pembangunan bandar antariksa untuk …
TRANSCRIPT
17Buletin LAPAN Edisi Vol. 6 No. 1 2019
PEMBANGUNAN BANDAR ANTARIKSA
UNTUK KEMANDIRIAN BANGSAOleh Sigid Nur Tito
Termaktub dalam rencana induk (renduk) keantariksaan
paling lambat tahun 2040 atau menjelang 100
kemerdekaan, Indonesia sudah mempunyai kemampuan
membuat satelit sendiri dan meluncurkan dengan wahana
roket sendiri dari bumi Indonesia. Untuk saat ini, Indonesia
telah mampu membuat satelit sendiri, meskipun dalam kategori
satelit mikro berukuran +/- 100 Kg. Roket Peluncur Satelit
(RPS) buatan Indonesia, sedang dalam proses uji coba melalui
Roket Sonda yang menjadi cikal bakalnya. Realisasi mimpi
memiliki Bandar antariksa diwujudkan dalam kurun waktu 25
tahun mendatang. Kami berkesempatan mewawancarai Intan
Perwitasari, beliau merupakan Peneliti Muda Pusat Kajian
Kebijakan Penerbangan dan Antariksa (PusatKKPA) LAPAN.
18 Buletin LAPAN Edisi Vol. 6 No. 1 2019
Calon Lokasi Bandar Antariksa
Pemilihan lokasi bandar antariksa
telah dilakukan melalui beberapa proses
kajian dengan mempertimbangkan beberapa
alternatif lokasi seperti Pulau Nias, Pulau
Enggano, Pulau Morotai, dan Pulau Biak, dan
akhirnya pada tahun 2018 ditetapkan lokasi
pembangunan bandar antariksa berada di
Pulau Biak oleh Prof. Thomas Djamaluddin
Kepala LAPAN. Dalam penentuan lokasi
tersebut, mempertimbangkan tidak hanya
aspek kelayakan teknis namun juga aspek non
teknis.
Kajian tentang lokasi bandar antariksa
di Pulau Biak ini sudah dilakukan sejak
tahun 1980-an, bermula dengan lokasi
tanah LAPAN seluas 100 ha (1 kmx 1 km)
di Desa Saukobye, Biak Utara, kemudian
dilanjutkan pada tahun 1990, tahun 2017,
hingga sekarang. Secara posisi geografis, Biak dekat dengan ekuator dimana posisi tersebut
sangat baik sebagai tempat peluncuran
RPS ke Geostationary Earth Orbit (GSO)
dan berdampak positif pada penghematan
penggunaan bahan bakar roket ketika
diluncurkan.
Bandar antariksa ini melibatkan banyak
pihak baik pemerintah pusat dan daerah
pada tahap perencanaan, pembangunan
hingga pengoperasian nantinya. Program
pembangunan bandar antariksa ini merupakan
program strategis nasional sesuai amanah
dalam Undang-Undang Keantariksaan dan
Rencana Induk Keantariksaan. Pembangunan
bandar antariksa ini bersifat high cost dan
high risk sehingga perlu perencanaan yang
matang. Pada rakornas pada bulan november
2019 disebutkan bahwa sumber pembiayaan
dari bandar antariksa ini akan bersumber
dari APBN murni dan non murni dengan
dimungkinkan bentuk pembiayaan melalui
KPBU dengan banyaknya infrastruktur yang
akan dibangun. Pembangunan fasilitas ini
terdiri atas pembangunan fasilitas pokok dan
fasilitas penunjang termasuk di dalamnya
biaya mobilisasi logistik dan SDM yang terlibat
di dalamnya.
Kajian tentang lokasi bandar antariksa di Pulau
Biak ini sudah dilakukan sejak tahun 1980-an,
bermula dengan lokasi tanah LAPAN seluas 100
ha (1 kmx 1 km) di Desa Saukobye, Biak Utara,
kemudian dilanjutkan pada tahun 1990, tahun
2017, hingga sekarang.
“Saat ini kita masih memanfaatkan jasa peluncuran negara lain seperti di Guyana, dan
Sriharikota dari peluncuran satelit milik LAPAN dan satelit perusahaan nasional lainnya seperti
PT. BRI Tbk , PT PSN, dan PT Telkom. Dan biaya peluncuran satelit tersebut sangatlah besar.
Dengan pembangunan dan pengoperasian bandar antariksa di Pulau Biak, multiplier effect yang
akan muncul akan besar bagi sektor utama (industri peluncuran), kontruksi dan sektor lainya
bersifat backwash ataupun forward linkage.
