau dalam beberapa sisi penting justru bertolak belakang.271
Persoalan dualisme dikotomi sistem pendidikan itu telah melanda seluruh
negeri Muslim atau negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam.
Di tengah maraknya persoalan dikotomi sistem pendidikan Islam tersebut,
Nurcholish Madjid berupaya untuk menawarkan solusinya dengan berobsesi
menciptakan suatu sistem pendidikan yang memiliki keterpaduan antara unsur
keislaman, keindonesiaan, dan keilmuan, suatu alternatif untuk menuju masyarakat
madani. Untuk membuktikan tesis di atas, berikut ini akan dilihat konsep keterpaduan
dalam ketiga unsur tersebut.272
a. Keislaman.
271Muslih Usa (Ed.), 272 Lihat Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan Dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan,
1999), Cet. Ke-12. Pembahasan lebih jelas lihat Yasmadi, Modernisasi Pesantren Kritikan Nurcholish Madjid Terhadap Pendidikan Islam Tradisional, (Jakarta: ciputat Press, 2002), Cet. Ke-1, h. 121-140
230
Anggapan terhadap Islam sebagai musuh kemajuan dalam pandangan
Nurcholish Madjid berarti orang itu tidak memenuhi keuniversalan ajaran Islam. Oleh
sebab itu, penelaahan kembali terhadap ajaran nilai universalitas Islam amat
diperlukan,273 sehingga dapat mengatasi sikap sebagian kalangan yang meninggalkan
Islam.
Ajaran Islam dengan jelas menunjukan adanya hubungan organik antara ilmu
dan iman. Hubungan organik itu kemudian dibuktikan dalam sejarah Islam klasik
ketika kaum muslim memiliki jiwa kosmopolit yang sejati. Atas dasar
kosmopolitanisme itu umat Islam membangun peradaban dalam arti yang sebenar-
benarnya yang juga berdimensi universal.274 Sebab, pada dasarnya Islam itu
membawa pada kemajuan bukan sebaliknya. Sejarah telah membuktikan, Islamlah
yang membawa pada zaman kekuatan dan kegemilangan.
Inilah yang memperkokohkan nilai universalitas Islam yang meliputi unsur
sejarah, filsafat, sains, trilogi dan tasawuf, sebagai tradisi keilmuan Islam klasik yang
telah menaruh perhatian Nurcholis Madjid cukup tinggi. Ini terbukti dengan
intensnya cabang-cabang ini dibicarakan Nurcholis Madjid bersama Klub Kajian
Agama (KKA) yang diselenggarakan oleh yayasan wakaf paramadina Jakarta.
273 Konsep “universalitas Islam” selalu jadi bagian penting dalam pembicaraan Nurcholish Madjid,
bahkan telah melandasi keseluruhan dari pola pikiran. Selanjutnya dapat dibaca karya-karya Nurcholish Madjid, Terutama, Islam Dektrin dan Peradaban, Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan, cet. Ke-2 (Jakarta: Paramadina, 1992).
274 Nurcholish Madjid, Islam Dektrin, h.24.
231
Bidang-bidang dilirik kembali dalam mencari bentuk konsep universitas Islam,
sebagaimana yang digagas oleh Hamid Hasan Bil Rami dan Sayid Ali Asyraf.275
Keikutsertaan dunia pendidikan Islam secara aktif dalam pembangunan
Indonesia akan menampilkan Indonesia dalam bentuk “baru”. Nurcholis Madjid
pernah mensinyalir bahwa Indonesia yang akan datang itu seperti sosok “santri yang
canggih”. Nurcholis Madjid menyelaraskan Indonesia dengan sikap egaliter, terbuka,
kosmopolit dan demokraratis. Ini merupakan pola budaya pantai, sebab sekarang pola
budaya pedalaman “in land culture” masih mendominasi. Dengan kata lain, suatu
penampilan Islam modern yang menyerap secara konstruktif fan posotif kehidupan
modern, namun semuanya tetap dalam nilai-nilai kesilaman.275 Dalam bahasa
sederhana dan paling populer didengar adanya keselarasan antara iptek (ilmu
pengetahuan dan teknologi) dan imtaq (iman dan taqwa) dengan potensi inilai
harapan akan terwujudnya masyarakat madani dapat dimungkinkan.
Perpaduan kedua komponen penunnjang iptek dan imtaq diupayakan lewat
perpaduan dua sistem pendidikan tradisional dan modern. Memasukan sistem
pendidikan “baru” dalam dunia pendidikan Islam bukan berarti melepaskan yang
“lama”. Karena pada institusi pendidikan pesantren itu justru ada yang perlu
ditumbuhkembangkan kembali. Tidak semua pada yang “lama” itu mesti dibuang.
Nurcholis Madjid dalam hal ini menyerukan untuk melihat kembali kitab-litab lama
275 Baca Hamid Hasan Bil Rami dan Sayid Ali Asyraf, Konsep Universalitas Islam, terj. Machnun
Husein, cet ke-1, (Yogyakarta: Tiara WacanaYogya, 1989). H. 14-21 275 Nurcholish Madjid, Dialog Keterbukaan,Artikulasi Nilai-nilai Islam dalam wawasan
Sosial Politik Kontemporer, (ed. Edy Nurcholish Madjid), cet. Ke-1, Jakarta: Paramadina, 1980, h. 212.
232
“klasik” untuk menyikapi agar tidak terjadinya kemiskinan intelektual atau dalam
istilah Nurcholis Madjid kehilangan jejak riwayat intelektualisme Islam.276
Oleh sebab itu, menurut Nurcholis Madjid, di Indonesia sering didengungkan
tentang perlunya para sarjana keislaman mengenal apa yang disebut “kitab kuning”.
Seruan itu adalah penyederhanaan dari rasa kesadaran dan keterpaduan kepada sikap-
sikap yang lebih apresiatif terhadap warisan intelektual Islam sendiri. Apresiasi yang
dikehendaki terhadap “kitab kuning” bukankah jenis apresiasi doktrinal dan
dogmatik, melainkan jenis intelektual dan akademik. Selain itu juga diharapkan
secara wajar mengepresikan warisan intelektual dari luar Islam sejalan dengan
petunjuk agama sendiri dalam hal sikap terhadap hikmah atau ilmu pengetahuan dari
manapun datangnya.277 Sikap terhadap kedua kutub warisan intelektual inipun
mengindikasikan pengintegrasian keilmuan dalam wacana pendidikan Islam.
Selanjutnya pada tataran yang lebih tinggi lagi bidang filsafat belum
mendapat tempat dalam pendidikan Islam, sehingga kedalaman ilmu seseorang dalam
Islam selalu diukur sejauh mana pengetahuan terhadap fiqih, sebagai akibat dari fiqh
oriented. Barangkali dengan upaya inilah salah satu metode untuk menghilangkan
jarak dan jurang antara dunia pendidikan Islam secara khusus dengan dunia
pendidikan modern.
Tinggal lagi persoalan yang melihat dunia pendidikan sekarang adalah
merumuskan kajian epistemologi ilmu-ilmu umum itu uang masih terlihat kabur,
276 Nurcholish Madjid, Dialog Keterbukaan, h. 261 277 Nurcholish Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam, cet ke-, (Jakarta: Paramadina, 1997), h. 167.
233
kemudian merumuskan metodologi dalam mengajarkannya di dunia pendidikan Islam
secara umum. Azyumardi Azra misalnya mengangkat kasus Al-Azhar. Pengalaman
Al-Azhar dalam mengintegrasikan antara bidang ilmu-ilmu umum dengan ilmu-ilmu
agama tersebut boleh dikatakan kurang berhasil. Dan hambatan-hambatan tertentu,
misalnya berkaitan dengan persoalan dikotomi konseptual ketika fakultas-fakultas
umum dimasukan ke Al-Azhar, tidak disertai dengan perumusan epistemologi yang
jelas. Misalnya saja, bagaimana ilmu-ilmu eksakta diajarkan kepada mahasiswa
dalam kerangka atau visi Islam, bagaimana membersihkan warna Islam terhadap
ilmu-ilmu yang bersifat umum.278 Gagasan serupa yang dilontarkan Nurcholis Madjid
juga akan terbentuk pada problem yang sama, karena belum konkritnya konsep
epistemologi keilmuan umum tersebut dalam wacana pendidikan Islam kontemporer.
Konsep dasar yang dimunculkan Nurcholis Madjid hanya sebatas bagaimana
menempatkan kembali ilmu pengetahuan dan teknologi ke dalam daerah pengawasan
nilai agama, moral dan etika.279 Karena pada prinsipnya, asal mula semua cabang
ilmu pengetahuan adalah berpangkal pada ilmu agama. Ketika para intelektual
Muslim mampu mengembangkan dan mengislamkan ilmu pengetahuan modern
itu,dunia Islam akan dapat mencapai kemakmuran dalam berbagai bidang, seperti
yang dicontohkan pada masa Islam klasik. Saat ini, umat Islam hanya dapat
278 Ayumardi Azra, “Rekonstruksi Kritis Ilmu dan Pendidikan Islam” dalam M. Anis, (pen),
Rekonstruksi Pendidikan dan Tradisi Pesantren, Relegiusitas Iptek, cet. Ke-1, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998, h. 82.
279 Dalam hal ini Nurcholish Madjid tidak sependapat dengan kalangan yang bersikap askriptif terhadap ilmu dan teknologi, antara lain Naquib Al-Attas. Bagi Nurcholish Madjid, ilmu dan teknologi yang dipelajari sekarang sebagaimananya memang berasal dari Barat, tetapi yang terpenting adalah bagaimana ilmu dan teknologi itu bisa ditundukan pada suatu sistem etika yang terkuat. Dalam hal ini tentu saja sistem etika universal yang dimiliki umat Islam. Lihat Nurcholish Madjid, Dialog Keterbukaan, h. 247-248.
234
menyaksikan bekas-bekasnya saja., buktinya sampai saat ini kata pengetahuan dan
teknologi modern di Barat yang berasal dari bahasa Islam, khususnya bahasa Arab.
Sebagai indikator, terdapat akar-akar Islam bagi ilmu pengetahuan dan teknologi
modern.280 Peradaban Islam mempengaruhi Barat tidak hanya dalam bidang iptek,
tetapi juga dalam bidang peradaban pada umumnya, maka dapat ditemukan pula
berbagai istilah Inggeris pinjaman dari bahasa Arab dan Persia.281
Dengan menyadari kondisi umat Islam, dimana tingkat pendidikan modern
rata-rata diseluruh dunia, masih lebih rendah dari bangsa-bangsa lain, maka untuk
menuju ke arah masa depan yang lebih baik, Nurcholish Madjid menyerukan kepada
umat Islam dalam merespon tantangan zaman itu harus terlebih dahulu dengan
menangkap pesan dalam kitab suci. Kemudian secara kritis mempelajari sosok ilmu
pengetahuan yang dihasilkan oleh modernitas. Uapaya ini merupakan salah satu
upaya bentuk menemukan kembali pengetahuan baru yang merupakan tujuan sejati
intelektual Isam.282
280 Istilah teknis tersebut sebagaimana dipaparkan oleh Nurcholish Madjid berikut ini, alchemy dari al-
kimiya, ilmu kimiaL al-cohol dari al-kuhil, alkohol: alcove dari al-qubbah, kubah: alembic dari al-anbiq, alat distilisasi, algebra dari aljabar wa al-musiwah, aljabar, dan teori equition, algorism idari al-al-Khawarizmi karena sajana itu yang menemukannya, alkali dari al-qali, hidroksida, sodium, potassium, dan lain-lain, azimuth dari al-sumutatau al-samt, puncak, penunjuk arah, caliber dari qalib, cetakan atau ukuran barang-barang logam, carat dari qirath, timbangan Barat tertentu, caraway dari karawayu, biji tertumbuhan aromatik, sipher dari shifer, nol, nhil, elixir dari al-iksir, obat-obatan, monsoon dari mawsim, musim, nadri dari nadhir, sharuq, anfin yang bertiup dari Timur, zenith dari samt al-ra’s, arah kepala, puncak zero dari shifr, nol, nihi. Lihat Nurcholish Mdjid, Kaki Langit, h. 17.
