penatalaksanaan penderita gagal nafas
TRANSCRIPT
PENATALAKSANAAN PENDERITA DENGAN GAGAL NAFAS
AKUT
Oleh :
dr. I GedeBudiarta, Sp.An
Pendahuluan
Gagal nafas secara garis besar dapat dibagi menjadi dua katagori, yaitu :
hipoksemia (tipe 1) dan hiperkapnia (tipe 2). Gagal nafas hipoksia adalah PaO2 kurang
dari 55 mmHg ketika FiO2 0,60 atau lebih. Gagal nafas hiperkapnia adalah saat PaCO2
lebih dari 45 mmHg. Secara umum definisi dari gagal nafas adalah ketidakmampuan dari
system respirasi untuk menjaga keadaan yang normal pada pertukaran gas dari atmosfer
ke sel seperti yang dibutuhkan oleh tubuh. Secara klinis dapat juga didefinisikan sebagai :
1) jika PO2 arteri (PaO2) dibawah 60 mmHg atau 2) jika pCO2 arterial (PaCO2) lebih dari
45 mmHg. Penyebab umum terjadi gagal nafas tersebut adalah antara lain :
1. Infeksi akut misalnya bronchitis akut atau pneumonia.
2. Retensi sputum karena tindakan pembedahan, trauma, penurunan kesadaran.
3. Bronkospasme misalnya pada pasien dengan asma.
4. Pneumothorak, gagal nafas akut dapat terjadi dengan cepat tergantung dari
ukuran pneumothorak dan beratnya penyakit paru yang mendasarinya.
5. Bullae, mirip dengan pneumothoraks dimana bulla subpleural sering disangka
merupakan suatu pneumothorak.
6. Gagal ventrikel kiri, dapat timbul karena adanya penyakit jantung iskemik,
overload cairan atau kegagalan kedua ventrikel karena keadaan korpulmonale.
7. Emboli paru, ditemukan secara autopsy sebesar 20-50%, sering sulit untuk
mendiagnose karena adanya penyakit paru lainnya.
8. Pemberian oksigen yang tidak terkontrol, dapat menimbulkan hiperkarbia akut
yang dapat menganggu mekanisme hypoxic drive respirasi. Faktor utama
nampaknya adalah pelepasan CO2 dari hemoglobin oleh oksigen (efek
Haldane) dan memperburuk mismatch ventilasi-perfusi (V/Q) yang
disebabkan karena penurunan dari vasokonstriksi pada daerah pintasan,
sehingga memungkinkan lebih banyak darah vena yang kaya CO2 masuk
kedalan sirkulasi arterial.
9. Sedasi, pemberian sedasi yang berlebihan dapat menimbulkan keadaan
hipoventilasi
Patofisiologi
Patofisiologi gagal nafas misalnya pada PPOK adalah sebagai berikut:
Faktor yang menyebabkan obstruksi aliran udara pada PPOK termasuk edema dan
hipertropi mukosa, secret, bronkospasme, dan hilangnya elastic recoil paru (karena
hilangnya tekanan permukaan alveolar dan elastin paru disebabkan oleh destruksi dari
1
dinding alveolar). Berkurangnya recoil elastic akan menyebabkan penurunan aliran udara
ekspirasi, karena tekanan alveolar (mengatur aliran udara ekspirasi) dan tekanan jalan
nafas intraluminal (akan mengembangkan jalan nafas kecil selama ekspirasi) menurun.
Obstruksi aliran udara akan menimbulkan pemanjangan ekspirasi, hiperinflasi paru,
peningkatan kerja pernafasan dan sensasi terhadap dispneu, semuanya bertambah berat
pada pasien dengan PPOK.
Distorsi dan destruksi alveoli menimbulkan hilangnya capillary bed , dan
hipoksia menyebabkan vasokonstriksi areteri pulmoner. Ini akan menyebabkan hipertensi
pulmoner, perubahan vaskularisasi sekunder, dan akhirnya korpulmonale. Peningkatan
hipoksia selama gagal nafas akut akan meningkatkan tekanan arteri pulmoner dan dapat
menimbulkan gagal jantung kanan akut.
