pembentukan akhlak mulia melaluipendidikan...
TRANSCRIPT
i
PEMBENTUKAN
AKHLAK MULIA MELALUIPENDIDIKAN AFEKTIF
(Studi Kasus pada PendidikanTingkat Dasar di Lampung)
Diajukan untuk Melengkapi Salah Satu Persyaratan
Memperoleh Gelar Doktor Pendidikan Islam pada Sekolah
Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Oleh:
L. SHOLEHUDDIN
NPM:11.3.00.1.03.01.0026
SEKOLAH PASCASARJANAUNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAHJAKARTA
TAHUN 1437 H./2016 M.
ii
KATA PENGANTAR
الرحیم الرحمن اهلل بسم
المالس و الةالص و ,النعم عظمأ ىى و سالمإلا و میانإلا بنعمة نعمناأ ذىال هلل احلمد ینالد یوم ىلإ تبعو من و صحبو و آلو على و قنیادلت مامإ و بینیالن خامت دحمم دناسی على
.ابعدم أ
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT
Karena atas rahmat, taufik, dan hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan
penulisan Disertasi dengan judul “Pembentukan Akhlak Mulia
MelaluiPendidikan Afektif” (Studi Kasus pada Pendidikan Tingkat
Dasar di Lampung). Disertasi ini ditulis dalam rangka menyelesaikan
studi jenjang strata tiga (S3) Program Pascasarjana UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Selanjutnya ṣalawat dan salam semoga selalu
dilimpahkan Allah SWT kepada Nabi dan Rasul-Nya Muhammad SAW
beserta ṣahabat dan keluarganya.
Keberhasilan penulisan Disertasi ini tidak terlepas dari jasa,
bantuan, dan dorongan semua pihak, antara lain para dosen Pascasarjana
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, khususnya dosen pembimbing yang
telah banyak meluangkan waktunya untuk membantu dan mengarahkan
penulis terhadap semua masalah yang ada dalam proses penulisan
Disertasi ini. Untuk itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima
kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang
secara langsung maupun tidak langsung telah membantu dalam
penyelesaian tugas yang mulia ini, yaitu:
1. Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. H. Dede Rosyada,
M.A. yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk
mengikuti kuliah pada Program Pascasarjana (S3) UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta dan juga telah memberikan bantuan moril dan
materiil.
2. Direktur Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof.
Dr. Masykuri Abdillah, MA beserta para dosen yang dengan tulus dan
ikhlas berkenan memberikan ilmu sehingga mengantarkan penulis
untuk menyelesaikan penulisan disertasi ini.
iii
3. Prof. Dr. H. Husni Rahim sebagai promotor yang telah banyak
mengarahkan penulis dalam merumuskan dan menyelesaikan persoalan
yang dihadapi.
4. Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A. sebagai Dekan Fakultas Dirasat
Islamiyah Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
dan sekaligus sebagai promotor yang telah banyak mengarahkan
penulis dalam merumuskan dan menyelesaikan persoalan yang
dihadapi.
5. Kepala Perpustakaan Pascasarjana dan Umum UIN Syrif Hidayatullah
Jakarta, Universitas Lampung (UNILA) dan Sekolah Tinggi Ṣuffah Al-
Quran Abdullah Bin Masud (SQABM) Online.
6. Kedua orang tua penulis, ayahanda M. Badri dan ibunda Suja‟ah yang
telah membimbing, membesarkan dan mendidik penulis sejak kecil
sampai saat ini.
7. Istri tercinta, Reny Marlina dan anak tercinta Lu‟lu Jannah, M. Jihad,
Ahmad Luthfi, Sarah Aini, Latifah Humairah dan Mumtazul Insan
yang telah sabar dan rela memberikan pengorbanan waktu,
memberikan kelapangan hati bahkan memberi dorongan sehingga
penulis dapat menyelesaikan studi ini.
8. Teman, kolega, dan semua sahabat yang tidak mungkin disebutkan satu
per satu atas kebaikan dan kontribusi mereka baik dalam bentuk saran,
gagasan, bahkan ide-ide yang semuanya sangat mendukung untuk
penyempurnaan disertasi ini.
Akhirnya, penulis berdoa kepada Allah SWT. semoga semua
bantuan dan partisipasi dari semua pihak tersebut, diberikan ganjaran yang
berlipat ganda dari Allah SWT. Demikian pula semoga disertasi ini
bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca umumnya.
Amin.
Jakarta, Rabi al-Thāni 1437
Maret 2016
Penulis
L. Sholehuddin
iv
PERNYATAAN ORIGINALAITAS
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : L. Sholehuddin
NPM : 11.3.00.1.03.01.0026
Tempat/Tgl. Lahir : Majalengka, 10 November 1965
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa Disertasi yang berjudul
“Pembentukan Akhlak Mulia Melalui Pendidikan Afektif” (Studi Kasus
pada PendidikanTingkat Dasar di Lampung) adalah benar merupakan
karya asli saya, kecuali kutipan yang disebutkan sumbernya.Apabila
terdapat kesalahan dan kekeliruan di dalam isi karya ilmiah ini
sepenuhnya adalah tanggung jawab saya.
Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya.
Jakarta, Rajab 1437
April 2016
L. Sholehuddin
v
LEMBAR PERSETUJUAN I
Disertasi dengan judul “Pembentukan Akhlak Mulia Melalui Pendidikan
Afektif” (Studi Kasus pada Pendidikan Tingkat Dasar di Lampung) yang
ditulis oleh L.Sholehuddin, M.Pd.I., NPM: 11.3.00.1.03.01.0026, disetujui
untuk dibawa ke Sidang Ujian Promosi.
Pembimbing I
Prof. Dr. H. Husni Rahim
Tanggal:
vi
LEMBAR PERSETUJUAN I
Disertasi dengan judul “Pembentukan Akhlak Mulia Melalui Pendidikan
Afektif” (Studi Kasus pada Pendidikan Tingkat Dasar di Lampung) yang
ditulis oleh L. Sholehuddin, M.Pd.I., NPM: 11.3.00.1.03.01.0026,
disetujui untuk dibawa ke Sidang Ujian Promosi.
Pembimbing II
Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A.
Tanggal:
vii
LEMBAR PERSETUJUAN II
Disertasi dengan judul “Pembentukan Akhlak Mulia Melalui Pendidikan
Afektif” (Studi Kasus pada PendidikanTingkat Dasar di Lampung) yang
ditulis oleh L. Sholehuddin, M.Pd.I., NPM: 11.3.00.1.03.01.0026, peserta
Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta, Program Studi Ilmu Pendidikan Islam, telah diperbaiki dan
disetujui untuk dibawa pada Ujian Promosi.
Pembimbing I
Prof. Dr. H. Husni Rahim
Tanggal:
viii
LEMBAR PERSETUJUAN II
Disertasi dengan judul “Pembentukan Akhlak Mulia Melalui Pendidikan
Afektif” (Studi Kasus pada Pendidikan Tingkat Dasar di Lampung) yang
ditulis oleh L. Sholehuddin, M.Pd.I., NPM: 11.3.00.1.03.01.0026, peserta
Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta, Program Studi Ilmu Pendidikan Islam, telah diperbaiki dan
disetujui untuk dibawa pada Ujian Promosi.
Pembimbing II
Prof. Dr. H. Abuddin Nata, MA
Tanggal:
ix
Abstrak
L. SHOLEHUDDIN, PEMBENTUKAN AKHLAK MULIA MELALUI
PENDIDIKAN AFEKTIF (Studi Kasus pada Pendidikan Tingkat Dasar di
Lampung). Disertasi, Jakarta: Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah,
Jakarta, Maret 2016
Kesimpulan besar penelitian ini adalah implementasi pendidikan afektif
melalui pendekatan humanistis dapat berhasil membentuk akhlak mulia peserta
didik tingkat pendidikan dasar.
Kesimpulan ini memperkuat penelitian Mc. Phail berjudul Cosideration
model of Value Education yang berkesimpulan bahwa esensi pendidikan
afektif/moral model konsiderasi adalah pertimbangan, perawatan dan saling
menghormati yang difokuskan pada beberapa nilai prioritas yang menekankan
harmonisasi dan kohesi kelompok dalam dan luar sekolah. Masih terkait dengan
afektif adalah penelitian Wong Ping-ho Law Sin-yee, Angelina Yip Sin-ching
berjudul Affective Education: The Value Development of Hong Kong Student-
Teachersyang berkesimpulan bahwa pendidikan afektif merupakan dimensi
penting dari pengajaran, yang berkaitan dengan nilai-nilai, perasaan, keyakinan,
sikap dan kesejahteraan emosional peserta didik. Juga penelitian Chia-Fang Hsu
berjudul A Comparative Research on Affective Education in Taiwan and China
yang menyelidiki sifat dan pengembangan pendidikan afektif yang mengacu
pada semua kurikulum, baik terencana atau tersembunyi (hidden) bahwa urgensi
pendidikan afektif secara luas diakui oleh guru dan muridpada pendidikan
tingkat dasar di Taiwan dan Cina.
Penelitian ini membuktikan bahwa penerapan pendidikan afektif melalui
pendekatan humanistis yang direpresentasikan pada sikap perhatian, sikap kasih
sayang, dan sikap lemah lembut terdapat bukti yang meyakinkan dapat
berimplikasi positif terhadap peningkatan kesadaran ibadah, prestasi akademik,
dan perilaku terpuji peserta didik pada pendidikan tingkat dasar. Hal ini
didasarkan pada hasil penelitian bahwa sikap perhatian menciptakan suasana
belajar terarah, terkontrol dan terukur. Aktivitas jiwa guru tertuju pada kondisi
peserta didik untuk dimengerti, dipahami, dievaluasi dan diperbaiki serta
dioptimalkan potensinya (surat al-Taubah/9:128 dan surat al-Māidah/5:117), dan
ditunjang sikap kasih sayang yang menciptakan suasana belajar penuh
kehangatan dan keharmonisan dalam berkomunikasi antar guru dan peserta
didik. Aktivitas jiwa guru yang menghormati, menyenangi, mengakui dan
menjunjung tinggi eksistensi peserta didik tercermin dalam sikapnya yang
penyantun dan penyayang layaknya orang tua terhadap anaknya (surat al-
„An‟ām/6:12 & 54)dan dilengkapisikaplemah lembutdalammenciptakansuasana
belajar nyaman (learning is fun), senang, gairah, dan segar.Aktivitas jiwa
guruyang humanis, demokratis dan berintegritas tercermin dalamsikapnyayang
lembut, menarik, hangat, empati,bersahaja,menghindari sikap egois, arogan, dan
otoriter (surat Ali Imrān/3:159).
x
البحث ملخص
مبنطقة األساسي التعلیم مرحلة يف حالة دراسة) الوجدانیة التبیة طریق عن الكرمیة األخالق تنمیة الدین، صالح. ل مارس جاكرتا، احلكومیة اإلسالمیة اهلل ىدایة شریف جامعة العلیا الدراسات كلیة: جاكرتا أطروحة،(. المبونج2016.
