pembangunan regional sulut fix€¦ · pada pusat-pusat pengembangan pada wilayah kota besar atau...
TRANSCRIPT
1
PEMBANGUNAN REGIONAL SULUT:
KAPET ATAU DESENTRALISASI PUSAT-PUSAT
PERTUMBUHAN1
Oleh: Noldy Tuerah
Pendahuluan
Strategi pendekatan perencanaan dan pembangunan regional yang telah dan
sedang dilakukan sampai saat ini cenderung lebih mengutamakan atau menekankan
pada pusat-pusat pengembangan pada wilayah kota besar atau menengah sebagai
penggerak utama pembangunan regional. Dimana sekarang pusat-pusat pertumbuhan
tersebut lebih populer dengan pusat kawasan pengembangan ekonomi terpadu
(KAPET). Model pendekatan pembangunan seperti ini lebih mengutamakan pada
pertumbuhan ekonomi (economic growth) sebagai leading sektor dan diasumsikan
sektor-sektor terkait lainnya akan ikut berkembang, serta daerah pinggiran
(periphery) akan terikut berkembang akibat adanya spread effects dari pusat
pertumbuhan. Dengan kata lain model ini relatif mengabaikan atau kurang
menekankan pada aspek pemerataan (distribution) dan pendekatan ini relatif kurang
memperhatikan aspek lingkungan sebagai syarat utama pembangunan berkelanjutan
(sustainable development). Agar ketiga aspek penting dan utama (growth,
distribution, and sustainable) ini dapat diwujudkan dalam pelaksanaan pembangunan,
model pendekatan pembangunan diatas perlu diadakan modifikasi agar supaya dapat
mengakomodasi bagian terbesar kebutuhan pembangunan regional dan dapat
dinikmati lebih banyak orang khususnya mereka yang tinggal di wilayah pinggiran dan
wilayah pedesaan.
Pelaksanaan pembangunan di Indonesia yang sedang dilaksanakan oleh
pemerintah Orde Baru sejak tahun 1969 melalui Pelita I sampai dengan pelita VI yang
sedang berlangsung, telah mencatat segudang keberhasilan dalam pembangunan yang
dapat diukur antara lain melalui pendapatan perkapita masyarakat telah mencapai
$US 1020 (Bappenas, 1995) yang oleh Bank Dunia diklasifikasikan pada kelompok
berpendapatan menengah ke bawah dan pendapatan perkapita Sulawesi Utara sekitar
1Paper disampaikan pada seminar ISEI cabang Manado, Bappeda Tingkat I, 20 Maret 1997.
2
Rp 1.306 861 tahun 1995 (BPS, 1996). Tahun 1984 Indonesia telah berhasil mencapai
pada titik puncak produksi beras dan disebut telah mampu untuk swasembada pangan,
keberhasilan ini mengantar Bapak Presiden menyampaikan pidato didepan FAO di
Rome, dan Indonesia telah mampu menekan pertumbuhan jumlah penduduk selama
kurun waktu lebih 25 tahun sehingga Indonesia baru mencapai jumlah penduduk 200
juta pada tanggal 4 Februari 1997, yang seharusnya telah dicapai pada 17 tahun yang
lalu sesuai analisa dan proyeksi penduduk yang dilakukan oleh Prof. Widjojo Nitisastro
pada tahun 1960an (Nitisastro, 1970).
Beberapa indikator keberhasilan pembangunan diatas telah dibarengi pula
dengan terjadinya kesenjangan pembangunan dimana ditunjukkan beberapa
perbedaan yang sangat transparan seperti pembangunan antar wilayah perkotaan
dengan wilayah pedesaan, perbedaan antar pulau seperti Jawa dan luar Jawa.
Kesenjangan ini pada ruang lingkup lebih luas terjadi juga antar wilayah seperti
Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI). Kesenjangan ini
terjadi yang oleh para ahli perencanaan pembangunan dan ekonomi mengatakan
bahwa hal itu diakibatkan oleh sangat tidak seimbangnya penempatan dana investasi
pembangunan baik dari sektor pemerintah maupun swasta—sebagai faktor penyebab
utama. Dalam kenyataan bagian terbesar investasi baik dilakukan oleh sektor
pemerintah dan sektor swasta terjadi di Kawasan Barat Indonesia (KBI) khususnya di
pulau Jawa yang terkonsentrasi di wilayah perkotaan saja. Hal ini sangat jelas
dibuktikan oleh jumlah uang yang beredar di Indonesia lebih dari 70 persen hanya
beredar di ‘Ibu Kota’ negara (BPS,1996).
Menyadarinya terjadi kesenjangan seperti dikemukakan diatas setelah kurang
lebih dua puluh lima tahun, oleh pemerintah pusat cepat-cepat mengantisipasi
masalah tersebut dengan memberikan ‘perhatian khusus’ untuk pembangunan
Kawasan Timur Indonesia dengan dibentuknya satu tim khusus yang disebut Dewan
Pengembangan Kawasan Timur Indonesia yang diketuai oleh seorang Menteri Bapak
B.J. Habibie. Dalam pengembangan kawasan andalan oleh pemerintah pusat melalui
struktur tata ruang nasional ini mengusulkan/menawarkan suatu alternatif
pendekatan pembangunan regional yang menitik beratkan pada pengembangan
kawasan-kawasan potensional yang dapat berkembang atau bertumbuh cepat atau
disebut Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) dengan memperhatikan
kondisi dan potensi wilayah setempat.
Tulisan ini menjelaskan teori apa yang melatar belakangi model pembangunan
regional dengan mengutamakan pusat-pusat pertumbuhan seperti KAPET. Selanjutnya
akan juga dibahas faktor-faktor apa saja merupakan keunggulan dan kelemahan model
ini. Pada bagian selanjutnya akan dianalisa bagaimana pengalaman dari kota-kota
atau wilayah-willayah yang telah menggunakan pusat pertumbuhan sebagai model
3
pembangunan regional. Dalam bagian ini akan diilustrasikan pengalaman kota Jakarta,
Cilegon, Batam, dan Quangzhou di propinsi Fujian, Cina. Selanjutnya, pada bagian
berikut tulisan ini mengulas tentang bagaimana KAPET Manado Bitung dapat
dikembangkan dengan mempertimbangkan dan mempelajari pengalaman-pengalaman
yang telah dilakukan di kota dan wilayah yang lain. Bertolak dari latar belakang teori
dan pengalaman di kota dan wilayah lain, tulisan ini mengemukakan suatu alternatif
pendekatan pembangunan regional dimana tidak hanya menekankan daerah perkotaan
(centers) tapi juga mengutamakan pengembangan wilayah pedesaan sebagai basis
utama mayoritas penduduk. Diharapkan tulisan ini dapat merupakan masukkan untuk
pemerintah daerah sebagai bahan alternatif untuk perencanaan pembangunan daerah.
Model Pusat Pertumbuhan (Growth Center)
Alternatif pendekatan pembangunan regional seperti KAPET bertolak dari ide
dasar atau suatu teori yang sangat popular dari seorang ahli ekonomi regional berasal
dari Perancis adalah Francois Perroux mengemukakan melalui teorinya yang disebut
‘the theory of development poles’ (Perroux, 1995 dalam Hansen, 1971). Dalam teori
ini Perroux mengemukakan bahwa untuk mempertahankan total pertumbuhan
produksi harus terkonsentrasi pada beberapa proses aktivitas utama yang memiliki
prospek sangat baik, pertumbuhan masing-masing aktivitas sangat diutamakan, dan
kemungkinan beberapa aktivitas tersebut akan tidak mampu bersaing dimasa akan
datang dan kemungkinan bisa hilang. Teori ini juga mengatakan bahwa tingkat
pertumbuhan masing-masing sektor atau kegiatan ekonomi akan bervariasi antara satu
dengan lainnya. Seperti Joseph Schumpeter, Perroux menekankan bahwa inovasi-
inovasi baru para wiraswasta atau entrepreneurs merupakan faktor kunci dalam
mengembangkan proses-proses pertumbuhan melalui dinamika keberhasilan masing-
masing sektor pada pusat-pusat pertumbuhan dalam jangka waktu tertentu. Dalam
kaitan analisa regional, konsep pusat (the pole concept)menekankan bahwa pusat
spasial dan pertumbuhan sebagai tempat terkonsentrasinya beberapa cabang industri-
industri utama.
Konsep pusat pertumbuhan (growth poles or centers) dapat dilihat dalam tiga
aspek utama.Pertama dari aspek ekonomi, pusat pertumbuhan sebagai sekumpulan
perusahaan-perusahaan atau industri-industri. Dalam kumpulan industri seperti ini,
sektor-sektor ekonomi dan kegiatannya dapat ditunjukkan melalui input output
matriks dan efek-efek pertumbuhannya dapat dijelaskan melalui kolom dan baris
dalam matriks tersebut (Darwent, 1975). Pengaruh pusat pertumbuhan dalam
kegiatan ekonomi tergantung pada dominasi kegiatan, ukuran serta interaksi dan
keterkaitan antara satu perusahaan dengan perusahaan lain atau antar satu industri
4
dengan industri lainnya, dan tingkat pertumbuhan dalam kaitan dengan kegiatan
ekonomi diluar pusat pertumbuhan. Beberapa industri tertentu akan mendominasi
industri lain disaat barang-barang dan jasa-jasa yang mereka produksi lebih banyak
dari yang mereka terima.
