pendahuluan a. tentrem, dan adem ayem. hal tersebut...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kehidupan di pedesaan sejak lama dikenal masyarakat sebagai
kehidupan yang harmonis, rukun, tentrem, dan adem ayem. Hal tersebut
digambarkan Koes Plus lewat lagu ciptaan mereka yang berjudul Pak Tani:
―Ayem tentrem ing desane Pak Tani. Urip bebarengan, mbangun desa sak
kancane‖, yang jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia berarti ‗Hidup
tentram di desanya Pak Tani. Hidup bersama, membangun desa bersama‘.
Masyarakat desa dikenal sebagai masyarakat yang sederhana, apa adanya,
pasrah, dan tradisional, jauh dari sifat materialistis dan individualistis, berbeda
dengan masyarakat kota. Masyarakat desa masih sangat menjunjung tinggi
nilai-nilai adat dan budaya, gotong royong, serta kebersamaan.
Masyarakat pedesaan juga dikenal hidup dalam tradisi. Menurut kamus
peristilahan Antropologi, tradisi adalah adat istiadat, yakni kebiasaan yang
bersifat magis-religius dari kehidupan suatu penduduk asli yang meliputi nilai-
nilai budaya, norma-norma, hukum, dan aturan-aturan yang saling berkaitan,
dan kemudian menjadi suatu sistem budaya dari suatu kebudayaan untuk
2
mengatur tindakan atau perbuatan manusia dalam kehidupan sosial. 1Kamus
Besar Bahasa Indonesia mengartikan tradisi sebagai suatu adat kebiasaan yang
dilakukan turun-temurun dan masih terus dilakukan di masyarakat di setiap
tempat atau suku yang berbeda-beda.2Kamus istilah Sosiologi mengartikan
tradisi sebagai adat istiadat dan kepercayaan yang secara turun-temurun dapat
dipelihara.3
Dari berbagai definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa masyarakat
desa tetap memelihara nilai-nilai budaya yang telah dihasilkannya.
Sebagaimana digambarkan oleh Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi
dalam Sosiologi: Suatu Pengantar, kebudayaan merupakan hasil karya, rasa,
dan cipta masyarakat. Karya masyarakat menghasilkan teknologi dan
kebudayaan kebendaan atau kebudayaan jasmaniah (material culture) yang
diperlukan oleh manusia untuk menguasai alam sekitarnya agar kekuatan serta
hasilnya dapat diabadikan untuk keperluan masyarakat. 4Kebudayaan dimiliki
oleh setiap masyarakat. Tidak ada masyarakat yang tidak mempunyai
kebudayaan, dan sebaliknya tak ada kebudayaan tanpa masyarakat sebagai
wadah dan pendukungnya.5 Masyarakat desa dikenal sangat erat menjunjung
nilai-nilai budaya setempat yang bahkan dianggap tertinggal dari kebudayaaan
masyarakat kota atau masyarakat sekitarnya. Eksklusifitas masyarakat
1Ariyono dan Aminudin Siregar, 1985, Kamus Antropologi. Jakarta: Akademika Pressindo, hal.4 2 Prof. Dr. J.S. Badudu dan Prof. Sutan Mohammad Zain, 1996, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, hal.1531 3Soerjono Soekanto, 1993, Kamus Sosiologi, Jakarta: RajaGrafindo Persada, hal. 459 4 Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar Ed.Baru, Jakarta: RajaGrafindo Persada, hal.151 5 ibid, hal.149
3
pedesaan memegang kebudayaan atau tradisi merupakan sumber kajian yang
menarik dan bernilai.
Negara Indonesia merupakan negara dengan wilayah luas yang terdiri
dari pulau-pulau yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Setiap pulau
dihuni oleh berbagai suku bangsa yang memiliki kebudayaan yang berbeda.
Masyarakat Indonesia terdiri atas berbagai etnis, suku, agama, dan
kepercayaan. Beragam kebudayaan tercipta dari keberagaman etnis dan
budaya yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Suku-suku bangsa
memiliki khasanah budaya yang diwariskan secara turun temurun sebagai
wujud dari kebudayaan. Setiap daerah memiliki kebudayaannya sendiri dan
kebudayaan tersebut diwariskan dari generasi ke generasi sehingga melahirkan
sebuah tradisi.
Sebagai bagian dari Indonesia, masyarakat Jawa juga memiliki
kebudayaannya sendiri. Orang Jawa tergolong sangat erat memegang tradisi.
Mereka hidup dalam lingkaran tradisi yang kental. Tiap peristiwa dalam
kehidupan, baik kehidupan individu maupun kelompok, selalu dimaknai
secara khusus dan diwujudkan dalam ritual atau selebrasi tertentu. Sebagai
contoh, fase-fase kehidupan seseorang sejak lahir hingga meninggal dunia
dimaknai dan diwarnai dengan ritual dan selebrasi yang dijadikan tradisi.
Menyangkut kelahiran, terdapat tradisi neton (peringatan hari lahir),
selapanan, tujuh bulanan, dan sebagainya. Terkait dengan pernikahan,
4
terdapat tradisi siraman, midodareni, srah-srahan, ijab, jenang sungsuman,
dan sebagainya. Tradisi yang menyangkut kematian juga beragam, misalnya
kenduri sur-tanah, tradisi melayat, tradisi memakamkan jenazah, serta tradisi
memperingati yang meninggal dunia. Masyarakat Jawa memiliki tradisi yang
khas dan unik untuk memperingati orang yang telah meninggal dunia. Tradisi
atau selamatan orang meninggal merupakan peringatan sesuai tahapan atau
jangka waktu sejak yang bersangkutan meninggal hingga hari ke seribu
meninggalkan dunia, yaitu nelung dina (peringatan tiga hari kematian), mitung
dina (selamatan hari ketujuh setelah kematian), matang puluh(selamatan
empat puluh hari setelah meninggal dunia), nyatus dina (selamatan seratus
hari setelah kematian), nyetahun (peringatan satu tahun setelah kematian),
rong tahun atau mendhak pisan (peringatan dua tahun setelah kematian), dan
yang terakhir adalahnyewu (selamatan seribu hari setelah kematian). Selain
menyangkut kelahiran, perkawinan, dan kematian, dalam masyarakat Jawa
terdapat peringatan atau selamatan lain yang hingga kini masih dilakukan,
misalnya khitanan, mendirikan rumah, pindah rumah, menggarap sawah,
menanam padi, memperingati hari-hari besar atau penting, dan sebagainya.
Berbagai tradisi tersebut sampai sekarang masih dilakukan oleh sebagian besar
masyarakat.
Dalam setiap hajatan atau selamatan, terutama yang bersifat pribadi
dan menyangkut kelahiran, perkawinan, dan kematian, keluarga
penyelenggara harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Selamatan atau
5
hajatan selalu membutuhkan bahan-bahan untuk selamatan atau ritual dan
khusus untuk selebrasi, suguhan bagi saudara dan handai-taulan yang
diundang menyaksikan. Tradisi tersebut memunculkan tradisi nyumbang,
suatu wujud kepedulian atau gotong royong terhadap keluarga yang punya
hajat. Bentuk belarasa bisa berupa barang-barang kebutuhan pokok atau uang.
Menurut Dina dalam skripsinya yang berjudul Pergeseran dan
Pemaknaan Nyumbang (Studi tentang Konstruksi Masyarakat Mengenai
Tradisi Nyumbang pada Pernikahan di Desa Ngrombo, Kecamatan Baki,
Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah), nyumbang merupakan sebuah tradisi,
karena kegiatan tersebut terus dilakukan sampai sekarang, karena juga
dilakukan oleh generasi sebelumnya. Kata nyumbang yang berasal dari bahasa
Jawa yang jika diartikan kedalam Bahasa Indonesia memiliki arti
menyumbang, menyokong atau membantu. Nyumbang adalah salah satu
tradisi Jawa, dilakukan oleh orang-orang dengan cara memberikan sesuatu
kepada orang lain yang sedang mempunyai hajat, sesuatu tersebut bisa berupa
barang, tenaga ataupun dalam bentuk uang. Tradisi nyumbang ini hampir
selalu ambil bagian dalam setiap perayaan momen kehidupan seseorang, dari
kelahiran bahkan sampai kematian sekalipun.6
Ketika nyumbangpada suatu hajatanpernikahan, seseorang tidak hanya
memberikan sesuatu secara cuma-cuma sebagai bentuk solidaritas atau 6 Nur Dina Fitriya, 2012, Skripsi Pergeseran dan Pemaknaan Nyumbang (Studi tentang Konstruksi Masyarakat Mengenai Tradisi Nyumbang pada Pernikahan di Desa Ngrombo, Kecamatan Baki, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, hal. 2-3
6
simpati, tetapi mengharapkan pengembalian. Dibalik aktivitas nyumbang, ada
fenomena pertukaran sosial yang mengandung resiprositas, yaitu sebuah asas
pertukaran timbal balik antar individu atau kelompok. Bagi masyarakat
pedesaan, nyumbang memiliki nilai atau jaminan sosial tertentu, sehingga
nyumbangbisa dinilai sebagai suatu bentuk asuransi sosial yang paling
sederhana yang terdapat dalam masyarakat. Sebuah keluarga yang tidak
berkecukupan bisa saja nekat mengadakan hajatan pernikahan yang besar dan
memerlukan biaya banyak. Ibarat bisnis, keluarga itu mencari modal awal
dengan cara berhutang pada saudara, tetangga, atau bahkan sebuah institusi
ekonomi seperti Koperasi atau Bank.Keberanian mengambil resiko tersebut
biasanya didasari keyakinan bahwa nantinya pasti ―balik modal‖ karena
keluarga tersebut sudah sering nyumbang.Terdapat semacam jaminan ganti
rugi secara sosial dan finansial yang akan mereka dapatkan apabila mereka
mengadakan hajatan pernikahan, karena sebelumnya mereka telah rutin
menyumbang. 7 Dengan demikian, aktivitas nyumbangdilakukan karena ada
harapan social and financial security, yaitu jaminan atau keamanan sosial dan
finansial sehingga apablia suatu saat dibutuhkan, akan tersedia.
Alasan pemilihan pergeseran makna nyumbangdi Dusun Jatirejo
sebagai topik penelitian karena nyumbang yang semula merupakan
perwujudan sikap gotong royong, simpati, dan belarasa, telah bergesermenjadi
bentuk timbal-balik berbentuk ―asuransi sosial dan finansial‖ didalam
7 ibid, hal. 5-6
7
masyarakat.Fenomena pergeseran ini menarik untuk dikaji. Penulis mendapati
pergeseran makna nyumbang menjadi semacam ―asuransi sosial dan finansial‖
dan merupakan bentuk resiprositas antar penduduk khususnya di Dusun
Jatirejo, Desa Sendangadi, Kecamatan Mlati, Kabupaten Sleman, Yogyakarta.
