pembunuhan dalam tafsȊr ahkȂm dan relevansinya...
TRANSCRIPT
PEMBUNUHAN DALAM TAFSȊR AHKȂM
DAN RELEVANSINYA SAAT INI
Tesis
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar
Magister Agama (M.Ag)
Disusun Oleh:
FATLUL LATIF
NIM: 21150340000009
PROGRAM MAGISTER ILMU AL QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019 M. / 1440 H.
PENGESAHAN PANITIA UJIAN TESIS TERBUKA
Tcsis bqiudul ・ PEMBUNUHAN DALAM TAFSiR AH血 〔 DANRELEVANSINYA SAAT INI''yang ditulis oleh Fatlul Latit Nomor lnduk
Mahasiswa NIM):2H50340000009,Mahasiswa Program Magister,Fakultas:
Ushuluddin,」 urusan:1lmu Al― Qur'M dan Taお lr,Konscntrasi:Tafs缶 ,telahdittikan dan dinyatakan LULUS dalaln sidang Tcsis Terbuka pada tangga1 31 Juli
2019,dan tesis ini telah diperb江 ki sesu激 dengan masukan… masukan dm Pentti.
Ketua Sidang
Dr.Bustal■ lin,M.Si
NIP:196307011998031003
Pengu」lI
Penguji Ill/Pembimbing I
Sekretaris Sidang
1974051
1989031005 NIP:1974051
Penguji IV/Pembimbing II
白 usuf Ralunan、 M.ANIP:196702131992031002
.Faizah Ali
卜IIP:195507072 122001
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
l. Tesis ini merupakankarya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu
persyadaan memperoleh gelar Starata dua (S2) Jurusan Ilmu Al-Qur'an dan
Tafsir Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta
Semua sumber yang saya gunakan dalam penelitian ini telah dicantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlak-u di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta
Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil plagiarism karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlakn di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Jakarta,23 Juli2019.
つ4
3.
21150340000009
i
ABSTRAK
Fatlul Latif
Pembunuhan dalam Tafsȋr Ahkȃm dan Relevansinya saat ini.
Kata Kunci: Pembunuhan, Tafsir, Tafsir Tematik.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penafsiran para mufassir tentang
konsep pembunuhan, dan argumentasi perbedaan pendapat para mufassir tentang
sanksi atau hukuman bagi pelaku pembunuhan. Dalam hal ini, para mufassir telah
banyak membahas terkait tentang pembunuhan dan sanksinya dalam kitab-kitab
tafsir. Namun sebagian dari mereka berbeda pendapat tentang sanksi
pembunuhan, khususnya pembunuhan yang disengaja dengan sanksi qisȃs.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan metode tematik
(mawḍu’ȋ) yang disajikan secara deskriptif-analitis. Metode tematik ini digunakan
untuk mencari pandangan para mufassir tentang pembunuhan (al-Qatl) dengan
cara menghimpun seluruh ayat yang dimaksud, kemudian melacak dan
menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah yang ditetapkan,
kemudian menganalisisnya dengan ilmu-ilmu bantu yang relevan dengan masalah
yang dibahas agar melahirkan suatu uraian yang utuh dari kitab-kitab tafsir
tentang masalah yang dikaji. Adapun teknik pengumpulan data dalam penelitian
ini diambil dari kitab-kitab tafsir sebagai sumber data primer, dan buku-buku lain
yang relevan dengan tema penelitian sebagai sumber data sekunder.
Dari penelitian yang dilakukan, tesis ini menyimpulkan bahwa dalam al-
Qur’an lafad Qatl dan derivasinya terdapat 170 kata. Dalam pandangan para
mufassir pembunuhan merupakan segala bentuk perbuatan yang bisa
menghilangkan nyawa, serta pembunuhan diklasifikasikan menjadi dua, yaitu
pembunuhan sengaja dan pembunuhan tidak sengaja. Dari kedua jenis
pembunuhan tersebut memiliki kriteria dan sanksi yang berbeda-beda. Para
mufassir menitikberatkan pandangannya pada sanksi pembunuhan sengaja, yaitu
qisȃs. Artinya, setiap tindakan atau perbuatan yang bisa menghilangkan nyawa
seseorang dengan sengaja maka sanksinya adalah qisȃs, tanpa memandang status
antara pelaku dan korban. sedangkan sanksi untuk pembunuhan tidak sengaja
adalah memerdekakan budak serta membayar diyat, atau berpuasa dua bulan
berturut-turut jika tidak menemukan budak. Perbedaan pendapat ini didasarkan
pada perbedaan mazhab yang dianut oleh para mufassir. Pemberlakuan qisȃs juga
diterapkan terhadap kejahatan-kejahatan tertentu jika perbuatannya
mengakibatkan korban meninggal dunia dengan sengaja. Seperti halnya teroris,
Bandar narkoba, dan perampokan disertai kekerasan (begal). Dalam menghukumi
pelaku pembunuhan ini tentunya melalui pendekatan tujuan syari’at (maqȃsid as-
syarȋʻah) yaitu memelihara agama, memelihara jiwa atau menjaga kelangsungan
hidup, memelihara akal, memelihara keturunan, dan memelihara harta.
ii
ABSTRACT
Fatlul Latif
Murder in Ahkam’s Interpretation and its current Relevance.
Keywords: Murder, Interpretation, Thematic Interpretation.
This study aims to determine the interpretation of the interpreters about the
concept of murder, and the argumentation of differences of opinion among the
interpreters about sanctions or punishments for the perpetrators of murder. In this
case, the interpreters have discussed a lot about murder and its sanctions in the
commentaries. But some of them disagree about sanctions for murder, especially
deliberate killings with sanctions.
This is a qualitative research with a thematic method (mawḍui) which is
presented descriptively and analytically. This thematic method is used to look for
the views of the interpreters about murder (al-Qatl) by collecting all the verses in
question, then tracing and gathering verses related to the problem set, then
analyzing them with aids that are relevant to the problem discussed so as to give
birth to a complete description of the books of interpretation about the problem
under study. The data collection techniques in this study were taken from
commentaries as primary data sources, and other books relevant to the research
theme as secondary data sources.
In this research, this thesis concludes that the word Qatl in the Quran and
its derivatives consist 170 words. In the view of the assassins the murders are all
forms of actions that can eliminate lives, and murders are classified into two,
namely deliberate murder and accidental murder. Of the two types of killings
have different criteria and sanctions. Interpreters emphasized their views on
sanctions for deliberate murder, namely qisas. That is, every action or action that
can intentionally eliminate one's life, the sanction is qisas, regardless of the status
between the perpetrator and the victim
while sanctions for accidental murder are freeing slaves and paying diyat,
or fasting for two consecutive months if they do not find slaves. This difference
of opinion is based on differences in the schools adopted by the interpreters. The
application of qisas is also applied to certain crimes if the act causes the victim to
die intentionally. Like terrorists, drug dealers, and robberies accompanied by
violence. In punishing the perpetrators of these killings, of course, through the
approach of the goal of the Syariah, which is to maintain religion, survival, mind,
offspring, and property.
iii
الدلخص
القتل في تفسير الأحكام وما يتعلق بو
عناصر: القتل، التفسير، التفسير الدوضوعي
ختتاففات حو و الا ،القتلعن مفهوم تفسير الدفسرين تهدف ىذه الدراسة إلى معرفةة قد بينها الدفسرون في كتب تفاسيرىم. وقد قا وقيل في ذلك مىذه القي .لعقوبات مرتكبي القت
بعقوبة اقتل عمداليتعلق بعقوبة القتل ، وختاصة في عقوبة االخافف بينهم فيمإلي أن جرى القصاص
وانطافقا مما سبق، قمت بهذا البحث عن صورة البحث النوعي بطريقة موضوعية يتم ديمها بشكل تحليلي. تستخدم ىذه الطريقة الدوضوعية للبحث عن آراء الدفسرين حو القتل من تق
ختاف جمع كل الآيات الدختصة، ثم نأختذ ونختر الآيات الدتعلقة بالدسألة، ثم يتم تحليلها بالعلوم ىذه الدساعدة ذات الصلة بالدسألة، حتي ينا بيانا كافيا ووصفا كاماف من كتب التفاسير حو
الدسألة. أما طريقة الجمع في ىذه الدراسة الدأختوذة من كتب التفاسير نجعلها مصادر أولية، وإذا كانت من الكتب غيرىا التي ذات الصلة بموضوع البحث نجعلها مصادر مساعدة
لفظ القتل في القرآن ومشتقاتو من البحث الذي أجري ، ختلصت ىذه الرسالة إلى أن كلمة. من وجهة نظر الدفسرين فإن جريمة القتل في جميع أنواعو وأشكالو التي تؤدي إلى 071ىناك
وقتل غير عمد. من بين ىذين النوعين من اإزالة أرواح الانسان تنقسم إلى قسمين ، وهما قتل عمد، ىو ات نظرىم إلى عقوبة قتل عمدالقتل معايير وعقوبات مختلفة. أكد الدفسرون من وجها, اح الانسان عمدا، وعقوبتو القصاصالقصص. قتل عمد ىو كل جريمة التي تؤدي إلى إزالة أرو
وأما عقوبة قتل غير عمد ىي تحرير الرقبة ودفع بعض النظر عن الوضع بين القاتل والدقتو ,ىذا الاختتافف في الرأي على الديات، أو صيام شهرين متتابعين إذا لم يجدوا الرقبة. يعتمد
الاختتاففات في الدذاىب التي يعتمدىا الدفسرون. ويتم تطبيق عقوبة ىذا القصاص أيضا على بعض الجرائم إذا تسبب الفعل الى وفاة الانسان عمدا. مثل عملية الارىاب وتجارة الدخدرات وعملية
ن ختاف مقاصد الشريعة ، وىي م السطو السلب بالعنف. والذدف من ىذه العقوبة في جريمة القتل ظ على الدا النسل والحفالحفظ على ظ على العقل و الحفظ على الدين و الحفظ على النفس والحف
iv
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah penulis ucapkan kehadirat Allah swt. yang telah
memberikan rahmat dan nikmatnya kepada penulis, sehingga penulis dapat
menyelesaikan tesis ini. Shalawat beriring salam semoga tetap tercurah buat
junjungan alam Nabi besar Muhammad Saw.
Sebagai manusia yang memiliki kekurangan, penulis menyadari bahwa
penulis tidak mungkin dapat menyelesaikan tesis ini tanpa bantuan dari berbagai
pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga
kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan
penelitian tesis ini. Berbagai pihak tersebut antara lain:
1. Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof Dr.
Amany Lubis, M.A.
2. Dekan Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, Dr. Yusuf Rahman, M.A. Wakil Dekan, Dr. Kusmana, M.A, Dr.
Lilik Ummi Kaltsum, M.A, Dr. Media Zainul Bahri, M.A
3. Ketua Program Magister (S2) Fakultas Ushuluddin Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Dr. Bustamin, M.S.i dan Sekretaris
progam Magister Dr. Ahmad Fudhaili, M.Ag.
4. Pembimbing penulis, Dr. Yusuf Rahman, M.A dan Dr. Faizah Ali
Syibromalisi M.A, karena telah membimbing penulis dalam
menyelesaikan teis ini. Bimbingan, saran, dan masukan yang telah
diberikan sangat berguna bagi penulis.
v
5. Dosen Penguji, Dr. M. Suryadinata, M.A, dan Dr. Ahmad Fudhaili, M.A
yang telah memberi ilmu memberi ilmu, kritik, dan saran kepada penulis
untuk kesempurnaan penulisan Tesisi ini..
6. Para dosen yang telah memberikan ilmunya kepada penulis terkhusus di
program Magister Fakultas Ushuluddin, yaitu: Prof. Masri Mansour, M.A,
M.A, Prof. Dr. Zainun Kamaluddin F, M.A, Prof. Dr. Kautsar Azhari
Noer, M.A , Prof. Dr. Abdul Azis Dahlan, M.A, Dr. Yusuf Rahman, Dr.
Faizah Ali Syibromalisi, M.A, Dr. Lilik Umi Kaltsum, M.A, Dr. Akhsin
Sakho M. Asyrofuddin, Dr. M. Suryadinata, M.A, Dr. Abdul Moqsith
Ghazali, M.A, M.A, Dr. Bustamin, M.S.i, M.A, Dr. Ahzami Sami’un
Jazuli, M.A, dan Dr. Izza Rahman, M.A, Dr. Fuad Thohari, M.A.
7. Kedua orang tua penulis Ibunda Ny. Faridah, dan ayahanda tercinta (Alm).
KH. Zuhri, kakak tercinta Faizatus Salamah Zuhri, S.pd.i berserta
suaminya Moh. Muhi, S.pd.i. tak lupa keponakan tercinta Moh. Fatih
Izzulhaq al-Mughni, Moh. Fawwaz Fikri al-Mughni, dan Azkiya Fikratus
Sholehah al-Mughni, yang selalu memberikan senyum disaat mengahadapi
masalah dalam penulisan tesis ini, serta selalu mendo’akan dan
memberikan semangat kepada penulis, sehingga penulis mendapatkan
semangat untuk menyelesaikan tesis ini. Semoga Allah swt. selalu
memberikan rahmat dan keberkahan kepada nya.
8. Teman-teman program magister fakultas Ushuluddin terkhusus lagi
angkatan 2015, dan semua teman-teman di fakultas Ushuluddin. Penulis
mengharapkan kepada Allah swt. agar pihak-pihak yang telah membantu
vi
penulis, baik yang tertulis, maupun yang tidak tertulis dibalas oleh Allah
swt. dengan kebaikan yang berlipat. Akhirnya hanya kepada Allah swt.
9. Kepada teman-teman yang selalu mensupport dalam proses penulisan tesis
ini, teman-teman alumni S1 Al-Hikmah, teman-teman organisasi Forum
Mahasiswa Madura (Formad), Forum Komunikasi Mahasiswa Santri
Banyuanyar (FKMSB), serta semua yang memberikan support secara
langsung maupun tidak langsung.
penulis memohon petunjuk dan berserah diri semoga tesis ini bermanfaat
bagi pembaca dan menjadi amal kebaikan bagi penulis, amin.
Jakata, 26 Juli 2019
Penulis,
Fatlul Latif
NIM:
21150340000009
vii
DAFTAR ISI
ABSTRAK ...................................................................................................... ……i
KATA PENGANTAR .................................................................................... …..iv
DAFTAR ISI ................................................................................................... ….vii
PEDOMAN TRANSLITERASI HURUF ARAB-LATIN .......................... …...x
BAB I : PENDAHULUAN ..................................................................... …...1
A. Latar Belakang Masalah ..................................................... …...1
B. Identifikasi Masalah ........................................................... …...8
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah ................................. …...8
D. Tujuan Penelitian ............................................................... …...9
E. Manfaat Penelitian ............................................................. …...9
F. Tinjauan Pustaka ................................................................ ….10
G. Metodologi Penelitian ........................................................ ….14
H. Sistematika Penulisan......................................................... ….18
BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG PEMBUNUHAN DALAM
TAFSȊR AHKȂM ....................................................................... ….20
A. Definisi Pembunuhan (al-Qatl) ........................................... ….20
B. al-Qatl dan derivasinya ........................................................ ….22
C. Sejarah munculnya Pembunuhan ......................................... ….26
BAB III : DISKURSUS SEPUTAR PEMBUNUHAN DARI SEGI NIAT
KORBAN DAN SANKSI BAGI PELAKU PEMBUNUHAN
TAFSȊR AHKȂM ..................................................................... ….35
A. Pembunuhan dari Segi Niat ................................................. ….35
viii
1. Pembunuhan Sengaja .................................................... ….39
a. Definisi pembunuhan sengaja ................................... ….39
b. Kriteria Pembunuhan sengaja ................................... ….42
2. Pembunuhan Tidak Sengaja ......................................... ….44
a. Definisi pembunuhan tidak sengaja .......................... ….44
b. Kriteria pembunuhan tidak sengaja .......................... ….46
B. Pembunuhan dari sisi pelaku dan korban ............................ ….49
1. Orang Merdeka ............................................................. ….50
2. Budak ............................................................................ ….53
3. Non Muslim (Kafir) ...................................................... ….57
4. Perempuan .................................................................... ….60
5. Anak-anak ..................................................................... ….62
6. Janin .............................................................................. ….66
C. Hukum dan Sanksi terhadap pelaku pembunuhan ............... ….67
1. Hukum Pembunuhan .................................................... ….67
2. Sanksi pelaku Pembunuhan.......................................... ….74
a. Sanksi pelaku pembunuhan sengaja ......................... ….74
b. Sanksi bagi pelaku pembunuhan tidak sengaja ........ ….98
BAB IV : RELEVANSI PEMBUNUHAN SAAT INI ............................ ….95
A. Relevansi Pembunuhan. ..................................................... ….95
B. Macam-macam Pembunuhan Saat ini. ............................... ...107
1. Narkoba ........................................................................ ...107
2. Terorisme ..................................................................... ...111
3. Perampokan dengan kekerasan (Begal) ....................... ...114
ix
BAB V : PENUTUP .................................................................................. ..119
A. Kesimpulan .......................................................................... ..119
B. Rekomendasi ........................................................................ ..120
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... ..121
x
PEDOMAN TRANSLITERASI HURUF ARAB-LATIN
Tesis ini menggunakan Pedoman Transliterasi Arab-Latin sebagai berikut:
A. Padanan Aksara
No. Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
tidak dilambangkan ا 1
b be ب 2
t te ت 3
ts te dengan es ث 4
j je ج 5
h ha dengan garis di bawah ح 6
kh ka dengan ha خ 7
d de د 8
dz de dengan zet ذ 9
r er ر 10
z zet ز 11
s es س 12
sy es dengan ye ش 13
s es dengan garis di bawah ص 14
d de dengan garis di bawah ض 15
t te dengan garis di bawah ط 16
z zet dengan garis di bawah ظ 17
‘ ع 18koma terbalik di atas hadap
kanan
gh ge dengan ha غ 19
f ef ؼ 20
q ki ؽ 21
k ka ؾ 22
xi
l el ؿ 23
m em ـ 24
n en ف 25
w we ك 26
h ha ق 27
apostrof ’ ء 28
y ye ي 29
B. Vokal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari
vokal tunggal (monoftong) dan vokal rangkap (diftong). Adapun ketentuan vokal
panjang (madd), yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan harakat dan
huruf.
1. Vokal Tunggal (Monoftong)
No. Vokal Arab Vokal Latin Keterangan
1 ______ A Fatḥah
2 ______ I Kasrah
3 ______ U Dammah
2. Vokal Rangkap (Diftong)
No. Vokal Arab Vokal Latin Keterangan
ي_ _ 1 ai a dan i
ك_ _ 2 au a dan u
3. Vokal Panjang (Madd)
No. Vokal Arab Vokal Latin Keterangan
ȃ a dengan topi di atas اػ 1
ȋ i dengan topi di atas يػ 2
ȗ u dengan topi di atas ك ـ 3
xii
C. Kata Sandang
Kata sandang yang dalam aksara Arab dilambangkan dengan huruf /l/ baik
diikuti oleh huruf syamsiyyah, maupun huruf qamariyyah, al-rijȃl bukan ar-rijȃl,
al-diwȃn bukan ad-diwȃn.
D. Syaddah (Tasydȋd)
Syaddah atau tasydȋd yang dalam sistem tulisan Arab yang dilambangkan
dengan sebuah tanda ( ___ (, dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf,
yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal
ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata
sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya, kata رورة tidak الض
ditulis ad-darȗrah, melainkan al-darȗrah, demikian seterusnya.
E. Ta Marbȗṭah
Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbȗṭah terdapat pada kata
yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (lihat
contoh no.1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbȗṭah tersebut
diikuti oleh kata sifat (naʻt) (lihat contoh no.2). Namun, jika huruf ta marbȗtah
tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi
huruf /t/ (lihat contoh no.3).
Contoh:
No. Kata Arab Transliterasi
Tarȋqah طريقة 1
al-jȃmiʻah al-Islȃmiyyah الجامعة الإسلامية 2
waḥdat al-wujȗd كحدة الوجود 3
xiii
F. Huruf Kapital
Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf capital tidak dikenal, dalam alih
aksara ini huruf kapital ini juga digunakan, dengan mengikuti ketentuan yang
berlaku dalam Ejaan Bahasa Indonesia (EBI), antara lain untuk menuliskan
permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan, nama diri dan lain-lain.
Penting diperhatikan, jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka yang
ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal
atau kata sandangnya. Contoh: Abȗ Hamid al-Ghazȃlȋ, bukan Abu Hamid Al- al-
Ghazȃlȋ, al-Kindi bukan Al-Kindi.
Beberapa ketentuan lain dalam EBI sebetulnya juga dapat diterapkan
dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring (italic)
atau cetak tebal (bold). Jika menurut EBI, judul buku itu ditulis dengan cetak
miring, maka demikian halnya dalam alih aksaranya, demikian seterusnya.
Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang berasal
dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meskipun akar
katanya berasal dari bahasa Arab. Misalnya ditulis Abdussamad al-Palimbani,
tidak ‘Abd al-Samad al-Palimbânî; Nuruddin al-Raniri, tidak Nûr al-Dîn al-Rânîrî.
G. Cara Penulisan Kata
Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism), maupun huruf (harf)
ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara atas kalimat-
kalimat dalam bahasa Arab, dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan di
atas:
Kata Arab Alih Aksara
dzahaba al-ustâdzu ذهب اللأستاد
tsabata al-ajru ثػبت الأجر
xiv
al-harakah al-‘asriyyah الركة العصرية
asyhadu an lâ ilâha illâ Allâh ل الل ٳاشهد اف ل اله
Maulânâ Malik al-Sâlih نا مالك الصالحمول
yu’atstsirukum Allâh يػؤثركم الل
al-mazâhir al-‘aqliyyah المظاهر العقلية
Penulisan nama orang harus sesuai dengan tulisan nama diri mereka.
Nama orang berbahasa Arab tetapi bukan asli orang Arab tidak perlu
dialihaksarakan. Contoh: Nurcholish Madjid, bukan Nûr Khâlis Majîd; Mohamad
Roem, bukan Muhammad Rûm; Fazlur Rahman, bukan Fadl al-Rahmân.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Studi tafsir al-Qur‟ȃn senantiasa mengalami perkembangan seiring dengan
perkembangan ilmu pengetahuan lain seperti linguistik, hermeneutika, sosiologi,
antropologi dan juga komunikasi yang dipandang sebagai ilmu bantu bagi „ulȗm
al-Qur‟ȃn (ilmu-ilmu al-Qur‟an) berkenaan dengan objek penelitian dalam kajian
teks al-Qur‟ȃn.1
Secara garis besar, genre dan objek penelitian al-Qur‟ȃn dapat dibagi
dalam tiga varian.2 Pertama, penelitian yang menjadikan pemahaman terhadap
teks al-Qur‟ȃn sebagai objek penelitian. Sejak masa Nabi Muhammad saw hingga
sekarang al-Qur‟ȃn dipahami dan ditafsirkan baik secara mushafi maupun tematik,
yang selanjutnya hasil penafsiran tersebut dijadikaan objek kajian. Sejumlah
pertanyaan terkait dengan metode hasil penafsiran pun hendak dicari jawabannya
dengan mencoba menganalisis faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi
penafsiran seseorang dan hubungannya dengan zeitgeist (semangat zaman).
Kedua, penelitian yang menempatkan hal-hal di luar teks al-Qur‟ȃn namun
berkaitan erat dengan kemunculannya sebagai objek kajian. Penelitian ini oleh
Amin al-Khȗlȋ disebut dengan Dirȃsat mȃ hawla al-Qur‟ȃn. Sebagai contoh
1 Di masa sekarang metode dan pendekatan linguistik modern, seperti semantik, semiotik
dan ilmu komunikasi turut mewarnai kajian al-Qur‟an. Lihat misalnya Ian Richard Netton,“Surat
al-Kahf: Structure and Semiotics,”dalam Journal of Quranic Studies 2:1 (2000), h. 67 ; Neal
Robinson, “The Structure and Interpretation of Surat al-Mu‟minȗn”dalam Journal of Quranic
Studies 2:1 (2000), h. 89.Sahiron Syamsuddin pada kata pengantar “Ranah-ranah Penelitian
dalam Studi al-Quran dan Hadis”, Dosen Tafsir Hadis UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,
Metodologi Penelitian Living Quran dan Hadis (Yogyakarta: Teras, 2007), h. xi. 2 Sahiron Syamsuddin pada kata pengantar “Ranah-ranah Penelitian dalam Studi al-
Quran dan Hadis..h. xi
2
berkenaan dengan hal ini adalah munculnya kajian tentang „ulȗm al-Qur‟ȃn,3
asbȃb al-nuzȗl dan juga pengkodifikasian al-Qur‟ȃn, yang telah mendapat
perhatian besar dari ulama klasik.
Ketiga, penelitian yang menempatkan teks al-Qur‟ȃn sebagai objek kajian.
Dalam hal ini teks al-Qur‟ȃn diteliti dan dianalisa dengan pendekatan dan metode
tertentu sehingga peneliti dapat menemukan “sesuatu” yang baru. Sesuatu yang di
maksud itu bisa berupa konsep-konsep tertentu yang bersumber dari teks al-
Qur‟ȃn dan juga bisa berupa features (gambaran) dari teks itu sendiri. Amin al-
Khȗlȋ menyebut penelitian yang menjadikan teks al-Qur‟ȃn sebagai objek kajian
ini dengan istilah Dirȃsȃt mȃ fȋ al-nas.4 Tujuan dari kajian semacam ini bisa
beragam bergantung pada keinginan serta keahlian dari masing-masing peneliti,
seperti kajian menguak wawasan (weltanschauung) al-Qur‟ȃn tentang konsep
tertentu, yang pada akhirnya konsep Qur‟ȃni yang dipahami melalui penelitian
tersebut diharapkan dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari
Dari sudut isi dan kandungan, al-Qur‟ȃn mencakup seluruh aspek
kehidupan masyarakat. Di dalamnya tidak hanya dibahas soal akidah, ibadah,
muamalah, melainkan juga soal hukum. Ayat hukum adalah ayat-ayat al-Qur‟ȃn
yang mengandung hukum terkait dengan perbuatan manusia (mukallaf). Salah
3 Lihat misalnya al-Zarkashi, Al-Burhȃn fȋ „Ulȗm al-Qur‟ȃn (Kairo: Dȃr Ihyȃ‟ al-„Ulȗm
al-„Arabiyah, 1957) ; Jalȃl al-Dȋn al-Suyȗtȋ, Al-Itqȃn fȋ „Ulȗm al-Qur‟ȃn (Kairo: Dar al-Tutarth,
tt.). Lihat juga Alif Jatmiko, Skripsi: Kecerdasan Emosi dalam Perspektif al-Qur‟an, Tesis,
Mahasiswa Magister dalam Program Studi Keislaman Konsentrasi Tafsir-Hadis Universitas Islam
Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2014. h. 2. 4 Kajian semacam ini biasanya dilakukan oleh cendekiawan al-Qur‟an,metode yang
digunakan biasanya mengarah pada Tafsir Mawdȗ‟ȋ atau juga biasa disebut dengan Dirȃsah
Qur‟ȃniyah Maudȗ‟iyah, sebagaimana yang telah dilakukan oleh „Ȃisyah „Abd al-Rahmȃn Bint al-
Shȃti‟, Al-Qur‟ȃn wa Qadȃya al-Insȃn (Beirut: Dar al-„Ilm li Malayin,1978). Lihat juga Alif
Jatmiko, Skripsi: Kecerdasan Emosi dalam Perspektif al-Qur‟an..h. 2
3
satu di antara ayat-ayat hukum dalam al-Qur‟ȃn adalah tentang masalah
pembunuhan (al-Qatl).
Masalah Pembunuhan banyak diungkap dalam al-Qur‟ȃn yang tujuannya
adalah demi menjaga dan memelihara jiwa manusia di muka bumi. Makna al-Qatl
dalam al-Qur‟ȃn banyak diungkap dengan kasus dan makna yang berbeda,
meskipun pada dasarnya mempunyai makna pembunuhan. Namun kata al-Qatl
dan derivasinya dalam al-Qur‟ȃn memiliki makna yang berbeda-beda, di
antaranya Semua makna qatala dan derivasinya mempunyai makna pembunuhan
kecuali pada QS. al-Imrȃn (3): 157, 158, 169 maknanya “Gugur”, QS. an-Nisȃ‟
(4): 74 maknanya “Gugur”, QS. Muhammad (47): 4 maknanya “Gugur”, QS. adz-
dzariyȃt (51): 10 maknanya terkutuk, QS. al-Muddassir (74): 19, 20 maknanya
“Celaka”, QS. Abasa (80): 17 maknanya “Celaka”, QS. al-Burȗj (85): 4 maknanya
“Binasa”.5
Dalam Mu‟jȃm Mufradȃt al-fȃz al-Qur‟ȃn makna al-Qatl adalah
menghilangkan ruh dari jasad seperti mati.6 Sejalan dengan pendapat tersebut
Abdul Qȃdir „Awdah memberi pengertian bahwa pembunuhan merupakan suatu
tindakan menghilangkan kehidupan, yang berarti menghilangkan jiwa anak Adam
oleh perbuatan anak Adam yang lain.7 Dari definisi tersebut dapat diambil intisari
bahwa pembunuhan adalah perbuatan seseorang terhadap orang lain yang
mengakibatkan hilangnya nyawa, baik dilakukan dengan sengaja maupun tidak
sengaja.
5 Hasil penelitian dengan bantuan aplikasi maktabah syamilah dan dipadukan dengan al-
Qur‟an versi Kementerian Agama dan terjemahnya. 6 Al-Rȃghib al-Asfahȃnȋ, Mu‟jȃm Mufradȃt al-fȃz al-Qur‟ȃn (Damsik: Dȃr al-Qalȃm,
2009), h. 655. 7 Abd al-Qȃdir „Awdah, al-Tasyrȋ‟u al-Jinȃ‟ȋ al-Islȃmȋ muqȃranan bȋ al-Qȃnȗn al-Wad‟ȋ
(Beirȗt: Dȃr al-Kitȃb al-„Arabȋ, t.th h), Jil. II, h. 6.
4
Bentuk pembunuhan secara sengaja ini disepakati oleh para mufasssir
dengan sanksi qisȃs Namun pemberlakuan qisȃs ini terjadi perbedaan pendapat.
Sebagian menyatakan bahwa hukuman qisȃs hanya berlaku bagi pelaku jika telah
memenuhi syarat-syarat yang berkaitan dengan korban. Artinya, pelaku
pembunuhan bisa diqisȃs, bisa juga tidak, dan yang kedua, pelaku pembunuhan
wajib qisȃs tanpa memandang syarat-syarat tertentu.
Pertama: Sebagian pendapat yang mengatakan bahwa qisȃs dapat
dilakukan dengan syarat-syarat tertentu, dalam hal ini qisȃs bisa diterapkan, bisa
juga tidak. Salah satu contoh adalah korban bukan bagian dari pelaku
pembunuhan. Maksudnya, antara keduanya tidak ada hubungan darah antara anak
dan bapak. Dengan demikian, jika ayah membunuh anaknya, maka tidak dapat
dihukum qisȃs.8
Alasannya, berdasarkan hadȋs yang diriwayatkan al-Tirmidzȋ:
9د ل و ل ب د ال و ال اد ق ي :ل ل و ق ي اللهصلى الله عليه وسلمل و س ر ت ع :س ال ق اب ط ال ن اب مر ع ن ع
Artinya: Dari Umar bin al-Khattab berkata: saya mendengar Rasulullah
saw bersabda: “tidak diqisȃs orang tua yang membunuh anaknya”.
Selain status keturunan antara bapak dan anak, keumuman lafad dalam
QS: Al-Baqarah [2]: 178 yang berbunnyi:
و الأن ل ع ب د ب و ال ع ب د ل ر ب ال ر ال ق ت ل ى ف ال ق ص اص ع ل ي ك م ك ت ب آم ن وا ال ذ ين ا أ ي ه لأن ث ىي ب ث ى(٨٧١)
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qisȃs berkenaan
dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka,
hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita.
8 Abd al-Qȃdir „Awdah, al-Tasyrȋ‟u al-Jinȃ‟ȋ…Jil II, hlm. 93.
9 Muhammad bin „Ȋsa al-Tirmidzȋ, Sunan al-Tirmidzi wa huwa al-Jȃmi‟ al-Sahȋh )Beirȗt-
Libanon: Dȃr al-Kutub al-Ilmiyyah, tt), Juz IV, h.12.
5
Dalam ayat ini persamaan status masih menjadi pedebatan dalam
menentukan hukum qisȃs.
Kedua: Pendapat ini tidak melihat stasus yang dianut oleh pelaku dan
korban, artinya adalah setiap orang memiliki hak yang sama untuk dilindungi
hidupnya tanpa melihat status yang dianutnya. Karena itu, maka siapapun orang
yang menghilangkan nyawa orang lain, maka hukuman qisȃs berlaku padanya.10
Berdasarkan uraian di atas, bahwa penetapan hukuman qisȃs menimbulkan
banyak perbedaan pandangan di kalangan mufassir, disatu pihak menentukan
adanya syarat-syarat tertentu dengan dilaksanakannya qisȃs, namun dipihak lain
tidak mensyaratkan adanya syarat-syarat tertentu. Artinya, setiap pelaku
pembunuhan maka wajib diqisȃs.
Al-Qur‟ȃn pada mulanya diwahyukan sebagai respon terhadap situasi
masyarakat saat itu, kemudian tumbuh dan berkembang lebih luas lagi. Seiring
dengan berkembangnya Islam ke berbagai penjuru, maka muncul pula persoalan-
persoalan baru yang berbeda dengan persoalan yang dihadapi kaum muslimin di
masa Rasulullah saw. Sedangkan al-Qur‟ȃn hanya memuat sebagian hukum-
hukum terinci, sementara sunnah terbatas pada kasus-kasus yang terjadi pada
masa Rasulullah saw. Maka untuk memecahkan persoalan-persoalan baru,
diperlukan adanya ijtihad. Jalȃluddin al-Suyȗti menyatakan bahwa: Nas itu telah
berakhir dan persoalan persoalan baru senantiasa muncul berkesinambungan,
maka untuk memecahkan semua itu wajib dilakukannya ijtihad.11
Sesungguhnya
10
Abȋ Bakr Ahmad bin „Alȋ al-Rȃzȋ Al Jassȃs, Ahkȃm al-Qur‟ȃn (Beirȗt: Dȃr al-Kutub al
„Ilmiyyah), Jil. I, h. 171-172. 11
Jalȃluddin al-Suyȗtȋ, Taisȋr al-Ijtihȃd (Makkah: Dȃr al Fikr, tt), h.22
6
produk-produk pemikiran hukum Islam yang dihasilkan melalui ijtihad itu pada
kenyataannya terikat oleh waktu dan kondisi ketika ijtihad itu ditempuh.12
Dalam konteks sekarang pembunuhan banyak mengalami perubahan
dengan pembunuhan pada saat ayat al-Qur‟ȃn diturunkan, baik itu cara, maupun
hukumnya. Permasalahannya adalah, bahwa perubahan itu merupakan tantangan
yang harus diatasi. Al-Qur‟ȃn sudah tidak turun lagi, dan nabi pun sudah wafat.
Maka dari itu, penulis mencoba merekonstruksi terhadap perbuatan apa saja
yang bisa dikategorikan sebagai pembunuhan. Jika pembunuhan didefinisikan
sebagai akibat perbuatan yang bisa menghilangkan nyawa, maka perbuatan
seperti, narkoba, terorisme, perampokan dengan kekerasan (begal), apakah bisa
dikategorikan sebagai pembunuhan.? Apakah perbuatan seperti ini juga diancam
dengan hukuman qisȃs.? Maka, dalam hal ini penulis ingin mencari jawabannya
ke dalam Tafsir al-Qur‟ȃn.
Beranjak dari pemikiran bahwa polemik mengenai permasalahan ini belum
berakhir, maka kajian serius mengenai pembunuhan dalam tafsir ahkam dan
relevansinya saat ini perlu dilakukan, agar semua permasalahan tentang
pembunuhan ini bisa terjawab. Penulis mencoba menganalisis bagaimana konsep
pembunuhan dalam tafsir ahkam, dan bagaimana relevansinya saat ini.
