pendahuluan latar belakang -...
TRANSCRIPT
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Fungsi akuntansi yang demikian penting dalam kehidupan bisnis dan
keuangan, menunjukkan bahwa akuntansi dalam masyarakat bisnis memiliki
peran yang vital. Akuntansi harus tanggap terhadap kebutuhan masyarakat yang
terus berubah dan harus mencerminkan kondisi budaya, ekonomi, hukum, sosial
dan politik dari masyarakat tempat dia beroperasi. Dengan demikian akuntansi
harus berada tetap dalam kedudukannya yang berguna secara teknis dan sosial.
Peristiwa masa lalu dalam akuntansi biasanya disebut sejarah akuntansi;
saat ini adalah waktu di mana akuntansi ada; sedangkan waktu mendatang disebut
prediksi (Sukoharsono, 2005). Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa akuntansi
ada dalam dimensi sosial, dari yang terkecil, seorang individu hingga yang
terbesar, perusahaan dan negara. Bahkan, itu dimulai pada masa lalu terus saat ini
dan waktu mendatang. Praktek akuntansi dipengaruhi oleh faktor-faktor
sekitarnya (sosial, ekonomi, dan politik) di mana akuntansi dijalankan dan
melewati perkembangan yang unik di dasar pembangunan ekonomi, sosial, dan
politik suatu negara tertentu. Selain itu, munculnya praktik akuntansi di Indonesia
dapat dilihat dari pencatatan setiap peristiwa (Sukoharsono & Gaffikin, 1993). Hal
ini dapat dilihat dalam abad ke 13 hingga abad ke 16 transaksi pencatatan
keuangan seperti perpajakan atau transaksi lain yang ditulis dalam bentuk bahasa
Jawa lama, baik dalam prasasti maupun Kitab-Kitab kuno.
Pada penelitian sebelumnya di Indonesia, Sukoharsono dan Gaffikin
(1993) mempelajari munculnya akuntansi selama era kolonialisme Belanda (pada
2
awal abad ke-17). Penelitian tersebut, menyimpulkan bahwa perkembangan
pertama dari penerapan praktik akuntansi di Indonesia muncul dari pelaksanaan
sistem kolonialisme Belanda dan akuntansi memiliki peran penting pada masa
kolonialisme Belanda dalam kaitannya dengan harga, biaya, dan keuntungan.
Sukoharsono (1998a) melakukan penelitian mengenai perkembangan akuntansi
pada masa transisi dari masa Hindu ke masa Islam. Masuknya Islam ke Nusantara
tidak hanya membawa pengaruh dalam kehidupan keagamaan, melainkan juga
membawa pengetahuan-pengetahuan baru seperti memperkenalkan kertas sebagai
media tulis, huruf latin, angka Arab, dan juga yang tak kalah pentingnya adalah
diperkenalkannya uang logam (coined money) yang sangat penting bagi kemajuan
sistem perdagangan di Nusantara termasuk juga untuk kepentingan pemerintah
(kerajaan) terutama dalam hal pemungutan pajak kepada rakyatnya. Selain itu,
Sukoharsono dan Qudsi (2008) juga melakukan penelitian mengenai praktik
akuntansi pada era keemasan Kerajaan Singosari dan menghubungkannya dengan
aspek sosial, politik dan ekonomi.
Berdasarkan penelitian sebelumnya, maka dengan mengembangkan
perspektif baru dalam riset akuntansi, sejarah akuntansi tidak hanya dipandang
sebagai perhitungan sederhana lagi melainkan sebagai bentuk evolusi kronologis.
Studi sejarah akuntansi yang dilakukan oleh para ilmuwan akuntansi dengan
menggunakan pendekatan baru umumnya mengkritisi studi-studi sejarah
akuntansi sebelumnya yang dianggap menggunakan sudut pandang tradisional.
Kritik yang diberikan utamanya adalah bahwa di dalam sudut pandang tradisional,
akuntansi hanya dianggap sebagai peralatan teknis, yaitu sebagai teknik
3
mengumpulkan dan menyajikan data keuangan untuk kepentingan pengambilan
keputusan (Carmona et al., 2004). Berbeda dengan pendekatan tradisional,
pendekatan baru yang digunakan oleh ilmuwan akuntansi, dikenal dengan istilah
new accounting history, memandang bahwa akuntansi tidak semata-mata
peralatan teknis, melainkan sebuah kekuatan dan pengetahuan (power and
knowledge) yang mampu membentuk kehidupan sosial dalam suatu masyarakat
(Carmona et al., 2004).
Miller dan Napier (dalam Sukoharsono & Qudsi, 2008) juga memberikan
perspektif baru dalam melihat perkembangan akuntansi seperti melihat faktor
eksternal dan menekankan pada penting dari akuntansi perubahan dalam
merespon faktor-faktor internal adalah pengetahuan tentang akuntansi itu sendiri.
Salah satu perspektif yang digunakan dalam paradigma new accounting history
adalah Foucauldian. Penggunaan konsep filosofis Foucauldian dalam studi sejarah
akuntansi disebut sebagai paradigma postmodern dengan melakukan studi sejarah
akuntansi menggunakan konsep yang disampaikan oleh Michael Foucault, yaitu
konsep kekuatan-pengetahuan (power-knowledge) (Sukoharsono & Gaffikin,
1993). Facoult beranggapan bahwa kuasa tidak hanya terpusat dan terkonsentrasi
pada para penguasa yang sedang berkuasa dalam organisasi-organisasi formal,
tetapi juga pada semua aspek kehidupan masyarakat, termasuk ilmu pengetahuan
(knowledge) (Ikhsan & Suprasto, 2008). Perspektif Foucauldian dalam studi atas
sejarah akuntansi telah membuka pikiran para peneliti akuntansi untuk
memandang akuntansi tidak hanya dari satu sudut pandang, tetapi melihatnya
sebagai fenomena sosial, politik, dan ekonomi yang kompleks.
4
Kerajaan Majapahit berdiri setelah hancurnya kerajaan Singasari.
Pemerintahan kerajaan Majapahit berlangsung dari tahun 1293 M sampai 1520 M
(Wojowasito, 1950). Era keemasan kerajaan Majapahit terjadi pada zaman Raja
Hayam Wuruk yang didampingi oleh Mahapatih Gajah Mada yaitu pada tahun
1350 M sampai 1389 M. Saat itu di nusantara, pola yang membentuk akuntansi di
era kerajaan-kerajaan di Indonesia dapat diidentifikasi dengan adanya transaksi
ekonomi yang direkam. Mekanisme operasional pemungutan pajak di kerajaan-
kerajaan di Indonesia memperlihatkan bentuk keuangan dan akuntabilitas
administrasi kerajaan. Kerajaan mengatur aturan perpajakan yang wajib
dibayarkan kepada kerajaan. Selain itu, ada juga tarif pajak dan jenis pajak yang
dapat dikumpulkan oleh kerajaan. Keputusan Kerajaan untuk mengumpulkan
pajak bukanlah masalah yang sepele, namun hal ini merupakan dasar dari
akuntansi.
Berdasarkan uraian di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui relasi antara akuntansi dan kekuasaan pada era keemasan kerajaan
Majapahit dengan menerapkan paradigma Foucauldian (power-knowledge) yang
akan digunakan sebagai pisau analisis dalam menganalisis akuntansi pada era
keemasan kerajaan Majapahit.
Persoalan Peneltian
Persoalan penelitian yang dapat dirumuskan dari gambaran latar belakang
yang telah dipaparkan adalah bagaimana relasi antara akuntansi dan kekuasaan
pada era keemasan Kerajaan Majapahit berdasarkan kajian paradigma
Foucauldian (power-knowledge)?
5
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah
analisis deskriptif. Analisis deskriptif adalah sebuah penelitian yang “…hanya
berusaha menggambarkan secara jelas dan sekuensial terhadap pertanyaan
penelitian yang telah ditentukan sebelum para peneliti terjun ke lapangan dan
mereka tidak menggunakan hipotesis sebagai penunjuk arah atau guide dalam
penelitian” (Sukardi, 2003). Penelitian deskriptif dalam penelitian ini bertujuan
untuk mengumpulkan informasi mengenai tata pemerintahan dan perekonomian
pada masa keemasan Kerajaan Majapahit.
