“penafsiran sayid quṬb tentang kriteria keluarga...
TRANSCRIPT
“PENAFSIRAN SAYID QUṬB TENTANG KRITERIA
KELUARGA SAKĪNAH DALAM TAFSĪR FĪ ẒILĀL AL-QUR’ĀN”
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
JakartaSebagai Persyaratan Guna MemperolehGelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
EPENDI
NIM: 11140340000042
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2018 M/1440 H
iv
ABSTRAK
Ependi: “Penafsiran Sayid Quṭb Tentang Kriteria Keluarga Sakīnah dalam
Tafsir Fī Ẓilāl al-Qur’ān”.
Sayyid Quṭb adalah salah satu ʻulama besar Islam kontemporer. Nama
lengkapnya adalah Sayyid bin al-Haj Quṭb bin Ibrahim bin Husaen al-Sazali.
Beliau adalah salah satu ‘ulama besar yang sangat berpengaruh bagi Islam,
banyak karya-karya beliau yang beredar di negara-negara islam, salah satu karya
terbesarnya adalah Fī Ẓilāl al-Qur’ān yang terdiri dari 12 jilid, yang merupakan
sumber rujukan primer dari penelitian ini. Keluarga merupakan hal yang penting
di kehidupan manusia, dimana keluarga merupakan tempat pertama kali manusia
mendapat pelajaran dan pendidikan untuk meneruskan hidup mereka. Di dalam
berkeluarga penting adanya untuk menciptakan ketenangan, keharmonisan dan
kasih sayang dalam rumah tangga, yang mana hal ini diungkapkan dalam al-
Qur’ān dalam al-ʻarāf ayat 189 dan Qs. ar-Rūm ayat 21 yang menyatakan bahwa
tujuan berkeluarga adalah untuk menciptakan sebuah keluarga yang harmonis,
aman, damai dan tentram. Atau yang sering dikenal dengan Sakīnah, Mawaddah,
dan Rahmah.
Dalam hubungan suami istri kadang kala terjadinya kesalah pahaman, dan
kurangnya komunikasi yang baik antara suami-istri, maka akan menimbulkan
ketidak harmonisan dalam berkeluarga bahkan bisa terjadi kesalahan fatal yaitu
berakhir dengan perceraian. Oleh karena itu perlu adanya konsep atau kriteria
untuk menjadikan sebuah hubungan suami-istri menjadi sebuah keluarga yang
dimaksud al-Qur’an itu sendiri, untuk mendapatkan kriteria tersebut penulis
menggunakan penafsiran Sayd Quṭb Fī Ẓilāl al-Qur’ān. Penelitian ini bersipat
kepustakaan (library recearch). Sumber primernya diambil dari tafsir Fī Ẓilāl al-
Qur’ān. Sementara itu sumber sekundernya diambil dari berbagai kitab, buku,
jurnal, dan berbagai sumber lainnya yang berkaitan dengan pkok permasalahan.
Adapun metode yang penulis digunakan adalah (diskriptip-analitis),
adalah mengumpulkan data dan menyusun data, kemudian dilakukan analisis
terhadap data tersebut. Hasil dari penelitian ini membuktikan bahwa ayat-ayat
yang berhubungan dengan kriteria keluarga sakīnah, Sayyid Quṭb mengaitkan
dengan hadis-hadis nabi dan dengan tokoh-tokoh serta para mufassir lainnya.
Sedangkan kesimpulan dari penelitian ini ialah: konsep atau unsur-unsur yang
menjadikan kriteria sebuah keluarga sakīnah menurut Sayyid Quṭb ada tiga
macam: pertama. Ketenangan (ketentraman) Qs. al-aʻrāf 189 dan ar-Rūm 21,
yang kedua. Muʻāsyarah bi al-Maʻrūf Qs. an-Nisā 189, yang ketiga. Bertanggung
Jawab Qs. at-Tahrīm 6 dan Luqman 13-14.
Kata Kunci: Kriteria Sakīnah, Tafsir Fī Ẓilāl al-Qur’ān (Sayid Quṭb).
v
KATA PENGANTAR
بسم اهلل الرحن الرحيم
يان واليقي. اللهم صل على سيدنا ، الذي حبانا بال رسلي، المد هلل الملك الق المبي
د، خات األنبياء وامل ممين. أما ب عد وعلى آله الطيبي، وأصحابه األخيار أجعي، ومن تبعهم بإحسان إل ي وم الد
Segala puji bagi Allah Swt, Tuhan semesta alam yang telah memberikan
kenikmatan jasmani maupun rohani, serta Rahmat dan hidayah-Nya, dan
kemudahan serta kesabaran dalam menghadapi berbagai rintangan dan kesulitan
sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir kuliah ini (Sktipsi) berkat
pertolongan-Nya. Sholawat dan salam saya sampaikan dan saya haturkan kepada
manusia yang paling mulia kekasih Allah Swt yakni baginda Nabi besar
Muhammad Saw. Beliaulah Nabi akhir zaman yang telah memberikan cahaya dan
tuntunan petunjuk jalan yang lurus kepada umat islam untuk mendapatkan
kebahagiaan di dunia dan di akhirat, serta doʻa untuk keluarganya, sahabatnya,
dan para pengikutnya hingga akhir zaman.
Skripsi ini merupakan salah satu tugas akhir yang harus saya selesaikan
untuk menamatkan kuliah dan mengantarkan saya meraih gelar sarjana Starata-1
pada jurusan Ilmu al-Qur’ān dan Tafsīr Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Penulisan skripsi ini tidak akan tuntas tampa bantuan,
arahan, nasehat, dan bimbingan, dukungan dan kontribusi dari banyak pihak. Oleh
karena itu, pada kesempatan ini saya ucapkan terima kasih dan penghargaan yang
setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah berjasa dan membantu saya
dalam menyelesaikan Skripsi ini.
vi
Terlebih dahulu saya sembahkan bakti doa dan rasa terima kasih kepada
kedua orang tua saya, ibu dan bapak saya, yang mana dalam setiap sujud mereka
selalu mendo’akan kesuksesan anak-anaknya. Mereka yang telah bersabar dalam
mengasuh dan mendidik, memberikan kasih sayang, dan tentunya selalu ikhlas
mendoʻakan setiap langkah anak-anaknya demi tercapai cita-cita yang mulia.
Mereka juga yang selalu memotivasi saya untuk menjadi manusia yang lebih baik
dan bermanfaat bagi orang lain, selain dari itu mereka juga berpesan agar
menjauhi sifat sombong, angkuh, dengki dan sebagainya, mereka juga berpesan
bersifatlah engkau seperti padi, makin meninggi makin merunduk. Semoga Allah
senantiasa mengampuni dan memaafkan segala khilaf dan salahnya dan
menempatkan mereka derajat kedudukan yang paling tinggi. Amīn.
Selanjutnya saya sampaikan rasa terima kasih saya yang setinggi-tingginya
kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A, selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, M.A, selaku Dekan Fakultas Ushuluddin UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum, M.A, selaku Ketua Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan
Tafsir Fakultas Ushuluddin dan ibu Dra. Banun Binaningrum, M.Pd, selaku
Sekretaris Jurusan Ilmu al-Qur’an dan Tafsir. Serta seluruh dosen dan staf
akademik fakultas Ushuluddin, khususnya jurusan ilmu al-Qur’an dan tafsir
yang telah membagikan waktu, tenaga dan ilmu pengetahuan juga pengalaman
vii
yang berharga kepada penulis. Semoga setiat langkah dan segala amal bapak
ibu dosen di balas dengan balasan semulia-mulianya. Amīn yā robbal ālamīn.
4. Bapak Ahmad Rifki Muchtar, M.A, selaku dosen pembimbing penulis yang
telah memberikan arahan, saran dan dukungan kepada penulis, sehingga skripsi
ini dapat terselesaikan. Mohon maaf yang sebesar-besarnya jika selama proses
bimbingan penulis banyak merepotkan. Semoga bapak senantiasa diberikan
kesehatan, dan kelancaran dalam segala urusan. Amīn.
5. Teman-teman seperjuangan, kepada seluruh teman-teman jurusan Ilmu Al-
Qur’an dan Tafsir angkatan 2014, khususnya teman-teman TH-B yang tidak
bisa saya sebutkan satu persatu. Semoga kita semua tetap dalam ikatan
silaturahmi dan jalinan persahabatan yang indah tiada akhir. Terima kasih atas
kerja sama selama ini semoga kita semua di lancarkan oleh Allah dalam segala
urusan. Amīn.
6. Teman-teman KKN-ARJUNA 108 Tahun 2017, yang tidak saya sebutkan satu
persatu, terima kasih atas kebersamaan dan warna baru dalam perjalanan kuliah
serta pengabdian kepada masyarakat selama sebulan penuh, semoga jalinan
silaturahmi kita selalu di jaga oleh Allah Swt dan kita semua dilancarkan dalam
segala urusan. Amīn.
7. Pimpinan pondok pesantren Dārul Qur’ān al-Irsyadiah, Salman Arsyad, SQ.
Serta para Asātidz dan Asātidzah yang selalu memberika dukungan dan do’a
untuk saya. Semoga kalian semua guru-guruku diberi kesehatan dan
dipanjangkan umurnya oleh Allah Swt dan dimudahkan dalam segala urusan.
Amīn..
viii
8. Bapak Dr. Ahmad Ridha, DESA., selaku ketua yayasan di Masjid Al-Muttaqīn
dan bapak Jendral Abdul Bahri, selaku bendahara Masjid Al-Muttaqin Rempoa
Komplek Mabad 60, Rengas, Ciputat Timur Tanggerang selatan. Yang selalu
memberikan dukungan motivasi serta bantuan dan telah memberikan saya
tempat tinggal selama saya kuliah di Jakarta ini, terima kasih banyak, dan
semoga Allah membalas segala kebaikan bapak dengan balasan yang luar
biasa. Amīn..
9. Serta masih banyak lagi pihak-pihak yang sangat berpengaruh dalam proses
penyelesaian skripsi ini yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
Semoga Allah Swt membalas semua kebaikan yang telah diberikan, dan
semoga penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi penulis khususnya dan
umumnya bagi para pembaca agar selalu berpegang pada ajaran-ajaran Rasūlullāh
Saw. Amin yā Robbal ʻālamīn..
Ciputat, 20 september 2018
Ependi
ix
PEDOMAN TRANSLITERASI
Pedoman TransliterasiArab Latin yang merupakan hasil keputusan
bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Pendidikandan Kebudayaan R.I.
Nomor:158 Tahun 1987 dan Nomor: 0543b/U/1987.
1. Konsonan
Daftar huruf bahasa Arab dan transliterasinya kedalam huruf Latin dapat
dilihat padahalaman berikut:
Huruf Arab Nama Huruf Latin Keterangan
Alīf اTidak
dilambangkan
Tidak dilambangkan
Ba B Be ب
Ta T Te ت
Ṡa Ṡ Es (dengan titik diatas) ث
Jim J Je ج
Ḥa Ḥ Ha (dengan titik di bawah) ح
Kha Kh Ka dan ha خ
Dal D De د
Żal Ż Zet (dengan titik di atas) ذ
Ra R Er ر
Zai Z Zet ز
Sin S Es س
Syin Sy Es dan ye ش
x
Ṣad Ṣ Es (dengan titik di bawah) ص
Ḍad Ḍ De (dengan titik di bawah) ض
Ṭa Ṭ Te (dengan titik di bawah) ط
Hamzah(ء) yang terletak di awal kata mengikuti vokalnya tanpa diberi
tanda apapun. Jika ia terletak ditengah atau diakhir, maka ditulis dengan tanda
(‟)
2. Vokal
Vokal bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri atas vokal
tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Vokal tunggal bahasa
Ẓa Ẓ Zet (dengan titik di bawah) ظ
ʻAin „___ Apostrof terbalik ع
Gain G Ge غ
Fa F Ef ف
Qaf Q Qi ق
Kaf K Ka ك
Lam L El ل
Mim M Em م
Nun N En ن
Wau W We و
Ha H Ha ه
Hamzah ___‟ Apostrof ء
Yā′ Y Ye ي
xi
Arab yang lambangnya berupa tanda atau harakat, transliterasinya sebagai
berikut:
Tanda Nama Huruflatin Nama
Fatḥah A A ا
Kasrah ا
I I
Ḍammah U U ا
Vokal rangkap bahasa Arab yang lambangnya berupa gabungan antara
harakat dan huruf, transliterasinya berupa gabungan huruf, yaitu:
Tanda Nama Huruflatin Nama
Fatḥah dan ya Ai A dan I ى ي
ىو
Fatḥah dan
Wau
Au A dan U
Contoh: ك يف: kaifa ه ول: haula
3. MADDAH
Maddah atau vocal panjang yang lambangnya berupa harkat dan huruf,
transliterasinya berupa huruf dan tanda,yaitu:
Harkatdan
Huruf
Nama Hurufdan
tanda
Nama
ي ... |ا... Fatḥaḥ dan alif
atau ya
ā
a dan garis di atas
xii
ىي
Kasrah dan ya
Ī
ī dan garis di atas
ى و
Ḍammah dan Wau
Ū
ū dan garis di atas
Contoh:
qīla : ق يل māta : م ات
yamūtu : ي وت ramā : ر م ى
4. Ta marbūṭah
Ttansliterasi untuk ta marbūṭah ada dua, yaitu: ta marbūṭah yang hidup
atau mendapat harkat fatḥah, kasrah, ḍammah, transliterasinya adalah (t).
Sedangkan ta marbūṭah yang mati atau mendapat harkat sukun, translterasinya
adalah (h).
Kalau pada kata yang berakhir dengan ta marbūṭah diikuti oleh kata
yang menggunakan kata sandang al- serta bacaan kedua kata itu terpisah, maka
ta marbūṭah itu ditransliterasikan dengan ha (h). Contoh:
rauḍah al-aṭfāl : ر وض ة ال طف ال
ل ة al-madīnah al-fāḍilah : ا لم د ي ن ة الف اض
ة al-Ḥikmah : ا ل كم
xiii
5. Syaddah (Tasydid)
Syaddah atau tasydid yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan
dengan sebuah tanda tasydid ( ), dalam transliterasi ini dilambangkan dengan
perulangan huruf (konsonan ganda) yang diberi tanda syaddah. Contoh:
al-ḥaqq : ا ل ق al-ḥajj : ا ل ج rabbanā : ر ب ن ا
ن ا م ع ن najjaīnā : ن ي : nu‘‘ima و د ع : ‘aduwwun
Jika huruf ى ber-tasydid diakhir sebuah kata dan didahului oleh huruf
kasrah ( ي ), maka ia ditrasnliterasi seperti huruf maddah (i). Contoh:
ي ل ع : „Alī (bukan „Aliyy atau „Aly).
ر ع ب :„Arabī (bukan „Arabbiy atau Araby).
6. Kata Sandang
Kata sandang dalam sistem penulisan tulisan Arab dilambangkan dengan
Dalam pedoman transliterasi ini, kata sandang ditransliterasi .(alif lam ma’rifah)ال
seperti biasa, al-, baik ketika ia diikuti huruf syamsiah maupun huruf qamariah.
Kata sandang tidak mengikuti bunyi huruf langsung yang mengikutinya. Kata
sandang ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya dan dihubungkan dengan
garis mendatar (-). Contohnya:
al-falsafah : ا لف لس ف ة al-syamsu (bukan asy-syamsu) : ا لشمس
د al-zalzalah : ا لزلز ل ة al-bilādu : ا لب ل
xiv
7. Hamzah
Aturan transliterasi huruf hamzah menjadi huruf (‟) hanya berlaku bagi
hamzah yang terletak di tengah dan di akhir kata. Namun, bila hamzah terletak di
awal kata, ia tidak dilambangkan, karena dalam tulisan Arab ia berupa alif.
Contohnya:
syai’un : ش يء ta’murūna : ت أم ر ون
umirtu : أ م رت al-nau : ا لن وء
8. Penulisan Kata Arab yang Lazim digunakan dalam Bahasa Indonesia
Penulisan Kata Arab yang lazim digunakan dalam Bahasa Indonesia Kata,
istilah atau kalimat Arab yang ditransliterasi adalah kata, istilah atau kalimat yang
belum dibakukan dalam bahasa Indonesia. Kata, istilah atau kalimat yang sudah
lazim dan menjadi bagian dari pembendaharaan bahasa Indonesia, atau sudah
sering ditulis dalam tulisan bahasa Indonesia, tidak lagi ditulis menurut cara
transliterasi di atas Misalnya kata Al-Qur'an (dari al-Qur'an), Sunnah, khusus dan
umum Namun, bila kata-kata tersebut menjadi bagian dari satu rangkaian teks
Arab, maka mereka harus ditransliterasi secara utuh. Contoh: Fī Ẓilāl al-Qur’an,
Al-Sunnah qabl al-tadwīn, Al-‘Ibārāt bi ‘ūmūm al-lafẓ lā bi khuṣūṣ al-sabab.
9. Lafẓ al-Jalālah (هللا)
Kata “Allah” yang didahului partikel seperti huruf jarr dan huruf lainnya
atau berkedudukan sebagai muḍāf ilaihi (frasa nominal), ditransliterasi tanpa
huruf hamzah. Contoh:
billāh : ب االل dīnullāh : د ين الل
xv
Adapun ta ta marbūṭah di akhir kata yang disandarkan kepada lafẓ al-
jalālah, ditranliterasi dengan huruf [t]. Contoh: ر م ة الل hum fī raḥmatillāh : ه مي
10. Huruf Kapital
Walau sistem tulisan Arab tidak mengenal huruf kapital (All Caps), dalam
transliterasinya huruf-huruf tersebut dikenai ketentuan tentang penggunaan huruf
kapital berdasarkan pedoman eiaan BahasaIndonesia yang berlaku (EYD). Huruf
kapital, misalnya, digunakan untuk menuliskan huruf awal nama diri (orang,
tempat, bulan) dan huruf pertama pada permulaan kalimat. Bila nama diri
didahului oleh katasandang (al-), maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap
huruf awalnama diri tersebut, bukan huruf awal kata sandangnya. Jika terletak
padaawal kalimat, maka huruf A dari kata sandang tersebut menggunakanhuruf
kapital (Al-). Ketentuan yang sama juga berlaku untuk huruf awaldari judul
referensi yang didahului oleh kata sandang al-, baik ketika iaditulis dalam teks
maupun dalam catatan rujukan (CK, DP, CDK, dan DR). Contoh: Wa mā
Muḥammadun illā rasūl, Inna awwala baitin wuḍi’a linnāsu lallażī bi Bakkata
mubārakan, Syahru Ramaḍān al-lażī unzila fih al-Qur’an, Naṣīr al-Dīn al-Ṭūsī,
Abū Naṣr al-Farābī, Al-Ghazālī, Al-Munqiż min al-Ḍalāl.
xvi
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN.................................................................................. i
LEMBAR PERNYATAAN.................................................................................. ii
LEMBAR PENGESAHAN................................................................................. iii
ABSTRAK............................................................................................................ iv
KATA PENGANTAR .......................................................................................... v
PEDOMAN TRANSLITERASI......................................................................... ix
DAFTAR ISI....................................................................................................... xvi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.. .........................................................1
B. Perumusan Masalah.................................................................12
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian................................................13
D. Tinjauan Pustaka.....................................................................14
E. Metode Penelitian....................................................................18
F. Sistematika Penulisan..............................................................19
BAB II BIOGRAFI SAYYID QUṬB DAN SEPUTAR TAFSĪR FĪ
ẒILĀL AL-QUR’ĀN
A. Biografi Sayyid Quṭb.............................................................. 21
1. Riwayat hidup................................................................... 21
2. Perkembangan Karir Intelektual Sayyid Quṭb................... 24
3. Karya-karya Ilmiah Sayyid Quṭb....................................... 26
B. Metodologi Penafsiran Fī Ẓilāl al-Qur’ān............................. 29
1. Latar Belakang Penulisan Fī Ẓilāl al-Qur’ān.................... 29
2. Metode dan Corak Penafsiran............................................ 33
3. Sistematika Penulisan........................................................ 36
xvii
4. Penilaian Ulama Terhadap Tafsir Fī Ẓilāl al-Qur’ān........ 37
BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG KELUARGA SAKĪNAH
A. Pemahaman Tentang Keluarga.............................................. 39
1. Pengertian Keluarga........................................................... 40
2. Proses Terbentuknya Keluarga.......................................... 41
3. Tujuan Berkeluarga........................................................... 43
4. Tanggung jawab dalam berkeluarga.................................. 47
B. Pemahaman Tentang Sakīnah................................................. 53
1. Pengertian Sakīnah............................................................ 54
2. Unsur-unsur Mewujudkan Keluarga Sakīnah dalam
Berkeluarga........................................................................ 55
BAB IV KRITERIA KELUARGA SAKĪNAH MENURUT SAYYID
QUṬB DALAM TAFSĪR FĪ ẒILĀL AL-QUR’AN
A. Ketenangan (ketentraman)...................................................... 58
B. Muʻāsyaroh bi al-Maʻrūf........................................................ 65
C. Bertanggung Jawab................................................................ 71
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan............................................................................. 82
B. Saran-saran............................................................................. 83
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 84
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia diciptakan oleh Allah berpasang-pasangan agar dapat saling
menyayangi, saling menerima dan memberi antara satu dengan yang lainnya,
untuk memperoleh ketentraman jiwa dalam beribadah kepada Allah Swt.
Melaksanakan pernikahan adalah melaksanakan perintah agama sekaligus
memenuhi sunnah Rasulullah Saw. Oleh karena itu, jika seseorang sudah
mencukupi persyaratan untuk menikah maka dia diperintahuntuk
melaksanakanya, karena dengan menikah hidupnya akan lebih sempurna.1
Karena cinta dan demi cinta langit dan bumi diciptakan, dan atas dasarnya
makhluk diwujudkan, demi cinta seluruh planet beredar dan dengannya pula
semua gerak mencapai tujuannya serta bersambung awal dan akhirat. Dengan
cinta semua jiwa meraih harapannya dan mendapatkan idamannya serta
terbebaskan dari segala yang meresahkannya. Demikian pandangan Ibnu Qayyim
al-jauziah (w. 1350 M).2
“Seandainya waktu untuk hidup tinggal lima menit lagi untuk mengatakan
sesuatu, maka semua telepon umum akan dipenuhi orang-orang yang menelpon
orang lain untuk mengatakan padanya “Aku cinta padamu” (Cristopher Morly).
Tidak ada rasa takjub yang lebih memukau daripada rasa takjub karena dicintai
atau mencintai. Tapi apakah cinta itu? tidak mudah menjelaskannya, ʻUlama besar
1 Juariyah, Hadis Tarbawi, (Yogyakarta: TERAS, 2010), h. 130.
2 M. Quraish Shihab, Pengantin Al-Qur’an, (Jakarta: Lentera hati, cet IV, 2007), h. 23.
2
Ibn Hazm, yang wafat sekitar seribu tahun yang lalu, tepanya 456 H, menulis
sebuah buku berjudul Thauq al-Hamāmah (kalung merpati) yang menggambarkan
pengalaman pribadinya dan pengalaman orang lain dalam memahami cinta.
„Ulama itu menulis: “Cinta awalnya adalah permainan dan akhirnya adalah
kesungguhan”. Ia tidak dapat dilukiskan, tetapi harus dialami dan diketahui,
agama tidak menolaknya dan syariaʻatpun tidak melarangnya, karena hati
ditangan Tuhan, Dia yang membolak baliknya.3
Cintapun bermacam-macam, ada cinta kepada Allah, ada juga kepada
manusia, bahkan ada cinta kepada tanah air, binatang dan benda-benda tak
bernyawa, tergantung dari makna kata cinta yang dimaksud. Cinta kepada
manusia berbeda-beda, ada yang kepada lawan jenis, pasangan suami istri atau
tunangan, kepada anak, ibu, saudara dan manusia yang lain. Cinta sejati antara
manusia terjalin bila ada sifat-sifat didambakan oleh sipencinta melekat kepada
sosok yang dicintainya dan yang terasa olehnya, rasa inilah yang mendorong dan
menguatkan kecenderungan itu, semakin banyak dan kuat sifat-sifat yang
dimaksud, dan semakin terasa oleh masing-masing pihak, semakin kuat dan dalam
jalinan hubungan mereka demikian kurang lebih uraian ʻUlama besar Ibn
Qayyim Al-jauziah.
