pemulihan pasca-tsunami: masalah dan tantangan di sri … · seri makalah penelitian no 71 januari...

76
Lembaga ADB Seri Makalah Penelitian No 71 Januari 2006 Pemulihan Pasca-Tsunami: Masalah dan Tantangan di Sri Lanka Sisira Jayasuriya, Paul Steele dan Dushni Weerakoon bekerja sama dengan Malathy Knight-John dan Nisha Arunatilake Kata Pengantar oleh Thee Kian Wie Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Emmy Quinn

Upload: duonghanh

Post on 28-Apr-2018

229 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Seri

PemulihaMasalah dan T

Sisira Jayasuriya, Pbe

Malathy Knig

Kata Penga

Diterjemahkanol

Lembaga ADB Makalah Penelitian

No 71

Januari 2006

n Pasca-Tsunami: antangan di Sri Lanka

aul Steele dan Dushni Weerakoon kerja sama dengan ht-John dan Nisha Arunatilake

ntar oleh Thee Kian Wie

ke dalam bahasa Indonesia

eh Emmy Quinn

g

ACKNOWLEDGEMENTS

Para penulis mengucapkan terima kasih kepada Saman Kelegama, Direktur Eksekutif, IPS, dan Peter McCawley, Toru Tatara, Toshiki Kanamori dan staf ADBI yang lain atas dorongan, bantuan dan tanggapan mereka.Ucapan terima kasih disampaikan pula kepada para peserta seminar IPS dan ADBI atas sumbangan mereka pada seminar tersebut. Atas sumbangan yang diberikan pada penyerahan Laporan kepada Perdana Menteri Sri Lanka di Kolombo pada tanggal 1 Desember 2005 para penulis juga mengucapkan terima kasih. Asha Gunawardana, Dinusha Dharmaratne dan Jayanthi Thennakoon memberikan bantuan penelitian yang berharga. Penelitian ini tidak mungkin dilakukan tanpa bantuan para keluarga yang mengalami bencana tsunami, pejabat pemerintah yang banyak jumlahnya, organisasi-organisasi sektor swasta, anggota LSM-LSM dan kerabat kerja di IPS. Pandangan yang dinyatakan dalam laporan ini adalah di luar tanggung jawab mereka. Demikian pula mereka tidak bertanggung jawab atas kesalahan dalam laporan ini, atau jika ada hal-hal yang lalai dicantumkan.

Additional copies of the paper are available free from the Asian Development Bank Institute, 8th Floor, Kasumigaseki Building, 3-2-5 Kasumigaseki, Chiyoda-ku, Tokyo 100-6008, Japan. Attention: Publications. Also online at www.adbi.or

The Research Paper Series primarily disseminates selected work in progress to facilitate an exchange of ideaswithin the Institute’s constituencies and the wider academic and policy communities. The findings,interpretations, and conclusions are the author’s own and are not necessarily endorsed by the Asian Development Bank Institute. They should not be attributed to the Asian Development Bank, its Boards, or any ofits member countries. They are published under the responsibility of the Dean of the ADB Institute. The Institutedoes not guarantee the accuracy or reasonableness of the contents herein and accepts no responsibilitywhatsoever for any consequences of its use. The term “country”, as used in the context of the ADB, refers to amember of the ADB and does not imply any view on the part of the Institute as to sovereignty or independentstatus. Names of countries or economies mentioned in this series are chosen by the authors, in the exercise oftheir academic freedom, and the Institute is in no way responsible for such usage.

Copyright © 2006 Asian Development Bank Institute. All rights reserved. Produced by ADBI Publishing.

ADB INSTITUTE RESEARCH PAPER 71

II

KATA PENGANTAR

Oleh Thee Kian Wie

Saya menyambut gembira kesediaan Lembaga ADB (Bank Pembangunan Asia) untuk menyediakan laporan yang amat baik ini dalam edisi Bahasa Indonesia. Laporan ini mengungkapkan hal-hal yang perlu diamalkan sehubungan dengan pengalaman Sri Lanka sewaktu dilanda gelombang tsunami, serta upaya negara tersebut untuk membangun kembali pasca-tsunami. Perbandingan lintas-negara perlu senantiasa ditanggapi dengan hati-hati. Meskipun demikian ternyata banyak di antara masalah-masalah yang dialami oleh Sri Lanka yang serupa dengan masalah yang timbul di Indonesia. •

Bantuan luar negeri mula-mula tampak lebih dari cukup untuk menutup segenap biaya rekonstruksi. Akan tetapi segeralah timbul masalah yang bertalian dengan persediaan dana bantuan, pencairan dana kredit, pembagian dana, koordinasi upaya rekonstruksi, dan salah-urus dalam pengelolaan dana. Upaya rekonstruksi tersendat dan kurang merata serta terpusat di kawasan-kawasan tertentu, sedangkan ada kawasan-kawasan lain yang sama sekali tidak tersentuh oleh upaya tersebut. Di kalangan badan-badan bantuan, baik yang asing maupun yang domestik, muncullah ketimpangan yang menonjol dalam hal koordinasi. Upaya mencari keseimbangan antara kepentingan politik dan upaya menyediakan bantuan kemanusiaan untuk orang-orang yang membutuhkannya menghadapi berbagai masalah, lagi pula sangat peka. Koordinasi dan pelaksanaan upaya rekonstruksi terhambat oleh keengganan sejumlah LSM asing untuk bekerja sama dengan badan perwakilan pemerintah. Ada pula LSM yang bersaing secara tidak sehat dengan badan-badan lain. Tata cara penyediaan dana bantuan, termasuk prosedur dan mekanisme penyediaan dana, perlu ditinjau kembali agar tanggapan menjadi lebih cepat dan lebih efektif. Sangatlah mendesak perlunya menanggulangi masalah yang muncul sehubungan dengan penggunaan dan pertanggungjawaban dana bantuan.

Saran-saran praktis yang dikemukakan dalam Laporan ini meliputi sejumlah masalah, di antaranya: penyediaan uang tunai untuk menopang kemampuan keluarga untuk mengusahakan sumber pendapatan sendiri; bantuan untuk pembangunan kembali rumah yang hilang atau rusak; penyediaan surat kepemilikan rumah baru; peraturan mengenai zona penyangga (buffer zone); sistem peringatan dini dan sistem penanggulangan bencana; koordinasi kegiatan yang didukung bantuan para donor; serta masalah perumusan kembali kebijakan makro-ekonomi.

Mudah-mudahan temuan-temuan, kesimpulan-kesimpulan dan saran-saran tindak yang disajikan dalam laporan ini bermanfaat pula bagi para pejabat pemerintah Indonesia, khususnya Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh dan Nias, serta badan-badan donor asing dan LSM Indonesia dan asing yang kini tengah berupaya keras untuk merehabilitasi dan membangun kembali Aceh dan Nias. Dengan demikian akan terkonfirmasi sejauh mana Laporan ini mengandung pelajaran yang dapat diterapkan di Indonesia, dan akan terungkap pula pemecahan yang muncul dari lingkungan Indonesia itu sendiri, sehingga dari bencana yang mengenaskan ini akan terpetik sesuatu yang berguna untuk jangka waktu panjang.

III

DAFTAR ISI

Acknowledgements II

Kata Pengantar oleh Thee Kian Wie III

Daftar Isi IV Ringkasan Eksekutif 1

1. Pengantar 5

2. Latar Belakang 7

3. Tsunami: Dampak dan Tanggapan Segera 10 3.1 Upaya Pemberian Bantuan Segera: Suatu Keberhasilan 13

4. Penilaian Dampak 14 4.1 Dampak pada PDB 16 4.2 Pengeluaran Keuangan dan Harapan 17

5. Kerusakan dan Pemulihan: Sebuah Tinjauan 18 5.1 Bantuan Internasional untuk Upaya Pemulihan 19 5.2 Koordinasi dan Pembagian Bantuan 19 5.3 Koordinasi Bantuan dengan Badan-Badan Donor dan LSM 20 5.4 Koordinasi Bantuan di Daerah yang Dikuasai LTTE 21 5.5 Masalah Mata Pencaharian 22

5.5.1 Perikanan 26 5.5.2 Pariwisata 29 5.5.3 Hibah Uang Tunai 30 5.5.4 Usaha Mikro dan Microfinance 32

6. Membangun Kembali Aset Tetap dan Prasarana 36 6.1 Perumahan 37 6.2 Perumahan dan Zona Penyangga 37 6.3 Pelaksanaan Program Perumahan 41

7. Masalah yang Timbul 44 7.1 Bantuan: Janji dan Pemenuhannya 44 7.2 Pemanfaatan Bantuan 45 7.3 Kenaikan Biaya dan Memadai Tidaknya Pendanaan 47

IV

8. Bantuan, Kenaikan Biaya dan ‘Penyakit Belanda’: Pengaruh dan Implikasinya 49

8.1 Nilai Tukar dan Penggantian Aset tetap 52 8.2 Menutup Jurang Pendanaan yang sedang Timbul 53 8.3 Kebijakan Fiskal dan Moneter 54

9. Beberapa Pelajaran dan Rekomendasi 55 9.1 Meninjau Kembali Hibah Uang Tunai sebagai Bantuan Mata

Pencaharian bagi Keluarga Korban Bencana Tsunami 56 9.2 Meninjau Kembali Bantuan Uang Tunai untuk

Perbaikan/Pembangunan Kembali Rumah 56 9.3 Menentukan Si Penerima Rumah dan Sertifikat Kepemilikan

Rumah Baru 57 9.4 Peraturan mengenai Zona Penyangga 57 9.5 Sistem Peringatan Dini dan Sistem Pengelolaan Bencana 58 9.6 Koordinasi Bantuan 63 9.7 Transparansi dan Akuntabilitas dalam Pengucuran Bantuan 63 9.8 Kebijakan Makro-Ekonomi 64

Acuan 66

V

Tabel dan Gambar

Tabel 1. Pilihan Sejumlah Indikator Makro-Ekonomi: 2000–2005 9

Tabel 2. Perkiraan Kerugian dan Penilaian Kebutuhan untuk

Rekonstruksi dan Pembangunan Kembali (AS$ juta) 16

Tabel 3. Bantuan Donor untuk Kegiatan Rekonstruksi Pasca-Tsunami 19

Tabel 4. Perumahan yang Dibangun Donor: Status Sekarang

(September 2005) 43

Tabel 5. Angsuran Bantuan untuk Perumahan yang Dibangun Pemilik:

Status (November 2005) 44

Tabel 6. Kenaikan Biaya: Pembangunan Perumahan 48

Tabel 7. Indikator Terpilih Keuangan Negara 54

Gambar 1. Jumlah korban jiwa Tsunami yang dilaporkan 12

Gambar 2. Kurs Nominal (AS$ per Rs) 18

Lampiran

Tabel A-1. Patokan Jalur Setback yang Dianjurkan 68

Tabel A-2. Komitmen, Pengucuran dan Pemanfaatan Bantuan Luar

Negeri menurut Jenis 69

Tabel A-3. Harga Bahan Bangunan Utama 69

Gambar A-1. Laju Inflasi dan Suku Bunga 70

VI

Ringkasan Eksekutif

1. Di Sri Lanka gelombang tsunami yang terjadi pada 26 Desember 2004 menelan korban jiwa lebih dari 30.000 orang, hampir satu juta orang kehilangan tempat tinggal dan diperkirakan 150.000 orang kehilangan mata pencaharian utamanya. Aset prasarana dan modal mengalami kerusakan besar (diperkirakan sekitar AS$1 milyar (4,5% dari PDB)) khususnya dalam sektor pariwisata dan perikanan. Kebutuhan keuangan jangka menengah diperkirakan sebesar kira-kira AS$1,5–1,6 milyar (7,5 persen dari PDB). PDB diperkirakan akan turun sebanyak 0,5–1,0%. 2. Sepanjang sejarahnya Sri Lanka belum pernah mengalami bencana seperti itu. Oleh karena itu negara ini sama sekali tidak siap menghadapi bencana tsunami. Namun dengan tanggapan masyarakat yang begitu besar, diikuti oleh tindakan pemerintah dan dunia internasional, Sri Lanka dapat melaksanakan upaya bantuan awal, yang dalam keadaan demikian dapat dikatakan berhasil. 3. Bantuan dari luar yang dijanjikan – seluruhnya berjumlah AS$2.2 milyar selama 2–3 tahun mendatang – tampaknya lebih dari cukup untuk menutup ongkos rekonstruksi seluruhnya. Akan tetapi telah timbul masalah dalam hal pengucuran bantuan, penyediaan fasilitas kredit, pembagian dana, koordinasi kegiatan rekonstruksi, dan salah kelola dana. Jelaslah bahwa upaya membangun kembali menghadapi tantangan-tantangan yang rumit dan sulit pada tahap awalnya. 4. Tidak ada yang lebih penting bagi sebuah rumah tangga daripada rumahnya. Rekonstruksi dan perbaikan tempat tinggal terhalang karena adanya zona bebas bangunan yang ditetapkan sebagai zona penyangga sepanjang pantai (‘no-build’ coastal buffer zone), pengurangan pengucuran bantuan dan kenaikan harga. Rekontruksi berjalan lambat, tidak merata, dan terpusat di kawasan selatan dan tenggara, meskipun daerah yang mengalami kerusakan paling parah terdapat di bagian timur dan timur laut. 5. Pengeluaran biaya untuk rekonstruksi menyebabkan suatu jenis ‘Penyakit Belanda’ (Dutch Disease) yang tercermin pada meningkatnya biaya pembangunan yang terjadi dengan cepat (ada yang naik sebesar 40–60%). Inflasi keseluruhan, yang terutama disebabkan oleh faktor kebijakan dan faktor-faktor eksternal, makin melaju. Laju inflasi ini mungkin akan bertambah karena pengeluaran untuk pemilihan umum, harga minyak yang tinggi dan pengeluaran negara yang belum lama ini dijanjikan akan ditambah. Hal ini membawa implikasi bahwa akan diperlukan tambahan dana yang besar untuk sepenuhnya mencapai target pembangunan dalam sektor perumahan swasta dan dalam pembangunan prasarana umum. Ini berarti pula akan ada kekurangan dana yang besar. Pemerintah tidak mempunyai banyak pilihan untuk menutup kekurangan dana ini. Akibatnya keluarga miskin dan rekonstruksi prasarana umum kemungkinan akan terpukul. 6. Laporan penulis mengangkat masalah dalam bidang-bidang berikut dan memberikan beberapa rekomendasi yang berkaitan dengan upaya merumuskan kebijakan baru: pemberian uang tunai untuk keperluan hidup kepada keluarga; bantuan untuk

1

membangun kembali rumah; sertifikat kepemilikan rumah baru; peraturan mengenai zona penyangga; sistem peringatan dini dan pengelolaan bencana; koordinasi kegiatan-kegiatan yang dibantu oleh donor dan masalah-masalah yang menuntut kebijakan makro-ekonomi yang lain. 7. Hibah bulanan sebesar Rs 5.000 (AS$50) – jumlah yang tidak banyak dan di bawah garis kemiskinan untuk suatu rumah tangga – semula diharapkan akan diberikan selama enam bulan kepada semua keluarga yang mengalami kerugian akibat bencana. Akan tetapi jangka waktu 6 bulan ini telah dikurangi menjadi empat bulan dan cakupannya diperkecil dengan memperketat peraturan yang menentukan siapa yang berhak menerima. Hal ini tidak adil dan membawa akibat buruk. Hibah sebaiknya diberikan selama enam bulan kepada semua keluarga yang terkena bencana dengan menggunakan dana dari donor yang diperuntukkan bagi bantuan mata pencaharian. 8. Hibah uang tunai untuk membangun kembali dan memperbaiki rumah jelas tidak cukup mengingat kenaikan harga yang terjadi. Penulis menyarankan agar hibah ini ditinjau kembali dan ditingkatkan, paling tidak untuk keluarga miskin, dengan menggunakan dana dari donor yang diperuntukkan bagi tujuan ini. 9. Berhak tidaknya memperoleh rumah baru hendaknya ditentukan berdasarkan kriteria yang jelas dan dengan cara yang transparan. Sertifikat kepemilikan sebaiknya diberikan kepada suami dan istri bersama, kecuali dalam hal keluarga orang tua tunggal, dengan mengadakan perubahan seperlunya pada undang-undang yang sekarang berlaku. Batas waktu yang berlaku bagi penjualan rumah kepada orang yang bukan anggota keluarga sebaiknya dikurangi untuk memperkecil ketidak-efisienan pasar dan transaksi gelap. 10. Zona penyangga untuk melindungi lingkungan pantai dan memperkecil dampak bahaya alam di masa mendatang itu pada hakekatnya bermanfaat, dan konsep dasarnya sebaiknya dipertahankan. Namun demikian, batas zona sebaiknya ditentukan melalui proses yang transparan dan berdasarkan konsultasi. Dasar pemikiran ilmiah dan ekonomi yang melandasi penentuan batas-batas zona hendaknya dijelaskan, dan peraturan haruslah digabungkan dengan sistem yang berdasarkan insentif dengan berpedoman pada pengalaman dari dunia internasional. 11. Pemulihan mata pencaharian haruslah dipusatkan pada sektor-sektor penting yang telah terkena bencana seperti perikanan, pariwisata dan usaha menengah untuk mewujudkan peningkatan kesejahteraan bagi golongan miskin. Pada tingkat lokal, rencana pemulihan ekonomi harus dilaksanakan dengan mendahulukan keluarga miskin dan dengan pimpinan dari pemerintah lokal dan masukan dari LSM. Untuk meningkatkan kesejahteraan pada tingkat nasional maupun tingkat lokal dalam bidang ekonomi diperlukan pendekatan luas dengan belajar dari, dan berdasarkan pada, pengalaman masa lalu dalam mengurangi kemiskinan di Sri Lanka. Di samping itu pemulihan mata pencaharian perlu ditempatkan dalam konteks politik, ekonomi dan sosial yang lebih luas. Dibandingkan dengan tantangan kelembagaan, dana tidak begitu menjadi hambatan dalam mengatasi kecurigaan dan persepsi negatif di antara pihak-

2

pihak utama yang berkepentingan. Kedua hal ini dapat diatasi dengan menggunakan pengetahuan yang lebih baik mengenai permintaan akan mata pencaharian dan persediaan kegiatan mata pencaharian, dan memberikan suara yang lebih besar kepada keluarga-keluarga yang terkena bencana. Di samping itu masalah kecurigaan dan persepsi negatif tersebut juga dapat diatasi dengan memperkuat kapasitas pemerintah lokal, keluarga yang terkena bencana, LSM dan organisasi yang bertumpu pada masyarakat (CBO) untuk merencanakan, melaksanakan dan memantau program-program pemulihan mata pencaharian dan meningkatkan penggunaan keuangan-mikro sebagai alat untuk mengurangi kemiskinan. 12. Bencana tsunami, gempa bumi Pakistan-India, perubahan iklim, dan pendapat-pendapat para ilmuwan semuanya menunjukkan dengan jelas bahwa kita perlu lebih siap menghadapi bencana alam. Berdasar pada Undang-Undang Pengelolaan Bencana Sri Lanka (Sri Lanka Disaster Management Act) (yang diajukan kepada Parlemen pada bulan Februari 2005), haruslah dirumuskan suatu sistem pengelolaan bencana yang didasarkan pada pemikiran ilmiah yang kuat dan secara keuangan layak yang disiapkan untuk menghadapi bermacam-macam bahaya yang mungkin melanda. Sri Lanka tidak mampu memiliki bermacam-macam sistem peringatan khusus untuk menanggulangi kejadian yang kecil kemungkinannya untuk benar-benar terjadi. Perlu diadakan penyelidikan khusus untuk mengetahui sumber dana yang mungkin dapat dimanfaatkan untuk menanggulangi bencana mendadak, di antaranya asuransi dan pasokan cadangan dana. 13. Koordinasi yang kurang baik antara badan-badan dalam dan luar negeri telah menimbulkan masalah serius, di samping masalah peka bagaimana menjaga keseimbangan antara pertimbangan politik dan bantuan kemanusiaan kepada mereka yang memerlukannya. Ada beberapa LSM internasional yang segan bekerja sama dengan lembaga-lembaga pemerintah. Koordinasi dan pelaksanaan terhambat pula dengan sikap dan tindakan bersaing dengan badan-badan. Cara menggunakan bantuan, termasuk prosedur dan mekanismenya, sebaiknya ditinjau kembali untuk meningkatkan tanggapan yang cepat dan efektif. 14. Masalah penggunaan dan akuntabilitas bantuan yang disoroti oleh Departemen Auditor Jenderal haruslah segera ditangani. Namun, meskipun terdapat kelemahan-kelemahan dan ketidak-efisienan ini, harus pula diakui kekuatan dan sumbangan positif dari lembaga-lembaga pemerintah. Upaya untuk menyisihkan lembaga-lembaga pemerintah dengan menggantungkan diri terutama pada LSM-LSM dapat membawa akibat buruk, dan mempersulit koordinasi upaya rekonstruksi. Harus diambil suatu pendekatan yang seimbang untuk meningkatkan koordinasi di antara kelompok-kelompok donor, pemerintah dan masyarakat. 15. Keseluruhan keadaan dan kebijakan pengelolaan makro-ekonomi itu penting sekali agar upaya rekonstruksi berhasil. Gelombang tsunami melanda pada saat negara mengalami ketimpangan makro-ekonomi yang serius, dan secara paradoksal bencana tersebut membantu menyelubunginya untuk sementara waktu. Akan tetapi saat ini

3

masalah tersebut timbul kembali, mendorong inflasi, menurunkan nilai nyata dana bantuan, mengekang kapasitas keuangan pemerintah, dan membawa pengaruh negatif pada kegiatan rekonstruksi. Tekanan pada nilai mata uang Sri Lanka menimbulkan godaan untuk menopang nilai mata uang tersebut dengan menggunakan devisa bantuan tsunami dan menunda kegiatan rekonstruksi. Hal ini akan mewujudkan stabilitas jangka pendek dengan mengorbankan rekonstruksi, pembangunan dan keadilan, sementara pada jangka panjang ketimpangan makro-ekonomi diperparah. Ketimpangan makro-ekonomi yang lebih luas sebaiknya ditangani secara langsung dengan menargetkan sumbernya; dana bantuan tsunami sebaiknya digunakan semata-mata untuk tujuan rekonstruksi.

4

Pemulihan Pasca-Tsunami: Masalah dan Tantangan di Sri Lanka

Sisira Jayasuriya, Paul Steele dan Dushi Weerakoon bekerja sama dengan

Malathy Knight-John dan Nisha Arunatilake

1. Pengantar

Pada tanggal 26 Desember 2004 Sri Lanka dilanda gelombang tsunami yang disebabkan oleh gempa bumi raksasa yang terjadi di lepas pantai sekitar 1.500 km jauhnya di lepas pantai Sumatra barat laut. Gempa yang berukuran 9,0 pada skala Richter tersebut tercatat sebagai salah satu gempa yang terbesar yang pernah terjadi di laut. Gempa ini terjadi karena lempeng tektonis India dan Birma bergerak sepanjang garis temunya.1 Lebih dari 1.000 km kerak bumi tiba-tiba terlonjak, dan lempeng Birma bergerak sejauh kira-kira 13 m di atas lempeng India yang mendesak dari bawah. Desakan ini dengan cepat mengangkat dasar laut. Lautan yang dalam dan terbuka sepanjang 1.500 km di teluk Bengali memungkinkan gelombang laut bertambah lajunya dan membentuk dinding air raksasa yang semakin meninggi saat gelombang memasuki perairan dangkal sepanjang garis pantai.

Gempa terjadi pada tanggal 26 Desember pada pukul 6.58 pagi waktu Sri Lanka. Gelombang besar pertama melanda pantai timur pada pukul 8.35 pagi. Segera sesudah itu gelombang dengan tinggi beberapa meter menghantam bagian-bagian lain pantai tersebut. Dalam waktu singkat lebih dari 30.000 orang telah tewas, dan beberapa ratus ribu lainnya kehilangan tempat tinggal. Di samping itu beribu-ribu rumah dan gedung lain, rel kereta api, jembatan, jaringan komunikasi dan prasarana serta aset lain mengalami kerusakan besar.

Sri Lanka sama sekali tidak siap menghadapi gelombang tsunami itu. Negara ini mengalami musim kemarau panjang secara periodik, banjir, tanah longsor dan kadang-kadang badai. Akan tetapi sepanjang sejarahnya negara ini belum pernah dilanda gelombang tsunami, atau bahkan bencana alam lain apa pun dengan skala dan ukuran seperti ini. Bahkan gelombang tsunami akibat letusan Gunung Krakatau pada

1 “Gempa bumi yang terjadi tidak jauh dari permukaan dasar laut merupakan penyebab terjadinya kebanyakan gelombang tsunami meskipun kadang-kadang tanah longsor yang dipicu oleh kejadian seismik yang lebih kecil berpotensi menyebabkan gelombang yang membawa korban jiwa. Gempa bumi yang kuat menyebabkan perpindahan kerak. Jika hal ini terjadi di bawah air, gerakan kerak ini mengganggu sejumlah besar air seperti kayuh raksasa dan riak bergerak ke semua arah dengan kecepatan 600–800 kilometer per jam, yaitu dengan kecepatan yang sebanding dengan pesawat terbang komersial. Di lautan terbuka, riak ini tidak terlihat. Akan tetapi segera sesudah riak tersebut mencapai perairan yang lebih dangkal, kecepatannya berkurang dan mulai membentuk puncak. Gelombang yang terbentuk disebut “tsunami”. Secara ilmiah, gelombang tsunami dikatakan sebagai sederetan gelombang laut dengan panjang gelombang yang sangat panjang yang disebabkan oleh berpindahnya air secara tiba-tiba karena gempa bumi, tanah longsor, atau nendatan bawah laut, yang biasanya disebabkan oleh gempa besar berukuran 7,5 atau lebih.” (http://asc-india.or/menu/waves.htm)

5

tahun 1883 pun telah kehilangan sebagian besar kekuatannya pada saat mencapai Sri Lanka, dan hanya membawa dampak yang hampir tidak berarti pada pantai timur tanpa mencatat korban jiwa. Meskipun getaran bumi kecil tidak jarang terjadi, selama tiga abad negara ini belum pernah mengalami gempa besar.2 Sri Lanka tidak memiliki sistem peringatan bahaya domestik yang efektif, dan tidak menganggap perlu menjadi bagian dari sistem peringatan dini internasional, seperti Sistem Peringatan Tsunami (Tsunami Warning System – TWS) di kawasan Pasifik (dengan 26 negara anggota).

Jumlah korban jiwa dan kerusakan akibat gelombang tsunami merupakan kejutan besar bagi Sri Lanka. Segera sesudah terjadi bencana tsunami ini, masyarakat Sri Lanka memberikan tanggapan bukan hanya dengan perasaan terkejut, duka dan ngeri, tetapi juga dengan curahan rasa perikemanusiaan dan ketabahan yang melampaui batas-batas ras dan kepercayaan. Pada hari-hari berikutnya, dengan dukungan yang datang dari organisasi-organisasi internasional, mereka berhasil memastikan bahwa korban yang masih hidup mendapat makanan, pakaian dan tempat berlindung, yang luka-luka diberi perawatan medis, dan beribu-ribu jenazah dikremasikan atau dikubur. Dapatlah dimaklumi bahwa upaya ini kadang-kadang diikuti kebingungan bahkan kekacauan. Meskipun demikian tidak dapat diragukan bahwa Sri Lanka boleh merasa bangga akan tanggapannya terhadap tantangan yang pertama timbul dari dampak gelombang tsunami.

Kehancuran luas yang disebabkan oleh gelombang tsunami di Sri Lanka maupun di tempat-tempat lain di Asia menarik perhatian dunia dan menimbulkan gelombang rasa simpati dan dukungan. Untunglah banyak daerah pantai ini terkenal sebagai tempat tujuan wisata. Perhatian media dunia mungkin diperbesar oleh kenyataan bahwa banyak wisatawan dari barat terperangkap dalam tragedi ini. Belum pernah media internasional memberikan liputan yang begitu luas pada suatu bencana alam yang terutama melanda sekelompok negara-negara berkembang. Bantuan pada tingkat pemerintah dan non-pemerintah – baik yang segera maupun yang dijanjikan untuk masa mendatang – juga belum pernah sebesar bantuan sesudah bencana tsunami. Untuk Sri Lanka, seperti untuk negara-negara lain yang terkena bencana dan yang siap menerima bantuan dari luar negeri, bantuan dari luar negeri yang dijanjikan tampak lebih dari cukup untuk digunakan sebagai bantuan darurat kepada semua korban maupun untuk menutup biaya rekonstruksi, dan, untuk beberapa waktu, menciptakan suasana mendekati euforia pada tingkat nasional. Namun, setelah bulan-bulan berlalu, maka mulai menjadi jelaslah bahwa di antara bantuan kemanusiaan darurat dan pelaksanaan tugas-tugas rekonstruksi raksasa timbullah sederetan tantangan yang beragam dan, dalam banyak hal, lebih rumit.