ادلدخل مبادئ على القائمة الوجدانیة التبیة تطبیق أن الدراسة ىذه إلیها توصلت اليت النهائیة النتیجة .األساسي التعلیم مرحلة يف التالمیذ نفوس يف الكرمیة األخالق تنمیة على إجيابیة نتائج لو اإلنساين
التبیة جوىر إن قال حیث« اخللقیة القیم لتبیة االحتام منوذج» بعنوان ماكفیل دراسة النتیجة ىذه أكدت القیم من عدید على یتكز دما ادلتبادل واالحتام وادلعاجلة االعتبار ىو االحتام منوذج على القائمة اخللقیة أو الوجدانیة
الوجدانیة بالقضیة اخلاصة الدراسات ومن. وخارجها ادلدرسة داخل اجملموعات بنی والتابط التناسق على ادلؤكدة األولیة اخللقیة القیم تنمیة: الوجدانیة التبیة» بعنوان الدراسة من تشینغ سنی ییف وأذمیلینا یي سنی الو ىو فینغ وونغ بو قام ما
اخلاصة التعلیمیة العملیة يف مهما بعدا تعترب الوجدانیة التبیة إن قال حیث« كونغ ىونغ يف وادلعلمنی ادلتعلمنی لدى حسو فانغ تشیا دراسة إىل باإلضافة ىذا. الطالب لدى النفسیة والسعادة واالجتاه واالعتقاد واالنفعال اخللقیة بالقیمة تنمیتها وطرق الوجدانیة التبیة خصائص تناولت اليت« والصنی تایوان يف الوجدانیة التبیة عن مقارنة دراسة» بعنوان
ادلعلمون هبا یعتف الوجدانیة التبیة أمهیة إن قالت حیث ومتواریا خمططا ادلنهجیة اجلوانب جیمع على اعتمادا .والصنی تایوان يف واسع بشكل األساسي التعلیم مرحلة يف وادلتعلمون
االىتمام يف تتمثل واليت اإلنساين ادلدخل مبادئ على القائمة الوجدانیة التبیة تطبیق أن الدراسة ىذه وأثبتت مرحلة تالمیذ لدى احملمود والسلوك األكادمیي والتحصیل بالعبادة الوعي تنمیة على إجيابیة نتائج لو واحلنان والشفقة للقیاس، وقابال ومضبوطا ىادفا التعلمي اجلو جيعل االىتمام إعطاء أن إىل الدراسة ىذه توصلت فقد. األساسي التعلیم واستخراج والعالج والتقومي والفهم التعرف من متكنهم حىت التالمیذ أحوال على للمعلم النفسیة األنشطة تتكز حیث اجلو جتعل اليت الشفقة بإعطاء دعمهم إىل باإلضافة وىذا ،(5:117/وادلائدة 128: 9/اذلود سوريت) الكامنة قوهتم
ادلتعلمنی كیان یراعي الذي للمعلم النفسیة األنشطة وىذه. وادلتعلمنی ادلعلم بنی التواصل عند والوئام باحلماسة یتصف ،(54و 6:12/األنعام سورة) لولده الوالد مبثابة وىو والشفقة، الرأفة من علیو فیما تتمثل وحيتمهم هبم ویعتف وحيبهم
الذي للمعلم النفسیة األنشطة وىذه. منعش متحمس دمتع مریح تعلمي جو إجياد يف احلنان من علیو ما إىل باإلضافة مبتعدا والتواضع والتعاطف والدفء واجلذب احلنان من علیو فیما تتمثل واألمانة والدمیقراطیة اإلنسانیة بالصفات یتصف
(3:159/عمران آل سورة) واالستبداد والتكرب األنانیة من ادلذمومة الصفات عن
xi
Abstract
L. SHOLEHUDDIN, BUILDING GOOD CHARACTER THROUGH
AFFECTIVE EDUCATION (A Case Study at Elementary School in Lampung).
Dissertation, Jakarta: Graduate School, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, March,
2016.
The main conclusion of this research is the implementation of affective
education through humanistic approach, in fact, builds good characters of
students at elementary schools.
This conclusion supported a research by Mc. Phail titled Consideration
Model of Value Education which stated that the essence of affective
education/moral consideration model is consideration, treatment, and mutual
respect focused on priority values emphasizing on harmonization and group
cohesion in and out of school. Related to affective, a research by Wong Ping-ho,
Law Sin-yee, and Angelina Yip Sin-ching titled Affective Education: The Value
Development of Hong Kong Student-Teachers concluded that effective education
is an important dimension of teaching related to values, belief, faith, attitude, and
emotional wellbeing of learners. Further, a research by Chia-Fang Hsu, A
Comparative Research on Affective Education in Taiwan and China, explored
characters and development of affective education referring to all curriculums,
both planned and hidden. It is stated that the importance of affective education is
widely recognized by teachers and students in elementary level in Taiwan.
This study demonstrated that the implementation of affective education
through humanity approach represented in attitudes of care, attitude of affection,
and attitude of gentle is convincingly proved to bring positive implications on
increasing awareness of worship, academic achievement, and good attitude of
learners at elementary level. This is based on the result of this research that
attitude of care creates focused, controlled and measurable learning atmosphere.
The activity of the teacher‟s souls focus on learners condition to be understood,
evaluated, improved and optimized (Surah al-Taubah/9:128 and surah al-
Maidah/5:117). Further, attitude of affection creates warm and harmonious
learning atmosphere in communication between teachers and students. The
teachers‟ mental activity that respects, pleases, acknowledges, and upholds the
existence of learners reflected on the teachers attitudes which are forbearing and
merciful like parents to their children (Surah al-„An‟am/6:12 & 54). In addition,
attitude of gentle also creates comfortable, fun, and refreshing learning
atmosphere. Teachers‟ activities that are humanist, democratic and with integrity
reflected in their gentle, charming, warm, and unpretentious attitudes avoid them
from being selfish, arrogant, and authoritarian (Surah Ali Imran/3:159).
xii
PEDOMAN TRANSLITERASI
Dalam penulisan disertasi ini, penulis menggunakan transliterasi (alih aksara)
dengan berpedoman pada ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri
(UIN) Jakarta sebagaimana diuraikan berikut:
A. Huruf Konsonan
Huruf Arab Huruf Latin Huruf Arab Huruf Latin
ḍ ض Omit أ
ṭ ط B ب
ẓ ظ T خ
(ayn) „ ع th ث
Gh غ j ج
F ف ḥ ح
Q ق kh خ
K ك d د
L ل dh ذ
M م r ر
N ى z ز
W و s ش
ج ، sh ظ H
ṣ Y ص
B. Huruf Vokal dan Diftong
1. Vokal tunggal 2. Vokal panjang 3. Diftong
a
u
i
ا
ي
و
ā
á
ū
ي
و
ي
Ī
aw
ay
C. Contoh aturan pemakaian
1. Konsonan w dan y masing-masing
waḍʻ
„iwaḍ
dalw
yad
ḥiyal
ṭahy
وضع
عىض
دلى
د
حل
طه
xiii
2. Vokal panjang ū, ī, dan ā masing-masing
Ūlā
ṣūrah
dhū
īmān
jīl
fī
kitāb
saḥāb
jumān
اول
صىرج
ذو
اواى
جل
ف
كتاب
ضحاب
جواى
3. Diftongaw dan ay masing-masing
Awj
nawm
law
aysar
shaykh
„aynay
اوج
ىم
لى
اطر
شد
ع
a. Penulisan ی pada akhir kalimat tertentu
- Sebagai ی (alif maqṣūrah) yang dipakai pada tempat ا menunjukkan
vokal panjang dengan lambang á
ḥattá
maḍá
kubrá
Yaḥyá
Musammá
Muṣṭafá
حت
هض
ي كثر
ح
هطو هصطف
- Sebagai ی dalam kata benda atau adjektif bentuk fail yang berasal
dari anak kalimat yang berakhiran ī, bukan īy tanpa adanya
(shaddah).
Raḍī al-Dīn الدي رض
- Sebagai ی dalam kata sifat relatif (nisbah). Diakhiri ī bukan īy
sebagaimana contoh b di atas.
al-Miṣrī الوصري
b. ج (tā’marbūṭah)
- Kata benda atau sifat yang berakhiran ج ditulis h
ṣalāh
al-Risālah al-bahīyah
mirʻāh
Urjūzah fī al-ṭibb
صالج
الرضالح الثهح
جآهر
ارجىزج ف الطة
xiv
- Kata yang berakhiran ج dalam bangunan kelembagaan, ج ditulis t
Wizārat al-Tarbiyah
Mir‟āt al-zamān
الترتحوزارج
ج السهاىآهر
c. ء (hamzah)
Ketik posisi ء di tengah atau di akhir kata ditulis sebagai ‟(alif).
Asad
uns
idha
mas‟alah
mu‟tamar
dā‟im
mala‟a
khaṭi‟a
أضد
أص
إذا
هطألح
هؤتور
دائن
هأل
ئذط
d. (maddah)
- Awalan آ ditulis ā
Ālah
Kullīyat al-Ᾱdāb
لحآ
ح اداب كل
- Di tengah آ, ketika mewakili kombinasi fonetik ditulis ‟ā
ta‟ālīf
ma‟āthir
آلفت
هآثر
l
e. (shaddah atau tashdid)
و - , mewakilikombinasi vokal panjang dan konsonan ditulis ūw.
„adūw
Qūwah
عدو
قىج
و - , mewakili kombinasi diftong ditambah konsonan, ditulis aww
Shawwāl
ṣawwar
jaww
شىال
صىر
جى
xv
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................ i
KATA PENGANTAR ............................................................................. ii
PERNYATAAN ORIGINALITAS......................................................... iv
PERSETUJUAN PEMBIMBING...........................................................
ABSTRAK ..............................................................................................
v
ix
PEDOMAN TRANSLITERASI.............................................................. xii
DAFTAR ISI............................................................................................ xv
DAFTAR GAMBAR............................................................................... xvii
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................
B. Permasalahan ..................................................................
C. Penelitian Terdahulu yang Relevan ...............................
D. Tujuan Penelitian ...........................................................
E. Manfaat Penelitian .........................................................
F. Metodologi Penelitian ....................................................
G. Sistematika Penulisan .....................................................
1
11
12
17
17
17
22
BAB II. AKHLAK MULIA DAN PENDIDIKAN AFEKTIF
A. Konsep Akhlak Mulia ....................................................
B. Konsep Pendidikan Afektif ............................................
C. Korelasi Akhlak Mulia dengan Pendidikan Afektif........
25
33
51
BAB III. WAWASAN TENTANG NILAI-NILAI DASAR AKHLAK
MULIA DAN PENDIDIKAN AFEKTIF DALAM AL-
QURĀN
A. Ragam Nilai Dasar Akhlak Mulia dalam al-
Qurān...............................................................................
B. Pendidikan Afektif dalam Perspektif al-Qurān ..............
C. Corak Afektif dalam Kehidupan Rasulullah SAW
sebagai Cerminan Akhlak Mulia ....................................
D. Model Pendekatan Pendidikan Afektif dalam
Membentuk Akhlak Mulia ............................................
59
110
134
155
BAB IV. PENERAPAN NILAI-NILAI DASAR AKHLAK MULIA
DALAM PENDIDIKAN AFEKTIF PADA PENDIDIKAN
TINGKAT DASAR DI LAMPUNG
A. Potret Dunia Pendidikan Secara Umum di Lampung ....
B. Fenomena Pembelajaran Afektif pada Lembaga
Pendidikan Tingkat Dasar di Madrasah..........................
C. Penerapan Tujuh Nilai Dasar Akhlak Mulia dalam
193
218
xvi
Pendidikan Afektif..........................................................
279
BAB V. INTEGRASI ANTAR KECERDASAN DAN RAGAM
KOMPONEN PEMBELAJARAN DALAM MENCAPAI
KEBERHASILAN AKHLAK MELALUI PENDIDIKAN
AFEKTIF DI ERA GLOBALISASI
A. Integrasi Antar Empat Kecerdasan..................................
B. Integrasi Antar Komponen Pembelajaran.......................
C. Pendidikan Afektif Respons Krisis Akhlak di Era
Globalisasi.......................................................................
327
347
380
BAB VI. PENUTUP
A. Kesimpulan ....................................................................
B. Implikasi .........................................................................
C. Rekomendasi ..................................................................
425
428
428
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................
LAMPIRAN.............................................................................................
GLOSARI ...............................................................................................
INDEKS ..................................................................................................
BIODATA PENULIS .............................................................................
431
461
.....
.....
.....
xvii
DAFTAR GAMBAR
1. Skema Domain Afektif .................................................................
2. Khirarkhi Afektif menurut Krathwoll...........................................
3. Model Kesatuan Emosional, Spiritual, Sosial dan Intelektual
dalam Pendidikan Afektif .............................................................
43
44
346
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan moral yang terlampau rasional dan kognitif tidaklah efektif.
Moralitas lebih bersifat gaya kepribadian dari pada gaya berpikir yang menuntut
hidup bersama dalam keharmonisan dengan sesama dan bertujuan untuk
membantu peserta didik agar memedulikan, mengindahkan, dan memperhatikan
perasaan serta pribadi orang lain1 sebagai perwujudan akhlak mulia. Pembinaan
akhlak sebagai salah satu orientasi pendidikan Islam yang tidak bisa ditawar-
tawar2 tentunya harus dilakukan reformasi secara menyeluruh dan menyentuh
berbagai aspek,3 guna merespons tantangan transinternasional dan
mempersiapkan diri dalam menghadapi persaingan serta peluang era global
dengan berbagai konsekuensi yang mengiringinya.
