pemikiran yusuf al-qaradhawi tentang nikah ......m. hafiz naufal, nim: 1112044200005, pemikiran...
TRANSCRIPT
PEMIKIRAN YUSUF AL-QARADHAWI TENTANG NIKAH
MISYAR
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
Muhammad Hafiz Naufal
(1112044200005)
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1438 H/2017 M
i
ABSTRAK
M. HAFIZ NAUFAL, NIM: 1112044200005, Pemikiran Yusuf al-
Qaradhawi Tentang Nikah Misyar. Program Studi Hukum Keluarga, Fakultas
Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017
M/ 1348 H. x + 73 Halaman.
Studi ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pemikiran seorang ulama
kontemporer mesir Yusuf al-Qaradhawi tentang nikah misyar, dan bagaimana
relevansi pernikahan misyar jika di tunjau dari Undang-Undang Perkawinan di
Indonesia. Mengingat UUP di Indonesia dinyatakan bahwa; “Perkawinan adalah
sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan
itu”.
Penulisan karya ini dilakukan dengan metode pustaka, yaitu dengan cara
menelusuri tulisan-tulisan yang membahas tentang tema ini dari berbagai sumber,
baik yang telah tercetak atau di publish di media online.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa Yusuf al-Qaradhawi
memperbolehkan nikah misyar ini karena rukun dan syaratnya terpenuhi, dan
seorang wanita diperbolehkan memberikan tanazul (keringanan) dari sebagian
hak-haknya. Disamping itu alasan sosiologisnya adalah karena di era sekarang ini
rintangan perkawinan sangat beragam yang muncul dari wanita itu sendiri.
Temuan lain menunjukan bahwa Yusuf al-Qaradhawi menganjurkan agar
pernikahan ini tercatat secara resmi sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan
yang ada di Indonesia, yang menetapkan adanya Pencatatan Pernikahan sesuai
dengan pasal 2 ayat (2) UU No 1 tahun 1974.
Kata kunci : Nikah Misyar, Yusuf al-Qaradhawi.
Pembimbing : Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag., S.H., M.H., M.A.
ii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah swt yang
senantiasa melimpahkan nikmat, rahmat, taufik, hidayah dan inayahnya kepada
penulis. Sehingga penulis mampu menyusun dan menyelesaikan skripsi yang
berjudul ”Pemikiran Yusuf al-Qaradhawi Tentang Nikah Misyar”. Sholawat dan
salam semoga senantiasa tercurahkan kepada nabi Muhammad Saw beserta
keluarganya, para sahabat dan para pengikutnya senantiasa patuh dan ta‟at
menjalankan perintah Allah swt dan Rasulnya.
Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Hukum (SH). Dalam penyusunan ini menyadari sepenuhnya bahwa
skripsi ini masih terdapat banyak kekhilafan, kekurangan dan keterbatasan ilmu
pengetahuan yang penulis miliki. Namun, berkat bimbingan, arahan, dan motivasi
dari berbagai pihak, dan Alhamdulillah pada akhirnya penulis dapat
menyelesaikan. Oleh karena itu penulis secara khusus ingin mengucapkan banyak
terimakasih kepada:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. H. Abdul Halim, M.Ag, Ketua Program Studi Ahwal Syakhshiyyah,
dan Bapak Arif Furqon, M.A. sekretaris Program Studi Ahwal
Syakhshiyyah Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
iii
3. Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag., S.H., M.H., M.A. sebagai dosen
pembimbing, yang telah begitu bijaksana memberikan ilmunya kepada
penulis ditengah kesibukan yang padat, serta membimbing penulis dengan
sabar agar penulis ini selesai dengan baik dan juga bermanfaat.
4. Bapak/Ibu dosen Fakultas Syariah Dan Hukum Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah mendidik dan mengajarkan ilmu
dan ahlak yang tidak ternilai harganya. Sehingga penulis dapat
menyelesaikan studi di Fakultas Syariah Dan Hukum Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Segenap staff akademik dan staff perpustakaan Fakultas Syariah dan
Hukum dan staff Perpustakaan Umum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
6. Orang tua tercinta dan tersayang H. Asmat S.Ag dan Sumartini S.Ag
terimakasih atas semuanya yang telah diberikan selama ini. Terimakasih
atas doa tulusmu, cinta serta kasih sayang yang selalu dicurahkan,
terimakasih atas dukungan, semangat dan motivasi semoga suatu saat aku
bisa menjadi seperti yang ayah dan ibu harapkan.
7. Saudara dan saudari penulis, Andika Nur Fajriansyah, Rahma Alya
Fitriana, Rahmi Andini Fitriani, dan Safira Salsa Maulida yang turut
memberikan motivasi.
8. Sahabat terdekat penulis; Makhdaleva, Ilham Harsya, Hilmi Afif, Reynaldi
Z, Eko Saputra, Rahmat Saiful Haq, Tarmizi Tahir, Rahmat Abdullah,
Ahmad Hersyah, Ziyad Mubarok, Lutfan Adly, Rahmat Muhajir, Adit
iv
Jambi, Choirul Rofiq, Muhammad Nabil, selalu memberikan bantuan dan
motivasi,
9. Teman-teman Islamic Family Law, Administrasi Keperdataan Islam (IFL)
angkatan 2012 yang memberikan saran dan motivasi dalam menyelesaikan
penulisan skripsi.
10. Ust. Yusuf Mansur, yang selalu memberikan motivasi serta semangat
dalam ceramahnya sehingga penulis tidak berputus asa dalam penulisan
skripsi ini dan lebih mendekatkan diri kepada Allah swt.
11. Dan semua pihak yang telah membantu memberikan kontribusi terhadap
penyelesain skripsi ini dan tiak dapat disebutkan satu persatu namun tidak
mengurangi rasa hormat penulis. Terimakasih dan semoga masukkan dan
bantuannya di catat oleh Allah S.W.T sebagai pahala disisi-Nya. Amiin.
Dan semoga bermanfaat bagi semuanya, Amiin.
Jakarta, 28 Maret 2017
M. HAFIZ NAUFAL
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK ............................................................................................................. i
KATA PENGANTAR .......................................................................................... ii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah ................................................................. 1
B. Identifikasi Masalah ....................................................................... 7
C. Batasan dan Rumusan Masalah ...................................................... 8
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...................................................... 8
E. Review Studi Terdahulu ................................................................. 9
F. Metodelogi Penelitian .................................................................. 10
G. Sistematika Penulisan .................................................................. 13
BAB II PERNIKAHAN MISYAR DALAM FUKIH PADA UMUMNYA 14
A. Pengertian Nikah Misyar.............................................................. 14
B. Syarat dan Rukun Nikah Misyar .................................................. 23
C. Prinsip dan Tujuan dalam Nikah Misyar ..................................... 30
BAB III BIOGRAFI YUSUF AL-QARADHAWI ........................................ 37
A. Riwayat Hidup Yusuf al-Qaradhawi ............................................ 37
B. Karir dan Aktivitas Yusuf al-Qaradhawi ..................................... 42
C. Daftar Karya ................................................................................. 43
BAB IV ANALISIS PANDANGAN YUSUF AL-QARADHAWI
TENTANG NIKAH MISYAR .......................................................... 50
A. Argumen Hukum Yusuf al-Qaradhawi dalam Menghalalkan
Nikah Misyar ................................................................................ 50
B. Argumen Sosiologis Yusuf al-Qaradhawi dalam Menghalalkan
Nikah Misyar ................................................................................ 59
C. Relevansi Pandangan Yusuf al-Qaradhawi dalam Konteks Hukum
Indonesia ...................................................................................... 64
BAB V PENUTUP .......................................................................................... 69
A. Kesimpulan .................................................................................. 69
B. Saran ............................................................................................. 70
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 71
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Allah menjadikan manusia dalam bermacam-macam bangsa dan suku
untuk saling mengenal dan saling menghormati seperti yang disebutkan dalam
surat Al-Hujurat ayat 13.
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki
dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang
paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa
diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”
(Al-Hujarat: 13)1
Ada banyak sekali cara dalam mengenal satu sama lain, diantaranya
adalah pernikahan, dimana pernikahan sebagai tali persatuan baik antara
individu, atau kelompok. Pernikahan dapat dilihat dari beberapa aspek,
diantaranya adalah agama, hukum, social, adat dan budaya. Dikatakan
fenomena budaya karena dalam pernikahan banyak terkait dengan budaya, dan
bahkan terkadang mengalahkan fenomena agama. Seperti ketentuan mahar
1 Departemen Agama Republik Indonesia, Alquran dan Tafsirnya, (Yogyakarta: PT Dana
Bhakti Wakaf, t. Th, Jilid IX Juz 25-26-27, h. 441
2
yang sangat mahal dan tinggi, bentuk khitbah,2 dan bentuk-bentuk pernikahan
itu sendiri.3
Perkawinan merupakan perilaku makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha
Esa agar kehidupan di alam dunia berkembang baik. Perkawinan bukan saja
dilakukan atau terjadi dikalangan manusia, tetapi terjadi juga pada tanaman dan
hewan. Bedanya makna perkawinan bagi manusia sebagai hewan yang berakal
merupakan satu budaya yang beraturan yang mengikuti perkembangan budaya
manusia dalam kehidupan masyarakat.4
Nikah, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, berarti ikatan (akad)
perkawinan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan ajaran agama.5
Perkawinan adalah sebuah akad atau kontrak yang mengikat dua pihak yang
setara antara laki-laki dan perempuan yang masing-masing telah memenuhi
persyaratan berdasarkan hukum yang berlaku atas kerelaan dan kesukaan untuk
hidup bersama.6
Dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 menyatakan Perkawinan
adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami
istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.7
2 Khitbah adalah proses lamaran yang dilakukan sebelum pernikahan dilangsungkan.
Adayang melakukan tradisi "menculik" calon mempelai dahulu, kemudian dilaksanakan
pertemuan antar keluarga, seperti yang ada pada perkawinan adat merariq Lombok 3 Nurhakim, Moh, dan Khairi Fadly, Tinjauan Sosiologis Fatwa Ulama Kontemporer
Tentang Status Hukum Nikah Misyar, Volume 14 Nomor 2 Juli - Desember 2011, Universitas
Muhammadiyah Malang. 4 Hilman Hadikusumo, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, hukum
adat, hukum agama, (Bandung: Manjar MAju, 1990), h. 1 5 Departemen Pendidikan Nasional, kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2008), cet ke-4 h.962 6 Mulia, Hukum Perkawinan, (Jakarta: 2004), h. 15
7 UU Perkawinan, UU RI No. 1 Th 1974 beserta Penjelasannya, (Yogyakarta : Pustaka
Widyatama, 2004), h. 8
3
Selain itu, di dalalm Kompilasi Hukum Islam juga dijelaskan bahwa
perkawinan adalah akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk
mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.8
Setiap manusia, secara naluri, senantiasa membutuhkan pendamping
hidupnya yang dapat saling mengisi dan melindungi, dan ketika perasaan ini ada
dan mereka menemukan pasangan yang cocok maka tumbuhlah rasa cinta di
antara mereka. Artinya, tujuan diciptakannya laki- laki dan perempuan adalah
supaya mereka saling mengenal, tumbuh perasaan cinta dan kasih sayang.
Baru kemudian, mereka akan berpikir untuk hidup bersama dalam ikatan
perkawinan sesuai dengan aturan yang ada dalam shari„at, sehingga terciptalah
rumah tangga yang saki>nah, mawaddah, wa rah}mah.
Abu> Ishrah mengatakan bahwa kawin adalah akad yang memberikan
faidah hukum kebolehan mengadakan hubungan keluarga (suami-istri) antara
pria dan wanita dengan memberikan batas hak bagi pemiliknya serta
pemenuhan kewajiban bagi masing-masingnya.9 Berbeda dengan Abu> Ishrah,
Taqy al- Di>n Abu> Bakar Muhammad Shat}a > memberikan pengertian bahwa
kawin adalah akad yang terkenal yang mengandung kebenaran rukun dan
syarat10
. Sedangkan Sayuti Talib mengatakan bahwa kawin adalah suatu
perjanjian yang suci, kuat dan kokoh untuk hidup bersama secara sah antara
seorang laki-laki dengan seorang perempuan, dengan tujuan untuk membentuk
keluarga yang kekal, santun-menyantuni, kasih mengasihi, tentram dan
8 Abdurrahman, KHI di Indonesia, (Jakarta : Akademia Pressindo, 1992), h. 114
9 Nasir, Meneropong pelaku kawin misyar di Surabaya dari sudut dramaturgi Erving
Goffman, Ijtihad, Jurnal Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan Vol. 15, No. 2 (2015), pp. 199-
218, doi : 10.18326/ijtihad.v15i2.199-218), h. 200 10
Muhammad Shatha, I„anat al-Thalibin. (Semarang: Taha Putra, t.th), h. 253
4
bahagia11
selain Sayuti Thalib, Subekti juga mendefinisikan bahwa perkawinan
adalah pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan
dalam waktu yang lama12
Di dalam Islam terdapat beberapa macam jenis pernikahan yang
dapat dikatakan sebagai bentuk pernikahan yang “tidak umum” yang hingga
saat ini masih diperdebatkan hukumnya oleh para ulama, di antaranya adalah
pernikahan misya>r. Pernikahan misya>r adalah sebuah bentuk pernikahan
dimana wanita itu tidak menuntut hak yang sepatutnya diperoleh dalam
pernikahan, yaitu nafkah lahir. Wanita tersebut telah mencabut haknya
terhadap laki- laki yang mau menikahinya dan wanita tersebut hanya
menuntut nafkah batin saja.
