pembatasan asas kebebasan berkontrak.pdf
DESCRIPTION
PEMBATASAN ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK oleh pemerintahTRANSCRIPT
32
BAB II
PEMBATASAN ASAS KEBEBASAN BERKONTRAKOLEH PEMERINTAH
A. Pengertian Umum tentang Perjanjian
1. Asas kebebasan berkontrak dalam perjanjian
Setiap warga Negara Indonesia memiliki hak konstitusi untuk mewujudkan
kesejahteraan dirinya sebagai wujud demokrasi ekonomi yang berlaku di Indonesia
berdasarkan UUD 1945. Kesejahteraan seseorang sebagai indikator untuk
mewujudkan kemakmuran, berkaitan dengan siapa yang akan memperoleh
kemakmuran dan bagaimana memperoleh kemakmuran itu.
Di samping itu, pemenuhan kebutuhan seseorang akan benda ekonomi sangat
berkaitan dengan kepemilikan. Masalah kepemilikan merupakan bagian terbesar dari
kewenangan hukum yang mengaturnya,36 di sinilah terlihat hubungan ekonomi
dengan hukum. Memang antara ekonomi dan hukum berlainan bidangnya, tetapi
kedua bidang ini saling membutuhkan dan melengkapi satu dengan yang lainnya.
Berdasarkan pendekatan sistem, norma hukum yang dianut di dalam Hukum
Perdata (KUHPerdata), perjanjian adalah bagian dari hukum harta kekayaan. Artinya
semua perjanjian pada dasarnya adalah berkaitan dan berhubungan dengan kekayaan
yang mempunyai nilai ekonomi yaitu yang dapat dijadikan objek perdagangan (in de
36Milik senantiasa dipikirkan sebagai bagian dari hukum meun et tuum, yaitu hukum tentang
apa yang menjadi milik saya dan apa yang menjadi milik anda (Save M.Dagun, Pengantar FilsafatEkonomi, (Jakarta, Rineka Cipta, 1992. hlm., 82).
32
Universitas Sumatera Utara
33
handel).37 Oleh karena itulah, perjanjian merupakan titel untuk memperoleh dan
mengalihkan kekayaan dari dan untuk seseorang.38
Pada dasarnya setiap orang bebas melakukan perjanjian. Hal ini sebagai
realisasi dari asas kebebasan berkontrak. Kebebasan berkontrak pada dasarnya adalah
implementasi dari alam pikiran faham individualis. Mariam Darus Badrulzaman
mensinyalir bahwa kebebasan berkontrak yang dituangkan ke dalam Buku III
KUHPerdata berlatar-belakang pada faham individualisme yang secara embrional
lahir dalam zaman Yunani, diteruskan oleh kaum Eficuristen dan berkembang pesat
pada abad ke XVIII melalui pemikiran Huge de Groot (Grotius), Thomas Hobbes,
John Locke dan Rousseau. Puncak perkembangannya dalam periode setelah revolusi
Perancis. Faham individualis mengutamakan dan menjunjung tinggi nilai-nilai dan
eksistensi individu di dunia ini, termasuk dalam memenuhi kebutuhannya. 39
Dalam sejarah perkembangan kebebasan berkontrak, makna dan isi kebebasan
berkontrak mengalami pergeseran sesuai dengan faham atau ideologi yang dianut oleh
37Pasal 1332 KUH,Perdata : yang dapat dijadikan objek perjanjian adalah semua benda yang
dapat diperdagangkan. Benda yang dapat diperdagangkan mempunyai arti bahwa benda tersebutadalah sesuatu yang mempunyai nilai ekonomi.
38Cara lain adalah melalui perikatan yang lahir karena undang-undang semata-mata dan
berdasarkan undang-undang karena perbuatan manusia yaitu perbuatan manusia yang melawan hukumdan perbuatan manusia yang sesuai dengan hukum.
39 Mariam Darus Badrulzaman, Pembentukan Hukum Nasional dan Permasalahannya,Alumni Bandung, 1981:118-119). Lihat juga pendapat Achmad Ichsan yang mengatakan bahwaKUH.Perdata adalah diperuntukkan bagi suatu cultuurgemenschap, suatu masyarakat yang moderndengan pandangan differensiasi terhadap pemisahan pelbagai masalah yang sangat tajam, indivualistis-kapitalis, di mana hak individu dalam perekonomian merupakan sebagian dari hak asasinya. Erat sekalihubungannya dengan dunia luar, sehingga untuk ini perlu diadakan ketentuan-ketentuan yang tertibtentang jaminan-jaminan pemenuhan janji yang telah diadakan (Achmad Ichsan, Hukum Perdata I B,PT. Pembimbing Masa, Jakarta, 1969, hlm.: 9.
Universitas Sumatera Utara
34
suatu masyarakat, dengan kalimat lain sejauh mana kebebasan seseorang melakukan
kontrak dapat dibatasi oleh faham atau ideologi yang dianut suatu masyarakat.
Pada saat lahirnya asas kebebasan berkontrak pada abad 17 dan 18, asas kebebasan
berkontrak mempunyai daya kerja sangat kuat, kebebasannya itu tidak dapat dibatasi baik
oleh rasa keadilan masyarakat atau pun oleh campur tangan negara. Hal ini terjadi karena
adanya pengaruh Ideologi Individualisme.
Pengaruh faham individualisme yang berkembang pada abad 17-18 telah memberi
peluang yang cukup luas atas isi asas kebebasan berkontrak sedemikian bebasnya dan
sangat kuat dalam melindungi kepentingan individu. Namun dalam
perkembangannya, akibat desakan faham-faham etis dan sosialis, faham
individualisme mulai pudar, terlebih - lebih setelah perang dunia kedua. Faham
ini secara umum menimbulkan zaman baru dalam hukum, demikian juga pengaruh
faham etis dan sosialis ini terlihat dan sangat terasa pada isi dari asas kebebasan
berkontrak.40
Asas kebebasan berkontrak mula-mula muncul dan berlaku dalam hukum
perjanjian Inggris sebagai awal dari sejarah timbulnya asas kebebasan berkontrak.
40Mahadi, mengutip pendapat Pompe, menyebutkan bahwa dalam tahun 1945 atau abad ke
19 telah muncul zaman baru dalam bidang hukum. yang ditandai dengan “Zaman individualime telahhabis”. Gerakan sosialisme telah membawa maut bagi individualisme. Gerakan sosialisme telahmembawa gelombang baru dalam dunia hukum. Yang penting dan relevan dari zaman baru itu, adalah:a. Penetapan kepentingan umum lebih tinggi dari kepentingan individual.b. Penempatan hukum lebih tinggi daripada undang-undang.c. Penempatan dan penegakan asas-asas hukum hendaknya didasarkan kepada susila.Dengan menonjolkan tiga segi relevan itu serentak pula berarti, bahwa dalam zaman sebelumnyaketiga itu tidak/kurang, mungkin pula sama sekali tidak mendapat perhatian. Kepentingan individualmenempati tempat tertinggi/ terpenting (Mahadi, Hukum Sebagai Sarana MensejahterakanMasyarakat, Medan, USU Press, 1985: 2-3) .
Universitas Sumatera Utara
35
Menurut Treitel, sebagaimana dikutip oleh Remy Sjahdeini, freedom of contract digunakan
untuk merujuk kepada dua asas umum. 41
a. asas umum yang mengemukakan bahwa hukum tidak membatasi syarat-syarat yang boleh diperjanjikan oleh para pihak; asas tersebut tidakmembebaskan berlakunya syarat-syarat suatu perjanjian hanya karena syarat-syarat perjanjian tersebut kejam atau tidak adil bagi satu pihak. MenurutTreitel, asas ini ingin menegaskan bahwa ruang lingkup asas kebebasanberkontrak meliputi kebebasan para pihak untuk menentukan sendiri isiperjanjian yang ingin mereka buat.
b. asas umum yang mengemukakan pada umumnya seseorang menurut hukumtidak dapat dipaksa untuk memasuki suatu perjanjian. Menurut Treitel,dengan asas umum ini ingin mengemukakan bahwa asas kebebasanberkontrak meliputi kebebasan bagi para pihak untuk menentukan dengansiapa dia ingin atau tidak ingin membuat perjanjian.
Asas ini merupakan asas umum yang bersifat universal. ”Asas kebebasan
berkontrak merupakan asas dalam hukum perjanjian yang dikenal hampir semua
sistem hukum”.42 Asas kebebasan berkontrak telah menjadi asas hukum utama dalam
hukum perdata, khususnya dalam hukum perjanjian, dikenal dalam civil law system
maupun dalam common law system, bahkan dalam sistem hukum Islam.
Pengertian kebebasan berkontrak dalam civil law system berasal dan
dikembangkan dari konsep dan perkembangan perikatan atau obligatio yang untuk
41Remy Syahdeini, Asas Kebebasan Berkontrak dan Kedudukan yang seimbang dari kreditur
dan debitur, makalah yang disampaikan pada Seminar Ikatan Notaris Indonesia di Surabaya padatanggal 27 April 1993:2.
42Asas kebebasan berkontrak dalam sistem common law dikenal dengan istilah freedom of
contract atau liberty of contract, bandingkan dengan pernyataan Hardijan Rusli : asas kebebasanberkontrak dikenal juga dengan istilah Laissez Faire yang pengertiannya seperti diterangkan olehJessel M.R. dalam kasus Printing and Numerical Registering Co. vs Sampson (1875) LR Eq. 462 pada465, yaitu men of full age and understanding shall have the utmost liberty of contracting and thatcontracts which are freely and voluntarily entered inti shall be held sacred and enforced by thecourts…you are not lightly to interfere with this freedom of contract (Hardijan Rusli, HukumPerjanjian Indonesia dan Common Law, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1993:38). Lihat juga RidwanKhairandy “istilah kebebasan berkontrak dalam sistem common law adalah freedom of contract atauliberty of contract (Ridwan Khairandy, Pengaruh Paradigma Kebebasan Berkontrak Terhadap TeoriHukum Kontrak Klasik dan Pergeserannya, tidak dipublikasikan, 2003) hlm. 49
Universitas Sumatera Utara
36
pertama kali dipergunakan di dalam civil law tradition pada zaman Romawi oleh
Kaisar Justianus, di dalam Corpus Iuris Civilis pada tahun 533, bagian Institutiones.43
Pengertian kebebasan berkontrak dalam common law :44
1. Tidak seorang pun terikat untuk membuat kontrak apapun jika ia tidak
menghendakinya (nobody was bound to enter into any contracts at all if he
didnot chose todo so);
2. Setiap orang memiliki pilihan orang dengan siapa ia akan membuat kontrak
(everyone had a choice of persons with whom he could contract);
3. Orang dapat membuat pelbagai macam (bentuk) kontrak (people could make
virtually any kind of contract);
4. Orang dapat membuat berbagai kontrak dengan isi dan persyaratan yang
dipilihnya (people could make any kind of contract on an term they chose).