281 Istilah Inggeris pinjaman dari bahasa Arab atau Persia seperti admiral dari al-amir atau amir al-bahr, pemimpin pelayaran, alfalfa dari al-fashfashah, makanan ternak utama, azure dari al-lazaward, lazuardi, carafe dari ghraffah, gelas minuman , coffee dari qahwah, kopi, cotton dari quthn, kapas, kaptun, hashish dari al-hasysy, rerumputan, jar dari jarrah, bejana, lute dari al-ud, tangkai kayu, menjadi senar ,usik, macreme dari miqramah, sejenis kain, magazine dari makhazin, tempat menyimpan barang, gudang, mohair dari mukhayyar, kain pilihan, sofa dari ahuffah, sofa, tariff dari ta’rifah, harga yang ditetappkan, dan lain sebagainya. Lihat Nurcho;lish Madjid, Kaki Langit, h.17-18
282 Nurcholish Madjud, Islam Dokterin, h. 485-486
235
Selanjutnya, sejalan dengan renaisans Asia yang bercirikan semangat
memunculkan kembali potensi budaya Asia yang asli, maka konsep keterpaduan
pendidikan yang digagas Nurcholish Madjid berakar pula dari potensi budaya
Indonesia, sehingga lembaga pendidikan itu bersifat indegenous.
b. Keilmuan.
Persoalan mendasar yang terjadi hampir merata di dunia pendidikan kaum
Muslim kontemporer adalah terpisahnya lembaga-lembaga pendidikan yang memiliki
konsentrasi dan orientasi yang berbeda. Ada lembaga yang menitikberatkan
orientasinya pada “ilmu-ilmu modern” dan di sisi lain ada lambaga yang hanya
memfokuskan diri pada “ilmu-ilmu tradisional”. Realitas kelembagaan pendidikan ini
lebih dikenal dengan dualisme pendidikan.
Modernisasi pendidikan yang digagas oleh Nurcholish Madjid pada
prinsipnya menghilangkan dualisme pendidikan tersebut. Kedua bentuk lembaga itu
sama-sama memiliki sisi positif yang patut dikembangkan dan juga mempunyai
kelemahan yang sama sekali harus dibuang dan ditinggalkan. Usaha modernisasi
Nurcholish Madjid tertuju pada upaya untuk mengkompromikan kedua lembaga ini
dengan memadukan sisi baik antara keduanya, sehingga pada gilirannya akan
melahirkan sistem pendidikan yang ideal. Nurcholish Madjid menyebutkannya
dengan sistem pendidikan Indonesia menuju ke arah titik temu atau konvengensi.283
Usaha ini berawal pada perpaduan unsur-unsur keilmuan.
283 Cikal bakal lahirnya pendidikan “koncergensi” yang mempertahankan dua perangkat
sistem pendidikan “madrasah” dan “sekolah” atau dengan kata lain sistem pendidikan “Islam”
236
Upaya menghilangkan dualisme pendidikan tersebut tidak terlepas dari usaha
menghilangkan dikotomi keilmuan saat sekarang. Sebab, mengakarnya paham
dikotomi keilmuan amat berpengaruh pada dinamika umat Islam itu sendiri. Pada
masa kejayaan Islam, hampir tidak terlihat adanya dikotomi keilmuan antara “ilmu-
ilmu umum” dan “ilmu-ilmu keislaman”. Perkembangan ilmu pengetahuan berjalan
demikian pesatnya, meliputi ilmu agama, bahasa, sejarah, aljabar, fisika, kedokteran,
dan lain-lain. Tokoh-tokoh seperti Al-Farabi, Ibn Sina, Ikhwan Al-Ahafa, dan lain-
lain menyadari bahwa kesempurnaan manusia hanya akan terwujud dengan
penyerasian antara “ilmu-ilmu umum” dan “ilmu-ilmu keislaman”, sebagai satu
bagian yang tak terpisahkan dalam komponen keilmuan dalam Islam.
Sejarah pendidikan Islam telah menunjukan bahwa keseimbangan antara
ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu dunia terdapat pada masa kejayaan dan
kegemilangan Islam itu. Seperti diungkapkan oleh Hasan Langgulang, pakar
pendidikan, kesembangan ini tidaklah hilang kecuali pada zaman kelemahan. Jadi
kelemahan dan kemunduran umat Islam bukan karena Islam, tetapi karena menjauhi
Islam.284 Artinya umat Islam ketika itu tidak mau lagi menerima ilmu-ilmu modern
yang bersumber dari Barat.
Nurcholish Madjid sebagai seorang cendikiawan Muslim yang banyak
menangkap khazanah kekayaan Islam klasik menyadari keunggulan perpaduan tradsional dan sistem pendidikan “modern” umum, telah ada sejak dicapainya kesepakatan antara Menteri Agama A. Wahid Hasyim dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Bahder Djohan (pada waktu itu dalam klabinet Nasir dari Masyumi). Kesepakatan ini melahirkan kebijakan untuk mengadakan pelajaran umum di sekolah-sekolah agama dan mata pelajaran agama pada sekolah-sekolah umum. Selanjutnya lihat Nurcholis Madjid, Tradisi Islam, h. 22
284 Hasan Langgulang, Asas-asas, h. 117.
237
keilmuan yang telah mengantarkan Islam pada era keemasan dan kemajuan itu.
Sementara itu realitas dunia pendidikan Islam “pesantren” tradisional di Indonesia
masih memperlihatkan keengganan untuk mengadopsi “ilmu-ilmu umum”. Lembaga
pendidikan ini mempertahankan aspek keilmuan Islam klasik saja. Aspek ini dari satu
sisi punya nilai positif sebagai salah satu aset yang dimilikinya dan patut untuk dilirik
kembali dalam membangun sistem pendidikan pada abad keruhanian ini. Untuk
kelengkapannya pesantren perlu mengadopsi pengetahuan modern, sebagaimana telah
diuraikan di atas.
Dengan demikian, sistem pendidikan “baru” yang digagas Nurcholish Madjid
ini mengacu pada perpaduan kedua disiplin keilmuan tersebut. Dalam satu
kesempatan Nurcholish Madjid mengatakan, dunia pendidikan Islam harus
memoderenisasi diri guna mengejar ketertinggalannya, dan untuk memenuhi tuntutan
teknologi di masa depan.285 Pengalaman mempertahankan bahwa untuk menguasai
teknologi, dunia pesantren masih jauh kalah bersaing di bidang lembaga-lembaga
pendidikan non pesantren yang telah lebih dahulu menguasai MIPA, sebagai salah
satu persyaratan untuk menguasai teknologi. Dengan tidak mengatakan sama sekali
tidak ada, karena perkembangan terakhir menunjukan ada “pesantren khusus” yang
menitikberatkan pada teknologi tertentu, seperti peternakan, pertanian, perikanan, dan
lain-lain. Tetapi, di samping jumlahnya yang relatif sedikit, juga pertumbuhannya
relatif baru.
285 Lihat wawancara Nurcholis Madjid dengan Republika, “untuk menguasai MIPA Lembaga
Pendidikan Islam Mesti Memoderenisasi Diri, Senin, 8 Maret 1999, h.9
238
Institusi pendidikan Islam dimasa mendatang mestinya tidak terkonsentrasi
penuh pada bidang kajian Islam saja, lebih dari itu institusi pendidikan tersebut juga
menaruh perhatian yang tinggi pada penguasaan bidang matematika, fisika, kimia dan
biologi (MIPA). Nurcholish Madjid mengatakan, bidang ini diperlukan untuk
meningkatkan daya saing umat Islam demi menyongsong era teknologi dan era
globalisasi mendatang.286
Pemikiran Nurcholish Madjid tersebut tertuju pada upaya untuk memasukan
kurikulum “umum” yang selama ini diterapkan di dunia pendidikan umum ke dalam
pendidikan Islam yang telah memiliki kurikulum tersendiri, sehingga yang akan
terjadi nantinya kombinasi dua bentuk unsur keilmuan dalam skala yang utuh.
Meskipun gagasan ini masih terlihat belum konkrit sebab apakah mengacu pada
sistem pendidikan terpadu dengan menggunakan kurikulum penuh atau hanya sekedar
memberikan label Islam terhadap ilmu-ilmu umum (Islamisasi dalam istilah Ismail
Raji Al-Faruqi), namun yang jelas obsesi Nurcholish Madjid adalah dengan
perpaduan kedua unsur keilmuan diharapkan lahir manusia-manusia yang memiliki
kekayaan intelektual, baik wawasan keislaman maupun wawasan ilmu sains modern.
Inilah yang menjadi sasaran dan tujuan pendidikan Islam yang tercerminkan dalam
penyusunan kurikulum.287
286 Nurcholis Madjid, Republika, “untuk menguasai MIPA Lembaga Pendidikan Mesti
Memoderenisasi Diri, Senin 8 Maret 1999, h.9. 287 Penyususnan kurikulum amat tergantung pada tujuan pendidikan yang diharapkan. Sebab,
kurikulum secara garis besarnya dapat diartikan seperangkat materi pendidikan dan pengajaran yang diberikan kepada murid sesuai dengan tujuan pendidikan yang akan dicapai. Lihat Jalaludin dan Usman Said, Filasafat Pendidikan Islam dan Perkembangan,cet. Ke-2, (Jakarta : Raja Grofindo Persada, 12996), h. 43
239
Perpaduan unsur keilmuan seperti yang dilontarkan Nurcholish Madjid adalah
gagasan yang berkaitan dengan prinsip penyusunan kurikulum. Namun gagasan
Nurcholish Madjid tersebut belum tuntas dan mendasar. Belum kongkritnya gagasan
pembaharuan kurikulum ini, sulit untuk mengidentifikasikan gerakan pembaharuan
kurikulum yang digulirkan Nurcholish Madjid. Dengan mengangkat hasil
pengamatan Kuntowijaya, paling tidak ada empat karakteristik gerakan pembaharuan
kurikulum sebagai bukti tingginya perhatian pemerhenti pendidikan Islam dalam
menyikapi dualisme-dikotomik keilmuan, “ ilmu-ilmu agama” dan “ ilmu-ilmu
umum” . Dengan mengambil kasus perguruan tinggi, Kuntowijoyo menulis berikut ini
:
Pertama, seperti yang sudah dilaksanakan sampai sejauh ini, adalah memasukan mata kuliah-mata kuliah keislaman sebagai bagian integral dari sistem kurikulum yang ada. Jadi misalnya dengan memasukan materi-materi studi secara wajib mulai dari tingkat dasar sampai tingkat tertentu sebagai bagian integral kurikulum pendidikan keilmuan… …kedua, yang dianggap lebih maju. Cara kedua ini adalah dengan menawarkan mata kuliah pilihan studi keislaman. Setelah menerima mata kuliah studi keislaman yang diwajibkan pada tingkat permulaan, pada tingkat berikutnya mahasiswa diharuskan memilih studi-studi Islam secara bebas, seperti tafsir, fiqh, hadits, sejarah (tarikh) Islam, dan sebagainya… …yang mulai diperkenalkan akhir-akhir ini mungkin diharapkan dapat mengarahkan terjadinya integrasi antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum, paling tidak untuk menjembatani jenjang yang ada antara keduanya. Metode ini menawarkan diajarkannya mata kuliah-mata kuliah filsafat ilmu untuk memberikan latar belakang filosofis mengenai semua mata kuliah yang diajarkan… ….keempat, sementara itu, mengambil jalan lain, yaitu dengan lebih dahulu mengintegrasikan semua disiplin ilmu di dalam kerangka keilmuan Islam…288
288 Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi Aksi, cet. Ke-4, (Bandung: Mizan, 1993), h.
