pemikiran hamka tentang pendidik dalam pendidikan...
TRANSCRIPT
i
PEMIKIRAN HAMKA TENTANG PENDIDIK
DALAM PENDIDIKAN ISLAM
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Dan Melengkapi Syarat
guna Memperoleh Gelar Sarjana Program Strata 1 (S1)
dalam Ilmu Tarbiyah Jurusan Pendidikan Agama Islam
Oleh:
SITI LESTARINIM : 063111037
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2010
ii
iii
iv
MOTTO
!$yJ x.$uZù=y™ö‘r&öN à6‹ ÏùZwq ß™u‘öN à6ZÏiB(#q è=÷G tƒöN ä3 ø‹ n=tæ$oY ÏG» tƒ#uäöN à6ŠÏj. t“ ムurãN à6 ßJ Ïk=yèムur
|=» tG Å3 ø9$#sp yJ ò6 Ïtø:$#urN ä3 ßJ Ïk=yèムur$BöN s9(#q çRq ä3 s?tbq ßJ n=÷ès?ÇÊÎÊÈ
Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah
mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami
kepada kamu dan menyucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-
Hikmah (As Sunah), serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu
ketahui.1
(Q.S. Al-Baqoroh: 151)
Tugas kita bukanlah untuk berhasil. Tugas kita adalah untuk mencoba,
karena di dalam mencoba itulah kita menemukan dan belajar membangun
kesempatan untuk berhasil.
(Mario Teguh)
1 Soenarjo, Al-Qur an Dan Tarjamahnya, (Surabaya: Mahkota, 1989) , hlm. 38
v
PERSEMBAHAN
Karya ini didedikasikan khususnya untuk kedua oranng tuaku,Bpk. H. Jaelani dan Ibu Wahyuni
dan umumnya untuk seluruh cendikiawan yang menghendakiperbaikan dan kemajuan pendidikan Islam
vi
DEKLARASI
Dengan penuh kejujuran dan tanggungjawab, penulis menyatakan bahwa skripsi
ini tidak berisi materi yang telah pernah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan.
Demikian juga skripsi ini tidak berisi satupun pikiran-pikiran orang lain, kecuali
informasi yang terdapat dalam referensi yang dijadikan bahan rujukan.
Semarang, 6 Desember 2010
Deklarator,
Siti Lestari063111037
vii
ABSTRAKSI
Siti Lestari (NIM: 63111037). Pemikiran Hamka tentang Pendidik dalamPendidikan Islam. Skripsi. Semarang: Program Strata 1 Jurusan PendidikanAgama Islam IAIN Walisongo, 2010.
Penelitiaen ini dilatarbelakangi oleh berbagai persoalan yang munculdalam dunia pendidikan akibat terjadinya dekadensi moral masyarakat yangsebagian besar dilakukan generasi muda yang notabenenya masih menyandangpredikat peserta didik atau masih terikat dalam lembaga pendidikan formal.Ketidak seimbangan antara input intelektualitas dan pembentukan karakter inimenimbulkan sikap skeptis dari kalangan masyarakat terhadap kemampuanpendidik sebagai agen pendidikan yang bertanggung jawab dalam memenuhikebutuhan peserta didik baik spiritual, intelektual, moral, estetika, maupunkebutuhan fisik peserta didik dengan mengupayakan perkembangan seluruhpotensinya yang meliputi potensi afektif, kognitif, dan psikomotorik sesuaidengan nilai-nilai ajaran Islam. Sikap ini menunjukkan masih rendahnyakesadaran akan pentingnya mengintegrasikan peran orang tua, guru danmasyarakat sebagai serangkai pendidik yang masing-masing menempati peranvital dalam pembentukan peserta didik yang paripurna dalam hal intelektual,akhlak dan ketakwaannya kepada Allah SWT. Berdasarkan kondisi di atas,penelitian ini bertujuan untuk mengetahui 1). Makna pendidik dalam pendidikanIslam, 2). Pandangan Hamka tentang pendidik dalam pendidikan Islam, 3).Relevansi pemikiran Hamka dengan pendidikan Islam sekarang.
Berdasarkan data-data yang terkumpul dalam bentuk deskripsi (tulisan),maka penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yaitu dengan pendekatanstudi tokoh atau pendekatan sejarah, dimana peneliti mengkaji pemikiran seorangtokoh baik itu persoalan-persoalan, situasi, atau kondisi yang mempengaruhiterhadap pemikirannya. Pendekatan ini adalah untuk mengetahui sejauh manapemikiran seorang tokoh yaitu dengan cara meneliti karya-karyanya danbiografinya. Selanjutnya peneliti menggunakan metode filsafat Hermeneutikuntuk mencari arti dan makna dari sebuah teks untuk ditelaah sehingga ditemukanmaknanya yang terdalam dan laten untuk dibawa ke zaman sekarang.
Hasil penelitian menunjukan bahwa hubungan antara pendidik dalamkeluarga (orang tua), sekolah (guru) dan masyarakat (komunitas sosial) adalahsangat terkait dalam rangka mengembangkan semua potensi yang dimiliki anakdidik menuju perkembangan yang optimal. Untuk mendukung komunikasi antaraorang tua, guru dan masyarakat; Hamka menjadikan Masjid Al-Azhar sebagaitempat bersilaturrahmi antara guru dan orang tua untuk membicarakanperkembangan peserta didik. Pemikiran ini bisa dikembangkan lebih jauh denganbanyak cara seperti kunjungan ke rumah, Case conference, membentuk badanpembantu sekolah, surat menyurat, dan sebagainya.
Berdasarkan hasil penelitian ini diharapkan akan menjadi bahaninformasi dan masukan bagi mahasiswa, para tenaga pengajar, para peneliti, dansemua pihak yang membutuhkan di lingkungan Fakultas Tarbiyah IAINWalisongo Semarang.
viii
KATA PENGANTAR
Segala puja dan puji hanya milik Allah SWT, tiada harapan dan mimpi
yang dapat mencapai pada perwujudannya kecuali Allah telah memeluk dan
merestui harapan tersebut. Maka hanya kepada-Nya lah segala ikhtiar disandarkan
pada keagungan dan keindahan nama-namaNya. Shalawat serta salam semoga
terlimpah kepada Nabi Muhammad, sang junjungan yang senantiasa menjadi
teladan sepanjang masa serta sang kota ilmu yang kapasitas intelektualitas,
spiritualitas dan akhlaknya menjadi inspirasi bagi umat manusia.
Skripsi yang berjudul “Pemikiran Hamka tentang Pendidik dalam
Pendidikan Islam” merupakan refleksi pemikiran yang penulis geluti selama
menempuh studi di IAIN Walisongo Semarang dan aktivitas-aktivitas di luar
kuliah yang turut memberikan sumbangsih pengalaman yang amat berharga.
Banyak ide dan dorongan semangat yang senantiasa datang dari berbagai penjuru
untuk mendukung penyelesaian tulisan atau penelitian ini. Oleh karna itu, terima
kasih yang sedalam-dalamnya penulis sampaikan kepada:
1. Prof. DR. H. Ibnu Hadjar, M. Ed selaku Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN
Walisongo Semarang yang senantiasa berusaha memimpin almamater
Pendidikan Islam dengan baik sehingga membantu penulis untuk
menyelesaikan skripsi ini.
2. Drs. H. Fatah Syukur, M. Ag dan Syamsul Ma’arif, M. Ag selaku dosen
pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya dalam
membimbing penulis untuk menyusun skripsi.
3. Prof. DR. H. Erfan Subahar, M. Ag selaku wali studi yang senantiasa
memberikan motivasi untuk menyelesaikan skripsi.
4. Kedua orang tuaku tersayang, H. Jaelani dan Siti Wahyuni yang merupakan
motivasi terbesar dalam hidup untuk mewujudkan banyak harapan dan cita-
cita. Dan kakak terbaikku, Maftukhatul Asriyah dan Ulin Nuha.
5. Seluruh sahabat-sahabat yang inspired, siap sedia ketika dimintai bantuan dan
selalu memberikan dukungan.
ix
6. Semua pihak yang tak dapat penulis sebutkan satu persatu yang turut terlibat
dan membantu dalam penuntasan tugas akhir ini.
Tak ada yang dapat penulis lakukan kecuali mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya dan berdoa agar Allah SWT akan membalas dengan yang
lebih baik.
Akhirnya, penulis berharap agar skripsi ini memberikan kontribusi yang
berarti dalam dunia pendidikan serta bermanfaat bagi kita semua. Amin.
Semarang, 19 Oktober 2010
Penulis
x
DAFTAR ISIHalaman
HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................. ii
HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................... iii
HALAMAN MOTTO ....................................................................................... iv
HALAMAN DEKLARASI ............................................................................... v
PERSEMBAHAN ............................................................................................ vi
KATA PENGANTAR ....................................................................................... vii
ABSTRAKSI ..................................................................................................... viii
DAFTAR ISI .................................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUANA. Latar Belakang Masalah ......................................................... 1
B. Penegasan Istilah..................................................................... 6
C. Permasalahan ......................................................................... 10
D. Tujuan Penulisan Skripsi ........................................................ 11
E. Kajian Pustaka ....................................................................... 11
F. Metode Penelitian .................................................................... 13
BAB II PEMIKIRAN HAMKA TENTANG PENDIDIK
DALAM PENDIDIKAN ISLAMA. Konsep Pendidik Dalam Islam ............................................... 17
1. Orang tua sebagai pendidik. ............................................. 19
2. Guru sebagai Pendidik ..................................................... 26
3. Masyarakat sebagai Pendidik ........................................... 28
B. Fungsi Penciptaan Manusia Dan Implikasinya Dalam
Pendidikan Islam.................................................................... 34
C. Karakteristik Pendidik Ideal ................................................... 43
D. Muhammad, Sang Pendidik Teladan ..................................... 49
xi
BAB III BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN HAMKA TENTANG
PENDIDIK DALAM PENDIDIKAN ISLAMA. Latar Belakang Sosial, Intelektual, dan Karir.......................... 51
B. Karya-karya Hamka ............................................................... 65
C. Pemikiran Hamka Tentang Pendidik dalam Pendidikan
Islam...................................................................................... 70
BAB IV RELEVANSI PEMIKIRAN HAMKA DENGAN
PENDIDIKAN ISLAM MASA SEKARANGA. Urgensi Pendidik dalam Proses Pendidikan Islam ................. 85
B. Relevansi Pemikiran Hamka dengan Pendidikan Islam
Masa Sekarang....................................................................... 91
BAB V PENUTUPA. Kesimpulan............................................................................ 99
B. Saran-Saran............................................................................ 100
C. Penutup.................................................................................. 101
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
BIODATA PENELITI
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Setiap terjadi dekadensi moral masyarakat, terlebih jika kerusakan
tersebut dilakukan oleh para generasi muda yang notabenenya masih
menyandang predikat peserta didik atau masih terikat dalam lembaga
pendidikan formal, maka hampir semua pihak akan segera menoleh pada
lembaga pendidikan dan menuduhnya tidak berkompeten dalam mendidik
anak bangsa. Tuduhan berikutnya terfokus pada guru yang dianggap alpa dan
tidak professional dalam menjaga moralitas bangsa melalui pendidikan moral
kepada peserta didik tersebut. Para guru tiba-tiba menjadi sorotan saat
musibah kebobrokan moral, ketertinggalan atas perkembangan ilmu
pengetahuan, teknologi, dan peradaban. Pribadi guru kemudian dikupas tuntas
dan dipertanyakan secara kritis, mulai dari penguasaannya terhadap ilmu,
metodologi, komunikasi, hingga moralitasnya.
Pandangan dan sikap skeptis yang langsung diarahkan pada guru dan
mengadilinya sedemikian rupa pada saat terjadi kebobrokan moral dan
ketertinggalan teknologi anak bangsa sebenarnya merupakan sikap yang
kurang dewasa. Mendidik pada dasarnya adalah tugas orang tua dengan
melibatkan sekolah dan masyarakat. Tugas mendidik anak manusia pada
dasarnya ada pada orang tuanya, namun karena beberapa keterbatasan yang
dimiliki orang tua, maka tugas ini kemudian diamanatkan kepada pendidik di
sekolah (madrasah), masjid, musholla, dan lembaga pendidikan lainnya.
Sekolah dan masyarakat memiliki kewajiban untuk mendukung pendidikan
setiap generasi karena setiap generasi baru yang lahir akan menjadi bagian
dari masyarakat yang diharapkan mampu mengemban tanggung jawab dalam
menjawab berbagai persoalan kehidupan umat manusia, merekayasa masa
depan masyarakat agar lebih baik dan melestarikan nilai-nilai dan warisan-
warisan sosial-kultural.
2
Di dalam dunia pendidikan, pihak yang melakukan tugas-tugas
mendidik dikenal dengan dua predikat yakni pendidik dan guru. Pendidik
(murabbi) adalah orang yang berperan mendidik subyek didik atau melakukan
tugas pendidikan (tarbiyah). Sedangkan guru adalah orang yang melakukan
tugas mengajar (ta lim). Pendidikan mengandung makna pembinaan
kepribadian, memimpin, dan memelihara, sedangkan pengajaran bermakna
sekedar memberi tahu atau memberi pengetahuan kepada peserta didik yang
dalam prosesnya dilakukan atau didampingi oleh guru dan pendidik. Selain
itu, pendidikan memiliki kedalaman etik dan ruhani yang lebih dibandingkan
dengan pengajaran atau pembelajaran yang dimungkinkan peserta didik
belajar secara mandiri tanpa diharuskan hadirnya guru yang
mendampinginya.2
Pada dasarnya, pendidik merupakan salah satu komponen pendidikan
yang menempati posisi yang sangat urgen dalam mencapai tujuan dan cita-cita
pendidikan. Dalam hal ini, pendidik bertanggung jawab memenuhi kebutuhan
peserta didik baik spiritual, intelektual, moral, estetika, maupun kebutuhan
fisik peserta didik dengan mengupayakan perkembangan seluruh potensinya
yang meliputi potensi afektif, kognitif, dan psikomotorik sesuai dengan nilai-
nilai ajaran Islam. Hal ini dilakukan agar peserta didik mampu menunaikan
tugas-tugas kemanusiaannya, baik sebagai khalifah fi al-ardh maupun abd
Allah sesuai dengan syariat Islam. Oleh karena itu, pendidik dalam konteks ini
bukan hanya terbatas pada orang-orang yang bertugas di sekolah tetapi semua
orang yang terlibat dalam proses pendidikan anak mulai sejak alam kandungan
hingga dewasa, bahkan sampai meninggal dunia (sepanjang hayat).3
Namun pada kenyataannya, kesadaran masyarakat mengenai
pentingnya mengintegrasikan peran pendidik dalam keluarga, sekolah, dan
masyarakat masih sangat minim. Sejauh ini, lembaga pendidikan formal atau
sekolah masih dianggap sebagai satu-satunya pihak yang bertanggung jawab
2 Moh. Roqib, Ilmu Pendidikan Islam: Pengembangan Pendidikan Integratif di Sekolah,Keluarga, dan Masyarakat, (Yogyakarta: LkiS, 2009), hlm. 36.
3 Al-Rasyidin dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Ciputat Press,2005), hlm. 41-42
3
atas terbentuknya peserta didik yang paripurna dalam hal intelektual, akhlak
dan ketakwaannya kepada Allah SWT. Lembaga pendidikan yang pada
dasarnya merupakan wakil dan pembantu orang tua dalam mendidik anak,
justru menempati posisi yang terlalu vital sehingga mereduksi peran penting
orang tua dan masyarakat yang sebenarnya memberikan pengaruh lebih besar
dibanding pendidik sekolah.
Pemandangan ini menuntun kita untuk kembali mengkaji tokoh-tokoh
pendidikan yang memiliki kecenderungan pemikiran mengenai hakikat
pendidik dalam pendidikan Islam sebagai solusi alternatif untuk
menumbuhkan pemahaman tentang tiga macam lembaga pendidikan (rumah,
sekolah, dan lingkungan sosial) dimana sosok ”pendidik” ikut bertanggung
jawab dalam pelaksanaan pendidikan Islam, yaitu orang tua, guru, dan
masyarakat sebagai lingkungan sosial. Salah satu pemikir pendidikan yang
bergelut dalam bidang tersebut adalah Prof. Dr. H. Abdul Malik bin Haji
Abdul Karim Amarullah, yang selanjutnya disebut HAMKA.
Hamka lahir di Minanjau, Sumatera Barat, Senin, 16 Februari 1908. Ia
adalah putra seorang tokoh pembaharu dari Minangkabau, Doktor Haji Abdul
Karim Amrullah (sering disebut Haji Rasul) yang merupakan salah seorang
ulama yang pernah mendalami agama di makkah, pelopor kebangkitan kaum
muda, dan tokoh pembaharu Muhammadiyah di Minangkabau. Hamka adalah
seorang ulama intelektual, mubaligh, ahli agama, penulis, sastrawan, sekaligus
wartawan majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat, Gema Islam.
Sosok Hamka adalah multiperan, selain sebagaimana yang telah disebutkan
diatas, ia juga seorang pemikir pendidikan. Dalam salah satu pandangan
Hamka mengenai pendidikan Islam, ia berpendapat bahwa pendidikan di
sekolah tak bisa lepas dari pendidikan di rumah. Karenanya, menurut ketua
umum MUI pertama dan Imam besar Masjid Al-Azhar Jakarta ini; komunikasi
antara sekolah dengan rumah dan masyarakat sangatlah penting.4
4 Herry Mohammad, Tokoh-Tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20, (Jakarta: GemaIslami, 2006), hlm. 64
4
Pemikiran tersebut Hamka landaskan pada kenyataan bahwa orang tua
memiliki peranan yang sangat penting dalam membentuk dan mewarnai pola
kepribadian seorang anak. Dalam hal ini Nabi Muhammad bersabda:
)(”Setiap anak (manusia) itu terlahir dalam keadaan suci (fitrah), keduaorang tuanyalah yang akan mewarnai (anak)nya, apakahmenjadikannya seorang Yahudi atau Nasrani atau Majusi”. (HR. Ibn’Abd al-Barr)5
Potensi atau fitrah yang dimiliki manusia, pada hakekatnya merupakan
kemampuan dasar manusia yang meliputi kemampuan mempertahankan
kelestarian kehidupannya, kemampuan rasional, maupun kemampuan
spiritual. Hanya saja, kemampuan tersebut masih bersifat embrio. Untuk itu
diperlukan berbagai upaya untuk mengembangkan dan memperkaya potensi
tersebut secara aktif. Upaya yang efektif untuk maksud tersebut adalah melalui
proses pendidikan yang di dalamnya diperlukan peran aktif oleh para
pendidik.6 Dengan mengaitkan Hadist di atas, Hamka berpendapat betapa
Hadist tersebut memberikan isyarat bahwa proses pembentukan kepribadian
pada diri anak ialah lingkungan dimana ia berada. Adapun lingkungan pertama
yang mempengaruhi proses tersebut adalah lingkungan keluarga, yang mana
ibu dan bapak menjadi pendidik pertama yang sangat strategis dalam
menanamkan nilai-nilai agama yang mendasar bagi peserta didik atau anak.
Dalam Islam, proses pendidikan yang dilaksanakan oleh ’pendidik’ orang tua
ini secara formal dimulai dengan mengazankan dan mangiqomahkan anak
tatkala lahir. Ajaran tersebut sesungguhnya memiliki nilai filosofis tersendiri.
Seorang anak lahir dengan membawa anugerah Allah melalui seperangkat
fitrah-Nya yang hanif dan dinamis. Sebelum potensi tersebut diisi dan
dikembangkan dengan seperangkat nilai pendidikan yang lainnya, maka
5 Muhammad ibn Hibban ibn Ahmad Abi Hatim al-Tamimiy al-Bisty, Shahih IbnHibban, Jilid I, Tahqiq oleh Syu’aib al-Arnauth, (Beirut: Muassasat al-Risalat, 1993), hlm. 336.
6 Samsul Nizar, Sejarah dan Pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: QuantumTeaching, 2005), hlm. 154-155
5
pertama sekali yang perlu ditanamkan adalah nilai-nilai Illahiah. Dengan nilai
tersebut, diharapkan jiwa anak akan terpatri oleh nilai-nilai ketundukan
kepada Khaliknya, sebagaimana nilai yang terkandung dalam kalimat azan
dan iqomah yang dikumandangkan tatkala anak lahir di dunia. Tugas yang
mulia ini, dibebankan kepada pendidik berupa orang tua anak.7 Dalam hal ini,
Hamka memiliki kerangka pemikiran yang mengimbau sekaligus menegaskan
mengenai apa yang sebenarnya menjadi tugas, rambu-rambu dan pelaksanaan
pendidikan orang tua sebagai pendidik. Karena menurutnya, tanggung jawab
orang tua tidak hanya memberikan nafkah secara materiil dan menghidupinya
hingga dewasa.
Selanjutnya, Hamka mengartikan sosok pendidik dalam lingkungan
sekolah sebagai jembatan atau perpanjangan tangan antara orang tua dan
masyarakat. Hal ini karena Hamka menganggap sekolah merupakan lembaga
pendidikan yang tersusun secara sistematis, serta menjadi miniatur realitas
sosial dimana pendidikan dilaksanakan. Mengenai hal ini, Hamka
menempatkan pendidik sebagai komponen yang sangat mempengaruhi
terlaksananya proses belajar mengajar secara efektif. Pendidik merupakan
penanggung jawab terjadinya transformasi material dan nilai pendidikan,
karenanya hubungan yang terjalin antara peserta didik dengan pendidik harus
harmonis.8 Menurut Hamka, seorang pendidik harus bisa menanamkan
keberanian pada diri peserta didik untuk berani berargumentasi dan
mengeluarkan pendapat, hal ini bisa diupayakan dengan jalan menguatkan
pelajaran olah raga, menceritakan riwayat orang-orang yang berani,
membiasakan berterus terang dalam bercakap-cakap, tidak percaya pada
khurafat, dan memperkaya akal dan ilmu yang memberi faedah.9
Sedang pendidik dalam masyarakat adalah keseluruhan budaya,
komunitas sosial, dan segala unsur apapun yang tercakup di dalamnya yang
dapat membentuk dan mendukung kepribadian peserta didik. Akhlak peserta
7 Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran Hamka tentangPendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), hlm. 140-141
8 Ibid. , hlm. 1499 Hamka, Falsafah Hidup, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984), hlm.208-209
6
didik dapat dikatakan sebagai cerminan dari bentuk akhlak masyarakat di
mana ia berada.10 Bahkan, eksistensi masyarakat merupakan laboratorium dan
sumber makro yang penuh alternatif untuk memperkaya pelaksanaan proses
pendidikan. Karenanya jika semua unsur dalam masyarakat dapat bekerja
sama untuk menciptakan sistem sosial yang kondusif dan proporsional dalam
menopang perkembangan dinamika fitrah yang dimiliki oleh setiap anak didik,
maka bukan hal yang sulit untuk menemukan generasi-generasi yang
cemerlang demi perbaikan bangsa seluruhnya.
Oleh karena itu, hubungan antara pendidik dalam keluarga, sekolah
dan masyarakat adalah sangat terkait dalam rangka mengembangkan semua
potensi yang dimiliki anak didik menuju perkembangan yang optimal.
Ketiganya mempunyai andil yang sama besar dan implikasi moral yang sangat
strategis dalam mewarnai karakter peserta didik.11
Berdasarkan permasalahan tersebut, sekaligus mempertimbangkan
pemikiran Hamka yang sangat relevan, modern, problem solving, dan
berkesinambungan dengan masalah di atas, maka penulis bermaksud
mengadakan penelitian terhadap pemikiran Hamka yang berkaitan dengan
hakikat pendidik dalam pendidikan Islam. Pemikir yang dalam perjalanan
hidupnya sempat ’berkenalan’ dengan pemikir-pemikir pembaharu dan
modern seperti Jamluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha,
HOS Tjokroaminoto, Raden Mas Surjopranoto, Haji Fachrudin, Ar Sutan
Mansur dan Ki Bagus Hadikusumo ini menjadi alasan yang logis bagi penulis
untuk menjadikannya sebagai rujukan utama dalam penulisan ini. Karenanya,
penulis mengambil judul ”PEMIKIRAN HAMKA TENTANG PENDIDIK
DALAM PENDIDIKAN ISLAM”.
B. Penegasan Istilah
Untuk memperjelas pengertian dan menghindari kesalahpahaman
dalam pembahasan penelitian ini, maka perlu dijelaskan beberapa istilah agar
10 Hamka, Lembaga Hidup, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984), hlm. 1311 Khoiron Rosyadi, Pendidikan Profetik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 173
7
memperoleh makna yang jelas. Adapun istilah-istilah dalam penelitian yang
berjudul ” Pemikiran Hamka tentang Pendidik dalam Pendidikan Islam” akan
dijelaskan sebagai berikut:
1. Pemikiran
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, disebutkan bahwa
pemikiran adalah proses, perbuatan, cara memikir: probem yang
memerlukan pemecahan.12 Pemikiran juga bisa diartikan sebagai cara atau
hasil berpikir.13 Pemikiran menyangkut suatu wujud batiniah yang ada
dalam diri manusia yang sangat esensial, yang berperan membentuk,
mempertahankan, atau mengembangkan apa yang ada pada suatu kaum
(kelompok manusia) seperti kejayaan, keruntuhan, dan keadaan manusia.14
Hal ini berarti, Pemikiran merupakan hasil buah pikir seseorang secara
mendalam dan akuntable dalam upaya memecahkan suatu permasalahan
dengan menawarkan solusi alternatif dan logis terhadap suatu keadaan,
sehingga ditemukan gambaran atau langkah-langkah yang dapat
diperhitungkan dalam rangka pemecahan masalah tersebut.
2. HAMKA (Prof. Dr. H. Abdul Malik bin Haji Abdul Karim Amarullah)
Hamka (1908-1981), adalah akronim kepada nama sebenar Haji
Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah. Ia adalah seorang ulama, aktivis
politik dan penulis Indonesia yang amat terkenal di alam Nusantara. Ia
lahir pada 17 Februari 1908 di kampung Molek, Maninjau, Sumatera
Barat, Indonesia. Ayahnya ialah Syeikh Abdul Karim bin Amrullah atau
dikenali sebagai Haji Rasul, seorang pelopor Gerakan Islah (tajdid) di
Minangkabau. Hamka merupakan salah satu pemikir pendidikan yang
banyak memberikan tawaran-tawaran konsep pendidikan Islam yang
benar, yaitu yang sejalur dengan al-Qur’an dan Hadis. Berdasarkan kajian-
kajian yang pernah dilakukan, hampir semua aspek pemikirannya pernah
12 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: BalaiPustaka, 1994), Edisi 2, hlm. 768
13 W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,2006), Edisi 3, hlm. 892
14 Taufik Abdullah, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Pemikiran dan Peradapan,(Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), hlm. 1
8
disoroti oleh para peneliti. Hanya saja, kajian yang khusus membicarakan
pemikirannya tentang pendidikan Islam, secara utuh hampir belum pernah
ditemukan, terutama tentang pendidik. Meskipun dalam bentuk penyajian
yang tidak utuh dan spesifik, pemikirannya tentang pendidik, sebagai
komponen pendidikan Islam dapat dilacak melalui karyanya, terutama
dalam Falsafah Hidup, Lembaga Hidup, dan Lembaga Budi. Inilah yang
kemudian melandasi dan menginspirasi banyak generasi untuk
menerapkan pemikirannya terkait dengan pendidikan Islam, yang menurut
hemat penulis; sederhana namun masih sangat relevan untuk dihadapkan
pada zaman sekarang.
3. Pendidik
Pendidik dalam Islam adalah orang-orang yang bertanggung jawab
terhadap perkembangan peserta didiknya dengan upaya mengembangkan
seluruh potensi peserta didik, baik potensi afektif (rasa), kognitif (cipta),
ataupun psikomotorik (karsa).
Pendidik dapat juga diartikan sebagai orang dewasa yang
bertanggung jawab memberi pertolongan kepada peserta didiknya dalam
perkembangan jasmani dan rohaninya, agar mencapai tingkat kedewasaan,
mampu berdiri sendiri dan memenuhi tingkat kedewasaannya, mampu
mandiri dalam memenuhi tugasnya sebagai hamba dan khalifah Allah
SWT di bumi serta mampu melakukan tugas sebagai makhluk sosial
sekaligus makhluk individu.15
Pendidik ideal sepanjang zaman adalah Muhammad SAW yang
setiap ucapan, perbuatan, maupun takrirnya merupakan teladan paling
baik untuk dapat ditiru oleh semua umatnya. Oleh karena itu, dalam
menentukan kriteria pendidik yang berdasarkan konsep pendidikan Islam,
maka harus mengacu kepada keteladanan akhlak Rasul yang Qur’ani.
Sehingga menurut tolok ukur pandangan pendidikan Islam, kriteria
pendidik harus menjadikan faktor akhlak sebagai persyaratan pokok.
15 Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana PrenadaMedia, 2006), hlm. 87
9
Sehubungan dengan ini, Nashi Ulwan (1981) menjelaskan bahwa seorang
pendidik paling tidak memiliki lima kriteria. Kelima kriteria itu adalah,
bahwa seorang pendidik harus memiliki karakteristik berupa:
a. Bertakwa kepada Allah.
b. Ikhlas
c. Berilmu
d. Santun, lemah lembut
e. Punya rasa tanggung jawab16
4. Pendidikan Islam
Dalam al-Qur’an dan Hadist, ditemukan kata-kata atau istilah-
istilah yang pengertiannya terkait dengan pendidikan, yaitu rabba,
allama, dan addaba (Q.S. al-Isra’: 24, Q.S. al-Alaq: 5, Hadist riwayat ad-
Dailamy). Kata rabba yang masdarnya adalah tarbiyyatan memiliki arti
mengasuh, mendidik, memelihara, memperbaiki, menambah. Sedang
allama yang masdarnya ta liman, berarti mengajar yang lebih bersifat
pemberian atau penyampaian pengertian, pengetahuan, dan keterampilan.