Pergeseran makna nyumbang di Dusun Jatirejo menarik dan bernilai
untuk diteliti dan dikaji karena masyarakat dusun tersebut masih benar-benar
melaksanakan tradisi nyumbang walaupun secara geografis letak dusun
tersebut tidak jauh dari kawasan modern karena Dusun Jatirejo dikelilingi oleh
kompleks perumahan elit berharga milyaran rupiah, misalnya Paradise
Regency, Taman Palagan Asri 1 dan 2, dan perumahan-perumahan mewah
lainnya. Keberadaan hotel berbintang lima (Hyatt Regency Yogyakarta),
lokasi dusun yang tidak lebih dari 5 kilometer dari kampus UGM, pergaulan
dengan para penghuni perumahan, tidak mengusik kebiasaan masyarakat
untuk nyumbang. Meskipun secara langsung tidak ada kaitan antara tiga
simbol peradaban modern tersebut dengan masyarakat Dusun Jatirejo, tetapi
fasiltas- fasilitas dan infrastruktur pendukung yang ada mestinya membawa
pengaruh yang signifikan dan membawa perubahan pada cara hidup mereka.
Tetap dijalankannya tradisi nyumbang menunjukkan bahwa
masyarakat Jatirejo tidak terpegaruh oleh aneka kemajuan yang terjadi
disekitar mereka. Meskipun masyarakat tidak menolak dan justru merasa
dimudahkan oleh jalan desa yang telah diubah menjadi jalan aspal hot-mixed
8
serta aneka fasilitas pendukung, misalnya mini market, supermarket Mirota
Kampus Palagan, warnet-warnet, restoran-restoran besar, tetapi masyarakat
Jatirejo tidak mau mengganti kebiasaan nyumbang. Pergaulan dengan para
pendatang tidak mengusik kebiasaan nyumbang sesuai cara dan kebiasaan
mereka meskipun penduduk sering diundang dalam pesta pernikahan yang
modern, misalnya standing party dan prasmanan di gedung pertemuan Graha
Sarina Vidi yang letaknya tidak jauh dari Dusun Jatirejo. Nyumbang tidak bisa
tergeser oleh nilai-nilai dan budaya modern yang mengitari warga Jatirejo
karena pergeseran makna dari gotong royong dan belarasa menjadi bentuk
resiprokal atau timbal-balik. Jika rantai diputus, timbal-balik tidak akan
berlangsung dan banyak pihak merasa dirugikan dan dipupus harapannya
karena kehilangan ―investasi.‖.
Alasan kedua mengapa pergeseran makna nyumbang warga Dusun
Jatirejo menurut penulis layak menjadi bahasan utama penelitiannya adalah
karena cara nyumbang masyarakat Dusun Jatirejo tergolong unik. Selain
aktivitas nyumbang menunjukkan pergeseran makna, dari gotong royong
menjadi resiprositas, kegiatan tersebut juga masih dilakukan secara ketat dan
mengikat karena pengaruh kehidupan agraris mereka.
Warga Dusun Jatirejo yang sebagian besar petani masih melestarikan
ritual-ritual yang berkaitan dengan siklus daur kehidupan manusia dan
pertanian. Aneka ritual slametan orang meninggal, among-among
9
(memperingati hari neton kelahiran), dan slametan yang berkaitan dengan
pertanian, serta hajatan lain, sering diselenggarakan penduduk Jatirejo.
Penyelenggaraan ritual atau slametan dan hajatan tidak hanya diurus oleh
seluruh anggota keluarga penyelenggara tetapi melibatkan sanakkerabat,
tetangga, serta seluruh warga desa. Berbeda dengan masyarakat kota yang
cenderung mempercayakan pesta pernikahan atau hajatan lain pada Event
Organizer, Wedding Organizer, atau sejenisnya, masyarakat dusun Jatirejo
melibatkan warga desa sebagai implikasi dari keterikatan sosial yang erat
diantara mereka. Keterikatan sosial tersebut terbentuk melalui interaksi sosial
diantaranya memenuhi undangan hajatan. Dengan mengundang atau
diundang, dengan datang dan didatangi pada suatu hajatan, terjalin keterikatan
sosial berupa kewajiban untuk saling tolong-menolong dan bekerjasama.
Keterikatan sosial kemudian meningkat pada keterikatan finansial karena
datang dan memberi doa restu saja dirasa tidak cukup. Rasa belarasa,
kepedulian, kebersamaan juga diwujudkan dalam bentuk barang dan atau uang
(nyumbang).
Nyumbang sangat penting bagi warga dusun tersebut karena dalam
lingkungan agraris seperti Jatirejo, uang tunai tidak mudah didapat. Proses
menunggu panenan membuat uang tunai tidak selalu tersedia dalam jumlah
banyak, khususnya untuk menyelenggarakan slametan. Tingginya
penghargaan terhadap uang dan kebutuhan uang tunai yang tinggi membuat
nyumbang sangat bernilai. Sumbangan berujud uang sangat didambakan oleh
10
penyelenggara hajatan, sehingga di Dusun Jatirejo kegiatan sumbang-
menyumbang pada hajatanatau slametanterus berlangsung dan menjadi bagian
tradisi yang tidak tergeser oleh berbagai perubahan sosial-ekonomi di
sekitarnya, bahkan ketika desa-desa sekitarnya sudah tidak lagi menerapkan
tradisi tersebut secara ketat.
Alasan ketiga mengapa Dusun Jatirejo dipilih oleh penulis adalah
karena tradisi nyumbang di wilayah tersebut berbeda dengan tradisi nyumbang
di wilayah lain. Pergeseran makna gotong royong atau belarasa menjadi
tuntutan sosial-ekonomi sangat menarik untuk dikaji. Di dusun tersebut,
nyumbang bukan lagi merupakan keihkhlasan individu untuk meringankan
beban orang lain melainkan menjadi belenggu yang memberatkan. Pemikiran
bahwa nyumbang harus merupakan timbal-balik (resiprokal) membuat warga
desa tersebut tidak bisa melepaskan diri dari ―lingkaran setan‖ atau ―bolah
bundhet‖. Siapapun yang pernah menyelenggarakan hajatan dan menerima
sumbangan harus ganti menyumbang. Mereka yang belum pernah
menyelenggarakan hajatan padahal selalu menyumbang pasti berencana
menyelenggarakan hajatan agar memperoleh sumbangan dan uangnya
―kembali.‖ Sulur yang tanpa ujung pun mengikat warga dusun tersebut.
Pikiran timbal-balik menggeser makna nyumbang, dari membantu menjadi
menjerat. Demi nyumbang dan menjaga citra keluarga serta menghindari
sanksi sosial, warga rela berhutang atau menjual miliknya yang berharga.
11
Dalam hal nyumbang, masyarakat Dusun Jatirejo memiliki keunikan
tersendiri. Ketika ada salah seorang warga yang hendak mengadakan hajatan,
ia hanya cukup memberi tahu acara yang akan diselenggarakannya kepada
satu orang saja. Penyebaran informasi dilakukan secara oral, tanpa undangan.
Warga yang diberitahu akan adanya hajatan tersebut akan menyebarkan
informasi tersebut dari mulut ke mulut kepada seluruh warga desa. Tak jarang
pemilik hajatan mengundang masyarakat untuk nyumbang dengan cara
mendirikan tenda dan memasang sound system lalu memutar musik dengan
suara keras. Hal tersebut merupakan sebuah kode tersendiri yang
mengisyaratkan bahwa di rumah itu akan ada hajatan dan masyarakat
diharapkan datang untuk menyumbang.
Ketika melakukan nyumbang, terdapat standart minimal
uangnyumbang yang diberlakukan masyarakat. Umumnya jumlah uang yang
disumbangkan berkisar antara tiga puluh sampai lima puluh ribu rupiah
berlaku untuk satu keluarga. Jumlah uang yang disumbangkan jelas
menunjukkan status sosial dan prestise seseorang. Bagi masyarakat yang
mampu, nominal tersebut tidaklah berat. Masyarakat yang kurang mampu
harus menyisihkan sejumlah uang agar dapat menyumbang. Bahkan banyak
dari mereka yang harus berhutang demi memenuhi standart minimal
nyumbang.
12
Warga yang memiliki hajatan ‗menukar‘ uang yang diberikan
penyumbang dengan sebuah besek berisi nasi, sayur, dan lauk pauk atau sering
disebut ‗ater-ater‟. Besek tersebut umumnya berisi satu baskom nasi putih
untuk porsi satu keluarga, dua jenis sayur, telur rebus, dan lauk yang beraneka
ragam. Hal tersebut dikenal dengan nama „ulih-ulih‟. Konsep „ulih-ulih‟ pada
dasarnya sama dengan „ater-ater‟, dimana masyarakat atau penyumbang
datang ke rumah warga yang mengadakan hajatan lalu memberikan sejumlah
uang yang kemudian ‗ditukar‘ dengan besek atau keranjang bambu berisi
bingkisan sebagai bentuk balasan atas sumbangan yang diberikan kepada
pihak yang menggelar hajatan. Dalam nyumbang, terdapat pula ‗tonjokan‟
atau ‗punjungan‘ yang merupakan salah satu bentuk ‗tonjokan‟ atau kode
yang mengisyaratkan supaya warga menyumbang sang pemilik acara. Berbeda
dengan ulih-ulih, masyarakat yang menggelar acara terlebih dahulu
memberikan ater-ater berisi sejumlah makanan kepada warga masyarakat
yang belum menyumbang. Tonjokan atau punjungan dilakukan atas dasar
kesengajaan sebagai bentuk kode yang secara tidak langsung menyuruh
masyarakat untuk menyumbang dengan nominal tertentu. Masyarakat yang
berada pada tingkat ekonomi menengah ke atas sengaja diberi ater-ater
dengan ubo rampe yang lebih banyak dibandingkan dengan masyarakat yang
keadaan ekonominya menengah ke bawah, supaya warga menyumbang
dengan nominal yang lebih banyak, sesuai dengan yang diberikan oleh sang
penggelar hajatan.
13
Masyarkat Jatirejo mengenal stratifikasi dalam hal pembagian ater-
ater. Masyarakat yang menyumbang sejumlah sepuluh ribu rupiah
mendapatkan ater-ater berisi lauk telur rebus dan cakar ayam. Masyarakat
yang menyumbang sejumlah dua puluh ribu rupiah mendapatkan ater-ater
berisi lauk ikan bandeng. Dan masyarakat yang menyumbang sejumlah lima
puluh ribu rupiah mendapatkan ater-ater berisi dada ayam utuh. Semakin
besar nominal uang yang diberikan dalam nyumbang, maka semakin
bervariasi pula ater-ater yang didapatkan. Begitu pula sebaliknya, semakin
kecil nominal uang yang disumbangkan, semakin sedikit pula ater-ater yang
didapatkan.
Tradisi nyumbang tidak dapat dilepaskan dari tradisi rewang.
Keduanya merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu sama
lain. Masyarakat yang sudah melakukan nyumbang biasanya ‗turun ke dapur‘
bersama-sama dengan para ibu yang lain untuk menyiapkan masakan yang
nantinya diberikan kepada sang penyumbang. Masyarakat biasa menyebutnya
dengan nama rewang. Dalam kegiatan rewang, pelaku yang berkecimpung di
dalamnya adalah wanita. Para ibu atau para gadis muda tanpa batasan usia,
profesi, maupun status sosial bekerja bersama dalam satu ruangan besar.
Sebagian bertugas memasak, sebagian bertugas mengantarkan makanan, dan
sebagian bertugas melayani para tamu yang datang berkunjung untuk
nyumbang. Ada pula yang bertugas mengatur kemana ater-ater dikirimkan.