Era globalisasi yang ditandai adanya perubahan di segala bidang; politik,
ekonomi, ilmu pengetahuan, teknologi, informasi, sosial, budaya4 telah
membawa dampak positif dan negatif bagi kehidupan umat manusia. Kemajuan
di bidang teknologi komunikasi, informasi dan transportasi membuat segala
sesuatu yang terjadi di negeri yang jauh bahkan di benua yang lain bisa diketahui
dan tempat tertentu bisa dicapai dalam waktu yang amat singkat,5 dunia seperti
sebuah kampung yang kecil (perkampungan global).6 Dampak positif globalisasi
antara lain; disiplin, kebersihan, tanggung jawab, egalitarianisme dan kerja
keras.7 Di samping itu, juga mudah memperoleh informasi dan ilmu pengetahuan
alam serta sosial di berbagai belahan bumi, mudah melakukan komunikasi yang
semakin canggih, cepat dalam bepergian (mobilitas tinggi), menumbuhkan sikap
kosmopolitan dan toleran pada setiap individu, memacu untuk meningkatkan
1Yusri Panggabean, dkk. Strategi, Model dan Evaluasi (Bandung: Bina Media
Informasi, 2007), 84 2 Ahmad Tantowi. Pendidikan Islam di Era Transformasi Global (Semarang,
PT. Pustaka Rizki Putra: 2008), 99-104. 3 Musthofa Rembangy. Pendidikan Trasnpormatif, Pergulatan Kritis
Merumuskan Pendidikan di Tengah Pusaran Arus Globalisai,Yogyakarta: TERAS, Cet.
2,2010, 222. 4Abuddin Nata. Kapita Selekta Pendidikan Islam: Isu-isu Kontemporer tentang
Pendidikan Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013), 10. 5Yusuf al-Qardhawi. Islam dan Globalisasi Dunia, terj. (Jakarta: Al-Kutsar, tt),
21-23. 6Latief Dohack. Ekonomi Global (Surakarta: Muhamadiyah Universitas Press,
2000), 24. 7A. Qodri Azizy. Melawan Globalisasi: Reinterpretasi Ajaran Islam Persiapan
SDM dan Terciptanya Masyarakat Madani (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 25.
2
kualitas diri dalam perkembangan ekonomi, sosial dan budaya, mudah
memenuhi kebutuhan yang semakin kompleks dan tidak terbatas.8
Globalisasi tidak hanya melahirkan suatu global space yang tunggal,
tetapi juga memunculkan beberapa ruang yang berbeda satu sama lainnya,
meskipun tetap ada komunikasi di dalamnya yang terbagi menjadi lima ruang,
yaitu: ethnoscapes, technoscapes, financescapes, mediascapes, dan ideoscapes.
Akhiran -capes yang digunakan dalam penyebutan lima ruang globalisasi
tersebut diarahkan menuju kepada suatu bentuk yang tidak tetap atau berubah-
ubah (fluid).9 Peran globalisasi adalah mengintegrasikan internasional individu-
individu dengan jaringan-jaringan informasi serta institusi ekonomi, sosial dan
politik yang terjadi secara cepat dan mendalam pada takaran yang belum pernah
dialami selama sejarah sebelumnya.10
Beberapa faktor dasar yang mempengaruhi
globalisasi, yaitu: adanya opsi kebijakan terkait dengan liberalisasi keuangan/
moneter, perkembangan teknologi informasi (IT) yang memfasilitasi pergerakan
dana melewati batas negara, munculnya instrumen-instrumen moneter baru dan
institusi-institusi moneter, runtuhnya kurs tetap internasional yang
memungkinkan perolehan keuntungan dan spekulasi kurs mata uang.11
Hal ini
berimbas pada penciptaan kultur yang homogen dan mengarah pada
penyeragaman selera, konsumsi, gaya hidup, nilai, identitas dan kepentingan
individu serta mengintrodusir dimensi budaya modernitas, seperti nilai-nilai
demokrasi, pluralisme, toleransi dan hak-hak asasi manusia,12
yang memang
telah mendapat perhatian secara intens syariat Islam.
Dampak negatif, globalisasi telah menyebabkan manusia berperilaku
keras, cepat, akseleratif dan budaya instan.13
Manusia bagaikan robot, selalu
bersaing ketat, hidup bagaikan roda berputar cepat, meninggalkan norma-norma
universal14
dan semakin memudarnya penghargaan terhadap nilai-nilai spiritual,
nilai-nilai transendental, nilai-nilai budi pekerti, dan nilai-nilai agama,15
yang
dapat memperlemah dan melonggarkan bentuk-bentuk identitas kultural suatu
8http://www.pengertian.org/2015/07/pengertian-globalisasi diakses November
2014 9Jens-Uwe Wunderlich dan Meera Warier. Dictionary of Globalization (London:
Routledge, 2007), 35 10
Deliarnove. Ekonomi Politik (Jakarta: Erlangga, 2006), 201. 11
Martin Khor. Globalisasi Perangkat Negara-negara Selatan (Yogyakarta:
Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, 2002), 55. 12
Latief Dohack. Ekonomi Global, 26. 13
Azyumardi Azra. Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju
Milenium Baru (Jakarta: Kalimah, 2004), 34. 14
Haedar Nasir. Laptop Dewan (Yogyakarta: Kedaulatan Rakyat, 23 Maret
2007), 1. Dalam Sigit Dwi Kusrahmadi. Dinamika Pendidikan No.1/Th.XIV/Mei 2007,
119. 15
Abuddin Nata. Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia, Edisi Revisi, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2013), 263.
3
bangsa,16
termasuk pendidikan. Kecanggihan teknologi sebagai produk
globalisasi, telah mengakibatkan pergeseran substansi pendidikan ke pengajaran.
Makna pendidikan yang sarat dengan nilai-nilai akhlak bergeser pada pengajaran
sebagai transfer pengetahuan, dengan tujuan agar mampu menjalankan
teknologi,17
demi mencapai tujuan materiil semata. Oleh karena itu, sekolah/
madrasah yang keberadaannya sangat dipengaruhi oleh hampir seluruh disiplin
ilmu pengetahuan, perkembangan masyarakat, filsafat dan kebudayaan, nilai-
nilai agama dan nilai-nilai luhur bangsa lainnya,18
diharapkan mampu
mengembangkan potensi dasar dan kepribadian peserta didik sesuai tujuan
pendidikan Islam,19
yang bertakwa dan berakhlak mulia.
Islam sangat memperhatikan masalah akhlak bahkan akhlak bagian tak
terpisahkan daripada aqidah sebagai sistem keyakinan yang mendasari terhadap
seluruh aktivitas umat Islam dalam kehidupannya,20
atau timbul daripadanya
perbuatan-perbuatan dengan mudah,21
melalui prilaku seseorang dalam
kesehariannya baik berhubungan dengan Allah SWT., manusia atau makhluk
lainnya,22
sebagai suatu kepribadian yang tertanam kuat dalam jiwa, perbuatan
yang dilakukan dengan acceptable dan tanpa pemikiran (unthought), tanpa
paksaan, tanpa ada unsur sandiwara, dan dilakukan li ‟ilā li kalimāh
Allah.23
Akhlak merupakan kerangka dasar ajaran Islam yang memiliki
kedudukan sangat penting, di samping aqidah. Rasulullah SAW mengisyaratkan
bahwa kehadirannya di muka bumi ini membawa misi pokok, yaitu:
menyempurnakan akhlak manusia yang mulia24
.
Pendekatan Islam dalam menumbuh kembangkan nilai-nilai akhlak dapat
dilihat melalui nas-nas al-Qurān dan al-Hadith yang banyak mengaitkan
16
FK. Kalidjernih. Cakrawala Baru Kewarganegaraan, Refleksi Sosiologis
Indonesia (Jakarta: Regina, 2007). 17
Ruslan Ibrahim. “Pendidikan Nilai Dalam Era Pluralisasi,” Jurnal INSANIA,
P3M STAIN Purwokerto, 2007, 5. 18
Abuddin Nata. Perspektif Islam Tentang Strategi Pembelajaran, (Jakarta:
Kencana, 2009), 14. 19
Haedar Nasir. Pendidikan Karakter Berbasis Agama dan Budaya (Yogyakarta:
Multi Presindo, 2013), 14. 20
Ibnu Miskawaih, Tahdhīb al-Akhlak wa Tathīr al-A‟rāq (Beirut: Manshūrah
Da>r al-Maktabah al-Hayat, 1398 H), cet.II, 25. 21
Abu Hamid ibn Muhammad al-Ghazāli. Mengobati Penyakit
HatitarjamahIhyāUlūm al-Dīn, dalam Tahdhīb al-Akhlak wa Mualajāt Amradal-Qulūb,
terjemahan Muhammad Al-Baqir (Bandung: Karisma, 2000), 31. 22
Haidar Putra Daulay. Pendidikan Islam dalam Mencerdaskan Bangsa (Jakarta:
Rineka Cipta, 2012), 53. 23
Abuddin Nata. Pendidikan dalam Perspektif Hadith (Jakarta: UIN Jakarta
Press, 2005), 274. 24
Imam Malik Ibn Anas. Al-Muwatta Jilid I, Bab Husnul Khuluq (Beirut: al-
Maktabah al-Ilmiah), 904.
4
pembentukan akhlak dengan aqidah atau iman,25
karena akhlak merupakan
intisari keimanan/tauhid.26
Kuat atau lemahnya iman seseorang dapat diukur dan
diketahui dari perilaku akhlaknya.27
Iman yang kuat akan mewujudkan akhlak
yang baik dan mulia, sedangkan iman yang lemah akan melahirkan akhlak yang
buruk dan keji (surat Ibrahim/14:34).
Akhlak dalam perspektif Islam bukan hanya hasil pemikiran dan tidak
berarti lepas dari realitas hidup, melainkan persoalan yang terkait dengan akal,
ruh, hati, jiwa, realitas dan tujuan yang digariskan oleh akhlak quraniah/akhlak
mulia.28
Akhlak mulia merupakan sistem perilaku yang diwajibkan agama Islam
yang dapat dikembangkan melalui proses pendidikan. Dalam terminologi
tasawuf, pembentukan akhlak bertujuan menanamkan karakter-karakter yang
melekat pada zat, sifat, asma dan af‟al Rab Yang Maha Esa pada perilaku
peserta didik.29
Secara teoritis akhlak seseorang dapat diamati dari tiga aspek,
yaitu: mengetahui kebaikan (knowing the good), mencintai kebaikan (loving the
good), dan melakukan kebaikan (doing the good).30
Prinsip-prinsip dalam
penerapan pendidikan karakter/akhlak, Character Education Quality Standard
merekomendasikan 11 prinsip untuk dijadikan panduan masyarakat dunia
sebagai landasan pendidikan akhlak yang efektif.31
Prinsip-prinsip tersebut dalam
ajaran Islam berkenaan dengan nilai dan moral mengenai mukashafah,
mushahadah, dan muqarabah, dalam bentuk taḥaquq, ta‟aluq, dan takhalluq.32
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa hakekat tujuan utama pendidikan Islam
25
Imam Ahmad Ibn Hanbal. Al-Musnad Juz. 3. nomor 7406. Lihat juga, Abū
Abdullah Muhammad ibn Ismā‟īl ibn Ibrāhīm ibn al-Mughīrah ibn Bardzibah al-Bukhārī
al-Jaifī, Ṣahih Bukhārī (Surabaya: Penerbit al-Asriyah, 1981), 10. 26
Asmawati Suhid. “Adab dan akhlak Islam dalam pendidikan Islam, Satu
Kajian Kesehatan di Selangor”. Jurnal CITU;Centre for Islamic Thought &
Understanding, UiTM. Jilid 2, No.1, Januari 2006, 53-66. 27
Mohd. Kamal Hasan. “Peranan Akhlak dalam Pendidikan”. Jurnal Pendidikan
Islam, 1987. vol. 8, 3. 28
Ali Khalil Abu Ainain. Falsafah al-Tarbiyah fī al-Qur‟ān al-Karīm, (Mesir:
Dār al-Fikr al-Arabī, 1985), 186. 29
Yoyon Bahtiar Irianto. Pembangunan Manusia dan Pembaharuan Pendidikan
(Bandung: Laboratorium Administrasi Pendidikan UPI, 2006), 143. 30
Thomas Lickona. “The Return of Character Education,” Journal of
Educational Leadership, Vol.3/No.3/November 1993, 6-11. Lihat juga di
http://www.ascd.org/publications/educationalleadership/nov93/vol51/num03/The Return-
of-Character-Education.aspx 31
Thomas Lickona; Eric Schaps & Catherine Lewis. “Eleven Principles of
Effective Education”, The Character Education Partnership dalamhttp://www.cortland.
edu/character/articles/prin_iii.htm (diakses 10 September 2013). 32
Muhammad Taqi Misbah Yazdi, Yoyon Bahtiar Irianto. “Strategi Manajemen
Pendidikan Karakter: Membangun Peradaban Berbasis Ahlakur Karimah,” Proceeding of
The 4th International Conference on Teacher Education; Join Conference UPI & UPSI
Bandung, Indonesia, November 2010, 5.