Teknik penelitian digunakan untuk mendapatkan teori, informasi dan data
yang dibutuhkan dan berkaitan dengan penelitian adalah studi pustaka yaitu teknik
pengumpulan data dengan cara membaca buku, jurnal, dan atau referensi lain
untuk mencari teori-teori yang relevan dengan permasalahan penelitian (Sukardi,
2003). Dalam melakukan penelitian ini, penulis akan memakai data-data sekunder
yaitu literatur yang memuat informasi mengenai Kerajaan Majapahit di era
keemasannya, terutama Kitab Negarakertagama. Untuk menjawab persoalan
dalam penelitian, penulis menggunakan pendekatan konseptual. Pendekatan
konseptual dalam penelitian ini memakai salah satu konsep multiparadigma dalam
penelitian akuntansi yaitu paradigma facouldian. Melalui analisis wacana, Penulis
akan mengevaluasi informasi mengenai praktik akuntansi pada masa keemasan
Kerajaan Majapahit berdasarkan pendekatan facouldian. Analisis wacana lebih
bersifat kualitatif daripada yang umum dilakukan dalam analisis isi kuantitatif
6
karena analisis wacana lebih menekankan pada pemaknaan teks daripada
penjumlahan unit kategori, seperti dalam analisis isi (Eriyanto, 2001).
Berdasarkan metode yang dipakai dalam penelitian ini, maka data yang
terkumpul akan dianalisis secara terstruktur sebagai berikut:
1. Analisis Deskriptif
Penulis akan menguraikan secara deskriptif data-data sekunder mengenai
Kerajaan Majapahit di era keemasannya guna lebih memahami fenomena-
fenomena yang terjadi secara menyeluruh.
2. Analisis Wacana (discourse analysis)
Dari data-data sekunder mengenai Kerajaan Majapahit di era
keemasannya, penulis akan mengevaluasi relasi antara akuntansi dan
kekuasaan pada era keemasan Kerajaan Majapahit berdasarkan kajian
paradigma Foucauldian (power-knowledge).
3. Analisis Konklusif
Setelah melakukan analisis-analisis tersebut di atas, penulis akan
memaparkan simpulan dan saran untuk mempertegas penelitian ini.
NEW ACCOUNTING HISTORY DAN PARADIGMA FACOULDIAN
Multiparadigma Dalam Riset Akuntansi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005) paradigma bisa berarti
daftar semua bentukan dari sebuah kata yang memperlihatkan konjugasi dan
deklinasi kata tersebut; model dalam teori ilmu pengetahuan; kerangka berfikir.
Sedangkan menurut Suriasumantri (2007) paradigma adalah konsep dasar yang
7
dianut oleh suatu masyarakat tertentu termasuk masyarakat ilmuwan. Paradigma
ini merupakan bukan ilmu melainkan sarana berfikir ilmiah seperti logika,
matematika, statistika dan bahasa. Suatu paradigma terdiri dari asumsi-asumsi
teoritis yang umum dan hukum-hukum serta tehnik-tehnik untuk penerapannya
yang diterima oleh anggota suatu masyarakat ilmiah (Chalmers, 1983).
Paradigma penelitian merupakan kerangka berpikir yang menjelaskan
bagaimana cara pandang peneliti terhadap fakta kehidupan sosial dan perlakuan
peneliti terhadap ilmu atau teori. Paradigma penelitian juga menjelaskan
bagaimana peneliti memahami suatu masalah, serta kriteria pengujian sebagai
landasan untuk menjawab masalah penelitian (Guba & Lincoln, 1994). Selain
sebagai penjelasan atas suatu fenomena dengan suatu model yang menyesuaikan
dengan kondisi budaya penelitian, paradigma bisa berbentuk dalam suatu
metafora untuk memahami realitas. Berdasarkan hal itulah, maka paradigma bisa
digunakan sebagai alat untuk melihat realitas ilmu dan praktik akuntansi.
Perkembangan riset akuntansi multiparadigma pertama sekali berangkat
dari kerangka filosofis yang dibangun oleh Burel dan Morgan (Ikhsan & Suprasto,
2008). Burrel dan Morgan (dalam Ikhsan & Suprasto, 2008) memandang bahwa
filsafat ilmu harus mampu melihat keterkaitan antara kehidupan manusia dengan
lingkungannya. Berdasarkan hal itu, Burrel dan Morgan (dalam Ikhsan &
Suprasto, 2008) mengelompokkan pengetahuan dalam tiga paradigma modern,
yaitu: fungsionalis-interpretatif, radikal humanis, dan radikal strukturalis.
Selanjutnya muncullah paradigma postmodern yang menyajikan suatu wacana
sosial yang sedang muncul yang meletakkan dirinya di luar paradigma modern.
8
Paradigma posmodern ini merupakan oposisi dari paradigma modern. Akuntansi
sebagai pengetahuan manusia dapat juga dipandang menurut paradigma-
paradigma tersebut (Ikhsan & Suprasto, 2008).
Traditional Accounting History dan New Accounting History
Dalam Accounting History, terdapat dua paradigma yang digunakan dalam
studi atas sejarah akuntansi (Carmona et al., 2004). Paradigma pertama adalah
traditional accounting history yang merupakan paradigma mainstream dalam
studi sejarah akuntansi. Paradigma kedua adalah paradigma yang memberi
pendekatan alternatif bagi studi sejarah akuntansi, dikenal sebagai new accounting
history. Perbedaan utama antara dua paradigma ini adalah dalam hal sudut
pandang yang digunakan untuk memberikan batasan mengenai apa yang dapat
disebut sebagai akuntansi (what count as accounting). Traditional accounting
history memberikan batasan terhadap akuntansi sesuai dengan pandangan yang
disampaikan oleh A.C. Littleton dalam bukunya Accounting Evolution to 1900
(Carmona et al., 2004), yaitu:
...The early of complete book-keeping is the duality and equilibrium which derive from early record-keeping precedents, the substance consists of proprietary calculation of the gains (or losses) from ventured capital. ...If either property or capital were not present, there would be nothing for records to record. Without money, trade would be barter; without credit, each transaction would be closed at the time; without commerce, the need for financial records would not extend beyond governmental taxes. Dari uraian di atas, dapat dilihat bahwa Littleton (dalam Carmona et al.,
2004) menyebutkan terdapat tiga atribut dari akuntansi, yaitu:
1) sifat dualitas atau berganda atau berpasangan (duality) yang terkait dengan
pencatatan berpasangan;
9
2) keseimbangan (equilibrium) seperti halnya yang tercermin dari neraca;
3) pengakuan atas kepemilikan individu (proprietary) dan keuntungan maupun
kerugian yang timbul dari kepemilikan tersebut.
Selain tiga atribut tersebut, dapat juga dilihat bahwa Littleton
menyebutkan beberapa kriteria yang harus tersedia agar akuntansi dapat berjalan,
yaitu: modal (capital); uang; kredit; dan perdagangan (commerce). Pandangan
Littleton mengenai esensi daripada akuntansi ini dijadikan pegangan dalam studi
atas sejarah akuntansi khususnya yang dilakukan di bawah paradigma traditional
accounting history (Carmona et al., 2004). Batasan akuntansi dengan
menggunakan pandangan bahwa hanya sistem pencatatan berpasangan (double-
entry) yang dapat disebut sebagai akuntansi, serta keharusan akan adanya mata
uang untuk menunjukkan adanya transaksi, telah menyebabkan studi sejarah
akuntansi (yang tentunya meliputi kondisi di masa lalu) dilakukan dengan sudut
pandang masa kini. Hal ini yang menyebabkan studi maupun gambaran mengenai
sejarah akuntansi selalu bertitik tolak pada kelahiran sistem pencatatan
berpasangan (double-entry bookkeeping).
Di sisi lain, paradigma new accounting history menggunakan pandangan
yang berbeda dengan paradigma traditional accounting history. Di dalam
paradigma new accounting history, akuntansi diberikan batasan yang lebih luas
seperti yang dinyatakan oleh Tinker (1985), yaitu:
Accounting practice is a means of resolving social conflict, a device for appraising the term of exchange between social constituencies, and an institutional mechanism for arbitrating, evaluating, and adjudicating.
10
Dari batasan akuntansi di atas, terlihat bahwa akuntansi tidak lagi
dipandang terbatas pada sistem pencatatan berpasangan, tetapi lebih luas daripada
itu, akuntansi merupakan suatu mekanisme yang dapat memfasilitasi aktivitas-
aktivitas yang terjadi di dalam kehidupan sosial dan perekonomian masyarakat.