Dalam menentukan jawaban dari permasalahan di atas, ada kriteria-kriteria
tertentu yang diatur dalam Islam yang memungkinkan suatu tindakan
pembunuhan dapat dijatuhi hukuman qisȃs. Wahbah Zuhaylȋ menegaskan bahwa
perbuatan menghilangkan nyawa karena alasan dendam atau untuk menebar
kerusakan hanya dapat diputuskan oleh pengadilan yang berwenang. Bahkan
12
H.M Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad Antara Tradisi dan Liberasi
(Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998), h. 61-67
7
selama berlangsung peperangan pun perbuatan itu hanya dapat diadili oleh
pemerintah yang sah. Dalam setiap peristiwa itu, tidak ada satu pun individu yang
memiliki hak untuk mengadili secara main hakim sendiri, kecuali orang yang
diangkat oleh penguasa untuk menangani masalah itu.13
Jika ditelusuri terhadap kajian-kajian yang dilakukan oleh para akademisi
maupun para intelektual, tema yang mengangkat tentang pembunuhan secara
komprehensif belum ditemukan. Sementara dalam tafsir al-Qur‟ȃn menyimpan
beberapa kaidah-kaidah hukum tentang pembunuhan yang sangat luas. Sehingga
para intelektual banyak yang memperdebatkan tentang pembunuhan terutama
cara, dan status hukum pembunuhan tersebut. Meskipun secara teks al-Qur‟ȃn
memerintahkan bagi pelaku pembunuhan agar dihukum sesuai dengan apa yang
telah ia perbuat (qisȃs), akan tetapi tak sedikit juga yang menentang karena sudah
dianggap tidak relevan dengan saat kini. Sehingga terjadilah perdebatan pro dan
kontra terhadap hukuman bagi pembunuh tersebut.
Penelitian yang membahas tentang pembunuhan dalam tafsir ahkam dan
relevansinya saat ini menjadi persoalan yang sangat penting dan perlu dibahas
secara serius dalam diskursus keislaman. Hal ini merupakan upaya untuk
memetakan hukum-hukum al-Qur‟ȃn yang dapat dijadikan sebagai landasan umat
Muslim, terlebih di Indonesia yang memiliki penduduk Muslim terbesar di dunia.
Namun ironisnya, kasus pembunuhan di negara ini masih sering terjadi.
Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa al-Qur‟ȃn tidak
berbicara banyak tentang masalah pembunuhan dalam bentuk kasus perkasus yang
terjadi, akan tetapi al-Qur‟ȃn menjelaskan dalam bentuk yang universal. Sehingga,
13
Wahbah Zuhaylȋ, Tafsȋr al-Munȋr fȋ al-Aqȋdah wa as-Syarȋah wa al-Manhȃj (Damsik:
Dȃr al-Fikr, 2009), jilid I, h. 480
8
setiap permasalahan yang muncul, maka dicari ke dalam al-Qur‟ȃn terutama
dalam kajian-kajian tafsir, agar menemukan jawaban dari setiap permasalahan
yang ada. Oleh karena itu, dalam penelitian ini penulis akan mengkajinya dengan
judul “Pembunuhan dalam Tasir Ahkam dan Relevansinya dengan saat ini”.
B. Identifikasi Masalah
Sebagaimana latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas, penulis
mengidentifikasi masalahnya dengan beberapa poin sebagai berikut:
1. Terdapat perbedaan penafsiran dalam memaknai al-Qatl dan derivasinya
dalam al-Qur‟ȃn.
2. Terdapat perbedaan penafsiran dalam mendefinisikan pembunuhan
sengaja.
3. Terdapat perbedaan penafsiran di kalangan cendikiawan Muslim dan
ulama dalam menghukumi pelaku pembunuhan.
4. Adanya perbedaan pandangan mufassir dalam menentukan unsur-unsur
yang bisa dikategorikan sebagai pembunuhan sengaja.
5. Mekanisme pemberlakuan hukuman terhadap pelaku pembunuhan masih
menjadi perdebatan di kalangan mufassir.
6. Adanya kelompok yang menentang qisȃs bagi pembunuh karena dianggap
sudah tidak relevan dengan saat ini
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Berdasarkan identifikasi di atas, penulis menyadari bahwa untuk
memenuhi penelitian seluruh identifikasi pemasalahan tersebut diperlukan waktu
yang cukup panjang dan perhatian yang lebih ekstra. Oleh karena itu, agar
9
penelitian ini lebih fokus dan terarah, penulis membatasi masalahnya pada konsep
pembunuhan dalam tafsir ahkam dan relevansinya saat ini
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah di atas, penelitian ini akan dirumuskan
dengan pertanyaan-pertanyaan berikut:
a. Bagaimana konsep pembunuhan dalam tafsir ahkam, dan
b. Bagaimana relevansi pembunuhan saat ini.
D. Tujuan Penelitian
Tujuan penulisan dirumuskan berdasarkan rumusan masalah, sebagaimana
rumusan masalah yang telah penulis kemukakan, maka penelitian ini bertujuan:
1. Untuk menganalisis tentang konsep pembunuhan dalam tafsir ahkam.
2. Untuk menganalisis dan mengetahui relevansi pembunuhan saat ini.
E. Manfaat Penelitian.
Adapun manfaat dilakukannya penelitian ini ialah:
1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan
kontribusi keilmuan (contribution of knowledge) kepada pembaca
tentang konsep pembunuhan dalam tafsir ahkam dan relevansinya saat
ini.
2. Secara praktis, hasil pembahasan ini diharapkan mampu menambah
pembendaharaan kajian tentang konsep pembunuhan dalam tafsir
ahkam dan relevansinya saat ini.
3. Secara sosial, penelitian ini diharapkan dapat menambah rasa toleransi
dan kecintaan terhadap sesama yang berlandaskan pada al-Qur‟ȃn.
10
4. Secara akademis, penelitian ini dilakukan sebagai syarat memperoleh
gelar Magister Agama (M.Ag) pada Program Magister Ilmu al-Qur‟ȃn
dan Tafsȋr di Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
F. Tinjauan Pustaka
Kajian dan penelitian yang berkaitan dengan masalah pembunuhan dalam
al-Qur‟ȃn sebagian telah dilakukan oleh beberapa akademisi dan peneliti di
bidang ilmu tafsir, ilmu al-Qur‟ȃn dan ilmu Sejarah, baik yang dilakukan oleh
peneliti Muslim maupun non Muslim. Namun belum ditemukan sebuah penelitian
spesifik mengenai pembunuhan yang dikaji secara tematik dan komprehensif
dalam perspektif tafsir ahkam serta menganalisisnya dengan Relevansi saat ini.
Para penulis dalam karya-karyanya masih menulis secara parsial dan dalam
konteks yang berbeda. Di antara karya-karya buku, jurnal dan karya ilmiah
lainnya adalah sebagai berikut:
Sonafist. 2002. Penafsiran Ayat-ayat Ahkam dalam Tafsir al-Manar: Studi
Perbandingan antara Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha,
Disertasi, mahasiswa Program Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta. Penelitian ini membahas ayat-ayat hukum dalam al-Qurȃn
yang hanya dibatasi pada penafsiran Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Dalam
pandangannya terdapat beberapa persamaan dan perbedaan dalam melakukan
penafsiran tentang ayat-ayat hukum pertama dari segi prinsip penafsiran ayat-ayat
al-Qur‟ȃn bersifat umum, al-Qur‟ȃn sebagai sumber primer hukum Islam,
memberantas taqlid, menggunakan nalar, pikiran dan metode ilmiah,
menggunakan akal dalam pemahaman al-Qur‟ȃn, serta mengaitkan penafsiran al-
Qur‟ȃn dengan kehidupan Sosial. Perbedaan dalam segi penafsiran terdapat pada
11
penggunaan hadis, keluasan pembahasan kosa kata, serta keluasan pembahasan
dengan ilmu ushȗl fiqh. Dalam pembahasan ayat-ayat ahkȃm ini Sonafist juga
memberikan pandangan tentang ayat-ayat hukum terkait dengan pembunuhan,
akan tetapi terbatas pada unsur-unsur serta sanksi pembunuhan sengaja maupun
tidak sengaja. Pembatasan inilah tidak jauh berbeda dari para pengkaji
sebelumnya, hanya saja penelitian ini mempersempit ruang lingkup terhadap
penafsiran Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha.14
Lilik Ummi Kaltsum dan Abdul Moqsith. 2014. Tafsir Ayat-ayat Ahkam,
Buku ini berbicara tentang ayat-ayat hukum dalam al-Qur‟ȃn, di dalam buku ini
penulis menggunakan para mufassir klasik maupun kontemporer dalam
rujukannya, serta tema pembahasannya menekankan pada kondisi saat buku ini
ditulis. Seperti ayat-ayat terkait dengan penggunaan harta benda, gratifikasi,
makar, pembunuhan, perang, pernikahan, murtad dalam konteks Negara modern,
dan lain-lain. Dalam buku ini pembahasan tentang pembunuhan tidak seluruhnya
dibahas secara rinci, akan tetapi lebih kepada jenis-jenis pembunuhan dan sanksi
terhadap pembunuhan.15
Roni Fahmi. 2006. Hukuman Mati dalam Pidana Islam Ditinjau dari
Perspektif Hak Asasi Manusia, Tesis, mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam penelitiannya, penulis menemukan
titik perbedaan pemahaman tentang hukuman mati dalam pidana Islam dalam
kaitannya dengan penegakan hak asasi manusia, terletak pada perbedaan
14
Sonafist, Penafsiran Ayat-ayat Ahkam dalam Tafsir al-Manar: Studi Perbandingan
antara Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha, Disertasi, mahasiswa Program Pasca
Sarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2002. 15
Lilik Ummi Kaltsum dan Abdul Moqsith Ghazali, Tafsir Ayat-ayat Ahkam (Jakarta:
UIN Press, 2014).
12
perspektif dalam melihat substansi hukuman mati itu sendiri dan konsekuensi
logis yang ditimbulkannya terhadap pelaku, korban, dan masyarakat pada
umumnya. Dalam perspektif pidana Islam, konsep hukuman lebih menekankan
pada pentingnya menolak mafsadah dan menjaga kemaslahatan yang lebih luas
sejalan dengan tujuan pensyariatan hukuman, yakni mewujudkan kemaslahatan
bagi umat manusia. Hukuman mati dalam Islam diarahkan sebagai bentuk hukum
terakhir dalam rangka melakukan upaya prefentif bagi masyarakat umum agar
tidak melakukan kejahatan serupa, yakni tercapainya dettern effect (efek jera)
demi menjamin terpeliharanya ketentraman dan keseimbangan kepentingan
manusia dalam suatu bangunan masyarakat. Berbeda dengan konsep Islam,
kelompok aktivis hak asasi manusia menilai penerapan hukuman mati dalam
Islam bertentangan dengan hak asasi manusia, karena mengabaikan hak seseorang
untuk hidup, memperbaiki kesalahan dan hak untuk kembali bersosialisasi , hidup
damai dalam masyarakat. Di samping itu, beberapa penerapan hukuman mati
dalam Islam dinilai tidak manusiawi, seperti terlihat dalam pelaksanaan hukuman
rajam, qisȃs, dan harabah. Perspektif yang digunakan lebih menekankan
pendekatan terhadap hak-hak kemanusiaan yang dimiliki oleh seorang terpidana,
setiap orang mempunyai hak asasi yang harus dihormati dan tidak boleh diambil
oleh siapapun, sehingga setiap pemidanaan diarahkan untuk merehabilitasi
terpidana.16
Rokhmadi. 2016. Hukuman Pembunuhan Dalam Hukum Pidana Islam di
Era Modern dalam jurnal at-Taqaddum, Volume 8 No 2 November, jurnal ini
16
Roni Fahmi, Hukuman Mati dalam Pidana Islam Ditinjau dari Perspektif Hak Asasi
Manusia, Tesis, mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
2006.
13
berbicara tentang hukuman pidana Islam dalam konteks dunia modern terhadap
pembunuhan, penekanan dalam penelitiannya mengutip pendapat-pendapat ulama
khalaf, bahwa penetapan hukuman bagi pembunuhan harus disamakan antara laki-
laki dan perempuan, pembunuhan Muslim dengan non Muslim, pembunuhan
seorang ayah dengan anaknya, harus tetap dikenai hukuman qisȃs dan jumlah
diyat laki-laki dengan perempuan harus sama, sehingga posisi manusia adalah
sama di depan hukum (tidak ada lagi diskriminasi, status sosial, kesetaraan
gender, dan agama).17
Imam Yahya. 2013. Eksekusi Hukuman Mati Tinjauan Maqȃsid al-
Syarȋ‟ah dan Keadilan, dalam artikel al-Ahkȃm Volume 23, No 1. Artikel ini
berbicara tentang hukuman mati bagi pelaku yang melakukan zina muhshan,
membunuh dengan sengaja, hirabah, dan keluar dari Islam (murtad) dalam
pandangannya Imam Yahya mengatakan bahwa hukumun mati tersebut harus
dilaksanakan sesuai dengan Maqȃsid al-Syarȋ‟ah dan keadilan. Dalam perspektif
Maqȃsid al-Syarȋ‟ah, tujuan hukuman mati harus merujuk pada tujuan
memelihara agama (hifz al-dȋn), memelihara diri atau menjaga kelangsungan
hidup (hifz al-nafs), akal (hifz al-„aql), keturunan (hifz al-nasl), dan memelihara
harta (hifz al-mȃl). Dalam perspektif keadilan, negara atas nama hukum harus
melindungi warganya dari peristiwa-peristiwa hukum yang merugikan
masyarakatnya.18
Dari beberapa penelitian di atas, belum ada penelitian yang secara khusus
membahas tentang pembunuhan dalam tafsir ahkam dan relevansinya saat ini
17
Rokhmadi, Hukuman Pembunuhan Dalam Hukum Pidana Islam di Era Modern dalam
jurnal at-Taqaddum, Volume 8 No 2 November 2016. 18
Imam Yahya, 2013, Eksekusi Hukuman Mati Tinjauan Maqȃsid al-Syarȋ‟ah dan
Keadilan, dalam Jurnal al-Ahkȃm Volume 23, No 1
14
yang dikaji secara tematik. Kajian tematik ini akan menghasilkan kesimpulan
tentang pembunuhan dalam tafsir ahkam secara komprehensif.
G. Metodologi Penelitian
Metodologi penelitian merupakan aspek utama yang berada dalam
kerangka ilmiah dan mempunyai kaidah, serta prosedur yang dapat
dipertanggung-jawabkan.19
Bahkan metode penelitian akan membentuk karakter
keilmiahan dari penelitian, karena eksistensi metode dalam sebuah penelitian ini
berfungsi sebagai jalan bagaimana penelitian ini diselesaikan. Terkait dengan
metode penelitian ada beberapa hal yang perlu dijelaskan:
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian kualitatif20
atau penelitian
pustaka (library research), Dikatakan kualitatif karena data-data dan sumber-
sumber data adalah bersifat kualitatif atau referensi uraian-uraian yang menyebar
dalam berbagai karya-karya ilmiah, seperti Kitab-kitab, Buku-buku, Skripsi,
Tesis, Disertasi, Jurnal, Laporan penelitian, Majalah, Koran, dan sebagainya.
2. Sifat Penelitian
Ditinjau dari sifatnya, maka penelitian ini bersifat deskriptif-analitis, yaitu
suatu penelitian yang berupaya memberikan gambaran secara deskriptif sekaligus
mengeksplorasi secara mendalam dan mendetail terhadap aspek yang
19
Restu Kartiko Widi, Asas Metodologi Penelitian, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), h. 67 20
Lexi. J.M., Metodologi Penelitian Kualitatif, Cet.13 (Bandung, Rosda Karya, 2003),
hal. 4-8. Dalam penelitian kualitatif, teknik pengumpulan data dapat dilakukan dengan observasi,
interview (wawancara), kuisioner (angket), dokumentasi, dan triangulasi (gabungan keempatnya).
Lihat Sugiono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D (Bandung: Alfabeta, 2008), h.
225.
15
berhubungan dengan permasalahan.21
Adapun permasalahan dalam penelitian ini
seputar pembunuhan dalam tafsir ahkam dan relevansinya saat ini.
3. Sumber Data
Adapun sumber penelitian ini terbagi dalam dua jenis, yakni sumber
primer dan sumber sekunder.
a. Sumber Primer
Sumber primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah al-
Qur‟ȃn al karim dan kitab-kitab tafsir. Baik kitab tafsir karangan ulama
klasik maupun kitab tafsir karangan ulama kontemporer yang cenderung
bercorak ahkȃm. Kitab tafsir klasik yang dipilih yaitu kitab Tafsȋr al-Jȃmi‟
lȋ ahkȃm al-Qurȃn Karya al-Qurtubȋ, Tafsȋr Ahkȃm al-Qur‟ȃn karya Al-
Jassȃs, dan Tafsȋr Ahkȃm al-Qur‟ȃn Karya Abu Bakar Ibnu al-„Arabȋ.
Adapun kitab tafsir kontemporer yang dipilih yaitu Tafsȋr al-Munȋr Karya
Wahbah al-Zuhaylȋ.
Adapun untuk menemukan kata-kata dalam al-Qur‟ȃn, penulis
menggunakan kitab-kitab sebagai berikut: Mu‟jȃm al-Mufradȃt fȋ
Ghȃrȃibi al-fȃz al-Qur‟ȃn karya al-Rȃghib al-Asfahȃnȋ , Lisȃn al-„Arab
karya Ibnu Manzur, Mu‟jȃm al-Maqȃyis fȋ al-Lugghȃt karya Ahmad ibn
Fȃris ibn Zakariyȃ. Kemudian Untuk memudahkan pelacakan ayat-ayat al-
Qurȃn yang diperlukan, digunakan pula kitab Mu‟jȃm al-Mufahras lȋ al-
Fȃz al-Qur‟ȃn al-Karȋm, karangan Muhammad Fuȃd Abd al-Bȃqȋ.
b. Sumber Skunder
21
Anton Backer dan Ahmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat (Yogyakarta:
Kanisius, 1990), h. 114-120
16
Sumber sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari buku-buku,
jurnal, tesis, disertasi, makalah, artikel, majalah yang berhubungan dengan
pokok permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian.
4. Teknik Pengumpulan Data dan Analisa Data
Dalam hal pengumpulan data, penulis menempuh teknik survey
kepustakaan dan studi literatur. Survey kepustakaan yaitu menghimpun data yang
berupa sejumlah literatur yang diperoleh di perpustakaan atau pada tempat lain ke
dalam sebuah daftar bahan-bahan pustaka. Sedangkan studi literatur adalah
mempelajari, menelaah, dan mengkaji bahan pustaka yang berhubungan dengan
masalah yang menjadi obyek penelitian.22
Karena penelitian ini berupaya mengkaji wawasan tentang tafsir al-Qur‟ȃn
dan secara spesifiknya tentang pembunuhan, maka untuk menghindari
kemungkinan terjadinya pandangan yang bersifat parsial terhadap masalah yang
dibahas, maka metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode Tafsȋr
Maudȗ‟ȋ. Tafsȋr Maudȗ‟ȋ yaitu metode tafsir yang berusaha mencari jawaban al-
Qur‟ȃn terhadap suatu masalah tertentu dengan cara menghimpun seluruh ayat
yang di maksud, lalu menganalisisnya lewat ilmu-ilmu bantu yang relevan dengan
masalah yang dibahas, untuk kemudian melahirkan suatu uraian yang utuh dari
tafsȋr al-Qur‟ȃn tentang masalah tersebut.
Langkah-langkah yang ditempuh oleh penulis dalam penelitian ini
mengikuti cara kerja metode Tafsȋr Maudȗ‟ȋ yang telah ditawarkan oleh Abd al-
Hayy al-Farmawȋ23
sebagai berikut:
22
Winarno Surachman, Pengantar Penelitian Ilmiah (Bandung: Tarsito, 1990), h. 257 23
Abd al-Hayy al-Farmawȋ, al-Bidȃyah fȋ al-Tafsȋr al-Maudu‟ȋ (Mesir: Dirȃsȃt
Manhȃjiyyah Maudȗ‟iyyah, 1997), h. 48
17
a. Memilih atau menetapkan tema-tema qatl yang akan penulis kaji.
b. Melacak dan menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah yang
ditetapkan. Yaitu ayat-ayat qatl
c. Mengetahui korelasi (munȃsabah) ayat-ayat terebut.
d. Menyusun tema bahasan dalam kerangka yang pas, sistematis, sempurna,
dan utuh, yang ada dalam ayat-ayat qatl
e. melengkapi pembahasan dengan hadis-hadis (jika diperlukan dalam
pembahasan), yang berkaitan dengan tema qatl
f. Mempelajari ayat-ayat tersebut secara tematik dan komprehensif dengan
cara mengoleksi ayat-ayat qatl yang memuat makna yang sama sejenis.
Dalam metode yang ditawarkan oleh al-Farmawi ini, penulis tidak semua
menggunakan langkah-langkah yang ditawarkan, penulis hanya mengambil enam
langkah yang sekiranya bisa menjawab tentang ayat-ayat pembunuhan secara
umum, satu langkah yang tidak dikaji adalah menyusun ayat-ayat secara runtut
menurut kronologi masa turunnya, disertai pengetahuan mengenai latar belakang
turunnya ayat atau asbab al-nuzȗl. Menurut pandangan penulis enam langkah
yang sudah dijelaskan di atas telah memberikan jawaban terhadap masalah yang
akan dikaji.
5. Teknik Penulisan
Adapun teknik penulisan dan Transliterasi dalam penulisan tesis ini
mengacu pada keputusan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Nomor: 507
Tahun 2017, tentang buku Pedoman penulisan karya ilmiah (Skripsi, Tesis, dan
Disertasi) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
18
H. Sistematika Penulisan
Penelitian ini dibagi ke dalam lima bab serta beberapa sub bab yang
merupakan satu kesatuan sebagai berikut:
Bab pertama adalah pendahuluan. Pada bab ini dikemukakan tentang
kegelisahan akademik yang terdapat pada latar belakang permasalahan yang
diteliti. Kemudian melakukan eksplorasi penelitian dengan menentukan indikasi
masalah, membuat pembatasan-pembatasan serta memfokuskan permasalahan
yang akan dibahas dalam rumusan masalah. Langkah tersebut adalah untuk
memberikan arah yang jelas dalam pembahasan yang akan dilakukan. Berikutnya
didukung juga dengan adanya Tujuan dan Manfaat Penelitian, Tinjauan Pustaka,
dan Metode Penelitian, sebagai bentuk upaya agar dapat menghasilkan penelitian
yang baik serta mempunyai nilai lebih. Pada bab ini diakhiri dengan sistematika
penulisan yang akan diungkap dalam penelitian ini. Pada latar belakang masalah
ini dikemukakan sebagai suatu pembuktian dari penelitian yang dilakukan, bahwa
latar belakang ini dapat menunjukkan adanya masalah yang diteliti.
Bab kedua merupakan tinjauan umum tentang pembunuhan dalam tafsȋr
ahkȃm. Di dalamnya disajikan pembahasan studi tentang tema keilmuan. Dalam
konteks ini pembahasan terkait tinjauan umum tentang pembunuhan dalam tafsȋr
ahkȃm seperti, Definisi Pembunuhan, Derivasi al-Qatl, serta sejarah pembunuhan.
Hal ini agar bisa mengembangkan masalah, serta bisa membuat pengukuran dan
memiliki standar ukur terhadap objek yang akan diteliti.
Bab ketiga Berisi tentang diskursus seputar pembunuhan dalam tafsȋr
ahkȃm dari segi niat, pelaku dan korban, serta sanksi pembunuhan. Pada bab ini,
pembahasan akan dimulai dengan Pembunuhan dari segi niat (motivasi), yang
19
terdiri dari pembunuhan sengaja, dan tidak sengaja. Setelah itu dibahas tentang
pembunuhan dari segi pelaku dan korban atau orang yang dibunuh. Dan terakhir
tentang sanksi pembunuhan. Pembahasan ini diuraikan agar bisa diketahui
gambaran ayat-ayat pembunuhan dan pendapat para intelektual Muslim maupun
para ulama tentang pembunuhan dari segi niat, pelaku dan korban, serta sanksi
pembunuhan.
Bab keempat berisi tentang relevansi pembunuhan pada saat ini. Bab ini
meliputi sub bab tentang relevansi pembunuhan dan macam-macam pembunuhan
saat ini, seperti: narkoba, terorisme, perampokan dengan kekerasan (begal).
Bab kelima merupakan bab terakhir atau penutup dari penelitian. Bab ini
berisi tentang kesimpulan dari pembahasan sekaligus memberikan jawaban atas
perumusan masalah dalam penelitian ini. Selain itu, pada bab ini juga dibahas
tentang rekomendasi yang perlu dikembangkan dalam penelitian yang akan
datang.
20
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PEMBUNUHAN
DALAM TAFSȊR AHKȂM
Pembahasan bab ini akan mendeskripsikan tinjauan umum tentang
pembunuhan dalam Tafsȋr Ahkȃm, mulai dari definisi pembunuhan, derivasi ayat-
ayat pembunuhan, serta sejarah pembunuhan. Definisi tentang pembunuhan perlu
dikaji dalam bab ini agar mengetahui pandangan-pandangan mufassir tentang
definisi pembunuhan, bisa memberikan analisis pada masalah-masalah berikutnya,
serta memberikan pandangan yang lebih luas dalam menentukan klasifikasi
pembunuhan. Derivasi ayat-ayat pembunuhan pada bab ini turut menjadi kajian
untuk mempermudah penulis dalam menelusuri tema-tema tertentu yang akan
dibahas. Sejarah tentang awal terjadinya pembunuhan di muka bumi juga menjadi
pembahasan dalam bab ini yaitu untuk menambah wawasan pengetahuan tentang
awal terjadinya pembunuhan di muka bumi ini.
A. Definisi Pembunuhan
Pembunuhan secara etimologi dikenal dengan istilah al-Qatl. Kata ini
merupakan bentuk masdar dari kata Qatala-Yaqtulu-Qatlan ( قتلا -يقتل –قتل ) yang
diartikan oleh al-Munawwir sebagai “pembunuhan.”1 Menurut Ibn Fȃris kata
qatala (قتل) memiliki dua pengertian, yaitu adalah idzlȃl: yang berarti
merendahkan, menghina, melecehkan dan imȃtah: artinya adalah membunuh, dan
1 Ahmad Warson Munawwir dan Muhammad Fayruz, Al-Munawwir Kamus Indonesia-
Arab (Surabaya: Pustaka Progresif, 2007), cet. I , h. 164.
21
mematikan.2 Sementara menurut al-Rȃghib al-Asfahȃnȋ (al-Qatl) adalah
menghilangkan roh dari jasad seperti mati.3
Adapun secara terminologi, Waḥbah al-Zuḥaylȋ mendefinisikan
pembunuhan (al-Qatl) sebagai suatu perbuatan yang mematikan yaitu orang yang
membunuh jiwa, atau perbuatan seseorang yang menghilangkan kehidupan, yaitu
perbuatan seseorang yang dapat menghancurkan bangunan kemanusiaan.4
„Abdul Qȃdir „Awdah juga menegaskan bahwa pembunuhan merupakan
suatu tindakan menghilangkan kehidupan, yang berarti menghilangkan jiwa anak
Adam oleh perbuatan anak Adam yang lain.5 Senada dengan Pendapat Wahbah
Zuhailȋ dan Abdul Qȃdir „awdah, al-Jurjȃnȋ dalam mu‟jȃm al-Ta‟rȋfȃt
mendefinisikan pembunuhan sebagai perbuatan yang menyebabkan hilangnya
nyawa seseorang (Rȗh).6
Sementara menurut Mahmud Syaltut, pembunuhan adalah membunuh
seseorang yang benar-benar masih hidup dengan perbuatan yang jika dinalar
secara akal dapat membunuhnya. Perbuatan tersebut dilakukan oleh seseorang
yang dapat dihukum.7
2 Abȋ al-Husain Ahmad ibn Fȃris ibn zakariyȃ, Mu’jȃm Maqȃyīs al-Lugghah, (tt, Dȃr al
Fikr, tt) h. 715 3 Al- Rȃghib al-Asfahȃnȋ, Mu’jȃm Mufradȃt al-fȃz al-Qur’ȃn (Damsik: Dȃr al-Qalȃm,
2009), h. 655 4 Wahbah Zuhaylȋ, al-Fiqh al-Islȃmȋ wa ‘Adillatuh (Damaskus: Dȃr al-Fikr, 1989), cet.
ke-3, jilid VI, h, 217. 5 Abd al-Qȃdir „Awdah, al-Tasyrȋ’u al-Jinȃ’ȋ al-Islȃmȋ muqhȃranan bȋ al-Qȃnun al-
Wad’ȋ (Beirȗt - Lebanon: Dar al-Kutub al Ilmiyyah, 2005), Jilid II, h. 5 6 „Alȋ bin Muhammad al-Sayyid al-Syarȋf Al-Jurjȃnȋ, Mu’jȃm al-Ta’rȋfȃt (Beirȗt: Dȃr al-
Kutub al Ilmiyyah, 1983), h. 172 7 Mahmud Syaltut, Hukum Islam Aqidah dan Syariah, Penerjemah: Bustami A.Ghana dan
Johan Bahri (Jakarta: Bulan Bintang, T.Th), Jilid 4, h. 42
22
Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata pembunuhan
diartikan dengan proses, cara, perbuatan membunuh.8
Dari beberapa definisi di atas, tidak ada perbedaan yang signifikan dalam
mendefinisikan pembunuhan. Tanpa melihat unsur-unsur, cara, alat yang
digunakan oleh pelaku, serta objeknya, pembunuhan dapat diartikan dengan suatu
perbuatan atau tindakan yang pada prinsipnya menyebabkan hilangya nyawa
seseorang.
B. Al-Qatl dan Derivasinya
Penggunaan kata Qatl dalam al-Qur‟ȃn dengan berbagai derivasinya, baik
fiil (kata kerja) maupun ism (kata benda) ditemukan dalam berbagai surat di
dalam al-Qur‟ȃn. Secara keseluruhan kata qatala dan derivasinya digunakan
sebanyak 170 kali dalam al-Qur‟ȃn.9 Dari jumlah tersebut, digunakan sebanyak
94 kali dalam bentuk wazan qatala–yaqtulu, 67 kali dalam bentuk wazan
qȃtala-Yuqȃtilu, 5 kali dalam bentuk wazan qattala-yuqattilu, dan 4 kali dalam
bentuk wazan iqtatala-yaqtatilu.
Secara keseluruhan 170 kata terkumpul dalam 33 Surat, dalam QS: al-
Baqarah terdapat 31 kata, QS: al-Imrȃn terdapat 21 kata, QS: an-Nisȃ‟ terdapat 25
kata, QS: al-Mȃidah: terdapat 13 kata, QS: al-Anfȃl terdapat 6 kata, QS: al-An‟ȃm
terdapat 4 kata, QS: al-„arȃf terdapat 3 kata, QS: at-Taubah terdapat 13 kata, QS:
Yusȗf terdapat 2 kata, QS: al-Isrȃ‟ terdapat 5 kata, QS: al-Kahfi terdapat terdapat
2 kata, QS: Thȃhȃ terdapat 1 kata, QS: al-Hajj terdapat 2 kata, QS: al-Furqȃn
terdapat 1 kata, QS: as-Syuarȃ‟ terdapat 1 kata, QS: al-Qasȃs terdapat 7 kata, QS:
8 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa
(Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), Cet. 1 Edisi IV, h. 225 9Muhammad Fuȃd Abd al-Bȃqȋ, Al-Mu’jȃm al-Mufahras li al-fȃz al-Qur’ȃn al-Karȋm
(Beirȗt: Dȃr al-Fikr 1987) h. 533-536
23
al-Ankabȗt terdapat 1 kata, QS: al-Ahzȃb terdapat 6 kata, QS: al-Mukmin/Ghȃfir
terdapat 3 kata, QS: Muhammad terdapat 2 kata, QS: al-Fath terdapat 2 kata, QS:
az-Dzȃriyyat terdapat 1 kata, QS: al-Hujurȃt terdapat 2 kata, QS: al-Hadȋd
terdapat 2 kata, QS: al-Hasr terdapt 3 kata, QS: al-Mumtahanah terdapat 3 kata,
QS: as-Shaff terdapt 1 kata, QS: al-Munȃfiqun terdapat 1 kata, QS: al-Muzzammil
terdapat 1 kata, QS: al-Muddassir terdapat 2 kata, QS: Abasa terdapat 1 kata, QS:
at-Takwȋr terdapat 1 kata, QS. al-Burȗj 1 kata.
Dalam al-Qur‟ȃn lafadz al-Qatl (القتل) disebutkan sebanyak 11 kali dalam 7
surat. QS. al-Baqarah [2]: 178, 191, 217; al-Imrȃn [3]: 154, 181; an-Nisȃ‟ [4]:155;
al-Mȃidah [5]: 30; al-An‟ȃm [6]: 137; al-Isrȃ‟ [17]: 31,33; al-Ahzȃb [33]: 16.
Sementara derivasinya disebutkan dalam beberapa bentuk. Dalam bentuk fiil mȃdȋ
(kata kerja lampau) disebutkan sebanyak 39 kali dalam 18 surat. QS. al-Baqarah
[2]: 72, 251; al-Imrȃn [3]: 144, 154, 156, 157, 158, 168, 169, 183, 195; an-Nisȃ‟
[4]: 92, 157,157, 157; al-Mȃidah [5]: 27, 28, 30, 32, 32, 95, 95; al-An‟ȃm [6]:
140; al-Anfȃl [8]: 17; al-Isrȃ‟ [17]: 33; al-Kahfi [18]: 74, 74; Tȃhȃ [20]: 40; al-
Hajj [22]: 58; al-Qasas [28]: 19, 33; al-Mukmin/Ghȃfir [40]: 26; Muhammad [47]:
4; azd-Dzȃriyat [51]: 10; al-Muddassir [74]: 19, 20; Abasa [80]: 17; at-Takwȃr
[81]: 9; al-Burȗj [85]: 4. Sementara dalam bentuk fiil Mudȃri’ (kata kerja
sekarang atau akan datang) disebutkan dalam al-Qur‟ȃn sebanyak 34 kali dalam
16 surat. QS. al-Baqarah [2]: 61, 85, 87, 91, 154; al-Imrȃn [3]: 21, 21, 112; an-
Nisȃ‟ [4]: 29, 74, 92, 93; al-Mȃidah [5]: 28, 70, 95; al-Anȃm [6]: 151, 151; al-
A‟rȃf [7]: 150; al-Anfȃl [8]: 17, 30; at-Taubah [9]: 111, 111; Yusȗf [12]: 10; al-
Isrȃ‟ [17]: 31, 33; al-Furqȃn [25]: 68; as-Syuarȃ‟ [26]: 14; al-Qasȃs [28]: 9, 19, 20,
33; al-Ahzȃb [33]: 26; al-Mukmin/Ghȃfir [40]: 28; al-Mumtahanah [60]: 12.
24
Adapun dalam fiil Amr (kata perintah) disebutkan dalam al-Qur‟ȃn sebanyak 10
kali dalam 6 surat. QS. al-Baqarah [2]: 54, 191, 191; an-Nisȃ‟ [4]: 66, 89, 91; at-
Taubah [9]: 5; Yusȗf [12]: 9; al-Ankabȗt [29]: 24; al-Mukmin/Ghȃfir [40]: 25.10
Dalam al-Qur‟ȃn ada yang mengikuti wazan fa’ala (فعل) yaitu Qattala (قتل)
disebutkan sebanyak 5 kali. Dalam bentuk fiil mȃdi (kata kerja lampau)
disebutkan sebanyak 1 kali dalam 1 surat. QS. al-Ahzȃb [33]: 61. Sementara
dalam bentuk fiil Mudȃri’ (kata kerja sekarang atau akan datang) disebutkan
dalam al-Qur‟ȃn sebanyak 3 kali dalam 2 surat. QS. al-Mȃidah [5]: 33; al-A‟rȃf
[7]: 127, 141. Adapun dalam bentuk masdar disebutkan dalam al-Qur‟ȃn
sebanyak 1 kali dalam 1 surat. QS. al-Ahzȃb [33]: 61.11
Dalam al-Qur‟ȃn ada yang mengikuti wazan ifta’ala (افتعل) yaitu Iqtatala
disebutkan sebanyak 4 kali dalam 3 surat. Dalam bentuk fi’il mȃdī (kata (اقتتل)
kerja lampau) disebutkan sebanyak 3 kali dalam QS al-Baqarah [2]: 253, 253; al-
Hujurȃt [49]: 9. Sementara dalam bentuk fi’il Mudȃri’ (kata kerja sekarang atau
akan datang) disebutkan dalam al-Qurȃn sebanyak 1 kali dalam 1 surat. QS. al-
Qasȃs [28]: 15.12
Dalam al-Qur‟ȃn ada yang mengikuti wazan fȃ‟ala (فاعل) yaitu Qȃtala
disebutkan 13 kali dalam 10 Surat. Dalam bentuk fi’il mȃdȋ (kata kerja (قاتل)
lampau) disebutkan sebanyak 13 kali dalam QS. al-Baqarah [2]: 191. QS. al-
Imrȃn [3]: 146, 195. QS. an-Nisȃ‟ [4]: 90. QS. at-Taubah [9]: 30. al-Ahzȃb [33]:
20. Al-Fath [48]: 22. Al-Hadȋd [57]: 10, 10. Al-Hasyr [59]: 11, 12. Qs. al-
10
Muhammad Fuȃd Abd al-Bȃqȋ, Al-Mu’jȃm al-Mufahras li al-fȃz al-Qur’ȃn al-Karȋm
…h. 533-536 11
Muhammad Fuȃd Abd al-Bȃqȋ, Al-Mu’jȃm al-Mufahras li al-fȃz al-Qur’ȃn al-
Karȋm..h. 533-536 12
Muhammad Fuȃd Abd al-Bȃqȋ, Al-Mu’jȃm al-Mufahras li al-fȃz al-Qur’ȃn al-Karȋm..
h. 533-536
25
Mumtahanah [60]: 9. Qs. al-Munȃfiqȗn [63]: 4. Sementara dalam bentuk fiil
Mudȃri’ (kata kerja sekarang atau akan datang) disebutkan dalam al-Qur‟ȃn
sebanyak 27 kali dalam 10 surat. Qs. al-Baqarah [2]: 190, 191,191, 217, 246, 246,
246. Qs. al-Imrȃn [3]: 13, 111. Qs. an-Nisȃ‟ [4]: 74, 74, 75, 76, 76, 90, 90, 90. At-
Taubah [9]: 13, 36, 83, 111. Qs. al-Hajj [22]: 39. Qs. al-Fath [48]: 16. Qs. al-
Hasyr [59]: 14. Qs. al-Mumtahanah [60]: 8. Qs. as-Shaff [61]: 4. Qs. al-
Muzzammil [73]: 20. Adapun dalam fiil amr (kata perintah) disebutkan sebanyak
14 kali dalam 6 surat. Qs. al-Baqarah [2]: 190, 193, 244. Qs. al-Imrȃn [3]: 167.
