pembatalan perkawinan dan akibat hukumnya
DESCRIPTION
Pembatalan perkawiran dapat berakibat pada tidak adanya lagi hubungan perkawinan dan masing-masing pihak kembali pada keadaan semula. Sedangkan akibat bagi anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut adalah tidak berlaku surut, jadi anak-anak tetap anak sah dari orang tuanya. Dan mengenai harta bersama, maka dengan adanya pembatalan perkawinan tersebut, harta dibagi menurut hukum adatnya masing-masing.TRANSCRIPT
PEMBATALAN PERKAWINAN DAN
AKIBAT HUKUMNYA MENURUT PASAL 22 UNDANG-
UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan guna Menyelesaikan Program Sarjana Strata Satu
Program Studi Ilmu Hukum
Oleh :
M. MUKHLIS HASAN ASY’ARI 02100114
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MERDEKA MALANG
2009
KATA PENGANTAR
Dengan mengucap puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
berkatnya sehingga penulisan skripsi dengan judul “PEMBATALAN
PERKAWINAN DAN AKIBAT HUKUMNYA” dapat terselesaikan. Dalam
penyusunan tugas akhir (skripsi) ini, tidak akan bisa lancar tanpa dukungan moril dari
berbagai pihak. Untuk itu dengan segala kerendahan hari, penulis menyampaikan rasa
terima kasih kepada:
1. Bapak DR. Supriyadi, SH., M.H., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Merdeka Malang.
2. Ibu Hj. Hairani, SH. M.Hum., selaku Ketua Bagian Hukum Perdata Fakultas
Hukum Universitas Merdeka Malang.
3. Bapak Prof. Dr. H. Kasuwi Saiban, M.Ag., selaku Pembimbing I
4. Bapak Moch. Ghufron A.Z., SH. M.Hum. selaku Pembimbing II
5. Staf karyawan Fakultas Hukum Universitas Merdeka Malang.
6. Rekan-rekan Mahasiswa yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang
telah membantu dalam penyelesaian penyusunan skripsi.
7. Serta pihak lainnya yang mendukung dan teriibat dalam terselesaikannya
penulisan skripsi ini.
Sesuai dengan pepatah "tak ada gading yang tak retak", penulisan skripsi ini
pun banyak kekurangan, baik materi yang disajikan maupun bahasa yang digunakan.
Oleh karena itu kritik dan saran dan semua pihak diterima dengan senang hati. Akhir
kata penulis mengharapkan semoga penulisan skripsi ini dapat memberikan manfaat
bagi semua pihak dan bagi penulis khususnya.
Malang, Agustus 2009
Penulis
MOTTO
Sekecil apapun penyimpangan di awal perjalanan Akan menyebabkan kita sangat jauh dari tujuan
akhir
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................ i
LEMBAR PERSETUJUAN SKRIPSI................................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN TIM PENGUJI ........................................................ iii
KATA PENGANTAR ........................................................................................... iv
MOTTO ................................................................................................................. vi
DAFTAR ISI.......................................................................................................... vii
ABSTRAKSI ......................................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah .................................................................... 1
Rumusan Masalah ............................................................................. 5
Tujuan Penelitian ............................................................................... 6
Manfaat Penelitian ............................................................................ 6
Metode Penelitian ............................................................................. 6
Sistematika Penulisan ....................................................................... 8
Jadwal Penelitian ............................................................................... 9
BAB II TINJAUAN TEORITIS TENTANG PERKAWINAN DAN
PEMBATALAN PERKAWINAN
A. Pengertian, Tujuan, dan Syahnya Perkawinan ............................ 10
1. Perkawinan Menurut Hukum Positif .................................... 10
2. Perkawinan Menurut Hukum Islam...................................... 18
B. Pengertian dan Syarat-syarat Pembatalan Perkawian .................. 31
1. Menurut Hukum Positif ........................................................ 31
2. Menurut Hukum Islam.......................................................... 33
C. Alasan Pembatalan Perkawinan ................................................... 36
BAB III PEMBATALAN PERKAWINAN MENURUT UNDANG-
UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN AKIBAT
HUKUMNYA
A. Pembatalan Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 ................................................................................... 41
1. Batal Demi Hukum dan Dapat Dibatalkan ....................... 41
2. Pengajuan Pembatalan Perkawinan dan Pihak-pihak
yang Mengajukan.................................................................... 48
B. Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan.................................... 52
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan 57
B. Saran 58
DAFTAR PUSTAKA
ABSTRAK
Judul: PEMBATALAN PERKAWINAN DAN AKIBAT HUKUMNYA
Sebuah Perkawinan harus memenuhi syarat-syarat sahnya perkawinan, yang
ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dan bila syarat-syarat tersebut tidak dipenuhi maka perkawinan tersebut dapat dibatalkan. Adapun pembatalan perkawinan dapat diajukan antara lain oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri, dan dapat juga oleh suami isteri itu sendiri. Pembatalan perkawinan ditujukan semata-mata agar hasil perkawinan itu terlindungi oleh hukum, karena dengan adanya kekurangan-kekurangan persyaratan tersebut atau dengan adanya pelanggaran-pelanggaran yang telah dilakukan dalam melangsungkan perkawinan, perkawinannya menjad tidak sah.
Tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan ini adalah untuk mengetahui pembatalan perkawinan dan akibat hukum dari pembatalan perkawinan terhadap status suami istri, anak-anak, dan harta bersama.
Tata cara pembatalan perkawinan, pada dasarnya tata caranya sama dengan tata cara melakukan perceraian, hanya saja pada proses persidangan pembatalan perkawinan, azas perdamaian yang diterapkan pada perceraian tidak dapat diterapkan pada pembatalan perkawinan karena tujuan pembatalan perkawinan adalah untuk membatalkan perkawinan tersebut. Jadi tidak ada taraf mendamaikan para pihak, kalaupun ada perdamaian hanya sepanjang mengenai batalnya perkawinan itu dilakukan secara damai.
Pembatalan perkawiran dapat berakibat pada tidak adanya lagi hubungan perkawinan dan masing-masing pihak kembali pada keadaan semula. Sedangkan akibat bagi anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut adalah tidak berlaku surut, jadi anak-anak tetap anak sah dari orang tuanya. Dan mengenai harta bersama, maka dengan adanya pembatalan perkawinan tersebut, harta dibagi menurut hukum adatnya masing-masing.
Pembatalan perkawinan dilakukan terhadap perkawinan yang tidak memenuhi rukun dan syarat untuk melangsungkan perkawinan. Oleh karena itu disarankan bagi setiap pasangan yang hendak melakukan pernikahan agar terlebih dahulu memenuhi syarat sahnya suatu perkawinan menurut tata perundang-undangan yang berlaku agar tidak terjadi pembatalan perkawinan.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan adalah merupakan sesuatu yang amat penting di dalam
kehidupan seseorang, karena sudah menjadi kodrat alam bahwa dua orang manusia
dengan jenis kelamin yang berlainan laki-laki dan perempuan, yang mempunyai
rasa saling membutuhkan satu sama lain.
Bab I Pasal 1 Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 disebutkan: “Perkawinan
adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami
isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa."
Dari bunyi pasal ini, jelaslah bahwa dalam undang-undang ini menghendaki,
bahwa perkawinan itu merupakan ikatan lahir batin antara pihak-pihak yang akan
melangsungkan perkawinan. Ikatan lahir batin ini harus merupakan persetujuan
mereka dan tidak boleh berdasarkan paksaan dari siapapun dan dari manapun,
seperti pendapat yang dikemukakan oleh Projodikoro, yaitu: " Oleh karena maksud
perkawinan ialah supaya suami dan isteri hidup selama mungkin, maka sudah
selayaknya bahwa syarat penting untuk perkawinan itu adalah persetujuan yang
bersifat sukarela dari kedua pihak."1
Hal di atas ditegaskan pula oleh Zuhdi, bahwa wali si wanita sekalipun
1 Wiryono Prodjodikoro, 1984, Hukum Perkawinan di Indonesia, Bandung: Sumur. h.40.
1
ayahnya sendiri, tidak mempunyai wewenang mutlak untuk mengawinkan
putrinya tanpa persetujuan putrinya. Sebab kalau si ayah mengawinkan putrinya
tanpa persetujuannya, maka putrinya berhak memilih (khiyar). Artinya ia dapat
menerima atau menolak perkawinannya, kalau ia menolak, ia dapat mengajukan
kasusnya kepada Pengadilan agar perkawinannya dibatalkan."2 Dengan demikian,
dalam perkawinan itu bertujuan untuk melanjutkan keturunan maupun untuk
membentuk suatu kedamaian, dengan memenuhi syarat-syarat aturan hidup yang
terdapat dalam lingkungan masyarakat.
Perkawinan merupakan perbuatan hukum, sehingga perkawinan
menimbulkan hak dan kewajiban bagi pihak-pihak yang melakukannya dan pihak
lain, misalnya hak dan kewajiban yang berkaitan dengan harta benda. Oleh karena
itu, apabila seorang laki-laki dan seorang perempuan bersepakat untuk melakukan
perkawinan satu sama lain, ini berarti mereka saling berjanji akan taat pada
peraturan-peraturan hukum yang berlaku. Mengenai hak dan kewajiban masing-
masing pihak selama dan sesudah hidup bersama itu berlangsung.
Adapun akibat hukum dari perkawinan menurut Ramulyo adalah:
1. Menjadi halal hubungan seksual antara suami istri 2. Mahar menjadi milik istri 3. Timbulnya hak-hak dan kewajiban suami istri 4. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan itu adalah anak sah 5. Suami istri wajib memelihara dan mendidik anak-anaknya 6. Bapak berhak menjadi wali nikah dari anak perempuannya 7. Berhak saling mewaris antara suami istri, demikian juga anak-anak yang
dilahirkan dari perkawinan itu berhak saling waris mewarisi dengan orang 2 Masjfuk Zuhdi, 1993, Studi Islam, Jilid III: Muammalah, Jakarta: Citra Niaga Rajawali Pers, h. 20-
21.
tuanya 8. Bila salah seorang suami atau istri meninggal dunia, maka salah seorang
dari mereka berhak menjadi wali pengawas, baik terhadap harta maupun terhadap anak-anak mereka, kecuali hak-hak mereka dicabut secara sah oleh Pengadilan.3
Berhubung dengan akibat yang sangat penting itu, maka masyarakat
membutuhkan suatu peraturan untuk perkawinan ini, yaitu mengenai syarat-syarat
perkawinan, pelaksanaan perkawinan, kelanjutan dan terhentinya perkawinan itu.
Seseorang yang akan melangsungkan suatu perkawinan diharuskan
memberitahukan kepada pegawai pencatat perkawinan. Pemberitahuan tersebut,
dapat dilakukan secara lisan oleh.seorang maupun kedua mempelai atau wali
mereka dengan tujuan untuk mengetahui dengan jelas identitas mereka.
Meskipun telah ada Undang-Undang yang mengatur mengenai syarat-syarat
perkawinan, masih terjadi kasus bahwa perkawinan dapat dilangsungkan,
walaupun pada akhirnya diketahui bahwa wali dalam pelaksanaan perkawinan
tersebut tidak memenuhi syarat. Dengan demikian, perkawinan tersebut dapat
dikatakan benar. Dan setelah diketahui bahwa wali dalam pelaksanaan dari wali
yang sah agar perkawinan tersebut dibatalkan. Ini adalah salah satu contoh kasus
akibat dari tidak terpenuhinya syarat-syarat, perkawinan.