Trauma, kedukaan dan penderitaan sehubungan dengan kematian anggota keluarga, saudara dan teman, hancurnya rumah-rumah, pengungsian, hilangnya mata pencaharian, simpanan serta milik berharga semuanya tidak ada yang dapat diukur. Tugas membangun kembali kehidupan yang hancur merupakan tugas yang sukar dan sulit yang memerlukan bantuan material maupun non-material serta strategi dengan banyak segi dan pendekatan yang beraneka ragam. Akan tetapi yang menjadi pusat 2 Catatan sejarah menunjukkan terjadinya gempa besar pada tahun 1615 yang menyebabkan banyak kerusakan dan korban jiwa. (http://www.lankalibrary.com/geo/portu/earthquake.htm)

6

perhatian di sini terutama adalah masalah-masalah ekonomi yang berkaitan dengan rekonstruksi dan pemulihan pasca-tsunami, yang mencerminkan keterbatasan karena waktu, sumber daya dan keahlian penulis. Laporan ini didasarkan pada sejumlah penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Kajian Kebijakan Sri Lanka (Institute of Policy Studies of Sri Lanka) bekerja sama dengan Pusat Penelitian Ekonomi Asia (Asian Economics Centre) di Universitas Melbourne, dengan limpahan bantuan keuangan dari Lembaga Bank Pembangunan Asia (ADBI). Harapan penulis ialah bahwa laporan ini akan memberikan sumbangan pada pembahasan dan perdebatan mengenai kebijakan yang tepat untuk upaya rekonstruksi jangka menengah dengan menyajikan analisis mengenai beberapa dari masalah terpenting dari sudut pandang Sri Lanka.3

2. Latar Belakang

Gelombang tsunami melanda pada saat makro-ekonomi Sri Lanka mengalami tekanan di beberapa front. Hal ini menimbulkan kembali kecemasan bahwa ekonomi akan terpuruk ke dalam krisis seperti yang terjadi pada tahun 2001 ketika ekonomi menyusut sebesar 1,5 persen (Tabel 1). Beberapa masalah yang menyebabkan krisis tahun 2001 tengah muncul kembali.

Krisis tahun 2001 terutama disebabkan oleh kebijakan domestik dan lingkungan politik yang cepat memburuk dalam konteks menumpuknya ketimpangan makro-ekonomi. Hal ini diperparah oleh lebih rendahnya jumlah ekspor karena keadaan ekonomi dunia yang sedang mengalami depresi serta merosotnya hasil pertanian akibat cuaca buruk. Keadaan ini kemudian berbalik arah berkat serangkaian prakarsa kebijakan politik dan ekonomi. Diupayakannya persetujuan gencatan senjata (CFA) dengan kelompok Liberation Tigers of Tamil Eelam (LTTE) dilihat sebagai langkah pertama menuju penyelesaian konflik etnis yang telah berlarut-larut. Prospek akan terciptanya perdamaian yang akan bertahan lama dan serangkaian reformasi riil dalam bidang ekonomi – termasuk pengapungan nilai mata uang – sampai tingkat tertentu berhasil memperoleh dukungan donor dan memperbarui kepercayaan para investor. PDB tumbuh kembali dengan angka tahunan sebesar 6 persen pada tahun 2003, upaya konsolidasi keuangan berhasil terus mengurangi defisit anggaran belanja dari 10,8 persen menjadi 8 persen pada tahun 2001, sedangkan inflasi mencapai angka yang lumayan, yaitu dari 14,2 persen menjadi 6,3 persen pada tahun 2003. Masyarakat bisnis dan investor merasa agak gelisah mengenai arah kebijakan di bawah pemerintahan baru yang dipilih pada bulan April 2004. Programnya, yang menyatakan ‘pertumbuhan dengan keadilan’ sebagai tujuannya, dan yang sangat menekankan pembangunan ekonomi pedesaan, dipandang bersifat populis dan intervensionis.

Pertumbuhan ekonomi mulai mengendur sejak triwulan kedua tahun 2004 dan tahun itu berakhir dengan angka pertumbuhan sebesar 5,4 persen. Ketidak-pastian yang berkaitan dengan pemilihan umum dan tidak adanya kebijakan sesudahnya pastilah ikut menyebabkan mundurnya kegiatan ekonomi. Beberapa kelemahan kebijakan dan lambatnya reformasi juga ikut menyebabkan kurang gemilangnya kinerja yang dicapai. 3 Athukorala dan Resosudarmo (2005) menyajikan pembahasan awal tentang beberapa dari masalah kebijakan yang berkaitan dengan rekonstruksi tsunami di Indonesia dan Sri Lanka.

7

Hal yang sangat jelas merupakan akibat dari pengelolaan makro-ekonomi yang melemah pada tahun 2004, dan yang paling berpotensi menyebabkan destabilisasi makro-ekonomi, adalah adanya tekanan inflasi yang terus-menerus meningkat sejak pertengahan tahun itu. Tekanan inflasi dipacu di berbagai front, dan untuk sebagian disebabkan oleh kebijakan keuangan pemerintah. Defisit anggaran belanja sebesar 8,2 persen dari PDB pada tahun 2004 jauh melebihi yang ditargetkan. Sebagai akibat langsung dari kebijakan campur tangan, terjadi peningkatan tajam dalam pengeluaran rutin (85 persen untuk membayar upah dan gaji, bunga, serta transfer dan subsidi, masing-masing dengan jumlah yang secara proporsional sama). Transfer dan subsidi meningkat dari 4 persen dari PDB pada tahun 2003 menjadi 5,2 persen pada tahun 2004 karena biaya subsidi naik. Meskipun defisit keuangan dapat dikekang dengan mengurangi pengeluaran modal, besarnya pinjaman pemerintah untuk menutup defisit menyebabkan kredit terus bertambah, dan kredit kepada pemerintah meningkat sebesar 20 persen pada tahun 2004.

Biaya impor minyak yang melonjak mengakibatkan defisit akun transaksi berjalan neraca pembayaran (BOP) membengkak dari 0,4 persen pada tahun 2003 menjadi lebih dari 3,3 persen dari PDB. Ini diikuti dengan melambatnya pemasukan modal. Pemasukan modal jangka panjang kepada pemerintah (yang terutama terdiri atas pinjaman lunak luar negeri) menurun sebesar AS$130 juta. Pinjaman luar negeri oleh sektor bank komersial sangat meningkat pada tahun 2004 dan memperbesar utang swasta luar negeri. Nilai mata uang mengalami depresiasi sebesar 8,5 persen terhadap dolar AS meskipun telah dilakukan upaya untuk menunjang kurs mata uang. Hal ini ikut menyebabkan menurunnya cadangan resmi bruto dari AS$2,3 milyar pada awal tahun 2004 menjadi AS$1,9 milyar pada bulan November.

8

Tabel 1. Pilihan Sejumlah Indikator Makro-Ekonomi: 2000–2005

PERHITUNGAN PENDAPATAN NASIONAL

2000 2001 2002 2003 2004 2005a

PDB AS$ milyar 15,7 15,1 16,4 18,2 19,4 ---Laju Pertumbuhan PDB % 6,0 –1,5 4,0 6,0 5,4 5,6 Pertanian % 1,8 –3,4 2,5 1,6 –0,7 0,0 Industri Manufaktur % 7,5 –2,1 1,0 5,5 5,2 6,8 Jasa % 7,0 –0,5 6,1 7,9 7,6 6,9 Investasi % dari PDB 28,0 22,0 21,2 22,1 25,0 27,0Tabungan % dari PDB 17,4 15,8 14,4 15,9 15,9 ---SEKTOR LUAR Ekspor AS$ juta 5522 4817 4699 5133 5757 6375Impor AS$ juta 7320 5974 6105 6672 8000 9174Neraca Perdagangan % dari PDB –10,7 –7,3 –8,5 –8,4 –11,2 –11,9Saldo transaksi berjalan % dari PDB –6,4 –1,4 –1,4 –0,4 –3,3 –4,3Investasi asing langsung (FDI) % dari PDB 1,0 0,5 1,1 0,9 1,1 Jumlah cadangan resmi AS$ juta 1049 1338 1700 2329 2196 2404 Jumlah kedatangan wisatawan mancanegara

’000 orang 400414 3367944 3931744 500642 5662022 ---

VARIABEL FISKAL Pengeluaran Pemerintah % dari PDB 26,7 27,5 25,4 23,7 23,5 24,9Penerimaan Pemerintah % dari PDB 16,8 16,7 16,5 15,7 15,4 16,4Neraca fiskal % dari PDB –9,9 –10,8 –8,9 –8,0 –8,2 –8,5Utang Pemerintah % dari PDB 96,9 103,2 105,4 105,8 105,5 ---HARGA DAN UANG Laju inflasi % 6,2 14,2 9,6 6,3 7,6 ---Suku bungab % 9,89 10,78 7,47 5,27 5,31 ---Broad money (M2) % perubahan 12,9 13,6 13,4 15,3 19,6 15,0Nilai tukar mata uang (kurs) Rs/AS$ 80,06 93,16 96,73 96,74 104,61 ---ASPIc 1985=100 447,6 621,0 815,1 1062,1 1506,9 ---

Catatan: a. Sementara. b. Suku bunga rata-rata deposito berbobot bank perdagangan. c. All share price index (Indeks keseluruhan harga saham).

Sumber: Bank Sentral Sri Lanka, Laporan Tahunan, berbagai nomor; dan GOSL (2005), “Budget 2006: Statement under the Fiscal Management [Responsibility] Act No. 3 of 2003”, November 2005 (for 2005 provisional estimates). {Anggaran Belanja 2006: Pernyataan menurut Undang-Undang No 3 Tahun 2003 mengenai Pengelolaan (Tangung Jawab) Fiskal (untuk perhitungan sementara).}

9

Perkembangan domestik maupun luar negeri ini mengakibatkan meningkatnya laju inflasi sejak pertengahan tahun 2004, dan suku bunga riil berubah menjadi negatif. Mulailah timbul gejala-gejala ekonomi gelembung: pertumbuhan kredit kepada sektor swasta yang meningkat tajam hingga melebihi 20 persen, dengan pertambahan pengeluaran untuk konsumsi yang diperkirakan sebesar 40 persen. Bursa saham Kolombo mengalami boom tanpa didukung oleh indikator dasar-dasar perekomian yang utama. Dengan terhentinya proses perdamaian dan ditangguhkannya prakarsa swastanisasi, maka mulai bertambahlah keprihatinan mengenai kemampuan pemerintah untuk mengurangi defisit fiskal. Pasar mulai gelisah karena mulai sadar bahwa ketimpangan dasar dalam perekonomian meningkat. Walaupun pembayaran eksternal agak membaik pada bulan Desember 2004, depresiasi nilai rupee makin melaju. Pada tanggal 17 Desember 2004 nilai mata uang jatuh menjadi Rs 105 untuk satu dolar AS, nilai yang paling rendah dalam sejarah.

Demikianlah gelombang tsunami melanda pada saat keadaan ekonomi suram. Jika tidak ada tanggapan kebijakan ekonomi yang efektif, maka benar-benar ada kemungkinan bahwa ekonomi akan terjerumus ke dalam krisis. Tsunami mengalihkan perhatian dari ketimpangan ini tetapi tidak menghapuskannya. Sejalan dengan upaya kita untuk menjajaki masalah-masalah yang berkaitan dengan pemulihan pasca-tsunami dan kebijakan-kebijakan yang terkait, pentinglah untuk menekankan bahwa pemulihan pasca-tsunami yang berhasil itu tidak dapat dilepaskan dari penyelesaian masalah ketimpangan struktural yang asasi ini.

3. Tsunami: Dampak dan Tanggapan Segera

Gelombang tsunami membawa dampak yang belum pernah dialami sebelumnya. Menurut angka-angka terakhir yang dapat diperoleh (DCS, 2005), korban jiwa diperkirakan melebihi 36.000 orang (30.957 orang dinyatakan meninggal dan 5.644 orang lagi dinyatakan hilang). Sebagian besar korbannya adalah perempuan dan anak-anak. Jumlah orang yang kehilangan tempat tinggal diperkirakan sebanyak 800.000 orang. Dalam hal jumlah orang yang meninggal dan hilang, hanyalah Indonesia yang lebih besar (126.804 orang meninggal, 93.458 orang hilang, 474.619 orang kehilangan tempat tinggal). Jumlah korban di Sri Lanka lebih besar daripada jumlah korban di India (10.749 orang hilang; 6.913 orang luka-luka), dan Thailand (lebih dari 5.000 orang meninggal dan 3.000 orang hilang). 4 Berpuluh-puluh ribu rumah rusak atau hancur (termasuk banyak rumah nelayan). Dua puluh lima hotel di pantai rusak berat, dan 6 lagi sama sekali hanyut. Lebih dari 240 sekolah hancur atau mengalami kerusakan berat. Beberapa rumah sakit, jaringan telekomunikasi, jaringan rel kereta di pantai, dsb., juga mengalami kerusakan.

Dampak gelombang tsunami tidak merata di semua tempat. Sebagian besar dari daerah pesisir di Propinsi Utara, Timur dan Selatan dan beberapa bagian dari Propinsi Barat rusak berat. Kerusakan yang sangat parah khususnya terjadi di Propinsi Utara dan Timur. Dua per tiga dari jumlah korban jiwa dan 60 persen dari mereka yang kehilangan 4 ADB (http://www.adb.org/media/Articles/2005/6618_tsunami_impact_Indonesia, diakses 10/09/05); angka-angka untuk Thailand berasal dari sumber-sumber IMF.

10

tempat tinggal adalah penduduk kedua propinsi tersebut (Gambar 1). Parahnya bencana tsunami di Propinsi Utara dan Timur memperburuk masalah yang diakibatkan oleh konflik yang telah berlangsung selama dua karena sebagian besar dari 360.000 orang yang kehilangan rumah tinggal di kedua propinsi ini.5

Gelombang tsunami melanda pada hari libur – hari Minggu sesudah Hari Natal, yang kebetulan juga hari Bulan Purnama (hari besar keagamaan bagi sebagian besar masyarakat Buddhis). Kebanyakan kantor pemerintah tutup atau hanya dengan staf sedikit. Tanggapan mula-mula datang dari kelompok-kelompok masyarakat. Ini segera disusul dengan prakarsa pemerintah yang diorganisir oleh Perdana Menteri – yang daerah elektoratnya sendiri, Hambantota, mengalami kerusakan cukup besar. Presiden, yang pada saat itu sedang berlibur di London, segera kembali ke Sri Lanka dan memimpin seluruh kebijakan pemerintah dalam menghadapi bencana tsunami. Selanjutnya, Menteri-Menteri lain yang bertanggung jawab atas sektor-sektor penting yang mengalami kerusakan (perikanan, pariwisata) juga kembali dari luar negeri dan mengambil lagi tanggung jawab memimpin kementerian masing-masing.

5 Di Propinsi Utara dan Timur, angka kematian anak-anak rata-rata dua kali lipat angka kematian anak-anak di daerah lain, angka kematian ibu melahirkan tiga kali lipat, dan hampir 50 persen dari anak-anak kurang berat badannya.

11

Gambar 1. Jumlah korban jiwa Tsunami yang dilaporkan

Sumber: Departemen Sensus dan Statistik (www.statistics.gov.lk)

12

Segera sesudah terjadi bencana tsunami, Kementerian Keamanan Rakyat, Hukum dan Ketertiban Umum (Ministry of Public Security, Law and Order) mendirikan pusat operasi, Pusat Operasi Nasional (Centre for National Operations – CNO), untuk menangani penanggulangan, dan Sekretaris Kementerian ditunjuk sebagai Komisaris Jenderal untuk Jasa-Jasa Esensial guna mengatur koordinasi badan-badan pemerintah yang terlibat dalam upaya penyelamatan jiwa dan pemberian bantuan. Dibentuk tiga Satuan Tugas – Satuan Tugas bidang Penyelamatan dan Pemberian Bantuan (Task Force for Rescue and Relief – TAFRER), Satuan Tugas bidang Logistik, Hukum dan Ketertiban (Task Force for Logistics, Law and Order – TAFLOL), Satuan Tugas bidang Pembangunan Kembali Negara (Task Force for Rebuilding the Nation – TAFREN) untuk menangani aspek-aspek khusus upaya pemberian bantuan. Sejak awal sekali ada keprihatinan mengenai bagaimana bantuan dapat disalurkan ke daerah-daerah yang dikuasai oleh LTTE. Akan tetapi tampaknya bantuan pokok memang benar-benar sampai kepada korban bencana selama tahap-tahap awal upaya pemberian bantuan.

3.1 Upaya Pemberian Bantuan Segera: Suatu Keberhasilan

Walaupun terjadi kesulitan dan sedikit kekacauan dalam mengorganisir bantuan, lembaga-lembaga Sri Lanka menanggapi bencana tsunami dengan cukup baik mengingat negara ini belum pernah mengalami bencana seperti itu. Dalam waktu satu hari dikerahkan bantuan medis, makanan dan bantuan darurat lain yang perlu. Sekolah, gedung-gedung umum dan rumah ibadah serta tenda-tenda disediakan sebagai tempat berlindung sementara bagi mereka yang kehilangan tempat tinggal. Golongan-golongan masyarakat bekerja sama tanpa mempedulikan batas-batas yang telah memisahkan mereka selama berpuluh-puluh tahun. Organisasi-organisasi sektor umum dan swasta bekerja sama dan mengorganisir upaya pemberian bantuan pada berbagai tingkat. Dalam keadaan darurat ini Sri Lanka memetik hasil investasinya dalam bidang kesehatan masyarakat pada masa lalu: sistem kesehatan masyarakat yang luas cakupannya dan kesadaran masyarakat akan praktek-praktek dasar dalam hal sanitasi dan kebersihan memastikan tidak ada penyakit yang berjangkit.

Setelah diambil langkah-langkah bantuan dan rehabilitasi segera dengan menyediakan makanan, tempat berlindung, pakaian, air bersih, dan fasilitas sanitasi dan medis bagi para keluarga korban bencana, maka perlulah ditanggapi kebutuhan masyarakat untuk mengatasi trauma dan mulai membangun kembali kehidupan mereka. Yang menjadi prioritas utama adalah membangun kembali sekurang-kurangnya fasilitas pendidikan dasar untuk anak-anak korban bencana. Menjelang pertengahan tahun, 85 persen dari anak-anak di daerah bencana telah kembali bersekolah. Termasuk dalam bantuan yang diberikan adalah uang untuk menutup kebutuhan segera. Uang ganti rugi sebanyak Rs 15.000 (AS$150) ditawarkan kepada para korban untuk keperluan penguburan; program bantuan mata pencaharian termasuk pemberian uang tunai sebanyak Rs 375 (AS$3,75) dan rangsum untuk setiap anggota unit keluarga setiap minggu, dan uang sebanyak Rs 2.500 (AS$25) untuk alat-alat dapur. Langkah-langkah

13

awal ini sebagian besar berhasil, meskipun terjadi beberapa masalah karena kurangnya koordinasi.6

Dalam keadaan demikian, penilaian berikut atas tanggapan awal terhadap bencana tsunami tampaknya menggambarkan situasi tersebut dengan tepat. Penilaian ini disajikan pada pertemuan donor yang diadakan di Sri Lanka pada bulan Mei 2005 yang lalu:

“Dalam bulan-bulan sesudah terjadi bencana, banyak yang telah dicapai. Menurut konsensus umum, bantuan darurat sangat berhasil dalam memenuhi kebutuhan segera dari para korban. Kedermawanan, baik dari perseorangan maupun lembaga-lembaga, dicurahkan dalam jumlah yang belum pernah terjadi sebelumnya. Untuk keluarga disediakan tempat tinggal, makanan dibagi-bagikan, bantuan medis disediakan, dan anak-anak piatu dirawat. Jasa umum utama seperti pendidikan, listrik dan keamanan segera dipulihkan ke tingkat mendekati keadaan pra-tsunami.

Akibatnya, wabah dan kematian yang diduga akan timbul sesudah bencana tidak pernah terjadi. Dengan demikian, cepatnya proses penstabilan penduduk yang mengalami trauma telah memungkinkan dialihkannya perhatian pada tantangan yang, dalam banyak seginya, lebih sulit dan rumit, yaitu membantu daerah-daerah bencana menjadi normal kembali, dan menolong keluarga korban membangun lagi kehidupannya.”7

Namun demikian, mengerjakan tahap rekonstruksi dan pemulihan yang berikutnya mungkin sekali akan lebih rumit dan sulit. Tantangan-tantangan ini akan dibahas dalam bagian-bagian berikut.

4. Penilaian Dampak

Guna mengembangkan suatu strategi rekonstruksi, perlulah diadakan penilaian atas kerusakan yang terjadi. Dalam hal ini, Sri Lanka beruntung karena penilaian dini dilakukan menjelang akhir bulan Janari 2005 melalui upaya patungan antara Bank Pembanguan Asia (ADB), Bank Kerja Sama Internasional, Jepang (JBBC), dan Bank Dunia (WB): “Sri Lanka 2005 Post-Tsunami Recovery Program – Preliminary Damage and Needs Assessment” (Program Pemulihan Pasca-Tsunami Sri Lanka 2005 – Penilaian Pendahuluan terhadap Kerusakan dan Kebutuhan).8 Laporan ini memberikan gambaran tentang kerusakan aset dan kerugian ekonomi yang dialami dalam setiap sektor yang terkena bencana, dan memberikan perkiraan umum mengenai meningkatnya kebutuhan akan dana.

6 Misalnya, meskipun rangsum makanan pada umumnya tersedia, ada masalah dalam hal tersedianya jenis dan mutu yang memadai di beberapa tempat; timbul keluhan mengenai diberlakukannya peraturan yang berbeda-beda dari satu daerah ke daerah lain dalam hal pembagian rangsum dan bantuan uang (Sida, DFID dan GTZ, 2005). 7 http://www.erd.gov.lk/devforum/Executive%20summary%20final.htm 8 Dapat dilihat di: http://www.adb.org/Tsunami/sri-lanka-assessment.asp

14

Menurut penilaian yang dilakukan oleh ADB-JBIC-WB Sri Lanka telah mengalami kerusakan aset sebesar kira-kira AS$1 milyar (4,5 persen dari PDB), dan kebutuhan dana jangka menengah (termasuk bantuan segera) diperkirakan sekitar AS$1,5–1,6 milyar (7,5 persen dari PDB. Sektor yang membutuhkan dana terbesar adalah sektor perumahan.9 Aset swasta mengalami kerusakan cukup besar (AS$700 juta), di samping kerusakan pada prasarana umum dan aset-aset lain. Merosotnya produksi dalam sektor perikanan dan pariwisata – yang rusak berat – diperkirakan masing-masing sebesar AS$200 juta dan AS$130 juta. Pusat-pusat industri, pertanian dan metropolitan yang penting relatif tidak menderita kerusakan. Kerusakan aset tetap terutama terjadi dalam sektor pariwisata dan perikanan, yang masing-masing hanya menghasilkan sekitar 1,5–2,0 persen dari PDB.

Angka yang menunjukkan besarnya jumlah dana yang diperlukan ini mendekati jumlah yang diperkirakan pemerintah sendiri yaitu sebesar AS$1,8 milyar, yang diajukan pada bulan Februari 2005, walaupun terdapat selisih cukup besar dalam perkiraan kerusakan pada tingkat sektor (GOSL, 2005a).10 Kemudian pada bulan Mei 2005, Pemerintah Sri Lanka memperkirakan kebutuhan akan investasi seluruhnya telah naik menjadi AS$2 milyar (GOSL, 2005b) (Tabel 2). Perbedaaan perkiraan ini mencerminkan rencana yang lebih besar dan berjangka panjang dari pemerintah, sedangkan penilaian donor sebagian besar terarah pada pemulihan keadaan pra-tsunami.

9 Perbedaan besar antara kebutuhan pemulihan menyeluruh dan kerusakan dalam beberapa sektor disebabkan oleh kenyataan bahwa strategi pemulihan untuk sektor-sektor ini menitik-beratkan target pembangunan jangka panjang dan bukan sekadar perbaikan. 10 GOSL (2005), “Post Tsunami Recovery and Reconstruction Strategy” (Strategi Pemulihan dan Rekonstruksi Pasca-Tsunami), Mei 2005.

15

Tabel 2. Perkiraan Kerugian dan Penilaian Kebutuhan untuk Rekonstruksi dan Pembangunan Kembali (AS$ juta)

Sektor ADB/JBIC/WB* Pemerintah Kerugian Kebutuhan Sri Lanka** Perumahan 306–341 437–487 400 Jalan 60 200 210 Air dan Sanitasi 42 117 190 Sarana Perkereta-apian 15 130 77 Pendidikan 26 45 90 Kesehatan 60 84 100 Pertanian 3 4 10 Perikanan 97 118 250 Pariwisata 250 130 58 Listrik 10 67–77 – Lingkungan 10 18 30 Kesejahteraan Sosial – 30 20 Sektor-sektor tidak terhitung 90 150 Telekomunikasi (Perikanan dan pedesaan) – – 60 Pembangunan Pelabuhan – – 32 Pengembangan Industri – – 34 Pengembangan Usaha – – 55 Prasarana Peraturan dan Administrasi – – 38 Microfinance/kredit UKM – – 150 Jumlah 970–1000 1500–1600 1769

Sumber: *ADB, JBIC, Bank Dunia (2005); ** GOSL (2005b).

4.1 Dampak pada PDB

Menurut ukuran PDB, dampak bencana tsunami pada hasil jangka pendek Sri Lanka diharapkan akan terbatas – pada waktu laporan ini disusun (September 2005) diperkirakan bahwa PDB 2005 akan turun sebesar 0,5–1,0 persen. Dampak yang relatif kecil ini tampak agak mengherankan mengingat besarnya kerugian dalam aset maupun jumlah korban manusia. Hal ini sebagian disebabkan oleh kenyataan bahwa hanya sebagian kecil dari perekonomian yang terkena bencana. Alasan lain adalah bahwa dampak pada PDB berjalan hanya mengukur kerugian jasa dari aset tetap dan sumber daya manusia yang hancur selama tahun yang sedang berjalan. Dampak keseluruhan bencana tsunami pada pendapatan nasional tentu saja jauh lebih besar, karena merupakan jumlah kumulatif kerugian tahunan yang terjadi di masa mendatang yang disebabkan oleh hilangnya aset-aset yang telah hancur. Pada masa-masa mendatang dampak bencana akan bervariasi sesuai dengan berhasil tidaknya upaya menggantikan aset yang hilang dan upaya mewujudkan rehabilitasi.

Selanjutnya, pengeluaran untuk pemberian bantuan akan segera membawa akibat positif pada PDB yang berjalan. Keluarga yang terkena bencana telah mendapat manfaat dari kiriman bantuan dari keluarga, teman, organisasi kemasyarakatan, dsb.,

16

untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka yang segera, sehingga secara keseluruhan pengeluaran mereka tidak akan banyak berkurang. Sebenarnya cukup banyak dari modal luar negeri yang masuk pada awal 2005 adalah transfer pribadi baik dari masyarakat Sri Lanka yang tinggal di luar negeri maupun dana yang dikumpulkan dari sumbangan perseorangan kepada keluarga dan daerah yang terkena bencana. Di samping itu, ada keluarga korban yang ‘melancarkan’ pengeluaran konsumsinya jika mereka mempunyai tabungan atau akses ke pasar kredit. Pengeluaran uang yang disebabkan oleh bencana tsunami ini secara keseluruhan akan mengurangi kemerosotan jumlah pengeluaran keluarga.11

4.2 Pengeluaran Keuangan dan Harapan

Jika membahas dampak segera bencana tsunami pada ekonomi, dan pengaruh pengeluaran yang mungkin sekali terjadi, pentinglah untuk memasukkan perubahan dalam apa yang diharapkan masyarakat sebagai faktor yang berpengaruh. Keputusan untuk membelanjakan dan menabung sangat dipengaruhi oleh harapan mengenai pendapatan pada masa depan dan kebutuhan dana untuk keperluan berbelanja. Harapan akan segala macam pendapatan di masa mendatang dapat menurun secara tajam sebagai akibat bencana alam besar yang menghancurkan aset dan barang-barang konsumen tahan lama. Dengan kata lain, keseluruhan kekayaan yang tersedia untuk membeli barang konsumsi selama masa hidup seseorang akan berkurang banyaknya. Apabila tingkat kekayaan seseorang berkurang, tanggapan yang biasa diberikan adalah mengurangi pengeluaran untuk menyesuaikan diri dengan tingkat kekayaannya yang lebih rendah. Sebaliknya, jika penurunan pendapatan masa kini diduga tidak akan ‘permanen’, maka orang akan mengambil dari tabungannya atau meminjam untuk mempertahankan tingkat konsumsinya.12

Dalam kasus Sri Lanka, harapan orang sangat dipengaruhi oleh tanggapan mula-mula dari masyarakat internasional yang menjanjikan pertolongan besar dalam bentuk pemasukan bantuan dan pengurangan utang kepada masyarakat dan negara-negara korban tsunami. Dampak janji-janji ini pada masyarakat Sri Lanka bersifat segera dan nyata. Terlihat dengan nyata orang lebih bersemangat dan merasa lebih optimis mengenai masa mendatang. Perasaan optimis ini lebih diperkuat lagi oleh harapan akan tercapainya perdamaian abadi di negara ini atas dasar solidaritas masyarakat tanpa mengenal batas-batas etnis yang timbul segera sesudah terjadi bencana tsunami.