Asas kebebasan berkontrak ini juga pada era globalisasi telah disepakati sebagai
suatu asas hukum dapat dilihat dalam : 45
The Unidroit Principles of International Institute Contract yang diselesaikan
penyusunannya oleh The International Institute for the univication of Private Law
(UNIDROIT) di Roma pada bulan Mei 1994 memuat kebebasan berkontrak
sebagai suatu asas dan diatur di dalam Pasal pertama. Selain itu, Commission on
Europen Contract Law, sebuah badan yang beranggotakan para ahli hukum dari
European Community (sekarang Uni Eropa) telah pula menyelesaikan The
principles Of European Contract Law pada tahun 1998 pada Pasal 1.102 mengatur
tentang kebebasan berkontrak sebagai suatu asas.
Dalam sistem hukum nasional Indonesia, asas ini ini diimplementasikan pada
hukum perjanjian sebagaimana diatur di dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang
menentukan kebebasan bagi setiap orang untuk melakukan perjanjian dengan siapa
43Johannes Gunawan. “Kajian Ilmu Hukum Tentang Kebebasan Berkontrak” dalam Sri
Rahayu Oktoberina, Niken Savitri, Butir-butir Pemikiran dalam Hukum Memperingati 70 TahunProf.Dr.B.Arief Sidharta, (Bandung, Aditama, 2008) hlm : 259.
44Ibid., hlm. 265.
45Ibid., hlm. 258.
Universitas Sumatera Utara
37
yang dikehendakinya dan bebas menentukan isi perjanjian yang akan dilakukan.
Berdasarkan prinsip asas inilah maka Buku III KUHPerdata menganut sistem terbuka.
Asas kebebasan berkontrak pada prinsipnya sebagai sarana hukum yang
digunakan subjek hukum untuk memperoleh hak kebendaan dan mengalihkan hak
kebendaan demi pemenuhan kebutuhan diri pribadi subjek hukum. Dalam
KUHPerdata yang menganut sistem kontinental kebebasan untuk melakukan kontrak
dan menentukan isi kontrak dapat dilihat dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata.
Wujud kebebasan berkontrak baru dapat diketahui dalam praktiknya pada saat
melakukan perjanjian. Dalam memenuhi kebutuhan manusia, termasuk kebutuhan
akan benda ekonomi, peranan perjanjian ini sangat penting karena perjanjian oleh
hukum disebutkan sebagai titel untuk memperoleh hak kepemilikan.
Asas kebebasan berkontrak menurut hukum perjanjian Indonesia meliputi ruang
lingkup sebagai berikut: 46
a. kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian;b. kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat perjanjian;c. kebebasan untuk menentukan atau memilih kausa dari perjanjian yang
dibuatnya;d. kebebasan untuk menentukan objek perjanjian;e. kebebasan untuk menentukan syarat-syarat suatu perjanjian termasuk
kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undangyang bersifat opsional (aanvullend, optional).
2. Perjanjian menurut Undang-Undang Monopoli
Hubungan sosial yang paling dominan dalam kehidupan manusia adalah
hubungan ekonomi, karena melalui hubungan ekonomi itu pemenuhan segala kebutuhan
46Remy Syahdeini, op.cit.,hlm 10
Universitas Sumatera Utara
38
hidupnya dapat terwujud. Seorang manusia memerlukan manusia lainnya, terutama
dalam kehidupan modern di mana kehidupan manusia sudah mengarah pada spesialisasi
profesi dan produksi.
Dalam hubungan ekonomi, kegiatan tukar menukar harta atau jasa merupakan
fenomena yang sangat lazim. Kegiatan tukar menukar itu terjadi dalam sebuah proses
yang dinamakan transaksi. Secara umum, transaksi itu timbul setelah adanya perjanjian
dan perjanjian itu sendiri berakibat munculnya ikatan atau perikatan.
Istilah perjanjian merupakan subjek bahasan dalam tulisan ini. Untuk itu perlu
dikemukakan definisi dari perjanjian. Untuk melihat validitas dari definisi perjanjian
yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah definisi tersebut harus dilihat
berdasarkan Undang-undang. Karena definisi menurut Undang-undang lah definisi yang
autentik yang dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya.
Berkaitan dengan tulisan ini dikemukakan definisi perjanjian baik yang termuat di
dalam Undang-Undang Monopoli maupun sebagaimana yang diatur di dalam
KUHPerdata. Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Monopoli mengatakan: ”Perjanjian
adalah perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau
lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis”.
Ketentuan Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Monopoli ini secara substansi sebenarnya
mengadopsi rumusan perjanjian yang termuat di dalam Pasal 1313 KUHPerdata yang
mengatakan: ”Suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap satu orang atau lebih”. Tegasnya, rumusan perjanjian yang termuat di dalam
Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Monopoli materinya sama dengan apa yang
Universitas Sumatera Utara
39
dirumuskan dalam Pasal 1313 KUHPerdata. Bedanya ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata
diberlakukan kepada semua perjanjian secara umum, sedangkan rumusan perjanjian
dalam Undang-Undang Monopoli adalah rumusan khusus tentang perjanjian yang
berkaitan dengan monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang diberlakukan kepada
pelaku usaha. Jelasnya, rumusan Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Monopoli merupakan
ketentuan khusus (lex specialis) dari perjanjian pada umumnya.
Para ahli menganggap rumusan perjanjian menurut Pasal 1313 KUHPerdata
tersebut selain kurang lengkap juga terlalu luas. Perjanjian lahir karena ada persetujuan
atau kesepakatan di antara para pihak, bukan persetujuan sepihak saja. Dari kritik para
ahli mengenai definisi perjanjian ini mengandung kelemahan. Walaupun para ahli
menganggap definisi perjanjian tersebut mengandung kelemahan namun pada
kenyataannya pembuatan Undang-Undang Monopoli tetap merujuk dari definisi
perjanjian yang termuat di dalam Pasal 1313 KUHPerdata tersebut.
Kritik terhadap definisi perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPerdata yang
mengatakan definisi tersebut terlalu luas dan bersifat sepihak sebenarnya tidak
sepenuhnya benar. Kalaupun ada kritik seperti itu karena pengkritik menggunakan ajaran
dalam ilmu hukum perdata berdasarkan teori kepercayaan yang menyebutkan bahwa
perjanjian lahir didasarkan atas pengertian dan kepercayaan pada ucapan pihak lain.
”Teori kepercayaan ini didasarkan pada asas perjanjian yang mengatakan janji adalah
Universitas Sumatera Utara
40
hutang yang dianut dalam hukum Jerman. Sedangkan teori kehendak didasarkan pada
asas konsensus yang dikenal dalam hukum Romawi”. 47
Pendapat yang tidak dapat dibantah melalui pemahaman tentang terjadinya
kesepakatan atau perjanjian yang didasarkan pada adanya penawaran (offer) dan adanya
penerimaan (acceptance).
Pendapat umum, baik praktik maupun teoritis, bahwa untuk terjadinya kesepakatan
haruslah dipenuhi dua unsur yaitu adanya penawaran dari satu pihak dan penawaran itu
diterima pula oleh pihak yang lain. ”Suatu perjanjian adalah terjadi, apabila ada suatu
penawaran yang diikuti oleh suatu penerimaan. Apa yang diterima, haruslah cocok
dengan apa yang ditawarkan. Ini terutama mengenai tujuan dari suatu perjanjian”. 48 Jadi,
penawaran dalam arti yuridis baru ada jika salah satu pihak mengusulkan untuk
mengadakan perjanjian dengan menerapkan syarat-syarat sedemikian rupa, sehingga
dengan penerimaan dari penawaran tersebut perjanjian terjadi. Atau dengan kata lain
penawaran baru terjadi, bilamana usul untuk mengadakan perjanjian telah sampai pada
orang untuk siapa penawaran itu ditujukan. Menurut Van Dunne : 49
Penawaran adalah perbuatan hukum sepihak. Sumber-sumber hukum yang
dipupuk oleh tuntutan pergaulan perdagangan juga menentukan apakah penawaran
itu dapat dicabut atau tidak menurut hemat saya pertanyaan mengenai apakah
penawaran menurut hukum dapat dicabut, jawabannya adalah tidak.
47Rachmadi Usman, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, (Jakarta, Gramedia Pustaka
Utama, 2004), hlm., 3748 Wirjono Projodikoro, Asas-asas Hukum Perjanjian, (Bandung, Mandar Maju, 2000), hlm.
2849
J.M. Van Dunne, Vervintenissen recht in Ontwikkeling Op de grenzen van geldend recht inwordend recht v/h normative uitleg van Rechtshandelingen, 1985, terjemahan Lely Niwan, KurusHukum Perikatan- Bagian I a Hukum Perjanjian, 1985, Dewan Kerjasama Ilmu Hukum Belanda danIndonesia Proyek Hukum Perdata, Medan, 31 Agustus – 12 September 1987, hlm. 67
Universitas Sumatera Utara
41
Dengan mengucapkan, dengan mengajukan penawaran kepada orang lain, orang
menimbulkan kepercayaan bahwa tawaran itu akan dipenuhi. Kepercayaan itu bila
pantas harus diakui dan dengan demikian ia juga berguna bagi pergaulan
perdagangan, apakah kepercayaan itu wajar baru ditentukan setelah penawaran itu
ditafsirkan dengan memperhatikan keadaan dan kebiasaan-kebiasaan yang berlaku.
Kalau dicermati melalui pendekatan sejarah lahirnya KUHPerdata tersebut, secara
akademis dapat diketahui bahwa definisi perjanjian yang termuat di dalam KUHPerdata
sesungguhnya dilatar belakangi pendapat para ahli yang berkembang dan mendominasi
tentang paham atau ajaran ilmu pengetahuan yang berkembang pada abad ke-19 yaitu
ajaran tentang ajaran kehendak. Lebih jauh van Dunne mengatakan : 50
Latar belakang cara pengamatan penyusun Code Civil dan BW adalah menurut
ajaran kehendak yang berkuasa ketika itu; perbuatan hukum didasarkan atas dasar
kehendak (psykhis) dari pihak yang bertindak. Bila ada dua pihak dalam perkara itu
seperti demikian halnya pada perjanjian menurut definisinya, maka dasar dari
perbuatan hukum yang timbal balik itu, adalah kehendak dari kedua pihak, dengan
kata lain kesamaan kehendak (kesepakatan) mereka.
Bila diikuti keterangan van Dunne tersebut jelaslah bahwa ajaran kehendak sangat
dominan saat itu, dan ajaran inilah yang menjadi dasar pemikiran pembentukan rumusan
Pasal 1313 KUHPerdata. ”Pendirian tersebut sangat ketat bila dikatakan bahwa selama
tidak ada sekaligus dua kehendak tidak ada perjanjian”.51
Dari apa yang dikemukan di atas, jelaslah bahwa definisi yang tertuang di dalam
Pasal 1313 KUHPerdata lebih menekankan pada unsur pertama adanya perjanjian yaitu
penawaran. Secara logika hal ini dapat dipahami, seseorang akan terikat pada pihak lain
bila setuju atau sepakat dengan penawaran yang ada. Jika tidak ada penawaran maka
50Ibid., hlm. 64
51Ibid, hlm. 65
Universitas Sumatera Utara
42
seseorang tidak akan ada dasar untuk merespon sesuatu. Dengan landasan berpikir yang
demikian maka adalah kekeliruan bila mengatakan bahwa definisi perjanjian yang
termuat di dalam Pasal 1313 KUHPerdata sebagai perjanjian sepihak. Sesungguhnya
Pasal 1313 KUHPerdata haruslah dipandang defenisi mengenai cara lahirnya perjanjian
bukan perjanjian itu sendiri. Perjanjian itu sendiri baru dapat diketahui apabila sudah ada
pertemuan antara penawaran dan penerimaan sehingga mereka menjadi terikat. Itulah
sebabnya mengapa dikatakan bahwa perjanjian adalah salah satu cara lahirnya perikatan.