352-353. bnandingkan dengan Osman Bakri, Hirarki Ilmu, Membangun Rangka Fikir Islamisasi Ilmu, rej, Purwanto, cet ke-1, (Bandung: Mizan, 1997).
240
Sulitnya mengelompokan ide integrasi kurikulum yang dilontarkan oleh
Nurcholish Madjid terhadap kategoristik di atas disebabkan masih sederhananya
konsep tersebebut. Namun, dapat diperkirakan gagasan Nurcholish Madjid masuk
pada metode atau cara ketiga. Di mana ia berusaha untuk memberikan semacam
enlightening keagamaan pada “ilmu-ilmu umum” tersebut, kemudian
mengintegrasikannya ke dalam hirarki keilmuan Islam. Sehingga disadari bahwa ide
ini hanya pada tataran filosofis.
c. Keindonesiaan.
Modernisasi pendidikan diharapkan mampu menciptakan suatu lembaga
pendidikan yang mempunyai identitas kultural yang lebih sejati sebagai konsep
pendidikan masyarakat Indonesia baru yang di dalamnya juga akan ditemukan nilai-
nilai universalitas Islam yang mampu melahirkan suatu peradaban masyarakat
Indonesia masa depan. Di sisi lain, lembaga ini juga mencirikan keaslian indegenous
Indonesia, karena secara kultural terlahir dari budaya Indonesia yang asli. Konsep
inilah agaknya yang relevan dengan konsep pendidikan untuk menyongsong
masyarakat madani.
Obsesi Nurcholish Madjid adalah mengupayakan modernisasi dengan tegas
dan jelas berlandaskan platform kemodernan yang berakar dalam keindonesiaan
dengan dilandasi keimanan.289
289 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin, h. 485-486
241
Berkaitan dengan upaya modernisasi pendiidkan di Indonesia, terbuka
kembali untuk melirik lembaga pesantren sebagai institusi pendidikan yang lahir dari
budaya Indonesia asli.
Sistem pendidikan kolonial yang jauh berbeda dengan sistem pendidikan
pesantren sangat tidak tepat untuk dijadikan model bagi pendidikan masa depan
dalam rangka menyongsong Indonesia “baru” yang berdimensi keislaman, keilmuan
dan keindonesiaan. Sejak awal kemunculannya sistem pendidikan kolonial hanya
terpusat pada pengetahuan dan ketrampilan duniawi yaitu pendidikan umum.290
Komitmen Nurcholish Madjid dalam memodernisasi dunia pendidikan Islam
Indonesia adalah kemodernan yang dibangun dan berakar dari kultur Indonesia serta
dijiwai semangat keimanan. Maka untuk merekonstruksi institusi pendidikan tersebut
perlu mempertimbangkan sistem pesantren yang mempertahankan tradisi belajar
“kitab-kitab klasik” ditunjang dengan upaya internalisasi unsur keilmuan modern.
Pesantren dijadikan model awal, sebab di sampinbg sebagai warisan budaya
Indonesia, pesantren juga menyimpan potensi kekayaan khazanah Islam klasik yang
terletak pada tradisi belajar kitab kuningnya.
Nurcholish Madjid mengakui bahwa di lingkungan pendidikan Islam
Indonesia telah ada pesantren yang merobah statusnya menjadi sekolah-sekolah
umum, sebagaimana layaknya yang dinaungi oleh Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan. Tetapi, itu tidak terlepas dari motif-motif politik dan orientasi kerja,
seperti contoh kasus di pondok Rejoso. Ketika kesempatan kerja di Departemen
290 Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah, h. 24
242
Agama RI menunjukan kejenuhan, bukan karena seluruh keperluan Departemen itu
telah terpenuhi semua menurut kualitasnya yang layak, tetapi karena jumlah atau
angka mutlak yang ada sudah terlalu besar dibandingkan dengan departemen lainnya.
Kesadaran itu menyebabkan terjadinya switch pada jenis sekolah dengan
kemungkinan janji yang lebih luas. Hingga lahirlah SMP, SMA, bahkan SPG.291
Orientasi kerja dan motif politik tertentu yang menjadi dasar pijakan kebijaksanaan
itu, tentu belum mengoptimalkan sasaran yang diinginkan dari integrasi kurikulum
tersebut. Sebab, pemikiran yang sangat mendasar dari integrasi kurikulum adalah
mampu atau tidaknya pesantren berperan dan ikut serta dalam era ilmu pengetahuan
dan teknologi.
Dalam ungkapan lain, gagasan ini adalah untuk melahirkan sistem pendidikan
tunggal yang lebih efektif akibat terjadinya konvergensi total kedua sistem
pendidikan tersebut. Usaha ini menurut Nurcholish Madjid hampir menunjukan
wujud kongkritnya, seperti dengan meningkatnya kegairahan kepada pendidikan dan
kajian keislaman di lembaga-lembaga pendidikan umum. Sebaliknya ilmu-ilmu
pengetahuan modern tidak lagi terasa asing di lembaga-lembaga pendidikan
keislaman.282 Artinya munculnya kegairahaan kedua aset yang dimiliki lembaga
pendidikan tadi.
Latar belakang munculnya gagasan memadukan unsur keilmuan dalam
moderenisasi pendidikan Islam yang dilontarkan Nurcholish Madjid dapat dilihat dari
291 Nurcholis Madjid, Bilik-bilik Pesantren Potret Perjalanan, cet. Ke-1, (Jakarta:
Paramadina, 1997), h. 78-79. 282 Nurcholis Madjid, Tradisi Islam, h. 22-23.
243
dua faktor. Pertama, berangkat dari ketidakpuasan yang berlebihan terhadap lembaga
pendidikan yang selama ini hanya bergerak di bidang “ilmu-ilmu umum”. Pendidikan
dalam bentuk ini akhirnya melahirkan tenaga-tenaga trampil dalam disiplin keilmuan
umum, bahkan tidak jarang menguasai iptek, namun memiliki jiwa yang kosong dari
nilai-nilai moral. Sehinggga peradaban yang diciptakan adalah peradaban yang tanpa
dibarengi oleh nilai-nilai religius.
Di sisi lain, munculnya ide dan gagasan ini tidak terlepas dari latas belakang
background pendidikan Nurcholish Madjid sendiri. Selaku seorang moderenis yang
liberal, demokratis dan liberal. Nurcholish Madjid adalah produk dari dua sistem
pendidikan yang berbeda kutub. Dengan demikian dapat diperkirakan bahwa sisi-sisi
kelebihan dan kekurangan pada kedua bentuk lembaga ini telah dirasakan Nurcholish
Madjid sebelumnya, sehingga sikap kekecewaan dan kritik yang dilontarkannya
adalah suatu refleksi dari pengalaman belajarnya.
Bila dilihat secara mendalam, kekecewaan Nurcholish Madjid di atas juga
merupakan tampilan atas kekurangan yang diperlihatkan oleh lembaga pendidikan
“umum”. Mereka yang telah menempuh jenjang ini pada gilirannya hanya melahirkan
pribadi yang pincang (split personality). Mereka mengklaim dirinya sebagai orang
yang “modern” dan maju ketika mereka menempuh jenjang pendidikan “umum” dan
tidak pernah berkenalan dengan Islam secara lebih komprehensif seperti yang terjadi
pada orang Turki.
Oleh sebab itu, konsep keterpaduan (keislaman, keindonesiaan dan keilmuan)
di atas, merupakan solusi Nurcholish Madjid dalam rangka menyikapi munculnya
244
split personality, sebagai akibat dari tidak kompleksnya unsur keilmuan dalam
pendidikan. Konsep tersebut pada dasarnya juga merupakan usaha untuk
mengkompromikan sistem pendidikan modern dengan sistem pendidikan tradisional.
Sebaliknya, Nurcholish Madjid nampaknya juga menaruh kekecewaan yang
amat mendalam pada golongan Islam “tradisional” yang masih melestarikan
semangat non-koperatif masa lalu terhadap kaum kolonial. Masih mengakarnya
semangat ini dapat dilihat dari sikap kaum “tradisional” yang tidak menyetujui
bahkan sama sekali tidak dapat menerima hal-hal baru atau ilmu-ilmu modern. Sikap
mereka ini berimplikasi terhadap lembaga pendidikan Islam tradisional yang berada
di bawah naungan mereka. Segala yang berbau kurikulum yang dipergunakan sama
sekali terlepas dari ilmu-ilmu modern tersebut. Padahal sikap memusuhi hal-hal baru
di masa lalu itu sendiri, menurut Nurcholish Madjid adalah faktor psikologi politik
semata.
Akhirnya, rumusan tentang konsep keterpaduan di atas menurut usaha yang
serius untuk merealisasikannya dalam dunia pendidikan Islam Indonesia. Walaupun
secara eksplisit Nurcholish Madjid tidak menyebut keharusan menata suatu
administrasi pendidikan yang rapi,namun munculnya ide membangun suatu konsep
pendidikan alternatif sebagai titik temu atau konvergensi dari dualisme pendidikan
yang ada mengharuskan penataan secara administratif.
Administrasi pendidikan itu muncul oleh sebab beberapa hal, sebagaimana
yang diungkapkan oleh Hasan Langgulang. Menurutnya, faktor-faktor yang
245
menyebabkan timbul dan berkembangnya administrasi pendidikan yang terpenting
adalah :
1. Perubahan besarnya lembaga pendidikan dari pondok (kuttab) yang kecil atau
sekolah kecil dengan seorang guru kepada suatu sekolah (madrasah) yang
meliputi sejumlah besar guru-guru yang menghendaki wujudnya tentang
kepala, atau direktur yang bertanggung jawab secara administratif.
2. Perluasan pendidikan, dan mengamalkan pendidikan wajib atau kewajiban
belajar yang mengharuskan penyiapan murid-murid, guru-guru dan pengasuh-
pengasuh untuk belajar dan mengaturnya.
3. Perubahan dan perkembangan yang berlaku pada sifat pengajaran, tujuan-
tujuan dan fungsinya.
4. Menggunakan metode perencanaan ilmiah (planning) sebagai metode bagi
pertumbuhan dalam perkembangan ekonomi dalm rangka akselerasi
pembanguanan semesta.
5. Perkembangan besar yang berlaku pada semua bidang ilmu dalam segala
cabang pengetahuan manusia dan peluasan yang terjadi dalam penerapan
metode ilmiyah untuk menyelesaikan masalah-masalah administratif.293
Nurcholish Madjid dalam hal ini mengisyaratkan bahwa untuk menopang
penataan dan pembenahan sistem pendidikan “pesantren” dituntut keseriusan dalam
penggarapan yang diikuti dengan kejelasan program, penggunaan metode yang
293 Hasan langgulang, Asas-asas Pendidikan Islam, cet. Ke-2, (jakarta: Muttiara Sumber
Widia, 1992), h. 197-198
246
komprehensif, kecakapan pelaksanaan, dan kelengkapan sasarannya.294 Dengan usaha
yang serius ini diharapkan pendidikan mampu melahirkan manusia yang memiliki
kesadaran yang tinggi bahwa ajaran Islam merupakan weltanschaung yang bersifat
menyeluruh. Dan juga memiliki kemampuan yang tinggi untuk mengadakan responsi
terhadap tantangan-tantangan dan tuntutan-tuntutan hidup dalam konteks ruang dan
waktu yang ada.
Konsep yang dilontarkan Nurcholish Madjid terbebut paling tidak menuntut
suatu ketegasan sikap bahwa mengadopsi ilmu pengetahuan modern amat diperlukan
pada saat ini. Sebab pada gilirannya udaha ini akan menumbuhkan sikap
kompromistis umat Islam terhadap dikotomi keilmuan yang ada dengan jalan
menghilangkan sikap mental yang memusuhi sains modern, sebagai pengaruh dari
sikap non-koperatif masa lampau. Ini diharapkan lahirnya output pendidikan yang
liberal, dengan sendirinya dapat mengubah orientasi pendidikan Islam.