Kombinasi dari obstruksi jalan nafas, penyakit parenkim paru dan gangguan pada
sirkulasi akan menimbulkan V/Q mismatch yang sangat besar. Daerah paru yang tidak
mengalami ventilasi dengan baik akan menjadi pintasan parsial atau komplit. Hal ini akan
menimbulkan hipoksia arterial, yang mana ketika bersifat kronis, akan dapat
menyebabkan polisitemia sekunder dan peningkatan hipertensi pulmoner. Daerah yang
kurang perfusi atau kelebihan perfusi akan meningkatkan ruang rugi. Sehingga sebagai
hasil dari V/Q mismatch yang berat, kebutuhan ventilasi untuk untuk mendapatkan
keadaan normokarbia akan meningkat. Peningkatan ventilasi semenit akan menimbulkan
peningkatan kerja pernafasan.
Sejak ekspirasi tidak optimal pada sumbatan jalan nafas, ini bersama dengan
peningkatan ventilasi semenit akan menimbulkan peningkatan dinamis yang permanent
dari kapasitas residu fungsional (FRC) atau hiperinflasi paru. Karena volume paru
meningkat, otot-otot pernafasan (diafragma dan interkosta) akan menjadi tidak efesien
karena terjadi pemendekan serat saraf dan ketidakuntungan secara mekanik, dan kerja
pernafasan akan menjadi meningkat. Ketika kapasitas otot pernafasan tidak lagi dapat
memenuhi kebutuhan peningkatan ventilasi, akan terjadi hiperkarbia kronis.
Hiperkarbia kronis jarang terjadi pada PPOK, dan cenderung terjadi pada fase
akhir dari penyakit, berhubungan dengan kompensasi asan-basa ginjal. Biasanya
timbulpada PPOK didominsi oleh bronchitis kronis dengan FEV1 dibawah 1 liter, dan
berhubungan dengan polisitemia, korpulmonale, dan retensi CO2 lainnya dengan
pemberian oksigen yang tidak terkontrol. Bagaimanapun juga, gagal nafas hiperkarbia
dapat ditimbulkan oleh peningkatan pintasan paru.
Diagnosis Gagal Nafas
Untuk dapat mendiagnosis suatu gagal nafas dengan baik, beberapa penilaian
berikut dapat membantu :
1. Analisa Gas Darah (AGD)
AGD adalah wajib untuk menilai suatu hipoksia, hiperkarbia dan status asam-
basa. Hiperkarbia kronis akan dikenali dengan peningkatan dari level
bikarbonat (HCO3-) lebih dari 30mmol/L dan base excess (BE) lebih dari 4
mol/L (mengindikasikan kompensasi ginjal). Namun demikian, penyebab lain
2
dari peningkatan serum bikarbonat perlu untuk disingkirkan (missal : terapi
diuretic dan terapi steroid dosis tinggi atau kehilangan dari cairan lambung).
Kompensasi ginjal akan meningkatkan serum bikarbonat dengan perkiraan 4
mmol/L untuk setiap 10mmHg (1,33 kPa) peningkatan PCO2 diatas 40 mmHg
(5,3 kPa).
2. Spirometri
Harus dikerjakan jika memungkinkan, akan mengindikasi berat ringannya
penyakit dan kelainan, dan akan memberikan penilaian dasar untuk suatu
diagnosis.
3. Foto Rontgen Thorak
Foto roentgen thorak adalah wajib untuk mendiagnosis atau menyingkirkan
pneumothorak, kolap lobus atau segmental, pneumonia atau gagal jantung
kiri. Gambarannya secara umumakan menampakkan suatu hiperinflasi paru,
diafragma letak rendah dan datar. Hipertensi pulmoner ditandai oleh
pembesaran dari gambaran vaskularisasi paru bagian proksimal dan distal, dan
dengan pembesaran dari ventrikel dan atrium kanan. Mungkin dapat dijumpai
suatu bula paru.
4. Elektrokardiagram
EKG umumnya normal, namun dapat juga menunjukkan gambaran hipertropi
atrium kanan atau ventrikel kanan dan strain ventrikel kanan, termasuk P
pulmonal, deviasi aksis ke kanan, dominasi gelombang R pada lead V1-2,
RBBB, dan depresi segmen ST dan inversi atau pendataran gelombang T pada
lead V1-3.Perubahan ini dapat terjadi secara kronis atau akut. EKG juga akan
dapat memberikan petunjuk adanya penyakit jantung penyerta lainnya.
5. Hitung Darah Lengkap
Akan menunjukkan suatu keadaan polisitemia. Penngkatan pada sel darah
putih mungkin mengindikasikan suatu infeksi.
