pendahuluan a. pengantar -...
TRANSCRIPT
1
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Pengantar
Studi ini bermaksud mencermati manifestasi policy windows dalam agenda
setting. Dalam literatur kebijakan, policy windows dipahami sebagai kesempatan
penting dalam proses agenda setting (Michaels, Goucher, McCarthy, 2006). Policy
windows atau dikenal juga dengan jendela kebijakan merupakan hal yang istimewa,
berlangsung dalam periode waktu yang sangat singkat, namun memberi kemungkinan
yang besar untuk perubahan. Dalam konsep multiple streams framework, Kingdon
menjelaskan bahwa policy windows atau jendela kebijakan baru akan terbuka jika tiga
arus, yaitu arus masalah, arus kebijakan dan arus politik bertemu pada satu titik
tertentu (Kingdon, 1984). Oleh karena itu proses policy windows sangat dipengaruhi
oleh hadirnya ketiga arus di atas. Ketidakhadiran salah satu arus di atas menyebabkan
proses policy windows dalam proses kebijakan tidak dapat terjadi.
Bersatunya ketiga arus tersebut dalam jendela kebijakan, dalam kasus tertentu,
sangat dipengaruhi oleh hadirnya policy entrepreneur. Policy entrepreneur
merupakan orang yang berusaha untuk memulai perubahan pada proses kebijakan
agar menjadi lebih dinamis (Baumgartener dan Jones, 1993; King, 1998; Kingdon,
1984; Polsby, 1984). Orang-orang ini mencoba melakukan usaha tersebut agar ide-ide
mereka memperoleh dukungan untuk proses inovasi kebijakan (Mintrom, 1997).
Policy entrepreneur dalam konsep ini menggunakan beberapa kegiatan untuk
mempromosikan ide-ide mereka terkait bagaimana mengidentifikasi permasalahan,
memanfaatkan jaringan dalam lingkaran kebijakan, membentuk istilah-istilah dalam
masalah kebijakan yang diperdebatkan dan membangun koalisi.
Dalam konteks DIY, proses policy windows atau terbukanya jendela
kebijakan, juga sangat dipengaruhi oleh hadirnya tiga arus di atas serta hadirnya
policy entrepreneur. Sebagai contoh adalah lahirnya kebijakan penanganan gepeng di
DIY yang dituangkan dalam peraturan daerah No. 1 Tahun 2014 tentang penanganan
gelandangan dan pengemis di DIY. Arus masalah yang diidentifikasikan sebagai
2
banyaknya jumlah gelandangan dan pengemis di DIY, arus kebijakan
diidentifikasikan dengan seperangkat instrumen penanganan gepeng di Yogyakarta
yang mengedepankan aspek-aspek humanisme serta arus politik dalam bentuk
dorongan dari publik untuk menangani gepeng membuat isu penanganan gepeng ini
masuk dalam policy windows. Dalam proses policy windows tersebut jendela
kebijakan dapat terbuka karena ada kontribusi dari policy entreprenuer, yaitu Forum
LSM.1 Interaksi antara arus masalah, arus kebijakan dan arus politik serta policy
entrepreneur memberikan gambaran khusus terkait bagaimana proses policy windows
dalam lahirnya kebijakan penanganan gepeng di DIY ini.
Contoh lain dari proses policy window kebijakan di DIY adalah lahirnya
kebijakan untuk peningkatan kapasitas birokrasi di DIY yang dituangkan dalam
kegiatan pemberian beasiswa S2 pada berbagai program studi dan penyelenggaraan
diklat teknis bagi aparat birokrasi DIY yang memenuhi persyaratan. Kebijakan
tersebut dilatarbelakangi oleh adanya permasalahan analisis kompetensi aparatur
birokrasi yang dilakukan oleh Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Provinsi di DIY
pada tahun 2014. Dari hasil analisis tersebut diketahui bahwa 40% aparatur birokrasi
di DIY dinyatakan tidak berkompeten. Penilaian kompetensi tersebut didasarkan pada
tiga faktor, yaitu jenjang pendidikan, pengalaman kerja dan dari diklat yang pernah
diikuti.2
Kebijakan peningkatan kapasitas aparatur birokrasi sebagai langkah intervensi
yang menyelesaikan permasalahan kompetensi aparatur pernah beberapa kali
diinisiasi oleh BKD dan sejumlah SKPD yang lain. Namun demikian, langkah
tersebut belum juga mendapat perhatian dari Gubernur. Dua anggota Komisi A
DPRD DIY terus mendorong upaya pemberian beasiswa pendidikan lanjut dan
mengikutsertakan aparat birokrasi dalam diklat. Hal tersebut terus dilakukan dengan
melakukan pendekatan-pendekatan kepada pihak-pihak pengambil keputusan serta
dengan menyampaikannya dalam forum-forum publik bahwa 40% aparatur birokrasi
yang ada dalam di birokrasi DIY tidak berkompeten.
1 Wawancara dengan Staff Bidang Pemerintahan DIY (Wawancara dilakukan pada tanggal 28 Juli
2016).
2 Wawancara dilakukan dengan pegawai BKD DIY (Wawancara dilakukan pada tanggal 29 Juli 2016).
3
Dari upaya tersebut akhirnya pada tahun 2016 ini Pemerintah DIY
mengalokasikan anggaran APBD sebanyak 3 milyar untuk membiayai beasiswa
pendidikan lanjut kepada 70 aparatur birokrasi di DIY serta diklat kompetensi bagi
aparatur birokrasi. Namun demikian, meskipun kebijakan itu telah diputuskan masih
ada persoalan-persoalan lain terkait dengan implementasi. Dari contoh ini dapat
diketahui bahwa arus masalah yang diidentifikasikan dengan rendahnya kompetensi
aparatur birokrasi di DIY bertemu dengan arus kebijakan yang diidentifikasikan
dengan pemberian beasiswa S2 pada berbagai program studi dan penyelenggaraan
diklat teknis bagi aparat birokrasi DIY dan arus politik, yaitu tuntutan ASN yang
lebih professional sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang No 5 tahun 2014
tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) serta berinteraksi dengan policy entrepreneur
(Dua anggota Komisi A DPRD DIY), maka munculah kebijakan pemberian beasiswa
S2 pada berbagai program studi dan penyelenggaraan diklat teknis bagi aparat
birokrasi DIY . Berdasarkan contoh tersebut dapat diketahui juga bahwa interaksi
antara tiga arus masalah, arus kebijakan, arus politik dan policy entrepreneur
memunculkan variasi policy windows.