5
adalah membentuk manusia yang good and smart.33
Dalam konteks lain,
mengupayakan agar peserta didik memiliki akhlak yang baik (good character),
dalam pengetahuan, sikap dan keterampilan. Untuk itulah, lembaga pendidikan
baik formal maupun non formal kehadirannya sangat diperlukan sebagai media
transformasi pengetahuan dan menumbuh kembangkan nilai-nilai moral, karakter
dan akhlak mulia bagi para peserta didiknya.
Realitanya, pendidikan sebagai agent of change bidang akhlak dan
intelektual tampaknya tidak berjalan berimbang. Pendidikan tidak lebih dari
sebuah alat yang hanya berfungsi untuk mengembangkan potensi pikir peserta
didik, tanpa melakukan hal yang sama pada potensi lainnya, akibatnya justru
menjadi ancaman dan bumerang bagi masyarakat.34
Ekses dari hanyutnya
spiritualitas pada pribadi masyarakat dan peserta didik telah menimbulkan efek-
efek sosial dan berbagai macam perilaku buruk dalam kehidupan bermasyarakat.
Parji menguraikan berbagai persoalan dan kebobrokan perilaku sosial dalam
kehidupan bermasyarakat, seperti: meningkatnya pemberontakan remaja atau
dekadensi etika atau sopan santun pelajar, berkurangnya rasa hormat terhadap
orang tua, guru, dan figur-figur yang berwenang, kekejaman dan kebengisan
antar kelompok teman sebaya, munculnya kejahatan dan sikap fanatik yang
penuh kebencian, timbulnya gelombang perilaku yang merusak diri sendiri;
perilaku seksual, penyalahgunaan miras atau narkoba dan perilaku bunuh diri,
mengabaikan pengetahuan moral sebagai dasar hidup, kecenderungan untuk
memeras tidak mengindahkan peraturan-peraturan, melakukan perilaku yang
membahayakan terhadap diri sendiri atau orang lain tanpa berpikir terlebih
dahulu bahwa hal itu salah,35
budaya menyontek, membolos, tidak mengerjakan
PR, merosotnya etika kerja, meningkatnya sifat mementingkan diri sendiri dan
kurangnya bertanggung jawab sebagai warga negara,36
bahkan sepasang remaja
tega membuang bayi akibat hubungan gelap yang mereka lakukan,37
dan tentu
masih banyak lagi deretan tragedi kemanusiaan yang terjadi dalam dunia
33
Aristotle‟s dalam Edwar J. Powe. Philosophy of Education: Studies in
Philosophies, Schooing, and Educational Policies, New Jersey: Prentice-Hall, Inc. 1982
dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Aristotle (diakses 10 September 2013). 34
Thomas Lickona. Pendidikan Karakter: Panduan Lengkap Mendidik Siswa
Menjadi Pintar dan Baik, terjemahan dari “Educating for Character,” oleh Lita S,
(Bandung: Nusa Media, 2013), 3. 35
Parji. "Model Strategi Pembelajaran Budi Pekerti dengan Pendekatan
Konstruktivistik di Sekolah Menengah Pertama", Jurnal Ilmu Pendidikan Nomor 2, 2
Juni 2008, 82 -92. Tersedia dalam http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/
152088292.pdf (diakses 10 September 2013). 36
Parji. "Model Strategi Pembelajaran Budi Pekerti dengan Pendekatan
Konstruktivistik di Sekolah Menengah Pertama". Jurnal Ilmu Pendidikan Nomor 2, Juni
2008, hal 82 -92. Tersedia dalam http://jurnal.pdii. lipi.go.id/admin/jurnal/152088292.pdf
(diakses 10 September 2013). 37
Doni A. Koesoema. Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman
Global (Jakarta: Grafindo, 2011), 115.
6
pendidikan. Hal itu terjadi, suka atau tidak, merupakan aksioma dari sistem
pendidikan yang kurang memperhatikan masalah afeksi (hati) yang tercakup di
dalamnya, perasaan, sikap dan spiritualitas.
Pada hakikatnya, pendidikan afektif dapat berfungsi sebagai terapi
penyakit sosial yang sedang menjalar di tengah-tengah masyarakat saat ini dan
sekaligus menetralisasi berbagai krisis sosial lainnya, melalui pengembangan
nilai-nilai sikap, etika, kepercayaan, perasaan dan moral. Pendidikan afektif
dapat mendorong peserta didik memiliki kecerdasan emosional dan sekaligus
kecerdasan intelektual sehingga mereka dapat memperluas pemahaman
mengenai ajaran-ajaran agamanya, mendorong mereka untuk mengamalkannya,
membentuk akhlak serta kepribadiannya38
sesuai tujuan pendidikan Islam.
Menurut Gulo,39
kawasan afektif yaitu kawasan yang berkaitan dengan aspek-
aspek emosional, seperti: perasaan, minat, sikap, kepatuhan terhadap moral dan
sebagainya, yang dilakukan melalui proses pembentukan nilai sehingga peserta
didik dapat berperilaku sesuai dengan norma-norma yang berlaku di dalam
masyarakat.
Krathwohl, Bloom dan Marsia ( 1964) mengembangkan taksonomi yang
berorientasi kepada perasaan atau afektif. Taksonomi ini menggambarkan proses
seseorang di dalam mengenali dan mengadopsi nilai dan sikap tertentu yang
menjadi pedoman baginya dalam bertingkah laku. Domain afektif, Krathwohl
membaginya atas lima kategori/tingkatan yaitu: pengenalan (receiving),
pemberian respon (responding), penghargaan terhadap nilai (valuing),
pengorganisasian (organization), dan pengamalan (characterization).40
Pembagian ini bersifat hierarkhis, pengenalan tingkat yang paling rendah dan
pengalaman sebagai tingkat yang paling tinggi seseorang memiliki kompetensi
pengalaman jika sudah memiliki kompetensi pengenalan, pemberian respons,
penghargaan terhadap nilai pengorganisasian. Menurut Nitko jenjang afektif
sama dengan pendapat Krathwohl hanya saja uraiannya lebih terperinci pada
masing-masing tingkatan.41
Pengenalan/penerimaan mencakup kemampuan untuk mengenal,
bersedia menerima dan memperhatikan berbagai stimulasi. Dalam hal ini peserta
didik masih bersifat pasif, sekedar mendengarkan atau memperhatikan saja. Kata
kerja operasional pada tingkat ini adalah mendengarkan, menghadiri, melihat dan
38
W. Gulo. Strategi Belajar Mengajar (Jakarta: Grasindo, 2002), 23 39
Wina Sanjaya. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses
Pendidikan, (Jakarta: Prenada Media Group, 2010), 272. 40
WS. Winkel. Psikologi Pengajaran (Jakarta: Gramedia Widia Sarana
Indonesia, 1996), 42. 41
A.J. Nitko. Educational Test and Measurement, andIntroduction (New York:
Garcourt Brace Javanovich, Inc, 1983), 23.
7
memperhatikan.42
Pemberian respons mencakup kemampuan untuk berbuat
sesuatu sebagai reaksi terhadap suatu gagasan, benda atau sistem nilai, lebih dari
sekedar pengenalan. Dalam hal ini peserta didik diharapkan untuk menunjukkan
perilaku yang diminta, misalnya berpartisipasi, patuh atau memberikan
tanggapan secara sukarela bila diminta. Contoh hasil belajar dalam tingkat ini
berpartisipasi dalam keberhasilan kelas, berlatih membaca al-Quran, dll. Kata
kerja operasionalnya meliputi: mengikuti, mendiskusikan, berlatih, berparti-
sipasi, dan mematuhi.
Penghargaan terhadap nilai merupakan perasaan, keyakinan atau
anggapan bahwa suatu gagasan, benda atau cara berpikir tertentu mempunyai
nilai. Dalam hal ini peserta didik secara konsisten berperilaku sesuai dengan
suatu nilai meskipun tidak ada pihak lain yang meminta atau mengharuskan.
Nilai ini dapat saja dipelajari dari orang lain misalnya guru, teman atau keluarga.
Dalam proses belajar mengajar, peserta didik tidak hanya menerima nilai yang
diajarkan tetapi telah tidak mampu untuk memilih baik atau buruk jenjang ini
mulai dari hanya sekedar penerimaan sampai ke tingkat komitmen yang lebih
tinggi (menerima tanggung jawab untuk fungsi kelompok yang lebih efektif).43
Contoh hasil belajar dalam tingkat ini peserta didik mampu menunjukkan sikap
mendukung untuk merokok ketika membahas isu kesehatan. Kata kerja
operasionalnya adalah: memilih, meyakinkan, bertindak dan mengungkapkan
argumentasi.
Pengorganisasian menunjukkan saling berhubungan antara nilai-nilai
tertentu dalam suatu sistem nilai, serta menentukan nilai mana yang mempunyai
prioritas lebih tinggi daripada nilai yang lain. Dalam hal ini peserta didik
menjadi commited terhadap suatu sistem nilai. Dia diharapkan untuk
mengorganisasikan berbagai nilai yang dipilihnya ke dalam suatu sistem nilai
dan menentukan hubungan di antara nilai-nilai tersebut. Sebagai contoh, seorang
peserta didik mempunyai anggapan bahwa mempunyai pengetahuan secara
umum penting sekali. Dia juga beranggapan bahwa pengetahuan tentang Iptek
sangat penting tetapi tidak lebih penting dari pengetahuan agama Islam, sebab
pengetahuan agama Islam akan memberi pedoman dan kontrol terhadap
pengembangan Iptek. Kata kerja operasional pada tingkat pengorganisasian
adalah memilih, memutuskan, memformulasikan, membandingkan dan membuat
sistematisasi.
