pemetaan distribusi terumbu karang dengan menggunakan data satelit alos avnir

Upload: tatang-kurniawan

Post on 13-Oct-2015

57 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

PEMETAAN DISTRIBUSI TERUMBU KARANG DENGAN MENGGUNAKAN DATA SATELIT ALOS AVNIR-2 DI SEKITAR PERAIRAN SEKOTONG KABUPATEN LOMBOK BARATABSTRAKSukuryadi*, T. Osawa**, W. Arthana*** SMKN I Lembar, jln. Datu Kedaru No_ Lembar Lombok Barat** Cressos-UNUD DenpasarTerumbu karang mempunyai nilai yang penting dari segi sosial ekonomi dan budaya, karena hampir sepertiga dari penduduk Indonesia yang tinggal di daerah pesisir menggantungkan hidupnya dari perikanan laut dangkal. Mereka umumnya masih menggunakan cara tradisional dalam penangkapan dan terbatas di daerah yang relatif dangkal yang umumnya berupa terumbu karang. Salah satu alternatif dalam memantau luasan dan kondisi terumbu karang yaitu dengan memanfaatkan teknologi penginderaan jauh seperti satelit ALOS dengan sensor AVNIR-2 karena mempunyai 3 spektrum tampak (biru, hijau, merah) yang mampu berpenetrasi ke dalam kolom air, juga mempunyai resolusi spasial yang cukup tinggi yaitu 10 meter.Tujuan penelitian ini adalah: (1) untuk mengetahui tingkat akurasi citra satelit ALOS untuk pemetaan sebaran terumbu karang dan (2) untuk mengetahui sebaran terumbu karang secara umum di sekitar perairan Sekotong Lombok Barat.Tahap awal pengolahan citra meliputi pemotongan citra, koreksi geometrik, dan pemisahan darat (masking image). Pengaruh kolom air direduksi dengan algoritma Lyzenga. Proses klasifikasi multispektral dilakukan untuk mendapatkan kategori objek dasar perairan yang terdiri dari 5 (lima) kelas yaitu: karang hidup, pecahan karang, pasir, tumbuhan air, dan substrat. Data hasil cek lapangan digunakan untuk mengetahui tingkat ketelitian interpretasi citra. Metode Lillesand dan Kiefer digunakan untuk uji ketelitian hasil interpretasi. Hasil uji menunjukkan tingkat ketelitian keseluruhan klasifikasi penelitian ini adalah 84,83% (ALOS AVNIR-2 akuisisi 12 Maret 2007), 87,59% (ALOS AVNIR-2 akuisisi 29 April 2008) and 85,52% (ALOS AVNIR-2 akuisisi 14 September 2008). Hasil interpretasi citra menunjukkan luas terumbu karang di sekitar perairan Sekotong diperkirakan sekitar 111,360 hektar (AVNIR-2 akuisisi 12 maret 2007), 243,350 hektar (AVNIR-2 akuisisi 29 april 2008), 189,560 hektar (AVNIR-2 akuisisi 14 September 2008). Umumnya terumbu karang di sekitar perairan Sekotong bertipe fringing reef walaupun sebagian kecil terdapat patch reef (takat).Kata kunci: Pemetaan, Sebaran terumbu karang, citra satelit ALOSINTRODUCTIONDewasa ini, kebutuhan akan data dan informasi yang cepat dan akurat cakupan wilayah yang cukup luas semakin mendesak. Teknologi penginderaan jauh (Inderaja) merupakan suatu alternatif yang tepat yang untuk mendukung penyediaan informasi spasial sumber daya alam, termasuk terumbu karang pada areal yang cukup luas (Kuchler et al. 1986 dalam Nurjannah,1998)Informasi mengenai objek dasar perairan dangkal merupakan informasi yang penting untuk mengetahui tipe ekosistem pada perairan dangkal tersebut, yang pada akhirnya bermanfaat sebagai bahan untuk pengelolaan daerah pesisir dan wilayah laut. Empat ekosistem yang menjadi pedoman didalam pengelolaan ekosistem wilayah pesisir dan lautan antara lain; 1) ekosistem terumbu karang, 2) ekosistem padang lamun, 3) ekosistem mangrove, dan 4) ekosistem estuaria (Dahuri, 1996). Ekosistem terumbu karang bermanfaat sebagai peredam ombak alami, mempertahankan garis pantai dari