pemeriksaan lab lupus
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Faktor imun dalam tubuh memiliki peran sangat penting. Terdapat
beberapa penyakit yang disebabkan gangguan atau kelainan pada sistem imun
antara lain lupus eritematosus. Penyakit lupus eritematosus merupakan
penyakit sistemik autoimun yang bersifat kronis yang melibatkan multiorgan,
seperti pada kulit, sistem saraf, ginjal, gastrointestinal, mata, juga rongga
mulut. Etiologi lupus eritematosus belum bisa dipastikan tetapi terdapat
beberapa teori yang dapat menjelaskannya, dan semua teori tersebut memiliki
patogenesis yang sama.
Manifestasi klinis LES sangat bervariasi dengan perjalanan penyakit
yang sulit diduga, tidak dapat diobati, dan sering berakhir dengan kematian.
Kelainan tersebut merupakan sindrom klinis disertai kelainan imunologik,
seperti disregulasi sistem imun, pembentukan kompleks imun dan yang
terpenting ditandai oleh adanya antibodi antinuklear, dan hal tersebut belum
diketahui penyebabnya yang berkaitan dengan manifestasi klinik yang sangat
luas pada satu atau beberapa organ tubuh, dan ditandai oleh inflamasi luas
pada pembuluh darah dan jaringan ikat, bersifat episodik diselangi episode
remisi.
Lupus eritematosus merupakan penyakit sistemik autoimun kronis.
Etiologi lupus eritmatosus, sama seperti penyakit autoimun lainnya sampai
saat ini belum pasti, tetapi prognosis dapat baik bila diberikan terapi yang
adekuat contohnya pada beberapa kasus lupus yang ringan, seperti pada
penyakit yang bermanifestasi pada kulit.
Angka kejadian penyakit ini cukup tinggi, baik di seluruh dunia
maupun di negara berkembang termasuk Indonesia. Penatalaksanaan
penyakit ini membutuhkan kerjasama multidisiplin dan dukungan dari
berbagai pihak.
Epidemiologi
Lupus Eritematosus sistemik merupakan penyakit yang jarang terjadi.
Di seluruh dunia diperkirakan terdapat 5 juta orang mengidap lupus
eritematosus. Penyakit lupus ditemukan baik pada wanita maupun pria, tetapi
wanita lebih banyak dibanding pria yaitu 9:1 karena wanita punya respon
antibodi yang lebih cepat, , umumnya pada usia 18-65 tahun tetapi paling
sering antara usia 25-45 tahun, walaupun dapat juga dijumpai pada anak usia
10 tahun. Seelain itu, wanita yang mengonsumsi estrogen oral / hormon
pengganti estrogen punya risiko 1,2-2 kali lebih tinggi untuk terkena SLE
Insidensi lupus tidak diketahui, tetapi bervariasi menurut lokasi dan
etnis. Tingkat prevalensi 4-250/100, 000 telah dilaporkan, dengan penurunan
prevalensi putih dibandingkan dengan penduduk asli Amerika, Asia, Latin,
dan Amerika. Walaupun awal awitan sebelum usia 8 tahun tidak biasa, lupus
telah di diagnosis selama 1 tahun kehidupan. Dominasi perempuan bervariasi
dari kurang dari 4:1 sebelum pubertas ke 8:1 sesudahnya.
Insidens LES pada anak secara keseluruhan mengalami peningkatan,
sekitar 15-17%. Penyakit LES jarang terjadi pada usia di bawah 5 tahun dan
menjelang remaja. Perempuan lebih sering terkena dibanding laki-laki, dan
rasio tersebut juga meningkat seiring dengan pertambahan usia. Prevalensi
penyakit LES di kalangan penduduk berkulit hitam ternyata lebih tinggi
dibandingkan dengan penduduk berkulit putih.
SLE ditemukan lebih banyak pada wanita keturunan ras Afrika-
Amerika, Asia, Hispanik, dan dipengaruhi faktor sosioekonomi. Sebuah
penelitian epidemiologi melaporkan insidensi rata-rata pada pria ras kaukasia
yaitu 0,3-0,9 (per 100.000 orang per tahun); 0,7-2,5 pada pria keturunan ras
Afrika-Amerika; 2,5-3,9 pada wanita ras Kaukasia; 8,1-11,4 pada wanita
keturunan ras Afrika-Amerika. Menelusuri epidemiologi SLE merupakan hal
yang sulit karena diagnosis dapat sukar dipahami.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi
SLE (Systemisc Lupus erythematosus) adalah penyakit autoimun
dimana organ dan sel mengalami kerusakan yang disebabkan oleh tissue-
binding autoantibody dan kompleks imun, yang menimbulkan peradangan
dan bisa menyerang berbagai sistem organ namun sebabnya belum diketahui
secara pasti, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan fulminan
atau kronik, terdapat remisi dan eksaserbasi disertai oleh terdapatnya
berbagai macam autoantibody dalam tubuh.
Terdapat beberapa spekulasi pendapat untuk istilah lupus
eritematosus. Kata “lupus” dalam bahasa Latin berarti serigala, ”erythro”
berasal dari bahasa yunani yang berarti merah, sehingga lupus digambarkan
sebagai daerah merah sekitar hidung dan pipi, yang dikenal dengan butterfly -
shaped malar rash. Tetapi pendapat lain menyatakan istilah lupus bukan
berasal dari bahasa Latin, melainkan dari istilah topeng perancis dimana
dilaporkan wanita memakainya untuk menutupi ruam di wajahnya. Topeng
ini dinamakan ”Loup”,yang dalam bahasa perancis berarti serigala atau
”wolf” dalam bahasa Inggris.
Pada setiap penderita, peradangan akan mengenai jaringan dan organ
yang berbeda. Beratnya penyakit bervariasi mulai dari penyakit yang ringan
sampai penyakit yang menimbulkan kecacatan, tergantung dari jumlah dan
jenis antibodi yang muncul dan organ yang terkena.
Etiologi
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang
menyebabkan peningkatan autoantibody yang berlebihan. Gangguan
imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik,
hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi
selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar
termal).
Sampai saat ini penyebab SLE belum diketahui. Diduga faktor
genetik, infeksi dan lingkungan ikut berperan pada patofisiologi SLE.
Sistem imun tubuh kehilangan kemampuan untuk membedakan antigen dari
sel dan jaringan tubuh sendiri. Penyimpangan reaksi imunologi ini akan
menghasilkan antibodi secara terus menerus. Antibody ini juga berperan
dalam pembentukan kompleks imun sehingga mencetuskan penyakit
inflamasi imun sistemik dengan kerusakkan multiorgan.
Dalam keadaan normal, sistem kekebalan berfungsi mengendalikan
pertahanan tubuh dalam melawan infeksi. Pada lupus dan penyakit autoimun
lainnya, sistem pertahanan tubuh ini berbalik melawan tubuh, dimana
antibodi yang dihasilkan menyerang sel tubuhnya sendiri. Antibodi ini
menyerang sel darah, organ dan jaringan tubuh, sehingga terjadi penyakit
menahun.
Apapun etiologinya, selalu terdapat predisposisi genetik yang
menunjukkan hubungannya dengan antigen spesifik HLA (Human Leucocyte
Antigen) / MHC (Major Histocompatybility Complex). Defek utama pada
lupus eritematosus sistemik adalah disfungsi limfosit B, begitu juga supresor
limfosit T yang berkurang, sehingga memudahkan terjadinya peningkatan
autoantibody.
Resiko meningkat 25-50% pada kembar identik dan 5% pada kembar
dizygotic, menunjukkan kaitannya dengan faktor genetik. Fakta bahwa
sebagian kasus bersifat sporadis tanpa diketahui faktor predisposisi
genetiknya, menunjukkan faktor lingkungan juga berpengaruh. Infeksi dapat
menginduksi respon imun spesifik berupa molecular mimicry yang mengacau
regulasi sistem imun.
Tabel 1. Faktor Lingkungan yang mungkin berperan dalam patogenesis
Lupus Eritematous Sistemik (dikutip dari Ruddy: Kelley's
Textbook of Rheumatology, 6th ed 2001)
Ultraviolet B light
Hormon sex
rasio penderita wanita : pria = 9:1 ; menarche : menopause = 3:1
Faktor diet
Alfalfa sprouts dan sprouting foods yang mengandung L-canavanine;
Pristane atau bahan yang sama; Diet tinggi saturated fats.
Faktor Infeksi
DNA bakteri; Human retroviruses; Endotoksin, lipopolisakarida bakteri
Faktor paparan dengan obat tertentu :
Hidralazin; Prokainamid; Isoniazid; Hidantoin; Klorpromazin;
Methyldopa; D-Penicillamine; Minoksiklin; Antibodi anti-TNF-a;
Interferon-a.
Mekanisme maupun penyebab dari penyakit autoimun ini belum
sepenuhnya dimengerti tetapi diduga melibatkan faktor lingkungan dan
keturunan. Beberapa faktor lingkungan yang dapat memicu timbulnya lupus:
Infeksi
Antibiotik (terutama golongan sulfa dan penisilin)
Sinar ultraviolet
Stres yang berlebihan
Obat-obatan tertentu
Hormon.