Dengan demikian, lahirnya cinta tidak cukup dengan hadirnya sifat yang
disenangi kekasih pada diri pribadi seseorang, tetapi kehadirannya itu harus
disadari dan dirasakan oleh mitranya, karena itu boleh jadi seseorang sangat
cantik atau gagah, boleh jadi sangat baik dan jujur yang merupakan sifat-sifat
3M. Quraish Shihab, Pengantin Al-Qur’an, h. 24.
3
yang disenangi, tetapi bila itu tidak disadari dan dirasakan maka keistimewaan ini
tidak mengundang cinta. Oleh karena itu untuk meraih jenjang yang lebih lanjut
(menikah), maka adanya rasa cinta yang tertanam dalam hati.4
Pernikahan.5 Bagi umat manusia adalah sesuatu yang sangat sakral dan
mempunyai tujuan yang sakral pula, menurut para ahli ushul Fiqih dan bahasa
kata nikah digunakan secara haqīqah (arti sebenarnya) untuk arti hubungan intim,
dan secara majaz (kiasan) untuk arti akad. Sekiranya kata nikah tertera didalam
al-Qur‟an dan sunah tampa adanya indikasi lain maka yang dimaksud adalah
hubungan intim,6 dan tidak terlepas dari ketentuan-ketentuan yang ditetapkan
syari‟at agama. Tujuan utama dari pernikahan adalah untuk membentuk
keluarga bahagia yang penuh ketenangan cinta dan rasa kasih sayang.
Manusia sebagai makhluk sosial tidak mungkin dapat hidup sendiri. Ia
pasti membutuhkan orang lain untuk berkomunikasi, melaksanakan tugas dan
memenuhi segala kebutuhanya. Selain itu manusia juga dikaruniai nafsu berupa
kecenderungan tabiat kepada sesuatu yang dirasa cocok. Kecenderungan ini
merupakan satu bentuk ciptaan yang ada pada diri manusia, sebagai urgensi
kelangsungan hidupnya. Seperti makan, minum dan menikah.
Lebih spesifik, Islam adalah agama kehidupan yang menghargai insting
biologis (seks) yang merupakan bagian penting dari kehidupan ini. Sudah menjadi
sunnatullah, bahwa Islam mampu menangani semua itu secara seimbang, menarik
4M. Quraish Shihab, (Pengantin Al-Qur’an), h. 26.
5Penggunaan kata “pernikahan” disamakan dengan “perkawinan”, dimaksudkan untuk
memudahkan penyusun karena banyak referensi yang menggunakan kedua kata tersebut dengan
maksud yang sama. 6Wahbah Az-Zuhailī, Fiqih Islam Wadillatuhu, Terj, Abdul Hayyi al-Kattani dkk,
(Jakarta: Gema Insani, cet ke 10, 2007), h. 48.
4
dan obyektif, selama manusia masih menganggap perkawinan merupakan elemen
penting dalam kehidupan ini. Syari‟at yang ditentukan Islam mengajak pasangan
suami-istri untuk selalu berusaha menemukan kebaikan, keteguhan dan
perjuangan pasangannya disamping hanya sekedar kenikmatan berhubungan
badan.
Maka Rasulullah Saw memberikan anjuran kepada para pemuda yang
belum menikah agar segera menikah, karena begitu besarnya faedah dan tujuan
yang ada padanya. Diantara faedah dan tujuan yang utama adalah: Menjalankan
perintah Allah Swt sebagaimana hal ini tertuang dalam firman-Nya Qs. an-Nūr;
24/32 sebagai berikut:
يامى منكمأ والصالني منأ عبادكمأ وإمائكمأ إن يكونوا ف قراء ي غأنهم الله من له والله وأنكحوا الأ فضأ
واسع عليم
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-
orang yang layak (kawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan
hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan
memampukan mereka dengan kurunia-Nya. Dan Allah Maha luas
(pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”7
Kemudian tujuan yang kedua ialah untuk meneladani Sunnah Rasulullah
Saw, Sebagaimana dikisahkan dalam hadits bahwa suatu ketika Rasulullah Saw
didatangi oleh tiga orang. Yang pertama mengatakan bahwa dirinya akan
melaksanakan shalat malam secara terus menerus, yang kedua mengatakan bahwa
dirinya akan melaksanakan shaum sepanjang masa (shaum Dhahr). Adapun yang
7Departmen Agama Republik Indonesia, al-Qur’ān dan terjemahannya (Jakarta: Pustaka
al-Mubin, 2013), h. 354.
5
ketiga mengatakan bahwa dirinya akan menjauhi wanita dan tidak akan menikah
untuk selama-lamanya. Maka seketika itu, Rasulullah Saw marah dan
mengatakan bahwa barang siapa yang membenci sunnahku maka ia bukan dari
golonganku.8
Tujuan yang ketiga ialah Agar orang yang beriman mengetahui
kenikmatan di dunia berupa berhubungan badan dan membandingkannya dengan
kenikmatan di akhirat nanti. Dengan mengetahui nikmat yang telah Allah Swt
anugerahkan kepada seorang yang beriman, berupa kenikmatan berhubungan
badan, maka seorang yang beriman akan membandingkannya dengan kenikmatan
yang akan diperoleh orang-orang yang senantiasa taat terhadap perintah-perintah-
Nya dan menjauhi segala larangan-Nya, yang akan Allah berikan pada kehidupan
yang kekal di Surga kenikmatan yang berlipat ganda yang belum pernah
seorangpun merasakannya. Sehingga hal itu akan menambah keimanan dan
ketakwaan seseorang kepada Allah Swt.
Kemudian tujuan yang keempat ialah untuk melestarikan keturunan, dan
mendapatkan generasi yang shalih yang siap berjuang di jalan Allah Swt demi
menegakkan kalimatullah di muka bumi ini. Suatu hal yang lebih urgen pada
pernikahan bukan hanya sekedar untuk memperoleh anak, akan tetapi berusaha
mencari dan membentuk generasi yang berkualitas, yaitu mencari anak yang
shalih dan bertaqwa kepada Allah Swt yang siap mengembangkan dakwah dan
8Lihat HR. al-Bukhari, dalam kitab: Nikah, bab: Anjuran untuk Menikah, ( no. 5063 ) dan
Muslim dalam syarah-nya, dalam kitab: Nikah, bab: Disunahkan Menikah bagi orang yang
memiliki keinginan dan memiliki kemampuan dan menyibukkan diri dengan puasa bagi yang tidak
mampu (no. 3389).
6
berjihad di jalan-Nya demi menegakkan kalimatullah di muka bumi ini. Generasi
seperti inilah yang sangat diharapkan kelahirannya di muka bumi ini.
Kemudian tujuan yang kelima ialah untuk Menjaga kemaluan,
menundukkan pandangan dan memelihara kehormatan wanita. Islam memandang
pernikahan dan pembentukan keluarga sebagai sarana efektif untuk memelihara
pemuda dan pemudi dari kerusakan, dan melindungi masyarakat dari kekacauan.
Rasulullah Saw bersabda yang artinya:
“Wahai para pemuda Barangsiapa diantara kalian berkemampuan untuk
nikah, maka nikahlah, karena nikah itu lebih menundukan pandangan, dan
lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu,
maka hendaklah ia puasa karena puasa itu dapat membentengi dirinya”.9
Rasulullah Saw juga bersabda bahwa sesuatu yang banyak menyebabkan
manusia tergelincir kedalam neraka, adalah mulut dan kemaluan.10
Kemudian
tujuan yang ke enam ialah meredam syahwat dan menyalurkannya kepada sesuatu
yang halal demi mengharapkan pahala dan ridha Allah Swt. Sebagaimana sabda
Rasulullah Saw yang artinya;
ر قال وته ويكون له فيها أجأ ع أحدكمأ صدقة قالوا يا رسول الله أيأت أحدنا شهأ أرأي أتمأ لوأ وف بضأ
را وضعها ف حرام أكان عليأه لل كان له أجأ فيها وزأر فكذلك إذا وضعها ف الأ
“Dan hubungan badan diantara kalian adalah shadaqah.“ Para sahabat
bertanya, “Wahai Rasulullah mengapa seseorang yang menyalurkan
syahwatnya mendapatkan pahala?” Beliau bersabda, “Tidakkah kalian
ketahui, jika ia menyalurkannya pada sesuatu yang haram, maka ia akan
9Lihat HR. al-Bukhari dalam kitab: Nikah, (no. 5065)
10Lihat: HR. at-Tirmidzi, dalam kitab: Kebaikan dan Silaturahmi, bab: Akhlak yang
Baik, (no. 2004).
7
mendapatkan dosa, Adapun jika ia menyalurkanya pada yang sesuatu
yang halal, maka ia akan mendapatkan pahala.”11
Kemudian tujuan yang terakhir ialah menciptakan ketenangan jiwa dan
rasa kasih sayang antara suami-isteri. Sebagaimana hal ini juga dituliskan oleh Dr.
Lilik Ummu kaltsum dan Dr. Abd Moqsith Ghazali dalam bukunya Tafsīr Ahkam
yaitu terciptanya sebuah ketenangan batin, sebagaimana al-Qur‟an menyebutnya
Sakinah.12
Sebagaimana yang dijelaskan dalam Al-qur‟an surah al-Rūm/30: 21
dan al-ʻArāf /7: 189 sebagai berikut:
نكمأ مودة ورحأ ها وجعل ب ي أ كنوا إلي أ لك إن ف ذ ة ومنأ آياته أنأ خلق لكمأ منأ أن أفسكمأ أزأواجا لتسأ
م ي ت فكرون ليا ت لقوأ “dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya Dia menciptakan untukmu
istri-istri dan jenismu sendiri supaya kamu merasa tenang tentram
kepadanya dan dijadikannya diantara kamu rasa cinta kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
bagi kaum yang berfikir. (QS. al-Rūm/30:21).13
ه س واحدة وجعل من أ هاهو الذي خلقكمأ منأ ن فأ كن إلي أ ا زوأجها ليسأ
“Dialah (Allah) Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari
padanya Dia menciptakan isterinya, agar dia merasa senang
kepadanya”.(QS. alʻArāf/7:189)14
Ayat di atas mengamanatkan kepada seluruh umat manusia bahwa
diciptakannya seorang istri bagi suami adalah agar suami bisa hidup tentram
11
Lihat HR. Muslim dalam syarah-nya, dalam kitab: Zakat, bab: Penjelasan bahwa
shadaqah terdapat pada semua hal yang ma‟ruf, (no. 1006). 12
Lilik Ummu kaltsum dan Abd Moqsith Ghazalī, Tafsīr Ahkam (Jakarta: UIN press
2014), h. 206. 13
Departmen Agama Republik Indonesia, al-Qur’ān dan terjemahannya (Jakarta: Pustaka
al-Mubin, 2013), h. 406 14
Departmen Agama Republik Indonesia, al-Qur’ān dan terjemahannya, h. 174.
8
bersama dalam membina keluarga begitupun sebaliknya istri juga merasakan hal
yang sama. Ketentraman seorang suami dalam membina bersama istri dapat
tercapai apabila diantara keduanya terdapat kerjasama timbal-balik yang serasi,
selaras, dan seimbang. Masing-masing tidak bisa bertepuk sebelah tangan
sebagai laki-laki sejati, suami tentu tidak akan merasa tentram, jika istrinya
telah berbuat sebaik-baiknya demi kebahagian suami, tetapi suami tidak mampu
memberikan kebahagian terhadap istrinya.
Demikian pula sebaliknya, Suami baru akan merasa tentram, jika dirinya
mampu membahagiakan istrinya dan istri-pun sanggup memberikan pelayanan
yang seimbang demi kebahagiaan suaminya. Kedua pihak bisa saling mengasihi
dan menyayangi, saling mengerti antara satu dengan yang lainya sesuai dengan
kedudukannya masing-masing demi tercapainya keluarga yang Sakīnah,
Mawaddah, dan Rahmah.15
Kata sakīnah berarti ketenangan, ketentraman, dan kedamaian, artinya
keluarga sakinah itu ialah keluarga yang mampu menciptakan suasana kehidupan
berkeluarga yang tentram, merasa aman, damai, penuh cinta dan kasih sayang.16
Sakinah harus di dahului oleh gejolak, menunjukkan bahwa ketenangan yang
dimaksud adalah ketenangan dinamis, pasti dalam setiap rumah tangga ada saat-
saat dimana gejolak bahkan kesalah pahaman dapat terjadi, namun ia dapat segera
tertanggulangi bila ada agama didalam hatinya, yakni tuntunan-tuntunanya
15
Fuad Kauma dan Nipan, Membimbing Istri Mendampingi Suami, (Yogyakarta: Mitra
Usaha, 1997), h. 52. 16
Asrofi dan M. Thohir, keluarga sakinah dalam tradisi islam jawa, (yogyakarta: Arindo
nusa Media, 2006), h. 3.
9
dipahami dan dihayati oleh anggota keluarga atau dengan kata lain bila agama
berperan dengan baik dalam kehidupan keluarga.
Sakinah bukan sekedar apa yang terlihat pada ketenangan lahir yang
tercermin pada kecerahan muka, karena yang ini bisa muncul akibat keluguan,
ketidaktahuan, atau kebodohan. Tapi sakīnah terlihat pada kecerahan muka yang
disertai dengan kelapangan dada, budi bahasa yang halus, yang dilahirkan oleh
ketenangan batin akibat menyatunya pemahaman dan kesucian hati, serta
bergabungnya kejelasan pandangan dengan tekad yang kuat.17
Hidup berumah tangga merupakan fitrah manusia sebagai makhluk sosial.
Keluarga atau rumah tangga muslim adalah lembaga terpenting dalam kehidupan
kaum muslimin. Ini semua disebabkan karena peran besar yang dimainkan oleh
keluarga, yaitu mencetak dan menumbuhkan generasi masa depan, pilar
penyangga bangunan umat dan perisai penyelamat bagi negara.18
Akan tetapi didalam membangun sebuah keluarga tidaklah semudah apa
yang dibayangkan, bahkan bisa saja terjadi kesalah-pahaman dengan situasi
rumah tangga yang semakin memanas sehingga terjadi konflik keluarga yang
berkepanjangan dan berdampak pada ketidak harmonisan dalam berkeluarga,
terjadinya tindak penganiayaan, bahkan lebih dari itu bisa saja terjadi perceraian.
Tidak hanya faktor dari dalam keluarga saja yang dapat mempengaruhi ketidak
harmonisan dalam sebuah keluarga, tapi juga dipengaruhi oleh latar belakang
sosial kemasyarakatan dan lingkungan tempat tinggal.
17
M. Quraish Shihab, (Pengantin Al-Qur’an), h. 82. 18
Mustafa Masyhur, Qudwah diJalan Dakwah, terj. Ali Hasan, (Jakarta: Citra Islami
Press, 1998), h. 52.
10
Dari beberapa peristiwa dalam institusi rumah tangga ternyata masih
menyebabkan adanya persoalan dalam keluarga, seperti seseorang yang
merasakan sesuatu yang aneh, merasa terasing dengan diri sendiri, seolah-
olah dia merasakan ada sesuatu yang belum terpenuhi, seperti kehilangan
eksistenti diri. Padahal nampak dari luar hubungan dengan keluarga harmonis
dan secara biologis dan materi tidak ada kebutuhan yang tak terpenuhi,
orang seperti ini mungkin yang dikatakan terasing dengan dirinya.19
kurang memahami diri dan kehendak hatinya, maka dia sekedar hidup
atas dasar kesetiaan atau ketulusan yang dibuat-buat, baik pada suami atau istri,
keluarga, atau juga pada institusi dan simbol yang bersumber dari-atau hidup
dalam-tradisi sosial dan agama, Persoalan seperti ini dapat menimbulkan peristiwa
kekerasan dalam rumah tangga. Beberapa persolan di atas membuat manusia lupa
untuk memperhatikan makna dan tujuan dari sebuah pernihakan sebagai kerangka
nilai dari pernikahan sebagaimana yang terlampir dalam surat al-Rūm/30: 21
tersebut.
Sebagian dari manusia memahami secara dangkal bahkan tidak
mengetahui bagaimana cara mencapai tujuan dari pernikahan, khususnya
membentuk keluarga sakīnah, tidak semua diantara suami dan istri yang sudah
membina rumah tangga tau bagaimana membina keluarga sakīnah terlebih pada
zaman sekarang banyak yang menikah muda, setelah beberapa bulan menikah lalu
bercerai, mereka tidak tau bagaimana membentuk akan sebuah keluarga yang
harmonis, merasa aman, damai, dan tentram. Bagi yang tau akan ilmu agama bisa
19
Khoirul Rasyadi, Cinta dan Keterasingan, Editor M. Arif Hakim, cet. 1, (Yogyakarta:
Lkis, 2000), h. 26-28.
11
membina keluarganya, namun bagi masyarakat awam, orang-orang biasa yang
kesehariannya hanya nongkrong dan jauh dari pengetahuan agama, mereka tidak
bisa membina keluarga yang sakīnah sehingga yang terjadi kemudian pernikahan
tidak memiliki esensi seperti yang dimaksudkan oleh al-Qur‟an itu sendiri.
Dari uraian diatas tidak mengherankan jika banyak kalangan pemikir atau
ulama islam berusaha membuat rumusan atau konsep tentang keluarga sakīnah
demi terbentuknya keluarga yang penuh rahmat dari Allah swt. Dalam kondisi
seperti ini maka diperlukan pencerahan kembali bagaimana membina keluarga
yang sakīnah bagi pasangan suami-istri yang sudah lama membina rumah
tangganya, terlebih bagi pasangan yang baru membina rumah tangga. bagaimana
menciptakan suasana rumah tangga menjadi indah, tentram, damai, dan bahagia
sampai akhir hayat tentunya merasakan hal yang sama antara satu sama lain.
tentunya pencerahan yang berdasarkan aturan agama Islam.
Berangkat dari hal tersebut penulis tertarik untuk menghadirkan salah satu
pemikir ʻulama yang merumuskan tentang konsep keluarga sakinah yaitu Sayyid
Quṭhb bin Ibrahim bin Husain al-Sazali, ketertaikan ini karena Sayyid Quṭhb
adalah salah satu „ulama besar yang sangat berpengaruh bagi islam, beliau yang
sangat populer dengan pemikiran dan pemahamannya dalam tatanan sosial dan
politik agamis dengan didasari manhaj ilāhi (syariat). Beliaupun seorang mufassir
rasional yang berusaha menyampaikan pesan al-Qurān secara rasional kepada
masyarakat islam pada masalah sosial dan politik bahkan pada masalah tauhid.
banyak karya-karyanya yang beredar di negara-negara islam, bahkan di negara-
negara Eropa, Afrika, Asia dan Amerika.
12
Penulis semakin tertarik dengan beliau karna dipengantar karyanya Tafsīr
Fī Ẓilāl al-Qur’ān beliau menuliskan kalimat “Sungguh nikmat hidup dibawah
naungan al-Qur‟ān, nikmat yang hanya bisa dirasakan oleh orang yang pernah
menghayati”, artinya hidup dibawah naungan al-Qur‟ān manusia akan merasakan
kebahagiaan dan dengan izin Allah akan terselamatkan diakhirat nanti, oleh
karena itu pada penelitian ini penulis ingin mengungkapkan bagaimanakah
pemikiran sayyid Quṭb terhadap kriteria/konsep keluarga sakinah dalam Tasīr Fī
Ẓilāl al-Qur’ān.
Dari uraian diatas hemat penulis, maka perlu diadakan penelitian supaya
semua tahu bagaimana penafsiran sayyid Quṭb terhadap ayat-ayat yang
berhubungan dengan tema penelitian guna untuk mendapatkan konsep baru untuk
mewujudkan keluarga yang sakinah dalam kehidupan ini. Maka dari itu penulis
ingin meneliti dan menganalisa melalui Tafsīr Fīzilālil al-Qur’ān.
Untuk mengetahui bagaimanakah konsep/penafsiran ayat-ayat tentang
menbina keluarga yang sakīnah, maka penulis akan melakukan penelitian dengan
judul: “Penafsīran Sayyid Quṭb Tentang Kriteria Keluarga Sakīnah dalam
Tafsīr Fīzilāl al-Qur’ān”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Untuk memperjelas dan menghindari pembahasan yang tidak mengarah
pada maksud dan tujuan penulisan skripsi ini, maka penulis akan membatasi
permasalahan dengan dititik beratkan pada:
13
Penafsiran Qs. al-Aʻrāf/7: 189, Qs. al-Rūm/30:21, Qs. an-Nisā/4:19, Qs.
Luqmān/31: 13-14 dan Qs. At-Tharīm/66:6, yang terdapat dalam Tafsīr Fī Ẓilāl
al-Qur’ān karya Sayyid Quṭb. Pemilihan ayat tersebut dikarenakan tercapainya
sebuah hubungan berumah tangga yang harmonis tentu ada kriteria atau unsur-
unsur yang menjadikannya sebuah hubungan tersebut menjadi harmonis. Melalui
ayat inilah penulis mengutip ayat al-Qur‟an tersebut demi tercapainya sebuah
keluarga yang bahagia yang di berkahi Allah Swt.
Berdasarkan pembatasan masalah di atas maka penulis merumuskan
pokok masalah yang dibahas dalam penelitian skripsi ini, yaitu: Bagaimana
penafsiran Sayid Quṭb terhadap ayat-ayat al-Qur‟ān tentang kriteria keluarga
sakīnah dalam Tafsīr Fī Ẓilāl al-Qur’ān.?
C. Tujuan dan Manfaat penelitian
Adapun tujuan penyusun Skripsi ini tidak terlepas dari beberapa tujuan
yang jelas berkaitan dengan pokok masalah yang menjadi bahasan utama. Skripsi
ini mempunyai tujuan yaitu: Untuk mengetahui dan memahami bagaimana
pandangan al-Qur‟ān tentang konsep keluarga sakīnah, Mawaddah, dan
Warahmah menurut Sayyid Quṭb, serta untuk mengetahui bagaimana Penafsiran
Ayat-ayat tentang kriteria keluarga sakīnah dalam Tafsīr Fī Ẓilāl al-Qur’ān.
Kemudian adapun secara teoritis hasil penelitian ini yaitu Sebagai
Sumbangan Ilmiah supaya dapat memperkaya Khazanah keilmuan khususnya
produk Tafsir tematik tentang konsep menciptakan keluarga sakīnah bagi
kepustakaan Islam, hususnya dalam bidang Tafsīr.
14
Kemudian tujuan lainnya yaitu Sebagai penambah atau pelengkap
penjelasan yang terkait dengan penelitian ini, dan tentunya sebagai tugas akhir
dari perkuliahan, guna memperoleh gelar sarjana (SI) dalam bidang Tafsīr di
Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
D. Tinjauan Pustaka
Dari berbagai Skripsi, Tesis, Disertasi maupun Jurnal yang penulis baca,
ada beberapa Skripsi Mahasiswa Fakultas Ushuluddin baik jurusan Tafsir maupun
Hadits, yang pertama Skripsi Khusen As‟ari yang membahas tentang “Pernikahan
Dini Dalam Perspektif Hadis (Sebuah pendekatan kontekstual). Hasil dari
penelitiannya menjelaskan bagaimana arti sebuah pernikahan dalam perspektif
hadis.20
Sedangkan dalam penelitian penulis menjelaskan bagaimana dalam
sebuah pernikahan menciptakan kriteria sakinah dalam rumah tangga berdasarkan
ayat-ayat al-Qur‟an yang terdapat dalam Tafsir Fī Ẓilāl al-Qur’ān karangan
Sayyid Quṭb.
Kemudan Skripsi yang kedua yaitu: Ahmad Sahal yamg membahas
tentang “Keluarga berencana dalam al-Qur’an menurut pandangan tafsir al-
Misah‟‟.21
Ia menjelaskan bagaimana dalam sebuah hubungan rumah tangga
menyikapi (KB) dalam keluarganya berdasarkan penafsiran M. Quraish Shihab
tentang keluarga berencana dalam al-Qur‟an. Sedangkan dalam penelitian penulis
20
Lihat Skripsi „Khusen As‟ari” Mahasiswa UIN Jakarta Fakultas Ushuluddin jurusan
Tafsir Hadits, tahun 2009. 21
Lihat Skripsi “ Ahmad Sahal” Mahasiswa UIN Jakarta Fakultas Ushuluddin jurusan
Tafsir Hadits, tahun 1430 H/ 2009 M.