Pertanda yang paling jelas adanya suasana optimisme mendekati eforiasetelah bencana tsunami dapat dilihat dalam pasar devisa (dan kemudian di pasar saham Kolombo). Mata uang rupee yang sudah lama mengalami depresiasi sekarang mengalami apresiasi tajam (Gambar 2) – suatu reaksi yang tampak aneh dan tidak

11 Memang tidaklah mustahil – setidak-tidaknya pada prinsipnya – bahwa PDB jangka pendek bahkan akan meningkat segera sesudah terjadi bencana besar. 12 Tingkah laku seperti ini dikenal dengan istilah ‘melancarkan konsumsi’ (consumption smoothing) sebagaimana tersirat dalam ‘hipotesa pendapatan tetap’ (permanent income hypothesis) sehubungan dengan tingkah laku konsumen.

17

terduga, tetapi dapat dimengerti dalam konteks timbulnya harapan. Sebenarnya, seandainya tidak ada intervensi dari Bank Sentral, kemungkinan apresiasi bahkan akan lebih jelas lagi. Masalah ini akan dibahas secara lebih terperinci di bagian lain.

Gambar 2. Kurs Nominal (AS$ per Rs)

0,0104

0,0102

0,01

0,0098

0,0096

0,0094

0,0092

0,009 Jan. Feb. Apr. Sep. Okt. Feb. Apr.

Sumber: Bank Sentral Sri Lanka, Monthly Economic Indicators (Indikator Ekonomi Bulanan), berbagai nomor.

5. Kerusakan dan Pemulihan: Sebuah Tinjauan

Tugas pemulihan jangka menengah melibatkan rehabilitasi dan rekonstruksi aset-aset tetap (baik swasta maupun umum). Di samping itu tugas ini juga meliputi pemasokan bahan dan bantuan kelembagaan yang perlu bagi keluarga untuk melakukan kegiatan ekonomi guna membangun kembali mata pencahariannya. Ini tidak hanya melibatkan rekonstruksi prasarana fisik dan penggantian aset, tetapi juga pembentukan kembali pasar dan jaringan sosial. Seperti yang sudah disebutkan, bantuan dari dalam dan luar negeri memungkinkan negara berhasil memberikan bantuan segera. Aset-aset yang rusak perlu diganti untuk mencapai pemulihan sepenuhnya, dan bantuan yang diperlukan untuk hal ini diperkirakan mendekati AS$2 milyar. Jumlah ini jumlah yang besar sekali bagi Sri Lanka tetapi relatif kecil jika dibandingkan dengan tingkat bantuan yang diberikan kepada korban bencana alam apabila terjadi di negara-negara maju.

Mar. Mei Jun. Jul. Agu. Nov. Des. Jan. Mar. Mei Jun. Jul. Agu. Sep. Okt.

2004 2005

AS$ per Rs

18

5.1 Bantuan Internasional untuk Upaya Pemulihan

Tanggapan terhadap permintaan bantuan dari Sri Lanka mendapat tanggapan positif sekali pada pertemuan donor internasional di Sri Lanka pada bulan Mei 2005. Bantuan berjumlah AS$2,2 milyar dijanjikan selama jangka waktu 2–3 tahun – sekitar AS$700 juta setiap tahun. LSM dan organisasi-organisasi sektor swasta menjanjikan AS$853 juta, dan selebihnya dijanjikan oleh donor-donor dan pemerintah multilateral (untuk perincian, lihat Tabel 3). Sebenarnya, bantuan dari luar yang dijanjikan ini – untuk digunakan sebagai bantuan terus-menerus di samping untuk menutup biaya rekonstruksi – melebihi jumlah yang diminta oleh pemerintah. Nampaknya tugas yang dihadapi oleh yang berwewenang di Sri Lanka adalah bagaimana mengelola dana yang akan mengalir masuk untuk upaya pemulihan, dan bukan bagaimana mengumpulkan dana yang diperlukan. Keterbatasan dana untuk upaya pemulihan nampaknya sudah tidak ada lagi.

Tabel 3. Bantuan Donor untuk Kegiatan Rekonstruksi Pasca-Tsunami

Donor Bantuan yang dijanjikan(AS$ juta)

Donor Bilateral 745 Badan-Badan Multilateral 631 LSM/Sektor Swasta 853 Jumlah 2229

Sumber: Cooray (2005)

5.2 Koordinasi dan Pembagian Bantuan

Yang merupakan masalah utama adalah mengkoordinasikan upaya bantuan dan rekonstruksi. Di Sri Lanka diperlukan koordinasi di antara tiga kelompok. Pertama, kegiatan berbagai unsur pemerintah perlu dikoordinasikan – baik yang bersifat lintas sektor maupun antara pemerintah pusat dan pemerintah lokal. Kedua, kegiatan berbagai badan dan LSM perlu dikoordinasikan – sesudah terjadi bencana tsunami sekitar 180 LSM dan berbagai badan membanjiri Sri Lanka untuk beroperasi. Ketiga, diperlukan koordinasi dengan LTTE yang menguasai beberapa bagian negara yang mengalami kerusakan berat akibat gelombang tsunami.

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, sebagai bagian dari tanggapan segera terhadap bencana tsunami pemerintah mendirikan Pusat Operasi Nasional (CNO) di Kolombo untuk menangani upaya bantuan, dan tiga satuan tugas guna menangani aspek-aspek khusus upaya bantuan tersebut. Sesudah satu bulan, ketika masa operasi bantuan segera telah berakhir, TAFRER dan TAFLOL digabungkan menjadi satu kesatuan – yaitu Satuan Tugas Bantuan (TAFOR) – untuk melaksanakan semua tindakan bantuan. Dengan dibentuknya TAFOR maka operasi CNO dikurangi. Pada bulan Februari, CNO dibubarkan dan para pejabat kembali ke tugas kementerian semula. Dua Satuan Tugas Khusus, yaitu TAFOR (Satuan Tugas Bantuan) dan TAFREN (Satuan Tugas Pembangunan Kembali Negara) mengambil alih tugas-tugas CNO. Pada awal bulan Maret, didirikan Pusat Sektor Non-Pemerintah (Centre for Non-Governmental Sectors – CNGS) oleh Kementerian Keuangan dan Perencanaan untuk

19

mengkoordinasikan kegiatan LSM-LSM. Dengan selesainya sebagian besar pembangunan perumahan sementara, TAFOR diharapkan akan dibubarkan dan tugas-tugasnya dialihkan ke Kementerian-Kementerian yang bersangkutan.

Pada tingkat lokal, peranan utama dalam memberikan bantuan kepada korban bencana dipegang oleh Sekretaris Distrik (juga dikenal dengan sebutan kolonialnya “Government Agent” – Agen Pemerintah) dan di bawahnya Sekretaris Divisi (atau “Assistant Government Agent” – Pembantu Agen Pemerintah) serta grama niladhari. Di banyak Distrik yang terkena bencana, dibentuk berbagai Panitia koordinator yang meliputi bidang-bidang penting – mula-mula berkaitan dengan masalah-masalah bantuan dan kemudian berkenaan dengan masalah-masalah rekonstruksi seperti perumahan dan mata pencaharian. Akan tetapi sifat hubungan yang sebenarnya antara tingkat lokal dan pusat seringkali tidak jelas – wewenang Panitia tingkat lokal untuk membuat keputusan yang berarti itu terbatas. Pada tingkat lokal, peranan badan-badan yang terpilih seperti Dewan Propinsi (Provincial Councils) dan pradeshya sabhas sangat terbatas pada tahun pertama. Hal ini sekarang dapat menimbulkan kesulitan mengingat bahwa mereka mempunyai tanggung jawab hukum dalam beberapa bidang penting, seperti fasilitas umum setempat (listrik, air, dsb) yang diperlukan untuk daerah perumahan baru.

Di pusat, TAFREN mempunyai peranan utama mengawasi pembangunan kembali prasarana di daerah-daerah penting dan secara keseluruhan bertanggungjawab atas dilaksanakannya program pemulihan pasca-tsunami. Meskipun TAFREN sebagai satuan tugas dengan wewenang luas merupakan pilihan yang masuk akal untuk mengkoordinasikan rekonstruksi pasca-tsunami, TAFREN itu sendiri kurang menjaga hubungan dengan kementerian-kementerian yang bersangkutan (satuan tugas ini didominasi oleh perwakilan sektor swasta). Hal ini menghambat kemampuannya untuk mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan di antara badan-badan pemerintah secara efisien. Dibaginya rekonstruksi ke dalam sektor-sektor – seperti perumahan, air dan sanitasi – pada gilirannya menimbulkan masalah koordinasi, misalnya, kepastian bahwa unit-unit perumahan yang dibangun dapat mengakses air, sanitasi dan listrik yang diperlukan. Ada pandangan bahwa TAFREN makin berupaya menjadi pemantau badan-badan dengan tugas sendiri-sendiri, di samping berupaya berfungsi sebagai one-stop-shop, tetapi peranan dan kemampuannya untuk mencapai tujuan ini tetap kurang jelas. Dengan terpilihnya Presiden baru pada bulan November 2005, diambil keputusan untuk menggabungkan TAFREN, TAFOR dan TAFLOL menjadi Dinas Rekonstruksi dan Pembangunan (Authority of Reconstruction and Development) awal bulan Desember 2005. Penggabungan ini harus dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Parlemen.

5.3 Koordinasi Bantuan dengan Badan-Badan Donor dan LSM

Kelompok kedua yang kegiatannya perlu dikoordinasikan adalah LSM-LSM. Sejak dulu Sri Lanka berpengalaman bekerja dengan badan-badan donor yang utama, dan beberapa LSM internasional (INGO) telah lama beroperasi di negara ini. Bahkan sebelum bencana tsunami Sri Lanka telah menyambut baik langkah-langkah menuju koordinasi donor dalam konteks program-program rekonstruksi yang didanai oleh donor dan berkaitan dengan konflik. Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia (ADB) dan Bank Kerja Sama Internasional, Jepang (Japan Bank for International Cooperation – JBIC)

20

telah menjalin kemitraan. Hal ini memungkinkan dilakukannya penilaian tingkat awal terhadap kebutuhan yang sangat berguna segera sesudah terjadi bencana tsunami. Akan tetapi koordinasi dengan badan-badan donor dan LSM menjadi masalah yang jauh lebih rumit karena begitu banyaknya LSM internasional yang membanjir sesudah terjadi bencana tsunami (belum lagi perseorangan dan kelompok-kelompok kecil yang datang dalam jumlah besar) serta praktek-praktek yang mereka lakukan.

Di antara LSM-LSM – baik internasional maupun domestik yang menerima dana dari luar – ada yang menguasai dana-dana dalam jumlah besar. Karena mereka tidak menghadapi masalah sumber dana, maka mereka tidak merasakan adanya insentif untuk meningkatkan koordinasi. Bahkan ada yang secara terbuka memusuhi aksi apa pun dari pemerintah yang tampak ‘mengendalikan’ kemandiriannya. LSM sangat berbeda-beda dalam hal pengalaman, keterampilan dan gaya operasinya. Banyak LSM yang kurang berpengalaman dan kurang berpengetahuan lokal, dan karena ingin cepat-cepat membelanjakan uangnya mereka mengabaikan keadaan setempat dan kebutuhan masyarakat.

Di samping itu keberadaan sejumlah besar donor/LSM kadang-kadang menimbulkan persaingan. Di beberapa tempat telah berkembang kecurigaan yang mendalam antara LSM setempat (yang telah bertahun-tahun bekerja di daerah tersebut) dan beberapa LSM internasional dan badan-badan yang datang untuk memberikan bantuan kepada korban tsunami. LSM-LSM Sri Lanka menyatakan keluhannya bahwa mereka telah ‘didesak keluar’ oleh beberapa LSM internasional yang lebih besar dengan dana lebih besar pula, yang telah ‘mencuri’ staf dan sumber daya dari LSM setempat. Tentu saja ada LSM internasional dan badan-badan yang lebih berkeahlian dalam membantu korban bencana alam besar (seperti penyediaan tempat-tempat berlindung sementara dan bantuan lain), tetapi LSM domestik (dan LSM internasional yang telah lama beroperasi di Sri Lanka) biasanya jauh lebih memahami keadaan dan kepekaan setempat. Ditingkatkannya interaksi, hubungan dan koordinasi di antara mereka akan bermanfaat bagi keseluruhan upaya pemberian bantuan dan rekonstruksi. Berdasarkan pengamatan lapangan kurangnya koordinasi telah menyebabkan terjadinya banyak kasus pembagian bantuan yang tidak semestinya. Pada bulan-bulan terakhir ini, telah diterapkan mekanisme untuk meningkatkan koordinasi kegiatan donor, termasuk LSM-LSM, pada tingkat daerah maupun setempat melalui pertemuan dan konsultasi yang diadakan secara teratur oleh para petugas administratif. Belum dapat diketahui sampai di mana kegiatan ini dapat dianggap efektif.

5.4 Koordinasi Bantuan di Daerah yang Dikuasai LTTE

Kelompok ketiga yang kegiatannya perlu dikoordinasikan adalah LTTE. Hal ini merupakan masalah yang paling sulit dan paling banyak menimbulkan perdebatan. Pembahasan untuk menentukan suatu mekanisme pembagian bantuan dimulai segera sesudah terjadi gelombang tsunami dan sekarang masih berlangsung. Solidaritas spontan yang mempersatukan masyarakat segera sesudah terjadi bencana tsunami menghidupkan kembali harapan bahwa pada akhirnya akan memudarlah pertikaian etnis yang telah membawa kerugian besar bagi negara pada tahun-tahun terakhir ini. Akan tetapi persetujuan yang dapat diterima oleh kedua pihak dalam hal pembagian bantuan

21

agar bantuan dapat masuk ke daerah yang dikuasai oleh LTTE ternyata masih sulit dicapai.

Pada satu pihak, ada unsur-unsur di dalam pemerintahan dan banyak kelompok masyarakat mayoritas yang telah menentang persetujuan apa pun yang tampak memberikan pengakuan de facto kepada LTTE sebagai kuasa administratif di daerah yang dikuasainya. Sebaliknya, LTTE tidak bersedia menerima persetujuan yang mengurangi kekuasaannya. Setelah diadakan perundingan yang berlarut-larut, maka pada bulan Juni 2005 ditandatanganilah MoU yang menjelaskan persetujuan mengenai pembagian bantuan antara Pemerintah Sri Lanka dan LTTE, Struktur Pengelolaan Operasi Pasca-Tsunami (the Post Tsunami Operation Management Structure – P-TOMS). Hal ini dirancang sebagai suatu mekanisme untuk membagikan bantuan di daerah-daerah yang dikuasai oleh LTTE di Propinsi Utara dan Timur negara ini. Persetujuan P-TOMS membayangkan dibentuknya Dana Regional untuk memungkinkan donor menyalurkan dana tsunami langsung ke Propinsi Utara dan Timur. Suatu badan multilateral (mungkin Bank Dunia) akan ditunjuk sebagai pengawas (custodian) dana tersebut. Akan tetapi persetujuan ini langsung mendapat tentangan luas dari dalam masyarakat Sinhala. Ketika diajukan ke pengadilan melalui petisi hak-hak azasi, Mahkamah Agung memutuskan pada bulan Juli 2005, bahwa persetujuan tersebut tidak bertentangan dengan konstitusi. Akan tetapi ada beberapa unsur yang ditangguhkan oleh Mahkamah Agung sampai ada penjelasan, khususnya tentang Dana Regional dan mengenai lokasi panitia regional di kawasan Kilinochchi yang dikuasai oleh pemberontak. Di samping itu, banyak dari donor utama yang sedianya mendukung gagasan mekanisme patungan untuk membagi bantuan antara Pemerintah Sri Lanka dan LTTE akhirnya menolak menyalurkan bantuan langsung ke Dana Regional segera sesudah MoU tersebut ditandatangani. Mereka menyatakan bahwa LTTE tetap dianggap sebagai ‘organisasi teroris terlarang’ di negara mereka. Penandatanganan persetujuan P-TOMS menyebabkan Pemerintah kehilangan suara mayoritasnya di Parlemen ketika salah satu partai pendukung pemerintah, Janatha Vimukthi Peramuna (JVP), meninggalkan pihak koalisi pemerintah. Sesudah pemilihan presiden pada bulan November, dengan terpilihnya Presiden baru yang secara terbuka menentang persetujuan tersebut, maka P-TOMS sekarang tersingkir dari daftar pokok kebijakan.

5.5 Masalah Mata Pencaharian

Hilangnya jiwa dan prasarana (aset-aset yang berkaitan dengan mata pencaharian, rumah tinggal, prasarana sosial dan modal) di sepanjang dua per tiga garis pantai – tingkat kemiskinan di banyak distrik di garis pantai ini lebih tinggi daripada tingkat nasional – menyebabkan sejumlah besar penduduk jatuh miskin. Bagi distrik-distrik yang menjadi korban bencana di bagian Utara dan Timur, stres yang diakibatkan tsunami memperberat lagi beban marginalisasi yang sebelumnya sudah ada sebagai akibat konflik yang berlangsung selama dua dasawarsa. Diperkirakan sekitar 150.000 orang kehilangan sumber penghasilan utamanya sebagai akibat gelombang tsunami. Setelah satu tahun sebagian besar dari mereka telah mempunyai lagi suatu bentuk mata pencaharian, tetapi:

22

penghasilan mereka umumnya lebih rendah daripada penghasilan pra-tsunami •

banyak yang sudah miskin sebelum bencana tsunami

ada yang “terperosok ke dalam celah” – misalnya lebih dari 20.000 orang diperkirakan sakit dan luka-luka sesudah bencana tsunami. Juga ada yang menderita trauma berat sehingga tidak dapat bekerja, dan ada yang perlu merawat orang lain.

Belum pernah ada tanggapan sebesar tanggapan yang diberikan sesudah

bencana tsunami. Uang dalam jumlah besar tersedia dari berbagai sumber untuk pemulihan mata pencaharian. Meskipun uang ini telah memungkinkan cepat digantinya aset-aset yang hilang, timbulnya konflik tidak dapat dihindarkan. Ada bahaya bahwa sementara modal fisik cepat diganti, hal ini dilakukan dengan cara-cara yang mengurangi modal sosial di suatu daerah, sehingga dengan demikian mempertajam ketegangan dan persaingan yang sudah ada. Jadi “membangun kembali lebih baik daripada sebelumnya” (“building back better”) merupakan konsep yang sulit dan sama sekali tidak terjamin dapat dicapai. Bahkan ada beberapa bukti awal yang menunjukkan bahwa banjir dana itu telah mempertajam ketegangan di banyak daerah, dan dalam beberapa kasus ada bahaya akan menciptakan lebih banyak keburukan daripada kebaikan. Ada tujuh rekomendasi penting untuk menghadapi beberapa tantangan ini:

i. Belajar dari pengalaman masa lalu dalam mengurangi kemiskinan di Sri Lanka dan mempergunakan pengalaman itu sebagai landasan. Sejak kemerdekaan pemerintah dan pihak-pihak yang berkepentingan lainnya telah mencoba berbagai program untuk mengatasi kemiskinan di Sri Lanka. Namun terdapat suatu “paradoks pengurangan kemiskinan di Sri Lanka” yaitu di Sri Lanka sekitar seperempat penduduk masih hidup di bawah garis kemiskinan walaupun indikator sosial relatif baik. Program-program pengurangan kemiskinan yang saat ini sedang dilaksanakan perlu dipahami dan dinilai untuk meningkatkan intervensi mata pencaharian pasca-tsunami, menghindari kesalahan lama dan menggunakan apa yang terbukti berhasil sebagai landasan.

ii. Menempatkan pemulihan mata pencaharian dalam konteks politik, ekonomi, sosial dan ekonomi yang lebih luas. Untuk “membangun kembali lebih baik daripada sebelumnya”, perlu dipahami dengan lebih mendalam apa yang menyebabkan orang tetap miskin sebelum bencana tsunami. Keadaan setempat juga perlu dipahami supaya intervensi jangan memperburuk ketegangan dan konflik yang sudah ada. Intervensi mikro juga perlu ditempatkan dalam konteks perubahan ekonomi yang lebih luas dan tantangan-tantangan pemulihan pasca-tsunami yang lain. Masalah-masalah ini ada yang dapat ditangani sekurang-kurangnya oleh beberapa pihak yang berkepentingan. Penting bagi semua pihak untuk memahami konteks yang lebih luas untuk menghindari intervensi yang terlalu ambisius, gagal atau, yang paling buruk, membuat keadaan lebih buruk daripada sebelum bencana tsunami. Satu contoh sederhana adalah peningkatan persediaan mesin jahit dan, dalam beberapa kasus, perahu. Di beberapa daerah, peningkatan persediaan ini berpotensi

23

membuat kegiatan-kegiatan dalam bidang ini kurang menguntungkan dibandingkan dengan keadaan sebelum tsunami.

iii. Mengatasi kecurigaan dan persepsi negatif di antara pihak-pihak utama yang berkepentingan. Tantangan pemulihan pasca-tsunami biasanya bukan kekurangan uang secara keseluruhan, tetapi terlalu banyak uang yang dapat mengakibatkan kesulitan dalam lingkungan lembaga-lembaga, persaingan dan korupsi. Di antara berbagai pihak yang berkepentingan banyak yang menunjukkan kecurigaan dan persepsi negatif terhadap pemain-pemain penting lain – LSM-LSM internasional, LSM-LSM Sri Lanka, organisasi-organisasi yang bertumpu pada masyarakat, serta masyarakat madani. Hal ini hanya dapat diatasi dengan berupaya memahami persepsi pihak lain dan bagaimana persepsi negatif dapat diatasi. Penting untuk tidak terlalu memikirkan kegagalan masa lalu – misalnya berupaya menentukan siapa yang menyuap siapa – tetapi bergerak maju dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan dalam proses belajar bersama.

iv. Menggunakan pengetahuan yang lebih baik mengenai permintaan dan pasokan dalam hal kegiatan mata pencaharian, dan memberikan suara yang lebih besar pada keluarga korban. Penting untuk mengumpulkan dan menggunakan informasi pada tingkat lokal dan pusat. Informasi diperlukan untuk mengidentifikasi siapa yang berhak menerima dan apa yang telah diberikan, untuk menyusun rencana dan memantau kemajuan. Informasi pada tingkat lokal diperlukan untuk mengembangkan rencana pemulihan lokal, sedangkan informasi pada tingkat pusat untuk mengikuti kemajuan di seluruh negara dan memungkinkan perencanaan intervensi. Juga penting sekali untuk menentukan absahnya data pemulihan mata pencaharian tingkat makro dengan mengacu pada data tingkat mikro – ada kalanya gambaran dari data makro itu positif, sedangkan keadaan pada tingkat bawah ternyata tidak begitu positif.

v. Menggunakan kesempatan yang timbul hanya sekali dalam satu generasi untuk meningkatkan sektor-sektor penting yang terkena bencana tsunami. Dengan adanya dana besar yang mengalir masuk untuk rekonstruksi setelah bencana tsunami, pada tingkat nasional perlu dikembangkan dan dilaksanakan strategi untuk meningkatkan sektor-sektor yang terkena bencana, yaitu perikanan, pariwisata dan usaha kecil dan menengah. Sektor pariwisata dan perikanan telah mengembangkan strategi yang demikian, tetapi baru saat ini mulai dilaksanakan. Perlulah untuk tetap memusatkan perhatian pada wawasan jangka panjang tanpa menjadi macet karena menghadapi krisis secara ad hoc.

vi. Pihak-pihak utama yang berkepentingan perlu didorong melaksanakan rencana patungan untuk membangun ekonomi semua keluarga di Distrik-Distrik yang terkena bencana tsunami. Tanggapan terhadap bencana tsunami saat ini memasuki tahap ketiga dalam hal mata pencaharian dan penghasilan. Pertama, ada bantuan darurat (hibah uang tunai, uang tunai untuk upah, dsb), kemudian penggantian aset-aset yang hilang dan sekarang, tahap ketiga, pemulihan ekonomi. Ini juga memberikan kesempatan untuk melepaskan diri dari retorika

24

koordinasi dan bergerak ke arah pembuatan dan pelaksanaan rencana patungan yang sebenarnya. Banyak keluhan telah timbul mengenai koordinasi yang kurang baik dalam masalah mata pencaharian, tetapi hasil pelaksanaan koordinasi ternyata masih saling berbeda. Sekarang sudah mulai diadakan pertemuan secara teratur untuk membahas masalah pencaharian yang mulai pada tingkat sekretaris Distrik dan Divisi – tetapi absensi masih menjadi masalah (kadang-kadang dari pemerintah, kadang-kadang dari LSM-LSM) dan seringkali mereka hanya berbagi informasi. Yang menjadi tantangan dalam menempuh tahap berikutnya ialah untuk bertindak lebih lanjut yaitu benar-benar membuat dan melaksanakan rencana patungan. Hal ini juga akan memberikan peluang untuk memperluas fokus sehingga tidak hanya terpusat pada keluarga-keluarga yang terkena bencana, tetapi meluas ke segenap penduduk Distrik, termasuk keluarga-keluarga miskin lainnya. Pentargetan pada keluarga korban tsunami itu sering perlu karena keterbatasan dana. Oleh karena itu timbulnya konflik dengan keluarga-keluarga yang bukan korban tetapi miskin tidak dapat dihindarkan. Setelah aset-aset yang hilang diganti, upaya dialihkan pada pelatihan, kredit mikro, pengembangan usaha dan penyediaan prasarana yang lebih baik, dan semuanya ini perlu disediakan kepada semua penduduk Distrik-Distrik yang terkena bencana tsunami. Perluasan yang demikian tidak hanya akan memastikan berkurangnya kemiskinan secara keseluruhan, tetapi juga akan membatasi ketegangan yang telah berkembang sebagai akibat fokus yang sempit yang tertuju pada penggantian aset-aset yang hilang di banyak daerah.

vii. Meningkatkan kapasitas pemerintah lokal, keluarga korban, LSM-LSM dan organisasi-organisasi yang bertumpu pada masyarakat untuk merencanakan, melaksanakan dan memantau program-program pemulihan mata pencaharian. Sekretaris-sekretaris divisi sekarang mulai mengambil peranan yang lebih aktif dalam penyusunan dan pelaksanaan rencana program mata pencaharian. Kemungkinan besar peranan mereka ini akan meningkat sejalan dengan terpulihnya ekonomi. Kapasitas pada sekretaris-sekretaris divisi dan badan-badan yang dipilih seperti pradeshya sabhas perlu didukung. Kantor-kantor Sekretaris Divisi sekarang akan dilengkapi dengan sarjana-sarjana yang perhatiannya terpusat pada masalah pemulihan mata pencaharian. Kapasitas organisasi yang bertumpu pada masyarakat, seperti koperasi perikanan, juga perlu mendapat dukungan. Meskipun organisasi ini telah mengalami campur tangan politik dan ada yang dikuasai oleh kaum elite, persoalannya yang utama adalah kurang giatnya memajukan kepentingan sendiri, serta kurangnya keterampilan dasar dalam mengelola tata buku, dsb.

Banyak perempuan terperangkap dalam pekerjaan dengan gaji relatif rendah

dibandingkan dengan laki-laki. Program-program LSM mungkin membantu perempuan mendapat penghasilan dari jenis-jenis pekerjaan yang menurut tradisi merupakan pekerjaan perempuan. Akan tetapi perempuan perlu dibantu untuk mendobrak stereotip gender dan menciptakan kesempatan baru yang lebih beragam supaya mereka dapat memperoleh penghasilan dan tingkat pendapatan yang setara dengan laki-laki.

25

Dua per tiga dari korban jiwa tsunami dan 60 persen dari mereka yang mula-mula kehilangan tempat tinggal terdapat di bagian utara dan timur Sri Lanka. Upaya untuk memulihkan mata pencaharian di bagian utara dan timur harus mengatasi bukan saja dampak bencana tsunami, tetapi juga warisan konflik yang sudah lama berlangsung. Prasarana (jalan dan pelabuhan) di bagian utara dan timur kurang dikembangkan, fasilitas kredit mikro dan sektor perbankan lebih terbatas dan tingkat penghasilan biasanya lebih rendah. Untuk mengatasi ketidak-samaan struktural ini diperlukan suatu paket investasi jangka panjang.