Dinamika kebijakan sebagaimana digambarkan di atas, memberikan
keyakinan bahwa interaksi antara arus masalah, arus kebijakan dan arus politik serta
policy entrepreneur akan memunculkan variasi policy windows dalam proses agenda
setting. Dengan berbagai strategi yang dipilih oleh policy entrepreneur, baik itu yang
bekerja sendiri sebagai individu atau policy entrepreneurs yang bekerja secara
kolektif dalam sebuah koalisi, juga turut memunculkan dinamika kebijakan yang
berbeda yang sangat berpengaruh pada proses policy windows.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka studi ini akan difokuskan pada
kajian variasi policy windows dari empat kebijakan yang dipilih sebagai kasus.
Empat kasus tersebut dipilih karena masing-masing kasus menggambarkan corak
policy windows yang berbeda. Studi yang mengkaji secara spesifik terkait proses
membuka dan menutupnya jendela kebijakan (policy windows) belum banyak
dilakukan di Indonesia. Studi yang dilakukan lebih banyak memfokuskan diri pada
topik yang lebih besar yaitu tentang perumusan (formulasi) kebijakan dalam sebuah
4
kebijakan. Diantara studi tersebut adalah Gunawan (2007)3. Gunawan telah
melakukan kajian terkait politik kebijakan proses agenda setting perumusan kebijakan
pembangunan pertanian di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Penelitian ini
mengulas tentang bagaimana proses agenda setting perumusan kebijakan
pembangunan pertanian di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung sehingga membuat
sektor pertanian bukan sebagai prioritas utama kebijakan pembangunan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada perbedaan antara teori agenda
setting yang dikembangkan oleh John W Kingdon dengan proses agenda setting
perumusan kebijakan pembangunan yang terjadi di Provinsi Kepulauan Bangka
Belitung. Pada proses agenda setting yang terjadi di Provinsi Kepulauan Bangka
Belitung tidak muncul adanya entrepreneur policy. Tetapi perubahan isu menjadi
agenda dipengaruhi oleh agenda masyarakat yang menginginkan pertambangan timah
sebagai pilihannya.
Penelitian yang lain dilakukan oleh Anjali Bhat dan Peter P Molinga (2009)4.
Anjali Bhat dan Peter P Molinga melakukan penelitian terkait peran policy
entrepreneur dalam reformasi pengelolaan sumber daya air di Indonesia. Dalam
memahami reformasi pengelolaan sumber daya air di Indonesia, dalam penelitian
tersebut terlebih dahulu diulas terkait perubahan kebijakan, siapa yang berperan
sebagai policy entrepreneur dan strategi apa yang digunakan untuk proses perubahan
kebijakan.
Hasil penelitian yang dilakukan Anjali Bhat dan Peter P Molinga memberikan
gambaran bahwa proses perubahan kebijakan dalam reformasi pengelolaan air di
Indonesia sangat ditentukan oleh policy entrepreneurs, yang dalam konteks penelitian
tersebut dijalankan oleh Bappenas sebagai Kementrian di tingkat pusat yang
menangani urusan lintas sektoral serta organisasi donor. Keterlibatan dua pihak dalam
proses policy windows tersebut sangat dipengaruhi oleh arus politik dimana pada
waktu tersebut bersamaan dengan terjadinya krisis. Krisis tersebut berdampak pada
perkembangan dari reformasi sektoral yang lebih luas, terlebih terkait dengan
penyediaan bantuan yang cukup besar untuk penanganan krisis tersebut.
3 Gunawan, politik kebijakan proses agenda setting perumusan kebijakan pembangunan pertanian di
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. 2007. Tesis S2 Konsentrasi Politik Lokal dan Otonomi Daerah. 4 Anjali Bhat dan Peter P. Mollinga, Transition in Indonesia Water Policy: Policy Windows Through
Crisis, Response Trhrough Implementation dalam Water Policy Entrepreneur. 2009.
5
Studi lain terkait perumusan kebijakan dilakukan juga oleh Muhammad
Taufan Aga (2011)5. Muhammad Taufan Aga meneliti tentang proses perumusan
kebijakan pertambangan pasir besi di Kabupaten Bima yaitu SK Bupati Bima No. 406
Tahun 2004 tentang KP eksploitasi bahan galian pasir besi untuk PT JMK, dan SK
Bupati Bima No. 407 tahun 2004 tentang KP eksploitasi bahan galian pasir besi untuk
PT Indomining.
Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa dalam perumusan kebijakan
pertambangan pasir besi di Kabupaten Bima diketahui stakeholder yang terlibat
masih bersifat internal jajaran birokrat (eksekutif) serta belum menyentuh segenap
elemen yang terkait dengan perumusan kebijakan kedua SK Bupati No 406 dan 407
tahun 2004 mengenai SK izin KP pasir besi. Termasuk dalam hal ini minimnya
partisipasi masyarakat, yang tidak dilibatkan dalam tahapan perumusan kedua SK
tersebut. Kebijakan penambangan pasir besi Bima ini belum mengakomodasi semua
interest berbagai elemen masyarakat. Akibatnya adalah dalam tahap implementasi
kebijakan tersebut mendapat penolakan dari masyarakat, sebab telah menimbulkan
dampak negatif lingkungan dan masyarakat tidak mendapatkan manfaat dari kegiatan
tambang dimaksud.
Berdasarkan literatur reviu tersebut, maka studi ini akan dilakukan untuk
menambah khasanah kajian terkait proses agenda setting dalam kebijakan publik.
Secara lebih khusus, kajian ini akan diarahkan untuk mengetahui proses policy
windows yaitu terbuka dan tertutupnya jendela kebijakan sebagai dampak dari
interaksi arus masalah, arus kebijakan, arus politik dan policy entrepreneur. Hal
tersebut dilakukan dengan menguraikan interaksi antara tiga arus, yaitu arus masalah
(problem stream), arus kebijakan (policy stream) dan arus politik (political stream)
dari setiap kebijakan. Selanjutnya, akan diidentifikasi pula kehadiran dari policy
entrepreneurs dari empat kebijakan tersebut dan dipetakan bagaimana perannya dan
strategi apa yang digunakan oleh policy entrepreneurs dalam rangka memenangkan
ide kebijakannya dalam proses agenda setting.