15
menjelaskan bagaimana penafsiran Sayyid Quṭb tentang kriteria untuk
menciptakan sebuah keluarga sakinah dalam Tafsir Fī Ẓilāl al-Qur’ān.
Kemudia Skripsi yang ketiga yaitu: Ahmad Arifuz Zaki yang membahas
tentang “Konsep Pra-Nikah Dalam Al-Qur’ān” (Kajian Tafsir Tematik), Ia
menjelaskan bagaimanakah penafsiran ayat-ayat tentang konsep pra-nikah dalam
al-Qur‟an yaitu Qs. al-Baqarha ayat 221, 234, 235, Qs.Yasīn ayat 36 dan Qs. An-
Nisā ayat 9, 22 dan 23.22
Penelitian Ahmad Arifuz Zaki ini berbeda dengan
penelitian yang penulis lakukan. Perbedaanya Penulis lebih mengarah kepada
ayat-ayat al-Qur‟an yang membahas tentang konsep atau kriteria untuk
menciptakan sebuah keluarga yang Sakinah, Mawaddah, Warahmah. Melalui Qs.
al-Rūm ayat 21, Qs. an-Nisā ayat 19, Qs. al-ʻArāf ayat 189, Qs. Luqmān ayat 13-
14 dan Qs. At-Tharim ayat 6. Sedangkan Ahmad Arifuz Zaki ini dia lebih
mengarah kepada ayat-ayat al-Qur‟ān yang membahas mengenai tata cara
memilih pasangan sesuai dengan tuntunan al-Qur‟ān melalui ayat-ayat Qs. al-
Baqarha ayat 221, 234, 235, Qs.Yasīn ayat 36 dan Qs. An-Nisā ayat 9, 22 dan 23.
Kemudian yang keempat penulis juga menemukan Skripsi dari UIN Sunan
Kalijaga daerah istimewa Yogyakarta Fakultas Ushuluddin yaitu Rofiq Rahardi
yang judulnya “Konsep keluarga sakinah menurut Tafsir al-Misbah”.23
(Studi
tematik atas penafsiran M. Qurais shihab terhadap ayat-ayat keluarga dalam surah
an-Nisā), dengan rumusan masalah bagaimanakah konsep keluarga sakinah
menurut Quraish Shihab dan bagaimanakah penafsiran Quraish shihab terhadap
22
Lihat Skripsi “Ahmad Arifuz Zaki” Mahasiswa UIN Jakarta Fakultas Ushuluddin
jurusan ilmu al-Qur‟an dan Tafsir, tahun 2017. 23
Lihat Skripsi “ Rofiq Rahardi” Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Fakultas
Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadist, Tahun 1430 H/2008 M.
16
ayat-ayat keluarga dalam surah An-Nisā. Di dalam skripsi Rofiq Rohardi ia hanya
fokus pada surah an-Nisā saja sedangkan dalam penelitian penulis, penulis
membahas semua ayat yang berkaitan dengan kriteria keluarga sakinah yang
tertera dalam Tafsīr Fī Ẓilal al-Qur’an.
Kemudian yang kelima penulis juga menemukan Skripsi Evin Fatmawati
yang berjudul “Efektifitas bimbingan pra-nikah calon pengantin sebagai upaya
dalam mewujudkan keluarga sakinah di BP4 kota pekalongan” hasil dari
penelitian Evin Fatmawati ini ia menjelaskan bagaimana masyarakat di BP4 di
kota pekalongan ini menciptakan sebuah keluarga sakinah dalam kehidupannya.24
Sedangkan yang penulis teliti ini berdasarkan beberapa ayat al-Qur‟ān yang
menjelaskan konsep atau kriteria untuk menciptakan sebuah keluarga yang
sakinah menurut Sayyid Qutb dalam tafsirnya.
Kemudian yang keenam penulis juga menemukan Tesis Siti Romlah yang
bejudul “Karakteristik keluarga sakinah dalam perspektif Islam dan pendidikan
umum” hasil dari penelitian Romlah ini, ia hanya terfokuskan pada empat
keluarga yang tinggal di komplek UPI, yaitu dua keluarga di tujukan pada Muslim
yang berpendidikan rendah dan dua keluarga Muslim yang berpendidikan tinggi.
Di tesis Romlah ini ia menjelaskan bagaimana keempat keluarga tersebut
mengartikan sakinah dalam kehidupan sehari-sehari.25
Sedangkan hasil dari
penelitian penulis ialah bagaimana konsep atau kriteria untuk menciptakan sebuah
24
Lihat Skripsi “Evin Fatmawati”, Efektifitas bimbingan pra-nikah calon pengantin
sebagai upaya dalam mewujudkan keluarga sakinah di BP4 kota pekalongan, IAIN Walisongo,
2010. 25
Lihat Tesis “Siti Romlah” karakteristik keluarga sakinah dalam perspektif islam dan
pendidikan umum” Vol. XXV, 2006.
17
keluarga sakinah berdasarkan penafsiran Sayid Quṭb dalam TafsirFī Ẓilāl al-
Qur’ān.
Kemudian yang ketujuh penulis juga menemukan jurnal yang di tulis oleh
A. M, Ismatullah yang berjudul “Konsep Sakinah, Mawaddah dan Rahmah dalam
al-Qur‟an” (Perspektif penafsiran kitab al-Qur‟an dan Tafsirnya), hasil dari
penelitian Ismatullah ini ia hanya memfokuskan pada satu ayat saja yaitu Qs. al-
Rūm ayat 21, sedangkan penelitian penulis membahas lima ayat termasuk QS. al-
Rūm 21, kemudian Qs. al-Aʻraf 189, an-Nisa 19, at-Tahrīm 6, dan Luqman 13-
14.26
Kemudian yang kedelapan penulis juga menemukan jurnal yang di tulis
oleh Anisia Kumala dan Yulistin Tresnawati yang berjudul “keluarga sakinah
dalam pandangan masyarakat” hasil dari penelitia Anisia Kumala dan Yulistin
Tresna ini ialah bagaimana masyarakat DKI Jakarta sebanyak 300 orang
mengartikan keluarga sakinah ini dalam kehidupannya sehari-hari.27
Sedangkan
penelitian penulis ini mengarahkan bagaimana konsep atau kriteria untuk
menciptakan sebuah keluarga sakinah berdasarkan ayat-ayat al-Qur‟ān dalam
penafsiran Sayid Quṭb TafsirFī Ẓilāl al-Qur’ān.
Kemudian yang kesembilan penulis juga menemukan jurnal yang di tulis
oleh Eka Prasetiawati yang berjudul “Penafsiran ayat-ayat keluarga Sakīnah,
Mawaddah dan Rahmah dalam Tafsir al-Misbah dan Ibn Katsir” hasil dari
penelitian Eka Prasetiawati ini ialah ia menjelaskan ayat-ayat sakinah ini
26
Lihat Jurnal A. M, Ismatullah, Konsep Sakinah, Mawaddah dan Rahmah dalam al-
Qur‟an (Perspektif penafsiran kitab al-Qur‟an dan Tafsirnya). 27
Lihat Jurnal Anisia Kumala dan Yulistin Tresnawati, Keluarga Sakinah dalam
pandangan Masyarakat, Vol 3, no 1, 2017.
18
berdasarkan Qs. at-Tahrim ayat 6, Qs. Ali-Imran ayat 33, Qs. al-Syuʻara 214, Qs.
al-Rūm 21, Qs. al-Furqan 54, Qs. al-baqarah 187 dan 233, dan Qs. an-Nisa 1 dan
34.28
Sedangkan dalam penelitian penulis menjelasakan bagaimana penafsiran
Sayid Quṭb tentang kriteria keluarga sakinah dalam Tafsir Fī Ẓilāl al-Qur’ān
berdasarkan Qs. al-Aʻraf 189, Qs. al-Rūm 21, Qs. an-Nisā 19, at-Tahrīm 6 dan
luqman 13-14.
Kemudian yang kesepuluh penulis juga menemukan jurnal yang di tulis
oleh Muhammad Yusuf Pulungan yang berjudul “Peran majelis ta‟lim dalam
membina keluarga sakinah masyarakat muslim di kota padang sidimpuan” hasil
dari penelitiannya ialah bagaimana peran majelis ta‟lim di kota padang sidimpuan
dalam menerapkan sebuah keluarga sakinah dalam kehidupannya.29
Sedangkan
dalam penelitian penulis ini, menjelaskan bagaimana penafsiran konsep atau
kriteria untuk menciptakan sebuah keluarga yang sakinah berdasarkan ayat-ayat
al-Qur‟ān yang terdapat dalam TafsirFī Ẓilāl al-Qur’ān.
E. Metode Penelitian
Dalam penulisan karya ilmiah ini penulis menggunakan Metode
pengumpulan data, untuk mendukung metode tersebut penulis melakukan
penelitian melalui studi kepustakaan (library recearch) yaitu penelitian yang
dilaksanakan dengan menggunakan literatur (kepustakaan) baik berupa buku,
28
Lihat Jurnal Eka Prasetiawati, Penafsiran ayat-ayat keluarga Sakīnah, Mawaddah dan
Rahmah dalam Tafsir al-Misbah dan Ibn Katsir, Vol 5, No 2, 2017. 29
Lihat Jurnal Muhammda yusuf pulungan, Peran Majelis Ta‟lim dalam membina
keluarga sakinah masyarakat muslim di kota padang sidimpuan, Vol 9, No 1, 2014.
19
catatan maupun laporan hasil penelitian dari penelitian terdahulu.30
Dan dalam
pengumpulan data mengenai konsep atau kriteria sakīnāh, penulis menggunakan
data bersipat primer31
dalam hal ini kitab Tafsir Fī Ẓilāl al-Qur’ān karya Sayid
Quṭb, dan kemudian menggunakan data sekunder32
yang penulis dapatkan dari
buku-buku, majalah, journal dan berbagai sumber lainnya yang berkaitan dengan
masalah yang dibahas yang terdapat di Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta hususnya, maupun berbagai perpustakaan lainnya.
Kemudian dalam teknik pengumpulan data yang penulis gunakan ialah
Metode diskriptip-analitis yaitu usaha untuk mengumpulkan data dan menyusun
data, kemudian dilakukan analisis terhadap data tersebut.33
Untuk tehnik
penulisannya, penulis berpedoman pada buku “Pedoman penulisan Karya ilmiah
(Skripsi, Tesis, dan Disertasi)” Yang disusun oleh tim penyusun UIN Syarif
Hidayatullah jakarta tahun 2014.34
30
M. Ikbal Hasan, Pokok-pokok Materi Metodologi penelitian dan aplikasinya, (Jakarta:
Ghalia, 2002), h. 11. 31
Data primer ialah data yang berasal dari sumber asli atau pertama. Data ini tidak
tersedia dalam bentuk terkompilasi ataupun dalam bentuk file-file. Data ini harus dicari melalui
narasumber atau dalam istilah teknisnya responden, yaitu orang yang kita jadikan objek penelitian
atau orang yang kita jadikan sebagai sarana mendapatkan informasi ataupun data. Lihat Umi
Narimawati, “Metodologi Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif: Teori dan Aplikasi”, (Jakarta:
Tarsita, 2008), h. 98. 32
Data sekunder adalah sumber data yang tidak langsung memberikan data kepada
pengumpul data, Data sekunder ini merupakan data yang sifatnya mendukung keperluan data
primer seperti buku-buku, literatur dan bacaan yang berkaitan dengan pokok permasalahan.
(Sugiono : 2008 : 402). 33
Winarto Surachman, Pengantar penelitian ilmiah: Dasar, Metode dasar teknik,
(Jakarta: Tarsita, 1990), h. 139. 34
Lihat buku pedoman akademik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
tahun 2014, h 42.
20
F. Sistematika Pembahasan
Agar pembahasan dalam skripsi ini bisa sistematis dan terarah dengan
baik, maka disusun sistematika pembahasan sebagai berikut:
Bab pertama merupakan Pendahuluan yang berisi penjelasan mengenai
Latar belakang masalah, Pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat,
kajian pustaka, metode penelitian dan sistematika pembahasan.
Bab kedua menjelaskan sekilas tentang Tafsīr Fī Ẓilāl al-Qur’ān yang
merangkumi di dalamnya berkenaan dengan (A). biografi Sayid Quṭb, meliputi: 1.
Riwayat hidup, 2. Perkembagan Karir intelektual Sayid Quṭb, 3. Karya ilmiah
Sayi Quṭb. (B). Metodologi Penafsiran Fī Ẓilāl al-Qur’ān, meliputi: 1. Latar
Belakang Penulisan Fī Ẓilāl al-Qur’ān, 2. Metode dan Corak Penafsiran, 3.
Sistematika penulisan, 4. Pandangan ulama terhadap Tafsir Fī Ẓilāl al-Qur’ān.
Bab ketiga Tinjauan Umum tentang Keluarga sakīnah meliputi: A).
Pemahaman tentang keluarga. Meliputi: 1. Pengertian keluaga, 2. Proses
terbentuknya keluarga, 3. Tujuan berkeluarga, 4. Tanggung jawab atau ha dalam
berkeluarga. B). Pemahaman tentang sakīnah. Meliputi: 1. Pengertian sakinah, 2.
Unsur-unsur mewujudkan keluarga sakinah dalam berkeluarga.
Bab keempat Penafsiran dan kriteria keluarga sakīnah menurut Sayid
Quṭb dalam Tafsirnya, Meliputi A). Ketenangan (ketentraman), berdasarkan
Penafsiran Al-ʻArāf/7:189, dan Qs. Ar-Rūm/30:21. B). Muʻasyarah bi al-Maʻrūf ,
berdasakan Penafsiran Qs. An-Nisā/4:19, C). Bertanggung Jawab, berdasarkan
Penafsiran Qs. At-Tharīm/66:6, dan Qs. Luqmān/31:13-14.
Bab kelima Merupakan penutup yang berisi kesimpulan, Saran-saran,
dilengkapi dengan daftar pustaka dan lampiran-lampiran.
21
BAB II
BIOGRAFI SAYYID QUṬB DAN
SEPUTAR TAFSĪR FĪ ẒILĀL AL-QUR’ĀN
A. Biografi Sayyid Quṭb
Untuk memahami pemikiran dan kepribadian Sayid Quṭb, maka perlu
mengetahui dan menelusuri latar belakang kehidupannya. Mulai dari riwayat
kehidupannya, karir intelektualnya, dan karya-karyanya, berikut akan di jelaskan
riwayat kehidupan sayyid Quṭb.
1. Riwayat Hidup
Sayyid Quṭb adalah salah satu ʻulama besar islam kontemporer. Nama
lengkapnya adalah Sayyid bin al-Haj Quṭb1 bin Ibrahim bin Husaen al-Sazali.
2
Ia dilahirkan pada 9 Oktober 1906 M/ 1324 H, di Mausyah salah satu desa di
provinsi Asyuth, yaitu dataran tinggi di Mesir. Sayyid Quṭhb mempunyai garis
keturunan dari bangsa India. Nasabnya bertemu ʻAbdullah (kakeknya),
ʻAbdullah mulai menetap di Mesir setelah menunaikan ibadah Haji ke tanah
suci, kakeknya tertarik dengan Desa Mushah karena didalamnya menyimpan
keindahan alam, kebaikan dan keramahan penduduk desa. Diantara salah satu
keturunannya adalah Sayyid Quṭb.3
1Sayyid tersebut bukan gelar yang biasanya diberikan kepada orang Quraisy keturunan
nabi , melainkan Nama asli. 2Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern,
(Jakarta: Lembaga Penelitia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), h. 131. Lihat juga Shalah
ʻAbd al-Fattah al-Khālidī, Taʻrif al-Dārisīn bi Manāhij al-Mufassirīn, (Damaskus: Dār al-Kalam,
2002), h. 597. 3Abu Bunyamin, Dinamika Tafsir Ijtimaʻi Sayyid Quṭhb (Purwakarta: Taqaddum Pesantren
al-Muhajirin, 2012), h. 1.
22
Nama Ayah dari Sayyid Quṭb adalah Haji Quṭb Ibrahim, keluarganya
hidup serba sederhana yaitu sebagai petani yang mengelola tanah pertanian
dengan rajin dan tekun. Termasuk juga golongan keluarga yang selalu taat
beribadah dan selalu mendorong anaknya untuk selalu taat beribadah pula,
ketaatannya dibuktikan dengan selalu menjalankan shalat lima waktu di masjid
dengan berjamaah setiap harinya dan tidak lupa untuk mengajak anaknya.
Haji Quṭb Ibrahim juga salah seorang anggota al-Hizb al-Wthani (partai
nasional) pimpinan Mustafa Kamil, sekaligus pengelola koran harian al-Liwā,
salah satu koran yang berkembag saat itu. Koran tersebut dibagikan secara
gratis kepada masyarakat, dengan tujuan agar masyarakat dapat mengikuti
perkembangan berita-berita aktual baik dalam negri maupun luar negri.
Dia memiliki kesadaran politik dan semangat nasional yang tinggi.
Rumah Sayid Quṭb dijadikan markas kegiatan politik partainya, disitulah rapat-
rapat penting di selenggarakan, baik yang boleh dihadiri oleh semua orang
maupun yang bersipat rahasia yang hanya oleh orang tua saja. Oleh sebab itu
seluruh isi dari diskusi dan rapat selalu didengar dan selalu diamati oleh Sayid
Quṭb yang pada saat itu baru berumur 13 tahun. Oleh sebab itu semua itu
memberikan pengaruh yang mendalam bagi perkembangan berfikir Sayid
Quṭb.
Ayahnya meninggal dunia ketika beliau masih remaja, yaitu pada saat
beliau belajar di Kairo. Maka bersama ibunya beliau mewarisi beban tanggung
jawab yang sangat berat, kemudia pada tahun 1940 ibunya meninggal dunia,
musibah ini sangat mempengaruhi psikologisnya, sampai beliau merasakan
23
kesepian yang mendalam dalam menjalani kehidupan sehari-harinya, tampa
adanya kasih sayang dari seorang ayah dan ibu.
Tahun 1954 Sayyid Quṭb ditangkap oleh Presiden Gamal Abdul Naseer
bersamaan dengan penagkapan besar-besaran para kader dan simpatisan
Ikhwanul Muslimin lainnya, Sayyid Quṭb dituduh telah bersekongkol untuk
menggulingkan pemerintahan Naser sebagai presiden Mesir. Atas tuduhan
tersebut beliau dijatuhi hukuman lima belas tahun penjara. Akan tetapi baru
menjalani hukuman sepuluh tahun dibebaskan dari penjara, pembebasan ini
atas permintaan presiden Irak yaitu ʻAbdul Salam Arif, atas siksaan fisik dan
mental selama didalam penjara yang dialami Sayyid Quṭhb dan teman-
temannya meninggalkan bekas yang mendalam.4
Baru satu tahun Sayyid Quṭb bebas dari belenggu jeruji besi, Dia
kembali ditangkap dengan tiga saudara kandungnya, yaitu Muhammad Quṭhb,
Hamidah dan Aminah dan juga sekitar dua puluh ribu anggota Ikhwanul
Muslimin lainnya, tujuh ratus diantaranya perempuan. Sayyid Quṭhb dan
anggota Ikhwanul Muslimin lainnya ditangkap dengan tuduhan yang sama
seperti sebelumnya, yaitu Ikhwanul Muslimin dituduh kembali bersekongkol
untuk membunuh Presiden Gamal Abdul Naseer.
Sayyid Quṭb dan dua temannya mendapat sanksi hukuman mati (al-
ʻIdam). Pada 29 Agustus 1966 dia dan temannya telah syahid di tiang
gantungan, Pemerintah Mesir tidak memperdulikan terhadap protes yang
4Nuʻim Hidayat, Sayyid Quṭhb: Biografi dan kejernihan pemikirannya (Jakarta: Gema
Insani Press, 2005), h. 44.
24
diajukan oleh organisasi Amnesti Internasional, mereka menilai hukuman yang
dijatuhkan tersebut sangat bertentangan dengan rasa keadilan.5
2. Perkembangan Karir Intelektual Sayyid Quṭb
Sayyid Quṭb memulai pendidikan dasar modern (madrasah) dan
sekolah al-Qur‟ān tradisional (kuttab) pada tahun 1912 di desanya, ini adalah
modal awal dari perjalanan pendidikannya. Sejak masuk sekolah dasar Sayyid
Quṭb telah menghafal al-Qur‟ān dengan tekun, beilau juga sering mengikuti
beberapa perlombaan menghafal al-Qur‟ān di desanya. Dengan kemampuan
kekuatan daya ingatannya beliau mampu menghafal al-Qur‟ān 30 juz dalam
kurun waktu tiga tahun. Beliau mulai menghafal pada umur delapan tahun dan
mampu menyelesaikannya dengan sempurna pada umur sebelas tahun.6
Sayyid Quṭb menyelesaikan pendidikan pada tingkat dasarnya yaitu
pada tahun 1918, dua bentuk pendidikan ini adalah gambaran umum kondisi
pendidikan Mesir yang berkembang antara pendidikan yang berbasis agama
dan pendidikan sekuler. Masuknya Sayyid Quṭb ke madrasah adalah keinginan
ibunya bertujuan agar dimasa depan anaknya bisa diharapkan sebagai
penyangga beban ekonomi keluarga yang semakin lama dirasa semakin berat.
Dari sini terlihat ibunya mempunyai wawasan yang luas. Dalam
beberapa karyanya, Sayyid Quṭb sering menggambarkan betapa ibunya adalah
seorang yang terpelajar dan relegius. Ibunya berasal dari keluarga yang
memperhatikan bahwa pentingnya pendidikan. Diantara empat saudara ibunya
5Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (jakarta: PT. Ictiar Baru Van
Hoeve, 1994), Jilid IV, h. 145-146. 6 Nuʻim Hidayat, Sayyid Quṭhb: Biografi dan kejernihan pemikirannya, h. 18.
25
dua diantaranya merupakan alumni al-Azhār.7Setelah penyerbuan bangsa Mesir
terhadap penjajah inggris pada tahun 1921, Sayyid Quṭhb berangkat ke Kairo
(Mesir) untuk melanjutkan pendidikan di Madrasah Tsanawiyah dan menetap
dirumah pamannya8 selama empat tahun. Pada tahun 1952 M dia masuk ke
Institusi Diklat keguruan dan lulus dalam waktu tiga tahun dengan
mendapatkan gelar Kafa‟at (kelayakan mengajar).
Seandainya Sayyid Quṭb mencukupkan diri dengan tingkat Muʻallimīn
tersebut, kemudian menjadi guru dan memperoleh penghasilan tetap, agaknya
ini sudah sesuai dengan harapan ibunya. Akan tetapi beliau berkeinginan
melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi. Karena itu pada tahun
1928 Sayyid Quṭhb dimasukkan pamannya ketingkat persiapan di Dar al-
ʻUlūm sampai memperoleh gelar sarjana muda dalam bidang sastra sekaligus
diploma pendidikan pada tahun 1933 M. Mulai dari pendidikan ini beliau
mengenal barat dan menyukainya. Beliau juga diperkenalkan pamannya
dengan sastrawan besar ʻAbbas Mahmud al-ʻAqqad yang membuka
perpustakaan besarnya untuk Sayyid Quṭhb. Dengan demikian sayyid Quṭhb
berpeluang untuk menggali pemikiran-pemikiran dan pendapat para ahli
dibidang sastra serta kritik sastra kehidupan.9
Sayyid Quṭhb merupakan salah satu Tokoh Ikhwanul Muslimīn yang
sangat berpengaruh, disamping Hasan al-Hudaibi dan Abdul Qadir Audah,
dengan komitmen, kecerdasan, militasi dan gaya tutur bahasanya serta
7Yusuf al-Ahzami, Al-syahid Sayyid Quṭhb: Hayātuh wa madarasatuh wa Atsāruh, (Beirut:
Darul qalam, 1980), h. 21-22 8Nama pamannya adalah Ahmad Husain Osman (salah satu saudara ibunya) yang
menyelesaikan pendidikannya di al-Azhār Kairo. 9Abu Bunyamin, Dinamika Tafsir Ijtimaʻi Sayyid Quṭhb, h. 16.
