penanggulangan gizi

11
2.3. Penanggulangan Gizi Buruk Masalah gizi kurang dan buruk makin lama makin disadari sebagai salah satu faktor penghambat proses pembangunan nasional. Angka kematian yang tinggi pada bayi dan anak, terganggunya pertumbuhan badan, menurunnya daya kerja, gangguan pada perkembangan mental dan kecerdasan serta terdapatnya berbagai jenis penyakit tertentu, merupakan akibat langsung maupun tidak langsung dari gizi buruk. Prediksi oleh Kepala Subdit Bina Kewaspadaan Gizi Direktorat Gizi Masyarakat Departemen Kesehatan Tatang S. Falah, bahwa dalam 15 tahun mendatang sebanyak lima juta anak Indonesia terancam kehilangan daya saingnya bila kasus gizi buruk tidak segera ditanggulangi. Masih menurut beliau: “masalah gizi buruk yang ada sekarang kalau tidak segera ditanggulangi akan menyebabkan balita di masa mendatang akan kehilangan kesempatan untuk menjadi sumber daya manusia yang berkualitas”. Ironisnya, kasus gizi buruk masih terjadi setelah hampir 20 tahun Konvensi Hak Anak (KHA) yang disetujui oleh PBB pada tanggal 20 November 1989. Dalam konvensi tersebut disebutkan anak-anak berhak untuk mendapatkan dan menikmati status kesehatan tertinggi. Pemerintah Indonesia memang telah lama berupaya untuk menanggulangi masalah gizi buruk. Salah satunya ketika pemerintah orde baru pada tahun 1979 menetapkan Trilogi Pembangunan pada Repelita III, yang menonjolkan pemerataan pembangunan dan hasil-hasil yang mengarah pada terwujudnya keadilan sosial. Segi pemerataan pembangunan tersebut

Upload: siska-yunita-ratnaningtyas

Post on 07-Dec-2015

2 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

ikm

TRANSCRIPT

Page 1: Penanggulangan Gizi

2.3. Penanggulangan Gizi Buruk

Masalah gizi kurang dan buruk makin lama makin disadari sebagai salah satu faktor

penghambat proses pembangunan nasional. Angka kematian yang tinggi pada bayi dan

anak, terganggunya pertumbuhan badan, menurunnya daya kerja, gangguan pada

perkembangan mental dan kecerdasan serta terdapatnya berbagai jenis penyakit tertentu,

merupakan akibat langsung maupun tidak langsung dari gizi buruk.

Prediksi oleh Kepala Subdit Bina Kewaspadaan Gizi Direktorat Gizi Masyarakat

Departemen Kesehatan Tatang S. Falah, bahwa dalam 15 tahun mendatang sebanyak

lima juta anak Indonesia terancam kehilangan daya saingnya bila kasus gizi buruk tidak

segera ditanggulangi. Masih menurut beliau: “masalah gizi buruk yang ada sekarang kalau

tidak segera ditanggulangi akan menyebabkan balita di masa mendatang akan kehilangan

kesempatan untuk menjadi sumber daya manusia yang berkualitas”.

Ironisnya, kasus gizi buruk masih terjadi setelah hampir 20 tahun Konvensi Hak

Anak (KHA) yang disetujui oleh PBB pada tanggal 20 November 1989. Dalam konvensi

tersebut disebutkan anak-anak berhak untuk mendapatkan dan menikmati status kesehatan

tertinggi.