Meskipun lupus diketahui merupakan penyakit keturunan, tetapi gen
penyebabnya tidak diketahui. Penemuan terakhir menyebutkan tentang gen
dari kromosom 1. Hanya 10% dari penderita yang memiliki kerabat (orang
tua maupun saudara kandung) yang telah maupun akan menderita lupus.
Statistik menunjukkan bahwa hanya sekitar 5% anak dari penderita lupus
yang akan menderita penyakit ini.
Lupus seringkali disebut sebagai penyakit wanita walaupun juga bisa
diderita oleh pria. Lupus bisa menyerang usia berapapun, baik pada pria
maupun wanita, meskipun 10-15 kali lebih sering ditemukan pada wanita.
Faktor hormonal mungkin bisa menjelaskan mengapa lupus lebih sering
menyerang wanita. Meningkatnya gejala penyakit ini pada masa sebelum
menstruasi dan atau selama kehamilan mendukung keyakinan bahwa hormon
(terutama estrogen) mungkin berperan dalam timbulnya penyakit ini.
Meskipun demikian, penyebab yang pasti dari lebih tingginya angka kejadian
pada wanita dan pada masa pra-menstruasi, masih belum diketahui.
Terdapat dua teori mengenai etiologi lupus, yaitu :
1) Teori yang pertama menyebutkan bahwa pada perkembangan penyakit
mulai dari gambaran awal sampai timbul kerusakan didasari oleh
produksi sirkulasi autoantibodi menjadi suatu nukleoprotein, yaitu
antinuclear antibodies (ANA). Proses awal tidak diketahui tetapi
kemungkinan terjadi mutasi gen yang berhubungan dengan sel yang
mengalami apoptosis yang melibatkan limfosit, kemudian limfosit
bereaksi menyerang selnya sendiri.
Autoantibodi pada lupus dibentuk menjadi antigen nuclear (ANA)
dan (anti-DNA). Autoantibodi terlibat dalam pembentukan kompleks
imun, yang diikuti oleh aktivasi komplemen yang mempengaruhi respon
inflamasi banyak jaringan, termasuk kulit dan ginjal.
2) Teori lainnya menyatakan autoantibody lupus eritematosus merupakan
lanjutan dari reaksi silang antigen eksogen seperti retrovirus RNA.
Faktor Resiko terjadinya SLE
1. Faktor Genetik
Jenis kelamin, frekuensi pada wanita dewasa 8 kali lebih sering
daripada pria dewasa
Umur, biasanya lebih sering terjadi pada usia 20-40 tahun
Etnik, Faktor keturunan, dengan Frekuensi 20 kali lebih sering
dalam keluarga yang terdapat anggota dengan penyakit tersebut
2. Faktor Resiko Hormon
Hormon estrogen menambah resiko SLE, sedangkan androgen
mengurangi resiko ini.
3. Sinar UV
Sinar Ultra violet mengurangi supresi imun sehingga terapi
menjadi kurang efektif, sehingga SLE kambuh atau bertambah
berat. Ini disebabkan sel kulit mengeluarkan sitokin dan
prostaglandin sehingga terjadi inflamasi di tempat tersebut maupun
secara sistemik melalui peredaran pebuluh darah
4. Imunitas
Pada pasien SLE, terdapat hiperaktivitas sel B atau intoleransi
terhadap sel T
5. Obat
Obat tertentu dalam presentase kecil sekali pada pasien tertentu dan
diminum dalam jangka waktu tertentu dapat mencetuskan lupus
obat (Drug Induced Lupus Erythematosus atau DILE). Jenis obat
yang dapat menyebabkan Lupus Obat adalah :
Obat yang pasti menyebabkan Lupus obat : Kloropromazin,
metildopa, hidralasin, prokainamid, dan isoniazid
Obat yang mungkin menyebabkan Lupus obat: dilantin,
penisilamin, dan kuinidin
Hubungannya belum jelas: garam emas, beberapa jenis
antibiotic dan griseofurvin
6. Infeksi
Pasien SLE cenderung mudah mendapat infeksi dan kadang-
kadang penyakit ini kambuh setelah infeksi
7. Stres
Stres berat dapat mencetuskan SLE pada pasien yang sudah
memiliki kecendrungan akan penyakit ini.
Patogenesis Lupus Eritematosus Sistemik
Ada empat faktor yang menjadi perhatian bila membahas pathogenesis
SLE, yaitu : faktor genetik, lingkungan, kelainan sistem imun dan hormon.
1. Faktor genetik memegang peranan pada banyak penderita lupus dengan
resiko yang meningkat pada saudara kandung dan kembar monozigot.
Studi lain mengenai faktor genetik ini yaitu studi yang berhubungan
dengan HLA (Human Leucocyte Antigens) yang mendukung konsep
bahwa gen MHC (Major Histocompatibility Complex) mengatur produksi
autoantibodi spesifik. Penderita lupus (kira-kira 6%) mewarisi defisiensi
komponen komplemen, seperti C2,C4, atau C1q dan imunoglobulin
(IgA), atau kecenderungan jenis fenotip HLA (-DR2 dan -DR3). Faktor
imunopatogenik yang berperan dalam LES bersifat multipel, kompleks
dan interaktif. Kekurangan komplemen dapat merusak pelepasan sirkulasi
kompleks imun oleh sistem fagositosit mononuklear, sehingga membantu
terjadinya deposisi jaringan. Defisiensi C1q menyebabkan fagositis gagal
membersihkan sel apoptosis, sehingga komponen nuklear akan
menimbulkan respon imun.
2. Faktor lingkungan dapat menjadi pemicu pada penderita lupus, seperti
radiasi ultra violet, obat-obatan, virus. Sinar UV mengarah pada self-
immunity dan hilang toleransi karena menyebabkan apoptosis keratinosit.
Selain itu sinar UV menyebabkan pelepasan mediator imun pada
penderita lupus, dan memegang peranan dalam fase induksi yanng secara
langsung merubah sel DNA, serta mempengaruhi sel imunoregulator
yang bila normal membantu menekan terjadinya kelainan pada inflamasi
kulit. Pengaruh obat memberikan gambaran bervariasi pada penderita
lupus, yaitu meningkatkan apoptosis keratinosit. Faktor lingkungan lain
yaitu peranan agen infeksius terutama virus rubella, sitomegalovirus,
dapat mempengaruhi ekspresi sel permukaan dan apoptosis.
3. Faktor imunologis, selama ini dinyatakan bahwa hiperaktivitas sel
limfosit B menjadi dasar dari pathogenesis lupus eritematosus sistemik.
Beberapa autoantibodi ini secara langsung bersifat patogen termasuk
dsDNA (double-stranded DNA), yang berperan dalam membentuk
kompleks imun yang kemudian merusak jaringan.
Selama perjalanan penyakit lupus tubuh membuat beberapa jenis
autoantibodi terhadap berbagai antigen diri. Di antara berbagai jenis
autoantibodi yang paling sering dijumpai pada penderita lupus adalah
antibodi antinuklear (autoantibodi terhadap DNA, RNA, nukleoprotein,
kompleks protein-asam nukleat). Umumnya titer antiDNA mempunyai
korelasi dengan aktivitas penyakit lupus.
Beberapa antibodi antinuklear mempunyai aksi patologis direk,
yaitu bersifat sitotoksik dengan mengaktifkan komplemen, tetapi dapat
juga dengan mempermudah destruksi sel sebagai perantara bagi sel
makrofag yang mempunyai reseptor Fc imunoglobulin. Contoh klinis
mekanisme terakhir ini terlihat sebagai sitopenia autoimun. Ada pula
autoantibodi tertentu yang bersifat membahayakan karena dapat
berinteraksi dengan substansi antikoagulasi, diantaranya antiprotrombin,
sehingga dapat terjadi trombosis disertai perdarahan. Antibodi antinuklear
telah dikenal pula sebagai pembentuk kompleks imun yang sangat
berperan sebagai penyebab vaskulitis.
Autoantibodi pada lupus tidak selalu berperan pada patogenesis
ataupun bernilai sebagai petanda imunologik penyakit lupus. Antibodi
antinuklear dapat ditemukan pada bukan penderita lupus, atau juga dalam
darah bayi sehat dari seorang ibu penderita lupus. Selain itu diketahui
pula bahwa penyakit lupus ternyata tak dapat ditularkan secara pasif
dengan serum penderita lupus.
Adanya keterlibatan kompleks imun dalam patogenesis LES
didasarkan pada adanya kompleks imun pada serum dan jaringan yang
terkena (glomerulus renal, tautan dermis-epidermis, pleksus koroid) dan
aktivasi komplemen oleh kompleks imun menyebabkan
hipokomplemenemia selama fase aktif dan adanya produk aktivasi
komplemen. Beberapa kompleks imun terbentuk di sirkulasi dan
terdeposit di jaringan, beberapa terbentuk insitu (suatu mekanisme yang
sering terjadi pada antigen dengan afinitas tinggi, seperti dsDNA).