Dari kenyataan tersebut, dapatlah disimpulkan, bahwa setiap orang yang
akan melangsungkan perkawinan harus memenuhi syarat-syarat sahnya
perkawinan, yang ditentukan oleh Undang-Undang nomor 1 tahun 1974. Dan bila
3 M.Idris Ramulyo, 1986, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang No. 1 tahun 1974 dari Segi
Hukum Perkawinan Islam Ind-Hillco, Jakarta, h.92-93.
syarat-syarat tersebut tidak dipenuhi maka perkawinan tersebut dapat dibatalkan.
Adapun yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan antara lain Para keluarga
dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri, dan dapat juga oleh
suami isteri itu sendiri.
Pembatalan perkawinan ditujukan semata-mata agar hasil perkawinan itu
terlindungi oleh hukum, karena dengan adanya kekurangan-kekurangan
persyaratan tersebut atau dengan adanya pelanggaran-pelanggaran yang telah
dilakukan dalam melangsungkan perkawinan, perkawinannya menjad tidak sah.4
Mengenai pembatalan perkawinan dalam Undang-undang nomor 1 tahun
1974, pengaturannya dimuat dalam Bab IV pasal 22 sampai pasal 28 yang diatur
lebih lanjut dalam peraturan pelaksanaannya yaitu Peraturan Pemerintah nomor 9
tahun 1975 dalam Bab VI pasal 37 dan 38. Pasal 22 Undang-Undang nomor 1
tahun 1974 menyatakan bahwa : "Perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak
tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan." Sedangkan
dalam Pasal 37 Peraturan Pemerintah nomor 9 tahun 1975 diatur "Batalnya suatu
perkawinan hanya dapat diputuskan oleh Pengadilan."
Dari peraturan tersebut dapat disimpulkan bahwa gugatan pembatalan
perkawinan untuk wilayah Kota Malang merupakan kewenangan Pengadilan
Agama Kota Malang. Perkara pembatalan perkawinan di Pengadilan Agama Kota
Malang jarang terjadi dan merupakan kasus yang langka. Namun demikian sebagai
4 Achmad Ichsan, 1986, Hukum Perkawinan Bagi yang Beragama Islam, PT.Pradnya Paramita,
Jakarta, h.63.
lembaga yang berwenang memutuskan kasus tersebut, Pengadilan Agama Kota
Malang dapat menjadi sumber yang tepat untuk menggali informasi-informasi
yang berkaitan dengan pembatalan perkawinan.
Dengan demikian apabila suatu perkawinan tidak memenuhi syarat-syarat
yang ditentukan oleh Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 maka perkawinan itu
dapat dibatalkan. Dalam lingkup wilayah Kota Malang, gugatan pembatalan
perkawinan tersebut diajukan ke Pengadilan Agama Kota Malang dan menjadi
wewenang badan peradilan tersebut untuk memutuskannya.
Dengan memperhatikan hal-hal tersebut di atas, penulis tertarik untuk
meneliti tentang " Pembatalan Perkawinan Dan Akibat Hukumnya Menurut
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974".
B. Perumusan Masalah
Dari latar belakang masalah yang telah penulis uraikan, masalah yang dapat
penulis rumuskan adalah:
1. Bagaimana pembatalan perkawinan menurut Undang-Undang nomor 1 tahun
1974 di Pengadilan Agama Malang?
2. Bagaimana akibat hukum dari pembatalan perkawinan menurut Undang-
Undang nomor 1 tahun 1974 terhadap status suami istri, anak-anak, dan harta
bersama?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah :
1. Mengetahui pembatalan perkawinan menurut Undang-Undang nomor 1 tahun
1974 di Pengadilan Agama Malang
2. Mengetahui akibat hukum dari pembatalan perkawinan menurut Undang-
Undang nomor 1 tahun 1974 terhadap status suami istri, anak-anak, dan harta
bersama.
D. Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian diharapkan membawa manfaat antara lain :
1. Untuk masyarakat agar mengetahui dan memahami tentang pembatalan
perkawinan dan akibat hukumnya.
2. Untuk sumbangan akademis terhadap Universitas Merdeka khususnya Fakultas
Hukum dan untuk menunjang penelitian-penelitian serupa lainnya.
3. Untuk penulis sendiri guna menambah pengetahuan tentang pelaksanaan
pembatalan perkawinan dan akibat hukumnya.
E. Metode Penelitian
Agar penelitian yang dilakukan dapat menghasilkan suatu pemecahan yang
sejalan dengan pokok permasalahan, maka metode penelitian yang digunakan
dalam penulisan skripsi ini adalah yuridis normatif dengan penjabaran yang
bersifat deskriptif yang bersumber dari bahan-bahan hukum yang diperoleh
melalui penelusuran literatur hukum. Bahan-bahan hukum yang menjadi sumber
informasi dalam penelitian ini terdiri dari:
1. Bahan hukum primer
Yaitu bahan pustaka yang berisikan pengetahuan ilmiah yang baru/mutakhir,
ataupun pengertian tentang fakta yang diketahui, maupun mengenai suatu
gagasan (ide-ide). Bahan primer ini mencakup: putusan pengadilan terkait
pembatalan perkawinan, buku-buku, laporan penelitian dan lain-lain di bidang
hukum perkawinan khususnya dalam lingkup pembatalan pernikahan dan akibat
hukumnya.
2. Bahan hukum sekunder
Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang berisikan informasi yang
menunjang bahan primer. Dalam penelitian ini
Adapun teknik pengumpulan data yang penulis gunakan adalah
1. Teknik pengumpulan bahan hukum
Kajian ini menitikberatkan pada penelitian bahan kepustakaan dan juga
wawancara kepada narasumber, yang mana dalam hal ini meliputi bahan:
putusan pengadilan tentang pembatalan perkawinan, peraturan perundang-
undangan, literatur-literatur, dan bahan acuan lainnya yang berkaitan.
2. Teknik analisa bahan hukum
Pengolahan dan kajian bahan hukum dalam karya tulis ini dengan
mempergunakan teknik analisis dengan menerapkan interpretasi (penafsiran)
ekstensif.
E. Sistematika Penulisan
Untuk mendapatkan gambaran yang jelas dalam memahami isi materi ini, maka
penulis mengemukakan sistematika dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai
berikut:
BAB I : Berisi Pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang mengapa penulis
ingin melakukan penelitian dengan judul di atas, Perumusan
Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian sesuai dengan judul di atas
dan Metodologi Penelitian yang digunakan oleh penulis dalam
mencari, menemukan, mengumpulkan dan mengolah data; serta
Sistematika Penulisan.
BAB II : Berisi tentang Tinjauan Teoritik yang menjadi kerangka dan teori
dari pemasalahan-permasalahan yang ada sehingga dengan adanya
kerangka teori ini diharapkan pembahasan dibuat secara konseptual
dan dapat dibuktikan secara ilmiah. Pada bab II ini meliputi tinjauan
umum tentang perkawinan dan pembatalan perkawinan menurut
hukum positif dan hukum Islam serta akibat hukumnya.
BAB III : Berisikan tentang pembahasan yang didasarkan pada data-data yang
didapatkan dari hasil penelitian penulis, yang kemudian didukung
teori-teori hukum, peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pembahasan ini digunakan untuk menjawab permasalahan yang ada
yaitu tentang pembatalan perkawinan dan akibat hukumnya ditinjau
secara normatif menurut Hukum Positif maupun Hukum Islam.
BAB IV : Bab ini merupakan bab yang paling terakhir dari seluruh penjabaran
yang telah dikemukakan dalam bab-bab sebelumnya, dan di dalam
bab ini penulis akan mencoba memberikan rumusan jawaban secara
singkat terhadap seluruh permasalahan (hukum) yang telah
dituangkan dalam perumusan masalah serta saran atau rekomendasi
terkait dengan temuan-temuan sebagai masukan.
E. Rencana Penelitian
Agar penelitian sesuai dengan waktu maupun kerangka penelitian maka
penulis membuat rencana penelitian yang dimulai dari tanggal 22 November 2008
dengan perincian lama kegiatan sebagai berikut:
1. Penelitian pendahuluan 1 minggu
2. Studi pustaka 2 minggu
3. Penyusunan proposal 2 minggu
4. Pengolahan data 2 minggu
5. Penyusunan hasil penelitian 5 minggu
12 minggu
BAB II
TINJAUAN TEORITIS TENTANG PERKAWINAN
DAN PEMBATALAN PERKAWINAN
A. Pengertian, Tujuan, dan Syahnya Perkawinan
1. Perkawinan Menurut Hukum Positif
a. Pengertian Perkawinan
Dalam pasal 1 Undang-Undang No. 1 tahun 1974 disebutkan:
"Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri. dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa."
Adapun pengertian perkawinan dapat kita ambil dari rumusan anak
kalimat pertama pasal 1 tersebut, di atas, yaitu pada anak kalimat yang
berbunyi: "Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami istri"
Dalam hubungan ini ikatan lahir berarti bahwa para pihak yang
bersangkutan karena perkawinan itu secara formil merupakan suami istri
baik bagi mereka dalam hubungannya satu sama, lain maupun bagi mereka
dalam hubungannya dengan masyarakat luas. Pengertian ikatan batin dalam
perkawinan berarti bahwa dalam batin suami yang bersangkutan terkandung
niat, yang sungguh-sungguh untuk hidup bersama sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk dan membina keluarga bahagia dan kekal. Jelaslah dalam
10
perkawinan tidak boleh ada ikatan lahir saja atau ikatan batin saja, kedua
unsur tersebut harus ada dalam suatu perkawinan.
Di dalam pengertian perkawinan itu juga kita melihat adanya unsur
ikatan antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri, hal ini
menunjukkan bahwa Undang-Undang perkawinan kita pada prinsipnya
menganut asas monogami, karena poligami dimungkinkan sepanjang hukum
agama yang bersangkutan mengizinkan dan itupun dibatasi oleh syarat-
syarat yang ketat, yaitu dengan izin Pengadilan, dan izin itupun hanya
diperoleh dalam hal-hal :
1) Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri.
2) Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
3) Istri tidak dapat melahirkan keturunan.5
b. Tujuan Perkawinan
Tujuan perkawinan menurut Undang-Undang nomor 1 tahun 1974,
kita masih berpegang pada rumusan pasal 1, yaitu pada anak kalimat yang
kedua yang berbunyi: “ dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa".
Rumusan tersebut mengandung harapan bahwa dengan melangsungkan
perkawinan akan diperoleh suatu kebahagiaan hak material maupun spirituil.
Kebahagiaan yang ingin dicapai bukanlah kebahagiaan yang bersifat
5 Asmin, 1986, Status Perkawinan Antar Agama Ditinjau dari Undang-Undang Perkawinan No.1
tahun 1974, Dian Rakyat, Jakarta, Hal. 19
sementara saja, tetapi kebahagiaan yang kekal. karenanya perkawinan yang
diharapkan juga perkawinan yang kekal, yang hanya dapat berakhir dengan
kematian salah satu pasangan tersebut. Dengan dasar pandangan ini maka
pembuat Undang-undang memberikan pembatasan yang ketat terhadap
pemutusan perkawinan selain daripada kematian.