abrasi, sebagai sumber bahan makanan dan obat-obatan, serta dapat dijadikan objek wisata alam. Untuk biota, ekosistem terumbu karang berperan sebagai tempat mencari makan, perlindungan, dan sebagai daerah asuhan bagi biota pada stadia muda. (BAKOSURTANAL, 2008)Terumbu karang mempunyai nilai dan arti yang sangat penting baik bagi dari segi sosial ekonomi dan budaya, karena hampir dari sepertiga penduduk Indonesia yang tinggal di daerah pesisir menggantungkan hidupnya dari perikanan laut dangkal. Mereka umumnya masih menggunakan cara tradisional dalam penangkapan dan terbatas di daerah yang relatif dangkal yang umumnya berupa terumbu karang (Suharsono,1996).Sejalan dengan perkembangan teknologi penginderaan jauh, saat ini tersedia satelit ALOS yang memiliki 3 sensor utama yaitu: 1) PRISM yang dapat merekam pada julat gelombang tampak dengan resolusi spasial 2.5 meter, 2) AVNIR yang dapat merekam pada julat gelombang tampak hingga inframerah dekat dan memiliki resolusi spasial 10 meter, dan 3) PALSAR yang merupakan sensor perekam radar (ALOS/JAXA, 2006). Dengan sensor yang dibawa pada PRISM dan AVNIR, memungkinkan untuk melakukan identifikasi objek dasar perairan dangkal.Data Penginderaan jauh satelit mempunyai kemampuan dan manfaat guna mendukung tersedianya data dan informasi tentang kawasan teumbu karang. Dengan mengembangkan model metode pengolahan dan mengkaji pemanfaatan data Penginderan jauh diharapkan dapat mendukung penyediaan data dan informasi terbaru yang sangat bermanfaat dalam upaya pengelolaan kawasan terumbu karangBerdasarkan data dari Dinas Perikanan dan Kelautan (Diskanlut NTB, 2006), Perairan Sekotong merupakan bagian dari kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB) yang merupakan salah satu jalur Wallacea. Perairan Sekotong juga merupakan bagian dari Selat Lombok yang merupakan jalur arus lintas Indonesia (Arlindo) yang tentunya juga memberikan pengaruh bagi keanekaragaman jenis terumbu karang.Berdasarkan hal tersebut diatas, perlu diadakan suatu penelitian tentang pemetaan terumbu karang, dengan cara uji lapangan sehingga dapat dijadikan bahan informasi untuk mengetahui sebaran terumbu karang melalui citra satelit, dan juga sebagai informasi menyangkut metode kerja untuk penelitian-penelitian selanjutnya yang serupa di lokasi lainnya.Adapun tujuan dari penelitian ini adalah : (1) Untuk memetakan distribusi terumbu karang dengan menggunakan citra satelit ALOS AVNIR-2 di sekitar perairan Sekotong Lombok Barat, (2) Untuk mengetahui tingkat akurasi citra satelit ALOS dalam memetakan sebaran terumbu karang secara umum di sekitar perairan Sekotong Lombok Barat.RESEARCH METHODPenelitian ini dilaksanakan selama 7 bulan dimulai dari pengumpulan data, Pengolahan citra dan penulisan laporan akhir.1. Pengolahan CitraKoreksi GeometrikKoreksi Geometrik dilakukan karena adanya kesalahan geometrik yang bisa menyebabkan perpindahan piksel dari posisi sebenarnya. Koreksi ini dilakukan untuk meletakkan posisi objek di citra sesuai dengan prinsip-prinsip pemetaan utamanya dalam hal skala dan proyeksi. Proses selanjutnya adalah interpolasi nilai spektral bagi masing-masing piksel melalui proses resampling tetangga terdekat (nearest neighbor resampling), karena tidak merubah nilai piksel yang bersangkutan, melainkan hanya mengambil kembali nilai dari piksel terdekat yang telah tergeser ke posisi yang baru.Pemisahan Obyek Perairan dan Daratan (Image Masking)Objek darat dalam penelitian ini tidak diperlukan sehingga objek darat dan laut