Pada bagian ini, para ibu menyiapkan ater-ater ke dalam satu tumpukan
14
berdasarkan daerah yang akan diberi ater-ater. Umumnya pembagian daerah
berdasarkan RT atau nomor rumah. Petugas yang mengatur kiriman ater-ater
membacakan siapa saja yang pada saat itu bertugas mengantarkan makanan
sekaligus membacakan pula penerima ater-ater sekaligus isi dari ater-ater
tersebut. Sistem ini menjadikan seluruh warga yang melakukan rewang
mengetahui secara jelas posisi sang penyumbang berdasarkan jumlah uang
yang ia berikan. Status dan strata sosial seseorang bagi masyarakat Dusun
Jatirejo dinilai berdasarkan nominal uang yang diberikan pada saat nyumbang.
Meskipun memiliki esensi hubungan timbal balik (resiprositas) d i
antara masyarakat, tradisi ini dapat berlangsung lama bahkan diwariskan dari
generasi ke generasi. Peralihan bentuk nyumbang dalam hajatan yang lebih
berorientasi pada nilai uang terkadang menimbulkan masalah. Namun masalah
yang muncul dalam tradisi nyumbang tersebut tidak lantas menjadikan tradisi
ini hilang atau ditinggalkan, bahkan kegiatan tersebut justru semakin marak
terlihat di masyarakat Dusun Jatirejo. Masyarakat memiliki ketergantungan
terhadap keberadaan tradisi nyumbang sehingga tradisi tersebut menjadi
bagian dari gaya hidup masyarakat petani di Dusun Jatirejo.
Dalam tradisi nyumbang, terdapat sanksi sosial yang cukup kuat ketika
seseorang tidak melakukan tradisi nyumbang. Tradisi ini seakan-akan bersifat
memaksa dan menjadi sebuah sistem yang mengontrol atau mengendalikan
seseorang di dalam masyarakat. Sehingga mau tak mau seseorang harus
15
menyumbang jika tidak ingin ‗dihukum‘ oleh masyarakat. Bahkan banyak
masyarakat rela untuk berhutang atau menggadaikan barang kepemilikannya
hanya untuk bisa menyumbang, agar tidak mendapat cap jelek di masyarakat.
Penelitian ini didasarkan pada keprihatinan peneliti atas sikap
masyarakat yang terlihat dalam tradisi nyumbang. Tradisi nyumbang
seharusnya merupakan bentuk toleransi dan gotong royong kepada masyarakat
yang membutuhkan bantuan. Seiring dengan perkembangan jaman, makna
dari tradisi tersebut berubah menjadi suatu hal yang sifatnya resiprokal.
Tradisi nyumbang yang mengalami pergeseran berpengaruh terhadap
pemaknaan tradisi tersebut oleh masyarakat. Oleh sebab itu bahasan mengenai
pergeseran makna dan konstruksi masyarakat mengenai tradisi nyumbang
menjadi menarik untuk diteliti, karena terdapat makna dan nilai lain di balik
eksistensi tradisi tersebut.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas,
maka perlu dirumuskan rumusan masalah yang menjadi subyek penelitian ini.
Rumusan ini dirumuskan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:
16
1. Bagaimana bentuk pergeseran tradisi nyumbang dan mengapa terjadi
pergeseran tradisi nyumbang dalam pernikahan di Dusun Jatirejo, Desa
Sendangadi, Kecamatan Mlati, Kabupaten Sleman, Yogyakarta?
2. Bagaimana masyarakat Dusun Jatirejo, Desa Sendangadi, Kecamatan
Mlati, Kabupaten Sleman, Yogyakarta memaknai tradisi nyumbang dalam
pernikahan?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah menjawab pertanyaan-
pertanyaan tentang pergeseran makna nyumbang sebagaimana dirumuskan
dalam perumusan masalah, yaitu:
1. Mengetahui bentuk pergeseran tradisi nyumbang dalam pernikahan di
Dusun Jatirejo, Desa Sendangadi, Kecamatan Mlati, Kabupaten Sleman,
Yogyakarta.
2. Mengetahui terjadinya pergeseran tradisi nyumbang dalam pernikahan di
Dusun Jatirejo, Desa Sendangadi, Kecamatan Mlati, Kabupaten Sleman,
Yogyakarta.
3. Mengetahui hal-hal yang mempengaruhi terjadinya pergeseran tradisi
nyumbang dalam pernikahan di Dusun Jatirejo, Desa Sendangadi,
Kecamatan Mlati, Kabupaten Sleman, Yogyakarta.
17
4. Mengetahui pemaknaan tradisi nyumbang dalam pernikahan oleh
masyarakat Dusun Jatirejo, Desa Sendangadi, Kecamatan Mlati,
Kabupaten Sleman, Yogyakarta.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dalam ranah
sosiologis menyangkut kelestarian sebuah tradisi, yaitu trad isi nyumbang,
yang masih dilestarikan oleh masyarakat di sebuah dusun tapi mengalami
pergeseran makna dan bentuk. Melalui penelitian ini bisa diketahui bagaimana
dan mengapa suatu tradisi bisa tetap bertahan dan tetap dijalankan oleh sebuah
masyarakat yang berdomisili di wilayah yang dikelilingi masyarakat lain yang
sudah ―modern.‖
Penelitian ini secara akademis diharapkan bisa menjadi acuan untuk
melakukan penelitian sosial yang lebih serius dan mendalam mengenai tradisi
yang mengikat dan memberatkan masyarakat dan mengenai sikap suatu
masyarakat dalam menghadapi tradisi dn perubahan jaman.
Penelitian ini diharap bisa menjadi gambaran tentang problema nyata
yang terjadi dalam suatu masyarakat sehingga bisa menjadi pembelajaran
untuk mengubah sikap masyarakat dalam memaknai tradisi nyumbang serta
mengembalikan esensinya sebagai bentuk solidaritas dan kepedulian kepada
18
yang sedang membutuhkan bantuan. Penelitian ini diharapkan dapat membuka
mata masyarakat untuk tidak memikirkan diri sendiri melainkan mampu
membantu sesama tanpa mengharapkan adanya imbalan atau timbal balik
(resiprokal).
E. Kerangka Teori
Sebuah penelitian tidak bisa terlepas dari sebuah konstruksi teori.
Teori digunakan sebagai landasan untuk menjelaskan fakta-fakta yang
ditemukan di lapangan. Teori adalah serangkaian asumsi, konsep, konstrak,
definisi, dan proposisi, untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara
sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep. 8 Berdasarkan
variabel penelitian yang ada, maka dalam menganalisa serta memahami
permasalahan yang ada, peneliti mencoba untuk mendekati masalah dengan
memahami beberapa konsep yang ada.
1. Teori Solidaritas Sosial
Secara terminologis kata "solidaritas" berasal dari bahasa latin
solidus "solis". Kata ini dipakai dalam sistem sosial yang berhubungan
dengan integritas kemasyarakatan melalui kerjasama dan keterlibatan
yang satu dengan yang lainnya. Bentuk dari solidaritas dalam kehidupan
8 Masri Singarimbun, 1989, Metode Penelitian Survai. Jakarta: LP3ES, hal.37
19
masyarakat berimplikasi pada kekompakan dan keterikatan dari bagian-
bagian yang ada. Bangsa Perancis mengaplikasikan terminologi
solidaritas pada keharmonisan sosial, persatuan nasional dan kelas dalam
masyarakat9.
Konsep solidaritas sosial merupakan konsep sentral yang merujuk
pada hubungan antar manusia. Kesetiakawanan sosial tersebut merupakan
suatu keadaan bersahabat yang didasarkan pada kepentingan yang sama di
antara para anggotanya. Masyarakat merupakan sekumpulan individu-
individu yang saling berinteraksi, oleh karena itu dalam suatu masyarakat
terdapat kelompok-kelompok yang berbeda satu sama lain. Perbedaan
kelompok dan kualitas individu yang ada dalam masyarakat tersebut
memunculkan ketertiban, keselarasan, dan rasa solidaritas antar sesama
anggota masyarakat. Solidaritas tersebut muncul karena adanya beberapa
persamaan, seperti persamaan kebutuhan, keturunan, dan tempat tinggal.
Menurut Paul Johnson, solidaritas sosial merupakan keadaan hubungan
antara individu dan/atau kelompok yang didasarkan pada perasaan moral
dan kepercayaan yang dianut bersama yang diperkuat oleh pengalaman
emosional bersama. Ikatan ini lebih mendasar daripada hubungan
kontraktual yang dibuat atas persetujuan rasional10.
9M. Zainudin Daula, 2001, Mereduksi Eskalasi Konflik Antar Umat Beragama di Indonesia , Jakarta: Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Proyek Kerukunan Hidup Umat Beragama, hal. 35 10Doyle Paul Johnson, 1994,Teori Sosiologi Klasik dan Modern , Jakarta: PT. Gramadia Pustaka Utama, hal 181
20
Dilihat dari struktur masyarakatnya, Durkheim mengklasifikasikan
solidaritas sosial masyarakat dalam dua kategori, yaitu solidaritas mekanik
dan solidaritas organik.
a. Solidaritas Mekanik
Solidaritas mekanik didasarkan pada suatu kesadaran kolektif
bersama, yang menunjuk pada totalitas kepercayaan-kepercayaan dan
sentimen-sentimen bersama yang rata-rata ada pada setiap anggota
masyarakat, suatu solidaritas yang tergantung pada individu yang
memiliki sifat-sifat yang sama dan menganut kepercayaan dan pola
normatif yang sama pula11.
Solidaritas mekanik memperlihatkan berbagai komponen atau
indikator penting bahwa terdapat kesadaran kolektif yang didasarkan
pada sifat ketergantungan individu yang memiliki kepercayaan dan
pola normatif yang sama. Dalam bermasyarakat, manusia hidup
bersama dan berinteraksi satu sama lain sehingga timbul rasa
kebersamaan di antara mereka. Rasa kebersamaan tersebut milik
masyarakat yang secara sadar menimbulkan perasaan kolektif.
Perasaan terseut merupakan akibat (resultan) dari kebersamaan dan
merupakan hasil aksi dan reaksi antara kesadaran individual. Jika
11Doyle Paul Johnson, 1994,Teori Sosiologi Klasik dan Modern , Jakarta: PT. Gramadia Pustaka Utama, hal.183
21
setiap kesadaran individual menggemakan perasaan kolektif, hal
tersebut bersumber dari dorongan khusus yang berasal dari perasaan
kolektif yang muncul. Pada saat solidaritas mekanik memainkan
perannya, kepribadian tiap individu lenyap karena ia bukanlah diri
individu lagi, melainkan hanya sekedar makhluk kolektif.
Individualitas tidak berkembang karena dilumpuhkan oleh
tekanan aturan atau hukum yang bersifat represif. Sifat hukuman
cenderung mencerminkan dan menyatakan kemarahan kolektif yang
muncul atas penyimpangan atau pelanggaran kesadaran kolektif dalam
kelompok sosialnya. Solidaritas mekanik didasarkan pada suatu
―kesadaran kolektif‖ (collective consciousness) yang dipraktekkan
masyarakat dalam bentuk kepercayaan dan sentimen total diantara
warga masyarakat. Individu dalam masyarakat seperti ini cenderung
homogen dalam banyak hal. Keseragaman tersebut berlangsung terjadi
dalam seluruh aspek kehidupan, baik sosial, politik, bahkan
kepercayaan atau agama12.
b. Solidaritas Organik
Berbeda dengan solidaritas mekanik, solidaritas organik adalah
tipe solidaritas yang didasarkan pada tingkat saling ketergantungan
12http://mangozie.net/?p=409, diakses 6 Juni 2013
22
yang tinggi akibat adanya spesialisasi dalam hal pembagian kerja.