Dalam rumusan tujuan perkawinan itu, kita mendapat pengertian
bahwa untuk membentuk suatu kehidupan rumah tangga yang bahagia dan
kekal itu haruslah didasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa, yang sejalan
dengan sifat religius dari bangsa Indonesia yang mendapatkan realisasinya di
dalam kehidupan beragama dan bernegara.6
c. Sahnya perkawinan
Perkawinan adalah suatu perbuatan hukum, sebagai perbuatan huhum
ia mempunyai akibat-akibat hukum. Sah atau tidaknya suatu perbuatan
hukum ditentukan oleh hukum positif. Hukum positif di bidang perkawinan
di Indonesia sejak 2 Januari 1974 dengan demikian sah tidaknya suatu
perkawinan ditentukan oleh ketentuan-ketentuan yang ada dalam Undang-
Undang tersebut.
Sahnya Perkawinan ditentukan dalam bunyi pasal 2 ayat (1) Undang-
undang nomor 1 tahun 1974 yaitu : "Perkawinan adalah sah, apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya
6 Ibid. Hal.19-20
itu. " Dan juga pada ayat (2) yaitu: "Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku."
Kemudian penjelasan pasal 2 ayat (1), menjelaskan bahwa: “Yang
dimaksud hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu
termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan
agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak
ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.”
Dengan perumusan pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan di luar
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan
Undang-Undang Dasar 1945.
Adapun sahnya perkawinan menurut. kompilasi Hukum Islam
disebutkan dalam pasal 4 yang berbunyi: "Perkawinan adalah sah apabila
dilakukan menurut Hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-
Undang No. 1 Tahun 1974."
Dari ketentuan pasal 2 ayat (1) Undang-undang nomor, 1 tahun 1974,
bahwa Undang-undang ini menggantungkan sahnya suatu perkawinan
kepada hukum agama dan kepercayaan masing masing pemeluknya, ini
berarti bahwa syarat-syarat, perkawinan. itu sendiri mestinya juga harus
didasarkan kepada syarat-syarat. perkawinan sebagaimana yang diatur
menurut hukum agamanya. dan kepercayaannya itu.
Syarat-syarat perkawinan yang diatur, dalam Undang-Undang nomor 1
tahun 1974 meliputi syarat-syarat materiil maupun formil. Syarat.-syarat
materiil yaitu syarat--syarat yang mengenai diri pribadi calon mempelai,
sedangkan syarat-syarat formil menyangkut formalitas-formalitas atau tata
cara yang harus dipenuhi sebelum dan pada saat di.langsungkannya
perkawinan.
1) Syarat-syarat materiil yang berlaku umum.
syarat-syarat yang termasuk ke dalam kelompok ini diatur dalam
Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 yaitu pasal pasal sebagai berikut.:
a) Pasal 6 ayat (1) ; harus ada persetujuan dari kedua calon mempelai.
b) Pasal 7 ayat (1) ; usia calon mempelai pria sudah mancapai 19 tahun dan
wanita sudah mencapai 16 tahun.
c) Pasal 9; tidak terikat tali perkawinan dengan orang lain ( kecuali dalam
hal yang diizinkan oleh pasal 3 ayat 2 dan pasal 4).
d) Pasal 11 Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 dan pasal 39 Peraturan
Pamerintah nomor 9 tahun 1975, mengenai waktu tunggu bagi seorang
wanita yang putus perkawinannya, yaitu:
(1) 130 hari, bila perkawinan putus karena kematian.
(2) 3 kali suci atau minimal 90 hari, bila berdatang bulan.
(3) 90 hari, bila putus karena perceraian dan ia masih berdatang bulan.
(4) Waktu tunggu sampai melahirkan, bila si janda dalam keadaan hamil.
(5) Tidak ada waktu tunggu, bila belum pernah terjadi hubungan kelamin.
Perhitungan waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya putusan
Pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap bagi suatu
perceraian, dan sejak sejak hari kematian bila perkawinan putus karena
kematian.
2) Syarat materiil yang berlaku khusus
Syarat ini hanya berlaku untuk perkawinan tertentu saja dan
meliputi hal-hal sebagai berikut.:
a) Tidak melanggar larangan perkawinan sebagai yang diatur dalam pasal
8, 9 dan 10 Undang-Undang nomor 1 tahun 1974, yaitu larangan
perkawinan mengenai dua orang yang :
(1) berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun
ke atas;
(2) berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kesamping;
(3) berhubungan semenda;
(4) berhubungan susuan;
(5) berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan
dari istri, dalam seorang suami beristri lebih dari seorang;
(6) mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang
berlaku, dilarang kawin.
(7) masih terikat tali perkawinan dengan orang lain, kecuali dalam hal
tersebut dalam pasal 3 ayat (2) dan pasal 4;
(8) telah bercerai untuk kedua kalinya, sepanjang hukum agamanya dan
kepercayaannya tidak menentukan lain.
b) Ijin dari kedua orang tua bagi mereka yang belum mencapai usia 21
tahun. Bila salah satu orang tua telah meninggal ijin dapat diperoleh
dari orang tua yang masih hidup. Bila itupun tidak ada, Orang yang
memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam
garis keturunan lurus ke atas; atau bisa juga ijin dari Pengadilan, bila
orang-orang tersebut. tidak ada atau tidak mungkin dimintai ijinnya
(pasal 6 ayat (2) sampai dengan ayat (5)).
3) Syarat.-syarat formil
Syarat-syarat formil ini meliputi:
a) Pemberitahuan kehendak akan melangsunghan perkawinan kepada
pegawai pencatat perkawinan., yang dapat dilakukan sekurang-kuranya
sepuluh hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan yang dilakukan
secara lisan oleh calon mempelai atau oleh orang tua atau wakilnya
dan memuat umur, agama, nama, pekerjaan, tempat kediaman, umur,
calon mempelai dan nama suami atau isteri yang terdahulu bila salah
seorang atau keduanya pernah kawin. (pasal 3 sampai dengan pasal 5
Peraturan Pemerintah nomor 9 tahun 1975).
b) Pengumuman oleh pegawai pencatat perkawinan yaitu pengumuman
tentang pemberitahuan kehendak nikah dilakukan oleh pegawai
pencatat, perkawinan apabila ia telah cukup meneliti apakah syarat-
syarat, perkawinan sudah dipenuh dan apakah tidak terdapat halangan
perkawinan.
Pengumuman dilakukan dengan suatu formulir khusus untuk itu,
ditempatkan pada suatu tempat yang sudah ditentukan dan mudah
dibaca oleh umum dan ditanda tangani oleh pegawai pencatat.
Pengumuman memuat data pribadi calon mempelai dan orang tua
calon mempelai serta hari, tanggal jam dan tempat akan
dilangsungkannya perkawinan. (Pasal 8 jo, pasal 6, 7 dan 9 PP No. 9
Tahun 1975).
c) Pelaksanaan perkawinan menurut, hukum agamanya dan
kepercayaannya masing-masing. Pelaksanaan perkawinan
dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak pengumuman kehendak
perkawinan dilakukan. Tatacara perkawinan dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya dan dilaksanakan
dihadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi. (Pasal
10 PP Nomor 9 Tahun 1975).
d) Pencatatan perkawinan oleh pegawai pencatat perkawinan. Pencatatan
perkawinan dilakukan sejak pemberitahuan kehendak melangsungkan
perkawinan dan berakhir sesaat sesudah dilangsungkan perkawinan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu,
yaitu pada saat akta perkawinan selesai ditanda tangani oleh kedua
mempelai, kedua saksi dan pegawai pencatat yang mengahadiri
perkawinan dan wali nikah bagi yang beragama Islam. Dengan
penandatanganan akta perkawinan, maka perkawinan telah tercatat
secara resmi.(Pasal 11 PP Nomor 9 Tahun 1975).
2. Perkawinan Menurut Hukum Islam
a. Pengertian Perkawinan
Perkawinan dalam bahasa Arab ialah nikah. Menurut Syara hakekat
nikah itu ialah akad antara calon laki istri untuk membolehkan keduanya
bergaul sebagai suami-istri.7 Menurut Sulaiman Rasjid, merumuskan arti
dari perkawinan sebagai berikut: "Perkawinan ialah akad yang menghalalkan
pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta bertolong-tolongan antara
seorang laki-laki dan seorang perempuan yang antara keduanya bukan
muhrim."8
Perkawinan yang dalam istilah agama disebut "Nikah" ialah
melakukan suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan dari antara seorang
laki-laki dan wanita untuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua
belah pihak, dengan dasar sukarela dan keridhaan kedua belah pihak untuk
mewujudkan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang di1iputi rasa sayang
dan ketentraman dengan cara-cara yang diridhoi oleh Allah.
7 Mahmud Yunus, 1986, Hukum Perkawinan dalam Islam Menurut Mashab Syafi’i, Hanafi, Maliki,
dan Hambali. Hidakarya Agung, Jakarta. Hal. 1 8 Sulaiman Rasjid, 1995, Fiqh Islam, PT. Sinar Baru Algensindo, Bandung, Hal. 374
Asaf A.A Fyzee menerangkan bahwa perkawinan itu menurut
pandangan Islam, mengandung tiga aspek, yaitu :9
1) Aspek hukum, perkawinan adalah merupakan suatu perjanjian. Perjanjian dalam parkawinan ini mengadung tiga karakter yang khusus, yaitu : a) perkawinan tidak dapat, dilakukan tanpa unsur sukarela dari kedua
belah pihak. b) kedua belah .pihak (laki-laki dan perempuan) yang mengikat
persetujuan perkawinan itu saling mempunyai hak untuk memutuskan perjanjian tersehut berdasarkan ketentuan yang sudah ada hukum-hukumnya.
c) persetujuan perkawinan itu mengatur batas batas hukum mengenai hak dan kewajiban masing-masing pihak.
2) Aspek sosial, perkawinan mempunyai arti penting ialah : a) Dilihat dari penilaian umum, pada umumnya berpendapat bahwa orang
yang melakukan perkawinan atau pernah melakukan perkawinan mempunyai kedudukan yang lebih dihargai daripada mereka yang belum kawin.
b) Sebelum adanya peraturan tentang perkawinan, wanita dulu bisa dimadu tanpa batas dan tanpa bisa berbuat apa-apa, tetapi menurut ajaran Islam dalam perkawinan mengenai kawin poligami ini hanya dibatasi paling banyak empat orang itupun dengan syarat-syarat tertentu pula.
3) Aspek agama dalam perkawinan adalah, bahwa Islam memandang dan menjadikan perkawinan itu sebagai basis atau masyarakat yang teratur, sebab perkawinan tidak hanya diikatkan oleh ikatan lahir saja, tetapi diikat juga dengan ikatan batin.
b. Tujuan Perkawinan
Tujuan perkawinan dalam Islam ialah unutk memenuhi tuntutan hajat
tabiat kemanusiaan berhubungan antara laki-laki dan perempuan dalam
rangka mewujudkan suatu keluarga yang bahagia dengan dasar cinta dan
kasih sayang, untuk memperoleh keturunan yang sah dalam maayarakat
dengan mengikuti ketentuan-ketentuan diatur oleh syari'ah. 9 Soemiyati, 1986, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan (UU No.1 Tahun
1974), Liberty, Yogyakarta. Hal. 9-11
Dari rumusan di atas filosof Islam Imam Ghozali membagi tujuan dan
faedah perkawinan kepada lima hal., sebagai berikut. :
1) Memperoleh keturunan yang sah yang akan melangsungkan keturunan
serta memperkembangkan suku-suku bangsa Indonesia.