Di atas telah diterangkan, bahwa definisi perjanjian yang tertuang di dalam Pasal 1
angka 7 UU Monopoli merupakan adopsi dari Pasal 1313 KUHPerdata, dan di dalam
Pasal 1 angka 7 UU Monopoli ditemukan unsur-unsur dari suatu perjanjian yang
ditentukan di dalam UU Monopoli yaitu:
a. Perbuatan
b. Pelaku Usaha
c. Mengikatkan diri dengan nama apapun
d. Tertulis maupun lisan.
Unsur perbuatan sebagaimana yang dituangkan di dalam Pasal 1 angka 7 UU
Monopoli dapat menimbulkan pertanyaan dan permasalahan oleh beberapa ahli. Pembuat
UU Monopoli tidak memberikan penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan
perbuatan sebagaimana termuat dalam rumusan Pasal 1 angka 7 UU Monopoli. Dalam
penjelasan pasal demi pasal ditegaskan dengan perkataan cukup jelas. Namun, para ahli
berpendapat perkataan yang tertuang di dalam UU Monopoli tersebut tidak jelas dan
perlu penjelasan sebagaimana para ahli mengkritik definisi perjanjian yang termuat di
Universitas Sumatera Utara
43
dalam Pasal 1313 KUHPerdata. Kritik dilontarkan oleh para ahli berkaitan apakah
perbuatan itu perbuatan hukum atau bukan.
Kritik yang dilontarkan para ahli tentang apa yang dimaksud dengan ”perbuatan”
sebagaimana yang ditentukan di dalam Pasal 1 angka 7 UU Monopoli dan Pasal 1313
KUHPerdata dapat dimaklumi karena tidak semua perbuatan manusia masuk dalam
kategori perbuatan hukum khususnya dalam ranah hukum perjanjian. Misalnya tidur
adalah perbuatan alamiah namun perbuatan alamiah ini dapat menjadi perbuatan hukum
apabila tidurnya seseorang itu menimbulkan akibat hukum.
Ketidakjelasan tentang pengertian perbuatan sebagaimana ditentukan di dalam
Pasal 1 angka 7 UU Monopoli dapat dipecahkan secara akademis dan ilmu hukum
melalui pendekatan sistem. Melalui pendekatan sistem pasal-pasal yang termuat di dalam
UU Monopoli tidaklah berdiri sendiri tetapi antara pasal yang satu dengan pasal lainnya
saling berkaitan dan berhubungan. Untuk memahami apa yang dimaksud dengan
perbuatan dalam Pasal 1 angka 7 UU Monopoli haruslah dikaitkan dengan konsideran
dari UU Monopoli tersebut dan dikaitkan juga ketentuan-ketentuan pasal-pasal lainnya.
Melalui pendekatan sistem ini akan diketahui apa yang dimaksud dengan perbuatan
dalam definisi perjanjian yang termuat di dalam UU Monopoli tersebut.
Di samping itu secara ilmu hukum bahwa perbuatan yang tertuang di dalam UU
Monopoli dan atau KUHPerdata dapat dijawab melalui beberapa teori yang berlaku
dalam hukum perjanjian. Kata perbuatan yang termuat di dalam Pasal 1 angka 7 UU
Monopoli dan Pasal 1313 KUHPerdata sesungguhnya yang dimaksudkan oleh pembuat
undang-undang adalah perbuatan hukum. Hal ini dijawab melalui teori atau ajaran
Universitas Sumatera Utara
44
kehendak dalam menentukan terjadinya perjanjian, dapat dipahami bahwa kehendak
subyektif dari melakukan tindakan dijadikan pusat perhatian. Menurut Pitlo: ”dalam
ajaran kehendak, perbuatan hukum adalah perbuatan yang bertujuan menimbulkan akibat
hukum (contoh perjanjian merupakan peristiwa hukum, suatu peristiwa oleh hukum
diberi akibat hukum).” 52 Dalam ajaran kehendak ini interpretasi dari perbuatan hukum
dan perjanjian adalah sesungguhnya suatu proses.
Interpretasi dari perbuatan sebagai perbuatan hukum dan perjanjian sebagai suatu
proses juga dikemukakan oleh Wirjono : 53
Suatu perjanjian berdasarkan atas janji seorang subjek dan janji berdasarkan
kemauan orang itu untuk berjanji. Maka pokoknya harus ada kemauan. Akan
tetapi, oleh karena suatu janji tentu ditujukan kepada pihak lain, yang kemudian
mendapat hak atas pelaksanaan janji itu, kemuan orang itu baru berarti bagi pihak
lain itu, apa bila diucapkan. Bagaimanapun keluarnya dari suatu kemauan, kalau
kemauan ini disimpan saja di dalam hati sanubari seseorang, ini tidak berarti dalam
hukum.
Di samping ajaran kehendak yang dijadikan dasar untuk menafsirkan perbuatan
dalam definisi perjanjian yang termuat di dalam Pasal 1313 KUH Perdata maupun dalam
Pasal 1 angka 7 UU Monopoli dapat dilihat dari ajaran pertanggungjawaban.
”Menurut ajaran ini, perbuatan dipandang sebagai perbuatan hukum, yang menurutnorma-norma hukum yang berlaku menimbulkan akibat hukum yang dapatdipertanggungjawabkan kepada yang melakukan perbuatan. Penafsiran tentangpengertian perbuatan di sini digunakan penafsiran normatif”.54
52A.Pitlo. “Perkembangan Dari Sistem Tertutup ke Sistim Terbuka Tantang Perikatan pada
Peradilan di H-R 1972” dalam Kursus Hukum Perikatan Bagian Ia, Hukum Perjanjian, DewanKerjasama Ilmu Hukum Belanda dengan Indonesia Proyek Hukum Perdata, Medan, 31 Agustus – 12September 1987,hlm 61
53Wirjono Projodikoro, Asas-asas Hukum Perjanjian, (Bandung, Mandar Maju, 2000), hlm.,
2754
Pitlo, Op.cit, hlm 61
Universitas Sumatera Utara
45
Menurut penafsiran normatif dari perbuatan hukum, penawaran dan penerimaan
adalah bagian-bagian dari hukum yang berdiri sendiri, yang oleh hukum diberi akibat
hukum.
Bila ini dilakukan, terlihat yang dimaksud dengan perbuatan dalam definisi
perjanjian menurut UU Monopoli adalah suatu perbuatan hukum karena perkataan
perbuatan yang dituangkan di dalam Pasal 1 angka 7 UU Monopoli bila dikaikan dengan
pasal-pasal yang ada dalam batang tubuh UU Monopoli terlihat perbuatan mengikatkan
diri tersebut menimbulkan akibat hukum yang diatur oleh hukum sebagaimana
ditentukan di dalam UU Monopoli. Menurut UU Monopoli akibat hukum dari perbuatan
tersebut adalah menimbulkan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang di
larang atau tidak dibenarkan menurut UU Monopoli.
Unsur kedua, yaitu tentang pelaku usaha. Pengertian pelaku usaha secara autentik
dapat dilihat dari ketentuan Pasal 1 angka 5 UU Monopoli :
Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik berbentuk
badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau
melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri
maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan
usaha dalam bidang ekonomi.
Dari definisi ini terlihat bahwa para pihak yang terlibat dalam suatu perjanjian
menurut UU Monopoli adalah subjek hukum baik ia subjek hukum secara pribadi
(natuurlijk persoon) maupun subjek hukum dalam bentuk badan hukum
(rechtspersoon). Terkait dengan subjek hukum ini maka para pihak yang terlibat
Universitas Sumatera Utara
46
dalam membuat perjanjian berlakulah ketentuan tentang kecakapan bertindak dalam
hukum sebagaimana yang disyaratkan oleh ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata.
Unsur ketiga, mengikatkan diri. Dari unsur ini terlihat bahwa pengertian
perjanjian dapat diartikan perbuatan sepihak. Oleh karenanya, banyak ahli yang
mengartikan rumusan perjanjian terlalu luas, dan merupakan perjanjian sepihak.
Untuk itu sekarang ini, banyak para ahli melakukan kritik terhadap pengertian
perjanjian sebagaimana termuat di dalam Pasal 1313 KUHPerdata yang juga berlaku
terhadap ketentuan Pasal 1 angka 7 UU Monopoli. Van Dunne menjelaskan
pengertian perjanjian ini terkesan bersifat sepihak karena lahirnya rumusan pasal
tersebut di dasarkan pada ajaran kehendak.
Pada prinsipnya, perjanjian yang berkaitan dengan kekayaan, merupakan domain
hukum yang termasuk pada domain hukum privat. Nuansa privat dari suatu perjanjian
sesungguhnya adalah sebagai impelementasi dari hak milik sebagai hak dasar dari setiap
manusia. Oleh karenanya, untuk mengalihkan dan memperoleh hak milik melalui hukum
salah satu titel yang dibenarkan adalah melalui perjanjian.
Dalam ilmu ekonomi, kontrak atau perjanjian merupakan pengikat pengambil
keputusan pelaku ekonomi swasta; ”kontrak-kontrak tersebut memungkinkan efisiensi
dalam hal kepemilikan dan membantu menciptakan perusahaan serta mengatur hubungan
di dalam dan di antara perusahaan maupun pasar keuangan mereka”.55 Jadi, baik dari segi
hukum maupun ekonomi kontrak atau perjanjian memainkan peranan penting bagi setiap
55Paul H.Brietzke, Relevansi hukum Kontrak Amerika di Indonesia, Elips Proyek, Proyek
Pengembangan hukum Ekonomi dan Penyempurnaan Sistem Pengadaan, Komponen PelatihanHukum, November – Desember 1991, hlm 18.
Universitas Sumatera Utara
47
subjek hukum, apakah itu subjek hukum dalam kategori natuurlijke persoon maupun
rechts persoon.
Karakter bahwa perjanjian merupakan hak sipil atau hak individu perseorangan
secara akademis telah lama dikenal sebagaimana ditemukan di dalam hukum Romawi.
Keberadaan perjanjian merupakan hak pribadi individu atau hak perorangan hingga saat
ini juga telah diakui secara universal sebagai hak asasi manusia, sebagaimana yang
dituangkan di dalam kovenan internasional Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa,
dalam sidangnya tanggal 16 Desember 1966 telah mengesahkan International Covenant
on Civil and Political Rights. Kovenan Internasional ini telah dirativikasi Negara
Indonesia melalui Undang-undang No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan
Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik pada tanggal 28 Oktober 2005 yang
diundangkan melalui Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 119.