26
tulisannya yang mudah dimengerti membuatnya menjadi magnet bagi kader-
kader dan simpatisan Ikhwanul Muslimin. Sehingga dia mempunyai manfaat
yang sangat besar bagi organisasi ini, yaitu menjadikan organisasi tersebut
mempunyai bobot tersendiri, dia juga sering disebut-sebut sebagai idiologinya
Ikhwanul Muslimin, setelah Hasan al-Banna.
Ikhwanul Muslimin adalah salah satu gerakan social yang sangat
berhasil menyebarkan idiologinya, selain di Mesir. Ikhwanul Muslimin juga
menyebar ke suriah, Yordania, Sudan, dan Afrika Utara. Kadan-kadang
organisasi ini diakui secara formal, termasuk sebagai partai politik. Hal ini
dilakukan untuk mencari dan memperluas dukungan, atau dalam rangka
mengimbangi politik lain, seperti kalangan “Nasseris” di Mesir pada masa
Anwar sadat dan kelompok “Kini” di Yordania. Akan tetapi adakalanya
Ikhwanul Muslimin tidak diakui eksistensinya secara legal, seperti halnya di
Mesir yang melarang adanya partai keagamaan.10
3. Karya-karya Ilmiah Sayyid Quṭb
Banyak diantara karya-karya Sayyid Quṭb yang beredar di Negara-
negara Islam, selain karya-karyanya juga dapat ditemukan di Nega-negara
Eropa, Afrika, Asia dan Amerika. Bila di satu daerah terdapat pengikut
Ikhwanul Muslimin maka dapat dipastikan terdapat pula buku-buku hasil
karyanya.
10
Dewan Redaksi Ensiklopedia Tematis Dunia Islam, Dinamika Masa Kini, (Jakarta: PT.
Ictiar Baru Van Hoeve, 2002), h. 89.
27
1. Dibidang Sastra: Muhimmah Asy-Syaʻir wa Syiʻir al-Jail al-Hadīr (1933),
al-Tashwīr al-Fanni fi al-Qur‟ān (1947).11
Masyāhidul Qiyamah Fil al-
Qur‟ān (1947).12
2. Dibidang Cerita: al-Atyaf al-Arbaʻah (1945), buku ini hasil karyanya
bersama saudara-saudaranya, yaitu Aminah, Muhammda dan Hamidah.
Dalam buku ini menceritakan kisah cintanya dan lamarannya terhadap gadis
pujaanya. Tifi min al-Qaryah (1946),13
al-Madīnah al-Masyūrah (1946).14
3. Dibidang Agama, social, Budaya, dan Politik: al-ʻAdalah al-Ijtimaʻiyyah fi
al-Islam wa al-Ra‟sumaliyyah, (di terbitkan pada bulan april 1949),15
Maʻrakah al-Islam wa al-Ra‟sumaliyyah, (diterbitkan pada bulan Februari
1951), al-Salam al-ʻAlami wa al-Islam, ( diterbitkan pada bulan oktober
1951), Khasāis al-Tasawwur al-Islami wa wamuqawwimatuh,16
Fī Ẓilāl al-
Qur‟ān (diterbitkan pada bulan oktober 1952, juz pertama), al-Shati‟ al-
Majhul (diterbitkan pada bulan januari 1935). Satu-satunya diwan Syiʻir-nya
yang dipublikasikan. Kutub wa al-Shakhsiyyah, serial pertamanya tentang
11
Karya Sayyid Quṭhb yang pertama yang berisi tentang Islam. Dalam buku ini juga di
jelaskan tentang karakteristik-karakteristik umum yang mengenai keindahan artistik dalam al-
Qur‟an. Lihat juga Nuim Hidayat, Sayyid Quṭhb, h. 24. 12
Buku ini berbicara tentang gambaran seni dalam pemandangan-pemandangan kiamat:
berupa kenikmatan dan azab. Diantara karya lainnya adalah al-Naqd al-Adabī Usūluhūwa Manal-
ijuh (1948), buku ini bebicara tentang pandangan mengenai kritik sastra. Naqd al-Kitab,
Mustaqbal al-Taqhafah fi Misr (1939), al-Qishah bainat- taurat wal Qur‟ān, an-Namādzul
Insaniyyah Filal-Qur‟ān, al-Mantiqu al-Widjāni Fil-Qur‟ān, serta Asālib al-ʻArdh al-Fanni Fil-
Qur‟ān. 13
Dalam buku ini beliau mendiskripsikan desanya dan masa kanak-kanaknya. Lihat juga
Abu Bunyamin, Dinamika Tafsir Ijtima‟iSayyid Quṭhb, h. 16. 14
Berisi tentang sebuah kisah khayalan, semisal kisah seribu satu malam. Lihat juga Nuʻim
Hidayat, Sayyid Quṭhb, h. 22. 15
Buku ini ditulis ketika sosialisme sangat berpengaruh di Mesir, buku tersebut ditulis
sebelum beliau berangkat ke Amerika dan sebelum bergabung dengan Ikhwanul Muslimin dan
mengajak kaum muslimin agar memulai berpegang teguh terhadap aqidah sistem Islam dan
berhukum kepada Syariʻat Islam. 16
Dalam buku ini berbicara mengenai spesipikasi aqidah atau meluruskannya, Lihat juga
Abu Bunyamin, Dinamika Tafsir Ijtimaʻi Sayyid Quṭhb, h. 16.
28
studi terhadap kitab-kitab karya orang lain. Raudah al-Tifl, karya bersama
Aminah, al-Saʻid dan Murad. Dirasat Islamiyyah (diterbitkan pada tahun
1953), Bunga rampai makalah yang dikumpulkan oleh Muhib al-Din al-
Khatib. Hadha al-Din, berisi tentang kunci haraki dalam memahami al-
Qur‟ān dan Agama Islam. Al-Mustaqbal li Hadha al-Din, dianggap sebagai
pelengkap kitab Hadha al-Din.17
4. Dibidang Pendidikan: al-Qasās al-dina, buku ini ditulis bersama ʻAbdul
Hamid jadwah al-Sahhār. Al-Jadīd fi al-Lughah al-ʻArabiyyah, al-Jadīd fi
al-mahfuzāt.18
Adapun kesimpulan dari penjelasan di atas bahwa Sayyid Quṭb adalah salah
satu ʻulama besar islam kontemporer. Nama lengkapnya adalah Sayyid bin al-Haj
Quṭhb bin Ibrahim bin Husaen al-Sazali. Ia tinggal di desa mausyah di provinsi
Asyut (Mesir). Ayahnya yang bernama al-Haji Quṭb Ibrahim dan ibundanya yang
bernama Fatimah Husain ʻUtsman, ia memiliki lima saudara kandung dan sayyid
Quṭb sendiri anak yang kedua dari lima bersaudara tersebut.
Sayyid Quṭb memulai karir intelektualnya mulai dari tingkat dasar, di
pendidikan dasar modern, ia seorang anak yang cerdas bahkan ia dapat menghafal
al-Qur‟an dalam kurun waktu kurang lebih tiga tahun. Setelah lulus dari tingkat
dasar ia melanjutkan ke jenjang berikutnya yaitu di madrasah Tsanawiyah di kairo
(Mesir), ia tinggal di rumah pamannya. Setelah lulus tingkat kedua dalam
studinya ia berkeinginan melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi yaitu kuliah di
17
Adalah al-Islam wa Muskhilat al-Hadarah, Maʻalim fi al-Thariq merupakan simpulan
pemikiran haraki-nya, karya inilah yang menyebabkan Sayyid Quṭhb menerima hukuman mati.
Lihat juga Abu Bunyamin, Dinamika Tafsir Ijtimaʻi Sayyid Quṭhb, h. 17. 18
Lihat juga Abu Bunyamin, Dinamika Tafsir Ijtimaʻi Sayyid Quṭhb, h. 16.
29
Dar Ulūm dalam bidang sastra dan diploma dalam bidang pendidikan. Berbagai
ilmu dia dapatkan baik di negaranya sendiri bahkan di negara eropa. Dan sayyid
Quṭb sendiri adalah sebagai tokoh ikhwanul Muslimin yang sangat berpengaruh,
banyak karya-karyanya di antaranya di bidang sastra, bidang pendidikan, bidang
cerita, bidang Agama, sosial, budaya dan politik.
B. Metodologi Penafsiran Fī Ẓilāl al-Qur’ān
1. Latar Belakang Penulisan Fī Ẓilāl al-Qur‟ān
Tafsir ini secara luas diterjemahkan didalam berbagai bahasa:
Inggris, Melayu, Indonesia, dan lain-lain. Terciptanya Fī Ẓilālal-Qurʻān
dalam rentang waktu antara tahun 1952 sampai 1965. Tafsir ini lahir bukan
hasil dari mengisi waktu luang dan penulisannya pun tidak melakukan ritual
semedi atau kontemplasi atau mengasingkan diri dari masyarakat. Tentu
aktivitas yang dijalani penulisnya memberikan pengaruh atau isi tafsirnya.
Pergulatan bersama Ikhwanul muslimin menghadapi rezim otoriter
yang berkuasa ketika itu di mesir membuat isi tafsir penuh dengan nuansa
seruan perjuangan dan getaran-getaran semangat pergerkan. Tafsir Fī Ẓilāl
al-Qur‟ān ditulis dengan tinta keringat bercampur darah penulisnya, karena
setiap untaian kata yang keluar dari ujung pena penulis memberikan getaran
elektromagnetik yang menembus, menyelusup kedalam jauh kerelung hati
para pembacanya.
Pada awal tahun 1952, sayyid Quṭb ditawari oleh Saʻid Ramadhan,
pemilik majalah al-muslimun, untuk menulis artikel bulanan yang ditulis
30
dalam sebuah serial atau rubrik tetap. Sayyid Quṭhb menerima tawaran itu
dan menulis dalam rubrik dengan judul “Fī Ẓilāl al-Qur‟ān” yang isinya
mengupas tafsir al-Qur‟an. Episode rubrik ini dibuat dalam majalah itu pada
edisi III yang terbit bulan Februari 1952, dimulai dari surat al-fātihah dan
diteruskan dengan surat al-baqarah pada episode berikutnya.
Quṭhb mempublikasikan tulisannya dalam majalah ini sebanyak
tujuh episode. Pada episode ketujuh ketika membahas ayat 103 dari surat al-
Baqarah ia mengumumkan pemberhentian rubrik tafsir al-Qur‟an karena
akan menafsirkan al-Qur‟am secara utuh dalam satu kitab tafsir tersendiri
seraya berjanji akan menerbitkan tafsir ini dua bulan sekali setiap juznya.
Quṭb sendiri akan tetap mengisi rubrik dalam majalah tersebut dengan tema
lain yang berjudul “Nahwa Mujtama‟ Islami”.19
Sayyid Quṭb memenuhi janjinya pada Oktober 1952 dengan
meluncurkan satu juz Fī Ẓilāl al-Qur‟ān dan juz-juz selanjutnya yang terbit
setiap dua bulan sampai akhirnya ia ditahan pada November 1954. Selama
kurun waktu dua tahun, sejak penulisan pertama sampai ditahannya, sayyid
Quṭhb telah menyelesaikan 16 juz Fī Ẓilāl al-Qur‟ān dan diterbitkan secara
berkala oleh penerbit Dār ihyā al-Kutub al-ʻArabiyyah.
Pada masa penahanan, sebagaimana diuraikan diatas sayyid Quṭhb
mendapatkan berbagai siksaan hingga akhirnya ia dipindahkan kerumah
sakit penjara. Disitulah ia mendapat sarana tulis menulis yang kemudian
dapat meneruskan penulisan tafsirnya. Ada kisah menarik sehubungan
19
Shalah Abd Fattah al-Khalidi, Pengantar memeahami Tafsir Fī Ẓilāl al-Qur‟ān, (Solo:
Era Inter Media, 2001), h. 55.
31
dengan penulisan tafsir ini selama dalam penjara. Pada awalnya pemerintah
melarang Quṭb menulis dalam penjara karna khawatir akan menimbulkan
reaksi masyarakat akibat dari tulisannya akan tetapi, penerbit Dār Ihyā al-
Kutub al-ʻArabiyyah yang menerbitkan tafsir tersebut mengajukan tutunan
kepada pemerintah sebanyak 10.000 pounds karena menganggap adanya
larangan untuk menulis bagi Quṭb menimbulkan kerugian, baik meterial
maupun immaterial, bagi pihak penerbit. Akhirnya pemerintah mencabut
larangan menulis bagi Sayyid Quṭb dan membebaskan untuk meneruskan
penulisan tafsirnya selama dalam penjara dari pada harus mengabulkan
tuntutan penerbit.20
Selama dalam penjara, setelah berinteraksi dengan al-Qur‟an dalam
jangka waktu yang lama dan penulisan tafsir Ẓilāl sudah sampai 27 juz,
Quṭb baru mendapat jawaban atas hikmah dibalik penahanan dirinya dan
kawan-kawannya: mengapa masyarakat menjadi bodoh dan mereka siap
melaksankan intruksi pemimpin-pemimpin dengan gigih dan giat? mengapa
mereka tidak menyayangi orang yang benar dan ikhlas? Selama dalam
penjara pula Quṭb melihat semangat kawannya membentuk masyarakat
islami serta ketabahan dan ketegaran mereka menerima segala bentuk
penyiksaan dan cobaan selama dipenjara.
Kesimpulan jawabannya adalah bahwa ada kesepakatan semua
kelompok jahiliah untuk memerangi semua pergeraakan islam, harus
melakukan pergolakan kepada jahiliyah dengan melakukan pembinaan jiwa,
20
Shalah Abd Fattah al-Khalidi, Pengantar memeahami Tafsir Fī Ẓilāl al-Qur‟ān, h. 58.
32
pemikiran islam dan pembentukan generasi Qur‟ani melalui dakwah dan
harokah (pergerakan). Dengan demikan Quṭb telah mengetahui kunci
pergerakan yang kemudian dipublikasikan dalam tafsir yang ditulisnya.21
Oleh karena itu Quṭb menulis tiga juz terakhir dengan metode barunya
dengan menjelaskan al-Qur‟an dari sisi pergerakan, pendidikan dan dakwah
yang dikenal dengan manhaj haraki (metode pergerakan), ini tidak berarti
juz-juz sebelumya sunyi dari penjelasan tersebut, penjelasan tersebut tetap
ada akan tetapi tidak menjadi tujuan utamanya sebagaimana dalam tiga juz
terakhir.
Ketika Syyid Quṭb melihat kembali juz-juz pertama dari Ẓilāl yang
ia tulis dengan manhaj Fikri Islami (Metode Pemikiran Islam) dan melihat
kurang adanya pembekalan dari sisi pergerakan dan tarbiyyah yang
dibutuhkan dalam kehidupan, timbul keinginan pada dirinya untuk merevisi
dan membenahi juz-juz sebelumnya. Ia pun mulai melakukan revisi atas
tafsirnya itu. Namun, keinginannya untuk melakukan revisi hingga juz 27
tidak terlaksana karena ketika revisi itu baru sampai juz 13 pemerintah telah
melakukan hukuman mati kepadanya.22
Tafsir Fī Ẓilāl al-Qur‟ān dan revisinya hingga juz 13 telah dicetak
pada 1965. Sebelumnya pemerintah telah mengangkat syaikh Muhammad
al-Ghazali sebagai pengawas agama yang bertugas memeriksa tafsir
tersebut. Syaikh pun mengizinkan Ẓilāl untuk dicetak dan tidak menghapus
tulisan Sayyid Quṭb kecuali anotasi dalam penafsiran surat al-burūj yang
21
Shalah Abd Fattah al-Khalidi, Tafsir Metodologi Pergerakan, terj Asmuni Solihan
Zamakhasyari, (Jakarta: Yayasan Bunga Karang, 1995), h. 22-23. 22
Shalah Abd Fattah al-Khalidi, Pengantar memeahami Tafsir Fī Ẓilāl al-Qur‟ān, h. 69.
33
menunjukkan penyiksaan yang dialaminya selama dalam penjara. Anotasi
ini kemudian dijadikan salah satu bab dalam buku Maʻalim Fī al-Tariq
dengan judul hadza huwa al-ṭoiq dengan sedikit perubahan dan
pengungkapan.23
Buku ini ditulis saat Quṭb bebas dari penjara 1965 dan
dijadikan bukti tuntutan kepadanya.
Setelah kematian Sayyid Quṭb, Muhammad Quṭb sang adik,
mengadakan kontrak dengan penerbit Dār al-Syuruq untuk mencetak buku-
buku karangan Sayyid Quṭb, termasuk tafsir Fī Ẓilāl al-Qur‟ān, setelah
sebelumnya diterbitkan oleh penerbit Dār Ihyā al-Kutub al-ʻArobiyyah.24
2. Metode dan Corak Penafsiran
Sungguh nikmat hidup dibawah naungan al-Qur‟ān. Nikmat yang
hanya bisa dirasakan oleh orang yang pernah menghayati.25
Itulah ungkapan
Sayyid Quṭb pertama dalam pengantar tafsirnya. Ungkapan yang sederhana
tetapi cukup repsentatif untuk menerjemahkan pemikirannya. Sayyid Quṭb
mempunyai keinginan bahwa al-Qur‟ān dijadikan satu-satunya kurikulum
hidup bagi umat Islam. Dia mengkritik pemikiran barat, yang menurutnya
materialistik.
Beliau berkeingnan menjadikan umat Islam menjadi mandiri “berdiri
sendiri” tidak terpengaruh oleh pemikiran Asing. Berbeda dengan Sayyid
Quṭb, Muhamad Iqbal, Ali Syariati dan Muhammed Arkoun yang produk
eropa, pembela islam yang tidak segan-segan menggukan pemikiran barat,
sedangkan Sayyid Quṭhb alergi dengan pemikiran barat, termasuk
23
Shalah Abd Fattah al-Khalidi, Pengantar memeahami Tafsir Fī Ẓilāl al-Qur‟ān, h. 60. 24
Shalah Abd Fattah al-Khalidi, Pengantar memeahami Tafsir Fī Ẓilāl al-Qur‟ān, h. 70. 25
Sayyid Quṭhb, Fī Ẓilāl al-Qur‟ān (dibawah Naungan al-Qur‟ān), h. 11.
34
Filsafatnya.26
Ia bertolak belakang dengan Muhammad Abduh27
yang
mendamaikan Doktrin Islam dengan pemikiran Eropa yang konsisten
dengan rasionalitas sains dan sekuralisme masyarakat.
Paradigma berfikir Sayyid Quṭhb terjadi perubahan mendasar
sepulang dari Amerika, namun cara pandangnya terhadap al-Qur‟ān tidak
mengalami perubahan berarti. Bagi Sayyid Quṭhb al-Qur‟ān adalah kitab
artistik sehingga beliau menyebut al-Taswīr, karena didalam al-Qur‟ān
berbicara tentang cerita gambaran yang jelas dalam mengungkapkan
berbagai hal-hal yang bersifat abstrak. Lengkap dengan kondisi psikologis
dibalik sebab-sebab yang melingkupi sebab-sebab turunnya ayat-ayat al-
Qur‟ān. Gagasan-gagasan dibalik ayat-ayat al-Qur‟ān bisa ditangkap lewat
perasaan yang lebih hidup, lansung dan dinamis. Sehingga gagasan abstrak
tersebut bisa melahirkan bentuk dan gerakan, suasana dan keadaan
psikologis menjadi kenyataan yang bisa diamati oleh peristiwa dan sejarah
yang muncul dalam bentuk aktual dan dramatis, tipe-tipe manusia seolah-
olah hadir dan hidup, watak manusiapun terwujud dan nampak terlihat.28
Sebagaimana disebutkan diatas, Sayyid Quṭb menuliskan tafsirnya
dalam penjara. Oleh karenanya kondisi seperti itu tidak bisa kita nafikan
26
Menggukan akal sebagai satu-satunya tolak ukur dalam memahami nash-nash al-Qur‟ān
tentang peristiwa-peristiwa alam, sejarah kemanusiaan, hal-hal gaib, berarti menggunakan sesuatu
yang terbatas terhada perbuatan-perbuatan tuhan,Allah yang maha mutlak lagi tidak terbatas. Lihat
Sayyid Quṭhb, Tafsir juz ʻAmma, (Lebanon: Dar al-Falah, 1967), Cet. Ke 5, 1967, h. 255-256. 27
Abduh dipengaruhi oleh lingkungan Masyarakat eropa dan masyarakat Muslim yang
masing-masing menilai peranan akal scara bertolak belakang, sehingga dalam menghadapi
keduanya Abduh akal seimbang dengan wahyu, bahkan mengharuskan perwakilan ayat-ayat al-
Qur‟ān agar sejalan dengan akal. Sayyid Quṭhb, Khasais al-Tasawwur al-Islami, Cet ke-3, 1968,
h. 19. 28
Ungkapan Isa Boullata yang dikutip oleh Anthony H. Johns, bebaskan kaumku : Refleksi
Sayyid Quṭhb atas kisah Nabi Musa as dalam al-Qur‟ān, jurnal al-Hikmah, No 15, Vol VI, 1995,
h. 11.
35
untuk memahami Ẓilāl sebagai sebuah tafsir, Fī Ẓilāl al-Qur‟ān memeliki
metode dan corak khas yang berbeda dengan tafsir-tafsir lainnya.
Penelaahan terus menerus yang dilakukan terhadap al-Qur‟an, agaknya telah
berhasil memberikan pengalaman spritual yang dirasakannya demikian
indah. Dia seakan-akan telah menangkap kedalaman arti dan merasakan
keindahan ungkapan-ungkapan yang ada didalam al-Qur‟an.
Penafsiran Sayyid Quṭhb menggunakan metode dan corak al-Adabī
al-Ijtimaʻi, yaitu berusaha memehami al-Qur‟an dengan cara
mengungkapkan kandungan secara teliti dan jelas, dengan cara menjelaskan
makna-makna yang terkandung dalam setiap ayat, serta menggunakan gaya
bahasa-bahasa yang indah dan menarik. Beliau berusaha menghubungkan
ayat-ayat al-Qur‟an yang dikaji dengan keadaan sosial pada saat itu dan
sistem budaya yang ada. Berusaha untuk membaantu memecahkan segala
persoalan yang dihadapi oleh umat Islam pada masa itu.29
Karakternya yang khas serta diwarnai oleh pemikirannya yang
berkembang pada saat itu dengan merespon berbagai situasi dan kondisi
yang aktual, diantaranya berbicara tentang, kebangkitan dunia islam. Politik,
dan Filsafat, kebangsaan, dan doktrin Islam (ajaran-ajaran dan nilai-nilai
atau syariʻat Islam). Adapun ciri-ciri ke khasan tulisan beliau ada tiga hal:
pertama, sumber yang digunakan sebagai Rujukan adalah berdasarkan al-
Qur‟an dan al-Sunnah. Kedua, Sayyid Quṭhb menggunakan bahasa sastra
29
Abdul Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu‟i; suatu pengantar, Terj. Suryan A.
Jamran (Jakarta: PT. Rja Grapindo Persada, 1996), h. 28.
36
yang indah dan tidak pernah menggunkan bahasa filsafat atau ilmiyah.
Ketiga, gagasan-gagasan yang yang ditulisnya sangat kritis dan historis.30
3. Sistematika Penulisan
Dalam menguraikan setiap surah al-Qur‟an, Sayyid Quṭhb terlebih
dahulu memberikan muqaddimah, beliau menyatakan hidup dibawah
naungan al-Qur‟ān merupakan kenikmatan yang hanya bisa dirasakan
lansung oleh pelakunya, tampa bisa di ungkapkan dengan kata-kata. Untuk
itu beliau mengatakan: “Al-hayatu Fī Ẓilāl al-Qur‟ān Niʻmatun. Niʻmatun
La yaʻrifiha illa man Zaqoha Niʻmatun Tarfaʻu al-ʻUmara wa tubarrikahu
wa Tuzakkihi”31
Setelah muqaddimah tersebut beliau mengucapkan hamdalah,
selanjutnya Sayyid Quṭhb menjelaskan tema-tema yang ada dalam surat
tersebut, seraya menyebutkan ayat-ayat mana yang mengandung tema yang
dimaksud. Sesudah itu, beliau melakukan pengelompokan ayat untuk
ditafsirkan. Hanya dalam pengertian itulah kita bisa menyebutkan sebagai
tafsir Maudhuʻi dalam menafsirkan beliau menolak takwil, akan tetapi
penolakannya hanya dilakukan terhadap ayat-ayat tertentu yang memang
dipandang tidak perlu ditakwilkan lebih jauh, hususnya ayat-ayat yang
berkaitan dengan kisah-kisah.