Konsep moderenisasi pendidikan lebih menekankan aspek keterpaduan ketiga
dimensi di atas dengan landasan historis dan filosofisnya. Dalam paradigma
pemikiran Nurcholish Madjid, landasan historis moderenisasi pendidikan Islam
berangkat dari khazanah kejayaan masa Islam klasik.
C. Pengaruh Pembaharuan Pendidikan Nurcholish Madjid.
Sebelum menjelaskan pengaruh pembaharuan pendidikan Nurcholish Madjid,
terlebih dahulu menjelaskan obyek pembaharuan Nurcholish Madjid, sebagai berikut:
294 Lihat Nurcholis Madjid, Bilik-bilik, h. 13.
247
Pada dekade 1980-an, mulai terjadi diskusi-diskusi menarik sekitar
metodologi pembaharuan pemikiran Islam. Agaknya, hampir semua pemikir Islam
Indonesia merasa yakin akan perlunya pembaharuan pemikiran keislaman. Yang
menjadi persoalan, dalam hal ini, adalah bagaimana pembaharuan itu dijalankan,
bagaimana batasan-batasannya dan seterusnya. Hampir semua percikan pemikiran
keislaman menyangkut tema ini.
Nurcholish Madjid, yang baru saja pulang dari Chicago Amerika Serikat
adalah salah satu eksponen pembaharuan pemikiran keislaman kenamaan. Bahkan
merupakan motor terhadap pembaharuan pemikiran tersebut. Nurcholish Madjid
menandaskan perlunya kaum muslimin untuk mengapresiasi tradisi intelektualnya
sendiri, justru dalam rangka pembaharuan pemikiran Islam. Ia sadar sepenuhnya
bahwa pertumbuhan pemikiran Islam akan jauh lebih sehat jika peluang-peluang yang
dimungkinkan oleh warisan intelektual Islam itu sendiri. Ini terutama karena warisan
kaya itu bukanlah sesuatu yang sudah baku dan siap pakai, melainkan lebih karena ia-
bila diterjemahkan kembali dan dirangkai secara organis dengan produk-produk akal
budi manusia dari zaman modern-memberi peluang dasar bagi terobosan-terobosan
konstruktif di masa depan.295
Menurut Syamsurizal Pangabean, pemikiran Nurcholish Madjid tidak lepas
dari tema demokratisasi, modernisasi dan civilisasi bangsa. Sementara menurut Din
Syamsuddin, Syai’i Ma’arif dan fachry Ali, pemikiran Nurcholis Madjid terfokus
295 Ihsan Ali Fauzi, "Pemikiran Islam Indonesia Dekade 1980-an," dalam Prisma 3 Maret
1991
248
pada pandangan keislaman dan tauhid. Namun, kemudian Nurcholish Madjid
menghubungkan keduanya kepada persoalan-persoalan aktual sebagai implikasi
tauhid. Dengan demikian, fokus pertama yang menjadi obyek pemikiran Cak Nur,
terkait dengan persoalan pembaharuan pemikiran Islam, adalah bagaimana
memperlakukan ajaran Islam yang merupakan ajaran universal yang dalam hal ini
dikaitkan dengan konteks (lokalitas) Indonesia. Bagi Nurcholish, Islam pada
hakikatnya sejalan dengan semangat kemanusiaan universal. Hanya saja, sekalipun
nilai-nilai dan ajaran Islam bersifat universal, pelaksanaan ajaran tersebut harus
disesuaikan dengan pengetahuan dan pemahaman tentang lingkungan sosio kultural
masyarakat yang bersangkutan. Dalam konteks Indonesia, maka harus pula dipahami
kondisi riil masyarakat dan lingkungan secara keseluruhan termasuk lingkungan
politik dalam kerangka konsep "negara bangsa".
Kenyataan obyektif Indonesia memperlihatkan bahwa Indonesia merupakan
suatu bangsa dengan tingkat heterogenitas yang tinggi dalam berbagai dimensi; suku,
bahasa, adat istiadat, bahkan agama. Dengan demikian, setiap langkah melaksanakan
ajaran Islam di Indonesia harus memperhitungkan kondisi sosial budaya yang ciri
utamanya adalah pertumbuhan, perkembangan dan kemajemukan.296 Dengan kata
lain, dengan memperhatikan konteks di mana ajaran Islam yang bersifat universal itu
296 Dikutip M. Syafi'i Anwar, Pemikiran dan Aksi…, h. 158
249
hendak dilaksanakan, maka diperlukan satu interpretasi yang bersifat kontekstual
terhadap ajaran tersebut.297 Lebih jauh, Nurcholish menulis:
"Kita sebagai Muslim Indonesia, setelah meyakini dimensi-dimensi universal ajaran Islam, juga meyakini adanya hak-hak khusus kita untuk menyelesaikan masalah kita di sini dan di sini, sesuai dengan perkembangan sosial budaya masyarakat kita dan tuntutan-tuntutannya. Penyelesaian yang kita berikan atas persoalan kita di sini, dalam kaitannya dengan kewajiban melaksanakan ajaran Tuhan, sangat boleh jadi tidak sama dengan penyelesaian yang diberikan oleh bangsa muslim lain atas masalah-masalah mereka, karena itu juga tidak dapat ditiru, meskipun bertitik tolak dari universal yang sama, yaitu Islam. Dan sebaliknya, juga dapat terjadi; kita tidak dapat begitu saja meniru apa yang dilakukan bangsa muslim lain dalam masalah pelaksanaan Islam itu"298
Kontekstualisasi terhadap pesan-pesan Islam yang bersifat universal,
sebagaimana disosialisasikan Nurcholish, bukanlah hal yang sama sekali baru di
dalam Islam. Dan melakukan interpretasi kontekstual terhadap ajaran Islam bukan hal
yang dilarang. Dalam teori-teori dan metode baku pemahaman agama, hal tersebut
dituangkan dalam konsep-konsep tentang istihsan (mencari kebaikan), istislah
(mencari kemaslahatan) yang dalam hal ini berarti kebaikan atau kemaslahatan
umum (al-maslahat al-'ammah, al-maslahat al-mursalah) disebut juga sebagai
keperluan atas kepentingan umum (umum al-balwa).299
Umar, khalifah kedua, adalah sahabat yang kerapkali melakukan interpretasi
terhadap pesan-pesan agama yang pada permukaan terlihat bertentangan dengan teks
297 Gagaan dan Pemikiran Nurcholish Madjid seputar kontekstualisasi ajaran Islam
mempunyai banyak kesamaan dengan apa yang ditawarkan Abd. Rahman Wahid tentang pribumisasi Islam dan Munawwar Syadzali tentang reaktualisasi Islam.
298 Nurcholish Madjid, "Umat Islam Indonesia Memasuki Zaman Modern," dalam Nurcholish, Islam; Doktrin dan Peradaban, Jakarta, Yayasan Wakaf Paramadina, 1992, hal. xxiii
299 Dikutip dari "Pertimbangan Kemaslahatan Dalam Menangkap Makna dan Semangat Ketentuan Keagamaan: Kasus Ijtihad 'Umar Ibn al-Khattab," www.Jurnal Paramadina.com.
250
yang ada. Kebijakan Umar yang bisa dipahami sebagai upaya kontekstualisasi pesan-
pesan Islam adalah kebijakannya seputar rampasan perang yang berupa lahan yang
demikian luas yang baru saja dibebaskan oleh umat Islam. Ketika itu, Umar ditentang
oleh banyak sahabat yang hadir dalam pertemuan untuk memutuskan permasalahan
yang dalam dunia Islam merupakan permasalahan yang relatif baru yang lahir karena
perkembangan Islam itu sendiri.300
Konsekuensi kontekstualisasi pesan Islam yang universal tidak hanya terkait
dengan ruang di mana Islam dianut umat Islam, tetapi juga terkait dengan waktu.
Dalam hal ini, maka pertumbuhan dan perkembangan umat Islam harus menjadi
perhatian dan pertimbangan dalam mengimplementasikan ajaran Islam. Sehubungan
dengan hal ini Nurcholish menyatakan:
"Dari sudut pandang penahapan (tadrij) ini, dan sesuai dengan paradigma tentang jalan dan etos gerak yang dinamis dalam ajaran Islam di atas, tidak ada penyelesaian "sekali untuk selamanya" atas masalah hidup yang senantiasa bergerak dan berubah ini. Suatu bentuk penyelesaian hanya absah untuk masa dan tempatnya. Itupun dengan syarat bahwa penyelesaian itu 'berbicara' kepada masa dan tempat yang bersangkutan, yang dimungkinkan hanya jika telah terjadi 'pembacaan' yang tepat atas masa dan tempat itu."301 Apa yang menarik dari seruan Nurcholish Madjid untuk melakukan
interpretasi kontekstual terhadap pesan-pesan Islam adalah bahwa secara tidak
langsung Nurcholish Madjid menyerukan akan perlunya ijtihad bagi umat Islam.
Terkait dengan seruan untuk melakukan ijtihad ini Nurcholish mempunyai kesamaan
300 Dikutip dari "Pertimbangan Kemaslahatan dalam Menangkap Makna dan Semangat
Ketentuan Keagamaan: Kasus Ijtihad 'Umar Ibn al-Khattab," www.Jurnal Paramadina.com. 301 Nurcholish Madjid, Islam; Doktrin dan… (kata pengantar), hal. Lxxi,
251
pandangan dengan Iqbal, seorang penyair dan filosof kelahiran Pakistan. Iqbal
menyatakan:
"Etos tentang perlunya ijtihad sangat ditekankan oleh filosof dan penyair Muhammad Iqbal, dalam karyanya The Reconstruction of Religious Though in Islam yang menyatakan dalam karya tersebut bahwa ijtihad atau pembaharuan merupakan 'prinsip gerak' dalam Islam. Tanpa ijtihad atau pembaharuan yang kreatif dan terus menerus, umat Islam akan dilanda kebekuan berfikir dan mengalami stagnasi. Ijtihad atau pembaharuan merupakan sesuatu yang inheren dalam Islam. Sebab dengan demikian, "kita tidak akan memahami al-Qur'an dengan tanpa pikiran orang mati."302
Sebagaimana diketahui di atas, Nurcholish Madjid yang mengalami “dua
dunia” yang sedikit banyak berbeda pada usia-usia pembentukan mental dan
kepribadiannya yang mempunyai pengaruh yang sangat signifikan terhadap
pandangan dan pemikirannya tentang Islam belakangan; yaitu di satu sisi, Nurcholish
identik dengan seorang pembaharu yang ide dan gagasannya “menantang” umat
Islam untuk senantiasa melakukan pembaharuan dalam arti mengimplementasikan
Islam sejalan dengan semangat realitas yang berkembang dengan tanpa
menghilangkan ruh atau spirit Islam yang universal. Di sisi lain, Nurcholish Madjid
yang lahir dari lingkungan nahdliyyin ini sangat apresiatif terhadap kajian-kajian atau
wacana pemikiran yang dibawakan para ulama klasik sebagaimana yang digeluti
hampir semua pesantren konvensional di Indonesia, yang ketika itu kerapkali dituduh
sebagai dunia penuh kejumudan dan stagnasi dalam konteks pemikiran Islam.
Dengan kata lain, di samping menggeluti pemikiran-pemikiran Islam
kontemporer yang biasanya lahir sebagai respon realitas yang berkembang,
302 Dikutip M. Syafii Anwar, dalam Pemikiran dan Aksi Islam, h. 81
252
Nurcholish Madjid seringkali mencari rujukan pendapatnya, sebagai perbandingan,
pada kajian-kajian yang dibawakan ulama salaf sebagaimana terkandung dalam kitab
kuning. Klasifikasi Fachri Ali dan Bachtiar Effendi yang menggolongkan Nurcholish
Madjid ke dalam aliran neo-modernisme tidak dapat dilepaskan dari “dua dunia” yang
ditekuni Nurcholish Madjid. Satu aliran yang dengan kuat mendapatkan pengaruh
dari Fazlur Rahman, guru Nurcholish Madjid ketika berada di Amerika Serikat. Satu
hal lain, yang membedakan Nurcholish Madjid dari pemikir Islam lain, terutama dari
sekelompok yang olehnya disebut sebagai neo-fundamentalisme Islam adalah
“keberaniannya” merujuk pada literature non-muslim dalam mengkaji persoalan-
persoalan sosiologis yang dihadapi umat Islam. Sebut saja, misalnya, rujukannya
terhadap Robert N. Bellah dan Harvey Cox tentang sekularisasi. Dan yang pasti,
sebagai seorang “pembaharu”, pengaruh Nurcholish Madjid terhadap perkembangan
pemikiran keislaman di Indonesia tidak dapat dipungkiri.