Perjanjian atau kontrak sebagai hak asasi manusia secara eksplisit tertuang di
dalam Pasal 11 Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik: ”tidak seorang pun
boleh dipenjarakan hanya atas dasar ketidakmampuannya memenuhi kewajiban
kontraktualnya”. Dari ketentuan pasal ini jelas diperlukan pengertian kontrak atau
perjanjian agar dalam kajian teoritis maupun secara praktis ditemukan pengertian yang
tepat untuk mencegah penegakan hukum dan perlindungan hak-hak pribadi seseorang.
Unsur mengikatkan diri sebagaimana yang ditemukan di dalam defenisi
perjanjian pada Pasal 1 angka 7 UU Monopoli dikaitkan dengan dengan kata-kata
dengan nama apapun. Kata-kata ”dengan nama apapun” mengandung arti bahwa
perjanjian yang dibuat tersebut baik yang diatur di dalam KUHPerdata maupun di
Universitas Sumatera Utara
48
luar KUHPerdata. Hal ini konsekuensi dari hukum perjanjian menganut sistem
terbuka sebagai implementasi prinsip kebebasan berkontrak sebagai azas yang
berlaku dalam hukum perjanjian.
Unsur tertulis maupun tidak tertulis sabagai salah satu unsur yang ditemukan di
dalam definisi perjanjian dalam UU Monopoli sesungguhnya adalah sama halnya
dengan yang dianut di dalam KUHPerdata. Pada prinsipnya perjanjian dibuat secara
bebas oleh para pihak dan dalam bentuk yang bebas pula. Artinya dalam membuat
perjanjian tidak ditentukan syarat formal tertentu. Namun ada beberapa perjanjian
yang harus dibuat dengan memenuhi syarat formal tertentu sebagaimana yang terjadi
dalam perjanjian perdamaian, perjanjian pengalihan hak atas tanah, pendirian
perseroan terbatas yang oleh undang-undang harus dibuat dengan syarat formal.
Ketiadaan syarat formal ini, maka perjanjian yang dibuat oleh para pihak menjadi
batal.
Apabila ditilik dari unsur perjanjian yang diatur di dalam UU Monopoli, maka
perjanjian yang dibuat para pihak baik yang mengikuti syarat formal maupun tidak
memenuhi syarat formal. Jadi, UU Monopoli tidak ada membedakan bentuk
perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Misalnya merger perusahaan yang biasanya
dituangkan di dalam syarat formal yaitu dalam akta perusahaan dapat dibatalkan oleh
KPPU sepanjang merger perusahaan itu dapat diduga dan menimbulkan praktik
monopoli atau persaingan usaha tidak sehat.
Pada dasarnya perjanjian yang dibuat secara tertulis ataupun tidak
sesungguhnya bukanlah menentukan adanya perjanjian bagi para pihak yang
Universitas Sumatera Utara
49
membuatnya, tetapi pada umunya dihubungkan dengan untuk membuktikan adanya
perjanjian para pihak. Jelasnya perjanjian dibuat secara tertulis atau dalam bentuk
akta adalah diperuntukkan untuk alat bukti. Sedangkan dalam UU Monopoli titik
tekannya bukan kepada alat bukti melainkan kepada isi atau peristiwa yang terjadi
akibat perjanjian tersebut. Peristiwa yang diantisipasi oleh UU Monopoli adalah
peristiwa kemungkinan terjadinya praktik monopoli ataupun persaingan usaha tidak
sehat. Tegasnya, titik tekan UU Monopoli berkaitan dengan perilaku dari pelaku
usaha yang membuat perjanjian tersebut.
Untuk membuktikan adanya suatu perjanjian yang menimbulkan praktik
monopoli atau persaingan usaha tidak sehat tidaklah harus dibuktikan semata-mata
hanya didasarkan pada bukti tertulis atau akta sebagaimana dapat dilihat dari
ketentuan Pasal 42 UU Monopoli yang menentukan alat-alat bukti pemeriksaan
KPPU berupa (a) keterangan saksi (b) keterangan ahli (c) surat dan atau dokumen (d)
petunjuk (e) Keterangan pelaku usaha.
Dalam undang-undang monopoli alat bukti saksi ditempatkan pada urutan
pertama untuk membuktikan adanya perjanjian yang menimbulkan praktik monopoli
memberi indikasi bahwa adanya perjanjian tidak didasarkan pada bukti formal. Hal
ini berbeda halnya dengan alat bukti yang berlaku pada acara pemeriksaan perkara di
Pengadilan Umum dalam perkara perdata yang menempatkan posisi alat bukti tertulis
sebagai alat bukti yang diprioritaskan lebih dahulu dari alat-alat bukti lainnya, karena
dalam perkara perdata yang didahulukan adalah kebenaran formal sebagaimana
terlihat pula dari ketentuan Pasal 1866 KUHPerdata yang mengatakan alat
Universitas Sumatera Utara
50
pembuktian meliputi bukti tertulis, bukti saksi, persangkaan, pengakuan, dan sumpah.
Jadi, dari definisi perjanjian yang termuat di dalam Pasal 1 angka 7 UU Monopoli
dianut kebenaran materil bukan kebenaran formal sebagaimana yang ditemukan di
dalam perkara perdata di Pengadilan Umum.
Dari ulasan unsur-unsur yang termuat dalam Pasal 1 angka 7 UU Monopoli di
atas, terlihat bahwa pengertian perjanjian yang tertuang di dalam Pasal 1 angkat 7 UU
Monopoli secara harfiah sama dengan pengertian perjanjian pada umumnya
sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 1313 KUHPerdata, tetapi apabila dilihat dari
kaedah hukum yang ada di dalamnya; terlihat perjanjian yang termuat di dalam Pasal
1 angka 7 UU Monopoli mengandung sifat kaedah hukum publik sebagai upaya
melindungi dan mengatur pemanfaatan sumber daya ekonomi yang memiliki karakter
pemilikan umum atau pemilikan publik di mana setiap orang untuk menggunakan
haknya haruslah memperhatikan hak orang lain. Artinya hak individu dalam
menggunakan dan mengeksplorasi sumber daya ekonomi bersifat kegunaan publik
harus memperhatikan hak orang lain. Di sini hak yang dimiliki oleh pelaku usaha
untuk mengeksplorasi sumber daya ekonomi yang bersifat kegunaan publik
didasarkan pada sifat kemasyarakatan dari hak yang dimiliki oleh individu atau
pelaku usaha tersebut. Itulah sebabnya secara kaedah hukum yang terkandung di
dalam Pasal 1 angka 7 UU Monopoli bersifat hukum memaksa yang tidak dapat
dikesampingkan oleh hak-hak perorangan atau individu.
Perjanjian pelaku usaha yang menimbulkan praktik monopoli atau persaingan
usaha tidak sehat dikualifikasikan sebagai suatu tindak pidana sebagaimana di atur di
Universitas Sumatera Utara
51
dalam Pasal 48 ayat (1) UU Monopoli. Sifat pidana dari kaedah hukum yang
terkandung di dalam Pasal 1 angka 7 UU Monopoli adalah tindak pidana
pelanggaran, hal ini terlihat jelas secara operasionalnya sebagaimana ditentukan di
dalam Pasal 1 angka 9 Peraturan KPPU No. 1 Tahun 2006 yang mengatakan:
”Pelanggaran adalah perjanjian dan/atau kegiatan dan/atau penyalahgunaan posisi
dominan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan
usaha tidak sehat”.
3. Perjanjian yang dilarang menurut UU Monopoli
UU Monopoli adalah ketentuan hukum yang mengatur tentang interaksi para
pelaku bisnis agar tercipta keadilan bersama antara sesama pelaku bisnis dan
terlindungnya hak-hak konsumen sehingga tercipta kegiatan usaha dengan persaingan
usaha yang sehat yang diatur dalam bentuk ketentuan hukum, antara lain tentang
ketentuan tentang perjanjian yang dilarang.
Dalam UU Monopoli secara eksplisit ditentukan tentang perjanjian yang
dilarang sebagaimana terlihat dalam judul Bab III UU Monopoli yang menyebutkan
perjanjian yang dilarang. Bab III UU Monopoli ini terdiri dari 13 pasal yaitu dari
Pasal 4 sampai dengan Pasal 16 UU Monopoli. Pelarangan untuk melakukan
perjanjian yang dituangkan di dalam UU Monopoli dalam rangka mengatur interaksi
perusahaan atau pelaku usaha yang bermotif ekonomi.
Universitas Sumatera Utara
52
Di bawah ini akan diuraikan tentang perjanjian yang dilarang berdasarkan
ketentuan undang-undang yang ada diatur di dalam UU Monopoli yang terdiri dari 13
pasal sebagaimana diuraikan di bawah ini:
a. Perjanjian yang bersifat Oligopoli
Pasal 4 UU Monopoli yaitu:
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk
secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran
barang dan jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan
atau persaingan usaha tidak sehat.
Pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara bersama-sama melakukan
penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa, sebagaimana
dimaksud ayat 1: “apabila 2 (dua) atau 3 (tiga) pelaku usaha atau kelompok pelaku
usaha menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis
barang atau jasa tertentu”.
Dari ketentuan Pasal 4 UU Monopoli ini dapat dipahami bahwa perjanjian yang
bersifat oligopoli adalah di mana pasar untuk produksi satu jenis barang dikuasai oleh
beberapa produsen saja. Intinya pasar untuk satu jenis barang dikuasai oleh beberapa
produsen yang membuat perjanjian sehingga menguasai pasar terhadap barang yang
sejenis tersebut. Munir Fuady berpendapat : 56
Dalam bisnis yang bersifat oligopoli ini berlaku rumus bahwa yang bersifatinterdepedensi jauh lebih baik dari tindakan yang bersifat independensi. Dalam
56Munir Fuady, Hukum Anti Monopoli : Menyongsong Era Persaingan Sehat, (Bandung,
Citra Aditya Bakti, 2003) hal, 54
Universitas Sumatera Utara
53
hal ini, semakin besar interdepedensi yang terjadi antara perusahaan-perusahaandalam bentuk oligapoli, maka semakin besar pula kemungkinan pasarmembentuk sikap tidak dan akibat yang serupa dengan monopoli, jadi pihakprodusen barang sejenis akan bergabung satu sama lain untuk membantuk pasaryang oligapoli.
Dalam hal ini perjanjian dilarang bagi pelaku usaha untuk menguasai produksi
dan atau pemasaran barang dan jasa yang dapat menimbulkan praktik monopoli.