Pengalaman (characterization) berhubungan dengan pengorganisasian
dan pengintegrasian nilai-nilai ke dalam suatu sistem nilai pribadi. Hal ini
diperlihatkan melalui perilaku yang konsisten dengan sistem nilai tersebut. Ini
adalah merupakan tingkatan afektif tertinggi, karena sikap batin peserta didik
42
Suciati. TaksonomiTujuan Instruksionaldalam Mengajar di Perguruan Tinggi
(Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1994), 206. 43
Suke Selverius. Evaluasi Hasil Be/ajar dan Umpan Balik(Jakarta: Gramedia
Widia Sarana Indonesia, 1991), 3
8
philosophyof life yang mapan.44
Contoh hasil belajar pada tingkatan ini adalah:
peserta didik memiliki kebulatan sikap untuk menjadikan surat al-Ashr sebagai
pegangan hidup dalam disiplin waktu baik di sekolah, di rumah maupun di
tengah-tengah masyarakat. Kata kerja operasional pada tingkatan ini adalah
menunjukkan sikap, menolak, mendemonstrasikan dan menghindari. Afektif
yang harus dikembangkan oleh guru dalam proses belajar tentunya sangat
bergantung kepada mata pelajaran dan jenjang kelas, namun yang pasti setiap
mata pelajaran memiliki indikator afektif dalam kurikulum hasil belajar.45
Eksistensi afektif dalam pembelajaran memiliki pengaruh signifikan
terhadap domain kognitif dan psikomotor, karenanya luaran dari domain afektif
ini benar-benar sangat penting keberadaannya dalam proses belajar mengajar.46
Secara konseptual,47
aspek afektif sangat diyakini memegang peranan yang
sangat penting terhadap tingkat kesuksesan seseorang dalam bekerja maupun
dalam bidang kehidupan secara keseluruhan,48
yang dinafasi kejujuran dan
berkepribadian, yaitu karakteristik kebiasaan individu yang terpuji dalam tingkah
lakunya berhubungan dengan orang lain.49
Secara empiris, pendidikan afektif
yang sering diterjemahkan sebagai minat, sikap, penghargaan,50
pembentukan
watak seseorang dalam belajar, terbukti sangat mampu mengarahkan basis ilmu
pengetahuan yang dibentuk ke arah baik dan benar atau buruk dan salah. Karena
itulah, afektif menempati kedudukan setingkat lebih tinggi dari aspek kognitif
dan psikomotor dalam struktur ilmu. Fungsional afektif adalah dinamisator
perwujudan gerak motorik dalam belajar,51
di mana belajar, dipandang sebagai
upaya sadar seorang individu untuk memperoleh perubahan perilaku secara
keseluruhan, baik aspek kognitif, afektif dan psikomotor. Dan, sesungguhnya,
44
Anas Sudijono. Pengantar Evaluasi Pendidikan. (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1998), 43. 45
Burhanudin AK.. “Pengukuran Ranah Afektif Mata Pelajaran Pendidikan
Agama Islam dalam Penilaian Berbasis Kelas,” Jurnal Pelangi Ilmu Volume 2 Nomor 5,
Mei 2009, 117 46
David E. Krathwohl, Benyamin S. Bloom& Bertram B. Maisa, Taxonomy of
Education Objects, The Classification of Educational Goals, Handbook II: Affective
Domain (Longman, 1964), 49-50. 47
M. Dahlan. Y. Al-Barry dan L. Lya Sofyan Yaqub, Kamus Induk Istilah Ilmiah
(Surabaya: Target Press, 2003), 178. 48
Sofan Amri dan Iif Khoiru Ahmadi, Konstruksi Pengembangan Pembelajaran
(Jakarta: Prestasi Pustaka, 2010), 205. 49
Richard I. Lanyon dan Leonard D. Goodstein, Personality Assessment (New
York: John Wiley & Sons, Inc., 1997), 54. 50
Hisyam Zaini, dkk., Desain Pembelajaran di Perguruan Tinggi (Yogyakarta:
Ceter For Teaching, Staff Development (CTSD) IAIN Sunan Kalijaga, 2002), 68. 51
Suharsono, Melejitnya IQ, IE, dan IS (Jakarta: Inisiasi Press, 2001), 108.
9
ketiga ranah ini, sangat sesuai dengan karakteristik atau tipikal manusia dalam
berpikir, berbuat, dan berperasaan.52
Tipikal berpikir berkaitan dengan ranah kognitif yaitu yang berhubungan
dengan cara berpikir yang khas, tipikal berbuat berkaitan dengan ranah
psikomotor, yaitu yang berhubungan dengan cara bertindak yang khas dan tipikal
perasaan berkaitan dengan ranah afektif. Ranah afektif yaitu cara yang khas
dalam merasakan atau mengungkapkan emosi53
yang menggambarkan potensi
psikologis yang bersifat positif54
dan mencakup watak perilaku seperti; perasaan,
minat, sikap, atau nilai. Ketiga ranah tersebut merupakan karakteristik manusia
sebagai hasil belajar dan proses pendidikan pada umumnya. Pada konteks ini,
karakteristik tersebut dipahami sebagai kualitas yang menunjukkan cara-cara
khusus manusia dalam berpikir, bertindak dan berperasaan dalam berbagai
suasana.
Pengamatan terhadap praktek pendidikan formal di sekolah saat ini,
khususnya pendidikan tingkat dasar tampaknya masih kurang memperhatikan
masalah afektif ini, malah justru banyak dilakukan dan dikembangkan di luar
kurikulum formal sekolah55
seperti ESQ ala Ari Ginajar Agustian.56
Terbukti,
penyajian materi berorientasi pada penguasaan materi yang tercantum dalam
kurikulum atau buku teks, tidak mengaitkannya dengan isu-isu moral esensial
yang sedang terjadi di dalam masyarakat, sehingga peserta didik kurang mampu
memecahkan berbagai persoalan yang terjadi. Selain itu, peserta didik lebih
banyak menghadapi ulangan atau ujian dan terlepas dari prilaku kehidupan
mereka sehari-hari. Bahkan, materi pelajaran agama yang mengajarkan nilai-nilai
akhlak, dirasakan sebagai beban yang memberatkan. Maka, penerapan
pendidikan afektif dan mengisinya dengan nilai-nilai dasar kebutuhan manusia
sebagai nilai tertinggi yang menjadi isi pokok pendidikan menjadi sebuah
keniscayaan. Nilai dasar adalah nilai keimanan dan ketakwaan yang menjadi
kekuatan internal dalam diri peserta didik menemukan dirinya,57
menjadikan
mereka cerdas intelektual dan emosinya sehingga dapat memperluas pemahaman
ajaran agamanya, mendorong dan membina akhlak serta kepribadiannya58
berdasarkan shar‟i melalui penerapan pendekatan pembelajaran humanistis, yaitu
sikap perhatian, sikap kasih sayang dan sikap lemah lembut yang
52
Ahmad Darmadji. “Urgensi Ranah Afektif dalam Evaluasi Pendidikan Agama
Islam di Perguruan Tinggi,” UNISIA, 2011, VOL.XXX No. 74. 53
Darmiyati Zuchdi. Humanisasi Pendidikan (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), 22. 54
Abuddin Nata. Manajemen PendidikanMengatasi Kelemahan Pendidikan
Islam di Indonesia, Edisi Ketiga (Jakarta: Kencana, 2010), 38. 55
http://amalia07.files.wordpress.com/2008/07/modelpembelajaran-afektif,
(diakses 10 September 2013). 56
Ary Ginanjar Agustian. Emosional Spiritual Quotient, The ESQ Way 165
(Jakarta: Agra, 2005), 57. 57
Rohmat Mulyana, Mengartikulasikan Pendidikan Nilai (Bandung: Alfabeta,
2011), 256. 58
W. Gulo. Stategi Belajar Mengajar (Jakarta: Grasindi, 2005), 23.
10
diimplementasikan melalui penggunaan metode hikmah, mauiẓah dan
mujādalah59
sesuai tingkat pemahaman dan tipe belajar mereka. Tipikal metode
tersebut diarahkan pada aktivitas pembelajaran yang humanis, demokratis,
berintegritas, menarik, menyenangkan dan bermakna. Metode hikmah, yaitu
proses menyampaikan materi pendidikan dengan perkataan yang lemah lembut
namun tegas dan benar berdasarkan ilmu melalui argumentasi yang dapat
diterima akal dengan dialog menggunakan kata-kata bijak sesuai tingkat
kepandaian dan bahasa yang dikuasai peserta didik. Metode mauiẓah, yaitu
proses memberikan materi melalui nasihat dan perumpamaan yang menyentuh
jiwa menurut kadar pengetahuan objeknya yang sederhana dan kesesuaian
nasihat yang diberikan kepada para peserta didik dengan keteladanan yang
tercermin dalam sikap pendidik. Metode mujādalah, yaitu proses penyampaian
materi melalui diskusi atau perdebatan, bertukar pikiran menggunakan cara yang
terbaik, sopan santun, saling menghormati, menghargai dan tidak arogan dan
metode pembiasaan. Pendekatan dan metode ini akan peneliti gunakan untuk
mengkaji implementasi pendidikan afektif dalam membentuk akhlak mulia pada
peserta didik di MIS Ismaria Al-Quraniyah, MIN Sukarame, dan SD Al-Kauthar
Bandar Lampung.
Berdasarkan observasi60
yang telah dilakukan menunjukkan bahwa
kedisiplinan dan keramahtamahan (hospitality) pada pendidikan tingkat dasar
tersebut sangat ditekankan. Ucapan salam disertai senyuman yang ramah
menjadi keseharian para peserta didik. Akhlak mulia menjadi satu keharusan di
madrasah ini.61
Di samping itu, juga terdapat persoalan mendasar yang
nampaknya cukup paradoks, yaitu: Pertama, tidak semua peserta didik berasal
dari lingkungan keluarga yang harmonis. Ada di antara mereka yang orang
tuanya broken home,62
atau orang tuanya bermasalah yang dapat menimbulkan
kegaduhan dan berimplikasi pada absensi, keterlambatan, pembangkangan, tidak
mengerjakan tugas, tidur di kelas dan menyontek. Lingkungan keluarga yang
kondusif dapat menjaga kesinambungan penerapan akhlakmulia yang
dilaksnakan di madrasah. Sebaliknya, lingkungan63
keluarga yang bermasalah,
dapat menyebabkan terputusnya sosialisasi dan internalisasi nilai-nilai akhlak
59
Ahmad Alim. Tafsir Pendidikan Islam (Jakarta: AMP Press, 2014), 95. 60
Observasi awal tentang Model PendidikanAfektifpadatiga objek penelitian
tanggal 22 Juli-21 September 2013. 61
Observasi awal terhadap AkhlakMulia peserta didik di tiga objek penelitian
tanggal 22 Juli-21 September 2013. 62
Broken Home adalah kondisi keluarga yang tidak harmonis,sering terjadi
keributan, perselisihan dan pertengkaran yang berakhir pada perceraian,
http://msyafransmts.blogspot.com/2014/01/ makalah-tentang-broken-ome.html (diakses
10 September 2013). 63
Lingkungan merupakan keseluruah aspek atau fenomena fisik atau sosial yang
mempengaruhi perkembangan individu yang diterima melalui penglihatan, penciuman,
pendengaran, dan rasa,http://www. psychologymania.acom/2013/04/pengertian-
lingkungan html (diakses 10 September 2013).
11
mulia yang diterima peserta didik di madrasah. Kedua, pendidikan tingkat dasar
adalah madrasah yang tidak berasrama,64
sehingga tidak memiliki peluang yang
memadai untuk menjaga kontinuitas pembinaan akhlak mulia secara intensif dan
integral-holistik. Di samping itu, peserta didik datang dari berbagai daerah
dengan latar belakang kultur budaya65
beragam tidak jarang menimbulkan
persoalan-persoalan baru terjadinya gesekan dan benturan sosiologis maupun
psikologis yang dapat menghambat bagi penerapan sifat-sifat jujur, amanah,
disiplin, kerja keras, toleransi, tanggung jawab dan rasa hormat sebagai dasar
utama akhlak mulia.
B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
Berdasar latar belakang di atas, maka dapat diidentifikasi beberapa
masalah sebagai berikut:
a. Proses informasi dan transformasi media masa sebagai produk globalisasi
yang semakin sering menayangkan perselisihan berbagai pihak, kekerasan
antar pelajar bahkan mudahnya menyaksikan tayangan a-susila dalam
kehidupan bermasyarakat menunjukkan bahwa bangsa Indonesia sedang
mengalami krisis moral.
b. Masih adanya pelanggaran-pelanggaran terhadap norma-norma dan peraturan
madrasah secara terus menerus, seperti banyaknya kasus membolos,
menyontek, terlambat masuk sekolah, tidak mengerjakan PR, tawuran antar
pelajar, berperilaku kurang sopan terhadap guru dan malas belajar
menunjukkan bahwa sistem pendidikan nasional belum efektif dalam
membangun kerangka bangunan bangsa yang terdidik.
c. Pembentukan akhlak mulia di madrasah masih terfokus pada pengenalan
konsep-konsep bidang studi sehingga peserta didik hanya sekedar tahu saja
belum menyentuh aspek internalisasi secara kongkrit dan aplikatif
menunjukkan perlunya implementasi pendidikan afektif secara terencana,
terukur dan konsisten.