Tinker (1985) juga menyatakan bahwa meskipun transaksi tidak dicatat dengan
sistem double-entry dan juga tidak dikenal satuan mata uang, yang terpenting
adalah akuntansi dapat membantu pihak-pihak yang terlibat dalam hubungan
sosial dan ekonomi untuk mendapatkan informasi dan menentukan nilai atas hasil
yang diperoleh dari hubungan sosial ekonomi tersebut.
Selain menggunakan batasan yang berbeda untuk mendefinisikan
akuntansi, studi sejarah akuntansi dalam paradigma new accounting history juga
menggunakan metode yang berbeda dibandingkan paradigma traditional
accounting history. Metode yang dimaksud adalah menggunakan berbagai alat
analisis dalam ilmu sosial, seperti ethnomethodology, Marxism, Habermasism and
critical theory, Giddens’ structuration, Gramscian concept, Derrida’s
deconstructionism, Weberian perspective, dan Foucauldian untuk memahami
sejarah akuntansi (Sukoharsono, 1998b). Studi yang dilakukan dengan paradigma
new accounting history umumnya mengkritisi pendekatan yang digunakan oleh
traditional accounting history. Traditional accounting history dikatakan sebagai
pendekatan yang bersifat ahistoris dan antik (Sukoharsono, 1998b). Dikatakan
ahistoris karena sejarah akuntansi ditulis dengan sudut pandang masa kini, di
mana sejarah akuntansi cenderung disajikan secara kronologis dengan perlahan-
lahan menampilkan kebenaran masa kini. Traditional accounting history
11
dikatakan ‘antik’ karena studi sejarah akuntansi terkonsentrasi pada penjelasan
mengenai ‘apa’ yang terjadi di masa lalu, dan bukannya menjelaskan ‘bagaimana’
dan ‘mengapa’ akuntansi berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat (Stewart,
dalam Sukoharsono, 1998b).
Paradigma Facouldian: Kuasa-Pengetahuan
Paul Michael Foucault (lahir di Poitiers, 15 Oktober 1926 – meninggal di
Paris, 25 Juni 1984 pada umur 57 tahun) adalah seorang filsuf Prancis,
sejarahwan, intelektual, kritikus, dan sosiolog. Kuasa adalah konsep Foucault
yang paling unik, sekaligus sulit. Foucault tidak pernah memberi definisi yang
ketat mengenai apa yang dimaksudnya dengan kekuasaan. Ia hanya menjelaskan
bagiamana kuasa bekerja. Kuasa sebagai sesuatu yang tidak dapat dimiliki berarti
ia tidak dapat diperoleh, disimpan, dibagi, ditambah, atau dikurangi. Dalam
pandangan Foucault, kuasa dipraktikkan dalam suatu ruang lingkup dimana ada
banyak posisi yang secara strategis berakitan satu sama lain dan senantiasa
mengalami pergeseran (Bertens, 2006).
Sebagai akademisi, Foucault banyak melahirkan pemikiran dan sangat
produktif dalam menuliskan pemikirannya. Sebagai salah seorang filsuf
kontemporer, Foucault dikenal dengan berbagai pemikirannya yang cukup
kontroversial. Keunikan dari filsuf yang banyak bekerja dalam ranah sejarah ini
adalah tema-tema yang ia pilih, mulai dari sejarah kegilaan, sejarah penjara,
rumah sakit, hingga sejarah seksualitas. Setelah membandingkan masyarakat
modern dengan desain penjara bundar yang membuat penjaga penjara lebih
mudah mengawasi para napi, Foucault beranggapan "visibilitas adalah
12
perangkap". Ia melalui visibilitas ini pula menganggap bahwa masyarakat modern
selalu berlatih mengendalikan sistem kekuasaan dan pengetahuan (istilah Foucault
yang diyakini terhubung fundamentalis dalam satu konsep yang ditulis dengan
tanda "kuasa-pengetahuan").
Berkenaan dengan sejarah kegilaan, Foucault menunjukkan bahwa
predikat ‘gila’ bukanlah sekedar masalah empiris atau medis semata, tapi juga
berkenaan dengan norma-norma sosial dan bentuk-bentuk diskursus tertentu.
Dalam arti, pengertian tentang kegilaan adalah hasil ciptaan manusia. Karena itu
kategori gila terus berubah sesuai dengan zaman. Pada Abad Tengah, orang gila
adalah yang tidak berintegrasi dengan masyarakat. Menurut versi gereja, orang
gila adalah yang tidak memiliki loyalitas pada gereja. Demikian seterusnya,
pengertian gila terus berubah sesuai dengan perspektif dan kepentingan pemegang
kuasa. Foucault membuktikan bahwa kode-kode pengetahuan (dalam konteks ini:
bidang kedokteran) banyak mempengaruhi struktur bawah-sadar masyarakat.
Efek-efek kekuasaan tidak perlu lagi digambarkan sebagai yang
menafikan, menindas, menolak, menyensor, menutupi, menyembunyikan.
Ternyata kekuasaan itu menghasilkan: ia menghasilkan sesuatu yang rill,
menghasilkan bidang-bidang obyek dan ritus-ritus kebenaran (Haryatmoko,
2003). Individu dan pengetahuan melanjutkan produksi itu. Pembicaraan kuasa
dalam pengertian Foucault, mau tidak mau akan menyeret pada apa yang disebut
Foucault sebagai pengetahuan. Bagi Foucault, hubungan pengetahuan dengan
kekuasaan adalah identik. Mengenai hubungan kuasa dan pengetahuan, Kendall &
Wickham (1999) berkomentar:
13
"Power mobilises non-startified matter and function, it local and unstable, and is flexible. Knowledge is stratified, archivised and rigidly segmented. Power is strategic, but is anonymous. The strategies of power are mute and blind, precsely because the avoid the form of knowledge, the sayable and visible."
Kuasa dan pengetahuan adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan. Kuasa
menemukan bentuknya dalam pengetahuan. Baginya setiap pengetahuan pasti
mengandung kuasa dan setiap kekuasaan produktif menghasilkan pengetahuan.
Artinya tidak ada kebenaran, bahkan dalam ilmu pengetahuan yang bersifat ilmiah
sekalipun. Biologi, ekonomi, komunikasi, dan banyak disiplin ilmu modern
lainnya, tidak lebih dari perwujudan kuasa yang fungsinya membentuk subjek.
Klaim ilmiah yang selama ini menjadi pembenaran akan sifat pengetahuan yang
netral, bagi Foucault adalah strategi kuasa. Pengetahuan adalah cara bagaimana
kekuasaan memaksakan diri kepada subyek tanpa memberi kesan ia datang dari
subyek tertentu (Haryatmoko, 2003).
Kendall dan Wickham (1999) mengemukakan ada lima langkah utama
dalam menggunakan paradigma Foucauldian, yaitu:
1. Memahami terlebih dahulu bahwa sebuah wacana adalah sebuah korpus (data linguistik) pernyataan-pernyataan yang diorganisasikan secara teratur dan sistematis;
2. Mengidentifikasi aturan-aturan yang memproduksi pengetahuan; 3. Mengidentifikasi aturan-aturan yang memberikan batasan-batasan; 4. Mengidentifikasi aturan-aturan yang membuka ruang bagi
pengetahuan baru; 5. Mengidentifikasi aturan-aturan yang menjamin bahwa praktik
pengetahuan bersifat material dan diskursif secara bersamaan.
Studi menggunakan paradigma Foucauldian mungkin misalnya melihat
bagaimana pemimpin yang berkuasa menggunakan bahasa untuk
mengekspresikan dominasi mereka, demi ketaatan dan rasa hormat dari bawahan
14
mereka. Dalam sebuah contoh khusus, studi dapat melihat bahasa yang digunakan
oleh guru terhadap siswa, atau perwira militer terhadap wajib militer. Pendekatan
ini digunakan untuk mempelajari bagaimana kekuasaan digunakan sebagai bentuk
untuk membentuk pengetahuan.