Ukuran untuk menentukan penguasaan produksi dan pemasaran barang dan atau jasa
apabila kelompok pelaku usaha menguasai 75% dari pangsa pasar satu jenis barang
atau jasa. Jadi suatu perjanjian yang dibuat oleh kelompok usaha tidak berakibat
terjadinya pengusasaan 75 % pangsa pasar atas suatu jenis barang dan atau jasa maka
perjanjian yang dibuat oleh kelompok pelaku usaha tersebut tidak batal. Dengan
demikian syarat atas terjadinya penguasaan 75% pangsa pasar merupakan syarat batal
perjanjian penguasaan produksi dan pemasaran barang dan atau jasa.
b. Perjanjian yang berkaitan dengan penetapan harga
Perjanjian tentang penetapan harga ini dapat ditemukan di dalam Pasal 5
sampai dengan Pasal 8 UU Monopoli.
Pasal 5 UU Monopoli:
(1)Pelaku Usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnyauntuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayaroleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama.
(2)Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi:a. suatu perjanjian yang dibuat dalam suatu usaha patungan; ataub. suatu perjanjian yang didasarkan undang-undang yang berlaku.
Dari penjelasan pasal ini dapat dipahami bahwa perjanjian penetapan harga
(price fixing) antar pelaku usaha akan menghilangkan berlakunya hukum pasar
Universitas Sumatera Utara
54
tentang harga yang terbentuk dari adanya penawaran dan permintaan, sehingga
konsumen tidak dapat melakukan pilihan harga atas barang yang sejenis, dan
konsumen akan menerima saja harga yang telah ditentukan oleh produsen.
Pasal 6 UU Monopoli :
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang
satu harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar
oleh pembeli lain untuk barang dan atau jasa yang sama.
Berbeda dengan ketentuan Pasal 5 di atas, dalam Pasal 6 ini yang dilarang
adalah untuk membuat perjanjian apabila para pelaku usaha melakukan diskriminasi
terhadap kedudukan konsumen yang satu dengan konsumen yang lainnya, dengan
jalan memberikan harga yang berbeda-beda terhadap barang dan atau jasa yang sama.
Pasal 7 UU Monopoli :
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya
untuk menetapkan harga di bawah harga pasar, yang dapat mengakibatkan
terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
Menurut ketentuan pasal ini, pelaku usaha dilarang menetapkan harga di bawah
harga pasar yang dikenal dengan istilah anti dumping yang dimaksudkan agar pihak
pesaing dirugikan karena barang atau jasanya tidak laku, padahal harga dan atau jasa
yang ditentukan pesaingnya sesuai dengan harga pasar.
Dampak lain dari penetapan harga di bawah pasar ini adalah pihak yang kurang
kuat modalnya tentu tidak sanggup menyainginya yang pada gilirannya nanti apabila
pesaingnya satu demi satu berguguran karena barangnya tidak laku, pihak yang
Universitas Sumatera Utara
55
membuat perjanjian tersebut kembali menaikan harga dengan sangat tinggi karena
merasa tidak ada pesaing lagi. Perbuatan yang demikian ini tidak saja merugikan
pihak pelaku usaha pesaingnya juga merugikan konsumen.
Pasal 8 UU Monopoli :
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yangmemuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa tidak akan menjualatau memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya, dengan hargayang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan sehingga dapatmengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
Suatu perjanjian dilarang apabila perjanjian antar pelaku usaha dengan pelaku
usaha lainnya yang menentukan bahwa pihak pembeli barang dan atau jasa tersebut
tidak akan menjual atau memasok barang dan atau jasa tersebut di bawah harga yang
telah ditetapkan bersama. Sebab seharusnya, pihak pembeli bebas untuk menetapkan
harga dari barang dan atau jasa yang sudah dibelinya sesuai dengan permintaan dan
penawaran yang berlaku di pasar.
c. Perjanjian tentang pembagian wilayah
Perjanjian pembagian wilayah ini dapat dilihat dari ketentuan Pasal 9 UU
Monopoli yang menentukan:
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya
yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap
barang dan atau jasa sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktik
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Dalam penjelasan pasal ini disebutkan bahwa yang dimaksud dengan
pembagian wilayah pemasaran atau alokasi pasar di sini adalah membagi wilayah
Universitas Sumatera Utara
56
untuk memperoleh atau memasok barang dan atau jasa, menetapkan dari siapa dapat
memperoleh atau memasok barang dan atau jasa.
Lebih jauh dalam penjelasan pasal ini disebutkan, tujuan dilarangnya perjanjian
yang membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar adalah karena perjanjian yang
demikian dapat meniadakan atau membatasi persaingan pasar, sehingga pihak
konsumen maupun pihak pesaing akan dirugikan karenanya.
d. Perjanjian pemboikotan
Perjanjian pemboikotan ini ditentukan di dalam Pasal 10 UU Monopoli yang
mengatakan :
(1)Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya,yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yangsama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri.
(2)Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya,untuk menolak menjual setiap barang dan atau jasa dari pelaku usaha lainsehingga perbuatan tersebut:a. Merugikan atau dapat diduga akan merugikan pelaku usaha lain; ataub. Membatasi pelaku usaha lain dalam menjual atau membeli setiap barang
dan atau jasa dari pasar bersangkutan.
Dari ketentuan pasal ini dapat diketahui bahwa perjanjian pemboikotan dapat
dikelompokkan pada dua kelompok yaitu (a) perjanjian yang dapa menghalangi
pelaku usaha lain (pihak ketiga) untuk melakukan usaha yang sama, dan (b)
perjanjian untuk menolak menjual setiap barang dan atau jasa dari pelaku usaha lain
(pihak ketiga), jika merugikan atau dapat diduga akan merugikan pelaku usaha lain
tersebut, atau membatasi pelaku usaha lain dalam menjual atau membeli setiap
barang dan atau jasa dari pasar bersangkutan.
e. Perjanjian kartel
Universitas Sumatera Utara
57
Pasal 11 UU Monopoli mengatakan:
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha saingannya,
yang bermaksud mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau
pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya
praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
f. Perjanjian trust
Pasal 12 UU Monopoli mengatakan :
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untukmelakukan kerja sama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroanyang lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsunganhidup masing-masing perusahaan atau perseroan anggotanya, yang bertujuanuntuk mengontrol produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa,sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persainganusaha tidak sehat.
g. Perjanjian Oligopsoni
Pasal 13 UU Monopoli mengatakan :
(1)Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yangbertujuan untuk secara bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaanpasokan agar dapat mengendalikan harga atas barang dan atau jasa dalampasar yang bersangkutan, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktikmonopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
(2)Pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara bersama-sama menguasaipembelian dan atau penerimaan pasokan sebagaimana dimaksud dalam ayat(1) apabila 2 (dua) atau 3 (tiga) pelaku usaha atau kelompok pelaku usahamenguasai lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen) pangsa pasar satu jenisbarang atau jasa tertentu.
h. Perjanjian integrasi vertikal
Pasal 14 UU Monopoli mengatakan :
Universitas Sumatera Utara
58
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yangbertujuan untuk menguasai sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaianproduksi barang atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksimerupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan, baik dalam satu rangkaianlangsung maupun tidak langsung, yang dapat mengakibatkan terjadinyapersaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat.
i. Perjanjian Tertutup
Pasal 15 UU Monopoli mengatakan :
(1)Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yangmemuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanyaakan memasok atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebutkepada pihak tertentu dan atau pada tempat tertentu.
(2)Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain yang memuatpersyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa tertentu harusbersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok.
(3)Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian mengenai harga atau potonganharga tertentu atas barang dan atau jasa, yang memuat persyaratan bahwapelaku usaha yang menerima barang dan atau jasa dari pelaku usahapemasok:a. harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha
pemasok; ataub. tidak akan membeli barang dan atau jasa yang sama atau sejenis dari
pelaku usaha lain yang menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok.
Menurut Fuady, pada prinsipnya seorang pelaku usaha bebas untuk menentukan
sendiri pihak penjual atau pembeli atau pemasok suatu produk di pasar sesuai dengan
berlakunya hukum pasar.57 Karena itu, setiap perjanjian yang mengurangi kebebasan
tersebut bertentangan dengan hukum pasar dan dapat membatasi kebebasan para
pelaku usaha untuk memilih sendiri pembeli, penjual atau pemasok. Pada prinsipnya
perjanjian tertutup ini menghilangkan hak kebebasan pelaku usaha untuk melakukan
57Munir Fuady, Ibid,hlm. 69
Universitas Sumatera Utara
59
hubungan bisnis dengan pihak yang inginkannya, hak ini tidak dapat dikurangi atau
dibatasi oleh pihak lain.
j. Perjanjian dengan Pihak Luar Negeri
Pasal 16 UU Monopoli mengatakan :
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain di luar negeri
yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli
dan atau persaingan usaha tidak sehat.
B. Tinjauan Umum tentang KPPU sebagai perangkat Pemerintah
1. Tugas dan Fungsi KPPU sebagai perangkat Pemerintah mengawasipelaksanaan UU Monopoli
Pasal 30 ayat (1) ayat (2) dan ayat (3) UU Monopoli menentukan untuk
mengawasi pelaksanaan undang-undang monopoli dibentuk Komisi Pengawas
Persaingan Usaha (KPPU) yang selanjutnya disebut Komisi. Komisi adalah suatu
lembaga independen yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan Pemerintah serta
pihak lain, komisi bertanggung jawab kepada Presiden.
Pemeriksaan perkara di KPPU berbeda dengan apa yang dilakukan oleh hakim
di pengadilan umum. KPPU dapat memutus perkara yang tidak diajukan sebagai dalil
dan dasar hukum gugatan. Hal ini terlihat dalam kasus yang telah diputuskan oleh
KPPU pada Putusan No.03/KPPU-L-I/2000 tanggal 4 juli 2000 di mana Pelapor
(LSM) mendalilkan dalam gugatannya bahwa Terlapor (PT. Indomarco Prismatama,
pemilik dan pemegang hak merek dagang "Indomaret") telah melanggar Pasal 15,
Pasal 22, dan Pasal 25 Undang-undang No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik
Universitas Sumatera Utara
60
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Keresahan sosial yang dimaksud
adalah persaingan yang terjadi antara pelaku usaha besar dengan pelaku usaha kecil
yang menimbulkan gangguan keseimbangan yang berpotensi menurunkan
kesejahteraan pelaku usaha kecil. Di samping itu juga disebabkan oleh hal-hal
berkaitan dengan perizinan usaha, lokasi usaha, jam pelayanan, dan tata ruang yang
berasaskan kepentingan secara terpadu guna mewujudkan keseimbangan
kepentingan; Namun dalam putusannya Terlapor dipersalahkan telah melanggar Pasal
2 dan Pasal 3 UU Monopoli.58
Terlihat perkara yang diselesaikan oleh KPPU berbeda dengan perkara yang
diperiksa di Pengadilan Umum, hal ini dapat terjadi karena pada dasarnya tugas
KPPU adalah untuk mengawasi pelaksanaan undang-undang.
2. Kewenangan KPPU membatasi asas kebebasan berkotrak
Asas kebebasan berkontrak merupakan asas hukum yang dimasukkan di dalam
norma hukum sebagaimana yang termuat di dalam Pasal 1338 KUHPerdata. Asas
hukum dalam sejarahnya mengalami perkembangan termasuk pemahaman tentang
asas hukum kebebasan berkontrak. Terjadi perkembangan penafsiran tentang
kebebasan berkontrak ini sesuai dengan perkembangan pemikiran tentang nilai yang
diemban oleh asas hukum tersebut.