Kuatnya solidaritas organik ditandai dengan pentingnya hukum yang
bersifat restitutif atau memulihkan. Hukum restitutive ini berfungsi
untuk mempertahankan dan melindungi pola saling ketergantungan
yang kompleks antara berbagai individu yang terspesialisasi13.
Solidaritas organik terjadi dalam masyarakat yang relatif
kompleks kehidupan sosialnya namun terdapat kepentingan bersama
atas dasar tertentu. Dalam kelompok sosial terdapat pola antar-relasi
yang parsial dan fungsional, terdapat pembagian kerja yang spesifik,
yang pada gilirannya memunculkan perbedaan kepentingan, status,
pemikiran dan sebagainya. Perbedaan pola relasi-relasi, dapat
membentuk ikatan sosial dan persatuan melalui pemikiran perlunya
kebutuhan kebersamaan yang diikat dengan kaidah moral, norma,
undang-undang, atau seperangkat nilai yang bersifat universal. Oleh
karena itu ikatan solider tidak lagi menyeluruh, melainkan terbatas
pada kepentingan bersama yang bersifat parsial.
Solidaritas organik muncul karena pembagian kerja bertambah
besar. Solidaritas ini didasarkan pada tingkat saling ketergantungan
yang tinggi. Ketergantungan ini diakibatakan karena spesialisasi yang
tinggi diantara keahlian individu. Spesialisasi ini juga sekaligus
13Doyle Paul Johnson, 1994, Teori Sosiologi Klasik dan Modern , Jakarta: PT. Gramadia Pustaka Utama, hal 184
23
merombak kesadaran kolektif yang ada dalam masyarakat mekanis.
Akibatnya kesadaran dan homogenitas dalam kehiduan sosial tergeser.
Karena keahlian yang berbeda dan spesialisasi itu, munculah
ketergantungan fungsional yang bertambah antara individu-idividu
yang memiliki spesialisasi dan secara relatif lebih otonom sifatnya.
Menurut Durkheim itulah pembagian kerja yang mengambil alih peran
yang semula disandang oleh kesadaran kolektif14.
Suatu kelompok masyarakat dapat menjadi kuat ikatan
solidaritasnya bila memiliki kesamaan agama, suku, adat, budaya, dan
kepentingan. Solidaritas juga bisa terjadi bila semua anggota kelompok
masyarakat dilibatkan dalam kegiatan yang mengharuskan mereka
berinteraksi dan bekerjasama untuk mencapai satu tujuan yang
sama.Solidaritas mekanik masyarakat Dusun Jatirejo dibuktikan
dengan adanya rasa saling memiliki, sukarela, dan gotong royong yang
ditunjukkan masyarakat dalam tradisi nyumbang. Dengan kesadaran
kolektif dalam menjalankan tradisi, masyarakat Dusun Jatirejo mampu
mengembangkan potensi tradisi yang di dalamnya mengandung makna
kebersamaan dan saling tolong menolong sehingga tingkat solidaritas
masyarakat kuat.
14http://mangozie.net/?p=409, diakses 6 Juni 2013
24
2. Teori Pertukaran Sosial
Teori pertukaran sosial berangkat dari asumsi ‗do ut des - saya
memberi supaya engkau memberi‘. Teori-teori pertukaran sosial
dilandaskan pada prinsip transaksi ekonomis yang elementer: orang
menyediakan barang atau jasa dan sebagai imbalannya berhadap
memperoleh barang atau jasa yang diinginkan. Ahli teori pertukaran
memiliki asumsi sederhana bahwa interaksi sosial itu mirip dengan
transaksi ekonomi. Akan tetapi mereka mengakui bahwa pertuaran sosial
tidak selalu dapat diukur dengan nilai, uang. Sebab dalam berbagai
transaksi sosial dipertukarkan juga hal-hal yang nyata dan tidak nyata.15
Menurut George Simmel, motivasi yang mendorong seseorang
individu berkontak dengan orang lain adalah untuk memenuhi kebutuhan
dan tujuan-tujuan tertentu.16Konsep tersebut memberikan makna bahwa
pada suatu hubungan sosial, terdapat unsur ganjaran, pengorbanan, dan
keuntungan yang saling mempengaruhi manusia dalam memandang relasi
dengan orang lain. Proses ini menunjukkan adanya motivasi dari
masyarakat akan adanya hubungan tarik-menarik dalam memenuhi
kebutuhan yang dapat memberikan manfaat untuk saling dipertukarkan
dalam setiap hubungan sosial. Perilaku manusia didasarkan pada
pertimbangan untung dan rugi serta memandang hubungan interpersonal 15 Margaret M. Poloma, 2007, Sosiologi Kontemporer, Jakarta: Raja Grafindo Persada, hal. 52 16http://perilakuorganisasi.com/teori-pertukaran-sosial-dan-pilihan-rasional-2.html, diakses 25 Mei 2013
25
sebagai sebuah transaksi dagang. Orang berhubungan dengan orang lain
karena mengharapkan sesuatu untuk dapat memenuhi kebutuhannya.
Hubungan pertukaran dengan orang lain akan menghasilkan suatu
imbalan sebab individu akan melanjutkan interaksi bila laba lebih banyak
dari biaya. Dalam sebuah relasi, hubungan antar individu yang tercapai
adalah suatu keuntungan yang dapat memberikan kepuasan dan
kenikmatan.
Teori pertukaran sosial dari Peter M.Blau mengkonsepkan
kekuasaan yang lebih mendominasi dalam pertukaran sosial. Pemikiran
Peter ini berusaha menggabungkan antara teori mikro dan makro, oleh
sebab itu ia menandai adanya saling ketergantungan antara pertukaran
sosial di tingkat mikro dan munculnya struktur sosial yang lebih
makro. 17 Menurut Blau, orang tertarik kepada satu sama lain karena
bermacam-macam alasan yang memungkinkan mereka membentuk atau
membangun asosiasi dan organisasi sosial. Begitu ikatan awal sudah
terbentuk maka imbalan yang mereka berikan kepada satu sama lain
berfungsi untuk mempertahankan dan menguatkan ikatan itu. Sebaliknya,
imbalan yang tidak seimbang akan memperlemah bahkan menghancurkan
asosiasi itu.
17 Prof. Dr. Agus Salim, 2008, Pengantar Sosiologi Mikro, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal.56-57
26
Melihat konsepsi di atas, dapat ditarik suatu pemahaman; Pertama,
individu yang membutuhkan orang lain berupaya untuk mendapatkan
dukungan dan bantuan demi terciptanya hubungan yang menguntungkan.
Kedua, orang yang berada dalam relasi tersebut bertindak mencari
kebutuhan dan jika tidak ada ganjaran yang diperolahnya maka hubungan
yang terbangun akan berantakan. Ketiga, adanya pembedaan hubungan di
antara individu sehingga terjadi pertentangan maka hal itu mendasari
terjadinya perubahan atau peralihan dalam hubungan tersebut. Keempat,
konsep hubungan yang terjalin dalam masyarakat hanya mengarah pada
norma dan nilai untuk mendapatkan pernghargaan yang diharapkan.
Peter M Blau membuat skema asumsi dasar teori pertukaran
sebagai berikut:
a. Orang bersedia melakukan pertukaran rasional karena dalam
persepsi masing-masing mereka akan memiliki kemungkinan untuk
mendapatkan penghargaan (reward).
b. Setiap hubungan yang melakukan pertukaran (interaksi)
mengasumsikan perspektif sosial lawannya, dalam bentuk persepsi
kebutuhan yang lain.
c. Hubungan bersifat resiprositi.
d. Dalam kenyataannya telah terjadi kompetisi.
e. Hasil kompetisi adalah diferensiasi individu.
27
f. Penghargaan dapat berbentuk uang, dukungan harta,
penghormatan, dan kerelaan.
Selain teori pertukaran dari Peter M Blau, terdapat teori pertukaran
sosial lain yang digunakan, yaitu teori pertukaran sosial dari George C
Homans. Teori pertukaran George C. Homans bertumpu pada asumsi
bahwa orang terlibat dalam perilaku untuk memperoleh ganjaran atau
menghindari hukuman. Pertukaran perilaku untuk memperoleh ganjaran
adalah prinsip dasar dalam transaksi ekonomi sederhana.18Pertukaran yang
berulang-ulang mendasari hubungan sosial yang berkesinambungan antara
orang tertentu. Homans mengakui bahwa manusia adalah makhluk sosial
dan menggunakan sebagian besar waktu mereka berinteraksi dengan
manusia lain. Menurutnya, teori ini membayangkan perilaku sosial sebagai
pertukaran sosial secara nyata, dan kurang lebih sebagai pertukaran hadiah
atau biaya dalam sosial behaviour19. Berangkat dari pemahaman tersebut,
Homans mengembangkan beberapa proposisi fundamental dalam
memetakan cara pikir teori ini. Proposisi-proposisi tersebut antara lain20
1. Proposisi Sukses, semua tindakan yang dilakukan oleh seseorang,
semakin sering tindakan khusus seseorang dihargai dengan hadiah,
semakin besar kemungkinan orang tersebut melakukan tindakan itu.
18 Margaret M. Poloma, 2007, Sosiologi Kontemporer, Jakarta: Raja Grafindo Persada, hal. 59 19 George Ritzer dan Gouglas J. Goodman, 2007, Teori Sosiologi Modern, Jakarta: Prenada Media Group, hal. 361-366 20 Prof. Dr. Agus Salim, 2008, Pengantar Sosiologi Mikro, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal.52-53
28
2. Proposisi Pendorong, bila dalam kejadian di masa lalu dorongan
tertentu atau sekumpulan dorongan tertentu telah menyebabkan
tindakan-tindakan orang dihargai dengan hadiah, maka makin serupa
dorongan kini dengan dorongan di masa lalu, makin besar
kemungkinan seseorang melakukan tindakan serupa.
3. Proposisi Nilai, makin tinggi nilai hasil tindakan seseorang bagi
dirinya, makin besar kemungkinan ia melakukan tindakan itu.
4. Proposisi Deprivasi-Kejemuan, makin sering seseorang menerima
hadiah-hadiah khusus di masa lalu yang dekat, makin kurang berharga
nilai setiap unit hadiah berikutnya baginya.
5. Proposisi Persetujuan Agresi, bila tindakan orang tak mendapatkan
hadiah yang dia harapkan, maka besar kemungkinan ia akan
melakukan tindakan agresif.
6. Proposisi Rasionalitas, batal menentukan tindakan seseorang untuk
memilih alternatif yang dianggap memiliki value.
Proposisi pertama hingga proposisi kelima sangat dipengaruhi oleh
behaviorisme sedangkan proposisi terakhir sangat jelas dipengaruhi oleh
teori pilihan rasional 21 . Pada dasarnya orang meneliti dan membuat
kesimpulan mengenai berbagai alternatif tindakan yang terbuka buat
mereka dan membandingkan jumlah hadiah berkaitan dengan setiap
tindakan dan memperhitungkan kemungkinan hadiah yang benar-benar
21 George Ritzer dan Gouglas J. Goodman, 2007, Teori Sosiologi Modern, Jakarta: Prenada Media Group, hal. 336
29
akan diterima. Hadiah yang bernilai tinggi akan diturunkan nilainya jika
aktor mengira bahwa mereka tak mungkin mencapainya. Sebaliknya,
hadiah yang bernilai rendah akan ditingkatkan jika aktor membayangkan
hadiah itu dapat dicapai dengan mudah.