Komponen C1q dapat terikat langsung pada dsDNA dan menyebabkan
aktivasi komplemen tanpa bantuan autoantibodi.
4. Meskipun hormon steroid (sex hormone) tidak menyebabkan LES, namun
mempunyai peran penting dalam predisposisi dan derajat keparahan
penyakit. Penyakit LES terutama terjadi pada perempuan antara menars
dan menopause, diikuti anak-anak dan setelah menopause. Namun, studi
oleh Cooper menyatakan bahwa menars yang terlambat dan menopause
dini juga dapat mendapat LES, yang menandakan bahwa pajanan
estrogen yang lebih lama bukan risiko terbesar untuk mendapat LES. 2,4
Adanya defisiensi relatif hormon androgen dan peningkatan
hormon estrogen merupakan karakteristik pada LES. Anak-anak dengan
LES juga mempunyai kadar hormon FSH (Follicle-stimulating hormone),
LH (Luteinizing hormone) dan prolaktin meningkat. Pada perempuan
dengan LES, juga terdapat peningkatan kadar 16 alfa hidroksiestron dan
estriol. Frekuensi LES meningkat saat kehamilan trimester ketiga dan
postpartum. Pada hewan percobaan hormon androgen akan menghambat
perkembangan penyakit lupus pada hewan betina, sedangkan kastrasi
prapubertas akan mempertinggi angka kematian penderita jantan.
Diagnosis
Kriteria untuk klasifikasi SLE dari American Rheumatism Association
(ARA, 1997). Seorang pasien diklasifikasikan menderita SLE apabila
memenuhi minimal 4 dari 11 butir kriteria dibawah ini :
Kriteria diagnosis lupus menurut ACR (American College of Rheumatology).
(Dikutip dengan modifikasi dari Petty dan Laxer, 2005)
No Kriteria Definisi
1 Bercak malar
(butterfly rash)
Eritema datar atau menimbul yang menetap
berbatas tegas di daerah pipi, cenderung
menyebar ke lipatan nasolabial pada wilayah
pipi sekitar hidung (wilayah malar)
2 Bercak diskoid Bercak eritema yang menimbul dengan
adherent keratotic scaling dan follicular
plugging, pada lesi lama dapat terjadi parut
atrofi
3 Fotosensitif Bercak di kulit yang timbul akibat paparan
sinar matahari, pada anamnesis atau
pemeriksaan fisik
4 Ulkus mulut Ulkus mulut atau nasofaring, biasanya tidak
nyeri. Termasuk ulkus oral dan nasofaring
yang dapat ditemukan
5 Artritis Artritis nonerosif pada dua atau lebih
persendian perifer, ditandai dengan nyeri
tekan, bengkak atau efusi
6 Serositif a. Pleuritis
Riwayat pleuritic pain atau terdengar pleural
friction rub atau terdapat efusi pleura pada
pemeriksaan fisik.
atau
b. Perikarditis
Dibuktikan dengan EKG atau terdengar
pericardial friction rub atau terdapat efusi
perikardial pada pemeriksaan fisik
7 Gangguan ginjal a. Proteinuria persisten > 0,5 g/hr atau
pemeriksaan +3 jika pemeriksaan kuantitatif
tidak dapat dilakukan.
atau
b. Cellular cast : eritrosit, Hb, granular,
tubular atau campuran
8 Gangguan saraf Kejang
Tidak disebabkan oleh obat atau kelainan
metabolik (uremia, ketoasidosis atau
ketidakseimbangan elektrolit)
atau
Psikosis
Tidak disebabkan oleh obat atau kelainan
metabolik (uremia, ketoasidosis atau
ketidakseimbangan elektrolit)
9 Gangguan darah Terdapat salah satu kelainan darah
Anemia hemolitik à dengan retikulositosis
Leukopenia à < 4000/mm3 pada > 1
pemeriksaan
Limfopenia à < 1500/mm3 pada > 2
pemeriksaan
Trombositopenia à < 100.000/mm3 tanpa adanya
intervensi obat
10 Gangguan imunologi Terdapat salah satu kelainan
Anti ds-DNA diatas titer normal
Anti-Sm(Smith) (+)
Antibodi fosfolipid (+) berdasarkan
kadar serum IgG atau IgM antikardiolipin yang
abnormal
antikoagulan lupus (+) dengan menggunakan tes
standar
tes sifilis (+) palsu, paling sedikit selama 6 bulan
dan dikonfirmasi dengan ditemukannya
Treponema palidum atau antibodi treponema
11 Antibodi antinuklear Tes ANA (+)
*Empat dari 11 kriteria positif menunjukkan 96% sensitivitas dan 100%
spesifisitas
Gejala
Gejala dari penyakit lupus:
- demam
- lelah
- merasa tidak enak badan
- penurunan berat badan
- ruam kulit
- ruam kupu-kupu
- ruam kulit yang diperburuk oleh sinar matahari
- sensitif terhadap sinar matahari
- pembengkakan dan nyeri persendian
- pembengkakan kelenjar
- nyeri otot
- mual dan muntah
- nyeri dada pleuritik
- kejang
- psikosa.
Gejala lainnya yang mungkin ditemukan:
- hematuria (air kemih mengandung darah)
- batuk darah
- mimisan
- gangguan menelan
- bercak kulit
- bintik merah di kulit
- perubahan warna jari tangan bila ditekan
- mati rasa dan kesemutan
- luka di mulut
- kerontokan rambut
- nyeri perut
- gangguan penglihatan.
Manifestasi Klinis
Gejala klinis dan perjalanan penyakit SLE sangat bervariasi. Penyakit
dapat timbul mendadak disertai tanda-tanda terkenanya berbagai sistem
dalam tubuh. Dapat juga menahun dengan gejala pada satu sistem yang
lambat laun diikuti oleh gejala terkenanya sistem imun.
Waktu yang dibutuhkan antara onset penyakit dan diagnosis adalah
5 tahun. Penyakit ini mempunyai ciri khas terdapatnya eksaserbasi dan
remisi. Onset penyakit dapat spontan atau didahului oleh faktor presipitat
seperti kontak dengan sinar matahari infeksi virus/bakteri, obat misalnya
golongan sulfa.
Gejala pada setiap penderita berlainan, serta ditandai oleh masa bebas
gejala (remisi) dan masa kekambuhan (eksaserbasi).
Pada awal penyakit, lupus hanya menyerang satu organ, tetapi di
kemudian hari akan melibatkan organ lainnya.
A. Gejala Konstitusional
Manifestasi yang timbul dapat bervariasi. Anak-anak yang paling
sering adalah anorexia, demam, kelelahan, penurunan berat badan,
limfadenopati dan irritable. Gejala dapat berlangsung intermiten atau
terus-menerus.
B. Gejala Muskuloskeletal
Pada anak-anak gejala yang paling sering ditemukan, dapat berupa
athralgia (90%) dan sering mendahului gejala-gejala lainnya. Yang
paling sering terkena adalah sendi interfalangeal proksimal diikuti oleh
lutut, pergelangan tangan, metakarpophalangeal, siku dan pergelangan
kaki.
Artritis dapat terjadi pada lebih dari 90% anak, umumnya simetris,
terjadi pada beberapa sendi besar maupun kecil. Biasanya sangat
responsif terhadap terapi dibandingkan dengan kelainan organ yang lain
pada LES. Arthritis pada tangan dapat menyebabkan kerusakan ligament
dan kekakuan sendi yang berat. Osteonecrosis umum terjadi dan dapat
timbul belakangan setelah dalam pengobatan kortikosteroid dan
vaskulopati.
Berbeda dengan JRA, arthritis LES umumnya sangat nyeri, dan
nyeri ini tak proporsional dengan hasil pemeriksaan fisik sendi.
Pemeriksaan radiologis menunjukkan osteopeni tanpa adanya perubahan
pada tulang sendi. Anak dengan JRA polyarticular yang beberapa tahun
kemudian dapat menjadi LES. Berikut merupakan mekanisme arthritis
pada SLE.
C. Gejala Mukokutan
Kelainan kulit atau selaput lendir ditemukan pada 55% kasus SLE.
1). Lesi Kulit Akut
Ruam kulit yang paling dianggap khas adalah ruam kulit
berbentuk kupu-kupu (butterfly-rash) berupa eritema yang sedikit
edematus pada hidung dan kedua pipi. Karakteristik malar atau ruam
kupu-kupu termasuk jembatan hidung dan bervariasi dari merah
pada erythematous epidermis hingga penebalan scaly patches.
Ruam mungkin akan fotosensitif dan berlaku untuk semua
daerah terkena sinar matahari. Lesi-lesi tersebut penyebarannya
bersifat sentrifugal dan dapat bersatu sehingga berbentuk ruam yang
tidak beraturan. Dengan pengobatan yang tepat, kelainan ini dapat
sembuh tanpa bekas.
2). Lesi Kulit Sub Akut
Lesi kulit sub akut yang khas berbentuk anular.
