penataan sign pada koridor tunjungan kota surabaya …
TRANSCRIPT
Jurnal Tata Kota dan Daerah Volume 6, Nomor 1, Juli 2014 49
PENATAAN SIGN PADA KORIDOR TUNJUNGAN KOTA SURABAYA DALAM
UPAYA PERBAIKAN KUALITAS LINGKUNGAN PUSAT KOTA DENGAN
MEMPERTAHANKAN IMAGE SEBAGAI KAWASAN KONSERVASI CAGAR
BUDAYA
Ismail Wahyu Widodo, Bambang Soemardiono, Endang Titi Sunarti
Jurusan Arsitektur, FTSP ITS, Surabaya, Indonesia
Kampus ITS Keputih, Surabaya 60111, Telp. 031-5922425
e-mail: [email protected]
ABSTRAK
Kawasan Tunjungan merupakan pusat Kota Surabaya yang meliputi Embong Malang – Blauran – Praban –
Tunjungan. Sebagai pusat bisnis, maka fasade kawasan ini tidak lepas dari keberadaan reklame ruang luar atau
yang dalam penelitian ini akan disebut sebagai sign. Masalah yang terjadi adalah keberadaan private sign di
ruang luar bangunan konservasi tidak harmonis dengan wajah bangunannya yang dilindungi oleh Undang-
undang Cagar Budaya. Ketidakharmonisan tersebut berakibat pada perubahan image bangunan dan koridor di
jalan Tunjungan sebagai bagian dari kawasan cagar budaya Tunjungan. Oleh dari itu penelitian ini berupaya
untuk menemukan faktor, kriteria, prinsip dan konsep arahan untuk penataan sign yang sesuai dengan wajah
koridor Tunjungan sebagai kawasan cagar budaya. Kajian teori yang digunakan meliputi kajian image, kajian
karakter bangunan konservasi, kajian sign dan preseden. Hasil dari kajian terhadap referensi tersebut
menghasilkan 4 aspek, yaitu aspek estetika, aspek bangunan, aspek efektifitas dan aspek keselamatan dengan
masing-masing aspek memiliki komponen penyusunnya. Penelitian merupakan penelitian deskriptif dengan
pendekatan metode rasionalistik yang menggabungkan bukti empiris lapangan dan etika penataan fasade
bangunan cagar budaya. Dengan menggunakan Metode Perancangan Kota Moughtin (1999) maka dilakukan 4
proses dalam penelitian ini yang meliputi analysis-synthesis-appraisal-decision. Pembacaan terhadap koridor
dan bangunan kawasan ini menggunakan teknik Walkthrough Analysis dan Character Appraisal . Kemudian
hasil pembacaan tersebut dilakukan evaluasi dan pengkajian ulang terhadap referensi terpilih untuk
mendapatkan kriteria, penyusunan konsep dan memberikan arahan desain untuk penataan sign di koridor jalan
Tunjungan. Pada akhirnya penelitian ini menghasilkan kriteria desain fungsional, konsep desain dan arahan
teknis berdasarkan evaluasi terhadap aspek-aspek penataannya. Dengan penataan berdasarkan pengkajian
tersebut maka dihasilkan sign yang bisa mempertahankan image kawasan konservasi, mempertahankan
keutuhan bangunan konservasi, efektif dan efisien bagi pembaca sign, serta menjaga keselamatan pengguna
jalan dan kekuatan struktur bangunan akibat penempatan dari sign yang terpasang pada bangunan tersebut.
Kata Kunci : Cagar Budaya, Image kawasan konservasi, Metode, Sign
ABSTRACT
Tunjungan area is the center of Surabaya covering Embong Malang - Blauran - Praban - Tunjungan. As a
business center, building facade in the area can not be separated from the existence of outdoor advertisement, or
in this study, will be named as sign. In fact, private signs outside the buildings alongside the corridor are
experiencing visual disharmony order with their facade based on the fact that the buildings are preserved by
Heritage Act. As a result, building image along the corridor as heritage preservation area is deteoriating.
Therefore, factors, criteria, principles, and arrangement concept of sign arrangement which appropriately
match with the image of conservation area are needed. The study consists of image assessment, conservation
building character assessment, sign and precedent assessment. The result of the study has four aspects:
aesthetic, building, effectiveness, and safety aspects which have their own constituent component. The study is a
descriptive research with rationalistic method of approach which combines empirical evidence and building
facade arrangement ethics at preservation area. By using Urban Design Methods by Moughtin (1999), four
process is carried out in this study: analysis - synthesis - appraisal - decision. The corridor and buildings at the
area are analyzed using main technique: Walkthrough Analysis and Character Appraisal. Then the analysis is
evaluated and cross checked with the selected references to get criteria, preparation of design concepts, and to
provide guidance for the arrangement of building sign along Tunjungan corridor.Through these methods, it can
be identified functional design criteria, design concept, and technical referral based on evaluation of
arrangement aspects. Based on the assessment, the result of the study are: conservation area representative
sign, maintain the integrity of conservation building, effectiveness and efficiency for sign readers, as well as
maintaining the safety of road users and the strength of building structure due to the placement of a sign
mounted on the building.
Keywords: Heritage, Image of Conservation Area, Methods, Sign
PENATAAN SIGN PADA KORIDOR TUNJUNGAN KOTA SURABAYA DALAM UPAYA PERBAIKAN KUALITAS
LINGKUNGAN PUSAT KOTA DENGAN MEMPERTAHANKAN IMAGE SEBAGAI KAWASAN KONSERVASI CAGAR
BUDAYA
50 Jurnal Tata Kota dan Daerah Volume 6, Nomor 1, Juli 2014
PENDAHULUAN
Surabaya Utara adalah kawasan dengan
keunikan warisan budaya yang menjadi awal per-
jalanan panjang sejarah kota Surabaya. Kawasan
Surabaya Utara tersebut merupakan pusat regio-
nal yang menjadi awal mula sejarah perkem-
bangan kota Surabaya dan kemudian dikenal
sebagai kota bawah (Benedenstad) atau kota-tua
(Oude stad). Pusat pemerintahan ketika itu masih
berada di Utara Jembatan Merah, sehingga segala
pusat kegiatan masyarakat, termasuk di dalamnya
perdagangan dan jasa serta permukiman berada
di sekitar Jembatan Merah, Ampel dan Kembang
Jepun (Handinoto, 1996). Sementara kawasan
lain di luar Benedenstad termasuk kawasan Atas
(Bovenstad).
Pada awal tahun 1900-an, perkembangan
kota mulai mengarah ke Selatan dan Timur. Seki-
tar tahun 1905, kegiatan perdagangan mulai
meluas dan menyentuh kawasan Tunjungan. Per-
tumbuhan kota ini kemudian diikuti terbentuknya
pemerintah Surabaya (Gemeente Soerabaia) pada
1906 dan pembangunan kantor pemerintahan
serta penunjangnya berupa rumah sakit, sekolah,
permukiman serta klub-klub sosial melengkapi
kawasan elit Eropa yang tumbuh di kawasan Gu-
beng, Ketabang, Darmo-Kupang, dan Tegalsari-
Sawahan (Purwono, 2006).
Dalam perkembangannya, kawasan Tun-
jungan ini berkembang dengan sangat cepat dan
menjadi pusat kegiatan perkotaan, mulai pusat
kegiatan bisnis, wisata dan keagamaan. Wajah
bangunannya berubah secara drastis mengikuti
kebutuhan dan perkembangan jaman. Di sepan-
jang koridor muncul papan reklame/billboard dan
sign/penanda yang menutupi wajah bangunan
sehingga mengakibatkan menurunnya estetika
arsitektural dari bangunan yang tertutupi.
Reklame sebagai salah satu jenis elemen
penandaan (sign) memiliki arti penting bagi ma-
syarakat, swasta, Pemerintah Kota maupun bagi
perencana kota. Reklame bagi pengusaha meru-
pakan salah satu media pemasaran yang cukup
efektif untuk menyampaikan informasi produk-
nya. Sedangkan bagi masyarakat, media reklame
merupakan media penting untuk mendapatkan in-
formasi bukan saja informasi yang sifatnya ko-
mersial tetapi juga yang sifatnya non-komersial.