Sejarah Akuntansi Dalam Paradigma Facouldian
Salah satu perspektif yang digunakan dalam paradigma new accounting
history adalah Foucauldian. Penggunaan konsep filosofis Foucauldian dalam studi
sejarah akuntansi disebut sebagai paradigma postmodern dengan melakukan studi
sejarah akuntansi menggunakan konsep yang disampaikan oleh Michael Foucault,
yaitu konsep kuasa-pengetahuan (power-knowledge) (Sukoharsono & Gaffikin,
1993). Penggunaan konsep power-knowledge dalam melakukan studi sejarah
akuntansi ini ditujukan untuk menganalisis bagaimana akuntansi muncul dan eksis
dalam suatu organisasi maupun dalam masyarakat sebagai suatu kekuatan
disipliner (disciplinary power), yaitu kekuatan yang dapat membentuk
(constitutive) perilaku masyarakat dalam kehidupan sosial.
Berdasarkan sudut pandang akuntansi seperti di atas maka akuntansi dapat
dipahami tidak sebatas sebagai alat pencatatan transaksi terlebih pencatatan yang
menggunakan sistem berpasangan (double-entry) dan dalam satuan mata uang
(monetary unit). Akuntansi hendaknya dipahami sebagai sesuatu yang mencakup
berbagai bentuk mekanisme pencatatan transaksi yang melibatkan berbagai
bentuk instrumen pertukaran (exchange instruments), baik menggunakan mata
uang maupun tidak, yang digunakan oleh manusia pada berbagai masa
(peradaban). Selain itu yang lebih penting lagi adalah akuntansi hendaknya
15
dipahami sebagai suatu mekanisme yang memungkinkan aktivitas sosial
masyarakat dapat berjalan.
Ilmuwan akuntansi seperti Marquior (1985) dan Poster (1984) (dalam
Sukoharsono, 1998b) mengakui bahwa pendekatan Foucauldian merupakan
pendekatan baru dalam studi sejarah akuntansi. Pendekatan Foucauldian tidak
berusaha untuk menyajikan gambaran sejarah akuntansi secara lengkap dan
kronologis dalam suatu periode, melainkan menguraikan sejarah akuntansi di
masa lalu dengan cara mempelajari bagaimana masa lalu itu berbeda, terlihat
aneh, serta memberikan pengaruh yang kuat. Foucault (dalam Taylor, 1985)
menyatakan:
“Truth is a thing of this world: it is produced only by virtue of multiple forms of constraint. And it includes regular effects of power…Truth is linked in a circular relation with systems of power which produce and sustain it, and to effects of power which it induces and which extend it. A 'regime' of truth.” Berdasarkan hal itulah, maka Paradigma Foucauldian dalam studi atas
sejarah akuntansi telah membuka pikiran peneliti akuntansi untuk memandang
akuntansi tidak hanya dari satu sudut pandang, tetapi melihatnya sebagai
fenomena sosial, politik, dan ekonomi yang kompleks yang juga terjalin dengan
konsep power-knowledge. Loft (dalam Sukoharsono, 1998b) berpendapat bahwa
hendaknya proses awal lahirnya akuntansi tidak semata dipandang sebagai teknik
untuk mengumpulkan dan menyajikan data keuangan untuk kepentingan
pengambilan keputusan, melainkan sebagai kekuatan yang membentuk
(constructive) kehidupan sosial masyarakat. Sejalan dengan konsep power-
knowledge, diyakini bahwa akuntansi dapat menjadi kekuatan yang membentuk
16
perilaku masyarakat dalam kehidupan sosialnya. Pada gilirannya, kekuatan yang
membentuk perilaku (constructive power) ini akan menjadi kekuatan yang
berperan secara signifikan dalam pembangunan suatu peradaban.
Penelitian Sebelumnya
Pada penelitian sebelumnya di Indonesia, Sukoharsono & Gaffikin (1993)
mempelajari munculnya akuntansi selama era kolonialisme Belanda (pada tahun
1800-1950). Penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki kekuatan-pengetahuan
hubungan munculnya, eksistensi, dan penetrasi akuntansi dalam konteks sosial di
Indonesia pada tahun 1800-1950 dan menghubungkannya dengan konsep power-
knowledge Foucauldian. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa perkembangan
pertama dari penerapan praktik akuntansi di Indonesia muncul dari pelaksanaan
sistem kolonialisme Belanda dan akuntansi memiliki peran penting pada masa
kolonialisme Belanda dalam kaitannya dengan harga, biaya, dan keuntungan.
Sukoharsono (1998a) juga melakukan penelitian mengenai perkembangan
akuntansi pada masa transisi dari masa Hindu ke masa Islam. Masuknya Islam ke
Nusantara tidak hanya membawa pengaruh dalam kehidupan keagamaan,
melainkan juga membawa pengetahuan-pengetahuan baru seperti
memperkenalkan kertas sebagai media tulis, huruf latin, angka Arab, dan juga
yang tak kalah pentingnya adalah diperkenalkannya uang logam (coined money)
yang sangat penting bagi kemajuan sistem perdagangan di Nusantara termasuk
juga untuk kepentingan pemerintah (kerajaan) terutama dalam hal pemungutan
pajak kepada rakyatnya.
17
Selain itu, Sukoharsono dan Qudsi (2008) juga melakukan penelitian
praktik akuntansi pada era keemasan Kerajaan Singosari dan menghubungkannya
dengan aspek sosial, politik dan ekonomi. Penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan paradigma Foucauldian yaitu power-knowledge. Penelitian ini
menyimpulkan bahwa bahwa akuntansi memiliki peran penting sebagai sarana
pendukung pengembangan kerajaan Singosari—tidak hanya menyediakan
perhitungan teknis, tetapi juga peran yang beragam dalam kehidupan sosial,
ekonomi, dan politik.
AKUNTANSI PADA ERA KEEMASAN KERAJAAN MAJAPAHIT
BERDASARKAN PARADIGMA FACOULDIAN
Kakawin Nagarakertagama
Kakawin Negarakertagama menguraikan keadaan di kerajaan Majapahit
dalam masa pemerintahan Prabu Hayam Wuruk, raja agung di tanah Jawa dan
juga Nusantara. Ia bertakhta dari tahun 1350 sampai 1389 Masehi, pada masa
puncak kerajaan Majapahit, salah satu kerajaan terbesar yang pernah ada di
Nusantara. Bagian terpenting teks ini tentu saja menguraikan daerah-daerah
"wilayah" kerajaan Majapahit yang harus menghaturkan upeti. Naskah kakawin
ini terdiri dari 98 pupuh (Muljana, 2005). Dilihat dari sudut isinya pembagian
pupuh-pupuh ini sudah dilakukan dengan sangat rapi. Pupuh 1 sampai dengan
pupuh 7 menguraikan raja dan keluarganya. Pupuh 8 sampai 16 menguraikan
tentang kota dan wilayah Majapahit. Pupuh 17 sampai 39 menguraikan perjalanan
keliling ke Lumajang. Pupuh 40 sampai 49 menguraikan silsilah Raja Hayam
Wuruk, dengan rincian lebih detailnya pupuh 40 sampai 44 tentang sejarah raja-
18
raja Singasari, pupuh 45 sampai 49 tentang sejarah raja-raja Majapahit dari
Kertarajasa Jayawardhana sampai Hayam Wuruk. Pupuh 1 - 49 merupakan bagian
pertama dari naskah ini.
Bagian kedua dari naskah kakawin ini yang juga terdiri dari 49 pupuh,
terbagi dalam uraian sebagai berikut: Pupuh 50 sampai 54 menguraikan kisah raja
Hayam Wuruk yang sedang berburu di hutan Nandawa. Pupuh 55 sampai 59
menguraikan kisah perjalanan pulang ke Majapahit. Pupuh 60 menguraikan oleh-
oleh yang dibawa pulang dari pelbagai daerah yang dikunjungi. Pupuh 61 sampai
70 menguraikan perhatian Raja Hayam Wuruk kepada leluhurnya berupa pesta
srada dan ziarah ke makam candi. Pupuh 71 sampai 72 menguraikan tentang
berita kematian Patih Gadjah Mada. Pupuh 73 sampai 82 menguraikan tentang
bangunan suci yang terdapat di Jawa dan Bali. Pupuh 83 sampai 91 menguraikan
tentang upacara berkala yang berulang kembali setiap tahun di Majapahit, yakni
musyawarah, kirap, dan pesta tahunan. Pupuh 92 sampai 94 tentang pujian para
pujangga termasuk prapanca kepada Raja Hayam Wuruk. Sedangkan pupuh ke 95
sampai 98 khusus menguraikan tentang pujangga prapanca yang menulis naskah
tersebut.