Kedua, sebagai pusat dalam kaitan dengan aspek spasial, dimana pusat
pengembangan sebagai wilayah pemukiman. Secara implisit dalam teori spasial pusat
pertumbuhan mencari bentuk ukuran kota yang ideal serta distribusi wilayah
pemukiman. Namun sampai saat ini sulit menemukan ukuran dan ruang yang ideal.
Walaupun biaya marginal (marginal costs) nampaknya meningkat setelah melampaui
tingkat jumlah penduduk tertentu, produktivitas marginal (marginal productivity)akan
meningkat lebih cepat.
Ketiga, konsep pusat pertumbuhan nampaknya perlu diwujudkan—dimana
perubahan-perubahan dalam nilai-nilai sosial tersebar dari pusat utama (central
point) seperti sebuah kota atau sebuah kawasan industri—melalui daerah penyanggah
sekitarnya (hinterland).
Lebih jauh Perroux mengatakan bahwa konsep ekonomi regional dibagi dalam
tiga bagian. Pertama, (economic space as defined by a plan) dimana dijelaskan
melalui suatu keterkaitan yang terjadi antara industri dengan supplier barang-barang
input (bahan baku, tenaga kerja, modal) dan para pembeli barang output
(intermediate and final). Kedua, (economic space as a field of forces) dimana dilihat
ekonomi regional terdiri atas pusat-pusat sebagai pendorong utama (centrifugal
forces) dan pendaya tarik utama (centripetal forces). Masing-masing pusat ini
merupakan pusat yang mempunyai keunikan daya tarik dan kegiatan ekonomi utama
yang jelas serta saling terkait dengan kegiatan ekonomi lainnya pada pusat-pusat
pertumbuhan dan wilayah yang lain. Ketiga, (economic space as a homogeneous
aggregate) indutri di lingkungan pusat pertumbuhan relatif terstruktur dalam suatu
bentuk homogen dengan industri-industri dilokasi sekitarnya yang tercakup dalam satu
wilayah. Sangat jelas ditunjukkan diatas bahwa konsep ekonomi regional dikemukakan
Perroux, khususnya pada bagian kedua sangat erat kaitannya dengan pembahasan
yang terpusat pada kompleksitas hubungan kegiatan ekonomi sementara paper ini
tidak hanya membahas aspek ekonomi saja tapi termasuk didalamnya menganalisa
aspek wilayah atau geografi.
Berangkat dari teori diatas dapat dijelaskan bahwa dalam pengembangan suatu
wilayah atau region memerlukan pusat-pusat pertumbuhan (growth poles or centers)
sebagai penggerak utama (prime mover) untuk kegiatan ekonomi utama. Dimana
aktivitas-aktivitas ekonomi, terkonsentrasi pada suatu tempat tertentu dan akan
mempunyai dampak atau pengaruh pada aktivitas ekonomi itu sendiri melalui
5
keterkaitan kegiatan-kegiatan utama industri-industri didalam satu lokasi tersebut.
Ataupun terjadi suatu aktivitas industri yang disebut dengan aglomerasi industri,
maupun aktivitas lainnya yang digerakkan oleh pusat kegiatan ekonomi terjadi di luar
pusat kegiatan tersebut seperti permintaan bahan baku (raw materials) dan tenaga
kerja dari daerah sekitar pusat kegiatan tersebut akibat dari adanya aglomerasi
industri tersebut.
Namun untuk berkembangnya pusat-pusat pertumbuhan (growth centers)
sebagai (prime mover) dalam suatu wilayah oleh Perroux dikatakan bahwa kegiatan-
kegiatan dalam wilayah pusat pertumbuhan tidak akan terjadi dengan sendirinya.
Pusat-pusat kegiatan industri ini lokasinya tidak berjauhan atau relatif dekat dengan
pelabuhan-pelabuhan utama dan lapangan udara utama yang dapat menghubungkan
langsung output hasil industri-industri tersebut dengan lokasi-lokasi daerah pemasaran
diluar daerah tersebut. Selain itu diperlukan faktor-faktor pendukung utama lainnya
seperti infrastruktur dasar (social overhead capital) termasuk jalan utama (highway),
jembatan, jaringan transportasi darat yang mampu mengangkut peralatan berat
seperti mesin-mesin pabrik dan peralatan pendukung lainnya, jaringan pembuangan
limbah industri, tersedianya listrik, air minum, jaringan telepon yang dapat
mensupply permintaan kebutuhan industri-industri yang akan dibangun. Selain itu
suatu wilayah industri memerlukan suatu area tanah luas yang telah dilengkapi
dengan infrastruktur pendukung dan ditunjang oleh pemerintah daerah dengan
management profesional dalam pengelolaan administrasi yang berkaitan dengan
segala prosedur aturan yang harus diselesaikan dengan pelaku bisnis pada sektor
industri dan jasa di wilayah tersebut. Dari serentetan syarat utama dikemukakan
Perroux diatas masih ada juga syarat lain yang mutlak dituntut oleh para investor
yaitu stabilitas politik yang dapat menjamin investasi mereka.
Karena begitu populer model pusat pertumbuhan (growth center) ini tentunya
disebabkan oleh keunggulan model ini dimana dapat menarik sektor swasta dari luar
daerah tersebut untuk melakukan investasi dalam bentuk membangun industri-industri
pengelola komoditi-komoditi pertanian menjadi produk industri atau agro-industri
atau industri-industri yang mengelola hasil industri lainnya baik output-output dari
industri di lokasi yang sama maupun dari luar lokasi tersebut. Terjadinya keterkaitan
permintaan bahan baku dan keterkaitan permintaan output dari sektor lain dan
daerah sekitar atau dari luar wilayah tersebut merupakan efek keterkaitan antar
sektor yang disebut ‘backward-linkage and forward-linkage effects’ (Hirschman,
1958).
Oleh para industriawan atau entrepreneurs sarana infrastruktur dan lokasi
industri (industrial zone) yang ditawarkan atau disiapkan oleh pemerintah merupakan
daya tarik utama bagi mereka untuk mempertimbangkan dalam pengambilan
6
keputusan melakukan investasi. Keterkaitan ini dari sisi ekonomi disebut bahwa
autonomous investment yang biasanya dilakukan oleh sektor swasta akan selalu
mengikuti induced investment yang dilakukan oleh sektor pemerintah.
Manfaat lain dari model pusat pertumbuhan adalah akibat terjadinya suatu
proses industri, komoditi-komoditi pertanian diproduksi di daerah sekitar pusat
kegiatan industri ini dan bahan baku dari industri lainnya akan memberikan nilai
tambah terhadap barang-barang yang diproduksi. Selain itu pula terkonsentrasinya
industri-industri sejenis dan industri terkait pada suatu lokasi, tersedianya bahan baku
dan tenaga kerja sekitar lokasi industri memungkinkan para pelaku bisnis atau
entrepreneurs dapat mengefiesiensikan penggunaan faktor-faktor produksi untuk
memaksimumkan profit sebagai tujuan utama dari perusahaan ataupun industri.
Adanya serta berkembangnya industri-industri pada wilayah pusat pertumbuhan
mempunyai dampak langsung terhadap penciptaan lapangan kerja serta permintaan
tenaga kerja baru untuk terlibat secara langsung dalam proses produksi. Kesempatan
kerja baru ini nantinya berpengaruh positif terhadap para pekerja itu sendiri sebab
akan meningkatkan pendapatan mereka. Dengan kata lain adanya pusat pertumbuhan
sebagai pusat kegiatan industri akan mengurangi kelompok pengangguran yang ada
disekitar lokasi tersebut. Dampak positif inilah yang merupakan akibat langsung yang
dapat mempengaruhi daerah sekitar industri atau oleh Gunnar Myrdal disebut efek
penetesan kebawah sekitar pusat pertumbuhan (trickle down effect) (Myrdal, 1957).
Pusat kegiatan industri seperti ini berpengaruh positif secara tidak langsung
terhadap wilayah sekitar dan sektor kegiatan ekonomi lainnya. Hal ini dapat
ditunjukkan melalui meningkatnya aktivitas transportasi dari dan ke daerah pusat
pertumbuhan baik jasa transportasi mengangkut hasil produksi industri, bahan baku,
dan angkutan jasa umum penumpang para pekerja. Berkembangnya kegiatan-kegiatan
jasa lainnya seperti bisnis rumah makan, pemondokan atau tempat kos akibat adanya
permintaan dari para pekerja. Selain kegiatan-kegiatan tersebut tak dapat disangkal
lagi akan munculnya aktivitas-aktivitas pada sektor informal yang menawarkan mulai
dari jasa penjualan makanan, minuman, rokok dan bahan kebutuhan sehari-hari,
buah-buahan, sampai pada jasa pelayanan seks. Sektor ini sering oleh pemerintah
kota dianggap sebagai aktivitas yang mengurangi keindahan kota. Tapi dalam
kenyataan sektor ini dapat menyerap tenaga kerja lebih besar dibandingkan dengan
sektor formal.