Dalam memusatkan perhatian pada mata pencaharian, janganlah dilupakan bahwa banyak yang masih tidak dapat bekerja karena sakit atau memikul tanggung jawab sebagai pengasuh orang lain. Untuk mereka ini perlu disediakan langkah-langkah perlindungan sosial.

Dalam upaya memecahkan masalah kemiskinan, pentinglah untuk mengerti apa yang memberikan motivasi kepada golongan-golongan yang lebih berkuasa dan lebih kaya yang mendominasi beberapa bidang mata pencaharian. Apakah yang menjadi kepentingan mereka dan perbaikan mata pencaharian apa yang akan mereka terima dan apa yang akan mereka tentang? Dalam hal ini peranan advokasi penting untuk menarik perhatian pada masalah-masalah ini. Misalnya penerima keuntungan terbesar dari pekerja sabut kelapa dengan bayaran rendah adalah beberapa dari perusahaan ekspor besar terandal. Walaupun sektor swasta telah giat pada tahap bantuan mengembalikan mata pencaharian, hal ini perlu diperluas dengan mengupayakan peningkatan tanggung jawab sosial perusahaan dalam upaya pemulihan mata pencaharian jangka panjang.

Bagian-bagian berikut meninjau perkembangan di sektor-sektor utama yang terkena bencana maupun program-program utama bantuan mata pencaharian yang telah diterapkan.

5.5.1 Perikanan

Sektor yang paling parah terkena bencana tsunami adalah sektor perikanan. Diperkirakan bahwa sekurang-kurangnya 4.870 orang telah meninggal, sedangkan sepertiga dari keluarga yang mengalami bencana bekerja dalam bidang penangkapan ikan atau yang berkaitan dengan perikanan (103.000 orang dalam sektor perikanan kehilangan tempat tinggal dan 16.500 dari rumahnya hancur, dan 13.300 mengalami kerusakan). Di beberapa daerah angka-angka ini lebih tinggi. Misalnya, di bagian utara distrik Jaffna angka tersebut mendekati 90 persen. Menurut perkiraan 24.192 perahu dan sebanyak satu juta jaring mengalami kerusakan atau hancur. Pada bulan Juni 2005, jumlah perahu yang diperbaiki atau diganti berjumlah 21.656 (TAFREN, 2005).13

Masalah yang telah timbul dalam sektor perikanan menonjolkan sejumlah masalah rumit dalam menyediakan bantuan mata pencaharian yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dalam keadaan sulit pasca-bencana. Istilah ‘masyarakat nelayan’ sulit diartikan dengan tepat dalam menangani masalah mata pencaharian. Rumah tangga nelayan sangat berbeda-beda, baik secara horisontal maupun vertikal. Ada yang menjadi 13 TAFREN (2005), “Rebuilding Sri Lanka: Post-Tsunami Reconstruction and Rehabilitation” (Membangun Kembali Sri Lanka: Rekonstruksi dan Rehabilitasi Pasca-Tsunami) Juni 2005.

26

pedagang borongan tingkat lokal dan regional, ada yang menjadi pedagang eceran lokal, dan ada juga yang bekerja dalam pemrosesan ikan. Pekerjaan menangkap ikan juga menuntut jasa pendukung, khususnya jasa yang disediakan oleh perorangan yang memperbaiki dan memasok perlengkapan. Yang terakhir, mereka yang menjadi nelayan berasal dari tempat dan kelompok budaya yang berbeda-beda.

Bantuan untuk mengganti perahu yang rusak datang dari donor-donor yang banyak jumlahnya yang melihat kapasitas perahu untuk mendatangkan penghasilan. Jumlah perahu sekarang sudah mendekati jumlah pra-tsunami. Namun, karena industri perikanan menggunakan berbagai jenis perahu, teknik dan praktek penangkapan ikan, termasuk penggunaan jaring yang sangat berbeda-beda jenisnya, maka perahu-perahu nelayan yang telah disediakan tidak selalu memenuhi persyaratan dari masyarakat. Hal ini mencerminkan kurangnya dialog dengan para nelayan yang mengalami bencana dan koordinasi buruk di antara badan-badan donor dalam membeli dan membagikan perahu serta peralatan. Ada pekerja perikanan dan orang lain yang sekarang telah beruntung menerima pemberian perahu, tetapi ada yang lain yang sebelum tsunami memiliki perahu tetapi sampai sekarang belum menerima penggantinya. Dalam kasus-kasus lain perahu yang diberikan tidak sesuai dengan jenis usaha penangkapan ikan sehingga tidak dapat digunakan. Ada perahu yang mutu perbaikannya tidak memadai karena dikerjakan dengan tergesa-gesa, dan langkanya jaring dan mesin juga merupakan masalah.

Penggantian perahu nelayan di beberapa lokasi tidak terkoordinasi. Sebagai akibatnya jumlah perahu kecil lebih besar daripada jumlah pra-tsunami, dan hal ini dapat mengakibatkan penangkapan ikan secara berlebih-lebihan. Umumnya, perahu kecil paling cepat diperbaiki dan diganti. Di seluruh negara, lebih dari 80 persen dari perahu kecil telah diperbaiki, sedangkan perahu yang lebih mahal dengan berat 3,5 ton dan dapat digunakan berhari-hari baru 60–70 persen yang sudah diganti. Namun demikian, upaya penggantian perahu tidak dilaksanakan dengan merata. Di daerah-daerah bagian selatan seperti Kalutara, Hambantota dan Galle, demikian juga di Trincomalee di bagian timur, jumlah perahu tradisional sudah melebihi jumlah sebelum tsunami. Data juga menunjukkan bahwa LSM-LSM berniat untuk terus menyediakan perahu yang di beberapa tempat dapat berakibat penangkapan ikan meningkat dua kali lipat. Kemungkinan ini terutama terdapat di daerah-daerah pesisir di dekat pantai di mana penangkapan ikan sudah dilakukan secara berlebihan sebelum tsunami. Akibatnya, sekarang dilakukan upaya untuk mengurangi pemberian perahu kecil. Ada LSM yang tanggap; LSM Sewa Lanka membatalkan pesanan perahu tradisional sebanyak 2.000 buah.

Akan tetapi persediaan jaring dan mesin masih merupakan masalah. Walaupun penggantian perahu pada umumnya berjalan cepat, diperkirakan hanya 50 persen sekarang dapat digunakan karena kekurangan jaring dan mesin. Diperkirakan bahwa sekitar 1.700 mesin telah diperbaiki. Meskipun telah dipesan 6.000 mesin lagi, menjelang akhir Juni 2005 baru 450 buah yang sudah datang. Dalam hal jaring, sudah dipesan 46.000 – kebanyakan dari pemasok internasional – tetapi para pemasok hanya dapat menyediakan separonya karena lonjakan permintaan sesudah tsunami.

Setelah mengalami penurunan tajam sesudah bencana tsunami, permintaan domestik akan ikan telah membaik – sebelumnya konsumen merasa segan makan ikan yang diduga telah makan mayat yang hanyut ke laut – dan saluran pasar tampak kembali

27

hidup dengan marak.14 Meskipun banyak korban jiwa, tampaknya hasil perikanan akan mencapai tingkat pra-tsunami (kalau tidak bahkan melebihi) segera sesudah peralatan diganti dan kerusakan pada pelabuhan perikanan kecil dan besar diperbaiki. Apakah pemulihan sektor perikanan dapat bersinambung jelas tergantung pada cepat lambatnya prasarana sektor ini dipulihkan.

Untuk benar-benar “membangun kembali lebih baik daripada sebelumnya”, tantangan jangka panjang adalah mengatasi banyak kelemahan industri yang sudah ada sebelum terjadi bencana tsunami. Penjajakan terhadap pandangan nelayan pada masa lalu menunjukkan bahwa terdapat prioritas yang sangat berbeda-beda. Namun ada beberapa masalah umum yang menonjol:

Prasarana perikanan dan alat-alat penangkapan ikan

Kurangnya investasi untuk prasarana perikanan (misalnya pelabuhan, tempat penyimpanan dingin) di kawasan timur dan utara dibandingkan dengan di kawasan selatan

Meningkatkan desain perahu yang dapat beroperasi selama berhari-hari

Kerugian pasca-panen ikan dan kurangnya fasilitas penyimpanan di perahu

Pengelolaan perikanan

Pembatasan khusus berkaitan dengan konflik di kawasan utara dan timur dengan membatasi kekuatan mesin yang diijinkan

Di antara pemilik kapal besar terdapat keprihatinan akibat menyusupnya kapal asing ke perairan Sri Lanka. Hal ini benar-benar merupakan keprihatinan karena, bertentangan dengan persepsi banyak orang, di Sri Lanka, seperti di kebanyakan kawasan pesisir tropis, perikanan relatif kurang produktif. Perikanan itu lebih produktif di kawasan yang beriklim sedang di mana pertemuan arus air laut membentuk perairan campuran yang meningkatkan produktivitas ikan.

Masalah peralatan penangkap ikan gelap

Penangkapan ikan secara berlebih-lebihan merupakan sumber keprihatinan utama di pesisir selatan dan barat (di kawasan utara dan timur hal ini tidak begitu menjadi masalah)

Kelemahan kelembagaan lain

Kelemahan dalam menyelenggarakan koperasi perikanan

Meningkatkan syarat kerja bagi pekerja perikanan

Melibatkan pihak-pihak lain yang berkepentingan yang lebih berkuasa dalam mengelola perikanan (misalnya tengkulak ikan)

14 Keseganan konsumen untuk makan ikan segera sesudah terjadi tsunami juga terlihat di tempat-tempat lain yang terkena bencana seperti Indonesia.

28

Lebih banyak dukungan dari LSM-LSM kepada Kementerian Perikanan dalam upayanya untuk mengatur dan mengelola perikanan

Akses kesempatan non-perikanan

Kurangnya kesempatan untuk memperoleh pendidikan dan pelatihan kejuruan khususnya bagi kaum muda

Kementerian Perikanan telah mengembangkan suatu rencana strategi untuk

industri yang akan memecahkan banyak dari masalah ini. Akan tetapi, seperti seringkali terjadi, untuk melaksanakan rencana tersebut diperlukan dana, dan kelompok-kelompok politik, administrasi serta LSM yang kompeten.

5.5.2 Pariwisata

Pada saat industri pariwisata di Sri Lanka mulai hidup kembali segera sesudah diadakan persetujuan gencatan senjata, industri yang nasibnya naik-turun ini mengalami pukulan lagi dalam bentuk gelombang tsunami. Sekitar separo dari 105 hotel besar dan kecil di daerah yang terkena bencana – yang merupakan jantung “wisata pantai” – mengalami kerusakan sebagian dan 8 hotel rusak seluruhnya. Sekitar seperempat (52 dari 242 hotel yang terdaftar) di negara ini terkena. Dalam hal kamar, menjelang akhir bulan Februari 2005, kira-kira 3.500 dari 13.000 kamar di hotel-hotel ukuran menengah dan besar belum dapat dihuni.

Kebanyakan usaha wisata menengah dan besar mempunyai asuransi untuk bencana alam termasuk gempa bumi, dan ini ditafsirkan mencakup bencana tsunami. Diperkirakan bahwa, sesudah bencana tsunami, santunan asuransi yang dibayarkan berjumlah AS$150 juta, sebagian besar dibayarkan kepada industri hotel. Dengan demikian diduga ada sejumlah hotel yang mampu menutup setidaknya sebagian dari ongkos rekonstruksinya. Akan tetapi kebanyakan pengusaha hotel tidak mempunyai asuransi untuk beberapa jenis dampak bencana seperti pembatalan pesanan kamar, dsb., dan harus menanggung kerugian ini sepenuhnya. Sejak bencana tsunami, perusahaan asuransi menawarkan asuransi tsunami sebagai bagian dari asuransi terhadap bencana alam. Hal ini telah menyebabkan ongkos asuransi meningkat kira-kira sebesar sepertiga, dari 0,1 persen menjadi kira-kira 0,13 persen dari nilai aset. Untuk hotel yang berukuran menengah dengan nilai sebesar sekitar AS$3 juta, hal ini berarti kenaikan premi sebesar kira-kira AS$900, sedangkan untuk hotel yang bernilai sekitar AS$15 juta kenaikan premium itu sebesar AS$4.500. Meskipun kenaikan itu signifikan, tetapi tampaknya tidak terlalu memberatkan.

Bencana tsunami mungkin membawa dampak jangka menengah yang lebih besar pada jumlah kedatangan wisatawan dan tingkat penghunian. Pada tahun 2004 sektor pariwisata mengalami masa gemilang dengan jumlah kedatangan sebanyak 566.000 orang. Kedatangan wisatawan diharapkan akan mencapai 600.000 pada tahun 2005 dengan kedatangan sebanyak 150.000 orang pada 3 bulan pertama tahun itu. Perkiraan ini sekarang telah diubah menjadi 425.000 kedatangan pada tahun 2005 dan 575.000 pada tahun 2006 – meskipun ada yang mengatakan angka-angka ini terlalu optimis. Sekitar 40 persen penghunian malam oleh tamu dari luar negeri di Sri Lanka

29

adalah di sepanjang pantai di pesisir bagian selatan dan timur pulau. Tingkat penghunian di beberapa hotel yang tidak mengalami kerusakan di daerah-daerah yang terkena bencana saat ini tinggi karena wisatawan digantikan oleh pekerja pemberi bantuan, dsb., paling tidak untuk sementara waktu, sedangkan tingkat penghunian di hotel-hotel di pantai dan tidak terkena tsunami di bawah 10 persen. Tingkat penghunian di hotel-hotel di pedalaman juga rendah karena menurunnya jumlah kedatangan wisatawan. Akan tetapi hotel-hotel di Kolombo penuh dengan pebisnis dan pengunjung yang urusannya berkaitan dengan tsunami.

Untuk industri wisata pantai di pesisir, seperti halnya dengan industri perikanan, gelombang tsunami dapat memberikan kesempatan untuk membangun kembali industri tersebut dengan cara yang lebih bersinambungan. Rekonstruksi sebagian besar hotel sudah dimulai. Kementerian Pariwisata membantu sektor pariwisata dengan kampanye “Bangkitlah Kembali Sri Lanka” (Bounce Back Sri Lanka) yang menggabungkan hubungan masyarakat dengan bantuan untuk membangun fasilitas wisata pantai “kelas dunia”. Industri ini juga memperoleh hak impor bebas cukai untuk peralatan yang diperlukan untuk rekonstruksi, dan Bank Sentral menyediakan fasilitas pinjaman untuk usaha kecil dan menengah (UKM) yang meliputi industri pariwisata. Lancarnya pembangunan sejumlah hotel mewah menunjukkan adanya sikap positif jangka panjang. Badan Pariwisata telah mengambil langkah-langkah untuk menawarkan Zona-Zona Wisata baru di mana tanah dan prasarana akan disediakan. Badan Pariwisata bertujuan membangun 15 zona wisata dengan biaya masing-masing sebesar AS$12 juta yang didanai oleh donor.

Namun demikian, bagi orang-orang yang terkena bencana yang memperoleh penghasilannya baik secara langsung maupun tidak langsung dari industri pariwisata ada masalah mendesak dalam hal mata pencaharian. Jika bencana tsunami terbukti mengakibatkan penurunan jumlah kedatangan wisatawan, maka dengan rekonstruksi yang cepat pun, pemulihan pada sektor pariwisata mungkin akan berjalan lamban. Meskipun banyak pegawai hotel mungkin mendapatkan kembali pekerjaannya segera sesudah hotelnya dibangun kembali, untuk sementara mereka tidak mempunyai mata pencaharian alternatif. Keadaan ini sama atau bahkan lebih buruk untuk banyak usaha kecil yang melayani wisatawan (misalnya usaha kerajinan tangan seperti membuat renda).

5.5.3 Hibah Uang Tunai

Bantuan uang tunai segera itu penting sekali untuk keluarga, terutama keluarga yang telah kehilangan anggota, rumah, aset lain dan pekerjaan. Oleh karena itu hibah uang tunai sebanyak Rs 5.000 (AS$50) setiap bulan, dan rangsum yang terdiri dari makanan dan uang tunai sebanyak Rs 375 (AS$3,75) merupakan bagian dari paket bantuan yang mendapat sambutan baik. Menjelang akhir bulan Juni 2005, hampir semua penerima bantuan yang memenuhi persyaratan, yaitu 880.000 orang, dilaporkan menerima uang tunai sebanyak Rs 375 (AS$3,75) dan rangsum makanan (TAFREN, 2005).15 Dalam hal 15 TAFREN (2005), “Rebuilding Sri Lanka: Post-tsunami Reconstruction and Rehabilitation” (Membangun Kembali Sri Lanka: Rekonstruksi dan Rehabilitasi Pasca-Tsunami), Juni 2005.

30

bantuan bulanan sebanyak Rs 5.000, semua keluarga yang diidentifikasi terkena bencana tampaknya telah menerima dua kali pembayaran pertama, pada bulan Januari dan Februari atau beberapa waktu sesudah itu. Di tempat-tempat yang tidak dapat dijangkau oleh bank negara, seperti Propinsi Utara, penyediaan bantuan ditangani dengan cara lain. Tampaknya rencana bantuan ini terbukti sangat efektif dalam menjangkau penduduk yang terkena bencana, dengan membantu orang yang tidak banyak berhubungan dengan sektor keuangan resmi. Bahkan ada orang yang membuka tabungan deposito (yang merupakan syarat untuk menerima dana).

Namun, sesudah dua kali pembayaran Kementerian Keuangan memerintahkan agar Sekretaris Divisi meninjau kembali daftar mereka yang memenuhi persyaratan untuk menerima bantuan, dengan tujuan agar jumlah keluarga penerima bantuan dikurangi. Kadang-kadang kriteria untuk menentukan siapa yang memenuhi persyaratan diubah, surat edaran yang dikirimkan berbeda-beda isinya, dan informasi lengkap tidak diumumkan secara terbuka bagi khalayak umum. Sebagian besar keluarga yang terkena bencana tsunami tidak sepenuhnya tahu akan kriteria baru. Surat edaran dari pemerintah yang mengumumkan kriteria yang sudah ditinjau kembali tampaknya sangat luas cakupannya, dan memberikan cukup banyak kebebasanbertindak kepada petugas pemerintah lokal. Akibatnya terjadi penafsiran yang sangat berbeda-beda, keterlambatan, dan menumpuknya permohonan peninjauan kembali keputusan. Menurut wawancara dengan pihak-pihak yang berkepentingan, di antaranya keluarga yang terkena bencana maupun pejabat pemerintah, keluarga yang mempunyai ‘penghasilan tetap’ tidak lagi memenuhi persyaratan. Atas dasar surat edaran pemerintah yang berubah-ubah dibuatlah daftar baru dari mereka yang berhak menerima bantuan dan ini memakan waktu beberapa bulan. Hal ini telah menambah pula kebingungan dan kekacauan, ketidak-pastian dan kemarahan di antara keluarga korban.

Saat ini masalah pembayaran ini belum begitu jelas. Menurut TAFREN, menjelang akhir bulan Juni 2005 pembayaran dilakukan kepada 234.000 orang yang berhak menerimanya (TAFREN, 2005). 16 Menurut angka-angka dari Departemen Sensus dan Statistik pembayaran pertama dilakukan kepada 250.844 keluarga, yang kedua kepada 131.752 keluarga dan yang ketiga hanya kepada 165.000 keluarga. Pembagian ini sedang di-audit untuk memeriksa pengelolaan keuangan maupun untuk memastikan bahwa uang benar-benar sampai ke tangan korban tsunami yang sesungguhnya. Bank Dunia mengharapkan progam ini akan diperpanjang selama dua bulan lagi – selama empat bulan seluruhnya – sebelum dihapus setahap demi setahap.

Mempersempit cakupan bantuan supaya bantuan tersebut hanya disediakan untuk mereka yang ‘benar-benar membutuhkan’ mungkin tampak adil, tetapi dalam prakteknya pentargetan yang begitu sempit mungkin lebih merugikan daripada menguntungkan. Dalam menilai perubahan yang diadakan terhadap program ini, hendaknya diperhatikan bahwa pasca-tsunami, keluarga dengan penghasilan tetap pun telah banyak kehilangan kekayaannya dalam bentuk rumah dan harta milik, dan mereka kekurangan uang. Untuk memenuhi banyak kebutuhan mendesak, besar kemungkinan mereka akan terjerumus ke dalam pinjaman dari sektor informal yang menarik bunga 16 TAFREN (2005), “Rebuilding Sri Lanka: Post Tsunami Reconstruction and Rehabilitation” (Membangun Kembali Sri Lanka: Rekonstruksi dan Rehabilitasi Pasca Tsunami) Juni 2005.

31

tinggi. Barangkali yang paling penting ialah bahwa keputusan untuk menghapuskan dari daftar penerima bantuan mereka yang mempunyai penghasilan tetap sesudah dua kali pembayaran bulanan telah menimbulkan akibat sebaliknya. Dalam kenyataan hal ini merugikan bukan hanya mereka yang tetap memegang pekerjaan lama tetapi, yang mungkin lebih penting, juga mereka yang berhasil memperoleh pekerjaan teratur sesudah bencana tsunami. Jika bantuan donor tersedia untuk program ini – dan sulit untuk dimengertimengapa tidak ada dana mengingat bantuan yang dijanjikan pada bulan Mei 2005 tengah dipenuhi – maka pengurangan bantuan sulit untuk dibenarkan, mengingat bahwa memberikan penghasilan kepada keluarga korban itu jelas perlu. Tambahan lagi, karena hibah uang tunai ini disetor ke rekening bank, maka biaya sistem ini sangatlah hemat (cost effective) jika dibandingkan dengan biaya transaksi banyak lagi proyek mata pencaharian tsunami yang sering kehilangan sebanyak 30 persen untuk biaya administrasi.

Di sejumlah lokasi, LSM-LSM internasional yang besar telah memulai program “upah untuk kerja” (cash for work) seperti menyingkirkan reruntuhan dan membangun kembali tempat berlindung sementara. Upah harian yang ditawarkan adalah Rs 300–350 (AS$3,00–3,50) untuk laki-laki dan perempuan. Jumlah ini mendekati upah harian rata-rata yang sampai akhir-akhir ini berlaku bagi laki-laki, tetapi lebih tinggi daripada upah yang biasanya dibayarkan kepada perempuan. (Perlu dicatat dengan adanya inflasi, upah dan tarip ini mungkin cepat akan kehilangan daya tariknya.) Manfaat program “upah untuk kerja” adalah bahwa progam ini memungkinkan mereka yang terkena bencana memperoleh pekerjaan dan pada saat yang sama memecahkan masalah kurangnya tenaga untuk menyingkirkan reruntuhan dan membangun tempat-tempat berlindung sementara. Akan tetapi pendekatan ini terbatas manfaatnya. Dalam praktek, progam ini sebagian besar menguntungkan mereka yang sehat dan kuat badannya, terutama laki-laki. Yang tua, yang muda, yang sakit dan yang menderita cacat serta mereka yang harus merawat orang lain (biasanya orang perempuan yang sulit meninggalkan tanggungannya) sulit untuk memperoleh manfaat dari pendekatan seperti itu. Ada LSM lokal yang tidak begitu suka pada program “upah untuk kerja” karena dianggap merusak shramadana (gift of labour), yaitu kebiasaan bekerja secara sukarela demi kepentingan masyarakat. Ada pula LSM yang tidak cukup anggarannya untuk membayar upah sebanyak yang ditentukan.

5.5.4 Usaha Mikro dan Microfinance

Banyak keluarga korban yang bergerak dalam usaha mikro. Diperkirakan bahwa sebanyak 25.000 usaha mikro tersebut mengalami kerusakan. Di samping itu, sekitar 15.000 orang yang jiwanya selamat dari bencana tsunami adalah wiraswasta atau bekerja dalam sektor informal seperti pemrosesan makanan, pembuatan barang-barang dari sabut kelapa, tukang kayu, penyadap nira aren untuk pembuatan tuak, dan penjahit. Banyak dari pekerja ini membutuhkan dana untuk mengganti aset yang hilang atau rusak seperti peralatan dan persediaan barang. Meskipun bidang perikanan telah banyak menerima bantuan, tetapi jelas bahwa banyak kegiatan mata pencaharian lain kurang mendapat perhatian. Seringkali kegiatan seperti merenda dan membuat barang-barang dari sabut kelapa itu lebih penting bagi perempuan sehingga pemulihannya yang lebih lambat dapat berdampak pada keluarga-keluarga yang dikepalai oleh perempuan (yaitu

32

kira-kira seperenam dari keluarga yang terkena bencana). Di beberapa tempat telah timbul ketegangan antara nelayan dan kelompok-kelompok dengan mata pencaharian lain, karena dalam kelompok-kelompok tersebut ada yang merasa industri perikanan telah diberi perhatian lebih besar.

Sesudah satu tahun, banyak usahawan mikro telah mendapatkan kembali perlengkapannya yang hilang, dan pekerja bangunan yang terampil memperoleh manfaat dari boom yang dialami dalam bidang konstruksi. Akan tetapi di beberapa tempat perempuan yang berwiraswasta (misalnya dalam bidang sabut kelapa, menjahit, membuat tali, menenun, dsb) menghadapi persaingan dan pasaran yang sudah jenuh sehingga penghasilannya menurun sampai ke bawah tingkat pra-tsunami. Toko tidak boleh dibangun di zona penyangga dan tidak dapat mengakses kredit dari program-program pemerintah yang ada. Mungkin tantangan yang terbesar adalah bagaimana “membangun kembali lebih baik daripada sebelumnya”. Banyak pengusaha mikro – yang membuat produk (misalnya sabut kelapa, tali, karpet, tikar, membuat makanan) atau berjualan di warung-warung, dsb. sudah miskin sebelum tsunami. Yang menjadi tantangan ialah membantu mereka mengentaskan diri dari kemiskinan. Akan tetapi dengan sekadar membagikan kembali aset secara lebih luas (misalnya mesin jahit, mesin sabut) keadaan mungkin menjadi lebih buruk daripada sebelumnya.17 Keperluan yang mendesak adalah mengalihkan titik berat dari segi produksi ke permintaan pasar:

Mengidentifikasi dan mengembangkan kegiatan ekonomi padat karya dan yang melayani permintaan di pasaran lokal dan/atau dapat bersaing dalam pasar internasional, misalnya beberapa contoh usaha yang menjanjikan dalam bidang pariwisata yang bertumpu pada masyarakat lokal telah dimulai

Meningkatkan nilai tambah dari kegiatan nilai rendah yang sekarang dilakukan – misalnya dengan menyediakan bantuan dan pelatihan untuk meningkatkan mutu desain produk

Mendorong sektor informal untuk mengembangkan organisasi produsen guna berunding dengan perantara/tengkulak atau kartel dengan tujuan memperoleh bagian yang lebih besar dari harga eceran terakhir, dan manfaat-manfaat lain (misalnya kredit mikro), dan juga dukungan advokasi. Misalnya, sebuah LSM di Galle telah mengorganisasi penjual jalanan menjadi perserikatan untuk mendesak yang berwewenang guna memperoleh tempat tetap untuk warung mereka dan mereka telah memulai program kredit mikro; yang lain telah mengorganisasi koperasi pemasaran sabut kelapa.

17 Bagian ini terutama didasarkan pada makalah yang disajikan oleh Kaml Kapadia pada lokakarya “Reviving livelihoods after the tsunami: identifying gaps in existing programmes” (Menghidupkan kembali mata pencaharian sesudah tsunami: mengidentifikasi kelemahan-kelemahan dalam program-program yang ada).

33

Mengadakan hubungan dengan sektor swasta lokal maupun internasional dan meningkatkan penelitian pasar. Misalnya, beberapa LSM telah bekerja dengan pembeli industri garmen untuk menjual pakaian yang dihasilkan oleh keluarga-keluarga yang terkena bencana tsunami.