Sistematika penulisan adalah setiap juz di awali dengan halaman
judul: halaman keterangan isi juz tersebut. Menyebutkan nama surah,
jumlah ayatnya, dijelaskan juga ayat-ayat tersebut tergolong sebagai surah
30
Abu Bunyamin, Dinamika Tafsir Ijtimaʻi Sayyid Quṭhb, h. 16 31
Sayyid Quṭhb, Fī Ẓilāl al-Qur‟ān (Dibawah naungan al-Qur‟an), h. 3.
37
Makiyyah/Madaniyyah, kemudian dikemukakan juga pengantar surat serta
mengemukakan sejumlah riwayat sesuai dengan surat yang akan dibahas,
jika memang hal itu ada dibagian akhir penulisan ditutup dengan keterangan
bahwa juz tersebut telah selesai. Dan dilanjutkan dengan juz selanjutnya,
dan diawali dengan ayat atau awal surat tertentu. Jika yang ditafsirkan pada
awal juz merupakan surah, maka Sayyid Quṭhb memulainya dengan
basmalah, begitu juga dengan awal setiap surah, kecuali suarh at-Taubah.
Awal juz tidak selalu sama dengan awal juz yang terdapat didalam al-
Qur‟ān. Beliau juga tidak lupa memberikan catatan kaki. Khususnya untuk
surah yang pendek-pendek, terus ditafsirkan dalam satu bagian, akan tetapi
untuk surat yang panjang dibagi dalam beberapa bagian.32
4. Penilaian Ulama Terhadap Tafsir Fī Ẓilāl al-Qur‟ān
Sudah jelas sekali bahwa keimanan beliau yang kuat, pembacaan
beliau yang luas, pengalamannya yang mendalam dan bakat-bakat yang
gemilang telah menjadikan Tasir Fī Ẓilāl al-Qur‟an sebuah tafsir yang unik
dan secara objektif dapat diletakkan sebagai pemuncak tafsir-tafsir yang
lama dan yang baru, di mana terkumpul penjelasan-penjelasan yang
memuaskan, himpunan ilmu pengetahuan, uraian yang citarasa dan da‟wah
yang lantang untuk membangun hayat Islami.
Salah Abdul Fatah al-Khalidi pengkaji karya-karya Sayyid Qutb dan
penulis biografinya yang terkenal ia mengatakan: “Sayyid Quṭb dalam Tafsir
“Fī Zilāl al-Quran” adalah dianggap sebagai mujahid di dalam dunia tafsir,
32
Abu Bunyamin, Dinamika Tafsir Ijtimaʻi Sayyid Quṭhb, h. 33-35.
38
kerana beliau telah menambahkan berbagai pengertian dan pemikiran, dan
berbagai pandangan yang melebihi tafsir-tafsir yang sebelumnya, juga
dianggap sebagai pengagas pengkajian baru dalam ilmu tafsir.33
Menurut Manna Khalīl al-Qaṭṭān, Tafsir Fī Ẓilāl al-Qur‟ān adalah
tafsir yang berisi petunjuk kehidupan yang lengkap di bawah sinar al-
Qur‟an dan petunjuk Islam. Umat Islam dianggap oleh sayyid Quṭb sedang
berada di bawah kesengsaraan yang disebabkan berbagai faham dan aliran
yang merusak, serta disebabkan pula oleh pertarungan dan pertumpahan
darah yang tiada henti.34
Menurut Abu Hayyan, bahasa dan sastra yang digunakan oleh
Sayyid Quṭb dalam menulis tafsir ini cukup memadai. Manurut Abu al-
Mundhir, kelebihan tafsir ini terletak pada ketelitian dan kejelian Sayyid
Quṭb dalam menafsirkan al-Qur‟an. Menurut Ibnu Khaldun berpendapat
bahwa kitab ini merupakan kitab terbaik dalam segi bahasa, i‟rab dan
balaghahnya. Sedangkan Menurut Syehk Haidar, kitab tafsir ini memiliki
derajat yang tinggi tidak ada bandingannya.35
33
http://blogspot.co.id/2012/05/sayyid-quthub-fi-zilal-al-qur-an.html, di akses pada pukul
22:13 pada tanggal 20-05-2018. 34
Manna Khalil al-Qaṭṭān, Mabāhiṭ fī „Ulūmi al-Qur‟ān. (Mesir: Masyūrat al-„Isyari al-
Hadith, 1973), h. 10. 35
M. Ridlwan Nasir, Memahami al-Qur‟ān Perspektif Baru Metodologi Tafsir Muqarin,
(Surabaya: Cv. Indra Media, 2003), h. 49-50.
39
BAB III
TINJAUAN UMUM TENTANG KELUARGA SAKĪNAH
Pada bab ketiga ini penulis akan menjelaskan gambaran tentang keluarga,
pengertian keluarga, bagaimana proses terbentuknya sebuah keluarga, apa tujuan
seseorang untuk berkeluarga, seseorang yang sudah berkeluarga (menikah) pasti
mempunyai tujuan dari pernikahannya tersebut pada sub bab ini akan di jelasakan,
di dalam berkeluarga antara suami maupun istri mempunyai haknya masing-
masing yang harus di penuhi satu sama lain, kemudian seseorang yang sudah
menjalin keluarga juga pasti meneginginkan bagaimana unsur-unsur untuk
menjadikan keluarganya menjadi sebuah kelurga yang diinginkan semua orang
yaitu menjadi keluarga yang Sakīnah, Mawaddah dan Rahmah, keluarga yang di
naungi oleh Allah Swt.
A. Pemahaman Tentang Keluarga
Keluarga dalam bahasa arab disebut ahlun. Disamping kata ahlun kata
yang juga bisa memiliki pengertian keluarga adalah āli dan āsyir. Kata ahlun
berasal dari kata ahila yang berarti senang, suka, atau ramah. Menurut pendapat
lain kata ahlun berasal dari kata ahala yang berati menikah. Secara lebih luas,
ahlun adalah sekelompok orang yang disatukan oleh hubungan-hubungan
tertentu, seperti hubungan darah (keluarga), agama, pekejaan, rumah atau negara.
Dalam Al-Qur‟an kata ahlun disebut sebanyak 227 kali. Dari penyebutan
sebanyak itu, kata ahlun memiliki tiga pengertian antara lain:
40
a) Yang menunjuk pada manusia yang memiliki pertalian darah atau perkawinan,
seperti ungkapan ahlu al-bait pengertian ini dalam bahasa indonesia disebut
keluarga.
b) Menunjuk pada suatu penduduk yang mempunyai wilayah-geografis atau
tempat tinggal, seperti ucapan ahlu al-Qur‟an, Ahli yastrib, ahlu al-balad,
dan lain-lain. Dalam bahasa sehari-hari disebut keluarga atau penduduk.
c) Menunjukkan pada status manusia secara teologis seperti ahlu al-dzikr, ahlu
al-kitab, ahlu al-nār, ahlu al-jannah, dan sebagainya.
Meskipun tampak ada perbedaan, namun ketiganya sebenarnya terkait,
yakni ahlun yang berarti orang yang memiliki hubungan dekat, baik karena
perkawinan, satu kampung, kampus, negara, atau satu agama. Terjadinya
hubungan kedekatan itu menjadikan pergaulan diantara mereka hidup dengan
suka cita, senang dan damai.1
1. Pengertian Keluarga
Adapun definisi keluarga yang dikemukakan oleh beberapa ahli antara
lain:
a. Menurut Bailon dan Maglaya (1978), keluarga adalah dua atau lebih
individu yang hidup dalam satu rumah tangga karena adanya hubungan
darah, perkawinan, atau adopsi. Mereka selain berinteraksi satu dengan
yang lainnya, mempunyai peran masing-masing dan menciptakan serta
mempertahankan suatu budaya.
1 Waryono Abdul Ghafur, Hidup bersama al-Qur‟an, (Yogyakarta: Rihlah, 2006), h. 320.
41
b. Menurut Departemen kesehatan (1988), keluarga adalah unit terkecil dari
masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga serta beberapa orang yang
berkumpul dan tinggal di satu atap dalam keadaan saling bergantungan.
c. Menurut Friedman (1998), keluarga adalah dua atau lebih individu yang
tergabung karena ikatan tertentu untuk saling membagi pengalaman dan
melakukan pendekatan emosional, serta mengidentifikasi diri mereka
sebagai bagian dari keluarga.
Menurut konsep Islam, keluarga adalah satu kesatuan hubungan antara
laki-laki dan perempuan melalalui akad nikah menurut ajaran Islam. Dengan
adanya akad ikatan pernikahan tersebut dimaksudkan anak dan keturunan yang
dihasilkan menjadi sah secara hukum agama.2
2. Proses Terbentuknya Keluarga
Adapun jalan pertama atau proses untuk membentuk keluarga sebuah
rumah tangga ialah dengan pernikahan antara laki-laki dan perempuan, untuk
melangsungkan proses tersebut melalui beberapa pendahuluan atau tahap
berkeluarga, yaitu:
a. Meminang (Khitbah)
Khitbah (meminang) adalah seorang laki-laki meminta seorang
wanita untuk dinikahinya. Jika permohonannya diterima, maka
kedudukannya tidak lebih sebagai janji untuk menikah. Dengan kata lain
pernikahan belum dianggap terlaksana dengan persetujuan ini dan wanita
itu masih tetap sebagai wanita asing hingga laki-laki tersebut
2Aunur Rahim Faqih, Bimbingan dan Konseling dalam Islam, (Yogyakarta: UII Press,
2001), h. 70.
42
melangsungkan akad pernikahan dengannya. Meminang adalah
pendahuluan sebuah pernikahan yang tidak membawa konsekuensi apapun
seperti yang ada pada pernikahan sesungguhnya.
Meminang bukanlah syarat sah suatu pernikahan. Apabila
pernikahan berlansung tanpa didahului pinangan, maka pernikahan ini
dinilai sah. Namun biasanya, meminang dijadikan sebagai sarana menuju
pernikahan. Menurut jumhur, meminang adalah perkara yang
diperbolehkan. Seorang laki-laki muslim yang akan menikahi seorang
muslimah dianjurkan melakukan peminangan terlebih dahulu, karena
dimungkinkan dia sedang dipinang orang lain.3
b. Pernikahan
Definisi Nikah an-Nikāh (النكاح) menurut bahasa arab berarti adh-
dhamm ( الضم, yakni menghimpun). Lafaz ini dimutlakkan untuk akad atau
persetubuhan. Sedangkan menurut Syariat, pengertiannya sebagaimana
dijelaskan oleh Ibn Qudamah “Nikah menurut Syariat adalah akad
pernikahan. Ketika kata nikah diucapkan secara mutlak, maka ia bermakna
demikian selama tidak ada dalil yang memalingkan dirinya.”4
Perkawinan atau pernikahan dalam fiqih berbahasa arab disebut
dengan dua kata yaitu nikah dan zawaj. Menurut fiqih, nikah adalah salah
satu asal pokok hidup yang paling utama dalam pergaulan atau masyarakat
yang sempurna. Pendapat-pendapat tentang pengertian pernikahan antara
lain adalah:
3Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Panduan Keluarga Sakinah, (Jakarta: Pustaka Imam Asy-
Syafi‟i, 2011) Cet 10, h. 82. 4Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Panduan Keluarga Sakinah, h. 11.
43
1. Menurut Hanabilah, nikah adalah akad yang menggunakan lafaz nikah
yang bermakna tajwiz dengan maksud mengambil manfaat untuk
bersenang-senang.5
2. Menurut Sajuti Thalib, nikah adalah suatu perjanjian yang kuat dan
kokoh untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki dengan
seorang perempuan membentuk keluarga yang kekal, santun menyantuni,
kasih-megasihi, tenteram, dan bahagia.6
Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974, pernikahan adalah ikatan
lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
ketuhanan yang Maha Esa. Oleh karena itu pengertian pernikahan dalam ajaran
Islam mempunyai nilai ibadah, sehingga pasal 2 kompilasi Hukum Islam
menegaskan bahwa pernikahan adalah akad yang sangat kuat untuk menaati
perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.7
3. Tujuan berkeluarga
Ahmad Azhar Basyir menyatakan bahwa tujuan pernikahan dalam
Islam adalah untuk memenuhi tuntutan naluri hidup manusia, berhubungan
dengan laki-laki dan perempuan, dalam rangkan mewujudkan kebahagiaan
keluarga sesuai ajaran Allah dan Rasul-Nya.8 Imam al-Ghazali dalam Ihya‟nya
mengembangkan tujuan dari pembentukan keluarga menjadi lima macam yaitu:
5 Abdurrahman al-Jaziri, kitab „ala mazahib al-arbaʻah, (Beirut Libanon: Dar ihya al-
Turas al-Arabi, 1986), h. 3. 6 Moh. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta:Bumi Askara, 1996), h. 2.
7 Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, ( Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h. 7.
8 Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta:UII Press, 2000), h. 86.
44
a. Memperoleh keturunan yang sah dan mengembangkan suku-suku bangsa
manusia
Manusia mempunyai naluri untuk memperoleh keturunan, kehidupan
keluarga bahagia umumnya antara lain ditentukan oleh kehadiran anak-
anak. Begitu pentingnya keturunan, dalam Al-Qur‟an, Allah menganjurkan
agar manusia selalu berdoa supaya di anugerahi keturunan yang bisa jadi
mutiara. Sebagaimana tercantum dalam Al-Qur‟an surah Al-Furqān ayat 74
sebagai berikut:
ماماوالذين ي قولون رب نا ىب لنا من أزواجنا وذرياتنا ق رة أعي واجعلنا للمتقي إ
Dan orang orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, anugrahkanlah
kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang
hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang
bertakwa. (Qs. al-Furqān:25/74)9
Dalam salah satu hadistnya Rasulullah Saw juga menganjurkan untuk
menikahi perempuan yang produktif:
“Nikahilah wanita-wanita yang berketurunan dan pengasih sayang,
sesungguhnya aku berbangga dengan banyaknya kalian terhadap
nabi-nabi lain dihari kiamat”10
Anak merupakan penolong baik dalam kehidupan baik di dunia
maupun di akhirat bagi orang tuanya. Selain itu secara universal yang
berhubungan dengan keturunan adalah anak sebagai penyambung keturunan
seseorang dan akan selalu berkembang untuk meramaikan dunia.11
9 Departmen Agama RI, al-Qur‟an dan terjemahannya, h. 366.
10 Abū Daūd, Sunan Abī Daūd, Jilid I (Kairo: al-Maknaz al-Islāmi, 2000), h. 348.
11 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Pperkawinan, ( Yogyakarta:
Liberty, 2007), h. 15.
45
b. Memenuhi hajat manusia untuk menyalurkan syahwatnya serta kasih
sayangnya berdasarkan tanggung jawab
Sudah menjadi kodrat manusia diciptakan secara berpasangan dan
saling mengandung daya tarik. Keinginan untuk berhubungan antara pria
dan wanita sebagaimana firman Allah dalam surat Ali-ʻImrān ayat 14
ىب والفضة واليل زين للناس حب الشهوات من النساء والبني والقن اطري المقنطرة من الذ
ن يا ذ المسومة والن عام والرث واللو عنده حسن المآب لك متاع الياة الد
Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-
apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang
banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak
dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi
Allah-lah tempat kembali yang baik. (Ali Imrān:3/14)12
Al-Qur‟an juga melukiskan keduanya sebagai pakaian satu sama
lain, Al-Baqarah ayat 187. Selain itu pembentukan keluarga juga
menyalurkan rasa kasih dan sayang secara harmonis dan tanggung jawab
baik terhadap pasangan maupun anak (keluarga).
c. Memenuhi panggilan agama untuk memelihara diri dari kejahatan dan
kerusakan.
Ketenangan hidup, cinta dan kasih sayang keluarga dapat ditunjukkan
melalui pembentukan keluarga dengan jalan pernikahan (ar-Rūm 21).
Karena manusia mempunyai nafsu yang cenderung mengajak pada
perbuatan yang tidak baik (Yusūf 53). Dengan adanya pernikahan, nafsu
(yang biologis) dapat tersalurkan dan dapat terjaga. Sebagaimana hadis nabi
Saw:
12
Departmen Agama RI, al-Qur‟an dan terjemahannya, h. 51.
46
يستطع ل منو للفرج وأحصن للبصر اغض فإنو ف ليت زوج اءة الب استطاع من باب الش معشر يا
وجاء لو فإنو بالصوم ف عليو
“Wahai para pemuda siapa saja diantara kalian yang telah
berkemampuan untuk menikah maka menikahlah, karena pernikahan
itu lebih menundukkan pandangan dan lebih membentengi farji
(kemaluan). Adapun bagi siapa saja yang tidak mampu maka
hendaklah berpuasa, karena puasa itu dapat membentengi dirinya”13
d. Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak dan
kewajiban, juga bersungguh-sungguh untuk memperoleh harta secara halal.
Dalam kehidupan sehari-hari menunjukkan orang yang belum
berkeluarga tindakannya masih sering dipengaruhi emosi sehingga kurang
mantab dan bertanggung jawab:
ب عض وبا أن فقوا من أموالم على النساء با فضل اللو ب عضهم على الرجال ق وامون
لغيب با حفظ اللو فالصالات قانتات حافظات ل Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena
Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas
sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah
menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita
yang salehah, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri
ketika suaminya tidak ada. (Qs. an-Nisā:4/34)
e. Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang tentram atas
dasar cinta dan kasih sayang.
Dalam hidup manusia memerlukan ketenangan dan ketentraman untuk
mencapai kebahagiaan. Kebahagiaan masyarakat dapat tercapai dengan
13
Lihat HR. Al-Bukhori, (no. 1905, 5065, 5066), Ahmad (1/424, 425, 432), Muslim (no.
1400), at-Tirmizi (no. 1081), an-Nasāi (IV/56, 57), Ibnu Majah (no. 1845), ad-Darimi (II/132), al-
Baihaqi (VII/77), dari Abdullah bin Masʻud.
47
adanya ketentraman anggota keluarga dalam keluarga. Karena keluarga
merupakan dari bagian masyarakat, keberadaannya menjadi faktor
terpenting dalam penentuan ketenangan dan ketentraman masyarakat.
Ketenangan dan ketenteraman keluarga tergantung dari keberhasilan
pembinaan yang harmonis antara suami istri dalam keluarga. Keharmonisan
diciptakan oleh adanya kesadaran anggota keluarga dalam menggunakan
hak dan memenuhi kewajiban. Allah menjadikan unit keluarga yang dibina
dengan pernikahan dalam rangka membentuk ketenangan dan ketentraman
serta mengembangkan cinta dan kasih sayang sesama warganya.
4. Tanggung Jawab atau hak dalam berkeluarga
Apabila akad nikah telah berlangsung dan sah memenuhi syarat dan
rukunnya, maka akan menimbulkan pula hak dan kewajibannya selaku suami
istri dalam berkeluarga.14
Jadi dalam sebuah rumah tangga, suami mempunyai
hak dan begitu pula istri mempunyai hak. Sebaliknya suami mempunyai
beberapa kewajiban begitu pula sebaliknya.15
a. Hak dan kewajiban suami terhadap istri
Diantara hak dan kewajiban tersebut seperti tersurat dalam Sabda
Rasulullah Saw dari Muʻawiyah bin Haidah bin Muʻawiyah al-Qusyairi,
suatu ketika dia bertanya kepada beliau: “Wahai Rasulullah, apakah hak
seorang istri yang harus dipenuhi suaminya?” beliau menjawab:
“Yaitu engkau memberinya makan apabila engkau makan, engkau
memberinya pakaian apabila engkau berbapakaian, janganlah
engkau memukul wajahnya, janganlah engkau menjelek-jelekannya,
14
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 155. 15
Amir Syarifuddin,Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2009), h.
159.
48
dan engkau tidak meninggalkannya (yakni tidak boleh berpisah
tempat tidur) melainkan di dalam rumah”.16
1. Memberikan Mahar
Ketika seorang laki-laki akan melaksanakan akad nikah,
diwajibkan bagi mereka menentukan dan memberikan mahar,
sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur‟ān surah an-Nisā ayat 4 sebagai
berikut:
فإن طب لكم عن شيء منو ن فسا فكلوه ىنيئا مريئا وآتوا النساء صدقاتن نلة
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu
nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika
mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari (maskawin) itu
dengan senang hati, maka terimalah dan nikmatilah pemberian itu
dengan senang hati”.(Qs. an-Nisā:4/4).17
2. Memberi Nafkah
Yang dimaksud dengan nafkah yaitu memberikan kebutuhan
makan, pakaian, tempat tinggal dan sebagainya. Dasar kewajiban suami
ini terdapat dalam Al-Qur‟an maupun hadis nabi SAW, di antara Al-
Qur‟an yang menyatakan hal tersebut terdapat dalam surah al-Baqarah
ayat 233:
وعلى المولود لو رزق هن وكسوت هن بالمعروف
Dan kewajiban ayah (suami) memberi makan dan pakaian kepada
ibu (istri) dengan cara ma'ruf.
16Lihat HR. Abu Daud (no. 2142), Ibnu Majah (no. 1850), Ahmad (IV/447, V/3, 5), Ibnu
Hibban (no. 1286 – al-Mawārid), al-Baihaqi (VII/295, 305, 466-467), al-Baghawi dalam syarhus
sunnah (IX/159-160), dan an-Nasāi dalam ʻIsyratun nisāi (no. 289), dan Tafsir an-Nasāi (no. 124),
dan al-Hakim (II/187-188), yang ditulis oleh Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Panduan Keluarga
Sakinah, h, 166. 17
Departmen Agama RI, al-Qur‟an dan terjemahannya, h. 77.
49
3. Menjaga dan menyayangi istrinya ketika istri sedang hamil
Seorang suami menyayangi istrinya itu sudah seharusnya, ini
merupakan kewajiban dan bernilai ibadah yang harus dilakukan kapan
saja. Namun, ketika sang istri hamil sesungguhnya rasa sayang dari
seorang suami kepada istrinya sangat diperlukan untuk ditingkatkan. hal
ini dirasa penting karena perkembangan janin juga sangat dipengaruhi
oleh keadaaan psikis seorang ibu yang sedang mengandungnya. Dimasa-
masa kehamilannya, calon ibu dan janin membutuhkan semangat dan
dukungan jasmani maupun rohani, di sini peran seorang suami sebagai
kepala keluarga dan calon ayah dari janin yang dikandung istrinya.
Tugas suami saat istri hamil adalah menjaga dengan baik istri dan
anaknya. Menjaga janin agar tumbuh kembangnya optimal selama di
dalam kandungan karena janin tidak hanya butuh perhatian sang ibu,
peran ayah pun sangat diperlukan saat si kecil masih dalam kandungan.
Berikut beberapa hal yang harus dilakukan seorang suami saat istri
sedang hamil yaitu: Menghiburnya, memenuhi calon ibu dan bayi,
hindari pertengkaran, berikan perhatian dan kasih sayang, berikan pijatan
secara teratur, memantau kesehatan ibu dan janin secara berkala,
memperhatikan gizinya, membantu meringankan aktifitas sang istri,
berbagi tugas dalam merawat dan mengasuh anak, menjaga dan
menghindari perilaku buruk, mempersiapkan tempat bersalin, menjadi
suami siaga, harus tau ciri-ciri istri yang mau melahirkan, jangan sampai
50
terlambat mendapat bantuan, mendampingi istri saat persalinan
berlansung.18
b. Hak dan kewajiban istri terhadap Suami
Masing-masing dari suami maupun istri memiliki hak dan kewajiban.