Sedang addaba yang masdarnya ta diban dapat diartikan sebagai
mendidik budi pekerti dan meningkatkan peradaban. Ketiga istilah tersebut
merupakan satu kesatuan yang terkait. Artinya, bila pendidikan
dinisbatkan kepada ta dib harus melalui pengajaran atau ta’lim, sehingga
dengannya diperoleh ilmu. Agar ilmu dapat dipahami, dihayati dan
selanjutnya diamalkan oleh peserta didik maka diperlukan bimbingan atau
tarbiyyah.17
Secara keseluruhan, pendidikan Islam dapat diartikan sebagai
”Segala usaha untuk memelihara dan mengembangkan fitrah manusia serta
sumber daya manusia yang ada padanya menuju terbentuknya manusia
seutuhnya (insan kamil) sesuai dengan normal Islam”. Atau lebih
spesifiknya, pendidikan Islam merupakan ”usaha yang lebih khusus
ditekankan untuk mengembangkan fitrah keberagamaan (religiusitas)
16 Jalaluddin, Teologi Pendidikan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 12417 Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 25-26
10
subyek didik agar lebih mampu memahami, menghayati dan mengamalkan
ajaran-ajaran Islam.”18
Pendidikan Islam memiliki sedikit perbedaan dengan pengajaran,
dalam hal ini Hamka berpendapat bahwa, ”Pendidikan Islam merupakan
serangkaian upaya yang dilakukan pendidik untuk membantu membentuk
watak, budi, akhlak, dan kepribadian peserta didik, sehingga ia dapat
membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Sementara
pengajaran Islam adalah upaya untuk mengisi intelektual peserta didik
dengan sejumlah ilmu pengetahuan.19
Dalam mendefinisikan pendidikan dan pengajaran, ia hanya
membedakan makna pengajaran dan pendidikan pada pengertian kata.
Akan tetapi secara esensial ia tidak membedakannya. Kedua kata tersebut
memuat makna yang integral dan saling melengkapi dalam rangka
mencapai tujuan yang sama. Sebab, setiap proses pendidikan, di dalamnya
terdapat proses pengajaran. Tujuan dan misi pendidikan akan tercapai
melalui proses pengajaran. Demikian pula sebaliknya, proses pengajaran
tidak akan banyak berarti bila tidak disertai dengan proses pendidikan.
Dengan pertautan kedua proses ini, manusia akan memperoleh kemuliaan
hidup, baik di dunia maupun di akhirat.20
C. Permasalahan
Berangkat dari latar belakang permasalahan tersebut, maka dapat
dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana Pemikiran Prof. Dr. H. Abdul Malik bin Haji Abdul Karim
Amarullah (HAMKA) tentang Pendidik dalam Perspektif Pendidikan
Islam?
2. Bagaimana karakteristik pendidik ideal menurut pandangan HAMKA?
3. Apakah relevansi pemikiran Hamka dengan konteks pendidikan Islam
sekarang?
18 Ibid, hlm. 28-2919 Ramayulis dan Samsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, (Jakarta: Quantum
Teaching, 2005), hlm. 26620 Ibid, hlm. 266-267
11
D. Tujuan Penulisan Skripsi
Penulisan skripsi ini mempunyai tujuan sebagai berikut:
1. Penulis ingin mengetahui pandangan Hamka tentang pendidik dalam
pendidikan Islam
2. Penulis ingin menemukan relevansi pemikiran Hamka dengan konteks
pendidikan Islam sekarang.
E. Kajian Pustaka
Untuk menghindari terjadinya duplikasi-duplikasi yang tidak
diinginkan, maka peneliti menggali teori-teori yang telah berkembang dalam
bidang ilmu yang berhubungan atau yang pernah digunakan oleh peneliti-
peneliti terdahulu.21
Dalam hal ini, pengkajian dan penelitian terhadap pemikiran Hamka
mengenai pendidikan Islam, khususnya pendidik masih sangat sulit
ditemukan. Hal ini dikarenakan masih jarangnya orang yang menganggap
bahwa Hamka merupakan salah satu tokoh pemikir pendidikan. Meskipun
demikian, penulis menemukan karya ilmiah yang membahas tentang
pemikiran Hamka terhadap pendidikan Islam, yaitu:
Skripsi karya Muhammad Latif (1192120), Fakultas Dakwah IAIN
Walisongo yang berjudul Pemikiran Hamka Tentang Dakwah Islam (1997).
Dalam skripsi ini, Muhammad Latif mengulas pemikiran Hamka dalam
bidang metode, media dan materi dakwah. Dalam bab media dakwah yang
menjadikan lembaga pendidikan formal dan lingkungan keluarga sebagai
bagian dari media dakwah, penulis juga menyinggung mengenai pentingnya
mencari ilmu. Dalam hal ini, ia mengutip pendapat Hamka bahwa untuk
mencapai tujuan pendidikan, maka ilmu pendidikan yang diajarkan harus
berupa teori sekaligus praktek, karna proses pendidikan yang berjalan
sistematis akan dapat diperkirakan hasilnya.
Skripsi karya Thohar Imroni (4100060), Fakultas Ushuluddin IAIN
21 Mohammad Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988), Cet. 3, hlm.111
12
Walisongo yang berjudul Kesehatan Jiwa Dan Badan Menurut prof. Hamka
(2006). Skripsi ini menjelaskan tentang pandangan Hamka sebagai ahli
tasawuf bahwa untuk mencapai atau memperoleh kesehatan jiwa, manusia
harus memperhatikan lima perkara: pertama, bergaul dengan orang-orang
budiman; kedua, membiasakan pekerjaan berpikir; ketiga, menahan syahwat
dan marah; keempat, bekerja dengan teratur; dan kelima, memeriksa cacat-
cacat diri sendiri.
Skripsi karya Dina (1100101), Fak.Dakwah IAIN Walisongo yang
berjudul Konsep Tasawuf Modern Hamka Dan Implementasinya Dalam
Bimbingan Konseling Islam (2006). Sebagaimana tulisan diatas, penulis juga
menempatkan Hamka sebagai tokoh tasawuf yang dalam pemikirannya, ia
berpendapat bahwa hakikat dan tujuan tasawuf yang diartikan sebagai
kehendak memperbaiki budi dan membersihkan bathin, dapat dilakukan
dengan berusaha memperoleh kebahagiaan; menjaga kesehatan jiwa dan
badan; merasa cukup dengan sesuatu yang dikaruniakan (qana’ah), dan
berpasrah diri sepenuhnya kepada Allah SWT (tawakkal). Ajaran tasawuf
yang ditawarkan Hamka ini mampu menjembatani persoalan umat berkaitan
dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi di zaman modern ini.
Skripsi karya Farida (1102171), Fakultas Dakwah IAIN Walisongo
yang berjudul Studi Komparatif Pendapat Hamka Dan Dadang Hawari
Dalam Memelihara Kesehatan Jiwa Hubungannya Dengan Fungsi Teknik
Bimbingan Dan Konseling Islam (2007). Skripsi ini berkutat pada penjelasan
mengenai konsep yang ditawarkan Hamka dan Dadang Hawari dalam upaya
memelihara kesehatan jiwa.
Tesis karya Akmal, mahasiswa master Pemikiran Islam Universitas
Ibnu Khaldun (Uika) yang berjudul Studi Komparatif Antara Pluralisme
Agama dengan Konsep Hubungan Antar Umat Beragama dalam Pemikiran
Hamka. Fokus penelitian ini adalah untuk membuktikan apakah benar klaim
yang sering muncul dari kalangan kaum liberal bahwa Hamka mendukung
pluralisme. Hasil penelitian ini menyebutkan bahwa Hamka bukanlah
pendukung pluralisme. Hal ini terbukti dari karya-karyanya, seperti Pelajaran
13
Agama Islam yang mengkritik keras dua aliran sesat, yaitu Bahaiyah dan
Ahmadiyah. Para pendukung pluralisme, karena prinsipnya yang
menyamaratakan semua agama, justru seringkali membela Ahmadiyah.
Skripsi Irham Shohibi yang berjudul Penafsiran Hamka Tentang
Politik Dalam Tafsir Al-Azhar (2008). Skripsi yang menempatkan Hamka
sebagai tokoh mufassir Indonesia ini berisi tentang penafsiran Hamka tentang
tema-tema politik dalam Al-Qur’an menurut karyanya dalam tafsir Al-Azhar.
Berdasarkan tulisan-tulisan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa
penelitian yang akan peneliti angkat berbeda dari tulisan-tulisan yang sudah
ada. Disebabkan karna masih minimnya penelitian yang menempatkan Hamka
sebagai tokoh pendidikan, maka dalam penelitian ini peneliti menitikberatkan
pada pemikiran Hamka yang relevan dengan kondisi pendidikan sekarang,
terutama dalam bidang pendidik sebagai komponen utama pendidikan Islam
yang memiliki andil besar dalam melancarkan proses pendidikan.
Hal ini karna dalam lintas sejarah kehidupannya, ia merupakan tokoh
pendidik yang telah ikut andil dalam memperkenalkan pembaharuan
pendidikan di Indonesia dengan melakukan modernisasi kelembagaan dan
orientasi materi pendidikan Islam, yaitu ketika mengelola Tabligh School dan
Kulliyatul Muballighin serta pengembangan masjid al-azhar menjadi institusi
pendidikan Islam modern. Selain itu, penulis juga hendak merelevansikan
pemikiran Hamka dengan konteks kekinian terhadap pendidikan Islam.
F. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode sebagai berikut:
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Jenis penelitian dalam skripsi ini adalah Penelitian biografi, yaitu
studi tentang individu meliputi pemikiran dan pengalamannya yang
dituliskan kembali dengan mengumpulkan dokumen dan arsip-arsip.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengungkap turning point moment atau
14
epipani yaitu pengalaman menarik yang sangat mempengaruhi atau
mengubah hidup seseorang. Peneliti menginterpretasi subjek seperti subjek
tersebut memposisikan dirinya sendiri. Dalam hal ini, warisan pemikiran
Hamka tentang pendidik merupakan wacana yang sangat potensial untuk
diteliti dan dikembangkan dalam rangka memperkaya konsep pendidikan
nasional.
Penulis juga menggunakan metode pendekatan studi tokoh atau
pendekatan sejarah, objek yang dikaji adalah pemikiran seorang tokoh
baik itu persoalan-persoalan, situasi, atau kondisi yang mempengaruhi
terhadap pemikirannya. Menurut Mukti Ali, pendekatan ini adalah untuk
mengetahui sejauh mana pemikiran seorang tokoh yaitu dengan cara
meneliti karya-karyanya dan biografinya.
2. Metode Pengumpulan Data
Penyusunan skripsi ini termasuk penelitian library research, yaitu
mengumpulkan data teoritis sebagai penyajian ilmiah yang dilakukan
dengan memilih literature yang berkaitan dengan penelitian.22Metode ini
digunakan untuk menentukan literatur yang mempunyai hubungan dengan
permasalahan yang diteliti, di mana penulis membaca dan menelaahnya
dari buku-buku bacaan yang ada kaitannya dengan tema skripsi, yaitu
pemikiran Hamka tentang pendidik dalam pendidikan Islam.
Karena penelitian ini berupa library research, maka pengumpulan
data yang digunakan adalah dengan menelusuri buku-buku atau kitab yang
disusun oleh Hamka. Proses pengumpulan data ini dilakukan dengan
bahan-bahan dokumen yang ada, yaitu dengan melalui pencarian buku-
buku, jurnal dan lain-lain dikatalog beberapa perpustakaan dan mencatat
sumber data yang terkait yang dapat digunakan dalam studi sebelumnya.
Adapun sumber data dalam penelitian ini dapat digolongkan
menjadi dua, yaitu:
a. Sumber Data Primer
22 Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Jilid I, (Yogyakarta: Andi Offset, 2000), Cet. 30,hlm. 9
15
Yaitu sumber-sumber yang memberikan data langsung dari
sumber asli, baik yang berbentuk dokumen maupun sebagai
peninggalan lain.23 Sumber data primer yang dijadikan sumber rujukan
dalam penyusunan skripsi ini berupa sumber data tertulis yaitu buku-
buku tulisan atau karya Hamka, seperti:
1) HAMKA, Lembaga Hidup (1962)
2) HAMKA, Falsafah Hidup (1984)
3) HAMKA, Pribadi dan Martabat Buya Prof. DR. Hamka (1983)
4) HAMKA, Lembaga Budi (1985)
5) HAMKA, Hamka di mata hati umat (1994)
6) HAMKA, Pelajaran Agama Islam
b. Sumber Data Sekunder
Yaitu sumber data yang mendukung dan melengkapi sumber-
sumber data primer. Dalam sumber data sekunder, penulis mengambil
karya beberapa penulis yang relevan dengan subyek kajian, seperti:
1) Buku yang berjudul Memperbincangkan Dinamika Intelektual Dan
Pemikiran Hamka tentang Pendidikan Islam (2008) karya Samsul
Nizar.
2) Ensiklopedi Tokoh Pendidikan (2005) karya Ramayulis dan
Samsul Nizar.
3) Pemikiran Pendidikan Islam (2009), oleh Ahmad Susanto.
4) Sejarah dan Pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam (2005),
karya Samsul Nizar.
5) Tokoh-Tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20 (2006), karya
Herry Mohammad.
6) Pemikiran Pendidikan Islam, karya Muhaimin.
7) Manusia dan Pendidikan, oleh Hasan Langgulung.
3. Metode Analisis Data
Dalam menafsirkan teks yang tertuang di berbagai karya tulis
23 Winarno Surachmad, Dasar dan Teknik Research; Pengantar Metodologi Ilmiah,(Bandung: CV. Tarsito, 1978), hlm. 125
16
Hamka, peneliti menggunakan metode filsafat Hermeneutik. Metode ini
digunakan untuk mencari arti dan makna dari sebuah teks untuk ditelaah
sehingga ditemukan maknanya yang terdalam dan laten untuk dibawa ke
zaman sekarang.24Dengan metode tersebut, penafsir dalam hal ini peneliti
dapat memahami suatu teks atau karya Hamka dengan menggunakan
bahasa yang dipakai sehari-hari. Bahkan ada penafsiran yang disesuaikan
dengan situasi dan kondisi peneliti berada.
Selain itu, peneliti juga menggunakan metode deskriptif-analitis.
Metode deskriptif mencoba untuk memaparkan konsep-konsep pemikiran
Hamka tentang pendidik. Sementara metode analitis merupkan gabungan
antara deduktif, induktif, dan interpretasi. Deduktif digunakan untuk
memperoleh gambaran detail tentang pemikiran Hamka dalam melihat
makna pendidik dalam pendidikan Islam secara keseluruhan. Induktif
digunakan untuk memperoleh gambaran utuh tentang pemikiran Hamka
mengenai topik-topik yang diteliti setelah dikelompokkan secara tematik.
Terakhir, interpretasi digunakan untuk menyelami pemikiran Hamka
sehingga bisa ditangkap nuansa yang dimaksudkannya.
24 Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996),hlm. 85
17
BAB II
PEMIKIRAN PENDIDIK DALAM PENDIDIKAN ISLAM
A. Konsep Pendidik Dalam Islam
Pendidik adalah komponen yang sangat penting dalam sistim
kependidikan, karena ia yang akan mengantarkan anak didik pada tujuan yang
telah ditentukan, bersama komponen lain yang terkait dan lebih bersifat
komplementatif. Hal ini disebabkan karena pendidikan merupakan cultural
transition yang bersifat dinamis ke arah suatu perubahan secara kontiniu,
sebagai sarana vital untuk membangun kebudayaan dan peradapan umat
manusia. Dalam hal ini, pendidik bertanggung jawab memenuhi kebutuhan
peserta didik, baik spiritual, intelektual, moral, estetika maupun kebutuhan
fisik peserta didik.
Menurut Ahmad D. Marimba (1989) pendidik adalah orang yang
memikul tanggung jawab untuk mendidik, yaitu manusia dewasa yang karena
hak dan kewajibannya bertanggung jawab terhadap pendidikan anak didik.
Abuddin Nata (1997) menyebutkan, pendidik secara fungsional menunjukan
kepada seseorang yang melakukan kegiatan dalam memberikan pengetahuan,
keterampilan, pendidikan, pengalaman dan sebagainya. Secara singkat Ahmad
Tafsir (1994) mengatakan, pendidik dalam Islam sama dengan teori di Barat,
yaitu orang-orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan anak didik
dengan mengupayakan perkembangan seluruh potensi anak didik, baik potensi
afektif, kognitif, maupun psikomotorik.25
Menurut al-Ghazali, seorang pendidik merupakan orang tua; pewaris
para Nabi; pembimbing; figur sentral; motivator (pendorong); orang yang
semestinya memahami tingkat kognisi (intelektual) peserta didik, dan teladan
bagi peserta didik. Al-Ghazali menganggap bahwa mendidik adalah pekerjaan
yang paling mulia. Ia berkata bahwa seorang yang berilmu dan kemudian
bekerja dengan ilmunya itu, dialah yang dinamakan orang besar di bawah
25 Ahmad Syar’i, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005), Cet-1, hlm.30.
18
kolong langit ini. Ia bagai matahari yang mencahayai orang lain, sedang ia
sendiripun bercahaya. Ibarat minyak kasturi yang baunya dinikmati orang lain,
ia sendiripun harum.26 Lebih jauh lagi, al-Ghazali mendefinisikan pendidik
sebagai orang yang bertugas menyempurnakan, membersihkan, menyucikan,
serta membawakan hati manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Karena tujuan pendidikan Islam yang utama adalah upaya untuk mendekatkan
diri pada Allah SWT.27
Pendidik dalam penyelenggaraan pendidikan Islam pada hakikatnya
adalah mereka yang melaksanakan tugas dan tanggung jawab mendidik.
Dalam Islam, pengertian mendidik tidak hanya dibatasi pada terjadinya
interaksi pendidikan dan pengajaran antara guru dan peserta didik di muka
kelas, tetapi mengajak, mendorong dan membimbing orang lain untuk
memahami dan melaksanakan ajaran Islam merupakan bagian dari aktivitas
pendidikan Islam. Oleh karna itu, aktivitas pendidikan Islam dapat
berlangsung kapan dan di mana saja, bahkan oleh siapa saja sepanjang yang
bersangkutan memenuhi syarat-syarat baik dilihat dari prinsip-prinsip
pendidikan dan pembelajaran maupun ajaran Islam.28
Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat pahami bahwa pendidik
dalam perspektif pendidikan Islam ialah orang yang bertanggung jawab
terhadap upaya perkembangan jasmani dan rohani peserta didik agar mencapai
tingkat kedewasaan sehingga ia mampu menunaikan tugas-tugas
kemanusiaanya, baik sebagai khalifah maupun abd sesuai dengan nilai-nilai
ajaran Islam. Oleh karna itu, pendidik dalam konteks ini bukan hanya terbatas
pada orang-orang yang bertugas di sekolah, tetapi semua orang yang terlibat
dalam proses pendidikan anak mulai sejak alam kandungan hingga ia dewasa,
bahkan sampai meninggal dunia.
26 Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan, (Yogyakarta: PustakaPelajar, 1998), Cet-1, hlm. 64.
27 http://tanbihun.com/pendidikan/pendidik-dalam-pendidikan-islam/ - _ftn8, 27-01-201028 Ahmad Syar’i, op. cit., hlm. 32
19
1. Orang tua sebagai pendidik
Dalam Islam, keluarga dikenal dengan istilah usrah, nasl, ali, dan
nasb. Pembentukan keluarga bermula dengan terciptanya hubungan suci
yang menjalin seorang lelaki dengan seorang perempuan melalui
perkawinan yang halal, memenuhi rukun-rukun dan syarat sahnya. Oleh
sebab itu, kedua suami istri itu merupakan dua unsur utama dalam
keluarga. Dalam pengertiannya yang sempit, keluarga merupakan suatu
unit sosial yang terdiri dari seorang suami dan istri, atau dengan kata lain
keluarga adalah perkumpulan yang halal antara seorang lelaki dan seorang
perempuan yang bersifat terus menerus di mana yang satu merasa tenteram
dengan yang lain sesuai dengan yang ditentukan oleh agama dan
masyarakat. Dan ketika suami isteri itu dikaruniani seorang anak atau
lebih, maka anak-anak itu menjadi unsur utama ketiga pada keluarga
tersebut di samping dua unsur sebelumnya.29
Terbentuknya sebuah keluarga melahirkan konsekuensi baru yang
menuntut masing-masing unsur tersebut memiliki hak dan kewajiban yang
berbeda, yaitu ayah sebagai pencari nafkah untuk mencukupi kebutuhan
keluarganya melalui pemanfaatan karunia Allah di muka bumi, ibu
berkewajiban menjaga, memelihara, dan mengelola keluarga di rumah
suaminya, terlebih lagi mendidik dan merawat anaknya. Sedang anak
berkewajiban patuh dan taat kepada orang tua.
Tanggung jawab mendidik orang tua terhadap anaknya disebabkan
oleh beberapa hal, diantaranya yaitu: Pertama, karena kodrat, yaitu karna
orang tua ditakdirkan menjadi orang tua anaknya. Kedua, karena
kepentingan kedua orang tua, yaitu orang yang berkepentingan terhadap
kemajuan perkembangan anaknya, sukses anaknya adalah sukses orang tua
juga.30
29 Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan; Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan,(Jakarta: PT. Al Husna Zikra, 1995) Cet-3, hlm. 346
30 Khoiron Rosyadi, Pendidikan Profetik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), Cet-1,hlm. 172
20
Islam mengajarkan bahwa pendidik pertama dan utama yang paling
bertanggungjawab terhadap perkembangan jasmani dan rohani peserta
didik adalah orang tua. Islam memerintahkan kedua orang tua untuk
mendidik diri dan keluarganya, terutama anak-anaknya, agar mereka
terhindar dari azab yang pedih. Firman Allah:
$pkš‰ r' ¯» tƒtûï Ï%©!$#(#q ãZtB#uä(#þq è%ö/ ä3 |¡ àÿRr&ö/ ä3‹ Î=÷d r&ur#Y‘$tRyd ߊq è%urâ¨$Z9$#äo u‘$yfÏtø:$#ur$pköŽ n=tæ
îp s3 Í´ ¯»n=tBÔâ Ÿx Ïî׊#y‰Ï©žwtbq ÝÁ ÷ètƒ©!$#!$tBöN èd t•tBr&tbqè=yèøÿtƒ ur$tBtbrâ•sD÷s ãƒ
”Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dankeluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusiadan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras,yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yangdiperintahkan”. (Q. S. At Tahrim/ 66:6).
Ayat di atas menggambarkan bahwa dakwah dan pendidikan harus
bermula dari rumah dengan orang tua yang menjadi pendidik utamanya.
Ayat di atas walau secara redaksional tertuju kepada kaum pria (ayah),
tetapi itu bukan berarti hanya tertuju kepada mereka. Ayat ini tertuju
kepada perempuan dan lelaki (ayah dan ibu) sebagaimana ayat-ayat yang
serupa (misalnya ayat yang memerintahkan berpuasa) yang juga tertuju
kepada lelaki dan perempuan. Ini menunjukan bahwa kedua orang tua
bertanggung jawab kepada anak-anak dan pasangan masing-masing
sebagaimana masing-masing bertanggung jawab atas kelakuannya.
Pemeliharaan terhadap diri dan keluarga dapat dilakukan dengan
cara meneladani Nabi dan memberikan bimbingan dan didikan agar
terhindar dari api neraka yang bahan bakarnya terdiri dari manusia kafir
dan batu-batu yang pernah dijadikan berhala dengan penyiksaan yang
dilakukan malaikat-malaikat yang kasar hati dan perlakuannya sesuai
dengan kadar dosa dan kesalahan masing-masing penghuni neraka.31
31 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan Dan Keserasian Al-Qur an,(Jakarta: Lentera Hati, 2002), Volume 14, Cet-5, hlm. 326-327.
21
Untuk melaksanakan pendidikan terhadap anak didik dapat
dilakukan sejak anak masih dalam kandungan. Beberapa aspek yang harus
diperhatikan kedua orang dalam rangka pengembangan fitrah anak didik
adalah meliputi pendidikan jasmani atau kesehatan, pendidikan akhlak
atau moral, pendidikan intelektual (akal), pendidikan psikologikal dan
emosi, pendidikan agama, dan pendidikan sosial.
a. Pendidikan Jasmani dan Kesehatan
Keluarga mempunyai peranan penting untuk menolong
pertumbuhan anak-anaknya dari segi jasmani, baik aspek
perkembangan ataupun aspek perfungsian dan dalam hal memperoleh
pengetahuan, konsep-konsep, keterampilan-keterampilan, kebiasaan-
kebiasaan dan sikap terhadap kesehatan jasmani yang sesuai dengan
umur, menurut kematangan, dan pengamatan mereka. Peranan
keluarga dalam menjaga kesehatan anak-anaknya dapat dilaksanakan
sebelum bayi lahir, yaitu melalui pemeliharaan kesehatan ibu dan
memberi makanan yang baik dan sehat. Di antara cara-cara untuk
mencapai tujuan pendidikan jasmani dan kesehatan anak adalah:
memberi peluang yang cukup untuk menikmati air susu ibu, menjaga
kesehatan dan kebersihan jasmani dan pakaiannya dan melindunginya
dari hal-hal yang membahayakan, menyiapkan makanan yang bergizi
dan baik untuk kesehatan, memberikan pengajaran dan teladan untuk
berpola hidup sehat.
Hal ini selaras dengan ajaran Islam yang termaktub dalam Al-
Qur’an:
y7t/$u‹ ÏO urö• ÎdgsÜsùÇÍÈt“ ô_”•9$#urö•àf÷d $$sùÇÎÈ
”Bersihkan pakaianmu dan jauhilah kejahatan”. (QS. Al-Mudatsir: 4-5)
Penafsiran ayat di atas (Al-Mudatsir:4) dikaitkan dengan
kebiasaan orang arab mengatakan tentang seseorang yang ingkar janji
dan tidak menepatinya, bahwa dia kotor pakaian. Tetapi, apabila ia
22
menepati janji dan tidak ingkar, maka orang arab mengatakan ia bersih
pakaian. Tapi, sejumlah imam berpendapat bahwa yang dimaksud ayat
di atas, adalah mencuci pakaian itu dengan air, apabila pakaian
tersebut terkena najis. Hal ini dikarenakan menjaga kebersihan bagian
dari upaya menjaga kesehatan jasmani. Sedang ayat 5 menunjukan
perintah untuk menjauhi maksiat dan dosa yang dapat menyampaikan
kepada adzab di dunia dan di akherat; karena jiwa itu jika bersih dari
maksiat dan dosa akan siap untuk berlapang kepada yang lain dan mau
mendengar dan rindu kepada apa yang diserukan pendidik untuk lebih
dekat kepada Allah SWT.32
ßNº t$ Î!ºuq ø9$#urz ÷èÅÊö• ャ èd y‰» s9÷rr&Èû÷,s!öq ymÈû÷ü n=ÏB% x.(ô yJ Ï9yŠ#u‘r&b r&¨LÉêãƒsp tã$|ʧ•9$#4
”Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama duatahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakanpenyusuan”. (QS. Al-Baqarah: 233)
Kata al-walidat dalam penggunaan al-Qur’an berbeda dengan
kata ummahat yang merupakan bentuk jamak dari kata umm. Kata
ummahat digunakan untuk menunjuk kepada para ibu kandung, sedang
kata al-walidat maknanya adalah para ibu, baik ibu kandung maupun
bukan. Ini berarti bahwa al-Qur’an sejak dini telah menggariskan
bahwa air susu ibu, baik ibu kandung maupun bukan, adalah makanan
terbaik buat bayi hingga usia dua tahun. Namun demikian, tentunya air
susu ibu kandung lebih baik dari selainnya. Dengan menyusu pada ibu
kandung, anak merasa lebih tenteram; sebab menurut penelitian
ilmuan, ketika itu bayi mendengar suara detak jantung ibu yang telah
dikenalnya secara khusus sejak dalam perut. Detak jantung itu berbeda
antara seorang wanita dengan wanita yang lain.
32 Ahmad Musthafa al-Maraghiy, Tafsir al-Maraghiy, (Semarang: Tohaputra, 1989), hlm.203-204.
23
Sejak kelahiran hingga dua tahun penuh, para ibu
diperintahkan untuk menyusukan anak-anaknya. Dua tahun adalah
batas maksimal dari kesempurnaan penyusuan. Di sisi lain, bilangan
itu juga mengisyaratkan bahwa yang menyusu setelah usia tersebut
bukanlah penyusuan yang mempunyai dampak hukum yang
mengakibatkan anak yang disusui berstatus sama dalam sejumlah hal
dengan anak kandung yang menyusuinya.
Penyusuan yang selama dua tahun itu, walaupun
diperintahkan, tetapi bukanlah kewajiban.Ini dipahami dari penggalan
ayat yang menyatakan, bagi yang ingin menyempurnakan
penyusuannya. Namun demikian, ia adalah anjuran yang sangat
ditekankan, seakan-akan ia adalah perintah wajib. Jika ibu bapak
sepakat untuk mengurangi masa tersebut, maka tidak mengapa. Tetapi
hendaknya jangan berlebih dari dua tahun, karena dua tahun telah
dinilai sempurna oleh Allah. Di sisi lain, penetapan waktu dua tahun
itu, adalah untuk menjadi tolok ukur bila terjadi perbedaan pendapat
misalnya ibu atau bapak ingin memperpanjang masa penyusuannya. 33
b. Pendidikan Akal (Intelektual)
Pendidikan akal dapat dilakukan dengan mempersiapkan rumah
tangga dengan segala macam perangsang intelektual dan budaya,
seperti gambar edukatif, buku-buku dan majalah untuk menanamkan
gemar membaca bagi anak, membiasakan anak berfikir logis, obyektif
dan jernih dalam mengambil keputusan. Setelah memasuki usia yang
cukup, orang tua dalam mengembangkan akal anak dapat dengan
memasukkannya ke intansi pendidikan atau sekolah tanpa berfikir
untuk lepas tangan.
c. Pendidikan Psikologikal dan Emosi
Dalam melaksanakan pendidikan psikologikal dan emosi anak,
orang tua dapat menciptakan pertumbuhan emosi yang sehat,
33 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan Dan Keserasian Al-Qur an,(Jakarta: Lentera Hati, 2006), Volume 1, Cet-7, hlm. 233-234.
24
menciptakan kematangan emosi yang sesuai dengan umurnya,
menciptakan penyesuaian psikologikal yang sehat dengan dirinya
sendiri dan dengan orang lain di sekelilingnya. Begitu juga dengan
menumbuhkan emosi kemanusiaan yang mulia, seperti cinta kepada
orang lain, mengasihi orang lemah, kehidupan emosi yang rukun
dengan orang lain dan menghadapi masalah-masalah psikologikal
secara positif dan dinamis.