Walaupun perahu, jaring dan perlengkapan lain (disediakan melalui badan

bantuan) merupakan unsur pokok dalam pemulihan kegiatan perikanan, bagi banyak usaha kreditlah yang merupakan masukan yang paling penting. Masalah yang dihadapi oleh masyarakat miskin dalam mengakses kredit sektor formal sudah umum diketahui. Meskipun microfinance sudah banyak yang memanfaatkannya, tetapi kebanyakan program pra-tsunami memusatkan perhatian pada penyediaan pinjaman kecil. Hal ini membantu mengurangi keadaan ekonomi mereka yang rawan tetapi belum sepenuhnya berhasil mengentaskan penduduk dari kemiskinan. Sebelum terjadi bencana tsunami banyak keluarga yang sudah mempunyai utang. Kesulitan seperti itu diperburuk pada waktu masyarakat dilanda bencana alam yang merusak aset-aset kecil yang mungkin mereka miliki. Dengan demikian hilanglah barang milik yang mungkin mereka gunakan sebagai agunan untuk pinjaman (collateral). Berkurang pula orang yang dapat bertindak sebagai penjamin, sementara keperluan untuk memperoleh kredit meningkat tajam. Dapat tidaknya usaha-usaha mikro pulih kembali tergantung pada tersedianya microfinance.18

Perlu ada keseimbangan yang dijagadengan bijaksana antara perlunya “budaya” melunasi utang, dan perlunya bersikap realistis mengenai pinjaman dengan suku bunga rendah. Akan tetapi yang tampaknya menjadi kendala utama adalah bukan suku bunga itu sendiri, tetapi kemampuan untuk dengan cepat dan mudah mengakses dana pada saat diperlukan. Dalam jangka lebih panjang, sedang diadakan pembahasan mengenai kemungkinan ditingkatkannya peranan pemerintah dalam mengawasi kredit mikro, dan kemungkinan diadakannya undang-undang untuk mengatur industri kredit mikro.

Sejumlah program saat ini sedang dilaksanakan untuk menangani kebutuhan akan microfinance pasca-tsunami. Sebelum terjadi bencana tsunami, sektor microfinance di Sri Lanka relatif cukup baik, termasuk bank komersial dan bank pedesaan yang melayani pelanggan kecil (misalnya Cooperative Rural Banks dan Regional Development Banks). Di samping itu juga ada organisasi-organisasi yang menggunakan pendekatan “akar rumput” (grassroots) pada microfinance di mana suatu kelompok menyelenggarakan dana kredit berputar (misalnya Sanasa, Sarvodya SEEDs). Untuk mendukung budaya melunasi utang yang kuat, sebagian besar organisasi microfinance didorong untuk tidak mengubah kredit menjadi hibah. Apabila hibah diperlukan, misalnya untuk perumahan dan makanan, hibah tersebut lebih baik disediakan bukan oleh organisasi microfinance, tetapi melalui mekanisme kelembagaan lain.

18 Potensi peranan microfinance dalam keadaan seperti itu didokumentasikan dalam tulisan-tulisan yang makin banyak jumlahnya. Lihat, misalnya, Mathison (2003) dan ILO (2005).

34

Walaupun banyak yang berminat memberikan pinjaman baru, masalah yang mendesak adalah bagaimana menangani pinjaman lama. Pada umumnya, masing-masing bank dan lembaga microfinance bebas untuk merundingkan masalah ini atas dasar kasus demi kasus, karena merekalah yang paling mengetahui kebutuhan dan kemampuan kliennya untuk melunasi utang. Umumnya, organisasi microfinance hanya menghapus utang jika terjadi kematian atau cacat seumur hidup, tetapi banyak organisasi yang mengakui bahwa bencana tsunami bukanlah penyebab tunggakan yang disengaja. Namun demikian, ada keprihatinan bahwa peminjam menghadapi risiko yang tidak terduga sebelumnya, di antaranya musim kemarau panjang, banjir atau pergolakan politik dan risiko politik. Dalam hubungan ini, ada organisasi microfinance yang lebih senang menghindari penggunaan bencana tsunami sebagai preseden untuk menghapus pinjaman. Yang lebih disukai adalah menjadwalkan kembali pelunasan pinjaman supaya klien mempunyai waktu untuk kembali pada arus kas positif. Pinjaman bahkan dapat diberikan untuk mengganti aset-aset yang hilang dan untuk meningkatkan penghasilan di masa mendatang. Dalam jangka panjang hal ini bermanfaat bagi klien, karena penghapusan pinjaman akan mempersulit upaya memperoleh kredit di masa yang akan datang.

Bank Sentral telah melaksanakan program microfinance (Susahana) melalui dua bank dagang milik pemerintah. Pinjaman Susahana disediakan tanpa keharusan membayar kembali pada tahun pertama dan suku bunga ditetapkan 6 persen sesudah jangka waktu satu tahun tersebut. The National Development Trust Fund (NDTF) juga memberikan tawaran yang sama melalui organisasi-organisasi mitranya. Menjelang akhir bulan Juni 2005, 4.154 orang pemohon telah menerima Rs 1.940 juta (AS$19 juta) melalui program Susahana bank-bank milik negara, dan 4.437 orang lagi telah menerima Rs 158 juta (AS$1,58 juta) melalui program NDTF. Menjelang bulan November 14.000 orang pemohon telah menerima hibah dari program Susahana dan NDTF yang semuanya berjumlah Rs 3,7 milyar (AS$37 juta).

Menurut pernyataan Susahana, program ini juga bertujuan menjangkau usahawan mikro. Meskipun disangkal oleh Susahana, program ini ternyata diatur sedemikian rupa sehingga sangat sulit bagi usahawan kecil yang terkena bencana tsunami untuk memperoleh akses. Persyaratan untuk memperoleh akses sangat berat. Informasi yang diteruskan kepada mereka yang tinggal di perkemahan mula-mula terbatas, demikian juga formulir permohonan. Penjamin yang diperlukan diharuskan mempunyai penghasilan tetap di atas tingkat tertentu. Pemohon diharuskan juga memberikan jaminan tambahan dan tanah di zona penyangga tidak dapat digunakan untuk jaminan tersebut. Belum jelas bagaimana hal ini dapat berubah mengingat baru-baru ini diumumkan perubahan pada peraturan mengenai bangunan di zona penyangga. Pinjaman hanya akan diberikan kepada usaha yang terdaftar sebelum terjadi bencana tsunami, sehingga tidak ada peluang bagi banyak usaha kecil yang tidak terdaftar – banyak perusahaan kecil ternyata tidak terdaftar. Oleh karena itu, orang tidak mencari mata pencaharian baru dalam menanggapi keadaan yang telah berubah sebagai akibat bencana tsunami, misalnya kematian pencari nafkah utama, cacat atau tugas baru

35

merawat anggota keluarga. Persyaratan program Susahana perlu segera ditinjau kembali agar program ini dapat menjangkau usahawan-usahawan mikro yang lebih miskin.19

Bank Pembangunan Asia (ADB) telah mendukung program besar microfinance untuk Sri Lanka yang bekerja melalui organisasi-organisasi pada tingkat “akar rumput” (grassroots). Pada dasarnya program ini berkemampuan untuk mengatasi keterbatasan program Susahana. Pada bulan Februari program ini mengumumkan akan menggunakan AS$7 juta untuk menjangkau masyarakat-masyarakat yang terkena bencana tsunami. Dalam penelitian lapangan yang dilakukan oleh penulis laporan ini, penulis tidak dapat menentukan jangkauan yang sebenarnya dan keefektifan program ini. Akan tetapi jelas bahwa suatu program microfinance yang berhasil akan memenuhi kebutuhan mendesak, terutama dalam memenuhi kebutuhan keuangan usaha-usaha mikro yang terkena bencana tsunami untuk membangun kembali mata pencahariannya.

6. Membangun Kembali Aset Tetap dan Prasarana

Rehabilitasi perumahan dan prasarana yang rusak merupakan inti program pembelajaan modal yang terkait dengan pemulihan pasca-tsunami. Pendanaan dari donor dipandang sangat penting untuk tugas ini. Oleh karena itu pada pertemuan para donor pada bulan Mei 2005 diajukan permintaan dana untuk memenuhi keperluan yang telah diketahui. Pembangunan prasarana umum diharapkan akan didanai seluruhnya oleh donor-donor luar negeri dengan badan-badan multilateral maupun negara-negara tertentu yang menyetujui pendanaan proyek-proyek tertentu. Hubungan komunikasi dan transpor yang utama telah diperbaiki, setidak-tidaknya untuk sementara waktu. Namun dalam banyak kasus gedung-gedung umum dan prasarana lain, seperti jembatan, masih harus diperbaiki secara keseluruhan atau dibangun kembali secara pemanen, terutama di sebelah Utara dan Timur negara.

Bantuan keuangan luar negeri juga diharapkan akan mendanai tempat tinggal baru yang menurut rencana diperuntukkan bagi keluarga-keluarga yang terkena bencana dan yang telah dibuatkan rencana rumah baru; LSM-LSM (termasuk beberapa LSM lokal) dan perusahaan swasta diharapkan akan menyumbang cukup banyak dalam upaya ini.

Dalam kedua kasus di atas, nyata-tidaknya kemajuan akan tergantung tidak hanya pada bantuan yang dijanjikan – apakah bantuan itu benar-benar menjadi kenyataan – tetapi juga sampai di mana dana mampu membiayai ongkos rehabilitasi, dan pembangunan kembali, yang sesungguhnya. Seperti yang akan dibahas kemudian, sampai di mana rekonstruksi ini dapat berhasil dilaksanakan dengan baik mungkin sekali akan menjadi tanda tanya besar karena meningkatnya biaya dan tekanan fiskal.

19 Juga diperlukan jasa non-keuangan untuk membantu yang miskin mengembangkan keterampilan baru dan akses pasar supaya mereka dapat memanfaatkan microfinance. Mereka yang belum menjadi anggota perserikatan kredit berputar mungkin mengalami masalah dalam mengakses kredit.

36

6.1 Perumahan

Penilaian terhadap kebutuhan yang dilakukan baik oleh ADB-JBIC-WB maupun oleh Pemerintah Sri Lanka yang disajikan kepada para donor pada bulan Mei 2005 mengidentifikasi kerusakan pada perumahan sebagai kelompok kerusakan terbesar pada aset fisik (Tabel 2). Wawancara lapangan yang dilakukan oleh IPS dan organisasi-organisasi lain telah menunjukkan bahwa perumahan dipandang sebagai hal yang paling dikhawatirkan oleh keluarga-keluarga yang kehilangan tempat tinggal, dan cita-cita utama mereka adalah memperoleh kembali tempat berlindung yang permanen dan memadai. Di bawah ini masalah perumahan dibahas secara terperinci karena masalah ini sangat penting. Dalam analisis penulis, tersorotnya masalah perumahan memunculkan beberapa pertimbangan penting berkaitan dengan disusunnya kebijakan.

6.2 Perumahan dan Zona Penyangga

Sejak permulaan sekali, masalah perumahan dipengaruhi oleh pengumuman pemerintah yang dikeluarkan segera sesudah terjadi bencana tsunami. Menurut pengumuman tersebut pemerintah akan menentukan zona penyangga yang tidak boleh diberi bangunan (‘no-build’ buffer zone) selebar 200 meter sepanjang pantai utara dan timur dan 100 meter di pantai-pantai lain negara ini. Diumumkan bahwa penduduk di zona ini tidak akan diijinkan membangun kembali bangunan yang rusak atau hancur. Dikatakan bahwa lebarnya zona yang lebih besar di sebelah utara dan timur dapat dibenarkan karena di kawasan tersebut air laut naik lebih jauh ke pantai dan risiko dilanda badai lebih besar. Di daerah-daerah yang dikuasai oleh LTTE, berita mula-mula menyebutkan bahwa di kawasan ini akan ditentukan zona penyangga yang sama – atau bahkan lebih lebar. 20 Pemerintah berjanji bahwa bagi mereka yang rumahnya terletak di zona penyangga dan mengalami kerusakan, akan disediakan rumah baru yang dibangun di tanah yang akan diperoleh untuk tujuan ini dan yang cukup dekat dengan rumah lama.

Di zona penyangga yang dibebaskan dari bangunan, pedoman TAFREN tanggal 15 Maret 2005 menyatakan bahwa pemerintah “akan mengidentifikasi tanah yang terdekat dengan desa yang terkena bencana dan akan menyediakan rumah bagi keluarga-keluarga yang terkena bencana. Proses relokasi akan diupayakan agar sedapat-dapatnya masyarakat tetap utuh”. Menurut pedoman, bantuan akan diatur sebagai berikut:

20 Zona penyangga dan ‘set back’ keduanya merupakan cara untuk menciptakan ruang antara zona yang ditempati bangunan dan pantai. Zona ini tidak mengurangi akibat bahaya seperti gelombang tsunami tetapi dirancang untuk menjauhkan penduduk dari daerah bahaya. Zona seperti ini memfasilitasi pelestarian eko-sistem dengan membatasi jenis-jenis tertentu kegiatan manusia. Zona tersebut mungkin membawa akibat bermanfaat bagi kerusakan gelombang. Setback pantai diartikan “suatu jarak yang ditentukan dari laut ke arah suatu ciri pantai, seperti sederetan tumbuhan tetap, dan di dalam jarak ini dilarang mengadakan pembangunan apa pun, atau dilarang melakukan jenis pembangunan yang tertentu” (“Coastal Zone Management Plan Sri Lanka 2004”: Coast Conservation Department, Government of Sri Lanka). (Rencana Pengelolaan Zona Pantai, Sri Lanka, 2004: Departemen Pelestarian Pantai, Pemerintah Sri Lanka). Untuk pembahasan mengenai zona penyangga di negara-negara berkembang, lihat Ebregt dan De Greve (2000).

37

Tidak akan diijinkan membangun kembali rumah (yang sebagian atau seluruhnya mengalami kerusakan) di dalam zona penyangga.

Bagi semua keluarga yang terkena bencana akan disediakan rumah yang akan dibangun dengan bantuan donor di tanah yang ditentukan oleh negara. Keluarga tidak akan diminta untuk menunjukkan kepemilikan tanah. (Tekanan oleh penulis)

Rumah yang baru akan dibangun sesuai dengan pedoman yang dikeluarkan oleh UDA dan akan berlantai seluas 500 kaki persegi dan akan dilengkapi dengan listrik, air ledeng, sanitasi dan fasilitas pembuangan air.

Rumah yang diusulkan untuk dibangun di kampung-kampung perkotaan dan di pedesaan akan memiliki fasilitas seperti jalan, rekreasi, dsb.

Pemilik rumah yang mengalami kerusakan akan diperbolehkan tetap memiliki

tanahnya untuk keperluan pertanian dan akan diberi tawaran tanah gratis dan rumah gratis di tempat lain. Rumah yang tidak mengalami kerusakan dan hotel (kalaupun mengalami kerusakan) akan diijinkan tetap berada di zona penyangga. Bagi penduduk di zona penyangga, pemerintah berencana membantu bukan hanya pemilik tanah, tetapi semua penduduk (termasuk mereka yang melanggar batas-batas zona) dengan perumahan. Untuk rencana ini diperlukan sekitar 50.000 rumah permanen.

Bagi mereka yang rumahnya mengalami kerusakan dan terletak di luar zona penyangga, pemerintah akan menyediakan hibah dan pinjaman untuk membangun kembali rumahnya di tempat yang sama. Hibah ini disediakan melalui bank negara dengan dana yang berasal dari badan-badan donor. Menurut pedoman TAFREN tanggal 15 Mei 2005, kriteria berikut berlaku bagi keluarga di luar zona penyangga:

Semua rumah tangga di luar zona penyangga yang terkena bencana dan dapat menunjukkan kepemilikan tanah berhak menerima hibah dari negara. Rumah tangga yang tidak mempunyai sertifikat kepemilikan tanah tidak berhak menerima bantuan ini.

Kerusakan ditaksir dengan mengikuti sistem poin, dan dinilai oleh Panitia Verifikasi (Verification Committee).21 Jika kerusakan rumah melebihi 40 persen, hibah sebesar Rs 250.000 (AS$2.500) diberikan dalam 4 kali angsuran yang didasarkan pada kemajuan yang dicapai. Jika kerusakan rumah di bawah 40 persen, maka disediakan hibah sebesar Rs 100.000 (AS$1.000) yang dibayarkan dalam 2 tahap.22

Zona penyangga adalah pendekatan yang banyak digunakan untuk tujuan pelestarian dalam berbagai konteks. Konsep zona penyangga merupakan tindakan reaksi

21 Di samping itu, keluarga yang telah berhasil menggunakan hibah berhak mengajukan permohonan pinjaman konsesi sebesar Rs 500.000 dari kedua bank dagang milik negara. 22 Sejak menjadi jelas bahwa ada ketidak-adilan dalam menyediakan jumlah uang yang sama untuk membangun kembali rumah dengan jendela pecah dibandingkan dengan rumah yang mengalami kerusakan lebih besar (meskipun kerusakannya di bawah 40 persen), maka sedang dipertimbangkan suatu sistem baru yang membayarkan Rs 50.000 (AS$500) satu kali bayar bagi mereka yang kerusakan rumahnya di bawah 20 poin menurut penilaian sistem verifikasi kerusakan.

38

terhadap kerusakan luas yang diderita masyarakat yang tinggal di dekat pantai. Pendekatan ini tidak hanya menyoroti ancaman bahaya bagi mereka yang tinggal di dekat laut tetapi juga mengarahkan perhatian pada banyaknya orang yang, pada dasarnya, menduduki tanah secara ilegal atau tinggal di rumah yang dibangun bertentangan dengan hukum. Yang mungkin menjadi alasan utama bagi pemerintah untuk menentukan zona penyangga adalah pandangan bahwa jika terjadi bencana serupa (gelombang tsunami lagi atau badai) yang mengakibatkan banyak korban jiwa atau kerusakan rumah yang sudah dibangun kembali, pemerintah pastilah akan dipersalahkan jika tidak ada daerah bebas bangunan yang ditetapkan.

Akan tetapi mungkin ada pertimbangan lain yang berperan juga. Undang-Undang Pelestarian Pantai (Coast Conservation Act) (1981, di-amandemen pada tahun 1988) melarang siapa pun melakukan “kegiatan pembangunan” (termasuk akuakultur) di dalam zona kecuali orang tersebut diberi wewenang dengan surat ijin dari Direktur Pelestarian Pantai. Menurut Undang-Undang tersebut, ijin tidak dapat dikeluarkan jika kegiatan akan membawa akibat buruk pada stabilitas, produktivitas dan mutu lingkungan zona pantai. Namun Undang-Undang ini belum pernah ditegakkan dengan ketat. Tampaknya inilah saatnya untuk akhirnya mulai melaksanakan langkah-langkah pelestarian pantai yang juga memastikan bahwa sejumlah besar orang akan dipindahkan dari tempat di mana mereka mudah mengalami kerusakan karena gelombang. Kepala Departemen Pelestarian Pantai (the Coastal Conservation Department – CCD), misalnya, dilaporkan telah berjanji bahwa mulai sekarang CCD akan melaksanakan peraturan zona penyangga secara ketat dan tidak akan ada pembangunan baru atau pembangunan kembali yang akan diijinkan. Beliau menegaskan bahwa banyak rumah di sepanjang pantai, yang dihancurkan gelombang tsunami, adalah ilegal.23

Sejak awal sekali, zona penyangga merupakan masalah politik yang kontroversial dan menimbulkan cukup banyak tentangan dari kelompok-kelompok masyarakat dan bisnis. Batas-batas zona ditentukan tanpa perundingan sebelumnya dengan masyarakat dan tidak sesuai dengan wilayah kerusakan akibat gelombang tsunami. Batas-batas zona tidak ditentukan dengan mempertimbangkan ciri-ciri topografi dan ciri-ciri tanah lain yang relevan yang akan berpengaruh pada risiko bahaya. Dengan demikian dasar pemikiran untuk menetapkan batas 100 dan 200 meter tampaknya sewenang-wenang. Pemerintah membela diri dengan menyatakan bahwa pemerintah perlu bertindak dengan cepat sebelum orang pindah kembali ke zona, dan pendekatan seragam merupakan cara yang paling adil dan tercepat. Juga ada ketidak-puasan bahwa peraturan itu hanya berlaku bagi penduduk yang rumahnya mengalami kerusakan, tetapi tidak berlaku untuk usaha-usaha pariwisata yang diijinkan membangun kembali. Lagi pula keluarga yang rumahnya tidak mengalami kerusakan diijinkan tetap tinggal di rumahnya. Malahan pesisisr sepanjang Galle Road di Kolombo – salah satu jalur yang paling padat penduduknya – termasuk dalam zona penyangga. Jika dasar pemikiran untuk zona penyangga itu keselamatan umum, maka peraturan mengenai zona penyangga sebaiknya diterapkan secara seragam pada semua bangunan. Walaupun demikian, pendapat tersebut mungkin dapat dibantah karena tidaklah masuk

23 Daily News, 02/02/05

39

akal untuk merobohkan rumah yang tidak rusak sedangkan masyarakat sangat membutuhkan rumah. Juga tidaklah masuk akal untuk berupaya memindahkan sejumlah besar orang yang sudah mempunyai rumah yang layak huni.

Apa pun segi baik yang terdapat dalam alasan pemerintah – memang konsep zona penyangga untuk pengelolaan eko-sistem cukup dapat dipertanggungjawabkan – cara diskriminatif dalam melaksanakan peraturan bebas pembangunan pasti akan menimbulkan ketidak-puasan dan membangkitkan kecurigaan akan kemungkinan adanya udang di balik batu. Walaupun banyak korban bencana tsunami, khususnya mereka yang rumahnya mengalami kerusakan berat karena gelombang tsunami dan kehilangan anggota keluarga, tidak bergairah membangun kembali di tempat yang sama,24 tetapi mereka merasa khawatir kalau-kalau mereka akan dipindahkan jauh dari tempat mereka bekerja atau dari tempat usahanya, dan mereka cemas pula akan kemungkinan kehilangan tanah miliknya karena diambil oleh orang lain (seperti usaha pariwisata yang dapat membangun kembali). Banyak korban tsunami bekerja sebagai nelayan yang perlu menyimpan perahu dan bekalnya di dekat pantai sedangkan ada kegiatan menangkap ikan yang memerlukan partisipasi masyarakat – seperti menarik jaring besar (Ma Del). Di daerah-daerah perkotaan yang berpenduduk padat, relokasi bangunan-bangunan yang berkaitan dengan usaha ke daerah pedalaman dapat memakan biaya tinggi.

Keprihatinan masyarakat dinyatakan dalam lingkungan politik. Partai oposisi yang terbesar, Partai Persatuan Nasional (the United National Party – UNP), menyatakan bahwa partai ini menentang pembatasan yang diterapkan pada warga yang ingin membangun kembali rumahnya yang mengalami kerusakan tsunami di dalam kawasan penyangga. Meskipun demikian, sampai akhir-akhir ini para pemimpin senior pemerintahan terus menegaskan komitmen mereka yang kuat untuk mempertahankan batas-batas zona penyangga. Akan tetapi, sejalan dengan meningkatnya tekanan politik, timbul tanda-tanda bahwa komitmen pemerintah mungkin tidak sekuat yang didengungkan. Di beberapa tempat di pantai timur, menjelang awal bulan Agustus kebijakan ini telah diperlonggar, meskipun tidak ada pengumuman terbuka. Menjelang akhir bulan Agustus pemerintah tidak lagi kaku dalam melaksanakan pembatasan zona penyangga, dan kebijakan yang lebih longgar muncul yang mengijinkan keluarga di dalam zona penyangga memperbaiki atau membangun kembali rumahnya jika mereka memilih untuk melakukannya. Batas-batas yang baru menunjukkan cukup banyak keragaman setempat sepanjang daerah-daerah pesisir (lihat Lampiran Tabel A-1).

Kebijakan pemerintah mengenai zona penyangga telah mengalami perubahan, tetapi dampak perubahan-perubahan ini untuk strategi rekonstruksi rumah dan kebutuhan dana masih perlu diuraikan. Jika perbaikan atau pembangunan kembali rumah di dalam zona penyangga tidak didukung bantuan keuangan dari pemerintah (atau dari dana bantuan yang disalurkan melalui pemerintah), implikasi keuangan untuk program pembangunan rumah masyarakat akan tergantung pada keputusan apakah

24 Dalam kenyataan, survei yang dilakukan oleh IPS menunjukkan bahwa tiga per empat dari keluarga di dalam daerah yang ditunjuk sebagai zona penyangga tidak ingin membangun kembali di tempat yang sama (IPS, 2005).

40

keluarga-keluarga tersebut memenuhi persyaratan untuk menerima rumah alternatif yang baru.

6.3 Pelaksanaan Program Perumahan

Program perumahan untuk masyarakat korban bencana tsunami di Sri Lanka telah mengalami kemajuan. Menjelang pertengahan bulan Juni 2005 jumlah orang yang tidak bertempat tinggal berkurang dari sekitar 800.000 segera sesudah terjadi bencana tsunami menjadi 516.000 orang. Orang telah kembali ke rumah masing-masing (banyak yang pulang walaupun rumahnya hancur atau mengalami kerusakan) dan namanya dicoret dari daftar statistik. Pada tahap awal sebanyak 169.000 orang yang ditempatkan di gedung-gedung sekolah dan tenda-tenda sebagian besar telah dipindahkan ke tempat berlindung sementara (sebagai jembatan antara akomodasi darurat dan perumahan permanen). Tempat berlindung sementara hanya disediakan bagi keluarga-keluarga yang tinggal di zona penyangga dan terkena bencana. Menjelang akhir bulan Agustus 2005, TAFREN memperkirakan bahwa sekitar 52.383 tempat berlindung sementara telah dibangun sejak bulan Februari 2005 di 492 lokasi. Tempat berlindung ini dihuni oleh sekitar 250.000 orang yang kehilangan tempat tinggal karena gelombang tsunami. Sebanyak 55.000 tempat berlindung seperti ini diharapkan telah selesai dibangun menjelang akhir bulan September 2005. Dengan demikian program pembangunan rumah sementara akan selesai, dan target ini tampaknya akan dapat dicapai. Tempat-tempat berlindung seperti ini makin perlu dan penting untuk dirawat karena pembangunan rumah permanen mengalami keterlambatan. Pemerintah Sri Lanka bersama dengan badan-badan donor dan LSM-LSM telah menyetujui suatu rencana yang memerinci tugas dan tanggung jawab memelihara tempat-tempat tersebut selama 1–2 tahun mendatang.

Perkiraan awal menunjukkan rumah yang sebagian atau seluruhnya mengalami kerusakan semuanya berjumlah sekitar 113.000. Pada akhir bulan Agustus 2005 Departemen Sensus dan Statistik meninjau kembali angka ini dan memperkirakan bahwa gelombang tsunami telah menghancurkan lebih dari 77.561 rumah (menurut angka tersebut rumah yang mengalami kerusakan seluruhnya berjumlah 41.393 unit dan yang mengalami kerusakan sebagian sebanyak 36.168 unit).25 Dari 77.500 rumah yang mengalami kerusakan, hampir 50.000 diperkirakan terletak di zona penyangga yang ditetapkan oleh Pemerintah Sri Lanka. Ini berarti keluarga-keluarga ini perlu dipindahkan ke rumah baru.

Unit pemerintah yang diberi tugas ini adalah Unit Rekonstruksi Perumahan Tsunami (the Tsunami Housing Reconstruction Unit – THRU) yang bernaung di bawah Dinas Pembangunan Perkotaan (the Urban Development Authority – UDA). THRU telah menandatangani MoU dengan donor yang telah menawarkan untuk membangun rumah (LSM internasional dan nasional dan beberapa perusahaan swasta). MoU menyatakan bahwa “donor akan memikul biaya pembangunan unit-unit perumahan yang diperkirakan berjumlah sekitar Rs 400.000 untuk setiap jenis unit perumahan 25 Angka yang menunjukkan jumlah rumah yang hancur berbeda-beda. Misalnya, perkiraan lain oleh Pemerintah Sri Lanka menyatakan rumah yang hancur berjumlah lebih dari 99.000 (GOSL (2005b)).

41

berlantai satu dan berdiri sendiri, termasuk biaya fasilitas utama seperti air, listrik dan pembuangan kotoran di dalam rumah”.26 MoU juga menyatakan bahwa luas rumah tidak boleh kurang dari 500 kaki persegi dengan dua kamar tidur, kamar duduk, dapur dan kamar kecil; dan pembangunannya harus sesuai dengan pedoman perencanaan, perincian desain dan standar yang ditentukan oleh UDA. Donor harus mempekerjakan kontraktor yang terdaftar pada Lembaga Pengembangan, Pelatihan dan Pembangunan (the Institute for Construction Training and Development – ICTAD) atau badan pembangunan pemerintah lain. Jenis perumahan pra-bangun tergantung pada tanah yang tersedia. Jalannya rekonstruksi yang relatif lambat dalam bidang pembangunan perumahan sebagian disebabkan oleh masalah yang berkaitan dengan pemerolehan tanah yang sesuai untuk relokasi.