5 Muhammad Taufan Aga, Sstp, Perumusan Kebijakan Pertambangan Pasir Besi di Kabupaten Bima.
Tesis, Program Studi Magister Administrasi Publik UGM, Konsentrasi Governance dan Kebijakan
Publik, 2011.
6
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah penelitian ini difokuskan pada pencarian jawaban
bagaimana proses policy windows kebijakan proffessor goes to school, sarjana
magang, jaga warga dan bantuan keuangan khusus (BKK) terjadi?
C. Tujuan Penelitian
Dalam upaya menjawab permasalahan penelitian dan dalam rangka menjawab
pertanyaan penelitian, maka penelitian ini bertujuan:
1. Melihat bagaimana proses policy windows kebijakan proffessor goes to
school, sarjana magang, jaga warga dan bantuan keuangan khusus (BKK)
terjadi;
2. Melihat siapa saja yang berperan sebagai policy entrepreneur dari
kebijakan proffessor goes to school, sarjana magang, jaga warga dan
bantuan keuangan khusus (BKK) serta strategi apa saja yang digunakan.
Kerangka Teori: Policy windows dalam Proses Agenda Setting
Kebijakan lahir sebagai sebuah instrumen untuk merespon persoalan. Ada
banyak persoalan di tengah masyarakat. Namun demikian tidak semua persoalan yang
muncul tersebut dapat direspon oleh kebijakan. Hanya persoalan-persoalan tertentu
yang mendapat perhatian. Persoalan yang mendapat perhatian dalam proses kebijakan
sering disebut dengan masalah kebijakan (policy problem). Proses merubah masalah
publik (public problem) menjadi masalah kebijakan (policy problem) dalam konteks
kebijakan publik disebut dengan penyusunan agenda (agenda setting) (Howlett and
Ramesh, 1995). Agenda setting menjadi tahapan yang paling penting dan paling
krusial dalam siklus kebijakan. Hal tersebut diperkuat oleh pernyataan As Cobb dan
Elder:
Pre-political, or at least pre-decisional processes often play the most
critical role in determining what issues and alternatives are to be
considered by the polity and the probable choices that will be made.
What happens in the decision making councils of the formal
institutions of government may do little more than recognize,
7
document and legalize, if not legitimize, the memory results of
continuing struggle of forces in the larger social matrix….From this
perspective, the critical question becomes, how does an issue or a
demand become or fail (Cobb dan Elder, 1972).
Definisi yang hampir sama tentang agenda setting didefinisikan oleh John
Kingdon (1984). John Kingdon mendefinisikan agenda setting sebagai proses
mempersempit persoalan-persoalan menjadi fokus perhatian pemerintah (Kingdon,
1984). Dalam proses tersebut, diawali dari suatu masalah (problems) yang muncul di
masyarakat. Masalah ini dapat diungkapkan oleh seseorang sebagai masalah pribadi
(private problem). Masalah pribadi merupakan masalah-masalah yang mempunyai
akibat terbatas atau hanya menyangkut satu atau sejumlah kecil orang yang terlibat
langsung. Kemudian berkembang lebih lanjut menjadi masalah publik (public
problem).
Masalah publik diartikan sebagai masalah yang mempunyai akibat yang luas,
termasuk akibat-akibat yang mengenai orang-orang yang terlibat secara tidak
langsung. Masalah publik tersebut kemungkinan akan berkembang menjadi isu
kebijakan (policy issues). Isu kebijakan kemudian mengalir dan masuk dalam agenda
setting(Kingdon, 1984).
Model agenda setting dikembangkan oleh banyak ahli kebijakan, salah satu
diantaranya adalah John Kingdon yang mengembangkan konsep multiple streams
framework. Dalam konsep tersebut digambarkan interaksi antara tiga arus, yaitu arus
masalah (problem stream), arus kebijakan (policy stream) dan arus politik (political
stream) dalam proses agenda setting. Arus masalah merujuk pada persepsi masalah
sebagai masalah publik yang memerlukan tindakan pemerintah dan upaya pemerintah
untuk mengatasinya. Arus kebijakan merujuk pada solusi yang ditawarkan oleh
peneliti, komunitas kebijakan, pakar dalam rangka merespon persoalan. Dalam arus
ini berbagai kemungkinan solusi dieksplorasi dan dipersempit. Arus terakhir yang
dikemukakan kingdon dalam konsepnya ini adalah arus politik. Arus politik terdiri
dari banyak faktor, seperti perubahan kondisi nasional, pergantian pejabat dan
anggota parlemen dan kampanye-kampanye yang bersifat menekan dilakukan oleh
kelompok kepentingan (Kingdon, 1984).
8
Dalam perspektif Kingdon, ketiga arus di atas berjalan pada jalur yang
berbeda dan mengejar hal spesifik yang berbeda pula, yang pada suatu waktu ketiga
arus tersebut akan bertemu pada titik yang sama yang disebut jendela kebijakan
(policy windows). Pada proses tersebut, arus masalah, arus kebijakan dan arus politik
yang terpisah bergabung menjadi satu dalam satu kekuatan politik yang
menguntungkan. Pada proses inilah masalah publik telah bergerak menjadi masalah
institusional dan proses kebijakan telah dimulai (Kingdon, 1984).
Dalam konsep yang dikemukakan oleh Kingdon ini ditekankan juga bahwa
sebuah isu akan dapat masuk ke dalam agenda jika permasalahannya dikenali,
solusinya tersedia dan kondisi politik yang ada mendukung adanya perubahan.
Permasalahan menjadi semakin jelas dan dikenali ketika terjadi peristiwa yang
menarik perhatian dan solusi yang merupakan akumulasi pengetahuan dan perspektif
yang dikembangkan oleh para pakar telah tersedia. Dua aspek tersebut yang didukung
oleh situasi politik yang kondusif menyebabkan pertemuan antara arus masalah
(problem stream), arus kebijakan (policy stream) dan arus politik (political stream)
dan memuncukan jendela kebijakan (policy windows). Namun demikian, proses
pertemuan tiga arus sebagaimana digambarkan di atas tidak selalu berjalan lancar.
Terkadang ada hambatan yang menyebabkan ketiga arus di atas tidak dapat bersatu.
