penatalaksanaan gh dian
DESCRIPTION
Penatalaksanaan GHTRANSCRIPT
Dian Retno Pratiwi
135070200131005
Penatalaksanaan
Terapi nonfarmakologi
1) Terapi psikologi
Perlu diyakinkan kepada klien bahwa penyakit dapat disembuhkan. Berikan motivasi
untuk menghilangkan rasa takut karena kehamilannya, kurangi pekerjaan serta
menghilangkan masalah dan konflik yang kiranya dapat menjadi latar belakang
terjadinya penyakit ini (Runiari,2010.Hal.21).
2) Diit dan nutrisi
Diit hiperemesis gravidarum bertujuan untuk mengganti glikogen tubuh dan
mengontrol asidososis dan secara berangsur akan diberikan makanan bergizi.
a) Diit Hiperemesis I
Diberikan pada hiperemesis tingkat III. Makanan hananya berapa roti kering dan buah-
buahan. Cairan tidak diberikan bersamaan makanan tetapi 1-2 jam sesudahnya.
Makanan ini kurang mengandung zat gizi, kecuali vitamin C sehingga hanya diberikan
beberapa hari saja.
b) Diit Hiperemesis II
Diberikan bila rasa mual dan muntah berkurang. Secara berangsur mulai
diberikan bahan makanan yang bernilai gizi tinggi. Minuman tidak diberikan bersama
makanan. Makanan ini rendah dalam semua zat gizi, kecuali vitamin A dan
c) Diit Hiperemesis III
Diberikan kepada penderita dengan hiperemesis ringan. Menurut kesanggupan
penderita, minuman boleh diberikan bersama makanan. Makanan ini cukup dalam
semua zat gizi kecuali kalsium.
3) Akupresur dan Akupuntur
Akupuntur adalah metode pengobatan dari tiongkok kuno yang menggunakan stimulasi
titik-titik khusus dibadan dengan tusukan jarum halus. Ilmu tersebut telah ada sejak dari
dua ribu tahun yang lalu. Akupuntur didasarkan pada prinsip pengobatan tradisional
cina yang menyebutkan bahwa seluruh kerja badan dikontrol oleh energy vital yang
disebu Qi ( baca:ci ). Muntah pada wanita hamil dalam pengobatan cina tradisional
( Tradisonal Chinese Medicine/TCM ) disebut Ren Shen E Zhu yaitu karena naiknya Qi
pada lambung. Gerakan Qi pada lambung adalah ke bawah dan bila gerakan Qi ke atas
maka timbul gejala-gejala mual dan muntah yang sangat menganggu. Terdapat tiga
kelompok Ren Shen E Zhu : (1) defisiensi qi pada lambung - perut terasa penuh, sesak,
mual dan bahkan langsung muntah saat makanan masuk mulut ; (2) panas pada hati —
muntah berupa cairan bening yang terasa pahit, haus, tulang iga atau rusuk terasa kaku
dan sakit, susah buang air besar, warna urin kuning tua ; dan (3) dahak dan lembab -
muntah berupa cairan dahak, mulut terasa hambar, dada terasa sesak, jantung
berdebar, napas terengah-engah, seluruh tubuh terasa lemas dan cenderung ingin
tiduran, serta tidak mempunyai
nafsu makan. Sebenarnya tidak ada persyaratan khusus dalam melakukan terapi
akupuntur. Tetapi lebih disarankan pada kondisi keluhan yang cenderung berulang. Sesi
akupuntur sebaiknya dilakukan 2-3 kali seminggu, lama pengobatan tergantung kondisi
klien yang sebagian besar responnya bagus. Akupresur dan akupuntur menstimulasi
system regulasi serta mengaktiikan mekanisme endokrin dan neurologi, yang
merupakan mekanisme fisiologi dalam mempertahankan keseimbangan ( Homeostasis )
( Runiari, 2010. Hal. 26 )
4) Aromaterapi
Aromaterapi adalah salah satu pengobatan alternatif yang dapat diterapkan dengan
menggunakan minyak esensial tumbuhan dan herbal. Penggunaan minyak esensial sejak