Cara orang tua mendidik dan memelihara anak dari segi
psikologi adalah dengan mengetahui segala keperluan psikologi dan
sosialnya, dan mengetahui cara memuaskannya untuk mencapai
penyesuaian psikologinya. Konkretnya, orang tua perlu memberikan
penghargaan perhatian, serta memberi anak peluang untuk menyatakan
diri, keinginan, fikiran, dan pendapat dengan sopan dan hormat.
d. Pendidikan Akhlak atau Moral
Pendidikan akhlak tidak bisa lepas dari pendidikan agama,
sebab seorang muslim tidak sempurna agamanya sehingga akhlaknya
menjadi baik. Orang tua memegang peranan penting dalam pendidikan
akhlak anak sebagai institusi yang mula-mula sekali berinteraksi
dengannya, sehingga segala tingkah lakunya sangat memberi pengaruh
pada anak. Dalam hal ini, orang tua berkewajiban untuk memberi
contoh atau teladan yang baik bagi anak-anaknya dalam berpegang
teguh pada akhlak yang mulia, menyediakan bagi anak-anaknya
peluang dan suasana praktis di mana mereka dapat mempraktekkan
akhlak yang diterima dari orang tuanya, memberi tanggungjawab yang
sesuai kepada anak agar mereka merasa bebas memilih dalam tindak
tanduknya, dan menjaga mereka dari pergaulan yang merusak.
e. Pendidikan Agama
Pendidikan agama dan spiritual dilakukan dengan
membangkitkan kekuatan dan kesediaan yang bersifat naluri dari diri
anak melalui bimbingan agama yang sehat dan mengamalkan ajaran-
ajaran agama. Begitu juga membekalkan pada anak pengetahuan dan
25
nilai-nilai agama, kebudayaan Islam yang sesuai dengan umurnya
dalam bidang aqidah, ibadat, muamalat dan sejarah. Untuk
menanamkan semangat keagamaan pada diri anak dapat dilakukan
dengan memberi tauladan yang baik pada anak tentang kekuatan iman
dan pengamalan syariat, membiasakan mereka menunaikan ibadah
sejak kecil, menyiapkan suasana agama, membimbing mereka
membaca bacaan-bacaan agama yang berguna dan memikirkan
ciptaan-ciptaan Allah untuk memperteguh iman, serta menggalakkan
mereka turut serta dalam aktivitas-aktivitas agama.
f. Pendidikan Sosial
Pendidikan sosial adalah mengupayakan anak untuk dapat
tumbuh dan berkembang dalam sistim sosial yang luas, di mana
kesediaan-kesediaan dan bakat-bakat asasi anak dibuka dan
dikeluarkan ke dalam kenyataan berupa hubungan-hubungan sosial
dengan orang keselilingnya.34
Dalam mendidik seorang anak, orang tua mustahil dapat
melakukannya sendiri. Oleh karena itu, orang tua membutuhkan wakil
yang dapat membantunya untuk mengembangkan fitrah yang dimiliki
anak sehingga dapat mencapai titik maksimal. Pendidik pertama dan
utama adalah orang tua. Merekalah yang pertama-tama mengajarkan
kepada anak pengetahuan tentang Allah, pengalaman tentang
pergaulan manusiawi, dan kewajiban memperkembangkan tanggung
jawab terhadap diri sendiri dan orang lain. Namun tugas orang tua
untuk mendidik anak membutuhkan bantuan sekolah untuk bidang
pengajaran karna sebagian waktu orang tua dipergunakan untuk
melaksanakan kewajiban lain, seperti mencari nafkah. Orang tua juga
membutuhkan bantuan masyarakat, karena masyarakat perlu mengatur
kebutuhan hidup di dunia ini dengan ikut andil mempersiapkan kaum
muda menjadi anggota masyarakat yang bertanggung jawab. Ini
menyimpulkan bahwa semua pendidik mengambil bagian dalam usaha
34 Hasan Langgulung, op. cit., hlm. 363-377
26
meraih tujuan hidup sebagai makhluk berkebudayaan dan
bermasyarakat.35
2. Guru sebagai Pendidik
Sekolah merupakan institusi kegiatan pendidikan yang bertujuan
untuk mengembangkan dan membentuk potensi intelektual atau pikiran
anak didik, menjadi cerdas. Secara terprogram dan koordinatif, materi
pendidikan dipersiapkan untuk dilaksanakan secara metodis, sistematis,
intensif, efektif, dan efesien menurut ruang dan waktu yang telah
ditentukan. Jadi penyelenggaraan pendidikan dilaksanakan menurut
metode dan sistim yang jelas dan konkret.36
Pencerdasan tersebut dilakukan dengan meningkatkan pengetahuan
mengenai reading (membaca) writing (menulis) dan arithmatics
(berhitung). Reading, sasarannya bukan hanya mengembangkan
kemampuan membaca tulisan, tetapi lebih dari itu, yakni kemampuan
membaca fakta kehidupan yang sedang berjalan. Adapun writing,
sasarannya adalah kemampuan mengungkapkan sesuatu hal yang telah
dibaca untuk kemudian disosialisasikan dalam bentuk tulisan. Sedangkan
arithmatics, sasaran pokoknya adalah kemampuan menghitung dan
membuat perhitungan agar setiap langkah kehidupan dapat menghasilkan
kepastian. Untuk itu, materi pendidikan diorganisasi dalam bentuk
kurikulum, yang kandungan isinya meliputi beberapa masalah tentang
kealaman, sosial-kemanusiaan, moral-keagamaan menurut perbandingan
yang disesuaikan dengan kebutuhan. Sosok yang ditugaskan untuk
menjalankan seluruh perangkat sekolah tersebut demi pencapaian tujuan
pendidikan pada seorang anak didik adalah guru.37
Makna guru sebagaimana dalam Undang-undang republik
Indonesia, Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Bab 1, Pasal 1,
35 J. I. G. M. Drost, S. J., Sekolah: Mengajar Atau Mendidik? (Yogayakarta: Karnisius,1998), Cet-7, hlm. 32
36 Suparlan Suhartono, Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007), Cet-2,hlm. 105
37 Ibid, hlm. 106
27
Ayat 1 adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik,
mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi
peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal,
pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.38
Makna tersebut dapat dipahami secara universal, maksudnya setiap
kegiatan pembelajaran, baik yang terencana maupun tidak tentunya
membutuhkan seorang pembimbing yang langsung dan tidak langsuang.
Atau dapat dikata bahwa proses pembelajaran dalam masyarakat terdapat
istilah learning cultures, yakni masyarakat belajar dengan cara tidak resmi
sebagaimana kehidupan rutin sehari-hari dan teaching cultures, yakni
masyarakat mendapat pelajaran secara resmi dari warga lain yang lebih
tahu.
Makna guru pada prinsipnya tidak hanya mereka yang mempunyai
kualifikasi keguruan secara formal diperoleh dari bangku sekolah
perguruan tinggi; melainkan yang terpenting adalah mereka yang memiliki
kompetensi keilmuan tertentu dan dapat menjadikan orang lain pandai
dalam hal kognitif, afektif, dan psikomotorik. Matra kognitif menjadikan
peserta didik cerdas intelektualnya, matra afektif menjadikan siswa
mempunyai sikap dan perilaku yang sopan, dan matra psikomotorik
menjadikan siswa terampil dalam melaksanakan aktivitas secara efektif
dan efesien, serta tepat guna.
Dalam paradigma Jawa, pendidik diidentikkan guru yang artinya
digugu dan ditiru. Namun dalam paradigma baru, pendidik tidak hanya
berfungsi sebagai pengajar tetapi juga sebagai motivator dan fasilitator
proses belajar mengajar. Pendidik dituntut untuk mampu memainkan
peranan dan fungsinya dalma menjalankan tugas kependidikannya. Hal ini
menghindari adanya benturan fungsi dan peranannya, sehingga pendidik
dapat menempatkan kepentingan sebagai individu, masyarakat, warga
negara dan pendidik sendiri.
38 Undang-Undang Republik Indonesia, (Bandung: Citra Umbara, 2006), hlm. 2
28
Sebenarnya seorang pendidik bukanlah bertugas sebagai transfer of
knowledge saja, tetapi pendidik juga bertanggungjawab atas pengelolaan,
pengarah, fasilitator dan perencana. Oleh karna itu fungsi dan tugas
pendidik setidaknya mencakup tiga hal:
Pertama, sebagai pengajar (instruksional) yang bertugas
merencanakan program pengajaran dan melaksanakan program yang telah
disusun serta mengakhiri dengan pelaksanaan penilaian setelah program
dilakukan. Kedua, sebagai pendidik (educator) yang mengarahkan anak
didik pada tingkat kedewasaan yang berkepribadian insan kamil seiring
dengan tujuan Allah mencipatakannya. Ketiga, sebagai pemimpin
(managerial) yang memimpin mengendalikan diri sendiri, anak didik dan
masyarakat terkait upaya pengerahan, pengawasan, pengorganisasian,
pengontrolan dan partisipasi atas program yang dilakukan.39
Dalam pelaksanaan tugas itu, seorang pendidik, dalam hal ini guru;
dituntut untuk mempunyai seperangkat prinsip keguruan. Prinsip keguruan
itu dapat berupa: (1) memperhatikan: kesediaan kemampuan, pertumbuhan
dan perbedaan anak didik. (2) membangkitkan gairah anak didik untuk
belajar, (3) menumbuhkan bakat dan sikap anak didik yang baik, (4)
mengatur proses belajar mengajar dengan baik, (5) memperhatikan
perubahan-perubahan kecenderungan yang mempengaruhi proses
mengajar, (6) menciptakan hubungan manusiawi dalam proses belajar
mengajar.40
3. Masyarakat sebagai Pendidik
Masyarakat diartikan sebagai sekumpulan orang yang menempati
suatu daerah, diikat oleh pengalaman-pengalaman yang sama, memiliki
sejumlah persesuaian dan sadar akan kesatuannya, serta dapat bertindak
bersama untuk mencukupi krisis kehidupannya. Masyarakat juga dapat
diartikan sebagai satu bentuk tata kehidupan sosial dengan tata nilai dan
39 Muhaimin, Kontroversi Pemikiran Fazlur Rahman, (Cirebon: Pustaka Dinamika,1999), Cet-1, hlm. 113-114
40 Ibid, hlm. 114
29
tata budaya sendiri. Dalam arti ini, masyarakat adalah wadah dan wahana
pendidikan; medan kehidupan manusia yang majemuk (plural: suku,
agama, kegiatan kerja, tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi dan
sebagainya). Manusia berada dalam multikompleks antar hubungan dan
antar aksi di dalam masyarakat.41
Dalam konteks pendidikan, masyarakat merupakan lapangan
pendidikan ketiga setelah keluarga dan sekolah. Pendidikan yang dialami
dalam masyarakat ini, telah mulai ketika anak-anak untuk beberapa waktu
setelah lepas dari asuhan keluarga dan berada di luar pendidikan sekolah.
Dengan demikian, pengaruh pendidikan di masyarakat tampaknya lebih
luas.42
Dalam hal ini, masyarakat sebagai pendidik; maka seluruh
masyarakat bertanggung jawab terhadap terhadap penanaman nilai
kebaikan, untuk kemudian bisa menumbuhkembangkan keadilan dalam
seluruh aspek kehidupan sosial.43 Tanggung jawab masyarakat terhadap
penanaman kecerdasan spiritual di setiap lini kegiatan sosial bisa
menumbuhkan kesadaran bahwa hidup bersama mutlak dilakukan untuk
mencapai tujuan kehidupan ini. Pertumbuhan kesadaran hidup bersama
kemudian bisa membuahkan nilai keadilan sosial. Oleh sebab itu,
kehidupan masyarakat selanjutnya dijiwai dengan keadilan politik,
ekonomi, hukum, pendidikan, dan sebagainya.
Tanggung jawab masyarakat terhadap pendidikan anak didik
menjelma dalam beberapa perkara dan cara yang dipandang merupakan
metode pendidikan masyarakat yang utama. Cara yang terpenting adalah:
Pertama, Allah menjadikan masyarakat sebagai penyuruh kebaikan
dan pelarang kemungkaran sebagaimana diisyaratkan Allah dalam firman-
Nya:
41 Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan; Umum Dan Agama Islam, (Jakarta: PTRajaGrafindo Persada, 2005), hlm. 55
42 Ibid, hlm. 5643 Suparlan Suhartono, op. cit., hlm. 107
30
ä3 tFø9uröN ä3Y ÏiB×p ¨Bé&tbq ãã ô‰tƒ’n<Î)ÎŽö•sƒø:$#tbrã• ãBù' tƒ urÅ$rã• ÷èpRùQ$$Î/tb öq yg÷Ztƒ urÇ tãÌ•s3Y ßJ ø9$#4
y7Í´ ¯» s9'ré&urãN èdšcq ßsÎ=øÿßJ ø9$#ÇÊÉÍÈ
”Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yangmenyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf danmencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yangberuntung”. (QS. Ali Imran: 104)
öN çGZä.uŽö•yz>p ¨Bé&ôMy_Ì• ÷z é&Ĩ$Y=Ï9tbrâ•ßDù' s?Å$rã• ÷èyJ ø9$$Î/šcöq yg÷Y s?urÇ tã
Ì• x6ZßJ ø9$#tbq ãZÏB÷s è?ur«!$$Î/3öq s9uršÆtB#uäã@÷d r&É=» tG Å6 ø9$#tb% s3 s9#ZŽö•yzN ßg©94
ãN ßg÷ZÏiBšcq ãY ÏB÷s ßJ ø9$#ãN èd çŽsYò2r&urtbq à)Å¡» xÿø9$#ÇÊÊÉÈ
”Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia,menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar,dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulahitu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dankebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik”. (QS. AliImran: 110)
Kedua ayat di atas merupakan firman Allah yang berisi perintah
kepada umat manusia sebagai komunitas sosial untuk saling mengingatkan
berbuat baik dan mencegak perbuatan yang munkar. Menganjurkan
berbuat kebaikan saja tidaklah cukup tetapi harus dibarengi dengan
menghilangkan sifat-sifat yang buruk. Siapa saja yang ingin mencapai
kemenangan, maka ia terlebih dahulu harus mengetahui persyaratan dan
taktik perjuangan untuk mencapainya, yaitu; kemenangan tidak akan
tercapai melainkan dengan kekuatan, dan kekuatan tidak akan terwujud
melainkan dengan persatuan. Persatuan yang kokoh dan kuat tidak akan
tercapai kecuali dengan sifat-sifat keutamaan. Tidak terpelihara keutamaan
31
itu melainkan dengan terpeliharanya agama dan akhirnya tidak mungkin
agama terpelihara melainkan dengan adanya dakwah dan didikan.44
Hal ini menunjukan bahwa masyarakat sebagai pendidik tidak akan
berlangsung dengan baik jika tidak ada kekuatan berupa tekad untuk
memberikan suatu pengaruh baik bagi peserta didik, namun kekuatan atas
tekad tersebut tidak akan berjalan baik jika tidak dilakukan secara
bersama-sama dengan menyatukan cita-cita untuk membentuk karakter
peserta didik sehingga pada masanya dapat menjadi bagian dari
masyarakat yang mampu mendatangkan manfaat secara global.
Sedang ayat selanjutkan menggambarkan, bahwa ayat di atas
mengandung suatu dorongan kepada kaum mukminin supaya mereka tetap
mempunyai semangat yang tinggi, karna umat atau masyarakat yang baik
adalah umat yang mempunyai dua macam sifat, yaitu mengajak kebaikan
serta mencegah kemungkaran, dan senantiasa beriman dengan Allah.45
Ayat di atas juga menunjukan bahwa, kewajiban para pembimbing
anak adalah menjaga fitrah anak tetap dalam kesucian dan terhindar dari
berbagai penyelewengan atau kehinaan. Penjagaan fitrah anak berarti
menyiapkan generasi yang suci. Selain itu, seorang pembimbing pun
dituntut untuk menanamkan konsep-konsep keimanan ke dalam hati anak
pada berbagai kesempatan dengan cara mengarahkan pandangan mereka
pada berbagai gejala alam yang menunjukan kekuasaan, kebesaran, dan
keesaaan Allah serta membiasakan mereka untuk berperilaku secara
Islami.
Kedua, dalam masyarakat Islam, seluruh anak-anak dianggap anak
sendiri atau anak saudaranya. Hal ini karena mereka berpedoman pada
sumber ajaran Islam, yang termaktub dalam firman Allah (Al-Hujurat: 10):
44 Tim Tashih Depag, Bustami A. Gani dkk, Al-Qur an dan Tafsirnya, (Semarang: PTCitra Efhar, 1993), Jilid 2, hlm. 16.
45 Ibid, hlm. 22
32
”Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itudamaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allahsupaya kamu mendapat rahmat”.46
Adapun peran Masyarakat terhadap pendidikan anak adalahsebagai berikut:a. Masyarakat berperan serta dalam mendirikan dan membiayai
sekolah.
b. Masyarakat berperan dalam mengawasi pendidikan agar sekolah
tetap membantu dan mendukung cita-cita dan kebutuhan masyarakat.
c. Masyarakat ikut menyediakan tempat pendidikan, seperti gedung-
gedung museum, perpustakaan, panggung-panggung kesenian, kebun
binatang, dan sebagainya.
d. Masyarakat menyediakan berbagai sumber untuk sekolah. Mereka
dapat diundang ke sekolah untuk memberikan keterangan-keterangan
mengenai suatu masalah yang sedang dipelajari anak didik. Orang-
orang yang punya keahlian khusus banyak sekali terdapat di
masyarakat, seperti petani, dokter, polisi, dan lain-lain.
e. Mendukung dan siap sedia menjadi partner yang mempermudah
proses pendidikan yang ada di lingkungannya. Semua ini perlu
dilakukan karna nilai-nilai kependidikan akan lebih efektif jika anak
didik berada dalam lingkungan yang menjunjung tinggi nilai-nilai
tersebut, misalnya nilai kesopanan dan nilai yang berkaitan dengan
spiritual.47
Pada dasarnya, pengembangan fitrah manusia atau anak didik dapat
berkembang secara optimal dan mencapai tujuan final pendidikan, yaitu
memperoleh akhlak yang mulia dengan didasari ilmu pengetahuan yang
mumpuni; dapat terwujud jika pendidik yang berkecimpung dalam keluarga
(orang tua), sekolah (guru), dan masyarakat (seluruh komponen masyarakat
yang mendukung pendidikan) dapat berintegrasi untuk menyatukan tekad dan
46 Abdurrahman An-Nahlawi, Pendidikan Islam Di Rumah, Sekolah Dan Masyarakat,(Jakarta: Gema Insani Press, 2002), Cet-3, hlm. 176-177.
47 Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), hlm. 233
33
semangat dalam membimbing anak didik menjadi generasi yang unggul dan
berakhlak mulia.
Hal ini karena, menurut Sidi Gazalba ketiga pendidik tersebut
merupakan satu kesatuan hierarki yang saling terkait, yaitu:
1. Orang tua atau pendidik dalam rumah tangga, yaitu pendidik
primer untuk fase bayi dan fase kanak-kanak sampai usia sekolah. Orang
tua dalam menjalankan proses pendidikannya juga tidak bisa lepas dari
keterlibatan sanak kerabat, famili, saudara-saudara, teman sepermainan,
dan kenalan pergaulan yang secara langsung atau tidak ikut serta dalam
memberikan dampak dan pengaruh.
2. Guru yang profesional, yaitu pendidik sekunder yang
mendidik anak mulai dari usia masuk sekolah sampai ia keluar dari
sekolah tersebut.
3. Kesatuan sosial, yaitu pendidikan tertier yang merupakan
pendidikan yang terakhir tetapi bersifat permanen. Pendidiknya adalah
kebudayaan, adat istiadat, suasana masyarakat setempat.48
Hal yang paling perlu ditegaskan dalam hal ini adalah, bahwa pendidik
orang tua merupakan pendidik pertama dan utama yang paling besar terlibat
dalam pembentukkan dan pengembangan fitrah anak didik, sedang para guru
adalah pembantu orang tua pada bidang yang tidak bisa ditanganinya sendiri,
yakni pengajaran. Karna guru hanya berkedudukan sebagai pembantu orang
tua, maka ia harus peka dan terbuka terhadap keinginan orang tua di dalam
situasi tertentu.
Kerja sama antara pendidik di keluarga dan sekolah sangat perlu untuk
menunjang keberhasilan belajar siswa. Pekerjaan guru di sekolah akan lebih
efektif apabila dia mengetahui latar belakang dan pengalaman anak didik di
rumah tangganya. Anak didik yang kurang maju dalam pelajaran, berkat kerja
sama orang tua anak didik dengan pendidik, banyak kekurangan anak didik
yang dapat teratasi. Apa-apa yang dibawa anak didik dari keluarganya, tidak
48 Sidi Gazalba, Pendidikan Umat Islam, Masalah Terbesar Kurun Kini MenentukanNasib Umat, (Jakarta: Bhratara, 1970), hlm. 26-27.
34
mudah mengubahnya. Kenyataan ini harus benar-benar disadari dan diketahui
oleh pendidik, oleh karna itu dalam menjalin kerja sama dapat dilakukan
dengan banyak hal, dianataranya adalah melakukan kunjungan ke rumah anak
didik, mengundang orang tua ke sekolah, rapat atau konferensi tentang kasus,
mengadakan surat-menyurat antara sekolah dan keluarga, dan lain-lain.49
Sedang hubungan pendidik orang tua dan guru dengan masyarakat
dapat dilihat dari dua segi, yaitu sekolah sebagai partner masyarakat di dalam
melaksanakan fungsi pendidikan. Hal ini karena ketiga pendidik tersebut
merupakan pusat-pusat pendidikan yang potensial dan mempunyai hubungan
yang potensial. Kedua, sekolah merupakan prosedur yang melayani pesan-
pesan pendidikan dari masyarakat.
Hubungan masyarakat dengan pendidikan sangat bersifat korelatif,
bahkan seperti telur dengan ayam. Karenanya, tidak heran jika Mohammad
Noor Syam dalam bukunya yang berjudul Filsafat Pendidikan Dan Dasar
Filsafat Pendidikan Pancasila, mengatakan; masyarakat maju karna
pendidikan, dan pendidikan yang maju hanya akan ditemukan dalam
masyarakat yang maju pula.50
B. Fungsi Penciptaan Manusia Dan Implikasinya Dalam Pendidikan Islam
Manusia merupakan makhluk Tuhan yang diciptakan dengan bentuk
raga yang sebaik-baiknya dan rupa yang seindah-indahnya dengan dilengkapi
berbagai organ psikofisik yang istimewa seperti panca indera dan hati. Hal ini
agar manusia bersyukur kepada Allah yang telah menganugerahi
keistimewaan- keistimewaan itu.
ô‰s)s9$uZø)n=y{z » |¡SM}$#þ’ÎûÇ |¡ ômr&5Oƒ Èqø)s?ÇÍÈ
”Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yangsebaik-baiknya” (Q. S, At-Tiin/95:4).
49 Hasbullah, op. cit., hlm. 91-9450 Mohammad Noor Syam, Filsafat Pendidikan Dan Dasar Filsafat Pendidikan
Pancasila, (Surabaya: Usaha Nasional, 1986), hlm. 199
35
Huruf na pada kata kholaqo di atas menunjuk kepada makna jamak
atau banyak, tetapi bisa juga digunakan untuk menunjuk satu pelaku saja
dengan maksud mengagungkan pelaku tersebut. Para raja pun biasa menunjuk
dirinya dengan menggunakan kata ”kami”. Allah juga sering kali
menggunakan kata tersebut untuk menunjuk diri-Nya. Penggunaan na di atas
mengisyaratkan adanya keterlibatan selain Allah dalam penciptaan manusia.
Dalam hal ini adalah ibu bapak manusia. Ini menunjukan bahwa ada pencipta
lain, namun tidak sebaik Allah. Peranan yang lain itu sebagai ”pencipta” sama
sekali tidak seperti Allah, melainkan hanya sebagai alat atau perantara. Ibu
bapak mempunyai peranan yang cukup berarti dalam penciptaan anak-
anaknya, termasuk dalam penyempurnaan keadaan fisik dan psikisnya. Para
ilmuwan mengakui bahwa keturunan, bersama dengan pendidikan, merupakan
dua faktor yang sangat dominan dalam pembentukan fisik dan kepribadian
anak.51 Pembentukan fisik ini pun disesuaikan dengan fungsinya. Manusia
memiliki keistimewaan yang melampaui binatang, yaitu akal, pemahaman dan
bentuk fisiknya yang tegak dan lurus. Sehingga bentuk fisik dan psikis yang
baik ini menyebabkan manusia dapat melaksanakan fungsi penciptaannya
dengan baik.52
t, n=y{ÏNºuq» yJ ¡¡9$#uÚö‘F{ $#urÈd, ptø:$$Î/ö/ ä. u‘§q |¹ urz |¡ ômr' sùö/ ä. u‘uq ß¹(Ïm ø‹ s9Î) ur玕ÅÁ yJ ø9$#ÇÌÈ
”Dia menciptakan langit dan bumi dengan (tujuan) yang benar, Diamembentuk rupamu dan dibaguskan-Nya rupamu itu, dan hanyakepada-Nya-lah kembalimu” (Q. S, At Taghabun/ 64:3).
Tidak jauh berbeda dengan penjelasan ayat sebelumnya, ayat di atas
(Q. S, At Taghabun/ 64:3) juga menegaskan bahwa Allah telah membentuk
manusia dengan satu bentuk yang unik, dengan bentuk yang sebaik-baiknya
51 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan Dan Keserasian Al-Qur an,(Jakarta: Lentera Hati, 2007), Volume 15, Cet-X, hlm. 377.
52 Ibid, hlm. 378.
36
sehingga dengan demikian manusia dapat berfungsi sesuai dengan fungsinya,
yaitu khalifah dan abd Allah.53
Secara lebih rinci keistimewaan- keistimewaan yang dianugerahkan
Allah kepada manusia antara lain adalah kemampuan berfikir untuk
memahami alam semesta, dirinya sendiri, dan memahami tanda-tanda
keagungan Allah. Keistimewaan- keistimewaan ini diberikan bukan tanpa
tujuan, karena seperti yang tersinyalir dalam Al-Qur’an, Allah SWT
menciptakan manusia bukan secara main-main54melainkan dengan suatu
tujuan dan fungsi tertentu. Secara global tujuan dan fungsi penciptaan manusia
itu dapat diklasifikasikan kepada dua, yaitu:
1. Khalifah
Al-Qur’an menegaskan bahwa manusia diciptakan Allah sebagai
pengemban amanat.55 Di antara amanat yang dibebankan kepada manusia
adalah memakmurkan kehidupan di bumi.56 Karena amat mulianya
manusia sebagai pengemban amanat Allah, maka manusia diberi
kedudukan sebagai khalifah-Nya di muka bumi.57
Menurut Ahmad Musthafa Al-Maraghi, kata khalifah dalam ayat
ini memiliki dua makna. Pertama, adalah pengganti, yaitu pengganti Allah
SWT untuk melaksanakan titahNya di muka bumi. Kedua, manusia adalah
pemimpin yang kepadanya diserahi tugas untuk memimpin diri dan
makhluk lainnya memakmurkan dan mendayagunakan alam semesta bagi
kepentingan manusia secara keseluruhan. Dalam konteks ini, maka dapat
diartikan bahwa manusia telah menerima mandat dari Allah untuk menjadi
penguasa yang mengatur bumi dengan segala isinya dengan tujuan
memakmurkan kehidupan di bumi. Tugas kekhalifahan ini didukung oleh
kewenangan dan kemampuan manusia yang diberikan oleh Allah.
Kewenangan mengelola bumi telah melekat pada manusia sejak awal
53 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan Dan Keserasian Al-Qur an,(Jakarta: Lentera Hati, 2006), Volume 14, Cet-V, hlm. 264.
54 Lihat dalam Q. S. Al Mukminun/ 23: 11555 Q. S. Ar Ruum/ 33:7256 Q. S., Hud/11:6157 Q. S. Al Baqarah/ 2:30
37
penciptaan manusia, sedang kemampuan untuk menjadi khalifah
memerlukan sebuah proses berilmu pengetahuan.58
2. ’Abd (Pengabdi Allah)
Konsep ’Abd mengacu pada tugas-tugas individual manusia
sebagai hamba Allah. Tugas ini diwujudkan dalam bentuk pengabdian
ritual kepada-Nya dengan penuh keikhlasan. Pemenuhan fungsi ini
memerlukan penghayatan agar seorang hamba sampai pada tingkat
religiusitas dimana tercapainya kedekatan diri dengan Allah. Bila tingkat
ini berhasil diraih, maka seorang hamba akan bersikap tawadhu , tidak
arogan dan akan senantiasa pasrah pada semua perintah Allah.
Secara luas, konsep ‘abd sebenarnya meliputi seluruh aktivitas
manusia dalam kehidupannya. Islam menggariskan bahwa seluruh
aktivitas seorang hamba dapat dinilai sebagai ibadah manakala aktivitas itu
memang ditujukan semata-mata hanya untuk mencari ridha Allah. Pada
dasarnya konsep ini merupakan makna sesungguhnya ibadah yang jika
dipahami, dihayati, dan diamalkan maka akan mengantarkan manusia
untuk menemukan jati dirinya sebagai insan paripurna atau al-insan al-
kamil.59
Pandangan di atas merupakan visi filosofis dan antropologis yang
dinukilkan Allah dalam Al-Qur’an yang telah mendudukkan manusia di alam
semesta ini ke dalam dua fungsi pokok, yaitu khalifah dan abd. Pandangan
kategorikal demikian tidak mengisyaratkan suatu pengertian yang bercorak
dualisme-dikotomik, tetapi menjelaskan muatan fungsional yang harus
diemban manusia dalam melaksanakan tugas-tugas kesejarahan dalam
kehidupannya di muka bumi. Konsep khalifah dan abd tidak dimaksudkan
untuk dipertentangkan, melainkan keduanya harus diletakkan sebagai suatu
kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Keduanya memiliki relasi
dialektik yang akan mengantarkan manusia kepada puncak eksistensi
kemanusiaannya.
58 Agus Mustofa, Membonsai Islam, (Jakarta: Padma Press, 2006), Cet-1, hlm. 12259 Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Histories, Teoritis Dan Praktis,
(Jakarta: Ciputat Pers, 2002), hlm. 20
38
Agar manusia mampu melaksanakan tugas dan fungsi penciptaannya,
maka manusia dibekali Allah dengan berbagai potensi dan kemampuan.