58Pertimbangan angka 7 Putusan KPPU No. 03/KPPU-L-I/2000 tanggal 4 Juli 2000.
Universitas Sumatera Utara
61
Johanes menyebutkan pembatasan kebebasan berkontrak pada dasarnya dapat
digolongkan menjadi dua jenis, yaitu : 59
a. Pembatasan oleh peraturan perundang-udangan yang mengatur tentang
kebebasan berkontrak itu sendiri;
b. Pembatasan oleh standar tertentu di luar peraturan perundang-undangan
(extra legal standards)”.
Sedangkan Syahdeni menyebutkan: 60 Pembatasan kebebasan berkontrak ini
dapat dilakukan dengan campur tangan negara melalui dua jalur yaitu:
a. melalui undang-undang atau
b. melalui alat Negara yaitu pengadilan.
Dari kedua pendapat ini pembatasan kebebasan berkontrak terlihat adanya
perbedaan, hal ini terjadi karena perbedaan pendekatan untuk melihat pembatasan
kebebasan berkontrak tersebut. Pendapat pertama, mendasarkan pembatasan
kebebasan berkontrak berdasarkan pendekatan normatif, sedangkan pendapat kedua
didasarkan pada pendekatan kekuasaan negara. Dari kedua pendapat ini bila
digabungkan maka pembatasan kebebasan berkontrak pada dasarnya dapat dilakukan
oleh negara melalui undang-undang dan pendekatan normatif, maka dapat
disimpulkan pembatasan kebebasan berkontrak dapat terjadi karena:
59Ibid., hlm. 267.
60Salah satu contoh adalah kasus Luhur Sundoro yang telah diputus oleh Mahkamah Agung
RI tahun 1985. Pada intinya: “…karena debitur terikat pula dengan hutang piutang lainnya yang sudahberkekuatan hukum tetap, maka ia berada dalam posisi lemah dan terdesak, sehingga terpaksamenandatangani perjanjian-perjanjian dalam akta notaris yang bersifat memberatkan baginya, makaperjanjian berikutnya dapat diklasifikasikan sebagai kehendak satu pihak (“eenzijdig contract” yang incasu adalah tidak adil apabila diperlakukan sepenuhnya terhadap dirinya”. Setiawan, Opcit.,hlm. 1.
Universitas Sumatera Utara
62
a. kekuasaan negara yaitu melalui undang-undang dan pengadilan.
b. kekuasaan individu atau swasta, karena kebutuhan praktik bisnis dalam
bentuk kontrak standard.
Maulana mengatakan: 61
Turut campurnya negara untuk tidak terjadinya praktik monopoli melaluiyuridis formal dimulai pertama kali oleh negara Kanada yang mengesahkan danmemiliki UU Anti monopoli pada tahun 1889, lalu diikuti Amerika Serikat padatahun 1890, Australia tahun 1906, Kostarika pada tahun 1915, Meksiko tahun1947, dan Inggris pada tahun 1948, serta negara-negara lainnya hingga tahun1986 telah berjumlah 39 negara memiliki UU Antimonopoli termasukdiantaranya dua negara sosialis yaitu Hungaria dan Yugoslavia, serta duanegara di kelompok Asean yaitu Filipina dan Muangthai sejak tahun 1979.
Turut campur tangannya negara atau pemerintah dalam bidang ekonomi untuk
tidak terjadinya praktik monopoli sesungguhnya adalah tindak lanjut dari pemikiran
Adam Smith yang mengkritik praktik monopoli. ”Smith mengusulkan agar
pemerintah mengambil peranan lebih positif dengan menyediakan prasarana pasar.
Peranan pemerintah tersebut pada gilirannya merupakan suatu bentuk intervensi”.62
Intervensi Negara dalam kegiatan bisnis yang menimbulkan praktik monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat dilakukan terhadap perjanjian melalui dua jalur
kelembagaan, yaitu melalui KPPU dan jalur Pengadilan (hakim).
Intervensi Negara terhadap perjanjian yang dilakukan oleh para pelaku usaha
yang diduga dapat menimbulkan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat
dapat dilihat dari ketentuan Pasal 35 huruf a UU Monopoli : ”melakukan penilaian
61Irsan Budi Maulana, Pelangi HAKI dan Antimonopoli, (Yogyakarta, Pusat Studi Hukum,
FH –UII, 2000); hlm 20862
Mikhael Dua, Op.cit. hlm 53
Universitas Sumatera Utara
63
terhadap perjanjian yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur di dalam Pasal 4 sampai dengan
Pasal 16”.
Intervensi Negara terhadap kegiatan perseorangan di dalam kegiatan ekonomi
untuk mencegah terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat
melalui KPPU dapat dilihat secara nyata dari tugas KPPU yang ditentukan dalam UU
Monopoli tersebut sesungguhnya merupakan penjabaran lebih jauh dari ketentuan
Pasal 30 UU Monopoli mengatakan : ”Untuk mengawasi pelaksanaan Undang-
undang ini dibentuk Komisi Pengawas Persaingan Usaha”.
Berdasarkan ketentuan Pasal 30 UU Monopoli tersebut terlihat Negara
intervensi terhadap kegiatan dunia bisnis melalui KPPU. Pasal 35 UU Monopoli
menentukan tugas KPPU secara umum yaitu :
a. melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat mengakibatkanterjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehatsebagaimana diatur di dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 16.
b. melakukan penilaian terhadap kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usahayang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persainganusaha tidak sehat sebagaimana diatur di dalam Pasal 17 sampai dengan Pasal24.
c. mengambil penilaian terhadap ada atau tidak adanya penyalahgunaan posisidominan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan ataupersaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 25 sampaidengan Pasal 28.
d. mengambil tindakan sesuai dengan kewenangan Komisi sebagaimana diaturdi dalam Pasal 36.
e. memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijaksanaan Pemerintahyang berkaitan dengan praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidaksehat;
f. menyusun pedoman dan atau publikasi yang berkaitan dengan Undang-undang ini;
Universitas Sumatera Utara
64
g. memberikan laporan secara berkala atas hasil kerja Komisi kepada Presidendan Dewan Perwakilan Rakyat.
Terkait ketentuan tugas KPPU sebagaimana disebutkan dalam UU Monopoli,
maka dalam menyelesaikan masalah monopoli dan persaingan usaha tidak sehat
KPPU dalam tugasnya melakukan pembatasan atau pembatalan perjanjian yang
dilakukan oleh pelaku usaha yang menimbulkan dan dapat diduga menimbulkan
praktik monopoli berfikir sangat legistik, artinya hanya berpedoman kepada
ketentuan undang-undang semata-mata. Dari pernyataan ini terlihat bahwa
pembatasan perjanjian yang didasarkan pada kesusilaan dan bertentangan dengan
ketertiban umum yang terdapat di luar undang-undang yang selalu dipergunakan
dalam praktik pengadilan umum maupun doktrin tidak menjadi acuan bagi KPPU.
Secara teori dan praktik, pembatasan kekebasan berkontrak dapat dilakukan
oleh KPPU dengan berpegang pada pendapat yang menentukan terdapat 3 (tiga)
faktor yang menyebabkan hilangnya daya laku kebebasan berkontrak : 63
a. The emergence and widespread use of the standard-form contractKontrak standart yang isinya ditentukan secara sepihak memberi arti
kebebasan berkontrak telah dibatasi. Dalam hal kebebasan berkontrak dalam
arti klasik tidak lagi berlaku.
b. The declinig role of free choice.
Alasan pembatasan kebebebasan berkontrak:
1. hukum berkembang dalam suatu kompleksitas, khususnya di dalamcommon law system dimana classical contract theory menyatakan bahwapengadilan hanya bertugas untuk menegakan (to encorce) kontrak yangtelah dibuat para pihak. Namun pada kenyataanya pengadilan jarangmenegakan suatu kontrak sebagaimana yang ditulis oleh para pihakpembuatnya, melainkan telah melakukan pelbagai tindakan kreatif yangmemperkaya perkembangan hukum kontrak. Melalui doktrin judge made
63Johannes Gunawan. Op.cit. hlm. 274-275
Universitas Sumatera Utara
65
law atau staire decisis, pelbagai putusan pengadilan tersebut mau tidakmau harus ditaati oleh para pembuat kontrak berikutnya, sehingga pilihanbebas mereka dikurangi dan pada gilirannya kebebasan berkontrak jugadibatasi oleh putusan pengadilan tersebut.
2. pilihan bebas ini tidak dapat dilaksanakan di dalam dunia bisnis. Sepertidapat dilihat bahwa ketidaksetaraan posisi tawar, posisi kemasyarakatan,tekanan ekonomis (seringkali tekanan kemiskinan), dan penggunaanperjanjian standar, merupakan penyebab ketiadaan ke-bebasanberkontrak.
c. The emerence of the consumer protectionPemihakan kepada mereka yang lemah atau miskin, seperti terhadap kaum
pekerja, para penyewa rumah dan konsumen pada umumnya telah
memberikan insprasi untuk mengupayakan penetapan pelbagai peraturan ang
bertujuan melindungi mereka secara hukum. Pelbagai peraturan tersebut
tentu saja harus ditaati dan ditegakkan, sehingga hal ini berarti akan
membatasi kebebasan berkontrak yang dimiliki para pihak, manakala mereka
terlibat dalam pembuatan suatu kontrak.
The Unidroit Principles of International Commercial Contract membatasi
kebebasan berkontrak dalam sektor ekonomi oleh negara dinyatakan berkenaan
dengan kepentingan umum (public interest) sehingga harus dikecualikan dari suatu
kompetisi terbuka.64 Dalam The principles Of European Contract Law penggunaan
kebebasan berkontrak dibatasi, yaitu : 65
a. good faith (iktikad baik)b. fair dealing (transaksi yang adil)c. the mandatory rues estabilished by these Principles (peraturan yang
memaksa yang diterapkan oleh prinsip ini).d. Exclusion of the principles is permitted, except as otherwise provides by
these Principles (pengecualian dari prinsip-prinsip tersebut diijinkan, kecualiditentukan sebaliknya oleh prinsip-prinsip ini).
64Ibid.
65Ibid, hlm. 276.
Universitas Sumatera Utara
66
Gunawan memberi pendapat tentang adanya pembatasan kebebasan berkontrak
didasarkan pada beberapa alasan, yaitu :66
a. tumbuh dan meluasnya penggunaan kontrak standart (The emergenceandwidespread use of the standard-form contract). Pembatasan oleh pihakyang kuat atau para pihak yang membuat kontrak.
b. Menurunnya peranan dari pilihan bebas (The declining role of free choise).c. Tumbuhnya upaya perlindungan terhadap konsumen (The emergence of the
consumer protection).