Bagi Pemerintah Kota, adanya reklame berarti
adanya peluang untuk meningkatkan PAD, se-
dangkan bagi perencana kota, reklame merupa-
kan elemen pendukung kota yang harus diatur/di-
rancang sedemikian rupa sehingga tercipta ling-
kungan kota yang indah dan tertib (Natalivan,
1997).
Gambar 1. Eksisting sign yang menutupi wajah
bangunan eks gedung Handelsbon (bekas kantor
perdagangan Hindia Belanda) di pojok
persimpangan jalan Tunjungan-Praban Kota
Surabaya dimana Proporsi a : b : c = lebar
reklame : lebar gedung : bagian gedung yang
tampak dari muka
Pada saat ini, keberadaan reklame yang
mendominasi wajah kawasan Tunjungan,
membentuk rangkaian (sequence) street picture
yang tidak teratur, baik dikarenakan isi reklame/
konten, dimensi, penempatan dan jenis medianya
tidak mendukung kultur dan karakter dari
kawasan tersebut sebagai kawasan konservasi.
Ketidak sesuaian keberadaan reklame di kawasan
ini mengakibatkan rusaknya nilai sejarah
kawasan dan nilai arsitektural kawasan.
Tabel 1. Daftar bangunan konservasi di
koridor Tunjungan yang menjadi obyek
pengamatan Bangunan Konservasi SK Walikota
1. Toko Lalwani (jl. Tunjungan
30)
2. Rabo Bank (jl. Tunjungan 60)
3. Eks- Master Springbed (jl.
Tunjungan 62)
4. Kantor Badan Pertanahan
Nasional (jl. Tunjungan 80)
5. Museum Perjuangan Pers
(jl.Tunjungan 100)
6. Tunjungan City/SIOLA
(jl.Tunjungan 1)
7. PT. Gading Murni (jl.
Tunjungan 27)
8. Tiger Office Chair (jl.
Tunjungan 33)
9. Yayasan Nurussalam (jl.
Tunjungan 39)
10. Grha Bank Benta
(jl.Tunjungan 41)
11. CIMB Niaga (jl. Tunjungan
47)
12. Eks-Gedung BCA (jl.
Tunjungan 51)
13. Hotel Mojopahit (jl.
Tunjungan 65)
188.45/004/402.1.04/1998/100
188.45/004/402.1.04/1998/045
188.45/004/402.1.04/1998/090
188.45/251/402.1.04/1996/028
188.45/251/402.1.04/1996/024
188.45/251/402.1.04/1996
(sebagai ikon kawasan)
188.45/004/402.1.04/1998/078
188.45/004/402.1.04/1998/091
188.45/004/402.1.04/1998/029
188.45/004/402.1.04/1998/092
188.45/004/402.1.04/1998/076
188.45/004/402.1.04/1998/098
188.45/251/402.1.04/1996/026
Sumber: SK. Walikota Surabaya nomor 188.45/251/402.1.04/ 1996
tentang Penetapan Bangunan Cagar Budaya dan SK. Walikota
Surabaya nomor 188.45/004/402.1.04/1998 tentang Penetapan
Benda Cagar Budaya Di Wilayah Kotamadya Kepala Daerah
Tingkat II Surabaya
a b
c
Ismail Wahyu Widodo, Bambang Soemardiono, Endang Titi Sunarti
Jurnal Tata Kota dan Daerah Volume 6, Nomor 1, Juli 2014
51
Gambar 2. Sequence yang terbentuk dari sign
pada muka bangunan saat ini dibandingkan wajah
bangunan aslinya pada th. 1945
(sumber : kiri:hasil survey, 2012; kanan: N.
Purwono, 2006)
METODE PENELITIAN
Pustaka
Kajian pustaka yang digunakan dalam
pengkajian aspek estetika ini adalah kajian Image
tentang kawasan cagar budaya. Image suatu ka-
wasan merupakan sebuah gambaran mental yang
terekam dalam memori orang yang melakukan
pengamatan terhadap kawasan tersebut ataupun
orang yang hanya sekedar melewati kawasan ter-
sebut saja. Image yang terekam dalam memori
seseorang adalah sejarah pertumbuhan, tipologi
bangunan dan morfologi kota (Rossi, 1982).
Image bisa direkam dan disusun dalam bentuk
rangkaian bingkai-bingkai gambar potret (Ashi-
hara, 1986). Image yang dipotret tersebut dapat
dipotret dalam bingkai geometrik dan estetika-
nya. Bingkai ruang perkotaan adalah fasade dan
ketinggian massa (elevation) serta mempunyai
nilai estetis yang dapat membuatnya diterima
sebagai ruang kota (urban space) (Krier, 1979).
Bidang – bidang image membentuk keter-
hubungan, akan membentuk sebuah serial vision
yang membentuk streetscape. Streetscape meli-
batkan semua elemen arsitektural agar menjadi
sebuah peristiwa menarik. Vision yang tercipta
harus bisa membangkitkan memori dan pengala-
man pengguna jalan. Estetika dipengaruhi 3 hal;
Orientasi, Posisi dan Isi (Cullen, 1961). Umum-
nya pengamat dalam mengamati sebuah street-
scape kawasan lebih cenderung melihat bagian
vertikal dari bidang muka bangunan secara lebih
dominan dibandingkan horizontalnya. Perulangan
garis vertikal imajiner dan tingkat kerapatan garis
vertikal sejajar akan memperkuat persepsi pem-
baca ruang dari bidang yang digambarkannya
(Ching, 1979). Image selain bisa dilihat juga
harus bisa ‘dirasakan’ sense of place-nya untuk
memperkuat kesan visual kawasan. Elemen fisik
dibutuhkan untuk membentuk kesan visual
dengan penataan yang mempunyai tujuan
penyampaian (Lynch, 1960).
Image suatu kawasan dapat dinilai dari
aspek Estetikanya, yang tentu saja berkaitan
dengan estetika arsitektural dari bangunan-
bangunan penyusunnya. Penilaian estetika
terhadap tampak bangunan dari sebuah karya
arsitektural secara intuisi dan rasional harus
mengikuit prinsip-prinsip estetika yang meliputi:
sumbu (axis), simetri, hirarki, irama, pengu-
langan, datum, transformasi, proporsi, skala,
keseimbangan, emphasis/ tekanan, solid/rongga
dan warna (Ching, 1979). Pertimbangan estetika
meliputi pertimbangan rasional dan pertimbangan
intuisi. (Purwadarminto, 1976 dalam Wondoami-
seno, 1994). Pertimbangan rasional yang paling
sering digunakan dalam merancang tampak
bangunan adalah (1) keseimbangan (balance), (2)
kesatuan (unity), (3) proporsi (proportion) dan
(4) skala (scale).
Penelitian yang dilakukan ini adalah pene-
litian deskriptif. Tujuan dari penelitian deskriptif
ini adalah membuat pencandraan (deskripsi) se-
cara sistematis, faktual dan akurat mengenai
fakta-fakta dan sifat-sifat populasi atau daerah
tertentu. Deskripsi yang dilakukan tidak perlu
mencari atau menerangkan saling hubungan,
melakukan test ‘hipotesis’ (jawaban sementara
terhadap masalah penelitian), membuat ramalan,
atau mendapatkan makna dan implikasi. Peneliti-
an ini hanya ditujukan untuk mencari informasi
faktual yang secara detail mencandra yang ada
(Darjosanjoto, 2006).
Pendekatan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah pendekatan rasionalistik.
Pendekatan rasionalistik adalah proses pengujian
kebenaran yang tidak hanya dilakukan melalui
empiri sensual semata (diukur dengan indera)
tetapi dilanjutkan dengan pemaknaan dengan
menggunakan empiri logik dan etik. Berdasarkan
empiri sensual, empiri logik, empiri etik serta
didukung oleh landasan teori yang sesuai dengan
bahasan penelitian, komponen tersebut sebagai
alat yang digunakan untuk memaknakan kembali
hasil dari analisis data (hasil hipotesa),
mempresentasikan temuan serta pembahasan
(pemaknaan hasil temuan) (Moehadjir, 2000).
Dalam proses Urban Desain, Moughtin
(1999) mendeskripsikan bahwa proses urban
desain merupakan perpaduan antara proses dalam
perencanaan urban dan perencanaan arsitektur.
Proses urban desain tidak bersifat progresif linier,
tetapi setiap fasenya diselesaikan secara lengkap
sebelum melaksanakan proses selanjutnya.