Dalam Islam, kemampuan ini disebut fitrah. Potensi atau kemampuan itu
disebut oleh Hasan Langgulung sebagai sifat-sifat Tuhan yang tersimpul
dalam Al-Qur’an dengan nama-nama yang indah (Asmaul Husna), dengan
mendasarkan bahwa proses penciptaan manusia itu secara nonfisik,
sebagaimana firman Allah SWT:
àM÷‚xÿtRurÏmŠÏùÏBÓÇrr•‘(#q ãès)sù¼ çm s9tûï ωÉf» y™ÇËÒÈ
”Dan aku telah meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan) Ku” (QS. Al-Hijr: 29)”
Ayat di atas membedakan juga dengan jelas asal kejadian manusia dan
asal kejadian jin. Perbedaan itu tidak saja pada unsur tanah dan api, tetapi
yang lebih penting adalah bahwa pada unsur kejadian manusia ada ruh ciptaan
Allah Swt. Unsur ini tidak ditemukan pada iblis atau jin. Unsur rohani itulah
yang mengantar manusia lebih mampu mengenal Allah Swt., beriman, berbudi
luhur, serta berperasaan halus. Dengan peniupan ruh ini, Allah memberi
potensi ruhaniah kepada makhluk manusia yang menjadikannya dapat
mengenal Allah Swt. dan mendekatkan diri kepada-Nya.60
Hal ini berarti bahwa kelahiran manusia tidak lepas dari sifat-sifat
keagungan Allah yang tertuang dalam Asmaul Husna, sehingga manusia lahir
dengan membawa fitrah, yakni asmaul husna.61 Dalam falsafah Islam, sifat-
sifat Tuhan hanya dapat diberikan kepada manusia dalam bentuk dan cara
terbatas, sebab kalau tidak demikian manusia akan mengakui dirinya sebagai
Tuhan. Dalam konteks ini, manusia harus memahami bahwa sifat-sifat itu
diberikan Tuhan adalah sebagai amanah, yaitu tanggung jawab yang besar
yang pada suatu saat akan dimintai pertanggung jawabannya dihadapan Allah
60 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan Dan Keserasian Al-Qur an,(Jakarta: Lentera Hati, 2006), Volume 14, Cet-V, hlm. 122-123.
61 Muhaimin, Pemikiran Pendidikan Islam, (Bandung: Trigenda Karya, 1993), Cet-1,hlm.139.
39
SWT. Untuk itu, manusia harus mendayagunakan potensi yang dianugerahkan
kepadanya secara bertanggung jawab dalam rangka merealisasikan tujuan dan
fungsi penciptaannya di alam ini, baik sebagai abd maupun khalifah di
bumi.62
Potensi atau fitrah yang dimiliki manusia, pada hakikatnya merupakan
kemampuan dasar manusia yang meliputi kemampuan mempertahankan
kelestarian kehidupannya, kemampuan rasional, maupun kemampuan
spiritual. Hanya saja, kemampuan tersebut masih bersifat embrio. Untuk itu,
diperlukan berbagai upaya untuk mengembangkan dan memperkaya potensi
tersebut secara aktif. Upaya yang efektif untuk maksud tersebut adalah melalui
proses pendidikan.
Pendidikan, dalam perspektif pendidikan Islam, merupakan sarana
untuk membantu peserta didik dalam upaya mengangkat, mengembangkan
dan mengarahkan potensi pasif yang dimilikinya menjadi potensi aktif yang
dapat teraktualisasi dalam kehidupannya secara maksimal. Dimensi ini
memberikan pengertian, bahwa dalam konteks ini pendidikan bukan sarana
yang berfungsi sebagai indoktrinasi pembentukan corak dan warna
kepribadian peserta didik sebagaimana yang diinginkan oleh pendidik atau
sistim pendidikan yang ada. Akan tetapi, pendidikan di sini berfungsi sebagai
fasilisator berkembangnya potensi peserta didik secara aktif sesuai dengan
sunnatullahnya masing-masing dan utuh, baik itu potensi fisik maupun psikis.
Untuk itu, sistim dan proses pendidikan yang dilaksanakan, harus mampu
menyentuh dan mengayomi keseluruhan dimensi potensi peserta didik sesuai
dengan irama perkembangannya secara harmonis dan integral.63
Adapun jenis fitrah, terbagi dalam banyak bagian, tetapi yang
terpenting adalah sebagai berikut:
1. Fitrah agama
Sejak lahir, manusia mempunyai jiwa agama, yaitu jiwa yang
mengakui bahwa adanya Dzat maha Pencipta dan maha Mutlak, yaitu
62 Ibid, hlm. 2163 Samsul Nizar, Sejarah Dan Pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam: Potret Timur
Tengah Era Awal Dan Indonesia, (Jakarta: Quantum Teaching, 2005), Cet- 1, hlm. 154-155
40
Allah SWT. Sejak di alam roh, manusia telah mempunyai komitmen
bahwa Allah adalah Tuhannya,64 sehingga ketika dilahirkan, ia
berkecenderungan pada Al-Hanif, yakni rindu akan kebenaran mutlak
(Allah).
2. Fitrah intelek
Intelek adalah potensi bawaan yang mempunyai daya untuk
memperoleh pengetahuan dan dapat membedakan antara yang baik dan
yang buruk, yang benar dan yang salah.65Allah SWT sering mengingatkan
manusia untuk menggunakan fitrah inteleknya, misalnya dengan kalimat
”Afala Ta qilun, Afala Tatafakkarun, Afala Tubshirun, Afala
Yatadabbarun, dan seterusnya. Karena fitrah inteleknya inilah derajat
manusia jauh lebih tinggi daripada makhluk Allah yang lain dan yang
membedakan pula antara manusia dan hewan.
3. Fitrah sosial
Kecenderungan manusia untuk hidup berkelompok yang di
dalamnya terbentuk suatu ciri-ciri yang khas yang disebut dengan
kebudayaan. Kebudayaan ini merupakan cermin manusia dan
masyarakatnya. Dalam hal ini, tugas pendidikan adalah menjadikan
kebudayaan Islam sebagai proses kurikulum pendidikan Islam dalam
seluruh peringkat dan tahapannya.
4. Fitrah susila
Kemampuan manusia untuk mempertahankan harga diri dan sifat-
sifat amoral, atau sifat-sifat yang menyalahi tujuan Allah yang
menciptakannya, serta sifat-sifat yang menyalahi kode etik yang telah
disepakati oleh masyarakat Islam. Manusia yang menyalahi fitrah
susilanya, akibatnya menjadi hina.
5. Fitrah ekonomi (mempertahankan hidup)
64 Lihat: Q. S. , Al-A’raf: 17265 Tim. Depag RI, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Dirjen PKAI, 1987), Jilid 1, hlm. 80
41
Daya manusia untuk mempertahankan hidupnya dengan upaya
memberikan kebutuhan jasmaniah dengan memanfaatkan kekayaan dalam
rangka beribadah kepada Allah demi kelangsungan hidupnya.
6. Fitrah seni
Kemampuan manusia yang menimbulkan daya estetika, yang
mengacu pada sifat Al-Jamal. Tugas pendidikan dalam hal ini adalah
memberikan suasana gembira dan aman dalam proses belajar mengajar,
karena pendidikan merupakan proses kesenian yang menuntut adanya seni
mendidik.
7. Fitrah kemajuan, keadilan, kemerdekaan, persamaan, ingin dihargai,
menikah, cinta tanah air, dan kebutuhan-kebutuhan hidup manusia
lainnya.66
Fitrah-fitrah di atas harus mendapat tempat dan perhatian serta
pengaruh dari faktor eksogen manusia (environment) untuk mengembangkan
dan melestarikan potensinya yang positif dan sebagai penangkal dari
kelestarian al-Nafsu Ammarah bis Suu, sehingga manusia dapat hidup searah
dengan tujuan Allah yang menciptakannya, yaitu penghambaan dirinya
sebagai abd dan khalifah.
Cara yang tepat untuk mengembangkan dan memelihara fitrah manusia
ini adalah melalui pendidikan, karena pendidikan mencakup berbagai dimensi:
badan, akal, perasaan, kehendak dan seluruh unsur kejiwaan manusia serta
bakat-bakat dan kemampuannya. Pendidikan merupakan upaya untuk
mengembangkan bakat dan kemampuan individual, sehingga potensi-potensi
kejiwaan itu dapat diaktualisasikan secara sempurna, karena potensi-potensi
itu sesungguhnya merupakan kekayaan dalam diri manusia yang amat
berharga.
Dengan adanya pendidikan ini maka dapat diketahui bakat dan
kemampuan anak didik, sehingga bakat dan kemampuan tersebut dapat dibina
dan dikembangkan. Dan menjadi tugas pendidiklah untuk membantu anak
didik agar mengetahui bakat dan kemampuannya. Di samping itu pendidik
66 Muhaimin, op. cit., hlm. 139-140
42
juga berkewajiban untuk menemukan kesulitan-kesulitan yang membatasi
perkembangan potensinya serta membantu menghilangkan hambatan itu untuk
mencapai kemajuan anak didik.
Jika dilihat dari segi kemampuan dasar paedagogis, manusia
dipandang sebagai Homo Edukandum yaitu makhluk yang harus dididik, oleh
karena itu, manusia dikategorikan sebagai animal educable, yaitu manusia
sebangsa hewan yang dapat dididik. Manusia dapat dididik karena memiliki
akal, mempunyai kemampuan untuk berilmu pengetahuan (homo sapiens), di
samping manusia juga memiliki kemampuan untuk berkembang dan
membentuk dirinya sendiri.67Hal ini tidak jauh berbeda dengan pandangan
bahwa manusia merupakan makhluk paedagogis, yaitu makhluk Allah yang
dilahirkan membawa potensi dapat dididik dan dapat mendidik, sehingga
mampu menjadi khalifah di bumi, pendukung dan pengembang kebudayaan.68
Beberapa alasan yang mendasari dan mengharuskan manusia harus
dididik adalah karena; Pertama, anak manusia lahir tidak dilengkapi insting
yang sempurna untuk dapat menyesuaikan diri dalam menghadapi lingkungan.
Kedua, anak manusia perlu masa belajar yang panjang sebagai persiapan
untuk dapat secara tepat berhubungan dengan lingkungan secara konstruktif.
Ketiga, awal pendidikan terjadi setelah anak manusia mencapai penyesuaian
jasmani (bisa melakukan segala sesuatunya secara mandiri), atau mencapai
kebebasan fisik dan jasmani.69
Bila landasan biologis yang menjadi salah satu alasan harus dididiknya
manusia di atas tidak dilakukan, maka hal ini dapat berimplikasi pada masa
depan manusia dalam kehidupan sosial maupun kehidupannya sebagai sebuah
individu utuh, diantaranya adalah dapat menjadikan manusia tidak berbudaya,
dan karena kemampuan pendidikannya terbatas, atau bahkan sangat kurang,
maka perlu dididik kembali atau reedukasi yang prosesnya tentu akan lebih
67 Ahmad Syar’i, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005), Cet-1, hlm.15
68 Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), halm. 1669 Redja Mudyahardjo, Pengantar Pendidikan, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2002),
Cet-2, hlm. 33
43
rumit dan lama dari pendidikan sejak sebelum atau sesudah manusia lahir
sebagaimana konsep pendidikan sepanajang hidup yang diusung dalam agama
Islam.
Kenyataan bahwa manusia adalah Homo Edukandum, makhluk
paedagogis, dan makhluk resultan dari dua komponen (materi dan immateri),
maka konsepsi itu menghendaki proses pembinaan yang mengacu ke arah
realisasi dan pengembangan komponen-komponen tersebut. Hal ini
mengindikasikan bahwa sistim pendidikan Islam harus dibangun di atas
konsep kesatuan (integrasi) antara pendidikan Qalbiyah dan Aqliyah sehingga
mampu menghasilkan manusia muslim yang pintar secara intelektual dan
terpuji secara moral. Jika kedua komponen itu terpisah, yaitu antara materi dan
immateri, dalam pendidikan Islam, maka manusia akan kehilangan
keseimbangan dan tidak akan pernah menjadi pribadi yang sempurna (insan
kamil).70
Untuk upaya pengembangan fitrah yang merupakan bentuk atau wadah
yang dapat diisi dengan berbagai kecakapan dan keterampilan yang dapat
berkembang, maka diperlukan campur tangan pendidik sebagai salah satu
komponen pendidikan Islam yang selalu menyertai proses pendidikan peserta
didik. Dalam hal ini, pendidik dituntut untuk memiliki kemampuan dan
kecakapan dalam mendidik. Di sinilah peran orang tua, guru dan masyarakat
sebagai pendidik yang secara integral bertanggung jawab atas pembentukan
dan pengembangan fitrah yang dimiliki anak didik.
C. Karakteristik Pendidik Ideal
Salah satu hal yang amat menarik pada ajaran Islam ialah penghargaan
Islam yang sangat tinggi terhadap pendidik. Begitu tingginya penghargaan itu
sehingga menempatkan kedudukan guru setingkat di bawah kedudukan nabi
dan rosul. Syauki bersyair:
”Berdiri dan hormatilah guru dan berilah penghargaan, seorang guruitu hampir saja merupakan seorang rasul”
70 Samsul Nizar, op. cit., hlm. 22
44
Penghargaan ini tidak bisa dilepaskan karena Islam sangat menghargai
ilmu pengetahuan. Tentang penghargaan Islam terhadap ilmu pengetahuan,
perlu dicermati tulisan Asma Hasan Fahmi (1979):
1. Tinta ulama lebih berharga daripada darah syuhada.
2. Orang yang berpengetahuan melebihi orang yang senang beribadah, yang
berpuasa dan menghabiskan waktu malamnya untuk mengerjakan shalat,
bahkan melebihi seseorang yang berperang di jalan Allah.
3. Apabila meninggal seorang alim, maka terjadilah kekosongan dalam Islam
yang tidak diisi kecuali seorang yang alim lainnya.71
4. Derajat orang yang berilmu pengetahuan lebih tinggi dari pada orang yang
tidak berilmu. Hal ini berlandaskan firman Allah dalam surah al-
Mujadalah, ayat 11 yang berbunyi:
$pkš‰ r' ¯» tƒtûï Ï% ©!$#(#þq ãZtB#uä#sŒÎ)Ÿ@ŠÏ%öN ä3 s9(#q ßs¡¡ xÿs?† ÎûħÎ=» yfyJ ø9$#(#q ßs|¡ øù$$sùËx|¡ øÿtƒ
ª!$#öN ä3 s9(#sŒÎ) urŸ@ŠÏ%(#râ“ à±S$#(#râ“ à±S$$sùÆìsùö• tƒª!$#tûï Ï% ©!$#(#q ãZtB#uäöN ä3ZÏBtûï Ï% ©!$#ur
(#q è?ré&zO ù=Ïèø9$#;M» y_ u‘yŠ4ª!$#ur$yJ Î/tbq è=yJ ÷ès?׎•Î7 yzÇÊÊÈ
Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberikelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Makaberdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Mujadilah:11)
Selain menjelaskan tentang larangan berbisik yang merupakan salah
satu tuntutan akhlak, guna membina hubungan harmonis antarasesama; ayat di
atas juga menggambarkan kedudukan orang yang berilmu. Ayat di atas tidak
menyebut secara tegas bahwa Allah akan meninggikan derajat orang yang
berilmu. Tetapi menegaskan bahwa mereka memiliki derajat-derajat yakni
71 Khiron Rosyadi, op. cit., hlm. 177
45
yang lebih tinggi dari yang sekadar beriman. Orang yang diberi pengetahuan
sebagaimana yang terdapat dalam ayat di atas adalah mereka yang beriman
dan menghiasi diri mereka dengan pengetahuan. Ini berarti ayat di atas
membagi manusia yang beriman dalam dua kelompok besar, yang pertama
sekedar beriman dan beramal saleh, dan yang kedua beriman dan beramal
saleh, tapi juga berpengetahuan. Derajat kelompok kedua ini menjadi lebih
tinggi, bukan saja karena nilai ilmu yang disandangnya, tetapi juga amal dan
pengajarannya kepada pihak lain baik secara lisan, atau tulisan maupun
dengan keteladanan.72
Fungsi dan peranan pendidik dalam penyelenggaraan pendidikan Islam
menduduki posisi strategis dan vital. Pendidik yang terlibat secara fisik dan
emosional dalam proses pengembangan fitrah manusia didik baik langsung
ataupun tidak akan memberi warna tersendiri terhadap corak dan model
sumber daya manusia yang dihasilkannya. Oleh karna itu, disamping sangat
menghargai posisi strategis pendidik, Islam juga telah menggariskan fungsi,
peranan dan kriteria atau karakteristik seorang pendidik.
Menurut Zuhairini, dkk (1994) dalam melaksanakan proses pendidikan
Islam, peranan pendidik sangat penting, karena dia yang bertanggung jawab
dan menentukan arah pendidikan tersebut. Itu pulalah yang menjadi penyebab
Islam sangat menghargai dan menghormati orang-orang berilmu pengetahuan
yang bertugas sebagai pendidik. Karena tanpa pendidik, kehidupan manusia
selalu berada dalam lingkaran ketentuan Allah dan fitrah manusia dapat
dikembangkan secara baik.
Sebagai pengembang fitrah kemanusiaan anak didik, maka pendidik
harus memiliki nilai lebih dibanding si terdidik. Tanpa memiliki nilai lebih,
sulit bagi pendidik untuk dapat mengembangkan potensi peserta didik, sebab
itu akan kehilangan arah, tidak tahu kemana fitrah anak didik akan
dikembangkan, serta daya dukung apa saja yang dapat digunakan. Nilai lebih
yang harus dimiliki oleh pendidik Islam mencakup 3 hal pokok, yaitu
72 M. Quraish Shihab, Volume 14, op. cit., hlm. 79-80.
46
pengetahuan, keterampilan, dan kepribadian yang didasarkan nilai-nilai ajaran
Islam.
Agar dapat melaksanakan tugas dan kewajiban kependidikan Islam
dengan baik, Mohammad al-Athiyah al-Abrosyi (1980) menyebutkan 7 sifat
yang harus dimiliki oleh seorang pendidik Islam, yaitu:
1. Bersifat zuhud, dalam arti tidak mengutamakan kepentingan meteri dalam
pelaksanaan tugasnya, namun lebih mementingkan perolehan keridhaan
Allah. Artinya, pendidik harus lebih menekankan niat dan motivasi
mendidik didasarkan atas keikhlasan.
2. Berjiwa bersih dan terhindar dari sifat atau akhlak buruk, dalam arti
bersih secara jasmani/fisik dan bersih secara rohani/mental, sehingga
dengan sendirinya terhindar dari sifat/perilaku buruk. Ini perlu dimiliki
oleh pendidik Islam, karena sesungguhnya ia adalah teladan bagi peserta
didiknya.
3. Bersikap terbuka, yaitu mau menerima kritik dan saran tidak terkecuali
dari peserta didik sehingga dalam pembelajaran tercipta interaksi antara
pendidik dan murid dengan baik dan harmonis.
4. Bersifat pemaaf, peserta didik sebagai manusia berpotensi tentu penuh
dinamika. Terjadinya interaksi antara guru dengan peserta didik sebagai
konsekuensi dinamika dan kreativitas, tidak jarang dapat membuat rasa
jengkel, kurang puas, menyinggung atau tidak menyenangkan hati
pendidik. Sebagai mana manusia biasa, pendidik pun tidak tidak lepas dari
marah, kurang senang dan sebagainya. Tetapi hal itu tidak boleh
berlangsing lama, karena akan menganggu interaksi pembelajaran yang
seharusnya menyenangkan.
5. Bersifat kebapaan, dalam arti ia harus memposisikan diri sebagai
pelindung yang mencintai muridnya serta selalu memikirkan masa depan
mereka.
6. Berkemampuan memahami bakat, tabiat dan watak peserta didik. Dalam
konteks ini, seorang pendidik Islam harus memiliki pengetahuan dan
keterampilan psikologi, agar mampu memahami tabiat, watak,
47
pertumbuhan dan perkembangan peserta didik sebagai landasan dasar
pengembangan potensi mereka. Selain itu, pendidik juga harus menguasai
berbagai strategi dan metode pengembangan pendidikan dan pembelajaran
sehingga dapat menyesuaikan dengan tuntutan bakat, tabiat dan watak
pendidik.
7. Menguasai bidang studi yang akan dikembangkan atau ajarkan. Ini
berarti, pendidik Islam harus terlebih dahulu membekali diri dengan ilmu
pengetahuan dan keterampilan muatan materi yang diajarkan kepada
peserta didik, sehingga sesuai dengan sasaran dan tujuan pendidikan yang
telah ditetapkan.73
Dalam pendidikan Islam, seorang pendidik hendaknya memiliki
karakteristik yang dapat membedakannya dari yang lain. Dengan
karakteristiknya, menjadi ciri dan sifat yang akan menyatu dalam seluruh
totalitas kepribadiannya. Totalitas tersebut kemudian akan teraktualisasi
memlalui seluruh perkataan dan perbuatannya. Dalam hal ini, an-Nahlawi
membagi karakteristik pendidik muslim sebagaimana berikut:
1. Mempunyai watak dan sifat rubbaniyah yang terwujud dalam tujuan,
tingkah laku, dan pola pikirnya.
2. Bersifat sabar dalam mengajarkan berbagai pengetahuan kepada peserta
didik.
3. Jujur dalam menyampaikan apa yang diketahuinya.
4. Tanggap terhadap berbagai kondisi dan perkembangan dunia yang dapat
mempengaruhi jiwa, keyakinan atau pola berpikir peserta didik.
5. Berperilaku adil terhadap peserta didiknya.74
Selain itu, dalam menentukkan karakteristik dan kriteria pendidik,
maka Nabi Muhammad adalah tolok ukur yang dapat dijadikan sebagai acuan
bagi pendidik Islam. Menurut Hasan Langgulung, gambaran lengkap
mengenai kehidupan Nabi Muhammad yang dapat dijadikan landasan keriteria
73 Ahmad Syar’i, op. cit., hlm. 35-38.74 Samsul Nizar, op. cit., hlm. 45
48
pendidik Islam telah terangkum dalam pernyataan Aisyah ra. bahwa
akhlaknya adalah al-Qur’an.
Sehubungan dengan ini, Nashi Ulwan (1981) menjelaskan bahwa
seorang pendidik paling tidak memiliki lima kriteria untuk dapat dikatakan
layak sebagai pendidik menurut konsep pendidikan Islam. Kelima kriteria
dasar itu adalah, bahwa seorang pendidik harus memiliki karakteristik berupa:
1. Kesesuaian perkataan dan perbuatan, Rasulullah saw. selalu
memerintahkan kebaikan kepada manusia dan beliau adalah orang pertama
yang melakukannya dan jika ia mencegah manusia dari kejahatan, maka ia
adalah orang pertama yang menjauhinya.
2. Berani, yaitu keberanian dalam berkata-kata, dan keberanian untuk
mengakui kesalahan dan kelemahan diri.75
3. Bertakwa kepada Allah.
4. Ikhlas
5. Berilmu
6. Santun, lemah lembut
7. Punya rasa tanggung jawab
8. Mengenakan pakaian muslim bagi pendidik muslimah
9. Menampilkan wajah berseri ketika mengajar76
Berdasarkan kriteria dan karakteristik pendidik yang dalam ajaran
Islam sangat penting terdapat pada diri peserta didik, maka dapat disimpulkan
bahwa sebenarnya karakteristik tersebut terbagi menjadi tiga poin besar, yaitu:
1. Kematangan diri yang stabil; memahami diri sendiri, mencintai diri secara
wajar dan memiliki nilai-nilai kemanusiaan serta bertindak sesuai dengan
nilai-nilai itu, sehingga ia bertanggung jawab sendiri atas hidupnya, tidak
menggantungkan atau menjadi beban bagi orang lain.
75 Syalhub Fuad bin Abdul Aziz, Guruku Muhammad, (Jakarta: Gema Insani Press,2006), Cet-1, hlm. 11
76 Jalaluddin, Teologi Pendidikan, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001), hlm. 123-124.
49
2. Kematangan sosial yang stabil; dalam hal ini seorang pendidik dituntut
mempunyai pengetahuan yang cukup tentang masyarakatnya, dan
mempunyai kecakapan membina kerja sama dengan orang lain.
3. Kematangan profesional (kemampuan mendidik); yakni menaruh
perhatian dan sikap cinta terhadap anak didik serta mempunyai
pengetahuan yang cukup tentang latar belakang anak didik dan
perkembangannya, memiliki kecakapan dalam menggunakan cara-cara
mendidik.77
D. Muhammad, Sang Pendidik Teladan
Muhammad adalah manusia tersempurna, insan al-kamil, sekaligus
guru terbaik sepanjang masa. Ia tidak hanya mengajar dan mendidik, tapi juga
menunjukan jalan dan melakukan apa yang ia ajarkan.
Jika pendidik diartikan sebagai orang yang secara sengaja mengasuh
individu atau beberapa individu lainnya, agar mereka dapat tumbuh dan
berhasil dalam menjalani kehidupan, maka dalam konteks pengertian ini
Muhammad adalah sosok pendidik agung bagi umat manusia yang dapat
dijadikan qiblat sebagai tolok ukur berhasil dan tidaknya seseorang dalam
menjalani tugasnya sebagai pendidik. Meskipun pendidik pertama dalam
Islam adalah Allah Swt., sedangkan para rasul adalah manusia sempurna yang
menyampaikan wahyu Allah melalui bimbingan dan pendidikan. Frase
”membacakan ayat-ayat-Nya” dan ”mensucikan mereka” menunjukan bahwa
Muhammad mengajar mereka makna-makna Al-Qur’an dan penciptaan secara
gradual, membimbing mereka menjadi manusia sempurna melalui
kesempurnaan spiritual.78
Muhammad dalam kedudukannya sebagai sang pendidik, memiliki
beberapa tugas spesifik kaitannya dengan kependidikan. Al-Qur’an yang
merupakan visualisasi dari tugas yang harus dijalankan Nabi memuat ayat-
ayat yang menguatkan misi kependidikan Muhammad. Muhammad
77 Hasbullah, , op. cit., hlm. 1978 Moh. Slamet Untung, MA, Muhammad Sang Pendidik, (Semarang: PT Pustaka Rizki
Putera, 2005), Cet-1, hlm. 52
50
merupakan Nabi dan Rasul penutup, dengan demikian tugas Muhammad
adalah menyampaikan segala hal yang berkaitan dengan risalah terakhir di
bidang akidah, ibadah dan mu’amalah, melalui proses pendidikan. Al-Qur’an
bagi Muhammad diartikan bukan sekedar kitab suci yang memberikan
justifikasi kenabian atas dirinya, lebih dari itu Al-Qur’an merupakan
penjelasan tentang konsep pendidikan Tuhan bagi hambanya. Internalisasi
nilai-nilai edukatif Al-Qur’an yang dilakukan oleh Nabi tidak saja lewat
nasihat dan pengajaran-pengajaran lain, namun diri Muhammad sendiri
menjadi contoh yang hidup bagi dasar-dasar kependidikan yang
dikembangkannya. Muhammad merepresentasikan dan mengekspresikan apa
yang diajarkan melalui tindakan, kemudian menerjemahkan tindakannya ke
dalam kata-kata. Sehingga apapun yang diajarkan oleh Muhammad akan
segera diterima oleh para sahabat karena ucapannya telah diawali dengan
contoh konkret.79
Bukti bahwa Nabi Muhammad adalah teladan yang baik termaktub
dalam Al-Qur’an surat Al-Ahzab ayat 21 yaitu:
ô‰s)©9tb% x.öN ä3 s9’ÎûÉAq ß™u‘«!$#îo uq ó™é&×p uZ|¡ ymyJ Ïj9tb% x.(#q ã_ö• tƒ©!$#tPöq u‹ ø9$#urt• Åz Fy$#t•x. sŒur
©!$##ZŽ•ÏV x.ÇËÊÈ
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baikbagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan)hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (33:21)
Muhammad adalah gurunya para guru. Ia mendidik melalui
keteladanan yang hidup dan terperagakan melalui dirinya.80Allah telah
mendidik dan mengajarnya dengan sebaik-baik pendidikan dan pengajaran.
Muhammad SAW dalam hal ini memberikan penegasan bahwa, Tuhanku
telah mendidik dan mengajarku, maka Dialah yang membaikkan
pendidikanku . Dengan penegasan ini, dapat dikatakan bahwa Muhammad
79 Ibid, hlm. 5580 Aidh Bin Abdullah Al-Qarni, Visualisasi Kepribadian Muhammad, (Bandung: Irsyad
Baitus Salam, 2004), hlm. 237
51
sesungguhnya seorang model dan pembimbing bagi umatnya yang perkataan,
perbuatan dan taqrirnya dapat dijadikan teladan untuk kebahagian dan
keberhasilan peserta didik di dunia maupun di akherat.
52
BAB III
BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN HAMKA TENTANG PENDIDIK DALAM
PENDIDIKAN ISLAM
A. Latar Belakang Sosial, Intelektual, dan Karir
Haji Abdul Malik Karim Amarullah (HAMKA), lahir di Sungai
Batang, Maninjau Sumatera Barat pada hari Ahad, tanggal 17 Februari 1908
M./13 Muharam 1326 H dari kalangan keluarga yang taat agama. Ayahnya
adalah Haji Abdul Karim Amarullah atau sering disebut Haji Rasul bin Syekh
Muhammad Amarullah bin Tuanku Abdullah Saleh. Haji Rasul merupakan
salah seorang ulama yang pernah mendalami agama di Mekkah, pelopor
kebangkitan kaum mudo dan tokoh Muhammadiyah di Minangkabau. Ia juga
menjadi penasehat Persatuan Guru-Guru Agama Islam pada tahun 1920an; ia
memberikan bantuannya pada usaha mendirikan sekolah Normal Islam di
Padang pada tahun 1931; ia menentang komunisme dengan sangat gigih pada
tahun 1920-an dan menyerang ordonansi guru pada tahun 1920 serta
ordonansi sekolah liar tahun 1932.81 Sementara ibunya bernama Siti Shafiyah
Tanjung binti Haji Zakaria (w. 1934). Dari geneologis ini dapat diketahui,
bahwa ia berasal dari keturunan yang taat beragama dan memiliki hubungan
dengan generasi pembaharu Islam di Minangkabau pada akhir abad XVIII dan
awal abad XIX. Ia lahir dalam struktur masyarakat Minangkabau yang
menganut sistem matrilineal. Oleh karna itu, dalam silsilah Minangkabau ia
berasal dari suku Tanjung, sebagaimana suku ibunya.82
Sejak kecil, Hamka menerima dasar-dasar agama dan membaca Al-
Qur’an langsung dari ayahnya. Ketika usia 6 tahun tepatnya pada tahun 1914,
ia dibawa ayahnya ke Padang panjang. Pada usia 7 tahun, ia kemudian
dimasukkan ke sekolah desa yang hanya dienyamnya selama 3 tahun, karena
kenakalannya ia dikeluarkan dari sekolah. Pengetahuan agama, banyak ia
81 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam Di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ESAnggota IKAPI, 1985), Cet-3, hlm. 46.
82 Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran Hamka tentangPendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), hlm. 15-18
53
peroleh dengan belajar sendiri (autodidak). Tidak hanya ilmu agama, Hamka
juga seorang otodidak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti
filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat.
Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, ia dapat menyelidiki karya
ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji
Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti dan Hussain Haikal. Melalui
bahasa Arab juga, ia meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman
seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean
Paul Sartre, Karl Marx dan Pierre Loti.83
Ketika usia Hamka mencapai 10 tahun, ayahnya mendirikan dan
mengembangkan Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Ditempat itulah
Hamka mempelajari ilmu agama dan mendalami ilmu bahasa arab. Sumatera
Thawalib adalah sebuah sekolah dan perguruan tinggi yang mengusahakan
dan memajukan macam-macam pengetahuan berkaitan dengan Islam yang
membawa kebaikan dan kemajuan di dunia dan akhirat. Awalnya Sumatera
Thawalib adalah sebuah organisasi atau perkumpulan murid-murid atau
pelajar mengaji di Surau Jembatan Besi Padang Panjang dan surau Parabek
Bukittinggi, Sumatera Barat. Namun dalam perkembangannya, Sumatera
Thawalib langsung bergerak dalam bidang pendidikan dengan mendirikan
sekolah dan perguruan yang mengubah pengajian surau menjadi sekolah
berkelas.
Hamka kecil sangat gemar menonton film. Ia tergolong anak yang
tingkat kenakalannya cukup memusingkan kepala. Ia suka keluyuran ke mana-
mana, sering berbelok niat dari pergi ke surau menjadi ke gedung bioskop
untuk mengintip film bisu yang sedang diputar. Selain kenakalan tersebut, ia
juga sering memanjat jambu milik orang lain, mengambil ikan di kolam orang,
kalau kehendaknya tidak dituruti oleh kawannya, maka kawannya itu akan
terus diganggunya. Pendeknya, hampir seluruh penduduk kampung sekeliling
83 http://id.wikipedia.org/wiki/Haji_Abdul_Malik_Karim_Amrullah, 27-01-2010
54
Padang Panjang tidak ada yang tidak kenal akan kenakalan Hamka.84 Tatkala
usianya 12 tahun, kedua orang tuanya bercerai. Perceraian itu terjadi karena
perbedaan pandangan dalam persoalan ajaran agama. Di pihak ayahnya adalah
seorang pemimpin agama yang radikal, sedangkan di pihak ibunya adalah
pemegang adat yang sangat kental seperti berjanji, randai, pencak, menyabung
ayam dan sebagainya.85 Berzanji ialah suatu doa-doa, puji-pujian dan
penceritaan riwayat Nabi Muhammad saw yang dilafalkan dengan suatu irama
atau nada yang biasa dilantunkan ketika kelahiran, khitanan, pernikahan dan
maulid Nabi Muhammad saw. Isi Berzanji bertutur tentang kehidupan
Muhammad, yang disebutkan berturut-turut yaitu silsilah keturunannya, masa
kanak-kanak, remaja, pemuda, hingga diangkat menjadi rasul. Di dalamnya
juga mengisahkan sifat-sifat mulia yang dimiliki Nabi Muhammad, serta
berbagai peristiwa untuk dijadikan teladan umat manusia. Adapun Randai
dalam sejarah Minangkabau memiliki sejarah yang cukup panjang. Konon
kabarnya randai sempat dimainkan oleh masyarakat Pariangan Padang
Panjang ketika mesyarakat tersebut berhasil menangkap rusa yang keluar dari
laut. Randai dalam masyarakat Minangkabau adalah suatu kesenian yang
dimainkan oleh beberapa orang dalam artian berkelompok atau beregu,
dimana dalam randai ini ada cerita yang dibawakan, seperti cerita Cindua
Mato, Malin Deman, Anggun Nan Tongga, dan cerita rakyat lainnya. Randai
ini bertujuan untuk menghibur masyarakat yang biasanya diadakan pada saat
pesta rakyat atau pada hari raya Idul fitri. Randai ini dimainkan oleh pemeran
utama yang akan bertugas menyampaikan cerita, pemeran utama ini bisa
berjumlah satu orang, dua orang, tiga orang atau lebih tergantung dari cerita
yang dibawakan, dan dalam membawakan atau memerankannya pemeran
utama dilingkari oleh anggota-anggota lain yang bertujuan untuk
menyemarakkan berlansungnya acara tersebut. Pada awalnya Randai adalah
media untuk menyampaikan kabar atau cerita rakyat melalui gurindam atau
syair yang didendangkan dan galombang (tari) yang bersumber dari gerakan-
84 Badiatul Roziqin, 101 Jejak Tokoh Islam Indonesia, (Yogyakarta: e-Nusantara, 2009)Cet-2, hlm. 53
85 Ibid. , hlm. 53
55
gerakan silat Minangkabau. Namun dalam perkembangannya Randai
mengadopsi gaya penokohan dan dialog dalam sandiwara-sandiwara, seperti
kelompok Dardanela. Jadi, Randai pada awalnya adalah media untuk
menyampaikan cerita-cerita rakyat, dan kurang tepat jika disebut sebagai
Teater tradisi Minangkabau walaupun dalam perkembangannya Randai
mengadopsi gaya bercerita atau dialog teater atau sandiwara. Sedangkan
pencak; kata pencak berasal dari kata mancak atau dikatakan juga sebagai
bungo silek (bunga silat) adalah berupa gerakan-gerakan tarian silat yang
dipamerkan di dalam acara-acara adat atau acara-acara seremoni lainnya.
Gerakan-gerakan untuk mancak diupayakan seindah dan sebagus mungkin
karena untuk pertunjukan.
Secara formal, pendidikan yang ditempuh Hamka tidaklah tinggi. Pada
usia 8-15 tahun, ia mulai belajar agama di sekolah Diniyyah School dan
Sumatera Thawalib di Padang Panjang dan Parabek. Diantara gurunya adalah
Syekh Ibrahim Musa Parabek, Engku Mudo Abdul Hamid, Sutan Marajo dan
Zainuddin Labay el-Yunusy. Keadaan Padang Panjang pada saat itu ramai
dengan penuntut ilmu agama Islam, di bawah pimpinan ayahnya sendiri.
Pelaksanaan pendidikan waktu itu masih bersifat tradisional dengan
menggunakan sistim halaqah. Pada tahun 1916, sistim klasikal baru
diperkenalkan di Sumatera Thawalib Jembatan Besi. Hanya saja, pada saat itu
sistim klasikal yang diperkenalkan belum memiliki bangku, meja, kapur dan
papan tulis. Materi pendidikan masih berorientasi pada pengajian kitab-kitab
klasik, seperti nahwu, sharaf, manthiq, bayan, fiqh, dan yang sejenisnya.
Pendekatan pendidikan dilakukan dengan menekankan pada aspek hafalan.
Pada waktu itu, sistim hafalan merupakan cara yang paling efektif bagi
pelaksanaan pendidikan. Meskipun kepadanya diajarkan membaca dan
menulis huruf arab dan latin, akan tetapi yang lebih diutamakan adalah
mempelajari dengan membaca kitab-kitab arab klasik dengan standar buku-
buku pelajaran sekolah agama rendah di Mesir. Pendekatan pelaksanaan
pendidikan tersebut tidak diiringi dengan belajar menulis secara maksimal.
Akibatnya banyak diantara teman-teman Hamka yang fasih membaca kitab,
56
akan tetapi tidak bisa menulis dengan baik. Meskipun tidak puas dengan
sistim pendidikan waktu itu, namun ia tetap mengikutinya dengan seksama. Di
antara metode yang digunakan guru-gurunya, hanya metode pendidikan yang
digunakan Engku Zainuddin Labay el-Yunusy yang menarik hatinya.
Pendekatan yang dilakukan Engku Zainuddin, bukan hanya mengajar (transfer
of knowledge), akan tetapi juga melakukan proses ’mendidik’ (transformation
of value). Melalui Diniyyah School Padang Panjang yang didirikannya, ia
telah memperkenalkan bentuk lembaga pendidikan Islam modern dengan
menyusun kurikulum pendidikan yang lebih sistematis, memperkenalkan
sistim pendidikan klasikal dengan menyediakan kursi dan bangku tempat
duduk siswa, menggunakan buku-buku di luar kitab standar, serta memberikan
ilmu-ilmu umum seperti, bahasa, matematika, sejarah dan ilmu bumi.86
Wawasan Engku Zainuddin yang demikian luas, telah ikut membuka
cakrawala intelektualnya tentang dunia luar. Bersama dengan Engku Dt.
Sinaro, Engku Zainuddin memiliki percetakan dan perpustakaan sendiri
dengan nama Zinaro. Pada awalnya, ia hanya diajak untuk membantu melipat-
lipat kertas pada percetakan tersebut. Sambil bekerja, ia diijinkan untuk
membaca buku-buku yang ada di perpustakaan tersebut. Di sini, ia memiliki
kesempatan membaca bermacam-macam buku, seperti agama, filsafat dan
sastra. Melalui kemampuan bahasa sastra dan daya ingatnya yang cukup kuat,
ia mulai berkenalan dengan karya-karya filsafat Aristoteles, Plato, Pythagoras,
Plotinus, Ptolemaios, dan ilmuan lainnya. Melalui bacaan tersebut, membuat
cakrawala pemikirannya semakin luas.87
Dengan banyak membaca buku-buku tersebut, membuat Hamka
semakin kurang puas dengan pelaksanaan pendidikan yang ada. Kegelisahan
intelektual yang dialaminya itu telah menyebabkan ia berhasrat untuk
merantau guna menambah wawasannya. Oleh karnanya, di usia yang sangat
muda Hamka sudah melalang buana. Tatkala usianya masih 16 tahun, tapatnya
pada tahun 1924, ia sudah meninggalkan Minangkabau menuju Jawa;
86 Samsul Nizar, op. cit., hlm. 21-2287 Ibid., hlm. 22-23
57
Yogyakarta. Ia tinggal bersama adik ayahnya, Ja’far Amrullah. Di sini Hamka
belajar dengan Ki Bagus Hadikusumo, R. M. Suryopranoto, H. Fachruddin,
HOS. Tjokroaminoto, Mirza Wali Ahmad Baig, A. Hasan Bandung,
Muhammad Natsir, dan AR. St. Mansur.88 Di Yogyakarta Hamka mulai
berkenalan dengan Serikat Islam (SI). Ide-ide pergerakan ini banyak
mempengaruhi pembentukan pemikiran Hamka tentang Islam sebagai suatu
yang hidup dan dinamis. Hamka mulai melihat perbedaan yang demikian
nyata antara Islam yang hidup di Minangkabau, yang terkesan statis, dengan
Islam yang hidup di Yogyakarta, yang bersifat dinamis. Di sinilah mulai
berkembang dinamika pemikiran keIslaman Hamka. Perjalanan ilmiahnya
dilanjutkan ke Pekalongan, dan belajar dengan iparnya, AR. St. Mansur,
seorang tokoh Muhammadiyah. Hamka banyak belajar tentang Islam dan juga
politik. Di sini pula Hamka mulai berkenalan dengan ide pembaruan
Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha yang berupaya
mendobrak kebekuan umat. Rihlah Ilmiah yang dilakukan Hamka ke pulau
Pulau Jawa selama kurang lebih setahun ini sudah cukup mewarnai
wawasannya tentang dinamika dan universalitas Islam. Dengan bekal tersebut,
Hamka kembali pulang ke Maninjau (pada tahun 1925) dengan membawa
semangat baru tentang Islam.89 Ia kembali ke Sumatera Barat bersama AR. st.
Mansur. Di tempat tersebut, AR. St. Mansur menjadi mubaligh dan penyebar
Muhammadiyah, sejak saat itu Hamka menjadi pengiringnya dalam setiap
kegiatan kemuhammadiyahan.90
Berbekal pengetahuan yang telah diperolehnya, dan dengan maksud
ingin memperkenalkan semangat modernis tentang wawasan Islam, ia pun
membuka kursus pidato di Padang Panjang. Hasil kumpulan pidato ini
kemudian ia cetak dalam sebuah buku dengan judul Khatib Al-Ummah. Selain
itu, Hamka banyak menulis pada majalah Seruan Islam, dan menjadi
88 M. Dawam Rahardjo, Intelektual Inteligensi dan Perilaku Politik Bangsa, (Bandung:Mizan, 1993), hlm. 201-202
89 A. Susanto, Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Amzah, 2009), Cet. 1, hlm. 10190 H. Rusydi, Pribadi Dan Martabat Buya Prof. DR. Hamka, (Jakarta: Pustaka Panjimas,
1983), Cet-2, hlm. 2
58
koresponden di harian Pelita Andalas. Hamka juga diminta untuk membantu
pada harian Bintang Islam dan Suara Muhammadiyyah di Yogyakarta. Berkat
kepiawaian Hamka dalam menulis, akhirnya ia diangkat sebagai pemimpin
majalah Kemajuan Zaman. Dua tahun setelah kembalinya dari Jawa (1927),
Hamka pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Kesempatan ibadah
haji itu ia manfaatkan untuk memperluas pergaulan dan bekerja. Selama enam
bulan ia bekerja di bidang percetakan di Mekkah. Sekembalinya dari Mekkah,
ia tidak langsung pulang ke Minangkabau, akan tetapi singgah di Medan untuk
beberapa waktu lamanya. Di Medan inilah peran Hamka sebagai intelektual
mulai terbentuk. Hal tersebut bisa kita ketahui dari kesaksian Rusydi Hamka,
salah seorang puteranya; ”Bagi Buya, Medan adalah sebuah kota yang penuh
kenangan. Dari kota ini ia mulai melangkahkan kakinya menjadi seorang
pengarang yang melahirkan sejumlah novel dan buku-buku agama, falsafah,
tasawuf, dan lain-lain. Di sini pula ia memperoleh sukses sebagai wartawan
dengan Pedoman Masyarakat. Tapi di sini pula, ia mengalami kejatuhan yang
amat menyakitkan, hingga bekas-bekas luka yang membuat ia meninggalkan
kota ini menjadi salah satu pupuk yang menumbuhkan pribadinya di belakang
hari”. Di Medan ia mendapat tawaran dari Haji Asbiran Ya’kub dan
Muhammad Rasami, bekas sekretaris Muhammdiyah Bengkalis untuk
memimpin majalah mingguan Pedoman Masyarakat. Meskipun mendapatkan
banyak rintangan dan kritikan, sampai tahun 1938 peredaran majalah ini
berkembang cukup pesat, bahkan oplahnya mencapai 4000 eksemplar setiap
penerbitannya. Namun ketika Jepang datang, kondisinya jadi lain. Pedoman
Masyarakat dibredel, aktifitas masyarakat diawasi, dan bendera merah putih
dilarang dikibarkan. Kebijakan Jepang yang merugikan tersebut tidak
membuat perhatiannya untuk mencerdaskan bangsa luntur, terutama melalui
dunia jurnalistik. Pada masa pendudukan Jepang, ia masih sempat
menerbitkan majalah Semangat Islam. Namun kehadiran majalah ini tidak bisa
menggantikan kedudukan majalah Pedoman Masyarakat yang telah melekat
di hati rakyat. Di tengah-tengah kekecewaan massa terhadap kebijakan
Jepang, ia memperoleh kedudukan istimewa dari pemerintah Jepang sebagai
59
anggota Syu Sangi Kai atau Dewan Perwakilan Rakyat pada tahun 1944. Sikap
kompromistis dan kedudukannya sebagai ”anak emas” Jepang telah
menyebabkan Hamka terkucil, dibenci dan dipandang sinis oleh masyarakat.
Kondisi yang tidak menguntungkan ini membuatnya meninggalkan Medan
dan kembali ke Padang Panjang pada tahun 1945.91
Di Padang Panjang, seolah tidak puas dengan berbagai upaya
pembaharuan pendidikan yang telah dilakukannya di Minangkabau, ia
mendirikan sekolah dengan nama Tabligh School.92 Sekolah ini didirikan
untuk mencetak mubaligh Islam dengan lama pendidikan dua tahun. Akan
tetapi, sekolah ini tidak bertahan lama karna masalah operasional; Hamka
ditugaskan oleh Muhammadiyyah ke Sulawesi Selatan. Dan baru pada
konggres Muhammadiyah ke-11 yang digelar di Maninjau, maka diputuskan
untuk melanjutkan sekolah Tabligh School ini dengan mengganti nama
menjadi Kulliyyatul Muballighin dengan lama belajar tiga tahun. Tujuan
lembaga ini pun tidak jauh berbeda dengan Tabligh School, yaitu menyiapkan
mubaligh yang sanggup melaksanakan dakwah dan menjadi khatib,
mempersiapkan guru sekolah menengah tingkat Tsanawiyyah, serta
membentuk kader-kader pimpinan Muhammadiyah dan pimpinan masyarakat
pada umumnya.93
Hamka merupakan koresponden di banyak majalah dan seorang yang
amat produtif dalam berkarya. Hal ini sesuai dengan penilaian Prof. Andries
Teew, seorang guru besar Universitas Leiden dalam bukunya yang berjudul
Modern Indonesian Literature I. Menurutnya, sebagai pengarang, Hamka
adalah penulis yang paling banyak tulisannya, yaitu tulisan yang bernafaskan
Islam berbentuk sastra.94 Untuk menghargai jasa-jasanya dalam penyiaran
Islam dengan bahasa Indonesia yang indah itu, maka pada permulaan tahun
91 Herry Mohammad, Tokoh-Tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20, (Jakarta: GemaIslami, 2006), hlm. 62
92 Mardjani Tamin, Sejarah Pendidikan Daerah Sumatera Barat, (Jakarta: Dep P dan KRI., 1997), hlm. 112
93 A. Susanto, op. cit., hlm. 10294 Sides Sudyarto DS, Hamka, ”Realisme Religius”, dalam Hamka, Hamka di Mata Hati
Umat, (Jakarta: Sinar Harapan, 1984), hlm. 139
60
1959 Majelis Tinggi University Al Azhar Kairo memberikan gelar Ustaziyah
Fakhiriyah (Doctor Honoris Causa) kepada Hamka. Sejak itu ia menyandang
titel ”Dr” di pangkal namanya. Kemudian pada 6 Juni 1974, kembali ia
memperoleh gelar kehormatan tersebut dari Universitas Kebangsaan Malaysia
pada bidang kesusastraan, serta gelar Professor dari universitas Prof. Dr.
Moestopo. Kesemuanya ini diperoleh berkat ketekunannya yang tanpa
mengenal putus asa untuk senantiasa memperdalam ilmu pengetahuan.95 Ia
juga mendapatkan Gelar Datuk Indono dan Pengeran Wiroguno dari
pemerintah Indonesia.
Secara kronologis, karir Hamka yang tersirat dalam perjalanan
hidupnya adalah sebagai berikut:
1. Pada tahun 1927 Hamka memulai karirnya sebagai guru Agama di
Perkebunan Medan dan guru Agama di Padang Panjang. 96
2. Pendiri sekolah Tabligh School, yang kemudian diganti namanya menjadi
Kulliyyatul Muballighin (1934-1935). Tujuan lembaga ini adalah
menyiapkan mubaligh yang sanggup melaksanakan dakwah dan menjadi
khatib, mempersiapkan guru sekolah menengah tingkat Tsanawiyyah, serta
membentuk kader-kader pimpinan Muhammadiyah dan pimpinan
masyarakat pada umumnya.
3. Ketua Barisan Pertahanan Nasional, Indonesia (1947), Konstituante
melalui partai Masyumi dan menjadi pemidato utama dalam Pilihan Raya
Umum (1955).
4. Koresponden pelbagai majalah, seperti Pelita Andalas (Medan), Seruan
Islam (Tanjung Pura), Bintang Islam dan Suara Muhammadiyah
(Yogyakarta), Pemandangan dan Harian Merdeka (Jakarta).
5. Pembicara konggres Muhammadiyah ke 19 di Bukittinggi (1930) dan
konggres Muhammadiyah ke 20 (1931).
6. Anggota tetap Majelis Konsul Muhammadiyah di Sumatera Tengah
(1934).
95 Hamka, Tasauf Modern, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1987), hlm. XIX96 http://amir14.wordpress.com/tasawuf-hamka/ 24-02-2010
61
7. Pendiri Majalah al-Mahdi (Makassar, 1934)
8. Pimpinan majalah Pedoman Masyarakat (Medan, 1936)
9. Menjabat anggota Syu Sangi Kai atau Dewan Perwakilan Rakyat pada
pemerintahan Jepang (1944).
10. Ketua konsul Muhammadiyah Sumatera Timur (1949).
11. Pendiri majalah Panji Masyarakat (1959), majalah ini dibrendel oleh
pemerintah karna dengan tajam mengkritik konsep demikrasi terpimpin
dan memaparkan pelanggaran-pelanggaran konstitusi yang telah dilakukan
Soekarno. Majalah ini diterbitkan kembali pada pemerintahan Soeharto.
12. Memenuhi undangan pemerintahan Amerika (1952), anggota komisi
kebudayaan di Muangthai (1953), menghadiri peringatan mangkatnya
Budha ke-2500 di Burma (1954), di lantik sebagai pengajar di Universitas
Islam Jakarta pada tahun 1957 hingga tahun 1958, di lantik menjadi
Rektor perguruan tinggi Islam dan Profesor Universitas Mustapo, Jakarta.
menghadiri Konferensi Islam di Lahore (1958), menghadiri Konferensi
Negara-Negara Islam di Rabat (1968), Muktamar Masjid di Makkah
(1976), Seminar tentang Islam dan Peradapan di Kuala Lumpur,
menghadiri peringatan 100 tahun Muhammad Iqbal di Lahore, dan
Konferensi ulama di Kairo (1977), Badan pertimbangan kebudayaan
kementerianPP dan K, Guru besar perguruan tinggi Islam di Universitas
Islam di Makassar.
13. Departemen Agama pada masa KH Abdul Wahid Hasyim, Penasehat
Kementerian Agama, Ketua Dewan Kurator PTIQ.
14. Imam Masjid Agung Kebayoran Baru Jakarta, yang kemudian namanya
diganti oleh Rektor Universitas Al-Azhar Mesir, Syaikh Mahmud Syaltut
menjadi Masjid Agung Al-Azhar. Dalam perkembangannya, Al-Azhar
adalah pelopor sistim pendidikan Islam modern yang punya cabang di
berbagai kota dan daerah, serta menjadi inspirasi bagi sekolah-sekolah
modern berbasis Islam. Lewat mimbarnya di Al-Azhar, Hamka
melancarkan kritik-kritiknya terhadap demokrasi terpimpin yang sedang
digalakkan oleh Soekarno Pasca Dekrit Presiden tahun 1959. Karena
62
dianggap berbahaya, Hamka pun dipenjarakan Soekarno pada tahun 1964.
Ia baru dibebaskan setelah Soekarno runtuh dan orde baru lahir, tahun
1967. Tapi selama dipenjara itu, Hamka berhasil menyelesaikan sebuah
karya monumental, Tafsir Al-Azhar 30 juz.
15. Ketua MUI (1975-1981), Buya Hamka, dipilih secara aklamasi dan tidak
ada calon lain yang diajukan untuk menjabat sebagai ketua umum dewan
pimpinan MUI. Ia dipilih dalam suatu musyawarah, baik oleh ulama
maupun pejabat.97 Namun di tengah tugasnya, ia mundur dari jabatannya
karna berseberangan prinsip dengan pemerintah yang ada. Hal ini terjadi
ketika menteri agama, Alamsyah Ratu Prawiranegara mengeluarkan fatwa
diperbolehkannya umat Islam menyertai peringatan natal bersama umat
Nasrani dengan alasan menjaga kerukunan beragama, Hamka secara tegas
mengharamkan dan mengecam keputusan tersebut. Meskipun pemerintah
mendesak agar ia menarik fatwanya, ia tetap dalam pendiriannya. Karena
itu, pada tanggal 19 Mei 1981 ia memutuskan untuk melepaskan
jabatannya sebagai ketua MUI.
Hamka merupakan salah seorang tokoh pembaharu Minangkabau ysng
berupaya menggugah dinamika umat dan mujaddid yang unik. Meskipun
hanya sebagai produk pendidikan tradisional, namun ia merupakan seorang
intelektual yang memiliki wawasan generalistik dan modern. Hal ini nampak
pada pembaharuan pendidikan Islam yang ia perkenalkan melalui Masjid Al-
Azhar yang ia kelola atas permintaan pihak yayasan melalui Ghazali Syahlan
dan Abdullah Salim. Hamka menjadikan Masjid Al-Azhar bukan hanya
sebagai institusi keagamaan, tetapi juga sebagai lembaga sosial, yaitu (1)
Lembaga Pendidikan (Mulai TK Islam sampai Perguruan Tinggi Islam). (2)
Badan Pemuda. Secara berkala, badan ini menyelenggarakan kegiatan
pesantren kilat, seminar, diskusi, olah raga, dan kesenian. (3). Badan
Kesehatan. Badan ini menyelenggarakan dua kegiatan, yaitu; poliklinik gigi
dan poliklinik umum yang melayani pengobatan untuk para siswa, jemaah
masjid, maupun masyarakat umum. (4). Akademi, Kursus, dan Bimbingan
97 Hamka, Hamka di Mata Hati Umat, (Jakarta: Sinar Harapan, 1984), hlm. 55
63
Masyarakat. Di antara kegiatan badan ini adalah mendirikan Akademi Bahasa
Arab, Kursus Agama Islam, membaca Al-Qur’an, manasik haji, dan
pendidikan kader muballigh.98 Di masjid tersebut pula, atas permintaan
Hamka, dibangun perkantoran, aula, dan ruang-ruang belajar untuk
difungsikan sebagai media pendidikan dan sosial. Ia telah mengubah wajah
Islam yang sering kali dianggap ’marginal’ menjadi suatu agama yang sangat
’berharga’. Ia hendak menggeser persepsi ’kumal’ terhadap kiyai dalam
wacana yang eksklusif, menjadi pandangan yang insklusif, respek dan
bersahaja. Bahkan, beberapa elit pemikir dewasa ini merupakan orang-orang
yang pernah dibesarkan oleh Masjid Al-Azhar. Beberapa diantaranya adalah
Nurcholis Madjid, Habib Abdullah, Jimly Assidiqy, Syafii Anwar, Wahid
Zaini, dan lain-lain.
Beberapa pandangan Hamka tentang pendidikan adalah, bahwa
pendidikan sekolah tak bisa lepas dari pendidikan di rumah. Karena
menurutnya, komunikasi antara sekolah dan rumah, yaitu antara orang tua dan
guru harus ada. Untuk mendukung hal ini, Hamka menjadikan Masjid Al-
Azhar sebagai tempat bersilaturrahmi antara guru dan orang tua untuk
membicarakan perkembangan peserta didik. Dengan adanya sholat jamaah di
masjid, maka antara guru, orang tua dan murid bisa berkomunikasi secara
langsung. ”Kalaulah rumahnya berjauhan, akan bertemu pada hari Jum’at”,
begitu tutur Hamka.99
Pada tanggal 24 Juli 1981, Hamka telah puang ke rahmatullah.
Jasa dan pengaruhnya masih terasa sehingga kini dalam memartabatkan
agama Islam.100 Hamka bukan saja sebagai pujangga, wartawan, ulama,
dan budayawan, tapi juga seorang pemikir pendidikan yang
pemikirannya masih relevan dan baik untuk diberlakukan dengan zaman
sekarang.
98 Samsul Nizar, op. cit., hlm. 10299 Herry Mohammad, op. cit. , hlm. 64100 http://vakho.multiply.com/journal/item/2/Biografi_HAMKA, 07-01-2010
64
B. Karya-karya Hamka
Sebagai seorang yang berpikiran maju, Hamka tidak hanya
merefleksikan kemerdekaan berpikirnya melalui berbagai mimbar dalam
cerama agama, tetapi ia juga menuangkannya dalam berbagai macam
karyanya berbentuk tulisan. Orientasi pemikirannya meliputi berbagai
disiplin ilmu, seperti teologi, tasawuf, filsafat, pendidikan Islam, sejarah
Islam, fiqh, sastra dan tafsir. Sebagai penulis yang sangat produktif,
Hamka menulis puluhan buku yang tidak kurang dari 103 buku.
Beberapa di antara karya-karyanya adalah sebagai berikut:
1. Tasawuf modern (1983), pada awalnya, karyanya ini merupakan
kumpulan artikel yang dimuat dalam majalah Pedoman Masyarakat
antara tahun 1937-1937. Karena tuntutan masyarakat, kumpulan
artikel tersebut kemudian dibukukan. Dalam karya monumentalnya
ini, ia memaparkan pembahasannya ke dalam XII bab. Buku ini
diawali dengan penjelasan mengenai tasawuf. Kemudian secara
berurutan dipaparkannya pula pendapat para ilmuwan tentang
makna kebahagiaan, bahagia dan agama, bahagia dan utama,
kesehatan jiwa dan badan, harta benda dan bahagia, sifat qonaah,
kebahagiaan yang dirasakan rosulullah, hubungan ridho dengan
keindahan alam, tangga bahagia, celaka, dan munajat kepada Allah.
Karyanya yang lain yang membicarakan tentang tasawuf adalah
”Tasawuf; Perkembangan Dan Pemurniaannya . Buku ini adalah
gabungan dari dua karya yang pernah ia tulis, yaitu ”Perkembangan
Tasawuf Dari Abad Ke Abad dan ”Mengembalikan Tasawuf Pada
Pangkalnya .
2. Lembaga Budi (1983). Buku ini ditulis pada tahun 1939 yang terdiri
dari XI bab. peMbicaraannya meliputi; budi yang mulia, sebab budi
menjadi rusak, penyakit budi, budi orang yang memegang
pemerintahan, budi mulia yang seyogyanya dimiliki oleh seorang raja
(penguasa), budi pengusaha, budi saudagar, budi pekerja, budi
65
ilmuwan, tinjauan budi, dan percikan pengalaman. secara tersirat,
buku ini juga berisi tentang pemikiran Hamka terhadap pendidikan
Islam, termasuk pendidik.
3. Falsafah Hidup (1950). Buku ini terdiri atas IX bab. Ia memulai buku
ini dengan pemaparan tentang makna kehidupan. Kemudian pada
bab berikutnya, dijelaskan pula tentang ilmu dan akal dalam
berbagai aspek dan dimensinya. Selanjutnya ia mengetengahkan
tentang undang-undang alam atau sunnatullah. Kemudian tentang
adab kesopanan, baik secara vertikal maupun horizontal. Selanjutnya
makna kesederhanaan dan bagaimana cara hidup sederhana menurut
Islam. Ia juga mengomentari makna berani dan fungsinya bagi
kehidupan manusia, selanjutnya tentang keadilan dan berbagai
dimensinya, makna persahabatan, serta bagaimana mencari dan
membina persahabatan. Buku ini diakhiri dengan membicarakan
Islam sebagai pembentuk hidup. Buku ini pun merupakan salah satu
alat yang Hamka gunakan untuk mengekspresikan pemikirannya
tentang pendidikan Islam.