Dalam literatur yang ada, dalam membina rumah tangga dikenal istilah
hak dan kewajiban. Masing- masing suami isteri mempunyai hak dan
kewajiban yang seimbang. Karena dalam ikatan perkawinan akan
menimbulkan status dan peranan, sehingga akan menimbulkan hak dan
kewajiban.13
Dengan demikian kewajiban yang dilakukan oleh suami
merupakan upaya untuk memenuhi hak isteri. Demikian juga kewajiban yang
dilakukan istri merupakan upaya untuk memenuhi hak suami,sebagaiman yang
Rosulullah SAW jelasakan :
11
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia. (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), h. 1 12
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT Intermasa, 1996), h. 23 13
Moh Rifa‟i, Ilmu Fiqh Islam, (Semarang: CV Toha Putra, 1978), h. 505
5
“Ketahuilah sesungguhnya kalian mempunyai hak yang harus (wajib) ditunaikan
oleh istri kalian,dan kalian pun memiliki hak yang harus (wajib) kalian
tunaikan.14
Seorang suami berkewajiban untuk membayar mahar, nafkah dan
sebagainya tapi dia punya hak untuk mendapatkan pelayanan yang paripurna
dari isteri. Begitu juga sebaliknya, seorang isteri mempunyai kewajiban untuk
melayani suami dengan pelayanan yang maksimal tapi dia juga punya hak
untuk mendapatkan tempat tinggal, pakaian, nafkah dan sebagainya.15
Namun tidak demikian di dalam praktik kawin misya>r, dalam prakteknya,
model kawin ini tidak ada nafkah, tempat tinggal dan sebagainya, yang ada
hanyalah kepuasan seksual. Artinya, seorang suami tidak dituntut untuk
membayar maskawin, nafkah, pakaian dan sebagainya, melainkan dia hanya
berkewajiban memenuhi kebutuhan biologis si isteri dan mereka tidak tinggal
dalam satu rumah.16
Muhammad Yusuf al-Qaradhawi adalah ulama yang pertama kali
mempopulerkan dan menghalalkan melalui fatwanya tentang praktek kawin
misya>r, yaitu perkawinan yang dilakukan oleh seorang laki-laki dengan
seorang perempuan kaya raya, dengan niatan hanya untuk sementara waktu,
dan laki-laki itu tidak diharuskan membayar biaya dan tempat tinggal kepada
istri. Ia hanya berkewajiban memberi kepuasan biologis si istri, serta biasanya
sepasang suami-istri dalam kawin misya>r ini tidak tinggal dalam satu rumah,
suami tinggal di rumahnya sendiri dan begitu juga dengan istri. Namun, ketika
14
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam. (Yogyakarta: UII Press, 2007), h.223 15
Hal ini tercantum dalam UU No. 1 tahun 1974, KHI, dan Kitab-Kitab Fiqih Klasik
seperti Fathul Muin, al Muhadzab, dan Kitab Fikih Klasik lainnya. 16
Nasir, Meneropong Kawin Misyar di Surabaya, h. 201
6
mereka membutuhkan hubungan suami-istri (jima>‟), maka mereka akan
melakukan perjanjian mengenai waktu dan tempatnya.17
Dalam kaitannya dengan praktik kawin misya>r, Yusuf al-Qaradhawi
mengatakan bahwa perkawinan ini memang bukan tipe perkawinan yang
dianjurkan dalam Isla>m, tetapi hal itu diperbolehkan (halal) dilakukan oleh
para wanita kaya raya yang masih lajang yang tidak punya waktu untuk
memikirkan perkawinan sementara usianya sudah melebihi dari usia matang
untuk membangun sebuah rumah tangga.18
Fenomena nikah misyar telah banyak dijumpai dalam masyarakat pada
masa lalu dan sekarang. Orang-orang Qatar dan orang-orang di Negara Teluk
lainnya seringkali bepergian sampai ber bulan-bulan, sebagian dari mereka ada
yang kawin dengan wanita-wanita Afrika, Asia dan wanita-wanita kaya di
tempat mereka bepergian. Hal itu dilakukan selain untuk memenuhi ke butuhan
biologis mereka juga untuk mempertahankan hidup mereka di perantauan.19
Model kawin misya>r ini merupakan perkawinan alternatif bagi wanita
karier kaya yang tidak mau ribet dengan urusan suami. Sebab dalam praktik
kawin misya>r ini antara suami dan istri tidak tinggal dalam satu rumah tangga
layaknya suami istri. Istri tinggal di rumahnya sendiri, begitu juga dengan
suami. Dalam rumah tangga kawin misya>r ini, segala sesuatunya dikendalikan
oleh istri. Artinya, biaya hidup sandang, papan dan pangan semuanya
17
Yusuf al-Qardhawi, Zawajul Misyar Haqiqatuhu Wa Hukmuhu, (Kairo: Maktabah
wahbah 1999), h. 4-7 18
Yusuf al-Qaradhawi, zawajul misyar haqiqatuhu wa hukmuhu, h. 3 19
Chomim tohari, Fatwa Ulama Tentang Hukum Nikah Misyar Perspektif Maqasid
Shari‟ah, Jurnal Al-Tahrir, Vol. 13, No. 2 November 2013, Islamic Law Marmara University
Turkey, h. 210
7
ditanggung oleh istri. Bahkan masalah hubungan “ranjang” dan cerai
semuanya dia yang mengatur. Suaminya hanyalah sebagai teman curhat dan
pemuas nafsunya ketika istri sedang membutuhkannya.20
Sebagaimana bentuk-bentuk pernikahan sebelumnya, pernikahan
seperti ini juga menimbulkan perdebatan terutama di kalangan ulama
kontemporer. Karena model nikah misya>r baru dikenal masa kini, maka para
ulama kontemporer berbeda pendapat menghukuminya.
Sebenarnya masalah nikah misya>r di Indonesia belum banyak dikaji
atau diperbincangkan oleh para ahli hukum Islam. Sehingga dalam hal ini
peneliti merasa tertarik untuk mengkaji lebih mendalam permasalahan nikah
misyar dalam pemikiran Yusuf al-Qaradhawi dan hukum Islam.
Dari latarbelakang tersebut penulis tertarik untuk mengkajinya lebih
lanjut dalam skripsi yang akan penulis tulis dengan judul: ”PEMIKIRAN
YUSUF YUSUF AL-QARADHAWI TENTANG NIKAH MISYAR”.
B. Identifikasi Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan nikah misyar?
2. Bagaimana nikah misyar dalam praktiknya?
3. Bagaimana pandangan Yusuf al-Qaradhawi terhadap nikah misyar?
4. Bagaimana pendapat para ulama tentang nikah misyar?
5. Bolehkah nikah misyar dilakukan?
20
Nasiri, Meneropong Kawin Misyar di Surabaya, h. 1
8
6. Apa yang menjadi dasar hukum Yusuf al-Qaradhawi dalam mengeluarkan
fatwa tentang kebolehan atau keharaman nikah misyar?
C. Batasan dan Rumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Dalam penulisan ini, Penulis akan meneliti tentang tinjauan hukum
Islam terhadap nikah misyar. Agar masalah tidak terlalu meluas, penulis
akan membahas tentang Nikah Misyar dalam pemikiran Yusuf al-
Qaradhawi.
2. Rumusan Masalah
Perumusan masalah dalam penelitian ini menyoal tentang pendapat
Yusuf al-Qaradhawi terhadap kebolehan Nikah Misyar menjawab
beberapa penelitian sebagai berikut :
a. Apa argumentasi hukum Yusuf al-Qaradhawi dalam menghalalkan
nikah misyar?
b. Apa argumentasi sosiologis Yusuf al-Qaradhawi dalam menghalalkan
nikah misyar?
c. Bagaimana relevansi pandangan Yusuf al-Qaradhawi dalam konteks
hukum Indonesia?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Untuk mengetahui argumentasi hukum Yusuf al-Qaradhawi dalam
menghalalkan nikah misyar.
9
2. Untuk mengetahui argumentasi sosiologis Yusuf al-Qaradhawi dalam
menghalalkan nikah misyar.
3. Untuk mengetahui relevansi pandangan Yusuf al-Qaradhawi dalam
konteks hukum Indonesia.
E. Review Studi Terdahulu
Berdasarkan hasil penelusuran yang penulis lakukan, ditemukan hasil
penulisan yang menyangkut tentang perkawinan misyar. Di antaranya adalah
sebagai berikut:
Judul Karya Ilmiah Pembahasan Perbedaan
Nasiri, Meneropong
pelaku kawin misyar di
Surabaya dari sudut
dramaturgi Erving
Goffman, Jurnal Wacana
Hhukum Islam dan
KeIslaman, 2015
Tulisan Ini Adalah
Sebuah Jurnal Yang
Diterbitkan Oleh Jurnal
Wacana Hukum Islam
Dan KeIslaman.
Penulis Dalam Jurnal Ini
Membahs Tentang
Praktik Kawin Misyar Di
Indonesia, Khususnya Di
Surabaya.
Dalam Penelitian Ini,
Penulis Mencoba
Mencari Apa Faktor
Yang Melatar Belakangi
Terjadinya Perkawinan
Misyar Yang Terjadi Di
Kota Surabaya
Perbedaan jurnal ini
dengan skripsi yang akan
penulis tulis adalah
bahwa Penulis pada
jurnal ini membahs
tentang praktik
perkawinan misyar di
kota surabaya,
sedangakan skripsi yang
kaanpenulis tulis adalah
pemikiran Yusuf Al-
qaradhowi Tentang
Nikah Misyar.
10
Koko Setyo
(060710191020), Nikah
Misyar Dalam Perspektif
Hukum Pernikahan Di
Indonesia, Fakultas
Hukum Universitas
Jember 2013
Penulis pada skripsi ini
membahas tentnag kajian
yuridis terhadap
perkawinan misyar,
bagaimana pandangan
hukum pernikahan di
Indonesia terhadap
perkawinan jenis ini,
bagaimana status
anaknya kelak bila pelaku
kawin misyar mempunyai
anak, dan juga bagaimana
sistem kewarisan sebagai
akibat dari sebuah
perkawinan.
Dalam penulisan skripsi
ini, mengaitkan status
hukum nikah misyar
dalam hukum pernikahan
di Indonesia, sedangkan
skripis yang akan penulis
tulis adalah mengaitkan
pemikiran Yusuf al-
Qaradhowi Tentang
Nikah Misyar.
Moh. Nurhakim,
Tinjauan Sosiologis
Fatwa Ulama
Kontemporer Tentang
Status Hukum Nikah
Misayar, Jurnal
Universitas
Muhammadiyah Malang
2011
Penulis pada jurnal ini
membahas tentnag
bagaimana tinjauan
sosiologis fatwa ulama
kontemporer tentang
status hukum nikh misyr.
skripsi yang akan penulis
tulis adalah mengaitkan
pemikiran Yusuf al-
Qaradhawi Tentang
Nikah Misyar.
F. Metodologi Penelitian
Dalam pengumpulan data agar mengandung suatu kebenaran yang
obyektif, maka Penulis menggunakan metode penelitian ilmiah sebagai
berikut:
11
1. Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini, Penulis menggunakan jenis penelitian studi
pustaka (library research) dengan menggunakan metode normatif.
Penelitian hukum normative adalah penelitian hukum yang meletakan
sebagai sebuah bangunan sistem norma.21
Sistem norma yang dimaksud
adalah norma hukum Islam serta kaidah-kaidah ushuliyah yang
diberlakukan dalam hukum Islam.
2. Pendekatan
Dengan menggunakan pendekatan normatif, yaitu penelitian yang
hanya merupakan studi pustaka.
3. Sumber Penelitian
Sumber yang digunakan adalah data primer dan data sekunder,
yaitu sebagai berikut:
1. Data primer, sumber asli yang memuat informasi atau data bahan-
bahan hukum yang mengikat. Sumber primer dalam penelitian in
adalah berupa buku-buku dan kitab-kita klasik yang membahas
tentang perkawinan khususnya tentang perkawinan misyar, terutama
kitab karangan Yusuf Alqordhowi “Zawajul Misyar Haqiqatuhu wa
Hukmuhu”, Fatwa-Fatwa Kontemporer dan buku Dr. Muhammad
Fu‟ad Syakir tentang “Perkawinan Terlarang”.
2. Data sekunder, yaitu menjadikan penjelasan mengenai bahan hukum
primer tersebut. Data sekunder memberikan penjelasan mengenai
21
Fahmi Muhammad Ahmadi dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, (Ciputat:
Lembaga Penelitian, 2010). h. 31
12
bahan hukum tersebut. Data sekunder dalam penelitian ini adalah studi
kepustakaan, buku-buku, artikel ilmiah, arsip-arsip yang mendukung
atau dokumen-dokumen.
4. Pengumpulan Data
Pengumpulan data dengan studi pustaka, yaitu dengan
mengumpulkan data yang membahas tentang perkawinan misyar
5. Analisis data
Dalam proses penelitian ini, penulis menggunakan metode
kualitatif untuk menganalisis data yang telah dikumpulkan. Agar fakta dan
analisa menjadi tepat, maka sifat penelitian ini adalah deskriptif-analitik
yang bertujuan menggambarkan secara integra tema-tema umum seperti
perkawinan misyar. Untuk memperoleh data tersebut, penulis melakukan
penelitian dengan menggunakan penelitian pustaka (libarary research),
yaitu menelaah buku-buku, kitab-kitab dan sebagainya yang berkaitan
dengan obyek penelitian yang kemudian dijadikan sebagai sumber data.
6. Teknik Penulisan
Penulisan skripsi ini berpedoman pada buku “pedoman Panduan
Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN SYarif Hidayatullah
Jakarta” tahun 2012.
13
G. Sistematika Penulisan
Penulisan ini terdiri dari lima bab yang terdiri dari sub-sub bab sebagai
berikut:
Bab pertama, dalam bab ini membahas tentang latar belakang masalah,
identifikasi masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, review studi terdahulu, kerangka teori dan konseptual, metode
penelitian, sistematika penulisan dan daftar pustaka.
Bab kedua, bab ini membahas tentang perkawinan misyar dalam fikih
konvensional yang meliputi pengertian perkawinan misyar, syarat dan rukun
nikah misyar, prinsip dan tujuan dalam perkawina misyar.
Bab ketiga, bab ini membahas tentang biografi Yusuf al-Qaradhawi
yang meliputi riwayat hidup, perjalanan pendidikan dan karir serta daftar
karya Yusuf al-Qaradhawi.
Bab keempat, bab ini membahas tentang perkawinan misyar dalam
pandangan Yusuf al-Qaradhawi yang meliputi argumentasi hukum, tinjauan
sosiologis pemikiran Yusuf al-Qaradhawi dalam Menghalalkan nikah misyar
dan Relevansi Pandangan Yusuf al-Qaradhawi dalam Konteks Hukum
Indonesia.
Bab kelima, dalam bab ini penulis menjelaskan tentang penutup dan
kesimpulan serta kritik dan saran.
14
BAB II
PERKAWINAN MISYAR DALAM FIKIH PADA UMUMNYA
A. Pengertian Nikah Misyar
Sejalan dengan perubahan waktu dan peradaban manusia yang kian
hari semakin maju, populasi yang terus meningkat dan sarana transformasi
sebagai faktor mudahnya manusia berimigrasi dari satu tempat ke tempat
yang lain. Seakan mudahnya mengubah luasnya bola dunia menjadi bulatan
kecil yang tidak bisa ita masukan kedalam genggam tangan. Perjalanan yang
penuh dilakukan pra ekspeditor seperti Columbus, Copernicus, Deandels, atau
Ibnu Batuta yang menelan waktu berbulan-bulan bahkan puluhan tahun, dapat
ditempuh saat ini hanya dengan hitugan jam.1
Pada kondisi dunia yang akan tanpa sekat dan batas, terjadinya
asimilasi dan percampuran budaya menjadi salah satu yang tidak bisa
dihindarkan, slah satu terjadinya percampuran budaya dengan melangsungkan
pernikahan campur antara penduduk negara atau suku tertentu dengan yang
lainnya. Di Indonesia saat ini, dunia hiburan dan perfilman banyak digeluti
oleh bintang-bintang muda yang berlatar belakang campuran antau indo.
Perkawinan yang terjadi antara laki-laki yang sedang melakukan
perjalanan baik liburan, tugas kerja, menjalani studi atau yang lainnya,
dengan perempuan setempat, dikenal dikalangan masyarakat Arab dengan
1 Adi Irfan Jauhari, “Nikah Misyar dan Hak Wanita dalam Perkawinan : Studi Analisis
Hukum Islam”, Tesis S2 Konsentrasi Syariah Universitas Negri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007,
h.52
15
sebutan nikah misyar. Perkawinan misyar adalah pengaruh dari semakin cepat
dan mudahnya transformasi antara negara dan daerah di belahan dunia.
Sehubung dengan pernikahan campur yang terjadi hal tersebut juga
didukung oleh tradisi dan adat pada daerah tertentu, terutama di negara teluk,
dimana pernikahan merupakan sebuah perhelatan besar yang menelan tidak
sedikit biaya, budaya macam ini banyak menimbulkan awanis (wanita yang
belum menikah di usia lanjut), sebab para pria memilih untuk menikah
dengan wanita dari daerah bahkan negara lain yang lebih mudah dan ringn
dalam pembiayaan. Penduduk laki-laki dari negara Kuait dan Uni Emirat
biasanya melakukan perjalanan liburan ke negara berkembang seperti Syiria
dan Mesir yang kemudian melangsungkan pernikahan dengan wanita
setempat.2
Pada hakikatnya perkawinan misyar dilaksanakan oleh seorang laki-
laki dengan akad yang benar, mencukupi rukun dan syaratnya, hanya saja
sang istri harus mengalah dari beberapa hak-haknya seperti mendapatkan
tempat tinggal, atau tempat yang disiapkan oleh suaminya, dan dari hak
nafkah, yaitu pembagian yang adil antara dia dengan istri lainnya. Dia harus
rela tinggal dirumah orang tua bersama keluarganya, jika sang suami tidak
mengadakan perjalanan ke daerah tempat istri berada, yang semestinya sang
suami harus mendatanginya satu hari dalam seminggu misalkan atau beberapa
hari dalam sebulan.3 Kata misyar berasal dari bahasa Arab sara, sira, sirah
tasayaram, masdar dan juga masirah, yang berarti berjalan dan perjalanan.
