pendahuluan 1.1. latar belakang masalah - kementerian perdagangan republik indonesia · ·...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Defisit neraca perdagangan Indonesia tahun 2012 berlanjut sampai awal tahun
2013 ini. Di tahun 2012 kemarin, neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit
sebesar USD 1,7 M. Sementara itu, di periode Januari-April 2013 neraca perdagangan
kembali mengalami defisit sebesar USD 0,4 M. Defisit total neraca perdagangan dipicu
oleh defisitnya neraca migas, padahal neraca non migas masih mengalami surplus. Data
dari BPS tahun 2012 menyebutkan bahwa neraca migas defisit mencapai USD 5,7 milar,
sementara neraca non migas surplus sebesar USD 4 M. Di empat bulan pertama tahun ini
neraca migas defisit USD 4,6 M ditambah oleh menurunnya surplus perdagangan non
migas yang hanya mencapai USD 2,7 M selama periode Januari-April tahun ini, sehingga
menyebabkan total neraca perdagangan Indonesia kembali defisit.
Berdasarkan data perkembangan total ekspor impor Indonesia sejak tahun 1950.
Defisit total perdagangan Indonesia hanya terjadi di tahun 1952, tahun 1961 dan tahun
2012. Namun demikian, nilai defisit perdagangan Indonesia di tahun 1952 hanya
mencapai USD 14 juta. Nilai defisit perdagangan Indonesia pada tahun 1961 bahkan
lebihi kecil, hanya sebesar USD 8 juta. Defisit perdagangan di tahun 1952 dan tahun 1961
tersebut jauh lebih kecil dibandingkan defisit perdagangan tahun 2012 yang mencapai
USD 1,6 miliar.
Sebagaimana telah disampaikan di atas, defisit perdagangan bersumber dari
defisit perdagangan migas. Berdasarkan fakta empiris selama 2012, defisit neraca
perdagangan terutama bersumber dari defisit hasil minyak yang mencapai USD 24,5
miliar atau volumenya mencapai 22,8 juta Ton (18,2 juta kiloliter) (Tabel 1.1).
ANALISIS PENINGKATANPENGGUNAAN BIODIESELSEBAGAI UPAYA MENGATASI DEFISITNERACA PERDAGANGAN MIGAS
Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan
Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri
Jakarta – 2013
Pusat Kebijakan Perdagangan Luar NegeriBadan Pengkajian Dan Pengembangan Kebijakan PerdaganganKementerian Perdagangan RI
Jl. M.I. Ridwan Rais No. 5 JakartaGedung Utama Lt. 16Telp. +62 21 2352 8683 Fax. +62 21 2352 8693
2
Tabel 1.1. Perkembangan Neraca Perdagangan Indonesia
Nilai : USD Miliar Perub.(%) Trend (%)URAIAN 2008 2009 2010 2011 2012 Jan-Mar
2012Jan-Mar
20132013/2012 2008-2012
Total Perdagangan 266.2 213.3 293.4 380.9 381.7 94.3 91.1 -3.4 13.9 Migas 59.7 38.0 55.5 82.2 79.5 20.5 19.7 -4.1 14.4 Non Migas 206.5 175.3 238.0 298.8 302.2 73.8 71.4 -3.2 13.8
Ekspor 137.0 116.5 157.8 203.5 190.0 48.5 45.4 -6.4 12.9 Migas 29.1 19.0 28.0 41.5 37.0 10.0 8.1 -18.4 13.4
Ekspor Non Migas Non Migas 107.9 97.5 129.7 162.0 153.1 38.5 37.3 -3.3 12.8
Impor 129.2 96.8 135.7 177.4 191.7 45.7 45.7 -0.2 15.0 Migas 30.6 19.0 27.4 40.7 42.6 10.5 11.5 9.4 15.3
Impor Non Migas Non Migas 98.6 77.8 108.3 136.7 149.1 35.2 34.1 -3.1 14.9
Neraca Perdagangan 7.8 19.7 22.1 26.1 -1.7 2.8 -0.2 -108.5 0.0 Migas -1.4 0.0 0.6 0.8 -5.6 -0.5 -3.4 526.4 0.0
Neraca Non Migas Non Migas 9.2 19.6 21.5 25.3 3.9 3.3 3.1 -5.4 -13.6
Sumber : BPS (diolah)
Tahun 2012 konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi mencapai 45,0 juta
kilo liter (KL), melebihi kuota APBN sebanyak 40,0 juta KL. Tahun 2013 subsidi APBN
dianggarkan mencapai 46,0 juta KL. Menurut ESDM, 79,3% konsumsi BBM bersubsidi
tahun 2012 berasal dari impor (sekitar 35,6 juta KL). Tingginya impor BBM, tak bisa lepas
dari konsumsi BBM bersubsidi di dalam negeri yang begitu melonjak dari tahun ke tahun.
Tabel 1.2. Perkembangan Impor Indonesia 2012
IMPOR MIGAS (Juta Ton) 43.7 44.3Minyak Mentah 13.3 12.6Hasil Minyak 28.8 28.5Gas 1.6 3.2
Kebutuhan Minyak Dalam Negeri (Juta Ton) 33.0 36.0
Kontribusi Impor Hasil Minyak dalam MemenuhiKebutuhan Dalam Negeri (%) 87.4 79.3
URAIAN 2011 2012
Sumber : BPS (diolah)
Disisi lain kebijakan hilirisasi CPO dan produk turunannya menyebabkan Indonesia
juga menjadi penyuplai biodiessel yang berasal dari CPO. Perkembangan ekspor
Biodiessel mencapai 1,37 juta ton dengan nilai ekspor mencapai USD 1,45 milyar di tahun
2011. Pertumbuhan volume ekspor biodiessel dari tahun 2007-2011 mencapai 95,04%
dan pertumbuhan nilai ekspornya mencapai 125,89%. Volume ekspor yang cukup besar
3
tersebut hanya mengunakan kapasitas industri sebesar 35% karena kapasitas terpasang
industri pengolahan biodiessel di dalam negeri mencapai 3,9 juta ton atau senilai dengan
4,2 juta kilo liter. Jika penggunaan biodiessel dalam negeri dapat ditingkatkan untuk
menggantikan bahan bakar minyak dalam negeri, maka defisit perdagangan akan dapat
berkurang. Selain itu peningkatan penggunaan biodiessel di dalam negeri akan
menghemat devisa negara.
Saat ini ada kebijakan yang menghambat percepatan penggunaan Bahan Bakar
Nabati (BBN) atau biofuel di dalam negeri. Hal ini diatur dalam Peraturan Menteri ESDM
No. 32 tahun 2008, dimana pencampuran biodiesel ke dalam solar ditentukan 5% untuk
Industri dan Komersial dari tahun 2010 sampai 2015. Meskipun demikian, berdasarkan
data empiris kebijakan tersebut menekan volume impor solar sebesar 6,4% atau senilai
USD 0,5 M. Jika pencampuran bisa mencapai 10%, diperkirakan akan mengurangi impor
solar sebesar 28,6% atau senilai USD 2,42 M.
Dari uraian di atas, maka perlu adanya rekomendasi kepada pemerintah untuk
menyesuaikan harga BBM sampai pada tingkat harga biofuel lebih kompetitif,
menyesuaikan harga patokan BBN yang sesuai dengan nilai keekonomiannnya (minimal
120% dari HPE), dan mempercepat penerapan batas minimum (persentase)
pencampuran biodiesel ke dalam solar yang lebih tinggi (10% dan seterusnya).
1.2. Tujuan Kajian
Berdasarkan uraian masalah tersebut, maka tujuan dari kajian ini adalah :
1. Merumuskan kebijakan untuk memperbaiki neraca perdagangan.
2. Merumuskan kebijakan untuk meningkatkan penggunaan biodiessel di dalam
negeri yang bersumber dari CPO untuk menggantikan bahan bakar minyak
sehingga dapat menghemat devisa.
3. Merumuskan kebijakan untuk meningkatkan hilirisasi industri CPO yang sudah
berjalan dengan baik, dan meningkatkan pemanfaatan Investasi di industri
biodiessel.