4. Lembaga Hidup (1962). Dalam bukunya ini, ia mengembangkan
pemikirannya dalam XII bab. Buku ini berisi tentang berbagai
kewajiban manusia kepada Allah, kewajiban manusia secara sosial,
hak atas harta benda, kewajiban dalam pandangan seorang muslim,
kewajiban dalam keluarga, menuntut ilmu, bertanah air, Islam dan
politik, Al-Qur’an untuk zaman modern, dan tulisan ini ditutup
dengan memaparkan sosok nabi Muhammad. Selain Lembaga Budi
dan Falsafah Hidup, buku ini juga berisi tentang pendidikan secara
tersirat.
5. Pelajaran Agama Islam (1952). Buku ini terbagi dalam IX bab.
Pembahasannya meliputi; manusia dan agama, dari sudut mana
mencari Tuhan, dan rukun iman.
6. Tafsir Al-Azhar Juz 1-30. Tafsir Al-Azhar merupakan karyanya yang
paling monumental. Buku ini mulai ditulis pada tahun 1962. Sebagian
66
besar isi tafsir ini diselesaikan di dalam penjara, yaitu ketika ia
menjadi tahanan antara tahun 1964-1967. Ia memulai penulisan
Tafsir Al-Azhar dengan terlebih dahulu menjelaskan tentang jaz Al-
Qur’an. Kemudian secara berturut-turut dijelaskan tentang jaz Al-
Qur’an, isi mukjizat Al-Qur’an, haluan tafsir, alasan penamaan tafsir
Al-Azhar, dan nikmat Illahi. Setelah memperkenalkan dasar-dasar
untuk memahami tafsir, ia baru mengupas tafsirnya secara panjang
lebar.
7. Ayahku; Riwayat Hidup Dr. Haji Amarullah dan Perjuangan Kaum
Agama di Sumatera (1958). Buku ini berisi tentang kepribadian dan
sepak terjang ayahnya, Haji Abdul Karim Amrullah atau sering
disebut Haji Rosul. Hamka melukiskan perjuangan umat pada
umumnya dan khususnya perjuangan ayahnya, yang oleh Belanda
diasingkan ke Sukabumi dan akhirnya meninggal dunia di Jakarta
tanggal 2 Juni 1945.101
8. Kenang-kenangan Hidup Jilid I-IV (1979). Buku ini merupakan
autobiografi Hamka.
9. Islam dan Adat Minangkabau (1984). Buku ini merupakan kritikannya
terhadap adat dan mentalitas masyarakatnya yang dianggapnya tak
sesuai dengan perkembangan zaman.
10. Sejarah umat Islam Jilid I-IV (1975). Buku ini merupakan upaya
untuk memaparkan secara rinci sejarah umat Islam, yaitu mulai dari
Islam era awal, kemajuan, dan kemunduran Islam pada abad
pertengahan. Ia pun juga menjelaskan tentang sejarah masuk dan
perkembangan Islam di Indonesia.
11. Studi Islam (1976), membicarakan tentang aspek politik dan
kenegaraan Islam. Pembicaraannya meliputi; syari’at Islam, studi
Islam, dan perbandingan antara hak-hak azasi manusia deklarasi
PBB dan Islam.
101 Mif Baihaqi, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan: Dari Abendanon Hingga Imam Zarkasyi,(Bandung: Nuansa, 2007), hlm. 62
67
12. Kedudukan Perempuan dalam Islam (1973). Buku membahas tentang
perempuan sebagai makhluk Allah yang dimuliakan
keberadaannya.102
13. Si Sabariyah (1926), buku roman pertamanya yang ia tulis dalam
bahasa Minangkabau. Roman; Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck
(1979), Di Bawah Lindungan Ka bah (1936), Merantau Ke Deli (1977),
Terusir, Keadilan Illahi, Di Dalam Lembah Kehidupan, Salahnya
Sendiri, Tuan Direktur, Angkatan baru, Cahaya Baru, Cermin
Kehidupan.
14. Revolusi pikiran, Revolusi Agama, Adat Minangkabau Menghadapi
Revolusi, Negara Islam, Sesudah Naskah Renville, Muhammadiyah
Melalui Tiga Zaman, Dari Lembah Cita-Cita, Merdeka, Islam Dan
Demokrasi, Dilamun Ombak Masyarakat, Menunggu Beduk Berbunyi.
15. Di Tepi Sungai Nyl, Di Tepi Sungai Daljah, Mandi Cahaya Di Tanah
Suci, Empat Bulan Di Amerika, Pandangan Hidup Muslim.103
16. Artikel Lepas; Persatuan Islam, Bukti Yang Tepat, Majalah Tentara,
Majalah Al-Mahdi, Semangat Islam, Menara, Ortodox Dan
Modernisme, Muhammadiyah Di Minangkabau, Lembaga Fatwa,
Tajdid Dan Mujadid, dan lain-lain.
17. Antara Fakta Dan Khayal, Bohong Di Dunia, Lembaga Hikmat, dan
lain-lain.104
Sebagai pendidik, Buya Hamka telah membuktikan mampu
menunjukan bukti menyakinkan akan keberhasilannya. Walaupun tidak
menjadi pendidik dalam arti guru profesional, ia memancarkan secara
keseluruhan sikap mendidik sepanjang hidupnya. Ini adalah
karakteristik yang umum di kalangan ulama, karena salah satu etos yang
paling umum dianut adalah keharusan menjadikan diri contoh dan
teladan moralitas keagamaan. Dalam Ta lim Al-Muta allim merumuskan
etos itu dengan singkat; jadilah penuntut ilmu atau pengajarnya! Ini
102 Samsul Nizar, op. cit., hlm. 47-57103 Hamka, Tasauf Modern, op.cit., hlm. XVII-XIX104 Sides Sudyarto DS, ”Realisme Religius”, op.cit., hlm. 140-141
68
sepenuhnya tercermin dalam setiap aspek kehidupan Hamka. Watak
mendidik itu akhirnya mencapai titik optimalnya ketika ia menjadi
Ketua Umum MUI, dan berpuncak pada ”efek mendidik” dalam setiap ia
mengeluarkan keputusan.
Penunaian tugas sebagai pendidik itu dipermudah oleh
ketekunananya menjalankan peribadatan perorangan, yaitu dengan
kebiasaannya untuk bangun dini hari guna menunaikan sholat subuh,
bahkan sembahyang tengah malam ketika orang lain beristirahat,
terutama pada usia lanjut, dan keteraturan irama hidupnya mendukung
dengan kuat fungsi yang kemudian ditunaikannya secara pribadi sebagai
pendidik. Kerja mendidik yang dijalaninya secara fisik itu menjadi
wahana yang serasi bagi pesan-pesan keagamaannya yang jelas sekali
bernada mendidik pula. Efektifitas pesan-pesan itu tercermin dari
kenyataan, bahwa apa yang dikumandangkan Hamka bagaikan terpaku
pada sejumlah tema dasar, seperti perlunya dikembangkan kasih sayang
sesama muslimin, perlunya sikap saling menghormati dengan orang lain.
perlunya solidaritas yang jujur antara sesama warga masyarakat, dan
seterusnya. Karena Hamka hanya membatasi diri pada fungsi mendidik
masyarakat secara umum, lalu menjadi sulit kerja mengukur kedalaman
persepsinya sendiri tentang fungsi yang dilakukannya itu. Dengan kata
lain, kualitas hasil didikannya sulit untuk diukur kualitasnya. Ini berarti
efektivitas Hamka sebagai pendidik adalah sesuatu yang dapat dirasakan
dan diterima berdasarkan pengamatan lahiriah, tanpa dapat dibuktikan
secara ilmiah menurut kriteria yang beragam yang dikembangkan oleh
ilmu pendidikan sendiri.105
Ketokohan Hamka, bukan hanya dikenal di Indonesia, tetapi juga
di Timur Tengah, dan Malaysia, bahkan Tun Abdul Razak, Perdana
Menteri Malaysia, pernah mengatakan bahwa Hamka bukan hanya milik
105 Abdurrahman Wahid, “Benarkah Buya Hamka Seorang Besar?”, dalam Hamka,Hamka Di Mata Hati Umat, op.cit., hlm. 41-43
69
bangsa Indonesia, tetapi juga kebanggaan bangsa-bangsa Asia
Tenggara.106
Kini, kenang-kenangan tentang ulama, penyair, sastrawan, dan filosof
bernama lengkap Prof Dr Haji Abdul Malik Karim Amrullah --disingkat
Hamka-- itu, bisa ditemui di kampung halamannya: Nagari Sungai Batang
Maninjau, Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatra Barat
(Sumbar). Ratusan buku karangan Hamka, semenjak novel fiksi
Tenggelamnya Kapal Van der Wijck dan Di Bawah Lindungan Ka'bah,
sampai kepada buku filsafat seperti Tasauf Modern dan Falsafah Hidup,
bahkan karyanya yang amat fenomenal Tafsir Al-Azhar yang diselesaikan
ketika Buya dipenjara tanpa alasan yang jelas oleh rezim Soekarno bisa
ditemui di museum rumah kelahiran Buya Hamka tersebut. Museum yang
diresmikan pada 11 November 2001 oleh H. Zainal Bakar, Gubernur Sumatera
Barat tersebut juga menghadirkan berbagai foto yang menggambarkan
perjalanan hidupnya.107
C. Pemikiran Hamka Tentang Pendidik dalam Pendidikan Islam
Hamka tidak merumuskan pengertian pendidik secara utuh, namun
pandangannya mengenai hal ini dapat dilihat dari ia mengungkapkan
pendapatnya tentang tugas seorang pendidik, yaitu sosok yang membantu
mempersiapkan dan mengantarkan peserta didik untuk memiliki ilmu
pengetahuan yang luas, berakhlak mulia, dan bermanfaat bagi kehidupan
masyarakat secara luas.108
Hal ini diinsafi dan dirasai oleh beberapa orang pemuka pendidikan
bangsa ini, sebagai Ki Hajar Dewantara, M. Syafei, Dr. Sutomo dan lain-lain.
Dr. Sutomo pernah menganjurkan supaya sistim pondok secara dahulu
dihidupkan kembali. Diadakan seorang pemimpin, pembimbing pendidikan;
dalam hal ini penulis menyebut pendidik untuk jangan sampai murid-murid itu
106 M. Yunan, Ensiklopedi Muhammadiyah, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2005),hlm. 136
107 http://fithab.multiply.com/journal/item/52, 24-02-2010108 Samsul Nizar, op. cit., hlm. 136
70
hanya menjadi orang pintar, tetapi tidak berguna untuk masyarakat bangsanya.
Karna pendidikan adalah untuk membentuk watak pribadi. Manusia yang telah
lahir ke dunia ini supaya menjadi orang yang berguna dalam masyarakatnya.
Supaya dia tahu mana yang baik dan mana yang buruk.109
Dari batasan di atas, terlihat demikian kompleksnya tugas dan
tanggungjawab yang dibebankan kepada pendidik. Hal ini menjadikan seorang
pendidik, tidak hanya dituntut untuk memliki ilmu yang luas. Lebih dari itu,
mereka hendaknya seorang yang beriman, berakhlak mulia, sungguh-sungguh
dalam melaksanakan tugasnya sebagai bagian dari amanat yang diberikan
Allah kepadanya dan mesti dilaksanakan secara baik. Pentingnya pendidik
yang berkepribadian karimah, disebabkan karena tugasnya yang suci dan
mulia. Eksistensinya bukan hanya sekedar melakukan proses transformasi
sejumlah informasi ilmu pengetahuan, akan tetapi lebih dari itu adalah
berupaya membentuk karakter atau kepribadian peserta didik, sesuai dengan
nilai-nilai ajaran Islam.110 Pendidik yang tidak memiliki kepribadian sebagai
seorang pendidik, tidak akan dapat melaksanakan tugasnya dengan baik.
Kondisi ini akan mengakibatkan peserta didik kurang menanggapi secara
seksama, terhadap apa yang akan diajarkan dan dididikkan.
Pada dasarnya, sosok pendidik menurut Hamka yang ikut bertanggung
jawab dalam pelaksanaan pendidikan Islam adalah orang tua, guru, dan
masyarakat.
1. Orang Tua (Ibu Bapa)
Dalam salah satu karyanya yang berjuudul Lembaga Hidup,
Hamka membagi tugas dan kewajiban Ayah-Bunda menjadi tiga tingkatan,
yaitu:
a. Semasa anak masih menyusu, hendaklah diberi makanan yang sehat.
b. Seketika akalnya mulai tumbuh, dia bertanya ini itu. Waktu itu
hendaklah ayah-bunda berusaha membuka akal yang baru tumbuh itu,
serta menunjukan contoh-contoh yang baik.
109 Hamka, Lembaga Hidup, (Jakarta: PT Pustaka Panjimas, 1962), hlm.224110 Fathiyah Hasan Sulaiman, Konsep Pendidikan Al-Ghazali, Terj. Ahmad Hakim dan
M. Imam Aziz, (Jakarta: P3M, 1986), hlm. 43-51
71
c. Zaman dia mulai besar, akan meningkat dewasa, ketika itu darahnya
sedang panas, khayalnya sedang terbang menerawang. Zaman itu oleh
orang ahli dinamai puberteits, zaman pancaroba. Penjagaan kepada
anak-anak waktu, sangatlah penting. Karna zaman itulah zaman
perjuangan. Ayah-bunda yang budiman sudah dapat menentukan
kemana haluan hidup anaknya, lantaran melihat perangainya di waktu
zaman pancaroba itu.
Hamka juga menegaskan bahwa kewajiban ibu dan bapak
mendidik anak jangan diserahkan kepada gurunya di sekolah saja. Karena
tempo yang dipakainya di dalam sekolah, tidaklah sepanjang tempo yang
dipakainya di rumah. Tiap-tiap anak mesti mendapat didikan dan
pengajaran, yang akan diterimanya di sekolah hanyalah ajaran, sedang
didikan sebahagian besar di dapatnya di rumah.111
Berdasarkan tingkatan kewajiban dan tugas orang tua sebagai
pendidik di atas, maka dapat dipahami bahwa orang tua dituntut untuk
memberi makanan yang halal al-thayyibat (halal dan bergizi), sabar, kasih
sayang, meresponi pertumbuhan akal anak melalui cerita-cerita dan
contoh-contoh yang konkret dengan cara bijaksana, sesuai dengan
perkembangan emosi seorang anak, serta menuntunnya untuk mampu
memcahkan berbagai persoalan yang sedang dihadapi. Di sini, tugas kedua
orang tua adalah menyalurkan kebutuhan anak sesuai dengan potensi yang
dimilikinya dan menanamkan sendi-sendi moral Islam.112
Penanaman adab dan budi pekerti dalam diri anak hendaknya
dilakukan sedini mungkin. Upaya ini dilakukan dengan cara menanamkan
kebiasaan hidup yang baik. Pada periode ini, pelajaran terhadap materi-
materi agama belum begitu dibutuhkan. Adapun yang dibutuhkan adalah
didikan nilai-nilai agama. Setelah anak dapat memahami dan mulai
menggunakan akalnya secara baik, maka materi-materi pelajaran agama
baru kemudian diberikan kepadanya, setahap demi setahap, sesuai dengan
111 Hamka, Lembaga Hidup, (Jakarta: PT Pustaka Panjimas, 1962), hlm. 178.112 Muhammad Ali Quthb, Sang Anak dalam Naungan Pendidikan Islam, (Bandung,
Remaja Rosdakarya, 1990), hlm. 174
72
perkembangan fisik dan psikis, serta kemampuan intelektualnya.
Pendekatan ini memberikan kesan adanya pertimbangan tahapan
pendidikan yang perlu dilakukan orang tua terhadap seorang anak atau
pendidik terhadap peserta didik.
Menurut Hamka, anak-anak umur 7 tahun hendaklah disuruh
sembahyang, umur 10 tahun paksa supaya jangan ditinggalkannya,
sembahyang di awal waktu dengan segera, kalau dapat hendaklah dengan
hati tunduk (thau’an). Kalau hati ragu hendaklah paksa pula hati itu
(karhan). Inilah yang bernama sugesti menurut ilmu jiwa zaman sekarang.
Mudah-mudahan lantaran tiap hari telah diadakan pengaruh demikian,
jalan itu akhirnya akan terbuka juga.113
Tetapi apalah hendak dikata, kalau perasaan agama lemah di dalam
hati orang tua sendiri. Anaknya diserahkannya kepada suatu sekolah.
Menurut Hamka, di sekolah itu yang ada hanya pengajaran, bukan
pendidikan. Kalaupun ada pendidikan, hanyalah pendidikan salah,
pendidikan yang menghilangkan pribadi. Banyak ilmunya tetapi budinya
kurang. Kesudahannya banyaklah kelihatan anak-anak muda yang tidak
tentu tujuan hidupnya. Tidak dapat berkhidmat kepada tanah-air tumpah
darahnya. Bagaimana akan dapat sedangkan bahasa ibunya tidak
diketahuinya.114
Pendidikan agama ini amat perlu, walaupun pada sekolah-sekolah
yang tidak mengajarkan agama. Karna sebagaimana dikatakan tadi,
pendidikan dan pengajaran adalah hal yang berbeda. Hamka berpendapat,
apa gunanya bersembunyi, bahwasannya pada masa ini, pun banyak
terdapat sekolah-sekolah yang mengajarkan agama, tetapi tidak
mendidikan agama. Maka keluar pulalah anak-anak muda yang alim
ulama, bahasa Arabnya seperti air yang mengalir, tetapi budinya rendah.
Sama sajalah harganya sekolah-sekolah semacam ini dengan sekolah yang
tidak mengajarkan dan mendidikan agama.
113 Hamka, Falsafah Hidup, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984), Cet-XI, hlm. 60114 Ibid., hlm. 225
73
Mengutip pendapat Al-Hakim Al-Musta’shim, Hamka memberikan
rambu-rambu bagi kedua orang tua bagaimana cara melaksanakan
pendidikan terhadap anak, yaitu:
a. Biasakan anak cepat bangun dan jangan terlalu banyak tidur. Sebab,
dengan banyak tidur akan membuat anak malas beraktivitas, malas
berpikir, dan lamban berkreasi.
b. Tanamkan pendidikan akhlak yang mulia dan hidup sederhana sedini
mungkin. Sebab, bila tidak, maka akan sulit untuk mengubah sikap
yang telah mengkristal tersebut kepada sebuah kebaikan.
c. Membangkitkan panca indera anak dengan mengoptimalkan fungsi
pendengaran dan pengelihatan melalui memikirkan penciptaan Allah,
baik dari segi keindahan maupun keajaiban serta makna yang
terkandung di dalamnya.115
d. Ajari berpola hidup sederhana, yaitu sederhana dalam mengeluarkan
belanja; tidak boros dan tidak bakhil, sederhana mengeluarkan
perkataan; tidak bocor mulut dan bicara berdasarkan situasi dan
kondisi, sederhana mengerjakan pekerjaan, dan sederhana ketika suka
maupun duka.
e. Melalui cerita-cerita yang menekankan cinta kasih, ajarkan kepada
mereka penting-nya kehidupan yang harmonis.116
f. Biasakan anak untuk percaya diri dan tidak menggantungkan diri
dengan orang lain, memiliki kemerdekaan dalam mengeluarkan
pendapat, serta bertanggung jawab terhadap keputusan yang
diambilnya. Setidaknya, ada dua pendekatan Islam untuk menanamkan
kepercayaaan diri, yaitu melalui tauhid dan melalui takdir.
Mempercayai tiada kekuatan dan ketentuan yang final selain aturan
Allah. Tidak ada satu makhluk pun yang patut ditakuti, kecuali Allah.
Selama suatu aktivitas tidak bertentangan dengan ketentuan dan nilai-
nilai Illahi, maka tidak perlu tumbuh kekhawatiran. Aktivitas yang
115 Mahmud, Abdul Wahab Fayid, Pendidikan Dalam Al-Qur an, (Semarang: CVWicaksana, 1986), hlm. 22-25
116 Hamka, Falsafah Hidup, op. cit., hlm. 205-206
74
dilakukan akan lebih dinamis dan sekaligus bernilai ketundukan
kepada zat yang agung. Tumbuhnya kepercayaan pada diri peserta
didik akan menimbulkan daya gerak dan daya pikir secara merdeka.117
Setelah anak beranjak dewasa, kedua orang tua dituntut untuk
menghargai pendapat yang dikemukakan anak dan memberikan
kemerdekaan kepadanya untuk berkembang, baik fisik maupun psikis,
secara maksimal. Kedua orang tua hendaknya bersikap arif dan bijaksana
dalam membimbing dan mengarahkan anak-anaknya. Pendekatan yang
demikian sangat berpengaruh pada perkembangan kepribadian anak
selanjutnya. Pandangannya ini didasarkan pada realitas sikap-umumnya-
orang tua waktu itu, di mana tatkala menghadapi anak yang nakal, acapkali
orang tua bersikap kasar. Padahal, anak yang demikian itu biasanya pada
waktu bersamaan potensi akalnya ikut berkembang. Hamka
mengungkapkan bahwasannya di zaman dahulu, menjadi kemegahan
seorang ayah kalau anaknya takut kepadanya. Baru saja dia masuk rumah,
kembali daripada pekerjaannya, anak itu lari sebagai kucing yang bersalah
mencuri dendeng. Sebab itu sampai besarnya, ayah dan anak tidaklah
merasai nikmat berayah atau nikmat beranak.118 Hal ini bertentangan
dengan salah satu karakteristik pendidik ideal yang menyebutkan bahwa
pendidik harus mempunyai karakter atau sifat kebapaan, dalam arti harus
memposisikan diri sebagai pelindung yang mencintai muridnya serta
selalu memikirkan masa depan mereka untuk kebaikan anaknya. Tugas
kedua orang tua adalah mencontohkan perilaku dan sikap yang baik,
menasehatinya, membimbing dan mengontrol-bukan membentuk-agar
dinamika fitrah anak berkembang secara maksimal, sesuai dengan nilai
ajaran agamanya.119
Pandangan di atas, merupakan reaksi dari praktik pendidikan yang
dilakukan kebanyakan orang tua waktu itu. Pada umumnya, anak tidak
117 Ibid., hlm. 151118 Hamka, Lembaga Hidup, op.cit., hlm. 178.119 Abdurrahman an-Nahlawi, Ushul Al-Tarbiyat Al-Islamiyat Wa Asalibuha, (Damsyik,
Dar al-Fikr, 1983), hlm. 139.
75
memiliki kebebasan untuk mengeluarkan pendapat dihadapan orang
tuannya, maupun dalam menentukan kehendak gerak hati sesuai dengan
cita-citanya. Kedua orang tua seakan berkuasa penuh dalam menentukan
masa depan anak-anaknya. Jika orang tuanya seorang ulama, maka ia
selalu berkeinginan agar anaknya menjadi ulama sebagaimana orang
tuanya. Pola pendidikan yang demikian, sesungguhnya telah ikut
mematikan dinamika anak. Akibatnya, anak senantiasa tergantung dan
berada di bawah bayang-bayang kehendak orang tua. Praktik yang
demikian telah berlangsung sejak sekian lama, terutama di Minangkabau.
Sementara itu, ada pula sebagian orang tua yang merasa lepas tanggung
jawab mendidik anak bila sudah ditangani seorang guru. Mereka bersikap
masa bodoh dan hanya ”dilepas unggaskan” kepada guru, tanpa mau ikut
serta membina kepribadian anak-anaknya.120
Menurutnya, model pemikiran umat, terutama kedua orang tua
yang demikian seyogyanya dihilangkan. Kedua orang tua hendaknya
memiliki visi baru tentang pendidikan anak-anaknya. Kedua orang tua
seyogyanya memberikan kebebasan (kemerdekaan) berpikir kepada anak
untuk berkembang sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Seorang anak
hendaknya dididik dan diasuh menurut bakat, kemampuan, serta sesuai
dengan tuntutan sosial dan perkembangan zamannya. Di sini, kedudukan
dan fungsi orang tua bukan membentuk anak sesuai dengan keinginannya,
akan tetapi menuntun dan mengontrol agar kebebasan dan dinamika
potensi yang dimiliki anak mampu terealisasi secara maksimal, sesuai
dengan nilai-nilai ajaran agamanya.
Kebebasan berpikir merupakan alat untuk membangun peradapan
yang lebih maju. Kebebasan berpikir menyebabkan setiap peserta didik
lebih bergairah untuk senantiasa meningkatkan mobilitas kreasinya dan
melakukan serangkaian eksperimen, sehingga melahirkan berbagai bentuk
kebudayaan yang bisa dimanfaatkan bagi kelangsungan hidup umat
manusia. Tatkala kebebasan berpikir manusia terikat oleh sebuah tirani
120 Hamka, Lembaga Hidup, op.cit., hlm. 204.
76
yang membelenggu dinamika akalnya, maka pada waktu yang bersamaan,
umat manusia akan terpuruk pada kehidupan yang statis dan terbelakang.
Kebebasan berpikir dan menyatakan pikiran, pada akhirnya menimbulkan
keberanian menentang yang munkar, yaitu segala sesuatu yang salah dan
tidak diterima oleh perikemanusiaan yang sehat.121 Oleh karena itu, setiap
komponen pendidikan hendaknya memberikan nuansa kebebasan berpikir
kepada peserta didik untuk bisa berkreasi dan mengeluarkan pendapatnya
secara lugas, jujur, dan bertanggung jawan. Pendekatan ini sangat
mendukung bagi perkembangan intelektualitas peserta didik itu sendiri.122
Di samping pendekatan di atas, bentuk pembinaan intelektual anak
yang perlu mendapat perhatian orang tua adalah menghadirkan sarana
yang menunjang pendidikan; diantaranya menyediakan perpustakaan, baik
di lingkungan rumah tangga, seklah maupun masyarakat. Tersedianya
perpustakaan akan membiasakan peserta didik untuk mengenal sumber
informasi dan menunjang daya baca seorang anak. Dengan sikap dan
tersedianya sarana yang demikian ini, seorang anak akan terbiasa
menelusuri sumber ilmu pengetahuan. Pada awalnya, mungkin anak hanya
sekedar mengamati buku, kemudian membaca dan akhirnya menjadikan
buku sebagai bagian dari aktivitasnya sehari-hari. Bila kedua orang tua
memiliki visi baru terhadap model pendidikan sebagaimana dikemukakan
di atas, akan sangat membantu pelaksanaan pendidikan di sekolah yang
menjadi tanggung jawab guru.123
b. Guru
Menurut pandangan Hamka, sebagaimana yang tertulis di salah
satu karyanya yang berjudul Lembaga Budi; guru yang mendapat sukses di
dalam pekerjaannya dan mendidik muridnya mencapai kemajuan, ialah
guru yang tidak hanya mencukupkan ilmunya dari sekolah guru saja, tetapi
diperluasnya pengalaman, dan bacaan. Senantiasa teguh hubungannya
dengan kemajuan moderen dan luas pergaulannya, baik dengan wali murid
121 Hamka, Pandangan Hidup Muslim, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1992), hlm. 65.122 Samsul Nizar, op, cit., hlm. 145-146123 Ibid., hlm. 146
77
atau dengan sesama guru, sehingga bisa menambah ilmu tentang soal
pendidikan. Rapat hubungannya dengan orang-orang tua dan golongan
muda supaya dia sanggup mempertalikan zaman lama dengan zaman baru,
dan dapat disisihkannya mana yang baik dan masih relevan.
Hal ini menunjukan bahwa seorang pendidik, dalam hal ini guru
akan dapat menjalankan proses pembelajaran yang efektif jika
hubungannya dengan peserta didiknya berjalan secara harmonis. Untuk
terciptanya hubungan yang harmonis, seorang pendidik dituntut untuk
memiliki sejumlah ilmu yang akan diajarkan, memiliki integritas
kepribadian, mempergunakan berbagai metode pembelajaran, dan
memahami diferensiasi (kepribadian maupun sosial) peserta didik, baik
mental, spiritual, intelektual, maupun agama yang diyakini berikut dengan
berbagai pendekatannya. Ada empat konsep yang perlu diperhatikan oleh
seorang pendidik, yaitu: Pertama, mengembangkan potensi (fitrah) peserta
didik. Kedua, mengembangkan pengajaran yang bersifat verbalistik.
Ketiga, mencatat seluruh aktivitas peserta didik sebagai pedoman untuk
melakukan pembinaan dan proses pendidikan selanjutnya. Keempat,
memformulasi kondisi yang kondusif dalam mengembangkan sistim
pendidikan secara efektif dan efesien, serta meminimalisasi faktor-faktor
yang dapat menghambat pencapaian tujuan pendidikan Islam.
Agar pendekatan di atas terlaksana dengan baik, maka menurut
Hamka seorang pendidik dituntut terlebih dahulu mengetahui tugas dan
tanggung jawabnya, yaitu berupaya membantu dalam rangka membimbing
peserta didiknya untuk memiliki ilmu pengetahuan yang luas, berakhlak
mulia, dan menguasai keterampilan yang bermanfaat, baik bagi dirinya
maupun masyarakat luas. Untuk terciptanya kondisi yang demikian, maka
seorang pendidik dituntut untuk terlebih dahulu memperluas pengalaman
dan wawasan keilmuannya, memperhalus budi pekertinya, bijaksana,
pemaaf, tenang dalam memberikan pengajaran, tidak cepat bosan dalam
memberikan pelajaran terutama terhadap materi pelajaran yang
78
kurangdimengerti oleh sebagian peserta didik, serta memerhatikan kondisi
baik fisik maupun psikis peserta didik.124
Menurut Hamka, didikan di sekolah bertali dengan didikan di
rumah. Hendaklah ada kontak yang baik di antara orang tua murid dengan
guru. Kadang-kadang datang mendatangi, ziarah menziarahi, selidik
menyelidiki tentang tabiat anak yang dalam didikan itu. Tentu saja di
dalam didikan secara Islam, akan mudah melakukan ini. Sebab kalau
rumah guru berdekatan dengan rumah orang tua murid, sekurangnya sekali
sehari, diantara Maghrib dan Isya, guru dan orang tua murid itu akan
bertemu di surau. Dan kalau rumahnya berjauhan, akan bertemu di di
Jum’at. Kesempurnaan didikan anak itu dapat dibicarakan dengan baik.