Homans menghubungkan proposisi rasionalitas dengan proposisi
kesuksesan, dorongan, dan nilai. Proposisi rasionalitas menerangkan
kepada kita bahwa apakah orang akan melakukan tindakan atau tidak
tergantung pada persepsi mereka mengenai peluang sukses. Homans
menyatakan, persepsi mengenai apakah peluang sukses tinggi atau rendah
ditentukan oleh kesuksesan di masa lalu dan kesamaan situasi kini.
Proposisi rasionalitas juga tak menjelaskan kepada kita mengapa seorang
aktor menilai satu hadiah tertentu lebih dari pada hadiah yang lain, untuk
menjelaskannya kita memerlukan proposisi nilai. Apa yang disebutkan di
atas, Homans menghubungkan prinsip rasionalnya dengan preposisi
behavioristiknya. Sehingga, pada akhirnya teori Homans dapat diringkas
menjadi pandangan tentang aktor sebagai pencari keuntungan rasional.
Dalam bahasannya dengan tradisi nyumbang, teori ini mencoba
melihat bahwa dalam tradisi nyumbang terdapat pertukaran sosial antara
penerima dan pemberi sumbangan. Satu sama lain saling membutuhkan
dan saling memberikan jaminan sosial dan mengharapkan kembalian.
Teori pertukaran sosial dinilai lebih objektif dalam melakukan pendekatan,
30
karena mengamati sebuah fenomena, fakta, peristiwa, dan pola perilaku
yang bisa diamati secara visual. Permasalahan pokok dalam penelitian ini
adalah bagaimana memahami sebuah tradisi yang ada di tengah
masyarakat mengalami pergeseran dan mengakibatkan tradisi nyumbang
menjadi ironi dalam proses pertukaran sosial dalam masyarakat.
F. Tinjauan Pustaka
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan acuan penelitian
sebelumnya untuk mendapatkan data-data yang lebih lengkap dan referensi
yang lebih beragam. Literatur Skripsi yang digunakan adalah skripsi yang
ditulis oleh Nur Dina Fitriya dari Jurusan Sosiologi Universitas Gadjah Mada
yang berjudul "Pergeseran dan Pemaknaan Nyumbang (Studi tentang
Konstruksi Masyarakat Mengenai Tradisi Nyumbang pada Pernikahan di
Desa Ngrombo, Kecamatan Baki, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah)"22 .
Peneliti memanfaatkan penelitian tersebut untuk memperdalam pemahaman
dan melihat serta membandingkan sudut pandang penelitian.
Dalam skripsinya, Nur Dina Fitriya membahas bagaimana tradisi
nyumbang di Desa Ngrombo, Kecamatan Baki, Kabupaten Sukoharjo, Jawa
Tengah mengalami pergeseran. Masyarakat Desa Ngrombo memiliki sebuah
22 Nur Dina Fitriya, 2012, Skripsi Pergeseran dan Pemaknaan Nyumbang (Studi tentang Konstruksi Masyarakat Mengenai Tradisi Nyumbang pada Pernikahan di Desa Ngrombo, Kecamatan Baki, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada
31
bentuk gotong-royong yang dikenal dengan tradisi nyumbang. Tradisi tersebut
dilaksanakan ketika ada warga masyarakat yang menggelar hajatan atau
slametan. Terdapat sebuah hubungan timbal balik yang muncul antara warga
yang menyumbang dengan warga yang disumbang. Hubungan timbal balik
yang muncul antar warga yang satu dengan warga yang lain berlangsung terus
menerus, silih berganti, dan diwariskan dari generasi ke generasi.
Menurut Nur Dina Fitriya dalam skripsinya yang berjudul Pergeseran
dan Pemaknaan Nyumbang (Studi tentang Konstruksi Masyarakat Mengenai
Tradisi Nyumbang pada Pernikahan di Desa Ngrombo, Kecamatan Baki,
Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah), nyumbang, yang semula merupakan
bentuk solidaritas antar masyarakat, kini menjadi sebuah bentuk pertukaran
yang sifatnya resiprokal. Nyumbang tidak lagi murni sebagai bentuk
solidaritas semata, tetapi mengandung nilai-nilai ekonomis yang tinggi.
Bahkan nyumbang merupakan sebuah bentuk asuransi sosial bagi masyarakat
Desa Ngrombo. Dalam penelitiannya, Nur Dina Fitriya membahas mengenai
bagaimana sistem tukar-menukar dalam tradisi nyumbang yang dilaksanakan
oleh masyarakat Desa Ngrombo, mengapa masyarakat Desa Ngrombo masih
mau melaksanakan tradisi nyumbang, walaupun mereka sudah hidup di jaman
yang modern, bagaimana bentuk pergeseran yang terjadi di Desa Ngrombo,
dan bagaimana masyarakat mengkonstruksikan tradisi nyumbang pada
pernikahan berkaitan dengan pergeseran tersebut. Skripsi yang ditulis oleh
Nur Dina Fitriya lebih banyak menekankan pada resiprositas atau pertukaran
32
timbal-balik terkait tradisi nyumbang. Hal-hal lain yang berkaitan dengan
kondisi sosiologis masyarakat kurang dibahas secara mendalam.
G. Lokasi Penelitian
1. Lokasi Penelitian
Penelitian dengan judul Pergeseran dan Pemaknaan Tradisi
Nyumbang Dalam Pernikahan (Studi tentang Pergeseran Makna Tradisi
Nyumbang) mengambil lokasi di Dusun Jatirejo, Desa Sendangadi,
Kecamatan Mlati, Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Peneliti memilih dusun
tersebut sebagai tempat penelitian dengan alasan subjektif bahwa lokasi
sudah dikenal penulis dengan baik. Peneliti yang bertempat tinggal di
Dusun Jatirejo sedikit banyak memahami mengenai tradisi nyumbang yang
dilakukan oleh masyarakat sekitar. Dengan pertimbangan kesempatan,
uang, waktu, alat-alat dan tenaga (KUWAT), penulis lebih mudah
memperoleh informasi. Sedangkan alasan objektifnya adalah dusun
tersebut bisa merepresentasikan tradisi nyumbang. Masyarakat Dusun
Jatirejo merupakan masyarakat yang sampai sekarang masih melakukan
tradisi nyumbang ketika terdapat berbagai hajatan. Dusun Jatirejo berada
dalam lingkup kawasan Sleman, terletak di pinggiran kota, dan dikelilingi
oleh kawasan perumahan dan restoran-restoran elite. Namun masyarakat
dusun ini memiliki karakteristik dan kekhasan tersendiri, terutama dalam
33
hal nyumbang. Tradisi nyumbang yang dilakukan oleh masyarakat Dusun
Jatirejo berbeda dengan tradisi nyumbang di wilayah lain. Selain aktivitas
nyumbang menunjukkan pergeseran makna dari gotong royong menjadi
resiprositas, kegiatan tersebut juga masih dilakukan secara ketat dan
mengikat karena pengaruh kehidupan agraris mereka.
2. Pendekatan Penelitian
Dalam pembahasan skripsi ini, metode penelitian yang digunakan
untuk menganalisa, mengerjakan, atau mengatasi masalah yang dihadapi
dalam penelitian adalah dengan melakukan penelitian jenis kualitatif.
Penelitian kualitatif bersifat pemberian (deskriptif), artinya mencatat
secara teliti segala gejala (fenomena) yang dilihat dan didengar serta
dibacanya (via wawancara atau bukan, catatan lapangan, foto, video tape,
dokumen pribadi, catatan atau memo, dokumen resmi atau bukan, dan
lain- lain).23 Pemilihan metode kualitatif dilakukan karena unit analisisnya
bukanlah dalam bentuk angka, melainkan mendeskripsikan suatu perilaku
kelompok tertentu. Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang
bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh
subjek penelitian seperti perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan lain-
lain, secara holistik, dan dengan cara dekripsi dalam bentuk kata-kata dan
23 Burhan Bungin, 2008, Metodologi Penelitian Kualitatif, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, hal 93
34
bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan
memanfaatkan berbagai metode ilmiah.24
Melalui pendekatan kualitatif inilah peneliti dituntut untuk banyak
berinteraksi, memahami, menganalisa, sehingga dapat mendeskripsikan
secara tepat fenomena yang ada. Dalam metode ini tidak boleh
mengisolasikan individu atau organisasi ke dalam variabel atau hipotesis,
tetapi perlu memandangnya sebagai bagian dari suatu keutuhan. Fenomena
hanya dapat ditangkap maknanya dalam keseluruhan karena suatu
fenomena merupakan hasil pembentukan dari peran timbal balik. Sifat
naturalistik yang melatarbelakangi penelitian kualitatif menuntut agar diri
sendiri atau manusia lain, dan informan menjadi instrument pengumpul
data dengan kemampuannya menyesuaikan diri dengan berbagai realita,
yang tidak dapat dilakukan oleh instrument non human seperti kuesioner.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode deskriptif.
Metode deskriptif digunakan oleh peneliti untuk mengeksplorasi dan
mengklarifikasi tema penelitian dengan jalan mendeskripsikan sejumlah
variabel yang berkenaan dengan masalah dan unit yang diteliti. 25
Deskriptif kualitatif merupakan suatu prosedur penelitian yang
menggunakan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari
orang-orang dan pelaku yang dapat diamati. Laporan penelitian berisi 24
Lexy Moleong, 2012,Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset, hal.6 25
Sanapiah Faisal, 2012, Format-Format Penelitian Sosial, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, hal.20
35
kutipan-kutipan data yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar dan
bukan angka-angka untuk memberi gambaran penyajian laporan. 26
Penelitian dengan metode ini diharapkan mampu memaparkan masalah-
masalah yang ada secara lebih rinci. Fokus perhatian studi deskriptif
adalah pada tradisi nyumbang yang dilakukan oleh masyarakat Dusun
Jatirejo, Desa Sendangadi, Mlati, Sleman, Yogyakarta sebagai subjek
kajian pada penelitian ini. Melalui studi deskriptif, hal-hal yang belum
dipaparkan dan dideskripsikan dengan jelas dapat dipaparkan lebih
terperinci dengan fakta- fakta yang ada. Oleh karena itu diperlukan adanya
teknik pengumpulan data sebagai pendukung penelitian, terutama dalam
menggali informasi sebanyak mungkin di lapangan sehingga didapatkan
data yang diinginkan.