harus dipisahkan melalui proses masking (Image masking). Dasar citra masking ditentukan dengan melihat batas nilai piksel antara daratan dan lautan pada citra band 4. Masking bertujuan untuk menghilangkan nilai spektral dari daratan dan hanya menampilkan lautan saja, sehingga untuk interpretasi selanjutnya nilai daratan tak dihitung lagi (diabaikan).Lyzenga method applicationMetodeLyzenga digunakan untuk mendapatkan tampilan citra objek dasar perairan (benthic object) yang lebih bagus dalam hal ini terumbu karang. Penelitian ini menggunakan metode Lyzenga (Lyzenga 1981). Pada model algoritma lyzenga menggunakan band 1, 2 dan 3.Aplikasi formula Lyzenga sebagai berikut adalah :dimana:ki/kj : ratio of attenuation coefficientVar bi : variant value band iVar bj : variant value band jCovar bibj : covariant value band i and jY : depth invariant indexln bi : normalized image in band iln bj : normalized image in band jDari tahap ini didapatkan 3 citra baru transformasi lyzengaKlasifikasi MultispectralKlasifikasi citra yang dilakukan adalah klasifikasi supervised (terbimbing/teracu/terawasi) pada citra baru hasil dari penerapan model lyzenga yang kemudian diklasifikasi ke dalam beberapa kelas sesuai dengan data awal sebagai data acuan. Langkah ini diterapkan pada masing-masing citra baru dari transformasi lyzenga.2. Cek LapanganTujuan cek lapangan adalah untuk menguji kebenaran dari masing-masing kelas hasil klasifikasi pada citra.3. Uji Ketelitian (Accuracy test) hasil interpretasiTujuan langkah ini adalah untuk mengetahui tingkat akurasi dan kebenaran hasil interpretasi citra dengan mengacu pada data lapangan (land surveying). Jadi, tahap ini merupakan kegiatan membandingkan dua data yaitu data hasil klasifikasi citra dan data in situ.RESULTS AND DISCUSSIONLangkah pertama pengolahan citra merupakan proses awal yang bertujuan untuk memperbaiki kualitas citra sebelum proses aplikasi metode Lyzenga dan klasifikasi. Ada 3 langkah dalam proses awal pengolahan citra yaitu pemotongan citra (image cropping), koreksi geometrik dan pemisahan darat dan laut (image masking).Geometric CorrectionNilai Root Mean Square (RMS) menunjukkan tingkat akurasi ground control points (GCP). Rata-rata RMSE dalam penelitian ini adalah 0.026. Menurut ketelitian baku peta nasional Amerika Serikat (US national map standards), nilai RMS untuk citra harus lebih kecil daripada setengah resolusi spasial citra yang bersangkutan (Eastman, 1997). Perubahan posisi citra menunjukkan bahwa ada perbaikan posisi citra melalui koreksi geometrik. Karena citra hasil koreksi geometrik akan digunakan untuk proses klasifikasi multispektral, metode resampling yang paling tepat adalah metode nearest neighbour, dimana metode interpolasi ini hanya mengambil kembali nilai dari piksel terdekat yang telah tergeser ke posisi baru, menurut Danoedoro (1996) algoritma nearest neighbour lebih sesuai diterapkan pada citra saluran-saluran asli dan juga hasil klasifikasi.Koreksi geometrik juga memberikan informasi tentang luas masing-masing kelas objek dasar pada areal penelitian, tidak hanya dalam piksel tetapi juga dalam satuan hektar atau are. Jadi, proses ini akan membuat perhitungan luas masing-masing kelas dalam penelitian ini menjadi lebih mudah.Water Column Correction (Lyzenga Method Application)Koreksi kolom air merupakan metode yang digunakan untuk menghilangkan pengaruh kolom air. Pentingnya koreksi kolom air dilakukan dalam penelitian ini berdasarkan pada kenyataan bahwa klasifikasi multispektral