Dalam proses ini dimungkinkan terjadinya
pengulangan pada bagian tengah proses karena
adanya tambahan data atau hal lainnya, sehingga
prosesnya dianggap bersifat berulang (cyclical)
pada bagian tengah (intermediate) loops. Sebagai
contoh, setelah evaluasi dari rencana atau konsep
alternative maka mungkin dibutuhkan untuk
mendefinisikan ulang tujuan atau mengumpulkan
PENATAAN SIGN PADA KORIDOR TUNJUNGAN KOTA SURABAYA DALAM UPAYA PERBAIKAN KUALITAS
LINGKUNGAN PUSAT KOTA DENGAN MEMPERTAHANKAN IMAGE SEBAGAI KAWASAN KONSERVASI CAGAR
BUDAYA
52 Jurnal Tata Kota dan Daerah Volume 6, Nomor 1, Juli 2014
data tambahan atau menganalisa data melalui
metode yang lain.
Gambar 3. Desain proses dalam pengembangan
kriteria, konsep dan arahan penataan kawasan
Tunjungan
(sumber : Moughtin, 1999)
Langkah Penelitian
Gambar 4. Metode Urban Desain dalam
pengembangan kriteria, konsep dan arahan
penataan kawasan Tunjungan
(sumber : Moughtin, 1992 dan Moughtin, 1999)
Langkah penelitian ini merupakan turunan
dari proses umum dalam Urban Planning, Urban
Design dan Arsitektur yaitu Analysis – Synthesis
– Appraisal–Decision. Dengan memadukan
proses dalam perencanaan urban dan perencanaan
arsitektur serta memasukkan proses induksi dan
deduksi untuk menjaga keberlangsungan proses
ilmiah, maka disusunlah proses ilmiah yang
memasukkan permasalahan dalam teori yang ada,
untuk kemudian dilakukan deduksi logis. Setelah
melakukan pengamatan lapangan akan ditemukan
permasalahan-permasalahan baru yang perlu
dikaji kembali dengan peraturan dan teori yang
ada dan dilakukan proses investigasi serta
penyusunan program. Setelah itu dilakukan
proses evaluasi terhadap ide dan keputusan yang
diambil dari teori yang sudah dipilih dan
dilanjutkan untuk penentuan solusi praktis dan
dikaji ulangkan kembali dengan teori sehingga
terbentuk konstruksi skema penyelesaian masalah
yang bisa disebut sebagai kriteria, konsep dan
arahan penataan kawasan (Moughtin, 1999).
Aspek Penelitian dan Alat Analisa
Penelitian ini menitikberatkan pada aspek
Estetika yang bertujuan untuk memberi gambaran
mengenai pemahaman terhadap image suatu
koridor, menjelaskan komponen-komponen
pembentuk sebuah image, menjelaskan
bagaimana image ditangkap pembaca dan proses
membaca sebuah image (Rossi, 1982; Krier,
1979; Ashihara, 1986; Ching, 1979; Cullen,
1961) dan menjelaskan bagaimana unsur
pembentuk image yang tercipta memberikan
pengaruh estetika pada sebuah koridor ruang kota
(Shirvani, 1985; Ching, 1979).
Alat analisa yang digunakan pada
penelitian ini memiliki dasar untuk memberikan
penilaian secara kualitatif. Alat analisa tersebut
Walkability/Walkthrough Analysis (Manaugh,
2011) dan Character Appraisal (UDT, 2006).
Dalam pelaksanaannya, teknik Walk-
through Analysis dilakukan dengan melakukan
pengamatan dan presentasi data yang
dilakukan pada sepenggal ruas jalan dengan
pengelompokan data bangunan konservasi.
Dalam teknik ini, bangunan didokumentasikan
sedemikian rupa sehingga dapat menunjukkan
fasade bangunan dan sign/reklame ruang luar
agar dapat dijadikan sebagai sumber data
lapangan dari penelitian ini. Data dan/atau
informasi diperoleh dari dokumentasi pribadi,
serta catatan dan dokumentasi stakeholder terkait
yang dalam hal ini adalah Dinas Pariwisata dan
Kebudayaan Kota Surabaya serta responden dari
kalangan ahli konservasi dirangkum dalam
tulisan dan/ atau tampilan gambar/sketsa yang
memperlihatkan segmen-segmen wilayah
penelitian.
Character appraisal digunakan dalam
mengidentifikasi karakter lingkungan kawasan
konservasi cagar budaya yang telah
mempertahankan otentisitas elemen-elemen
bangunannya dari bentuk dan karakter
bangunannya. Hal ini memungkinkan untuk
memberikan pengukuran nilai dan pentingnya
kawasan terhadap kota secara keseluruhan
dimana penilaiannya mencakup sejumlah fitur
bangunan, antara lain : (1) Penilaian bangunan
(usia, tipe, skala, ketinggian dan gaya); (2) massa
bangunan; (3) ukuran site; (4) kemunduran
bangunan (GSB, GSSB, GSBB); (5) penilaian
karakter jalan (pola, desain, lebar); (6) fitur
lansekap kawasan (detail pagar/ tembok, spesies
dan dimensi kanopi tanaman, penggunaan paving
pada pedestrian dan street furniture); dan (7)
karakter visual lainnya yang berpengaruh
terhadap sudut pandang, kemudahan memandang
dan keterkaitannya dengan fokus penglihatan
Ismail Wahyu Widodo, Bambang Soemardiono, Endang Titi Sunarti
Jurnal Tata Kota dan Daerah Volume 6, Nomor 1, Juli 2014
53
bagi pengguna jalan untuk mengenali karakter
sign di koridor jalan Tunjungan.
Komponen Penelitian
Manaugh (2011) menjelaskan bahwa
walkability adalah ukuran sejauh mana
masyarakat mau menikmati pergerakan dan
melakukan aktifitas lainnya dengan berjalan kaki
secara baik dan menyenangkan. Sedangkan Grant
(2009) menegaskan bahwa Walkabilitas dapat
ditingkatkan dengan peningkatan keterbacaan
koridor (legibility) dan kejelasan sign
(wayfinding sign). Faktor yang mempengaruhi
adalah (1) Kesinambungan (Connectivity),
berkaitan dengan Kesinambungan antar
bangunan dalam satu koridor (serial vision) yang
mempengaruhi bentuk dan tatanan sign di fasade
bangunan; (2) Kejelasan (Conspicious), berkaitan
dengan kemudahan sign untuk dilihat.
Kesinambungan dipahami sebagai
keterkaitan antara fasade bangunan satu dengan
bangunan berikutnya, bangunan dengan sign di
muka bangunan dan bangunan dengan street
furniture, dengan parameternya adalah jarak
dalam satuan meter antara bangunan satu dengan
bangunan berikutnya dan keselarasan bentuk
dasar antara bangunan satu dengan bangunan
berikutnya.
Sedangkan Kejelasan dipahami sebagai
kemampuan Sign dalam memberikan informasi
yang jelas dan mudah dipahami pembacanya
dengan parameter ukur berupa ukuran huruf
sesuai aturan proporsi perbandingan jarak baca
antara pembaca dengan tulisan dan desain tulisan
memiliki kesesuaian antara dimensi, warna dan
pencahayaannya.
Untuk memperkuat kedua komponen
tersebut, maka dipergunakan teknik character
appraisal. Character Appraisal dipahami
sebagai proses identifikasi dari pola
perkembangan yang khas dari suatu kawasan
yang memberikan gambaran menyeluruh dari
lingkungan tersebut mulai awal waktu
pengembangan hingga saat ini(UDT, 2006).
Wondoamiseno (1994) memberikan kesimpulan
bahwa unsur-unsur bentuk arsitektur bangunan
yang umum digunakan untuk penilaian estetika
setidaknya bisa dinilai dari aspek keseimbangan
(balance), kesatuan (unity), proporsi (proportion)
dan skala (scale).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Walkthrough Analysis
Walkthrough analysis ini digunakan
dengan cara penelusuran pada jalan Tunjungan
yang dibagi dalam 2 sekuen jalan.
Gambar 5. Pembagian koridor wilayah
pengamatan
Komponen Kesinambungan
a. Reklame berbentuk bando/melintang di
tengah jalan dan JPO memutus
kesinambungan dari enclosure sebuah
koridor menjadi terputus.