Survei yang diadakan oleh IPS menunjukkan bahwa jika ada tanah yang cukup, kebanyakan keluarga akan memilih rumah berlantai satu, berdiri sendiri dan dibangun di bidang tanah dengan luas sekitar 252 meter persegi (10 perches) (IPS, 2005). Untuk menanggulangi semakin menyusutnya tanah yang tersedia terdapat sejumlah usul penanggulangan yang dapat diurut sebagai berikut menurut daya tariknya: (i) rumah berlantai satu dengan kebun sendiri-sendiri; (ii) rumah petak berlantai dua dengan kebun sendiri-sendiri (town-houses); dan (iii) jika terpaksa, kondominium (hanya lantai pertama dan dua lantai lagi, atau lantai pertama dan tiga lantai lagi). Donor harus membangun rumah sesuai dengan pedoman UDA dan perencanaan tempat (site) yang dikeluarkan oleh Dinas Pembangunan Perumahan Nasional (the National Housing Development Authority – NHDA) dan UDA. Akan tetapi banyak perencanaan disiapkan oleh arsitek yang datang dari Kolombo tanpa berkonsultasi dengan pengguna. Ini mungkin menimbulkan masalah ruang yang tidak mencukupi, dan desain yang tidak tepat, serta tidak cocok untuk keadaan dan persyaratan lokal.

Menurut data yang dikeluarkan oleh THRU menjelang bulan September 2005 berdasarkan MoU para donor telah diberi tugas untuk membangun sebanyak 29.697 unit perumahan di 482 tempat yang lokasinya berbeda-beda (Tabel 4). Rumah yang mengalami kerusakan dan unit perumahan yang harus dibangun oleh para donor sangat berbeda-beda jumlahnya. Misalnya, meskipun Hambantota telah menandatangani MoU untuk pembangunan unit perumahan hampir empat kali jumlah rumah yang rusak, Ampara telah menandatangani persetujuan untuk unit perumahan yang jumlahnya kurang dari separo yang diperlukan. Demikian pula cepatnya pembangunan rumah itu sangat berbeda-beda. Menjelang bulan September 2005, telah diselesaikan rumah sebanyak 2.566, sedangkan pembangunan sebanyak 3.945 lagi masih berjalan (angka yang demikian tidak meliputi kegiatan pembukaan tanah, dsb. yang sedang berjalan untuk kira-kira 27.110 unit). Dari jumlah rumah ini, 990 terdapat di Hambantota, sedangkan hanya 31 rumah telah selesai di Ampara.

26 MoU THRU untuk ‘Donor’ Perumahan (dapat diperoleh dari Dinas Pembangunan Perkotaan).

42

Tabel 4. Perumahan yang Dibangun Donor: Status Sekarang (September 2005)

Status Pembangunan (Jumlah Unit)

Distrik Jumlah Rumah Rusak

MoU yang Ditandatangani(Jumlah rumah) Masih Berjalan Selesai

Ampara 8435 3781 3342 54 Batticaloa 4426 3625 2052 43 Kolombo 5150 928 756 08 Galle 5196 3660 3050 539 Gampaha 690 268 390 0 Hambantota 1057 3693 4519 1548 Jaffna 4551 2878 4009 69 Kalutara 4275 2375 1697 141 Kilinochchi 288 43 1187 0 Matara 2316 2952 2363 24 Mullaitivu 3011 700 0 0 Puttalam 56 0 56 56 Trincomalee 5737 4794 3689 84 Jumlah 41738 29697 27110 2566

Sumber: TAFREN (2005), “Tsunami Housing Reconstruction Programme” (Program Rekonstruksi Perumahan Tsunami), September 2005.

Perbaikan dan pembangunan kembali di daerah yang ditetapkan sebagai daerah

‘di luar zona penyangga’ juga memperoleh bantuan keuangan. Menjelang bulan November 2005, sebanyak 22.700 rumah tangga telah menerima pembayaran angsuran pertama dari Rs 50.000 (AS$500) untuk membangun kembali rumah yang mengalami kerusakan seluruhnya dan 31.920 untuk memperbaiki rumah yang mengalami kerusakan sebagian (Tabel 5). Bahwa keluarga dalam jumlah yang relatif besar telah menerima angsuran pertama telah disambut gembira oleh Bank Dunia sebagai indikator keberhasilannya:

“Uang, apakah dari Bank atau donor lain, diharapkan akan mengalir dengan lancar kepada sekitar 34.000 rumah yang berada di luar setback zona penyangga.”27

Namun perlu dicatat bahwa hanya sedikit sekali keluarga yang telah menerima angsuran lagi sejak angsuran pertama itu. Jalannya program ini pada tahap berikutnya masih terlalu dini untuk dinilai. Akan tetapi seperti yang akan dibahas di bagian lain, laporan ini banyaknya keluarga yang telah menerima angsuran pertama itu belum tentu menjadi indikator yang baik mengenai berhasil tidaknya program ini dalam jangka waktu yang lebih panjang.

27 Situs web Bank Dunia (diakses 0/09/05)

43

Tabel 5. Angsuran Bantuan untuk Perumahan yang Dibangun Pemilik: Status (November 2005)

Rumah Rusak Total (AS$2.500)

Rumah Rusak Sebagian (AS$1.000)

Pertama Ke-2 Ke-3 Ke-4 Pertama Ke-2 Ampara 4963 492 0 0 11068 318 Batticaloa 10448 1591 604 70 5332 512 Galle 2112 153 45 15 5697 166 Hambantota 209 74 31 10 980 693 Jaffna 33 20 6 0 518 482 Kalutara 543 234 21 1 2583 1271 Matara 707 515 227 102 3987 3196 Trincomalee 1127 760 417 249 1709 742 Kolombo 12 12 10 7 15 9 Jumlah 22700 3851 1361 454 31920 7413

Sumber: TAFREN (2005), “Owner Build Housing”, November 2005.

7. Masalah yang Timbul

Optimisme akan kemampuan negara untuk dapat berhasil pulih kembali dari bencana tsunami didasarkan pada janji yang dibuat pada pertemuan donor pada bulan Mei 2005 yang lalu, yang tampak lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan pendanaan. Dalam hubungan ini, ada tiga pertanyaan penting.

Sampai di manakah janji tersebut akan dipenuhi seluruhnya?

Dapatkah negara memanfaatkan bantuan luar negeri yang demikian besarnya secara efektif?

Apakah bantuan dari luar akan cukup untuk mendanai program rekonstruksi, dan jika tidak, pilihan apa sajakah yang tersedia untuk mengumpulkan dana yang diperlukan?

7.1 Bantuan: Janji dan Pemenuhannya

Pertanyaan pertama dengan tegas dapat dijawab “Kecil Kemungkinannya”. Jawaban ini didasarkan pada pengalaman bencana alam yang terjadi di negara-negara berkembang pada masa lalu. Karena bermacam-macam alasan, janji yang dibuat pada waktu terjadi bencana hampir tidak pernah seluruhnya dipenuhi.28 Seperti yang dikatakan oleh Benson dan Clay (2004, hal. 60), “...pada akhirnya bantuan dari luar yang berkaitan dengan

28 Lihat, misalnya, Foreman dan Patrick (penyunting) (2000). Cuny (1983) untuk tinjauan kembali atas masalah ini, yang mengatakan bahwa hal ini bukanlah fenomena baru. Untuk beberapa aspek ekonomi politik, lihat juga bala-Bertrand, J.M., (1993) The Political Economy of Large Natural Disasters: With Special Reference to Developing Countries (Ekonomi Politik Bencana Alam Besar: Dengan Acuan Khusus pada Negara-Negara Berkembang), Oxford, Inggris; Clarendon Press.

44

bencana mungkin tidak merupakan dana tambahan tetapi malahan menggantikan dana untuk pembangunan”. Setelah terjadi bencana besar, timbul jurang yang dalam antara janji dan pengucuran bantuan yang sesungguhnya walaupun janji tersebut dibuat oleh para donor dengan iktikad baik. Hal ini mungkin diakibatkan oleh kesulitan pada pengelolaan – seperti kesulitan prosedur, keterlambatan dalam memperoleh dana, kurangnya mitra keuangan lokal, dsb.; dapat pula disebabkan oleh masalah-masalah baru yang mengubah fokus politik dan mengalihkan perhatian para donor. Bantuan tambahan dari luar yang pemberiannya berdampak pada tahun pertama, belum tentu terus diberikan sebagai bantuan tambahan pada tahun-tahun berikutnya. Untuk menanggulangi suatu bencana secara darurat tentu diperlukan dana bantuan tambahan yang sifatnya darurat pula. Tetapi upaya rehabilitasi sering juga dapat didanai dengan mengalihkan dana bantuan yang sudah ada (regular) dari satu tujuan ke tujuan lain. Hal yang demikian seringkali lebih efektif daripada upaya menambah banyaknya dana bantuan yang diberikan. Dengan demikian jumlah komitmen bantuan dapat meningkat pada tahun terjadinya bencana besar, namun jumlah itu cenderung menurun setelah krisis dan kembali sesuai dengan kecenderungan jangka panjang bantuan yang masuk. Bantuan bilateral yang masuk mungkin sekali ada yang diberikan dengan ‘ikatan’. Bantuan ini dapat digunakan untuk membeli bermacam-macam barang dan jasa: produk makanan, telekomunikasi, transpor dan petunjuk teknis yang harus dibeli dari negara donor. Hal ini diperkirakan akan mengurangi nilai bantuan kepada negara penerima sebesar 25–40 persen karena negara donor tidak selalu merupakan sumber yang paling murah untuk jasa-jasa tersebut.29

Namun melihat banyaknya janji yang telah diubah menjadi komitmen nyata oleh para donor utama (multilateral dan pemerintah), maka kasus Sri Lanka mungkin sekali akan merupakan perkecualian. Meskipun demikian, hendaknya dicatat bahwa sepertiga dari janji dana bantuan yang dibuat pada pertemuan para donor pada bulan Mei 2005 berasal dari sumber-sumber non-pemerintah, yang sumber dananya sendiri tidak selalu dapat diandalkan. Sudah terlihat tanda-tanda akan timbul masalah. Meskipun 384 LSM yang terdaftar pada Departemen Pelayanan Sosial telah sepakat untuk menyediakan dana sebanyak AS$1.321 juta untuk membangun kembali aset yang hancur karena gelombang tsunami, namun ada LSM yang tidak jadi menandatangani MoU, dan bahkan ada yang telah menandatangani MoU tetapi gagal untuk memulai pekerjaan (GOSL, 2005c). Mengingat seringnya bencana melanda dunia dewasa ini – baik bencana alam maupun musibah buatan manusia – kiranya akan bijaksanalah untuk bersiap-siap menghadapi melesetnya perhitungan dalam bidang ini.

7.2 Pemanfaatan Bantuan

Dalam hal kemampuan memanfaatkan bantuan, kinerja Sri Lanka di masa lalu menimbulkan keprihatinan serius. Pengelolaan dan pemanfaatan bantuan secara efektif dapat menimbulkan kesulitan bagi negara-negara berkembang dalam keadaan sebaik-baiknya sekalipun, tetapi masalah ini berlipat ganda sulitnya jika setelah terjadi bencana 29 Misalnya, dari 506 kendaraan yang diimpor untuk pekerjaan tsunami, 290 dilepaskan untuk LSM-LSM (GOSL, 2005c).

45

alam bantuan yang mengalir masuk besar jumlahnya. Sri Lanka, seperti banyak negara berkembang, telah bergulat dengan masalah tidak mampunya negara memanfaatkan dana bantuan secara efektif.30 Angka pemanfaatan bantuan (diukur dengan perbandingan pengucuran bantuan: bantuan yang dikucurkan sebagai bagian dari jumlah kumulatif bantuan yang tidak dikucurkan) menunjukkan pemanfaatan bantuan yang relatif rendah yaitu sekitar 13–15 persen menjelang akhir tahun 1990-an (IPS, 2001). Menjelang tahun 2003, sedikit demi sedikit terjadi peningkatan angka pemanfaatan hingga mencapai perbandingan pengucuran yang cukup baik yaitu sekitar 20–22 persen, meskipun jumlah sisa yang belum dikucurkan (CUB) masih tetap berjumlah sekitar AS$2,5–3,0 milyar (Lampiran Tabel A-2).

Banyak yang telah disebutkan sebagai alasan terjadinya tingkat pemanfaatan bantuan yang rendah: campur tangan politik dalam hal perencanaan, pelaksanaan dan pengalokasian dana; staf dan masalah-masalah terkait dalam pengelolaan proyek; lambatnya pelaksanaan (termasuk kemacetan prasarana, prosedur pembelian yang rumit dan mahal). Di samping itu persyaratan yang berlebih-lebihan yang dibebankan oleh para donor dipandang sebagai hambatan utama (IPS, 2001). Tersedianya dana imbangan (dana lokal dengan apropriasi) juga menjadi faktor penting. Kalaupun telah dibuat alokasi anggaran, kadang-kadang uang tidak tersedia pada saat dibutuhkan. Dalam hal bencana, ada beberapa faktor yang lebih memperburuk lagi kemampuan memanfaatkan dana-dana luar negeri. Hancurnya prasarana, hilangnya catatan umum, dan sangat banyaknya donor dan program dapat menimbulkan jaringan transaksi bantuan yang rumit yang sulit untuk dikelola baik oleh donor maupun penerima bantuan.

Tentu saja kegagalan di masa lalu belum tentu menjadi pedoman yang menunjukkan apa yang akan terjadi dalam keadaan dewasa ini. Akan tetapi kegagalan itu ada memberikan peringatan bahwa, kecuali ada upaya bersama untuk mencapai target dan mempertahankan fokus, maka selalu ada potensi akan terjadi kemelesetan di dalam negeri. Laporan sementara yang disusun oleh Departemen Auditor Jenderal (Auditor General) telah mendapatkan bahwa komitmen bantuan sebesar AS$1.168 juta untuk membangun kembali enam sektor utama, menjelang akhir bulan Juli 2005 baru dikucurkan sebanyak AS$158 juta (atau angka pemanfaatan hanya sebesar 13,5 persen). 31 Peranan TAFREN dalam mengatur upaya pembangunan kembali, kepentingan-kepentingan politik yang menggerakkan program, dan tekanan kuat dari para donor, mungkin membantu meningkatkan tingkat pemanfaatan bantuan dan memungkinkan negara mencapai kinerja yang jauh lebih baik dalam memanfaatkan bantuan tsunami secara efektif.

30 Yang dimaksudkan dengan “tidak mampunya negara menggunakan dana bantuan” adalah selisih antara komitmen dana bantuan dan banyaknya dana yang dalam kenyataan dibelanjakan dalam suatu jangka waktu. 31 GOSL (2005), “Interim Report of the Auditor General on the Rehabilitation of the Losses and Damages Caused to Sri Lanka by the Tsunami” (Laporan Sementara dari Auditor Umum mengenai Rehabilitasi Kerugian dan Kerusakan yang Disebabkan oleh Tsunami di Sri Lanka), September 2005.

46

7.3 Kenaikan Biaya dan Memadai Tidaknya Pendanaan

Dana yang dibutuhkan untuk membangun kembali rumah dan kegiatan lain dalam bidang pembangunan, termasuk prasarana umum, mula-mula diperkirakan atas dasar biaya dan harga yang berlaku segera setelah terjadi bencana tsunami. Akan tetapi sekarang ada bukti-bukti jelas bahwa ongkos pembangunan dan harga bahan-bahan (seperti pasir sungai) telah meningkat dengan cepat pada bulan-bulan terakhir ini.

Hal ini tentu saja tidak mengherankan. Banyaknya pembangunan yang direncanakan itu beberapa kali lipat dari apa yang biasanya dilakukan dalam satu tahun, dan secara dramatis meningkatkan permintaan akan tenaga dan bahan-bahan.32 Data yang diperoleh pada penghujung bulan Agustus dari perusahaan dan organisasi-organisasi dalam bidang pembangunan rumah dan dari wawancara lapangan IPS menunjukkan bahwa biaya total pembangunan sebuah rumah keluarga yang terkena bencana tsunami telah meningkat dari yang mula-mula diperkirakan sebesar Rs 400.000 menjadi Rs 550.000 atau dalam beberapa kasus lebih tinggi lagi, dan terus meningkat (Tabel 6). Wawancara lapangan menunjukkan bahwa kenaikan ini terutama disebabkan oleh upah yang lebih tinggi untuk tenaga terampil (seperti tukang kayu, tukang cat dan tukang batu). Di beberapa tempat upah untuk tenaga terampil telah naik menjadi dua kali lipat. Harga bahan-bahan bangunan tertentu juga naik, tetapi kenaikan harga untuk bahan-bahan yang dapat diimpor jauh lebih rendah daripada kenaikan biaya pembangunan secara keseluruhan (lihat Lampiran Tabel A-3).

32 Perkiraan permintaan tambahan akan rumah berbeda-beda, tetapi semuanya menunjukkan kenaikan besar dalam permintaan untuk tenaga dan bahan-bahan bangunan yang sedikit tersedia (Lihat TAFREN (2005), “Rebuilding Sri Lanka: Post Tsunami Reconstruction and Rehabilitation” (Membangun Kembali Sri Lanka: Rekonstruksi dan Rehabilitasi Pasca Tsunami), Juni 2005. Menurut Kamar Industri Pembangunan seperti yang dilaporkan dalam Daily Mirror, Februari 21, 2005, diperkirakan bahwa akan diperlukan sekurang-kurangnya 100.000 orang pekerja tambahan; ini termasuk sekitar 13.000 orang tukang batu, 2.000 orang tukang kayu, 2.500 orang tukang cat dan hampir 54.000 orang tenaga buruh biasa.

47

Tabel 6. Kenaikan Biaya: Pembangunan Perumahan

Donor Luas Unit

(kaki persegi)

Perkiraan Mula-Mula

(Rs)

Perkiraan Sekarang

(Rs)

% perubahan Keterangan

Palang Merah

600 625.000 (Maret)

1.000.000 76 Rumah dengan fasilitas prasarana dasar (listrik, persediaan air, sanitasi untuk setiap rumah, jalan, dsb.).

Tri Star Apparel Exports

550 200.000 (Mei)

260.000 30 Biaya hanya untuk bahan-bahan bangunan, semua masukan lain ditanggung oleh perusahaan mereka sendiri.

Gift for Givers

500 400.000 (Mei)

400.000 – Kontrak diambil 3 bulan yang lalu. Kontraktor mengalami kesulitan menyelesaikan rumah. Menurut mereka, tidak mungkin membangun di masa depan dengan laju pembangunan ini. Pembangunan rumah dilakukan di Pothuvil

850.000 89 Jaffna 600.000 33 Hambantota

CARE International

550 450.000 (Maret)

550.000– 650.000

22–44 Semua daerah lain (rumah dengan beberapa prasarana dasar)

Aitken Spence Co. Ltd.

550 450.000 (Maret)

> 500.000 >11 Dengan prasarana dasar (dengan listrik tetapi tidak ada persediaan air)

World Vision Lanka

500 550.000 (Maret)

700.000 27 Dengan prasarana dasar

CARITAS Sri Lanka

500 500.000 (Mei)

650.000 30 Rumah sederhana (tidak menyebutkan prasarana)

Lodestar > 500 > 800.000 60 Rumah bertingkat dua dibangun di luar zona penyangga

Sarvodaya Movement

500 500.000 (Mei)

650.000 30 Hanya dengan beberapa fasilitas prasarana dasar

Forut Institute

550 500.000 (April)

550.000 10 Hanya untuk rumah (tidak dengan prasarana dasar)

Sumber: Survei IPS, Agustus 2005.

Perlu diperhatikan bahwa kenaikan biaya ini telah terjadi pada permulaan

program pembangunan. Sebenarnya, kegiatan membangun rumah masih pada tahap awal. Apa yang ditunjukkan oleh angka-angka ini ialah bahwa jika pembangunan benar-benar berjalan seperti yang dibayangkan pada tahap rekonstruksi, biaya pembangunan rumah mungkin sekali akan meningkat dengan lebih tajam lagi. Kenaikan dalam biaya pembangunan rumah merupakan indikator yang berguna (walaupun belum tentu tepat sekali) mengenai besarnya kenaikan biaya yang akan dialami dalam bidang pembangunan lain, termasuk biaya rehabilitasi prasarana umum.

48

Semua kelompok dan organisasi yang melakukan kegiatan pembangunan – keluarga yang berupaya memperbaiki atau membangun kembali rumah, donor yang telah membuat komitmen untuk membangun rumah, dan pemerintah yang menghadapi tugas membangun kembali prasarana umum – harus menerima kenyataan naiknya biaya ini. Selanjutnya, banyaknya permintaan akan barang-barang dan jasa dalam sektor pembangunan mula-mula akan mengakibatkan inflasi ‘setempat’ (localized inflation), tetapi kemudian pasti akan menjalar ke seluruh perekonomian dan akan menimbulkan inflasi yang lebih luas. Inflasi selama 8 bulan pertama tahun 2005 telah meningkat hingga 12,7 persen, jauh di atas angka untuk jangka waktu yang sama pada tahun sebelumnya.33 Hal ini menimbulkan pertanyaan:

Berapakah dana tambahan yang diperlukan untuk menutup biaya riil pembangunan, dan dari mana dana ini akan diperoleh?

8. Bantuan, Kenaikan Biaya dan ‘Penyakit Belanda’: Pengaruh dan Implikasinya

Kenaikan biaya yang terlihat dalam industri pembangunan jelas disebabkan oleh kenaikan permintaan akan bahan dan jasa pembangunan pada tahap dimulainya kegiatan pembangunan. Kenaikan seperti itu dapat diduga akan terjadi terlepas dari apakah kegiatan pembangunan yang baru itu didanai oleh sumber-sumber luar negeri atau domestik. Akan tetapi kenaikan harga ini berdampak besar pada mampu tidaknya upaya rekonstruksi dibiayai oleh dana luar negeri yang tersedia (atau dijanjikan). Mengingat pentingnya dana luar negeri dalam upaya rekonstruksi di Sri Lanka, dalam bagian berikut penulis pertama-tama menyoroti hubungan antara pemanfaatan bantuan luar negeri dan kenaikan biaya pembangunan, kemudian dilanjutkan dengan pembahasan mengenai implikasinya pada masalah-masalah pendanaan domestik.

Kenaikan laju inflasi dalam negeri seringkali terlihat pada waktu banyak dana dari luar negeri mengalir masuk. Kenaikan harga ini menyebabkan berkurangnya profitabilitas industri yang tidak dapat menaikkan harga untuk menutup dampak inflasi ini. Hal ini dapat membawa pengaruh negatif pada kinerja negara dalam bidang ekspor. Fenomena ini dikenal dengan istilah Penyakit Belanda, istilah yang diciptakan untuk menggambarkan industri di Negeri Belanda yang mengalami penyusutan akibat besarnya pendapatan yang masuk setelah ditemukan sumber minyak di Laut Utara (North Sea Oil) pada penghujung tahun 1970-an. Ini merupakan fenomena umum di mana meningkatnya permintaan dalam salah satu sektor ekonomi – karena alasan apa pun – mengakibatkan melonjaknya harga bahan produksi karena besarnya persaingan

33 Yang berwewenang dalam bidang moneter lambat menanggapi gejala ini dengan menaikkan suku bunga karena khawatir akan memperlambat lagi momentum pertumbuhan. Baru pada bulan November 2004 tinggi suku bunga dinaikkan sebanyak 50 angka dasar (basis points). Pada bulan Mei 2005 diadakan kenaikan kecil lagi sebanyak 25 angka dasar dan pada bulan Juni 2005 terjadi penyesuaian yang lebih tepat sebanyak 50 angka dasar. Penyesuaian yang terakhir tersebut tidak mengubah kenyataan, Sri Lanka telah mengalami suku bunga riil yang negatif sejak paro kedua tahun 2004.

49

untuk memperoleh bahan produksi tersebut.34 Kenaikan biaya yang terlihat dalam sektor pembangunan mencerminkan pengaruh Penyakit Belanda ini yang ada kaitannya dengan diserapnya pemasukan modal ke dalam perekonomian. Akan tetapi ada beberapa ciri khas yang berkaitan dengan fenomena ini dalam hubungannya dengan masuknya bantuan untuk mendanai penggantian aset sebagai bagian dari upaya rekonstruksi. Ciri-ciri tersebut membawa sejumlah pertimbangan penting bagi upaya menyusun kebijakan dalam bidang perekonomian.

Makin besar kenaikan harga dan upah sebagai tanggapan terhadap bertambahnya permintaan untuk kegiatan pembangunan, maka makin sulit untuk meningkatkan persediaan (yaitu jika pasokan relatif tidak elastis). Ini, misalnya, adalah sebab terjadinya kenaikan tajam dalam upah untuk pekerja terampil bidang pembangunan seperti tukang kayu, yang keterampilannya tidak dapat diperoleh dengan mudah oleh pekerja lain. Jika faktor-faktor tersebut dapat diimpor dari pasar dunia yang lebih besar – ada bahan-bahan bangunan yang termasuk dalam kategori ini – maka persediaannya cenderung lebih elastis dan kenaikan harga yang diakibatkannya dapat dikurangi. Tetapi banyak faktor, khususnya tenaga kerja, yang harus disediakan dari sumber-sumber domestik (non-traded), karena untuk bermacam-macam alasan, tidak dapat dibeli dari pasar internasional. (Tentu saja tenaga kerja terampil dapat didatangkan dari negara lain, dan telah disarankan agar kekurangan tenaga kerja terampil pada sektor pembangunan di Sri Lanka sebaiknya diatasi dengan mendatangkan tenaga kerja dari India. Apakah dari segi politik hal ini layak masih belum diketahui.) Dengan cara menawarkan imbalan yang tinggilah – upah, harga yang lebih tinggi – suatu sektor tertentu dapat menarik sumber-sumber daya tambahan. Oleh karena hal ini cenderung meningkatkan biaya di semua sektor yang juga menggunakan faktor-faktor tersebut, maka akan terjadi dampak negatif pada profitabilitasnya, dan sektor-sektor lain akan menyusut. Kadang-kadang penghasilan tinggi yang diperoleh para pemilik faktor sumber daya tersebut menaikkan permintaan akan barang dan jasa-jasa tertentu. Industri-industri tersebut kemudian mengalami dampak positif pada kemampuannya untuk menutup biaya melalui kenaikan harga jika persediaan mereka tidak elastis. Biasanya persediaan mereka memang demikian jika tidak diperdagangkan secara internasional (non-traded). Biasanya barang yang masuk ke dalam perdagangan internasional tidak mengalami kenaikan harga untuk tujuan menutup biaya, karena barang tersebut diimpor kurang lebih dengan harga dunia yang ditetapkan dari luar. Penjualan barang seperti inilah yang paling parah terpukul. Turunnya profitabilitas relatif dari industri-industri yang dapat diperdagangkan merupakan ‘apresiasi kurs riil’ baku yang merupakan akibat yang perlu dan tidak dapat dihindarkan dari penyerapan modal luar negeri oleh perekonomian domestik. Dalam jangka pendek dampak ini dapat diperkecil melalui intervensi pasar valuta asing, tetapi tidak dapat dihindarkan sepenuhnya.

34 Pada umumnya pada waktu negara menyerap arus modal yang besar, negara tersebut berkecenderungan mengalami Penyakit Belanda dengan tingkat yang berbeda-beda. Hal ini disebabkan karena untuk beberapa sektor dan industri, meskipun pengeluaran meningkat, keuntungan cenderung bertambah karena kenaikan harga hasil industrinya, sedangkan sektor yang lain hanya mengalami kenaikan biaya. (Lihat Corden dan Neary, 1982, dan Corden, 1984 untuk uraian model analisis dasar.)

50

Inflasi (‘setempat’) biaya domestik (dengan laju yang lebih cepat daripada inflasi rata-rata dalam ekonomi) akan menjalar ke seluruh perekonomian, karena arus bantuan meningkatkan pengeluaran pada faktor-faktor yang non-tradeable. Pada dasarnya, hal ini adalah akibat pengeluaran tambahan yang dibiayai oleh dana luar negeri dan tidak dapat dihindarkan. Akan tetapi, dalam hal penggantian aset tetap yang didanai oleh bantuan negeri, ada beberapa aspek khusus yang belum cukup dibahas dalam tulisan-tulisan analisis yang menjadi acuan pokok (lihat, misalnya, tinjauan kembali dalam Freeman, Keen dan Mani (2003), dan Benson dan Clay (2004)).