2. Pembatasan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah di atas, maka dalam
penelitian ini perlu adanya pembatasan masalah agar pengkajian masalah lebih
terfokus dan terarah. Namun, karena keterbatasan peneliti baik dalam hal
kemampuan, dana, waktu dan tenaga maka penelitian ini hanya membatasi
masalah pada: Implementasi pendidikan afektif yang humanistis dalam
64
Asrama adalah tempat menginap yang ditujukan untuk suatu kelompok/
murid-murid sekolah, http://id.wikipedia.org/wiki/Asrama (diakses 10 September 2013). 65
Budaya bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi dan akal manusia.
Budaya adalah cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok
masyarakatdan diwariskan dari generasi ke generasi.
12
membentuk sifat jujur, amanah, disiplin, tanggung jawab, kerjakeras, toleransi
dan rasa hormat peserta didik pada MIS Ismaria Al-Quraniyah, MIN Sukarame
dan SD Al-Kautsar di Kota Bandar Lampung tahun 2012/2014.
3. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, identifikasi dan pembatasan masalah
tersebut di atas, maka dapat dirumuskan:
1. Bagaimana konsep pendidikan afektif pada satuan pendidikan tingkat dasar
2. Bagaimana pelaksanaan tujuh nilai dasar akhlak peserta didik pada satuan
pendidikan tingkat dasar
3. Bagaimana proses implementasi pendidikan afektif dalam membentuk akhlak
mulia pada satuan pendidikan tingkat dasar
C. Penelitian Terdahulu yang Relevan
Penelitiantentang pembentukan akhlak mulia telah banyak dilakukan
para peneliti baik di dalam maupun luar negeri, di antaranya: Berkowitz
Wolfgang66
dan Marvin di Amerika tahun 2006 yang melakukan penelitian
terkait dengan pendidikan moral berjudul: “Moral Education and Character
Education: The Relationship and Roles in Citizenship Education”. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa peran sekolah dalam membantu perkembangan
moral negara perlu difokuskan pada pengembangan moral yang lebih luas. Masih
terkait dengan pendidikan moral adalah penelitian yang dilakukan oleh suatu
lembaga di Amerika Serikat The What Works Clearinghouse (WWC) yang
mengidentifikasi program-program pendidikan untuk mengembangkan karakter
peserta didik dengan mengajarkan nilai-nilai inti (core values). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa terdapat bukti yang meyakinkan mengenai pengaruh
intervensi pendidikan karakter terhadap perilaku, pengetahuan, sikap dan nilai,
serta prestasi akademik.
Thomas Lickona, Eric Schapes dan Catharine Lewis, menjelaskan bahwa
ada 11 prinsip pendidikan moral (karakter) yang efektif. Prinsip-prinsip tersebut,
yaitu: (1) Promotes core ethical values as the basis of good character. (2)
Defines “character” comprehensively to include thinking, feeling, and behavior.
(3) Uses a Comprehensive, intentional, proactive, and effective approach to
caharacter Development. (4) Creat a caring school Community. (5) Provides
students with opportunites for moral Action. (6) Includes a meaningful and
challenging academic curriculum that respects all learners, develops their
character, and help them to succeed. (7) Strives to foster students ‟self-
motivation. (8) Engages the school staff as a learning and moral Community that
shares responsibility for character Education and a students. (9) Fosters shafed
moral leadership and long-rang support of the character education initiative.
66
Berkowitz Wolfgang dan Marvin. “Moral Education and Character Education:
The Relationship and Roles in Citizenship Education” dalam Journal of Moral
Education, volume 35, Desember 2006.
13
(10) Engages families and Community members as partner in the character-
building effort. (11) Evaluetes the character of the school, the school staffs
functioning as character Education, and the extent to whice students manifest
good character.67
Sejauh ini penelitian yang terkait pembentukan akhlak lebih banyak
bersifat evaluatif praktis, serta kajiannya lebih dari sisi proses belajar mengajar,
dan sistem evaluasinya. Kajian dari sudut pendidikan afektif belum banyak
dilakukan. Bahkan kajian pendidikan afektif merupakan sesuatu yang masih
langka di Indonesia. Oleh karena itu penelitian ini mencoba untuk mengisi
kelangkaan tersebut yang berlandasakan pada penelitian sebelumnya, yaitu:
Wong Ping-ho Law Sin-yee, Angelina Yip Sin-ching68
dalam
penelitiannya berjudul Affective Education: The Value Development of Hong
Kong Student-Teachers berksimpulan bahwa pendidikan afektif merupakan
dimensi penting dari pengajaran, yang berkaitan dengan nilai-nilai, perasaan,
keyakinan, sikap dan kesejahteraan emosional peserta didik. Hal ini penting
terutama untuk mengetahui nilai-nilai apa yang harus guru miliki dalam
melaksanakan proses belajar mengajar dan bagaimana pula nilai-nilai itu dapat
memperbaiki perilaku peserta didik selama mereka sekolah. Guru secara
langsung, sangat berpengaruh terhadap pengembangan moral dan spiritual
peserta didiknya dalam menentukan corak generasi masa depan. Alasan
pendidikan afektif dilaksanakan di kedua sekolah dasar dan menengah di Hong
Kong,69
karena pendidikan afektif merupakan bagian dari proses pendidikan
yang menyangkut sikap diri, perasaan, keyakinan dan emosi peserta didik yang
melibatkan penyediaan sarana pendukung dan bimbingan.70
Perbedaannya adalah
terletak pada pendekatan yang diterapkan. Dalam penelitian yang akan
dikembangkan, guru berfungsi sebagai figur teladan dapat melakukan
transpormasi nilai-nilai positif pada peserta didik sesuai kadar dan tingkat
kemampuan peserta didik melalui penerapan pendekatan humanistis yang
terepresentasi pada sikap perhatian, sikap kasih sayang, sikap lemah lembut dan
pembiasaan serta menggunakan metode; hikmah, mauidzah, dan mujadalah.
67
Thomas Lickona. CEP‟SEleven Principles of Effective Character (New York:
Bantam Books, 2003), 2-5. 68
Wong Ping-ho Law Sin-yee, Angelina Yip Sin-ching,Affective Education: The
Value Development of Hong Kong Student-Teachers dalamhttp://conference.nie.edu.sg/
paper/new%20converted/ab00566.pdf(diakses 10 Oktober 2013). 69
E.Tung. “Changing Political Scenario in Hong Kong and Its Impact on
Education after July 1997”.Paper presented on the Australian Association for Research
in Education, Brisbane. Retrieved on April 18 2005 dalam
http://www.aare.edu.au/97pap/tunge502.htm (diakses 10 September 2013). 70
Peter Lang. Towards an Understanding of Affective Education in a European
Context,dalam http:// conference.nie.edu.sg/ paper/ new% 20 converted/ab00566.pdf.
(diakses 10 Oktober 2013).
14
Peter Lang,71
dalam penelitiannya berjudul Towards an Understanding
of Affective Education in a European Context berkesimpulan bahwa guru
memainkan peranan penting bagi peserta didik dalam pendidikan afektif; baik
guru pengasuh, spesialis subjek, pengantar program khusus, konselor dan
manajer. Guru sebagai "model pertumbuhan manusia" memberikan arti bahwa
peserta didik secara tidak sadar telah mempelajari dan meniru nilai-nilai dan
cara-cara guru berperilaku.72
Perbedaannya adalah guru selain berfungsi sebagai
model juga motivator dan dinamisator yang penuh simpati, empati, kasih sayang
dan cinta dalam membimbing dan mengarahkan peserta didik mencapai
kedewasaannya.
Chia-Fang Hsu73
dalam memperoleh gelar Doktor bidang Pendidikan
dari University of Warwick, Institut Pendidikan Cina melakukan penelitian
berjudul A Comparative Research on Affective Education in Taiwan and China,
yang bertujuan untuk menyelidiki sifat dan pengembangan pendidikan afektif
dalam konteks Cina pada pendidikan tingkat dasar yang diterapkan oleh guru dan
murid di Taiwan dan Cina. Dalam studi ini, istilah 'pendidikan afektif' mengacu
pada semua kurikulum, baik terencana atau tersembunyi (hidden) yang disiapkan
untuk meningkatkan perkembangan afektif murid, berdasarkan penelitian empiris
yang dilakukan terfokus pada guru dan murid pada tahun ke 5 dan 6 di 12
sekolah dasar di Taiwan dan Cina. Temuan utamanya adalah bahwa pentingnya
pendidikan afektif secara luas diakui oleh guru dan murid. Dalam penerapan
pendidikan afektif di sekolah dasar di kedua negara tersebut maka berbagai
inisiatif dilakukan, termasuk mengidentifikasi berbagai kesulitan guru dalam
memberikan pendidikan afektif. Perbedaannya adalah peningkatan kompetensi
guru selain dibekali dasar-dasar ilmu keguruan baik penguasaan materi maupun
administratif, juga pemahamannya terhadap al-Qurān dan al-Hadith yang baik
sebagai dasar pokok pendidikan yang bertujuan tidak saja membentuk manusia
pintar otaknya tetapi juga pintar hatinya.
Mc Phail yang mengembangkan kepribadian anak menjadi manusia
otentik dan kreatif telah melakukan penelitian berjudul Model Konsiderasi
(Consideration Model) berkesimpulan bahwa ia dengan tegas berkeberatan
terhadap pendidikan moral yang terlampau rasional dan kognitif. Moralitas
71
Peter Lang, Katz, Y. & Menezes I. (Eds.). Affective Education: A
Comparative View, pp.3-16 (London: Cassell, 1998), http://citeseerx.ist.psu.edu/
viewdoc/download?doi=10.1.1.494.6031&rep=rep1&type=pdf (diakses Nopember 2014) 72
R.Zigler, John Dewey, Eros. “Ideals and Collateral Learning Towards a
Descriptive Model of Exemplary Teacher.” Philosophy of Education. Philosophy of
Education Society. Retrieved on April 4 2005 dalam http://www.ed.uiuc.edu/EPS/PES-
Yearbook/2001/zigler%2001.pdf (diakses 10 Oktober 2013). 73
Chia-Fang Hsu. A Comparative Research on Affective Education in Taiwan
and China, A Thesis Submitted in Partial Fulfillment of the Requirements for the Degree
of Doctor of Philosophy in Education, University of Warwick, Institute of Education
http://wrap.warwick.ac.uk/2659/1/WRAP_THESIS_Hsu diakses (diakses 10 Oktober
2013).
15
dipandangnya lebih bersifat sebagai gaya kepribadian dari pada gaya berfikir.74
Moralitas ialah hidup bersama dalam keharmonisan dengan sesama.
Pembelajaran etika/moral bertujuan untuk membantu peserta didik agar
memedulikan dan mengindahkan orang lain, memperhatikan perasaan dan
pribadi orang lain. Perbedaannya adalah terletak pada pendekatan yang
diterapkan sebagai dasar rujukan pelaksanaan di mana penelitian ini
menggunakan pendekatan al-Quran dan al-Hadith sebagai sumber inti
pembelajaran moral/etika.
Patricia Schaber,75
dkk. dalam penelitiannya tentang pendidikan afektif
yang dihubungkan dengan kesehatan berkesimpulan bahwa afektif adalah
dimensi kunci pendidikan profesional kesehatan, melibatkan topik pengajaran
seperti empati atau kesedihan, yang berdampak pada perubahan sikap dan
keyakinan peserta didik. Tujuannya adalah mempersiapkan peserta didik sebagai
profesional atau sebagai pemula praktisi dalam merespons pengaturan perawatan
kesehatan. Perbedaannya adalah penelitan ini berusaha menciptakan suasana
belajar yang demokratis, kreatif, mandiri tanpa paksaan dan tekanan sehingga
peserta didik mampu merepresentasikan dirinya sebagai pribadi yang profesional
secara fisikis, sosiologis maupun keilmuan.