Pemerintah Indonesia memang telah lama berupaya untuk menanggulangi masalah

gizi buruk. Salah satunya ketika pemerintah orde baru pada tahun 1979 menetapkan Trilogi

Pembangunan pada Repelita III, yang menonjolkan pemerataan pembangunan dan hasil-

hasil yang mengarah pada terwujudnya keadilan sosial. Segi pemerataan pembangunan

tersebut dituangkan dalam bentuk konsep 8 jalur pemerataan, antara lain adalah pemerataan

pemenuhan kebutuhan pokok rakyat banyak, khususnya pangan, sandang, dan perumahan

serta pemerataan memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan. Beberapa program

penanggulangan gizi buruk yang telah dilaksanakan, yaitu:

2.3.1. Usaha Perbaikan Gizi Keluarga (UPGK)

Salah satu usaha untuk mencapai tujuan program pangan dan perbaikan gizi Repelita

III ialah meningkatkan dan memperluas UPGK. UPGK adalah suatu paket kegiatan yang

terpadu guna menanggulangi masalah gizi, terutama KEP dengan kegiatan-kegiatan

penimbangan secara berkala pada anak-anak di bawah usia lima tahun di Posyandu. Usaha-

usaha tersebut tidak akan berdaya guna dan berhasil guna tanpa ditunjang oleh usaha-usaha

Page 2: Penanggulangan Gizi

di bidang lain secara terpadu. Oleh karena itu, usaha-usaha penanggulangan masalah

gizi memerlukan kerjasama dan koordinasi yang mantap antar berbagai sektor

pembangunan. Lebih dari itu, keberhasilan penanggulangan masalah gizi sangat tergantung

pada partisipasi aktif dari masyarakat.

Situasi krisis ekonomi, politik dan sosial yang terjadi di masyarakat sejak tahun

1997, menyebabkan pelaksanaan program pembangunan pangan dan perbaikan gizi semakin

melemah. Oleh karena itu dikeluarkan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Gerakan Nasional Penanggulangan Masalah Pangan dan Gizi. Dalam Gerakan Nasional

Penanggulangan Masalah Pangan dan Gizi ini, berbagai kegiatan masyarakat bersama

sektor terkait diarahkan untuk memenuhi kecukupan pangan di tingkat keluarga dan

mencegah serta menanggulangi masalah gizi di masyarakat.

Gerakan ini dilaksanakan dengan cara memanfaatkan dan mengembangkan

pekarangan dan lahan tidur untuk menambah sumber pangan keluarga; memacu

kegiatan industri pangan rumah tangga dan kegiatan lain untuk meningkatkan

pendapatan keluarga; memberikan perhatian pada pemenuhan kecukupan gizi anak balita,

ibu hamil dan ibu menyusui, memberikan ASI, MP-ASI dan makanan secara benar, serta

menimbang semua balita setiap bulan di Posyandu (Depkes, 1999: 4).

Menurut pemerintah, Posyandu merupakan salah satu bentuk Upaya

kesehatan Bersumber Daya Masyarakat (UBKM), yang dikelola dan diselenggarakan dari,

oleh, untuk dan bersama masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan,

guna memberdayakan masyarakat dan memberikan kemudahan kepada masyarakat dalam

memperoleh pelayanan kesehatan dasar (Depkes RI, 2006: 1). Namun, kegiatan Posyandu

mengalami kemunduran, terutama sejak krisis ekonomi pada tahun 1997. Kegiatan

penimbangan di Posyandu tidak lagi berfungsi seperti pada tahun 1970 dan 1980-an.

Berdasarkan hasil survey yang dilakukan Universitas Andalas Padang, Universitas

Hasanuddin Sulawesi Selatan dan Sekolah Tinggi Ilmu Gizi Jawa Timur pada tahun 1999,

diperoleh beberapa hal sebagai berikut:

1. Hanya sekitar 40% dari jumlah Posyandu yang ada, dapat menjalankan

fungsinya dengan baik.

2. Lebih dari separuh Posyandu, tidak memiliki peralatan yang memadai.

3. Sebagian besar Posyandu tidak memiliki tempat pelayanan yang layak, karena

menyelenggarakan kegiatan di gudang, garasi, atau rumah penduduk.

4. Pembinaan terhadap Posyandu masih belum merata.

Page 3: Penanggulangan Gizi

5. Sebagian besar Posyandu, belum memiliki jumlah kader yang cukup bila

dibandingkan dengan jumlah sasaran dan hanya 30% kader yang telah terlatih.