3). Lesi Diskoid
Sebesar 2 sampai 2% lesi discoid terjadi pada usia di bawah
15 tahun. Sekitar 7 % lesi discoid akan menjadi LES dalam waktu 5
tahun, sehingga perlu di monitor secara rutin. Hasil pemeriksan
laboratorium menunjukkan adanya antibodi antinuclear (ANA) yang
disertai peningkatan kadar IgG yang tinggi dan lekopeni ringan.
Ruam diskoid adalah ruam pada kulit leher, kepala, muka,
telinga, dada, punggung, dan ekstremitas yang menimbul dan
berbatas tegas, dengan diameter 5-10 mm, tidak gatal maupun nyeri
Berkembangnya melalui 3 tahap, yaitu erithema, hiperkeratosis dan
atropi. Biasanya tampak sebagai bercak eritematosa yang meninggi,
tertutup oleh sisik keratin disertai oleh adanya penyumbatan folikel.
Kalau sudah berlangsung lama akan terbentuk sikatrik.
Lesi diskoid tidak biasa di masa kanak-kanak. Namun,
mereka terjadi lebih sering sebagai manifestasi dari SLE daripada
sebagai diskoid lupus erythematosis (DLE) saja; 2-3% dari semua
DLE terjadi di masa kanak-kanak.
4). Livido Retikularis
Suatu bentuk vaskulitis ringan, sering ditemukan pada SLE.
Vaskulitis kulit dapat menyebabkan ulserasi dari yang berbentuk kecil
sampai yang besar. Sering juga tampak perdarahan dan eritema
periungual.
5). Urtikaria
Biasanya menghilang perlahan-lahan beberapa bulan setelah
penyakit tenang secara klinis dan serologis.
D. Kelainan pada Ginjal
Pada sekitar 2/3 dari anak dan remaja LES akan timbul gejala lupus
nefritis. Lupus nefritis akan diderita sekitar 90% anak dalam tahun
pertama terdiagnosanya LES. Berdasarkan klasifikasi WHO, jenis lupus
nefritis adalah :
(1) Kelas I: minimal mesangial lupus nephritis
(2) Kelas II: mesangial proliferative lupus nephritis
(3) Kelas III: focal lupus nephritis
(4) Kelas IV: diffuse lupus nephritis
(5) Kelas V: membranous lupus nephritis
(6) Kelas VI: advanced sclerotic lupus nephritis
Kelainan ginjal ditemukan 68% kasus SLE. Manifestasi paling sering
ialah proteinuria dan atau hematuria. Ada 2 macam kelainan patologis
pada ginjal yaitu nefritis lupus difus dan nefritis lupus membranosa.
Nefritis lupus difus merupakan kelainan yang paling berat. Klinis tampak
sebagai sindrom nefrotik, hipertensi, serta gangguan fungsi ginjal sedang
sampai berat. Nefritis membranosa lebih jarang ditemukan. Ditandai
dengan sindroma nefrotik, gangguan fungsi ginjal ringan serta perjalanan
penyakit yang mungkin berlangsung cepat atau lambat tapi progresif.
E. Serositis (pleuritis dan perikarditis)
Gejala klinisnya berupa nyeri waktu inspirasi dan pemeriksaan fisik
dan radiologis menunjukkan efusi pleura atau efusi parikardial. Efusi
pleura lebih sering unilateral, mungkin ditemukan sel LE dalam cairan
pleura. Biasanya efusi menghilang dengan pemberian terapi yang adekuat.
F. Pneuminitis Interstitial
Merupakan hasil infiltrasi limfosit. Kelainan ini sulit dikenali dan
sering tidak dapat diidentifikasi. Biasanya terdiagnosa setelah mencapai
tahap lanjut.
G. Gastrointestinal
Dapat berupa rasa tidak enak di perut, mual ataupun diare. Nyeri
akut abdomen, muntah dan diare mungkin menandakan adanya vaskulitis
intestinalis. Gejala menghilang dengan cepat bila gangguan sistemiknya
mendapat pengobatan yang adekuat.
H.Hati dan Limpa
Hepatosplenomegali mungkin ditemukan pada anak-anak, tetapi
jarang disertai ikterus. Umumnya dalam beberapa bulan akan menghilang
atau kembali normal.
I. Kelenjar Getah Bening dan Kelenjar Parotis
Pembesaran kelenjar getah bening ditemukan pada 50% kasus.
Biasanya berupa limfadenopati difus dan lebih sering pada anak-anak.
Kelenjar parotis membesar pada 60% kasus SLE.
J. Susunan Saraf Tepi
Neuropati perifer yang terjadi berupa gangguan sensorik dan
motorik. Biasanya bersifat sementara.
K.Susunan Saraf Pusat
Gejala SSP bervariasi mulai dari disfungsi serebral global dengan
kelumpuhan dan kejang sampai gejala fokal seperti nyeri kepala dan
kehilangan memori. Diagnosa lupus SSP ini membutuhkan evaluasi untuk
mengeksklusi ganguan psikososial reaktif, infeksi, dan metabolik.
Trombosis vena serebralis bisanya terkait dengan antibodi antifosfolipid.
Bila diagnosa lupus serebralis sudah diduga, CT Scan perlu dilakukan.
Gangguan susunan saraf pusat terdiri dari 2 kelainan utama, yaitu
psikosis organik dan kejang-kejang. Penyakit otak organik biasanya
ditemukan bersamaan dengan gejala aktif SLE pada sistem-sistem lainnya.
Pasien menunjukkan gejala delusi/halusinasi disamping gejala khas
kelainan organik otak.
Kejang-kejang yang timbul biasanya termasuk tipe grandmal.
Kelainan lain yang mungkin ditemukan ialah korea, paraplegia karena
mielitis transversal, hemiplegia, afasia, psikosis, pseudotumor cerebri,
aseptic meningitis, chorea, defisit kognitif global, melintang myelitis,
neuritis perifer dan sebagainya. Mekanisme terjadinya kelainan susunan
saraf pusat tidak selalu jelas. Faktor-faktor yang memegang peranan antara
lain vaskulitis, deposit gamma globulin di pleksus koroideus.
L. Hematologi
Kelainan hematologi yang sering terjadi adalah limfopenia, anemia,
Coombs-positif anemia hemolitik, anemia penyakit kronis
trombositopenia, dan lekopenia.
M. Fenomena Raynaud
Ditandai oleh keadaan pucat, disusul oleh sianosis, eritema dan
kembali hangat. Terjadi karena disposisi kompleks imun di endotelium
pembuluh darah dan aktivasi komplemen lokal.
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium dapat memberikan (1) penegakkan atau
menyingkirkan suatu diagnosis; (2) untuk mengikuti perkembangan penyakit,
terutama untuk menandai terjadinya suatu serangan atau sedang berkembang
pada suatu organ; (3) untuk mengidentifikasi efek samping dari suatu
pengobatan.
Secara umum anjuran pemeriksaan yang perlu dilakukan adalah
Analisis darah tepi lengkap (darah rutin dan LED), Sel LE, Antibodi
antinuclear (ANA), Anti-dsDNA (anti DNA natif), Autoantibodi lain (anti
SM, RF, antifosfolipid, antihiston, dll), Titer komplemen C3, C4 dan CH50,
Titer IgM, IgG, IgA, krioglobulin, masa pembekuan, serologi sifilis (VDRL),
Uji Coombs, Elektroforesis protein, Kreatinin dan ureum darah, Protein urin
(total protein dalam 24 jam), Biakan kuman, terutama dalam urin dan foto
rontgen dada.
Mengingat banyaknya pemeriksaan yang dilakukan bila tidak terdapat
berbagai macam komplikasi atau karena pertimbangan biaya maka maka
dapat dilakukan permeriksaan awal yang penting seperti darah lengkap dan
hitung jenis, trombosit, LED, ANA, urinalisis, sel LE dan antibodi anti-ds
DNA
1. Pemeriksaan Autoantibodi
Antibody Prevalensi,
%
Antigen yang
Dikenali
Clinical Utility
Antinuclear antibodies
(ANA)
98 Multiple nuclear Pemeriksaan skrining
terbaik; hasil negative
berulang menyingkirkan
SLE
Anti-dsDNA 70 DNA (double-
stranded)
Jumlah yang tinggi
spesifik untuk SLE dan
pada beberapa pasien
berhubungan dengan
aktivitas penyakit,
nephritis, dan vasculitis.
Anti-Sm 25 Kompleks protein
pada 6 jenis U1 RNA
Spesifik untuk SLE;
tidak ada korelasi klinis;
kebanyakan pasien juga
memiliki RNP; umum
pada African American
dan Asia dibanding
Kaukasia.
Anti-RNP 40 Kompleks protein
pada U1 RNAγ
Tidak spesifik untuk
SLE; jumlah besar
berkaitan dengan gejala
yang overlap dengan
gejala rematik termasuk
SLE.
Anti-Ro (SS-A) 30 Kompleks Protein
pada hY RNA,
terutama 60 kDa dan
52 kDa
Tidak spesifik SLE;
berkaitan dengan
sindrom Sicca,
subcutaneous lupus
subakut, dan lupus
neonatus disertai blok
jantung congenital;
berkaitan dengan
penurunan resiko
nephritis.