Rehabilitasi atau penggantian aset tetap yang hancur karena gelombang tsunami akan menghasilkan pendapatan nyata segera sesudah selesai, yaitu manfaatnya baru akan terasa di masa depan. Akan tetapi seperti yang terlihat dalam sektor perumahan, penggantian aset tetap perlu menggunakan bukan saja bahan-bahan yang dapat diimpor tetapi juga faktor-faktor produksi domestik. Jika semua faktor itu tradeable secara internasional, dan dapat diimpor dengan harga dunia yang pasti, permintaan tambahan akan faktor tidak akan membawa kenaikan harga atau biaya. Namun umumnya tidak demikian halnya, dan pasti tidak demikian halnya dalam bidang konstruksi. Oleh karena persediaan faktor yang non-tradeable, seperti tenaga kerja terampil, dalam jangka pendek tidak elastis, maka harganya meningkat sejalan dengan meningkatnya permintaan. Jelaslah bahwa makin cepat kegiatan pembangunan berjalan (entah didanai oleh sumber-sumber luar negeri atau domestik) makin besarlah kenaikan harga dan biaya, karena persediaan faktor-faktor non-tradeable lebih rendah dalam jangka pendek daripada dalam jangka panjang. Dalam hal pekerja terampil, misalnya, banyaknya tenaga terampil akan bertambah selama jangka waktu yang lebih lama. Di samping itu, pekerja lain kemungkinan dapat memperoleh keterampilan sehingga dengan demikian memperbesar stok tenaga kerja terampil seluruhnya.

Dari sudut pandang nasional, penghasilan lebih tinggi yang diperoleh faktor-faktor yang disediakan secara tetap (tidak elastis), seperti tenaga kerja terampil, dapat ditafsirkan sebagai pembagian kembali penghasilan. Dengan cara demikian bagian dari dana bantuan meningkatkan penghasilan faktor-faktor tersebut dengan mengorbankan penggantian aset tetap. Maka tidak mengherankan bahwa rekonstruksi pasca-tsunami merupakan sumber keuntungan bagi beberapa golongan dalam masyarakat. Dalam jangka lebih panjang pengeluaran lebih besar oleh keluarga yang memperoleh penghasilan lebih tinggi ini akan cenderung menaikkan harga di seluruh perekonomian, dan dengan demikian menekan keuntungan dalam industri ekspor dan impor yang bersaing. Sebaliknya, tersedianya jasa-jasa dari prasarana yang dibangun kembali dan aset-aset lain pada waktu mendatang akan membawa dampak pengimbang pada harga dan dengan demikian akan memfasilitasi peningkatan pasokan. Maka investasi dalam aset domestik mula-mula cenderung memaksakan apresiasi kurs riil, tetapi hal ini diikuti oleh daya saing internasional yang lebih baik segera setelah aset-aset tetap mulai menghasilkan jasa yang digunakan dalam industri-industri yang dapat diperdagangkan (tradeable).

Apa implikasi semuanya ini untuk penggantian aset tetap dengan bantuan luar negeri?

51

8.1 Nilai Tukar dan Penggantian Aset tetap

Untuk mudahnya, andaikata saja bahwa masukan yang tradeable (diimpor) dan masukan domestik (non-tradeable) diperlukan dalam proporsi yang tetap untuk keperluan mengganti aset yang hilang atau rusak. Dengan harga dunia yang ditetapkan untuk barang-barang yang diimpor, suatu unit mata uang asing akan cukup untuk membeli sejumlah tertentu masukan yang diimpor, terlepas dari kurs negara penerima.35 Tetapi jumlah masukan domestik non-tradeable yang dapat dibeli dengan unit mata uang asing tergantung pada kurs nominal dan harga domestik dalam mata uang domestik.

Jika kurs nominal itu tetap, maka implikasinya ialah bahwa jumlah aset tetap yang dapat diganti untuk suatu unit tertentu bantuan luar negeri itu lebih sedikit, sesuai dengan makin tingginya kenaikan biaya domestik. Jika modal yang masuk itu mengakibatkan apresiasi kurs nominal, maka gejala ini makin terasa karena masukan domestik yang dapat dibeli dengan suatu unit mata uang asing itu berkurang.

Jelaslah bahwa kebijakan kurs yang ditetapkan oleh negara menjadi penting di sini. Khususnya, kebijakan yang bertujuan menunjang kurs nominal dengan ‘berlayar menentang arah angin’ dalam pasar valuta asing sangat mempersulit program pendanaan rehabilitasi/rekonstruksi dengan bantuan luar negeri yang tertentu jumlahnya. Sebaliknya, kenaikan harga dan ongkos-ongkos domestik dapat dikurangi dengan liberalisasi perdagangan, yang cenderung mengurangi harga barang-barang yang tradeable dan barang-barang intermediate yang diimpor.

Jika penggantian aset tetap dapat diupayakan dalam jangka waktu yang lebih panjang, kenaikan permintaan selama jangka waktu tertentu akan lebih rendah, pasokan faktor menjadi lebih elastis, dan kenaikan biaya akan lebih rendah sesuai dengan keadaan tersebut. Dalam keadaan yang demikian, suatu jumlah tertentu dana luar negeri dapat digunakan untuk mengganti lebih banyak aset tetap domestik. Akan tetapi penggantian modal yang berjalan lebih lambat mempengaruhi biaya karena menunda terciptanya jasa yang dihasilkan oleh aset tetap tersebut. Yang terbaik ialah mencapai keseimbangan antara biaya tinggi yang harus dibayar untuk mewujudkan penggantian aset tetap yang lebih cepat, dan kerugian yang disebabkan oleh hilangnya jasa sebagai akibat penggantian yang tertunda. Di samping itu, suatu rumusan program rekonstruksi harus mempertimbangkan biaya dan manfaat berbeda-beda sehubungan dengan proyek-proyek rehabilitasi yang berbeda-beda pula, supaya prioritas dapat ditentukan atas dasar pertimbangan ekonomis yang dapat dipertanggungjawabkan. Namun pertimbangan penting dalam hubungan dengan proyek-proyek yang didanai oleh bantuan luar negeri adalah bahwa, jika dana tersebut tidak diperoleh dan dimanfaatkan dengan cepat, maka dana tersebut akan ditarik kembali oleh para donor karena berubahnya prioritas mereka. Selanjutnya, dari segi ekonomi politik dalam negeri pun, keterlambatan rekonstruksi dapat mengakibatkan berubahnya prioritas yang merugikan kelompok yang paling parah terkena bencana. Dengan kata lain, keterlambatan dalam rekonstruksi mungkin berdampak berat terutama pada kelompok yang paling miskin dan dari segi politik 35 Yang menjadi asumsi ialah bahwa negara penerima adalah negara ‘kecil’ dalam pasar dunia, sehingga transaki internasionalnya tidak membawa dampak penting pada harga pasar dunia.

52

paling lemah. Masalah ini sangat penting karena, seperti yang dibahas dalam bagian berikut, timbul suatu jurang dalam pendanaan yang mungkin akan mengharuskan pencatuan dana yang tersedia.

8.2 Menutup Jurang Pendanaan yang sedang Timbul

Masalah mendesak bagi upaya rekonstruksi di Sri Lanka berhubungan dengan kemampuan keluarga dan pemerintah untuk mencapai target penggantian aset tetap dengan jumlah bantuan luar negeri yang tersedia. Bagi keluarga yang terkena bencana tsunami, khususnya keluarga miskin, naiknya biaya sangat mempersulit tugas rekonstruksi. Mengingat kenaikan biaya sebesar 30–40 persen atau lebih, hibah uang tunai yang ditetapkan sebesar Rs 250.000 (AS$2.500) untuk rumah yang mengalami kerusakan seluruhnya, misalnya, sangatlah tidak mencukupi. Sejalan dengan meningkatnya ongkos-ongkos, nilai nyata angsuran dana bantuan berikutnya akan makin menurun. Jika skenario yang sama diperluas ke program rekonstruksi prasarana umum, maka tidak dapat dihindarkan timbulnya jurang dalam pendanaan.

Bagaimana menghadapi jurang pendanaan ini? Kebanyakan keluarga yang lebih kaya dan memiliki tabungan dan/atau akses kredit murah akan mengambil uang tabungan atau mengurangi konsumsi guna menutup pengeluaran tambahan yang perlu. Namun perlu dicatat bahwa hal ini menunjukkan bahwa keluarga mendanai penggantian aset dengan mengorbankan pengeluaran untuk jenis keperluan lain. Dengan kata lain, sebagian besar beban rehabilitasi akan ditanggung sendiri oleh keluarga, dan beban ini terus bertambah. Hal ini menunjukkan bahwa tabungan keluarga yang telah terkumpul akan berkurang. Yang terjadi dalam kenyataan adalah upaya menabung akan diganti dengan pengeluaran konsumsi. Dengan demikian di Sri Lanka mungkin akan terjadi penurunan angka tabungan yang pada tahun-tahun terakhir ini sebesar 16 persen dari PDB dan tidak berubah.

Keadaan jauh lebih sulit bagi keluarga miskin yang tidak mempunyai tabungan maupun akses kredit murah (dan kapasitas untuk membayar kembali). Di atas telah disebutkan optimisme yang dinyatakan oleh Bank Dunia tentang jalannya program pembangunan kembali dalam sektor ini. Menurut studi lapangan yang dilakukan oleh IPS, sejumlah besar keluarga miskin yang terkena bencana tsunami telah menghabiskan angsuran pertama uang hibah (Rs 50.000 – $500) untuk memenuhi kebutuhan mendesak, termasuk pembayaran pinjaman yang belum lunas. Oleh karena itu mereka mengalami kesulitan untuk membuat kemajuan dalam tugas-tugas konstruksi yang perlu diselesaikan supaya berhak menerima angsuran berikutnya. Mengingat kenaikan biaya yang cepat, akan sulit sekali bagi keluarga-keluarga yang miskin ini untuk merehabilitasi rumah dan aset-aset lain yang mengalami kerusakan tanpa bantuan tambahan yang cukup besar.

Dalam hal pengeluaran untuk prasarana umum, ceritanya sama. Perlu diingat bahwa bagian terbesar dari dana rekonstruksi diharapkan berasal dari bantuan luar negeri. Jika donor luar negeri (termasuk LSM-LSM) telah membuat komitmen untuk membangun kembali aset prasarana tertentu, maka mereka perlu mencari dana tambahan jika mereka akan memenuhi komitmen tersebut. Jika – seperti yang mungkin sekali terjadi – komitmen seperti itu kurang lebih tidak dapat berubah karena terikat pada nilai tukar mata uang asing, maka apa yang dapat dibiayai dengan dana tersebut

53

akan berkurang dan meninggalkan jurang yang harus ditutup oleh pemerintah dengan dana dari sumber lain. Sangatlah optimis untuk mengharapkan bahwa akan masuk bantuan donor tambahan yang cukup besar di masa yang akan datang, karena perhatian para donor akan beralih ke bencana lain dan masalah-masalah lain. Maka tidak dapat diragukan bahwa akan ada keharusan pada pemerintah untuk menambah dana rehabilitasi.

8.3 Kebijakan Fiskal dan Moneter

Masalah yang diuraikan di atas menonjolkan masalah kemampuan pemerintah untuk memenuhi sasaran pendanaan yang baru ini. Target fiskal untuk tahun 2005 telah ditinjau kembali sesudah terjadi bencana tsunami untuk memperhitungkan pengeluaran tambahan yang cukup tinggi (Tabel 7). Setelah direvisi maka diduga pengeluaran modal diharapkan akan mengalami kenaikan dan defisit keseluruhan akan meningkat dari target pra-tsunami sebesar 7,6 persen dari PDB menjadi 9,6 persen. Kementerian Keuangan tetap menyatakan bahwa rekonstruksi pasca-tsunami tidak akan membawa pengaruh pada anggaran belanja (budget netral) karena keperluan dana banyak yang akan dipenuhi oleh komitmen donor. Namun kenyataannya mungkin sekali akan berbeda jika perkiraan semula yang dibuat oleh Kementerian Keuangan tidak memperhitungkan kenaikan biaya sebagai faktor yang berpengaruh. Jika terjadi kekurangan, maka pilihan pemerintah sangat terbatas, khususnya karena tekanan pada neraca fiskal akibat biaya pemilihan umum dan kenaikan biaya subsidi bahan bakar.

Pembahasan di atas mengenai hubungan antara nilai tukar valuta asing dan kemampuan membiayai proyek-proyek rehabilitasi dengan dana dari luar negeri juga memunculkan beberapa implikasi untuk kebijakan nilai tukar. Jelas bahwa pemasukan dana dari luar negeri – baik kiriman dana oleh perseorangan maupun dana dari donor – dan penghapusan utang telah memungkinkan cadangan devisa tetap sehat, meskipun harga minyak melonjak dan biaya impor minyak membengkak sehingga defisit perdagangan membesar pula. Pada gilirannya hal ini memberikan peluang kepada yang berwewenang dalam bidang moneter untuk lebih banyak mengatur pasar devisa.

Tabel 7. Indikator Terpilih Keuangan Negara

Sebagai % dari PDB 2004 2005a 2005b 2006c Penerimaan 15,3 17,1 16,4 17,8Pengeluaran sekarang 19,2 18,4 18,5 18,6Investasi negara 4,8 6,3 5,0 6,6Jumlah pengeluaran 23,5 24,6 23,5 25,1Defisit anggaran –8,2 –7,5 –7,1 –7,3Pembiayaan domestik 5,8 4,6 4,9 4,4Bantuan luar negeri 2,3 2,6 2,2 2,8Pengeluaran tsunami – – 1,4 1,8Investasi negara dengan pengeluaran tsunami – – 5,7 8,3Defisit anggaran dengan pengeluaran tsunami – – 8,5 9,1

Catatan: a. Perkiraan yang dianggarkan; b. Perkiraan setelah ditinjau kembali; c. Perkiraan sementara.

Sumber: GOSL, Pidato Anggaran Belanja 2006.

54

Ada masalah kebijakan yang sulit yang memerlukan pemikiran dan analisis yang cermat. Kenaikan biaya dalam sektor pembangunan belum menjalar sepenuhnya ke sektor-sektor ekonomi lain, termasuk sektor-sektor ekspor (dan lebih jauh lagi sektor-sektor yang tradeable lainnya). Dalam hal ini, kurs riil untuk sektor pembangunan telah mengalami apresiasi lebih tinggi daripada kurs riil untuk perekonomian seluruhnya. Dengan demikian tekanan pada sektor-sektor bidang ekspor yang bersumber langsung pada kegiatan rekonstruksi tsunami pada masa mendatang akan lebih besar daripada sekarang. Sebaliknya, terlepas dari pengeluaran tsunami, faktor-faktor lain seperti harga minyak yang tinggi dan pengeluaran pemerintah yang diduga akan bertambah memperburuk ketimpangan sektor eksternal.

Walaupun Bank Sentral harus melakukan intervensi segera setelah terjadi bencana tsunami guna memperkecil apresiasi mata uang, keadaan ini tidak berlangsung lama. Pada bulan-bulan terakhir ini rupee mendapat tekanan ke bawah yang cukup kuat di pasar mata uang asing. Pastilah ada godaan untuk memperlambat pengeluaran rekonstruksi tsunami dan menggunakan cadangan devisa yang ada untuk menopang rupee – melalui intervensi langsung dari Bank Sentral di pasar mata uang asing atau melalui intervensi bank dagang milik pemerintah. Akhir-akhir ini IMF memperingatkan akan bahaya intervensi dalam pasar devisa untuk tujuan mencegah depresiasi rupee, dan sulit untuk menganggap bahwa kurs Rs/AS$ yang terlihat stabil didorong sepenuhnya oleh kekuatan pasar.36 Pada suatu saat yang berwenang dalam bidang moneter akan dipaksa menghadapi implikasi kebijakan kurs yang sekarang berlaku untuk masalah rehabilitasi jangka panjang pasca-tsunami. Pada dasarnya, ketidak-mampuan untuk sepenuhnya mendanai rehabilitasi aset berarti bahwa Sri Lanka akhirnya akan memiliki aset-aset dasar yang kurang bermutu dibandingkan dengan sebelum tsunami. Jika dana tidak dialihkan dari pengeluaran untuk konsumsi, ketimpangan makro-ekonomi segera negara itu mungkin dapat diatasi dengan memenuhi keperluan konsumsi berjalan dengan mengorbankan penggantian aset-aset dasar. Akan tetapi hal ini berarti mengorbankan prospek pertumbuhan jangka panjang.

9. Beberapa Pelajaran dan Rekomendasi

Tinjauan penulis atas pengalaman Sri Lanka dalam menghadapi tsunami dan masa sesudahnya, telah menyoroti beberapa masalah baik jangka pendek maupun jangka panjang yang perlu ditangani oleh pembuat kebijakan. Beberapa aspek dari pengalaman Sri Lanka juga mengandung pelajaran dengan relevansi yang lebih luas untuk pemerintah dan badan-badan donor di negara-negara berkembang yang bergelut dengan masalah yang sama. Dalam bagian ini, penulis menyajikan sejumlah kesimpulan dan rekomendasi yang berkaitan dengan masalah-masalah berikut:

36 Di Sri Lanka, yang berwenang dapat melakukan intervensi di pasar devisa tidak hanya secara langsung melalui transaksi Bank Sentral, tetapi juga dengan menggunakan sumber daya kedua bank dagang milik negara yang mendominasi sektor perbankan dagang.

55

1. Pembayaran uang tunai yang berkaitan dengan mata pencaharian kepada keluarga

2. Bantuan untuk membangun kembali rumah

3. Sertifikat kepemilikan untuk rumah baru

4. Peraturan zona penyangga

5. Sistem peringatan dini dan sistem pengelolaan bencana

6. Koordinasi kegiatan yang dibantu donor

7. Masalah kebijakan makro-ekonomi

9.1 Meninjau Kembali Hibah Uang Tunai sebagai Bantuan Mata Pencaharian bagi Keluarga Korban Bencana Tsunami

Dikuranginya hibah yang sebesar Rs 5.000 (AS$50) bagi keluarga yang terkena bencana tsunami dan peraturan untuk menentukan berhak tidaknya suatu keluarga menerima hibah ternyata tidak adil dan tidak mendorong keluarga tersebut untuk kembali mencari penghasilan tetap. Harus ditekankan bahwa jumlah Rs 5.000 untuk sebuah keluarga menurut ukuran Sri Lanka pun bukanlah jumlah yang besar. Jumlah ini juga harus dilihat dalam hubungannya dengan garis kemiskinan yang berlaku di Sri Lanka, yang pada bulan Mei 2004 adalah Rs 1.526 per kapita setiap bulan. Besarnya bencana, lajunya kenaikan harga, banyaknya biaya sehubungan dengan pentargetan yang sempit, dan munculnya insentif yang tidak terduga serta tidak masuk akal sebagai akibat peraturan yang baru itu, semuanya membenarkan diberikannya hibah kepada semua keluarga selama sekurang-kurangnya empat bulan, dan akan lebih baik lagi jika diberikan selama enam bulan seperti yang banyak diharapkan sebelumnya. Memperpanjang masa pemberian hibah akan sedikit mengurangi penderitaan yang dihadapi oleh keluarga yang terkena bencana. Hal ini juga akan merupakan cara yang mudah dan transparan untuk menyalurkan dana dari donor kepada semua keluarga yang terkena bencana.

9.2 Meninjau Kembali Bantuan Uang Tunai untuk Perbaikan/Pembangunan Kembali Rumah

Karena biaya pembangunan rumah mengalami kenaikan seperti yang diuraikan di atas, maka jelaslah bahwa jumlah bantuan yang diberikan kepada keluarga korban tsunami untuk keperluan perbaikan dan pembangunan kembali rumah tidak memadai dan akan cepat berkurang lagi dalam nilai riilnya. Ada pendapat bahwa jika biaya perbaikan dan pembangunan kembali rumah tidak seluruhnya ditanggung, maka keluarga akan ikut menyumbang untuk menutup ongkos tersebut. Akan tetapi ini berarti bahwa keluarga yang paling miskin (dan tinggal di luar zona penyangga) dan tidak memenuhi persyaratan untuk menerima perumahan baru akan mengalami banyak kesulitan membangun kembali rumahnya tanpa terjerumus ke dalam lembah utang yang dalam. Dengan demikian mereka akan lebih menderita dan akan masuk ke dalam perangkap

56

utang dan kemiskinan jangka panjang. Keadaan seperti ini akan memperparah ketegangan sosial. Walaupun hal ini juga jelas akan menambah beban fiskal pemerintah, meninjau kembali dan menambah jumlah bantuan uang tunai yang diberikan sebaiknya dianggap sebagai masalah mendesak.

9.3 Menentukan Si Penerima Rumah dan Sertifikat Kepemilikan Rumah Baru

Di beberapa tempat cara menentukan siapa yang berhak menerima hibah perumahan telah menimbulkan ketidak-puasan. Proses ini dapat diperbaiki dengan meningkatkan transparansi. Daftar penerima rumah sebaiknya disusun oleh pemerintah setelah berkonsultasi dengan donor, dipasang di tempat-tempat umum dan penduduk diperbolehkan naik banding.

Survei yang dilakukan oleh IPS (IPS, 2005) menunjukkan bahwa keluarga yang berharap akan menerima rumah baru tidak jelas mengenai sertifikat kepemilikannya. Jelaslah bahwa perlu diambil keputusan segera. Berdasarkan Undang-Undang Tanah Negara (State Lands Act) sertifikat dapat diberikan kepada kepala keluarga laki-laki. Penjualan rumah ke luar keluarga juga mungkin sekali dibatasi, seperti halnya dengan alokasi tanah (dan rumah) kepada penduduk baru dalam program kawasan hunian irigasi. Pembatasan seperti ini dalam jual-beli tanah, meskipun bermaksud baik, mempunyai kelemahan serius. Sebagai akibat kelemahan ini terjadilah penggunaan tanah yang tidak efisien dan transaksi tanah gelap yang diketahui banyak terjadi dalam praktek. Jika pembatasan seperti ini dikenakan untuk memperkecil kemungkinan terjadinya penjualan yang tidak diinginkan yang dilakukan karena kesulitan mendesak, bagaimanapun juga pembatasan seperti itu sebaiknya berlaku untuk jangka waktu yang relatif pendek, dan serah terima ke luar keluarga sesudah, katakan 10 tahun, sebaiknya diijinkan.

Penulis berpendapat bahwa serah terima sertifikat kepemilikan juga merupakan kesempatan untuk melaksanakan kesetaraan gender. Pada waktu rumah dialokasikan, sertifikat yang jelas sebaiknya diserahkan kepada suami-istri bersama, kecuali dalam hal keluarga orang tua tunggal. Untuk melaksanakan hal ini mungkin perlu diadakan perubahan pada undang-undang yang sekarang berlaku. Sertifikat kepemilikan bersama atas nama suami dan istri mungkin sekali akan mencegah terjadinya penjualan tanah yang dilakukan karena utang yang disebabkan oleh judi dan minum berlebih-lebihan yang dilakukan oleh kepala keluarga.

9.4 Peraturan mengenai Zona Penyangga

Konsep zona penyangga untuk melindungi lingkungan pantai dan memperkecil dampak bahaya alam di masa depan pada hakekatnya bermanfaat. Akan tetapi kenyataan menunjukkan bahwa upaya untuk melaksanakan sistem yang kaku dan bersifat agak diskriminatif telah mengalami kegagalan. Oleh karena itu sejumlah masalah yang berkaitan dengan hal itu perlu diperiksa dan dipikirkan dengan lebih cermat agar dapat dikembangkan menjadi suatu sistem menyeluruh. Dipandang dari sudut pelestarian maupun keamanan umum, tidaklah perlu membuang keseluruhan pendekatan tersebut. Hal yang demikian juga akan menimbulkan kekacauan pada program pembangunan rumah alternatif yang saat ini sedang berjalan.

57

Proses penyusunan strategi baru, termasuk perincian batas-batas Zona Penyangga, bagaimanapun juga sebaiknya dilakukan secara transparan dan berdasarkan konsultasi. Dasar-dasar pemikiran ilmiah dan ekonomi untuk tindakan-tindakan tertentu sebaiknya dijelaskan. Dalam merumuskan strategi pengelolaan pantai yang efektif, potensi untuk menggabungkan peraturan dengan sistem yang memberikan insentif kepada warga untuk mencapai tujuan pengelolaan lingkungan dan bahaya sebaiknya diselidiki supaya jangan terlalu tergantung pada peraturan yang bersifat membatasi saja, yang seringkali sulit dilaksanakan dan memakan biaya tinggi. Sudah banyak pengalaman internasional yang menunjukkan bahwa pendekatan yang menggunakan peraturan bersama-sama dengan insentif yang bertumpu pada masyarakat itu jauh lebih efektif. Di Sri Lanka pun, perlindungan terumbu karang, misalnya, ternyata paling efektif di tempat-tempat di mana industri wisata lokal mempunyai perhatian untuk melindunginya, dan kerusakan tsunami di tempat-tempat tersebut ternyata lebih rendah.

9.5 Sistem Peringatan Dini dan Sistem Pengelolaan Bencana

Dengan terjadinya gelombang tsunami yang tidak diduga-duga tiba-tiba tampak jelas tidak adanya sistem peringatan yang memadai, serta tidak adanya mekanisme administratif dan kemasyarakatan yang tepat untuk menghadapi bencana alam di Sri Lanka. Dalam hal ini gelombang tsunami tersebut merupakan tanda peringatan bagi negara ini. Pengalaman dunia internasional menunjukkan bahwa investasi dalam sistem pengelolaan dan informasi bencana alam itu membawa manfaat yang berharga.37 Sejak waktu itu telah banyak pembahasan tentang macam-macam bahaya yang dihadapi oleh Sri Lanka dan tentang jenis sistem peringatan dini dan pengelolaan bencana terkait. Menurut catatan sejarah, akhir-akhir ini belum pernah terjadi bencana besar seperti ini di Sri Lanka. Akan tetapi ada beberapa faktor yang menunjukkan bahwa risiko bencana alam di negara ini mungkin meningkat. Hal ini diduga akan terjadi karena hubungannya dengan bukti-bukti global yang menunjukkan bahwa “...sebagai akibat perubahan iklim dan meningkatnya konsentrasi penduduk dunia di daerah-daerah rawan – bencana alam pada tahun-tahun mendatang akan bertambah sering, lebih dahsyat dan lebih mahal” (Freeman, Keen dan Mani, 2003: hal. 3).

Yang sangat relevan untuk Sri Lanka adalah timbulnya konsensus ilmiah yang menyatakan bahwa di kawasan geografis di mana Sri Lanka terletak dapat diramalkan akan terjadi peningkatan kegiatan seismik sebagai akibat retaknya lempeng tektonik tempat Sri Lanka berada. Walaupun letak Sri Lanka tidak di dekat ke-12 atau 13 batas lempengan utama yang rawan gempa, negara ini terletak pada lempengan yang terbentang dari Australia sampai India. Tampaknya lempengan ini retak dan terbukalah celah antara lempengan “Australia” dan “India”. Ada ilmuwan yang berpendapat bahwa hal ini akan membentuk batas lempengan baru melintasi Samudera India Selatan.38 Gempa bumi yang melanda Pakistan dan beberapa bagian dari India pada bulan Oktober 2005 menjadi peringatan akan potensi bencana sebagai akibat gempa bumi besar (yang mungkin juga menimbulkan gelombang tsunami di tempat yang lebih dekat ke Sri 37 Lihat Benson dan Clay (2004) 38 http://www.recoverlanka.net/background/hazards.html

58

Lanka, dan kali ini mungkin melanda bagian Barat yang berpenduduk lebih padat). Para ilmuwan Sri Lanka juga telah memperingatkan akan potensi terjadinya gempa bumi dahsyat. Di samping itu peningkatan kegiatan seismik telah direkam pada hari-hari menjelang terjadinya gelombang tsunami yang lalu. Juga ada kemungkinan bahwa perubahan yang berkaitan dengan bertambahnya suhu global akan meningkatkan potensi kegiatan badai. Oleh karena hal-hal di atas maka ada alasan untuk lebih menekankan perlunya kesiapan untuk menghadapi bencana alam. Sejumlah bendungan besar yang rawan gempa dan gerakan bumi juga merupakan risiko.