Disamping beberapa keunggulan yang diakibatkan oleh model pusat
pertumbuhan, pada pendekatan ini pula melekat sejumlah faktor kelemahan seperti;
sebagai konsekuensi dari besarnya jumlah investasi yang dibutuhkan untuk
pembangunan prasarana dan sarana pendukung utama pembangunan dan industri,
7
mengakibatkan terjadinya polarisasi modal pada suatu wilayah tertentu saja. Hal ini
dapat dengan jelas ditunjukkan oleh kota-kota utama pantai utara pulau Jawa seperti
Jakarta, Semarang dan Surabaya dimana bagian terbesar investasi baik dari sektor
pemerintah dan sektor swasta terkonsentrasi pada ketiga kota tersebut walaupun
diantara ketiga kota tersebut masih didominasi oleh ‘Ibu Kota’. Gambaran ini pula
dapat dengan jelas dilihat dari aspek wilayah dimana bagian terbesar investasi
pemerintah dan swasta terkonsentrasi di pulau Jawa.
Konsekuensi dari terpolarisasinya dana investasi pembangunan tersebut
mengakibatkan mengalirnya para pekerja migran atau arus migrasi desa-kota kepusat-
pusat pertumbuhan tersebut sehingga terjadi tingkat urbanisasi yang tinggi pada kota-
kota pusat pertumbuhan. Bertambahnya jumlah penduduk kota tersebut berkaitan
secara langsung terhadap meningkatnya permintaan fasilitas-fasilitas kota seperti
transportasi, perumahan, pendidikan, kesehatan, fasilitas hiburan, air minum, listrik,
fasilitas pemadam kebakaran, dan lain-lain. Dimana kesemua fasilitas ini relatif
sangat terbatas tersedia di wilayah perkotaan.
Akibatnya muncul masalah-masalah perkotaan seperti masalah transportasi
umum yang terbatas mengakibatkan penumpang harus berjejal-jejal didalam bus kota
dan sarana transportasi umum lainnya. Disamping terbatasnya fasilitas jalan yang
tersedia, sedangkan disatu pihak, jumlah kendaraan pribadi meningkat sangat cepat
dan banyaknya pedagang dan penjajah makanan memanfaatkan sebagian trotoar dan
jalan utama menjajakan jualan mereka, menyebabkan terjadinya kemacetan-
kemacetan lalu-lintas diwilayah perkotaan.
Terbatasnya fasilitas perumahan dan tanah untuk wilayah pemukiman yang
tersedia di daerah perkotaan, serta tidak seimbangnya dengan tingkat permintaan
perumahan yang tinggi, menyebabkan muncul daerah-daerah pemukiman kumuh
ditengah kota. Tingginya tingkat kepadatan penduduk dan sangat padatnya lokasi-
lokasi pemukiman, banyaknya daerah pemukiman kumuh, dan sering terjadinya
pencurian-pencurian aliran listrik atau banyak sambungan listrik tidak resmi
menyebabkan sangat sensitifnya terjadinya kebakaran pada lokasi-lokasi pemukiman
penduduk.
Karena terbatasnya sarana pendidikan dan kesehatan menyebabkan banyak
penduduk kota tidak dapat menikmati pendidikan yang cukup dan banyak masyarakat
kota yang belum terjangkau oleh fasilitas pelayanan kesehatan. Kedua faktor ini
menyebabkan relatif rendahnya kualitas sumber daya manusia. Selain itu pula bagi
para penduduk yang berpindah dari daerah pedesaan ke wilayah perkotaan (migrants)
pada umumnya memiliki keahlian yang terbatas pada sektor pertanian. Sedangkan
tenaga kerja yang dibutuhkan di kota pada umumnya pada kegiatan-kegiatan sektor
industri dan jasa. Kenyataan ini membuyarkan harapan para migran untuk
8
mendapatkan pekerjaan yang lebih baik di kota. Akibat karena tidak sesuainya
keahlian yang dibutuhkan pada pasar tenaga kerja di kota dengan keahlian yang
dimiliki para migran, merupakan pemicu utama meningkatnya tingkat pengangguran
didaerah perkotaan.
Tingkat pengangguran yang tinggi mempunyai korelasi positif dengan masalah-
masalah sosial di wilayah perkotaan.Hal ini ditunjukkan oleh sering munculnya banyak
pencurian, pencopetan, penodongan, perampokan, pembunuhan, perkelahian masal.
Tingginya tingkat kriminilitas seperti ini sangat mengganggu serta membuat sebagian
masyarakat kota harus hidup dengan penuh kecemasan dan sering merasa tidak aman
tinggal dikota. Dengan kata lain sebagian dari hak hidup masyarakat untuk menikmati
hidup aman dan relatif sangat mahal untuk tinggal di kota yang menjadi pusat
pembangunan.
Pesatnya perkembangan industri pengolahan dan pabrikasi dalam jumlah relatif
besar sebagai penyebab utama tercemarnya saluran-saluran air dan sungai-sungai oleh
limbah buangan industri. Bersamaan dengan itu pula melalui cerobong-cerobong
industri dan tingginya pertumbuhan jumlah kendaraan umum maupun pribadi
merupakan penyebab utama tingginya polusi udara. Yang menyebabkan lebih sering
ditemukan ‘gray sky’ daripada ‘blue sky’ di kota-kota yang dijadikan pusat
pertumbuhan. Disadarinya tingginya resiko diakibatkan oleh limbah industri buat umat
manusia, pada suatu kesempatan seminar di Jakarta yang diikuti oleh penulis, oleh
Aris Ananta seorang professor dari Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia mengatakan bahwa kalau saudara kehujanan di Jakarta sebaiknya
secepatnya untuk mandi. Sebab tingginya tingkat polusi udara di Jakarta bukan tidak
mungkin terjadinya ‘acid rain’ dimana air hujan yang mengandung zat beracun dan
sangat berbahaya bukan hanya pada tanaman dan hewan tapi juga bagi umat manusia.
Selain itu, karena untuk mempersiapkan lokasi industri mebutuhkan lokasi
relatif besar, menyebabkan sering terjadinya pemindahan hak milik dari produk asli.
Baik diselesaikan berdasarkan aturan-aturan dibuat oleh pemerintah daerah dan pusat
maupun terjadi pemindahan pemilikan tanah dengan menggusur pemilik-pemilik tanah
secara paksa karena tidak terjadinya kesepakatan ganti rugi antara pemilik tanah
dengan pembeli.Atau dikarenakan masyarakat tidak dapat menunjukkan bukti-bukti
pemilikan tanah yang sah. Alasan yang tidak populer selalu dikemukakan oleh
‘penguasa’, penggusuran tersebut dilakukan untuk memperlancar pembangunan.
Sangat sering juga terjadi bahwa oleh pemerintah mengatakan bahwa bagi penduduk
yang tergusur akan dilibatkan langsung dalam pembangunan proyek tersebut atau
akan dipekerjakan pada industri yang akan dibangun. Tapi dalam kenyataan tidak
seperti yang diharapkan oleh mereka yang tergusur. Sebab kenyataan keahlian yang
dimiliki mereka dimana pada umumnya petani tidak sesuai dengan kualifikasi tenaga
9
kerja yang dibutuhkan untuk industri. Akibatnya mereka yang telah kehilangan
lapangan pekerjaan utama sebagai petani karena tanah mereka telah berpindah
tangan, lebih banyak menjadi penganggur sementara atau penonton terhadap
pembangunan yang sedang berlangsung. Dari contoh-contoh klasik diatas sangat jelas
dan sering terjadi di Jakarta dan Bangkok, Thailand.
Karena relatif tingginya permintaan dana investasi untuk mewujudkan suatu
pusat pertumbuhan (growth center) menyebabkan model pendekatan pembangunan
ini cenderung hanya menekankan pada aspek pertumbuhan bukan pada aspek
pemerataan atau kedua-duanya. Model ini juga relatif kecil pengaruhnya pada daerah
pinggiran (periphery) atau terjadi ‘trickle down effect’ pada daerah sekitar pusat
pertumbuhan. Hal ini mungkin dapat diilustrasikan dengan contoh: bila anda
melempar sebuah batu kecil pada permukaan air kolam yang tenang, disaat batu
tersebut menyentuh permukaan air akan menciptakan getaran gelombang yang besar
disekitar pusat sumber gelombang dan makin jauh dari pusat, getaran gelombangnya
makin kecil kemudian habis sama sekali. Dengan kata lain pengaruh yang besar akibat
adanya pusat kegiatan hanya pada sekitar pusat pertumbuhan, dan makin jauh dari
pusat pengaruhnya makin kecil. Beberapa penelitian yang telah dilakukan di beberapa
negara berkembang yang menggunakan pendekatan ini menunjukkan bahwa getaran
gelombang yang digerakkan dari pusat pertumbuhan, radius pengaruhnya tidak
melebihi dari 50 kilometer. Keterbatasan-keterbatasan yang melekat pada model
pusat pertumbuhan, membuat banyak peneliti mengeritik model pendekatan
pembangunan ini mereka antara lain (Lo dan Salih; NUDS, 1985; Douglass, 1990).
Belajar Dari Pengalaman
Konsep atau model pusat-pusat pertumbuhan (growth centers) telah digunakan
dinegara-negara maju seperti dikawasan Eropa Barat maupun Amerika Utara dan juga
di sejumlah negara-negara berkembang. Model ini di Indonesia telah digunakan sejak
awal pelaksanaan pembangunan regional di tahun 1969, kemudian terjadi beberapa
perubahan nama dan penekanan pembangunan dari pelita ke pelita dan kemudian
saat ini dimunculkan KAPET. Walaupun selama ini terjadi perubahan nama lokasi
pertumbuhan, tapi ide intinya tetap didasarkan pada konsep pusat pertumbuhan.