4. Merumuskan kebijakan untuk meningkatkan penyerapan bahan baku CPO di
dalam negeri, agar mampu meningkatkan harga CPO di pasar internasional, yang
pada akhirnya dapat meningkatkan nilai ekspor produk turunan CPO.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Gambaran Umum Bahan Bakar Minyak (BBM)
Energi akan tetap dibutuhkan dari masa ke masa. Pada era industrialisasi dan
transportasi seperti saat ini, energi digunakan sebagai bahan bakar utama penggerak
sektor tersebut. Energi yang umumnya sekarang digunakan berasal dari bahan bakar
fosil yaitu minyak bumi, gas alam dan batubara. Ketiga bahan bakar tersebut saat ini
merupakan pensuplai energi terbesar di dunia. Bahan bakar fosil mampu mendominasi
81% energi primer dunia dan juga berkontribusi pada 66% pembangkitan listrik global.
Padahal bahan bakar tersebut termasuk sumber daya energi yang tidak dapat
diperbaharui dan lama kelamaan keberadaannya akan langka dan habis. Beberapa data
menyebutkan bahwa sampai dengan taraf tertentu, krisis energi dimasa datang yang
akan kita hadapi (Situmorang, Elizabeth, 2012).
Kontinuitas penggunaan bahan bakar fosil memunculkan dua ancaman serius
yaitu :
1. Faktor ekonomi, berupa jaminan ketersediaan bahan bakar fosil untuk beberapa
dekade mendatang, masalah suplai, harga, dan fluktuasi nya.
2. Polusi akibat pembakaran bahan bakar fosil kelingkungan. Polusi yang ditimbulkan
oleh pembakaran bahan bakar fosil memiliki dampak langsung maupun tidak
langsung bagi kesehatan manusia. Kesadaran terhadap ancaman serius tersebut telah
mengintensifkan berbagai riset yang bertujuan menghasilkan sumber-sumber energi
maupun pembawa energi yang terjamin keberlanjutannya dan lebih ramah
lingkungan. Salah satu solusi untuk menghadapi tantangan krisis energi dimasa depan
adalah mencari sumber energi alternatif. Energi alternatif adalah sumber energi yang
dapat digunakan untuk menggantikan bahan bakar konvensional.
Indonesia yang selama ini memiliki sumber daya alam yang melimpah ruah kini
harus dipertanyakan kembali. Setidaknya sumber daya alam seperti minyak bumi yang
dieksploitasi habis-habisan telah menunjukkan bahwa kandungannya semakin lama
semakin menipis. Hasil temuan baru-baru ini menunjukkan persediaan total minyak
Indonesia hanya 5,2 milyar barrel dan 4,6 milyar barrel potensi minyak. Jika produksi
5
rata-rata berada pada 0,54 milyar barrel per tahun, maka rasio yang didapat antara
persediaan dan produksi adalah 18 (Abdullah 2005, 120). Artinya dalam 18 tahun ke
depan, persediaan minyak Indonesia akan habis.
Kekayaan minyak bumi Indonesia kini tidak lagi menjadi sumber utama
penghasilan negara. Sejak 1996 produksi minyak Indonesia menurun sama halnya dengan
negara-negara penghasil minyak lainnya. Tabel 2.1 di bawah ini memperlihatkan negara-
negara penghasil minyak mengalami penurunan jumlah produksi dan tidak dapat lagi
meningkatkan produksi mereka. Hal ini terjadi di negara-negara seperti Amerika, Inggris
dan Norwegia dan terjadi pula di Indonesia dan Venezuela yang merupakan anggota
OPEC. Negara-negara tersebut telah kehilangan sepertiga kapasitas puncak produksinya.
Walaupun di negara-negara tersebut dan di negara-negara lain juga ditemukan cadangan
minyak namun secara persentase jumlahnya tidak lagi sebanyak dulu (Tsoskounoglu,
Ayerides dan Tritopoulou 2008).
Tabel 2.1. Puncak Produksi Minyak di Negara-negara Penghasil Minyak
Negara2006 (Produksi 1000
Barrel/Hari)Puncak Tahun
Puncak Produksi(1000 Barrel/Hari)
Penurunan(%)
USA 6,871 1970 11,297 -40Indonesia 1,071 1991 1,669 -32UK 1,636 1999 2,909 -38Venezuela 2,824 1998 3,510 -14Norwegia 2,778 2001 3,418 -13Total 15,180 22,803 -33
Sumber: BP: 2007 diambil dari Tsoskounoglu, Ayerides dan Tritopoulou 2008
Konsumsi energi komersial di Indonesia terus mengalami peningkatan dari 218,2
juta Setara Barel Minyak (SBM) pada tahun 1990 menjadi 546,6 juta SBM pada tahun
2005 atau meningkat sebesar 6,3% per tahun. Berdasarkan jenis energinya, konsumsi
Bahan Bakar Minyak (BBM) merupakan konsumsi energi komersial terbesar. Sebagian
besar konsumsi BBM ini digunakan untuk sektor transportasi. Peningkatan konsumsi BBM
ini membebani anggaran pemerintah dalam pemberian subsidi. Beban tersebut akan
terus meningkat seiring dengan kenaikan harga minyak dunia karena pemerintah masih
harus mengimpor sebagian BBM untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri (Agus
Sugiyono, 2008).
6
Tahun 2012 konsumsi BBM bersubsidi mencapai 45,0 juta KL, melebihi kuota
APBN sebanyak 40,0 juta KL. Tahun 2013 subsidi APBN dianggarkan mencapai 46,0 juta
KL. Kuota dan realisasi BBM bersubsidi dapat dilihat pada gambar 2.1.
36.9 36.540.5 40.0
46.0
37.7 38.6 41.245.0
0.0
10.0
20.0
30.0
40.0
50.0
2009 2010 2011 2012 2013
Juta Kiloliter
Kuota Realisasi
Gambar 2.1. Kuota dan Realisasi Volume BBM Bersubsidi
Sumber : ESDM, dalam presentasi “KEBIJAKAN MIGAS DALAM MENOPANG KETERSEDIAAN ENERGI
NASIONAL”, dipaparkan pada Diskusi Terbatas terkait Kebijakan Komprehensif untuk Memperbaiki Neraca
Perdagangan (20 Maret 2013)
Kebutuhan minyak dunia juga semakin meningkat seiring dengan pertumbuhan
ekonomi negara. Jika pertumbuhan ekonomi sesuai dengan perkiraan dalam dua puluh
tahun ke depan, permintaan minyak diproyeksikan akan meningkat dari 80 juta
barrel/hari menjadi 120 juta barrel/hari pada tahun 2030 atau meningkat sekitar 50
persen dari sekarang (Dorian dan Franssen dan Simbeck 2006). Darimanakah kebutuhan
yang meningkat sebanyak 50 persen itu dapat dipenuhi? Yang perlu menjadi catatan,
negara-negara penghasil minyak yang tergabung dalam Organization of Petroleum
Exporting Countries (OPEC) saat ini telah beroperasi untuk memproduksi minyak pada
kapasitas maksimal namun kesulitan untuk memenuhi permintaan minyak dunia
sehingga menyebabkan harga minyak naik.
7
0
20
40
60
80
100
120
140
160
180
US$perBarel
ICP Mogas92(Bensin) JetKero Gasoil
Gambar 2.2. Perkembangan ICP (Indonesia Crude Price) dan BBM
Sumber : ESDM, dalam presentasi “KEBIJAKAN MIGAS DALAM MENOPANG KETERSEDIAAN ENERGI
NASIONAL”, dipaparkan pada Diskusi Terbatas terkait Kebijakan Komprehensif untuk Memperbaiki Neraca
Perdagangan (20 Maret 2013)
Gambar diatas memperlihatkan dan menunjukkan menurunnya produksi minyak
Indonesia dan bahwa Indonesia sangatlah rentan terhadap kenaikan harga minyak dunia.
Namun di sisi lain konsumsi bahan bakar minyak domestik mengalami peningkatan yang
sangat tajam. Hal itu menunjukkan ketergantungan yang sangat tinggi terhadap bahan
bakar fosil sehingga tren harga minyak terus meningkat. Meskipun demikian, jika
diperhatikan lebih jauh, terjadi perbedaan harga yang semakin besar antara keempat
harga tersebut di tahun 2012.
2.2. Gambaran Umum Bahan Bakar Nabati (BBN)
Secara umum, porsi minyak bumi dari total pemenuhan energi nasional dengan
melibatkan sumber-sumber energi lainnya masih sekitar 52%; suatu jumlah yang masih
sangat tinggi (BPPT). Dengan memperhatikan kondisi Energi Nasional saat ini, maka
8
diperlukan upaya untuk mencari sumber-sumber minyak bumi baru, memperbesar porsi
pemakaian sumber energi lain dan/atau mencari alternatif pengganti minyak bumi.