Fachri Ali melukiskan usia-usia formative age berada dalam situasi yang
bergejolak secara social maupun politik. Lahir setengah decade lebih sedikit sebelum
proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Nurcholish Madjid untuk ukuran
sekarang, tentunya telah ikut merasakan transisi dan perubahan besar masyarakat
Indonesia sebagai akibat dari peralihan pemerintahan jajahan kepada pemerintahan
bangsanya sendiri. Bagaimanapun juga, periode crucial yang tidak bisa (lagi) dialami
oleh generasi pelanjut ini mempengaruhi kesadaran Nurcholish Madjid dan juga
orang-orang yang segenerasi dengannya-tentang arti dinamika sebuah masyarakat.
Kesadaran sosiologis akan arti perkembangan dan dinamika masyarakat-seperti
253
tercemin dalam pandangan-pandangan keagamaannya dewasa ini, tentulah sedikit
banyak berutang pada pengalaman-pengalaman penting masa kecilnya itu.
Nurcholish Madjid mampu melahirkan pengaruh terhadap perubahan-
perubahan tertentu dalam masyarakat Indonesia. Pengaruh dan perubahan-perubahan
itu bisa bersifat institusional dan literer. Secara institusional hasil pengaruh
pribadinya itu bisa terlihat dalam wujud dan kinerja spesifik organisasi HMI di masa
kepemimpinannya dan beberapa periode setelahnya. Tapi pengaruh institusional
paling menonjol dari Nurcholish Madjid adalah Yayasan Paramadina. Melalui
lembaga ini, Nurcholish Madjid meletakkan pengaruhnya bukan saja pada sosialisasi
pemikiran-pemikirannya, melainkan pula pada terbentuknya komunitas tertentu-
walau masih samar-samar-yang menjadi pendukungnya dari kalangan santri kota.
Secara literer, kehadiran Nurcholish Madjid telah memperkaya khazanah intelektual
di negara kita. Ini ditandai dengan bukan saja oleh publikasi pemikiran-pemikirannya
sendiri, melainkan pula oleh studi tentang diri dan pemikirannya. Dengan kata lain,
baik melalui pemikiran-pemikiran maupun studi tentangnya telah dengan sendirinya
melahirkan dinamika intelektual di negara dan masyarakat kita. Melalui karya-karya
ini, kita bukan saja mendapat bahan untuk memahami dunia intelektual Indonesia,
melainkan pula memberikan landasan bagi perdebatan dan perjalanan intelektual
lebih lanjut bagi generasi-generasi mendatang.303
303 Fachri Ali, Intelektual, "Pengaruh Pemikiran dan Lingkungannya; Butir-butir Catatan
untuk Nurcholish Madjid" (Kata Pengantar untuk) Dialog Keterbukaan, (Jakarta: Paramadina, 1997), hal. xxi
254
Kondisi fenomenalitas Nurcholish Madjid juga terlihat pula dalam sejumlah
perkembangan "baru" dalam pemikirannya. Perkebangan pemikiran baru ini pula
yang menyebabkan sebagian ilmuwan merasa tidak nyaman dengan digolongkannya
Nurcholish Madjid pada kelompok/aliran pemikiran tertentu. Sebagaimana banyak
dilakukan sejumlah pengamat pemikiran Intelektual Muslim Indonesia, Nurcholish
digolongkan ke dalam aliran Neo-Modernisme304 dan aliran substantifistik.
Azyumardi Azra mencatat keunikan dan kondisi fenomenalitas Nurcholish Madjid
sebagai berikut.
"Cak Nur merupakan pemikir yang sulit untuk 'dikatakan' ke dalam satu tipologi, apalagi jika tipologi itu dipegangi sebagai sesuatu yang 'mutlak'. Juga, pemikiran dan concern Cak Nur terlalu sulit untuk dikaitkan kepada satu sumber atau faktor. Ia boleh saja dipengaruhi Fazlur Rahman atau Ibn Taimiyyah; tetapi pada saat yang sama ia juga bisa berbeda dengan mereka secara sangat kreatif dan imaginatif."305
Nurcholish Madjid, dalam pengamatan Azyumardi Azra,306 kerapkali
mengumandangkan gagasan dan pemikiran yang berada di luar tipologi aliran
pemikiran di mana Nurcholish Madjid dikategorisasikan. Misalnya aliran neo-
modernisme. Dalam konteks ini, dengan meminjam kerangka Gramsci, Azyumardi
304 Kategorisasi ini dilakukan oleh Fachri Ali dan Bactiar Effendi dalam karyanya Merambah
Jalan Baru…. Agaknya kategorisasi ini mengacu pada kategorisasi yang dibuat Greg Barton yang menulis tentang Fazlur Rahman yang banyak memberikan pengaruh terhadap Nurcholish Madjid sebagai mahasiswanya. Akan tetapi, berbeda dari Barton dan Fachri Ali/Bachtiar Effendi, Azyumardi Azra berpendapat lain tentang Nurcholish Madjid yang juga gurunya itu. Azyumardi Azra adalah orang yang menggolongkan Nurcholish Madjid ke dalam pemikir Neo-Tradisionalis, bukan Neo-Modernisme, terutama dengan karyanya yang terkenal Islam: Doktrin dan Peradaban yang diterbitkan Paramadina. Selengkapnya, komentar Azyumardi tentang Nurcholish Madjid bisa dibaca pada Azyumardi Azra, "Cak Nur: Neo-Modernis atau Neo-Tradisionalis" dalam www.Paramadina.com
305 Azyumardi Azra, www.Paramadina.com 306 Azyumardi Azra, "Cak Nur; Neo Modernis atau Neo Tradisionalis",
www.Paramadina.com
255
Azra menyebut Nurcholish Madjid sebagai seorang "organis intellectual", yakni
intelektual yang tidak hanya terlibat dalam proses sosial, tetapi juga bahkan
melakukan "social enginering". Dia jelas bukan tipe intelektual yang asyik semata-
mata dengan "intellectual exescises", atau "intelektual menara gading", apalagi
"intelektual dadakan" atau "intelektual karbitan". Berkaitan dengan sifat alamiahnya
sebagai "organic intellectual", terjadinya pergeseran dalam agenda Nurcholish
Madjid. Agendanya kini tidak lagi "mengagetkan" atau "membangunkan" ummat dari
"tidurnya" yang lama-melalui schock therapy tadi-agar siap berpartisipasi dalam
modernisasi atau membangun bangsa. Nurcholish Madjid menyadari bahwa ummat
sudah mulai bangun. Dia berbicara banyak, misalnya, tentang "Muslim intellectual
boom" atau "panen sarjana" di kalangan ummat Islam, yang pada gilirannya berperan
besar dalam mengangkat harkat umat. Dalam konteks keagamaan, ummat juga tidak
lagi terlibat dan menghabiskan energi secara sia-sia dalam masalah furu'iyyah.
Kegairahan baru terlihat jelas dalam kehidupan keagamaan ummat. Meski Nurcholish
Madjid menyebut kesemarakan keagamaan belakangan ini masih terbatas pada
tingkatan apa yang disebutnya sebagai "antusiasme" atau belum lagi mencapai
peningkatan kualitatif yang lebih bermakna, jelas ia mempunyai harapan baru
terhadap semua perkembangan ini..
D. Relevansi Pembaharuan Pendidikan Nurcholish Madjid.
Muhammad Kamal Hasan mengatakan bahwa lahirnya apa yang disebut
Gerakan Pembaharuan pada sebagian pemuda Muslim pada masa 1970-1972
256
merupakan perkembangan paling radikal dalam pemikiran religio-politik Islam di
dalam Orde Baru Indonesia. Kandungan intelektual Pembaharuan merupakan suatu
usaha untuk memformulasi kembali secara postulat-postulat Islam fundamental
mengenai Tuhan, manusia dan alam fisik, dan cara perhubungan semua itu di dalam
realitas-realitas politik.307 Dalam gerakan pembaharuan tersebut Nurcholish Madjid
merupakan motor penggeraknya. Dalam nomenklatur (tatanama) yang didisain untuk
makna konsep-konsep agama secara rasional, ide-ide pembaharuan secara umum
ditujukan kepada para cendekiawan Muslim kota dan kepada para pelajar yang
berasal dari latar belakang pendidikan umum yang merupakan mayoritas anggota
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).
Berdasarkan keterangan di atas, dapat difahami, bahwa usaha pembaharuan
pendidikan Islam Nurcholish Madjid mulai diaplikasikannya di HMI, yaitu ketika ia
menjadi ketua PB HMI yang berturut selama dua periode, yaitu tahun 1966 – 1969
dan tahun 1969 – 1971. Di HMI inilah Nurcholish Madjid berhasil menelorkan
prinsip-prinsip organisasi yang kemudian disebut sebagai Nilai Dasar Perjuangan
HMI.
Selaku seorang modernis di Indonesia, Nurcholish Madjid menaruh perhatian
besar terhadap usaha-usaha pengayaan intelektual (intellectual enrichment), baik
tentang masalah masa kini, maupun perkiraan masa depan. Agaknya usaha
memodernisasi pendidikan merupakan media penunjang untuk membumikan
307 Muhammad Kamal Hasan, Modernisasi Indonesia Respon Cendekiawan Muslim, (Jakarta:
Lingkaran Studi Indonesia Ciputat, 1987), h. 114
257
gagasan-gagasannya. Nurcholish Madjid berpendapat karena khazanah Islam di masa
lalu sedemikian kayanya, maka salah satu usaha pengkayaan intelektual itu ialah
dengan membuka kembali, memahami, dan memberi apresiasi yang wajar kepada
warisan budaya umat.308 Namun pengayaan intelektual yang dimaksudkannya di sini
tentu saja pemahamannya terhadap masa lalu secara, kritis dan dinamis, disertai
apresiasi ilmiyah yang adil akan menjadi pangkal tolak pengayaan intelektual yang
subur dan produktif. Oleh sebab itu, tidak adanya kontimutas kultural dan intelektual
masa sekarang dengan masa lalu akan mengakibatkan pemiskinan improverishment
kultural dan intelektual.309 Kondisi imlah yang akan diantisipasi dengan terwujudnya
institusi pendidikan Islam dalam bentuk baru, sehingga memiliki karakter out put
pendidikan yang paripurna.
Sudah tidak masanya lagi umat Islam merasa asing dengan pengetahuan
teknis modern, dalam hal ini Nurcholish Madjid menulis: …. pada permulaan bangkitnya orde baru sering terdengar ejekan kepada umat Islam sebagai kelompok mayoritas (numerical mjority), tetapi minoritas teknis (technical minority). Ejekan itu merupakan salah satu ironi, sebab ketidakmampuan umat Islam adalah justru akibat suatu aset positif dalam perjuangan nasional yaitu sikap non-kooperafif dengan kaum kolonial, termasuk dalam hal pendidikan. Sebaliknya untuk generasi zaman colonial kebanggaan memiliki kecakapan teknis yang tinggi adalah sesungguhnya suatu ironi, sebab kecakapan itu didapat berkat "kompromi" terhadap "kultur kolonial" dalam bentuk sikap menerima pendidikan yang mereka sediakan. Kemampuan teknis itu terutama adalah fungsi dari adanya pengalaman pendidikan modern itu.310
308 Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan, h.157 309 Ibid. 310 Nurcholish Madjid, Cita-Cita Politik, h. 45-46
258
Melihat perkembangan sekarang ini tidak ada alasan untuk memusuhi ilmu
pengetahuan modern. Implikasi dari kemodernan nasional memunculkan
pertumbuhan intelektual Muslim dalam jumlah yang melimpah dan mutu yang
meningkat. Kemampuan sejurnlah besar orang-orang Muslim untuk mengambil
bagian dalam kehidupan modern menambah kemantapan mereka pada diri sendiri.