Siti Nurmayasari76
dalam penelitiannya berjudul Strategi Pendidikan
Nilai menyimpulkan bahwa pendidikan nilai menentukan keberhasilan belajar
seseorang. Orang yang tidak memiliki minat pada pelajaran tertentu sulit untuk
mencapai keberhasilan belajar secara optimal. Seseorang yang berminat dalam
suatu mata pelajaran diharapkan akan mencapai hasil pembelajaran yang
optimal. Oleh karena itu, semua pendidik harus mampu membangkitkan minat
peserta didik untuk mencapai kompetensi yang telah ditentukan. Selain itu ikatan
emosional sering diperlukan untuk membangun semangat kebersamaan,
semangat persatuan, semangat gotong royong, rasa sosial, dan sebagainya. Untuk
itu semua dalam merancang program pembelajaran, satuan pendidikan harus
74
Mc. Phail. “Considertion Model of Affective/Value Education,” tersedia dalam
https://books.google.co.id/books?id=W0G3hDY50YcC&pg=PA259&lpg=PA259&dq=c
onsideration+model+of+value+education+by+Mcphail&source=bl&ots=qcftMpmdSY&
sig=tx6oEfxl67h1fw9OBooVHpvFiAw&hl=id&sa=X&ved=0ahUKEwiSsYe37b_LAhW
mnnIKHZcXAI8Q6AEIITAB#v=onepage&q=consideration%20model%20of%20value
%20education%20by%20Mcphail&f=false. Liat juga Yusri Panggabean, dkk. Strategi,
Model dan Evaluasi (Bandung: Bina Media Informasi, 2007), 84 75
Patricia Schaber. Designing Learning Environments to Foster Affective
Learning: Comparison of Classroom to Blended Learning, ijSOTL: International Journal
for the Scholarship of Teaching and Learning vol. 4, No. 2 (July 2010)ISSN 1931-4744
@ Georgia Southern University. Venes (Ed.), 2009, h. 56. Dapat juga diakses di http://
digitalcommons.georgiasouthern.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1232&context=ij-sotl.
Baca juga dalam Sofan Amri dan Iif Khoiru Ahmadi, Konstruksi Pengembangan
Pembelajaran, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2010), 211 76
Siti Nurmayasari. “Strategi Pembelajaran Afektif,” tersedia dalam http://
meynurmaya.wordpress.com/(diakses 10 Oktober 2013).
16
memperhatikan ranah afektif. Perbedaannya adalah adanya stimulus yang
dilakukan guru berupa contoh-contoh kongkrit untuk merangsang pertumbuhan
dan perkembangan minat peserta didik secara alami dan bertahap sesuai
kebutuhan peserta didik.
Dani Rahmadani,77
dalam penelitiannya berjudul Implementasi
Pendidikan Nilai dalam Mata Kuliah Dasar Umum (MKDU) brkesimpulan
bahwa pendidikan nilai/afektif masih menekankan pencapaian kemampuan
kognitif. Sehingga proses valuing (emoting dan spiritualizing) tidak terjadi
dalam pendidikan umum.78
Menurut Dani, terdapat lima asumsi dasar pendidikan
nilai/afektif, yaitu:(1) perilaku moral merupakan penguatan diri (selft-
reinfocing), (2) pendidikan afektif harus ditujukan kepada kepribadian secara
utuh (the total personality), (3) peserta didik menghargai orang dewasa yang
menjadikan dirinya “tauladan kepedulian”, (4) peserta didik terbuka terhadap
belajar, tetapi membenci terhadap otoritarianisme, dominasi, kekangan, (5)
remaja secara bertahap berkembang ke arah kematangan dalam hubungan sosial
(kemampuan memedulikan dan membantu orang lain). Perbedaannya adalah
peserta didik diarahkan untuk lebih menyadari dan memahami potensi yang
dimilikinya untuk dikembangkan secara optimal guna mencapai kemandirian dan
kesiapan dalam menghadapi berbagai persoalan.
Howard Gardner79
dalam penelitiannya berjudul Frames of Mind: The
Theory of Multiple Intelligences berkesimpulan bahwa “manusia sukses tidak
ditentukan oleh IQ, melainkan oleh banyak jenis kecerdasan lainnya”. Lebih
lanjut Gardner, seorang psikolog dari Harvard School of Education menegaskan,
konsep IQ sebagai tolok ukur kecerdasan/ keberhasilan banyak ditentang
berbagai pakar pendidikan. Senada dengan Garder adalah Munif Chotib80
dalam
penelitiannya berjudul Sekolahnya Manusia, Sekolah Berbasis Intelligence di
Indonesia berkesimpulan bahwa seorang anak dikatakan cerdas bukan hanya
karena kecerdasan kognitifnya semata. Menurutnya, nilai tidak bisa diajarkan
tetapi diketahui dari penampilannya. Pengembangan domain afektif pada nilai
tidak bisa dipisahkan dari aspek kognitif dan psikomotorik dan perkembangan
77
Dani Rahmadani. “Implementasi Pendidikan Nilai dalam Mata Kuliah Dasar
Umum (MKDU),” Disertasi (Bandung: Pasca Sarjana UPI, 2005), 90-91. 78
UPI Digital Library, http://digilib.upi.edu/digitalview.php?digital_id=1064
(diakses 10 Oktober 2013). 79
Howard Gardner. Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences
(NewYork: BasicBooks, cet. 3, 2011) Tersedia dalam http://www.niu.edu/facdev/
resources/ guide/learning/howard_gardner_theory_multiple_intelligences.pdf (diakses
10 Oktober 2013). Lihat juga dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Theory_of_multiple_
intelligences (diakses 10 Oktober 2013). 80
Munif Chotib. Sekolahnya Manusia, Sekolah Berbasis Intelligence di
Indonesia, cet. IV. (Bandung: Mizan, 2009), 215. Lihat juga Terry Bowles,“Self-rated
Estimates of Multiple Intelligences Based on Approaches to Learning.”Australian
Journal of Educational & Developmental Psychology. Vol 8, 2008, pp. 15-26. dalam
http://files.eric.ed.gov/fulltext/EJ815629.pdf. (diakses 10 Oktober 2013).
17
nilai atau moral tidak terjadi sekaligus, tetapi melalui tahap tertentu.
Perbedaannya adalah terletak pada sinergitas penerapan tiga potensi dasar
manusia dalam satu konsep terpadu menurut perspektif al-Qurān dan al-Hadith.
Berdasarkan hasil penelitian terdahulu yang telah dipaparkan tersebut di
atas, persamaannya dengan penelitian yang akan peneliti laksanakan adalah
terletak pada konsep teoretis, tujuan dan fungsi pendidikan afektif dalam
membenuk akhlak mulia pada peseta didik di lingkungan formal seperti
madrasah yang merupakan inti dari objek penelitian ini. Perbedaannya adalah
terletak pada implementasinya, di mana penelitian yang akan dilakukan,
mencoba mendeskripsikan secara mendalam bahwa pendidikan afektif dapat
diimplementasikan di lingkungan pendidikan formal seperti madrasah yang dapat
membentuk akhlak mulia peserta didik secara signifikan melalui adaptasi materi
pelajaran, metode dan media pembelajaran serta menerapkan proses belajar
mengajar yang humanis, demokratis, berkarakter dan berintegritas serta
memberikan keleluasaan kepada peserta didik dalam mengembangkan dan
mengoptimalisasikan potensi yang dimiliki dirinya sehingga dapat menemukan
nilai-nilai positif dan bermanfaat bagi dirinya maupun masyarakat luas dari hasil
pengalaman belajarnya itu.
D. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujun untuk memperoleh deskripsi yang rinci dan jelas
serta mendalam tentang:
1. Konsep pendidikan afektif pada satuan pendidikan tingkat dasar
2. Penerapan tujuh nilai dasar akhlak peserta didik pada satuan pendidikan
tingkat dasar
3. Proses implementasi pendidikan afektif dalam membentuk akhlak mulia pada
satuan pendidikan tingkat dasar.
E. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik teoritis dan
praktis.
1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk
mengembangkan keilmuan dalam bidang pendidikan, khususnya pendidikan
afektif dan menjadi bahan acuan bagi penelitian-penelitian selanjutnya.
2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada
pimpinan yayasan, kepala madrasah, guru, dan seluruh civitas akademika,
terutama para pemerhati pendidikan khususnya pemerintah melalui
Kemendibud Provinsi dan Kabupaten/Kota, Kementerian Agama RI Provinsi
dan Kabupaten/Kota tentang pedoman pelaksanaan pendidikan afektif.
F. Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian etnometodologi dan
psikologis-paedagogis. Metode etnometodologi sering disebut juga metode
18
fenomenologi adalah termasuk metode kualitatitf, naturalistik yang mempelajari
bagaimana perilaku sosial dapat dideskripsikan sebagaimana adanya (naturally),
berupaya untuk memahami bagaimana masyarakat memandang, menjelaskan dan
menggambarkan tata hidup mereka sendiri.81
Metode etnometodologi ini
digunakan untuk meneliti proses yang berlangsung dalam kehidupan warga
sekolah yang diteliti. Karena itu, aspek psikologis-paedagogis meruapkan hal
yang tak dapat ditinggalkan. Untuk mencapai maksud itu, metode ini
menekankan kepada peneliti untuk dapat berhubungan secara intensif bersama
warga sekolah yang diteliti dan berpartisipasi dalam kegiatan warga sekolah
yang sedang diteliti sehingga diperoleh suatu tingkat penghayatan yang
semedalam mungkin.82
Warga sekolah yang diteliti diperlakukan sebagai subjek
penelitian, bukan sebagai objek. Dalam penelitian ini, pemahaman terhadap
kehidupan warga sekolah yang diteliti sangat ditekankan. Karena itu,
pengamatan secara rinci dengan survai di lapangan dan wawancara mendalam
merupakan tugas yang diwajibkan. Kecuali itu, pencatatan terhadap perlbagai
dokumen dan sejarah hidup yang menyangkut sejumlah warga sekolah yang
dijadikan subyek penelitian juga menjadi bagian penting dalam kegiatan
penelitian ini.83
1. Obyek Penelitian
Objek penelitian adalah pendidikan tingkat dasar di kota Bandar
Lampung, yaitu: Madrasah Ibtidaiyah Swasta (MIS) Ismaria Al-Quraniyyah
yang beralamat di Jalan H. Komaruddin Komplek Polri Gang Parkit Nomor 057
Rajabasa, Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) Sukarame yang beralamat di Jalan
Pulau Tegal Nomor 21 Sukarame, dan Sekolah Dasar (SD) Al Kautsar yang
beralamat di Jl Soekarno Hatta, Way Gubak, Panjang, Kota Bandar Lampung.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimanakah proses implementasi
pendidikan afektif terhadap aspek internalisasikan nilai-nilai akhlak mulia.
2. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi dua, yaitu
sumber data primer dan sumber data sekunder.84
Sumber data primer adalah
pernyataan dan tindakan dari orang-orang yang diamati atau yang diwawancarai
81
Noeng Muhadjir. Metodologi Penelitian Kuaitatif Edisi IV (Yogyakarta: Rake
Sarasin, 2000), 129. 82
Burhan Bungin. Peneltian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan
Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya Cet. ke-5 (Jakarta: Kencana, 2011), 44. 83
Syafri Sairin. Perubahan Sosial Masyarakat Indonesia (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2002), 28-29. Lihat Steven J. Taylor dan Robert Bogdan, Introduction to
Qualitative Research Methods: The Search of Meaning (New York: John Wiley & Sons,
1984), 16-30. 84
Suharsimi Arikunto. Prosedur Peneltian: Suatu Pendekatan Praktik, Edisi
Revisi (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), 21.
19
yang dicatat melalui catatan tertulis atau melalui perekaman dan pengambilan
foto85
berjumlah 113 orang, yang terdiri dari 3 kepala madrasah, 6 waka, 3 wali
kelas, 3 guru BP, 15 guru bidang studi dan 83 peserta didik (27 MIS Ismaria Al-
Quraniyah, 28 MIN Sukarame, 28 SD Al-Kautsar). Data sekunder bersumber
dari dokumen-dokumen resmi86
yang ada di lokasi penelitian berupa catatan,
gambar, foto dan bahan lain yang dapat mendukung penelitian ini.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi partisipatif,
wawancara mendalam, dan studi dokumentasi.87
Peneliti menggunakan teknik
pengumpulan data yang berbeda-beda untuk mendapatkan data dari sumber yang
sama. Observasi partisipatif, yaitu: peneliti ikut terlibat langsung dalam kegiatan
orang/seseuatu yang sedang diamati agar data yang diperoleh akan lebih lengkap,
tajam dan ditail.88
Sementara, wawancara mendalam, yaitu proses memperoleh
keterangan untuk tujuan penelitian dengan atau tanpa menggunakan pedoman
(guid) wawancara. Kekhasan wawacara mendalam adalah keterlibatannya dalam
kehidupan informan dan dilakukan berkali-kali dan membutuhkan waktu yang
cukup lama bersama informan di lokasi penelitian.89
dan teknik dokumentasi,
yaitu catatan peristiwa berbentuk tulisan, gambar, karya-karya monumental.