Untuk itu maka diperlukan usaha yang berkesinambungan untuk memperoleh
kesempatan dan mendesak masuknya isu ke dalam agenda sebelum terjadi perubahan
kondisi politik. Usaha-usaha sebagaimana diceritakan di atas dilakukan oleh seorang
yang berpengetahuan, berkomitmen dan bersedia untuk menginvestasikan
sumberdayanya untuk menyatukan arus masalah (problem stream), arus kebijakan
(policy stream) dan arus politik (political stream). Orang tersebut oleh Kingdon
sering disebut sebagai policy entrepreneur. Policy entrepreneur ini bisa berasal dari
lingkaran pemerintahan maupun dari luar pemerintahan.
Menyoroti peran policy entrepreneur yang dikemukakan oleh Kingdon
tersebut, Jones dan Baumgartner (1993) memperkuat apa yang digagas oleh Kingdon
bahwa policy entrepreneur memiliki peran penting dalam menghubungkan solusi dan
masalah. Demikian juga dengan Capella (2012) yang memperkuat gagasan Kingdon
bahwa serupa dengan konsep multiple streams framework, bahwa masalah tidak
selalu terkait dengan solusi dalam proses perumusan kebijakan. Dan salah satu tugas
9
utama dari policy entrepreneur adalah menunjukkan bahwa solusi nya mewakili
respon terbaik untuk masalah yang muncul. Bahkan jika solusi ada sebelum masalah
atau bahkan jika solusi tidak memiliki hubungan langsung sama sekali untuk
masalah, itu terserah policy entrepreneur untuk berdebat dan menciptakan
pemahaman baru tentang masalah ini dalam rangka mendukung perspektif. Trik dari
policy entrepreneur adalah untuk memastikan bahwa solusi yang dipilih oleh policy
entrepreneur terkait suatu isu telah muncul sebagai agenda publik (Baumgartner dan
Jones, 1993). Perumusan kebijakan publik dipengaruhi tidak hanya oleh redefinisi
masalah, tetapi, pada saat yang sama, dengan redefinisi cara yang paling efektif untuk
menangani situasi yang dirasakan.
Model agenda setting yang dikembangkan oleh Kingdon ini merupakan model
pengembangan yang lebih komperhensif yang dikembangkan dari model garbage can.
Model garbage can menolak "siklus kebijakan" model konvensional yang
membayangkan proses pengembangan kebijakan dilakukan secara rasional dan
didukung oleh logika pemecahan masalah. Menurut model garbage can, model
rasional dan incremental diasumsikan memiliki tingkat kesengajaan, pemahaman
masalah, dan prediktabilitas dari hubungan antar aktor yang tidak dapat diwujudkan
secara nyata. Oleh karena itu, pendekatan jendela kebijakan (policy windows)
berfokus pada proses kebijakan yang sangat dinamis di mana pengusaha kebijakan
(policy entrepreneur) yang berbeda berinteraksi di dalam dan di luar pemerintah
untuk memindahkan isu-isu ke agenda pemerintahan formal.
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa dalam sebuah proses kebijakan yang
dinamis, policy entrepreneur memainkan peran yang sangat penting (Bocher, 2011).
Hal tersebut antara lain terkait dengan perannya sebagai agen perubahan yang dalam
proses agenda setting kebijakan berupaya mengadvokasikan ide-ide kebijakannya
sebagai solusi atas permasalahan yang telah diidentifikasikannya. Dalam konteks ini
policy entrepreneur juga berupaya meyakinkan aktor lain dalam proses agenda
setting bahwa ide-ide mereka merupakan ide yang tepat sebagai solusi persoalan.
Lebih lanjut untuk mendukung upayanya, policy entrepreneur membangun koalisi
dan jaringan dengan aktor kebijakan lain.
Sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Michael Bocher di atas, John
Kingdon dalam bukunya Agendas, Alternatives and Public Policies juga
10
mengungkapkan bahwa policy entrepreneur memiliki peran kunci dalam model multi
aliran. Dalam pandangannya, policy entrepreneur adalah individu atau sekelompok
kecil dari sejumlah orang yang tugas utamanya adalah memperjuangkan ide-idenya
(Kingdon, 2003).
Menurut Kingdon, policy entrepreneur ini bisa berasal dari dalam birokrasi
pemerintahan itu sendiri atau bisa juga dari komunitas kebijakan di luar birokrasi.
Mereka menggunakan sumberdaya yang mereka miliki dalam bentuk waktu, energi,
reputasi dan dana, dalam rangka memperjuangkan ide-ide kebijakan berbasis
keuntungan di masa depan. Kingdon membedakan keuntungan tersebut dalam tiga
kategori. Pertama, keuntungan praktis dan personal dalam mempertahankan ide.
Dalam konteks ini keuntungan yang diperoleh adalah insentif material yang
dihasilkan dari perubahan yang dilakukan oleh ide-idenya dalam kebijakan tertentu.
Contoh: Keleluasaan dalam pemanfaatan anggaran, pemberian program,
perlindungan kepentingan bagi anggota kelompok pelobi.
Kedua, keuntungan yang ditandai dengan promosi nilai yang diberikan dalam
kebijakan. Ini adalah keuntungan yang disengaja, berdasarkan ideologi terkait,
misalnya, mengenai peran negara dalam perekonomian. Terakhir adalah keuntungan
solidaritas. Keuntungan ini muncul sebagai kenikmatan dalam memperjuangkan ide
kebijakan, oleh karenanya aktivitas policy entrepreneur sering dianalogikan seperti
game atau permainan. Dalam permainan tersebut policy entrepreneur menikmati
proses advokasi, menikmati berada di atau dekat kursi kekuasaan, mereka menikmati
menjadi bagian dari aksi.
Selanjutnya, Sander Meijerink dan Dave Huitema mengelompokkan policy
entrepreneur ke dalam tiga kategori, yaitu individual policy entrepreneurs, collective
policy entrepreneurship dan organisasi donor (Meijerink dan Huitema, 2010).
Pengeompokan tersebut didasarkan pada cara policy entrepreneur mengorganisasikan
diri. Sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Kingdon bahwa individual policy
entrepreneur merupakan policy entrepreneur yang bekerja secara individu dan
berasal dari dalam birokrasi maupun dari partai politik, NGO, atau komunitas para
ahli (Communities expert). Policy entrepreneur tipe ini secara sukarela
menginvestasikan sumber daya yang mereka miliki dalam bentuk waktu, reputasi
ataupun pengetahuan dengan menawarkan ide-ide untuk perubahan kebijakan. Policy
11
entrepreneur tipe ini juga memiliki ketrampilan networking yang baik. Terlebih lagi,
sebagian besar policy entrepreneur jenis ini menunjukkan ketekunan yang cukup
besar.