Sejak awal pemerintahan Orde Baru, Jakarta dikembangkan sebagai pusat
penggerak percepatan pembangunan (accelerated growth) megapolitan area
(Jabodetabek) yang berlangsung sampai saat ini. Disamping itu pula, berkaitan dengan
pengembangan jaringan serta hubungan antar perkotaan secara nasional
dikembangkan beberapa kota besar sepanjang pantai utara pulau Jawa dan sebagian
kota-kota disepanjang pantai timur pulau Sumatera dan beberapa kota di Kalimantan
10
dan Sulawesi. Kota-kota diluar pulau Jawa dikembangkan dengan harapan untuk dapat
menyerap tenaga kerja yang kegiatan utama dikombinasikan antara aktivitas-aktivitas
pengelolaan sumber daya alam serta produksi dan transfer barang-barang konsumsi
yang diimpor dari pulau Jawa (Douglass, 1990).
Pesatnya perkembangan Jakarta megapolitan area—sebagai sumber utama
polarisasi spasial disebabkan oleh mengadopsi strategi pengembangan industri,
dilaksanakan melalui kebijakan substitusi impor yang memproteksi industri domestik
dari persaingan luar negeri. Konsekuensi dari kebijakan ini, sangat menguntungkan
industri-industri berskala besar yang berorientasi pada pasar domestik. Disamping
ditunjang oleh pemerintah pusat dan daerah melalui peraturan dan ijin-ijin usaha
yang sangat menunjang pengembangan para pengusaha. Selain didukung juga oleh
fasilitas-fasilitas infrastruktur jalan dan pelabuhan, memudahkan untuk mengimport
barang-barang modal (capital goods) dan bahan baku (raw materials) (Douglass,
1990). Jakarta yang juga merupakan pusat pasar domestik, pusat kegiatan pemerintah
yang memiliki sarana pelabuhan laut dan lapangan terbang terbesar, tersedianya
fasilitas-fasilitas kota serta fasilitas-fasilitas hiburan, dan terkonsentrasinya aktivitas-
aktivitas industri membuat Jakarta makin menarik untuk kegiatan bisnis. Awal tahun
1980an Jakarta dan wilayah sekitar termasuk Jawa Barat menguasai kurang lebih 41
persen dari total nilai tambah (total value added) dan dua pertiga dari total pekerja
yang terlibat langsung pada kegiatan industri menengah dan berskala besar di
Indonesia (Hill, 1987).
Tak dapat disangka lagi bahwa terpusatnya kegiatan industri yang tersebar
pada beberapa lokasi industri di Jakarta disebabkan sangat menonjolnya partisipasi
langsung para investor luar negeri (foreign investors). Suatu studi menunjukkan
bahwa investasi luar negeri untuk manufaktur di Indonesia terkonsentrasi di wilayah
Jabodetabek (Jakarta-Bogor-Depok-Tanggerang-Bekasi) jauh lebih besar dibandingkan
dengan investasi dalam negeri pada tipe industri dan ukuran besar usaha yang sama
(Kelly, 1985). Kebanyakan industri-industri baru seperti perakitan kendaraan
bermotor, industri tekstil, dikuasai oleh investasi asing dan mereka umumnya tersebar
sekitar Jabodetabek. Selain itu, karena adanya investasi asing munculnya bangunan-
bangunan hotel bertaraf internasional, perbankan, serta meningkatnya permintaan
akan fasilitas perumahan, fasilitas hiburan untuk para pekerja yang terlibat langsung
dalam bisnis tersebut. Kesemuanya ini sebagai penyebab utama mentransformasikan
Jakarta dari pusat administrasi relatif kecil menjadi kota metropolitan modern di Asia
yang lengkap dengan bangunan bertingkat, jalan bebas hambatan, dan sistim
telekomunikasi canggih.
Keberhasilan strategi pengembangan pusat pertumbuhan dapat ditunjukkan
pula dikembangkannya kota Cilegon sebagai pusat industri-industri hulu seperti
11
industri baja, serta industri dasar lainnya. Mayoritas yang terlibat langsung dalam
industri-industri hulu tersebut didominasi oleh multi-national cooperation atau
investor luar negeri bekerja sama dengan investor lokal dan sebagian oleh para
konglomerat nasional. Berkembangnya industri-industri raksasa ini yang ditunjang
sarana pelabuhan yang canggih serta prasarana jalan bebas hambatan menghubungkan
dengan Jakarta dan pusat industri lainnya berdampak positif langsung terhadap
cepatnya pertumbuhan real estate pada lokasi-lokasi pemukiman baru disekitar pusat
lokasi industri.Akibat berkembangnya pemukiman perumahan baru, munculnya pusat-
pusat perbelanjaan, fasilitas-fasilitas hiburan, fasilitas pendidikan dan kesehatan. Hal
ini disebabkan oleh meningkatnya para pekerja yang terserap pada industri-industri
tersebut dimana mereka umumnya adalah migran yang datang ke lokasi industri
tersebut. Munculnya lokasi-lokasi pemukiman baru ini akhirnya membentuk suatu kota
mandiri yang berbasis pada sektor industri hulu dan industri menengah.
Agak berbeda dengan strategi pengembangan pusat pertumbuhan kota Batam,
dimana kota ini dibangun untuk memanfaatkan posisi strateginya yang relatif
berdekatan dengan Singapura sebagai pusat distribusi barang ke penjuru dunia melalui
pelabuhan dan lapangan internasionalnya, serta sebagai salah satu pusat perdagangan
dan jasa di Asia dan dunia. Batam dikembangkan untuk dapat memanfaatkan peluang-
peluang bisnis yang sudah berkembang lama dan mapan pada wilayah sekitarnya.
Dengan kata lain Batam dibangun untuk dijadikan salah satu pusat bisnis di Kawasan
Barat Indonesia (KBI) untuk menyaingi Singapura. Hal ini sangat jelas ditunjukkan
dengan pembangunan kota Batam oleh pemerintah pusat dibentuk suatu badan
otoritas yang berkuasa penuh untuk pengembangan kota Batam selain disitu juga ada
pemerintah daerah tingkat dua. Batam diarahkan untuk dikembangkan industri-
industri pengolahan dan manufaktur. Saat ini Batam sedang dipersiapkan untuk
menjadi pusat kargo internasional yang didukung oleh lapangan terbang internasional
Hang Nadim konon yang terpanjang di Indonesia dan pusat kargo laut ditunjang oleh
pelabuhan peti kemas di kawasan Kabil, diharapkan dapat menampung 70 persen
ekspor Indonesia dimana sekarang masih transit melalui Singapore (Kompas, 18
November 1996).
Batam dikembangkan sebagai kawasan berikat (bonded zone) yang relatif besar
dan unik sebab kawasan industri dikombinasikan dengan kawasan pemukiman relatif
padat. Kawasan berikat adalah industri dilokasi tersebut semuanya berorientasi
ekspor dan berhak mendapatkan fasilitas kepabeanan atau kemudahan ekspor maupun
impor. Dengan fasilitas-fasilitas utama dan pendukung yang telah tersedia, membuat
Batam memiliki daya tarik bukan hanya para investor asing maupun domestik yang
relatif besar tapi juga para pengusaha kecil dan masyarakat. Konsekuensinya, tidak
mengejutkan pertumbuhan penduduk Batam relatif sangat tinggi sekitar 18 persen dan
permintaan kebutuhan akan perumahan akan langsung meningkat. Karena terbatasnya
12
penyediaan akan perumahan, menyebabkan tidak dapat dihindari berkembangnya
pemukiman-pemukiman liar sebagai jalan pintas mendapatkan perumahan. Karena
bagi masyarakat berpendapatan rendah relatif sulit dapat membeli rumah real estate.
Arus migrasi yang relatif besar jumlahnya serta bagian terbesar para migran tersebut
tidak memenuhi kualifikasi yang dibutuhkan pasar tenaga kerja, menyebabkan
terjadinya tingkat pengangguran yang tinggi serta daerah tersebut sangat rawan
kejahatan (Kompas, 15 Februari 1997).
Ilustrasi lain yang cukup menarik dikemukakan disini adalah pengalaman
pemerintah Cina mengembangkan pusat-pusat pertumbuhan pada sepanjang daerah
pesisir pantai timur mulai dari Shengyang dibagian utara sampai daerah Xiangzhou
yang wilayahnya berbatasan langsung dengan wilayah HongKong. Propinsi Fujian
adalah salah satu wilayah mengembangkan pusat-pusat pertumbuhan seperti kota
QuangZhou. Jaraknya kurang lebih 180 km atau 3 jam dengan bus dari kota Xiamen
sebagai ibu kota propinsi Fujian dan salah satu Zona Ekonomi Khusus (Special
Economic Zone) di propinsi tersebut. Persiapan mewujudkan suatu zona ekonomi
khusus yang telah dilaksankan sejak tahun 1980an yang dilengkapi dengan konsep
perencanaan secara terperinci dan ditunjang dengan konsep stategi perencanaan
wilayah yang relatif lengkap. Disiapkan berbagai macam kemudahan peraturan untuk
pelaku bisnis, tersedianya lokasi industri dilengkapi dengan prasarana-prasarana dasar
penunjang kegiatan industri dan bisnis, serta tersedianya jumlah tenaga kerja
terampil dan sangat kompetitif.