2) Memenuhi tuntutan naluriah hidup kemanusiaan.
3) Memelihara manusia dari kejahatan dan kerusakan.
4) Membentuk dan mengatur rumah tangga yang menjadi dasar kecintaan
dan kasih sayang.
5) Menumbuhkan kesungguhan berusaha mencari rezeki penghidupan yang
halal, dan memperbesar rasa tanggung jawab.10
Lebih lanjut Masjfuk Zuhdi, mengatakan tujuan perkawinan menurut
Islam adalah untuk membentuk suatu keluarga yang bahagia dan harmonis
suatu keluarga yang hidup tenang, rukun dan damai, serta yang telah diliputi
oleh raga. kasih sayang untuk mendapatkan keturunan yang sah, yang akan
melanjutkan cita-cita orang tuanya.11
c. Sahnya perkawinan
Dalam hukum Islam perkawinan dikatakan sah apabila telah
memenuhi rukun dan syarat perkawinan. Antara rukun dan syarat
perkawinan itu ada perbedaan dalam pengertiannya. Yang dimaksud rukun
dari perkawinan ialah hakekat dari perkawinan itu sendiri, jadi tanpa adanya
10 Ibid. Hal.12-13 11 Op.Cit. Masjfuk Zuhdi. Hal. 16
salah satu rukun, perkawinan tidak mungkin dilaksanakan. Sedang yang
dimaksud dengan syarat ialah sesuatu yang harus ada dalam perkawinan
tetapi tidak termasuk hakekat dari perkawinan itu sendiri. Kalau salah satu
syarat dari perkawinan itu tidak dipenuhi maka perkawinan itu tidak sah.
Misalnya syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh masing-masing rukun
perkawinan itu. Adapun yang termasuk rukun perkawinan itu yaitu :
1) Pihak-pihak yang melaksanakan perkawinan yaitu mempelai pria dan
wanita.
Pihak-pihak yang hendak melaksanakan perkawinan harus
memenuhi syarat-syarat tertentu supaya perkawinan yang dilaksanakan
menjadi sah. Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi ialah:
a) Telah baligh dan mempunyai. kecakapan yang sempurna.
b) Berakal sehat.
c) Tidak karena paksaan, artinya harus berdasarkan kesukarelaan kedua
belah pihak.
d) Wanita yang hendak dikawini oleh seorang pria bukan termasuk salah
satu macam wanita yang haram untuk dikawini.
Adapun wanita yang haram dikawini , yaitu:
b) Haram dinikah selama-lamanya, yang ada empat macam :
(1) karena.hubungan darah:
• ibu, nenek (dari garis ayah atau ibu) seterusnya lurus ke atas.
• Anak perempuan, cucu perempuan, seterusnya dalam garis lurus
ke bawah.
• saudara perempuan sekandung dan saudara perempuan seayah
maupun seibu.
• bibi yaitu saudara perempuan ayah atau ibu, sekandung, seayah
maupun seibu, seterusnya ke atas, yaitu saudara nenek atau
kakek.
• kemenakan perempuan, yaitu anak perempuan dari saudara laki-
laki maupun saudara perempuan dan seterusnya ke bawah.
(2) karena hubungan susuan:
• ibu susuan, yaitu ibu yang menyusui anak itu.
• nenek susuan, yaitu ibu dari ibu susuan dan ibu dari. ayah susuan
seterusnya ke atas.
• Kemenakan perempuan susuan, yaitu cucu-cucu dari ibu susuan.
• Bibi susuan, yaitu saudara perempuan dari ibu susuan maupun
saudara perempuan dari ayah susuan, seterusnya ke atas.
• Saudara perempuan sesusuan.
(3) Karena hubungan semenda ialah :
• mertua, yaitu ibu kandung si isteri, demikian pula nenek isteri
dari garis ibu atau ayah dan seterusnya ke atas. Haram menikah
dengan mertua dan seterusnya ke atas, tidak disyaratkan telah
terjadi persetubuhan antara suami istri bersangkutan. Tetapi
begitu akad nikah dilaksanakan,menyebabkan mertua dan
seterusnya ke atas haram untuk dinikah.
• anak tiri dengan syarat telah terjadi persetubuhan antara suami
dengan ibu anak tersebut. Apabila belum terjadi parsetubuhan
tiba-tiba suami-isteri itu bercerai, maka dimungkinkan terjadinya
perkawinan antara seorang laki-laki dengan anak tirinya.
• Menantu, yaitu isteri-isteri dari anaknya.
• ibu tiri, yaitu janda ayah tanpa ayarat pernah terjadi
persetubuhan suami-isteri. Dengan terjadinya akad nikah antara
ayah dengan seorang perempuan, menjadikan haram nikah antara
anak dan ibu tirinya.
(4) Karena sumpah lian:
Apabila suami menuduh isteri berbuat zina tanpa ada saksi
yang cukup, maka sebagai gantinya suami mengucapkan persaksian
pada Allah, bahwa ia pihak yang benar dalam tuduhannya itu
sampai empat kali. Dan yang kelimanya ia menyatakan bersedia
menerima laknat Allah, apabila ia berdusta dalam tuduhannya itu,
sedangkan isteri yang dituduh akan bebas dari hukuman zina
apabila ia pun menyatakan persaksian kepada Allah bahwa
suaminya berdusta sampai empat kali, dan yang kelimanya
menyatakan bersedia menerima laknat dari Allah apabila suaminya
benar. Sumpah laknat ini Disebut sumpah Li'an. Akibat dari
diucapkannya sumpah li'an itu, maka hubungan suami-isteri
menjadi putus dan antara keduanya haram untuk nikah selama-
lamanya.
c) Haram dinikah untuk sementara waktu, maksudnya yaitu larangan
perkawinan dengan seorang wanita dalam waktu tertentu saja, karena
adanya sebab yang mengharamkan Apabila sebab itu hilang maka
perkawinan boleh dilaksanakan. yang termasuk yaitu:
• Mengumpulkan dua orang perempuan yang masih bersaudara, baik
saudara sekandung, saudara seayah atau saudera seibu, maupun
saudara sepersusuan kecuali secara bergantian. Larangan ini
ditujukan agar hubungan darah tidak terputus.
• wanita yang sedang menjalani masa iddah, baik iddah karena
kematian maupun karena talak.
• wanita yang ada ikatan perkawinan dengan laki-laki lain.
• wanita yang telah ditalak tiga kali, haram kawin 1agi dengan bekas
suaminya, kecuali telah kawin dengan laki-laki lain dan telah
dicerai dan telah habis masa iddahnya.
• Mengawini lebih dari empat orang wanita.
• perkawinan orang yang lagi sedang ihram, baik yang melakukan
akad nikah untuk diri. sendiri maupun untuk orang lain.
• Kawin dengan pezina, ini berlaku baik bagi laki-laki yang baik
dengan wanita pelacur, ataupun antara wanita-wanita yang baik
dengan laki-laki pezina haram hukumnya, kecuali setelah masing-
masing menyatakan bertaubat
2) Wali
"Perwalian" dalam istilah Fiqh disebut "wilayah", yang bararti
penguasaan dan perlindungan. Menurut istilah Fiqih yang dimaksud
perwalian ialah penguasaan penuh yang diberikan oleh agama kepada
seorang untuk menguasai dan melindungi barang atau orang.
a) Syarat-syarat menjadi wali
Sepakat para ulama bahwa orang-orang yang menjadi wali, harus
memenuhi. syarat-syarat :
(1) orang mukallaf/baligh
(2) muslim
(3) berakal sehat
(4) laki-laki
(5) adil12
b) Orang-orang yang boleh menjadi wali
12 Kamal Mukhtar, 1987, Azas-Azas Hukum Islam tentang Perkawinan. Bulan Bintang, Jakarta. Hal
92
Di Indonesia yang dianut adalah tertib wali menurut, madzhab Syafi’i,
Yaitu :
(2) ayah
(3) kakek dan seterusnya ke atas
(4) saudara laki-laki kandung
(5) saudara laki-laki seayah
(6) kemenakan laki-laki kandung
(7) kemenakan laki-laki seayah
(8) paman kandung
(9) paman seayah
(10) saudara sepupu laki-laki sekandung
(11) saudara sepupu laki-laki seayah
(12) sultan / hakim
(13) orang yang ditunjuk oleh mempelai.
c) Macam-macam wali
(1) Wali nasab, yaitu anggota keluarga laki-laki dari calon mempelai
perempuan, yang mempunyai hubungan darah patrilinial dengan
calon mempelai perempuan (ayah, kakek, saudara laki-laki, paman
dan seterusnya).
(2) Wali hakim, yaitu wali yang ditunjuk dan diberi kuasa oleh kepala
negara.
(3) Wali muhakam, yaitu apabila. wali yang berhak tidak dapat
menjalankan tugasnya sebagai wa1i karena suatu sebab tertentu.
atau karena menolak menjadi wali. Demikian .juga wali hakim tidak
dapat menggantikan kedudukan wali nasab karena berbagai sebab,
maka calon mempelai perempuan dapat menunjuk seseorang yang
dianggap mempunyai pengetahuan keagamaan yang baik untuk
menjadi wali.
3) Saksi
Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang saksi ialah:
(a) mukallaf atau dewasa
(b) muslim
(c) harus mengerti dan mendengar ucapan-ucapan yang diucapkan pada
waktu akad nikah dilaksanakan
(d) adil yaitu orang yang taat beragama
(e) saksi yang hadir minimum 2 orang(laki-laki atau empat orang
perempuan.
Hikmah adanya saksi dalam pelaksanaan akad nikah ialah agar dapat
menjadi:
(a) alat bukti, apabila ada yang menggugat keabsahan perkawinan.
(b) kehadiran saksi-saksi diwaktu akad nikah merupakan penghormatan
kepada kedua mempelai.
(c) Kehadiran saksi-saksi dapat, merupakan penghormatan bagi sunnah
Rasulullah s.a.w.
4) Akad Nikah
Akad nikah yaitu pernyataan sepakat dari pihak calon suami dan
pihak calon isteri untuk mengikatkan diri mereka dalam tali perkawinan
dengan menggunakan kata ijab Kabul. Ijab ialah pernyataan dari pihak
calon istri, yang biasanya dilakukan oleh wali pihak calon istr yang
maksudnya bersedia dinikahkan dengan calon suaminya.
Sedang kabul ialah pernyataan atau jawaban dari pihak calon suami
bahwa ia menerima kesediaan calon istrinya untuk menjadi istrinya.
Pihak-pihak Yang melaksanakan akad harus memenuhi syarat-syarat,
tertentu supaya akadnya sah, yaitu:
(a) telah baligh sehingga dianggap mempunyai kecakapan sempurna.
(b) Tidak ada paksaan.
(c) Berakal sehat.
(d) Harus mengetahui/mengerti dan mendengar arti ucapan atau
perkataannya masing-masing.
Syarat-syarat supaya sighat akad nikah ini sah, yaitu:
a) Pada dasarnya akad nikah harus diucapkan lisan, kecuali bagi yang tidak
dapat mrngucapkan secara lisan, boleh menggunakan tulisan atau dengan
menggunakan isyarat tertentu.
b) Akad nikah harus dilaksanakan dalam satu majelis.
c) Antara ijab dan kabul tidak boleh diselingi dengan kata-kata yang lain
atan perbuatan yang lain, yang dapat dipandang mempunyai maksud
mengalihkan akad yang sedang dilangsungkan.
d) Ijab kabul tidak boleh digantungkan pada suatu syarat, disandarkan pada
waktu yang akan datang, atau dibatasi dengan jangka waktu tertentu.