Di antara hak-hak suami yang harus dipenuhi istri antara lain sebagaimana
uraian berikut:
1. Istri wajib Taat dan patuh kepada suami
Setelah wali atau orang tua sang istri menyerahkan kepada
suaminya, maka kewajiban taat kepada suami menjadi hak tertinggi yang
harus dipenuhi, setelah kewajiban taatnya kepada Allah dan Rasulnya:
ا أن يسجد لحد لمرت المرأة أن تسجد لزوجهالو كنت آمرا أحد “Seandainya aku boleh menyuruh seorang sujud kepada
seseorang, maka aku akan perintahkan seorang wanita sujud
kepada suaminya”.19
2. Istri harus banyak bersyukur dan tidak banyak menuntut kepada suami
Seorang istri diperintahkan untuk bersyukur kepada suaminya
yang telah memberikan nafkah lahir dan batin. Karena dengan syukurnya
istri kepada suaminya, juga sikapnya yang tidak banyak menuntut,
maka rumah tangga mereka akan diliputi kebahagiaan. Adapun istri yang
tidak bersyukur kepada suaminya dan banyak menuntut merupakan
18
Mutmainnah Afra Rabbani, (1001 kewajiban suami dalam mengarungi bahtera Rumah
Tangga), (Tanggerang: Lembaga Pustaka Indonesia, 2014), h. 231-240. 19
Lihat Hadits hasan shahih: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 1159), Ibnu Hibban (no.
1291 – al-Mawārid) dan al-Baihaqi (VII/291), dari Abu Hurairah radhiyallaahu „anhu. Hadits ini
diriwayatkan juga dari beberapa Shahabat. Lihat juga Irwā-ul Ghalīl (no. 1998), yang ditulis oleh
Yazid bin Abdul Qadir Jawas dalam bukunya, Panduan Keluarga Sakinah, h. 201.
51
pertanda kepribadian wanita yang tidak baik. Sebab ia tidak merasa
cukup dengan rizki yang Allah karuniakan kepadanya.
Perintah bersyukur amat ditekankan dalam Islam, bahkan Nabi
mengancam dengan neraka para wanita yang tidak bersyukur kepada
suami, dan pada hari kiamat Allah pun tidak melihat wanita yang
bersikap demikian, sebagaimana sabda Nabi Saw sebagai berikut:
ث نا عبد اللو بن مسلمة عن مالك عن زيد بن أسلم عن عطاء بن يسار عن ابن حد
فرن عباس قال قال النب صلى اللو عليو وسلم أريت النار فإذا أكث ر أىلها النساء يك
حسان لو أحسن ىرت إل إحد قيل أيكفرن باللو قال يكفرن العشري ويكفرن ال اىن الد
را قطث رأت منك شيئا قالت م ا رأيت منك خي
Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Maslamah dari
Malik dari Zaid bin Aslam dari 'Atho' bin Yasar dari Ibnu 'Abbas
berkata, Nabi Saw bersabda: "Aku diperlihatkan neraka, ternyata
kebanyakan penghuninya adalah wanita. Karena mereka sering
mengingkari". Ditanyakan: Apakah mereka mengingkari Allah?
Beliau bersabda: "Mereka mengingkari pemberian suami,
mengingkari kebaikan, Seandainya kamu berbuat baik terhadap
seseorang dari mereka sepanjang masa, lalu dia melihat satu saja
kejelekan darimu maka dia akan berkata: aku belum pernah
melihat kebaikan sedikit pun darimu". 20
3. Istri harus berhias diri, selalu tersenyum dan tidak bermuka masam
dihadapan suami.
Seorang istri tidak boleh meremehkan kebersihan dirinya, sebab
kebersihan bagian dari keimanan. Ia harus selalu mengikuti sunnah,
seperti mandi, memakai minyak wangi, dan merawat tubuhnya agar
20Lihat HR. Al-Bukhari (no. 29, 1052,5197), dan Muslim (no. 907), Abu Awanah
(II/379-380), Malik (I/166167, no, 2), an-Nasāi (III/146, 147, 148), al-Baihaqi (VII/294), Yang
ditulis Oleh Yazid bin Abdul Qadir Jawas dalam bukunya, Panduan Keluarga Sakinah, h. 208.
52
selalu berpenampilan menarik, bersih, dan harum di hadapan suami.
Yang demikain menyebabkan terus berseminya cinta kasih antara
keduanya, dan kehidupan ini akan terasa nikmat.
Seorang istri ideal selalu tampak ceria, lemah lembut, dan
menyenangkan suami. Jika suami pulang ke rumah setelah seharian
bekerja, maka ia mendapatkan sesuatu yang dapat menenangkan dan
menghibur hatinnya.21
4. Istri tidak boleh menyakiti suami baik dengan perbuatan maupun ucapan
Seorang istri tidak boleh memanggil suaminya dengan kejelekan
atau mencaci makinya, karena yang demikian itu dapat menyakiti hati
suami. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw sebagai berikut:
“Tidak ada seorang istri-pun yang menyakiti suaminya di dunia,
kecuali istrinya dari bidadari surga akan berkata: janganlah kamu
menyakitinya, celakalah dirimu, karena ia hanya sejenak
berkumpul denganmu yang kemudian meninggalkannmu untuk
kembali kepada kami”
5. Seorang istri mengikuti tempat tinggal suami
Seorang istri wajib mengikuti tempat tinggal suaminya. Akan tetapi
apabila lingkungan tempat tinggal yang disediakan oleh suami ternyata
akan merusak akhlak atau tidak aman, baik dari segi bangunan atau
keselamatan maka istri memiliki hak untuk menolak. Akan tetapi apabila
suami telah memilihkan lingkungan yang dapat memelihara akhlak istri
dan keluarganya, meskipun rumahnya kurang bagus karena suami tidak
21 Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Panduan Keluarga Sakinah, h, 214.
53
mampu menyediakannya yang lebih baik, maka istri tetap wajib tinggal
dirumah suaminya tersebut.22
Adapun kesimpulan yang dapat penulis ambil dari penjelasan di atas
bahwasanya keluarga itu ialah sekelompok orang yang disatukan oleh hubungan-
hubungan tertentu, seperti hubungan darah (keluarga), agama, pekejaan, rumah
atau negara. Lebih rincinya untuk meraih keluarga dalam rumah tangga itu perlu
adanya proses untuk mencapai tahap tersebut, salah satu proses yang di lakukan
ialah meminang (melamar) dan di lanjutkan ke jenjang pernikahan.
Dalam pernikahan itu sendiri memiliki beberapa tujuan salah satu tujuan
yang diharapkan dalam berkeluarga ialah mendapatkan keluarga yang sakīnah,
mawaddah, dan rahmah. Di dalam berkeluarga juga suami dan istri mempunyai
hak ataupun peran masing-masing, diantaranya hak istri terhadap suami, yang
harus dipenuhi oleh suami untuk istrinya, dan begitupun sebaliknya hak suami
terhadap istri, yang harus dipenuhi oleh istri untuk suaminya.
B. Pemahaman Tentang Sakinah
Keluarga sakīnah ialah keluarga yang mampu menciptakan suasana
kehidupan berkeluarga yang tenteram, aman dan damai, penuh kasih dan sayang
yang senantiasa di berkahi oleh Allah Swt dalam kehidupannya sehari-hari. Pada
sub bab ini penulis akan menjelaskan pemahaman tentang keluarga, apa saja
unsur untuk memperoleh sebuah rumah tangga yang Sakīnah, Mawaddah, dan
Rahmah itu.
22
Mutmainnah Afra Rabbani, (1001 kewajiban Istri dalam mengarungi bahtera Rumah
Tangga), (Tanggerang: Lembaga Pustaka Indonesia, 2014), h. 153-156.
54
1. Pengertian Sakinah
Sakinah berasal dari kata “ س كينة -يس كن -س كن ” yang berarti rasa tenteram,
menjadi tenang, aman, dan damai.23
Dalam kamus Muʻjam Maqāyis al-Lughah
berasal dari kata (Sakana) yaitu dari huruf sīn, kāf, dan nūn. Yang berarti suatu
tempat yang memberikan sebuah ketenangan, maka ia akan merasakan
ketenangan itu.24
Jadi, keluarga sakinah ialah keluarga yang mampu
menciptakan suasana kehidupan berkeluarga yang tenteram, aman dan damai,
penuh kasih dan sayang.25
Sedangkan kata sakinah dalam kamus bahasa Indonesia adalah
kedamaian, ketentraman, ketenangan, dan kebahagiaan.26
Secara etimologi
sakinah adalah ketenangan, kedamaian, dari asal kata س كن menjadi tenang,
damai, merdeka, hening dan tinggal.27
Dalam islam kata sakinah menandakan
ketenangan dan kedamaian secara khusus, yakni kedamaian dari Allah yang
berada dalam hati.
Sedangkan secara terminologi keluarga sakinah adalah keluarga yang
tenang dan tentram, rukun dan damai. Dalam keluarga itu terjalin hubungan
mesra dan harmonis, diantara semua anggota keluarga dengan penuh
kelembutan dan kasih sayang.
23
Lihat Aplikasi: Kamus Al-maʻānī (Likulli Ismin Maʻna), dari kata sakana, yaskunu,
sakinatan. 24
Ahmad bin Fāris bin Zakariya al-Qazwaini al-Rāzī, Muʻjamu Maqāyisa al-Lughati,
(Damaskus:Darul Fikri,1994), h. 1103. 25
Asrofi dan M. Thohir, Keluarga sakinah dalam tradisi Islam Jawa, (Yogyakarta:
Arindo Nusa Media, 2006), h. 3. 26
Tim Penyusun Kamus pusat pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), cet I, h. 413. 27
Cyril Glasse, Ensiklopedia Islam, penerjemah Ghuron A. Mas‟adi, (Jakarta: PT. Raja
Grapindo Persada, 1991), cet II, h. 351.
55
2. Unsur-unsur mewujudkan keluarga Sakīnah dalam Berkeluarga
Setelah suami-istri memahami hak dan kewajibannya dalam berkeluarga,
tentu ada pula beberapa unsur atau kriteria yang sangat perlu ditempuh dalam
rumah tangga guna untuk mewujudkan keluarga sakīnah, Mawaddah, dan
Rahmah sebagai berikut.28
a. Mewujudkan harmonisasi hubungan Suami-istri
Untuk mewujudkan keharmonisan dalam rumah tangga ini adanya
rasa saling membutuhkan seperti pakaian yang dipakai sebagaimana yang
dijelaskan Allah dalam Qs. al-baqarah ayat 187 yang artinya “ Mereka
adalah pakaian bagimu dan kamupun adalah pakaian bagi mereka”. Jadi
upaya untuk mewujudkan rasa keharmonisan dalam keluarga ini dapat
dicapai antara lain: Adanya saling pengertian,29
Saling Menerima
Kenyataan, Saling melakukan penyesuaian diri.30
Memupuk Rasa Cinta,
Melaksanan Asas Musyawarah, dan saling memaafkan.31
b. Selalu menjaga ketaqwaan saat bersama maupun sendirian
Seabagaimana yang disabdakan Saw sebagai berikut :
اتق اهلل حيثما كنت ، وأتبع السيئة السنة تحها ، وخالق الناس بلق "Bertakwalah kepada Allah di mana saja engkau berada. Iringilah
perbuatan buruk dengan perbuatan baik, niscaya (perbuatan baik)
akan menghapusnya (perbuatan buruk). Dan berperilakulah terhadap
sesama manusia dengan akhlak yang baik."
c. Membina antara anggota keluarga dan lingkungan
28
Syahmini Zaini, Membina Rumah Tangga Bahagia, (Jakarta: Kalamulia, 2004), h. 10. 29
Kanwil Depetemen Agama provinsi Riau, Pedoman Gerakan Keluarga Sakinah,
(Pekanbaru: Proyek pembinaan keluarga sakinah, 2004), h. 31. 30
Syahmini Zaini, Membina Rumah Tangga Bahagia, h, 13 31
Kanwil Departmen Agama provinsi Riau, Pedoman Gerakan Keluarga Sakinah, h. 33.
56
Keluarga dalam lingkup yang lebih besar tidak hanya terdiri dari
ayah, ibu dan anak. Akan tetapi menyangkut hubungan persaudaraan yang
lebih besar lagi baik hubungan antara anggota keluarga maupun hubungan
dengan lingkungan masyarakat.
d. Menjaga syariat dan menegakkan ketaatan kepada Allah
Setiap muslim harus berusaha menegakkan syariat islam dalam
rumah tangganya. Terlebih suami sebagai kepala keluarga (kepala rumah
tangga) wajib menjaga diri dan keluarganya dari api neraka, menjaga batas-
batas syariat Allah, dan menjauhkan perbuatan syirik dan bidʻah.
Sebagaimana sabda Nabi Saw dari Ibn ʻAbbas Ra:
احفظ اهلل يفظك (jagalah Syariʻat Allah niscaya Allah akan menjagamu)
32
Adapun kesimpula yang dapat penulis ambil dari penjelasan di atas ialah
bahwasanya Keluarga sakinah ialah keluarga yang mampu menciptakan suasana
kehidupan berkeluarga yang tenteram, aman dan damai, penuh kasih dan sayang
yang senantiasa di berkahi dan diridhai oleh Allah Swt dalam kehidupannya
sehari-hari.
Untuk mencapai unsur-unsur kehidupan keluarga yang sakīnah itu di
antaranya: selalu mewujudkan keharmonisan antara suami dan istri, selalu
32
Lihat HR at-Tirmidzi (no. 2516), Ibnus Sunni dalam „Amalul Yaum wal Lailah (no.
425), Ibnu Abi „Ashim dalam as-Sunnah (no. 316, 317, 318), Abu Ya‟la dalam Musnadnya (no.
2549), Ahmad (I/293, 303, 307), Al-Ajurri dalam asy-Syarī‟ah (II/829-830, no. 412), al-Lālika-i
dalam Syarh Ushul I‟tiqād Ahlis Sunnah wal Jama‟ah (no. 1094, 1095), ath-Thabrāni dalam al-
Mu‟jamul Kabīr (no. 11243, 11416, 11560, 12988), „Abd bin Humaid dalam Musnadnya (no.
635), al-Hâkim (III/541, 542), Abu Nu‟aim dalam al-Hilyatul Auliyā‟ (I/389, no. 1110), al-
Baihaqi dalam Syu‟abul Imān (no. 192), yang ditulis oleh Yazid bin Abdul Qadir Jawas dalam
bukunya, Panduan Keluarga Sakinah,..h. 63.
57
menjaga ketaqwaan kepada Allah swt, senantiasa membina keluarganya dari
pengaruh lingkungan, dan selalu menjaga syariʻat dan menegakkan ketaatan
kepada Allah Swt.
58
BAB IV
KRITERIA KELUARGA SAKĪNAH MENURUT
SAYYID QUṬB DALAM TAFSĪR FĪ ẒILĀL AL-QUR’ĀN
Di dalam al-Qur’ān ayat-ayat yang terkait sakīnah dalam berkeluarga ada
dua surah saja di antaranya, Qs. al-Aʻrāf/7:189 dan Qs. al-Rūm/30:21, akan tetapi,
untuk tercapainya sebuah keluarga yang Sakīnah tentunya berbagai kriteria atau
berbagai unsur untuk meraih keluarga sakīnah itu sendiri. Salah satu unsur untuk
mencapai sebuah keluarga yang bahagia, aman, tentram dan harmonis tentunya
mempunyai konsep atau kriteria.
Maka dengan ini penulis mengutip Qs. an-Nisā/4:19, Qs. Luqmān/31:13-
14 dan Qs. At-Tharīm/66:6. Kemudian penulis juga akan memaparkan bagaimana
penafsiran Sayyid Quṭb terhadap ayat-ayat di atas berdasarkan kriteria untuk
memperoleh sebuah keluarga yang sakīnah, mawaddah, dan rahmah di dalam
Tafsir Fī Ẓilāl al-Qur’ān. Di antara unsur-unsur untuk mewujudkan sebuah
keluarga yang sakīnah sebagai berikut:
A. Ketenangan (ketentraman)
Salah satu esensi dari pernikahan yaitu sakīnah ketenangan (ketentraman),
sebagaimana ungkapan Sayyid Quṭb bahwa sakīnah ialah menjadikan dalam
hubungan berumah tangga itu rasa tenang bagi jiwa dan sarafnya, rasa tenang bagi
tubuh dan hatinya, memberikan kedamaian bagi kehidupan dan penghidupannya,
suka cita bagi ruh dan nuraninya, serta membuat tenang bagi laki-laki dan
perempuan.
59
Oleh karena itu media untuk meraih sakīnah itu sendiri adanya mawaddah
dan rahmah. Kata mawaddah yang berarti rasa kasih sayang yang membuat
tenang bagi tubuh dan hatinya. Adapun kata rahmah yang berarti memberikan
kedamaian bagi kehidupan dan penghidupannya, suka cita bagi ruh dan nuraninya,
yang senantiasa diberikan rahmat Oleh Allah Swt dalam keluarganya.1 Konsep di
mana sebuah rumah tangga ataupun keluarga dapat dikatakan bahagia apabila di
dalam kehidupan mereka terdapat ketenangan, kedamaian, dan ketentraman baik
itu dari segi lahiriyah maupun batiniyah yang di selimuti rasa cinta, kasih, dan
sayang. Hal ini berdasarkan penafsiran Sayid Quṭb terhadap Qs. al-ʻAraf 189 dan
Qs. al-Rūm ayat 21 sebagai berikut:
ها ها زوجها ليسكن إلي هو الذي خلقكم من ن فس واحدة وجعل من
“Dialah (Allah) Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari
padanya Dia menciptakan isterinya, agar dia merasa senang
kepadanya”.2
Menurut watak penciptaanya, ia adalah diri yang satu, meskipun
pungsinya berbeda antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan ini agar suami
merasa senang dan tenang kepadanya, ini adalah teori islam tentang hakikat
manusia, dan fungsi perkawainan dalam melahirkan keturunan. Inilah teori yang
sempurna yang tepat yang dibawa Islam sejak empat belas abad yang lalu. Yaitu
ketika agam-agama yang telah disimpangkan menganggap wanita sebagai pangkal
bencana manusia, menganggapnya terkutuk, najis, dan perangkap dosa yang harus
diwaspadai.
1Sayyid Quṭb, Tafsir Fī Ẓilāl al-Qur’ān (Dibawah Naungan al-Qur’an), Terj. M. Misbah
dkk, (Jakarta: Robbani Press, 2008), h. 648 2Departmen Agama Republik Indonesia, al-Qur’ān dan terjemahannya.., h. 175.
60
Ketika berbagai peganisme hingga kini menganggap sebagai barang
tercecer, atau paling banter pelayan yang lebih rendah martabatnya ketimbang
laki-laki, dan tidak diperhitungkan sama sekali. Dasar dalam pertemuan suami-
istri adalah ketenangan, ketentraman, keakraban dan kestabilan. Agar ketenangan
dan rasa aman menaungi tempat asuhan yang di dalamnya embrio berkembang,
bisa menghasilkan keturunan manusia yang berharga, dan membuatnya pantas
menjadi generasi baru untuk membawa warisan peradaban manusia dan
meningkatkannya.3 Kemudian dijelaskan juga Qs. Ar-Rūm 21 sebagai berikut:
نكم مودة ورحة إن ف ذ ومن آياته أن خلق لكم من أن فسكم أزواجا لتسكنوا إلي لك ها وجعل ب ي
ليات لقوم ي ت فكرون“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan
merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih
dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”.4
Manusia mengetahui perasaan mereka terhadap lawan jenis, dan hubungan
di antara dua jenis itu membuat saraf dan perasaan mereka bergerak. Perasaan-
perasaan yang berbeda-beda bentuk dan arah antara laki-laki dan perempuan itu
mengerakkan langkah-langkahnya serta mendorong aktivitasnya. Namun, sedikit
sekali mereka mengingat tangan kekuasaan Allah yang telah menciptakan
pasangan bagi mereka dari jenis mereka.
Dan menganugerahkan perasaan-perasaan dan rasa cinta itu dalam jiwa
mereka. Juga menjadikan dalam hubungan itu rasa tenang bagi jiwa dan sarafnya,
3Sayyid Quṭb, Tafsir Fī Ẓilāl al-Qur’ān (Dibawah Naungan al-Qur’an), h. 487
4Departmen Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan terjemahan kata-perkata (Jakarta:
PT. Syamil, cipta Medan, Bandung, 2007), h. 406
61
rasa tenang bagi tubuh dan hatinya, memberikan kedamaian bagi kehidupan dan
penghidupannya, suka cita bagi ruh dan nuraninya, serta membuat tenang bagi
laki-laki dan perempuan. Ungkapan al-Qur’an yang lembut dan akrab ini
menggambarkan hubungan tersebut dalam suatu gambaran yang inspiratif.
Seakan-akan, al-Qur’an memperoleh gambaran tersebut dari kedalaman hati dan
perasaan.
“supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-
Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”
(Ar-rūm 21).
Dengan ayat ini mereka memahami hikmah Allah yang Maha pencipta
dalam menciptakan masing-masing jenis sedemikian rupa sehingga sesuai untuk
lawan jenisnya dan bisa memenuhi kebutuhan fitrahnya, psikologis, intelektual
dan biologis. Sehingga ia mendapatkan padanya rasa tenang, damai dan
ketentraman. Keduanya menemukan dalam pertemuan mereka rasa ketenangan
dan saling melengkapi, juga rasa cinta dan kasih sayang. Karena susunan jiwa,
saraf dan fisik bersifat saling memenuhi kebutuhan masing-masing terhadap
pasangannya. Perpaduan dan pembaruan keduanya untuk melahirkan kehidupan
baru yang merepresentasikan generasi baru.5
Untuk memperkuat penafsiran Sayid Quṭb di atas maka penulis
menambahkan beberapa pendapat ulama tafsir lainnya di antaranya, Abū Jaʻfar
Muhammad bin Jarir aṭ-Ṭabari, menafsirkan bahwasanya di antara kekuasaan-Nya
dan bukti-bukti kebesaran-Nya yaitu; Dia ciptakan pasangan bagi bapak kamu
(Adam) dari dirinya, agar adam merasa tenteram kepadanya, yaitu dengan
5Sayyid Quṭb, Tafsir Fī Ẓilāl al-Qur’ān (Di bawah Naungan al-Qur’an), h. 684
62
menciptkan Hawa dari salah satu tulang rusuk Adam. Sebagaimana yang telah
diriwayatkan oleh Qatadah tentang ayat tersebut bahwasanya Allah menciptakan
pasanganmu dari tulang rusukmu. Firman-Nya “Dan dijadikan-Nya di antaramu
rasa kasih dan sayang” ialah dengan menjalin hubungan kekeluargaan dengan
perkawinan diantara kamu, dijadikannya kasih sayang di antara kamu, dengan
itulah kamu menjalin hubungan, dengan itu pula Dia jadikan rahmat di antara
kamu, sehingga kamu saling menyayangi.6
Selain pada penafsiran di atas penulis juga mengutip penafsiran Abū
ʻAbdullah Muhammad bin Ahmad bin Abū Bakar Al-Anshari al-Qurthubi
menjelaskan pada firman Allah أن خل ق لك م م ن أن فس كم أزواج ا bahwasanya Allah telah
menciptakan kepada kalian perempuan-perempuan yang kalian merasa tenteram
kepadanya. وجع ل ب ي نكم م ودة ورح ة Ibnu Abbas R.a dan Mujahid berkata: “Mawaddah
adalah hubungan intim dan Rahmah adalah anak” pendapat ini disebutkan oleh
Mawardi dalam tafsirnya (3/261). Seperti ini juga pendapat yang dikemukakan
oleh hasan. Ada yang mengatakan bahwa Mawaddah dan Rahmah adalah kasih
sayang hati mereka satu sama lain. As-Suddi berkata: “Mawaddah adalah cinta
dan rahmah adalah rasa sayang”. Diriwayatkan juga dari Ibnu Abbas R.a tentang
makna ayat ini ialah “Mawaddah” cinta seorang laki-laki kepada istrinya dan
rahmah adalah kasih sayangnya kepada istrinya bila dia terkena sesuatu yang
buruk.7
6 Abū Jaʻfar Muhammad bin Jarir ath-Thabari, Tafsir ath-Thabari (Jamiʻ Al-bayan al-
Taʻwil ayi al-Qurʻān), Terj. Ahsan askan dkk, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), h. 625-626. 7Syaik imam al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi (Al-jamiʻ al-Ahkām al-Qurʻān) Terj. Sudi
Rosadi dkk, (Jakarta: Pustaka Azzan, 2008), h. 39-40.