Gambar 6. Bangunan JPO Tunjungan
Electronic Center yang memutus
kesinambungan koridor bangunan
b. Ketinggian kanopi pohon, ketinggian atap
bangunan dan ketinggian pemasangan sign
pada levelling bangunan dapat membantu
membentuk sebuah garis koneksi yang
menghubungkan antar bangunan sehingga
membentuk rangkaian kesinambungan antar
bangunan.
AURORA SHOPPING
J L
. T U
N J
U N
G A
N
S I O L A
TUNJUNGAN CENTER
TOKO BUKUSARIAGUNG
CENTER
PASAR TUNJUNGAN BARU
KMS
KANTOR AGRARIA
BERRETY SERVICE
FIAT MOTOR
JL. KE NARI
JL. T
U N
J U
N G
A N
JL.Genteng Besar
AURORA SHOPPING
J L
. T U
N J
U N
G A
N
S I O L A
TUNJUNGAN CENTER
TOKO BUKUSARIAGUNG
CENTER
PASAR TUNJUNGAN BARU
KMS
KANTOR AGRARIA
BERRETY SERVICE
FIAT MOTOR
JL. KE NARI
JL. T
U N
J U
N G
A N
JL.Genteng Besar
GEMBLONGAN GG. II
Jl. P r a b a n
Jl. Praban
Jl. Praban W
etan III
JL. KE NARI
100
65-83
85-99
94-98
57
86-92
80
53-55
51
39
84
82
78
76
74
72
70
66-68
62
60
58
37A
37
15
13
11
1
6A
12
2-10
14
16
18,20-22
20-22
30
32
34
36
38
40-42
44-46
48
52
54
56
59
6163
0 25 50 75 100 m
Ket : jalur pengamatan
dibagi dalam 2 sekuen;
Jalur 1-2 :
dari perempatan
Tunjungan City –
pertigaan Genteng
Besar
Jalur 2-3 :
dari pertigaan
Genteng Besar –
pertigaan Embong
Malang
PENATAAN SIGN PADA KORIDOR TUNJUNGAN KOTA SURABAYA DALAM UPAYA PERBAIKAN KUALITAS
LINGKUNGAN PUSAT KOTA DENGAN MEMPERTAHANKAN IMAGE SEBAGAI KAWASAN KONSERVASI CAGAR
BUDAYA
54 Jurnal Tata Kota dan Daerah Volume 6, Nomor 1, Juli 2014
Gambar 7. Kesinambungan terbentuk dari
kesamaan tinggi atap bangunan
c. Kemunduran bangunan dari Ruang Milik
Jalan mempengaruhi lebar Garis Sempadan
Bangunan juga mempengaruhi kesinam-
bungan garis enclosure koridor. Semakin
mundur suatu bangunan, maka akan membu-
at “lubang” pada garis massa bangunan
kawasan yang membuat garis enclosure ter-
putus di suatu titik.
Gambar 8. “Lubang” yang tercipta akibat
perbedaan D/H antar bangunan
d. Jarak antar bangunan yang semakin rapat
atau memiliki D/H<1 membentuk kesinam-
bungan antar bangunan yang erat pada kori-
dor jalan Tunjungan. D/H adalah perban-
dingan antara jarak lebar antar bangunan
dengan ketinggian bangunan. Jika D/H <1
maka kesannya adalah sempit, D/H=1 maka
kesannya harmonis, dan D/H>1 maka kesan
yang timbul adalah sunyi/lengang (Ashihara,
1970). Jarak antara bangunan dan sign
mempengaruhi bentuk massa bangunan,
sehingga semakin dekat jarak bangunan
dengan sign maka kesinambungan massa
bangunan tidak terputus.
e. Kecepatan berkendara mempengaruhi
pengamatan terhadap sign di fasade bangu-
nan, dimana jika pengendara menjalankan
kendaraan semakin cepat maka sign akan se-
makin tidak terlihat. Dimana hal ini selaras
dg pendapat Motloch (2011), dimana derajat
konsentrasi pengendara meningkat seiring
bertambahnya kecepatan kendaraan : yaitu
ketika kecepatan pengendara semakin me-
ningkat, perasaan dan waktu reaksi menjadi
lebih penting, jumlah stimulan visual sema-
kin meningkat dan relevansi dari informasi
yang terlihat menjadi lebih penting sekali.
Penglihatan berfokus pada jalur di depan,
dimana path atau jalur jalan terlihat secara
langsung di depan mata secara nyata.
f. Pengamatan terhadap enclosure koridor
Tunjungan terbentuk dari garis imajiner
yang tersambung antar ketinggian bangunan
dan keteraturan massa bangunan yang jika
dilihat dari ujung jalan Tunjungan akan
membentuk sebuah garis maya yang memu-
sat ke sebuah titik di ujung jalan. Enclosure
juga terbentuk dari sign di muka bangunan,
baik yang terpisah ataupun bersatu dengan
bangunan. Sehingga posisi sign juga mem-
bantu terbentuknya jalinan antar bangunan.
Sesuai dengan Cullen (1961) yang menyata-
kan bahwa sebuah kota tidak dapat dilihat
dalam satu titik saja, melainkan juga suatu
proses pengamatan di dalam gerakan. Cullen
memakai istilah ‘optik’ untuk proses terse-
but dan membagi dua kelompok, yang perta-
ma existing view yang berfokus pada satu
daerah saja dan yang kedua emerging view
yang berfokus pada kaitan antara satu daerah
dengan yang lain. Enclosure termasuk dalam
bagian proses emerging view, dimana sering
kali seseorang ketika berorientasi terhadap
lingkungannya melakukannya tanpa sadar.
Komponen Kejelasan
a. Tinggi huruf dan panjang kata dalam sign
sangat mempengaruhi kejelasan pembacaan
terhadap sebuah sign bagi pengguna
kendaraan bermotor.
Tabel 2. Hubungan antara kecepatan dengan
tinggi huruf yang ekuivalen untuk membaca
sign dengan pembacaan lateral untuk 6 huruf 6 Huruf
Kecepatan
(km/jam)
Ketinggian huruf capital (mm) yang ekuivalen
dengan jarak pembacaan lateral offset (meter)
30 25 20 15 12 10
60 392 335 278 221 187 164
70 401 344 287 230 196 -
80 409 352 295 238 204 -
90 418 361 304 247 - -
100 426 369 312 255 - -
110 434 377 320 - - -
120 443 386 - - - -
Sumber : Roadside Advertising Guide (2013:48)
b. Sudut pandang seorang pengamat ketika
melihat sign yang berada di zona ‘nyaman
melihat’ sangat mempengaruhi keterbacaan
dari pesan yang ada dalam sign, sehingga
selain sudut pandang dari pembaca terhadap
sign maka arah hadap dan posisi
penempatan sign terhadap bangunan juga
harus diletakkan tegak lurus dengan fasade
bangunan agar bisa terlihat oleh pembaca
baik yang berjalan kaki maupun
berkendaraan bermotor.