Untuk mengantisipasi permasalahan energi nasional, melalui Peraturan Presiden
No. 5 tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional telah ditetapkan beberapa sasaran
kondisi energi nasional yang harus dipenuhi pada tahun 2025 seperti terlihat pada
Gambar 2.3 mengenai target bauran energi. Pada gambar tersebut diperlihatkan bahwa
porsi kuota penggunaan minyak bumi pada tahun 2025 ditetapkan sebesar 20%.
Sementara porsi sumber energi lain diperbesar menjadi seperti nilai minimal yang tertera
dalam gambar tersebut. Menarik untuk disimak, adalah harapan tumbuhnya energi baru
dan terbarukan dalam porsi yang relatif signifikan seperti bahan bakar nabati (BBN) di
mana biodiesel termasuk di dalamnya.
KONDISI SAAT INITAHUN 2011
TARGET TAHUN 2025PERPRES 5/2006
BBN 5% PanasBumi 5%
Nuklir,Hidro,Surya,Angin,
dan EBTlainnya 5%
BatubaraTercairkan 2%
Gambar 2.3 Target Bauran Energi 2025Sumber : ESDM, dalam presentasi “KEBIJAKAN MIGAS DALAM MENOPANG KETERSEDIAAN ENERGI
NASIONAL”, dipaparkan pada Diskusi Terbatas terkait Kebijakan Komprehensif untuk Memperbaiki Neraca
Perdagangan (20 Maret 2013)
Disamping kebijakan tersebut di atas, Presiden mencanangkan Indonesia Green
Energy Action Plan. Pengembangan green energy atau energi yang berbahan baku nabati
mempunyai tiga aspek penting yang diyakini dapat mendorong perekonomian nasional,
yaitu:
• Pro Jobs untuk membuka lapangan kerja yang lebih luas
• Pro Growth yang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi, dan
• Pro Poor yang akan mengurangi tingkat kemiskinan.
9
Dalam papernya Agus Sugiyono (2008) mengatakan bahwa BBN merupakan salah
satu bentuk green energy yang secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi tiga,
yaitu: biodiesel, bioetanol, dan Pure Plant Oil (PPO) atau sering disebut biooil.
Biodiesel merupakan bentuk ester dari minyak nabati. Bahan baku dapat berasal dari
kelapa sawit, jarak pagar, kedelai dan kelapa. Dalam pemanfaatanya dicampur
dengan minyak solar dengan perbandingan tertentu. B5 merupakan campuran 5%
biodiesel dengan 95% minyak solar yang dijual secara komersil oleh Pertamina
dengan nama dagang biosolar.
Bioetanol merupakan anhydrous alkohol yang berasal dari fermentasi tetes tebu,
singkong, jagung atau sagu. Bioetanol dimanfaatkan untuk mengurangi konsumsi
premium. E5 merupakan campuran 5% bioetanol dengan 95% premium yang telah
dipasarkan Pertamina dengan nama dagang biopremium. Penggunaan bioetanol
sampai dengan E15 tidak perlu melakukan modifikasi mesin kendaraan yang sudah
ada, tetapi untuk E100 hanya dapat digunakan untuk mobil jenis FFV ( flexible fuel
vehicle ).
PPO merupakan minyak nabati murni tanpa perubahan sifat kimiawi dan
dimanfaatkan secara langsung untuk mengurangi konsumsi solar industri, minyak
diesel, minyak tanah dan minyak bakar. O15 merupakan campuran 15% PPO dengan
85% minyak diesel dan dapat digunakan tanpa tambahan peralatan khusus untuk
bahan bakar peralatan industri. Pemakaian yang lebih besar dari O15 harus
menambah peralatan konverter.
Proses pembuatan BBN secara ringkas serta bahan baku yang digunakan
ditunjukkan pada Gambar 2.4. Untuk selanjutnya yang akan dibahas lebih lanjut yaitu
pemanfaatan biodiesel dengan bahan baku minyak kelapa sawit atau CPO (Crude Palm
Oil).
10
Gambar 2.4. Bahan Baku dan Proses Pembuatan BBNSumber : BPPT
2.3. Gambaran Umum Biodiesel Indonesia
Biodiesel merupakan bahan bakar yang terdiri dari campuran mono-alkyl ester
dari rantai panjang asam lemak, yang dipakai sebagai alternatif bagi bahan bakar dari
mesin diesel dan terbuat dari sumber terbaharui seperti minyak sayur atau lemak hewan.
Sebuah proses dari transesterifikasi lipid digunakan untuk mengubah minyak dasar
menjadi ester yang diinginkan dan membuang asam lemak bebas. Setelah melewati
proses ini, biodiesel memiliki sifat pembakaran yang mirip dengan diesel (solar) dari
minyak bumi, dan dapat menggantikannya dalam banyak kasus. Secara definisi biodiesel
adalah bahan bakar mesin diesel yang dibuat dari minyak hayati (tumbuhan dan hewan),
yang di pakai sebagai alternatif bagi bahan bakar dari mesin diesel.
Biodiesel adalah senyawa ester metil/ etil dan asam-asam lemak yang dihasilkan
dari reaksi antara minyak nabati dengan metanol/ etanol. Minyak nabati yang merupakan
sumber utama biodiesel dapat dipenuhi oleh berbagai macam jenis tumbuhan
tergantung pada sumber daya utama yang banyak terdapat disuatu tempat/ negara.
Sebagai contoh adalah minyak jagung, kanola, kelapa, dan kelapa sawit yang kemudian
menghasilkan produk dengan nama SME (Soybean Methyl Ester), RME (Rapeseed Methyl
Ester), CME (Coconut Methyl Ester), dan POME (Palm Oil Methyl Ester).
11
Memperhatikan adanya harapan dan keinginan biodiesel dapat dimanfaatkan
dan dikembangkan menjadi bahan bakar yang alternatif di Indonesia, dapat diperkirakan
bahwa dalam mengembangkan biodiesel di Indonesia sasaran yang diinginkan adalah
dapat diwujudkannya penyediaan dan pemanfaatan biodiesel yang mempunyai ciri :
Mampu menghasilkan biodiesel yang compatible dengan sistem peralatan yang
akan menggunakannya (mesin–mesin diesel dan burner pada sistem penyedia
kalor/ panas di industri) termasuk dengan sistem distribusi minyak solar yang
ada.
Memanfaatkan sumber daya alam domestik sebanyak mungkin baik dari segi
jumlah maupun jenis bahan bakunya sehingga tingkat risiko akan ketergantungan
kepada satu jenis bahan baku dapat dikurangi;
Sistem penyediaan bahan baku dan pengolahan yang bersifat menyebar sehingga
masing-masing daerah dapat mandiri dalam menyediakan bahan bakar yang di
butuhkannya dan dengan sendirinya dapat mengurangi beban biaya transportasi
antara daerah penghasil dan konsumen;
Memanfaatkan teknologi pengolahan yang tidak terlampau canggih dan tidak
capital intensif sehingga dapat mengurangi beban biaya transportasi antara daer
ah penghasil dan konsumen;
Mampu menghasilkan lapangan kerja sebanyak mungkin sehingga pengembangan
biodiesel berkontribusi secara berarti kepada upaya pembangunan ekonomi
sosial.
Dari berbagai jenis bahan baku biodiesel maka biodiesel dari minyak kelapa sawit
(CPO) mempunyai prospek untuk dikembangkan mengingat jumlah ketersediaan dan
potensi pengembangan tanaman kelapa sawit yang cukup besar. Dalam penggunaannya
biodiesel harus dicampur dengan minyak solar/diesel. Program uji coba pemasaran
campuran 5% biodiesel dengan 95% minyak solar yang diberi nama dagang biosolar
dimulai pada Maret 2006 sampai April 2007 di wilayah Jabotabek. Biosolar dipasarkan di
201 SPBU (Stasiun Pengisian Bahan Bakar untuk Umum) dan volume penjualannya
mencapai 314.187 KL. Sedangkan untuk wilayah Surabaya dilaksanakan pada 15 SPBU
dengan volume penjualannya mencapai 9.845 KL. Produksi biodiesel pada April 2007
mencapai 520.000 KL yang diproduksi oleh sekitar 8 perusahaan dengan PT. Wilmar
12
Dumai sebagai pemasok terbesar dengan kapasitas 350.000 ton/tahun disusul PT.
