pemberian obat
DESCRIPTION
Parasetamol, mekanisme obat pada reseptorTRANSCRIPT
TUGAS
NAMA: NANA JUNIARTI N.D.
MEKANISME AKSI OBAT (1)
Satu prinsip dasar dari farmakologi adalah molekul obat dapat mempengaruhi
komponen organisme hidup sehingga dapat menghasilkan efek atau respons. Obat
dapat bekerja dalam tubuh apabila berinteraksi atau berikatan dengan komponen
tubuh dan berdasarkan apakah obat tersebut diperantarai oleh komponen tertentu
dari sel (target obat spesifik). Dalam bekerja pada suatu organisme hidup,
mekanisme aksi obat dibedakan menjadi: 1) Aksi non spesifik, yaitu mekanisme aksi
obat yang didasarkan sifat fisika kimiawi yang sederhana, 2) aksi spesifik, yaitu
mekanisme aksi obat yang melibatkan interaksi dengan komponen spesifik
organisme, misalnya reseptor, enzim, komponen genetik dan kanal ion.
a. Aksi Obat Non-Spesifik
Pertimbangan utama obat yang beraksi dengan mekanisme fisika kimiawi non-
spesifik adalah bahwa obat tersebut tidak menunjukkan efek yang lain pada
dosis di mana obat tersebut menghasilkan suatu aksi fisika kimiawi dalam miliu
fisiologi yng sesuai. Aksi obat non-spesifik biasanya melibatkan dosis yang besar
dalam menimbulkan efek atau respon.
1) Aksi obat berdasarkan sifat fisika
1. Aksi obat bedasarkan sifat osmolaritas
Obat yang termasuk dalam golongan ini adalah obat yang menimbulkan
efek karena sifat osmotiknya. Contohnya: diuretik osmotik (manitol,
trometamol dan urea). Larutan hipertonik dari senyawa ini dapat dengan
mudah mencapai tubulus nefron dan menghasilkan efek osmosis
sehingga menurunkan proses reabsorpsi air dan ion natrium.
Penghambatan reabsorpsi tersebut kemudian efek diuresis.
2. Aksi obat berdasarkan massa fisis
Aksi obat ini diakibatkan oleh perubahan massa fisis dari obat tersebut.
Contohnya: bulk laxative (metilselulosa dan gum), merupakan polimer
polisakarida yang sulit dicerna pada proses normal dalam usus halus.
Agen ini dapat menahan air dalam lumen usus sehingga meningkatkan
volume air dan selanjutnya merangsang aktivitas peristaltik dan memacu
defekasi.
3. Aksi obat berdasarkan sifat adsorben
Suatu material yang partikelnya mempunyai area permukaan adsorpsi
yang luas dapat digunakan untuk pengobatan diarea, misalnya Kaolin,
attapulgit, dan karbon aktif.
4. Aksi obat berdasarkan rasanya
Senyawa yang berasa pahit dapat menginduksi keluarnya asam klorida ke
lambung sehingga merangsang nafsu makan. Contohnya: gentian dan
calumba
5. Aksi obat pengendapan protein
Beberapa desinfektan misalnya fenol, beraksi dengan mendenaturasi
protein mikroorganisme. Astringen dan senyawa hemostatik tertentu juga
beraksi mengendapkan dan mendenaturasi protein sel. Beberapa
astringen bekerja dengan cara mengendapkan protein sehingga
membentuk lapisan protektif superfisial. Contohnya: asam tannat, garam
zink.
6. Aksi obat berdasarkan barier fisik
Demulsen mengandung gum musilago atau material minyak yang
digunakan untuk melapisi membran mukosa yang mengalami inflamasi
sehingga dapat menurunkan iritasi. Contoh lain adalah sukralfat yang
digunakan untuk melapisi secara fisik permukaan lambung atau usus yang
mengalami ulser pada penderita tukak peptik.
7. Surfaktan
Kelompok outama obat-obat surfaktan meliputi sabun yang digunakan
sebagai senyawa pembersih kulit, antiseptik dan desinfektan.
8. Obat radioaktivitas dan radioopasitas
Pengobatan ini berdasarkan emisi radiasi ionisasi dan absorpsi x-ray dari
konstituen atom penyusunnya. Contoh senyawa ini adalah 131I untuk
pengobatan hipertiroidisme (radioaktivitas) dan penggunaan barium sulfat
untuk diagnosis gangguan saluran cerna (radioopasitas)
2) Aksi obat berdasarkan sifat kimia
1. Berdasarkan sifat asam-basanya
Contohnya: antasida
2. Senyawa pengoksidasi dan pereduksi.
Contoh: kalium permanganat konsentrasi rendah digunakan untuk
keracunan morfin, striknin, akotinin dan pirotoksin berdasarkan reaksi
oksidasi.