2 Misyar Mariage: http://answering-Islam.org.uk/index/ M/Misyar.html
3 Muhammad Fu‟ad Syakir, Perkawinan Terlarang: AL-Misyar, Al-Urfi dan Mut‟ah,
(Jakarta: Cendekia, 2002), Cet- 1, h. 65
16
Dari sudut terminologi pernikahan misyar adalah pernikahan dimana
pengantin lelaki tinggal di rumah pengantin perempuan tetapi pengantin
perempuan tidak pula berpindah kerumah pengantin lelaki.
Menurut Ahmad Al-Tamini, misyar ialah pernikahan yang dibina
dengan akad yang sah menurut syarah dan memenuhi rukun-rukunnya, tetapi
pasangannya bertolak ansur dari segi tempat tinggal dan nafkah.
Menurut Ibnu Mani‟ia, pernikahan misyar ialah pernikahan yang
memenuhi syarat dan rukunnya, tetapi kedua padangan saling ridha meridhai
dan bertujuan bahwa si istri tidak mempunyai hak pembagian giliran
bermalam.4
Wahbah zuhaily melihat misyar pada kelaziman yang terjadi
dikalangan masyarakat Arab, yakni biasanya perkawinan ini dijadikan oleh
laki-laki telah memiliki istri, tetapi karena syarat, atau kondisi tertentu istri
kedua tidak mendapat beberapa haknya sebagaimana dijamin dalam Islam.
Definisi ini dibangun atas kejadian yang berkembang pada kalangan
pria yang berasal dari negara petro-dollar. Biasanya mereka melakukan
pernikahan dengan wanita di negara berkembang, sementara merek juga
memiliki istri di tempat asal mereka.5
Ulama kontemporer lain yang cukup perhatian dengan polemik misyar
adalah Yusuf al-Qaradhawi, ia mendefinisikan misyar dengan pernikahan
dimana suami mendatangi kediaman istri dan istri tidak berpindah hidup
bersama di rumah suami.
4 Muhammad To‟maah al-Qudhah, “Zawaj al-Misyar: Hukmuhu al-Shar‟i”, artikel
diakses pada tanggal 22 oktober 2016 dari www.arabLawInfo.com 5 Wahbah Zuhaily, Tajdid al-Fiqh al-Islam, (Damaskus: Dar al-Fikr, 2000), h. 170
17
Definisi ini nampaknya terilhami dari kejadian yang melanda seorang
perempuan yang hidup tidak jauh dari lingkungan tinggal Yusuf al-
Qaradhawi.6 Ketika ia membahas polemik misyar. Ia menganalogikan dengan
kejadian tentang seorang wanita yang di tinggal mati oleh suaminya, dari
suami yang pertama ini sang wanita memiliki dua anak dan harta yang cukup
untuk dirinya dan dua anaknya. Sehubungan dengan usianya yang masih
muda, ia kemudian melangsungkan perkawinan dengan pria yang tinggal
berbeda kota dengannya, pria tersebut tidak hidup satu atap bersama mereka,
tetapi hanya berkunjung sesekali, ia juga tidak memberikan nafkah materi
dikarenakan wanita tersebut memiliki harta yang cukup bahkan lebih.
Dari sinilah kemudian ia mendefinisikan misyar sebagai sebuah
perkawinan yang dijalani oleh pasangan dimana suami tidak hidup bersama
dengn istri yang tentu kondisi seperti ini menjadi istri kehilangan hak-hak
perkawinannya.
Dalam pandangan Islam di samping pernikahan itu sebagai perbuatan
ibadah, ia juga merupakan sunnah Allah dan sunnah Rasul. Sunnah Allah
berarti: menurut qudrat dan iradat Allah dalam penciptaan alam ini,
dedangkan sunnah Rasul berarti suatu tradisi yang telah ditetapkan oleh Rasul
untuk dirinya sendiri dan umatnya.7 Adapun pandangan para ulama mazhab
tentang nikah misyar sebagai berikut:
6 Yusuf al-Qardhawi, Zawajul Misyar Haqiqatuhu Wa Hukmuhu, h. 9
7 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan
UU Perkawinan (Jakarta: Prenada Media, 2007), Cet-2 h. 41
18
Pernikahan misyar dibina berdasarkan tolak ansur antara suami istri
mengenai tempat tinggal, nafkah pembagian giliran antara suami –istri dan
sebagainya.
1. Perumahan (Tempat Tinggal)
a. Pendapat Ulama Mazhab Hanafi.
Menyediakan rumah adalah tanggung jawab suami, karena
nafkah dalam segala bentuknya adalah tanggungan suami, mahar
adalah milik penuh istri, tidak ada suatu dalil pun yang mewajibkan
istri menyediakan fasilitas tersebut.8
b. Pendapat Ulama Mazhab Maliki
Istri harus ikut membantu suami dalam penyediaan rumah,
bantuan istri tersebut dalam batas mahar yang diambilnya, atau dalam
batas-batas tradisi yang ada di daerah tersebut. Bahwa agama
memberikan hak tempat tinggal kepada istri, baik dalam bentuk kerja
sama dengan suami ataupun tidak.9
2. Pembagian Yang Adil
Kondisi berpindah-pindah dari satu daerah ke daerah lainnya,
biasanya menyulitkan suami untuk memenuhi tuntutan keadilan dalam
membagi waktu antara istri-istrinya. Apabila suami beristri lebih dari satu,
tidak boleh ia berdiam disalah satu istrinya kurang dari satu malam, hal ini
tidak ada perselisihan. Apabila ia berdiam lebih dari satu malam di rumah
salah satu istri istrinya, ada beberapa pendapat:
8 Fu‟ad Syakir, Perkawinan Terlarang, h. 22
9 Fu‟ad Syakir, Perkawinan Terlarang, h. 22
19
a. Mazhab Hanafi
Suami harus menentukan masa berdiam di salah satu istrinya,
tidak di tentukan oleh syariat, tapi dikembalikan oleh kebijaksanaan
suami, akan tetapi syariat tidak memberikan suami begitu saja, syariat
memberikan batasan jangan sampai lebih dari empat bulan, karena
empat bulan adalah batas waktu habisnya ilaa‟.10
b. Mazhab Maliki
Mazhab Maliki membolehkan lebih dari sehari semalam, dan
boleh juga waktu itu dikurangi, kalau tidak ada kerelaan baik itu
dalam penambahan maupun pengurangan, maka wajib bagi suami
membaginya dengan adil. Hal ini bisa dilakukan apabila istri-istrinya
berada di daerah yang sama, atau di dua daerah yang berbeda dalam
satu teritorial.11
c. Mazhab Syafi‟i
Mazhab Syafi‟i berpendapat bahwa lebih baik suami membagi
waktu antara istrinya satu malam penuh dan di bolehkan membagi dua
malam atau tiga malam tanpa kerelaan mereka, tetapi mazhab Syafi‟i
tidak membolehkan lebih dari tiga malam, tanpa kerelaan mereka,12
hal ini disebabkan oleh:
1) Berkemungkinan suami meninggal dalam waktu sepanjang itu,
sementara ia belum memenuhi kewajiban tinggal pada salah satu
10
Ilaa‟ adalah sumpah suami terhadap istri untuk tidak menemuinya selama empat bulan 11
Fu‟ad Syakir, Perkawinan Terlarang, h. 25 12
Fu‟ad Syakir, Perkawinan Terlarang, h. 25
20
istrinya yang berhak atas itu, maka pada saat itu ia telah melalaikan
kewajibannya, karena tidak adil dalam pembagian.
2) Waktu yang panjang dapat menyebabkan istri yang lain merasa
kesunyian dan kegelisahan karena kesendiriannya.
d. Mazhab Hambali
Tidak boleh suami berdiam di salah satu istrinya lebih dari satu
malam tanpa izin dari istri-istrinya yang lain. Imam nawawi
mengomentari tentang bulan madu di tetapkan sebagai hak
perempuan, dan harus didahulukan dari yang lain apabila perempuan
itu masih perawan, maka dia berhak selama tujuh hari tujuh malam
tanpa mengganti, kalau ia janda maka ia berhak memilih boleh tujuh
malam, maka suami harus berdiam di tempat istri yang lain selama
tujuh malam juga, atau tiga malam ini tanpa harus menggantinya pada
hari yang lain.13
Adapun ulama-ulama yang mengeluarkan fatwa-fatwa terkini tentang
perkawinan misyar sebagai berikut:
1. Mufti Mesir: Dr. Natsir Farid Washil
Ia berkata, perkawinan misyar terjadi karena realita, dan
keterjepitan kondisi pada sebagian kelompok masyarakat, seperti Arab
Saudi yang mengeluarkan fatwa membolehkan perkawinan ini.
Perkawinan ini beda dengan perkawinan mut‟ah dan perkwinan temporal
lainnya, perkawinan misyar adalah perkawinan yang mencukupi rukun dan
13
Fu‟ad Syakir, Perkawinan Terlarang, h. 26
21
akad yang disyariatkan, seperti : ijab, qabul, saksi, dan wali. Perkawinan
ini adalah sah, hanya saja dalam perkawinan ini, laki-laki mensyaratkan
kepada perempuan untuk menyatakan bahwa dia tidak akan menuntut hak-
haknya yang berhubungan dengan tanggungan laki-laki sebagai
suaminya.14
Jika istri dalam kondisi membutuhkan terhadap hak-haknya, ia
boleh menuntut karena itu adalah hak-hak yang selayaknya ada dan
berhubungan berat dengan perkawinan, meskipun sebenarnya dia kaya
atau orang tuanya memberikan nafkah kepadanya, tapi apabila istri sedang
membutuhkannya, boleh menuntut nafkah.15
Sama dengan warisan, istri berhak menerima warisan dari
suaminya. Meskipun dia sudah tanazul (mengalah) dalam masalah nafkah,
tidak semestinya dia juga mengalah dalam masalah warisan, kecuali
apabila suaminya sudah meninggal sedangkan dia sudah mendapatkan
jatah warisan dan menerima haknya, karena warisan adalah hak umum
yang tidak dibolehkan tanazul padanya kecuali apabila haknya sudah di
berikan. Sebagaimana dalam al-Qur‟an surat an-Nisa ayat 33.
“Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak
dan karib kerabat, kami jadikan pewaris-pewarisnya dan (jika ada) orang-
orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, maka berilah
kepada mereka bagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala
sesuatu”. (QS. An-Nisa: 33).
14
Fu‟ad Syakir, Perkawinan Terlarang, h. 33 15
Fu‟ad Syakir, Perkawinan Terlarang, h. 34
22
2. Prof. Dr. Muhammad Rawi
Anggota Badan Peneliti Islam (Majma‟ al-Buhuts al-Islamiah) dan
sebagai Dekan Fakultas al-Qur‟an al-Karim di Universitas al-Imam
Muhammad Ibn Sa‟ud, dia berpendapat bahwa suatu perkawinan
mempunyai hukum-hukum dan ketentuan-ketentuannya, permasalahan
peredaman dan keterlambatan kawin sering muncul, bagaimana kita
menghindari pengaruh buruknya. Bahwa tidak ada cara untuk memelihara
kemanusiaan, khususnya perempuan dari kerusakan, kecuali dengan
mengisi kekosongan dengan pekerjaan, mengarahkan kemauan dengan
iffah (menjaga diri dari maksiat) dan membiasakan diri dengan sabar.16
Sebagaimana Allah berfirman dalam Al-Qur‟an surat an-Nuur ayat 33
yang berbunyi:
…
“Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaknya menjaga
kesucian (dirinya), sehngga Allah memampukan mereka dengan karunia-
Nya”. (QS. An-Nuur:33).
Kecenderungan seksual adalah kecenderungan yang menyebabkan
timbulnya misyar atau bahkan kawin „urfi (di bawah tangan), untuk
kecenderungan ini, maka Allah telah mensyariatkan perkawinan dengan
hukum-hukum dan ketentuan-ketentuannya. Tapi kita harus memudahkan
bukan merumitkan, pada saat kita memudahkan pintu-pintu yang halal
maka pintu-pintu yang haram akan terbuka. Tidak ada penyelesaian dari
16
Fu‟ad Syakir, Perkawinan Terlarang, h. 39
23
krisis ini kecuali kembali pada apa yang diperintahkan oleh Allah dan
Rasul-Nya.
3. Menurut Dr. Fauziah Abdussattar
Dosen Hukum pidana di Universitas Cairo, berkata, dia mempunyai
beberapa analisa tentang perkawinan misyar ini dan akan saya simpulkan
kedalam beberapa poin yaitu:17
a. Dalam perkawinan misyar, suami kehilangan harga dirinya karena
tidak memenuhi semua kewajiban, maka dia hanya menjadi
tanggungan bagi istri.
b. Menurut saya keterlambatan kawin karena uzur lebih baik dari pada
perkawinan perjalanan seperti ini, karena tidak terealisasikan tujuan-
tujuan perkawinan, dan hanya akan membuaka pintu-pintu untuk
menyimpang.
c. Sesungguhnya perkawinan misyar tidak bisa menerapkan persyaratan
“adil” antara para istri, karena suami berdiam pada salah seorang istri
beberapa hari sementara di tempat lain satu tahun.
B. Syarat dan Rukun Nikah Misyar
Pernikahan misyar tidak jauh berbeda dengan pernikahan biasanya,
artinya segala sesuatu yang menjadi syarat dan rukun dari pernikahan
biasa terdapat pula pada nikah misyar.
Menurut syariat agama Islam, setiap perbuatan hukum harus
memenuhi dua unsur, yaitu rukun dan syarat. Rukun ialah unsur pokok
17
Fu‟ad Syakir, Perkawinan Terlarang, h. 42
24
dalam setiap perbuatan hukum, sedang syarat ialah unsur pelengkap dalam
setiap perbuatan hukum. Dalam Ensiklopedi hukum Islam, syarat
dirumuskan dengan, “sesuatu yang tergantung padanya keberadaan hukum
syar‟i, dan dia berada diluar hukum itu sendiri”.18
Perbedaan antara rukun
dan syarat, khususnya rukun dan syarat dalam hal akad nikah, tanpak
begitu tipis. Atas dasar ini maka tidaklah mengherankan jika berkenaan
dengan ihwal rukun dan syarat nikah, ada hal-hal tertentu yang oleh
sebagian ulama dikategorikan kedalam syarat nikah. Jadi rukun dan syarat
mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam setiap akad.19
Apabila kedua unsur tidak terpenuhi, maka perbuatan dianggap
tidak sah menurut hukum, demikian pula untuk sahnya suatu pernikahan
harus dipenuhi rukun dan syarat.