Dokumen berbentuk tulisan, yaitu: catatan harian, sejarah kehidupan, ceritera,
biografi, peraturan, kebijakan. Dokumen berbentuk gambar, seperti: patung, film.
Stuti dokumen merupakan pelengkap dari penggunaan metode observasi dan
wawancara, yang dalam penelitian ini akan digunakan untuk semua sumber data
secara serempak,90
dan kuesioner. Data observasi berasal dari pengamatan dan
pencatatan secara sistematik fenomena-fenomena yang diselidiki91
menggunakan
alat bantu kamera, tape recorder, handphone tentang perilaku peserta didik
selama berada di madrasah baik ketika sedang belajar, maupun ketika sedang
beraktivitas di lingkungan tempat mereka belajar. Data wawancara berasal dari
informan yang memiliki informasi tentang implementasi pendidikan afektif,
85
Lexy J.Moleong. Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi Revisi (Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya, 2007), 157. 86
M. Burhan Bungin. Penelitian Kualaitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan
Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya, Edisi Kedua (Jakarta: Kencana, 2011), 126. 87
Noeng Muhadjir. Metodologi Penelitatif Kualitattif, Edisi IV (Yogyakarta:
Rake Sarasin, 2000), 141. 88
Sugiyono. Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif
dan R&D (Bandung: Alfabeta, 2007), 310. 89
M. Burhan Bungin. Penelitian Kualaitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan
Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya, Edisi Kedua, 111. 90
Sugiyono. Metode PenelitianPendidikan, pendekatan Kuantitati, Kualitatif
dan R&D (Bandung: Alfabeta, 2011), 330. 91
Sutrisno Hadi. Metodologi Recearch Jilid 2 (Yogyakarta: Andi, 2000), 136.
20
terutama mereka yang terlibat92
langsung, seperti: kepala madrasah, wakil kepala
madrasah, guru bidang studi, dan guru BP. Data dokumentasi berupa: catatan,
transkrip, surat kabar, majalah, legger, agenda, notulen rapat dan kebijakan-
kebijakan serta peraturan-peraturan dan atau tata tertib93
berkaitan dengan
implementasi pendidikan afektif. Selain alat pengumpul data yang teleh
disebutkan. Juga, digunakan data kuesioner94
untuk mendukung data kualitatif.
Data kuesioner berasal dari hasil jawaban peserta didik 83 dari total 105
responden terhadap keberhasilan implementasi pendidikan afektif dalam
membentuk sikap disiplin, jujur, amanah, kerja keras, tanggung jawab, toleran
dan rasa hormat. Dan hasil jawaban 15 responden guru terhadap pengelolaan
pembelajaran yang menerapkan pendekatan sikap kasih sayang, lemah lembut
dan perhatian. Kuesioner menggunakan skala Likert95
dengan lima kategori
jawaban: selalu, sering, kadang-kdang, jarang, dan tidak pernah. Sumber data
adalah kelas IV MI/SD dari tiga madrasah/sekolah sebanyak 105 responden.
Teknik penentuan sampel digunakan Purposive Sampling96
yaitu
pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan bahwa sumber data
tersebut dianggap paling tahu tentang apa yang diharapkan sehingga akan
memudahkan peneliti menjelajahi objek yang diteliti. Penggunan teknik ini
karena peneliti sudah menetapkan terlebih dahulu sampel yang akan dipakai
untuk diteliti sesuai dengan tujuan penelitian yaitu keberhasilan pendidikn afektif
dalam menumbuh kembangkan kesadaran peserta didik berakhlak mulia. Dan
data kuesioner digunakan rumus Slovin97
dengan batas toleransi galat 5%, yaitu:
105/(1+105x0,052)=83 sampel. Selanjutnya, peneliti juga menggunakan data
sekunder atau data tidak langsung98
berupa; jurnal-jurnal, buku-buku, tulisan-
tulisan atau orang yang tidak berkaitan langsung, tetapi memiliki relevansi
dengan masalah penelitian, seperti: Ka. Kemenag Provinsi Lampung, Ka.
Kemenag Kota Bandar Lampung, Ka. Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota
Bandar Lampung dan Provinsi Lampung.
4. Teknik Analisis Data
Sesuai data yang didapat melalui metode pengumpulan data yang telah
disebutkan, maka analisis data yang digunakan adalah kualitatif deskriptif
92
Munzier Suparta. Perubahan Orientasi Pondok Pesantren Salafiyah terhadap
Perilaku Keagamaan Masyarakat (Jakarta: Asta Buana Sejahtera, 2009), 25. 93
M. Burhan Bungin. Penelitian Kualitatif Edisi Kedua: Ekonomi Komunikasi,
Kebijakan Publikdan Ilmu Sosial Lainnya, 274. 94
Sutrisno Hadi. Metodologi Research II (Yogyakarta: Andi, 2000), 158. 95
Sutrisno Hadi. Metodologi Research II, 159. 96
Sugiyono. Metode PenelitianPendidikan, pendekatan Kuantitati, Kualitatif
dan R&D, 300. 97
Consuelo G. Sevilla, et al.. Reseach Methods (Quezon City, Rex Printing
Company, 2007), 182. 98
Sugiyono. Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif
dan R&D, 128.
21
bersifat induktif, yaitu, suatu analisis berdasarkan data yang diperoleh,
selanjutnya dikembangkan hubungan tertentu atau menjadi hipotesis.99
Data
kualitatif diperoleh melalui observasi, wawancara dan dokumentasi dianalisis
secara triangulasi,100
yaitu: membanding-bandingkan data101
hasil observasi,
wawancara dan dokumentasi dengan berbagai pendapat dan pandangan orang
lain yang memiliki relevansi terhadap penelitian ini. Juga, menggunakan analisis
data statistik deskriptif dengan menggunakan perhitungan persentase. Data
kuesioner diperoleh dari hasil jawaban sikap peserta didik 83 responden terhadap
implementasi pendidikan afektif dalam membentuk sikap: disiplin, jujur,
amanah, kerja keras, tanggung jawab, toleran dan rasa hormat.
5. Pendekatan
Pendekatan (Approach) dalam pengajaran diartikan sebagai a way of
beginning something, cara memulai sesuatu sebagai titik tolak atau sudut
pandang terhadap proses pembelajaran. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif,
yaitu suatu penelitian berorientasi pada gejala-gejala yang bersifat alamiah
(naturalistik) dan mendasar atau bersifat kealamiahan yang dilakukan di
lapangan (field study),102
untuk memperoleh data berupa pendapat, tanggapan,
informasi, konsep-konsep dan keterangan yang berbentuk uraian dalam
mengungkapkan masalah sebagai rangkaian kegiatan atau proses penyaringan
data atau informasi yang bersifat sewajarnya mengenai suatu masalah dalam
kondisi, aspek atau bidang tertentu dalam kehidupan objeknya.103 Penelitin
menggunakan pendekatan penelitian induktif bersifat deskriptif kualitatif, yakni
penelitian yang dilakukan pada kondisi yang alamiah (natural setting).104
Dan
pendekatan psikologis-paedagogis,105
yaitu: pendekatan yang berpandangan
bahwa manusia adalah makhluk Tuhan yang berada dalam proses perkembangan
dan pertumbuhan rohaniah dan jasmaniah yang memerlukan bimbingan dan
pengarahan melalui proses kependidikan. Membimbing dan mengarahkan
perkembangan jiwa dan pertumbuhan jasmani dalam pengertian bahwa
pendidikan tidak dapat dipisahkan dari pengertian psikologis. Karena pekerjaan
mendidik atau mengajar manusia didasarkan pada tahap-tahap perkembangan/
pertumbuhan psikologis di mana psikologi telah banyak melakukan studi secara
khusus dari aspek-aspek kemampuan belajar manusia. Tanpa didasari dengan
99
Sugiyono. Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif
dan R&D, 335. 100
Lexy J. Moleong. Metodologi Penelitian Kualitatif, 178. 101
M. Burhan Bungin. Penelitian Kualitatif: 265. 102
Muhammad Nazir. Metode Penelitian (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1986), 159. 103
Hadari Nawawi. Metode Penelitian Ilmiah (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), 176 104
Sugiyono. Metode Penelitian Pendidikan, Pendekatan Kuantittif, kualitatif
dan R&D, 14. 105
Peter Cornolly (ed). Aneka Pendekatan Studi Agama( Yogyakarta: LKiS,
2011), 202-203.
22
pendekatan psikologis, bimbingan, dan pengarahan yang bernilai pedagogis tidak
akan menemukan sasaran yang tepat, yang berakibat pada pencapaian produk
pendidikan yang tidak tepat pula. Antara pedagogik dengan psikologi saling
mengembangkan dan memperkokoh dalam proses pengembangan akademiknya
lebih lanjut, juga dalam proses pencapaian tujuan pembudayaan manusia melalui
proses kependidikan.106
Alasan penggunaan metode ini adalah untuk
mendapatkan pemahaman secara lebih mendalam tentang proses implementasi
pendidikan afektif dalam membentuk akhlak mulia peserta didik pada satuan
pendidikan tingkat dasar di Lampung.
G. Sistematika penulisan
Untuk mendapatkan uraian yang memadai penelitian ini dibagi menjadi
enam bab dengan perincian:
Bab I. Pendahuluan berisi: latar belakang masalah, permasalahan,
penelitian terdahulu yang relevan, tujuan, manfaat, metodologi
penelitian dan sistematika penulisan.
Bab II. Akhlak Mulia dan Pendidikan Afektif, berisi: konsep akhlak mulia,
konsep pendidikan afektif, dan korelasi akhlak mulia dengan
pendidikan afektif.
Bab III. Wawasan tentang Nilai-nilai Dasar Akhlak Mulia dan Pendidikan
Afektif dalam al-Qurān, berisi: Ragam nilai dasar akhlak mulia
dalam al-Qurān. Pendidikan afektif dalam perspektif al-Qurān.
Corak afektif dalam kehidupan Rasulullah SAW sebagai cermin
akhlak mulia. Model pendekatan pendidikan afektif dalam
membentuk akhlak mulia.
Bab IV. Penerapan Nilai-Nilai Dasar Akhlak Mulia dalam Pendidikan
Afektif pada Pendidikan Tingkat Dasar di Lampung, berisi: Potret
Dunia Pendidikan secara Umum di Lampung. Fenomena
Pendididkan Afektif pada Lembaga Pendidikan Tingkat Dasar di
Madrasah. Penerapan Tujuh Nilai Dasar Akhlak Mulia dalam
pendidikan Afektif, meliputi: kejujuran, amanah, disiplin, tanggung
jawab, toleran, kerja keras dan rasa hormat.
Bab V. Integrasi antar Kecerdasan dan Ragam Komponen Pembelajaran
dalam Mencapai Keberhasilan Akhlak Melalui Pendidikan Afektif
di Era Globalisasi, berisi: Integrasi antar empat kecerdasan,
meliputi: kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, kecerdasan
spiritual dan kecerdasan sosial. Integrasi antar Ragam Komponen
Pembelajaran, meliputi: tujuan, pendidik, bahan ajar, proses belajar
mengajar, evaluasi, dan lingkungan pembelajaran. Pendidikan
Afektif Respons Krisis Akhlak di Era Globalisasi, meliputi:
106
http://www.budhii.web.id/2014/10/pendekatan-pedagogis-dan-psikologis.
html
23
tantangan pendidikan masa depan, pendidikan afektif solusi efektif
mengatasi krisis akhlak.
Bab VI. Penutup, berisi: Kesimpulan, Implikasi dan Rekomendasi