63
Penulis juga mengutip penafsiran Wahbah az-Zuhailī terkait ayat tersebut
bahwasanya Allah Swt menciptakan untuk kalian pasangan hidup (istri) yang
berasal dari kalian sendiri dengan menciptakan Hawa dari tulang rusuk Adam dan
menciptakan segenap kaum perempuan lainnya dari nuṭfah laki-laki dan
perempuan. ه ا supaya kalian cenderung dan tertarik kepada mereka, merasa لتس كنوا إلي
familiar dengan mereka dan mereka tidak terasa asing oleh kalian. Karena
kesamaan jenis merupakan faktor terciptanya ketertarikan, keharmonisan,
kefamiliaran, kecocokan dan kedekatan, sedangkan perbedaan jenis menjadi sebab
keengganan dan ketidakcocokan. وجع ل ب ي نكم م ودة ورح ة dan Allah menjadikan di antara
individu-individu sejenis atau di antara laki-laki dan perempuan, perasaan cinta
kasih, rasa sayang dan welas asih melalui pernikahan untuk menata kehidupan dan
penghidupan, beda dengan makhluk hidup lainnya.8
Ibnu katsir juga menjelaskan pada ayat ini bahwasanya Allah meciptakan
dari jenis kalian wanita sebagai pasangan hidup bagi kalian, ه ا لتس كنوا إلي “Supaya
kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya.” Semakna dengan apa yang
disebutkan dalam firman Allah al-ʻAraf 189 “Dialah Yang menciptakan kamu
dari diri yang satu dan dari padanya Dia menciptakan isterinya, agar dia merasa
senang kepadanya." Yang dimaksud dengan pasangannya adalah Hawa. Allah
menciptakan Hawa dari tulang rusuknya yang terpendek dari sebelah kirinya.
Seandainya Allah menjadikan semua bani adam terdiri dari laki-laki, dan
menjadikan pasangan mereka dari jenis lain yang bukan dari jenis manusia,
8Wahbah Az-Zuhailī, Tafsīl al-munīr (fī al-ʻAqīdah wa al-Syariʻah wa al-Manhaj), ter.
Abdul Hayyi al-Kattani dkk, (Jakarta: Gema Insani, 2016), h. 88-89.
64
misalnya jin atau hewan, maka pastilah tidak akan terjadi kerukunan dan
kecenderungan di antara mereka dan tidak akan terjadi pula perkawinan. Bahkan
sebaliknya yang terjadi adalah saling bertentangan dan saling berpaling,
seandainya mereka berpasangan bukan dari mahkluk sesama manusia.
Selanjutnya, di antara kesempurnaan kasih sayang Allah terhadap manusia
adalah bahwa Allah menjadikan pasangan mereka dari jenis mereka sendiri. Allah
menciptakan pada masing-masing pasangan itu rasa cinta dan kasih sayang.
Karena tidaklah seorang laki-laki mempersunting seorang wanita terkecuali
karena rasa cinta dan kasih sayang kepadanya, atau sebaliknya karena istri
memerlukan perlindungan dari sang-suami atau memerlukan nafkah darinya,
menciptakan rasa cinta di antara keduanya, dan lain sebagainya.9
Adapun kesimpulan atau analisa yang dapat penulis ambil dari
penafsirannya sayid Quṭb dan berbagai penafsiran lainnya yang penulis kutip
bahwa dapat disimpulkan dalam Qs. al-ʻAraf 189 dan Qs. al-Rūm 21 Allah
menjadikan pasangan hidup dari jenisnya sendiri (satu jenis) dari tulang rusuknya
adam. Tujuannya supaya mereka (suami-istri) bisa mengikat suatu hubungannya
yaitu sebuah rumah tangga (pernikahan), maka dengan itulah mereka menciptakan
rasa kasih dan sayangnya masing-masing, rasa keharmonisannya, kedamaian,
serta menjaga keimanannya.
Beitupun pada Qs. al-ʻAraf 189 bahwa Allah juga menciptakan pasangan
dari mereka dari jenis yang satu, dengan itu mereka mengikat suatu hubungannya
dengan pernikahan, maka dengan pernikahan tersebut mereka bisa merasakan
9Syaik Ahmad Syakir, Mukhtashar Tafsir Ibn Katsir, Penerj. Suhairian, Lc. Dkk, (Jakarta:
Darus Sunnah Press, 2014), h. 168-169.
65
kedamaian, ketentraman dan keharmonisan dalam berkeluarga. Akan tetapi pada
Qs. al-ʻAraf 189, rasa ketenangan dan ketentraman ini lebih condong agar
pasangan suami istri itu bisa menghasilkan keturunan manusia yang lebih
berharga, lebih bermartabat, yang pantas menjadi generasi muda untuk membawa
warisan peradaban dan meningkatkannya. Dari perkawinan itulah seseorang
meraih ketenangan, kedamaian, kenyamanan serta kebahagiaan hidup bagi
pasangan suami dan istri serta dapat mealahirkan keturunannya yang bisa
meneruskan generasi yang berahlakul karimah bagi nusa dan bangsa.
B. Muʻāsyaroh bi al-Maʻrūf
Sayyid Quṭb mengartikan Muʻāsyaroh bi al-Maʻrūf (menggauli istri
dengan baik), ialah kemauan mutlak agar semuanya dapat berjalan dengan
sambut-meyambuti, sayang-menyayangi, dan cinta-mencintai.10
Di dalam al-
Fiqhul Islami wa Adillatuhu karya Wahbah az-Zuhaili menjelaskan, mu’asyarah
bi al-ma’ruf berarti suami mempergauli isterinya secara wajar, tidak menyakiti,
tidak menghalangi hak-hak isterinya selagi ia mampu untuk itu, tidak
menampakkan kebencian dan permusuhan dihadapan isterinya serta tidak
mengungkit-ungkit kebaikannya.11
Dalam sebuah keluarga tentunya harus terdapat Muʻāsyaroh bil maʻruf
(Memperlakukan dengan baik), Di antara bentuk perlakuan yang baik adalah
melapangkan nafkah, saling menghormati, meminta pendapat dalam urusan rumah
10
Sayyid Quṭb, Tafsir Fī Ẓilāl al-Qur’ān (Dibawah Naungan al-Qur’an), h. 706-708 11
http://ali3g.blogspot.com/2010/10/muasyarah-bil-maruf.html. Diakses pada tanggal 25
september 2018 pada pukul 22.42 wib.
66
tangga, menutup aib masing-masing (suami dan istri), menjaga penampilan dan
membantu tugas-tugas di rumah. Salah satu hikmah Allah Swt mewajibkan
seorang suami untuk Muʻāsyaroh bi al-ma’ruf kepada istrinya adalah agar
pasangan suami istri itu mendapatkan kebahagiaan dan ketenangan dalam hidup.
Oleh karena itu, Muʻāsyaroh bil ma’ruf ini sebagai kewajiban yang harus
dilakukan oleh para suami agar mendapatkan kebahagiaan dalam rumah tangga.
Hal ini berdasarkan penafsiran Sayid Quṭb terhadap Qs. an-Nisā ayat- 19 sebagai
berikut:
هن آت يتموما ب عض ول ت عضلوهن لتذهبوا ب يا أي ها الذين آمنوا ل يل لكم أن ترثوا النساء كرها
أن تكرهوا شيئا فإن كرهتموا هن ف عسى وعاشروهن بالمعروف إل أن يأتني بفاحشة مب ي نة
را كثريا ۞ ويعل الله فيه خي
“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai
wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka
karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu
berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang
nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu
tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak
menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang
banyak”.12
Sentuhan terakhir dalam ayat ini menghubungkan jiwa dengan Allah,
menenangkan dari gejolak kemarahan dan memadamkan api kebencian sehingga
mengembalikan jiwa manusia kepada ketenangan dan keteduhan. Dengan
demikian jalinan suami istri tidak porak-poranda yang dipermainkan embusan
angin. Maka, Islam mengikat pernikahan itu dengan tali pengikat yang kuat,
12
Departmen Agama Republik Indonesia, al-Qur’ān dan terjemahannya (Jakarta: Pustaka
al-Mubin, 2013), h. 406
67
abadi, yaitu dengan ikatan yang menghubungkan seorang hati mukmin dengan
Tuhannya, hubungan yang sangat kuat dan abadi (kokoh).
Islam yang memandang rumah tangga sebagai tempat ketenangan dan
kedamaian, dan kesejahteraan. Islam juga memandang hubungan dan jalinan
suami-istri dengan menyifatinya sebagai hubungan cinta, kasih dan sayang, dan
menegakkan unsur ini diatas pilihan dan kemauan mutlak agar semuanya dapat
berjalan dengan sambut-meyambuti, sayang-menyayangi, dan cinta-mencintai.
Islam ini sendirilah yang berkata kepada para suami:
“..Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah)
karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan
padanya kebaikan yang banyak..”
Tujuan agar ia mempertahankan ikatan pernikahan dan tidak begitu saja
memutuskannya dengan memperturutkan lintasan hati yang pertama saat timbul,
agar ia berpegang pada tali pernikahan itu dan tidak begitu saja memutuskannya
ketika mula-mula timbul emosinya, dan agar ia memelihara kewibawaan manusia
yang terbesar ini dengan sebaik-baiknya dan tidak menjadikan sebagai sasaran
emosi yang berbolak-balik, dan sasaran kebodohan kecenderungan yang terbang
kesana kemari.
Betapa agung perkataan Umar Ibn Khatṭab Ra kepada seorang yang
hendak menceraikan istrinya karena dia tidak suka, “Celakalah engkau! Bukankah
engkau telah membangun rumah tangga atas dasar cinta? Maka, dimanakah
pemeliharaan dan perawatanmu?”. Alangkah buruknya perkataan murahan yang
diungkapkan atas nama “Cinta”, padahal yang mereka maksud adalah
kecenderungan emosi yang tidak stabil, dan atas nama cinta pula mereka
68
memperkenankan pemutusan jalinan suami istri dan menghancurkan lembaga
rumah tangga. Penghianatan istri kepada suaminya! Bukankah ia sudah tidak
mencintainya? Dan penghiantan suami terhadap istrinya! Bukankah dia tidak
mencintainya?.
Tidaklah terlintas di dalam jiwa yang hina dan kardil ini, mengandung arti
yang lebih besar daripada kecenderungan emosi yang tidak stabil dan naluri
binatang yang bergejolak. Perlu digaris bawahi bahwa sama sekali tidak terlintas
dalam hati mereka bahwa dalam kehidupan ini terdapat harga diri, keindahan,
kesabaran dan tanggung jawab, yang lebih besar dan lebih agung daripada apa
yang mereka omongkan dengan gambaran yang rendah dan hina. Perlu digaris
bawahi pula bahwa tidak terlintas sama sekali dalam hati mereka akan adanya
Allah. Mereka jauh sekali dari Allah, karena terbenam dalam lumpur kejahiliahan.
Hati mereka tidak merasan apa yang difirmankan-Nya kepada orang-orang yang
beriman:
“..Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah)
karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan
padanya kebaikan yang banyak..”
Hanya akidah ilmiah sajalah yang dapat mengangkat jiwa manusia,
mengangkat cita-citanya, mengangkat perhatiannya, dan mengangkat kehidupan
manusia naluri binatang, kerakusan pedagang dan kebingungan orang-orang yang
hampa. Apabila sudah jelas setelah kesabaran, ketegaran, upaya dan harapan dan
berharap bahwa sudah tidak dapat lagi ditempuh kehidupan bersama, harus
berpisah dan ganti pasangan yang lain. Saat itulah wanita leluasa dengan mahar
yang telah diambilnya dan harta yang diwarisinya, tidak boleh diminta lagi
69
sedikitpun, sekalipun berupa satu kilo emas. Karena mengambil sesuatu dari
mahar atau warisan itu adalah dosa yang nyata dan kemungkaran yang tidak
diragukan lagi.13
Ibn katsir juga menjelaskan pada ayat tersebut “Dan bergaullah dengan
mereka secara patut” yaitu sampaikanlah perkataan kalian kepada mereka dengan
sebaik-baiknya, dan perbaikilah perbuatan dan tingkah laku kalian terhadap
mereka sesuai dengan kemampuan kalian, sebagaimana kalian menyukai hal
tersebut dari mereka, maka lakukanlah oleh kalian hal yang serupa terhadap
mereka. Sebagaimana sabda nabi Saw “Orang-orang terbaik di antara kalian
adalah orang yang paling baik di antara kalian kepada istrinya, dan aku adalah
orang yang paling baik di antara kalian kepada istriku”.
Di antara ahklak Nabi saw adalah beliau sangat baik dalam bergaul, selalu
tersenyum dan mesra kepada istrinya. Bersikap lembut kepada mereka, memberi
mereka kelapangan dalam urusan nafkah, dan selalu membuat istrinya tersenyum.
Bahkan beliau pernah berlomba dengan lari dengan Aisyah ra, dengan cara itu
beliau berkasih mesra dengannya. Aisyah Ra berkata: “Rasulullah Saw pernah
berlomba lari denganku dan aku berhasil mengalahkannya, namun itu terjadi
sebelum aku bertubuh gemuk. Kemudian setelah aku bertubuh gemuk, aku
kembali berlomba lari dengan beliau dan beliau berhasil mengalahkanku. Lalu
beliau bersabda: “kemenangan ini untuk membalas kekalahan yang kemaren”.
Setiap malam seluruh istri Nabi Saw berkumpul di rumah yang padanya
beliau bermalam, lalu beliau makan malam bersama mereka di beberapa
13
Sayyid Quṭb, Tafsir Fī Ẓilāl al-Qur’ān (Dibawah Naungan al-Qur’an), h. 706-708.
70
kesempatan. Lalu setiap dari mereka kembali pulang ke rumah masing-masing.
Beliau sering tidur bersama satu orang dari istri-istrinya dengan menggunakan
satu selimut, beliau melepasa selendang dari kedua pundaknya dan tidur dengan
sarung, apabila beliau sudah melaksanakan sholat isya, beliau masuk ke rumahnya
untuk berbincang-bincang bersama istrinya sebentar sebelum tidur, dengan cara
itulah baginda Nabi Saw mempergauli (mereka) istrinya.14
Wahbah az-Zuhailī menafsirkan bahwa pergaulilah istri kalian secara patut
dengan bertutur kata kepada mereka dengan tutur kata yang baik, memberi nafkah
dan tempat tinggal yang layak. Al-Maʻrūf adalah sesuatu yang disenangi oleh
tabiʻat yang sehat dan tidak di anggap sesuatu yang jelek oleh agama, lalu apabila
kalian tidak menyukai para istri kalian itu,maka bersabarlah.15
Adapun kesimpulan atau analisa yang dapat penulis ambil dari penafsiran
Sayid Quṭb dan berbagai penafsiran yang sudah penulis kutip bahwasanya, Allah
ingin menunjukkan dan membuktikan kesabaran seorang laki-laki (suami) dalam
mendidik dan merawat keluarganya serta mengingatkan dan memerintahkan
kepada para laki-laki (suami) supaya senantiasa memperlakukan terhadap istri
maupun anaknya dengan perlakuan yang baik dan tidak kasar kepada mereka.
Tidak menyakiti hati mereka, dengan cara menasehati, berkata lemah
lembut, tidak kasar dan tentunya membuat hati istri dan buah hatinya merasakan
kebahagiaan dan kenyamanan dalam keluarganya tidak boleh semena-mena saja,
seorang bapak (suami) tentunya menjaga dan melindungi istri dan anaknya dari
berbagai hal, baik itu dari kejahatan orang-orang yang ingin mencelakai atau
14
Syaik Ahmad Syakir, Mukhtashar Tafsir Ibn Katsir, h. 54-55. 15
Wahbah Az-zuhailī, Tafsīl al-munīr (fī al-ʻAqīdah wa al-Syariʻah wa al-Manhaj), h.
638.
71
mencederai keluarganya, atau dari segala marabahaya yang menimpa
keluarganya.
Tentunya peran ayah (suami) atau tanggung jawab suami yang pasti lebih
menonjol, lebih ekstra, lebih teliti dalam menjaga keamanan, keharmonisan dan
kedamaian dalam berkeluarga, bagi seorang istripun harus bisa juga menjaga
hubungan baik terhadap suaminya, harus mengetahui haknya sebagai istri tidak
boleh bersantai tampa mengurusi anak maupun suaminya, dan tentunya seorang
istri harus selalu mendukung dan mensupor suaminya dalam segala hal yang baik
yang mendatangkan rahmat dan keberkahan-Nya dalam berkeluarga.
C. Bertanggung Jawab
Sebuah keluarga tentunya ada rasa bertanggung jawab sesuai dengan peran
masing-masing menjalankan hak-hak di antara keduanya.16
Bertanggung jawab
menurut Sayid Quṭb ialah membentengi dirinya dan keluarganya dari api neraka
dengan cara menasehati dan mengajarkan ilmu agama kepada keluarganya.17
Terlebih Seorang suami (ayah) sebagai kepala keluarga bertanggung jawab dalam
segala hal untuk keluarganya, memberi nafkah lahir maupun nafkah batin, materil
maupun non Materil. Nafkah lahir di antaranya memberikan tempat tinggal,
pakaian dan lain-lain. Sebagaimana di sebutkan pada (Qs. Aṭ-ṭālaq ayat 6), Dan
nafkah batin di antaranya menjaga keimanan keluarganya agar terhindar dari
kemusyrikan dan di jauhkan dari siksa neraka. hal ini berdasarkan penafsiran
Sayid Quṭb pada Qs. at-Tahrīm ayat 6 sebagai berikut:
16
Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Panduan Keluarga Sakinah, h. 160. 17
Sayyid Quṭb, Tafsir Fī Ẓilāl al-Qur’ān (Dibawah Naungan al-Qur’an), h. 1053.
72
ها ملئكة غلظ شداد ل يا أي ها الذين آمنوا قوا أن فسكم وأهليكم نارا وقودها الناس والجارة علي
ي عصون الله ما أمرهم وي فعلون ما ي ؤمرون
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari
api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya
malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah
terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu
mengerjakan apa yang diperintahkan.18
Sesungguhnya beban tanggung jawab seorang mukmin dalam dirinya dan
keluarganya merupakan beban yang sangat berat dan menakutkan. Sebab neraka
telah menantinya disana, dan dia beserta keluarganya terancam dengannya. Maka
merupakan kewajiban membentengi dirinya dan keluarganya dari neraka ini yang
selalu mengintai dan menantinya, sesungguhnya ia adalah neraka dan api yang
menyala-nyala serta membakar hangus.
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari
api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu,”
Manusia didalam neraka itu sama persis dengan batu, hina seperti batu,
murah seperti batu, dilemparkan seperti batu, tidak dianggap dan diperhatikan.
Betapa mengerikan neraka yang dinyalakan dengan batu ini, betapa pedihnya azab
yang dihimpun dengan kerasnya sengatan kehinaan dan kerendahan, setiap yang
ada didalamnya dan setiap yang berhubungan dengannya sangat seram dan
menakutkan. “penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras,,” tabiat para
malaikat itu sesuai dengan tabiat azab yang diperintahkan dan diserahkan kepada
mereka untuk menimpanya. “yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang
18
Departmen Agama Republik Indonesia, al-Qur’ān dan terjemahannya, h. 560.
73
diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang
diperintahkan”
Jadi, di antara karakteristik mereka adalah menaati semua perintah Allah.
Dan diantara karakter mereka adalah mampu melaksanakan segala yang
diperintahkan kepada mereka oleh Allah. Mereka dengan segala tabiaat yang
garang, bengis, kejam dan juga keras, mereka diserahkan tugas untuk
melaksanakan azab neraka yang keras dan kejam. Maka hendaklah setiap mukmin
melindungi dirinya dan keluarganya dari azab neraka ini. Ia harus menghalang
antara keluarga dan neraka itu sebelum hilang kesempatan dan sebelum alasan
tidak berguna lagi.19
Untuk menguatkan pendapatnya Sayid Quṭb penulis menambahkan dengan
beberapa Tafsir salah satunya Tafsir Ibnu Katsir, dalam tafsirnya menjelaskan
ayat ini bahwasanya dari Ali tentang firman Allah Swt “Periharalah dirimu dan
keluargamu dari api neraka” Maksudnya, didiklah mereka dan ajarilah mereka.
Ibnu Abbas juga berkata: “Beramallah dengan mentaati Allah, jauhilah maksiat
kepada Allah, dan perintahkanlah keluargamu untuk mengingat (berdzikir),
niscaya Allah akan menyelamatkan kalian dari api neraka”.
Berkenaan dengan makna ayat ini terdapat hadis yang diriwayatkan oleh
imam Ahmad, Abu daud, At-Tirmidzi dari ʻAbdul Malik bin ar-Rabiʻ bin Sabrah
dari ayahnya dari kakeknya ia berkata bahwasanya Nabi Saw bersabda:
“Periharalah anak-anak kalian untuk sholat ketika mereka berumur tujuh tahun,
jika telah berumur sepuluh tahun (dan belum mau melaksanakan sholat) maka
19
Sayyid Quṭb, Tafsir Fī Ẓilāl al-Qur’ān (Dibawah Naungan al-Qur’an), h. 1053-1055.
74
pukullah mereka”. Ini adalah lafadz Abu daud, At-Tirmidzi mengatakan “ini
adalah hadis hasan”. Para ahli Fiqih juga mengatakan, “Demikian halnya dengan
ibadah puasa, dalam rangka memberikan latihan ibadah kepada mereka, sehingga
ketika dewasa mereka terus berada dalam ibadah, ketaatan, menjauhi maksiat dan
meninggalkan kemungkaran”.20
Wahbah Zuhailī dalam Tafsirnya juga menjelaskan pada ayat ini, wahai
orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, didiklah diri kalian,
buatlah perisai untuk memproteksi diri kalian dari api neraka, perihara, jaga, dan
lindungilah diri kalian, dengan mengerjakan apa yang diperintahkan Allah kepada
kalian dan meninggalkan apa yang dilarang bagi kalian.
Qatadah mengatakan maksudnya adalah kamu memerintahkan mereka
untuk taat kepada Allah Swt, mencegah mereka dari bermaksiat kepada-Nya,
menjalankan perintah Allah Swt terhadap mereka dan memerintahkan mereka
untuk melaksankan perintahnya, serta mendukung dan membantu mereka untuk
menjalankan perintah Allah Swt, kamu hardik dan cegahlah mereka.
Ibnu jarir mengatakan, menjadi kewajiban kita untuk mengajarkan agama
dan kebaikan adab, etika, dan tata krama yang mutlak diperlukan kepada anak-
anak kita. Yang dimaksud keluarga adalah istri, anak-anak dan pembantu, ayat ini
menjadi dalil yang menunjukkan bahwa seorang pendidik dan pengajar harus
mengetahui apa yang diperintahkan dan apa yang dilarang.21
Adapun kesimpulan
yang bisa penulis ambil, bahwasanya seorang kepala keluarga (ayah) haruslah
menjaga dirinya dan keluarganya dari pedihnya siksa neraka, dengan cara
20
Syaik Ahmad Syakir, Mukhtashar Tafsir Ibn Katsir, h. 588-589. 21
Wahbah Az-zuhailī, Tafsīl al-munīr (fī al-ʻAqīdah wa al-Syariʻah wa al-Manhaj), h.
691-692.
75
mengajari ahlak yang baik terhadap keluarganya, mengajarkan ilmu agama,
senantiasa bertaqwa kepada Allah Swt. Oleh karena itu seorang ayah hendaklah
menjaga keluarganya dengan cara mengerjakan apa yang di perintahkan Allah dan
Rasul-Nya dan menjauhi segala yang dilarang Allah dan juga Rasul-Nya.
dalam sebuah keluarga merupakan tempat untuk mengenal keimanan
seseorang terhadap Allah. Terlebih bagi seorang anak, orang tua (keluarga) adalah
lingkungan pertama yang dalam melaksanakan fungsinya sebagai lembaga
pendidikan pertama bagi anak, hendaknya orang tua bersifat arif dan bijaksana
dalam membimbing dan mengarahkan anak-anaknya. Hal ini berdasarkan pada
penafsiran Sayyid Quṭb pada Qs. Luqman ayat 13-14 sebagai berikut:
نا ۞ عظيم إن الشرك لظلم وإذ قال لقمان لبنه وهو يعظه يا ب ن ل تشرك بالله ووصي
نسان بوالديه حلته أمه وهنا على ل ولوالديك إل المصري عامني أن اشكر وهن وفصاله ف ال
“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia
memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu
mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah
benar-benar kezaliman yang besar". Dan Kami perintahkan kepada
manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah
mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan
menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua
orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu”.22
Sungguh, ini merupakan nasihat yang tidak dicurigai memuat maksud
yang tidak baik, karena seorang ayah tidak menghendaki apapun bagi anaknya
selain kebaikan, dan yang harus dilakukan ayah kepada anaknya adalah
menasehati. Lukman al-Hakim melarang anaknya melakukan kemusyrikan, dan
memberi alasan terhadap larangan ini bahwa kemusyrikan merupakan kezaliman
22
Departmen Agama Republik Indonesia, al-Qur’ān dan terjemahannya, h. 412.