Penelitian ini lebih memfokuskan pada studi deskriptif kualitatif
yang berusaha mengungkap fakta dari fenomena nyumbang pada
masyarakat Dusun Jatirejo. Deskriptif kualitatif dirasa lebih relevan untuk
mengkaji tema dalam penelitian. Metode ini memberikan gambaran yang
jelas mengenai deskripsi objek penelitian dan pergeseran tradisi nyumbang
di Dusun Jatirejo, Desa Sendangadi, Kecamatan Mlati, Kabupaten Sleman,
Yogyakarta. Penelitian dilakukan dengan cara pengamatan, wawancara
dan penelaahan dokumen. Pada penelitian ini peneliti mengkaji fenomena
intrinsik yang terjadi dalam masyarakat dengan cara melakukan pengujian
26
Lexy Moleong, 2012,Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset, hal.11
36
secara mendalam tradisi nyumbang yang terjadi pada masyarakat Dusun
Jatirejo. Selain melakukan pengujian, peneliti juga merinci dokumen atau
kumpulan dokumen yang berkaitan dengan fenomena yang diteliti, dalam
hal ini adalah fenomena nyumbang dalam pernikahan. Penelitian ini
didesain untuk mendapatkan pemahaman, pengetahuan mendalam dari
objek yang ada secara holistic, mengabaikan representasi subjektivitas
peneliti terhadap informan. Penelitian ini juga tidak mengambil informan
yang besar atau luas, tetapi mengambil informan sedikit, namun
dieksplorasi sangat mendalam. Penelitian ini juga tidak dapat dianalisa
dengan statistik atau angka-angka melainkan dengan menggunakan narasi
dan penjabaran. Dalam mendapatkan data, dilakukan dengan cara
melakukan penelitian lapangan serta penelitian kepustakaan atau studi
pustaka. Metode kualitatif digunakan karena beberapa pertimbangan, di
antaranya metode ini menyajikan secara langsung hakikat hubungan antara
peneliti dan responden, dan metode ini lebih peka dan dapat menyesuaikan
diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama terhadap pola-pola nilai
yang ada.
3. Informan Penelitian
Teknik pemilihan informan yang digunakan dalam penelitian ini
didasarkan pada teknik sampel purposive, yakni penarikan sampel
informan dengan sengaja (non random) karena alasan-alasan dan
37
persyaratan tertentu. 27 Pengambilan informan dalam penelitian kualitatif
tidak ditekankan pada kuantitas atau banyaknya informan. Peneliti lebih
mengutamakan kualitas informasi daripada kuantitas informasi. Beberapa
informan sengaja dipilih oleh peneliti. Hal tersebut dilakukan dalam upaya
mempermudah pencarian data dan mendapatkan hasil data yang lebih
mendalam dan berkualitas. Peneliti memilih narasumber yang benar-benar
mengetahui kondisi internal Dusun Jatirejo terkait tradisi nyumbang dalam
pernikahan sehingga informan dapat memberikan informasi yang
mendukung peneliti.
Dalam penelitian ini, informan dibagi menjadi dua bagian, yang
pertama adalah informan utama dan yang kedua adalah informan
pendukung. Informan utama merupakan informan yang menjadi informan
penting karena informasi yang didapat dari informan utama menjadi
sumber data paling penting untuk analisis utama dalam penelitian ini.
Selain informan utama, informan pendukung juga dibutuhkan dalam
penelitian ini. Informasi- informasi yang diperoleh dari informan
pendukung digunakan untuk mendukung informasi yang didapat dari
informan pertama. Dalam hal ini, pemilihan informan baik informan
utama maupun informan pendukung dipilih berdasarkan pada kriteria-
kriteria tertentu yang telah ditentukan oleh peneliti untuk memfokuskan
unit analisis penelitian.
27
Winarno Surakhmad, 1989, Pengantar Penelitian Ilmiah, Bandung: Tarsito, hal.101
38
a. Informan Utama
Unit analisis dalam penelitian ini adalah lingkup individu dalam
keluarga yang sudah pernah melakukan tradisi nyumbang. Informan-
informan dipilih berdasarkan dua kelompok kriteria umum:
Keluarga yang sudah pernah menyelenggarakan pesta perkawinan
atau ‗mantu‘
Keluarga yang sudah pernah menyumbang hajatan
Pemilihan informan berdasarkan kriteria di atas dilakukan agar
peneliti mendapatkan informasi yang jelas mengenai tradisi nyumbang di
Dusun Jatirejo. Informan yang dipilih adalah warga Dusun Jatirejo yang
sudah pernah menyelenggarakan hajatan perkawinan dan warga Dusun
Jatirejo yang sudah pernah menyumbang hajatan perkawinan. Pemilihan
informan berdasarkan kriteria tersebut dilakukan agar peneliti
mendapatkan informasi yang berkualitas dan mendalam. Para informan
baik yang sudah pernah menyelenggarakan hajatan maupun yang sudah
pernah menyumbang tentunya memahami betul tradisi nyumbang beserta
aktifitas masyarakat Dusun Jatirejo terkait tradisi tersebut, sehingga
peneliti mendapatkan informasi yang berkualitas. Informan yang dipilih
peneliti berjumlah 7 orang, antara lain:
39
1. Nama : Ibu END
Usia : 44 tahun
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga / Petani
Keluarga Ibu END In digolongkan dalam keluarga yang sudah
pernah mengadakan hajatan pernikahan. Bahkan Ibu END sudah tiga
kali menyelenggarakan hajatan pernikahan, yang pertama adalah
pernikahannya sendiri dengan suaminya yang pertama, pernikahannya
sendiri dengan suami yang kedua, dan pernikahan putrinya. Ibu END
tinggal bersama ibu, suami, anak serta cucunya dalam satu rumah.
Sehari-hari, selain berprofesi sebagai ibu rumah tangga juga sebagai
petani. Ibu END juga membuka warung kecil yang menjual barang-
barang kebutuhan pokok. Suami Ibu END merupakan seorang
pengrajin gamelan yang memproduksi gamelannya sendiri di rumah.
Ibu END memiliki sawah yang cukup luas dan dikelola sendiri
bersama dengan ibunya.
2. Nama : Ibu HDY
Usia : 60 tahun
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga / Petani
40
Ibu HDY merupakan penduduk asli Dusun Jatirejo. Ibu HDY
memiliki tiga orang anak dan semuanya sudah menikah. Ibu HDY
pernah menyelenggarakan hajatan pernikahan selama dua kali. Yang
pertama merupakan hajatan pernikahan anak sulungnya yang ia
selenggarakan pada tahun 1997, lalu anak kedua dan ketiganya
dinikahkan secara bersamaan pada tahun 2000. Anak sulung Ibu HDY
yang telah menikah tidak lagi hidup bersama dalam satu rumah dengan
orang tuanya. Mereka sudah memiliki tempat tinggal masing-masing.
Sedangkan anak kedua dan ketiga Ibu HD masih hidup bersama dalam
satu rumah beserta dengan anak-anak mereka. Ibu HD merupakan
seorang ibu rumah tangga. Suaminya adalah seorang petani yang
sehari-hari mengelola sawah di dekat rumah mereka.
3. Nama : Ibu HRN
Usia : 50 tahun
Pendidikan : Perguruan Tinggi
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Ibu HRN tinggal di Dusun Jatirejo sejak tahun 2003. Ia
bukanlah penduduk asli dusun ini. Ibu HRN pindah ke Dusun Jatirejo
karena mengikuti suaminya yang juga bukanlah penduduk asli dusun
tersebut. Ibu HRN sama sekali belum pernah menyelenggarakan
hajatan pernikahan. Ia memiliki tiga orang anak. Anaknya yang
41
pertama adalah seorang mahasiswi semester 7 di sebuah universitas
swasta di Yogyakarta. Putrinya yang kedua masih duduk di bangku
SMA dan putranya yang terakhir masih di bangku SMP. Oleh sebab itu
watu untuk mengadakan hajatan pernikahan dirasa masih cukup lama.
Ibu HRN berprofesi sebagai ibu rumah tangga. Meskipun demikian, ia
aktif dalam kegiatan di kelurahan. Keluarga Ibu HRN tergolong dalam
strata menengah ke atas, hal tersebut dilihat dari kondisi rumah dan
jumlah pendapatan ekonomi keluarga.
4. Nama : Ibu SRH
Usia : 42 tahun
Pendidikan : Perguruan Tinggi
Pekerjaan : Guru SD
Keluarga Ibu SRH termasuk dalam keluarga yang sama sekali
belum pernah menyelenggarakan hajatan pernikahan. Ibu SRH
bukanlah penduduk asli Dusun Jatirejo. Tadinya ia berdomisili di
Bantul. Baru sekitar 7 tahun lalu Ibu SRH pindah ke Dusun Jatirejo
karena mengikuti jejak suaminya. Ibu SRH berprofesi sebagai guru
sekolah dasar di sebuah yayasan swasta di Kota Yogyakarta. Ibu SRH
memiliki dua orang putri. Putri pertamanya meninggal sekitar dua
tahun lalu dan putri keduanya kini bersekolah di TK. Oleh karena itu
waktu untuk mengadakan hajatan pernikahan dirasa masih sangat
42
lama. Ibu SRH tinggal bersama mertua, suami, anak, dan juga
keponakannya dalam satu rumah.
5. Nama : Ibu WHM
Usia : 43 tahun
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Buruh / Petani
Ibu WHM merupakan penduduk asli Dusun Jatirejo. Sejak lahir
ia tinggal di dusun tersebut bersama kedua orangtua serta dua orang
saudara perempuannya. Ibu WHM belum pernah menyelenggarakan
hajatan pernikahan. Ibu WHM sudah menikah namun belum memiliki
keturunan. Ia dan suaminya kadang tinggal di rumah orangtuanya,
namun kadang ia juga ikut suaminya yang memiliki tempat tinggal di
dusun lain. Ibu WHM berprofesi sebagai seorang buruh. Sehari-hari ia
bekerja dari pagi hingga sore hari, sehingga ia jarang sekali terlibat
dalam kegiatan rewang. Keluarga Ibu WHM digolongkan sebagai
keluarga strata atas. Kedua orangtua Ibu WHM merupakan
sesepuhatau orang yang dituakan dalam dusun tersebut. Selain itu,
keluarganya merupakan keluarga trah lurah sehingga masyarakat
menganggap keluarganya sebagai keluarga yang terpandang dalam
masyarakat.
43
6. Nama : Ibu CHR
Usia : 70 tahun
Pendidikan : Perguruan Tinggi
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Ibu CHR bukanlah penduduk asli Dusun Jatirejo. Ia baru
pindah ke dusun ini sekitar tiga tahun yang lalu. Ibu CHR sama sekali
belum pernah menyelenggarakan hajatan pernikahan, namun ia sudah
sering menyumbang jika ada warga Dusun Jatirejo yang menggelar
hajatan. Ibu CHR tinggal bersama dengan dua orang keponakannya.
Sehari-hari Ibu CHR berprofesi sebagai seorang ibu rumah tangga. Ia
sudah pensiun dari profesinya sebagai perawat di sebuah rumah sakit
swasta di Bogor lalu menetap di Dusun Jatirejo untuk menghabiskan
masa tuanya. Ibu CHR merupakan pribadi yang sangat sosial. Ia selalu
membantu jika ada warga yang menggelar hajatan. Ia juga sering
terlibat dalam kegiatan rewang.