Eterindo Wahanatama, Gresik dengan kapasitas 120.000 ton/tahun.
Dari sisi hilir, teknologi pengolahan biodiesel terus dikembangkan dan secara
nasional sudah dapat dikuasai rancang bangun industri pengolahan biodiesel. BPPT telah
mendisain dan membangun pabrik biodiesel dengan kapasitas 1,5 ton per hari sebagai
prototipe pada tahun 2000. Prototipe ini kemudian dikembangkan lagi dan bersama
dengan Pemda Propinsi Riau mendirikan pabrik biodiesel dengan kapasitas 8 ton per hari
tipe batch. Pada tahun 2006 didirikan pilot plant pabrik biodiesel skala 3 ton/hari tipe
kontinu berlokasi di Puspiptek, Serpong. Detail disain pabrik biodiesel skala komersial 80
ton per hari sudah dapat diselesaikan pada tahun 2007. Disamping BPPT, institusi lain
seperti Lemigas, ITB, Departemen Pertanian, LIPI, PT. Rekin, dan beberapa perusahaan
swasta, seperti PT. Energy Alternative Indonesia (EAI) dan PT. Eterindo Wahanatama juga
mengembangkan pabrik biodiesel yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia. Rencana
pengembangan pabrik biodiesel sampai tahun 2009 ditunjukkan pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2. Rencana Pengembangan Pabrik Biodiesel dan Lahan untuk Bahan Baku
(ha)2 (ha)2 (ton/th) 0.5 3 30 60 100 120 300 (ton/th)1 D.I. Aceh 10,000 16,000 8 4 16,0002 Sumut 40,000 140,000 5 3 1 1 141,5003 Riau 93,000 325,500 13 13 2 1 1 325,5004 Sumsel 6,000 21,000 10 10 35,0005 Bengkulu 6,000 21,000 10 10 35,0006 Jawa Barat 6,000 9,600 7 2 9,5007 Jawa Tengah 20,000 32,000 5 1 32,5008 Kalbar 12,000 42,000 12 2 1 42,0009 Kalteng 12,000 42,000 8 3 1 43,000
10 Kaltim 10,000 35,000 4 1 1 35,00011 Sulsel 10,000 20,000 67,000 6 2 2 69,00012 NTT 120,000 192,000 10 6 4 1 203,000
189,000 176,000 943,100 98 56 13 1 2 1 0 987,000Catatan :
1. Produktifitas CPO = 3,5 ton minyak/ha/tahun2. Produktivitas Minyak Jarak = 1,6 ton minyak/ha/tahunSumber : BRDST, BPPT (2006)
ProduksiBahan Baku
Jumlah Pabrik BiodieselUkuran Pabrik dalam ribu ton/tahun
ProdukBiodiesel
Jumlah
No PropinsiKelapaSawit
JarakPagar
Dari sisi hulu, dapat dilihat kondisi perkebunan kelapa sawit serta produksi CPO
saat ini. Perkebunan kelapa sawit yang ada saat ini dapat dikelompokkan berdasarkan
pengelolaannya, yaitu: perkebunan rakyat, perkebunan negara atau BUMN, dan
perkebunan swasta. Luas perkebunan kelapa sawit pada tahun 2006 mencapai 6,1 juta
hektar dengan produksi CPO mencapai 13,5 juta ton. Luas perkebunan sawit selama
13
periode 2000-2006 terus mengalami peningkatan rata-rata 8,3% per tahun. Sebagian
besar dari perkebunan kelapa sawit berada di Sumatera sekitar 4,6 juta hektar,
sedangkan sisanya secara berturut-turut tersebar di Kalimantan, Sulawesi, Papua, dan
Jawa (Tabel 2.3.).
Tabel 2.3. Luas Area Perkebunan Kelapa Sawit dan Produksi CPO Menurut Wilayah
Luas Produksi Luas Produksi Luas Produksi(Ribu Ha) (Ribu Ton) (Ribu Ha) (Ribu Ton) (Ribu Ha) (Ribu Ton)
Sumatera 2,744 6,597 4,101 9,687 4,582 10,582Jawa 21 34 23 36 28 40Kalimantan 844 741 1,152 1,982 1,280 2,421Sulawesi 108 118 123 334 135 347Papua 52 91 39 85 62 119Indonesia 3,769 7,581 5,438 12,124 6,087 13,509Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan (2007)
Wilayah2000 2005 2006
CPO yang diproduksi sebagian besar diekspor dan sebagian lagi untuk bahan baku
pembuatan minyak goreng dan sabun untuk keperluan dalam negeri. Dengan adanya
program pengembangan biodiesel ini perlu penambahan lahan kelapa sawit yang cukup
besar. Pengembangan ini diharapkan dapat membantu mengatasi masalah pertumbuhan
ekonomi, kurangnya lapangan kerja dan kemiskinan. Oleh karena itu dalam
pengembangannya perlu diperhatikan faktor-faktor teknis, ekonomis, dan dampak sosial
sehingga hasilnya diharapkan dapat lebih berdaya guna. Tim Nasional Pengembangan
BBN pada tahun 2006 telah mengeluarkan Blue Print Pengembangan BBN yang dapat
digunakan sebagai acuan strategis dalam penyediaan dan pemanfaatan BBN termasuk di
dalamnya road map yang merupakan peta langkah dari keadaan sekarang menuju
keadaan yang diinginkan dalam kurun waktu 2006-2025.
Potensi penyediaan bahan baku BBN di Indonesia masih cukup besar. Lahan
untuk pengembangan tanaman masih cukup tersedia dan beberapa wilayah kondisi
agroklimatnya sesuai untuk tanaman penghasil BBN. Disamping kesesuaian lahan perlu
juga diperhatikan aspek legal dalam pengembangan lahan. Ada beberapa pola
pengembangan yang akan diprioritaskan yaitu:
14
• Pengembangan kebun khusus (dedicated area) dengan lebih dahulu memanfaatkan
ijin usaha perkebunan (IUP) yang telah dikeluarkan tapi belum dimanfaatkan maupun
melalui ijin/investor baru.
• Pemanfaatan lahan terlantar, lahan kritis dan hutan produksi yang dapat dikonversi.
• Pemanfaatan HGU terlantar dan ijin usaha perkebunan yang tidak aktif.
• Memetakan pertanaman yang sudah tua dan meremajakan pertanaman melalui
pemanfaatan bibit unggul bersertifikat.
Salah satu bagian penting dari Blue Print tersebut adalah rencana pengembangan
biodiesel dari kelapa sawit seperti ditunjukkan pada Tabel 2.4. Dalam pengembangan
biodiesel disamping aspek luas lahan aspek kebutuhan tenaga kerja serta investasi juga
perlu diperhatikan. Pendanaan semaksimal diusahakan bersumber dari dalam negeri,
sedangkan pendanaan dari luar negeri dapat dilakukan dengan pemilihan secara selektif.
Tabel 2.4. Proyeksi Pengembangan BBN dari Kelapa Sawit
Parameter Unit/tahunJangka
Menengah(2010-2015)
Jangka Panjang(2015-2025)
Biodiesel Ton Minyak 6,000,000 16,000,000Produksi Ton Biji 30,000,000 80,000,000Industri Unit 167 444Lahan Hektar 1,500,000 4,000,000Tenaga Kerja Langsung Orang 750,000 2,000,000Tenaga Kerja Tak Langsung Orang 1,167 3,111Pendapatan/orang (@2 ha) Rp/Orang 20,000,000 20,000,000Bibit Ton Batang 202,500,000 540,000,000Investasi on farm Juta 45,000,000 120,000,000Investasi off farm Juta 10,000,000 26,666,667
Sumber: Timnas BBN (2006)
Orientasi ekspor biodiesel Indonesia meningkat pesat sejak tahun 2011. Dari 243
ribu KL produksi biodiesel tahun 2010, hanya 8,2% yang diekspor. Kemudian naik
signifikan menjadi 80% dari total produkdi biodiesel diekspor pada tahun 2011. Selama
2012 hasil produksi biodiesel nasional mencapai 2,2 juta KL, 69,7%-nya dieskpor dan
sisanya sebesar 669 ribu KL dikonsumsi dalam negeri (Tabel 2.5).