6. Sebagian besar kader belum mampu mandiri, karena sangat tergantung

dengan petugas Puskesmas sebagai Pembina, dan sementara itu penghargaan

terhadap kader masih rendah.

7. Cakupan Posyandu masih rendah, untuk balita yang sebagian besar adalah

anak usia di bawah 2 (dua) tahun, cakupannya masih di bawah 50%,

sedangkan untuk ibu hamil cakupannya hanya sekitar 20%.

8. Hampir 100% ibu menyatakan pernah mendengar Posyandu, namun yang

hadir pada saat kegiatan Posyandu kurang dari separuhnya.

Salah satu indikator keberhasilan Posyandu adalah kemampuan dari kader

tersebut. Hasil survey yang dilakukan Rienks dalam Dove (1985: 45-47) memberikan hasil

yang menarik. Sebanyak 37% kader sama sekali tidak mempunyai aktivitas apa-apa, 57%

hanya aktif sekali-kali dan bergantung pada petunjuk dari petugas kesehatan, dan hanya

5% yang memiliki “self motivated” serta memiliki standar pelaksanaan tugas sesuai

dengan pedoman latihan kader. Survei ini juga memberikan hasil bahwa hanya 7%

kader yang mengakui benar-benar mengerti latihan yang diberikan.

Oleh karena itu pemerintahan dalam Rencana Pembangunan Jangka

Menengah (RPJM) 2004-2009 bidang kesehatan, mengutamakan upaya preventif,

promotif dan pemberdayaan masyarakat. Salah satu bentuk pemberdayaan

masyarakat di bidang kesehatan adalah menumbuh-kembangkan Posyandu kembali

(Revitalisasi Posyandu). Pemberdayaan masyarakat dalam menumbuhkembangkan

Posyandu merupakan upaya fasilitas agar masyarakat mengenali masalah yang

dihadapi, merencanakan dan melakukan upaya pemecahannya dengan memanfaatkan

potensi setempat sesuai situasi, kondisi dan kebutuhan setempat (Dinkes Prop. Sumut, 2007:

1).

2.3.2. Program Pemberian Makanan

Program suplementasi makanan merupakan cara efektif untuk meningkatkan status

gizi anak yang kurang gizi. Tujuan utama program suplementasi makanan adalah: 1) untuk

meningkatkan status gizi anak, 2) untuk mencegah memburuknya status gizi, 3) untuk

membantu pengobatan penyakit infeksi, dan 4) untuk memfasilitasi program KIE untuk

Page 4: Penanggulangan Gizi

orang tua dan anak .

Penanggulangan kasus gizi buruk pada balita diwujudkan dalam bentuk PMT. PMT

diberikan untuk anak usia 6-11 bulan dalam bentuk MP-ASI atau blended food. Bagi anak

usia 12 – 59 bulan diberikan biskuit sebanyak 75 gram/hari dan susu bubuk sebanyak 80

gram/hari. PMT ini diberikan selama 90 hari dengan sasaran balita dari keluarga miskin.

Penelitian di NTT yang berkaitan dengan PMT, memberikan hasil hanya sekitar

34,7% balita gizi buruk yang mengalami kenaikan berat badan, 60,3% balita gizi buruk

tidak mengalami kenaikan berat badan sama sekali, bahkan terdapat 5% balita mengalami

penurunan berat badan.

Dengan kata lain, jangka waktu pemberian makanan tambahan harus diperhatikan,

PMT sebaiknya diberikan terus-menerus dengan mempertimbangkan masa pertumbuhan

kritis anak. Berdasarkan pengalaman di klinik gizi Bogor, untuk meningkatkan status gizi

dari gizi buruk ke gizi kurang diperlukan jangka waktu pelaksanaan PMT selama sekitar 6

bulan. Dalam program PMT skala besar yang dilakukan oleh petugas/kader setempat,

direkomendasikan untuk memperpanjang waktu PMT menjadi 10-12 bulan.