Semua ini merupakan suatu rangkaian paket relatif lengkap yang dibuat untuk
menarik investor dari dalam maupun luar negeri. Kenyataanya serangkaian paket ini
mampu menyerap banyak investor asing menanamkan modal disana termasuk
didalamnya beberapa konglomerat dari Indonesia yang menanamkan modal pada
bidang properti dan real estate. Disamping serangkaian kemudahan yang disiapkan
untuk para pelaku bisnis, suatu hal yang unik ditunjukkan oleh para aparat
pemerintah kota, dimana mereka mengelola kota dan kawasan industri dengan
menerapkan konsep manajemen secara profesional yang dilengkapi dengan budaya
bisnis yang merupakan ciri utama dari birokrat yang berjiwa kewiraswastaan
(entrepreneurship). Ciri khusus ini sangat jelas terlihat pada saat para investor
diperlakukan seperti layaknya konsumen yang dilayani oleh penjual, dimana
memperlakukan konsumen adalah raja. Kenyataan ini adalah pengamatan dan
pengalaman penulis mengadakan penelitian di wilayah tersebut selama kurang lebih 2
bulan di tahun 1995.
Dari beberapa contoh pelaksanaan strategi pusat-pusat pertumbuhan secara
jelas menunjukkan bahwa terwujudnya model pendekatan pusat pertumbuhan
disebabkan oleh beberapa faktor utama antara lain; kebutuhan investasi relatif dalam
13
jumlah besar, perlunya inisiatif dan peran aktif pemerintah daerah dalam menunjang
pengembangan industri, dan adanya keinginan dan keberanian politik pemerintah
pusat untuk menunjang pengembangan pembangunan di daerah, dimana ketiga faktor
ini akan dibahas dibawah ini.
Strategi pendekatan pembangunan ini memerlukan investasi relatif besar untuk
membangun infrastruktur-infrastruktur dasar dan fasilitas penunjang lainnya. Dalam
analisa ekonomi, sebagai konsekuensi dari jumlah investasi yang relatif besar
digunakan untuk pembangunan infrastruktur dan industri akan secara langsung
mempengaruhi atau meningkatkan pembangunan regional dalam artian meningkatkan
pertumbuhan ekonomi serta pendapatan regional bukan hanya dalam aspek mikro
yang terbatas pada wilayah pusat pertumbuhan tersebut tapi juga secara makro
dalam ruang lingkup yang lebih luas seperti propinsi atau region. Dengan kata lain
dana investasi pembangunan tersebut akan secara langsung menciptakan kesempatan-
kesempatan kerja baru bagi para pencari kerja dimana nantinya akan meningkatkan
pendapatan masyarakat. Jadi keterkaitan dana investasi, industri dan pekerja secara
nyata akan mempengaruhi kenaikan pendapatan regional.
Dalam mewujudkan pelaksanaan pengembangan pusat pertumbuhan tidak
terlepas kaitannya dengan peran aktif pemerintah daerah mulai dari menyiapkan
lokasi sebagai pusat pengembangan industri, menyiapkan infrastruktur dasar
penunjang pengembangan industri, menyiapkan aturan-aturan (regulation)
pelaksanaan pengembangan industri dan penunjang untuk menarik investasi baik
dalam maupun luar negeri, serta menyiapkan aparatur dengan suatu sistem
administrasi yang relatif sederhana untuk melayani masyarakat dan para pelaku
bisnis. Suatu sistem birokrasi dengan manajemen terbuka atau manajemen profesional
merupakan suatu kriteria utama bagi investasi untuk masuk ke daerah.Sebab investor
selalu mencari lokasi investasi dengan biaya investasi (costs of investment) relatif
rendah.
Konsep pusat pertumbuhan yang dapat dilaksanakan didaerah sangat erat
kaitannya dengan kebijakan-kebijakan yang diproduksi oleh pemerintah pusat. Dalam
kaitan ini keputusan-keputusan politik berkaitan dengan wilayah-wilayah utama yang
diprioritaskan untuk dikembangkan dimana disesuaikan dengan potensi wilayah
bersangkutan dalam arti tersedianya potensi sumber daya alam, sumber daya
manusia, kesiapan aparatur pemerintah daerah tingkat I dan II, serta pertimbangan
lokasi strategi yang diharapkan dapat menunjang dan pengembangan daerah
sekitarnya. Selain itu pula keputusan-keputusan dilakukan pemerintah pusat berkaitan
dengan konsekuensi dana yang perlu disiapkan dari pusat untuk pembangunan
prasarana-prasarana dasar untuk menunjang pusat pertumbuhan. Dimana jumlah dana
14
investasi untuk prasarana dasar (social overhead capital) yang dibutuhkan relatif
besar jumlahnya.
Bagaimana Kapet Manado-Bitung dan Sekitarnya Dapat Dikembangkan?
Dalam mempercepat pertumbuhan pembangunan di Kawasan Timur Indonesia
oleh pemerintah pusat ditetapkan untuk dikembangkan 13 Kawasan Pengembangan
Ekonomi Terpadu (KAPET) yang tersebar diseluruh Kawasan Timur Indonesia (KTI). Di
Sulawesi Utara sendiri, dalam struktur tata ruang nasional ditetapkan tiga kawasan
andalan yaitu kawasan andalan Manado-Bitung dan sekitarnya, kawasan andalan
Bolaang Mongondow dan sekitarnya, dan kawasan andalan Gorontalo dan sekitarnya.
Ketiga pusat kawasan ini ditentukan sesuai dengan potensi dan kondisi wilayah
sekitarnya serta lokasi yang dianggap cukup strategi menjadi pusat penggerak
kegiatan ekonomi utama diketiga wilayah tersebut.
Oleh Dewan Pengembangan Kawasan Timur Indonesia, kawasan andalan
Manado-Bitung dipilih sebagai salah satu pusat pertumbuhan yang mendapat prioritas
utama untuk segera dikembangkan (Pemda Tingkat I Sulut, 1996). Alasannya
ditetapkan kawasan andalan Manado-Bitung, dugaan penulis sangat erat kaitannya
dengan posisi kawasan andalan Manado-Bitung dan sekitarnya dimana dianggap sangat
strategis dalam pengembangan wilayah lokal, Kawasan Timur Indonesia (KTI), maupun
wilayah regional dalam kaitan BIMP-EAGA. Selain itu pula dari ketiga kawasan andalan
di Sulut, kawasan andalan Manado-Bitung dianggap telah memiliki sebagian
infrastruktur-infrastruktur dasar dan fasilitas-fasilitas penunjang pembangunan
lainnya yang dapat mendukung pengembangan pusat pertumbuhan mereka.
Namun sekarang memungkinkan dimunculkan pertanyaan seperti; bagaimana
KAPET Manado Bitung dapat diwujudkan? Untuk membahas pertanyaan tersebut,
dapat diuraikan dengan menjawab kedua pertanyaan dibawah ini; faktor-faktor
kendala apa saja yang kemungkinan terjadi?, serta faktor-faktor penunjang apa saja
dapat dikembangkan mendorong strategi pusat pengembangan tersebut?
Dalam bahasan pada bagian sebelumnya sangat jelas dikemukakan bahwa
konsep pusat pertumbuhan seperti KAPET, membutuhkan dana investasi relatif besar
jumlahnya. Karena dana investasi tersebut dibutuhkan untuk membangun prasarana-
prasarana dasar umum seperti pelabuhan peti kemas, lapangan terbang, jalan yang
mampu menampung kendaraan-kendaraan berat, jembatan, listrik, air minum,
telekomunikasi, saluran pembuangan air (drainage). Tersedianya prasarana-prasarana
dasar ini sebagai syarat utama untuk menarik para penanam modal menginvestasikan
dana mereka pada bidang industri dan manufaktur. Umumnya berlaku prasarana-
15
prasarana dasar umum (social overhead capital) dibiayai oleh pemerintah pusat
maupun pemerintah daerah. Tapi dalam kenyataan dana pemerintah untuk
pembangunan baik pemerintah pusat maupun daerah relatif semakin terbatas dan
mungkin tidak mampu untuk membiayai keseluruhan prasarana-prasarana dasar yang
dibutuhkan.
Sumber-sumber dana investasi pembangunan dapat diklasifikasikan dalam tiga
bagian; sektor pemerintah (pusat dan daerah), sektor swasta (swasta nasional dan
internasional), dan dana masyarakat umum. Dengan terbatasnya dana investasi
pembangunan yang bersumber dari pemerintah, maka oleh pemerintah pusat maupun
daerah tidak ada pilihan lain untuk mengundang atau mengajak sektor swasta baik
dari dalam maupun luar negeri, serta dana dari masyarakat umum sebagai mitra
pemerintah (public-private-partnership) untuk dapat secara langsung terlibat
membiayai prasarana-prasarana dasar sebagai penunjang utama pengembangan pusat
pertumbuhan. Hubungan kemitraan ini dapat dilakukan melalui dua cara yaitu sistim
buildlease, transfer (BLT) atau sistim build, operate, transfer (BOT). dari kedua
sumber dana tersebut dapat dengan jelas diduga bahwa yang memungkinkan untuk
diikut sertakan untuk terlibat secara langsung dalam pelaksanaan pembangunan
adalah sektor swasta nasional maupun internasional sebagia mitra kerja dalam
membiayai dan melaksanakan pembangunan.