1. Rukun dalam perkawinan
a. Adanya calon mempelai pria
b. Adanya calon mempelai wanita
c. Adanya wali
d. Adanya dua orang saksi
e. Adanya ijab (dari wali calon mempelai perempuan atau wakilnya)
dan qabul (dari calon mempelai laki-laki atau wakilnya)20
2. Syarat dalam perkawinan
18
Tim Penyusun, Enseklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997),
Jilid 5, h. 1691 19
Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, cet. 2 (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2005), h. 95-96 20
Aslih Kurniawan, dkk, Pedoman Pelaksanaan Akad Nikah dan Beberapa Kasus
Perkawinan, (Jakarta: Seksi Urusan Agama Islam Kemenag Jakarta Selatan, 2010), h. 24
25
Pada garis besarnya syarat-syarat sahnya perkawinan itu ada dua:
a. Calon mempelai perempuannya halal dikawin oleh laki-laki yang
ingin menjadikannya istri. Perempuannya itu bukan merupakan
orang yang haram untuk dinikahi
b. Akad nikahnya dihadiri para saksi
Secara rinci masing-masing rukun diatas akan dijelaskan
syarat-syaratnya sebagai berikut:
1) Adanya laki-laki dan perempuan
Islam hanya mengakui perkawinan antara laki-laki dan
perempuan dan tidak boleh lain dari itu, seperti sesama laki-
laki atau sesama perempuan, adapun syarat yang harus di
penuhi untuk laki-laki dan perempuan adalah sebagai berikut:21
a. Bagi calon mempelai laki-laki
1. Beragama Islam
2. Pria
3. Tidak dipaksa
4. Tidak beristri empat orang
5. Bukan mahramnya calon istri
6. Tidak mempunyai istri yang haram dimadu dengan
calon istrinya
7. Megetahui calon istrinya tidak haram dinikahinya
8. Tidak sedang melakukan ihram
21
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat
dan UU Perkawinan (Jakarta: Prenada Media, 2007), h. 64
26
b. Bagi calon mempelai perempuan
1. Beragama Islam
2. Wanita
3. Telah memberi izin kepada wali untuk menikahkannya
4. Tidak bersuami dan tidak dalam masa iddah
5. Bukan mahramnya calon suami
6. Jelas orangnya
7. Tidak sedang dalam ihram22
2) Adanya wali
Yang dimaksud dengan wali secara umum adalah
seseorang yang karena kedudukannya berwenang untuk
bertindak terhadap dan atas orang lain dan dalam perkawinan
wali adalah seseorang yang bertindak atas nama mempelai
perempuan dalam suatu akad nikah. Akad nikah dilakukan oleh
dua pihak, yaitu pihak laki-laki yang dilakukan oleh mempelai
laki-laki itu sendiri dan pihak perempuan yang dilakukan oleh
walinya.23
Syarat wali sebagai berikut:
a. Beragama Islam
b. Balig berakal
c. Tidak dipaksa
22
Badan Penasihatan Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4) DKI Jakarta,
Membina Keluarga Sakinah, (Jakarta: 2009), h. 15-16 23
Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan, h. 69
27
d. Terang lelakinya
e. Adil bukan fasiq
f. Tidak sedang ihram atau umroh
g. Tidak dicabut haknya dalam menguasai harta bendanya
oleh pemerintah (mahjur bissafah)
h. Tidak rusak pikirannya karena tua atau sebagainya.
3) Adanya saksi
Sabda Nabi SAW:
“Dari Ibnu Abas, R.A berkata tidak sah nikah tanpa wali dan
kedua saksi yang adil” (HR. Imam Ahmad)24
Syarat saksi diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Beragama Islam
b. Laki-laki
c. Baligh
d. Berakal
e. Adil
f. Mendengar
g. Tidak tuli
h. Bisa bercakap-cakap (tidak bisu)
24
Abdullah Ahmad bin Hambal, Musnad Imam Ahmad bin Hambal (Beirut: al-Maktab
al-Islami, 1985), h. 250 lihat juga Ala al-din Ali Ibnu Balban al Farisi shahih ibn Hibban Bitartibi
Ibnu Balban (Beirut: Muassasah al-risalah, 1997), h. 386
28
i. Tidak pelupa (mughoffal)
j. Menjaga harga diri mengerti ijab dan qabul
k. Tidak merangkap menjadi wali25
4) Ijab dan Qabul Syarat-syaratnya:
a. Adanya pernyataan mengawinkan dari wali
b. Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai
c. Ijab dan qabul harus berbentuk dari asal kata “inkah” atau
“tazwij” atau terjemah dari dua kata tersebut yang dalam
bahasa berarti “menikahkan”. Contohnya adalah sebagai
berikut:
1. Ijab dari wali calon mempelai perempuan “hai fullan
bin fulah, saya nikahkan fulanah, anak kandung saya
dengan engkau, dengan mas kawin
(mahar)..............dibayar tunai (hutang).
2. Qabul dari calon mempelai pria “saya terima nikahnya
dan kawinnya fulanah binti................dengan mas kawin
yang tersebut tunai.26
a. Antara ijab dan qabul bersambungan
b. Antara ijab dan qabul jelas maksudnya
c. Orang yang terkait dengan ijab dan qabul tidak
sedang ihram, haji atau umrah
25
Badan Penasihatan Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4) DKI Jakarta,
Membina Keluarga Sakinah, h. 25 26
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi
Kritis Perkembangan Hukum Islam dari fikih, UU no. 1/1974 sampai KHI, (Jakarta: Kencana,
2006), cet. 1, h. 26
29
d. Majlis ijab dan qabul itu harus di hadiri minimum
empat orang yaitu calon mempelai atau wakilnya,
wali dari mempelai wanita dan dua orang saksi.27
5) Mahar
Disamping rukun dan syarat yang tersebut di atas, menurut
para ulama, mahar itu hukumnya wajib dan ditempatkan
sebagai sarat sahnya dalam perkawinan. Pengertian mahar
adalah pemberian khusus yang bersifat wajib berupa uang atau
barang yang diserahkan mempelai laki-laki kepada mempelai
perempuan ketika atau akibat dari berlangsungnya akad
nikah.28
Tentang mahar ini terdapat dalam firman Allah pada
surat an-Nisa‟ ayat 4 yang bunyinya:
“Berikanlah mahar kepada perempuan (yang kamu nikahi)
sebagai pemberian penuh kerelaan. Kemudian jika mereka
menyerahkan kepada kamu sebagian dari mahar itu dengan
senang hati, maka makanlah pemberian itu (sebagai makanan)
yang sedap lagi baik akibatnya”.(QS, an-Nisa: 4)
Dan Nabi SAW bersabda kepada seorang laki-laki yang ingin
menikah
27
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi
Kritis Perkembangan Hukum Islam dari fikih, UU no. 1/1974 sampai KHI, h. 63 28
Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan, h. 85
30
“Dari Sahal bin Sa‟ad bahwa Nabi Shallallahun Alaihi Wa Sallam
berkata pada seorang laki-laki nikahilah oleh kamu walaupun dengan mas
kawin berupa cincin dari besi” (HR. Bukhari)29
C. Prinsip dan Tujuan dalam Nikah Misyar
1. Prinsip dan tujuan nikah misyar
Ada beberapa prinsip perkawinan menurut hukum Islam,yang
perlu di perhatikan agar perkawinan itu benar-benar berarti dalam
hidup manusia melaksanakan tugasnya mengabdi pada Tuhan.
Pada hakekatnya, nikah misyar tidak jauh berbeda dengan
nikah biasa, artinya segala sesuatu yang menjadi syarat dan rukun dari
nikah biasa terdapat pula pada pernikahan misyar. Sehigga prinsip-
prinsip perkawinan misyar dengan pernikahan dalam Islam, yaitu:
a) Memenuhi dalam melaksanakan perintah agama
Bahwa perkawinan adalah sunnah Nabi, itu berarti bahwa
tuhan melaksanakan perkawinan itu pada hakekatnya merupakan
dari ajaran agama-agama mengatur perkawinan itu, memberi
batasan, rukun dn syarat-syarat yang perlu. Apabila rukun dan
syarat tidak terpenuhi, batal atau fasidlah perkawinan itu. Dengan
demikian dalam perkawinan misyar ada ketentuan lain selain
rukun dan syarat, ada mahar dalam perkawinan dan juga harus ada
kemampuan.
Selain itu untuk memenuhi kebutuhan biologis (naluri seks)
sekaligus memuliakan dan menjaga agar tidak tergelincir dalam
29
Al Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mugirah bin Bardizbah
al-Bukhari, Shahih Bukhari, (Beirut: Dar Al Fikr, t.th), juz III, h. 252
31
perbuatan zina, sudah menjadi kodrat iradat Allah. Manusia
diciptakan berpasang-pasangan dan diciptakan oleh Allah
mempunyai keinginan untuk berhubungan antara laki-laki dan
perempuan artinya dalam hal ini saling memerlukan satu sama
lainnya.30
b) Kerelaan dan persetujuan
Sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh pihak
yang hendak melangsungkan pernikahan ialah “Ikhtiyar” (tidak
dipaksa) pihak yang melangsungkan perkawinan itu dirumuskan
dengan kata-kata kerelaan calon istri dan suami atau persetujuan
mereka.31
Prinsip kerelaan ini dalam perkawinan misyar merupakan
unsur yang utama untuk melaksanakan perkawinan ini. Dimana
kerelaan sang istri yang disadari dari sikap mengalah istri untuk
tidak diberikan hak nafkah dari suami berupa materi.
c) Perkawinan untuk selamanya
Tujuan perkawinan antara lain untuk dapat keturunan dan
untuk ketenangan, ketentraman dan antara cinta serta kasih sayang.
Kesemuanya ini dapat dicapai hanya dengan prinsip bahwa
perkawinan adalah untuk selamanya, bukan hanya dalam waktu
tertentu saja. Itulah prinsip perkawinan dalam Islam yang harus
atas dasar kerelaan hati dan sebelumnya yang bersangkutan. Telah
30
Abd. al- Muhaimin As‟ad, Risalah Nikah Penuntun Perkawinan, (Surabaya: Bulan
Terang, 1993), cet. I, h.33 31
Abd. Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Prenada Media, 2003), h.120
32
melihat terlebih dahulu sehingga nantinya tidak menyesal setelah
melangsungkan perkawinan dan dengan melihat dan mengetahui
lebih dahulu akan dapat mengekalkan persetujuan antara suami dan
istri.32
2. Tujuan Perkawinan Misyar
a. Untuk menambah keturunan
Seperti yang diungkapkan bahwa naluri manusia
mempunyai kecendrungan untuk mempunyai keturunan yang sah
keabsahan anak keturunan yang diakui oleh dirinya sendiri, agama
memberi jalan hidup manusia agar hidup bahagia di dunia dan
akhirat. Kebahagian dicapai dengan hidup berbakti kepada tuhan
secara sendiri-sendiri, berkeluarga dan bermsyarakat. Kehidupan
keluarga bahagia, umumnya ditentukan oleh kehadiran anak-anak.
Anak merupakan buah hati dan belahan jiwa.
Sebagaimana dalam firman Allah SWT surah al-Furqan 74:
"dan orang-orang yang berkata: “Ya Tuhan Kami, anugrahkanlah
kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami dan keturunan
kami sebagai penyenang hati (Kami), dan jadikanlah kami imam
bagi orang-orang yang bertakwa. (Q.S al-Furqan:74).
32
Dirjen Bimbingan Islam Depag RI, Ilmu Fiqh, (Jakarta: Proyek Pembinaan Prasarana
dan Sarana Perguruan Tinggi Agama, 1995), Jilid 2, h 70-73
33
Anak sebagai keturunan bukan saja menjadi buah hati,
tetapi juga sebagai pembantu-pembantu dalam hidup di dunia,
bahkan akan memberi tambahan amal kebijakan di akhirat nanti,
manakala dapat memdidiknya menjadi anak yang shaleh.
b. Memenuhi hajat manusia untuk menyalurkan syahwat
Sudah menjadi kodrat iradah Allah SWT, manusia diciptakan
berjodoh-jodoh dan diciptakan oleh Allah SWT mempunyai
keinginan untuk berhubungan antara pria dan wanita, sebagaimana
digambarkan bahwa pria dan wanita bagaikan pakaian, artinya
yang satu memerlukan yang lain, sebagaimana terdapat dalam
surah al-Baqarah ayat 187:
..
Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur
dengan istri-istri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan
kamupun adalah pakaian bagi mereka... (Q.S al-Baqarah:187).
Di samping perkawinan untuk pengaturan naluri seksual
juga untuk menyalurkan cinta dan kasih sayang di kalangan pria
dan wanita. Penyaluran cinta dan kasih sayang yang di luar
perkawinan tidak menghasilkan keharmonisan dan tanggung jawab
yang layak, karena didasarkan atas kebebasan yang tidak terikat
oleh satu norma. Satu-satunya norma ialah yang ada pada dirinya
masing-masing, sedangkan masing-masing orang mempunyai
kebebasan. Perkawinan mengikat adanya kebebasan menumpahkan
cinta dan kasih sayang secara harmonis.
34
c. Memelihara diri dari perbuatan zina
Ketenangan hidup dan cinta serta kasih sayang keluarga
dapat ditunjukan melalui perkawinan. Orang-orang yang tidak
melakukan penyalurannya dengan perkawinan akan mengalami
ketidak wajaran dan dapat menimbulkan kerusakan dalam dirinya
dengan melakukan perbuatan zina, karena manusia mempunyai
nafsu, sedangkan nafsu itu condong untuk mengajak kepada
perbuatan yang tidak baik, sebagaimana terdapat dalam firman
Allah SWT surat Yusuf ayat 53:
Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan...”
(Q.S Yusuf: 53).
Dorongan nafsu yang utama ialah nafsu seksual, karenanya
perlulah menyalurkannya dengan baik, yakni dengan cara
perkawinan. Perkawinan dapat mengurangi dorongan yang kuat
atau dapat mengembalikan gejolak nafsu seksual. Dalam hal ini
sebagaimana hadits Nabi SAW:
“ ... sesungguhnya perkawinan itu dapat mengurangi liarnya
pandangan dan dapat menjaga kehormatan... “(H.R Bukhari dan
Muslim).33
33
Ibnu Daqiq al-Aydi, Ihkam al-Ihkam Sarhu Umdat al-Ahkam, (Lebanon: Daar al-Jail,
1995), h. 552
35
d. Mewujudkan kerjasama dan keserasian hidup antara laki-laki dan
wanita untuk kehidupan berumah tangga.
Suatu kenyataan bahwa manusia di dunia tidaklah berdiri
sendiri melainkan bermasyarakat yang terdiri dari unit-unit terkecil
yaitu keluarga yang terbentuk melalui perkawinan.
Dalam hidupnya manusia memerlukan ketenangan dan
ketentraman hidup. Ketentraman dan ketenangan untuk dicapai
dengan adanya ketenangan dan ketentraman bagian masyarakat
menjadi faktor yang terpenting dalam penentuan ketenangan dan
ketentraman. Dalam hal ini keberhasilan pembinaan yang harmonis
diciptakan oleh adanya kesadaran terhadap keluarga. Allah
menjadikan unit keluarga yang dibina dengan perkawinan antara
suami dan istri dalam membentuk ketenangan dan ketenangan serta
mengembangkan cinta dan kasih sayang.
Demikian diungkapkan dalam al-Quran surah Ar-Rum ayat 21:
"Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan
untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung
dan merasa terteram kepadanya, dan di jadikan-Nya diantaramu
rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda tanda bagi kaum yang berfikir. (Q.S
Ar-Rum:21).