Kakawin ini bersifat pujasastra, artinya karya sastra menyanjung dan
mengagung-agungkan Raja Majapahit Hayam Wuruk, serta kewibawaan kerajaan
Majapahit (Muljana, 2005). Akan tetapi karya ini bukanlah disusun atas perintah
Hayam Wuruk sendiri dengan tujuan untuk politik pencitraan diri ataupun
legitimasi kekuasaan. Melainkan murni kehendak sang pujangga Mpu Prapanca
yang ingin menghaturkan bhakti kepada sang mahkota, serta berharap agar sang
19
Raja ingat sang pujangga yang dulu pernah berbakti di keraton Majapahit. Artinya
naskah ini disusun setelah Prapanca pensiun dan mengundurkan diri dari istana.
Nama Prapanca sendiri merupakan nama pena, nama samaran untuk
menyembunyikan identitas sebenarnya dari penulis sastra ini. Karena sifat
pujasastra inilah oleh sementara pihak Negarakertagama dikritik kurang netral dan
cenderung membesar-besarkan kewibawaan Hayam Wuruk dan Majapahit, akan
tetapi terlepas dari itu, Negarakretagama dianggap sangat berharga karena
memberikan catatan dan laporan langsung mengenai kehidupan di Majapahit
(Muljana, 2005). Berdasarkan hal itulah maka Kitab Negarakertagama dalam
langkah pertama analisis wacana Foucauldian merupakan sebuah korpus (data
linguistik) pernyataan-pernyataan yang diorganisasikan secara teratur dan
sistematis yang berisi mengenai kehidupan di era keemasan Majapahit pada
pemerintahan Raja Hayam Wuruk—dan dapat digunakan dalam mengungkap
relasi antara kekuasaan relasi antara akuntansi dan kekuasaan pada era keemasan
Kerajaan Majapahit.
Pemerintahan Majapahit
Majapahit adalah sebuah kerajaan yang berpusat di Jawa Timur,
Indonesia, yang pernah berdiri dari sekitar tahun 1293 hingga 1500 M. Pusat atau
Ibukota kerajaan Majapahit berada di Wilwatikta (Trowulan). Sebagian besar
rakyat di Kerajaan Majapahit menganut agama Shiwa-Buddha.
Kerajaan Majapahit mencapai puncak keemasannya menjadi
kemaharajaan raya yang menguasai wilayah yang luas di Nusantara pada masa
kekuasaan Raja Hayam Wuruk (bergelar Rajasanagara), yang berkuasa dari
20
tahun 1350 hingga 1389. Perluasan wilayah Majapahit dicapai berkat politik
ekspansi yang dilakukan oleh Patih Mangkubumi Gadjah Mada.
Menurut Kakawin Negarakretagama Pupuh 13 sampai Pupuh 15, daerah
kekuasaan Majapahit meliputi Sumatra, semenanjung Malaya, Kalimantan,
Sulawesi, kepulauan Nusa Tenggara, Maluku, Papua, dan sebagian kepulauan
Filipina (Muljana, 2005). Sumber ini menunjukkan batas terluas sekaligus puncak
kejayaan Kemaharajaan Majapahit (dapat dilihat pada Gambar 1). Namun
demikian, batasan alam dan ekonomi menunjukkan bahwa daerah-daerah
kekuasaan tersebut tampaknya tidaklah berada di bawah kekuasaan terpusat
Majapahit, tetapi terhubungkan satu sama lain oleh perdagangan yang mungkin
berupa monopoli oleh Raja Hayam Wuruk. Majapahit juga memiliki hubungan
dengan Campa, Kamboja, Siam, Birma bagian selatan, dan Vietnam, dan bahkan
mengirim duta-dutanya ke Tiongkok.
Gambar 1. Peta Wilayah Kekuasaan Majapahit Berdasarkan Negarakertagama
Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Majapahit.
21
Kakawin Negarakertagama menyebutkan budaya keraton yang adiluhung,
anggun, dan canggih, dengan cita rasa seni dan sastra yang halus dan tinggi, serta
sistem ritual keagamaan yang rumit (Muljana, 2005). Sang pujangga
menggambarkan Majapahit sebagai pusat mandala raksasa yang membentang dari
Sumatera ke Papua, mencakup Semenanjung Malaya dan Maluku. Tradisi lokal di
berbagai daerah di Nusantara masih mencatat kisah legenda mengenai kekuasaan
Majapahit. Administrasi pemerintahan langsung oleh kerajaan Majapahit hanya
mencakup wilayah Jawa Timur dan Bali, di luar daerah itu hanya semacam
pemerintahan otonomi luas, pembayaran upeti berkala, dan pengakuan kedaulatan
Majapahit atas mereka (Muljana, 2005). Selama masa pemerintahan Hayam
Wuruk (1350 s.d. 1389) ada 12 wilayah di Majapahit, yang dikelola oleh kerabat
dekat raja (dapat dilihat pada tabel 1.)
Tabel 1. Kerabat Raja Yang Menguasai Administrasi Pemerintahan Kerajaan Majapahit
No Provinsi Gelar Penguasa Hubungan dengan Raja
1 Kahuripan Bhre Kahuripan Tribhuwanatunggadewi ibu suri
2 Daha Bhre Daha Rajadewi Maharajasa bibi sekaligus ibu mertua 3 Tumapel Bhre Tumapel Kertawardhana ayah
4 Wengker Bhre Wengker Wijayarajasa paman sekaligus ayah mertua
5 Matahun Bhre Matahun Rajasawardhana suami dari Putri Lasem, sepupu raja
6 Wirabhumi Bhre Wirabhumi Bhre Wirabhumi anak
7 Paguhan Bhre Paguhan Singhawardhana saudara laki-laki ipar
8 Kabalan Bhre Kabalan Kusumawardhani anak perempuan
9 Pawanuan Bhre Pawanuan Surawardhani keponakan perempuan
10 Lasem Bhre Lasem Rajasaduhita Indudewi sepupu
11 Pajang Bhre Pajang Rajasaduhita Iswari saudara perempuan
12 Mataram Bhre Mataram Wikramawardhana keponakan laki-laki Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Majapahit.
22
Pada masa pemerintahan Hayam Wuruk ditandai transisi ke sebuah
monarki yang lebih integratif (Hall, 1996). Melalui pola pendekatan ritual dan
pengadilan yang diikuti oleh Hayam Wuruk, raja tidak lagi menjadi terisolasi dari
rakyatnya. Kinerja dan partisipasi dalam ritual suci, baik di pengadilan atau di
antara populasi pedesaan, menyebabkan Hayam Wuruk berada dalam komunikasi
rutin dengan wilayah kekuasaannya dengan cara yang sebelumnya jarang terjadi
di era Raja sebelumnya (Hall, 1996). Raja dibantu oleh sejumlah pejabat birokrasi
dalam melaksanakan pemerintahan, dengan para putra dan kerabat dekat raja
memiliki kedudukan tinggi. Perintah raja biasanya diturunkan kepada pejabat-
pejabat di bawahnya, antara lain yaitu (Muljana, 2005):
1. Rakryan Mahamantri Katrini, terdiri dari tiga mahamantri. 2. Rakryan Mantri ri Pakira-kiran, dewan menteri yang melaksanakan
pemerintahan. 3. Dharmmadhyaksa, para pejabat hukum keagamaan 4. Dharmma-upapatti, para pejabat keagamaan
Selain itu, pada zaman pemerintahan Hayam Wuruk, seperti yang tertera
pada Negarakertagama pupuh 10/1 dan piagam Bendasari, terdapat Panca ri
Wilatikta (Lima orang kepercayaan) Raja Hayam Wuruk (Muljana, 2005):
1. Rakryan Mapatih Amangku Bumi: Gajah Mada 2. Rakryan Demung: Empu Gusti 3. Rakryan Kanuruhun: Empu Turut 4. Rakryan Rangga: Empu Lurukan 5. Rakryan Temenggung: Empu Nala
Uang Sebagai Alat Pertukaran di Kerajaan Majapahit
Kehadiran mata uang khususnya di Kerajaan Majapahit adalah akibat dari
aktivitas perdagangan, yang mana diperlukan alat tukar barang yang praktis,
mudah dibawa, tahan lama dan dapat digunakan sesuai kebutuhan. Menurut
23
catatan Wang Ta-yuan, pedagang Tiongkok, komoditas ekspor Jawa pada saat itu
ialah lada garam kain dan burung kakak tua sedangkan komoditas impor adl
mutiara emas perak sutra barang keramik dan barang dari besi (Poesponegoro &
Notosusanto, 1990). Satu hal yang patut diketahui bahwa dalam periode masa
keemasan Majapahit mata uang emas dan perak tidak begitu sering lagi
disebutkan di dalam prasasti dan naskah. Mata uang Majapahit dibuat dari
campuran perak timah putih timah hitam dan tembaga (Poesponegoro &
Notosusanto, 1990). Mata uang ini diidentifikasikan sebagai uang lokal Majapahit
yang dinamakan Gobog (dapat dilihat pada Gambar 2).