Untuk mengundang serta melibatkan sektor swasta diperlukan kiat-kiat khusus
yang perlu disiapkan baik oleh pemerintah pusat dan lebih khusus lagi adalah
pemerintah daerah. Alasannya sangat jelas bahwa KAPET didaerah yang lain dapat
dikatakan menghadapi permasalahan relatif tidak jauh berbeda dengan yang dihadapi
KAPET Manado Bitung. Dalam ruang lingkup regional dan nasional, KAPET Manado
Bitung akan bersaing dengan KAPET yang lain baik di kawasan timur sendiri maupun
dikawasan barat untuk mencari sumber dana investasi pembangunan. Jadi para
investor swasta nasional yang jumlahnya relatif terbatas diperhadapkan dengan
banyak pilihan lokasi untuk mengadakan investasi. Demikian pula dalam konteks
internasional Indonesia diperhadapkan dengan pesaing negara Asia lainnya yang sangat
menarik untuk para investor internasional seperti Cina, Vietnam, India, Malaysia,
Filipina, Korea Selatan, dan Thailand. Dengan kata lain baik pemrintah pusat maupun
pemerintah daerah didesak untuk bekerja sama untuk bagaimana merumuskan
kebijakan-kebijakan strategis agar supaya dapat menarik para investor internasional.
Demikian pula dengan pemerintah daerah tidak punya pilihan lain untuk bagaimana
dapat menarik minat para investor asing maupun domestik agar supaya mereka mau
menanamkan modal mereka di wilayah KAPET Manado Bitung. Telah diuraikan diatas
bahwa investasi cenderung mengalir pada daerah-daerah dengan biaya investasi (costs
of investment) relatif rendah. Dengan kata lain para investor sangat ‘alergi’ dengan
16
sistem birokrasi yang berbelit, tidak transparan, dan dibebani dengan banyaknya
pungutan tidak resmi.
Karena investasi sangat sensitive terhadap keamanan (security) dan stabilitas
politik, maka para investor akan selalu sangat selektif dalam memilih lokasi investasi
yang relatif aman dan terjamin untuk jangka panjang. Sebab investasi untuk
prasarana-prasarana dasar relatif memerlukan dana cukup besar, mengandung resiko
cukup tinggi terhadap pengembalian dana investasi itu sendiri serta memerlukan
waktu relatif panjang. Karenanya diperlukan suatu jaminan keamanan pada wilayah
dimana investasi itu digunakan baik dalam jangka pendek, jangka menengah maupun
jangka panjang.
Tak dapat dielakkan lagi bahwa dalam mengelola suatu pusat pertumbuhan
seperti KAPET dibutuhkan suatu dukungan dari birokrat pemerintah daerah
berorientasi pada manajemen yang profesional dan berjiwa wiraswasta
(entrepreneurial government) (Havey, 1989; Osborne dan Gaebler, 1992; Leitner dan
Garner, 1993) bukan berorientasi pada pola tradisional dan tidak popular dimana para
birokrat hanya mau dilayani dan cenderung ‘enggan’ untuk melayani masyarakat.
Namun model menejemen tradisional ini mulai ditinggalkan para penggemarnya. Hal
ini ditunjukkan setelah Pemda Kodia Manado mempelopori mengajak sektor swasta
sebagai mitra kerja untuk beberapa bidang kegiatan-kegiatan yang sangat strategis
untuk meningkatkan pelayanan masyarakat kota. Mengapa entrepreneurial
government mutlak diperlukan, sebab dalam era globalisasi akan diperhadapkan
dalam suatu keadaan sangat kompetitif dan mendorong pemerintah harus bekerja
sama atau menjalin hubungan (partnership) dengan pelaku bisnis atau wiraswasta.
Untuk memudahkan pelayanan pada para pelaku bisnis dan masyarakat umum
yang membutuhkan informasi mengenai keberadaan serta kondisi KAPET Manado
Bitung—mulai dari potensi wilayah berkaitan dengan sumberdaya alam, sumber daya
manusia, kualitas dan struktur penduduk, keadaan ketenaga kerjaan, keadaan lokasi-
lokasi industri, fasilitas penunjang lokasi industri, fasilitas-fasilitas transportasi untuk
darat, laut dan udara, fasilitas-fasilitas jasa perbankan dan asuransi, peraturan-
peraturan, dan lain-lain. Keseluruhan informasi ini perlu disiapkan dalam suatu paket
yang tertata dengan baik. Selain itu yang sangat krusial perlu disiapkan adalah
pelayanan pengurusan semua kewajiban administrasi yang sederhana dan tidak
birokratis. Dengan mempertimbangkan aspek efisiensi yang selalu dituntut para
pelaku bisnis, dalam mendapatkan informasi dan pengurusan administrasinya,
sebaiknya hanya dilayani oleh suatu lembaga saja. Fungsi pelayanan seperti ini sering
disebut one stop shopping dimana semua urusan yang harus diselesaikan oleh para
pelaku bisnis hanya dilakukan dalam satu tempat. Strategi seperti ini sebaiknya
dilakukan sebab untuk menarik para investor, KAPET Manado Bitung akan
17
diperhadapkan dengan banyak pesaing yang relatif menggunakan strategi yang sama.
Oleh sebab itu peningkatan pelayanan mutlak diperlukan.
Selama model perencanaan pembangunan di Indonesia masih relatif didominasi
oleh ‘top down planning’, pelaksanaan pembangunan di daerah yang melibatkan
proyek-proyek yang dibiayai oleh pemerintah pusat tidak dapat lepas dari kontrol
bahkan lebih jauh pengaturan dari atas secara langsung melalui petunjuk pelaksanaan
proyek. Oleh sebab itu dana investasi pembangunan untuk proyek-proyek seperti
prasarana-prasarana dasar yang menyerap dana relatif besar selalu ditentukan atau
diputuskan oleh pemerintah pusat untuk dialokasikan di daerah. Seperti halnya dana
yang dibutuhkan untuk pembangunan prasarana-prasarana dasar dan penunjang untuk
KAPET Manado-Bitung, alokasi dana tersebut harus melalui suatu proses birokrasi yang
sangat ketat dan perlu adanya keinginan dan keberanian politik oleh pemerintah pusat
untuk memutuskannya. Bentuk keputusan politik yang sangat strategis ini, pada
tingkat daerah telah ditunjukkan oleh Pemda Sulawesi Utara memutuskan untuk
mengalokasikan sekitar 40 % dana pembangunan Sulut tahun 1997/98 dialokasikan ke
Daerah Tingkat II Sangihe dan Talaud (Manado Post, 18 Februari 1997).
Dengan mempertimbangkan keadaan geografis dan administrasi KAPET Manado
Bitung, sebaiknya pengelolaan KAPET dilakukan oleh suatu badan independen yang
diberikan kuasa dan tanggung jawab penuh oleh pemerintah daerah seperti dalam
bentuk suatu badan pengelola. Karena lokasi KAPET Manado Bitung berada pada tiga
wilayah administrasi tingkat II yaitu Kodia Manado, Kabupaten Minahasa, dan Kodia
Bitung. Adanya suatu badan independen dan profesional akan memudahkan dalam
pengaturan administrasi dan koordinasi antara instansi yang terkait sehingga akan
memudahkakn pelayanan pada pelaku bisnis dan masyarakat.
Pengembangan KAPET Manado Bitung berimplikasi langsung terhadap
pertumbuhan sektor industri, perdagangan, pertanian, transportasi dan akan
meningkatya urbanisasi, serta memungkinkan berkembangnya sektor informal.
Bertumbuhnya kegiatan-kegiatan ekonomi dasar ini yang saling terkait dalam suatu
kawasan, tidak mengenal lagi batas-batas administrasi yang umum berlaku. Demikian
juga aktivitas-aktivitas ekonomi masyarakat akan saling berdampingan antara mereka
bekerja disektor formal dan informal serta antara sektor primer dengan sektor non-
primer. Keunikan kegiatan-kegiatan seperti ini yang muncul diwilayah perkotaan oleh
Terry McGee (1987) disebut Kotadesasi. Lebih jauh McGee dan kawan-kawan (1991)
menjelaskan bahwa hal ini akan secara jelas ditunjukkan dengan kota besar menjadi
inti. Kemudian akan muncul wilayah metropolitan yang menggabungkan kota ini
dengan wilayah sekitarnya, yang berada dalam jangkauan para komuter ke kota inti,
dan ketiga, berkembangnya wilayah desa-desa dalam koridor yang berawal dari kota
inti di mana terdapat ciri bercampurnya kegiatan pertanian dan non-pertanian.
18
Keunggulan pendekatan pembangunan seperti KAPET akan memacu dengan
cepat meningkatnya pertumbuhan ekonomi pada kawasan pusat pembangunan
tersebut dan diharapkan terjadinya spread effect kegiatan ekonomi pada wilayah
sekitarnya. Sebaliknya model ini relatif mengabaikan untuk terjadinya distribusi
pendapatan melalui penyebaran kegiatan-kegiatan ekonomi pada wilayah sekitarnya
(periphery). Akibatnya daerah-daerah pedesaan atau pinggiran akan relatif tertinggal
pembangunannya dibandingkan dengan daerah perkotaan yang menjadi pusat wilayah
pertumbuhan.
Nampaknya pengalaman pelaksanaan pembangunan dengan menggunakan
pendekatan pusat-pusat pertumbuhan mungkin sudah saatnya untuk ditinjau kembali.