QS. an-Nisȃ‟ [4]: 76, 84. Qs. al-Mȃidah [5]: 24. Qs. al-anfȃl [8]: 39. Qs. at-
Taubah [9]: 12, 14, 29, 36, 123. Al-Hujurȃt [49]: 9. Adapun dalam bentuk masdar
disebutkan dalam al-Qur‟ȃn sebanyak 13 kali dalam Qs. al-Baqarah [2]: 216, 217,
217, 246, 246. Qs. al-Imrȃn [3]: 167, 121. Qs. an-Nisȃ‟ [4]: 77, 77. Qs. al-Anfȃl
[8]: 16, 65. Qs. al-Ahzȃb [33]: 25. Qs. Muhammad [47]: 20.13
Secara umum al-Qatl dalam al-Qur‟ȃn berarti „pembunuhan‟, pada QS. al-
Baqarah (2): 191 maknanya “Perang”, QS. al-Imrȃn (3): 157, 158, 169 maknanya
“Gugur”, QS. an-Nisȃ‟ (4): 74 maknanya “Gugur”, QS. Muhammad (47): 4
maknanya “Gugur”, QS. adz-dzariyȃt (51): 10 maknanya terkutuk, QS. al-
Muddassir (74): 19, 20 maknanya “Celaka”, QS. Abasa (80): 17 maknanya
“Celaka”, QS. al-Burȗj (85): 4 maknanya “Binasa”.
Kata al-Qatl dalam QS. al-Baqarah [2]: 191 dan 217 misalnya,
menjelaskan mengenai lebih kejamnya fitnah dari pada pembunuhan seperti yang
dilakukan orang-orang kafir dengan menimbulkan kekacauan, mengusir sahabat
dari kampung halaman, merampas harta, menyakiti, mengganggu kebebasan
13
Muhammad Fuȃd Abd al-Bȃqȋ, Al-Mu’jȃm al-Mufahras li al-fȃz al-Qur’ȃn..h. 533-536
26
beragama. Dalam QS. Al-Imrȃn [3]: 181, dan QS. An-Nisȃ‟ [4]: 155 mengenai
perbuatan kaum yahudi yang telah membunuh nabi-nabi tanpa alasan yang
dibenarkan. Dalam QS. Al-An‟ȃm [6]: 137, dan QS. Al-Isrȃ‟ [16]: 31, 33
mengenai perlakuan orang-orang musyrik yang telah membunuh anak-anak
mereka, dan membunuh orang-orang tanpa alasan yang benar. Mereka
mempunyai kecemasan hadirnya anak-anak mereka, karena dalam pandangannya
anak-anak mereka akan membawa kemiskinan terhadap keluarganya.
C. Sejarah Munculnya Pembunuhan.
Dalam sejarah kehidupan manusia telah diketahui bahwa pembunuhan
pertama kali diperkenalkan oleh anak Nabi Adam AS, yaitu ketika Qabil
membunuh saudaranya sendiri Habil,14
saudara laki-lakinya.15
Meskipun ada
sebagian pendapat yang mengatakan bahwa pembunuhan pertama kali
diperkenankan oleh Bani Israil. Kasus pembunuhan ini dijelaskan dalam QS. Al-
Mȃidah [5]: 27-31 sebagai berikut:
دها ول ي ت قبل من الآخر قال لأق ت لنك واتل عليهم ن بأ اب ن آدم بلق إذ ق رب ق ربنا ف ت قبل من أح من المتقين ) ا ي ت قبل الل لئن بسطت إل يدك لت قت لن ما أن بباسط يدي إليك لأق ت لك (٢قال إن
14
"Habel" dari הבל /הבל; dalam transliterasi Ibrani standar, Hével / Hável, dan dalam
Bahasa Ibrani Tiberias Héḇel / Hāḇel. Dalam Al-Qur'an, Habel disebut Hābīl (هابيل)Kain tidak
disebutkan namanya dalam Al-Qur'an, meskipun tradisi Islam mencatat namanya Qābīl ( قابيل ).
Kain disebut Qayen (ቃየን)dan dengan nama ini ia lebih sering disebut dalam khotbah-khotbah.
Sebagian orang telah mengusulkan bahwa nama Habel harus diidentifikasikan dengan kata dalam
bahasa Asyur aplu, yang semata-mata berarti "anak lelaki. Lihat
https://id.wikipedia.org/wiki/Kain_dan_Habel , 2 November 2018.
15 Qabil dan Habil adalah anak pertama, dan kedua dari pasangan pertama Adam dan
Hawa, yang dilahirkan setelah bumi setelah melakukan larangan Tuhan. Dalam Alkitab, anak
Adam dan Hawa yang lain yang disebut adalah Set. Cerita mereka dikisahkan dalam Alkitab Ibrani
atau Perjanjian Lama di Alkitab Kristen, yaitu dalam Kitab Kejadian pasal 4 dan dalam Al-Qur'an
dalam Surah 5:27-32. Dalam kedua versi ini Qabil melakukan pembunuhan yang pertama dengan
membunuh saudaranya setelah Allah menolak korbannya, tetapi menerima korban Habil. Kitab
Kejadian memberikan tekanan pada pekerjaan kedua saudara ini; Habil menggembalakan ternak,
sementara Kain seorang petani. www.id.wikipedia.org, akses 29 Agustus 2012.
27
إن أريد أن ت بوء بثي وإثك ف تكون من أصحاب النار وذلك (٢)إن أخاف الل رب العالمين (فطوعت له ن فسه ق تل أخيه ف قت له فأصبح من الاسرين ) (٢جزاء الظالمين ) ف ب عث الل
لييه كيف ي واري سوأة أخيه قال ي وي لتا أعجزت أن أكون مثل هذا الغراب غرابا ي بحث ف الأرض 16(فأواري سوأة أخي فأصبح من النادمين )
Artinya: Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil
dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan
korban, Maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak
diterima dari yang lain (Qabil). ia berkata (Qabil): "Aku pasti membunuhmu!".
berkata Habil: "Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang
yang bertakwa". "Sungguh kalau kamu menggerakkan tanganmu kepadaku untuk
membunuhku, aku sekali-kali tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu untuk
membunuhmu. Sesungguhnya aku takut kepada Allah, Tuhan seru sekalian alam."
"Sesungguhnya aku ingin agar kamu kembali dengan (membawa) dosa
(membunuh)ku dan dosamu sendiri, Maka kamu akan menjadi penghuni neraka,
dan yang demikian itulah pembalasan bagi orang-orang yang zalim." Maka hawa
nafsu Qabil menjadikannya menganggap mudah membunuh saudaranya, sebab
itu dibunuhnyalah, Maka jadilah ia seorang diantara orang-orang yang merugi
kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk
memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana seharusnya menguburkan mayat
saudaranya. berkata Qabil: "Aduhai celaka Aku, mengapa aku tidak mampu
berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku
ini?" karena itu jadilah Dia seorang diantara orang-orang yang menyesal. (QS.
Al-Mȃidah [5]: 27-31)
Ayat ini berhubungan dengan ayat-ayat sebelumya, yaitu, sama-sama
peringatan dari Allah bahwa kezaliman dan pelanggaran janji yang dilakukan oleh
orang-orang Yahudi adalah sama dengan kezaliman yang dilakukan seorang putra
nabi Adam terhadap saudaranya. Yaitu jika orang-orang yahudi itu hendak
membunuhmu wahai Muhammad, maka mereka telah membunuh para nabi
sebelum kamu, dan Qabil pun membunuh Habil, kejahatan itu telah ada sejak
dahulu kala. Yakni kisah ini mengingatkan kepada mereka. Dengan demikian,
kisah ini adalah kisah yang nyata, tidak seperti hadis-hadis maudȗ‟. Dalam kisah
16
QS. Al-Mȃidah [5]: 27-31
28
ini terdapat celaan bagi orang-orang yang menentang Islam, juga terhadap hiburan
bagi Nabi Muhammad saw.17
Setan bersumpah atas dirinya di hadapan Allah, setelah menolak bersujud
kepada Adam, agar memudahkan setiap usahanya dalam menyesatkan Bani
Adam.18
Allah menurunkan Adam dan setan ke bumi, mengabarinya tentang
permusuhan setan dengannya, dan anak cucunya serta memperingatkan mereka
agar waspada terhadap permusuhan ini.19
Allah juga memerintahkan kita agar
menjadikan setan sebagai musuh dan agar kita waspada terhadap bisikan dan
bujukannya.20
Dalam sejarah, manusia pertama yang dibunuh dimuka bumi adalah
Habil.21
Lantaran dengki, telah terjadi diantara mereka berdua (Habil dan Qabil)
pertumpahan darah, bahkan saudara tega membunuh saudaranya sendiri.
Kemudian, benih kejahatan itu tumbuh subur di tengah bani Adam hingga
datangnya hari kiamat kelak.22
Mayoritas ulama mengatakan, keduanya adalah anak-anak nabi Adam as.
Dari darah dagingnya sendiri, mereka adalah Habil dan Qabil. Namun Al-Hasan
Al-Basyrȋ mengatakan keduanya adalah dari Bani Israil, namun al-Qur‟ȃn
memberikan kesaksian kebenaran pendapat mayoritas dan menunjukan batalnya
pendapat Al-Hasan,23
yaitu dalam firman Allah swt.
17
Abȋ „Abd lillȃh Muhammad bin Ahmad al-Ansȃrȋ Al-Qurṭȗbȋ, al-Jȃmi’ li Ahkȃm al-
Qur’ȃn (Beirȗt: Muassasah al-Risȃlah, 1427 H), Juz VII, h.408 18
Lihat Qs. al A‟rȃf [7]: 16-17 19
Lihat Qs. al A‟rȃf [7]: 27 20
Lihat Qs. Fȃtir [35]: 6 21
Abi al-Hasan „Ali bin Muhammad al-Mawardٳ, al-Nukȃt wa al-‘Uyȃn al-Ma’rȗf bȋ
Tafsȋr al Mawardȋ (Bairȗt: Dar al-Kutub al‟Ilmiyyah, t.th), Juz. 2, h. 30 22
Ahmad Mustafa Al-Maraghȋ, Tafsȋr Al-Marȃghȋ (Mesir, tp, 1946), Juz. 6, hal. 97 23
Syekh Muhammad al-Amȋn bin Muhammad al-Muhktȃr al-Jaknȋ Asy-Syinqitȋ, Tafsȋr
Adwȃ’ al-Bayȃn fȋ Idȃhil al-Qur’ȃn bȋ al-Qur’ȃn terj Bari dkk (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007),
cet. 1, h. 76
29
غرابا ي بحث ف الأرض لييه كيف ي واري سوأة أخيه ف ب عث الل
Artinya: kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di
bumi untuk memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana seharusnya
menguburkan mayat saudaranya
Sudah jelas bagi siapapun, tidak ada seorangpun dari bani Israil yang tidak
mengetahui cara mengubur sehingga haru ditunjukkan oleh seekor burung gagak.
Kisah mencontoh kepada gagak dalam menguburkan dan pengetahuan yang
dihasilkan darinya ini menunjukkan bahwa insiden itu terjadi pada permulaan
(zaman) sebelum manusia terlatih untuk mengubur orang-orang mati,
sebagaimana yang terlihat dengan jelas dan dikatakan banyak ulama.24
Setiap kali anak nabi Adam as. lahir, maka yang lahir kembar yaitu anak
laki-laki dan anak perempuan.25
Adam memiliki anak laki-laki yang diselingi anak
perempuan setiap kehamilan istrinya. Ketika Habil ingin menikahi saudari Qabil,
dan dia lebih tua dari Habil, sementara saudari Qabil lebih bagus rupanya, maka
Qabil ingin bertukaran dengan saudarinya itu, sedangkan Adam memerintahkan
Habil untuk menikah dengan saudari Qabil, tetapi Habil menolak, maka Adam
memerintahkan keduanya untuk mempersembahkan kurbannya26
, kemudian
Adam pergi untuk berhaji ke Makkah, dia meminta langit untuk menjaga anaknya,
24
Syekh Muhammad al-Amȋn bin Muhammad al-Muhktȃr al-Jaknȋ Asy- Syinqitȋ, Tafsȋr
Adwȃ’ al-Bayȃn …h. 76 25
Hawa melahirkan bersama Qabil saudara perempuannya yang cantik jelita, yang
bernama Iqlimiya, dan bersama Habil saudara perempuan yang tidak cantik bernama layudza.
Lihat Abȋ „Abd lillȃh Muhammad bin Ahmad al-Ansȃrȋ Al-Qurṭȗbȋ, al-Jȃmi’ li Ahkȃm al-Qurȃn…
Juz VII, h.408 26
Tujuan berkurban adalah untuk menghentikan perselisihan antara Habil dan Qabil
dalam mempersuntuing saudari Qabil yaitu Iqlimya, dan diantara kurban keduanya yang diterima
adalah yang mempunyai hak untuk keutamaan itu.
30
tetapi langit menolak, kemudian dia meminta bumi dan Gunung, merekapun
menolaknya, lalu Qabil menerima tugas untuk menjaganya.27
Ketika itu Habil mempersiapkan kurbannya yaitu hewan ternak yang
gemuk. Dia adalah pemilik kambing, sedangkan Qabil mempersembahkan seikat
tanaman yang buruk, kemudian tiba-tiba kurban Habil mati terbakar hingga yang
tersisa adalah kurban Qabil, maka dia pun murka, seraya berkata, Aku akan
membunuhmu hingga engkau tidak akan menikahi saudariku. Habil berkata, Allah
menerima kurban orang yang bertakwa. Diriwayatkan dari Ibnu Abbȃs dari sisi
yang lain, dari Abdullah bin Amr, dia berkata: Demi Allah sesungguhnya yang
terbunuh adalah lelaki yang kuat, tetapi dia enggan untuk mengulurkan tangannya
(untuk membunuh Habil).28
Abu Ja'far al-Bȃqir menyebutkan: Bahwa Adam secara Iangsung meminta
kurban dari mereka berdua, dan menerima dari Habil tetapi tidak dari Qabil, maka
Qabil berkata kepada Adam, Engkau menerima persembahan dia, karena engkau
memanggilnya dan tidak memanggilku, kemudian ia membuat perjanjian dengan
saudaranya itu.29
Suatu malam Habil terlambat untuk menggembalakan kambingnya,
kemudian Adam mengutus saudaranya untuk mengecek apa yang membuatnya
terlambat, ketika dia pergi bersama Hȃbil, dia berkata kepada Habil, Kurbanmu
diterima, tetapi kurbanku tidak, Habil berkata, Sesungguhnya Allah menerima
kurban orang yang bertakwa, maka Qabil marah kepadanya dan memukulnya
dengan besi hingga tewas.
27
Abi al-Fidȃ‟ al-Hȃfiz Ibnu Katsȋr, al Bidȃyah wa an Nihȃyah terj. Lukman hakim dkk
(Jakarta: Pustaka Azzam, 2013), Jil. I, h. 422 28
Abi al-Fidȃ‟ al-Hȃfiz Ibnu Katsȋr, al Bidȃyah wa an Nihȃyah ..Jil. I, h. 422 29
Abi al-Fidȃ‟ al-Hȃfiz Ibnu Katsȋr, al Bidȃyah wa an Nihȃyah..Jil. I, h. 423
31
Adapula yang mengatakan bahwa Qabil membunuhnya dengan tombak
yang dia lemparkan ke kepala Habil ketika dia sedang tidur. Adapula yang
mengatakan: Qabil mencekik Habil dengan cekikan yang sangat kencang dan
menggigitnya sebagaimana yang dilakukan hewan buas hingga Habil tewas.
Wallahu alam. Perkataan Habil kepada Qabil ketika dia mengancam akan
membunuhnya. “Sungguh kalau kamu menggerakkan tanganmu kepadaku untuk
membunuhku, aku sekali-kali tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu
untuk membunuhmu. Sesungguhnya aku takut kepada Allah, Tuhan seru sekalian
alam.”
Setelah sebelumnya Habil menasehati saudaranya yang mengancam
membunuhnya, nasihat itu dilanjutkan dengan ucapan yang menggambarkan kasih
sayangnya kepada saudaranya, serta rasa takutnya kepada Allah30
Al-Qurtȗbȋ mengatakan dengan mengutip perkataan ulama bahwa itu
merupakan sesuatu yang boleh dijadikan sebagai ibadah, namun di dalam agama
kita diperbolehkan menolak orang yang hendak membunuh tersebut, berdasarkan
ijma‟ adapun mengenai kewajiban menolak hal itu, ini masih diperselisihkan.
Pendapat yang sahih adalah bahwa menolak orang yang hendak membunuh
merupakan suatu perkara yang diwajibkan. Sebab ini mengandung unsur
mencegah dari perbuatan yang munkar.31
Abdullah bin Amru dari kalangan mayoritas mengatakan bahwa Habil itu
lebih kuat dari pada Qabil, akan tetapi dia menghindar dari membunuh Qabil.
Ibnu Athiyah berkata, pendapat inilah yang paling kuat. Dari sini dapat dikuatkan
30
M. Quraish shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an
(Jakarta: Lentera Hati, 2002), Vol 3, hal. 74 31
Abȋ „Abd lillȃh Muhammad bin Ahmad al-Ansȃrȋ Al-Qurṭȗbȋ, al-Jȃmi’ li Ahkȃm al-
Qur’ȃn…Juz VII, h.413
32
bahwa Qabil adalah orang yang melakukan kemaksiatan, bukan seorang kafir.
Sebab jika dia seorang kafir, maka penghindaran yang dilakukan Habil tidak akan
mempunyai nilai apapun. Sesungguhnya nilai yang ada di balik penghindaran
Habil adalah karena dirinya enggan memerangi orang yang bertauhid dan rela
dirinya dizalimi, supaya Qabil mendapatkan balasannya di akhirat. Tindakan
seperti inilah yang dilakukan Usman.32
Nasihat-nasihat yang disampaikan oleh Habil kepada saudaranya sama
sekali tidak berbekas di hati dan pikiran Qabil. Ia telah dikuasai oleh hawa
amarahnya, maka setelah beberapa saat ia ragu dan berpikir, hawa nafsunya
menjadikan ia rela sedikit demi sedikit dan mempermudah hati dan pikirannya
untuk membunuh saudaranya. maka, setelah berlalu beberapa saat dibunuhnyalah
saudara kandungnya itu. Maka dengan demikian menjadilah ia seorang di antara,
yakni yang masuk dalam kelompok orang-orang yang benar-benar merugi, dengan
kerugian besar yang melekat pada dirinya, dan tidak dapat dielakkannya.33
Meskipun pada dasarnya Qabil tidak berani membunuh saudaranya dan fitrahnya
merasa kecil untuk melakukan itu. Akan tetapi, nafsu amarahnya senantiasa
mendorong, hingga akhirnya dia tega membunuhnya, akibat menganggap enteng
perkara dosa.34
Mengingat ini adalah pembunuhan pertama yang dilakukan oleh bani
Adam, maka Qabil tidak tahu bagaimana cara menyembunyikan mayat
saudaranya yang telah terbunuh itu yang dia rasakan tak pantas masih tampak
kelihatan mata saja. Dalam pada itu, ini merupakan bukti bahwa manusia dalam
32
Abȋ „Abd lillȃh Muhammad bin Ahmad al-Ansȃrȋ Al-Qurṭȗbȋ, al-Jȃmi’ li Ahkȃm al-
Qur’ȃn…Juz VII, h.413 33
M. Quraish shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an.. hal.
76 34
Ahmad Mustafa Al-Maraghȋ, Tafsȋr Al-Marȃghȋ..Juz. 6, hal. 100
33
pertumbuhannya yang pertama masih sangat sederhana, belum banyak
pengetahuannya. Tetapi karena punya bakat dan akal, maka ia bisa memperoleh
ilmu dan pengalaman dari segala sesuatu dan berkembanglah pengetahuan dan
ilmunya.
Maka Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk
memperlihatkan kepadanya bagaimana dia seharusnya menutupi keburukan
saudaranya itu. Sementara riwayat menyatakan bahwa burung gagak menggali
lubang untuk menguburkan burung gagak yang dibunuhnya. Di sisi lain, dapat
juga dikatakan bahwa burung gagak termasuk salah satu burung yang terbiasa
menggali lubang untuk menanam sebagian dari makanan yang diperolehnya untuk
digunakan pada kesempatan lain, atau boleh jadi ia menggali tanah untuk
mendapatkan sesuatu yang dapat dimakan.35
Dengan cara yang diperlihatkan oleh burung gagak tersebut, menjadi
contoh bagi Qabil dalam menguburkan saudaranya sendiri. Yaitu dengan cara
mengubur seperti apa yang burung gagak lakukan.
Surat al-Maidah ayat 27-31 inilah yang menjadi awal sejarah terjadinya
pembunuhan di muka bumi ini, yaitu antara Habil dan Qabil, sampai saat ini
peristiwa pembunuhan tak hanya didasari dengan pesoalan asmara seperti halnya
apa yang telah dilakukan Qabil kepada Habil. Tapi sampai saat ini lebih banyak
lagi persoalan-persoalan yang menyebabkan pembunuhan itu terjadi.
35
M. Quraish shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an... hal.
76
35
BAB III
DISKURSUS SEPUTAR PEMBUNUHAN DARI SEGI NIAT,
PELAKU DAN KORBAN, SERTA SANKSINYA DALAM TAFSȊR
AHKȂM
Pembahasan bab ini akan mengelaborasi perbedaan pandangan di antara
para mufassir dari segi niat, pelaku dan korban, serta sanksinya dalam tafsir al-
Qur‟ȃn. Tinjauan umum pada bab sebelumnya akan diaplikasikan ke dalam
pandangan mufassir tentang pemberlakuan hukum terhadap pelaku pembunuhan.
Pembuktian pandangan mufassir yang menolak terhadap pemberlakuan hukum
terhadap semua pelaku pembunuhan dengan memegang teguh makna tekstual dari
ayat-ayat tersebut dengan diikuti oleh pandangan mufassir terhadap madzhab-
madzhab tertentu, sehingga perbedaan itulah yang kemudian muncul dalam
diskursus tentang pembunuhan ini.
A. Pembunuhan dari Segi Niat
Tindak kejahatan terhadap nyawa atau pembunuhan tidak terlepas dari niat
pelaku. Niat pelaku menjadi dasar ditentukannya hukuman terhadap pelaku
pembunuhan. dalam mengklasifikasikan unsur-unsur pembunuhan terdapat
perbedaan pandangan dalam menentukannya.
Pertama: sebagian mengklasifikasikan pembunuhan dalam dua unsur.
1. Pembunuhan tidak sengaja (Qatl al-Khata‟).
2. Pembunuhan sengaja (Qatl al-„Amd).
Al-Qurtȗbȋ menyebutkan dalam tafsirnya bahwa Allah swt di dalam al-
Qur‟ȃn hanya mengklasifikasikan pembunuhan kedalam dua unsur, yaitu
36
pembunuhan sengaja, dan pembunuhan tidak sengaja.1 Senada dengan pendapat
tersebut, Ibnu al-„Arabȋ menyatakan bahwa pengklasifikasian seperti inilah yang
diikuti oleh mayoritas ulama.2
Kedua: Sebagian mengklasifikasikan pembunuhan dalam tiga unsur.
1. Pembunuhan tidak sengaja (Qatl al-Khata‟)
2. Pembunuhan sengaja (Qatl al-„Amd).
3. Pembunuhan semi sengaja (Qatl Sybh al-„Amd)
Al-Rȃzȋ dalam kitab Mafȃtih al-Ghyb mengklasifikasikan pembunuhan
dalam tiga unsur. Pertama: Pembunuhan sengaja (Qatl al-„Amd), kedua:
Pembunuhan tidak sengaja (Qatl al-Khata‟), ketiga: pembunuhan semi sengaja
(Qatl Sybh al-„Amd).3
Senada dengan pendapat al-Rȃzȋ, Abu Bakar al-Masyhȗr bin al-Sayyid al-
Bakrȋ dalam Hasyiyyah I‟ȃnah al-Tȃlibȋn, menyebutkan bahwa tindakan yang
tergolong pembunuhan antara lain; pertama, pembunuhan sengaja (Qatl al-„Amd);
kedua, pembunuhan semi sengaja (Qatl sybh al-„Amd); ketiga, pembunuhan
karena kesalahan (Qatl al-Khata‟).4
Wahbah Zuhaylȋ menjelaskan bahwa adanya ketetapan hukum semi
sengaja (Sybh al-„Amd) yang ditetapkan oleh para ulama di belahan dunia dan
mayoritas ulama madzhab, didasarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh Abȗ
Dȃwud dari Abdullah bin Amar bahwa Rasulullah saw bersabda:
1 Abȋ „Abd lillȃh Muhammad bin Ahmad al-Ansȃrȋ al-Qurṭȗbȋ, al-Jȃmi‟ li Ahkȃm al-
Qur‟ȃn (Beirȗt: Muassasah al-Risȃlah, 2006), Juz 7, h. 33-34 2 Abȋ Bakr Muhammad Ibn „Abd lillȃh al-Ma‟rȗf bi Ibn al-„Arabȋ, ahkȃm al-Qur‟ȃn
(Beirȗt-Lebanon: Dȃr al-Kutub al-„Ilmiyyah), Juz I, h. 605 3 Abȗ „Abd lillȃh Muhammad ibn Umar al-Rȃzȋ, Mafȃtih al Ghyb (Beirȗt: Dȃr ihyȃ‟ al-
Thurȃts al-„Arabȋ, 1990), Juz 10, h. 76 4 Abȋ Bakar al Masyhȗr bi al-Sayyid al-Bakrȋ, Hasyiyyah I‟ȃnat at-Ţhȃlibȋn ‟alȃ Halli al
Fāz Fath al-Muȋn Lisyarhi Qurrat al-„ayn Bimuhimmat al-Dȋn (Beirȗt: Dâr al-Fikri, 1993 M), Juz.
IV, h.125.
37
ها ارب عو بل , من اولدىان ف بطوناال ان دية الطأ شبو العمد : ماكان بلشوط والعصا مائة من ال Artinya: Ingatlah bahwa diyȃt yang harus dibayarkan atas terbunuhnya
dengan seorang seperti sengaja, yaitu dilakukan menggunakan cambuk atau
tongkat adalah seratus ekor unta. Diantara seratus ekor unta itu, empat puluh
diantaranya adalah unta yang hamil.
Wahbah Zuhaylȋ menjelaskan bahwa ada tiga perbedaan pendapat
mengenai batasan pembunuhan semi sengaja:5
1. Menurut Abu Hanȋfah, semua pembunuhan lain yang dilakukan
dengan menggunakan sarana yang terbuat dari selain besi, seperti
tongkat, api, atau yang lainnya disebut pembunuhan semi sengaja
(Qatl sybh al-„Amd).6
2. Menurut Abu Yȗsuf dan Muhammad, pembunuhan semi sengaja
adalah pembunuhan yang dilakukan dengan menggunakan alat
yang biasanya tidak mematikan, tetapi dapat menghilangkan nyawa
orang ketika alat tersebut digunakan dalam satu peristiwa.
3. Menurut asy-Syȃfi‟ȋ pembunuhan semi sengaja (Qatl sybh al-
„Amd) adalah pembunuhan yang dilakukan dengan cara memukul
dengan sengaja, tetapi sebenarnya tidak bermaksud membunuh.
Artinya, memang ada kesengajaan kontak fisik dari seorang
pembunuh kepada yang terbunuh, tetapi sebenarnya tidak ada niat
sama sekali untuk membunuh, lalu rupanya yang terbunuh ini
meninggal dunia.
5 Wahbah al-Zuhaylȋ, Tafsȋr al Munȋr fȋ al Aqȋdah wa Syarȋah wa al manhȃj (Damsik,
Dȃr al Fikr, 2003), Jil III, h. 220-221 6Abȋ Bakr Ahmad bin „Alȋ al-Rȃzȋ al-Jassȃs, Ahkȃm al-Qur‟ȃn (Beirȗt – Lebanon,
Muassasah Al Thȃrikh al-„Arabȋ), Juz III, h. 200
38
Dari beberapa perbedaan pendapat inilah bisa disimpulkan bahwa,
sebagian ulama menetapkan alat sebagai salah satu unsur untuk mendefinisikan
pembunuhan semi sengaja dan juga sebagian yang lain mendefinisikan
pembunuhan semi sengaja dari niat kesengajaan yang dilakukan oleh pelaku, tapi
sebenarnya tidak ada niat membunuh.
Ketiga: sebagian mengklasifikasikan pembunuhan dalam empat unsur.
1. Pembunuhan sengaja (Qatl al-„Amd).
2. Pembunuhan semi sengaja (Qatl Sybh al-„Amd).
3. Pembunuhan tidak sengaja (Qatl al-Khata‟).
4. Pembunuhan yang dianggap tersalah. (Ma Jarȃ Majrȃ al-Khata‟)
Abdul Qȃdir „Awdah menambahkan klasifikasi pembunuhan dengan
pembunuhan yang dianggap tersalah. pembunuhan yang dianggap tersalah ada
dua macam. yaitu: Pembunuhan yang dianggap tersalah dari segala aspeknya,
yaitu pembunuhan yang terjadi secara langsung. Misalnya, seseorang menindih
orang lain yang dalam keadaan tidur kemudian orang tersebut mati karenanya.
Pembunuhan ini dianggap tersalah dari segala aspeknya karena semua terjadi
tanpa ada niat. Dan Pembunuhan yang dari satu sisi dianggap tersalah, yaitu
pembunuhan yang terjadi secara tidak langsung. Misalnya, seseorang menggali
lubang di tengah jalan dan ia tidak memberi tanda yang semestinya guna
menghalangi pengguna jalan di malam hari agar tidak terjatuh ke dalamnya
kemudian ada orang yang terjatuh dan mati karenanya.7
Keempat: sebagian mengklasifikasikan pembunuhan dalam lima unsur.
1. Pembunuhan sengaja (Qatl al-„Amd).
7 ‘Abd al-Qȃdir „Awdah, al-Tasyrȋ‟u al-Jinȃ‟ȋ al-Islȃmȋ Muqȃranan bȋ al-Qȃnȗn al Wad‟ȋ
(Beirȗt–Lebanon: Dȃr al-kutub al „Ilmiyyah, 2005), Jil. II, .h. 6-7
39
2. Pembunuhan semi sengaja (Qatl Sybh al-„Amd)
3. Pembunuhan tidak sengaja (Qatl al-Khata‟).
4. Pembunuhan yang dianggap tersalah. (Ma Jarȃ Majrȃ al-Khata‟)
5. Pembunuhan tidak langsung (Qatl al-Tasabbub)
Abdul Qȃdir „Awdah menjelaskan bahwa penambahan pembunuhan tidak
langsung, karena kelompok ini membedakan antara pembunuhan langsung dan
pembunuhan tidak langsung. Mereka menjadikan pembunuhan tidak langsung
sebagai pembagian yang mandiri. Penggagas pembagian menjadi lima ini
dialamatkan kepada Abȗ Bakar ar-Rȃzȋ.8
Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa para ulama berbeda
pendapat tentang pembagian klasifikasi pembunuhan. Namun dalam hal ini
penulis mengambil pendapat jumhur ulama yang membagi jenis pembunuhan
menjadi dua jenis, yaitu pembunuhan sengaja (Qatl al-„Amd), dan pembunuhan
tidak sengaja (Qatl al-Khata‟). kedua unsur inilah yang akan penulis bahas karena
di dalam al-Qur‟ȃn hanya menyebutkan dua unsur pembunuhan.
1. Pembunuhan Sengaja
a. Definisi pembunuhan sengaja
Untuk mengetahui definisi pembunuhan sengaja (Qatl-„Amd) al-Qur‟ȃn
memberikan penjelasan yang cukup jelas tentang pembunuhan dengan sengaja,
serta hukuman dunia dan akhiratpun dijelaskan oleh al-Qur‟ȃn. Dalam al-Qur‟ȃn
pembunuhan sengaja dikenal dengan istilah Qatl „Amd sebagaiman dalam Firman
Allah swt dalam QS. An-Nisȃ‟ [4]: 93
8 ‘Abd al-Qȃdir „Awdah, al-Tasyrȋ‟u al-Jinȃ‟ȋ al-Islȃmȋ Muqȃranan bȋ al-Qȃnȗn al
Wad‟ȋ,.. Jil. II, h. 7
40
دا فجزاؤه جهنم خالدا فيها وغضب الل عليو ولعنو وأعد ل عذاب عظيما و ومن ي قتل مؤمنا مت عم
(٣٩)9
Artinya: dan Barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan
sengaja Maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka
kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.
Ayat ini yang menjadi pandangan para mufassir dalam memberikan
definisi terhadap pembunuhan dengan sengaja. Al-Qurtubȋ mendefinisikan bahwa
ciri-ciri pembunuhan sengaja adalah orang yang membunuh dengan besi, seperti
pedang, pisau besar, dan ujung tombak atau seperti batu yang diasah dan ini
adalah perkataan dari „Ata‟ an-Nakhȃi.10
sedangkan menurut jumhur pembunuhan
sengaja yaitu pembunuhan yang dilakukan dengan alat yang berunsur besi, batu,
tongkat dan lainnya.11
Al-Jassȃs juga mempunyai pandangan yang sama terhadap pembunuhan
sengaja yaitu perbuatan menghilangkan nyawa orang lain dengan sengaja dan
menggunakan alat (untuk membunuh) secara sadar.12
Sejalan dengan pendapat
tersebut, Sayyid Sȃbiq juga menyatakan bahwa pembunuhan sengaja adalah suatu
pembunuhan yang dilakukan oleh orang mukallaf dengan sengaja untuk
membunuh orang lain yang dijamin keselamatannya, dengan menggunakan alat
yang menurut dugaan kuat dapat membunuh (mematikannya).13
Tidak hanya alat, niat pelaku pembunuhan juga menjadi unsur
ditentukannya pembunuhan sengaja. „Abd al-Qādir „Awdah mendefinisikan
9 QS. An-Nisȃ‟ [4]: 93
10 Abȋ „Abd lillȃh Muhammad bin Ahmad al-Ansȃrȋ al-Qurṭȗbȋ, al-Jȃmi‟ li Ahkȃm al-
Qur‟ȃn...Juz 7, h. 33 11
Abȋ „Abd lillȃh Muhammad bin Ahmad al-Ansȃrȋ al-Qurṭȗbȋ, al-Jȃmi‟ li Ahkȃm al-
Qur‟ȃn..Juz 7, h. 33 12
Abȋ Bakr Ahmad bin „Alȋ al-Rȃzȋ al-Jassȃs, Ahkȃm al-Qurȃn..Juz 3, h. 193 13
Sayyid Sābiq, Fiqh al-Sunnah, (Beirūt: Dār Al-Fikr, 1980), Juz II, h. 435
41
bahwa pembunuhan sengaja adalah perbuatan yang menyebabkan hilangnya
nyawa seseorang yang disertai dengan niat untuk membunuh.14
Tidak hanya niat dan alat yang menjadi tolok ukur menjadi kesengajaan,
tetapi sesuatu yang tidak terlihatpun menjadi salah satu syarat ditentukannya
sengaja tidaknya pembunuhan itu. Taqiyuddȋn al-Husainȋ dalam Kifȃyatul Akhyȃr
mendefinisikan pembunuhan sengaja adalah perbuatan yang sengaja dilakukan
untuk mengakhiri hidup seseorang menggunakan sesuatu, baik terlihat maupun
tidak terlihat, termasuk sihir.15
Penjelasan lebih detail dikemukakan oleh Wahbah Zuhayli yang
menyatakan bahwa pembunuhan sengaja adalah suatu perbuatan yang dilakukan
dengan sengaja menggunakan sesuatu yang dapat mematikan, baik dengan benda
tajam atau lainnya, baik secara langsung maupun dengan sebab perantara, seperti
besi dan senjata dan kayu besar, jarum yang ditusukkan pada anggota tubuh yang
dapat mematikan maupun anggota tubuh lain yang tidak dapat mematikan
langsung tapi dapat menimbulkan pembengkakan dan penyakit parah yang
mengantarkan yang bersangkutan pada kematian, atau memotong jari-jari
kemudian menjalar dan kemudian dapat mematikan. Senada dengan definisi
tersebut, al-Wahidi juga memberikan definisi pembunuhan sengaja sebagai sebuah
tindakan yang dimaksudkan untuk membunuh dengan alat seperti pedang dan
alat-alat lain yang pada umumnya dapat mematikan baik melukai atau tidak
melukai seperti batu dan besi yang berat atau semacamnya.16
14
„Abd al-Qādir „Awdah, al-Tasyrȋ‟u al-Jinȃ‟ȋ al-Islȃmȋ Muqȃranan bȋ al-Qȃnȗn al
Wad‟ȋ, ..h. 10 15
Taqiy al-Dȋn abȋ Bakr bin Muhammad al-Husaini al-Husnȋ al-Dimasyqȋ al-Syȃfi‟ȋ,
Kifȃyatul Akhyȃr fȋ halli Ghȃyah al-Ikhtisȃr (Beirut-Lebanon: Dār al Fikr al Ilmiyyah), h. 590 16
Abȗ al-Hasan „Alȋ ibn Ahmad ibn Muhammad ibn „Alȋ al-Wȃhidȋ, al-Wajȋs fȋ Tafsȋr al
Kitȃb al-„Azȋz (Beirȗt: Dȃr al-Qalȃm, 1995), Juz II, h. 95
42
Dalam mendefinisikan pembunuhan sengaja, para ulama berbeda
pendapat. Perbedaan tersebut dipengaruhi oleh pandangan mereka dalam
memahami kata “sengaja”. Sebagian memahami kesengajaan ditentukan oleh niat
dan maksud pelaku pembunuhan, sebagian kesengajaan ditentukan oleh alat yang
digunakan pelaku pembunuhan, baik yang terlihat maupun tidak terlihat seperti
sihir juga menjadi salah satu syarat ditentukannya pembunuhan sengaja.
b. Kriteria Pembunuhan Sengaja
Dalam menentukan kriteria pembunuhan sengaja, al-Qur‟ȃn tidak secara
rinci menyebutkan satu-persatu kriteria-kriteria yang bisa dikategorikan sebagai
pembunuhan sengaja.