7. Nama : Ibu NNG
Usia : 51 tahun
Pendidikan : Perguruan Tinggi
Pekerjaan : Dosen
44
Ibu NNG sudah tinggal di Dusun Jatirejo sejak tahun 1991 dan
cukup sering menjadi bagian dari kegiatan nyumbang. Meskipun
demikian, Ibu NNG sama sekali belum pernah menyelenggarakan
hajatan pernikahan. Ibu NNG memiliki tiga orang putri. Putri pertama
dan kedua masih mengenyam pendidikan di bangku kuliah, sedangkan
putri ketiganya masih bersekolah di Sekolah Dasar sehingga untuk
menyelenggarakan sebuah perhelatan pernikahan dirasa masih cukup
lama. Meskipun belum pernah menyelenggarakan hajatan pernikahan,
Ibu NNG cukup sering terlibat dalam kegiatan nyumbang, baik sebagai
penyumbang maupun membantu rewang.
b. Informan Pendukung
Informan pendukung dibutuhkan dalam penelitian ini, karena dari
informan pendukung inilah peneliti mendapatkan hal-hal penunjang yang
berkaitan dengan tradisi nyumbang, meskipun informasi tersebut tidak
digunakan dalam analisis penelitian. Informasi dari informan pendukung
hanya sebagai informasi yang mendukung data. Oleh sebab itu keberadaan
informan pendukung dirasa perlu. Informan pendukung yang dipilih
peneliti antara lain:
45
Tokoh masyarakat
Tokoh masyarakat merupakan sosok yang dihormati dalam
masyarakat, karena ia dianggap sebagai sosok yang paling
mengerti dan memahami kondisi masyarakat. Tokoh masyarakat
seringkali diminta tolong oleh anggota masyarakat untuk sekedar
memberi nasehat jika terdapat suatu permasalahan di dusun
tersebut. Pada penelitian ini, peneliti mewawancarai satu orang
tokoh masyarakat Dusun Jatirejo, yaitu:
Nama : Bapak PRJ
Usia : 55 tahun
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Wirausaha
Bapak PRJ merupakan Kepala Dukuh Dusun Jatirejo.
Beliau baru saja menjabat sebagai Kepala Dukuh setelah diadakan
pemilihan pada tahun lalu. Selain menjadi Kepala Dukuh, Bapak
PRJ juga berwirausaha dalam industri kayu. Pak PRJ merupakan
penduduk asli Dusun Jatirejo sehingga cukup paham akan kondisi
dan seluk beluk masyarakat Dusun Jatirejo beserta adat istiadat
serta kebiasaan yang berkembang di dusun tersebut. Bapak PRJ
juga aktif dalam kegiatan nyumbang. Istrinya sering terlibat dalam
46
kegiatan rewang, sedangkan Bapak PRJ aktif membantu gotong
royong bersama para bapak lainnya.
Sesepuh atau orang yang dituakan
Sesepuh atau orang yang dituakan dipahami masyarakat sebagai
sosok yang dihormati dalam masyarakat, karena ia menjadi
seseorang yang dituakan baik dalam segi umur maupun
kehormatan. Para sesepuh juga merupakan sosok yang sudah lama
tinggal di dusun sehingga ia mengerti dengan jelas tradisi yang
sudah lama hidup di dusun, terutama yang berkaitan dengan tradisi
nyumbang. Pada penelitian ini, peneliti mewawancarai dua orang
sesepuh desa, yaitu:
1. Nama : Bapak SGY
Usia : 80 tahun
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : Petani
Bapak SGY, atau yang lebih akrab disapa Mbah SG,
merupakan seorang sesepuh atau orang yang dituakan dan
disegani di Dusun Jatirejo. Bapak SGY berprofesi sebagai
petani. Sehari-hari Bapak SGY bekerja di sawah dan juga di
47
kandang mengurusi ternak peliharaannya. Meskipun sudah tua,
Bapak SGY masih aktif dalam beberapa kegiatan perkumpulan.
Bapak SGY juga dikenal arif dan bijaksana sehingga banyak
warga yang sering meminta nasehat atau pertolongan pada
beliau. Bapak SGY memiliki tiga orang putri yang semuanya
sudah berkeluarga, sehingga bisa dikatakan bahwa Bapak SGY
sudah pernah menyelenggarakan pesta pernikahan sebanyak
tiga kali. Terkait hal nyumbang, Bapak SGY sudah lama
tinggal di Dusun Jatirejo sehingga mampu memberikan
informasi yang lebih mendalam mengenai sejarah tradisi
nyumbang di Dusun Jatirejo.
2. Nama : Ibu PWR
Usia : 65 tahun
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : Petani
Ibu PWR atau Mbah PWR termasuk dalam golongan
menengah ke atas. Ia sering terlibat dalam kegiatan nyumbang,
baik sebagai penyumbang maupun yang disumbang. Ibu PWR
berprofesi sebagai seorang petani. Ia mengelola sawahnya
sendiri yang kebetulan berada di depan kediamannya. Putra-
putri Ibu PWR semuanya sudah menikah, bahkan ada yang
48
sudah memiliki cucu. Ibu PWR juga sudah pernah beberapa
kali menyelenggarakan hajatan perkawinan. Ibu PWR sudah
lama sekali tinggal di Dusun Jatirejo sehingga ia cukup paham
akan sejarah, adat, dan kebiasaan masyarakat Dusun Jatirejo,
terutama dalam hal nyumbang. Peneliti memilih Ibu PSR
sebagai informan untuk mendapatkan informasi yang
mendalam mengenai sejarah tradisi nyumbang di Dusun
Jatirejo.
4. Teknik Pengumpulan Data
a. Observasi
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode observasi.
Teknik observasi merupakan teknik yang menggunakan pengamatan
atau pengindraan langsung terhadap suatu benda, kondisi, situasi,
proses, atau perilaku. 28 Observasi dilakukan untuk mengamati
serangkaian kegiatan masyarakat maupun individu baik berupa tingkah
laku, aktivitas, hubungan sosial dan lain sebagainya guna mendukung
penelitian sehingga peneliti memperoleh data yang diinginkan. Alasan
menggunakan teknik observasi adalah pengamatan mampu
28
Sanapiah Faisal, 2003, Format-Format Penelitian Sosial, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, hal. 52
49
mengoptimalkan kemampuan peneliti dari segi motif, kepercayaan,
perhatian, perilaku tak sadar, kebiasaan, dan lain sebagainya.
Observasi memungkinkan pengamat untuk melihat dunia sebagaimana
dilihat oleh subjek penelitian. Menangkap arti fenomena dari segi
pengertian subjek, menangkap kehidupan budaya dari segi pandangan
dan anutan para subjek pada keadaan waktu itu, pengamatan
memungkinkan peneliti merasakan apa yang dirasakan dan dihayati
oleh subyek sehingga memungkinkan pula peneliti menjadi sumber
data.29 Dalam observasi ini peneliti bisa mengamati secara langsung
aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh subjek penelitian. Observasi
bertujuan menjelaskan, memberikan, dan merinci fenomena nyumbang
yang terjadi di Dusun Jatirejo.
Observasi yang dilakukan oleh penulis adalah melihat dan
mengamati dari dekat rutinitas nyumbang dalam pernikahan yang
terjadi di Dusun Jatirejo, Desa Sendangadi, Kecamatan Mlati,
Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Pengamatan dilakukan dengan cara
memperhatikan dan mencatat fenomena yang muncul dalam acara
nyumbang pada pernikahan di Dusun Jatirejo. Dalam observasi ini
peneliti mengamati secara langsung kegiatan yang dilakukan warga
Dusun Jatirejo, terutama ketika sedang ada hajatan atau nyumbang
pernikahan. Peneliti mengikuti dan mengamati apa yang dilakukan
29
Lexy Moleong, 2012, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset, hal. 175
50
warga terkait dengan tradisi nyumbang tersebut. Observasi langsung
dilakukan ketika hajatan nyumbang terjadi, sehingga peneliti berada
bersama obyek yang diteliti. Melalui observasi ini pula peneliti
mengetahui pendapat masyarakat mengenai tradisi nyumbang dalam
pernikahan yang terjadi di Dusun Jatirejo.
b. Wawancara Mendalam
Wawancara merupakan teknik penelitian yang termasuk dalam
metode kualitatif. Tujuan dilakukannya wawancara tidak hanya
mengetahui fenomena yang terjadi tetapi juga memahami secara
mendalam fenomena tersebut. Wawancara yang dilakukan dalam
penelitian ini adalah wawancara mendalam (in-depth interview) dan
dilakukan dengan bantuan pedoman wawancara ( interview guide).
Wawancara mendalam difokuskan kepada pertanyaan yang diajukan
dalam rumusan masalah. Melalui metode in-depth interview peneliti
mendapatkan informasi melalui tanya jawab secara langsung dengan
informan. Wawancara ini dilakukan dengan menggunakan interview
guide, yaitu daftar pertanyaan sebagai pedoman wawancara yang
sudah disusun sebelumnya. Daftar pertanyaan dalam interview guide
bersifat bebas agar dapat menggali data sebanyak yang d ibutuhkan
peneliti. Interview guide dapat dilihat di daftar lampiran halaman akhir
tulisan ini. Dalam penelitian ini, peneliti juga melakukan diskusi
51
bebas dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tidak
terstruktur.
Informan peneliti adalah 7 orang warga Dusun Jatirejo yang
sudah pernah menyelenggarakan hajatan pernikahan maupun yang
sudah pernah menyumbang hajatan pernikahan, serta 3 orang tokoh
masyarakat dan sesepuh di Dusun Jatirejo, Desa Sendangadi,
Kecamatan Mlati. Peneliti melakukan wawancara dengan informan
pada tanggal 5 September 2013, 13 September 2013, 19 September
2013, 20 September 2013, 25 September 2013, 26 September 2013, 1
Oktober 2013, 5 Oktober 2013, 1 November 2013, dan 4 November
2013.
c. Penelitian Pustaka
Penelitian pustaka dilakukan dengan meninjau pustaka yang
memiliki keterkaitan dengan tema sebelumnya. Penelitian pustaka
memberikan referensi lanjutan untuk mengetahui historis dari tradisi
nyumbang, kajian sosial dari tradisi nyumbang, dan lain sebagainya.
Pustaka diperoleh dari sumber yang jelas, penelitian sebelumnya,
media massa, artikel-artikel yang diposting di internet dan buku-buku.
Penelitian ini juga menggunakan teknik studi literatur. Studi literatur
dilakukan untuk mendapatkan data-data yang lebih lengkap dan
52
referensi yang lebih beragam. Penelitian ini menggunakan literatur
Skripsi oleh Nur Dina Fitriya yang berjudul "Pergeseran dan
Pemaknaan Nyumbang (Studi tentang Konstruksi Masyarakat
Mengenai Tradisi Nyumbang pada Pernikahan di Desa Ngrombo,
Kecamatan Baki, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah)" . Skripsi ini
dimanfaatkan oleh peneliti untuk memperdalam pemahaman dan
melihat serta membandingkan sudut pandang penelitian melalui
kerangka berpikir sosiologis. Skripsi yang digunakan dalam penelitian
ini juga dijadikan pembanding untuk melihat dan mengamati proses
analisis secara mendalam.
d. Penggalian Dokumentasi
Teknik penggalian dokumentasi merupakan salah satu cara
memperoleh data dengan cara mengamati dan menelaah sumber data
yang terdapat di media massa, internet, dan arsip-arsip kegiatan yang
ada di lokasi penelitian. Sumber data teknik dokumenter berupa
catatan atau dokumen yang tersedia.30 Data yang diperoleh dari hasil
penggalian informasi ini menjadi data sekunder yang berguna sebagai
pelengkap data.
30
Sanapiah Faisal, 2003, Format-Format Penelitian Sosial, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, hal. 53
53
Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya
monumental seseorang. Sumber data digunakan untuk mendapatkan
informasi berkaitan dengan tradisi nyumbang dalam pernikahan yang
terjadi di Dusun Jatirejo, Desa Sendangadi, Kecamatan Mlati,
Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Dokumentasi yang diperoleh selama
di lapangan adalah data yang diperoleh di kelurahan berupa profil
desa, kondisi geografis, fasilitas sosial, letak wilayah, struktur
pemerintahan desa, serta informasi kehidupan sosial dan budaya
masyarakat. Sumber dokumentasi lain adalah catatan sumbangan dan
daftar warga yang menyumbang hajatan. Peneliti mengambil data
lapangan sebagai pendukung penelitian dan menambah data sekunder
yang ada.