Masing-masing pihak harus mendengar dan memahami perkataan atau
isyarat yang diungkapkan atau dilakukan oleh masing-masing pihak pada
waktu akad nikah.
5) Mahar (Maskawin)
Mahar yaitu pemberian wajib yang diberikan dan dinyatakan oleh
calon suami kepada calon istrinya di dalam sighat akad nikah yang
merupakan tanda persetujuan dan kerelaan dari mereka untuk hidup
sebagai suami istri.
Sekalipun pemberian mahar oleh calon suami kepada calon istrinya
merupakan kewajiban, bukanlah berarti istri dengan pemberian itu telah
dimiliki oleh suaminya. Mereka hanyalah sama-sama memiliki hak
bergaul sebagai suami terikat oleh hak-hak dan kewajiban-kewajiban
yang telah ditetapkan oleh agama Islam.
Mahar yang diberikan dengan kerelaan hati oleh calon suami
kepada calon istrinya, merupakan hak calon istrinya dan sebagai
imbangan dari kerelaan calon istrinya untuk hidup bersama sebagai suami
istri. Kerelaan dan persetujuan itu dinyatakan oleh kedua belah pihak dari
calon-calon mempelai di dalam sighat akad nikah yang mereka ucapakan.
Karena itu penyebutan mahar merupakan pokok yang penting dalam
sighat akad,dan merupakan lambang dari kerelaan dan persetujuan kedua
belah pihak, tanpa penyebutan mahar dalam sighat akad berarti kerelaan
dan kesediaan untuk menikmati hidup sebagai suami istri tidak ada.
Tidak adanya kerelaan dan kesediaan hidup antara pihak calon
suami dengan calon istri dalam perkawinan berarti perkawinan itu telah
menyimpang dari tujuannya. Oleh sebab itu pernyataan mahar dalam
sighat akad nikah merupakan rukun dari akad nikah. Para ahli fiqih ada
yang berpendapat bahwa mahar merupakan rukun akad nikah dan ada
yang berpendapat bahwa mahar merupakan syarat sahnya nikah, kerena
itu tidak boleh ada persetujuan untuk meniadakannya.
Agama tidak menetapkan jumlah minimum dan begitu pula jumlah
maksimum dari mahar, hal ini disebabkan karena adanya perbedaan
tingkatan kemampua.manusia dalam memberinya. orang yang sebaliknya
orang yang miskin ada yang hampir tidak mampu memberinya. Oleh
sebab itu terserah kepada kemampuan yang bersangkutan, disertai
kerelaan dan persetujuan masing-masing pihak yang akan kawin untuk
menetapkan ,jumlahnya. Mengenai bentuk mahar tidak ditentukan, boleh
dijadikan mahar apa saja yang dapat dimiliki kecuali benda-benda yang
diharamkan Allah. Adapun bentuk mahar ada dua macam, yaitu:
a) Mahar Musamma, ialah mahar• yang telah ditetapkan bentuk dan,
jumlahnya dalam sighat akad. Mahar musamma ini terbagi menjadi:
(1) Mahar Mu’ajjal, yaitu mahar yang segera diberikan kepada
isterinya.
(2) Mahar Mu’ajjal yaitu mahar yang ditangguhkan pemberiannya
kepada istri.
b) Mahar Mitsil, ialah mahar yang jumlahnya ditetapkan menurut jumlah
yang biasa diterima oleh keluarga pihak istri, karena pada wahtu akad
nikah jumlah mahar itu belum lagi ditetapkan bentuknya.
B. Pengertian dan Syarat-syarat Pembatalan Perkawian
1. Menurut Hukum Positif
a. Pengertian Pembatalan Perkawinan
Mengenai pengertian pembatalan perkawinan dalam Undang-undang
nomor 1 tahun 1974 tidak disebutkan, hanya dalam pasal 22 menyebutkan
bahwa: "Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi
syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan."
Dalam pasal 74 ayat 2 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa :
"Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah putusan Pengadilan Agama
mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat
berlangsungnya perkawinan."
Dari ketentuan-ketentuan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa
pembatalan perkawinan ialah suatu perkawinan yang sudah terjadi dapat
dibatalkan apabila para pihak tidak memenenuhi syarat-syarat untuk
melangsungkan perkawinan. Dan pembatalan perkawinan bagi yang
beragama. Islam, hanya dapat dilakukan di Pengadilan Agama.
b. Syarat-syarat pembatalan perkawinan
Menurut Undang-Undang nomor 1 tahun 1974, pada prinsipnya
perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-
syarat untuk melangsungkan perkawinan. Sedangkan yang dapat
mengajukan pembatalan perkawinan menurut pasal 23 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974, adalah:
1) Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas.
2) Suami atau isteri.
3) Pejabat perkawinan hanya selama perkawinan belum diputuskan.
4) Pejabat yang disebut dalam ayat 2 pasal 16 undang-undang ini dan setiap
orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap
perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu diputus.
Undang-undang nomor 1 tahun 1974, mengatur tempat diajukannya
pembatalan perkawinan, yang dimuat dalam pasal 25 yaitu: "Permohonan
Pembatalan Perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum
dimana perkawinan dilangsungkan atau di tempat tinggal kedua suami-isteri,
suami atau isteri."
Adapun perbuatan-perbuatan yang menyangkut permohonan akan
suatu pembatalan perhawinan diatur dengan lengkap dalam pasal 36
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, yang pada prinsipnya ditentukan
beberapa langkah penting yaitu:
1) Permohonan pembatalan suatu perkawinan diajukan oleh pihak-pihak
yang berhak mengajukan, kepada Pengadilan yang daerah hukumnya
meliputi tempat berlangsungnya perkawinan atau di tempat tinggal kedua
suami-isteri, suami atau isteri;
2) Tata cara pengajuan permohonan pembatalan perkawinan, dilakukan
sesuai dengan tata cara pengajuan gugatan perceraian;
3) Hal-hal yang berhubungan dengan panggilan, pemeriksaan pembatalan
perkawinan dan putusan pengadilan dilakukan aesuai dengan tata cara
tersebut dalam pasal. 20 sampai dengan pasal 36 Peraturan Pemerintah
ini.13
2. Menurut Hukum Islam
a. Pengertian Pembatalan Perkawinan
Tentang pembatalan perkawinan di dalam hukum Islam tidak ada
defini khusus yang menjelaskan mengenai pengertian tersebut. Tetapi di
dalam pelaksanaannya dapat disimpulkan bahwa pengertian fasid dalam
hukum Islam disamarkan dengan pengertian pembatalan perkawinan dalam
hukum positif. 13 Sudarsono, 1991, Hukum Perkawinan Nasional, Rineka Cipta, Jakarta, Hal. 106-109
Pengertian fasid dalam Hukum Islam adalah apabila terdapat
pe1anggaran dalam larangan-larangan yang sudah ditentukan dalam syari'at
Islam, maka terhadap perkawinan tersebut dapat difasidkan. Jadi dapat
disimpulkan bahwa. suatu perkawinan dapat dibatalkan atau difasidkan
apabila tidak memenuhi syarat-syarat perkawinan yang telah ditentukan
dalam syaria’at Islam.
b. Syarat-syarat pembatalan perkawinan
Banyak rukun dan syarat yang menyebabkan suatu perkawinan dapat,
dibatalkan. Apabila pelanggaran itu dibawa ke Pengadilan Agama, maka
pernikahan tersebut dinyatakan fasid.
Adapun pernikahan dapat dibatalkan atau difasidkan karena beberapa
sebab yaitu:
1) Apabila ternyata kedudukan wali tidak sah.
2) Pelanggaran terhadap hubungan darah.
3) Poliandri , dimana seorang perempuan mempunyai dua orang suami.
4) Permaduan terhadap 1ebih dari empat istri, dimana pernikahan yang
kalima harus difasidkan.
5) Pernikahan seorang perempuan yang masih dalam jangka waktu tunggu.
Mengenai pernikahan seseorang yang dilakukan dalam waktu tunggu ini,
ahli fiqih berbeda pendapat :
a) Imam Malik berpendapat harus dibatalkan, baik sudah terlanjur
berkumpul atau belum.
b) Imam Syafi'i berpendapat akad nikahnya sah, tetapi meminangnya
secara terang-terangan tersebut, haram, karena antara, meminang dan
akad nikah tersebut, berbeda.
c) Para fuqaha. sependapat, bilamana terjadi di masa iddahnya harus
dibatalkan sekalipun telah terjadi persetubuhan antara mereka.
C. Alasan Pembatalan Perkawinan
UU Perkawinan telah mengatur tentang pembatalan perkawinan,
ketentuannya terdapat pada Pasal 22 sampai dengan Pasal 28 UU Perkawinan.
Selain itu, ketentuan pembatalan perkawinan, diatur pula pada Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975, tentang pelaksanaan UU
Perkawinan, yaitu pada Pasal 37 dan Pasal 38. Demikian juga dalam Peraturan
Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975, tentang Kewajiban Pegawai Pencatat Nikah
dan Tata Kerja Pengadilan Agama dalam Melaksanakan Peraturan Perundang-
undangan Perkawinan bagi yang Beragama Islam, ada satu pasal yang mengatur
pembatalan perkawinan, yaitu pada Pasal 27.
Pasal 22 UU Perkawinan, menegaskan bahwa perkawinan dapat dibatalkan,
apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan
perkawinan. Penjelasan Pasal 22, menyebutkan bahwa istilah “dapat” berarti bisa
batal atau bisa tidak batal, apabila menurut ketentuan hukum agamanya masing-
masing tidak menentukan lain. Apa yang dimaksud dengan pembatalan
perkawinan itu sendiri, UU Perkawinan tidak memberikan penjelasan lebih lanjut
secara rinci.
Istilah “dapat” dalam UU Perkawinan yang berarti “bisa batal” atau “bisa
tidak batal” bilamana menurut ketentuan hukum agamanya masing-masing tidak
menentukan lain, sebenarnya menyebabkan terjadinya kerancuan (ketidakpastian
hukum) terhadap aturan pembatalan perkawinan itu sendiri. Perkawinan yang batal
menurut UU Perkawinan, belum tentu batal menurut syari’at Islam, karena ukuran
tentang batal atau tidaknya suatu akad perkawinan, tetap saja dikembalikan kepada
hukum agama para pihak yang melangsungkan perkawinan.
Istilah batalnya perkawinan dapat menimbulkan salah paham, karena
terdapat berbagai ragam tentang pengertian batal. Menurut literatur dalam ilmu
hukum, batal dapat diartikan batal demi hukum (batal mutlak), dapat pula diartikan
dapat dibatalkan, yang prosedur keduanya berbeda. Dapat dibatalkan prosedurnya
harus dimohonkan kepada hakim,14 sedang batal mutlak, hakim berwenang karena
jabatannya mengucapkan pembatalan, meskipun tidak ada permintaan para pihak.