Untuk menjelaskan tentang kriteria pembunuhan secara sengaja, yaitu:
Pertama, setiap tindakan yang disengaja untuk membunuh tanpa memperhatikan
alat yang digunakan. Artinya, setiap tindakan pembunuhan yang dilakukan dengan
kesengajaan pelakunya disebut pembunuhan sengaja, meskipun dengan alat atau
cara yang tidak biasa menyebabkan kematian. Hal ini diikuti oleh Imam Mȃlik.
Sementara menurut Imȃm Syȃfi‟ȋ dan Imȃm Ahmad, hal tersebut bukan termasuk
pembunuhan sengaja, kecuali jika kondisi korban atau anggota tubuh yang
menjadi sasaran biasanya memang dapat menyebabkan kematian.17
Kedua, menggunakan alat yang biasanya tidak mematikan, namun karena
dilakukan secara berulang-ulang, hal tersebut menyebabkan kematian pada
korban. Dalam hal ini, yang menjadi unsur pembunuhan sengaja adalah terletak
pada kesengajaan pelaku dalam menganiaya korban, meskipun pelaku
17
Lilik Ummi Kaltsum dan Abd. Moqsith Ghazali, Tafsir Ahkam (Jakarta: UIN Press,
2014), h. 118
43
menggunakan alat yang biasanya tidak mematikan. Pendapat ini datang dari Imȃm
Syȃfi‟ȋ dan Imam Mȃlik.
Ketiga, membunuh dengan alat berat. Dalam hal ini, setiap tindakan
pembunuhan yang dilakukan dengan alat berat dapat dikategorikan sebagai
pembunuhan sengaja, meskipun alat tersebut tidak melukai atau menusuk korban.
Pendapat ini didukung oleh Imȃm Mȃlik, Imȃm Syȃfi‟ȋ, Imȃm Ahmad, dan Imȃm
Abȗ Yȗsuf dan Muhammad dari golongan ulama mazhab Hanafiyah. Sementara
menurut Imȃm Abȗ Hanȋfah sendiri, bentuk pembunuhan tersebut tidak murni
disebut sebagai pembunuhan sengaja, sehingga pelakunya tidak menerima
hukuman qisȃs.18
Keempat, pembunuhan secara pasif. Pembunuhan ini dilakukan dengan
cara membiarkan orang lain meninggal. Namun pembiaran ini dilakukan dengan
disertai niat pelaku untuk membunuh, sehingga pembunuhan secara pasif disebut
sebagai pembunuhan sengaja. Contohnya membiarkan tahanan tidak
mengkonsumsi makanan dan minuman hingga membuatnya meninggal. Dalam
kasus ini, Imam Malik, Imam Syafi‟i dan Imam Ahmad menyebutnya sebagai
pembunuhan sengaja apabila hal tersebut dimaksudkan agar korban meninggal
dunia. Namun Abȗ Hanȋfah tidak menganggap hal tersebut sebagai pembunuhan
sengaja, karena kematian korban bukan atas dasar penahanan, melainkan karena
kelaparan dan kehausan.19
Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa pembunuhan sengaja
memiliki kategori kesengajaan atau niat pelaku untuk membunuh, penggunaan
alat untuk membunuh, dan menyebabkan kematian. Perbedaan pendapat di
18
Abȗ „Abd lillȃh Muhammad ibn Umar Al Rȃzȋ, Mafȃtih al Ghyb.. Juz 10, h. 76 19
‘Abd al-Qȃdir „Awdah, al-Tasyrȋ‟u al-Jinȃ‟ȋ al-Islȃmȋ Muqȃranan bȋ al-Qȃnȗn al
Wad‟ȋ,.. Jil. II, h. 57
44
kalangan ulama di atas menjadi parameter pentingnya pengkategorian
pembunuhan sengaja. Hal ini akan berimplikasi pada sanksi atau hukuman yang
didapatkan oleh pelaku pembunuhan.
2. Pembunuhan Tidak Sengaja
a. Definisi Pembunuhan tidak sengaja
Untuk mengetahui definisi pembunuhan tidak sengaja (Qatl-al-Khata‟) al-
Qur‟ȃn memberikan penjelasan yang cukup jelas tentang pembunuhan tidak
sengaja, serta hukuman dunia dan akhiratpun dijelaskan oleh al-Qur‟ȃn. Dalam al-
Qur‟ȃn pembunuhan tidak sengaja dikenal dengan istilah Qatl Khata‟
sebagaimana dalam Firman Allah swt dalam QS. An-Nisȃ‟ [4]: 92
وما كان لمؤمن أن ي قتل مؤمنا إل خطأ ومن ق تل مؤمنا خطأ ف تحرير رق بة مؤمنة ود لمة إ ية مقوا فإن كان من ق وم عدو لكم وىو مؤمن ف تحرير رق بة مؤمنة وإن كان من ق وم أىلو إل أن يصد
د فصي أىلو وترير رق بة مؤمنة فمن ل ي لمة إ ن هم ميثاق فدية م نكم وب ي ب ي ام شهرين مت تابع عليما حكيما ) 20(٩ت وبة من الل وكان الل
Artinya: dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin
(yang lain), kecuali karena tidak sengaja, dan barangsiapa membunuh seorang
mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya
yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (yang
terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. jika ia (yang
terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada Perjanjian (damai) antara mereka dengan
kamu, Maka (hendaklah seorang pembunuh) membayar diyȃt yang diserahkan
kepada keluarganya (yang terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang
beriman. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, Maka hendaklah ( pembunuh)
berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari pada Allah. dan
adalah Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Ayat ini yang menjadi pandangan para mufassir dalam memberikan
definisi terhadap pembunuhan tidak sengaja. Dalam ayat ini terdapat kata خطا
20
QS. An-Nisȃ‟ [4]: 92
45
yang mempunyai arti tidak sengaja. Menurut Wahbah Zuhaylȋ, pembunuhan tidak
sengaja adalah pembunuhan yang terjadi tanpa maksud awal membunuh atau
tanpa maksud awal menghilangkan nyawa orang lain atau yang dilakukan dengan
cara melakukan sesuatu yang pada umumnya tidak bisa membuat orang lain
terbunuh.21
Sedangkan menurut Sayyid Sȃbiq, pembunuhan karena tidak sengaja
adalah apabila seorang mukallaf melakukan perbuatan yang dibolehkan untuk
dikerjakan, seperti menembak binatang buruan atau membidik suatu sasaran,
tetapi kemudian mengenai orang yang dijamin keselamatannya dan hal tersebut
membuatnya meninggal.22
Menurut al-Marȃghȋ, pembunuhan tidak sengaja adalah pembunuhan yang
tidak dimaksudkan pelakunya atau dimaksudkan tapi salah sasaran atau tindakan
yang pada umumnya tidak menyebabkan kematian orang lain23
Adapun menurut Imaning Yusuf, pembunuhan tersalah atau tidak sengaja
yaitu suatu pembunuhan yang terjadi bukan dengan disengaja, seperti seseorang
yang terjatuh dari tempat tidur dan menimpa orang yang tidur di lantai sehingga ia
mati, atau seseorang melempar buah di atas pohon, namun ternyata batu lemparan
itu meleset dan mengenai seseorang yang mengakibatkannya tewas.24
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pembunuhan tidak
sengaja merupakan tindakan sesuatu yang pada mulanya tidak ada niat untuk
membunuh. Namun pada akhirnya suatu perbuatan itulah menyebabkan hilangnya
nyawa akibat perbuatan dari ketidak sengajaan tersebut.
21
Wahbah Zuhaylȋ, Tafsȋr al Munȋr fȋ al-„Aqȋdah wa al-Syarȋ‟ah wa al-manhȃj.. Jil III,
h. 209. 22
Al-Sayyid Sȃbiq, Fiqh As-Sunnah, Juz II, h. 519. 23
Ahmad Mustȃfȃ Al-Marȃghȋ, Tafsȋr al-Marȃghȋ (Kairo, Syirkah Maktabah Musthȃfȃ
al-Bab al-Halabȋ, 1946), juz V, h. 120 24
Imaning Yusuf, “Pembunuhan dalam Perspektif Hukum Islam”, dalam Jurnal Nurani,
Vol. 13, No. 2, Desember 2013. h. 3
46
b. Kriteria Pembunuhan Tidak Sengaja.
Berdasarkan definisi di atas, ruang lingkup pembunuhan tidak sengaja
meliputi empat hal, sebagaimana disebutkan oleh Lilik Ummu Kaltsum dalam
Tafsir Ahkam25
:
1. Sengaja membunuh tapi tidak bermaksud pada korban Artinya, sebuah
perbuatan yang dimaksudkan untuk membunuh seseorang tapi yang
terbunuh justru orang lain. Pembunuhan ini terjadi karena salah sasaran
dan tidak dimaksudkan oleh pelaku. Korban yang terbunuh bukan orang
yang menjadi target pembunuhan. Ada dua kemungkinan yang bisa
terjadi dalam konteks kesengajaan ini. pertama, kesengajaan yang tidak
dibenarkan, yakni pembunuhan dilakukan secara sengaja dan melanggar
hukum yang ditujukan kepada orang tertentu tapi sasaran yang menjadi
korban justru orang lain. Kedua, kesengajaan yang dibenarkan, yakni
pembunuhan yang dilakukan untuk melaksanakan tugas pembunuhan
yang memang sah menurut hukum. Hal ini terjadi pada dua kemungkinan:
pertama: Dalam menjalankan tugas perang, seperti bermaksud
membunuh musuh tapi salah sasaran kepada orang di pihaknya, dan
kedua: dalam melakukan eksekusi terhadap orang yang dihukum dengan
hukuman mati. Eksekusi mati bisa dilaksanakan kepada orang yang telah
melanggar aturan tertentu tapi eksekusi yang dijalankan salah sasaran
kepada orang lain seharusnya tidak berhak dihukum mati
Para mufassir menjelaskan bahwa orang yang berhak menerima
hukuman mati adalah orang yang telah melakukan pelanggaran tertentu
25
Lilik Ummi Kaltsum dan Abd. Moqsith Ghazali, Tafsir Ahkam, h. 141-144
47
sebagaimana dijelaskan sebelumnya yaitu pertama: karena membunuh
dengan sengaja sehingga harus di qisȃs kedua: karena murtad dan ketiga:
karena melakukan perzinahan secara muhsan sehingga harus dirajam.26
2. keliru dalam bermaksud tapi sengaja dalam berbuat. Artinya: setiap
tindakan yang dilakukan secara sengaja tapi tidak dimaksudkan untuk
membunuh korban adalah termasuk kategori pembunuhan tidak sengaja.
Perbuatan semacam ini biasanya menggunakan alat yang pada umumnya
tidak menyebabkan kematian korban.27
seperti alat ringan atau alat yang
tidak tajam yang tidak sampai melukai korban.hal ini bisa terjadi pada
dua kemungkinan. Pertama, perbuatan dalam bentuk penganiayaan atau
tidak dibenarkan secara hukum dengan menggunakan alat ringan atau alat
bukan senjata. Kedua. Perbuatan yang diniatkan untuk mendidik seperti
tindakan yang dilakukan oleh seorang guru kepada anak didik atau orang
tua kepada anaknya untuk tujuan mendidik. Sebagian mufassir
memandang perbuatan semacam diatas tergolong pembunuhan semi
sengaja (Sybh al-'Amd), khususnya bagi ulama yang menetapkan tiga
klasifikasi pembunuhan: pertama: pembunuhan sengaja (a1-Qatl al-
'Amd), kedua:. Pembunuhan tidak sengaja/keliru (Qatl al-khata'), dan
ketiga: pembunuhan semi sengaja (Sybh al-'Amd).28
Klasifikasi ini
didasarkan pada sebuah hadis Nabi SAW:
26
Abȗ al-Qȃsim Mahmȗd ibn „Amr ibn Ahmad al-Zamakhsyarȋ, Al Kasysyȃf „an Haqȃiq
Ghawȃmid al-Tanzȋl (Beirut: Dȃr al Kitȃb al-„Arabī, 1407), Jil II, h. 79 27
Lilik Ummi Kaltsum dan Abd. Moqsith Ghazali, Tafsir Ahkam, h. 142 yang dikutipdari
Syeikh Nawawi,.. I: h. 218) 28
Abȗ „Abd lillȃh Muhammad ibn Umar Al Rȃzȋ, Mafātih al Ghyb.., Jil. X, h. 76
48
"Ingat, bahwa orang yang terbunuh karena keliru yang
menyerupai sengaja adalah orang yang dibunuh menggunakan tongkat.
Di dalamnya ada kewajiban menebus seratus unta." (HR. Al-Nasa'i).
3. Tidak sengaja dalam berbuat dan bermaksud kadangkala sebuah tindakan
pembunuhan terjadi di luar kesengajaan pelakunya bahkan tindakan
tersebut sama sekali tidak pernah direncanakan atau dimaksudkan untuk
menganiaya orang lain. Misalnya, seseorang terjatuh dari ketinggian
kemudian menimpa orang lain di bawahnya hingga meninggal dunia.
Kejatuhannya dari atas bukan keinginannya dan menimpa orang lain
hingga meninggal juga tidak dimaksudkannya. Contoh lain adalah
seseorang yang menggali sumur lalu ada orang lain tercebur ke dalamnya,
atau seseorang meletakkan batu di jalan kemudian batu itu menyebabkan
orang lain meninggal. Tindakan semacam ini dinilai para ulama sebagai
bukan pembunuhan karena orang yang menggali sumur dan orang yang
meletakkan batu tersebut sama sekali, tidak memiliki niat untuk
mencederai apalagi membuat orang lain terbunuh karena perbuatan
tersebut.
Ketidaksengajaan semacam di atas juga bisa terjadi pada orang
lupa atau orang yang sedang tidur. Karena itu, kematian seseorang yang
terjadi akibat perbuatan mereka dianggap sebagai kategori pembunuhan
keliru, sebab ia tidak bermaksud sama sekali hal itu terjadi. Namun
sebagian mufasir menilai kasus semacam ini tidak dianggap sebagai
49
pembunuhan baik dalam kategori sengaja maupun tidak sengaja atau
keliru.29
4. Pembunuhan yang dilakukan oleh seseorang yang belum mencapai
mukallaf Setiap tindakan yang menyebabkan seseorang meninggal dunia
juga tidak dianggap sebagai pembunuhan sengaja jika tindakan tersebut
dilakukan oleh seorang anak yang belum masuk usia mukallaf.30
Meskipun seseorang bermaksud melakukan pembunuhan tapi orang
tersebut masuk masih tergolong anak-anak, maka tindak pembunuhan
tersebut tetap dipandang sebagai pembunuhan keliru, sehingga tidak bisa
diterapkan hukuman qisȃs terhadap pelaku.
B. Pembunuhan dari Segi Pelaku dan Korban
Dalam menyikapi masalah pembunuhan terutama pelaku dan korban
pembunuhan. Para mufassir banyak terjadi perbedaan pandangan dalam
menentukan hukuman bagi para pelaku, karena teks dalam al-Qur‟ȃn maupun
dalam hadis tidak semua pelaku pembunuhan dihukum setimpal jika korbannya
berbeda.
Al-Qur‟ȃn menyebutkan beberapa kriteria korban pembunuhan dalam QS.
Al-Baqarah [2]: 178, dengan redaksi sebagai berikut:
لى الر بلر والعبد بلعبد والأن ثى بلأن ثى فمن ي أي ها الذين آمنوا كتب عليكم القصاص ف القت ان ذلك تفيف من ربكم ورحة فمن عفي لو من أخيو شيء فاتباع بلمعروف وأداء إليو بح
31(ٯٮ٨اعتدى ب عد ذلك ف لو عذاب أليم )
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qisȃs
berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang
29
Abȋ Bakr Ahmad bin „Alȋ al-Rȃzȋ Al Jassȃs, Ahkȃm al-Qur‟ȃn…Juz III, hal. 193 30
Nȃsir al-Dȋn Abȗ Sa‟ȋd „Abdullah ibn „Amr ibn Muhammad al-Baidȃwi, Anwȃr al
Tanzȋl wa asrȃr al Ta‟wȋl (Beirȗt: Dar Ihyȃ‟ al Turȃts al-„Arȃb, 1418), Juz II, h. 90 31
QS: al-Baqarah[2]: 178
50
merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka Barangsiapa
yang mendapat suatu pema‟afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema‟afkan)
mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma‟af) membayar
(diat) kepada yang memberi ma‟af dengan cara yang baik (pula). yang demikian
itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa
yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih.
Dari segi bahasa, Wahbah Zuhaylȋ, menyatakan bahwa kata al-qatlȃ pada
ayat di atas merupakan bantuk jamak dari qatȋl, sama dengan kata al-Sar‟ȃ yang
merupakan bentuk jamak dari Sarȋ‟, yang menunjukkan suatu kecacatan atau
penyakit kronis. ( ر ح ال ب ر ح ل ا ) artinya orang merdeka dibunuh bila membunuh orang
merdeka, tapi tidak dibunuh bila membunuh budak, budak dibunuh bila
membunuh budak, dan perempuan dibunuh bila membunuh perempuan.32
Dalam
hal ini, al-Jassȃs memberi penjelasan bahwa kata al-qatlȃ mencakup setiap orang
yang dibunuh tanpa memandang status apapun, baik orang merdeka maupun
budak, baik laki-laki maupun perempuan, bahkan muslim maupun non muslim.
Beberapa macam korban pembunuhan yang disebutkan pada ayat di atas bukan
merupakan pengkhususan, melainkan sebagai penegasan atas persamaan hak
hidup bagi setiap orang.33
Dari berbagai macam pendapat, penulis akan memberikan penjelasan
dengan tentang hukum pembunuhan ini dari sisi pelaku dan korban berikut:
1. Orang Merdeka
Dalam masalah pembunuhan yang dilakukan oleh orang merdeka terhadap
orang merdeka tidak ada perbedaan pandangan di kalangan para mufassir terhadap
pelaku pembunuhan yaitu hukumannya diqisȃs. karena tidak ada nas al Qur‟ȃn
32
Wahbah Zuhaylȋ, Tafsȋr al Munȋr fȋ al Aqȋdah wa Syarȋah wa al manhȃj…, Jilid I, h.
468 33
Abȋ Bakr Ahmad bin „Alȋ al-Rȃzȋ al-Jassȃs, Ahkȃm al-Qur‟ȃn... Juz I, h. 165
51
maupun Sunnah yang menjelaskan pembunuhan terhadap orang merdeka tidak
diqisȃs. Dalil para ulama adalah QS. Al-Baqarah [2]:178
لى الر بلر والعبد بلعبد والأن ثى بلأن ثى ي أي ها الذين آمنوا كتب عليكم القصاص ف القت Artinya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qisȃs
berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang
merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita.
Dalam ayat ini lafad ( .mempunyai makna diwajibkan atas kalian ( ب ت ك 34
Contoh lain pemakaian kata kutiba dengan makna "diwajibkan" adalah firman
Allah SWT dalam QS. Al-Baqarah ayat 183 ( -dan ungkapan al ( ام ي الص ن ك ي ل ع ب ت ك
salawȃt al-maktȗbah (shalat-shalat wajib). ( ص اص ق ل ا ) artinya menindak
pelanggaran dengan hukuman yang serupa dengan yang diperbuatnya terhadap
korban. Dengan kata lain, orang yang membunuh harus dibunuh, sebab dalam
pandangan syari'at ia setara dengan orang yang dibunuhnya. Kata al-Qatlȃ adalah
jamak dari Qatȋl, sama seperti al-sar‟ȃ yang merupakan bentuk jamak dari sarȋ'‟.
Bentuk fa‟lȃ hanya bisa menjadi jamak dari bentuk fa‟ȋl apabila kata itu adalah
kata sifat yang menunjukkan kecacatan atau penyakit kronis. artinya orang
merdeka dibunuh bila membunuh orang merdeka tapi tidak dibunuh bila
membunuh budak, budak dibunuh bila membunuh budak, dan perempuan dibunuh
bila membunuh perempuan.35
Al-Qurtȗbȋ menjelaskan pada ayat ini mengenai pentakwilannya, beberapa
dari para ulama bahwa ayat ini menjelaskan tentang jenis yang dikenakan
hukuman jika yang membunuh adalah jenis yang sama. bahwa jika yang
34
Dalam pandangan al-Qurtȗbȋ كتب pada ayat ini adalah ditetapkan atau diwajibkan,lalu
bagaimana hukuman qisȃs ini menjadi tidak wajib? Maka jawabannya adalah: maknanya adalah
diwajibkan atas kamu jika menghendaki. lihat Abȋ „Abd lillȃh Muhammad bin Ahmad al-Ansȃrȋ
al-Qurṭȗbȋ, al-Jȃmi‟ li Ahkȃm al-Qur‟ȃn.. Juz III, h. 66 35
Wahbah Zuhaylȋ, Tafsȋr al Munȋr fȋ al Aqȋdah wa Syarȋah wa al manhȃj…, Jilid I, h.
468
52
membunuh adalah seorang yang merdeka, maka yang harus terkena qisȃs nya
adalah orang yang merdeka pula, dan jika yang membunuh adalah seorang hamba
sahaya, maka yang diqisȃs adalah hamba sahaya pula, dan jika yang membunuh
adalah seorang wanita maka qisȃs jatuh terhadap wanita itu sendiri. Hukum qisȃs
ini tidak akan bersinggungan dengan jenis lainnya jika yang melakukannya adalah
jenis tertentu.36
Berikut ini adalah lafad yang disampaikan oleh al-Bukhȃri dari al-Hamȋdȋ,
dari Sufyan, dari Amru, ia berkata: Saya pernah mendengar mujahid mengatakan
Bahwa aku pernah mendengar Ibnu Abbȃs berkata: dan asy-Sya‟bȋ juga
menafsirkan firman Allah ثىن ال ثى ب ن ال و د ب ع ال ب د ب ع ال و ر ح ال ب ر ح ل ا Orang Merdeka dengan
orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita.” Ayat ini
diturunkan kepada dua kabilah diantara kabilah-kabilah yang berada di negeri
arab, dua kabilah itu saling bertikai, lalu mereka menetapkan hukuman
pembunuhan itu dengan cara membunuh hamba sahaya laki-laki untuk seorang
laki-laki yang dibunuh, dan hamba sahaya wanita untuk seorang wanita yang
dibunuh. Begitu juga yang disampaikan oleh Qatadah.37
Wahbah zuhaylȋ dalam menjelaskan bahwa pada dasarnya tekstualitas
makna ر بالحر الح artinya orang merdeka dibunuh bila membunuh orang merdeka
tapi tidak dibunuh bila membunuh budak, budak dibunuh bila membunuh budak,
dan perempuan dibunuh bila membunuh perempuan.38
36
Abȋ „Abd lillȃh Muhammad bin Ahmad al-Ansȃrȋ al-Qurṭȗbȋ, al-Jȃmi‟ li Ahkām al-
Qur‟ān…Juz III, h. 66. 37
Abȋ „Abd lillȃh Muhammad bin Ahmad al-Ansȃrȋ Al-Qurṭȗbȋ, al-Jȃmi‟ li Ahkām al-
Qur‟ān …Juz III, h. 64. 38
Wahbah Zuhaylȋ, Tafsȋr al Munȋr fi al Aqȋdah wa Syarȋah wa al manhȃj… Jilid I, h.
468.
53
Sementara Zamakhsyarȋ menukil pendapat Hasan al-Basyrȋ, „Ata‟,
Ikrimah, dan mazhab Syafi‟ȋ mengatakan qisȃs hanya berlaku di antara pelaku dan
korban yang memiliki status sosial dan jenis kelamin yang sama: antara orang
merdeka dengan orang merdeka, budak dengan budak, perempuan dengan
perempuan, laki-laki dengan laki-laki. Sebaliknya, qisȃs tidak berlaku jika
pembunuhan dilakukan oleh orang merdeka terhadap budak, laki-laki terhadap
perempuan.39
2. Budak
Terdapat perbedaaan pendapat dalam masalah pembunuhan yang
dilakukan oleh orang merdeka terhadap budak (hamba sahaya), sebagian
mensyaratkan kesepadanan dalam hal kemerdekaan, sebagian tidak mensyaratkan
adanya kesepadanan dalam hal kemerdekaan, tetapi cukup adanya kesepadanan
atau kesamaan dalam hal kemanusian.
Budak menurut bahasa arab adalah „Abd artinya menjadikannya sebagai
pembantu.40
Mengabdi, taat, merendahkan diri atau hamba yang dibeli dan
dimiliki. „Abd juga diartikan sebagai “Hamba sahaya” atau “Budak”. Budak atau
hamba sahaya adalah orang yang berada dalam tawanan musuh yang penawannya
dapat berbuat semaunya kepadanya, atau orang yang bernasib bagaikan benda
yang diperjual belikan. Ia tidak dapat menentukan apa yang hendak dilakukan,
sebab ia telah dikuasi oleh orang lain.41
39
Abȗ al-Qȃsim Mahmȗd ibn „Amr ibn Ahmad al-Zamakhsyarȋ, Al Kasysyȃf „an Haqȃiq
Ghawȃmid al Tanzȋl… Juz I, h. 220 40
Loius Ma‟luf, al-Munjȋd fȋ al-Lugghah wa al-„Ilȃm (Beirȗt: Dȃr al-Musyȃriq, 1986), h.
483. 41
M. Muchlas Abror, “Memberantas Perbudakan” dalam Jurnal Kalam, Nomor 96,
(2011), h. 43.
54
Pada QS.Al-Baqarah ayat 178 di atas, ada dua riwayat tentang sebab
turunnya pertama: diriwayatkan dari Qatadah, al-Sya‟bȋ, dan sejumlah tabiin
lainnya menyatakan bahwa ada di antara penduduk jahiliyah yang berlaku keji dan
taat kepada setan. Yaitu, jika di suatu kota terjadi pembunuhan, dan yang dibunuh
adalah seorang yang terkemuka, sedangkan yang membunuh adalah seorang
hamba sahaya, maka wali dari yang terbunuh mengatakan bahwa kami tidak mau
membunuh hamba sahaya ini, kami ingin ia digantikan dengan seorang yang
merdeka. Begitu pula jika pembunuhnya adalah seorang wanita, maka mereka
menginginkan seorang laki-laki untuk menggantikan hukuman qisȃs. Sementara
jika yang membunuh adalah seseorang yang rendah derajatnya, maka mereka
menginginkan orang yang terkemuka untuk menggantikannya.42
Karena itu, al-
Qur‟ȃn hadir untuk memberikan prinsip keadilan dengan menurunkan ayat tentang
peraturan qisȃs dengan menyebut budak dibunuh sebagai balasan pembunuhan
terhadap budak yang lain (al-hur bi al-hur).
Kedua: diriwayatkan dari as-Suddi tentang ayat ini, suatu ketika penganut
dua agama dari bangsa arab, salah satunya beragama Islam dan yang lain kafir
dzimmi, bertengkar mengenai suatu urusan, lalu Nabi saw mendamaikan mereka,
pada waktu itu mereka biasanya membunuh orang-orang merdeka, para hamba
sahaya, dan perempuan dengan memerintahkan agar orang merdeka membayar
diat orang merdeka, budak membayar diat budak, dan perempuan membayat diat
42
Abȋ „Abd lillȃh Muhammad bin Ahmad al-Ansȃrȋ Al-Qurṭȗbȋ, al-Jȃmi‟ li Ahkȃm al-
Qur‟ȃn.. Juz III, h. 66, lihat juga Wahbah Zuhaylȋ, Tafsȋr al Munȋr fȋ al Aqȋdah wa Syarȋah wa al
manhȃj…, Jilid I, h. 469, lihat juga, Imam al-Din Abi al-Fida‟ Ismail Ibn Umar ibnu katsȋr, Tafsȋr
al Qur‟ȃn al Azȋm (Riyad: Dȃr as Salȃm, 1994) Jil. I, h. 28.
55
perempuan. Jadi, beliau menjalankan hukum qisȃs terhadap mereka satu sama
lain. Maka turunlah ayat ini untuk menguatkan keputusan hukum beliau.43
Wahbah Zuhaili menjelaskan Pendapat jumhur ulama yang mensyaratkan
kesepadanan antara pembunuh dan yang terbunuh dalam hal kemerdekaan. selain
dalil QS. al-Baqarah [2]:178 adalah hadis Nabi. Jumhur berargumen dengan sabda
Nabi saw. Yang diriwayatkan al-Daruqutnȋ dan al-Baihȃqȋ dari Ibnu Abbȃs.
لي قتل حر بعبد “orang merdeka tidak dibunuh lantaran ia membunuh budak”
Al-Qurtȗbȋ menyebutkan bahwa al-Tsaurȋ dan orang-orang Kuffah
menyatakan jika orang merdeka membunuh seorang budak, maka ia dikenakan
qisȃs.44
Kemudian Abȗ Hanȋfah dan para pengikutnya, imam al-Tsaurȋ dan ibnu
abȋ Laila bersepakat bahwa orang yang merdeka dapat dikenakan hukum qisȃs
jika ia membunuh seorang hamba sahaya, sebagaimana seorang hamba sahaya
akan dikenakan hukum qisȃs jika ia membunuh seorang yang merdeka. Pendapat
ini juga diikuti oleh Daud, Sa‟ȋd bin al-Musayyab, Qatadah, Ibrahīm, al-Nakha‟ȋ,
dan al-Hakām bin Uyaynah. Dan Pendapat ini didasarkan pada penjelasan dari
„Alȋ bin Abȋ Thȃlib dan Ibn Mas‟ȗd.45
Ibn al-„Arabȋ menegaskan dalam Ahkȃm al-Qur‟ȃn bahwa pendapat yang
mengatakan orang merdeka yang membunuh hamba sahayanya sendiri dikenai
hukuman qisȃs adalah pendapat yang amat buruk. Ibn al-„Arabȋ berargumen
bahwa pada QS. Al-Isrȃ‟ ayat 33, kata liwaliyyih (ahli warisnya) dalam ayat
43
Wahbah Zuhaylȋ, Tafsȋr al Munȋr fȋ al Aqȋdah wa Syarȋah wa al manhȃj…Jilid I, h. 469
. 44
Abȋ „Abd lillȃh Muhammad bin Ahmad al-Ansȃrȋ Al-Qurṭȗbȋ, al-Jȃmi‟ lȋ Ahkȃm al-
Qur‟ȃn.... Juz III, h. 67. 45
Abȋ „Abd lillȃh Muhammad bin Ahmad al-Ansȃrȋ al-Qurṭȗbȋ, al-Jȃmi‟ li Ahkȃm al-
Qur‟ȃn...Juz III, h. 68.
56
tersebut diartikan dengan tuan dari hamba sahaya tersebut. Bahkan para ulama
telah bersepakat bahwa seorang tuan yang membunuh hamba sahayanya secara
tidak sengaja, maka ia tidak akan dimintai diyȃt seharga hamba sahaya tersebut
untuk bait al-mȃl.46
Meski demikian, al-Qurtȗbȋ menyebutkan bahwa al-Nakha‟ȋ dan salah satu
dari pendapat al-Tsaurȋ menyepakati jika seorang tuan membunuh hamba
sahayanya sendiri, maka ia tetap akan dikenai hukuman qisȃs.47
Wahbah Zuhaylȋ berpandangan bahwa menurut madzhab Hanafȋ yang
dimaksud dengan firman-Nya ثىن ال ثى ب ن ال و د ب ع ال ب د ب ع ال و ر ح ال ب ر ح ل ا setelah firmannya
( لى ت ق ى ال ف اص ص ق ال ن ك ي ل ع ب ت ك ) adalah sebagai bantahan atas apa yang telah dilakukan
sebagian suku. Mereka hanya bersedia membunuh orang merdeka sebagai balasan
budak mereka yang dibunuh. Mereka mau membunuh laki-laki untuk balasan
terhadap perempuan mereka yang dibunuh. Jadi firman ini menghapus kezaliman
yang ada itu, dan menegaskan kewaiiban qisȃs atas pembunuh sendiri, bukan
orang lain. Dengan demiikian, ayat ini tidak mengandung dalil bahwa orang
merdeka tidak dibunuh lantaran ia membunuh budak, atau bahwa laki-laki tidak
dibunuh bila ia membunuh perempuan, karena Allah mewajibkan membunuh
kepada pembunuh dengan bagian awal ayat ( لى ت ق ى ال ف اص ص ق ال ن ك ي ل ع ب ت ك ) dan ini
mencakup semua pembunuh, baik ia orang merdeka yang membunuh budak atau
lainnya, baik ia orang Islam yang membunuh orang kafir dzimmi atau lainnya;
46
Abȋ Bakar Muhammad ibn „Abd lillah al-Ma‟rȗf bi Ibn al-„Arabī, Ahkȃm al-Qur‟ȃn,
Juz 1, h. 63. 47
Abȋ „Abd lillȃh Muhammad bin Ahmad al-Ansȃrȋ al-Qurṭȗbȋ, al-Jȃmi‟ li Ahkȃm al-
Qur‟ȃn...Juz III, h. 72.
57
kemudian datang ayat ر ح ال ب ر ح ل ا) ) untuk menjelaskan dan menegaskan apa yang
telah disebutkan terdahulu.48
3. Non Muslim (Kafir)
Perbedaan pandangan juga terjadi dalam masalah pembunuhan terhadap
non-muslim. sebagian mensyaratkan kesepadanan antara seorang pembunuh dan
seorang terbunuh dalam hal keislaman. Jadi, orang Islam tidak dibunuh gara-gara
membunuh orang kafir. Sedangkan madzhab Hanafī tidak mensyaratkan
kesepadanan dalam hal agama, tetapi cukup adanya kesepadanan atau kesamaan
dalam hal kemanusian. Jadi, orang Islam dibunuh bila membunuh orang kafir, dan
orang merdeka dibunuh jika membunuh budak.49
Dalam pandangan Wahbah Zuhaylȋ bahwa Jumhur ulama selain berargumen
terhadap QS. al-Baqarah [2]: 178 mereka juga berargumen dengan sabda Nabi
saw yang diriwayatkan oleh Ahmad dan para penyusun kitab Sunan (kecuali an-
Nasȃ‟i) dari Abdullah bin Amr.50
لم بكافر ل ي قتل مArtinya: “Seorang Muslim tidak dibunuh lantaran ia membunuh orang
kafir.”
Sedangkan hadis yang diriwayatkan dari Rabi‟ah bahwa Nabi SAW telah
mengqisȃs seorang muslim karena ia membunuh orang kafir pada saat perang
khaibar adalah tidak benar adanya, karena hadis ini termasuk hadis yang munqati‟
(terputus sanadnya). Dan juga hadis yang diriwayatkan dari ibnu al Bailamanȋ dari
48
Wahbah Zuhaylȋ, Tafsȋr al Munȋr fȋ al Aqȋdah wa Syarȋah wa al manhȃj… Jilid I, h.