menggunakan citra asli (original data) tidak bisa secara maksimal membedakan karakteristik objek bentik (benthic object) akibat pengaruh kedalaman air (water column). Oleh karena itu, koreksi kolom air sangat diperlukan sebelum proses klasifikasi digital untuk meminimalisir pengaruh kedalaman. Dalam hal ini ada dua teknik koreksi kolom air yaitu : (1) Persamaan transfer radiasi, (2) Berdasarkan pendekatan citra.Pendekatan untuk koreksi kolom air dengan teknik yang sederhana dan tingkat akurasi yang bisa diterima. Pendekatan ini berdasarkan teknik pendekatan citra. Salah satu koreksi kolom air berdasarkan pendekatan citra yang sering digunakan untuk pemetaan objek dasar perairan dangkal di beberapa wilayah teritorial dunia yaitu metode Lyzenga yang dikembangkan oleh Lyzenga (Lyzenga, 1978).Dalam penelitian ini dilakukan koreksi kolom air dengan pendekatan citra yaitu aplikasi model atenuasi Lyzenga.Metode Lyzenga diterapkan setelah proses pengolahan awal citra, metode ini digunakan untuk mendapatkan tampilan citra yang lebih bagus tentang objek dasar perairan (benthic object) termasuk terumbu karang. Pembuatan training area dalam penelitian ini merupakan tahap pertama aplikasi metode transformasi Lyzenga, dalam hal ini jumlah training area yang dibuat adalah 30. Petunjuk statistik untuk pembuatan training area adalah biplot dari ln band 1 and ln band 2 (Gambar 5.5a), ln band 1 and band 3 (Gambar 5.5b) and ln band 2 and band 3 (Gambar 5.5c). Bentuk dari masing-masing biplot menunjukkan homogenitas training area. Tabel 5.4 menunjukkan kombinasi nilai koefisien atenuasi (ki/kj) antar band.(a) (b) (c)Figure 5.5 Biplot training area (a) Ln Band 1 and Ln Band 2, (b) Ln Band 1 and Ln Band 3, (c) Ln Band 2 and Ln Band 3Table 5.4 Nilai rasio koefisien atenuasi (ki/kj)NoCombinasi Band Nilai1. ki/kj Band 1 Band 2 0.596845552. ki/kj Band 1 Band 3 0.86756773. ki/kj Band 2 Band 3 1.52143159Nilai rasio koefisien atenuasi digunakan untuk menghitung nilai pada metode transformasi Lyzenga untuk masing-masing kombinasi band. Dari aplikasi algoritma Lyzenga didapatkan 3 citra baru dengan masing-masing 2 kombinasi band yaitu kombinasi band 1 band 2 (tipe 1), kombinasi band 1 band 3 (tipe 2) dan kombinasi band 2 band 3 (tipe 3). Gambar 5.6a, 5.6b dan 5.6c adalah tampilan citra setelah aplikasi algoritma Lyzenga dalam layer pseudocolor. Tabel 5.5 menunjukkan nilai statistik citra setelah aplikasi algoritma Lyzenga.Gambar 5.6a. Tampilan citra setelah aplikasi algoritma Lyzenga untuk kombinasi Band 1 and Band 2 Figure 5.6b. Tampilan citra setelah aplikasi algoritma Lyzenga untuk kombinasi Band 1 and Band 3 Figure 5.6c. Tampilan citra setelah aplikasi algoritma Lyzenga untuk kombinasi Band 2 and Band 3Tabel 5.5 menunjukkan nilai statistik citra setelah aplikasi algoritma LyzengaKind of ImageOriginal Image Lyzenga Application ImageB1 B2 B3 B1 B2 B3(B1B2 Combination) (B1B3 Combination) (B2B3 Combination)Minimum 0 0 0 0 0 0Maximum 217 252 255 255 255 255Mean 94.726 57.014 34.749 184.955 186.765 187.814Std.Dev 7.176 14.547 14.717 111.094 111.094 110.875Klasifikasi MultispektralTahapan proses klasifikasi dilakukan berdasarkan kelompok objek bentik yang menyusun dasar perairan. Kelas-kelas objek bentik ditentukan berdasarkan data in situ (land Surveying) dalam hal ini terdiri dari 5 (lima) kelas yaitu karang hidup (life Coral), tumbuhan air (Marint plants), pasir (sand), pecahan karang (rubble of Coral) dan substrat (Substrate).Berdasarkan hasil klasifikasi multispektral pada