6. Percobaan Theophylline
Level serum theophilin akan meningkat pada pasien yang menkonsumsi
derivate theophiline.
Penatalaksanaan
a. Konservatif
1. Oksigen
Terapi oksigen sebaiknya dilakukan dengan control pemberian secara titrasi
untuk mendapatkan saturasi (SaO2) 90-92%, diukur dengan oksimeter dan
serial AGD. Oksigen awalnya dapat diberikan dengan kanul intranasal aliran
rendah atau 24% atau 28% sungkup venturi. Peningkatan PaCO2 pada terapi
oksigen sering terjadi dan harus diberikan suatu perhatian. Jika peningkatan
PaCO2 terjadi secara eksesif (misalnya lebih dari 10 mmHg), pemberian
oksigen diturunkan, dan dilakukan titrasi SaO2 2-3% dibawah nilai awal dan
dilakukan pengulangan pemeriksaan AGD. Jika tidak terjadi peningkatan
3
PaCO2 pada terapi oksigen, maka SaO2 dapat dijadikan target untuk dicapai
dengan pemeriksaan AGD secara serial. Jika hipoksia tidak secara adekuat
dapat ditangani (SaO2 <85%), dapat digunakan system hantaran oksigen yang
lebih tinggi.
2. Bronkodilator
Pada gagal nafas yang diduga disebabkan oleh PPOK, dapat diberikan
bronkodilator untuk menghilangkan sumbatan jalan nafas dan meningkatkan
bersihan mukosilier terhadap secret jalan nafas. Pemberian secara nebuliser β-
2 simpatomimetik (missal salbutamol, terbutalin, atau fenoterol) diberikan
selama 2-4 jam. Kombinasi dengan ipratropium bromide akan meningkatkan
efikasinya. Aminiphillin (loading dose 5-7 mg/kgbb IV dalam 30 menit,
diikuti dengan perinfus 0,6 mg/kgbb) juga sering diberikan, meskipun masih
banyak diragukan kegunaannya secara umum. Theophillin mempunyai
keuntungan tambahan karena meningkatkan kontraktilitas diafragma,
meskipun kepentingan klinis akan hal tersebut belum jelas. Simpatomimetik
parenteral jarang diindikasikan dan tidak direkomendasikan untuk
penggunaan secara rutin.
3. Steroid
Pemberian steroid akan mengatasi sumbatan jalan nafas pasa saat
terjadinya eksaserbasi PPOK. Pemberiannya sebaiknya dihindari pada gagal
nafas akut yang disebabkan oleh pneumonia bacterial atau bronchitis.Dosis
yang digunakan adalah mirip dengan terapi pada asma akut (missal :
hidrokortison 3 mg/kgbb atau metilprednisolon 0,5 mg/kgbb diberikan setiap
6 jam selama 72 jam).
4. Antibiotik
Kegunaan dari terapi antibiotic masih kontroversi. Antibiotik nampaknya
bermanfaat jika gagal nafas akut terjadi karena suatu infeksi bacterial.
5. Pembersihan sekresi secara non-invasif
Pembersihan sekresi jalan nafas bawah adalah sangan penting dan krusial:
a. Fisioterapi dada, adalah teknik primer, dan seharusnya dimulai dan
secara regular diulangi sebagai suatu penilaian secara kuratf dan
preventif. Peningkatan kemampuan batuk dan nafas dalam adalah
dua factor terpenting.
b. Nebuliser dengan mukolitik, seperti asetilsistein sebagai tambahan
untukbronkodilator, namun keuntungannya belum secara pasti
diketahui.
6. Penilaian Lain
a. Hidrasi, Diuretic, Digoksin, dan Vasodilator
Diuretik dan digoksin berguna pada gagal ventrikel kiri. Diuretik akan
menurunkan overload cairan pada korpulmonale. Namun demikian,
penggunaanya harus dilakukan dengan hati-hati pada pasien dengan
4
hipertensi pulmoner yang berat. Penurunan preload secara eksesif akan
menurunkan tekanan pengisian ventrikel kanan dan akan menimbulkan
keadaan output yang rendah. Vasodilator paru mempunyai dasar yang
lebih rasional, namun hasil klinisnya bertentangan, tanpa suatu
keuntungan yang jelas.