Sementara itu, collective policy entrepreneurship merupakan perwakilan dari
instansi pemerintah di berbagai tingkat pemerintahan. Karena anggotanya yang terdiri
dari berbagai tingkatan pemerintah, policy entrepreneur jenis ini cenderung
menciptakan hubungan pengambil kebijakan dengan NGO dan komunitas-komunitas
peneliti. Hubungan-hubungan ini pada tahapan lebih lanjut menciptakan kelompok
policy entrepreneur (collective policy entrepreneur). Collective policy entrepreneur
ini memiliki dua keuntungan utama. Pertama, orang-orang dalam posisi yang berbeda
dapat menarik strategi yang berbeda untuk mempengaruhi lintasan perubahan. Para
ahli yang bekerja di salah satu lembaga penelitian pemerintah atau universitas
memiliki kemungkinan yang sangat baik untuk mengembangkan dan menguji ide-ide
dan pendekatan baru. Selain itu, penasihat kebijakan senior atau politisi umumnya
berada dalam posisi yang lebih baik untuk membantu proses adopsi kebijakan yang
baru (Meijerink dan Huitema, 2010).
Kedua, tanpa memandang asal dari pihak-pihak yang tergabung dalam
collective policy entrepreneur, masing-masing dari mereka memiliki kapasitas dan
kemampuan yang berbeda. Misalnya, sebagian dari pihak dimaksud memiliki karisma
yang baik dan sebagian yang lain memiliki kapasitas menjelaskan ide-ide secara baik
ke media. Selain itu, biasanya sebagian dari pihak yang tergabung dalam collective
policy entrepreneurship ini memiliki keterampilan dalam mengembangkan konsep
baru terkait kebijakan serta mampu menemukan benang merah terkait konsep baru
kebijakan tersebut.
Dalam studi yang dilakukan oleh Sander Meijerink dan Dave Huitema tentang
pengelolaan air di 16 negara di dunia, diketahui bahwa collective policy
entrepreneurship dalam bentuk jaringan bayangan (shadow networks) ini terbukti
berperan efektif dalam pengembangan ide-ide kebijakan serta dalam menerapkan ide-
idenya (Meijerink dan Huitema, 2010). Dalam proses penyerapan ide-ide tersebut
collective policy entrepreneurship memerlukan interaksi dengan jaringan kebijakan
formal, politisi maupun mantan politisi. Proses tersebut dibutuhkan untuk
menerjemahkan inovasi ke dalam rancangan kebijakan yang baru.
12
Sebangun dengan temuan studi Sander Meijerink dan Dave Huitema, Ollsen
(2006) juga mengemukakan bahwa anggota jaringan bayangan (shadow networks)
tersebut berperan dalam mengembangkan dan menguji dalam bayangan arena
pengambilan keputusan formal tetapi perlu mengembangkan hubungan dengan
jaringan keputusan resmi untuk berhasil menantang paradigma kebijakan dominan.
Lebih lanjut, Sander Meijerink dan Dave Huitema mengelompokkan
collective policy entrepreneurship dalam tiga tipe. Tipe pertama adalah koalisi yang
terdiri dari orang-orang dari berbagi ide, keyakinan atau nilai yang sama atau sangat
mirip. Tipe kedua merupakan aliansi strategis (Meijerink dan Huitema, 2010), yang
merupakan koalisi antara pihak-pihak yang tidak memiliki keyakinan kebijakan yang
sama, preferensi nilai, atau pandangan hidup. Namun demikian, mereka berbagi
kepentingan dalam mewujudkan perubahan kebijakan.
Tipe terakhir dari collective policy entrepreneurship adalah koalisi yang tidak
memperhatikan keyakinan, persepsi masalah serta preferensi kebijakan, namun lebih
pada ketergantngan satu sama lain dalam mewujudkan tujuan obyektif mereka
(Meijerink dan Huitema, 2010). Hal penting yang juga perlu diperhatikan dalam
collective policy entrepreneurship adalah bahwa dalam pembentukan koalisi antara
partai dengan prioritas nilai dan tujuan kebijakan yang berbeda sering memerlukan
proses negosiasi dan kompromi, mirip dengan pembentukan pemerintah koalisi dalam
sistem multi partai. Policy entrepreneur yang sukses, karena itu, harus
menyeimbangkan terus menerus pada kontinum antara advokasi dan broker (Kingdon
1995). Di satu sisi, policy entrepreneur harus menjadi pendukung yang baik dari
konsep-konsep tertentu. Policy entrepreneur harus mampu mengkomunikasikan ide-
ide dan pesan mereka dengan cara yang menarik dan meyakinkan. Namun demikian
di sisi yang lain policy entrepreneur juga membutuhkan keterampilan untuk
bernegosiasi dan bekerja sama dengan orang-orang yang memiliki ide, pandangan
hidup dan kepentingan yang berbeda, tetapi yang memiliki sumber daya yang
penting.
Kategori terakhir dari policy entrepreneur menurut Sander Meijerink dan
Dave Huitema adalah organisasi donor. Organisasi donor merupakan jenis policy
entrepreneur yang bekerja di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah.
Selain menjalankan peran sebagai pihak yang mendiskusikan ide-ide kebijakan,
13
organisasi donor ini juga berperan sebagai penyedia dana yang membiayai proses
formulasi dan implementasi kebijakan. Untuk memastikan agar ide kebijakan
organisasi donor diakomodir oleh pihak pengambil kebijakan, maka lembaga donor
dapat memandatkan perubahan melalui perumusan kondisi pendanaan yang ketat,
termasuk tuntutan untuk menyiapkan transisi pemerintahan (Meijerink dan Huitema,
2010).
Berbeda dengan Sander Meijerink dan Dave Huitema, Roberts dan King
(1991) membedakan policy entrepreneur berdasarkan strategi atau aktivitas yang
dipilih. Berdasarkan tipologi tersebut Robert dan King membagi policy entrepreneur
kedalam empat kategori, yaitu policy entrepreneur kreatif yang menggunakan
aktivitas intelektual, policy entrepreneur yang menggunakan aktivitas strategis,
policy entrepreneur yang menggunakan aktivitas mobilisasi dan yang terakhir adalah
policy entrepreneur yang menggunakan aktivitas evaluatif/administratif. Setiap
tipologi policy entrepreneur di atas memiliki cara atau strategi sendiri-sendiri agar
gagasan kebijakan yang ditawarkannya mendapat perhatian dari pengambil kebijakan.