Ismail Wahyu Widodo, Bambang Soemardiono, Endang Titi Sunarti
Jurnal Tata Kota dan Daerah Volume 6, Nomor 1, Juli 2014
55
Gambar 3. (a) Hubungan antara kecepatan
berkendara dengan jarak fokus pengemudi
dan (b) hubungan antara kecepatan berkendara
dengan sudut pheriperal vision
(Sumber : Motloch, 2001 : hal. 127)
Gambar 4. Sudut yang dibutuhkan pembaca
berkendaraan bermotor dengan posisi sign
menghadap tegak lurus kepada pembaca
(Sumber : Grove, 2006)
c. Pengendara bermotor di jalan Tunjungan
akan mengalami kesulitan dalam mengamati
sign jika bergerak terlalu cepat, umumnya
kecepatan bergerak di jalan ini saat kondisi
peak hour adalah antara 10-30 km/jam. Se-
hingga disarankan agar pengamatan menjadi
efektif untuk berada pada kecepatan 5 m/s
atau 18 km/jam. Jumlah huruf yang banyak
mempersulit pembacaan, karena membutuh-
kan waktu yang lebih banyak. Untuk
pembacaan salah satu sign terpanjang yaitu
“ASURANSI WAHANA TATA”, jumlah
hurufnya adalah 18 huruf, sehingga dengan
rumus DMR (2002) dan Motloch (2001)
didapatkan bahwa Jarak pembaca mulai
melakukan observasi terhadap sign (L) ada-
lah 76,77 m; Jarak pembaca mulai membaca
sign (2/3L) adalah 50,8 m; Jarak pembaca
harus menghentikan pembacaan sign (S cot
θ) adalah 28,356 m; dan Panjang jarak yang
diperbolehkan seorang pembaca membaca
sign (0,25Nv) adalah 22, 5m. Artinya serang
pembaca bermotor dengan kecepatan 18
km/jam harus bisa membaca sign dalam
waktu kurang dari 4,5 detik. Dengan batasan
tersebut, maka pembacaan sign untuk semua
bangunan dari Yayasan Nurussalam-Rabo
Bank hingga Museum Pers masih bisa dila-
kukan, namun tidak untuk deret bangunan
eks-Pasar Tunjungan mulai dari BPN hingga
gedung Museum Pers. Sign pada gedung
museum pers tidak dapat dibaca dari arah
Jalan Tunjungan karena posisi sign berada di
bagian Selatan-Barat menghadap jalan Em-
bong Malang, sedangkan jalan Tunjungan
merupakan jalan satu arah dari Utara ke
Selatan, sehingga untuk membaca sign ba-
ngunan ini harus dilihat dari arah Embong
Malang. Sehingga disimpulkan bahwa pem-
bacaan terhadap sign yang memiliki arah
hadap searah dengan jalan Tunjungan me-
nyulitkan bagi pengguna jalan disebabkan
sudut yang dibentuk berada di luar kurva
sudut pandang yang nyaman digunakan
untuk membaca. Selain itu pembacaan sign
dengan sudut pandang yang sulit terbaca
dapat membahayakan keselamatan berken-
dara bagi pengguna kendaraan bermotor.
Sebaliknya pembaca sign yang berjalan di
atas pedestrian ways yang terletak di bawah
kanopi bangunan tidak mengalami kesulitan
ketika membaca sign yang berada di sebe-
rang jalan, akan tetapi justru mengalami ma-
salah ketika membaca sign yang berada di
sisi jalan yang sama dengan pembaca. Hal
ini dikarenakan sign terletak di fasade
bangunan, sedangkan pembaca berada di
bawah kanopi bangunan atau memiliki sudut
baca yang diluar zona nyaman. Oleh karena
itu bangunan di jalan Tunjungan memerlu-
kan jenis marquee sign dan projected sign
yang menghadap ke arah pembaca agar
identitasnya bisa dikenali.
Character Appraisal
Komponen Keseimbangan
a. Keseimbangan visual yang dimaksud adalah
kondisi dimana obyek-obyek dalam formasi
yang bersangkutan telah demikian menyatu-
nya. Obyek yang dimaksud adalah sign dari
bangunan itu sendiri dengan bangunannya.
Keseimbangan yang dimaksud adalah
keseimbangan bentuk, proporsi, warna dan
gaya dengan karakter bangunan
(Wondoamiseno, 1996).
b. Di antara bangunan-bangunan tersebut yang
sudah memiliki keseimbangan dalam
bentuk, proporsi, warna dan gaya dengan
karakter bangunan adalah sign milik Kantor
BPN, Hotel Mojopahit, Rabo Bank dan
Toko Lalwani.
c. Ukuran keseimbangan bentuk, proporsi,
warna dan gaya dengan karakter bangunan
bersifat sangat subyektif namun bisa dirasa-
kan oleh pengamat. Pengamatan terhadap
a b
PENATAAN SIGN PADA KORIDOR TUNJUNGAN KOTA SURABAYA DALAM UPAYA PERBAIKAN KUALITAS
LINGKUNGAN PUSAT KOTA DENGAN MEMPERTAHANKAN IMAGE SEBAGAI KAWASAN KONSERVASI CAGAR
BUDAYA
56 Jurnal Tata Kota dan Daerah Volume 6, Nomor 1, Juli 2014
komponen ini hanya bisa dilakukan oleh
pembaca sign yang berjalan kaki, sedangkan
pengamat berkendaraan bermotor tidak akan
bisa mengamati dikarenakan posisi penga-
mat yang tidak menghadap tegak lurus pada
fasade bangunan yang diamati.
Gambar 5. Contoh bangunan yang memiliki
keseimbangan dalam bentuk, proporsi, warna
dan gaya dengan karakter bangunan
d. Secara formasi sign, di jalan Tunjungan
terdapat 7 bangunan konservasi yang meng-
gunakan keseimbangan simetris, 3 bangunan
asimetris dan 3 bangunan tidak memiliki
formasi keseimbangan sign. Secara umum
formasi penempatan sign di bangunan ko-
lonial pada umumnya menggunakan formasi
keseimbangan simetris terhadap bangunan.
Komponen Kesatuan
a. Kesatuan yang dimaksud adalah melihat
sign dan bangunan sebagai satu keseluruhan
utuh (dominasi, pengulangan dan kesinam-
bungan) (Wondoamiseno, 1996).
Gambar 6. Contoh bangunan yang memiliki
kesatuan dalam dalam dominasi, pengulangan
dan keseimbangan dengan karakter bangunan
b. Kesatuan dari sign dengan bangunan
diperoleh dari keberadaan ukuran dimensi
sign yang tidak mendominasi terhadap
bangunan. Dimensi sign memiliki ukuran
yang sesuai dengan bagian bangunan yang
bisa ditempeli sign namun tetap bisa terlihat
dengan baik oleh pengguna jalan. Ke tidak-
dominanan sign yang baik dapat dilihat pada
bangunan Hotel Mojopahit, museum Pers
atau pada Rabo Bank.
c. Kesatuan dari sign dengan bangunan akibat
pengulangan/repetisi dari bisa dilihat dari
Museum Pers yang menempatkan beberapa
sign di sisi bangunan sebagai penguatan dan
pengenalan identitas bangunan dengan de-
sain sign yang senada dan pada hotel Mojo-
pahit yang melakukan ekstensifikasi bentuk
sign dengan bentuk wallsign, free standing
sign, projected sign dan awnings yang
selaras dengan tema langgam bangunan.
d. Kesatuan dari sign dengan bangunan juga
diperoleh dengan pengulangan/repetisi yang
menempatkan beberapa sign di sisi
bangunan sebagai penguatan dan pengenalan
identitas bangunan dengan desain sign yang
senada dan ekstensifikasi bentuk sign
dengan bentuk wallsign, free standing sign,
projected sign dan awnings yang selaras
dengan tema langgam bangunan.
Komponen Proporsi
a. Proporsi sign mengambil perbandingan
panjang dan lebar sign dengan bangunan,
dimana pengamatan proporsi ini dilakukan
dengan menggunakan pengamatan secara
visual (Wondoamiseno, 1996). Proporsi
yang dimaksud bukan hanya pada bagian tu-
lisan pengenal bangunan saja, tetapi menca-
kup juga pada material penyangga/bidang
papan sign yang menyangga sign ke tembok
bangunan.
Gambar 7. Contoh bangunan yang memiliki
proporsi baik dalam pada koridor jalan
Tunjungan
b. Bangunan yang sudah memiliki proporsi
visual baik, pada umumnya menggunakan
bentuk sign dari tulisan yang diemboss
keluar. Proporsi ini selain memberikan
kesan menarik, juga terlihat tidak menguasai
bangunan dan bagian bangunan yang
tertutupi masih tetap bisa terlihat. Bangunan
yang menjadi contoh adalah Museum Pers,
Hotel Mojopahit dan Tunjungan City.
Ismail Wahyu Widodo, Bambang Soemardiono, Endang Titi Sunarti
Jurnal Tata Kota dan Daerah Volume 6, Nomor 1, Juli 2014
57
c. Sedangkan yang menggunakan bidang
papan atau bahan fiber dengan pencahayaan
internal sebagai landasan tulisan, yang
proporsinya baik adalah milik Yayasan
Nurussalam dan Rabo Bank. Papan sign
milik Yayasan Nurussalam bisa terlihat
menyatu dengan bagian bangunan karena
tersamarkan dengan bentuk tutupan angin-
angin dari gedung yang memiliki proporsi
yang sama dengan sign. Sedangkan papan
fiber milik Rabo Bank terkesan seolah-olah
membentuk dinding penghalang tampias
hujan untuk gedung.
d. Bangunan juga memiliki proporsi visual
yang baik jika papan sign bisa terlihat
menyatu dengan bagian bangunan karena
tersamarkan dengan bentuk salah satu
komponen fasade bangunan dari gedung
yang memiliki proporsi yang sama dengan
sign atau terkesan seolah-olah membentuk
salah satu komponen fasade bangunan.