Uang gobog inilah yang mungkin merupakan bentuk tiruan dari kepeng
Cina, karena dalam beberapa hal dari bentuk dan hiasan mirip dengan kepeng
Cina, walau figur yang digambarkan berciri lokal, mirip wayang kulit (Trigangga,
2009). Alasan penggunaan uang logam atau koin asing ini tidak disebutkan dalam
catatan sejarah, akan tetapi kebanyakan ahli menduga bahwa dengan semakin
kompleksnya ekonomi Majapahit, maka diperlukan uang pecahan kecil atau uang
receh dalam sistem mata uang Majapahit agar dapat digunakan dalam aktivitas
ekonomi sehari-hari di pasar Majapahit.
Gambar 2. Mata Uang Majapahit: Gobog
Sumber: http://www.bi.go.id
24
Selain Gobog, di Jawa Timur banyak sekali ditemukan uang kepeng Cina,
bahkan dapat dikatakan bahwa kepeng Cina ditemukan di setiap kabupaten di
Jawa Timur. Di kantor Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Trowulan
terdapat koleksi uang kepeng Cina sekitar 40.000 keping (Trigangga, 2009).
Kepeng Cina tersebut berasal dari berbagai dinasti terutama Dinasti Song dan
Ming. Banyaknya kepeng Cina yang beredar pada masa Majapahit diperkuat oleh
temuan berbagai jenis celengan terakota di daerah Trowulan, menandakan bahwa
tradisi menabung telah dikenal pada masa Majapahit (Trigangga, 2009).
Pada masa Majapahit, satuan mata uang mengacu kepada jumlah atau
kuantitas. Di dalam prasasti-prasasti dan naskah-naskah hukum dijumpai berbagai
istilah yang menyatakan jumlah uang, antara lain sātak (200 keping), sātak sawě
(250 keping), samas (400 keping), domas (400 keping), rong tali (2000 keping),
patang tali (4000 keping), salaksa (10.000 keping), sakěţi (100.000 keping),
sakěţi rong laksa (120.000 keping), sakěţi něm laksa (160.000 keping), dan rong
kěţi (200.000 keping) (Trigangga, 2009). Dari hal itulah, maka dapat diasumsikan
bahwa masyarakat Majapahit telah menerapkan pengetahuan akuntansi dalam
aktivitas perekonomiannya.
Akuntansi Pada Era Keemasan Kerajaan Majapahit Dalam Paradigma
Facouldian: Kuasa-Pengetahuan.
Berdasarkan paradigma Facouldian, akuntansi tidak hanya dipandang dari
satu sudut pandang, tetapi melihatnya sebagai fenomena sosial, politik, dan
ekonomi yang kompleks yang juga terjalin dengan konsep power-knowledge.
Sejalan dengan konsep power-knowledge, diyakini bahwa kekuasaan dapat
25
menjadi kekuatan yang membentuk perilaku masyarakat dalam kehidupan
sosialnya. Pada gilirannya, kekuatan yang membentuk perilaku (constructive
power) ini akan menjadi kekuatan yang berperan secara signifikan dalam
membentuk dasar praktik akuntansi di Kerajaan Majapahit.
Bagi masyarakat Jawa, khususnya yang menganut mistik, para raja
dianggap termasuk unsur-unsur mistik di bumi ini yang amat penuh kuasa, yang
mewadahi kekuatan kosmis. Secara singkat, kekuasaan raja yang besar dapat
ditandai oleh (Moedjanto dalam Susatyo, 2008):
1. luas wilayah kerajaannya; 2. luasnya daerah atau kerajaan taklukan dan berbagai barang
persembahannya disampaikan oleh para raja taklukan; 3. kesetian para bupati dan punggawa lainnya dalam menunaikan tugas
kerajaan dan kehadiran mereka dalam paseban yang diselenggarakan pada hari-hari tertentu.;
4. kebesaran dan kemeriahan upacara kerajaan dan banyaknya pusaka serta perlengkapan upacara yang nampak dalam upacara itu;
5. besarnya tentara dengan segala jenis perlengkapannya; 6. kekayaan, gelar-gelar yang disandang dan kemashurannya; 7. seluruh kekuasaan menjadi satu ditangannya, tanpa ada yang
menyamai dan menandingi
Raja yang dapat melaksanakan hak dan kewajibannya dengan seimbang,
akan mendapat pujian yang begitu tinggi dari rakyatnya. Begitu tinggi
penghormatan dan pujian itu, sehingga raja yang demikian itu digambarkan bukan
lagi sebagai manusia biasa dengan kesaktian yang menumpuk tiada tara
(Moedjanto dalam Susatyo, 2008). Dari keterangan di atas, maka nampak bahwa
kekuasaan Raja-Raja Jawa begitu mutlak. Begitu juga dapat dilihat dalam
penggambaran mengenai Raja Hayam Wuruk oleh Empu Prapanca dalam Pupuh 1
Negarakertagama sebagai berikut:
26
1. Om! Sembah pujiku orang hina ke bawah telapak kaki pelindung jagat. Siwa-Budha Janma-Bhatara senantiasa tenang tenggelam dalam samadi. Sang Sri Prawatanata, pelindung para miskin, raja adiraja di dunia. Dewa-Bhatara, lebih khayal dari yang khayal, tapi tampak di atas tanah.
2. Merata serta meresapi segala makhluq, nirguna bagi kaum Wisnawa. Iswara bagi Yogi, Purusa bagi Kapila, Hartawan bagi Jambala. Wagindra dalam segala ilmu, Dewa Asmara di dalam cinta berahi. Dewa Yama di dalam menghilangkan penghalang dan menjamin damai dunia.
3. Begitulah pujian pujangga penggubah sejarah, kepada Sri Nata Rajasanagara, Sri Nata Wilwatikta yang sedang memegang tampuk Negara bagai titisan Dewa-Bhatara beliau menyapu duka rakyat semua. Tunduk setia segenap bumi Jawa, bahkan malah seluruh Nusantara.
4. Tahun Saka masa memanah surya (1256) beliau lahir untuk jadi narpati. Selama dalam kandungan di Kahuripan, telah tampak tanda keluhuran Gempa bumi, kepul asap, hujan abu, guruh halilintar menyambar-nyambar. Gunung meletus, gemuruh membunuh durjana, penjahat musnah dari Negara.
5. Itulah tanda bahwa Bhatara Girinata menjelma bagai raja besar terbukti selama bertahta, seluruh Jawa tunduk menadah perintah. Wipra, ksatria, waisya, sudra, keempat kasta sempurna dalam pengabdian. Durjana berhenti berbuat jahat, takut akan keberanian Sri Nata.
Berdasarkan Pupuh 1 Negarakertagama, maka penggambaran mengenai
Raja Hayam Wuruk di Kerajaan Majapahit merupakan constructive power yang
menjadi kekuatan yang berperan secara signifikan dalam membentuk kuasa tata
kelola pemerintahan di Kerajaan Majapahit dan daerah jajahannya. Tata kelola
pemerintahan ini tentunya sangat erat hubungannya dengan berbagai bidang
seperti sosial, budaya dan ekonomi. Dalam bidang ekonomi, khususnya dalam
praktik akuntansi di Kerajaan Majapahit, kekuasaan Raja Hayam Wuruk sangat
mempengaruhi dalam hal pemungutan pajak di Kerajaan Majapahit. Dalam Kitab
Negarakertagama dikisahkan bahwa Raja Hayam Wuruk memerintahkan kepada
bujangga dan mantra untuk menarik upeti dari kerajaan jajahannya.