474. 49
Wahbah Zuhaylȋ, Tafsȋr al Munȋr fȋ al Aqȋdah wa Syarȋah wa al manhȃj…Jilid I, h.
473-474. 50
Wahbah Zuhaylȋ, Tafsȋr al Munȋr fȋ al Aqȋdah wa Syarȋah wa al manhȃj…Jilid I, h.
474.
58
Ibnu Umar adalah hadis yang daif. Karena hadis tersebut hadis marfu‟ (tanpa
melalui riwayat dari sahabat).51
Imam ad Daraqutnȋ mengatakan. Tidak ada sanad lain dari hadis ini kecuali
melalui Ibrȃhim bin Yahyȃ, dan hadis hadis yang diriwayatkan oleh Ibrȃhim
adalah hadis yang tidak dapat dijadikan sandaran. Sedangkan yang sebenarnya
adalah hadis ini diriwayatkan dari rabiah, dari Ibnu Al Bailamanȋ, lalu langsung
mursal (tanpa menyebutkan sahabat atau tabiin) kepada Nabi saw dan riwayat dari
ibnu al-Bailamanȋ ini adalah riwayat yang lemah, yang tidak dapat digunakan
sebagai hujjah meski hadisnya itu wasal (tidak terputus hingga ke Nabi saw),
apalagi jika hadisnya mursal.52
Berbeda dengan pendapat jumhur ulama, Wahbah Zuhailȋ menjelaskan
bahwa pendapat Madzhab Hanafȋ yang membolehkan membunuh orang Islam
apabila ia membunuh orang kafir diperkuat dengan hadis yang diriwayatkan oleh
ath-Tahawȋ dari Muhammad Ibnul munkadir, bahwa Nabi saw menjatuhkan
hukuman qisȃs terhadap seorang Muslim lantaran ia membunuh orang kafir
dzimmi, dan beliau bersabda.
انا احق من وف بذمتوArtinya:“aku adalah orang yang paling berhak untuk menepati janji
dzimmahnya”
Dan juga diriwayatkan bahwa Umar dan Alȋ pernah menjatuhkan qisȃs atas
orang muslim lantaran ia membunuh orang kafir dzimmȋ, dan Alȋ berkata: kita
51
Abȋ „Abd lillȃh Muhammad bin Ahmad al-Ansȃrȋ Al-Qurṭȗbȋ, al-Jȃmi‟ li Ahkȃm al-
Qur‟ȃn...Juz III, h. 69. 52
Abȋ „Abd lillȃh Muhammad bin Ahmad al-Ansȃrȋ Al-Qurṭȗbȋ, al-Jȃmi‟ li Ahkȃm al-
Qur‟ȃn...Juz III, h. 69.
59
telah memberi mereka janji keamanan agar darah (nyawa) mereka seperti darah
(nyawa) kita dan diyȃt mereka seperti diyȃt kita.53
Hadis yang berbunyi,
ل ي قتل مؤمن بكافرول ذوعهد بعهده
Artinya:“Seorang mukmin tidak dibunuh lantaran ia membunuh orang kafir,
dan begitu pula orang kafir yang telah diberi janji keamanan oleh umat Islam.
Menurut Wahbah Zuhaylȋ Hadis ini ditakwilkan oleh madzhab hanafȋ,
berdasarkan ijma‟ orang kafir yang punya janji keamanan dibunuh jika ia
membunuh orang kafir lain yang juga punya janji keamanan, karena itu orang
kafir yang disebutkan pertama dalam hadis ini harus dipersempit dengan label
“harbȋ” ini, sebab sifat yang disebutkan setelah beberapa kata merujuk kepada
seluruh kata itu. Dengan demikian, taqdȋr kira-kira bunyi hadis begini ( ليقتل
orang Islam tidak dibunuh lantaran“ (هؤهن بكافر حربي ولذو عهد بكافر حربي
membunuh orang kafir harbi, dan orang kafir yang punya janji keamanan juga
tidak dibunuh lantaran membunuh orang kafir harbi, karena orang kafir dzimmi
dibunuh bila ia membunuh orang kafir dzimmi, maka dapat di mengerti bahwa apa
yang dimaksud dengan orang kafir adalah orang kafir adalah orang kafir “harbi”,
sebab dialah orang yang bila dibunuh maka pembunuhnya (yang orang Islam atau
orang kafir dzimmi) tidak diqisȃs.54
Al-Jassȃs mengungkapkan salah satu pemberlakuan qisȃs ini ialah pada
pembunuhan yang dilakukan non muslim terhadap seorang muslim. Namun
sebaliknya, hukuman qisȃs tidak berlaku bagi pembunuhan yang dilakukan
53
Wahbah Zuhaylȋ, Tafsȋr al Munȋr fȋ al Aqȋdah wa Syarȋah wa al manhȃj…Jilid I, h.
475. 54
Wahbah Zuhaylȋ, Tafsȋr al Munȋr fȋ al Aqȋdah wa Syarȋah wa al manhȃj…Jilid I, h.
475.
60
seorang muslim terhadap non-muslim. Dalam hal ini, non muslim yang dimaksud
adalah kafir dzimmi atau orang yang beragama selain Islam yang hidup dengan
damai bersama umat muslim. Pendapat ini dipilih oleh al-Tsaurȋ, al Auza‟ȋ dan
Imam Syȃfi‟ȋ55
Menurut al-Shabunȋ, bahwa tidak semua manusia memiliki
kehormatan yang sama. Dalam pandangan para ulama, seorang muslim memiliki
kedudukan yang lebih terhormat daripada seorang non-muslim, sehingga nyawa
seorang muslim dipandang lebih berharga atau terhormat daripada nyawa non-
muslim. Atas dasar inilah seorang muslim yang membunuh non-muslim tidak
dikenakan hukuman qisȃs sebagai hukum balasan yang setimpal. Pendapat ini
didukung oleh tiga aliran fikih, Mȃlikiyah, Syȃfi‟iyah dan Hanȃbilah.56
Meski demikian, sebagian mufassir lain menganggap bahwa setiap orang
memiliki hak hidup yang sama tanpa melihat status sosial dan agama yang
dianutnya. Dengan demikian, setiap orang yang menghilangkan nyawa orang lain
maka hukumannya adalah qisȃs. Al-Jassȃs menegaskan bahwa muslim dan non
muslim memiliki hak yang sama untuk dilindungi jiwanya, sehingga keduanya
harus menjalani hukuman qisȃs apabila telah terbukti melakukan pembunuhan
sengaja.57
4. Perempuan
Perbedaan pandangan juga terjadi dalam masalah pembunuhan terhadap
perempuan. Jumhur ulama mensyaratkan kesepadanan antara seorang pembunuh
dan terbunuh dalam hal jenis kelamin. Jadi, laki-laki tidak dibunuh gara-gara
membunuh perempuan. Sedangkan madzhab Hanafȋ tidak mensyaratkan
55
Abȋ Bakr Ahmad bin „Alȋ al-Rȃzȋ Al Jassȃs, Ahkȃm al-Qurȃn..., h. 173. 56
Muhammad „Ali al-Shabuni, Rawai‟ al-Bayȃn Tafsȋr ayȃt al-Ahkȃm min al-Qur‟ȃn
(t.tp: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 2001), Juz II, h. 135. 57
Abȋ Bakr Ahmad bin „Alȋ al-Rȃzȋ Al Jassȃs, Ahkȃm al-Qur‟ȃn... h. 165
61
kesepadanan dalam hal jenis kelamin, tetapi cukup adanya kesepadanan atau
kesamaan dalam hal kemanusian. Jadi, orang islam dibunuh bila membunuh orang
kafir.58
Pada QS. Al-Baqarah [2]:178 meyatakan bahwa perempuan dibunuh
lantaran ia membunuh perempuan, tetapi tidak menjelaskan hukum laki-laki yang
membunuh perempuan dan sebaliknya. karena itu para ulama berbeda pendapat.
Hasan al-Basyrȋ dan „Ata‟ berkata, Laki-laki tidak dibunuh gara-gara
membunuh perempuan.59
Dengan dalil ayat ini.
لى الر بلر والعبد بلعبد والأن ثى بلأن ثى ي أي ها الذين آمنوا كتب عليكم القصاص ف القت 60(ٯٮ٨)
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qisȃs
berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang
merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita.
Al-Laits bin Sa‟d berpendapat bahwa Kalau seorang laki-laki membunuh
istrinya, ia tidak dibunuh sebagai qisȃsnya. (Kalau perempuan yang dibunuh itu
bukan istrinya, ia dibunuh sebagai qisȃsnya). Namun Jumhur berbeda pendapat.
Mereka menetapkan bahwa laki-laki dibunuh bila membunuh perempuan dan
perempuan dibunuh bila membunuh laki-laki, dengan dalil ayat 45 surah al-
Māidah: "Dan Kami telah tetapkan terhadup mereka di dalamnya (at-Taurat)
bahwasanya jiwa dibalas dengan jiwa. Mereka juga berpedoman kepada sabda
Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh al-Bukhȃri, Ahmad, dan para penyusun
kitab Sunan (kecuali Ibnu Majah) dari Abu Juhaifah.61
58
Wahbah Zuhaylȋ, Tafsȋr al Munȋr fȋ al Aqȋdah wa Syarȋah wa al manhȃj…Jilid I, h.
473 – 474. 59
Wahbah Zuhaylȋ, Tafsȋr al Munȋr fȋ al Aqȋdah wa Syarȋah wa al manhȃj…Jilid I, h.
476. 60
QS: Al-Baqarah (2): 178 61
Wahbah Zuhaylȋ, Tafsȋr al Munȋr fȋ al Aqȋdah wa Syarȋah wa al manhȃj…, Jilid I, h.
476.
62
لمون ت تكافأ دماؤىم الم Artinya: "Orang-orang Islam itu setara darah mereka."
Para ulama telah bersepakat bahwa seorang laki-laki yang membunuh
seorang wanita ia dikenakan hukuman qisȃs, dan begitu juga sebaliknya, Namun
mereka berbeda pendapat mengenai pembagiannya. Imam Mȃlik, Asy-Syȃfi‟ȋ,
Imȃm Ahmad, Ishȃk, al-Tsauri, dan Abu Tsaur, mengatakan bahwa hukuman
qisȃs ini juga berlaku terhadap hukuman selain nyawa, sedangkan Himad bin Abi
Sulaiman dan Imam Abȗ Hanȋfah mengatakan bahwa hukuman qisȃs ini tidak
berlaku terhadap hukuman yang selain nyawa saja, hukuman ini hanya untuk
hukuman yang berkaitan dengan nyawa saja, namun pendapat ini terbantahkan,
karena hukuman qisȃs untuk yang selain nyawa lebih utama dan lebih
dibutuhkan.62
5. Anak-anak
Perbedaan pandangan juga terjadi dalam masalah pembunuhan yang
dilakukan seorang bapak kepada anaknya dengan sengaja. Sebagian mengatakan
bahwa bapak tidak diqisȃs sebagian lagi ada yang mengatakan diqisȃs.
Jumhur ulama, selain Imȃm Mȃlik, berkata, ia tidak dikenai qisȃs, ia harus
membayar diyȃt anaknya. Dalilnya adalah hadis yang diriwayatkan oleh at-
Tirmidzȋ, Ibnu Mȃjah, dan al-Nasa‟i dari Umar bin Khattab r.a bahwa Nabi saw
bersabda.63
62
Abȋ „Abd lillȃh Muhammad bin Ahmad al-Ansȃrȋ Al-Qurṭȗbȋ, al-Jȃmi‟ li Ahkȃm al-
Qur‟ȃn...Juz III, h. 71. 63
Wahbah Zuhaylȋ, Tafsȋr al Munȋr fȋ al Aqȋdah wa Syarȋah wa al manhȃj..., Jilid I, h.
477.
63
ع روول له ى الله عليه وسلم ي ي قول : ل ي قاد الوالد بلولد عن عمر ابن ال 64طاب قال : م Artinya: Dari „Umar bin al-Khaththab berkata; saya mendengar
Rasulullah saw. bersabda: “tidak diqisȃs orang tua yang membunuh anaknya”.
Demikian juga hadis yang diriwayatkan oleh al-Kahlani:
65عن ابن عباس عن النب ى الله عليه وسلم ي قال : ل ي قتل الوالد بلولد Artinya: Dari Ibnu “Abbas dari Nabi saw. bersabda: “Tidak dibunuh
orang tua yang membunuh anaknya”
Dan hadis yang diriwayatkan Ibn Majah
66عن عبد له ابن عمرو قال: قال روول له ى الله عليه وسلم ي : ان ومالك لبيك
Artinya: Dari Abdillah Ibnu Amru berkata: Rasulullah saw bersabda:
“Kamu dan hartamu itu adalah milik bapakmu”.
Adapun Imȃm Mȃlik berpendapat bahwa kalau seorang membunuh
anaknya dengan sengaja, misalnya membaringkannya lalu menyembelihnya, atau
mengikatnya, lalu memanahnya sampai mati, serta tidak ada alasan baginya untuk
melakukan hal itu dan tidak ada syubhat yang menunjukkan terjadinya hal itu
karena ketidaksengajaan, maka orang itu dikenai hukum qisȃs. Adapun kalau ia
melempar anaknya dengan senjata tajam atau dengan tongkat dengan niat untuk
mendisiplinkannya, atau hal itu dilakukannya dalam keadaaan marah, lalu anak
meninggal, maka orang tua tdak diqisȃs, karena statusnya sebagai bapak menjadi
syubhat atau tanda bahwa ia tidak bermaksud membunuh.67
Al-Qurtȗbȋ menjelaskan bahwa Imȃm Al-Daruqutnȋ dan imam Abȗ Mȗsȃ
al-Tirmidzī meriwayatkan dari Suraqah bin Mȃlik, ia berkata: aku pernah melihat
64
Muhammad bin „Ȋsa Al-Tirmidzȋ, Sunan al-Tirmidzȋ wa huwa al-Jȃmi‟ al-Sahȋh
)Beirȗt-Lebanon: Dȃr al-Kutȗb al-Ilmiyyah , t.th(, Juz IV, h. 12. 65
Al-Imȃm Muhammad bin Ismȃ‟il al-Kahlȃni al-San‟anȋ al-Yamanȋ, Subul al-Salȃm,
Syarh Bulȗgh al-Marȃm: min Adillah al-Ahkȃm (Beirȗt: Dȃr al-Fikr), Juz III h. 233. 66
Abi „Abd lillah Muhammad bin Yazȋd Ibn Majah, Sunan Ibnu Majȃh (Beirȗt: Dȃr al-
Fikr, t.th), Juz II, hlm. 769. 67
Wahbah Zuhaylȋ, Tafsȋr al Munȋr fȋ al Aqȋdah wa Syarȋah wa al manhȃj...Jilid I, h. 477
64
Rasulullah saw melaksanakan qisȃs terhadap anak yang membunuh bapaknya,
dan seorang ayah yang membunuh anaknya tidak diqisȃs. Namun Abȗ Mȗsȃ
dalam komentarnya mengenai hadis ini mengatakan bahwa kami tidak
menemukan ada hadis yang diriwayatkan dari Suraqah dengan bentuk yang lain
selain dari hadis ini, dan isnad hadis ini pun tidak shahih. Meski demikian, para
ulama berpendapat bahwa seorang ayah tidak dikenakan hukuman qisȃs bila ia
membunuh anaknya sendiri, dan ia juga tidak dikenakan hukuma jika ia menuduh
anaknya berzina.68
Sementara Ibn Mundzir menyatakan bahwa para ulama berbeda pendapat
mengenai hukum seorang ayah yang membunuh anaknya sendiri secara sengaja.
Beberapa dari mereka berpendapat bahwa seorang ayah yang membunuh anaknya
tidak dikenai hukuman qisȃs, namun ia tetap mendapat hukuman pengganti
berupa diyȃt. Pendapat ini disampaikan di antaranya oleh Asy-Syȃfi‟ȋ, imȃm
Ahmad, Ishȃk, dan para pengikut madzhab Hanafȋ dan pendapat ini diriwayatkan
dari „Ata‟ dan Mujȃhid.69
Sedangkan Imȃm Mȃlik, Ibn Nȃfi‟ Ibn „Abd al-Hakȃm berpendapat bahwa
seorang ayah yang membunuh anaknya tetap dikenakan qisȃs. Kemudian al-
Mundzir menguatkan pendapat Imȃm Mȃlik tersebut dengan dalil QS.Al-Baqarah
ayat 178 dan hadis Nabi Saw yang menyatakan bahwa darah orang-orang muslim
benilai sama.70
68
Abȋ „Abd lillȃh Muhammad bin Ahmad al-Ansȃrȋ Al-Qurṭȗbȋ, al-Jȃmi‟ li Ahkȃm al-
Qur‟ȃn...Juz III, h. 73. 69
Abȋ „Abd lillȃh Muhammad bin Ahmad al-Ansȃrȋ Al-Qurṭȗbȋ, al-Jȃmi‟ li Ahkȃm al-
Qur‟ȃn...Juz III, h. 73. 70
Abȋ „Abd lillȃh Muhammad bin Ahmad al-Ansȃrȋ Al-Qurṭȗbȋ, al-Jȃmi‟ li Ahkȃm al-
Qur‟ȃn...Juz III, h. 73.
65
Adapun menurut Ibn al-„Arabȋ, jika seorang ayah membunuh anaknya
sendiri maka seorang ayah tidak dikenakan hukuman qisȃs. Pendapat ini
berdasarkan alasan bahwa seorang ayah merupakan penyebab keberadaan
anaknya, sehingga tidak mungkin seorang anak menjadi penyebab ketiadaan
ayahnya.71
Namun pendapat ini bertentangan dengan hukum lain, seperti seorang
ayah yang menyetubuhi anak perempuannya, dan ia dikenakan hukuman rajam
hingga mati. Dengan demikian sangat jelas bahwa seorang anak dapat menjadi
penyebab ketiadaan ayahnya, walaupun ayahnya tersebut adalah penyebab
keberadaannya.72
Firman Allah Swt dalam QS. Al-Isrȃ‟ [17]: 31
لهم كان خطئا كبيرا ) ول كم إن ق ت 73(٨٪ت قت لوا أولدكم خشية إملاق نن ن رزق هم وإي
Artinya: Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut
kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga
kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.
Dalam penafsiran QS. Al-Isrȃ‟ ayat 31, Quraish Sihab menjelaskan bahwa
ayat ini berisi tentang pelarangan membunuh anak perempuan dengan sebab takut
miskin. Dilarang pula untuk khawatir tentang rezeki anak-anak dan juga rezeki
kita. Sebenarnya urusan rizki sudah dijamin oleh Allah sesuai dengan kebutuhan
masing-masing. Bagian terpenting dari rezeki adalah selalu berusaha untuk
mendapatkan rezeki tersebut dengan baik. Pelarangan pembunuhan ini tertuju
secara umum untuk semua umat muslim khususnya. Redaksi pelarangan ini
71
Abȋ Bakar Muhammad ibn „Abd lillah al-Ma‟rȗf bi Ibn al-„Arabī, Ahkȃm al-Qur‟ȃn,
Juz 1, h. 63, Juz 1, h.65. 72
Abȋ „Abd lillȃh Muhammad bin Ahmad al-Ansȃrȋ Al-Qurṭȗbȋ, al-Jȃmi‟ li Ahkȃm al-
Qur‟ȃn...Juz III Juz III, h. 74. 73
QS. Al-Isrȃ‟ [17]: 31
66
menggunakan kata jamak ول تقتلىا yang mengisyaratkan bahwa pembunuhan anak
perempuan merupakan tindakan buruk pada zaman jahiliyah dan beban moralnya
secara kolektif atau menyeluruh pada kelompok masyarakat. Redaksi yang sama
pada QS. Al-an‟ȃm: 6 dan 151 menjelaskan bahwa motivasi pembunuhan ini
berlatar belakang kemiskinan yang sedang dialami oleh sang ayah dan semakin
meningkatnya kekhawatiran ketika terlahirnya anak.74
Oleh karena itu pada QS. Al-An‟ȃm ini Allah memberikan jaminan rezeki
atas sang ayah dan dilanjutkan untuk sang anak. Sedangkan pada QS. Al-isra‟: 31
ada penambahan kata “Khasyyah” ( خشية) yang berarti takut yang menjadi dugaan
sang ayah terhadap anaknya mengalami kesulitan rezeki. Maka Allah memberikan
jaminan rezeki anak terlebih dahulu setelah itu baru sang ayah. Penggalan ayat ini
merupakan sanggahan dari berbagai dalih untuk membunuh anak-anak salah
satunya dengan faktor kemiskinan. Akhir penggalan ayat ini memberikan
penjelasan bahwa pembunuhan merupakan kategori dosa yang sangat besar,
dikarenakan pada masa jahiliyah masyarakatnya menganggap hal ini benar dan
baik. Penegasan ini berdasarkan kata khitaa ( أط خ ) yang pelaksanaan
pembunuhannya dengan sengaja.
6. Janin
Secara bahasa aborsi adalah pengguguran kandungan (janin). Bersal dari
kata ( جهضا -جهض ) artinya menghilangkan. Maka ( اجهضت الحاهل ) artinya
membuang anak sebelum sempurna dan disebut dengan menggugurkan janin.75
74
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an,
(Jakarta: Lentera Hati, 2002), vol 7, h. 457. 75
Ibrȃhim Mustȃfȃ dkk, al-Mu‟jȃm al-wasȋt, (Damsik: Maktabah al-Nuri, tt), h. 143.
67
Atau, secara bahasa juga bisa dikatakan, lahirnya janin karena dipaksa atau karena
lahir dengan sendirinya.
Dalam masalah pebunuhan janin (aborsi) ada dua pendapat jika
pengguguran (aborsi) itu dilakukan. Pertama: janin yang keluar dalam keadaan
hidup lalu mati. Kedua: janin yang keluar dalam keadaan hidup.
Jika janin keluar dalam keadaan hidup lalu mati, seluruh ulama pendapat,
orang yang memukul tersebut wajib membayar diyȃt penuh, jika pemukulan
tersebut tidak sengaja, dan kalau disengaja, diyȃt itu dibayarkan setelah dibagi
kepada para aqilah.76
Namun pendapat lain mengatakan bahwa diyȃt itu dibayar
tanpa dibagi.77
Namun jika yang keluar janin itu dalam keadaan hidup, para ulama tidak
berbeda pendapat maka wajib bagi yang memukulnya membayar kaffarat dengan
diyȃt. Namun mereka berbeda pendapat tentang membayar kaffarat ini, jika janin
yang keluar itu dalam keadaaan mati, imȃm mȃlik berpendapat wajib
membebaskan budak dan membayar kaffarat. Abȗ hanȋfah dan Asy-Syȃfi‟ȋ
berpendapat hanya membebaskan budak dan tidak diwajibkan membayar
kaffarat.78
C. Hukum dan Sanksi Pembunuhan
1. Hukum Pembunuhan
Hukum pembunuhan dalam ajaran Islam dapat dibagi dua, yaitu
pembunuhan yang dibenarkan secara hukum yaitu menurut ajaran al-Qur‟ān dan
76
Aqilah adalah hubungan kekeluargaan dengan korban pembunuhan. 77
Abȋ „Abd lillȃh Muhammad bin Ahmad al-Ansȃrȋ Al-Qurṭȗbȋ, al-Jȃmi‟ li Ahkȃm al-
Qur‟ȃn…Juz VII, h. 21. 78
Abȋ „Abd lillȃh Muhammad bin Ahmad al-Ansȃrȋ Al-Qurṭȗbȋ, al-Jȃmi‟ li Ahkȃm al-
Qur‟ȃn…Juz VII, h. 21.
68
As-Sunnah dan pembunuhan yang melanggar hukum yaitu pembunuhan yang
dilarang oleh al-Qur‟ȃn maupun as-Sunnah.
Di antara pembunuhan yang dibenarkan secara hukum seperti halnya
pertama: membunuh orang dengan sengaja. Dalam QS. Al-Baqarah [2]: 178
لى الر بلر والعبد بلعبد والأن ثى بلأن ثى فمن ي أي ها الذين آمنوا كتب عليكم القصاص ف القت ان ذلك تفيف من ربكم ور حة فمن عفي لو من أخيو شيء فاتباع بلمعروف وأداء إليو بح
79(ٯٮ٨ى ب عد ذلك ف لو عذاب أليم )اعتد
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qisȃs
berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang
merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka Barangsiapa
yang mendapat suatu pema‟afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema‟afkan)
mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma‟af) membayar
(diyȃt) kepada yang memberi ma‟af dengan cara yang baik (pula). yang demikian
itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa
yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih.
Ayat ini berbicara tentang hukuman balasan terhadap pelaku pembunuhan.
hukum qisȃs menjadi parameter utama untuk menjatuhi hukuman bagi para
pelaku pembunuhan. Penulis sudah menjelaskan secara rinci pada penjelasan
sebelumnya tentang ayat ini. yaitu pada penjelasan mengenai pelaku dari segi
pelaku dan korban.
Kedua: Orang yang menyebarkan kerusakan di muka Bumi dalam QS. Al-
Maidah [5]: 33
ادا أن ي قت لوا أو يصلب عون ف الأرض ف ا جزاء الذين ياربون الل وروولو وي وا أو ت قطع أيديهم إنفوا من ن يا ولم ف الآخرة عذاب عظيم وأرجلهم من خلاف أو ي ن الأرض ذلك لم خزي ف الد
(٪٪)80
79
QS. al-Baqarah [2]: 178 80
QS. Al-Maidah [5]: 33
69
Artinya: Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang
memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi,
hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka
dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). yang
demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat
mereka beroleh siksaan yang besar.
Ayat ini menjelaskan tentang hukuman terhadap orang-orang yang
memerangi Allah dan Rasulnya, serta orang-orang yang membuat kerusakan di
muka bumi. memerangi Allah dan Rasulnya dalam pandangan al-Maraghi adalah
melakukan penganiayaan, ancaman, bencana, dan rasa aman atas jiwa dan harta.81
Sedangkan dalam tafsir kementerian agama disebutkan memerangi Allah dan
Rasulnya adalah melampaui batas dan merampas harta orang lain.82
Sedangkan
orang yang membuat keruaskan di bumi adalah perbuatan Qat‟u al-Tȃriq, yaitu
(pembegal, penyamun, bandit) dengan meneror pengguna jalan serta melakukan
pelanggaran terhadap jiwa, harta dan kehormatan.83
Ketiga: Hadis Nabi tentang pembunuh, Zina Muhshan, dan Murtad
عمش عن عبد الرحن بن مرة اخب رنا اوحاق بن منصور قال : اخب رنا عبد الرحن عن وفيان عن ال ره ل يل دم روق عن عبد له قال : قال روول له ى الله عليه وسلم ي والذي ل الو غي لم يشهد عن م امرئ م
روول له ال ولام مفارق الماعة و الث يب الزن التا لاة ن فر :ان ل الو ال له وان رك للا والن فس بلن فس
Artinya: “Telah mengkhabarkan kepada kami Isḥȃq ibn Manṣȗr, berkata
telah mengkhabarkan kepada kami „Abd ar-Rahmȃn dari Sufyȃn dari al-A‟masy
dari „Abd Allȃh ibn Murrah dari Masrȗq dari „Abd Allȃh berkata, bersabda
Rasȗlullah saw.: “Demi zat yang tidak ada selainNya, tidak haLal darah seorang
muslim yang bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allȃh dan aku sebagai
utusan-Nya, kecuali tiga orang: Orang yang meninggalkan Islam (dan)
81
Ahmad Mustȃfȃ Al-Marȃghȋ, Tafsȋr al-Marȃghȋ (Kairo, Syirkah Maktabah Musthȃfȃ
al-Bab al-Halabȋ, 1946), Juz. VI, h. 104 82
Kementerian Agama RI, Al-Qur‟an dan Tafsirnya.. h.389 83
Wahbah Zuhaylȋ, Tafsȋr al Munȋr fȋ al Aqȋdah wa Syarȋah wa al manhȃj...Jil. III, h.
512.
70
memisahkan jama‟ah, orang yang sudah menikah berbuat zina dan orang yang
membunuh dengan sengaja.”(HR. An-Nasȃ‟ȋ)84
Pada hadis Nabi ini menjelaskan larangan membunuh orang-orang yang
masih bersaksi dan mengimani Allah swt.
Sedangkan dalil tentang pembunuhan yang melanggar hukum yaitu
pembunuhan yang dilarang oleh al-Qur‟ȃn maupun as-Sunnah sebagai berikut:
Pertama: Pembunuhan terhadap seorang mukmin dengan sengaja dalam
Qs. An-Nisa‟ [4]: 93.
دا فجزاؤه جهنم خالدا فيها وغضب الل عليو ولعنو وأعد ل و عذاب عظيما ومن ي قتل مؤمنا مت عم(٪)85
Artinya: Dan Barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan
sengaja Maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka
kepadanya, dan mengutuknya serta menyediakan azab yang besar baginya.
Ayat ini merupakan balasan akhirat terhadap pelaku pembunuhan sengaja,
yaitu kekal di neraka, dan Allah mengutuknya, serta menyediakan adzab yang
besar baginya.
Kedua: larangan membunuh anak karena takut miskin dalam QS. Al-
„An‟ȃm [6]: 151
ئا وبلوالدين انا ول ت قت لوا أولدكم من قل ت عالوا أتل ما حرم ربكم عليكم أل تشركوا بو شي إحها وما بطن ول ت قت لوا الن ف ىم ول ت قربوا الفواحش ما ظهر من إملاق نن ن رزقكم وإي س ال حرم الل
86(٨٬٨لون )إل بلق ذلكم وصاكم بو لعلكم ت عق
Artinya: Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas
kamu oleh Tuhanmu Yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan
Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu
membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezki
84
Jalāl ad-Din as-Suyȗṭi, Sunan an-Nasā‟i bi Syarh Jalāl ad-Dīn as-Suyuṭȋ (Beirȗt: Dar al
Ma‟arif,tt), juz VII, hlm. 104-105. 85
Qs. An-Nisa‟ [4]: 93 86
QS. Al-„An‟am [6]: 151
71
kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-
perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi,
dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya)
melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar". demikian itu yang diperintahkan
kepadamu supaya kamu memahami(nya).
Pada ayat ini terdapat tiga larangan pembunuhan. pertama. larangan
membunuh anak dan kedua larangan membunuh jiwa.
a. larangan membunuh anak dalam ayat ini menjadi sebab terhadap
kehawatiran orang-orang musyrik yang berpandangan bahwa anak-
anak mereka akan menjadikan mereka miskin dan faqir. Di antara
mereka ada yang melakukan hal tersebut kepada anak-anak perempuan
dan laki-laki mereka karena takut miskin. 87
ayat ini juga sebagai
sanggahan kepada mereka yang menjadikan kemiskinan apapun
sebabnya sebagai dalih untuk membunuh anak 88
b. larangan membunuh jiwa yang Allah haramkan, baik seorang muslim
maupun orang yang mendapat perlindungan umat Islam.
c. Kecuali dengan cara yang benar yang Allah wajibkan membunuhnya.89
Dapat disimpulkan pada ayat ini mengandung tuntutan umum menyangkut
prinsip dasar kehidupan yang bersendikan kepercayaan akan keesaan Allah swt.
Hubungan antara sesama berlandaskan hak azazi, penghormatan, serta kejauhan
dari segala bentuk kekejian moral.
ketiga: larangan membunuh anak karena takut miskin dalam QS. Al-Isrȃ‟
[17]: 31
87
Abȋ „Abd lillȃh Muhammad bin Ahmad al-Ansȃrȋ Al-Qurṭȗbȋ, al-Jȃmi‟ li Ahkȃm al-
Qur‟ȃn…Juz VIII, h. 107. 88
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an,
(Jakarta: Lentera Hati, 2002), vol. IV, h. 334. 89
Abȋ „Abd lillȃh Muhammad bin Ahmad al-Ansȃrȋ Al-Qurṭȗbȋ, al-Jȃmi‟ li Ahkȃm al-
Qur‟ȃn…Juz. IX, h.109.
72
لهم كان خطئ كم إن ق ت 90 (٨٪ا كبيرا )ول ت قت لوا أولدكم خشية إملاق نن ن رزق هم وإي
Artinya: dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut
kemiskinan. kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga
kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.
Dalam pandangan al-Qurtȗbi Ayat ini sama hal-nya dengan larangan
membunuh anak pada al-An‟ȃm [6]: 15191
namun dalam pandangan Quraish
Sihab kemiskinan dalam ayat ini belum terjadi, baru dalam bentuk kekhawatiran.
Karena itu dalam ayat ini ada kata (khasyat) yakni takut. kemiskinan yang
dikhawatirkan itu adalah kemiskinan yang boleh jadi akan dialami anak. Maka
untuk menyingkirkan kekhawatiran itu, Allah menyampaikan bahwa “kamilah
yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu”, yakni anak-anak
yang kamu khawatirkan jika dibiarkan hidup akan mengalami kemiskinan. Setelah
jaminan ketersediaan rezeki itu, barulah jaminan kepada seorang ayah dengan
adanya kalimat “ dan juga kamu”92
keempat: larangan membunuh jiwa dalam QS. Al-Isrȃ‟ [17]: 33
رف ف ول ت قت لوا الن فس ال حرم الل إل بلق ومن قتل مظلوما ف قد جعلنا لوليو ولطانا فلا ي 93(٪٪القتل إنو كان منصورا )
Artinya: dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. dan barangsiapa
dibunuh secara zalim, Maka Sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan
kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam
membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan.
Penjelasan pengharaman membunuh diri dan membunuh orang lain
kecuali dengan alasan yang benar. Pada ayat ini menjelaskan bahwa janganlah
90
QS. Al-Isra‟ [17]: 31 91
Abȋ „Abd lillȃh Muhammad bin Ahmad al-Ansȃrȋ Al-Qurṭȗbȋ, al-Jȃmi‟ li Ahkȃm al-
Qur‟ȃn…Juz. XIII, h. 70. 92
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an
(Jakarta: Lentera Hati, 2002), vol. IV, h. 333-334. 93
QS. Al-Isrȃ‟ [17]: 33
73
kalian membunuh manusia yang diharamkan oleh syar‟ȋ kecuali dengan alasan
yang benar, yaitu kafir setelah beriman (murtad), berzina setelah menikah, dan
membunuh jiwa yang terjaga dengan sengaja.94
زنون ومن ي فعل والذين ل يدعون مع الل إلا آخر ول ي قت لون الن فس ال حرم الل إل بلق ول ي 95(ٯ٭ذلك ي لق أثما )
Artinya: dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain beserta
Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali
dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan
yang demikian itu, niscaya Dia mendapat (pembalasan) dosa(nya).
Penjelasan pengharaman membunuh diri dan membunuh orang lain
kecuali dengan alasan yang benar. Pengharaman ini juga sama hal nya dengan
penjelasan QS. Al-Isra‟ [17]: 33.
Larangan membunuh jiwa juga terdapat dalam QS. Al-Mȃidah [5]: 32
اد ف الأرض ف ا بغير ن فس أو ف نا على بن إورائيل أنو من ق تل ن ف ا ق تل من أجل ذلك كت ب كأنيعا ولقد جاءت هم رولنا ب ا أحيا الناس ج يعا ومن أحياىا فكأن هم ب عد الناس ج إن كثيرا من لبينات
رفون ) 96(٩٪ذلك ف الأرض لم
Artinya: oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil,
bahwa: Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu
(membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi,
Maka seakan-akan Dia telah membunuh manusia seluruhnya. dan Barangsiapa
yang memelihara kehidupan seorang manusia, Maka seolah-olah Dia telah
memelihara kehidupan manusia semuanya. dan sesungguhnya telah datang
kepada mereka Rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan
yang jelas, kemudian banyak di antara mereka sesudah itu sungguh-sungguh
melampaui batas dalam berbuat kerusakan di muka bumi.
94
Wahbah Zuhaylȋ, Tafsȋr al Munȋr fȋ al Aqȋdah wa Syarȋah wa al manhȃj..h. 17 95
QS. Al Furqȃn [25]: 68. 96
QS. Al-Mȃidah [5]: 32.
74
Ayat ini merupakan pensyariatan qisȃs bagi bani Israil menyangkut
seorang pelaku pembunuhan. Ayat ini bukanlah mengisyaratkan kepada kisah
Habil dan Qabil, tetapi mengisyaratkan kepada apa yang disebutkan dalam kisah
tersebut berupa berbagai bentuk kerusakan dan kerugian yang muncul akibat
tindakan pembunuhan yang haram, yaitu pembunuhan sengaja dan terencana
secara aniaya tanpa alasan yang dibenarkan.