Anti-La (SS-B) 10 47-kDa protein pada
hY RNA
Biasanya terkait dengan
anti-Ro; berkaitan
dengan menurunnya
resiko nephritis
Antihistone 70 Histones terkait
dengan DNA (pada
nucleosome,
chromatin)
Lebih sering pada lupus
akibat obat daripada
SLE.
Antiphospholipid 50 Phospholipids,β2
glycoprotein 1
cofactor, prothrombin
Tiga tes tersedia –ELISA
untuk cardiolipin dan
β2G1, sensitive
prothrombin time
(DRVVT); merupakan
predisposisi pembekuan,
kematian janin, dan
trombositopenia.
Antierythrocyte 60 Membran eritrosit Diukur sebagai tes
Coombs’ langsung;
terbentuk pada
hemolysis.
Antiplatelet 30 Permukaan dan
perubahan antigen
sitoplasmik pada
platelet.
Terkait dengan
trombositopenia namun
sensitivitas dan spesifitas
kurang baik; secara klinis
tidak terlalu berarti untuk
SLE
Antineuronal 60 Neuronal dan Pada beberapa hasil
(termasuk anti-
glutamate receptor)
permukaan antigen
limfosit
positif terkait dengan
lupus CNS aktif.
Antiribosomal P 20 Protein pada ribosome Pada beberapa hasil
positif terkait dengan
depresi atau psikosis
akibat lupus CNS
Tabel : Autoantibodi yang ditemukan pada Systemic Lupus Erythematosus
(SLE)
Catatan: CNS = central nervous system, CSF= cerebrospinal fluid,
DRVVT = dilute Russell viper venom time, ELISA= enzyme-
linked immunosorbent assay.
Secara diagnostic, antibody yang paling penting untuk dideteksi
adalah ANA karena pemeriksaan ini positif pada 95% pasien, biasanya
pada onset gejala. Pada beberapa pasien ANA berkembang dalam 1
tahun setelah onset gejala; sehingga pemeriksaan berulang sangat
berguna. Lupus dengan ANA negative dapat terjadi namun keadaan ini
sangat jarang pada orang dewasa dan biasanya terkait dengan
kemunculan dari autoantibody lainnya (anti-Ro atau anti-DNA). Tidak
ada pemeriksaan berstandar internasional untuk ANA; variabilitas
antara pemeriksaan yang berbeda antara laboratorium sangat tinggi.
Jumlah IgG yang besar pada dsDNA (bukan single-strand DNA)
spesifik untuk SLE. ELISA dan reaksi immunofluorosensi pada sel
dengan dsDNA pada flagel Crithidia luciliae memiliki sekitar 60%
sensitivitas untuk SLE; identifikasi dari aviditas tinggi untuk anti-
dsDNA pada emeriksaan Farr tidak sensitive namun terhubung lebih
baik dengan nephritis
2. Pemeriksaan laboratorium untuk menentukan adanya penyakit SLE
Pemeriksaan darah
Pemeriksaan darah bisa menunjukkan adanya antibodi antinuklear,
yang terdapat pada hampir semua penderita lupus. Tetapi antibodi
ini juga juga bisa ditemukan pada penyakit lain. Karena itu jika
menemukan antibodi antinuklear, harus dilakukan juga pemeriksaan
untuk antibodi terhadap DNA rantai ganda. Kadar yang tinggi dari
kedua antibodi ini hampir spesifik untuk lupus, tapi tidak semua
penderita lupus memiliki antibodi ini. Pemeriksaan darah untuk
mengukur kadar komplemen (protein yang berperan dalam sistem
kekebalan) dan untuk menemukan antibodi lainnya, mungkin perlu
dilakukan untuk memperkirakan aktivitas dan lamanya penyakit.
Ruam kulit atau lesi yang khas
Rontgen dada menunjukkan pleuritis atau perikarditis
Pemeriksaan dada dengan bantuan stetoskop menunjukkan adanya
gesekan pleura atau jantung
Analisa air kemih menunjukkan adanya darah atau protein
Hitung jenis darah menunjukkan adanya penurunan beberapa jenis
sel darah
Biopsi ginjal
Pemeriksaan saraf.
Komplikasi
Komplikasi LES pada anak meliputi:
Hipertensi (41%)
Gangguan pertumbuhan (38%)
Gangguan paru-paru kronik (31%)
Abnormalitas mata (31%)
Kerusakan ginjal permanen (25%)
Gejala neuropsikiatri (22%)
Kerusakan muskuloskeleta (9%)
Gangguan fungsi gonad (3%).
Penatalaksanaan
Jenis penatalaksanaan ditentukan oleh beratnya penyakit. Luas dan
jenis gangguan organ harus ditentukan secara hati-hati. Dasar terapi adalah
kelainan organ yang sudah terjadi. Adanya infeksi dan proses penyakit bisa
dipantau dari pemeriksaan serologis. Monitoring dan evaluasi bisa dilakukan
dengan parameter laboratorium yang dihubungkan dengan aktivitas penyakit.
SLE yang tidak diobati dapat diikuti oleh penyembuhan spontan, dapat
menjadi penyakit menahun, atau kematian yang cepat.
Untuk penatalaksanaan, Pasien SLE dibagi menjadi:
Kelompok Ringan
Gejala : Panas, artritis, perikarditis ringan, efusi pleura/perikard ringan,
kelelahan, dan sakit kepala
Kelompok Berat
Gejala : efusi pleura perikard masif, penyakit ginjal, anemia hemolitik,
trombositopenia, lupus serebral, vaskulitis akut, miokarditis,
pneumonitis lupus, dan perdarahan paru.
Penatalaksanaan Umum :
Kelelahan bisa karena sakitnya atau penyakit lain, seperti anemi, demam
infeksi, gangguan hormonal, komplikasi pengobatan, atau stres emosional.
Upaya mengurangi kelelahan disamping obat ialah cukup istirahat,
pembatasan aktivitas yang berlebih, dan mampu mengubah gaya hidup
Hindari Merokok
Hindari perubahan cuaca karena mempengaruhi proses inflamasi
Hindari stres dan trauma fisik
Diet sesuai kelainan, misalnya hyperkolestrolemia
Hindari pajanan sinar matahari, khususnya UV pada pukul 10.00 sampai
15.00
Hindari pemakaian kontrasespsi atau obat lain yang mengandung hormon
estrogen
Penyakit LES adalah penyakit kronik yang ditandai dengan remisi dan
relaps. Terapi suportif tidak dapat dianggap remeh. Edukasi bagi orang tua
dan anak penting dalam merencanakan program terapi yang akan dilakukan.
Edukasi dan konseling memerlukan tim ahli yang berpengalaman dalam
menangani penyakit multisistem pada anak dan remaja. Nefrologis perlu
dilibatkan pada awal penyakit untuk pengamatan yang optimal terhadap
komplikasi ginjal. Demikian pula keterlibatan dermatologis dan nutrisionis.
Perpindahan terapi ke masa dewasa harus direncanakan sejak remaja.
1. Diet seimbang dengan masukan kalori yang sesuai. Dengan adanya
kenaikan berat badan akibat penggunaan obat glukokortikoid, maka perlu
dihindari makanan “junk food” atau makanan mengandung tinggi sodium
untuk menghindari kenaikan berat badan berlebih.
2. Penggunaan tabir surya dengan kadar SPF lebih dari 15 perlu diberikan
pada anak jika berada di luar rumah, karena dapat melindungi dari sinar
UVB.
3. Pencegahan infeksi dilakukan dengan cara imunisasi, karena risiko
infeksi meningkat pada anak dengan LES. Pemberian antibiotik sebagai
profilaksis dihindari dan hanya diberikan sesuai dengan hasil kultur.
Terdapat beberapa patokan untuk penatalaksanaan infeksi pada penderita
lupus, yaitu ;
1) diagnosis dini dan pengobatan segera penyakit infeksi, terutama
infeksi bakterial
2) sebelum dibuktikan penyebab lain, demam disertai leukositosis
(leukosit >10.000) harus dianggap sebagai gejala infeksi,
3) gambaran radiologi infiltrat limfositik paru harus dianggap dahulu
sebagai infeksi bakterial sebelum dibuktikan sebagai keadaan lain, dan
4) setiap kelainan urin harus dipikirkan dulu kemungkinan pielonefritis.
Lupus diskoid
Terapi standar adalah fotoproteksi, anti-malaria dan steroid topikal. Krim
luocinonid 5% lebih efektif dibadingkan krim hidrokrortison 1%. Terapi
dengan hidroksiklorokuin efektif pada 48% pasien dan acitrenin efektif
terhadap 50% pasien.
Serositis lupus (pleuritis, perikarditis)
Standar terapi adalah NSAIDs (dengan pengawasan ketat terhadap
gangguan ginjal), antimalaria dan kadang-kadang diperlukan steroid dosis
rendah.
Arthritis lupus
Untuk keluhan muskuloskeletal, standar terapi adalah NSAIDs dengan
pengawasan ketat terhadap gangguan ginjal dan antimalaria. Sedangkan
untuk keluhan myalgia dan gejala depresi diberikan serotonin reuptake
inhibitor antidepresan (amitriptilin).