36
Setiap insan yang hidup pasti menginginkan dan
mendabakan sesuatu kehidupan yang bahagia, tentram, sejahtera,
penuh dengan keamanan dan ketenangan atau bisa dikatakan
kehidupan yang sakinah, karena memang sifat dasar manusia
adalah senantiasa condong kepada hal-hal yang bisa menentramkan
jiwa serta membahagiakan anggota badannya, sehingga berbagai
cara dan usaha ditempuh untuk meraih kehidupan yang sakinah.34
34
Fu‟ad Syakir, Perkawinan Terlarang, h. 12-15
37
BAB III
BIOGRAFI YUSUF YUSUF AL-QARADHAWI
A. Riwayat Hidup Yusuf al-Qaradhawi
Nama lengkapnya adalah Yusuf Mustafa Yusuf al-Qaradhawi,
beliau lahir di daerah Safat Turab, Mesir pada tanggal 9 september 1926
M, bertepatan dengan tanggal 1 Rabi‟ul Awal 1345 H. Beliau berasal dari
keluarga yang taat agama Islam. Ketika berusia 2 tahun, ayahnya
meninggal dunia. Sebagai anak yatim, ia diasuh dan dididik oleh
pamannya. Ia mendapatkan perhatian yang besar dari pamannya sehingga
ia menganggap pamannya seperti orang tuanya sendiri. Keluarga
pamannya juga taat menjalankan agama Islam, tidak heran bila Yusuf al-
Qaradhawi menjadi orang yang kuat menjalankan agama.1
Kampung halaman Yusuf al-Qaradhawi layaknya perkampungan
mesir lainnya, unsur utama yang sangat mempengaruhi kehidupan
masyarakat adalah agama. Agama sebagai petunjuk arah bagi pemikiran
serta sumber utama untuk membentuk budaya mereka dan memberikan
pengaruh yang besar dalam pelaksanaan ibadah mereka. Aktivitas
keagamaan yang menjadi tradisi di kampung kelahirannya terdiri dari
peringatan maulid para wali seperti peringatan hari lahir Sayyid Syaikh
Ahmad al-Badawi, Maulid Nabi saw, Hari Asyura, Isra Mi‟raj malam Nisf
Sya‟ban. Perhatian masyarakat terhadap al-Qur‟an juga besar. Sebagai
1 Yusuf al-Qaradhawi, Ibn al-Qaryab wa al-Kutab; Malamih Shirab wa Masirah, Terj.
Cecep Taufikurrahman, Perjalanan Hidupku I, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2003), cet. 1, h. 10
38
bentuk perhatian mereka terhadap al-Qur‟an didirikan beberapa halaqah
al-Qur‟an, yang pada setiap hari jumat dilksanakan di masjid Sayyid
Abdullah bin Harits dan pada hari sabtu dilaksanakan di kampung
kelahiran Yusuf al-Qaradhawi yang bernama masjid al-Mutawalli.2
Ketika berusia 5 tahun, ia dididik menghafal Al-Qur‟an secara
intensif oleh pamannya, dan pada usia 10 tahun ia sudah menghafalkan
seluruh Al-Qur‟an dengan fasih, karena kefasihan dan kemerduan
suaranya, Yusuf al-Qaradhawi sering diminta untuk menjadi imam dalam
shalat-shalat jahriyyah (yang menjaharkan/mengeraskan bacaan, seperti
maghrib, isya dan shubuh). Setelah menamatkan pendidikannya di Ma‟had
Thantha dan Ma‟had Tsanawi Yusuf al-Qaradhawi terus melanjutkan ke
Universitas al-Azhar, Fakultas Ushuluddin. Dan dulu tahun 1952-1953
dengan predikat terbaik. Setelah itu ia melanjutkan pendidikannya di
jurusan bahasa Arab selama 2 tahun. Di jurusan ini ia lulus dengan
peringkat pertama diantara 500 mahasiswa. Kemudian ia melanjutkan
stadinya ke lembaga Tinggi Riset dan Penelitian Masalah-Masalah Islam
dan Perkembangannya selama 3 tahun. Pada tahun 1960 Yusuf al-
Qaradhawi memasuki pascasarjana (Dirasah Al-„Ulya) di Universitas al-
Azhar, Cairo di fakultas ini ia memilih jurusan Tafsir-Hadits atau jurusan
Akidah Filsafat.3 Ia bukan lulusan Fakultas Syariah yang lebih
mengkhususkan pengkajian pada bidang fiqih dan ushul fiqih. Namun
2 Yusuf al-Qaradhawi, Ibn al-Qaryab wa al-Kutab; Malamih Shirab wa Masirah, Terj.
Cecep Taufikurrahman, Perjalanan Hidupku I, h.10 3 Abdul Aziz Dahlan, “Yusuf al-Qaradhawi, Yusuf, Einsklopedi Hukum Islam, (Jakarta:
PT. Ichitiar Baru Van Hoeve, 2006). Jilid 5, cet. Ke-7, h 1448
39
demikian perbedaan fakultas bukan menjadi penghalang baginya untuk
senantiasa mempelajari fiqih, baik sejarahnya, ushul, maupun qawa‟idnya.
Sebaliknya mempelajari semua itu dapat menambah semangatnya dalam
belajar filsafat kebudayaan dan sejarah disamping juga kebudayaan Islam.4
Setelah itu beliau melanjutkan program doctor dan menulis
disertasi berjudul Fiqh az-Zakat (Fikih Zakat) yang selesai dalam dua
tahun, terlambat dari yang direncanakan semula karena sejak tahun 1968-
1970, ia ditahan (masuk penjara) oleh penguasa militer Mesir karena
dituduh mendukung gerakan Ikhwanul Muslimin5, setelah keluar dari
tahanan, ia hijrah ke Daha, Qatar dan di sana ia bersama teman-teman
seangkatannya mendirikan Ma‟had Din (Institusi Agama). Madrasah inilah
yang menjadi cikal bakal lahirnya Fakultas Syariah Qatar yang kemudian
berkembang menjadi Universitar Qatar dengan beberapa Fakultas. Yusuf
al-Qaradhawi sendiri duduk sebagai dekan Fakultas Syariah pada
Universitas tersebut.6
Dalam perjalanan hidupnya, Yusuf al-Qaradhawi pernah
mengenyam “pendidikan” penjara sejak mudanya. Saat Mesir dipegang
Raja Faruk, dia masuk bui tahun 1949, saat umurnya masih 23 tahun,
4 Yusuf Yusuf al-Qaradhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, (Jakarta: Gema Insani, 1995).
Jilid 1, cet ke 1 h. 16 5 Ikhwanul Muslimin berdiri di kota ismailiah, Mesir pada Maret 1928 dengan pendiri
Hassan Al-Bana bersama keenam tokoh lainnya. Ikhwanul Muslimin pada saat itu dipimpin oleh
Hasan Al- Banna. Pada tahun 1930, Anggaran dasar Ikhwanul muslimin dibuat dan disahkan pada
rapat umum Ikhwanul Muslimin pada tanggal 24 september 1930. Kemudian pada tahun 1934,
Ikhwanul Muslimin membentuk divisi Persaudaraan Muslimah. Divisi ini ditujukan untuk para
wanita yang ingin bergabung di Ikhwanul Muslimin. Ikhwanul Muslimin empunyai kredo: (1)
Allah tujuan kami, (2) Rasulullah teladan kami, (3) Al-Quran landasan kami, (4) Jihad jalan kami,
(5) Mati Syahid dijalan Allah adalah cita-cita tertinggi kami.
(http;//id.wikipedia.org/wiki/Ikhwanul_Muslimin, diakses tgl 25 oktober 2016) 6 Abdul Aziz Dahlan, “Yusuf al-Qaradhawi, Einsklopedi Hukum Islam, hlm 1448
40
karena keterlibatannya dalam pergerakan Ikhwanul Muslimin. April tahun
1956, ia di tangkap lagi saat terjadi Revolusi juni di Mesir. Bulan oktober
ia kembali mendekam di penjara militer selama dua tahun.
Yusuf al-Qaradhawi dikenal sebagai ulama yang berani dan kritis.
Pandangannya sangat luas dan tajam. Karena itulah banyak pihak yang
„gerah‟ dengan berbagai pemikirannya yang seringkali dianggap
menyudutkan pihak tertentu, termasuk pemerintah Mesir. Akibat
pandangan-pandangannya itu pula, tak jarang pria kelahiran Mesir, pada
tanggal 9 September 1926 ini harus mendekam dibalik jeruji besi. Namun
demikian, ia tak pernah berhenti menyuarakan dan menyampaikan
pandangannya, dalam membuka cakrawala umat. Ia pun juga dikenal
sebagai ulama dan pemikir Islam yang unik sekaligus istimewa, keunikan
dan keistimewaannya itu tak lain dan tak bukan ia memiliki cara atau
metodologi khas dalam menyampaikan risalah Islam, lantaran
metodologinya itulah ia mudah di terima di kalangan dunia barat sebagai
seorang pemikir yang selalu menmpilkan Islam secara ramah, santun dan
moderat, kapasitasnya itulah yang kerap Yusuf al-Qaradhawi kerap kali
menghadiri pertemuan internasional para pemuka agama di Eropa maupun
di Amerika sebagai wakil dari kelompok Islam.7
Selain itu ia juga terkenal dengan khutbah-khutbahnya yang sangat
berani sehingga sempat dilarang sebagai khatib di sebuah masjid di daerah
Zamalik. Alasannya, khutbah-khutbahnya dinilai menciptakan tentang
7 http://khazanah.republika.co.id/berita/dunia-Islam/khazanah/12/02/28, diakses pada tgl
26 Oktober 2016
41
opini umum tentang ketidak adilan rzim saat itu. Yusuf al-Qaradhawi
memiliki tujuh anak. Empat putri dan tiga putra. Sebagai seorang ulama
yang sangat terbuka, dia membebaskan anak-anaknya untuk menuntut
ilmu apa saja sesuai dengan minat dan bakat serta kecenderungan masing-
masing. Dan hebatnya lagi, dia tidak membedakan pendidikan yang harus
ditempuh anak-anak perempuannya dan anak laki-lakinya.
Salah seorang putrinya memperoleh gelar doktor fisika dalam
bidang nuklir dari Inggris. Putri keduanya memperoleh gelar doktor dalam
bidang kimia juga dari Inggris, sedangkan yang ketiga masih menempuh
S3. Adapun yang keempat telah menyelesaikan pendidikan S1-nya
Universitas Texas Amerika.
Anak laki-laki yang pertama menempuh S3 dalam dalam bidang
teknik elektro di Amerika, yang kedua belajar di Universitas Darul Ulum
Mesir. Sedangkan yang bungsu telah menyelesaikan kuliahnya pada
Fakultas Teknik jurusan listrik.
Dilihat dari beragamnya pendidikan anak-anaknya, orang-orang
bisa membaca sikap dan pandangan Yusuf al-Qaradhawi terhadap
pendidikan modern. Dari tujuh anaknya hanya satu yang belajar di
Universitas Darul Ulum Mesir dan menempuh pendidikan agama.
Sedangkan yang lainnya, mengambil pendidikan umum dan semuanya
ditempuh di luar negeri. Sebabnya ialah, karena Yusuf al-Qaradhawi
merupakan seorang ulama yang menolak pembagian ilmu secara
dikitomis. Semua ilmu bisa Islami dan tidak Islami, tergantung kepada
42
orang yang memandang dan mempergunakannya. Pemisahan ilmu secara
dikotomis itu, menurut Yusuf al-Qaradhawi telah menghambat kemajuan
umat Islam.8
B. Karir dan Aktivitas Yusuf al-Qaradhawi
Jabatan struktural yang sudah lama di pegangnya adalah ketua
Jurusan Studi Islam pada Fakultas Syariah Universitas Qatar. Sebelumnya
ia adalah direktur Lembaga Agama Tingkat Sekolah Lanjutan Atas di
Qatar.
Sebagai warga negara Qatar dan ulama kontemporer Yusuf al-
Qaradhawi sangat bersahaja dalam usaha mencerdaskan bangsanya
melalui berbagai aktivitasnya di bidang pendidikan, baik formal maupun
nonformal. Dalam bidang dakwah, ia aktif menyampaikan pesan-pesan
keagamaan melalui program khusus di radio dan televisi Qatar, antara lain
melalui acara mingguan yang diisi dengan tanya jawab tentang
keagamaan.
Melalui bantuan Universitas, lembaga-lembaga keagamaan, dan
yayasan Islam di dunia Arab, Yusuf al-Qaradhawi sanggup melakukan
kunjungan ke berbagai negara-negara baik Islam maupun non-Islam untuk
mengisi acara keagamaan. Pada tahun 1989 ia sudah pernah ke Indonesia.
Dalam berbagai kunjungan ke negara-negara lain, ia aktif mengikuti
berbagai kegiatan ilmiah, seperti seminar tentang Islam serta hukum Islam,
8 Yusuf al-Qardhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, (Jakarta: Gema Insani, 2002). Jilid 1,
cet ke 1, h. 21.
43
misalnya seminar tentang hukum Islam di Libya, muktamar I tarikh Islam
di Beirut, muktamar Internasional I mengenai ekonomi Islam di Makkah,
dan muktamar hukum Islam di Riyadh.9
C. Daftar Karya
Yusuf al-Qaradhawi telah menulis berbagai kitab (buku) dalam
bidang berbagai keilmuan Islam. Terutama dalam bidang sosial, dakwah.
Sekitar ada 150-an karya beliau, belum lagi jurnal-jurnal pemikiran beliau.
Kitab–kitab beliau sangat diminati oleh umat Islam di seluruh dunia.
Bahkan kitab-kitab tersebut di terjemahkan dalam berbagai bahasa, terasuk
bahasa Indonesia. Kitab-kitab tersebut juga d cetak ulang berpuluh-puluh
kali. Disamping itu kitab-kitab tersebut juga menjelaskan perjuangan dan
pemikiran Yusuf al-Qaradhawi secara rinci. Masterpiece karya beliau
adalah fiqh az-zakat dan fiqh a-jihad. Berikut adalah karya-karya beliau:
1. Fikih dan Usul Fikih
Sebagai seorang ahli fiqh, beliau telah menulis beberapa buah buku
yang terkenal seperti berikut: Al-Halal wa Al-Haram fi Al-Islam.
a. Fatawa Mu‟asarah, 2 jilid.
b. Al-Ijtihad fi al-Shari‟at al-Islamiyah, (ijtihad dalam syariat Islam).
c. Madkhal li Dirasat al-Shariat al-Islamiyah.
d. Min Fiqh al-Dawlh al-Islamiah, (Fikih Kenegaraan).
e. Nahw Fiqh Taysir, (Ke arah Fikih yang Mudah).
9 Abdul Aziz Dahlan, “Al-Qaradhawi, Yusuf. Einsklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT.
Ichitiar Baru Van Hoeve 2006), Jilid 5. hlm 1448-1449.
44
f. Al-Fatwa bayn al-Indibat wa al-Tasayyub.
g. Al-Figh al-Islami bayn al-Asalah wa-al Tajdid.
h. Awamil al-Sa‟ah wa al-Murunah fi al-Syari‟ah al-Islamiah.
i. Al-Ijtihad al-Mu‟asir bayn al-Indibat wa al Infirat.
2. Ekonomi Islam
a. Fiqh al-Zakat 2 juz.
b. Mushkilat al-Faqr wa kayfa Alajaha al-Islam.
c. By‟u al-Murabahah li al-Amri bi al-Shira.
d. Fawa‟id al-Bunuk Hiya al-Riba al-Haram.
3. Pengetahuan tentang al-Quran dan al-Sunnah.
Yusuf al-Qaradhawi juga melakukan kajian mengenai al-Quran
dan al-Sunnah terutama dalam memahami metodologi, cara berinteraksi
dan membetulkan kefahaman mengenai al-Quran dan al-Sunnah. Dalam
bidang ini beliau telah menulis:
a. Al-Agl wa al-Ilm al-Quran.
b. Al-Sabru fi al-Quran.
c. Tafsir Surah al-Ra‟d.
d. Al-Sunnah Masdaran li al Ma‟rifah wa al-Hadarah.
4. Aqidah Islam
Mengenai persoalan tauhid, Yusuf al-Qaradhawi telah menulis
beberapa buku:
a. Wujud Allah
b. Haqiqat al-Tawhid
45
5. Dakwah dan Pendidikan
Yusuf al-Qaradhawi juga merupakan seorang juru dakwah
yang penuh semangat. Dalam bidang ini beliau telah menulis buku-
buku terkenal:
a. Thaqafat al-Da‟iyyah.
b. Al-Tarbiah al-Islamiah wa Madrasah Hassan al-Banna
c. Al-Rasul wa al-Ilmi.
d. Al-Waqt fi Hayat al-Muslim.
e. Risalat al-Azhar bayn al-Ams al-Yawmi wa al-Ghad al-Muslimun.