3. Senyawa pengkhelat
Contoh: turunan etilendiaminm dimekaprol, unitiol yang dapat membentuk
kompleks kelat dengan logam-logam seperti timbal atau tembaga
sehingga logam tersebut dapat dikeluarkan dari tubuh.
b. Aksi Obat Spesifik
Terdapat beberapa komponen organisme yang digunakan sebagai target aksi
obat spesifik, yaitu:
1) Enzim
Obat yang bekerja pada enzim dibagi menjadi 3 berdasarkan mekanisme
aksinya.
a) Inhibitor kompetitif
Inhibitor kompetitif (obat) beraksi secara kompetitif dengan substrat enzim
terhadap enzim pada sisi aktifnya menyebabkan penghambatan aktivitas
enzim tersebut. Contohnya: aspirin, bereaksi dengan menghambat enzim
sikooksigenase yang memperantarai perubahan substrat asam arakidonat
menjadi beberapa mediator inflamasi.
b) Substrat palsu
Peningkatan tekanan darah salah satunya dipacu oleh aktivitas saraf
simpatik pada organ kardiovaskuler dengan melibatkan noradrenalin (NA).
dalam saraf simpatik, NA dibentuk dari dopamin oleh enzim dopamin b-
hidroksilase. Dopamin sendiri dibentuk dari dopa oleh enzim dopa
dekarboksilase. Pada pemberian metildopa, senyawa tersebut dapat
berinteraksi dengan enzim tersebut sehingga tidak terbentuk noradrenalin
namun membentuk metil-noradrenalin yang merupakan agonis α2
adrenergik. Aktivasi pada reseptor tersebut menyebabkan penghambatan
pelepasan noradrenalin dari sistem saraf simpatik.
c) Prodrug
Prodrug merupakan suatu obat yang berinteraksi dengan enzim
metabolisme dalam tubuh, diubah menjadi suatu metabolit yang
mempunyai efek farmakologi. Contohnya: prednison.
2) Kanal ion
Berdasarkan mekanismenya, obat dengan target aksi kanal ion dibedakan
menjadi 2, yaitu:
1. Pengeblok kanal
Obat golongan ini mengeblok kanal ion secara fisik sehingga menghambat
transpor ion pada membran. Anastesi lokal beraksi dengan cara
mengeblok voltage-gated Na+ channels sehingga menyebabkan transpor
ion natrium ke dalam sel terhambat. Hal ini menyebabkan terhambatnya
proses depolasisasi sehingga menurunkan potensial aksi sel. Padahal
potensial aksi tersebut dibutuhkan dalam penghantaran impuls rasa sakit.
Contoh: prokain, lidokain.
2. Modulator kanal.
Obat golongan ini bekerja dengan memodulasi kanal ion sehingga
menyebabkan kanal ion terbuka atau tertutup. Obat ini mempunyai sisi
aktif sendiri (selain sisi aktif agonis) pada kanal ion. Benzodiazepin dan
barbiturat berinteraksi pada sisi “modulator” pada reseptor GABAA. hal ini
menyebabkan peningkatan interaksi antara GABA dengan reseptor
GABAA sehingga dapat memodulasi terbukanya kanal ion klorida.
3) Molekul pembawa (protein transporter)
Protein pembawa pada membran berinteraksi membentuk sebuah kompleks
dengan substrat, selanjutnya terjadi perubahan konformasi protein pembawa
tersebut. Kemudian terjadi translokasi kompleks tersebut ke sisi yang
berlawanan, selanjutnya protein pembawa tersebut melepaskan substrat.
Protein pembawa dibedakan menjadi dua jenis berdasarkan proses
transpornya yaitu transporter pasif dan transporter aktif.
Contoh: Insulin memacu translokasi GLUT-4 dari sitoplasma menuju ke
membran sel sehingga bisa mengangkut glukosa menuju ke dalam sel. Hal ini
menghasilkan penurunan kadar glukosa dalam darah.
4) Reseptor
Reseptor merupakan suatu molekul target yang jelas dan spesifik terdapat
dalam organisme, tempat molekul obat berinteraksi membentuk suatu
kompleks yang reversibel sehingga pada akhirnya menimbulkan respons.
Suatu senyawa yang dapat mengaktivasi reseptor sehingga menimbulkan
respon adalah agonis, sedangkan senyawa yang membentuk kompleks
dengan reseptor tapi tidak dapat menimbulkan respon dinamakan antagonis.
Sedangkan senyawa yang mempunyai aktivitas di antara dua kelompok
tersebut dinamakan agonis parsial.