15
Tabel 2.5. Produksi Biodiesel Indonesia
TahunDomestik(Ribu kl)
Ekspor(Ribu kl)
Total Produksi(Ribu kl)
Ekspor (%)
2009 130 70 200 35%2010 223 20 243 8.2%2011 359 1453 1812 80%2012 669 1542 2211 69.7%
Produksi Biodiesel Indonesia (Volume)
Produksi Biodiesel Indonesia (Volume)
Tahum DomestikRibu kl
EksporRibu kl
Total ProduksiRibu kl
Ekspor(Persen)
2009 130 70 200 35%
2010 223 20 243 8,2%
2011 359 1.453 1.812 80%
2012 669 1.542 2.211 69,7%
Sumber : Pertamina, BPS
Meningkatnya produksi biodiesel Indonesia juga meningkatkan ekspor biodiesel.
Selama 2007-2012, nilai ekspor biodiesel naik rata-rata 101,5% per tahun, sementara
volumenya naik 78,6%. Permintaan biodiesel di pasar internasional terus meningkat dan
harganya juga mengalami perbaikan sebesar 12,9% selama 6 tahun terakhir, meskipun
sedikit menurun pada tahun 2013 (Tabel 2.6).
Tabel 2.6. Kinerja Ekspor Biodiesel Indonesia
Perub(%) Trend(%)2007 2012 2012 2013 13/12 07-12
Nilai (USD Juta) 31.41 1,382.60 304.07 366.97 20.68 101.51Volume (Ribu Ton) 65.29 1,417.41 301.51 437.36 45.05 78.55Unit Value (USD/KG) 0.48 0.98 1.01 0.84 (16.80) 12.85
Uraian Ekspor Jan-Mar
Sumber : Pusdatin Kemendag (diolah Puska Daglu)
Negara tujuan ekspor Biodiesel Indonesia tahun 2012 adalah Belanda dengan
kontribusi sebesar 28,2% meningkat dari 20,3% di tahun 2008. Amerika Serikat dan
Bolivia yang masing-masing menempati urutan pertama dan keempat sebagai Negara
tujuan ekspor biodiesel Indonesia, tak lagi masuk lima besar di tahun 2012. Sementara
itu, Spanyol dan Italia masih menjadi lima besar Negara tujuan ekspor biodiesel Indonesia
sejak tahun 2008 dan mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Pada tahun 2012,
Spanyol menempati urutan kedua sebagai Negara tujuan ekspor biodiesel Indonesia
dengan kontribusi sebesar 25,0%, diikuti oleh Italia (22,5%), Malaysia (11,8%), dan
Singapura (4,7%). Sementara 7,8% diekspor ke Negara lain (Gambar 2.5).
16
AMERIKASERIKAT
28.5%
BELANDA20.3%
SPANYOL14.7%
BOLIVIA7.8%
ITALIA6.5%
LAINNYA22.2%
2008
BELANDA28.2%
SPANYOL25.0%
ITALIA22.5%
MALAYSIA11.8%
SINGAPURA4.7%
LAINNYA7.8%
2012
Gambar 2.5. Negara Tujuan Ekspor Biodiesel IndonesiaSumber : Pusdatin Kemendag (diolah Puska Daglu)
2.4. Peran Biodiesel dalam Transportasi
Biodiesel merupakan kandidat yang paling dekat untuk menggantikan bahan
bakar fosil sebagai sumber energi transportasi utama dunia. Hal ini dikarenakan biodiesel
merupakan bahan bakar terbaharui yang dapat menggantikan diesel petrol di mesin
sekarang ini dan dapat diangkut dan dijual dengan menggunakan infrastruktur sekarang
ini. Biofuel B5 merupakan campuran dari 95 persen solar (HSD) dengan 5 persen fatty
acid methyl esters (FAME). Ini merupakan produk transesterifikasi dari crude palm oil.
Biosolar merupakan nama dagang pertamina untuk biofuel B5 tersebut. Biosolar
merupakan salah satu bahan bakar alternatif yang ramah lingkungan. Secara umum,
biosolar lebih baik karena ramah lingkungan, pembakarannya bersih, biodegradable,
mudah dikemas dan disimpan, serta merupakan bahan bakar yang dapat diperbahar ui.
Selain itu, mesin atau alat yang menggunakan biosolar tidak perlu dimodifikasi. Biosolar
juga dapat memperpanjang umur mesin dan menjamin keandalan mesin dengan
lubrisitas atau pelumas maksimum 400 mikron.
Bahan bakar yang berbentuk cair ini memiliki sifat menyerupai solar sehingga
sangat prospektif untuk dikembangkan. Disamping sifatnya yang menyerupai solar,
biodiesel memiliki kelebihan dibandingkan dengan solar. Kelebihan biodiesel dibanding
solar adalah sebagai berikut: 1) merupakan bahan bakar yang ramah lingkungan karena
menghasilkan emisi yang jauh lebih baik ( free sulphur, smoke number rendah) sesuai
17
dengan isu-isu global, setana number lebih tinggi (> 57) sehingga efisiensi pembakaran
lebih baik dibandingkan dengan minyak kasar, memiliki sifat pelumasan terhadap piston
mesin; 2) biodegradable (dapat terurai), merupakan renewable energy karena terbuat
dari bahan alam yang dapat diperbarui, dan meningkatkan independensi suplai bahan
bakar karena dapat diproduksi secara local (Wijono, 2010).
Beberapa keuntungan biodiesel minyak kelapa sawit (Wijono, 2010):
Melimpahnya bahan baku, produk CPO=20 juta ton/tahun, sedangkan untuk B-10
membutuhkan 2,5 juta ton/tahun CPO
Memiliki penambahan nilai dan menyimpan devisa
Diperdagangkan secara luas, pasar bebas
Aman dipelihara, tidak ada produksi racun, dapat teruraikan, dan ramah
lingkungan
Angka cetane yang tinggi, proses pembakaran yang bagus, sedikit emisi gas
(CO/CO2/SO2)
Tidak memerlukan modifikasi mesin.
Beberapa kerugian dan keterbatasan (Wijono, 2010):
Harga CPO naik turun dan persaingan yang ketat dengan harga minyak fosil,
terutama dengan di subsidinya harga bahan bakar
Pasar dalam negeri sendiri lebih sulit dikembangkan tanpa dukungan dari
pemerintah
Ciri khusus PME adalah titik beku yang masih di atas 12 derajat C
Mudah teroksidasi, merusak bentuk, adanya perbedaan bahan bakar hayati
(biodiversity).
2.5. Peraturan Tentang Penggunaan BBM dan BBN
Biodiesel adalah bahan bakar yang dapat disintesa dari minyak nabati, minyak
hewan dan minyak nabati/hewan bekas pakai. Biodiesel dapat disintesa dengan
mereaksikan 80-90% minyak nabati/hewan, 10-20% alkohol dan 0,35-1,5% catalyst.
Reaksi pembuatan biodiesel tersebut dinamakan transesterifikasi dan bertujuan untuk
18
menurunkan viskositas dari minyak. Produk akhir dari transesterifikasi adalah methyl
ester atau sering di sebut biodiesel.
Biodiesel merupakan bahan bakar yang stabil, bersifat mengurangi tingkat emisi
gas buang, bercampur secara sempurna dengan minyak diesel mineral (solar) dan bekerja
dengan baik pada semua jenis mesin diesel. Selain mengurangi emisi keunggulan
biodiesel yang utama adalah tidak diperlukan modikasi mesin untuk menjalankan mesin
disel. Biodiesel dapat dituang langsung kedalam tangki bahan bakar kendaraan.
Biodiesel biasanya digunakan dalam bentuk campuran dengan minyak diesel.
Biodiesel campuran atau BXX merupakan bahan bakar yang terdiri dari XX% biodiesel dan
(100-XX)% minyak diesel. Contohnya adalah B100 merupakan biodiesel murni, sedangkan
B30 merupakan campuran 30% biodiesel dan 70% minyak diesel. Pada prinsipnya
biodiesel murni maupun campuran dapat digunakan pada semua jenis mesin
diesel/kompresi termasuk kendaraan penumpang, truk, traktor, kapal, genset dan mesin
industri lainnya.
Prospek pemberdayaan bahan bakar alternati dalam hal ini BBN didorong atas
adanya keputusan presiden No.5 Tahun 2006 yang berisikan target bauran energi
nasional. Proporsi BBN mencapai 5% yang dimana biodiesel termasuk di dalamnya.