Komponen Skala
a. Pendekatan skala mirip dengan pendekatan
proporsi, hanya saja pada skala ini
menggunakan perbandingan skala manusia
dengan bangunan dan manusia dengan sign
(Wondoamiseno, 1996). Pengamatan
terhadap skala ini juga dilakukan dengan
menggunakan pengamatan secara visual,
dimana pengamat tidak melakukan
pengukuran secara teknis tapi hanya
membandingkan dari sudut pandang
pengguna jalan.
b. Bangunan yang sudah memiliki skala visual
baik, pada umumnya menggunakan bentuk
sign dari tulisan yang di-emboss keluar.
Kesan yang menarik terlihat karena skala
sign tidak menguasai bangunan dan bagian
bangunan yang tertutupi masih tetap bisa
terlihat. Bangunan yang menjadi contoh
adalah Museum Pers, Hotel Mojopahit dan
Tunjungan City.
Gambar 8. Contoh bangunan yang memiliki
skala sign yang baik pada koridor jalan
Tunjungan
c. Sedangkan yang menggunakan bidang
papan atau bahan fiber dengan pencahayaan
internal sebagai landasan tulisan, yang
skalanya sudah cukup baik adalah milik
Yayasan Nurussalam dan Rabo Bank. Skala
papan sign milik Yayasan Nurussalam
terlihat tidak dominan terhadap fasade
bangunan karena tersamarkan dengan
bentuk tutupan angin-angin dari gedung
yang memiliki proporsi yang sama dengan
sign dan membentuk kesamaan bentuk
horizontalitasnya. Sedangkan papan fiber
milik Rabo Bank membentuk skala yang
sesuai dengan ukuran dinding penghalang
tampias hujan.
d. Khusus pada sign milik CIMB Niaga ada
beberapa catatan khusus, secara skala
memang ukuran sign ini sudah terlihat
sesuai dengan ukuran dan bentuk gedung,
akan tetapi penempatan yang menutupi
beberapa elemen detil bangunan perlu
menjadi pertimbangan tersendiri untuk
melakukan desain ulang terhadap bentuk,
dimensi dan penempatannya.
e. Sehingga disimpulkan bahwa : (1) Skala
sign yang baik adalah yang tidak menguasai
bangunan dan bagian bangunan yang
tertutupi masih tetap bisa terlihat. (2) Skala
sign yang baik adalah yang tidak dominan
terhadap fasade bangunan dengan cara
menyamarkan ukuran dengan komponen
fasade gedung yang memiliki proporsi yang
sama dengan sign dan membentuk kesamaan
bentuk horizontalitasnya. (3) Skala sign
yang baik adalah yang memiliki penempatan
di fasade bangunan yang tepat, sehingga
tidak menutup bidang pandang ke komponen
fasade dari bangunan konservasi.
Proses berikutnya setelah mendapatkan
hasil penelusuran melalui Walkthrough dan
penguatan data bangunan melalui Character
Appraisal adalah penyusunan appraisal dan
decision. Agar lebih mudah terbaca maka disusun
dalam tabulasi dengan susunan sebagai berikut :
Gambar 9. Susunan posisi penyusunan
Alternatif pemecahan masalah hingga
pengambilan keputusan akhir pemilihan arahan
penempatan sign
PENATAAN SIGN PADA KORIDOR TUNJUNGAN KOTA SURABAYA DALAM UPAYA PERBAIKAN KUALITAS
LINGKUNGAN PUSAT KOTA DENGAN MEMPERTAHANKAN IMAGE SEBAGAI KAWASAN KONSERVASI CAGAR
BUDAYA
58 Jurnal Tata Kota dan Daerah Volume 6, Nomor 1, Juli 2014
Pembahasan hasil Walkthrough pada Aspek
Kesinambungan dan Kejelasan
Fakta Lapangan :
a. Reklame berbentuk bando/melintang di
tengah jalan dan JPO dapat membuat bentuk
kesinambungan dari enclosure sebuah
koridor menjadi terputus.
b. Ketinggian kanopi pohon, ketinggian atap
bangunan dan ketinggian pemasangan sign
pada levelling bangunan dapat membantu
membentuk sebuah garis koneksi yang
menghubungkan antar bangunan sehingga
membentuk rangkaian kesinambungan antar
bangunan.
c. Kemunduran bangunan dari Ruang Milik
Jalan mempengaruhi lebar Garis Sempadan
Bangunan juga mempengaruhi kesinambu-
ngan garis enclosure koridor. Semakin mun-
dur suatu bangunan, maka akan membuat
“lubang” pada garis massa bangunan kawa-
san yang membuat garis enclosure terputus
di suatu titik.
d. Kecepatan berkendara mempengaruhi
pengamatan terhadap City gate, dimana jika
pengendara menjalankan kendaraan semakin
cepat maka City gate akan semakin tidak
terasa.
e. Pengamatan enclosure koridor terbantu
dengan ketinggian bangunan dan keteraturan
massa bangunan yang memudahkan
pengamat melihat detil bangunan, termasuk
di dalamnya sign sebagai bagian bangunan
yang bisa membantu membentuk sebuah
enclosure dalam deret sign yang tercipta
pada sebuah koridor.
f. Tinggi huruf dan panjang kata dalam sign
sangat mempengaruhi kejelasan pembacaan
terhadap sebuah sign bagi pengguna
kendaraan bermotor.
g. Sudut melihat sign yang berada di zona nya-
man melihat sangat mempengaruhi keterba-
caan dari pesan yang ada dalam sign, se-
hingga selain sudut pandang dari pembaca
terhadap sign maka sudut penempatan sign
terhadap bangunan juga harus diletakkan
tegak lurus dengan fasade bangunan agar
bisa terlihat oleh pembaca baik yang berja-
lan kaki maupun berkendaraan bermotor.
Faktor pertimbangan dari referensi :
a. Pembentuk kesinambungan dalam deret
bangunan pada sebuah koridor ditentukan
oleh 3 hal; yaitu : Orientasi, Posisi dan Isi
(Cullen, 1961).
b. Pemahaman kesinambungan menggunakan
asumsi dengan melihat “kesamaan umum”
antara bangunan lama-bangunan baru,
bangunan lama-bangunan lama dan
bangunan baru-bangunan baru yang terdapat
pada koridor jalan Tunjungan dengan
melihat seperti pada kesamaan ketinggian,
kesamaan bahan material dan kesamaan
massa bangunan (Brolin, 1980).
c. Hendraningsih (1985) menjelaskan bahwa
ciri-ciri visual tersebut tidak bisa berdiri
secara independen, tetapi terpengaruh oleh
pada suatu keadaan, antara lain : a) Perspek-
tif atau sudut pandang pengamat; b) Jarak
pengamat terhadap benda tersebut; c) Kea-
daan pencahayaannya; d) Lingkungan visual
yang mengelilingi benda obyek tersebut.
d. Penempatan sign agar jelas terlihat harus
memperhatikan : a) Arah perjalanan; b)
Jenis produk; c) Jangkauan; d) Kecepatan
arus lalu lintas; e) Persepsi orang terhadap
lokasi; f) Keserasian dengan bangunan di
sekitarnya (Kasali, 1995).
e. Penempatan sign agar jelas harus
mempertimbangkan : a) Penempatan
longitudinal (membujur); b) Penempatan
lateral dan ketinggian; c) Tata letak jalan,
lingkungan dan topografi; d) Orientasi
permukaan sign sehubungan dengan para
pengemudi (Grove, 2006).
f. Penandaan diharapkan tidak terlalu detail
atau berantakan sehingga membuat sign tak
bisa dibaca oleh lalu lintas kendaraan
(Verona Design Guidelines Version 1.0.