Kemantapan itu akan melahirkan tindakan-tindakan yang lebih positif dan
konstruktif.
Nampaknya Nurcholish Madjid lebih merasa optimlis melihat "pesantren"
dimungkinkan sebagai lembaga pendidikan masa depan Indonesia.
Menyadari keunggulan pesantren di atas, A. Malik Fadjar, Menteri Agama
Kabinet Reformasi Pembangunan Rl-, juga melihat gagasan Nurcholish Madjid
tersebut sebagai suatu pemikiran yang perlu direnungkan kembali. Dengan mengutip
pernyataan Nurcholish Madjid, A. Malik Fadjar menulis: Seandainya negeri kita ini tidak mengalami penjajahan, kata Nurcholish Madjid, tentulah pertumbuhan sistem pendidikan di Indonesia akan mengikuti jalur-jalur yang ditempuh pesantren itu. Sebingga perguruan tinggi tidak akan berupa UI, IPB, UGM, Unair, dan lain-lain, tetapi mungkin akan bernama universitas Tremas, Krapyak, Tebuireng, Bangkalan, Lasem, dan sebagainya. Kemungkinan ini ditarik, masih menurut Nurcholish Madjid setelah melihat dan membuat kias secara kasar terhdap pertumbuhan sistem pendidikan negara-negara Barat, dimana perguruan-perguruan tinggi terkenal di sana cikal bakalnya adalah perguruan-peguruan keagmaan. Mungkin juga seandainya kita tidak pernah dijajah, pesantren-pesantren tidak begitu jauh terperosok ke dalam daerah pedesaan yang terpencil seperti sekarang melainkan tentunya akan berada di kota-kota pusat kekuasaan atau ekonomi, sekurang-kurangnya tidak terlalu jauh dari sana, sebagai halnya
259
sekolah-sekolah keagamaan di Barat yang kemudian tumbuh menjadi universitas-universitas.311
Kemudian A. Malik Fadjar memberikan ulasan sebagai penilaian terhadap
ungkapan Nurcholish Madjid tersebut: Pendapat Nurcholish Madjid di atas mungkin terkesan klise atau gagasan utopis bagi orang yang sudah terlanjur terbingkai dalam waacana modernisme. Akan tetapi dengan mempertimbangkan kelebihan yang dimilikinya, bukan tidak mungkin pesantren akan dilirik sebagai alternatif ditengah pengapnya suasana pendidikan formal di Indonesia, termasuk juga perguruan tinggi sebagai jenjang pendidikan formal paling tinggi.312
Dalam sejarah pertumbuhan dan perkembangan pendidikan di Indonesia,
agaknya tidak dapat dipungkiri bahwa pesantren telah menjadi semacam local genius.
Di kalangan umat Islam sendiri, pesantren sedemikian jauh telah dianggap sebagai
model institusi pendidikan yang mempunyai keunggulan, baik pada sisi tradisi
keilmuannya, maupun pada sisi transmisi dan internalisasi moralitas umat Islam.
Nurcholish Madjid melihat ada dua misi (double missions) yang harus telah
menjadi pemikiran yang amat mendasar bagi kalangan pendidikan Islam "pesantren"
Indonesia. Pertama , ialah bagaimana menyuguhkan kembali ini pesan moral yang
diembannya kepada masyarakat abad ini begitu rupa, sehingga. tetap relevan dan
mempunyai daya tarik. Tanpa relevansi dan daya tarik itu kemapanan dan keampuhan
atau efektifitas tidak dapat diharapkan. Kedua, ialah problem yang berkaitan dengan
311 Malik Fadjar, A., "Sintesa Antara Pererguruan Tinggi dan Pesantren, Upaya
Menghadirkan Wacana Pendidikan Alternatif", dalam Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik, h. 112-113. 312 Malik Fadjar, A., "Sintesa Antara Pererguruan Tinggi dan Pesantren, Upaya
Menghadirkan Wacana Pendidikan Alternatif", dalam Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik, h. 113.
260
ilmu pengetahuan modern, yaitu bagaimana menguasai sesuatu yang kini berada di
tangan orang lain.313 Kedua misi tersebut yaitu amanat keagamaan atau moral dan
amanat ilmu pengetahuan, sekaligus dan serentak yang dibebankan ke pundak
lembaga pendidikan Islam alternatif.
Dalam perspektif Islam, pendidikan telah memainkan peran penting dalam
upaya melahirkan sumber daya manusia-manusia yang handal dan dapat menjawab
tantangan zaman. Sumber daya manuasia tersebut merupakan gerakan human
investment dalam istilah Nurcholish Madjid, karena memiliki kompleksitas keilmuan
sejalan dengan universalitas Islam itu sendiri. Di sinilah letak korelasi postif antara
bentuk pendidikan yang dibangun dengan sasaran yang hendak dicapai.
Human investmen adalah upaya pendidikan dalam jangka panjang untuk
melahirkan sumber daya manusia. Istilah ini digunakan Nurcholish Madjid pertama
kali ketika berbicara tentang program Paramadina yang memuat "human investmen"
dan bersifat jangka panjang. Yayasan Paramadina yang dikelola Nurcholish Madjid
lebih banyak bergerak di wilayah intelektual. Pendidikan yang berada di bawah
naungan Yayasan Wakaf Paramadina ini telah mengacu pada penciptaan sumber
daya manusia masa depan yang memiliki keluasan wawasan. Jadi gerakan intelektual
yang dipelopori Nurcholish Madjid bersama kawan-kawannya masih bersifat terbatas.
Nurcholish Madjid sendiri mengakui bahwa yang digarap adalah kelompok trends
makers, yang merupakan kelompok sebagai penentu kecenderungan masyarakat.313
313 Nurcholish Madjid, Islam Kerakyatan, h.54 313 Nurcholish Madjid, Dialog Keterbukaan, h.328
261
Sehingga disadari atau tidak memang menimbulkan elitisme. Meskipun, Nurcholish
Madjid sendiri menolak elitisme sebagai ideologi melainkan adalah metodologi yang
dikembangkan Paramadina. Sebab dasar pikirannya, selama ini sasaran dakwah hanya
kelas menengah ke bawah, sehingga ada segmen masyarakat yang terabaikan.314
Obsesi dan harapan Nurcholish Madjid terhadap potensi pendildikan Islam
begitu tinggi. Nurcholish Madjid dalam hal ini memperbandingkan, kalau non
Muslim saja mampu melahirkan lembaga pendidikan yang berbobot, kenapa Muslim
Indonesia tidak? Sehingga harapan besar juga ia curahkan dalam bentuk gerakan
(Paramadina misaInya).
Lebih dari itu, gagasan-gagasan Nurcholish Madjid tertuang dalam bentuk
pembaharuan pendidikan Islam yang ada (pesantren). Sebab, cita-cita masyarakat
madani sulit diwujudkan tanpa pendidikan. Dengan kata lain pendidikan memiliki
peran yang strategis sekali dalam menyongsong masyarakat madani.
Hal serupa pernah diungkapkan oleh Hasan Langgulung dalam sebuah
tulisannya, Hasan Langgulung berpendapat bahwa pendidikan berperan ke arah
membina tamaddun Islam.315 Tamaddun bagi Hasan Langgulung mempunyai dua
makna penting yaitu aspek pemikiran dan spritual yang terambil dan tamaddun dan
314 Ibid. 315 Perkataan tamaddun menurut Hasan Langgulung, sebagaimana juga pendapat Nurcholish
Madjid, berasal dari bahasa Arab yang bermakna peradaban, yang di dalam bahasa Arab disebut hadlrah, atau civilization dalam bahasa Inggeris. Lebih jauh lagi Hasan Langgulung melihat bahwa tamaddun meliputi dua aspek yaitu aspek budaya, yang merupakan jiwa tamaddun dan aspek pemikiran dan spritualnya. Sedangkin aspek kebendaan dan bentuk luarnya disebut madaniyah. Aspek intelektual dan spritual dari tamaddun itu disebut budaya. Lihat Hasan Langgulung, Pendidikan Islam Menghadapi Abad ke-21, cet. ke- 1, (Jakarta : Pustaka al-Husna, 1988), h. 177 dan 187.
262
aspek kebendaan dan madaniyah. Ilmu termasuk pada aspek pertama yaitu budaya
Thaqafah yang merupakan bagian terpenting dari peradaban itu.
Untuk melihat lebih jauh urgensi ilmu dalam konteks tamaddun atau dengan
kata lain peran ilmu dalam perwujudan masyarakat madani, Hasan Langgulung
mengawali dengan defenisi pengertian tamaddun di atas, kemudian ia berkesimpulan
bahwa tamaddun tiada lain adalah tindakan-tindakan manusia. Tindakan manusia itu
dibedakan menjadi dua:
Pertama, tindakan-tindakan manusia sebagai akibat dari interaksinya dengan Tuhannya, dengan dirinya sendiri dan orang lain, sebagai individu, sebagai ma-yarakat dan sebagai umat manusia. Kedua, tindakan-tindakan manusia sebagai akibat interaksinya dengan alam jagat, benda-benda dan kehidupan-kehidupan yang membentuk alamnya. Unsur-unsur tindakan manusia itu sebagaimana dapat disimpulkan dari sejarah umat manusia dan ayat-ayat al-Qur'an terdiri dari, 1, kebebasan keimanan, 2. Kemampuan, 3. Ilmu.316
Dengan demikian ilmu terlihat sebagai kualitas yang dimiliki oleh manusia
yang merupakan bagian dari tamaddun itu. Disinilah tampaknya kedudukan ilmu
dalam konteks tamaddun.
Tetapi, Nurcholish Madjid dalam melihat signifikan pendidikan dengan
tamaddun atau masyarakat madani adalah kualitas masyarakat yang memiliki
intellectual freedom atau kebebasan berpikir. Sehingga nampaknya, yang diinginkan
dari proses berpendidikan itu lahimya manusia-manusia yang memiliki sumber daya
yang berpengetahuan luas dan kebebasan berpikir serta berdasarkan keimanan.
316 Hasan Langgulung, Pendidikan Islam Menghadapi Abad ke-21, cet. ke- 1, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1988), h. 178.
263
Menurut Nurcholish Madjid, salah satu institusi pendidikan Islam yang liberal itu
yaitu lembaga pendidikan Darussalam Gontor Ponorogo, Jawa Timur, yang
mencantumkan sebagai motonya "berpikir bebas" setelah "berbudi tinggi", berbadan
sehat dan berpengalaman luas.317
Dan menurutnya lagi, ciri-ciri yang positif dan konstruktif yang membedakan
antara pendidikan yang baik dari yang jelek atau yang sungguh-sunggguh dari yang
setengah-setengah terkandung dari perkataan "liberal" itu.318 Jadi sikap "liberal" itu
cerminan utama dari wujud sumber daya manusia tersebut.
Aspek liberal yang menjadi tekanan utama dalam mewujudkan tujuan
pendidikan akan mendekatkan pada proses demokratisasi yang menjadi cita-cita suatu
bangsa. Asas liberal menumbuhkan sikap yang demokratis dan toleran terhadap
pemikiran-pemikiran yang muncul. Sehingga sikap ini sangat mendukung sekali
dalam wacana masyarakat madani. Sebab masyarakat madani tidak terlepas dari
unsur dasarnya yaitu pluralitas dan majemuk. Manusia yang liberal menunjukkan
kematangan disegi emosional dan intelektual, berbeda dengan absolutisme.