Pembatasan kebebasan berkontrak sangat berkaitan dengan penilaian tentang
hak milik pribadi dapat dilihat dari ungkapan Dahl yang mengatakan : 67
Mahkamah Agung Amerika Serikat pada tahun 1915 mengatakan bahwa
sebuah undang-undang Kansas yang yang melarang kontrak-kontrak yang
mencegah para pegawai untuk bergabung dengan serikat buruh, sebagai hal
yang tidak kontitusional, jelas, di mana saja ada hak atas pemilikan pribadi,
harus ada dan akan ada ketimpangan kekayaan; dan dengan demikian adalah
wajar bahwa pihak-pihak yang menegosiasikan suatu kontrak tidaklah sama-
sama tidak terhalang keadaan... Dan, mengingat sudah dengan sendirinya nyata
bahwa, kecuali hal-hal dianggap sama, sebagian orang tentu mempunyai lebih
banyak harta benda ketimbang yang lain-lain, maka dari sifat hal-hal itu sendiri
mustahil untuk membela kebebasan berkontrak dan hak pemilikan pribadi
tanpa, pada waktu yang bersamaan, mengakui sebagai sah ketimpangan
kekayaan yang merupakan hasil mutlak dari penggunaan hak-hak itu.
Pembatasan kebebasan berkontrak dalam kajian hukum di Amerika selalu
dikaitkan dengan kebendaan milik pribadi, karena salah satu prinsip kontrak dalam
ajaran system hukum common law maupun system civil law menurut pemikiran
klasik didasarkan pada teori benda yang mengatakan ”kontrak adalah suatu benda
(thing) yang telah ada keberadaannya secara objektif sebelum dilakukan pelaksanaan
66Ibid.
67Robert A.Dahl, Op.cit., hlm. 44
Universitas Sumatera Utara
67
(performance) dari kontrak tersebut”.68 Dalam system civil law, objek kontrak adalah
benda yang dapat diperdagangkan.
Dengan demikian kebebasan berkontrak sesungguhnya merupakan asas hukum
perjanjian yang telah banyak mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan
zaman dan kebebasan berkontrak masih dianut di dalam undang-undang hanya
sekedar formal belaka apalagi bila dikaitkan dengan kebijakan publik. Untuk ini
dapat dikemukakan pendapat P.S.Atiyah : 69
”dalam common law mengemukakan bahwa doktrin tentang public policy, yang
oleh banyak pihak dipandang sebagai salah satu batas dari kebebasan
berkontrak, justru menetapkan, mengatur, serta menjamin pelaksanaan
kebebasan berkontrak (dalam hal ini kehendak para pihak/parties intentions)
merupakan fiksi belaka”.
Unsur tertulis maupun tidak tertulis sabagai salah satu unsur yang ditemukan di
dalam definisi perjanjian dalam UU Monopoli sesungguhnya adalah sama halnya
dengan yang dianut di dalam KUHPerdata. Pada prinsipnya perjanjian dibuat secara
bebas oleh para pihak dan dalam bentuk yang bebas pula. Artinya dalam membuat
perjanjian tidak ditentukan syarat formal tertentu. Namun ada beberapa perjanjian
yang harus dibuat dengan memenuhi syarat formal tertentu sebagaimana yang terjadi
dalam perjanjian perdamaian, perjanjian pengalihan hak atas tanah, pendirian
perseroan terbatas yang oleh undang-undang harus dibuat dengan syarat formal.
68Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari sudut Pandang Hukum Bisnis), (Bandung, Citra
Adytia Bakti, 2001),hlm., 969
Johannes Gunawan. Op.cit., hlm. 273.
Universitas Sumatera Utara
68
Ketiadaan syarat formal ini maka perjanjian yang dibuat oleh para pihak menjadi
batal.
3. Dasar KPPU membatasi asas kebebasan berkontrak
Di atas disebutkan bahwa KPPU dalam memeriksa kasus yang berkaitan
dengan perkara praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat sesungguhnya
merupakan kebenaran materil, bukan kebenaran formal. Hal ini dapat dilihat dalam
putusan KPPU membuktikan apakah ada praktik monopoli atau persaingan usaha
tidak sehat akibat adanya perjanjian yang dilakukan oleh para pelaku usaha. Untuk
jelasnya dapat dikutip secara lengkap pertimbangan hukum dari 2 putusan KPPU
yaitu Putusan No. 53/ KPPU-L/2008 dan putusan KPPU No. 03/KPPU-L/2008.
Pertimbangan tentang hukumnya dalam Putusan KPPU No. 53/ KPPU-L/2008
jelas diketahui tentang KPPU membuktikan kebenaran materil tentang adanya
peristiwa perjanjian yang menimbulkan persaingan usaha tidak sehat sebagaimana
tertuang di dalam pertimbangan hukumnya yang mengatakan : 70
3.2.1 Bahwa dalam LHPL dinyatakan Terlapor I membagi wilayah kerja PJTmelalui SP-PJT dengan tujuan untuk keselamatan dan kemanan instalasi,serta memberdayakan potensi sumber daya PJT setempat, namun tidaksependapat dengan maksud untuk melindungi badan usaha intalatir kecildan persaingan dengan badan usaha instalatir menengah/besar;
3.2.2 Bahwa LHPL dinyatakan Terlapor I melalui Terlapor II, III, IV, V,Terlapor VI, dan DPC-DPC lain di wilayah Sulawesi Selatan, membagiwilayah kerja PJT berdasarkan wilayah cabang PT.PLN (Pesero) diSulawesi Selatan. Namun khusus di wilayah PT.PLN (Pesero) cabangPalopo, Terlapor II membagi wilayah kerja PJT menjadi 4 wilayahberdasarkan tempat kedudukan DPC berada, yaitu Terlapor III, IV, V, danTerlapor VI.
70Putusan KPPU No. 53/KPPU-L/2008 hlm, 47.
Universitas Sumatera Utara
69
3.2.3 Bahwa dalam LHPL dinyatakan acuan yang digunakan Terlapor Ibersama-sama dengan Terlapor II, III, IV, V, dan Terlapor VI;
3.2.4 Bahwa dalam LHPL dinyatakan acuan yang digunakan Terlapor Ibersama-sama dengan Terlapor II, III, IV,V, dan Terlapor VI dalammembagi wilayah kerja PJT adalah Bab V: Batas Wilayah Kerja instalatirjo Bab XII: Tanggung Jawa Instalatir SK-051.
3.2.5 Bahwa pembagian wilayah PJT dalam SP-PJT oleh Terlapor I dapatdikategorikan sebagai perjajian dilaksanakan oleh Terlapor II,III,IV, V,dan TerlaporVI.
3.2.6 Bahwa Majelis Komisi menilai dengan dilaksanakannya kebijakanTelapor I mengenai pembagian wilayah oleh Terlapor II, III, IV, V, danTerlapor VI merupakan bentuk perbuatan yang mengikatkan diri TerlaporII, III, IV, V dan Terlapor VI terhadap Terlapor I;
3.2.7 Bahwa dengan demikian, perjanjian pembagian wilayah terpenuhi;
Di samping itu, KPPU membuktikan secara materil tentang adanya perilaku
persaingan usaha tidak sehat sebagaimana terlihat dalam pertimbangan hukumnya,
sebagai berikut :
i. Bahwa adanya pembagian wilayah kerja PJT yang dilakukan oleh Terlapor Idi daerah Sulawesi Selatan melalui Terlapor II, III, IV, V, Terlapor VI danDPC-DPC lainnya di Sulawesi Selatan, menimbulkan dampak badan usahainstalatir tidak dapat menggunakan PJT nya di wilayah lain dan harus meng-gunakan jasa PJT setempat yang menjadi pegawai di badan usaha instalatirsebagaimana diuraikan dalam butir 16.3.1.3 bagian Tentang Duduk PerkaraPutusan ini.
ii. Bahwa dengan demikian, persaingan usaha tidak sehat terpenuhi. 71
Pertimbangan hukum Putusan KPPU tersebut jelas sekali terlihat bahwa KPPU
membuktikan kebenaran materil atas terjadinya perjanjian wilaya kerja yang
menimbulkan persaingan usaha tidak sehat. Sehingga dalam amar putusannya KPPU
membatalkan perjanjian pembagian wilayah kerja tersebut bukan tentang kebenaran
formil dari perjanjian, dan berkaitan dengan syarat objektif dari suatu perjanjian.
71Ibid.
Universitas Sumatera Utara
70
Perbuatan melarang pihak pelaku usaha untuk memasuki wilayah kerja pihak
lain sehingga menimbulkan persaingan tidak sehat sebagai dasar pembatalan
perjanjian oleh KPPU merupakan pelanggaran hak ekonomi dari pelaku usaha
lainnya, pada sisi lainnya juga melanggar pentingan umum.
Putusan lain yang dijadikan data melihat dasar pembatasan kebebasan
berkontrak oleh pemerintah dapat dilihat dari Putusan KPPU No. 03/ KPPU-L/2008
tentang perjanjian Hak Siar Liga Inggris antara ESPN STAR SPORTS dengan ALL
ASIA MULTIMEDIA NETWORKS FZ-LLZ yang dikukuhkan oleh Mahkamah
Agung RI melalui Putusan No. 255/ Pdt.Sus/ 2009 sebagaimana terlihat dalam
pertimbangan hukumnya sebagai berikut :
Unsur “Memuat Ketentuan Yang Dapat Mengakibatkan Terjadinya PraktikMonopoli Dan/Atau Persaingan Usaha Tidak Sehat”;35.60. Frase “memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan …” sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 UU No.5/99 pada dasarnya sederhana dantelah jelas maksud dan tujuannya, yaitu larangan dibuatnya perjanjianyang memuat klausul-klausul atau pasal-pasal yang dapatmengakibatkan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.Dengan demikian, Pasal 16 berfokus semata-mata pada permasalahanapakah dalam perjanjian tersebut terdapat ketentuan/ pasal yang dapatmengakibatkan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat;
35.61. Unsur ini seharusnya diartikan secara sederhana dam pembuktiannyacukup dengan hal-hal yang telah disepakati dalam perjanjian itu sendiritanpa perlu melakukan analisa lebih jauh atas proses pembuatanperjanjian;
35.62. Bahwa dalam Perjanjian BPL, sama sekali tidak terdapat ketentuanketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli danpersaingan usaha tidak sehat. Hal ini telah kami sampaikan berulang kalidalam proses pemeriksaan di berbagai tingkat di KPPU, dan telah pulategas diakui oleh Tim Pemeriksa Lanjutan dalam LHPL, sebagaiberikut; ..... Tim Pemeriksa memandang perjanjian tersebut tidakmenjadi perilaku yang bersifat anti persaingan, namun Tim Pemeriksamemandang perilaku-perilaku pra perjanjian yang kemudianmelahirkan perjanjian tersebut tidak dapat dilepaskan dari keberadaan
Universitas Sumatera Utara
71
perjanjian saat ini harus tetap tunduk kepada kaidah-kaidah hukumpersaingan yang berlaku.
35.63. Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, maka jelas bahwa unsur “perjanjianyang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktikmonopoli dan persaingan usaha tidak sehat” tidak terpenuhi;
Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, KPPU membatalkan perjanjian hak
siar Liga Inggris yang dibuat oleh ESS dengan AAMN-FZ-LLC.