2009).
g. Pasal 10c UU. No 11 th 2010 : Satuan ruang
geografis dapat ditetapkan sebagai Kawasan
Cagar Budaya apabila: memiliki pola yang
memperlihatkan fungsi ruang pada masa lalu
berusia paling sedikit 50 (lima puluh) tahun;
h. Pasal 80 UU no.11 th 2010 : (1) Revitalisasi
potensi Situs Cagar Budaya atau Kawasan
Cagar Budaya memperhatikan tata ruang,
tata letak, fungsi sosial, dan/atau lanskap
budaya asli berdasarkan kajian. (2)
Revitalisasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan dengan menata kembali
fungsi ruang, nilai budaya, dan penguatan
informasi tentang Cagar Budaya.
Hasil Evaluasi
a. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa
koridor ini tidak memiliki garis imajiner
penghubung yang menghubungkan
perletakan obyek-obyek pembentuk
komposisi, atau garis yang menghubungkan
satu bentuk dengan bentuk lainnya dalam
komposisi sehingga tidak tercipta
keteraturan letak.
Ismail Wahyu Widodo, Bambang Soemardiono, Endang Titi Sunarti
Jurnal Tata Kota dan Daerah Volume 6, Nomor 1, Juli 2014
59
Ketinggian sign antara yang di fasade ataupun free standding sign
disamakan agar membentuk garis levelling dan garis enclosure koridor
Sign tidak terlalu detail agar mudah
terbaca lalu lintas kendaraan
Sign dipasang
menghadap pembaca
b. keberadaan JPO yang dijadikan struktur
penyangga billboard menyalahi peraturan
perundangan Cagar Budaya dan pengaturan
koridor secara teoritis. Keberadaan JPO
menyalahi pasal 10C dan pasal 80 UU no.11
th 2010 karena merusak fungsi ruang
kawasan konservasi dan melemahkan
informasi tentang Cagar Budaya.
c. peletakan sign antar muka bangunan yang
belum teratur belum bisa menggambarkan
enclosure koridor di masa lalu, sehingga
keberadaan sign yang ada pada saat ini
masih belum bisa menguatkan kawasan
sebagai koridor kawasan cagar budaya
d. Pembaca sign memerlukan kemudahan
dalam untuk membaca sign di jalan
Tunjungan, oleh karena itu dengan
menyesuaikan dimensi jalan dan posisi
bangunan terhadap jalan maka bangunan
konservasi di jalan Tunjungan memerlukan
sign yang posisinya tegak lurus terhadap
jalan dan sejajar terhadap jalan agar bisa
dibaca dengan baik oleh pejalan kaki yang
berjalan di pedestrian dan pengendara
kendaraan yang berada di badan jalan.
Kriteria terpilih
a. Untuk membentuk kesinambungan garis
enclosure, maka sign pada fasade bangunan
dalam 1 koridor harus dipasang segaris pada
ketinggian yang sama dengan
mempertimbangkan garis ketinggian
levelling bangunan di jalan Tunjungan.
b. Sign harus mudah terbaca oleh pengguna
jalan
c. Panjang huruf dibatasi agar mudah terbaca
pengguna kendaraan bermotor
Konsep terpilih
a. Ketinggian sign antara yang di fasade
ataupun free standing sign disamakan
setinggi pada garis levelling bangunan
dalam koridor
b. Sign dipasang untuk melayani kebutuhan
bagi orang yang membacanya dan bukan
untuk kebutuhan dari bangunan itu sendiri.
Oleh karena itu, arah hadap Sign dipasang
dengan menghadap kepada pembacanya,
sehingga harus ada sign yang dipasang
sejajar bangunan agar mudah dibaca pejalan
kaki dari seberang jalan dan tegak lurus
terhadap bangunan agar mudah dibaca
pengguna kendaraan bermotor maupun
pejalan kaki yang berjalan di bawah kanopi
bangunan.
c. Sign tidak terlalu detail agar mudah terbaca
lalu lintas kendaraan, yaitu dengan
mencantumkan logo yang mudah dikenali
masyarakat, membatasi tulisan dalam 1
hingga 2 kata pendek dan ditulis dalam 1
lajur. Sign hanya perlu menunjukkan produk
yang ditawarkan dalam bangunan.
Sedangkan untuk konten penunjang yang
lain bisa dipajang dalam storefront atau di
bagian lain yang bersifat lebih internal dari
gedung dan tidak mengganggu fasade
bangunan.
Gambar 10. Penempatan sign untuk
membentuk enclosure bangunan
Gambar 11. Penempatan sign yang
menghadap arah lalu lintas pejalan kaki dan
pengguna kendaraan bermotor
Pembahasan hasil Character Appraisal pada
Aspek Keseimbangan, Kesatuan, Proporsi dan
Skala.
Fakta Lapangan :
a. Di antara bangunan-bangunan tersebut yang
sudah memiliki keseimbangan dalam
bentuk, proporsi, warna dan gaya dengan
karakter bangunan adalah sign milik Kantor
BPN, Hotel Mojopahit, Rabo Bank dan
Toko Lalwani.
b. Kesatuan dari sign dengan bangunan
diperoleh dari keberadaan ukuran dimensi
sign yang tidak mendominasi terhadap
bangunan. Dimensi sign memiliki ukuran
yang sesuai dengan bagian bangunan yang
bisa ditempeli sign namun tetap bisa terlihat
dengan baik oleh pengguna jalan. Ketidak-
Bentuk dan dimensi ukuran sign kurang dari setengah luas bidang yang boleh dipasangi sign
Sign dipasang sejajar garis levelling lantai
Sign tidak terlalu detail dan menghadap arah lalu lintas
2 buah Sign dipasang dalam 1 bangunan, untuk
memudahkan dibaca pengguna jalan
sign dipasang sejajar bangunan, agar mudah terbaca pejalan kaki
sign dipasang tegak lurus terhadap bangunan, agar mudah terbaca pengguna
kendaraan bermotor
PENATAAN SIGN PADA KORIDOR TUNJUNGAN KOTA SURABAYA DALAM UPAYA PERBAIKAN KUALITAS
LINGKUNGAN PUSAT KOTA DENGAN MEMPERTAHANKAN IMAGE SEBAGAI KAWASAN KONSERVASI CAGAR
BUDAYA
60 Jurnal Tata Kota dan Daerah Volume 6, Nomor 1, Juli 2014
dominanan sign yang baik dapat dilihat pada
bangunan Hotel Mojopahit atau Rabo Bank.
c. Bangunan yang sudah memiliki proporsi
visual baik, pada umumnya menggunakan
bentuk sign dari tulisan yang di-emboss
keluar. Proporsi ini selain memberikan
kesan menarik, juga terlihat tidak menguasai
bangunan dan bagian bangunan yang
tertutupi masih tetap bisa terlihat. Bangunan
yang menjadi contoh adalah Museum Pers,
Hotel Mojopahit dan Tunjungan City. Ada
pula proporsi yang terbentuk dari bidang
papan atau bahan fiber dengan pencahayaan
internal sebagai landasan tulisan dengan
kualitas baik, seperti milik Yayasan
Nurussalam dan Rabo Bank. Papan fiber
milik Rabo Bank terkesan seolah-olah
membentuk dinding penghalang tampias
hujan untuk gedung
d. Bangunan-bangunan yang dianggap sesuai
antara bentuk 2D-nya secara umum
mengikuti bentuk dasar dari bidang yang
ditempati. Jika bidang bangunan dominan
segi empat, maka bentuk sign juga segi
empat, seperti pada Rabo Bank, Yayasan
Nurussalam dan CIMB Niaga.
e. Sedangkan komposisi yang sesuai karena
tidak terikat dengan fasade bangunan akibat
dari bentuknya yang hanya berupa emboss
tulisan adalah milik Hotel Mojopahit,
Museum Pers dan Tunjungan City.
f. Komposisi yang sifatnya bebas digunakan
oleh BPN, karena posisi sign berupa free
standing sign yang terpasang diatas gerbang
masuk menjadikan sign sebagai sebuah
gapura pintu masuk bangunan, sehingga
tetap sesuai perannya sebagai pintu yang
tidak terikat oleh bentuk fasade bangunan.