5. Sumber dan Jenis Data yang Digunakan
Menurut Lofland, sumber data utama dalam penelitian kualitatif
adalah kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan
(sekunder) seperti dokumen dan lain- lain.31 Sumber dan jenis data yang
digunakan dalam penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu:
31
Lexy Moleong, 2012, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset, hal. 157
54
a. Data Primer
Data primer merupakan data berupa kata-kata dan tindakan
orang-orang yang diamati dan diwawancarai peneliti. Data perimer
merupakan sumber data utama yang digunakan peneliti untuk
menganalisis fenomena yang ada. Sumber data utama dicatat melalui
catatan tertulis atau melalui perekaman video atau audio tapes dan
pengambilan foto. Data primer diperoleh melalui informasi yang
diberikan responden melalui wawancara yang dilakukan dengan
masyarakat Dusun Jatirejo, Desa Sendangadi, Kecamatan Mlati,
Kabupaten Sleman, Yogyakarta baik yang sudah pernah
menyelenggarakan hajatan pernikahan maupun yang sudah pernah
menyumbang hajatan pernikahan, serta tokoh dan sesepuh desa.
b. Data Sekunder
Data sekunder merupakan data pelengkap atau pendukung data
utama. Data sekunder melengkapi informasi yang telah diperoleh
peneliti di lokasi penelitian. Data sekunder dalam penelitian ini didapat
melalui sumber tertulis dan foto. Sumber tertulis merupakan bahan
tambahan yang berasal dari data tertulis yang terbagi menjadi sumber
buku, literatur dan majalah ilmiah, sumber data arsip, dokumen pribadi
dan dokumen resmi. Sumber data digunakan untuk mendapatkan
55
informasi terkait dengan penelitian berupa buku catatan sumbangan
dan buku daftar penyumbang yang dimiliki salah seorang warga.
Foto lebih banyak dipakai sebagai alat untuk keperluan
penelitian kualitatif karena dapat dipakai dalam berbagai keperluan.
Foto menghasilkan data deskriptif yang cukup berharga dan sering
digunakan untuk menelaah segi-segi subjektif dan hasilnya sering
dianalisis secara induktif. Ada dua kategori foto yang dapat
dimanfaatkan dalam penelitian kualitatif, yaitu foto yang dihasilkan
orang dan foto yang dihasilkan oleh peneliti sendiri. 32 Foto dalam
penelitian ini berupa foto daerah Dusun Jatirejo, foto contoh tonjokan,
dan foto contoh undangan pernikahan di Dusun Jatirejo.
6. Teknik Analisa Data
Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini
menggunakan teknik analisa kualitatif. Data yang diperoleh dari hasil
observasi, wawancara, maupun penelitian kepustakaan dideskripsikan
dalam bentuk uraian, sehingga data dapat dibaca dan diinterpretasikan.
Dengan demikian, penemuan yang didapat di lapangan dapat
dikomunikasikan kepada orang lain.
32
Lexy Moleong, 2012, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset, hal. 157-161
56
Metode kualitatif dalam penelitian ini mengkaji data berwujud
narasi, bukan berarti data kuantitatif ditolak, tetapi menjadi sebuah
referensi untuk memahami masalah yang diteliti secara lebih
komprehensif. Analisis data kualitatif berusaha menunjukkan makna,
mendeskripsikan serta penempatan sesuai konteksnya. Dalam reduksi data,
display atau penyajian data dan pengambilan kesimpulan merupakan suatu
siklus yang interaktif dan prosesnya saling berhubungan, tidak dapat
difregmentasikan (terpisah-pisah).33
Bagan 1
Proses Analisis Data Kualitatif
Sumber: Faisal, 2003
33
Sanapiah Faisal, 2003, Format-Format Penelitian Sosial, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, hal.255- 256
Pengumpulan Data
Pengambilan Kesimpulan
Reduksi Data
Display Data
57
Analisis data dalam penelitian kualitatif adalah proses mencari dan
menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara,
catatan lapangan, dan dokumentasi, dengan cara mengorganisasikan data
ke dalam kategori, menjabarkan ke dalam unit-unit, melakukan sintesa,
menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan
dipelajari, dan membuat kesimpulan sehingga mudah dipahami oleh diri
sendiri dan orang lain.34
Dalam penelitian kualitatif, analisis data dilakukan sejak awal.
Sesegera mungkin data yang diperoleh dari lapangan diubah ke dalam
tulisan dan dianalisis, sehingga diperoleh pemahaman dan pengetahuan
mengenai realitas. Langkah- langkah dalam menganalisis data adalah
sebagai berikut:
a. Pengumpulan Data
Data-data yang diperoleh dari penelitian yang dilakukan
dikumpulkan terlebih dahulu sebelum masuk pada tahap analisa data.
Analisa data merupakan proses penyederhanaan data ke dalam bentuk
yang lebih mudah dibaca dan diinterpretasikan 35. Data dikumpulkan
sesuai dengan sumber, metode dan instrumen pengumpulan data. Pada
tahap ini, peneliti mewawancarai responden-responden yang menjadi 34
Sugiyono, 2008, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D, Bandung, Alfabeta, hal.
244 35 Masri Singarimbun, 1989, Metode Penelitian Survai, Jakarta: LP3ES, hal 263
58
sumber penelitian yaitu warga yang sudah pernah menyelenggarakan
hajatan pernikahan, warga yang sudah pernah menyumbang hajatan
pernikahan, tokoh masyarakat, dan sesepuh desa di Dusun Jatirejo,
Desa Sendangadi, Kecamatan Mlati, Kabupaten Sleman, Yogyakarta,
dengan menggunakan pedoman wawancara yang telah dipersiapkan
sebelumnya. Wawancara dilakukan selama bulan September hingga
November 2013. Wawancara dengan warga yang sudah pernah
menyelenggarakan hajatan pernikahan maupun warga yang sudah
pernah menyumbang hajatan pernikahan dilakukan di kediaman
responden pada pagi hari sebelum mereka berangkat kerja atau pergi
ke sawah dan pada sore hari ketika mereka usai bekerja. Pemilihan
waktu wawancara disesuaikan saat sebelum bekerja maupun usai
bekerja agar tidak mengganggu pekerjaan. Beberapa hasil data
lapangan atau hasil wawancara pada awalnya tidak begitu rapi,
dikarenakan pedoman wawancara yang telah dibuat mengalami banyak
penyesuaian dengan kondisi lingkungan subyek. Oleh sebab itu, hal
pertama yang dilakukan adalah merapikan data dengan mencatat dan
mengecek ulang hasil lapangan, mengkategorisasikan antara subjek
penelitian dengan informan penelitian, dan menguji keakuratan data
dari aktor satu dengan yang lain.
Selain wawancara, peneliti juga mengobservasi keadaan,
suasana, peristiwa di Dusun Jatirejo serta tingkah laku aktor yang
59
berperan di dalamnya. Observasi dilakukan pada pagi hingga sore hari
saat masyarkat Jatirejo melakukan aktivitas mereka sebagai petani dan
peternak. Terkait hal nyumbang, peneliti juga mengobservasi Dusun
Jatirejo ketika ada salah seorang warga menyelenggarakan hajatan
pernikahan.
Untuk melengkapi informasi data yang diperoleh, peneliti juga
menghimpun, memeriksa dan mencatatat dokumen-dokumen yang
menjadi sumber data penelitian. 36 Peneliti memperoleh informasi
mengenai data yang diperoleh di kelurahan berupa profil desa, kondisi
geografis, fasilitas sosial, letak wilayah, struktur pemerintahan desa,
serta informasi kehidupan sosial dan budaya masyarakat. Sumber
dokumentasi lain adalah catatan sumbangan dan daftar warga yang
menyumbang hajatan.
b. Reduksi Data
Reduksi data merupakan langkah yang dilakukan setelah
pengumpulan data. Reduksi data dilakukan dengan cara
menyederhanakan data kasar yang diperoleh di lapangan. Setelah data
terkumpul melalui wawancara, observasi dan dokumentasi, peneliti
menyederhanakan hasil data tersebut menjadi data yang lebih
36
Sanapiah Faisal, 2003, Format-Format Penelitian Sosial, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, hal. 33
60
sederhana dan sesuai dengan fokus penelitian. Data yang sudah
dirapikan kemudian disusun ke dalam pola, fokus, tema, dan pokok
permasalahan penelitian. Kemudian menggabungkan hasil-hasil
klarifikasi dan kategorisasi tersebut dengan referensi teori dan mencari
hubungan sifat. Mengidentifikasi gagasan-gagasan yang ditampilkan
oleh data untuk menunjukkan bahwa tema dan hipotesis yang sudah
ada didukung oleh data. Meskipun hipotesis yang sudah dirumuskan
pada awal, bisa saja berubah pada saat di lapangan. Data yang
diperoleh dipilah sesuai dengan fokus penelitian yaitu pergeseran dan
pemaknaan tradisi nyumbang dalam pernikahan yang dilakukan oleh
masyarakat Dusun Jatirejo, Desa Sendangadi, Kecamatan Mlati,
Kabupaten Sleman, Yogyakarta.
c. Penyajian Data
Penyajian atau display data diartikan sebagai proses
pengumpulan informasi yang disusun berdasarkan kategori atau
pengelompokan yang diperlukan. Proses penyajian data dilakukan
dengan mengkaji secara berulang-ulang data yang ada, pengelompokan
data yang sudah terbentuk, dan proposisi yang telah dirumuskan.
Kemudian menyusun deskripsi dari hasil analisis terhadap data yang
diperoleh, dengan harapan kompleksita gejala-gejala sosial yang ada
61
dapat dideskripsikan dan dijelaskan. Proses analisis dilakukan dengan
menelaah seluruh data dari berbagai sumber.
Dalam penelitian ini data mengenai profil Dusun Jatirejo dan
gambaran umum adat pernikahan Jawa disajikan dalam bab II. Tradisi
nyumbang dan pergeserannya kemudian disajikan di dalam bab III.
Sedangkan makna tradisi nyumbang disajikan di dalam bab IV.
Penyajian data menampilkan data yang telah disederhanakan berupa
kalimat, tabel, grafik dan foto yang diambil di Dusun Jatirejo, Desa
Sendangadi, Kecamatan Mlati, Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Data
yang disajikan tersebut kemudian dianalisis serta diinterpretasikan
untuk memperoleh kesimpulan berupa tujuan penelitian.
d. Penarikan Kesimpulan
Penarikan kesimpulan merupakan tahap akhir dari proses
analisis data. Tahap ini merupakan pencarian arti, pola-pola,
penjelasan, konfigurasi, alur sebab akibat dan proposisi. Data yang
telah disajikan dianalisis menggunakan teori solidaritas sosial dan teori
pertukaran sosial. Teori digunakan untuk menjawab rumusan masalah
berupa bentuk pergeseran tradisi nyumbang dalam pernikahan, proses
pergeseran tradisi nyumbang dalam pernikahan, dan pengaruh
terjadinya pergeseran tradisi nyumbang dalam pernikahan di Dusun