76
yang besar. Ia menegaskan hakekat ini dua kali, Satu kali dengan mendahulukan
larangan dan merinci alasannya, dan satu kali dengan kata inna (sesungguhnya)
dan ia (benar-benar), inilah hakikat yang disampaikan Nabi Muhammad Saw
kepada kaumnya, lalu mereka mendebatnya, meragukan tujuan dibalik
penyampaiannya.
Mereka takut jika hal itu bertujuan untuk merampas kekuasaan dari tangan
mereka dan untuk mengungguli mereka! Lalu, apa yang mereka katakan
sedangkan luqman al-Hakim menyampaikan nasehat itu dan memerintahkannya
kepada anaknya? Bukankah nasehat ayah kepada anak itu bersih dari setiap
keraguan dan jauh dari setiap prasangka? Ketahuilah, ini adalah hakikat lama
yang keluar dari lisan setiap orang yang diberikan hikmah oleh Allah, dan hanya
menginginkan kebaikan semata, tidak ada yang lain, inilah penggugah psikologis
yang dimaksud.
Di bawah naungan nasihat ayah kepada anaknya, al-Qur’an memaparkan
hubungan antara kedua orang tua dan anak adalah gaya bahasa yang lembut, dan
melukiskan hubungan ini secara inspiratif, mengandung emosi dan kelembutan,
miskipun demikian, hubungan akidah harus dikedepankan daripada hubungan
yang erat tersebut. “Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik)
kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan
lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah
kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah
kembalimu”.
77
Nasehat kepada anak untuk berbakti kepada kedua orang tua sering
diulang dalam al-Qur’an al-Karim dan pesan-pesan Rasulullah Saw. Sedangkan
nasehat kepada kedua orang tua untuk berbuat baik kepada anak itu sangat sedikit.
Sebagian besar dalam kasus mengubur anak hidup-hidup dan itu adalah kasus
khusus pada kondisi tertentu. Karena fitrah semata telah orang tua melindungi
anaknya. Karena fitrah didorong untuk melindungi generasi baru untuk menjamin
keberlansungan kehidupan sebagaimana yang dikehendaki Allah.
Orang tua pasti mau mengorbankan jiwa, raga, usia, dan segala miliknya
yang berharga untuk anaknya, tampa berkeluh kesah, bahkan tampa menyadari
dan merasakan apa yang telah dikorbankannya! Bahkan dalam suasana penuh
semangat, gembira, dan senang, seolah-olah orang tualah yang mengambil. Jadi,
fitrah semata telah menjamin nasihat untuk orang tua, tampa memerlukan nasihat
lain.
Sedangkan anak membutuhkan nasihat yang berulang ulang agar ia
memperhatikan generasi yang telah berkorban, mendidik, mengayomi, dan telah
sampai diusia senja kehidupannya, setelah ia mengorbankan usia, jiwa dan
raganya untuk generasi yang menyongsong masa depan kehidupan. Seorang anak
tidak mampu dan tidak bisa mengganti apa yang telah dikorbankan orang tuanya,
meskipun ia menghibahkan usianya untuk keduanya.
Gambaran ini sangat inspiratif : ibunya telah mengandungnya dalam
keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun,,”
gambaran ini memberi naungan tentang pengorbanan yang luar biasa. Sudah
barang tentu ibu mengandung bagian yang lebih besar, dan berbuat baik kepada
78
anaknya dalam kasih sayang yang lebih besar, dan berbuat baik kepada anaknya
dalam kasih sayang yang lebih besar, lebih dalam, lebih hangat dan lebih lembut.
Al-Hafizh Abu bakar dalam Musnad-nya meriwayatkan dengan sanadnya
dari Buraid, dari ayahnya, bahwa ada seorang laki-laki melakukan tawaf sambil
mengendong ibunya untuk tawaf bersama. Lalu ia bertanya kepada Nabi Saw,
“apakah laki-laki itu telah membayar hak ibunya?” Beliau menjawab, “Tidak,
meskipun untuk satu desahan nafas yang panjang”. Demikianlah, meskipun untuk
satu keluhan nafas yang panjang, baik saat kehamilan atau dalam persalinan. Ibu
mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah.
Di bawah naungan gambaran yang lembut itu, al-Qur’am mengarahkan
untuk bersyukur kepada Allah sebagai pemberi nikmat yang pertama, dan kepada
kedua orang tua sebagai pemberi nikmat yang kedua, al-Qur’an menyusun
kewajiban-kewajiban dimana syukur kepada Allah disebut terlebih dahulu, lalu
disusul dengan syukur kepada kedua orang tua “..Bersyukurlah kepada-Ku dan
kepada dua orang ibu bapakmu,,” lalu al-Qur’an menghubungkan hakikat ini
dengan hakikat akhirat, “,,Hanya kepada-Kulah kembalimu..”, di mana bekal
syukur yang disimpan itu bermanfaat.23
Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa Allah Swt berfirman
mengabarkan tentang wasiat luqman kepada anaknya. Allah telah menceritkan
dengan cerita yang sangat baik, karena Allah Swt telah memberikan hikmah
kepadanya, dan luqman memberikan wasiat kepada anaknya, yaitu rang-orang
yang paling dia sayang dan paling dia cintai, sehingga dia orang-orang yang
23
Sayyid Quṭb, Tafsir Fī Ẓilāl al-Qur’ān (Dibawah Naungan al-Qur’an), h. 723-726.
79
paling berhak diberikan kebaikan yang paling utama. Oleh karena itu dia
memberikan wasiat kepadanya pertama kali agar menyembah Allah Swt semata
dan tidak berbuat syirik kepada-Nya sedikitpun.
Lalu dia berkata seraya memberikan peringatan kepadanya,“sesungguhnya
mempersekutukan Allah adalah benar-benar kezaliman yang besar”. Yaitu syirik
adalah kezaliman yang paling besar. Selanjutnya dia menyandingkan wasiat
kepada anakanya agar menyembah Allah Swt semata dengan berbakti kepada
kedua orang tuanya, sebagaimana Allah berfirman: “Dan kami perintahkan
kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya, ibunya telah
mengandungnya dalam keadaaan lemah yang bertambah-tambah”. Mujahid
menafsirkan “kesulitan mengandung anak” Qathadah menafsirkan “kesusahan
demi kesusahan” menurut Atha’Al-Khurasani meyebutkan “kelemahan demi
kelemahan”.
Sesungguhnya Allah Swt menyebutkan asuhan seorang ibu, kepayahan,
dan kesusahannya dalam begadang siang dan malam, agar anaknya dapat
mengingat kebaikan yang telah diberikan kepada ibunya. Sebagaimana Allah
berfirman dalam Qs. Al-Isrā ayat 24 yang artinya: “,,Dan ucapkanlah, Wahai
tuhanku, sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku
waktu kecil”. Oleh karena itu Allah berfirman “Bersyukurlah kepada-Ku dan
kepada kedua orang tuamu hanya kepada-Ku kembalimu”, yaitu karena
sesungguhnya Aku akan memberi balasan kepadamu atas hal tersebut dengan
balsan yang sempurna.24
24
Syaik Ahmad Syakir, Mukhtashar Tafsir Ibn Katsir,.. h. 216-218.
80
Adapun kesimpulan atau analisa yang bisa penulis ambil dari penafsiran
Sayid Quṭb dan berbagai penafsiran yang penulis kutib di atas Qs. at-Tahrīm ayat
6 dan Luqman ayat 13-14, bahwasanya untuk tercapainya sebuah keluarga yang
Sakīnah, tentunya seorang ayah harus lebih bertanggung jawab menjaga
keluarganya, seorang ayah (suami) senantiasa menjaga keimanan istri dan
anaknya dengan cara mengajarkan ahklak yang baik, mengajarkan ilmu agama,
dan menerapkan pola keshalehan terhadap anak maupun istrinya agar supaya
keluarganya tidak menyekutukan Allah Swt dan terhindar dari bencana atau azab
neraka di hari kiamat nanti.
Ahklak yang pertama atau ilmu yang paling utama di dapatkan seorang
anak adalah dari ayah dan ibunya, oleh karena itu ayah dan ibunya harus
memberikannya dengan cara menasehati dan menanamkan ilmu agama kepada
anaknya, seorang ayah harus selalu memberikan nasehat-nasehat yang baik
kepada anak-anaknya agar besik seorang anak tertanam sejak usia dini.
Kemudian sebagai seorang anak tentunya harus mengetahui haknya
sebagai anak dengan cara mematuhi, menghormati, dan juga memuliakan kedua
orang tuanya, seorang anak juga harus selalu mendoakan kebaikan untuk kedua
orang tuanya, yang telah bersusah payah merawatnya sedari kecil sampai buah
hatinya menjadi orang yang berhasil, pastinya itu semua tidak luput dari do’a
kedua ayah dan ibunya. Kemudian sebuah keluarga harus selalu mensyukuri atas
segala kenikmatan yang Allah berikan terhadap keluarganya.
Kalau tiga konsep atau kriteria di atas sudah diterapkan atau diaplikasikan
dalam sebuah hubungan rumah tangga, menerapkan rasa Ketenangan
81
(ketentraman), menerapkan Muʻā syarah bi al-Maʻrūf, dan menerapkan rasa
Tanggung jawab terhadap keluarganya, maka akan terciptalah dalam hubungan
rumah tangga yang dijalankan itu, merasakan ketenangan, kedamaian,
keharmonisan. Di mana bumi di pijak disitu langit menjunjung artinya kemanapun
atau apapun rintangan atau cobaan yang diterima tentunya keluarganya selalu
dilindungi dan diberkahi oleh Allah Swt.
82
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari hasil penelitian skripsi ini, bahwasanya Sayid
Quṭb adalah salah satu ʻulama besar islam kontemporer. Beliau adalah salah
satu ‘ulama besar yang sangat berpengaruh bagi islam, yang sangat populer
dengan pemikiran dan pemahamannya dalam tatanan sosial dan politik,
agamis dengan di dasari manhaj ilāhi (syariat).
Kemudian setelah penulis melakukan penelitian terhadap Tafsir Fī
Ẓilāl al-Qurʻān ini, dan melihat bagaimana latar belakang penafsiran serta
mufassirnya maka disini penulis menarik tiga macam kesimpulan yang
menjadi konsep atau kriteria untuk mewujudkan sebuah keluarga yang
sakīnah menurut Sayyid Quṭb, kriteria tersebut antara lain sebagai berikut:
1. Ketenangan (ketentraman), kriteria ini berdasarkan penafsiran Sayyid Quṭb
terhadap Qs. al-ʻAraf ayat 189 dan QS. ar-Rūm ayat 21.
2. Muʻāsyarah bi al-Maʻruf, kriteria ini berdasarkan penafsiran Sayyid Quṭb
terhadap QS. an-Nisā ayat 19.
3. Bertanggung Jawab, kriteria ini berdasarkan penafsiran Sayyid Quṭb
terhadap QS. at-Tahrim ayat 6 dan Qs. Luqman ayat 13-14.
83
B. Saran-saran
Adapun saran dari penulis terhadap pembaca Skripsi ini, baik dari
kalangan mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta maupun dari kalangan
luar lingkup kampus, antara lain:
1. Sebagai kajian keilmuan, penafsiran tentang keluarga sakīnah ini dalam
arti umum sudah banyak di bahas oleh akademisi lain, sementara kajian
mengenai konsep/kriteria keluarga sakīnah berdasarkan pemikiran
beberapa tokoh mufassir masih perlu untuk di kaji lebih banyak lagi,
mengingat tidak sedikit pula para mufassir dengan karya-karyanya yang
indah dan menarik untuk dibahas.
2. Melihat akan ilmu pengetahuan yang terus berkembang di era-zaman
modern saat ini, maka penelitian mengenai penafsiran Sayid Quṭb Tentang
kriteria keluarga Sakīnah yang penulis lakukan ini, akan lebih baik lagi jika
dikembangkan dengan temuan-temuan yang baru.
84
DAFTAR PUSTAK
Abdul Ghafur. Waryono, Hidup bersama al-Qur‟an, (Yogyakarta: Rihlah, 2006).
Abdul Qadir Jawas. Yazid, Panduan Keluarga Sakinah, (Jakarta: Pustaka Imam
Asy-Syafi’i, 2011).
Abū Daūd. Sunan, (no. 2142), Ibn Majah (no. 1850), Ahmad (IV/447, V/3, 5),
Ibnu Hibban (no. 1286 – al-Mawārid), al-Baihaqi (VII/295, 305, 466-
467), al-Baghawi dalam syarhus sunnah (IX/159-160), dan an-Nasāi
dalam ʻIsyratun nisāi (no. 289), dan Tafsir an-Nasāi (no. 124), dan al-
Hakim (II/187-188), yang dikuti oleh Yazid bin Abdul Qadir Jawas,
Panduan Keluarga Sakinah.
________. Sunan, Sunan Abī Daūd, Jilid I (Kairo: al-Maknaz al-Islāmi, 2000).
Ahzami. Yusuf, al-syahid Sayyid Quṭb: Hayātuh wa madarasatuh wa Atsāruh,
(Beirut: Darul qalam, 1980).
Ali. Zainuddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika,
2007).
al-Khālidī. Shalah ʻAbd al-Fattah, Pengantar memeahami Tafsir Fī Ẓilāl al-
Qur‟ān, (Solo: Era Inter Media, 2001).
________,Shalah ʻAbd al-Fattah, Tafsir Metodologi Pergerakan, terj. Asmuni
Solihan Zamakhasyari, (Jakarta: Yayasan Bunga Karang, 1995).
________,Shalah ʻAbd al-Fattah, Taʻrif al-Dārisīn bi al-Manāhij al-Mufassirīn,
(Damaskus: Dār al-Kalam, 2002).
al-Qaṭṭān. Manna Khalil, Mabāhiṭ fī „Ulūmi al-Qur‟ān. (Mesir: Masyūrat al-
‘Isyari al-Hadith, 1973).
aṭh-Thabāri, Tafsir ath-Thabari (Jamiʻ Al-bayan al-Taʻwil ay al-Qurʻān), Terj.
Ahsan askan dkk, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009).
at-Tirmidzī. Sunan, (no. 2516), Ibnu Sunni dalam ‘Amālul Yaum wal Lailah (no.
425), Ibnu Abi ‘Ashim dalam as-Sunnah (no. 316, 317, 318), Abu Ya’la
dalam Musnadnya (no. 2549), Ahmad (I/293, 303, 307), Al-Ajurri
dalam asy-Syarī‟ah (II/829-830, no. 412), al-Lālika-i dalam Syarh
Ushul I‟tiqād Ahlis Sunnah wal Jama‟ah (no. 1094, 1095), ath-
Thabrāni dalam al-Mu‟jamul Kabīr (no. 11243, 11416, 11560, 12988),
‘Abd bin Humaid dalam Musnadnya (no. 635), al-Hākim (III/541, 542),
Abu Nu’aim dalam al-Hilyatul Auliyā’ (I/389, no. 1110), al-Baihaqi
85
dalam Syu‟abul Imān (no. 192), yang ditulis oleh Yazid bin Abdul
Qadir Jawas dalam bukunya, Panduan Keluarga Sakinah.
________Sunan, dalam kitab: Kebaikan dan Silaturahmi, bab: Akhlak yang Baik,
(no. 2004).
________ Sunan, hadis hasan shahīh: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 1159),
Ibnu Hibban (no. 1291 – al-Mawārid) dan al-Baihaqi (VII/291), dari
Abu Hurairah radhiyallaahu „anhu. Hadits ini diriwayatkan juga dari
beberapa Shahabat. Lihat juga Irwā-ul Ghalīl (no. 1998), yang ditulis
oleh Yazid bin Abdul Qadir Jawas dalam bukunya, Panduan Keluarga
Sakinah.
az-Zuhailī. Wahbah, Fiqih Islam Wadillatuhu ( Jakarta: Gema Insani, cet ke 10,
2007).
________ Wahbah, Tafsīl al-munīr (fī al-ʻAqīdah wa al-Syariʻah wa al-Manhaj),
Ter. Abdul Hayyi al-Kattani dkk, (Jakarta: Gema Insani, 2016).
Basyir. Ahmad Azhar, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta: UI Press, 2000).
Boullata. Isa, yang dikutip oleh Anthony H. Johns, bebaskan kaumku : Refleksi
Sayyid Quṭhb atas kisah Nabi Musa as dalam al-Qur‟ān, jurnal al-
Hikmah, No 15, Vol VI, 1995.
Bukhārī. Shohīh, (no. 1905, 5065, 5066), Ahmad (1/424, 425, 432), Muslim (no.
1400), at-Tirmidzī (no. 1081), an-Nasāi (IV/56, 57), Ibn Mājah (no.
1845), ad-Dārimi (II/132), al-Baihaqi (VII/77), dari Abdullah bin
Masʻud.
________,Shohīh, (no. 29, 1052, 5197), dan Shohīh Muslim (no. 907), Abu
Awanah (II/379-380), Malik (I/166167, no, 2), an-Nasāi (III/146, 147,
148), al-Baihaqi (VII/294), Yang ditulis Oleh Yazid bin Abdul Qadir
Jawas dalam bukunya, Panduan Keluarga Sakinah.
_______,Shohīh, dalam kitab: Nikah, bab: Anjuran untuk Menikah, (no. 5063)
dan Muslim dalam syarah-nya, dalam kitab: Nikah, bab: Disunahkan
Menikah bagi orang yang memiliki keinginan dan memiliki
kemampuan dan menyibukkan diri dengan puasa bagi yang tidak
mampu (no. 3389).
Buku Pedoman Akademik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Tahun 2014).
Bunyamin. Abu, Dinamika Tafsir Ijtimaʻi Sayyid Quṭhb (Purwakarta: Taqaddum
Pesantren al-Muhajirin, 2012).
86
Departmen Agama Republik Indonesia, al-Qur‟an dan terjemahan kata-perkata
(Jakarta: PT. Syamil, Cipta Medan, Bandung, 2007).
________,Agama Republik Indonesia, al-Qur‟ān dan terjemahannya (Jakarta:
Pustaka al-Mubin, 2013).
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (jakarta: PT. Ictiar Baru
Van Hoeve, 1994).
_______Redaksi Ensiklopedia Tematis Dunia Islam, Dinamika Masa Kini,
(Jakarta: PT. Ictiar Baru Van Hoeve, 2002).
Faqih. Aunur Rahim, Bimbingan dan Konseling dalam Islam, (Yogyakarta: UII
Press, 2001).
Fāris. Ibn Ahmad, bin Zakariya al-Qazwaini al-Rāzī, Muʻjamu Maqāyisa al-
Lughati, (Damaskus:Darul Fikri,1994).
Farmawi. Abdul Hayyi, Metode Tafsir Maudhu‟i suatu pengantar, terj. Suryan A.
Jamran (Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada, 1996).
Glasse. Cyril, Ensiklopedia Islam, penerjemah Ghuron A. Mas’adi, (Jakarta: PT.
Raja Grapindo Persada, 1991).
Hasan. M. Ikbal, Pokok-pokok Materi Metodologi penelitian dan aplikasinya,
(Jakarta: Ghalia, 2002).
Hidayat. Nuʻim, Sayyid Quṭhb: Biografi dan kejernihan pemikirannya (Jakarta:
Gema Insani Press, 2005)..
http://blogspot.co.id/2012/05/sayyid-quthub-fi-zilal-al-qur-an.html, di akses pada
pukul 22:13 pada tanggal 20-05-2018.
https://icc-jakarta.com/muasyarah-bil-maruf-dalam-rumah-tangga-bag-1/. Diakses
pada tanggal 25 september 2018 pada pukul 22.39 wib.
Juariyah, Hadis Tarbawi, (Yogyakarta: Teras, 2010).
Kaltsum. Lilik Ummu, dan Abd Muqsit Ghazalī, Tafsīr Ahkam (Jakarta: UIN
press 2014).
Kanwil Departmen Agama provinsi Riau, Pedoman Gerakan Keluarga Sakinah,
(Pekanbaru: Proyek pembinaan keluarga sakinah, 2004).
Kauma. Fuad dan Nipan, Membimbing Istri Mendampingi Suami (Yogyakarta:
Mitra Usaha, 1997).
87
Masyhur. Mustafa, Qudwah diJalan Dakwah, terj. Ali Hasan, (Jakarta: Citra
Islami Press, 1998).
Muslim. Shohīh, dalam syarah-nya, dalam kitab: Zakat, bab: Penjelasan bahwa
shadaqah terdapat pada semua hal yang ma’ruf, (no. 1006).
Narimawati. Umi, “Metodologi Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif: Teori
dan Aplikasi”, (Jakarta: Tarsita, 2008).
Nasir. Ridlwan, Memahami al-Qur‟ān Perspektif Baru Metodologi Tafsir
Muqarin, (Surabaya: Cv. Indra Media, 2003).
Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi (Al-jamiʻ al-Ahkām al-Qurʻān) Terj. Sudi Rosadi
dkk, (Jakarta: Pustaka Azzan, 2008).
Quṭb. Sayyid, Tafsir Fī Ẓilāl al-Qur‟ān (Dibawah Naungan al-Qur‟an), (Jakarta:
Robbani Press, 2008).
________, Tafsir juz ʻAmma, (Lebanon: Dar al-Falah, 1967).
Rabbani. Mutmainnah Afra, 1001 kewajiban Istri dalam mengarungi bahtera
Rumah Tangga, (Tanggerang: Lembaga Pustaka Indonesia, 2014).
________,Mutmainnah Afra, 1001 kewajiban suami dalam mengarungi bahtera
Rumah Tangga, (Tanggerang: Lembaga Pustaka Indonesia, 2014).
Rahman al-Jaziri. Abdul, kitab „ala mazahib al-arbaʻah, (Beirut Libanon: Dar
ihya al-Turas al-Arabi).
Rahman Ghazaly. Abdul, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2006).
Ramulyo. Muhammad Idris, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta:Bumi Askara,
1996).
Rasyadi. Khoirul, Cinta dan Keterasingan, Editor M. Arif Hakim, cet. 1
(Yogyakarta: LKiS, 2000).
Shihab. M. Quraish, Al-Lubāb (makna dan tujuan dan pelajaran dari surah-surah
al-Qur‟ān), (Jakarta: Lentera Hati, 2012).
______,M. Quraish, Pengantin Al-Qur‟an, ( Jakarta: Lentera hati, cet IV, 2007).
Skripsi Ahmad Arifuz Zaki, Mahasiswa UIN Jakarta Fakultas Ushuluddin jurusan
ilmu al-Qur’an dan Tafsir, tahun 2017.
88
Skripsi Ahmad Sahal, Mahasiswa UIN Jakarta Fakultas Ushuluddin jurusan Tafsir
Hadits, tahun 1430 H/ 2009 M.
Skripsi Khusen As’ari, Mahasiswa UIN Jakarta Fakultas Ushuluddin jurusan
Tafsir Hadits, tahun 2009.
Skripsi Rofiq Rahardi, Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Fakultas
Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadist, tahun 1430 H/2008 M.
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Pperkawinan,
(Yogyakarta: Liberty, 2007).
Surachman. Winarto, Pengantar penelitian ilmiah: Dasar, Metode dasar teknik,
(Jakarta: Tarsita, 1990).
Syakir. Ahmad, Mukhtashar Tafsir Ibn Katsir, Terj. Suhairian, Lc. Dkk, (Jakarta:
Darus Sunnah Press, 2014).
Syarifuddin. Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana,
2009).
Syibromalisi. Faizah Ali dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-
Modern, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
2011).
Thohir. M dan Asrofi, keluarga sakinah dalam tradisi islam jawa (Yogyakarta:
Arindo nusa Media, 2006).
Tim Penyusun Kamus pusat pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988).
Zaini. Syahmini, Membina Rumah Tangga Bahagia, (Jakarta: Kalamulia, 2004).