Faktor pertimbangan dari referensi :
a. Image suatu kawasan dapat dinilai dari
aspek Estetikanya, yang tentu saja berkaitan
dengan estetika arsitektural dari bangunan-
bangunan penyusunnya. Penilaian estetika
terhadap tampak bangunan dari sebuah
karya arsitektural secara intuisi dan rasional
harus mengikuit prinsip-prinsip estetika
yang meliputi: sumbu (axis), simetri, hirarki,
irama, pengulangan, datum, transformasi,
proporsi, skala, keseimbangan, emphasis/ te-
kanan, solid/rongga dan warna (Ching,
1979). Pertimbangan estetika meliputi per-
timbangan rasional dan pertimbangan intu-
isi. (Purwadarminto, 1976 dalam Wondoa-
miseno, 1994). Pertimbangan rasional yang
paling sering digunakan dalam merancang
tampak bangunan adalah (1) keseimbangan
(balance), (2) kesatuan (unity), (3) proporsi
(proportion) dan (4) skala (scale).
b. pasal 80 UU no.11 th 2010 : (1) Revitalisasi
potensi Situs Cagar Budaya atau Kawasan
Cagar Budaya memperhatikan tata ruang,
tata letak, fungsi sosial, dan/atau lanskap
budaya asli berdasarkan kajian. (2)
Revitalisasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan dengan menata kembali
fungsi ruang, nilai budaya, dan penguatan
informasi tentang Cagar Budaya
Hasil Evaluasi
a. Adaptasi sign pada fasade bangunan
konservasi harus mempertahankan nilai
yang terkandung dalam sebuah bangunan
cagar budaya, dimana yang termasuk dalam
nilai-nilai tersebut adalah gaya arsitektur,
konstruksi asli, dan keharmonisan sign
dengan estetika arsitektural bangunannya
b. Estetika arsitektural yang dimaksud adalah
estetika terhadap tampak fasade bangunan
dari sebuah karya arsitektural yang
penilaiannya dilakukan secara intuisi dan
rasional dengan mengikuti prinsip-prinsip
estetika yang penilaiannya meliputi: sumbu
(axis), simetri, hirarki, irama, pengulangan,
datum, transformasi, proporsi, skala,
keseimbangan, emphasis/ tekanan,
solid/rongga dan warna sebagai hasil kajian
yang mendalam
c. Bentuk, proporsi, warna dan gaya sign tidak
boleh mendominasi bangunan, memberikan
kesan menarik dan juga terlihat tidak
menguasai bangunan, serta bagian bangunan
yang tertutupi masih tetap bisa terlihat
d. Komposisi sign di muka bangunan harus
selaras dengan komposisi 2D fasade
bangunan dengan tetap mengacu pada tata
ruang dan tata letak yang berlaku pada
langgam bangunan
e. Sign yang menggunakan penyangga dan
terletak diluar massa bangunan (free
standing sign) tidak mempengaruhi
komposisi fasade bangunan, sehingga
diperbolehkan memiliki bentuk dasar
apapun selama sesuai dengan langgam
bangunan dan memberikan penguatan
informasi tentang bangunan Cagar Budaya
Kriteria Terpilih
a. Sign harus mempertahankan nilai asli
bangunan cagar budaya, mampu beradaptasi
dengan gaya bangunan konservasi dan harus
memiliki nilai estetika arsitektural
b. Penempatan massa sign tidak boleh
mengganggu massa dan langgam bangunan
Ismail Wahyu Widodo, Bambang Soemardiono, Endang Titi Sunarti
Jurnal Tata Kota dan Daerah Volume 6, Nomor 1, Juli 2014
61
Free standing
sign dengan
pencahayaan
eksternal di Jalan
Tunjungan
Desain Free standing sign
dengan pencahayaan
internal/eksternal untuk
Jalan Tunjungan
c. Sign yang terlepas dari bangunan harus
mampu menjadi penguat informasi
bangunan
Konsep Terpilih
a. Sign di kawasan konservasi cagar budaya
mengikuti pola desain era kolonial, dimana
bentuk-bentuk baru dari sign mengikuti
bentuk, gaya, pola dan cara pemasangan
konstruksinya mengikuti pola pada masa
dibangunnya kawasan dimana bangunan
konservasi didirikan.
b. Sign yang menempel pada dinding bangunan
dibentuk dari cat atau semen yang dicetak
membentuk emboss logo atau tulisan,
sedangkan yang berbentuk papan dari kayu,
logam atau neon box diberi jarak kurang dari
15 cm agar tidak terlihat seperti massa
bangunan yang terpisah.
c. Sign yang terpisah dari bangunan tetapi
masih berada dalam site bangunan, tetap
berfungsi sebagai tanda pengenal bangunan
dan bukan reklame produk yang tidak
berhubungan dengan kegiatan yang dijual
atau dilakukan di dalam bangunan.
Gambar 11. Contoh penggunaan free standing
sign di Jalan Tunjungan pada era-kolonial
(sumber :Troppen museum dan hasil analisa,
2013)
SIMPULAN
Hasil diskusi dari penelitian ini
memberikan kesimpulan :
Keberadaan sign yang melintang di tengah
jalan merusak jalinan keterhubungan antar
bangunan sehingga keberadaannya sangat
mengganggu.
Kemunduran bangunan, kecepatan
berkendara, ketinggian huruf, panjang
kalimat dalam sign, kedudukan sign
terhadap bangunan dan arah hadap sign
mempengaruhi kejelasan pembacaan
terhadap sign.
Nilai estetika sign ketika terpasang pada
bangunan konservasi ditentukan pada tingkat
gangguan dari sign terhadap bangunan. Semakin
sebuah sign menghalangi pengguna jalan untuk
melihat fasade dan ornament hiasan bangunan,
maka nilai estetikanya semakin rendah. Demikian
juga sebaliknya jika sebuah sign mampu
menonjolkan dan menguatkan fasade bangunan
serta mendukung konsep konservasi kawasan,
maka nilai estetikanya semakin baik.
DAFTAR PUSTAKA
Ashihara, Yoshinobu (1970), Exterior Design in
Architecture, New York : Van
Nostrand Reinhold Company.
Ching, Francis D.K. (1979), Arsitektur: Bentuk,
Ruang dan Tatanan (terjemahan edisi
ketiga), Jakarta: Erlangga.
Cullen, Gordon (1961), Townscape, New York:
Van Nostrand Reinhold.
Darjosanjoto, Endang T.S. (2006), Penelitian
Arsitektur di Bidang Perumahan dan
Permukiman, Surabaya: ITS Press.
Handinoto (1996), Perkembangan Kota dan
Arsitektur Kolonial Belanda di
Surabaya (1870-1940), LPPKM UK.
Petra Surabaya & Penerbit Andi
Yogyakarta.
Krier, Rob (1979), Urban Space. Rizolli
International Publications, Inc
Lynch, Kevin (1960), The Image Of The City.
U.S: The M.I.T. Press.
Manaugh, Kevin (2011), “Toward a
Comprehensive Understanding Of
Walking Behaviour: Incorporating
Attitudes, Values, Preferences, Socio-
Economic Factors and Home
Location Decision”, TRAM-Seminar,
McGill-SOUP
Moughtin, James Clifford (1992), Urban Design:
Street and Square. British Library
Cataloguing in Publication Data:
Butterworth-Heinemann Ltd.
Moughtin, James Clifford (1999), Urban Design:
Method and Techniques. British
Library Cataloguing in Publication
Data: Butterworth-Heinemann Ltd.
Moehadjir, Noeng (2000), Metodologi Penelitian
Kualitatif. Yogyakarta: Penerbit Rake
Sarasin.
PENATAAN SIGN PADA KORIDOR TUNJUNGAN KOTA SURABAYA DALAM UPAYA PERBAIKAN KUALITAS
LINGKUNGAN PUSAT KOTA DENGAN MEMPERTAHANKAN IMAGE SEBAGAI KAWASAN KONSERVASI CAGAR
BUDAYA
62 Jurnal Tata Kota dan Daerah Volume 6, Nomor 1, Juli 2014
Natalivan, Petrus (1997), Pedoman Teknis
Penataan Media Reklame Luar
Ruangan. Skripsi, ITB, Bandung.
Rossi, Aldo (1982), The Architecture Of The
City, England : The MIT Press.
Wondoamiseno, Rachmat (1996), “Evaluasi
Penggunaan Teori Pertimbangan
Rasional Pada Bangunan “Teatro Del
Mondo” Karya Arsitek Aldo Rossi”,
Jurnal Media Teknik no. 3 Tahun
XVIII Edisi November 1996 No.
ISSN 2016-3012