Penggunaan istilah dapat dibatalkan dalam UU Perkawinan berarti dapat
ditafsirkan menjadi relatif nietig, dengan demikian perkawinan dapat dibatalkan
berarti sebelumnya telah terjadi perkawinan, lalu dibatalkan karena adanya
pelanggaran terhadap aturan-aturan tertentu.15
Memperhatikan penjelasan Pasal 22 UU Perkawinan, berarti terhadap
perkawinan yang tidak memenuhi syarat ada dua kemungkinan, pertama
perkawinan tersebut dapat dibatalkan, kedua dapat tidak dibatalkan jika ada
14 R. Subekti, 1993, Pokok Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, hlm. 136 15 Martiman Prodjohamidjodjo, 2002, Hukum Perkawinan Indonesia, Indonesia Legal Center
Publishing, Jakarta, hlm. 25
pengecualian dari hukum agama para pihak yang telah melangsungkan
perkawinan. Perkawinan dapat dibatalkan bukan saja karena tidak terpenuhinya
syarat perkawinan, tetapi berdasarkan Pasal 24, 26 dan 27 UUP, pembatalan dapat
pula dilaksanakan jika:
1. Salah satu pihak masih terikat dengan perkawinan lain.
2. Perkawinan tersebut dilangsungkan di hadapan pegawai pencatat perkawinan
yang tidak berwenang atau wali nikahnya tidak sah atau karena tidak dihadiri
dua orang saksi.
3. Perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum.
4. Pada waktu perkawinan berlangsung terjadi salah sangka mengenai diri suami
atau isteri.
Berdasarkan Pasal 37 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9
Tahun 1975 (selanjutnya disingkat PP No. 9/1975), bahwa batalnya perkawinan
hanya dapat diputuskan oleh pengadilan. Konsekuensi dari ketentuan ini bahwa
antara suami isteri tidaklah dibenarkan membatalkan perkawinannya secara
langsung tanpa melalui proses permohonan pembatalan di pengadilan dan proses
permohonannya sama dengan tata cara pengajuan gugatan perceraian sebagaimana
yang diatur dalam Pasal 38 PP No. 9/1975. Alasan pembatalan perkawinan hanya
dapat diputuskan oleh pengadilan seperti yang disebutkan dalam penjelasan Pasal
37 PP No. 9/1975, yaitu untuk menghindari terjadinya pembatalan perkawinan
oleh instansi lain di luar pengadilan, berhubung pembatalan perkawinan membawa
akibat yang jauh, baik terhadap suami isteri maupun terhadap keluarganya.
Ketentuan lebih lanjut dalam Pasal 27 Peraturan Menteri Agama Nomor 3
Tahun 1975 (selanjutnya disingkat PMA No. 3/1975) disebutkan bahwa apabila
pernikahan telah berlangsung, kemudian ternyata terdapat larangan menurut
hukum munakahat atau peraturan perundang-undangan tentang perkawinan, maka
Pengadilan Agama dapat membatalkan pernikahan tersebut atas permohonan
pihak-pihak sebagaimana dimaksud Pasal 23 UU Perkawinan, yaitu:
1. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri.
2. Suami atau isteri.
3. Pejabat berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan.
4. Pejabat yang ditunjuk dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum
secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan
itu putus.
Apabila diperhatikan ketentuan pembatalan perkawinan yang ada pada Pasal
26 ayat (1) UU Perkawinan, yang menegaskan bahwa terhadap perkawinan yang
dilangsungkan di hadapan pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang,
maka dapat dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan
lurus ke atas dari suami atau isteri, jaksa dan suami atau isteri.
Ketentuan ini dapat menimbulkan permasalahan baru dalam lapangan
hukum perkawinan. Ada kemungkinan suatu perkawinan direstui oleh kedua
keluarga dalam garis lurus ke atas dari pasangan suami isteri dan kedua pasangan
suami isteri memang menghendaki perkawinan itu. Sementara rukun-rukun serta
syarat-syarat perkawinan yang sudah dipenuhi, maka tidaklah sewajarnya salah
satu dari pihak keluarga tersebut atau salah satu dari suami atau isteri memintakan
pembatalan perkawinan kepada pengadilan, hanya karena alasan perkawinannya
dilaksanakan dihadapan pegawai pencatat yang tidak berwenang. Tidaklah
memungkinkan, jika salah satu dari mereka menuntut pembatalan perkawinan
yang telah dilangsungkan, hal ini berarti sama saja melaporkan bahwa dirinya
telah ikut melakukan tindak pidana.
Adanya ketentuan Pasal 26 ayat (1) UUP ini, sebenarnya telah menggeser
nilai-nilai keadilan dengan merendahkan posisi, harkat dan martabat kaum wanita
(isteri), karena bukan tidak mungkin setelah laki-laki (suami) menikmati madu
dari isterinya, kemudian dengan alasan tidak terpenuhinya syarat formalitas
(dilangsungkan di muka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang),
padahal perkawinan itu atas restu keluarga (orang tua) kedua belah pihak dan atas
kehendak bersama pasangan suami isteri, maka dia membatalkan perkawinan itu
melalui pengadilan, maka jelas kenyataan ini hanya merugikan pihak wanita
(isteri) saja.
Mengingat penjelasan Pasal 22 UUP tersebut, maka dapat ditafsirkan bahwa
perkawinan yang berlangsung di hadapan pejabat tidak berwenang seharusnya
tidak boleh dibatalkan, karena hukum agama (syari’at Islam) tidak ada
menentukan bahwa perkawinan demikian adalah batal.
Berdasarkan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 ayat (1) UUP, bahwa seorang laki-
laki (suami) yang hendak berpoligami harus mengajukan permohonan untuk
mendapatkan izin dari pengadilan dan persetujuan isteri/isteri-isterinya. Izin dan
persetujuan dimaksud tidak bisa tidak harus diperolehnya dan jika tidak ada, maka
berdasarkan Pasal 24 UUP, isterinya yang terdahulu dapat mengajukan
permohonan pembatalan perkawinan kepada pengadilan terhadap perkawinan
suami yang berikutnya.
BAB III
PEMBATALAN PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1
TAHUN 1974 DAN AKIBAT HUKUMNYA
A. Pembatalan Perkawinan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
1. Batal Demi Hukum dan Dapat Dibatalkan
Adanya Undang-undang nomor 1 tahun 1974 ini berarti kita sebagai
bangsa Indonesia bersama-sama ikut memiliki dan mentaati serta memperbaiki
segala pelaksanaan yang kemungkinan masih kurang tepat diperlukan di
masyarakat. Karena kehidupan di masyarakat, kita selalu mengalami kemajuan-
kemajuan yang sangat berarti sehingga kadang-kadang suatu peraturan te1ah
tidak memenuhi persyaratan. Dengan berlakunya Undang-undang maka
masyarakat akan teratur, hak asasi terpelihara, keadilan terjamin sehingga dapat
diarahkan menuju kebaikan dan kesempurnaan yang utuh.
Perkawinan merupakan perbuatan hukum, sehingga perkawinan
menimbulkan hak dan kewajiban bagi pihak-pihak yang melakukannya dan
pihak lain, misalnya hak dan kewajiban yang berkaitan dengan harta benda.
Oleh karena itu, apabila seorang laki-laki dan seorang perempuan bersepakat
untuk melakukan perkawinan satu sama lain, ini berarti mereka saling berjanji
akan taat pada peraturan-peraturan hukum yang berlaku. Mengenai hak dan
kewajiban masing-masing pihak selama dan sesudah hidup bersama itu
berlangsung.
41
Berhubung dengan akibat yang sangat penting itu, maka masyarakat
membutuhkan suatu peraturan untuk perkawinan ini, yaitu mengenai syarat-
syarat perkawinan, pelaksanaan perkawinan, kelanjutan dan terhentinya
perkawinan itu. Seseorang yang akan melangsungkan suatu perkawinan
diharuskan memberitahukan kepada pegawai pencatat perkawinan.
Pemberitahuan tersebut, dapat dilakukan secara lisan oleh.seorang maupun
kedua mempelai atau wali mereka dengan tujuan untuk mengetahui dengan
jelas identitas mereka.
Meskipun telah ada Undang-Undang yang mengatur mengenai syarat-
syarat perkawinan, masih terjadi kasus bahwa perkawinan dapat dilangsungkan,
walaupun pada akhirnya diketahui bahwa wali dalam pelaksanaan perkawinan
tersebut tidak memenuhi syarat. Dengan demikian, perkawinan tersebut dapat
dikatakan benar. Dan setelah diketahui bahwa wali dalam pelaksanaan dari wali
yang sah agar perkawinan tersebut dibatalkan. Ini adalah salah satu contoh
kasus akibat dari tidak terpenuhinya syarat-syarat, perkawinan.
Dari kenyataan tersebut, dapatlah disimpulkan, bahwa setiap orang yang
akan melangsungkan perkawinan harus memenuhi syarat-syarat sahnya
perkawinan, yang ditentukan oleh Undang-Undang nomor 1 tahun 1974. Dan
bila syarat-syarat tersebut tidak dipenuhi maka perkawinan tersebut dapat
dibatalkan. Adapun yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan antara lain
Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri, dan
dapat juga oleh suami isteri itu sendiri.
Pembatalan perkawinan ditujukan semata-mata agar hasil perkawinan itu
terlindungi oleh hukum, karena dengan adanya kekurangan-kekurangan
persyaratan tersebut atau dengan adanya pelanggaran-pelanggaran yang telah
dilakukan dalam melangsungkan perkawinan, perkawinannya menjadi tidak
sah.Mengenai pembatalan perkawinan dalam Undang-undang nomor 1 tahun
1974, pengaturannya dimuat dalam Bab IV pasal 22 sampai pasal 28 yang
diatur lebih lanjut dalam peraturan pelaksanaannya yaitu Peraturan Pemerintah
nomor 9 tahun 1975 dalam Bab VI pasal 37 dan 38. Pasal 22 Undang-Undang
nomor 1 tahun 1974 menyatakan bahwa : "Perkawinan dapat dibatalkan,
apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan
perkawinan." Sedangkan dalam Pasal 37 Peraturan Pemerintah nomor 9 tahun
1975 diatur "Batalnya suatu perkawinan hanya dapat diputuskan oleh
Pengadilan."
Sebagaimana diuraikan dalam bab sebelumnya, Dalam Penjelasan Pasal
22 disebutkan bahwa pengertian ”dapat” pada pasal ini diartikan bisa batal atau
bisa tidak batal, bilamana menurut ketentuan hukum agamanya masing-masing
tidak menentukan lain. Dengan demikian, jenis perkawinan di atas dapat
bermakna batal demi hukum dan bisa dibatalkan.
Batal demi hukum memberikan makna bahwa sebuah perkawinan
dibatalkan karena hukum menghendaki perkawinan itu untuk dibatalkan. Dalam
hal ini unsur-unsurnya adalah syarat-syarat yang menjadikan sahnya
perkawinan menurut hukum. Dengan demikian, perkawinan yang batal demi
hukum didasarkan pada sebab sebab sebagai berikut:
a. Tidak memenuhi syarat-syarat materiil yang berlaku umum
Tidak memenuhi syarat-syarat materiil yang berlaku umum artinya
perkawinan tidak sah karena satu atau lebih syarat-syarat yang ditetapkan
sebagai dasar sahnya perkawinan tidak terpenuhi. Syarat-syarat materiil
diatur dalam aturan perundang-undangan yang menjadi hukum materiil dari
sebuah perkawinan yaitu:
1) persetujuan dari kedua calon mempelai.
2) usia calon mempelai (19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita).