2.3.3. Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi)

Selain Posyandu, maka dikembangkan juga Kadarzi sebagai upaya agar keluarga

mampu mengatasi masalah gizi yang dialaminya. Keluarga dikatakan sadar gizi apabila telah

mempraktekkan perilaku gizi yang baik, seperti menimbang berat badan secara teratur,

memberikan Air Susu Ibu (ASI) saja kepada bayi sejak lahir sampai umur 6 bulan (ASI

eksklusif), makan beraneka ragam, menggunakan garam beryodium, dan minum suplemen

gizi sesuai anjuran.

Sasaran dari Kadarzi adalah keluarga, karena pengambilan keputusan dalam bidang

pangan, gizi dan kesehatan dilaksanakan terutama di tingkat keluarga. Selain itu, masalah gizi

yang terjadi di tingkat keluarga, erat kaitannya dengan perilaku keluarga, tidak semata-mata

disebabkan oleh kemiskinan dan ketidaktersediaan pangan.

Sudah begitu banyak program penanggulangan gizi buruk yang dilaksanakan, namun

mengapa masih ada kasus gizi buruk. Bahkan kasus gizi kurang tetap tinggi, jika tidak

ditangani segera dapat menimbulkan “booming” gizi buruk.

Apakah hal-hal yang terlewatkan, sehingga masalah tersebut belum dapat diatasi.

Analisis sepintas menunjukkan banyak program yang bersifat “top down dan instruktif”. Hal

Page 5: Penanggulangan Gizi

ini menyebabkan program-program tersebut tidak mempunyai pengaruh yang berkelanjutan.

Indikator-indikator pencapaian program banyak yang masih berorientasi jangka pendek, lebih

fokus ke indikator-indikator fisik, bukan mendorong terjadinya perubahan perilaku.

Berbagai program penanggulangan gizi buruk yang dilakukan

Pemerintah,kerapkali mengalami ketidakberhasilan ataupun program akan berhenti dengan

terhentinya aliran dana yang ada. Hal ini terjadi karena proses perencanaan dan pengambilan

keputusan dalam program pembangunan kerapkali dilakukan dari atas ke bawah (top-

down). Rencana program pengembangan masyarakat biasanya dibuat di tingkat pusat (atas)

dan dilaksanakan oleh instansi propinsi dan kabupaten. Masyarakat seringkali diikutkan tanpa

diberikan pilihan dan kesempatan untuk memberi masukan. Dalam visi ini masyarakat

ditempatkan pada posisi yang membutuhkan bantuan dari luar.

Kebijakan pemberdayaan masyarakat merupakan suatu usaha untuk mengurangi

upaya promosi kesehatan dengan pendekatan dari atas ke bawah (top- down), yang telah

terjadi selama ini. Pendekatan dari atas ke bawah ternyata tidak memandirikan masyarakat

dan memampukan untuk menjaga kesinambungan suatu program penanggulangan gizi

buruk. Pendekatan dari atas ke bawah ini pada akhirnya menimbulkan paradigma

ketergantungan pada masyarakat.

2.4. Pemberdayaan Keluarga dan Masyarakat

Kesehatan merupakan suatu hal yang sangat penting dalam kehidupan.

Perkembangan zaman dan perubahan lingkungan yang begitu cepat, mempengaruhi

kesehatan individu dan masyarakat, namun individu ataupun masyarakat tidak dapat dengan

cepat melakukan penyesuaian untuk tetap dapat menjaga kesehatannya, seperti kata

“kesehatan” merupakan konsep yang kompleks, yang mempunyai arti yang berbeda bagi

orang yang berbeda.