2. Sanksi pelaku Pembunuhan
a. Sanksi pelaku pembunuhan sengaja
Salah satu bentuk hukuman yang diperintahkan Allah kepada umat Islam
adalah qisȃs. Secara literal, qisȃs merupakan kata turunan dari qassa-yaqussu-
qassan wa qasasȃn ( ا –يقض –ض ق قصصا -قص و ) yang berarti menggunting,
mendekati, menceritakan, mengikuti jejaknya, dan membalas.97
Rȃghib al-
Asfahȃni mengatakan, bahwa qisȃs berasal dari kata قض yang berarti mengikuti
jejak.98
Secara terminologi, qisȃs berarti hukuman yang dijatuhkan sebagai
pembalasan serupa dengan perbuatan pembunuhan, melukai atau merusak anggota
badan berdasarkan ketentuan yang diatur oleh syara‟.99
Ibnu Manzur mengatakan qisȃs dalam pengertian syar‟ȋ adalah membunuh
orang yang melakukan pembunuhan berdasarkan ketentuan syar‟ȋ terhadap pelaku
pembunuhan atau hukuman yang ditetapkan dengan cara mengikuti bentuk tindak
97
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia (Yogyakarta:
Pondok Pesantren Al-Munawwir, 1984), h. 1210. 98
Rȃghib al-Asfahȃnȋ, Mu‟jȃm Mufradȃt al fȃz al-Qur‟ȃn (Beirȗt: Dȃr al-Fikr, t.t.), h.
419. 99
Abdul Mujib, Kamus Istilah Fiqih (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), hlm. 278.
75
pidana yang dilakukan, seperti membunuh dibalas dengan membunuh, melukai
dibalas dengan melukai dan seterusnya.100
Menurut Ibnu Rusyd, qisȃs ialah memberikan akibat yang sama pada
seseorang yang menghilangkan nyawa, melukai atau menghilangkan anggota
badan orang lain seperti apa yang telah di perbuatnya.101
Oleh karena itu,
hukuman qisȃs itu ada dua macam yaitu qisȃs jiwa yakni hukuman bunuh untuk
tingkat pembunuhan dan hukuman qisȃs untuk anggota badan yang terpotong atau
dilukai.102
Dulu, sebelum Islam, hukuman pembunuhan bermacam-macam. Di
kalangan kaum Yahudi, hukumannya adalah qisȃs, sedangkan di kalangan kaum
Nasrani hukumannya adalah diyȃt, sementara di kalangan bangsa arab jahiliyah
berkembang kebiasaan balas dendam, yang dibunuh adalah selain pembunuh,
kadang mereka membunuh kepala suku, atau membunuh lebih dari satu orang dari
suku seorang pembunuh, kadang mesti meski korbannya satu orang, mereka
menuntut balas terhadap sepuluh orang, kalau korbannya perempuan mereka
menuntut balas terhadap laki laki, dan kalau korbannya budak mereka ingin
membunuh orang merdeka sebagai balasannya.103
Namun dalam Islam hukum pembunuhan tidak hanya berlaku pada hukum
qisȃs saja maupun diyȃt saja, seperti yang ada di kalangan kaum Yahȗdi dan
Nasrȃni, akan tetapi Islam memiliki ciri bahwa berkaitan dengan pembunuhan,
Islam menggabungkan antara pensyariatan qisȃs yang berlaku di kalangan Bani
100
Ibnu Manzur, Lisȃn al-„Arȃb (t.tp: Al-Maktabah al-Syamilah,t.th) Jil. III, h.370 101
Ibnu Rusyd, Bidȃyat al-Mujtahid wa Nihȃyah al-Muqtasid (Jakarta: Pustaka Aman,
t.t.),h. 66. 102
Ibnu Rusyd, Bidȃyat al-Mujtahid wa Nihȃyah al-Muqtasid...h. 66. 103
Wahbah Zuhailȋ, Tafsȋr al Munȋr fȋ al Aqȋdah wa Syarȋah wa al manhȃj...Jilid I, h.
470.
76
Israil dan pensyariatan diyȃt yang berlaku di kalangan kaum Nasrani sehingga
dalam Islam orang punya pilihan antara qisȃs, Diyȃt, atau memaafkan tanpa ganti
rugi apapun. Dalil QS. Al-Baqarah [2]: 178
لى الر بلر والعبد بلعبد والأن ثى بلأن ثى فمن ي أي ها الذين آمنوا كتب عليكم القصاص ف القت ان ذلك تفيف من ربكم ورحة فمن عفي لو من أخيو شيء فاتباع بلمعروف وأداء إليو بح
(ٯٮ٨اعتدى ب عد ذلك ف لو عذاب أليم )
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qisȃs
berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang
merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka Barangsiapa
yang mendapat suatu pema‟afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema‟afkan)
mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma‟af) membayar
(diyȃt) kepada yang memberi ma‟af dengan cara yang baik (pula). yang demikian
itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa
yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih.
Ayat ini adalah dalil tentang kewajiban mengqisȃs terhadap pelaku
pembunuhan. Adapula hadis yang menjelaskan tentang qisȃs Hadis riwayat Abi
Syuraih al-Khuza‟ȋ
ىذه قتيل فأىلو عن اب شريح الزاعي قال : قال روول له ى الله عليه وسلم ي فمن قتل لو ب عد مقال ب ما ان ي خذوا العقل اوي قت لواٳخي رت
Dari Abu Syuraih al-Khuza‟i berkata; Nabi SAW bersabda: “Barangsiapa
terbunuh setelah ucapan ini, maka keluarganya boleh memilih mana yang terbaik
di antara dua pilihan; dia dapat menerima uang diyȃt, maupun membunuh”.104
Wahbah Zuhaylȋ menegaskan bahwa Islam menetapkan hukuman qisȃs
sebagai bentuk aplikasi prinsip keadilan dan persamaan. Hukuman ini akan
mencegah manusia melakukan tindak kejahatan berupa pembunuhan.
104
Ibnu Hajar al-Asqalȃnȋ, Terjemah Bulȗgh al Marȃm (Semarang: Pustaka Nuun, 2011),
h. 335.
77
Menurutnya, hukuman ini merupakan hukuman yang paling efektif di zaman
sekarang, karena penjara tidak begitu ampuh untuk membuat para pelaku
kejahatan jera.105
Pada ayat di atas, al-Qurtubȋ menyebutkan bahwa jumhur ulama fiqh,
seperti Imȃm Mȃlik, Imȃm al-Syȃfi‟ȋ, dan Imȃm Ahmad ibn Hambal berpendapat
bahwa orang yang merdeka tidak boleh diqisȃs karena membunuh hamba sahaya.
Dari ayat 178 surah al-Baqarah tersebut, terdapat pengertian bahwa Allah
mewajibkan persamaan karena di antara makna qisȃs itu sendiri adalah seimbang.
Adapun penggalan ayat ثىن ال ثى ب ن ال و د ب ع ال ب د ب ع ال و ر ح ال ب ر ح ل ا (orang merdeka dengan
orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita) merupakan
penjelasan selanjutnya dari pengertian seimbang untuk penjelasan awal ayat.
Dengan kata lain, ayat tersebut harus dipahami secara menyatu, karena di antara
orang merdeka dan hamba sahaya tidak seimbang. Dengan demikian, orang
merdeka yang membunuh hamba sahaya tidak dapat dihukum qisȃs.106
Sementara menurut Wahbah Zuhaylȋ, qisȃs adalah menindak pelanggar
dengan hukuman serupa dengan yang di perbuatnya terhadap korban. Dengan kata
lain, orang yang membunuh harus dibunuh, karena dalam pandangan syarȋ‟at,
orang yang membunuh setara dengan orang yang dibunuh. Orang yang merdeka
dibunuh bila membunuh orang yang merdeka, tetapi tidak dibunuh bila
membunuh budak. Budak dibunuh apabila membunuh budak lagi. Adapun
perempuan dibunuh bila membunuh perempuan. Sementara dalam hadis
105
Wahbah Zuhaylȋ, Tafsȋr al Munȋr fȋ al Aqȋdah wa Syarȋah wa al manhȃj... Jilid I, h.
470. 106
Abȋ „Abd lillȃh Muhammad bin Ahmad al-Ansȃrȋ Al-Qurṭȗbȋ, al-Jȃmi‟ li Ahkȃm al-
Qur‟ȃn (Cairo: Dār al-Hadīts, t.t.), juz IX h. 636, lihat juga Chuzaimah Batubara: Qishash:
Hukuman Mati dalam perspektif al-Qur‟an dalam Jurnal Miqot Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember
2010.
78
diterangkan bahwa laki-laki dibunuh bila membunuh perempuan, dan persamaan
agama termasuk dalam hitungan. Artinya, seorang muslim (meskipun ia budak)
tidak dibunuh gara-gara membunuh orang kafir (meskipun ia merdeka), dan ini
adalah pendapat jumhur selain madzhab Hanafȋ.107
Sementara Madzhab Hanafȋ berargumen dengan keumuman ayat-ayat qisȃs
yang tidak membedakan antaran satu jiwa dan jiwa lainnya, misalnya firman
Allah QS. Al-Baqarah [2]: 178
لى ) (ٯٮ٨ي أي ها الذين آمنوا كتب عليكم القصاص ف القت Artinya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qisȃs
berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh
Dan Firman Allah dalam QS. Al-Maidah [5]: 45
نا عليهم فيها أن الن فس بلن فس ) (٫٬وكت ب Artinya: dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat)
bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa.
Menurut Madzhab Hanafȋ, yang dimaksud dengan firmannya “Merdeka
dengan merdeka, budak dengan budak, perempuan dengan perempuan” setelah
firmannya “Diwajibkan atas kamu qisȃs dalam pembunuhan” adalah sebagai
bantahan atas apa yang dulu dilakukan sebagian suku, mereka hanya bersedia
membunuh orang merdeka sebagai balasan budak mereka yang dibunuh, hanya
mau membunuh laki-laki untuk balasan perempuan mereka yang dibunuh, jadi,
firman ini menghapus kedzaliman yang ada itu, dan menegaskan kewajiban qisȃs
atas pembunuh sendiri, bukan orang lain. Dengan demikian ayat ini tidak
mengandung dalil bahwa orang orang merdeka tidak dibunuh lantaran membunuh
budak, atau bahwa laki-laki tidak dibunuh bila membunuh perempuan, karena
107
Wahbah Zuhaylȋ, Tafsȋr al Munȋr fȋ al Aqȋdah wa Syarȋah wa al manhȃj...Jilid I, h.
468.
79
Allah mewajibkan membunuh seorang pembunuh dengan bagian awal ayat ب ت ك
لىت ق ى ال ف اص ص ق ال ن ك ي ل ع , dan ini mencakup semua pembunuh, baik ia orang merdeka
yang membunuh budak atau lainnya, baik ia orang islam yang membunuh orang
kafir dzimmȋ atau lainnya. Kemudian datang ayat ر ح ال ب ر ح ل ا untuk menjelaskan
dan menegaskan apa yang telah disebutkan terdahulu.108
Selain itu, Wahbah Zuhaylȋ juga menegaskan bahwa keadilan diperlukan
dalam qisȃs, dan persamaan menjadi syarat di dalamnya. Karena itu, orang
banyak tidak dibunuh sebagai balasan pembunuhan terhadap orang sedikit, dan
pemimpin tidak dibunuh sebagai balasan pembunuhan terhadap anak buah.
Hukuman qisȃs terbatas pada pembunuh saja, tidak melampauinya kepada salah
satu anggota suku atau kerabatnya.109
Dalam pembahasan masalah qisȃs ini terdapat dua pandangan mufassir
dalam menilai prinsip persamaan dan keadilan. yaitu antara pelaku dan korban
memiliki status yang sama. Persamaan status ini diukur berdasarkan status sosial,
kelamin, agama, jumlah, dan hubungan darah. Namun mufassir lain menilai
bahwa persamaan diukur atas dasar kemanusiaan. Artinya siapapun yang
melakukan pembunuhan, baik orang merdeka terhadap orang merdeka, orang
merdeka terhadap budak, laki-laki terhadap perempuan, ayah terhadap anak, orang
Islam terhadap non muslim, harus menjalani hukuman qisȃs. Semuanya memiliki
hak untuk dilindungi jiwanya.
108
Wahbah Zuhaylȋ, Tafsȋr al Munȋr fȋ al Aqȋdah wa Syarȋah wa al manhȃj...Jilid I, h.
474. 109
Wahbah Zuhaylȋ, Tafsȋr al Munȋr fȋ al Aqȋdah wa Syarȋah wa al manhȃj...Jilid 1, h.
470
80
Hukuman qisȃs tidak dapat dilaksanakan, jika syarat-syaratnya tidak
terpenuhi. Syarat-syarat tersebut baik untuk pelaku pembunuhan, korban yang
dibunuh, perbuatan pembunuhannya dan wali dari korban.
Adapun syarat-syaratnya adalah sebagai berikut:
1. Syarat-Syarat Pelaku.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh pelaku untuk dapat diterapkan
hukuman qisȃs menurut Wahbah Zuḥaylȋ ada 3 (tiga) macam,110
yaitu;
a. Pelaku harus orang mukallaf, yaitu balig dan berakal.
Dengan demikian, hukuman qisȃs tidak dapat dijatuhkan terhadap anak
yang belum baligh dan orang gila. Berdasarkan hadis riwayat al-Bukhȃri, Abu
Dawud dan at-Tirmidzȋ di bawah ini:
عنو ان روو ل له ى الله عليه وسلم ي رفع القلم على لا ة : عن النا ئم ح عن على بن اب طا لب رضي له ت يقط وعن الصب ح يتلم وعن المجن ون ح ي عقل ي
111 Artinya: Dari Ali sesungguhnya Rasulullah saw bersabda: Di bebaskan
ketentuan hukum dari tiga perkara: orang tidur sampai bangun, anak-anak
sampai ia dewasa, dan orang yang gila sampai ia sembuh
b. Pelaku melakukan pembunuhan dengan sengaja
Menurut Jumhur bahwa pelaku yang melakukan pembunuhan
menghendaki (adanya niat) hilangnya nyawa, tetapi menurut Mȃlik tidak
mensyaratkan adanya niat melainkan hanya mensyaratkan kesengajaan dalam
melakukannya. Alasan jumhur adalah hadis yang berbunyi:
110
Wahbah Zuhaylȋ, al fiqh al islȃmi wa adillatuhu (Damaskus, Dȃr al fikr, 2002), juz
VII, h. 5665-5666. 111
Abi „Abd lillah Muhammad bin Ismȃil in Ibrȃhim bin al-Mughirah al-Ju‟fȋ Al-
Bukhȃri, Sahȋh al-Bukhȃri (Beirȗt-Lebanon : Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992), Juz VIII. h. 336.
Lihat Dawud, Sunan Abȋ Dawȗd,....h. 1137-139. Dan lihat juga Muhammad bin „Ȋsa Al-Tirmidzȋ,
Sunan al-Tirmidzȋ wa huwa al-Jȃmi‟ al-Shahȋh, al-Jȃmi al-Sahȋh.., h. 24.
81
ل أن ي عفوا ول المقت ول ٳالعمد قود Artinya: Pembunuhan sengaja itu harus diqisȃs, kecuali jika wali korban
memberikan pengampunan.
c. Pelaku harus orang yang mempunyai kebebasan.
Syarat ini dikemukakan oleh Ḥanafiyyah yang mengatakan bahwa orang
yang dipaksa melakukan pembunuhan tidak dapat diqisȃs, tetapi menurut jumhur
bahwa orang yang dipaksa untuk melakukan pembunuhan tetap harus dihukumi
qisȃs.
2. Syarat-Syarat untuk Korban.
Penerapan hukuman qisȃs kepada pelaku harus memenuhi syarat-syarat
yang berkaitan dengan korban, menurut Wahbah Zuḥaylȋ ada 3 (tiga) macam112
.
Yaitu:
a. Korban (orang yang terbunuh) harus orang yang dilindungi keselamatan
darahnya oleh Negara.
Dengan demikian, jika korban kehilangan keselamatannya, seperti;
murtad, pezina muhsan, pemberontak, maka pelaku pembunuhan tidak dapat
dikenai hukuman qisȃs.
b. Korban tidak bagian dari pelaku pembunuhan.
Maksudnya, antara keduanya tidak ada hubungan darah antara anak dan
bapak. Dengan demikian, jika ayah membunuh anaknya, maka tidak dapat
dihukum qisȃs. Ini adalah pendapat jumhur. Alasannya, berdasarkan hadis riwayat
at-Tirmidzȋ, al-Kahlanȋ dan Ibnu Majȃh:
ع روول له ى الله عليه وسلم ي ي قول : ل ي قاد الوالد 113بلولد عن عمر ابن الطاب قال : م
112
112
Wahbah Zuhaylȋ, al fiqh al islȃmi wa adillatuhu…juz VII, h. 5666-5669.
82
Artinya: Dari Umar bin al-Khaththab berkata; saya mendengar
Rasulullah saw. bersabda: “tidak diqisȃs orang tua yang membunuh anaknya”.
Demikian juga hadis yang diriwayatkan oleh al-Kahlani:
114بلولد عن ابن عباس عن النب ى الله عليه وسلم ي قال : ل ي قتل الوالد
Artinya: Dari Ibnu Abbas dari Nabi saw bersabda: “Tidak dibunuh orang
tua yang membunuh anaknya”
Dan hadis yang diriwayatkan Ibnu Majah
115عن عبد له ابن عمرو قال: قال روول له ى الله عليه وسلم ي : ان ومالك لبيك
Artinya: Dari Abdillah Ibnu Amru berkata: Rasulullah saw. bersabda:
“Kamu dan hartamu itu adalah milik bapakmu”.
Menurut Imȃm Mȃlik, ayah yang membunuh anaknya dengan sengaja
harus tetap dihukumi qisȃs, kecuali tidak ada kesengajaan, karena melakukan
pengajaran.116
c. Korban harus sederajat atau keseimbangan dengan pelaku, baik Islam
maupun kemerdekaan.
Dengan demikian, jika korban itu sebagai budak, atau non muslim (kafir),
kemudian pelakunya adalah merdeka dan muslim, maka tidak dapat dihukumi
qisȃs. Ini adalah pendapat jumhur berpendapat bahwa asas perlindungan ( ( ة و ص ع ل ا
adalah keislamannya, kecuali mereka yang melakukan perjanjian (kafir
dzimmi/mu‟aḥad) dan yang terlindungi darahnya, yang paling tinggi adalah
113
Muhammad bin „Ȋsa Al-Tirmidzȋ, Sunan al-Tirmidzȋ wa huwa al-Jȃmi‟ al-Sahȋh
)Beirȗt-Lebanon: Dār al-Kutub al-Ilmiyyah , t.th(, Juz IV, h. 12. 114
Al-Imȃm Muhammad bin Ismȃ‟il al-Kahlȃni al-San‟anȋ al-Yamanȋ, Subul al-Salȃm,
Syarh Bulȗgh al-Marȃm: min Adillah al-Ahkȃm (Beirȗt: Dār al-Fikr), Juz III h. 233. 115
Abi „Abd lillah Muhammad bin Yazȋd Ibn Majah, Sunan Ibnu Majȃh (Beirȗt: Dȃr al-
Fikr, t.th), Juz II, h. 769. 116
Ibnu Rusyd, Bidȃyah al-Mujtahid Wa Nihāyah al-Muqtaṣid …Juz II, h. 401
83
keislamannya (muslim) itu sendiri. Alasan jumhur adalah hadis riwayat al-
Bukhȃrȋ, Abȗ Dawȗd, al-Tirmidzȋ dan al-Kahlanȋ:
لم بكاف 117ر عن عمرو بن شعيب عن ابيو عن جده عن النب ى الله عليه وسلم ي قال : ل ي قتل م
Artinya: Dari Amru bin Syuʻaib dari ayahnya dari kakeknya dari Nabi
saw bersabda: “Seorang muslim tidak boleh dibunuh (diqisȃs), karena membunuh
seorang kafir”.
Hadis tersebut dikuatkan oleh hadis riwayat Abu Dawud:
118المؤمن ون ت تكافأ دماؤىم
Artinya: Orang-orang mukmin itu sederajat darahnya.
Menurut Hanafiyyah tidak mensyaratkan keseimbangan dalam
kemerdekaan dan agama. Alasannya adalah keumuman ayat al-Qur‟ȃn tentang
qisȃs yang tidak membeda-bedakan antara jiwa dengan jiwa yang lain, yaitu QS.
al-Mȃidah (5): 45 dan al-Baqarah (2): 178.
3. Syarat-syarat untuk perbuatan pembunuhan harus Langsung .
Persyaratan ini adalah menurut Hanafiyyah yang berpendapat bahwa
pelaku disyaratkan perbuatan pembunuhan itu harus perbuatan langsung, bukan
perbuatan tidak langsung, jika perbuatannya tidak langsung, maka hukumannya
diyȃt, tidak qisȃs, karena perbuatan pembunuhan tidak langsung termasuk
pembunuhan semi sengaja atau tidak sengaja. Contohnya, jika orang membuat
sumur kemudian ada orang jatuh ke dalamnya lalu ia mati karenanya, maka
pembuat sumur tidak dapat dikenakan hukuman qisȃs, tetapi hanya diyȃt.
117
Abi „Abd lillah Muhammad bin Ismȃil in Ibrȃhim bin al-Mughirah al-Ju‟fȋ Al-Bukhari
al-Ja‟fy, Sahih al-Bukhȃri,…h. 365. 118
Abu Dawud Sulaiman bin Al-Asy'ats Al-Sijistȃni, Sunan Abȋ Dȃwud (t.tp: Dȃr al-
Misriyyah al-Libaniyyah), h. 179.
84
Menurut jumhur tidak mensyaratkan masalah ini, alsannya bahwa
pembunuhan tidak langsung juga dapat dikenakan hukuman qisȃs, seperti
pembunuhan langsung.119
4. Syarat-Syarat Wali (Keluarga) Korban
Hanafiyyah mensyaratkan bahwa wali dari korban yang memiliki hak
qisȃs harus jelas diketahui, jika wali korban tidak diketahui, maka hukuman qisȃs
tidak dapat dilaksanakan, tetapi ulama lainnya tidak mensyaratkannya.120
Namun pemberlakuan qisȃs ini tidak wajib secara mutlak harus diqisȃs
kepada seorang pembunuhan. Makna diwajibkan pada lafadz (كتب) ini, yaitu
diwajibkan atas kamu jika kamu menghendakinya.121
Namun karena tindak pidana
ini lebih dominan sebagai urusan hak Adami, maka Allah memberikan hak kepada
pihak keluarga korban untuk memilih antara balasan setimpal berupa
dilaksanakannya hukuman qisȃs atau memberikan maaf terhadap pelakunya.
Dengan dalil QS. Al-Baqarah [2]: 178
ان ) 122(ٯٮ٨فمن عفي لو من أخيو شيء فاتباع بلمعروف وأداء إليو بح
Artinya: Maka Barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari
saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan
hendaklah (yang diberi ma‟af) membayar (diyȃt) kepada yang memberi ma'af
dengan cara yang baik (pula).
Menurut Sya„rawȋ, ungkapan pada ayat ini (saudaranya) ه ي خ ا
mengisyaratkan suatu keindahan makna al-Qur‟ȃn. Allah menggunakan kata ini
untuk melunakkan hati mereka yang sedang bertikai, serta menunjukkan bahwa
sekalipun pertikaian terjadi, namun persaudaraan seiman jangan sampai terputus.
119
Wahbah Zuhaylī, al Fiqh al Islāmī wa Adillatuhu…Juz. VII, h. 5674. 120
Wahbah Zuhailī, al Fiqh al Islāmī wa Adillatuhu…Juz. VII, h. 5675. 121
Abȋ „Abd lillȃh Muhammad bin Ahmad al-Ansȃrȋ Al-Qurṭȗbȋ, al-Jȃmi‟ li Ahkȃm al-
Qur‟ȃn.. Juz III, h. 66. 122
QS. al-Baqarah [2]: 178.
85
Meskipun „saudara‟ berhak menuntut balas karena korban memiliki aliran darah
yang sama, namun Allah lebih mengedepankan hubungan seiman dari semua
hubungan persaudaraan.123
Menurut Imam Syȃfi‟ȋ, ayat ini menegasi tentang kemaafan untuk konteks
tindak pidana pembunuhan dengan sengaja.124
Tawaran pemberian maaf kepada
pelaku pembunuhan dengan sengaja ini lagi-lagi dilatarbelakangi oleh fenomena
yang terjadi pada sebagian masyarakat Jahiliyah, mereka menuntut dengan tegas
agar setiap orang yang membunuh orang lain juga dibunuh.125
Jauh sebelum masa Jahiliyah, umat Nabi Musa juga sudah mengenal
adanya hukum qisȃs yang diberikan kepada pelaku pembunuhan. Namun
ketentuan hukum mereka tidak mengenal adanya pemberian maaf bagi yang
menghilangkan nyawa orang lain. Bertolak belakang dengan ketentuan ini, pada
umat Nabi Isa justru pemberian maaf merupakan sebuah kewajiban agama yang
harus dilaksanakan, dan qisȃs cenderung dilarang untuk diterapkan. Setelah Islam
datang, kewajiban qisȃs pada umat Nabi Musa dan kewajiban pemberian maaf
pada umat Nabi Isa dipadukan, sehingga kedua kewajiban itu menjadi semacam
tawaran atau pilihan hukum dengan tambahan tawaran pemberian diat bagi
keluarga korban untuk menentukan pilihan hukumnya karena salah seorang di
antara mereka dilenyapkan nyawanya secara sengaja oleh orang lain.126
Ketentuan
pemberian maaf dipertegas oleh hadis Nabi yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi
dari Abu Syuraih al-Ka‟bi yang isinya
123
Muhammad Mutawally Sya„rȃwȋ, Tafsȋr al-Sya„rȃwȋ… jil. V, h.761. 124
asy-Syȃfi„ȋ, al-Umm (Beirȗt: Dȃr al-Fikr,1985), juz V, h. 4,6,13. 125
asy- Syȃfi„ȋ, al-Umm.. 9. 126
asy- Syȃfi„ȋ, al-Umm.. 9.
86
من قتل لو قتيل ف هو بير النظرين اما ان ي عفوا واما ان ي قتل
Artinya: Barangsiapa yang salah seorang anggota keluarganya dibunuh
maka keluarganya dihadapkan pada dua pilihan hukum, jika mereka mau, mereka
dapat mengeksekusi mati (qisâs) bagi pembunuh, dan jika mereka mau, mereka
dapat menerima diyȃt. (HR. Al-Tirmidzi)
Dalam ayat lain Allah juga memberikan pilihan terhadap ahli waris. Dalam
QS. Al-Isra' [17]: 33
رف ف ول ت قت لوا الن فس ال حرم الل إل بلق ومن قتل مظلوما ف قد جعلنا لوليو ولطانا فلا ي 127(٪٪القتل إنو كان منصورا )
Artinya: dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. dan barangsiapa
dibunuh secara zalim, maka Sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan
kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam
membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan.
Pemaafan dalam masalah pembunuhan ini menjadi salah satu syarat
gugurnya hukum qisȃs ke diyȃt terhadap pelaku pembunuhan. jika keluarga
korban memaafkan. maka, ahli waris berhak meminta diyȃt. Jika meminta diyȃt
maka pelaku wajib membayarnya tanpa mengulur-ngulur waktu. namun di
samping itu ahli waris boleh pula memaafkan tanpa meminta diyȃt, dengan dalil
firman Allah swt dalam QS. An-Nisȃ‟
قوا ) أىلو إل أن يصد لمة إ 128(٩ودية م
Artinya: serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (yang
terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah
127
QS. Al-Isra' [17]: 33. 128
QS. An-Nisȃ‟ [4]: 92.
87
Pemaafan dalam pandangan Wahbah Zuhaylȋ merupakan keringanan dan
pemudahan dari Tuhan serta rahmat bagi kalian. Dan rahmat apa yang lebih baik
daripada mempertahankan kehidupan dan tidak menumpahkan darah.
Pengambilan diyȃt dulu tidak disyariatkan bagi kaum Yahudi, para wali yang
terbunuh hanya punya pilihan untuk rnenuntut qisȃs. Barangsiapa melampaui
batas sesudah mengambil diyȃt dan ia membunuh seorang pembunuh, atau ia
melampaui batas apa yang kami syariatkan dan kembali ke kebiasaan Jahiliyah,
maka baginya adzab yang sangat pedih pada hari kiamat. Jadi, kedua macam
keringanan itu ada, karena kaum Yahudi hanya punya hukum qisȃs, sedang kaum
Nasrani hanya punya pilihan untuk memaafkan tanpa Diyȃt.129
Wahbah Zuhaylȋ menyebutkan bahwa syari‟at Allah adalah aturan yang
paling adil, paling bijaksana, dan paling tepat, karena Allah lebih mengetahui apa
yang cocok bagi manusia sebagai petunjuk dalam mendidik semua umat dan
bangsa. Dalam hal ini, syari‟at Islam membolehkan pengambilan diyȃt sebagai
ganti dari qisȃs. Dengan kata lain, apabila pelaku pembunuhan mendapat maaf
atas tindakannya dari pihak wali korban, meskipun yang memberi maaf tersebut
hanya satu orang dari beberapa wali, maka maaf tersebut menjadi penggugur
hukuman qisȃs dan berubah menjadi diyȃt. Dalam hal ini, orang yang memberi
maaf tersebut dan orang lain wajib berlaku baik dalam menuntut diyȃt, tanpa
memberatkan yang pembayar diyȃt, dan yang pembayar diyȃt pun tidak mengulur-
ulurkan waktu untuk membayarnya. Bahkan, pemberian maaf tersebut dapat
diiringi dengan tanpa pembayaran diyȃt.
129
Wahbah Zuhaylȋ, Tafsȋr al Munȋr fȋ al Aqȋdah wa Syarȋah wa al manhȃj...Jilid I, h. 471
88
Diyȃt terhadap pembunuhan dalam kifātul akhyār masuk dalam kategori
diyȃt berat, yaitu 30 ekor (hiqqah) unta betina umur tiga masuk empat tahun, 30
ekor (jadza‟ah) unta betina umur empat tahun masuk lima tahun, 40 ekor (khilfah)
unta betina yang sudah bunting. Dalam artian diyȃt pada seorang muslim merdeka
sebanyak seratus unta. Demikian ditentukan oleh Rasulullah saw di dalam
suratnya ke negeri Yaman. Ibnu yunus mengakui ketentuan tersebut sudah
merupakan ijma‟.130
Hamka menjelaskan dalam tafsirnya bahwa ahli waris atau keluarga
korban berhak menuntut keadilan ke pihak yang berwenang dalam hal ini bisa
hakim pengadilan atau pemerintah atas hilangnya nyawa anggota keluarga korban.
Adapun sanksi yang diberikan sesuai dengan kewenangan hakim bisa dengan
qisȃs atau membayar diyȃt ganti rugi. Pemberian sanksi ini harus berdasarkan
prikemanusiaan yang memang Islam menjunjung tinggi harga nyawa dengan
kemanusiaan.131
Bisa dipahami jika sanksi yang diberikan berupa diyȃt atau pembayaran
denda terhadap keluarga korban, maka hal ni bisa dimediasi oleh pemerintah demi
keadilan bersama. Kesepakatan dalam musyawarah di antara kedua pihak antar
pelaku dan keluarga korban diharapakan bisa dipahami bersama dan tetap
menjalin silaturrahmi dengan baik dengan menghilangkan segala prasangka buruk
bahkan balas dendam. Hal ini menandakan bahwa Islam menjunjung tinggi
perdamaian dan persaudaraan sebagai ganti dendam di masa jahiliyah yang
dipakai suku-suku pada saat itu.
130
Taqiyuddȋn abȗ bakar bin muhammad al Husainȋ, Kifȃyatul akhyȃr fȋ hȃli ghȃyati al
Ikhtisȃr (Beirut: Dār al Kutub al Ilmiyah, 2001) 602-603. 131
Hamka, Tafsir Al-Azhar (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1999), Juz XV h. 61.
89
b. Sanksi pembunuhan tidak sengaja
Salah satu bentuk hukuman terhadap pelaku pembunuhan adalah
memerdekakan budak, membayar diyȃt, dan berpuasa dua bulan berturut-turut
sebagaimana firman Allah QS. An Nisa‟ [4]: 92
وما كان لمؤمن أن ي قتل مؤمنا إل خطأ ومن ق تل مؤمنا خطأ ف تحرير رق بة مؤمنة ود لمة إ ية مقوا فإن كان من ق وم عدو لكم وىو مؤمن ف تحرير رق بة مؤمنة وإن كان من ق وم أىلو إل أن يصد
د فصي أىلو وترير رق بة مؤمنة فمن ل ي لمة إ ن هم ميثاق فدية م نكم وب ي ام شهر ب ي ين مت تابع عليما حكيما ) 132(٩ت وبة من الل وكان الل
Artinya: dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang
mukmin (yang lain), kecuali karena tidak sengaja, dan barangsiapa membunuh
seorang mukmin karena tidak sengaja hendaklah ia memerdekakan seorang
hamba sahaya yang beriman serta membayar diyȃt yang diserahkan kepada
keluarganya (yang terbunuh), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh)
bersedekah. jika ia (yang terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada Perjanjian
(damai) antara mereka dengan kamu, Maka (hendaklah seorang pembunuh)
membayar diyȃt yang diserahkan kepada keluarganya (yang terbunuh) serta
memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa yang tidak
memperolehnya, maka hendaklah ia (pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-
turut untuk penerimaan taubat dari pada Allah. dan adalah Allah Maha
mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Pada ayat ini dijelaskan bahwa sanksi pembunuhan tidak sengaja hanya di
peruntukkan kepada pembunuh yang mukmin, hukuman yang dijatuhkan kepada
orang yang melakukan pembunuhan tidak sengaja ada dua, yaitu membebaskan
seorang budak Mukmin dan membayar harta tebusan yang diberikan kepada
keluarga terbunuh. Kewajiban pertama berupa membebaskan budak Mukmin itu
merupakan tebusan karena telah melaksanakan dosa besar, yaitu membuat orang
lain kehilangan nyawa, meskipun tidak disengaja. Adapun kewajiban kedua
132
QS. An-Nisa‟ [4]: 92.
90
berupa membayar diyȃt (harta tebusan) merupakan ganti rugi atas keluarga yang
merasa kehilangan dengan meninggalnya orang yang terbunuh.
Syarat pelaksanaan kewajiban pertama ini yaitu budak yang dibebaskan
haruslah seorang budak yang Mukmin. Namun para ulama berdeda pendapat
tentang budak yang seperti apa yang harus di merdekakan.
Al-Qurtȗbȋ menjelaskan bahwa Ibnu Abbȃs, al-Hasan, al-Sya‟bi, Al-
Nakhaȋ, Qatadah dan lainnya berkata: “Seorang budak wanita yang beriman
adalah yang menunaikan shalat dan beriman dan tidak dibolehkan rnemerdekakan
budak wanita kecil, dan pendapat ini sahih. „Ata' dan Ibnu Abu Rabaah berkata,
"Dibolehkan memerdekakan budak wanita yang masih kecil yang lahir di tengah
tengah kaum muslimin. Sekelompok ulama seperti Imȃm Mȃlik dan Imȃn -Syȃfi‟ȋ
berkata: Dibolehkan memerdekakan budak wanita yang dishalati jika ia wafat.
Malik berkata “Aku lebih menyukai memerdekakan budak yang shalat dan
berpuasa”. dan seluruh ulama sepakat tidak membolehkan memerdekakan budak
yang buta, lumpuh, buntung kedua tangan dan kakinya, atau yang semisalnya.
Hanya saja kebanyakan ulama membolehkan memerdekakan budak yang pincang
atapun buta sebelah matanya. Mȃlik menambahkan, "Kecuali budak yang sangat
pincang." Malik, Syȃfi‟ȋ, dan kebanyakan ulama tidak membolehkan
memerdekakan budak yang salah satu kaki atau tangannya buntung, Namun Abȗ
Hanȋfah dan sahabat-sahabatnya mernbolehkan hal tersebut.133
Sedangkan wahbah Zuhaylī tidak memberikan persyaratan yang rinci
terhadap budak yang harus dimerdekakan. Hanya budak yang mukmin yang harus
dimerdekakan. Karena itu, jika budak yang dibebaskan adalah seorang kafir, hal
133
Abȋ „Abd lillȃh Muhammad bin Ahmad al-Ansȃrȋ Al-Qurṭȗbȋ, al-Jȃmi‟ li Ahkȃm al-
Qur‟ȃn.. Juz VII, h. 10.
91
itu tidak sah. Menurut pendapat mayoritas ulama, jika budak yang dibebaskan
adalah seorang yang Mukmin, hal itu sah, baik budak itu masih anak-anak
maupun dewasa, meskipun budak itu dimiliki oleh atau dibebaskan dari seorang
yang kafir.134
Memerdekakan budak ini berlaku kepada pembunuh yang mukmin jika
korbannya adalah orang mukmin atau orang kafir yang mengadakan perjanjian
damai dengan kaum muslimin. Pendapat ini merupakan pendapat dari abu Hanifah
yang didasarkan pada apa yang tersurat dalam ayat ( اق ث ي ه ن ه ني ب و ن ك ن ي ب م ى ق ن ه ) yaitu
kaum kafir yang mengadakan perjanjian perdamaian dengan kaum muslimin dan
kaum kafir yang tinggal di negeri kaum muslimin dengan membayar sejumlah
pajak (jaminan).135
Kewajiban kedua: berupa membayar diyȃt (harta tebusan) merupakan
ganti rugi atas keluarga yang merasa kehilangan dengan meninggalnya si
terbunuh. Allah tidak menjelaskan secara detail di dalam al-Qur‟ȃn tentang apa
yang harus dibayar sebagai diyȃt, sebab yang diwajibkan di dalam ayat adalah
diyȃt yang tidak dibatasi bilangannya. Penjelasan tersebut disebutkan dalam
hadis bahwa harta tebusan itu berupa seratus ekor unta. Juga disebutkan bahwa
jika yang terbunuh adalah seorang perempuan harta tebusan yang dibayarkan
adalah separuh dari harta tebusan jika yang terbunuh adalah seorang laki-laki.