Miositis lupus
Standar terapi adalah kortikosteroid dosis tinggi, dimulai dengan
prednison dosis 1-2 mg/kg/hari dalam dosis terbagi, bila kadar komplemen
meningkat mencapai normal, dosis di tapering off secara hati-hati dalam 2-
3 tahun sampai mencapai dosis efektif terendah. Metode lain yang
digunakan untuk mencegah efek samping pemberian harian adalah dengan
cara pemberian prednison dosis alternate yang lebih tinggi (5 mg/kg/hari,
tak lebih 150-250 mg), metrotreksat atau azathioprine.
Fenomena Raynaud
Standar terapinya adalah calcium channel blockers, misalnya nifedipin;
alfa 1 adrenergic-receptor antagonist dan nitrat, misalnya isosorbid
mononitrat.
Lupus nefritis
Kelas I : Tidak ada terapi khusus dari klasifikasi WHO
Kelas II : (mesangial) mempunyai prognosis yang baik dan membutuhkan
terapi minimal. Peningkatan proteinuria harus diwaspadai karena
menggambarkan perubahan status penyakit menjadi lebih parah.
Kelas III : (focal proliferative Nefritis/FPGN) memerlukan terapi yang sama
agresifnya dengan DPGN, khususnya bila ada lesi focal
necrotizing.
Kelas IV : (DPGN) kombinasi kortikosteroid dengan siklofosfamid intravena
ternyata lebih baik dibandingkan bila hanya dengan prednison.
Siklofosfamid intravena telah digunakan secara luas baik untuk
DPGN maupun bentuk lain dari lupus nefritis. Azatioprin telah
terbukti memperbaiki outcome jangka panjang untuk tipe DPGN.
Prednison dimulai dengan dosis tinggi harian selama 1 bulan,
bila kadar komplemen meningkat mencapai normal, dosis di
tapering off secara hati-hati selama 4-6 bulan. Siklofosfamid
intravena diberikan setiap bulan, setelah 10-14 hari pemberian,
diperiksa kadar lekositnya. Dosis siklofosfamid selanjutnya akan
dinaikkan atau diturunkan tergantung pada jumlah lekositnya
(normalnya 3.000-4.000/ml).
Kelas V : regimen terapi yang biasa dipakai adalah (1). monoterapi dengan
kortikosteroid. (2). terapi kombinasi kortikosteroid dengan
siklosporin A, (3). sikofosfamid, azathioprine,atau klorambusil.
Proteinuria sering bisa diturunkan dengan ACE inhibitor. Pada
Lupus nefritis kelas V tahap lanjut. pilihan terapinya adalah
dialisis dan transplantasi renal.
Gangguan hematologis
Untuk trombositopeni, terapi yang dipertimbangkan pada kelainan ini
adalah kortikosteroid, imunoglobulin intravena, anti D intravena,
vinblastin, danazol dan splenektomi. Sedangkan untuk anemia hemolitik,
terapi yang dipertimbangkan adalah kortikosteroid, siklfosfamid intravena,
danazol dan splenektomi.
Pneumonitis interstitialis lupus
Obat yang digunakan pada kasus ini adalah kortikosteroid dan
siklfosfamid intravena.
Vaskulitis lupus dengan keterlibatan organ penting
Obat yang digunakan pada kasus ini adalah kortikosteroid dan
siklfosfamid intravena.
Penatalaksanaan Medikamentosa :
Untuk SLE derajat Ringan;
Penyakit yang ringan (ruam, sakit kepala, demam, artritis, pleuritis,
perikarditis) hanya memerlukan sedikit pengobatan.
Untuk mengatasi artritis dan pleurisi diberikan obat anti peradangan
non-steroid
Untuk mengatasi ruam kulit digunakan krim kortikosteroid.
Untuk gejala kulit dan artritis kadang digunakan obat anti malaria
(hydroxycloroquine)
Bila gagal, dapat ditambah prednison 2,5-5 mg/hari.
Dosis dapat diberikan secara bertahap tiap 1-2 minggu sesuai
kebutuhan
Jika penderita sangat sensitif terhadap sinar matahari, sebaiknya pada
saat bepergian menggunakan tabir surya, pakaian panjang ataupun
kacamata
Untuk SLE derajat berat;
Penyakit yang berat atau membahayakan jiwa penderitanya (anemia
hemolitik, penyakit jantung atau paru yang meluas, penyakit ginjal,
penyakit sistem saraf pusat) perlu ditangani oleh ahlinya
Pemberian steroid sistemik merupakan pilihan pertama dengan dosis
sesuai kelainan organ sasaran yang terkena.
Untuk mengendalikan berbagai manifestasi dari penyakit yang berat
bisa diberikan obat penekan sistem kekebalan
Beberapa ahli memberikan obat sitotoksik (obat yang menghambat
pertumbuhan sel) pada penderita yang tidak memberikan respon yang
baik terhadap kortikosteroid atau yang tergantung kepada
kortikosteroid dosis tinggi.
Pengobatan Pada Keadaan Khusus
Anemia Hemolitik
Prednison 60-80 mg/hari (1-1,5 mg/kg BB/hari), dapat ditingkatkan
sampai 100-200 mg/hari bila dalam beberapa hari sampai 1 minggu
belum ada perbaikan
Trombositopenia autoimun
Prednison 60-80 mg/hari (1-1,5 mg/kg BB/hari). Bila tidak ada respon
dalam 4 minggu, ditambahkan imunoglobulin intravena (IVIg) dengan
dosis 0,4 mg/kg BB/hari selama 5 hari berturut-turut
Perikarditis Ringan
Obat antiinflamasi non steroid atau anti malaria. Bila tidak efektif
dapat diberikan prednison 20-40 mg/hari
Perkarditis Berat
Diberikan prednison 1 mg/kg BB/hari
Miokarditis
Prednison 1 mg/kg BB/hari dan bila tidak efektif dapat dapat
dikombinasikan dengan siklofosfamid
Efusi Pleura
Prednison 15-40 mg/hari. Bila efusi masif, dilakukan pungsi
pleura/drainase
Lupus Pneunomitis
Prednison 1-1,5 mg/kg BB/hari selama 4-6 minggu
Lupus serebral
Metilprednison 2 mg/kg BB/hari untuk 3-5 hari, bila berhasil
dilanjutkan dengan pemberian oral 5-7 hari lalu diturunkan perlahan.
Dapat diberikan metilprednison pulse dosis selama 3 hari berturut-
turut
Obat-obat yang sering digunakan pada penderita LES
1. Antimalaria : Hidroksiklorokin 3-7 mg/kg/hari PO dalam garam sulfat
(maksimal 400 mg/hari)
2. Kortiko-steroid : Prednison dosis harian (1 mg/kg/hari); prednison dosis
alternate yang lebih tinggi (5 mg/kg/hari, tak lebih 150-250 mg);
prednison dosis rendah harian (0.5 mg/kg)/hari yg digunakan bersama
methylprednisolone dosis tinggi intermitten (30 mg/kg/dosis, maksimum
mg) per minggu.
3. Obat imuno-supresif : Siklofosfamid 500-750 mg/m2 IV 3 kali sehari
selama 3 minggu. maksimal 1 g/m2. Harus diberikan IV dengan infus
terpasang, dan dimonitor. Monitor lekosit pada 8-14 hari mengikuti setiap
dosis (lekosit dimaintenance > 2000-3000/mm3). Azathioprine 1-3
mg/kg/hari PO 4 kali sehari.
4. Non-steroidal anti-inflam-matory drugs (NSAIDs)
Naproxen 7-20 mg/kg/hari PO dibagi 2-3 dosis maks 500-1000 mg/hari
Tolmetin 15-30 mg/kg/hari PO dibagi 2-3 dosis maks 1200-1800 mg/hari
Diclofenac
< 12 tahun : tak dianjurkan
> 12 tahun : 2-3 mg/kg/hari PO digagi 2 dosis maksimal 100-200 mg/hari
5. Suplemen Kalsium dan vitamin D
Kalsium karbonat
< 6 bulan : 360 mg/hari
6-12 bulan : 540 mg/hari
1-10 bulan : 800 mg/hari
11-18 bulan : 1200 mg/hari
Calcifediol
< 30 kilogram : 20 mcg PO 3 kali/minggu
> 30 kilogram : 50 mcg PO 3 kali/minggu
6. Anti-hipertensi
Nifedipin 0.25-0.5 mg/kg/dosis PO dosis awal, tak lebih dari 10 mg,
diulang tiap 4-8 jam.
Enalapril 0.1 mg/kg/hari PO 4 kali sehari atau 2 kali sehari bisa
ditingkatkan bila perlu, maksimum 0.5 mg/kg/hari
Propranolol 0.5-1 mg/kg/hari PO dibagi 2-3 dosis, dapat ditingkatkan
bertahap dalam 3-7 hari dengan dosis biasa 1-5 mg/kg/hari 2,3,4
PROGNOSIS
Beberapa tahun terakhir ini prognosis penderita lupus semakin
membaik, banyak penderita yang menunjukkan penyakit yang ringan.