masing-masing citra diperoleh 5 (lima) kelas objek dasar perairan. Tampilan citra setelah proses klasifikasi multispektral dapat dilihat pada gambar 5.7 (tipe 1, tipe 2, tipe 3).gambar 5.7a. tampilan citra setelah proses klasifikasi multispektral untuk kombinasi band 1 dan band 2 (type 1) Gambar 5.7b. tampilan citra setelah proses klasifikasi multispektral untuk kombinasi band 1 dan band 3 (type 2). Gambar 5.7c. tampilan citra setelah proses klasifikasi multispektral untuk kombinasi band 2 dan band 3 (type 3).Uji Ketelitian (Accuracy Test) Hasil KlasifikasiThe aim of this step is to know the accuracy level and truth level of image interpretation result. Two kind data that must be existed are image interpretation data and ground check data. Table 5.6 shows amount of ground check data of each class. The data of ground check have to be made table of confusion matrix as the base of accuracy level calculation.Table 5.6 Amount of Ground Check Data of Each ClassClasses Coral Marine Plants Sand Rubble of Coral SubstrateAmount of Ground Check6038296429(Source: Ground Check Result, 2008The image after multispectral classification process at type 1, type 2 and type 3 combinations were figure 5.7, that shown the images with type 1 which was band 1 and band 2 combinations was more better to separate the benthic object after Lyzenga algorithm method, Lyzenga (1981) statement, that Lyzenga method used to get a better visual image for under water object (benthic object). In this case benthic object including coral reef. Because of band 1 band 2 in ALOS/AVNIR-2 Sensor are visible bands which was band 1 was blue and band 2 was green. Thus, for image type 1 given more better visual object benthic than another combinations of bands (Type 2 and Type 3) which shown in overall accuracy for type 1 was 87.59%, type 2 was 61.38% and type 3 was 54.48%, according to Mumby et al. (2003), that the standard detail level of coral reef ecosystem mapping by interpretation of satellite image which could be accepted not less in the overall accuracy is 75%.Based on result of data analysis from 3 satellite data hence obtained level of overall accuracy from each satellite data (ALOS AVNIR-2) that were 84.83% (ALOS AVNIR-2 data March 12th 2007), 87.59% (ALOS AVNIR-2 data April 29th 2008) and 85.52% (ALOS AVNIR-2 data September 14th 2008). In this case indicates that ALOS AVNIR-2 data April 29th 2008 having higher level of overall accuracy compared to 2 other satellite data (ALOS AVNIR-2 data March 12th 2007 and September 14th 2008). The difference of overall accuracy is caused by differences of recording time of satellite and weather condition at the same region. The results show that live coral in around Sekotong sea is estimated about 111.360 hectares (AVNIR-2 acquisitioned in March 12th 2007), 243.350 hectare (AVNIR-2 acquisitioned in April 29th 2008), and 189.560 hectare (AVNIR-2 acquisitioned in September 14th 2008). Therefore, ALOS AVNIR-2 data April 29th 2008 selected for mapping of coral reef using satellite around Sekotong Sea West Lombok Regency.CONCLUSION AND SUGGESTIONConclusion1. Untuk Sensor AVNIR-2, Kombinasi band 1 dan band 2 merupakan merupakan kombinasi yang terbaik untuk mendeteksi distribusi terumbu karang dengan menggunakan metode Tranformasi Lyzenga.2. Tingkat akurasi keseluruhan (overall accuracy) dari hasil klasifikasi multispektral yang diperoleh adalah 87.59% (ALOS AVNIR-2 data April 29th 2008)3. Hasil interpretasi citra menunjukkan bahwa distribusi terumbu