19Buletin LAPAN Edisi Vol. 6 No. 1 2019
Sesuai dengan tahapan renduk, maka sampai dengan akhir tahun 2020 akan dilakukan
kegiatan masterplan, amdal dan perencanaan pembangunan bandar antariksa. Pada tahun
2019 telah dilakukan 2 kali sosialisasi ke masyarakat di Biak Utara dan pertemuan dengan
stakeholders dengan Kabupaten Biak Numfor, Bappeda Propinsi Papua, dan Universitas
Cenderawasih. Dan pada rakornas pada bulan November 2019, telah dilakukan pertemuan
dalam rangka koordinasi nasional dengan melibatkan banyak kementerian, industri dan
beberapa perguruan tinggi.
Kepemilikan Lahan
Saat ini, LAPAN memiliki 100 hektar/ 1 km2, lahan tersebut memiliki sertifikat hak izin pakai pada tahun 1980. Perencanaan bandar antariksa skala kecil ini minimun membutuhkan radius
aman seluas 2 km, oleh karena itu LAPAN perlu melakukan pembebasan lahan pada lokasi
di luar tanah LAPAN saat ini. Kegiatan ke depan dengan adanya kegiatan bandar antariksa
komersial (skala besar), LAPAN perlu mengkaji secara lengkap apakah Bandar Antariksa skala
besar berdampingan dengan skala kecil. Untuk Bandar Antariksa skala kecil ini, zonasinya
sudah disosialisasikan. Untuk skala besar, saat ini perlu disosialisasikan dengan masyarakat
dan pemerintah daerah yang menjadi tujuan lokasi pembangunan.
Kerja sama dan Peluang
Dalam penyusunan kajian perencanaan bandar antariksa Pusat Kajian Kebijakan
Penerbangan dan Antariksa bersama dengan Pusat Teknologi Roket melakukan kegiatan
survei bersama dan penjajakan kerja sama dengan Pemerintah Daerah di Kabupaten Biak dan
Propinsi Papua. Secara akademis tim juga melibatkan pakar dari ITB yaitu PT. LAPPI- ITB dan
Universitas Cenderawasih dalam rangka pengayaan kajian.
Mengenai amdal, LAPAN akan melibatkan Universitas Cendrawasih (Uncen), karena
Uncen merupakan akademisi lokal yang memiliki kompetensi dan berpengalaman dan
memahami permasalahan di tingkat lokal. Kultur budaya, regulasi sistem sosial di Pulau Jawa
dan di Papua memiliki perbedaan, amdal ini perlu penanganan melibatkan pakar dari akademisi
lokal yang memiliki kompetensi untuk kajian amdal, tidak hanya aspek sosial saja melainkan
banyak hal.
Saat ini, LAPAN memiliki 100 hektar/ 1 km2,
lahan tersebut memiliki sertifikat hak ijin pakai pada tahun 1980“
20 Buletin LAPAN Edisi Vol. 6 No. 1 2019
Pembangunan bandar antariksa
ini mendukung kegiatan kemandirian
penguasaan teknologi peroketan, kegiatan
peluncuran dan komersialisasi. Sehingga
akan ada landasan peluncuran (launch
pad) untuk kegiatan peluncuran roket-roket
LAPAN dan terpisah dengan launch pad
untuk komersialisasi, seperti halnya contoh
bandar antariksa di Guyana. LAPAN sendiri
sedang melakukan kegiatan penguasaan
secara bertahap teknologi roket roket yang
mampu mencapai ketinggian 300 km, menuju
orbit Low Earth Orbit (LEO). Dimana dalam
penguasaan teknologi roket tersebut, dengan
pengembangan roket berdiameter kecil
dan besar, perlu diikuti dengan dukungan
industri pendukung (komponen, material, dll).
Hambatan - hambatan eksternal juga menjadi
tantangan untuk mengembangkan roket,
termasuk keberadaan rezim pengendalian
eksport teknologi antariksa seperti Missile
Technology Control Regime (MTCR). Pada
tahun 2020 LAPAN akan mempersiapkan
naskah urgensi untuk Rancangan Peraturan
Pemerintah (RPP) komersialisasi, RPP
pengoperasian Bandar Antariksa, dan
beberapa perla turunannya. Hal tersebut
dipersiapkan secara paralel. RPP tersebut
mencakup regulasi yang melindungi,
membangun industri, dan transfer teknologi.
Tren kebutuhan peluncuran satelit saat
ini meningkat sejalan dengan tumbuhnya
space start-up. Tren pelaku bisnis peluncuran
saat ini tidak hanya Government to
Government (G2G), namun mulai beranjak
Business to Business (B2B) dan G2B. Untuk
mempersiapkan kegiatan komersialisasi
bandar antariksa, maka saat ini LAPAN
sedang mempersiapkan penyusunan regulasi
dan kajian terkait RPP Komersialisasi dan
RPP Pembangunan, Pengoperasian Bandar
Antariksa dan draft Perla terkait Daftar
Teknologi Sensitif.
Pantai Batu Picah via Shutterstock