3) tidak terikat tali perkawinan dengan orang lain.
4) waktu tunggu bagi seorang wanita yang putus perkawinannya
b. Tidak memenuhi syarat-syarat materiil yang berlaku khusus
Sama halnya dengan syarat-syarat materiil yang berlaku umum, syarat-
syarat materiil diatur dalam aturan perundang-undangan yang menjadi
hukum materiil dari sebuah perkawinan juga mengatur tentang syarat-syarat
yang berlaku khusus. Syarat ini hanya berlaku untuk perkawinan tertentu
saja dan meliputi hal-hal sebagai berikut.:
1) Larangan perkawinan mengenai dua orang yang :
a) berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke
atas;
b) berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kesamping;
c) berhubungan semenda;
d) berhubungan susuan;
e) berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan
dari istri, dalam seorang suami beristri lebih dari seorang;
f) mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang
berlaku, dilarang kawin.
g) masih terikat tali perkawinan dengan orang lain.
h) telah bercerai untuk kedua kalinya, sepanjang hukum agamanya dan
kepercayaannya tidak menentukan lain.
2) Ijin dari kedua orang tua bagi mereka yang belum mencapai usia 21
tahun. Bila salah satu orang tua telah meninggal ijin dapat diperoleh dari
orang tua yang masih hidup. Bila itupun tidak ada, Orang yang
memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis
keturunan lurus ke atas; atau bisa juga ijin dari Pengadilan, bila orang-
orang tersebut. tidak ada atau tidak mungkin dimintai ijinnya.
Lebih lanjut menurut Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 3 Tahun
1975 ditentukan bahwa ”Apabila pernikahan telah berlangsung kemudian
ternyata terdapat larangan menurut hukum munakahat atau peraturan
perundang-undangan tentang perkawinan, maka Pengadilan Agama dapat
membatalkan pernikahan tersebut atas permohonan pihak-pihak yang
berkepentingan.” Dari sudut pandang tersebut maka:
a. Perkawinan dapat dibatalkan (Pasal 71 - 76 Kompilasi Hukum Islam),
apabila:
1) Suami melakukan poligami tanpa ijin dari Pengadilan Agama.
2) Perempuan yang dinikahi ternyata masih menjadi isteri pria lain yang
mafqud.
3) Perempuan yang dinikahi ternyata masih dalam masa iddah dari suami
lain.
4) Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan.
5) Perkawinan yang dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali
yang tidak berhak.
6) Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.
b. Perkawinan batal (Pasal 70) apabila:
1) Seorang suami melakukan poligami padahal dia sudah mempunyai 4
orang isteri, sekalipun salah satu dari keempat isteri tersebut sedang
dalam iddah talak raj’i.
2) Menikahi kembali bekas isteri yang telah di li’an.
3) Menikahi bekas isterinya yang telah ditalak tiga kali.
4) Perkawinan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah, semenda
dan susuan.
5) Isteri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari
isterinya.
Disamping kedua sebab batalnya perkawinan sebagaimana diuraikan
sebelumnya, masih terdapat satu sebab pembatalan perkawinan yaitu karena
adanya ancaman, penipuan atau salah sangka (Pasal 27 UU No. 1/1974). Dalam
konteks ini suami atau isteri dapat mengajukan pembatalan perkawinan apabila:
a. Perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum.
b. Pada waktu dilangsungkan perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka
mengenai diri suami atau isterinya.
c. Bila ancaman telah terhenti atau yang bersalah sangka menyadari
keadaannya, dan dalam waktu 6 bulan setelah itu tetap hidup sebagai suami
isteri dan tidak menggunakan haknya, maka haknya menjadi gugur.
Uraian tentang batalnya perkawinan karena adanya ancaman, penipuan,
atau salah sangka mengacu pada perkawinan yang dapat dibatalkan. dalam hal
ini artinya perkawinan tersebut bisa dimohonkan untuk dibatalkan atau bisa
tidak dimohonkan untuk dibatalkan. Hal ini dapat dilihat dari aturan bahwa
yang bersangkutan langsung; dalam hal ini suami atau istri yang mengajukan
permohonan. Dengan demikian berarti jika tidak dimintakan permohonan
pembatalan, maka perkawinan tidak wajib untuk dibatalkan. Disamping itu
terdapat aturan yang menentukan bahwa jangka waktu permohonan ini (6 bulan
setelah ancaman terhenti atau yang bersalah sangka menyadari keadaannya)
untuk dimohonkan pembatalannya. Jika hak permohonan pembatalan itu tidak
digunakan dalam jangka waktu tersebut, maka pernikahan tetap dianggap sah
dan satu-satunya cara untuk pemutusan adalah melalui gugatan perceraian.
2. Pengajuan Pembatalan Perkawinan dan Pihak-pihak yang Mengajukan
Permohonan pembatalan perkawinan dapat diajukan ke Pengadilan
(Pengadilan Agama bagi Muslim dan Pengadilan Negeri bagi Non-Muslim) di
dalam daerah hukum di mana perkawinan telah dilangsungkan atau di tempat
tinggal pasangan (suami-istri). Atau bisa juga di tempat tinggal salah satu dari
pasangan pengantin tersebut.
Adapun proses pembatalan perkawinan adalah menyangkut hal-hal
mengenai tata cara pengajuan permohonan pembatalan perkawinan dan proses
pemeriksaan pembatalan perkawinan di persidangan.
a. Tata cara Pengajuan Permohonan Pambatalan Perkawinan
Mengenai tata cara permohonan pembatalan perkawinan adalah
sebagai berikut :
1) Permohonan ditujukan kepada Ketua Pengadilan, yang daerah hukumnya
meliputi tempat berlangsungnya perkawinan atau di tempat tinggal kedu
suami-isteri, suami atau isteri. Dan pada permohonan tersebut antara lain
dilampirkan akta nikah serta foto copy Kartu Tanda Penduduk (KTP).
2) Permohonan disampaikan kepada Kepaniteraan Pengadilan, jadi
sekalipun permohonan ditujukan dan dialamatkan kepada Ketua
Pengadilan, tetapi penyampaiannya dimasukkan kepada Panitera
Pengadilan.
3) Pemohon wajib lebih dahulu membayar ongkos perkara guna
mendapatkan nomor perkara, yang terdiri dari biaya-biaya:
a) pencatatan perkara tingkat I
b) panggilan
c) redaksi
d) materai
4) Kemudian berkas-berkas tersebut diperikasa oleh Ketua Panitera dan
selanjutnya diserahkan kepada Ketua Pengadilan Agama.
5) Permohonan pembatalan perkawinan diterima apabila telah jelas bagi
Pengadilan mengenai sebab-sebab diajukannya permohonan pembatalan
perkawinan tersebut.
b. Proses sebelum dan saat di Pengadilan
1) Proses sebelum persidangan diadakan :
a) setiap kali akan diadakan sidang petugas yang ditunjuk Ketua
Pengadilan Agama, memanggil pemohon untuk menghadiri sidang
tersebut, waktunya selambat-lambatnya tiga hari sebelum sidang
dibuka.
b) Ketua Pengadilan menunjuk hakim yang menangani perkara tersebut.
c) Ketua Pengadilan Agama menentukan hari sidang.
2) Proses di Persidangan :
a) pernyataan persidangan terbuka untuk umum.
b) pembacaan surat permohonan.
c) Proses pemeriksaan mulai dari pemeriksaan suami-isteri, saksi-saksi
dan seterusnya.
d) sidang biasanya diadakan labih dari satu kali. yang prosesnya
merupakan lanjutan dari sidang terdahulu.
e) apabila bukti-bukti dan keterangan-keterangan dirasa sudah lengkap
lalu diadakan penjatuhan putusan oleh hakim. Sedang putusan hakim
mengenai pembatalan perkawinan antara lain menyatakan akta nikah
dari perkawinan yang dimintakan pambatalan tersebut tidak
mempunyai kekuatan hukum.
c. Pihak-pihak yang Mengajukan Pembatalan Perkawinan
Dalam UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan khususnya pada
pasal 23 diatur bahwa pihak-pihak yang dapat mengajukan pembatalan
perkawinan adalah:
1) Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri;
2) Suami atau istri;
3) Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan;
4) Pejabat pengadilan.
Sedangkan dalam Pasal 73 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan
bahwa yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan adalah:
1) Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari
suami atau isteri
2) Suami atau isteri
3) Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut
undang-undang
4) Para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam
rukun dan syarat perkawinan menurut hukum islam dan peraturan
perundang-undangan sebagaimana tersebut dalam pasal 67
Ada batas waktu pengajuan pembatalan perkawinan. Untuk
perkawinan anda sendiri (misalnya karena suami anda memalsukan
identitasnya atau karena perkawinan anda terjadi karena adanya ancaman
atau paksaan), pengajuan itu dibatasi hanya dalam waktu enam bulan setelah
perkawinan terjadi. Jika sampai lebih dari enam bulan anda masih hidup
bersama sebagai suami istri, maka hak anda untuk mengajukan permohonan
pembatalan perkawinan dianggap gugur (pasal 27 UU No. 1 tahun 1974).
Sementara itu, tidak ada pembatasan waktu untuk pembatalan perkawinan
suami anda yang telah menikah lagi tanpa sepengetahuan anda. Kapanpun
anda dapat mengajukan pembatalannya.
d. Perbedaan antara perkawinan yang putus akibat pembatalan dan perceraian
Adapun perbedaan proses persidangan pembatalan perkawinan dengan
perceraian yaitu pada taraf perdamaian yang dilakukan setelah pembacaan
surat gugatan atau permohonan. Pada pembatalan perkawinan tidak dapat
diterapkan azas perdamaian ini. Karena tujuan dari permohonan pembatalan
perkawinan adalah untuk membatalkan perkawinan, jadi tidak ada taraf
mendamaikan para pihak kalaupun ada perdamaian, hanya sepanjang
mengenai batalnya perkawinan itu dilakukan secara damai.
Mengenai daluwarsanya permohonan pembatalan perkawinan pada
dasarnya tidak ada jangka waktunya, jadi begitu diketahui bahwa
perkawinannya tersebut tidak memenuhi syarat-syarat perkawinan, maka
terhadap perkawinan tersebut dapat dimintakan pembatalannya ke
Pengadilan Agama.
Namun dalam hal perkawinan itu dilangsungkan di bawah ancaman
yang melanggar hukum atau pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi
salah sangka mengenai diri suami atau isteri, maka dalam jangka waktu
enam bulan setelah tidak adanya ancaman lagi atau yang bersalah sangka itu
menyadari dirinya, masih tetap hidup sebagai suami-isteri dan tidak
menggunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan maka
haknya itu gugur. Juga hak untuk membatalkan perkawinan oleh suami atau
isteri berdasarkan alasan perkawinan yang dilangsungkan di muka Pegawai
Pencatat Perkawinan yang tidak berwenang, tanpa dihadiri oleh dua
orang saksi, gugur apabila mereka telah hidup bersama sebagai suami istri
dan Pegawai Pencatat Perkawinan yang tidak berwenang dan perkawinan
harus diperbaharui supaya sah.
3. Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan
Batalnya perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan mempunyai
kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.
Keputusan Pembatalan Perkawinan tidak berlaku surut terhadap anak-anak
yang dilahirkan dari perkawinan tersebut. Artinya, anak-anak dari perkawinan
yang dibatalkan, tetap merupakan anak yang sah dari suami anda. Dan berhak
atas pemeliharaan dan pembiayaan serta waris (pasal 28 UU No. 1 Tahun
1974).