PENENTUAN RENTANG WAKTU PEMBERIAN OBAT (2)
Banyak obat diberikan dalam suatu aturan dosis ganda untuk memperpanjang
aktivitas terapetik. Kadar plasma obat ini harus dipertahankan dalam batas yang
sempit untuk mencapai efektivitas klinik yang maksimal, diantara obat-obat itu
adalah antibakteri, kardiotonika, antikonvulsan dan hormon. Secara ideal, suatu
aturan dosis untuk tiap obat ditetapkan untuk memberikan kadar plasma yang benar
tanpa fluktuasi dan akumulasi obat yang berlebihan.
Untuk obat-obat tertentu, seperti antibiotik, dapat ditentukan kadar efektif
minimum yang diinginkan. Obat-obat lain dengan indeks terapetik yang sempit
(seperti digoksin dan fenitoin) memerlukan batasan kadar plasma terapetik minimum
dan konsentrasi plasma non-toksik maksimum. Dalam memperhitungkan suatu
aturan dosis ganda, kadar plasma yang diinginkan harus dikaitkan dengan suatu
respons terapetik. Dua parameter utama yang dapat diatur dalam mengembangkan
suatu aturan dosis adalah: (a) ukuran dosis obat dan (b) frekuensi pemberian obat
yakni jarak waktu antara dosis.
Dosis obat akan tergantung pada bioavailabilitas dari produk obat, kadar
terapetik obat yang diinginkan dan jarak waktu pemberian dosis yang dipilih. Kadar
rata-rata atau kadar tunak obat dalam plasma diberikan dalam persamaan berikut:
Cav∞=
F D 0
V dK τ atau Cav
∞=F D 01,44 t 1 /2
V d τ atau Cav
∞=F D 0
ClT τ
F = fraksi dosis terabsorpsi
Vd = volume distribusi
D0 = dosis
t1/2 = waktu paruh obat
ClT = klirens total
Dalam merancang aturan dosis, hendaknya dipertimbangkan suatu aturan yang
praktis dan enak bagi penderita. Penggunaan persamaan 13-17 untuk perikaran
awal suatu aturan dosis mempunyai kegunaan yang luas. Cav∞ sama dengan laju
pemberian dosis dibagi dengan klirens tubuh total obat pada penderita:
Cav∞=
F D 0
τ1ClT
FD0/𝜏 sama dengan laju pemberian dosis, R dan 1/ClT sama dengan 1/KVd. Dalam
merancang aturan dosis, laju pemberian dosis; D0/𝜏 diatur sesuai klirens obat pada
penderita untuk mendapat Cav∞ yang diinginkan. Untuk infusi, laju order nol infusi, R,
digunakan untuk mendapatkan konsentrasi tunak obat dalam plasma, Css. Jika R
disubtitusikan untuk dalam persamaa, maka untuk memperikarakan Css setelah
infusi diperoleh persamaan berikut:
C ss=R1ClT
Konsentrasi plasma rata-rata dari suatu obat digunakan untuk menunjukkan
apakah kadar obat optimum telah tercapai. Kadar puncak dan kadar palung kurang
bermanfaat secara farmakokinetik, karena informasi ini tidak dapat digunakan
langsung untuk suatu jadwal pemberian diagnosis yang berbeda. Lebih lanjut, kadar
puncak dan kadar palung lebih berfluktuasi dan biasanya dilaporkan secara kurang
teliti daripada konsentrasi rata-rata dari obat dalam plasma. Bila konsentrasi rata-
rata obat dalam plasma digunakan sebagai petunjuk terapetik, maka harus dipilih
suatu jarak waktu pemberian dosis optimum. Jarak waktu pemberian dosis biasanya
diatur pada kira-kira 1-2 waktu paruh eliminasi obat, kecuali kalau obat mempunyai
indeks terapetik yang sangat sempit. Dalam hal ini obat harus diberikan dalam dosis
kecil secara lebih sering dengan infusi.
Jarak waktu pemberian dosis harus diatur dengan menggunakan waktu paruh
eliminasi obat; jika tidak, penderita dapat mengalami efek toksisk dari suatu kadar
Cmaks∞ yang tinggi meskipun Cav
∞ dibuat konstan. Pada umumnya, jika suatu obat
mempunyai indeks terapetik yang relatif lebar dan waktu paruh yang relatif panjang,
maka ada fleksibilitas yang baik dalam mengubah dosis atau jarak pemberian dosis
dengan menggunakan Cav∞ sebagai petunjuk. Bila obat mempunyai indeks terapetik
sempit, maka untuk meyakinkan keamanan dan efektivitas, Cmaks∞ dan Cmin
∞ harus
dipantau.