Berikut di bawah ini adalah tabel cara atau strategi dari setiap tipologi policy
entrepreneur:
Tabel 1. Strategi Policy Entrepreneur
No Tipologi Strategi
1. Kreatif (aktivitas intelektual) Menghasilkan ide (Mengembangkan
ide kebijakan baru, menerapkan atau
mentransfer nilai, ide atau model
kebijakan yang lain).
Mendefinisikan masalah kebijakan dan
memilih solusi (mengidentifikasi
kelemahan, mengidentifikasi alternatif
solusi yang disukai).
Menyebarkan ide-ide.
2. Aktivitas strategis Memformulasikan visi.
Mengembangkan strategi politik
14
Mendesain rencana aksi.
3. Mobilisasi Mengembangkan objek demonstrasi.
Bekerjasama dengan elit dan aktor
individual penting.
Membina hubungan dengan tokoh
masyarakat dan birokrasi.
Memelihara hubungan dengan politisi.
Menginisiasi kelompok lobi.
Membangun dukungan media.
4. Aktivitas
evaluatif/administratif
Memberikan dukungan terhadap
lembaga-lembaga administratif dengan
keahlian.
Mengambil peran dalam program
evaluasi.
15
D. Skema Konsep
Skema 1. 1. Kerangka Konseptual
Problem Stream (Arus
Masalah)
Policy Stream (Arus
Kebijakan)
Political Stream (Arus Politik)
Policy windows (Jendela
Kebijakan)
Policy Entrapreneur
Agenda
Pemerintah
Setting Sosial dan
Politik
16
E. Definisi Konseptual
Dari paparan kerangka teori di atas, maka dalam penelitian ini konsep
yang menjadi batasan adalah:
1. Arus Masalah. Arus masalah merujuk pada persepsi masalah sebagai
masalah publik yang memerlukan tindakan pemerintah dan upaya
pemerintah untuk mengatasinya.
2. Arus Kebijakan. Arus kebijakan merujuk pada solusi yang ditawarkan
oleh peneliti, komunitas kebijakan, pakar dalam rangka merespon
persoalan.
3. Arus Politik. Arus politik merujuk pada peristiwa yang menarik
perhatian atau sering disebut focusing event yang menjadi pendorong
perubahan dalam memunculkan atau tidak memunculkan kebijakan
publik. arus politik terdiri dari banyak factor, seperti perubahan kondisi
nasional, pergantian pejabat dan anggota parlemen dan kampanye-
kampanye yang bersifat menekan dilakukan oleh kelompok
kepentingan.
4. Policy windows. Policy windows adalah titik bertemunya arus masalah
(problem stream), arus kebijakan (policy stream) dan arus politik
(political stream) dalam proses agenda setting.
5. Policy Entrepreneur. Policy Entrpreneur adalah seorang yang
berpengetahuan, berkomitmen dan bersedia untuk menginvestasikan
sumberdayanya untuk menyatukan arus masalah (problem stream), arus
kebijakan (policy stream) dan arus politik (political stream).
6. Masalah Publik. Yang dimaksud dengan masalah publik adalah masalah
yang mempunyai akibat yang luas, termasuk akibat-akibat yang
mengenai orang-orang yang terlibat secara tidak langsung.
7. Masalah Kebijakan/Institusional. Yang dimaksud dengan masalah
kebijakan atau masalah institusional adalah serangkaian masalah yang
secara tegas telah mendapatkan perhatian dari pemerintah.
8. Proses Kebijakan. Yang dimaksud dengan proses kebijakan adalah
serangkaian tahapan atau siklus dari kegiatan kebijakan yang terdiri dari
proses penyusunan agenda (agenda setting), formulasi kebijakan (policy
17
formulation), adopsi kebijakan (policy adoptiion), implementasi
kebijakan (policy implementation) dan penilaian kebijakan (policy
evaluation).
9. Agenda setting adalah proses mempersempit persoalan-persoalan
menjadi fokus perhatian pemerintah.
F. Definisi Operasional
Dalam definisi operasional ini, penulis mencoba menurunkan konsep yang
digunakan ke dalam bentuk indikator-indikator berikut:
1. Arus Masalah.
Persepsi masalah sebagai masalah publik.
Memerlukan tindakan pemerintah dan upaya pemerintah untuk
mengatasinya.
2. Arus Kebijakan.
Pakar dan analis kebijakan.
Membahas masalah.
Menawarkan solusi.
3. Arus Politik.
Peristiwa yang menarik perhatian (focusing event).
Pendorong perubahan untuk memunculkan/tidak memunculkan
kebijakan publik.
Perubahan kondisi nasional.
Pergantian pejabat publik/anggota parlemen.
Adanya kampanye yang bersifat menekan dari kelompok
kepentingan.
4. Policy windows.
Adanya permasalahan yang dikenali.
Tersedianya solusi.
18
Adanya kondisi politik yang mendukung perubahan.
5. Policy Entrepreneur.
Seseorang yang memiliki pengetahuan dan komitmen.
Bersedia untuk berinvestasi sumberdaya.
6. Masalah Publik (Isu).
Masalah yang mempunyai akibat yang luas.
Berakibat pada orang yang terlibat secara tidak langsung.
7. Masalah Kebijakan.
Masalah yang mendapatkan perhatian dari pemerintah.
Direspon oleh kebijakan.
8. Proses Kebijakan.
Serangkaian tahapan atau siklus dari kegiatan kebijakan.
Adanya proses penyusunan agenda (agenda setting), formulasi
kebijakan (policy formulation), adopsi kebijakan (policy
adoptiion), implementasi kebijakan (policy implementation) dan
penilaian kebijakan (policy evaluation).
9. Agenda Setting.
Proses mempersempit persoalan
Merubah agenda institusional menjadi agenda formal.
Merubah agenda publik menjadi agenda kebijakan.
G. Metode Penelitian
Penelitian ini berusaha untuk mencermati policy windows dalam agenda
setting kebijakan di DIY melalui empat kebijakan, yaitu kebijakan proffessor goes
to school, sarjana magang, bantuan keuangan khusus (BKK) dan Jaga Warga.
Empat kebijakan tersebut dipilih karena masing-masing kebijakan
menggambarkan corak policy window yang berbeda.