zaman dahulu telah digunakan di Mesir, italia, india, dan cina. Kimiawan Prancis, Rene
Maurice Gattefosse menyebutnya dengan istilah
aromaterapi pada tahun 1937, ketika ia menyaksikan kekuatan penyembuhan minyak
lavender pada kulit dengan luka bakar. Setiap minyak esensial memiliki efek
farmakologis yang unik, seperti anti bakteri, antivirus, diuretik, vasodilator, penenang
dan merangsang adrenal. Minyak atsiri dapat digunakan dirumah dalam bentuk uap
yang dapat dihirup atau pernafasan topikal. Penghirupan uap sering digunakan untuk
kondisi pernafasan dan mengurangi mual . inhalasi uap dilakukan dengan cara
menambahkan 2-3 tetes minyak esensial eucalyptus, rosemary, pohon teh, atau minyak
kedalam air panas. Beberapa tetes minyak esensial juga dapat ditambahkan untuk
mandi, kompres atau pijat ( Runiari, 2010. Hal. 29 )
Terapi Farmakologi
1) Hospitalisasi
Menurut (Runiari, 2010. Hal. 17 ), Manifestasi klinik yang ditimbulkan dari kasus
hiperemesis gravidarum menjadikan klien harus dirawat di rumah sakit, indikasinya
adalah sebagai berikut:
a) Memuntahkan semua yang dimakan dan yang diminum, apalagi bila telah
berlangsung lama
b) Berat badan turun lebih dari 10% dari berat badan normal
c) Dehidrasi yang ditandai dengan turgor yang kurang dan lidah kering
d) Adanya aseton dalam urin.
Tujuan penatalaksanaan hiperemesis gravidarum, saat ibu dihospitalisasi,
adalah merehidrasi ibu, memperbaiki gangguan elektrolit dan hematologis lain,
mencegah komplikasi dan memindahkan ibu ke rumah sakit dengan segera, meskipun
banyak wanita memiliki angka yang tinggi untuk masuk kembali ke rumah sakit.
Penyebab muntah yang terjadi secara berlebihan harus diidentifikasi, bukan semata-
mata untuk membuat diagnosis banding, tetapi juga untuk mempertimbangkan faktor
lain seperti masalah psikologis, yang dapat menambah keparahan ibu (Tiran, 2008. Hal.
27 ).
2) Manajemen
Penanganan dalam hiperemesis gravidarum adalah sebagai berikut:
a) Stop makanan per oral 24-48 jam
b) Infos glukosa 10% atau 5% : RL = 2 : 1, 40 tetes per menit
c) Obat
- Vitamin B1, B2, B6 masing-masing 50-100 mg/hari/infuse.
- Vitamin B12 200 ug/hari/ infus, vitamin C 200 mg/hari/infuse.
- Fenobarbital 30 mg I.M. 2-3 kali per hari atau klorpromazin 25-50 mg/hari.
- I.M. atau kalau diperlukan diazepam 5 mg 2-3 kali per hari I.M.
- Antiemetik : prometazin ( avopreg ) 2-3 kali 25mg per hari per oral atau
proklorperazin ( stemetil ) 3 kali 3mg per hari per oral atau mediamer B6 3x1
per hari per oral.
- Antasida : asidrin 3x1 tablet per hari per oral atau milanta 3x1 tablet per hari per
oral.
d) Rehidrasi dan suplemen vitamin
Pilihan cairan adalah normal salin ( NaCl 0,9 % ), cairan dektrose tidak boleh diberikan
karena tidak mengandung sodium yang cukup untuk mengoreksi hiponatremia.
Suplemen potasium boleh diberikan secara intravena sebagai tambahan. Suplemen
tiamin diberikan secara oral 50 atau 150 mg atau l00 mg dilarutkan ke dalam 100 cc
NaCl.
e) Antiemesis
Tidak dijumpai adanya teratogenitas dengan menggunakan dopamine antagonis
(metoklopramid, domperidon), fenotiazin (klorpromazin, proklorperazin), antikolinergik
( disiklomin) atau antihistamin ( prometazin, siklizin ).