karang di sekitar perairan Sekotong diperkirakan sekitar 243,35 hektar (AVNIR-2 acquisition April 29th 2008).7.1 Suggestions1. Kepada peneliti yang lain, To other Researchers, It is necessary to look for another method to pick up the data of area that has the small area of coral reef by remote sensing, for example is using the high spatial resolution of satellite.2. For the local government, the main cause of coral reef damage is by using of explosive and an aesthesia. Ex-location of the explosion sites are still difficult for growing coral reef naturally. As a result, it is required the rehabilitation effort through transplantation.3. To the local government, it is required an integrated program from various sector i.e. Non Government Organization, the coastal society, Marines and fisheries Department in handling the coral reef damages in West Lombok Regency like counseling and environment trainings.Figure 4.2 Research SchemeACKNOWLEDGEMENT : Alhamdulillah, first of all, the writer would like to express his grateful to Allah Subhanahu Wataala, Rab, God Almighty for His blessing and mercy which has been given to the writer so that this research of thesis could be accomplished well. The writer also would like to say thank you to his first Supervisor Dr. Takahiro Osawa and second Supervisor Dr. Ir. I Wayan Arthana, MS for their guidance, suggestion, correction and motivation during the writing of this research of thesis. He would also like to express his sincere gratitude to the board of examiners for their contribution towards the improvement of this thesis. The writer is very indebted with the Head of Master Program of Environmental Science, Magister Program of Udayana University for his assistance and permission to conduct the research. Especially to the writhers friends at Oceanography and Remote Sensing course, he thanks them so much for their motivation, kindness and happiness which they share together during the process of study. Finally, the writer also wants to express his thankfulness to his family, especially to his wife and son for their love, support, and understanding. The author realizes that this research thesis is not perfect. So the author expects the constructive suggestion and criticism from the readers.REFERENCESBakosurtanal. 2008. Island Marore and Kawio: North gate Nusantara. Cibinong: Center Sea Natural Resources Survey Bakosurtanal.Diskanlut NTB. 2006. Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Laut Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2006-2020. PT Komperji Nusaraya, BogorJAXA. 2006. Advanced Land Observing Satellite (ALOS). [online]. Available from: http://www.eorc.jaxa.jp/ALOS/cd alos/eng/alos2.htm.Lillesand, T.M. dan R.W. Kiefer, 1990. Remote Sensing and image Interpretation. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.Lyzenga, D. R. 1978. Passive Remote Sensing Techniques for Mapping Water Depth and Bottom Features. Applied Optics, (17) : 379-383.Lyzenga, D. R. 1981. Remote Sensing of Bottom Reflectance and Water Attenuation Parameters in Shallow Water Using Aircraft and Landsat Data. International Journal of Remote Sensing, (2) : 71-82.Mumby, PJ., W. Skirving, A.E. Strong, J.T. Hardy, E. LeDrew, E.J. Hochberg, R.P. Stumpf and L.T. David. 2003. Remote Sensing of Coral Reefs and Their Physical Environment. Marine Pollution Bulletin, 2003 edition.Suharsono, 1996, Jenis-Jenis karang yang Umum Dijumpai di Perairan Indonesia. Proyek Penelitian dan Pengembangan Daerah Pantai P30-LPI, Jakarta