Kepandaian orang tua mendidik anak, adalah menjadi penolong
guru. Jika tugas mendidik hanya dilimpahkan kepada guru maka hasil
akan tidak maksimal. Pengaruh keadaan sekeliling, pengaruh pekerjaan,
kepandaian dan pendidikan orang tua di zaman dahulu, pun besar kepada
anaknya. ”Air itu turun dari cucuran atap , demikian kata pepatah. Hal itu
dapat dibuktikan; jika ayahnya bodoh, sontok pikirannya, hal itupun
menurun kepada anaknya, demikian juga jika ayahnya orang pintar, maka
kepintaran itu akan turun kepada anaknya. Di sinilah gunanya guru.125
Hamka optimis bahwa anak yang berasal dari keturunan orang bodoh dan
terbelakang bisa menjadi pandai dan maju jika diajar dan dididik oleh guru
yang baik.
Adapun pendidik yang baik, menurut Hamka harus memenuhi
syarat sekaligus kewajiban sebagai seorang pendidik, yaitu;
a. Berlaku adil dan obyektif pada setiap peserta didiknya.
b. Memelihara martabatnya dengan akhlak al-karimah, berpenampilan
menarik, berpakaian rapi, dan menjauhkan diri dari perbuatan yang
tercela. Sikap yang demikian akan menjadi contoh yang efektif untuk
diteladani peserta didiknya.
124 Hamka, Lembaga Hidup, op.cit., hlm. 211125 Ibid., hlm. 225-226
79
c. Menyampaikan seluruh ilmu yang dimiliki, tanpa ada yang ditutup-
tutupi. Berikan kepada peserta didik ilmu pengetahuan dan nasihat
yang berguna bagi bekal kehidupannya di tengah-tengah masyarakat.
d. Hormati keberadaan peserta didik sebagai manusia yang dinamis
dengan memberikan kemerdekaan kepada mereka untuk berpikir,
berkreasi, berpendapat, dan menemukan berbagai kesimpulan lain.
e. Memberikan ilmu pengetahuan sesuai dengan tempat dan waktu,
sesuai dengan kemampuan intelektual dan perkembangan jiwa
mereka.126
f. Tidak menjadikan upah atau gaji sebagai alasan utama dalam mengajar
peserta didik. Menurut Hamka, tidaklah salah bekerja untuk mencari
upah. Tetapi bila usaha itu sudah cari upah semata-mata, sehingga
tidak ada lagi rasa tanggung jawab kepada baik atau buruknya
pekerjaan, alamat semuanya akan rusak dan akhirnya celaka. Orang
yang bekerja hanya semata-mata memandang upah, tidaklah dapat
dipercaya. Dia membaguskan pekerjaan dan membereskan buah
tangannya bukan karna ingin kebagusan, tetapi karna ingin upah. Jika
upah sudah diturunkan, pekerjaannya sudah dibatalkanya, sehingga
mutunya menjadi mundur.127
g. Menanamkan keberanian budi dalam diri peserta didik. Keberanian
budi, ialah berani menyatakan suatu perkara yang diyakini sendiri
kebenarannya; tidak takut gagal, salah ataupun dicela orang lain.
Untuk menanamkan bibit-bibit keberanian kepada anak-anak, maka
ahli pendidik di benua Eropa dan Amerika, mendapat beberapa jalan;
yaitu:
1) Menguatkan pelajaran senam (sport), sehingga badan dan
fikirannya sehat.
2) Mengajarkan dan menceritakan riwayat orang-orang yang berani,
yakni para pahlawan bangsa dan pejuang-pejuang Islam.
126 Samsul Nizar, op. cit., hlm. 152127 Hamka, Falsafah Hidup, op.cit., hlm. 172.
80
3) Biasakan berterus terang bercakap-cakap.
4) Tidak percaya kepada khurafat.
5) Memperkaya akal dengan ilmu yang memberi faedah.128
Agar ilmu melekat di hati peserta didik, Hamka mencontohkan
Engku M. Syafei (Alm), pendidik yang masyhur di Kayu Tanam. Hamka
bercerita:
Pada suatu hari datanglah murid-murid kepada Engku M. Syafei
(Alm) meminta supaya hari itu diajarkan pelajaran Ilmu Bumi Ekonomi.
Ketika itu mereka sedang berada di halaman sekolah, bukan di dalam
kelas. Waktu itu sajalah Engku M. Syafei memperlakukan permintaan itu
sambil berdiri. Diberinya keterangan tentang kekayaan dan kesuburan
tanah air, buah-buahan yang bisa tumbuh dan hasil yang dapat dibawanya
kepada putera bumi itu sendiri, kalau mereka bersungguh-sungguh.
Disuruhnya murid-muridnya itu menentang puncak Gunung Singgalang
bahwa di sana ada kekayaan yang tidak tepermanai. Lalu disuruhnya pula
mendengarkan bunyi aliran air di Batang Anai yang hebat dahsyat, lalu
dinyatakannya pula faedah yang dapat diambil darinya. Sehingga
termenunglah murid-murid itu dan lekat di hati mereka keterangan
gurunya. Pelajaran seperti itu jauh lebih besar bekasnya kepada jiwa
mereka, dari jika disuruh duduk berbaris menghadapi bangku.129
Hal ini mengindikasikan bahwa suatu ilmu tidaklah lekat di dalam
hati dan jiwa, tidaklah terpasang kepada diri kalau tidak diamalkan,
dibiasakan, dan dicobakan.130
c. Masyarakat
Peserta didik merupakan makhluk sosial yang tidak bisa hidup
tanpa berinteraksi dan membutuhkan bantuan orang lain yang ada di
sekitarnya. Sifat dasar ini membuat interdependensi antar peserta didik
dengan manusia lain dalam komunitasnya tak bisa dihindarkan.
128 Ibid., hlm. 209-211.129 Hamka, Lembaga Budi, op.cit., hlm. 71130 Hamka, Falsafah Hidup, op.cit., hlm. 54
81
Eksistensinya saling bekerja sama dan saling memengaruhi antara satu
dengan yang lain. Melalui bentuk komunitas masyarakat yang harmonis,
menegakkan nilai akhlak, dan hidup sesuai dengan nilai-nilai ajaran
agama, akan dapat mewujudkan tatanan kehidupan yang tentram. Kondisi
dan model masyarakat yang demikian, merupakan prototipe masyarakat
ideal bagi terlaksananya pendidikan yang efektif dan dinamis. Oleh karna
itu, dalam memformulasi sistim pendidikan, diperlukan pendekatan
psikologis-sosiologis. Pendekatan yang dilakukan hendaknya
mengakomodir dan menyeleksi sistim nilai sosial (adat) dimana
pendidikan itu dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Dengan pendekatan
ini pendidikan akan mampu memainkan perannya sebagai agent of change
dan agent of social culture.
Hamka menyebut peserta didik sebagai bunga masyarakat yang
kelak akan mekar atau akan menjadi tubuh dari masyarakat, oleh karna itu
tiap anggota masyarakat bertanggung jawab menjaga dan melindunginya
dari segala sesuatu yang dapat menghambat kemajuan kecerdasannya.131
Menurut Hamka, akhlak peserta didik dapat dikatakan sebagai
cerminan dari bentuk akhlak masyarakat di mana ia berada. Hal ini karena
kehidupan setiap anggota masyarakat dalam sebuah komunitas sosial,
merupakan miniatur kebudayaan yang akan dilihat dan kemudian dicontoh
oleh setiap peserta didik. Eksistensi masyarakat merupakan laboratorium
dan sumber makro yang penuh alternatif bagi memperkaya pelaksanaan
proses pendidikan. Setiap anggota masyarakat memiliki peranan dan
tanggung jawab moral terhadap terlaksananya proses pendidikan yang
efektif. Kesemua unsur yang ada hendaknya senantiasa bekerja sama
secara timbal balik sebagai alat sosial-kontrol bagi pendidikan.132
Hamka menegaskan bahwa, eksistensi adat dalam sebuah
komunitas sosial dan kebijakan politik negara, cukup berpengaruh bagi
131 Hamka, Lembaga Hidup, op.cit., hlm. 38132 Ramayulis, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, (Jakarta: Quantum Teaching, 2005),
Cet-1, hlm. 274-275.
82
proses perkembangan kepribadian peserta didik pada masa selanjutnya.
Oleh karena itu, seluruh sistim sosial di mana peserta didik itu berada
hendaknya bersifat kondusif dan proporsional bagi menopang
perkembangan dinamika fitrah yang dimiliki setiap anak didik. Masyarakat
maupun negara seyogyanya melihat adat dan kebijaksanaan pemerintah
sebagai sesuatu yang fleksibel, serta menghargai setiap pendapat sebagai
sebuah keberagaman. Sikap yang demikian akan menumbuhkan dinamika
berpikir kritis dan menghargai kemerdekaan yang dimiliki setiap orang,
tanpa menyinggung kemerdekaan yang lain.
Masyarakat juga dituntut memiliki kepedulian sekaligus
mengontrol (social control) terhadap perkembangan pendidikan peserta
didik. Kepedulian tersebut bukan hanya bersifat moril maupun materiil,
akan tetapi wujud aksi nyata, seperti mengembangkan, majelis-majelis
keilmuwan dalam komunitasnya. Keikutsertaan seluruh anggota
masyarakat yang demikian akan membantu upaya pendidikan, terutama
dalam memperhalus akhlak dan merespon dinamika fitrah peserta didik
secara optimal. Prototipe masyarakat yang demikian, sesungguhnya
marupakan prototipe masyarakat madani (civil society) sebagaimana yang
diidam-idamkan dewasa ini.133
Untuk menciptakan peserta didik yang memiliki kepribadian
paripurna, ketiga sosok pendidik di atas hendaknya bekerja sama secara
harmonis dan integral. Bila hal itu tidak dilakukan, maka pelaksanaan
pendidikan yang ideal hanya akan tinggal sebuah hipotesis. Peran ketiga
pendidik di atas memiliki pengaruh yang cukup besar dalam
pembentukkan kepribadian peserta didik. Namun demikian, tidak bisa
dikelompokkan secara linear faktor mana yang lebih besar pengaruhnya,
karna saling mendukung dan menguatkan.
Agar pendidikan bersifat interaktif, maka menurut Hamka seorang
pendidik hendaknya ’berbuat’ sebagaimana layaknya sikap dan tingkah
133 Samsul Nizar, op. cit., hlm. 155-157.
83
laku anak yang sedang dihadapinya. Dengan pendekatan tersebut, anak
akan merasa dekat dengan orang yang mendidiknya. Proses ini merupakan
pendekatan yang strategis dalam upaya mencapai tujuan pendidikan yang
diinginkan. Dalam hal ini, ia mengutip pendekatan yang dilakukan
Rasulullah terhadap Hasan dan Husein. Dalam melaksanakan misi
pendidikannya, rosulullah bahkan tidak segan-segan bermain kuda-kudaan
dengan cucu-cucunya. Oleh karena itu, seorang pendidik hendaknya
mampu memformulasi bentuk pendekatan pendidikan yang bersifat
persuasif terhadap peserta didik, sesuai dengan tingkat perkembangan
intelektual dan emosional.
84
BAB IV
RELEVANSI PEMIKIRAN HAMKA DENGAN PENDIDIKAN ISLAM
MASA SEKARANG
A. Urgensi Pendidik dalam Proses Pendidikan Islam
Upaya Hamka dalam menggagas ide-ide pembaruan pendidikan
(Islam) tidak hanya dilakukan melalui mimbar atau karya-karya tulisnya.
Lebih lanjut lagi ia mengapresiasikan ide-idenya itu secara nyata dalam
pendidikan formal. Fenomena ini terlihat dari keterlibatannya sebagai seorang
pendidik pada lembaga pendidikan formal yang didirikannya, maupun pada
beberapa lembaga pendidikan lain, seperti Tabligh School (1931), Munier
School, HIS Muhammadiyyah, Kulliyyatul Muballighin Muhammadiyyah,
PTAIN, UI Jakarta, UISU, UMI, PUSROH dan YPI Al-Azhar.134
Hanya saja, perlu diakui bahwa meskipun pemikirannya tentang
pendidikan (Islam) ditopang dengan keterlibatannya secara formal, namun
dalam karya-karyanya tersebut tidak diperoleh penjelasan secara konkret
bagaimana bentuk kurikulum dan langkah operasional yang perlu diambil
dalam rangka melaksanakan proses belajar mengajar. Ia tidak membangun
sebuah teori pendidikan yang operasionalistik. Tetapi lebih kepada upaya
membongkar kebekuan sistim pendidikan Islam waktu itu. Ia hanya
memberikan rambu-rambu pola ideal pendidikan Islam. Kerangka
pemikirannya tentang pendidikan lebih bersifat filosofis, sehingga bisa
dikembangkan lebih lanjut sesuai dengan perkembangan zaman. Fenomena ini
merupakan kelemahan sekaligus kelebihan pemikirannya dalam membangun
kerangka dasar pendidikan Islam, termasuk mengenai pendidik sebagai salah
satu komponen penting dalam pendidikan Islam.
Pendidik merupakan salah satu kunci keberhasilan pendidikan dalam
mencapai tujuannya. Crow dan crow menyebut pendidik ini sebagai faktor
134 Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran Hamkatentang Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), hlm. 199
85
vital diantara empat faktor lainnya, yaitu peserta didik, tujuan pendidikan, alat
dan milieu. Sekolah dengan fasilitas yang lengkap dan peralatan yang modern,
tidak akan berjalan optimal apabila tenaga kependidikannya yang ada tidak
mampu mefungsikan fasilitas dan alat tersebut, begitu pula sebaliknya.135 Hal
ini mengindikasikan bahwa keberadaan pendidik jauh lebih penting dari media
pendidikan ataupun komponen pendidikan yang lain.
Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Pasal 1 UU RI
No. 20 th. 2003) bangsa Indonesia telah memberikan rumusan mengenai
tujuan pendidikan di Indonesia, yakni : (1) kekuatan spiritual keagamaan, (2)
pengendalian diri, (3) kepribadian, (4) akhlak mulia, serta (5) ketrampilan.136
Artinya bahwa dalam menerapkan dan mengimplementasikan pendidikan,
tidak hanya terpaku kepada satu tujuan ansich (misalnya kecerdasan saja),
namun harus bersifat holistik dengan tujuan yang lain agar bisa membentuk
satu karakter manusia Indonesia seutuhnya. Hal ini penting untuk ditandaskan
agar dalam proses pendidikan di Indonesia tidak terjadi miss oriented. Dari
titik inilah pendidik mempunyai peran yang sangat, amat dan terlalu penting,
karena beratnya misi yang harus diemban oleh pendidik. Untuk mewujudkan
misi ini, tugas ini tidak hanya menjadi tanggung jawab pendidik (yang nota
bene dipersepsikan guru) namun juga merupakan tugas semua pihak, yaitu
orang tua dan masyarakat.
Untuk bisa mendidik dengan baik, agar tujuan pendidikan dapat
tercapai secara efisien, pendidik harus memiliki pengenalan diri (ma rifat) dan
pengenalan norma-norma dan etis, agar pendidik menjadi pribadi-pribadi
teladan yang patut digugu dan ditiru. Pengenalan diri seorang pendidik dapat
dilakukan dengan tiga cara, Pertama, mengenali kekuatan dan kelemahan
sendiri. Kedua, mengenali hakekat anak didik dengan segala konstitusi
psikofisik, kebutuhan, kepedihan dan harapannya. Ketiga, keterbukaan menuju
135 Abdurrachman Assegaf, Kependidikan Islam , Jurnal Pemikiran, Riset, danPengembangan Pendidikan Islam, I, 1, Februari, 1994, hlm. 20-21.
136http://mabadik.wordpress.com/2010/07/09/urgensi-peran-pendidik-dalam-upaya-untuk-mencerdaskan-kehidupan-bangsa/
86
ke depan dalam mewujudkan semua potensi dan kemungkinan yang ada pada
anak didik, pribadi pendidik, orang tua murid dan perkembangan masyarakat
sekitar.137
Kemampuan mengenali kekuatan dan kelemahan diri sendiri penting
bagi pendidik untuk memberikan keputusan dan tindakan terkait dengan
proses mendidik peserta didik. Jika seorang pendidik merasa memiliki
kemampuan lebih dalam mengoperasikan teknologi pendidikan untuk
optimalisasi suatu metode, maka hal ini bisa diterapkan dalam penyampaian
materi sehingga proses belajar tidak berjalan monoton. Begitu juga dengan
kemampuan mengenali kelemahan diri. Jika seorang pendidik misalnya
merasa lemah dalam olah vokal atau volume suara cenderung rendah, maka
memaksakan diri untuk selalu menggunakan metode ceramah merupakan
pilihan sikap yang kurang bijaksana.
Mengenali hakekat anak didik dengan segala konstitusi psikofisik,
kebutuhan, kepedihan dan harapannya adalah salah satu konsekuensi yang
harus diterima oleh para pendidik agar proses belajar yang hanya searah atau
tidak memberikan timbal balik tidak terjadi. Pentingnya orang tua, guru dan
masyarakat untuk memahami situasi dan kondisi, serta kemampuan menerima
materi pendidikan jasmani dan rohani anak didik bertujuan untuk membangun
kerjasama antara pendidik dan peserta didik. Hal ini karna pada dasarnya
proses pendidikan melibatkan pendidik dan peserta didik secara bersamaan,
bukan menjadikan peserta didik hanya sebagai obyek didikan yang pasif
dalam menerima materi pendidikan. Selanjutnya, bersikap terbuka terhadap
potensi dan bakat anak didik secara obyektif adalah sikap pendidik sejati.
Orang tua tdaklah seharusnya memaksakan kehendaknya agar anaknya
menjadi guru seperti dirinya misalnya, jika pada kenyataannya anaknya
memiliki bakat dan kecenderungan yang lebih terhadap profesi dokter.
Keterbukaan dan kebesaran jiwa semacam ini sangat penting dalam
137 Sutoyo, “Profesionalisme Guru dalam Tinjauan Pendidikan Islam”, Jurnal WahanaAkademia, 7,2, Agustus, 2005, hlm. 230.
87
menumbuhkan karakter positif dan kemajuan bagi akal, hati, dan budi anak
didik.
Mengenai pendidik, secara garis besar Hamka berpendapat bahwa
pendidik adalah sosok yang bertanggung jawab dalam mempersiapkan dan
mengantarkan peserta didik untuk memiliki ilmu pengetahuan yang luas,
berakhlak mulia, dan bermanfaat bagi kehidupan masyarakat secara luas.138
Namun, seiring berjalannya waktu makna pendidik mengalami pergeseran ke
arah yang lebih dangkal. Pendidik dianggap sekedar sebagai orang yang
mengajar kepada siswa untuk menambah pengetahuan. Hal ini bertentangan
dengan kewajiban pendidik untuk tidak hanya mengajar tetapi sekaligus
mendidik. Yang dimaksud mengajar dalam hal ini adalah membantu anak
berkembang dan menyesuaikan diri kepada lingkungan. Sedangkan mendidik
adalah suatu usaha untuk mengantarkan anak didik ke arah kedewasaannya
baik secara jasmani maupun rohani. Jadi pengertian mendidik lebih bersifat
mendasar, tidak sekedar transfer of knowledge tetapi juga transfer of values.
Di lembaga-lembaga pendidikan yang terjadi sesungguhnya bukanlah
pendidikan dalam arti sebenarnya, tapi sekedar pengajaran. Transformasi yang
terjadi hanya sebatas transformasi yang hanya melibatkan peran keilmuan
guru dan kebodohan murid. Asumsinya, murid menjadi pintar berkat
pengajaran sang guru. Pendidikan dianggap tidak begitu penting, mungkin saja
karena hasilnya dianggap kurang konkrit. Justru pengajaranlah yang begitu
ditekankan habis-habisan. “Pendidikan dan Pengajaran” yang menjadi jargon
sistem pendidikan di Indonesia selama bertahun-tahun, dengan demikian,
menghasilkan format yang tidak seimbang.
Dalam “pengajaran”, guru akan bertindak sebagai orang yang paling
pintar di kelas, dan siswa adalah objek yang dikenai blue print kemana guru
berkehendak, sementara dalam “pendidikan”, yang lebih ditekankan adalah
transformasi perilaku, transformasi etika, transformasi moralitas, dan bukan
transformasi gaya berfikir. Makna pendidikan telah tereduksi sedemikian rupa
138 Hamka, Lembaga Budi, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), hlm. 2-3
88
sehingga menjadi sekadar sekolah dan lembaga pendidikan lainnya, atau
sekedar pengajaran (termasuk penataran) dan pelatihan, maka semua itu akan
berbuah pada irasionalitas, immoralitas, dan agresivitas. Sistem pendidikan di
Indonesia telah mengikuti antagonisme pendidikan ’gaya bank’, yaitu guru
mengajar, murid belajar; guru tahu segalanya, murid tidak tahu apa-apa; guru
berpikir, murid dipikirkan; guru bicara, murid mendengarkan; guru mengatur,
murid diatur; guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid menuruti;
guru bertindak, murid membayangkan bagaimana bertindak sesuai dengan
tindakan gurunya; guru memilih apa yang akan diajarkan, murid
menyesuaikan diri; guru mengacaukan wewenang ilmu pengetahuan dengan
wewenang profesionalismenya, dan mempertentangkannya dengan kebebasan
murid-murid; guru adalah subyek proses belajar, murid adalah obyeknya.139
Konsep pendidikan sesungguhnya mempunyai ruang lingkup yang
lebih luas ketimbang sekedar pengajaran. Ada kecenderungan yang
memprihatinkan dewasa ini, dimana sistem pendidikan kita semakin lama
semakin menjauhi substansi tujuan pendidikan itu sendiri. Lembaga
pendidikan memang marak ada dimana-mana, namun dari mereka jarang yang
membawa misi pendidikan itu sendiri, tak lain sekedar pengajaran, dimana ada
transformasi pengetahuan tenang ABC agar siswa juga paham tentang ABC
juga tanpa harus tahu dari mana ABC didapatkan. Lebih ironis lagi, maraknya
institusi pendidikan ini, secara cermat bisa dikatakan lebih banyak bertujuan
untuk kepentingan institusi itu sendiri, bukan untuk kecerdasan siswa. Bahkan
skala prioritas tujuan untuk mencerdaskan anak didik mungkin bisa diurutkan
pada nomor yang paling buncit, yang penting bagaimana institusi bisa meraih
keuntungan maksimal. Dengan kata lain, lembaga pendidikan, ternyata hanya
mampu mencetak manusia-manusia tua, bukan manusia-manusia dewasa.
Oleh karena itu, dalam mengatasi persoalan ini harus ada upaya bersama
untuk menyeimbangkan makna antara pengajaran dan pendidikan. Keduanya
perlu mendapatkan perhatian yang serius.
139 Andrias Harefa, Menjadi Manusia Pembelajar, (Jakarta; Harian Kompas, 2000), hlm.11
89
Fenomena seperti inilah yang mendasari pemikiran Hamka bahwa di
sekolah itu yang ada hanya pengajaran, bukan pendidikan. Kalaupun ada
pendidikan, hanyalah pendidikan salah, pendidikan yang menghilangkan
pribadi. Banyak ilmunya tetapi budinya kurang. Kesudahannya banyaklah
kelihatan anak-anak muda yang tidak tentu tujuan hidupnya. Tidak dapat
berkhidmat kepada tanah-air tumpah darahnya. Bagaimana akan dapat
sedangkan bahasa ibunya tidak diketahuinya.140
Menurutnya, pendidikan Islam merupakan serangkaian upaya yang
dilakukan pendidik untuk membantu membentuk watak, budi, akhlak, dan
kepribadian peserta didik, sehingga ia tahu membedakan mana yang baik dan
mana yang buruk. Sementara pengajaran Islam adalah upaya untuk mengisi
intelektual peserta didik dengan sejumlah ilmu pengetahuan. Dalam
mendefinisikan pendidikan dan pengajaran, ia hanya membedakan makna
pengajaran dan pendidikan pada pengertian kata. Akan tetapi secara esensial ia
tidak membedakannya. Kedua kata tersebut (pendidikan dan pengajaran)
merupakan suatu sistem yang saling berkelindan. Setiap proses pendidikan, di
dalamnya terdapat proses pengajaran. Keduanya saling melengkapi antara satu
dengan yang lain, dalam rangka mencapai tujuan yang sama. Tujuan dan misi
pendidikan akan tercapai melalui proses pengajaran. Demikian pula
sebaliknya, proses pengajaran tidak akan banyak berarti bila tidak dibarengi
dengan proses pendidikan. Dengan pertautan kedua proses ini, manusia akan
memperoleh kemuliaan hidup, baik di dunia dan akhirat. Karna justru di
sekolah-sekolah itulah pendidikan mempunyai makna yang penting untuk
pertama kali diaplikasikan. Dalam ruangan yang sempit itulah, konsep
pendidikan seharusnya dilaksanakan oleh para guru sebagai pendidik yang
mewakili realitas sosial kepada murid.
140 Hamka, Falsafah Hidup, op. cit., hlm. 225
90
B. Relevansi Pemikiran Hamka dengan Pendidikan Islam Masa Sekarang
Keberhasilan pelaksanaan pendidikan Islam di Indonesia masih jauh
dari yang diharapkan. Selain masalah-masalah baru yang bermunculan,
terdapat juga berbagai problematika lama yang belum tuntas diselesaikan dan
dicarikan penyelesaian, sehingga pekerjaan rumah bagi pemerintah dan
stakeholder pendidikan semakin menumpuk.
Menurut Arif Rachman, seorang pakar pendidikan, berpendapat bahwa
beberapa titik lemah pendidikan Islam di Indonesia yang menghambat
kemajuannya adalah:
1. Keberhasilan pendidikan hanya diukur dari keunggulan ranah kognitif dan
nyaris tidak mengurus ranah efektif dan psikomotorik.
2. Peserta didik menjadi obyek didik dan bukan pelaku aktif.
3. Proses pendidikan berubah menjadi proses pengajaran. Sehingga materi
pelajaran menjadi yang tidak relevan dengan kenyataan. Hal ini terbukti
dengan terjadinya kesenjangan antara dunia sekolah dan dunia kerja.
4. Titel dan gelar pendidikan menjadi target pendidikan yang tidak disertai
dengan tanggung jawab ilmiah yang mumpuni sehingga terjadi
“pengejaran titel” yang tidak sehat.
5. Profesi guru terkesan menjadi profesi ilmiah saja dan kurang disertai
dengan bobot profesi kemanusiaan sehingga hubungan guru dan murid
terkesan sebagai hubungan produsen dan konsumen. Hal ini diperparah
dengan kedudukan profesi guru yang secara finansial berada pada profesi
papan bawah
6. Manajemen pendidikan yang menekankan tanggung jawab
penyelenggaraan pendidikan kepada pemerintah dan bukan kepada seluruh
stake holder pendidikan seperti masyarakat, ortu, guru dan siswa itu
sendiri.141
141 Arif Rachman, Mengurai Benang Kusut Pendidikan Gagasan Para PakarPendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan Transformasi UNJ, 2003), hlm. 1989-200.
91
Menurut penulis, rumusan masalah mengenai pendidikan di Indonesia
yang telah disebutkan oleh Arif Rachman di atas telah sejak lama menjadi
kendala pendidikan nasional yang menggelisahkan pikiran dan hati
masyarakat Indonesia, terutama seorang pemikir bernama Hamka. Hal ini
terbukti dari hasil pemikiran dan perenungannya yang secara tersirat terdapat
di karya-karya tulisnya. Jika Arif Rachman mengatakan bahwa proses
pendidikan berubah menjadi proses pengajaran sehingga materi pelajaran
menjadi tidak relevan dengan kenyataan, maka jauh-jauh hari Hamka telah
berpendapat bahwa pada masa ini, banyak terdapat sekolah-sekolah yang
mengajarkan agama, tetapi tidak mendidikan agama. Maka keluar pulalah
anak-anak muda yang alim ulama, bahasa Arabnya seperti air yang mengalir,
tetapi budinya rendah. Sama sajalah harganya sekolah-sekolah semacam ini
dengan sekolah yang tidak mengajarkan dan mendidikan agama.142 Pernyataan
di atas mengandung arti bahwa pengajaran semata tanpa diiringi dengan upaya
mendidik hanya akan mengasilkan peserta didik yang cerdas tapi kurang
berbudi. Hal ini tentu akan menyalahi rumusan tujuan pendidikan Indonesia
sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional
(Pasal 1 UU RI No. 20 th. 2003).
Proses pendidikan harus dimulai sejak dini, bahkan semenjak anak
lahir ke dunia. Pendidikan pertama yang harus dilakukan ketika anak lahir
oleh orang tua sebagai pendidik adalah dengan mengazankan dan
mengiqomahkannya. Ibnul Qoyyim mengatakan bahwa rahasia dilakukannya
adzan dan iqomah di telinga bayi yang baru lahir mengandung harapan yang
optimis agar mula-mula suara yang terdengar oleh telinga sang bayi adalah
seruan adzan yang mengandung makna keagungan dan kebesaran Allah serta
syahadat yang menjadi syarat utama bagi seseorang yang baru masuk Islam.
Perlakuan ini menerangkan akan kepedulian Nabi Muhammad saw. terhadap
aqidah tauhid yang harus ditanamkan secara dini dalam jiwa sang anak dan
142 Hamka, Falsafah Hidup, op. cit., hlm. 205-206
92
sekaligus untuk mengusir setan yang selalu berupaya mengganggu sang bayi
semenjak kehadirannya dalam memulai kehidupan barunya di alam dunia.143
Lebih jelasnya, pemikiran Hamka yang menghendaki keseimbangan
antara peran orang tua, guru, dan masyarakat dalam proses pendidikan dan
pengajaran anak adalah melalui tahapan-tahapan sebagai berikut;
1. Perawatan bayi yang baru lahir
Begitu anak dilahirkan, dimulailah saat awal dari kehidupan bayi.
Inilah yang ditunjukan Islam dalam pendidikan anak, yang berbeda dari
seluruh metode pendidikan yang pernah ada di dunia. Orang tua ditugasi
untuk menancapkan tiang pendidikan guna membangun masa depan anak.
Tiang itu adalah adab Islami, sunnah Nabi dan metode Rabbani. Adapun
tiga adab terpenting, diantaranya adalah:
Adab pertama, dikumandangkan adzan dan iqomah di kedua
telinga bayi sebagaimana sedikit disinggung di atas. Itu dilakukan agar hal
pertama yang didengarnya dalam wujudnya adalah ketauhidan Allah yang
telah menciptakan dan mengadakan dirinya dari nutfah, lalu alaqoh,
kemudian mudhgoh dalam tiga bulan pertama di kandungan. Kemudian
mewujudkannya menjadi khalifah Allah di muka bumi. Adzan dan iqomah
mengikat kehidupan dalam kesenangan maupun kesedihan, dengan akidah
dan agama, agar anggota keluarga berada dalam kegembiraan karena
hubungannya dengan Allah swt dan selalu mengingat Allah.