Antiemetik, yang awalnya diberikan secara intramuskular dan kemudian
diberikan per oral, terutama diberikan untuk mencegah komplikasi kehilangan cairan
lebih lanjut (Tiran, 2008.hal.29).
3) Terminasi Kehamilan
Terminasi kehamilan secara selektif hanya kadang dilakukan sebagai upaya terakhir pada
sebagian besar kasus hiperemesis gravidarum berat yang membahayakan kehidupan ibu
jika kehamilan dilanjutkan. Jika kehamilan tidak direncanakan, terdapat lebih dari satu
janin yang membuat ibu mengalami depresi secara klinis, atau jika kondisi sangat
memengaruhi kehidupan sehari-hari ibu dan pasangan atau memengaruhi hubungan
mereka, terminasi lebih cederung dilakukan. Selain itu, faktor psikososial harus
diperhitungkan saat wanita meminta terminasi kehamilan ( Tiran, 2008. Hal. 34 )
Pada pasien dengan hiperemesis gravidarum tingkat II dan III harus dilakukan rawat
inap dirumah sakit, dan dilakukan penanganan yaitu :
1. Medikamentosa
Berikan obat-obatan seperti yang telah dikemukakan diatas. Namun harus
diingat untuk tidak memberikan obat yang teratogenik. Obat-obatan yang dapat
diberikan diantaranya suplemen multivitamin, antihistamin, dopamin antagonis,
serotonin antagonis, dan kortikosteroid. Vitamin yang dianjurkan adalah vitamin
B1 dan B6 seperti pyridoxine (vitamin B6). Pemberian pyridoxin cukup efektif
dalam mengatasi keluhan mual dan muntah. Anti histamin yang dianjurkan
adalah doxylamine dan dipendyramine. Pemberian antihistamin bertujuan untuk
menghambat secara langsung kerja histamine pada reseptor H1 dan secara tidak
langsung mempengaruhi sistem vestibular, menurunkan rangsangan di pusat
muntah (Bottomley, 2009).
Selama terjadi mual dan muntah, reseptor dopamin di lambung berperan dalam
menghambat motilitas lambung. Oleh karena itu diberikan obat dopamine
antagonis. Dopamin antagonis yang dianjurkan diantaranya prochlorperazine,
promethazine, dan metocloperamide. Prochlorperazin dan promethazine bekerja
pada reseptor D2 untuk menimbulkan efek antiemetik. Sementara itu
metocloperamide bekerja di sentral dan di perifer. Obat ini menimbulkan efek
antiemetik dengan cara meningkatkan kekuatan spincter esofagus bagian bawah
dan menurunkan transit time pada saluran cerna (Bottomley, 2009).
Pemberian serotonin antagonis cukup efektif dalam menurunkan keluhan mual
dan muntah. Obat ini bekerja menurunkan rangsangan pusat muntah di medula.
Serotonin antagonis yang dianjurkan adalah ondansetron. Odansetron biasanya
diberikan pada pasien hiperemesis gravidarum yang tidak membaik setelah
diberikan obat-obatan yang lain. Sementara itu pemberian kortikosteroid masih
kontroversial karena dikatakan pemberian pada kehamilan trimester pertama
dapat meningkatkan risiko bayi lahir dengan cacat bawaan (Cedergren, 2008).
2. Terapi Nutrisi
Pada kasus hiperemesis gravidarum jalur pemberian nutrisi tergantung padan
derajat muntah, berat ringannya deplesi nutrisi dan peneriamaan penderita
terhadap rencana pemberian makanan. Pada prinsipnya bila memungkinkan
saluran cerna harus digunakan. Bila peroral menemui hambatan dicoba untuk
menggunakan nasogastric tube (NGT). Saluran cerna mempunyai banyak
keuntungan misalnya dapat mengabsorsi banyak nutrien, adanya mekanisme
defensive untuk menanggulangi infeksi dan toksin. Selain itu dengan masuknya
sari makanan ke hati melalui saluran porta ikut menjaga pengaturan
homeostasis nutrisi (Bottomley, 2009).