6. Kepastian mengatasi Masalah dengan cara Islam
Menurut pandangan Yusuf al-Qaradhawi, Islam adalah suatu
kepastian yang wajib diikuti untuk mengatasi semua masalah yang kita
hadapi. Tidak ada suatu sistem yang dapat mengatasi persoalan umat
keculi Islam. Malah sistem selain Islam hanya akan menambahkan luka
parah yang sudah di alami umat. Mengenai masalah ini beliau telah
menulis:
a. Al-Hulul al-Mustwaradah wa Kayfa janat ala Ummaatina.
b. Al-Hall al-Islami faridatan wa daruratan.
c. Bayinat al-hall al-Islami wa Syubuhat al-Ilmaniyyin wa al-
Mustaqhribin.
d. Ada al-hall al-Islami
46
7. Tokoh Islam
Yusuf al-Qaradhawi juga menulis beberapa buah buku tentang
sejarah hidup para tokoh:
a. Al-Imam al-Ghazali bayn Madihi wa Naqidihi.
b. Al-Shaykh al-Ghazali Kama Araftuhu Khilala Nisf al-Qarn
c. Nisa Mu’minat.
d. Abu Hasan al-Nadwi Kama „Araftuh.
e. Fi Wada al-A’lam.
8. Dalam bidang Akhlak berdasarkan al-quran dan al-sunnah.
a. Al-Hayat al-Rabbaniah wa al-Ilm.
b. Al-Niyat wa al-Ikhlas.
c. Al-Tawakkal.
d. Al-Tawbah ila Allah.
9. Kebangkitan Islam
Kebangkitan Islam yng sedang rancak dan merebak ke seluruh
dunia, belangkangan ini juga menjadi perhatian Yusuf al-Qaradhawi.
Beliau adalah seorang tokoh aktivis yang sering memberikan gagasan-
gagasan yang meluruskan gerakan kebangkitan Islam pada jalan
tengah dan mencakupi hampir semua permasalahan umat. Tulisan
beliau dalam persoalan ini menyeluruh, mendalam dan bersesuaian
dengan realiti semasa hidupnya. Yusuf al-Qaradhawi dalam masalah ini
telah menulis beberapa buah buku yang terkenal:
a. Al-Sahwah al-Islamiah Bayn al-Juhud wa al-Tatarruf.
47
b. Al-Sahwah al-Islamiah bayn al-Ikhtilaf al-Mashru‟ wa al-
Tafaruq al- Madzmum.
c. Al-Sahwah al-Islamiah wa Humum al-Watan al-Arabi.
10. Penyatuan fikrah bagi Petugas Islam
Yusuf al-Qaradhawi juga menulis buku mengenai asas-asas
yng diperlukan bagi petugas Islam dengan mengambil asas pendidikan
yang telah ditetapkn oleh Hassan al-banna. Antaranya ialah:
a. Syumul al-Islam.
b. Al-Marji‟yyat al-Ulya fi al-Islam al-Quran wa al-Sunnah
Pada awal tahun 1950an, Yusuf al-Qaradhawi menulis isu-isu
kezaliman yang dilakukan oleh pemerintah Mesir di bawah Raja Faruk.
Beliau menulis risalah-rsalah kecil seperti alim wa taghiyyat yang
mengunakan uslub drama. Yusuf al-Qaradhawi menjelaskan mengenai
kebenaran said bin Jubair dengan Hujaj bin Yusuf dalam menyatakan
kebenaran. Yusuf al-Qaradhawi menyeru orang ramai supaya berpendirian
seperti Said bin Jubair. Yusuf al-Qaradhawi menyebutkan bahwa beliau
melihat kisah Said Jubir dengan Hujaj mempunyai banyak kesesuaian kerana
drama tersebut mempunyai satu maklumat khususnya dalam memerangi
golongan yang zalim seperti kezaliman Hujaj, maka perlu kita mengambil
pendirian seperti pendirian Said Jubair. Oleh sebab itu, Yusuf al-Qaradhawi
menulis drama ini, satu pertiga ditulis di penjara Tur dan sisanya selepas
keluar penjara. Dari sini jelaslah bahwa isu utama yang dibawa oleh Yusuf al-
48
Qaradhawi dalam buku ini yaitu menentang kezaliman oleh penguasa Mesir
ketika itu.
Pada tahun 1970an Yusuf al-Qaradhawi menulis buku-buku yang
berkaitan Islam sebagai alternatif terbaik untuk manusia. Perkara ini
disebabkan kegagalan kapitalis dan sosialis dalam meyelesaikan
permasalahan manusia. Pada tahun 1971, beliau menulis buku Penyelesian
import dan bagaimana ia mengentam umat Kita. Pada tahun 1977, beliau
menulis buku Shari’at al-Islamiah (Syariat Islam sesuai untuk pelaksanaan
setiap masa dan tempat) Buku ini asalnya merupakan kertas kerja yng
dibentangkan di Nadwah Perundangan di Libya pada Mei 1972. Pada tahun
1974, Yusuf al-Qaradhawi menulis buku Penyelesian Islam Tuntutan dan
Darurat merupakan siri kedua dalam siri penyelesaian Islam. Pada tahun
1977, Yusuf al-Qaradhawi menerbitkan buku Khasa’is al-Islamiah
(Keistimewaan agama Islam). Apabila isu kafir mengkafir semakin
memuncak di kalangan umat Islam, beliau menulis buku tentang fenomena
fanatik dalam kafir mengkafir.
Yusuf al-Qaradhawi juga menulis buku yang berkaitan dengan
ekonomi Islam. Beliau menulis mengenai permasalahan miskin dan
pandangan Islam mengenainya pada tahun 1966. buku tersebut menceritakan
sikap Islam terhadap kemiskinan dn bahaya kepada akidah umat Islam.
Menurut Yusuf al-Qaradhawi, beliau senantiasa mengambil perhatian dalam
isu-isu syariat Islam dan sentisa menyeru dilaksanakan dalam segala aspek
kehidupan.
49
Karya beliau tentang wanita-wanita solehah seperti Khadijah bin
Khuwailid, Fatimah al-Zahra, Asma, Ummu Sulaim dan Ummu Imarah
dalam buku Nisa al- Mu’minat (wanita Muslimah) yang diterbitkan pada
tahun 1979. kemudian beliau, menulis mengenai Imam al-Ghazali pada tahun
1987, sejarah hidup dan hubungan akrabnya dengan Muhammad al-Ghazali
pada tahun 1994 dan sejarah hidup Abu Hassan al-Nadwi pada tahun 2001.
Yusuf al-Qaradawi juga menulis syarah kepada usul ashirin (20 perkara-
perkara asas) yang dikarang oleh Hassan al-Banna. Yusuf al-Qaradawi
menulis buku-buku tersebut atas nama ke arah Penyatuan pemikiran untuk
petugas Islam. Sehingga kini ada lima buah buku yang diterbitkan dalam seri
ini. Yusuf al-Qaradhawi juga menulis buku-buku yang bercorak tasauf dan
kerohanian atas tajuk fiqih akhlak dalam Yusuf al-Quran dan al-Sunnah.
Sebanyak 4 buah buku telah diterbitkan dalam siri ini10
10 http://tamanulama.com/2010/07/dr-yusuf-al-qaradawi-sejarah-hidup- diakses
26 Oktober 2016
50
BAB IV
PANDANGAN YUSUF AL-QARADHAWI TENTANG NIKAH MISYAR
A. Argumen Hukum Yusuf al-Qaradhawi dalam Menghalalkan Nikah
Misyar
Yusuf al-Qaradhawi tidak mengira bahwa fatwa yang dikeluarkan
dalam menanggapi permasalahan kawin misyar akan megegerkan Qatar dan
negara-negara teluk lainnya. Ketika ia berkunjung ke Suriah kurang lebih 2
minggu, ia merasakan imbas dari itu semua. Ia mengira perbedaan pendapat
adalah hal yang wajar sebagai respons dari fenomena yang baru muncul. Hal
itu dialami oleh semua lapisan masyarakat, baik oleh orang awam maupun
orang terpelajar. Perbedaan pendapat kadang berakhir dengan satu persepsi,
tetapi kadang kala juga akan terus berlangsung sehingga menimbulkan
perpecahan dan sekat-sekat.1
Ia menekankan bahwa perbedaan dalam masalah furu (persial fiqih)
bukan hal yang baru lagi. Perbedaan pendapat tidak akan menimbulkan
masalah bagi orang-orang yang imannya kuat selama berkisar tentang
perbedaan sudut pandang, hanya mempertentangkan tingkat dalil yang
digunakan oleh masing-masing pihak untuk menguatkan pendapatnya dengan
tidak semata-mata menuruti kehendak nafsu. Jadi apabila perbedaan yang
terjadi semacam itu maka akan diperoleh jalan solusi yang terbaik. Akan
tetapi apabila perbedaan yang timbul karena dorongan emosi dan sekedar
1 Yusuf al-Qardhawi, Zawajul Misyar Haqiqatuhu Wa Hukmuhu, (Kairo: Maktabah
wahbah 1999), h. 1
51
mengikuti nafsu, maka hanya akan memperkeruh masalah dan semakin
menjauhkan dari kebenarn hakiki, seperti dalam firman Allah SWT.2
ي يس هدفإى لن يستجيبىا لك فٲعلن أوا يتبعىى أهىاءهن وهي أضل هوي ٱتبع هىيه بغ
هي ٱلله إى ٱلله لا يهدي ٱلقىم ٱلظلويي
”...Dan siapakah yang lebih sesat dari pada orang-orang yang mengikuti
hawa nafsunya (belaka) dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah
sedikitpun. Sesungguhnya Allah tidak akan memberi petunjuk kepada orang
yang dzalim (al-Qashash: 50)
Sebagian teman Yusuf al-Qaradhawi mengatakan bahwa banyak
wanita yang tidak senang kepadanya, berkenan dengan fatwanya tentang
kawin misyar dan menyarankan agar menarik kembali fatwa tersebut agar
seperti ulama-ulama lain yang melarang dilakukannya kawin misyar, semata-
mata untuk mencari perhatian kaum wanita. Ia mengatakan kepada mereka,
“Apabila seorang alim dalam memberikan fatwa hanya menginginkan
acungan jempol dan agar disegani masyarakat tertentu, meskipun Allah
marah dengan fatwanya itu, maka ulama tersebut telah meninggalkan ajaran
agamanya dan perjalalan hidupnya akan tersesat. Karena bagaimanapun
perbuatan yang hanya bertujuan untuk memperoleh hati masyarakat adalah
perbuatan yang tidak akan pernah kesampaian.”3
2 Yusuf al-Qardhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, (Jakarta: Gema Insani, 2002). Jilid 3,
cet ke 1, h.391 3 Yusuf al-Qardhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, Jilid 3, h. 392
52
Dalam pepatah Arab disebutkan,“Adakah seseorang yang semua
orang senang kepadanya, namun dia tidak mau mengikuti hawa
nafsunya?”4 Allah SWT berfirman:
هن بركسهن ف هن ولى ٱتبع ٱلحق أهىاءهن لفسدت ٱلسوىت وٱلأزض وهي فيهي بل أتي
عي ذكسهن هعسضىى
“Andai kata kebenaran itu menurut hawa nafsu mereka, pasti binasalah
langit dan bumi ini dan semua yang ada di dalamnya... (QS. al-
Mu‟minuun: 71)
Menurut Yusuf al-Qaradhawi seorang ahli agama tidak mempunyai
alasan untuk melarang seorang wanita yang melaksanakan perkawinan
dengan model perkawinan ini (misyar), yaitu dengan melakukan tanazul
dari sebagian hak-haknya, kalau niatnya benar-benar murni untuk
kebaikan dirinya sendiri. Ada beberapa faktor yang menjadikan seseorang
rela untuk mengurangi haknya diantaranya adalah tujuannya untuk
mendapatkan sesuatu yang lebih bermanfaat bagi dirinya, seperti yang
dilakukan oleh salah satu istri Rasulullah SAW. Yaitu Saudah binti
Zam‟ah.
Ia adalah istri pertama yang dinikahi Rasulullah setelah Khadijah.
Saudah adalah perempuan yang sudah tua, dia merasa bahwa Nabi tidak
akan memperlakukannya dengan mesra, sebagaimana sebelumnya. Ia
sangat khawatir kalau Nabi menceraikannya, predikatnya sebagai Ummul
Mukminin akan hilang. Ia juga takut kalau nantinya setelah hari
pembalasan, tidak bisa mendampingi (menjadi istri) Rasulullah SAW di
4 Yusuf al-Qardhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, Jilid 3, h. 392
53
surga. Untuk itu ia cepat-cepat memberikan tanazul (keringanan) untuk
Nabi SAW. Dan diberikannya hak tersebut kepada istri Rasulullah yang
lain, yaitu Aisyah. Dengan adanya keringanan ini, Rasulullah sangat
berterima kasih dan menempatkan Saudah pada tempat yang sesuai dengan
firman Allah SWT dalam surat an-Nisa ayat 128.
…
“Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh
dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan
perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik dari
mereka,,,” (QS.an-Nisa‟:128)
Yusuf al-Qaradhawi menekankan lebih setuju kalau tanazul ini
tidak disebutkan dalam akad, cukup antara kedua belah pihak saling
mengerti dan saling memahami dengan sendirinya, walaupun jika tanazul
tersebut disebutkan dalam akad, hal ini tidak membatalkan akad.
Menurutnya memenuhi syarat-syarat adalah sebuah kewajiban,
sebagaimana yang telah diperintahkan Allah SWT.5
Ketika Yusuf al-Qaradhawi ditanya mengenai kawin misyar, ia
berkata, “Saya tidak perduli dengan istilah; yang menjadi perhatian dan
permasalahan adalah hukum dan hakikatnya bukan istilah atau namanya.
Dalam kaidah syara‟, kita mengenal istilah,‟ yang dianggap dalam akad
adalah tujuan dan maknanya bukan lafal dan istilahnya. Mereka
5 Yusuf Qardhawi, Zawajul Misyar Haqiqatuhu wa Hukmuhu, h. 10
54
mengistilahkan kawin misyar terserah maunya, yang penting dalam akad
perkawinan syarat dan rukunnya harus terpenuhi. Rukun pertama kawin
adalah ijab dan qabul yang dilakukan oleh orang yang mempunyai hak
untuk melaksanakannya. Disamping itu ijab dan qabul diharapkan dapat
diketahui oleh khalayak ramai agar dapat dibedakan antara kawin yang
dilaksanakan secara sah dan zina atau hubungan gelap.
Dalam hal pengiklanan atau pemberitahuan kepada khalayak
ramai, agama telah memberikan batasan minimum, yaitu adanya dua orang
saksi dan wali (menurut pandangan Imam Malik, Imam Syafi‟i, dan Imam
Ahmad). Yang perlu diperhatikan selanjutnya adalah masa perkawinan
tidak boleh dibatasi dengan waktu serta kedua mempelai harus mempunyai
niat untuk melanggengkan pernikahan mereka. Apapun adanya upaya laki-
laki yang melaksanakan perkawinan ini untuk merahasiakan perkawinan
ini dengan tujuan supaya keluargnya tidak mengetahui, jika syarat sahnya
akad sudah dipenuhi maka menurut jumhur nikahnya sah. Menurut ulama
Malikiyah yang membatalkan nikah itu adalah apabila dalam akad disertai
syarat agar saksi merahasiakan perkawinan ini. Namun apabila permintaan
dari pihak laki-laki untuk merahasiakan perkawinan ini adalah setelah
pelaksanaan akad, maka pernikahannya tetap dianggap sah, karena
pernikahan semacam ini dilaksanakan dengan benar.6
Kemudian seorang laki-laki harus membayar mas kawin, baik
dalam jumlah yang banyak maupun sedikit, meskipun setelah maskawin
6 Yusuf al-Qardhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, Jilid 3, h. 409
55
tersebut diserahkan kepada calon istrinya, boleh si istri tanazul
„menyerahkan kembali‟ sebagian dari maskawin itu atau bahkan
keseluruhannya, sesuai dengan firman Allah SWT7.