27
Dalam Pupuh 15/3 Negarakertagama dinyatakan bahwa:
“Semenjak nusantara menadah perintah Sri Baginda. Tiap musim tertentu mempersembahkan pajak upeti. Terdorong keinginan untuk menambah kesejahteraan. Bujangga dan mantri diperintah menarik upeti.”
Dari pernyataan Pupuh 15/3 Negarakertagama tersebut, dapat dijumpai
perkara penarikan pajak di tanah jajahan Majapahit. Dalam hal penarikan pajak,
Raja tidak tinggal menunggu datangnya utusan dari tanah jajahan yang membawa
upeti untuk dipersembahkan kepadanya. Setiap masa pembayaran upeti atau
pajak, Raja mengirim utusan Bujangga dan Mantri ke tanah jajahan untuk menarik
pajak. Uang pajak itu untuk membiayai usaha Raja dalam memelihara
kesejahteraan umum. Dalam Pupuh 83/5 Negarakertagama, Raja Hayam Wuruk
juga mengambil pajak dari para pembesar dan rakyatnya, disebutkan bahwa:
“Tiap bulan Palguna Sri Nata dihormati di seluruh Negara. Berdesak-desak para pembesar, empat penjuru, para aparatur desa, hakim dan pembantunya, bahkan pun dari Bali mengaturkan upeti. Pekan penuh sesak pembeli penjual, barang terhampar di dasaran.” Dalam hal ini, maka konsepsi kekuasaan Raja Hayam Wuruk pada era
keemasan Majapahit dalam penarikan pajak terhadap daerah jajahan, pembesar
dan rakyatnya sebagai sebuah kepentingan dalam berusaha memenuhi
kesejahteraan wilayahnya. Meskipun demikian, dalam Pupuh 76 sampai Pupuh 80
Negarakertagama, Raja Hayam Wuruk juga menetapkan wilayah-wilayah yang
dibebaskan dari kewajiban membayar pajak kepada kerajaan. Wilayah-wilayah
yang dibebaskan dari pajak tersebut disebut sebagai wilayah perdikan.
Pupuh 83/4 Negarakertagama juga menyebutkan bahwa kemasyuran Raja
Hayam Wuruk telah menarik banyak pedagang asing, di antaranya pedagang dari
28
India, Khmer, Siam, dan China. Pajak khusus dikenakan pada orang asing
terutama yang menetap semi-permanen di Jawa dan melakukan pekerjaan selain
perdagangan internasional (Poesponegoro & Notosusanto, 1990). Dari hal itulah,
maka dapat dikatakan bahwa kekuasaan Hayam Wuruk mempengaruhi kondisi
perdagangan di Majapahit yang secara logis juga akan berpengaruh terhadap
praktik akuntansi pada Kerajaan Majapahit.
Dalam genealogi kekuasaan, Faucoult membahas bagaimana orang
mengatur diri sendiri dan orang lain melalui produksi pengetahuan. Dalam Pupuh
89/2 Negarakertagama, Hayam Wuruk selaku Raja Majapahit memerintahkan
(Muljana, 2005):
“Negara dan desa berhubungan rapat seperti singa dan hutan. Jika desa rusak, negara akan kekurangan bahan makanan. Kalau tidak ada tentara, negara lain mudah menyerang kita. Karenanya peliharalah keduanya, itu perintah saya!”
Berdasarkan Pupuh 89/2 Negarakertagama, jelas sekali bahwa kekuasaan
juga berelasi dengan perekonomian. Melalui kekuasaan, Raja Hayam Wuruk
mengatur rakyatnya. Dalam hal inilah, maka praktik akuntansi di Majapahit pada
masa keemasannya adalah sebagai suatu mekanisme yang memungkinkan
aktivitas sosial masyarakatnya dapat berjalan melalui kekuasaan, sejalan dengan
konsep power-knowledge. Konsep kuasa Foucault ini membukakan mata kita
terhadap satu mekanisme yang samar dalam praktik akuntansi di Majapahit.
Bahwa kuasa Raja Hayam Wuruk bekerja secara sangat halus, struktural,
menyeluruh, dan diskursif. Kuasa Raja Hayam Wuruk di Majapahit melibatkan
jabatan, profesional dan strategi-strategi yang keseluruhannya bekerja dengan
logika panaptikon—bentuk logika kuasa yang membuat rakyat dan tanah
29
jajahannya menjadi subjek-subjek yang taat. Sistem ini merupakan model
berfungsinya penegakan disiplin yang dapat diterapkan dalam bidang pemungutan
pajak di Majapahit, misalnya.
Kekuasaan sebagai sebuah kapasitas yang dimiliki Raja Hayam Wuruk
untuk menghasilkan efek yang dikehendaki dan nyata terhadap pemungutan pajak.
Kekuasaan dan pengaruh Raja Hayam Wuruk merupakan istilah yang digunakan
untuk menggambarkan relasi atau aktivitas akuntansi dalam hal pemungutan pajak
yang merupakan bagian dari politik. Pada akhirnya kekuasaan Raja Hayam
Wuruk tersebut akan dijadikan sebagai sebuah bentuk kekuasaan kelompok dalam
melaksanakan agenda yang telah disepakati dalam kebijakan pajak di Majapahit.
Kekuasaan yang dimiliki oleh Raja Hayam Wuruk tersebut merupakan sebuah
modal yang akan dipakai oleh pejabat-pejabat pemungut pajak untuk
mempengaruhi jajahan dan rakyatnya untuk turut serta mendukung dalam hal
pemungutan pajak.
Kuasa tidak selalu bekerja melalui ekspresi dan intimidasi, melainkan
pertama-tama bekerja melalui aturan-aturan dan normalisasi (Facoult dalam
Taylor, 1985). Disiplin dan norma menjadi konsep kunci dalam memahami
kekuasaan Raja Hayam Wuruk. Teknik kekuasaan Hayam Wuruk ini membentuk
kepatuhan dalam masyarakatnya berkenaan dalam pengumpulan pajak atau denda
atas suatu sanksi. Sebagai contoh dalam kitab hukum Majapahit yaitu
Kutâramânawadharmaçâstra, yang merupakan kitab prosa yang menguraikan
aturan-aturan untuk melindungi hak milik rakyat, memberikan sanksi denda bagi
30
mereka yang bertindak menyalahi aturan yang sudah ditetapkan dalam kitab ini,
misalnya pada Pasal 23 Kutâramânawadharmaçâstra (Wojowasito, 1950):
“Mereka yang memberi tempat tinggal kepada seorang pencuri, juga mereka yang memberi makan kepada seorang pencuri, kalau ada bukti-buktinya, dikenakan denda 20.000 kepeng oleh baginda; isteri dan anak-anaknya tidak dikenakan hukuman; mereka yang menyembunyikan seorang pencuri atau menjaga seorang pencuri, dan mengatakan bahwa ia itu bukan pencuri, atau mereka yang menyingkirkan seorang pencuri, sedang terdapat bukti-bukti yang menyatakan bahwa orang itu pencuri, dikenakan denda 40.000 kepeng oleh baginda; mereka yang membantu pencuri, sedang mereka tahu bahwa orang itu pencuri, atau berdiam diri, sedang mereka itu telah lama bersahabat dengan orang itu, dikenakan denda 10.000 kepeng oleh baginda; kalau mereka itu menghasut pula supaya mencuri, maka mereka itu dikenakan hukuman mati pula oleh baginda.”
Berdasarkan paradigma Foucauldian atas akuntansi di era keemasan
Majapahit, maka praktik akuntansi dalam hal pemungutan pajak dan denda
merupakan fenomena sosial, politik, dan ekonomi yang kompleks yang juga
terjalin dengan konsep power-knowledge. Mekanisme operasional pemungutan
pajak di Kerajaan Majapahit atas wilayah jajahan, pedagang asing, dan rakyatnya,
serta sanksi denda bagi mereka yang bertindak menyalahi aturan memperlihatkan
bentuk akuntabilitas administrasi kerajaan. Sistem pemerintahan Majapahit yang
erat berkaitan dengan kekuasaan mengatur aturan perpajakan yang wajib
dibayarkan kepada kerajaan Majapahit melalui Bujangga dan Mantri. Keputusan
Kerajaan Majapahit untuk memungut pajak serta memungut sanksi denda bagi
mereka yang bertindak menyalahi aturan bukanlah masalah yang sepele, namun
hal ini merupakan dasar dari praktik akuntansi. Dalam kerangka facouldian, maka
praktik kuasa dalam kerajaan Majapahit berfungsi sebagai penggerak sosial dan
perekonomian dalam masyarakat yang erat hubungannya dengan praktik
31
akuntansi. Power Raja Hayam Wuruk merupakan sebuah mekanisme yang
menciptakan rasionalitas (knowledge) dalam pemungutan pajak dan denda sebagai
sebuah alat untuk menegakkan kekuasaan Kerajaan Majapahit yang lebih besar.