Dalam hubungan ini, apa yang diperlukan bukanlah suatu sistem peringatan yang terpusat hanya pada gelombang tsunami – yaitu yang didasarkan pada satu macam peristiwa dengan probabilitas terjadinya iturendah – tetapi suatu sistem yang dimaksudkan untuk menghadapi bermacam-macam bahaya. Negara berkembang dengan keuangan yang sangat terbatas tidak mampu memiliki bermacam-macam sistem peringatan khusus. Dengan bantuan dari dunia internasional, telah diambil langkah-langkah untuk menghubungkan Sri Lanka dengan sistem peringatan tanda bahaya regional. Walaupun Undang-Undang Pengelolaan Bencana Sri Lanka (Sri Lanka Disaster Management Act) (diajukan ke Parlemen pada bulan Februari 2005) merupakan langkah pertama yang bermanfaat, masih harus dirumuskan sistem pengelolaan bencana menyeluruh yang mempunyai dasar ilmiah kuat dengan biaya yang terjangkau oleh negara ini.39

Ada masalah-masalah lagi berjangka lebih panjang yang perlu diselidiki, seperti bagaimana negara berkembang seperti Sri Lanka dapat mempersiapkan diri untuk mengatasi masalah-masalah pendanaan yang timbul dari risiko bencana dengan probabilitas rendah. Sehubungan dengan pendanaan tersebut ada berbagai pilihan, di antaranya membeli asuransi di pasar asuransi global ataukah menyisihkan cadangan untuk memenuhi kebutuhan seperti itu. Telah diketahui bahwa negara cenderung “enggan mengalihkan sumber daya ke pembelian asuransi dan enggan pula mengambil langkah-langkah untuk mencegah supaya dampak bencana tidak begitu terasa, terutama jika kejadiannya cukup rendah probabilitasnya sehingga beban yang timbul akibat persiapan yang kurang dapat dialihkan ke salah satu pemerintah di masa depan”.40

39 Pembahasan terperinci mengenai persyaratan sistem peringatan dini oleh Rohan Samarajiwa dan Ayesha Zainudeen (LIRNEasia), Malathy Knight-John (IPS) bersama Peter Anderson (Simon Fraser University, Canada) dapat dibaca di http://www.lirneasia.net/wp-content/news-sl.pdf 40 Freeman, Keen dan Mani (2003: hal.24). Mereka kemudian menunjukkan bahwa keengganan ini akan meningkat jika donor diharapkan akan menanggung sebagian dari biaya jika terjadi bencana. Terdapat banyak tulisan yang makin bertambah jumlahnya mengenai masalah-masalah ekonomi yang berkaitan dengan pengelolaan risiko bencana, setelah ada sumbangan tulisan ilmiah yang berpengaruh dari Dacy dan Kunreuther. (1969). Lihat juga Kunreuther dan Roth Sr. (1998). Beberapa tulisan yang relevan untuk negara-negara berkembang ditinjau dan dibahas dalam Freeman, Paul K., Michael Keen dan Muthukumara Mani (2003) dan Benson dan Clay (2004).

59

Boks 1. Rekomendasi untuk Desain Sistem Peringatan Dini untuk Segala Jenis Bahaya yang Efektif untuk Tingkat Nasional

• Peringatan umum adalah suatu sistem, bukan teknologi. Identifikasi, deteksi dan penilaian atas risiko yang timbul dari suatu bahaya, serta identifikasi kerawanan penduduk berisiko yang dilakukan dengan tepat, dan akhirnya penyampaian informasi kepada penduduk yang terancam dengan cara yang jelas dan memberikan cukup waktu sehingga mereka dapat mengambil langkah-langkah untuk mencegah akibat negatif: unsur-unsur inilah yang merupakan sistem peringatan umum. Peringatan memungkinkan orang bertindak untuk mencegah bahaya menjadi bencana. Peringatan umum yang efektif menyelamatkan jiwa, mengurangi kerugian ekonomi, mengurangi trauma dan gangguan dalam masyarakat dan menanamkan keyakinan diri dan rasa aman pada masyarakat umum. Hal ini merupakan komponen penting dari dasar ekonomi yang kuat.

• Peringatan yang efektif hanyalah merupakan salah satu bagian penting dari sistem pengelolaan bahaya menyeluruh yang meliputi pengurangan, kesiapan, tanggapan dan pemulihan. Yang gagal pada waktu gelombang tsunami 2004 di Samudera India adalah tanda peringatan, yaitu unsur terpenting dari keseluruhan sistem pengelolaan bahaya. Unsur peringatan perlu segera diperkuat agar Sri Lanka memperoleh manfaat dari peningkatan sistem pendeteksi bahaya regional yang diusulkan dan memperkecil kerugian yang mungkin timbul dari bahaya lokal.

• Pautan dengan sistem pendeteksi lokal, regional dan internasional sangat penting sekali untuk sistem peringatan yang efektif. Untuk bahaya lokal seperti banjir dan tanah longsor, harus ada hubungan yang mulus antara sistem pendeteksi bahaya dan Sistem Peringatan Dini. Orang tidak hanya menerima peringatan dari para ahli, tetapi juga merupakan sumber informasi pendeteksian dan pemantauan bahaya yang perlu dimanfaatkan. Sistem peringatan dini tanpa pendidikan, perencanaan dan tindakan cepat itu bukanlah yang terbaik.

• Inti tugas pemerintah adalah melindungi warganya sebaik-baiknya. Akan tetapi di banyak negara berkembang, kemampuan pemerintah untuk bertindak terhambat oleh klaim-klaim yang saling mendahului terhadap sumber daya yang kurang, belum lagi masalah kapasitas dan budaya organsisasi yang bermasalah. Pemerintah tidak dapat menanggung segalanya sendiri; semua sektor masyarakat harus ikut menyumbang.

• Sebagai contoh, sektor swasta dapat menawarkan sumber daya pelengkap dan prasarana yang diperlukan (misalnya, jaringan telekomunikasi dan jaringan penyiaran) yang dibutuhkan untuk menyebar-luaskan peringatan; masyarakat umum menyediakan prasarana umum pada tingkat “akar rumput” (grassroots). Penggunaan sarana yang sudah ada bukan hanya cost-effective, tetapi juga memastikan bahwa sistem itu langgeng dan dirawat. Biaya yang ditanggung pemerintah untuk mengembangkan sistem peringatan tingkat nasional jauh lebih rendah jika pihak-pihak lain yang berkepentingan ikut menyumbang perawatan, pengelolaan dan jasa penyelenggaraan. Juga penting bahwa kinerja fungsi-fungsi penting yang terkait dengan sistem peringatan dini itu diawasi dengan baik; hal ini hanya dapat dilakukan jika banyak pihak mengambil bagian.

60

• Sri Lanka sebaiknya memilih pendekatan ‘semua-bahaya’: komponen pendeteksi mungkin berbeda untuk setiap jenis bahaya (banjir, badai, kebakaran, gempa, epidemi, dsb), dan diwujudkan secara berbeda-beda dengan keahliannya sendiri-sendiri, tetapi sistem peringatan tersebut dapat memberikan peringatan untuk semua jenis bahaya. Unsur penting dalam sistem ini adalah bentuk pesan peringatan yang disepakati oleh semua pihak untuk semua jenis bahaya, seperti yang tercantum dalam Protokol Peringatan Umum (Common Alerting Protocol – CAP) yang berlaku pada tingkat internasional. Suatu sistem umum yang dapat memberikan peringatan untuk semua jenis bahaya tidak hanya merupakan penggunaan sumber daya yang sangat baik, tetapi juga mengatasi masalah yang seringkali terjadi, yaitu sistem tidak dirawat dengan baik karena jarang digunakan. Sistem peringatan umum juga penting dari segi pemanfaatannya. Karena sifatnya yang umum, maka para penerima lebih mudah memahami pesan peringatannya.

• Industri telekomunikasi dan penyiaran elektronik memainkan peranan penting dalam menyebar-luaskan peringatan. Tindakan pemerintah untuk mengatur supaya ada sumbangan maksimal dari jaringan komunikasi ini sebaiknya diatur melalui upaya bersama dari para pelaksanadan difasilitasi oleh pihak pengatur. Pemerintah sebaiknya juga bekerja sama dengan industri penyiaran elektronik agar ada kepastian bahwa peringatan dini disiarkan pada tingkat lokal maupun nasional secara efektif.

• Sistem peringatan dini benar-benar merupakan barang umum yang tidak akan cukup disediakan oleh pihak swasta. Dengan demikian tanggung jawab penyediaannya jatuh pada pemerintah. Jika pemerintah mengambil tanggung jawab ini setelah terjadi gelombang tsunami, maka pemerintah sebaiknya memilih desain yang meliputi kondisi yang memungkinkan Sistem Peringatan Dini Nasional itu beroperasi dengan daya kerja yang setinggi-tingginya. Kondisi ini meliputi tenaga ahli yang sesuai, peralatan yang tepat, dana yang memadai, pencegahan terjadinya campur tangan politik sehari-hari, transparansi dan akuntabilitas. Undang-Undang Komisi Kemudahan Umum Sri Lanka (the Public Utilities Commission of Sri Lanka Act) No. 35, tahun 2002, memberikan titik tolak yang baik.

• Jika pemerintah tidak berkeinginan mendirikan badan baru yang terpusat semata-mata pada peringatan, maka pemerintah mungkin dapat menggabungkan para ahli peringatan bahaya dari organisasi-organisasi pendeteksi dan pemantau bahaya yang sudah ada bersama-sama dengan para ahli komunikasi bahaya dalam suatu badan baru. Oleh karena organisasi-organisasi yang sekarang ada mempunyai bermacama-macam fungsi dengan susunan personalia yang mungkin bukan yang paling baik untuk suatu badan yang moderendan berorientasi pada kinerja, maka ada baiknya untuk membangun badan baru sebagai organisasi yang bergerak dalam bidang baru dengan fokus yang jelas.

61

• Selain kemungkinan dibinanya sistem yang diselenggarakan sepenuhnya oleh pemerintah, ada pula kemungkinan untuk mengembangkan sistem gabungan di mana pemerintah menyediakan informasi peringatan bahaya berikut dana, sedangkan operasi sehari-hari sistem itu diserahkan kepada organisasi-organisasi kemasyarakatan, sebagaimana dilakukan di Bangladesh. Berhasil tidaknya sistem gabungan pemerintah-swasta ini tergantung pada organisasi-organisasi masyarakat yang dilibatkan. Badan-badan itu harus dianggap handal serta mampu mengeluarkan peringatan yang dianggap sebagai peringatan resmi oleh masyarakat yang bersangkutan karena disebar-luaskan melalui jaringan yang telah lama dikenal dan dipercaya oleh masyarakat itu.

• Peringatan bahaya seringkali didasarkan pada informasi dan penilaian yang tidak lengkap. Dalam banyak masyarakat, keputusan terakhir mengenai peringatan dan terutama dalam hal evakuasi diambil oleh penguasa politik, atas dasar nasihat dari para ahli yang independen dan profesional. Di Mauritius, keputusan terakhir diambil oleh tenaga profesional yang mengepalai badan peringatan bahaya. Sehubungan dengan masalah ini, sebelum merumuskan kebijakan di Sri Lanka, berbagai pendapat perlu dipertimbangkan dengan memperhatikan lingkungan politik dan administratif di Sri Lanka.

• Jika pemerintah menyediakan peringatan, secara langsung ataupun melalui kemitraan umum-swasta, dan ternyata hal ini bermasalah, maka alternatifnya ialah melalui sektor swasta, yang menggabungkan peringatan dengan usaha swasta. Akan tetapi berbeda dengan penyediaan dari pemerintah yang dengan mudah memungkinkan pendekatan yang meliputi setiap macam bahaya, penyediaan oleh sektor non-pemerintah cenderung tidak menyeluruh. Ada beberapa bentuk peringatan non-pemerintah, yang walaupun disediakan dengan jujur, mungkin harus dilindungi dengan tanggungan asuransi atas ganti rugi oleh pemerintah.

• Pemecahan yang tepat dan dapat dilaksanakan bagi Sri Lanka mungkin sekali berbentuk upaya campuran. Yang ideal ialah Sistem Peringatan Dini Nasional dengan pimpinan pemerintah bersama dengan komponen pelengkap oleh sektor swasta dan masyarakat madani dengan memanfaatkan kelebihan masing-masing. Tindakan segera untuk mendirikan Sistem Peringatan Dini Nasional yang efektif akan menjadi monumen yang terbaik yang dapat kita bangun untuk mengenang 40.000 jiwa yang hanyut karena tidak adanya kewaspadaan dan tidak adanya tanda peringatan dalam menit-menit sebelum tsunami melanda.

Sumber: Disadur dari Ringkasan Eksekutif laporan: “National Early Warning System: Sri Lanka – A Participatory Concept Paper for the Design of an Effective All-Hazard Public Warning System” (Sistem Peringatan Dini Nasional: Sri Lanka – Kertas Kerja Konsep untuk Berpartisipasi dalam Perencanaan Sistem Peringatan Umum yang Efektif untuk Segala Macam Bahaya), http://www.lirneasia.net/projects/national-early-warning-system.

62

9.6 Koordinasi Bantuan

Koordinasi yang kurang baik di antara badan-badan dan kelompok yang terlibat dalam upaya pemberian bantuan kepada korban tsunami telah timbul sebagai rintangan yang serius dalam lingkungan pasca-tsunami. Sejak bencana tsunami, proses pengambilan keputusan yang lamban telah dikecam karena dianggap menghambat pemberian bantuan kepada yang membutuhkannya, sedangkan koordinasi yang kurang baik mengakibatkan beberapa bantuan menjadi kurang efektif. Pembentukan TAFREN sebagai satu-satunya badan koordinator merupakan langkah yang disambut baik. Akan tetapi timbul keraguan mengenai susunannya, hubungannya dengan badan-badan bawahan, dan keefektifannya secara keseluruhan. Karena adanya keraguan ini maka telah dibentuk badan baru di bawah Kementerian Pengelolaan Bencana (Ministry of Disaster Management), sebuah kementerian baru yang dibentuk sesudah pemilihan umum bulan November 2005 dan dikepalai oleh Perdana Menteri.

Keengganan LSM-LSM internasional tertentu untuk berhubungan dengan jajaran administratif pemerintah (dan tingkah-laku mereka yang ingin ‘bersaing’ dengan LSM-LSM lokal) juga merupakan masalah besar yang merintangi koordinasi di Sri Lanka.

Mekanisme pengucuran bantuan menimbulkan kontroversi lebih lanjut sehubungan dengan konflik yang terjadi di bagian Utara dan bagian Timur negara. Yang menjadi tugas sulit tetapi tidak dapat dihindarkan adalah mencari keseimbangan antara kenyataan politik dan kepentingan kemanusiaan. Sejumlah kegagalan di Sri Lanka menonjolkan baik perlunya fasilitasi dan bantuan internasional maupun keterbatasan yang ada pada keduanya. Masalah ini tidak hanya menjadi sumber keprihatinan untuk Sri Lanka, akan tetapi sebaiknya dibahas juga oleh para donor dan LSM-LSM. Masalah ini kembali mengarahkan perhatian pada perlunya meneliti kembali modalitas pembelanjaan bantuan, termasuk prosedur dan mekanisme, sehingga bantuan dapat disediakan dengan cepat sebagai tanggapan terhadap bencana-bencana.

9.7 Transparansi dan Akuntabilitas dalam Pengucuran Bantuan

Transparansi dan akuntabilitas dalam pengucuran bantuan jelas merupakan hal yang diinginkan, tetapi dalam praktek bukanlah tugas yang mudah. Pada tahap segera sesudah terjadi bencana alam, bantuan kemanusiaan mau tidak mau harus didahulukan daripada mekanisme akuntabilitas bantuan yang resmi. Hal ini dapat membuka jalan menuju ke berbagai bentuk korupsi. Penyelewengan yang cukup besar dalam pembagian barang-barang bantuan, dalam pengelolaan barang-barang bantuan yang diterima, pengelolaan dana, pembayaran bantuan uang tunai, dsb., yang disoroti dalam laporan sementara dari Departemen Auditor Jenderal harus segera diatasi dan mereka yang dengan sengaja melakukan salah kelola haruslah dimintai pertangggungjawabannya (GOSL, 2005c).

Pemerintah donor maupun beberapa badan internasional dipengaruhi oleh pandangan bahwa pemerintah negara-negara berkembang itu terlalu korup dan/atau tidak efisien untuk diberi kepercayaan membagikan dana bantuan secara efisien. Oleh karena itu mereka mencari cara yang lebih efisien untuk menyampaikan bantuan, dan LSM seringkali mendapat kepercayaan untuk tugas tersebut. Tidaklah jelas apakah ini

63

selalu merupakan jalan yang lebih efisien di setiap negara berkembang. Sampai di mana korupsi domestik menyebabkan kebocoran haruslah dibandingkan dengan ongkos tambahan yang tinggi dari LSM internasional. Haruslah dipertimbangkan apakah kerugian akibat bocornya dana dalam lingkungan domestik itu lebih besar daripada kerugian akibat ongkos administrasi LSM yang tinggi serta kenyataan bahwa LSM-LSM tidak selalu menghayati situasi di lapangan. Selanjutnya, dengan dukungan keuangan dari donor-donor besar, maka LSM internasional tergoda untuk terlalu mandiri dalam tindakannya dan melepaskan diri dari sistem administratif pemerintah. Hal ini akan mempersulit tugas mengkoordinasi upaya bantuan dan rekonstruksi yang memang sudah sulit. Ada kalanya hal ini dapat mengakibatkan ketegangan besar antara LSM internasional dan organisasi-organisasi lokal. Harus diakui bahwa perwakilan pemerintah lokal, meskipun mempunyai kelemahan, baik nyata maupun hanya dalam pandangan, seringkali dapat dan ada memainkan peranan positif dalam keadaan bencana. Yang perlu diupayakan adalah pendekatan seimbang yang mengakui perbedaan signifikan antara perwakilan-perwakilan pemerintahan lokal di negara-negara berkembang. Upaya untuk sama sekali menyisihkan perwakilan-perwakilan pemerintahan lokal yang didasarkan pada sikap ‘satu ukuran pas untuk semua’ dapat berakibat buruk dalam banyak keadaan.

9.8 Kebijakan Makro-Ekonomi

Pengelolaan makro-ekonomi dalam situasi pasca-tsunami akan menjadi penting untuk pemulihan jangka menengah ekonomi Sri Lanka. Ironisnya, bencana tsunami itu sendiri mendatangkan sedikit kestabilan pada ekonomi yang sedang kembang kempis di bawah ketimpangan makro-ekonomi. Terlihat dengan jelas bahwa masuknya modal asing secara mendadak untuk membantu korban dan mendukung upaya rekonstruksi telah menghindarkan krisis mata uang yang sedang meningkat.

Namun, ada beberapa masalah penting yang timbul. Pertama, meningkatnya ongkos-ongkos pembangunan jauh di atas yang semula diperkirakan pasti akan menimbulkan kurangnya dana, sehingga mempersulit tugas rekonstruksi dan memperberat beban pengeluaran fiskal pemerintah. Kedua, proses rekonstruksi itu sendiri lebih memperparah ketimpangan makro-ekonomi, dan menaikkan kerugian finansial akibat kebijakan yang salah. Ketiga, keberhasilan upaya rekonstruksi tidak dapat dilepaskan dari keadaan dan kebijakan makro-ekonomi secara keseluruhan.

Khususnya penulis mencatat bahwa tekanan inflasi yang timbul dari kebijakan yang tidak berkaitan dengan rekonstruksi tsunami akan berdampak negatif pada upaya rekonstruksi. Hal ini akan terjadi karena nilai riil sumbangan donor akan turun dan kapasitas fiskal pemerintah untuk menutup kekurangan dana akan berkurang. Mengingat kepekaan masyarakat terhadap inflasi yang melaju (dan hal ini dapat dipahami) ada desakan dalam lingkungan politik untuk mencegah terjadinya depresiasi kurs. Seperti yang telah dibahas, jika perkembangan sektor eksternal menekan kurs ke bawah, mungkin sekali akan timbul godaan untuk menggunakan cadangan devisa untuk mempertahankan kurs nominal dengan tujuan mengendalikan inflasi dalam jangka pendek. Tersirat dalam tindakan yang demikian ialah tertundanya kegiatan rekonstruksi yang memang sejak semula didanai oleh dana asing. Kebijakan seperti itu tidak hanya akan memperparah ketimpangan lain, tetapi akan menambah ongkos upaya rekonstruksi.

64

Oleh karena setelah beberapa waktu perhatian akan beralih dari korban tsunami, maka khususnya keluarga yang paling miskinlah yang mungkin sekali akan menjadi pihak yang dirugikan karena penundaan tersebut. Rekonstruksi pasca-tsunami sebaiknya tetap menjadi pokok yang asasi dan berprioritas tinggi baik dari sudut pertumbuhan ekonomi maupun ditegakkannya keadilan. Dana tsunami sebaiknya digunakan semata-mata untuk tujuan yang dimaksudkan, dan ketimpangan makro-ekonomi yang lebih luas sebaiknya diatasi dengan menargetkan sumber-sumber yang langsung menimbulkannya.

Penulis berharap bahwa pembahasan dan saran-saran dalam laporan ini akan memberikan sumbangan yang berguna bagi proses perumusan kebijakan, dan akan membantu Sri Lanka pulih dari kerusakan yang disebabkan oleh gelombang tsunami sehingga lebih mampu berjalan terus mengikuti jalur pertumbuhan yang adil dan bersinambung.

65

Acuan

ADB, JBIC dan WB (2005), “Sri Lanka 2005 Post-Tsunami Recovery Program: Preliminary Damage and Needs Assessment”, Januari 2005.

Athukorala, Prema-Chandra dan Budy P. Resosudarmo (akan terbit), “The Indian Ocean Tsunami: Economic Impact, Disaster Management and Lessons”, Asian Economic Papers.

Benson, Charlotte dan Edward J. Clay (2004), Understanding the Economic and Financial Impacts of Natural Disasters, Disaster Risk Management Series No. 4, The World Bank, Washington D.C.

Cooray, S. (2005), “Donor Support, Pledges, Commitments and Expenditure”, Sri Lanka Development Forum: Background Papers.

Corden, W.M. (1984), “Booming Sector and Dutch Disease Economics: Survey and Consolidation”, Oxford Economic Papers, 36(2): 359–80

Corden, W. Max dan Peter J. Neary (1982), “Booming Sectors and De-industrialisation in a Small Open Economy”, Economic Journal, 92 (825–48)

Cuny, Frederick C. (1983), Disasters and Development, New York: Oxford University Press.

Dacy, Douglas C., dan Howard Kunreuther. (1969), The Economics of Natural Disasters: Implications for Federal Policy, New York, NY; The Free Press.

Ebregt, Arthur dan Pol De Greve (2000), Buffer Zones and their Management: Policy and Best Practices for terrestrial ecosystems in developing countries, National Reference System for Nature Management, International Agricultural Centre, Wageningen, Belanda.

Freeman, Paul K., Michael Keen dan Muthukumara Mani (2003), “ Dealing with Increasing Risk of Natural Disasters: Challenges and Options”, IMF Working Paper WP/03/197, IMF, Washington D.C.

GOSL (2005a), ‘Rebuilding Sri Lanka: Action Plan”, Februari 2005.

GOSL (2005b), “Post Tsunami Recovery and Reconstruction Strategy”, Mei 2005.

GOSL (2005c), “Interim Report of the Auditor General on the Rehabilitation of the Losses and Damages Caused to Sri Lanka by the Tsunami”, September 2005.

ILO (2005), “Livelihood and Employment Creation: Microfinance”, International Labour Organization, Geneva.

IPS (2001), “Aid and Aid Under-Utilization” in Sri Lanka State of the Economy: 2001, Institute of Policy Studies, Kolombo.

IPS (2005), “Listening to those who Lost: Survey and Analysis of Rebuilding and Relocation of Tsunami Affected Households in Sri Lanka”, Agustus 2005.

66

IPS (2005), “Tsunami: Policy Issues, Lessons and Challenges” in Sri Lanka State of the Economy: 2005, Institute of Policy Studies, Kolombo.

IPS (2005) Livelihoods post tsunami: build back better? Lokakarya 1–2 Desember 2005 diselenggarakan oleh Institute of Policy Studies di BMICH, Kolombo.

Kunreuther, Howard, and Richard J. Roth Sr. (1998) Paying the Price: The Status and Role of Insurance against Natural Disasters in the United States, Washington, D.C.

Mathison, S. (2003), “Microfinance and Disaster Management”, Foundation for Development and Cooperation, Australia.

Sida, DFID and GTZ, 2005, Hambantota Verification Mission, 13–15 Februari.

Steele, P. (2005), “Phoenix from the Ashes? Economic Policy Challenges and Opportunities for Post-Tsunami Sri Lanka”, Kertas Kerja No. 7, Institute of Policy Studies, Colombo.

TAFREN (2005), “Rebuilding Sri Lanka: Post Tsunami Reconstruction and Rehabilitation”, Juni 2005.

67

Lampiran

Tabel A-1. Patokan Jalur Setback yang Dianjurkan

Distrik Sekretariat Divisi Divisi Grama Niladhari Setback yang Dianjurkan Kolombo Thimbirigasyaya

Dehiwela Ratmalana Moratuwa

Angulana(W) sampai Egodauyana (S)

55 m 55 m 45 m 45 m

Kalutara Panadura Kalutara Beruwela

Sagara Pedesa to Molligoda Pohoddaramulla to Kalamulla Maggona (H) Beruwela Mradana

45 m 35 m 60 m 40 m 60 m

Galle Bentota Balapitiya Ambalangoda Hikkaduwa Galle Habaraduwa

Angagoda to Warahena Randombe (H) Ambalangoda Police Station area (H) Narigama Thiranagama Patuwatha Closenberg (H) Rumassala (H) Unawatuna to Pihilagoda (H)

40 m 45 m 45 m 35 m 25 m 40 m

Matara Weligama Devinuwara Dickwella Matara

Kapparatota (H) Mirissa (H) Nilwella (H) Wavwa (H) Waththegama North to Dodampahala Central Browns Hill, Eliyakanda (H)

35 m 35 m 35 m 25 m

Hambantota Tangalle Hambantota

Goyambokka (H) Pallemalala

35 m/60 m (tergantung pada tempat) 60 m

Ampara Potuvil Kalmunai

Arugam Bay

50 m 65 m

Batticaloa Kaththankudi 80 m Trincomalee Muthur

Kinniya Kuchchaweli Kadawathsathara

50 m

Jaffna Maruthankemy Point Pedro

100 m

Sumber: Oktober 2005, siaran pers pemerintah

68

Tabel A-2. Komitmen, Pengucuran dan Pemanfaatan Bantuan Luar Negeri menurut Jenis

1998 1999 2000 2001 2002 2003 Pinjaman Komitmen (AS$ juta) 607 640 351 687 779 914 Pengucuran (AS$ juta) 579 358 338 451 495 559 Pemanfaatan 25,1 16,0 13,9 20,3 20,1 20,5 Hibah Komitmen (AS$ juta) 128 71 96 67 111 144 Pengucuran (AS$ juta) 114 108 83 83 74 82 Pemanfaatan 42,8 41,6 45,5 41,6 40,6 38,2 Jumlah Komitmen (AS$ juta) 735 711 447 754 890 1058 Pengucuran (AS$ juta) 693 466 421 534 569 641 Pemanfaatan 23,5 18,6 16,1 22,1 21,5 21,7 CUB (AS$ juta) 2499 2614 2420 2650 2952

Sumber: Departemen Sumber Daya Luar, Foreign Aid Reviews, berbagai nomor.

Tabel A-3. Harga Bahan Bangunan Utama

Jan. Feb. Mar. Apr. Mei Jun. Jul. Agu.

% kenaikan

Jan.–Agu.

Bahan Ukuran Rs Rs Rs Rs Rs Rs Rs Rs Semen kantong 50 kg 472,00 472,00 481,55 493,40 508,40 508,40 512,00 512,00 8Pasir sungai 1 kubus 3625,00 3625,00 3625,00 3700,00 3850,00 3875,00 4100,00 4200,00 16Kerikil 1 kubus 4200,00 4200,00 4250,00 4250,00 4625,00 4625,00 4750,00 4750,00 13Batu pasir 1 kubus 3125,00 3125,00 3125,00 3375,00 3375,00 3625,00 4200,00 4400,00 41Serbuk batu 1 kubus 3700,00 3750,00 4000,00 4200,00 4200,00 4250,00 4300,00 4375,00 18Semen blok 1 blok. 22,00 22,00 22,00 23,00 23,00 25,00 25,00 26,00 15Baja 10 mm 1 potong – – 254,00 254,00 250,43 295,00 295,00 295,00 16*

Baja 12 mm 1 potong – – 364,00 364,00 356,52 417,00 471,00 417,00 15*

6 mm gulungan 1 kg – – 63,00 63,00 62,61 72,00 72,00 72,00 14*

1 kg kawat pengikat 1 kg – – 82,61 82,61 82,61 96,00 97,00 97,00 18*

Genting 1000 – – 15500,00 15500,00 15500,00 15400,00 16400,00 16400,00 6

Catatan: Kenaikan dengan tanda * untuk Maret–Agustus

Sumber: Solidial Ladstar Rehabilitation Trust, komunikasi pribadi.

69

Gambar A-1. Laju Inflasi dan Suku Bunga

70

18,0

16,0

14,0

12,0

10,0

Pers

en

8,0

6,0

4,0

2,0

0,0 Feb.

Catatan: Inflasi = Perubahan Titik-ke-Titik dalam Indeks Harga Konsumen Kolombo; AWDR= Average Weighted Deposit Rate; AWPR= Average Weighted Prime Lending Rate.

Sumber: Bank Sentral Sri Lanka, Indikator Ekonomi Bulanan, berbagai nomor.

Jan. Mar. Apr. Sep. Okt. Feb. Apr. Sep. Nov. Des. Jan. Mar. Mei Jun. Jul. Agu.Mei Jun. Jul. Agu.2004 2005

AWDR AWPRInflasi