b. Heparin
Diberikan subkutan dengan dosis rendah (missal 5000 unit SC),
direkomendasikan sebagai profilaksis pada venous trombosis dan
emboli paru.
c. Koreksi Elektrolit
Sering terjadi hipophospatemia, dan hipomagnesemia, hipoklasemia
dan hiperkalemia juga dapat timbul dan akan mempengaruhi fungsi
otot respirasi. Hiponatremia dapat timbul pada penggunaan
diuretikyang berlebihan.
d. Drainase Interkostal
Diindikasikan pada pneumothorak dan efusi pleura dengan penurunan
volume respirasi yang besar.
e. Stimulan Respirasi
Untuk meningkatkan drive respirasi dan menurunkan PaCO2. Obat
yang dapat digunakan antara lain : azetazolamide,
medroxyprogesteron, naloxon, doxapram dan almitrine.
f. Nutrisi
Factor nutrisi sangat penting karena malnutrisi sering dihubungkan
dengan penurunan massa dan kelenturan otot respirasi, dan
meningkatkan resiko kelelehan otot respirasi. Nutrisi enteral lebih
disukai.
b. Non – Konservatif
1. TeknikInvasif Untuk Pembersihan Sputum
Sebagian besar dari teknik bersifat sementara ini dilakukan pada pasien yang
mengalami atau diduga akan mengalami kegagalan dengan teknik non-invasif.
Tujuannya adalah untuk menghindari intubasi dan ventilasi mekanik jika
memungkinkan.
a. Penghisapan Oropharing atau Nasopharing
Tidak jarang digunakan untuk mencapai trakea, namun prosedur ini
penting untuk membersihkan sekresi faring, stimulasi batuk dan
pembersihan jalan nafas bawah yang dibatukkan hanya sampai pada
hipofaring.
b. Nasopharyngeal Airway
5
Memungkinkan lewatnya alat penghisap melalui hidung dan faring
bagian atas untukmencapai laring.
c. Bronkoskopi Fiberoptik
Menjamin untuk dapat masuk ke jalan nafas bawah dan mengevaluasi
ke semua subsegmen mayor. Biasanya diindikasikan pada kolaps fokal
atau konsolidasi karena obstruksi oleh sputum.
d. Minitrakeostomi (Portex “Mini-Trach”)
Pemasangan tube trakeostomi dengan diameter kecil(4,0 mm) melalui
membran kriko-tyroid dengan anetesi local,menggunakan teknik
Seldinger. Hal ini akan memungkinkan penghisapan menggunakan
kateter lubang kecil (10 FG).
e. Intubasi Endotrakeal
Intubasi endotrakeal hanya untuk penghisapan secret jalan nafas (tanpa
tunjangan ventilasi) mungkin masih dipertanyakan, namun telah
digunakan. Lebih tidak ditoleransi daripada minitrakeostomi namun
akan memberikan akses lubang penghisap yang lebih besar dan control
yang lebih baik pada inspirasi oksigen dan kelembabannya. Tunjangan
ventilasi juga akan lebih mudah dilakukan.
f. Trakeostomi
Akan memberikan lubang akses ke jalan nafas bawah yang terbaik,
paling nyaman, dan bentuk yang paling stabil.
2. Tunjangan Ventilasi Mekanik
Ketika gagal nafas memberat atau gagal untuk pulih meskipun telah
dilakukan terapi konservatif yang agresif, intubasi dan tunjangan ventilasi
mekanik akan dibutuhkan. Keputusan untuk melakukan tunjangan
ventilasi mekanik memerlukan pertimbangan yang hati-hati. Ventilasi
mekanik sering berhubungan dengan kesulitan untuk penyapihan dan
ketergantungan terhadap ventilator. Hiperkarbia dan asidosis tersendiri
tidak merupakan indikasi untuk ventilasi mekanik, selama tidak
menimbulkan tanda-tanda ancaman gagal nafas.
Beberapa criteria yang dapat dijadikan pertimbangan untukmlakukan
ventilasi mekanik :
a. Penampakan klinis kelelahan otot nafas dan ancaman gagal
nafas.
b. Peningkatan PaCO2 meskipun telah dilakukan terapi
konservatif yang adekuat, dan tidak disebabkan oleh pemberian
oksigen.
c. Perburukan level kesadaran karena kelelahan, hiperkarbia atau
keduanya.
6
d. Perburukan karena kegagalan perbersihan sputum.
e. Henti nafas.
7