Wanita penderita lupus yang hamil dapat bertahan dengan aman sampai
melahirkan bayi yang normal, tidak ditemukan penyakit ginjal ataupun
jantung yang berat dan penyakitnya dapat dikendalikan.
Angka harapan hidup 10 tahun meningkat sampai 85%.
Prognosis yang paling buruk ditemukan pada penderita yang mengalami
kelainan otak, paru-paru, jantung dan ginjal yang berat.
Masa kanak-kanak SLE pada awalnya dipandang sebagai penyakit
fatal seragam. Dengan kemajuan dalam diagnosis dan perawatan, 5-yr
survival rate lebih besar dari 90%.. Penyebab utama kematian pada pasien
dengan lupus saat ini termasuk infeksi, nefritis, penyakit SSP, perdarahan
paru-paru, dan infark miokard; yang terakhir mungkin komplikasi akibat
administrasi kortikosteroid kronis dalam pengaturan kekebalan penyakit
kompleks.
LES memiliki angka survival untuk masa 10 tahun sebesar 90%.
Penyebab kematian dapat langsung akibat penyakit lupus, yaitu karena gagal
ginjal, hipertensi maligna, kerusakan SSP, perikarditis, sitopenia autoimun.
Data dari beberapa penelitian tahun 1950-1960, menunjukkan 5-year survival
rates sebesar 17.5%-69%. Sedangkan tahun 1980-1990, 5-year survival rates
sebesar 83%-93%. Beberapa peneliti melaporkan bahwa 76%-85% pasien
LES dapat hidup selama 10 tahun, sebesar 88% dari pasien mengalami
sedikitnya cacat dalam beberapa organ tubuhnya secara jangka panjang dan
menetap.
BAB III
KASUS
1. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. W
Umur : 34 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Sawangan 3/1, Kebasen
Pekerjaan : buruh
Pendidikan : SMP
Agama : Islam
Tgl masuk RSMS : 7 April 2011
Tgl pemeriksaan : 14 April 2011
2. ANAMNESIS (Autoanamnesis)
a. Keluhan utama : Badan pegal-pegal
b. Keluhan tambahan : lemas, nafsu makan menurun, mual, BB menurun,
sariawan di mulut, rambut rontok.
c. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke Poliklinik penyakit dalam RSMS dengan keluhan
badan terasa pegal-pegal sejak ± 1 tahun yang lalu. Pegal-pegal yang
dirasakan pasien terutama pada sendi-sendi lutut, pergelangan tangan,
siku dan telapak kaki. Keluhan tersebut dirasakan semakin lama semakin
memberat terutama ± 6 bulan terakhir ini dan mengganggu aktivitas.
Beberapa kali pasien mengkonsumsi obat pegal linu yang dibeli diwarung
untuk mengurangi pegal-pegal tersebut.
Pasien juga mengeluh badan menjadi sangat lemas, badan lemas
dirasakan di seluruh badan secara tiba-tiba oleh pasien sampai
mengganggu aktivitas dan diikuti dengan sakit kepala, mual, dan tidak
ada nafsu makan, sehingga berat badan pasien semaki hari semakin
menurun. Berat badan pasien menurun ± 18kg selama 1 tahun terakhir.
Pasien juga mengeluhkan sariawan yang dirasakan sejak ± 1
minggu sebelum masuk rumah sakit. Sariawan semakin banyak dan tidak
sembuh-sembuh. Keluhan tersebut disertai dengan nyeri telan dan mual.
Satu minggu sebelum masuk rumah sakit pasien mengeluh demam naik
turun. Demam dengan suhu yang tidak begitu tinggi dan tidak menggigil.
Demam dirasa berkurang jika minum obat penurun panas.
Pasien mengeluh rambut rontok, setiap harinya sekitar ± 300 helai
rambut pasien rontok. Selain itu pasien juga merasa bahwa rambutnya
mudah dicabut. Kurang lebih, 6 bulan yang lalu pasien pernah mengalami
bercak bercak kemerahan yang timbul di wajah terutama sekitar hidung
dan pipi serta di badan yang didominasi di daerah siku dan lutut yg
sekarang masih berbekas berupa bercak kehitaman.
d. Riwayat Penyakit Dahulu :
- Riwayat kencing manis : disangkal
- Riwayat hipertensi : disangkal
- Riwayat penyakit hati : disangkal
- Riwayat penyakit jantung : disangkal
- Riwayat penyakit ginjal : disangkal
- Riwayat penyakit paru : disangkal
- Riwayat alergi : disangkal
- Riwayat penggunaan obat-obatan : disangkal
e. Riwayat Penyakit Keluarga :
- Riwayat kencing manis : disangkal
- Riwayat hipertensi : disangkal
- Riwayat penyakit ginjal : disangkal
- Riwayat penyakit hati : disangkal
- Riwayat penyakit jantung : disangkal
- Riwayat penyakit paru : disangkal
f. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Pasien dan
suami sudah lama tinggal di kebasen. Pasien tinggal di rumahnya sendiri
di daerah pemukiman padat penduduk, yang mana terdapat ruang tamu,
dapur, kamar mandi dan 3 buah kamar. Rumah pasien terbuat dari batu
bata, lantai rumah pasien belum dikeramik hanya diplester dengan semen.
Disekitar tempat tinggal pasien tidak terdapat pabrik maupun tempat
pembuangan limbah.. Ventilasi rumah pasien kurang dan pencahayaannya
kurang. Hal ini dibuktikan dengan pengakuan pasien bahwa rumahnya
terlihat gelap walaupun di siang hari.
Pasien bekerja sebagai buruh. Pasien sudah menikah selama ± 15
tahun dan mempunyai 2 orang anak. Pasien mengaku hubungan antara
pasien dan suaminya harmonis. Suami pasien bekerja sebagai tukang
ojek. Ekonomi keluarga tergolong menengah kebawah yang mana
pendapatan sehari-hari hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-
harinya. Sehingga dalam masalah kesehatan pasien tidak terlalu
memperhatikan karena biaya yang tidak ada.
3. PEMERIKSAAN FISIK.
Keadaan Umum : Sedang, kooperatif
Kesadaran : Compos Mentis
Vital Sign : T : 120/80 mmHgR : 20 x/menitN : 78 x/menit S : 36,5 O C
BB : 40kg
TB : 160 cm
IMT = 40/ (1,60)2kg/m2
= 15,6kg/m2
Status Generalis
1
.
Pemeriksaan Kepala
- Bentuk Kepala : Mesochepal, simetris.
- Rambut : Warna hitam, jarang/sedikit, mudah rontok,
mudah dicabut
-
-
Nyeri Tekan
Muka
:
:
Tidak ada
Bintik-bintik disekitar pipi (tinggal bercak-
bercak kehitaman)
2
.
Pemeriksaan Mata
- Palpebra : Edema (-/-), ptosis (-/-)
- Konjunctiva : Anemis (-/-)
- Sklera : Ikterik (-/-)
- Pupil : Reflek cahaya (+/+) N, Isokor, diameter 3mm
3
.
Pemeriksaan Telinga : Otore (-/-), deformitas (-/-), nyeri tekan (-/-)
4
.
Pemeriksaan Hidung : Nafas cuping hidung (-/-), deformitas (-/-),
rinore (-/-)
5
.
Pemeriksaan Mulut
dan Faring
: Bibir terlihat kering, sianosis (-), tampak plak
putih yang meluas mengenai mukosa bukal, tepi
hiperemis (-), sariawan (+)
6
.
Pemeriksaan Leher
- Trakea : Deviasi trakea (-), Struma (-).
- Kelenjar Tiroid : Tidak membesar
- Kelenjar limfe : Tidak Membesar, nyeri (-)
- JVP : JVP normal 5+1cm
7
.
Pemeriksaan Dada
Paru-paru
Paru bagian Depan :
Inspeksi : Dada simetris, Ketinggalan gerak (-), Retraksi (-)
Palpasi :Vokal fremitus lobus superior kanan = kiri
Vokal fremitus lobus inferior kanan = kiri
Perkusi : Sonor pada semua lapang paru
Auskultasi : Suara dasar : Vesikuler
Suara tambahan: Ronkhi basah kasar (-/-), Ronkhi
basah halus (-/-), wheezing (-/-)
Paru bagian belakang :
Inspeksi : Simetris
Palpasi : Vokal fremitus lobus superior kanan = kiri
Vokal fremitus lobus inferior kanan = kiri
Perkusi : Sonor pada kedua paru
Auskultasi : Suara dasar : Vesikuler
Suara tambahan : Ronkhi basah kasar (-/-), Ronkhi
basah halus (-/-), wheezing (-/-)
Jantung
- Inspeksi : Ictus cordis tampak di SIC V 2 jari medial LMC
sinistra
- Palpasi : Ictus cordis teraba di SIC V 2 jari medial LMC
sinsitra, kuat angkat (-)
- Perkusi : Batas jantung
Kanan atas SIC II LPSD
Kanan bawah SIC IV LPSD
Kiri atas SIC II LPSS
Kiri bawah SIC V 2 jari medial LMCS
- Auskultasi : S1 > S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
8
.