PENUTUP
Simpulan dan Implikasi
Masyarakat Majapahit telah menerapkan pengetahuan akuntansi dalam
aktivitas perekonomiannya. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya mata uang
sebagai alat tukar dalam melakukan aktivitas perekonomian. Uang lokal
Majapahit dinamakan Gobog.
Sejalan dengan konsep power-knowledge, kekuasaan Raja Hayam Wuruk
merupakan kekuatan yang membentuk perilaku masyarakat Majapahit dalam
kehidupan sosialnya. Pada gilirannya, kekuatan yang membentuk perilaku
(constructive power) ini akan menjadi kekuatan yang berperan secara signifikan
dalam membentuk dasar praktik akuntansi di Kerajaan Majapahit. Mekanisme
operasional pemungutan pajak di Kerajaan Majapahit atas wilayah jajahan,
pedagang asing, dan rakyatnya, serta sanksi denda bagi mereka yang bertindak
menyalahi aturan memperlihatkan bentuk akuntabilitas administrasi kerajaan.
Power Raja Hayam Wuruk merupakan sebuah mekanisme yang menciptakan
rasionalitas (knowledge) dalam pemungutan pajak sebagai sebuah alat untuk
menegakkan kekuasaan Kerajaan Majapahit yang lebih besar.
Berdasarkan analisis paradigma Foucauldian, maka dapat disimpulkan,
Pertama, Kitab Negarakertagama merupakan sebuah korpus (data linguistik)
32
pernyataan-pernyataan yang diorganisasikan secara teratur dan sistematis yang
berisi mengenai kehidupan di era keemasan Majapahit pada pemerintahan Raja
Hayam Wuruk. Kedua, Raja Hayam Wuruk melalui kekuasaannya memberikan
aturan-aturan berkenaan dalam pengumpulan pajak. Ketiga, Raja Hayam Wuruk
melalui kekuasaannya memberikan batasan pengumpulan pajak, seperti misalnya
melalui penetapan wilayah-wilayah yang dibebaskan dari kewajiban membayar
pajak kepada kerajaan; Keempat, Kuasa Raja Hayam Wuruk di Majapahit
melibatkan jabatan, profesional dan strategi-strategi yang keseluruhannya bekerja
dengan logika panaptikon—bentuk logika kuasa yang membuat rakyat dan tanah
jajahannya menjadi subjek-subjek yang taat. Dalam hal penarikan pajak, Raja
tidak tinggal menunggu datangnya utusan dari tanah jajahan yang membawa upeti
untuk dipersembahkan kepadanya. Setiap masa pembayaran upeti atau pajak, Raja
mengirim utusan Bujangga dan Mantri ke tanah jajahan untuk menarik pajak.
Sistem ini merupakan model berfungsinya penegakan disiplin yang dapat
diterapkan dalam bidang pemungutan pajak. Kelima, kuasa Raja Hayam Wuruk
bekerja secara sangat halus, struktural, menyeluruh, dan diskursif—dalam hal ini
pengaturan pembayaran upeti berkala dapat merupakan pengakuan kedaulatan
Majapahit. Dalam hal inilah maka praktik akuntansi, seperti pengumpulan pajak
dapat menjadi sebuah alat untuk menegakkan kekuasaan Kerajaan Majapahit yang
lebih besar.
Penelitian ini relevan dengan penelitian Sukoharsono dan Gaffikin (1993),
Sukoharsono (1998a), dan Sukoharsono dan Qudsi (2008) yang juga menemukan
hubungan antara akuntansi dengan kekuasaan pada suatu era. Hasil penelitian ini
33
memberikan implikasi bahwa praktik akuntansi dipengaruhi oleh kekuasaan, yang
dalam hal ini sangat berhubungan dengan konsep power-knowledge.
Saran Untuk Penelitian Mendatang
Pada penelitian mendatang, penulis menyarankan untuk melakukan
analisis terhadap pengaruh hegemoni negara-negara maju terhadap standar
akuntansi IFRS (International Financial Reporting Standars) dalam bingkai
paradigma Foucauldian dengan memakai metode mixing yaitu kualitatif dan
kuantitatif.
34
DAFTAR PUSTAKA
Alwi Hasan, dkk. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Bank Indonesia, Koleksi Museum Bank Indonesia: Uang Logam,
http://www.bi.go.id. diakses pada tanggal 12 Juni 2012. Bertens, K. 2006. Filsafat Barat Kontemporer Prancis. Jakarta: Gramedia. Carmona, S., et al. 2004. Accounting History Research: Traditional and New
Accounting History Perspectives. Spanish Journal of Accounting History 1 (Desember).
Chalmers, A.F. 1983. Apa Itu yang dinamakan Ilmu?. Jakarta: Hasta Mitra. Eriyanto. 2001. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta:
LKiS. Guba, E. G., & Lincoln, Y. S. 1994. Competing paradigms in qualitative
research. In N. K. Denzin & Y. S. Lincoln (Eds.), Handbook of qualitative research (pp. 105-117). Thousand Oaks, CA: Sage.
Hall, Keneth.R., 1996, Ritual Network and Royal Power in Majapahit Java,
Archipel. Volume 52, (pp. 95-118). http://www.persee.fr/. diakses pada tanggal 10 Juni 2012.
Haryatmoko. 2003. Etika Politik dan Kekuasaan. Jakarta: Kompas. Ikhsan, A. & Suprasto, H.B. 2008. Teori akuntansi & Riset Multiparadigma.
Yogyakarta: Graha Ilmu. Kendall, G & Wickham, G. 1999. Using Foucault's Methods. London: Sage
Publications. Muljana, Slamet. 2005. Menuju Puncak Kemegahan (Sejarah Kerajaan
Majapahit). Yogyakarta: LKiS. Poesponegoro, M.D & Notosusanto, N. (editor utama). 1990. Sejarah Nasional
Indonesia. Edisi ke-4. Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka. Sukardi. 2003. Metodologi Penelitian Pendidikan Kompetensi dan Prakteknya.
Jakarta: Bumi Aksara.
35
Sukoharsono, E.G. 1998a. Accounting in A Historical Transition: A Shifting Dominant Belief from Hindu to Islamic Administration in Indonesia. Paper dipresentasikan pada The 2nd Asia Pacific Interdisciplinary Research in Accounting (APIRA), Osaka City University 4–6 Agustus 1998.
Sukoharsono, E.G. 1998b. Accounting in a New History: A Disciplinary Power
and Knowledge of Accounting. Working Paper-University of Wollongong. Sukoharsono, E.G & Gaffikin, M.J.R. 1993. Power and Knowledge in
Accounting: Some Analysis and Thoughts on the Social, Political, and Economic Forces in Accounting, and Profession in Indonesia (1800-1950s). Working Paper-University of Wollongong.
Sukoharsono, E.G & Qudsi, N. 2008. Accounting in the Golden Age of Singosari
Kingdom: A Foucauldian Perspective. Simposiun Nasional Akuntansi (SNA) XI. (Juli).
Suriasumantri, Jujun. 2007. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan. Susatyo, Rachmat. 2008. Seni dan Budaya Politik Jawa. Bandung: Koperasi Ilmu
Pengetahuan Sosial. Taylor, Charles. 1985. Philosophy and The Human Scienses: Philosophical
Papers 2. New York: Cambridge University Press. Tinker, T. 1985. Paper Prophets: A Social Critique of Accounting. New York:
Praeger. Trigangga. 2009. Peredaran Mata Uang di Kota Kerajaan Majapahit,
http://museum-nasional.blogspot.com, diakses pada tanggal 12 Juni 2012. Wikipedia. Majapahit. http://id.wikipedia.org/wiki/Majapahit. diakses pada
tanggal 10 Juni 2012. Wojowasito, S. 1950. Sedjarah Kebudajaan Indonesia: Indonesia Sedjak
Pengaruh India. Djakarta: Penerbit Siliwangi N.V.