Dalam Kifȃyatul Akhyȃr disebutkan tentang pembagian diyȃt seratus ekor
unta untuk pembunuhan tersalah 20 ekor (hiqqah) unta betina umur tiga tahun
masuk empat tahun, 20 ekor (jadza‟ah) unta betina umur empat tahun masuk
134
Wahbah Zuhaylȋ, Tafsȋr al Munȋr fȋ al Aqȋdah wa Syarȋah wa al manhȃj…, Jilid III, h.
210. 135
Wahbah Zuhaylȋ, Tafsȋr al Munȋr fȋ al Aqȋdah wa Syarȋah wa al manhȃj…, Jilid III, h.
213.
92
lima tahun, 20 ekor (binti labun) unta betina umur dua masuk tiga tahun, 20 ekor
(ibni labun) unta jantan umur dua masuk tiga tahun, 20 ekor (binti mukhadh)
unta betina umur satu masuk dua tahun.136
Dan ini juga diriwayatkan oleh Imȃm
Ahmad dan ulama-ulama lain dari Ibnu Mas‟ȗd.137
Ketentuan ini berlaku jika
korbannya adalah laki-laki. Dalil tersebut adalah hadis yang diriwayatkan Ibnu
Mas‟ȗd r.a, bahwa Nabi saw bersabda:
دية الطأ اخاس Artinya: “diyȃt pembunuhan tersalah ialah dibagi lima.”
Berbeda jika korbannya adalah wanita. Para ulama sepakat bahwa diyȃt
(denda) seorang wanita adalah separuh denda seorang laki-laki. Abȗ Umar
berkata: “Alasan menjadikan diyȃt (denda) seorang wanita adalah separuh denda
seorang laki-laki adalah bedasarkan pembagian warisan, sebagaimana wanita
mendapatkan separuh dari warisan laki-laki.138
Para ulama sepakat bahwa diyȃt bagi orang yang memiliki unta adalah
seratus unta, dan mereka berbeda pendapat bagi yang tidak memiliki unta.
Sekelompok ulama berkata: Diyȃt bagi yang memiliki emas adalah seribu dinar.
Pendapat ini merupakan pendapat mȃlik, ahmad, ishȃq, kelompok yang
berlandaskan rasio dan salah satu pendapat lama Syȃfi‟ȋ. Hal ini diriwayatkan dari
Umar, Urwah bin Zubair dan Qatadah. Sedangkan orang yang hanya memiliki
136
Taqiy al-dȋn al-Husainȋ, Kifȃyatul Akhyȃr fȋ halli Ghȃyah al-Ikhtisȃr ...h. 603. 137
Wahbah Zuhaylȋ, Tafsȋr al Munȋr fȋ al Aqȋdah wa Syarȋah wa al manhȃj…Jilid III, h.
211. 138
Wahbah Zuhaylȋ, Tafsȋr al Munȋr fȋ al Aqȋdah wa Syarȋah wa al manhȃj... Juz VII, h.
28.
93
perak maka wajib membayar dua belas ribu dirham. Pernyataan ini merupakan
pernyataan malik yang ia riwayatkan dari umar.139
Wahbah zuhaylī menjelaskan bahwa tebusan dibayarkan sesuai harta yang
dimiliki. Orang yang memiliki emas membayar tebusan berupa seribu dinar, orang
yang memiliki perak membayar tebusan berupa sepuluh ribu dirham (menurut
madzhab Hanafi) atau dua belas ribu dirham (menurut Jumhur), dan orang yang
memiliki unta membayar seratus ekor unta. Imam Syafii berkata:”Orang yang
memiliki emas atau perak cukup diminta membayar tebusan dengan emas atau
peraknya seharga seratus ekor unta.140
Pembayaran diyȃt ini wajib dilakukan jika korbannya adalah orang
mukmin atau orang kafir yang memiliki perjanjian perdamaian dengan kaum
muslimin. Akan tetapi menurut pendapat malik, diyȃt yang harus dibayarkan atas
terbunuhnya kaum mu‟ahidin (kaum kafir yang memiliki pejanjian perdamaian
dengan kaum muslim) adalah setengah dari diyȃt yang harus dibayarkan atas
terbunuhnya kaum muslim.141
Berdasarkan hadis Rasulullah yang diriwayatkan
oleh Ahmad dan Tirmidzȋ.
لم –دية –عقل الكافر نصف دية الم Artinya: diyȃt orang kafir itu setengah dari diyȃt orang Muslim (HR.
Imam Ahmad dan Tirmidzȋ)
139
Abȋ „Abd lillȃh Muhammad bin Ahmad al-Ansȃrȋ Al-Qurṭȗbȋ, al-Jȃmi‟ li Ahkȃm al-
Qur‟ȃn.. Juz VII, h. 12. 140
Wahbah Zuhaylȋ, Tafsȋr al Munȋr fȋ al Aqȋdah wa Syarȋah wa al manhȃj.Jilid III, h.
211. 141
Wahbah Zuhaylȋ, Tafsȋr al Munȋr fȋ al Aqȋdah wa Syarȋah wa al manhȃj.Jilid III, h.
214.
94
Sedangkan menurut Syȃfi‟ȋ adalah sepertiga dari diyȃt orang muslim. Baik
disengaja atau tidak disengaja142
Selain dua kewajiban tersebut al-Qur‟ȃn memberikan keringanan bagi
pelaku pembunuhan yang tidak mampu memerdekakan budak atau yang tidak
menemukan adanya budak seperti yang terjadi saat ini (kewajiban islam memang
untuk menghilangkan perbudakan), ia wajib menggantinya dengan puasa selama
dua bulan berturut-turut menurut hitungan qomariyah. Puasa tersebut tidak boleh
terputus satu hari pun tanpa alasan yang dibenarkan oleh syariat islam. jika
terputus satu hari, ia harus mengulanginya dari awal lagi.143
Kecuali wanita haid
ia cukup melengkapi sisa puasanya.144
142
Wahbah Zuhaylȋ, Tafsȋr al Munȋr fȋ al Aqȋdah wa Syarȋah wa al manhȃj Jilid III, h.
214. 143
Abȋ „Abd lillȃh Muhammad bin Ahmad al-Ansȃrȋ Al-Qurṭȗbȋ, al-Jȃmi‟ li Ahkȃm al-
Qur‟ȃn.. Juz VII, h. 31. 144
Abȋ „Abd lillȃh Muhammad bin Ahmad al-Ansȃrȋ Al-Qurṭȗbȋ, al-Jȃmi‟ li Ahkȃm al-
Qur‟ȃn.. Juz VII, h. 31.
95
BAB IV
RELEVANSI PEMBUNUHAN SAAT INI
Pembahasan bab ini akan mencari relevansi pembunuhan dalam al-Qur‟ȃn
dengan saat ini. pembahasan tentang niat, pelaku dan korban, serta sanksi pada
bab sebelumnya menjadi pedoman untuk menemukan relevansinya terhadap
pembunuhan saat ini. tentu relevansi pembunuhan dengan saat ini seperti narkoba,
terorisme, korupsi, perampokan dengan pembunuhan (begal) merupakan contoh-
contoh pembunuhan yang bisa digambarkan dan dihubungkan dengan
pembunuhan dalam al-Qur‟ȃn. serta relevansi hukuman pembunuhan saat ini
tentunya tidak terlepas dari Maqȃsid al-Syarȋ’ah dalam menghukumi pelaku
pembunuhan.
A. Relevansi Pembunuhan
Kata relevansi berasal dari bahasa Inggris relevance yang secara
estimologis berarti “keperluan, hubungan, pertalian, sangkut paut”.1 Di dalam
bahasa Indonesia, kata relevansi mengandung arti “hubungan atau kaitan”.
Sedangkan relevan berarti “kait mengait, bersangkut paut, berguna secara
langsung.”2 Yang dimaksudkan dengan relevansi di dalam pembahasan berikut ini
ialah hubungan pembunuhan serta kegunaan penerapan atau pelaksanaan hukum
yang yang ada dalam al-Qur‟ȃn dengan situasi dan kondisi di zaman sekarang,
ditinjau dari beberapa aspek, pola pikir dan cara-cara al-Qur‟ȃn dalam
menjelaskan tentang pembunuhan.
1 John M. Schols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia (Jakarta: PT Gramedia,
1978), hal. 475. 2 Anton M. Moeliono, (Penyunting Penyelia Tim Penyusun Besar Bahasa Indonesia),
Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan R.I, 1979), hal.
738.
96
Situasi dan kondisi zaman sekarang sangat jauh berbeda dengan situasi
dan kondisi pada saat al-Qur‟ȃn diturunkan. Kemajuan yang dicapai oleh umat
manusia dalam berbagai aspek kehidupannya sangat cepat dengan makin
berkembangnya ilmu pengetahuan den teknologi, suatu kemajuan yang tidak
terjadi di zaman al-Qur‟ȃn diturunkan. Namun dari situasi dan kondisi yang
sangat berbeda tersebut terdapat titik persamaan, yaitu terjadinya perubahan
dalam kehidupan masyarakat yang melahirkan sejumlah problem yang harus
dipecahkan oleh Islam agar tujuan diturunkannya syariat dapat tercapai.
Al-Qur‟ȃn adalah firman Tuhan yang suci. Dengan firman itu Allah
menyampaikan kehendak-Nya kepada umat manusia. Kehendak tersebut
selanjutnya dilembagakan dalam bentuk syari‟at yang bersifat tetap dan abadi.
Permasalahannya sekarang adalah bagaimana menempatkan kehendak Tuhan
yang abadi di tengah-tengah kehidupan masyarakat yang dinamis dan selalu
berubah dengan adanya perubahan waktu dan zaman, sementara umat Islam
dituntut agar dapat melaksanakan kehendak Tuhan tersebut dalam kehidupan
nyata sehari-hari yang selalu berkembang.
Perubahan kehidupan masyarakat Islam yang memerlukan penyelesaian
hukum secara utuh dan menyeluruh sesuai ajaran al-Qur‟ȃn dapat kita rasakan
sekarang ini. Situasi dan kondisi sekarang berbeda dengan situasi dan kondisi
pada saat Rasulullah masih hidup. Setelah kewafatan Rasulullah saw, banyaklah
timbul permasalahan baru sesuai dengan pergeseran nilai dan perubahan sosial
yang terjadi terutama yang dihadapi masyarakat sangat berbeda dari zaman
Rasulullah saw. Melihat keadaan ini tampaknya perlu adanya pegangan kepada
umat Islam dalam menghadapi perkembangan sosial ini dengan cara mengerahkan
97
kemampuannya untuk menggali dan memahami tujuan-tujuan Syari‟at (maqȃsid
al-syarȋ’ah) yang terdapat di dalam al-Qur‟ȃn.
Pengetahuan dan pemahaman yang mendalam terhadap maqȃsid al-
syarȋ’ah3 inilah yang sangat menentukan keberhasilan seorang mujtahid dalam
menetapkan hukum terhadap kondisi yang dihadapinya. Dengan cara seperti itu
setiap persoalan yang timbul dapat diselesaikannya. Dalam hubungan ini, kajian
terhadap maqȃsid syarȋ’ah memegang posisi kunci dalam berijtihad, dan sangat
penting artinya untuk bisa menerapkan hukum sesuai dengan perkembangan
zaman. Dengan pola pikir ijtihad ini membuat hukum Islam menjadi elastis,
fleksibel, dan dinamis. Dengan demikian, bagaimana keadaan zaman, kondisi
yang berubah dengan sejumlah permasalahan yang dihadapi, maka hukum Islam
tetap mampu menghadapi dan menyelesaikannya. Tentu sangat relevan untuk
zaman sekarang dan mungkin pula untuk kurun yang akan datang.
Dari hasil penelitian pakar hukum Islam tujuan umum yang hendak
dicapai syar‟ȋ dalam menurunkan syarȋ‟atnya adalah untuk kemaslahatan umat
manusia, baik di dunia maupun di akhirat.4
Aksentuasi (pengutamaan) kepada dunia dan akhirat merupakan hal penting
yang membedakan antara hukum syari‟at Islam dengan hukum-hukum yang lain
yang hanya berorientasi kepada kemaslahatan duniawi semata. Karena itu, segala
sesuatu yang tidak mendukung terwujudnya kemaslahatan akhirat, bukanlah
kemaslahatan yang menjadi tujuan Syari‟at (maqȃsid al-syarȋ’ah). Dalam
3maqȃsid al-syarȋ’ah adalah tujuan-tujuan yang hendak dicapai syar‟i dalam
mensyariatkan hukumnya, mengkaitkan maqȃsid syarȋ’ah dengan perubahan sosial, berarti pintu
ijtihad itu tidak pernah tertutup sampai akhir zaman, sebab perubahan sosal senantiasa terjadi
sesuai dengan perkembangan dan kemajuan masyarakat itu sendiri. Lihat Abȋ Ishȃq al-Syatibȋ, al-
Muwȃfaqȃt fȋ usul al-syarȋ’ah (Beirȗt: Dar-al ma‟rifah, 1975), Juz II, h. 90 4 Abȋ Ishȃq al-Syatibȋ, al-Muwȃfaqȃt fȋ usul al-syarȋ’ah (Beirȗt: Dar-al ma‟rifah, 1975),
Juz II, h. 5
98
hubungan ini para pakar hukum Islam mengatakan bahwa hukum Syari‟at adalah
wadah kemaslahatan yang hakiki. Tidak ada satu pun hukum syari‟at yang tidak
mengandung kemaslahatan sebagai inti pokoknya, sebagaimana disebutkan al-
Syatibi.
ا ىو 5ا من الشمري عة ان مها وضعة لمصالح العباد نست قري ن ٳوالمعتمد انم Artinya: dan yang mu’tamad jika diteliti hukum syari’at satu persatu
(nyatalah) bahwa syari’at di ciptakan untuk kemaslahatan para hamba.
Kemaslahatan yang dimaksud, menurut ulama syari‟at adalah:
فعة المت قصدىا الشمارع الكيم لعباده من حفظ دينهم ون فوسهم وعقولم ون سهم واموالم ب المن ن ها فيما ب ي 6ت رتيب معيم
Artinya: Manfaat yang menjadi tujuan Syar’ȋ untuk hamba-hambanya
untuk memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta sesuai dengan
susunan yang ditentukan.
Menurut telaah historis, Imam al-Haramain al-Juwainȋ dapat dikatakan
sebagai ahli ushul pertama yang menekankan pentingnya memahami Maqȃsid al-
Syarȋʻah dalam menetapkan hukum Islam. Ia secara tegas mengatakan bahwa
seseorang tidak dapat dikatakan mampu menetapkan hukum dalam Islam sebelum
ia memahami benar-benar tujuan Allah mengeluarkan perintah-perintah dan
larangan-larangan-Nya. Pada prinsipnya Al-Juwainȋ membagi tujuan tasyrȋ‟
menjadi tiga macam7, yaitu darȗriyyat, hajiyat, dan mukramȃt. Pemikiran al-
Juwainȋ terebut dikembangkan oleh muridnya, al-Ghazalȋ, yang menjelaskan
maksud syari‟at dalam kaitannya dengan pembahasan al-munasabȃt al-maslȃhiyat
dalam qiyȃs. Maslahat menurut al-Ghazalȋ dicapai dengan cara menjaga lima
5 Abȋ Ishȃq al-Syatibȋ, al-Muwȃfaqȃt fȋ usul al-syarȋ’ah.., Juz II, h. 6-7
6 Muhammad Saȋd Ramadȃn al-Buti, Dawȃbit al-Maslahah fȋ al-Syarȋ’ah al-Islȃmiyah
(Beirut: Muassasah al-Risalah, 1977), h. 23 7 Abd al-Mȃlik ibn Yȗsuf al-Juwainȋ, al-Burhȃn fȋ Usȗl al-Fiqh, (Kairo: Dȃr al-Ansȃr,
1400 H), h. 295
99
kebutuhan pokok manusia dalam kehidupannya, yaitu memelihara agama, jiwa,
akal, keturunan, dan harta.8
Izzuddin ibn Abd al-Salam dari mazhab Syafȋ‟iyah secara khusus
membahas Maqȃsid al-Syarȋʻah. Ia lebih banyak menekankan dan mengelaborasi
konsep maslahat secara hakiki dalam bentuk menolak mafsadat dan menarik
manfaat. Menurutnya taklȋf harus bermuara pada terwujudnya kemaslahatan
manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Berdasarkan penjelasan ini, dapat
dikatakan bahwa Izzuddȋn ibn Abd al-Salȃm telah berusaha mengembangkan
konsep maslahat yang merupakan inti pembahasan dari Maqȃsid al-Syarȋʻah.9
Pembahasan tentang Maqȃsid al-Syarȋʻah secara khusus, sistematis dan
jelas dilakukan oleh al-Syȃtibȋ dalam kitabnya al-Muwafaqȃt yang sangat terkenal
itu. Di situ ia secara tegas mengatakan bahwa tujuan Allah menetapkan hukum-
hukum-Nya adalah untuk terwujudnya kemaslahatan hidup manusia, baik di dunia
maupun di akhirat. Oleh karena itu, taklȋf hukum harus mengarah pada realisasi
tujuan hukum tersebut.
Wahbah al-Zuhaylȋ dalam bukunya menetapkan syaratsyarat Maqȃsid al-
Syarȋʻah. Menurutnya bahwa sesuatu baru dapat dikatakan sebagai Maqȃsid al-
Syarȋʻah apabila memenuhi empat syarat berikut10
, yaitu :
1. Harus bersifat tetap, maksudnya makna-makna yang dimaksudkan itu
harus bersifat pasti atau diduga kuat mendekati kepastian.
8 al-Ghazȃlȋ, Al-Mustasfȃ min ‘Ilm al-Usȗl, (Beirȗt: Dȃr al-Fikr, tth), h. 251
9 Amir Mu'alim dan Yusdani, Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam, (Yogyakarta, UII
Press, 2001), h. 51 10
Wahbah al-Zuhaylȋ, Usȗl al-Fiqh al-Islȃmȋ…h. 1019
100
2. Harus jelas, sehingga para fuqaha tidak akan berbeda dalam penetapan
makna tersebut. Sebagai contoh, memelihara keturunan yang
merupakan tujuan disyariatkannya perkawinan.
3. Harus terukur, maksudnya makna itu harus mempunyai ukuran atau
batasan yang jelas yang tidak diragukan lagi. Seperti menjaga akal
yang merupakan tujuan pengharaman khamr dan ukuran yang
ditetapkan adalah kemabukan.
4. Berlaku umum, artinya makna itu tidak akan berbeda karena perbedaan
waktu dan tempat. Seperti sifat Islam dan kemampuan untuk
memberikan nafkah sebagai persyaratan kafa‟ah dalam perkawinan
menurut mazhab Maliki.
Lebih lanjut, al-Syatibȋ dalam uraiannya tentang Maqȃsid al-Syarȋʻah
membagi tujuan syari‟at itu secara umum ke dalam dua kelompok, yaitu tujuan
syari‟at menurut perumusnya (syar’ȋ) dan tujuan syari‟at menurut pelakunya
(mukallaf). Maqȃsid al-Syarȋʻah dalam konteks Maqȃsid al-Syar’ȋ meliputi empat
hal,11
yaitu :
1. Tujuan utama syari‟at adalah kemaslahatan manusia di dunia dan di
akhirat.
2. Syari‟at sebagai sesuatu yang harus dipahami.
3. Syari‟at sebagai hukum taklifi yang harus dijalankan.
4. Tujuan syari‟at membawa manusia selalu di bawah naungan hukum.
Keempat aspek di atas saling terkait dan berhubungan dengan Allah
sebagai pembuat syari'at (syar’ȋ). Allah tidak mungkin menetapkan syari‟at- Nya
11
Al-Syatibȋ, Al-Muwȃfaqȃt fȋ Usȗl al-Syarȋ'ah, (Riyad: Maktabah al-Riyadh al-
Hadȋtsah, tth), h. 70
101
kecuali dengan tujuan untuk kemaslahatan hamba-Nya, baik di dunia maupun di
akhirat kelak. Tujuan ini akan terwujud bila ada taklif hukum, dan taklif hukum
itu baru dapat dilaksanakan apabila sebelumnya dimengerti dan dipahami oleh
manusia. Oleh karena itu semua tujuan akan tercapai bila manusia dalam
perilakunya sehari-hari selalu ada di jalur hukum dan tidak berbuat sesuatu
menurut hawa nafsunya sendiri.
Pemeliharaan terhadap lima pokok ini ditinjau dari segi kebutuhan dan
kekuatannya, terbagi pula kepada tiga kategori, yaitu darȗriyyat, hȃjiyyat, dan
tahsiniyyat.12
Yang dimaksud dengan darȗriyyat adalah segala sesuatu yang harus ada
untuk tetap eksisnya kehidupan umat manusia, baik kehidupan keagamaan
maupun keduniaan. Apabila hal-hal yang bersifat darȗry itu tidak dipelihara,
maka kehidupan manusia akan binasa dan di akhirat akan mendapat azab yang
pedih. Memelihara darȗriyyat berarti memelihara eksistensi lima dasar
kemaslahatan di atas (agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta benda). Posisinya
berada pada posisi paling utama (primer) demi tegaknya kemaslahatan hidup
manusia di dunia dan di akhirat. Dalam bidang ibadah seperti beriman, Shalat,
puasa, haji dimaksudkan untuk memelihara eksistensi agama. Di bidang adat
(kebiasaan) seperti makan dan minum merupakan usaha untuk memelihara jiwa
dan akal. Di bidang munakahat untuk memelihara eksistensi keturunan. Demikian
selanjutnya dalam bidang muamalat pemilikan harta dan usaha
mempertahankannya.
Cara memelihara darȗriyyat ini dilakukan dengan dua bentuk:13
12
Abȋ Ishȃq al-Syatibȋ, al-Muwȃfaqȃt fȋ usul al-syarȋ’ah.., Juz II, h. 8. Lihat juga Wahbah
al-Zuhaylȋ, Usȗl al-Fiqh al-Islȃmȋ…h. 1020-1023
102
1. Menciptakan sesuatu yang dapat memperkokohkan ekeistensinya:
ما يقيم اركان ها وي ثبت ق واعدىا وذالك عبارة عن مراعتها من جانب الوجود
Artinya: Sesuatu yang meneguhkan sendi-sendinya dan mengokohkan
fondasi-fondasinya. Yang demikian itu adalah ibarat dari memeliharanya ditinjau
dari sudut perwujudannya.
Dengan kata lain, cara yang pertama ini ialah melakukan segala sesuatu
yang menjadi sebab terwujudnya kemashlahatan darȗriyyat tersebut.
2. Melakukan sesuatu yang dapat mencegah terjadinya kerusakan
terhadap hal-hal yang darȗriyyat, yang mungkin terjadi atau
diperkirakan akan terjadi.
ها وذالك عبارة عن مراعا تا من جانب ختلل الواقع اوالمت وقمع في ها ال العد مايدراء عن
Artinya. Sesuatu yang menolak terjadinya kerusakan (kecederaan) atau
dikhawatirkan akan terjadi. Yang demikian itu ialah ibarat memeliharanya
ditinjau dari aspek ketiadaan (memelihara agar tidak hilang).
Dengan kata lain, meninggalkan sesuatu yang dapat membawa kepada
kerusakan kebutuhan yang lima (al-Masalih al-Khams).
Yang dimaksudkan dengan hȃjiyyat ialah segala sesuatu yang diperlukan
oleh umat manusia untuk menghindarkan diri dari kesulitan-kesulitan dan
menghilangkan kepicikan. Posisi hȃjiyyat berada di bawah darȗriyyat. tetapi tetap
diperlukan agar manusia dapat untuk memelihara kebutuhan yang lima (al-
Masalih al-Khams) contohnya mengerjakan shalat begitu juga puasa adalah
kemashlahatan darȗriyyat dalam memelihara eksistensi agama. Tapi bagi orang
yang musafir dalam melaksanakan shalat dan puasa menghadapi kesulitan
13
Abȋ Ishȃq al-Syatibȋ, al-Muwȃfaqȃt fȋ usul al-syarȋ’ah.., Juz II, h. 8
103
(masyaqqah). Karena itu syari‟at memberikan keringanan (rukhsah) bagi mereka
untuk mengerjakan shalat dengan jama', qasar, dan puasa di hari lain.
Selanjutnya yang dimaksudkan dengan tahsiniyyat adalah segala sesuatu
yang dapat menunjang dan menyempurnakan kebutuhan yang lima (al-Masalih
al-Khams). ini berorientasikan kepada kemuliaan akhlak (makȃrim al-akhlȃq)
baik dalam bidang ibadah maupun dalam mu‟amalat, seperti menutup aurat dalam
shalat, menjauhi yang kotor-kotor dalam bersuci, sopan santun makan dan minum
dan tata cara pergaulan sebagai suami isteri. Tidak terwujud dan terpelihara
kebutuhan tahsiniyyat ini, tidaklah membawa seorang mukallaf kepada
kesempitan, dan tidak pula meruntuhkan eksistensi kebutuhan yang lima (al-
Masalih al-Khams). tetapi menyalahi kepatutan dan menurunkan martabat pribadi
dan masyarakat.14
perlu ditegaskan bahwa ketiga kategori tersebut Yaitu
darȗriyyat, hȃjiyyat, dan tahsiniyyat ini merupakan suatu kesatuan yang sulit
untuk dipisahkan jika tujuan Syar‟i ingin dicapai secara utuh dan sempurna.
Jenis kedua adalah maslahat yang dilihat dari aspek cakupannya yang
dikaitkan dengan komunitas (jama‟ah) atau individu (perorangan). Hal ini dibagi
dalam dua kategori, yaitu :
1. Maslahat kulliyyȃt, yaitu maslahat yang bersifat universal yang
kebaikan dan manfaatnya kembali kepada orang banyak. Contohnya
membela negara dari serangan musuh, dan menjaga hadits dari usaha
pemalsuan.
2. Maslahat juz'iyat, yaitu maslahat yang bersifat parsial atau individual,
seperti pensyari‟atan berbagai bentuk mu‟ȃmalah.
14
Abȋ Ishȃq al-Syatibȋ, al-Muwȃfaqȃt fȋ usul al-syarȋ’ah.., Juz II, h. 8-12
104
Jenis ketiga adalah Maslahat yang dipandang dari tingkat kekuatan dalil
yang mendukungnya. Maslahat dalam hal ini dibagi menjadi tiga15
, yaitu :
1. Maslahat yang bersifat qat'ȋ yaitu sesuatu yang diyakini membawa
kemaslahatan karena didukung oleh dalil-dalil yang tidak mungkin lagi
ditakwili, atau yang ditunjuki oleh dalil-dalil yang cukup banyak yang
dilakukan lewat penelitian induktif, atau akal secara mudah dapat
memahami adanya maslahat itu.
2. Maslahat yang bersifat zannȋ, yaitu maslahat yang diputuskan oleh
akal, atau maslahat yang ditunjuki oleh dalil zannȋ dari syara‟.
3. Maslahat yang bersifat wahmiyah, yaitu Maslahat atau kebaikan yang
dikhayalkan akan bisa dicapai, padahal kalau direnungkan lebih dalam
justru yang akan muncul adalah madȃrat dan mafsadȃt.
Pembagian Maslahat seperti yang dikemukakan oleh Wahbah al-Zuhaylȋ
di atas, agaknya dimaksudkan dalam rangka mempertegas maslahat mana yang
boleh diambil dan maslahat mana yang harus diprioritaskan diantara sekian
banyak maslahat yang ada. maslahat darȗriyyat harus didahulukan dari maslahat
hȃjiyat, dan maslahat hȃjiyat harus didahulukan dari maslahat tahsȋniyyȃt.
Demikian pula maslahat yang bersifat kulliyat harus diprioritaskan dari maslahat
yang bersifat juz’iyyȃt. Akhirnya, maslahat qat’iyyah harus diutamakan dari
maslahat zanniyyah dan wahmiyyah.
Memperhatikan kandungan dan pembagian maqȃsid syarȋ’ah seperti yang
telah dikemukakan di atas, maka dapat dikatakan bahwa maslahat yang
merupakan tujuan Tuhan dalam tasyri'-Nya itu mutlak harus diwujudkan karena
15
Wahbah al-Zuhaylȋ, Usȗl al-Fiqh al-Islȃmȋ…h.1023-1029.
105
keselamatan dan kesejahteraan duniawi maupun ukhrawi tidak akan mungkin
dicapai tanpa realisasi maslahat itu, terutama maslahat yang bersifat darȗriyyat.
Untuk mewujudkan tujuan tersebut Allah SWT. menurunkan Syari‟at-Nya
dalam bentuk taklȋf. Oleh sebab itu, setiap hukum taklȋf tidak lain adalah untuk
mewujudkan tujuan tersebut. Beban taklȋf mengambil bentuk dalam berbagai
tingkatan, yaitu wajib, sunah, haram, makruh, dan mubah dari segi lain disebutkan
halal dan haram. Adanya tingkatan-tingkatan seperti tersebut di atas didasarkan
atas kadar kemashlahatan dan kemudaratan yang dikandungnya. Dengan
demikian, satiap hukum dapat dipastikan mengandung kemaslahatan. Maslahat
yang dikandung hukum itulah yang dimaksudkan dengan maqȃsid al-syarȋ‟ah.
Seorang pelaksana hukum yang bijaksana akan selalu berpedoman kepada tujuan
hukum atau maqȃsid al-syarȋ’ah
Hukum yang diterapkan didasarkan atas inti maqȃsid al-syarȋ’ah. Karena
itu problema kemasyarakatan yang dihadapinya dapat di pecahkan secara tepat.
Ini semua menempatkan hukum Islam sebagai sebuah hukum yang betul sesuai
untuk setiap zaman dan tempat, elastis, dan fleksibel. Eksistensi hukum Islam
yang demikian sesuai sekali dengan ajaran Islam sebagai agama yang terakhir
yang diturunkan Allah, lengkap dan sempurna, untuk setiap zaman dan tempat,
dalam situasi dan kondisi bagaimanapun.
Dalam mewujudkan maqȃsid al-syarȋ’ah itu, ada dun bentuk ijtihad, yaitu
ijtihad istinbati dan ijtihad tatbȋqȋ . ijtihad istinbȃti ialah usaha sungguh dari
seorang mujtahid untuk menyimpulkan maksud dari suatu ayat atau hadis.
Persoalan selanjutnya adalah bagaimana kesimpulan ide hukum tersebut
dapat ditatbihkan atau diterapkan pada masalah yang dihadapi. Penerapan ide
106
hukum ini dikenal dengan istilah ijtihad tatbȋqȋ atau tahqiqul manȃt,16
yaitu
menguji kesamaan maksud Allah dalam suatu ayat dengan tempat penerapannya.
Al-Syathibi mendefinisikan tahqiqul manȃt sebagai berikut:
قى النمظر ف ت عيي مو ان ي ثبت الكم بدركو الشمرعى ل 17كن ي ب
Artinya: Ide abstrak yang telah diperoleh oleh seorang mujtahid dari
kandungan nas, kemudian bagaimana menerapkannya (mentabihkannya)
terhadap masalah, sehingga maksud Syar’i dapat tercapai.
Dari definisi ini terlihat bahwa metode ijtihad tahqȋq al-manȃt merupakan
suatu metode sosialisasi dan pembumian ide-ide hukum yang terkandung dalam
suatu nas pada dataran kehidupan umat manusia yang selalu berkembang dan
mengalami perubahan, sehingga al-Syatibȋ menyebutkannya sebagai ijtihad yang
tidak akan berhenti sampai akhir zaman.18
Yang menjadi objek kajian tahqȋq al-
manȃt bukan lagi sekedar nas (al-Qur‟an dan al-Sunnah) melainkan manusia dan
lingkungan.
Persoalan selanjutnya adalah bagaimana kesimpulan ide hukum tersebut
dapat diterapkan pada masalah yang dihadapi, yaitu menguji kesamaan maksud
Allah dalam ayatal-Qur‟ȃn dengan saat ini. dalam menguji kesamaan maksud
Allah dalam satu ayat dengan saat ini penulis menggunakan qiyȃs sebagai metode
pengambilan hukum (istinbȃt al-hukm).
Dalam mengqiyaskan penulis mengambil illat sebagai persamaan, karena
illat merupakan poin penting yang harus ditemukan agar mengetahui maksud
pembunuhan dalam al-Qur‟ȃn dengan saat ini.
16
Abȋ Ishȃq al-Syatibȋ, al-Muwȃfaqȃt fȋ usul al-syarȋ’ah.., Juz II, h. 89 17
Abȋ Ishȃq al-Syatibȋ, al-Muwȃfaqȃt fȋ usul al-syarȋ’ah.., Juz II, h. 90 18
Abȋ Ishȃq al-Syatibȋ, al-Muwȃfaqȃt fȋ usul al-syarȋ’ah.., Juz II, h. 90
107
Penulis mencoba merekonstruksi terhadap perbuatan apa saja yang bisa
dikategorikan sebagai pembunuhan. Jika pembunuhan didefinisikan sebagai
akibat perbuatan yang bisa menghilangkan nyawa, maka perbuatan seperti,
narkoba, terorisme, perampokan dengan kekerasan (begal), jika menghilangkan
nyawa seseorang, apakah bisa dikategorikan sebagai pembunuhan.? Apakah
perbuatan seperti ini juga diancam dengan hukuman qisȃs sebagaimana al-Qur‟ȃn
sebutkan.? Maka, dalam hal ini penulis ingin mencari jawabannya kedalam al-
Qur‟ȃn, dan mengkaitkannya dalam konteks sekarang. Agar tujuan yang ingin
dicapai bisa terjawab. Contoh yang dapat dikemukakan disini adalah tentang
macam-macam pembunuhan saat ini.
B. Macam-macam Pembunuhan Saat Ini.
1. Narkoba
Ketentuan tentang narkoba tidak dijelaskan secara eksplisit di dalam al-
Qur‟ȃn, namun al-Qur‟an menyebutkan khamr sebagai jenis makanan atau
minuman yang memabukkan. Hal ini sebagai bentuk pengqiyasan terhadap
narkoba karena efek nya juga memabukkan bahkan dampak bahaya bagi
pengkonsumsi khamr maupun narkoba bisa menyebabkan kematian. Beberapa
bahaya yang ditimbulkan akibat mengkonsumsi narkoba adalah sebagai berikut19
:
1. Otak dan syaraf dipaksa untuk bekerja di luar kemampuan yang
sebenarnya dalam keadaan yang tidak wajar
2. Peredaran darah dan jantung dikarenakan pengotoran darah oleh zat-
zat yang mempunyai efek yang sangat keras, akibatnya jantung di
rangsang untuk bekerja di luar kewajiban
19
Fransiska Novita Eleanora, Bahaya Penyalahgunaan Narkoba Serta Usaha Pencegahan
dan Penanggulangannya (Suatu Tinjauan Teoritis) dalam Jurnal Hukum, Vol XXV, No 1, April
2011, hal. 443-444
108
3. Pernapasan tidak akan bekerja dengan baik dan cepat lelah sekali
4. Penggunaan lebih dari dosis yang dapat di tahan oleh tubuh akan
mendatangkan kematian secara mengerikan.
5. Timbul ketergantungan baik rohani maupun jasmani sampai timbulnya
keadaan yang serius karena putus obat.
Pertama: Jika di lihat dari dampak bahaya yang ditimbulkan akibat
mengkonsumsi narkoba. Maka hal ini masuk ke dalam pengklasifikasian
pembunuhan sengaja. Sebagaiman definisi maupun kriteria pembunuhan sengaja
yang dijelaskan oleh para mufassir pada bab sebelumnya. Salah satu definisi
pembunuhan sengaja pada bab sebelumnya, penulis jelaskan pendapat Wahbah
Zuhayli yang menyatakan bahwa pembunuhan sengaja adalah suatu perbuatan
yang dilakukan dengan sengaja menggunakan sesuatu yang dapat mematikan,
baik dengan benda tajam atau lainnya, baik secara langsung maupun dengan sebab
perantara, seperti besi dan senjata dan kayu besar, jarum yang ditusukkan pada
anggota tubuh yang dapat mematikan maupun anggota tubuh lain yang tidak dapat
mematikan langsung tapi dapat menimbulkan pembengkakan dan penyakit parah
yang mengantarkan yang bersangkutan pada kematian, atau memotong jari-jari
kemudian menjalar dan kemudian dapat mematikan. Senada dengan definisi
tersebut, al-Wahidi juga memberikan definisi pembunuhan sengaja sebagai sebuah
tindakan yang dimaksudkan untuk membunuh dengan alat seperti pedang dan
alat-alat lain yang pada umumnya dapat mematikan baik melukai atau tidak
melukai seperti batu dan besi yang berat atau semacamnya.20
20
Abȗ al-Hasan „Alȋ ibn Ahmad ibn Muhammad ibn „Alȋ al-Wȃhidȋ, al-Wajȋs fȋ Tafsȋr al
Kitȃb al-‘Azȋz (Beirȗt: Dȃr al-Qalȃm, 1995), Juz II, h. 95
109
Kesengajaan dalam masalah ini terletak pada dampak mengkonsumsi
narkoba yang secara tidak langsung mematikan, tetapi melalui beberapa tahap
yang dapat merusak sendi-sendi anggota tubuh namun pada akhirnya dapat
menghilangkan nyawa.