Pembatalan perkawinan da1am Islam atau yang disebut dengan fasid,
dilakukan karena perkawinan tersebut tidak memenuhi syarat-syarat
perkawinan yang telah ditentukan dalam hukum atu syari’at Islam. Adapun
akibat hukum pembatalan perkawinan menurut Islam yaitu:
a. Ada kewajiban iddah bagi istri bila memang telah terjadi persetubuhan.
b. Anak yang lahir dari perkawinan tersebut menjadi anak dari orang tuanya
karena persetubuhan secara syubhat sama hukumnya dalam perkawinan
yang sah mengenai nasabnya.
c. Suami berhak meminta kembali mahar yang diberikan kepada isteri jika
pembatalan perkawinan terjadi sebelum suami menggaulinya, maka isterinya
kehilangan hak atas maharnya.
d. Seorang laki-laki yang telah akad nikah dengan seorang perempuan lalu
disenggamanya, yang kemudian karena sesuatu hal, perkawinannya secara
hukum dinyatakan batal, maka wajib laki-laki tadi membayar seluruh mahar
yang dijanjikannya.
Dalam hal terjadinya pembatalan perkawinan, maka perkawinan itu batal,
yang dimulai setelah keputusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang
tetap dan berlaku sejak saat, berlangsungnya perkawinan. Keputusan
Pengadilan mengenai pembatalan perkawinan ini tidak berlaku surut terhadap :
a. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;
b. Suami atau isteri yang bertindak dengan iktikad baik, kecuali terhadap harta
bersama bila pembatalan perkawinan didasarkan atas dasar perkawinan lain
yang lebih dahulu;
c. Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk 1 dan 2 sepanjang mereka
memperoleh hak-hak dengan iktikad baik sebelum keputusan tentang
pembatalan perkawinan mempunyai kekuatan hukum yang tetap (pasal 28
UU No. 1 Tahun 1974)
Sedang pasal 76 Kompilasi Hukum Islam, menyebutkan bahwa:
"Batalnya suatu perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum antara
anak dengan orang tua.”
Suatu perkawinan yang dibatalkan akan menimbulkan akibat-akibat,
hukum tertentu yaitu baik terhadap status suami-isteri, terhadap harta yang
diperoleh selama perkawinan maupun terhadap anak-anak yang diperoleh dari
perkawinan tersebut.
a. Terhadap Status Suami-Isteri
Dengan adanya pembatalan perkawinan tersebut maka antara mereka
tidak terdapat perkawinan lagi, dan masing-masing pihak kembali kepada
keadaan semula, tidak ada tanggung jawab sebagai suami isteri. Dan
perkawinannya dianggap tidak pernah terjadi yaitu sejak hakim menyatakan
akte perkawinan dari suami istari itu tidak mempunyai kekuatan hukum.
Adapun terhadap isteri tetap ada masa iddah seperti halnya dengan
perceraian. Karena gunanya iddah adalah untuk mengetahui bersihnya rahim
seorang perempuan sehingga tidak bercampur keturunan untuk mengetahui
si isteri hamil atau tidak. Dan masa iddah dalam pembatalan perkawinan itu,
yaitu :
1) Iddah bagi yang masih haid ditetapkan 3 kali suci dengan sekurang-
kurangnya 90 hari, dan bagi yang tidak haid ditetapkan 90 hari.
2) Iddah bagi yang sedang hamil maka ditetapkan sampai melahirkan.
3) Apabila tidak pernah digauli maka tidak ada masa iddah.
b. Terhadap Status Anak-Anak.
Apabila dalam perkawinan tersebut telah dilahirkan anak-anak, maka
putusnya perkawinan akibat pembatalan perkawinan tidak berlaku surut
terhadap mereka. Dalam arti bahwa anak-anak tersebut tetap anak sah dari
orang tuanya dan sebagai ahli waris dari orang tuanya.
Adapun kewajiban pemberian nafkah untuk anak dibebankan kepada
kepada sang bapak kecuali sang bapak tidak mampu, maka kewajiban ini
dibebankan kepada sang ibu atau dilaksanakan bersama-sama antara ibu dan
bapak sesuai dengan kemampuannya masing-masing.
Sedang pemeliharaan anak yang masih di bawah umur, diserahkan
kepada ibu karena ibulah yang berhak melakukan hadlanah (pemeliharaan)
dan menyusui, sebab ibu lebih mengetahui dan lebih mampu mendidiknya.
Juga karena ibu mempunyai rasa kesabaran untuk melakukan tugas ini, yang
tidak dipunyai oleh bapak. Ibu lebih mepunyai waktu untuk mengasuh
anaknya daripada bapak.
Adapun bagi seorang anak yang sudah dapat memilih untuk ikut
ayahnya atau ibunya, maka pilihan untuk ikut ibunya atau bapaknya
diserahkan kepada anak itu sendiri. Dan kekuasaan terhadap anak tersebut,
dapat dicabut atas permintaan orang tua yang lain atau keluarga anak itu
yang lain atau pejabat, yang berwenang, dengan alasan kalau orang tua
tersebut sangat melalaikan kewajibannya atau berkelakuan buruk sekali.
c. Terhadap Status Harta Bersama
Dalam Undang-undang Perkawinan memberikan ketentuan bahwa
harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
Kalau suami istri masing-masing membawa harta ke dalam perkawinannya
atau dalam perkawinannya itu masing-masing memperoleh harta karena
hadiah atau warisan, maka harta tersebut tetap masing-masing
menguasainya, kecuali kalau ditentukan untuk dijadikan harta bersama.
Mengenai status harta bersama apabila terjadi pembatalan perkawinan
diatur berdasarkan hukum adatnya masing-masing pihak, khususnya dalam
hukum Islam yang lebih diutamakan adanya keikhlasan dari kedua belah
pihak. Dan bisa juga dibagi berdasarkan modal dari masing-masing pihak,
yang dapat dianggap sebagai kerja sama.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian yang telah penulis sampaikan dalam bab-bab terdahulu, maka
dapat disimpulkan sebagai berikut ;
1. Apabila perkawinan tidak memenuhi rukun dan syarat untuk melangsungkan
perkawinan, maka perkawinan tersebut dapat dilakukan pembatalannya.
Mengenai tata cara pembatalan perkawinan, pada dasarnya tata caranya sama
dengan tata cara melakukan perceraian, hanya saja pada proses persidangan
pembatalan perkawinan, azas perdamaian yang diterapkan pada perceraian
tidak dapat diterapkan pada pembatalan perkawinan karena tujuan pembatalan
perkawinan adalah untuk membatalkan perkawinan tersebut. Jadi tidak ada taraf
mendamaikan para pihak, kalaupun ada perdamaian hanya sepanjang mengenai
batalnya perkawinan itu dilakukan secara damai.
2. Akibat hukum yang diakibatkan oleh pembatalan perkawinan yaitu dapat
berakibat pada status suami isteri, dimana dengan adanya pembatalan
perkawinan, maka antara suami isteri tidak terdapat lagi perkawinan dan
masing-masing pihak kembali pada keadaan semula. Sedangkan akibat bagi
anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut adalah tidak berlaku surut,
jadi anak-anak tetap anak sah dari orang tuanya. Dan mengenai harta bersama,
maka dengan adanya pembatalan perkawinan tersebut, harta dibagi menurut
57
hukum adatnya masing-masing, khususnya dalam hukum Islam lebih
dipentingkan adanya keikhlasan dari kedua belah pihak.
B. Saran-saran
Atas dasar kesimpulan diatas, maka dapat diajukan beberapa saran sebagai
alternatif pemecahan masalah, yaitu :
1. Karena Perundang-undangan pada dasarnya telah menyerahkan sebagian
masalah perkawinan pada ajaran agama Islam, maka bagi umat Islam, agama
harus lebih dipegang kokoh sehingga betul-betul dapat dihayati dan diamalkan
dalam kehidupan sehari-hari.
2. Di dalam menerapkan Undang-undang nomor 1 tahun l974 yang mengatur
tentang perkawinan dan peraturan pelaksanaannya, maka kepala desa yang
merupakan instansi bawah dari aparat pemerintah sebagai pengawas langsung
dalam pelaksanaan perkawinan, maka mereka harus lebih memahami isi dan
kegunaan Undang-undang prrkawinan, serta lehih cermat dan teliti dalam
melaksanakan tugasnya yang berhubungan dengan pelaksanaan perkawinan.
3. Sebagai Warga Negara Indonesia yang merupakan negara berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, perlu 1ebih ditingkatkan lagi
kesadaran akan hukum melalui penyuluhan-penyuluhan hukum terutama daerah
pedesaan, khususnya yang berhubungan dengan masalah perkawinan.
DAFTAR PUSTAKA
Asmin. 1986. Status Perkawinan Antar Agama Ditinjau Dari Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Jakarta: Dian Rakyat.
Harahap, M. Yahya. 1993. Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama. Jakarta: Pustaka Kartini.
Ichsan, Achmad. 1986. Hukum Perkawinan Bagi Yang Beragama Islam. Jakarta: PT. Pradnya Paramita.
Kumpulan Peraturan Perundang-undangan Dalam Lingkungan Peradilan Agama. 1993. Jakarta: Yayasan. Al-Hikmah.
M. Thalib. 1993. Perkawinan Menurut Islam. Surabaya: Penerbit Al-Ikhlas, 1993.
Martiman Prodjohamidjodjo., 2002. Hukum Perkawinan Indonesia, Indonesia Legal Center Publishing, Jakarta.
Mohd. Idris Ramulyo., 1995. Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan Zakat Menurut Hukum Islam, Sinar Grafika, Jakarta.
Mukhtar Kamal. 1987. Azas-azas Hukum Islam Tentang Perkawinan. Jakarta: Bulan Bintang, 1987.
Prodjodikoro, Wiryono. 1984. Hukum Perkawinan di Indonesia. Jakarta: Sumur Bandung.
R. Subekti., 1993. Pokok Pokok Hukum Perdata, Irtermasa, Jakarta.
Ramulyo, M Idris. 1986. Tinjauan Beberapa Pasal. Undang-undang Perkawinan Is1am. Jakarta: Penerbit: In-Hillco.
Rasjid, H.Sulaiman. 1995. Fiqh Islam. Bandung: PT. Sinar Baru Algensindo.
Sayuti Thalib., 1986. Hukum Kekeluargaan Indonesia, Cetakan Kelima, UI-Press, Jakarta.
Soemiyati. 1986. Hukum Perkawinan Islam Dan Undang-undang Perkawinan (Undang-undang No.l Tahun 1974 tentang Perkawinan). Yogyakarta: Liberty.
Sri Susilowati Mahdi, Surini Ahlan Sjarif, dan Akhmad Budi Cahyono. 2005. Hukum Perdata; Suatu Pengantar. Jakarta: Gitama Jaya Jakarta.
Sudargo Gautama. 1995. Hukum Perdata Internasional Indonesia. B, Jilid III Bagian I, Buku ke-7, Bandung: Penerbit Alumni.
Sudarsono. 1991. Hukum Perkawinan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta.
UU No.1 tahun 1974 Tentang Perkawinan.
UU No.12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan
Zuhdi, Maszfuk. 1993. Studi Islam Jilid III: Muammalah. Jakarta: Citra Niaga Rajawali Pers.