Absolutisme dalam pandangan Nurcholish Madjid merupakan suatu cara
berpikir yang serba mutlak, sehingga cenderung untuk tidak mentolelir pikiran-
pikiran lain. Inilah permulaan perubahan perbedaan menjadi pertentangan atau
antagonisme. Absolutisme merupakan gejala kurang matangnya seseorang dari segi
intelektual maupun emosional. Ketidakmatangan intelektual menyebabkan orang
317 Nurcholish Madjid, Islam Kemoderenan, h.208 318 Nurcholish Madjid, Islam Kerakyatan, h.30
264
sempit pandangan, sedangkan ketidakmatangan emosional menyebabkan orang tidak
kuat melihat adanya perbedaan orang lain.319 Padahal ketidakmatangan emosional
dan intelektual tidak relevan dengan azas masyarakat madani yang plural dan toleran.
Untuk pembentukan watak yang liberal itu menurut Nurcholish Madjid perlu
dipikirkan metode atau cara penyampaian dalam pengajaran. Maka pemikiran
mengenal metode dalam pembelajaran jauh lebih penting dari hal-hal yang berkaitan
dengan isi atau materi.320 Pendidikan pesantren masa lampau tidak mementingkan
metode atau cara, karena lebih mementingkan hal-hal yang bersifat normatif. Dengan
tidak menutup mata atas keberhasilan pendidikan tempo dulu, agaknya dunia
pendidikan sekarang harus merelevankan dengan tuntutan zaman di era teknologi dan
industri ini.
Selanjutnya pada tataran yang lebih tinggi lagi bidang filsafat belum
mendapat tempat dalam pendidikan Islam, sehingga kedalaman ilmu seseorang dalam
Islam selalu diukur sejauh mana pengetahuan terhadap fiqih, sebagai akibat dari fiqh
oriented. Reorientasi ini telah diupayakan oleh Nurcholis Madjid melalui Yayasan
Wakaf Paramadina sebagai suatu alternatif menghadirkan Islam di alam modern.
Barangkali dengan upaya inilah salah satu metode untuk menghilangkan jarak dan
jurang antara dunia pendidikan Islam secara khusus dengan dunia pendidikan modern
Inilah yang memperkokohkan nilai universalitas Islam yang meliputi unsur
sejarah, filsafat, sains, trilogi dan tasawuf, sebagai tradisi keilmuan Islam klasik yang
319 Nurcholish Madjid, Islam Kerakyatan, h. 181-182 320 Nurcholish Madjid, Islam Kerakyatan, h. 229
265
telah menaruh perhatian Nurcholis Madjid cukup tinggi. Ini terbukti dengan
intensnya cabang-cabang ini dibicarakan Nurcholis Madjid bersama Klub Kajian
Agama (KKA) yang diselenggarakan oleh yayasan wakaf paramadina Jakarta.
Bidang-bidang dilirik kembali dalam mencari bentuk konsep universitas Islam,
sebagaimana yang digagas oleh Hamid Hasan Bil Rami dan Sayid Ali Asyraf.321
Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa gagasan-gagasan Nurcholish
Madjid tentang pembaharuan pendidikan Islam diaplikasikan dengan membentuk
Yayasan Wakaf Paramadina yang awal kegiatannya dengan membentuk kegiatan
Klub Kajian Agama (KKA).
Selanjutnya dalam brosur Yayasan Paramadina disebutkan, perkataan
“Paramadina” merupakan gabungan dua kata, “parama” dan “dina”. Yang pertama
bahasa Sanskerta, yang berarti “utama” dan “unggul”. Yang kedua berasal dari
bahasa Arab, yang merupakan adopsi dari perkataan Arab “din” yang berarti
“agama”. Jadi “Paramadina” secara etimologis berarti agama pertama dan utama,
yaitu agama Islam, menurut iman dan keyakinan kita. Perkataan “Paramadina” juga
dapat dipenggal menjadi “para” dan “madina”. Kata yang pertama adopsi dari “par”
(Bahasa Latin) yang berarti “sejajar”, serasi dan sejiwa. Dan, yang kedua adopsi dari
“madinah” (Bahasa Arab) yang berarti “kota” atau “peradaban” (madaniyah dan
tamaddun). Maka dalam nama “Paramadina” itu dimaksudkan sebagai perlambangan
pandangan dasar dan tujuan pokok kegiatan yayasan yang dirintis Nurcholish Madjid
321 Baca Hamid Hasan Bil Rami dan Sayid Ali Asyraf, Konsep Universalitas Islam, terj. Machnun
Husein, cet ke-1, (Yogyakarta: Tiara WacanaYogya, 1989). H. 14-21.
266
dengan para koleganya semacam Utomo Dananjaya atau Usep Fathudin. Yakni,
seperti mereka ungkapkan, sebagai kepasrahan kita kepada Tuhan (Islam), untuk
membangun peradaban yang bakal membawa kebahagiaan bagi semua (madinah).322
Adapun tujuan dibentuknya yayasan ini menurut para pendirinya adalah:
1. Meningkatkan perkembangan dan kesadaran hidup beragama Islam
yang berpandangan terbuka dan bertanggungjawab akan terjadinya
masyarakat yang berserah diri kepada Allah SWT.
2. Mengembangakan pemahaman dan pemikiran agama, serta
penampilan yang bersifat kesejarahan, (kontekstual) sehingga
bermakna bagi pemecahan persoalan-persoalan baru kemanusiaan
dalam suasana merdeka dan bertanggungjawab:
a. Mengembangakan suasana kehidupan beragama yang terbuka,
dinamis, bernalar dan bertanggungjawab, sehingga terjadi
dialog yang kreatif dan kritis.
b. Mengembangkan sistem pendidikan agama yang berdaya hasil
dan berdaya guna tinggi.323
Guna mewujudkan tujuan tersebut, yayasan telah menyelenggarakan berbagai
program seperti pengajian bulanan yang menghadirkan berbagai tokoh intelektual
Muslim dan tokoh masyarakat lainnya untuk menyampaikan persoalan aktual dan
322 Lihat Dedy Djamaluddin Malik dan Idi Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia:
Pemikiran dan Aksi Politik Abdurrahmna Wahid, M. amin rais, Nurcholish Madjid, dan Jalaluddin Rahmat, (Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1998), Cet. Ke-1, h. 148
323 Lihat Brosur Yayasan Wakaf Paramadina, tidak diterbitkan, (Jakarta: Paramadina, 1986), h. 1
267
substansial baik dalam bidang keislaman maupun sosial-politik. Dan Nurcholish
Madjid sebagai ketua, senantiasa mendampingi setiap tokoh yang berbicara di
pengajian bulanan itu. Program-program lainnya ialah mengadakan kursus-kursus
keislaman dan pendidikan non-formal lainnya. Aktivitas Paramadina ini cukup
memberi pengaruh besar bagi kelompok elite menengah Muslim di Indonesia,
sehingga Paramadina menurut seorang peneliti Belanda, Martin Van Bruinessen
digambarkan sebagai “ the most liberal forums in Jakarta”.324
Kehadiran Badan wakaf dan pengkajian Islam Paramadina patut disambut
dengan kelegaan hati. Namun demikian, ada satu pertanyaan yang muncul, mengapa
pengajian dilakukan di hotel yang megah, serta pusat perbelanjaan? Apakah tidak
menimbulkan kesan elitisme? Ketika penulis menanyakan kepada orang dekat
Nurcholish Madjid, jawabannya sederhana, yaitu dimana lagi tempat yang tepat untuk
menampung peserta yang membanjir dan mau merogoh kantongnya untuk
menghadiri pengajian. Sementara Paramadina belum memiliki tempat sendiri.
Seminar masalah yang sekuler saja di hotel, mengapa masalah agama tidak dapat
diseminarkan di hotel?.325 Dari jawaban tersebut dapat dipahami bahwa dengan
penyelenggaraan pengajian di hotel tersebut Nurcholish Madjid ingin menunjukkan
bahwa masalah agama bukan hanya dapat dibicarakan di masjid, majlis ta’lim, dan
324 Dedy Djamaluddin Malik dan Idi Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia:
Pemikiran dan Aksi Politik Abdurrahmna Wahid, M. amin rais, Nurcholish Madjid, dan Jalaluddin Rahmat, (Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1998), Cet. Ke-1, h. 148. Lihat Martin Van Bruinessen, “ Indonesia’s Ulama and Politics: Caugh between Legitimasing the Status Quo and Searching Alternatives” , dalam Prisma (edisi bahasa Inggris), No. 49, Juni 1990, h. 62
325 Wawancara penulis dengan Drs. H. Ahmad Mujahid, mantan peserta pengajian Paramadina. (Ciputat: 20 September 2004
268
pesantren, namun juga di tempat-tempat lain seperti hotel. Sehingga orang-orang
kelas elit juga dapat mengikuti pengajian agama, dan mampu mengamalkan
agamanya secara benar.
Adapun bentuk pengajian Klub Kajian Agama (KKA) yang diselenggarakan
oleh Yayasan Wakaf Paramadina, Jakarta ini berbentuk pertemuan diskusi besar
dengan hadirin sekitar 200 orang, sekali sebulan. Dengan sistem keanggotaan dan
partisipasi tertentu serta tradisi pembahasan yang bersemangat pluralistik, terbuka
dan tenggang rasa, KKA Paramadina telah berjalan relatif sangat lancar dan
berkelanjutan, sejak permulaan diadakannya pada bulan Oktober 1986 sampai
sekarang.326
Selanjutnya diskusi dalam KKA Paramadina selalu didauhului oleh penyajian
dua makalah. Makalah kesatu dari seorang pembicara tamu, sebagai pembicara
utama, yang diundang untuk membahas suatu topik tertentu. Makalah kedua dibuat
oleh kalangan dalam Paramadina, dengan maksud memelihara keruntutan jalan
pikiran seri diskusi itu dari awal sampai akhir. Dengan begitu diharap akan terwujud
kesatuan konsistensi pandangan yang hendak dikembangkan, dengan topik-topik
pembahasan yang dipilih dan ditetapkan sebagian rentetan usaha memahami kembali
ajaran-ajaran Islam.327
326 Wawancara penulis dengan Drs. H. Ahmad Mujahid, mantan peserta pengajian Paramadina
tahun 1999, (Ciputat, 20 September 2004). 327 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin Dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 2000), Cet. Ke-
4, h. vii
269
Pembahasan dalam pengajian Paramadina selalu berlangsung dalam suasana
keterbukaan, tenggang rasa dan semangat hormat-menghormati. Dan yang datang ke
pertemuan itu terdiri dari para peserta dengan berbagai lata belakang kultur
keagamaan yang berbeda-beda. Sedikit demi sedikit, dalam lingkungan paramadina,
banyak orang menampilkan diri dengan identitas masing-masing tanpa halangan
kejiwaan apapun. Dan kehadiran mereka telah memperkaya wawasan para peserta
pembahasan, langsung ataupun tidak langsung, dan sedikit demi sedikit tumbuh sikap
saling menghormati pendirian masing-masing. Secara langsung, para peserta dengan
latar belakang yang berbeda-beda itu memperkaya forum diskusi dengan bahan-bahan
dan pandangan-pandangan yang selama inni tidak atau belum diketahui umum.