Kedua: Dampak narkoba merupakan jenis obat-obatan yang bisa merusak
jiwa serta raga bagi para penggunanya. Sehingga pengguna narkoba apabila
meninggal diakibatkan karena mengkonsumsi narkoba maka pengedar atau
produsen bisa dikategorikan sebagai pembunuh karena telah menghilangkan
nyawa dari pengguna narkoba tersebut. Sasaran yang menjadi target bagi para
pengedar serta produsen narkoba tidak terbatas orang dewasa baik laki-laki
maupun perempuan, mahasiswa, tapi juga pelajar remaja. Kaum remaja menjadi
salah satu kelompok yang rentan terhadap penyalahgunaan narkoba, karena selain
memiliki sifat dinamis, energik, selalu ingin tahu. Mereka juga mudah putus asa
dan mudah dipengaruhi oleh pengedar yang berakibat jatuh pada masalah
penyalahgunaan narkoba.21
Ketiga: Hukuman bagi pengedar maupun pengedar maupun produsen juga
dihukumi dengan hukum mati (qisȃs). sebagaimana penulis sebutkan pada bab III
berdasarkan firman Allah swt dalam QS. Al-Baqarah [2]: 178
ى الر بلر والعبد بلعبد والأن ثى بلأن ثى ي أي ها المذين آمنوا كتب عيكم القصاص ف القت (٨٧١)22
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash
berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang
merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita.
21
Kementerian Kesehatan RI, Infodatin Pusat Data dan Informasi Kementerian
Kesehatan RI (Jakarta: Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI, 2017), h. 01 22
QS. Al-Baqarah [2]: 178
110
Ayat ini masih menjadi perdebatan bagi para mufassir, di satu pihak
menetapkan ada unsur persamaan status sosial, maupun jenis kelamin, namun di
pihak lain menetapkan unsur persamaan dalam status kemanusiaan. Terlepas dari
perbedaan itulah Ibnu Abbas berpendapat dengan menggunakan argumen nasakh
antar ayat. Menurutnya, kandungan dalam surat al-Bagarah [2]: 178 yang
membedakan status antara laki-laki dan perempuan, budak dan merdeka hanya
berlaku pada masa awal Islam. Kemudian ayat tersebut dinasakh (dibatalkan) oleh
al-Qur'an Surat al-Maidah [5]: 45.
نا عيهم فيها أنم الن مفس بلن مفس ) 23(٥٤وكت ب
Artinya: dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At
Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa.
Karena itu, dalam ayat ini menjelaskan tentang perumpamaan dan
persamaan dalam hukuman qisȃs.24
dalam artian bahwa qisȃs berlaku untuk
semua tanpa memandang status antara pelaku pembunuhan dan korbannya.
Dari beberapa penjelasan tentang segi niat, pelaku dan korban, serta
hukumannya terhadap Bandar maupun produsen narkoba terdapat adanya
kesamaan dengan konsep pembunuhan dalam al-Qur‟an. Yaitu narkoba
merupakan jenis obat-obatan yang bisa merusak jiwa serta raga yang bisa
menyebabkan meninggal dunia bagi para penggunanya. Sehingga pengguna
narkoba apabila meninggal diakibatkan karena mengkonsumsi narkoba maka
pengedar atau produsen bisa dikategorikan sebagai pembunuh karena telah
23
QS. Al-Maidah [5]: 45. 24
Wahbah al-Zuhaylȋ, Tafsȋr al Munȋr fȋ al Aqȋdah wa Syarȋah wa al manhȃj (Damsik,
Dȃr al Fikr, 2003), Jil III, h. 559
111
menghilangkan nyawa dari pengguna narkoba tersebut. Maka sepantasnya
pengedar maupun produsen juga dihukumi dengan hukum mati (qisȃs).
2. Terorisme
Ketentuan tentang terorisme juga tidak dijelaskan secara eksplisit di dalam
al-Qur‟ȃn, para ulama juga berbeda-beda dalam memahami definisi dari terorisme
karena bentuk dan dampak dari terorisme juga berbeda-beda. Dalam bahasa Arab,
istilah yang umum dipakai untuk menyebut terorisme adalah al-irhȃb dan
pelakunya disebut irhȃbȋ. Kamus al-Mu‘jȃm al-Wasȋt memberikan definisi al-
irhāb dengan “sifat yang dimiliki oleh mereka yang menempuh kekerasan dan
menebar kecemasan untuk mewujudkan tujuan-tujuan politik.”25
bentuk-bentuk kekerasan yang ditimbulkan dari aksi terorisme tersebut.
Beberapa bahaya yang ditimbulkan akibat mengkonsumsi narkoba adalah sebagai
berikut26
:
1. Merupakan intimidasi yang memaksa.
2. Memakai pembunuhan dan penghancuran secara sistematis sebagai sarana
untuk suatu tujuan tertentu.
3. Korban bukan tujuan, melainkan sarana untuk menciptakan perang urat
syaraf, yakni bunuh satu orang untuk menakuti seribu orang.
4. Target aksi teror dipilih, bekerja secara rahasia namun tujuannya adalah
publisitas.
5. Pesan aksi itu cukup jelas, meski pelaku tidak selalu menyatakan diri
secara personal;
25
Ibrahim Anis, dkk., al-Mu‘jȃm al-Wasȋt (Kairo: Majma„ al-Lugghah al-„Arabiyyah,
1972), jil. 1, h. 376. 26
Hamzah Junaid, Pergerakan Kelompok Terorisme dalam Perspektif Barat dan Islam,
dalam Jurnal Sulesana Volume 8 Nomer 2 Tahun 2013. Lihat juga Abdul Wahid, Kejahatan
Terorisme Perspektif Agama ( HAM dan Hukum, Retika Aditama,2004), h. 29.
112
6. Para pelaku kebanyakan dimotivasi oleh idealisme yang cukup keras,
misalnya “berjuang demi agama dan kemanusiaan”.
bentuk-bentuk terorisme juga meliputi Pembunuhan, pembantaian,
serangan yang mencelakakan badan, penculikan, kejahatan yang berhubungan
dengan senjata api, senjata, bahan peledak dan bahan-bahan lain yang jika
digunakan untuk melakukan kejahatan dapat berakibat kematian atau luka yang
serius atau kerusakan berat pada harta milik.27
Pertama: Jika dilihat dari dampak yang ditimbulkan akibat terorisme.
Yaitu mengakibatkan hilangnya nyawa akibat serangan-serangan yang dilakukan
oleh teroris. Alat yang digunakannya pun dalam melakukan teror terhadap
masyarakat menggunakan senjata. Jadi, dampak dan alat yang digunakan oleh
pelaku teroris tersebut masuk ke dalam pengklasifikasian pembunuhan sengaja.
Sebagaimana di definisikan oleh Al-Jassȃs pembunhan sengaja yaitu perbuatan
menghilangkan nyawa orang lain dengan sengaja dan menggunakan alat (untuk
membunuh) secara sadar.28
Kesengajaan dalam masalah ini terletak pada dampak akibat yang
ditimbulkan dari terorisme yang secara langsung dapat menghilangkan nyawa,
selain dampak terhadap nyawa yang ditimbulkan, alat yang digunakan juga
menggunakan senjata, baik itu menggunakan senjata api, bom, serta alat-alat yang
bisa mematikan. Sehingga kriteria-kriteria seperti itu masuk ke dalam
pengklasifikasian pembunuhan sengaja.
Kedua: Dalam melihat aspek pelaku dan korban, jelas bahwa pelaku
terorisme ini masuk ke dalam aspek pelaku pembunuhan, rentetan teror yang
27
Definisi terorisme dalam https://id.wikipedia.org/wiki/Definisi_terorisme. 28
Abȋ Bakr Ahmad bin „Alȋ al-Rȃzȋ Al Jassȃs, Ahkȃm al-Qurȃn..Juz 3, h. 193.
113
dilakukan tidak hanya berdampak pada hilangnya nyawa saja, bahkan harta, jiwa
juga menjadi dampak dari aksi yang dilakukan oleh pelaku terorisme ini. Sasaran
yang menjadi target bagi para teroris ini tidak terbatas pada aspek tertentu, tidak
memandang status agama, status sosial yaitu orang dewasa baik laki-laki maupun
perempuan, bahkan anak-anak juga tak luput dari serangan teror yang dilakukan
oleh pelaku terorisme ini. menurut mereka, pembunuhan dengan tujuan untuk
mendapatkan keadilan bukanlah soal yang harus dirisaukan, meskipun sasaran
mereka orang-orang yang tidak berdosa.29
Ketiga: Hukuman bagi pelaku terorisme sama dengan hukuman terhadap
pelaku pembunuhan yaitu juga dihukumi dengan hukum mati (qisȃs).
sebagaimana penulis sebutkan pada bab III berdasarkan firman Allah swt dalam
QS. Al-Baqarah [2]: 178
ى الر بلر والعبد بلعبد والأن ثى بلأن ثى ي أي ها المذين آمنوا كتب عيكم القصاص ف القت (٨٧١)30
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash
berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang
merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita.
Ayat ini masih menjadi perdebatan bagi para mufassir, di satu pihak
menetapkan ada unsur persamaan status sosial, maupun jenis kelamin, namun di
pihak lain menetapkan unsur persamaan dalam status kemanusiaan. Terlepas dari
perbedaan itulah Ibnu Abbas berpendapat dengan menggunakan argument nasakh
antar ayat. Menurutnya, kandungan dalam surat al-Bagarah [2]: 178 yang
membedakan status antara laki-laki dan perempuan, budak dan merdeka hanya
29
Agus Handoko, Analisis kejahatan terorisme Berkedok Agama, dalam Jurnal Salam;
Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i Vol. 6, No. 2, 2009. h. 157. 30
QS. Al-Baqarah [2]: 178
114
berlaku pada masa awal Islam. Kemudian ayat tersebut dinasakh (dibatalkan) oleh
al-Qur'an Surat al-Maidah [5]: 45.
نا 31(٥٤عيهم فيها أنم الن مفس بلن مفس )وكت ب Artinya: dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (al-
Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa.
Karena itu, dalam ayat ini menjelaskan tentang perumpamaan dan
persamaan dalam hukuman qisȃs.32
dalam artian bahwa qisȃs berlaku untuk
semua tanpa memandang status antara pelaku pembunuhan dan korbannya.
Dari beberapa penjelasan tentang segi niat, pelaku dan korban, serta
hukumannya terhadap pelaku terorisme terdapat adanya kesamaan dengan konsep
pembunuhan dalam al-Qur‟an. Yaitu terorisme merupakan suatu kegiatan teror
dengan menggunakan senjata dengan menyebabkan meninggal dunia bagi korban
yang terdampak akibat aksi dari pelaku terorisme. Sehingga korban apabila
meninggal diakibatkan karena dampak dari aksi pelaku terorisme maka pelaku
terorisme bisa dikategorikan sebagai pembunuh karena telah menghilangkan
nyawa seseorang. Maka sepantasnya bagi para pelaku terorisme juga dihukumi
dengan hukum mati (qisȃs).
3. Perampokan dengan kekerasan (Begal).
Ketentuan tentang begal juga tidak dijelaskan secara eksplisit di dalam al-
Qur‟ȃn, namun para ulama mendefinisikan begal ke dalam bentuk hirabah.
Wahbah Zuhaylȋ mendefinisikannya dengan perbuatan Qatʻu al-Tȃriq (pembegal,
penyamun, bandit) dengan meneror para pengguna jalan serta melakukan
31
QS. Al-Maidah [5]: 45. 32
Wahbah al-Zuhaylȋ, Tafsȋr al Munȋr fȋ al Aqȋdah wa Syarȋah wa al manhȃj… h. 559
115
pelanggaran terhadap jiwa, harta, dan kehormatan.33
Sejalan dengan pendapat
tersebut Ibnu al-„Arabi mendefinisikan Hirabah dengan dengan istilah Qat’u al-
Tȃriq. Artinya menghadang orang yang lewat di jalan-jalan sepi dan jauh dari
keramaian dengan kekerasan senjata atau sejenisnya dengan tujuan memperoleh
atau mengambil hartanya dengan paksa. Secara sepintas lalu dapat dikatakan si
pelakunya adalah penyamun atau pembegal.34
bentuk-bentuk kekerasan yang dilakukan dalam perampokan dengan
kekerasan (begal) sebagai berikut35
:
1. Seseorang pergi dengan maksud untuk mengambil harta secara terang-
terangan dan mengadakan intimidasi, namun tidak jadi mengambil harta
dan tidak membunuh.
2. Seseorang keluar dengan maksud untuk mengambil harta dengan terang-
terangan dan mengambil harta tetapi tidak membunuh.
3. Seseorang berangkat dengan niat merampok, kemudian membunuh tetapi
tidak mengambil harta korban.
4. Seseorang pergi untuk merampok kemudian ia mengambil harta dan
membunuh pemiliknya
Selain bentuk-bentuk dalam perampokan dengan kekerasan (begal), juga
terdapat alat yang sering dijadikan pegangan dalam melakukan aksi perampokan
33
Wahbah Zuhaylȋ, Tafsȋr al Munȋr fȋ al Aqȋdah wa Syarȋah wa al manhȃj .. Juz. III, h.
512. 34
Abȋ Bakr Muhammad Ibn „Abd lillȃh al-Ma‟rȗf bi Ibn al-„Arabȋ, ahkȃm al-Qur’ȃn,
Beirȗt-Lebanon: Dȃr al-Kutub al-„Ilmiyyah), h. 593. 35
Hamzah, Ancaman Pidana Mati Bagi Pelaku Tindak Pidana Begal sebagai solusi
Mengurangi Tingkat Kejahatan Begal Di Kota Makassar, dalam jurnal al-Daulah Vol. 5, No. 1,
Juni 2016, h. 85.
116
dengan kekerasan. Seperti: Parang, golok, celurit, kapak, badik, senjata api dan
lain semacamnya.36
Pertama: Jika dilihat dari dampak yang ditimbulkan akibat perampokan
dengan kekerasan (begal). Yaitu melakukan perampokan dengan mengakibatkan
hilangnya nyawa akibat serangan-serangan yang dilakukan, baik menggunakan
senjata maupun dengan kekerasan. Jadi, dampak dan alat yang digunakan oleh
pelaku begal tersebut masuk ke dalam pengklasifikasian pembunuhan sengaja.
Sebagaimana di definisikan oleh Al-Jassȃs pembunhan sengaja yaitu perbuatan
menghilangkan nyawa orang lain dengan sengaja dan menggunakan alat (untuk
membunuh) secara sadar.37
Kesengajaan dalam masalah ini terletak pada dampak akibat yang
ditimbulkan dari begal yang secara langsung maupun tidak langsung dapat
menghilangkan nyawa, selain dampak terhadap nyawa yang ditimbulkan, alat
yang digunakan juga menggunakan senjata, baik itu menggunakan senjata api,
bom, serta alat-alat yang bisa mematikan. Sehingga kriteria-kriteria seperti itu
masuk ke dalam pengklasifikasian pembunuhan sengaja.
Kedua: Dalam melihat aspek pelaku dan korban, jelas bahwa pelaku begal
ini masuk ke dalam aspek pelaku pembunuhan, rentetan kekerasan atau cara yang
dilakukan tidak hanya berdampak pada hilangnya nyawa saja, bahkan harta, jiwa
juga menjadi dampak dari aksi yang dilakukan oleh pelaku begal ini. Sasaran yang
menjadi target bagi para begal ini tidak terbatas pada aspek tertentu, tidak
memandang status sosial yaitu orang dewasa baik laki-laki, perempuan, maupun
36
M. Syafik, Skripsi: Kejahatan Begal Berdasarkan Hukum Pidana Indonesia, pada
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 2018. T.h. 37
Abȋ Bakr Ahmad bin „Alȋ al-Rȃzȋ Al Jassȃs, Ahkȃm al-Qurȃn..Juz 3, h. 193.
117
anak-anak juga tak luput dari serangan kekerasan yang dilakukan oleh pelaku
begal ini.
Ketiga: Hukuman bagi pelaku begal sama dengan hukuman terhadap
pelaku pembunuhan yaitu juga dihukumi dengan hukum mati (qisȃs) jika
perbuatan perampokan dengan kekerasan tersebut dapat menghilangkan nyawa.
sebagaimana penulis sebutkan pada bab III berdasarkan firman Allah swt dalam
QS. Al-Baqarah [2]: 178
ى الر بلر والعبد بلعبد والأن ثى بلأن ثى ي أي ها المذين آمنوا كتب عيكم القصاص ف القت (٨٧١)38
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash
berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang
merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita.
Ayat ini masih menjadi perdebatan bagi para mufassir, di satu pihak
menetapkan ada unsur persamaan status sosial, maupun jenis kelamin, namun di
pihak lain menetapkan unsur persamaan dalam status kemanusiaan. Terlepas dari
perbedaan itulah Ibnu Abbas berpendapat dengan menggunakan argument nasakh
antar ayat. Menurutnya, kandungan dalam surat al-Bagarah [2]: 178 yang
membedakan status antara laki-laki dan perempuan, budak dan merdeka hanya
berlaku pada masa awal Islam. Kemudian ayat tersebut dinasakh (dibatalkan) oleh
al-Qur'an Surat al-Maidah [5]: 45.
نا عيهم فيها أنم الن مفس بلن مفس ) 39(٥٤وكت ب Artinya: dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (al-
Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa.
38
QS. Al-Baqarah [2]: 178 39
QS. Al-Maidah [5]: 45.
118
Karena itu, dalam ayat ini menjelaskan tentang perumpamaan dan
persamaan dalam hukuman qisȃs.40
dalam artian bahwa qisȃs berlaku untuk
semua tanpa memandang status antara pelaku pembunuhan dan korbannya.
Dari beberapa penjelasan tentang segi niat, pelaku dan korban, serta
hukumannya terhadap pelaku begal ini terdapat adanya kesamaan dengan konsep
pembunuhan dalam al-Qur‟an. Yaitu begal merupakan suatu kegiatan perampokan
dengan kekerasan menggunakan senjata maupun dengan cara-cara yang
menyebabkan korban meninggal dunia. Sehingga korban apabila meninggal
diakibatkan karena dampak dari aksi pelaku perampokan dengan kekerasan
(begal) maka pelaku begal bisa dikategorikan sebagai pembunuh karena telah
menghilangkan nyawa seseorang. Maka sepantasnya bagi para pelaku begal juga
dihukumi dengan hukum mati (qisȃs), selayaknya hukuman terhadap pelaku
pembunuhan.
Dari beberapa uraian di atas dapat disimpulkan bahwa inti pokok dari
ijtihad dalam memutuskan hukuman pembunuhan terhadap konteks sekarang
adalah pengkaitan maqasid syari‟ah dengan perubahan sosial. Pengkaitan maqasid
syari‟ah dengan dinamika yang hidup dan tumbuh di masyarakat berarti berbicara
tentang ijtihad yang tidak pernah tertutup karena perubahan sosial itu akan terus
berjalan, sejalan dengan perkembangan dan kemajuan yang dicapai oleh umat
manusia. Karena itu masalah ini akan selalu aktual kapan dan di manapun.
40
Wahbah al-Zuhaylȋ, Tafsȋr al Munȋr fȋ al Aqȋdah wa Syarȋah wa al manhȃj… h. 559
119
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari penelitian yang dilakukan, tesis ini menyimpulkan bahwa dalam al-
Qur’an lafad Qatl dan derivasinya terdapat 170 kata. Dalam pandangan para
mufassir pembunuhan merupakan segala bentuk perbuatan yang bisa
menghilangkan nyawa, serta pembunuhan diklasifikasikan menjadi dua, yaitu
pembunuhan sengaja dan pembunuhan tidak sengaja. Dari kedua jenis
pembunuhan tersebut memiliki kriteria dan sanksi yang berbeda-beda. Para
mufassir menitikberatkan pandangannya pada sanksi pembunuhan sengaja, yaitu
qisȃs. Artinya, setiap tindakan atau perbuatan yang bisa menghilangkan nyawa
seseorang dengan sengaja maka sanksinya adalah qisȃs, tanpa memandang status
antara pelaku dan korban. sedangkan sanksi untuk pembunuhan tidak sengaja
adalah memerdekakan budak serta membayar diyat, atau berpuasa dua bulan
berturut-turut jika tidak menemukan budak. Perbedaan pendapat ini didasarkan
pada perbedaan mazhab yang dianut oleh para mufassir.
Adapun relevansi pembunuhan pada saat ini yaitu terjadi pada kasus-kasus
tindak kejahatan seperti pengedar dan produsen penyalaahgunaan narkoba yang
menyebabkan kerusakan moral dan kematian orang lain, pelaku terorisme yang
menyebabkan kematian orang lain, serta pelaku perampokan yang disertai dengan
kekerasan yang menyebabkan hilangnya nyawa. Pemberlakuan hukuman
terhadap tindak kejahatan tersebut dapat dijatuhkan hukuman mati (qisȃs), jika
perbuatannya dapat menghilangkan nyawa seseorang.
120
B. Rekomendasi
Penelitian ini merupakan upaya untuk menemukan konsep pembunuhan
dalam Tafsȋr Ahkȃm dan Relevansinya saat ini. Dalam penelitian ini memang
masih ditemukan beberapa kekurangan, sehingga penulis perlu
merekomendasikan hal-hal sebagai berikut:
1. Umat manusia pada dasarnya memiliki hak hidup. Kehidupan merupakan
suatu anugerah yang Tuhan berikan pada setiap makhluk. Memberi
kehidupan adalah hak prerogatif Tuhan, maka kematian pun seharusnya
hak prerogatifnya pula. Sehingga umat manusia tidak ada hak untuk
membunuh sesama makhluk Tuhan tanpa ada alasan yang benar. Dalam
hal ini, Islam telah mengatur segala hal yang berkaitan dengan
pembunuhan untuk menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan
keadilan.
2. Bagi peneliti selanjutnya yang konsen pada studi ilmu-ilmu al-Qur’ȃn dan
tafsir, seyogyanya dapat memperdalam penelitian ini dengan menggali
beberapa argumentasi yang dapat dijadikan landasan teologis tentang
pembunuhan dalam Tafsȋr Ahkȃm.
121
DAFTAR PUSTAKA
Al-„Arabȋ, Abȋ Bakr Muhammad Ibn „Abd lillȃh al-Ma‟rȗf bi Ibn. ahkȃm al-
Qurȃn. Beirȗt-Lebanon: Dȃr al-Kutub al-„Ilmiyyah.
„Awdah, Abd al-Qȃdir. al-Tasyrȋ’u al-Jinȃ’ȋ al-Islȃmȋ muqhȃranan bȋ al-Qȃnun
al-Wad’ȋ. Beirȗt - Lebanon: Dar al-Kutub al Ilmiyyah, 2005.
Abror, M. Muchlas “Memberantas Perbudakan” dalam Jurnal Kalam, Nomor 96.
2011.
Agama RI, Kementerian. Al-Qur’an dan Tafsirnya. Jakarta: Yayasan
Penyelenggara penterjemah atau pentafsir al-Qur‟an, 1971.
Anis, Ibrahim dkk., al-Mu‘jȃm al-Wasȋt. Kairo: Majma„ al-Lugghah al-
„Arabiyyah, 1972.
Al-Asfahȃnȋ, Al-Rȃghib. Mu’jȃm Mufradȃt al-fȃz al-Qur’ȃn. Damsik: Dȃr al-
Qalȃm, 2009.
Al-„Asqalȃnȋ, Ibnu Hajar Terjemah Bulūg al Marām. Semarang: Pustaka Nuun,
2011.
Backer, Anton dan Zubair, Ahmad Charris, Metodologi Penelitian Filsafat.
Yogyakarta: Kanisius, 1990.
Baidȃwi Al-, Nȃsir al-Dȋn Abȗ Sa‟ȋd „Abdullah ibn „Amr ibn Muhammad. Anwȃr
al Tanzȋl wa asrȃr al Ta’wȋl. Beirȗt: Dar Ihyȃ‟ al Turȃts al-„Arȃb, 1418.
Bakrȋ Al-, Abȋ Bakar al Masyhȗr bi al-Sayyid. Hasyiyyah I’ȃnat at-Ţhȃlibȋn ’alȃ
Halli al Fāz Fath al-Muȋn Lisyarhi Qurrat al-‘ayn Bimuhimmat al-Dȋn.
Beirȗt: Dâr al-Fikri, 1993 M.
Al-Bȃqȋ, Muhammad Fuȃd Abd. Al-Mu’jȃm al-Mufahras lȋ al-fāz al-Qurȃn al-
Karȋm. Beirȗt: Dȃr al-Fikr 1987.
Batubara, Chuzaimah: Qishash: Hukuman Mati dalam perspektif al-Qur‟an dalam
Jurnal Miqot Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010.
Al-Bukhȃri, Abi „Abd lillah Muhammad bin Ismȃil in Ibrȃhim bin al-Mughirah al-
Ju‟fȋ Sahȋh al-Bukhȃri. Beirȗt-Lebanon : Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992.
Al-Buti, Muhammad Saȋd Ramadȃn. Dawȃbit al-Maslahah fȋ al-Syarȋ’ah al-
Islȃmiyah. Beirut: Muassasah al-Risalah, 1977.
Cawidu, Harifuddin. Konsep Kufr dalam Al-Qurȃn, suatu kajian teologis dengan
pendekatan Tafsir Tematik. Jakarta: Bulan Bintang, 1991.
Eleanora, Fransiska Novita. Bahaya Penyalahgunaan Narkoba Serta Usaha
Pencegahan dan Penanggulangannya: Suatu Tinjauan Teoritis dalam
Jurnal Hukum, Vol XXV, No 1, April 2011.
122
Fahmi, Roni Hukuman Mati dalam Pidana Islam Ditinjau dari Perspektif Hak
Asasi Manusia, Tesis, mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta. 2006.
Al-Farmawȋ, Abd al-Hayy. al-Bidȃyah fi al-Tafsȋr al-Maudu’ȋ. Mesir: Dirȃsȃt
Manhȃjiyyah Maudȗ‟iyyah, 1997.
Al-Ghazȃlȋ, Al-Mustasfȃ min ‘Ilm al-Usȗl. Beirȗt: Dȃr al-Fikr, tth.
Hamka, Tafsir Al-Azhar. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1999.
Hamzah, Ancaman Pidana Mati Bagi Pelaku Tindak Pidana Begal sebagai solusi
Mengurangi Tingkat Kejahatan Begal Di Kota Makassar, dalam jurnal al-
Daulah Vol. 5, No. 1, Juni 2016.
Handoko, Agus. Analisis kejahatan terorisme Berkedok Agama, dalam Jurnal
Salam; Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i Vol. 6, No. 2, 2009.
Al-Husainȋ, Taqiyuddin abu bakar bin muhammad. Kifȃyatul akhyȃr fȋ hȃli
ghȃyati al Ikhtisȃr. Beirut: Dȃr al Kutub al Ilmiyah, 2001.
Ibn Majah, Abi „Abd lillah Muhammad bin Yazȋd. Sunan Ibnu Majȃh. Beirȗt:
Dȃr al-Fikr, t.th.
Ibn zakariyȃ, Abȋ al-Husain Ahmad ibn Fȃris. Mu’jȃm Maqȃyīs al-Lugghah. tt,
Dȃr al Fikr, tt.
Ibn Katsȋr, Abi al-Fidȃ‟ al-Hȃfiz. al Bidȃyah wa an Nihȃyah terj. Lukman hakim
dkk, Jakarta: Pustaka Azzam, 2013.
Ibn katsȋr, Imam al-Din Abi al-Fida‟ Ismail Ibn Umar. Tafsȋr al Qur’ȃn al Azȋm.
Riyad: Dȃr as Salȃm, 1994.
Al-Jassȃs, Abȋ Bakr Ahmad bin „Alȋ al-Rȃzȋ. Ahkȃm al-Qurȃn. Beirȗt – Lebanon,
Muassasah Al-Tȃrikh al-„Arabȋ, 1992.
Junaid, Hamzah Pergerakan Kelompok Terorisme dalam Perspektif Barat dan
Islam, dalam Jurnal Sulesana Volume 8 Nomer 2 Tahun 2013
Al-Jurjanȋ, „Alȋ bin Muhammad al-Sayyid al-Syarȋf .Mu’jȃm at-Ta’rȋfȃt. Beirȗt:
Dȃr al-Kutub al Ilmiyyah, 1983.
al-Juwainȋ, Abd al-Mȃlik ibn Yȗsuf. al-Burhȃn fȋ Usȗl al-Fiqh. Kairo: Dȃr al-
Ansȃr, 1400 H.
Kaltsum, Lilik Ummi dan Ghazali, Abdul Moqsith. Tafsir Ayat-ayat Ahkam.
Jakarta: UIN Press, 2014.
Manzur, Ibnu Lisȃn al-‘Arȃb. t.tp: Al-Maktabah al-Syamilah,t.th.
Al-Maraghȋ, Ahmad Mustafa. Tafsȋr Al-Marȃghȋ . Mesir, tp, 1946.
123
Al-Mawardȋ, Abi al-Hasan „Ali bin Muhammad. al-Nukȃt wa al-‘Uyȃn al-Ma’rȗf
bȋ Tafsȋr al Mawardȋ, Bairȗt: Dar al-Kutub al‟Ilmiyyah, t.th.
Moeliono, Anton M. (Penyunting Penyelia Tim Penyusun Besar Bahasa
Indonesia), Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan R.I, 1979.
Moleong, Lexi. J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung, Rosda Karya,
2003.
Mu'alim, Amir, dan Yusdani. Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam. Yogyakarta,
UII Press, 2001.
Mudzhar, H.M Atho. Membaca Gelombang Ijtihad Antara Tradisi dan Liberasi.
Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998.
Muhammad „Ali al-Sȃbunȋ, Rawai’ al-Bayan Tafsir ayat al-Ahkam min al-
Qur’an. t.tp: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 2001.
Mujib, Abdul. Kamus Istilah Fiqih. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994.
Munawwir, Ahmad Warson dan Fayruz, Muhammad Al-Munawwir Kamus
Indonesia-Arab, Surabaya: Pustaka Progresif, 2007.
Munawwir, Ahmad Warson. Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia. Yogyakarta:
Pondok Pesantren Al-Munawwir, 1984.
Munawwir, Ahmad Warson. Kamus al-Munawwir. Surabaya: Pustaka Progressif,
1997.
Mustȃfȃ, Ibrȃhim dkk, al-Mu’jȃm al-wasȋt. Damsik: Maktabah al-Nuri, tth.
Al-Qurṭȗbȋ, Abȋ „Abd lillȃh Muhammad bin Ahmad al-Ansȃrȋ. al-Jȃmi’ lȋ Ahkȃm
al-Qurȃn, Beirȗt: Muassasah al-Risȃlah, 1427 H.
Al-Rȃzȋ, Abȗ „Abd lillȃh Muhammad ibn Umar. Mafȃtih al Ghayb. Beirȗt: Dȃr
ihyȃ‟ al-Thurȃts al-„Arabȋ, 1990.
RI, Kementerian Kesehatan. Infodatin Pusat Data dan Informasi Kementerian
Kesehatan RI. Jakarta: Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan
RI, 2017.
Rokhmadi, Hukuman Pembunuhan Dalam Hukum Pidana Islam di Era Modern
dalam Jurnal at-Taqaddum, Volume 8 No 2 November 2016.
Rusyd, Ibnu Bidȃyat al-Mujtahid wa Nihȃyah al-Muqtasid. Jakarta: Pustaka
Aman, t.th.
Sȃbiq, Al-Sayyid. Fiqh al-Sunnah. Beirūt: Dār Al-Fikr, 1980.
Schols, John M. dan Shadily, Hasan. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: PT
Gramedia, 1978
124
Shihab, M.Quraish. Membumikan Al-Qur’ȃn, Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan, 1992.
Al-Sijistȃni, Abu Dawud Sulaiman bin Al-Asy'ats. Sunan Abȋ Dawȗd. t.tp.: Dȃr
al-Miṣriyyah al-Libaniyyah.
Sonafist. Penafsiran Ayat-ayat Ahkam dalam Tafsir al-Manar: Studi Perbandingan
antara Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha. Disertasi,
mahasiswa Program Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta. 2002.
Sugiono. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta,
2008
Surachman, Winarno. Pengantar Penelitian Ilmiah. Bandung: Tarsito, 1990.
Suryadilaga, M. Alfatih. Metodologi ilmu Tafsir. Yogyakarta: teras, 2010.
Al-Suyȗṭi, Jalȃl ad-Dīn. Sunan an-Nasā’i bi Syarh Jalāl ad-Dīn as-Suyuṭī. Beirūt:
Dar al Ma‟arif, t.th.
Al-Suyȗtȋ, Jalȃluddin. Taisȋr al Ijtihȃd. Makkah: Dȃr al Fikr, tt.
Al-Syȃfi„i, al-Umm. Beirȗt: Dȃr al-Fikr,1985.
Al-Syȃfi‟ȋ, Taqiy al-Dȋn abȋ Bakr bin Muhammad al-Husaini al-Husnȋ al-
Dimasyqȋ. Kifȃyatul Akhyȃr fȋ halli Ghȃyah al-Ikhtisȃr. Beirut-Lebanon:
Dār al Fikr al Ilmiyyah.
Syafik, M. Skripsi: Kejahatan Begal Berdasarkan Hukum Pidana Indonesia, pada
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 2018.
Syaltut, Mahmud. Hukum Islam Aqidah dan Syariah, Penerjemah: Bustami
A.Ghana dan Johan Bahri Jakarta: Bulan Bintang, t.th.
Al-Syatibȋ, Abȋ Ishȃq. Al-Muwȃfaqȃt fȋ usul al-syarȋ’ah. Beirȗt: Dar-al ma‟rifah,
1975.
Al-Syinqitȋ, Syekh Muhammad al-Amȋn bin Muhammad al-Muhktȃr al-Jaknȋ,
Tafsīr Adwȃ’ al-Bayȃn fȋ Idȃhil al-Qur’ȃn bȋ al-Qur’ȃn terj Bari dkk.
Jakarta: Pustaka Azzam, 2007.
Al-Tirmidzȋ, Muhammad bin „Ȋsa. Sunan al-Tirmidzi wa huwa al-Jȃmi’ al-Sahȋh.
Beirȗt-Libanon: Dȃr al-Kutub al-Ilmiyyah, tt.
Wahid, Abdul. Kejahatan Terorisme Perspektif Agama. HAM dan Hukum,
Retika Aditama,2004.
Al-Wȃhidȋ, Abȗ al-Hasan „Alȋ ibn Ahmad ibn Muhammad ibn „Alȋ. al-Wajȋs fȋ
Tafsȋr al Kitȃb al-‘Azȋz. Beirȗt: Dȃr al-Qalȃm, 1995
Wajdi, Muhammad Farid. Dairat Ma’ȃrif al-Qarn al-Isyrȗn. Beirȗt: al-Maktabat
al-Islȃmiyyah al-Jadȋdah, tth.
125
Widi, Restu Kartiko. Asas Metodologi Penelitian. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010.
Yahya, Imam. Eksekusi Hukuman Mati Tinjauan Maqȃsid al-Syarȋ‟ah dan
Keadilan, dalam Jurnal al-Ahkȃm Volume 23, No 1. 2013.
Al-Yamanȋ, Al-Imȃm Muhammad bin Ismȃ‟il al-Kahlȃni al-San‟anȋ. Subul al-
Salȃm, Syarh Bulȗgh al-Marȃm: min Adillah al-Ahkȃm. Beirȗt: Dȃr al-
Fikr. t.th.
Yusuf, Imaning. “Pembunuhan dalam Perspektif Hukum Islam”, dalam Jurnal
Nurani, Vol. 13, No. 2, Desember 2013.
Al-Zamakhsyarȋ, Abȗ al-Qȃsim Mahmȗd ibn „Amr ibn Ahmad. Al-Kasysyāf ‘an
Haqāiq Ghawāmid al Tanzīl. Beirut: Dār al Kitāb al-„Arabī, 1407.
Al-Zuhaylȋ, Wahbah. Al-Fiqh al islȃmi wa adillatuhu. Damaskus, Dȃr al fikr,
2002.
Al-Zuhaylȋ, Wahbah. Tafsȋr al-Munȋr fȋ al-Aqȋdah wa as-Syarȋah wa al-Manhȃj.
Damsik: Dȃr al-Fikr, 2009.