“Berikanlah maskawin atau (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi),
sebagai pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian jika mereka
menyerahkan kepada kamu sebagian dari mas kawin itu dengan senang
hati maka makanlah (ambilah) pemberian itu sebagai (makanan) yang
sedap lagi baik akibatnya.” (an-Nisa :4).
Apabila ada seorang laki-laki menikahi seorang wanita tanpa
memberikan mahar atau maskawin, maka akadnya tetap dianggap sah.
Tetapi wanita tersebut mempunyai hak mahar misl (mahar yang
disamakan)8. Dan setelah terpenuhinya empat perkara diatas ijab dan qabul
yang dilakukan oleh kedua mempelai, adanya pengiklanan atau
pemberitahuan kepada khalayak ramai agar perkawian tersebut diketahui
oleh orang banyak atau hanya diketahui oleh khalayak secara terbatas,
perkawinan itu tidak dibatasi masanya, dan dipenuhi mahar, yang
meskipun setelah akad si istri mengembalikannya maka nikah tersebut
menurut syara dianggap sah. Ada pun ketika dilaksanakannya akad nikah
seorang wanita memberikan keringanan, yaitu dengan tidak meminta hak-
haknya kecuali hak bersenggama, syarat seperti ini tidak boleh ketika akad
7 Yusuf al-Qardhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, Jilid 3, h. 395.
8 Mahar misl yaitu mahar yang menjadi hak seorang wanitaketika terjadi pisah antara dia
dan suaminya. Dan besarnya mahar ini disamakan dengan mahar yang diperoleh oleh seorang
wanita yang sederajat dengannya.
56
karena dapat menghilangkan tujuan dilaksanakannya nikah, maka akad
tersebut adalah batal.
Seorang ahli fiqih tidak mempunyai hak untuk membatalkan akad
nikah misyar karena rukun dan syaratnya sudah terpenuhi atau
menganggap pernikahan ini adalah bagian dari zina, gara-gara adanya
tanazul. Karena seorang wanita adalah seorang mukalaf yang tahu
kemaslahatan dirinya dan menurut pertimbangannya (dalam memandang
segi positif dan negatif) pernikahannya dengan laki-laki yang dia pilih,
walaupun laki-laki tersebut hanya menyisakan waktu untuknya pada saat-
saat tertentu dan terbatas saja, masih lebih baik dari pada dia kesepian
sepanjang tahun9.
Yusuf al-Qaradhawi mengatakan nikah misyar ini bukan
perkawinan yang baik. Dan ia memulai kalimat ini dengan pengumuman
dan halaqah “aku bukan orang yang mengajak dari nikah misyar, dan aku
bukan orang yang menyenangi nikah misyar, dan tidaklah aku berkhutbah
mengajak nikah misyar, setiap sesuatu dalam urusan aku bertanya dengan
pertanyaan akan persoalan-persoalan nikah misyar maka akan memperluas
perbedaan pendapat. Dan itu akan menyempitkan hati dan merusak agama
dan akan menimbulkan kebencian.10
Orang-orang yang menentang dilangsungkannya kawin misyar
mengatakan, kawin semacam ini tidak bisa memenuhi tujuan
dilaksanakannya kawin secara syara, karena kawin semacam ini hanya
9 Yusuf al-Qardhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, jiid, 3, h. 396
10 Yusuf Qardhawi, Zawajul Misyar Haqiqatuhu wa Hukmuhu, h.3
57
pelampiasan hawa nafsu dan sebatas mencari kesenangan. Dalam Islam
nikah mempunyai tujun lebih dari itu, nikah dijadikan sebagai wahana agr
spesies manusia terjaga, sebagai sarana untuk mencari ketenangan, serta
sebagai tempat saling kasih dan menyayangi. Hal ini sesuai dengan apa
yang telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam masalah zawaaj an-
Nahaariyaat wallayaaliyyaat (kawin yang hanya berlangsung untuk
beberapa hari atau untuk beberapa malam). Ia berkata, “Nikah seperti itu
adalah bukan termasuk nikah dalam perspektif Islam (tidak termasuk nikah
yang sempurna), karena sesuai dengan hadits Nabi SAW. “Tidaklah iman
seorang mukmin dianggap sempurna apabila tidak mencintai saudaranya
sebagaiana ia mencintai dirinya sendiri.”
Nikah semacam ini bukanlah nikah yang dianjurkan Islam, tetapi
nikah diperbolehkan karena adanya desakan kebutuhan, imbas dan
perkembangan masyarakat dan karena berubahnya keadaan zaman, dengan
catatan akad nikahnya harus dilaksanakan karena kalau sampai akad
ditiadakan maka nikahnya batal.11
Seorang laki-laki yang melangsungkan perkawinan dengan seorang
perempuan tua renta yang tidak mungkin mempersembahkan keturunan
atau seorang perempuan kawin dengan seorang laki-laki yang sudah pikun,
apakah pernikahan mereka batal hanya karna tidak dapat mencapai tujuan
pernikahan, yaitu untuk menghasilkan keturunan?. Dan apakah syara
melarang seorang laki-laki mengawini wanita yang tidak mampu untuk
11
Yusuf al-Qardhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, Jilid 3, h. 401
58
hamil? Apakah akad nikah akan batal, hanya karena wanita yang di kawini
berkehidupan suram, dalam artian tidak dapat diharapkan untuk
memberikan kasih sayang dan ketenangan.
Seorang muslim sangat berharap perkawinannya nanti akan
mencapai tujuan pernikahan, tetapi tidak semua harapan itu bisa terwujud,
karena dia hanya berusaha sekuat tenaga agar tujuan tersebut dapat
tercapai, sedangkan yang menentukan untuk mencapai atau tidaknya
tujuan tersebut hanyalah Allah SWT.12
Dengan demikin kawin misyar
menurutnya tidak diharamkan, karena tujuannya untuk menghormati dan
mensucikan wanita, dan juga mempertimbangkan kemaslahatan dan
kerugiannya, manfaat dan mudharatnya. Seperti yang dikatakannya
“Namakanlah pernikahan ini sebagaimana yang disebut oleh banyak
orang, tetapi yang penting menurut saya adalah terpenuhinya rukun dan
syarat ikatan pernikahan”.13
Dalam pendapat Yusuf al-Qaradhawi yang mengatakan bahwa para
ahli fiqih tidak memiliki alasan untuk membatalkan akad perkawinan
semacam ini yang telah memenuhi rukun dan syaratnya perkawinan,
menurut penulis sangat beralasan, karena terpenuhinya syarat dan rukun
nikah merupakan hakekat timbulnya hukum pernikahan sendiri, dengan
tidak terpenuhi syarat maupun rukun nikah maka tidak ada pula
hukum pernikahan itu. Dengan terpenuhinya rukun dan syarat pernikahan
ini juga akan menimbulkan akibat syara' yang berupa penetapan halal atau
12
Yusuf al-Qardhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, Jilid 3, h. 401 13
Yusuf Qardhawi, Zawajul Misyar Haqiqatuhu wa Hukmuhu, h.11.
59
kebolehan hubungan antara laki-laki dan perempuan.14
Selain itu jika
syarat dan rukunnya terpenuhi, maka pernikahan menjadi sah dan dari
sanalah timbul skala kewajiban dan hak-hak pernikahan.15
Dalam menghadapi masalah yang belum ada keputusan hukumnya
dalam al-Qur‟an, hadits dan ijma‟, ataupun masalah-masalah yang belum
diberikan fatwa hukumnya oleh para ulama terdahulu, maka tanpa ragu
beliau melakukan ijtihad baru secara kolektif dengan menggunakan
metode analogi deduktif.16
Metode deduktif ini merupakan cara berfikir dengan menarik suatu
kesimpulan di mulai dari pernyataan umum menuju pernyataan-pernyataan
khusus dengan menggunakan penalaran atau rasio.17
B. Argumen Sosiologis Yusuf al-Qaradhawi dalam Menghalalkan Nikah
Misyar
Dalam konteks nikah misyar, bentuk pemikiran ini relatif baru jika
dibandingkan dengan nikah mut‟ah dan nikah muhallil. Keduanya
mempunyai sejarah dalam kehidupan umat Islam sejak zaman nabi.
Sedangkan nikah misyar baru muncul dan berkembang di era kehidupan
masyarakat muslim yang sudah mulai modern. Akan tetapi kawin misyar
ini merupakan fenomena yang masyhur dikalangan masyrakat sejak
14
Abdul Wahhab, Kaidah-kaidah Hukum Islam, Ilmu Ushuhul Fiqh, (Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada, 2000), h. 180 15
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jilid 2, (Beirut-Libanon: Dar al-Fikr, 1992), h. 48 16 Nouruzzaman Shiddiqy, Jeram-jeram Peradaban Muslim, (Yogyakarta :
Pustaka Pelajar, 1996), h. 228
17 Nana Sudjana, Tuntutan Penyusunan Karya Ilmiah, (Bandung: Sinar Baru,1999),
h. 5-6
60
dahulu. Yusuf al-Qaradhawi mengartikan kawin misyar adalah dimana
seorang laki-laki pergi ke pihak wanita dan wanita tidak pindah atau
bersama laki-laki dirumahnya (laki-laki). Biasanya kawin semacam ini
terjadi pada istri kedua dan laki-laki yang melaksanakan kawin semacam
ini sudah mempunyai istri lebih dulu tinggal bersama di rumahnya.18
Tujuan kawin semacam ini ialah agar suami terbebas dari
kewajiban terhadap istri kedua untuk memberikan tempat tinggal,
memberikan nafkah, memberikan hak yang sama dibanding istri yang lain
(istri pertama). “Diskon” ini hanya diperoleh oleh seorang laki-laki dari
seorang wanita yang sangat membutuhkan peren seorang suami dalam
mengayomi dan melindunginya (meskipun dalam bidang materi sang
suami tidak dapat diharapkan).19
Alasan Yusuf al-Qaradhawi memperbolehkan perkawinan ini, dia
menganggap bahwa di era sekarang ini, rintangan perkawinan sangat
beragam, yang sebagian besar muncul dari diri wanita itu sendiri. Dari sini
kemudian bermunculan kaum awanis, yaitu:
1. Wanita-wanita yang melajang usia tua, yang telah lewat masa untuk
melangsungkan perkawinan.
2. Wanita-wanita yang masih hidup dengan orang tua mereka, dan tidak
mampu memenuhi fitrah dalam membangun sebuah keluarga dan
menjadi seorang ibu.
18
Yusuf Qardhawi, Zawajul Misyar Haqiqatuhu wa Hukmuhu, h. 5 19
Yusuf al-Qardhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, h. 394
61
3. Wanita-wanita yang mengalami perceraian, fenomena ini sangat
banyak sekali.
4. Janda yang ditinggal mati oleh suaminya sendirian atau bersama
dengan harta yang melimpah ruah.
5. Wanita-wanita karier, berkarya dan bekerja sendiri, seperti guru,
instruktur, dokter, apoteker, pengacara atau profesi lainnya yang
berpenghasilan tetap.20
Dengan adanya kaum awanis tersebut di atas, maka mereka
semuanya tidak menuntut hak materi dari suaminya. Mereka mau
melakukan perkawinan ini berdasarkan niatnya yang benar-benar murni
untuk kebaikan dirinya sendiri. Karena dia (wanita tersebut) adalah orang
yang lebih mengetahui mana yang terbaik bagi dirinya, dia adalah orang
yang berakal, baligh, pandai yang mengetahui mana yang dapat
mendatangkan manfaat dan mana yang dapat mendatangkan kerugian dan
tidak masuk dalam kategori orang yang harus dilindungi, seperti anak
kecil, orang gila dan orang bodoh.
Dari alasan Yusuf al-Qaradhawidi atas dapat diketahui bahwa kawin
misyar pada hakekatnya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan biologis
(naluri seks) sekaligus memuliakan dan menjaga agar tidak tergelincir
dalam perbuatan zina.21
Seperti halnya kaum awanis yang merupakan
20
Yusuf al-Qardhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, h. 397. 21
Mengenai tujuan perkawinan ini terdapat beberapa rumusan dari kalangan ulama,
namun pada intinya yaitu untuk mendekatkan diri (taqqarub) kepada Allah SWT; untuk
mewujudkan rumah tangga yang sakinah mawadah dan rahmah; untuk memenuhi kebutuhan
biologis (naluri sex) sekaligus memuliakan dan menjaga agar tidak tergelincir dalam perbuatan
zina; dan melangsungkan keturunan. Lihat Dirjen Lembaga Islam Depag RI, Ilmu Fiqh, Jilid 2,
(Jakarta : Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama, 1995), hlm. 64-69
62
wanita-wanita dari segi materi sudah berkecukupan sehingga tidak
menuntut hak materi dari suaminya, dimana perkawinan bagi mereka
yang terpenting adalah status hukum dan status dalam kehidupan
bermasyarakat. Perkawinan bagi kaum awanis bila ditinjau dari hukum
perkawinan adalah wajib.22
Orang yang menentang perkawinan ini mengatakan bahwa
apabila dihalalkan kawin ini hanya sebagai solusi bagi orang-orang kaya
yang terlambat melaksanakan perkawinan, bagaimana dengan orang-
orang miskin yang tidak mampu melangsungkan pernikahan?. Yusuf al-
Qaradhawi berkata kepada mereka, “Ketidakmampuan kita dalam
menangani suatu persoalan, tidak mengharuskan kita untuk tidak berbuat
sama sekali, serta tidak berusaha mencari solusi berikutnya.”
Mengenai sebagian dari suatu permasalahan masih lebih baik dari
pada tidak sama sekali. Dalam hal ini yang harus kita lakukan adalah
berusaha sesuai dengan kemampuan kita, karena masing-masing kita
mempunyai batas kemampuan. Dengan demikian akan memberikan
kesempatan kepada yang lain untuk berbuat seperti apa yang telah kita
perbuat. Semuanya kita kembalikan ke niat kita masing-masing, sesuai
dengan firman Allah.23
…. …
“...Barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan
mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rizki dari arah yang
tidak disangka-sangka... (QS. at-Thalaaq: 2-3)
22
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta : UI Press, 1974), h. 49 23
Yusuf al-Qardhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, h. 412
63
Ada sebagian pendapat yang mengatakan bahwa mengapa kita
tidak mencari solusi, langsung ke akarnya saja, yaitu dengan cara
mempermudah dilaksanakannya perkawinan biasa yang sesuai dengan
syara. Dengan cara ini alasan tidak dilaksanakannya kawin karena
mahalnya mahar dapat diminimalisir, atau kita menetapkan keringanan
pemberian mahar (pemberian dari seorang calon suami kepada calon
istri), serta melonggarkan syarat-syarat yang telah ditetapkan Allah SWT.
Dalam memilih pasangan hidup (dari segi akhlaknya dan lain sebagainya).
Yusuf al-Qaradhawi menjawab, “Apa yang telah saya lakukan
adalah tanggung jawab bersama. Saya telah berusaha lebih dari 30 tahun
memahamkan masyarakat tentang permasalahan ini lewat mimbar-
mimbar, makalah-makalah, masjid, televisi, dan radio. Akan tetapi taqlid
yang telah tertancap pada pemahaman mereka, tidak dapat hilang begitu
saja. Meskipun misalnya saya dapat berhasil mendapatkan jalan keluar
bagi orang-orang yang sulit mendapatkan jodoh, namun masih banyak
kita jumpai janda-janda (baik yang di tinggal mati suaminya ataupun yang
ditalak).”