Proporsi yang lebih deta il dari jenis BBN yang ada dalam hal ini biodiesel dan bioeth anol
sesuai dengan Peraturan Menteri ESDM No. 32 Tahun 2008.
19
Tabel 2.7. Lampiran Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya MineralNomor 32 Tahun 2008
BIOETHANOL (Minimum)Sector 2008 2009 2010 2015 2020 2025
Transportation, PublicService Obligation (PSO)
3% (Existing) 1% 3% 5% 10% 15%
Transportation,Non PSO
5% (Existing) 5% 7% 10% 12% 15%
Industry 5% 7% 10% 12% 15%
BIODIESEL (Minimum)Sector 2008 2009 2010 2015 2020 2025
Transportation,Public Service Obligation (PSO)
1% (Existing) 1% 2.5% 5% 10% 20%
Transportation,Non PSO
1% 3% 7% 10% 20%
Industry 2.5% 2.5% 5% 10% 15% 20%
Electricity 0.1% 0.25% 1% 10% 15% 20%
Sumber : Kementerian ESDM (Permen ESDM No. 32/2008)
2.6. Studi Literatur Jerman : Keberhasilan Mengelola Energi Terbarui
Riset dan pengembangan energi di Jerman memberikan efek yang luar biasa
terhadap munculnya berbagai macam organisasi yang nantinya menjadi aktor
penting dalam advokasi tenaga surya dan angin. Misalnya asosiasi industri energi
surya Jerman pada tahun 1978, institusi Ekologi (Öko-Institut) untuk Freiburg
dibentuk oleh gerakan lingkungan pada tahun 1977 dan Eurosolar didirikan pada
tahun 1988. Institusi ekologi ini menyediakan ahli-ahli tandingan bagi perjuangan
melawan pemerintah dan kepentingan dalam hal penggunaan tenaga nuklir. Institusi
ini memiliki peranan penting bagi perkembangan kebijakan energi terbarui.
Sementara itu Eurosolar merupakan organisasi yang mengkampanyekan energi terbarui
dalam struktur politik yang independen dari partai politik, perusahaan dan kelompok-
kelompok kepentingan walaupun beberapa anggotanya merupakan anggota parlemen
Jerman dari berbagai partai.
Studi yang dilakukan oleh Jacobsson dan Lauber, 2006) menunjukkan bahwa
organisasi-organisasi inilah yang bersama-sama dengan parlemen mendorong
pemerintah untuk menerapkan kebijakan-kebijakan energi terbarui. Pada saat itu
pemerintah Jerman kurang memiliki komitmen terhadap energi terbarui dan lebih
20
mendengarkan kelompok kepentingan nuklir dan batu bara. Misalnya dasar konsep
UU Feed-in mengenai listrik dibuat oleh beberapa organisasi yaitu Förderverein
Solarenergie (SFV), Eurosolar dan sebuah asosiasi yang mengorganisir 3500 pemilik
pembangkit listrik tenaga hidro berhasil mengkampanyekan Undang-undang listrik
dengan mengunakan energi yang dapat diperbarui (Jacobsson dan Lauber 2006, 263).
Partai politik juga memiliki peranan kuat dalam mendukung upaya
penggunaan energi terbarui. Partai koalisi dan partai oposisi yaitu CDU/CSU
(Christlich Demokratische Union Deutschlands/Christlich Soziale Union, Christian
Democratic Union/Christian Social Union) menganggap bahwa pembebasan
merupakan kontribusi yang jelas untuk mengurangi efek rumah kaca pada sektor
transportasi, melindungi kekayaan alam, mengurangi ketergantungan terhadap
minyak dan mengamankan pendapatan dan pekerjaan di bidang pertanian. Secara
umum, mereka mempercayai bahwa meningkatnya penggunaan biofuel merupakan
kontribusi terhadap pembangunan berkelanjutan.
Sejalan dengan itu Komisi Uni Eropa juga telah mendeklarasikan penggunaan
biofuel sebagai tujuan. Tujuannya adalah penggunaan energi terbarui sebanyak 20
persen dari bahan bakar fosil pada tahun 2020. Untuk mencapai tujuan jangka
panjang tersebut, komisi tersebut mengajukan dua hal (Henke, Klepper dan
Schmitiz, 2005, 2618). Pertama, diwajibkannya minimal 2 persen kandungan biofuel
dengan teknologi yang memungkinkan sehingga akan menciptakan pasar yang stabil
bagi biofuel. Kedua, kerangka kerja Uni Eropa akan dibuat sehingga para
anggotanya dapat mengimplementasikan pembebasan pajak sementara bagi biofuel.
Memasuki tahun 2000, peranan energi terbarui di Jerman ditargetkan meningkat
dua kali lipat dalam sepuluh tahun ke depan dan mencapai hingga 12,5 persen dari total
konsumsi listrik pada tahun 2010. Untuk mencapai target tersebut, pemerintah
mendukung kebijakan energi terbarui dengan menerapkan skema kompensasi feed-in
(Einspeisevergütungen) daya dari sumber energi terbarui dapat diisi ke jaringan listrik
dan harus dioperasikan oleh perusahaan dengan tarif yang tetap per kWh (Hillebrand
et.al. 2006, 3484). Hingga 1 April, 2000 skema kompensasi feed-in hanyalah
berdasarkan pada rata-rata harga retail listrik untuk pengguna akhir. Kemudian skema
21
kompensasi tersebut direvisi dengan mengamandemen Undang-undang energi
terbarui pada 1 Agustus 2004 (Gesetz zur Neuregelung des Rechts der Erneuerbaren
Energien im Strombereich). Tarif kompensasi feed-in tidak bergantung pada banyaknya
harga listrik secara general tetapi bergantung pada teknologi, ukuran dan lokasi
fasilitas pembangkit listrik. Undang-undang ini diberlakukan untuk mendorong
pemakaian energi terbarui mengingat energi terbarui masih belum kompetitif.
Selain itu Jerman juga mulai berusaha untuk mengganti bahan bakar bensin
ke biofuel sebagai rekomendasi Uni Eropa untuk meningkatkan penggunaan energi
terbarui di semua sektor. Tahun 2002 parlemen Jerman memutuskan untuk
membebaskan semua biofuel terhadap pajak bahan bakar. Pembebasan ini
diterapkan sampai pada akhir tahun 2009 dan pemerintah wajib melaporkan
kemajuan atas pengenalan pasar biofuel dan perkembangan harga atas biomas,
minyak mentah dan bahan bakar lainnya setiap tahunnya sehingga dapat diadaptasi
bila diperlukan (Henke, Klepper dan Schmitiz 2005, 2617).
Penggantian bensin ke bio-ethanol tidak akan mungkin terjadi tanpa
dukungan kebijakan ekonomi dan fiskal. Di Jerman biaya produksi bio-ethanol
ekuivalen dengan 0,45-0,55 per liter bensin dalam skenario yang terbaik. Namun
lebih sering ekuivalen antara 0.80-0.90 per liter bensin. Sedangkan harga bebas
pajak untuk bensin hanyalah 0,20 euro per liter sehingga bio-ethanol tidak akan
kompetitif tanpa pembebasan pajak.
Tidak hanya pembebasan pajak, pemerintah Jerman juga mengintervensi
pasar dengan adanya badan pasar nasional, Federal Monopoliy Administration for
Spirits (Bundesmonopolverwaltung für Branntwein) yang bertanggungjawab membeli
dan memasarkan ethanol yang diproduksi dari pertanian mempunyai pengaruh yang
kuat terhadap pasar bio-ethanol (Henke, Klepper dan Schmitiz 2005, 2620). Dulunya
badan ini didesain untuk mendapatkan penghasilan negara. Sekarang badan ini
mensubsidi dan melindungi produsen bio-ethanol kecil dan menengah melawan
kompetitor asing dan menolong untuk memelihara ekologi lahan. Harga yang
dibayar kepada produsen oleh Bundesmonopolverwaltung di atas harga pasar dan
kebanyakan produsen tidak akan bertahan tanpa ada dukungan tersebut. Defisit yang
22
dihasilkan ditutup oleh budget pemerintah pusat. Walaupun sebenarnya bentuk
bantuan pemerintah ini sebenarnya bertentangan dengan aturan Uni Eropa dan
Jerman melanggar atas peraturan bebas barang-barang pertanian.