Bila penderita sudah dapat makan peoral, modifikasi diet yang diberikan adalah
makanan dalam porsi kecil namun sering, diet tinggi karbohidrat, rendah protein
dan rendah lemak, hindari suplementasi besi untuk sementara, hindari makanan
yang emetogenik dan berbau sehingga menimbulkan rangsangan muntah.
Pemberian diet diperhitungkan jumlah kebutuhan basal kalori seharihari
ditambah dengan 300 kkal perharinya (Bottomley, 2009).
3. Isolasi
Penderita disendirikan dalam kamar yang tenang, cerah, dan memiliki peredaran
udara yang baik. Sebaiknya hanya dokter dan perawat saja yang diperbolehkan
untuk keluar masuk kamar tersebut. Catat cairan yang keluar dan masuk. Pasien
tidak diberikan makan ataupun minum selama 24 jam. Biasanya dengan isolasi
saja gejala-gejala akan berkurang atau hilang tanpa pengobatan (Bottomley,
2009).
4. Terapi psikologik
Perlu diyakinkan kepada pasien bahwa penyakitnya dapat disembuhkan.
Hilangkan rasa takut oleh karena kehamilan dan persalinan karena itu
merupakan proses fisiologis, kurangi pekerjaan serta menghilangkan masalah
dan konflik lainnya yang melatarbelakangi penyakit ini. Jelaskan juga bahwa
mual dan muntah adalah gejala yang normal terjadi pada kehamilan muda, dan
akan menghilang setelah usia kehamilan 4 bulan (Bottomley, 2009).
5. Cairan parenteral
Resusitasi cairan merupakan prioritas utama, untuk mencegah mekanisme
kompensasi yaitu vasokonstriksi dan gangguan perfusi uterus. Selama terjadi
gangguan hemodinamik, uterus termasuk organ non vital sehingga pasokan
darah berkurang. Pada kasus hiperemesis gravidarum, jenis dehidrasi yang
terjadi termasuk dalam dehidrasi karena kehilangan cairan (pure dehidration).
Maka tindakan yang dilakukan adalah rehidrasi yaitu mengganti cairan tubuh
yang hilang ke volume normal, osmolaritas yang efektif dan komposisi cairan
yang tepat untuk keseimbangan asam basa. Pemberian cairan untuk dehidrasi
harus memperhitungkan secara cermat berdasarkan: berapa jumlah cairan yang
diperlukan, defisit natrium, defisit kalium dan ada tidaknya asidosis. Berikan
cairan parenteral yang cukup elektrolit, karbohidrat, dan protein dengan glukosa
5% dalam cairan garam fisiologis sebanyak 2-3 liter sehari. Bila perlu dapat
ditambahkan kalium dan vitamin, terutama vitamin B kompleks dan vitamin C,
dapat diberikan pula asam amino secara intravena apabila terjadi kekurangan
protein (Cedergren, 2008).
Daftar pustaka
Bottomley C, Bourne T. 2009. Management strategies for hyperemesis. Best Pract Res
Clin Obstet Gynaecol. Halaman 549-64.
Cedergren M, Brynhildsen J, Josefsson A, et al. 2008. Hyperemesis gravidarum that
requires hospitalization and the use of antiemetic drugs in relation to maternal
body composition. Am J Obstet Gynecol. Halaman 412.
Runiari, Nengah. 2010. Asuhan keperawatan pada klien dengan hiperemesis
gravidarum : penerapan konsep dan teori keperawatan. Jakarta ; Salemba Medika
Tiran, denise. 2008. Mengatasi Mual-Muntah Dan Gangguan Lain Selama Kehamilan.
Jakarta : Diglossia