Ketika mereka (wanita-wanita yang tidak bersuami) mendapati
model kawin misyar adalah salah satu solusi (tentunya dengan memilih
laki-laki yang betul-betul baik budi pekertinya dan mereka sudah sama-
sama ridha). Padahal zaman sekarang adalah zaman di mana pintu
perbuatan haram terbuka lebar-lebar. Yusuf al-Qaradhawi berharap agar
apa yang dilakukan ini dapat menjadi sebuah solusi dan sebagai jalan
64
petunjuk yang benar. Allah SWT adalah Yang Berkata benar dan sebaik-
baik Pemberi petunjuk.24
C. Relevansi Pandangan Yusuf al-Qaradhawi dalam Konteks Hukum
Indonesia
Adapun pengertian perkawinan dalam hukum positif telah diatur
dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu bahwa
perkawinan adalah “Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa”.25
Pengertian perkawinan yang telah digariskan oleh UU No. 1
Tahun1974 di atas mengandung pengertian bahwa sebagai negara yang
berdasarkan Pancasila, dimana sila yang pertamanya ialah Ketuhanan
Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan erat sekali
dengan agama/kerohanian sehingga perkawinan bukan saja mempunyai
unsur lahir/jasmani tetapi unsur batin/ruhani juga mempunyai peranan
yang penting. Membentuk keluarga yang bahagia erat hubungannya
dengan keturunan yang juga merupakan tujuan perkawinan, dimana
pemeliharaan dan pendidikan anak menjadi hak dan kewajiban orang tua.26
Disamping definisi yang diberikan oleh UU No. 1 Tahun 1974,
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia juga memberikan definisi lain yang
24
Yusuf al-Qardhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, h. 413 25
Undang –Undang Perkawinan (UU RI No.1 Tahun 1974) Beserta penjelasannya,
(Yogyakarta : Pustaka Widyatama, 2004), h 8 26 Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), h. 9.
65
tidak mengurangi beberapa arti definisi undang-undang tersebut namun
bersifat menambah penjelasan dengan rumusan pasal 2 bab II KHI yaitu
“Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan yaitu akad yang
sangat kuat atau mîtsâqan ghalîzhan untuk mentaati perintah Allah Swt.
dan melaksanakannya merupakan ibadah”.27
Bila kita lihat hukum perkawinan di Indonesia tentang sahnya
perkawinan, disebutkan dalam Undang-Undang Perkawinan pasal 2 ayat (1)
dikatakan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut agamanya
dan kepercayaannya itu.28
Maka bagi umat Islam ketentuan mengenai
terlaksananya akad nikah dengan baik tetap mempunyai kedudukan yang sangat
menentukan untuk sah atau tidaknya sebuah perkawinan. Maksud dari
perkawinan yang sah disini adalah suatu perkawinan yang dilakukan oleh orang-
orang Islam Indonesia, memenuhi baik rukun-rukun maupun syarat-syarat
perkawinan, seperti yang diatur dan ditentukan oleh Undang-undang Nomor 1
tahun 1974.29
Selain dilakukan menurut agamanya dan kepercayaannya, perkawinan
harus dicatatkan. Ketentuan ini dalam Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974
pasal 2 ayat (2) : “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku”. Dan pencatatan adalah salah satu bukti otentik dalam
berinteraksi.
27
Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975 serta Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Departemen Agama
RI, 2004), h. 128. 28
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1995), h.
71 29
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta : UII Press, 1999), h. 8.
66
Dengan demikian ketentuan pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) tersebut
mengindikasikan bahwa suatu perkawinan dianggap sah apabila telah memenuhi
dua syarat, yaitu :
1. Telah memenuhi ketentuan materiil, yaitu telah dilakukan dengan memenuhi
syarat dan rukun menurut hukum Islam
2. Telah memenuhi ketentuan hukum formil, yaitu telah dicatatkan pada
Pegawai Pencatat Nikah yang berwenang.
Perkawinan yang hanya memenuhi ketentuan hukum materil tetapi tidak
memenuhi ketentuan hukum formil dianggap tidak pernah ada perkawinan atau
wujuduhu ka‟adamihi, sedang perkawinan yang telah memenuhi ketentuan
hukum formil tetapi ternyata tidak memenuhi ketentuan hukum materiil dapat
dibatalkan.30
Ketentuan sahnya perkawinan menurut peraturan perundangan di
Indonesia tersebut di atas, bila dikaitkan dengan pendapat Yusuf al-Qaradhawi
tentang kawin misyar, dapat dikatakan bahwa pendapatnya tersebut sesuai
dengan ketentuan Undang-undang No 1 tahun 1974 pasal 2 tentang sahnya
perkawinan. Dalam pasal 2 ayat (1), terlihat kesesuaiannya dengan pendapat
Yusuf al-Qaradhawi yang mengatakan "pernikahan ini sebagaimana yang disebut
oleh banyak orang, tetapi yang penting menurut saya adalah terpenuhinya rukun
dan syarat ikatan pernikahan". Sedangkan pada pasal 2 ayat (2) juga terlihat
kesesuaiannya dimana Dia mensyaratkan pernikahan ini tidak dilakukan secara
sembunyi dan rahasia, melainkan dilakukan pencatatan secara resmi di institusi
yang kompeten menanganinya.
30
A. Mukti Arto, “Masalah Pencatatan Perkawinan dan Sahnya Perkawinan”, dalam
Mimbar Hukum, (Jakarta : Intermasa, 1993), hlm. 47
67
Penjelasan Yusuf al-Qaradhawi tentang nikah misyar konsepnya sama
dengan perkawinan poligami. Poligami sendiri adalah memiliki istri lebih dari
satu, secara implisit regulasi mengenai poligami di Indonesia, tertulis
dalam berbagai peraturan perundang-undangan perkawinan. Regulasi
tersebut, terdapat dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan, Peraturan Pemerintah RI Nomor 9 tahun 1975 tentang
Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
Pasal-pasal tentang poligami yang ada pada Undang-undang
Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 3 ayat 2: Pengadilan,
dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari
seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.31
Pasal 4 ayat 1 : Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari
seorang, sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat 2 Undang-undang ini,
maka ia wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah
tempat tinggalnya. Pasal 4 ayat 2 : Pengadilan dimaksud dalam ayat 1
pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan
beristeri lebih dari seorang apabila :
a) Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri,
b) Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan,
c) Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
31
Undang –Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974, h. 2
68
Pasal 5. ayat 1 : Untuk dapat mengajukan permohonan kepada
pengadilan dalam pasal 4 ayat 2 undang-undang ini harus dipenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:
a) adanya persetujuan dari isteri/ isteri-isteri,
b) adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-
keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka.
c) adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri
dan anak-anak mereka.
Pasal 5. ayat 2 : Persetujuan yang dimaksud pada ayat 1 huruf (a)
pasal ini tidak diperlakukan bagi seorang suami apabila isteri-isterinya
tidak mungkin dimintai persetujuan dan tidak dapat menjadi pihak dalam
perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari iasterinya sekurang-
kurangnya 2 tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu
mendapat penilaian dari hakim pengadilan.32
Apabila konsep poligami dalam nikah misyar sudah memenuhi
persyaratan yang diatur dalam Undang-undang perkawinan, maka terdapat
kesesuaian dan dapat dikatakan sah menurut Hukum Perkawinan Indonesia
32
Undang –Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974, h. 2
69
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian dan pembahasan yang telah penulis sampaikan mengenai
Pemikiran Yusuf al-Qaradhawi Tentang Nikah Misyar, maka penulis dapat
mengambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Alasan Yusuf al-Qaradhawi memperbolehkan nikah misyar ini karena
rukun dan syaratnya sudah terpenuhi, dan seorang wanita diperbolehkan
memberikan tanazul (keringanan) dari sebagian hak-haknya dan sekaligus
memuliakan dan menjaga agar tidak tergelinci dari perbuatan zina.
2. Alasan sosiologis Yusuf al-Qaradhawi yaitu karena di era sekarang ini
rintangan perkawinan sangat beragam yang muncul dari wanita itu sendiri,
seperti kaum awanis yang tidak lagi menuntut hak materi dari suaminya,
dan melakukan perkawinan ini dengan niat yang murni untuk kebaikan
dirinya sendiri.
3. Seseorang yang melakukan nikah misyar ini banyak terjadi di bawah
tangan, maksudnya tidak tercatat secara resmi. Namun Yusuf al-
Qaradhawi menganjurkan agar pernikahan ini tercatatkan secara resmi
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada, agar memiliki sisi
aman bagi si istri dan anak-anak yang terlahir dalam hubungan ini, tetapi
apabilah dilakukan di bawah tangan sudah sepantasnya dilarang. Konsep
nikah misyar ini sama dengan perkawinan poligami, jika nikah misyar sudah
memenuhi persyaratan perkawinan poligami seperti yang diatur dalam Undang-
70
undang perkawinan, maka dapat diktakan sah dalam Hukum Perkawinan
Indonesia.
B. Saran
Dalam bab ini, penulis juga ingin mengajukan beberapa saran sebagai berikut:
1. Menikah adalah suatu hal yang sangat mulia, sudah sepatutnya
dilaksanakan dengan niat yang baik dan dengan cara-cara yang baik.
2. Nikah misyar yang terpenuhi syarat dan rukunya, meskipun tercatat secara
resmi, penulis menyarankan agar tidak dilakukan, karena berpotensi
menimbulkan adanya kerusakan dalam rumah tangga.
3. Kajian yang penulis lakukan berkaitan dengan nikah misyar ini semoga
bermanfaat bagi kaum muslimin yang hendak melakukan pernikahan.
71
DAFTAR PUSTAKA
Abd. Ghazaly. Fiqh Munakahat. Jakarta: Prenada Media. 2003.
Ahmad, Abdullah bin Hambal. 1985. Musnad Imam Ahmad bin Hambal
(Beirut: al-Maktab al-Islami. lihat juga Ala al-din Ali Ibnu Balban al
Farisi shahih ibn Hibban Bitartibi Ibnu Balban. 1997. Beirut:
Muassasah al-risalah.
Ahmadi, Fahmi Muhammad dan Jaenal Aripin. Metode Penelitian Hukum,
Ciputat: Lembaga Penelitian. 2010.
Al Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mugirah bin
Bardizbah al-Bukhari, Shahih Bukhari, (Beirut: Dar Al Fikr, t.th), juz
III.
al-Qardhawi, Yusuf. Fatwa-Fatwa Kontemporer. Jakarta: Gema Insani. Jilid
3. cet ke 1. 2002.
al-Qardhawi, Yusuf. Ibn al-Qaryab wa al-Kutab; Malamih Shirab wa
Masirah, Terj. Cecep Taufikurrahman. Perjalanan Hidupku I. Jakarta:
Pustaka al-Kautsar. cet. 1. 2003.
Amin Suma, Muhammad. Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam. Jakarta:
Raja Grafindo Persada. cet-2. 2005.
Arto, A. Mukti. “Masalah Pencatatan Perkawinan dan Sahnya Perkawinan”.
dalam Mimbar Hukum. Jakarta: Intermasa. 1993.
As‟ad, Abd. al- Muhaimin. Risalah Nikah Penuntun Perkawinan. Surabaya:
Bulan Terang. cet. I. 1993.
Badan Penasihatan Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4) DKI Jakarta.
Membina Keluarga Sakinah. Jakarta. 2009.
Basyir, Ahmad Azhar. Hukum Perkawinan Islam. Yogyakarta: UII Press.
1999
Basyir, Ahmad Azhar. Hukum Perkawinan Islam. Yogyakarta: UII Press.
2007.
Dahlan, Abdul Aziz. “Al-Qaradhawi, Yusuf. Einsklopedi Hukum Islam.
Jakarta: PT. Ichitiar Baru Van Hoeve. Jilid 5. 2006
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Quran dan Tafsirnya.
Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf. Jilid IX Juz 25-26-27
72
Departemen Pendidikan Nasional. kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama. cet ke-4. 2008.
Dirjen Bimbingan Islam Depag RI. Ilmu Fiqh. Jakarta: Proyek Pembinaan
Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama. Jilid 2. 1995.
Hadikusumo, Hilman. Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan
hukum adat, hukum agama. Bandung: Manjar MAju. 1990.
http///:Wikipedia.com/biografi-Yusuf-Qaradhawi/?- diakses tgl 26 Oktober
2016.
http://khazanah.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/12/02/28, diakses
pada tgl 26 Oktober 2016.
Jauhari, Adi Irfan. “Nikah Misyar dan Hak Wanita Dalam Perkawinan: Studi
Analisis Hukum Islam”, Tesis S2. Konsentrasi Syariah Universitas
Negri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2007.
Kurniawan, Aslih, dkk. Pedoman Pelaksanaan Akad Nikah dan Beberapa
Kasus Perkawinan. Jakarta: Seksi Urusan Agama Islam Kemenag
Jakarta Selatan. 2010.
Muhammad To‟maah al-Qudhah, “Zawaj al-Misyar: Hukmuhu al-Shar‟i”,
artikel diakses pada tanggal 22 oktober 2016 dari
www.arabLawInfo.com
Mulia. Hukum Perkawinan, Jakarta: Sinar Grafika. 2004.
Nasir, Meneropong pelaku kawin misyar di Surabaya dari sudut dramaturgi
Erving Goffman, (Ijtihad, Jurnal Wacana Hukum Islam dan
Kemanusiaan Vol. 15, No. 2 (2015), pp. 199-218, doi:
10.18326/ijtihad.v15i2.199-218),
Nurhakim, Moh, dan Khairi Fadly. Tinjauan Sosiologis Fatwa Ulama
Kontemporer Tentang Status Hukum Nikah Misyar. Volume 14
Nomor 2 Juli - Desember 2011. Universitas Muhammadiyah Malang.
Nuruddin, Amiur, dan Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam di
Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari fikih, UU
no. 1/1974 sampai KHI. Jakarta: Kencana. cet. 1. 2006.
Qardhawi, Yusuf. Zawajul Misyar Haqiqatuhu Wa Hukmuhu. Kairo:
Maktabah wahbah. 1999.
Rifa‟i, Moh. Ilmu Fiqh Islam. Semarang: CV Toha Putra. 1978.
73
Rofiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia. Jakarta : Raja Grafindo Persada.
1995.
Sabiq, Sayyid. Fiqh Sunnah, Jilid 2. Beirut-Libanon: Dar al-Fikr. 1992.
Shatha, Muhammad, I„anat al-Thalibin. Semarang: Taha Putra, t.th
Shiddiqy, Nouruzzaman. Jeram-jeram Peradaban Muslim. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. 1996.
Subekti. Pokok-pokok Hukum Perdata. Jakarta : PT Intermasa. 1996.
Sudarsono. Hukum Perkawinan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta. 2010.
Sudjana, Nana. Tuntutan Penyusunan Karya Ilmiah. Bandung: Sinar Baru.
1999.
Syakir, Muhammad Fu‟ad. Perkawinan Terlarang: AL-Misyar, Al-Urfi dan
Mut‟ah Jakarta: Cendekia. Cet- 1. 2002.
Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh
Munakahat dan UU Perkawinan. Jakarta: Prenada Media. Cet-2. 2007
Talib, Sayuti. Hukum Kekeluargaan Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2000.
Thalib, Sayuti. Hukum Kekeluargaan Indonesia. Jakarta: UI Press. 1974.
Tim Penyusun. Enseklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve.
Jilid 5. 1997.
Tohari, Chomim. Fatwa Ulama Tentang Hukum Nikah Misyar Perspektif
Maqasid Shari‟ah, Jurnal Al-Tahrir, Vol. 13, No. 2 November 2013,
Islamic Law Marmara University Turkey.
Wahbah Zuhaily. Tajdid al-Fiqh al-Islam. Damaskus: Dar al-Fikr. 2000.
Wahhab, Abdul. Kaidah-kaidah Hukum Islam, Ilmu Ushuhul Fiqh. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada. 2000.