Dasar pertimbangan hukum yang dijadikan dasar untuk memberikan putusan
membatalkan perjanjian oleh KPPU ialah tentang perilaku dari pelaku usaha
yang menimbulkan praktik monopoli dan pesaingan usaha tidak sehat, Alasan
melarang untuk melakukan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat
sebagaimana yang telah diutarakan di atas, dapat diketengahkan pendapat
Purwahid Patrik yang mengatakan : 72
Untuk mencegah ketegangan terus menerus antara kebebasan individu dankesejahteraan masyarakat maka hak-hak dari perseorangan telah dibatasi olehkepentingan kepentingan masyarakat dan sebaliknya hak-hak masyarakat telahdibatasi pula dengan adanya hak-hak perseorangan.
Hal ini sesuai dengan pertimbangan yang termuat di dalam UU Monopoli dapat
dilihat latar belakang pemikiran negara membuat norma hukum yang berisikan
larangan membuat perjanjian yang dapat menimbulkan praktik monopoli dan
persaingan tidak sehat. Latar belakang pemikiran tersebut adalah : 73
a. bahwa pembangunan bidang ekonomi harus diarahkan kepada terwujudnyakesejahteraan rakyat berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar1945;
72Purwahid Patrik, Asas Iktikad Baik dan Kepatutan dalam Perjanjian, Cet, I (Semarang,
Badan Penerbit UNDIP, 1986). Hlm. 4773
Konsideran UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan PersainganTidak Sehat
Universitas Sumatera Utara
72
b. bahwa demokrasi dalam bidang ekonomi menghendaki adanya kesempatanyang sama bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi di dalam prosesproduksi dan pemasaran barang dan atau jasa, dalam iklim usaha yang sehat,efektif, dan efisien sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi danbekerjanya ekonomi pasar yang wajar;
c. bahwa setiap orang yang berusaha di Indonesia harus berada dalam situasipersaingan yang sehat dan wajar, sehingga tidak menimbulkan adanyapemusatan kekuatan ekonomi pada pelaku usaha tertentu, dengan tidakterlepas dari kesepakatan yang telah dilaksanakan oleh Negara RepublikIndonesia terhadap perjanjian-perjanjian internasional;
Pertimbangan lahirnya UU Monopoli tersebut dijabarkan lebih jauh dalam
Pasal 3 dan Pasal 4 UU Monopoli yang pada intinya untuk mewujudkan demokrasi
ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan
kepentingan umum, tercipta efisiensi ekonomi sebagai usaha untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat dan terwujudnya kepastian kesempatan berusaha yang sama
bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil.
Latar belakang pemikiran UU Monopoli yang melarang melakukan perjanjian
yang dapat menimbulkan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat
sebagaimana disebutkan di atas, diikuti dengan pertimbangan hukum yang didasarkan
pada Pasal 5 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal 27 ayat (2), dan Pasal 33 Undang-
undang Dasar 1945.
Dengan mengacu pada dasar pertimbangan hukum, khususnya Pasal 33
Undang-undang Dasar 1945, yang mengatur tentang perekonomian Nasional dan
Kesejahteraan Sosial dapat diketahui bahwa larangan melakukan perjanjian yang
menimbulkan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat secara normatif
adalah untuk menyelenggarakan perekonomian nasional didasarkan pada demokrasi
Universitas Sumatera Utara
73
ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan,
berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan
dan kesatuan ekonomi nasional.
Dari ini norma hukum konstitusi Pasal 33 UUD 1945 tersebut dapat diketahui
bahwa prinsip demokrasi ekonomi, efisiensi berkeadilan dipengaruhi oleh dasar
Ideologi negara Indonesia. Di sini peranan faham atau ideologi yang dianut seseorang
sangat menentukan dan ini berpengaruh terhadap menentukan isi dari pengaturan
hukum dalam usaha meraih kemakmuran seseorang.
Bagi negara Indonesia berdasarkan ideologi Pancasila, sebagaimana tercantum
dalam Sila kedua Pancasila yang menyebutkan Kemanusian Yang Adil dan Beradab.
Prinsip yang termuat dalam sila ke dua Pancasila, mengandung makna manusia
diakui dan diperlakukan sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk
Tuhan Yang Maha Esa, yang sama derajatnya, yang sama hak dan kewajiban-
kewajiban asasinya, tanpa membeda-bedakan suku, keturunan, warna kulit, dan
sebagainya. Karena itu dikembangkan sikap tidak semena-mena terhadap orang lain.
Beranjak dari pandangan ideologi Pancasila ini, menurut Syahdeni kebebasan
berkontrak yang dianut dalam hukum perdata haruslah diartikan dan ditafsirkan
sebagai kebebasan yang tidak mutlak. Secara singkat dikatakannya “ kebebasan
berkontrak haruslah ditafsirkan sebagai kebebasan yang terbatas“.74 Menurut hemat
74Remy Syahdeni menyebutkan Pancasila menolak asas kebebasan berkontrak yang tak
terbatas. Op.cit., hlm 27. Sedangkan Mariam Darus Menyebutkan Asas Kebebasan Berkontrak yangbertanggung jawab, Mariam Darus Op.cit. hlm.,125, lebih lanjut dikatakannya: Menurut hemat saya,tampilnya kebebasan berfikir dan kebebasan mengeluarkan pikiran di dalam UUD 1945, merupakan
Universitas Sumatera Utara
74
Penulis, perkataan kebebasan terbatas untuk membuat perjanjian haruslah diartikan
bahwa asas kebebasan berkontrak secara materil tetap berlaku sebagai asas dalam
hukum perjanjian, namun daya berlakunya untuk perjanjian-perjanjian tertentu atau
perjanjian khusus dikurangi daya berlakunya. Oleh karena itu, terjadinya pembatasan
asas kebebasan berkontrak untuk membuat perjanjian haruslah didasari oleh sesuatu
latar belakang yang berkeadilan dan menciptakan kesempatan yang sama bagi para
pelaku usaha untuk melakukan aktivitas di dunia usaha agar pasar produksi dan jasa
tidak dikuasai oleh salah satu pihak saja, sehingga tercipta demokrasi ekonomi
dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan perlaku usaha dan
kepentingan umum.
Berkaitan dengan dasar KPPU untuk membatasi kebebasan berkontrak dalam
dunia bisnis secara khusus Benny mengatakan : 75
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sebagai lembaga persaingan(competition authority) di tanah air lahir dalam konteks ini, dan dengansendirinya ikut serta dalam menciptakan iklim investasi. Setidaknya, investasiyang berpotensi menimbulkan perilaku persaingan curang sudah diantisipasisejak dini. Bahkan dibandingkan dengan institusi persaingan usaha di negaralain, KPPU lebih maju dan sistematis sehingga KPPU tidak hanya memberikankepastian dalam berusaha namun juga memancing investasi dan menciptakankesejahteraan bagi rakyat.Dalam konteks ini, tumbuh suburnya investasi dipengaruhi oleh dua faktor:Faktor Pertama, adanya kepastian hukum. Sebagai lembaga independen, KPPUtelah melakukan peran tersebut dengan meng-hukum yang salah danmembebaskan yang benar. Contohnya adalah KPPU membebaskan dugaan
dasar yang kuat dan logis untuk mempertahankan kebebasan berkontrak yang bertanggung jawabsebagai salah satu asas utama dalam Hukum perjanjian nasional, terutama dilihat dari segi lahirnyaperjanjian. Lihat juga Setiawan, Asas Kebebasan Berkontrak dan Kedudukan yang seimbang dari parapihak dalam Perjanjian), makalah disampaikan dalam Seminar sehati INI di Surabaya, tanggal 25-27April 1993, hlm. 20 yang menyebutkan: Asas kebebasan ber-kontrak kini tidak lagi berlakusepenuhnya.
75KPPU, Artikel, Headlines, Apr 25, 2011 diakses tanggal 29 Juni 2011, pukul 20.25 wib.
Universitas Sumatera Utara
75
adanya kartel semen, namun KPPU menjatuhkan denda dalam kasus kartel fuelsurcharge. Jika memang tidak melanggar, KPPU akan membebaskan demikepastian hukum.Faktor Kedua, terciptanya persaingan yang sehat di pasar. Persaingan sehattersebut berupa iklim usaha yang menumbuhkan level playing field. Dalamlevel playing field terdapat equality yaitu; (1) Equal opportunity, yang berartikesempatan berusaha yang sama kepada pelaku usaha dimana tidak ada yangdidiskriminasi. (2) Equal accessibility, dimana tidak ada pelaku usaha yangdilarang untuk memasuki pasar. Contohnya: tidak ada pelaku usaha yangdilarang untuk mendapat kredit bank. Yang penting adalah setiap pelaku usahayang mendapat opportunity sudah melalui proses persaingan usaha yang sehat.(3) Equal treatment, yaitu pemerintah memperlakukan setiap pelaku usahasecara sama.
Dari kutipan di atas, dasar KPPU untuk membatasi kebebasan berkontrak dalam
dunia bisnis atau transaksi bisnis adalah untuk menciptakan demokrasi ekonomi,
perlindungan konsumen dan demi terwujudnya kesejahteraan bersama bagi warga
negara Indonesia.
Pada sisi lain, dasar KPPU melakukan pembatasan kebebasan berkontrak secara
filosofis adalah agar KPPU untuk menghilangkan ciri-ciri negatif yang terkandung
dalam sistem ekonomi liberal dan sosialisme. Gunawan mengatakan : 76
Di Indonesia dengan sistem Ekonomi Pancasila, kita mencoba menghilangkanciri-ciri negatif yang terkandung dalam sistem liberal dan sosialisme. Ciri-cirinegatif seperti free fight liberalism, yang membenarkan eksplotasi terhadapmanusia, etatisme di mana negara berserta aparatur ekonomi negara bersifatdominan serta mendesak dan meminimumkan potensi dan daya kreasi unitekonomi di luar sektor negara, dan pemusatan ekonomi pada salah satukelompok dalam bentuk monopoli yang merugikan masyarakat, dihindari olehsistem ekonomi Pancasila.
Makna tentang ciri-ciri positif yang harus dicapai dan dipertahankan dalam
sistem perekonomian bangsa Indonesia dapat dilihat dari rumusan Pasal 33 UUD
76Gunawan Wijaya, Merger dalam Persepektif Monopoli, Cet.I (Jakarta, RajaGrafindi
Persada, 2002), hlm. 15
Universitas Sumatera Utara
76
1945 yang mengatakan : “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama atas asas
kekelurgaaan. Cabang produksi yang penting bagi negara dan mengenai hajat hidup
orang banyak dikuasai negara serta bumi dan air beserta kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat“.
Dari ciri-ciri positif sistem perekonomian bangsa Indonesia dapat terlihat bahwa
monopoli dapat dibenarkan khususnya dalam bentuk penguasaan atas sektor-sektor
yang menguasai hajat hidup orang banyak, tetapi yang mempunyai hak monopoli
untuk kepentingan orang banyak ada ditangan negara.
Universitas Sumatera Utara