19
Proffessor goes to school merupakan salah satu kebijakan pendidikan yang
kembali dimunculkan pada tahun 2014 sebagai upaya meningkatkan kualitas
pendidikan di DIY. Pada tahun 2003, kebijakan ini pernah digagas sebagai upaya
menjaga relevansi keilmuan antara apa yang dikembangkan oleh Proffessor di
perguruan tinggi dengan yang diajarkan di sekolah-sekolah menengah (SMP dan
SMA). Pada tahun 2009 kebijakan ini diluncurkan dan tidak ada kegiatan tindak
lanjut. Atas dorongan Dewan Pendidikan DIY, pada tahun 2013 kebijakan ini
kembali dimunculkan dan dilaksanakan di beberapa sekolah di DIY. Implementasi
kebijakan tersebut berupa penyelenggaraan pertemuan di sekolah-sekolah antara
professor dengan guru-guru terkait bidang keilmuan tertentu.6
Sarjana Magang merupakan sebuah kebijakan yang digagas oleh Gubernur
DIY pada tahun 2013. Berdasarkan rancangan Peraturan Gubernur yang telah
disusun sebagai payung hukum pelaksanaan kebijakan, sarjana magang
dimaksudkan untuk tujuan membantu lulusan sarjana dalam menambah
pengetahuan, keterampilan, wawasan, pengalaman, sikap mental, perilaku, dan
budaya/etos kerja, memberikan kesempatan kepada para sarjana untuk segera
dapat menerapkan ilmu, serta membantu melaksanakan tugas pemerintahan dan
pembangunan yang bersifat teknis operasional.7 Kebijakan yang diampu oleh
Badan Kepegawaian Daerah (BKD) DIY ini seharusnya sudah mulai diterapkan
pada tahun 2015. Sayangnya pada bulan Januari (tahun 2015) lalu, rancangan
kebijakan yang sudah matang dan siap diimplementasikan ini „diveto‟ oleh Dinas
Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan Daerah (DPPKAD) dan Sekretariat DIY
untuk tidak dilanjutkan karena beberapa pertimbangan.
Bantuan Keuangan Khusus (BKK) merupakan sebuah kebijakan yang lahir
dari Gagasan Gubernur untuk mereplikasi kebijakan serupa di Provinsi Gorontalo
sebagai upaya pengentasan kemiskinan di DIY. BKK merupakan pemberian
bantuan keuangan yang diperuntukkan bagi rumah tangga sasaran (RTS) yang
ditetapkan dalam Keputusan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor
90/KEP/2013 tentang Penetapan Rumah Tangga Sasaran dan Jumlah Bantuan
6 Lebih lanjut lihat TOR Proffessor Goes to School yang diterbitkan oleh Dewan Pendidikan DIY.
7 Rancangan Peraturan Gubernur tentang Pedoman Penyelenggaraan Sarjana Magang.
20
Keuangan Khusus Kepada Kabupaten/Kota Tahun 2013. BKK merupakan
program kemitraan yang dilakukan oleh Bappeda bersama DPPKAD.
Jaga warga merupakan sebuah kebijakan yang digagas oleh Bappeda pada
tahun 2013 untuk merespon kegelisahan Gubernur DIY yang disampaikan pada
sambutan syawalan di Kabupaten/Kota di DIY terkait keterlindungan warga. Jaga
warga juga merupakan program kemitraan antara Bidang Pemerintahan Bappeda
dengan Badan Kesbanglinmas. Setelah dilakukan penyusunan naskah akademik
dan SOP pelaksanaan Jaga warga oleh Bidang Pemerintahan, Bappeda,
Pemerintah Daerah melalui Biro Hukum kemudian menyiapkan Peraturan
Gubernur sebagai Payung Hukum. Saat ini program Jaga Warga sudah mulai
diterapkan oleh Badan Kesbanglinmas DIY dan dibantu Badan Kesbanglinmas
Kabupaten/Kota. Keempat kebijakan di atas akan dibedah arus masalah, arus
kebijakan, arus politik serta policy entrepreneur yang terlibat dalam proses
agenda settingnya.
Untuk tujuan tersebut, dilakukan penelitian studi kasus jamak (multiple
case design) dengan pendekatan kualitatif. Secara definisi studi kasus dapat
dipahami sebagai sebuah pendekatan untuk mempelajari, menerangkan atau
menginterpretasi (Salim, 2001). Dalam bukunya yang berjudul Case Study
Research: Design and Methods, Yin menyebutkan bahwa studi kasus merupakan
sebuah pendekatan yang menginvestigasi fenomena kontemporer yang ada di
dalam konteks kehidupan nyata, dimana batasan antara fenomena dan konteks
yang nyata tersebut belum nyata terbukti dan untuk itu dibutuhkan pembuktian
yang dapat dilakukan dengan memanfaatkan beberapa sumber (Yin, 1981).
Dalam studi kasus, peneliti yang berbeda tentu memiliki tujuan-tujuan
yang berbeda pula ketika mengkaji kasus. Robert E. Stake dalam buku Handbook
of Qualitative Research menyebutkan bahwa untuk memudahkan identifikasi dari
tujuan penelitian studi kasus, Stake membedakan jenis studi kasus kedalam tiga
kelompok, yaitu studi kasus jenis intrinsik, studi kasus jenis instrumental dan
studi kasus jenis kolektif. Studi kasus jenis intrinsik biasanya ditempuh oleh
peneliti yang ingin lebih memahami kasus tertentu. Studi kasus jenis ini dipilih
bukan karena kasus ini mewakili kasus-kasus lain atau karena menggambarkan
sifat atau problem tertentu. Namun model penelitian studi kasus ini dipilih karena
21
dalam seluruh aspek kekhususannya dan kesederhanaannya, kasus ini menarik
minat peneliti (Stake, 2009).
Berbeda dengan jenis studi kasus intrinsik, jenis kasus kedua, yaitu studi
kasus instrumental digunakan untuk tujuan meneliti suatu kasus tertentu agar
tersaji sebuah perspektif tentang isu atau perbaikan suatu teori. Dalam studi kasus
jenis ini, kasus tidak menjadi minat utama; melainkan berperan suportif agar
memudahkan pemahaman peneliti tentang sesuatu yang lain. Dalam konteks ini
kasus sering dicermati secara mendalam, konteksnya dikaji secara menyeluruh
dan aktivitas kesehariannya diperinci. Dengan cara ini peneliti terbantu untuk
mengungkap motif-motif eksternal dari suatu kasus. Pemilihan kasus dalam model
studi kasus ini lebih disebabkan oleh hasrat peneliti untuk meningkatkan
pemahaman tentang minat-minat yang lain tersebut, sehingga tentu saja dalam
model studi kasus ini suatu kasus bisa dipandang sebagai sebuah gambaran tipikal
bagi kasus lain atau malah justru tidak (Stake, 2009). Sementara itu, studi kasus
jenis ketiga, Penelitian studi kasus jamak (collective or mutiple case study) adalah
penelitian studi kasus yang menggunakan jumlah kasus dua atau lebih (Yin,
2009).