Dosis dan jarak waktu pemberian dosis seharusnya diperhatikan dalam
perhitungan aturan dosis. Untuk pemberian dosis yang telah dihitung hendaknya
mempertahankan konsentrasi obat dalam serum antara Cmaks∞ dan Cmin
∞ . Untuk
pemberian dosis ganda secara intravena rasio Cmaks∞ /Cmin
∞ dapat dinyatakan dengan:
Cmaks∞
Cmin∞ = 1
e−kτ
Dari persamaan di atas dapat dihitung suatu jarak maksimum pemberian dosis 𝜏, yang akan mempertahankan kadar serum berada dalam rentang Cmaks∞ dan Cmin
∞ .
Setelah jarak waktu pemberian dosis dihitung, maka dosis dapat dihitung.
BILA MENGKONSUMSI PARASETAMOL SAAT TIDAK DEMAM, APAKAH SUHU
TUBUH AKAN MENURUN? (3,4)
Demam terjadi karena adanya suatu zat yang dikenal dengan nama pirogen. Pirogen
adalah zat yang dapat menyebabkan demam. Pirogen terbagi dua yaitu pirogen
eksogen adalah pirogen yang berasal dari luar tubuh pasien. Contoh dari pirogen
eksogen adalah produk mikroorganisme seperti toksin atau mikroorganisme seutuhnya.
Salah satu pirogen eksogen klasik adalah endotoksin lipopolisakarida yang dihasilkan
oleh bakteri gram negatif. Jenis lain dari pirogen adalah pirogen endogen yang
merupakan pirogen yang berasal dari dalam tubuh pasien. Contoh dari pirogen endogen
antara lain IL-1, IL-6, TNF-α, dan IFN. Sumber dari pirogen endogen ini pada umumnya
adalah monosit, neutrofil, dan limfosit walaupun sel lain juga dapat mengeluarkan
pirogen endogen jika terstimulasi. Proses terjadinya demam dimulai dari stimulasi sel-sel
darah putih (monosit, limfosit, dan neutrofil) oleh pirogen eksogen baik berupa toksin,
mediator inflamasi, atau reaksi imun. Sel-sel darah putih tersebut akan mengeluarkan
zat kimia yang dikenal dengan pirogen endogen (IL-1, IL-6, TNF-α, dan IFN). Pirogen
eksogen dan pirogen endogen akan merangsang endotelium hipotalamus untuk
membentuk prostaglandin. Prostaglandin yang terbentuk kemudian akan meningkatkan
patokan termostat di pusat termoregulasi hipotalamus. Hipotalamus akan menganggap
suhu sekarang lebih rendah dari suhu patokan yang baru sehingga ini memicu
mekanisme-mekanisme untuk meningkatkan panas antara lain menggigil, vasokonstriksi
kulit dan mekanisme volunter seperti memakai selimut. Sehingga akan terjadi
peningkatan produksi panas dan penurunan pengurangan panas yang pada akhirnya
akan menyebabkan suhu tubuh naik ke patokan yang baru tersebut. Parasetamol
merupakan penghambat prostaglandin yang lemah dengan cara menghambat COX-1
dan COX-2 di jaringan perifer. Penelitian terbaru menyatakan bahwa parasetamol
menghambat secara selektif jenis lain dari enzim COX yang berbeda dari COX-1 dan
COX-2 yaitu enzim COX-3. Sifat antipiretik dari parasetamol dikarenakan efek langsung
ke pusat pengaturan panas di hipotalamus yang mengakibatkan vasodilatasi perifer,
berkeringat, dan pembuangan panas. Parasetamol berpenetrasi melewati sawar darah
otak hingga mencapai kadar tertentu dalam cairan serebrospinal yang setara dengan
kadarnya dalam serum, serta dapat mempengaruhi sistem saraf pusat. Bila seseorang
dalam keadaan sehat, pelepasan pirogen endogen tidak terjadi sehingga pembentukan
prostaglandin tidak terjadi, akibatnya demam tidak terjadi. Parasetamol bekerja
menurunkan demam melalui penghambatan sintesis prostaglandin sehingga bila
prostaglandin tidak terbentuk maka parasetamol tidak bekerja untuk menurunkan
demam. Hal inilah yang menyebabkan suhu tubuh tidak menurun saat mengonsumsi
parasetamol dalam keadaan sehat.
DAFTAR PUSTAKA
1. Nugroho AE. Prinsip Aksi dan Nasib Obat dalam Tubuh. Pustaka Pelajar.
Yogyakarta. 2012. Hal. 21-40.
2. Shargel L, Yu ABC. Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan. Airlangga
University Press. Surabaya. 1988. Hal. 310-1, 316-9, 369-373.
3. Bagian Farmakologi FK UI. Farmakologi dan Terapi. Edisi IV. Gaya Baru.
Jakarta. 1995. Hal. 209.
4. Aronoff DM, Neilson EG. Antipyretics: Mechanisms of Action and Clinical Use in Fever Suppression. The American journal of medicine. 2001.