Untuk mengantisipasi hal tersebut maka dilakukan pendidikan kesehatan, yang

dengan semakin berkembangnya zaman maka terjadi perubahan-perubahan menjadi promosi

kesehatan. Istilah promosi kesehatan sebenarnya sudah lama dikenal sebagai satu kesatuan

pengertian tentang upaya kesehatan secara menyeluruh yaitu promotif, preventif, kuratif, dan

rehabilitatif. Promosi kesehatan adalah proses memberdayakan masyarakat untuk

Page 6: Penanggulangan Gizi

memelihara, meningkatkan dan melindungi kesehatannya melalui peningkatan

kesadaran, kemauan, dan kemampuan serta pengembangan lingkungan yang sehat.

Pemberdayaan adalah upaya meningkatkan kemampuan kelompok sasaran sehingga

kelompok sasaran mampu mengambil tindakan tepat atas berbagai permasalahan yang

dialami. Sasaran utama pemberdayaan adalah masyarakat yang terpinggirkan, termasuk

kaum perempuan, karena kaum perempuan adalah orang yang paling menentukan dalam

pola asuh dan pola pemberian makanan pada anak. Pemberdayaan adalah strategi

promosi kesehatan yang ditujukan kepada masyarakat langsung. Tujuan pemberdayaan

adalah membantu masyarakat memperoleh kemampuan untuk mengambil keputusan dan

menentukan tindakan yang akan dilakukan yang terkait dengan diri mereka. Pemberdayaan

dilakukan melalui peningkatan kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan

kemampuannya. Bentuk pemberdayaan ini dapat diwujudkan dengan berbagai kegiatan,

antara lain: penyuluhan kesehatan, pengorganisasian dan pengembangan

masyarakat.

Penggerakan dan pemberdayaan masyarakat merupakan proses pengorganisasian

masyarakat yang dimulai dari mengidentifikasi masalah yang dihadapi di masyarakat,

kemudian menyusun urutan prioritas masalah. Setelah prioritas masalah diperoleh, lalu

masyarakat mengupayakan untuk mencari sumber daya, baik yang ada di masyarakat itu

sendiri maupun di luar lingkungan masyarakat yang bersangkutan.

Sumberdaya tersebut diharapkan dapat dimanfaatkan untuk mengatasi

masalah yang ada melalui tindakan-tindakan yang diperlukan dengan cara kerjasama

dengan anggota masyarakat lainnya. Jadi pada dasarnya penggerakan dan

pemberdayaan masyarakat adalah suatu proses kegiatan masyarakat yang bersifat

setempat yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui

pemberian pengalaman belajar dan secara bertahap dikembangkan pendekatan yang

bersifat partisipatif dalam bentuk pendelegasian wewenang dan pemberian peran yang

semakin besar kepada masyarakat.

Proses pemberdayaan masyarakat merupakan upaya untuk

mengaktualisasikan potensi yang sudah dimiliki sendiri oleh masyarakat. Pendekatan

pemberdayaan masyarakat titik beratnya adalah penekanan pada pentingnya

masyarakat lokal yang mandiri sebagai suatu sistem yang mengorganisir diri mereka

sendiri. Masyarakat mampu untuk meningkatkan harkat dan martabat serta mampu

melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan.

Page 7: Penanggulangan Gizi

Penanggulangan gizi buruk yang menggunakan strategi pemberdayaan akan lebih

memampukan masyarakat untuk dapat berupaya mengatasi masalah yang ada, dengan

pemberdayaan akan meningkatkan kemandirian keluarga dan masyarakat dalam bidang

kesehatan dan gizi, sehingga masyarakat dapat memberikan andil dalam meningkatkan

derajat kesehatannya. Semua ini dapat terwujud dengan meningkatnya pengetahuan

masyarakat dalam bidang kesehatan dan gizi,meningkatnya kemampuan

masyarakat dalam pemeliharaan dan peningkatan derajat kesehatannya sendiri,

meningkatnya pemanfaatan fasilitas pelayanan kesehatan oleh masyarakat, dan terwujudnya

pelembagaan upaya kesehatan masyarakat di tingkat lapangan.