Pemeriksaan Abdomen
- Inspeksi : Datar
- Auskultasi : Peristaltik usus (+) normal
- Perkusi : timpani, pekak sisi (-), pekak alih (-)
- Palpasi : supel, undulasi (-), nyeri tekan(-), hepar dan lien tak
teraba besar
9 Pemeriksaan Ekstremitas
- Superior : Deformitas (-), jari tabuh (-), ikterik (-), sianosis
(-),edema (-)
- Inferior : Deformitas (-), ikterik (-), sianosis (-), edema (-)
Pemeriksaan penunjang
Hasil laboratorium tanggal 7 April 2011
Darah lengkap
(nilai normal)
1. Hb : 9,3 gr/dl ↓ 13-16 gr/dl
2. Leukosit : 740 /ul ↓ 5000 – 10.000 /ul
3. Hematokrit : 29 % ↓ L 40 – 48, p 37 – 43 %
4. Eritrosit : 3,6 juta /ul ↓ L 4,5 – 5,5 , p 4 – 5 juta /ul
5. Trombosit : 97.000/ul ↓ 150.000 – 400.000 /ul
6. MCV : 80,1 ↓ 82 – 92 pg
7. MCH : 28,1% ↓ 31 – 37 %
8. MCHC : 32,6 gr/dl 32 – 36 gr/dl
9. RDW : 13,5 % 11,5-14,5 %
10.MPV : 10,1 (7,2-11,1fl)
Hitung Jenis
a. Eosinofil : 1,4 ↓ 0-1 %
b. Basofil : 4,1 ↑ 1-3 %
c. Batang : 0,00 ↓ 2-6 %
d. Segmen : 10,7 ↓ 50-70 %
e. Limfosit : 58,1 ↑ 20-40 %
f. Monosit : 25,7 ↑ 2-8 %
Kimia Darah
BUN : 19,8 ↑ 0,65mg/dl
GDS : 75 (≤200)
Seroimunologi
RF : negative
Tanggal 9 April 2011
S : badan pegal-pegal, sariawan, batuk berdahak sudah 2 hari, mata sakit, mual,
muntah, BB menurun, Pusing, BAB tidak lancar, kadang sesak.
VS : TD : 90/70mmHg RR : 22x/menit
N : 60x/menit s : 37,1ºC
Belum cek lab ulang
Tanggal 10 April 2011
S : lemas, pusing, kaki kesemutan, batuk, sulit makan, bibir dan mulut sariawan
VS : TD : 110/70mmHg RR : 18x/menit
N : 68x/menit s : 36,5ºC
-diberikan leukokin 2x1
-belum cek lab ulang
Tanggal 11 April 2011
S : lemas, pusing, kaki kesemutan, batuk, sulit makan, bibir dan mulut sariawan
VS : TD : 110/70mmHg RR : 18x/menit
N : 70x/menit s : 36,5ºC
-diberikan leukokin 2x1
belum cek lab ulang
Tangga 12 April 2011
S : batuk, telapak kaki kanan dan kriri terasa senut-senut.
VS : TD : 110/70mmHg RR : 18x/menit
N : 76x/menit s : 36,5ºC
Hasil lab tanggal 12 April 2011
Darah lengkap
1. Hb : 9,2 gr/dl ↓ 13-16 gr/dl
2. Leukosit : 2060 /ul ↓ 5000 – 10.000 /ul
3. Hematokrit : 29 % ↓ L 40 – 48, p 37 – 43 %
4. Eritrosit : 3,5 juta /ul ↓ L 4,5 – 5,5 , p 4 – 5 juta /ul
5. Trombosit : 69.000/ul 150.000 – 400.000 /ul
6. MCV : 81 ↓ 82 – 92 pg
7. MCH : 26,1% ↓ 31 – 37 %
8. MCHC : 32,3 gr/dl 32 – 36 gr/dl
9. RDW : 13,4 % 11,5-14,5 %
10.MPV : - (7,2-11,1fl)
Hitung Jenis
a. Eosinofil : 0,0 0-1 %
b. Basofil : 1 1-3 %
c. Batang : 0,00 ↓ 2-6 %
d. Segmen : 43,1 ↓ 50-70 %
e. Limfosit : 20,9 20-40 %
f. Monosit : 35,0 ↑ 2-8 %
Tanggal 13 April 2011
S : batuk, telapak kaki kanan dan kiri terasa senur-senut
VS : TD : 110/70mmHg RR : 20x/menit
N : 76x/menit s : 36,5ºC
diberikan leukokin 2x1, belum cek lab ulang
Tanggal 14 April 2011
S : Keluhan sudah mulai berkurang
VS : TD : 120/80mmHg RR : 20x/menit
N : 78x/menit s : 36,5ºC
Hasil laboratorium tanggal 14 Maret 2011
Darah lengkap
1. Hb : 10 gr/dl ↓ 13-16 gr/dl
2. Leukosit : 2190 /ul ↓ 5000 – 10.000 /ul
3. Hematokrit : 31 % ↓ L 40 – 48, p 37 – 43 %
4. Eritrosit : 3,9 juta /ul ↓ L 4,5 – 5,5 , p 4 – 5 juta /ul
5. Trombosit : 113.000/ul ↓ 150.000 – 400.000 /ul
6. MCV : 80,1 ↓ 82 – 92 pg
7. MCH : 25,5% ↓ 31 – 37 %
8. MCHC : 31,8 gr/dl ↓ 32 – 36 gr/dl
9. RDW : 13,3 % 11,5-14,5 %
10.MPV : - (7,2-11,1fl)
Hitung Jenis
a. Eosinofil : 1,4 ↑ 0-1 %
b. Basofil : 2,7 1-3 %
c. Batang : 0,00 ↓ 2-6 %
d. Segmen : 51 50-70 %
e. Limfosit : 39,7 20-40 %
f. Monosit : 51,1 ↑ 2-8 %
DIAGNOSIS
SLE
PENATALAKSANAAN
Non Medikamentosa
Medikamentosa :
IVFD KAEN 3B+sohobion
inj Metilprednisolon 2 x 125 mg (iv)
inj rantin 2 x 50 mg (iv)
inj Panso 1 x 1 vial (iv)
inj cefotaxim 2 x 1 gram
ondansetron 1x1
leukokin 2x1
ciprofloxasin 2x1
BAB V
KESIMPULAN
Lupus eritematosus didefinisikan sebagai gangguan autoimun, dimana
sistem tubuh menyerang jaringannya sendiri. Etiologi penyakit LES masih belum
terungkap dengan pasti tetapi diduga merupakan interaksi antara faktor genetik,
faktor yang didapat dan faktor lingkungan. Ada empat faktor yang menjadi
perhatian bila membahas pathogenesis SLE, yaitu : faktor genetik, lingkungan,
kelainan sistem imun dan hormon.
Gejala klinis dan perjalanan penyakit SLE sangat bervariasi. Penyakit dapat
timbul mendadak disertai tanda-tanda terkenanya berbagai sistem dalam tubuh.
Berbagai kriteria diagnosis klinis penyakit lupus telah diajukan akan tetapi
yang paling banyak dianut adalah kriteria menurut American College of
Rheumatology (ACR). Diagnosis LES ditegakkan bila terdapat paling sedikit 4
dari 11 kriteria ACR tersebut, meliputi : butterfly rash, bercak discoid, fotosensitf,
ulkus mulut, arthritis, serositif, gangguan ginjal, gangguan saraf, gangguan darah,
gangguan imunologi dan gangguan antinuclear.
Komplikasi LES pada anak meliputi: hipertensi, gangguan pertumbuhan,
gangguan paru-paru kronik, abnormalitas mata, kerusakan ginjal permanen, gejala
neuropsikiatri, kerusakan muskuloskeleta dan gangguan fungsi gonad.
Jenis penatalaksanaan ditentukan oleh beratnya penyakit. Luas dan
jenis gangguan organ harus ditentukan secara hati-hati. Dasar terapi adalah
kelainan organ yang sudah terjadi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Anna MQ, Peter VR, et al. Diagnosis of Systemic Lupus Eritematosus. Last
update: 1 Desember 2003. Available at: http://www.aafp.org
2. Anonim. Lupus Eritematosus Sistemik pada Anak. Last update : 16 Mei, 2009.
Available at htttp://www.childrenclinic.wordpress.com.
3. Harsono A, Endaryanto A. Lupus Eritematosus Sistemik pada Anak. Last
update : 14 Februari, 2010. Available at http://www.pediatrik.com.
4. Marisa S. Klein-Gitelman, Michael L. Miller, Chapter 148 - Systemic Lupus
Erythematosus : Nelson Textbook of Pediatrics 17th edition. W.B Saunders,
Philadelphia. 2003. p810-813.
5. Callen JP. Lupus Eritematosus, Discoid. Last update : February, 2007.
Available at htttp://www.emedicine.com.
6. Tonam, Yuda T, Fachrida LM. Manifestasi Neurologik pada Lupus
Eritematosus Sistemik. Bagian Neurologi FKUI/RSUPN-CM. 2007.