Logika politik dibalik meningkatnya penggunaan biofuel adalah kontribusinya
yang positif terhadap perubahan iklim, pertanian dan juga keamanan pasokan
energi. Penggunaan bio-ethanol dalam teknologi otomotif dapat menghasilkan share
volume sebanyak 10 persen dari bahan bakar fosil. Selain itu kebijakan energi
terbarui di Jerman telah mempekerjakan orang sebanyak 120.000-150.000 (Guest
Editorial 2006, 253). Saat ini kebijakan terhadap perubahan iklim terdiri dari
berbagai kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan efisiensi penggunaan energi
melalui pengurangan intensitas energi dalam ekonomi, mengurangi aktifitas yang
menguras energi dan terakhir mengganti energi fosil dengan energi terbarui.
23
BAB III
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
2.7. Pengembangan Biofuel
Peningkatan ekspor dan penggunaan biofuel di dalam negeri, khususnya
biodiesel, merupakan salah satu langkah efektif untuk mengurangi defisit neraca
perdagangan, khususnya yang bersumber dari migas. Peningkatan ekspor biodiesel
maupun peningkatan penggunaan biodiesel di dalam negeri (substitusi impor BBM)
sehingga mengurangi impor adalah dua sisi yang dapat menekan defisit, bahkan bisa
membuat neraca perdagangan menjadi surplus. Strategi ini sekaligus bermanfaat untuk
menstabilkan harga CPO, menambah lapangan kerja, menurunkan kemiskinan khususnya
di pedesaan, dan meningkatkan ketahanan energi.
Sebagai ilustrasi, penerapan kebijakan B5 (pencampuran biodiesel ke dalam solar
sebesar 5%) akan membuat penggunaan biodiesel sebesar 669 kiloliter yang mencapai
30% dari total produksi. Kebijakan ini telah mengurangi impor solar sebesar 6,4% dengan
nilai sebesar USD 0,5 miliar. Berdasarkan perhitungan PROBI, penerapan B10
diperkirakan akan mengurangi impor solar sebesar 28,6% atau mencapai USD 2,42 miliar.
Dengan pendekatan ini, defisit neraca perdagangan tahun 2012 sebesar USD 1,7 miliar
sudah dapat diatasi. Di sisi lain, ekspor biodiesel terus meningkat dengan laju 101,5% per
tahun, dari USD 31,4 juta pada tahun 2007 menjadi USD 1,4 miliarpada tahun 2012.
Selain mengurangi impor, penerapan B10 juga dapat menyerap tenaga kerja sebanyak
217 ribu orang di sektor hulu dan pengurangan gas rumah kaca sekitar 8 juta ton.
Gambar 2. Dampak Kebijakan B5 dan B10
24
Pemakaian Biodiesel Domestik, B5669.328 kilo liter/ 4,2 juta Barel
Mengurangi Impor Minyak Solar6,4%
Tenaga Jumlah48.500 Orang, hulu
Pengurangan Gas Rumah Kaca1.672.652 Ton CO2 (5%)
Kemampuan Ekspor di Tahun 20133.5 Juta Kilo Liter
Pemakaian Biodiesel Domestik, B10
3 juta kilo liter/ 18,87 juta Barel *
Mengurangi Impor Minyak Solar
28,6% (~2,42 Milyar Dollar) **
Tenaga Kerja,
217.500 Orang, hulu
Pengurangan Gas Rumah Kaca
8.031.668 Ton (-7%)
Kemampuan Ekspor di Tahun 2013
1 Juta Kilo Liter
Sumber : Pertamina, APROBI, US EPA
Peningkatan penggunaan dan ekspor biodiesel, khususnya yang berbasis CPO,
untuk memperbaiki neraca perdagangan dinilai sangat potensial. Dari sisi produksi,
bahan baku biodiesel (CPO) cukup melimpah. Pada tahun 2012, produksi CPO
diperkirakan sekitar 25 juta ton dan diperkirakan akan mencapai 40 juta ton pada tahun
2020. Di samping itu, Kapasitas terpasang industri pengolahan biodiesel di dalam negeri
mencapai 4,6 juta kilo liter, namun utilitas industri baru mencapai 48%. Dari produksi
sebesar 2.21 juta kilo liter hanya sekitar 30% atau sebesar 669 ribu kilo liter yang
diperuntukkan bagi keperluan domestik. Pasar ekspor juga sangat prospektif yang
diindikasikan oleh peningkatan nilai ekspor biodiesel dengan laju 101,5% per tahun.
2.8. Keuntungan Menggunakan Biodiesel
Pengembangan penggunaan Biodiesel dalam negeri memberika banyak
keuntungan dan dukungan dari kondisi Indonesia sendiri. Keuntungan tersebut antara
laian :
• Biodiesel merupakan bahan bakar Renewable dan sustainable.
• Perkebunan kelapa sawit sebagai bahan baku biodiesel terdapat di seluruh negeri
yang meliputi pulau Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, dan Irian Jaya. Selain itu,
pabrik pengolahannya juga menyebar di berbagai daerah mendekati sumber bahan
baku karena produk ini mengharuskan proses pengolahan bahan baku yang segera
untuk mencegah terjadinya kerusakan. Hal tersebut memperkecil terjadinya
disparitas harga yang diakibatkan jauhnya jarak distribusi pemasaran.
25
• Sifat struktur kimia yang dimiliki biodiesel akan rusak jika tercampur dengan air, oleh
karena itu tidak perlu pengawasan ekstra dan terhindar dari kecurangan
(pengoplosan) oleh oknum tertentu (Sumber : Pelaku Usaha).
• Peningkatan penggunaan biodiesel untuk pencampuran dalam solar tidak
mengurangi volume biodiesel yang diekspor dan tidak mengganggu pasokan minyak
goreng dalam negeri, karena biodiesel merupakan hasil sampingan dari produksi
minyak goreng.
2.9. Tantangan Pengembangan Biodiesel
Namun demikian, peningkatan produksi, penggunaan, dan eskpor biodiesel masih
mengalami kendala atau masalah sebagai berikut yaitu:
- Masih besarnya subsidi BBM sehingga biodiesel menjadi kurang kompetitif;
- Indeks harga BBN (biodiesel) sampai saat ini dinilai belum sesuai dengan nilai
keekonomiannya.
- Adanya ketentuan ATPM kendaraan bermesin diesel yang membatalkan garansi
purna jual apabila pengguna menggunakan biodiesel lebih dari 5%.
- Pengguna biodiesel, khususnya dari sektor industri, menginginkan spesifikasi
biodiesel yang terlalu tinggi dari SNI 04-7182-2008, padahal hanya digunakan sebagai
bahan bakar alat berat/kendaraan berat/mesin beban berat dengan spesifikasi
moderat.
- Adanya hambatan persepsi, khususnya pengguna dari sektor industri yang
menyebutkan bahwa kinerja mesin tidak optimal apabila menggunakan bahan bakar
biodiesel sesuai desain.
- Hambatan perdagangan internasional berupa EU Renewable Energy Directive, Anti
Dumping, Anti Subsidy, dan RFS2 EPA dari US
2.10. Temuan Lapang
Berdasarkan hasil kunjungan lapangan ke PT. Wilmar Nabati Indonesia di Gresik
sebagai perusahaan produsen Biodiesel terbesar di Indonesia, diperoleh informasi
sebagai berikut :
26
Pihak Industri telah siap melaksanakan B10, karena hasil produksi biodiesel sudah
melebihi kebutuhan dari yang ditetapkan pemerintah (pertamina).
Manager Operasi PT. Wilmar Nabati Indonesia menyatakan bahwa Kementerian
ESDM tidak keberatan dengan percepatan penerapan B10, namun yang menjadi
penghambat adalah kebijakan pelaksana di tingkat hilir (Pertamina).
Yang menjadi kendala adalah penggunaan biodiesel di sektor industri. Yang
seharusnya diwajibkan 5% di tahun 2010-2015, justru tidak menggunakan Biodiesel
sama sekali. Padahal penggunaan solar di industri (50%) sangat besar dibandingkan
penggunaan transportasi Public Service Obligation (PSO) sebesar 25%. Sedangkan
sisanya 25% untuk marine juga tidak diterapkan.