Adab kedua, memilihkan nama yang baik untuk anak. Pemilihan
nama yang baik adalah pertanda yang jelas dalam pendidikan secara tidak
langsung. Karena, dalam nama setiap orang terdapat peruntungannya. Jika
namanya bagus, maka bagus pula peruntungannya. Ditambah lagi masalah
kejiwaan, seperti yang diutarakan oleh para pakar pendidikan, yaitu
tentang panggilan yang baik atau buruk dan pengaruhnya terhadap jiwa
143http://titipan-cucu.blogspot.com/2010/05/anjuran-menyerukan-adzan-pada-
telinga.html
93
anak. Juga pengaruhnya terhadap hubungannya dengan teman-temannya
dan individu masyarakat.
Adab ketiga, memuliakan anak dengan pelaksanaan aqiqah untuk
memberitakan kebahagiaan dan kesenangan atas kelahirannya. Aqiqah
juga merupakan ungkapan syukur kepada Allah swt.
Ketiga adab tersebut merupakan satu kesatuan yang dibebankan
kepada orang tua sebagai pendidik pertama dan utama. Selain sebagai
konsekuensi atas kewajibannya memenuhi syariat Islam, ketiganya
dilakukan juga sebagai langkah awal untuk pendidikan selanjutnya agar
berlangsung dengan baik dan mudah.
2. Perawatan anak dari kecil
Yakni dalam menyediakan makanan, minuman dan pakaiannya,
juga menjaga kesehatan fisiknya. Semua itu agar anak sehat akalnya, kuat
jasmaninya dan sehat pula inderanya. Hal ini dikarenakan kehidupan
manusia tidak terpisah-pisah, dimana apabila kehidupannya kuat pada
waktu ia kecil, maka pada waktu ia dewasa hal itu akan berlanjut. Dan akal
yang sehat berada dalam badan yang sehat pula. Kesehatan dan kekuatan
berasal dari makanan yang bersih dan terbebas dari segala hal yang haram.
Begitu juga dengan ibu hamil dan menyusui, selayaknya mengkonsumsi
hanya makanan yang halal. Sebab, air susu atau makanan yang dihasilkan
dari makanan yang haram tidak ada berkah di dalamnya dan menimbulkan
keburukan dan kerusakan. Orang tua juga harus memberikan pengetahuan
tentang halal dan haram kepada anak, serta membiasakan anak-anak pergi
ke masjid, melatih mereka melaksanakan puasa dan infaq, dan berakhlak
baik kepada orang yang lebih tua dengan menghormatinya. Metode
pendidikan yang harus dilakukan oleh orang tua adalah dengan menyertai
mereka dalam melaksanakan ketentuan-ketentuan syariat dan menugasi
mereka melakukan perbuatan baik. Misalnya meminta anaknya untuk
memberi sedekah kepada fakir miskin, lalu menjelaskan kepada mereka
94
maksud perbuatan baik tersebut menurut kacamata Islam. Pengalaman
rohani semacam ini akan berkesan di hati anak sepanjang masa. Ini
mengisyaratkan bahwa pengetahuan teori keagamaan agaknya harus
diikuti dengan praktek agar menjadi perilaku bahkan karakter yang sinergi
dengan teori ilmu pengetahuan agama.
3. Membangun hubungan kemasyarakatan yang kuat
Diantara unsur-unsur pendidikan Islam adalah agar orang tua
memberikan petunjuk kepada anak untuk memilih teman yang baik. Jika
tidak, mereka akan memilih teman sekolah sekehendak hati mereka,
sedangkan teman berpengaruh besar terhadap perkembangan pribadi anak,
baik yang merusak atau memperbaiki. Anak pada pertumbuhan
pertamanya mendapat semuanya dari orang tuanya, kemudian ia tumbuh
besar. Tetapi ketika ia keluar dari rumahnya, ia masuk kedalam
masyarakat dan bercampur dengan orang lain di sekolah, di halaman, di
tempat bermain.
Metode pendidikan untuk mengarahkan anak-anak dalam memilih
teman yang baik adalah orang tua menemani anak-anak mereka ketika
mereka berkunjung ke rumah teman-teman orang tuanya, agar anak
mengenal teman sebayanya dan orang tua saling mengenal sehingga
terjalin hubungan yang baik dalam mengawasi anak-anaknya.144
Upaya-upaya di atas adalah refleksi pemikiran Hamka yang
mengutip perkataan Hukama bahwa adab-sopan anak-anak itu dibentuk
sejak dari kecilnya. Karena ketika kecilnya masih mudah membentuk dan
mengasuhnya, belum dirusakkan oleh adat kebiasaan yang sukar
meninggalkan. Tiap-tiap manusia apabila telah terbiasa mengerjakan dan
mentabiatkan suatu pekerti sejak kecilnya, yang baik atau yang buruk,
sukarlah membelokkannya kepada yang lain, apabila dia telah besar.145
144 Muhammad Zuhaili, Pentingnya Pendidikan Islam Sejak Dini, (Jakarta: A. HBa’adillah Press, 2002), hlm. 56-67.
145 Hamka, Lembaga Budi, op.cit., hlm. 226
95
Selain itu menurut Hamka, didikan di sekolah bertali dengan
didikan di rumah. Hendaklah ada kontak yang baik di antara orang tua
murid dengan guru. Kadang-kadang datang mendatangi, ziarah
menziarahi, selidik menyelidiki tentang tabiat anak yang dalam didikan
itu. Tentu saja di dalam didikan secara Islam akan mudah melakukan ini.
Sebab kalau rumah guru berdekatan dengan rumah orang tua murid,
sekurangnya sekali sehari, diantara Maghrib dan Isya, guru dan orang tua
murid itu akan bertemu di surau. Dan kalau rumahnya berjauhan, akan
bertemu di hari Jum’at. Kesempurnaan didikan anak itu dapat dibicarakan
dengan baik.
Pemikiran Hamka mengenai hal tersebut sangat baik jika mampu
dipahami, disadari dan diterapkan oleh para pendidik dalam
mengoptimalkan proses pendidikan Islam. Hal ini berdasarkan
pertimbangan bahwa fenomena tawuran, narkoba, pergaulan bebas,
kecurangan dalam belajar, dan berbagai perilaku menyimpang dan negatif
marak terjadi, sehingga para pendidik yang terdiri dari orang tua, guru dan
masyarakat diharuskan merapatkan barisan untuk perbaikan mutu
akademis dan moral anak didiknya.
Di zaman modern seperti ini, pertemuan dan kerja sama para
pendidik tersebut dapat ditempuh dengan banyak media, beberapa diantara
bentuk perlibatan diri atau partisipasi orang tua dan masyarakat dapat
dilakukan melalui berbagai bentuk organisasi, seperti parent teacher
organization, komite akuntabilitas perbaikakan sekolah, komite penasehat
sekolah, dan sebagainya.146 Selain itu dapat pula ditempuh dengan surat
menyurat, kunjung mengunjungi, bahkan dengan menggunakan media
elektronik seperti telepon, telegram, dan facebook atau jejaring sosial
lainnya.
146 Syamsir, “Pendidik dalam Perspektif Islam”, Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, 15,5, Februari, 2009, hlm. 887.
96
Berdasarkan hasil riset mengatakan bahwa pekerjaan guru di
sekolah akan lebih efektif apabila dia mengetahui latar belakang dan
pengalaman anak didik di rumah tangganya. Anak didik yang kurang maju
dalam pelajarannya, berkat kerja sama antara orang tua dan guru, banyak
kekurangan anak didik yang dapat diatasi. Pada dasarnya cukup banyak
cara yang dapat ditempuh untuk menjalin kerja sama antara orang tua dan
guru. Berikut ini beberapa contohnya;
1. Adanya kunjungan ke rumah anak didik
Pelaksanaan kunjungan ke rumah anak didik ini berdampak sangat
positif, di antaranya:
a. Kunjungan melahirkan perasaan pada anak didik bahwa sekolahnya
selalu memperhatikan dan mengawasinya.
b. Kunjungan tersebut memberi kesempatan kepada guru untuk melihat
dan melakukan observasi secara langsung cara anak didik belajar, latar
belakang hidupnya, dan tentang masalah-masalah yang dihadapi
keluarganya.
c. Guru memiliki kesempatan untuk memberikan penerangan kepada
orang tua anak didik tentang pendidikan yang baik, cara-cara
menghadapi masalah yang sedang dihadapinya .
d. Hubungan guru dan orang tua akan bertambah erat
e. Kunjungan dapat memberikan motivasi kepada orang tua anak didik
untuk lebih terbuka
2. Diundangnya orang tua ke sekolah
Kalau ada berbagai kegiatan yang diselenggarakan oleh sekolah
yang memungkinkan untuk dihadiri orang tua, maka akan positif sekali
artinya bila orang tua diundang untuk datang ke sekolah. Kegiatan-
kegiatan dimaksud umpamanya class meeting yang berisi perlombaan-
perlombaan yang mendemonstrasikan kebolehan anak dalam berbagai
bidang, pameran hasil kerajinan tangan anak, pemutaran film pendidikan,
dan sebagainya.
97
Ini penting untuk menumbuhkan kesadaran pada orang tua akan
pentingnya mengetahui di mana kecenderungan bakat anak sehingga bisa
mengarahkannya. Perhatian dan keseriusan orang tua terhadap tiap detil
perkembangan anaknya sangat memberikan pengaruh terhadap jiwa anak.
Ini bisa ditunjukan dengan sikap memberikan penghargaan yang setinggi-
tinggi atas keberhasilan anak terhadap suatu bidang meski sekecil apapun
itu dan memberikan hukuman yang edukatif jika terjadi penyimpangan
tanpa adanya kekerasan.
3. Case Conference
Case conference merupakan rapat atau konferensi tentang kasus.
Biasanya digunakan dalam bimbingan konseling. Peserta konferensi ialah
orang yang betul-betul mau ikut membicarakan masalah anak didik secara
terbuka dan sukarela, seperti orang tua anak didik, guru-guru, petugas
bimbingan yang lain, dan para ahli yang ada sangkut pautnya dengan
bimbingan seperti social worker dan sebagainya. Konferensi biasanya
dipimpin oleh orang yang paling mengetahui persoalan bimbingan
konseling, khususnya tentang kasus yang dimaksud. Semua data dari
”commulative record” anak didik dipergunakan, kalau memungkinkan
didemonstrasikan. Materi dari pembicaraan di dalam konferensi bersifat
confidential (dijaga kerahasiaannya), sesuai dengan sifat kerahasiaan
proses bimbingan dan konseling. Konferensi ini bertujuan mencari jalan
yang paling tepat agar masalah anak didik dapat di atasi dengan baik.
4. Badan pembantu sekolah
Badan pembantu sekolah ialah organisasi orang tua murid dan
guru. Organisasi yang dimaksud merupakan kerja sama yang paling
terorganisasi antara sekolah atau guru dengan orang tua murid.
Badan pembantu sekolah sekarang dikenal dengan istilah Komite
Sekolah. Komite Sekolah ini berfungsi untuk mewadahi peran serta
masyarakat dalam rangka peningkatan mutu, pemerataan dan efesiensi
98
pengelolaan pendidikan. Dalam hal ini masyarakat dapat menyalurkan
berbagai ide dan partisipasinya dalam memajukan pendidikan di
daerahnya.
Melalui komite sekolah, masyarakat atau orang tua murid sebagai
penyumbang dana berhak menuntut sekolah apabila pelayanan dari
sekolah tidak sesuai dengan biaya yang dikeluarkan. Hal ini dikarenakan
pengadaan media dan fasilitas pendidikan memegang peranan yang urgen
pula dalam menunjang keberhasilan dalam proses belajar agar lebih
optimal.
5. Mengadakan surat menyurat antara sekolah dan keluarga
Surat menyurat ini diperlukan terutama pada waktu-waktu yang
sangat diperlukan bagi perbaikan pendidikan anak didik, seperti surat
peringatan dari guru kepada orang tua jika anaknya perlu lebih giat, sering
membolos, sering berbuat keributan, dan sebagainya. Surat menyurat ini
juga sebenarnya sangat baik bila dilakukan oleh orang tua kepada guru
atau langsung kepada kepala sekolah untuk memantau keadaan anaknya di
sekolah.
6. Adanya daftar nilai atau raport
Raport yang biasanya diberikan setiap semester kepada para murid
ini dapat dipakai sebagai penghubung antara sekolah dengan orang tua.
Guru dapat memberi surat peringatan atau meminta bantuan orang tua bila
hasil raport anaknya kurang baik, atau sebaliknya jika anaknya
mempunyai keistimewaan dalam suatu mata pelajaran, agar dapat lebih
giat mengembangkan bakatnya atau minimal mampu mempertahankan apa
yang sudah dapat diraihnya.
Demikianlah beberapa hal yang bisa dilakukan untuk menjalin
kerja sama antara pendidik orang tua dan guru di zaman sekarang. Semua
bentuk kerja sama tersebut sangat besar manfaatnya dalam memajukan
99
pendidikan bagi anak didik.147 Namun demikian, saling membantu dan
kerja sama ini tidak akan berjalan sempurna kecuali dengan adanya dua
syarat pokok berikut: Pertama, hendaknya antara pengarahan orang tua
dan guru tidak bertentangan. Kedua, hendaknya saling membantu dan
kerja sama itu bertujuan untuk menegakkan penyempurnaan dan
keseimbangan dalam upaya membina pribadi yang Islami. Jika kerja sama
ini memenuhi persyaratan tersebut, kemungkinan besar ruhani, jasmani,
dan fisik anak akan menjadi sempurna; di samping akan menjadi insan
yang berkeseimbangan, juga akan mengundang kekaguman banyak
orang.148
Kerja sama di atas merupakan salah satu bentuk ikhtiyar untuk
melahirkan generasi-generasi yang tangguh dalam menghadapi tantangan-
tantangan hidup, sehingga pribadi yang berdaya guna dan bermutu tak lagi
menjadi pemandangan ganjil di negeri berkembang seperti Indonesia.
Kesadaran atas pentingnya mengintegrasikan peran orang tua, guru dan
masyarakat merupakan bentuk tanggung jawab yang dibebankan kepada
seluruh aspek stakeholder pendidikan Islam. Hal ini agar proses
pendidikan dapat terjadi secara optimal dan berkesinambungan, sehingga
peserta didik selalu terkontrol dari masa ke masa perkembangannya dan
menjadi lebih baik dan meningkat dalam hal akademisi maupun
karakternya. Dengan mengimplementasikan pendekatan semacam ini,
maka tercapainya tujuan pendidikan tidak hanya akan menjadi angan-
angan kosong.
147 Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan; Umum dan Agama Islam, (Jakarta: PTRajaGrafindo Persada, 2005), hlm. 90-94
148 Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan Anak Menurut Islam, (Bandung: PT RemajaRosdakarya, 1992), Cet- 1, hlm. 361-362.
100
BAB V
KESIMPULAN, SARAN DAN PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah diuraikan, dapat disimpulkan beberapa hal
sebagai berikut:
1. Mengenai pendidik, Hamka berpendapat bahwa pendidik adalah sosok
yang bertanggung jawab dalam mempersiapkan dan mengantarkan peserta
didik untuk memiliki ilmu pengetahuan yang luas, berakhlak mulia, dan
bermanfaat bagi kehidupan masyarakat secara luas. Namun kewajiban
mendidik anak jangan diserahkan kepada gurunya di sekolah saja. Karena
tempo yang dipakainya di dalam sekolah, tidaklah sepanjang tempo yang
dipakainya di rumah. Tiap-tiap anak harus mendapat didikan dan
pengajaran, yang akan diterimanya di sekolah hanyalah ajaran, sedang
didikan sebahagian besar di dapatnya di rumah. Karnanya Hamka
berpemikiran bahwa pada dasarnya, sosok pendidik menurut Hamka yang
ikut bertanggung jawab dalam pelaksanaan pendidikan Islam adalah orang
tua, guru, dan masyarakat.
2. Adapun pendidik yang baik, menurut Hamka harus memenuhi
karakteristik sebagai berikut; berlaku adil dan obyektif pada setiap peserta
didiknya, memelihara martabatnya dengan akhlak al-karimah,
berpenampilan menarik, berpakaian rapi, dan menjauhkan diri dari
perbuatan yang tercela, menyampaikan seluruh ilmu yang dimiliki, tanpa
ada yang ditutup-tutupi, memberikan ilmu pengetahuan sesuai dengan
tempat dan waktu, sesuai dengan kemampuan intelektual dan
perkembangan jiwa mereka, tidak menjadikan upah atau gaji sebagai
alasan utama dalam mengajar peserta didik, di samping mentransfer ilmu
(pengajaran), seorang pendidik juga dituntut untuk memperbaiki akhlak
peserta didiknya (pendidikan) dengan bijaksana (ihsan), menanamkan
kebaranian mempunyai cita-cita dalam hidup, menanamkan keberanian
budi dalam diri peserta didik.
101
3. Menurut Hamka, didikan di sekolah bertali dengan didikan di rumah.
Hendaklah ada kontak yang baik di antara orang tua murid dengan guru.
Kadang-kadang datang mendatangi, ziarah menziarahi, selidik menyelidiki
tentang tabiat anak yang dalam didikan itu. Tentu saja di dalam didikan
secara Islam, akan mudah melakukan ini. Untuk mendukung hal ini,
Hamka menjadikan Masjid Al-Azhar sebagai tempat bersilaturrahmi
antara guru dan orang tua untuk membicarakan perkembangan peserta
didik. Dengan adanya sholat jamaah di masjid, maka antara guru, orang
tua dan murid bisa berkomunikasi secara langsung. Pemikiran ini masih
sangat relevan untuk diterapkan pada zaman sekarang yaitu dengan
beberapa cara seperti surat menyurat, kunjung mengunjungi, Case
conference, organisasi orang tua murid dan guru serta masyarakat bahkan
menggunakan media elektronik seperti telepon, telegram, dan facebook.
B. Saran-Saran
Berdasarkan dari penelian di atas, penulis mengajukan beberapa saran
sebagai berikut:
1. Membangkitkan kembali esensi pendidikan dalam proses pendidikan,
yaitu dengan tidak hanya menekankan unsur pengajaran yang identik
dengan proses penambahan ilmu pengetahuan tanpa disertai dengan upaya
pembentukan akhlak yang paripurna. Ini bisa terwujud jika pendidikan dan
pengajaran dilakukan secara seimbang dan berkesinambungan.
2. Membangun kesadaran pentingnya menjalin kerjasama yang terpadu
antara orang tua, guru dan masyarakat sebagai pendidik sejati yang
bertanggung jawab secara penuh atas berhasil atau tidaknya anak didik
dalam mencapai tujuan pendidikan Islam.
3. Hendaknya pendidik tidak arogan dalam menjalankan tugas
kependidikannya, tetapi harus bersikap terbuka dan mengharmonisasikan
hubungannya dengan anak didiknya sehingga bakat dan kemampuan dasar
yang dimiliki anak dapat ditemukan dan kembangkan ke arah yang lebih
baik dan optimal.
102
4. Pendidik hendaknya tidak berpikir picik dan dangkal dengan beranggapan
bahwa tugas mendidik adalah sebagai profesi yang berorientasi pada
urusan finansial atau upah semata, tetapi lebih jauh lagi menganggapnya
sebagai pekerjaan mulia dan merasa bertanggung jawab dalam
membangun generasi bangsa yang mumpuni dalam hal akademis maupun
budi pekerti.
5. Menjadikan Muhammad sebagai pacuan dan tolok ukur dalam melakukan
intropeksi terkait dengan tugas orang tua, guru dan masyarakat sebagai
pendidik sejati.
C. Penutup
Segala puji bagi Tuhan semesta alam yang selalu memberikan
petunjuk dan bimbingan serta kemudahan bagi penulis dalam menyelesaikan
tugas akademisi ini, yaitu penyusunan skripsi tanpa halangan yang berarti.
Penulis sangat mengharapkan masukan dari pembaca, baik berupa
kritik maupun saran atas penyusunan karya ilmiah ini. Semoga tulisan ini
memberikan manfaat bagi kita semua. Amin.
103
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Pemikiran dan Peradapan,Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002.
Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Al-Bisty, Muhammad ibn Hibban ibn Ahmad Abi Hatim al-Tamimiy, Shahih IbnHibban, Jilid I, Tahqiq oleh Syu’aib al-Arnauth, Beirut: Muassasat al-Risalat, 1993.
Al-Maliky, Sayyid Muhammad Alwy, Insan Kamil; Sosok KeteladananMuhammad SAW, Surabaya: Dunia Ilmu, 1999, Cet-1.
Al-Maraghiy, Ahmad Musthafa, Tafsir al-Maraghiy, Semarang: Tohaputra, 1989.
Al-Qarni, Aidh Bin Abdullah, Visualisasi Kepribadian Muhammad, Bandung:Irsyad Baitus Salam, 2004.
Al-Rasyidin dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: PT CiputatPress, 2005.
An-Nahlawi, Abdurrahman, Pendidikan Islam Di Rumah, Sekolah DanMasyarakat, Jakarta: Gema Insani Press, 2002, Cet-3.
An-Nahlawi, Abdurrahman, Ushul Al-Tarbiyat Al-Islamiyat Wa Asalibuha,Damsyik, Dar al-Fikr, 1983, 139.
Assegaf, Abdurrachman, Kependidikan Islam , Jurnal Pemikiran, Riset, danPengembangan Pendidikan Islam, I, 1, Februari, 1994.
Aziz, Syalhub Fuad bin Abdul, Guruku Muhammad, Jakarta: Gema Insani Press,2006, Cet-1.
Baihaqi, Mif, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan: Dari Abendanon Hingga ImamZarkasyi, Bandung: Nuansa, 2007.
Daradjat, Zakiah, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2004.
Gazalba, Sidi, Pendidikan Umat Islam, Masalah Terbesar Kurun KiniMenentukan Nasib Umat, Jakarta: Bhratara, 1970.
Hadim, Sutrisno, Metodologi Research, Jilid I, Yogyakarta: Andi Offset, 2000,Cet. 30.
Hamka, Lembaga Budi, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983.
104
_______, Falsafah Hidup, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984, Cet-XI.
_______, Hamka di Mata Hati Umat, Jakarta: Sinar Harapan, 1984.
_______, Lembaga Hidup, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984.
_______, Tasauf Modern, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1987.
_______, Pandangan Hidup Muslim, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1992.
Harefa, Andrias, Menjadi Manusia Pembelajar, Jakarta; harian kompas, 2000.
Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan; Umum Dan Agama Islam, Jakarta: PTRajaGrafindo Persada, 2005.
J. I. G. M. Drost, S. J., Sekolah: Mengajar Atau Mendidik?, Yogayakarta:Karnisius, 1998, Cet-7.
Jalaluddin, Teologi Pendidikan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001.
_______, Psikologi Agama, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005.
Langgulung, Hasan, Manusia dan Pendidikan; Suatu Analisa Psikologi danPendidikan, Jakarta: PT. Al Husna Zikra, 1995 Cet-3.
Mahmud dan Abdul Wahab Fayid, Pendidikan Dalam Al-Qur an, Semarang: CVWicaksana, 1986.
Mohammad, Herry, Tokoh-Tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20, Jakarta:Gema Islami, 2006.
Mudyahardjo, Redja, Pengantar Pendidikan, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada,2002, Cet-2.
Muhaimin, Pemikiran Pendidikan Islam, Bandung: Trigenda Karya, 1993, Cet-1.
_______, Kontroversi Pemikiran Fazlur Rahman, Cirebon: Pustaka Dinamika,1999, Cet-1.
Mujib, Abdul dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: KencanaPrenada Media, 2006.
Mustofa, Agus, Membonsai Islam, Jakarta: Padma Press, 2006, Cet-1.
Nazir, Mohammad, Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988, Cet. 3.
Nizar, Samsul, Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Histories, Teoritis DanPraktis, Jakarta: Ciputat Pers, 2002.
105
_______, Sejarah Dan Pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam: Potret TimurTengah Era Awal Dan Indonesia, Jakarta: Quantum Teaching, 2005, Cet-1.
_______, Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran Hamkatentang Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008.
Noer, Deliar, Gerakan Modern Islam Di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ESAnggota IKAPI, 1985, Cet-3.
Poerwadarminta, W. J. S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: BalaiPustaka, 2006, Edisi 3.
Quthb, Muhammad Ali, Sang Anak Dalam Naungan Pendidikan Islam, Bandung,Remaja Rosdakarya, 1990.
Rachman, Arif, Mengurai Benang Kusut Pendidikan Gagasan Para PakarPendidikan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Transformasi UNJ, 2003.
Rahardjo, M. Dawam, Intelektual Intelegensi Dan Perilaku Politik Bangsa,Bandung: Mizan, 1993.
Ramadhan, Tariq, Muhammad Rasul Zaman Kita, Jakarta: PT Serambi IlmuSemesta, 2007, Cet-1.
Ramayulis dan Samsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, Jakarta:Quantum Teaching, 2005.
Roqib, Moh., Ilmu Pendidikan Islam: Pengembangan Pendidikan Integratif diSekolah, Keluarga, dan Masyarakat, Yogyakarta: LkiS, 2009.
Rosyadi, Khoiron, Pendidikan Profetik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Roziqin, Badiatul, 101 Jejak Tokoh Islam Indonesia, Yogyakarta: e-Nusantara,2009 Cet-2.
Rusn, Abidin Ibnu, Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan, Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 1998, Cet-1.
Rusydi, H., Pribadi Dan Martabat Buya Prof. DR. Hamka, Jakarta: PustakaPanjimas, 1983, Cet-2.
Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur an,Jakarta: Lentera Hati, 2006, Volume 1, Cet-7.
_______, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur an, Jakarta:Lentera Hati, 2006, Volume 14, Cet-V.
106
_______, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan Dan Keserasian Al-Qur an, Jakarta:Lentera Hati, 2007, Volume 15, Cet-X.
Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996.
Sudyarto, Sides DS, ”Hamka, Realisme Religius”, dalam Hamka, Hamka di MataHati Umat, Jakarta: Sinar Harapan, 1984.
Suhartono, Suparlan, Filsafat Pendidikan, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007,Cet-2.
Sulaiman, Fathiyah Hasan, Konsep Pendidikan Al-Ghazali, Terj. Ahmad Hakimdan M. Imam Aziz, Jakarta: P3M, 1986.
Surachmad, Winarno, Dasar dan Teknik Research; Pengantar Metodologi Ilmiah,Bandung: CV. Tarsito, 1978.
Susanto, A., Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta: Amzah, 2009, Cet. 1.
Sutoyo, “Profesionalisme Guru Dalam Tinjauan Pendidikan Islam”, JurnalWahana Akademia, 7, 2, Agustus, 2005.
Syam, Mohammad Noor, Filsafat Pendidikan Dan Dasar Filsafat PendidikanPancasila, Surabaya: Usaha Nasional, 1986.
Syamsir, “Pendidik dalam Perspektif Islam”, Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan,15, 5, Februari, 2009, 887.
Syar’i, Ahmad, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005, Cet-1.
Tamin, Mardjani, Sejarah Pendidikan Daerah Sumatera Barat, Jakarta: Dep Pdan K RI., 1997.
Thoifuri, Menjadi Guru Inisiator, Semarang: Rasail Media Group, 2007, Cet-1.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:Balai Pustaka, 1994, Edisi 2.
Tim Tashih Depag, Bustami A. Gani dkk, Al-Qur an dan Tafsirnya, Semarang:PT Citra Efhar, 1993, Jilid 2.
Tim. Depag RI, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Dirjen PKAI, 1987, Jilid 1.
Ulwan, Abdullah Nashih, Pendidikan Anak Menurut Islam, Bandung: PT RemajaRosdakarya, 1992, Cet- 1.
Untung, Moh. Slamet, Muhammad Sang Pendidik, Semarang: PT Pustaka RizkiPutera, 2005, Cet-1.
107
Wahid, Abdurrahman, “”Benarkah Buya Hamka Seorang Besar?”, dalam Hamka,Hamka Di Mata Hati Umat.
Yunan, M., Ensiklopedi Muhammadiyah, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,2005.
Zuhaili, Muhammad, Pentingnya Pendidikan Islam Sejak Dini, Jakarta: A. HBa’adillah Press, 2002.
Sumber dari Internet
Http://Amir14.Wordpress.Com/Tasawuf-Hamka/ 24-02-2010
Http://Fithab.Multiply.Com/Journal/Item/52, 24-02-2010
Http://Id.Wikipedia.Org/Wiki/Haji_Abdul_Malik_Karim_Amrullah, 27-01-2010
Http://Mabadik.Wordpress.Com/2010/07/09/Urgensi-Peran-Pendidik-Dalam-Upaya-Untuk-Mencerdaskan-Kehidupan-Bangsa/ 17-07-2010
Http://Tanbihun.Com/2010/05/Pendidikan/Pendidik-Dalam-Pendidikan-Islam/ - _Ftn8, 07-01-2010
Http://titipan-cucu.blogspot.com/2010/05/anjuran-menyerukan-adzan-pada-telinga.html, 21-06-2010
Http://Vakho.Multiply.Com/Journal/Item/2/Biografi_Hamka, 07-01-2010.
108
DAFTAR RIWAYAT PENDIDIKAN
Nama : Siti Lestari
Tempat/Tanggal Lahir: Demak, 17 Maret 1988
Alamat Asal : Desa Karangsono RT 08 RW II
Kec. Mranggen Kab. Demak
Jenjang Pendidikan :
1. SDN Karangsono 02 Mranggen Demak lulus tahun 2000
2. MTs Asy-Syarifah Brumbung Mranggen Demak lulus tahun 2003
3. MA Futuhiyyah 02 Mranggen Demak lulus tahun 2006
4. IAIN Walisongo Fakultas Tarbiyah Angkatan Tahun 2006
109
SILSILAH KELUARGA HAMKA
Abdullah Arief(Tuanku Pauh Pariaman atau Tuanku Nan Tuo Koto Juo, salah seorang pahlawan
perang Padri)
Abdullah Saleh(Tuanku Guguk Katur)memiliki tiga orang istri
1. anak pr Tuo 2. Saerah 3. anak pr Koto
Tuanku Tuo Amarullah Tuanku Sutan di Lawang (Tuanku Kisai) (terbuang di Ternate 8 th)
Haji Abdul Karim Amrullah(Haji Rasul)
Memiliki 6 orang anak, yaitu:Fatimah
HAMKAAbdul Kudus
AsmaAbdul Bari (meninggal di penjara Padang)
Abdul Mu’thi
110
FOTO-FOTO
Masjid Al-Azhar
Kegiatan Pendidikan di Al-Azhar
111
KARYA-KARYA HAMKA
112
113
FOTO DIRI HAMKA