Perluasan cakrawala ini sungguh tidak dapat diremehkan. Secara tidak langsung –
dan ini dari beberapa segi dapat dipandang sebagai lebih penting – kehadiran mereka
dengan sikap saling menenggang dan menghormati yang tumbuh secara positif dalam
forum itu telah memberi para peserta berbagai eksperimen nyata tentang pandangan
“relatifisme internal” kalangan Umat Islam, suatu pandangan yang menjadi syarat
pertama dan utama persaudaraan berdasar iman (biasa disebut Ukhuwwah
Islamiyyah).328
Pengalaman dalam Paramadina itu, menurut Nurcholish Madjid,
membuktikan adanya kemungkinan diwujudkannya prinsip persaudaraan dan
kemanusiaan yang benar, yang pada intinya, setelah iman sebagai landasannya, ialah
paham kemajemukan atau pluralisme. Pertama, di antara sesama kaum beriman,
328 Ibid., h. xii
270
berdasarkan prinsip kenisbian kedalam (relatifisme internal). Menurut Ibn Taimiyah,
ini adalah sebuah “prinsip yang agung” (ashl ‘adhim) yang harus dijaga dengan baik,
sebagaimana telah diteladankan oleh Nabi s.a.w sendiri dan para sahabat beliau
(Minhaj al-sunnah, 3:60).329 Kedua, di antara sesama umat manusia secara
keseluruhan, paham kemajemukan itu ditegakkan berdasarkan prinsip bahwa masing-
masing kelompok manusia berhak untuk bereksistensi dan menempuh hidup sesuai
dengan keyakinannya. Larangan memaksakan agama, yang disebutkan dengan tegas
dan jelas dalam Kitab Suci, berkaitan dengan prinsip besar ini (Lihat QS. 2: 256) dan
10: 99).340
Menurut Nurcholish Madjid, pengalaman Paramadina juga membuktikan
bahwa salah satu segi yang harus lebih diperhatikan dalam memahami kembali Islam
ialah semangat kemanusiaan (habl min al-nas) yang sangat tinggi, yang merupakan
sisi kedua ajaran Islam setelah semangat Ketuhanan (habl min Allah). Dan menurut
Nurcholish Madjid, hal ini sesungguhnya telah secara luas diketahui oleh kalangan
Muslim. Maka yang diperlukan ialah penegasan-penegasan, dengan menunjukkkan
dasar-dasarnya dalam sumber-sumber suci (Kitab dan Sunnah), dan dengan meneliti
kembali berbagai dukungan historisnya. (Sebab, akan merupakan suatu absurditas—
sebutlah begitu—jika kita kaum Muslim mengabaikan sejarah kita sendiri yang nota
bene merupakan perjalanan dan rangkaian pengalaman manusia Muslim
329 Ibid., h. xiii 340 Ibid.
271
melaksanakan ajaran Islam, baik yang kelak dinilai berhasil maupun yang dinilai
gagal).341
Untuk menyebarkan secara luas gagasan-gagasan dalam kegatan pengajian
tersebut, selanjutnya Nurcholish Madjid membukukan kumpulan makalah-
makalahnya dalam buku yang berjudul :Islam Doktrin Dan Peradaban Sebuah
Telaah Kritis tentang masalah keimanan, kemanusiaan, dan kemodernan) yang
diterbitkan oleh Yayasan Wakaf PARAMADINA, yang cetakan pertamanya tahun
1992.
Selain mengaplikasikannya dalam bentuk pengajian Klub Kajian Agama
(KKA), juga Nurcholish Madjid menyelenggarakan SMU Madania yang para
siswanya diasramakan yang lokasinya di daerah Parung-Bogor Jawa barat. Para
siswa di sekolah ini merupakan hasil saringan atau seleksi secara ketat dari mulai
NEM, tes tertulis dan wawancara. Sehingga para alumninya banyak yang diterima di
berbagai perguruan tinggi negeri.342 Untuk para gurunya juga merupakan hasil seleksi
yang ketat, yaitu mulai persyaratan Ijazah yang sesuai dengan bidangnnya, juga IPK
minimal 3, 00. Setelah mereka dites secara tertulis dan lisan. Tes tulis meliputi bidang
ilmu pengetahuan umum, agama dan bahasa (Indonesia Arab dan Inggris). Bagi yang
sudah lulus tes tulis, akan diikutkan tes lisan/wawancara. Tes lisan, berupa
wawancara tentang kepribadian, penguasaan tentang didaktik-metodik dan
pengalaman mengajar dengan menggunakan berbahasa Inggris. Mereka yang
341 Ibid. 342 Wawancara dengan Endang, S. Ag., mantan guru Agama SMU Madani Parung, tanggal 23
September 2004.
272
dinyatakan lulus hanya sedikit dibanding dengan yang tidak lulus. Dan bagi yang
dinyatakan lulus akan mendapat pelatihan kependidikan dari Yayasan Paramadina.344
Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa sekolah ini termasuk sekolah
unggulan, sebab bahan bakunya (siswanya) adalah hasil seleksi yang ketat, begitu
juga para tenaga pendidiknya.
Selanjutnya dari segi sarana gedung, sekolah ini dianggap megah dan mewah,
begitu juga sarana dan prasarana sangat lengkap. Sehingga dari segi sarana prasarana
sekolah ini tidak ada kekurangannya. Bahkan di dalam setiap kamar siswa ada dua
komputer untuk empat orang. 345
Selanjutnya dari segi kurikulum, sekolah ini menggunakan kurikulum Diknas
ditambah dengan kurikulum sendiri untuk materi agama. Sehingga materi agama
Islam di sekolah ini lebih banyak dibandingkan SMU pada umumnya.346
Dari segi kesejahteraan, sekolah ini termasuk sekolah yang berani membayar
mahal kepada tenaga pengajarnya, namun terkadang para guru merasa kurang
sebanding dengan tugas yang diembannya. Sebab mengajar di SMU Madania lebih
berat daripada mengajar di sekolah lain. Salah satu yang dianggap beratnya adalah
bukan masalah materi pengajarannya, namun menghadapi siswanya yang terkadang
kenakalannya sulit untuk diatasi.347
344 Wawancara dengan Endang, S. Aga, mantan guru Agama SMU Madania, Parung, tanggal
23 September 2004 345 Wawancara dengan Jejen Muspah, mantan guru Agama SMU Madania Parung Bogor,
tanggal 20 September 2004 346 Ibid. 347 Wawancara dengan Endang, S. Aga, mantan guru Agama SMU Madania, Parung, tanggal
23 September 2004
273
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan.
Berdasarkan uraian dan analisa yang terdapat pada beberapa bab di atas, dapat
ditarik kesimpulan, sebagai berikut:
274
1. Konsep pembaharuan pendidkan Nurcholish Madjid sangat dipengaruhi oleh
paham pembaharuannya dalam ajaran Islam, yaitu rasionalis, kritis, inklusif-
pluralis dan liberal.
2. Aspek-aspek pembaharuan pendidkan Nurcholish Madjid meliputi visi, misi,
tujuan pendidikan, materi, metode belajar, guru, murid, sarana, dan sistem
pendidikan.
3. Visi pendidikan Nurcholish Madjid adalah mewujudkan suatu sistem
pendidikan yang memiliki keterpaduan antara unsur keislaman,
keindonesiaan, dan keilmuan.
4. Dalam pandangan Nurcholish Madjid, tujuan pendidikan Islam, selain untuk
menumbuhkan nilai-nilai kemanusiaan universal seperti masyarakat madani,
tujuan pendidikan menurut Nurcholish Madjid juga untuk pengembangan
SDM yang unggul.
5. Dari aspek metodologi studi Islam, Nurcholish Madjid memberikan banyak
perspektif mengenai metodologi studi Islam. Hal ini didasarkan pada
kenyataan bahwa umat Islam kini banyak kehilangan perspektif sejarah dan
sosial dalam memahami Islam. Umat Islam cenderung bersikap dan berpikir
normatif, sehingga pola pemahaman dan pengamalan Islamnya kemudian
cenderung dogmatis dan formalistik. Oleh karena itu, dalam pengkajian dan
pemahaman terhadap Islam harus dilakukan berbagai pendekatan atau
metodologi studi Islam yang dalam pandangan Nurcholish Madjid di
275
antaranya pendekatan antropologis, sosiologis, historis, semiotika atau matsal,
linguistik dan studi lintas agama.
6. Pada aspek materi pendidikan agama, Nurcholish Madjid membedakan istilah
materi pelajaran “agama” dan “keagamaan”. Perkataan “agama” lebih tertuju
pada segi formal dan ilmunya saja. Sedangkan perkataan “keagamaan” lebih
mengenai semangat dan rasa agama (religiusitas). Menurut Nurcholish
Madjid, selama ini materi “keagamaan” ini hanya dipelajari sambil lalu saja
tidak secara sungguh-sungguh. Padahal justru inilah yang lebih berfungsi
dalam masyarakat zaman modern, bukan fiqih atau ilmu kalamnya apalagi
nahwu-sharafnya serta bahasa Arabnya. Materi keagamaan menurut
Nurcholish Madjid, meliputi materi Ketuhanan dan materi kemanusiaan.
Kedua materi tersebut diberikan kepada peserta didik dengan disesuaikan
dengan jenjang usia dan kemampuannya.
7. Selanjutnya menurut Nurcholish Madjid, dalam rangka pergedungan sudah
waktunya dipikirkan dengan sungguh-sungguh pengadaan gedung atau ruang
perpustakaan yang memadai. Lembaga-lembaga pendidikan dan keilmuan
yang tinggi yang bermutu biasanya menempatkan gedung perpustakaan
sebagai bangunan sentral kompleks atau kampusnya. Sementara itu, isi
perpustakaan adalah faktor yang lebih-lebih lagi amat menentukan tinggi
rendahnya mutu pendidikan, penelitian dan keilmuan lembaga ilmiah itu.
Tetapi mengingat tingginya harga buku dan kitab, maka pada tahap permulaan
barangkali terpaksa harus dilakukan pilihan yang tepat atas buku-buku yang
276
menjadi isi perpustakaan. Dalam hal ini, sebagai lembaga keilmuan Islam,
penting sekali memiliki khazanah kepustakaan dari warisan budaya Islam
klasik yang kaya raya itu
8. Sistem pendidikan kolonial yang jauh berbeda dengan sistem pendidikan
pesantren sangat tidak tepat untuk dijadikan model bagi pendidikan masa
depan dalam rangka menyongsong Indonesia “baru” yang berdimensi
keislaman, keilmuan dan keindonesiaan. Sejak awal kemunculannya sistem
pendidikan kolonial hanya terpusat pada pengetahuan dan ketrampilan
duniawi yaitu pendidikan umum.
9. Konsep pembaharuan pendidikan Nurcholish Madjid telah diaplikasikan di
HMI, yaitu ketika ia menjadi ketua PB HMI yang berturut selama dua
periode, yaitu tahun 1966 – 1969 dan tahun 1969 – 1971. Di HMI inilah
Nurcholish Madjid berhasil menelorkan prinsip-prinsip organisasi yang
kemudian disebut sebagai Nilai Dasar Perjuangan HMI. Juga
diaplikasikannya pada Kelompok Kajian Agama (KKA) Paramadina, SMU
Madania, dan Universitas Paramadina Mulia di bawah naungan Yayasan
Wakaf Paramadina yang ia dirikan.
10. Konsep pembaharuan Nurcholish Madjid masih relevan untuk diaplikasikan
di masa sekarang dan masa yang akan datang.
B. Saran.
277
Berdasarkan uraian dan analisa yang terdapat pada beberapa bab di atas, dapat
disampaikan saran-saran, sebagai berikut:
1. Kepada umat Islam, khususnya para pelajar dan mahasiswa hendaknya
membaca karya-karya Nurcholish Madjid dan buku-buku yang berkaitan
dnegan pemikiran Nurcholush Madjid, agar bertambah wawasan
keislamannya, sehingga tidak menjadi seorang Muslim yang fundamentalis.
2. Kepada umat Islam yang tidak sependapat dengan gagasan-gagasan
Nurcholish Madjid hendaknya terlebih dahulu mengkaji gagasan-gagasannya
itu dan tidak bersikap emosional, apalagi mengkafirkannya.
3. Kepada umat Islam yang sependapat dengan gagasan-gagasan Nurcholish
Madjid hendaknya tidak langsung menerima begitu saja tanpa dipelajari
terlebih dahulu, dan berhati-hati dalam menangkap dan menerima pemikiran-
pemikirannya, dan tidak berlebihan apalagi sampai mengkultuskannya.