Biodiesel merupakan pengolahan dari hasil samping minyak goreng (stearin) sehingga
tidak akan menggangu pasokan minyak goreng dalam negeri. Selain itu, teknologi
pengolahan biodiesel bukan merupakan teknologi tinggi yang rumit, sehingga semua
industri penghasil minyak goreng dapat membuat biodiesel.
Penambahan produksi di industri tidak menyebabkan kenaikan impor karena
industrinya sudah berkapasitas tinggi dan semua bahan baku untuk pengolahan
biodiesel dapat diperoleh dari dalam negri.
PT. Wilmar Nabati sendiri telah menggunakan 75% biodiesel untuk campuran solar
yang digunakan sebagai bahan bakar mesin produksinya.
Harga ekspor biodiesel lebih tinggi dari harga dalam negeri (yang dibeli pertamina).
Harga pembelian biodiesel oleh pertamina ditetapkan oleh Kementerian ESDM, dan
mereka mengaku tidak mengerti proses perhitungannya.
Harga biodiesel dianggap competitif jika pencampuran ke dalam solar mencapai 25%
dan subsidi BBM (solar dan premium) dikurangi.
Produk biodiesel akan rusak jika tercampur dengan air dan tidak bisa dikeringkan,
sehingga penggunaannya dapat mencegah terjadinya pengoplosan.
Pihak industri tidak keberatan dengan SNI yang ditetapkan pemerintah kecuali pada
satu karakteristik yaitu titik kabut yang ditentukan sebesar 18°C. Nilai tersebut terlalu
rendah dan dirasa kurang applicable di daerah tropis seperti Indonesia. Padahal pada
umumnya, biodiesel yang dihasilkan memiliki titik kabut 19°C.
27
Pihak industri mengaku bahwa penerapan B10 sangat tergantung pada ketegasan
kebijakan pemerintah, karena jika pemerintah sudah mewajibkan, industri secara
otomatif akan menyesuaikan. Dan, perlu adanya pengawasan di tingkat hilir untuk
memaksimalkan penyerapan penggunaan biodiesel.
PT Wilmar Nabati berencana memulai produksi Olefin (campuran bahan bakar mesin
jet) di bulan Agustus 2013 dengan kapasitas 500 ton/hari yang akan diekspor 100%
ke Amerika Serikat karena adanya kontrak dengan Elevance Renewable Sciences Inc.
sebagai investor.
Dari temuan lapang tersebut, dapat disimpulkan bahwa Pihak Industri biodiesel
menyatakan siap dalam mendukung penerapan batas minimum (persentase) pencapuran
biodiesel ke dalam solar yang lebih tinggi (10% dan seterusnya), namun diperlukan
ketegasan dari pemerintah dalam pelaksanaan dan pengawasannya di tingkat hilir.
28
BAB IV
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
4.1. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diperoleh dari pelaksanaan kajian mengenai
pengembangan penggunaan Biodiesel sebagai campuran solar adalah
1. Pihak Industri biodiesel menyatakan siap dalam mendukung penerapan batas
minimum (persentase) pencapuran biodiesel ke dalam solar yang lebih tinggi (10%
dan seterusnya), namun diperlukan ketegasan dari pemerintah dalam pelaksanaan
dan pengawasannya di tingkat hilir.
2. Berkaca dari Jerman, Indonesia perlu peraturan untuk memaksa pelaku usaha
bergerak meningkatkan penggunaan bahan bakar nabati. Kebijakan tersebut juga
harus dilengkapi dengan kebijakan ekonomi dan fiskal sehingga harga ekonomi
biodiesel/ bioetanol menjadi lebih murah dibandingkan dengan harga bahan bakar
fosil.
4.2. Rekomendasi
Beberapa rekomendasi atau usulan kebijakan yang dapat disampaikan
berdasarkan hasil kajian adalah:
1. Menaikkan harga BBM dengan cara mengurangi subsidi sehingga dapat menghemat
APBN dan mengurangi Impor.
2. Meningkatkan penggunaan biodiesel yang harganya murah dan subsidinya lebih kecil
untuk menghemat anggaran subsidi BBM.
3. Meloggarkan aturan maksimum titik kabut menjadi 19-20°C, hal tersebut dikarenakan
peraturan yang ada yakni sebesar 18°C dianggap menyulitkan pengusaha karena nilai
tersebut terlalu rendah dan dirasa kurang applicable di daerah tropis seperti
Indonesia. Padahal pada umumnya, biodiesel yang dihasilkan memiliki titik kabut
19°C.
29
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, K., 2005. Renewable Energy Conversion and Utilization in ASEAN Countries. EnergyPolicy
Dorian, J.P. et al, 2006. Viewpoint Global Challenges in Energy. Diakses pada tanggal 7 Juni2013 darihttps://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&ved=0CCkQFjAA&url=http%3A%2F%2Fieclub.ir%2Fnewforum%2Findex.php%3Fapp%3Dcore%26module%3Dattach%26section%3Dattach%26attach_id%3D4612&ei=WM_MUZSIDILZrQf0qoHoBQ&usg=AFQjCNFWaIvdsxeletv-JAgj9SwUJtG4nA&sig2=wU8Hcy89JfH1_2Jlo3eN2w&bvm=bv.48572450,d.bmk
ESDM, 20 Maret 2013. Kebijakan Migas Dalam Menopang Ketersediaan Energi Nasional.dipaparkan pada Diskusi Terbatas terkait Kebijakan Komprehensif untuk Memperbaikineraca perdagangan
Guest Editorial, 2006. Renewable Energy Policies in The European Union. Diakses pada tanggal 7Juni 2013 darihttps://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&ved=0CCkQFjAA&url=http%3A%2F%2Figitur-archive.library.uu.nl%2Fchem%2F2007-0621-202028%2FNWS-E-2006-392.pdf&ei=CdDMUfiPMcTorQfdgYG4Cw&usg=AFQjCNFGw2FtytjbKiKo2vDM0ap3uMgGZA&sig2=Ro_gkZfWxfopmWsWcWi47A&bvm=bv.48572450,d.bmk
Henke, J.M. et al, 2005. Tax Exemption for Biofuels in Germany: Is Bio-Ethanol Really AnOption for Climate Policy?. Diakses pada tanggal 7 Juni 2013 darihttps://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=3&cad=rja&ved=0CDQQFjAC&url=http%3A%2F%2Fmercury.ethz.ch%2Fserviceengine%2FFiles%2FISN%2F102906%2Fipublicationdocument_singledocument%2Fd76c8571-b454-4c04-869d-fb951276a0fa%2Fen%2Fkap1184.pdf&ei=etDMUeSmCZCsrAfevoCgAw&usg=AFQjCNEbtPXe-sinisXfIR2HYtWY5oS8IQ&sig2=pGXWQC59vrdzuALJO4Xdkg&bvm=bv.48572450,d.bmk
Hillebrand, B. et al, 2006. The Expansion of Renewable Energies and Employment Effects inGermany. Energy Policy
Jacobsson, S. dan Lauber, V., 2006. The Politics and Policy of Energy SystemTransformation-Explaining The German Diffusion of Renewable Energy Technology.Energy Policy
Situmorang, Elizabeth, 2012. Pembuatan Dan Karakterisasi Briket Bioarang Cangkang Kemiri –Kulit Durian Sebagai Bahan Bakar Alternatif. Universitas Sumatera Utara
30
Sugiyono, Agus, 2008. Pengembangan Bahan Bakar Nabati Untuk Mengurangi DampakPemanasan Global. Diakses pada tanggal 7 Juni 2013 darihttps://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&ved=0CCYQFjAA&url=http%3A%2F%2Fsugiyono.webs.com%2Fpaper%2Fp0801.pdf&ei=e9HMUYGMI4ntrAfsvYDYDA&usg=AFQjCNE7vwNuegq0n578qLx6snP41p2bTA&sig2=pDJGKU0jKohqh54r8z6J7A&bvm=bv.48572450,d.bmk
Timnas BBN, 2006. Blue Print Pengembangan Bahan Bakar Nabati untuk PercepatanPengurangan Kemiskinan dan Pengangguran 2006-2025, Tim Nasional PengembanganBahan Bakar Nabati
Tsoskounoglou, M. et al, 2008. The End of Cheap Oil: Current Status and Prospects . EnergyPolicy
Wijono, R. A., 2010. Rancangan Strategi Perencanaan Industri Biodiesel Kelapa Sawit yang RamahLingkungan dan Berkelanjutan. Universitas Indonesia