Hal ini disebabkan antara lain seperti dikemukakan oleh Richardson (1978) bahwa
model pusat pertumbuhan asalnya dari negara barat dimana penekanannya pada
pembangunan industri berskala relatif besar dan menggunakan padat modal (capital-
intensive) telah ditiru dan dilaksanakan di negara-negara sedang berkembang tanpa
terlebih dahulu dimodifikasi serta disesuaikan dengan kondisi sosial ekonomi di
negara-negara tersebut. Selain itu pula pusat pertumbuhan sangat sering diasumsikan
sebagai suatu lokasi pembangunan yang telah direncanakan sebagai suatu elemen
yang terintegrasi dengan strategi pembangunan perkotaan nasional. Masalah-masalah
seperti inilah dapat diperbaiki melalui pemahaman yang jelas mengenai proses
pembangunan spasial.
Terkonsentrasinya fasilitas-fasilitas pelayanan umum dan bagian terbesar
kegiatan-kegiatan ekonomi adalah merupakan suatu kenyataan bahwa konsep pusat
pertumbuhan menyebabkan terjadinya ‘urban bias’ dalam perencanaan dan
pelaksanaan pembangunan. Dari banyak pengalaman pembangunan yang telah
dilakukan dapat memperkuat suatu argumentasi bahwa pendistribusian kembali
(redistributing) investasi dari daerah perkotaan ke daerah pedesaan akan lebih
banyak memberikan kemungkinan untuk mendistribusikan manfaat pembangunan pada
tujuan dari pembangunan untuk masyarakat berpendapatan rendah atau ‘miskin’
(Lipton, 1977).
Tapi yang menjadi pertanyaan sekarang bagaimana mengkombinasikan spasial
strategi melibatkan wajah perkotaan dan kebijakan pusat pertumbuhan dengan
meminimalkan terjadinya ‘urban bias’. Dalam sistem ekonomi campuran (mixed
economies) yang konon seperti terjadi atau dilakukan di Indonesia (walaupun dalam
kenyataan dalam banyak hal sistim kapitalis sangat dominasi dan kuat) memungkinkan
atau dapat diyakini bahwa hanya dengan strategi pembangunan yang didasarkan pada
perpaduan yang saling melengkapi (complementary) antara pembangunan perkotaan
dan pedesaan mempunyai kemungkinan besar untuk berhasil.Lebih khusus lagi dapat
dikemukakan disini adalah memformulasikan suatu konsep kebijakan pusat
19
pertumbuhan yang dapat memperkuat pembangunan pedesaan daripada hanya
menguras sumber daya alam wilayah pedesaan (periphery).
Mempromosikan pusat-pusat pertumbuhan pada kota-kota kecil dan daerah
pedesaan dimana dapat memberikan sebagai alternatif tujuan daripada arus migrasi
desa kota. Relatif dekatnya tujuan utama daripada migran dengan daerah asal
mereka, membuat mereka tidak akan kehilangan akar kekerabatan dengan keluarga
mereka di wilayah pedesaan. Sebab mereka dapat kembali dengan mudah ke daerah
asal setiap saat mereka butuhkan. Disamping itu pula akan memperkuat pola hirarki
pemukiman penduduk (kota dan desa), dana memberikan serta mengimbangi struktur-
struktur yang relatif stabil di wilayah-wilayah pedesaan.
Pertimbangan-pertimbangan spasial (mengenai ruang/tempat) diatas adalah
strategi growth center yang bijaksana yang hanya dapat direncanakan dan dilakukan
dalam konteks wilayah nasional dan dinamika dari sistem perkotaan nasional. Jadi
pusat pertumbuhan harus dilakukan bukan hanya sebagai instrument kebijakan spasial
nasional tapi juga instrumen kebijakan spasial regional atau pada tingkat propinsi dan
kabupaten. Agar wilayah-wilayah diluar pusat pertumbuhan dapat dikembangkan
dipacu pembangunannya bersamaan dengan pengembangan KAPET, diperlukan suatu
pendekatan pembangunan perpaduan antara pusat pertumbuhan (KAPET) dengan
desentralisasi pusat-pusat pertumbuhan dimana model ini akan diulas pada bagian
berikut dibawah ini.
Desentralisasi Pusat-Pusat Pertumbuhan
Untuk memperkecil kesenjangan antara pembangunan wilayah perkotaan dan
pedesaan, serta mempertimbangkan mayoritas penduduk Sulawesi Utara tinggal
diwilayah pedesaan dengan kegiatan utama bekerja pada sektor pertanian, dan
melihat posisi dan geografis wilayah propinsi Sulawesi Utara sebagian adalah daerah
kepulauan dan sangat strategis sebab berhadapan langsung dengan beberapa negara
tetangga dan negara-negara diwilayah pasifik lainnya. Menunjukkan bahwa
pelaksanaan pembangunan sebaiknya dilaksanakan secara bersamaan antara daerah
perkotaan dan pedesaan agar secara keseluruhan mampu bersaing dengan negara
tetangga di era pasar bebas.Berdasarkan beberapa alasan diatas nampak jelas
diperlukan suatu strategi pembangunan regional yang dapat mengakomodasikan
kebutuhan pelaksanaan pembangunan wilayah perkotaan dan pedesaan secara
bersama-sama dan saling keterkaitan antara satu pusat pengembangan dengan pusat
pengembangan lainnya, antara wilayah yang satu dengan wilayah lainnya.
20
Suatu alternatif pendekatan pembangunan yang akan dibahas dalam tulisan ini
adalah memadukan KAPET dengan desentralisasi pusat-pusat pertumbuhan
(decentralization growth centers). Model ini menekankan pada pendistribusian pusat-
pusat pengembangan pada kota-kota kecil yang berpotensi untuk dikembangkan
seperti ibukota-ibukota kabupaten, ibukota-ibukota kecamatan serta pusat-pusat
diwilayah pedesaan yang memungkinkan untuk dikembangkan dilihat dari potensi
sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan sumberdaya modal (capital). Karena
lokasi-lokasi pusat-pusat pengembangan ini pada kota-kota kecil dan wilayah
pedesaan, orientasinya diarahkan pada industri-industri berbasis pada sektor
pertanian atau agro-industri.
Berkembangnya agribisnis pada pusat-pusat pengembangan tersebut akan
berkorelasi positif terhadap peningkatan produksi sektor pertanian. Jika harga jual
output produksi pertanian meningkat atau setidaknya harga tidak berubah dan harga
faktor-faktor input relatif tetap, berarti terjadinya peningkatan produksi pertanian
akan secara langsung meningkatkan pendapatan petani. Selain itu pula
berkembangnya agro-industri dan sektor pertanian itu sendiri akan menciptakan
lapangan-lapangan kerja baru diwilayah pedesaan. Dengan demikian akan juga
meningkatkan pendapatan masyarakat pedesaan. Meningkatnya pendapatan petani
akibat kenaikkan produksi dan terciptnya kesempatan kerja baru tersebut merupakan
implikasi langsung dari desentralisasi pusat-pusat pertumbuhan yang tidak hanya
menekankan pada pertumbuhan tapi lebih menekankan terjadinya distribusi dalam
kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan dan pendapatan bagi masyarakat
pedesaan.
Mempromosikan serta mengembangkan pusat-pusat pengembangan pada kota-
kota kecil dan wilayah pedesaan akan memberikan alternatif sebagai daerah-daerah
tujuan untuk migrasi desa-kota, disamping memperkuat hirarki wilayah-wilayah
pemukiman, serta mempunyai dampak terhadap stabilitas jumlah penduduk di
wilayah pedesaan. Para migran dari wilayah pedesaan biasanya mencari pekerjaan
diluar sektor pertanian (off-farm employment). Kegiatan ini erat kaitannya dengan
pekerjaan-pekerjaan pada industri kecil seperti industri pengolahan hasil-hasil
pertanian, industri penunjang sektor pertanian, sektor bangunan, transportasi, dan
perdagangan. Pada umumnya para migran seperti ini disebut sebagai migran
nonpermanent dimana sewaktu-waktu merasa kembali kewilayah pedesaan/desa
asal.Pekerjaan yang dilakukan sebagai off-farm employment kecenderungan hanya
musiman memanfaatkan time-lag selama menunggu panen. Akibat adanya daya tarik
yang baru pada pusat-pusat pertumbuhan seperti ini akan memperlambat atau
mengurangi terjadinya arus urbanisasi yang mengarah pada kota-kota menengah dan
besar.
21
Adanya keterkaitan kegiatan usaha yang saling menguntungkan antara agro-
industri berlokasi di pusat-pusat pengembangan dengan pusat kegiatan produksi
pertanian di wilayah sekitar atau pedesaan, harus didukung dengan pembangunan
jaringan jalan dan transportasi antar region, dan antar kota dan desa. Prasarana dan
sarana ini sangat krusial untuk menopang memperlancar pemasaran hasil-hasil produk
pertanian, mempercepat arus barang-barang input untuk kebutuhan pertanian dan
masyarakat pedesaan, dan komuter. Seluruh kegiatan ini akan menciptakan
kemungkinan-kemungkinan yang substansial terjadinya ‘spread effects’ (Richardson,
1978; Hinderink dan Titus, 1988; Rotge, 1995)
Manfaat lain dengan adanya pusat-pusat pertumbuhan diwilayah pedesaan juga
akan berkaitan penyediaan pusat-pusat pelayanan yang makin efisien penggunaanya
karena berdekatan langsung dengan masyarakat seperti pelayanan kesehatan,
keluarga berencana, pendidikan, dan pelayanan sosial lainnya, dimana fasilitas-
fasilitas ini sangat dibutuhkan oleh masyarakat pedesaan. Tersedianya dan mudahnya
akses pada pusat-pusat pelayanan seperti ini merupakan faktor kunci sebagai penentu
apakah penduduk daerah pedesaan akan menetap tinggal di wilayah pedesaan atau
migrasi ke kota-kota sedang dan besar. Dengan kata lain adanya dan tersedianya
fasilitas-fasilitas pelayanan umum yang makin banyak dan baik pelayanannya,
merupakan critical point untuk meningkatkan standar hidup masyarakat yang tinggal
di wilayah pedesaan.