Penelitian studi kasus ini adalah pengembangan dari penelitian studi kasus
instrumental, dengan menggunakan kasus yang banyak. Asumsi dari penggunaan
kasus yang banyak adalah bahwa kasus-kasus yang digunakan di dalam penelitian
studi kasus jamak mungkin secara individual tidak dapat menggambarkan
karakteristik umumnya. Masing-masing kasus mungkin menunjukkan sesuatu
yang sama atau berbeda-beda. Tetapi apabila dikaji secara bersama-sama atau
secara kolektif, dapat menjelaskan adanya benang merah di antara mereka, serta
dapat juga menjelaskan sebuah pola (replication logic). Kelebihan dari studi kasus
jamak adalah bukti yang diberikan lebih meyakinkan dan lebih kuat.
Berdasarkan latar belakang tujuan penelitian tersebut sekali lagi penulis
menyampaikan bahwa jenis metode penelitian yang digunakan dalam penelitian
ini adalah studi kasus jamak yang menekankan aspek pengulangan (replication
design). Lebih lanjut dalam penelitian ini penulis akan menggunakan dua teknik
pengumpulan data, diantaranya:
22
1. Studi Pustaka (Desk Study)
Teknik ini merupakan bentuk pelacakan atas arsip-arsip terkait persoalan
yang di teliti, bisa berasal dari aturan perundang-undangan (nasional
maupun lokal), surat, memorandum, catatan pertemuan, dokumen
administratif, pengumuman, kliping, berita maupun artikel-artikel yang
berasal dari media, dan sebagainya. Studi pustaka juga dilakukan melacak
literatur-literatur terdahulu, seperti buku, laporan penelitian, karya
akademik, dan sejenisnya, yang memiliki keterkaitan dengan persoalan
yang sedang diteliti.
2. Interview
Teknik ini dilakukan untuk menggali informasi dari pihak yang terlibat
dalam proses pengambilan keputusan kebijakan seperti Dewan Pendidikan,
Bappeda, Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga, BKD, dan BPS.
H. Metode Analisa Data
Metode analisa data merupakan bagian integral dari metode penelitian
(teknik pengumpulan data). Terlebih, jenis penelitian ini menggunakan penelitian
kualitatif dengan desain studi kasus jamak. Analisis data adalah proses mencari
dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan
lapangan, dan dokumentasi, dengan cara mengorganisasikan data ke dalam
kategori, menjabarkan ke dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam
pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari, dan membuat
kesimpulan sehingga mudah difahami oleh diri sendiri maupun orang lain
(Sugiyono, 2012).
Proses analisis dan penafsiran data dimulai dengan menelaah seluruh data
yang tersedia dari berbagai sumber, yaitu dari wawancara, pengamatan yang
sudah dituliskan dalam catatan lapangan, dokumen pribadi, dokumen resmi,
gambar, foto, dan sebagainya. Data tersebut banyak sekali, setelah dibaca,
dipelajari, dan ditelaah, langkah berikutnya mengadakan reduksi data yang
dilakukan dengan jalan melakukan abstraksi.
23
Abstraksi merupakan usaha membuat rangkuman yang inti, proses, dan
pernyataan-pernyataan yang perlu dijaga sehingga tetap berada di dalamnya.
Langkah selanjutnya adalah menyusunnya dalam satuan-satuan. Satuan-satuan ini
dikategorisasikan pada langkah berikutnya. Kategori-kategori itu dibuat sambil
melakukan koding. Tahap akhir dari analisis data ini ialah mengadakan
pemeriksaan keabsahan data dan setelah itu mulailah tahap penafsiran data dalam
mengolah hasil sementara menjadi teori substantif.
I. Rencana Penulisan
Tesis ini terdiri dari 7 bab, yang diorganisasikan ke dalam tiga bagian.
Bagian pertama terdiri dari bab I dan II . Pada bab I menguraikan signifikansi
kajian melalui studi kasus empat kebijakan yaitu kebijakan proffessor goes to
school, sarjana magang, bantuan keuangan khusus (BKK) dan Jaga Warga. Selain
itu, bagian tersebut juga menjelaskan preposisi-preposisi teoritik yang digunakan
dalam penelitian. Secara teoritik penelitian ini menggunakan model dasar agenda
setting yang ditawarkan John Kingdon.
Bab II menggambarkan kondisi sosio politik DIY. Bab ini menjadi penting
untuk ditampilkan karena memberikan konteks terhadap birokrasi di DIY. Sejarah
panjang DIY terkait pemerintahan monarki di satu sisi serta potensi SDM
Birokrasi, keberadaan epistemic community, dan kehadiran perguruan tinggi di
sisi yang lain akan memberikan konteks proses policy windows dalam agenda
setting.
Bagian kedua terdiri dari 4 (empat) bab, yaitu bab III, bab IV, bab V, dan
bab VI. Bab III fokus pada kebijakan professor goes to school. Bab IV fokus pada
kebijakan sarjana magang. Bab V fokus pada kebijakan bantuan keuangan khusus
dan bab VI fokus pada kebijakan jaga warga. Pada bagian ini akan dipetakan
secara bergantian masing-masing kebijakan arus masalah, arus kebijakan, arus
politik dan policy entrepreneurnya. Pada bagian ini juga akan dipetakan interaksi
antara ketiga arus tersebut dengan policy entrepreneur.
Selanjutnya, bagian terakhir dari tulisan ini terdiri dari dua bab, yaitu bab
VII dan bab VIII. Bab VII akan menganalisa proses policy windows dari
kebijakan yang dijadikan studi kasus pada kajian ini. Bab VII pada tulisan ini
24
akan membawa pada sebuah ringkasan, temuan dan kesimpulan yang ditarik atas
dasar berbagai kasus yang disajikan. Sebagaimana disebutkan di bagian awal
bahwa kajian ini dikontribusikan untuk menambah khasanah kebijakan terkait
interaksi arus masalah, arus kebijakan, arus politik dan peran policy entrepreneur
dalam proses policy windows.