Desentralisasi pusat-pusat pertumbuhan pada wilayah diluar KAPET atau
wilayah pedesaan (periphery) akan memberikan kesempatan lebih besar bagi
masyarakat lokal untuk dapat secara langsung berpartisipasi dalam proses
perencanaan pembangunan, pelaksanaan pembangunan, dan menikmati hasil-hasil
pembangunan. Selain itu pula pengembangan pusat-pusat pertumbuhan di wilayah
pedesaan mengutamakan pembangunan industri-industri pengelolaan hasil-hasil
produk pertanian dan pembangunan sektor pertanian yang keduanya diarahkan lebih
berorientasi pada pembangunan berwawasan lingkungan. Kedua keunggulan
(partisipasi masyarakat dan orientasi pembangunan berwawasan lingkungan) inilah
adalah sebagai syarat atau modal utama untuk pelaksanaan pembangunan
berkelanjutan (sustainable development).
Kesimpulan
Bahasa diatas secara jelas menunjukkan adanya perbedaan antara penekanan
pembangunan regional didasarkan pada ‘model KAPET’ atau growth center dengan
model pendekatan pembangunan yang menekankan pada pembangunan wilayah
pinggiran atau wilayah pedesaan dengan strategi desentralisasi pusat-pusat
22
pengembangan (decentralization growth centers). Kenyataanya adalah sangat jarang
tejadi dan berhasil dimana satu model pembangunan apakah model pusat
pertumbuhan yang berorientasi pada daerah perkotaan tertentu atau desentralisasi
pusat-pusat pengembangan pada kota-kota kecil dan kecamatan yang tersebar secara
menyeluruh di wilayah pedesaan, dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat
secara keseluruhan. Atau dapat mengatasi masalah kesenjangan pembangunan atau
memperkecil jurang (gap) pembangunan antar region, wilayah, kota dan desa, wilayah
perkotaan dan wilayah pedesaan, memperkecil terjadinya polarisasi pembangunan
dan keuangan yang cenderung terkonsentrasi pada lokasi pusat pertumbuhan itu
sendiri. Seperti contoh klasik saat ini adalah kegiatan pembangunan terpusat di pulau
Jawa lebih khusus lagi di Jakarta.
Perpaduan kedua model ini sebagai suatu instrument yang relatif lengkap untuk
digunakan sebagai pendekatan pembangunan regional secara bersamaan—baik untuk
wilayah perkotaan dan wilayah pedesaan—serta menunjukkan suatu kombinasi
pendekatan yang berbeda dengan pendekatan pembangunan pernah dilaksanakan
masa lalu. Jadi perpaduan kedua model ini tidak hanya penekanan pada pembangunan
berorientasi padat modal, menciptakan intraregional pusat pinggiran ’core-periphery’
dan menelantarkan pedesaan serta hanya penekanan pada pertumbuhan. Tapi dilain
pihak, kombinasi kedua model ini akan mengutamakan pembangunan berorientasi
padat karya (labor intensive), menciptakan hubungan wilayah perkotaan dan
pedesaan yang saling mennguntungkan, terjadinya spread effects yang dapat
dinikmati masyarakat pinggiran atau pedesaan, mengembangkan pembangunan
agroindustri dan sektor pertanian lebih berorientasi pada wawasan lingkungan. Namun
perpaduan kedua model ini perlu secara terus-menerus diamati dan diperhatikan
secara seksama dalam pelaksanaan dimana sewaktu-waktu perlu adanya penyesuaian
atau modifikasi dan perlu dilaksanakan dengan penuh kehati-hatian untuk mencapai
tujuan pembangunan.
Kombinasi kedua model diatas (dengan pendistribusian pusat-pusat
pertumbuhan pada wilayah pedesaan sebagai suatu strategi untuk mendesentralisasi
pelaksanaan pembangunan didaerah serta mendorong memperkuat pemerintah daerah
yang otonom) merupakan suatu alternative pendekatan pembangunan regional yang
sangat relevan dan saling melengkapi serta menunjang pelaksanaan pembangunan
otonomi daerah. Karena keberhasilan pelaksanaan model pembangunan ini sangat
ditentukan oleh pelaksanaan administrasi dan birokrat daerah yang otonom dan
berorientasi pada manajemen profesional serta dilengkapi dengan para birokrat
daerah berwawasan serta berjiwa wiraswasta.
Singkatnya, perpaduan model ini tidak hanya menekankan pada aspek
pertumbuhan (growth) tapi juga mengutamakan aspek distribusi (distribution) dan
23
memprioritaskan pembangunan regional berkelanjutan (sustainable development).
Orientasi pembangunan dengan memperhatikan faktor lingkungan mengindikasikan
bahwa para perencana dan pelaksana pembangunan memberikan perhatian serius
untuk generasi masa akan datang, generasi penerus daerah Nyiur Melambai.
Pendekatan perencanaan pembangunan seperti ini disebut ‘Growth Distribution and
Sustainable Approach’ yang sangat diharapkan dan dinanti-nanti oleh umat manusia di
‘Global Village’. Membuat perencanaan dan kebijakan mendasar (great policies)
seperti ini mempunyai pengaruh yang kuat dan besar terhadap masyarakat luas.
24
Kepustakaan
Auty, R. M. 1990. The Impact of Heavy-industry Growth Poles on South Korean Spatial
Structure.Geoforum, Vol. 21, No. 1. Pp,23-33.
Darwent, D. F. 1975. Growth Poles and Growth Centers in Regional Planning: A
Review, dalam Friedman and Alonso (eds.) Regional Policy: Readings in
Theory and Application. MIT Press, Cambrige, MA.
Douglass, M. 1990. Urban and Regional Development Strategis in Indonesia. Nagoya,
Japan: United Nations Center for Regional Development (UNCRD).
Hansen, N. M. 1971.Intermediate-Size Cities as Growth Centers. New York: Praeger
Publishers.
Harvey, D. 1989. “From Managerialism to Entrepreneurialism: The Transformation in
Urban Governance in Late Capitalism”, Geografiska Annaler, Vol. 71B, pp. 3-
17.
Hill, H. 1987. “Concentration in Indonesia Manufacturing”, Bulletin of Indonesia
Economic Studies, Vol. 23, No. 2, pp. 71-100.
Hinderik, J. and Titus, M. J. 1988.“Paradigms of Regional Development and the Role
of small Centers”, Development and Change, Vol. 19, No. 3, pp. 401-423.
Hirschman, A. O. 1958.The Strategy of Economic Development.New Haven: Yale
University Press.
Kelly, R. 1985. The Regional Impact of Direct Foreign Investment in
Indonesia.Boston: Harvard University, unpublished Ph.D. dissertation.
Kompas, 18 November 1996.
Kompas, 15 Februari 1997.
Lipton, M. 1977. Why Poor People Stay Poor: A Study of Urban Bias in World
Development. Cambridge: Harvard University Press.
Leitner, H. and Garner, M. 1993. “The Limits of Local Initiatives: A Reassessment of
Urban Entrepreneurialism for Urban Developmnet”. Urban Geography, Vol. 4,
No. 1, pp. 57-77.
Lo, Fu-Chen and Salih, K. 1978. Growth Pole Strategies and Regional Development
Policy: Asian Experience and Alternative Approaches. Oxford: Pergamon
Press.
25
Manado Post, 18 Februari 1997.
McGee, T. G. 1987. “Urbanisasi or Kotadesasi?The Emergence of New Regions of
Economic Interaction in Asia”.Working Paper 87-8. Honolulu, Hawaii: East-
West Center.
McGee, T. G., Ginsburg, Norton, Koppel, and Bruce. (eds.). 1991. The Extended
Metropolis Settlement Transition in Asia. Honolulu, Hawaii: University of
Hawaii Press.
Myrdal Gunnar, 1957. Rich Lands and Poor.New York: Harper & Brothers.
NUDS, 1985.National Urban Development Strategy Project, NUDS Final Report.
Jakarta: Directorate of City and Regional Planning, Directorate General of
Human Settlements, UNDP, and UNCHS.
Osborne, D. and Gaebler, T. 1992. Reinventing Government: How the
Entrepreneurial Spirit is Transforming the Public Sector. Reading: A Plume
Book.
Pemda Tingkat I. 1996.Mengenal dan Mensukseskan Panca Program Unggulan
Propinsi Sulut.Manado: Biro Humas Setwilda Tingkat I Sulut.
Richardson, H. W.1978. “Growth Centers, Rural Development and National Urban
Policy: A Defense”, International regional Science Review, Vol. 3, No. 2, pp.
133-152.
Rotge.V. (ed.) 1995.Rural Urban Integration in Java, Consequences for Regional
Development and Employment.Nagoya, Japan. United Nation Center for
Regional Development (UNCRD)>
Ryder, A. 1990. Growth Pole Policy in Poland and the Lenin Steel-works. Geoforum,
Vol. 21, No. 2, pp. 229-224.